Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

340

Transcript of Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

Page 1: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id
Page 2: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

1JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pengaruh Konseling Short Message Service (SMS) Gateway terhadap Self Efficacy Menghindari Seks Bebas dan HIV/AIDS Remaja

Muflih Muflih, Deden Iwan SetiawanProgam Studi S1 Ilmu Keperawatan & Profesi Ners, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Respati

YogyakartaEmail: [email protected]

Abstrak

Masalah perilaku berisiko di kalangan remaja saat ini sangat mengkhawatirkan yang disebabkan oleh kemampuan self efficacy (kepercayaan diri) untuk menghindari seks bebas dan HIV/AIDS yang masih rendah. Peningkatan self efficacy remaja dapat ditingkatkan dengan konseling SMS Gateway. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari konseling SMS Gateway terhadap kemampuan self efficacy menghindari perilaku seks bebas dan HIV/AIDS. Jenis penelitian ini adalah quasi-experiment dengan rancangan one group pre-post test design. Sampel penelitian ini adalah siswa SMK Negeri 1 Depok Sleman Yogyakarta sejumlah 450 siswa dari total populasi target 850 siswa yang dipilih secara simple random. Hasil penelitian didapatkan bahwa rerata nilai self efficacy sebelum konseling sebesar 90,7 ± 6,25 dan sesudah konseling sebesar 97,7±2,63 dengan nilai p 0,000. Nilai rerata (± SD) masing-masing subvariabelnya yakni magnitude sebelum 27,70±3,47 dan sesudah 30,99±1,44 dengan nilai p 0,000, generalizability sebelum 28,60±2,49 dan sesudah 31,28±1,24 dengan nilai p 0,000, dan strength of belief sebelum 30,85±1,85 dan sesudah 31,55±1,26 dengan nilai p 0,000. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat pengaruh secara signifikan konseling metode SMS gateway terhadap kemampuan self efficacy menghindari perilaku seks bebas dan HIV/AIDS. Penggunaan SMS gateway diharapkan menjadi bagian dari pelayanan kesehatan di sekolah sehingga terjadi peningkatan perilaku pencegahan seks bebas dan HIV/AIDS.

Kata kunci: Konseling, remaja, self efficacy, SMS gateway.

The Effect of Counseling Short Message Service (SMS) Gateway on Self Efficacy to Avoid Free Sex and HIV/AIDS Adolescent

Abstract

Today’s problem of risky behavior among adolescents is highly worrisome due to the their low sense of self-efficacy to avoid free sex and HIV/ AIDS. However, the increased level of self-efficacy in adolescents can be improved by SMS Gateway counseling. The aim of this study was at determining the effect of SMS Gateway counseling on its capability of self-efficacy to avoid free sex and HIV/AIDS. This quasi-experimental research employs one group pre-post test design, with the students of SMK Negeri 1 Depok Sleman Yogyakarta as the samples. A number of 450 students out of 850 were selected using the simple random technique. The results showed that the average self-efficacy score before counselling was 90.7±6.25 and 97.7±2.63 after with 0.000 p value. The mean value (± SD) magnitude of each sub-variable was 27.70±3.47 before and 30.99±1.44 after with 0.000 p value, while the generalizability of 28.60±2.49 before and 31.28±1.24 after with 0.000 p value, and strength of belief of 30.85±1.85 before and 31.55±1.26 after with 0.000 p value. This research concludes that there was significant influence of counseling method of SMS gateway to the capability of self-efficacy to avoid free sex behavior and HIV/AIDS. The use of SMS Gateway is expected to be part of health services in schools hence any behavior of free sex and HIV/AIDS could be prevented.

Keywords: Counseling, self efficacy, SMS Gateway, teenagers.

Page 3: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

2 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Muflih Muflih : Pengaruh Konseling Short Message Service (SMS) Gateway terhadap Self Efficacy

Pendahuluan

Perilaku remaja yang memerlukan perhatian khusus akibat dari perubahan masa transisi kehidupan adalah perilaku seks bebas. Perilaku seksual sendiri merupakan bagian alamiah dari kehidupan yang merupakan bentuk-bentuk tindakan yang didasari rasa keinginan atau hasrat seksual terhadap lawan atau sesama jenis (Sarwono, 2006). Remaja pada masa transisi kehidupan sedang mengalami perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional serta proses kematangan reproduksi dan seksual (Santrock, 2007; Papalia, Old, & Feldman, 2011). Perubahan tersebut diharapkan dipahami oleh remaja agar tidak terjadi kebingungan terhadap perubahan tubuhnya, sehingga mampu mengontrol dorongan seksual, serta mencegah perilaku seks bebas dan HIV/AIDS.

Hasil Survei Kesehatan Remaja Republik Indonesia (SKRRI) tahun 2007, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementrian Kesehatan (Kemenkes), dan ICF International, (2013) didapatkan bahwa remaja usia 15-24 tahun tidak sedikit yang telah melakukan hubungan seksual. Survei Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2008 pada remaja SMP dan SMA didapatkan sebesar 93,7% mengaku pernah ciuman, meraba alat kelamin dan seks melalui mulut, 62,7% remaja SMP tidak perawan, dan 21,2% pernah melakukan aborsi (BKKBN, 2010). Hasil Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada remaja di tahun 2009 di kota Yogyakarta, Tanggerang, Pontianak dan Samarinda, diperoleh bahwa 12,1% laki-laki pernah berhubungan seks dan 4,7% perempuan pernah berhubungan seks (Kemenkes RI, 2011). Data prevalensi perilaku seksual remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta dari hasil penelitian Pusat Penelitian Kependudukan UGM, didapatkan bahwa 15,5% laki-laki di wilayah kota dan 0,5% di wilayah desa telah melakukan perilaku seksual aktif saat berpacaran. Hal ini diperkuat data dari Pusat Studi Seksual Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PSS-PKBI) DIY, didapatkan bahwa pada tahun 2009 terdapat 60 kasus pelajar telah melakukan seks premarital (di luar nikah) (Tito, 2012).

Perilaku seks bebas pada remaja menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Data tersebut menunjukkan bahwa remaja rentan mudah tertular atau menularkan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS. Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengemukakan bahwa penyakit AIDS terbanyak pada kelompok usia 20-29 tahun yang berarti bahwa penularan virus HIV terjadi pada 5-10 tahun yang lalu saat masih remaja (BKKBN, 2013).

Upaya yang bertujuan untuk pencegahan perilaku seks bebas, diantaranya program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), kampanye sosial di media-media, menyediakan fasilitas konseling, hingga terbentuknya undang-undang (UU) pornografi. Berbagai usaha tersebut belum membuahkan hasil, apabila dilihat masih terjadinya kenaikan kejadian perilaku seksual di kalangan remaja. Oleh karena itu, perlu upaya alternatif lainnya yang difokuskan pada faktor utama penyebab munculnya perilaku seksual di kalangan remaja.

Salah satu faktor utama penyebab adanya perilaku seks bebas pada remaja adalah tingkat kemampuan self efficacy remaja dalam menjauhi perilaku berisiko yang masih rendah. Menurut Pender, Murdaugh, dan Parsons (2002), self efficacy memainkan peranan sebesar 86% dari bagian sistem diri yang memengaruhi perilaku promosi kesehatan. Self efficacy berdasarkan teori Pender’s Health Promoting Model (HPM) merupakan tingkat kepercayaan diri yang terdiri dari subvariabel magnitude, generalizability, dan strength of belief (Pender, Murdaugh, & Parsons, 2002). Magnitude adalah penilaian kemampuan diri atas dasar penilaian tingkat kesulitan tugas atau tindakan yang diyakini seseorang untuk dilakukan, dan generalizability adalah hasil penilaian tingkat kemampuan diri yang dibatasi oleh fakta-fakta domain aktivitas. Sedangkan strength of belief adalah kekuatan keyakinan individu atas kemampuan dirinya mengatasi situasi dan kondisi di lingkungannya (Claggett & Goodhue, 2011).

Peningkatan kemampuan self efficacy remaja di sekolah dapat melalui program kesehatan yang dilaksanakan oleh Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang terdiri dari

Page 4: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

3JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Gambar 1 Tampilan Muka Aplikasi SMS Gateway

3 (tiga) program pokok, yakni pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pembinaan lingkungan (Marfu & Sofyan, 2010). Namun, usaha kesehatan sekolah saat ini hanya menyediakan fasilitas konseling secara tatap muka. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembaharuan bentuk konseling yang dilakukan tanpa tatap muka sehingga remaja tidak takut atau malu.

Salah satu metode konseling tanpa tatap muka adalah menggunakan layanan SMS Gateway. SMS Gateway adalah sebuah aplikasi yang menghubungkan antara komputer dengan klien melalui SMS. Teknologi ini dapat meminimalkan rasa takut dan malu remaja saat proses konseling berlangsung. Sehingga, berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait pengaruh konseling pelayanan kesehatan sekolah dengan metode SMS Gateway sebagai pencegahan perilaku seks bebas dan HIV/AIDS di SMK N 1 Depok, Sleman, Yogyakarta.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian experiment dengan desain quasi-experiment dan menggunakan rancangan one group pre-post test design. Metode yang digunakan

untuk meningkatkan kemampuan berperilaku pencegahan seks bebas dan HIV/AIDS adalah dengan menggunakan SMS Gateway. Metode ini digunakan dalam memberikan konseling kesehatan yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan di sekolah.

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMK Negeri 1 Depok Sleman Yogyakarta yang bersedia mengikuti konseling pelayanan kesehatan sekolah dengan menggunakan metode SMS Gateway sejumlah 450 siswa dari total populasi target 850 siswa yang dipilih secara simple random sampling dengan kriteria bersedia mengikuti penelitian dan berada pada rentang usia 15–24 tahun.

Pada penelitian ini, metode SMS Gateway menggunakan aplikasi cross-platform GAMMU yang digunakan untuk menjembatani atau mengkomunikasikan antara database SMS Gateway dengan SMS devices. SMS devices merupakan alat pengirim SMS yang berupa modem ataupun handphone. SMS Gateway ini menggunakan Devices Modem Wavecom dengan port USB dan SIM Card GSM. Biaya data pengiriman SMS selama konseling ditanggung oleh peneliti.

Mekanisme konseling dengan SMS Gateway dilakukan dengan cara peneliti mengirimkan pesan yang berisi pengetahuan

Muflih Muflih : Pengaruh Konseling Short Message Service (SMS) Gateway terhadap Self Efficacy

Page 5: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

4 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Gambar 2 Tampilan Proses Pengiriman Konten SMS Gateway

kesehatan reproduksi yang disertai tawaran pertanyaan bagi responden yang belum memahami isi SMS tersebut. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada responden untuk mengajukan pertanyaan seputar masalah kesehatan reproduksi yang sedang dialami yang akan ditindaklanjuti oleh peneliti dengan memberikan jawaban atau solusi atas permasalah dari masing-masing responden tersebut.

Pengukuran kemampuan pencegahan perilaku seks bebas dan HIV/AIDS dilakukan dengan mengunakan kuesioner self efficacy berdasarkan teori Health Promotion Model (HPM) oleh Pender, Murdaugh, dan Parsons (2002). Kuesioner terdiri dari 3 subbagian (magnitude, generalizability, dan strength of belief) yang dikutip dari Muflih (2015) dengan hasil uji reliabilitas masing-masing adalah 0,71; 0,75; dan 0,88. Uji hipotesis menggunakan uji statistik Wilcoxon menggunakan SPSS 21 yang bertujuan membandingkan hasil pengukuran sebelum dengan sesudah konseling selama satu bulan (24 Agustus 2016 sampai dengan 26 September 2016). Etika penelitian diterapkan oleh peneliti dengan menjamin kerahasiaan, memperlakukan responden secara adil, dan menjamin responden mendapatkan kemanfaatan dari hasil penelitian ini.

Hasil Penelitian

Karasteristik responden yang didata dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, riwayat berpacaran, usia pertama kali berpacaran, dan frekuensi berpacaran.

Pada tabel 1, dapat diperoleh data bahwa rerata usia responden adalah 16,5 tahun dengan standar deviasi (SD) 0,67 tahun. Responden didominasi oleh jenis kelamin perempuan sebesar 92,2%, responden yang tidak pernah berpacaran sebesar 23,8%, dan responden yang pernah berpacaran 2-3 kali sebesar 33,1%. Artinya sebagian besar responden perempuan memiliki riwayat berpacaran dan dilakukan lebih dari sekali. Hal ini menandakan bahwa berpacaran sudah menjadi hal yang lazim dilakukan di kalangan remaja bahkan di kalangan remaja perempuan.

Pada tabel 2, jenis kelamin dan usia pertama kali berpacaran, serta frekuensi berpacaran memberikan kontribusi terhadap tingkat self efficacy remaja. Faktor jenis kelamin diduga dapat memengaruhi kepercayaan diri pada remaja untuk mencegah perilaku seks bebas dan HIV/AIDS. Hasil penelitian didapatkan bahwa jenis kelamin berhubungan signifikan terhadap tingkat self efficacy remaja dengan nilai p 0,008. Faktor usia (nilai p 0,013)

Muflih Muflih : Pengaruh Konseling Short Message Service (SMS) Gateway terhadap Self Efficacy

Page 6: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

5JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karekteristik Responden, Tahun 2016 (N = 450)Karekteristik Frekuensi (f) Persentase (%)

Jenis KelaminPerempuan 415 92,2Laki-laki 35 7,8Total 450 100,0Usia Pertama Kali BerpacaranTidak Pernah Berpacaran 107 23,8<15 Tahun 124 27,6≥15 Tahun 219 48,7Total 450 100,0Frekuensi BerpacaranTidak Pernah Berpacaran 107 23,81 Kali 91 20,22-3 Kali 149 33,1>3 Kali 103 22,9Total 450 100,0Usia (rerata ± SD) 16,51 ± 0,67

Tabel 2 Hasil Uji Bivariat Karekterisitk Jenis Kelamin dan Usia dengan Self Efficacy (N = 450)Karasterisitk Rerata (±SD) P value

Jenis KelaminPerempuan 97,65 (±2,69) 0,008*Laki-laki 98,87 (±1,37)Usia Pertama Kali BerpacaranTidak Pernah (1) 98,37 (±2,49) 0,013**<15 Tahun (2) 97,74 (±2,36)≥15 Tahun (3) 97,45 (±2,78)Frekuensi BerpacaranTidak Pernah Berpacaran 98,37 (±2,49) 0,047**1 Kali 97,65 (±2,72)2-3 Kali 97,53 (±2,65)>3 Kali 97,51 (±2,57)

Keterangan : * Independent t Test; ** One Way Anova Test

dan frekuensi berpacaran (nilai p 0,047) juga berperan terhadap perilaku pencegahan seksual bebas.

Pada tabel 3, diperoleh gambaran bahwa hasil uji normalitas data pada variabel dan semua subvariabel didapatkan bahwa data berdistribusi tidak normal (nilai p 0,000; nilai p < 0,05). Hal ini berarti bahwa uji statistik bivariat t test paired tidak dapat digunakan,

sehingga digunakan uji statistik alternatifnya yakni uji Wilcoxon. Hasil tes statistik bivariat dapat dilihat pada tabel 4.

Pembahasan

Pada penelitian ini nilai self efficacy pada perempuan lebih rendah daripada laki-laki.

Muflih Muflih : Pengaruh Konseling Short Message Service (SMS) Gateway terhadap Self Efficacy

Page 7: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

6 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Tabel 3 Hasil Uji Statistik Univariat Variabel dan Subvariabel Self Efficacy, Tahun 2016 (N = 450)

Variabel Rerata Actual Score SD Uji Normalitas* Self EfficacyPre 90,78 68,6-100,0 6,25

0,000Post 97,74 79,2-100,0 2,63MagnitudePre 27,70 14,0-32,0 3,47 0,000Post 30,99 21,0-32,0 1,44GeneralizabilityPre 28,60 20,0-32,0 2,49 0,000Post 31,28 25,0-32,0 1,94Strength of BeliefPre 30,85 24,0-32,0 1,85 0,000Post 31.55 13.0-32.0 1.26

Tabel 4 Hasil Uji Wilcoxon terhadap Self Efficacy Sebelum dan Sesudah Konseling (N = 450)Variabel Rerata Sebelum

(SD)Rerata Sesudah

(SD)Beda Rerata (SD) Nilai p*

Self efficacy 90,78(6,25)

97,74(2,63)

6,96(5,59)

Magnitude 27,70(3,47)

30,99(1,44)

3,29(3,10)

Generalizability 28,60(2,49)

31,28(1,24)

2,68(1,94)

Strength of Belief 30,85(1,85)

31,55(1,26)

0,70(2,04)

Keterangan : *Wilcoxon test

Hal ini dipengaruhi oleh jumlah responden yang tidak proporsional antara perempuan dan laki-laki. Berbeda dengan hasil penelitian ini, hasil penelitian Rostosky et al. (2008), didapatkan bahwa self efficacy seksual pada laki-laki lebih rendah daripada perempuan. Data SKRRI (2007), mengambarkan bahwa kejadian perilaku seks bebas sebagian besar diinisiasi oleh remaja laki-laki dimana 27% laki-laki pernah mengaku melakukan aktivitas bercumbu dibandingkan perempuan sebesar 9%. Oleh karena itu, diperlukan intervensi untuk mempromosikan self efficacy kesehatan seksual remaja (BPS & Macro International, 2007).

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa remaja yang tidak berpacaran memiliki

self efficacy yang lebih tinggi (98,37±2,49) daripada yang pernah berpacaran pada usia <15 tahun atau >15 tahun. Sesuai dengan pernyataan dari Santrock (2007), bahwa kejadian perilaku seksual akan meningkat sejalan dengan penambahan usia. Peningkatan fenomena perilaku seksual karena pertambahan usia tidak dapat dihindari, apabila telah memiliki pengalaman sebelumnya. Hal ini didukung dari data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 bahwa yang pernah melakukan tindakan seksual terjadi semakin meningkat dengan bertambahnya usia yakni sebesar 1,1% usia ≤15 tahun, dan terus meningkat >1,1% untuk usia >15 tahun (BPS, BKKBN, Kemenkes, & ICF International, 2013).

Keterangan : *Kolmogorov-Smirnov Test

Muflih Muflih : Pengaruh Konseling Short Message Service (SMS) Gateway terhadap Self Efficacy

Page 8: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

7JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Tabel 3 dan tabel 4 didapatkan nilai kemampuan self efficacy untuk mencegah perilaku seks bebas sebelum konseling memiliki nilai rerata 90,78 dan setelah konseling 97,74 dengan nilai p 0,000. Nilai kemampuan pada masing-masing subvariabel tidak berbeda jauh. Nilai rerata dari subvariabel magnitude yang didapatkan sebelum konseling adalah 27,70 dan meningkat menjadi 30,99 setelah konseling dengan nilai p 0,000. Nilai rerata subvariabel generalizability yang didapatkan sebelum konseling adalah 28,60 dan meningkat menjadi 31,28 setelah konseling dengan nilai p 0,000. Demikian juga pada nilai subvariabel strength of belief, yang mengalami peningkatan nilai rerata dari 30,85 menjadi 31,55 setelah konseling dengan nilai p 0,000. Terjadinya peningkatan nilai-nilai tersebut berarti bahwa konseling dengan metode SMS Gateway dapat meningkatkan pengetahuan sehingga terjadi peningkatan self efficacy untuk menjauhi perilaku seks bebas dan HIV/AIDS.

Self efficacy berdasarkan teori HPM dari Pender adalah persepsi seseorang tentang kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Schunk, 2012). Subvariabel magnitude merupakan tingkat kepercayaan diri pada situasi tertentu yang berdampak pada persepsi kemampuan dirinya untuk mengambil keputusan suatu tindakan. Generalizability merupakan kepercayaan diri terhadap persepsi kemampuan dirinya atas dasar pertimbangan kekurangan dan kelebihannya. Strength of belief merupakan kepercayaan diri berdasarkan persepsi harapan yang diinginkan (Urdan & Pajares, 2006). Zimmerman (2000), menyatakan bahwa self efficacy sebagai prediksi yang efektif untuk melihat motivasi dan keinginan belajar dari seseorang.

Bandura (1990), menyatakan bahwa ada beberapa faktor psikologis yang dapat memengaruhi terjadinya perilaku seksual risiko terpapar virus HIV/AIDS, diantarnya adalah tingkat dukungan sebaya untuk mengadopsi perilaku seksual yang berisiko rendah, kemampuan melakukan negosiasi perilaku seksual yang aman, tingkat harga diri dan self efficacy yang dirasakan.

Sayles et al. (2006), menyatakan

bahwa remaja yang telah berbicara atau konseling dengan orang lain, selain orang tua atau wali, tentang HIV/AIDS dan yang memiliki tujuan hidup, dilaporkan memiliki pengetahuan tentang cara menghindari infeksi HIV dan cenderung lebih memiliki self efficacy yang tinggi. Hasil penelitian Pearson (2006), menunjukkan bahwa kontrol pribadi dan self-efficacy dalam negosiasi seksual dengan pasangan, secara signifikan berhubungan dengan perilaku seks yang lebih aman, dan seringkali lebih penting untuk anak perempuan daripada anak laki-laki dalam memprediksi risiko perilaku aman menggunakan kontrasepsi. Dillon et al. (2008), menyatakan bahwa konseling (LGB-Afirmatif) berdampak pada peningkatan self efficacy dan berhubungan positif dengan definisi jenis kelamin dirinya. Hasil penelitian dari O'Leary, Jemmott, dan Jemmott III (2008), didapatkan bahwa program intervensi kesehatan perempuan Afrika-Amerika secara signifikan meningkatkan self efficacy penggunaan pengaman kontrasepsi pria dan keyakinan hedonistik sebagai mediator pengurangan risiko HIV/AIDS.

Hasil penelitian di Indonesia pada remaja SMU di Kabupaten Jember oleh Amri (2013), menunjukkan bahwa remaja yang mengikuti kegitan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) sebagian besar memiliki perilaku seksual tidak berisiko (69%). Sedangkan pada remaja yang tidak mengikuti PIK-R, sebagian besar tergolong memiliki perilaku seksual remaja berisiko sekitar 52,4% dan sekitar 47,6% tergolong perilaku seksual remaja tidak berisiko. Hasil penelitian lain dari Lucin dan Ismail (2012), menyatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan dan sikap positif terhadap seks pranikah, maka peluang memanfaatkan PIK-R semakin besar. Peningkatan pemanfaatan PIK-R meningkat pada remaja SMA dengan perilaku seks pranikah ringan. Sedangkan perilaku seks panikah berat tidak memanfaatkan PIK-R. Hasil penelitian Darmasih (2009), pada remaja SMA di Surakarta, didapatkan bahwa terdapat pengaruh pengetahuan, pemahaman tingkat agama, sumber informasi, dan peranan keluarga terhadap perilaku seks pranikah pada remaja SMA di Surakarta.

Muflih Muflih : Pengaruh Konseling Short Message Service (SMS) Gateway terhadap Self Efficacy

Page 9: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

8 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Simpulan

Konseling pelayanan kesehatan sekolah dengan metode SMS Gateway yang telah dilakukan mampu memberikan peningkatan variabel utama kepercayaan diri (self efficacy) dan subvariabel kemampuan magnitude, generalizability, dan strength of belief sebagai upaya pencegahan perilaku seks bebas dan HIV/AIDS di SMK N 1 Depok, Sleman, Yogyakarta. Metode konseling SMS Gateway diharapkan diadopsi dan dijadikan bagian dari layanan kesehatan di sekolah di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Amri, M.U. (2013). Perbedaan perilaku seksual remaja yang mengikuti dan tidak mengikuti Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) pada Remaja SMU di Kabupaten Jember (Skripsi). Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Jember, Jember. Diunduh dari http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/9984/Muhammad%20Ulul%20Amri%20-%20082310101059_1.pdf;sequence=1.

Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan (Kemekes), dan ICF International. (2013). Indonesia demographic and health survey 2012. Jakarta, Indonesia: BPS, BKKBN, Kemenkes, dan ICF International.

Bandura, A. (1990). Perceived self-efficacy in the exercise of control over AIDS infection. Evaluation and program planning, 13(1), 9–17.

BKKBN. (2010). Usia perkawinan & hak-hak reproduksi bagi remaja Indonesia. Jakarta: Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi.

BKKBN. (2013). Hanya 20 persen remaja paham HIV/AIDS. Diunduh dari http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=701, diperoleh 4 Maret, 2013, pukul 13:45 WIB.

BPS & Macro International. (2007). Survei

kesehatan reproduksi remaja Indonesia 2007. Calverton, Maryland, USA: BPS & Macro International.

Clagget, J.L., & Goodhue, D.L. (2011). Have is researchers lost bandura’s self-efficacy consept? A discussion of definition and measurement of computer self-efficacy. Preceeding of the 44th Hawaii International Conference on System Science, 1530-1605/11 IEEE.

Darmasih, R. (2009). Faktor yang memengaruhi perilaku seks pranikah pada remaja SMA di Surakarta (Disertasi). Universitas Muhammadiyah, Surakarta..

Dillon, F.R., Worthington, R.L., Soth-McNett, A.M., & Schwartz, S.J. (2008). Gender and sexual identity-based predictors of lesbian, gay, and bisexual affirmative counseling self-efficacy. Professional Psychology: Research and Practice, 39(3), 353.

Kemenkes RI. (2011). Rencana operasional promosi kesehatan dalam pengendalian HIV dan AIDS. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Lucin, Y., & Ismail, D. (2012). Pengetahuan, sikap dan perilaku tentang seks pranikah terhadap pemanfaatan Pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) pada remaja di Kota Palangka Raya (Disertasi). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Marfu, K.A., & Sofyan, Y. (2010). Pedoman pembimbingan dan pengembangan pelatihan bagi guru UKS di Jawa Barat. Jawa Barat: Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Muflih, M. (2015). Pengetahuan kesehatan reproduksi berhubungan dengan kepercayaan diri remaja untuk menghindari seks bebas. Jurnal Keperawatan, 5(01), 23–30.

O'Leary, A., Jemmott, L.S., & Jemmott III, J.B. (2008). Mediation analysis of an effective sexual risk-reduction intervention for women: The importance of self-efficacy. Health Psychology, 27(2S), S180.

Muflih Muflih : Pengaruh Konseling Short Message Service (SMS) Gateway terhadap Self Efficacy

Page 10: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

9JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2011). Human development (Psikologi Perkembangan) (Edisi ke-9). Jakarta: Kencana.

Pearson, J. (2006). Personal control, self-efficacy in sexual negotiation, and contraceptive risk among adolescents: The role of gender. Sex Roles, 54(9–10), 615–625.

Pender, N.J., Murdaugh, C.L., & Parsons, M.A. (2002). Health promotion in nursing practice (4th ed.). New Jersey: Prentice Hall.

Rostosky, S.S., Dekhtyar, O., Cupp, P.K., & Anderman, E.M. (2008). Sexual self-concept and sexual self-efficacy in adolescents: A possible clue to promoting sexual health?. Journal of sex research, 45(3), 277–286.

Santrock, J.W. (2007). Adolesence (Remaja) (Edisi ke-11). Terjemahan oleh Soedjarwo. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sarwono, S.W. (2006). Seksualitas & fertilitas remaja. Jakarta: CV Rajawali.

Sayles, J.N., Pettifor, A., Wong, M.D., MacPhail, C., Lee, S.J., Hendriksen, E., ... & Coates, T. (2006). Factors associated with

self-efficacy for condom use and sexual negotiation among South African youth. Journal of acquired immune deficiency syndromes (1999), 43(2), 226.

Schunk, D.H. (2012). Teori-teori pembelajaran: Perspektif pendidikan. (Edisi ke-6). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). (2012).

Survei Kesehatan Remaja Republik Indonesia. (2007).

Tito. (2012). Potret remaja dalam data: Pusat studi seksualitas-PKBI Yogyakarta. Diunduh dari http://www.oocities.org/guntoroutamadi/artikel-potret-remaja-dalam-data.html. Diperoleh 17 Februari 2013, 12:02 WIB.

Urdan, T., & Pajares, F. (2006). Self-efficacy beliefs of adolescents. New York: Information Age Publishing.

Zimmerman, B.J. (2000). Self-efficacy: An essential motive to learn. Contemporary educational psychology, 25(1), 82–91.

Muflih Muflih : Pengaruh Konseling Short Message Service (SMS) Gateway terhadap Self Efficacy

Page 11: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

10 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Efektifitas Self Management Module dalam Mengatasi Morning Sickness

Lutfatul Latifah, Nina Setiawati, Eti Dwi hapsariJurusan Keperawatan FIKes UNSOED

Email: [email protected]

Abstrak

Perubahan fisiologis pada kehamilan trimester pertama banyak menimbulkan keluhan, salah satunya adalah mual muntah. Ibu hamil yang mengalami mual muntah kebanyakan tidak mengetahui cara mengatasinya, hanya membiarkan saja ketika keluhan itu datang. Ibu baru pergi ke tempat pelayanan kesehatan ketika keluhan tersebut sudah mengganggu aktifitas. Mual muntah pada kehamilan seharusnya dapat diatasi dengan perubahan perilaku. Self management module dapat merubah perilaku dengan informasi untuk mengatasi mual muntah tanpa penggunaan terapi farmakologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh self management module dalam mengatasi morning sicknes pada ibu hamil. Penelitian ini merupakan penelitian pre experiment dengan rancangan pre and posttest one group. Data dikumpulkan melalui pengukuran frekuensi mual muntah menggunakan (PUQE)-24. Responden yang terlibat sebanyak 30 orang. Data dianalisis menggunakan uji Wilcoxon. Hasil uji normalitas menunjukkan data terdistribusi tidak normal. Rerata nilai pretest=6,52 (SD=1,947) dan posttest=4,52 (SD=1,895). Terdapat 27 responden yang mengalami penurunan skor, dua orang mengalami peningkatan skor, dan satu orang memiliki skor yang sama saat pretest maupun posttest. Perbedaan nilai pretest dan posttest dianalisis menggunakan uji Wilcoxon, sehingga diperoleh nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Terdapat perbedaan skor PUQE sebelum dan sesudah pemberian self management module morning sickness. Self management module morning sickness efektif dalam mengatasi morning sickness pada ibu hamil.

Kata kunci: Morning sickness, PUQE, self management module, terapi nonfarmakologi.

Effectiveness Self Management Module in Overcoming Morning Sickness

Abstract

Physiological changes during the first-trimester prenatal period may cause many problems, one of which is morning sickness. Many pregnant women having morning sickness did not know the solution. Mostly, they ignored it. They went to the health services when the problem got worse and interfered their activities. After all, morning sickness should be solved by behavior change. Self-management module can vary the behavior by giving information to overcome morning sickness without pharmacological therapy. A quantitative research with pre-experiment, pre and post-test one group design, this study, therefore, aims at determining the effect of self-management module in overcoming morning sickness on pregnant women. Data were collected by Pregnancy-Unique Quantification of Emesis (PUQE)-24 scoring system. The study participants were 30 pregnant women. Data were analyzed by Wilcoxon. Based on the normality test results, data distribution was abnormal. The mean value of pretest = 6.52 (SD = 1.947) and post-test = 4.52 (SD = 1.895). There were 27 respondents who experienced a decline in scores, two of whom increased scores and one had similar pretest and posttest scores. Differences in the pretest and posttest values using Wilcoxon test significance value of 0.000 (p <0.05). There was a difference PUQE scores before and after administration of self-management module morning sickness. It could be concluded that the self management module of morning sickness is effective in overcoming pregnant women’s morning sickness.

Keywords: Morning sickness, non-pharmacological therapy, PUQE, self management module.

Page 12: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

11JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pendahuluan

Wanita hamil mengalami mual dan muntah terutama pada trimester pertama yaitu saat usia kehamilan sekitar 6 dan 12 minggu, tetapi sekitar 20% wanita hamil dapat mengalami mual muntah hingga usia kehamilan 20 minggu (Jewell, 2003). Koren et al. (2005) menyatakan bahwa mual dan muntah merupakan gangguan medis tersering selama kehamilan. Jewell dan Young (2003) mengidentifikasi angka kejadian mual antara 70-85%, dengan sekitar setengah dari persentase ini mengalami muntah. Menurut O’Brien dan Naber (1992), lebih dari 70% wanita hamil yang mengalami mual dan muntah selama kehamilan, 28% diantaranya melaporkan bahwa mual dan muntah tersebut menyebabkan aktifitasnya terganggu.

Mual dan muntah pada kehamilan, umumnya dikenal sebagai "morning sickness" yang memengaruhi sekitar 80% wanita hamil (Matthews et al., 2010). Wanita hamil yang mengalami mual muntah kebanyakan tidak mengetahui cara mengatasi keluhan mual muntah. Saat keluhan itu datang, mereka hanya membiarkannya saja dan tetap melakukan aktivitasnya. Apabila keluhan sudah mengganggu aktivitas, mereka akan pergi ke Rumah Sakit, Klinik, atau Puskesmas terdekat dan mereka akan diberi obat antimuntah. Meskipun aman bagi janin, sebagian antiemetik kontraindikasi terhadap kehamilan (Mazzotta & Magee, 2000). Penggunaan obat untuk ibu hamil perlu diperhatikan karena terjadi banyak perubahan farmakokinetik maupun farmakodinamik obat saat terjadi kehamilan.

Mual dan muntah saat hamil sebenarnya adalah gangguan yang ringan, kondisi ini pada kenyataannya dapat diatasi dengan pengendalian diri (Matthews et al., 2010). Kusmana, Latifah, dan Susilowati (2012) melakukan penelitian tentang pengaruh hipnoterapi dalam menurunkan frekuensi mual dan muntah pada ibu hamil, hasil penelitian menyatakan ada pengaruh hipnoterapi terhadap penurunan frekuensi mual dan muntah. Hipnoterapi yang dilakukan berisi penguatan dan pengendalian diri terhadap keinginan mual muntah dengan cara terapis memberikan kata-kata sugestif agar ibu hamil secara alam bawah sadar

mengendalikan organ pencernaannya untuk tidak mengalami mual dan muntah. Selain pengendalian diri, mual muntah juga dapat diatasi dengan menciptakan perilaku untuk mengurangi keluhan (Ward & Hisley, 2009). Menciptakan perilaku untuk hidup sehat sesuai kondisi pasien merupakan bagian dari self management.

Self management merupakan istilah yang digunakan pada promosi dan pendidikan kesehatan serta berguna bagi pasien yang mengalami gangguan fisik maupun psikologis melalui perbaikan perspektif diri dan kesejahteraan pasien (Kate & Halsted, 2003). Kondisi morning sickness, selain disebabkan oleh hormon kehamilan, juga karena kondisi psikologis ibu hamil itu sendiri (Littleton & Engebretson, 2002). Beberapa penelitian membuktikan bahwa self management dapat memperbaiki kondisi pasien (Bourbeau et al., 2003; Buml & Garret, 2005; Lorig, Sobel, Ritter, Laurent, & Hobbs, 2001), tetapi belum ada penelitian self management untuk mengatasi morning sickness. Terdapat setidaknya dua hal dalam self management, yaitu (1) manajemen pengobatan dan (2) mempertahankan, merubah, dan menciptakan perilaku hidup sehat yang baru sesuai dengan kondisi pasien (Corbin & Straus dalam Kate & Halsted , 2003).

Self management morning sickness mengadopsi konsep dari Corbin dan Straus dalam Kate dan Halsted (2003) tersebut, yang dituangkan dalam bentuk modul berisi pengetahuan dasar morning sickness, kebiasaan dan intervensi yang dapat mengurangi morning sickness, diet untuk mencegah morning sickness, dan menu makanan sehat yang dapat disusun sendiri oleh ibu. Modul yang disusun sendiri oleh peneliti ini bertujuan agar ibu hamil dapat mengedukasi diri sendiri sehingga mampu untuk mengatur hidup sendiri, mengatur tujuan, dan menyediakan penguat untuk diri sendiri dalam menangani mual muntah yang dialami.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di wilayah kerja Puskesmas Kembaran, Kecamatan

Lutfatul Latifah : Efektifitas Seif Management Modul dalam mengatasi Morning Sickness

Page 13: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

12 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Kembaran, Kabupaten Banyumas. Sampel dalam penelitian ini sejumlah 30 responden yang memenihi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah ibu hamil yang mengalami mual muntah. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dan gastritis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh self management morning sickness module dalam mengatasi morning sickness dengan melihat penurunan skor mual muntah dalam 24 jam terakhir.

Penelitian ini menggunakan 2 instrumen, yaitu kuesioner data demografi dan Pregnancy-Unique Quantification of Emesis and Nausea (PUQE)-24 scoring system. Kuesioner data demografi berisi 5 pertanyaan, yaitu usia, pendidikan, pekerjaan, usia kehamilan, dan status gravida responden. Instrumen Pregnancy-Unique Quantification of Emesis and Nausea (PUQE) scoring system adalah instrumen penelitian yang dikembangkan oleh Koren et al. (2002) dan telah divalidasi oleh Koren et al. (2005) kemudian digunakan dalam beberapa penelitian (Lacasse et al., 2008; Kusmana, Latifah, & Susilowati, 2012). PUQE scoring system yang digunakan tersebut adalah untuk mengukur tingkat keparahan mual dan muntah pada kehamilan dalam 12 jam sehingga disebut Pregnancy-Unique Quantification of Emesis (PUQE)-12 hour. Ebrahimi, Mastepe, Bournissen, dan Koren (2009) kemudian memodifikasi PUQE-12 hour menjadi PUQE-24. PUQE-24 adalah sistem penilaian untuk mengukur tingkat keparahan mual muntah kehamilan

dalam 24 jam. Skor PUQE untuk setiap pasien dihitung dengan menggunakan tiga kriteria untuk menilai keparahan mual muntah selama kehamilan (jumlah jam merasakan mual, jumlah episode muntah, dan jumlah episode muntah kering dalam 24 jam terakhir). Skor PUQE dihitung dengan menambahkan nilai-nilai dari masing-masing kriteria, dan dapat berkisar dari minimal 1 sampai maksimal 15. Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian PUQE-24. Pengukuran skor PUQE dilakukan 2 kali, yaitu sebelum memberikan modul dan setelah 2 minggu pemberian modul. Diantara pengukuran dilakukan juga monitoring terhadap penggunaan modul yaitu seminggu setelah pemberian modul.

Modul self management morning sickness dikembangkan sendiri oleh peneliti. Modul ini berisi informasi tentang perubahan fisik dan psikologis yang berkaitan dengan morning sickness, pengetahuan dasar tentang morning sickness (pengertian dan penyebab), serta penanganan morning sickness (kebiasaan dan intervensi yang dapat mengurangi morning sickness, diet untuk mencegah morning sickness dan menu makanan sehat).

Analisis data untuk mengetahui pengaruh pemberian self management module terhadap frekuensi mual muntah dilakukan dengan melihat skor PUQE-24 menggunakan uji Wilcoxon. Penurunan skor PUQE diketahui dengan melihat selisih rerata penurunan skor pretest dan posttest.

Penelitian ini dilaksanakan melalui 2 tahap, yaitu persiapan dan pelaksanaan. Pada tahap pelaksanaan dilakukan pengumpulan data demografi responden, mengukur skor

Table 1 Motherisk Pregnancy-Unique Quantification of Emesis and Nausea (PUQE)-24 Scoring SystemDalam 24 jam terakhir, untuk berapa lama Anda merasa mual atau tidak nyaman pada perut?

Tidak sama sekali

1 jam atau kurang 2-3 jam 4–6 jam > 6 jam

Score 1 2 3 4 5Dalam 24 jam terakhir, apakah Anda muntah-muntah?

Tidak muntah 1-2 kali 3-4 kali 5-6 kali ≥ 7 kali

Score 1 2 3 4 5Dalam 24 jam terakhir, berapa kali Anda telah mengalami muntah kering?

Tidak pernah 1-2 kali 3-4 kali 5-6 kali ≥ 7 kali

Score 1 2 3 4 5

Lutfatul Latifah : Efektifitas Seif Management Modul dalam mengatasi Morning Sickness

Page 14: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

13JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

PUQE-24, dan memberikan modul morning sickness untuk dipelajari oleh responden. Setelah satu minggu, peneliti kembali mengunjungi responden untuk memastikan responden melakukan intervensi seperti yang tertulis di dalam modul. Satu minggu kemudian dilakukan pengukuran kembali skor PUQE-24.

Hasil Penelitian

1. Karekteristik RespondenPada tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai PUQE pada ibu hamil yang mengalami mual muntah sebelum diberikan self management module morning sickness memiliki nilai rata-rata 6,52 dengan nilai maksimum 11 dan

Tabel 2 Karekteristik RespondenKarekteristik N %

Usiaa. < 20 tahun 2 6,67b. 20-35 tahun 27 90,00c. >35 tahun 1 3,33Pendidikana. SD 6 20,00b. SMP 12 40,00c. SMA 10 33,33d. S1 2 6,67Pekerjaana. IRT 23 76,67b. Pedagang 2 6,67c. Karyawan 5 16,67Usia Kehamilana.1-12 minggu 18 60,00b.13-24 minggu 12 40,00c.>25 minggu 0 0,00Status Gravidaa.Primigravida 12 40,00b.Multigravida 18 60,00Gejala Morning SicknessPretesta.Tidak ada 0 0b.Ringan 22 73,33c.Sedang 8 26,67d.Berat 0 0Posttesta. Tidak ada 9 30b. Ringan 18 60c. Sedang 3 10d. Berat 0 0

Lutfatul Latifah : Efektifitas Seif Management Modul dalam mengatasi Morning Sickness

Page 15: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

14 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

nilai minimumnya 4. Nilai PUQE setelah self management module morning sickness memiliki nilai rata-rata 4,52 dengan nilai maksimum 12 dan nilai minimum 3.

Pembahasan

Ditinjau dari karekteristik responden (Tabel 1), usia terbanyak berada pada rentang 20-35 tahun. Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Shrim, Weisz, Gindes, Dulitzky, dan Almog (2010), rata-rata usia ibu hamil yang mengalami mual muntah adalah 29 tahun. Sari (2013) menjelaskan tentang hubungan antara usia ibu hamil dengan kejadian hiperemesis gravidarum, pada ibu hamil yang berusia kurang dari 20 tahun, rahim belum berfungsi secara optimal.

Secara psikologis, ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun belum siap menerima kehamilannya, belum matang emosinya, cenderung labil, dan belum siap untuk menjadi orang tua. Hal ini dapat memicu konflik mental atau stres yang membuat ibu tidak memperhatikan asupan nutrisinya yang berlanjut pada mual dan muntah. Sedangkan mual muntah yang terjadi pada ibu hamil yang berusia diatas 35 tahun dikarenakan oleh kondisi psikologis akibat takut memiliki anak di usia tua, sehingga perubahan emosi ini memicu muntah yang berlebihan.

Tingkat pendidikan responden terbanyak adalah SMP sebesar 40%. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwarnisih (2011), dimana didapatkan data pendidikan ibu hamil yang mengalami mual muntah yang terbanyak adalah lulus

2. Nilai Pregnancy-Uniqe Quantification of Emesis and Nausea (PUQE)-24 Sebelum dan Sesudah Diberikan Self Management Module Morning Sickness

Tabel 3 Nilai Pregnancy-Uniqe Quantification of Emesis and Nausea (PUQE)-24 Sebelum dan Sesudah Diberikan Self Management Module Morning Sickness

Variabel Mean SD Minimum MaksimumPretest 6,52 1,947 4 11Posttest 4,52 1,895 3 12

Tabel 4 Wilcoxon Signed Ranks TestN Mean Rank Sum of Ranks

Posttest - Pretest Negative Ranks 27a 15,76 425,50Positive Ranks 2b 13,17 39,50

Ties 1cTotal 30

3.Pengujian HipotesisUji Wilcoxon digunakan karena data tidak memenuhi syarat uji parametrik. Hasil analisis tercantum pada tabel 4 dan 5.

Katerangan :a. Posttest < Pretestb. Posttest > Pretestc. Posttest = Pretest

Tabel 5 Hasil Analisis Statistik dengan WIlcoxonVariabel Mean SD Nilai p

Sebelum 6,52 1,9470,000

Sesudah 4,52 1,895

Lutfatul Latifah : Efektifitas Seif Management Modul dalam mengatasi Morning Sickness

Page 16: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

15JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

SMA sejumlah 18 responden (45,5%). Hal ini dimungkinkan karena wilayah tempat tinggal responden pada penelitian ini merupakan wilayah pedesaan dan jenjang sekolah yang terdekat dengan wilayah tersebut paling tinggi adalah SMP.

Karekteristik responden berdasarkan pekerjaan, menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga, pedagang, dan karyawan swasta. Hampir seluruh responden merupakan ibu rumah tangga yaitu sejumlah 23 orang (76,67%). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Suwarnisih (2011), dimana karyawan swasta merupakan profesi yang banyak didapatkan dalam penelitiannya. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan Elsa dan Pertiwi (2012), didapatkan hasil yang sama dengan penelitian ini yaitu ibu rumah tangga merupakan mayoritas ibu hamil yang mengalami mual muntah yaitu 32,14%.

Pekerjaan berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang juga memengaruhi pola makan, aktifitas, dan stres pada ibu hamil. Apabila seorang ibu ikut membantu penghasilan dalam rumah tangga, maka pada saat hamil mereka lebih banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran. Sehingga efeknya dapat berpengaruh pada kondisi fisik dan psikologis. Kondisi tersebut dapat menyebabkan stimulasi pada pusat muntah di otak yang menyebabkan mual muntah. Selain itu, perjalanan ke tempat kerja yang mungkin terburu-buru di pagi hari tanpa waktu yang cukup untuk sarapan, dapat menyebabkan mual dan muntah (Tiran, 2009).

Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil penelitian ini menggambarkan kecenderungan penurunan skor PUQE-24 dari sebelum pemberian dan sesudah pemberian modul. Rerata skor PUQE-24 mengalami penurunan sebesar 2 poin yaitu sebesar 6,52 dengan standar deviasi 1,947 sebelum perlakuan, dan 4,52 dengan standar deviasi 1,895 setelah perlakuan. Hasil analisis statistik dengan uji Wilcoxon menunjukkan sejumlah 27 reponden (90%) mengalami penurunan skor PUQE-24 dengan nilai p=0,000. Hal ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pada pemberian self management module dalam mengatasi morning sickness.

Kohen et al. (2005) mengkatagorikan

tingkat keparahan mual muntah dalam kehamilan menjadi 3 katagori. Nilai skor 0-3 tidak ada gejala, nilai skor 4-6 gejala ringan, nilai skor 7-12 sedang, dan nilai skor ≥ 13 katagori berat. Berdasarkan karekteristik frekuensi morning sickness, sebelum perlakuan terdapat 73,33% responden mengalami mual muntah ringan dan 26,67% mengalami mual muntah sedang. Tidak ada responden yang mengalami mual muntah berat. Setelah perlakuan, responden yang mengalami mual muntah ringan menjadi 60%, sedang 10% dan 30% menjadi tidak mengalami mual muntah. Dari 22 responden yang mengalami mual muntah katagori ringan saat pretest, sebanyak 19 responden mengalami penurunan skor, 2 responden mengalami peningkatan, dan 1 responden memiliki skor tetap. Dari 19 responden yang mengalami penurunan skor, 7 responden menjadi tidak mengalami mual muntah sama sekali, dan 12 responden tetap mengalami mual muntah ringan tetapi skornya berkurang. Sedangkan 8 responden yang mengalami mual muntah dengan katagori sedang setelah diberikan perlakuan, sebanyak 2 responden menjadi tidak mengalami mual muntah sama sekali, 5 responden mengalami penurunan skor menjadi kategori mual muntah ringan, dan 1 responden tetap mengalami mual muntah sedang tetapi skornya berkurang.

Hasil uji statistik Wilcoxon menunjukkan perbedaan yang signifikan antara skor PUQE sebelum pemberian modul self management morning sickness dan sesudah pemberian. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh modul self management morning sickness terhadap penurunan frekuensi mual muntah pada ibu hamil. Penurunan skor PUQE sebelum dan sesudah perlakuan pada ibu yang mengalami morning sickness katagori sedang lebih besar dibandingkan dengan katagori ringan. Hal ini dibuktikan dengan penurunan pada katagori sedang sebesar 50%, sementara pada katagori ringan hanya 21,3%. Walaupun terdapat perbedaan, akan tetapi modul ini sama-sama berpengaruh terhadap penurunan skor PUQE, sehingga dapat disimpulkan bahwa modul self management ini efektif dalam mengatasi morning sickness pada ibu hamil.

Penggunaan modul self management morning sickness untuk menurunkan

Lutfatul Latifah : Efektifitas Seif Management Modul dalam mengatasi Morning Sickness

Page 17: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

16 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

frekuensi mual muntah pada ibu hamil baru pertama kali diteliti di Indonesia. Namun, modul self management sebenarnya sudah diterapkan pada beberapa perawatan mandiri penyakit kardiovaskular dan skizofrenia.

Metode perawatan self management sudah pernah diteliti pengaruhnya pada penyakit kronis yaitu penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, penyakit paru obstruktif kronik, dan penyakit skizofrenia. Pasien diabetes yang mengikuti program self management terbukti secara signifikan mengalami perbaikan pada keadaan klinisnya (penurunan gula darah), dapat mencapai target perawatan diri, dan merasa puas dengan pelayanan kesehatan (Buml & Garret, 2005). Pasien dengan penyakit kronik secara umum mengalami peningkatan kesehatan dan penurunan jumlah kunjungan ke rumah sakit dalam satu tahun setelah melakukan self management (Lorig, Sobel, Ritter, Laurent, & Hobbs, 2001). Penelitian pada penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) juga memperlihatkan hasil yang sama postitifnya. Pada pasien yang mengikuti program self management mengalami penurunan keparahan penyakit sebanyak 39,8%, penurunan jumlah kunjungan ke rumah sakit sebanyak 57,1%, penurunan jumlah kunjungan ke dokter secara insidental sebanyak 58,9%, dan penurunan kunjungan ke unit gawat darurat sebesar 41% (Bourbeau et al., 2003).

Self management menjadi salah satu istilah yang umum dipakai pada promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan pasien. Self management sangat berguna bagi pasien terutama pasien dengan penyakit kronis dimana hanya pasien yang dapat bertanggungjawab terhadap perawatan penyakitnya sehari-hari selama masa sakitnya. Pasien dengan penyakit kronis selain mengalami gangguan fisik, biasanya juga mengalami gangguan psikologis dan kesejahteraan. Oleh sebab itu, program self management seringkali berfokus untuk memperbaiki persepktif diri dan kesejahteraan pasien (Kate & Halsted, 2003). Modul self management morning sickness ini berisi tentang beberapa intervensi untuk mengatasi mual muntah selama kehamilan, diantaranya adalah konsumsi minuman jahe, pengaturan makanan, mobilisasi bertahap saat pagi hari, akupresur, dan relaksasi.

Beberapa penelitian telah membuktikan

bahwa produk jahe yang dapat berupa minuman maupun ekstrak, terbukti dalam mengatasi mual dan muntah selama kehamilan (Saswita, 2011; Fischer-Rasmussen et al., 2001). McKinney et al. (2009) mengatakan bahwa pengaturan makan dengan makan porsi sedikit tetapi sering, menghindari makanan yang berminyak, lebih banyak mengkonsumsi protein dibandingkan dengan karbohidrat, dan memisahkan antara makan dan minum dapat mengurangi kejadian mual dan muntah selama kehamilan. Wentorf dan Dykes (2001) serta Artika (2006), menemukan bahwa akupresur dengan melakukan penekanan pada titik P6 (titik Neiguan) signifikan dalam mengurangi mual muntah selama kehamilan. Selama jalannya penelitian tidak terdapat responden yang mengeluhkan kesulitan dalam menerapkan tugas dan anjuran pada modul self management morning sickness. Namun, beberapa responden menyatakan bahwa tidak semua tugas yang ada dalam modul bisa dilaksanakan, yang pertama adalah akupresur pada pagi hari. Responden tidak dapat melakukannya karena terkait pekerjaan reponden. Kedua adalah memakan biskuit sebelum beranjak dari tempat tidur, beberapa responden menyatakan bahwa tidak terbiasa untuk makan setelah bangun tidur. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah jumlah responden yang hanya memenuhi syarat uji non parametrik. Selain itu, peneliti hanya mengukur skor mual muntah saat posttest sehingga tidak diketahui tugas dan anjuran dalam modul self management morning sickness apa saja yang sudah dilakukan oleh responden. Peneliti juga tidak mengukur pengetahuan responden tentang mual muntah dan cara mengatasinya saat pre dan posttest sehingga peneliti tidak dapat mengukur sejauh mana responden memahami modul dan apakah responden melaksanakan tugas dan anjuran dengan cara yang benar.

Simpulan

Pada hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa self management module morning sickness dapat digunakan untuk mengatasi morning sickness. Walaupun penurunan skor PUQE lebih besar pada responden dengan

Lutfatul Latifah : Efektifitas Seif Management Modul dalam mengatasi Morning Sickness

Page 18: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

17JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

morning sickness katagori sedang, akan tetapi secara keseluruhan modul ini dapat digunakan pada responden dengan morning sickness katagori ringan maupun sedang. Hasil penelitian ini dapat berimplikasi terhadap pengembangan ilmu keperawatan, khususnya keperawatan maternitas, yaitu self management module mengenai morning sickness dapat diberikan sebagai acuan pada ibu hamil yang melakukan kunjungan ANC di berbagai pelayanan kesehatan.

Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan melibatkan jumlah responden yang lebih besar dan area yang lebih luas. Selain itu juga perlu adanya kelompok kontrol yang homogen baik responden yang mengalami morning sickness katagori ringan maupun sedang. Penelitian selanjutnya dapat juga melihat perbedaan tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan self management module serta mengidentifikasi tugas-tugas yang terdapat dalam self management module yang tidak dapat dipraktikan oleh responden.

Daftar Pustaka

Artika, P. (2006). Pengaruh akupresur pada titik perikardium 6 terhadap penurunan frekuensi muntah pada primigravida trimester pertama dengan emesis gravidarum (Tugas Akhir). Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang.

Bourbeau, J., Julien, M., Maltais, F., Rouleau, M., Beaupré, A., & Bégin, R. (2003). Reduction of hospital utilization in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Arch Intern Med, 585–591.

Buml, B.M., & Garret, D.G. (2005). Patient self management program of diabetes: First-year clinical, humanistic and economic outcomes. Journal of American Pharmachist Association, 130–137.

Ebrahimi, N., Maltepe, C., Bournissen, F.G., & Koren, G. (2009). Nausea and vomiting of pregnancy: Using the 24-hour Pregnancy-Unique Quantification of Emesis (PUQE-24) Scale. J Obstet Gynaecol Can, 803–807.

Elsa, W.V., & Pertiwi, H.W. (2012). Hubungan

paritas ibu hamil trimester i dengan kejadian emesis gravidarum di Puskesmas Teras. Jurnal Kebidanan, IV(02).

Fischer-Rasmussen, W., Kjaer, S.K., Dahl, C., & Asping, U. (1991). Ginger treatment of hyperemesis gravidarum. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 4, 38(1), 19–24.

Jewell, D. (2003). Nausea and vomiting in early pregnancy. American Family Physician, 68(1), 143–4.

Jewell, D., & Young, G. (2003). Interventions for nausea and vomiting in early pregnancy. Cochrane Database Syst Rev: CD000145.

Kate, R.L., & Halsted , R.W. (2003). Self management education: History, definition, outcomes and mechanism. Ann Behav Med, 1–7.

Koren, G., Boskovic, R., Hard, M., Maltepe, C., Navioz, Y., & Einarson, A. (2002). Motherisk-PUQE scoring system for nausea and vomiting of pregnancy. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 186S(5 suppl), S228 – S231.

Koren, G., Piwko, C., & Ahn, E. (2005). Validation studies of the Pregnancy Unique-Quantification of Emesis (PUQE) scores. PMID: 16147725 (PubMed - indexed for MEDLINE).

Kusmana, Y.H., Latifah, L., & Susilowati, I. (2012). Pengaruh hipnoterapi terhadap mual dan muntah pada ibu hamil trimester pertama di Puskesmas Baturaden 2 (Skripsi). Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Lacasse, A., Rey, E., Ferreira, E., Morin, C. & Berard, A. (2008). Validity of a Modified Pregnancy-Unique Quantification of Emesis and Nausea (PUQE) scoring index to asses severity of nausea and vomiting of pregnancy. Am J Obstet Gynecol;198:71.e1–71.e7. Littleton, L.Y., & Engebretson, J.C. (2002). Maternal, neonatal and woman's health nursing. New York: Delmar.

Lorig, K.R., Sobel, F.S., Ritter, P.R.,

Lutfatul Latifah : Efektifitas Seif Management Modul dalam mengatasi Morning Sickness

Page 19: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

18 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Lutfatul Latifah : Efektifitas Seif Management Modul dalam mengatasi Morning Sickness

Laurent, D., & Hobbs, M. (2001). Effect of management program on patient with chronic disease. American College of Phsycians.

Matthews, A., Dowswell, T., Haas, D.M., Doyle, M., & O'Mathúna, D.P. (2010). Interventions for nausea and vomiting in early pregnancy. Cochrane Database Syst Rev; 9, CD007575.

Mazzotta, P., & Magee, LA. (2000). A risk-benefit assessment of pharmacological and nonpharmacological treatments for nausea and vomiting of pregnancy. PubMed, 59(4), 781-800.

McKinney, E.S., James, S.R., Murray, S.S., & Ashwil, J.W. (2009). Maternal-child nursing (3rd ed.). St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier.

O'Brien, B., & Naber, S. (1992). Nausea and vomiting during pregnancy: Effects on the quality of women's lives. Birth, 19(3), 138–143.

Sari, S. (2013). Hubungan beberapa faktor risiko ibu hamil dengan hiperemesis gravidarum (Skripsi). Universitas Jambi, Jambi.

Saswita, Dewi, Y.I., & Bayhakki. (2011). Efektifitas minuman jahe dalam mengurangi emesis gravidarum pada ibu hamil trimester I. Jurnal Ners Indonesia, 1(2).

Shrim, A., Welsz, B., Gindes, L., Dulitzki, M., & Almog, B. (2010). Preferences of caregiver when experiencing nausea and vomiting during pregnancy. J. Perinat. Med., 38, 157–160.

Suwarnisih. (2011). Tingkat pengetahuan ibu tentang emesis gravidarum pada ibu hamil trimester I di Rb Bidan Sulastri Gond (Laporan Penelitian). Akademi Kebidanan Mitra Husada Karanganyar, Karanganyar.

Tiran, D. (2009). Mual dan muntah kehamilan. Jakarta: EGC.

Ward, S.K., & Hisley, S.M. (2009). Maternal-child nursing care optimizing outcomes for mothers, children, & families. Philadelphia: F.A. Davis Company.

Werntoft, E., & Dykes, A.K. (2001). Effect of acupressure on nausea and vomiting during pregnancy. A randomized, placebo-controlled, pilot study. J Reprod Med., 46(9), 835–9.

Page 20: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

19JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Hubungan Penggunaan Terapi Modern dan Komplementer terhadap Kualitas Hidup Pasien Kanker Payudara

Erna Irawan1, Laili Rahayuwati2, Desy Indra Yani2

1Fakultas Keperawatan, Universitas BSI, 2Fakultas Keperawatan, Universitas PadjadjaranEmail: [email protected]

Abstrak

Kejadian kanker payudara yang meningkat di Indonesia berpotensi terhadap penurunan kualitas hidup manusia. Secara umum, dalam rangka peningkatan kualitas hidup, pasien memilih terapi modern meskipun di sisi lain terdapat efek fisik pasca terapi. Selain itu, untuk mengurangi efek terapi modern dan melengkapi terapi modern dalam meningkatkan kualitas hidup pasien kanker payudara dilakukan terapi komplementer namun belum banyak penelitian yang membahas hal tersebut di Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi hubungan penggunaan terapi modern dan terapi komplementer (herbal, pijat, dan herbal-pijat) terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. Penelitian ini adalah jenis korelasi yaitu hubungan antara dua atau lebih variabel dengan pendekatan cross sectional dan analisis data dengan Spearman test. Pengambilan data berdasarkan kuesioner penelitian sebelumnya, meliputi terapi modern, terapi komplementer, dan kualitas hidup terhadap 178 responden yang diambil dengan teknik accidental sampling. Hasil penelitian menunjukkan terapi modern dan komplementer berhubungan positif dengan kualitas hidup (ρ-value=0,00, ρ(rho) = +0,2), terapi modern secara bermakna berhubungan positif dengan kualitas hidup (ρ-value = 0,00, ρ(rho) = +0,5) dan terapi modern dengan herbal secara bermakna berhubungan positif dengan kualitas hidup (ρ-value=0,00, ρ(rho)= +0,4). Adapun kombinasi terapi modern dan pijat (ρ-value = 0,57, ρ(rho) = -0,1) dan terapi modern, pijat, dan herbal tidak berhubungan dengan kualitas hidup (ρ-value = 0,4, ρ(rho) = +0,2). Perawat komunitas dapat memberikan informasi mengenai pentingnya terapi modern bagi kualitas hidup penderita kanker payudara. Penelitian lebih lanjut mengenai lama, intensitas, dan pemberi herbal sebagai pelengkap terapi modern dalam meningkatkan kualitas hidup pasien kanker payudara.

Kata kunci: Kanker payudara, kualitas hidup, terapi komplementer, terapi modern.

Relationship between Modern and Complementary Therapies on the Life Quality of Breast Cancer Patients Undergoing Chemotherapy

Abstract

The prevalence of breast cancer has impacted on a decrease in their life quality. However, it can be improved by modern therapy, despite any post-therapy physical problems to occur. Complementary therapies used to reduce the effects of complete modern therapy. The purpose of this study to is to analyze the correlation between modern and complementary therapies (herbal, massage, and herbal-massage) on the life quality of breast cancer patients undergoing chemotherapy. The research method used cross-sectional study and the Spearman test for data analysis. Data were collected by previous research questionnaire, covering modern therapy, complementary therapies, and the life quality of 178 respondents based on the criteria accidental sampling. The survey results positive in terms of the life quality between modern and complementary therapy (ρ-value = 0.00, ρ(rho) = +0.2), in terms of modern therapy (ρ-value = 0.00, ρ(rho) = +0.5), and between modern and herbal therapy (ρ-value = 0.00, ρ(rho) = +0.4). However, modern therapies and massages do not show any relation to the life quality (ρ-value = 0.57, ρ(rho) = -0.1). Like modern therapy, both massage and herbs are also not related (ρ-value = 0.41, ρ(rho) = +0.2). The nursing community, however, can provide further understanding of the modern therapy to the life quality of the patients. Upcoming research about the time cost, healthcare intensity, and criteria of herbal therapy provider is required as a contribution to improve the life quality of breast cancer patients.

Keywords: Breast cancer, complementary therapy, modern therapy, quality of life.

Page 21: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

20 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pendahuluan

Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, WHO memperkirakan ada 58 juta kematian karena penyakit-penyakit kronik dan 7.6 juta disebabkan oleh kanker. Saat ini terdapat tiga jenis kanker sebagai penyebab kematian utama pada wanita di dunia yaitu kanker payudara, kanker paru, dan kanker serviks dimana kanker payudara menjadi penyebab paling umum untuk kematian di kalangan wanita dengan jumlah 425.000 orang.

Jumlah penderita kanker payudara semakin meningkat. Pada tahun 2012, penderita kanker payudara di dunia sebanyak 1,7 juta dan diperkirakan akan meningkat menjadi empat kali lipat pada tahun 2020 (WHO, 2012). Insidensi kanker payudara adalah 20% dari seluruh keganasan (American Cancer Society, 2011).

Di Indonesia jumlah penderita kanker payudara adalah 61.682 dengan prevalensi 12/100.000 wanita (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Penderita kanker payudara menyebar diseluruh provinsi. Jawa barat merupakan provinsi ketiga terbanyak untuk penderita kanker payudara, yaitu 6.701 orang dengan prevalensi 0.3% (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Risiko terjadinya kanker payudara semakin meningkat dengan peningkatan usia. Kasus kanker payudara banyak terjadi pada rentang usia 30 sampai dengan 50 tahun (Ostad & Parsa, 2011). Perempuan yang berusia lebih dari 50 tahun lebih berisiko terkena kanker payudara (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Efek kanker payudara adalah perubahan kondisi dari fisik, psikologis, sosial, dan spiritual yang menyebabkan kualitas hidup dari pasien menurun (Fatmadona, 2015). Masalah fisik yang sering terjadi seperti nyeri pada bagian payudara, adanya perubahan warna pada payudara, pusing, dan masalah tidur (Fatmadona, 2015). Masalah psikologi seperti perasaan sedih, takut, cemas, marah, dan lainnya Sedangkan masalah sosial yang muncul seperti malu ketika bertemu dengan orang lain karena masalah penyakitnya ataupun pasca mastektomi. Pada masalah spiritual terdapat pasien yang lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta adapula yang menyalahkan dan kecewa

dengan sang pencipta (Tsitsis & Lavdaniti, 2014). Masalah kualitas hidup yang sering terjadi adalah pandangan secara subjektif mengenai masalah fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.

Kualitas hidup pasien kanker dipengaruhi oleh pendidikan, usia, pekerjaan, pendapatan, status pernikahan, stadium kanker, dan dukungan keluarga (Lopez et al., 2011). Kualitas hidup pada pasien kanker payudara menurun dua kali lipat setelah operasi pengangkatan payudara terutama masalah psikologis. Kualitas hidup kanker payudara secara klinis menurun setelah terdiagnosa dan terus menurun secara periodik setiap lima tahun setelah terdiagnosa kanker payudara (DiSipio, Hayes, Newman, Aitken, & Janda, 2010). Dukungan keluarga dan lingkungan meningkatkan kualitas hidup pasien kanker payudara terutama masalah psikologis dan sosial walaupun secara fisik mengalami penurunan (Yanez, Thompson, & Stanton, 2011).

Kualitas hidup pasien kanker payudara dapat ditingkatkan dengan terapi modern. Jenis-jenis terapi modern diantaranya adalah terapi radiasi, kemoterapi, pembedahan, dan kombinasi (Wolff et al., 2007). Dari berbagai jenis terapi modern, di Indonesia kemoterapi menjadi terapi yang sering digunakan sehubungan dengan kondisi pasien yang late diagnosed. Meskipun kemoterapi banyak memberikan hasil positif, di sisi lain banyak menimbulkan efek samping seperti mual muntah, penurunan sel darah merah (RBC), penurunan sel darah puih (WBC/leukosit), penurunan jumlah trombosit, mukositis, rambut rontok, dan gangguan saraf tepi (National Cancer Institute, 2007). Kemoterapi diberikan secara bertahap, biasanya sebanyak enam sampai delapan siklus agar mendapat efek yang diharapkan dengan efek samping yang masih bisa diterima. Hasil pemeriksaan imunohistokimia memberikan beberapa pertimbangan penentuan regimen kemoterapi yang akan diberikan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Sebagian besar pasien kanker payudara setelah menjalani kemoterapi memiliki kualitas hidup sedang (Heydarnejad et al., 2009; Pradana, Nuryani, Siluh, Wayan, 2012).

Selain efek samping, terapi modern untuk penderita kanker payudara pada stadium

Erna Irawan : Hubungan Penggunaan Terapi Modern dan Komplementer

Page 22: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

21JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

lanjut sangat sulit dan hasilnya dinilai kurang memuaskan (Manuaba, 2008). Karenanya dalam memaksimalkan pengobatan dan mengurangi efek samping terapi modern, penderita kanker payudara banyak menggunakan terapi komplementer (Saquib et al., 2012).

Penelitian mengenai terapi modern dan komplementer telah dilakukan di berbagai negara. Menurut Saini et al. (2011), nilai kualitas hidup pengguna terapi modern dan komplementer (herbal, diet khusus, dan praktek berbasis tubuh) lebih rendah dari pengguna terapi modern. Sedangkan menurut Kang et al. (2012) tidak ada perbedaan yang signifikan antara kualitas hidup pasien yang menggunakan terapi modern dan komplementer dengan pasien yang hanya menggunakan terapi modern saja dan menurut Gerber, Scholz, Reimer, Briese, dan Janni (2006) menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara terapi modern dan komplementer dengan kualitas hidup pasien kanker payudara.

Hasil tersebut berbanding terbalik dengan penelitian Damodar, Smitha, Gopinath, Vijayakumar, dan Rao (2013) dan Donatelle dan Rebsxaecca (2004) yang menjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara terapi modern dan komplementer dengan kuaitas hidup pasien kanker payudara.Masyarakat cenderung menggunakan terapi komplementer karena banyak terapi yang menjanjikan kesembuhan 100% dan bisa mengobati berbagai jenis penyakit namun belum banyak penelitian yang membuktikannya (Dinas Kesehatan Kota Bandung, 2016).

Studi pendahuluan menunjukkan bahwa pengguna terapi modern sering mengeluh mual muntah terutama pasca kemoterapi. Pengguna terapi modern dan komplementer (pijat) mengatakan penggunaan pijat mengurangi lelah dan nyeri pasca terapi modern dilakukan. Pengguna terapi modern dan komplementer (herbal) mengatakan penggunaan herbal mengurangi mual muntah dan mempercepat penyembuhan pasca terapi modern dilakukan. Pengguna terapi modern dan komplementer (herbal dan pijat) mengatakan penggunaan herbal dan pijat untuk mengurangi efek samping terapi modern.

Metode Penelitian

Desain penelitian ini adalah jenis correlation cross sectional dimana melihat hubungan variabel independen yaitu kombinasi terapi modern dan komplementer (pijat, herbal serta, pijat dan herbal) dengan variabel dependen yaitu kualitas hidup pasien kanker payudara. Jenis terapi pijat yang terdapat dalam penelitian ini adalah terapi pijat tradisional dan pijat refleksi sedangkan jenis herbal yang terdapat dalam penelitian ini adalah sirsak, bawang cina, dan kunyit.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kanker payudara di Puskesmas Sekota Bandung dan Rumah Singgah Viona Lautan Kasih yang berjumlah 320 orang. Responden direkrut menggunakan accidental sampling selama tiga bulan berdasarkan kriteria inklusi responden adalah wanita yang berusia lebih dari 30 tahun. sehingga didapatkan jumlah sampel 178 orang.

Instrumen terdiri dari empat jenis kuesiner yaitu data demografi, terapi modern, terapi komplementer, dan kualitas hidup pasien kanker payudara. Pada data demografi dibuat berdasarkan penelitian Lopez et al., (2011) yang meliputi nomor urut responden, pendidikan, usia, pekerjaan, penghasilan, status pernikahan, stadium kanker, dan dukungan keluarga. Instrumen penelitian tentang terapi modern berdasarkan hasil penelitian Saini et al., (2011). Terdapat 1 pertanyaan yaitu jenis terapi modern yang digunakan. Instrumen untuk mengukur terapi komplementer dari hasil penelitian Noeres, Grabow, Sperlich, & ßelmann (2013), terdiri dari satu pertanyaan yaitu jenis terapi komplementer yang digunakan. Adapun kualitas hidup diukur menggunakan kuesioner EORTC (Europe Organization for Research and Treatment of Cancer) yang merupakan sistem terintegrasi untuk menilai kualitas hidup yang berhubungan dengan keadaan pada pasien-pasien kanker yang berpartisipasi pada uji klinik secara internasional. Kuesioner EOTC QLQ C-30 berisi 30 pertanyaan mengenai kualitas hidup khusus pasien kanker. Terjemahan dan validasi EORTC-QLQ-C30 ke dalam versi Indonesia untuk pasien kanker di Indonesia dilakukan oleh Perwitasari et al (2011).

Hasil uji validitas untuk semua item

Erna Irawan : Hubungan Penggunaan Terapi Modern dan Komplementer

Page 23: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

22 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

kuesioner menunjukkan semua data valid, karena semua item memiliki nilai koefisien korelasi > 0,30. Hasil uji reliabilitas pada instrumen data demografi didapatkan nilai koefisien alpha sebesar 0,814, dukungan keluarga sebesar 0.899, dan kualitas hidup 0,940. Artinya, semua instrumen tersebut dapat dikatakan reliabel dan memiliki hasil nilai reliabilitas tinggi karena nilai alpha cronbach lebih dari 0,70.

Analisis data univariat disajikan untuk menggambarkan frekuensi dan persentase karekteristik responden, terapi modern, terapi

modern dan komplementer, serta kualitas hidup. Analisis bivariat digunakan untuk menguji hipotesis adanya hubungan antara jenis terapi (modern dan komplementer dengan kualitas hidup pasien kanker payudara) menggunakan Spearman, dengan tingkat kemaknaan (α = 0,01).

Hasil Penelitian

Data karekteristik responden terdiri dari usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, status

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karekteristik Pasien Kanker Payudara (N = 178)

Karakteristik Responden

Terapi ModernN = 60

Terapi Modern dan Pijat

N = 41

Terapi Modern dan Herbal

N = 51

Terapi Modern, Pijat, dan Herbal

N = 26

Total N = 178

F % F % F % F % F %UsiaDewasa Akhir (36-45) 4 2,2 10 5,6 9 5,1 1 0,6 24 13,5Lansia Awal (46-55) 56 31,5 31 17,4 41 23,0 16 9,0 144 80,9Lansia Akhir (56-65) 0 0,0 0 0,0 1 0,6 9 5,1 10 5,6PendidikanTidak Sekolah 1 0,6 2 1,1 1 0,6 3 1,7 7 3,9SD 25 14,0 11 6,2 16 9,0 12 6,7 64 36,0SMP 24 13,5 10 5,6 17 9,6 6 3,4 57 32,0SMA 7 3,9 14 7,9 15 8,4 4 2,2 40 22,5Perguruan Tinggi 3 1,7 4 2,2 2 1,1 1 0,6 10 5,6PekerjaanTidak Bekerja 48 27,0 29 16,3 40 22,5 23 12,9 140 78,7Bekerja 12 6,7 12 6,7 11 6,2 3 1,7 38 21,3Penghasilan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0<UMR (2.148.000) 23 12,9 20 11,2 12 6,7 7 3,9 62 34,8UMR (2.148.000) 37 20,8 21 11,8 39 21,9 19 10,7 116 65,2Status PernikahanMenikah 46 25,8 25 14,0 41 23,0 17 9,6 128 71,9Tidak Menikah 3 1,7 3 1,7 2 1,1 3 1,7 12 6,7Janda 11 6,2 13 7,3 8 4,5 6 3,4 38 21,3StadiumIII 39 21,9 32 18,0 37 20,8 17 9,6 124 69,7IV 21 11,8 9 5,1 14 7,9 9 5,1 54 30,3Dukungan KeluargaSangat Mendukung 31 17,4 23 12,9 36 20,2 9 5,1 99 55,6Cukup Mendukung 21 11,8 16 9,0 14 7,9 12 6,7 63 35,4Kurang Mendukung 8 4,5 2 1,1 1 0,6 5 2,8 16 9,0

Erna Irawan : Hubungan Penggunaan Terapi Modern dan Komplementer

Page 24: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

23JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

pernikahan, stadium, dan dukungan keluarga responden penelitian.

Tabel 1 dapat menggambarkan bahwa responden terdiri dari karekteristik lansia awal (80,9%), tidak bekerja (78,7%), berpenghasilan lebih dari UMR (65,2%), menikah (71,9%), kanker stadium III (69,7%), dan memiliki dukungan keluarga yang sangat mendukung (55,6%). Secara pendidikan, kelompok terbesar berpendidikan SD (36,0%). Terkait Jenis terapi modern dan komplementer yang digunakan oleh responden dapat terlihat pada tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan, pada pengguna terapi modern dan komplementer (pijat, herbal, serta pijat dan herbal) sebagian pengguna

terapi modern (33,71%). Pada pengguna terapi modern sebagian menggunakan kemoterapi dan radioterapi (41,70%). Sedangkan pada pengguna terapi modern dan pijat, sebagian menggunakan kemoterapi, bedah, dan pijat (48,80%). Kemudian pada pengguna terapi modern dan herbal, sebagian besar menggunakan kemoterapi, bedah, dan herbal (60,40%). Sedangkan pada pengguna terapi modern, pijat, dan herbal, sebagian menggunakan kemoterapi, radioterapi, pijat, dan herbal (46,20%).

Hubungan antara karekteristik responden dengan kualitas hidup dan hubungan terapi modern dan kualitas hidup dianalisis menggunakan Spearman. Hubungan

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Terapi Modern dan Komplementer yang Digunakan Penderita Kanker Payudara (N = 178)

Terapi F %Terapi Modern dan Komplementer (Pijat, Herbal, serta Pijat dan Herbal)Terapi Modern 60 33,71Terapi Modern dan Pijat 41 23,03Terapi Modern dan Herbal 51 28,65Terapi Modern, Pijat, dan Herbal 26 14,61Jenis Terapi ModernKemoterapi 21 35,00Kemoterapi dan bedah 8 13,30Kemoterapi dan radioterapi 25 41,70Kombinasi (Kemoterapi, Radioterapi, dan Bedah)

6 10,00

Jenis Terapi Modern dan PijatKemoterapi dan pijat 7 17,10Kemoterapi, bedah dan pijat 20 48,80Kemoterapi, radioterapi dan pija 13 31,70Kombinasi dan pijat 1 2,44Jenis Terapi Modern dan HerbalKemoterapi dan herbal 16 29,00Kemoterapi, bedah, dan herbal 32 60,40Kemoterapi, radioterapi, dan herbal 3 0,60Jenis Terapi Modern, Pijat, dan HerbalKemoterapi, pijat, dan herbal 7 26,90Kemoterapi, bedah, pijat, dan herbal 7 26,90Kemoterapi, radioterapi, pijat, dan herbal

12 46,20

Erna Irawan : Hubungan Penggunaan Terapi Modern dan Komplementer

Page 25: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

24 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

karekteristik responden dengan kualitas hidup dapat dilihat pada tabel 3.

Pada tabel 3, stadium memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kualitas hidup dengan p-value = 0,002 dan dukungan keluarga memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kualitas hidup dengan p-value = 0,001. Sedangkan hubungan antara terapi modern dan komplementer terhadap kualitas hidup dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4, terdapat hubungan positif yang signifikan antara terapi modern dan

komplementer terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara p-value = 0,00 dan ρ (rho) = +0,2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara terapi modern terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara p-value = 0,00 dan ρ (rho) = +0,5. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara terapi modern dan herbal terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara p-value = 0,00 dan ρ (rho) = +0,4. Namun tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara terapi modern dan pijat terhadap kualitas hidup pasien

Tabel 3 Hubungan Karekteristik Responden terhadap Kualitas Hidup Pasien Kanker Payudara

Karakteristik RespondenTerapi Modern

N = 60 p-Value

Kurang Sedang BaikUsiaDewasa Akhir (36-45) 0 18 6

0,290Lansia Awal (46-55) 0 122 22Lansia Akhir (56-65) 0 4 6PendidikanTidak Sekolah 0 4 2

0,364SD 0 55 10SMP 0 48 9SMA 0 29 11Perguruan Tinggi 0 8 2PekerjaanTidak Bekerja 0 114 26 0,732Bekerja 0 30 8Penghasilan<UMR (2.148.000) 0 52 10 0,464UMR (2.148.000) 0 92 24Status PernikahanMenikah 0 99 29

0,034Tidak Menikah 0 9 3Janda 0 36 2StadiumIII 0 93 31 0,002IV 0 51 3Dukungan KeluargaSangat Mendukung 0 80 19Cukup Mendukung 0 49 14 0,001Kurang Mendukung 0 15 1

Erna Irawan : Hubungan Penggunaan Terapi Modern dan Komplementer

Page 26: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

25JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

kanker payudara p-value = 0,57 dan ρ (rho) = -0,1. Tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antara terapi modern, pijat, dan herbal terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara p-value = 0,41 dan ρ (rho) = +0,2.

Pembahasan

Uji korelasi pada terapi modern dan komplementer terhadap kualitas hidup dengan Spearman mendapatkan hasil p-value = 0,00 < α = 0,01 dan ρ (rho) = +0,2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terapi modern dan komplementer memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien

kanker payudara. Penggunaan terapi modern dan komplementer dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker payudara. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Cheung et al. (2001); Sloman et al. (2003); Jacobsen et al. (2002); Stanley dan Konhauser (2011); dan Pederson dan David (2012). Namun, hasil tersebut berbading terbalik dengan penelitian Thompson et al. (2006). Perbedaan hasil penelitian dengan penelitian terdahulu dapat terjadi karena perbedaan jenis terapi komplementer dan perbedaan stadium, yang mana pada penelitian Thompson et al. (2006) sebagian besar responden termasuk stadium I dan II sedangkan penelitian ini stadium III.

