PENGARUH MINYAK SERAI WANGI (Cymbopogon nardus L. … · umumnya menyerang unggas (Quinn et al. ......
Transcript of PENGARUH MINYAK SERAI WANGI (Cymbopogon nardus L. … · umumnya menyerang unggas (Quinn et al. ......
PENGARUH MINYAK SERAI WANGI (Cymbopogon nardus L.
Rendle) TERHADAP PERTUMBUHAN Microsporum canis
SECARA IN VITRO
PUTI PUSPITASARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Minyak Serai
Wangi (Cymbopogon nardus L. Rendle) terhadap Pertumbuhan Microsporum
canis secara In Vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Puti Puspitasari
NIM B04100043
ABSTRAK
PUTI PUSPITASARI. Pengaruh Minyak Serai Wangi (Cymbopogon nardus L.
Rendle) terhadap Pertumbuhan Microsporum canis secara In Vitro. Dibimbing
oleh AGUSTIN INDRAWATI.
Dermatofitosis merupakan salah satu penyakit kulit yang paling umum
menyerang manusia, hewan kesayangan, dan ternak. Penyakit ini secara luas
menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai tingkat keparahan. Dermatofitosis
disebabkan oleh tiga genus diantaranya Epidermophyton, Trichophyton, dan
Microsporum. Penularan sesama hewan, tingginya biaya pengobatan, sulitnya
pengendalian penyakit, dan dampak yang diberikan kepada masyarakat
menjelaskan pentingnya penyakit ini. Pengembangan pengobatan antifungal yang
lebih efektif dan tidak terlalu bersifat toksik sangat diperlukan. Tujuan dari
penelitian ini untuk mempelajari pengaruh minyak serai wangi terhadap infeksi
dermatofita yang disebabkan Microsporum canis. Pengujian kualitatif dilakukan
dengan menggunakan metode difusi cakram. Uji daya hambat minyak serai wangi
terhadap pertumbuhan koloni Microsporum canis yang dilakukan dengan tiga kali
ulangan menghasilkan diameter zona hambat berturut-turut sebesar 15.67 mm,
16.67 mm, dan 13.33 mm.
Kata kunci: in vitro, Microsporum canis, minyak serai wangi.
ABSTRACT
PUTI PUSPITASARI. The Effect of Citronella Oil (Cymbopogon nardus L.
Rendle) against Microsporum canis In Vitro. Supervised by AGUSTIN
INDRAWATI
Dermatophytoses are one of the most frequent skin diseases of human, pets
and livestock. The disease is widely distributed all over the world with various
degrees. There are three genera of mould that cause dermatophytosis. These are
Epidermophyton, Trichophyton and Microsporum. Contagiousness among animal
communities, high cost of treatment, difficulty of control and the public health
consequences explain their great importance. Development of more effective and
less toxic antifungal agents is required for the treatment of dermatophytosis. The
purpose of this research to investigate the effects of citronella oils against
dermatophytes infections caused by Microsporum canis. Qualitative testing
performed by using the disc diffusion method. Inhibition trials of citronella oil on
the growth of M. canis colony were performed by three repetitions, resulted in
diameter inhibition zone of 15.67 mm, 16.67 mm, and 13.33 mm respectively.
Keywords: citronella oil, in vitro, Microsporum canis.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
PENGARUH MINYAK SERAI WANGI (Cymbopogon nardus l.
