PENGARUH PEMBERIAN TELUR BERIODIUM TERHADAP …
Transcript of PENGARUH PEMBERIAN TELUR BERIODIUM TERHADAP …
PENGARUH PEMBERIAN TELUR BERIODIUM TERHADAPEKSKRESI IODIUM URIN PENDERITA DEFISIENSI YODIUM PADAANAK SEKOLAH DASAR KECAMATAN PONDIDAHA KABUPATEN
KONAWE
O L E H :
KASMAWATI
NIM : P1803213015
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCA SARJANA UNHAS
MAKASSAR
2015
PRAKATA
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, serta senantiasa memberikan kesehatan dan
kemampuan berpikir kepada penulis. Salam dan Shalawat kehadirat
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Alhamdulillahirrabbil’alamin, akhirnya penulisan tesis, dengan
judul ”Pengaruh Pemberian telur beriodium terhadap ekskresi iodium
urin pada penderita defisiensi iodium anak sekolah dasar Kecamatan
Pondidaha Kabupaten Konawe .” dapat diselesaikan oleh penulis guna
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan
(M.Kes) Konsentrasi gizi pada Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar.
Penyusunan hasil penelitian ini bukanlah hasil kerja keras
penulis semata, bantuan dari berbagai pihak merupakan kontribusi yang
sangat berarti bagi penulis, untuk itu dengan segala rasa hormat, cinta
dan penghargaan yang setulus-tulusnya penulis haturkan kepada Suami
tercinta Gunawan Merosi dan anak-anakku tersayang : Anggun
Fauziah Gunawan, Ario Taisir Gunawan, dan Andin Afiah Gunawan
yang dengan segala kasih sayang, kesabaran, pengorbanan, dorongan,
kepercayaan dan dukungan moral dan materil selama ini serta do’a dalam
sujud yang senantiasa menyertai setiap langkah penulis. Semoga Allah
senantiasa mencurahkan kasih sayangnya dan memberikan kalian
kesehatan baik jasmani maupun rohani kepada kalian hingga akhirat
kelak.
Pada kesempatan ini, dengan penuh kerendahan hati,
perkenankanlah penulis menghaturkan terima kasih serta penghargaan
yang setinggi-tingginya yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. dr. Veny Hadju, Ph.D selaku pembimbing I dan bapak
Prof. Dr. Saifuddin Sirajuddin, MS selaku pembimbing II yang
memberikan waktu serta memberikan bimbingan dan arahan bagi
penulis dalam menyusun tesis ini sehingga penyusunan tesis ini
dapat terselesaikan.
2. Bapak Prof. Dr. Anwar Daud, SKM, M. Kes., EHS ibu Dr.
Nurhaedar jafar, Apt, M. Kes dan ibu Dr. dr. Syamsiar S.
Russeng, MS selaku penguji telah memberikan saran dan kritik demi
perbaikan tesis ini.
3. Bapak dan Ibu dosen S2 gizi UNHAS yang telah memberikan
bimbingan dan ilmu pengetahuan kepada penulis dalam mengikuti
perkuliahan.
4. Kepada teman-teman S2 Gizi UNHAS angkatan 2013
5. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya yang
telah banyak memberikan bantuannya dalam rangka penyelesaian
tesis ini.
Manusia tak pernah luput dari kekhilafan, karena itu penulis
sangat menghargai bila ada kritik dan saran demi penyempurnaan tesis
ini. Semoga tesis ini bernilai ibadah di sisi Allah SWT dan dapat
memberikan manfaat kepada kita semua. Akhirnya penulis berharap
semoga tesis ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak yang
membacanya serta dapat di aplikasikan ke masyarakat “AMIN”.
Makassar, Agustus 2015
Kasmawati
ABSTRAK
KASMAWATI. Pengaruh Telur Beriodium Terhadap Ekskresi Iodium UrinPenderita Defisiensi Yodium Pada Anak Sekolah Dasar Kecamatan PondidahaKabupaten Konawe.(dibimbing oleh Veni Hadju dan Saifuddin Sirajuddin).
Berat ringannya endemisitas suatu daerah selain dinilai berdasar dariadanya pembesaran kelenjar tiroid (TGR), dapat juga dengan menilai mediankadar iodium dalam urin atau Ekskresi Iodium Urin (EIU). Pemberian makanansumber iodium mempengaruhi kadar ekskresi iodium Urin (EIU). Pembuatantelur beriodium dimanfaatkan sebagai salah satu makanan sumber iodium.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian telur beriodiummempengaruhi ekresi iodium urin terhadap penderita defisiensi iodium anaksekolah dasar.
Rancangan penelitian ini adalah Eksperimen murni dengan sampelsebanyak 26 orang yang diambil secara acak dan dibagi dalam 2 kelompok.Kelompok perlakuan diberi telur beriodium dan kelompok Kontrol diberi telurplacebo selama 10 hari. Kadar Ekskresi iodium urin sampel diukur denganmenggunakan metode serium. Data diolah menggunakan SPSS dan diujidengan independent samples t - test
Rata – rata ekskresi iodium urin sebelum pemberian telur beriodiumpada kelompok perlakuan (79,96±12,56) Setelah 10 hari pemberian telurberiodium terjadi peningkatan kadar ekskresi iodium urin (92,36±21,76), padakelompok kontrol rata-rata ekskresi iodium urin sebelum pemberian telurplacebo (78,64±11,85) setelah perlakuan meningkat menjadi (85,02±9,48).Peningkatan ekskresi iodium urin terjadi pada kedua kelompok namun lebihtinggi pada kelompok perlakuan dan perbedaan antara kedua kelompok adalahsignifikan (p= 0,001).
Ada pengaruh pemberian telur beriodium terhadap ekskresi iodium urinpenderita defisiensi ringan pada anak Sekolah Dasar Negeri 1 TirawutaKecamatan Pondidaha kabupaten Konawe.
Kata Kunci : Telur beriodium, Ekskresi Iodium Urin(EIU), Defisiensi Iodium.
ABSTRACT
KASMAWATI. Iodized Eggs Against influence Urine Iodine ExcretionPatients Iodine Deficiency in Children Elementary School District of PondidahaKonawe .(dibimbing oleh Veni Hadju dan Saifuddin Sirajuddin).
Severity of endemicity an area other than assessed basis of theenlargement of the thyroid gland (TGR), can also by assessing median iodinecontent in urine or urine iodine excretion (EIU). Providing food sources ofiodine affects urine iodine excretion levels (EIU). Manufacture of iodized eggsused as one of the food sources of iodine. This study aims to determinewhether the provision of iodized eggs affect ekresi iodine urine of patients withiodine deficiency elementary school children.
This study design is a pure experiment with a sample of 26 people weretaken randomly and were divided into 2 groups. The treatment group was givenan egg iodized and control group was given a placebo eggs for 10 days. Levelsof iodine excretion of urine samples was measured by using cerium. Data wasprocessed using SPSS and tested by independent samples t - test
Average - The average urinary iodine excretion before giving iodizedeggs in the treatment group (79.96 ± 12.56) After 10 days of administration ofiodized eggs increased levels of urinary iodine excretion (92.36 ± 21.76), in thecontrol group average urinary iodine excretion before giving egg placebo(78.64 ± 11.85) after treatment increased to (85.02 ± 9.48). Increased urinaryiodine excretion occurred in both groups but higher in the treatment group andthe differences between the two groups was significant (p = 0.001).
There is the influence of iodized egg against urinary iodine excretion ofpatients with mild deficiency in children 1 Tirawuta State Elementary SchoolDistrict of Pondidaha Konawe.
Keywords: Egg iodized, Urine Iodine Excretion (EIU), Iodine Deficiency.
DAFTAR ISI
BAB I.............................................................................................................. 1
PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah Penelitian ............................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 6
1. Tujuan umum..................................................................................... 6
2. Tujuan khusus ................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 7
BAB II.............................................................................................................. 8
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 8
A. Tinjauan umum garam beryodium......................................................... 8
1. Pengertian Garam............................................................................ 8
2. Kalium Iodat ..................................................................................... 9
3. Garam Beryodium ...........................................................................10
4. Penetapan Kadar KIO3 dalam Garam ............................................13
B. Tinjauan Umum Telur..........................................................................18
1. Morfologi Telur ................................................................................18
2. Telur Asin ........................................................................................19
3. Daya Terima Telur Asin ..................................................................23
C. Yodium.................................................................................................25
1. Definisi iodium dan fungsinya ...........................................................25
2. Ekologi dan demografi iodium .........................................................26
3. Sumber iodium .................................................................................26
4. Kebutuhan iodium ...........................................................................27
D Metabolisme yodium ..............................................................................27
1. Kelenjar tiroid ..................................................................................27
2. Hormon Tiroid .................................................................................29
3. Metabolisme yodium dalam tubuh...................................................30
E. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)........................................33
1. Definisi..............................................................................................33
2. Spektrum GAKI.................................................................................33
3. Etiologi..............................................................................................35
F. Penilaian Defisiensi yodium ................................................................35
1. Total Goiter Rate (TGR) ..................................................................35
2. Ultrasonografi (USG).......................................................................37
3. Thyroid Stimulating hormone (TSH)................................................38
4. Ekskresi iodium dalam urin (EIU) ....................................................39
5. Metode pemeriksaan EIU................................................................41
G. Anak Usia Sekolah................................................................................43
1. Karakteristik Anak Sekolah Dasar...................................................43
2. Penilaian status gizi anak sekolah ..................................................44
3. Masalah gizi Anak Sekolah Dasar...................................................48
H. Kerangka Konseptual...........................................................................50
1. Kerangka Teori................................................................................50
2. Kerangka Konsep............................................................................52
I. Hipotesis ..............................................................................................53
J. Definisi Operasional .............................................................................53
BAB III............................................................................................................57
METODE PENELITIAN..................................................................................57
A. Rancangan Penelitian ..........................................................................57
B. Lokasi Penelitian..................................................................................59
C. Penentuan Jumlah Sampel ...................................................................58
D. Cara pengambilan sampel ....................................................................60
E. Pelaksanaan Penelitian.......................................................................63
F. Jenis Data ............................................................................................71
G. Analisis Data........................................................................................71
H. Etika Penelitian ....................................................................................72
I. Kontrol Kualitas ....................................................................................73
BAB IV………………………………………………………………………………74
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………… ..74
A. Hasil …………………………………………………………………………….74
B. Pembahasan………………………………………………………………...….91
BAB V…………………………………………………………………………………… ..101
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………………….101
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………….101
B. Saran……………………………………………………………………………………101
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat Indonesia dan perlu mendapatkan perhatian besar dari
pemerintah mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya dapat secara
langsung mempengaruhi strategi pembangunan yaitu kualitas sumber daya
manusia. Dampak GAKI pada dasarnya melibatkan gangguan tumbuh
kembang manusia sejak awalnya, baik perkembangan fisik maupun mental.
(Djokomoeljanto dalam Nina, 2012)
Berat ringannya endemisitas suatu daerah selain dinilai berdasar dari
adanya pembesaran kelenjar tiroid (TGR), dapat juga dengan menilai median
kadar iodium dalam urin atau Ekskresi Iodium Urin (EIU). EIU menggambarkan
asupan iodium, sebab 90% iodium yang masuk tubuh diekskresi melalui urin.
Sasaran dan indikator pencapaian program penanggulangan GAKI pada 2010
secara nasional, provinsi dan kabupaten/kota adalah persentase rumah
tangga yang mengonsumsi garam mengandung cukup iodium adalah lebih 90
persen dan nilai median EIU 100-299 µg/L. (Djoko, 2010)
Hasil survei pemetaan GAKI di Propinsi Sulawesi Tenggara akhir tahun
2003, prevalensi TGR (Total Goitre Rate) pada anak usia sekolah sebesar 10,6
% yang tersebar di 5 kabupaten/kota dan 72 kecamatan dari 6 kabupaten/kota
dari 110 kecamatan yang ada. Dari kelima kabupaten/kota daerah penyebaran
GAKI, terdapat tiga kabupaten yang merupakan daerah endemik berat yaitu
Kabupaten Konawe, Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna, dua daerah
endemik sedang yaitu Kabupaten Kolaka dan Kota Bau-Bau. Prevalensi GAKI
tertinggi terdapat di Kabupaten Konawe yaitu sebesar 34,5% yang tersebar di
24 kecamatan, dengan 20 kecamatan tergolong daerah endemik berat. Dari 20
kecamatan endemik berat tersebut kecamatan dengan prevalensi tertinggi
adalah Kecamatan Pondidaha dengan prevalensi GAKI sebesar 37,2 %
( Dinkes Prop. Sultra, Dalam Sutomo, 2007 )
Target WHO untuk universal salt iodization (USI) atau garam
beriodium untuk semua, yaitu minimal 90 persen RT mengonsumsi garam
dengan kandungan iodium cukup, masih belum tercapai. Riskesdas 2007,
Rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium cukup pada Provinsi
Sulawesi Tenggara sebesar 43,5 %, Kabupaten Konawe konsumsi garam
beryodium < 30 ppm sebesar 84,6 % dan nilai median EIU < 100 µg/L anak
umur 6 – 12 tahun, sebesar 17,2 %. Pada tahun 2013, Provinsi Sulawesi
Tenggara termasuk propinsi yang belum mencapai target cakupan garam
beryodium cukup, konsumsi yodium cukup hanya sebesar 77,9 %. Persentase
risiko kekurangan dan kelebihan tahun 2013 pada umur 6 – 12 tahun
cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun 2007. (Riskesdas, 2013).
Penggunaan garam beryodium khususnya Kecamatan Pondidaha masih
banyak kendala, masih adanya pedagang yang menjual garam curah, garam
diperoleh dalam wadah karung kemudian dikemas dalam plastik yang berlabel
garam beryodium dan didistribusikan kepasar informasi ini diperoleh dari
petugas gizi puskesmas Kecamatan Pondidaha. Penelitian yang dilakukan oleh
Rosnah dkk, pada SD N 1 Mandonga Kecamatan Puwatu Kabupaten Kendari,
prevalensi garam yang kurang mengandung yodium (< 30 ppm) sebesar 68,18
% dan nilai EIU pada anak sekolah < 100 µg/L sebesar 27,27 % dan nilai
median EIU adalah 132,50 µg/L. (Rosnah dkk, 2012).
Ditemukannya Kasus di Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe Ibu
hamil dan ibu Balita menderita gangguan akibat kekurangan yodium, dimana
terjadi pembesaran kelenjar tiroid atau gondok. Adanya ibu yang menderita
gondok dikecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe akan berdampak kepada
anak. Anak dengan IQ kurang dari 85 yang dilahirkan dari ibu hipertiroid yang
tidak diobati 4 kali lebih besar dibanding ibu hipertiroid yang diobati (Basuki B,
2012).
Garam beriodium dan kapsul iodium telah digunakan oleh pemerintah
dalam program penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan lodium.
Program pemberian kapsul iodium untuk daerah endemik GAKI telah
dihentikan sejak tahun 2009. Penggunaan garam beryodium dianggap tidak
efektif karena iodium garam hilang pada saat pengolahan sampai 60 %
(Goindii et all). Penanggulangan GAKY saat ini dilakukan dengan cara
fortifikasi yodium atau garam beryodium kedalam makanan. Salah satu
program fortifikasi garam beryodium kedalam makanan adalah Fortifikasi Roti.
Penelitian Vicky F.Clinton, et all pemberian roti fortifikasi garam beryodium
pada ibu hamil memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan kadar
yodium urin. Penelitian lain yang dilakukan pada sampel anak sekolah dan
wanita usia subur, setelah pemberian roti fortifikasi efeknya dapat
meningkatkan kadar iodium dilihat dari ekskresi iodium urin. (Nurul Husna
Shukri, 2014 ).
Fortifikasi garam beryodium dapat juga dilakukan pada telur, dengan
cara diolah menjadi telur beryodium, dengan menggunakan abu gosok
masyarakat mengenal dengan sebutan telur asin. Namun selama ini
pembuatan telur asin tidak menggunakan garam beryodium. Sehingga telur
asin yang dihasilkan tidak banyak mengandung yodium. Di Kecamatan
Pondidaha khususnya daerah transmigrasi banyak menghasilkan telur bebek,
karena petani selain menggunakan lahan untuk bersawah juga digunakan
sebagai areal peternakan bebek. Nilai gizi telur cukup tinggi terutama
kandungan DHA dan protein sehingga telur dianjurkan untuk diberikan kepada
Ibu hamil, ibu menyusui, bayi, Balita dan anak sekolah sebagai makanan
fortifikasi (Niva Shafira, 2009)
Oleh karena itu telur yang diolah menjadi telur beryodium sangat cocok
digunakan sebagai alternatif sumber iodium. Penelitian pembuatan telur asin
pada telur yang diasinkan dengan menggunakan garam beryodium dengan
abu gosok selama 20 hari kandungan yodium pada telur sebesar 2,2 ppm atau
setara dengan 132 µg per butir telur. (Yunita, 2012). Selain telur bebek mudah
diperoleh selalu tersedia dan harganya murah dalam pengolahan telur bebek
menjadi telur beriodium juga sangat mudah.
Penanggulangan GAKY dengan menggunakan telur beryodium
dilakukan di Thailand. Pada Penelitian Wiyada Charoensiriwatana et al,
menunjukan bahwa pemberian telur beryodium meningkatkan nilai UIE setelah
diberikan selama 5 hari berturut-turut pada wanita dewasa dimana setiap telur
mengandung 93,57 µg per telur untuk berat 55-60 g telur dan 97,76 µg untuk
berat 60-65 g telur.
Dari uraian besarnya masalah yang terjadi di kecamatan Pondidaha
dimana cakupan penggunaan garam beryodium belum tercapai dan melihat
ketersediaan pangan seperti telur bebek maka penanggulangan GAKY
dilakukan dengan cara fortifikasi garam beryodium kedalam telur atau telur
beryodium. Maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada pengaruh
pemberian telur beriodium terhadap kadar ekskresi iodium urin penderita
defisiensi yodium pada anak sekolah dasar di Kecamatan Pondidaha
Kabupaten Konawe.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Apakah ada pengaruh pemberian telur beriodium terhadap ekskresi
iodium urin (EIU) penderita defisiensi iodium pada anak SD Kecamatan
pondidaha Kabupaten Konawe?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Menganalisis pengaruh pemberian telur beriodium terhadap ekskresi
iodium urin (EIU) penderita defisiensi iodium pada anak SD Kecamatan
Pondidaha Kabupaten Konawe
2. Tujuan khusus
1. Mengukur kadar yodium telur setelah diberi garam beryodium (garam
lososa) dengan menggunakan media abu gosok dengan lama
pemeraman 3 hari, 5 hari, 7 hari dan 10 hari.
2. Menilai besarnya perbedaan perubahan ekskresi iodium urin sebelum
dan setelah pemberian telur beriodium pada anak sekolah penderita
defisiensi iodium.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman melaksanakan penelitian serta
menerapkan ilmu yang telah dipelajari selama perkuliahan
2. Bagi Institusi pelayanan kesehatan
Memberi masukan dan informasi sebagai bahan pertimbangan dalam
meningkatkan upaya penanggulangan defisiensi iodium
3. Bagi institusi pendidikan
Memberikan sumbangan informasi demi perkembangan ilmu
pengetahuan dalam hubungannya dengan upaya penanggulangan
masalah defisiensi iodium
4. Bagi masyarakat
Memberikan informasi pada masyarakat, khususnya yang berisiko tinggi
terkena defisiensi iodium
5. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan motivasi
bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut
mengenai defisiensi iodium
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan umum garam beryodium
1. Pengertian Garam
Garam adalah tambahan makanan yang dipergunakan oleh masyarakat
sebagai penyedap makanan. Garam adalah salah satu komoditas strategis,
selain sebagai kebutuhan konsumsi juga merupakan bahan baku industri kimia
seperti soda api, soda abu sodium sulfat dan lain-lain. Tanpa garam, manusia
tidak mungkin hidup, karena garam bertindak sebagai pengatur aliran makanan
dalam tubuh, kontraksi hati dan jaringan-jaringan dalam tubuh.