Tabel 4 Hubungan Terapi Modern dan Komplementer (Pijat, Herbal, Pijat dan Herbal) terhadap Kualitas Hidup Kanker Payudara

TerapiKualitas Hidup

% p-Value ρ(RHO)Kurang Sedang Baik

Terapi Modern dan KomplementerTerapi modern 0 52 8Terapi modern dan pijat 0 38 3 0,00 +0,2Terapi modern dan herbal 0 39 12Terapi modern, pijat, dan herbal 0 18 8Terapi ModernKemoterapi 0 21 0Kemoterapi dan bedah 0 6 2 0,00 +0,5Kemoterapi dan radioterapi 0 25 0Kombinasi (Kemoterapi, Radioterapi, dan Bedah)

0 0 6

Terapi Modern dan PijatKemoterapi dan pijat 0 7 0Kemoterapi, bedah dan pijat 0 19 1 0,57 -0,1Kemoterapi, radioterapi dan pija 0 13 0Kombinasi dan pijat 0 1 0Terapi Modern dan HerbalKemoterapi dan herbal 0 16 0Kemoterapi, bedah, dan herbal 0 22 10 0,00 +0,4Kemoterapi, radioterapi, dan herbal 0 1 2Terapi Modern, Pijat, dan HerbalKemoterapi, pijat, dan herbal 0 6 1Kemoterapi, bedah, pijat, dan herbal 0 6 0 0,41 +0,2Kemoterapi, radioterapi, pijat, dan herbal

0 13 0

Erna Irawan : Hubungan Penggunaan Terapi Modern dan Komplementer

Page 27: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

26 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Uji korelasi pada terapi modern terhadap kualitas hidup dengan Spearman menunjukkan p-value = 0,00 < α = 0,01 dan ρ (rho) = +0,4. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terapi modern memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara. Penggunaan terapi modern dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker payudara. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Byar, Bakken, dan Cetak (2006) serta Saini et al. (2011). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, karena terapi modern telah terbukti secara medis dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit kanker payudara dikurangi dengan terapi modern sehingga secara global kualitas hidup penderita kanker payudara meningkat.

Uji korelasi pada terapi modern dan pijat terhadap kualitas hidup dengan Spearman mendapatkan p-value = 0,57; < α = 0,01; dan ρ (rho) = -0,1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terapi modern dan pijat tidak memiliki hubungan negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara. Penggunaan terapi modern dan pijat memiliki nilai negatif terhadap kualitas hidup, namun hubungannya tidak signifikan sehingga tidak membuktikan dapat menurunkan kualitas hidup pasien kanker payudara. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Alimi et al. (2000). Namun, hasil tersebut berbanding terbalik dengan penelitian Wilkie et al. (2000). Perbedaan hasil penelitian dengan peneltian terdahulu dapat terjadi karena perbedaan jenis terapi komplementer dan perbedaan stadium, yang mana pada penelitian Wilkie et al. (2000), sebagian besar responden termasuk stadium II sedangkan pada penelitian ini termasuk stadium III.

Uji korelasi pada terapi modern dan herbal terhadap kualitas hidup dengan Spearman mendapatkan p-value = 0,00; < α = 0,01; dan ρ (rho) = +0,4. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terapi modern dan herbal memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sudarti dan Handojo (2002); Wang et al. (2016); Bao et al. (2012); dan Wu, Lai, & Teal (2014). Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan terapi modern dan herbal dapat meningkatkan kualitas hidup pasien

kanker payudara. Namun, pada penelitian ini memiliki kelemahan yang mana tidak dikaji mengenai lama, intensitas, dan siapa pemberi herbal sehingga perlu pengkajian kembali mengenai hal tersebut oleh peneliti selanjutnya.

Uji korelasi pada terapi modern, pijat, dan herbal terhadap kualitas hidup dengan Spearman menunjukkan p-value = 0,41; > α = 0,01; dan ρ (rho) = +0,2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terapi modern, pijat, dan herbal tidak memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara. Penggunaan terapi modern, pijat, dan herbal berhubungan positif dengan kualitas hidup, namun tidak signifikan sehingga tidak membuktikan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker payudara. Hal tersebut berbading terbalik dengan penelitian Kozikowski (2008). Perbedaan hasil penelitian dapat terjadi karena terdapat jenis terapi komplementer yang lain seperti akupuntur dan latihan otot progressive pada penelitian sebelumnya yang bisa saja membuat hubungan dengan kualitas hidup lebih signifikan.

Simpulan

Terdapat hubungan positif yang signifikan antara terapi modern dan komplementer terhadap kualitas hidup, terapi modern terhadap kualitas hidup, terapi modern dan herbal terhadap kualitas hidup pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. Namun, tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara terapi modern dan pijat terhadap kualitas hidup dan tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antara terapi modern, pijat, dan herbal terhadap kualitas hidup pada pasien kanker payudara yang menggunakan kemoterapi.

Daftar Pustaka

Alimi D, Rubino C, Pichard-Leandri E, Fermand-Brule S, DubreuilLemaireML, Hill C (2003). Analgesic effect of auricular acupuncture forcancer pain: a randomized, blinded, controlled trial. J Clin Oncol, 21:4120–6.

Erna Irawan : Hubungan Penggunaan Terapi Modern dan Komplementer

Page 28: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

27JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Erna Irawan : Hubungan Penggunaan Terapi Modern dan Komplementer

American Cancer Society.(2011). Insident and Prevalence Cancer, Atlanta: American Cancer Society, Inc.

Bao, P., Lu, W., Cui, Y., Zheng, Y., Gu, K., Chen, Z., … Shu, X. O. (2012). Ginseng and Ganoderma lucidum Use after Breast Cancer Diagnosis and Quality of Life : A Report from the Shanghai Breast Cancer Survival Study, 7(6). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0039343.

Byar, Bakken, & Cetak. (2006).Oncology nursing society 36th annual congress podium and poster abstracts. Oncology Nursing Forum, 38(3), E118–E180. https://doi.org/10.1188/11.ONF.E118-E180.

Cheung., et al. (2001). Knowledge, quality of life, and use of complementary and alternative medicine and therapies in inflammatory bowel disease: A Comparison of Chinese and Caucasian patients. Digestive Diseases and Sciences, 49(10), 1672–1676. https://doi.org/10.1023/B:DDAS.0000043384.26092.f4.

Damodar, Smitha, Gopinath, Vijayakumar, danRao. (2013). The Role of Chelation in the Treatment of Other Metal Poisonings.Journal of Medical Toxicology, 9, 355–369. http://doi.org/10.1007/s13181-013-0343-6.

DiSipio, T., Hayes, S.C., Newman, B., Aitken, J., & Janda, M. (2010). Does quality of life among breast cancer survivors one year after diagnosis differ depending on urban and non-urban residence? A comparative study. Health and Quality of Life Outcomes, 8(3). http://doi.org/10.1186/1477-7525-8-3.

Donatelle & Rebsxaecca. (2004). Prognosis following the use of complementary and alternative medicine in women diagnosed with breast cancer. Complementary Therapies in Medicine20(5), 283–290.https://doi.org/10.1016/j.ctim.2012.04.002.

Fatmadona., U. (2015). oleh National Comprehensive Cancer Network (NCCN) Pijat Terapetik Sebagai Evidence Based Practice Pada Pasien Kanker Untuk Mengurangi Distress. Ners Jurnal

Keperawatan. 11(1), 79–86.

Gerber, B., Scholz, C., Reimer, T., Briese, V., & Janni, W. (2006). Complementary and alternative therapeutic approaches in patients with early breast cancer. A systematic review, 199–209. http://doi.org/10.1007/s10549-005-9005-y.

Heydarnejadet al. (2009). What matters most in end-of-life care: Perceptions of seriously ill patients and their family members. Canadian Medical Association Journal, 174(5), 627–633.

Jacobsen et al. (2002). Early palliative care for patients with metastatic non-small-cell lung cancer. The New England Journal of Medicine, 363, 733–742. https://doi.org/10.1056/NEJMoa1000678.

Kang, E., Yang, E.J., Kim, S.M., Chung, I.Y., Han, S.A., Ku, D.H., …, Kim, S.W. (2012). Complementary and alternative medicine use and assessment of quality of life in Korean breast cancer patients: A descriptive study. Supportive Care in Cancer, 20, 461–473. http://doi.org/10.1007/s00520-011-1094-z.

Kozikowski (2008) Complementary, Alternative Therapy for Breast cancer. Search.proquest.com.

Lopez-class, M., Perret-gentil, M., Kreling, B., Caicedo, L., Mandelblatt, J., & Graves, K. D. (2011). Quality of Life Among Immigrant Latina Breast Cancer Survivors : Realities of Culture and Enhancing Cancer Care, 724–733. http://doi.org/10.1007/s13187-011-0249-4.

Manuaba. (2008). Gawat-Darurat Obstetri-Ginekologi & Obstetri-Ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC.

National Cancer Institute. (2007). Wolff, A. C., Hammond, M. E. H., Schwartz, J. N., Hagerty, K. L., Allred, D. C., Cote, R. J., … Hayes, D. F. (2007). American Society of Clinical Oncology / College of American Pathologists Guideline Recommendations for Human Epidermal Growth Factor Receptor 2 Testing in Breast Cancer, 131(January).

Page 29: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

28 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Ostad SN and Parsa M. (2011) Breast cancer from molecular point of view: pathogenesis and biomakers, breast cancer – focusing tumor microenvironment, stem cells and metastasis, ISBN:978-953-307-766-6, In Tech.

Pederson & David. (2012). Triple-negative breast cancer: the impact of guideline-adherent adjuvant treatment on survival—a retrospective multi-centre cohort study. Springer Science+Business Media, LLC.

Pradana, I.P.W., Siluh, N., Nuryani, A., & Surasta, W. (2012). Hubungan kualitas hidup dengan kebutuhan perawatan paliatif pada pasien kanker di RSUP Sanglah Denpasar. Universitas Udayana, Denpasar.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Situasi Penyakit Kanker di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. www.depkes.go.id.

Saini, A., Berruti, A., Capogna, S., Negro, M., Sguazzotti, E., Picci, R. L., …Ostacoli, L. (2011). Prevalence of complementary/alternative medicines (CAMs) in a cancer population in northern Italy receiving antineoplastic treatments and relationship with quality of life and psychometric features. Quality of Life Research, 20, 683–690. http://doi.org/10.1007/s11136-010-9795-1.

Saquib, J., Parker, B.A., Natarajan, L., Madlensky, L., Saquib, N., Patterson, R.E., …, Pierce, J.P. (2012). Prognosis following the use of complementary and alternative medicine in women diagnosed with breast cancer. Complementary Therapies in Medicine, 20(5), 283–290. http://doi.org/10.1016/j.ctim.2012.04.002.

Ds’set al. (2003). Care for the cancer caregiver : A systematic review.

Stanley, H. Kornhauser (2011) Why Cancer Patients Turn To Complementary & Alternative Medicine (CAM) Therapies For Help. www.proquest.com.

Sudarti & Handojo. (2002) Surgical treatment of early stage breast cancer in elderly: an international comparison. Springerlink.com.

Thompson et al. (2006). Complementary and alternative therapeutic approaches in patients with early breast cancer : a systematic review, 199–209. https://doi.org/10.1007/s10549-005-9005-y.

Tsitsis & Lavdaniti. (2014).Quality of Life in Women with Breast Cancer. International Journal of Caring Sciences, 7(1), 38–42.

Wang., et al. (2016). Re-thinking Ethnography of the Relationship between Biomedicine and Complementary and Alternative Medicine in Croatia.

Wilkie DJ, Kampbell J, Cutshall S, Halabisky H, Harmon H, Johnson LP, et al. Effects of massage on pain intensity, analgesics and quality of life in patients with Breast cancer: a pilot study of a randomized clinical trial conducted within hospice care delivery. Hosp J 2000;15:31–53.

Wolff, A.C., Hammond, M.E.H., Schwartz, J.N., Hagerty, K.L., Allred, D.C., Cote, R.J., … Hayes, D.F. (2007). American Society of Clinical Oncology/College of American Pathologists Guideline Recommendations for Human Epidermal Growth Factor Receptor 2 Testing in Breast Cancer, 131(January).

Wu, C., Lai, J., & Tsai, Y. (2014). The Prescription Pattern of Chinese Herbal Products That Contain Dang-Qui and Risk of Endometrial Cancer among Tamoxifen- Treated Female Breast Cancer Survivors in Taiwan : A Population-Based Study, 1–18. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0113887.

Yanez, B., Thompson, E. H., & Stanton, A. L. (2011). Quality of life among Latina breast cancer patients : a systematic review of the literature, 191–207. http://doi.org/10.1007/s11764-011-0171-0.

Erna Irawan : Hubungan Penggunaan Terapi Modern dan Komplementer

Page 30: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

29JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home Care untuk Pasien dengan HIV/AIDS

Linlin Lindayani1, Nenden Nur Asriyani Maryam2

1STIKEP PPNI Jawa Barat, 2Fakultas Keperawatan, Universitas PadjadjaranEmail: [email protected]

Abstrak

Asuhan palitif untuk pasien dengan HIV/AIDS merupakan elemen inti dari asuhan pasien dengan HIV/AIDS. Asuhan paliatif yang berbasis home care saat ini menjadi elemen penting yang digunakan di berbagai negara. Akan tetapi, tidak ada studi atau tinjauan sebelumnya yang menganalisis efektifitas dari asuhan paliatif yang berbasis home care pada pasien dengan HIV/AIDS. Tujuan dari tinjauan sistematik ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas Palliative Home Care untuk pasien dengan HIV/AIDS terhadap nyeri, pengendalian gejala, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kepuasan asuhan, dan efektivitas biaya. Pencarian awal terbatas dilakukan di MEDLINE dan CINAHL. Kedua database tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa keduanya merupakan database terbesar di bidang kesehatan dan kedokteran. Kemudia strategi pencarian lainnya dilakukan pada database lain meliputi: Cochrane Library, UpToDate, Ovid, AIDS Care, Journal of Palliative Care, dan Journal of Palliative Medicine. Studi yang diterbitkan dalam Bahasa Inggris dan tahun 2000-2016 dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam tinjauan ini. Data diekstrak oleh penulis dan diringkas menggunakan alat ekstraksi data dari JBI (Joanna Briggs Institute). Kami menemukan 4 studi yang masuk kedalam kriteria tinjauan kami, satu studi randomizes control trial dan tiga studi prospectively control. Hasil dari tinjauan ini menunjukkan bahwa Palliative Home Care terbukti efektif dalam mengontol nyeri dan gejala-gelaja lain, mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup pasien, tingginya kepuasan dari pasien dan kelurga terhadap asuhan Palliative Home Care berkisar 93% - 96% dan lebih cost-effectiveness dibandingkan dengan Hospital-Based Palliative Care. Dengan demikian, penting untuk mengembangkan Palliative Home Care untuk pasien dengan HIV/AIDS terutama untuk negara dengan sumber daya yang terbatas.

Kata kunci: Asuhan keperawatan paliatif, paliative home care, patients with HIV/AIDS.

Effectiveness of Palliative Home Care for Patients with HIV/AIDS: A Systematic Review

Abstract

Palliative care for patients with HIV/AIDS is a core element of HIV/AIDS care, Home-based palliative care is increasingly being used as a key management strategy in many countries. No systematic review has assessed the effectiveness of palliative home care for patients with HIV/AIDS. The objective of this review was to evaluate the effectiveness of home palliative care services for patients with HIV/AIDS on pain and symptoms control, improve quality of life, increase satisfaction of care, and cost effectiveness. Fist an initial limited search of MEDLINE and CINAHL was conducted to screen the exiting studies on palliative home care in patients with HIV/AIDS. These databased were chosen for initial search because that was considered as larger database for health and medical studies. Further searching strategy was conducted by utilizing another databases included: Cochrane Library, UpTodate, Ovid, AIDS care, Journal of palliative care, Journal of palliative medicine. Studies published in English and in years 2000-2016 were included in this review. Data extracted by the reviewers and summarized using the Joanna Briggs Institute (JBI) data extraction tool. We only included 4 studies that met ours inclusion criteria, one studies was randomize controlled trial and three studies were conducted using prospectively control study. The result of this review showed that palliative home care was effective to control pain and symptoms, maintains and improve quality of life, high patients and family satisfaction scores (ranged from 93% to 96%), and more cost effectiveness rather that hospital-based palliative care. Thus, it's imperative to develop palliative home care for patients with HIV/AIDS especially those lived in limited resources country.

Keywords: Palliative home care, patients with HIV/AIDS.

Page 31: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

30 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Linlin Lindayani: Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home Care untuk Pasien

Introduction

Palliative care for patients with HIV/AIDS is a core element of HIV/AIDS care, not as a substitute (Simms, Higginson, & Harding, 2011; World Health Organization, 2005). The large evidence has been reported that palliative care is effective in pain and symptoms control, reducing anxiety, and improves patients’ quality of life (Simms, Higginson, & Harding, 2011; Goodwin, Higginson, Myers, Douglas, & Normand, 2003; Harding et al., 2005; Selwyn et al., 2003). In addition, palliative care also has positive impact to the mortality rate. It unlikely the effect of antiretroviral therapy in reducing the mortality rate caused by AIDS (Jameson, 2007).

Palliative care services can be provided in the hospital, hospice, and ambulatory setting, or at home (WHO, 2005). The delivery of palliative care services for patients with AIDS will vary based on the specific circumstances in different countries and the level of resources available. The delivery of palliative care services for patients with AIDS will vary based on the specific circumstances in different countries and the level of resources available. For example, in sub-Sahara Africa, palliative care focused on pain control management for HIV/AIDS and cancer patients in home-based care and inpatients hospice care and provided successfully at community level with specialist support (Kikule, 2003). In Vietnam, integrated palliative care into routine HIV outpatient focused on pain and symptom control, depression and perceived social support (Krakauer, Ngoc, Green, Van Kham, & Khue, 2007). Home-based palliative care is increasingly being used as a key management strategy in many countries, especially in developing country where the public health services are already overburdened with limited human and financial resources (Young & Busgeeth, 2010). Home-based palliative care is defined as any form of care given to ill people in their homes include physical, psychosocial, and spiritual activities with the goal to helps ill people and families to maintain their independence and achieve the best possible quality of life (WHO, 2002).

Indonesia is an archipelagic country of

17.508 (6.000 inhabited). The country’s strategic sea-lane position fostered inter-island. The archipelago’s landform significantly influenced health care system in Indonesia (Indonesian Ministry of Health, 2013). As the developing country, the majority of the HIV cases arise and accessibility to public health services are remains limited and hospital admissions related to HIV/AIDS care still accounts for a big proportion of the expenditures for people with AIDS (Floyd, 2001). Access to get highly active antiretroviral therapy (HAART) is limited even though since 2004 HAART was free for all patients with HIV/AIDS. Around 65% patients with HIV/AIDS get HAART from total patients that should get HAART. There are only 262 Hospital that provides HAART in level province and city, whereas Indonesia is huge country. Bed occupied at hospital for patients with HIV/AIDS is also limited (Indonesian Ministry of Health, 2013).

However, A few studies have compared outcomes with different palliative care models. Therefore, it is crucial to ascertain the effect of these services on outcomes of palliative care, such as symptom control, quality of life, and satisfaction with care, and the cost effective. No systematic review has assessed the impact of HIV/AIDS palliative home care. In considering this approach the evidence of its effectiveness needs to be evaluated as an essential first step. The purpose of this study is to evaluate the effectiveness of home palliative care services for patients with HIV/AIDS on pain and symptoms control, improve quality of life, increase satisfaction of care, and cost effectiveness through systematic review.

Methods

This study was conducted using a systematic review to evaluate effectiveness of palliative home care in people living with HIV/AIDS.

Search strategy

The search strategy aims was to find published studies. An initial limited search of MEDLINE, CINAHL, Cochrane Library, UpTodate, Ovid, AIDS care, Journal of

Page 32: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

31JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

palliative care, and Journal of palliative medicine have be undertaken followed by analysis of the text words contained in the title and abstract, and of the index terms used to describe article. Studies published in English and in years 2000-2013 was considered for inclusion in this review. The reference list for additional studies following two textbooks: Oxford Textbook of Palliative Medicine (Hanks, 2009) and Oxford Textbook of Palliative Nursing (Ferrell, 2010). Initial keywords was utilize the MeSH term that commonly used: HIV/AIDS/terminal illness/advance diseases AND palliative home care/home-based palliative care OR inpatients palliative care/hospital-based palliative care AND used Patients outcomes/quality of life/pain/ symptoms/cost effective/satisfaction.

Inclusion Criteria

The quantitative component of this review will consider studies that evaluate delivering home palliative care which is providing comprehensive care and aiming at different physical and psychosocial components of palliative care, with the following outcome measures: quality of life, pain & other symptoms, satisfaction of care, and cost effectiveness. Included patients with HIV/AIDS and aged ≥18 years old. The type of study included randomized controlled trials, non-randomized controlled trials, quasi-experimental, before and after studies,

prospective and retrospective cohort studies.

Data extraction

Data were extracted by the reviewers and summarized by using the JBI data extraction tool. Collected data includes participant demographics, sample inclusion and exclusion criteria, study setting, number and reasons for withdrawal from study, type and description of complementary therapy intervention, application and follow up of intervention, measure of outcomes, statistical methods and study outcome descriptions.

Assessment of methodological quality

Methodological validity was processed by Appraisal instrument from the Joanna Briggs Institute (JBI). All papers selected for inclusion were subjected to a rigorous, independent appraisal to identify and select papers of the highest quality except those that minimize bias, and have good validity and precision. Expert opinion based on bench research or consensus.

Results

The literature searches generated 417 studies through searches of databases, excluding duplicates. From above number, we excluded the studies that were not included HIV/ADS

MEDLINE 168 articles

CINAHAL 191 articles

Cochrane 110 articles

Embase 30 articles

Journal palliative care

20 articles

Journal palliative medicine 39 articles

Total: 558 articles

Exclude duplicate 141 articles

Final combined 417 articles Exclude with the reason (n=401):

• No patients with HIV/AIDS (n=154) • No home palliative care intervention

(n=165) • Not met study design (n=82)

16 articles were fully assess for eligibility

Exclude with the reason (n=12): • Not met criteria for outcomes (10) • Pilot study (n=2)

4 articles were fully assess for eligibility

Hand searching 0

Figure 1 Flow Diagram of Study Selection

Linlin Lindayani: Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home Care untuk Pasien

Page 33: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

32 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

patients (401), not meet study design (82) and not use home palliative care as intervention (165). For total reviewed the full text of the remaining 16 articles. Of these, 2 studies were pilot study and will not be considered for review and 12 studies were not measured the major outcome for review. Finally, we decided 4 studies which have key strengths in design and measure important outcome to evaluate health care services to be reviewed. Moreover, these four studies applied models strengthening study design.

Summary of Study Results

Research on the effectiveness of home palliative care have reported the evidence of the benefit of home palliative care in helping patients die at home, improving patients outcome such as reducing symptoms, improve quality of life, increase satisfaction of care, and cost effectiveness. Review about effectiveness of palliative home care of one randomized control study and three prospective control studies that provided palliative home care services for patients with HIV/AIDS. The result of this review showed that palliative home care also effective in symptoms control such as anxiety, appetite, dyspnea, wellbeing, depression and nausea. Then, palliative home care also has been identified as an effective model in maintain

overall quality of life. Besides that, patients, caregivers and physicians reported high satisfaction of palliative home care program scores around 93%–96%. Furthermore, palliative home care also showed cost effectiveness rather that hospital-based palliative care, can reduce the cost treatment per day $17.99 as compared usual care ($21.30). The difference between the costs per patient per day is statistically significant in reduced the cost for care. Moreover, patients also showed 100% compliance with advance care planning. One study also reported that people more likely to die at home (47%) and showed that patients in hospice care had a longer average length of stay of 77.9 days.

Results of assessment methodological quality

The studies conducted in Randomized Control Trial (RCT) (Cherin et al, 2008) has been identified as a good quality of study with grade A of recommendation refers to JBI grading system. Random number charts has been used for allocation generation, allocation concealment using numbers on the charts were designated as either experimental or control group. Although blinding and loss to follow-up unclearly reported but it is not produce risk of bias because the major measurement is cost effectiveness that assess

Authors level Participant Method Intervention OutcomeCherin et al., 2008

1C 549 patients with HIV/AIDS who were referred to home care services

Randomized Control Trial

• Allocation generation: Random number charts were used

• Allocation concealment: numbers on the charts were designated as either experimental or control group

• Blinding: unclear

• Loss to follow-up: not reported

• Intervention Group: Trans-professional Model• Control group: Standard Model of Home CareIntervention GroupIn the Trans-professional Model, all providers coordinate care and combine bio-psychosocial services into an integrated system of blended care.Control groupIn the Standard Model of Home Care Services, providers often work independently and are loosely coordinated by a Nurse Case Manager. Oftentimes services are duplicated and not everyone focuses on the bio- psychosocial services

• Per-day treatment costs : $17.99 vs$21.30 (t = =2.44, p < .01)

• The differential between the two models when reduced to a ratio indicates that for every dollar of cost expended on Trans-professional group patients, the cost expended for Traditional group patients was 58 cents greater ($1.00 vs. $1.08)

Linlin Lindayani: Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home Care untuk Pasien

Page 34: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

33JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Authors level Participant Method Intervention OutcomeGoodwin et al., 2003

2C Included patients with HIV/AIDS• Intervention

n=120• Control n=120

Prospectively controlled study• Follow up at

baseline, 6–8 weeks, & 12–15 weeks

• Five palliative day care centers in the UK

Intervention Group:Palliative day care:as day care in ahospice settingControl Group:Home palliative care

• Palliative home care effective in symptoms control compare to palliative day care (P=0.025)

• Both patient groups maintained overall health-related quality of life during the three months of the study. Social support domain in palliative home care better than in palliative day care

Bookbinder et al., 2011

2C Bookbinder, M, et.al, 2011

Included patients with HIV/AIDS n=499

Prospective controlled study• follow-up visits

20 times were being conducted per week

First ModelThe new palliative home care team included an NP and an SW (PCHT-NP-SW)

Second modela hospice program (Hospice-NP)

• Significant decline in symptom distress during the initial two weeks after referral (P = 0.003)

• 100% compliance with advance care planning

Kerr et al., 2014 2C Included patients with HIV/AIDS499 HomeConnections participants enrolled between July 1, 2008 and May 31, 2013

• A prospective study Secondary data : database study of home care program

on call palliative care nurse support.

• The site of death was home for 47% of those who died during or after participation in the program.

• Six of eight symptom domains (anxiety, appetite, dyspnea, wellbeing, depression and nausea) showed improvement.

• Patients, caregivers and physicians gave high program satisfaction scores (93%-96%).

• Home connections participants who subsequently enrolled in hospice care had a longer average length of stay of 77.9 days as compared to all other hospice referrals (average length of stay 56.5 days).

Linlin Lindayani: Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home Care untuk Pasien

Page 35: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

34 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

using computerized system. Two studies conducted retrospective controlled studies (Bookbinder et al., 2011) and (Goodwin et al., 2003) have a good quality of study because follow up measurement completely. This study have grade A recommendation also refer to JBI grading system. There were many participant loss of follow up from two studies but the result of this study showed statistically significant. One study by Kerr et al. (2014) used retrospective controlled study has high quality of study because follow up was completely measure over a sufficient time period without loss of participant in follow up process so this study also have large sample size. This study have grade A recommendation also refer to JBI grading system. Loss to follow-up and attrition bias are among the most problematic aspects to deal with because although most of the times the cause is ’natural’ in palliative care (i.e. death), a high level of attrition jeopardizes the study’s ability to produce enough data to conduct a powered analysis (which increases the chances of not detecting a significant difference when there is one).

Discussion

The result of this review showed that palliative home care for patients with HIV/AIDS is effective in controlling symptoms. The results of this study was similar with study conducted in cancer population that emphasize palliative home care as an effective approach for reducing symptoms burden (Gomes et al., 2013). Another systematic review conducted in patients with HIV/AIDS but did not specified to palliative home care also found that with the systematic review analysis found that palliative care as an effective approach in improving pain and symptom control, reducing anxiety, increasing insight and the spiritual well-being (Harding et al., 2005). In addition, large evidence also has been reported that palliative care is effective in pain and symptoms control (Selwyn et al., 2003; Goodwin et al., 2003). Undoubtedly, palliative care is effective in reducing the pain and controlling another symptoms, including psychosocial problems.

Only one studies reported cost-

effectiveness analysis of home-palliative care which found that home-palliative care has lower of per-day treatment cost compared to usual care. Our finding seems to corroborate with another systematic review conducted in cancer patients that found palliative home care can reduced the cost of treatment (Gomes et al., 2013). As better outcome improve from patients that receiving palliative home care, there is also improvement of patients and family satisfaction. These two outcome is important measure to evaluate the quality of care. However, there are limited studies on counted the cost-effectiveness and/or cost-benefit of the treatment also satisfaction of those who give and receive care. Further research is warranted to evaluate the cost-effectiveness of home-palliative care compared to usual care in patients with HIV/AIDS in order to provide strong evidence and making adequate influence for health policy maker when designing palliative home care.

Attain an optimal quality of life is important goal of palliative care as stated in the WHO definition (WHO, 2002). However, in HIV/AIDS cases, especially in Indonesia, stigma is a big issues, fear of being discriminated resulted for patients with HIV/AIDS tend not to disclose their HIV status to others, not use condoms to prevent HIV transmission, and not seek and receive treatment for HIV, which would affect their quality of life (Ford et al., 2004). Hence, home based care can be one of consideration to design effective palliative care for patients with HIV/AIDS in Indonesia. Furthermore, policy makers also can design base on the needs of patients with HIV/AIDS and home palliative care services may need expansion locally on the basis of current needs. Moreover, considering the cultural variations need to be take in into preparation in designing palliative care for patients with HIV/AIDS.

We only included 4 studies that meet our eligible criteria, it seem that HIV palliative care is important but reach on that need to be increased. A limitation of the evidence that found in this review is the diversity of the characteristics of home palliative care interventions and the control interventions called ’usual care’. Some of this heterogeneity relates to differences between countries and contexts but also in the proposed models

Linlin Lindayani: Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home Care untuk Pasien

Page 36: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

35JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

of home palliative care such as in the US ‘hospice care’ provide overall care including home nursing whereas UK models of home palliative care are more optional and not included in hospice care.

Conclusions

Palliative home care is effective in improving patients' symptoms, attain better quality of life, improve satisfaction and reduce health cost. The results provide reliable evidence that home palliative care for patients with HIV/AIDS is effective in improving patient’s outcome compare to hospital-based palliative care. Thus, police maker can utilize the data to decide the effective model of palliative care for patients with HIV/AIDS since Indonesia is huge and archipelagic with sea-lane position fostered inter-island. However, more work is needed to analyze cost-effectiveness and appropriate outcomes of the palliative home care in patients with HIV/AIDS. Further primary research should be powered on how home-based care fits into the current treatment context in middle-income and low-income countries because it does not yet exist. Further research must define better the usual care provided locally and what parts of the intervention are likely to produce benefits and what parts are less effective.

References

Bookbinder, M., McHugh, M., Higgins, Budis, J., & Portenoy, R.K. (2011). Nurse practitioner-based models of specialist palliative care at home: Sustainability and evaluation of feasibility. Journal of Pain and Symptom Management, 41(1). doi:10.1016/j.jpainsymman.2010.04.011.

Cherin, D.A., Huba, G.J, Brief, D.E., & Melchoir, L.A. (2008). Evaluation of the transprofessional model of home health care for HIV/AIDS. Home Health Care Services Quarterly, 17(1), 55–72. DOI: 10.1300/J027v17n01_04.

Ferrell, B. R., Coyle, N., & Paice, J. (Eds.). (2014). Oxford textbook of palliative nursing.

Oxford University Press. Oxford University Press.

Floyd & Gilks, C. (2001). Cost and financing aspects of providinganti-retroviral therapy: A background paper. Retrieved from http://www.worldbank.org/aids-econ/arv/floyd/whoarv.pdf.

Ford, Kathleen, Wirawan, Dewa Nyoman, Sumantera, Gusti Made, Sawitri, Anak Agung Sagung, & Stahre, Mandy. (2004). Voluntary HIV testing, disclosure, and stigma among injection drug users in Bali, Indonesia. AIDS Education and Prevention, 16(6), 487-498.

Gomes, B., Calanzani, N., Curiale, V., McCrone, P., & Higginson, I.J. (2013).Effectiveness and cost-effectiveness of home palliative careservices for adults with advanced illness and their caregivers (Review). The Cochrane Library, 6. Art.No.: CD007760. DOI: 10.1002/14651858.CD007760.pub2.

Goodwin, D.M., Higginson, I.J., Myers, K., Douglas, H.-R., & Normand, C.E. (2003). Effectiveness of palliative day care in improving pain, symptom control, and quality of life. Journal of Pain Symptom Management, 25(3), 202-212.

Hanks, G. W., Cherny, N. I., Christakis, N. A., & Kaasa, S. (2011). Oxford textbook of palliative medicine. Oxford University Press.

Harding, R., & Higginson, I.J. (2005). Palliative care in sub-Saharan Africa. Lancet, 365(9475), 1971-1977. doi: 10.1016/S0140-6736(05)66666-4.

Indonesia, M. o. h. o. R. I. (2013). Indonesia Health profile in 2013. www.depkes.go.id.

Jameson, C. (2007). The role of a palliative care inpatient unit in disease management of cancer and HIV patients. South African Medical Journal, 97(9), 849-852.

Kerr, C.W., Tangeman, J.C., Rudra, S.B., Grant, P.C., Luczkiewicz, D. …, Serehali, A.M. (2014). Clinical impact of a home-based palliative care program: A hospice-

Linlin Lindayani: Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home Care untuk Pasien

Page 37: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

36 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

private payer partnership. Journal of Pain Symptom Management. doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2014.02.003.

Kikule, E. (2003). A good death in Uganda: Survey of needs for palliative care for terminally ill people in urban areas. BMJ, 327(7408), 192-194. doi: 10.1136/bmj.327.7408.192.

Krakauer, E.L., Ngoc, N.T., Green, K., Van Kham, L., & Khue, L.N. (2007). Vietnam: Integrating palliative care into HIV/AIDS and cancer care. J Pain Symptom Manage, 33(5), 578-583. doi: 10.1016/j.jpainsymman.2007.02.004.

Selwyn, P.A., Rivard, M., Kappell, D., Goeren, B., LaFosse, H., Schwartz, C., ..., Post, L.F. (2003). Palliative care for AIDS at a large urban teaching hospital: Program description and preliminary outcomes. Journal of Palliative Medicine, 6(3), 461-474.

Simms, V.M., Higginson, I.J., & Harding, R. (2011). What palliative care-related problems do patients experience at HIV diagnosis? A systematic review of the evidence. Journal of Pain and Symptom Management, 42(5), 734-753. doi: 10.1016/j.jpainsymman.2011.02.014

WHO. (2002). WHO definition of palliative care. Retrieved from http://www.who.int/cancer/palliative/definition/en/.

WHO. (2005). A community health approach to palliative care for HIV/AIDS and cancer patients.

Young, T., & Busgeeth, K. (2010). Home-based care for reducing morbidity and mortality in people infected with HIV/AIDS (Review). The Cochrane Library, (1). Art. No.: CD005417. DOI: 10.1002/14651858.CD005417.

Linlin Lindayani: Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home Care untuk Pasien

Page 38: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

37JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia

Laeli Farkhah1, Suryani2, Taty Hernawati2

1RSKJ H. Mustajab, Purbalingga,2Fakultas Keperawatan, Universitas PadjadjaranEmail: [email protected]

Abstrak

Caregiver merupakan orang yang bertanggung jawab memberikan perawatan secara langsung dalam segala situasi, baik saat pasien kambuh atau tidak kambuh. Beberapa faktor caregiver yang berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia adalah dukungan keluarga, pengetahuan tentang pengobatan skizofrenia, peristiwa kehidupan yang penuh stres, dan kualitas hidup caregiver. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor caregiver yang berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan crosssectional. Pengambilan sampel dengan consecutive sampling sebanyak 30 orang. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment untuk melihat hubungan antara dua variabel dan uji regresi logistik untuk menentukan faktor yang dominan berhubungan dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia. Hasil penelitian menunjukkan semua variabel memiliki hubungan dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia. Variabel dukungan keluarga memiliki hubungan yang kuat dengan arah hubungan yang negatif (r = -0,630). Variabel pengetahuan keluarga memiliki hubungan yang sedang dengan arah hubungan yang negatif (r = -0,820). Variabel kualitas hidup memiliki hubungan yang sangat kuat dengan arah hubungan yang negatif (r = -0,560). Variabel peristiwa hidup penuh stres memiliki hubungan yang sedang dengan arah hubungan yang positif (r = 0,447). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa faktor caregiver yang paling dominan berhubungan dengan dengan kekambuhan adalah kualitas hidup dengan nilai r = -0,560 dan koefisien determinannya (r2) yaitu 0,768 yang memiliki kekuatan hubungan (OR) 25,093. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup caregiver merupakan faktor yang paling dominan terhadap kekambuhan. Penelitian ini merekomendasikan agar perawat berperan aktif dalam meningkatkan kualitas hidup caregiver dan pentingnya caregiver support group dalam rangka meningkatkan kualitas hidup caregiver.

Kata kunci: Caregiver, kekambuham, skizofrenia.

Caregivers Factors and Relaps in Schizophrenia

Abstract

Caregiver is the person who responsible for providing direct care in all situations, both when patients relapse or recurrence. The caregiver’s factors associated with the relapse of patients are family support, knowledge about the treatment of schizophrenia, stressful life events, and quality of life of the caregiver. This study aimed to analyze caregiver’s factors associated with the relapse of patients with schizophrenia. This research is descriptive analytic with cross sectional design. Sampling using consecutive sampling. Number of samples in this study were 30. Data were collected using a questionnaire.Data were analised by Pearson Product Moment Correlation test to look at the relationship between two variables and logistic regression to identify the dominant factor related to the relapse of patients with schizophrenia. The results showed all variables have a relationship with the frequency of relapse. The family support has a strong relationship with the direction of a negative relationship (r = -0.630). Family knowledge about schizophrenia had relationships with the direction of a negative relationship (r = -0.820). Variable quality of life has a very strong relationship with the direction of the negative correlation (r = -0.560). Variable stressful life events had a relationship that was the direction of a positive relationship (r = 0.447). The results of logistic regression analysis showed that the most dominant factor of the relapse was quality of life with a value of r = -0.56 and determinant coefficient (r2) is 0.768 which has the strength of the relationship (OR) 25.093. From this research it can be concluded that the quality of life of caregivers is the most dominant factor among the three factors associated with patients relapse. The study recommends nurses must play an active role to improve the quality of life of caregivers and to implement caregiver support group.

Keywords: Caregiver, relapse, schizophrenia.

Page 39: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

38 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Laeli Farkhah : Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia

Pendahuluan

Fenomena skizofrenia di Indonesia setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Menurut World Health Organization, pada tahun 2014 angka penderita skizofrenia di seluruh dunia lebih dari 21 juta jiwa (WHO, 2014). Selain itu, prevalensi skizofrenia (gangguan jiwa berat) sebesar 1,7 per mil secara nasional. Berdasarkan salah satu penelitian baru-baru ini prevalensi kekambuhan pada penderita skizofrenia berada dalam rentang 50-92% secara global (Weret & Mukherjee, 2014). Terdapat lima pihak yang menyebabkan penderita skizofrenia kambuh antara lain: pasien sendiri, dokter atau petugas kesehatan, penanggung jawab pasien, keluarga, dan lingkungan sekitar (Sullinger,1988 dalam Keliat, 2006). Keluarga, terutama yang menjadi caregiver memiliki tanggung jawab penting dalam proses perawatan di rumah sakit, persiapan pulang, dan perawatan di rumah (continum of care). Peran keluarga sebagai caregiver sangat penting dalam menangani dan mencegah gejala kekambuhan karena mereka bertanggung jawab memberikan perawatan secara langsung kepada pasien skizofrenia dalam segala situasi (continuum of care).

Buckley (2006) mengungkapkan bahwa kekambuhan pasien skizofrenia dapat berkurang signifikan dari 65% menjadi 25% jika mendapat perawatatan yang maksimal dari keluarga selama berada di rumah. Sebaliknya bila tidak mendapat perawatan yang tepat, mereka akan cenderung mudah kambuh. Daya dukung keluarga yang buruk berpengaruh pada pasien skizofrenia sehingga memiliki peluang 6 kali lipat mengalami kekambuhan dibandingkan keluarga yang memiliki dukungan baik (Pratama, Syahrial, & Isak, 2015).

Anggota keluarga yang berperan sebagai caregiver, tentunya mempunyai peran yang sangat sentral agar dapat merawat pasien skizofrenia di rumah dengan baik. Menurut beberapa penelitian ditemukan beberapa faktor caregiver yang berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia antara lain faktor pengetahuan dan dukungan (support) (Felicia, 2012), kualitas hidup (Rafiyah, 2011), dan peristiwa hidup yang penuh stress selama merawat pasien (Ingkikiriwang,

2010). Berdasarkan penelusuran literatur belum ditemukan faktor caregiver yang paling dominan terhadap kekambuhan pasien skizofrenia. Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan penelitian yang berhubungan dengan faktor-faktor caregiver antara lain: dukungan keluarga, pengetahuan tentang skizofrenia, peristiwa kehidupan yang penuh stres, dan kualitas hidup yang berhubungan dengan kekambuhan skizofrenia

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan crosssectional. Pengambilan sampel menggunakan teknik non probability sampling yaitu dengan consecutive sampling, dengan kriteria inklusi: keluarga yang menjadi caregiver klien kambuhan skizofrenia yang dirawat di RSJ, mampu memahami kuesioner, dapat membaca dan menulis, dan minimal berinteraksi satu kali sehari dengan klien. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 30 responden. Pengukuran kekambuhan menggunakan skala Guttman yang merupakan skala yang menginginkan tipe jawaban tegas dilihat dari rekam medis. Pada penelitian ini, kambuh diartikan apabila pasien menunjukkan gejala yang sama dengan sebelumnya dan tidak kambuh jika pasien tidak menunjukkan gejala dalam dalam rentang waktu 1 tahun terakhir. Skala Guttman dibuat dalam bentuk daftar checklist.

Di samping itu, terdapat empat instrumen dalam penelitian ini, yaitu: instrumen dukungan keluarga yang merupakan hasil modifikasi dari Friedman (2010) dan WHO (2008) untuk mengukur dukungan keluarga yang mencakup: dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan emosional terhadap pasien skizofrenia yang sudah divalidasi menggunakan rumus Person Product Moment dengan nilai koefisien korelasi 0,79 dan juga uji reliabilitas menggunakan rumus Spearman Brown dengan koefisien reliabilitas internal seluruh item sebesar 0,8. Instrumen pengetahuan keluarga menggunakan kuesioner baku yaitu “Knowledge Questionnaire on Home Care of Schizophreincs (KQHS)”. Instrumen

Page 40: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

39JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

kualitas hidup caregiver menggunakan alat ukur (WHOQOL-BREF), dan instrumen tentang peristiwa kehidupan yang penuh stres, menggunakan Caregiver Self-Assessment Questionare (American Medical Association). Data dikumpulkan menggunakan 4 kuesioner tersebut. Analisis data terdiri dari uji univariat, bivariat, dan multivariat. Uji bivariat untuk melihat hubungan antara dua variabel menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment. Uji multivariat menggunakann uji regresi logistik untuk menentukan faktor yang dominan berhubungan dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia.

Hasil Penelitian

Proses penelitian ini telah dilaksanakan selama enam bulan (Juni-November 2016) dan proses pengumpulan data telah dilakukan selama satu bulan (tanggal 1-30 September 2016). Dalam kurun waktu tersebut, diperoleh subjek penelitian sebanyak 30 responden dan semua berpartisipasi hingga selesai proses penelitian. Setelah dilakukan proses analisis data dengan uji statistik, penulis menguraikan hasil penelitian berdasarkan urutan tujuan penelitian yang telah penulis rencanakan. Berikut adalah pemaparan hasil penelitian yang disajikan dalam tiga jenis analisis, yaitu univariat, bivariat, dan multivariat.

Karekteristik responden seperti usia, hubungan dengan pasien, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan pendapatan dijelaskan pada tabel 1. Usia responden terbanyak

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karekteristik Responden berdasarkan Usia, Hubungan dengan Pasien, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, dan Pendapatan (N = 30)

Karekteristik Responden Frekuensi (N) Persentase (%)Usia1) 17-25 tahun 4 13%2) 26-35 tahun 4 13%3) 36-45 tahun 12 40%4) 46-55 tahun 4 13%5) 55-65 tahun 4 13%6) > 65 tahun 2 8%Hubungan dengan Pasien1) Ibu Kandung 12 40%2) Ayah Kandung 6 20%3) Saudara 8 27%4) Kerabat 4 13%Jenis Kelamin1) Laki-laki 8 27%2) Perempuan 22 73%Tingkat Pendidikan1) SD 8 27%2) SMP 14 47%3) SMA 6 20%4) Perguruan Tinggi 2 6%Pendapatan1) < Rp 1.500.000 18 60%2) Rp 1.500.000-Rp 2.500.000 8 26%3) Rp 2.500.000-Rp 3.500.000 2 7%4) >Rp 3.500.000 2 7%

Laeli Farkhah : Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia

Page 41: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

40 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Laeli Farkhah : Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia

adalah 36-45 tahun (40%), hubungan dengan pasien terbanyak adalah ibu kandung (40%), jenis kelamin perempuan (73%), pendidikan SMP (47%), dan pendapatan dibawah 1,5 juta (60%).

Hasil analisis univariat dijelaskan di tabel 2. Tampak pada tabel bahwa dukungan keluarga paling banyak adalah dalam katagori rendah (43%), pengetahuan paling banyak

dalam katagori buruk (47%), kualitas hidup rendah (40%), dan peristiwa hidup yang penuh stres (67%). Kekambuhan pasien yang paling banyak adalah 3 kali setahun, bahkan ada yang 8 kali dalam setahun.

Hasil analisis bivariat dijelaskan pada tabel 4. Hubungan dukungan keluarga dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia menunjukkan hubungan yang kuat dan

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga, Pengetahuan Keluarga tentang Pengobatan Skizofrenia, Tingkat Peristiwa Stres Keluarga, dan Kualitas Hidup Keluarga sebagai Caregiver (N = 30)

Variabel Frekuensi (N) Persentase (%)Dukungan Keluarga (X1)Rendah 13 43Sedang 6 20Tinggi 11 37Pengetahuan Keluarga tentang Skizofrenia (X2)Sangat Buruk 6 20Buruk 14 47Sedang 8 27Baik - -Sangat Baik 2 6Kualitas Hidup Keluarga (X3)Rendah 12 40Sedang 11 37Tinggi 7 23Peristiwa hidup yang penuh stress (X4)Tidak 10 33Ya 20 67

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia dalam Satu Tahun Terakhir di RSKJ H. Mustajab (N = 30)

Kekambuhan Frekuensi (N) Persentase (%)Frekuensi Kekambuhan dalam 1 tahun1 kali 4 132 kali 5 173 kali 7 234 kali 5 175 kali 3 107 kali 3 108 kali 3 10

Page 42: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

41JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Laeli Farkhah : Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia

memiliki arah hubungan negatif (nilai r = -0,630). Hubungan pengetahuan keluarga sebagai caregiver dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia menunjukkan hubungan yang sedang dan memiliki arah hubungan negatif (nilai r = -0,82). Hubungan kualitas hidup keluarga sebagai caregiver dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia menunjukkan hubungan yang sangat kuat dan memiliki arah hubungan negatif (nilai r = -0,56). Hubungan peristiwa hidup yang penuh stres dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia menunjukkan hubungan yang sedang dan memiliki arah hubungan positif (nilai r = 0,447).

Hasil analisis multivariat dapat dilihat pada tabel 5. Tampak bahwa kekuatan hubungan dari yang terkecil menuju terbesar adalah dukungan keluarga (OR = 4,327), tingkat stress keluarga (OR = 11,762), pengetahuan keluarga (OR = 12,653), dan kualitas hidup keluarga sebagai caregiver (OR = 25,093).

Pembahasan

Frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia

ditentukan oleh berbagai faktor, baik itu dari pihak caregiver yang merawatnya maupun pasien itu sendiri. Menurut Buckley (2006), kekambuhan pasien skizofrenia dapat berkurang signifikan dari 65% menjadi 25% jika mendapat perawatatan yang maksimal dari keluarga selama berada di rumah. Faktor-faktor keluarga sebagai caregiver meliputi dukungan keluarga, pengetahuan keluarga tentang pengobatan skizofrenia, peristiwa kehidupan yang penuh stres, dan kualitas hidup keluarga sebagai caregiver.

Dukungan keluarga merupakan salah satu aspek yang penting dalam mencegah kekambuhan pasien skizofrenia. Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar caregiver memberikan dukungan rendah (43%). Menurut Christy (2011) bahwa frekuensi kekambuhan pasien tinggi pada saat dukungan yang diberikan caregiver mengalami penurunan. Penelitian lain oleh Hemels dan Schreiner (2013) juga menemukan rendahnya faktor dukungan ekonomi dan adanya konflik peran perawatan yang dijalani di rumah menyebabkan tingginya frekuensi kekambuhan. Selain itu, sebagian besar responden memiliki

Tabel 4 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia di RSKJ H. Mustajab Tahun 2016 (N = 30)

Variabel P value R r2 NDukungan Keluarga 0,000 -0,630 0,741 30Pengetahuan Keluarga mengenai Pengobatan Skizofrenia

0,000 -0,82 0,665 30

Kualitas Hidup Keluarga 0,000 -0,56 0,768 30Peristiwa Hidup yang Penuh Stres 0,000 0,447 0,13 30

Tabel 5 Hasil Analisis Multivariat Regresi LogistikB S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0%

C.I.for EXP(B)Lower Upper

Step 1(a)

Dukungan keluarga -1,117 0,682 2,679 1 0,102 4,327 0,086 1,247Pengetahuan keluarga

2,538 1,518 2,96 1 0,094 12,653 0,646 247,752

Tingkat stres 0,567 0,705 0,645 1 0,422 11,762 0,442 7,021Kualitas hidup 2,377 0,928 6,564 1 0,01 25,093 0,015 0,572Constant 2,309 3,014 0,587 1 0,444 10,067

a Variable(s) entered on step 1: Dukungan_keluarga, Pengetahuan_keluarga, Tingkat_stress, Kualitas_hidup

Page 43: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

42 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Laeli Farkhah : Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia

penghasilan yang sangat kurang sehingga menyebabkan caregiver tidak maksimal dalam memberikan dukungan materi kepada pasien skizofrenia.

Dukungan keluarga yang rendah berhubungan dengan rendahnya pendapatan keluarga. Pendapatan rata-rata keluarga perbulan kurang dari 1 juta. Pendapatan ini di bawah batas UMR. Pendapatan tersebut diasumsikan sebagai pendapatan yang biasa diperoleh jika bekerja.Kondisi pasien skizofrenia yang harus dirawat di rumah menjadikan caregiver tidak dapat bekerja seperti biasanya. Apalagi jika caregiver bekerja harian, mereka kehilangan pendapatannya selama merawat penderita skizofrenia. Menurut Awad dan Voruganti (2010), aspek ekonomi sangat memengaruhi dukungan caregiver untuk konsisten dalam memberikan perawatan kepada pasien skizofrenia di rumah.

Ditambahkan pula oleh Chan (2015) mengenai konsep yang mendukung bahwa frekuensi kekambuhan yang dialami pasien skziofrenia bisa terlihat dari dukungan perasaan (afeksi), baik verbal maupun non-verbal. Kebutuhan terhadap kedekatan merupakan kebutuhan yang sangat penting agar caregiver bisa tetap dekat dengan penderita skizofrenia baik secara fisik maupun emosional (Mubarak, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Epstein-Lubow (2010), pasien skziofrenia mengalami penurunan frekuensi kekambuhannya setelah mendapatkan dukungan moral yang diwujudkan dalam keterlibatan caregiver dalam setiap aktivitas pasien skziofrenia.

Hasil uji bivariat antara faktor dukungan keluarga sebagai caregiver dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia menunjukkan hubungan yang kuat dan memiliki arah hubungan negatif, artinya semakin bertambah dukungan yang diberikan keluarga maka semakin berkurang frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia. Intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dukungan keluarga sebagai caregiver pasien skizofrenia adalah dengan adanya peran aktif dari petugas kesehatan terutama perawat jiwa yang bertugas di bangsal rawat inap untuk memantau data kunjungan keluarga pasien dan aktif menghubungi keluarga pasien jika jarang menengok pasien di rumah sakit. Di

samping itu, apabila keluarga pasien tidak memiliki alat komunikasi maka sebaiknya meminta nomor telpon tetangga terdekat dan rutin melakukan kunjungan rumah untuk memotivasi keluarga. Selain itu, pada caregiver yang menunggu pasien, perawat jiwa dapat melibatkan keluarga secara langsung memberikan dukungan pemberi informasi, pemberi umpan balik, dukungan kebutuhan hidup dan dukungan perasaan kepada pasien.

Sejalan dengan pendapat Porsdal et al. (2010) bahwa perawat jiwa berperan sebagai anggota tim kolaborasi dan multidisiplin. Menurut Fisher (2011), perawat berperan sebagai media pemberi layanan terapeutik yang penting, dan mendorong untuk memberdayakan pasien dan keluarganya (dukungan keluarga), serta menanamkan harapan pada keluarga dan pasien.

Selain dukungan keluarga, faktor pengetahuan keluarga juga merupakan salah satu aspek yang penting dalam mencegah kekambuhan pasien skizofrenia. Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari jumlah responden ternyata memiliki tingkat pengetahuan yang rendah mengenai pengobatan skizofrenia (47%). Sejalan dengan Siregar (2005), yang mengatakan bahwa apabila keluarga pasien mempunyai pengetahuan yang buruk atau pemahaman yang rendah tentang pengobatan skizofrenia, maka frekuensi kekambuhan pasien akan bertambah. Di samping itu, meskipun tidak memengaruhi kekambuhan pasien skizofrenia secara langsung, tingkat pendidikan rupanya berhubungan dengan rendahnya tingkat pengetahuan responden mengenai pengobatan skizofrenia. Menurut Chorwe-Sungani, Namelo, Chiona, dan Nyirongo (2015), semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka dapat dengan mudah menerima informasi dan melakukan pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia untuk meningkatkan pengetahuannya tentang skizofrenia. Pada penelitian ini sebagian besar caregiver memiliki latar belakang SMP dengan jumlah 14 responden (47%). Mereka masih sulit memahami istilah-istilah dalam perawatan dan pengobaran pasien, sehingga hanya bisa pasrah dan mengandalkan tenaga kesehatan saja untuk merawat pasien skizofrenia.

Page 44: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

43JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Laeli Farkhah : Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia

Hal ini diperkuat oleh penjelasan keluarga pasien yang pada umumnya mengatakan bahwa dirinya tidak memperoleh informasi tentang penyakit dan pengobatan skizofrenia secara menyeluruh. Di samping itu, akses informasi yang cukup sulit karena sebagian besar keluarga pasien berdomisili di daerah pedesaan yang belum terfasilitasi internet dan jauh dari Puskesmas. Selain itu, pada saat keluarga membawa pasien ke pusat pelayanan kesehatan dan mendapat perawatan pada saat persiapan pasien pulang, keluarga hanya mendapat informasi tentang pemberian obat dan waktu kontrol pasien. Penyuluhan oleh perawat di ruang perawatan terhadap keluarga pasien juga masih jarang dilakukan. Keluarga pasien pada umumnya mengatakan perawat dari Puskesmas terdekat jarang melakukan penyuluhan maupun kunjungan rumah.

Pada hasil uji bivariat ditemukan hubungan pengetahuan keluarga sebagai caregiver dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia mempunyai hubungan yang sedang dan memiliki arah hubungan negatif artinya semakin baik pengetahuan keluarga mengenai pengobatan skizofrenia, maka semakin berkurang frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penjelasan Felicia (2012) yang menyimpulkan bahwa kekambuhan pasien skizofrenia dipengaruhi oleh pengetahuan keluarga.Semakin baik pengetahuan keluarga mengenai pengobatan skizofrenia, maka semakin berkurang frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia.

Selanjutnya, peristiwa kehidupan yang penuh stres yang dialami caregiver merupakan salah satu aspek yang penting dalam mencegah kekambuhan pasien skizofrenia. Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden mengalami peristiwa kehidupan yang penuh stres yaitu sebesar 67%. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Alsherif dan Elrahman (2013), bahwa kekambuhan pasien skizofrenia meningkat apabila keluarga memperlihatkan suasana hati yang kurang baik di rumahnya. Dan juga sesuai dengan penjelasan Sachit dan Al-Jubbori (2013), bahwa emosi keluarga yang tinggi karena situasi penuh stres yang dialami keluarga sebagai caregiver, menimbulkan efek yang kuat dan memicu kambuh pasien

skizofrenia.Hasil uji bivariat antara peristiwa

kehidupan yang penuh stres dengan frekuensi kekambuhan menunjukkan hubungan yang sedang dan memiliki arah hubungan positif, artinya terjadinya peristiwa hidup yang penuh stres akan menyebabkan meningkatnya frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia. Sariah (2014) menyimpulkan bahwa salah satu penyebab kambuhnya penyakit skizofrenia disebabkan oleh peristiwa kehidupan keluarga yang penuh dengan tekanan (stres).

Di samping itu, pada umumnya responden mengatakan belum memiliki pengalaman merawat pasien skizofrenia yang terlihat dari caregiver mendapatkan support dari keluarga (ibu atau suami) yang menemani selama pasien menjalani perawatan di rumah sakit. Selain itu, caregiver pasien skizofrenia juga mendapatkan dukungan dari caregiver lainnya di ruang perawatan, sehingga mereka mendapatkan cerita pengalamannya, motivasi maupun informasi terkait peristiwa-peristiwa yang dijalani selama hidup bersama penderita skizofrenia. Sejalan dengan hasil penelitian Birley dan Wing (2007), orang tua yang mempunyai pengalaman merawat anak menentukan bagaimana kondisi mental seorang anak di masa mendatang.

Terakhir, faktor kualitas hidup sebagai caregiver. Kualitas hidup keluarga sebagai caregiver merupakan salah satu aspek yang penting dalam mencegah kekambuhan pasien skizofrenia. Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 40% caregiver memiliki kualitas hidup yang rendah. Rafiah (2011) menemukan bahwa rendahnya kualitas hidup caregiver berdampak terhadap kualitas caregiver dalam merawat pasien skizofrenia. Pada penelitian ini, umumnya responden mengatakan kesulitan untuk membagi waktu untuk bekerja, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, dan merawat pasien. Hal ini sejalan dengan pendapat Espina (2003), menjelaskan permasalahan stres dan penurunan kualitas hidup keluarga sebagai caregiver berkaitan dengan pergeseran pekerjaan, tugas rumah tangga, dan merawat pasien.

Hasil penelitian Gutierrez (2006), menemukan bahwa beban ekonomi berkontribusi besar terhadap menurunnya

Page 45: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

44 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

kualitas hidup caregiver karena tingginya biaya pengobatan pasien skizofrenia. Alejandra (2009) menegaskan bahwa perasaan terbebani dan ketegangan bagi caregiver yang dapat mengurangi kualitas hidup caregiver dan mengurangi kualitas perawatan terhadap anggota keluarganya yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil uji bivariat antara faktor kualitas hidup caregiver dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia ditemikan hubungan yang sangat kuat dan memiliki arah hubungan negatif artinya semakin tinggi kualitas hidup keluarga sebagai caregiver, maka semakin berkurang frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Watson (2010) yang menemukan bahwa anggota keluarga yang merawat penderita skizofrenia tidak mengalami masalah pada semua dimensi yang diukur dan kualitas hidup anggota keluarga yang merawat penderita skizofrenia berada dalam tingkat sedang. Hal tersebut mungkin karena dinegara barat beban ekonomi tidak begitu dirasakan dan fasilitas kesehatan yang sangat memadai.

Intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat jiwa untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas hidup caregiver yaitu dengan meningkatkan kemampuan adaptasi caregiver dalam merawat pasien skizofrenia. Kemampuan menyeimbangkan antara emosi negatif dan emosi positif diperlukan agar domain psikologis dalam kualitas hidup dapat meningkat. Menurut Maria (2010) kesejahteraan psikologis (psychological well-being) adalah kondisi seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah mental saja, melainkan memiliki kemampuan untuk menerima diri sendiri maupun kehidupan orang lain yang dalam hal ini adalah penderita skizofrenia (self-acceptance).

Selanjutnya, berkaitan dengan hasil uji multivariat menggunakan analisis regresi logistik dari keempat faktor dari caregiver didapatkan bahwa kualitas hidup yang paling dominan berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia. Temuan ini mengindikasikan bahwa kualitas hidup caregiver merupakan factor yang paling berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia dibanding faktor pengetahuan,

dukungan dan kehidupan yang penuh stres. Implikasinya bagi tenaga kesehatan adalah bahwa dalam merawat pasien skizofrenia sebaiknya menggunakan pendekatan family centerd care, sehingga dalam merawat pasien, tidak hanya fokus pada pasien saja tetapi pada keluarga secara keseluruhan.

Simpulan

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semua variabel independen (dukungan keluarga, pengetahuan keluarga, kualitas hidup, dan peristiwa hidup penuh stres memiliki hubungan dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia. Faktor dari caregiver yang paling dominan berhubungan dengan kekambuhan skizofrenia adalah kualitas hidup caregiver. Disarankan kepada tenaga kesehatan, khususnya perawat, agar dalam merawat pasien skizofrenia menggunakan pendekatan family centered care. Perawat memberikan pendidikan keperawatan terhadap keluarga dan masyarakat, mendirikan dan mendampingi paguyuban keluarga sebagai caregiver skizofrenia, mengimplementasikan caregiver support group, memperhatikan hak asasi caregiver dan pasien skizofrenia dengan membantu mempermudah akses mendapatkan obat, memberikan informasi tentang alur pengobatan, dan mendengarkan keluhan caregiver, serta aktif berkerjasama dengan Puskesmas.

Daftar Pustaka

Alejandra. (2009). Quality of life in caregivers of patients with schizophrenia: A literature review. Health and Quality of Life Outcomes, 7, 84. doi:10.1186/1477-7525-7-84.

Alsherif, Z.A.E.G., & Elrahman, S.G.E.S. (2013). Schizophrenic patients’s perception of factors leading to relapse. Journal of American Science, 9(12), 512-517. ISSN: 1545-1003. http://www.jofamericanscience.org.68.

Awad, A.G., & Voruganti, L.N. (2010). The burden of schizophrenia on caregivers: A

Laeli Farkhah : Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia

Page 46: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

45JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

review. Pharmacoeconomics, 26, 149-162.

Birley, J. L. T., & Wing, J. K. (2007). Influence of family life on the course of schizophrenic disorders: a replication. British Journal of Psychiatry, 121, 241-258.

Buckley, P.F. (2006). Schizophrenia. Philadelphia: Elsevier.

Chan, K.W. 2015). Perceived risk of relapse and role of medication: Comparison between patients with psychosis and their caregivers.Social Psychiatry Psychiatr Epidemiol, 50, 307-315.doi: 10.1007/s00127-014-0930-0.

Chorwe-Sungani, G., Namelo, M., Chiona, V., & Nyirongo, D. (2015). The views of family members about nursing care of psychiatric patients admitted at a mental hospital in Malawi. Open Journal of Nursing. 5, 181-188. http://dx.doi.org/10.4236/ojn.2015.53022.

Christy, L.M. (2011). Relapse in skizofrenia. Chief Research Officer, Jockey Club Early Psychosis (JCEP) Project, Department of Psychiatry. The University of Hong Kong, 16(5).

Epstein-Lubow, G., Gaudiano, B.A., Hinckley, M., Salloway, S., & Miller, I.W. (2010). Evidence for the validity of the American Medical Association’s caregiver self-assessment questionnaire as a screening measure for depression. Journal of the American Geriatrics Society, 58(2), 387–388.

Espina, A., & Gonzalez, P. (2003).Intervenciones familiares en la esquizofrenia.Cambios en la sintomatologia y el ajuste social. Revista Salud Mental, 26, 51-58.

Felicia, G. (2012). Self-assessment of functional ability in schizophrenia: Milestone achievement and its relationship to accuracy of self-evaluation. Psychiatry Research. doi: 10.1016/j.psychres.2013.02.035.

Fisher, J. E. M. (2011). The therapeutic role of the mental health nurse: implications for the practice of psychological therapies. Thesis. Southern Cross University, Lismore, NSW.

Friedman, M. M. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga: riset, teori, dan praktik/Marlindan M. Friedman, Vicky R. Bowden, Elaine G Jones; alih bahasa, Achir Yani S. Hamid., et.al; editor edisi bahasa indonesia, Estu Tiar, Ed. 5. Jakarta: EGC.

Guiterrez-Maldonado, J., Caqueo-Urizar, A., Kavanagh, D.J. (2006). Burden of care and general health in families of patients with schizophrenia. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol. 40(11):899-904.

Hemels & Schreiner. (2013). Definitions and drivers of relapse in patients with schizophrenia: A systematic literature review. doi: 10.1186/1744-859X-12-32.

Ingkikiriwang. (2010). Hubungan antara dukungan keluarga dengan keberfungsian sosial pada pasien skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit (Tesis). Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro, Semarang.

Keliat, B.A. (2006). Proses keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.

Maria, C. (2010). Schizophrenia and quality of life: How important are symptoms and functioning?. International Journal Mental Health. doi: 10.1186/1752-4458-4-31.

Mubarak, A.R., & Barber, J.G. (2013). Emotional expressiveness and the quality of life of patients with schizophrenia. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol, 38(7), 380-4.

Pratama, Syahrial, & Isak. (2015). Hubungan keluarga pasien terhadap kekambuhan skizofrenia di BLUD RSJ Aceh. Jurnal kedokteran syiah kuala, 15(2).

Porsdal, V., Beal, C., Kleivenes, O.K., Martinsen, E.W., Lindstrom, E., & Nilsson,H. (2010). The scandinavian solutions for wellness study-atwo-arm observational study on the effectiveness of lifestyle intervention onsubjective well-being and weight among persons with psychiatric disorders. BMC Psychiatry, 10(42). doi: 10.1186/1471-1244x-1110-1142.

Laeli Farkhah : Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia

Page 47: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

46 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Rafiah, I., & Sutharangsee, W. (2011).Review: Burden on family caregivers caring for patients with schizophrenia and its related factors. Nurse Media Journal of Nursing, 1(1), 29–41.

Sachit, K.R., & Al-Jubbori, A.K. (2013). Impact of caregivers’ expressed emotion upon schizophrenic patient relapsing. Kufa Journal for Nursing Science, 3(1).

Sariah, A.E., Outwater, A.H., & Malima, K.I. (2014). Risk and protective factors for relapse among individuals with schizophrenia: A qualitative study in Dares Salaam, Tanzania. BMC Psychiatry, 14, 240. doi:10.1186/s12888-014-0240-9.

Siregar, C. (2006). Farmasi klinik teori dan

penerapan. Jakarta: EGC.

Watson, R. (2010). Handbook of disease burdens and quality of life measures. ISBN: 978-0-387-78664-3.

Weret, Z.S., & Mukherjee, R. (2014). Prevalence of relapse and associated factors in patient with schizophrenia at Amanuel Mental Specialized Hospital, Addis Ababa, Ethiopia: institution based cross sectional study. International Journal of Interdisciplinary and Multidisciplinary Studies (IJIMS), 2(1), 184-192. 184. ISSN: 2348-0343.

WHO. (2014). Schizophrenia. Retrieved from http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs397/en/.

Laeli Farkhah : Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia

Page 48: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

47JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrome Pasien Hemodialisis

Anggriyana Tri Widianti1, Yanti Hermayanti2, Titis Kurniawan2

1STIKes Aisiyah, Bandung, 2Fakultas Keperawatan, Universitas PadjadjaranEmail: [email protected]

Abstrak

Restless legs syndrome (RLS) adalah gangguan sensorimotor yang banyak terjadi pada pasien hemodialisis (HD). Terapi farmakologi merupakan pilihan utama penanganan RLS yang justru berisiko menimbulkan efek samping. Optimalisasi fisik pasien HD melalui latihan kekuatan dinilai berpotensi efektif memperbaiki restless legs syndrome. Belum terdapat penelitian yang mengklarifikasi pengaruh latihan kekuatan terhadap RLS. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh latihan kekuatan terhadap skala RLS pada pasien HD di Unit Hemodialisis di RS Margono Soekardjo dan RSUD Banyumas. Metode quasi eksperimen dengan pre-post test with control group design ini menggunakan sampel sebanyak 32 pasien HD (15 pasien intervensi dan 17 pasien kontrol) dengan teknik cluster random sampling. Cluster random sampling dalam penelitian ini adalah penggunaan tempat penelitian sebagai kelas, yaitu satu rumah sakit untuk intervensi dan rumah sakit lainnya digunakan untuk kontrol. Latihan kekuatan pada ekstremitas atas dan bawah diberikan 2 minggu sekali saat proses hemodialisis berlangsung selama 8 minggu. Skala RLS diukur menggunakan IRLS Scale. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji t tidak berpasangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antar kelompok dari usia, ureum, adekuasi, lama HD, jenis kelamin, penyakit kormobid maupun penggunaan obat. Antar kelompok memperlihatkan terdapat perbedaan nilai TIBC (p=0,000). Skala RLS kelompok intervensi menunjukan perbaikan dengan selisih mean -1 yang menandakan penuruan skala, adapun pada kelompok kontrol justru terlihat peningkatan kondisi RLS dengan selisih mean 1,29. Analisis antar kelompok terlihat signifikansi berbeda (p=0,035) yang menunjukkan terdapat pengaruh latihan kekuatan terhadap skala RLS. Latihan kekuatan penting sebagai bagian dalam pengelolaan pasien uremik RLS.

Kata kunci: Latihan kekuatan, restless legs syndrome, skala RLS.

Effect of Strength Training on Restless Legs Syndrome: Hemodialysis patients

Abstrac

Restless legs syndrome (RLS) is a sensorimotor disorder that occurs mostly in hemodialysis (HD) patients. Pharmacological therapy is the main choice of RLS treatment that is at risk of side effects. Physical optimization of HD patients through strength training was considered as potentially effective to fix restless legs syndrome. No research has yet clarified the effect of strength training on RLS. Therefore, this study aims to identify the effect of strength training on RLS scale on HD patients in Hemodialysis Unit at Margono Soekardjo Hospital and Banyumas Hospital. The quasi experimental method with pretest and posttest with control group design was applied to 32 samples of HD patients (15 intervention patients and 17 control patients) by applying cluster random sampling technique. Cluster random sampling in this study is the use of research place as a class, for instance, one hospital for intervention group and the other one used for control group. Strength training on the upper and lower extremities is given every 2 weeks when the hemodialysis process lasts for 8 weeks. The RLS scale is measured using IRLS Scale. The collected data were analyzed using unpaired test. The results showed that there were no differences between groups of age, urea, adequacy, duration of HD, gender, comorbid disease and drug use. The inter-group showed that there is a difference in TIBC value (p = 0,000). The RLS scale of the intervention group shows improvement with the mean difference of -1 indicating the scaling of the scale, while in the control group, it is seen an increase in RLS condition with a mean difference of 1.29. Inter-group analysis showed different significance (p = 0,035) indicating that there is a significant influence of strength training to RLS scale. Thus, strength exercise is important as part of the management of uremic RLS patients.

Keywords: Restless legs syndrome, RLS scale, strength exercise.

Page 49: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

48 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pendahuluan

Gagal ginjal merupakan hasil kerusakan fungsi dan struktur ginjal secara progresif. Gagal ginjal kronik (GGK) akan berkembang progresif menjadi gagal ginjal terminal atau end stage renal disease (ERSD) dan membutuhkan renal replacement therapy seperti dialisis dan transplantasi ginjal (CDC, 2014). Berdasarkan data The Global Burden of Disease tahun 2010, GGK menduduki peringkat ke-18 dalam daftar penyebab mortalitas dari sejumlah angka kematian global yaitu 16,3 per 100 ribu (Lazano et al., 2012). Data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) diperkirakan terdapat 70 ribu penderita gagal ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10% setiap tahunnya (Tandi, Mongan, & Manopo, 2014). Berdasarkan data Pernefri (2014), jumlah pasien GGK di Jawa Tengah mencapai 1793 dan menduduki peringkat ke-3 setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Salah satu upaya penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien GGK adalah dialisis (Baredero et al., 2005). Tahun 2014, Jawa Tengah menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah pasien hemodialisa sebanyak 3362 (Pernefri, 2014).

Meskipun hemodialisis sangat membantu pasien GGK, namun terapi ini juga berisiko menimbulkan komplikasi yaitu salah satunya komplikasi neurologi (Ozkan & Ulusoy, 2011). Komplikasi gangguan neurologi penting karena memengaruhi pasien hemodialisis dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien (Rizzo et al., 2012). Komplikasi gangguan neurologi yang dapat terjadi pada pasien hemodialisis adalah gangguan pergerakan dan restless leg syndrom (RLS) (Brouns & Deyn, 2004). Restless leg syndrom pada pasien hemodialisis dapat menyebabkan komplikasi baru lagi bagi pasien hemodialisis seperti gangguan tidur dan depresi yang akan menurunkan kualitias hidup pasien. Angka RLS cukup tinggi pada pasien hemodialisis jika dibandingkan populasi umum (Brouns & Deyn, 2004).

Restless legs syndrome (RLS) merupakan gangguan sensorimotor yang ditandai dengan keinginan untuk menggerakkan kaki dan diklasifikasikan kedalam gangguan pergerakan neurologi yang menimbulkan

ketidaknyamanan rasa nyeri, gatal, seperti ada yang merayap di bagian yang terkena (Symvoulakis, Anyfantakis, & Lionis, 2010; RLS Foundation, 2008). Jaber et al. (2011) melaporkan jumlah pasien hemodialisis yang mengalami RLS sebanyak 40% dari 235 responden. Munculnya RLS pada pasien hemodialisis menurunkan kualitas hidup. Sebagai konsekuensinya, kebanyakan pasien dengan RLS mengalami gangguan tidur, kecemasan, dan gejala depresi. RLS juga teridentifikasi sebagai salah satu penyebab pemberhentian proses hemodialisis serta meningkatkan risiko gangguan kardiovaskuler (RLS Fondation, 2008).

Beberapa studi juga merekomendasikan penatalaksanaan RLS menggunakan terapi nonfarmakologi. Penatalaksanaan RLS yang telah dilakukan belum sepenuhnya mengurangi keparahan RLS. Penelitian menunjukan latihan fisik terbukti aman, dan low-cost dalam menurunkan skala keparahan RLS (Giannaki et al., 2010). Efek latihan fisik pada RLS sebanyak 34% menurunkan gejala RLS, juga menjadi pendekatan terapi nonfarmakologi yang mengadaptasikan fisik dalam peningkatan kualitas hidup (Johansen, 2012).

Meskipun hemodialisis dapat meningkatkan survival pasien GGK, penatalaksanaan hemodialisis tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. Beberapa penelitian menunjukan berkurangnya kualitas hidup pasien setelah lama menjalani hemodialisis. Hal ini dihubungkan dengan efek hemodialisis pada penurunan struktur dan fungsi otot yang merupakan hasil dari uremia. Sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisik, atrofi otot, dan kesulitan dalam berjalan, kemampuan kerja fisik, dan fungsi yang lemah (da-Silva, 2013). Karena keterbatasan pasien dalam melakukan aktivitas harian dan inaktivitas sehingga dibutuhkan pengelolaan berupa peningkatan aktivitas fisik pasien seperti program latihan fisik.

Exercise atau latihan fisik pernah dilaporkan sebelumnya, dapat menurunkan keparahan RLS. Aerobic exercise terbukti dapat mengurangi gejala RLS. Hal ini dilakukan oleh Mortazavi et al. (2013) dan Sakkas et al. (2008). Pasien diberikan latihan intradialitik berupa mengayuh sepeda statis

Anggriyana Tri Widianti : : Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrom

Page 50: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

49JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

30–45 menit selama empat sampai enam bulan. Hasil penelitian menunjukan aerobic exercise dapat menurunkan skala RLS.

Latihan kekuatan merupakan salah satu jenis latihan fisik yang dibutuhkan pasien hemodialisis regular (da-Silva et al., 2013). Latihan kekuatan membuat otot lebih kuat dan bekerja lebih keras dengan melawan gaya resistensi. Kekuatan otot dibutuhkan dan merupakan dasar untuk melakukan kemampuan fisik yang lain. Penelitian yang dilakukan de-Lima et al. (2013) melaporkan dalam penelitiannya, streghthening exercise dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan, kapasitas fungsional, dan kualitas hidup pada pasien hemodialisis. Johansen (2000) merekomendasikan latihan kekuatan (strength traning) sebaiknya menjadi bagian rutin dari perawatan terapi hemodialisis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dialisis. Selain itu, Agency of Healthcare Research and Quality (2007) merekomendasikan pemberian latihan kekuatan pada ekstremitas bawah membantu mengurangi gejala RLS. Namun berdasarkan review literatur, latihan kekuatan belum dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruhnya dalam memperbaiki kondisi RLS. Berdasarkan temuan tersebut, latihan kekuatan memiliki potensi memperbaiki gejala RLS

Perawat memiliki peran dalam meningkatkan kualitas hidup pasien dengan mencegah komplikasi RLS pada pasien hemodialisis. Selain itu, perawat memiliki tugas dalam mendorong keberkelanjutan latihan fisik yang menjadi dasar pasien dalam melakukan aktifitas fisik (Bennett et al., 2013). Namun pelaksanaan program latihan di unit hemodialisis di Indonensia belum diterapkan. Program latihan fisik belum menjadi program protokol rutin bagi pasien hemodialisis di Indonesia. Latihan kekuatan sebagai salah satu jenis latihan fisik dalam penelitian sebelumnya berpengaruh positif bagi pasien hemodialisis dan merupakan salah satu bentuk intervensi keperawatan yang terdapat dalam standar Nursing Intervention Classification (2014) untuk meningkatkan aktivitas fisik pasien hemodialisis, namun belum diketahui pengaruh latihan kekuatan tersebut terhadap pasien hemodialisis yang mengalami RLS. Berdasarkan temuan literatur mengenai kekurangan penatalaksaan RLS yang

telah dilakukan sebelumnya, pentingnya latihan fisik bagi pasien hemodialisis yang mengalami RLS dan studi pendahuluan yang dilakukan, dengan demikian menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut mengenai pengaruh latihan kekuatan terhadap RLS pada pasien hemodialisis dan dapat dijadikan sebagai evidence based.

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan desain penelitian quasi eksperimen dengan pre-post test with control group design. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode cluster random sampling dengan kriteria pasien yang telah menjalani hemodialisis rutin > 3 bulan dan memiliki kriteria RLS, tidak memiliki riwayat fraktur ekstremitas bawah, dan tidak terpasang akses femoral. Sejumlah 32 pasien menjadi responden, yang terbagi menjadi kelompok intervensi sebanyak 15 responden dan kontrol 17 responden. Pengukuran skala RLS menggunakan International Restless Leg Syndrom (IRLS). International Restless Legs Scale berupa kuisioner yang terdiri dari 10 pertanyaan yang mencakup gejala dan efek terhadap perasaan dan kehidupan pasien. Setiap pertanyaan terdiri dari 5 poin. Skala yang terdapat pada IRLS terbagi menjadi 4 interval, yaitu sangat parah (31–40 poin), parah (21–30 poin), sedang (11–20), cukup (1–10 poin), tidak parah (0 poin) (IRLSSG, 2003). Data sekunder yang diambil adalah ureum, TIBC, adekuasi hemodialisis, terapi farmakologi, dan lamanya menjalani hemodialisis. Latihan kekuatan diberikan selama 8 minggu, 1 minggu sebanyak 2 kali saat proses hemodialisis. Gerakan terdiri dari penguatan otot lengan depan, ekstensi kaki dengan mengangkat kaki, menekuk lutut, serta penggunaan gelang beban pergelangan kaki dan tangan seberat 0,5 kg.

Hasil Penelitian

Berdasarkan karekteristik umur dari 32 pasien, sebagian berada pada rentang dewasa akhir (43–65 tahun) yaitu sebanyak 80% pada kelompok intervensi dan 58,8%

Anggriyana Tri Widianti : : Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrom

Page 51: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

50 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

pada kelompok kontrol l. Ureum berada pada rentang 124,43±32,41 di kelompok intervensi dan 139,39±59, 82 di kelompok kontrol. Responden dalam kelompok kontrol lebih lama menjalani hemodialisis (222±109,03) dibanding kelompok intervensi (208±122,6). kelompok intervensi memiliki nilai TIBC kurang dari normal sebanyak 15 pasien (100%), sedangkan kelompok kontrol sebanyak 5,9%. Responden di kelompok intervensi lebih adekuat hemodialisis sebanyak 67%, sedangkan kelompok kontrol hanya 58,8%. Berdasarkan karekteristik jenis kelamin, sebagian besar pasien berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 20 orang (63%). Kedua kelompok memiliki penyakit kormobid yang sama, yaitu hipertensi sebanyak 32 orang (100%) dan diabetes sebanyak 4 orang (12,5%). Obat yang diberikan kedua kelompok yaitu antihipertensi, asam folat dan erytopoeitin stimulating agent (ESA).Pengaruh latihan kekuatan terhadap skala RLS pasien hemodialisisGambaran kondisi RLS di Unit Hemodialisis RSUD setelah dilakukan latihan kekuatan dapat dilihat pada tabel 1.Gambaran pengaruh dan perbedaan skala keparahan RLS di Unit Hemodialisis RSUD sebelum dan setelah dilakukan latihan kekuatan pada kelompok intervensi dapat

dilihat pada tabel 2.