Rendle) TERHADAP PERTUMBUHAN Microsporum canis
SECARA IN VITRO
PUTI PUSPITASARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya, sehingga skripsi dengan judul Pengaruh Minyak Serai Wangi
(Cymbopogon nardus L. Rendle) terhadap Pertumbuhan Microsporum canis
secara In Vitro dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Drh Agustin Indrawati, Mbiomed
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, nasihat, dan
bimbingan selama proses penulisan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa juga
penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Dr Drh Joko Pamungkas, MSc
selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingannya
selama penulis menjadi mahasiswa FKH IPB. Penulis juga ingin menyampaikan
terima kasih kepada Pak Ismet dan Ibu Esih di Lab Mikologi FKH IPB yang telah
banyak membantu penelitian ini. Terima kasih juga kepada teman satu penelitian
(Rinasti Rida Pangesti) atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar atas doa,
semangat, dan cinta yang telah diberikan. Selanjutnya ucapan terimakasih penulis
ucapkan kepada keluarga Acromion 47 dan sahabat-sahabat terbaik Arlita
Sariningrum, Pika Sati Suryani, Rahmayani, dan Asfi Royhani Latifah yang sama-
sama berjuang dalam menempuh pendidikan di IPB, khususnya kepada Deva
Krisna Kadarani, Ninditya Anggie Wiyani Putri dan Galang Laila Mubaraq yang
telah banyak membantu dalam proses mengerjakan skripsi ini. Penulis menyadari
penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat
berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2014
Puti Puspitasari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Dermatofitosis 2 Microsporum canis 3
Serai Wangi 3
Minyak Atsiri 5
BAHAN DAN METODE 6
Waktu dan Tempat Penelitian 6 Bahan dan Alat 6 Metodologi 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
SIMPULAN DAN SARAN 11 Simpulan 11
Saran 11 DAFTAR PUSTAKA 11
RIWAYAT HIDUP 13
DAFTAR TABEL
1 Diskripsi jenis tanaman serai wangi 5
2 Daya hambat antifungal terhadap pertumbuhan Microsporum canis
secara in vitro 9
3 Daya hambat minyak serai wangi terhadap pertumbuhan Microsporum
canis secara in vitro 10
DAFTAR GAMBAR
1 Gambaran makroskopis dan mikroskopis Microsporum canis 3 2 Tanaman serai wangi setelah berumur 4 hingga 5 tahun 4
3 Gambaran makroskopis Microsporum canis pada media DSA 8 4 Gambaran mikroskopis Microsporum canis 8
5 Zona hambat oleh clotrimazol, mikonazol, dan ketokonazol terhadap
pertumbuhan Microsporum canis secara in vitro 9
6 Hasil pengujian minyak serai wangi terhadap pertumbuhan
Microsporum canis dengan metode difusi cakram 9
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dermatofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh dermatofita.
Penyakit ini dianggap sebagai zoonosis yang paling umum menyerang manusia.
Dermatofita dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan afinitasnya terhadap
hospes. Zoophilic sebagai dermatofita yang secara normal ditemukan di hewan,
banyak diantaranya yang bisa ditularkan ke manusia. Anthropophilic yang secara
normal ditemukan di manusia dan geophilic yang berada di tanah.
Semua hewan yang telah didomestikasi peka terhadap kapang dermatofita.
Microsporum canis merupakan spesies yang paling umum menyerang anjing dan
kucing. Trichophyton verrucosum merupakan spesies yang penting pada sapi,
kambing, dan domba. T. equinum banyak menyerang kuda, M. nanum banyak
menyerang babi, dan T. gallinae umumnya menyerang unggas (Quinn et al.
2006).
Kucing adalah hewan kesayangan utama yang bertindak sebagai sumber
penularan dermatofita. Hal ini mungkin dikarenakan tingginya prevalensi infeksi
tersebut pada kucing jika dibandingkan dengan hewan kesayangan lainnya dan
kedekatan interaksi antara kucing dengan manusia. Transmisi atau penularan dari
hewan lain bisa saja terjadi terutama berasal dari hewan yang terinfeksi secara
klinis. Lesio yang ditimbulkan umumnya ditandai dengan kebotakan yang
berbentuk lingkaran pada daerah kepala dan muka. Lesio dapat menyebar ke
bagian tubuh lainnya (CFSPH 2005).
Dermatofitosis dapat pulih dengan sendirinya dan memakan waktu sekitar
dua sampai tiga bulan pada hewan yang sehat namun tingginya potensi penularan
penyakit ini membuat pengobatan terhadap dermatofitosis sangat dianjurkan.
Pengobatan secara topikal seperti mikonazol, enilkonazol, dan lime sulfur
merupakan terapi yang paling umum digunakan.
Daun dan tangkai serai wangi mengandung minyak atsiri sehingga dalam
dunia perdagangan dikenal dengan nama citronella oil. Bahan aktif utama yang
terkandung di dalamnya ialah senyawa aldehid (sitronelal) sebesar 30 hingga 45%
dan senyawa alkohol (sitronelol dan geraniol) sebesar 55% hingga 65% (Kardinan
2005). Menurut Hammer (2011) senyawa geraniol memiliki aktivitas
antimikrobial dan antifungal termasuk dermatofita Microsporum. Adanya geraniol
serta bahan aktif lainnya dalam serai wangi diharapkan mampu menghambat
aktivitas M. canis sebagai agen dermatofitosis.
Cara yang mudah untuk menetapkan kerentanan organisme terhadap suatu
senyawa adalah dengan menginokulasi pelat agar dengan biakan dan membiarkan
cakram yang mengandung senyawa tersebut berdifusi ke media agar. Efektivitas
antimikrobial ditunjukkan oleh zona bening yang terbentuk. Metode difusi cakram
telah digunakan secara luas dengan menggunakan cakram kertas saring yang
tersedia secara komersial. Metode ini mewakili prosedur sederhana untuk
menyelidiki aktivitas mikrobial suatu zat (Harmita dan Radji 2006).