Garam atau lebih dikenal dengan nama garam meja, termasuk dalam
kelas mineral halida atau dikenal dengan nama halite, dengan komposisi kimia
sebagai Natrium Klorida (NaCl) terdiri atas 39,3% Natrium (Na) dan 60,7%
Klorin (Cl).
Beberapa sifat garam atau Natrium Klorida yaitu bisa berbentuk kristal
atau bubuk putih dengan sistem isomerik berbentuk kubus, bobot molekul
58,45 g/mol, larut dalam air (35,6 g/100 g pada 0°C dan 39,2 g/100 g pada
100°C). Dapat larut dalam alkohol, tetapi tidak larut dalam asam Klorida pekat,
mencair pada suhu 801°C, dan menguap pada suhu diatas titik didihnya
(1413°C). Hardness 2,5 skala MHO, bobot jenis 2,165 g/cm3, tidak berbau,
tidak mudah terbakar dan toksisitas rendah, serta mempunyai sifat higroskopik
sehingga mampu menyerap air dari atmosfir pada kelembaban 75%.
Garam alami selalu mengandung senyawa Magnesium Klorida,
Magnesium Sulfat, Magnesium Bromida, dan senyawa runut lainnya, sehingga
warna garam selain merupakan kristal transparan juga bisa berwarna kuning,
merah, biru atau ungu. (BRKP,dalam Nofiyenti, 2011).
Garam yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya terbagi
menjadi dua jenis, yaitu: (1) Garam Dapur adalah garam yang diolah langsung
dari sumbernya yaitu air laut yang diuapkan kemudian dikeringkan tanpa
menggunakan bahan-bahan tambahan. Dan (2) Garam meja adalah garam
konsumsi yang diolah sedemikian rupa, baik menggunakan ataupun tanpa
menggunakan bahan-bahan anti gumpalan atau bahan-bahan campuran
lainnya sehingga garam olahan tersebut menjadi halus dan putih bersih.
(Winarno dalam Manalu, 2007).
2. Kalium Iodat
Kalium Iodat memiliki rumus molekul KIO3 dan bobot molekul 214,02 g
mol-1 serta mempunyai komposisi I= 59,3%, K= 18,27%, O= 22,43%, berupa
serbuk hablur putih atau kristal yang tidak berbau, tidak leleh 560ºC dan bobot
jenis 3,89 g/ml (Cahyadi, 2006).
Yodium dalam garam dihitung dengan kadar Kalium Iodat (KIO3),
dimana yodium merupakan kandungan terpenting dalam kelenjar tiroid.
Kandungan yodium yang dikonsumsi tidak seluruhnya diserap atau disintesa
oleh hormon tiroid melainkan hanya sekitar 33%, sedangkan 67% dikeluarkan
melalui urine dan feses. (Santoso dalam Manalu, 2007).
Berdasarkan kestabilannya kandungan Kalium Iodat (KIO3) pada saat
ini merupakan senyawa yodium yang banyak digunakan dalam proses iodisasi
garam. Kalium Iodat (KIO3) merupakan garam yang sukar larut dalam air,
sehingga dalam membuat larutannya diperlukan larutan yang baik. Untuk
iodisasi diperlukan larutan Kalium Iodat (KIO3) 4% yang dibuat dengan jalan
melarutkan 40 gram Kalium Iodat dalam tiap 1 liter air (1 Kg KIO3/25 liter air)
.(Depkes RI dalam Manalu, 2007).
Persyaratan umum kalium iodat yang digunakan yakni:
1. Kadar (KIO3) : Min 99 %
2. Kehalusan : 100 Mesh
3. Logam berbahaya (Pb, Hg, Zn, Cu, As) : Nihil
4. Grade : Food Grade
3. Garam Beryodium
Garam beryodium adalah suatu produk yang ditawarkan kepada
konsumen atau setiap keluarga untuk mencegah kekurangan yodium sebagai
upaya jangka panjang. Kualitas garam beryodium mengacu kepada Standar
Nasional Indonesia (SNI) No. 01-3556-2000 seperti tertera pada Tabel 1
Tabel 1 : Syarat Mutu Garam Konsumsi Beryodium
No Parameter Satuan Persyaratan Kualitas1 Kadar air % b/b Maks 72 Kadar NaCl(natrium klorida) di
hitung dari jumlah klorida% adbk Min 94,7
3 Iodium dihitung sebagai kaliumiodat (KIO3)
Mg/kg Min 30
4 Cemaran logamTimbal (Pb)Tembaga (Cu)Raksa (Hg)
Mg/kgMg/kgMg/kg
Maks 10Maks 10Maks 0.1
5 Arsen (As) Mg/kg Maks 0,1Keterangan : b/b = bobot/bobot
Adbk = atas dasar berat kering
Hasil pemantauan Biro Pusat Statistik (BPS) terhadap garam konsumsi
beryodium ditingkat rumah tangga sejak tahun 1997 sampai dengan 1999
dibagi dalam 3 kelompok yaitu (1) garam yang memenuhi syarat (kadar KIO3 >
30-80 ppm), (2) garam yang tidak memenuhi syarat (kadar KIO3 < 30 ppm), (3)
garam yang tidak mengandung yodium (KIO3 0 ppm) (BRKP dalam Nofiyenti,
2011).
4. Garam Lososa (Low Sodium Salt)
Garam LoSoSa (Low sodium salt) adalah garam alami dengan
kandungan Sodium rendah (60% NaCl) dibanding dengan garam dapur biasa.
LoSoSa juga diperkaya dengan 40 ppm Iodium lebih tinggi dari ketentuan
minimal 30 ppm. LoSoSa berfungsi membantu menjaga keseimbangan rasio
Natrium Kalium di dalam tubuh.
Komposisi garam Lososa (250 gram):
Natrium : 605 mg
Kalium : 471 mg
Iodium : 40 - 80 ppm
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh S. Andhi Jusup, penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas garam lososa dalam menghambat
peningkatan tekanan darah dan peroksidasi terhadap lipid, terutama pada
dosis yang tinggi . Tiga puluh dua ekor Sprague Dawly Rat umur 4 bulan,
dibagi 4 kelompok secara random. Hari pertama dilakukan pemeriksaan
tekanan darah, dan kadar MDA plasma. Selama 3 minggu kelompok A sebagai
group kontrol, diberi diberi larutan tinggi sodium / TS (8% NaCl), kelompok B
larutan lososa 8%, kelompok C larutan Lososa 12%, dan kelompok D larutan
Lososa 16%. Larutan diberikan dengan cara cekok 2 ml/ekor/hari. Pada hari
ke-21 semua anggota sampel diperiksa lagi tekanan darah, dan kadar MDA
plasma. Data diolah secara statistik untuk mengetahui efektifitas garam ini
dalam menghambat peningkatan tekanan darah dan peroksida lipid.
Peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi tejadi pada kelompok
kontrol/TS (103,63). (S. Andhi Jusup, 2008).
5. Penetapan Kadar KIO3 dalam Garam
Penentuan kadar kalium iodat yaitu menggunakan Analisis Kuantitatif
dengan dua metode, yakni:
a. Metode Volumetri
Metode volumetri menggunakan titrasi iodometri, Metode volumetri
masih digunakan secara luas karena merupakan metode yang tahan, murah
dan mampu memberikan ketepatan yang tinggi. Dalam analisis volumetri atau
analisis kuantitatif dengan mengukur volume, sejumlah zat yang diselidiki
direaksikan dengan larutan baku (standar) yang kadar (konsentrasi) nya telah
diketahui secara teliti dan reaksinya berlangsung secara kuantitatif.(Rohman
dalam Noviyenti, 2011).
Daftar baku primer yang umum digunakan untuk membakukan larutan
baku dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 : Daftar baku primerNo Bahan Baku Kegunaan1 Kalium Biftalat Pembakuan Natrium Hidroksida
Pembakuan larutan asam perklorat2 Kalium Iodat Pembakuan larutan Natrium Tiosulfat
melalui pembentukan yodium3 Natrium Karbonat
AnhidratPembakuan Asam Klorida
4 Logam Zn Pembakuan Larutan EDTA(Rohman dalam Nofiyenti,2011)
Larutan baku yang diteteskan disebut sebagi titran. Semua perhitungan
dalam volumetri didasarkan pada konsentrasi titran yang harus dibuat secara
teliti, titran semacam ini disebut larutan baku (standar). Suatu larutan standar
dapat dibuat dengan cara melarutkan sejumlah senyawa baku tertentu yang
sebelumnya senyawa tersebut ditimbang secara tepat dalam volume larutan
yang diukur dengan tepat. Larutan standar ada dua macam yaitu, larutan baku
primer, mempunyai kemurnian yang tinggi, dan larutan baku skunder yang
harus dibakukan dengan larutan baku primer. Suatu proses dimana larutan
baku skunder dibakukan dengan larutan baku primer disebut dengan
standarisasi (Vogel dalam Noviyenti, 2011).
Larutan standar biasanya ditambahkan dari dalam sebuah buret. Proses
penambahan larutan standar sampai reaksi tepat lengkap, disebut titrasi, dan
zat yang akan ditetapkan, dititrasi. Titik (saat) pada mana reaksi itu lengkap
disebut titik ekivalen (setara) atau titik akhir teoritis. Lengkapnya titrasi, harus
terdeteksi oleh suatu perubahan, yang tidak dapat disalah lihat oleh mata, yang
dihasilkan oleh larutan standar itu sendiri, atau lebih lazim lagi oleh
penambahan suatu regensia pembantu yang dikenal sebagai indikator. Setelah
reaksi antara zat dan larutan standar praktis lengkap, indikator harus memberi
perubahan visual yang jelas dengan cairan yang sedang dititrasi, titik pada
saat ini terjadi disebut titik akhir titrasi (Vogel dalam Nofiyenti, 2011).
Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk
menetapkan senyawa - senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang
lebih besar dari pada sistem yodium iodida atau senyawa-senyawa yang
bersifat oksidator. Pada iodometri sampel yang bersifat oksidator direduksi
dengan kalium iodida berlebihan dan akan menghasilkan yodium yang
selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat yang dilakukan
dalam suasana asam.
Banyaknya volum natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara
dengan yodium yang dihasilkan dan setara dengan banyaknya sampel
(Rohman dalam Nofiyenti, 2011).
Suatu larutan dari yodium dalam larutan air iodida, memberikan warna
kuning sampai coklat tua atau satu tetes larutan iod 0,1 N menimbulkan warna
kuning pucat yang terlihat pada 100 ml air, sehingga dalam larutan-larutan
yang tanpa yodium akan tak berwarna, yodium dapat berfungsi sebagai
indikatornya sendiri. Uji ini dibuat jauh lebih peka dengan menggunakan
larutan kanji (larutan dari pati) sebagai indikator. Kanji bereaksi dengan
yodium, dengan adanya iodida, membentuk suatu kompleks yang berwarna
biru kuat, yang akan terlihat pada konsentrasi - konsentrasi yodium yang
sangat rendah. Pati dapat dipisah menjadi dua komponen utama, amilosa dan
amilopektin yang terdapat dalam proporsi berbeda - beda dalam berbagai
tumbuh-tumbuhan. Amilosa, suatu senyawa berantai lurus dan terdapat
berlimpah dalam pati kentang, memberi warna biru dengan iod dan rantainya
mengambil bentuk spiral. Amilopektin, yang mempunyai struktur rantai
bercabang membentuk suatu produk berwarna ungu merah mungkin dengan
adsorbsi (Vogel dalam Nofiyenti, 2011).
b. Metode Spektrofotometri UV-VIS
Spektrofotometri adalah ilmu yang mempelajari tentang penggunaan
spektrofotometer. Spektriofotometer adalah alat yang terdiri dari
spektrofotometer dan fotometer. Spektofotometer adalah alat yang digunakan
untuk mengukur energi secara relative jika energi tersebut ditransmisikan,
direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang.
Spektrofotometer 18 menghasilkan sinar dari spectrum dengan panjang
gelombang tertentu, dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya
yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi.
Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik
yang memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-
380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen
spektrofotometer. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang
cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis
lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif.
Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu
promosi electron-electron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke
orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Energi yang terserap
kemudian terbuang sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia.
Absorbsi cahaya tampak dan radiasi ultraviolet meningkatkan energi elektronik
sebuah molekul, artinya energi yang disumbangkan oleh foton-foton
memungkinkan electron-electron itu mengatasi kekangan inti dan pindah ke
luar ke orbital baru yag lebih tinggi energinya. Semua molekul dapat menyerap
radiasi dalam daerah UV-tampak karena mereka mengandung electron, baik
sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih
tinggi.
Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk
mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan
atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan
spektrofometer dibandingkan dan fotometer adalah panjang gelombang dari
sinar putih dapat lebih terseleksi dan ini diperoleh dengan alat pengurai seperti
prisma, grating ataupun celah optis
Cara kerja spektofotometer secara singkat yaitu tempatkan larutan
pembanding, misalnya blangko dalam sel pertama sedangkan larutan yang
akan dianalisis pada sel kedua. Kemudian pilih fotosel yang cocok 200 nm-650
nm (650 nm-1100 nm) agar daerah λ yang diperlukan dapat terliputi. Dengan
ruang fotosel dalam keadaan tertutup “nol” galvanometer didapat dengan
memutar tombol sensitivitas. Dengan menggunakan tombol transmitansi,
kemudian atur besarnya pada 100 %. Lewatkan berkas cahaya pada larutan
sampel yang akan dianalisis. Skala absorbansi menunjukkan absorbansi
larutan sampel.
B. Tinjauan Umum Telur
1. Morfologi Telur
Telur merupakan bahan pangan hasil ternak unggas yang memiliki
sumber protein hewani yang memiliki rasa yang lezat, mudah dicerna dan
begizi tinggi. Selain itu telur mudah diperoleh dan harganya relatif murah.
Gambar 1 :Bagian – bagian telur
Fungsi dari bagian-bagian telur tersebut yaitu:
a. Cangkang Telur berfungi sebagai pelindung utama telur. Bagian ini
memiliki pori-pori untuk keluar masuknya udara.
b. Membran cangkang merupakan selaput tipis di dalam cangkang telur.
Pada salah satu ujung telur, selaput ini tidak menempel pada cangkang
sehingga membentuk rongga udara.
c. Rongga udara berfungsi sumber oksigen bagi embrio.
d. Keping germinal (zigot/sel embrio) merupakan calon individu baru.
e. Kuning telur (yolk) adalah cadangan makanan bagi embrio.
f. Putih telur (albumin) berfungsi sebagai pelindung embrio dari goncangan
dan sebagai cadangan makanan dan air.
g. Kalaza (tali kuning telur) berfungsi untuk menahan kuning telur agar tetap
pada tempatnya dan menjaga embrio agar tetap berada di bagian atas
kuning telur.
2. Telur Asin
Telur yang diasinkan akan lebih awet dalam penyimpanan di samping
mempunyai cita rasa yang lebih baik. Telur yang diasinkan dengan garam
beriodium mengalami peningkatan kandungan gizi, sehingga dapat sebagai
bahan makanan sumber iodium. Disamping itu juga memiliki kandungan
protein dan lemak cukup tinggi. Kadar protein dan lemak pada telur itik masing-
masing 13,6 % dan 13,3 %.
Telur bebek biasa digunakan dalam pembuatan telur asin karena
mempunyai pori-pori kulit yang lebih besar dibandingkan dengan telur unggas
lainnya, sehingga kemampuannya dalam menyerap air sangat mudah dan
sangat baik jika diolah menjadi telur asin. Penambahan garam beryodium
yang dicampurkan ke dalam adonan telur asin kemungkinan besar dapat
dilakukan karena diketahui telur bebek memiliki pori-pori yang besar.
Komposisi telur ayam dan itik dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Zat Gizi Beberapa Telur Dalam 100 Gram
Untuk menjaga kesegaran dan mutu isi telur, diperlukan teknik penanganan
yang tepat, agar nilai gizi telur tetap baik serta tidak berubah rasa, bau, warna,
dan isinya. Telur asin adalah telur utuh yang diolah dengan adonan yang
dibubuhi garam. Ada 3 cara pembuatan telur asin yaitu:
1. Telur asin dengan adonan garam berbentuk padat atau kering
2. Telur asin dengan adonan garam ditambah ekstrak daun teh
3. Telur asin dengan adonan garam, dan kemudian direndam dalam ekstrak
atau cairan teh.
Cara pembuatan telur asin di masyarakat biasanya dilakukan dengan cara
membungkus atau menyimpan telur dalam media yang berupa campuran dari
garam dicampur dengan serbuk batu bata, abu gosok, kapur atau tanah liat,
atau dengan larutan garam jenuh. Pemeraman biasanya dilakukan selama 7
sampai dengan 20 hari. Beragamnya jenis media yang digunakan dalam
penetrasi iodium ke dalam telur. Maka kandungan yodium dalam telur asin pun
berbeda-beda. Pada penelitian pembuatan telur asin, media yang digunakan
adalah abu gosok, batu bata dan air dari ketiga media tersebut abu gosok
adalah media yang lebih baik digunakan dalam penetrasi iodium ke dalam
telur. (Yunita, 2012)
Diagram pembuatan telur asin dapat dilihat pada gambar 2
Gambar 2Pembuatan telur asin
Pada pembuatan telur asin memiliki beberapa manfaat diantaranya adalah :
1. Telur yang diasinkan bersifat stabil, dapat disimpan tanpa mengalami proses
perusakan.
2. Dengan pengasinan rasa amis telur akan berkurang tidak berbau busuk,
dan rasanya enak. (Modul pengolahan Pangan)
Hasil penelitian yang dilakukan Heru Yunita menunjukkan bahwa kadar
iodium dalam telur meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu
penggaraman. Sebelum penggaraman kadar iodium pada telur mentah adalah
0,03 ppm. Pada penggaraman yang dibungkus dengan abu gosok garam
iodium pada hari kelima iodium telah meningkat mejdi 1,36 ppm, setelah hari
ke sepuluh menjadi 1,53 ppm dan pada hari ke 20 kadar iodium menjadi 2,20
ppm.
Gambar 3.Kadar Iodium dalam telur asin pada hari ke 0 - 20
3. Daya Terima Telur Asin
Daya terima atau preferensi makanan dapat didefinisikan sebagai
tingkat kesukaan atau ketidaksukaan individu terhadap suatu jenis makanan.
Penerimaan dapat diukur dari tingkat kesukaan pada jenis makanan tertentu.
Uji daya terima menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas
suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Tujuan uji penerimaan
adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik tertentu
dapat diterima oleh masyarakat.
Salah satu metode pengujian yang digunakan untuk mengetahui
penerimaan konsumen adalah uji organoleptik. Pengujian organoleptik
dilakukan dengan uji mutu kesukaan atau uji hedonik. Uji organoleptik ini
meliputi uji kesukaan terhadap aroma, rasa, tekstur, dan warna.
Pada penelitian Wahyudi bahwa konsentrasi garam dan lama
penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya terima produk
telur asin rebus. Hasil analisis statistik diperoleh kesembilan tipe formula telur
asin dengan tingkat konsentrasi garam dan lama penyimpanan yang berbeda
berpengaruh secara signifikan terhadap kesukaan panelis (p = 0,000). Hal ini
berarti bahwa tingkat penerimaan panelis berbeda terhadap kesembilan
formula telur itik asin rebus tersebut. Daya terima penelis terhadap telur asin
dapat dilihat melalui gambar 4 .
