PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP DIAMETER …
Transcript of PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP DIAMETER …
i
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP DIAMETER
ARTERIOL PADA TIKUS WISTAR
MODEL SEPSIS
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Kedokteran Keluarga
Oleh :
Radin Intan Edilla Sini
S. 501102050
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP DIAMETER
ARTERIOL PADA TIKUS WISTAR
MODEL SEPSIS
Oleh :
Radin Intan Edilla Sini
S. 501102050
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Pada tanggal...........................................
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan
Pembimbing I Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM ..………………….
NIP. 196210221995031001
Pembimbing II dr. Mulyo Hadi Sudjito, SpAn, KNA ............................
NIP. 197103222010011022
Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga
Minat Utama Ilmu Biomedik
Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM
NIP. 196210221995031001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
SURAT PENGESAHAN TESIS
Oleh
RADIN INTAN EDILLA SINI
NIM: S 501102050
Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpA(K)
NIP. 194412261973101001
……………. ……2015
Sekretaris Dr.dr. Trisulo Wasyanto, Sp.JP(K), FIHA
NIP.
……………. ……2015
Anggota Dr. Hari Wujoso, dr, SpF, MM
Penguji NIP. 19621021995031001
……………. ……2015
Mulyo Hadi Sudjito, dr.SpAn.KNA
NIP. 195109171979031001
…………….. ……2015
Telah dipertahankan di depan penguji
Dinyatakan telah memenuhi syarat
Pada tanggal 21 April 2015
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Magister
Kedokteran Keluarga
Prof.Dr.Ir. Ahmad Yunus, MS Dr. Hari Wujoso, dr, MM, SpF
NIP.19610717 19860 11001 NIP.19621022 19950 3100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
1. Tesis yang berjudul : “PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP
DIAMETER ARTERIOL PADA TIKUS WISTAR MODEL SEPSIS” ini adalah
karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang
pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain
kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan
dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat
plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan (Permendiknas No.17, tahun 2010).
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus
seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan Program Pasca Sarjana
UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester
(enam bulan sejak pengesahan tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian
atau keseluruhan tesis ini, maka Prodi Kedokteran Keluarga berhak
mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Kedokteran
Keluarga Program Pasca Sarjana UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari
ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang
berlaku.
Surakarta, April 2015
Mahasiswa
Radin Intan Edilla Sini
S. 501102050
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah
yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh
Pemberian Vitamin C Terhadap Diameter Arteriol Pada Tikus Wistar Model Sepsis”
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, maka, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Atas kesempatan, bantuan dan
bimbingan yang diberikan kepada penulis, maka pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih sebesar–besarnya kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. Ravik Karsidi yang telah memberi
kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di UNS.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus,
MS, yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di Pasca
Sarjana UNS.
3. Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dr. Endang Agustinar, M.Kes , yang telah
memberi kesempatan pada penulis untuk menerapkan ilmu anestesi di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
4. Dekan Fakultas Kedokteran UNS, Prof. Dr. dr. Zainal Arifin Adnan, Sp.PD-KR,
FINASIM., yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di
Fakuktas Kedokteran UNS.
5. Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Dr. dr. Hari Wujoso, Sp F, MM,
yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan dan
menyelesaikan karya tulis ini.
6. Kepala Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNS, Dr.M.H. Sudjito, Sp.
An KNA, atas segala bimbingan dan masukan yang diberikan pada penulis dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
7. Kepala Bagian SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNS, dr. Marthunus Judin,
Sp.An-K, atas segala bimbingan dan masukan yang diberikan pada penulis dalam
menyelesaikan karya tulis.
8. dr. Purwoko, SpAn,KAKV,KAO atas segala bimbingan dan masukan yang diberikan
pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.
10. ”Guru-guruku” yang tidak pernah lelah mengajari, dan memberi kesempatan penulis
untuk menimba ilmu di PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif UNS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
11. Kedua orang tua penulis, Bapak Sutan Edilla Sini dan Ibu Sri Mulyani yang sangat
penulis hormati dan sayangi yang selalu memberi dukungan, bantuan, perhatian, kasih
sayang, dan tidak bosan-bosannya berdoa untuk penulis agar penulis cepat dapat
menyelesaikan pendidikan.
12. Istri tercinta dan tersayang, Isnainy Sartika, yang tak pernah lelah memberi dukungan,
doa, cinta, kasih sayang, pengertian, perhatian dan pengorbanan. selama penulis
menjalani pendidikan.
13. Sahabat-sahabat seangkatan, dr Henri Dumas, dr Isroful Ikhsan, dr Andi Nugroho, yang
selalu memberi dukungan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan.
14. Semua sahabat yang memberikan perhatian dan bantuan pada penulis dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
Surakarta, Maret 2015
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
Daftar Isi
Halaman Judul… ……………………………………………………………….
Halaman Pengesahan Pembimbing. …………………………………………..
Lembar pengesahan Tesis……………………………………………………….
Pernyataan Orisinalitas …………………………………………………………
Kata Pengantar .....................................................................................................
Daftar Isi…………................................................................................................
Daftar Gambar…………………………...............................................................
Daftar Tabel..........................................................................................................
Daftar Lampiran…................................................................................................
ABSTRAK.................................................................................................................
ABSTRACT………………………………………………………………………
I. PENDAHULUAN …………………………………………………………….
a. Latar Belakang………...................................................................................
b. Rumusan Masalah………..............................................................................
c. Tujuan Penelitian…………………………………………………………
d. Manfaat Hasil Penelitian………....................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA………........................................................................
a. Kajian Teori………………………………………………………………...
1. LPS induced-signaling Pathway………………………………………..
1.1 NFκB……………………………………………………………….
1.2 Redoks Regulation…………………………………………………
1.3 NFκB dan Sepsis…………………………………………………...
2. Keterkaitan Reactive Oxygen Species…………………………………
2.1 Reactive Oxygen Species…………………………………………..
2.2 Mekanisme Pertahanan antioksidan endogen……………………
2.3 Stress oksidatif pada syok septik…………………………………
2.4 Disfungsi mitokondria pada syok septik…………………………..
3. Peranan Nitrogen Species………………………………………………
4. Proteksi Antioksidan…………………………………………………...
4.1 Struktur dan biokimia……………………………………………..
4.2 Aktivitas antioksidan………………………………………………
4.3 Pelepasan NO yang dipengaruhi askorbat………………………..
4.4 Reduksi nitrit menjadi NO oleh askorbat…………………………
….………
………….i
…...……ii
………..iii
………...iv
…………v
……….vii
………...ix
…………x
………...xi
……….xii
……….xii
………….i
…………1
…………1
…………3
…………4
…………4
…………5
…………5
…………6
…………7
…………8
…………8
…………9
………..11
………..12
………..13
………..14
………..15
………..18
………..18
………..20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
4.5 Penguraian ROS oleh askorbat…………………………..
4.6 Pengaturan redoks oleh thiols……………………………
4.7 Pengaturan eNOS oleh askorbat………………………….
4.8 Askorbat sebagai salah satu kofaktor eNOS…………….
4.9 Efek askorbat pada stimulasi guanylate cyclase oleh NO.
4.10 Mekanisme transport Vitamin C……………………….
5. Metode Induksi Sepsis……………………………………….
b. Penelitian yang relevan……...……………………………………
c. Kerangka Pikir…………………...………………………………..
d. Kerangka Konsep………………..………………………………
e. Hipotesis ………………………….................................................
III. METODE PENELITIAN.………….................................................
a. Waktu dan Tempat Penelitian…..……………………………….
b. Jenis Penelitian………………..…………………………………..
c. Populasi dan Sampel Penelitian…..………………………………
d. Definisi Operasional…………….………………………………..
e. Alur Penelitian…………………………………………………….
f. Bahan dan Cara Kerja Penelitian.....................................................
g. Analisis Data………………………………………………………
h. Etika Penelitian……………………................................................
IV. HASIL PENELITIAN……………………………………………...
a. Hasil Penelitian …………………………………………………..
b. Pembahasan ……............................................................................
V. KESIMPULAN DAN SARAN….………………..............................
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..
………..……21
………………..22
……………….23
………………..24
………………..25
………………..25
………………...25
………………..31
……………….35
………………..36
………………..36
………………...37
………………...37
……………….37
………………..37
……………….39
……………….41
………………..42
………………..45
………………..45
………………..46
……………….46
………………..53
………………...56
……………….57
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Skematik LPS-induced signaling pathway…………….………..….7
Gambar 2. Bentuk asam askorbat tereduksi ………………………………………….…25
Gambar 3.Bentuk asam askorbat teroksidasi…….. ………………………………….….27
Gambar 4. Efek inhibisi NO dan ONOO-….
……………………………………………..31
Gambar 5. Potensi kerja antiokksidan pada sepsis...…………………………………….32
Gambar 6. Kerangka berpikir………………………………………………………….....35
Gambar 7. Kerangka Konsep………………………………………………………….....36
Gambar 8. Alur penelitian………………………………………………………………..41
Gambar 9. Diagram batang rerata kadar neutrophil……………………………………...47
Gambar 10. Diagram batang rerata diameter arteriol…………………………………….51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
10
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pembagian antioksidan berdasarkan solubilitas………………………………..17
Tabel 2. Deskripsi hasil pemeriksaan neutrophil………………………………………..46
Tabel 3. Uji normalitas data neutrophil………………………………………………….48
Tabel 4. Uji rata-rata kadar neutrophil…………………………………………………..48
Tabel 5. Perbedaan kadar neutrophil antara masing-masing kelompok perlakuan……...49
Tabel 6. Deskripsi hasil pengukuran diameter arteriol…………………………………..50
Tabel 7. Uji normalitas data diameter arteriol…………………………………………...52
Tabel 8. Uji beda rata-rata diameter arteriol……………………………………………..52
Tabel 9. Perbedaan diameter arteriol antara masing-masing kelompok perlakuan……...53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
11
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran.1 Lampiran Hasil Penelitian……………………………………………...59
Lampiran.2 Hasil Uji Kruskal-Wallis Test Neutrofil NPar Tests…………………...63
Lampiran.3 Hasil Uji Normalitas Diameter Arteriol………………………………..65
Lampiran.4 Hasil Uji Kruskal-Wallis Test Diameter Arteriol NPar Tests……….…67
Lampiran.5 Ethical Clearance………………………………………………………69
Lampiran.6 Dokumentasi Penelitian…………………………………………………70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
12
Radin Intan Edilla Sini, S. 501102050, 2015. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap
Diameter Arteriol Pada Tikus Wistar Model Sepsis. TESIS. Pembimbing I : Dr. Hari
Wujoso, dr. Sp.F. MM. Pembimbing II : M.H Sudjito, dr. Sp.An. KNA. Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta
ABSTRAK
Latar belakang : Sepsis dan syok septik telah lama dikenal sebagai masalah kesehatan serius
di dunia, karena angka mortalitas dan morbiditasnya yang masih sangat tinggi. Produksi
berlebihan mediator pro-oksidan pada sepsis menguasai sinyal anti-oksidan. Ketidak
seimbangan antara mediator pro oksidan dan antioksidan akan menyebabkan perubahan pada
mikrosirkulasi, sehingga mikrosirkulasi tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengatur
distribusi oxygen carrying blood cell pada berbagai organ, sehingga terjadi kerusakan dan
kematian sel. Vitamin C merupakan golongan antioksidan larut dalam air yang dapat
meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat
logam. Fungsi antioksidan adalah mencegah terbentuknya radikal hidroksil, memutus rantai
reaksi oksidan, mereduksi oksidan menjadi zat lain yang kurang reaktif misalnya H2O dan
O2, menghambat peroksidase lipid dan scavenger langsung dari ROS.
Tujuan : Menganalisis pengaruh pemberian vitamin C 5,1mg/kgBB/hari/ i.v (setara dengan
50 mg/kgBB/hari/ i.v pada manusia dengan berat badan 60kg) pada tahap awal sepsis
terhadap diameter arteriol pada tikus wistar dengan model sepsis polimikrobial.
Metode : Penelitian ini termasuk eksperimental laboratorik. Sejumlah 27 ekor tikus wistar di
adaptasikan selama 7 hari sebelum dibagi dalam tiga kelompok yang masing-masing
kelompok terdiri dari 9 ekor tikus yang ditentukan secara acak. Untuk kelompok satu (K1)
yang merupakan kelompok kontrol, tidak dikukan induksi cecal inoculum maupun pemberian
vitamin c.. Untuk kelompok dua (K2) diberikan injeksi cecal inoculum 40mg/kali/hari selama
3 hari berturut turut. Untuk kelompok perlakukan tiga (K3) perlakuan sama dengan kelompok
dua ditambah dengan vitamin C 5,1 mg/kg/kali/hari secara intravena selama 3 hari berturut-
turut. Setelah 72 jam tikus wistar akan di euthanasia dengan cara dekapitasi. Duodenum tikus
kemudian diambil untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi yang akan mengukur diameter
arteriol rata-rata pada tiap sampel. Dikarenakan ada kelompok tidak lulus uji normalitas maka
pengujian statistik di uji alternatif dengan Kruskal-Wallis test dan dilanjutkan dengan Mann
Whitney Test. Dianggap bermakna secara statistik apabila nilai p < 0,05.
Hasil : Nilai uji beda antara kelompok 1 dan kelompok 2 mendapatkan nilai p=0,001 p<0,05,
jadi ada perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 1 (tanpa perlakuan)
dengan dengan kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dimana rata-rata diameter arteriol tikus
kelompok 1 (tanpa perlakuan) 30,8% lebih lebar dibandingkan dengan tikus kelompok 2
(diberi cecal inoculum). Demikian juga antara kelompok 1 (tanpa perlakuan) dan kelompok 3
(diberi cecal inoculum dan Vitamin C) mendapatkan hasil nilai p=0,001 p<0,05. Jadi ada
perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 1 dan kelompok 3. Dimana
kelompok 3 menghasilkan diameter arteriol 118,2% lebih lebar daripada kelompok 1. Uji
beda antara kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dan kelompok 3 (diberi cecal inoculum dan
Vitamin C) mendapatkan hasil nilai p=0,000 p<0,05. Jadi ada perbedaan yang signifikan
diameter arteriol antara kelompok 2 dan kelompok 3. Dimana kelompok 3 menghasilkan
diameter arteriol 185,3% lebih lebar daripada kelompok 2.
Kesimpulan : Pemberian vitamin C pada tikus sepsis mampu meningkatkan diameter arteriol
dibandingkan dengan tikus sehat (normal) dan tikus sepsis.
Kata kunci : Vitamin c, sepsis, mikrosirkulasi, diameter arteriol
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
13
Radin Intan Edilla Sini, S. 501102050, 2015. The Effect of vitamin c on The arteriol
Diameter in Wistar Rats with Sepsis Model. THESIS Supervisor I : Dr. Hari Wujoso, dr.
Sp.F. MM. Supervisor II : M.H Sudjito, dr. Sp.An. KNA. Anesthesiology and Intensive Care
Departement, Faculty of Medicine, Post Graduate Program University of Sebelas Maret,
Surakarta.
ABSTRACT
Background : Sepsis and septic shock have long been recognized as serious medical
problems in the world, since the mortality and morbidity rates are still very high. Excessive
production of pro-oxidant mediator in sepsis dominates the anti oxidant signal. The
imbalance between pro oxidant mediator and antioxidant will cause changes in
microcirculation, therefore the microcirculations cannot function as a controller of oxygen
carrying blood cell distribution in various organs, that leads to damage and cell death.
Vitamin C is a water soluble type that can filter the negative effects of oxidants, including
enzymes and iron binding proteins. The function of antioxidant is to prevent the hydroxyl
radical to be formed, to cut the oxidant reaction chain, to reduce oxidant to other matter
which less reactive for instances H2O and O2, to block lipid peroxide and scavengers directly
from ROS.
Objective : To analyze the influence of vitamin C administration 5,1mg/Kg Body weight/day/
IV (equals to 50 mg/kg body weight/day/ IV in humans with 60kg bodyweight) in the initial
phase of sepsis to the arteriol diameter in wistar rats with sepsis polimicrobial model.
Methods : This research is categorized as laboratoric experimental. As many as 27 wistar
rats were being adapted for 7 days before they were divided in three groups with 9 rats each
which randomly selected. For group 1 (K1) which is a control group, the cecal induction and
vitamin c administration were not applied. For group 2 (K2) inoculum cecal injection 40
mg/a time/day was given for 3 days in a row. For group 3 (K3) it has the same treatment as
in group 2 added with 5.1 mg/kg/time/day intravenously for 3 days in a row. After 72 hours,
wistar rats were euthanized by decapitation. The rats duodenum were taken and
histopathologically examined to measure the diameter of the average in each sample. Since
the groups did not pass the normality test so the statistic test was using alternative test with
Kruskal-Wallis tes and continued with Mann Whitney Test. It was considered significant if
the P value < 0.05.
Result : The different value test between group 1 and group 2 was p=0.01 p<0.05, so there
was significant different in arteriol different between group 1 (without treatment) and group
2 (with cecal inoculum administration) which the average of arteriol diameter of the group 1
rats (without treatment) was wider than in group 2 (with cecal inoculum administration).
And also between group 1 (without treatment) and group 3 (with cecal inoculums and vitamin
C) resulted in p value = 0.001 p <0.05. So there was significant different in arteriol diameter
between group 1 and group 3. Whereas group 3 resulted arteriol diameter 118.2 % wider
than group 1. Different test between group 2 (with cecal inoculum) and group 3 (Cecal
inoculums and vitamin C administration) resulted in p value=0.000 p<0.05. so there was
significant different of arteriol diameter between group 2 and group 3. Whereas group 3
resulted arteriol diameter 185.3% wider than group 2.
Conclusion : Vitamin C administration in sepsis rats were able to increase the arteriol
diameter wider than normal healthy rats and sepsis rats.
Keywords : Vitamin C, sepsis, microcirculation, arteriol diameter
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepsis dan syok septik telah lama dikenal sebagai masalah kesehatan serius di
dunia, karena angka mortalitas dan morbiditasnnya yang masih sangat tinggi. Sepsis
sering ditemui pada pasien critical illness di ruang perawatan intensif dan merupakan
40% penyebab kematian. Di Eropa ± 150.000 pasien mengalami sepsis, sepsis berat
(disertai disfungsi multi organ) dan syok septik per tahun, dimana 65.000 diantaranya
meninggal. Setidaknya > 50% dari kematian tersebut disebabkan syok septik dan
gagal organ.
Telah disepakati bahwa bukanlah infeksi bakteri yang merupakan faktor
penentu utama hasil pada sepsis, melainkan respon inflamasi terhadap infeksi tersebut
(Cohen, 2002).