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh minyak serai wangi
terhadap infeksi dermatofita yang disebabkan kapang dari spesies Microsporum
canis secara in vitro.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh
minyak serai wangi terhadap pertumbuhan kapang Microsporum canis secara in
vitro.
TINJAUAN PUSTAKA
Dermatofitosis
Dermatofitosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
kelompok kapang dermatofita meliputi genus Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Kelompok kapang ini bersifat keratinofilik, menyerang lapisan
superfisial tubuh seperti kulit, rambut, dan kuku. Microsporum dan Trichophyton
umumnya menyerang hewan dan manusia, sedangkan Epidermophyton hanya
menyerang manusia (CFSPH 2005).
Klasifikasi dermatofita menurut Hakim (2009):
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum, Trichophyton, Epidermophyton
Tiga langkah utama terjadinya infeksi dermatofit yaitu perlekatan dermatofit
pada keratin, penetrasi melalui dan di antara sel, serta terbentuknya respon imun.
Respon humoral dan cell-mediated akan tampak setelah infeksi. Reaksi
peradangan menghasilkan peningkatan proliferasi epidermal. Lesio yang muncul
pada kucing dapat berupa alopesia, scale, military dermatitis, nodul-nodul atau
bahkan tidak menunjukkan semua gejala di atas. Sedangkan pada anjing lesio
dapat berupa papula, pustula, alopecic nodules (kerion), dan draining tracts.
Dermatofitosis lebih banyak menyerang hewan yang sangat muda atau tua, hewan
yang menderita immunosupresi, dan hewan yang berada di tempat penitipan
sehingga mempercepat penyebaran (Schaer 2010). Menurut Soeharsono (2002)
lesio yang dimunculkan di anjing dan kucing cukup spesifik, yakni berbentuk
bulat atau oval dengan pinggir merah, yang meluas secara cepat, dan memiliki
diameter 1-4 cm. Selain itu ditemukan pula bentuk yang dikenal dengan nama
erythematous plaque yakni kulit sedikit terangkat dan menimbulkan keropeng.
Plaque semacam ini disebut kerion dan dapat terlepas dengan sendirinya. Lesio
yang dimunculkan di anjing lebih parah dibandingkan pada kucing.
3
Microsporum canis
Kedudukan taksonomi Microsporum canis menurut Hakim (2009):
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum
Spesies : Microsporum canis
Microsporum canis merupakan kelompok kapang yang juga diketahui
sebagai dermatofita penyebab dermatofitosis (ringworm) pada anjing dan kucing.
M. canis umumnya ditemukan di iklim yang lembab dan hangat. Menurut
Kurniati (2008) gambaran mikroskopis spesies ini memiliki multiseluler
makrokonidia dengan dinding yang tebal dan kasar. Bentuk menyerupai tong
dengan bagian apikal yang tidak simetris dan memiliki panjang 10-150 µm yang
terdiri dari 6-15 sel. Pertumbuhan koloni pada media kultur setelah empat hari
akan membentuk kapas putih di permukaan biakan dengan batas luar berwarna
kuning dan pada bagian bawah akan terlihat warna kuning tua hingga orange
(Gambar 1). Mikroorganisme ini memperoleh energi dari keratin yang terdapat
pada kuku, rambut, dan kulit dengan menyekresi keratinolytic protease
(Descamps et al. 2002).
M. canis memiliki konidium berbentuk silinder. Konidium merupakan sel
reproduksi aseksual atau bentuk jamak dari konidia. M. canis termasuk ke dalam
Ascomycota dengan fase seksual (telemorf) (Gandjar dan Sjamsuridzal 2006).
Gambar 1 Gambaran makroskopis dan mikroskopis Microsporum canis
Serai Wangi
Serai wangi memiliki nama latin Cymbopogon nardus, tetapi ada juga yang
menyebutnya dengan Andropogon nardus. Tanaman dari keluarga Graminae ini
merupakan herba menahun dengan tinggi 50-100 cm. Panjang daunnya mencapai
1 m dengan lebar 1.5 cm (Gambar 2). Tanaman ini secara tradisional digunakan
sebagai obat dan rempah. Tidak jarang masyarakat menggunakan akar serai wangi
sebagai obat demam (Kardinan 2005).