Gambar 4. Rerata Skor uji mutu Kesukaan Tipe Formula Telur ItikAsin Rebus
Sumber : Wahyudi, 2014
Formula A : Konsentrasi garam 100 gram, penyimpanan 3 hari
Formula B : Konsentrasi garam 150 gram, penyimpanan 3 hari
Formula C : Konsentrasi garam 200 gram, penyimpanan 3 hari
Formula D : Konsentrasi garam 100 gram, penyimpanan 5 hari
Formula E : Konsentrasi garam 150 gram, penyimpanan 5 hari
Formula F : Konsentrasi garam 200 gram, penyimpanan 5 hari
Formula G : Konsentrasi garam 100 gram, penyimpanan 7 hari
Formula H : Konsentrasi garam 150 gram, penyimpanan 7 hari
Formula I : Konsentrasi garam 200 gram, penyimpanan 7 hari
C. Yodium
1. Definisi iodium dan fungsinya
Iodium adalah suatu elemen non metal, diperlukan manusia untuk
sintesis hormon tiroid, sebagai unsur paling penting dalam proses tumbuh
kembang manusia. Unsur ini merupakan bagian integral dari kedua macam
hormon tiroksin triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4).
Gambar 5Struktur hormone tiroid
Fungsi utama hormon ini adalah mengatur pertumbuhan dan
perkembangan tubuh. Tiroksin dapat merangsang metabolisme sampai 30%.
Di samping itu kedua hormone ini mengatur suhu tubuh, reproduksi,
pembentukan sel darah merah serta fungsi otot dan saraf.
2. Ekologi dan demografi iodium
Iodium berada dalam suatu siklus alam, pada umumnya di atas bumi
ditemukan di lautan, dan di dalam tanah yang subur. Rendahnya kandungan
iodium dalam tanah secara geografis disebabkan oleh adanya erosi yang
menyebabkan iodium terkikis, tanah sarang (tanah lahar, kapur) yang tidak
dapat menyimpan air, sehingga air bersama iodium yang larut di dalamnya
akan meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam. Selain dalam air, iodium
didapatkan lewat hewan. Tumbuhan memperoleh iodium dari lahan di mana
tanaman tersebut tumbuh, makin tinggi kadar iodium lahan, makin tinggi pula
kadar iodium tanaman yang hidup di lahan tersebut begitu juga
sebaliknya.(Prameswari, dalam D. Nina, 2012)
3. Sumber iodium
Kadar iodium dalam bahan makanan sangat bervariasi dan dipengaruhi letak
geografis, musim, dan cara memasaknya. Bahan makanan laut mengandung
iodium yang lebih banyak. Kadar iodium dalam makanan misalnya cumi-cumi
(basah) 798 μg/kg, cumi-cumi (kering) 3.866 μg/kg,sayur 29 μg/kg, cereal 47
μg/kg, daging (basah) 50 μg/kg, ikan tawar (basah) 30 μg/kg, ikan tawar
(kering) 116 μg/kg, ikan laut (basah) 812 μg/kg, dan ikan laut (kering) 3.715
μg/kg. (Firdanisa, dalam D. Nina 2012)
4. Kebutuhan iodium
Iodium ada dalam tubuh dalam jumlah sangat sedikit, yaitu kurang lebih
0,00004% dari berat badan atau 15 - 23mg. Sekitar 75% dari iodium ada di
dalam kelenjar tiroid, sisanya ada di dalam jaringan lain terutama kelenjar
ludah, payudara, lambung serta di dalam ginjal. Angka kebutuhan iodium untuk
anak usia sekolah menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2013
berikut pada tabel.4
Tabel 4 . Angka Kecukupan Iodium Yang Dianjurkan(Perorang Perhari)
Sumber : Widya Pangan dan Gizi, 2013
D Metabolisme yodium
1. Kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid memiliki dua lobus yang dihubungkan oleh ismus yang
tipis dibawah kartilago krikoidea di leher yang menutupi cincin trakea 2 dan 3.
Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga
pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerekan terangkatnya
Kelompok umur Yodium (µg)Laki – laki
4 – 6 Tahun7 – 9 Tahun
10 – 12 Tahun
120120120
Perempuan4 – 6 Tahun7 – 9 Tahun
10 – 12 Tahun
120120120
kelenjar kearah kranial, yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid. Lobus tiroid
berukuran 2,5 - 4 cm, lebar 1,5 - 2 cm dan tebal 1 - 1,5 cm.
Gambar 6.Kelenjar tiroid
Pada pemeriksaan mikroskopis, kelenjar tiroid terdiri dari rangkaian
folikel dengan ukuran yang bervariasi. Sel – sel folikel ini menjadi kolumner jika
dirangsang oleh TSH dan gepeng saat istirahat. Sel – sel folikel mensintesis
triglobulin yang dikeluarkan kedalam lumen folikel. Biosintesis T4 dan T3
berlangsung didalam triglobulin pada interaksi sel koloid. Banyak mikrovili
menonjol dari permukaan folikel dalam lumen, mikrovili ini berperan dalam
endositosis dari triglobulin yang kemudian dihidrolisis dalam sel untuk
melepaskan hormone tiroid. Gambar 7. (The medicine journal, 2000,
Greenspan F S MD, Baxter J D MD, 1994, Illingworth J, Dr)
Gambar 7Sintesis hormone tiroid dan thyroglobulin
2. Hormon Tiroid
Secara histologi, tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari
folikel-folikel kecil yang dipisahkan oleh suatu jaringan ikat. Folikel-folikel tiroid
dibatasi sel kuboid yang berisi koloid. Sel-sel folikel merupakan tempat sintesis
hormon tiroid dan mengaktifkan pelepasannya ke dalam sirkulasi. Zat koloid
tiroglobulin, merupakan tempat hormon tiroid disintesis dan pada akhirnya
disimpan. Dua hormon utama yang diproduksi oleh folikel-folikel adalah tiroksin
(T4) dan triyodotironin (T3).
Dalam sel kelenjar tiroid, hormon T3 dan T4 dilepas dari kelenjar tiroid
melalui proses proteolisis. Sekresi T3 dan T4 dari kelenjar tiroid berasal dari
pengaruh Tyroid Stimulating Hormone (TSH) dan sekresinya di stimulasi oleh
Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus yang akan medapat
umpan balik dari hormon tiroid.
Gambar 8Pengaturan sekresi hormon tiroid (pengaturan umpan balik)
3. Metabolisme yodium dalam tubuh
Tubuh orang dewasa mengandung iodium 15 – 20 mg, dan sebagian besar (70
– 80 %) terdapat dalam kelenjar tiroid, asupan yang normal dari iodium adalah 100 -
150 µg/ hari. Kelenjar tiroid harus menyerap 60 µg/ hari untuk menghasilkan
kecukupan hormone tiroid. Proses metabolism iodium dalam tubuh dapat
digambarkan sebagai berikut
Gambar 9Metabolisme iodium,( Linder 1991)
Iodium dari bahan makanan yang dikonsumsi masuk ke dalam saluran
pencernaan dikonversi manjadi iodide ( I - )I yang mudah diserap, selanjutnya
iodium diangkut kedalam plasma darah bergabung dengan pool iodida
intraseluler dan ekstraseluler. Iodium yang ada dalam pembuluh darah masuk
ke kelenjar tiroid melalui pengangkutan yang difasilitasi oleh Na – I (NIS)
“Natrium iodides symporter”, dan setelah melalui difusi secara pasif masuk
kekoloid dalam folikel tiroid dan selanjutnya mengalami proses oksidasi dan
berikatan dengan protein thyroglobulin, dalam kelenjar tiroid iodium bergabung
dengan molekul throglubulin untuk membentuk monoiodotirosin (MIT) dan
diiodotirosin (DIT) selanjutnya terbentuk tetraiodotirosin atau tiroksin (T4) dan
triiodotiroksin (T3) tryglobulin ini akan diserap kembali oleh sel tiroid dan
dipecah menjadi hormon T4 dan dilepas ke dalam peredaran darah secara
proteolisis. Seksresi hormon tiroksin diatur oleh hormon TSH (thyroid
stimulating hormon) yang dikeluarkan oleh kelenjar hypophyse melalui
mekanisme umpan balik (feed beck mechanism), yaitu apabila sekresi hormon
T4 menurun, maka TSH disekresi meningkat untuk merangsang peningkatan
sekresi T4 demikian sebaliknya.
Akibat kurangnya asupan iodium akan menyebabkan menurunnya
produksi kadar T3 dan T4, sehingga untuk merangsang produksi T3 dan T4
agar dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, maka TSH disekresi
meningkat untuk merangsang sintesis tiroglobulin memproduksi T3 dan T4
yang secara langsung dan tidak langsung menyebabkan hipertrofi atau
hiperplasia folikel tiroid sebagai tanda klinis gondok. Pada keadaan deficiensi
iodium akan terjadi proliperasi thyrocyte dan mutasi genetik selanjutnya
memunculkan nodul hiperfungsi yang bersifat autonom selanjutnya terjadi
hipertiroid (gondok).
Kadar iodium anorganik pada cairan ekstraseluler bervariasi tergantung
intake karena segera dibawa ke kelenjar tiroid dan diekskresikan lewat urin.
Sebagai contoh konsentrasi iodida dalam cairan ekstraseluler 0,6μg/dl atau
jumlah totalnya 150μg/25L. pada kelenjar tiroid terjadi transport aktif iodida,
sebanyak 115μg diambil kelenjar tiroid selama 24 jam, kira-kira 75μg
digunakan untuk sintesa hormon tiroid dan disimpan dalam tiroglobulin. Pada
pool penyimpanan sekitar 75μg iodida sebagai T3 dan T4 digunakan untuk
metabolisme jaringan. Sekitar 60μg hormonal iodida kembali ke pool dan 15μg
sisanya berkonjugasi dengan asam glukoronat atau asam sulfat pada hati dan
dikeluarkan lewat feses. (David G. Dolores dalam Nina, 2012)
E. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)
1. Definisi
Gangguan akibat kekurangan yodium adalah sekumpulan gejala yang
dapat ditimbulkan karena tubuh seseorang kekurangan unsur yodium secara
terus-menerus dalam waktu cukup lama. (DepKes RI, 2000).
Kekurangan iodium yang menyebabkan gondok telah diketahui sejak
lama. Pada awalnya gondok disama artikan dengan GAKI. Namun saat ini
sudah dibedakan sebab gondok hanya merupakan sebagian kecil dari
spektrum GAKI. Iodium deficiency disorder (IDD) atau GAKI adalah istilah yang
lebih tepat untuk menggambarkan defisiensi iodium.
2. Spektrum GAKI
Masalah GAKI mempunyai dampak negatif terhadap manusia sebab
memiliki spektrum gangguan yang luas dan mengenai semua segmen usia dari
fetus hingga dewasa sebagai akibat defisiensi iodium dalam makanan secara
terus menerus Akibat yang ditimbulkan dalam jangka waktu yang lama antara
lain menurunnya kapasitas intelektual dan fisik; serta dapat bermanifestasi
sebagai gondok, retardasi mental, defek mental secara fisik dan kretin
endemik.12 Pada dasarnya GAKI adalah fenomena gunung es. Gondok
endemik, hipotiroidisme, dan kretin endemik muncul ke permukaan secara
klinis, sedangkan banyak yang tidak terekspose khususnya kerusakan otak
minimal.(Syahbudin dalam D. Nina, 2012)
`Rangkaian gangguan spektrum kekurangan iodium sangat bervariasi
sesuai tingkat tumbuh kembang manusia.
Tabel 5. Spektrum GAKIFetus Abortus
Lahir matiPeningkatan angka kematianperinatalPeningkatan angka kematian bayiKretin neurologik: defisiensi mentalBisu-tuli; diplegi spastik; julingKretin miksedematosa: defisiensimentalCebolDefek psikomotor
Neonatus GondokHipotiroid neonatal
Bayi, anak-anak dan remaja GondokHipotiroid juvenileGangguan fungsi mentalGangguan pertumbuhan fisikPeningkatan kerentanan terhadapradiasi nuklir
Dewasa Gondok dan komplikasinyaHipotiroidGangguan fungsi mentalHipertiroid diinduksi iodiumPeningkatan kerentanan terhadapradiasi nuklir
Sumber: WHO/UNICEF/ICCIDD 2001
3. Etiologi
Penyebab utama GAKI adalah kekurangan unsur iodium. Kurangnya
konsumsi makanan sumber iodium dalam asupan sehari-hari dapat menjadi
faktor risiko GAKI. Kebanyakan daerah endemik GAKI adalah daerah yang
ketersediaan pangan sumber iodiumnya kurang. Beberapa penelitian yang
dilakukan pada anak SD menunjukkan bahwa anak yang sering
mengkonsumsi bahan makanan yang sarat akan iodium mempunyai
kemungkinan lebih kecil terkena GAKI dibandingkan dengan anak yang tidak
mengkonsumsi pangan beriodium.
Faktor lain penyebab GAKI adalah kelompok pangan goitrogenik yang
dapat menghambat metabolisme iodium dalam kelenjar tiroid.
F. Penilaian Defisiensi yodium
1. Total Goiter Rate (TGR)
Menentukan ukuran tiroid melalui palpasi memerlukan pelatihan yang
seksama dan kolaborasi inisial dengan pemeriksa yang berpengengalaman
pada pemeriksaan pertama. Sesudah dilakukan inspeksi secara visual,
kelenjar tiroid dipalpasi dengan memakai jari tangan untuk menelusuri secara
hati-hati daerah sepanjang tepi trakea (pipa suara) di antara kartilago
krikodeus (kartilago dibawah laring) dan puncak sternum (tulang dada). Kedua
sisi trakea juga harus dipalpasi. Ukuran dan konsistensi kelenjar tersebut
dicatat dengan cermat. Jika perlu, pemeriksaan palpasi dapat sedikit
dipermudah dengan menyuruh orang yang diperiksa itu untuk menelan
sehingga terjadi gerakan tiroid keatas.
Kelenjar tiroid dengan kedua lobus lateral yang masing-masing
berukuran lebih besar dari falang proksimal ibu jari tangan orang yang
diperiksa dapat dianggap sebagai suatu tanda yang menunjukan penyakit
gondok.
Ukuran kelenjar tiroid dapat dipilahkan menjadi salah satu dari beberapa
derajat berikut ini :
a. Derajat 0 : Kelenjar tiroid tidak teraba atau tidak terlihat
b. Derajat 1 : Ada masa pada bagian leher yang konsisten dengan kelenjar
tiroid yang membesar, dan massa tersebut dapat dipalpasi kendati tidak
dapat dilihat ketika leher berada dalam posisi normal serta bergerak ketika
orang yang diperiksa melakukan gerakan menelan, perubahan noduler
dapat terjadi sekalipun kelenjar tiroid tidak terlihat membesar.
c. Derajat 2 : Pembesaran pada bagian leher yang terlihat ketika leher berada
dalam posisi normal dan konsisten dengan kelenjar tiroid yang membesar
ketika leher dipalpasi.
Sistem klasifikasi yang berdasarkan pada derajat (grade) ini
mengantikan system klasifikasi yang berdasarkan stadium. Angka total
penyakit gondok dihitung berdasarkan penjumlahan derajat 1 dan 2. Jika
angka melampaui 5 % pada anak sekolah berusia 6 – 12 tahun dikatakan
bahwa populasi penduduk tersebut memiliki masalah kesehatan masyarakat.
Selama berpuluh tahun ukuran kelenjar tiroid hanya ditentukan melalui inpeksi
dan palpasi. (Michael J.Gibney et all, 2009).
Adapun kriteria epidemiologi hasil pengukuran prevalensi GAKY dengan
metode palpasi pada anak sekolah dasar masuk kategori ringan apabila
prevalensi gondok (TGR) 5, 0 % – 19,9 %, prevalensi gondok 20,0 % - 29,9 %
masuk kategori sedang, prevalensi gondok ≥ 30, 0 % masuk kategori berat
(WHO, 2001)
Metode ini cukup mudah karena pemeriksa dapat melakukan
pemeriksaan pada sejumlah besar orang dalam waktu singkat tanpa
menggunakan peralatan yang mahal. Namun demikian dengan metode ini
terdapat kekwatiran akan keakuratan diagnosis yang ditegakkan. (Michael
J.Gibney et all, 2009).
Palpasi mempunyai beberapa kelemahan yang menonjol di antaranya
antar pemeriksa dengan kemampuan dan pengalaman yang berbeda-beda
khususnya dalam gondok endemic grade 0 dan grade 1. Hal ini telah
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian para peneliti yang berpengalaman di
mana kesalahan klasifikasi bias sebesar 40%. (Gatie AL, 2006)
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi merupakan tehnik pemeriksaan yang aman, tidak
invasive dan bersifat khusus. Pemeriksaan ini adalah cara yang lebih akurat
untuk mengukur volume kelenjar tiroid jika dibandingkan dengan metode
palpasi. Peningkatan akurasi pada pemeriksaan ultrasonografi terutama
berguna untuk membedakan penyakit gondok derajat 0 dengan derajat 1 pada
situasi ketika prevalensi gondok yang terlihat cukup kecil dan pada
pemantauan program pengendalian iodium saat volume kelenjar tiroid
diharapkan akan mengecil setelah beberapa waktu.
Pemeriksaan ultrasonografi merupakan metode yang sangat akurat dan
objektif untuk menentukan ukuran kelenjar tiroid, namun memerlukan peralatan
yang mahal, pelatihan yang baik dan pemeriksaan tersebut juga memerlukan
waktu yang lebih lama. (Michael J.Gibney et all, 2009).
3. Thyroid Stimulating hormone (TSH)
TSH digunakan sebagai indicator untuk menilai GAKY atau sebagai
indicator surveilans, dalam kondisi tertentu. Bercak – bercak darah pada kertas
saring atau sampel serum dapat dipakai untuk mengukur TSH dengan
menggunakan pemeriksaan analisis yang sangat peka. Kadar TSH akan
meningkat pada keadaan deficiency iodium sebagai bagian dari system umpan
balik (feedback system) yang melibatkan hormone-hormon yang tekait dengan
kelenjar tiroid. Namun demikian peningkatan tersebut tidak begitu besar
kecuali jika terjadi deficiency yang sedang atau berat. Oleh karena itu kadar
TSH pada anak usia sekolah dan orang dewasa bukan indicator yang baik
untuk defisiensi iodium, dan pemakainanya dalam survey berbasis sekolah
tidak direkomendasikan. (Michael J.Gibney et all, 2009).
Kelenjar Pituitary mengeluarkan TSH sebagai respon konsentrasi dari
kadar T4 di sirkulasi darah. TSH meningkat ketika T4 rendah, menurun bila T4
meningkat. Defisiensi yodium ditandai dengan rendahnya kadar T4 dalam
darah dan meningkatnya TSH. Jadi penderita defisiensi yodium pada populasi
umumnya mempunyai serum TSH lebih tinggi Meskipun pemeriksaan nilai TSH
cukup akurat pada orang dewasa namun tidak dianjurkan untuk digunakan
secara rutin sebagai data survey (WHO, 2001)
TSH pada bayi adalah indikator yang baik untuk kondisi defisiensi
yodium. Kadar homon tiroid pada bayi mengandung yodium lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa ini karena pertukaran yodium yang tinggi.
Pertukaran tinggi bukanlah hal yang berlebihan pada keadaan defisiensi
yodium, sebab terjadi peningkatan stimulasi tiroid oleh TSH. Penyebab TSH
meningkat pada bayi dengan keadaan defisiensi yodium adalah fenomena
yang disebut Transient Hypertyrotopinemia.