Pembahasan

Hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik skala RLS pada kelompok intervensi dan kontrol (p=0,035). Latihan kekuatan yang diberikan pada kelompok intervensi selama 8 minggu, menunjukkan adanya perbaikan dan mampu mempertahankan kondisi RLS di kelompok intervensi sebanyak 67% responden sedangkan pada kelompok kontrol 73%. Peningkatan kondisi RLS menggambarkan semakin tidak baiknya RLS yang pasien alami. Hal ini menunjukkan terdapat penurunan skala setelah latihan kekuatan pada kelompok intervensi.

Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya. Hasil dalam penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Esteves, de Mello, Benedito-Silva, Tufik (2011); Christoforos et al. (2010); dan Aukerman et al. (2006). Meskipun terdapat perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terdapat pada jenis latihan fisik yang diberikan dan durasi waktu pemberiannya. Latihan fisik yang diberikan

Tabel 1 Kondisi RLS di Unit Hemodialisis RS Margono Soekardjo dan RSUD Banyumas setelah Dilakukan Latihan Kekuatan (N = 32)

Kelompok Kondisi RLSPerbaikan Tetap Peningkatan Kondisi

Intervensi (N = 15) 7 (47%) 3 (20%) 5 (33%)

Kontrol (N = 17) 4 (22%) 1 (5%) 12 (73%)

Tabel 2 Hasil Uji Statistik Skala RLS di Unit Hemodialisis RS Margono Soekardjo dan RS Banyumas Sebelum dan Setelah Dilakukan Latihan Kekuatan (N = 32)

Variabel Intervensi (N = 15) Kontrol (N = 17) p-Valuemean±SD mean±SD

Skala RLSPre intervensi 21,13±5,97 22,03±4,47 0,035Post Intervensi 20,13±6,30 23,29±5,25Δ mean -1±3,38 1,29±2,20p valuec 0,271 0,028

Anggriyana Tri Widianti : : Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrom

Page 52: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

51JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

berupa latihan aerobik sepeda ergometrik dan latihan tahanan (resistence) yang ternyata terbukti efektif mengurangi gejala RLS (Esteves et al., 2011, Christoforos et al., 2010; & Aukerman et al., 2006).

Perbaikan pasien RLS pada kelompok intervensi dalam penelitian ini diperkuat dengan penjelasan bahwa aktivitas fisik berupa latihan kekuatan merupakan stimulus adaptasi fungsional dan metabolik pada neuromuskular. Latihan kekuatan memberikan hasil pada penguatan otot rangka dan peningatan kekuatan maksimal (Schiffer, Schulte, Hollmann, Bloch, & Strüder, 2009). Latihan kekuatan juga telah terbukti memengaruhi fungsi kontrol motor (Graef, Michaelsen, Dadalt, Rodrigues, & Pereira, 2014). Selama latihan fisik terjadi peningkatan aliran darah otak (Carvalho et al., 2015). Latihan kekuatan ini juga dapat menyeimbangkan produksi dopamin (Seifer, Brassard, Wissenberg, Rasmussen, Nordby, & Stallknecht, 2010). Sedangkan pada pasien RLS memiliki karekteristik difisit dopamin yang menyebabkan gangguan motorik. Melalui ketrampilan motorik berupa skill exercise membantu dalam melakukan kontrol motor.

Mayoritas responden di kedua kelompok menunjukkan rentang skala kondisi RLS yang sedang sampai parah. Hal tersebut dapat ditunjukan dengan nilai mean 20,13 pada kelompok intervensi dan 23,29 pada kelompok kontrol. Review yang dilakukan Giannaki et al. (2013) menjelaskan faktor yang memengaruhi keparahan RLS yaitu hipertensi, jenis kelamin perempuan, peningkatan berat badan, lama melakukan hemodialisis, usia, dan diabetes mellitus.

Dalam penelitian ini menunjukkan data semua responden di kedua kelompok mengalami hipertensi, berada pada rentang usia dewasa akhir yang dapat memengaruhi peningkatan kondisi RLS selain disebabkan tingginya ureum. Pasien yang mengalami diabetes dikedua kelompok menunjukan peningkatan kondisi RLS. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Katsi et al. (2-14) dan Winter et al (2013). Winter et al. (2013) menjelaskan bahwa riwayat diabetes menjadi faktor risiko tinggi pasien mengalami RLS di Amerika. Berbeda dengan Pavan dan Satish (2013) yang melaporkan tingginya level

BUN tidak signifikan terhadap keparahan RLS. Adapun dalam penelitian ini, responden wanita di kelompok intervensi lebih menunjukkan perbaikan kondisi RLS karena rentang ureum yang lebih rendah. Responden wanita di kelompok kontrol menunjukan peningkatan kondisi RLS yang disebabkan kadar ureum yang tinggi.

Protokol latihan kekuatan pada penelitian ini merupakan salah satu yang mendukung keberhasilan intervensi. Gerakan latihan kekuatan yang diberikan dalam penelitian ini merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh de Lima et al. (2013). Gerakan dalam latihan kekuatan yang diberikan dalam penelitian de Lima et al. (2013) terdiri dari 3 gerakan, dimana gerakan tersebut juga terdapat dalam prosedur latihan kekuatan Painter (2000). Meskipun RLS lebih sering terjadi pada tangan, namun gerakan pada tangan tersebut tetap diberikan. Hal ini ditujukan untuk mencegah peningkatan kondisi RLS yang dapat menyebar sampai ke area ekstremitas atas (Winkelman, 2006). Selama penelitian, peneliti tidak menemukan responden yang mengalami RLS pada ekstremitas atas. Selama responden diberikan intervensi, tidak terdapat responden yang mengalami proses pemberhentian hemodialisis, namun 2 responden mengalami kram kaki. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh peningkatan QB pada mesin hemodialisis yang dinaikkan. Pemantauan tanda-tanda vital selalu dilakukan peneliti sebelum dan setelah intervensi diberikan. Pengukuran saturasi oksigen selalu termonitor selama melakukan intervensi. Selama diberikan intervensi, tidak terdapat nilai saturasi oksigen yang menurun dibawah normal dan pasien rata-rata menunjukkan tekanan darah setelah diberikan perlakuan.

Pemberian berat beban yang diikatkan pada pergelangan tangan dan kaki, diberikan peneliti seberat 0,5 kg. Peneliti mempertimbangkan untuk memberikan beban ringan 0,5 kg dan tidak menambah beban. Beberapa faktor yang memengaruhi kondisi pasien seperti kadar ureum yang tinggi, anemia di kedua kelompok sangat memengaruhi kondisi pasien hemodialisis.

Penelitian yang dilakukan de-Lima et al. (2013) pun memberikan efek positif terhadap kekuatan otot. Kekuatan otot responden

Anggriyana Tri Widianti : : Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrom

Page 53: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

52 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

setelah perlakuan tidak diobservasi oleh peneliti, namun berdasarkan studi literatur bahwa kekuatan otot yang meningkat berpotensi memperbaiki kondisi RLS karena dengan peningkatan kekuatan otot akan berpengaruh terhadap kestabilan kontrol motor (Griffin & Cafarelli, 2005). Sehingga berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti mengambil gerakan minimal dalam prosedur latihan kekuatan namun tetap memberikan pengaruh terhadap RLS dalam penelitian ini.

Durasi atau lamanya pemberian intervensi, menentukan keoptimalan dari latihan kekuatan yang diberikan. Lamanya waktu sesi gerakan dan durasi penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Giannaki et al. (2010).

Latihan kekuatan dalam penelitian ini diberikan selama 8 minggu, sesuai dengan review penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Pemilihan waktu selama 8 minggu sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Giannaki et al. (2010). Penelitian lain melaporkan penurunan skala RLS setelah exercise terjadi setelah pemberian perlakuan dengan durasi waktu yang lebih lama yaitu 16 minggu yang dilakukan oleh Sakkas et al. (2008), 6 bulan oleh Mortazavi et al. (2013), dan Giannaki et al. (2013). Sehingga berdasarkan keefektifan waktu exercise tersebut, peneliti memilih waktu selama 8 minggu untuk dilakukan dalam penelitian ini

Smart dan Stelee (2013) melakukan review dosis pemberian latihan fisik bagi pasien gagal ginjal kronis yaitu 3 kali dalam seminggu. Dosis hemodialisis yang diberikan di Indonesia umumnya 2 kali seminggu. Smart dan Stelee (2013) merekomendasikan latihan fisik dalam jangka waktu lama yaitu 5 bulan baru dapat memberikan efek yang menguntungkan. Pedersen dan Saltin (2006) melakukan review dosis latihan fisik pada penyait kronis. Gagal ginjal kronis yang memiliki karekteristik pasien hampir sama dengan pasien gagal jantung kronik, akan didapatkan efek positif pada pasien jika melakukan latihan kekuatan selama 10 minggu sampai 5 bulan. Perbedaan rentang waktu dan dosis latihan fisik yang diberikan memengaruhi hasil dalam penelitian ini. Namun, dalam penelitian ini menunjukkan

perbaikan pada kelompok intervensi selama 8 minggu perlakuan.

Karekteristik responden yang turut memengaruhi keoptimalan latihan kekuatan yang diberikan salah satunya adalah ureum. Berdasarkan data, responden yang mengalami perbaikan RLS dan kondisi tetap, memiliki kadar ureum kurang dari mean meskipun ureum menunjukan tidak berbeda antar kelompok. Peran ureum terhadap RLS dijelaskan melalui adanya toksisitas sistem saraf akibat tosksisitas uremik. Terdapat komplikasi peningkatan ureum terhadap perambatan neuron. Komplikasi tersebut yaitu polyneuropathy yang memengaruhi motorik, sensorik, saraf otonom, dan kranial. Hal ini memunculkan konduksi saraf yang abnormal sehingga mengakibatkan RLS (Brouns & Deyna, 2004). Uremik neuropati berhubungan dengan proses demyelinating sekunder pada saraf tulang belakang sehingga memengaruhi refleks sensorik dan motorik yang melibatkan gerakan ekstremitas atas dan bawah (Rizzo et al., 2012). Myoklonus uremik yang muncul menimbulkan tipe gerakan seperti sindrom dengan kedutan dan kejang otot (Brouns & Deyna, 2004).

Pada data hasil penelitian, telihat jelas dalam penelitian ini di kelompok intervensi memiliki TIBC kurang dari normal, namun mengalami perbaikan RLS. Sedangkan di kelompok kontrol, mayoritas nilai TIBC normal namun memiliki peningkatan kondisi RLS. Hasil dalam penelitian ini berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Schultz (2011). Schultz (2011) melaporkan bahwa TIBC memiliki hubungan lemah terhadap RLS. Mizuno et al. (2005) menemukan bahwa zat besi di cairan serebrospinal, substansia nigra dan putamen, lebih rendah pada pasien RLS. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien RLS memiliki disfungsi produksi dopamin yang disebabkan oleh kekurangan zat besi di area dopamin yang terkait tertentu dari otak. Zat besi dibutuhkan sebagai kofaktor tirosin hidroksilase yang merupakan tingkat pembatas produksi dopamin (Kavanagh, Siddiqui, & Geddes, 2004). Yazdi et al. (2015) melaporkan tidak terdapat perbedaan kadar TIBC kelompok RLS dan non RLS. Sehingga perbedaan TIBC di masing-masing kelompok dalam

Anggriyana Tri Widianti : : Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrom

Page 54: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

53JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

penelitian ini belum dapat menggambarkan pengaruhnya terhadap perbaikan dan perburukan RLS.

Foley, Curtis, dan Parfley (2008) merekomendasikan target hemoglobin pasien hemodialisis pada rentang 10-12 g/dl yang menunjukan bahwa pasien hemodialisis memiliki kondisi yang baik. Rentang hemoglobin tersebut juga menunjukkan toleransi pasien terhadap exercise dan kemampuan fungsional.

Responden di kedua kelompok pada penelitian ini memiliki hipertensi sebagai penyakit kormobid yang umum dialami. Penyakit kormobid yang terdapat di kelompok kontrol, yaitu hipertensi (100%), diabetes (11%), stroke (5,8%), dan kardiomegali (5,8%). Adapun responden di kelompok intervensi hanya memiliki penyakit kormobid berupa hipertensi (100%) dan diabetes (13,3%). Temuan pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Winter et al. (2013). Winter et al. (2013) melakukan penelitian di Amerika, melaporkan diabetes secara signifikan meningkatkan kemungkinan terjadinya RLS. Tidak terkontrol gula darah tinggi pada pasien diabetes dapat menyebabkan kerusakan saraf yang dapat menyebabkan diabetik neuropati perifer.

Pasien yang mengalami RLS dapat disertai dengan penyakit kardiovaskuler dan stroke. Aktivasi otonom terjadi beberapa detik untuk memulai gerakan pada RLS yang menyebabkan peningkatan aktivasi simpatik melebihi ambang batas tertentu yang menstimulasi RLS. Hal ini merupakan alasan rasional terjadinya pengulangan perubahan tekanan darah malam hari dan dilanjutkan peningkatan tekanan darah siang harinya, inilah yang menyebabkan peningkatan aktivitas simpatik yang dihubungkan dengan hipertensi dan penyakit kardiovaskuler (Katsi et al., 2014). Peningkatan tekanan darah dapat meningkatkan koagulabilitas dan risiko pembentukan plak aterosklerosis dan pecah, hal inilah yang dihubungkan dengan kejadian Stroke. Selain itu, RLS dapat menyebabkan apnea saat tidur yang menyebabkan stroke dan penyakit kardiovaskular lainnya (Katsi et al., 2014). Responden dalam penelitian ini berkisar pada

usia 27 tahun sampai 64 tahun. Berdasarkan data penelitian ini, mayoritas uremik RLS dialami pada usia dewasa akhir. Hal ini dijelaskan bahwa kejadian RLS meningkat seiring dengan semakin meningkatnya usia. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Meningkatnya usia sebagai faktor risiko terjadinya uremik RLS. Çurgunlu et al. (2012) dalam studinya melaporkan RLS lebih parah dan seiring meningkatnya disebabkan oleh defisiensi besi yang terlihat dari rendahnya level ferritin.

Keoptimalan latihan kekuatan yang diberikan dapat dipengaruhi faktor adekuasi hemodialisis meskipun antar kelompok tidak memiliki perbedaan bermakna secara statistik. Data dalam penelitian ini menunjukan kelompok intervensi memiliki keadekuatan hemodialisis. Adekuasi hemodialisis merupakan faktor yang tidak berhubungan dengan RLS namun berkaitan dengan kualitas hidup pasien hemodialisis terhadap komplikasi yang dapat terjadi. Haider, Anees, dan Shahid (2014) yang menyebutkan penyebab tingginya frekuensi RLS salah satunya adalah inadekuat hemodialisis. Menyediakan dialisis yang adekuat pada pasien gagal ginjal kronis penting dalam pemenuhan dialisis inadekuat yang dapat meurunkan morbiditas dan mortalitas.

Kelompok intervensi dan kontrol tidak memiliki perbedaan durasi lama menjalani hemodialisis. Kelompok kontrol memiliki durasi hemodialisis yang lebih lama. Hal ini dapat menguatkan semakin lamanya durasi hemodialisis dapat memperburuk keadaan RLS. Beladi-Mousavi et al. (2015) menemukan hubungan antara durasi dialisis dan munculnya RLS. Hubungan ini dikaitkan dengan risiko berkembangnya RLS. Hal ini berhubungan dengan makin progresifnya gejala dan penyakit yang mendasari terapi dialisis pada penderita yang menjalani hemodialisis dalam waktu yang lama.

Terdapat responden di kedua kelompok yang mengalami peningkatan kondisi RLS. Peningkatan kondisi RLS ini berada pada katagori skala RLS yang parah. Peningkatan kondisi RLS tersebut oleh peneliti dilakukan monitor tanda-tanda vital berupa tekanan darah, RR, nadi dan saturasi oksigen. Hal ini ditujukan untuk memastikan keamanan

Anggriyana Tri Widianti : : Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrom

Page 55: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

54 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

latihan kekuatan yang diberikan terhadap kondisi pasien.

Simpulan

Kelompok intervensi menunjukan skala RLS posttest lebih rendah dari skala pretest dibandingkan kelompok kontrol, hal ini menunjukan terdapat perbaikan RLS di kelompok intervensi setelah diberikan latihan kekuatan skala RLS posttest di kelompok kontrol terlihat lebih meningkat dari pretest dan menunjukan peningkatan kondisi. Hal ini menunjukkan kelompok intervensi terlihat membaik setelah diberikan latihan kekuatan selama 8 minggu. Sedangkan kelompok kontrol terjadi peningkatan kondisi RLS karena terjadi peningkatan skala RLS. Hal tersebut menyimpukan bahwa latihan kekuatan memberikan pengaruh terhadap perbaikan kondisi RLS pada pasien hemodialisis.

Daftar Pustaka

Agency of Healthcare Research and Quality. (2007). National Healthcare Quality Report. U.S. Department of Health and Human Service.

Aukerman, M.M., Aukerman, D., Bayard, M., Tudiver, F., Thorp, L., & Bailey, B. (2006). Exercise and restless legs syndrome: A randomized controlled trial. J Am Board Fam Med, 19, 487–93.

Baradero, M. (2005). Klien gangguan ginjal: seri asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.

Beladi-Mousavi, S.S., Jafarizade, M., Shayanpour, S., Bahadoram, M., Moosavian, S.S.M., & Houshmand, G. (2015). Restless legs syndrome: Associated risk factors in hemodialysis patients. Nephro Urol Mon, 7(6), e31967.

Bennett, P.N., Breugelmans, L., Barnard, R., Agius, M., Chan, D., Fraser, D., . . . Potter, L. (2013). Sustaining a hemodialysis exercise program: A review. Seminars in Dialysis, 23. doi: 10.1111/j.1525-139X.2009.00652.x.

Brouns, R., & Deyn, P.P.D. (2004). Neurological complications in renal failure: A review. Clinical Neurology and Neurosurgery, 107.

Carvalho, A., Barbirato, D., Araujo, A., Martins, J.V., Cavalcanti, J.J.S., Santos, J.M., ..., Deslandes, A.C. (2015). Comparison of strength training, aerobic training, and additional physical therapy as supplementary treatments for Parkinson’s disease: Pilot study. Clinical Interventions in Aging, 10, 183–191.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2014). National chronic kidney disease fact sheet: General information and national estimates on chronic kidney disease in the united states, 2014. Atlanta, GA: US Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention; 2014.

Christoforos, D.G., Georgios, M.H., Christina, K., Maria, D.M., Yiannis K., Paraskevi, F., ..., Ioannis, S. (2010). A single-blind randomized controlled trial to evaluate the effect of 6 months of progressive aerobic exercise training in patients with uraemic restless legs syndrome. ASAIO Journal, 56, 538–542. DOI: 10.1097/MAT.0b013e3181f1cc04.

Çurgunlu, A., Döventaş, A., Karadeniz, D., Erdinçler, D.S., Oztürk, A.K., Karter, Y., & Beğer, T. (2012). Prevalence and characteristics of restless legs syndrome (RLS) in the elderly and the relation of serum ferritin levels with disease severity: hospital-based study from Istanbul, Turkey. Arch Gerontol Geriatr, 55(1), 73-6. doi: 10.1016/j.archger.2011.06.002.

de-Lima, M.C., Cicotoste, C., Cardoso, K.D., Junior, L.G.F., Monteiro, M.B., & Dias AS. (2013). Effect of exercise performed during hemodialysis: Strength versus Aerobic. Renal Failure, 35(5), 697–704.

da-Silva, S.F., Pereira, A.A., Aparecido, W., Silva, H., d., Simôes, R., Barros, J., d. R., & Neto. (2013). Physical therapy during hemodialyse in patients with chronic kidney disease. J Bras Nefrol, 35. doi: 10.5935/0101-

Anggriyana Tri Widianti : : Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrom

Page 56: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

55JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

2800.20130028.

Esteves, E.M., de Mello, M.T., Benedito-Silva, A.A., & Tufik, S. (2011). Impact of aerobic physical exercise on Restless Legs Syndrome. Sleep Sci, 4(2), 45–48.

Foley, R.N., Curtis, B.M., & Parfrey, P.S. (2008). Hemoglobin targets and blood transfusions in hemodialysis patients without symptomatic cardiac disease receiving erythropoietin therapy. Clin J Am Soc Nephrol, 3(6), 1669–1675. Doi: 10.2215/CJN.02100508.

Giannaki, C.D., Sakkas, G.K., Karatzaferi, C., Hadjigeorgiou, G.M., & Lavdas, E. (2010) Evidence of increased muscle atrophy and impaired quality of life parameters in patients with uremic restless legs syndrome. PLoS ONE, 6(10), e25180. doi:10.1371/journal.pone.0025180.

Giannaki, C.D., Zigoulis, P., & Karatzaferi C. (2013). Periodic limb movements in sleep contribute to further cardiac structure abnormalities in hemodialysis patients with restless legs syndrome. J Clin Sleep Med, 9, 147–153.

Giannaki, C.D., Sakkas, G.K., Hadjigeorgiou, G.M., Karatzaferi, K., Patramani, G., & Lavdas, E. 2010). Non-pharmacological management of periodic limb movements during hemodialysis session in patients with uremic restless legs syndrome. ASAIO Journal, 56, 538–542.

Graef, P., Michaelsen, S.M., Dadalt, M.L.R., Rodrigues, D.A.M.S., & Pereira, F. (2014).Effects of functional and analytical strength training on upper-extremity activity after stroke: A randomized controlled trial. Braz J Phys Ther, 1–3

Griffin,L., Cafarelli, E. (2005). Resistence training: cortical, spinal and motor unit adaptation.Can.J.Appl.Phsiol.30(3):328-340.

Haider, I., Anees, M., & Shahid, S.A.H.(2014). Restless legs syndrome in end stage renal disease patients on haemodialysis. Pak J Med Sci, 30(6), 1209-1212. doi: http://dx.doi.

org/10.12669/pjms.306.5691.

The International Restless Legs Syndrome Study Group.(2003). Validation of the International Restless Legs Syndrome Study Group rating scale for restless legs syndrome. Sleep Medicine, 4, 121–132.

Jaber, B. L., Schiller, B., Burkart, J. M., Daoui, R., Kraus, M. A., Lee, Y., ..., Finkelstein, F.O. (2011). Impact of short daily hemodialysis on restless legs symptoms and sleep disturbances. Clin J Am Soc Nephrol, 6. doi: 10.2215/CJN.10451110.

Johansen, K.L., & Painter, P. (2012). Exercise in individuals with CKD. Am J Kidney Dis, 59, 126–134.

Katsi, V., Katsimichas, T., Kallistratos, M.S., Tsekoura, D., Makris, T., Manolis, A.J., Tousoulis, ..., Kallikazaros, I. (2014). The association of Restless Legs Syndrome with hypertension and cardiovascular disease. Med Sci Monit, 20, 654–659.

Kavanagh, D., Siddiqui, S., & Geddes, C.C. (2004). Restless legs syndrome in patients on dialysis. Am J Kidney Dis, 43, 763–771.

Lazano, R., Naghavi, M., Foreman, K., Lim, S., Shibuya, K., Aboyans, ..., Adair, I. (2012). Global and regional mortality from 235 causes of death for 20 age groups in 1990 and2010: A systematic analysis for the Global Burden.

Mizuno S., Mihara T., Miyaoka T., Inagaki T., & Horiguchi J. (2005). CSF iron, ferritin and transferrin levels in restless legs syndrome. J. Sleep Res, 14, 43–47.

Mortazavi, M.,Vahdatpour, B.,Ghasempour, A.,Taheri, D., Shahidi, S., & Moeinzadeh, F. (2013). Aerobic exercise improves signs of restless leg syndrome in end stage renal disease patients suffering chronic hemodialysis. The Scientific World Journal, 1–4.

Ozkan, G., & Ulusoy, S. (2011). Acute complications of hemodialysis, technical problems in patients on hemodialysis, Prof.

Anggriyana Tri Widianti : : Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrom

Page 57: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

56 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Maria Goretti Penido (Ed.). ISBN: 978-953-307-403-0, InTech.

Painter, P. (2000). Exercise, a guide for the people on dialysis. Medical Education Institute, Inc

Pavan, M., Sathish, J.(2013). Restless legs syndrome in patients on chronic hemodialysis. Dial Traspl. 35(1):3–6.

Pedersen, B.K., & Saltin, B.(2006). Review: Evidence for prescribing exercise as therapy in chronic disease. Scand J Med Sci Sports, 16(Suppl. 1), 3–63.

Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI). (2014). 7th Report Of Indonesian Renal Registry.

Rizzo, M.A., Frediani, F., Granata, A., Ravasi., B., Cusi, D., & Gallieni, M. (2012). Neurological complications of hemodialysis: State of the art. JNEPHROL, 25(02), 170-182. DOI: 10.5301/jn.5000087.

Restless Legs Syndrome Foundation. (2008). Restless legs syndrome 2008. The RLS Foundation.

Sakkas, G.S., Hadjigeorgiou, G.M., Karatzaferi, K., Maridaki, M.D., Giannaki, C.D., & Mertens, P.R. (2008). Intradialytic aerobic exercise training ameliorates symptoms of restless legs syndrome and improves functional capacity In patients on hemodialysis. ASAIO Journal, 54, 185–190.

Schiffer, T., Schulte, S., Hollmann, W., Bloch, W., & Strüder, H.K. (2009). Effects of strength and endurance training on brain-derived neurotrophic factor and insulin-like growth factor 1 in humans. Horm Metab Res, 41, 250–254.

Schultz. (2011). Determinants of periodic

limb movements in sleep within patients with restless legs syndrome (Thesis). Rollins School of Public Health of Emory University.

Seifer, T., Brassard, P., Wissenberg, M., Rasmussen, P., Nordby, P., Stallknecht, B., ..., Secher, N.H. (2010). Endurance training enhances BDNF release from the human brain. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol, 298, R372–R377.

Smart, N., & Stelee, M. (2011). Exercise training in haemodialysis patients: A systematic review and meta-analysis. Nephrology, 16, 626–632. doi:10.1111/j.1440-1797.2011.01471.x.

Symvoulakis, E., Anyfantakis, D., & Lionis, I.C. (2010). Restless legs syndrome: Literature review. Sao Paulo Med J, 128.

Tandi, M., Mongan, A., & Manoppo, F. (2014). Hubungan antara derajat penyakit ginjal kronik dengan nilai agregasi trombosit di rsup prof. Dr. R. D. Kandou manado. Jurnal e-Biomedik (eBM), 2.

Winkelmann, J. (2006). Complex segregation analysis of restless legs syndrome provides evidence for an autosomal dominant mode of inheritance in early age at onset families. Ann Neurol, 52, 297–302.

Winter, A.C., Berger, K., Glynn, R.J., Buring, J.E., Gaziano, M., Schürks, M.S., & Kurth, T. (2013). Vascular risk factors, cardiovascular disease and restless legs syndrome in men. Am J Med., 126(3), 228–235.e2. doi:10.1016/j.amjmed.2012.06.039.

Yazdi, Z., Sadeghniiat-Haghighi, K., Kazemifar, A.M., Kordi, A., & Naghipour, S. (2015). Restless leg syndrome in hemodialysis patients: A disorder that should be noticed. Saudi J Kidney Dis Transpl, 26(3), 625–630.

Anggriyana Tri Widianti : Pengaruh Latihan Kekuatan terhadap Restless Legs Syndrom

Page 58: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

57JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pengaruh Self Tapping terhadap Penurunan Level Dysmenorhea pada Mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan

Wiwin Lismidiati, Neni Fidya Santi, Hikmahtika Wulaning AkbarProgram Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gajah Mada

Email : [email protected]

Abstrak

Dysmenorrhea primer adalah nyeri pada perut bagian bawah yang dirasakan pada saat menstruasi tanpa adanya kelainan pada panggul. Banyaknya gejala yang muncul saat dysmenorrhea dapat berpengaruh pada aktivitas kerja dan aktivitas sehari-hari. Ada beberapa manajemen nyeri untuk mengatasi dysmenorrhea primer, salah satunya adalah dengan self tapping. Tujuan penelitian untuk menganalisis efektifitas terapi self tapping dalam menurunkan level nyeri dysmenorrhea primer pada mahasiswi PSIK FK UGM. Penelitian ini adalah jenis penelitian quasi experiment non randomized pretest-postest with control. Pada kelompok intervensi diberikan perlakuan self tapping, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan perlakuan nafas dalam. Pengukuran level nyeri dysmenorrhea primer dilakukan menggunakan instrumen Numerical Rating Scale (NRS) dengan skala 1−10. Jumlah responden sebanyak 60 orang. Untuk mengetahui perbandingan level nyeri sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dilakukan uji statistik Wilcoxon. Sedangkan untuk membandingkan perbedaan level nyeri antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan uji statistik Mann Whitney. Hasil menunjukkan intervensi self tapping lebih efektif menurunkan level nyeri dysmenorrhea primer pada mahasiswi PSIK FK UGM dengan nilai p = 0,007. Kesimpulannya terdapat pengaruh terapi self tapping terhadap terhadap level nyeri dysmenorrhea primer pada mahasiswi PSIK FK UGM. Terapi self tapping dapat dijadikan pilihan penanganan untuk mengurangi nyeri pada saat mengalami dysmenorrhea primer.

Kata kunci: Dysmenorrhea primer, level nyeri, self tapping.

The effect of Self-Tapping on Dysmenorrhea Levels Decrease on Students of Nursing Science Program

Abstract

Primary dysmenorrhea is the pain in the lower abdomen that is felt at the time of menstruation without any abnormalities in the pelvis. The number of symptoms that appear when dysmenorrhea occurs can affect daily routine. However, there are some pain management to overcome primary dysmenorrhea, one of which is with self-tapping. The purpose of this study was to analyze the effectiveness of self-tapping therapy in decreasing the level of primary dysmenorrhea pain in female students of PSIK FK UGM. This research is a kind of quasi experimental research non randomized pretest-posttest with control. The participants were divided into two groups, they are namely intervention group and control group. In the intervention group, self-tapping treatment was applied to the participants who suffer from dysmenorrhea, whereas deep breathing treatment was applied in the control group. The measurement of primary dysmenorrhea pain level was performed using a 1-10 Numerical Rating Scale (NRS) instrument. The respondents consist of 60 people. In order to figure out the comparison of pain levels before and after therapy in the intervention and control group, the Wilcoxon statistic test was performed. Meanwhile, in comparing the difference of pain level between intervention group and control group, Mann Whitney statistic test was performed. The results showed self-tapping intervention is more effectively decreasing the level of primary dysmenorrhea pain to female students of PSIK FK UGM with p = 0,007. In conclusion there is a significant influence of self-tapping therapy on the level of primary dysmenorrhea pain applied to female students of PSIK FK UGM. Self-tapping therapy can be a better option to reduce pain when experiencing primary dysmenorrhea.

Keywords: Pain level, primary dysmenorrhea, self tapping.

Page 59: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

58 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pendahuluan

Dalam tahap perkembangan manusia, setiap manusia pasti mengalami masa remaja atau adolescence. Masa remaja biasanya menunjukkan maturasi dan memasuki masa pubertas yang disertai dengan mengalami menstruasi (Potter & Perry, 2005). Menstruasi merupakan hal fisiologis pada wanita yang terjadi dari masa menarche sampai menopause. Menstruasi atau haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Proverawati & Misaroh, 2009).

Hampir seluruh perempuan yang mengalami menstruasi mempunyai pengalaman nyeri haid dengan tingkatan yang berbeda. Mulai dari rasa pegal pada bagian panggul dan perut bagian bawah hingga nyeri yang luar biasa sakitnya. Dalam istilah medis rasa sakit atau nyeri dan kram saat haid disebut dengan dysmenorrhea (Sinsin, 2008). Ada dua jenis dysmenorrhea, yaitu dysmenorrhea primer dan dysmenorrhea sekunder. Apabila rasa sakit yang terjadi karena adanya peradangan panggul, struktur panggul yang tidak normal, pelekatan jaringan pada panggul, endometriosis, tumor, polip, kista ovarium dan penggunaan IUD dinamakan dysmenorrhea sekunder. Tetapi jika rasa sakit yang terjadi tidak disertai dengan adanya riwayat infeksi pada panggul atau panggul dalam keadaan normal dinamakan dysmenorrhea primer.

Diperkirakan angka kejadian dysmenorrhea di Indonesia antara 45–95% di kalangan wanita usia produktif (Proverawati & Misaroh, 2009). Sumber lain menyebutkan angka kejadian dysmenorrhea di Indonesia sebesar 64,25% yang terdiri dari 54,89% dysmenorrhea primer dan 9,36% dysmenorrhea sekunder. Seringkali dysmenorrhea primer dialami oleh 60–75% perempuan muda (Hendrik, 2006). Banyaknya gejala yang muncul saat dysmenorrhea dapat berpengaruh pada aktivitas kerja dan aktivitas sehari-hari (Baradero et al., 2006). Dysmenorrhea primer mengakibatkan penurunan aktivitas, seperti tidak mengikuti pelajaran di sekolah, tidak mengikuti kegiatan, hanya tiduran, dan sulit berjalan (Kusumawati & Kurniawati,

2011).Rasa nyeri yang timbul pada saat haid

terjadi karena adanya produksi prostaglandin yang berlebihan pada endometrial selama fase luteal. Prostaglandin berdifusi ke dalam endometrial dan menyebabkan kontraksi rahim (Corwin, 2009). Salah satu penanganan nonfarmakologi yang dapat mengurangi nyeri adalah terapi self tapping.

Self tapping adalah tapping touch yang dilakukan secara mandiri. Tapping touch adalah sebuah teknik perawatan secara menyeluruh yang menggunakan sentuhan dan irama. Pijatan lembut membantu untuk mengurangi ketegangan dalam tubuh dan pikiran serta untuk meningkatkan suatu perasaan sejahtera dan pemikiran positif.Self tapping merupakan terapi sederhana yang mudah dilakukan oleh siapapun, dapat dilakukan sendiri dan tidak memerlukan biaya yang banyak (The Association of Tapping Touch, 2010).

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada remaja puteri di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM, menunjukkan bahwa angka dysmenorrhea masih cukup tinggi. Dari 188 mahasiswi, mahasiswi yang mengalami dysmenorrhea sebanyak 134 orang. Selain itu, hampir semua mahasiswi belum mengetahui mengenai terapi self tapping saat mengalami dysmenorrhea. Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efektifitas terapi self tapping dalam menurunkan level nyeri dysmenorrhea primer pada mahasiswi PSIK FK UGM.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian quasi eksperimental dengan rancangan non equivalent pre-test-post-test with control group. Pada penelitian ini terdapat satu kelompok responden yang diberikan perlakuan atau kelompok intervensi dan satu kelompok responden yang diberikan perlakuan lain atau kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi, responden diberikan

Wiwin Lismidiati : : Pengaruh Self Tapping terhadap Penurunan Level Dysmenorhea

Page 60: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

59JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

terapi self tapping. Pengukuran nyeri dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Responden diberikan intervensi atau perlakuan selama 15 menit ketika responden mengeluhkan adanya nyeri haid. Pemijatan atau self tapping dilakukan dengan intensitas pijatan yang sama yaitu pada intensitas sedang. Sedangkan pada kelompok kontrol, responden diberikan perlakuan teknik relaksasi nafas dalam sebanyak 15 kali. Pengukuran nyeri dilakukan sebelum dan sesudah responden melakukan nafas dalam, serta tidak dilakukan training untuk dapat melakukan self tapping. Panduan self tapping didapatkan dari The Assosiation of Tapping Touch berupa langkah langkah tapping yang dilakukan secara mandiri dan disertai dengan gambar. Panduan tersebut selanjutnya dikemas dalam bentuk booklet yang dilengkapi dengan panduan pelaksanaan penelitian yang dibawa oleh responden. Kemudian responden melakukan secara mandiri langkah langkah dari self tapping yang telah disusun didalam booklet bagi kelompok intervensi. Hal yang sama juga diberikan pada kelompok kontrol dengan booklet berisi panduan pelaksanaan relaksasi nafas dalam.

Penelitian ini dilakukan di ruang skills lab Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta saat responden mengalami dysmenorrhea primer di area kampus dan ketika tidak memungkinkan, penelitian dilakukan di tempat tinggal masing-masing responden. Waktu penelitian dilaksananakan pada bulan Juli hingga Agustus 2015.

Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta yang berusia 19–22 tahun. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampel minimal. Menurut Sugiyono (2007) jumlah sampel dalam penelitian minimal adalah 30 orang. Sehingga dalam penelitian ini jumlah sampel keseluruhan sebanyak 60 orang, dengan 30 orang sebagai kelompok intervensi dan 30 orang sebagai kelompok kontrol. Sedangkan penentuan 60 orang sampel ini menggunakan teknik random allocation sampling.

Penelitian ini menggunakan lembar kuesioner karekteristik responden, angket skrining dysmenorrhea, lembar prosedur penelitian, dan lembar checklist tahapan pengukuran nyeri dan terapi. Angket skrining dysmenorrhea dilakukan untuk melakukan skrining mahasiswi PSIK FK UGM yang sesuai dengan kriteria inklusi dan tidak sesuai dengan kriteria eksklusi. Sedangkan lembar checklist digunakan untuk memastikan responden melakukan pengukuran nyeri dan terapi dengan benar. Pengumpulan data dilakukan satu kali dari siklus menstruasi responden. Data nyeri sebelum perlakuan didapatkan sebelum intervensi, kemudian intervensi diberikan yaitu self tapping pada kelompok intervensi dan teknik relaksasi nafas dalam pada kelompok kontrol. Setelah selesai, kurang lebih dengan durasi 30 menit, responden diukur kembali untuk data posttest. Instrumen penelitian untuk mengukur nyeri menggunakan NRS (Numerical Rating Scale). Pengukuran nyeri dan terapi dilakukan sendiri oleh responden (self report).

Hasil Penelitian

Tabel 1 Karakteristik Responden pada Kelompok Intervensi dan Kontrol (N=60)Variabel Intervensi Kontrol p

N % Mean N % Mean Usia19 1 3,3 21,3 4 13,3 21,2 ,16420 3 10,0 0 021 10 33,3 12 40,022 16 53,3 14 46,7SukuBatak 1 3,3 2 6,7 ,681Bugis 0 0,0 1 3,3Jawa 27 90,0 25 83,3

Wiwin Lismidiati : : Pengaruh Self Tapping terhadap Penurunan Level Dysmenorhea

Page 61: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

60 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Variabel Intervensi Kontrol pN % Mean N % Mean

Rote 1 3,3 0 0,0Sunda 1 3,3 2 6,7Status giziKurus 5 16,7 10 15,0 ,320Normal 23 76,7 18 41,0Gemuk 2 6,7 2 4,0Usia menarche10 0 0,0 12,3 1 3,3 12,3 ,82711 6 20,0 5 16,712 11 36,7 12 40,013 10 33,3 8 26,714 3 10,0 4 13,3Penanganan nyeriIstirahat 22 73,3 27 90,0 ,185Farmakologi 7 10,0 2 6,7Non Farmakologi

5 16,7 1 3,3

Tempat tinggalKos 24 80,0 20 66,7 ,191Rumah 6 20,0 10 33,3Lama menstruasi<7 hari 22 73,3 26 86,7 ,167>7 hari 8 26,7 4 13,3Kejadian nyeri menstruasiBerubah-ubah

1 3,3 2 6,7 ,412

H-3 0 0,0 2 6,7H-1 4 13,3 6 20,0H1 22 73,3 19 63,3H2 3 10,0 1 3,3Lama nyeri1-2 jam 4 13,3 2 66,7 ,1472-3 jam 5 16,7 7 23,3>3 jam 21 70,0 21 70,0Keteraturan menstruasiTeratur 27 90,0 28 93,3 ,643Tidak teratur 3 10,0 2 6,7

Wiwin Lismidiati : : Pengaruh Self Tapping terhadap Penurunan Level Dysmenorhea

Page 62: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

61JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Karekteristik responden meliputi usia, suku, status gizi, usia menarche, penanganan nyeri yang dilakukan sebelumnya, tempat tinggal, lama menstruasi, hari kejadian menstruasi, lama nyeri, keteraturan menstruasi, dan riwayat gangguan menstruasi. Berikut ini tabel mengenai persebaran karakteristik responden (Tabel 1).Tabel 1 diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan karekteristik responden baik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p > 0,05. Dengan demikian karekteristik responden dapat dikatakan homogen.

Hasil uji Wilcoxon menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan untuk skor nyeri sebelum dan setelah self tapping dengan nilai p < 0,01 Sedangkan pada kelompok kontrol diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk skor nyeri sebelum dan setelah nafas dalam dengan nilai p > 0,01 yaitu 0,134. Untuk membandingkan penurunan nyeri pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dilakukan uji Mann Whitney. Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi self tapping lebih efektif menurunkan level nyeri

dysmenorrhea primer pada mahasiswi PSIK FK UGM dengan nilai p < 0,01.

Pembahasan

Kelompok intervensi pada penelitian ini diberikan perlakuan terapi self tapping. Pelaksanaan terapi dilakukan dengan durasi selama 15 menit dengan intesitas dan kekuatan totok sedang menurut masing-masing responden. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada rerata skor nyeri sebelum dan sesudah terapi.

Secara fisiologis self tapping dapat menghilangkan ketegangan fisik, memberikan perasaan nyaman dan energi yang baru, pengurangan nyeri fisik dan kelelahan, pengurangan gejala stres fisik, adanya aktivasi sistem saraf parasimpatis, dan adanya peningkatan hormon serotonin (The Association of Tapping Touch, 2010). Penelitian terkini yang dilakukan di Toho University Jepang mengenai pengaruh terapi tapping terhadap hormon serotonin menunjukkan hasil terapi tapping dapat meningkatkan hormon serotonin.

Wiwin Lismidiati : : Pengaruh Self Tapping terhadap Penurunan Level Dysmenorhea

Variabel Intervensi Kontrol pN % Mean N % Mean

Nyeri sebelum terapiTidak ada nyeri 0 0,0 5,30 0 0,0 5,13 ,586Ringan 0 0,0 1 3,3Sedang 27 90,0 25 83,3Berat 3 10,0 4 13,3Sangat berat 0 0,0 0 0,0

Tabel 2 Perbandingan Skor Nyeri sebelum dan sesudah Pemberian Perlakuan pada Kelompok Intervensi dan Kontrol (N=60)

Intervensi (n=30) Kontrol (n=30) ∆meanMean Min Max Mean Min Max

Sebelum 5,30 4 8 5,13 3 7 0,17Sesudah 4,17 2 8 4,73 2 7 -0,56∆mean 1,13 0,40 0,73Nilai p 0,001 0,134 0,007

Sumber : Data primer, 2015

Page 63: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

62 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Serotonergik (5-HT) neuron diketahui berperan dalam menghilangkan kecemasan, nyeri, ketegangan dan gejala depresi pada manusia (Madjid, 2011)

Serotonergik (5-HT) diketahui memiliki peran yang penting dalam penurunan level kecemasan, ketegangan, nyeri, dan gejala depresi diantara manusia. Sekresi serotonin dapat ditingkatkan oleh aktivitas yang berirama seperti bejalan, berenang, mengunyah,dll (Muller et al., 2010). Self tapping atau tapping touch merupakan terapi yang melibatkan perilaku berirama, yaitu dengan melakukan sentuhan secara berirama menggunakan bantalan jari-jari tangan kanan dan kiri secara bergantian. Adanya gerakan yang berirama ini menyebabkan peningkatan sekresi serotonin.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arita di Departemen Medis Toho University, membuktikan adanya kadar serotonin yang meningkat pada responden yang melakukan tapping touch. Terdapat sembilan responden yang berumur 18-76 tahun. Responden diminta untuk melakukan tapping touch secara berpasangan selama 15 menit. Untuk menilai aktivitas serotonergik, dilakukan pemeriksaan kadar serotonin pada darah dan urin sebelum dan sesudah melakukan terapi. Hasilnya didapatkan bahwa terdapat peningkatan kadar serotonin yang signifikan antara sebelum dan sesudah terapi. Selain itu, untuk menilai efek psikologis dilakukan pengukuran dengan parameter Profile of Mood States (POMS) dan Visual Analog Scale (VAS). Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi pengurangan kecemasan, kelelahan, kebingungan, stres, dan nyeri (The Association of Tapping Touch, 2010).

Pengambilan data, baik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dilakukan sendiri oleh responden (self report) menggunakan booklet yang sudah diberikan. Peneliti tidak dapat melihat secara langsung proses pelaksanaan terapi dan pengukuran nyeri, sehingga peneliti tidak dapat memastikan langkah-langkah terapi dilakukan dengan benar oleh responden. Selain itu, peneliti juga tidak dapat memastikan keadaan lingkungan tar klien sehingga hal ini dapat mempengaruhi nyeri klien.

Terdapat dua orang responden dari

kelompok intervensi dan tiga orang dari kelompok kontrol yang melakukan terapi dan pengukuran nyeri di skills lab. Sedangkan sisanya (28 orang kelompok intervensi dan 27 orang kelompok kontrol) melakukan di dalam ruang skills lab yang terdapat pendingin ruangan, sehingga faktor suhu dapat dikontrol. Tetapi peneliti tidak dapat memastikan kenyamanan yang lain seperti adanya orang yang berlalu lalang dan tingkat kebisingaan.

Selain itu, tahapan terapi dan pengukuran nyeri dapat dilihat dari lembar checklist.Terdapat dua orang responden (6,6%) dari kelompok intervensi yang tidak melakukan terapi self tapping selama 15 menit. Dari dua orang responden yang tidak melakukan terapi selama 15 menit tersebut, terdapat satu orang menunjukkan hasil pengukuran skor nyeri yang meningkat. Sedangkan satu orang lainnya menunjukkan hasil adanya penurunan skor nyeri. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat satu orang responden (3,3%) yang tidak mempersiapkan lingkungan yang nyaman sebelum terapi dan tidak melakukan nafas dalam selama 15 kali hembusan nafas. Hasil pengukuran nyeri pada responden tersebut mengalami penurunan level nyeri sebanyak satu tingkat.

Kelompok kontrol dalam penelitian ini diberikan perlakuan berupa terapi relaksasi nafas dalam. Menurut Huges et al. (2005) teknik relaksasi melalui olah nafas merupakan salah satu keadaan yang mampu merangsang tubuh untuk membentuk sistem penekan nyeri yang akhirnya menyebabkan penurunan nyeri, disamping itu juga bermanfaat untuk pengobatan penyakit dari dalam tubuh meningkatkan kemampuan fisik dan keseimbangan tubuh dan pikiran, karena olah nafas dianggap membuat tubuh menjadi rileks sehingga berdampak pada keseimbangan tubuh dan pengontrolan tekanan darah.

Pada kelompok kontrol terdapat dua orang responden yang kehilangan booklet yang sudah diberikan. Sehingga pengukuran nyeri dan terapi harus dilakukan kembali pada siklus menstruasi berikutnya. Kedua orang responden tersebut melakukan pengukuran dan terapi kembali pada hari menstruasi yang sama dengan saat melakukan pengukuran

Wiwin Lismidiati : : Pengaruh Self Tapping terhadap Penurunan Level Dysmenorhea

Page 64: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

63JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

nyeri dan terapi yang pertama, yaitu pada hari pertama menstruasi. Adanya pengulangan pengambilan data ini, dikhawatirkan menimbulkan perbedaan hasil pengukuran pada pengambilan data pertama dan kedua.

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam rata-rata skor nyeri mengalami penurunan. Tetapi setelah diuji menggunakan uji Wilcoxon, hasilnya menujukkan tidak ada pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri dysmenorrhea primer.

Adanya perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor nyeri sebelum dan sesudah terapi pada kelompok kontrol dapat terjadi karena durasi terapi yang hanya sebentar. Pelaksanaan nafas dalam sebanyak 15 kali hembusan nafas dengan istirahat singkat setelah tiga kali hembusan hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga menit. Hal ini sangat berbeda dengan durasi terapi pada kelompok intervensi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2014) nafas dalam dilakukan secara berulang selama 10 menit, sehingga dapat menurunkan skala nyeri dysmenorrhea primer pada remaja.

Simpulan

Hasil penelitian tentang pengaruh self tapping terhadap intensitas nyeri dysmenorrhea primer pada mahasiswi PSIK FK UGM dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh terapi self tapping terhadap level nyeri dysmenorrhea primer pada mahasiswi PSIK FK UGM dengan nilai p = 0,007, rata-rata level nyeri dysmenorrhea primer pada kelompok kontrol sebelum melakukan nafas dalam adalah 5,13 dan sesudah melakukan nafas dalam adalah 4,73, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan nilai p = 0,134, rata-rata level nyeri dysmenorrhea primer pada kelompok intervensi sebelum melakukan self tapping adalah 5,30 dan sesudah melakukan self tapping adalah 4,17 terdapat perbedaan yang signifikan dengan nilai p = 0,001.

Meskipun masih ditemukan beberapa kelemahan dalam pelaksanaan penelitian, namun self tapping merupakan pilihan penenganan yang dapat diaplikasikan secara

mandiri dalam penanganan dysmenorrhea primer, dengan tetap memerhatikan pelaksanaan sesuai panduan maupun lingkungan sekitar yang memengaruhi kenyamanan.

Bagi peneliti selanjutnya dapat mengembangkan terapi self tapping ini dengan memerhatikan pengukuran level nyeri dysmenorrhea primer yang dapat dilakukan lebih dari satu kali siklus menstruasi sehinnga dapat digunakan sebagai pembanding.Pengukuran level nyeri tidak hanya dilakukan dengan self report, tetapi juga dengan observasi peneliti sehingga dapat mengamati jalannya penelitian dan dapat mengamati atau mengontrol faktor yang menyebabkan bias hasil penelitian. Intensitas dan kekuatan ketukan yang dilakukan pada terapi self tapping disamakan secara objektif seperti penggunaan alat bantu tertentu.

Daftar Pustaka

Azizah, N. (2014). Aplikasi relaksasi nafas dalam sebagai upaya penurunan skala nyeri menstruasi (dismenore) pada siswi MTS Ibtidaulfalah Samirejo Dawe Kudus tahun 2013. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 5(1), 14–22.

Baradero, M., Marry, W.D., & Yakobus, S. (2006). Seri asuhan keperawatan klien gangguan reproduksi dan seksualitas. Jakarta: EGC.

Corwin, E.J. (2009). Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC.

Hendrik, H. (2006). Problema haid (Tinjauan syariat islam dan medis). Solo: Tiga Serangkai.

Huges, W.T., Amstrong, D., Bodey G.P., Brown A.E., Edwards, J.E., & Feld, R. (2005). Guidlines for the use of antimicrobial agen in neutropenic patient with unexplained fever. Clin Infect Disk, 3, 51–73.

Kusumawati, Y., & Kurniawati, D. (2011). Pengaruh dismenore terhadap aktivitas pada siswi SMK. Jurnal Kesehatan Olahraga.

Wiwin Lismidiati : : Pengaruh Self Tapping terhadap Penurunan Level Dysmenorhea

Page 65: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

64 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Muller, C., Jacobs, P., & Barry, L. (2010). Handbook of the neurobiology of serotonin. London: Elsevier.

Potter, P.A., & Perry, A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik (Edisi 4). Jakarta: EGC.

Proverawati, A., & Misaroh, S. (2009). Menarche menstruasi pertama penuh makna.Yogyakarta: Nuha Medika.

Sinsin, I. (2008). Seri kesehatan ibu dan anak, masa kehamilan dan persalinan. Jakarta: PT.Gramedia.

Sugiyono. (2007). Metode penelitian pedidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

The Association of Tapping Touch. (2010). Tapping touch, holistic care for body, mind and planet. Retrived from www.tappingtouch.org.

Wiwin Lismidiati : : Pengaruh Self Tapping terhadap Penurunan Level Dysmenorhea

Page 66: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

65JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pengaruh Pijat Punggung terhadap Skor Kelelahan Pasien Gagal Jantung

Bambang Aditya Nugraha1, Sari Fatimah2, Titis Kurniawan2

1Akper Pemda Garut, 2Fakultas Keperawatan, Universitas PadjadjaranEmail : [email protected]

Abstrak

Kelelahan merupakan salah satu masalah serius pada pasien dengan gagal jantung karena dapat menurunkan produktivitas dan meningkatkan angka kesakitan. Pijat punggung merupakan salah satu intervensi yang berpotensi efektif mengatasi kelelahan dan relatif sederhana, mudah dan murah dalam pengaplikasiannya. Meski demikian, belum ada studi yang membuktikan pengaruh terapi ini dalam mengatasi kelelahan pasien gagal jantung. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh pijat punggung terhadap skor kelelahan pasien gagal jantung di RSU dr. Slamet Garut. Penelitian quasi experiment ini menggunakan rancangan one group pretest and postest dengan melibatkan 30 pasien gagal jantung yang diambil secara consecutive sampling. Kelelahan pasien gagal jantung dikumpulkan menggunakan Functional Assessment of Chronic Illness Therapy (FACIT) skala kelelahan. Data dianalisis secara deskriptif dan uji inferensial dilakukan menggunakan paired t test. Hasil penelitian menunjukan rerata skor kelelahan pasien sebelum diberikan intervensi pijat punggung sebesar 24,67 (SD=7,078) dan setelah diberikan intervensi pijat punggung sebesar 15,9 (SD=5,75). Terdapat penurunan skor kelelahan yang bermakna sesudah dilakukan intervensi pijat punggung dengan nilai p=0,000 (p<0,005). Selain itu, didapatkan skor kelelahan setelah intervensi hari ketiga secara bermakna lebih rendah dibanding skor kelelahan hari kedua (p=0,006) dan hari pertama (p=0,000). Simpulan penelitian ini adalah terdapat pengaruh pijat punggung terhadap skor kelelahan pada pasien dengan gagal jantung di RSU dr. Slamet Garut, semakin sering frekuensi pijat punggung semakin besar penurunan skor kelelahan. Berdasarkan hal tersebut menjadi penting bagi petugas kesehatan untuk menjadikan pijat punggung sebagai salah satu upaya terapi komplementer dalam pengelolaan kelelahan pada pasien gagal jantung.

Kata kunci: Gagal jantung, kelelahan, pijat punggung.

The effect of Back Massage against Fatigue Score on Heart Failure Patients

Abstract

Fatigue is one of the most serious problems in patients with heart failure because it can decrease productivity and increase morbidity. Back massage is one of the potentially effective interventions to overcome fatigue and is relatively simple, easy and inexpensive in its application. Nevertheless, no studies have proven the effect of this therapy in overcoming the fatigue of patients with heart failure. The purpose of this study was to identify the effect of back massage to fatigue score of patients with heart failure in RSU dr. Slamet Garut. This quasi experimental study used a one group pretest and posttest design involving 30 heart failure patients taken by consecutive sampling. Fatigue of heart failure patients was collected using Functional Assessment of Chronic Illness Therapy (FACIT) fatigue scale. Data were analyzed descriptively and inferential test was conducted using paired t test. The results showed the average of patient’s fatigue score before back massage treatment applied was 24,67 (SD = 7,078) and after the treatment decrease to 15.9 (SD = 5.75). There was a significant decrease in fatigue scores after a back massage treatment applied with p = 0,000 (p <0.005). In addition, the fatigue score after the third day of intervention was significantly lower than the second day fatigue score (p = 0.006) or the first day (p = 0.000). The conclusion of this research is that there is a significant influence of back massage to fatigue score in patients with heart failure in RSU dr. Slamet Garut, the more frequent the back massage given to the patients, the greater the fatigue score decreases. Based on this result, it becomes important for health workers to consider back massage as one of the efforts of complementary therapy in the management of fatigue on patients with heart failure.

Keywords: Back massage, fatigue, heart faillure.

Page 67: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

66 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pendahuluan

Gagal jantung merupakan penyakit kronis terbanyak di Kabupaten Garut (Data Pemerintah Kabupaten Garut tahun 2015). Gagal jantung merupakan penyakit kronis yang secara langsung menurunkan produktivitas penderitanya. Hasil Wawancara dengan Perawat IGD RSU dr. Slamet Garut tahun (2015), menunjukkan bahwa mayoritas pasien penyakit jantung mencari pertolongan ke unit penyedia layanan kesehatan dalam kondisi gagal jantung. Hal tersebut karena minimnya pengetahuan masyarakat Garut terkait penyakit jantung serta rendahnya status sosial ekonomi masyarakat Garut (Data Pemerintah Kabupaten Garut tahun 2015). Data Instalasi Rawat Inap RSU dr. Slamet Garut pada bulan Mei 2016 sebanyak 130 orang pasien mengalami gagal jantung, sedangkan penderita gagal jantung dari bulan Januari 2015 sampai dengan Februari 2016 sebanyak 1680 orang.

Penurunan produktivitas pada pasien gagal jantung disebabkan oleh kelelahan. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen karena jantung gagal mempertahankan sirkulasi mengakibatkan terjadinya kelelahan (Smith, Kupper, De Jonge, & Denollet, 2010). Kelelahan terjadi akibat penurunan kapasitas fisik pasien gagal jantung dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang berakibat menurunnya kemampuan pasien dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Kelelahan merupakan salah satu gejala gagal jantung (Li-Huan, Chung-Yi, Shyh-Ming, Wei-Hsian, & Ai-Fu, 2010). Pada pasien gagal jantung terjadi perubahan neurobiokimiawi sebagai respon kompensasi akibat gangguan yang terjadi. Penurunan curah jantung akan menyebabkan vasokonstriksi yang memperburuk sirkulasi sehingga kondisi perfusi perifer mengalami penurunan. Kondisi tersebut akan menyebabkan kelelahan pada pasien gagal jantung (Woung-Ru, Chiung-Yao, & San-Jou, 2010).

Respon psikologis yang terjadi akibat gagal jantung adalah ansietas dan atau depresi (Chen, Liu, Yeh, Chiang, & Hsieh, 2013). Gangguan psikologis terjadi akibat aktivitas sitokin serta akibat dari respon

simpatis yang akan memicu neurotransmiter seperti serotonin dan katekolamin sebagai respon adaptif dari gagal jantung. Sebanyak 76% penderita gagal jantung mengalami depresi dan kecemasan yang mengarah pada kelelahan. Penelitian lain menemukan bahwa 75% pasien gagal jantung mengalami kelelahan (Evangelista, 2008). Angka ini terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia pasien. Selain gangguan fisik, gangguan psikologis juga turut berperan dalam menyebabkan kelelahan (Smith, van den Broek, Renkens, & Denollet, 2008).

Teknik relaksasi merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah terutama akibat respon saraf simpatis. Berdasarkan nursing intervention classification (NIC) domain physiological: basic, ada berbagai macam upaya relaksasi, dintaranya adalah teknik napas dalam, relaksasi otot progresif, pijat, dan lain sebagainya. Dengan dilakukannya teknik relaksasi, diharapkan dapat menstimulasi saraf parasimpatis yang akan meredakan ketegangan otot, vasodilatasi, dan yang paling utama adalah dapat mengatasi kelelahan.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa teknik relaksasi dapat menekan respon simpatis dan menstimulasi respon parasimpatis. Hasil penelitian menunjukan bahwa relaksasi otot progresif secara efektif dapat menurunkan tekanan darah, baik sistolik maupun diastolik. Penelitian lainnya menunjukan bahwa relaksasi yang sistematis dapat meredakan nyeri dan kecemasan pada pasien pasca operasi, relaksasi otot progresif juga dapat menurunkan depresi dan kecemasan (Aalami, Jafarnejad, Modarres, & Gharavi, 2016). Hasil penelitian menunjukan adanya korelasi antara nyeri dan kecemasan terhadap skor kelelahan.

Teknik relaksasi juga sering dilakukan pada pasien dengan penyakit jantung, terutama untuk meredakan kecemasan yang akan menyebabkan respon simpatis serta menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kelelahan berkaitan dengan perubahan neurohormonal pada penderita gagal jantung. Hasil penelitian Hashemzadeh, Halabianloo, dan Rad (2011) menunjukan bahwa teknik relaksasi dan distraksi dapat meredakan kecemasan pada pasien dengan

Bambang Aditya Nugraha : : Pengaruh Pijat Punggung terhadap Skor Kelelahan Pasien Gagal Jantung

Page 68: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

67JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

penyakit jantung.Terkait dengan kelelahan, tidak semua

teknik relaksasi dapat dilakukan. Sebagai contoh, teknik relaksasi otot progresif memerlukan energi pada saat dilakukan intervensi, teknik relaksasi napas dalam tidak secara langsung menstimulasi reseptor parasimpatis, teknik relaksasi dengan distraksi sukar dilakukan berkaitan dengan dinamika kondisi psikologis pasien sehingga ketiga metode tersebut akan sulit jika dilakukan pada pasien gagal jantung.

Hasil penelitian Chen et al. (2013) terkait relaksasi menunjukkan bahwa teknik relaksasi pijat punggung dapat menurunkan tingkat kecemasan, menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kenyamanan pada pasien gagal jantung, akan tetapi pada penelitian tersebut kelelahan tidak diukur. Pijat punggung dapat mengatasi kecemasan dan nyeri, serta menurunkan tekanan darah tanpa membutuhkan banyak energi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pijat punggung dapat berpotensi efektif menurunkan kelelahan pada pasien gagal jantung. Pijat punggung dapat menstimulasi reseptor parasimpatis di area punggung secara langsung sehingga pasien merasa rileks. Selain itu, dengan adanya relaksasi maka pembuluh darah diharapkan dapat dilatasi yang berimplikasi pada menurunnya resistensi perifer yang secara langsung akan menurunkan beban kerja jantung. Dilatasi pembuluh darah terjadi akibat sekresi agen vasoaktif yang jumlahnya akan meningkat jika tubuh berada pada kondisi relaksasi.

Penurunan beban kerja jantung akan memberikan dampak posistif pada pasien gagal jantung dengan memberikan kesempatan pada miokard untuk relaksasi (Figueroa, Michael, & Peters, 2006). Pijat pungggung diharapkan mampu mengatasi permasalahan pada pasien gagal jantung secara simultan. Manfaat lain adalah menjaga kondisi sirkulasi area punggung karena pasien dengan gagal jantung seringkali kurang bergerak, kebanyakan pasien gagal jantung hanya dapat beraktivitas di tempat tidur terutama pasien gagal jantung derajat III (tiga) sampai IV (empat).

Secara fisiologis pijat punggung merupakan salah satu teknik relaksasi yang memengaruhi

tubuh secara fisik maupun psikis. Pijat punggung memberikan efek relaksasi dengan cara menstimulasi pengeluaran endorfin di otak yang berefek menekan aktifitas saraf simpatis dan menstimulasi aktivasi saraf parasimpatis (Chen et al., 2013). Dengan pijat punggung, maka pembuluh darah akan dilatasi, otot akan relaksasi, serta kondisi psikologis akan lebih baik karena peningkatan endorfin dan serotonin di otak. Pada fase tersebut, maka sirkulasi ke jaringan sistemik akan mengalami perbaikan meskipun jantung mengalami penurunan dalam aspek kontraktilitas maupun curah jantung.

Perbaikan sirkulasi akan mengatasi kelelahan yang dialami. Katabolisme akan terjadi, glukoneogenesis berlangsung dengan baik sehingga jaringan mendapatkan energi. Peningkatan jumlah energi strategis dalam tubuh akan secara langsung mengatasi kelelahan yang dialami pasien dengan catatan pasien beraktivitas sesuai toleransinya.

Mekanisme lain pijat punggung dalam mengatasi kelelahan adalah dengan cara merelaksasikan beberapa kumpulan otot di area punggung yang akan merangsang sistem limbik di hipotalamus untuk mengeluarkan corticotropin releasing factor (CRF). Substansi tersebut akan menstimulasi hipofisis untuk meningkatkan sekresi endorfin dan pro opioid melano cortin (POMC) yang akan meningkatkan produksi ensefalin oleh medula adrenal sehingga akan memengaruhi suasana hati dan memberikan perasaan rileks (Black & Hawks, 2010).

Pemilihan pijat punggung sebagai intervensi untuk mengatasi kelelahan berkaitan dengan belum dilakukannya penelitian yang menggunakan pijat sebagai intervesi dalam pengelolaan kelelahan pasien gagal jantung. Intervensi tersebut relatif mudah untuk dilakukan oleh perawat maupun keluarga pasien yang terlatih dan dapat dilakukan di klinik maupun non klinik. Selain itu, pijat punggung tidak memerlukan peralatan yang rumit sehingga tidak membebani rumah sakit untuk ketersediaan alat. Peralatan kebutuhan dasar manusia sederhana dapat digunakan sebagai perlengkapan pijat punggung.

Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut belum melakukan upaya farmakologis maupun nonfarmakologis terkait manajemen

Bambang Aditya Nugraha : : Pengaruh Pijat Punggung terhadap Skor Kelelahan Pasien Gagal Jantung

Page 69: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

68 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

kelelahan pada pasien gagal jantung, seperti bed rest. Kondisi tersebut terjadi karena perawat belum sepenuhnya memerhatikan masalah kelelahan yang muncul pada pasien gagal jantung. Dengan demikian, menjadi penting untuk mengidentifikasi pengaruh pijat punggung terhadap tingkat kelelahan pada pasien gagal jantung di RSU dr. Slamet Garut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh pijat punggung terhadap tingkat kelelahan pasien gagal jantung di RSU dr. Slamet Garut.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimental dengan rancangan one group pretest and postest design tanpa menggunakan kelompok control. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling dengan kriteria inklusi pasien gagal jantung kelas fungsional III yang mengalami kelelahan, gagal jantung yang terjadi disebabkan oleh penyakit arteri koroner, rentang usia 22-65 tahun, pasien mampu berkomunikasi secara verbal dan sadar penuh. Berdasarkan hasil perhitungan ditemukan jumlah sampel sebanyak 30 responden. Intervensi dilakukan pada pagi hari selama 15 menit dengan interval 24 jam selama 3 hari. Pengukuran dilakukan 5 menit pasca intervensi.

Intervensi pijat punggung menggunakan instrumen panduan pijat punggung yang terdiri dari metode: (a) hand changing, (b) teknik mengggesek dan memutar dengan ibu jari, (c) teknik efleurasi merupakan tipe pijatan dengan cara menggosok pijatan yang lambat dan luwes, (d) teknik petrisasi atau menarik secara lembut, dan (e) teknik tekanan menyikat. Pengukuran skor kelelahan menggunakan skala kelelahan fungsional assessment for chronic illness therapy (FACIT). Instrumen FACIT mengukur parameter kelelahan fisiologis maupun psikologis. Chandran, Bhella, Schentag, dan Glandman (2007) menyatakan bahwa skala kelelahan FACIT memiliki nilai validitas yang tinggi (Cronbach’s Alpha = 0,96) dan memiliki nilai reliabilitas yang tinggi pula (0,95) sehingga sangat tepat untuk dijadikan

instrumen dalam pengukuran kelelahan.

Hasil Penelitian

Gambaran kelelahan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pijat punggung pada pasien dengan gagal jantung, secara lengkap dapat dilihat dari data yang disajikan dalam tabel 1.

Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa rerata skor kelelahan sebelum dilakukan pijat punggung berada dalam katagori ringan. Rerata skor kelelahan hari ketiga lebih kecil dibanding hari pertama maupun hari kedua dan mengalami penurunan sejak hari pertama.

Pada tabel tersebut diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara skor kelelahan sebelum dilakukan intervensi dan setelah dilakukan intervensi. Rerata skor kelelahan setelah dilakukan intervensi pada hari ketiga secara bermakna lebih rendah dibandingan dengan skor kelelahan hari kedua. Skor kelelahan hari kedua secara bermakna lebih rendah dibanding hari pertama. Dengan kata lain, telah terjadi perbaikan secara bermakna pada skor kelelahan setelah dilakukan intervensi pijat punggung.

Perbedaan skor kelelahan setelah dilakukan intervensi hari pertama, kedua, dan ketiga dilakukan dengan uji statistik repeated measure. Uji tersebut memungkinkan peneliti menilai perubahan rerata terkait pengulangan intervensi sebanyak 3 (tiga) kali. Berikut ini disajikan perbedaan rerata skor kelelahan pada hari pertama, kedua, dan ketiga setelah dilakukan intervensi pijat punggung pada pasien dengan gagal jantung.

Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata skor kelelahan setelah intervensi pijat punggung hari pertama dengan hari kedua, maupun hari pertama dengan hari ketiga. Rerata skor kelelahan mengalami penurunan setiap hari secara linier sejak pertama kali dilakukan intervensi. Secara keseluruhan ditemukan perbedaan rerata yang signifikan setiap kali dilakukan intervensi pijat punggung pada pasien dengan gagal jantung.Pembahasan

Terdapat pengaruh pijat punggung

Bambang Aditya Nugraha : : Pengaruh Pijat Punggung terhadap Skor Kelelahan Pasien Gagal Jantung

Page 70: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

69JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

terhadap skor kelelahan pada pasien gagal jantung di RSU dr. Slamet Garut yang ditunjukkan dengan adanya penurunan skor kelelahan pasien setelah dilakukan intervensi pijat punggung. Selain itu, pada penelitian ini ditemukan adanya pengaruh yang bermakna pada skor kelelahan pasien jika intervensi dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali. Dengan kata lain, pasien gagal jantung mengalami perbaikan pada aspek kelelahan setelah mendapatkan intervensi pijat punggung.

Mekanisme pijat punggung dalam mengatasi kelelahan pada pasien gagal jantung adalah dengan mengelola masalah fisik maupun psikologis akibat gagal jantung yang menjadi prediktor terjadinya kelelahan. Pijat punggung mampu merelaksasikan beberapa kumpulan otot di area punggung yang akan merangsang sistem limbik di hipotalamus untuk mengeluarkan corticotropin releasing factor (CRF). Substansi tersebut akan menstimulasi hipofisis untuk meningkatkan sekresi endorfin dan pro opioid melano cortin (POMC) yang akan meningkatkan produksi ensefalin oleh medula adrenal sehingga akan memengaruhi suasana hati dan memberikan perasaan rileks.

Menurut Black dan Hawks (2009) mengemukakan bahwa setiap teknik relaksasi akan menstimulasi sekresi endorfin di otak.

Pernyataan tersebut didukung oleh Newberg dan Waldman (2013) yang menemukan bahwa perasaan nyaman, baik secara fisik maupun psikologis, merupakan respon dari pengeluaran hormon endorfin. Berdasarkan kedua temuan tersebut, maka pijat punggung dapat menstimulasi peningkatan endorfin.

Relaksasi akan memicu pengeluaran hormon endorfin. Hormon tersebut berbentuk polipeptida yang mengandung 30 unit asam amino yang mengikat pada reseptor opiat di otak. Hormon ini bertindak seperti morphine, bahkan dikatakan 200 kali lebih efektif dari morphine. Endorfin mampu menimbulkan perasaan euforia, bahagia, nyaman, menciptakan ketenangan dan memperbaiki suasana hati seseorang hingga membuat seseorang rileks. Relaksasi akan memicu limbik sistem dan memicu hipotalamus untuk mensekresikan endorfin. Dalam kondisi tersebut, maka konsentrasi endorfin di otak akan meningkat.

Peningkatan endorfin di otak akan menciptakan perasaan rileks secara fisik. Dengan meningkatnya endorfin maka sekresi kortisol akan ditekan sehingga pasien akan merasakan sensasi rileks secara psikologis. Peningkatan endorfin setelah dilakukan pijat punggung akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah yang berimplikasi pada

Tabel 1 Skor Kelelahan Sebelum dan Setelah Intervensi Pijat Punggung serta Perbedaan diantara Keduanya

Skor KelelahanHari ke- Sebelum Intervensi Setelah Intervensi p

Rerata SB* Rerata SB1 24,67 7,078 22,53 5,859 0,0062 20,13 7,143 18,8 7,313 0,0003 17,63 6,505 15,9 5,75 0,000

1–3 24,67 7,078 15,9 5,75 0,000 Keterangan, SB: Simpangan Baku

Tabel 2 Perbandingan Rerata Skor Kelelahan Setelah Intervensi (Repeated Measure/Anova)Perbandingan Skor

KelelahanPerbedaan Rerata F p

Hari ke-1 dengan ke-2 3,433 0,002Hari ke-1 dengan ke-3 6,633 0,000Hari ke-2 dengan ke-3 3,200 0,000Hari ke-1, 2, dan 3 341,227 0,000

Bambang Aditya Nugraha : : Pengaruh Pijat Punggung terhadap Skor Kelelahan Pasien Gagal Jantung

Page 71: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

70 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

perbaikan sirkulasi dimana terjadi perbaikan suplai oksigen dan energi. Selain itu, perasaan rileks akan menurunkan laju metabolisme serta menurunkan kebutuhan energi.

Peningkatan endorfin akan diikuti dengan penekanan kortisol secara simultan. Dengan menurunnya kortisol, maka akan mengurangi masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan. Kecemasan merupakan salah satu prediktor terjadinya kelelahan pada pasien gagal jantung. Jika kecemasan dapat teratasi, maka skor kelelahan akan mengalami penurunan. Hal ini berkaitan dengan stres hormon yang akan meningkat selama terjadinya kecemasan. Temuan tersebut didukung oleh hasil penelitian bahwa pijat punggung memicu peningkatan endorfin sehingga dapat menekan kecemasan dan masalah psikologis lainnya termasuk depresi (Chen et al., 2013). Pijat punggung merupakan intervensi yang dapat memengaruhi aspek psikis maupun psikologis pasien.

Perbaikan kondisi psikologis pada pasien gagal jantung mengarah pada penurunan skor fatigue terlebih jika diikuti dengan perbaikan pada parameter fisiologis. Teknik relaksasi dapat memengaruhi parameter fisiologis seperti tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan, suhu, dan saturasi oksigen. Pada penelitian ini, berdasarkan hasil pengukuran ditemukan bahwa dari 30 responden terdapat 4 (empat) pasien yang mengalami hipertensi dan 3 (tiga) pasien mengalami perbaikan tekanan darah setelah dilakukan intervensi pijat punggung. Tidak ditemukan perubahan pada tekanan darah pasien setelah dilakukan intervensi jika tekanan darah pasien berada pada rentang normal.

Parameter klinis berikutnya adalah nadi, 2 (dua) orang pasien yang mengalami takikardia mengalami perbaikan setelah dilakukan intervensi pijat punggung dan sisanya berada pada rentang normal dan tidak terjadi perburukan setelah dilakukan intervensi seperti aritmia, dyspnea maupun nyeri. Selain nadi, parameter fisiologis lainya yang diukur pada penelitian ini adalah frekuensi napas dan saturasi oksigen. Pasien mengalami perbaikan nilai frekuensi pernapasan terutama pada pasien dengan pola napas tidak efektif. Tidak ditemukan perubahan signifikan pada saturasi oksigen

setelah dilakukan intervensi. Pasien dengan parameter fisiologis yang abnormal mengalami perbaikan setelah dilakukan intervensi.

Perbaikan tekanan darah, nadi, dan frekuensi napas menunjukkan adanya stimulasi saraf para simpatis yang akan menurunkan beban kerja jantung sehingga mampu memperbaiki kondisi fisiologis pasien. Fakta tersebut didukung oleh hasil peneltian (Chen et al., 2013) yang menemukan bahwa pijat punggung dapat menurunkan tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan.

Perbaikan kondisi psikologis dan kondisi fisiologis setelah dilakukan pijat punggung mengarah pada teratasinya kelelahan pada pasien gagal jantung. Hasil uji statistik menunjukkan adanya penurunan pada skor kelelahan sesaat setelah dilakukan intervensi pijat punggung. Rerata skor kelelahan terus mengalami penurunan jika dilakukan berulang-ulang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor kelelahan hari ketiga lebih kecil dibanding rerata hari pertama. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pijat punggung efektif menurunkan skor kelelahan pada pasien gagal jantung. Rerata skor kelelahan post intervensi hari pertama, hari kedua, dan hari ketiga secara signifikan menurun dari hari ke hari (p<0,05) menunjukkan bahwa pijat punggung efektif jika dilakukan sebanyak 1 (satu) kali intervensi dan semakin membaik jika dilakukan berulang-ulang pada pasien gagal jantung dalam rangka mengatasi kelelahan. Selain itu, repetisi atau pengulangan akan meningkatkan interaksi dan komunikasi pasien dengan perawat serta meningkatkan hubungan sosial antara pasien dengan perawat.

Evangelista (2008) menunjukkan bahwa peningkatan hubungan sosial akan menekan stres dan kecemasan. Oleh karena itu, pengulangan intervensi akan meningkatkan pengaruh pijat punggung terhadap kelelahan dengan cara meningkatkan kuantitas interaksi antara perawat dengan pasien. Dengan demikian, maka untuk meningkatkan efektifitas sebaiknya intervensi dikombinasi.

Manfaat pijat punggung pada pasien dengan gagal jantung selain untuk mengatasi kelelahan adalah untuk menekan kecemasan yang merupakan salah satu prediktor

Bambang Aditya Nugraha : : Pengaruh Pijat Punggung terhadap Skor Kelelahan Pasien Gagal Jantung

Page 72: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

71JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

terjadinya kelelahan pada pasien gagal jantung. Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan antara skor kecemasan dengan skor kelelahan. Hasi uji juga menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna antara pijat punggung terhadap skor kecemasan (p<0,05). Oleh karena itu, salah satu aspek yang menurunkan skor kelahan adalah penurunan skor kecemasan setelah dilakukan pijat punggung.

Penurunan skor kecemasan akan menciptakan kenyamanan fisik dan psikologis. Dengan meningkatnya kenyamanan, maka kualitas istirahat pasien akan lebih baik sehingga proses konservasi energi akan lebih optimal. Manfaat berikutnya adalah penurunan beban kerja jantung pada fase after load dikarenakan vasodilatasi pembuluh darah dan penurunan tekanan darah pada pasien gagal jantung setelah dilakukan intervensi.

Gangguan fisik pada pasien gagal jantung yang cenderung menetap terutama gangguan pada struktur jantung tidak dapat diatasi dengan pijat punggung. Akan tetapi, gangguan yang sifatnya psikis dapat diatasi dengan pijat punggung. Hal tersebut dibuktikan dengan menurunnya skor kelelahan pada pasien dengan gagal jantung kelas fungsional III meskipun tanpa disertai perubahan fisik yang bermakna.

Simpulan

Terdapat pengaruh pijat punggung terhadap penurunan skor kelelahan pada pasien gagal jantung di RSUD dr. Slamet Garut.

Daftar Pustaka

Aalami, M., Jafarnejad, F., & ModarresGharavi, M. (2016). The effects of progressive muscular relaxation and breathing control technique on blood pressure during pregnancy. Iranian Journal of Nursing & Midwifery Research, 21(3), 331-336. doi:10.4103/1735-9066.180382.

Black, J.M., & Hawks, J.K. (2009). Medical surgical nursing: Clinical management for

positive outcomes (Volume II, 7th Edition). Elsevier’s Health Science Right Departement: Philadelphia.

Chandran, V., Bella, S., Schentang, C., & Gladman, D. (2007). Fungtional assesment in chronic illnes therapy-fatigue scale is valid in patients with psoriatric arthritis. Annals of Rheumatic Diseases, 66(7), 936–93.

Chen, W., Liu, G., Yeh, S., Chiang, M., Fu, M., & Hsieh, Y. (2013). Effect of back massage intervention on anxiety, comfort, and physiologic responses in patients with congestive heart failure. Journal of Alternative & Complementary Medicine, 19(5), 464-470. doi:10.1089/acm.2011.0873.

Data Instalasi Rawat Inap RSU dr. Slamet Garut. (2016).

Data Pemerintah Kabupaten Garut tahun 2015. (2015).

Evangelista, L.S. (2008). Correlates of fatigue in patients with heart failure. National Institute of health, Prog. Cardiovasc Nurs, 23(1), 12–17.

Figueroa, M.S., & Jay, I.P. (2006). Congestive heart failure: Diagnosis, pathophysiology, therapy, and implications for respiratory care. Respiratory Care, 51(4).

Hashemzadeh, A.M.T., Farshi, G., Halabianloo, G.R., & Rad, M. (2011). The study of effectiveness of relaxation and distraction techniques training in anxiety reduction in cardiac patients. Arak Medical University Journal, 14(3), 97-105.

Li-Huan, C., Chung-Yi, L., Shyh-Ming, S., Wei-Hsian, Y., & Ai-Fu, C. (2010). Predictors of fatigue in patients with heart failure. Journal of Clinical Nursing, 19(11/12), 1588-1596. doi:10.1111/j.1365-2702.2010.03218.x.