Respon inflamasi terhadap rangsangan septik sangat berbahaya untuk
pertahanan host, karena hal tersebut mengatur mediator anti-inflamasi (misalnya, IL-1
reseptor antagonis, IL-4, IL-10) dan enzim antioksidan (misalnya, katalase, glutation
peroksidase, mangan ROS dismutase). Namun, produksi berlebihan mediator pro-
inflamasi pada sepsis menguasai sinyal anti-inflamasi. Hal ini menyebabkan
penekanan fungsi kekebalan tubuh bawaan (terutama PMN) dan menyebabkan
immunoparalysis dan selanjutnya meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
(Riedemann et al., 2003 dan Cepinskas dan Wilson, 2008).
Mikrosirkulasi selama ini tidak mendapatkan perhatian yang baik pada
pengobatan klinis, namun saat ini mikrosirkulasi mulai diketahui sebagai hal penting
yang menyebabkan beberapa proses patofisiologi. Fungsi mikrosirkulasi yang normal
akan berperan dalam oksigenasi dan fungsi suatu jaringan, namun hal ini masih
kurang dipahami karena banyak sekali perbedaan struktur yang meyebabkan
perbedaan fungsi pada tiap organ. Fungsi utama dari mikrosirkulasi adalah sebagai
pengatur distribusi oxygen carrying blood cell pada berbagai organ. Faktor utama
yang mempengaruhi oxygen delivery diantaranya adalah; regulasi aliran darah,
tekanan oksigen jaringan, dan mitokondria, yang sampai dengan saat ini masih belum
dipahami sepenuhnya, dan mikrosirkulasi adalah kunci untuk memahami hal tersebut.
Telah jelas bahwa variabel hemodinamik sistemik tidak menggambarkan
kegagalan sirkulasi pada critical illness yang tidak responsif terhadap terapi.
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
15
Kegagalan ini lebih disebabkan karena disfungsi dari mikrosirkulasi. Evaluasi dari
mikrosirkulasi telah membuka ruang baru dalam monitoring fungsi hemodinamik.
Identifikasi kegagalan mikrosirkulasi merupakan indikator yang paling sensitif dari
kegagalan sirkulasi yang berakibat pada outcome yang buruk, dan ini merupakan
target teraputik yang baru. Penelitian klinis telah dapat mengidentifikasi berbagai
teraputik konvensional dan pendekatan baru yang mampu memodifikasi
mikrosirkulasi.
Vitamin C merupakan golongan antioksidan larut dalam air yang dapat
meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein
pengikat logam. Fungsi antioksidan adalah mencegah terbentuknya radikal hidroksil,
memutus rantai reaksi oksidan, mereduksi oksidan menjadi zat lain yang kurang
reaktif misalnya H2O dan O2, menghambat peroksidase lipid dan scavenger langsung
dari ROS.
Regulasi serta koordinasi dari respon imuno-inflamasi oleh cytokines dan
mediator lainnya akan mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh. Perubahan pada
tingkat molekuler meliputi mekanisme yang sangat kompleks yang dalam keadaan
puncak akan menyebabkan perubahan pada ekspresi gen. Sepsis akan menyebabkan
gangguan regulasi pada respon ini yang akan menyebabkan pelepasan secara eksesif
mediator-mediator inflamasi dan menyebabkan kerusakan pada organ maupun sel
tubuh. Mekanisme yang menyebabkan kerusakan jaringan pada respon sepsis
umumnya berhubungan dengan kerusakan pada endotel vaskuler yang akan secara
nyata menyebabkan penurunanan perfusi oksigen maupun substrat lainnya ke jaringan
sehingga terjadi perubahan pada metabolisme seluler.
Banyak kompleks sistem yang secara sekunder terstimulasi selama periode
sepsis, termasuk aktivasi sistem komplemen, platelet-activating factor (PAF),
metabolit asam archidonat, ROS dan NO. Faktanya yang terjadi adalah lingkaran
siklus inflamasi dan koagulasi yang tidak berhenti berputar dengan iskemia,
kerusakan sel yang pada akhirnya akan meyebabkan disfungsi organ serta kematian.
Saat ini didapatkan bukti dimana pada keadaan sepsis juga didapatkan stress
oksidatif yang berat. Oksigen radikal bebas dan ROS lainnya sepertinya berhubungan
dengan messangers pada tranduksi signal dan aktivasi gen. Dan hal ini akan
memberikan dampak terhadap ekspresi maupun kontrol respon immune-
inflammantory selama periode sepsis. Studi molekuler pada saat ini berbasis terhadap
pengenalan monosit terhadap LPS serta regulasi dari gen inflamasi, hal ini dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
16
membuat pendekatan baru dalam strategi teraputik.(Victor et al, 2005). Intervensi
teraputik dengan menggunakan Vitamin C sebagai antioksidan diharapkan dapat
mengembalikan transduksi signal dan mengembalikan produksi mediator-mediator ke
nilai normal. Strategi mencegah kerusakan endotel dapat dilakukan dengan cara
mencegah pelepasan ROS dan mengembalikan trasduksi signal, sehingga fungsi
endotel dapat dikembalikan ke fungsi normalnya. Strategi ini pada akhirnya
diharapkan dappat memperbaiki fungsi dari mikrosirkulasi dan mengurangi kejadian
MOD/MOFS serta angka kematian.
Pada penelitian ini dengan menggunakan tikus wistar model sepsis yang
diberikan Vitamin C, sepsis murni dan kontrol (tanpa induksi sepsis dan pemberian
Vitamin C) diharapkan dapat diteliti pengaruh pemberian Vitamin C terhadap
diameter arteriol. Penulis menduga bahwa pemberian Vitamin C pada tikus wistar
yang berada dalam keadaan sepsis polimikrobial dapat memperbaiki dan
mengembalikan diameter arteriol seperti dalam keadaan normal.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh pemberian Vitamin C 5,1mg/kgBB/hari/i.v (setara
dengan 50 mg/kgBB/hari/ i.v pada manusia dengan berat badan 60 kg) pada tahap
awal sepsis terhadap diameter arteriol pada tikus wistar dengan model sepsis
polimikrobial.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis pengaruh pemberian Vitamin C 5,1mg/kgBB/hari/ i.v (setara
dengan 50 mg/kgBB/hari/ i.v pada manusia dengan berat badan 60kg) pada tahap
awal sepsis terhadap diameter arteriol pada tikus wistar dengan model sepsis
polimikrobial.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengaruh pemberian Vitamin C 5,1 mg/kgBB/hari/ i.v (setara
dengan 50 mg/kgBB/hari/ i.v pada manusia dengan berat badan 60 kg) pada
tahap awal sepsis terhadap diameter arteriol pada tikus wistar dengan model
sepsis polimikrobial.
b. Menganalisis perbandingan antara ketiga kelompok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
17
D. Manfaat Penelitian
1. Jika penelitian ini terbukti, maka pemberian Vitamin C dapat menjadi
pertimbangan sebagai prosedur rutin yang dilakukan dalam tatalaksana sepsis,
terutama perawatan dan penatalaksanaan sepsis di unit terapi intensif.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi dalam menjelaskan
pengaruh pemberian Vitamin C terhadap mikrosirkulasi pada pasien sepsis.
3. Penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi bagi masyarakat mengenai
pemberian Vitamin C pada pasien sepsis.
4. Landasan untuk penelitian lebih lanjut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. LPS-Induced Signaling Pathway
Aktivasi dari sistem imun dan inflamasi timbul sebagai respon baik
terhadap stimuli infeksi maupun non infeksi. Bakteri gram negatif dan postif
merupakan agen-agen kausatif. Infeksi akan menstimulasi respon imun pada
innate, pada umumnya di mediasi melalui sel-sel inflammatori pada sirkulasi dan
jaringan, seperti monosit/makrofag dan netrofil. Sel-sel ini pada keadaan normal
akan ditemukan baik dalam sirkulasi maupun jaringan yang dapat secara cepat
teraktivasi sebagai respon terhadap bakteria. Sel-sel ini akan menghasil mediator-
mediator inflamasi sehinga dapat dengan sangat aktif melakukan fungsi
fagosit,dan juga dapat berkontribusi terhadap timbulnya kerusakan pada jaringan
yang disebabkan karena mediator-mediator inflamasi yang dihasilkan oleh
cytokines serta kerusakan yang disebabkan karena ROS.
Mekanisme molekuler yang terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi
serta ekspresi gen yang dapat diinduksi oleh LPS seringkali menjadi objek
penelitian akhir-akhir ini (Victor et al, 2005). Pada fase akut didalam plasma,
LPS akan terikat dengan protein dalam bentuk LPS-binding protein (LBP). LBP
sangat penting dalam timbulnya respon induksi inflamasi yang disebabkan oleh
LPS. Saat ini telah banyak reseptor endotoksin yang teridentifikasi seperti β2-
integrin CD11/CD18, macrophage scavenger receptor for acetylated LDL, L-
selectin dan CD14. Dari kesemua reseptor tersebut, CD14 dianggap sebagai yang
paling penting. Dimana reseptor ini ditemukan dalam 2 bentuk: membrane bound
CD14 (mCD14) dan soluble CD14 (sCD14). LPS juga dapat berinteraksi dengan
transmembrane signal transduction receptor Toll-like receptor 4 (TLR4), dimana
reseptor ini berada pada kompleks accessory protein MD-2. Walaupun TLR2
dianggap ikut berperan pada proses signaling LPS, diduga TLR4 memiliki peran
kunci dalam respon imun terhadap bakteri gram negatif pada innate (Juan et al,
2005). LPS yang terikat pada reseptor ini akan mengaktifkan beberapa jalur
signaling intraseluler, termasuk jalur IκB kinase (IKK)-nuclear factor κB (NFκB)
dan berbagai jalur nitrogen-activated protein kinase (NAPK). Jalur-jalur ini akan
menfosforilasi dan mengaktifkan berbagai faktor transkripsi, termasuk NFκB/Rel
protein, activator protein 1 (AP-1) dan nuclear factor-interleukin 6 (NF-IL6), yang
5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
19
akan meyebabkan induksi gen serta ekspresi mediator inflamasi dengan cepat,
termasuk cytokines, lipid mediators, inducible nitric oxide synthase (iNOS), dan
molekul adhesi. Cytokines memliki berbagai sel target, dan aksi spesifik cytokines
ini tergantung dari stimulus, tipe sel serta adanya mediator inflamasi lainnya dan
juga reseptor yang ada.
Walaupun telah ditemukan beberapa faktor transkripsi yang mungkin
berhubungan dengan perubahan aktivasi gen pada sepsis, termasuk AP-1 dan NF-
IL-6, NFκB merupakan faktor yang paling detail dijelaskan. Baik pada penelitian
in vitro maupun in vivo membuktikan dugaan peran penting NFκB pada sepsis
dan syok endotoksik. Representasi skematik jalur LPS/NFκB digambarkan pada
gambar.1
1.1 Nuclear Factor κB
NFκB merupakan faktor transkripsi yang penting bagi fungsi normal
sel imun, yang akan mengatur aktivasi dari gen-gen yang diperlukan untuk
menghasilkan respon yang dibutuhkan secara cepat. Namun, peningkatan
dan/atau durasi aktivasi yang memanjang dari NFκB ini akan menyebabkan
ekspresi yang berlebihan dari protein mediator dan akan menghasilkan efek
yang merusak selama periode sepsis.
Jalur NFκB dapat berubah-ubah, dengan perbedaan efek pada regulasi
gen yang tergantung dari kombinasi spesifik yang terjadi (Abraham, 2005).
NFκB berada dalam keadaan inaktif di dalam sitoplasma dan disertai dengan
protein inhibitor yang berasal dari family IκB, termasuk diantaranya IκBα,
IκBβ dan IκBε.
LPS akan menstimuli aktivasi NFκB melalui mediator-mediator
inflamasi, termasuk cytokines (TNFα, IL- 1β), ROS (terutama hydrogen
peroksida) (Juan et al, 2005), protein kinase C activator, virus, sinar UV dan
ionizing radiation (Barnes, 1997)
Aktivasi NFκB dicapai dengan cara fosforilasi dan degradasi dari
protein penghambat IκB melalui aksi kinases yang spesifik, NFκB-inducible
kinases (NIK), IKK1 dan IKK-2 (Abraham, 2003). IKKα dan IKKβ dapat
menfosforilasi IκB pada in vitro, namun studi genetik menduga peran utama
untuk IKKβ pada aktivasi cytokine-inducible NFκB. Degradasi dari IκB
dilakukan dengan cara menambahkan ubiquitin residues dan dilanjutkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
20
dengan proses proteolisis. Setelah NFκB berada di dalam nucleus maka NFκB
dapat terikat pada gen target untuk menginisisasi proses transkripsi, translasi
dan sintesis protein. Kompleks IKK merupakan kunci pengaturan pada proses
aktivasi NFκB oleh stimulus mediator inflamasi. Ada banyak gen yang
berisikan rangkaian spesifik sebagai tempat terikatnya NFκB pada promoter
regions.
Mekanisme umpan balik telah teridentifikasi, dimana hal ini dapat
menjelaskan respon yang terjadi pada stimulus awal (positive feedback) atau
pengaturan yang terjadi pada aktivasi NFκB (negative feedback) (Blackwell T,
Christman J, 1997). LPS dapat menginduksi sintesis mediator-mediator anti
inflamasi cytokines seperti IL-10 (dan juga IL-4 serta IL-13) yang akan
menghambat aktivasi NFκB serta menghambat produksi cytokine (Wang et al,
2003), hal tersebut membutuhkan mekanisme hambatan umpan balik.
Gambar 1. Diagram Skematik LPS-induced signaling pathway sebagai
respon inflamasi yang timbul pada monosit, makrofag dan neutrophil.
1.2 Redox Regulation of NFκB dan Stress Oksidatif
Status redoks intraseluler secara fisologis penting dalam menjaga
homeostasis seluler. Regulasi NFκB meliputi kaskade fosoforilasi dan
defosforilasi, namun hal ini dapat dikontrol oleh status redoks pada sel.
Glutathione (GSH) merupakan regulator utama redoks homeostasis intraseluler,
yang bekerja melalui proses oksidasi reversible dari grup aktif thiol. NFκB terlibat
dalam pengaturan ekspresi enzim γGCS dalam sintesis GSH sebagai respon
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
21
terhadap berbagai stimulus termasuk cytokine inflamasi (IL-1β dan TNF-α).
Thioredoxin (Trx) merupakan senyawa yang mengandung thiol lainnya yang
penting dalam homeostasis redoks.
1.3 NFκB dan Sepsis
NFκB memiliki peran sentral dalam modulasi ekspresi dari mediator
immunoregulatory yang terlibat dalam stress oksidatif dan juga pada sepsis. Pada
beberapa studi pada hewan telah mendemontrasikan hubungan antara sepsis dan
aktivasi NFκB dan stress oksidatif. Pada tikus didapatkan penggunaan LPS akan
menyebabkan aktivasi NFκB pada beberapa organ, hal ini berhubungan dengan
peningkatan mRNA pada jaringan paru dan ekspresi protein dari berbagai NFκB-
regulated cytokines termasuk diantaranya TNF- α dan IL-6 (Victor et al, 2005)
Beberapa studi telah mendemontrasikan peningkatan aktivitas NFκB pada
lekosit yang telah diisolasi pada pasien dengan sepsis, dimana hal ini berhubungan
dengan kematian. Bohrer dkk melaporkan peningkatan aktivitas NFκB yang
dibandingkan dengan skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health
Evalution) sebagai prediktor hasil dan tingkat mortalitas dari sepsis. Penemuan ini
dikonfirmasi oleh Arnalich dkk, dimana pada penelitian didapatkan peningkatan
yang bermakna pada aktivitas NFκB pada pasien non-survivor. Namun Paterson
dkk melaporkan bahwa peningkatan aktivasi NFκB sel mononuclear pada pasien
yang meninggal karena critically ill dapat dihambat dengan pemberian
antioksidan N-acetyl cysteine (NAC). Kadar IL-8 akan megalami penurunan pada
pemberian NAC, namun hal ini tidak ditemukan pada kadar IL-6 maupun kadar
inreellular adhesion molecule 1 (ICAM-1). Saat ini telah dapat dibuktikan jika IL-
8 diatur pada tingkatan transkripsional oleh NFκB.
2. Keterkaitan Reactive Oxygen Spesies
Pada keadaan fisiologis selalu ada kesimbangan antara bentuk reactive
oxygen species dan bentuk buangannya, dimana bentuk ini ini dimediasi oleh
antioksidan endogen dan enzim (Victor et al, 2005). Stress oksidatif timbul ketika
keseimbangan ini digangu oleh produksi ROS yang berlebih, termasuk
diantaranya superoxide (O2-), hydrogen peroxide (H2O2), dan hydroxyl radicals
(HO). Produksi ROS ini tidak diikuti oleh peningkatan yang adekuat dari zat-zat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
22
antioksidan seperti; superoxide dismutase (SOD), Katalase, Vitamin C dan E,
serta glutathione (GSH). Ketidakseimbangan ini terjadi ada keadaan sepsis.
Oleh karena itu ROS merupakan second messengers penting yang terbentuk
sebagai respon terhadap berbagai macam stress lingkunan. Pada keadaan ini,
perubahan ROS intraseluler dapat mengaktivasi jalur tranduksi signal yang akan
mempengaruhi bagaimana sel bereaksi terhadap perubahan pada lingkungannya.
2.1 Reactive Oxygen Spesies
Intermediate ROS akan meningkat ketika molekul teroksidasi dikarenakan
molekul oksigen yang berubah menjadi air selama metabolisme.
O2 O2- H2O2 HO H2O
Molekul Superoxide Hydrogen Hydroxy Air
Oksigen Anion Radical Peroxide radical
O2- dan HO merupakan suatu radikal bebas karena molekul ini memiliki
atom dengan electron yang tidak berpasangan dan akan menyumbangkan dalam
peningkatan radikal bebas yang sangat reaktif dan berpotensial menjadi toksik.