Prevalensi bayi dengan serum TSH meningkat merupakan indikator akut
defisiensi yodium pada populasi, juga sebagai bukti bahwa defisiensi yodium
berefek langsung pada pertumbuhan otak (WHO, 2001)
4. Ekskresi iodium dalam urin (EIU)
Kecukupan iodium tubuh dinilai dari iodium yang masuk lewat makanan
dan minuman, sebab tubuh manusia tidak dapat mensintesis iodium.
Pemeriksaan EIU dalam urin sangat penting dilakukan mengingat hampir
seluruh iodium (90%) diekskresikan melalui urin, dengan demikian EIU dapat
menggambarkan intake seseorang. Indikator utama untuk melihat kemajuan
penanganan GAKI ada dua, pertama untuk melihat nilai asupan iodium dipakai
kadar iodium dalam garam, kedua untuk melihat impak adalah dengan
pemeriksaan EIU. Berdasar WHO/UNICEF/ICCIDD telah disepakati
pengambilan sampel urin menggunakan urin sewaktu sebab urin 24 jam atau
urin pagi sulit didapatkan pada studi lapangan. Pada pengukuran kadar EIU,
metode yang direkomendasikan WHO dan dipakai di seluruh dunia adalah
metode Acid digestion dengan larutan ammonium persulfate. (Rahmawati,
dalam D. Nina, 2012)
Klasifikasi tingkat kelebihan dan kekurangan iodium dalam suatu
wilayah berdasar median EIU pada Tabel 6
Tabel 6 . Klasifikasi Tingkat Kelebihan Dan Kekurangan IodiumBerdasar Median EIU
Status iodium Kadar median (Median concentration)iodium dalam urin (µg/L)
Defisiensi iodium yang berat
Defisiensi iodium yang sedang
Defisiensi iodium yang ringan
Asupan iodium yang ideal
Lebih dari asupan iodium yang
Adekuat : dapat meningkatkan risiko
hipertiroidisme karena iodium
(IIH: iodine induced hyperthyroidism)
Asupan iodium yang berlebihan
< 20
20 – 49
50 – 99
100 – 200
200– 299
> 300
Sumber : WHO,UNICEF,ICCIDD,1999 Jenewa,dalam Public HealthNutrition,2008
5. Metode pemeriksaan EIU
Metode ini bermacam-macam, diantaranya:
a. Metode dengan Amonium Persulfat (Metode A)
Sampel kecil urin (250-500 ml) yang dilarutkan dengan amonium
persulfat di 90 - 1100C, asam arsenious dan Ceric amonium sulfat kemudian
ditambahkan. Penurunan warna kuning selama periode waktu yang tetap
kemudian diukur dengan spektrofotometer dan diplot terhadap kurva standar
yang dibangun dengan jumlah yodium yang dikenal. Metode membutuhkan
blok pemanas dan spektrofotometer, yang keduanya merupakan instrumen
yang tidak mahal. Sekitar 100-500 sampel yang tidak diketahui dapat
dijalankan dalam satu hari oleh satu teknisi yang berpengalaman.
b. Metode dengan Asam Klorida (Metode B)
Asam klor dapat digantikan ammonium persulfat pada langkah
pencernaan, dan penentuan kalorimetrik dilakukan untuk metode A
.Kerugiannya adalah kekhawatiran tentang keamanan, karena campuran
bahan kimia dapat meledak jika residu mongering dalam sistem ventilasi.
Penanganan bahan kimia dalam lemari asam dan menggunakan perangkap
asam klorida saat melakukan pelarutan sampel sangat direkomendasikan.
c. Metode lain
Modifikasi metode B menggunakan feroin indicator redoks dan
stopwatch bukan spektrofotometer untuk mengukur perubahan warna . Urin
dicerna dengan asam klorida dan perubahan warna dalam batch sampel diukur
relative terhadap standar kandungan yodium yang diketahui. Ini tempat sampel
dalam kategori (misalnya, di bawah 50 μg/liter, 50-100 μg/l,100- 200 μg/l, dll)
yang dapat disesuaikan ke tingkat yang diinginkan. Metode ini saat ini sedang
disesuaikan dengan pencernaan ammonium persulfat.
Lainnya, metode semi-kuantitatif didasarkan pada oksidasi iodide katalis
dari 3,3 ',5,5' - tetramethylbenzidine oleh asam perasetat/ H2O2 untuk
menghasilkan produk berwarna yang diakui pada strip warna menunjukkan tiga
rentang: <100 μg/l, 100-300 μg/l, dan > 300 μg/l (22). Zat mengganggu
dihilangkan dengan kolom pra-packed dengan arang aktif. Analisis harus
dijalankan dalam waktu dua jam, dan prosedur membutuhkan kolom
prapacked pabrikan.( WHO/UNICEF/ICCIDD)
Prinsip pemeriksaan kadar EIU didasarkan pada reaksi Sandell-Kolthoff
yang mengubah ion Ceric yang berwarna kuning menjadi ion Cerous yang
berwarna kuning muda sampai tidak berwarna. Pada metode ini dilakukan
pengukuran intensitas cahaya yang melalui cairan urin. Warna urin dapat
dipengaruhi beberapa hal misalnya akibat mengkonsumsi makanan tertentu
dan konsumsi obat TBC (rifampisin) yang menyebabkan urin berwarna merah.
Perubahan warna urin tersebut dapat mempengaruhi hasil pembacaan.
G. Anak Usia Sekolah
1. Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Anak sekolah dasar adalah anak yang berusia 6-12 tahun, memiliki fisik
lebih kuat mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak bergantung pada
orang tua. Biasanya pertumbuhan anak putri lebih cepat daripada putra.
Kebutuhan gizi anak sebagian besar digunakan untuk aktivitas pembentukan
dan pemeliharaan jaringan.
Karakteristik anak sekolah meliputi :
1. Pertumbuhan tidak secepat bayi
2. Gigi merupakan gigi susu yang tidak permanen
3. Lebih aktif memilih makanan yang disukai
4. Kebutuhan energi tinggi karena aktivitas meningkat
5. Pertumbuhan lambat
6. Pertumbuhan meningkat lagi pada masa pra remaja
Anak sekolah biasanya banyak memiliki aktifitas bermain yang
menguras banyak tenaga, dengan terjadi ketidakseimbangan antara energi
yang masuk dan keluar,akibatnya tubuh menjadi kurus. Untuk mengontrol
waktu bermain anak sehingga anak memiliki waktu istirahat yang cukup
(Moehji, 2002)
2. Penilaian status gizi anak sekolah
a. Pengertian Antropometri
Antropometri berasal dari kata Antrhropos artinya tubuh dan metros
artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Pengertian
antropometri dari sudut pandang gizi adalah berhubungan dengan berbagai
macam pengukurandimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan tingkat gizi. Dasar dari antropometri adalah konsep pertumbuhan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah gizi jadi untuk
mengukur status gizi seseorang dapat digunakan antropometri (Merryana,
Bambang, 2012)
b. Parameter Antropometri
Untuk mengetahui status gizi dari anak sekolah dasar, perlu diukur
beberapa paremater. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia,
antara lain :
a. Umur
Faktor umur sangat penting dalam menentukan status gizi. Kesalahan
penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah.
Untuk melengkapi data umur, dapat dilakukan dengan:
a. Meminta surat kelahiran atau akta kelahiran
b. Mencocokkan kalender local (jika ada) dengan kalender nasional
c. Berdasarkan daya ingat orang tua atau berdasarkan kejadian-kejadian
penting
b. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu antropometri yang memberikan
gambaran masa tubuh (otot dan lemak). Karena tubuh sangat sensitif terhadap
perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit
infeksi, menurunnya selera makan dan menurunnya jumlah makanan yang
dikonsumsi. Maka Berat Badan merupakan antropometri yang sangat labil
(Reksodikusumo, dkk, 1989).
Dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik dan
keseimbangan antara intake dan kebutuhan gizi terjamin, berat badan
mengikuti perkembangan umur. Sebaiknya dalam keadaan abnormal, terdapat
dua kemungkinan perkembangan BB, yaitu dapat berkembang lebih cepat atau
lebih lambat dari keadaan normal.
Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai hasil peningkatan
atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, misalnya tulang, otot,
organ tubuh, dan cairan tubuh sehingga dapat diketahui status gizi dan tumbuh
kembang anak, berat badan juga dapat digunakan sebagai dasar perhitungan
dosis dan makanan yang diperlukan dalam tindakan pengobatan (Hidayat,
2008).
c. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan parameter antropometri yangmenggambarkan
keadaan lalu dan sekarang (Merryana, 2012). Pengukuran tinggi badan anak
sekolah menggunakan alat pengukur tinggi badan mikrotoa (microtoice)
dengan ketinggian 0,1 cm.
Cara mengukurnya yaitu dengan menempelkan mikrotoa pada dinding
yang lurus setinggi 2 meter. Anak yang akan diukur tingginya harus berdiri
tegak dengan kaki lurus, tumit, pantat, punggung dan kepala bagian belakang
harus menempel pada dinding. Kemudian mikrotoa diturunkan sampai rapat
pada kepala bagian atas anak, lalu baca angka pada skala yang tampak pada
gulungan mikrotoa. Angka tersebut menunjukkan tinggi anak yang diukur.
c. Indeks Antropometri
Parameter antopometri merupakan dasar dari pemulaian status gizi
anak sekolah. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks
antropometri. Beberapa indeks antropometri yang digunakan dalam
menentukan status gizi anak sekalah yaitu:
a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Indeks berat badan menurut pada anak dapat menggambarkan akut malnutrisi,
yaitu menggambarkan malnutrisi pada saat ini.
Kelebihan:
1. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat umum
2. Baik untuk mengukur status gizi atau kronis
3. Berat badan berfluktuasi
4. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil
1. Dapat mendeteksi kegemukan (overweight)
Kekurangan:
1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat
edema ataupun asites.
2. Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit
ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik.
3. Memerlukan data umur yang akurat
4. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian
atau gerakan anak pada saat penimbangan.
5. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah social
budaya setempat.
b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U):
Indeks ini untuk menggambarkan apakah anak sekolah pernah mengalami
malnutrisi atau tidak di masa lampau.
Kelebihan:
1. Baik untuk mengukur status gizi masa lampau
2. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah, di bawah dibawa.
Kekurangan:
1. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun
2. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak
sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya.
3. Ketepatan umur sulit didapat.
c. Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Indeks ini untuk menggambarkan status gizi (malnutrisi) yang baru saja
terjadi (1, 2 atau 3 bulan yang lalu) pada anak sekolah.
Kelebihan:
1. Tidak memerlukan data umur
2. Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus)
Kekurangan:
1. Tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut pendek,
cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya,
karena faktor umur tidak dipertimbangkan.
2. Dalam paraktik sering mengalami kesulitan dalam melakukan
pengukuran tinggi badan anak.
3. Membutuhkan 2 macam alat ukur
4. Pengukuran relative lebih lama
5. Membutuhkan 2 orang yang melakukannya
6. Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran
terutama bila dilakukan oleh kelompok non professional.
3. Masalah gizi Anak Sekolah Dasar
Masalah gizi (malnutrition) adalah gangguan pada beberapa segi
kesejahteraan perorangan dan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak
terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dimakanan. Masalah gizi
berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah pangan antara lain
menyangkut ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang
dipengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan dan adat/ kepercayaan
yang terkait dengan tabu makanan. Sementara, permasalahan gizi tidak hanya
terbatas pada kondisi kekurangan gizi saja melainkan tercakup pula kondisi
kelebihan gizi.
H. Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Gambar 10 Mekanisme terjadinya Hipotiroid (Guyton and Hall, 2007)
Hipotalamus
Tyrotropine ReleasingHormon
Throid StimulatingHormon
↑ Sekresi Tiroid Dengan
Perantara cAMP
Mekanisme Umpan
Balik
Asupan Iodium Kurang
Hormon Tiroid disekresikan ↓
TSH Memaksa kelenjar Tiroid
mensekresi T3 dan T4
Hipotiroid
Asupan Iodium Lebih
Hormon Tiroid disekresikan
Menghambat sekresi TSH
dan meningkatkan TSI
Hormon Tiroid disekresi
tanpa batas
Hipertiroid
1. Kandungan iodium
tanah, air dan makanan
kurang
2. Proses pengolahan
3. Kandungan iodium
garam kurang
4. Zat goitrogenik
Pemberian
telur asin
(Yodium dan
protein)
1. Kandungan iodium
dalam tanah dan
air berlebih
2. Asupan iodium
melalui makanan
berlebih
Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida
dari darah ke dalam sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid
memompakan iodida masuk ke dalam sel yang disebut dengan penjeratan
iodida (iodide trapping). Sel-sel tiroid kemudian membentuk dan
mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tirosin. Tahap berikutnya
adalah oksidasi ion iodida menjadi I2 oleh enzim peroksidase. Selanjutnya
terjadi iodinasi tirosin menjadi monoiodotirosin, diiodotirosin, dan kemudian
menjadi T4 dan T3 yang diatur oleh enzim iodinase. Kemudian, hormon
tiroid yang telah terbentuk ini disimpan di dalam folikel sel dalam jumlah
yang cukup untuk dua hingga tiga bulan. Setelah hormon tiroid terbentuk di
dalam tiroglobulin, keduanya harus dipecah dahulu dari tiroglobulin, oleh
enzim protease. Kemudian, T4 dan T3 yang bebas ini dapat berdifusi ke
pembuluh kapiler di sekitar sel-sel tiroid. Keduanya diangkut dengan
menggunakan protein plasma. Karena mempunyai afinitas yang besar
terhadap protein plasma, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat
dilepaskan ke jaringan. Kira-kira tiga perempat dari tirosin yang teriodinasi
dalam tiroglobulin tidak akan pernah menjadi hormon tiroid, hanya sampai
pada tahap monoiodotirosin atau diiodotirosin. Yodium dalam
monoiodotirosin dan diiodotirosin ini kemudian akan dilepas kembali oleh
enzim deiodinase untuk membuat hormon tiroid tambahan (Guyton and
Hall, 2007).
Regulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. Hipotalamus sebagai
master gland mensekresikan TRH (Tyrotropine Releasing Hormone) untuk
mengatur sekresi TSH oleh hipofisis anterior. Kemudian tirotropin atau TSH
(Thyroid Stimulating Hormone) dari hipofisis anterior meningkatkan sekresi
tiroid dengan perantara cAMP. Mekanisme ini mempunyai efek umpan balik
negatif, bila hormon tiroid yang disekresikan berlebih, sehingga
menghambat sekresi TRH maupun TSH. Bila jumlah hormon tiroid tidak
mencukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya (Guyton and Hall, 2007).
1. Kerangka Konsep
Gambar 11. Kerangka konsep
Garam beryodium
Asupan yodium Kurang
Gangguan pembentukan hormone
tiroid
Sekresi hormone tiroksin ↓
EIU < 100 µg/L
Pemberian telurberyodium :- Yodium- Protein- Natrium
TSH memaksa kelenjar tiroid
mensekresikan T4 dan T3
Makanan Sumber iodium
Kualitas garam yang tidak cukup mengandung yodium merupakan salah
satu penyebab asupan yodium dalam tubuh kurang menyebabkan gangguan
pembentukan hormone tiroid yang dapat menyebabkan sekresi hormone
tiroksin kurang, Kurangnya sekresi hormone tiroksin memaksa kelenjar tiroid
untuk mensekresi T3 dan T4 oleh rangsangan TSH. Kurangnya asupan iodium
ditunjukan dengan rendahnya kadar ekskresi iodium urin yaitu < 100µg/L.
Untuk menanggulangi masalah defisiensi iodium maka diberikan telur
beriodium yang mengandung iodium dan protein untuk meningkatkan ekskresi
iodium urin (EIU) pada penderita defisiensi iodium.
I. Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah
H0 = Tidak ada pengaruh pemberian telur beriodium terhadap nilai ekskresi
yodium urin pada anak penderita defisiensi iodium.
H1 = Ada pengaruh pemberian telur beriodium terhadap nilai ekskresi yodium
urin pada anak penderita defisiensi iodium.
J. Definisi Operasional
1. Defisiensi iodium adalah kekurangan iodium seseorang dimana dilihat
melalui ekskresi iodium urin (EIU)
2. Telur beriodium adalah telur yang diperam dengan menggunakan abu
gosok dengan garam beryodium 40 ppm dan diperam selama 3 hari, 5
hari, 7 hari dan 10 hari.
Kelompok perlakuan : telur beryodium (telur bebek diberi garam lososa)
Kelompok kontrol : telur placebo (telur diberi garam curah)
3. Total goiter rate (TGR) adalah indicator penilaian GAKY melalui palpasi,
dimana terjadi pembesaran kelenjar tiroid atau gondok. Palpasi dilakukan
oleh petugas terlatih.
Kriteria objektif :
Grade 0 : Tidak teraba dan tidak terlihat
Grade 1 : Tidak terlihat pada posisi leher normal tapi Teraba
Grade 2 : Terlihat apabila menelan dan ketika posisi leher normal
4. Eksresi iodium urin (EIU) adalah Indikator penilaian GAKY, Pemeriksaan
EIU dalam urin dilakukan mengingat hampir seluruh iodium (90%)
diekskresikan melalui urin, dengan demikian EIU dapat menggambarkan
intake seseorang.
Kriteria objektif :
Defisiensi iodium yang berat : EIU < 20 µg/L
Defisiensi iodium yang sedang : EIU 20 – 50 µg/L
Defisiensi iodium yang ringan : EIU 50 – 99 µg/L
Asupan iodium Cukup : EIU 100 – 299 µg/L
Asupan iodium lebih : EIU > 300 µg/L
5. Garam beryodium adalah garam yang difortifikasi yodium
Kriteria objektif :
Tidak mengandung yodium : garam mengandung iodium 0 ppm
Kurang mengandung yodium : garam mengandung iodium < 30 ppm
Cukup mengandung yodium : garam mengandung iodium 30 – 80 ppm
6. Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang diukur dengan
menggunakan pengukuran antropometri berdasarkan standar baku
Z - Score
Kriteria Objektif :
Gizi Buruk : < - 3 SD
Gizi Kurang : - 3 sampai dengan < - 2 SD
Gizi Baik : - 2 sampai dengan + 2 SD
Gizi Lebih : > +2 SD
7. Recall 24 jam adalah mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang
dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Asupan gizi (Protein, Lemak,
karbohidrat)
Kriteria Objektif :
Asupan Cukup : ≥ 80 % AKG
Asupan kurang : < 80 % AKG
8. Usia sekolah dasar adalah siswa yang berumur 6 -12 tahun.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah eksperimen murni untuk mengetahui
pengaruh telur beriodium terhadap peningkatan ekskresi iodium urin (EIU)
pada anak sekolah dasar yang menderita defisiensi iodium di Kecamatan
Pondidaha Kabupaten Konawe.
Hasil penelitian yang dilakukan Heru Yunita menunjukkan bahwa kadar
iodium dalam telur asin meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu
penggaraman. Sebelum penggaraman kadar iodium pada telur mentah adalah
0,03 ppm. Pada penggaraman yang dibungkus dengan abu gosok garam
iodium pada hari kelima iodium telah meningkat mejadi 1,36 ppm, setelah hari
ke sepuluh menjadi 1,53 ppm dan pada hari ke 20 kadar iodium menjadi 2,20
ppm atau 132 µg/L.
Penelitian Wiyada Charoensiriwatana et all, menunjukan bahwa
pemberian telur beryodium meningkatkan nilai UIE setelah diberikan selama 5
hari berturut-turut pada wanita dewasa dimana setiap telur mengandung 93,57
µg per telur untuk berat 55-60 g telur dan 97,76 µg untuk berat 60-65 g telur.