Newberg and Warldman. (2013). World can change your brain. American Journal of Clinical Hypnosis Vol. 56 , Iss. 1,2013.

Smith, O. F., Kupper, N., de Jonge, P., &

Bambang Aditya Nugraha : : Pengaruh Pijat Punggung terhadap Skor Kelelahan Pasien Gagal Jantung

Page 73: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

72 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Denollet, J. (2010). Distinct trajectories of fatigue in chronic heart failure and their association with prognosis. European Journal Of Heart Failure, 12(8), 841-848. doi:10.1093/eurjhf/hfq075.

Smith, O.F., van den Broek, K.C., Renkens, M., & Denollet, J. (2008). Comparison of fatigue levels in patients with stroke and patients with end-stage heart failure:

Application of the fatigue assessment scale. Journal of The American Geriatrics Society, 56(10), 1915-1919. doi:10.1111/j.1532-5415.2008.01925.x.

Woung-Ru, T., Chiung-Yao, Y., & San-Jou, Y. (2010). Fatigue and its related factors in patients with chronic heart failure. Journal of Clinical Nursing, 19(1/2), 69-78. doi:10.1111/j.1365-270 .

Bambang Aditya Nugraha : : Pengaruh Pijat Punggung terhadap Skor Kelelahan Pasien Gagal Jantung

Page 74: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

73JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Witdiawati1, Laili Rahayuwati2, Sheizi Prita Sari2

1Akper Pemda Garut, 2Fakultas Keperawatan, Universitas PadjadjaranEmail : [email protected]

Abstrak

Kematian akibat kanker payudara masih menempati urutan pertama pada kasus baru kanker di Indonesia bahkan di dunia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pola kehidupan klien kanker payudara dalam menjaga kualitas hidupnya. Teori Culture Care Diversity and Universality digunakan sebagai kerangka kerja dalam penelitian ini. Rancangan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling pada 6 orang informan klien kanker payudara yang berada di Kabupaten Garut. Pengumpulan data dengan teknik wawancara dan observasi partisipasi. Transkripsi data dianalisis menggunakan metoda analisis Transcultural Nursing dari Medeleine Leininger. Hasil penelitian menunjukan domain muncul sebagai pola enkulturasi kehidupan wanita penderita kanker payudara dalam budaya Sunda yaitu: 1) pengabdian wanita Sunda, 2) adaptasi klien kanker payudara dalam menjalani kehidupannya, 3) makna end of life. Kesimpulan penelitian, pola budaya tersebut saling berhubungan dalam kehidupan Wanita Sunda dengan kanker payudara. Disarankan perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan kepada klien kanker payudara dengan menerapkan asuhan keperawatan yang kongruen dengan nilai budaya.

Kata kunci: Kanker payudara, kehidupan, transcultural nursing.

A Qualitative Study on Breast Cancer Patients’ Life

Abstract

Death due to breast cancer remains a high-rate case both in Indonesia and in the world. The purpose of this study was to explore the life of breast cancer patients’ in maintaining their life quality. The transcultural Nursing method was utilized as a framework in this qualitative study. The sampling technique was purposive sampling from 6 breast cancer patients residing in Garut. The data collection techniques were interview and participatory observation. The data analysis used analytical methods of Medeleine Leininger’s Transcultural Nursing. The results showed that there were domains as a pattern of breast cancer women in Sundanese culture, namely: 1) the devotion of Sundanese women, 2) the adaptation of breast cancer on their clients to live their lives, 3) the meaning of death. The conclusion of the study is that there lies a cultural pattern which interconnecting the lifestyle of Sundanese women. It is recommended that nurses should provide healthcare services to breast cancer clients by implementing one which is congruent to the cultural values of the clients..

Keywords: Breast cancer, life, transcultural nursing.

Page 75: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

74 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pendahuluan

Sebuah diagnosis kanker adalah peristiwa yang mengubah hidup untuk kebanyakan orang. Diagnosis kanker payudara masih dianggap suatu diagnosis yang identik dengan kematian oleh sebagian masyarakat. Pemahaman tersebut menjadi salah satu strain yang dapat mengganggu kualitas kehidupan klien dan juga keluarga. Setelah divonis menderita kanker payudara, maka klien harus menjalani berbagai prosedur pengobatan yang tentunya membutuhkan waktu lama atau bahkan mungkin sepanjang hidupnya. Seiring perjalanan penyakitnya, berbagai perubahan mulai muncul dalam kehidupan klien kanker payudara dan juga keluarganya. Kondisi akibat dari proses penyakit akan membawa dampak terhadap kualitas hidup klien baik dari kondisi fisik, psikologi dan juga sosial klien kanker payudara. Perubahan peran, persepsi, koping dan juga perilaku pencarian pelayanan kesehatan muncul sebagai respon terhadap makna sakit akibat kanker payudara. Trauma dan ketidak pastian diagnosis kanker payudara dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis dan spiritualitas klien (Schreiber & Brockopp, 2012).

Sebagian budaya dalam masyarakat terutama bagi perempuan, memiliki penyakit kanker payudara merupakan derita hidup yang sangat mengerikan. Meskipun sebenarnya makna sehat dan sakit tidaklah mutlak karena ada beberapa faktor lain yang memengaruhi kedua makna tersebut. Istilah sakit mengandung banyak makna yang berbeda baik secara kultural, sosial maupun pengertian profesional. Budaya merupakan aspek determinan dalam menentukan penyakit. Hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar. Sehingga berbagai faktor dalam kehidupan sosial dan budaya dapat memengaruhi kehidupan klien kanker payudara.

Keluarga merupakan bagian terdekat dalam kehidupan klien kanker payudara. Keluarga didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang bergantung satu sama lain untuk ikatan emosional, fisik dan dukungan ekonomi. Sedangkan dalam teori ilmu sosial, keluarga sebagai sekelompok orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, ikatan

darah, atau proses adopsi, dimana mereka merupakan satu rumah tangga, saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan satu sama lain dalam peran sosial masing-masing sebagai suami dan istri, ibu dan ayah, anak dan putri, kakak dan adik, dan berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan budaya umum (Kaakinen, 2010).

Dukungan penuh dari keluarga merupakan faktor yang sangat penting bagi klien kanker payudara. Dukungan dan komunikasi dalam keluarga secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup klien kanker payudara. Dukungan keluarga dianggap memiliki efek langsung pada kesejahteraan dan penyesuaian emosional untuk klien kanker (Sampoornam, 2015; Lim et al., 2013; Davey, 2005).

Perubahan kondisi keluarga tentunya sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan klien kanker. Maka dukungan lain untuk klien kanker menjadi sangat penting. Salah satunya adalah dukungan dari teman, tetangga, dan masyarakat sekitarnya. Dukungan dan hubungan sosial memiliki efek yang signifikan pada kesehatan wanita dan memengaruhi perilaku, psikososial dan fisiologis klien kanker payudara. Kuantitas dan kualitas hubungan sosial sehat yang terbentuk sepanjang perjalanan hidup akan memiliki dampak kumulatif pada kesehatan klien kanker payudara sehingga membantu dalam prognosis kanker payudara. Disisi lain, hubungan sosial juga memprovokasi sistem jaringan sosial yang mendukung didalam dan di luar keluarga (Sampoornam, 2015).

Menjalankan kehidupan sebagai klien kanker payudara tentunya menjadi sangat berat untuk sebagian klien. Kemampuan untuk terus hidup dan berjuang hidup menjadi manifestasi dari perilaku klien kanker payudara. Sebagai mahluk kultural, klien kanker payudara lahir, belajar dan berkembang dalam suatu lingkungan tempat, sehingga ia menganut dan membentuk perilaku sesuai dengan budaya ditempat tersebut. Keyakinan, harapan, motif, nilai-nilai, persepsi dan fungsi kognitif lainnya merupakan atribut-atribut yang mencerminkan karekteristik sikap dan perilaku yang berhubungan dengan tindakan klien kanker payudara dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Lopez et al. (2011) mengemukakan dalam

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 76: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

75JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

penelitiannya bahwa pengalaman ketahanan hidup perempuan klien kanker payudara (breast cancer survivor) dibentuk karena keyakinan budaya. Keyakinannya terhadap budaya membentuk suatu perilaku yang dapat meningkatkan kualitas hidup klien kanker payudara. Keyakinan, perilaku, persepsi, emosi, bahasa, agama, struktur keluarga, diet, pakaian, citra tubuh, konsep ruang dan waktu, sikap terhadap penyakit dan rasa sakit menjadi beberapa aspek yang saling terkait dengan budaya (Helman, 2007).

Dalam mempertahankan kualitas kehidupannya selain menerima pelayanan keperawatan yang holistik, klien kanker payudara juga harus mampu dalam melakukan perawatan terhadap dirinya sendiri. Leininger (2005), mengemukakan beberapa faktor dari dimensi sosial budaya yaitu teknologi, religi dan filosofi, sosial dan kekerabatan, nilai budaya, keyakinan dan lifeways, hukum dan politik, ekonomi dan faktor pendidikan turut dipengaruhi dan memengaruhi bagaimana seseorang melakukan perawatan diri dan menerima perawatan terhadap dirinya. Keseluruhan faktor tersebut akan membawa klien kanker payudara dalam membuat suatu keputusan dalam menjalani proses perawatan dan pengobatan untuk penyakitnya. Berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini terjadi karena klien ingin mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan pilihannya, sehingga apabila keinginan dan harapannya terpenuhi akan berdampak pada kepuasan klien (Balneaves et.al., 2007).

Kabupaten Garut merupakan salah satu dari 26 Kabupaten/Kota yang berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Garut terletak di sebelah selatan Propinsi Jawa Barat. Kawasan utara merupakan daerah yang sebagian besar berdataran rendah, sementara kawasan selatan daerah yang berbukit-bukit, pegunungan dan daerah pantai (Dinkes Kab. Garut, 2014)

Mata pencaharian masyarakat Garut sangat beragam, dari mulai petani, pedagang, guru, pengusaha bahkan buruh pabrik. Hal tersebut tentunya memunculkan situasi sosial yang berbeda. Dengan kondisi penduduk Kabupaten Garut yang heterogen, berbagai penyakit muncul sebagai manifestasi dari perilaku terhadap kesehatan. Letak geografis

Garut dan minimnya sarana transportasi di beberapa daerah, menjadikan beberapa daerah masih termasuk daerah terpencil dan sulit memperoleh askes untuk pelayanan kesehatan. Sosial budaya Sunda dan letak geografis Kabupaten Garut merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi kualitas kehidupan klien kanker payudara yang berada di kabupaten Garut (Dinkes Kab. Garut, 2014)

Sistem kekerabatan atau sistem kekeluargaan dalam masyarakat salah satunya pada suku Sunda di Garut bersifat bilateral, dimana garis keturunan ditarik dari pihak bapak dan juga ibu. Sehingga hak dan kedudukan anggota keluarga baik dari pihak ayah maupun dari ibu sama. Makna keluarga bagi masyarakat Sunda bukan hanya mempertemukan antar suami dan istri saja, namun juga mempertemukan antara keluarga dari pihak suami dan keluarga dari pihak istri. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam sangat memengaruhi adat istiadat dalam kehidupan suku Sunda. Pancakaki merupakan istilah-istilah yang menunjukan hubungan kekerabatan dalam suku Sunda (Ekadjati, 2014)

Penyakit atau sakit yang diderita oleh salah satu anggota keluarga dalam masyarakat Sunda merupakan hal yang mengganggu bukan hanya individunya saja tetapi juga seluruh komponen keluarga atau kerabat. Sehingga faktor keluarga memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan terhadap penatalaksanaan baik perawatan maupun pengobatan (Ekadjati, 2014)

Hasil penelusuran data dari Medical Record RSU dr. Slamet Garut, mobilitas rawat inap klien kanker payudara pada tahun 2015 mencapai 67 orang. Berdasarkan informasi dari salah satu informan perawat di ruang rawat inap bedah sebuah RS pemerintah di Garut, selain rutinitas menjalani pengobatan konvensional Kemoterapi, beberapa klien kanker payudara juga harus berkali-kali menjalani perawatan di rumah sakit karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk dirawat di rumah. Bahkan ada klien kanker payudara yang menjalani perawatan di rumah sakit mencapai empat kali dalam kurun waktu satu tahun karena kondisi anemia.

Peran perawat sebagai health provider sangat penting dalam upaya menyadarkan

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 77: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

76 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

masyarakat mengenai bahaya dari kanker payudara, dan juga manfaat dari tindakan yang dilakukan dalam upaya pencegahan kanker payudara. Keperawatan kesehatan komunitas yang kompeten mengharuskan perawat memahami gaya hidup, sistem nilai, perilaku sehat dan sakit yang beragam dari individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Perawat yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk bekerja dengan beragam budaya mampu merancang intervensi yang efektif untuk mengurangi risiko dengan cara pendekatan budaya yang kongruen dengan nilai-nilai individu, kelompok dan masyarakat (Nies & Mc Ewen, 2011).

Penelitian ini berusaha memberikan kontribusi terhadap pengembangan pengetahuan dan penatalaksanaan pelayanan terhadap klien kanker payudara dengan mengeksplorasi makna secara mendalam kehidupan klien kanker payudara dalam menjaga kualitas hidupnya dengan latar belakang budaya Sunda.

Walaupun pengelolaan kanker payudara saat ini sudah berkembang pesat, namun kenyataanya masih sedikit kajian ilmiah tentang bagaimana klien kanker menjalani kehidupannya. Fokus penelitian ini adalah pengalaman dan peristiwa sehari-hari kehidupan seorang klien kanker payudara dalam menjaga kualitas kehidupannya, serta persepsi-persepsi dan makna-makna dalam pengalaman tersebut. Dengan memahami makna dari pengalaman klien kanker payudara, maka pola kehidupan klien kanker payudara dalam menjaga kualitas kehidupan klien kanker payudara menjadi fokus kajian dalam penelitian ini.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian merupakan rencana dan prosedur penelitian yang meliputi metode dan asumsi-asumsi luas dalam pengumpulan dan analisis data yang digunakan untuk meneliti topik tertentu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan asumsi untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam

bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah (Moleong, 2011). Peneliti berusaha untuk memahami situasi, peristiwa, kelompok, atau interaksi sosial pada penderita kanker payudara.

Penelitian kualitatif ini bertujuan memperoleh gambaran umum subyek penelitian dengan menekankan aspek pemotretan pengalaman individu sehari-hari dengan cara mengobservasi dan mewawancarai subyek penelitian dan juga individu-individu lain yang relevan. Dalam praktek keperawatan, pendekatan transcultural nursing memungkinkan perawat untuk mempelajari secara eksplisit fenomena keperawatan dari perspektif lintas budaya (Leinenger, 1985 dalam Carpenter & Steubert, 2011)

Key informan dalam penelitian ini yaitu individu yang mempunyai penyakit kanker payudara baik yang telah menjalani operasi mastektomi ataupun yang belum. Selain individu penderita kanker payudara, dalam penelitian ini juga menggunakan informan pendukung yaitu orang-orang yang berada di lingkungan sekitar individu yaitu keluarga, teman, tetangga, tokoh masyarakat (RT, RW, tokoh agama, kader kesehatan) dan petugas kesehatan.

Pada penelitian ini, saturasi data atau tidak ada informasi baru lagi didapatkan pada key informan ke-6. Oleh karena itu jumlah informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 6 orang. Sedangkan informan pendukung yang diwawancara dalam penelitian ini adalah keluarga (dua orang suami dari dua key informan, satu orang anak key informan) dan satu orang teman key informan)

Pedoman wawancara semi terstruktur dalam penelitian ini digunakan fokus pada life-world dengan berupaya memahami tema kehidupan sehari-hari dalam mempertahankan kualitas hidupnya dari persfektif masing-masing individu yang memiliki kanker payudara.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga tahapan observasi menurut Leininger yaitu observasi, partisipasi dan refleksi (Leininger, 2006). Kegiatan observasi partisipasi dilakukan pada aktivitas-aktivitas keseharian dari informan penderita kanker payudara dalam mempertahankan kualitas hidupnya dengan tujuan untuk mengamati

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 78: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

77JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

perilaku dan interaksi individu-individu dari kelompok tersebut dalam konteks kehidupan sosialnya. Perilaku yang diobservasi meliputi perilaku-perilaku yang ditampilkan informan baik secara verbal maupun non verbal.

Penelitian ini juga menggunakan studi dokumen yang peneliti lakukan, baik pada dokumen tertulis maupun dokumen tidak tertulis. Dokumen tertulis antara lain pada dokumen riwayat catatan medis, pengobatan dan perawatan dari informan penderita kanker payudara. Sedangkan dokumen tidak tertulis peneliti ambil dari beberapa foto-foto selama kegiatan penelitian berlangsung. Namun tidak seluruh aktivitas informan dalam penelitian ini terdokumentasi dalam bentuk foto, karena berkaitan dengan beberapa kondisi informan yang secara etika tidak dapat didokumentasikan. Salah satu hasil studi dokumen dalam penelitian ini adalah riwayat catatan medis setiap informan. Dengan menggunakan riwayat catatan medis, maka dapat diketahui stadium dari penyakit kanker payudara serta pengobatan dan perawatan yang sudah ataupun yang sedang

informan jalani saat ini. Selama proses wawancara peneliti

menggunakan tape recorder sebagai salah satu alat pengumpulan data. Beberapa informasi yang akan peneliti rekam adalah kesan-kesan mengenai pengalaman, pemikiran, dan perasaan-perasaan yang informan alami dan maknai dalam menjaga kualitas kehidupannya sebagai klien kanker payudara. Dalam pelaksanaan penelitian ini, alat perekam suara hanya digunakan pada saat wawancara pertama saja.

Penelitian ini juga menggunakan field note sebagai instrumen dalam penelitian. Field note digunakan oleh peneliti selama proses wawancara dan selama kegiatan observasi pada beberapa aktivitas informan.

Sebagai instrument, peneliti mengumpulkan sendiri data penelitian melalui kegiatan wawancara dengan key informan yaitu pasien kanker payudara dan informan pendukung. Selain kegiatan wawancara, peneliti juga melakukan observasi partisipasi terhadap beberapa aktivitas keseharian dari informan kanker payudara. Selama penelitian

Bagan 1 Analisis data penelitian (Leininger, 2005)

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Mayor themes, research findings, theoritical formulatins

and recommendations

Pattern and contextual analysis

Identification and categorization of descriptor and component

Collecting, describing, and documenting raw data

Page 79: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

78 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

berlangsung, peneliti berusaha untuk memenuhi kompetensi sebagai peneliti dalam menggali pengalaman dan mengobservasi kehidupan dari informan penelitian.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan tahapan penelitian. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan empat tahapan analisis data menurut Leininger (Leininger, 2005), digambarkan dalam bagan berikut:Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dan ijin dari Komite Etik di Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran, dengan nomor: 887/UN6.C1.3.2/KEPK/PN/2016.

Hasil Penelitian

Pada hasil penelitian muncul dua domain yaitu 1) pola adaptasi Wanita Sunda dengan kanker payudara dalam menjalani kehidupannya, dan 2) berkumpul bersama keluarga sebagai makna end of life. Domain dideskripsikan berdasarkan transkripsi analisis data wawancara dan observasi partisipasi.

Tabel 1 Organisasi Komponen dalam Domain Transcultural NursingKomponen Domain Interpretasi Meaning

• Peran sebagai seorang ibu dan seorang istri dalam budaya

• Persepsi sakit sebagai siklus kehidupan

Pengabdian sebagai Seorang Istri Dan Seorang Ibu Pada Wanita Sunda Dengan Kanker Payudara

Peran wanita dalam budaya Sunda sebagai seorang ibu dan seorang istri membawa satu pemaknaan dalam siklus kehidupan yang harus dilalui dan dijalani oleh Wanita Sunda.

Peran mempunyai makna yang lebih penting dalam kehidupan seorang Wanita Sunda sehingga kondisi sakit hanyalah sebuah siklus yang harus dijalani oleh klien kanker payudara dalam menjalankan perannya.

• Seeking behavior• Peningkatan

kesehatan fisik• Menjaga

kesehatan psikologis

• Penguatan spiritual

Pencarian Pengobatan Sepanjang Kehidupan Wanita Sunda Dengan Kanker Payudara

Upaya yang dilakukan oleh klien kanker payudara dalam menjaga kualitas hidup menjadi satu perilaku yang dipelajari, dipahami dan diterapkan dalam kehidupan klien kanker payudara menjadi suatu nilai dan norma perilaku budaya keseharian klien kanker payudara.

Ada perilaku budaya tersendiri (berbeda) dalam kehidupan klien kanker payudara. Dimana perilaku tersebut dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan klien kanker payudara dengan tujuan untuk menyerasikan kehidupannya dengan budaya yang berlaku di masyarakat pada umumnya

• Faktor sosial dan kindship (dukungan keluarga, dukungan sosial dan jaringan sosial)

• Faktor ekonomi (penurunan produktivitas akibat sakit, biaya pengobatan dan perawatan)

Faktor-faktor yang memengaruhi pola adaptasi klien kanker payudara dalam menjalani proses perawatan dan pengobatan untuk penyakitnya

Faktor universal budaya memengaruhi pola adaptasi klien kanker payudara

Pola adaptasi klien kanker payudara dalam menjalani kehidupan dipengaruhi salah satunya oleh dukungan keluarga, dukungan sosial dari teman dan kerabat. Sehingga terbentuk mekanisme koping yang adaptif dari klien kanker payudara dalam menjalani kehidupannya. Faktor ekonomi berpengaruh terhadap pola adaptasi klien dalam menjalani pengobatan dan kehidupan bermasyarakat dalam suatu budaya

• Terminal ill• Kematian • Makna keluarga

dalam end of life

Berkumpul bersama keluarga sebagai makna end of life

Kondisi sakit terminal membawa pemahaman terhadap satu fase end of life. End of life menjadi bermakna dengan adanya kehadiran keluarga/kerabat

End of life merupakan satu fase dalam kehidupan, dimana sakit merupakan salah satu proses yang harus dijalani untuk sampai pada fase tersebut

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 80: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

79JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

1) Pola Adaptasi Wanita Sunda dengan Kanker Payudara dalam Menjalani Kehidupannya

Kehidupan yang dijalani oleh klien dengan kanker payudara tidak terlepas dari pengaruh faktor universal budaya. Budaya merupakan struktur yang sangat penting dalam memetakan keserasian hubungan kehidupan masyarakat. Budaya berhubungan dengan perawatan, kesehatan, penyakit, dan lingkungan klien kanker payudara. Beberapa ahli mengungkapkan beberapa definisi budaya. Leininger, (1978b) dalam Kaakien (2010) menjelaskan bahwa budaya adalah keseluruhan yang kompleks, yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan setiap kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya Leininger juga memberikan pengertian budaya merupakan belajar dan transmisi pengetahuan tentang budaya tertentu dengan nilai-nilai, keyakinan, aturan praktik perilaku dan gaya hidup yang memandu kelompok berpikir dan bertindak dengan cara berpola.

Hasil transkripsi analisis data wawancara dan observasi yang peneliti lakukan, menunjukkan terdapat dua faktor universal yang memengaruhi pola adaptasi klien kanker payudara dalam menjalani kehidupannya yaitu: 1) faktor ekonomi, dan 2) faktor sosial dan kindship.

1.1 Kondisi Ekonomi sebagai Batasan Pencarian Pengobatan Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan besar dalam kehidupan klien kanker payudara. Kondisi sakit menahun yang diderita klien kanker payudara tentunya membawa perubahan terhadap status ekonomi keluarga. Hal ini tentunya membawa suatu dampak terhadap perubahan kehidupan dan pola adaptasi yang harus klien jalani sesuai dengan kondisi ekonominya. Salah satunya kondisi ekonomi yang dialami oleh Informan 4 (I.4). Seiring penurunan kondisi kesehatannya akibat kanker, I.4 pun menghentikan pekerjaanya sebagai pedagang di pasar. Keseharian informan yang kini hanya terbaring lemah di rumahnya tanpa ada penghasilan ditambah dengan statusnya sebagai seorang janda tanpa anak menuntutnya untuk dapat beradaptasi

dengan kondisi ekonominya. Status ekonomi atau kondisi ekonomi dari keluarga informan turut memengaruhi keputusan informan dan keluarga dalam menjalani pengobatan. Seperti diungkapkan informan berikut:“....saya memilih berobat alternatif ke ajengan, karena tidak perlu uang besar kalau berobat kesana. Saya memang memiliki BPJS, tapi selain biaya pengobatan saya juga butuh untuk biaya hidup selama saya di rawat di rumah sakit. Kasihan adik saya kalau harus menanggung biaya selama berobat di rumah sakit”..(I.4)

“....teman-teman saya sesama penderita kanker juga sering cerita obat vitamin atau susu yang sebaiknya saya minum. Tapi karena harganya sangat mahal, saya tidak membelinya”..(I.1)

Rutinitas pengobatan yang harus dijalaninya jelas sangat memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Perubahan kondisi ekonomi memunculkan suatu respon adaptasi dalam kehidupan klien kanker payudara. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi yang harus informan hadapi selama menjalani pengobatan. Salah satu informan dalam penelitian ini kadang ikut menumpang kendaraan milik tetangganya yang tukang sayur hanya sekedar untuk berobat sampai di sebuah rumah sakit rujukan di Bandung. Selain itu mencari bantuan keuangan atau pinjaman juga informan lakukan untuk bisa pergi melakukan pengobatan. Seperti diungkapkan informan berikut:“....meskipun pengobatan saya dibantu BPJS tapi tetap aja saya harus punya bekal untuk berangkat berobat. Kadang saya harus mencari pinjaman biar saya bisa berangkat untuk berobat ke Bandung”..(I.1)

“....kalau bekal uang saya pas-pasan saya kadang berangkat ke Bandung dengan ikut numpang ke mobil tetangga yang mau ngangkut sayuran ke Bandung”..(I.2)

“....selama disinar, saya tinggal di rumah saudara saya di Bandung supaya saya tidak ngontrak. Karena tidak mungkin kalau saya harus pulang pergi dari Garut. Apalagi kontrakan disini mahal-mahal”..(I.1)

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 81: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

80 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Namun, perubahan kondisi ekonomi juga tidak dianggap sebagai hambatan oleh informan dan keluarga dalam menjalani kehidupannya. Seperti diungkapkan oleh salah satu keluarga informan :“....saya tidak peduli berapa uang yang harus saya keluarkan untuk mengobati istri saya, selama rejekinya ada saya berusaha memberikan pengobatan yang terbaik untuk istri saya”..(K.3)

Menerima diagnosis kanker juga memengaruhi keputusan untuk bekerja atau pensiun, sehingga mengubah peluang ekonomi individu. Untuk mempertahankan kehidupan dan memenuhi tuntutan sosial ekonominya, selain menjalani pengobatan dan perawatan kanker payudara beberapa informan dalam penelitian ini masih tetap menjalankan aktivitasnya sebagai pekerja. Menurut Giardini (2012) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa budaya atau etnis terbukti berdampak terhadap keyakinan, status sosial ekonomi dan persepsi dari penderita kanker dalam pengalamannya sebagai pekerja. Sehingga perlunya dukungan keuangan, medis, psikologis dan sosial bagi penderita kanker payudara dan keluarga mereka. Seperti diungkapkan oleh informan dibawah ini:“....saya hanya cuti bekerja saat menjalani kemo, kemudian saat dioperasi. Setelah kondisi saya membaik, saya kembali bekerja untuk membantu suami saya mencari nafkah”.. (I.1)

1.2 Kekuatan Kekerabatan sebagai Penguat Kondisi Klien Kanker Payudara

Selain faktor ekonomi, faktor sosial dan kekerabatan juga memegang peran penting dalam kehidupan klien dengan kanker payudara. Menjalani kehidupan sebagai klien kanker payudara tidak mudah tanpa ada dukungan sosial dari keluarga, kerabat, teman, tetangga dan juga atasan ditempat bekerja. Selain dukungan sosial, menjaga hubungan sosial juga merupakan upaya yang dilakukan informan dalam penelitian ini selama menjalani kehidupannya sebagai klien kanker payudara.

1.2.1 Dukungan Keluarga sebagai Kekuatan Selama menjalani kehidupan sebagai klien

dengan kanker payudara, beberapa informan

dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga, kerabat, teman, rekan kerja dan atasan merupakan kekuatan dan memiliki arti penting bagi informan dalam menjalani kehidupannya. Dukungan terbesar terutama informan dapatkan dari pasangan hidup (suami). Dukungan dari pasangan (suami) merupakan dukungan paling penting. Dukungan pasangan pun dirasakan informan selama menjalani proses pengobatan dan perawatan. Selama penelitian, tampak beberapa suami informan berupaya untuk terlibat langsung dalam perawatan informan. Salah satunya suami dari informan 1 setiap hari mau untuk membersihakan luka operasi mastekstomi istrinya. Selain itu, setiap informan menjalani prosedur pengobatan baik operasi, kemoterapi maupun terapi radiasi. Suami dari informan selalu hadir menemani. Keterlibatan pasangan selama proses pengobatan dan perawatan menjadi kekuatan psikologis bagi informan, seperti beberapa ungkapan dari informan berikut:“....saya beruntung sekali karena suami saya baik, sabar dan mau membantu saya melewati semua ini. Selama saya menjalani kemo, suami dan anak saya bergantian mengantar saya. Kalau saya mengeluh ke suami tentang penyakit yang saya rasakan, suami selalu mengatakan agar saya bersabar. Suami saya mengatakan meskipun rambut saya rontok dan payudara saya tinggal sebelah tidak menjadi masalah yang penting saya bisa sembuh”..(I.1)

“....suami saya selalu memotivasi saya, agar saya kuat menjalani pengobatan. Kalau tidak ada suami saya, mungkin saya tidak akan sekuat ini menjalani pengobatan kanker” ..(I.2)

Selain dukungan dari pasangan, dukungan dari anggota keluarga lain pun informan dapatkan selama menjalani kehidupan sebagai klien kanker payudara. Selama penelitian berlangsung, peneliti mengamati bahwa beberapa keluarga dari informan selalu hadir menemani keseharian informan menjalani aktivitasnya, baik aktivitas pengobatan maupun aktivitas keseharian lainnya. Seperti yang dilakukan oleh salah seorang ibu dari informan penelitian yang tampak selalu hadir menemani informan, baik selama informan

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 82: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

81JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

menjalani perawatan dan pengobatan di rumah sakit maupun selama di rumah. Setiap hari ibunya selalu datang ke rumah informan bahkan kadang menginap di rumah informan hanya untuk sekedar mengingatkan informan minum obat dan makan. Dukungan keluarga sebagai orang terdekat dari informan memberikan makna penting dalam membantu menjaga kualitas hidup informan.

Dukungan keluarga yang diterima oleh informan pun bermacam-macam, dari mulai membantu aktivitas keseharian informan, bantuan materi berupa uang, bantuan obat-obatan baik tradisional maupun konvensional. Dukungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari pun informan terima dari anak-anak dan saudaranya. Seperti ungkapan informan berikut:“....anak-anak saya tidak pernah protes meskipun mereka harus mengerjakan semua pekerjaan di rumah. Anak pertama saya yang laki-laki yang setiap hari sebelum berangkat sekolah selalu menyapu dan mengepel rumah serta mencuci piring, sedangkan anak perempuan saya yang nomor dua meskipun baru kelas 4 SD kebagian tugas untuk mencuci bajunya sendiri, biasanya dikerjakan sepulang sekolah. Kedua anak saya tidak pernah mengeluh meskipun harus mengerjakan semuanya”..(I.1)

“....setiap 2 hari sekali adik saya datang ke rumah saya untuk mencucikan baju dan membereskan rumah. Kadang adik saya juga memasak makanan untuk saya”..(I.4)

1.2.2 Dukungan Sosial sebagai KekuatanSelain dukungan keluarga, bentuk

dukungan lain yang informan terima selama menjalani kehidupan sebagai klien dengan kanker payudara antara lain dukungan dari teman, tetangga, rekan kerja, atasan di tempat kerja dan dukungan program jaminan asuransi kesehatan dari pemerintah. Penelitian yang dilakukan oleh Kroenke et.al. (2013) mengungkapkan bahwa selain dukungan keluarga, ada hubungan antara jaringan sosial dan mekanisme dukungan sosial terhadap kualitas hidup penderita kanker setelah didiagnosis. Dukungan sosial bisa berasal dari teman, tetangga dan komunitas.

Dari enam informan yang ikut berpartisipasi dalam penelitian ini, satu orang

informan bekerja di sebuah perusahaan swasta di Garut dan satu orang informan merupakan Kader Kesehatan di lingkungan RW tempat tinggalnya. Dukungan dari teman dan tempat bekerja meningkatkan dukungan psikologis terhadap informan, sehingga informan merasa hidupnya menjadi sangat berarti karena teman-teman, atasan dan tempat bekerjanya masih mengakui keberadaannya. Berikut beberapa ungkapan informan dan hasil observasi yang peneliti lakukan: “....kalau saya tidak masuk kerja, teman-teman saya datang rame-rame ke rumah saya. Mereka pada masak di rumah saya dan kita makan bersama, sehingga saya merasa terhibur. Teman-teman kerja saya selalu menelepon saya hanya untuk sekedar menanyakan keadaan saya. Atasan saya juga mengijinkan saya untuk cuti kerja selama saya menjalani pengobatan dan setelah selesai pengobatan saya diterima untuk bekerja kembali”..(I.1)

“....warga dan tetangga saya tahu kalau saya sakit. Waktu kondisi saya parah, Ustad dan Sesepuh disini mimpin doa bersama untuk kesembuhan saya. Selama saya sakit, tetangga disini bergantian menengok saya”..(I.2,I.3,I.4,I.6)

Dukungan yang informan dapatkan dari pemerintah merupakan dukungan dalam bentuk program jaminan asuransi untuk pembiayaan kesehatan. Seluruh informan dalam penelitian ini merupakan peserta dari program asuransi kesehatan yang dikelola oleh pemerintah. Dua orang informan memiliki jaminan asuransi kesehatan tanpa bayar dan 4 orang informan memiliki asuransi kesehatan mandiri (berbayar). Selama menjalani proses pengobatan ataupun perawatan, seluruh informan menggunakan asuransi kesehatan. Adanya jaminan asuransi kesehatan sangat membantu informan dalam menjalani pengobatan terutama dari segi biaya pengobatan, seperti diungkapkan beberapa informan dan keluarga berikut :“....saya harus melakukan pengobatan kanker selama hidup saya, seandainya saya tidak mempunyai BPJS mungkin saya tidak bisa berobat, karena obat-obat kanker itu sangat mahal. Biaya Kemo saya aja katanya belasan juta”..(I.1,I.2)“....awalnya saya berobat menggunakan

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 83: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

82 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

fasilitas umum, namun saya disarankan untuk menjadi peserta BPJS saja karena pengobatan kanker lumayan mahal dan juga lama”.. (I.3)

Menjaga hubungan sosial dan tetap melakukan aktivitas sosial juga memberikan makna penting bagi informan dalam menjalani kehidupan sosialnya di masyarakat. Hasil analisis peneliti deskripsikan bahwa informan berusaha menjaga hubungan baik dengan kerabat, teman dan juga lingkungan masyarakat sekitarnya. Informan tetap mengikuti beberapa kegiatan sosial yang mampu untuk dilakukan oleh informan. Seperti diungkapkan oleh informan berikut:“....meskipun sekarang saya punya penyakit, saya tetap menjalin silaturahmi dengan tetangga di sini, saya masih ikut kegiatan pengajian, kegiatan arisan RT/RW”..(I.5)

“....saya sudah bertahun-tahun menjadi kader kesehatan, meskipun saya didiagnosis kanker payudara tapi saya tetap aktif sebagai kader. Setiap bulan saya melakukan kegiatan posyandu, malah kadang juga rapat ke puskesmas, ke desa atau ke kecamatan”..(I.2)

Menjaga hubungan sosial informan lakukan karena ada tanggung jawab peran yang harus dijalankan. Baik peran sebagai seorang istri, seorang ibu dan juga sebagai anggota masyarakat. Hasil observasi peneliti, beberapa informan dalam penelitian ini masih tetap menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga meskipun sudah didiagnosis kanker payudara. Beberapa pekerjaan rutin di rumah, seperti memasak untuk suami dan anaknya, serta menyiapkan keperluan sekolah anaknya masih berusaha informan lakukan. Salah satunya Informan 1, meskipun dalam kondisi sakit namun karena saat itu bertepatan dengan bulan Juni dimana merupakan bulan pendaftaran sekolah untuk siswa baru, maka informan tetap berusaha mengurus sendiri pendaftran anak sulungnya sekolah di sebuah SMA. Peran yang harus dijalankan oleh informan mejadi kekuatan bagi informan dalam menjalani kehidupannya. Seperti diungkapkan oleh beberapa informan berikut:“....saya seorang ibu, saya harus tetap semangat demi anak-anak saya. Kasian anak-anak saya masih kecil”..(I.5)“....setiap hari saya yang mengurus semua keperluan sekolah anak saya. Meskipun sekarang saya punya penyakit tapi saya

juga punya tanggungjawab untuk mengurus mereka. Anak-anak tahu kalau saya punya penyakit, tapi kalau mereka ada keinginan tetap saja mereka meminta ke saya tidak berani bicara langsung ke ayahnya”..(I.1)“.....kalau saya tidak sempat memasak atau kondisi saya sedang tidak kuat, saya berusaha untuk membeli lauk pauk yang sudah matang dari warung nasi. Saya berusaha untuk selalu menyediakan makan untuk suami dan anak saya”..(I.1)

Sampoornam (2015), dalam penelitian kualitatifnya di India mengungkapkan ada tiga tema fokus yang berhubungan dengan mekanisme koping keluarga dan survivor kanker payudara yaitu kuantitas dan kualitas hubungan, keterlibatan dalam kelompok dan mempertahankan hubungan sosial. penelitian lain juga mengungkapkan bahwa hubungan sosial baik kuantitas dan kualitas memengaruhi kesehatan mental, perilaku kesehatan, kesehatan fisik dan risiko kematian dari penderita kanker payudara (Lim & Ashing-giwa, 2013 & Saragih, 2012).

2) Berkumpul Bersama Keluarga sebagai Makna End of Life

Kondisi sakit dan penyakit yang menyertai perjalanan hidup seseorang akan membawa pada satu makna lain tentang kehidupan. Kehidupan dan segala upaya yang dijalani oleh informan kanker payudara dalam penelitian ini pada akhirnya membawa pada satu refleksi kehidupan tentang end of life. End of life peneliti deskripsikan berdasarkan transkripsi data wawancara dengan informan serta keluarga dan observasi selama di lapangan.

Tanpa memerhatikan kondisi kesehatan, jika seseorang merefleksikan hidupnya atau lainnya dan memiliki kekhawatiran tentang kematian dan akhir kehidupan, orang ini, dalam arti, menghadapi kematian dan dapat mengambil manfaat dari perawatan didefinisikan sebagai perawatan end of life (Izumi et al., 2012). Begitu juga dengan informan dalam penelitian ini, informan 1.3 merupakan salah informan yang sudah didignosis stadium 3 pada saat awal memeriksakan diri. Sejak didagnosis 2 tahun yang lalu sampai penelitian dilakukan, informan hanya melakukan pengobatan alternatif saja untuk kanker payudaranya.

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 84: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

83JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Kondisi penyakit yang dirasakannya semakin hari semakin parah membuat informan menyadari bahwa kematian mungkin akan menjemputnya namun upaya untuk mempertahankan kehidupannya tetap informan jalani. Seperti diungkapkan oleh informan berikut :“....saya tidak tahu kapan saya meninggal, yang penting saya sudah berusaha, menjalankan syariat. Hakekat hanya Alloh yang punya, Alloh maha mengetahui”..(I.4)

Hal serupa juga dialami oleh informan I.1 dan informan I.3 dalam penelitian ini. Rangkaian prosedur pengobatan secara konvensional dari mulai kemoterapi, mastektomi dan terapi radiasi sudah para informan jalani. Namun penurunan kondisi kesehatan yang begitu cepat terjadi selama dan setelah menjalani terapi radiasi. Berbagai keluhan mulai muncul misalnya pada informan I.1 seperti lymphaedema, ikterus, anemia dan nyeri menyertai terselesaikannya terapi radiasi yang dijalani. Kematian pun menjadi salah satu makna yang tersirat dalam kehidupan informan. Informan mencoba membangun penguatan spiritual dengan menyuruh anak-anaknya mengaji disampingnya sampai dirinya tertidur. Seperti diungkapkan oleh informan:“....seandainya saya meninggal, saya masih dapat mendengarkan suara anak saya mengaji. Saya jadi tenang”..(I.1)

Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Tsitsis dan Lavdaniti (2014) yang menyatakan bahwa ketika pasien mencapai akhir hidupnya, pasien perlu memenuhi kebutuhan spiritualnya.

Pada akhirnya satu akhir kehidupan memutuskan seluruh upaya yang dijalani beberapa informan dalam penelitian ini. Keputusan mengakhiri pengobatan dan perawatan menjadi mekanisme koping terakhir yang harus dijalani oleh informan dan juga keluarga. Setelah menjalani perawatan dan pengobatan disebuah RS di kabupaten Garut, kondisi informan I.1 dan I.3 tidak dapat dipertahankan lagi. Keputusan medis tentang kondisi informan menjadi dasar keluarga dalam memaknai end of life sehingga keluarga membawa informan pulang ke rumah. Seperti diungkapkan oleh keluarga informan berikut :“....dokter mengatakan kondisi istri saya

sudah parah, istri saya juga selalu merintih meminta pulang ke rumah. Akhirnya saya membawa istri saya pulang”..(K.1)

Dalam penelitian ini keputusan untuk melakukan perawatan di rumah dengan keadaan informan dalam kondisi terminal, merupakan satu keputusan yang harus diambil terutama oleh orang-orang terdekat informan dan mempunyai pengaruh kuat dalam kehidupan informan yaitu suami informan. Hasil observasi, peneliti menggambarkan setelah memutuskan untuk menghentikan perawatan di sebuah RS di Kabupaten Garut, namun keluarga tetap berupaya memberikan peawatan di rumah. Salah satunya pada informan I.3, keluarga berupaya memenuhi kebutuhan oksigen informan yang saat itu dalam keadaan sesak nafas akibat metastase kankernya ke paru-paru. Upaya dilakukan dengan membeli tabung oksigen dan perlengkapan oksigenasi sehingga selama di rumah informan tetap mendapatkan suplai oksigen. Hal senada juga dilakukan oleh keluarga informan I.1, setelah memutuskan untuk menghentikan perawatan maka keluarga dalam hal ini suami informan membawa informan pulang ke rumah. Selama di rumah keluarga berusaha memenuhi kebutuhan informan dengan tetap memberi makan informan, mengurangi nyeri dengan mengkompresnya, dan berusaha menghadirkan seluruh keluarga informan.

Sakit, bukanlah satu-satunya prediktor untuk satu fase end of life. Namun kondisi sakit menjadi satu proses dalam kehidupan yang mungkin menjadi jalan menuju takdir akhir kehidupan. Seperti informan dalam penelitian ini, pada akhirnya informan I.1 meninggal dunia setelah 1,5 bulan menjadi partisipan dalam penelitian ini, sedangkan informan I.3 dan informan I.4 meninggal setelah 2 bulan menjadi partisipan dalam penelitian ini. Ketiganya meninggal di rumahnya masing-masing dengan didampingi oleh orang-orang tercintanya.

Simpulan

Hasil penelitian dan kajian analisis dari seluruh domain yang muncul menyimpulkan bahwa ada suatu pola budaya dalam kehidupan klien kanker payudara dalam

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 85: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

84 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

menjalani kehidupannya agar kualitas hidupnya tetap berjalan dengan baik. Pola tersebut menjadi dasar perilaku klien kanker payudara sepanjang kehidupannya. Seluruh upaya yang dilakukan saling menunjang satu sama lain dalam menjaga kualitas hidup klien kanker payudara. Dengan didasari pada budaya yang ada, kondisi sakit yang dialami klien membawa klien kanker payudara pada satu pemaknaan siklus hidup sehingga muncul suatu upaya untuk mempelajari, memahami dan menerapkan suatu perilaku perawatan dan pengobatan dalam rentang sehat-sakitnya menjadi suatu budaya tersendiri sepanjang kehidupannya yang mungkin akan berbeda dengan orang lain pada umumnya.

Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari pola adaptasi klien kanker payudara sendiri dalam menjalani kehidupannya. Beberapa faktor universal turut memengaruhi pola adaptasi klien dalam penelitian ini yaitu yang pertama faktor sosial dan kindship dan kedua adalah faktor ekonomi. Kedua faktor tersebut menjadi aspek yang sangat penting dalam kehidupan yang klien kanker payudara jalani.

Daftar Pustaka

Balneaves et.al. (2007).

Carpenter, D.R., & Streubert, H.J. (2011). Qualitative research in nursing: Advancing the humanistic imperative. Wolters Kluwer: Lippincot Williams & Wolters .

Davey, M., Gulish, L., Askew, J., Godette, K., & Childs, N. (2005). Adolescents coping with mom's breast cancer: Developing family intervention programs. Journal of Marital and Family Therapy, 31(2), 247-58. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/220946876?accountid=48290.

Dinkes Kabupaten Garut. (2014).

Ekadjati, E. (2014). Kebudayaan sunda: Suatu pendekatan sejarah. Bandung: Penerbit PT Dunia Pustaka.

Giardini, M. (2012). Lost and found: Cross cultural perspectives on breast cancer survivor work (Order No. 3545331). Available

from ProQuest Public Health. (1237934915). Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1237934915?accountid=48290.

Helman, C. (2007). Culture, health and illness (5th Edition). Hodder Arnold: Oxpord University Press.

Izumi, S., Nagae, H., Sakurai, C., & Imamura, E. (2012). Defining end-of-life care from perspectives of nursing ethics. Nursing Ethics, 19(5), 608-18. doi:http://dx.doi.org/10.1177/0969733011436205.

Kaakinen, et al. (2010). Family health care nursing: Theory, practice, and research (4th Edition). Philadelphia: F. A. Davis Company..

Kroenke, C.H., Kwan, M.L., Neugut, A.L., Ergas, I.J., Wright, J.D., Caan, B. J., ..., & Kushi, L.H. (2013). Social networks, social support mechanisms, and quality of life after breast cancer diagnosis. Breast Cancer Research and Treatment, 139(2), 515-27. doi:http://dx.doi.org/10.1007/s10549-013-2477-.

Leininger, M. (2005). Overview of Leininger’s ethnonursing research method and process. Original Source: http://www.madeleine-leininger.com/cc/researchmethod.pdf.

Leininger, M. (2006). Culture care diversity & universality: A wordwide nursing theory. Jones and Bartlett Publisher, Inc.

Lim, J., & Ashing-giwa, K. (2013). Is family functioning and communication associated with health-related quality of life for Chinese- and Korean-American breast cancer survivors?. Quality of Life Research, 22(6), 1319-29. doi:http://dx.doi.org/10.1007/s11136-012-0247-y.

Lim, J., Gonzalez, P., Wang-Letzkus, M., Baik, O., & Ashing-Giwa, K. (2013). Health behavior changes following breast cancer treatment: A qualitative comparison among Chinese American, Korean American, and Mexican American survivors. Journal of Health Care for the Poor and Underserved, 24(2), 599-618. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1373219114?account

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 86: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

85JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

id=48290.

Lopez-class, M., Perret-gentil, M., Kreling, B., Caicedo, L., Mandelblatt, J., & Graves, K. D. (2011). Quality of life among immigrant latina breast cancer survivors: Realities of culture and enhancing cancer care. Journal of Cancer Education, 26(4), 724-33. doi:http://dx.doi.org/10.1007/s13187-011-0249-4.

Medical Record RSU dr. Slamet Garut. (2015).

Moleong, L.J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Nies & McEwen. (2011). Community/public health nursing: Promoting the health populations. USA: By saunders, an imprint of Elseiver Inc.

Sampoornam, W. (2015). Hermeneutic circle focusing lived experience of breast cancer survivorship- A phenomenological approach. Asian Journal of Nursing Education and

Research, 5(3), 439-442. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1728664345?accountid=48290.

Saragih, R. (2012). Peranan dukungan keluarga dan koping pasien dengan penyakit kanker terhadap pengobatan kemoterapi di RB 1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2010. Jurnal Keperawatan, FIK UDA, Medan.

Schreiber, J.A., & Brockopp, D.Y. (2012). Twenty-five years later--what do we know about religion/spirituality and psychological well-being among breast cancer survivors? A systematic review. Journal of Cancer Survivorship, 6(1), 82-94. doi:http://dx.doi.org/10.1007/s11764-011-0193-7.

Tsitsis, N., & Lavdaniti, M. (2014). Quality of life in women with breast cancer. International Journal of Caring Sciences, 7(1), 38-42. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1501334418?accountid=48290.

Witdiawati : Studi Kualitatif Pola Kehidupan Pasien Kanker Payudara

Page 87: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

86 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pengaruh Foot Massage terhadap Kualitas Tidur Pasien di Ruang ICU

Nurlaily Afianti1, Ai Mardhiyah2

1RS Hasan Sadikin, 2Fakultas Keperawatan Universitas PadjadjaranEmail: [email protected]

Abstrak

Gangguan tidur pasien kritis di ruang Intensive Care Unit dapat mengakibatkan terganggunya fungsi kekebalan tubuh, menurunkan kemampuan otot inspirasi pernafasan, terganggunya sistem metabolisme, terganggunya regulasi sistem saraf pusat dan kondisi psikologis pasien yang berdampak terhadap waktu perawatan berkepanjangan. Foot Massage merupakan salah satu terapi komplementer yang aman dan mudah diberikan dan mempunyai efek meningkatkan sirkulasi, mengeluarkan sisa metabolisme, meningkatkan rentang gerak sendi, mengurangi rasa sakit, merelaksasikan otot dan memberikan rasa nyaman pada pasien. Tujuan penelitian ini teridentifikasinya perbedaan pengaruh skor kualitas tidur pada kelompok kontrol dan perlakuan. Penelitian quasi eksperimental ini menggunakan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan masing-masing kelompok dilakukan penilaian pretest dan postest. Jumlah sampel sebanyak 24 pasien. Instrumen kualitas tidur menggunakan Richard Campbell Sleep Quationare (RCSQ). Data dianalisis dengan uji t berpasangan dan uji t tidak berpasangan. Hasil penelitian menunjukan pada kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan yang bermakna rerata skor kualitas tidur (p = 0,150), sedangkan pada kelompok perlakuan, terdapat perbedaan yang bermakna rerata skor kualitas tidur (p=0,002). Adapun selisih skor kualitas tidur pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan terdapat perbedaan secara bermakna (p= 0,026). Simpulan penelitian ini skor kualitas tidur pada kelompok intervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol, sehingga disarankan foot massage dijadikan evidence based di rumah sakit sebagai salah satu terapi komplementer yang dapat dijadikan intervensi mandiri keperawatan untuk membantu mengatasi gangguan tidur pasien kritis.

Kata kunci: Foot massage, ICU, kualitas tidur.

The effect of Foot Massage on Sleep Quality of in ICU Rooms’ Patients

Abstract

Sleep disorders of critical patients in the Intensive Care Unit can result in impaired immune function, decrease respiratory muscle capacity, disruption of metabolic system, disruption of central nervous system regulation and psychological condition of patients impacting on long treatment period. Foot Massage is one of the complementary therapies that is considered safe and easy to administer and has the effect of improving circulation, removing the rest of the metabolism, increasing the range of motion of the joints, reducing the pain, relaxing muscles and providing comfort to the patient. The purpose of this study is to identify differences in the effect of sleep quality score on control and treatment groups. This quasi experimental study used a control group and a treatment group where each group performed a pretest and posttest assessment. The sample size was 24 patients. Sleep quality instrument used Richard Campbell Sleep Questionnaire (RCSQ). Data were analyzed by paired t test and unpaired t test. The results showed that there was no significant difference in sleep quality score (p = 0,150), while in the treatment group, showed that there was a significant difference on sleep quality score (p = 0,002). The difference of sleep quality score in control group and treatment group was significantly different (p = 0,026). Therefore, it can be concluded that sleep quality scores in the intervention group were higher than in the control group, thus foot massage is suggested to be used as evidence-based in hospitals as one of the complementary therapies that can be used as self-care interventions to help overcome patients with critical sleep disorder.

Keywords: Foot massage, ICU, sleep disorder.

Page 88: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

87JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pendahuluan

Pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU), merupakan pasien-pasien yang mengalami gangguan fungsi tubuh yang dapat mengancam kehidupannya, dengan kondisi tidak stabil, sangat rentan terhadap serangan ataupun stresor, dan juga berbagai macam masalah karena biasanya pasien mengalami gangguan lebih dari satu sistem di tubuhnya serta kondisi pasien sendiri yang sulit untuk diprediksi (Alspach, 2006). Pasien dengan kondisi tersebut disebut juga dengan pasien kritis.

Ruang perawatan intensif merupakan bagian dari rumah sakit, dengan staf khusus dan peralatan khusus, ditujukan untuk observasi dan terapi pasien penyakit kritis yang dapat mengancam jiwa apabila tidak mendapatkan intervensi medis. Pasien kritis biasanya mengalami gangguan pada multi sistem yang melibatkan gangguan pada organ pernapasan, kardiovaskuler dan neurologi (Robertson & Al-Haddads, 2013). Berdasarkan definisi tersebut maka pasien yang dirawat diruang intensif adalah pasien – pasien dengan kondisi kritis, penyakit yang kompleks dan rentan terhadap berbagai stressor.

Pasien yang dirawat di ruang ICU mengalami perubahan pada tidurnya dimana pasien yang mengalami sakit kritis mengalami jam tidur singkat sehingga membuat pasien mengalami kesulitan pencapaian REM dan tidur yang dalam, mengakibatkan pasien mudah terbangun (Weinhouse & Schwab, 2006). Pada pasien yang mengalami perawatan di ruang ICU banyak pasien yang memiliki pengalaman gangguan tidur, penyebabnya diantaranya akibat kebisingan, intervensi yang diberikan serta pengobatan (Elliott, McKinley, Cistulli & Fien, 2013).

Pasien sakit kritis menunjukkan fragmentasi tidur dimana efek yang ditimbulkan akan memengaruhi fungsi kekebalan tubuh, sistem metabolisme, regulasi sistem saraf pusat, dan kondisi psikologis. Sehingga tidur penting untuk proses pemulihan homeostasis integral (Weinhouse & Schwab, 2006).

Masalah gangguan tidur pada pasien kritis dapat menyebabkan konsekuensi serius. Konsekuensi dari kualitas tidur yang buruk diantaranya meningkatkan gangguan

pada kardiovaskular yaitu penyakit jantung koroner dan stroke, pada pernafasan dapat mengakibatkan hiperkapnia hingga hipoventilasi, gangguan metabolik yang terjadi terhadap toleransi glukosa, pelepasan insulin, sekresi hormon pertumbuhan dan kortisol, pengaturan nafsu makan oleh leptin dan gerlin, dan mempengaruhi kualitas tidur. Pengaruh yang terjadi pada sistem imun dapat meningkatkan resiko infeksi karena perubahan pada fungsi sel limfosit, sel polinuklear sel-sel pembunuh alami, dan inflamasi sitokonin (seperti IL-1, IL-6 dan TNF) hal ini dapat menyebabkan dampak kerusakan organ dan peningkatan mordibitas (Romero-Bermejo, 2014).

Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dimana kepentingannya sama dengan kebutuhan dasar lainnya. Tidur yang berkualitas baik dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dan sangat penting untuk penyembuhan dan kelangsungan hidup pasien dengan penyakit kritis (Richard, Crow, Codhill, & Turnock, 2007; Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010).

Menurut National Hearth, Lung and Blood Institute (2011), tidur memberikan istirahat yang dibutuhkan oleh jantung dan sistem vaskuler. Selama tidur non-REM, detak jantung dan tekanan darah semakin lambat begitu juga ketika masuk kedalam kondisi tidur lebih dalam.

Kualitas tidur tidak selalu berhubungan dengan kuantitas tidur dimana kualitas tidur dikaitkan dengan sesuatu yang dirasakan secara subjektif yaitu kemudahan pasien untuk tidur, kemampuan memelihara tidur, total waktu tidur, bangun tidur diawal. Selain itu, beberapa hal yang dilaporkan terkait dengan kualitas tidur diantaranya perasaan gelisah di malam hari, perasaan cemas dan tegang, membutuhkan ketenangan saat mencoba untuk tidur. Kualitas tidur yang baik berhubungan dengan berbagai hasil positif seperti kesehatan yang lebih baik, kurang kantuk di siang hari, kesejahteraan yang lebih besar dan fungsi psikologis yang lebih baik. Kualitas tidur yang buruk salah satunya menggambarkan gejala insomnia kronis (Harvey, Stinson, Whitaker, Moskovitz & Virk, 2008).

Seseorang yang mengalami kurang tidur memiliki banyak konsekuensi neurobiologis.

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 89: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

88 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Jika dalam satu malam seseorang melewati hari tanpa tidur maka terjadi penurunan kemampuan otak, perubahan perilaku yang paling terlihat adalah meningkatnya kecenderungan untuk jatuh tertidur, bahkan ketika orang tersebut berjuang untuk tetap terjaga. Sebaliknya, jika pada malam berikutnya kekurangan tidur dimodifikasi dan mengembalikan waktu tidur seperti biasanya maka yang terjadi memicu pemanjangan tidur malam hari, peningkatan tidur gelombang lambat, dan peningkatan tidur REM (Drouot & Quentin, 2015).

Gangguan tidur di ICU disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya lingkungan, kebisingan, pencahayaan, kegiatan perawat, penyakit yang diderita, tindakan keperawatan, terapi obat, dan ventilasi mekanik (Weinhouse & Schwab, 2006; Talwar, Liman, Greenberg, Feinsilver, & Vijayan, 2008).

Untuk mendapatkan kualitas tidur yang memadai, pasien bisa mendapatkan pengobatan baik farmakologi maupun non farmakologi. Penggunaan obat-obatan pada pasien di ICU diketahui memiliki dampak yang dapat mengganggu pada tidur dan pola sirkadian, dimana ketika malam hari mengalami penurunan kualitas tidur. Beberapa hal yang mengakibatkan gangguan tidur pada pasien di ICU diantaranya lingkungan, obat-obatan, penggunaan ventilator, penyakit yang diderita oleh pasien (Hardin, 2009). Pada pasien kritis yang menjalani perawatan di ruang ICU dan mengalami gangguan tidur, umumnya digunakan sedasi untuk meminimalkan kegelisahan dan nyeri yang dapat mengganggu kebutuhan tidur pasien tersebut.

Penanganan gangguan tidur pada pasien kritis dengan farmakoterapi menurut Asnis, Thomas, dan Henderson (2016) dan Food and Drug Administration (FDA) sejak tahun 2005 menyetujui penggunaan semua hipnotik tanpa membatasi durasinya, diantaranya adalah benzodiazepin, nonbenzodiazepine, ramelteon, sinequan dosis rendah, dan suvorexant. Pada umumnya yang digunakan di ICU adalah golongan benzodiazepin, diantaranya lorazepam, midazolam, dan diazepam (Oldham & Pisani, 2015).

Terapi lain yang digunakan adalah terapi komplementer, yang merupakan terapi tambahan umtuk membantu terapi

konvensional yang direkomendasikan oleh penyelenggara kesehatan, seperti akupunktur, teknik pijatan pada tubuh, mind body techniques, pijat, dan metode lain yang dapat membantu meringankan gejala dan meningkatkan fisik serta mental. Selain itu, pijatan kaki selama 10 menit dapat memberikan efek yang baik pada tubuh (Deng & Cassileth, 2005; Potter & Perry, 2011).

Penanganan gangguan tidur pasien di ICU dapat diatasi dengan mengatur sistem pencahayaan, dengan tingkat pencahayaan lingkungan yang tepat dalam membantu pasien menimbulkan perasaan tenang dan nyaman (Engwall, Fridh, Johansson, Bergbom & Lindhal, 2015). Cara lain yang digunakan untuk meningkatkan kualitas tidur dapat dilakukan dengan cara memodifikasi lingkungan yaitu menurunkan suara percakapan staf, menurunkan pencahayaan, mengatur kegiatan rutin perawatan dimalam hari (Hardin, 2009).

Massage therapy (MT) adalah suatu teknik yang dapat meningkatkan pergerakan beberapa struktur dari kedua otot dan jaringan subkutan, dengan menerapkan kekuatan mekanik ke jaringan. Pergerakan ini dapat meningkatkan aliran getah bening dan aliran balik vena, mengurangi pembengkakan dan memobilisasi serat otot, tendon dengan kulit. Dengan demikian, massage therapy dapat digunakan untuk meningkatkan relaksasi otot untuk mengurangi rasa sakit, stres, dan kecemasan yang membantu pasien meningkatkan kualitas tidur dan kecepatan pemulihan. Selain itu, massage therapy dapat meningkatkan pergerakan pasien dan pemulihan setelah operasi, yang memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Anderson & Cutshall, 2007). Massage tidak hanya mengurangi emosi, gugup, tapi juga mempertahankan keseimbangan yang baik dari saraf vagus dan simpatik. Hal ini baik untuk mencegah stres dengan mengurangi kecemasan (Zhou, Zhang, & Li, 2013)

Dari beberapa penelitian menggambarkan bahwa foot massage adalah salah satu metode yang paling umum dari terapi komplementer. Terapi pijat dan refleksi merupakan pendekatan terapi manual yang digunakan untuk memfasilitasi penyembuhan,

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 90: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

89JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

kesehatan, dan dapat digunakan oleh perawat di hampir setiap pelayan perawatan (Kaur, Kaur, & Bhardwaj, 2012).

Mekanisme foot massage yang dilakukan pada kaki bagian bawah selama 10 menit dimulai dari pemijatan pada kaki yang diakhiri pada telapak kaki diawali dengan memberikan gosokan pada permukaan punggung kaki, dimana gosokan yang berulang menimbulkan peningkatan suhu diarea gosokan yang mengaktifkan sensor syaraf kaki sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan getah bening yang mempengaruhi aliran darah meningkat, sirkulasi darah menjadi lancar (Aditya, Sukarendra & Putu, 2013). Foot massage mengaktifkan aktifitas parasimpatik kemudian memberikan sinyal neurotransmiter ke otak, organ dalam tubuh, dan bioelektrik ke seluruh tubuh. Sinyal yang di kirim ke otak akan mengalirkan gelombang alfa yang ada di dalam otak (Guyton, 2014). Impuls saraf yang dihasilkan saat melakukan foot massage diteruskan menuju hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF). CRF merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga medulla adrenal memproduksi endorfin. Endorfin yang disekresikan ke dalam peredaran darah dapat mempengaruhi suasana hati menjadi rileks (Ganong, 2008).

Menurut Aziz (2014) Gelombang alfa akan membantu stres seseorang, sehingga stress akan hilang dan menjadikan orang tersebut merasa rileks dan membantu kontraksi otot untuk mengeluarkan zat kimia otak (neurotransmitter) menstimulasi RAS (Reticular Activating System) untuk melepaskan seperti hormone serotin, asetilkolin dan endorphine yang dapat memberikan rasa nyaman dan merelaksasi. Kemudian rasa rileks dan perasaan nyaman yang dirasakan dapat menurunkan produksi kortisol dalam darah sehingga memberikan keseimbangan emosi, ketegangan pikiran serta meningkatkan kualitas tidur (Azis, 2014).

Kaur, Kaur, dan Bhardwaj (2012) menyatakan bahwa foot massage yang dilakukan selama 5 menit pada pasien sakit kritis dapat memberikan efek meningkatkan relaksasi karena adanya perubahan pada tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik,

denyut nadi, kelelahan, dan suasana hati setelah intervensi tersebut dilakukan. Pada tindakan foot massage berarti sentuhannya dapat merangsang oksitosin yang merupakan neurotransmiter di otak yang berhubungan dengan perilaku seseorang, dengan kata lain sentuhan merangsang produksi hormon yang menyebabkan perasaan aman dan menurunkan stres serta kecemasan (Mac Donald, 2010 & Zak, 2012).

Foot Massage adalah manipulasi jaringan ikat melalui pukulan, gosokan atau meremas untuk memberikan dampak pada peningkatan sirkulasi, memperbaiki sifat otot dan memberikan efek relaksasi (Potter & Perry, 2011).

Menurut Puthusseril (2006), foot massage mampu memberikan efek relaksasi yang mendalam, mengurangi kecemasan, mengurangi rasa sakit, ketidaknyamanan secara fisik, dan meningkatkan tidur pada seseseorang. Foot massage dapat memberikan efek untuk mengurangi rasa nyeri karena pijatan yang diberikan menghasilkan stimulus yang lebih cepat sampai ke otak dibandingkan dengan rasa sakit yang dirasakan, sehingga meningkatan sekresi serotonin dan dopamin. Sedangkan efek pijatan merangsang pengeluaran endorfin, sehingga membuat tubuh terasa rileks karena aktifitas saraf simpatis menurun (Field, Hernandez-Reif, Diego, & Fraser, 2007; Gunnarsdottir & Jonsdottir, 2007).

Morton dan Fonatin (2009) menunjukkan bahwa penanganan gangguan tidur saat ini bisa menggunakan terapi nonfarmakologi. Perawat dituntut agar dapat memberikan perawatan nonfarmakologi yang tidak memiliki pengaruh negatif dan dapat melengkapi terapi farmakologi yang selama ini sudah diberikan dalam perawatan pasien.

Untuk kondisi pasien di ruang ICU intervensi foot massage menjadi pilihan karena kaki mudah diakses tanpa memerlukan reposisi dari pasien dan juga massage pada kaki, selain merangsang sirkulasi dapat menurunkan edema dan latihan pasif untuk sendinya, serta melalui intervensi ini perawat dapat memberikan rasa nyaman dan kesejahteraan bagi pasien (Puthuseril, 2006; Prapti, Petpichetchian & Chongcharoen, 2012). Tindakan foot massage memiliki pertimbangan biaya rendah, kemungkinan

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 91: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

90 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

komplikasi yang sedikit dan prosedur yang mudah sehingga foot massage dianjurkan untuk perbaikan kualitas tidur (Oshvandi, Abdi1, Karampourian, Moghimbaghi & Homayonfar, 2014).

Upaya memperbaiki kualitas tidur dengan menggunakan Foot Massage di ruang ICU dimana secara kultur budaya massage dapat diterima, dan foot massage aman diberikan pada pasien di ruang ICU, selain tidak perlu merubah posisi pasien, massage ini dapat memberikan rasa aman karena kehadiran perawat yang kontak langsung skin to skin terhadap pasien, sehingga hal tersebut melandasi penulis untuk melakukan penelitian tentang pengaruh foot massage terhadap kualitas tidur pada pasien di ruang ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh foot massage terhadap kualitas tidur pasien di ruang ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi Experiment dengan pendekatan Pretest and Posttest Control Group Design. Metode quasi experiment merupakan metode penelitian eksperimen dengan menggunakan kelompok kontrol. Pada rancangan ini responden penelitian dibagi secara acak menjadi dua kelompok. Satu kelompok adalah kelompok perlakuan, sedangkan kelompok lain adalah kelompok kontrol sebagai penguat (Dharma, 2011). Pada rancangan ini sebelum peneliti melakukan intervensi pada semua kelompok dilakukan pengukuran awal (pretest) untuk mengetahui kualitas tidur awal responden sebelum diberikan intervensi. Selanjutnya pada kelompok intervensi dilakukan foot massage sesuai dengan langkah-langkah yang telah direncanakan, sedangkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan foot massage. Setelah intervensi diberikan dilakukan pengukuran akhir (posttest) pada semua kelompok untuk menentukan efek foot massage terhadap kualitas tidur pada responden (Dharma, 2011).

Populasi dalam penelitian ini adalah

pasien yang dirawat diruang ICU RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung. Sedangkan sampel penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria penelitian, kriteria inklusi: a). Kesadaran kompos mentis, b). Kooperatif, komunikatif dan ada kontak mata, c). Hemodinamik stabil sistolik 100-130 mmHg, diastolik 60-100 mmHg dan MAP >65 mmHg tanpa menggunakan golongan inotropik dan support seperti: dobutamin, dopamin, epineprin dan norepineprin, d). Skala nyeri ringan dan sedang (skala 1–10), e). Responden yang menggunakan ventilator mode spontan ataupun yang tidak menggunakan ventilator dan kriteria Ekslusi: a). Responden tidak menggunakan analgetik narkotik dan sedatif, b). Responden yang mengalami fraktur, trauma, atau luka pada kaki, c). Responden dalam kondisi gelisah, d). Responden yang mempunyai manifestasi gejala trombosis vena dalam.

Besar Sampel pada penelitian ini Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Oshvandi, Abdi, Karampurian, Homayonfar (2014), maka besar sampel untuk tiap kelompok adalah 11,5 dibulatkan menjadi 12 responden sedikitnya jumlah sampel untuk setiap kelompok. Dengan demikian maka besar sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah 24 responden, dengan uraian 12 responden untuk kelompok intervensi dan 12 responden untuk kelompok kontrol.

Penelitian ini dilaksanakan di ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Peneliti memilih rumah sakit ini sebagai tempat penelitian dikarenakan Rumah Sakit Umum Pusat Jawa Barat merupakan rumah sakit rujukan tipe A terbesar di Jawa Barat dan memiliki fasilitas atau ruang perawatan intensif dewasa tersendiri. Ruang perawatan yang dipakai penelitian adalah ruang perawatan General Intensive Care Unit (GICU) lantai 2.

Pengukuran pretest dilakukan pada pagi hari jam 07.00 WIB, selanjutnya foot massage dilakukan pada malam hari menjelang pasien tidur jam 19.00-21.00 WIB selama dua hari berturut-turut. Foot massage diberikan selama 10 menit pada masing-masing bagian kaki sehingga total lama perlakuan 20 menit. Analisis uji homogenitas pada penelitian ini berdasarkan usia, jenis kelamin, lama hari rawat, riwayat gangguan tidur, nyeri, tingkat

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 92: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

91JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

kecemasan, dan kebutuhan oksigen saat dilakukan penelitian. Diketahui data sebagian besar usia responden penelitian pada dua kelompok kontrol dan intervensi sebesar 45,83% berada dalam rentang usia dewasa awal 18-40 tahun, dimana jumlah responden laki-laki lebih banyak dari perempuan yaitu 54,16%. Selama penelitian didapatkan data mayoritas pasien dirawat di ruang ICU dengan lama hari rawat pasien di ruang ICU < 7 hari sebanyak 75%. Berkaitan dengan riwayat gangguan tidur hampir sebagian besar pasien (87,5%) mengalami gangguan tidur, hal ini ditunjang dengan tingkat nyeri yang dirasakan pasien 50% nyeri dengan intensitas nyeri sedang dan sebanyak 62,5% pasien ICU mengalami tingkat kecemasan sedang. Bantuan oksigenasi yang digunakan pasien di ICU bervariasi, selama penelitian terdapat sebanyak 37,49% pasien terpasang ventilator.

Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji t independent (umur), uji Chi Squere (jenis kelamin, nyeri, oksigenasi, dan uji Fisher’s exact (lama hari rawat, riwayat gangguan tidur, dan tingkat kecemasan) didapatkan bahwa seluruh karekteristik responden pada penelitian ini homogen atau tidak memiliki perbedaan dengan nilai signifikasi nilai p > 0,05. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar isian yang berisi data sosial demografi, data klinis responden, protokol perlakuan foot massage, dan kuesioner penilain kualitas tidur menggunakan richard campbell sleep questionnaire (RSCQ).

Foot massage merupakan teknik dimana kedua kaki menerima beberapa teknik di berbagai posisi, dengan memijat lembut dan berirama untuk mendapatkan respon relaksasi (Puthusseril, 2006). Adapun langkah-langkah penatalaksanaan foot massage yang dilakukan

No Metode Langkah-langkah Foot Massage1 Dengan menggunakan bagian tumit telapak tangan peneliti, peneliti

menggosok dan memijat telapak kaki pasien secara perlahan dari arah dalam ke arah sisi luar kaki pada bagian terluas kaki kanan selama 15 detik.

2 Dengan menggunakan tumit telapak tangan peneliti di bagian yang sempit dari kaki kanan, peneliti menggosok dan memijat secara perlahan bagian telapak kaki pasien dari arah dalam ke sisi luar kaki selama 15 detik.

3 Pegang semua jari-jari kaki oleh tangan kanan, dan tangan kiri menopang tumit pasien, kemudian peneliti memutar pergelangan kaki tiga kali searah jarum jam dan tiga kali ke arah berlawanan arah jarum jam selama 15 detik.

4 Tahan kaki di posisi yang menunjukkan ujung jari kaki mengarah keluar (menghadap peneliti), gerakan maju dan mundur tiga kali selama 15 detik. Untuk mengetahui fleksibilitas.

5 Tahan kaki di area yang lebih luas bagian atas dengan menggunakan seluruh jari (ibu jari di telapak kaki dan empat jari di punggung kaki) dari kedua belah bagian kemudian kaki digerakkan ke sisi depan dan ke belakang tiga kali selama 15 detik.

6 Tangan kiri menopang kaki kemudian tangan kanan memutardan memijat masing-masing jari kaki sebanyak tiga kali di kedua arah, untuk memeriksa ketegangan (15 detik).

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 93: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

92 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

pada pasien adalah sebagai berikut:

Hasil Penelitian

Berdasarkan uji homogenitas dengan menggunakan uji t independent (umur), Uji Chi Squere (jenis kelamin, nyeri, oksigenasi) dan Uji Fisher’s exact (lama hari rawat, riwayat gangguan tidur, tingkat kecemasan) didapatkan bahwa seluruh karakteristik responden pada penelitian ini homogen atau tidak memiliki perbedaan dengan nilai signifikasi p value > 0,05.

Skor yang didapatkan dari pengukuran sebagai indikator kualitas tidur saat pretest dan posttest. Peneliti menggunakan uji t berpasangan (t dependent) untuk melihat perbedaan rerata skor kualitas tidur pada kelompok kontrol.

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa nilai p = 0,150 (p value > 0,05). Nilai ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna rerata skor kualitas tidur pada kelompok kontrol.

Berikut ini adalah perbedaan rerata skor kualitas tidur pada kelompok intervensi (foot massage menjelang tidur) pada pengukuran saat pretest dan posttest. Analisis yang digunakan adalah uji t-dependent.

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa nilai significancy 0,002 (p<0,05) hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skor kualitas tidur yang bermakna pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi foot massage menjelang tidur selama 2 hari berturut-turut dengan lama pemijatan masing-masing kaki 10 menit. Hasil tersebut menunjukkan skor kualitas tidur lebih tinggi setelah diberikan perlakuan

7 Pegang kaki kanan dengan kuat dengan menggunakan tangan kanan pada bagian punggung kaki sampai ke bawah jari-jari kaki dan tangan kiri yang menopang tumit. genggam bagian punggung kaki berikan pijatan lembut selama 15 detik.

8 Posisi tangan berganti, tangan kanan menopang tumit dan tangan kiri yang menggenggang punggung kaki sampai bawah jari kaki kemudian di pijat dengan lembut selama 15 detik.

9 Pegang kaki dengan lembut tapi kuat dengan tangan kanan seseorang di bagian punggung kaki hingga ke bawah jari-jari kaki dan gunakan tangan kiri umtuk menopang di tumit dan pergelangan kaki dan berikan tekanan lembut selama 15 detik.

10 Menopang tumit menggunakan tangan kiri dan dengan menggunakan tangan kanan untuk memutar setiap searah jarum jam kaki dan berlawanan arah jarum jam serta menerapkan tekanan lembut selama 15 detik.

11 Menopang tumit dengan menggunakan tangan kiri dan memberikan tekanan dan pijatan dengan tangan kanan pada bagian sela-sela jari bagian dalam dengan gerakan ke atas dan ke bawah gerakan lembut selama 15 detik.

12 Tangan kanan memegang jari kaki dan tangan kiri memberikan tekanan ke arah kaki bagian bawah kaki menggunakan tumit tangan dengan memberikan tekanan lembut selama 15 detik

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 94: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

93JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

foot massage.Berikut ini merupakan distribusi

perbedaan rerata skor kualitas tidur pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Sebelumnya dilakukan uji homogenitas varians melalui uji Levene diketahui data homogen (sig 0,365) maka untuk mengetahui perbedaan kualitas tidur pada kelompok kontrol dan intervensi menggunakan uji t

independent dengan varians sama dengan hasil sebagai berikut;

Berdasarkan data dari tabel 4 terlihat bahwa terdapat perbedaan secara bermakna selisih rerata skor kualitas tidur pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Analisis yang digunakan adalah uji t tidak berpasangan (t independent) hasil uji ini memiliki nilai signifikan 0,026 (p<0,05).

Tabel 1 Distribusi Frekuensi, Persentase, dan Uji Homogenitas Karekteristik Responden Kelompok Kontrol dan Intervensi (N = 24) di Ruang ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2016

Karekteristik Frekuensi (N) Persentase p valueKontrol Intervensi (%)

UsiaDewasa awal (18-40 Tahun)

6 5 45,83

Dewasa Menengah (41-65 Tahun)

5 4 37,5 0,376 ᵃ

Dewasa Akhir > 65 Tahun

1 3 16,67

JenisKelaminLaki-laki 6 7 54,16 1,000 ᵇPerempuan 6 5 45,83Lama Hari Rawat< 7 hari 8 10 75 1,000 > 7 hari 4 2 25Riwayat GangguanTidurYa 10 11 87,5 1,000 Tidak 2 1 12,5NyeriRingan 7 5 50 0,683 ᵇSedang 5 7 50Tingkat KecemasanRingan 5 3 33,3Sedang 7 8 62,5 0,667 Tinggi - 1 4,16OksigenasiBinasal 4 4 33,3Simple Mask 2 4 25T-Piece 1 - 4,16 0,679 ᵇCPAP 2 2 16,66CPAP+PS 3 2 20,83

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 95: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

94 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Pembahasan

Hasil penelitian kualitas tidur pada kelompok kontrol di tampilkan pada tabel 2, memiliki nilai skor awal kualitas tidur responden 49,76 dan skor kualitas tidur posttest 52,49. Pada kelompok tersebut skor kualitas tidur mengalami peningkatan sebesar 2,73, setelah melalui uji t berpasangan (t dependent) mendapatkan nilai p = 0,150 (p value > 0,05), hal ini menunjukan tidak terdapat perbedaan rerata skor kualitas tidur yang bermakna pada kelompok kontrol.

Tidak terdapatnya perbedaan yang bermakna pada kelompok kontrol mungkin saja dipengaruhi oleh sebagian besar responden kelompok kontrol mengalami tingkat kecemasan sedang dan adanya riwayat gangguan tidur selama perawatan di ruang ICU. Kemungkinan pula gangguan tidur disebabkan karena kecemasan. Kecemasan karena kondisi penyakit yang dialami, sebagian besar responden yang dirawat diruang ICU tidak hanya memiliki satu diagnosa tetapi memiliki 2 atau > 2 diagnosa klinis, gangguan tidur pada kelompok kontrol kemungkinan pula disebabkan rasa terisolasi

dari keluarga, kebisingan ruangan oleh suara alat-alat medis dan komunikasi antar tenaga kesehatan.

Hal ini ditunjang penjelasan Elliott, McKinley, Cistuli dan Fien (2013) bahwa pasien yang mengalami perawatan di ruang ICU mengalami gangguan tidur dimana mereka memiliki kualitas tidur yang kurang baik, penyebabnya bisa karena kebisingan, tingkat pencahayaan, tindakan pelayanan medis, pengobatan serta intervensi keperawatan. Menurut Gabor et al (2003) kegiatan perawatan bagi pasien meliputi, kunjungan perawatan, penilaian tanda-tanda vital dan pemberian obat-obatan yang diberikan saat jam tidur. Sekitar 20% dari tindakan keperawatan mengakibatkan pasien terbangun. Selain itu juga tidak jarang pasien terganggu tidurnya akibat perawat yang memberikan tindakan keperawatan serta monitoring yang dilakukan setiap jamnya, walaupun peralatan ICU canggih, sehingga mengurangi manipulasi tangan terhadap pasien yang sedang tidur (Pulak & Jensen, 2014).

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oshvandi, Abdil,

Tabel 2 Distribusi Rerata Skor Kualitas Tidur Kelompok Kontrol pada Pretest dan Posttest di Ruang ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Kualitas Tidur Mean SD SE p value NPre 49,76 10,281 2,968

0,15012

Post 52,49 7,940 2,292 12

Tabel 3 Distribusi Rerata Skor Kualitas Tidur Responden Pretest dan Posttest pada Kelompok Intervensi Foot Massage di Ruang ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Kualitas Tidur Mean SD SE p value NPre 47,09 11,586 3,344 0,002 12Post 60,69 8,861 2,558 12

Tabel 4 Analisis Perbedaan Rerata Skor Kualitas Tidur Pada Responden Kelompok Intervensi dan Kontrol Di Ruang ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Kualitas Tidur Postest

Mean SD SE p value N

Kontrol 52,49 6,1305 1,76970,026

12Intervensi 60,69 11,5323 3,3291 12

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 96: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

95JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

Karampourian, Monghimbaghi dan Homayonfar (2014) bahwa pada kualitas tidur kelompok kontrol tidak mengalami perbedaan yang bermakna (p>0,05) pada pengukuran pretest dan posttest. Penelitian Kashani (2014) menunjukkan hasil penelitian tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata dari kualitas tidur pretest dan posttest pada kelompok kontrol (p> 0,05).