O2- akan diubah menjadi H2O2 oleh enzim SOD. H2O2 bukan merupakan
radikal bebas, namun memiliki peran yang penting karena kemampuannya untuk
menembus membrane biologis. Pada keadaan kekurangan ion logam, H2O2 selalu
dalam keadaan stabil. Jumah berlebih dari H2O2 secara normal akan diubah
menjadi air karena aksi dari enzim katalase, glutathione peroxidase dan
peroksidase lainnya. Namun reaksi ini menyebabkan netrofil dapat mengoksidasi
ion klorida menjadi hypochlorus acid melalui myeloperoxidase yang akan
meningkatkan aktivitas sitotoksik dari radikal bebas. Jika didapatkan ion logam
(pada umumnya besi dan copper) maka HO dapat dibentuk sebagai hasil reaksi
antara O2- dengan H2O2. HO lebih reaktif dibandingkan O2
-. Pada keadaan ini
dibutuhkan ion besi dalam bentuk ferrous (Fe2+
), dimana di dalam sel dan plasma
sebagian besar besi berada dalam bentuk yang teroksidasi (Fe3+
). Seperti halnya
ion tersebut terkait dengan H2O2 pada pembentukan HO, maka O2- juga dapat
menyebabkan perubahan bentuk Fe3+
menjadi Fe2+
yang akan menyebabkan
pembentukan HO lebih lanjut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
23
Pada kondisi fisiologis sebagian besar ROS dibentuk selama proses
respirasi di tingkat seluler dan diaktivasi oleh sel fogositik termasuk netrofil yang
terlibat pada respon inflamasi. ROS memiliki peran penting pada respirasi di
tingkat mitokondria, jalur produksi prostaglandin dan mekanisme pertahanan host,
dan pada saat ini telah diketahui jika ROS memiliki keuntungan vital pada kondisi
fisiologis.
Pada keadaan sepsis, ada beberapa sumber potensial dari ROS, termasuk
diantaranya rantai transport elektron pada pernafasan mitokondria, aktivasi
xanthine oxidase (XO) sebagai hasil dari iskemia dan reperfusi, pembakaran yang
berhubungan dengan aktivasi sel imun, dan juga dari metobolisme asam
arachidonat. Aktivasi sel imun akan menghasilkan O2- sebagai agen sitotoksik
yang merupakan hasil pembakaran respirasi melalui aksi dari NADPH oksidase
pada molekul oksigen yang terikat pada membran. Pembentukan NADPH
oksidase diatur oleh netrofil yang terpapar oleh LPS dari bakteri (Deleo et al,
1998). Deleo dkk., mendemostrasikan peningkatan kadar Rac2 pada pemberian
LPS. Rac2 merupakan bagian kecil dari GTP-binding protein yang berhubungan
dengan p47phox
dan p67phox
(dua sub unit yang dibutuhkan dalam fungsi NADPH)
yang terletak pada membrane. Peningkatan ROS setelah pemberian LPS telah
didemostrasikan pada berbagai model syok septik pada makrofag peritoneal dan
limfosit Gangguan pada keseimbangan antara pro oksidan (ROS) dan antioksidan
merupakan karakteristik yang sering ditemukan pada stress oksidatif pada sel
imun sebagai respon terhadap endotoksin. Pada keadaan stress oksidatif
didapatkan perubahan yang khas pada sel-sel imun tersebut dan berimplikasi pada
perubahan pada berbagai fungsi imun, seperti peningkatan adhesi dan fagositosis
serta penurunan kemotaksis.
NO juga diproduksi oleh netrofil dan makrofag, dimana NO dapat bereaksi
dengan O2- dan menghasilkan peroxynitrite (ONOO
-) yang merupakan pro
oksidan kuat. ONOO- dapat mengalami dekomposisi dan diubah menjadi bentuk
HO. Pada keadaan iskemia yang diikuti dengan reperfusi, XO akan mengkatalisis
pembentukan asam urat dengan O2- sebagai koproduksi yang akan menyebabkan
proses recruitment dan aktivasi dari netrofil serta proses perlekatan (adhesi) pada
sel endotel yang juga akan menstimulasi pembentukan XO serta O2-.
Kerusakan yang dimediasi oleh ROS dapat timbul selama stress oksidatif.
DNA dan protein dapat mengalami oksidasi bersama dengan kerusakan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
24
membran yang disebabkan peroksidasi pada lipid yang akan menyebabkan
perubahan pada permeabilitas membran, modifikasi dari struktur dan perubahan
fungsi protein. Kerusakan oksidatif pada membran mitokondria juga dapat timbul
dan menyebabkan depolarisasi membran serta uncoupling fosforilasi oksidatif
dengan perubahan pada respirasi seluler.
2.2 Mekanisme Pertahanan Antioksidan Endogen
Antioksidan memiliki peran sentral pada keseimbangan redoks dalam
tubuh manusia dan bekerja secara sinergistik. Antioksidan primer mencegah
pembentukan radikal oksigen dengan cara menyingkirkan prekursor dari radikal
bebas atau bisa juga dengan cara menghambat katalis seperti glutathione
peroksidase dan katalase. Antioksidan sekunder akan bereaksi dengan ROS yang
telah terbentuk baik dengan cara menyingkirkan maupun menghambat
pembentukannya (e.g. Vitamin C dan E). Mekanisme pertahanan Antioksidan
endogen didapatkan pada beberapa lokasi diataranya; intraseluler, pada dinding
membrane sel dan ektraseluler.
Antioksidan Intraseluler
Enzim SOD merupakan golongan metalloenzymes yang dapat secara
cepat mempromosi konversi O2- menjadi H2O2. Ada 3 bentuk dari SOD yang
memiliki peran penting: copper-zinc SOD (sitoplasma), manganese SOD
(mitokondria) dan SOD ekstraseluler (matriks ekstraseluler). Katalase dan
glutathione peroksidase merupakan enzim yang mengandung selenium dimana
enzim ini membutuhkan reduced GSH untuk dapat melakukan aksinya dalam
mengkatalisis koversi dari H2O2 menjadi H2O. Pada Reduced GSH didapatkan
group thiol (sulphydryl). GSH sendiri memiliki efek langsung terhadap
aktivitas antioksidan dengan cara donasi ion hydrogen dan memperbaiki
kerusakan pada DNA. Stress oksidatif dan modulasi pada kadar GSH/GSSG
(GSSG=oxidized GSH) juga diatur oleh ekspresi gen dari beberapa protein
antioksidan seperti manganese SOD, glutathione peroxidase, Trx dan
methalothionein.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
25
Membran Antioxidant
Dibutuhkan spektrum antioksidan yang berbeda pada bagian interior
lipid hidrofobik pada membran sel. Vitamin E merupakan antioksidan yang
dapat larut dalam lemak, sehingga zat ini menjadi antioksidan yang terpenting
pada lingkungan ini. Β-carotene, lycopene dank o-enzim Q juga telah
diketahui memiliki peran sebagai antioksidan pada membran. Antioksidan
yang larut pada lemak/lipid juga memiliki arti yang penting dalam menjaga
lapisan polyunsaturated fatty acid dari peroksidasi lipid yang dapat
menyebabkan kerusakan dari integritas membran sel.
Antioksidan Ektraseluler
ROS juga didapatkan pada kompartemen ekstraseluler, terutama
sebagai hasil dari aktivasi netrofil. Komponen plasma dan sel darah merah
dapat berfungsi sebagai antioksidan; sel darah meral memiliki komponen
copper-zinc SOD-dependent pathway yang dapat menginaktivasi O2-, katalase
dan glutathione peroksidase dalam menghadapi H2O2. Apotranferrin,
lactoferin dan ceruloplasmin merupakan protein plasma binding protein yang
memiliki fugsi sebagai antioksidan. Albumin juga memiliki fungsi antioksidan
melalui group thiol yang dapat teroksidasi yang dimilikinya, dimana hal ini
dapat meningkatkan proses radical scavenging. Di dalam plasma juga
didapatkan sejumlah molekul kecil yang memiliki arti penting sebagai
antioksidan, termasuk diantaranya vitamin E, Vitamin C (asam ascorbat, AA),
asam urat dan bilirubin. Vitamin C dapat berikteraksi dengan O2-
untuk
membentuk dehidroascorbic acid, dan akan menurunkan kadar Fe
3+ dengan
cara mengubahnya menjadi bentuk Fe2+
yang akan melibatkan Vitamin C baik
sebagai pro mauppun antioksidan.
2.3 Stress oksidatif pada syok Septik
Sepsis dapat mengaktivasi berbagai macam sel seperti makrofag, netrofil,
sel endotel maupun epithelial yang akan melepaskan sejumlah mediator, termasuk
diantaranyya cytokines, chemokines, PAF, interferon-γ, komplemen prostanoid,
leukotriene dan protease. Kejadian ini akan menyebabkan aktivasi dari sel imun
yang disertai pelepasan ROS. Mediator inflamasi ini memiliki peran yang penting
dalam membunuh organisme patogen., namun jika respon yang terjadi terlalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
26
eksesif, makan dapat menyebabkan infeksi sistemik pada organ dibagian distal
dan dapat menyebabkan kematian,
Borelli dkk telah mendokumentasikan bahwa kadar Vitamin C pada
plasma secara bermakna mengalami penurunan pada pasien di ICU yang
mengalami MOFS dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami MOFS.
Victor et al., menunjukkan bahwa kadar Vitamin C pada mencit mengalami
penurunan pada lekosit di nodus aksilaris, lien dan timus setelah pemberian LPS
(Victor et al, 2005). Pada populasi pasien dewasa maupun pediatrik
dengan sepsis
akan didapatkan peningkatan aktivitas XO.
Namun intensitas dan durasi dari proses inflamasi sangat tergantung dari
keseimbangan lokal antara pro oksidan dan antioksidan, terutama pada sistem
imun. Karena hal ini lah banyak sekali penelitian menggunakan antioksidan
sebagai teapi pada pasien dengan sepsis.
2.4 Disfungsi mitokondria pada Syok Septik
Mitokondria merupakan pernghasil energi pada sel eukaryotic dan
potensial menjadi tempat dimana ROS diproduksi. Pada pasien dengan sepsis
didapatkan insufisiensi pada produksi energi pada tingkat seluler yang akan
menyebabkan kurusakan jaringan/organ.
Disfungsi mitokondria akan
menyebabkan kegagalan pembentukan bioenergi yang merupakan mekanisme
yang terjadi pada syok septik, dan hal ini sudah dikenal sejak 30 tahun yang lalu.
Pada dekade terakhir fokus dari sepsis ditekankan pada masalah disfungsi endotel
dan disfungsi pada kontrol vaskuler. Namun kedua efek ini telah diketahui dengan
baik sebagai konsekuensi yang diakibatkan karena peningkatan kadar NO baik
pada otot polos pada dinding pembuluh darah maupun pada otot rangka serta
jantung (Kaymak, Basar, Sardas, 2011).
Mitokondria pada kondisi syok septik akan mengalami kegagalan pada
sistem respirasi internal. Disfungsi mitokondria akan menyebabkan penurunan
uptake oksigen. Hambatan pada proses transfer elektron dianggap sebagai hasil
produksi NO yang berlebih oleh mitokondrial NO-Synthase (mtNOS) atau bisa
juga disebabkan karena NOS lainnya yang akan menyebabkan: (i) efek ireversibel
dari NO dan peroxynitrite (ONOO-) pada NADPH-ubiquinone reduktase dan
uiquinol-cytochrome reductase, (ii) hambatan kompetitif oksigen yang reversibel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
27
dari aktivitas cytochrome c oxidase. Pada penelitian in vivo juga memperlihatkan
disfungsi mitokondria pada pasien dengan syok septik.
Dapat disimpulkan bahwa mitokondria memiliki peran sentral pada
kejadian di tingkat intraseluler yang berhubungan dengan inflamasi dan sepsis
yang pada saat bersamaan menjadi sumber penghasil energi serta target dari NO.
3. Peranan Nitrogen Spesies
ROS dan reactive nitrogen species (RNS) memainkan peranan yang
penting pada proses inflamasi sebagai mediator pada kerusakan yang terjadi. RNS
merupakan nama kolektif termasuk diantaranya NO, ONOO-, nitrogen dioxide
radical (NO2), nitrogen teroksidasi lainnya dan nitrogen yang timbul ketika NO
bereaksi dengan O2-, RO
- dan RO2
-. NO beraksi cepat dengan ferrous iron, dan
pada saat konsentrasinya sesuai dengan keadaan fisiologis, NO juga terikat
dengan guanylate cyclase yang terlarut dan hemoprotein serta cytochrome c
oxidase (COX) yang merupakan enzim terminal pada rantai pernafasan di
mitokondria. Namun NO dapat mengontrol fungsi seluler melalui hambatan yang
bersifat reversibel pada pernafasan ((Kaymak, Basar, Sardas, 2011)). Ada
beberapa reactive NO species seperti N2O3 dan ONOO-
yang dapat merubah
komponen ktitikal pada sel.
Aktivasi dari monosit, makrofag, dan sel endotel yang diinduksi oleh LPS
akan meningkatan ekspresi dari iNOS, dan menyebabkan peningkatan
transformasi L-arginine menjadi NO. NO yang terbentuk akan mengalami reaksi
dengan O2- dan membentuk ONOO
- yang merupakan suatu oksidan yang
sitotoksik yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan selama periode syok,
inflamasi dan reperfusi pada iskemia. NO akan menstimulasi pembentukan H2O2
dan O2- pada mitokondria, hal ini kemungkinan dilakukan dengan cara
menghambat COX yang akan meyebabkan perlekatan elektron dari rantai
pernafasan. H2O2 yang terbentuk juga akan mengatur dengan cara umpan balik
untuk dalam menghambat ekspresi iNOS melalui aktivasi NFκB. ONOO- dapat
menstimulasi pembentukan H2O2 dengan cara mengisolasi mitokondria. Namun
kebalikannya, NO pada kadar yang fisiologis juga dapat menurunkan kerusakan
yang dihasilkan oleh pembentukan ROS (Victor et al, 2005). Reaktivitas tinggi
NO terhadap radikal merupakan keuntungan tersendiri pada in vivo, sebagai
contoh denggan cara meningkatkan penghancuran radikal peroxyl dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
28
menghambat peroksidasi. Sebagai tambahan diduga bahwa ONOO- dapat menjadi
signal transmisi yang dapat memediasi vasorelaksasi.
RNS lainnya seperti
nitrogen oksida dan nitryl clorida diyakini dapat menyebabkan beberapa kejadian
patofisiologi, termasuk reaksi inflamasi. Gambaran skematik yang meperlihatkan
efek inhibisi dari NO dan ONOO- pada mitokondria di iliustrasikan pada
gambar.2.
Reaksi inflamasi memainkan peran yang penting pada kerusakan jaringan
yang diinduksi oleh endotoksin. Kerusakan jaringan yang terjadi dimediasi oleh
adhesi dan migrasi dari lekosit melalui endothelium yang akan membentuk ROS
dan RNS, dan melepaskan beberapa cytokines pro inflamasi dari monosit maupun
makrofag. Pembentukan RNS secara lokal akan berkontribusi terhadap kerusakan
jaringan yang terjadi. Peningkatan pembentukan RNS sebagai respon terhadap
endotoksin berbeda-beda sesuai dan spesifik terhadap organ (berikut urutan dari
yang berkadar tinggi ke rendah: hati-jantung-serebrum-serebellum-paru-otot-
darah-ileum-kidney-duodenum-jejunum).
4. Proteksi Antioksidan
Telah dilaporkan bahwa sepsis meyebabkan peningkatan penanda dari
stress oksidatif pada berbagai hewan coba maupun manusia. Efek ini berkorelasi
dengan ketidakseimbangan pada jumlah antioksidan. Bukti dari stress oksidatif
pada sepsis dan hubungannya dengan ekspresi gen inflamasi telah memberikan
dasar dalam intervensi yang dapat dilakukan baik dalam menurunkan stress
oksidatif maupun dengan cara menghambat aktivasi proses transkripsi. Karena
alasan ini, pengaturan antioksidan dalam melawan toksisitas endotoksin dan
penggunaan secara klinis akan dibahas lebih lanjut.
4.1 Mekanisme Kerja Antioksidan Pada Endothel Pasien Sepsis
Anti oksidan merupakan senyawa-senyawa yang dapat meredam
dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat
logam. Fungsi antioksidan adalah mencegah terbentuknya radikal hidroksil,
memutus rantai reaksi oksidan, mereduksi oksidan menjadi zat lain yang
kurang reaktif misalnya H2O dan O2, menghambat peroksidase lipid dan
scavenger langsung dari ROS. Pada sepsis terjadi inflamasi, inflamasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
29
ditandai oleh pelepasan sitokin pro inflamasi seperti TNF-, 1L-1 , dan IL-6
dan mediator inflamasi termasuk NO, PGE2, iNOS dan COX.
Antioksidan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok seperti
tercantum di bawah ini :
1. Berdasarkan mekanisme kerjanya, anti oksidan dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu (Murray, 2003) :
a. Antioksidan pencegah
Pada dasarnya tujuan anti oksidan jenis ini adalah mencegah
terjadinya radikal hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Untuk
membentuk radikal hidroksil diperlukan tiga komponen, yaitu : logam
transisi Fe atau Cu, H2O2 dan O2. Agar reaksi Fenton tidak terjadi, maka
harus dicegah keberadaan ion Fe++
atau Cu+ bebas. Untuk itu berperan
beberapa protein penting, yaitu : (1). Untuk Fe: Transferin atau Feritin,
(2). Untuk Cu : Seruloplasmin atau Albumin. Penimbunan O2 dicegah
oleh Enzim ROS Dismutase (SOD) yang mengkatalisis reaksi dismutasi
O2. Penimbunan H2O2 dicegah melalui aktifitas dua jenis enzim, yaitu :
(1) Katalase, yang mengkatalisis reaksi dismutasi H2O2, (2). Peroksidase.
Diantara berbagai peroksidase, yang paling penting adalah glutation
peroksidase (GSPx). Apabila radikal hidroksil masih saja terbentuk, masih
ada sarana lain untuk meredamnya, tanpa memberi kesempatan untuk
memulai reaksi rantai dengan melibatkan senyawa-senyawa yang
mengandung gugusan sulfidril seperti glutation dan sistein.
b. Antioksidan pemutus rantai
Dalam kelompok anti oksidan ini termasuk tocopherol, asam
askorbat, -karoten, glutation dan sistein. Tocopherol dan -karoten
bersifat lipofilik, sehingga dapat berperan pada membran sel untuk
mencegah peroksidasi lipid. Sebaliknya, asam askorbat, glutation dan
sistein bersifat hidrofilik, dan berperan dalam sitosol.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
30
2. Berdasarkan kelarutan, antioksidan diklasifikasikan menjadi (Murray,
2003):
a. Larut dalam air (hidrofilik)
Antioksidan larut air bereaksi dengan oksidan dalam sitosol sel dan
plasma darah, contohnya adalah Asam askorbat, glutation dan sistein
b. Larut dalam lipid (lipofilik)
Antioksidan yang larut lipid melindungi sel membran dari
peroksidasi lipid, contohnya adalah Tocopherol dan -karoten.