Pada penelitian ini pembuatan telur beriodium dilakukan melalui
pemeraman selama 3 hari, 5 hari, 7 hari dan 10 hari untuk menghasilkan telur
yang mengandung iodium sebesar 1,5 ppm atau sekitar 70 - 90 µg diberikan
kepada kelompok perlakuan dan kelompok control diberikan placebo berupa
telur tidak beriodium yang telah direbus sebanyak 1 butir setiap hari selama 10
hari berturut - turut. Pada kelompok perlakuan diberikan telur beriodium dan
kelompok kontrol diberikan telur plasebo. Pemeriksaan ekskresi iodium urin
dilakukan sebelum dan setelah dilakukan intervensi. Rancangan penelitian ini
digambarkan sebagai berikut :
Keterangan :
01 = Pengukuran kadar ekskresi iodium urin sebelum intervensi pada
kelompok perlakuan
02 = Pengukuran kadar ekskresi iodium urin setelah intervensi pada
kelompok perlakuan
X1 = Perlakuan pada kelompok perlakuan
X2 = Perlakuan pada kelompok kontrol
01 X1 02
03 X2 04
03 = Pengukuran kadar ekskresi iodium urin sebelum intervensi pada
kelompok kontrol
04 = Pengukuran kadar ekskresi iodium urin setelah intervensi pada
kelompok kontrol
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Sekolah Dasar Negeri 1 Tirawuta
Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe. Pemilihan lokasi dilakukan dengan
cara memilih lokasi sebagai daerah endemik GAKI.
C. Penentuan Jumlah Sampel
Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini dilakukan menggunakan
analogi penelitian Wiyada Charoensiriwatana, et all, 2010 dengan asumsi
bahwa α = 5% (Zα = 1.96); power of test = 90% (Zβ = 1.28) menggunakan
rumus:
Keterangan:
n = Besar unit percobaan
σ = 12,56 (perkiraan standar deviasi ekskresi iodium urin berdasarkan
penelitian Wiyada Charoensiriwatana, et all, 2010
Zα = 1.96
Zβ = 1.28
δ = 16,57 (peningkatan kadar eskresi iodium urin setelah intervensi
Wiyada Charoensiriwatana, et all, 2010
Jumlah sampel yang dibutuhkan untuk masing – masing perlakuan adalah
n = 2 . 12.56² { 1.96 + 1.28 }
16,57²
n = 12,0 orang
Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan sebesar 12 sampel dan untuk
mengatasi drop out masing – masing perlakuan atau sampel ditambah menjadi
13 orang, kelompok perlakuan 13 orang dan kelompok control 13 orang
D. Cara Pengambilan sampel
Populasi adalah adalah Anak sekolah dasar (usia 10 -12 tahun)
(Depkes 2003), sedangkan sampel adalah kelompok populasi yang memenuhi
kriteria inklusi yang dipilih secara acak, dengan kriteria sebagai berikut :
Kriteria Inklusi
1. Siswa SD usia 10 -12 tahun
2. Nilai ekskresi iodium urin < 100 µg/ L
3. Bersedia menjadi sampel melalui persetujuan informed consent dari subyek
penelitian dan keluarganya.
Kriteria Eksklusi
1. Sakit
2. Mengkonsumsi obat
3. Alergi telur
Pada tahap awal sebelum penelitian dilakukan screening terhadap populasi
untuk memilih sampel yang akan diikutkan dalam penelitian. Sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan criteria eksklusi serta bersedia menandatangani
informed consent resmi menjadi target penelitian. Secara acak sampel dibagi
menjadi dua kelompok, yakni kelompok perlakuan dan kelompok control atau
plasebo yang masing-masing terdiri atas 13 orang.
Pada setiap unit perlakuan sebelum diberikan intervensi, terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan kadar iodium dalam urin. Pemberian intervensi untuk
unit perlakuan atau sampel diberikan telur beriodium sedang kelompok placebo
diberikan telur yang tidak beriodium. Pemberian intervensi ini diberikan selama
10 hari dengan cara memberikan sarapan pagi kepada anak sekolah berupa
nasi putih, nasi kuning dan nasi goreng. Setelah intervensi dilakukan
pemeriksaan urin untuk mengetahui kadar iodium dalam urin. Untuk jelasnya
dapat dilihat melalui alur penelitian :
Gambar. 11. Diagram alir penelitian
Penentuan sampelSkrining EIU < 100
Perlakuan ( n = 13 ) Kontrol ( n = 13 )
Telur beriodium Telur Plasebo
Intervensi selama 10 hari
Drop out Drop out
Kontrol Perlakuan
Post testPengambilan urin akhir
Pemeriksaan EIU
Analisis data ( Uji T test )
Random (Acak)
Sampel n = 26
1. Karakteristik Sampel(Jenis kelamin, umur,agama, suku)
2. Karakteristik Keluarga(Umur,pendidikan,pekerjaan)
3. Status gizi4. Asupan Gizi5. Tingkat pembesaran
gondok6. Penggunaan garam
beriodium
D. Variabel Penelitian
Variabel Bebas : Telur beriodium
Variabel Terikat : ekskresi iodium urin (EIU)
Alur pembuatan telur beryodium dapat dilihat melalui gambar berikut :
(50 gram abu gosok + 25 gram garam lososa + air)
(Lama pemeraman 3, 5, 7, 10 hari)
Gambar. 12. Diagram alir Pembuatan telur beriodium
Telur Bebek
Dibersihkan
Pebuatan adonan
Pemeraman
Perebusan
Pemeriksaan kandungan iodium telur
Pemilihan telur untuk bahan intervensi
Telur beriodium
E. Pelaksanaan Penelitian
1. Tahap Persiapan.
a) Pengurusan surat izin penelitian dan menghubungi instansi yang
terkait dengan penelitian ini.
b) Berkoordinasi dengan pihak yang terkait dalam penelitian ini seperti
petugas gizi terlatih dalam melakukan palpasi kelenjar gondok,
petugas laboratorium (analis) Universitas Haluoleo dalam melakukan
pemeriksaan kandungan iodium garam yang akan digunakan dalam
membuat telur beriodium, pemeriksaan iodium pada telur beriodium
yang dibuat dan pemeriksaan ekskresi iodium urin (EIU), serta guru
Sekolah Dasar Negeri 1 Tirawuta dan petugas gizi Puskesmas
Pondidaha yang akan membantu dalam penelitian ini.
c) Pengumpulan dan pengadaan instrumen penelitian
d) Sebelum dilakukan pengukuran antropometri (Penimbangan berat
badan dan tinggi badan) alat yang digunakan (timbangan berat badan
dan mikrtoise) distandarkan terlebih dahulu.
2. Tahap Pelaksanaan
a). Pemeriksaan garam beriodium untuk mengetahui kandungan iodium
garam yang akan digunakan untuk membuat telur beriodium dengan
menggunakan metode iodometri.
b). Membuat telur beriodium dengan cara : Abu gosok 1 kg, 500 g garam
beriodium (garam Lososa) dan 500 mL air, dicampurkan dan diaduk
homogen sehingga menjadi adonan media. Telur sebanyak 20 butir
dicelupkan satu persatu dalam adonan sampai terbungkus, lalu
diangkat dan diguling-gulingkan di atas abu gosok kering. Setelah telur
terbungkus rata disimpan dalam ember plastik dan diperam selama 3
hari, 5 hari, 7 hari dan 10 hari.
c). Mengukur kadar iodium telur beriodium dengan cara, telur beriodium
dihomogenkan dengan cara diblender, lalu ditimbang teliti dalam
cawan porselen sebanyak 5 gram, ditambahkan 2 mL larutan
campuran NaOH 2% dan KNO3 1%, kemudian dikeringkan dalam
oven dengan suhu 1050 C selama 24 jam. Selanjutnya contoh
diarangkan kemudian diabukan dalam tanur pada suhu 5500 C sampai
menjadi abu. Abu dilarutkan dalam NaOH 0,1 N, disaring, filtratnya
ditampung dalam labu 100 mL. Larutan contoh dipipet 3 mL
danditambahkan 2 mL asam arsenit 0,2 mL. Setelah didiamkan 15
menit ditambahkan larutan Ce(SO4)2 0,1 N, dikocok kemudian
didiamkan lagi 15 menit. Absorban diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 420 nm.
d). Melakukan screening awal terhadap anak Sekolah Dasar Negeri 1
Tirawuta dengan mengambil data kadar ekskresi iodium urin (EIU).
Pengukuran ekskresi iodium urin dilakukan oleh analis laboratorium
UNHALU dengan menggunakan metode serium yang menjadi sampel
penelitian adalah siswa dengan kadar ekskresi iodium urin < 100 µg/L.
Kemudian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol.
Cara kerja :
Cara pengambilan sampel
Masing-masing sampel diberi gelas plastik untuk menampung urin.
Setelah itu dipindahkan ke botol plastik. Botol ditutup setelah itu
dilapisi dengan lakban agar tidak tumpah. Kemudian ditempel label
yang berisi identitas yang diperlukan. Identitas ditulis dengan ballpoint
agar tidak luntur dan dicocokkan dengan daftar tabel. Botol diletakkan
dalam kardus dalam posisi berdiri, saling berhimpitan dan dijaga agar
tidak terbalik pada saat pengiriman dan dibawa dari lokasi ke
Laboratorium UNHALU
Penentuan kadar ekskresi iodium urin dengan metode serium
Larutan pereaksi :
1. Larutan asam klorat : larutan 500 g KCLO3 dalam 910 ml H2O,
kemudian panaskan. Setelah larut, pemanasan dihentikan sambil
tetap diaduk. Teteskan 375 ml HCIO3 70 % lalu simpan semalam
dalam freezer. Saring dengan kertas Whatman dan simpan di
dalam refrigerator.
2. Larutan asam arsenat : Larutkan 5 g As2O3 dan 25 g NaCL dalam
400 ml 5 N H2SO4 Tambahkan H20 sampai 500 ml lalu panaskan
sambil diaduk sampai larut. Kemudian dinginkan pada temperature
ruang. Tambahkan H2O 1 L. Simpan dalam botol gelap
3. Larutan seri ammonium sulfat : larutkan 24 g seri ammonium sulfat
dalam 1 L 3,5 N H2SO4 simpan ditempat gelap.
4. Iodium standar :
Larutan A : larutkan 0,0168 g KIO3 dalam H2O (equivalen dengan
100 µg iodium/ml). Simpan dalam refrigerator, stabil dalam
beberapa minggu.
Larutan B : Encerkan 0,5 ml larutan A menjadi 100 ml dengan H20
(equivalen dengan 0,5 µg iodium/ml). Simpan dalam refrigerator,
stabil dalam beberapa minggu.
Prosedur :
1. A. Persiapan standar
Pipet larutan B sebanyak 0; 0.01; 0.02; 0.04 dan 0.06 ml
kedalam tabung reaksi. Tambahkan tiap tabung dengan H2O
sampai 0.2 ml (equivqlen dengan 0; 0.01; 0.02; 0.08; dan 0.12
µg iodium/ml).
3. Pesiapan sampel urin
1. Aduk sampel urin kemudian dimasukan kedalam tabung
sebanyak 0,25 ml
2. Tambahkan asam klorat pada setiap tabung sebnayak 0,75
ml kemudian diaduk.
3. Tambahkan asam klorat pada setiap tabung selama 50 – 60
menit pada suhu 110 – 115 º C dalam alat menguap dengan
instalasi asam perklorat
4. Dinginkan tabung pada suhu ruangan lalu cairkan sampai 1
ml.
5. Tambakan 3.5 ml asam arsenic pada setiap tabung, selama
15 menit.
6. Setelah 30 detik tambahkan 0,5 ml seri ammonium sulfat,
kemudian aduk.
7. Baca absorbans pada gelombang 405 nm setelah 20 menit
penambahan seri ammonium sulfat.
Hasil perhitungan :
1. Buat kurva standar berdasarkan absorbans yang dibaca pada
panjang gelombang = 405 nm dengan konsentrasi iodium
standar (0; 0.01; 0,02; 0,08 dan 0,12 µg iodium/ml)
2. Untuk setiap sampel, temukan absorbans pada kurva standard
dan baca kosentrasi.
d). Melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan yang dilakukan
sesuai Referensi Standardisasi antropometri dengan tingkat
kesalahan terdekat 0,1 kg, diukur menggunakan timbangan digital dan
mikrotoise untuk tinggi badan.
e). Melakukan pengukuran pembesaran kelenjar tiroid atau gondok
dengan cara palpasi oleh petugas terlatih
f). Melakukan recall 24 jam selama 2 hari berturut –turut untuk
mengetahui tingkat asupan gizi pada anak penderita GAKY baik
kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol
g). Melakukan pemeriksaan kadar iodium pada garam yang dikonsumsi
oleh siswa penderita defisiensi iodium dengan metode iodometri.
Bahan
Garam beryodium
KI 10 %
H2SO4
Na2S2O3 0,005 N
Amilum 1 %
HCL 6 N
Alat
Timbangan analitik
Gelas ukur
Buret
Pipet tetes
Gelas kimia.
Erlemeyer
Pipet volumetric
Pengambilan sampel
Aduk – aduk hingga homogeny (rata) garam kemasan, kemudian
ambil timbang sesuai kebutuhan.
Prosedur kerja :
1. Timbang 10 gram bahan dan masukan ke dalam erlemeyer
2. Tambahkan 50 ml aquadest, larutkan
3. Tambahakan 2 ml H2SO4 2 N, tambahkan 5 ml KI 10 % lalu tutup
erlemeyer dan simpan di tempat gelap selama 10 menit
4. Bilas tutup erlemeyer dengan aquades kemudian titrasi dengan
Na2S2O3 0,005 N sampai warna coklat kekuningan
5. Tambahkan 1 ml indicator amilum 1 % lanjutkan sampai warna
jernih
6. Lakukan standarisasi Na2S2O3
g). Pemberian telur beriodium sebanyak 1 butir dilakukan selama 10 hari,.
Pemberian telur beriodium pada waktu sarapan pagi disekolah dan
diberikan bersama nasi putih, nasi kuning atau nasi goreng. Untuk
kelompok perlakuan diberikan nasi putih dan telur beriodium dan
kelompok control nasi putih dan telur tidak beriodium yang telah
direbus. Konsumsi telur beriodium ini diawasi oleh peneliti dan guru
kelas masing-masing siswa.
h). Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan kadar ekskresi yodium
urin dilakukan pemeriksaan pada urin siswa penderita defisiensi
iodium setelah pemberian intervensi telur beriodium. Pada kelompok
perlakuan dan kelompok control.
3. Tahap Penyelesaian.
a) Pengecekan dan pembersihan data untuk melengkapi data yang
kurang.
b) Entry data berat badan siswa untuk menentukan status gizi sampel
c) Entry data pembesaran kelenjar tiroid
d) Entry data konsumsi garam beryodium
e) Entry data ekskresi iodium urin sebelum dan setelah pemberian telur
asin
f) Entry data pendukung lainnya.
g) Melakukan analsis data
h) Konsultasi dengan pembimbing
i) Susun laporan penelitian.
F. Jenis Data
1. Data Primer
a. Data status gizi anak penderita defisiensi iodium kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol
b. Data pembesaran kelenjar gondok yang dilakukan melalui palpasi
c. Data hasil recall 24 jam selama 2 hari berturut - turut
c. Data kadar iodium pada garam yang dikonsumsi pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol penderita defisiensi iodium
d. Data ekskresi iodium urin sebelum dan setelah intervensi pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol pada penderita defisiensi iodium
2. Data Skunder
Data tentang demografi Sekolah Dasar Negeri 1 Tirawuta Kecamatan
Pondidaha Kabupaten Kendari.
G. Analisis Data
1. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum
dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan dalam
penelitian yaitu dengan melihat gambaran distribusi frekuensinya dalam
bentuk tabel.
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini sebelum dilakukan analisis
bivariat, data dengan skala rasio diuji kenormalan distribusinya dengan
menggunakan uji kolmogorov Smirnov dan apabila data berdistribusi
normal maka untuk melihat perbedaan sebelum dan setelah pemberian
telur beriodium pada kelompok perlakuan dan kelompok control dilakukan
uji T berpasangan untuk mengetahui apakah peningkatan ekskresi iodium
urin karena konsumsi telur beriodium.
H. Etika Penelitian
Pada penelitian ini melibatkan siswa SD sebagai subyek penelitian,
yang akan diambil air kencing (urin) maka sesuai etika dalam melakukan
penelitian, peneliti meminta persetujuan kepada Komite Etik Penelitian di
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Peneliti telah mendapat
persetujuan komite etik dengan nomor register :
U H 1 5 0 5 0 4 2 3
Setelah itu subyek diminta menandatangani Informed consent dan
menjelaskan bahwa penelitian ini untuk kebutuhan ilmiah sebagai
persetujuan sampel untuk mengikuti penelitian. Identitas dan kerahasiaan
responden dijamin tidak akan disebutkan di khalayak umum.
I. Kontrol Kualitas
Untuk medapatkan data dengan validitas dan reliabilitas yang tinggi
maka dilakukan kontrol kualitas sebagai berikut :
1. Standarisasi lapangan
Petugas lapangan dilatih untuk mengidentifikasi sampel. Selain itu
pengukuran dilakukan oleh tenaga ahli.
2. Kontrol lapangan
Kontrol lapangan dilakukan dengan:
a. Validasi oleh petμgas kontrol kualitas, terutama untuk asupan telur asin
yang pengamatannya dibantu oleh guru kelas masing-masing siswa.
b. Supervisi kegiatan pengumpulan data. Untuk ini seorang petugas dan
peneliti berada di lapangan guna mengamati dan menjaga kualitas
pengumpulan data.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
1. KARAKTERISTIK SAMPEL
Pada penelitian ini yang menjadi sampel adalah anak Sekolah Dasar
Negeri 1 Tirawuta Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe. Pemilihan lokasi
penelitian yaitu Sekolah Dasar Negeri 1 Tirawuta karena Kecamatan
Pondidaha merupakan salah satu daerah gondok endemik berdasarkan
pemetaan yang dilakukan pada tahun 2003. Penelitian ini hanya dilakukan
pada satu sekolah saja karena jumlah sampel telah terpenuhi. Sampel
berjumlah 26 orang dimana diperoleh melalui perhitungan sampel dan dipilih
secara acak setelah melalui skrining ekskresi iodium urin. Skirining iodium urin
dilakukan dengan cara pemeriksaan iodium urin tiap siswa, bila iodium urin <
100 µg/L maka siswa tersebut diikutkan dalam pemilihan sampel secara acak.
Sampel yang terpilih secara acak dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol masing – masing berjumlah 13 orang tiap
kelompok perlakuan. Data mengenai karakteristik sampel diperoleh melalui
kuesioner yang dibagikan kepada tiap siswa yang terpilih menjadi sampel.
Sampel yang terpilih harus terlebih dahulu mendatangani informant consent
atau lembar persetujuan mengikuti penelitian. Setiap siswa yang memperoleh
kuesioner diwawancarai oleh peneliti kemudian kuesioner diisi berdasarkan
data yang diperlukan.
a. Sebaran Sampel berdasarkan jenis kelamin, umur, agama dan suku.