Kedudukan taksonomi tanaman serai wangi menurut Santoso (2007):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Trachebionta
4
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Graminae/Poaceae
Genus : Cymbopogon
Species : Cymbopogon nardus L. Rendle
\
Gambar 2 Tanaman serai wangi setelah berumur 4 hingga 5 tahun
Tanaman serai wangi di Indonesia umumnya dapat dipilah menjadi dua
jenis yaitu Mahapengiri dan Lenabatu. Tabel 1 menunjukkan diskripsi kedua jenis
serai wangi ini (Santoso 2007).
Kandungan minyak atsiri serai wangi sebesar 0.5% hingga 1.5% dan sisanya
merupakan limbah padat (ampas bahan baku) beserta air sisa penyulingan. Dalam
limbah tersebut diperkirakan masih mengandung senyawa volatil dan non-volatil
seperti terpen-terpen yang dapat digunakan sebagai insektisida atau pewangi
ruangan. Selama ini limbah padat penyulingan baru dimanfaatkan sebagai bahan
bakar penyulingan atau pupuk organik (Usmiati et al. 2005).
Daun dan tangkai serai wangi mengandung minyak atsiri yang dalam dunia
perdagangan disebut dengan citronella oil. Minyak serai wangi untuk keperluan
ekspor harus memiliki kadar geraniol minimum 85%, kadar sitronella minimum
35%, dan tidak mengandung zat asing. Bobot jenisnya berkisar 0.850-0.892 dan
indeks bias minyak berkisar 1.454-1.473. Bahan aktif utama yang dihasilkan
adalah senyawa aldehidehid (sitronelal-C10H16O) sebesar 30-45%, senyawa
alkohol (sitronelol-C10H20O dan geraniol-C10H18O) sebesar 55-65%, dan senyawa
lainnya seperti sitral, nerol, metil heptenon, dan dipentena (Kardinan 2005).
5
Ginanjar (2008) mengatakan bahwa minyak atsiri serai wangi mengandung bahan
aktif diantaranya geraniol, metil heptaton, terpen-terpen, terpen-alkohol, asam
organik, dan sitronelal.
Tabel 1 Diskripsi jenis tanaman serai wangi di Indonesia
No. Uraian Mahapengiri Lenabatu
1
1 Asal
Belum dapat dipastikan, diduga
berasal dari Srilangka namun di
pihak lain justru dianggap asli
Indonesia
Diperkenalkan dari Srilangka
2
2 Morfologi
Tumbuh berumpun dalam
bentuk lebih rendah dan lebar.
Daun berwarna hijau muda dan
bagian bawahnya agak kasar
Tumbuh berumpun dalam
bentuk lebih tinggi dan tegak.
Daun berwarna hijau kebiruan
dan kasar pada kedua
pinggirnya
33 Agronomi
Menghendaki pemeliharaan dan tanah yang lebih baik
Dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur dan
pemeliharaannya cukup mudah
4
4 Fisiologi
Menghasilkan minyak lebih
banyak dan bermutu tinggi.
Kadar geraniol 65-90% dan
sitronella 30-45%. Harum
minyaknya lebih unggul yaitu keras dan wangi. Warna minyak
antara tidak berwarna sampai
kuning muda
Menghasilkan minyak lebih
sedikit dan bermutu rendah.
Kadar geraniol 55-65% dan
sitronella 7-15%. Harum
minyaknya lebih lemah dan kurang wangi. Warna minyak
antara kuning sampai cokelat
muda
Senyawa sitronelal berperan sebagai bahan insektisida yang bersifat
antifeedant dan repellent (pengusir dan penghambat serangga), demikian halnya
dengan terpen yang diduga memiliki pengaruh terhadap perkembangbiakan
serangga (Usmiati et al. 2005). Senyawa aktif yang mempunyai potensi besar
sebagai antifungal menurut Nurmansyah (2010) adalah sitronelal, linalool,
geraniol, sitral, dan terpen.
Minyak Atsiri
Minyak atsiri merupakan salah satu jenis minyak nabati dengan banyak
manfaat. Karakteristik fisiknya berupa cairan yang dapat disimpan dalam suhu
ruang. Bahan baku minyak ini diperoleh dari berbagai bagian tanaman seperti
daun, bunga, buah, biji, kulit, batang, akar, atau rimpang. Salah satu ciri utama
minyak atsiri yaitu mudah menguap dan beraroma khas. Karena itu minyak ini
banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan wewangian dan kosmetika.