Antioksidan yang berbeda-beda berada dalam cairan tubuh dan
jaringan, dengan beberapa antioksidan seperti glutation atau ubiquinone
sebagian besar berada di dalam sel, sementara yang lain seperti asam urat
terdistribusi secara lebih merata.
Tabel 1. Pembagian antioksidan berdasarkan solubilitas (Murray, 2003)
Metabolit anti
oksidan
Kelarutan Kadar dalam serum
(μM)
Kadar dalam liver
(μmol/kg)
Asam Ascorbat
Glutation
Asam Lipoat
Asam urat
β-Karotene
α-Tocopherol
Ubiquinol
Air
Air
Air
Air
Lipid
Lipid
Lipid
50 – 60
4
0,1-0,7
200-400
β-karotene 0,5-1
Retinol (vit A) 1-3
10-40
5
260
6.400
4-5 (pada tikus)
1.600
5 (total)
50
200
3. Berdasarkan sifat enzimatik, antioksidan dapat dibagi menjadi (Pasupathy
2009) :
a. Enzimatik
Yang termasuk antioksidan enzimatik diantaranya adalah Glutation, ROS
Dismutase dan Katalase
b. Non enzimatik
β-Karoten, Asam askorbat, Tocopherol
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
31
Liver adalah organ utama untuk membersihkan zat-zat toksin berasal dari
bakteri maupun zat kimia seperti toksin, oksidan, dan pro-oksidan. Untuk melakukan
detoksikasi dari bahan berbahaya tersebut, liver mengandung antioksidan dengan
berat molekul rendah dan enzim yang merusak kelompok oksigen reaktif (ROS) yaitu
glutation tereduksi (GSH), Vitamin C, vitamin E, ROS dismutase (SOD), glutation
peroksidase, dan katalase.
4.2 Asam Askorbat
4.2.1 Struktur dan Biokimiawi
Asam askorbat atau Vitamin C adalah suatu monosakarida, termasuk
antioksidan larut air yang ditemukan pada binatang dan tumbuhan. Salah satu enzim
yang diperlukan untuk membuat asam askorbat yaitu gulanolactone oxydase telah
hilang oleh mutasi selama evolusi manusia, karena itu asam askorbat harus diperoleh
dari makanan dan vitamin. Dalam sel, asam askorbat dipertahankan dalam reduced
form oleh reaksi dengan glutathione, yang dapat dikatalisis oleh protein disulfida
isomerase dan glutaredoxins. Asam askorbat terdapat pada jumlah yang tinggi dalam
kloroplas tumbuhan. Asam askorbat berperan sebagai koenzim dalam hidroksilasi
prolin dan lisin dalam proses sintesa kolagen dan meningkatkan absorpsi besi
(Murray, 2003).
Gambar 2. Bentuk Asam askorbat tereduksi Gambar 3. Bentuk Asam
(Murray, 2003) akorbat teroksidasi
(Murray, 2003)
4.2.3 Aktivitas Antioksidan
Asam askorbat adalah reducing agent dan dapat mengurangi dan
menetralkan, reaktif oksigen spesies seperti hidrogen peroksida. Oksidan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
32
seperti hidroksil radikal mengandung elektron tidak berpasangan dan sangat
reaktif dan merusak pada tingkat molekuler. Hal ini disebabkan oleh interaksi
ROS dengan asam nukleat, protein, dan lipid. Reaktif oksigen spesies
mengoksidasi askorbat menjadi monodehydroascorbate dan kemudian
menjadi dehydroascorbate. Reaktif Oksigen Spesies (ROS) direduksi menjadi
air sementara bentuk askorbat teroksidasi relatif stabil, tidak reaktif dan tidak
menyebabkan kerusakan sel. Dosis yang direkomendasikan adalah 90 mg/hari
untuk laki-laki dan 75 mg/hari untuk wanita (Padayatty, 2003). Pemberian
asam askorbat secara intravena aman dan dapat ditoleransi dengan baik pada
pasien sepsis (Alpha et al, 2014). Dengan dosis 50-200 mg/kg/hari didapatkan
kadar plasma sebesar 17,9 ± 2,4 µM (range normal 50-70µM) (Alpha et al,
2014) dan dengan kadar ini dapat menurunkan angka kejadian multiple organ
failure, biomarker reaksi inflamasi serta kerusakan endotel.
Vitamin C (Asam Ascorbat/AA) merupakan donor elektron yang kuat,
bereaksi baik dengan O2- maupun dengan OH
-. AA memainkan peran penting
dalam mekanisme pertahanan terhadap kerusakan oksidatif terutama yang
disebabkan oleh lekosit. Pengaturan utama dari Vitamin C pada organisme
berhubungan dengan fungsinya sebagai reduktor, namun Vitamin C juga ikut
berperan dalam memodulasi jalur kompleks biokimia dimana hal ini
merupakan bagian penting dalam metabolisme normal dari sel imun.
Antioksidan ini menghambat aktivasi dari faktor transkripsi nuclear NF-κB
yang dicetuskan oleh adanya endotoksin, dimana hal ini dapat menurunkan
produksi TNFα. Penelitian Ex vivo telah menunjukkan pengaruh pemberian
Vitamin C terhadap regulasi aktivitas seluler, seperti peningkatan adhesi dan
produksi O2- yang dihasilkan oleh makrofag pada mencit dengan syok
endotoksin yang akan berkurang dengan adanya AA (Victor et al, 2005). AA
juga memperlihatkan kemampuan untuk memodulasi fungsi limfosit pada
model yang sama. Studi in vitro telah memperlihatkan dimana AA dapat
menghambat replikasi bakteria dan mencegah kerusakan sel endotel
mikrovaskuler yang diakibatkan H2O2. Konsentrasi AA pada sirkulasi
mengalami penurunan selama periode sepsis. Pada studi lainnya, Wu et al
(2003) memperlihatkan dimana AA dapat menghambat ekspresi iNOS dan
menurunkan kadar oksidan pada masa otot selama periode sepsis. Hasil ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
33
menimbulkan dugaan dimana pemberiacn vitamin pada early sepsis dapat
menjadi terapi tambahan yang berharga.
4.2.4 Pelepasan NO yang dipengaruhi Askorbat dari S-nitrosothiols dalam plasma
Askorbat dapat meningkatkan pengiriman NO dari plasma ke dinding
pembuluh darah. Ketika diukur, konsentrasi NO bebas dalam plasma sekitar 3
nM, NO dapat diangkut sebagai S-nitrosothiols oleh albumin dan sistein
bebas. Konsentrasi S-nitrosothiols dalam plasma antara 0,45 μM sampai
tertinggi 7 μM, 82% dalam bentuk S-nitrosolabumin. Perlakuan pada hewan
dengan pemberian NOS-inhibitor yaitu NG-monomethyl L-arginine (NMMA)
menurunkan konsentrasi NO sampai 40%, menunjukkan bahwa NO mungkin
dibentuk oleh aktivitas NOS (Spagnuolo, et al, 2006).
Vitamin C dapat melepaskan NO baik dari S-nitrosothiols dan S-
nitrosoalbumin dengan berat molekul rendah. Meskipun NO yang dilepaskan
ke dalam lumen pembuluh darah akan segera diuraikan oleh hemoglobin
dalam eritrosit, sejumlah NO dapat mencapai sel otot polos dinding pembuluh
darah. Hemoglobin sendiri dapat membawa sejumlah NO dalam bentuk S-
nitrosothiols. Karena S-nitrosothiols dapat mengubah NO menjadi thiols
bentuk lain melalui reaksi transnitrosation, perubahan S-nitrosohemoglobin
menjadi S-nitrososistein dapat melepaskan NO dari eritrosit menuju plasma.
Dukungan untuk pernyataan ini datang dari penelitian ini, eritrosit yang
ditambah dengan S-nitrosohemoglobin, kemudian dicuci untuk melepaskan
sisa S-nitrososistein intrasel, kemudian diinkubasikan pada beberapa segmen
arteri kelinci. Ditemukan bahwa segmen arteri tersebut berdilatasi lebih dari
segmen dengan eritrosit kontrol, sebagaiman disebutkan bahwa S-nitrosothiols
dilepaskan dari eritrosit. Bagaimanapun tinggal ditunjukkan bahwa
konsentrasi S-nitrosothiols plasma, khususnya pada eritrosit cukup untuk
menghasilkan NO untuk bereaksi dengan askorbat (Xian, et al, 2000).
4.2.5 Reduksi Nitrit menjadi NO oleh Askorbat
Mekanisme lain dimana askorbat dapat mempertahankan NO di
jaringan atau plasma adalah reduksi langsung nitrit (NO2-) menjadi NO.
Reaksi ini mungkin diperantarai oleh protonated nitrous acid (H2NO2+) atau
oleh nitrous anhydride (N2O3), dan telah diteliti berlangsung pada pH rendah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
34
Secara luas apakah terjadi secara in vivo belum diketahui. Meskipun begitu,
karena nitrit merupakan hasil utama dekomposisi NO dalam larutan yang
encer, reduksi nitrit oleh askorbat secara efektif akan memetabolisme dan
menjaga konsentrasi lokal NO. Jalur arginin-NO merupakan sumber utama
NO pada manusia yang puasa. Bagaimanapun, kadar konsentrasi nitrit dalam
plasma masih menjadi perdebatan, antara tidak terdeteksi sampai 0,4 μM
sampai 8,8 μM. Kemungkinan konsentrasi nitrit plasma dapat meningkat
sebagai efek pelepasan NO dari endothel atau sel-sel inflamasi. Jika demikian,
askorbat plasma atau intrasel cukup untuk membantu mengubah kembali nitrit
menjadi NO. belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa askorbat dapat
mereduksi nitrit menjadi NO pada pH fisiologis dalam sel atau plasma.
Memang, perlakuan utama untuk mekanisme ini sepertinya tidak mungkin,
yaitu member pH asam yang optimal untuk mereduksi nitrit oleh askorbat.
4.2.6 Penguraian ROS Oleh Askorbat
Sel endothel menghasilkan ROS dan H2O2 sebagai hasil dari
metabolisme baik di sitoplasma (prostaglandin, sitokrom P450, protein kinase
C) maupun di mitokondria. Selanjutnya, produksi ROS oleh sel endothel
meningkat pada segmen arteri kelinci yang dibuat hiperkolesterolemia. ROS
bereaksi dengan NO membentuk peroksinitrit, yang dapat merusak sel. Lebih
jauh lagi, nitrotyrosine yang merupakan “footprint” dari peroksinitrit,
ditemukan pada lesi aterosklerotik. Dengan menguraikan ROS, askorbat dapat
menurunkan konsumsi NO. Selanjutnya dilaporkan bahwa hanya dalam
konsentrasi fisiologis yang tinggi (>1 mM), askorbat dapat menguraikan ROS
secara efektif dan meningkatkan vasodilatasi yang dependen terhadap endothel
pada beberapa segmen arteri kelinci. Fungsi ini sepertinya tidak mungkin
terjadi pada konsentrasi Vitamin C plasma. Sepertinya juga tidak mungkin
ROS yang dilepaskan oleh sel akan bereaksi dengan Vitamin C, karena
konsentrasi ROS dismutase interstisial pada tunika intima arteri mungkin
sudah cukup untuk menguraikan setiap ROS yang dilepaskan. Pada sisi yang
lain, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, konsentrasi askorbat intrasel
pada sel endothel berada pada rentang milimolar yang rendah. Konsentrasi
askorbat intrasel ini harus cukup efektif untuk menguraikan ROS dan
mencegah disfungsi endothel (Asada, 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
35
4.2.7 Pengaturan Reduksi-Oksidasi Tergantung Thiols Oleh eNOS : Interaksi
Dengan Askorbat
Bukti menunjukkan bahwa eNOS merupakan titik utama pengaturan
reduksi-oksidasi (redoks) yang melibatkan kelompok thiols pada enzim yang
dibutuhkan untuk berfungsinya enzim, tetapi sensitif terhadap oksidasi.
Anehnya, peran GSH dalam mengatur aktivitas eNOS masih kontroversial dan
tergantung tipe sel atau spesies. Pada sel endothel arteri babi maupun sapi,
penurunan kadar GSH berhubungan langsung dengan aktivitas eNOS. Pada sel
endothel vena umbilikalis manusia, sintesis NO berkurang dengan penipisan
GSH, dan meningkat dengan peningkatan kadar GSH karena pemberian GSH
monoethyl ester. Baru-baru ini, sebuah penelitian klinis menunjukkan bahwa
peningkatan GSH intrasel karena pemberian 2-oxothiazolidine oral (diubah
menjadi GSH) meningkatkan vasodilatasi arteri brakhialis pada pasien dengan
penyakit arteri koroner. Ada beberapa mekanisme yang masuk akal pada
pengaturan redoks tergantung thiols oleh eNOS. Pertama, transport arginin
pada sel endothel membutuhkan kadar GSH intrasel yang cukup. Kedua,
senyawa thiols meningkatkan stimulasi brain-type NOS oleh
tetrahydrobiopterin, sebuah kofaktor esensial untuk eNOS. Ketiga, S-
nitrosylation pada thiols yang sensitif enzim dapat menghambat aktivitasnya
sendiri. Pengaturan redoks langsung oleh eNOS melibatkan enzim Cys184 dan
Cys99. Paparan NO pada sel endothel arteri pulmonalis atau pada eNOS
murni, berupa S-nitrosylate, sistein ini akan menghambat aktivitas eNOS.
Thiols ini juga sensitif terhadap oksidasi oleh diamida atau alkilasi oleh N-
ethylmaleimide, diikuti hilangnya aktivitas enzim. Lebih jauh lagi, sistem
thioredoxin/thioredoxin reductase dapat membalikkan efek dari diamida,
sepertinya karena kehilangan campuran disulfide. Sebaliknya askorbat tidak
dapat mengubah GSSG secara langsung atau protein disuldida menjadi
sulfhidril, itu dapat melindungi thiols dengan cara (i) penguraian ROS intrasel
berlebih, (ii) dekomposisi S-nitrosothiols dengan berat molekul rendah
sebelum bereaksi dengan eNOS, atau (iii) pemindahan S-nitrosothiols pada
eNOS (Kuzkaya, et al, 2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
36
4.2.7 Pengaturan eNOS Oleh Askorbat Melalui Tetrahydrobiopterin
Baru-baru ini telah disebutkan bahwa suplementasi askorbat dalam
jumlah yang fisiologis pada kultur sel endothel vena umbilikalis manusia
meningkatkan ionomycin dan aktivitas eNOS yang distimulasi thrombin, serta
produksi cyclic GMP. Efek ini berhubungan dengan perubahan transport
arginin atau gen eNOS atau ekspresi protein. Karena askorbat dan redoks aktif
yang berhubungan dengan derivat askorbat meningkatkan aktivitas eNOS
tetrahydrobiopterin-dependent pada sel lysate dan NOS brain-type murni,
telah disebutkan bahwa askorbat meningkatkan availabilitas
tetrahydrobiopterin atau afinitas eNOS terhadap tetrahydrobiopterin. Telah
diketahui dengan baik bahwa baik eNOS maupun NOS brain-type
membutuhkan tetrahydrobiopterin. Tetrahydrobiopterin dapat menjadi faktor
yang membatasi aktivitas eNOS, terutama pada sel yang dikultur. Sebagai
contoh, peningkatan kadar tetrahydrobiopterin intrasel meningkatkan aktivitas
eNOS dengan stimulus kalsium pada kultur sel endothel. Pada penelitian ini
diamati apakah kandungan tetrahydrobiopterin intrasel meningkat oleh
peningkatkan enzim-enzim untuk biosintesis tetrahydrobiopterin dengan
induksi sitokin atau dengan pemberian sepiapterin, prekursor
tetrahydrobiopterin sintetik. Askorbat dapat mempertahankan
tetrahydrobiopterin secara langsung dengan mencegah oksidasinya, meskipun
hal ini belum pernah dilakukan penelitian. Askorbat juga dapat menyimpan
tetrahydrobiopterin secara tidak langsung melalui dua mekanisme. Pertama,
askorbat dapat meningkatkan afinitas tetrahydrobiopterin terhadap eNOS,
dengan mempertahankan thiols penting pada eNOS yang dibutuhkan untuk
pengikatan kofaktor seperti telah disebutkan sebelumnya. Kedua, askorbat
dapat mengurangi siklus redoks tetrahydrobiopterin dengan menurunkan
konsentrasi ROS intrasel dan peroksinitrit, yang akan dibahas selanjutnya.
Hasil dari beberapa penelitian menunjkkan bahwa tetrahydrobiopterin
berperan dalam metabolisme ROS intrasel.sebagai contoh, telah dilakukan
penelitian bahwa pemberian tetrahydrobiopterin pada kultur sel hepar
mencegah kerusakan sel yang diakibatkan oleh ROS berlebih dan hidroksi
radikal yang dihasilkan oleh metabolisme paraquat. Peningkatan kadar
tetrahydrobiopterin intrasel dapat melindungi sel endothel terhadap kerusakan
akibat H2O2-. Selain itu, perlindungan ini dihasilkan oleh efek antioksidan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
37
langsung tetrahydrobiopterin dan tidak merubah aktivitas eNOS (Matei, et al,
2006).
Pada sisi lain, metabolisme tetrahydrobiopterin dapat meningkatkan
produksi ROS, paling tidak melalui 2 mekanisme. Pertama,
tetrahydrobiopterin mengalami siklus redoks dengan oksigen molekuler, yang
menghasilkan ROS. Kedua, paling tidak untuk NOS brain-type,
tetrahydrobiopterin hilang selama katalisis. Mungkin juga karena teroksidasi
menjadi 5,6-dihydrobiopterin, atau diubah menjadi produk yang belum
teridentifikasi. Tidak tersedianya tetrahydrobiopterin menyebabkan NOS
menghasilkan ROS dan H2O2. ROS berlebih intrasel bergabung dengan NO
dari eNOS membentuk peroksinitrit. Ini akan menyebabkan penurunan NO,
dan oksidasi tetrahydrobiopterin tergantung- peroksinitrit. Pada tingkat
konsentrasi milimolar rendah, askorbat menguraikan supeoksida dan
peroksinitrit, askorbat dapat mencegah siklus redoks tetrahydrobiopterin dan
memperkuat aktivasi eNOS tergantung- tetrahydrobiopterin (Tiefenbacher,
2001).