Sebaran sampel berdasarkan jenis kelamin, umur, agama dan suku
dapat dilihat melalui tabel 7
Tabel 7. Sebaran Sampel Anak SD N 1 Tirawuta Berdasarkan Jenis
Kelamin, Umur, Agama dan Suku Tahun 2015
Karakteristik
KelompokPerlakuan Kontrol Totaln % n % n %
Jeniskelamin
Laki – lakiPerempuan
49
30.869.2
58
38.561.5
917
34,665,4
Total 13 100 13 100 26 100
Umur9 tahun10 tahun11 tahun
517
38.57.753.8
562
38.546.115.4
1079
38.526,934,6
Total 13 100 13 100 26 100AgamaIslam 13 100 13 100 26 100Total 13 100 13 100 26 100SukuTolakiBugis
121
92.37.7
121
92.37.7
242
92,37,7
Total 13 100 13 100 26 100Sumber : Data primer, 2015
Sebaran sampel anak sekolah dasar berdasarkan jenis kelamin pada
tabel 7 menunjukan bahwa dari jumlah sampel sebanyak 26 orang, anak
perempuan sebanyak 65,4 % lebih banyak dibanding dengan anak laki – laki
sebanyak 34,6 %.
Untuk sebaran sampel berdasarkan umur pada tabel 7 menunjukan
bahwa dari jumlah sampel sebanyak 26 orang anak, sampel terbagi atas umur
9 tahun sebanyak 38,5 %, umur 10 tahun sebanyak 26,9 % dan umur 11 tahun
jumlah sampel sebanyak 34,6 %. Sebaran sampel ini menunjukan bahwa
sampel yang terbanyak adalah anak sekolah yang berumur 9 tahun.
Sebaran sampel berdasarkan agama yang dianut anak sekolah dasar
negeri 1 Tirawuta Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe pada tabel 7
menunjukan bahwa dari jumlah sampel sebanyak 26 orang, 100 % sampel
beragama islam.
Sebaran sampel anak sekolah berdasarkan suku pada tabel 7
menunjukan bahwa sampel terdiri dari 2 suku yaitu suku tolaki sebanyak 92,3
% dan suku bugis sebanyak 7,7 %. Suku tolaki merupakan suku asli
masyarakat Tirawuta.
b. Sebaran Sampel Berdasarkan Karakteristik Keluarga
Sebaran sampel berdasarkan karakteristik keluarga sampel seperti
umur, pekerjaan dan pendidikan dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Sebaran Sampel Berdasarkan Karakteristik Keluarga Anak SD N1Tirawuta Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe Tahun 2015.
KarakteristikKeluarga
KelompokPerlakuan Kontrol Total
Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibun % n % n % n % n % n %
Umur20 – 30 tahun 1 7,7 3 23.1 1 7,7 2 15,4 2 7,7 5 19,231 – 40 tahun 4 30,8 6 46,2 3 23,1 5 38,4 7 26,9 11 42,341 – 50 tahun 5 38,4 4 30,7 2 15,4 3 23,1 7 26,9 7 26,951 – 60 tahun 3 23,1 0 0 3 23,1 3 23,1 6 23,1 3 11,661 – 70 tahun 0 0 0 0 4 30,7 0 0 4 15,4 0 0
Total 13 100 13 100 13 100 13 100 26 100 26 100Pendidikan
SD 2 15,4 2 15,4 3 23,1 2 15,4 5 19,2 4 15,4SMP 2 15,4 3 23,1 2 15,4 4 30,8 4 15,4 7 26,9SMA 6 46,1 7 53,8 5 38,4 5 38,4 11 42,3 12 46,1
Sarjana 3 23,1 1 7,7 3 23,1 2 15,4 6 23,1 3 11,6Total 13 100 13 100 13 100 13 100 26 100 26 100
PekerjaanPNS 5 38,4 0 0 5 38,4 1 7,7 10 38,6 1 3,8
Guru Honor 0 0 2 15,4 0 0 1 7,7 0 0 3 11,6Wiraswasta 3 23,1 4 30,8 2 15,4 3 23,1 5 19,2 7 26,9
Tukang 2 15,4 0 0 3 23,1 0 0 5 19,2 0 0Petani 2 15,4 2 15,4 3 23,1 2 15,4 5 19,2 4 15,4Sopir 1 7,7 0 0 0 0 0 0 1 3,8 0 0
Ibu RT 0 0 5 38,4 0 0 6 46,1 0 0 11 42,3Total 13 100 13 100 13 100 13 100 26 100 26 100
Sumber : Data primer, 2015.
Sebaran sampel berdasarkan karakteristik keluarga sampel dimana
karakteristik keluarga sampel dilihat melalui umur, pekerjaan dan pendidikan.
Sebaran sampel berdasarkan umur keluarga dimana bila dilihat dari umur
ayah sampel terdiri dari 20 – 30 tahun sebanyak 7,7 %, umur 31 – 40 tahun
sebanyak 26,9 %, umur 41 – 50 tahun sebanyak 26,9 %, umur 51 – 60 tahun
sebanyak 23,1 % dan umur 60 – 70 tahun sebanyak 15,4 %. Sebaran sampel
berdasarkan umur ayah yang terbanyak adalah umur 31 – 40 tahun dan umur
41 – 50 tahun masing – masing sebanyak 26,9 %. Sedang sebaran sampel
berdasarkan umur keluarga yaitu ibu adalah umur 20 – 30 sebanyak 19,2 %,
umur 31 – 40 sebanyak 42,3 %, umur 41 – 50 tahun sebanyak 26,9 %, dan
umur 51 - 60 tahun sebanyak 11,6 %. Berdasarkan umur ibu sebaran sampel
berdasarkan umur ibu yang terbanyak adalah umur 31 – 40 tahun yaitu
42,3 %.
Sebaran sampel berdasarkan karakteristik keluarga, pada tabel 7
menunjukan bahwa untuk sebaran sampel berdasarkan tingkat pendidikan
keluarga yaitu pendidikan ayah adalah pendidikan sekolah dasar sebanyak
19,2 %, pendidikan sekolah menengah pertama sebanyak 42,3 %, pendidikan
sekolah menengah atas sebanyak 42,3 % dan pendidikan sarjana sebanyak
23,1 %. Untuk pendidikan ayah sampel, yang terbanyak adalah pendidikan
sekolah menengah atas yaitu 42,3 % dari 26 orang sampel. Untuk sebaran
sampel berdasarkan pendidikan ibu, pendidikan sekolah dasar sebanyak 15,4
%, pendidikan sekolah menengah pertama sebanyak 26,9 %, pendidikan
sekolah menengah atas sebanyak 46,1 % dan pendidikan sarjana sebanyak
11,6 %. Berdasarkan sebaran diatas ibu yang berpendidikan sekolah
menengah atas merupakan pendidikan ibu sampel yang terbanyak yaitu 46,1
%. Jadi untuk sebaran sampel berdasarkan pendidikan keluarga baik ayah
maupun ibu yang terbanyak adalah pendidikan sekolah menengah atas
masing – masing ayah sebanyak 42,3 % dan ibu sebanyak 46,1 %.
Pada tabel 7 sebaran sampel berdasarkan karakteristik keluarga yang
dilihat dari pekerjaan ayah sampel yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil
sebanyak 38,6 %, bekerja sebagai wiraswasta, tukang dan petani masing-
masing 19,2 %, dan bekerja sebagai sopir sebanyak 3,8 %. Melihat sebaran
diatas sebaran sampel berdasarkan pekerjaan ayah yang terbanyak adalah
pekerjaan ayah sebagai pegawai negeri sipil yaitu 38,6 %. Untuk sebaran
sampel berdasarkan pekerjaan ibu adalah ibu yang bekerja sebagai pegawai
negeri sipil sebanyak 3,8 %, ibu bekerja sebagai guru honor sebanyak 11,6 %,
ibu bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 26,9 %, ibu bekerja sebagai petani
sebanyak 15,4 % dan ibu sebagai ibu rumah tangga sebanyak 42,3 %.
Berdasarkan sebaran diatas sebaran berdasarkan pekerjaan ibu adalah ibu
sebagai rumah tangga yaitu sebanyak 42,3 %.
c. Karakteristk Sampel Berdasarkan Status Gizi
Penilaian status gizi dilakukan dengan cara menilai status gizi berdasarkan
berat badan menurut umur (BB/U), Tinggi badan menurut umur (TB/U) dan
indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). Pengukuran berat badan dan
tinggi badan menggunakan timbangan berat badan dan mikrotoise. Setelah
pengambilan data kemudian data diolah dengan menggunakan software WHO
Antro Plus untuk menentukan status gizi sampel. Penentuan status gizi
berdasarkan Z – score. Dari hasil penilaian status gizi diperoleh data sebagai
berikut:
a. Status Gizi Berdasarkan Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Data yang diperoleh melalui penilaian status gizi berdasarkan berat
badan menurut umur (BB/U) dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Sebaran Status Gizi Berdasarkan Berat Badan Menurut Umur(BB/U) Anak SD N 1 Tirawuta Kecamatan Pondidaha
Kabupaten Konawe Tahun 2015
Kategori Status gizi(BB/U)
KelompokPerlakuan Kontrol Totaln % n % n %
Gizi Buruk 0 0 1 7,7 1 3,8Gizi Kurang 1 7,7 2 15,4 3 11,5
Gizi Baik 12 92,3 10 76,9 22 84,7Total 13 100 13 100 26 100
Sumber : Data Primer, 2015
Pada tabel 8 menunjukan bahwa sebaran sampel berdasarkan berat
badan menurut umur (BB/U) anak sekolah dasar negeri 1 Tirawuta terdiri
atas gizi buruk sebanyak 3,8 %, gizi kurang sebanyak 11,5 %, dan gizi baik
sebanyak 84,7 %. Untuk persentase terbanyak status gizi berdasarkan
berat badan menurut umur (BB/U) adalah gizi baik yaitu sebanyak 84,7 %
dari jumlah sampel sebanyak 26 orang.
b. Status Gizi Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Data yang diperoleh melalui penilaian status gizi berdasarkan tinggi badan
menurut umur (TB/U) dapat dilihat melalui tabel 9.
Tabel 9. Sebaran Status Gizi Berdasarkan Tinggi Badan MenurutUmur (TB/U) anak SD N 1 Tirawuta Kecamatan Pondidaha
Kabupaten Konawe Tahun 2015
Kategori Status giziTB/U
KelompokPerlakuan Kontrol Total
n % n % n %Sangat Pendek 1 7,7 1 7,7 2 7,7
Pendek 2 15,4 5 38,4 7 26,9Normal 10 76,9 7 53,8 17 65,4Total 13 100 13 100 26 100
Sumber : Data Primer, 2015
Pada tabel 9 diatas menunjukan bahwa sebaran sampel berdasarkan
tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah sampel yang memiliki tinggi
badan sangat pendek sebanyak 7,7 %, sampel memiliki tinggi badan
pendek sebanyak 26,9 % dan sampel memiliki tinggi badan normal
sebanyak 65,4 %. Jadi berdasarkan tabel 9 sebaran status gizi
berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) persentase terbanyak
adalah sampel yang memiliki tinggi badan normal yaitu sebanyak 65,4 %
dari jumlah sampel 26 orang.
c. Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)
Data yang diperoleh melalui penilaian status gizi berdasarkan indeks
massa tubuh menurut (IMT/U) dapat dilihat melalui tabel 10.
Tabel 10. Sebaran Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuhmenurut Umur (IMT/U) anak SD N 1 Tirawuta Kecamatan
Pondidaha Kabupaten Konawe tahun 2015
Kategori Statusgizi
IMT/U
KelompokPerlakuan Kontrol Totaln % n % n %
Sangat Kurus 0 0 1 7,7 1 3,8Kurus 1 7,7 2 15,4 3 11,5
Normal 12 92,3 10 76,9 22 84,6Total 13 100 13 100 26 100
Sumber : Data Primer, 2015
Pada tabel 10 menunjukan bahwa sebaran sampel berdasarkan indeks
massa tubuh menurut umur, sampel yang tergolong sangat kurus
sebanyak 3,8 %, sampel yang tergolong kurus sebanyak 11,5 % dan
sampel yang tergolong status gizi normal sebanyak 84,7 %. Jadi
berdasarkan tabel 10 sebaran sampel terbanyak berdasarkan indeks
massa tubuh menurut umur (IMT/U) adalah sampel yang memiliki status
gizi normal yaitu 84,7 % dari jumlah sampel sebanyak 26 orang.
d. Sebaran Sampel Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi, Protein,
Lemak, dan Karbohidrat
Data mengenai asupan gizi sampel diperoleh melalui recall 24
jam, dan dilakukan pada awal penelitian dan akhir penelitian. Hasil recall
kemudian diolah dengan menggunakan software nutrisurvey. Data
tingkat konsumsi zat gizi berupa tingkat konsumsi energi, tingkat
konsumsi protein, tingkat konsumsi lemak, dan tingkat konsumsi
karbohidrat. Setelah hasil recall diolah lalu diperoleh data asupan
tiap-tiap sampel kemudian dirata-ratakan lalu dibagi dengan angka
kecukupan gizi 2013 berdasarkan umur dan jenis kelamin dari masing-
masing sampel.
Adapun data yang diperoleh mengenai tingkat konsumsi energi,
protein, lemak, dan karbohidrat dapat dilihat melalui tabel 11.
Tabel 11. Sebaran Sampel Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi,Protein, Lemak, Dan Karbohidrat Anak SD N 1 TirawutaKecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe Tahun 2015.
TingkatKonsusmsi
KelompokPerlakuan Kontrol Totaln % n % n %
EnergiCukup 12 92,3 10 76.9 22 84.6Kurang 1 7,7 3 23.1 4 15.4Total 13 100 13 100 26 100
ProteinCukup 6 46,2 3 23,1 9 34,6Kurang 7 53,8 10 76,9 17 65,4Total 13 100 13 100 26 100
LemakKurang 13 100 13 100 26 100Total 13 100 13 100 26 100
KarbohidratCukup 9 69,2 10 76,9 19 73,1Kurang 4 30,8 3 23,1 7 26,9Total 13 100 13 100 26 100
Sumber : Data primer, 2015
Tabel 11 menunjukan bahwa sebaran sampel berdasarkan
tingkat konsumsi energi, protein, lemak, dan karbohidrat. Tingkat konsumsi
energi asupan yang tergolong cukup sebanyak 84,6 % dan tingkat
konsumsi energi yang asupannya tergolong kurang sebanyak 15,4 %. Jadi
untuk sebaran sampel berdasarkan tingkat konsumsi energi tergolong
cukup yaitu 84.6 % dari jumlah sampel sebanyak 26 orang.
Sebaran sampel berdasarkan tingkat konsumsi protein, asupan
protein yang tergolong cukup sebanyak 34,6 %, untuk asupan protein yang
tergolong kurang sebanyak 65,4 %. Sebaran sampel berdasarkan asupan
protein tergolong kurang yaitu 65,4 %.Sebaran sampel berdasarkan tingkat
konsumsi lemak, asupan lemak tergolong kurang sebanyak 100 %.
Sebaran sampel berdasarkan tingkat konsumsi karbohidrat
asupan sampel yang tergolong cukup sebanyak 73,1 % dan asupan
karbohidrat yang tergolong kurang sebanyak 26,9 %. Jadi sebaran sampel
berdasarkan tingkat konsumsi karbohidrat tergolong cukup yaitu 73,1 %.
e. Sebaran Sampel Berdasarkan Konsumsi Makanan Yang Mengandung
Iodium
Penilaian asupan iodium dilakukan dengan melihat konsumsi
sampel terhadap makanan yang mengandung iodium. Data diperoleh dari
hasil recall yang dilakukan pada saat penelitian. Makanan yang banyak
mengandung iodium adalah makanan yang bersumber dari laut seperti
ikan, cumi – cumi, udang, rumput laut dan kerang.
Sebaran sampel berdasarkan konsumsi makanan yang
mengandung iodium dapat dilihat melalui tabel 12.
Tabel 12. Sebaran Sampel Berdasarkan Konsumsi Makanan YangMengandung Iodium Anak SD N 1 Tirawuta KecamatanPondidaha Kabupaten Konawe Tahun 2015
SusunanMakanan
KelompokPerlakuan Kontrol Total
n % n % n %Ikan+Telur+Somay 2 15,4 3 23,1 5 19,2
Ikan+TelurIkan+SomayTelur+Somay
IkanTelur
Somay
312401
23,17,7
15,430,8
07,7
202141
15,40
15,47,7
30,87,7
514542
19,23,8
15,419,215,47,7
Total 13 100 13 100 26 100Sumber : Data primer, 2015
Sebaran sampel berdasarkan konsumsi makanan yang
mengandung iodium pada tabel 12 menunjukan bahwa jenis makanan
yang dikonsumsi sampel adalah jenis makanan ikan + telur + somay dan
jenis makanan ikan + telur serta jenis makanan ikan masing – masing
sebesar 19,2 %.
Gambar. 12. Grafik Konsumsi Sumber Iodium
15.423.1
7.715.4
30.8
07.7
23.115.4
0
15.47.7
30.8
7.7
Konsumsi Sumber Iodium
Perlakuan Kontrol
f. Sebaran Sampel Berdasarkan Penggunaan Garam beryodium
Untuk mengetahui kandungan iodium garam yang digunakan
sampel, setiap sampel diwajibkan untuk membawa contoh garam yang
digunakan dirumah sebagai garam dapur. Garam disimpan pada wadah
garam (pembungkus garam) untuk mengetahui merk garam yang
digunakan. Setelah itu garam diberi label kemudian dilakukan pemeriksaan
kandungan iodium garam dilaboratorium jurusan gizi Kendari dengan
menggunakan metode iodometri.
Sebaran sampel berdasarkan penggunaan garam beryodium
sampel dapat dilihat melalui tabel 13.
Tabel 13. Sebaran Sampel Berdasarkan Pengunaan Garam BeryodiumAnak SD N 1 Tirawuta Kecamatan Pondidaha Kabupaten
Konawe Tahun 2015
KandunganIodium
KelompokPerlakuan Kontrol Total
Cukup 13 100 13 100 26 100Total 13 100 13 100 26 100
Sumber : Data primer, 2015
Sebaran sampel berdasarkan penggunaan garam beryodium,
100 % menggunakan garam yang mengandung iodium cukup.
g. Sebaran Sampel Berdasarkan Tingkat Pembesaran Kelenjar Gondok
Sebaran sampel berdasarkan tingkat pembesaran kelenjar gondok
dilihat berdasarkan grade. Grade pada penderita gangguan akibat
kekurangan iodium terdiri dari 3 grade yaitu grade 0 dimana pembesaran
kelenjar gondok tidak teraba dan tidak terlihat, grade 1 dimana
pembesaran kelenjar gondok tidak terlihat tapi teraba sedangkan grade 2
adalah pembesaran kelenjar gondok terlihat pada posisi normal.
Sebaran sampel berdasarkan pembesaran kelenjar gondok dapat
dilihat melalui tabel 14.
Tabel 14. Sebaran Sampel Berdasarkan Tingkat Pembesaran KelenjarGondok Anak SD N 1 Tirawuta Kecamatan Pondidaha
Kabupaten Konawe Tahun 2015
TingkatPembesaran
Kelenjar Gondok
KelompokPerlakuan Kontrol Total
Grade 0 11 84,6 13 100 24 92,3Grade 1 2 15,4 0 0 2 7,7
Total 13 100 13 100 26 100Sumber : Data primer, 2015
Pada tabel 14 menunjukan bahwa sebaran sampel berdasarkan
tingkat pembesaran kelanjar gondok, Pembesaran gondok sampel pada
grade 0 sebanyak 92,3 % dan pembesaran gondok pada grade 1
sebanyak 7,7 %.
2. PENGARUH PEMBERIAN TELUR BERIODIUM TERHADAP EKSKRESI
IODIUM URIN (EIU)
1. Kandungan Iodium Garam Lososa
Garam Lososa (Low Sodium Slat) adalah garam yang digunakan
dalam penelitian ini sebagai bahan dalam pembuatan telur beriodium.
Selain garam lososa sebagai garam rendah natrium, kandungan iodium
pada label garam lososa sebanyak 40 – 80 ppm.