Kandungan minyak atsiri memiliki efek menenangkan (relaxing). Selain
memiliki aroma yang menenangkan, minyak atsiri juga memiliki manfaat untuk
kesehatan, seperti antiradang, antiserangga, afrodisiak, dan dekongestan. Wangi
yang dihasilkan minyak atsiri banyak dimanfaatkan sebagai bahan campuran
wewangian, pengikat bau (fixative perfume), ataupun bahan baku pengharum
ruangan. Minyak atsiri juga memiliki peranan yang penting dalam pembuatan
makanan yakni berguna sebagai penambah aroma dan rasa, sedangkan dalam
6
bidang pertanian beberapa jenis minyak atsiri digunakan sebagai pestisida alami
(Rusli 2010).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi Bagian Mikrobiologi
Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli 2013 hingga
Januari 2014.
Bahan dan Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah tabung reaksi, wadah
plastik, cawan Petri, ose, pembakar Bunsen, pipet tetes, pipet ukur, inkubator,
mesin sentrifugasi, mikroskop, gelas objek dan penutup, batang pengaduk kaca,
pinset, mikropipet, tabung reaksi, pervorator, dan kamera.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak serai wangi
yang diproduksi oleh PT Eagle Indo Pharma, biakan Microsporum canis yang
diperoleh dari Laboratorium Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, media
Dermatophyte Selective Agar (DSA), sabun pencuci tangan, alkohol 70%,
akuades, KOH 10%, Lactophenol Cotton Blue (LCB), ketokonazol 2% dari PT.
Kalbe Farma, mikonazol 2% dari PT. Kimia Farma, dan clotrimazol 1% dari
Konimex.
Komposisi agar DSA untuk 1 L terdiri atas Sabouraud’s Dextrose Agar
(SDA) 65 gram, cycloheximide 0.5 gram, chloramphenicol 1x250 mg kapsul,
yeast extract 5 gram, gentamicin (40 mg/ml) 0.65 ml, dan air destilata 1000 ml.
Metodologi
Kultur Microsporum canis
Isolat kapang M. canis diperoleh dari Laboratorium Mikologi Bagian
Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Kapang M. canis
diperbanyak dengan dibiakkan di dalam media DSA lalu diinkubasi pada suhu
berkisar antara 20-23 oC selama sepuluh hari. Pengamatan secara makroskopis
dan mikroskopis dilakukan untuk memastikan kapang yang tumbuh adalah M.
canis. Suspensi M. canis dibuat dengan menambahkan 10 ml akuades ke dalam
cawan biakan. Suspensi ini disentrifus hingga dihasilkan endapan dan supernatan.
Endapan dan supernatan dipisahkan dan masing-masing diinokulasikan ke media
DSA. Biakan ini ditunggu selama tujuh hari, kemudian dilihat sifat
pertumbuhannya. Pertumbuhan kapang yang terbaik selanjutnya akan digunakan
sebagai suspensi untuk pengujian (Geweely 2006).
7
Penghitungan Mikroorganisme
Suspensi endapan yang berisi makrokonidia dan mikrokonidia dihitung
jumlah selnya mengunakan counting chamber. Suspensi endapan diencerkan
sampai 1000x, lalu setiap suspensi endapan ditanam pada agar DSA untuk melihat
pertumbuhan kapang. Suspensi endapan dengan pengenceran 100x memiliki
jumlah koloni 100–150 koloni per cawan. Selanjutnya suspensi endapan ini akan
digunakan sebagai suspensi pengujian selanjutnya (Gholib dan Eni 2007).
Pengujian Antifungal dan Minyak Serai Wangi dengan Metode Difusi
Cakram
Suspensi endapan kapang dengan pengenceran 100x ditanam dengan cara
digoreskan ke media DSA. Kertas saring yang berbentuk lingkaran dengan
diameter 1 cm dicelupkan masing-masing ke dalam larutan antifungal yang akan
diuji yaitu ketokonazol 2%, mikonazol 2%, dan clotrimazol 1% sebanyak 0.006
ml (Suganda et al. 2013). Ketiga cakram ini diletakkan di atas media DSA dengan
jarak segitiga sama sisi. Metode ini dilakukan dengan tiga kali pengulangan.
Pengujian minyak serai wangi menggunakan metode yang sama dengan
clotrimazol 1% sebagai kontrol positif, dan akuades sebagai kontrol negatif.