Berdasarkan tabel 3, Adanya perbedaan pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah intervensi, diketahui bahwa nilai significancy 0,002 (p<0,05) hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara bermakna skor kualitas tidur pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi foot massage. Adanya perbedaan ini dipengaruhi oleh pemberian foot massage.

Pemberian foot massage yang dimulai dari pemijatan kaki dan diakhiri dengan pemijatan telapak kaki merespon sensor syaraf kaki yang kemudian pijatan pada kaki ini meningkatkan neurotransmiter serotonin dan dopamin yang rangsangannya diteruskan ke hipotalamus dan menghasilkan Cortocotropin Releasing Factor (CRF) yang merangsang kelenjar pituary untuk meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) dan merangsang medula adrenal meningkatkan sekresi endorfin yang mengaktifkan parasimpatik sehingga terjadi vasodilatasi pada pembuluh serta memperlancar aliran darah sehingga membantu otot-otot yang tegang menjadi relaks sehingga RAS terstimulasi untuk melepaskan serotonin dan membantu munculnya rangsangan tidur serta meningkatkan kualitas tidur seseorang (Aditya, Sukarendra & Putu, 2013;Guyton, 2014; Aziz, 2014; Pisani, Friese, Gehlbach, Schwab,Weiunhouse & Jones, 2015).

Pemilihan foot massage sebagai intervensi yang digunakan pada pasien kritis dikarenakan kaki mudah diakses, pasien tidak perlu dilakukan reposisi sehingga tidak akan mempengaruhi peralatan yang digunakan oleh pasien, mampu merangsang sirkulasi peredaran darah yang dapat membuat suasana hati pasien menjadi nyaman, relaks, dan memiliki pengaruh yang positif sehingga akan mempengaruhi kualitas tidur pasien (Oshvandi, Abdil, Karampourian, Monghimbaghi, Homayonfar, 2014).

Berdasarkan tabel 4, Adanya perbedaan yang bermakna pada kelompok kontrol dan intervensi melalui uji t independent mendapatkan hasil p=0,026 (p<0,05). Penelitian ini dianggap bermakna dengan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara foot massage menjelang tidur terhadap peningkatan skor kualitas tidur pada kelompok intervensi di Ruang ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kaur, Kaur, Bhardwaj (2012), intervensi foot massage berpengaruh terhadap penurunan denyut jantung ke arah normal dari responden yang diamatinya pada kelompok intervensi menunjukkan rata-rata denyut jantung dan respirasi menurun. Pada pasien yang mendapatkan intervensi massage ditemukan penurunan tekanan darah sistolik hasilnya berdampak pada pengaktifan sisitem saraf parasimpatis yang akan mengakibatkan penurunan respon fisiologis sehingga pasien merasa lebih santai (Cambon, Dexheimer, Coe, 2006 ; Kaye, Kaye, Swinford, Baluch, Bawcom, Lambert, 2008).

Rasa sakit yang dirasakan oleh pasien dapat dikurangi dengan menggunakan massage dimana rangsangan pijitan mampu mencapai otak lebih cepat dari rasa sakit itu sendiri dampaknya terjadi peningkatan serotonin, dopamin dan penurunan substansi P serta peningkatan produksi endorfin selama pemijatan yang menghasilkan efek relaksasi dan peningkatan tidur (Field, Hernandez-Reif, Diego, Fraser, 2007).

Beberapa manfaat foot massage menunjukkan bahwa foot massage merupakan elemen yang mudah dan memiliki pengaruh besar. Menurut Trisnowiyanto (2012) dengan memberikan massage pada area kaki dapat memperlancar sistem peredaran darah, karena pijatan memberikan efek kenyamanan, sedatif dan mampu merangsang sistem syaraf dan meningkatkan aktifitas otot, sehingga pijatan pada kaki dapat mengendurkan otot-otot yang membuat pasien menjadi relaks.

Menurut Oshvandi, Abdi, Karampourian, Moghimbaghi, & Homayonfar (2014) massage pada kaki memberi manfaat mengurangi kecemasan, stress dan nyeri yang dirasakan oleh pasien, sekalipun massage yang diberikan dalam waktu yang pendek dan hanya pada bagian kaki saja, dapat

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 97: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

96 JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

memberikan manfaat hati menjadi lebih tenang, stress berkurang dan peningkatan pada tidur.

Dengan demikian intervensi foot massage yang diberikan pada responden di ruang ICU meliputi gerakan sentuhan, pijatan serta mengurut kaki bagian bawah secara sistemik dan ritmik akan mengurangi ketegangan otot, menciptakan suasana relaks yang pada akhirnya dapat memperbaiki kualitas tidur pasien.

Simpulan

Simpulan dalam penelitian ini adalah tidak adanya perbedaan rerata skor kualitas tidur pada kelompok kontrol tetapi terdapat perbedaan secara bermakna pada kelompok perlakuan. Foot massage memiliki pengaruh positif terhadap kualitas tidur pasien di Ruang ICU, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya skor kualitas tidur pada kelompok intervensi setelah mendapatkan perlakuan foot massage secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal tersebut didukung oleh adanya perbedaan yang signifikan skor awal pretest antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi dimana kelompok intervensi memiliki skor kualitas tidur lebih rendah dari skor kualitas tidur kelompok kontrol hal inilah yang menunjukkan bahwa foot massage memiliki pengaruh yang kuat dalam membatu memperbaiki kualitas tidur pasien di ruang ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Daftar Pustaka

Aditya, Sukarendra, & Putu. (2013). Pengaruh pijat refleksi terhadap insomnia pada lansia di Desa Leyengan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang. Jurnal Keperawatan.

Alspach, J.G. (2006). Core curiculum for critical care nursing (6th Edition). Missouri Sounders Elsevier.

Anderson, P.G., & Cutshall, A.M. (2007). Massage therapy - A comfort intervention for cardiac surgery patients. Clinical Nurse Specialist, 21, 161-5. doi:10.1097/01.

NUR.0000270014.97457.d5.Asnis, G.M., Thomas, M., & Henderson, M.A. (2016). Pharmacotherapy treatment options for insomnia: A primer for clinicians. International Journal of Molecular Sciences, 17(1), 50.

Azis, M.T. (2014). Pengaruh terapi pijat (massage) terhadap tingkat insomnia pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang. Jurnal keperawatan.

Badawi. (2009). Melawan dan Mencegah Diabetes : Panduan Hidup Sehat Tanpa Diabetes. Yogyakarta : Araska.

Deng, G., & Cassileth, B.R. (2005). Integrative oncology: Complementary therapies for pain, anxiety and mood disturbance, CA career. Journal Clinic, 55, 10–16.

Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.

Drouot, X., & Quentin, S. (2015). Sleep neurobiology and critical care illness. Critical Care the Clinic, 31, 379–391.

Elliott, R.M., McKinley, S.M., & Eagerm D. (2010). A pilot study of sound levels in an Australian Adult General Intensive Care Unit. Noise Health, 12(46), 26–36.

Engwalla, M., Fridha, I., Johansson, L., Bergbom, I., & Lindahl, B. (2015). Lighting, sleep and circadian rhythm: An intervention study in the intensive care unit. Intensive and Critical Care Nursing, 31, 325-335.

Field, T., Hernandez-Reif, M., Diego, M., & Fraser, M. (2007). Lower back pain and sleep disturbance are reduced following massage therapy. Journal Bodywork & Movement Therapies, 11(2), 141-5.

Ganong, W. F. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran (Edisi 22). Jakarta: EGC.

Gunnarsdottir, T.J., & Jonsdottir, H. (2007). Does the experimental design capture the effects of complementary therapy? A study using reflexology for patients undergoing coronary artery bypass graft surgery. Journal

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 98: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

97JKP - Volume 5 Nomor 1 April 2017

clinic Nursing, 16(4), 777-85.

Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2014). Buku ajar fisiologi kedokteran (Edisi 12). Saunders, Elseveir.

Hardin, K.A. (2009). Sleep in the ICU: Potential mechanisms and clinical implications. Chest, 136(1), 284-94. http://dx.doi.org/10.1378/ chest.08-1546.

Harvey, A.G., Stinson, K., Whitaker, K. L., Moskovitz, D., & Virk, H. (2008). The subjective meaning of sleep quality: A comparison of individuals with and without insomnia. Sleep, 31(3), 383-393.

Kaur, J., Kaur, S., & Bhardwaj, N. (2012). Effect of 'foot massage and reflexology' on physiological parameters of critically ill patients. Nursing and Midwifery Research Journal, 8(3).

Kozier, Erb, Berman, & Snyder. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses & praktik (Volume 1, Edisi 7). Jakarta: EGC.

MacDonald, K. (2010) The peptide that binds: A systematic review of oxytocin and its prosocial effects in humans. Harvard Review of Psychiatry, 18, 1-21.

Morton, P.G., & Fontaine, D.K. (2009). Critical care nursing: A holistic approach (9th Edition). Philadelphia: Lippincott Raven Publisher.

National Center for Complementary and Alternative Medicine. (2009). Meditation: An Introduction, U.S. Departement of Health and Human Services, D308.

National Hearth, Lung and Blood Institute. (2011).

Nursalam. (2013). Konsep Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Oldham, M., & Pisani, M.A. (2015). Sedation in Critically Ill Patients. Critical Care The Clinic. Vol:31 563–587

Oshvandi, Kh., Abdi, S., Karampourian, A., Moghimbaghi, A., & Homayonfar, Sh. (2014). The effect of foot massage on quality of sleep in ischemic heart disease patients hospitalized in CCU. Iran Journal Critical Care Nurse, 7(2), 66–73.

Potter & Perry. (2011). Fundamental of nursing (Buku 1, Edisi 8). Jakarta: Salemba Medika.

Pulak, L.M., & Jensen, L. (2014). Sleep in the Intensive Care Unit: A Review. Journal of Intensive Care Medicine.

Puthusseril, V. (2006). Special foot massage as a complementary therapy in palliative care. Indian Journal of Palliative Care, 12(2), 71-76.

Richardson, A., Crow, W., Coghill, E., & Turnock, C. (2007) . A comparison of sleep assessment tools by nurses and patients in critical care. Journal Clininical Nursing, 16, 1660–8.

Robertson, L.C., & Al-Haddad, M. (2013). Recognizing the critically ill patient. Anaesthesia and intensive care medicine, 14(1).

Romero-Bermejo, F.J. (2014). Sleep quality in intensive care unit: Are we doing our best for our patients?. Indian Journal Critical Care Medicine, 18, 191-2.

Trisnowiyanto, B. (2012). Instrumen pemeriksaan fisioterapi & penelitian kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Weinhouse, G.L., & Schwab, R.J. (2006) Sleep in the critically ill patient. SLEEP, 29(5), 707–716.

Zak, P. (2012) The moral molecule: The source of love and prosperity. New York, NY: Penguin Group.

Zhou, X., Zhang, S., & Li, X. (2013). Application of relaxation training and its enlightenment for nursing. Chinese Journal of Nursing, 39, 129–130.

Nurlaily Afianti : Pengaruh Foot Message terhadap Kualitas Tidur Pasien

Page 99: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id
Page 100: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

99JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test terhadap Forced Expiratory

Eko Suryantoro1, Atyanti Isworo2, Arif Setyo Upoyo2

1Perawat Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta, 2Fakultas Ilmu Ilmu Kesehatan Universitas Jendral Soedirman

Email: [email protected]

Abstrak

Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) pada pasien Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) mengalami penurunan. Pursed lips breathing mampu meningkatkan nilai FEV1, demikian juga six minutes walk test. Namun, belum diketahui efektivitas kedua terapi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan perbedaan nilai FEV1 setelah dilakukan pursed lips breathing dan six minutes walk test. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan menggunakan rancangan two group pretest-postest design. Penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang. Pursed lips breathing diberikan sebanyak 3 kali 10 menit/hari selama 3 hari. Six minutes walk test diberikan sebanyak 1 kali/hari selama 3 hari. Perbedaan efektivitas antara pursed lips breathing dengan six minutes walk test dianalisis dengan uji independent samples t test. Hasil uji independent samples t test menunjukkan p value 0,444 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara FEV1 post pursed lips breathing dengan six minutes walk test, kedua intervensi sama-sama mampu meningkatkan nilai FEV1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata FEV1 post test kelompok pursed lips breathing lebih besar daripada kelompok six minutes walk test, dengan rata-rata nilai FEV1 post test kelompok pursed lips breathing sebesar 74,71 dan nilai FEV1 post test kelompok six muntes walk test sebesar 69,37. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa pursed lips breathing lebih mampu meningkatkan nilai FEV1 daripada six minutes walk test.

Kata kunci: COPD, FEV1, Pursed Lips Breathing, Six Minutes Walk Test.

Differences of Effectiveness of Pursed Lips Breathing and Six Minutes Walk Test against Forced Expiratory

Abstract

Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) in Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) patients have decreased. Pursed lips breathing can increase the value of FEV1, as well as a six-minute walk test. However, it is remain unknown of the effectiveness of both therapies. The purpose of this study is to compare the difference of FEV1 value after pursed lips breathing and six-minute walk test are applied. The research design used is quasi experiment with two group pretest-posttest design. This research uses simple random sampling technique with 40 samples. Pursed lips breathing is given 3 times 10 minutes for each / day for 3 days. Six minutes walk test is given 1 time / day for 3 days. The differences of the effectiveness between pursed lips breathing and six minutes walk test are analyzed by independent samples t test. Independent samples t test shows that p value is 0.444 which means there is no significant difference between FEV1 post pursed lips breathing and six minutes walk test, both interventions are equally able to increase the value of FEV1. The results shows that the average FEV1 posttest of the pursed lips breathing group is greater than the group of six minutes walk test, with the average FEV1 posttest group pursed lips breathing is 74.71 and FEV1 posttest group of six muntes walk test is of 69.37. Based on the results, it can be concluded that pursed lips breathing is more useful to increase the value of FEV1 than the six minutes walk test.

Keywords: COPD, FEV1, Pursed Lips Breathing, Six Minutes Walk Test.

Page 101: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

100 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pendahuluan

Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) merupakan penyakit kronik yang menjadi penyebab kematian nomor tiga di dunia dan diperkirakan angka kejadiannya terus meningkat (Terzikhan et al., 2016). Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) telah mengakibatkan lebih dari 3 juta orang meninggal dunia pada tahun 2012 atau sebesar 6% dari total kematian di dunia pada tahun tersebut (WHO, 2015). COPD merupakan penyakit paru yang terjadi dalam kurun waktu lama dan progresif yang dimanifestasikan dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Price & Wilson, 2005).

Kasus COPD stabil di RS Paru Respira Yogyakarta merupakan kasus terbanyak, baik di pelayanan rawat jalan maupun rawat inap dengan jumlah yang cenderung mengalami kenaikan tiap bulannya. Jumlah keseluruhan kasus COPD stabil di pelayanan rawat jalan pada tahun 2015 sebanyak 1598 pasien, sedangkan pada rawat inap sebanyak 126 pasien. Tahun 2016 sampai dengan bulan Oktober pada pelayanan rawat jalan sudah mencapai kasus sebanyak 2495 pasien, sedangkan pada rawat inap sejumlah 246 pasien (Data RM RS Paru Respira, 2016).

Merokok masih merupakan penyebab COPD terbanyak di dunia (GOLD, 2016). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Terzikhan et al. (2016), disebutkan bahwa insidensi COPD di Rotterdam sebesar 9/1000 orang per tahun dengan mayoritas penderitanya adalah laki-laki merokok dan menurut WHO (2015), penyebab utama COPD adalah merokok, baik perokok aktif maupun pasif. COPD tidak hanya disebabkan karena merokok tetapi juga dipengaruhi faktor lain, yaitu polusi udara indoor, polusi udara outdoor, paparan di tempat kerja, genetik, riwayat infeksi saluran napas berulang, gender, usia, konsumsi alkohol, dan kurang aktivitas fisik (Oemiati, 2013). Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, GOLD (2016) merumuskan faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan dan peningkatan COPD, meliputi genetik; usia dan jenis kelamin; pertumbuhan dan perkembangan paru; paparan partikel/iritan;

keadaan sosial ekonomi; asma/hiperaktivitas bronkhial; bronkitis kronis; dan infeksi saluran pernapasan.

Menurut McPhee & Ganong (2010), pasien dengan COPD akan menunjukkan tanda dan gejala berupa batuk produktif dengan sputum purulen, bunyi napas wheezing, ronki kasar ketika inspirasi dan ekspirasi. Pasien dengan COPD juga akan menunjukkan gejala penurunan berat badan, penurunan compliance paru, dan obstruksi jalan napas (Smeltzer & Bare, 2013). Pasien dengan gangguan obstruksi jalan napas, volume ekspirasi paksa pada 1 detik (forced expiratory volume one second, [FEV1]) akan mengalami penurunan (Kumar, Cotran, & Robbins, 2007). Pada uji fungsi paru akan didapatkan hasil berupa peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional, dan kapasitas paru total. Hal tersebut disebabkan karena terjadi periode ekspirasi yang memanjang, obstruksi saluran napas, dan terakumulasinya udara (McPhee & Ganong, 2010). Biasanya FEV1 adalah sekitar 80% dari vital capacity (Sherwood, 2011).

Kapasitas vital paru diukur dengan meminta pasien bernapas maksimal dan menghembuskan dengan penuh melalui spirometer. Kebanyakan pasien dapat menghembuskan napas sedikitnya 80% dari FEV1 mereka. Aliran udara pulmonari abnormal dapat terjadi apabila terjadi penurunan FEV1, dan apabila FEV1 dan FVC mengalami penurunan secara proposional, maka dapat menyebabkan ekspansi maksimal paru terbatas. Penurunan FEV1 yang melebihi FVC mengindikasikan terjadi obstruksi jalan napas sampai tingkatan tertentu (Smeltzer & Bare, 2010). Efek yang muncul akibat dari gangguan pemenuhan oksigenasi dapat berupa nyeri dada, sesak, intoleransi aktivitas dan meningkatkan pula stress ataupun kecemasan yang sudah dialami sebelumnya (Frasure-smith, Théroux, & Irwin, 2004 dalam Nuraeni, Mirwanti, Anna, & Prawesti, 2016).

Penderita COPD cenderung lebih sulit melakukan ekspirasi daripada inspirasi (Sherwood, 2011). Hal tersebut dikarenakan menutupnya saluran napas yang meningkat akibat tekanan ekstra positif dalam dada selama ekspirasi. Sebaliknya, tekanan ekstra negatif terjadi pada pleura saat inspirasi

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 102: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

101JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

yang menyebabkan saluran napas membuka bersamaan dengan mengembangnya alveoli. Kondisi tersebut menyebabkan udara cenderung memasuki paru dengan mudah, tetapi kemudian terperangkap di dalam paru (Guyton & Hall, 2007). Penatalaksanaan keperawatan yang diberikan pada pasien COPD bertujuan untuk meningkatkan pertukaran gas, meningkatkan kebersihan jalan napas yang efektif, meningkatkan pola pernapasan, meningkatkan toleransi aktivitas, meningkatkan koping, memantau dan menangani komplikasi (Smeltzer & Bare, 2010).

Pola pernapasan dapat ditingkatkan dengan pursed lips breathing (PLB) yakni pernapasan melalui bibir (Smeltzer & Bare, 2013). Latihan pernapasan tersebut bertujuan untuk mencegah bronkiolus-bronkiolus kecil mengalami kolaps dan mengurangi jumlah udara yang terakumulasi (Price & Wilson, 2005). Pursed lips breathing merupakan breathing control yang dapat memberikan perasaan relaksasi dan mengurangi dipsnea pada penderita COPD (Reid & Chung, 2004). Pursed lips breathing (PLB) adalah teknik bernapas yang dapat digunakan untuk membantu bernapas lebih efektif dan dapat meningkatkan saturasi oksigen. PLB melatih penderita COPD untuk menghembuskan napas lebih lambat, sehingga akan bernapas lebih mudah dan merasa nyaman, baik ketika beristirahat maupun beraktivitas. Teknik pernapasan ini juga dapat membantu penderita COPD merasa lebih baik secara fisik dan mental (Petty et al., 2005).

Aini et al. (2007) melakukan penelitian yang menyimpulkan bahwa breathing retraining yang salah satunya dengan PLB dapat meningkatkan ventilasi paru pada penderita COPD. Selanjutnya penelitian lain dilakukan oleh Imania et al. (2015) terhadap 10 orang tenaga sortasi di pabrik teh PT. Candi loka Jamus Ngawi, disimpulkan bahwa breathing exercise dengan pursed lips breathing dapat meningkatkan volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan kapasitas vital paru. PLB akan menyebabkan peningkatan tekanan dalam rongga mulut, kemudian tekanan ini diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air trapping dan kolaps saluran napas kecil saat ekspirasi (Smeltzer & Bare,

2001). PLB dilakukan dengan cara tarik napas melalui hidung, buang napas lebih lambat melalui bibir mengerucut seperti bersiul (Petty et al., 2005).

Rehabilitasi paru lain yang dapat diberikan ke penderita COPD adalah endurance exercise. Menurut American Thoracic Society (2002), six minutes walk test (6MWT) merupakan salah satu latihan endurance yang dapat meningkatkan kapasitas fungsional paru. Wibmer et al. (2014) melakukan penelitian tentang hubungan antara latihan 6MWT dengan volume paru, didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terhadap FEV1 setelah dilakukan 6MWT. Menurut Arthritis Care and Research dalam Sitinjak, Hastuti, & Nurfianti (2016), olahraga dapat menstimulasi meningkatnya pelepasan hormon endorfin. Hormon tersebut memiliki dampak psikologis langsung yakni membantu memberi perasaan santai, mengurangi ketegangan, meningkatkan perasaan senang, membuat seseorang menjadi lebih nyaman, dan melancarkan pengiriman oksigen ke otot (Nursalam, 2007 dalam Sitinjak, Hastuti, & Nurfianti, 2016). Hal tersebut sejalan dengan Saryono (2009), bahwa exercise akan meningkatkan kapasitas difusi oksigen. Menurut Saryono (2009), exercise akan meningkatkan kapasitas difusi oksigen. Kapasitas difusi oksigen meningkat pada pria dewasa muda sampai maksimum kira-kira 65ml/menit/mmHg. Peningkatan kapasitas difusi oksigen berarti jumlah oksigen yang dipindahkan ke dalam aliran darah meningkat (Guyton & Hall, 2007). Peningkatan kadar oksigen akan membantu penderita COPD untuk mengurangi atau mengontrol dipsneanya, sehingga lebih toleran terhadap aktivitas sehari-harinya. Berdasarkan pada uraian di atas, terlihat bahwa pursed lips breathing maupun six minutes walk test mampu meningkatkan fungsi paru khususya nilai FEV1, namun belum dapat teridentifikasi apakah kedua terapi tersebut memiliki efektivitas yang berbeda.

Metode Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 103: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

102 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

dengan menggunakan rancangan two groups pretest-postest design. Teknik sampling menggunakan metode concecutive sampling dengan jumlah responden sebanyak 20 orang kelompok PLB dan 20 orang kelompok 6MWT, dengan alasan agar semua sampel mempunyai kesempatan yang sama, yaitu dengan cara pengambilan nomor yang dituliskan pada kertas secara acak pada sejumlah sampel yang telah ditentukan.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini antara lain: Pasien rawat jalan COPD stabil di RS Paru Respira Yogyakarta, pasien COPD grade 1–3, pasien usia 55–65 tahun, pasien yang mendapat terapi bronkodilator, pasien dengan IMT<25 kg/m2, pasien dengan saturasi oksigen≥85%, pasien dengan nadi antara 60–100 x/menit. Adapun kriteria ekslusinya yaitu: pasien yang tidak mengikuti program (drop out), pasien yang mengalami penurunan kesadaran; pasien yang mengalami gangguan fungsi jantung (heart failure, artimia, acute myocard infark, right ventricular hiperthrophy); serta pasien dengan tekanan darah > 180/100 mmHg. Instrumen yang digunakan berupa tensimeter, stetoskop, timbangan, stature meter, oksimetri, jam tangan. Pengukuran dilakukan 1x sebelum dilakukan perlakuan.

Penelitian dilakukan di RS Paru Respira Yogyakarta. Penelitian diawali dengan mengumpulkan data, dilanjutkan dengan menentukan sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian memberikan lembar persetujuan menjadi responden dan informed consent terkait dengan perlakuan yang akan diberikan kepada sampel yang terpilih, dilanjutkan memberikan penjelasan terkait dengan tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian kepada responden. Selanjutnya mempersiapkan pasien, diawali dengan mengukur berat badan, tinggi badan, dan menghitung IMT. Kemudian mengukur FEV1 pada kedua kelompok sebelum perlakuan PLB dan 6MWT dengan menggunakan spirometri, hasilnya dicatat di dalam lembar observasi. Spirometer yang digunakan adalah Spirometer BTL-08. Penelitian ini telah mendapatkan izin penelitian dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Universitas Padjadjaran Bandung melalui surat persetujuan etik atau ethical approval nomor: 1267/UN6.C1.3.2/

KEPK/PN/2016, Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Provinsi Jawa Tengah nomor: 070/11343/2016, Badan Kesbangpol DIY nomor: 074/2903/KESBANGPOL/2016, Biro Administrasi Pembangunan Daerah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta nomor: 070/Reg/V/376/11/2016 dan Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta, nomor: 070/2439.

Langkah selanjutnya mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam perlakuan PLB dan 6MWT berupa spirometri, mouth pieces, timbangan badan, stature meter, tensimeter, stetoskop, oksimetri, jam tangan, tisu, plester. Prosedur PLB meliputi menginstruksikan responden untuk rileks dengan melemaskan otot-otot leher dan bahu, kemudian menginstruksikan responden bernapas melalui hidung dalam 3 hitungan dengan mulut tetap tertutup, selanjutnya menginstruksikan reponden mengeluarkan napas secara perlahan dalam 7 hitungan dengan mengerucutkan mulut seperti meniup balon atau bersiul, menginstruksikan responden untuk melakukan PLB selama 10 menit, tiap siklus sebanyak 6 kali pernapasan dengan jeda antar siklus 2 detik, kemudian mengevaluasi kondisi responden setelah perlakuan. PLB dilakukan 3 kali dalam sehari (pagi, sore, malam) selama 3 hari berturut-turut.

Prosedur 6MWT yaitu diawali dengan mempersiapkan responden dengan mengukur nadi, tekanan darah, frekuensi pernapasan, dan saturasi oksigen. Kemudian menginstruksikan responden berjalan bolak-balik sepanjang koridor yang sudah ditandai setiap 1 meter selama 6 menit. Memperkenankan responden yang merasa kelelahan, pusing atau sesak napas untuk istrahat dengan stop watch tetap dalam posisi on, membatalkan responden yang tidak dapat melanjutkan tes, dan mengevaluasi kondisi responden setelah perlakuan. Dalam penelitian ini tidak ada responden 6MWT yang membatalkan tes. Perlakuan 6MWT dilakukan 1 kali dalam sehari selama 3 hari berturut-turut.

Penelitian ini menggunakan tabel distribusi frekuensi untuk menyajikan data. Variabel bebas (skala data nominal) dianalisis dengan frekuensi dan persentase,

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 104: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

103JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

sedangkan variabel terikat (skala data numerik) dianalisis dengan rerata dan standar deviasi. Analisis bivariat dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas antara pursed lips breathing dengan six minutes walk test terhadap FEV1 pada pasien COPD stabil. Berdasarkan uji normalitas dengan menggunakan Shapiro-Wilk test, diperoleh p value sebelum PLB sebesar 0,827 dan sesudah PLB sebesar 0,724, sedangkan p value sebelum 6MWT sebesar 0,880 dan sesudah 6MWT sebesar 0,414. Hasil tersebut berarti data terdistribusi

normal, sehingga untuk membandingkan perbedaan nilai FEV1 sebelum dan sesudah intervensi menggunakan uji paired samples t test dengan derajat kepercayaan 95% dan α 5%. Untuk membandingkan efektivitas antara PLB dengan 6MWT dilakukan uji independent samples t test.

Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 5 Desember 2016 sampai dengan 3 Januari

Tabel 1 Gambaran Karakteristik Responden berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, IMT, dan Status Merokok

VariabelPursed lips breathing Six minutes walk test

Frekuensi % Frekuensi %Usia55 – 60 8 40 9 4561 – 65 12 60 11 55Jumlah 20 100 20 100

Jenis KelaminLaki-laki 10 50 7 35Perempuan 10 50 13 65Jumlah 20 100 20 100

IMTKurus: < 18,5 7 35 4 20Normal: 18,5-25,0 13 65 16 80Jumlah 20 100 20 100Status MerokokYa 2 10 2 10Tidak 18 90 18 90Jumlah 20 100 20 100

Tabel 2 Perbedaan Nilai FEV1 Sebelum dan Sesudah Pursed Lips Breathing dan Six Minutes Walk Test

KelompokPre Test Post Test

P ValueMean SD Mean SD

Pursed lips breathing

61,85 17,98 74,71 24,66 0,002

Six minutes walk test

63,28 17,93 69,37 18,57 0,009

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 105: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

104 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

2017 di RS Paru Respira Yogyakarta. Karakteristik usia responden pada penelitian ini sebanyak 12 orang kelompok PLB dan 11 orang kelompok 6MWT berumur antara 61–65 tahun. Karakteristik jenis kelamin responden pada kelompok PLB antara laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 10 orang, sedangkan pada kelompok 6MWT mayoritas berjenis kelamin perempuan, yakni sebanyak 13 orang. Responden pada penelitian ini mempunyai IMT normal baik pada kelompok PLB maupun kelompok 6MWT, yakni masing-masing sebanyak 8 orang dan 12 orang. Selanjutnya pada penelitian ini mayoritas responden tidak merokok baik pada kelompok PLB maupun kelompok 6MWT, yakni masing-masing sebanyak 18 orang.

Tabel 1 Gambaran karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, IMT, dan status merokokTabel 2 menunjukkan bahwa hasil uji paired samples t test dengan p value pada kelompok pursed lips breathing sebesar 0,002 dan pada kelompok six minutes walk test sebesar 0,009 yang berarti pada kedua kelompok ada perbedaan nilai FEV1 yang signifikan antara sebelum dan sesudah intervensi. Berdasarkan tabel tersebut, rata-rata nilai FEV1 sebelum dan sesudah PLB lebih besar daripada 6MWT, yakni masing-masing sebesar 61,85 dan 74,71. Hal tersebut berarti nilai FEV1 sebelum dan sesudah PLB adalah 61,85% dan 74,71% dari vital capacity

normal. Menurut Smeltzer & Bare (2010), vital capacity normal adalah sebesar 4.600 ml, sehingga rata-rata nilai FEV1 sebelum PLB adalah sebesar 2.845 ml dan sesudah PLB sebesar 3.436 ml. Nilai FEV1 normal minimal sebesar 80% dari vital capacity atau sebesar 3.680 ml (Sherwood, 2011).

Tabel 4 menunjukkan hasil uji homogenitas nilai FEV1 sebelum dilakukan perlakuan PLB dan 6MWT dengan p value 0,802. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai FEV1 antara PLB dan 6MWT tidak ada perbedaan (homogen). Tabel 5 menunjukkan bahwa dari hasil uji independent samples t test didapatkan p value 0,444 yang berarti tidak ada perbedaan nilai FEV1 post test yang signifikan antara kelompok PLB dan 6MWT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan kelompok PLB lebih besar daripada kelompok 6MWT, dengan rata-rata nilai FEV1 post test kelompok PLB sebesar 74,71 dengan standar deviasi 24,66 dan nilai FEV1 post test kelompok 6MWT sebesar 69,37 dengan standar deviasi 18,57. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa PLB lebih mampu meningkatkan nilai FEV1 daripada 6MWT.

Pembahasan

Menurut American Thoracic Society (2013), penyakit COPD berkembang secara lambat dan jarang terjadi pada usia dibawah 40 tahun. Hal tersebut sesuai yang dikemukakan oleh

Tabel 4 Uji Homogenitas Nilai FEV1 Sebelum Pursed Lips Breathing dan Six Minutes Walk Test

FEV1 preIndependent Samples Test

Levene’s Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means

Sig. Sig. (2-tailed)

Equal variances assumed 0,943 0,802

Equal variances not assumed 0,802

Tabel 5 Perbedaan Nilai FEV1 Post Pursed Lips Breathing dan Six Minutes Walk Test

KelompokPeningkatan

P ValueMean SD

Pursed lips breathing 74,71 24,66 0,444Six minutes walk test 69,37 18,57

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 106: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

105JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Sundoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati (2010) yang menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia akan terjadi penurunan fungsi paru, salah satunya penurunan nilai FEV1. Hasil Riskesdas tahun 2013 juga menyimpulkan bahwa prevalensi COPD meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dengan prevalensi COPD berdasarkan karakteristik kelompok usia 55–64 sebesar 5,6% (Kemenkes RI, 2013). Menurut GOLD (2016), usia merupakan salah satu faktor terjadinya COPD. Hal tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bridevaux et al. (2010) tentang prevalensi COPD di Swiss dengan subyek penelitian berjumlah 6.126 orang yang menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi COPD seiring dengan bertambahnya usia, yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan prevalensi antara kelompok usia 50–59 tahun (laki-laki 9,2%, perempuan 5,4%) dengan kelompok usia 60–69 tahun (laki-laki 15,2%, perempuan 7,4%).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin responden pada kelompok pursed lips breathing sama besarnya antara laki-laki dan perempuan, yakni masing-masing sebanyak 10 orang (50%), sedangkan responden kelompok six minutes walk test mayoritas berjenis kelamin perempuan, yakni sebanyak 13 orang (65%). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Denguezli et al. (2016) pada 1.017 penderita COPD dengan mayoritas berjenis kelamin perempuan sebanyak 386 orang (53,83%). Penelitian lain dilakukan oleh Hagstad et al. (2012) yang menyatakan bahwa dari 770 penderita COPD didapatkan sebanyak 469 orang diantaranya berjenis kelamin perempuan. Penderita COPD perempuan dalam perkembangannya diketahui mengalami peningkatan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh van Germet et al. (2015) terhadap 588 penderita COPD yang menyatakan bahwa 297 responden (51%) berjenis kelamin perempuan. Penelitian serupa dilakukan oleh Hagstad et al. (2013) terhadap 2.118 penderita COPD, hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa dari total responden didapatkan sebanyak 1.251 orang (59,1%) adalah berjenis kelamin perempuan. Penelitian tersebut mendapatkan kesimpulan bahwa perokok pasif menjadi

salah satu faktor penyebab COPD pada perempuan. Penelitian serupa dilakukan oleh Zhou et al. (2009) yang menyatakan bahwa dari total responden 12.471 penderita COPD didapatkan sebanyak 10.236 orang adalah berjenis kelamin perempuan, salah satu faktor penyebabnya diakibatkan karena perokok pasif. Faktor resiko COPD pada perempuan juga dapat disebabkan karena asap biomassa yang didapatkan saat memasak (GOLD, 2016). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2007) terhadap 3.286 responden didapatkan sebanyak 1306 orang (39.8%) menggunakan bahan bakar biomassa untuk memasak. Penelitian serupa dilakukan oleh Ramirez-Venegas et al. (2014) terhadap 414 perempuan penderita COPD, didapatkan kesimpulan bahwa dari total responden sebanyak 112 orang (27%) disebabkan karesa asap biomasaa.

Responden pada penelitian ini mayoritas mempunyai IMT (Indeks Masa Tubuh) normal baik pada kelompok pursed lips breathing maupun kelompok six minutes walk test, yakni masing-masing sebanyak 13 orang (65%) dan 16 orang (80%). IMT merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan fungsi paru. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra (2015) terhadap 70 mahasiswa laki-laki, didapatkan kesimpulan bahwa responden dengan IMT >25 Kg/m2 terjadi penurunan nilai FEV1. Penelitian lain dilakukan oleh Pinzon (1999) terhadap 66 mahasiswa kedokteran UGM yang menyimpulkan bahwa kapasitas vital paru seseorang dipengaruhi indeks massa tubuh, individu dengan indeks massa tubuh yang berlebih akan mempunyai persentase kapasitas vital paru lebih rendah daripada individu dengan indeks massa tubuh normal atau kurus. Obesitas dapat menyebabkan kerja pernapasan meningkat karena adanya penurunan compliance dinding dada dan kekuatan otot pernapasan (Poulain et al., 2006). Compliance paru merupakan upaya untuk meregangkan atau mengembangkan paru, semakin kecil compliance semakin besar kerja dinding dada yang harus dilakukan untuk mengembangkan paru (Sherwood, 2011).

Merokok masih merupakan penyebab utama COPD, baik perokok aktif maupun pasif (WHO, 2015). Menurut Wahyuningsih

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 107: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

106 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

(2011) dalam Hartini (2012), pada tahun 2010 Indonesia menempati urutan ke-tiga dunia dengan jumlah perokok terbanyak setelah China 300 juta, India 120 juta, dan Indonesia 82 juta perokok. Halbert et al. (2006) melakukan systematic review dan meta-analysis terhadap 67 artikel penelitian terkait COPD, didapatkan hasil bahwa merokok menjadi penyebab utama COPD dengan prevalensi 15,2% dari total populasi 24.122 orang. Menurut review yang dilakukan oleh Lõpez-Campos (2016), juga disimpulkan bahwa merokok merupakan penyebab utama dan faktor risiko yang paling dominan terhadap terjadinya COPD. Namun, dalam perkembangannya penderita COPD tidak merokok juga mengalami kenaikan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini yang menyatakan bahwa mayoritas responden tidak merokok, baik pada kelompok pursed lips breathing maupun kelompok six minutes walk test, yakni masing-masing sebanyak 18 orang (90%). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lamprecht et al. (2011) yang menyatakan bahwa dari 10.000 subyek penelitian didapatkan penderita COPD yang tidak merokok sebanyak 4.291 orang (42,9%), artinya bahwa penderita COPD yang tidak merokok pada penelitian tersebut jumlahnya juga tidak berbeda jauh dengan penderita yang merokok. Penelitian lain dilakukan oleh Denguezli et al. (2016) yang menyatakan bahwa dari 717 responden didapatkan 521 orang (72,66%) adalah responden dengan status tidak merokok.

Responden dalam penelitian ini mayoritas tidak merokok kemungkinan dikarenakan responden merupakan perokok pasif atau terpapar polusi udara, misalnya asap biomassa yang didapatkan dari bahan bakar memasak. Responden dalam penelitian ini mayoritas tinggal di daerah pedesaan, sehingga kemungkinan penggunan bahan bahar biomassa untuk memasak masih cukup tinggi. Hal tersebut sesuai dengan hasil Riskesdas tahun 2013 yang menyatakan bahwa penggunaan bahan bakar biomassa di pedesaan masih cukup tinggi yaitu sebesar 51,7% (Kemenkes RI, 2013). Menurut hasil Riskesdas tahun 2010, bahwa prevalensi perokok di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sebesar 31,6%, dan sebanyak

66,1% masih merokok di dalam rumah, serta persentase rumah tangga bebas asap rokok di DIY baru mencapai 44,6%, sehingga dapat disimpulkan bahwa angka perokok pasif di DIY masih cukup tinggi (Dinkes DIY, 2013).Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pada kedua intervensi dengan p value < 0,05, yaitu pada kelompok pursed lips breathing sebesar 0,002 dan pada kelompok six minutes walk test sebesar 0,009. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2015) yang menyimpulkan bahwa pursed lips breathing dapat meningkatkan nilai FEV1. Penelitian lain dilakukan oleh Bhatt et al. (2012) terhadap 14 pasien COPD stabil yang mendapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan nilai FEV1 setelah dilakukan PLB selama 10 menit. Six minutes walk test juga dapat meningkatkan nilai FEV1. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fujimoto et al. (2010) yang menyimpulkan bahwa 6WMT mempunyai hubungan yang signifikan dengan FEV1. Penelitian lain dilakukan oleh Wibmer et al. (2014) terhadap 45 penderita COPD stabil yang menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan nilai FEV1 yang signifikan setelah dilakukan 6MWT.

Pursed lips breathing merupakan latihan pernapasan dengan merapatkan bibir bertujuan untuk melambatkan ekspirasi, mencegah kolaps unit paru, dan membantu pasien untuk mengendalikan frekuensi pernapasan serta kedalaman pernapasan, sehingga pasien dapat mencapai kontrol terhadap dispnea dan perasaan panik (Smeltzer & Bare, 2010). Penderita COPD biasanya merasa kesulitan melakukan ekspirasi daripada inspirasi, karena kecenderungan menutupnya saluran napas sangat meningkat akibat tekanan ekstra positif dalam dada selama ekspirasi (Guyton and Hall, 2007). Mengerucutkan bibir pernapasan membantu penderita COPD untuk mengosongkan paru-paru dan memperlambat laju pernapasan. PLB membantu untuk mengembalikan posisi diafragma yang merupakan otot pernapasan yang terletak di bawah paru-paru. Biasanya, ketika inspirasi diafragma melengkung, paru-paru mengembang dan diafragma bergerak

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 108: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

107JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

ke bawah. PLB juga menyebabkan otot perut berkontraksi ketika ekspirasi, hal ini akan memaksa diafragma ke atas, dan membantu untuk mengosongkan paru-paru, akibatnya penderita COPD akan bernapas lebih lambat dan lebih efisien (Petty, Burns & Tiep, 2005). Setelah penderita COPD bernapas lebih lambat dan lebih efisien, diharapkan pasien dapat melakukan ekpsirasi dengan maksimal yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai FEV1 dari hasil spirometri. FEV1 merupakan volume di detik pertama pada ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal dan merupakan ukuran dari seberapa cepat paru-paru dapat dikosongkan (Reid & Chung, 2004). FEV1 pada keadaan normal adalah sekitar 80% dari vital capacity yang berarti dalam keadaan normal 80% udara dapat dihembuskan secara paksa dalam satu detik dari paru yang telah mengembang secara maksimal (Sherwood, 2011).

Pursed lips Breathing menyebabkan peningkatan tekanan pada rongga mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air trapping dan kolaps saluran nafas kecil pada waktu ekspirasi. Apabila terjadi peningkatan tekanan pada rongga mulut, kemudian tekanan ini diteruskan melalui cabang-cabang bronkus maka akan meningkatkan nilai FEV1 (Smeltzer & Bare, 2010). Latihan pernapasan dengan teknik pursed lips breathing membantu meningkatkan compliance paru untuk melatih kembali otot pernapasan berfungsi dengan baik serta mencegah disstres pernapasan (Ignatavius & Workman, 2006). Pursed lips breathing dapat mencegah atelektasis dan meningkatkan fungsi ventilasi pada paru, serta pemulihan kemampuan otot pernapasan akan meningkatkan compliance paru sehingga membantu ventilasi lebih adekuat dan menunjang oksigenasi jaringan (Westerdhal , 2005).

Pursed lips breathing merupakan latihan pernapasan yang menekankan pada proses ekspirasi dengan tujuan untuk mempermudah proses pengeluaran udara yang terjebak. Melalui teknik ini, udara yang keluar akan dihambat oleh kedua bibir, dan akan menyebabkan tekanan dalam rongga mulut lebih positif (Nurbasuki, 2008). Pursed lips

breathing juga dapat menurunkan sesak napas, sehingga pasien dapat toleransi terhadap aktivitas dan meningkatkan kemampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika teknik ini dilakukan secara rutin dan benar, dapat mengoptimalkan fungsi mekanik paru, membatasi peningkatan volume akhir ekspirasi paru dan mencegah efek hiperinflasi (Sheadan, 2006 dalam Ariestianti et al, 2014). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pereira de Araujo et al. (2015) terhadap 25 pasien COPD yang menyimpulkan bahwa pursed lips breathing dapat menurunkan hiperinflasi.

Rehabilitasi paru dapat berupa latihan fisik dan latihan pernapasan (Kemenkes RI, 2008). Latihan fisik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan fungsi paru adalah six minutes walk test, merupakan latihan endurance (ketahanan) yang dilakukan di dalam ruangan dengan jalan yang lurus dan datar sejauh 30 meter (American Thoracic Society, 2012). Latihan endurance mempunyai keuntungan yaitu kapasitas paru dapat meningkat dan memperkuat otot jantung, sehingga dapat meningkatkan jumlah volume darah (Herman, 2010). Latihan endurance akan menyebabkan toleransi aktivitas penderita COPD meningkat (PDPI, 2003) dan jumlah pasokan O2 di dalam aliran darah paru-paru juga akan meningkat (Suharjana, 2007). Six minutes walk test merupakan latihan endurance (ketahanan) yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas paru dan memperkuat otot jantung, sehingga dapat meningkatkan jumlah volume darah (Herman, 2010). Latihan fisik seperti berjalan kaki akan merangsang saraf simpatis pada otot termasuk otot pernapasan untuk mengeluarkan norepinefrin dan epinefrin untuk berikatan dengan reseptor α sehingga otot pernapasan berkontraksi (Guyton & Hall, 2007). Ketika otot ekspirasi berkontraksi (otot dinding abdomen), terjadi peningkatan tekanan intra abdomen yang menimbulkan gaya ke atas pada diafragma, mendorongnya semakin ke atas ke dalam rongga thoraks, ukuran vertikal rongga thoraks menjadi semakin kecil, sehingga ekspirasi menjadi aktif (paksa) untuk mengosongkan paru secara lebih tuntas (Sherwood, 2011).

Latihan jalan juga dapat memperbaiki otot pernapasan, sehingga daya elastisitas paru

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 109: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

108 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

(recoil) dapat terjaga. Kondisi tersebut dapat membuka ruang baru yang dapat digunakan alveoli dalam pertukaran gas. Proses tersebut dapat memperbaiki fungsi paru-paru dalam pemenuhan kebutuhan oksigen dari udara agar dapat digunakan oleh tubuh (Kuntaraf, 1996). Selama latihan fisik, jumlah oksigen yang memasuki aliran darah paru akan meningkat karena adanya kenaikan jumlah oksigen yang ditambahkan pada tiap satuan darah dan bertambahnya aliran darah paru per menit (Ganong, 2008). Kerja fisik akan menyebabkan ventilasi alveolus meningkat dan memperbesar kapasitas difusi membran pernapasan, sehingga akan meningkatkan oksigenasi darah (Guyton & Hall, 2007). Peningkatan asupan O2 pada paru-paru akan menyebabkan relaksasi otot polos arteriol paru dan dilatasi pembuluh darah paru, sehingga terjadi penurunan resistensi vaskular paru dan peningkatan aliran darah. Peningkatan asupan O2 juga akan membantu sel-sel otot pernapasan membentuk adenosin trifosfat (ATP) yang merupakan satu-satunya sumber energi kontraksi otot, sehingga otot pernapasan lebih mampu berkontraksi untuk menghasilkan ekspirasi aktif atau paksa (Sherwood, 2011).

Pursed lips breathing maupun six minutes walk test sama-sama mampu meningkatkan nilai FEV1. Namun, tidak ada perbedaan peningkatan nilai FEV1 yang signifikan antara kelompok pursed lips breathing dengan kelompok six minutes walk test yang ditunjukkan dengan p value 0,117 (p > 0,05). Rata-rata pada kelompok pursed lips breathing sebesar 12,86 (standar deviasi 16,37), sedangkan pada kelompok six minutes walk test sebesar 6,09 (standar deviasi 9,37). Berdasarkan nilai rata-rata tersebut, pursed lips breathing mempunyai kecenderungan lebih besar dalam meningkatkan nilai FEV1 daripada six minutes walk test. Hal tersebut dikarenakan pursed lips breathing lebih dapat melatih otot pernapasan untuk memperpanjang ekspirasi dan meningkatkan tahanan jalan napas ketika ekspirasi, sehingga dapat mengurangi resisten jalan napas dan udara yang terjebak, serta sesak napas.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa six minutes walk test sebenarnya juga

dapat meningkatkan nilai FEV1, tetapi peningkatannya lebih kecil dibanding pursed lips breathing. Hal ini kemungkinan dikarenakan six minutes walk test tidak secara langsung melatih pernapasan seperti pursed lips breathing yang membantu penderita COPD dapat melakukan ekspirasi lebih efisien yang ditunjukkan dengan ekspirasi yang memanjang (Petty et al., 2005). Six minutes walk test untuk dapat meningkatkan FEV1 harus melalui beberapa proses yaitu mulai dari peningkatan asupan O2 yang diperoleh dari aktivitas fisik hingga pembentukan ATP sebagai bahan kontraksi otot pernapasan untuk menghasilkan ekspirasi paksa (Sherwood, 2011).

Simpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan nilai FEV1 yang signifikan antara sebelum dan sesudah pursed lips breathing dan six minutes walk test pada pasien COPD stabil di RS Paru Respira Yogyakarta. Pursed lips breathing mempunyai kecenderungan yang lebih besar dalam meningkatkan nilai FEV1 dibandingkan dengan six minutes walk test.

Daftar Pustaka

Abidin, A., Yunus, F., Wiyono, W. H., & Ratnawati, A. (2009). Manfaat rehabilitasi paru dalam meningkatkan atau mempertahankan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien penyakit paru obstruktif kronik di RSUP Persahabatan. Jurnal Respirologi Indonesia, 29(2).

Aini, F., Sitorus, R., & Budiharto. (2008). Pengaruh breathing retraining terhadap peningkatan fungsi paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK. Jurnal Keperawatan Indonesia, 12(1)29–33.

American Thoracic Society (ATS). (2002). ATS Statement: Guidelines for the six-minute walk test. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 166. Retrieved

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 110: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

109JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

from https://www.thoracic.org/copd-guidelines/for-patients/what-is-chronic-obstructive-pulmonary-disease-copd.php.

American Thoracic Society (ATS). (2013). An Official American thoracic society/European respiratory society statement: Key concepts and advances in pulmonary rehabilitation. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, Volume 188(8): 13–64. Retrieved from https://www.thoracic.org/statements/resources/copd/PRExecutive_Summary2013.pdf.

Ariestianti, I., Pangkahila, J. A., & Purnawati, S. (2014). Pemberian diaphragmatic breathing sama baik dengan pursed lips breathing dalam meningkatkan arus puncak ekspirasi pada perokok aktif anggota club motor Yamaha vixion Bali di Denpasar. Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, 1(1), Retrieved from http://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi/article/view/8473/6317.

Asih, N.G.Y. & Effendy, C. (2003). Keperawatan medikal bedah: Klien dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: EGC.Bhatt, S. P., Arafath, T. K. Luqman, G., Arun K., Mohan, A., Stoltzfus, J. C., Dey, T., Nanda, S., & Guleria, R. (2012). Volitional pursed lips breathing in patients with stable chronic obstructive pulmonary disease improves exercise capacity. Chronic Respiratory Disease, 10(1) 5–10.

Bridevaux, P. O., Probst-Hensch, N. M., Schindler, C., Curjuric, I., Dietrich F. D., Braendli, O., Brutsche, M., Burdet, L., Frey, M., Gerbase, M. W., Ackermann-Liebrich, U., Pons, M., Tschopp, J. M., Rochat, T., & Russi, E. W. (2010). Prevalence of airflow obstruction in smokers and never-smokers in Switzerland. European Respiratory Journal, 36(6), pp.1259–1269.

Denguezli, M., Daldoul, H., Harrabi, I. Gnatiuc, L., Coton, S., Burney, P., & Tabk Z. (2016). COPD in Nonsmokers: Reports from the Tunisian population-based burden of obstructive lung disease study. PLoS One, 11(3), Retrieved from http://search.proquest.

com/docview/1775626215?accountid =38628.

Dewi, S.K. (2015). Pengaruh pursed lips breathing terhadap nilai FEV1 padapenderita PPOK di RS Paru DR Ario Wirawan Salatiga. Skripsi. Surakarta: Program Studi Fisioterapi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Dinkes DIY. (2013). Profil kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013. Yogyakarta: Dinas kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Fujimoto, H., Asai, K., Watanabe, T., Kanazawa, H., & Hirata, K. (2011). Association of six-minute walk distance (6MWD) with resting pulmonary function in patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Osaka Citi Medical Journal, 57, 21–29.

Ganong, W.F. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran, Edisi 22, diterjemahkan oleh Pendit, B.U. Jakarta: EGC.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2016). Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease updated. Retrieved from http://goldcopd.org/gold-reports/.

Guyton, A.C & Hall, J.E. (2007). Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi 11, diterjemahkan oleh Irawati, Ramadhani, D., Indriyani, F., Dany, F., Nuryanto, I., Rianti, S.S.P., Resmisari, T., & Suyono, Y. Jakarta: EGC.

Hagstad, S., Ekerljung, L., Lindberg, A., Backman, H., Ronmark, E., & Lundback, B. (2012). COPD among non-smokers - report from the obstructive lung disease in Northern Sweden (OLIN) studies, Respiratory medicine, 106(7), pp.980–8. Retrieved from http://www.resmedjournal.com/article/ S0954611112001205/fulltext.

Hagstad, S., Bjerg, A., Ekerljung, L., Backman, H., Lindberg, A., Rönmark, E., & Lundbäck, B. (2013). Passive smoking

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 111: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

110 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

exposure is associated with increased risk of COPD in never smokers. Chest. doi:10.1378/chest.13-1349.

Halbert R. J., Natoli, J. L., Gano A., Badamgarav, E., Buist, A. S. , & Mannino. (2006). Global burden of COPD: Systematic review and meta-analysis. European Respiratory Journal, 28 (3): 523–32. doi:10.1183/09031936.06.00124605.

Hartini, H. (2012). Tipe perilaku merokok pada remaja perokok di SMP NEGERI 1 Jatinangor. Students e-Journal, 1(1), 29.

Herman. (2010). Pengaruh latihan terhadap fungsi otot dan pernapasan. ILARA, 1.

Hidayat, A. A. (2009). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data. Jakarta: Salemba Medika.

Ignatavicius & Workman. (2006). Medical surgical nurshing critical thingking for collaborative care, Vol. 2. Ohia:Elsevier Sauders.

Imania, D. R., Tirtayasa, K., & Lesmana, S. I. (2015). Breathing exercise sama baiknya dalam meningkatkan kapasitas vital (KV) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada tenaga sortasi yang mengalami gangguan paru di pabrik teh PT. Candiloka Jamus Ngawi. Sport and Fitness Journal, 3, (3): 38–49.

Kemenkes RI. (2008). Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik. Jakarta: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/Menkes/SK.XI/2008.Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar: Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Khotimah, S. (2013). Latihan endurance meningkatkan kualitas hidup lebih baik dari pada latihan pernapasan pada pasien PPOK di BP4 Yogyakarta. Sport and Fitness, 1, pp.20 – 32.

Kumar, V., Cotran, R.S. & Robbins, S.L.

(2007). Buku ajar patologi, edisi 7, volume 2, diterjemahkan oleh Pendit, B.U. Jakarta: EGC.

Kuntaraf, K. L. & Kuntaraf, J. (1996). Olahraga Sumber Kesehatan. Bandung: Indonesia Publishing House.

Lamprecht, B., McBurnie, M. A., Vollmer, W. M., Gudmundsson, G., Welte T., Nizankowska-Mogilnicka, E., Studnicka, M., Bateman, E., Anto J. M., Burney, P., Mannino. D. M., & Buist, S. A. (2011). COPD in never smokers: Results from the population-based burden of obstructive lung disease study. Chest. doi:10.1378/chest.10-1253.

Liu, S., Zhou, Y., Wang, X., Wang, D., Lu, J., Zheng, J., Zhong, N., & Ran, P. Biomass fuels are the probable risk factor for chronic obstructive pulmonary disease in rural South China. Thorax, 62, 889–897. doi:10.1136/thx.2006.061457.

Lõpez-Campos, J. L., Tan, W., & Soriano, J. B. (2016). Global burden of COPD. Respirology, 21(1), pp.14–23.

McPhee, S. J. & Ganong, W. F. (2010). Patofisiologi penyakit: Pengantar menuju kedokteran klinis, edisi 5, diterjemahkan oleh Pendit, B.U. Jakarta: EGC.

Miller, M. R., Hankinson, J., Brusasco, V., Burgos, F., Casaburi, R., Coates, A., Crapo, R., Enright, P., van der Grinten, C. P. M., Gustafsson, P., Jensen, R., Johnson, D. C., MacIntyre, N., McKay, R., Navajas, D., Pedersen, O. F., Pellegrino, R., Viegi, G., & Wanger, J. (2005). Standardisation of spirometry. European Respiratory Journal, 26,(2). doi: 10.1183/09031936.05.00034805.

Nuraeni, A., Mirwanti, R., Anna, A., & Prawesti, A. (2016). Faktor yang Memengaruhi Kualitas Hidup Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(2).

Nurbasuki. (2008). Handout FT Kardiopulmonal, Hal 34–76. Surakarta: Akademi Fisioterapi Surakarta.

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 112: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

111JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Oemiati, R. (2013). Kajian epidemiologis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Media Litbangkes, 23(2), pp.82–88.

Pereira de Araujo, C. L., Karloh, M., Martins dos Reis, C., Palú, M., & Mayer A. F. (2015). Pursed-lips breathing reduces dynamic hiperinflation induced by activities of daily living test in patients with chronic obstructive pulmonary disease: a randomized cross over study. Journal Rehabilitation Medical, 47: 957–962. Retrieved from http://www.ingentaconnect.com/content/mjl/sreh/ 2015/00000047/00000010/art00009?crawler=true&mimetype=application/pdf.

Petty, T. L., Burns, M. & Tiep, B. L. (2005). Essentials of pulmonary rehabilitation: A do it yourself guide to enjoying life with chronic lung disease. California: Lomita.

Pinzon, R. (1999). Hubungan indeks massa tubuh dengan kapasitas vital paru-paru golongan usia muda. Buletin Penelitian Kesehatan UGM, 26(1), 1998/1999.

Poulain, M., Doucet, M., Major, G. C., Drapeau, V., Series, F., Boulet, L., Tremblay, A., & Maltais, F. (2006). The effect of obesity on chronic respiratory diseases: pathophysiology and therapeutic strategies.Canadian Medical Association Journal, 74,(9). doi:10.1503/cmaj.051299. Retrieved from http://www.cmaj.ca/content/174/9/1293.long.

Price, S.A. & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit, Edisi 6, diterjemahkan oleh Pendit, B. U., Hartanto, H., Wulansari, P., & Mahanani, D. A. Jakarta: EGC.

Putra, D. H. S. (2015). Perbedaan nilai rerata VEP1 % prediksi dan VEP1/KVP % antara orang dengan indeks massa tubuh normal dan diatas normal di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Surakarta: Fakultas Kedokteran Univeritas Muhammadiyah Surakarta.

Raherison, C. & Girodet, P. O. (2009). Epidemiology of COPD. European

Respiratory Review, 18(114), pp.213–221.

Ramırez-Venegas, A., Sansores,R. H., H., Roger, Quintana-Carrillo, Vel azquez-Uncal, M., J., Rafael, Hernandez-Zenteno, Sanchez-Romero, C., Velazquez-Montero, A., & Flores-Trujillo, F. (2014). FEV1 Decline in patients with chronic obstructive pulmonary disease associated with biomass exposure. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 190,(9), 996–1002. Retrieved from http://www.atsjournals.org/doi/full/10.1164/rccm.201404-0720OC#readcube-epdf. doi:10.1164/rccm.201404-0720OC.

Reid, W. D. & Chung, F. (2004). Clinical management notes and case histrories in cardiopulmonary physical therapy. USA: SLACK Incorporated.

Rekam medik, RS Paru Respira. (2016). Laporan data 10 besar penyakit RS Paru Respira Yogyakarta. Yogyakarta: RS Paru Respira Yogyakarta.

Riwidikdo, H. (2009). Statistik kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.

Saryono. (2009). Metodologi penelitian kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.Saryono. (2011). Metodologi penelitian keperawatan, Purwokerto: UPT. Percetakan dan Penerbitan Unsoed.

Sherwood, L. (2011). Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem, Edisi 6, diterjemahkan oleh Pendit, B. U. Jakarta: EGC.

Sitinjak, V. M., Hastuti, M. F., & Nurfianti, A. (2016). Pengaruh Senam Rematik terhadap Perubahan Skala Nyeri pada Lanjut Usia dengan Osteoarthritis Lutut. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(2).

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2010). Brunner & suddarth's Textbook of Medical-surgical Nursing10th edition. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers.

Smeltzer, S. C. & Bare, B.G. (2013). Keperawatan medikal-bedah Brunner & Suddarth, edisi, diterjemahkan oleh Yulianti,

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 113: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

112 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

D.& Kimin, A., Jakarta: EGC.

Suharjana. (2007). Latihan endurance dan ventilasi paru. Medikora, 3,(2), 149–172. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi FIK UNY.

Sundoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K. M., & Setiati, S. (2010). Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Terzikhan, N., Verhamme, K. M. C., Hofman, A., Stricker, B. H., Brusselle, G. G., & Lahousse, L. (2016). Prevalence and incidence of COPD in smokers and non-smokers: the Rotterdam Study. European Journal of Epidemiology, pp.1–8.

van Gemert, F., Kirenga, B., Chavannes, N., Luzige, S. K. M., Musinguzi, P., Turyagaruka, J., Jones, R., Tsiligianni, I., Williams, S. de Jong, C., &van der Molen, T.(2015). Prevalence of chronic obstructive pulmonary disease and associated risk factors in Uganda (FRESH AIR Uganda): a prospective cross-sectional observational study. The Lancet. Global health, 3(1), pp.e44–51. Retrieved from http://www.thelancet.com/article/

S2214109X14703377/ fulltext .

Westerdahl, E., Lindmark, B., Eriksson, T., Friberg, O., Hedenstierna, G., & Tenling, A. (2005). Deep-breathing exercises reduce atelectasis and improve pulmonary function after coronary artery bypass surgery.Chest, 128(5),3482-8. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16304303.

World Health Organization (WHO). (2015). Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Retrieved from http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/.

Wibmer, T., Rudiger, S., Sanchen, C. K., Stoiber, K. M., Rottbauer, W., & Schumann, C. (2014). Relation of exercise capacity with lung volumes before and after 6-minute walk test in subjects with COPD. Respiratory Care, 59(11).

Zhou, Y., Wang, C., Yao, W., Chen, P., Kang, J., Huang, S., Chen, B., Wang, C., Ni, D., Wang, X., Wang, D., Liu, S., Lu, J., Zheng, J., Zhong, N., & Ran, P. (2007). COPD in Chinese nonsmokers. European Respiratory Journal, Volume 33(3): 509–518. doi:10.1183/09031936.00084408.

Eko Suryantoro : Perbedaan Efektivitas Pursed Lips Breathing dengan Six Minutes Walk Test

Page 114: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

113JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pengaruh Swedish Massage Therapy terhadap Tingkat Kualitas Hidup Penderita Leukemia

Usia Sekolah

Dewi Umu Kulsum1, Henny Suzana Mediani2, Argi Virgona Bangun3

1,3Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi, 2Fakultas keperawatan Universitas PadjadjaranEmail: [email protected]

Abstrak

Di Indonesia ALL menduduki peringkat tertinggi kanker pada anak yang menyebabkan kematian. Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan jangka waktu yang lama dan paling sering dilakukan, dimana dapat menyebabkan efek samping yang mengganggu fungsi fisik dan fungsi psikososial. Fenomena di Rumah Cinta Anak Kanker Bandung pun menggambarkan dimana angka kejadian penderita leukemia pada anak cenderung meningkat dan berfokus pada conservative therapy. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh swedish massage therapy terhadap tingkat kualitas hidup penderita leukemia usia sekolah di Rumah Cinta Anak Kanker Bandung. Metode penelitian menggunakan quasi eksperimen dengan nonequivalent control group design with pretest and posttest. Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah yang berjumlah 34 orang (masing–masing grup 17 orang) dengan menggunakan consecutive sampling. Instrumen penelitian menggunakan PedsQL general score dan cancer module yang berstandar internasional. Prosedur yang digunakan pada penelitian ini adalah tindakan swedish massage therapy yang dilakukan langsung oleh peneliti. Analisis data yang digunakan adalah paired t-test dan independent t-test.Hasil penelitian menggambarkan terdapat perbedaan kualitas hidup pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah dilakukan swedish massage therapy (p = 0,000 pada α = 5). Hasil penelitian merekomendasikan bahwa swedish massage therapy bisa dipakai sebagai metode alternatif dalam meningkatkan kualitas hidup penderita leukemia usia sekolah.

Kata kunci: Kualitas hidup, leukemia, swedish massage therapy.

The Effect Of Swedish Massage Over Leukemia Sufferer’s Quality Of Life Of School Age

Abstract

In Indonesia the ALL is the highest ranked cancer in children that causes of death in children. Chemotherapy is the treatment of cancer with a long period of time and most often done which can cause side effects that interfere with the function of physical and psychosocial function. The phenomenon at Rumah Cinta Anak Kanker Bandung describes where the numbers of sufferers of leukemia incidence in children trend to rise and focused on conservative therapy. The purpose of this research was to knew the effect of swedish massage therapy over leukemia sufferer’s quality of life level of school age Rumah Cinta Anak Kanker Bandung.The research method was quasy experiment with nonequivalent control group design with pretest and posttest. The samples in this study were 34 people (each group of 17 people) using consecutive sampling. The instruments were PedsQL general score and cancer module that international standard. The procedures in this research was the act of swedish massage therapy was done directly by the researchers. The analysis of the data were used the paired t-test and the independent t-test.The results of the research showed that proves there was a difference in quality of life before and after the intervention groups did swedish massage therapy p = 0.000 at α = 5. The results of the study recommended that swedish massage therapy could be used as an alternative method to improving the quality of life of sufferers school age.

Keywords : Leukemia, quality of life, swedish massage therapy

Page 115: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

114 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pendahuluan

Istilah “kanker anak” adalah yang paling sering digunakan untuk menunjuk kanker yang timbul pada anak-anak sebelum usia 15 tahun (WHO, 2009). Menurut National Cancer Institute (2009), ALL merupakan kanker yang menyerang sel darah putih yang sering terjadi pada anak sekitar 68,9% dari semua kasus leukemia pada anak. Di Indonesia ALL menduduki peringkat tertinggi kanker pada anak yang menyebabkan kematian pada anak-anak. Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) merupakan salah satu jenis leukemia dengan karekteristik adanya proliferasi dan akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali dan kegagalan organ (Nurarif & Kusuma, 2015). Pasien kanker pediatrik sering mengalami gejala yang merugikan, dan umumnya tidak mudah diketahui secara dini karena berkembang secara lambat sampai stadium lanjut (Corwin, 2009; Landolt & Vollrath, 2006).

Sekitar 74% anak penderita kanker yang menjalani pengobatan akan bertahan hidup selama 5 tahun setelah terdiagnosis (Hockenberry & Wilson, 2009). Pengobatan bagi ALL bertujuan menghancurkan sel neoplastik dan remisi lengkap dengan pengembalian fungsi normal sumsum tulang belakang, sekitar 70%-80% mencapai remisi lengkap dimana penderita kanker 35%-45% bertahan hidup 2–5 tahun atau lebih lama (Black & Hawks, 2014). Regimen terapi kanker ALL jenis OAINS dan agens kemoterapi pada umumnya menimbulkan efek samping yang menyebabkan nyeri. Selain itu, pengobatan kanker membutuhkan waktu yang lama, tidak sedikit menyebabkan penderita menjadi frustasi. Di samping harga obat yang umumnya mahal, adanya ketidakpuasan pengobatan konvensional sehingga banyak masyarakat yang menggunakan terapi komplementer sebagai alternatif pengobatan (Kemper et al., 2008). Alasan lainnya karena orang tua pasien ingin terlibat untuk pengambilan keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup anak–anaknya dibandingkan sebelumnya, serta memiliki reaksi positif efek samping dari pengobatan konvensional yang diterima dari sejumlah pasien (Snyder & Lindquis,

2014). Penatalaksanaan pada ALL bersifat

conservative therapy yang berarti suatu perawatan yang dilakukan untuk menghindari prosedur operasi dan juga bersifat supportive care yang artinya perawatan yang diberikan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penyakit serius atau mengancam kehidupan. Supportive care kadang disebut dengan perawatan paliatif dan manajemen gejala, yang bertujuan untuk mencegah atau mengobati gejala penyakit, efek samping yang disebabkan oleh pengobatan penyakit serius seperti kanker. Salah satu intervensi supportive care adalah terapi komplementer yang telah digunakan oleh tenaga perawat oncology hingga saat ini (Somani et al., 2014). Di Indonesia sudah berdiri Himpunan Perawat Onkologi Indonesia (Himponi) namun belum banyak perawat onkologi, akan tetapi perawat anak bisa melakukan terapi komplementer tersebut. Dukungan dari assosiasi Complementary/ Alternative Medicine for Pediatric oleh The American Academy of Pediatrics yang berdiri di tahun 2005 menjadikan bagian dari sistem perawatan di dunia (Kemper et al., 2008). National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM) membuat klasifikasi dalam lima kategori salah satunya adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh yang dikenal dengan massage therapy (Snyder & Lindquis, 2014). Swedish Massage Therapy merupakan pijat klasik dasar dari semua metode pijatan yang dikembangakan sejak abad ke-19 untuk peningkatan kesehatan dan terapi membantu orang sakit (Clavert, 2002; Beck, 2010).

Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Haun et al. (2015) bertujuan menentukan kelayakan tehnik Swedish Massage Therapy. Pada penelitian tersebut dilakukan randomisasi (non-blinded prospective study) pada penderita leukemia, dan menyatakan bahwa secara signifikan adanya penurunan ketidaknyamanan, mengurangi nyeri otot dan laju pernafasan pada fungsi fisiologis, sedangkan pada fungsi psikologis menurunkan tingkat kecemasan dan emosional, di samping itu pada fungsi psychophysiologic dapat meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, serta meminimalkan risiko infeksi.

Penelitian oleh Mazlum et al. (2013)

Dewi Umu Kulsum : Pengaruh Swedish Massage Therapy Terhadap Tingkat Kualitas Hidup

Page 116: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

115JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

dilakukan dengan tujuan yang sama untuk menemukan pengaruh Swedish Massage Therapy pada pasien anak kanker, dalam mengatasi efek samping kemoterapi selama regimen terapi. Hasil penelitian tersebut ditemukan penurunan yang signifikan terhadap intensitas, frekuensi, dan insiden mual dan muntah, dan juga durasi mual.

Penjelasan hasil kedua studi diatas menunjukkan terapi komplementer dengan Swedish Massage Therapy menjadi pilihan yang direkomendasikan khususnya pada ALL sebagai pengobatan pendamping mengatasi gejala kanker dan gejala efek samping akibat kemoterapi, sehingga memperkuat kerja terapi utama pengobatan kanker. Konsep Swedish Massage Therapy di Indonesia masih belum tersosialiasi dalam penerapannya, bahkan sampai saat belum ada penelitian terkait pengaruh teknik Swedish Massage Therapy terhadap penderita kanker dan atau penyakit yang berhubungan dengan penyakit hematologi pada anak-anak.

Konsep Swedish Massage Therapy memiliki keunggulan dimana sudah dilakukan penelitian tentang keefektifannya pada tingkat tertinggi hierarchy of evidence, terapi ini dapat digunakan pada semua rentang usia, pada anak-anak terapi ini dilakukan untuk stimulasi tumbuh kembang dan palliative care pada kondisi penyakit terminal atau penyakit kronis, intervensi ini bersifat healing touch manipulasi tubuh yang efektif dan efisien. Terapi ini juga mempunyai nilai budaya yang kental secara empiris, dan yang terpenting terapi ini harus dilakukan oleh terapis yang teregistrasi dan bersertifikasi dengan tingkatan kompetensi.

Swedish Massage Therapy efektif untuk populasi pediatrik lain dengan kondisi sehat bahkan kondisi penyakit kronis, antara lain bayi prematur dan terkena HIV, anak-anak dengan asma, cystic fibrosis, reumatik arthritis, menurunkan kadar gula dalam darah pada anak-anak penderita diabetes mellitus type 1 dan 2, serta bermanfaat secara holistik pada sistem tubuh (Haun et al., 2009; Kashanini et al., 2011; Sajedi et al., 2011).

Terapi komplementer sebagai pengobatan, level pencegahan, dan upaya promosi kesehatan meliputi sistem kesehatan, modalitas, praktik dengan adanya teori dan keyakinan dengan menyesuaikan kebiasaan

dan budaya yang ada (Synder & Lindquis, 2014). Penelitian efektifitas terapi pijat yang dilakukan pada anak-anak penderita kanker masih terbatas sehingga meskipun massage therapy menyediakan pilihan yang menjanjikan untuk berbagai populasi pediatrik dengan kanker, tetapi masih jarang dimasukkan kedalam rencana perawatan pasien dan masih sedikitnya data fokus populasi pasien onkologi dan hematologi. (Hughes et al.,2008;2015).

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh swedish massage therapy terhadap tingkat kualitas hidup penderita leukemia usia sekolah di Rumah Cinta Anak Kanker Bandung.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan penelitian quasi eksperimen. Dalam rancangan penelitian ini, dilakukan nonequivalent control group design, tetapi tidak dilakukan randomisasi. Peneliti mengelompokan responden menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan pemilihan responden berdasarkan kriteria inklusi, yaitu responden yang sedang menjalani pengobatan tahap induksi selama 4 minggu dan tahap reinduksi pada sikus 1-2 minggu sekali. Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah di Rumah Cinta Anak Kanker Bandung yang berjumlah 20-30 anak tiap bulan. Jumlah besar sampel dalam penelitian ini pada masing-masing kelompok yaitu 17 responden.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah non probability sampling, dengan menggunakan metode consecutive sampling. Dalam satu waktu pemilihan responden dan pengambilan sampel langsung dibagi dua, yang kemudian dilakukan pre test untuk mengetahui keadaan awal. Setelah dilakukan pre test, peneliti melakukan kontrak waktu dengan orang tua responden pada kelompok intervensi untuk memulai terapi dengan menyesuaikan jadwal kemoterapi sehingga terpenuhinya jumlah sesi terapi 3 kali dalam seminggu dengan waktu pelaksanaan di pagi hari atau di sore hari. Pelaksanaan terapi swedish massage dilakukan langsung oleh peneliti dengan rata-

Dewi Umu Kulsum : Pengaruh Swedish Massage Therapy Terhadap Tingkat Kualitas Hidup

Page 117: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

116 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

rata durasi perlakuan 30 menit.Prinsip-prinsip etik untuk melindungi hak

responden selama penelitian yaitu respect for person dengan menerapkan prinsip the right to protection from harm and discomport. Dalam penelitian ini, prinsip justice diterapkan dengan cara memberikan perlakuan yang sama pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, yaitu dilakukan pre test dan post test. Prinsip justice juga dilakukan pada kelompok kontrol yaitu swedish massage therapy yang akan diberikan pada kelompok kontrol setelah penelitian selesai.

Hasil Penelitian

Karekteristik AnakPeneliti menilai karekteristik responden

pada kedua kelompok menurut usia dan jenis kelamin pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Berdasarkan tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden pada dua

kelompok (kontrol dan intervensi) berada pada rentang usia 8-12 tahun, dimana pada kelompok kontrol sebanyak 12 orang (70,6%) dan kelompok intervensi sebanyak 11 orang (64,7%). Sementara itu, jenis kelamin responden sebagian besar pada dua kelompok (kontrol dan intervensi) adalah laki – laki.

Perbedaan Kualitas Hidup Penderita Leukemia Usia Sekolah pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi

Berdasarkan tabel 2 diatas menunjukkan bahwa rata-rata kualitas hidup responden sebelum dan setelah pengukuran PedsQL 3.0 Cancer Module pada kelompok kontrol adalah senilai 2,34; dan rata-rata kualitas hidup responden sebelum dan setelah pengukuran PedsQL 4.0 General Score pada kelompok kontrol adalah senilai 2,94 dengan p value > 0,05. Sedangkan rata-rata kualitas hidup responden sebelum dan setelah pengukuran PedsQL 3.0 Cancer Module pada kelompok intervensi adalah senilali 8,5 ; dan dan rata-rata kualitas hidup responden sebelum dan setelah pengukuran PedsQL 4.0 General Score pada kelompok intervensi

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karekteristik Anak menurut Usia dan Jenis Kelamin pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di RCAK Bandung Tahun 2016 (n=34)

Karakteristik Kelompok Intervensi (N=17) Kelompok Kontrol (N=17)

N % n %

Usia Young ChildChild (anak)

611

35,364,7

512

29,470,6

Jenis Kelamin

PerempuanLaki – laki

413

23,576,5

413

23,576,5

Tabel 2 Distribusi Rata–Rata Kualitas Hidup Responden Sebelum dan Sesudah Swedish Massage Therapy di RCAK Bandung Tahun 2016 (n=34)

Variabel Kelompok Kontrol (N=17) Kelompok Intervensi (N=17)Kualitas Hidup

PedsQL 3.0 Cancer Module

PedsQL 4.0 General Score

PedsQL 3.0 Cancer Module

PedsQL 4.0 General Score

Pre Post Pre Post Pre Post Pre PostMEAN 62,37 60,03 63,29 60,358 MEAN

RANK1,00

MEAN RANK

9,50

57,544 85,933SD 17,60 16,78 16,07 13,565 16,744 5,4682

SE 4,270 4,070 3,898 3,290 4,0611 1,3262P Value 0,112 0,211 0,000 0,000

Dewi Umu Kulsum : Pengaruh Swedish Massage Therapy Terhadap Tingkat Kualitas Hidup

Page 118: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

117JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

adalah senilai 28,39 dengan p value 0,000. Hal ini menggambarkan bahwa nilai rata–rata kualitas hidup sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan pada kelompok kontrol.

Perbedaan Kualitas Hidup Responden Setelah Dilakukan Terapi antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di RCAK Bandung Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan pada pengukuran dengan PedsQL 3.0 Cancer Module bahwa terdapat perbedaan rata–rata antara kualitas hidup responden pada kelompok intervensi adalah senilai 23,62; sedangkan kelompok kontrol adalah senilai 11,38. Pengujian statistik dengan Uji Mann-Whitney didapatkan nilai p = 0,000. Dengan pengukuran PedsQL 4.0 General Score bahwa terdapat perbedaan rata–rata kualitas hidup responden pada kelompok intervensi adalah senilai 85,9335,; sedangkan kelompok kontrol adalah senilai 60,3581. Pengujian statistik dengan uji t-independent didapatkan nilai p = 0,000; maka dapat disimpulkan pada alpha 5% dengan kedua pengukuran terdapat perbedaan yang signifikan tingkat kualitas hidup responden antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Pembahasan

Pada tabel 1 hasil penelitian di RCAK ini diperoleh data bahwa usia sebagian besar responden pada dua kelompok (kontrol dan intervensi) yaitu usia anak (8–12 tahun) dan sebagian besar responden pada dua kelompok (kontrol dan intervensi) yaitu laki-laki, masing–masing kelompok sebanyak 13 orang (76,5%).

ALL lebih sering ditemukan pada anak-

anak (82%) daripada umur dewasa (18%). Pasien kanker pada anak sering mengalami gejala yang merugikan umumnya tidak mudah diketahui secara dini dan berkembang secara lambat sampai stadium lanjut. Gejala yang terlihat dalam perkembangan leukemia salah satunya adanya pembesaran testis dimana sel-sel leukemia menginvasi testis, ginjal, ovarium, saluran GI, dan paru -paru sehingga menjadi salah satu alasan mengapa pada laki-laki kasus leukemia cepat terdiagnosis. Selain itu, faktor kurang pengetahuan dari keluarga serta lambatnya deteksi dini memungkinkan data insiden secara statistik mencapai puncaknya umur 3–7 tahun dengan perbandingan angka kejadian ALL pada anak laki-laki lebih sering daripada pada anak perempuan yang berusia diatas 1 tahun dengan awitan puncak di usia 2–6 tahun (Wong et al., 2008 ; Corwin, 2009; Nurarif & Kusuma, 2015 ;)

Prognosis ALL dipengaruhi oleh jenis kelamin; anak laki-laki prognosis kurang baik dibanding perempuan (relaps testis), perempuan mempunyai prognosis lebih baik. Umur; kelompok umur 2–9 tahun prognosis paling baik. Umur kurang dari 1 tahun dan di atas 10 tahun prognosis tidak baik. Anak-anak yang didiagnosis pada saat berusia antara 2 tahun sampai dengan 9 tahun menunjukkan prognosis lebih baik dibandingkan anak-anak yang didiagnosis sebelum usia 2 tahun atau setelah 10 tahun (Wong et al., 2008).