Gambar 12. Garam Lososa
Langkah pertama pembuatan telur beriodium sebagai bahan
intervensi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan garam lososa.
Kandungan iodium pada garam lososa adalah 49,67 ppm. Besarnya
kandungan iodium garam lososa diperoleh melalui pemeriksaan garam
beriodium yang dilakukan dengan metode iodometri pada Balai POM
Kendari.
2. Kandungan Iodium Telur Beriodium
Telur beriodium dibuat kemudian dipilih salah satu telur beriodium
yang tepat untuk diberikan kepada sampel penelitian. Bahan
pembuatan telur beriodium pada penelitian ini terdiri atas telur bebek,
abu gosok, garam lososa dan air. Perbandingan antara abu gosok dan
garam lososa adalah 25 gram lososa dan abu gosok sebanyak 50 gram
setiap butir telur. Pemeraman telur dilakukan selama 3 hari, 5 hari, 7
hari dan 10 hari. Setelah telur diperam kemudian telur direbus selama
kurang lebih 30 menit.
Telur beriodium yang telah matang kemudian diperiksa
kandungan iodium dengan menggunakan metode serium yang
dilakukan di laboratorium MIPA UNHALU. Pemeriksaan dilakukan
sebanyak 3 kali pada telur beriodium. Adapun hasil dari
masing – masing telur beriodium dapat dilihat melalui tabel 15.
Tabel 15. Kandungan Iodium Pada Telur BeriodiumLama
PemeramanTelur
Kandungan iodium Rata – rata(µg/L)Perlakuan
1 (µg/L)Perlakuan2 (µg/L)
Perlakuan3 (µg/L)
3 hari 32,81 34,26 30,82 32,635 hari 39,98 39,72 39,92 39,877 hari 42,37 39,70 40,07 40,71
10 hari 47,07 45,21 39,23 43,38Sumber : Data primer, 2015
Tabel 15 menunjukan kandungan iodium pada telur beriodium
berdasarkan hari pemeraman. Telur beriodium dengan pemeraman
selama 3 hari menghasilkan telur beriodium dengan kandungan iodium
sebanyak 32,81 µg/L, pemeraman selama 5 hari sebanyak 39,98 µg/L,
pemeraman selama 7 hari sebanyak 42,37 µg/L dan pemeraman
selama 10 hari sebanyak 47,07 µg/L.
Kandungan iodium telur beriodium yang telah diperam selama 3
hari, 5 hari, 7 hari dan 10 hari dapat dilihat melalui gambar 13.
Gambar 13. Kandungan Iodium Telur
Berdasarkan kandungan gizi telur kandungan iodium terbanyak
adalah pada telur dengan pemeraman 10 hari yaitu 47,07 µg. Secara
organoleptik dilihat dari rasa, warna, dan aroma telur dengan
pemeramanan 5 hari adalah telur yang paling baik. Oleh karena itu telur
dengan pemeraman 5 hari digunakan sebagai bahan intervensi kepada
sampel kelompok perlakuan yang mengalami defisiensi iodium.
3. Pengaruh Pemberian Telur Beriodium Terhadap Ekskresi Iodium urin (EIU)
Tabel 16. Perubahan Ekskresi Iodium Urin Pada Kelompok PerlakuanDan Kelompok Kontrol.
Variabel Kelompok Perlakuan P Kelompok kontrol P
Sebelum Sesudah Value* Sebelum Sesudah Value*
Ekskresiiodium Urin
(EIU)79,96±12,56 92,36±21,76 0,009 78,64±11,85 85,02±9,48 0,052
* Paired Test
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
3 5 7 10
µg/
L
Hari
KANDUNGAN IODIUM
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
Gambar 14. Peningkatan EIU Pada Kelompok Perlakuan DanKelompok Kontrol
Pada gambar 14 menunjukan bahwa pada kedua kelompok terjadi
peningkatan kadar ekskresi iodium urin, namun lebih peningkatan lebih
tinggi pada kelompok perlakuan.
Tabel 17. Perubahan Ekskresi Iodium Urin Pada Kelompok PerlakuanDan Kelompok Kontrol.
Kelompok Sebelum Sesudah p value* Δ
Perlakuan 79,96±12,56 92,36±21,76 0.009 12.4
Kontrol 78,64±11,85 85,02±9,48 0.052 6.38
p value ** 0.78 0.27 0.001***
* = Paired t-test
** = Independent samples test
*** = Paired t-test
Pada tabel 16 dan 17 menunjukan bahwa sampel pada
kelompok perlakuan mengalami peningkatan kadar ekskresi iodium urin
Sebelum Sesudah
79.96
92.36
78.64
85.02
Kadar EIU
Perlakuan Kontrol
(EIU) sebelum pemberian telur beriodium nilai rata – rata EIU adalah
79,96 µg/L setelah diberikan telur beriodium meningkat menjadi 92,36
µg/L dan berbeda secara bermakna dimana nilai P = 0,009, sedang
pada kelompok kontrol mengalami peningkatan kadar ekskresi iodium
urin sebelum pemberian nilai rata – rata EIU adalah 78,64 setelah diberi
telur placebo meningkat menjadi 85,02 namun tidak berbeda secara
bermakna setelah perlakuan dimana nilai P = 0.052.
B. PEMBAHASAN
1. Telur Beriodium
Telur yang digunakan untuk membuat telur beriodium adalah telur
bebek. Telur bebek sangat cocok dibuat telur beriodium karena memiliki
pori – pori yang besar dibanding telur lain. Menurut Arunlertaree et al. (2007)
efisiensi penyerapan kulit telur bebek lebih tinggi dari telur ayam, karena kulit
telur bebek memiliki lebih banyak pori-pori per sentimeter persegi dari telur
ayam. Hal ini akan memudahkan proses difusi garam ke dalam telur. Garam
dapat berasal dari NaCl garam yang digunakan dalam proses pengasinan dan
juga dapat berasal pada media yang digunakan.
Pembuatan telur beriodium dilakukan dengan media abu gosok,
pemilihan media abu gosok dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya
bahwa penggunaan media abu gosok lebih baik dalam penyerapan iodium
dibanding dengan media batu bata.
Pada penelitian Candra Puspitasari, dkk (2014), telur asin dengan
media abu gosok memiliki kadar iodium lebih tinggi daripada telur asin dengan
media batu bata dikarenakan abu gosok mampu menahan atau menyerap air
lebih banyak daripada bata merah. Iodium yang larut dalam air dapat tertahan
dan banyak yang terserap ke dalam telur bebek. Sedangkan telur asin dengan
media bata merah memiliki kadar iodium lebih rendah dikarenakan media bata
merah memiliki daya serap air (daya tahan air) yang lebih rendah daripada
media abu gosok.
Hal ini senada dengan hasil penelitian Heru Yuniati dan
Almasyhuri (2012) yang menunjukkan bahwa media campuran abu gosok dan
garam iodium adalah media yang terbaik karena penetrasi iodium paling cepat.
Partikel abu gosok berbentuk kecil/halus sehingga jika abu gosok, garam dan
air dicampurkan menjadi satu adonan garam iodium yang telah mengion akan
terikat oleh partikel abu gosok. Ukuran partikel abu gosok yang relatif kecil ini
akan memungkinkan kontak dengan permukaan kulit telur. Partikel abu gosok
mengikat banyak ion-ion garam beriodium. Dengan adanya partikel yang
kontak dengan kulit telur maka memungkinkan iodium akan terdifusi ke dalam
telur melalui pori-pori kulit telur.
Pada prinsipnya pembuatan telur asin adalah proses difusi partikel
garam dari konsentrasi tinggi ke dalam telur bebek dengan konsentrasi rendah
melalui pori-pori kulit telur. Partikel yang berdifusi ke dalam telur asin berasal
dari pengasinan larutan (garam NaCl dan garam dari abu). Menurut Peck et al.
(2008) proses difusi pasif adalah metode yang biasa melintasi membran sel,
dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah dan tidak memerlukan energi dan
tergantung pada pH.
Selain penggunaan media abu gosok pembuatan telur beriodium
menggunakan garam losasa, dimana garam lososa 40 % NaCl lebih rendah
dibanding garam lain. Garam lososa adalah garam yang rendah natrium tujuan
penggunaan garam ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan iodium namun
tidak beresiko menyebabkan hipertensi.
Kandungan iodium telur pada penelitian ini adalah telur dengan
pemeraman 3 hari kandungan iodium sebanyak 32,63 µg/L, pemeraman telur
selama 5 hari kandungan iodium sebanyak 39,87 µg/L, pemeraman telur
selama 7 hari kandungan iodium sebanyak 40,71 µg/L, dan pemeraman telur
selama 10 hari kandungan iodium sebanyak 43,38 %. Penyerapan iodium
pada telur berdasarkan hari pemeraman mengalami peningkatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Yunita dkk, pada pembuatan telur
asin selama 5 hari kandungan iodium telur sebanyak 81,6 µg/L, telur asin
selama 10 hari kandungan iodium sebanyak 91,8 µg/L dan telur asin selama
20 hari menjadi 132 µg/L.
Peningkatan kandungan iodium sejalan dengan penelitian Yunita dkk,
(2012), Peningkatan iodium dalam telur tidak meningkat secara konsisten,
tetapi berfluktuatif. Pada periode I (hari ke-lima) peningkatan kadar iodiumnya
cukup menyolok, karena paling tinggi dibandingkan dengan periode II (hari
kesepuluh). Hal ini mungkin disebabkan karena pada periode I (hari kelima),
garam beriodium telah mengion sempurna sehingga ion-ion garam dan iodium
lebih banyak terdifusi secara maksimal kedalam telur melalui pori-pori kulit.
Sedangkan pada periode II (hari kesepuluh), ion-ion garam dan iodium telah
berkurang sehingga peningkatan iodium dalam telur tidak sebesar pada
periode I (hari kelima)
Namun kandungan iodium yang diserap telur berbeda. Perbedaan ini
mungkin terjadi karena Iodium yang larut dalam air banyak yang menguap dan
terbuang keluar bersama air yang tidak tertahan dalam abu gosok. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Saksono (2002) bahwa berpindahnya
iodium (sebagai KIO3) dari permukaan garam dapat terjadi “leaching”, di mana
air yang terdapat di permukaan garam dapat melarutkan / melepas KIO3 yang
menempel pada permukaan garam.
Menurut Yuniati dan Almasyhuri (2012) peningkatan ini sejalan dengan
bertambahnya waktu penggaraman. Selain itu, hal ini dimungkinkan terdapat
KIO3 yang menguap atau hilang selama proses pemasakan pada pembuatan
telur asin. Hal ini sesuai dengan Rachmawati (2002), dimana KIO3 dapat
mengalami kerusakan/ penguraian dengan beberapa faktor yang
mempengaruhi seperti kadar air, jenis garam, suhu, dan jenis media yang
bersifat higroskopis yang akan rentan rusak bila penyimpanan/ pembungkusan
tidak baik. Penyimpanan garam dalam wadah tertutup, menjaga garam tetap
kering dan mengurangi paparan dengan kelembaban udara.
Penggunaan garam lososa sebagai garam halus mungkin
mempengaruhi kandungan iodium yang diserap oleh telur. Menurut Yang
(2002), kandungan iodium dalam garam dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain jenis garam, asal garam, cara penyimpanan, cara pemakaian
garam, suhu, waktu penyimpanan, zat reduktor, jenis pengemas, kadar air,
cahaya dan sifat keasaman, tingkat kemurnian garam dan adanya kotoran
yang bersifat higroskopis yang mengganggu kestabilan iodium (senyawa
kalsium dan magnesium), maupun yang bersifat pereduksi.
Pada penelitian ini telur beriodium yang dipilih sebagai bahan intervensi
adalah telur beriodium yang diperam selama 5 hari dengan kandungan iodium
sebanyak 39,87 µg/L. Bila dilihat dari kandungan iodium telur beriodium yang
diperam selama 10 hari lebih banyak kandungan iodium yaitu 43,38 µg/L.
Namun secara organoleptik dari segi rasa telur dengan pemeraman 5 hari
rasanya tidak terlalu asin dibanding telur dengan pemeraman 7 dan 10 hari.
Berdasarkan pertimbangan diatas maka telur beriodium selama 5 hari
dipilih sebagai bahan intervensi. Telur beriodium yang diberikan kepada
kelompok perlakuan dan telur placebo yang diberikan kepada kelompok
Kontrol tidak bisa dibedakan oleh sampel kelompok perlakuan maupun sampel
kelompok Kontrol.
2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Ekskresi Iodium Urin (EIU)
a. Asupan Makanan
Asupan iodium dapat diperoleh melalui makanan dan air minum.
Kandungan iodium dalam bahan makanan sangat bervariasi, tetapi bahan
makanan yang berasal dari laut merupakan sumber iodium terbaik. Ikan yang
berasal dari laut mengandung iodium hampir 30 kali lipat dibanding ikan air
tawar dan lebih sedikit pada susu, telur dan daging. Sumber iodium yang
berasal dari tanaman lebih banyak terdapat pada sayuran daun dibandingkan
bagian umbi. Namun demikian kadar iodium berbeda-beda antara daerah satu
dengan daerah lainnya.
Konsumsi iodium yang dianjurkan untuk anak sekolah (10 – 12 tahun)
adalah 120 µg/hari. Pada fase tersebut kebutuhan iodium relative lebih besar,
sehingga defisiensi iodium pada fasse ini mudah sekali menyebabkan
pembesaran kelenjar gondok. Sebagai mekanisme kompensasi terhadap
penurunan hormon tiroksin. Hormon tiroksin berperan pada metabolisme
protein yang sangat penting bagi perkembangan sel otot dan tulang.
Kadar iodium makanan sampel tergolong kurang dikarenakan banyak
sampel penelitian kurang mengkonsumsi makanan sumber iodium yang baik.
Kebanyakan dari mereka lebih banyak mengkonsumsi makanan sumber
karbohidrat yaitu nasi dan mie.
Prevalensi gondok, menjadi indikator untuk menyatakan endemisitas
defisiensi yodium di suatu wilayah, dan menjadi masalah kesehatan
masyarakat dengan ambang batas 5%. Penelitian ini menemukan prevalensi
gondok pada anak sekolah sebesar 7,7%. Hal ini membuktikan bahwa wilayah
penelitian tergolong endemis tingkat ringan.
Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi gondok yang lebih tinggi,
seperti di Iran sebesar 22,8%,21 dan di India 18,8%.22 WHO membuat
kategori endemisitas suatu wilayah berdasarkan TGR, yaitu TGR di bawah 5%
dikategorikan sebagai cukup yodium; TGR 5,0 – 19,9% dikategorikan sebagai
defisiensi yodium tingkat ringan; TGR 20,0 – 29,9% dikategorikan sebagai
defisiensi yodium tingkat sedang; dan di atas 30% dikategorikan sebagai
defisiensi yodium tingkat berat. ( Mutalazimah, 2013)
Penelitian ini menemukan bahwa gondok dialami oleh sampel yang
mempunyai EIU kurang dan asupan iodium kurang ini dilihat dari hasil recall
dimana sampel lebih sering mengkonsumsi mie instant sebagai pengganti ikan.
Salah satu makanan sumber iodium adalah ikan. Asupan iodium kurang
menyebabkan kelenjar tiroid memaksa mengeluarkan hormon tiroid sehingga
terjadi pembesaran kelenjar tiroid atau gondok.
Walaupun sebagian sampel mengkonsumsi ikan namun EIU tetap
rendah, asupan iodium yang kurang dapat disebabkan karena cara
pengolahan ikan. Kandungan yodium dalam bahan makanan dapat hilang
melalui proses pengolahan. Dijumpai kandungan yodium pada ikan dapat
hilang melalui proses pengolahan yang dilakukan, misalnya : kehilangan
yodium dengan cara menggoreng sebanyak 29-35%, memanggang atau
membakar sebanyak 23-25%, dan dengan cara merebus (terbuka), yodium
yang hilang sebanyak 58-70% (Hetzel, 1988).
Selain proses pengolahan makanan penggunaan bumbu masak juga
dapat menurunkan kandungan iodium dalam makanan. Arhya (1996) dalam
Gunanti, dkk (1999) melaporkan bahwa makanan yang dicampur dengan
cabai, terasi, ketumbar dan merica serta asam jeruk dan cuka akan
menurunkan dengan tajam kandungan yodiumnya.
Kebiasaan masyarakat Tirawuta dalam mengkonsumsi sinonggi
(makanan yang terbuat dari sagu) dimana dalam mengkonsumsi sagu
biasanya ikan sebagai lauk hewani dalam mengkonsumsi sinonggi dimasak
menggunakan asam kemudian kuah dari ikan tersebut diberi jeruk nipis dan
cabe rawit dan digunakan sebagai kuah sinonggi. Mungkin ini menjadi salah
satu penyebab sehingga asupan iodium anak sekolah dasar di Tirawuta
Kecamatan Pondidaha kabupaten Konawe.
b. Garam Beryodium
Selain bahan makanan dan hasil laut, garam beriodium juga merupakan
alternative sumber iodium,. Oleh karena itu perlu diketahui pula mengenai
garam yang mengandung cukup iodium. Kadar iodium yang rendah dalam
garam berisiko terjadinya kekurangan iodium dan timbulnya gejala
hipotiroidisme. Sebaliknya kadar iodium yang tinggi berisiko terjadinya
kelebihan iodium dan timbulnya gejala hipertiroidisme. Namun dampak dari
hipotiroidisme lebih serius yaitu kretin dibandingkan dengan dampak dari
hipertiroidisme. Kretin bersifat irreversible atau permanen atau tidak dapat
disembuhkan.
Secara nasional, perhitungan kebutuhan garam (beriodium) per orang
per hari adalah 10 gram. Jika konsumsi garam adalah 8 gram per hari dan
kadar iodium dalam garam 12.1 ppm iodium serta asumsi bahwa garam
beriodium berkontribusi rata-rata sekitar 80% asupan iodium sehari maka rata-
rata asupan iodium adalah asupan iodium dari garam adalah 97 μg sehari
ditambah iodium dari sumber lain sebesar 19 μg maka rata-rata asupan iodium
sehari adalah 116 μg. Jika bioavailability iodium adalah 92% maka rata-rata
asupan iodium sebenarnya 107 μg sehari.
Di negara industri (maju), garam yang digunakan dalam processed food
memberikan kontribusi sekitar 60-80% asupan garam. Sumber utama garam
dari processed food di negara tersebut adalah roti, produk olahan susu dan
olahan daging.(1) Sebaliknya, di masyarakat dimana sebagian besar makanan
disiapkan di rumah, garam rumah tangga adalah sumber utama iodium.
Demikian juga di negara dimana garam difortifikasi iodium, umumnya sumber
utama iodium adalah garam rumah tangga dan garam yang digunakan dalam
produksi makanan. (Djoko,dkk, 2014).
Penggunaan garam beryodium oleh sampel penelitian telah
menggunakan garam yang cukup mengandung iodium dimana kandungan
iodium yang digunakan adalah 37,23 – 44,56 ppm dengan merk garam Surya
Tenggara. Pada semua sampel menggunakan garam beryodium dengan merk
sama yaitu Surya Tenggara, hal ini terjadi karena adanya pemeriksaan garam
beryodium pada anak sekolah setiap bulan maret dan September dimana
petugas gizi menganjurkan menggunakan garam beryodium merk Surya
tenggara. Hal ini dilakukan berdasarkan pada pemeriksaan dengan
menggunakan iodium test pada garam Surya Tenggara warna ungu lebih tua
dibanding dengan garam lain.