Pengamatan Hasil
Pengamatan hasil dilakukan dengan cara observasi pertumbuhan koloni dan
zona bening di sekitar cakram. Cakram dengan clotrimazol 1% dan akuades
dijadikan acuan untuk melihat daya kerja dari minyak serai wangi. Pengamatan
dilakukan selama tujuh hari dan pengukuran dilakukan pada hari ke tujuh. Daerah
bening yang terlihat di sekeliling cakram menandakan adanya aktivitas pada
sampel (Gholib dan Eni 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Microsporum canis yang telah dibiakkan di media DSA dan diinkubasi
selama sepuluh hari menunjukkan gambaran makroskopis koloni berupa tekstur
seperti kapas, datar, berwarna putih kekuningan pada bagian atas dan berwarna
kuning tua pada bagian sebaliknya (Gambar 3). Gambaran mikroskopis yang
didapatkan setelah pengamatan diantaranya kapang ini memiliki hifa yang
bersepta, mikrokonidia, dan makrokonidia yang berbentuk oval memanjang
dengan bagian apikal lebih menonjol seperti sumbat serta dinding luar sel yang
tebal (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Kurniati (2008) bahwa
secara mikroskopis M. canis memiliki bentuk menyerupai tong (gelendong)
dengan bagian apikal yang tidak simetris. Jumlah sel pada makrokonidianya
terdiri atas 6-15 sel serta memiliki dinding luar yang tebal dan kasar. Gambaran
makroskopis koloni M. canis akan memberikan penampakan yang membentuk
kapas putih di permukaan biakan dengan batas luar berwarna kuning dan pada bagian bawah akan terlihat warna kuning tua hingga orange.
8
Gambar 3 Gambaran makroskopis Microsporum canis pada media DSA
Gambar 4 Gambaran mikroskopis Microsporum canis. Pembesaran 400x.
Campbell et al. (2013) mengatakan bahwa jenis kapang lain yang dapat
menjadi diagnosa pembanding berdasarkan penampilan makroskopis koloni
kapang diantaranya Trichophyton erinacei yang memiliki warna kuning lebih
terang dan putih pada bagian belakang media tanam sedangkan koloni
Microsporum spp. lainnya memiliki pinggiran yang gundul. M. equinum dan M.
distortum memiliki perbedaan secara mikroskopis pada ukuran makrokonidia
yang lebih kecil.
Penghitungan mikroorganisme yang dilakukan dengan menghitung jumlah
makrokonidia dan mikrokonidia pada kapang berumur tujuh hari yang dibiakkan
di cawan berdiameter ± 5 cm didapatkan 1 650 makrokonidia/ml dan 16 650
mikrokonidia/ml. Kurniati (2008) menyatakan M. canis membentuk makrokonidia
lebih banyak daripada mikrokonidia. Ketidaksesuaian hasil ini dikarenakan
pengamatan mikrokonidia dan makrokonidia dilakukan menggunakan mikroskop
cahaya yang kurang dapat membedakan struktur antara makrokonidia,
mikrokonidia, arthrospore dan makrokonidia muda (Mihali et al. 2012).
Pengujian antifungal menggunakan clotrimazol, mikonazol dan ketokonazol
menunjukkan hasil yang bervariasi terhadap pertumbuhan M. canis (Gambar 5).
Diameter zona bening yang terbentuk pada clotrimazol, mikonazol, dan
ketokonazol berturut-turut sebesar 37.0 mm, 18.5 mm, dan 12.5 mm (Tabel 2).
Berdasarkan pengujian ini maka kontrol positif yang dipilih untuk pengujian
selanjutnya ialah clotrimazol yang memiliki zona hambat terbesar.
Pengujian selanjutnya untuk melihat pengaruh minyak serai wangi
(Cymbopogon nardus L. Rendle) terhadap pertumbuhan M. canis memberikan
hasil bahwa minyak serai wangi dapat menghambat pertumbuhan koloni kapang tersebut (Gambar 6).
9
Clotrimazol Mikonazol Ketokonazol
Gambar 5 Zona hambat oleh clotrimazol, mikonazol, dan ketokonazol terhadap
pertumbuhan Microsporum canis secara in vitro
Tabel 2 Daya hambat antifungal terhadap pertumbuhan Microsporum canis
secara in vitro
Zat yang diuji
Diameter zona hambat (mm) Rata-rata
1 2 3
Clotrimazol
Mikonazol
Ketokonazol
38,8
18,8
14
37,8
17,8
12,2
34,4
18,8
11,4
37,0
18,5
12,5
Gambar 6 Hasil pengujian minyak serai wangi terhadap pertumbuhan
Microsporum canis dengan metode difusi cakram. (a) cakram
dengan minyak serai wangi, (b) cakram dengan akuades, dan (c)
cakram dengan clotrimazol 1%.