Laporan dari Surveillance Epidemiology and End Result (SEER) di Amerika tahun 2009, kejadian leukemia lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 57,22% : 42,77%. Hasil penelitian Gholami di West Azerbaijan Province tahun 2003- 2009 terdapat 72 orang (55,4%) anak laki-laki dan 58 orang (44,6%) anak perempuan yang menderita leukemia

Tabel 3 Perbedaan Kualitas Hidup Responden Setelah Dilakukan Terapi antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di RCAK Bandung Tahun 2016 (n=34)

Variabel PedsQL 3.0 Cancer Module

PedsQL 4.0 General Score

Kelompok Kontrol (N=17) 11,38 60,3581Kelompok Intervensi (N=17) 23,62 85,9335Signifikan antar kelompok 0,000 0,000

Dewi Umu Kulsum : Pengaruh Swedish Massage Therapy Terhadap Tingkat Kualitas Hidup

Page 119: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

118 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Akut (Gholami, 2011). Perbandingan prevalensi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 pada ALL lebih besar terjadi pada anak laki-laki dengan proporsi 53,7% (73 orang) dan lebih kecil terjadi pada anak perempuan dengan proporsi 46,3% (63 orang) (Sulastriana, Sori Muda, & Jemadi, 2012).

Dapat disimpulkan bahwa usia dan jenis kelamin menjadi salah satu faktor penting pengelompokkan pasien kedalam risiko tinggi (high risk) dan tidak berisiko (non-high/normal risk) (Winoto, 2012), sehingga dapat menentukan perencanaan regimen terapi dengan memerhatikan faktor keberhasilan dan faktor risiko terhadap prognosis buruk. Selain itu keadaan tersebut sangat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak pada usianya.

Pada tabel 2 hasil uji t-dependent menunjukkan tidak ada perbedaan nilai kualitas hidup responden pada kelompok kontrol dengan nilai p > 0,05 pada kedua pengukuran. Apabila dibandingkan kelompok intervensi sebelum dan sesudah terapi swedish massage, uji wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan nilai kualitas hidup responden dan diperoleh nilai p = 0,000 pada kedua pengukuran yang artinya terdapat pengaruh pemberian terapi swedish massage.

Hasil uji statistik dari masing–masing fungsi dimensi kualitas hidup diperoleh rerata nilai kualitas hidup total pada kelompok kontrol pre test dan post test, nilai tersebut menggambarkan bahwa tidak mengalami peningkatan nilai kualitas hidup sehingga dengan nilai tersebut dikatagorikan kualitas hidup berisiko (at risk) karena nilai dibawah rata–rata nilai kualitas hidup total (Hullman, 2011). Sedangkan rerata nilai kualitas hidup total pada kelompok intervensi pre test dan post test mengalami peningkatan nilai tidak hanya secara statistik bermakna, tetapi hasil observasi berdasarkan masing–masing fungsi dimensi kualitas hidup pun mengalami peningkatan dan dikatagorikan kualitas hidup normal (hullman, 2011).

Pengobatan kanker dengan kemoterapi mempunyai efek mual dan muntah, walaupun tidak jarang pasien diberikan antiemetik. Akan tetapi reaksi efek samping obat kemoterapi tidak sama, dan kompensasi tubuh pasien pun berbeda–beda.

Sehingga dibutuhkan mekanisme untuk meningkatkan aktivitas nervus vagus yang menstimulasi motilitas gastrik sehingga merangsang produksi hormon-hormon yang meningkatkan penyerapan nutrisi (gastrin dan insulin) (Bobak et al., 2005). Beberapa faktor yang dapat memengaruhi nilai dari kualitas hidup dan menentukan keberhasilan terapi antara lain faktor internal mencakup stadium keganasan kanker, prognosis penyakit leukemia, tingkat kepatuhan regimen terapi berhubungan dengan kekambuhan, gejala penyakit dan efek samping pengobatan yang dapat tertangani, status gizi anak baik, dan gaya hidup sehat seluruh anggota keluarga. Sedangkan faktor eksternal mencakup keadaan kesehatan lingkungan yang mendukung, adanya cinta kasih orang tua serta saudara kandung (Eiser, 2004; Wong et al., 2008).

Peningkatan rerata kualitas hidup tersebut terjadi dari efektifitas terapi massage yang mempunyai manfaat dan memengaruhi secara positif terhadap fungsi tubuh, yaitu berkaitan dengan permasalahan fisik yang diartikan adanya penurunan permasalahan pada rasa sakit dan luka, mual yang disebabkan akibat gejala penyakit, dan efek samping kemoterapi antara lain neurotoksisitas perifer meliputi sensorik dan motorik, disertai rasa nyeri, mual dan muntah, penurunan selera makan, dan penurunan berat badan, ulserasi mukosa, dan stomatitis. Perubahan tersebut disebabkan terapi massage mengurangi rasa sakit pada otot-otot, meningkatkan relaksasi, menurunkan heart rate, dan tekanan darah, menurunkan depresi, dan meningkatkan kualitas tidur (Salvo, 2016), serta menurunkan kesakitan, meningkatkan relaksasi dikaitkan dengan peningkatan produksi endorfin (obat penghilang rasa sakit alami) (Haun et al., 2009), dan meningkatkan sirkulasi aliran darah (Walton, 2006).

Dengan dilakukannya terapi massage membantu adekuat asupan nutrisi, berkurangnya keluhan secara fisik akibat dampak toksisitas saraf neurotoksisitas perifer sehingga mengurangi masalah yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak penderita leukemia. Enskar dan Von Essen (2008), menyatakan bahwa depresi merupakan respon psikologis pada anak kanker, dengan pijatan akan

Dewi Umu Kulsum : Pengaruh Swedish Massage Therapy Terhadap Tingkat Kualitas Hidup

Page 120: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

119JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

meningkatkan aktivitas neurotransmitter serotinin sehingga terjadi penurunan kadar hormon stres, hal ini akan meningkatkan daya tahan tubuh terutama IgM dan IgG, (Bobak, et al., 2005; Daniel, 2013). Terapi massage dapat menurunkan kecemasan dan ketakutan, penurunan depresi, dan penurunan produksi hormon stres (kortisol) (Allen, n.d; Haun et al., 2009; Field et.al., 2005; Post-White et al., 2003), serta mengurangi kecemasan pada orang tua penderita dan anak-anak dengan kanker (Post-White et al., 2003).

Pada anak yang mengalami kanker, fungsi sekolah cenderung tidak dapat optimal dalam menjalani proses pembelajaran diakibatkan kondisi badan sering mengalami keluhan yang memerlukan pengobatan berkelanjutan dan menjalani kemoterapi, sehingga anak akan jarang masuk sekolah, yang artinya anak akan mengalami keterlambatan perkembangan kognitif sesuai usianya. Dengan mengalami gejala penyakit yang timbul ataupun efek samping pengobatan kanker, anak cenderung kurang konsentrasi dalam tahap berfikir konkret (Wong et al., 2009). Selaras dengan hasil penelitian Nurhidayah, et al. (2016) dengan judul ”Kualitas Hidup pada Anak dengan Kanker”, menyatakan bahwa 53,3% anak dengan kanker memiliki kualitas hidup buruk, dengan nilai terendah pada fungsi sekolah dan kekhawatiran anak dalam menghadapi pengobatan dan penyakit, hal tersebut berpengaruh terhadap fungsi fisik, emosi, sosial, psikologis, sekolah, dan kognitif sehingga mengganggu tumbuh kembang anak.

Hasil uji analisis ini mendukung hasil penelitian Mazlum et al. (2013) dengan judul “The Effect of Massage Therapy on Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting (CINV) in Pediatric Cancer”, ditemukan penurunan yang signifikan pada intensitas, frekuensi, dan insiden mual dan muntah, dan juga durasi mual setelah diberikan terapi swedish massage. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian sebelumnya oleh Haun et al. (2009) dengan judul “Children with Cancer and Blood Diseases Experience Positive Physical and Psychological Effects from Massage Therapy”, menyatakan bahwa secara signifikan adanya penurunan ketidaknyamanan, mengurangi nyeri otot, dan laju pernafasan pada fungsi fisiologis,

sedangkan pada fungsi psikologis dapat menurunkan tingkat kecemasan dan emosional. Disamping itu, pada fungsi psychophysiologic dapat meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh serta meminimalkan risiko infeksi.

Ditinjau dari pembahasan diatas, menurut peneliti keberhasilan intervensi SMT dalam meningkatkan kualitas hidup anak penderita kanker dipengaruhi oleh prognosis pasien dan dukungan dari keluarga. Berdasarkan tabel 3 hasil uji statistik (Uji Mann-Whitney dan uji t-independent) diperoleh p = 0,000; maka dapat disimpulkan pada alpha 5% terdapat perbedaan yang signifikan dari nilai kualitas hidup responden antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi yang artinya bahwa swedish massage therapy mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan kualitas hidup responden dalam mengurangi keluhan akibat gejala maupun efek samping kemoterapi, dan juga membantu memperkuat kerja pengobatan kanker. Hasil ini diinterpretasikan bahwa kelompok yang memiliki nilai rata-rata tinggi mempunyai kualitas hidup normal, sedangkan kelompok yang memiliki nilai rata–rata rendah mempunyai kualitas hidup berisiko (at risk) (Varni, 2002; Hullman, 2011).

Hasil penelitian pada kelompok kontrol mempunyai nilai yang lebih rendah daripada kelompok intervensi, sedangkan seluruh responden dari kedua kelompok dalam kondisi menjalani kemoterapi tahap induksi dan reinduksi. Pada tahapan ini banyak menggunakan obat-obat yang akan menyebabkan supresi sumsum tulang belakang (mielosupresi), jumlah sel darah yang menurun sehingga menimbulkan permasalahan sekunder berupa infeksi (neutropenia), serta perdarahan dan anemia sehingga periode waktu yang terjadi segera sesudah remisi merupakan periode yang sangat menentukan. Sehingga tubuh pasien tidak lagi memiliki pertahanan dan sangat rentan terhadap infeksi dan perdarahan spontan. Selama periode ini menjadi sangat penting membutuhkan perawatan suportif seperti terapi swedish massage, untuk mencegah atau mengobati gejala penyakit dan efek samping dari pengobatan kemoterapi atau penyakit sekunder yang menyertai (Wong et.al., 2008; Winoto, 2012)

Dewi Umu Kulsum : Pengaruh Swedish Massage Therapy Terhadap Tingkat Kualitas Hidup

Page 121: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

120 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Faktor lain yang memengaruhi keefektifan terapi swedish massage pada kelompok intervensi antara lain keyakinan anak dan orang tua saat pertama kali menerima terapi swedish massage sebagai pengobatan yang dapat mengurangi beberapa keluhan fisik. Faktor dukungan terbesar yang ditunjukkan dari orang tua menjadi dasar anak memiliki harapan untuk hidup lebih panjang. Selain itu, terapi ini membutuhkan proses kedekatan (bina trust) antara tenaga perawat dengan anak yang kecenderungan merasa takut jika dilakukan perawatan, keberhasilan ini menjadi tahap yang memudahkan tenaga kesehatan dalam upaya meningkatkan promosi kesehatan. Pentingnya peran perawat tergambarkan pada hasil penelitian Novrianda, et.al (n.d) dengan judul “Faktor-Faktor Berhubungan dengan Kualitas Hidup Anak Leukemia Limfositik Akut yang Menjalani Kemoterapi” yang menyatakan peran perawat merupakan faktor prediktor peningkatan kualitas hidup pasien anak dengan kanker, sehingga upaya peningkatan peran perawat yaitu melalui pendidikan pelatihan manajemen kemoterapi dan efek sampingnya menjadi salah satu kompetensi perawat anak.

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh swedish massage therapy terhadap tingkat kualitas hidup penderita leukemia usia sekolah di Rumah Cinta Anak Kanker Bandung. Berdasarkan hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden berada pada rentang usia anak usia 8-12 tahun, dan sebagian besar responden berjenis kelamin laki–laki. Penelitian ini juga menggambarkan bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas hidup pada kelompok kontrol (p > 0,005), akan tetapi terdapat perbedaan kualitas hidup pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah dilakukan swedish massage therapy (p = 0,000). Sehingga terdapat perbedaan rata–rata nilai kualitas hidup pada kelompok kontrol dengan kelompok intervensi sebelum dan sesudah dilakukan swedish massage therapy ( p value = 0,000).

Peneliti ini menyimpulkan bahwa swedish

massage therapy dapat dilakukan pada penderita leukemia usia sekolah, dan menjadi salah satu pilihan bagi orang tua dengan anak penderita leukemia untuk meningkatkan fungsi fisik dan fungsi psikososial dan mengurangi efek samping regimen terapi sehingga dapat memperkuat kerja terapi selama menjalani pengobatan kanker.

Hasil penelitian ini menunjukkan dampak langsung terhadap peningkatan kualitas hidup terutama pada fungsi fisik, fungsi emosional dan sosial anak penderita leukemia, sehingga swedish massage therapy ini bermanfaat sebagai asuhan paliatif yang dapat meningkatkan kualitas hidup anak akibat gejala kanker dan efek pengobatan kanker dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, tenaga perawat umumnya dan perawat anak, khususnya sebagai herapis, dimanapun dapat melakukan SMT sehingga memerlukan pelatihan tentang terapi Swedish Massage pada anak dengan kanker, hal ini mendukung perkembangan pelayanan perawat kepada masyarakat.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evidence based parctice dalam melakukan perawatan paliatif pada anak dengan kanker, sehingga diharapkan kompetensi ini bisa dikembangkan dalam pengajaran formal maupun kompetensi berkelanjutan untuk perawat anak, khususnya perawat oncology di Indonesia, sebagai bekal dalam melakukan asuhan paliatif.

Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa perawat dapat menjadi seorang terapis yang berkompetensi untuk kelompok rentan dalam melakukan pengobatan alternative yang bersinergi dengan pengobatan konvensional. Dengan hasil tersebut mengharapkan regulasi pemerintah dalam mengkatagorikan dan memasukkan massage therapy pada anak kedalam kelompok pengobatan alternative medicine yang selama ini masih tergolong pengobatan empiris.

Bagi Orang Tua Penderita Kanker, hasil penelitian ini menjawab mitos dan kekhawatiran para orang tua yang melarang terapi pijat dilakukan pada anaknya yang berjuang melawan kanker, bahwa terapi pijat “swedish massage” merupakan alternatif pendampingan pengobatan konvensional yang dapat memperkuat kerja pengobatan kanker, dengan selama menjalani pengobatan

Dewi Umu Kulsum : Pengaruh Swedish Massage Therapy Terhadap Tingkat Kualitas Hidup

Page 122: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

121JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

jangka panjang. Orang tua dan keluarga pasien dapat menghubungi perawat anak yang sudah terlatih untuk membantu memberikan perawatan dengan menggunakan swedish massage therapy, sebagai salah satu contoh klinik asuhan keperawatan Baruna Medika di wilayah Bandung Barat sebagai penyedia terapi komplementer khususnya terapi massage untuk anak dengan leukemia.

Daftar Pustaka

Ackerman et al. (2012). Massage for Children Undergoing Hematopoietic Cell Transplantation : A Qualitative Report, 2012. https://doi.org/10.1155/2012/792042

Allen, T. (2015). Touch Therapy for Liddle Kidz with Cancer Course Manual. Foundation Liddle Kids™. Diunduh tanggal 15 Mei 2015. www.LiddleKidz.com.

Beck, M.F. (2010). Theory & practice of therapeutic massage (5th Ed.). USA: Milady, a part of Cengage Learning.

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan medikal bedah. (Ed. 8). Singapore: Elsevier.

Bobak et al. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.

Calvert, R. N. (2002). The History Of Massage : An Illustrated Survey From Around The World. Healing Art Press, Rochester.

Corwin, E.J., (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Daniel., A. (2013). Pengaruh Terapi Massage Terhadap Peningkatan Berat Badan Bayi Premature Di Ruang Perinatologi RSUD Tasikmalaya.

Eiser, C. (2004). Children the quality of life with cancer. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Enskar, K., & Von Essen, L. (2008). Physical problem and psychosocial function in children with cancer. Pediatric Nursing, 23(3), 37–41.

Field, T, et al. (2005). Cortisol decreases and serotonin snd dopamine increase following massage therapy. International Journal Neurosci, 115, 1397- 413.

Gholami, A.,et al., (2011). Parental Risk Factor of Childhood Acute Leukemia: A Case Control Study. Journal of Research in Health Sciences. Iran. \

Haun, J. N., John, L. M. T., Pol, G., & Shortley, B. (2015). Children with Cancer and Blood Diseases Experience Positive Physical and Psychological Effects. Massage Therapy, 2(2), 1–6.

Hockenberry, M.J., & Wilson, D.(2009). Wong’s Essentials of Pediatric Nursing. 8th ed. St; Louis : Mosby An Affilite Of Elsevier Inc.

Hughes, D., Ladas, E., Rooney, D., & Kelly, K. (2008). Massage Therapy as a Supportive Care Intervention for Children With Cancer, 35(3).

Hullman et al. (2011). Measure of general pediatric quality of life. Arthritis Care & Research: American College 0f Rheumatology, 63(S11)..

Kashanini, Z et al. (2011). The fffect of swedish massage on glycohemoglobin in children with diabetes mellitus. Iranian Rehabilitation Journal, 9.

Kemper, Kathi J., Vohra, Sunita, Walls, R. (2008). The Use of Complementary and Alternative Medicine in Pediatrics. Pediatrics, 122, 1374–1386. https://doi.org/10.1542/peds.2008-2173

National Cancer Institute.(2009). Diakses tanggal 04 Mei 2015. www.cancer.gov.

Novrianda, D., Yetti, K., Agustini, N., Keperawatan, F., Andalas, U., & Keperawatan, F. I. (2016.). Faktor-Faktor Berhubungan dengan Kualitas Hidup Anak Leukemia Limfositik Akut yang Menjalani Kemoterapi. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(1), 1–10.

Dewi Umu Kulsum : Pengaruh Swedish Massage Therapy Terhadap Tingkat Kualitas Hidup

Page 123: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

122 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Nurhidayah, I., Hendrawati, S., Mediani, H. S., & Adistie, F. (2016). Kualitas Hidup pada Anak. Jurnal Keperawatan Padjadjaran 4(1), 45–59.

Nurarif, A.H.,& Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc. Jilid 2. Jogjakarta : Mediaction.

Post White, J.K. (2003). Therapeutic massage and healing touch improve symptoms in cancer. Integration Cancer Therapy, 2332 44.

Sajedi, F., & Kashanini, Z et.al. (2011). How effective is swedish massage on blood glucose level in children with diabetes mellitus. Acta Medica Iranica, 49(9).

Salvo, S.G. (2016). Massage therapy; Principle and practice. (5th Ed.). St Louis: Elsevier.

Seyedreza, M. et al. (2013). The effect of massage therapy on chemotherapy-induced nausea and vomiting in pediatric cancer. Iran Jornal Nurs Midwifery Res. V.., 18(4).

Somani, S., Ali, F., Ali, T. S., & Lalani, N. S. (2014). Medicine in Oncology Nursing,

23(1).

Sulastriana1, Sori Muda2, Jemadi2. (2012). Karakteristik Anak Yang Menderita Leukemia Akut Rawat Inap Di Rsup H. Adam Malik Medan. FKM USU. Medan.

Varni, J.W. et.al. (2001) The Pedsql™ 4.0: Reliability and validity of the pediatric quality of life inventory™ version 4.0 generic core scales in healthy patient populations. Med Care, 39, 800–812.

Walton, T. (2006). Cancer Massage Therapy : Essensial Contraindications. Diunduh 21 Februari 2016. www.Amtamassage.org/mt.

WHO. (2009). Children’s Health and the Environment WHO Training Package for the Health Sector. Cancer in Children, 5–7.

Winoto H. A, (2012). Leukemia Ilmu Kesehatan Anak. Fk.Universitas Wijaya Kusuma. Diunduh 6 juni 2016. . https://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2015/03/kuliahleukemiahandou t.pdf.

Wong et.al. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6. Jakarta : EGC.

Dewi Umu Kulsum : Pengaruh Swedish Massage Therapy Terhadap Tingkat Kualitas Hidup

Page 124: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

123JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga terhadap Self Efficacy Keluarga dan Sosial Okupasi

Klien Schizophrenia

Rina Kartikasari, Iyus Yosep, Aat SriatiFakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Email: [email protected]

Abstrak

Klien schizophrenia mengalami penurunan kemandirian dalam perawatan diri, fungsi sosial, sehingga membutuhkan bantuan keluarga. Self efficacy dapat memengaruhi keyakinan keluarga ketika merawat klien schizophrenia. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi psikoedukasi keluarga terhadap self efficacy keluarga dan sosial okupasi klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Garut. Metode penelitian menggunakan quasi eksperimen dengan pre-post test with control group. Populasi yaitu keluarga yang merawat (caregiver) klien schizophrenia di Desa Nanjungjaya, Sukamaju, Mekaraya, Sukamerang dan Girijaya. Jumlah sampel 32 responden dibagi menjadi kelompok kontrol (16) dan intervensi (16), Teknik pengambilan sampel menggunakan quota sample. Pada kelompok intervensi dilakukan terapi psikoedukasi keluarga, kemudian sebelum dan sesudah intervensi dilakukan pengukuran self efficacy keluarga dan sosial okupasi klien schizophrenia. Kelompok kontrol tidak diintervensi, hanya mendapat pendidikan kesehatan dengan metode ceramah tentang perawatan klien schizophrenia. Penelitian menggunakan Perceived Collective Family Efficacy Quisioner dan Social Occupational Functioning Assessment Scale. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan bermakna self efficacy keluarga dengan sosial okupasi klien schizophrenia setelah diberikan terapi psikoedukasi p<0,05) dan terdapat perbedaan perubahan bermakna pada kelompok kontrol dan intervensi (p<0,05). Peneliti merekomendasikan penggunaan terapi psikoedukasi keluarga sebagai terapi modalitas pada keluarga yang merawat klien schizophrenia.

Kata kunci: Keluarga, okupasi, psikoedukasi, self efficacy, schizophrenia.

The Influence of Family Psychoeducation Therapy on Self Efficacy Family And Social Occupations Schizophrenia’s Clients

Abstract

Schizophrenic clients have decreased in self-sufficiency in self-care, social functions,and thus those clients require family assistance. Self-efficacy, in this matter, can affect family beliefs when taking care the schizophrenic clients. Therefore, the study aims to determine the influence of family psychoeducation therapy on family self-efficacy and social occupation of schizophrenic clients in Kersamanah sub-district, Garut. The research method used is quasi experiment with pre-test and posttest with control group. The population is the caregiver family of schizophrenic clients in Nanjungjaya, Sukamaju, Mekaraya, Sukamerang and Girijaya villages. The sample size of 32 respondents are divided into control group (16) and intervention group (16), sampling technique used is quota sample. In the intervention group, family psychoeducation therapy is performed before and after the intervention (treatment), measuring the family self-efficacy and social occupation of schizophrenic clients. The control group is not intervened, they only received a health education with a lecture method on how to take care of a schizophrenic client. The study used the Perceived Collective Family Efficacy Quisioner and Social Occupational Functioning Assessment Scale. The results show that there are significant changes in family self-efficacy with social occupational schizophrenia patients after psychoeducation therapy aplllied p <0.05) and there are significant differences in control and intervention group of (p <0.05). Thus, the researcher recommends to use of family psychoeducation therapy as a modal therapy in families to treat their schizophrenic family.

Keywords: Family, occupational, psychoeducation, self-efficacy, schizophrenia.

Page 125: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

124 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pendahuluan

World Health Organization (WHO) menyatakan jumlah penderita gangguan jiwa mencapai 542.700.000 jiwa dengan 24 juta didiagnosa schizophrenia (WHO, 2011). Di Inggris, jumlah klien schizophrenia mencapai 5-50 per 100.000 dan banyak ditemukan pada laki–laki dengan rata-rata usia 18–25 tahun dibanding dengan perempuan dengan rata-rata usia 25-35 tahun (Cameron, 2004). Jumlah gangguan jiwa di Indonesia, yaitu 17.400.000 jiwa (Departemen Kehatan Republik Indonesia, 2011).

Schizophrenia ialah suatu penyakit yang memengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh (Videbeck, 2008). Gejala schizophrenia mengakibatkan klien mengalami penurunan kemampuan merawat diri, fungsi sosial okupasi, bahkan kualitas hidup (Varcarolis & Halter, 2010; Videback, 2011; Pieter, Janiwarti, & Saragih 2011; Imelisa, 2012). Hasil penelitian di Belgia, Belanda, Jerman, Serbia, Spanyol, Perancis, Inggris, dan Swiss, diketahui sebanyak 80% klien schizophrenia mengalami masalah fungsi sosial okupasi (Ballerini, 2002; Hunter & Barry, 2010). Fungsi sosial okupasi adalah kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar, menjalankan peran sosial, serta kemampuan menghadapi stress (Suharto dkk., 2009).

Dampak klien schizophrenia dapat terjadi langsung terhadap individu yang bersangkutan, seperti dipandang sebagai individu bodoh, aneh, berbahaya dan lebih negatif dibandingkan dengan gangguan mental lainnya (Irmansyah, 2006). Klien schizophrenia sering disembunyikan, dikurung, tidak berobat ke dokter melainkan dibawa ke “orang pintar” (Hawari, 2007). Dampak lainnya adalah kekambuhan seumur hidup sehingga memerlukan perawatan jangka panjang (Videback, 2008). American Psychological Association (APA) pada tahun (2000) menyatakan mencegah kekambuhan merupakan hal yang penting dalam pengobatan klien schizophrenia, karena berpengaruh terhadap keadaan fisik dan masalah psikososial. Dari dampak-dampak tersebut menyebabkan klien schizophrenia menjadi tergantung terhadap

orang lain terutama pada anggota keluarga (caregiver) (Sadock & Sadock, 2003; Nevid, Rathus, & Greene, 2003). Caregiver membutuhkan dukungan anggota keluarga lainnya agar memiliki keyakinan diri (self efficacy) yang baik. Self efficacy merupakan prediktor yang kuat untuk merubah maupun untuk mempertahankan perilaku, jika self efficacy caregiver baik, maka ia memiliki kemampuan merawat baik pula (Bandura, 1995). Perubahan yang tampak pada klien schizophrenia tidak memperlihatkan dampak spesifik seperti kematian segera, namun akan terlihat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia seperti perawatan diri, ketergantungan pada keluarga serta pada fungsi sosial okupasi (Ambarani, 2007). Fungsi sosial okupasi dapat dilihat ketika caregiver belajar mengenali gejala awal terjadinya kekambuhan, serta perubahan perilaku sosial okupasi klien schizophrenia sehingga caregiver mempunyai peran yang penting dalam proses penyembuhan klien schizophrenia (Wiramihardja, 2005). Selain itu keluarga juga masih memiliki persepsi yang negative terhadap klien dengan skizofrenia (Suryani; Komariah & Wiwi, 2014).

Terapi-terapi yang dapat diberikan terhadap klien schizophrenia antara lain: psikoedukasi (Mottaghipour & Bickerton, 2005); psikofarmaka, psikososial, psikoterapi dan psikoreligius (Hawari, 2007); psikososial (Nice, On, & Primary, 2010). Penelitian di Cina menemukan bahwa klien schizophrenia mengalami peningkatan sosial okupasi setelah diberikan terapi psikofarmaka yang dikombinasikan dengan edukasi dan psikososial (Guo et al., 2010).

Klien schizophrenia memerlukan perawatan yang melibatkan seluruh anggota keluarga (Stuart & Laraia, 2005). Ketika ada salah satu anggota keluarga mengalami schizophrenia, maka seluruh anggota keluarga ikut menanggung dampak negatifnya, sehingga keluarga harus mampu menciptakan kekuatan (Dolan et al., 2006). Hasil penelitian membuktikan bahwa keluarga mempunyai peran yang besar dalam menurunkan kekambuhan, dan meningkatkan pemulihan klien (Chang, 2006; Nurdiana, 2007; Dinosetro, 2008). Keluarga yang merawat (caregiver) klien schizophrenia

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 126: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

125JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

memerlukan dukungan dari anggota keluarga lainnya supaya memiliki self-efficacy. Bandura (1995) menyatakan self-efficacy mampu untuk merubah perilaku, memotivasi caregiver terus belajar memberikan perawatan yang terbaik, menjaga dari kekambuhan (Bijl & Baggett, 2002).

Self efficacy memengaruhi perilaku caregiver, seperti tidak ditemukan lagi pengurungan terhadap klien schizophrenia (Morimoto & Matsuyama, 2010). Self efficacy mempunyai hubungan yang erat dengan fungsi psikososial klien schizophrenia. klien schizophrenia dengan self efficacy akan memperoleh insight yang utuh sehingga mampu mengurangi gejala negatif dan bisa meningkatkan keterampilan hidup sosial sehari-hari (Kurtz, Olfson, & Rose, 2013). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Corrigan (2008) bahwa self efficacy dapat dijadikan sebagai koping atas stigma dari masyarakat yang menyebabkan kecemasan bagi keluarga yang merawat klien schizophrenia.

Caregiver perlu mendapatkan terapi keluarga untuk memperkuat strategi koping dalam menangani perubahan mental klien, mencegah kekambuhan serta mempertahankan keberadaan klien di masyarakat (Mottaghipour & Bickerton, 2005; & Stuart, 2009). Hasil penelitian membuktikan terapi psikoedukasi keluarga mampu meningkatkan fungsi keluarga dan menurunkan beban keluarga di Hongkong (Chien & Wong, 2007), mengurangi kekambuhan dan memperbaiki kemandirian (Kembaren, 2011), dan meningkatkan kemampuan merawat klien dengan harga diri rendah (Ridwan, 2012). Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui belum ada penelitian tentang terapi psikoedukasi keluarga untuk meningkatkan self efficacy keluarga dan sosial okupasi klien schizophrenia.

Garut merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan prevalensi gangguan jiwa 2,6/1000 jiwa. Salah satu Kecamatan di Garut adalah Kersamanah (Desa Kersamanah, Sukamaju, Nanjungjaya, Girijaya, Sukamerang, dan Mekarraya) memiliki penderita gangguan jiwa sebanyak 125 orang (94 klien terdiagnosis schizophrenia). Pada tahun 2012, Kersamanah menjadi wilayah binaan dibawah pengawasan

Kementrian Sosial dengan menunjuk Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Bina Martha serta melakukan kegiatan yang berfokus memandirikan, memberi bimbingan kerja dan modal usaha kepada klien schizophrenia yang sudah sembuh agar mandiri dan mampu meningkatkan sosial dan okupasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi psikoedukasi keluarga terhadap self efficacy keluarga dan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Garut.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode quasi eksperimen dengan pre-post test with control group. Populasi penelitian yaitu keluarga di Kecamatan Kersamanah (Desa Nanjungjaya, Sukamaju, Mekaraya, Sukamerang, dan Girijaya) sebanyak 62 keluarga (Desa Kersamanah tidak dimasukkan kedalam populasi dengan pertimbangan tidak mendapat rekomendasi dari Puskesmas Sukamerang dan sedang dijadikan tempat penelitian pada rentang waktu yang sama sehingga berisiko bias pada hasil penelitian. Sedangkan, sampel penelitian yaitu keluarga yang merawat klien schizophrenia (caregiver) bertempat tinggal di Kersamanah sebanyak 32 responden. Penelitian ini menggunakan teknik quota sampling, terbagi menjadi 16 responden untuk kelompok kontrol dan 16 responden kelompok intervensi sehingga jumlah subjek penelitian 32 orang caregiver.

Variabel bebas penelitian yaitu terapi psikoedukasi keluarga dan variabel terikat penelitian yaitu self efficacy keluarga dan sosial okupasi klien schizophrenia. Pengumpulan data menggunakan instrumen karekteristik berisi pertanyaan: jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan hubungan dengan klien. Instrumen self efficacy caregiver yaitu Perceived Collective Family Efficacy menggunakan skala 0-100 yaitu: 0-39 tidak dikerjakan, 40-79 kadang-kadang, dan 80-100 selalu dikerjakan. Berdasarkan hasil uji validitas dan reliablitas korelasi antara item-total >0,30 dan reliabilitas alpha = 0,87. Instrumen social functioning (SOFAS) menggunakan skala 0 -100. Penilaian SOFAS yaitu: Skor 100-

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 127: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

126 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

70 menunjukkan kesulitan katagori ringan, 69-31 menunjukkan kesulitas katagori sedang, dan ≤ 30 menunjukkan kesulitan Berdasarkan hasil penelitian Rosita (2011) diketahui bahwa didapatkan nilai reliabilitas intra-pengamat sebesar 0,89 (p<0,001) dan nilai reliabilitas antar-pengamat sebesar 0,82 (p<0,001), sehingga dapat dikatagorikan memiliki tingkat reliabilitas yang baik (0,80 < r <1,0).

Waktu penelitian ini selama empat minggu, dimulai tanggal 7 Juni sampai 4 Juli 2015. Penelitian dimulai dengan mengajukan permohonan izin penelitian kepada Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran tanggal 13 Mei 2015, mengajukan Permohonan Ethical Clearance kepada Komite Etik Penelitian Kesehatan RSP Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan mengajukan surat Ijin Penelitian ke Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakt Kabupaten Garut. Pada tanggal 20 Mei 2015 mendapat balasan dari BaKesBangPol dilanjutkan mengajukan surat ke Dinas Kesehatan Kabupaten Garut untuk mengeluarkan surat izin melakukan penelitian di Puskesmas Sukamerang dan kemudian mendapatkan surat balasan dari Dinas Kesehatan tanggal 22 Mei 2015

Peneliti bermitra dengan satu perawat Puskesmas Sukamerang yang sebelumnya telah dilakukan persamaan persepsi tentang pengisian instrument. Peneliti mengadakan pendekatan dan membina kepercayaan dengan calon responden (yang sudah di skrining bersama perawat) yang memenuhi kriteria inklusi untuk memberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan prosedur penelitian. Setelah calon responden mendapat penjelasan dan menandatangani lembar persetujuan responden, kemudian peneliti melakukan Pretest tanggal 8 Juni 2015.

Pada saat pengambilan data, peneliti melakukan sendiri terapi psikoedukasi keluarga yang disaksikan Perawat Puskesmas. Kelompok intervensi mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga. Kelompok intervensi mendapatkan tiga kali kunjungan dengan rincian sebagai berikut: sesi pertama dan sesi kedua (Minggu I) tanggal 10, 11, dan 12 Juni 2015; sesi ketiga (Minggu II) tanggal 15,16, dan 20 Juni 2015; sesi keempat (Minggu III) tanggal 22, 23, 24, 25, dan 26 Juni 2015.

Setiap sesi dilakukan selama 30-45 menit dengan rincian 15 menit untuk sesi materi dan 15 sampai 20 menit untuk sesi diskusi kepada caregiver.

Sesi pertama dan kedua dilakukan dalam satu kali kunjungan ke rumah caregiver. Pada sesi pertama, perawat dan caregiver bersama-sama mengidentifikasi masalah yang timbul di keluarga. Sesi kedua berfokus pada masalah yang dialami oleh klien schizophrenia terkait dengan diagnosis medis dan diagnosis keperawatan. Sesi ketiga dan keempat dilaksanakan pada minggu kedua dan ketiga. Pelaksanaan diberikan satu sesi untuk satu kali kunjungan. Pada sesi tiga berisi self efficacy. Peneliti mencoba memberi penguatan serta motivasi agar self efficacy caregiver mengalami perubahan. Setiap caregiver mendapatkan buku kerja yang harus diisi dan setiap peneliti datang maka buku kerja cargiver akan dikoreksi. Jarak waktu setiap kunjungan adalah satu minggu. Saat intervensi, terkadang kondisi lingkungan rumah caregiver susah untuk dikontrol (caregiver sambil mengasuh anaknya dan menjaga warung). Posttest pada penelitian ini dilaksanakan tanggal 4 Juli 2015.

Analisis univariat pada penelitian ini berupa karekteristik responden (jenis kelamin, usia, hubungan keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan). Sedangkan, analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (terapi psikoedukasi keluarga) dengan variabel dependen (self efficacy dan sosial okupasi). Analisis data dilakakukan setelah uji normalitas (uji Shapiro-wilk karena sampel < 50) dan homogenitas (uji Chi Square).

Uji statistik untuk mengetahui perbedaan rerata self efficacy dan sosial okupasi adalah uji t tidak berpasangan, untuk melihat perbedaan rerata self efficacy dan fungsi sosial okupasi pada kelompok kontrol dan intervensi setelah intervensi adalah uji t tidak berpasangan karena hasil uji beda sesudah intervensi pada kelompok kontrol dan intervensi didapatkan hasil distribusi data normal. Sedangkan untuk mengetahui rerata self efficacy keluarga dan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia menggunakan uji t karena hasil uji beda sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol berdistribusi data normal

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 128: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

127JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

dan homogen. Uji statistik dengan uji t dipakai untuk mengetahui rerata self efficacy dan fungsi sosial okupasi sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan untuk mengetahui perbandingan rerata self efficacy dan fungsi sosial okupasi sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol dan intervensi. Uji t dipakai karena hasil uji beda sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi didapatkan hasil distribusi data normal dan homogen.

Hasil Penelitian

Berikut ini disajikan karekteristik klien berdasarkan kelompok intervensi dan kontrol. Data numerik berupa usia disajikan dalam mean, median, standar deviasi, nilai

minimal-maksimal, dan confidence interval untuk rata-rata. Sedangkan data katagorik berupa jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan hubungan dengan klien schizophrenia disajikan dalam persentase. Data karekteristik responden pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi disampaikan pada tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden, 8 orang (50,0%) berusia 48-58 tahun pada kelompok kontrol, dan 6 orang (37,5%). berusia 37-47 tahun pada kelompok intervensi. Sebagian besar responden adalah perempuan pada kelompok kontrol 13 orang (81,25 %), dan kelompok intervensi 15 orang (93,75 %). Sebagian besar responden berpendidikan SD pada kelompok kontrol 10 orang (62,5%) dan kelompok intervensi 13 orang (81,25%). Sebagian besar responden

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Kelompok Intervensi (n=16) dan Kontrol (n=16)Karakteristik Kelompok Kelompok

Kontrol Frekuensi (%) Intervensi Frekuensi (%)Usia (tahun)26 – 36 1 (6.3) 4 (25.0)37 – 47 1 (6.3) 6 (37.5)

48 – 58 8 (50.0) 3 (18.8)59 –69 4 (25.0) 1 (6.3)70 – 80 1 (6.3) 2 (12.5)81 – 91 1 (6.3) 0 (0.0)Jenis KelaminLaki-laki 3 (18.75) 1 (6.25)Perempuan 13 (81.25) 15 (93.75)PendidikanTidak Sekolah 1 (6.25) 2 (12.5)SD 10 (62.5) 13 (81.25)SLTP 4 (25) 0 (0.0)SLTA 1 (6.25) 1 (6.25)PT 0 (0.0) 0 (0.0)PekerjaanTidak Bekerja 7 (43.75) 9 (56.25)Buruh 5 (31.25) 4 (25.0)Petani 1 (6.25) 1 (6.25)Wiraswasta 3 (18.75) 2 (12.5)Karyawan Swasta 0 (0.0) 0 (0.0)PNS/TNI/POLRI 0 (0.0) 0 (0.0)

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 129: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

128 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

tidak bekerja pada kelompok kontrol 7 orang (43,75%) dan kelompok intervensi 9 orang (56,25%). Pada karekteristik penghasilan, sebagian besar mempunyai penghasilan kurang dari 1 juta pada kelompok kontrol 14 orang (87.5%), sedangkan sebagian besar responden mempuyai penghasilan kurang dari 1 juta pada kelompok intervensi 15 orang (93,75%). Pada karekteristik hubungan klien dengan responden, sebagian besar

sebagai anak pada kelompok kontrol 7 orang (43,75%) dan sebagai saudara kandung pada kelompok intervensi 9 orang (56,25%).

Pada tabel 2 dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan rerata self efficacy keluarga dan sosial okupasi klien schizophrenia pada kelompok kontrol dan intervensi sebelum intervensi. Hal ini dapat dilihat dari nilai p<0,05.

Pada tabel 3 dapat disimpulkan

Penghasilan< 1 jt 14 (87.5) 15 (93.75)1 – 2 jt 2 (12.5) 1 (6.25)>= 2 jt 0 (0.0) 0 (0.0)Hubungan dengan RespondenOrang Tua 2 (12.5) 2 (12.5)Suami/Istri 4 (25.0) 0 (0.0)Anak 7 (43.75) 4 (25.0)Saudara Kandung 2 (12.5) 9 (56.25)Lainnya (Kerabat Keluarga) 1 (6.25) 1 (6.25)

Tabel 2 Perbedaan Rerata Self Efficacy Keluarga dan Sosial Okupasi Klien Schizophrenia Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi Sebelum Intervensi

Skala Pengukuran

Kelompok Rerata SB P Perbedaan Rerata

CI 95% t

Self efficacy

-3.547

Kontrol 22,88 6,592 0,001 9,875 4,190 – 15,560

Intervensi 32,69 8,927sosial okupasi Kontrol 17,00 8,741 0,008 10,625 2,977 –

18,273-

2.837Intervensi 27,63 12.165

Tabel 3 Perbedaan Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi Setelah IntervensiSkala

PengukuranWaktu Rerata SB Nilai P Perbedaan

RerataCI 95% t

Self efficacy

-6.474

klg Kontrol 37,00 2,098 0,000 9,866 6,631 – 12,744

Intervensi 46,69 5,606sosial okupasi Kontrol 31,94 5,183 0,000 13,,188 8,822 –

17,553-6.169

Intervensi 45,13 6,801

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 130: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

129JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

bahwa tidak ada perbedaan rerata self efficacy keluarga dan sosial okupasi klien schizophrenia pada kelompok kontrol dan intervensi setelah intervensi. Hal ini dapat dilihat dari nilai p<0,05.

Tabel 4 menunjukkan terdapat perbedaan rerata antara post dan pretest self efficacy dari 22,88 menjadi 37,00 (95% CI

diantara interval 11,118;-17,132) dan sosial okupasi dari 17,00 menjadi 31,94 (95% CI diantara interval 12,465-17,410). Sehingga disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna setelah diberikan terapi, yaitu berupa terapi psikoedukasi keluarga terhadap self efficacy keluarga dan sosial okupasi klien schizophrenia pada kelompok kontrol. Hal

Tabel 4 Perbedaan Rerata Self Efficacy Keluarga dan Sosial Okupasi Klien Schizophrenia pada Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Intervensi

Skala Pengukuran

Waktu Rerata SB Nilai P CI 95% t

Self efficacy klg

Sebelum 22,88 6,592 0,000 11,118-17,132 -10.001

Sesudah 37,00 2,098sosial okupasi Sebelum 17,00 8,741 0,000 12,465-17,410 -12.887

Sesudah 31,94 5,183

Tabel 5 Perbedaan Rerata Self Efficacy Keluarga dan Sosial Okupasi Klien Schizophrenia pada Kelompok Intervensi Sebelum dan Sesudah Intervensi

Skala Pengukuran

Waktu Rerata SB Nilai P CI 95% t

Self efficacy klg

Sebelum 32,69 8,927 0,000 9,975 – 18,025 -7.413

Sesudah 42,69 5,606sosial okupasi Sebelum 27,63 12,165 0,000 9,937 – 25,063 -4.932

Sesudah 45,13 6,801

Tabel 6 Perbandingan Rerata Self Efficacy Keluarga dan Sosial Okupasi Klien Schizophrenia Kelompok kontrol dan Intervensi Sebelum dan Sesudah Intervensi

Skala Pengukuran

Kelompok Rerata SB Nilai P Perbedaan Rerata

CI 95% t

Self efficacy Pre

-3.547Kontrol 22,88 6,592 0,001 9,875 4.19 –

15.56 Intervensi 32,69 8,927

Fungsi Sosial Okupasi Pre

-2.837

Kontrol 17 8,741 0,008 10,625 2.977 – 18.273

Intervensi 27,63 12,165Self efficacy

Post-6.474

Kontrol 37 2,098 0 9,688 6.631 – 12.744

Intervensi 46,69 5,606Fungsi Sosial Okupasi Post

-6.169Kontrol 31,94 5,183 0 13,188 8.822 –

17.553Intervensi 45,13 6,801

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 131: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

130 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

ini dapat dilihat dari nilai p<0,05. Tabel 5 menunjukkan terdapat perbedaan

rerata antara post dan pretest self efficacy dari 32,69 menjadi 42,69 (95% CI diantara interval 9,975;-18,025) dan sosial okupasi dari 27,63 menjadi 45,13 (95% CI diantara interval 9,937-25,063). Sehingga disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna setelah diberikan terapi, yaitu berupa terapi psikoedukasi keluarga terhadap self efficacy keluarga dan sosial okupasi klien schizophrenia pada kelompok intervensi. Hal ini dapat dilihat dari nilai p<0,05.

Pada tabel 6 diketahui bahwa perbandingan rerata self efficacy keluarga paling tinggi mengalami perubahan yaitu kelompok intervensi meningkat dari 32,69 menjadi 46,69 dan rerata fungsi sosial okupasi klien schizophrenia meningkat dari 12,165 menjadi 45,13. Pada kelompok kontrol, walaupun terjadi peningkatan namun tidak terlalu besar, yaitu rerata self efficacy keluarga dari 22,88 menjadi 37,00 dan rerata fungsi sosial okupasi klien schizophrenia meningkat dari 17,00 menjadi 31,94. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara self efficacy keluarga dan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia pada kelompok intervensi dengan nilai p-value sebesar 0,000.

Pembahasan

A. Perbedaan Rerata Self-Efficacy Keluarga dan Fungsi Sosial Okupasi pada Kelompok Kontrol dan Intervensi Sebelum Intervensi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata self-efficacy dan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum intervensi adalah sama. Hal ini dilihat dari nilai p<0,05. Interpretasi nilai CI 95% yang berarti nilai rerata self efficacy keluarga berada diantara interval 4,190 sampai 15,560; dan nilai rerata dari fungsi sosial okupasi klien schizophrenia berada diantara interval 2,977 sampai 18,273.

Hasil tersebut terjadi dikarenakan caregiver yang merawat klien schizophrenia biasanya memiliki hubungan keluarga, baik sebagai saudara kandung atau sebagai anak kandung. Berdasarkan hasil penelitian

diperoleh karekteristik responden kelompok kontrol dan intervensi mempunyai karekteristik yang sama yaitu hampir seluruh responden perempuan, yaitu pada kelompok kontrol 13 orang (81,25 %) dan kelompok intervensi 15 orang (93,75 %) orang dan hampir setengah responden mempunyai hubungan sebagai anak yaitu kelompok kontrol 7 orang (43,75%), dan sebagian besar responden mempunyai hubungan sebagai saudara kandung yaitu kelompok intervensi 9 orang (56,25%).

Keluarga biasanya merawat klien schizophrenia yang memiliki masalah-masalah kesehatan dan keterbatasan dalam merawat dirinya sendiri, meliputi bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, finansial, bimbingan, persahabatan sampai melatih dalam fungsi sosial okupasi. Berdasarkan Janca et al (1996) dan WHO (1998) fungsi sosial okupasi pada individu dengan gangguan mental (khususnya pada klien schizophrenia), antara lain perawatan diri (yang mengacu pada kebersihan diri, ganti baju dan makan), kinerja kerja (yang mengacu pada fungsi yang diharapkan dibayar kegiatan, belajar, pekerjaan rumah tangga), berfungsi dalam kaitannya dengan anggota keluarga dan rumah tangga (yang mengacu interaksi diharapkan dengan pasangan, orang tua, anak-anak atau kerabat lainnya) dan berfungsi dalam konteks sosial yang lebih luas (yang mengacu sesuai sosial interaksi dengan anggota masyarakat, dan partisipasi dalam olahraga dan lainnya kegiatan sosial). Self efficacy sangat penting karena caregiver memiliki self efficacy tinggi, ketika mendapatkan tugas akan merasa tertantang dan berpikir untuk melakukan sebuah cara (Bandura, 1997).B. Perbedaan Rerata Self Efficacy Keluarga dan Fungsi Sosial Okupasi pada Kelompok Kontrol dan Intervensi Setelah Intervensi

Hasil uji statistik perbedaan rerata rerata self efficacy keluarga dan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia pada kelompok kontrol dan intervensi setelah intervensi dengan nilai p<0,05 yang berarti bahwa rerata data kedua kelompok setelah intervensi adalah tidak sama sehingga ada perbedaan yang bermakna. Hasil tersebut dimungkinkan karena kelompok intervensi

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 132: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

131JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga serta memperoleh kesempatan bertanya kepada perawat sehingga pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki jauh lebih banyak. Sesuai dengan tujuan terapi keluarga dirancang untuk memberikan edukasi tentang penyakit, mengajarkan teknik-teknik kepada caregiver untuk mengatasi perubahan perilaku dan menguatkan kekuatan keluarga (National Alliance for The Mental Ill/ NAMI; Mc Farlane, 1995 dalam Stuart & Laraia, 2005).

Hasil penelitian menunjukkan hampir setengah dari responden berusia 46-55 tahun yaitu kelompok kontrol 6 orang (37,5%) dan berusia 36-45 tahun yaitu kelompok intervensi 6 orang (37,5%). Rentang usia caregiver yaitu masa dewasa akhir dan lansia. Usia dewasa seorang caregiver akan memengaruhi persepsi dan pengetahuan tentang schizophrenia termasuk pada pengertian, penyebab, tanda dan gejala, perawatan serta pengobatan klien schizophrenia. Terapi psikoedukasi keluarga menunjukkan hasil pada kelompok intervensi bahwa waktu kekambuhan secara statistik lebih panjang jika dibandingkan dengan kelompok kotrol (dengan nilai p = 0,002) (Shimazu et al., 2008). Peran perawat jiwa selain memberikan asuhan keperawatan, sebagai pendidik (Kohnke, 1982 dalam Videback, 2008), peran perawat lainnya adalah melakukan asuhan keperawatan yang relevan dimana perawat yang memiliki sertifikasi adalah memberikan terapi psikoedukasi keluarga sesuai dengan kondisi pasien (Nasir, & Muhith, 2011).C. Perbedaan Rerata Self Efficacy Keluarga dan Fungsi Sosial Okupasi Kelompok Kontrol Sebelum dan Setelah Intervensi Intervensi

Hasil uji statistik perbedaan rerata self efficacy keluarga dan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi mempuyai nilai p <0,05 yang artinya terdapat perbedaan pada rerata self efficacy keluarga dan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia sebelum dan sesudah intervensi kelompok kontrol. Hasil tersebut bias terjadi karena kelompok kontrol tidak mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga sehingga pengetahuan dan pemahaman akan schizophrenia tidak

bertambah. Dari karekteristik responden, bahwa sebagian besar merupakan lulusan SD pada kelompok kontrol 10 orang (62,5%) dan kelompok intervensi 13 orang (81,25%). Sebagian besar responden tidak bekerja pada kelompok kontrol 7 orang (43,75%) dan kelompok intervensi 9 orang (56,25%). Serta sebagian besar responden mempunyai penghasilan kurang dari 1 juta pada kelompok kontrol 14 orang (87,5%), dan hampir seluruh responden mempunyai penghasilan kurang dari 1 juta pada kelompok intervensi 15 orang (93,75%).

Hasil penelitian sejak tahun 2012 menunjukkan bahwa Kersamanah sudah dibawah binaan Kementrian Sosial, Pemerintah dan menunjuk Panti Sosial Bina Laras Bina Martha sebagai panti rehabilitasi gangguan jiwa dan membuat kegiatan (Usaha Ekonomi Produktif /UEP). Walaupun kelompok kontrol, namun caregiver pernah mendapatkan informasi terkait schizophrenia. Peran perawat dengan adanya program UEP tersebut adalah sebagai pengelola (manajer) yang nantinya mampu mengelola dan mengontrol agar program UEP tersebut bisa berjalan dan berkelanjutan.D. Perbedaan Rerata Self Efficacy Keluarga dan Fungsi Sosial Okupasi pada Kelompok Intervensi Sebelum dan Setelah Intervensi

Hasil uji statistik perbedaan rerata self efficacy keluarga dan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi dengan nilai p < 0,05 yang berarti terdapat perbedaan rerata rerata self efficacy keluarga dan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi. Hasil tersebut terjadi karena kelompok intervensi mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga selama empat minggu dengan tiga kali pertemuan, sehingga pengetahuan caregiver bertambah.

Dixon dan Lehman (1995) menyimpulkan bahwa intervensi keluarga melalui pemecahan masalah dan psikoedukasi keluarga dapat menurunkan gejala positif dan negatif, sehingga klien schizophrenia dapat lebih fokus pada fungsi sosial.

Pada penelitian ini, dilakukan terapi psikoedukasi keluarga pada kelompok

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 133: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

132 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

intervensi (16 responden) dengan cara individu dan berkelompok. Intervensi secara individual terhadap setiap caregiver dilakukan untuk sesi pertama dan kedua. Bustillo (2000) menyatakan bahwa intervensi secara individual karena setiap caregiver mempunyai permasalahan yang berbeda-beda, manfaatnya adalah meningkatkan kepatuhan dalam penggunaan obat dan tambahan informasi mengenai penyakitnya yang tidak diperolehnya dari dokter karena tidak sempat bertanya, malu bertanya Pada sesi ketiga dan keempat dilakukan secara berkelompok,didasari bahwa pelaksanaan terapi lebih efektif jika dilakukan secara berkelompok dibandingkan dengan pelaksanaan secara individual (Varcarolis, 2006).

Sesi terapi psikoedukasi keluarga yang digunakan dalam penelitian adalah sebanyak 4 sesi, walaupun NAMI (1999) membuat sepuluh sesi terapi psikoedukasi keluarga. Peneliti lainnya yang juga menggunakan empat sesi dalam intervensi terapi psikoedukasi keluarga, yaitu Sari, (2009), Imelisa (2012), dan Ridwan, (2012). Keempat sesi dalam tetapi psikoedukasi keluarga dimulai dari pengkajian masalah keluarga, perawatan klien gangguan jiwa, keyakinan diri keluarga yang merawat klien serta fungsi sosial dan okupasi klien schizophrenia, dengan tujuan agar perawat memberikan edukasi kepada keluarga mengenai cara–cara merawat klien schizophrenia. Pada saat pelaksanaan terapi, responden dibagi buku manual (booklet) sebagai media.E. Perbandingan Rerata Self Efficacy Keluarga dan Fungsi Sosial Okupasi pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi Sebelum dan setelah Intervensi

Penelitian menunjukkan bahwa perbandingan rerata self efficacy keluarga sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi yang paling tinggi mengalami perubahan yaitu kelompok intervensi meningkat dari 32,69 menjadi 46,69 dan rerata serta sosial okupasi klien schizophrenia meningkat dari 12,165 menjadi 45,13. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara self efficacy keluarga dan sosial okupasi klien schizophrenia pada kelompok intervensi

sebelum dan sesudah intervensi dengan nilai p-value sebesar 0,000. Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol adanya terjadi juga peningkatan namun tidak terlalu besar dari 17,00 menjadi 31,94. Walaupun pada kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi, namun adanya responden pada satu desa menyebabkan kemungkinan terjadi komunikasi diantara responden tersebut.

Pada kelompok intervensi, caregiver yang mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga termasuk materi tentang self efficacy. Hal ini sejalan dengan penelitian Pitschel-Walz, Leucht, Bäuml, Kissling, dan Engel (2001) bahwa dukungan keluarga yang diberikan bersamaan dengan pengobatan medis lebih efektif dalam proses penyembuhan. Hasil penelitian di Cina, bahwa klien schizophrenia yang mendapatkan terapi psikofarmaka yang dikombinasikan terapi psikososial mengalami peningkatan fungsi sosial okupasi (Guo et al., 2010). Keluarga berperan penting dalam menentukan asuhan keperawatan di rumah, memiliki fungsi strategis dalam menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya serta pasien dapat beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya (Dinosetro, 2008). Peningkatan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia terjadi bila caregiver mampu merawat dan mampu untuk mengawasi klien minum obat (Jenkins dkk., 2006). Sehingga Implikasi keperawatan adalah edukasi tentang penyakit dan tentang pentingnya minum obat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sosial okupasi klien schizophrenia mengalami perubahan, sehingga dapat diketahui bahwa caregiver telah memili self efficacy yang tinggi. Morimoto & Matsuyama (2010) menyatakan self efficacy memengaruhi perilaku caregiver, seperti tidak lagi mengurung klien schizophrenia di rumah. Sesuai hasil penelitian secara umum caregiver mengalami peningkatan self efficacy karena caregiver telah mendapatkan informasi tentang schizophrenia. Penelitian ini memiliki keterbatasan dimana pada saat penelitian yaitu dari mulai pretest sampai dengan waktu posttest (selama tiga minggu) kemungkinan terjadi adanya interaksi antar responden yang berada pada satu desa yang sama.

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 134: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

133JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Simpulan

Trapi psikoedukasi keluarga mempunyai pengaruh terhadap self efficacy keluarga dan peningkatan fungsi sosial okupasi klien schizophrenia sehingga terapi ini dapat digunakan oleh caregiver yang merawat klien dengan schizophrenia. Terapi psikoedukasi keluarga mudah dipelajari dan digunakan oleh caregiver serta tidak menimbulkan efek negatif pada klien schizophrenia.

Daftar Pustaka

Ambarani. (2007). Peningkatan keterampilan sosial melalui teknik modeling untuk meminimalkan stresor lingkungan bagi schizophrenia. Disampaikan pada Konferensi Nasional Stres Manajemen dalam Berbagai Setting Kehidupan, Bandung.

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders, (4th Ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association Press.

Balitbangkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Depkes.

Bandura, A. (1995) Self-efficacy in changing societies. Canbridge University Press.

Bijl V. d & Baggett S. LM. ( 2002). The theory and measurement of the self efficacy construct. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11871579.

Bustillo J. (2000). Schizophrenia: psychosocial treatment. Kaplan and Sadock’s Comprehensive Texbook of Psychiatry (7th Ed.). Philadelphia, PA: Lippincott Williams and Wilkins: 1210-1212..

Cameron, A.D. (2004). Psychiatry (2nd Ed.), United Kingdom: Elsivier Science Limited.

Chang J.s., Ahn Y.M., Park H J., Lee K.Y., Kim S. H., Kang U.G., Kim Y. S. ( 2006). Aripiprazole augmentation in Clozapine- treated patients with refractory schizophren. Chien, T.W., & Wong, F.(2007). A family psychoeducation group program for chinese

people with schizophrenia in Hongkong. Arlington.

Corrigan, P.W., & Larson, J.E. (2008). Stigma clinical handbook of schizophrenia. New York, USA: The Guildford Press. 533–540.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2011). www.depkes.go.id Diakses 16 April 2015

Dinosetro. (2008). Hubungan antara peran keluarga dengan tingkat kemandirian kehidupan sosial bermasyarakat pada klien skizofrenia post perawatan di Rumah Sakit Jiwa Menur. Tersedia pada http://dinosetro.multiply.com/guestbook?and=andpage=3. Diakses. pada tanggal 12 April 2015.

Dixon L.B., & Lehman A.F. (1995) Family Intervention for Schizophrenia. Schizophrenia 21(4): 631–643.

Dolan, P., Canavan, J., & Pinkerton, J. (2006). Family support as reflective practice. London : Jessica Kingsley Publisher.

Guo, X., Zhai, J., Liu, Z., Fang, M., Wang. B., Wang, C, ..., Zhao, J. (2010). Effect of antipsychotic medication alone vs combined with psychosocial intervention on outcomes of early-stage schizophrenia: A randomized, 1-year study. Arch Gen Psychiatry, 67(9), 895-904.

Hawari, D. (2007). Pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Hunter, R. & Barry, S. (2010). Impact of negative symtomps on psychosocial functioning in schizophrenia. EGOFORS Research Group. Retrieved from http://www.psyring.co.uk/media/media_ 142692_en.pdf.; 15 April 2015.

Imelisa, R. (2012). Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran pengawas minum obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut. Tesis.Irmansyah. (2006). Pencegahan dan intervensi dini skizofrenia. Retrieved from

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 135: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

134 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0410/19/ilpeng/1331282.htm, 12 April 2015.

Janca A., Kastrup M., Katscnig H., Lopez Ibor jr. J. J., Mezzich J.E., Sartorius N. (1996). The World Health Organization Short Disability Asscessment Schedule WHO DAS-S): a tool for the assessment of difficulties in selected area of functioning of patients with mental disorders. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 31: 349–354.

Kembaren l. (2011). Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia. www.lahargokembaren.com Diakses 12 April 2015.

Kurtz M. M.., Olfson R. H.., Rose J. (2013) Self efficacy and functional status in schizophrenia. Schizophrenia research.Elsevier. 69(2-3):343–352.

Morimoto, T., & Matsuyama, K. (2012). Influemce of self efficacy on the Interpersonal: Behavior of schizophrenia patient undergoing rehabilitation in psychiatric day care servise. Psychiatry and Clinical Neurosciences, 66, 203–209.

Mottaghipour, Y., & Bickerton. (2005). The pyramid of family care: A framework for family involvement with adulth health servise. Toronto: Prentice Hall Health.

Nasir, A & Muhith, A. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Nice, T.H.E., On,G., & Primary, A.I. (2010). Interventions in the treatment and management of schizophrenia in adults in primary and secondery care. The British Psychological Society & The Royal College Of Psychiatists.

Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. (2003). Psikologi abnormal (Ed. 5, Jilid 2) (Terjemahan: Tim Fakultas Psikologi UI). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Nurdiana, S. (2007) Hubungan Peran Serta Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan Penderita Schizophrenia di RS Dr. Moch.

Ansyari Saleh Banjarmasin. Tesis.

Pieter, Z. H., Janiwarti, B., & Saragih, M. (2011). Pengantar psikopatologi keperawatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Pitschel-W. G., Leucht S., Bauml J., Kissling W & Engel RR. (2001) The Effect of Family Interventions on Relapse and Rehospitalization in Schizophrenia-A Meta Analysis. PMID:11215551 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11215551 Diakses 15 April 2015.

Ridwan. (2012). Pengaruh family psychoeducation therapi Terhadap beban dan kemampuan keluarga merawat klien harga diri rendah di Tasikmalaya. Tesis. Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia..

Rosita. (2011). The Effectiveness of Eclectic Counseling in Improving Social Function Capacity and Quality of Life in Patients with Schizophrenia. Jurnal Kedokteran Indonesia, 2(1).

Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2003). Synopsis of psychiatry ( 9th ed). Philadelphia: Lippincott Williams of psychiatry.

Sari. H. (2009). Pengaruh family psychoeducation therapy terhadap beban dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di Kabupten Bireuen Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta: FIK.

Shimazu K.., Shimodera S., Mino Y., Nishida A., Kamimura N., Sawada K. Hirokazu( 2011). Family psychoeducation for major depression: Randomised controlled trial. The British Journal of Psychiatry 198: 385–390. Stuart. (2009).

Stuart, G.W., & Laraia, M.T. (2005). Principles and practice of Ppychiatric nursing (8th Ed.). Missouri : Mosby, Inc.

Suharto, Edi. (2008). Pekerjaan Sosial dan Paradigma Baru Kemiskinan. http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_24.htm Diakses 15 April 2015.

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Page 136: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

135JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Aat Sriati : Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Terhadap Self Eddicacy Keluarga

Suryani., Komariah, K., Karlin, W. (2014). Persepsi Keluarga terhadap Skizofrenia. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 2(2) 124-131

Varcarolis, E.M., Carson, V.B., & Shoemaker, N.C. (2006). Foundations of psychiatric mental health nursing: A clinical approach, (5th Ed.), St. Louis: Elsevier.

Varcarolis, E.M., & Halter, M.J. (2010). Foundations of psychiatric mental health nursing: A clinical Approach (6th Ed.). Missouri: Elsevie, Inc.

Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan

jiwa (Psychiatric Mental Health Nursing). Jakarta: EGC.

World Health Organization (1998). http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en/.

WHO. (2011). http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en/ Diakses 15 April 2015.

Wiramihardja, S. A. (2005). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT Refika Aditama.

Page 137: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

184 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi pada

1000 Hari Pertama Kehidupan

Rosani Naim, Neti Juniarti, Ahmad YaminFakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Email: [email protected]

Abstrak

Periode emas tumbuh kembang seorang anak dimulai sejak anak dalam kandungan hingga berusia dua tahun. Wanita hamil dan anak-anak usia dibawah 5 tahun berada pada risiko tertinggi micronutrient deficiencies (MNDs), masalah pertumbuhan, penurunan intelektual, komplikasi perinatal dan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu ibu hamil memerlukan program edukasi tentang nutrisi yang tepat untuk kesehatan ibu dan janin. Edukasi berbasis keluarga sesuai program keluarga sehat dapat meningkatkan intensi untuk mengubah perilaku kesehatan. Menurut Theory of Planned Behavior (TPB), bahwa intensi untuk mengubah perilaku dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh edukasi berbasis keluarga terhadap intensi ibu hamil untuk optimalisasi nutrisi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari, Kota Bandung. Desain penelitian menggunakan quasi eksperiment, pre-test and posttest with control group design. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling seluruh ibu hamil yang terdata di Puskesmas sampai bulan November 2016 berjumlah 44 orang yang kemudian dibagi dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kegiatan edukasi dilaksanakan melalui tiga kali pertemuan kunjungan rumah. Analisis data menggunakan Wilcoxon test dan Mann whitney test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara edukasi berbasis keluarga terhadap intensi ibu hamil untuk optimalisasi nutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan (p = 0.00). Program edukasi berbasis keluarga adalah efektif meningkatkan intensi ibu hamil. Dengan demikian, disarankan penerapan edukasi berbasis keluarga dalam intervensi keperawatan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi yang dikandungnya.

Kata kunci: Edukasi berbasis keluarga, intensi, ibu hamil, nutrisi, 1000 hari pertama kehidupan.

Effect Of Family-Based Education Towards Pregnant Mothers’ Intention to Optimize The Nutrition

at 1000 First Day Of Life

Abstract

Children “Golden Period” starts since in the womb until two years after birth. Pregnant mothers and children under five (5) years old are at risk to suffer from micronutrient deficiencies (MNDs), growth problems, intellectual impairment, perinatal complications and increase of morbidity and mortality risks. Therefore pregnant mothers need an education program about proper nutrition for mothers’ and the fetus’ health.Family based education can improve intention to change health behavior. According to Theory of Planned Behavior (TPB, behaviour is influenced by attitudes, subjective norms and perceived behavioral control. Intention in order to change the behavior. The study aimed to identified the effect of family-based education towards pregnant mothers’ intention to optimize the nutrition at 1000 First Day of Life in the working area of Puskesmas Neglasari, BandungResearch design was quasi experiment, pre-test and post-test with control group design. A total of 44 pregnant mothers’ were recruited and divided into intervention and control group. Intervention were conducted three times through home visits. The data were analyzed using Wilcoxon test and Mann Whitney testThe findings showed that there was a significant effect between the family-based education towards pregnant mothers’ intention to optimize the nutrition of 1000 first days of life (p = 0.00). Thus, it is recommended to apply family based education in nursing intervention to improve of mothers and fetus health.

Keywords : Family based education, intention, pregnant mothers’, nutrition, 1000 first days of life.

Page 138: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

185JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pendahuluan

Secara global, hampir 800 juta orang mengalami masalah gizi kronis dan 159 juta anak di bawah usia 5 tahun yang terhambat. Sekitar 50 juta anak di bawah 5 tahun yang mengalami gizi kurang (wasting), lebih dari dua miliar orang menderita kekurangan gizi mikro dan 1,9 miliar orang dipengaruhi oleh kelebihan berat badan serta lebih dari 600 juta mengalami obesitas. Prevalensi obesitas/kelebihan berat badan meningkat dihampir semua Negara (WHO, 2016) Indonesia termasuk dalam 17 Negara dari 117 Negara yang saat ini memiliki 3 masalah gizi yaitu stunting (tinggi badan dibawah standar), wasting (sangat kurus) dan overweight (kelebihan berat badan). Indonesia juga termasuk dalam 47 Negara dari 122 Negara yang mempunyai masalah anemia pada wanita usia subur (WUS) dan cakupan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), ASI Eksklusif, Tablet Tambah Darah (TTD) ibu hamil terbilang masih rendah (Achadi, 2015)

Masalah gizi ibu dan anak adalah penyebab 3–5 juta kematian, 35% dari beban penyakit pada anak-anak dibawah 5 tahun dan 11% dari total Disability Adjusted Life Years (DALYs) global. Jumlah kematian global dan DALYs pada anak-anak berusia kurang dari 5 tahun dikaitkan dengan stunting, wasting dan pembatasan pertumbuhan intrauterin merupakan persentase terbesar dari faktor apapun dalam kelompok usia ini. Selain itu, menyusui non-exclusive dalam 6 bulan pertama kehidupan, menyebabkan 1–4 juta kematian dan 10% dari beban penyakit pada anak-anak kurang dari 5 tahun. (Black et al, 2008)

Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 menemukan bahwa 10,2% bayi di Indonesia lahir dengan berat badan rendah (<2500 gram), 19,6% balita di Indonesia memiliki berat badan yang tidak sesuai dengan usianya (gizi kurang) dan 37,2% balita di Indonesia memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya (pendek). Untuk Propinsi Jawa Barat, 10,4% bayi lahir dengan berat badan rendah (<2500 gram), 17% balita memiliki berat badan yang tidak sesuai dengan usianya (gizi kurang) dan 35% balita memiliki tinggi badan yang tidak

sesuai dengan usianya (pendek) (Riskesdas, 2013). Sedangkan persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan tahun 2013 sebesar 54,3%. Angka tersebut masih jauh dari target program Rencana Aksi Akselerasi Pemberian ASI Eksklusif 2012–2014 yang dicanangkan oleh pemerintah yaitu sebesar 80%. Pada tahun 2014, hanya terdapat satu provinsi yang berhasil mencapai target yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 84,7%. Adapun tiga provinsi dengan capaian terendah adalah Provinsi Jawa Barat (21,8%), Papua Barat (27,3%) dan Sumatera Utara (37,6%) (Kemenkes, 2014).

Untuk wilayah Kota Bandung, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bandung tahun 2014, terdapat 2,23% bayi lahir dengan berat badan rendah (<2500 gram), 7,51% balita memiliki berat badan yang tidak sesuai dengan usianya (gizi kurang) dan 8,68% balita memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya (pendek). Untuk cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan adalah 52,80% (Dinkes Kota Bandung, 2014) dan pada tahun 2015, terdapat 812 (8,04%) kasus ibu hamil dengan haemoglobin (Hb) 8–11 gr% dan 20 (0,20%) kasus dengan Hb < 8 gr%. (Dinkes Kota Bandung, 2015). Adapun Cibeunying Kaler merupakan Kecamatan tertinggi dengan bayi lahir berat badan rendah (<2500 gram) yaitu 6,99%. Kecamatan tertinggi dengan balita balita memiliki berat badan yang tidak sesuai usianya yaitu gizi lebih 5,86%, Kecamatan ke-4 tertinggi kasus gizi kurang yaitu 7,66% dan Kecamatan ke-3 tertinggi balita memiliki tinggi badan yang tidak sesuai usianya yaitu 6,73% balita sangat pendek dan 13,30% pendek (stunting) serta cakupan ASI eksklusif termasuk dalam Kecamatan ke-3 terendah yaitu sebesar 23,42% (Dinkes Kota Bandung, 2014).

Dalam upaya penanganan masalah gizi global, Majelis Kesehatan Dunia mengesahkan gerakan Scaling Up Nutrition (SUN). Melalui gerakan SUN (SUN movement) 50 negara termasuk Indonesia berkomitmen untuk memperbaiki lingkungan politik, memajukan kebijakan dan undang-undang dan mempercepat tindakan scaling up gizi yang efektif (WHO, 2016). Di Indonesia, upaya percepatan perbaikan gizi masyarakat, melalui penetapan Peraturan

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 139: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

186 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Presiden No.42 tahun 2013 tentang gerakan nasional percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada 1000 (seribu) Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Adapun kegiatan yang dilakukan, diantaranya melalui intervensi gizi spesifik yang merupakan upaya mencegah gangguan gizi secara langsung yang dilakukan oleh sektor kesehatan dengan sasaran intervensi pada ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0–23 bulan (kelompok 1000 HPK) dan intervensi gizi sensitif, yaitu berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dengan sasaran intervensi pada masyarakat umum.

1000 HPK adalah masa awal kehidupan yang dimulai saat di dalam kandungan sampai 2 tahun pertama setelah kelahiran. Masa ini merupakan periode emas “Golden Period” seorang anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal (Achadi, 2014). Malnutrisi sejak usia kehamilan sangat memengaruhi perkembangan fisik dan kognitif anak kedepan. Gangguan fisik dan kognitif yang diderita anak sejak awal kehidupannya bersifat permanen dan akan memengaruhi generasi mendatang. Artinya masalah status gizi anak di usia dua tahun berkaitan dengan ketika mereka dewasa kelak, termasuk tinggi badan, Body Mass Index (BMI), jika akan bersekolah, bekerja dan keturunan dimasa depan. Anak-anak yang kekurangan gizi di dua tahun, yang kemudian menambah berat badan dengan cepat pasca-bayi, kemungkinan menderita penyakit kronis saat dewasa. Ibu bertubuh pendek dan anemia defisiensi besi, 20% meningkatkan risiko kematian ibu saat melahirkan (Victora et al, 2008)

Bailey (2015) mengungkapkan bahwa wanita hamil dan anak-anak usia di bawah 5 tahun berada pada risiko tertinggi micronutrient deficiencies (MNDs). Besi, yodium, folat, vitamin A, dan kekurangan zinc adalah MNDs paling luas dan menjadi kontributor umum terhadap masalah pertumbuhan, penurunan intelektual, komplikasi perinatal dan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Kramer, MS (2003) mengungkapkan bahwa wanita hamil rentan terhadap kekurangan gizi karena tuntutan kehamilan akan peningkatan kebutuhan nutrisi. Wanita yang tinggal di negera berkembang sangat berisiko mengalami

kekurangan gizi selama kehamilan karena kendala sosial ekonomi, kualitas pola makan yang buruk, intensitas kerja yang tinggi dan siklus reproduksi. Penelitian lain di lakukan oleh Sukchan et al. (2010) mengemukakan bahwa prevalensi ketidakcukupan zat gizi berdasarkan Recommended Dietary Allowance (RDA) adalah masing-masing karbohidrat 86,8%, protein 59,2%, lemak 78,0%, kalori 83,5%, kalsium 55,0%, fosfor 29,5%, besi 45,2%, thiamin 85,0%, riboflavin 19,2%, retinol 3,8%, niacin 43,2%, vitamin C 0,8% dan yodium 0,8%. Faktor usia ibu, tingkat pendidikan, usia kehamilan, indeks massa tubuh sebelum hamil dan tingkat kekerasan di daerah Selatan Thailand secara signifikan terkait dengan kekurangan zat gizi tersebut di atas.

Adapun masalah gizi yang terjadi sejak bayi baru lahir juga disebabkan oleh kegagalan pemberian ASI secara eksklusif. Dona (2013) mengemukakan faktor-faktor penyebab ketidakberhasilan pemberian ASI secara eksklusif, yaitu Ibu yang bekerja, pengetahuan ibu yang kurang dan suami yang tidak mendukung. Saleh (2011) mengungkapkan bahwa pengetahuan ibu tentang ASI hanya sebatas mendengar saja sehingga tidak memiliki keterampilan yang baik dalam mempraktikkannya. Hal tersebut menyebabkan timbul rasa kurang percaya diri ibu sehingga mendorong ibu memberikan susu formula kepada bayi. Hidayat (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa ada 67,9% responden di Jawa Barat telah diberikan cairan pralaktal berupa cairan: madu, air gula atau air kelapa kepada bayinya dan 18,4% telah memberikan susu formula dengan alasan karena ASI belum keluar.

Faktor lain yang menjadi penyebab masalah nutrisi pada 1000 HPK adalah praktik pemberian MP-ASI yang tidak tepat. Keyakinan bahwa makanan pendamping akan membantu meningkatkan berat badan bayi dan pola tidurnya serta pengaruh teman sebaya diketahui memengaruhi keputusan ibu memberikan makan lebih awal (Walsh, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Patel et al (2011) diketahui bahwa prevalensi pengenalan MPASI tepat waktu berdasarkan rekomendasi WHO yaitu 55%, tingkat keberagaman makanan hanya 15,2%, frekuensi makan 41,5% dan diet minimum

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 140: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

187JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

diterima 9,2%. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi yaitu letak geografis, keadaan ekonomi keluarga, pendidikan ibu yang rendah, BMI ibu < 18,5 kg/m2), kurangnya kunjungan ANC, kurangnya kunjungan pasca natal dan kurang terpaparnya terhadap media.

Demikian pula dengan studi yang dilakukan oleh Tang et al (2015) diketahui bahwa usia rata-rata untuk memulai makanan pendamping ASI adalah 4,5 bulan (95%). Jus buah dan jus sayur adalah makanan paling awal diperkenalkan kepada bayi di Jiangyou, diikuti oleh kuning telur. Tiga-perempat dari ibu telah memperkenalkan makanan padat kepada bayi mereka sebelum 6 bulan. Adapun faktor-faktor terkait dengan memperkenalkan makanan pendamping sebelum 6 bulan adalah pendidikan ibu, paritas, pengaruh teman, pemberian ASI yang teratur dan usia bayi saat ibu kembali bekerja.

Berdasarkan faktor-faktor penyebab masalah gizi pada kelompok sasaran 1000 HPK tersebut di atas, diketahui bahwa perilaku masyarakat yang kurang baik dalam upaya pemenuhan kebutuhan nutrisi pada “golden period” menjadi faktor timbulnya masalah gizi. Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang memengaruhi kesehatan individu, kelompok dan masyarakat (Blum, 1974 dalam Notoatmodjo, 2012).

Theory of Planned Behavior (TPB) menjelaskan bahwa individu akan mengambil bagian dalam perilaku ketika mereka percaya tindakan mereka akan menghasilkan kepuasan, ketika perilaku tersebut dianggap berharga oleh orang lain yang penting bagi individu tersebut dan ketika individu memiliki keterampilan, pengetahuan, dan keyakinan untuk melakukan perilaku tersebut (Bartholomew, et al, 2006). Teori ini mencakup strategi untuk meningkatkan rasa percaya diri ibu dalam kemampuannya memenuhi kebutuhan gizi saat kehamilan, menyusui dan memberikan MP-ASI secara benar, memperkuat keyakinan ibu terhadap keuntungan pemenuhan nutrisi yang tepat dan meningkatkan pemanfaatan sistem pendukung untuk optimalisasi nutrisi ibu dan janin. Perilaku ibu hamil dalam memenuhi kebutuhan akan zat gizi ditentukan oleh seberapa besar niat atau intensinya. Semakin besar intensitas niat maka semakin besar pula

kemungkinan seseorang untuk berperilaku. (Bartholomew, et al, 2006)

Balogun et al (2016) mengungkapkan bahwa niat untuk memberikan ASI eksklusif pada masa prenatal merupakan prediktor kuat pemberian ASI secara eksklusif. Risiko penghentian pemberian ASI eksklusif secara signifikan lebih rendah pada wanita dengan niat ASI eksklusif yang kuat. Faktor risiko lain yang dapat menyebabkan penghentian pemberian ASI eksklusif yaitu pemberian makan pra-lakteal dan jenis persalinan. Ada dua teori yang dapat mengukur intensi atau niat seseorang untuk berperilaku, yaitu Theory of Reasoned Action (TRA) and Theory of Planned Behaviour (TPB) yang merupakan pengembangan dari TRA (Ajzen, 1991; Ajzen, 2005). Akan tetapi TPB ini lebih banyak digunakan dalam penelitian kesehatan. Penelitian lain dikemukakan oleh Riebl, et al (2015) bahwa TPB merupakan teori paling sering digunakan untuk mengevaluasi pola makan sehat, makanan ringan bergula dan konsumsi minuman. Sikap memiliki hubungan kuat dengan niat perilaku diet, sedangkan niat adalah prediktor yang paling umum dari kinerja perilaku. Secara keseluruhan, kerangka kerja teori TPB efektif untuk mengidentifikasi dan memahami intensi individu dalam perilaku gizi anak dan remaja. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk menggunakan teori TPB untuk mengetahui intensi ibu hamil dalam optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK.

Untuk membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui pendidikan. Pendidikan kesehatan adalah kombinasi pengalaman belajar yang direncanakan berdasarkan teori yang menyediakan kesempatan bagi individu, kelompok dan masyarakat untuk memperoleh informasi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan kesehatan yang berkualitas (Wurzbach, 2004 dalam Edelman & Mandle, 2006). Shi, et al (2011) mengungkapkan bahwa praktek pemberian makanan pelengkap yang tidak tepat telah diidentifikasi sebagai penyebab utama kekurangan gizi pada anak-anak di negara berkembang. Melalui intervensi pendidikan menyapih dan pemberian makan bayi secara efektif dapat meningkatkan praktik

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 141: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

188 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

pemberian makanan tambahan, gizi dan pertumbuhan anak.