4.2.8 Askorbat sebagai salah satu kofaktor eNOS
Tahap pertama pembentukan NO oleh nitrit oxide synthase adalah
hidroksilasi satu atom amidin nitrogen dari arginin. Reaksi ini, sama seperti
mekanisme yang berhubungan dengan hemoprotein P-450, membutuhkan satu
molekul oksigen dan NADPH. Apakah askorbat dapat memfasilitasi reaksi ini
belum diketahui. Askorbat dapat berperan sebagai kofaktor reduksi untuk
reaksi hidroksilasi yang lain, termasuk prolyl-4-hydroxylase, dopamine β-
monooxygenase, dan indoleamine 2,3-dioxygenase. Pada sisi lainnya, reaksi,
mekanisme enzim ini berbeda dengan heme oxygenase seperti nitric oxide
synthase, dimana tidak digunakan kofaktor lain selain NADPH (Huang, 2000).
4.2.9 Efek askorbat pada stimulasi guanylate cyclase oleh NO
Askorbat telah diketahui dapat meningkatkan vasodilatasi diinduksi
NO pada arteri koroner dan beberapa segmen arteri mesenterika manusia.
Karena degradasi cyclic GMP dan potensi cyclic GMP untuk mengaktifkan
cyclase dipengaruhi oleh askorbat, maka dikemukakan bahwa efek askorbat
tersebut berhubungan dengan pengaturan redoks guanylate cyclase pada sel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
38
otot polos. Pengaruhnya spesifik hanya karena askorbat, karena DHA
menyebabkan kontraksi, dan thiols tidak mempunyai efek. Efek askorbat
dalam meningkatkan kemampuan guanilat cyclase menghasilkan cyclic GMP
merupakan bukti lain bahwa askorbat meningkatkan pelepasan NO oleh sel
endothel. Satu mekanisme yang mungkin dari efek tersebut adalah sebagai
berikut. NO berikatan dengan 6 sisi koordinat pada kofaktor guanilat cyklase
heme. Ini menggantikan posisi ligan trans-histidin, yang kemudian
mengaktifkan enzim. Aktivasi enzim yang tergantung-NO hanya berlangsung
ketika besi heme pada kondisi Fe2+, dimana pada kondisi tersebut NO tidak
mengaktifkan enzim. Askorbat dapat memudahkani aktivasi guanylate cyclase
tergantung-NO oleh cadangan NO. cadangan NO bisa berasal dari beberapa
mekanisme, diantaranya pembentukan kembali nitrit menjadi NO, pelepasan
NO dari penyimpanan intrasel S-nitrosothiols, atau dari penguraian ROS dan
peroksinitrit. Askorbat juga memudahkan aktivasi cyclase tergantung-NO
dengan mempertahankan besi heme enzim pada kondisi tereduksi, tetapi akses
askorbat pada metabolisme besi yang kompleks ini masih diragukan.
Ada beberapa bukti klinis yang menunjukkan bahwa askorbat dapat
meningkatkan vasodilatasi dengan pemberian NO dari luar. Meskipun
askorbat tidak secara langsung memperkuat efek vasodilator pemberian NO
secara in vivo, suplemen askorbat oral dapat mencegah toleransi nitrat pada
pasien dengan penyakit koroner. Kemungkinan efek askorbat dalam
mempertahankan aktivitas guanylate cyclase pada penelitian ex-vivo
mendasari penelitian selanjutnya (Tiefenbacher, 2001).
Akhirnya, dipertimbangkan bahwa askorbat mempunyai efek pro
oksidan yang berhubungan dengan metabolisme dan pembentukan NO.
Meskipun askorbat dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif melalui
kemampuannya untuk mereduksi logam transisi, efek ini tidak muncul secara
signifikan in vivo, dimana logam tersebut jarang dan tidak tersedia.
Bagaimanapun, pada sebuah lesi aterosklerotik, dimana terjadi perdarahan,
hemolisis, denaturasi hemoglobin, dan pelepasan besi, askorbat dapat
meningkatkan pembentukan radikal bebas melalui reaksi tipe-Fenton.
Peningkatan sintesis NO karena askorbat belum diketahui efek ke depannya.
Karena sebagian besar efek toksik NO mungkin berhubungan dengan
pembentukan peroksinitrit, dan karena askorbat dapat menurunkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
39
peroksinitrit dan prekursornya peroksida, sepertinya kecil resiko terjadinya
efek toksik akibat interaksi askorbat dan NO (Nossaman, et al, 2012).
4.2.10 Mekanisme Transport Vitamin C
Vitamin C (asam askorbat) berdisosiasi untuk membentuk askorbat
pada pH fisiologis. Askorbat berfungsi sebagai antioksidan dan kofaktor
enzim, akan teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat (DHAA) dalam
prosesnya. SIRS dan sepsis menurunkan konsentrasi askorbat plasma. Injeksi
iv Vitamin C dapat meningkatkan jumlah askorbat yang dikirim ke sel-sel
endothel pada tingkat yang lebih besar daripada melalui konsumsi oral.
Askorbat diangkut ke dalam sel endothel mikrovaskuler oleh
transporter khusus SVCT2, sementara DHAA diambil melalui transporter
yang difasilitasi glukosa (GLUT) dan kemudian bereduksi menjadi askorbat.
Konsentrasi askorbat intraseluler yang dicapai adalah 4-16 mM. Askorbat
intraseluler ini dapat melindungi fungsi mikrovaskuler pada dua tahap aksi:
awalnya dengan menghambat aktivasi NADPH oksidase dan meningkatkan
aktivitas eNOS, dan kemudian dengan menekan ekspresi NADPH oksidase,
iNOS dan faktor jaringan.
Askorbat dalam sel endothel mencegah oksidasi tetrahydrobiopterin,
meningkatkan kadar tetrahydrobiopterin dan meningkatkan sintesis nitric oxide
oleh eNOS. Adalah penting bahwa askorbat merangsang aktivitas eNOS
sementara menghambat ekspresi iNOS (Victor et al, 2005)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
40
Gambar 4. Skema diatas memperlihatkan efek inhibisi NO dan ONOO- pada
proses transfer elektron di dalam rantai pernafasan di mitokondria. Dimana NO
bersifat reversible sedangkan ONOO- bersifat irreversible.
Gambar 5. potensi kerja antioksidan pada sepsis
5. Metode Induksi Sepsis
Induksi sepsis pada hewan coba dapat dilakukan dengan berbagai cara, di
antaranya adalah dengan Cecal inoculum, Cecal Ligation and Pucture, serta
pemberian Lipopolisakarida.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
41
a. Cecal Inoculum (c.i)
Infeksi intrabdomen merupakan salah satu sumber terjadinya sepsis.
Inokulum merupakan bahan yang dipakai dalam inokulasi. Inokulasi adalah
pemasukan mikroorganisme, bahan inefektif, serum dan substansi lain ke dalam
jaringan organisme hidup atau media biakan. Cecum adalah bagian pertama dari
usus besar, membentuk kantong yang secara distal melebar ke ileum dan
proksimal kearah kolon, serta melepaskan apendiks vermiformis (Dorland, 2002)
Metode cecal inoculum (c.i) adalah suatu model yang mampu
menggambarkan dengan baik keadaan sepsis yang mirip dengan keadaan klinis
peritonitis yang disebabkan polimikroba tanpa pembedahan. Infeksi tersebut akan
menghasilkan respon inflamasi peritoneum terhadap organisme polimikroba yang
berasal dari saluran pencernaan. Peritonitis secara klinis dimulai dari adanya
kerusakan organ abdomen, seperti perforasi intestinal akut yang akan berkembang
menjadi sepsis dan akan engakibatkan tingginya morbiditas dan mortalitas baik
pada hewan coba maupun pasien (Remick et al, 2002)
Model Sepsis yang dibuat dari c.i diperoleh dari isi cecal mencit donor
(Brahmbhatt et al., 2002; Gupta et al, 2005) yang dimasukkan ke dalam kavitas
peritoneal Alejandra et al., 2004). Model inoculum akan menggambarkan strain
Escheriacia coli (E. coli) yang bercampur dengan material cecal yang lain untuk
meniru peritonitis pada manusia, sehingga mampu menjadi gold standard untuk
penelitian sepsis tanpa pembedahan (Edwin et al, 2003)
Hasil penelitian injeksi c.i pemperlihatkan tanda-tanda piloerection,
periocular discharge, tampak lesu, penurunan nafsu makan dan minum, serta
diare. Terlihat infeksi yang berlebihan, kerusakan yang hebat, dan perlengketan di
sejumlah orhan termasuk hepar, lien, ginjal. Serta memperlihatkan tingkat
kematian sebesar 1000% selama 7 hari perlakuan (Diding dan Subijanto, 2008)
dan peningkatan jumlah neurofil dalam sirkulasi.
Penelitian kali ini, akan menggunakan induksi c.i yang merupakan modifikasi
dari metode yang diperkenalkan oleh Brahmanhatt et al., (2005) dan Chopra &
Sharma (2007). Cecal inoculum (c.i) dibuat dengan mensuspensikan 50 mg
material dari cecal yang masih baru pada 1,25 ml Dextrose Water (D5W). Material
cecal diperoleh dari mencit donor yang sehat, yang dikorbankan dengan dislokasi
servikal. Cecal inoculum (c.i) dibuat baru setiap hari. Pada mencit diinjeksikan c.i
4 mg/mencit/hari/intraperitoneal (i.p) (Ren et al, 2002).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
42
b. Cecal Ligation and Puncture
Selain cecal inoculum (i.c), metode poly microbial sepsis induced by Cecal
Ligation and Puncture (CLP) dapat juga digunakan untuk mengiduksi sepsis.
Ligasiadalah aplikasi pengikat. Pucture merupakan perbuatan menusuk dengan
benda atau alat yang tajam, atau dapat diartikan sebagai luka yang ditimbulkan
oleh penusukan tersebut (Dorland, 2002).
CLP pada hewan menciit telah menjadi model paling banyak digunakan
untuk penelitian sepsis dan sampai saat ini dianggap sebagai gold standard untuk
penelitian sepsis dengan pembedahan (Rittirsch et al., 2007; Deitch, 2005; Buras
et al., 2005; Remick et al., 2000). Setelah dikembangkan selama kurang lebih 30
tahun yang lalu, model CLP dianggap menjadi model yang realistis untuk sepsis
pomikrobial dalam penelitian untuk mempelajari mekanisme terjadinya sepsis
dalam penelitian untuk mempelajari mekanisme terjadinya sepsis (Rittirsch et al.,
2007; Remick et al., 200). Secara singkat, CLP menampilkan ligase di bawah
katup ileocecal setelah midline laparotomy, diikuti dengan pungsi jarum pada
cecum. Karena cecum merupakan sumber endigen kontaminasi bakterii, maka
perforasi pada cecum akan menyebabkan peritonitis bacterial, yang diikuti oleh
terjadinya translokasi bakteri enteric ke dalam kompartemen darah. Pada awal
sepsis, terjadi bacteremia yang memicu aktivasi respon inflamasi sistemik, syok
septik, MOF dan pada akhirnya kematian. Ketika CLP digunakan pada hewan
mencit, menunjukkan pola penyakit dengan gejala khas sepsis atau syok septik,
seperti hipotersmia, takikardi, dan takipnea (Rittirsch et al, 2009)
Sejumlah mencit jantan dengan berat badan berkisar 120-150 g, dianestesi
per i.p dengan Nembutal (65 mg/kg) dan ditempatkan di bawah cahaya lampu.
Setelah anestesi bekerja, dinding abdomen mencit diijeksi sepanjang midline
dengan diameter 2 cm. Cari cecum, dan keluarkan dari kavitas abdomen. Bagian
distal cecum diikat dengan benang sutera ukuran 5-0, kemudian cecum yang telah
diligasi ditusuk dua kali dengan jarum gauge ukuran 28 dan ditekan dengan
lembut menggunakan aplikator sampai sedikit material cecal ke luar. Setelah itu,
cecum dimasukkan kembali ke dalam peritoneum. Bekas insisi dijahit
menggunakan benang sutera ukuran 5-0 untuk lapisan otot dan surgical staples (9
mm) untuk kulit. Berat badan mencit dimonitoring secara rutin setiap hari sampai
akhir eksperimen (Fu et al, 2006)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
43
c. Lipopolisakarida (LPS)
Lipopolisakarida adalak kompleks lipid dan polisakarida, serta merupakan
komponen mayor dinding sel bakteri gram negatif. LPS merupakan endotoksin
dan antigen grup spesifik yang penting (antigen O). Molekul LPS terdiri dari tiga
bagian, yaitu (1) Lipid A, suatu glikolipid yang bertangung jawab terhadap
aktivitas endotoksik, yang terkait secara kovalen pada rantai heteropolisakarida
yang mempunyai dua bagian; (2) inti polisakarida yang konstan dalam strain
terkait, dan (3) rantai spesifik-O yang sangat bervariasi. LPS dari E. coli sangat
sering menggunakan mitogen sel B (activator poliklonal) dalam laboratorium
imunologi (Dorland, 2002). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks,
dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. Struktur lipid A dalam LPS
bertanggung jawab terhadap reaksi inflamasi jaringan, demam, dan syok. LPS
dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat
menimbulkan septikemia (Guntur, 2008).
LPS merupakan faktor patogenik utama pada sepsis gram negatif, yang
ditandai dengan syok, koagulopati, dan disfungsi multiorgan. Respon terhadap
paparan LPS sistemik menyebabkan meningkatnya produksi sitokin proinflamasi
seperti TNF-α, NFκB, IL-1, IL-8 sebagai media pertahanan tubuh terhadap benda
asing yang memiliki dampak positif dan negatif. Produksi sitokin proinflamasi
dan induksi mediator seluler yang lebih distal, Platelet Activation Factor (PAF),
dan prostaglandin menyebabkan hipotensi, perfusi organ inadekuat, dan kematian
sel yang berhubungan dengan MODS. Status proinflamasi ini didefinisikan
sebagai SIRS (Brook et al, 2003).
Produk yang berperan penting terhadap sepsis terutama kandungan lipid A
dalam LPS tersebut. Dalam aliran darah, LPS akan terikat pada protein yang
bersirkulasi kemudian beriteraksi dengan reseptor makrofag, limfosit, dan monosit
serta sel lain pada sistem retikuloendiotelial. Hal ini akan mengakibatkan
pelepasan sitokin dan pengaktiifan jalur komplemen dan koagulasi. Runtutan
peristiwa tersebut dapat diamati secara klinis sebagai demam, leukopenia,
hipoglikemia, hipotensi, syok, koagulasi intravaskuler hingga kematian karena
disfungsi organ (Brook et al, 2003).
Kemampuan LPS dalam menyebabkan sepsis dapat dimanfaatkan untuk
menginduksi sepsis pada percobaan. Caranya, LPS dari bakteri gram negatif (E.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
44
coli paling sering digunakan), diinjeksikan secara i.p ke mencit dengan dosis 15
mg/kg, kemudian survival dari hewan cba dimonitor dengan interal 12 jam selama
tujuh hari (Fu et al, 2006)
B. Penelitian Yang Relevan
Mikrosirkulasi selama ini tidak mendapatkan perhatian yang baik pada
pengobatan klinis, namun saat ini mikrosirkulasi mulai diketahui sebagai hal penting
yang menyebabkan beberapa proses patofisiologi. Fungsi mikrosirkulasi yang normal
akan berperan dalam oksigenasi dan fungsi suatu jaringan, namun hal ini masih
kurang dipahami karena banyak sekali perbedaan struktur yang meyebabkan
perbedaan fungsi pada tiap organ. Fungsi utama dari mikrosirkulasi adalah sebagai
pengatur distribusi oxygen carrying blood cell pada berbagai organ. Faktor utama
yang mempengaruhi oxygen delivery diantaranya adalah; regulasi aliran darah,
tekanan oksigen jaringan, dan mitokondria, yang sampai dengan saat ini masih belum
dipahami sepenuhnya, dan mikrosirkulasi adalah kunci untuk memahami hal tersebut.
Telah jelas bahwa variabel hemodinamik sistemik tidak menggambarkan kegagalan
sirkulasi pada critical illness yang tidak responsif terhadap terapi. Kegagalan ini
lebih disebabkan karena disfungsi dari mikrosirkulasi. Evaluasi dari mikrosirkulasi
telah membuka ruang baru dalam monitoring fungsi hemodinamik. Identifikasi
kegagalan mikrosirkulasi merupakan indikator yang paling sensitif dari kegagalan
sirkulasi yang berakibat pada outcome yang buruk, dan ini merupakan target
teraputik yang baru. Penelitian klinis telah dapat mengidentifikasi berbagai teraputik
konvensional dan pendekatan baru yang mampu memodifikasi mikrosirkulasi.
Sejak deskripsi dari kroegh, banyak penelitian yang dilakukan pada area ini
yang berusaha menjelaskan mekanisme yang mendasari adekuatnya oksigenasi
jaringan. Pertanyaan dasarnya adalah; substansi apakah yang dapat menyebabkan
perubahan pada diameter pembuluh serta aliran darah? Apa yang dimaksud dengan
sensor O2? Jaringan yang mengalami hipoksia akan menghasilkan metabolit yang
akan berefek pada tonus arteriol, namun sulit untuk dipahami bagaimana metabolit
jaringan ini dapat berefek pada peningkatan aliran darah. Studi pada hewan dengan
menggunakan intravital microscopy menjelaskan bahwa distribusi aliran darah pada
mikrosirkulasi dipengaruhi oleh sifat dari pembuluh darah dimana arteriol terminal
berasal [ie., terminal arteriole-fed vessels TAFs)] (Abraham, 2003). Setiap TAF akan
mengatur distribusi dari RBCs diantara masing masing arteriol, sehingga hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
45
menimbulkan dugaan dimana pembuluh darah ini merupakan kunci dalam regulasi,
karena dapat menentukan apakah kapiler ini diperfusi atau tidak. Segal
mengemukakan ada 2 komponen yang mengatur umpan balik metabolik terhadap
mikrosirkulasi (Abraham E, 2003). Precapillary sphingter akan mengatur banyaknya
area permukaan fungsional yang dapat digunakan untuk pertukaran gas dan mengatur
jarak difusi., dimana hal ini dapat meningkatkan ekstraksi O2 ketika terjadi
peningkatan aktivitas metabolik dan dicerminkan dengan menurunnya PO2 pada vena.
Pada periode ini sangat sedikit perubahan yang terjadi pada aliran darah
regional. Komponen kedua ikut berperan mengatur arteriol proksimal dalam
mengontrol aliran darah lokal. Ketika PO2 vena menurun, aliran darah ke jaringan
akan meningkat dengan cara vasodilatasi pembuluh darah yang memperdarahinya;
respon ini disebut dengan ascending vasodilatation.
Endotelium dan RBCs memiliki peran besar dalam mengatur tonus vascular
dan memiliki dampak pada vasodilatasi arteriol (Schmidt et al, 2008). Sel endotel
akan mengirimkan sinyal ke pembuluh darah pre dan paska kapiler sesuai dengan
banyaknya aliran yang ditimbulkan, hormon, dan subtransi lainnya (Vallet, 2002).