Minyak serai wangi memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan M. canis jika
dibandingkan dengan akuades sebagai kontrol negatif. Pengaruh yang diberikan
minyak serai wangi dalam menghambat pertumbuhan M. canis tidak terlalu kuat
jika dibandingkan dengan daya hambat dari clotrimazol 1% sebagai kontrol positif
(Tabel 3). Cawan petri pertama didapatkan rata-rata diameter koloni yang
dihambat sebesar 15.67 mm, cawan petri kedua sebesar 16.67 mm, dan cawan
10
petri ketiga sebesar 13.33 mm. Pengukuran diameter daya hambat dihitung setelah
tujuh hari diinkubasi pada suhu berkisar antara 20-23 oC.
Tabel 3 Daya hambat minyak serai wangi terhadap pertumbuhan Microsporum
canis secara in vitro
Cawan Diameter (mm)
Clotrimazol 1% Minyak serai wangi Akuades
1
37 13 -
34 15 -
35 19 -
Rata-rata 35.33 15.67 -
2
35 18 -
38 17 -
35 15 -
Rata-rata 36.00 16.67 -
3
38 14 -
34 13.5 -
37 12.5 -
Rata-rata 36.33 13.33 -
Metode difusi cakram (disk diffusion method) dalam melihat interaksi antara
essential oil atau komponennya dengan antimycotic memiliki beberapa
keuntungan dan kerugian (Amber et al. 2010). Keuntungan metode ini
diantaranya mudah dilakukan dalam jumlah besar dengan periode yang singkat
dan memungkinkan untuk memanfaatkan disk yang tersedia secara komersial
dengan kandungan antimycotic yang akan meningkatkan akurasi penyerapan
antimycotic ke dalam disk. Kerugian yang mungkin terjadi ialah adanya evaporasi
dari minyak dalam disk yang dapat mengubah hasil, difusi minyak ke dalam
media yang bervariasi sehingga memungkinkan adanya perubahan hasil, dan
belum adanya studi mengenai pengaruh waktu terhadap interaksi yang terjadi.
Sitronelal dan geraniol merupakan senyawa yang bersifat antifungal.
Keduanya termasuk kelompok terpenoid yang tergolong monoterpen yang mampu
menekan pertumbuhan kapang patogen. Senyawa-senyawa ini dapat menghambat
proses metabolisme kapang sehingga akan mengganggu pertumbuhan kapang.
Komponen kimia minyak atsiri yang bersifat antifungal mampu menembus
dinding sel kapang. Dengan demikian akan terjadi gangguan proses metabolisme
di dalam sel sehingga akan mengganggu pertumbuhan sel, dan pada konsentrasi
tertentu akan berakibat kematian sel kapang (Knobloch et al. 1989).
Terpenen atau terpenoid juga merupakan senyawa aktif yang dapat
menyerang kapang (Rana et al. 1997). Hammer (2011) menyebutkan bahwa
terpen termasuk ke dalam komponen minyak atsiri dengan aktivitas antimikrobial
paling aktif. Adanya aktivitas tersebut dimungkinkan karena sebagian gugus
alkohol yang membentuk senyawa terpen.
Hammer (2011) juga menjelaskan bahwa mekanisme minyak atsiri dalam
menangani mikroorganisme pada umumnya dengan menurunkan integritas dan
fungsi membran. Bertambahnya waktu akan menyebabkan hilangnya homeostasis,
11
kebocoran intraseluler, dan berakhir dengan kematian sel. Mekanisme tersebut
berhubungan dengan tingkat kelarutan komponen minyak dalam membran
mikroorganisme dan gangguan fungsi yang terkait .
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Minyak serai wangi (Cymbopogon nardus L. Rendle) memiliki daya hambat
secara in vitro terhadap pertumbuhan kapang Microsporum canis sebagai agen
penyebab dermatofitosis.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan agar dilakukan
pengujian secara in vivo. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat efektivitas dari
minyak serai wangi secara langsung sebagai obat alternatif terhadap infeksi
dermatofitosis.
DAFTAR PUSTAKA
Amber K, Aijaz A, Immaculata X, Luqman KA, Nikhat M. 2010. Anticandidal
effect of Ocimum sanctum essential oil and its synergy with fluconazole and
ketoconazole. Phytomedicine. 17(12):921-925.
Campbell KC, Johnson EM, Warnock DW. 2013. Identification of Pathogenic
Fungi. Ed ke-2. United Kingdom (GB): Wiley Blackwell.
[CFSPH] Center for Food Security and Public Health. 2005. Dermatophytosis.
Ringworm, Tinea, Dermatomycosis. Iowa (US): College of Veterinary
Medicine Iowa State University.