Intervensi pendidikan kesehatan yang menggunakan teori TPB telah berhasil diterapkan pada beberapa penelitian, diantaranya oleh Zeidi, (2015) mengungkapkan bahwa teori TPB merupakan teori yang tepat untuk menjelaskan dampak dari faktor psikososial untuk desain dan implementasi program-program pendidikan dalam rangka meningkatkan pemberian ASI eksklusif pada primipara. Intervensi pendidikan yang dilakukan menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam sikap, norma subjektif, yang dirasakan kontrol perilaku, self-efficacy, niat dan perilaku menyusui pada ibu primipara di kota Tonekabon. Zhang, et al. (2009) juga mengemukakan efektivitas intervensi pendidikan pada perilaku pemberian makan bayi berdasarkan TPB dan untuk menilai efek prediksi variabel niat dan paktek pemberian makan pada bayi, bahwa kelompok intervensi memiliki skor signifikan lebih tinggi dari kontrol dalam pengetahuan, sikap, self-efficacy, niat, keyakinan norma, serta perilaku makan.

Dalam penelitian ini digunakan model Brief Strategic Family Therapy (BSTF) (Austin, Macgowan & Wagner, 2005). yang melilbatkan ibu hamil, suami dan satu anggota keluarga lainnya dalam setiap pertemukan edukasi. Peneliti menggunakan intervensi edukasi berbasis keluarga karena edukasi berbasis keluarga merupakan salah satu bentuk aplikasi praktik keperawatan keluarga dengan pendekatan perkesmas, yang mana keluarga ikut terlibat dan berperan sangat besar pada praktik pemenuhan kebutuhan nutrisi pada ibu hamil dan janin dalam kandungan hingga anak berusia 2 tahun kelak. Adapun peran perawat komunitas yaitu sebagai edukator; memberikan edukasi kepada individu, keluarga dan kelompok masyarakat yang berisiko mengalami masalah kesehatan khususnya sasaran kelompok 1000 HPK yaitu ibu hamil, ibu menyusui dan bayi 0-24 bulan guna meningkatkan status gizi ibu hamil, meningkatkan cakupan ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI secara tepat. Peran perawat ini perlu disinergikan dengan peran tenaga kesehatan lain di Puskesmas sehingga dapat

meningkatkan kesehatan ibu hamil.Penelitian mengenai edukasi berbasis

keluarga telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya yaitu, Watson et al (2011) mengungkapkan bahwa intervensi berbasis keluarga pada keluarga dengan anak-anak kelebihan berat barat dan obesitas terbukti efektif membantu dan mendorong anak-anak dan keluarga mencapai berat badan yang sehat untuk menurunkan risiko penyakit jantung dan berkontribusi mengurangi obesitas pada anak-anak dan remaja. Penelitian lain dikemukakan oleh Khatiban et al. (2013) bahwa pendidikan berbasis keluarga terbukti meningkatkan kesadaran dan harga diri pengasuh pasien stroke dan menyebabkan perawatan pasien menjadi efisien. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Srisuk et al. (2014) dan Sari, Haroen dan Nursiswati (2016) juga menunjukkan bahwa program pendidikan berbasis keluarga efektif meningkatkan pengetahuan dan perawatan diri pada pasien gagal jantung dan Diabetes Mellitus.

Walaupun dari beberapa penelitian tersebut di atas telah terbukti bahwa melalui edukasi berbasis keluarga efektif dalam mengubah perilaku, namun dalam penelitian ini berdasarkan kerangka teori TPB, peneliti hanya melihat intensi ibu hamil untuk optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK, mengingat jangka waktu yang panjang sejak masa kehamilan sampai anak berusia 24 bulan (2 tahun). Melalui intervensi edukasi akan menghasilkan intensi positif pada ibu hamil dan keterlibatan keluarga dalam edukasi diharapkan muncul kesinambungan dari intensi ibu hamil hingga menjadi sebuah perilaku dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pada masa kehamilan, penatalaksanaan inisiasi menyusui dini, pemberian ASI eksklusif dan pemberian MP-ASI yang tepat karena suami dan anggota keluarga dapat menjadi pengingat dan pendukung.

Hasil kajian Susilo (2011) bahwa dalam melakukan pendidikan kesehatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan maka salah satunya dengan cara menggunakan metode pengajaran. Metode pengajaran yang umum digunakan adalah metode ceramah, tanya jawab, kerja kelompok, simulasi dan demonstrasi. Penelitian ini menggunakan metode ceramah berbasis keluarga dengan

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 142: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

189JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

alat bantu media berupa lembar balik dan modul tentang optimalisasi nutrisi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan yang dapat dibaca sewaktu-waktu oleh ibu hamil, suami dan atau anggota keluarga lainnya di rumah.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah di lakukan peneliti menunjukkan bahwa dari 38 ibu hamil yang datang ke Puskesmas, hanya 2 orang ibu hamil saja yang pernah mendengar tentang 1000 HPK, namun ibu tersebut tidak mengetahui secara jelas terkait 1000 HPK tersebut. Ibu-ibu hamil tersebut juga belum merencanakan dan mempersiapkan kebutuhan nutrisi ibu dan bayi sejak masa kehamilan sehingga hal ini berisiko terhadap penurunan kesehatan ibu dan bayi nantinya. Hasil wawancara peneliti dengan koordinator bidang Kesehatan Ibu dan Anak, diketahui bahwa kegiatan edukasi khususnya terkait nutrisi pada ibu hamil, bayi dan baduta sudah lama tidak dilakukan disebabkan oleh kurangnya dana operasional kegiatan sehingga rutinitas pelayanan kesehatan yang dilakukan di Puskesmas Neglasari yaitu pemeriksaan antenatal care pada ibu hamil ibu hamil, imunisasi dan penimbangan pada bayi dan baduta.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penelitian tentang nutrisi pada anak dan ASI eksklusif dengan menggunakan konsep dasar TPB telah banyak dilakukan untuk mengetahui intensi dan perilaku melalui intervensi pendidikan kesehatan, menunjukkan hasil yang signifikan dapat meningkatkan intensi dan perilaku. Namun dari sejumlah literature yang peneliti temukan, penelitian tentang optimalisasi nutrisi pada 1000 hari kehidupan berdasarkan model TPB dan intervensi edukasi berbasis keluarga belum dilakukan, khususnya di Kota Bandung. Oleh karena itu, peneliti akan mencoba menggali lebih dalam lagi tentang edukasi berbasis keluarga terhadap intensi ibu hamil untuk optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Bandung

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan quasi eksperiment pre-test and post-test with control group design.

Kelompok intervensi akan menerima edukasi berbasis keluarga terkait optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK dan kelompok kontrol menerima edukasi dari petugas kesehatan saat melaksanakan pemerikasaan Antenatal Care (ANC) di Puskesmas. Sebelum dilakukan intervensi, pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan pre test, kemudian dilaksanakan edukasi berbasis keluarga. Setelah tiga minggu program edukasi optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK berbasis keluarga dilaksanakan, kemudian dilakukan post test pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Cara pengumpulan data dimulai dengan pre-test, kemudian pelaksanaan edukasi berbasis keluarga dilakukan pada ibu hamil dengan melibatkan suami dan atau 1 orang anggota keluarga yang memiliki hubungan dan pengaruh yang kuat pada ibu hamil yang terdiri dari 3 kali pertemuan, aktivitas setiap pertemuan sebagai berikut :1) Pertemuan I

Pada pertemuan pertama, keluarga menceritakan pemenuhan nutrisi selama masa kehamilan. Setelah itu, peneliti menyampaikan materi edukasi tentang 1000 HPK bagian 1 menggunakan metode ceramah dengan alat bantu berupa lembar balik dan modul 1000 HPK. Tujuan yang diharapkan adalah ibu hamil dan keluarga menyadari pentingnya makanan bergizi pada periode 1000 HPK. Setelah selesai diberikan edukasi, ibu hamil, suami dan atau anggota keluarga terdekat dan peneliti melakukan diskusi seputar materi edukasi. Selanjutnya peneliti melakukan evaluasi tentang materi yang telah disampaikan.2) Pertemuan II

Pada pertemuan kedua, peneliti menyampaikan materi edukasi tentang 1000 HPK bagian 2, yaitu inisiasi menyusui dini (IMD), ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI). Tujuan yang diharapkan adalah ibu hamil mengetahui tentang inisiasi menyusui dini (IMD), ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) dan berniat untuk melaksanakan hal tersebut saat bayinya lahir. Setelah selesai diberikan edukasi, ibu hamil, suami dan atau anggota keluarga terdekat dan peneliti melakukan diskusi seputar materi edukasi.

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 143: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

190 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

3) Pertemuan IIIPada pertemuan ketiga, peneliti

melakukan kunjungan rumah ke keluarga, mengidentifikasi kesulitan yang dihadapi oleh keluarga dan melakukan post test kepada keluarga.

Setelah pertemuan ketiga dilakukan post-test pada keluarga dengan instrumen yang sama pada saat pre-test.

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu hamil dan keluarga yang berada di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung. Populasi ibu hamil yang sesuai kriteria inklusi adalah ibu hamil yang sudah menikah dan bukan dengan status janda, ibu hamil belum pernah mendapatkan edukasi tentang optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK dan bersedia mengikuti kegiatan edukasi didampingi oleh suami dan atau 1 orang anggota keluarga lainnya sehingga diperoleh jumlah 44 orang ibu hamil.

Instrumen penelitian dibuat sendiri oleh peneliti, menggunakan pedoman perencanaan program gerakan nasional percepatan perbaikan gizi dalam rangka 1000 HPK (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2013). Instrumen yang digunakan berupa kuisioner sebanyak 37 pernyataan yang menunjukkan komponen dari konsep TPB yaitu sikap, norma subjektif dan PBC pada ibu hamil. Penentuan skor kuisioner menggunakan Likert Scale dengan jumlah pilihan jawaban yang diberikan sebanyak empat pilihan (skala 1–4) dengan skor minimal dan maksimal dari pilihan jawaban.

Instrumen yang digunakan berupa kuisioner sebanyak 37 pernyataan yang menunjukkan komponen dari konsep TPB yaitu sikap, norma subjektif dan PBC (Ajzen, 2005) pada ibu hamil. Penentuan skor kuesioner menggunakan Likert Scale dengan jumlah pilihan jawaban yang diberikan sebanyak empat pilihan (skala 1–4) dengan skor minimal dan maksimal dari pilihan jawaban. Uji validitas dilakukan kepada dua puluh responden di wilayah kerja Puskesmas Pasir Kaliki Kota Bandung. Setelah data terkumpul maka dilakukan uji konstruksi dengan Pearson Product Moment. Hasil pengolahan data pada variabel intensi yang terdiri dari 20 pernyataan sikap (14 valid dan

6 tidak valid), 19 pernyataan norma subjektif (10 valid, 9 tidak valid) dan 18 pernyataan PBC (13 valid, 5 tidak valid) dengan hasil nilai r antara 0,459 sampai dengan 0,839. Total pertanyaan yang valid sebanyak 37 item. Hasil uji reliabilitas kuesioner nutrisi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan terhadap intensi ibu hamil yang terdiri dari komponen sikap, norma subjektif dan PBC dengan menggunakan Cronbach Alpha adalah 0,954.

Instrument dalam penelitian ini menggunakan content validity, selanjutnya dilakukan uji construct validity. Uji validitas dilakukan kepada dua puluh responden di wilayah kerja Puskesmas Pasir Kaliki Kota Bandung. Setelah data terkumpul maka dilakukan uji konstruksi dengan Pearson Product Moment. Hasil pengolahan data pada variabel intensi yang terdiri dari 20 pernyataan sikap (14 valid dan 6 tidak valid), 19 pernyataan norma subjektif (10 valid, 9 tidak valid) dan 18 pernyataan PBC (13 valid, 5 tidak valid) dengan hasil nilai r antara 0,459 sampai dengan 0,839.

Hasil uji reliabilitas kuesioner nutrisi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan terhadap intensi ibu hamil yang terdiri dari komponen sikap, norma subjektif dan PBC dengan menggunakan Cronbach Alpha adalah 0,954Pilot study dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Puter yaitu pada 3 orang responden. Evaluasi hasil menunjukkan 2 orang ibu hamil dan keluarganya mengerti tentang materi edukasi yang diberikan.

Teknik analisis data terdiri dari univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan terhadap distribusi frekuensi, uji homogenitas karakteristik demografi ibu hamil yang terdiri dari usia, agama, suku, pendidikan dan pekerjaan. Karakteristik ibu hamil yang berhubungan dengan data kehamilan berupa usia kehamilan, gravida dan informasi mengenai 1000 Hari Pertama Kehidupan dan uji normalitas data terhadap sikap, norma subjektif PBC dan intensi ibu hamil untuk optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK. Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan Saphiro Wilk dari aspek pengukuran pre test pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi diperoleh hasil bahwa data berdistribusi tidak normal. Uji homogenitas untuk karakteristik responden menggunakan Uji Mann Whitney.

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 144: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

191JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Analisa dilakukan dengan menggunakan Wilcoxon test untuk membandingkan antara pre test dan post test pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi dan Mann Whitney test untuk membandingkan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Jika nilai signifikansi p-value > 0,05 maka Ho ditolak yaitu tidak ada perbedaan yang signifikan dan jika p-value < 0,05 maka Ho diterima.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian meliputi analisis univariat yang menggambarkan data karakteristik responden meliputi data ibu hamil dan data kehamilan. Analisis bivariat yang menggambarkan uji perbedaan rata-rata intensi, sikap, norma subjektif dan PBC sebelum dan sesudah kegiatan edukasi berbasis keluarga pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang mendapatkan edukasi perawatan antenatal care (ANC) rutin serta pengaruh dari edukasi berbasis keluarga terhadap intensi ibu untuk optimalisasi nutrisi 1000 Hari Pertama Kehidupan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui rata-rata usia responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol berada pada rentang usia 20-35 tahun dengan 77,3% pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol 100% beragama islam. Responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol rata-rata bersuku sunda dengan 90,9% pada kelompok intervensi dan 95,5% pada kelompok kontrol. Tingkat pendidikan paling banyak yaitu SMA pada kelompok intervensi 54,5% dan kelompok kontrol 63,6%. Jenis pekerjaan ibu yang paling banyak adalah sebagai ibu rumah tangga pada kelompok intervensi 86,4% dan pada kelompok kontrol 81,8%. Jenis pekerjaan suami yang paling banyak adalah sebagai karyawan swasta pada kelompok intervensi 40,9% dan kelompok kontrol paling banyak adalah sebagai buruh 40,9%. Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan p > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa kelima variabel tersebut homogen pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui usia kehamilan ibu terbanyak pada trimester ketiga

baik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Berdasarkan gravida terbanyak pada kelompok intervensi yaitu kehamilan kedua dan ketiga sebesar 36,4% dan pada

kelompok kontrol yaitu kehamilan pertama sebesar 40,9%. Berdasarkan informasi mengenai 1000 Hari Pertama Kehidupan yang paling banyak yaitu tidak pernah mendengar atau mengetahui informasi 1000 HPK pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan p > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa keempat variabel tersebut homogen pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.

Hasil uji perbedaan nilai intensi dengan menggunakan Wilcoxon test pada kelompok kontrol disajikan pada tabel 4.3 berikut.

Berdasarkan tabel 4.3 menggambarkan uji perbedaan intensi dan komponennya berdasarkan Theory of Planned Behavior sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol diketahui nilai p value pada komponen sikap dan PBC = 0,06 dan 0,15 (> 0,05) artinya tidak ada perbedaan bermakna pre test dan post test mendapatkan edukasi melalui pelayanan antenatal care. Namun nilai p value norma subjektif dan intensi = 0,02 (< 0,05) artinya ada perbedaan bermakna pre test dan post test mendapatkan edukasi melalui pelayanan antenatal care untuk optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK

Hasil uji perbedaan nilai intensi dengan menggunakan Wilcoxon test sebelum dan sesudah mendapatkan edukasi berbasis keluarga pada kelompok intervensi disajikan pada tabel 4.4 berikut.

Berdasarkan tabel 4.4 menggambarkan uji perbedaan intensi dan komponennya berdasarkan Theory of Planned Behavior sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi yang mendapatkan edukasi berbasis keluarga. Nilai p value pada komponen sikap, norma subjektif dan PBC = 0,00 lebih kecil dari alpha 0,05 artinya ada perbedaan bermakna pre test dan post test mendapatkan edukasi berbasis keluarga untuk optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK

Hasil uji perbedaan intensi dengan menggunakan Mann whitney test sebelum dan sesudah mendapatkan edukasi berbasis keluarga pada kelompok intervensi dan edukasi melalui pelayanan antenatal care (ANC) di Puskesmas pada kelompok kontrol

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 145: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

192 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

disajikan pada tabel 4.5 berikut ;Berdasarkan tabel 4.5 menggambarkan uji

perbandingan intensi sebelum dan sesudah intervensi antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Nilai selisih rata-rata intensi pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah dilakukan intervensi dengan nilai z = -4,91 dan p value = 0,00. Nilai p value = 0,00 lebih besar dari alpha 0,05 artinya ada perbedaan bermakna pre test dan post test pada kelompok intervensi yang mendapatkan edukasi berbasis keluarga untuk optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK.

Pembahasan

Penelitian ini menggunakan Theory of Planned Behavior (TPB). Teori ini dapat digunakan untuk meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasional terhadap perilaku yang bukan dibawah kendali atau kemauan individu sendiri dan untuk mengidentifikasi bagaimana dan kemana mengarahkan strategi-strategi untuk perubahan perilaku dan untuk menjelaskan perubahan perilaku dan untuk menjelaskan pada tiap aspek penting beberapa perilaku manusia (Ajzen, 2005) dan intervensi pendidikan dilakukan sesuai dengan variabel teori untuk mempromosikan perilaku optimalisasi nutrisi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan dari ibu hamil.

Perilaku merupakan tindakan aktual individu akibat faktor-faktor yang memengaruhinya. Menurut Ajzen, intensi merupakan faktor terdekat terjadinya suatu perilaku. Intensi dapat digunakan untuk memprediksi seberapa kuat keinginan individu untuk menampilkan perilaku dan seberapa banyak usaha yang direncanakn atau dilakukan individu untuk melakukan tingkah laku tersebut. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi adalah sikap (sikap), subjective norm (norma subjektif) dan perceive behavior control (PBC) (Ajzen, 2005)

TPB menyediakan suatu kerangka untuk mempelajari intensi atau niat seseorang untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah kombinasi dari sikap, norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku. Sikap individu terhadap perilaku meliputi keyakinan mengenai suatu

perilaku dan evaluasi terhadap hasil perilaku. Norma subjektif yaitu adanya persepsi tentang keyakinan-keyakinan normatif dan motivasi untuk patuh. Sedangkan persepsi kontrol perilaku adalah adanya persepsi mengenai kekuatan yang dirasakan dan keyakinan akan kontrol (Achmat, 2014)

Berdasarkan selisih nilai post dan pre test pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan menggunakan Mann Whitney test, diketahui ada pengaruh yang signifikan p=0,00 (p <0,05). Temuan ini menunjukkan bahwa intervensi edukasi berbasis keluarga berdasarkan TPB efektif memengaruhi niat ibu hamil untuk melaksanakan optimalisasi nutrisi pada 1000 HPK.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pooreh et al, dalam studi quasi-eksperimental terhadap 160 remaja perempuan dari 12–16 thn (80 orang remaja perempuan kelompok kasus dan kelompok kontrol) yang tidak pernah di didik dalam pencegahan hipertensi selama tiga bulan terakhir. Pendidikan diberikan berdasarkan teori perilaku terencana dalam dua bagian yaitu nutrisi dan aktivitas fisik. Hasil independen t-test menunjukkan di bagian gizi, sikap (p = 0,000), norma subjektif (p = 0,025), PBC (p = 0,016) dan niat perilaku (p = 0,025); meningkat secara signifikan. Tentang aktivitas fisik, kecuali norma subjektif (p = 0,219), nilai rata-rata dari sikap (p = 0,001), PBC (p = 0,000) dan niat perilaku (p = 0,000) menunjukkan perbedaan yang signifikan antara dua kelompok. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan berdasarkan teori perilaku terencana efektif memengaruhi niat perilaku pencegahan hipertensi pada remaja perempuan.

Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Ebrahimipour et al. (2016) tentang pengaruh pendidikan berdasarkan Theory of Planned behavior terhadap perilaku kesehatan mulut ibu hamil di Birjand menggunakan quasi experimental study terhadap 150 orang ibu hamil yang dibagi menjadi 75 orang kelompok kasus dan 75 orang kelompok kontrol, dengan hasil bahwa sebelum dilakukan program pendidikan pada kelompok kasus, diperoleh nilai p≥0.05 terhadap pengetahuan, sikap, norma subjektif, PBC, intensi dan perilaku. Setelah intervensi menunjukkan peningkatan

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 146: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

193JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

yang signifikan pada kelompok kasus dengan nilai p <0,05. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan berdasarkan teori perilaku terencana efektif memengaruhi niat perilaku kesehatan mulut pada ibu hamil.

Penelitian oleh Khatiban et al. (2013) membuktikan bahwa pendidikan berbasis keluarga meningkatkan pengetahuan dan harga diri pada pengasuh pasien stroke yang berefek positif pada perawatan yang efisien pada pasien. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Srisuk et al. (2014) membuktikan bahwa pendidikan berbasis keluarga meningkatkan pengetahuan, perawatan diri dan health related quality of life (HRQoL) pada pasien gagal jantung dan pengasuh di pedesaan Thailand.

Walaupun secara umum terdapat perbedaan intensi, sikap, norma subjektif dan PBC pada kelompok intervensi dan kontrol, penelitian ini juga menunjukkan bahwa kelompok kontrol yang menerima penyuluhan antenatal di Puskesmas juga mengalami perbedaan yang signifikan dalam aspek norma subyektif yang pada akhirnya berpengaruh terhadap intensi ibu-ibu hamil. Hal ini terjadi karena norma subjektif menggambarkan kepercayaan secara normative dan motivasi individu untuk mematuhi hal tersebut (Bock et al. 2005). Norma subjektif ini juga dipengaruhi oleh adanya dukungan sosial dari teman sebaya atau tenaga kesehatan. Pemberian informasi oleh tenaga kesehatan dalam pelayanan antenatal dapat mengubah norma subyektif ibu-ibu hamil yang pada akhirnya dapat memengaruhi intensi. Akan tetapi masih ada komponen lainnya yaitu sikap dan PBC yang belum dapat ditingkatkan sehingga intensi yang dihasilkan tidak sekuat jika semua komponen intensi dapat ditingkatkan (Ajzen, 2005). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Pramukti, Hill, & Isa (2014) yang menunjukkan bahwa walaupun ibu-ibu hamil dipengaruhi oleh orang-orang disekitarnya, tetapi keputusan untuk memberikan ASI eksklusif tetap ada pada ibu-ibu tersebut.

Pendidikan adalah elemen kunci dalam keberhasilan kesehatan layanan perawatan, termasuk edukasi optimalisasi nutrisi pada ibu hamil dan pendekatan terbaik adalah edukasi yang melibatkan keluarga sebagai orang terdekat bagi klien. Edukasi berbasis keluarga merupakan salah satu upaya

pemberdayaan untuk memperkuat peran keluarga sebagai lingkungan yang paling berpengaruh terhadap status kesehatan anggota keluarga, khususnya pada ibu hamil.

Penelitian tentang pengaruh edukasi berbasis keluarga telah banyak dilakukan oleh peneliti lain, demikian pula dengan penelitian-penelitian yang menggunakan Theory of Planned Behavior sebagai framework. Namun dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mengetahui pengaruh edukasi berbasis keluarga terhadap intensi ibu hamil untuk optimalisasi nutrisi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan dengan menggunakan metode ceramah, yang mana metode ini cukup baik pada sasaran dengan pendidikan tinggi dan rendah. Khairani (2009) mengemukakan bahwa ada perbedaan pengetahuan, sikap dan intensi para siswa Sekolah Dasar di Jambi untuk mencuci tangan menggunakan sabun melalui metode ceramah, demonstrasi dan latihan. Adapun media yang digunakan berupa lembar balik dan modul yang dapat dibaca sewaktu-waktu serta mudah dipahami oleh ibu hamil, suami dan atau anggota keluarga lainnya. Siti (2010) dalam penelitiannya berpendapat bahwa penggunaan media pembelajaran terhadap materi yang diajarkan merupakan faktor yang memengaruhi efektifitas dalam proses pendidikan sebab periode emas tumbuh kembang anak adalah penentu masa depan anak terhadap kondisi kesehatannya, kecerdasan fisik dan mental anak serta daya saing anak sebagai generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, intervensi edukasi ini diharapkan dapat meningkatkan niat ibu dan pada akhirnya menjadi perilaku pada ibu hamil dan keluarga terhadap pemenuhan gizi pada 1000 HPK.

Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu;Jumlah sampel yang terbatas karena terbatasnya jumlah ibu hamil pada saat pengumpulan data.

Daftar Pustaka

Achadi, L.E (2014) Periode Kritis 1000 Hari

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 147: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

194 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pertama Kehidupan Dan Dampak Jangka Panjang Terhadap Kesehatan dan Funginya. Departemen Gizi Kesmas, FKM Universitas Indonesia, Disampaikan Pada “Kursus Penyegar Ilmu Gizi” oleh PERSAGI.

Achadi, L.E (2015) Global Nutrition Report, Dimana Posisi Indonesia? http://gizi.depkes.go.id/global-nutrition-report-dimana-posisi-indonesia.

Ajzen I (1991). The Theory Of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Process, 50, 179–211.

Ajzen I (2005). Attitudes, Personality and Behavior. Edisi ke-2. Manstead T, Editor London Open University Press.

Ajzen I (2006) Constructing A Theory Of Planned Behavior Questionnaire http://people.umass.edu/aizen/pdf/tpb.measurement.pdf.

Ajzen I (2011) Behavioral interventions : Design and Evaluation Guided by the theory of planned behavior. In : Mark MM, Donaldson SI, Campbell BC, editors. Social psychology for program and policy evaluations. New York : Guilford. P.74–100.

Austin, A. M., Macgowan, M. J., & Wagner, E. F. (2005). Effective family-based interventions for adolescents with substance use problems: A systematic review. Research on social work practice, 15(2), 67–83.

Balogun, O., Kobayashi, S., Anigo, K., Ota, E., Asakura, K., & Sasaki, S. (2016). Factors Influencing Exclusive Breastfeeding in Early Infancy: A Prospective Study in North Central Nigeria. [Article]. Maternal & Child Health Journal, 20(2), 363–375.

Bartholomew LK, Parcel GS, Kok G, Gottlieb NH. (2006) Planing Health Promotion Programs: An Intervention Mapping Approach. Edisi 2nd. San Fransisco: Jossey-Bass.

Black, R. E., Allen, L. H., Bhutto, Z. A., Caulfield, L. E., de Onis, M., Ezzati, M., et al. (2008). Maternal and child undernutrition:

global and regional exposures and health consequences. (Cover story). [Article]. Lancet, 371(9608), 243–260.

Bock, G-W, Zmud, RW, Kim, Y-G & Lee, J-N (2005), Behavioral intention formation in knowledge sharing: examining the roles of extrinsic motivators, social-psychological forces, and organizational climate, MIS quarterly, pp. 87-111.

Dinas Kesehatan Kota Bandung, (2014) Profil Kesehatan Kota Bandung.

Dinas Kesehatan Kota Bandung, (2015) Profil Kesehatan Kota Bandung.

Dona, S (2013) Pengaruh Pekerjaan Ibu, Pengetahuan Ibu dan Dukungan Suami Terhadap Ketidakbehasilan Pemberian ASI eksklusif Di Kotamadya Bandung.

Ebrahimipour S, Ebrahimipoiur H, Alibakhshian F & Mohamadzadeh, M (2016) Effect of Education Based On The Theory Of Planned Behavior On Adoption Of Oral Health Behaviors Of Pregnant Women Referred To Health Centers Of Birjand In 2016. Journal of International Society of Preventive and Community Dentisry.

Kementerian Kesehatan RI (2009) Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI (2013) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013.

Kementerian Kesehatan RI (2014) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014.

Kementerian Kesehatan RI (2014). Mamperkenalkan : Keluarga Sehat Idamanku, Kota Sehat Kotaku.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2013). Pedoman Perencanaan Program Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan. Jakarta.

Khatiban et al (2013) The Effect of Family-Based Education on Knowledge and Self-

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 148: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

195JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Esteem of Caregivers of Patients With Stroke: a Randomized Controlled Trial. J Mazand Univ. Med Sci 2014; 23(110): 237–43.

Kramer, MS (2003) The Epidemiology of Adverse Pregnancy Outcomes: An Overview. The Journal of Nutrition; 133.

Notoatmodjo, Soekijo. 2010. Promosi kesehatan teori dan aplikasi, edisi revisi. Jakarta : Rineka Cipta.

Patel et al (2011) Determinants of Inappropriate Complementary Feeding Practices in Young Children in India: Secondary Analysis of National Family Health Survey 2005-2006. Maternal & Child Nutrition, pp.28-44.

Peraturan Presiden No.42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.

Pooreh S, & Hosseini N (2015) Impact of Education Based on Theory of Planned Behavior: An Investigation into Hypertension-Preventive Self-care Behaviors in Iranian Girl Adolescent. Iran J Public Health, 44(6) pp.839–847.

Pramukti, I., Hill, M., & Isa, N. B. M. (2014). Mother and Family’s View on Exclusive Breastfeeding in Developing Country. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 2(3).

Riebl, S. K., Estabrooks, P. A., Dunsmore, J. C., Savla, J., Frisard, M. I., Dietrich, A. M., et al. (2015). A systematic literature review and meta-analysis: The Theory of Planned Behavior’s application to understand and predict nutrition-related behaviors in youth. [Article]. Eating Behaviors, 18, 160–178.

Saleh, L Amal (2011) Studi kualitatif: Faktor-Faktor Yang Menghambat Praktik ASI eksklusif.

Sari, C. W. M., Haroen, H., & Nursiswati, N. (2016). Pengaruh Program Edukasi Perawatan Kaki Berbasis Keluarga terhadap Perilaku Perawatan Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Keperawatan Padjadjaran,4(3).

Shi, L., & Zhang, J. (2011). Recent

Evidence of the Effectiveness of Educational Interventions for Improving Complementary Feeding Practices in Developing Countries. [Article]. Journal of Tropical Pediatrics, 57(2), 91–98.

Siti. 2010. Workshop Pembuatan Media Pembelajaran Biologi Berbantuan Komputer tentang Pengelolaan Sampah Organik Sekolah dengan Metode Alami. Jurnal Inotek.

Srisuk N, Cameron J, Ski, CF & Thompson DR (2014) Trial of a Family-Based Education Program For Healrt Failure Patients in Rural Thailand, BMC Cardiovascular Disorders, 14:173.

Susilo, R. 2011. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Yogyakarta : Nuha Medika.

Unicef. Paket Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak, di unduh pada tanggal 12 Juni 2016, http://www.unicef.org/indonesia/id/PaketKonseling-3Logos.pdf.

Tang et al (2015) Predictors of Early Introduction of Complementary Feeding Longitudinal Study. Pediatrics International, 57.126-130.

Victoria, C. G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P. C., Martorell, R., Richter, L., et al. (2008). Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. [Article]. Lancet, 371(9609), 340–357.

Walsh, A., Kearney, L., & Dennis, N. (2015). Factors influencing first-time mothers’ introduction of complementary foods: a qualitative exploration. [journal article]. BMC Public Health, 15(1), 1–11.

WHO (2016) General Assembly proclaims the Decade of Action on Nutrition http://www.who.int/nutrition/GA_decade_action/en/.

Zeidi, IM., Hajiagha AP., Zeidi BM. (2015). Effectiveness of educational intervention on exclusive breast feeding in primipara women: application of planned behavior theory., 21(127), 12–23.

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 149: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

196 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Zhang, J., Shi, L., Chen, D., Wang, J., & Wang, Y. (2009). Using the Theory of Planned Behavior to examine effectiveness of an

educational intervention on infant feeding in China. [Article]. Preventive Medicine, 49(6), 529–534.

Rosani Naim : Pengaruh Edukasi Berbasis Keluarga terhadap Intensi Ibu Hamil untuk Optimalisasi Nutrisi

Page 150: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

197JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dukungan Keluarga dalam Pencegahan Primer Hipertensi

Ronny Suhada Firmansyah, Mamat Lukman, Citra Windani MambangsariFakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Email: [email protected]

Abstrak

Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi hipertensi delam tiga tahun terakhir. Kabupaten Kuningan merupakan wilayah dengan prevalensi hipertensi terbanyak di Indonesia. Kasus hipertensi merupakan salah satu penyakit yang termasuk sepuluh penyakit terbesar selama tiga tahun di seluruh Puskesmas di Kabupaten Kuningan termasuk Puskesmas Windusengkahan yang memiliki catatan kenaikan hipertensi tiga tahun terakhir. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan faktor yang paling berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi pada di Wilayah Kerja Puskesmas Windusengkahan Kabupaten Kuningan. Jenis penelitian adalah penelitian kuantitatif analitik korelasional dengan menggunakan multivariat regresi liniear. Responden pada penelitian ini adalah anggota keluarga usia dewasa baik pria maupun wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Windusengkahan yang memiliki riwayat keluarga hipertensi dan memiliki minimal dua faktor dari risiko hipertensi yang bertempat tinggal bersama keluarga. Pengambilan sampel di setiap kelurahan dalam pada wilayah kerja Puskesmas Windusengkahan ini menggunakan proporsional random sampling. Hasil dari penelitian ini yaitu semua variabel bebas seperti tingkat pengetahuan, faktor spiritual, faktor emosional, tingkat ekonomi, latar belakang budaya, dan praktik keluarga berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi adalah paktor praktik. Persamaan yang muncul dari penelitian ini yaitu dukungan keluarga = 0.442 + 5.331 (Tingkat Pengetahuan Keluarga) + 2.532 (emosional)+ 3.112 (spiritual) + 7.330 (Faktor Praktik Keluarga). Kesimpulan penelitian adalah pengetahuan keluarga, faktor emosional, faktor spiritual dan praktik keluarga lebih ditingkatkan lagi di keluarga dalam memberikan dukungan pencegahan primer hipertensi. Keluarga menjadi faktor penting bagi anggota keluarga dalam pemeliharaan kesehatannya khususnya pada pencegahan primer hipertensi.

Kata kunci: Dukungan keluarga, hipertensi, pencegahan, praktik keluarga.

Analysis of Factors Related to Support Families in Primary Prevention of Hypertension

Abstract

The Ministry of Health stated that in Indonesia increased prevalence of hypertension delam last three years. District Of Kuningan is the region with the highest prevalence of hypertension in Indonesia. District of Kuningan is the region with the highest prevalence of hypertension in Indonesia. Cases hypertension is a disease that includes ten largest disease for three years in all health centers in the district of Kuningan, including health center Windusengkahan hypertension who have a record rise in the last three years. The purpose of this study was to determine the factors most associated with family support in the primary prevention of hypertension work area Puskesmas Windusengkahan District Of Kuningan. This type of research is quantitative correlational anilitik using multivariate linear regression. Respondents in this study is adult family members of both men and women in Puskesmas Windusengkahan who have a family history of hypertension and have at least two risk factors of hypertension are residing with family. Sampling in every village in the Puskesmas Windusengkahan using proportional random sampling. The results of this research are all independent variables such as the level of knowledge, spiritual factors, emotional factors, the level of economic, cultural background, and family practices related to family support in the primary prevention of hypertension. The most dominant factor related to family support in the primary prevention of hypertension is paktor practice. Equations that arise from this research that support families = 0442 + 5331 (level of family Knowledge) + 2,532 (emotional factor) + 3,112 (spiritual factor) + 7.330 (family Practice factor). Conclusion The community nurses should develop a strategy to further enhance the family in providing support in the primary prevention of hypertension. The family is an important factor for the family members in the maintenance of health, especially in primary prevention of hypertension

Keywords: Family practice, family support, hypertension, primary prevention.

Page 151: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

198 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

Pendahuluan

Berdasarkan WHO (2012), negara yang memiliki penghasilan tinggi memiliki prevalensi hipertensi lebih kecil dari negara berkembang atau negara yang memiliki penghasilan yang rendah. Dari 927 juta penderita hipertensi di dunia, sebanyak 333 juta penderita berada di negara maju dan 639 juta penderita sisanya terdapat di negara berkembang. Hipertensi merupakan faktor penting yang memengaruhi hampir satu miliar orang di seluruh dunia dan menyebabkan sekitar 7,1 juta kematian per tahun pada usia dewasa (Osamor & Owumi, 2011).

Prevalensi hipertensi di dunia sebesar 26,4% yang terdiri dari populasi usia dewasa (Huang, Chen, Zhou, dan Wang, 2014). Susilo, Ari, & Wuldanari (2011) menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan peringkat kelima dalam hal kejadian hipertensi di kawasan Asia Tenggara yaitu sebanyak yaitu 15% dari seluruh penduduk.

Kementerian Kesehatan (2013) menyatakan bahwa di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi hipertensi dari 7,6% tahun 2007 menjadi 9,5% pada tahun 2013. Di Indonesia penyakit hipertensi dan komplikasinya merupakan peringkat kelima dari sepuluh besar penyebab kematian tertinggi terhitung dari 41.590 kematian dari Januari sampai Desember 2014 (Balitbangkes, 2014).

Sesuai data dari Riskesdas (2013), bahwa Jawa Barat merupakan provinsi dengan prevalensi hipertensi paling tinggi di Pulau Jawa (29,4%) dengan proporsi faktor risiko hipertensi pada masyarakat Jawa Barat yang menduduki peringkat atas dalam beberapa kategori. Peluang masyarakat di Jawa Barat cukup besar untuk menderita hipertensi bila tidak dilakukan pencegahan sejak dini.

Kabupaten Kuningan merupakan wilayah dengan prevalensi hipertensi terbanyak di Indonesia yaitu sebanyak 43,6 persen (Batlibangkes, 2014). Selain itu kasus hipertensi merupakan salah satu penyakit yang termasuk 10 penyakit terbesar selama 3 tahun sejak 2012 sampai 2014 di seluruh Puskesmas di Kabupaten Kuningan termasuk Puskesmas Windusengkahan yang memiliki catatan kenaikan hipertensi tiga tahun terakhir (Profil Puskesmas Windusengkahan, 2014).

Hipertensi adalah kondisi dimana seseorang mempunyai tekanan darah sistole (Sistolic Blood Pressure) lebih atau sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastole (Diastolic Blood Pressure) lebih atau sama dengan 90 mmHg sesuai kriteria WHO atau memiliki riwayat penyakit hipertensi sebelumnya (Bhadoria, Kasar, dan Toppo, 2014). Wu, Chien, Lin, Chou, dan Chou (2012) menjelaskan bahwa hipertensi menurut diagnosis WHO di Amerika Serikat ialah tekan sistolik > 140 mmHg dan tekan diastoliknya > 90 mmHg.

Menurut Gu, Zang, Wang, Zhang, dan Chen (2014) dan Acelejado (2010) bahwa hipetensi akan menyebabkan serangan jantung, pembesaran pada jantung, gagal jantung, dan strok. Kondisi seseorang yang menderita hipertensi mengalami perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan hambatan berhubungan sosial dengan orang lain menimbulkan respon berduka (Suhadi, 2011). Menurut data dari BPJS (2015) bahwa penyakit hipertensi ringan merupakan penyakit dengan peringkat ke-6 dalam pembiayaan terbesar rawat inap di Rumah Sakit selama tahun 2014 yaitu sebanyak 70.218 kasus.

Menurut Riskesdas (2013) bahwa konsumsi makanan berlemak, berkolesterol tinggi, dan gorengan, provinsi Jawa Barat ada pada peringkat ketiga tertinggi nasional (50,1%) serta berada diatas proporsi nasional yakni 40,7%. Menurut Sugiharto (2007) bahwa konsumsi lemak jenuh menjadi faktor risiko terjadinya hipertensi, nilai p = 0,001; OR = 7,72; 95% CI: 2,45-24,38. Menurut Kapriana & Muhammad (2012) dalam penelitiannya di Semarang menunjukkan bahwa asupan tinggi lemak menjadi faktor risiko kejadian hipertensi obesitik, nilai p = 0,002; OR = 4,3; 95% CI: 1,696-11,069.

Penelitian Asdie, Ahmad, dan Husein (2009) menjelaskan bahwa orang yang obesitas memiliki risiko terkena hipertensi sebesar 2,653 kali lebih tinggi dibdaningkan dengan orang yang tidak obesitas. Hasil penelitian oleh Rahayu (2012) menjelaskan bahwa orang dengan obesitas 8,449 kali lebih berisiko daripada orang yang tidak obesitas.

Dalam hal perilaku merokok, proporsi perokok di Jawa Barat mencapai 27,1%, menjadi peringkat kedua nasional dan

Page 152: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

199JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

menjadi peringkat pertama di Pulau Jawa (Kemenkes, 2013). Wahiduddin, Mannan, dan Rismayanti (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa perilaku merokok merupakan faktor risiko terhadap kejadian hipertensi, dengan OR = 2,32; 95% CI : 1,24-4,35. Menurut Martiningsih (2011) bahwa dengan nilai OR = 5,318 yaitu seseorang yang merokok memiliki risiko untuk mengalami hipertensi sebesar 5,3 kali dibdaningkan dengan responden yang tidak merokok.

Untuk kategori konsumsi makanan asin, proporsi provinsi Jawa Barat sebesar 45,3%, berada diatas rata-rata nasional yakni 26,2% (Kemenkes, 2013). Menurut Mulyati (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa sebanyak 93,7% responden yang mengonsumsi garam natrium lebih menderita hipertensi dengan nilai p = 0,001. Qin-Yu, Boonstra, dan Pan (2014) dalam penelitiannya di Cina menunjukkan bahwa konsumsi garam yang tinggi berhubungan dengan hipertensi dengan nilai p = 0,001.

Wahidudin, et al (2013) menjelaskan bahwa kurangnya aktifitas fisik yang merupakan faktor risiko yang memengaruhi terjadinya hipertensi, dengan OR = 2,67; 95% CI: 1,20-5,90. Hasil penelitian Hashani, Roshi, dan Burazeri (2014) juga didapatkan hasil bahwa aktivitas fisik yang kurang juga berhubungan dengan terjadinya hipertensi dengan OR = 1,98; 95% CI : 1,46-2,74. Proverawati (2010) menjelaskan bahwa dari perilaku sedentari yang berlebihan maka masyarakat berisiko untuk mengalami obesitas yang semakin besar risiko terjadinya hipertensi. Untuk perilaku sedentari, Jawa Barat menduduki peringkat empat tertinggi nasional proporsi penduduk yang melakukan perilaku sedentari lebih dari 6 jam (33,0%). Angka ini melebihi angka nasional perilaku sedentari yakni sebesar 24,1% (Kemenkes, 2013).

Perilaku mengonsumsi alkohol dapat meningkatkan sintesis katekolamin, yang dapat memicu kenaikan tekanan darah (Suiraoka, 2012). Menurut Diyan (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa konsumsi alkohol berhubungan secara signifkan dengan kejadian hipertensi, nilai p = 0,001; OR = 4,3; 95% CI: 1.86-10.28.

Menurut Aditama (2012) bahwa dalam pencegahan hipertensi sebaiknya diawali

dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan gaya hidup menuju arah yang lebih sehat. Menurut Putra (2013) dalam penelitiannya tentang perilaku pencegahan hipertensi kepada warga Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang yaitu hanya sebanyak 24,6% yang memiliki perilaku pencegahan hipertensi primer dengan kategori baik. Menurut Bustan (2007) bahwa pencegahan primer pada penyakit hipertensi dilakukan dengan tujuan supaya orang sehat tetap sehat ataupun orang yang sehat tidak menjadi sakit. Pencegahan hipertensi diwujudkan dengan cara memodifikasi faktor risiko dengan cara memperkuat riwayat alamiah penyakit.

Zulaicha, Muhlisin, dan Nugraha (2013) dalam penelitiannya menunjukkan terdapat sebanyak 32% responden masih memiliki sikap pencegahan terhadap hipertensi yang kurang. Sebagian besar keluarga memiliki persepsi yang salah terhadap kerja yang berlebihan dan merokok tidak menyebabkan hipertensi. Menurut Samaria, Inayah, & Kurniawati (2012) bahwa faktor-faktor yang memengaruhi lemahnya upaya pencegahan hipertensi pada wanita usia produktif adalah pengetahuan yang kurang, keterbatasan paparan informasi, keterbatasan sarana prasarana dan kurangnya dukungan dari keluarga, tetangga dan petugas kesehatan.

Menurut Friedman (2010) bahwa faktor yang memengaruhi dukungan keluarga adalah kelas tingkat ekonomi meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Purnawan (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi dukungan keluarga terdiri dari usia pertumbuhan & perkembangan keluarga, pendidikan atau tingkat pengetahuan keluarga, faktor emosional keluarga, faktor spiritual keluarga, praktik di keluarga, tingkat ekonomi keluarga, dan latar belakang budaya di keluarga. Menurut Elita, Nurchayati, & Amelia (2014) dalam penelitiannya bahwa faktor yang paling memengaruhi dukungan keluarga dalam diet penderita Diabetes Mellitus yaitu tingkat pengetahuan keluarga, praktik dikeluarga, dan faktor tingkat tingkat ekonomi keluarga. Satya & Putri (2015) dalam penelitiannya bahwa yang memengaruhi dukungan keluarga dalam pemberian gizi anak Autis adalah tingkat

Page 153: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

200 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

pendidikan keluarga, tingkat pengetahuan keluarga, tingkat ekonomi, dan usia orang tua. Dari barbagai literature tersebut maka peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi dukungan keluarga pada populasi anggota keluarga dengan risiko hipertensi.

Faktor yang memengaruhi dukungan keluarga dalam pencegahan hipertensi pada anggota keluarga dengan risiko hipertensi yang akan diteliti yaitu tingkat pengetahuan keluarga, faktor emosional, faktor spiritual, faktor tingkat ekonomi, dan faktor latar belakang budaya. Pertumbuhan dan perkembangan keluarga tidak menjadi faktor yang diteliti oleh peneliti karena dari penelitian sebelumnya faktor tersebut lebih cocok ditujukan kapada keluarga yang baru memiliki anak usia pra sekolah dan usia sekolah atau lebih berfokus terhadap pola asuh kepada anak, sehingga peneliti tidak memasukannya ke dalam variabel penelitian.

Berdasarkan studi pendahuluan dengan menggunakan metode home visits kepada sepuluh keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan risiko hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Windusengkahan. Peneliti melakukan wawancara ada 10 keluarga dengan memperoleh hasil bahwa empat keluarga merasa belum perlu memberikan dukungan pencegahan hipertensi karena belum merasakan gejala hipertensi pada anggota keluarganya, dua keluarga merasa perlu memberikan dukungan dalam pencegahan hipertensi kepada anggota keluarganya tapi merasa kesulitan dalam menyediakan waktu seperti rekreasi atau mengantar ke pelayanan kesehatan seperti Posbindu karena kesibukannya bekerja, dua keluarga merasa dukungan yang diberikan dalam pencegahan hipertensi masih kurang karena keluarga belum membiasakan dalam perilaku sehari-hari seperti jarang melakukan olahraga dan konsumsi gorengan berlebihan, serta dua keluarga yang merasa dukungan dalam pencegahan hipertensi diberikan sewajarnya saja karena urusan sakit dan sehat sudah diatur oleh tuhan. Dari hasil studi pendahuluan tersebut peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti membuat rumusan masalah mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Windusengkahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang paling berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi.

Metode Penelitian

Desain penelitian ini adalah penelitian kuantitatif anilitik korelasional dengan menggunakan regresi liniear multivariat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Windusengkahan Kabupaten Kuningan.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anggota keluarga usia dewasa yang tidak menderita hipertensi memiliki riwayat keluarga dengan hipertensi dan memiliki minimal dua faktor dari risiko hipertensi seperti obesitas, merokok, usia > 55 tahun, atau konsumsi minuman keras. Teknik pengambilan sampel di setiap kelurahan dalam pada wilayah kerja Puskesmas Windusengkahan ini menggunakan proporsional random sampling yaitu dalam pengambilan anggota sampel pada setiap area penelitian berstrata secara proporsional serta tidak homogen. Jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 132 orang sampel penelitian adalah anggota keluarga yang tinggal satu rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Windusengkahan Kecamatan Windusengkahan Kabupaten Kuningan yang terdiri dari 4 kelurahan.

Instrumen untuk mengetahui tingkat ekonomi pada keluarga berupa pernyataan yang dirancang berdasarkan materi dan substansi faktor yang memengaruhi dukungan keluarga. Kuesioner status penghasilan terdiri dari pertanyaan yang merupakan tingkat ekonomi pada keluarga dengan nilai Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Kuningan sebesar Rp 1.300.000. Untuk kebutuhan analisis data selanjutnya, maka dilakukan pengkodean skor menjadi dua kategori tingkat ekonomi responden < Rp

Page 154: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

201JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Karakteristik Responden Frekuensi (f) Persentase (%)Kelompok Usia< 20 Tahun 6 4,521 – 40 Tahun 81 60,941 – 60 Tahun 38 28,6> 60 Tahun 6 4,5

Jenis KelaminLaki - laki 82 61,7

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

1.300.000 dan ≥ Rp1.300.000.Instrument faktor-faktor yang

memengaruhi dukungan keluarga terdiri dari faktor emosional, faktor spiritual, dan faktor latar belakang budaya. Instrumen yang dipakai merujuk pada instrumen dari penelitan Elita, Nurchayati, & Amelia (2014) dalam penelitiannya bahwa faktor yang paling memengaruhi dukungan keluarga dalam diet penderita Diabetes Mellitus yang sudah melalui tahap modifikasi oleh peneliti. Kuisioner faktor emosional keluarga dan faktor spiritual terdiri dari 5 pernyataan, sedangkan untuk kuesioner latar belakang budaya terdiri dari 6 pertanyaan yang semuanya diukur dengan skala Likert (1-5) dengan nilai pernyataan yang favourrable dan unfavorable. Untuk kebutuhan analisis data selanjutnya nilai faktor emosional keluarga baik dan kurang dengan menggunakan nilai skor untuk didapatkan mean, median, nilai minimal dan nilai maksimal dalam CI 95%.

Hasil uji validitas terhadap instrument untuk pernyataan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi dari 20 pernyataan mempunyai nilai rhasil (0,467 sampai dengan 0,884), untuk instrument tingkat pengetahuan keluarga sebanyak 10 pertanyaan dengan menggunakan KR21 mempunyai nilai rhasil (0,56 sampai dengan 0,88) dan nilai KR21 = 0,7726, untuk instrument faktor emosional dari 5 pernyataan mempunyai nilai rhasil (0,421 sampai dengan 0,554), untuk instrument faktor spiritual dari 5 pernyataan mempunyai nilai rhasil (0,496 sampai dengan 0,691), untuk instrument faktor latar belakang budaya dari 6 pernyataan mempunyai nilai rhasil (0,416 sampai dengan 0,730), untuk instrument faktor praktik dari 10 pernyataan mempunyai

nilai rhasil (0,444 sampai dengan 0,716). Dari semua instrument dapat dipastikan nilai r tabel diatas atau lebih besar dari rtabel (0,361) sehingga bisa disimpulkan valid. Setelah dilakukan uji statistik reliabilitas pada semua instrument didapatkan nilai alpha cronbach 0,762 sehingga kuesioner dikatakan reliabel.

Teknik analisis data terdiri dari uji univariat, bivariat mulitivariat. Analisis univariat disajikan untuk menjelaskan gambaran karakterisitik subjek penelitian. Variabel yang akan dianalisis adalah karakteristik responden, dukungan keluarga, tingkat pengetahuan keluarga, emosional keluarga, spiritual keluarga, tingkat ekonomi keluarga, latarbelakang budaya, dan praktik keluarga. Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel hubungan dari setiap faktor seperti dukungan keluarga, tingkat pengetahuan keluarga, emosional keluarga, spiritual keluarga, tingkat ekonomi keluarga, latarbelakang budaya, dan praktik keluarga menggunakan Pearson dengan tingkat kemaknaan (α = 0,05) dan pengolahan data menggunakan program komputer. Jika diketahui nilai ρ-value < α maka H0 ditolak dan apabila nilai ρ-value > α maka H0 gagal ditolak.

Hasil Penelitian

Analisis univariat menampilkan data distribusi frekuensi karakteristik responden.Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri dari usia, jenis kelamin, suku, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan agama.

Berdasarkan tabel 1 diatas dapat digambarkan bahwa kondisi karakteristik

Page 155: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

202 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Tabel 2 Hubungan Tingkat Pengetahuan, Spiritual Keluarga, Emosional Keluarga, Tingkat Ekonomi Keluarga, Latar Belakang Budaya dan Praktik Keluarga dengan Dukungan Keluarga dalam Pencegahan Primer Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Windusengkahan

VariabelDukungan Keluarga

JumlahP ValueMendukung Kurang Mendukung

n % n % N %Pengetahuan KeluargaBaik 56 42,4 15 11,4 71 53,8

0,000Kurang 16 12,1 45 34,1 61 46,2

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

Tabel 1 Persentase Karakteristik Responden dengan Risiko Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Windusengkahan Tahun 2016 (n=132)

Karakteristik Responden Frekuensi (f) Persentase (%)Kelompok Usia< 20 Tahun 6 4,521 – 40 Tahun 81 60,941 – 60 Tahun 38 28,6> 60 Tahun 6 4,5Jenis KelaminLaki - laki 82 61,7Perempuan 50 37,6SukuSunda 93 69,9Jawa 35 26,3Minang 4 3PendidikanSD 6 4,5SMP 22 16,5SMA 74 55,6PT 30 22,6PekerjaanPNS 11 8,3Swasta 36 27,1Pedagang 56 42,1Petani 29 21,8Status PernikahanMenikah 103 77,4Belum Menikah 29 21,8AgamaIslam 116 87,2Kristen 16 12

Page 156: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

203JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Spiritual KeluargaBaik 49 37,1 15 11,4 64 48,5

0,000Kurang 23 17,4 45 34,1 68 51,5Emosional KeluargaBaik 52 39,4 22 16,7 74 56,1

0,000Kurang 20 15,1 38 28,8 58 43,9Tingkat Ekonomi Keluarga≥UMR 45 34 25 19 70 53 0.00<UMR 27 20.5 35 26.5 62 47Latar Belakang KeluargaMendukung 48 36,4 18 13,6 66 50

0,000Kurang Mendukung 24 18,2 42 31,8 66 50

Praktik KeluargaBaik 57 43,2 16 12,1 73 55,3

0,000Kurang 15 11,4 44 33,3 59 44,7

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

demografi responden yang memiliki risiko hipertensi. Data tersebut menunjukkan bahwa usia responden atau anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi sebagian besar pada kelompok usia 21–40 tahun (60,9%). Jenis kelamin responden sebagian besar adalah laki-laki (61,7%). Sebagaian besar suku responden adalah suku sunda (69,9%), pendidikan responden sebagian besar adalah SMA (55,6%), pekerjaan responden sebagian besar adalah pedagang (42,1%), status pernikahan responden sebagian besar adalah menikah (77,4%), dan agama responden sebagian besar adalah islam (87,2%).

Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel dependen dan variabel independen. Analisis bivariat menggunakan tabel silang dan korelasi pearson untuk menyoroti dan menganalisis perbedaan atau hubungan antara dua variabel.

Pada tabel 2 menunjukkan bahwa persentasi responden yang memiliki keluarga dengan tingkat pengetahuan baik lebih banyak merasakan dukungan keluarga dalam

pencegahan primer hipertensi primer yaitu sebanyak 42.4 %. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,00 yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan hipertensi

Berdasarkan tabel 2, persentasi responden yang memiliki keluarga dengan faktor spiritual baik lebih banyak merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan hipertensi primer yaitu sebanyak 37,1 %. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,000 yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor emosional keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi.

Persentasi responden yang memiliki keluarga dengan faktor emosional baik lebih banyak merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi yaitu sebanyak 39,4 %. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,000 yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor emosional keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi. Persentasi responden yang memiliki keluarga dengan

Page 157: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

204 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Tabel 3 Multivariat Faktor yang Paling Berhubungan dengan Dukungan Keluarga dalam Pencegahan Primer Hipertensi

Variabel Koef Sig. Exp (B)Tingkat Pengetahuan Keluarga

.303 .000 5.331

Emosional Keluarga .142 .013 2.532Spiritual .184 .002 3.113Praktik Keluarga .449 .000 7.330Constant .350 0.660 .442

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

tingkat ekonomi penghasilan ≥UMR lebih banyak merasakan dukungan keluarga yang sangat tinggi dalam pencegahan hipertensi primer yaitu sebanyak 34%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,017 yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi

Persentasi responden yang memiliki keluarga dengan latar belakang budaya mendukung lebih banyak merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan hipertensi primer yaitu sebanyak 36,4 %. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,000 yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara latar belakang budaya keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi

Berdasarkan tabel 2, persentasi responden yang memiliki keluarga dengan praktik pencegahan hipertensi baik lebih banyak merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan hipertensi primer yaitu sebanyak 43,2 %. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,000 yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara praktik keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi. Tingkat pengetahuan keluarga dan faktor praktik keluarga memiliki α < 0.05, ini menunjukkan bahwa keempat variable memiliki hubungan yang lebih signifikan dengan dukungan keluarga dibandingkan dua variabel yang lain. Tingkat pengetahuan keluarga, emosional, spiritual, dan praktik keluarga mempunyai nilai Sig 0,000 < 0,05 artinya tingkat pengetahuan keluarga, emosional, spiritual, dan praktik keluarga memberikan dukungan parsial yang sangat signifikan terhadap dukungan keluarga.

Besarnya hubungan ditunjukkan dengan nilai exp (B) atau disebut juga odds ratio

(OR). Variabel tingkat pengetahuan keluarga dengan OR = 5.331 maka keluarga dengan pengetahuan yang baik, akan memberikan dukungan keluarga yang sangat tinggi kepada anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi sebanyak 5.3 kali lipat di bandingkan dengan tingkat pengetahuan keluarga yang rendah. Nilai B = logaritma natural dari 5.331 = 0.442 oleh karena nilai B bernilai positif maka tingkat pengetahuan keluarga mempunyai hubungan positif dengan dukungan keluarga.

Tabel 3 menunjukkan variabel emosional keluarga dengan OR=2.532 maka keluarga dengan emosional yang baik, akan memberikan dukungan keluarga yang sangat tinggi kepada anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi sebanyak 2.532 kali lipat di bandingkan dengan emosional keluarga yang rendah. Nilai B = logaritma natural dari 2.532 = 0.442 oleh karena nilai B bernilai positif maka emosional keluarga mempunyai hubungan positif dengan dukungan keluarga.

Variabel spiritual keluarga dengan OR = 3.113 maka keluarga dengan spiritual yang baik, akan memberikan dukungan keluarga yang sangat tinggi kepada anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi sebanyak 3.1 kali lipat di bandingkan dengan spiritual keluarga yang rendah. Nilai B = logaritma natural dari 3.113 = 0.442 oleh karena nilai B bernilai positif maka spiritual keluarga mempunyai hubungan positif dengan dukungan keluarga.

Variabel faktor praktik keluarga dengan OR = 7.330 maka keluarga dengan faktor praktik keluarga yang baik mengantarkan terhadap dukungan keluarga yang baik sebanyak 7.33 kali lipat di bandingkan dengan keluarga dengan faktor praktik keluarga yang kurang. Nilai B = Logaritma Natural dari 5.331 =

Page 158: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

205JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

0.442 oleh karena nilai B bernilai positif, maka faktor praktik keluarga mempunyai hubungan positif dengan dukungan keluarga.

Pembahasan

Berdasarkan analisis univariabel diperoleh hasil dari variabel dukungan keluarga bahwa responden yang memiliki risiko hipertensi yang sebagian besar merasakan dukungan keluarga sebanyak 72 responden (54,5%). Menurut analisa peneliti bahwa lebih dari separuh jumlah responden merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan primer. Tiga bentuk dukungan keluarga yang dirasakan responden dengan nilai tertinggi adalah keluarga mengingatkan responden untuk menjaga tekanan darahnya, keluarga menganjurkan untuk makan sayur dan buah setiap hari, dan keluarga menjaga kedekatan dan kehangatan untuk memotivasi responden menjaga tekanan darahnya. Sedangkan tiga bentuk dukungan keluarga yang dirasakan responden ada beberapa masih harus ditingkatkan karena memiliki nilai terendah yaitu bantuan keluarga dalam memecahkan setiap masalah dan kendala dalam hal menjaga tekanan darah responden, upaya keluarga dalam mengingatkan responden meluangkan waktu untuk rekreasi saat hari libur, dan upaya keluarga dalam menyediakan buah dan sayur yang dibutuhkan oleh responden.

Dari variabel tingkat pengetahuan keluarga hasil yang diperoleh adalah sebanyak 71 keluarga memiliki tingkat pengetahuan yang baik (53.8%) tentang hipertensi dan pencegahannya. Dari analisis peneliti bahwa proporsi keluarga yang memiliki tingkat pengetahuan baik tidak begitu jauh dengan keluarga yang memiliki tingkat pengetahuan kurang dan cukup, hal ini disebabkan karena keluarga responden memiliki karakteristik tingkat pendidikan, usia, dan pekerjaan yang berbeda-beda. Tingkat pendidikan, usia, dan pekerjaan akan berpengaruh terhadap pengalaman dan paparan informasi yang diterima oleh keluarga. Pengetahuan keluarga dengan nilai akumulasi nilai tertinggi yaitu keluhan atau gejala yang muncul saat terjadi hiepertensi, faktor yang menjadi penyebab hipertensi, dan perilaku yang dapat mengendalikan stres. Pengetahuan keluarga

dengan nilai akumulasi terendah diantaranya adalah pengetahuan tentang durasi minimal olahraga teratur untuk mengendalikan tekanan darah, perilaku yang bisa dilakukan untuk mengontrol tekanan darah, dan makanan yang bisa menyebabkan hipertensi, oleh karena itu perlu adanya edukasi yang lebih intensif terhadap tiga tema tersebut karena masih banyak keluarga masih memiliki persepsi yang salah. Dari variabel faktor spiritual keluarga hasil yang diperoleh adalah sebanyak 64 keluarga (48,5%) memiliki faktor spiritual yang baik dalam hal kesehatan khususnya tentang penyakit hipertensi. Menurut analisis peneliti, spiritual keluarga cenderung terbentuk karena tradisi agama pada masyarakat setempat yang sebagian besar beragama islam. Masyarakat setempat termasuk didalamnya adalah keluarga responden seringkali mengikuti kegiatan keagamaan yang biasa diadakan baik setiap hari seperti ceramah subuh, setiap minggu seperti pengajian rutin, ataupun pada hari besar agama islam dengan sehingga paparan tersebut meningkatkan faktor spiritual masyarakat khususnya keluarga responden.

Akumulasi nilai tertinggi dari spiritual keluarga adalah keyakinan keluarga bahwa apabila terjadi penyakit hipertensi bukanlah hukuman untuk penderitanya tetapi sudah merupakan kehendak tuhan. Akumulasi nilai terendah dari spiritual keluarga yaitu dalam memberi keyakinan kepada anggota keluarga untuk selalu sehat atau menjaga kesehatan, padahal menjaga kesehatan merupakan ikhtiar atau upaya yang diwajibkan dalam agama islam selain berdoa bila mempunyai suatu keinginan yaitu menjadi sehat.

Dari variabel faktor emosional keluarga hasil yang diperoleh adalah keluarga memiliki proporsi faktor emosional baik dalam hal kesehatan yaitu sebanyak 74 keluarga (56,1%). Menurut analisa peneliti, bahwa seimbangnya proporsi faktor emosional keluarga menunjukkan bahwa keluarga belum optimal dalam mengelola emosionalnya terutama dalam hal mengatasi masalah-masalah yang ada pada keluarga. Masih kurang optimalnya kemampuan emosional keluarga menurut analisis peneliti disebabkan karena keluarga responden memiliki karakteristik tingkat pendidikan, usia, dan pekerjaan yang berbeda-beda

Page 159: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

206 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

maka berpengaruh terhadap pengalaman dan paparan informasi yang diterima.

Akumulasi nilai tertinggi dari emosional keluarga adalah kesadaran keluarga bahwa anggota keluarga memiliki risiko hipertensi dan berpotensi terjadi hipertensi, oleh karena itu diharapkan keluarga akan mudah diberikan motivasi untuk memberikan dukungan keluarga dalam pencegahan hipertensi. Akumulasi nilai terendah dari emosional keluarga yaitu kemampuan keluarga dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga, hal ini menunjukkan bahwa keluarga perlu meningkatkan upaya penyelesaian masalah yang akan berpengaruh juga dalam pengendalian stres pada anggota keluarga.

Dari faktor tingkat ekonomi keluarga hasil yang diperoleh adalah sebanyak 70 keluarga (53%) memiliki tingkat ekonomi dengan penghasilan sesuai atau diatas UMR Kabupaten Kuningan sebesar Rp.1.300.000. Dari analisis peneliti bahwa proporsi keluarga yang memiliki tingkat ekonomi penghasilan sesuai atau diatas UMR tidak begitu jauh dengan keluarga yang memiliki tingkat ekonomi penghasilan dibawah UMR, hal ini disebabkan karena sebagian besar keluarga responden memiliki pekerjaan sebagai pedagang dan petani sehingga keluarga responden memiliki penghasilan yang tidak menentu.

Dari variabel faktor latar belakang budaya keluarga hasil yang diperoleh adalah keluarga memiliki proporsi latar belakang budaya dengan proporsi seimbang (50%) yaitu sebanyak 66 keluarga memiliki faktor latar belakang budaya mendukung dan sisanya kurang mendukung dalam pencegahan primer hipertensi. Akumulasi nilai tertinggi dari latar belakang budaya adalah bahwa keluarga membatasi dalam aktivitas makan bersama di restoran cepat saji, hal ini menunjukkan bahwa keluarga menyadari bahwa menu tersebut beresiko terhadap penyakit hipertensi dan membutuhkan biaya yang tinggi. Akumulasi nilai terendah dari latar belakang budaya keluarga yaitu kebiasaan keluarga menambahkan garam pada setiap masakan yang dihidangkan, hal ini menunjukkan bahwa keluarga masih kesulitan mengurangi kebiasaan pemakaian garam pada setiap menu masakan karena merasa masakan menjadi

kurang sedap dirasakan oleh lidah bila tanpa dimasukkan garam. Menurut analisa peneliti bahwa seimbangnya proporsi faktor latar belakang budaya keluarga menunjukkan bahwa keluarga belum mampu memodifikasi budaya yang sudah sejak turun temurun dimana budaya tersebut berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan keluarga khususnya pencegahan primer hipertensi. Menurut analisis peneliti disebabkan karena keluarga responden sebagian besar memiliki karakteristik suku sunda yang memiliki budaya atau kebiasaan mengonsumsi makanan seperti ikan asin atau makanan yang digoreng. Walaupun sebagian besar keluarga berasal dari suku sunda tetapi tingkat pendidikan memengaruhi pola hidup sehat keluarga dengan adanya paparan informasi tentang kesehatan khususnya hipertensi sehingga ada sebagian keluarga mampu memodifikasi budaya atau kebiasannya yang mendukung dalam pemeliharaan kesehatan khususnya pencegahan primer hipertensi.

Dari variabel praktik keluarga hasil yang diperoleh adalah sebanyak 73 keluarga (55,3%) memiliki praktik yang baik dalam hal pencegahan primer hipertensi. Akumulasi nilai tertinggi dari faktor praktik keluarga adalah bahwa keluarga membatasi dalam mengonsumsi minuman beralkohol, hal ini menunjukkan bahwa keluarga menyadari bahwa minuman tersebut berisiko terhadap berbagai macam penyakit kronis salah satunya adalah hipertensi dan minuman beralkohol juga jarang diperjualbelikan di lingkungan masyarakat setempat karena aturan pemerintah yang hanya memperbolehkan menjual minuman beralkohol di tempat atau area tertentu. Akumulasi nilai terendah dari praktik keluarga yaitu perilaku merokok dan memeriksakan tekanan darah. Perilaku merokok masih menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihentikan walaupun keluarga mengetahui bahwa rokok membahayakan kesehatan salah satunya berisiko untuk meningkatkan tekanan darah, kemudian perilaku memeriksakan tekanan darah juga keluarga masih belum optimal karena berbagai sebab seperti kesibukan bekerja atau tidak merasakan keluhan.

Hubungan tingkat pengetahuan dan dukungan keluarga dalam pencegahan hipertensi

Page 160: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

207JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

Berdasarkan hasil analisis pada responden yaitu anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi beserta keluarganya didapatkan hasil bahwa sebagian besar sebanyak 56 responden (42.4%) merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi dengan tingkat pengetahuan yang baik tentang hipertensi. Secara statistik tingkat pengetahuan keluarga memiliki hubungan yang signifikan terhadap dukungan keluarga yang dirasakan oleh responden, hal ini dapat dilihat dari p value = 0,000 yang menunjukan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi yang dirasakan responden. Menurut peneliti pengetahuan baik sangat berhubungan dengan dukungan dalam keluarga.

Keluarga yang mempunyai pedoman pengetahuan yang benar dan tinggal untuk mempraktikan kepada anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi. Elita, Nurchayati, & Amelia (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pengetahuan yang dimiliki keluarga mengenai penyakit akan menimbulkan kesadaran bagi mereka dan akhirnya akan menyebabkan mereka berperilaku sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Menurut Purnawan (2008) bahwa keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh sistem intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman masa lalu.

Hasil penelitian ini ada sedikit kemiripan dengan penelitian Purnomo, Suhadi, dan Ulya (2013) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan keluarga dengan kemampuan keluarga dalam merawat lansia dengan hipertensi, semakin tinggi pengetahuan maka semakin baik kemampuan keluarga tersebut dalam perawatan hipertensi. Menurut Hamid (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pengetahuan keluarga tentang pencegahan hipertensi mempunyai hubungan dengan kejadian hipertensi, hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah pengetahuan keluarga maka peluang untuk terkena hipertensi semakin tinggi, begitupun sebaliknya.

Menurut teori Notoatmodjo dalam dalam Yudiningsih (2012) bahwa pengetahuan yang baik dan sikap yang tepat mendorong keluarga untuk berperilaku yang tepat dalam

hal ini pencegahan pada penderita hipertensi, dimana perilaku biasanya dipengaruhi oleh respon individu terhadap stimulus atau pengetahuan yang bersifat baik, sedang, buruk, positif, negatif yang tergantung bagaimana reaksi individu untuk merespon terhadap suatu stimulus yang ada pada suatu tindakan atau perilaku. Menurut Watson dalam Hamid (2015) juga menjelaskan bahwa pengetahuan keluarga tentang perawatan maupun dalam pencegahan bagian terpenting dalam memperbaiki kesehatan tersebut yang mencakup pengetahuan mengenai perawatannya maupun pencegahannya.

Satya & Putri (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga khususnya orang tua berpengaruh terhadap dukungan keluarganya. Menurut Potter dan Perry (2011) bahwa tingkat pendidikan keluarga akan memengaruhi perilaku keluarga dalam meningkatkan dan memelihara kesehatan keluarga, khususnya dalam pencegahan hipertensi

Hubungan faktor spiritual keluarga dan dukungan keluarga dalam pencegahan hipertensi berdasarkan hasil analisis pada responden yaitu anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi beserta keluarganya didapatkan hasil bahwa sebagian besar sebanyak 49 responden (37,1%) merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi dan memiliki keluarga yang dengan faktor spiritual yang baik tentang kesehatan khususnya termasuk penyakit hipertensi. Secara statistik faktor spiritual keluarga memiliki hubungan yang signifikan terhadap dukungan keluarga yang dirasakan oleh responden, hal ini dapat dilihat dari p value = 0,000 yang menunjukan bahwa ada hubungan antara faktor spiritual keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi yang dirasakan responden. Menurut Elita, Nurchayati, & Amelia (2014) bahwa faktor spiritual merupakan faktor penting dalam mendukung kepercayaan keluarga sehingga mereka dapat mengatasi masalah yang dialami, dengan kepercayaan keluarga yang tinggi maka dukungan yang diberikan pun menjadi semakin optimal. Dari hasil penelitian Kurniasari (2011) menjelaskan bahwa terdapat hubungan signifikan antara kecerdasan spiritual dengan

Page 161: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

208 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

kualitas hidup, semakin tinggi kecerdasan spiritual yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi pula kualitas hidupnya yang mungkin juga akan memengaruhi dukungan keluarga yang diberikan khususnya dalam pencegahan hipertensi. Menurut Friedmen (2010) bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesejahteraan spiritual dan peningkatan kemampuan individu atau keluarga untuk mengatasi stress dan penyakit khususnya hipertensi.

Hubungan faktor emosional keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi berdasarkan hasil analisis pada responden yaitu anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi beserta keluarganya didapatkan hasil bahwa sebagian besar sebanyak 52 responden (39,4%) merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi dan memiliki keluarga yang dengan faktor emosional yang baik. Secara statistik faktor emosional keluarga memiliki hubungan yang signifikan terhadap dukungan keluarga yang dirasakan oleh responden, hal ini dapat dilihat dari p value = 0,000 yang menunjukan bahwa ada hubungan antara faktor emosional keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi yang dirasakan responden. Menurut Elita, Nurchayati, & Amelia (2014) bahwa setiap keluarga mempunyai persepsi dan respon yang berbeda terhadap suatu rangsangan atau stresor karena stres tanpa penanganan koping yang positif mengakibatkan distress yang dapat berisiko terjadinya gangguan kesehatan dan memengaruhi dukungannya, termasuk dalam pencegahan hipertensi. Menurut Juwita (2008) bahwa apabila keluarga tidak mampu mengendalikan emosi maka kemungkinan besar keluarga akan melakukan perilaku yang salah seperti contohnya tidak menjaga pola makan yang benar. Menurut Purnawan (2008) bahwa faktor emosional memengaruhi keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara melaksanakannya. keluarga yang mengalami respon stress dalam perubahan hidup cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara menghawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya

Hubungan tingkat ekonomi keluarga

dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi berdasarkan hasil analisis pada responden yaitu anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi beserta keluarganya didapatkan hasil bahwa sebagian besar sebanyak 45 responden (34%) merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi dan memiliki keluarga yang dengan tingkat ekonomi ≥UMR Kabupaten Kuningan sebesar Rp1.300.000. Secara statistik tingkat ekonomi keluarga memiliki hubungan yang signifikan terhadap dukungan keluarga yang dirasakan oleh responden, hal ini dapat dilihat dari p value = 0,006 yang menunjukan bahwa ada hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi yang dirasakan responden.

Menurut Brown (2004) dalam Elita, Nurchayati, & Amelia (2014) menjelaskan bahwa tingkat ekonomi yang rendah berdasarkan dengan pendapatan pribadi atau rumah tangga, pendidikan, pekerjaan dan area tempat tinggal berhubungan dengan rendahnya tingkat kesehatan baik fisik maupun emosi hal ini dapat menyebabkan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular salah satunya adalah penyakit hipertensi. Satya & Putri (2015) menjelaskan bahwa tingkat ekonomi keluarga khususnya orang tua berpengaruh terhadap dukungan keluarganya. Ellis (2010) menjelaskan bahwa orang atau keluarga yang pendapatannya tinggi, lebih mudah untuk membeli makanan sesuai diet yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan dalam pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit kronis. Keluarga dengan kelas sosial menengah juga mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada keluarga dengan kelas sosial bawah. Menurut Purnawan (2008) bahwa tingkat ekonomi atau pendapatan keluarga yang dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan memengaruhi cara bereaksi terhadap penyakitnya.

Hubungan latar belakang budaya keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi berdasarkan hasil analisis pada responden yaitu anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi beserta keluarganya didapatkan hasil bahwa

Page 162: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

209JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

sebagian besar sebanyak 48 responden (36,4%) merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi yang sangat tinggi dan memiliki keluarga dengan latar belakang yang mendukung dalam pencegahan primer hipertensi. Pada latar belakang budaya dengan dukungan keluarga sangat tinggi. Secara statistik latar belakang budaya keluarga memiliki hubungan yang signifikan terhadap dukungan keluarga yang dirasakan oleh responden, hal ini dapat dilihat dari p value = 0,000 yang menunjukan bahwa ada hubungan antara latar belakang budaya keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi yang dirasakan responden. Winkelman (2009) menjelaskan bahwa latar belakang budaya keluarga berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, keyakinan, dan nilai kesehatan dalam keluarga. Menurut Purnawan (2008) bahwa latar belakang budaya memengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi khususnya dalam pencegahan hipertensi. Menurut Setiadi (2008) bahwa salah satu hambatan pada keluarga adalah kepercayaan budaya yang tidak menunjang kesehatan, seperti kepercayaan bahwa perilaku tertentu yang merupakan faktor pencetus hipertensi dianggap tidak membahayakan sehingga tidak dilakukan pencegahan sejak dini.

Hubungan praktik keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi berdasarkan hasil analisis pada responden yaitu anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi beserta keluarganya didapatkan hasil bahwa sebagian besar sebanyak 57 responden (43,2%) merasakan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi dan memiliki keluarga dengan praktik yang baik dalam pencegahan primer hipertensi. Secara statistik bahwa praktik keluarga memiliki hubungan yang signifikan terhadap dukungan keluarga yang dirasakan oleh responden, hal ini dapat dilihat dari p value = 0,000 yang menunjukan bahwa ada hubungan antara praktik keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi yang dirasakan responden. Menurut Purnawan (2008) bahwa praktik keluarga merupakan cara bagaimana memengaruhi anggota

keluarga dalam melaksanakan kesehatannya terutama pada anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi dalam melakukan pencegahan primer hipertensi. Anggota keluarga akan melakukan upaya pencegahan primer hipertensi jika keluarga melakukan hal yang sama.

Pada analisis multivariat, berdasarkan analisis bivariabel antara bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi, hasil uji dengan nilai p ≤ 0,25 dimasukan sebagai kandidat multivariabel. Pada permodelan akhir didapatkan hasil bahwa faktor yang paling berpengaruh secara bermakna yaitu praktik keluarga dilihat dari exp (B) untuk variabel yang signifikan, semakin besar nilai exp (B) maka semakin besar hubungannya dengan variabel terikat yang dianalisis.

Berdasarkan uji statistik didapatkan hasil bahwa faktor praktik keluarga merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi, akan tetapi tidak berarti bahwa faktor tingkat pengetahuan, spiritual keluarga, faktor emosional keluarga, tingkat ekonomi keluarga, dan latar belakang budaya tidak mempunyai hubungan terhadap dukungan keluarga. Dari jawaban responden terhadap pernyataan didapatkan hasil yang positif dari faktor spiritual keluarga, faktor emosional keluarga, tingkat ekonomi keluarga, latar belakang budaya, dan praktik keluarga sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor tersebut mempunyai peran yang besar untuk mewujudkan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi yang dirasakan oleh anggota keluarga dengan risiko hipertensi.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Elita, Nurchayati, & Amelia (2014) dan Yudiningsih (2015) bahwa faktor yang paling berhubungan dengan dukungan keluarga adalah faktor tingkat pengetahuan keluarga tapi penelitan tersebut memiliki perbedaan dalam sampel dan populasi yang ditelitinya yaitu penderita DM dam penderita hipertensi. Menurut Purnawan (2008) bahwa praktik keluarga merupakan cara bagaimana memengaruhi anggota keluarga dalam melaksanakan kesehatannya terutama pada anggota keluarga yang memiliki risiko hipertensi dalam melakukan

Page 163: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

210 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

pencegahan primer hipertensi. Anggota keluarga akan melakukan upaya pencegahan primer hipertensi jika keluarga melakukan hal yang sama. Menurut Mintarsih (2011) bahwa hambatan dan kesulitan yang dialami oleh anggota keluarga lansia dalam upaya pencegahan hipertensi selain rasa bosan karena lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pencegahan hipertensi, yang paling dominan adalah kurangnya motivasi dari keluarga dalam memberi dukungan kepada lansia untuk melakukan upaya pencegahan hipertensi dalam hal ini adalah praktik keluarga yang bisa menjadi role model dalam perilaku pencegahan primer hipertensi. Faktor Menurut Soekidjo (2010) bahwa faktor penguat (reinforcing factors), merupakan faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, misalnya perilaku tokoh yang menjadi panutan, salah satu faktor penguat disini adalah praktik keluarga dalam pencegahan primer hipertensi.