Mekanisme ini dicapai dengan cara kontrol elektrofisologikal melalui sel endotel yang
berdampingan melalui gap junction (connexin 40), dimana pada keadaan sepsis
didapatkan sel-sel menjadi tidak berhubungan (Backer et al, 2011). Endotelium juga
mengatur koagulasi dan respon imunologi yang memiliki fungsi penting pada
mikrosirkulasi, dan endothelium ini juga dikemukakan dianggap sebagai sensor
oksigen yang potensial.
Pada keadaan sepsis, ada beberapa sumber potensial dari ROS, termasuk
diantaranya rantai transport elektron pada pernafasan mitokondria, aktivasi xanthine
oxidase (XO) sebagai hasil dari iskemia dan reperfusi, pembakaran yang berhubungan
dengan aktivasi sel immune, dan juga dari metobolisme asam arachidonat. Aktivasi
sel imun akan menghasilkan O2- sebagai agen sitotoksik yang merupakan hasil
pembakaran respirasi melalui aksi dari NADPH oksidase pada molekul oksigen yang
terikat pada membran. Pembentukan NADPH oksidase diatur oleh netrofil yang
terpapar oleh LPS dari bakteri (DeLeo et al, 1998). Deleo dkk., mendemostrasikan
peningkatan kadar Rac2 pada pemberian LPS. Rac2 merupakan bagian kecil dari
GTP-binding protein yang berhubungan dengan p47phox
dan p67phox
(dua sub unit
yang dibutuhkan dalam fungsi NADPH) yang terletak pada membrane.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
46
Borelli dkk telah mendokumentasikan bahwa kadar Vitamin C pada plasma
secara bermakna mengalami penurunan pada pasien di ICU yang mengalami MOFS
dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami MOFS. Victor et al.,
menunjukkan bahwa kadar Vitamin C pada mencit mengalami penurunan pada lekosit
di nodus aksilaris, lien dan timus setelah pemberian LPS. Pada populasi pasien
dewasa maupun pediatric dengan sepsis akan didapatkan peningkatan aktivitas XO.
Vitamin C (Asam Ascorbat/AA) merupakan donor elektron yang kuat,
bereaksi baik dengan O2- maupun dengan OH
-. Vitamin C memainkan peran penting
dalam mekanisme pertahanan terhadap kerusakan oksidatif terutama yang disebabkan
oleh lekosit. Pengaturan utama dari Vitamin C pada organisme berhubungan dengan
fungsinya sebagai reduktor, namun Vitamin C juga ikut berperan dalam memodulasi
jalur kompleks biokimia dimana hal ini merupakan bagian penting dalam
metabolisme normal dari sel imun. Antioksidan ini menghambat aktivasi dari faktor
transkripsi nuclear NF-κB yang dicetuskan oleh adanya endotoksin, dimana hal ini
dapat menurunkan produksi TNFα. Penelitian Ex vivo telah menunjukkan pengaruh
pemberian Vitamin C terhadap regulasi aktivitas seluler, seperti peningkatan adhesi
dan produksi O2- yang dihasilkan oleh makrofag pada mencit dengan syok endotoksin
yang akan berkurang dengan adanya Vitamin C (Victor et al, 2000). Vitamin C juga
memperlihatkan kemampuan untuk memodulasi fungsi limfosit pada model yang
sama. Studi in vitro telah memperlihatkan dimana Vitamin C dapat menghambat
replikasi bakteria dan mencegah kerusakan sel endotel mikrovaskuler yang
diakibatkan H2O2. Konsentrasi Vitamin C pada sirkulasi mengalami penurunan
selama periode sepsis. Pada studi lainnya, Wu et al (2003) memperlihatkan dimana
Vitamin C dapat menghambat ekspresi iNOS dan menurunkan kadar oksidan pada
masa otot selama periode sepsis. Hasil ini menimbulkan dugaan dimana pemberian
Vitamin C pada early sepsis dapa menjadi terapi tambahan yang berharga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
47
C. Kerangka Berpikir dan Kerangka Konsep
1. Kerangka Berpikir
Bakteri gram +/-
LPS/Pedtidoglikan
IKK-NF-κB/ MAPK
TLR4/ CD14 RNS ROS
IL-4, IL-10,
IL-1ra
IL-8, IL-12,
IL-15, IL-18
IL-6
IL-1 TNF-α
NF-IL-6
NF-IL-1 NFκB
IκB -NF-κB
MODS/MOF
Severe Sepsis Pertahanan Tubuh
Respon tidak terkontrol Respon Terkontrol
Pengurangan diameter arteriol
Vitamin C
Keterangan
: mempengaruhi
: menghambat
: diteliti
: tidak diteliti
Gambar 6. Kerangka berpikir
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
48
2. Kerangka Konsep
cv
D. Hipotesis
Ada peningkatan diameter arteriol karena pemberian Vitamin C pada tikus
wistar model sepsis.
Arteriol
Peningkatan densitas kapiler Penurunan densitas kapiler
Peningkatan diameter > K2 Penurunan diameter
Hambatan Pembentukan ROS Peningkatan Pembentukan ROS
Vitamin C
Early Sepsis Early Sepsis
Peningkatan perfusi mikroosirkulasi Penurunan perfusi mikrosirkulasi
Keterangan
: mempengaruhi
: tidak diteliti
: menghambat
: diteliti
Gambar 7. Kerangka konsep
Tidak sepsis
ROS (-)
Dimater normal
densitas kapiler normal
Normal perfusi mikrosirkulasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian : eksperimental, post test only group designs. Pembuluh darah
arteriol diperiksa dengan cara histologi dengan penilaian skala rasio. Statistik diuji
dengan uji Anova dilanjutkan dengan post HOC test dengan syarat data normal dan
homogen. Bila tidak terpenuhi diuji alternatf dengan kruskal-wallis test dan dilanjutkan
dengan Man Whitney test. Uji statistic ini bertujuan untuk mencari pengaruh pemberian
Vitamin C 5,1 mg/kg/hari/i.v (setara dengan 50 mg/kgBB/hari/i.v pada manusia dewasa
dengan berat badan 60 kg) terhadap diameter arteriol pada tikus wistar model sepsis.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian : 2 bulan, Januari 2014 – Febuari 2015
Tempat penelitian : Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Negeri
Sebelas Maret Surakarta.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi : Tikus wistar
2. Sampel : Tikus wistar
3. Besar Sampel : Sampel akan dibagi menjadi 3 kelompok, dengan jumlah sampel
minimal masing-masing kelompok berdasarkan rumus Federer
(Supranto, 2007) adalah:
(n-1) (t-1) > 15
(3-1) (t-1) > 15
2t-2 > 15
2t > 17
T > 8,5
Keterangan:
n : jumlah kelompok
t : jumlah sampel tiap kelompok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
50
Berdasarkan rumus tersebut, jumlah sampel untuk tiap
kelompok adalah 9 ekor tikus wistar (n > 8,5). Jumlah kelompok ada
tiga, sehingga penelitian ini membutuhkan 27 ekor tikus wistar.
4. Kriteria Inklusi
Tikus wistar jantan
Berat badan 180-220 g
Umur dua setengah sampai tiga bulan
Galur murni
Tikus wistar yang sepsis setelah disuntik cecal inoculum dengan kriteria: tanda-
tanda piloerection, periocular discharge, tampak lesu/tidak aktif bergerak,
penurunan nafsu makan dan minum, demam dan diare (Diding et al., 2008)
5. Kriteria Eksklusi
Mencit sakit selama masa adaptasi 7 hari (gerakan tidak aktif)
Tikus wistar betina
Umur kurang dari dua setengah bulan atau lebih dari dua bulan
Berat badan kurang dari 180 g atau lebih dari 200 g
6. Drop out:
Tikus wistar mati selama perlakuan berlangsung
Tikus wistar tidak sepsis setelah disuntik cecal inoculum intra peritoneal.
7. Randomisasi
Kelompok dibagi menjadi 3 yaitu :
K1 : Kelompok kontrol tanpa induksi cecal inoculum maupun injeksi Vitamin C
K2 : Kelompok perlakuan, tikus wistar yang mendapatkan induksi cecal inoculum
200mg/kgBB/hari/i.p (Chopra and Sharma., 2007)
K3 : Kelompok perlakuan, tikus wiistar yang mendapatkan induksi cecal
inoculum 200mg/kgBB/hari/i.p + Vitamin C 5,1 mg/kg/hari/i.v
8. Variabel Penelitian
Variabel Bebas : Pemberian Vitamin C 5,1 mg/kgBB/hari/i.v
Variabel Terikat : Diameter Arteriol
Variabel luar
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan
Variasi genetik, jenis kelamin, umur, suhu udara, berat badan, jenis
makanan dan minuman mencit semuanya disamakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
51
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan
Kondisi psokologik tikus wistar, keadaan awal intestinal, reaksi
hipersensitivitas, variasi kepekaan mencit terhadap suatu zat
D. Definisi Operasional
1. Diameter Arteriol
a. Definisi : Diameter dari arteri terkecil dari sistem peredaran darah. Dari tiap
preparat dilihat 5 lapang pandang, dimana pada setiap lapang
pandang dihitung semua diameter arteriol yang terlihat pada pada
masing-masing lapang pandang dan dihitung nilai rata-rata dari
diameter arteriol pada preparat tersebut.
b. Alat ukur : Mikroskop
c. Satuan data : mikro meter (
d. Skala data : ratio.
2. Vitamin C
a. Definisi : Obat yang diberikan secara intravena pada tikus wistar dengan
dosis 50 mg/kgBB/hari/i.v. Vitamin C yang digunakan pada
penelitian ini dalam bentuk ampul 100mg/ml yang dibeli di apotik
RSUD Dr Moerwardi Surakarta. Dosis Vitamin C
50mg/kgBB/hari pada manusia di translasikan ke tikus wistar
menggunakan formula sesuai dengan body surface area (BSA)
(Minakshi et al, 2007)
HED (mg/kg) = Animal dose (mg/kg) x Animal Km
Human Km
Dosis translasi Vitamin C pada tikus wistar yang didapatkan
dengan rumus ini adalah 5,1mg/kgBB yang setara dengan 50
mg/kgBB pada manusia dengan berat badan 60 kg
b. Alat ukur : Pemberian oleh peneliti
c. Satuan data : Miligram
3. Penyuntikan intravena
a. Definisi : Injeksi yang dilakukan secara intravena,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
52
b. cara : Vena didapatkan pada ekor tikus wistar. Sebelum penyuntikan
ekor tikus dikompres dengan air hangat 1 menit agar terjadi
vasodilatasi. Penyuntikan dilakukan dengan menggunakan spuit 1
mililiter.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
53
E. Alur Penelitian
Gambar 8.. Alur penelitian
Preparat histologi
Pengambilan organ usus halus
Mencit dieuthanasia
dengan cara dekapitasi
Kelompok K1
(9 ekor)
Randomisasi
Kelompok K3
(9 ekor)
Observasi selama 72 jam
Kelompok K2
(9 ekor)
27 ekor Tikus Wistar
Pengambilan sampel darah (0,5
ml) untuk pemeriksaan hitung
neutrofil
Observasi selama 72 jam Observasi selama 72 jam
Pengambilan sampel darah (0,5
ml) untuk pemeriksaan hitung
neutrofil
Pengambilan sampel darah (0,5
ml) untuk pemeriksaan hitung
neutrofil
Adaptasi 7 hari
Eksklusi berhasil Gagal
Eksklusi Sepsis (+)
Sepsis (-)
Sepsis (+)
Sepsis (-)
Drop out Tikus mati Tikus mati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
54
F. Bahan dan Cara Kerja Penelitian
1. Bahan untuk perlakuan
Hewan coba adalah tikus wistar yang diperoleh dari Laboratorium Hewan Coba,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Selama proses percobaan, hewan coba
ditempatkan pada kandang dan diberi makan dan minum secukupnya
2. Bahan dan alat
a. Phosphat buffer formalin 10%
b. Alkohol 70%, 80%, 90%, absolute
c. Xylol, parafin cair, albumin, Poly-L-Lysine, canada balsam, dan entelan
d. Alat untuk pengamatan dan dokumentasi sediaan
1 unit Multi Head Microscope Fluoresens
Monitor optilab
Canon Digital Camera Ixus 130 + SD card
1 unit notebook Asus, A43S
3. Cara Kerja Penelitian
a. Perlakuan
Sejumlah 27 ekor tikus wistar di adaptasikan selama 7 hari sebelum dibagi dalam
tiga kelompok yang masing-asing terdiri dari 9 ekor tikus yang ditentukan secara
acak. Untuk kelompok satu (K1) yang merupakan kelompok kontrol, tidak
dikukan induksi cecal inoculum maupun pemberian Vitamin C. Untuk kelompok
dua (K2) diberikan injeksi cecal inoculum 40mg/kali/hari selama 3 hari berturut
turut. Untuk kelompok perlakukan tiga (K3) perlakuan sama dengan kelompok
dua ditambah dengan Vitamin C 5,1 mg/kg/kali/hari secara intravena selama 3
hari berturut-turut. Observasi dilakukan setelah 72 jam perlakuan. Setelah 72 jam
perlakuan maka dilakukan pengambilan sampel darah intravena sebanyak 0,5 ml
menggunakan spuit 1 ml yang akan ditampung di tabung khusus untuk
pemeriksaan neutrophil. Setelah itu tikus wistar akan di euthanasia dengan cara
dekapitasi. Duodenum tikus kemudian diambil untuk dilakukan pemeriksaan
histopatologi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
55
b. Pembuatan preparat histopatologi secara umum
- Fiksasi
Potongan jaringan organ dimasukkan ke dalam larutan formalin buffer
(larutan formalin 10% dalam buffer Natrium Phosphat sampai mencapai pH
7,0). Setelah fiksasi selesai, jaringan dimasukkan dalam larutan aquadest
selama 1 jam untuk proses penghilangan larutan fiksasi.
- Dehidrasi
Potongan jaringan dimasukkan dalam alkohol konsentrasi bertingkat.
Jaringan menjadi lebih jernih dan transparan. Jaringan kemudian dimasukkan
dalam larutan alcohol-xylol selama 1 jam dan kemudian laritan xylol murni
selama 2 x 2 jam.
- Impregnansi
Jaringan dimasukkan dalam parafin cair selama 2x2 jam
- Embeding
Jaringan ditanam dalam parafin padat yang mempunyai titik lebur 56-58
C, ditunggu sampai memadat. Jaringan dipotong setebal 4 mikron dengan
mikrotom. Potongannya ditempel pada kaca obyek yang telah diolesi polisilin
sebagai perekat. Jaringan pada kaca obyek dipanaskan dalam inkubator suhu
56-58 C sampai parafin mencair.
Pewarnaan Hematoxillin Eosin (HE)
Pewarnaan ini digunakan untuk mewarnai jaringan.
Prinsip: inti yang bersifat asam akan menarik zat/ larutan yang bersifat basa
sehingga akan berwarna biru. Sitoplasma bersifat basa akan menarik zat /larutan
yang bersifat asam sehingga berwarna merah.
Pada pewarnaan HE, ada beberapa tahapan yaitu
1. Deparafinisasi
Tujuan: untuk menghilangkan/ melarutkan parafin yang terdapat pada
jaringan.
Zat: xylol
2. Rehidrasi
Tujuan: untuk memasukkan air ke dalam jaringan. Air akan mengisi rongga-
rongga jaringan yang kosong.
Zat: alkohol absolut, alkohol 90 %, alkohol 80 %
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
56
3. Pewarnaan I
Tujuan: untuk memberi warna pada inti dan sitoplasma pada jaringan
Zat: hematoxylin
4. Differensiasi
Tujuan: untuk mengurangi warna biru pada inti dan menghilangkan warna bitu
pada sitoplasma
Zat: HCl 0,6%
5. Blueing
Tujuan: untuk memperjelas warna biru pada inti sel
Zat: lithium carbonat 0,5%
6. Pewarnaan II
Tujuan: untuk memberi warna merah pada sitoplasma sel
Zat: eosin
7. Dehidrasi
Tujuan: untuk menghilangkan air dari jaringan
Zat: Alkohol 80 %, Alkohol 90 %, Alkohol 100 % (absolut)
8. Mounting
Tujuan: untuk mengawetkan jaringan yang telah diwarnai
Zat: entellan/ canada balsem
Jaringan yang akan diwarnai HE, sebelumnya telah mengalami “Processing
Jaringan” dan dipotong dengan menggunakan mikotrom. Ketebalan jaringan
antara 4-6 μm. Jaringan yang telah dipotong sesuai ukuran dilekatkan pada
objek glass.
Mengukur diameter arteriol
Diameter diukur dengan mikrooskop cahaya dengan pembesaran 400
kali. Diameter dihitung dengan satuan micrometer ( . Dari tiap sampel
(preparat) dipilih 5 arteriol secara acak dan dihitung nilai rata-rata
diameternya. Pengukuran dilakukan oleh 2 orang, yaitu peneliti dan ahli
patologi anatomi dengan persetujuan klinis 95%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
57
Cara Pengumpulan Data
Masing-masing kelompok dilakukan pemeriksaan dan pengukuran
diameter arteriol dari organ usus halus.
G. Analisis Data
Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17.0.
Untuk menguji perbedaan rata-rata diameter arteriol secara histopatologi diantara ketiga
kelompok dan statistik diuji dengan uji Anova dilanjutkan dengan post HOC test dengan
syarat data normal dan homogen. Bila tidak terpenuhi diuji alternatif dengan kruskal-
wallis test dan dilanjutkan dengan Man Whitney test. Dan dianggap memiliki kemaknaan
statistik apabila nilai p yang diperoleh adalah p ≤ 0,05. Setelah data terkumpul dilakukan
data cleaning, coding dan tabulasi. Analisis data meliputi analisis deskriptif dalam bentuk
rerata, SD, median dan grafik dan uji hipotesis.