Kandungan iodium garam semua sampel penelitian sudah baik, akan
tetapi tidak diketahui cara penggunaan garam tersebut pada saat penyimpanan
dan pemasakan. Cara menggunakan garam dalam proses pemasakan
mempengaruhi kadar iodium dalam garam sehingga dapat mempengaruhi
kadar EIU yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian cara penambahan garam
sebelum pemasakan menurunkan kadar iodium sampai 68,9 % sedangkan
pada penambahan saat siap saji hanya menurunkan 19,46 %. Terjadinya
penurunan kadar iodat dan penguraian iodat menjadi iodide ini menunjukan
adanya pengaruh yang nyata dari suhu dan lama pemasakan. Kandungan air,
cara pengolahan, bumbu masak, dan tingkat keasaman terhadap kestabilan
iodat. Proses perebusan, pengukusan dan penumisan menunjukan tingkat
kerusakan kadar iodat yang berbeda serta proses pengolahan makanan yang
lama cenderung menurunkan kadar iodium.
3. Pengaruh Pemberian Telur Beriodium Terhadap Ekskresi iodium Urin
(EIU)
Ekskresi Iodium Urin (EIU) merupakan refleksi asupan iodium harian,
karena sebagian besar (90%) iodium dikeluarkan melalui urin. Karenanya nilai
EIU merupakan indikator yang baik untuk mengukur asupan iodium harian.
Defisiensi atau ekses yodium diketahui dengan pemeriksaan kadar yodium
dalam urine sebagai indicator terbaik atau accurate marker. Hal tersebut
didasarkan pada alasan bahwa sebagian yodium yang tertelan diekskresikan
dalam urine sehingga pengukuran ekskresi iodium urine (EIU) memberikan
perkiraan yang akurat dari asupan yodium yang berasal dari makanan.
Nilai median volume urin 24 jam anak usia 7-15 tahun adalah sekitar 0.9
mL per jam per kilogram berat badan (0.0009 L per jam per kilogram berat
badan) atau sekitar 1 liter per hari. Jumlah urin yang diekskresikan dalam 24
jam bervariasi dan dipengaruhi oleh jumlah asupan cairan, penguapan tubuh
dan pernafasan serta aktifitas buang air besar. Rentang yang normal adalah
800-2000 mL sehari (jika asupan cairan sekitar 2 liter sehari) atau rata-rata
1500 mL sehari. Volume ekskresi urin di siang hari biasanya 2 - 4 kali lebih
banyak dibandingkan pada malam hari. Penggunaan nilai median dan bukan
nilai rata-rata untuk volume urin adalah karena nilai simpang baku nilai rata-
rata cukup besar sehingga grafiknya tidak normal.
Greenspan (2001), dalam Nita (2005) menjelaskan bahwa untuk
menggambarkan jumlah asupan iodium seseorang dapat didasarkan pada
pengukuran kadar iodium di dalam urin (UEI/Urinary Excretion Iodine), karena
sebagian besar (lebih dari 90%) iodium yang diabsorpsi dalam tubuh akhirnya
akan di ekskresi lewat urin, sedangkan ekskresi iodium di dalam feses dapat
diabaikan.
Pada penelitian ini pemberian telur beriodium mempengaruhi ekskresi
iodium urin (EIU) sampel pada kelompok perlakuan hal ini berdasarkan uji
statistic yang dilakukan dimana nilai P = 0,009. Sebelum pemberian telur
beriodium nilai rata – rata ekskresi iodium urin (EIU) pada kelompok perlakuan
adalah 79,96 µg/L setelah diberi telur beriodium meningkat menjadi 92,36 µg/L.
Pemberian telur beriodium mempengaruhi kadar ekskresi iodium urin,
hal ini hampir senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Rewer Thomas
(2006) mengatakan bahwa selain garam, makanan seperti ikan, susu, telur dan
daging dapat mempengaruhi ekskresi iodium urin. Ikan merupakan
penyumbang iodium disusul telur, susu dan daging. Telur juga merupakan
penyumbang iodium 3 kali lebih banyak dibanding susu.
Peningkatan kadar ekskresi iodium urin (EIU) pada kelompok perlakuan
mengalami peningkatan walaupun ekskresi iodium urin tidak mencapai
standar nilai normal yaitu 100 µg/L. Hal ini didukung dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wiyada Charoensiriwatana et all, menunjukan bahwa
pemberian telur beryodium meningkatkan nilai UIE setelah diberikan selama 5
hari berturut-turut pada wanita dewasa sebelum pemberian nilai EIU 7,00 mg/dl
meningkat menjadi 20,76 mg/dl dimana setiap telur mengandung 93,57 µg per
telur untuk berat 55-60 g telur dan 97,76 µg untuk berat 60-65 g telur.
Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan iodium dalam telur
beriodium jumlahnya masih kurang akibat hilang pada waktu pembuatan telur
beriodium dimana garam yang digunakan adalah garam halus yang memiliki
permukaan lebih luas sehingga mudah menguap pada saat dilarutkan dalam
air, selain itu hilangnya kandungan iodium mungkin terjadi pada saat proses
pemasakan telur beriodium yang direbus selama kurang lebih 30 menit. Selain
itu walaupun sampel telah menggunakan garam yang cukup mengandung
iodium namun tidak diketahui pasti cara penyimpanan dan cara menggunakan
dalam proses memasak.
Pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan yang signifikan dimana nilai
P = 0,052. Namun walaupun tidak berbeda secara bermakna tapi pada
kelompok kontrol mengalami peningkatan kadar ekskresi iodium urin. Dimana
rata – rata kadar ekskresi iodium urin sebelum diberi perlakuan adalah 78,64
µg/L setelah diberi perlakuan yaitu pemberian telur placebo meningkat menjadi
85,02 µg/L.
Peningkatan kadar ekskresi iodium urin pada kelompok kontrol setelah
di uji statistic tidak menunjukan perbedaan bermakna namun terjadi
peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan kelompok kontol yang diberi telur
placebo, dimana telur placebo mungkin mengandung iodium. Keterbatasan
penelitian ini adalah telur placebo tidak dianalisis kandungan iodiumnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Kandungan iodium pada telur beriodium yang diperam selama 3 hari
sebanyak 32,63 µg/L, telur beriodium yang diperam selama 5 hari
sebanyak 39,87 µg/L, telur yang diperam selama 7 hari sebanyak 40,71
µg/L dan telur beriodium yang diperam selama 10 hari sebanyak
43,38 µg/L
2. Besarnya perbedaan perubahan ekskresi iodium urin pada kelompok
perlakuan P = 0,009 yang artinya ada perbedaan yang bermakna sedang
pada kelompok kontrol P = 0,052 yang artinya tidak ada perbedaan yang
bermakna.
B. SARAN
Diharapkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Tirawuta untuk
mengkonsumsi telur beriodium sebagai salah satu sumber iodium mengingat
manfaat iodium bagi tubuh sangat penting dan akibatnya sangat fatal terutama
pada anak sebagai generasi penerus.
DAFTAR PUSTAKA
Arunlertaree, C., W. et all, 2007. Removal of lead from battery manufacturingwastewater by egg shell. Songklanakarin J. Sci. Technol., 29: 857-868.
Budiman Basuki, 2012. Status iodium di indonesia saat ini: perlunyapenajaman sasaran. Gizi Indon 2012, 35(1):1-9
Budiman Basuki, dkk, 2007. Hubungan antara konsumsi iodium dan gondokpada siswi berusia 15-17 tahun. Universa Medicina Vol. 26 No.2
Candra Puspitasari, dkk. 2014. Pengaruh Kombinasi Media Dan KonsentrasiIodium Pada Dua Jenis Garam (Nacl Dan Kcl) Terhadap Kadar IodiumDan Kualitas Sensoris Telur Asin. Jurnal Teknosains Pangan Vol 3 No.4 Oktober 2014
Danijela Ristic-Medic et all, 2009. Methods of assessment of iodine status inhumans: a systematic Review. Am J Clin Nutr 2009;89(suppl):2052S–69S. Printed in USA. _ 2009 American Society for Nutrition
Djoko K. dan Donny K.M. 2010. Asupan iodium anak usia sekolah diindonesia. Gizi Indon 2010, 33(1):8-19
Djoko Kartono, dkk, 2014. Perkiraan Asupan Iodium Dan NatriumMenggunakan Urin 24 Jam Pada Anak Dan Dewasa. MGMI Vol. 5, No.2, Juni 2014: 71-84
Djokomoeljanto R. 1992. Peran zat gizi mikro (iodium) dalam menurunkanangka mortalitas dan morbiditas anak. Gizi Indonesia.1992;17:6-14.
D. Nina sartini, 2012. Hubungan antara ekskresi iodium urin dan ekskresitiosianat urin dengan total goiter rate. Skripsi sarjana tidak untukdipublikasikan. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran FakultasKedokteran UNDIP Semarang.
Goyle A & Prakash S, 2011. Efficacy of Multi-micronutrient Fortified Biscuits onUrinary Iodine Levels of Adolescent Girls from Jaipur, India. Mal J Nutr17(2):143- 150, 2011
Gustina Indriati, dkk. Deteksi Iodium Dengan Ekskresi Iodium Urin (Eiu) PadaSiswa Sdn 8 Kecamatan Tanjung Gadang Sijunjung.
Gunanti, dkk, 1999. Kandungan Iodium Pada beberapa bahan makanan DlDaerah Pantai Endemik Dan Nonendemik. Buletin penelitian systemKesehatan – vol 3
Hetzel, B.S. 1988. The Prevention and Control of Iodine DeficiencyDisorders.ACCISCN State of Art Series. Nutrition Policy DiscussionPaper No. 3.
Lukito, G.A. et all. 2012. Effect of different levels of NaCl for salting method,elasticity and consumer passions rate on salted quail eggs. Anim. Agric.J., 1: 829-838.
Manalu, L. (2007). Pemeriksaan Kalium Iodat (KIO3) Dalam Garam dan AirYang Dikonsumsi Masyarakat Garoga Kabupaten Tapanuli Utara Tahun2000. Skrpsi FKM USU.
Michael B Zimmermann, et all, 2006. Iodine supplementation improvescognition in iodine-deficient schoolchildren in Albania: a randomized,controlled, double-blind study. Am J Clin Nutr 2006;83:108 –14. Printedin USA. © 2006 American Society for Nutrition
Michael J. Gibney et all, 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat (Public HealthNutrition). Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Mutalazimah, dkk, 2013. Asupan Yodium, Ekskresi Yodium Urine, Dan GoiterPada Wanita Usia Subur Di Daerah Endemis Defisiensi Yodium. JurnalKesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 3, Oktober 2013
Nofiyenti Elvia, 2011, Analisis Kalium iodat dalam garam dapur. SkripsiFakultas farmasi Universitas Sumatra utara Medan.
Ni Ketut Aryastami, et all, 2011, Iodine salt consumption in Indonesianhouseholds:Baseline Health Survey 2007. Peneliti pada PusatHumaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat,Jakarta.
Nita Galuh P, 2005. Perbedaan Peningkatan Kadar Iodium Dalam Urin AntaraAnak Sekolah Dasar Yang Ascariasis Dan Tidak Ascariasis SetelahPemberian Kapsul Iodiol. Tesis UNDIP.
Niva shapira PH.D., R.D., AGR, 2009. Modified egg as a nutritional supplementduring peak brain development: A new target for fortification. Nutritionand Health, 2009, Vol. 20, pp. 107-118
Nurul Husna Shukri , 2014. Iodine and Selenium Intake in a Sample of Women
of Childbearing Age in Palmerston North, New Zealand after Mandatory
Fortification of Bread with Iodised Salt. Food and Nutrition Sciences,
2014, 5, 382-389
Oktaviani Herlina, dkk, 2012. Pengaruh Pengasinan terhadap Kandungan ZatGizi Telur Bebek yang Diberi Limbah Udang.http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ Unnes J Life Sci
Peck, T.E., S. Hill and M.A. Williams, 2008. Pharmacology for Anaesthesia andIntensive Care. Cambridge University Press, UK., ISBN:9780521704632, Pages: 378.
Rachmawati B. 2002. Hubungan antara kadar yodium dalam garam konsumsidengan derajat endemisitas GAKY. In: Kongres Nasional IIIPerkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). Kumpulan Naskahlengkap Simposium GAKY. Semarang, Badan Penerbit UNDIP. Hal 67-75
Remer Thomas, et al, 2006. Longitudinal examination of 24-h urinary iodineexcretion in schoolchildren as a sensitive, hydration status–independentresearch tool for studying iodine status. Am J Clin Nutr 2006;83:639–46
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), 2007. Laporan Nasional. BadanPenelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan,Republik Indonesia Desember 2008
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), 2013. Badan Penelitian danPengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, RepublikIndonesia 2013.
Rosnah, dkk, 2012. Faktor – factor yang berhubungan dengan kandunganiodium urin (EIU) / status GAKY pada anak SDN 01 MandongaKecamatan Puuwatu kota Kendari Sulawesi Tenggara. Laporan HasilPenelitian Riset Pembinaan Tenaga Kesehatan Tahun 2012.
S Andhi Jusup, 2008. Efektifitas Garam Lososa Dalam MenghambatPeningkatan Tekanan Darah Dan Peroksida Lipid. Media Majalah IlmuFaal Indonesia Volume : 8 - No. 1 - 2008-10-01
Saksono, N.dkk, 2002. Stabilitas KIO3 dalam Berbagai Kwalitas GaramIndonesia, Jurusan Gas dan Petrokimia, Fakultas Teknik, UniversitasIndonesia. Jakarta.
Septyani S, 2011. Factor –Faktor Yang Berhubungan Dengan Ekskresi Iodium
Urin Pada Anak Sekolah Dasar N 1 Sumberejo Kecamatan
Randublatung Kabupaten Blora. Artikel Penelitian UNDIP.
Simone A. Johner, 2011. Current trends of 24-h urinary iodine excretion inGerman schoolchildren and the importance of iodised salt in processedfoods. British Journal of Nutrition (2011), 106, 1749–1756
Sutomo. 2007. Prestasi belajar anak yang menderita gaki dan tidak menderitagaki di daerah endemik berat di sd negeri 1 dan 2 tribudaya kecamatanamonggedo, kabupaten konawe, propinsi sulawesi tenggara. Skripsisarjana tidak untuk dipublikasikan. Jurusan Gizi Masyarakat danSumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor
Vicki L Clifton, 2013. The impact of iodine supplementation and breadfortification on urinary iodine concentrations in a mildly iodine deficientpopulation of pregnant women in South Australia. Clifton et al. NutritionJournal 2013, 12:32
Yang F. 2002. Epidemiological Survey on the relationship between differentiodine intakes and the prevalence of hyperthyroidism.China MedicalUniversity.European Journal of Endocrinology.Vol :146 pp 613-618
Yuniati Heru dkk, 2012. Pengaruh perbedaan media dan waktu pengasinanpada pembuatan telur asin terhadap kandungan iodium telur. MediaLitbang Kesehatan Volume 22 Nomor 3, September Tahun 2012
Wahyudi Eka Putra dkk, 2014. Pengaruh konsentrasi garam dan lamapenyimpanan terhadap daya terima produk telur itik asin rebus padamahasiswa ilmu gizi FKM Universitas Hasanuddin. Skripsi UniversitasHasanuddin.
Wiyada Charoensiriwatana, et all, 2010. Consuming iodine enriched eggs tosolve the iodine deficiency endemic for remote areas in Thailand.Charoensiriwatana et al. Nutrition Journal 2010, 9:68
WHO, 2001. Assessment of iodine deficiency disordersand monitoringtheir limination. Aguide for Programme managers Second edition. p.35 – 45
…….., Pengolahan pangan. Kantor Deputi Menegristek BidangPendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan danTeknologi.
KUESIONER
PENGARUH PEMBERIAN TELUR BERIODIUM TERHADAP EKSKRESIIODIUM URIN PENDERITA DEFISIENSI YODIUM PADA ANAK SEKOLAH
DASAR KECAMATAN PONDIDAHA KABUPATEN KONAWE
Kode :
No. Urut :
I. IDENTITAS SAMPEL
1. Nama sampel : ……………………………………………..
2. Tanggal lahir/ Umur sampel : ................................/ …… tahun
3. Agama :
4. Suku :
II. IDENTITAS ORANG TUA SAMPEL
1. Nama :
Ayah :
Ibu :
2. Umur
Ayah :
Ibu :
3. Agama :
Ayah :
Ibu :
4. Pekerjaan :
Ayah :
Ibu :
5. Pendidikan :
Ayah :
Ibu :
III. ANTROPOMETRI SAMPEL
1. Berat badan: …………………………… kg
2. Tinggi badan : ………………………......cm
RECALL 2 X 24 JAM HARI KE-1
Formulir Konsumsi makanan dan minuman
Nama Responden : Petugas :Tanggal :
Waktu
MakanMenu
Jenis bahan
Makanan
Jumlah
URT Gram
Pagi
Snack
Siang
Snack
Malam
RECALL 2 X 24 JAM HARI KE-2
Formulir Konsumsi makanan dan minuman
Nama Responden : Petugas :Tanggal :
Waktu
MakanMenu
Jenis bahan
Makanan
Jumlah
URT Gram
Pagi
Snack
Siang
Snack
Malam
Formulir Monitoring Intervensi
PENGARUH PEMBERIAN TELUR BERIODIUM TERHADAP EKSKRESIIODIUM URIN PENDERITA DEFISIENSI YODIUM PADA ANAK SEKOLAH
DASAR KECAMATAN PONDIDAHA KABUPATEN KONAWE
Kode : Nama Sampel :No Urut : Petugas :
Hari Ke Tanggal JamKonsumsi Telur
Ya Tidak
Hari - 1
Hari - 2
Hari - 3
Hari - 4
Hari - 5
Hari - 6
Hari - 7
Hari - 8
Hari - 9
Hari - 10
INFORMED CONSENT
SURAT PERSETUJUAN UNTUK MENJADI SAMPEL PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini adalah :
Nama :
Umur :
Alamat :
Telah mendapat penjelasan mengenai penelitian dengan judul “PENGARUH
PEMBERIAN TELUR BERIODIUM TERHADAP EKSKRESI IODIUM URIN
PADA PENDERITA GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM
(GAKY) ANAK SEKOLAH DASAR KECAMATAN PONDIDAHA
KABUPATEN KONAWE “ dan setuju untuk ikut dalam penelitian ini, dengan
catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun kami berhak
untuk membatalkan persetujuan ini.
Mengetahui Tirawuta,……… April 2015
Kepala Sekolah Yang menyetujui,
(__________________) (__________________)
Prosedur Melakukan Palpasi Pembesaran Kelenjar Gondok
a. Klien berdiri tegak/duduk menghadap pemeriksa
b. Pemeriksa melakukan pengamatan di daerah leher depan bagian bawah,
terutama pada lokasi kelenjar gondoknya
c. Mengamati apakah ada pembesaran kelenjar gondok (grade I atau II)
d. Jika bukan pembesaran gondok, klien diminta posisi tengadah dan menelan
ludah
e. Pemeriksa berdiri di belakang klien dan melakukan palpasi. Dua jari telunjuk
dan dua jari tengah diletakkan pada masing-masing lobus dan kelenjar
gondok, kemudian lakukan palpasi dengan meraba.
f. Menentukan diagnosis apakah klien menderita gondok atau tidak dengan
kriteria:
1) Jika salah satu atau kedua lobus kelenjar < ruas terakhir ibu jari klien =
normal
2) Jika salah satu atau kedua lobus kelenjar > ruas terakhir ibu jari klien =
gondok
Beberapa kondisi yang harus diperhatikan dalam melakukan palpasi gondok,
yaitu (Susilowati. 2008) :
a. Cahaya cukup menerangi bagian leher klien
b. Posisi mata pemeriksa sejajar dengan leher klien saat mengamati kelenjar
gondok
c. Palpasi tidak dilakukan terlalu keras atau lemah