Descamps F, Brouta F, Monod M, Zaugg C, Baar D, Losson B. 2002. Isolation of
a Microsporum canis gene family encoding three subtilisin-like proteases
expressed in vivo. J Invest Dermatol. 119:830–835.
Gandjar I, Sjamsuridzal W. 2006. Mikologi: Dasar dan Terapan. Jakarta (ID):
Yayasan Obor Indonesia.
Geweely NSI. 2006. Antifungal activity of ozonized olive oil (oleozone). Int J
Agric and Biol. 8(5):1560-8530.
Gholib D, Eni K. 2007. Uji daya hambat ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia
galangal SW) dan daun sirih (Piper betel L) terhadap kapang dermatofit
secara in vitro dan in vivo. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian Veteriner. hlm 877-884.
Ginanjar G. 2008. Apa yang Dokter Anda Tidak Katakan tentang Demam
Berdarah. Yogyakarta (ID): Bentang Pustaka.
Hakim AR. 2009. Uji potensi antifungi ekstrak etanol rimpang kecombrang
(Nicolaia speciosa Horan) terhadap Trichophyton mentagrophytes dan
12
Trichophyton rubrum [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah.
Hammer KA, Carson CF, Thormar H. 2011. Lipid and Essential Oils as
Antimicrobial Agents. United Kingdom (GB): Wiley.
Harmita, Radji M. 2006. Analisis Hayati. Ed ke-3. Jakarta (ID): Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Jakarta (ID): Agromedia
Pustaka.
Knobloch KA, Pauli A, Iberl B, Weigand H, Weis N. 1989. Antibacterial and
antifungal properties of essential oil components. J Ess Oil. 1:119-128.
Kurniati CR. 2008. Etiopatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan dan
Kelamin. 20:243-250.
Mihali CV, Buruiana A, Turcus V, Covaci A, Ardelean A. 2012. Comparative
studies of morphology and ultrastructure in two common species of
dermatophytes: Microsporum canis and Microsporum gypseum. J Annals of
RSCB. 17(1):1-5.
Nurmansyah. 2010. Efektivitas minyak serai wangi dan fraksi sitronelal terhadap
pertumbuhan jamur Phytophthora palmivora penyebab penyakit busuk buah
kakao. Bul Littro. 21(1):43-52.
Quinn PJ, Markey BK, Leonard FC, Fitzpatrick ES, Fanning S, Hartigan PJ. 2006.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Oxford (GB): Blackwell
Publ.
Rana BK, Singh UP, Taneja V. 1997. Antifungal activity and kinetics of
inhibition by essential oil isolated from leaves of Aegle marmelos. J
Ethnopharmacol. 57:29–34.
Rusli MS. 2010. Sukses Memproduksi Minyak Atsiri. Jakarta (ID): Agromedia
Pustaka.
Santoso HB. 2007. Sereh Wangi, Bertanam dan Penyulingan. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Schaer M. 2010. Clinical Medicine of The Dog and and Cat. Ed ke-2. London
(GB): Manson Publ.
Soeharsono. 2002. Zoonosis: Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia.
Yogyakarta (ID): Kanisius.
Suganda AG, Sukandar EY, Rahman AB. 2003. Aktivitas antibakteri dan
antifungal ekstrak etanol daun Allamanda cathartica L. dan Allamanda
neriifolia H. J Bahan Alam Indones. 2(3):1412-2855.
Usmiati et al. 2005. Limbah penyulingan sereh wangi dan nilam sebagai
insektisida pengusir lalat rumah (Musca domestica). J Tek Ind Pert.
15(1):10-16.
13
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1992 dari ayah
Azwardi dan ibu Hartini. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal dimulai dari TK Kemala Bhayangkari 27 pada tahun 1997, SD
Kemala Bhayangkari 3 pada tahun 1998, SMP Negeri 41 Jakarta pada tahun 2004,
dan melanjutkan ke SMA Negeri 28 Jakarta pada tahun 2007. Penulis diterima
sebagai mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
pada tahun 2010 melalui jalur USMI.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif berpartisipasi di organisasi
dalam dan luar kampus. Organisasi kampus yang penulis ikuti diantaranya
Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar sebagai bendahara divisi eksternal pada
masa kepengurusan 2011/2012 dan sekretaris umum pada masa kepengurusan
2012/2013. Serta menjadi asisten praktikum Ektoparasit pada tahun ajaran
2013/2014. Organisasi luar FKH yang diikuti penulis diantaranya Art Dormitory
Club pada tahun 2010/2011.