H. Etika Penelitian
Karena memakai binatang percobaan, maka untuk penelitian ini binatang tikus
diperlakukan dengan layak, diberikan kandang yang bersih, cahaya yang cukup, serta
makanan dan minuman yang cukup Sebelum dilakukan prosedur pengambilan jaringan
usus, tikus dieuthanasia dengan menggunakan cara dislokasi cervical, dengan dilakukan
anestesi umum sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan Laboratorium Hewan Coba UNS, Surakarta, selama
periode bulan Januari 2015 – Maret 2015. Sejumlah 27 ekor tikus wistar di adaptasi
selama 7 hari sebelum dibagi dalam tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari 9
ekor tikus yang ditentukan secara acak. Untuk kelompok satu (K1) yang merupakan
kelompok kontrol, tidak dilakukan induksi cecal inoculum maupun pemberian Vitamin
C. Untuk kelompok dua (K2) diberikan injeksi cecal inoculum40mg/kali/hari selama 3
hari berturut turut. Untuk kelompok perlakukan tiga (K3) perlakuan sama dengan
kelompok dua ditambah dengan Vitamin C 5,1 mg/kg/kali/hari secara intravena selama
3 hari berturut-turut. Observasi dilakukan setelah 72 jam perlakuan. Setelah 72 jam
perlakuan maka dilakukan pengambilan sampel darah intravena sebanyak 0,5 ml
menggunakan spuit 1 ml yang akan ditampung di tabung khusus untuk pemeriksaan
neutrophil. Setelah itu tikus wistar akan di euthanasia dengan cara dekapitasi. Duodenum
tikus kemudian diambil untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi.
1. Hasil Pemeriksaan Neutrophil
a. Gambaran Hasil Pemeriksaan Neutrophil
Hasil pemeriksaan neutrophil pada ke tiga kelompok perlakuan sebagai
berikut :
Tabel 2.
Deskripsi Hasil Pemeriksaan Neutrophil
No K1 K2 K3
1 43.5 56.5 80.2
2 35.7 82.0 83.2
3 35.9 48.8 70.5
4 15.6 54.7 78.1
5 16.0 42.0 43.2
6 23.2 59.7 79.4
7 23.3 39.5 75.8
8 35.4 88.7 79.6
9 43.7 54.4 57.6
Rata -Rata 30.3 58.5 72.0
SD 10,96 16,69 13,21
45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
59
Berdasarkan hasil pemeriksaan neutrophil diketahui bahwa rata-rata kadar
neutrophil pada kelompok 1 yang tidak diberi cecal inoculum40mg adalah 30,3 +
10,96 mg/dl, sedangkan pada kelompok 2 yang diberikan cecal
inoculum40mg/kali/hari adalah 58,5 + 16,69 mg/dl dan juga kelompok 3 yang
diberi cecal inoculum40mg/kali/hari didapatkan nilai rata-rata neutrophil sebesar
72,0 + 13,21 mg/dl.
Gambar 9.
Diagram Batang Rerata Kadar Neutrophil
Berdasarkan gambar 4.1 diatas diketahui bahwa kelompok 1 yang tidak
diberikan cecal inoculum40mg/kali/hari rata-rata neutrophil lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok 2 dan kelompok 3 yang diberikan cecal
inoculum40mg/kali/hari. Untuk mengetahui tingkat perbedaan dari ketiga
kelompok perlakuan tersebut maka dilakukan uji lanjut.
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
K1 K2 K3
30.3
58.5
72.0
K1
K2
K3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
60
b. Uji Normalitas Neutrophil
Tabel 3.
Uji Normalitas Data Neutrophil
Neutrophil N P Keterangan
Kelompok 1 9 0,178 Normal
Kelompok 2 9 0,159 Normal
Kelompok 3 9 0,012 Tidak Normal
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa kelompok 1 varian data
berdistribusi normal (p= 0,178 ; p >0,05), Untuk kelompok 2 data juga
berdistribusi normal (p=0,159; p >0,05), dan kelompok 3 varian data berdistribusi
tidak normal (p=0,012; p>0,05). Dikarenakan ada salah satu kelompok tidak lulus
uji normalitas maka pengujian statistik di uji alternative dengan Kruskal-Wallis
test dan dilanjutkan dengan Mann Whitney Test
c. Uji Beda Rata-Rata Kadar Neutrophil
Uji beda kadar neutrophil dilakukan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan bermakna antara kadar neutrophil pada ketiga kelompok penelitian. Uji
beda ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik Kruskal-Wallis.
Tabel 4.
Uji Beda Rata-Rata Kadar Neutrophil
Neutrophil N Rata-rata Kruskal-Wallis p
Kelompok 1 9 30,3 16,008 <0.01
Kelompok 2 9 58,5
Kelompok 3 9 72,0
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa nilai p < 0.01 (p<0,05), yang
artinya bahwa ada perbedaan yang nyata kadar neutrophil antara kelompok 1
(tanpa perlakuan), kelompok 2 dan kelompok 3 (diberi cecal inoculum). Untuk
mengetahui adanya perbedaan kadar neutrophil antar masing-masing kelompok
perlakuan maka dilakukan uji lanjut (Mann Whitney).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
61
Tabel 5.
Perbedaan Kadar Neutrophil Antara Masing –Masing Kelompok Perlakuan
Neutrophil N Rata-rata Z- Score p
Kelompok 1 9 30,3 -3.223 0,001
Kelompok 2 9 58,5
Kelompok 1 9 30,3 -3.400 0,001
Kelompok 3 9 72,0
Kelompok 2 9 58,5 -1,545 0,122
Kelompok 3 9 72,0
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa nilai uji beda antara kelompok 1
dan kelompok 2 mendapatkan nilai p=0,001 p<0,05, jadi ada perbedaan yang
signifikan antara kelompok 1 dengan dengan kelompok 2. Demikian juga antara
kelompok 1 dan kelompok 3.berdasarkan hasil uji tersebut dapat diketahui bahwa
ada berbedaan kadar neutrophil pada tikus yang diberikan cecal
inoculum40mg/kali/hari dan yang tidak diberikan cecal inoculum40mg.
Sedangkan uji beda antara kelompok 2 dan kelompok 3 mendapatkan nilai
p=0,122 p>0,05, jadi tidak anda perbedaan kadar neutrophil antara kelompok 2
dan kelompok 3. Hal ini berarti pemberian cecal inoculum40mg/kali/hari pada
kedua kelompok tersebut telah berhasil dan memiliki kadar neutrophil yang sama
(tikus dalam keadaan sepsis)
Berdasarkan hasil uji beda kadar neutrophil yang telah dilakukan maka
dapat diketahui bahwa perlakuan dengan pemberian cecal inoculum40mg/kali/hari
telah berhasil dimana tikus wistar pada kelompok 1 dalam keadaan sehat dan tikus
wistar pada kelompok 2 dan kelompok 3 dalam keadaan sepsis.
2. Hasil Pengukuran Diameter Arteriol Dari Organ Usus Halus
a. Gambaran Hasil Pengukuran Diameter Arteriol
Diameter diukur dengan mikrooskop cahaya dengan pembesaran 400
kali. Diameter dihitung dengan satuan micrometer ( . Dari tiap sampel
(preparat) dipilih 5 arteriol secara acak per lapang pandang dan dihitung
nilai rata-rata diameternya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
62
Tabel 6.
Deskripsi Hasil Pengukuran Diameter Arteriol
No Tikus K1
(
K2
(
K3
(
1 A1 329.1 195.1 561.6
2 A2 216.6 135.2 311.0
3 A3 367.9 168.5 334.1
4 A4 208.9 133.5 570.0
5 A5 255.6 170.5 684.9
6 B1 208.5 137.4 585.8
7 B2 229.7 107.4 510.4
8 B3 184.6 136.7 459.0
9 B4 189.9 122.6 525.9
10 B5 247.5 139.6 402.6
11 C1 267.6 102.4 406.2
12 C2 232.2 107.9 424.8
13 C3 179.1 134.4 516.5
14 C4 150.4 129.5 411.3
15 C5 165.8 125.5 495.8
16 D1 330.3 136.1 400.7
17 D2 374.8 151.3 394.7
18 D3 231.8 166.6 394.9
19 D4 274.5 155 469.6
20 D5 170.3 137.3 445.6
21 E1 129.3 137.3 423.8
22 E2 165.6 108.2 550.0
23 E3 147.8 124.1 517.2
24 E4 134.1 124.1 695.9
25 E5 167.3 121.3 616.1
26 F1 173.1 134.9 455.9
27 F2 165.6 140.3 484.3
28 F3 173.8 120.1 433.5
29 F4 144.8 123.1 538.8
30 F5 177 146.1 511.3
31 G1 141.6 160.7 209.4
32 G2 89.2 151.9 309.1
33 G3 139.1 136.2 240.6
34 G4 142.2 144.9 205.7
35 G5 78.1 165.6 391.0
36 H1 97.7 151.8 192.4
37 H2 145.5 156.8 235.6
38 H3 127.8 157.2 255.2
39 H4 116.2 131.5 182.9
40 H5 91.4 154.5 227.7
41 I1 118.5 167.6 180.6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
63
No Tikus K1
(
K2
(
K3
(
42 I2 133.3 144.2 178.0
43 I3 130.4 128.3 180.6
44 I4 144.9 135.8 182.3
45 I5 110.5 111.4 188.7
Rata-rata 182.2 139.3 397.6
SD 71.48 19.49 148.64
Berdasarkan hasil pengukuran diameter arteriol diketahui bahwa setelah 72
jam rata-rata diameter arteriol pada kelompok 1 yang tidak diberi perlakuan
apapun adalah 182,2 + 71,48 , sedangkan rata-rata diameter arteriol pada
kelompok 2 (diberi cecal inoculum40mg/kali/hari) adalah 139,3 + 19,49 dan
kelompok 3 (Diberi cecal inoculum40mg/kali/hari dan Vitamin C 5,1
mg/kg/kali/hari) didapatkan nilai rata-rata diameter arteriol sebesar 397 + 149,64
.
Gambar 10.
Diagram Batang Rerata Diameter Arteriol
Berdasarkan gambar 4.2 diatas diketahui bahwa kelompok 1 (tanpa
perlakuan) rata-rata diameter arteriol lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
2 (Diberi cecal inoculum). Sedangkan kelompok 3 (Diberi cecal inoculum dan
Vitamin C) nilainya lebih tinggi dari pada kelompok 1 dan kelompok 2. Untuk
mengetahui tingkat perbedaan dari ketiga kelompok perlakuan tersebut maka
dilakukan uji lanjut.
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
300.0
350.0
400.0
K1 K2 K3
182.2
139.3
397.6
K1
K2
K3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
64
b. Uji Normalitas Data Diameter Arteriol
Tabel 7.
Uji Normalitas Data Diameter Arteriol
Diameter
Arteriol N P Keterangan
Kelompok 1 45 0,001 Tidak Normal
Kelompok 2 45 0,447 Normal
Kelompok 3 45 0,020 Tidak Normal
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa kelompok 1 varian data
berdistribusi tidak normal (p= 0,001 ; p <0,05), Untuk kelompok 2 data juga
berdistribusi normal (p=0,159; p >0,05), dan kelompok 3 varian data berdistribusi
tidak normal (p=0,020; p>0,05). Dikarenakan ada kelompok tidak lulus uji
normalitas maka pengujian statistik di uji alternatif dengan Kruskal-Wallis test
dan dilanjutkan dengan Mann Whitney Test.
c. Uji Beda Rata-rata Diameter Arteriol
Uji beda rata-rata diameter arteriol dilakukan untuk mengetahui apakah
ada perbedaan bermakna antara diameter arteriol pada ketiga kelompok penelitian.
Uji beda ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik Kruskal-Wallis.
Tabel 8.
Uji Beda Rata-Rata Diameter Arteriol
Diameter
Arteriol N
Rata-rata
( Kruskal-Wallis p
Kelompok 1 45 182,2 80,505 <0.01
Kelompok 2 45 139,3
Kelompok 3 45 397,6
Berdasarkan tabel 8. diketahui bahwa nilai p<0.01(p<0,05), yang artinya
bahwa ada perbedaan yang nyata diameter arteriol antara kelompok 1 (tanpa
perlakuan), kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dan kelompok 3 (diberi cecal
inoculum dan Vitamin C). Untuk mengetahui adanya perbedaan diameter arteriol
antar masing-masing kelompok perlakuan maka dilakukan uji lanjut (Mann
Whitney).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
65
Tabel 9.
Perbedaan Diameter Arteriol Antara Masing –Masing Kelompok Perlakuan
Diameter
Arteriol N
Rata-rata
( Z-Score p
Kelompok 1 45 182,2 -3.326 0,001
Kelompok 2 45 139,3
Kelompok 1 45 182,2 -6,718 <0.01
Kelompok 3 45 397,6
Kelompok 2 45 139,3 -8,114 <0.01
Kelompok 3 45 397,6
Berdasarkan tabel 9. diketahui bahwa diketahui bahwa nilai uji beda antara
kelompok 1 dan kelompok 2 mendapatkan nilai p=0,001 p<0,05, jadi ada
perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 1 (tanpa perlakuan)
dengan dengan kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dimana rata-rata diameter
arteriol tikus kelompok 1 (tanpa perlakuan) 30,8% lebih lebar dibandingkan
dengan tikus kelompok 2 (diberi cecal inoculum).
Demikian juga antara kelompok 1 (tanpa perlakuan) dan kelompok 3
(diberi cecal inoculum dan Vitamin C) mendapatkan hasil nilai p=0,001 p<0,05.
Jadi ada perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 1 dan
kelompok 3. Dimana kelompok 3 menghasilkan diameter arteriol 118,2% lebih
lebar daripada kelompok 1.
Uji beda antara kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dan kelompok 3
(diberi cecal inoculum dan Vitamin C) mendapatkan hasil nilai p=0,000 p<0,05.
Jadi ada perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 2 dan
kelompok 3. Dimana kelompok 3 menghasilkan diameter arteriol 185,3% lebih
lebar daripada kelompok 2.
Berdasarkan hasil uji tersebut dapat diketahui bahwa pemberian Vitamin C
pada tikus sepsis mampu meningkatkan diameter arteriol lebih lebar dibandingkan
dengan tikus sehat (normal) dan tikus sepsis.
B. Pembahasan
Sepsis dapat mengaktivasi berbagai macam sel seperti makrofag, netrofil, sel
endotel maupun epithelial yang akan melepaskan sejumlah mediator, termasuk
diantaranya cytokines, chemokines, PAF, interferon-γ, komplemen prostanoid,
leukotriene dan protease. Kejadian ini akan menyebabkan aktivasi dari sel imun yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
66
disertai pelepasan ROS. Mediator inflamasi ini memiliki peran yang penting dalam
membunuh organisme patoogen, namun jika respon yang terjadi terlalu eksesif, makan
dapat menyebabkan infeksi sistemik pada orgam dibangian distal dan dapat menyebabkan
kematian.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa
pemberian Vitamin C 5,1 mg/kgBB/hari/i.v pada tikus sepsis mampu meningkatkan
diameter arteriol lebih besar dibandingkan dengan tikus sepsis dan tikus yang sehat. Nilai
diameter arteriol pada kelompok 1 (tanpa perlakuan) berbeda signifikan dengan kelompok
2 (diberi cecal inoculum) dengan nilai p=0,001 p<0,05, dimana rata-rata diameter arteriol
tikus kelompok 1 (tanpa perlakuan) 30,8% lebih lebar dibandingkan dengan tikus
kelompok 2 (diberi cecal inoculum). Demikian juga nilai diameter arteriol kelompok 1
(tanpa perlakuan) berbeda signifikan dengan kelompok 3 (diberi cecal inoculum dan
Vitamin C) dengan nilai p=0,001 p<0,05. Dimana kelompok 3 menghasilkan diameter
arteriol 118,2% lebih lebar dibandingkan dengan kelompok 1. Nilai dimater arteriol
kelompok 2 (diberi cecal inoculum) juga berbeda signifikan dengan kelompok 3 (diberi
cecal inoculum dan Vitamin C) dengan nilai p=0,000 p<0,05. Dimana kelompok 3
menghasilkan diameter arteriol 185,3% lebih lebar daripada kelompok 2.
Vitamin C merupakan golongan antioksidan larut dalam air yang dapat meredam
dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam.
Fungsi antioksidan adalah mencegah terbentuknya radikal hidroksil, memutus rantai
reaksi oksidan, mereduksi oksidan menjadi zat lain yang kurang reaktif misalnya H2O
dan O2, menghambat peroksidase lipid dan scavenger langsung dari ROS. Oleh sebab itu
pemberian Vitamin C pada tikus wistar mampu meningkatkan nilai diameter arteriol.
Anti oksidan merupakan senyawa-senyawa yang dapat meredam dampak negatif
oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam. Fungsi antioksidan
adalah mencegah terbentuknya radikal hidroksil, memutus rantai reaksi oksidan,
mereduksi oksidan menjadi zat lain yang kurang reaktif misalnya H2O dan O2,
menghambat peroksidase lipid dan scavenger langsung dari ROS. Pada sepsis terjadi
inflamasi, inflamasi ditandai oleh pelepasan sitokin pro inflamasi seperti TNF-, 1L-1 ,
dan IL-6 dan mediator inflamasi termasuk NO, PGE2, iNOS dan COX.
Asam askorbat adalah reducing agent dan dapat mengurangi dan menetralkan,
reaktif oksigen spesies seperti hidrogen peroksida. Oksidan seperti hidroksil radikal
mengandung elektron tidak berpasangan dan sangat reaktif dan merusak pada tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
67
molekuler. Hal ini disebabkan oleh interaksi ROS dengan asam nukleat, protein, dan
lipid. Reaktif oksigen spesies mengoksidasi askorbat menjadi monodehydroascorbate dan
kemudian menjadi dehydroascorbate. Reaktif Oksigen Spesies (ROS) direduksi menjadi
air sementara bentuk askorbat teroksidasi relatif stabil, tidak reaktif dan tidak
menyebabkan kerusakan sel.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Victor VM et al,
(2000)dimana Vitamin C (Asam Ascorbat/AA) merupakan donor elektron yang kuat,
bereaksi baik dengan O2- maupun dengan OH
-.AA memainkan peran penting dalam
mekanisme pertahanan terhadap kerusakan oksidatif terutama yang disebabkan oleh
lekosit.Pengaturan utama dari AA pada organisme berhubungan dengan fungsinya
sebagai reduktor, namun AA juga ikut berperan dalam memodulasi jalur kompleks
biokimia dimana hal ini merupakan bagian penting dalam metabolisme normal dari sel
imun. Antioksidan ini menghambat aktivasi dari faktor transkripsi nuclear NF-κB yang
dicetuskan oleh adanya endotoksin, dimana hal ini dapat menurunkan produksi TNFα.
Penelitian Ex vivo telah menunjukkan pengaruh pemberian Vitamin C terhadap regulasi
aktivitas seluler, seperti peningkatan adhesi dan produksi O2- yang dihasilkan oleh
makrofag pada mencit dengan syok endotoksin yang akan berkurang dengan adanya AA.
AA juga memperlihatkan kemampuan untuk memodulasi fungsi limfosit pada model
yang sama.
Wu et al (2003) memperlihatkan dimana AA dapat menghambat ekspresi iNOS
dan menurunkan kadar oksidan pada masa otot selama periode sepsis. Hasil ini
menimbulkan dugaan dimana pemberian AA pada early sepsis dapat menjadi terapi
tambahan yang berharga.
Dengan demikian pemberian Vitamin C 5,1 mg/kgBB/hari/i.v pada tikus sepsis
akan berdampak pada hasil pengukuran diameter arteriol, dimana pada tikus sepsis yang
diberi Vitamin C nilai dimater arteriol 118,2% lebih lebar dari tikus normal. Dan nilai
dimater arteriol pada pada tikus sepsis yang diberi Vitamin C 185,3% lebih besar dari
tikus sepsis tanpa diberi Vitamin C.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
68
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 27 ekor tikus
wistar dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pemberian Vitamin C pada tikus wistar dengan dosis 5.1 mg/kgBB/kali/hari
telah berhasil meningkatkan diameter arteriol pada tahap awal sepsis. Nilai diameter
arteriol kelompok 2 (diberi cecal inoculum) berbeda signifikan dengan kelompok 3
(diberi cecal inoculum dan Vitamin C) dengan nilai p<0.01. Dimana kelompok 3
menghasilkan diameter arteriol 185,3% lebih lebar daripada kelompok 2
B. Keterbatasan Penelitian
1. Pada penelitian tidak diukur penilaian tekanan arteri rata-rata pada tikus wistar,
sehingga tidak diketahui apakan efek vasodilatasi pada arteriol di tingkatan
mikrosirkulasi diikuti oleh peningkatan pada parameter makrosirkulasi.
2. Penelitian juga tidak mengukur peningkatan aliran darah serta tekanan oksigen pada
jaringan yang merupakan target akhir dari proses konveksi dan difusi oksigen di
mikrosirkulasi
C. Saran
1. Pada penelitian selanjutnya mungkin dapat diukur parameter makrosirkulasi sebagai
pembanding perbaikan pada perfusi di tingkat mikrosirkulasi.
2. Pada penelitian selanjutnya dapat diukur tekanan oksigen jaringan sebagai parameter
keberhasilan perfusi di tingkat mikroosirkulasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
69
DAFTAR PUSTAKA
Abraham E (2003). Nuclear factor-kB and its role in sepsis-associated organ failure. J Infect
Dis, 187: S364-9.
Alpha A, Aamer A, Syed, Shelley K, Robin S, Don F, et al. 2014. Phase I safety trial of
intravenous ascorbic acid in patients with severe sepsis. Journal of Translational
Medicine. Vol:12(32): 1-10
Asada, K. 2006. Production and Scavenging of Reactive Oxygen Species in Chloroplasts and
Their Functions. ASPB. Vol. 141 (2): 391-396
Backer, D, et al. 2011. Microsirculatory alterations: potential mechanism and implication for
therapy. Annal of Intensive Care. 1:27
Baldwin AS. 2001. Series introduction: the transcription factor NF-kB and human disease. J
Clin Invest; 107: 3-6.
Barnes PJ. 1997. Nuclear factor kB. Int J Biochem Cell, 29: 867-70.
Bateman RM, Sharpe MD, Ellis CG, 2003. Bench-to-bedside review: microvascular
dysfunction in sepsis-hemodynamics, oxygen transport, and nitric oxide. Crit Care;
7: 359-73.
Blackwell TS, Christman JW, 1997. The role of nuclear factor kB in cytokine gene
regulation. Am J Respir Cell Mol Biol, 17: 3-9.
Blackwell TS, Yull FE, Chen CL, Venkatakrishnan A, Blackwell TR, Hicks DJ et al, 2000.
Multiorganic nuclear factor kappa B activation in a transgenic mouse model of
systemic inflammation. Am J Respir Crit Care Med, 162: 1095-101.
Bolon ML, Peng T, Kidder GM, Tyml K, 2008. Lipopolysaccharide plus hypoxia and
reoxygenation synergistically reduce electrical coupling between microvascular
endothelial cells by dephosphorylating connexin40. J Cell Physiol; 217(2): 350–359
Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, Fein AM, Knaus WA, et al (1992). Definitions
for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in
sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Comitte. American College of
Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine. 101: 1644-55.
Boveris A, Alvarez S, Navarro A (2002). The role of mitochondrial nitric oxide synthase in
inflammation and septic shock. Free Radic Biol Med, 33: 1186-93.
Brahmbhatt S, Gupta A, Sharma AC. 2005. Big Endothelin-1 (I-21) Fragment during early
sepsis modulates tai, p38-MAPK phosphorylation and nitric oxide synthase
activation. Molecular and Cellular Biochemistry, 271: pp: 225-237
Brook G, Butel J, Morse A. 2003. Medical Microbiology. Singapore: Mcgraw Hill Company:
854-865
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
70
Buras JJ, Holzmann B, Sitkovsky M. 2005. Animal models of sepsis: Setting the stage.
Nature reviews Drugs Discovery 4; 854-865
Cepinskas, G & Wilson, J. 2008. Respon inflamasi pada endothel Mikrovaskuler Pada Sepsis:
Peran Oksidan. J. Clin. Biochem. Nutr. 42: 175-184
Chopra M, Sharma A. 2007. Distinct cardiodynamic and molecular characteristics during
early and late stages of sepsis induced myocardial dysfuncion. Life Sciencces-
Journal Elsevier; 81(4): 306-316
Cohen, J. 2002. The Immunopathogenesis of Sepsis. Nature. 420: 885–891
Deitch E. 2005. Rodent models of intra-abdominal infection. Shock; 24:19-23
DeLeo FR, Renee J, McCormick S, Nakamura M, Apicella M, Weiss JP, et al (1998).
Neutrophils exposed to bacterial lipopolysaccharide upregulate NADPH oxidase
assembly. J Clin Invest, 101: 455-63.
Diding HP, Nurwati I, Indrayantp Y, Guntur HA, 2014. Penurunan kadar pro-adrenomedullin
mencit Baalb/C model sepsis dengan kortikosteroid dosis rendah. Majalan
Kedokteran Bandung, 46(2)
Dorland N, 2001. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC, pp:1765
Edwin S, Theo J, Joohan K. 2003. Receptors, mediators and mechanism involved in bacterial
sepsis and septic shock. Clinical Microbiology Reviews; 379-414
Fu B, Wang X, Qin Z, William R, Hsueh, Zheng X, Rozenfield A, Zuo L, Tan D. 2006.
Lysozyme-modified probiotic components protect rats against polymicrobial sepsis:
Role of macrophages and cathelicidin-related innate immunity. The Journal of
Immunology. 177: 8767-8776
Guha M, Mackman N (2001). LPS induction of gene expression in human monocytes cell
signal, 13: 85-94
Guntur, AH. 2008. SIRS, SEPSIS & SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis, Penatalaksanaan.
Sebelas Maret University Press. Surakarta
Huang, A, et al. 2000. Ascorbic Acid Enhances Endothelial Nitric Oxide Synthase Activity
By Increasing Intracellular Tetrahydrobiopterin. JBC.
Kaymak, C, Basar, H, Sardas, S. 2011. Reactive Oxygen Spesies (Ros) Generation in Sepsis.
FABAD J Pharm Sci. 36: 41-47.
Kuzkaya, N, et al. 2003. Interactions of Peroxynitrite, Tetrahydrobiopterin, Ascorbic Acid,
And Thiols: Implications For Uncoupling Endothelial Nitric-Oxide Synthase. J Biol
Chem. 278 (25): 22546-54
Matei, V, et al. 2006. The eNOS Cofactor Tetrahydrobiopterin Improves Endothelial
Dysfunction In Livers Of Rats With CCl4 Cirrhosis. PubMed. 44 (1): 44-52
Minakshi N, Shannon R, Nihal A. 2007. Dose translation from animal to human studies
revisited. The Faseb Journal. Vol:22; 559-561
Murray, R, et al. 2003. Harper Illustrated Biochemistry 26 ed. McGraw Hill USA. 474-497
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
71
Nossaman, B, et al. 2012. Stimulators and Activators of Soluble Guanylate Cyclase: Review
and Potential Therapeutic Indications. Critical Care Research and Practice. Vol
2012
Padayatty, S. 2003. Vitamin C as Anti Oxidant: Evaluation of its Roles in Disease
Prevention. Journal of the American College of Nutrition. 22(1): 18–35
Pasupathy. 2009. Effect of Chronic Smoking on Lipid Peroxidation And Antioxidant Status
In Gastric Carcinoma Patients. Indian J Gastroentero. 28(2): 65–67
Remick DG, Bolgos GR, Siddiqui J, Shin J, Nemzek JA, 2002. Six at six: Interleukin-6
measured 6 h after the initiation of sepsis predicts mortality over 3 days. Shock.
17:pp:463-467
Ren J, Ren B, Sharma A. 2002. Sepsis-induced depressed contractile function of isolated
ventricular myocytes is due to altered calcium transient properties. Shock; 18 (3):
285-288.
Riedemann, N, Guo, R, and Ward, P. 2003. Novel Strate-Gies For The Treatment Of Sepsis.
Nat Med. 9: 517–524
Rittirsch D, Markus S, Michael A, Peter A. 2009. Immunodesign of experimental sepsis by
cecal ligation and puncture. Nature Protocols, 4(1): 31-36
Schildberger, A, et al. 2013. Monocytes, Peripheral Blood Mononuclear Cells, and THP-1
Cells Exhibit Different Cytokine Expression Patterns Following Stimulation with
Lipopolysaccharide. Hindawi. Vol 2013
Spagnuolo, M, et al. 2006. Nitric Oxide Stimulates The Erythrocyte For Ascorbate
Recycling. Elsevier Inc. 1089-8603
Supranto J. 2007. Teknik sampling untuk survey dan eksperimen. Ediasi ke-4. Jakarta: PT.
Rineka Cipta: 5-9
Tiefenbacher, C. 2001. Tetrahydrobiopterin: a critical cofactor for eNOS and a strategy in the
treatment of endothelial dysfunction?. APS. 280: H2484–H2488
Victor, M, et al. 2005. Role of Free Radicals in Sepsis: Antioxidant Therapy. Current
Pharmaceutical Design. 11: 3141-3158
Wang W, Jittikanont S, Falk SA, Li P, Feng L, Gengaro PE, et al (2003). Interaction among
nitric oxide, reactive oxygen species, and antioxidants during endotoxemia-related
acute renal failure. Am J Physiol Renal Physiol; 284: 352-7.
Xian, M, et al. 2000. Inhibition of Papain by S-Nitrosothiols. JBC
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
72
Lampiran.1 Hasil Penelitian
Tabel Deskripsi Hasil Pemeriksaan Neutrophil
No K1 K2 K3
1 43.5 56.5 80.2
2 35.7 82.0 83.2
3 35.9 48.8 70.5
4 15.6 54.7 78.1
5 16.0 42.0 43.2
6 23.2 59.7 79.4
7 23.3 39.5 75.8
8 35.4 88.7 79.6
9 43.7 54.4 57.6
Rata -Rata 30.3 58.5 72.0
SD 10,96 16,69 13,21
Tabel Deskripsi Hasil Pengukuran Diameter Arteriol
No Tikus K1
(
K2
(
K3
(
1 A1 329.1 195.1 561.6
2 A2 216.6 135.2 311.0
3 A3 367.9 168.5 334.1
4 A4 208.9 133.5 570.0
5 A5 255.6 170.5 684.9
6 B1 208.5 137.4 585.8
7 B2 229.7 107.4 510.4
8 B3 184.6 136.7 459.0
9 B4 189.9 122.6 525.9
10 B5 247.5 139.6 402.6
11 C1 267.6 102.4 406.2
12 C2 232.2 107.9 424.8
13 C3 179.1 134.4 516.5
14 C4 150.4 129.5 411.3
15 C5 165.8 125.5 495.8
16 D1 330.3 136.1 400.7
17 D2 374.8 151.3 394.7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
73
No Tikus K1
(
K2
(
K3
(
18 D3 231.8 166.6 394.9
19 D4 274.5 155 469.6
20 D5 170.3 137.3 445.6
21 E1 129.3 137.3 423.8
22 E2 165.6 108.2 550.0
23 E3 147.8 124.1 517.2
24 E4 134.1 124.1 695.9
25 E5 167.3 121.3 616.1
26 F1 173.1 134.9 455.9
27 F2 165.6 140.3 484.3
28 F3 173.8 120.1 433.5
29 F4 144.8 123.1 538.8
30 F5 177 146.1 511.3
31 G1 141.6 160.7 209.4
32 G2 89.2 151.9 309.1
33 G3 139.1 136.2 240.6
34 G4 142.2 144.9 205.7
35 G5 78.1 165.6 391.0
36 H1 97.7 151.8 192.4
37 H2 145.5 156.8 235.6
38 H3 127.8 157.2 255.2
39 H4 116.2 131.5 182.9
40 H5 91.4 154.5 227.7
41 I1 118.5 167.6 180.6
42 I2 133.3 144.2 178.0
43 I3 130.4 128.3 180.6
44 I4 144.9 135.8 182.3
45 I5 110.5 111.4 188.7
Rata-rata 182.2 139.3 397.6
SD 71.48 19.49 148.64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
74
Hasil penghitungan dengan SPSS
Hasil Uji Normalitas Neutrofil
Case Processing Summary
9 100.0% 0 .0% 9 100.0%
9 100.0% 0 .0% 9 100.0%
9 100.0% 0 .0% 9 100.0%
Kelompok
K1
K2
K3
Neutrof il
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
Descriptives
30.2556 3.65206
21.8339
38.6772
30.3228
35.4000
120.038
10.95618
15.60
43.70
28.10
20.10
-.184 .717
-1.629 1.400
58.4778 5.56317
45.6491
71.3065
57.8531
54.7000
278.539
16.68950
39.50
88.70
49.20
25.45
.978 .717
.100 1.400
71.9556 4.40310
61.8020
82.1091
72.9284
78.1000
174.485
13.20929
43.20
83.20
40.00
15.85
-1.646 .717
2.071 1.400
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% Conf idence
Interv al for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Dev iat ion
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% Conf idence
Interv al for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Dev iat ion
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% Conf idence
Interv al for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Dev iat ion
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
KelompokK1
K2
K3
Neutrof ilStat istic Std. Error
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
75
Tests of Normality
.236 9 .158 .885 9 .178
.249 9 .115 .880 9 .159
.281 9 .039 .781 9 .012
Kelompok
K1
K2
K3
Neutrof il
Stat ist ic df Sig. Stat ist ic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
Lillief ors Signif icance Correctiona.
K3K2K1
Kelompok
80.00
60.00
40.00
20.00
Neu
tro
fil
17
11
23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
76
Lampiran.2
Hasil Uji Kruskal-Wallis Test Neutrofil
NPar Tests Kruskal-Wallis Test
Hasil Uji Mann-Whitney Test Neutrofil NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
9 5.67
9 16.11
9 20.22
27
Kelompok
K1
K2
K3
Total
Neutrof il
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
16.088
2
.000
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
Neutrof il
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Kelompokb.
Ranks
9 5.44 49.00
9 13.56 122.00
18
Kelompok
K1
K2
Total
Neutrof il
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
4.000
49.000
-3.223
.001
.000a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
Neutrof il
Not corrected f or ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
77
NPar Tests Mann-Whitney Test
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
9 5.22 47.00
9 13.78 124.00
18
Kelompok
K1
K3
Total
Neutrof il
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
2.000
47.000
-3.400
.001
.000a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
Neutrof il
Not corrected f or ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
Ranks
9 7.56 68.00
9 11.44 103.00
18
Kelompok
K2
K3
Total
Neutrof il
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
23.000
68.000
-1.545
.122
.136a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
Neutrof il
Not corrected f or ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
78
Lampiran.3 Hasil Uji Normalitas Diameter Arteriol
Case Processing Summary
45 100.0% 0 .0% 45 100.0%
45 100.0% 0 .0% 45 100.0%
45 100.0% 0 .0% 45 100.0%
Kelompok
K1
K2
K3
Diameter Arteriol
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
Descriptives
182.2200 10.65549
160.7453
203.6947
177.3944
165.8000
5109.279
71.47922
78.10
374.80
296.70
89.45
1.116 .354
.904 .695
139.3422 2.90600
133.4856
145.1989
138.9111
136.7000
380.019
19.49407
102.40
195.10
92.70
28.40
.393 .354
.316 .695
397.6000 22.15820
352.9431
442.2569
393.9117
411.3000
22094.370
148.64175
178.00
695.90
517.90
275.80
-.041 .354
-.974 .695
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% Conf idence
Interv al for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Dev iat ion
Minimum
Maximum
Range
Interquart ile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% Conf idence
Interv al for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Dev iat ion
Minimum
Maximum
Range
Interquart ile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% Conf idence
Interv al for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Dev iat ion
Minimum
Maximum
Range
Interquart ile Range
Skewness
Kurtosis
KelompokK1
K2
K3
Diameter ArteriolStat istic Std. Error
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
79
Tests of Normality
.162 45 .005 .905 45 .001
.117 45 .137 .975 45 .447
.127 45 .067 .939 45 .020
Kelompok
K1
K2
K3
Diameter Arteriol
Stat ist ic df Sig. Stat ist ic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
Lillief ors Signif icance Correctiona.
K3K2K1
Kelompok
700.00
600.00
500.00
400.00
300.00
200.00
100.00
0.00
Dia
mete
r A
rteri
ol
46
17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
80
Lampiran.4 Hasil Uji Kruskal-Wallis Test Diameter Arteriol NPar Tests Kruskal-Wallis Test
Hasil Uji Mann-Whitney Test Diameter Arteriol
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
45 58.41
45 36.74
45 108.84
135
Kelompok
K1
K2
K3
Total
Diameter Arteriol
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
80.505
2
.000
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
Diameter
Arteriol
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Kelompokb.
Ranks
45 54.41 2448.50
45 36.59 1646.50
90
Kelompok
K1
K2
Total
Diameter Arteriol
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsa
611.500
1646.500
-3.236
.001
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Diameter
Arteriol
Grouping Variable: Kelompoka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
81
NPar Tests Mann-Whitney Test
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
45 27.00 1215.00
45 64.00 2880.00
90
Kelompok
K1
K3
Total
Diameter Arteriol
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsa
180.000
1215.000
-6.718
.000
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Diameter
Arteriol
Grouping Variable: Kelompoka.
Ranks
45 23.16 1042.00
45 67.84 3053.00
90
Kelompok
K2
K3
Total
Diameter Arteriol
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsa
7.000
1042.000
-8.114
.000
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Diameter
Arteriol
Grouping Variable: Kelompoka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
82
LAMPIRAN.5 Ethical Clearance
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
83
LAMPIRAN.6 Dokumentasi Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
84
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
86
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user