Simpulan

Semua variabel bebas seperti tingkat pengetahuan, faktor spiritual, faktor emosional, tingkat ekonomi, latar belakang budaya, dan praktik keluarga berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan dukungan keluarga dalam pencegahan primer hipertensi adalah faktor praktik keluarga. Persamaan yang muncul dari penelitian ini yaitu dukungan keluarga = 0.442 + 5.331 (Tingkat Pengetahuan Keluarga) + 2.532 (emosional)+ 3.112 (spiritual) + 7.330 (Faktor Praktik Keluarga) artinya

Daftar Pustaka

Acelejado, M.C. (2010). Optimal Management Of Hypertension In Elderly Patient Integrated Blood Pleasure Control. 3. 145–153

Aditama, (2012). Masalah Hipertensi di Indonesia, (Online), (http://ppid.rskariadi.

co.id/news/view/masalah-hipertensi-di-Indonesia.html, (diakses 3 Maret 2015).

Amelia, M., Nurchayati, S., Elita, V., (2013). Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Keluarga Untuk Memberikan Dukungan Kepada Klien Diabetes Mellitus Dalam Menjalani Diet. JOM PSIK Universitas Riau, 1(2).

Asdie, Ahmad, & Husein., (2009). Faktor-Faktor Kejadian Hipertensi pada Perempuan Usia 20-50 tahun di Kota Bengkulu. April 21, 2009. (diakses 10 Januari 2016).

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 2014. Penyebab Kematian Tertinggi Di Indonesia, (Online), Kementrian Kesehatan Indonesia, (diakses 3 Maret 2015).

Bhadoria, A., Kasar, P. & Toppo, N., (2014). Prevalence of hypertension and associated cardiovascular risk factors in Central India. Journal of family & community medicine, 21(1), pp.29–38. (diakses 22 September 2015).

Bustan, M. N. (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Bustan, M.N., (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Cetakan 2 Jakarta : Rineka Cipta.

Depkes RI, (2006c). Pedoman Teknis Penemuan Dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Jakarta : Direktorat pengendalian penyakit tidak menular. Direktorat Jendral PP dan PL. (diakses 22 September 2015).

Depkes RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas provinsi banten pada tahun 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indoesia. (diakses 22 September 2015).

Foundation Health Measure Report, (2015). Heart Disease and Stroke. Healthy People 2020.

Friedman, Marilyn M. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga : Riset, Teori dan

Page 164: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

211JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

Praktek. Jakarta : EGC.

Gu, J. Zhang, J. Wang, Y, & Chen, Q. (2014). Hypertension Knowledge, Awareness, And Self Management Behaviours Affect Hypertension Control A Community Based Study In Xuhui District. Shanghai. China Cardiology, 96-104.

Hamid, A, S. (2014). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Tentang Pencegahan Hipertensi Dengan Kejadian Hipertensi Di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD.Prof.DR. Aloei Saboe Kota Gorontalo 2013. Jurnal Keperawatan Universitas Gorontalo. Gorontalo.

Hashani, V., Roshi, E. & Burazeri, G., (2014). Correlates of hypertension among adult men and women in kosovo. Materia socio-medica, 26(3), pp.213–5. (diakses 7 September 2015)

Huang, S. Chen, Y. Zhou, J. & Wang, J (2014). Use Of Family Member Based Supervision and Management Of Patient Hypertension In Rural China Patient Preference And Adherenc, 8: 1035– 1042.

Joint National Committee, (2011). The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA 289(19): 2560-72.

Juwita. (2008). Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat stress kerja perawat psikiatri di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. http://jurnal.pdii.lipi.go.id.

Kapriana, M., & Muhammad Sulchan, (2012). Asupan tinggi lemak dan aktivitas olahraga sebagai faktor risiko terjadinya Hipertensi Obesitik. http://www: jurnal HT/Aktivitas Olah Raga terhadap Hipertensi.htm. (diakses 3 Januari 2016).

Kemenkes, RI., (2012). Profil Kesehatan Indonesia 2012, http://www.depkes.go.id/profil kesehatan indonesia 2012. (diakses 2 September 2015).

Kemenkes, RI., (2013). Profil Kesehatan Indonesia 2013, http://www.depkes.go.id/profil kesehatan indonesia 2013. (diakses 2 September 2015).

Lestari, W., Nurchayati, S., Wulandhani, A.S. (2014). “Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Motivasi Lansia Hipertensi Dalam Memeriksakan Tekanan Darahnya”. Jurnal Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau. 1(2).

Lubis, M, (2014). Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Menjalankan Pengobatan Pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Indrapura Kabupaten Batu Bara. Jurnal Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sumatra Utara 2014.

Lueckenotte, Annette G, Meiner, E., Sue (2006). Gerontologic Nursing. Third edition, Philadelphia: Mosby.

Martiningsih. (2011). Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya hipertensi primer pada pasien di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Bima ditinjau dari perspektif keperawatan self-care Orem. Tesis. Universitas Indonesia. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20281694-T%20.

Martiningsih.pdf. (diakses 16 Januari 2016).Moopayak, K., Priyatruk, P., Suwonnaroop, N,, Jaiyungyuen, U., (2012). “Factors Influencing Health-Promoting Behaviours Of Older People With Hypertension. 1st Mae Fah Luang University International Conference 2012. (diakses 3 Desember 2015).

Muhammadun, A.S. (2010). Hidup Bersama Hipertensi. Jogjakarta : In-Books.

Muliyati, Hepti, (2011). Hubungan Pola Konsumsi Natrium dan Kalium serta Aktivitas Fisik dengan Kejadian Hipertensi pada pasien Rawat jalan di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makasar. http://journal.unhas.ac.id. (diakses 3 Desember 2015).

Osamor, P. E., Owumi, B. E. (2011). Factors Associated with Treatment Compliance in Hypertension in Southwest Nigeria. Nigeria:

Page 165: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

212 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

Journal of Health Population Nutrition. (diakses 5 Desember 2015).

Polit, D.F & Beck, C.T, (2004). Nursing Research: Principles And Method, 7 th edition. Lippincot William & Wilkins. A Wolters Kluwer Company. Philadelpia.

Proverawati. (2010). Obesitas dan Gangguan Perilaku Makan Pada Remaja. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.

Purnawan, (2008), Dukungan Suami Dan Keluarga. Salemba: Salemba Medika.

Purnomo, Suhadi, & Ulya, (2014). Hubungan Pengetahuan Dan Kemampuan Keluarga Merawat Lansia Dengan Hipertensi Di Kelurahan Karangayu Semarang. Jurnal Keperawatan Poltekes Semarang. 2014. Semarang.

Putra, P. (2013). Hubungan Pengetahuan Tentang Hipertensi Dengan Perilaku Pencegahan Primer Di Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat. Jurnal STIKES Ngudi Waluyo Ungaran.

Profil Puskesmas Windusengkahan, (2015). Laporan 10 Besar Penyakit di Puskesmas Windusengkahan Kabupaten Kuningan tahun 2015. Puskesmas Windusengkahan, Kabupaten Kuningan.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2013). http://www.litbang.depkes.go.id/sites/Riskesdas 2013. (diakses 1 September 2015).

Samaria, K., Inayah, G., Kurniawati, Y. (2012). Perilaku Berolahraga Dalam Upaya Pencegahan Hipertensi Pada Wanita Usia Produktif Di Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Arc. Com. Health, 1(2) : 109–119 ISSN: 9772302139009. V.

Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. Fifth Edition. USA: John Wiley & Sons.

Satya, D. Putri, A. (2015). Factors Which Associated With Family Support to Provision Autism Nutrition Gift in Autism Foundation Center “CAKRA” Pucang Jajar Surabaya.

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah 2015. Surabaya.

Sugiharto.A, 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Karanganar Jawa Tengah). http://eprints.undip.ac.id. (diakses 24 September 2015).

Sugiyono. (2007). Metode Statistik untuk Penelitian. Bandung. Alpabeta.

Suhadi, (2011), Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kepatuhan Lansia Dalam Perawatan Hipertensi Di Wilayah Puskesmas Srondol Kota Semarang. Tesis. Universitas Indonesia.

Suheni, Yuliana. (2007). Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Hipertensi pada Laki-Laki Usia 40 Tahun ke Atas Di Badan Rumah Sakit Daerah Cepu. Skripsi. Fakultas Ilmu Olahraga Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang.

Suiraoka, (2012). Penyakit Degeneratif, Mengenal, Mencegah dan Mengurangi Faktor Risiko 9 Penyakit Degeneratif, Yogyakarta: Nuha Medika.

Susilo, Yekti, & Ari, W. (2011). Cara Jitu Mengatasi Hipertensi. Yogyakarta: ANDI

Qin Yu, Melse-Boonstra & Pan, X., (2014). Association of dietary pattern and body weight with blood pressure in Jiangsu Province, China. BMC public health, 14, p.948. (diakses 5 Desember 2015).

Wahiduddin, Hasrin, Mannan & Rismayanti, (2013). Faktor Risiko Kejadian Hipertensi di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. http://respiratory.unhas.ac.id (diakses 2 Oktober 2015).

WHO (2012), World Health Day 2013 : Measure your blood pressure, reduce your risk,http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2013/world_health_day_20 130403/en/. (diakses 2 November 2015).

Wu EL, Chien IC, Lin CH, Chou YJ, Chou

Page 166: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

213JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ronny Suhada Eirmansyah : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dukungan Keluarga

P. (2012). “Increased risk of hypertension in patients with major depressive disorder: a populationbased”. study. J Psychosom Res;73:169-74.Yudiningsih, N, (2015). Faktor Faktor Yang Memengaruhi Pelaksanaan Dukungan Keluarga Pada Penderita Hipertensi Di Puskesmas Pancur Rembang. Jurnal Keperawatan Universitas Sultan Agung Semarang Tahun 2015. Semarang.

Yusra, A. (2011).”Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta”. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia.

Zulaicha, E. Muhlisin, A. Nugraha, A.K.B. (2013). “Hubungan Tingkat Pengetahuan Keluarga Dengan Sikap Pencegahan Komplikasi Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Sangkrah Surakarta”. Jurnal Publikasi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Zulfitri, R. (2006). Hubungan dukungan keluarga dengan perilaku lanjut usia hipertensi dalam mengontrol kesehatannya di wilayah kerja Puskesmas Melur Pekanbaru. Diperoleh tanggal 21 Desember 2015 dari www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-95790.pdf.

Page 167: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

136 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pengaruh Kontak Kulit ke Kulit Segera terhadapKeyakinan Ibu Menyusui Paska Bedah Sesar

Triana Dewi1, Imami Nur Rachmawati2, Luknis Sabri2

1STIKes Cut Nyak Dhien, 2Fakultas Keperawatan Universitas IndonesiaEmail: [email protected]

Abstrak

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi keberhasilan dalam menyusui. Kontak kulit ke kulit segera setelah bayi lahir merupakan faktor kunci dalam proses laktasi. Proses ini sangat tergantung dari keyakinan ibu dalam menyusui bayinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kontak kulit ke kulit segera terhadap keyakinan ibu menyusui paska bedah sesar. Penelitian quasi eksperiment posttest only design with control groups ini dilakukan pada 52 ibu dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok intervensi masing-masing 26 ibu secara consecutive sampling di kota Langsa-Aceh. Pengambilan data menggunakan instrumen Breastfeeding Self-Efficacy Scale-Short Form. Hasil uji statistik indenpendent t test menunjukkan adanya perbedaan nilai rerata keyakinan ibu menyusui pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol (59,00±6,54; 49,62±7,78; p=0,001). Kontak kulit ke kulit dapat meningkatkan keyakinan ibu menyusui yang dapat memengaruhi proses laktasi.

Kata kunci: Bedah sesar, keyakinan ibu menyusui, kontak kulit ke kulit segera.

The Effect of Skin to Skin Contact Immediately to Maternal Breastfeeding Self-Efficacy after Cesarean Section”

Abstract

There are several factors influence the succesness of breastfeeding. Skin contact immediately after delivery is the key factor to stimulate the lactation process. This process depend on self efficacy of mother. The aim of this study was to identify the effect of skin-to-skin contact immediately after cesarean section on maternal breastfeeding self-efficacy. The method of this research was quasi-experiment, post-test only design with control group, used consecutive sampling, conducted to 52 women divided into control n intervention group each group consist of 26 woman in Langsa-Aceh. Breastfeeding Self-Efficacy Scale-Short Form used to collect data. The results showed mean value of mother’s self-efficacy whom are treated by skin-to-skin contact immediately of their baby after cesarean section is better than control group (59.00 ± 6.54; 49.62 ± 7.78). The value is different significantly with p= 0.001. Skin to skin contact was needed to increase mother’s self efficacy which influence the lactation process

Keywords: Breastfeeding self-efficacy, cesarean section, skin to skin contact immediately.

Page 168: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

137JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pendahuluan

Menyusui merupakan cara pemberian nutrisi terbaik yang telah terbukti memberi manfaat kesehatan besar bagi ibu, bayi dan masyarakat (Prior, Santhakumaram, Gale, Philips, Modi, Hyde, 2012). Menyusui dapat mengurangi kejadian dan keparahan penyakit pada bayi seperti penyakit otitis media, infeksi gastrointestinal, enterokolitis, infeksi saluran pernafasan bagian bawah, sindrom kematian bayi mendadak, obesitas dan diabetes. Hal ini disebabkan karena ASI memiliki manfaat sebagai zat anti infeksi yang mengandung Immunoglobulin A (Ig.A), Laktoferin, enzim lysozim, sel darah putih dan faktor bifidus (Riordan, 2005). Immunoglobulin A (Ig.A) yang terdapat dalam kolostrum atau ASI kadarnya cukup tinggi. Sekretori Ig.A tidak diserap tetapi dapat melumpuhkan bakteri patogen E. Coli dan berbagai virus pada saluran pencernaan. Laktoferin merupakan zat sejenis protein yang juga dapat menjadi komponen zat kekebalan yang mengikat zat besi disaluran pencernaan. Disamping ASI juga mengandung enzim lysozim yang dapat membantu melindungi bayi terhadap bakteri (E. Coli dan Salmonela) dan virus. Jumlah lysozim dalam ASI 300 kali lebih banyak daripada susu sapi (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2010).

Jumlah sel darah putih yang terkandung dalam ASI pada dua minggu pertama berkisar lebih dari 4000 sel per mil yang terdiri dari tiga macam yaitu Bronchus Asociated Lympocyte Tissue (BALT) antibodi pernafasan, Gut Asociated Lympocyte Tissue (GALT) anti bodi saluran pernafasan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT) antibodi jaringan payudara ibu. Faktor bifidus dalam ASI yaitu sejenis karbihidrat yang mengandung nitrogen menunjang pertumbuhan bakteri Lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga keasaman flora bayi dan berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri merugikan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2010).

Menyusui juga memiliki manfaat besar bagi ibu diantaranya dapat menurunkan angka kejadian kanker ovarium dan kanker payudara. Ibu-ibu yang menyusui selama dua

tahun akan terhindar dari risiko kanker, hal ini disebabkan karena didalam ASI terdapat zat Human- Alpha-lactalbumin Made- Lethal to Tumor cells atau dikenal dengan HAMLET yang dapat membunuh 40 jenis sel kanker dengan keuntungan tidak membunuh sel-sel sehat. Zat ini terdiri dari protein dan asam lemak yang ditemukan secara alami didalam ASI (Roesli, 2008)

Menyusui bagi ibu juga dapat mencegah terjadinya diabetes tipe 2, hal ini disebabkan karena perubahan metabolisme ibu menyusui membantu menstabilkan kadar gula darah dan meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap hormon insulin. Ibu yang menyusui bayinya terus menerus selama paling sedikit satu tahun dapat menurunkan kadar gula darah. Selain itu ibu yang menyusui bayinya memiliki kecenderungan memilih gaya hidup sehat dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Umumnya ibu-ibu yang menyusui lebih selektif memilih makanan sehat dan bergizi agar kandungan ASI yang diberikan pada bayi juga memiliki zat gizi yang tinggi. Gaya hidup semacam ini dapat mendorong metabolisme tubuh untuk mengurangi risiko terjadinya diabetem tipe 2 (Ip, Chung, Raman, Trikalinos & Lau, 2009; Yulfitrawasi, 2011).

Bukti-bukti mengenai besarnya manfaat pemberian ASI eksklusif telah banyak diketahui secara luas, namun dilaporkan bahwa tingkat pemberian ASI eksklusif masih sangat rendah diberbagai penjuru negara (American Academy of Pediatrics, Section on Breastfeeding 2012) Meningkatnya persalinan melalui bedah sesar belakangan ini secara signifikan merupakan salah satu faktor pemicu rendahnya pemberian ASI eksklusif diseluruh dunia. Bedah sesar secara luas dapat mempengaruhi proses menyusui yang buruk dan berdampak terhadap keberhasilan menyusui. Beberapa hasil studi melaporkan bahwa tingkat menyusui pada ibu dengan bedah sesar lebih rendah bila dibandingkan dengan ibu yang melahirkan secara normal (Prior et al 2012; Perez-Rioz et al., 2007).

Hasil temuan lain yang dilaporkan pada ibu dengan bedah sesar adalah adanya penurunan minat beberapa ibu untuk menyusui. (Smith, 2010). Rasa percaya diri dan keinginan ibu untuk menyusui sangat dipengaruhi oleh keyakinan ibu untuk menyusui bayinya atau breastfeeding self efficacy (BSE).

Triana Dewi : PengaruhKontak Kulit ke Kulit Segera terhadap Keyakinan Ibu Menyusui

Page 169: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

138 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Breastfeeding Self Efficacy (BSE) yakni keyakinan seorang ibu pada kemampuannya untuk menyusui atau memberikan ASI pada bayinya (Dennis & Foux, 1999). Menurut Dennis (1999) BSE merupakan suatu komponen yang dapat memprediksi seorang ibu untuk memilih memulai menyusui atau tidak, berapa banyak usaha ibu untuk tetap menyusui bayinya, apakah ibu memiliki pola pikir yang dapat meningkatkan menyusui serta bagaimana ibu dapat mengatasi hambatan selama menyusui secara emisional. Rendahnya rasa percaya diri terutama pada ibu paska bedah sesar menyebabkan persepsi ibu tentang kurangnya ASI dan berisiko untuk segera berhenti menyusui (Lauwers dan Swisher, 2011; Handayani, Kosnin, Jiar & Solikhah, 2013). Keyakinan ibu menyusui baru-baru ini menjadi topik permasalahan yang telah disorot oleh berbagai peneliti dalam menilai kondisi psikologis ibu untuk meningkatkan menyusui (Meedya, Fahy, & Kable, 2010).

Keyakinan ibu dalam memberikan ASI pada bayi dikaitkan secara positif dapat meningkatkan durasi menyusui pada berbagai budaya dan kelompok usia (Dennis, 1999; Alus¸ Tokat, Okumus¸ & Dennis, 2010). Memfasilitasi ibu dan bayi untuk melakukan kontak kulit kekulit segera di ruang operasi merupakan salah satu intervensi yang dapat diaplikasikan dalam membantu keberhasilan inisiasi menyusu, meningkatkan BSE, serta dapat mempertahankan pemberian ASI eksklusif selama periode postpartum (Aghdas, Talat, Sepideh, 2013; Hung dan Berg, 2011)

Kontak kulit ke kulit segera antara ibu dan bayi atau yang lebih dikenal dengan skin to skin contact (SSC) merupakan metode intervensi yang mudah dan dapat diaplikasikan pada ibu yang melahirkan secara normal maupun bedah sesar (Aghdas et al., 2013). SSC menjadi salah satu tahap dalam keberhasilan program inisiasi menyusu dini (IMD) yang secara signifikan dapat meningkatkan BSE ibu menyusui (Keemer 2011). Tuuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi SSC terhadap keyakinan ibu menyusui paska bedah sesar.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan desain quasi eksperiment posttest only design with control groups yang melibatkan sampel 52 ibu terdiri dari kelompok intervensi (26 orang) dan kelompok kontrol (26 orang) dengan consecutive sampling. Penelitian ini dilakukan di tiga rumah sakit di Aceh yang dilaksanakan selama satu bulan. Rumah Sakit yang dipilih adalah RSUD Kota Langsa, RSU Cut Nyak Dhien Langsa, dan RSUD Aceh Tamiang. Ketiga Rumah Sakit ini dipilih sebagai area penelitian karena RS tersebut merupakan rumah sakit rujukan BPJS dengan jumlah kelahiran bedah sesar yang tertinggi di Kota Langsa dan Aceh, selain itu ketiga RS tersebut belum terpapar mengenai SSC di ruang operasi.

Kriteria responden yang jadikan sampel penelitian adalah semua ibu yang menjalani persalinan melalui bedah sesar dengan anastesi spinal, usia 20–35 tahun, tidak ada komplikasi medis yang berbahaya (masalah psikiatrik, eklamsia), dan ibu bersedia melakukan SSC di ruang operasi. Usia 20–35 tahun dipilih sebagai salah satu kriteria karena usia 20–35 merupakan usia produktif yang berdampak pada kondisi sehat sejahtera baik ibu maupun bayi saat proses persalinan sehingga risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi dapat dihindari (Kemenkes RI, 2013). Kriteria inklusi untuk bayi adalah bayi cukup bulan, frekuensi DJJ sebelum pembedahan normal (120–160 dpm), berat lahir 2500–4000 gram, tanda bugar baik pada 30 detik pertama (warna kulit kemerahan, menagis kuat, tonus otot baik), dan bayi tidak asfiksia (apgar skor 8-9) pada menit pertama, serta tidak ada kelainan kongenital.

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan bantuan kolektor data. Peneliti memilih kolektor data berdasarkan kriteria yakni kriteria perawat/bidan dan dengan latar belakang pendidikan minimal D3 (perawat pelaksana) serta memiliki pengalaman kerja selama tiga tahun. Peneliti dibantu oleh tiga orang kolektor data. Sebelum pengumpulan data dilakukan peneliti melaksanakan

Triana Dewi : PengaruhKontak Kulit ke Kulit Segera terhadap Keyakinan Ibu Menyusui

Page 170: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

139JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

pelatihan dan penyamaan persepsi tentang prosedur selama penelitian. Selanjutnya peneliti mengadakan sosialisasi awal untuk melaksanakan tujuan, manfaat, prosedur penelitian kepada bidang keperawatan, kepala ruangan, dan instruktur klinik. Peneliti juga langsung melakukan komunikasi interpersonal dan meminta izin untuk melaksanakan SSC di ruang operasi kepada dokter obstetri dan ginekologi.

Pelaksanaan SSC ini tidak hanya diketahui oleh bagian obstetri dan ginekologi, tetapi juga diketahui oleh bagian departemen anak rumah sakit (RS). Peneliti juga mengomunikasikan perihal mengenai tindakan yang akan dilakukan tersebut dan disambut baik oleh bagian departemen anak RS. Tahap selanjutnya adalah peneliti melakukan pengumpulan data melalui langkah-langkah sebagai berikut; memilih responden sesuai kriteria inklusi, memberikan informasi penelitian kepada responden dengan jelas, meminta persetujuan pasien untuk menjadi responden, menentukan responden yang akan menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dan melakukan kontrak dengan responden baik pada responden kelompok intervensi maupun pada responden pada kelompok kontrol.

Waktu Pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai tanggal 26 Mei sampai 17 Juni 2014 dengan pembagian kegiatan yaitu melakukan kontak kulit ke kulit (SSC) segera setelah bayi lahir di ruang operasi pada saat pertemuan pertama dengan responden serta melakukan penilaian keyakinan ibu menyusui pada tiga hari paska bedah sesar. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada tiga Rumah Sakit, yaitu RSUD Kota Langsa dan RS Cut Nyak Dhien Langsa pada kelompok ibu-ibu bedah sesar yang diberikan intervensi SSC, sementara RSUD Aceh Tamiang adalah ibu dengan bedah sesar yang hanya mendapatkan perawatan rutin (kelompok kontrol)

Pelaksanaan penelitian di RSUD Kota Langsa dan RS Cut Nyak Dhien Langsa adalah ibu-ibu bedah sesar yang diberikan intervensi SSC. Pelaksanaan intervensi SSC dilakukan oleh peneliti sendiri. Peneliti juga meminta kepada kepala ruangan untuk diberikan contact person, hal ini diperlukan

agar peneliti memperoleh informasi ibu-ibu yang akan melaksanakan bedah sesar di RS tersebut. Peneliti menentukan responden berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Lembar persetujuan atau informed consent akan diberikan kepada responden setelah peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dari pelaksanaan penelitian tersebut meliputi tujuan, hak dan kewajiban responden serta manfaat penelitian pada ibu paska bedah sesar.

Seluruh ibu-ibu yang sudah memenuhi kriteria inklusi yang telah memperoleh informasi mengenai intervensi SSC selanjutnya akan ditanyakan kesediaannya untuk menjadi responden dalam penelitian. Jika bersedia tahap selanjutnya adalah pelaksanakan intervensi SSC sesuai prosedur SSC di ruang operasi selama 15 menit sesuai panduan intervensi. Jika bayi dalam kondisi baik (menangis kuat, tonus otot baik dan warna kulit kemerahan) pada 30 detik pertama kehidupan, selanjutnya pantau apgar skor menit pertama (nilai apgar 8-9). Bayi dengan kondisi buruk tidak dilakukan SSC, namun dilanjutkan dengan protokol bayi ke ruang perawatan bayi. Tiga hari paska bedah sesar ibu-ibu yang telah mendapat kan intervensi SSC akan dilakukan penilaian BSE dengan mengisi lembar kuesioner yang telah tersedia.

Responden untuk kelompok kontrol dalam penelian ini diperoleh di RSUD Aceh Tamiang. Peneliti dibantu oleh kolektor data yang telah ditentukan sebelumnya. Ibu-ibu pada kelompok kontrol hanya dikaji mengenai perawatan rutin paska bedah sesar di RS tersebut. Seluruh ibu-ibu yang sudah memenuhi kriteria inklusi yang telah memperoleh informasi mengenai manfaat, dan prosedur penelitian selanjutnya akan ditanyakan kesediaannya untuk menjadi responden dalam penelitian. Responden pada kelompok kontrol dilakukan penilaian BSE setelah tiga hari paska bedah sesar dengan mengisi lembar kuesioner yang telah tersedia.

Instrumen penelitian menggunakan kuesioner terstruktur. Kuesioner terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama berisi panduan intervensi SSC dan kelompok kuesioner kedua berisi tentang pernyataan

Triana Dewi : PengaruhKontak Kulit ke Kulit Segera terhadap Keyakinan Ibu Menyusui

Page 171: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

140 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

pengukuran Breastfeeding Self-Efficacy Scale-Short Form (BSES-SF). BSES-FS merupakan instrumen yang dikembangkan oleh Dennis dan Foux (1999) untuk mengukur keyakinan ibu dalam menyusui bayinya yang bertujuan untuk mengkaji harapan self efficacy yang didasarkan pada pengalaman menyusui ibu sebelumnya, pengamatan keberhasilan menyusui, dorongan yang diterima dari orang lain dan perhatian negara/pemerintah terhadap kesehatan ibu. BSES-SF merupakan instrumen yang sesuai untuk menilai kepercayaan diri ibu menyusui di Indonesia.

Penelitian yang dilakukan Wardani (2012) menggunakan BSES-SF yang telah dialihbahasakan kedalam bahasa Indonesia menunjukkan bahwa nilai cronbach alpha coefficient sebesar 0,872. Proses translasi dan validasi instrumen ini telah dilakukan kedalam versi bahasa Indonesia. Versi bahasa Indonesia dari BSES-FS merupakan instrumen yang cukup valid dan reliabel untuk menilai kepercayaan diri menyusui dengan nilai Cronbach alfa 0,77 (Handayani et al., 2013). Instrumen BSES-SF menggunakan skala Likert. Ada lima penilaian yang digunakan dalam instrumen BSES-SF, yakni nilai 1 sampai 5. Nilai 1 mempunyai makna tidak percaya diri sama sekali dan nilai 5 yang berarti sangat percaya diri. Hasil penilaian BSES-SF 14-70 dilihat

dengan menjumlahkan keseluruhan skor yang didapat. Nilai skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat self-efficacy tinggi (Dennis & Foux, 1999).

Hasil Penelitian

Tabel di bawah ini menunjukkan hasil uji statistik dari karekteristik responden, perbedaan nilai BSE dan variabel perancu

Tabel 1 diketahui hasil analisis kesetaraan dengan menggunakan uji chi square menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi dilihat dari variabel pendidikan, pekerjaan, paritas, pengalaman menyusui dan sosial ekonomi, artinya kedua kelompok adalah homogen dengan (p value > 0,05)

Karekteristik responden dalam penelitian ini meliputi pendidikan, pekerjaan, paritas, pengalaman menyusui dan sosial ekonomi. Tabel 1 menampilkan mengenai data karekteristik ibu berdasarkan pendidikan, pekerjaan, paritas, pengalaman menyusui dan sosial ekonomi. Hasil analisis karekteristik ibu berdasarkan pendidikan dilaporkan bahwa ibu pada kelompok intervensi sebagian besar adalah ibu dengan pendidikan tinggi yakni (76,9%), sementara ibu pada kelompok kontrol dengan pendidikan tinggi yakni (61,5%). Karekteristik ibu menyusui

Tabel 1 Karakteristik Responden berdasarkan Pendidikan, Pekerjaan, Paritas, Pengalaman Menyusui dan Penghasilan Tahun 2014 (n=56)

Variabel Kelompok P ValueKontrol IntervensiN (%) N (%)

PendidikanRendah 10 (38,5) 6 (23,1) 0,352Tinggi 16 (61,5) 20 (76,9)

PekerjaanTidak Bekerja 15 (57,7) 18 (69,2) 1,000

Bekerja 11 (42,3) 8 (30,8)Paritas

Primipara 12 (46,2) 10 (38,5) 0,422Multipara 14 (53,8) 16 (61,5)

Pengalaman Menyusui

Triana Dewi : PengaruhKontak Kulit ke Kulit Segera terhadap Keyakinan Ibu Menyusui

Page 172: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

141JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

berdasarkan pekerjaan yang ditampilkan dalam tabel tersebut juga menunjukkan bahwa ibu tidak bekerja lebih tinggi pada kelompok intervensi yakni 69,2% sementara pada kelompok kontrol ibu yang tidak bekerja yakni sebesar 57,7%.

Kareteristik selanjutnya adalah paritas, umumnya ibu-ibu pada kelompok intervensi adalah ibu multipara yakni sebesar 61,6%; sementara pada kelompok kontrol ibu multipara yakni 53,8%. Pengalaman menyusui lebih banyak pada kelompok intervensi yakni 61,5% dibandingkan pada kelompok kontrol yakni sebesar 53,8%. Pada karekteristik sosial ekonomi dilaporkan bahwa sosial ekonomi pada kelompok intervensi adalah mayoritas berada diatas atau sama dengan UMR yakni 53,8%; sementara pada kelompok kontrol sosial ekonomi di atas atau sama dengan UMR yakni 46,2%.

Tabel 2 menunjukkan rerata nilai BSE ibu pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan ibu pada kelompok kontrol. Rerata BSE intervensi yakni 59,00 (SD=6,54) rerata BSE ibu pada kelompok kontrol yakni 49,62 (SD=7,78). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan statistik yang signifikan BSE antara ibu pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p=0,001 α= 0,05).

Pembahasan

Bayi yang lahir melalui bedah sesar dan terpisah dari ibunya akan menjadi lebih sering diberikan susu formula sebagai makanan pertama dibanding ibu yang melahirkan secara normal. Hal ini yang menjadi faktor

utama bagi ibu untuk menunda menyusui dan dapat memengaruhi kepercayaan diri serta keinginan ibu untuk menyusui selanjutnya (Lauwers & Swisher, 2011). Hasil penelitian ini mengkonfirmasi dua hal penting yakni bahwa dengan memberikan kesempatan melakukan kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi segera saat di meja operasi dapat memberikan rasa nyaman pada ibu serta dapat memberikan keyakinan yang tinggi pada ibu untuk menyusui bayinya.

Hasil penelitian ini melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan nilai rerata breastfeeding self-efficacy (BSE) ibu-ibu pada kelompok kontrol dan ibu-ibu pada kelompok intervensi. Ibu-ibu pada kelompok intervensi yang diberikan kontak kulit kekulit segera selama 15 menit di ruang operasi diketahui memiliki rerata nilai BSE yang tinggi yakni sebesar 59,00 dibandingkan ibu-ibu pada kelompok kontrol yakni sebesar 49,62 perbedaan tersebut signifikan pada (p= 0,001). Penelitian ini membuktikan hipotesis mayor dalam penelitian ini bahwa terdapat pengaruh yang signifikan kontak kulit ke kulit segera terhadap keyakinan ibu menyusui paska bedah sesar.

Hasil studi yang relevan dengan penelitian ini yakni penelitian oleh Aghdas et al. (2013) yang dilakukan di Iran mengenai pengaruh kontak kulit ke kulit (SSC) terhadap BSE ibu pada persalinan normal. Hasil penelitian ini melaporkan bahwa nilai rerata BSE ibu menyusui pada kelompok intervensi adalah sebesar 53,42; nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai rerata BSE ibu menyusui pada kelompok kontrol yang memiliki skor 49,85. Perbedaan tersebut signifikan pada (p=0,003). Penelitian lain yang juga

Tidak 12 (46,2) 10 (38,5) 0,474Ya 16 (53,8) 16 (61,5)

Sosial Ekonomi< UMR 14 (53,8) 12 (46,2) 0,431≥ UMR 12 (46,2) 14 (53,8)

Tabel 2 Perbedaan Nilai BSE Ibu Paska Bedah Sesar Kelompok BSE P Value

Mean SDKontrol 49,62 7,78 0,001

Intervensi 59,00 6,54

Triana Dewi : PengaruhKontak Kulit ke Kulit Segera terhadap Keyakinan Ibu Menyusui

Page 173: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

142 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

mendukung yaitu penelitian yang dilakukan oleh Keemer (2013) yang menjelaskan bahwa SSC merupakan salah satu strategi utama yang dapat digunakan dalam meningkatkan BSE ibu. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa hampir semua yakni sebesar (93%) ibu dilaporkan melakukan kontak kulit ke kulit saat lahir dapat memberikan keyakinan ibu dalam menyusui bayinya.

Keyakinan ibu dalam menyusui bayinya merupakan salah satu aspek yang berkaitan dengan kondisi psikologis ibu. Kondisi ini dapat dimodifiksi dengan berbagai upaya intervensi serta menargetkan nilai BSE yang tinggi pada populasi ibu-ibu menyusui. Penelitian yang dilakukan oleh Damstra (2012) menyebutkan bahwa pemberian intervensi serta menargetkan nilai BSE yang tinggi pada ibu menyusui dapat dimulai sejak masa kehamilan, sehingga pemberian ASI eksklusif dan durasi menyusui dapat meningkat pada masa postpartum. Keberhasilan pemberian ASI eksklusif juga sangat ditentukan pada minggu pertama postpartum sebagai fase kritis menyusui. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurbaeti & Lestari (2013) yang menyebutkan bahwa pentingnya pemberian intervensi comprehensive breastfeeding education pada minggu pertama postpartum dalam mensukseskan keberhasilan ASI eksklusif

Ketika ibu menjalani persalinan melalui bedah sesar satu hal yang paling sering terjadi yaitu pemisahan antara ibu dan bayi. SSC segera selama di ruang operasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan attachment dan menjalin interaksi segera antara ibu dan bayi. SSC dapat meningkatkan hormon yang mengatur perilaku attachment. Oksitosin merupakan hormon yang banyak diteliti kaitannya terhadap attachment dan sering disebut sebagai “love hormone”. Hormon ini terbukti meningkatkan relaksasi, daya tarik, pengenalan wajah, dan perilaku pengasuhan ibu serta semua perilaku yang penting untuk keberlangsungan hidup bayi (Philips 2013).

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa SSC segera terutama pada ibu-ibu dengan bedah sesar selama di ruang operasi juga diketahui dapat memfasilitasi interaksi segera antara ibu dan bayi. Ibu dengan SSC lebih

banyak memeluk, menyentuh, memegang dan menunjukkan perilaku bicara positif, selain itu bayi juga dapat memulai belajar menyusu. Pengalaman yang dialami inilah yang dapat menyebabkan kepuasan ibu untuk merawat bayi dan kepercayan diri ibu untuk menyusui bayinya mulai muncul. Hal ini sejalan dengan konsep BSE yang dikemukakan oleh Dennis (1999) bahwa (performance accomplishment) atau suatu pengalaman akan keberhasilan yang telah dicapai sebelumnya merupakan salah satu sumber informasi utama yang dapat mempengaruhi BSE ibu.

Pengalaman positif ibu saat dilakukan SSC segera selama di ruang operasi sebelumnya dapat memengaruhi keyakinan ibu dalam merawat dan menyusui bayi selanjutnya. Metode SSC ini efektif untuk meningkatkan kepuasan serta keyakinan ibu untuk menyusui bayinya, banyak bukti menunjukkan bahwa SSC dapat meningkatkan BSE ibu dan kepusaan ibu untuk merawat bayi (Aghdas et al., 2013; Philips 2013; Keemer 2013) serta meningkatkan durasi menyusu hingga dua kali lipat (Philips 2013)

Penelitian ini dapat membuktikan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan keberhasilan menyusui yaitu melaui pemberian intervensi skin to skin contact (SSC) segera antara ibu dan bayi terutama pada ibu dengan bedah sesar saat berada di ruang operasi. SSC diketahui dapat meningkatkan keyakinan ibu untuk menyusui (BSE). Selain itu SSC juga dapat mensukseskan program IMD yang masih belum merata dilaksanakan di seluruh Indonesia.

Perawat dapat menjadi konselor menyusui serta dapat memberikan pemahaman mengenai manfaat besar yang dapat diperoleh dengan melakukan SSC terutama pada ibu dengan persalinan bedah sesar. Perawat dapat memahami bahwa pentingnya SSC segera antara ibu dan bayi untuk membantu meningkatkan bonding and attachment, mengurangi efek negatif dari pemisahan dini antara ibu dan bayi serta dapat meningkatkan BSE ibu.

Hasil penelitian ini juga dapat mengubah keyakinan tentang pelaksanaan IMD khususnya SSC pada ibu dengan bedah sesar. Sejauh ini pelaksanaan IMD masih menemukan berbagai masalah dalam penerapannya di lapangan terutama pada ibu

Triana Dewi : PengaruhKontak Kulit ke Kulit Segera terhadap Keyakinan Ibu Menyusui

Page 174: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

143JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

dengan bedah sesar. Masalah ini seringkali justru datang dari tenaga kesehatan yang tidak mau melaksakan IMD karena berbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangan yang muncul di rumah sakit yakni jumlah rasio tenaga kesehatan terutama bidan dengan jumlah pasien tidak ideal (Rahayuwati, Ermiyati, & Trisyani, 2016). Sehingga perlu ditingkatkan pelayanan keperawatan dan kebidanan dalam meningkatkan derajad kesehatan ibu dan bayi.

Simpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai rerata BSE ibu pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan nilai rerata BSE ibu pada kelompok kontrol. Terdapat perbedaan statistik yang signifikan nilai rerata BSE antara ibu pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi (p value 0,001). Hasil penelitian ini melaporkan bahwa SSC segera dapat menguatkan keyakinan ibu menyusui paska bedah sesar.

Daftar Pustaka

Aghdas, Karimi., Talat, Khadizvzadeh, Sepideh, & Bagheri. Effect of immediate and continuous mother-infant skin to skin contact on breastfeeding self-efficacy of primiparous women: A randomised control trial. Woman and Birth, 312. No. Of Pages 4.

Alus Tokat, M., Okumus, H., & Dennis, C. L. (2010). Translationand psychometric assessment of the Breast-feeding Self-Efficacy Scale-Short Form among pregnant and postnatal women in Turkey. Midwifery, 26, 101–108.

American Academy of Pediatrics, Section on Breastfeeding.(2012). Breastfeeding and the use of human milk. Pediatrics, 129, e827–e841.

Damstra, Kelli. M. (2012). Improving breastfeeding knowledge, self-efficacy and intent through a prenatal education programe. Dissertation. Faculty of Grand Valley State University. Kinrkhof College of

Nursing.

Dennis, C. L., & Faux, S. (1999). Development and psychometric testing of the breasfeeding self-efficacy scale. Res Nurs Health, 22, 399-409.

Handayani, L., Kosnin. A. Md., Jiar, Y. K., & Solikhah. (2013). Translation and validation of breastfeeding self-efficacy scale-short form (BSES-SF) into Indonesian: A Pilot Studi. Kesmas, ISSN: 1978-0575.

Hung KJ., & Berg O. (2011). Early skin to skin after cesarean to improve brestfeeding. MNC AM J Matern Child Nurs, 36, 318-24, quiz 25-6.

Ip, S., Chung, M., Raman, G., Trikalinos, T. A., & Lau, J. (2009). A summary of the agency for healthcare research and quality’s evidence report on breastfeeding in developed countries. Breastfeeding Medicine, 4, S17-S30. doi:10.1089/bfm.2009.0050.

Keemer, F. (2011). Breastfeeding self-efficacy and alternative techniques to overcome maternal or infant breasfeeding challenges: a retrospective descriptive study. Thesis. School of nursing and midwifery. Queensland University of Technology. Australia.

Keemer. (2013). Breastfeeding self-efficacy of woman using second line strategies for healty term infants in the first week postpartum: An Australian observational study. International Breastfeeding Journal, 8, 18.

Kemenkes RI. (2013). Rencana aksi percepatan penurunan angka kematian ibu di Indonesia. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Ibu Ditjen Bina Gizi dan KIA Kemenkes RI.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2010). Pedoman peningakatan penerapan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui yang responsif gender bagi pusat dan daerah. Tersedia pada http://aimi-asi.org/wp-content/uploads/2010/08/17-permenegpp-3-2010.pdf. Diakses tanggal 14 April 2014.

Triana Dewi : PengaruhKontak Kulit ke Kulit Segera terhadap Keyakinan Ibu Menyusui

Page 175: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

144 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Lauwers, J., & Swisher, A. (2011). Counseling the Nursing Mother. A Lactation Consultant’s Guide, (5th Ed.). Jones and Barlett Publishers, ISBN 978-0-7637-8652-4, Sudbury, USA.

Meedya, S., Fahy, K., & Kable, A. (2010). Factors that positively influence breastfeeding duration to 6 months: A literature review. Women Birth, 23, 135–145.

Nurbaeti, I., & Lestari. K.B. (2013). Efektivitas comprehensive breastfeeding education terhadap keberhasilan Air Susu Ibu (ASI) pada periode postpartum. Jurnal Keperawatan Padjajaran, 1(2), 27–36. ISSN: 2338-5324.

Pérez-Ríos, N., Ramos-Valencia, G., & Ortiz, A.P. (2007). Cesarean delivery as a barrier for breastfeeding initiation: The Puerto Rican experience. Journal of Human Lactation, 24, 293-302. doi:10.1177/0890334408316078Publishers, ISBN 978-0-7637-6374-9, Sudbury, USA.an (2012). Breastfeeding and the use of human milk. Pediatrics, 129,827–841.

Philips, R. (2013). The scared hour: Uninterrupted skin to skin contact immediately after birth. Newborn & infant nursing reviews, 13, 67–72.

Prior, Emily., Santhakumaram, Shalini., Gale, Cris., Philipps, L.H., Modi, Neena.,

& Hyde, M.J. (2012). Breastfeeding after cesarean delivery: A systematic review and meta-analysis of world literaure. American Society for Nutrition, 95, 1113-35.

Rahayuwati, L., Ermiati, & Trisyani, M. (2016). Proses evaluasi: Standar, efektifitas, efisiensi dan keberlangsungan pelayanan keperawatan maternitas. Jurnal Keperawatan Padjajaran, 4(2), 127–138. ISSN: 2338-5324.

Riordan, J. (2005). Breastfeeding and human lactation (3rd Ed.). Massachusetts. Jones and Bartlett Publisher.

Roesli, U. (2008). Mitos menyusui. Makalah dalam Seminar Telaah Mutakhir tentang ASI. Bali: FAOPS-Perinasia.

Smith, L.J. (2010). Impact of birth practices on breastfeeding (2nd Ed.), Jones and Barlett Publishers, ISBN 978-0-7637-6374-9, Sudbury, USA.

Wardani, M.A. (2012). Gambaran tingkat self-efficacy untuk menyusui pada ibu primigravida. Skripsi. FIK UI. Depok: tidak dipublikasikan.

Yulfitrawasih. (2011). Menyusui mencegah risiko diabetes type 2. Diterima dari Rumah Sakit Islam Jakarta. Website: www.rsi.co.id.

Triana Dewi : PengaruhKontak Kulit ke Kulit Segera terhadap Keyakinan Ibu Menyusui

Page 176: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

145JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Hubungan Sumber Informasi dan Usia Remaja Puteri dengan Perilaku Perawatan Diri saat Menstruasi

Tetti Solehati, Ermiati, Mira Trisyani, Yanti HermayantiFakultas Keperawatan Universitas Padjajaran

Email: [email protected]

Abstrak

Remaja putri merupakan kelompok rawan terjangkit infeksi saluran reproduksi, salah satunya disebabkan pola perilaku belum mendukung dalam perawatan diri saat menstruasi yang menyebabkan meningkatnya angka keputihan patologis. Pola perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh usia dan informasi. Pada pondok pesantren biasanya guru memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi sesuai dengan ajaran islam yang dirasakan lengkap untuk siswinya sehingga akan berpengaruh pada perilaku kesehatan reproduksi mereka. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan sumber informasi dan usia siswi dengan perilaku perawatan diri saat menstruasi. Metode: Desain penelitian deskriptif korelasional. Teknik pengambilan sample total sampling dengan jumlah 100 siswi kelas VIII dan IX. Kegiatan: Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut tahun 2016. Instrumen terdiri dari quisioner data sumber informasi dan usia, serta lembar ceklis perilaku perawatan diri saat menstruasi. Data dianalisis menggunakan analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian menunjukkan hampir setengahnya responden berusia 15 tahun (27%), seluruh responden (100%) mendapatkan informasi, hampir seluruh responden (82%) mendapatkan informasi dari ibu, dan hampir seluruh responden (87%) berperilaku tidak mendukung. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa hanya variabel usia yang memiliki nilai signifikan terhadap perilaku perawatan diri saat menstruasi (p = 0,033), sedangkan variabel sumber informasi tidak ada yang memiliki nilai yang signifikan seperti dari; ibu (p = 1,000), koran (p = 0,767), TV (p = 0,338), internet (p = 0,296), guru (p = 0,682), teman (p = 0,675), petugas kesehatan (p = 0,208), dan informasi lainnya (p = 0,780). Kesimpulan terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan perilaku perawatan diri saat menstruasi.

Kata kunci: Perawatan diri saat menstruasi, siswi, sumber informasi.

The Correlation between Information Source and Age of Adolscent Girls to Self Care Practices of Menstrual Hygiene Behavior

Abstract

Young female are prone to contracting of reproductive tract infections, one of which is due to a behavioral pattern in self-care during menstruation that leads to increase of pathological vaginal discharge. A person’s behavior patterns can be affected by age and information. In the boarding school, usually teachers provide education about reproductive health in accordance with Islamic teachings so that will affect the behavior of their reproductive health. The purpose of this study was to determine the relationship between the source of information and the age of female students with self-care behavior during menstruation. Method: Descriptive correlational research design was used in this study. Sampling technique was total sampling of 100 students of class VIII and IX. Activity: The research was conducted at Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut in 2016. The instrument consisted of information questionaire and data of age, as well as checklist of self-care behavior during menstruation. Data were analyzed using univariate and bivariate analysis. The results showed that almost half (27%) of respondents aged 15 years, all respondents (100%) received information, almost all respondents (82%) received information from mothers, and almost all respondents (87%) had unsupport behavior. The correlation test results showed that only the variable of age had significant value to the self-care behavior during menstruation (p = 0,033),whereas the variable of information source had not significant value such as from mother (p = 1,000), news paper (p = 0,767), TV (p = 0,338), internet (p = 0.296), teachers (p = 0.682), friends (p = 0,682), health providers (p = 0,208), and other informations (p = 0,780). Conclusion There was a significant relationship between age and self-care behavior during menstruation.

Keywords: Self-care during menstruation, student, source of information.

Page 177: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

146 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pendahuluan

Menstruasi merupakan kejadian fisiologis bagi perempuan dimana terjadi perubahan kritis di kehidupan normal mereka (Mythili, 2007; Parvin et al., 2015). Menurut House, Mahon, dan Cavill (2012), para remaja putri perlu memerhatikan kebersihan organ reproduksi mereka terutama saat menstruasi karena bila tidak dikelola dengan baik maka akan menghasilkan masalah kesehatan reproduksi, salah satunya adalah keputihan. Mereka harus dapat merawat diri dengan baik pada saat menstruasi terjadi.

Perawatan diri saat menstruasi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan selama menstruasi (Perry & Potter, 2006) dengan tujuan memelihara kebersihan dan kesehatan individu selama masa menstruasi sehingga mendapatkan kesejahteraan fisik dan psikis, serta dapat meningkatkan derajat kesehatan seseorang. Perawatan diri saat menstruasi merupakan salah satu masalah kritis yang menetukan status kesehatan para remaja dan pada akhirnya praktek ini akan terus tertanam hingga kehidupan dewasanya nanti (Adika, 2013). Kebersihan genital yang buruk serta perawatan diri yang tidak memadai saat menstruasi merupakan salah satu penentu utama terjadinya morbiditas pada remaja (McCaleb & Cull, 2000), seperti kanker serviks, gejala pruritus vulvae, iritasi area genital, infeksi saluran kemih, infeksi saluran reproduksi, vaginitis, vulpovaginitis, dan keputihan atau flour albus yang disertai gatal-gatal, iritasi, bau yang tidak menyenangkan, serta adanya rasa perih diakibatkan oleh salah satu organisme seperti Candida albican, Trichomas vaginalis, dan Gardnerella vaginalis (Baradero, 2007; Leppert & Peipert, 2004). Penelitian Dewi, Sawitri, dan Adiputra (2013) pada wanita di kota Denpasar menemukan bahwa perilaku higiene organ reproduksi yang kurang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker serviks. Penelitian Joseph (2009) pada siswi remaja di India ditemukan bahwa ada hubungan higiene dengan infeksi sistem reproduksi dan infeksi saluran perkemihan.

Perawatan diri saat menstruasi meliputi mengganti pakaian dan celana dalam dengan teratur, mengganti pembalut setiap 3-4 jam

sekali, mandi setiap hari, membasuh area genitalia setelah buang air besar atau kecil, melanjutkan aktivitas normal sehari-hari (pergi sekolah, melakukan aktivitas fisik, olahraga), personal hygiene, memelihara keseimbangan asupan nutrisi yang tepat, dan menggunakan obat sesuai resep yang diberikan dokter (Poureslami & Ashtiani, 2002; Santina, Wehbe, Ziade, & Nehme, 2013). Perawatan diri saat menstruasi dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya faktor demografi (Green dalam Notoatmojo, 2007) seperti usia, pengalaman mendapat informasi, sumber informasi, status menstruasi, usia menarche, dan keluhan saat menstruasi. Usia berpengaruh terhadap kematangan berperilaku, semakin tinggi usia maka semakin baik perilakunya. Pengalaman mendapat informasi dan sumber mendapat informasi yang memadai akan meningkatkan pengetahuan seseorang sehingga termotivasi melakukan perilaku yang baik. Status menstruasi memengaruhi seseorang untuk berperilaku sesuai dengan kondisi menstruasi yang mereka alami dibanding dengan mereka yang belum mengalami menstruasi dimana akan lebih acuh terhadap perawatan yang harus dilakukan saat menstruasi karena belum pernah mengalami kondisi menstruasi tersebut. Mereka yang telah mengalami menstruasi akan banyak bertanya dan mencari informasi yang berkaitan dengan perawatan diri saat menstruasi. Usia menarche berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman saat menstruasi yang akan berpengaruh terhadap perilaku perawatan diri mereka saat menstruasi terjadi.

Karekteristik yang berbeda-beda di berbagai negara juga memengaruhi perawatan diri remaja putri saat menstruasi. Penelitian Santina et al. (2013) pada remaja putri di Lebanon menemukan bahwa 50,65% remaja putri mengikuti adat kebiasaan sesuai dengan keyakinan sosialkultural mereka dengan mempraktikkan larangan-larangan yang berbeda selama menstruasi sesuai, 35,5% mengubah kebiasaan minum mereka tidak meminum air dingin, 20% menghindari makanan yang kaya vitamin C untuk mencegah risiko amenorrhea, 18,2% tidak berpartisipasi dalam aktivitas sosial atau melakukan pekerjaan rumah, 70,3% menghindari aktivitas fisik untuk mencegah

Tetti Solehati : Hubungan Sumber Informasi dan Usia Remaja Puteri dengan Perilaku Perawatan Diri

Page 178: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

147JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

risiko hypermenorrhea. Karekteristik seseorang juga dipengaruhi oleh informasi yang meningkatkan pengetahuan seseorang

Banyak remaja perempuan tidak mendapat informasi yang cukup terkait isu perawatan diri terkait menstruasi yang diakibatkan oleh sikap orang tua dan masyarakat yang kurang terbuka dalam mendiskusikan perawatan diri tersebut, hal ini tentu menjadi penghalang bagi remaja untuk mendapatkan hak informasi yang tepat (Gharoro, 2013). Latar belakang sosial-ekonomi, status kesehatan, kebiasaan para remaja putri memengaruhi perawatan diri saat menstruasi. Rahman (2014) pada siswi di SMP Muhammadiyah 5 Yogyakarta menemukan bahwa faktor sumber informasi dan kebiasaan individu berpengaruh terhadap perilaku personal hygiene.

Masih banyaknya remaja putri yang memiliki pemahaman yang kurang tentang perawatan diri saat menstruasi menyebabkan mereka berisiko mengalami masalah reproduksi. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Indonesia (2008) ditemukan 43,3 juta jiwa remaja berperilaku tidak sehat yang dapat menimbulkan keputihan (Sari, 2012).

Jawa barat memiliki penduduk usia remaja putri yang cukup besar dan masih memiliki perilaku yang kurang mendukung tentang perawatan diri saat menstruasi, salah satunya adalah Kabupaten Garut. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa remaja di Kabupaten Garut memiliki risiko terhadap masalah kesehatan reproduksi. Dilihat dari jumlah remaja usia 15–24 tahun yang mendapat penyuluhan tentang kesehatan reproduksi hampir tidak ada remaja yang mendapatkan penyuluhan. Penyuluhan pada remaja lebih banyak diberikan tentang materi HIV/AIDS serta KB (Keluarga Berencana). (BPS Garut, 2015).

Jumlah penduduk di Kabupaten Garut pada tahun 2013 berjumlah 2.502.410 dengan jumlah kecamatan 310 kecamatan. Kecamatan Tarogong Kidul memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua dengan Jumlah penduduk menurut kelompok usia adalah 0–14 tahun 35.355 orang dan usia 15–64 tahun 77.409 orang. Banyak pesanteren yang didirikan di Kabupeten Garut, oleh karena itu Garut terkenal sebagai kota santri. Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah merupakan

pondok pesantren terbesar yang ada di kecamatan Tarogong Kidul dengan jumlah siswi sebanyak 164 orang (BPS Garut, 2013).

BKKBN (dalam Fitriyah, Indriani dan Sulistyorini, 2013) menyatakan bahwa kepercayaan, sikap, dan nilai yang ada di pesantren serta anggapan bahwa pesantren sebagai pusat tarekat maupun pendidikan alternatif ideal bagi anak menjadikan kebudayaan yang ada di pesantren agak berbeda dengan budaya masyarakat pada umumnya di uar pesantren. Pesantren menerapkan aturan yang membatasi interaksi antara santri dengan dunia luar dengan tujuan memandirikan dan menjaga akhlak serta moral para santri. Shodiq (2012, dalam Fitriyah, Indriani, dan Sulistyorini, 2013) menuliskan bila fenomena remaja pesantren memang sangat menarik. Di satu sisi mereka adalah remaja dengan segala keinginannya tetapi di sisi lain mereka dituntut menjadi seorang panutan karena label santri yang melekat pada dirinya. Lingkungan pesantren yang cenderung tertutup dari pengaruh luar memungkinkan remaja pesantren mengalami kesulitan dalam mendapatkan informasi kesehatan, tidak terkecuali masalah perawatan diri saat mentruasi. Walaupun selama ini para siswi mendapatkan informasi mengenai perawatan diri ketika mereka mengalami menstruasi tetapi tidak materi yang disampaikan tidak selengkap materi yang mereka butuhkan, terutama dari aspek kesehatannya.

Ketua UKS di wilayah Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut mengatakan bahwa dalam 5 bulan terakhir remaja yang mengeluhkan terkait masalah keputihan disertai bau dan gatal-gatal di area vagina sebanyak 28 orang. Kondisi ini bisa disebabkan karena kurangnya perawatan diri yang baik karena kurangnya informasi yang diterima para santri. Menurut salah satu guru di Pondok Pesantren ini mengatakan bahwa sudah ada di kurikulum mengenai bab tentang kebersihan organ genitalia ataupun kebersihan organ genitalia saat menstruasi sesuai yang diajarkan menurut islam tetapi belum mencankup perawatan diri ketika menstruasi dari segi kesehatan, jadi masih berupa materi secara umum. Menurut ibu pemilik pondok pesantren mengatakan bahwa belum pernah ada penyuluhan

Tetti Solehati : Hubungan Sumber Informasi dan Usia Remaja Puteri dengan Perilaku Perawatan Diri

Page 179: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

148 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

tentang perawatan diri saat menstruasi, baik yang dilakukan oleh poskestren maupun puskesmas. Selain itu pondok pesantren ini sulit untuk dilakukan penyuluhan kesehatan reproduksi padahal sudah terprogram dari pemerintah tetapi masih kurang kooperatif. UKS belum tersedia, jika siswa/i sakit mereka di bawa ke poskestren.

Hasil studi pendahuluan pada delapan orang siswi didapatkan data satu orang siswi mengatakan sering mengalami keputihan yang gatal, berwarna kuning, mengganti celana dalam sehari sekali; empat orang siswi mengatakan sering mengalami keputihan berwarna kuning, gatal-gatal, mengganti pembalut menstruasi lebih dari enam jam, vagina dibersihkan menggunakan sabun, kadang-kadang mencuci tangan sebelum cebok; dua orang siswi mengatakan sering gatal-gatal, keputihan bening, mengganti celana dalam sehari dua kali, tidak mengeringkan vagina setelah BAK, dan satu orang siswi mengatakan keputihan berwarna bening disertai bau. Dari delapan responden hanya satu responden yang menggunakan bahan celana dalam dari bahan katun dan sebanyak delapan responden tersebut tidak pernah mencukur bulu kemaluan. Tiga orang mengatakan pada saat menstruasi memiliki pantangan makanan pedas dan es, malas keramas, terkadang menggunakan obat saat terjadinya dismenorhoe, terkadang ditemukan buang pembalut di luar tempat sampah, terkadang siswi tidak melakukan olah raga karena dismenorhoe atau tidak nyaman dengan menstruasinya. Mereka mengatakan malu kalau akan menanyakan tentang perawatan menstruasi ke poskestren karena dokter jaganya laki-laki. Sekolah ini memiliki toilet yang kebersihannya kurang terjaga, serta tempat sampah yang kotor.

Minimnya pemahaman remaja putri dapat diatasi dengan meningkatkan pengetahuan siswi tentang perawatan diri saat menstruasi sejak dini akan mendorong tingkat kesadaran untuk melakukan praktek perawatan diri yang tepat sehingga dapat mencegah tingkat kesakitan pada perempuan. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi merupakan faktor penting dalam menentukan perilaku higiene perempuan pada saat menstruasi. Kurangnya informasi yang tepat mengenai menstruasi akan mengarah pada sikap negatif

dan kesalahpahaman mengenai proses fisilogis normal ini dan memungkinkan perempuan tidak berperilaku higienis pada saat menstruasi (Lamadah, Mohamed, & El-Khedr, 2015). Pentingnya pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan perilaku hidup sehat bagi remaja. Sekolah dirasa perlu untuk memasukkan topik mengenai kesehatan reproduksi salah satunya tentang perawatan diri saat menstruasi ke dalam kurikulum mata pelajaran (Eswi, Helal, & Elarousy, 2012).

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kuantitatif menggunakan rancangan deskriptif korelasional. Pengambilan data dilakukan bulan Agustus 2016 di Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja putri kelas VIII dan IX di Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut berjumlah 100 orang dengan pengambilan sampel menggunakan total sampling.

Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari: (A) data nama, usia, kelas, dan (B) lembar ceklis perilaku. Instrumen perilaku dibuat sendiri oleh peneliti sesuai kebutuhan. Kuesioner ini dibuat sendiri oleh peneliti dengan memodifikasi dari jurnal Santina, Wehbe, Ziade, dan Nehme (2013); Poureslami dan Ashtiani (2002); Kozier dan Erb’s (2008); dan Nair (2008) yang berhubungan dengan perawatan diri saat menstruasi yaitu personal hygiene, diet makanan, penggunaan pembalut, serta latihan atau olahraga dan teknik relaksasi. Jumlah pertanyaan pada kuesioner ini sebanyak 42 pertanyaan. Kuesioner diisi dengan menggunakan tanda (√) centang pada kolom pilihan jawaban yang diberikan.

Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuisioner tertutup dimana seluruh responden dikumpulkan dalam satu ruangan aula pondok pesantren, kemudian memberikan penjelasan tujuan dari penelitian dan meminta kesediaan responden untuk mengisi kuisioner. Responden mengisi kuisioner dengan mengisi lembar demografi dan mengisi lembar perilaku dengan ceklist

Tetti Solehati : Hubungan Sumber Informasi dan Usia Remaja Puteri dengan Perilaku Perawatan Diri

Page 180: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

149JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

(√) Selama pengisian kuisioner dilakukan pendampingan oleh para peneliti. Data yang telah terkumpul dianalisis secara univariat (persentase, cut of point) dan bivariat (chi square test). Analisis univariat untuk mendeskripikan demografi responden, sedangkan analisis bivariat untuk menjelaskan tentang hubungan antara demografi responden denga perilaku mengenai perawatan diri saat menstruasi.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian tentang usia dan sumber

informasi yang dimiliki siswi di Pondok Pesantren Al Musaddadiyah Garut dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa hampir setengahnya responden sebanyak 27 orang (27%) berusia 15 tahun, seluruh responden sebanyak 100 orang (100%) mendapatkan informasi tentang perawatan diri saat menstruasi, dan hampir seluruh responden sebanyak 82 orang (82%) sumber informasi diperoleh dari ibu. Untuk melihat perilaku perawatan diri selama menstruasi pada siswi, dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Pada tabel 2 tersebut diatas, diperoleh bahwa hampir seluruh responden sebanyak 87

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Usia dan Sumber Informasi Responden di Pondok Pesantren Al- Musaddadiyah Garut Tahun 2016 (n=100)

Demografi f %Usia (Tahun)12 3 313 19 1914 18 1815 27 2716 17 1717 13 1318 3 3Pengalaman Mendapat Informasi :Ya 100 100Tidak 0 0Sumber InformasiIbu 82 82Koran 14 14TV 24 24Internet 39 39Guru 51 51Teman 58 58Petugas Puskesmas 40 40Lainnya 15 15

Tabel 2 Distribusi Frekuansi Perilaku Perawatan Diri Siswi Saat Menstruasi di Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut

Variabel f %Perilaku Mendukung 13 13

Tidak Mendukung 87 87

Tetti Solehati : Hubungan Sumber Informasi dan Usia Remaja Puteri dengan Perilaku Perawatan Diri

Page 181: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

150 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

orang (87%) memiliki sikap tidak mendukung dalam perawatan diri saat menstruasi.

Dari tabel 3 tersebut diatas, dapat dilihat bahwa hanya variabel usia yag memiliki nilai signifikan terhadap perilaku perawatan diri saat menstruasi (p = 0,033), sedangkan variabel pengalaman mendapat informasi dari ibu (p = 1,000), dari koran (p = 0,767), dari TV (p = 0,338), dari internet (p = 0,296), dari guru (p = 0,682), dari teman (p = 0,675), dari petugas kesehatan (p = 0,208), dan informasi

dari lainnya (p = 0,780) tidak memiliki nilai signifikan dengan perilaku perawatan diri saat menstruasi.

Pembahasan

Data demografi responden menunjukkan bahwa hampir setengahnya responden sebanyak 27 orang (27%) berusia 15 tahun, seluruh responden sebanyak 100 orang

Tabel 3 Hubungan Demografi dengan Perilaku Perawatan Diri Siswi Saat Menstruasi di Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut Tahun 2016 (n=100)

VariabelPerilaku

PMendukung Tidak Mendukungn (%) n (%)

Usia (Tahun)12 – 14 10 3015 – 18 27 33 0,033Sumber Informasi :IbuYa 30 52 1,000Tidak 7 11KoranYa 6 8 0,767Tidak 31 55TVYa 11 13 0,338Tidak 26 50InternetYa 17 22 0,296Tidak 20 41GuruYa 20 31 0,682Tidak 17 32TemanYa 20 38 0,675Tidak 17 25Petugas PuskesmasYa 18 22 0,208Tidak 19 41LainnyaYa 6 9 0,780Tidak 31 54

Tetti Solehati : Hubungan Sumber Informasi dan Usia Remaja Puteri dengan Perilaku Perawatan Diri

Page 182: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

151JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

(100%) mendapatkan informasi tentang perawatan diri saat menstruasi, dan hampir seluruh responden sebanyak 82 orang (82%) sumber informasi diperoleh dari ibu. Remaja usia 15 tahun berada pada berakhirnya masa remaja awal dan mulai masuk ke masa remaja pertengahan. Pada usia ini biasanya remaja memiliki rasa ingin tahu akan segala hal. Remaja perempuan cenderung menerima informasi dari berbagai sumber termasuk orangtua, sekolah, teman, dan media massa baik informasi yang benar maupun yang salah. Pada hasil penelitian semua siswi mendapatkan informasi tentang perawatan diri saat menstruasi dari berbagai macam sumber informasi dan sumber informasi terbanyak adalah ibu mereka. Ibu merupakan sosok orang dewasa yang paling dekat dengan remaja perempuan. Ibu sudah seharusnya memiliki informasi yang memadai tentang perawatan diri saat menstruasi yang harus disampaikan kepada puteri mereka. Penelitian Eswi, Helal, dan Elarousy (2012) di Mesir membuktikan bahwa sumber informasi mengenai menstruasi paling banyak diperoleh dari ibu mereka (53%). Ibu, secara tradisional memilki peran yang besar dalam memberikan pendidikan mengenai menstruasi kepada puterinya. Ibu merupakan media pertama bagi puterinya untuk memperoleh informasi mengenai menstruasi. Penelitian Thakre (2011) di India membuktikan bahwa 71,33% remaja mendapatkan informasi pertama tentang menstruasi dari ibu mereka. Paparan informasi yang diberikan oleh ibu kepada puterinya sangat bergantung dari tingkat pengetahuan ibu, ada atau tidak adanya hambatan yang terjadi dalam proses diskusi, dan bagaimana sikap ibu terhadap menstruasi tersebut. Orang tua terutama ibu diharapkan dapat memberikan dukungan emosi sehingga remaja merasa nyaman dan tidak takut untuk mengalami perkembangan terutama pada remaja putri yang mengalami menstruasi pertama (menarche). Pengetahuan yang dapat diberikan kepada remaja tentang menstruasi pertama berupa pengetahuan tentang proses terjadinya menstruasi secara biologis, dukungan emosional, dan dukungan psikologis. Keluarga, terutama ibu, Keluarga sebagai lingkungan utama remaja memegang peranan penting dalam membentuk perilaku remaja (Triyanto, 2014)

Sayangnya masih banyak ibu yang merasa tabu dan merasa menanggap kurang penting untuk menyampaikan informasi tersebut kepada puteri mereka. Belum lagi pada masyarakat kita juga masih ada perasaan tabu untuk mendisuksikan dengan puteri mereka tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan menstruasi. Para ibu hanya menyampaikan informasi seadanya kepada puteri mereka. Hal ini akan menyebabkan para remaja mendapatkan informasi yang kurang memadai tentang perawatan diri saat menstruasi mereka, sehingga mereka mencari-cari sendiri informasi tentang perawatan diri tersebut, atau bahkan tidak peduli sama sekali. Hal ini tentulah akan memengaruhi pada perilaku mereka dalam melakukan perawatan diri selama menstruasi. Padahal pada usia remaja ini, mereka akan mengalami perubahan kognitif yang meningkat yang menyebabkan rasa keingintahuan yang besar tentang berbagai hal dan akan mencari tahu dengan pemikiran dan caranya sendiri (Allen, 2006). Seharusnya orang tua memberikan informasi yang memadai kepada puterinya agar berperilaku sehat. Seseorang akan cenderung untuk menerapkan perilaku sehat ketika ia merasa perilaku tersebut bermanfaat untuk meningkatkan kesehatannya (Kusuma, 2015).

Selain orang tua, ada orang lain yang berperan besar terhadap perubahan perilaku remaja yaitu guru. Guru memiliki peran sebagai pengganti orang tua di sekolah. Guru seperti halnya ibu memiliki peran penting dalam memberikan informasi dan meningkatkan perilaku siswi mengenai menstruasi dan perawatan dirinya kepada anak didiknya. Jangan sampai siswi mencari sendiri informasi tanpa bimbingan sehingga mendapatkan informasi yang salah. Berdasarkan penelitian Karout (2015), penting bagi remaja puteri untuk me-manage perawatan diri saat menstruasi mereka yang diberikan saat mereka di sekolah.

Hasil penelitian ini menunjukkan perilaku dalam perawatan diri selama menstruasi para responden sebagian besar pada katagori tidak mendukung 87 orang (87 %). Menurut Skinner, (1938, dalam Notoatmodjo, 2007) perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Hal ini dikenal dengan teori SOR

Tetti Solehati : Hubungan Sumber Informasi dan Usia Remaja Puteri dengan Perilaku Perawatan Diri

Page 183: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

152 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

(Stimulus Organisme Respons). Perilaku adalah tindakan atau perbuatan yang dapat diamati dan bahkan dipelajari. Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga faktor, yaitu pertama faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Kedua, faktor pendukung terwujud dalam lingkungan fisik contohnya ada atau tidaknya fasilitas atau sarana kesehatan. Ketiga, faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok refensi dari masyarakat. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Rahmawati (2014) di SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta kelas VII, dimana sebanyak 59,5% responden dikatagorikan baik pada perilaku perawatan diri saat menstruasi. Hal ini terjadi karena edukasi yang diberikan pada siswi di Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut belum menyentuh pada motivasi siswi untuk berperilaku baik untuk merawat dirinya saat menstruasi. Padahal kurikulum pendidikan kesehatan pada pondok pesantren sudah sesuai dengan kebutuhan perempuan saat remaja, dimana dalam ajaran Islam sudah lengkap dijelaskan bagaimana cara perawatan diri saat seorang perempuan mengalami menstruasi. Sehingga dengan demikian akan meningkatkan pemahaman dan motivasi mereka untuk berperilaku mendukung terhadapa perawatan diri mereka saat mengalami menstruasi. Sehingga dengan demikian diperlukan pengkajian mendalam tentang hal-hal yang menyebabkan perilaku para siswi di Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut masih berkatagori tidak mendukung dalam merawat diri saat menstruasi. Selain itu diperlukan fasilitator yang dapat membantu memecahkan masalah kesehatan reproduksi khususnya perawatan diri saat menstruasi. Menurut Fitriyah dkk. (2013) keterbatasan fasilitator di sekolah menyebabkan masalah kesehatan pribadi perempuan. Dalam penelitiannya juga menemukan bahwa siswa mendapatkan stimulus pertama tentang kesehatan reproduksi dari guru sekolah. Selain guru, tentulah ibu diharapkan menjadi fasilitator kesehatan bagi putrinya, sesuai dengan hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

hanya variabel usia yang memiliki hubungan dengan perilaku siswi dalam melakukan perawatan diri saat menstruasi (p = 0,033), sedangkan variabel pengalaman mendapat informasi dari ibu (p = 1,000), dari koran (p = 0,767), dari TV (p = 0,338), dari internet (p = 0,296), dari guru (p = 0,682), dari teman (p = 0,675), dari petugas kesehatan (p = 0,208), dan informasi dari lainnya (p = 0,780) tidak memiliki hubungan bermakna dengan perilaku perawatan diri saat menstruasi.

Usia merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi seseorang dalam berperilaku. Semakin tinggi usia maka akan semakin baik (mendukung) dalam berperilaku karena pengetahuan dan daya pikir mereka terhadap perilaku akan berkembang. Mereka dapat membedakan mana perilaku yang baik (mendukung) dan mana perilaku yang buruk (tidak mendukung). Mereka juga akan dapat memahami predikasi apa yang akan mereka alami jika melakukan perilaku yang tidak baik bagi dirinya. Begitupun dalam perilaku kesehatan. Dari hasil penelitian ini, perilaku mereka masih kurang mendukung padahal semua responden telah mendapatkan informasi tentang menstruasi. Diperlukan suatu metode edukasi yang disesuaikan dengan tingkat usia mereka dalam merubah perilaku kearah yang mendukung kesehatan dalam hal ini perawatan diri mereka saat mengalami menstruasi serta edukasi yang dapat meningkatka rasa peduli mereka pada kesehatan saat menstruasi, mengingat pada usia ini para remaja putri memerlukan informasi kesehatan yang memadai tentang perawatan dirinya tetapi pada usia ini juga mereka memiliki sifat mau untuk bertanya. Menurut Rajakumari (2015) dalam penelitiannya mengatakan bahwa diperlukan edukasi yang dapat meningkatkan kepeduliam para remaja puteri dalam merawat kesehatan saat menstruasi.

Simpulan

Hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai perilaku perawatan diri selama menstruasi pada siswi di pondok pesantren Al-Musaddadiyah Garut, dapat disimpulkan bahwa hampir setengahnya dari responden berusia 15 tahun (27%), seluruh responden

Tetti Solehati : Hubungan Sumber Informasi dan Usia Remaja Puteri dengan Perilaku Perawatan Diri

Page 184: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

153JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

(100%) mendapatkan informasi tentang perawatan diri saat menstruasi, hampir seluruh responden sebanyak 82 orang (82%) mendapatkan informasi dari ibu. Hampir seluruh responden berperilaku tidak mendukung perawatan diri saat menstruasi sebanyak 87 orang (87%). Terdapat hubungan bermakna usia dengan perilaku perawatan diri saat menstruasi (p = 0,033), sedangkan variabel-variabel pengalaman mendapat informasi dari: ibu (p = 1,000), koran (p = 0,767), TV (p = 0,338), internet p = 0,296), guru (p = 0,682), teman (p = 0,675), petugas kesehatan (p = 0,208), dan informasi lainnya (p = 0,780) tidak memiliki hubungan bermakna dengan perilaku perawatan diri saat menstruasi.

Daftar Pustaka

Adika, V.O., Ayinde, M.O., & Jack-Ide I.O. (2013). Self care practices of menstrual hygiene among adolescents school going girls in Ammasoma Community, Bayelsa State. International Journal of Nursing and Midwifery, 5(5), 99–105.

Allen, J., Insabella, G.M, & Potter, M.R. (2006). A social inter action model of development of depressive symptom in adolescence. Journal of Consulting and Clinical Physicology, 74(1), 55–65.

Baradero, Dayrit, & Siswadi. (2007). Seri asuhan keperawatan klien gangguan sistem reproduksi dan seksualitas. Jakarta: EGC.

BPS. (2013). Data penduduk Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut. Garut: BPS.

BPS. (2015). Jumlah Remaja Usia 15–24 Tahun yang Mendapat Penyuluhan Tentang Kesehatan Reproduksi (Kespro), HIV/AIDS, dan Keluarga Berencana (KB) Menurut Kecamatan di Kabupaten Garut, 2015. Garut: BPS.

Dewi, I.G.A.A.N., Sawitri, A.G.S., & Adiputra, N. (2013). Paparan asap rokok dan higiene diri merupakan faktor risiko lesi prakanker leher rahim di Kota Denpasar.

Public Health and Preventive Medicine Archive, 1(1), 84–91.

Eswi, A., Helal, H., & Elarousy, W. (2012). Menstrual attitude and knowledge among Egyptian female adolescents. Journal of America Science, 555.

Fitriyah, N., Indriani, D., & Sulistyorini, Y. (2013). Riwayat kesehatan reproduksi remaja santri. Biometrika dan Kependudukan. 2(2), 182–192.

Gharoro, L.A. (2013). Menstrual hygiene practices among junior secondary school students in Benin City. Journal of Educational and Social Research, 129.

House, S., Mahon, T., & Cavill, S. (2012). Menstrual hygiene matters: A resource for improving menstrual hygiene around the world. Retrieved from www.wateraid.org/mhm.

Joseph, B. (2009). Hygiene related adverse reproductive health outcomes amongst adolescent schoolgirls Of Thiruvananthapuram District. Dissertation.

Karout, N. (2015). Knowledge and beliefs regarding menstruation among Saudi nursing students. Journal of Nursing Education and Practice, 6(1), 24–30.

Kozier, & Erb’s. (2008). Fundamental of nursing concepts, process, and practices (8th Ed.). New Jersey: Pearson Education Inc.

Kusuma, D. P., Sari, S. P., & Nurhidayah, I. (2015). Hubungan Persepsi dengan Perilaku Ibu Membawa Balita ke Posyandu. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 3(1).

Lamadah, S.M., Mohamed, H.A.A., & El-Khedr, S.M. (2015). Knowledge, attitude and practices of adolescent females regarding reproductive health at Makkah al Mukaramah. Life Science Journal, 146.

Leppert & Peipert. (2004). Primary care for women. Philadelphia; London: Lippincott Williams & Wilkins.

Tetti Solehati : Hubungan Sumber Informasi dan Usia Remaja Puteri dengan Perilaku Perawatan Diri

Page 185: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

154 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

McCaleb, A., & Cull, V.V. (2000). Socio-cultural influences and self care practices of middle adolescents. Journal Pediatrics Nursing, l5(1), 30–35.

Mythili, A. (2007). A study to assess the knowledge and attitude regarding menstrual hygiene among adolscent girls at selected urban and rural schools in Bangalore with a view to develop self instructions model.

Nair, S.S. (2008). Sharing simple facts: Useful information about menstrual health and hygiene. Dalam U. N. Fund, Child’s Environment Section (hal. 29-30). New Delhi, India: UNICEF House.

Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

Parvin, M.N., Haque, M.M., Parvin, B., Islam, S.M., Begum, M.S., & Mondol, S.R. (2015). Hygiene practice during menstruation among adolescent schools girls. The American Journal of Innovative Research and Applied Science, 99.

Perry, A.G., & Potter, P.A. (2006). Clinical nursing skills & techniques. St. Louis: Mosby.Poureslami, M., & Ashtiani, F.O. (2002). Assessing knowledge, attitudes, and behavior of adolescent girls in suburban Districts of Tehran about dysmenorrhea and menstrual hygiene. Journal of International Women’s Studies, 3(2), 51–61.

Rahman, N. (2014). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku personal hygiene pada saat menstruasi di SMP Muhammadiyah 5 Yogyakarta.

Rajakumari, G.A. (2015). A study on knowledge regarding menstrual hygiene among adolescent school girls. Global Journal of Current Research, 111–116.

Santina, T., Wehbe, N., Ziade, F.M., & Nehme, M. (2013). Assessment of beliefs and practices relating to menstrual hygiene of adolescent girls in Lebanon. International Journal of Health Sciences and Research, 75-88.

Sari, I.P., Firani, K.F., & Yuliatun, L. (2013). Pengaruh pendidikan kesehatan tentang menstruasi terhadap perubahan perilaku menstrual higiene remaja putri untuk pencegahan infeksi saluran reproduksi (ISR). BIMIKI, 2(1), 11–18.

Thakre, S.B., Thakre, S.S., Reddy, M., Rathi, N., Pathak, K., & Ughade, S. (2011). Menstrual Hygiene: Knowledge and Practice among Adolescent School Girls of Saoner, Nagpur District. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 5(5): 1027–1033.

Triyanto, E., Setiyani, R., & Wulansari, R. (2014). Pengaruh Dukungan Keluarga dalam Meningkatkan Perilaku Adaptif Remaja Pubertas. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 2(1).

Tetti Solehati : Hubungan Sumber Informasi dan Usia Remaja Puteri dengan Perilaku Perawatan Diri

Page 186: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

155JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayi Sakit Kritis di Neonatal Intensive Care Unit

Sri Hendrawati, Sari Fatimah, Siti Yuyun Rahayu Fitri, Ikeu NurhidayahFakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Email: [email protected]

Abstrak

Sistem perawatan bayi di NICU memberikan dampak negatif bagi bayi dan orang tua. Upaya yang dapat dikembangkan untuk meminimalkan dampak tersebut yaitu dengan mengaplikasikan family centered care (FCC). Langkah pertama upaya tersebut adalah mengidentifikasi kebutuhan orang tua. Dalam penelitian sebelumnya, kebutuhan orang tua sangat bervariasi. Penelitian bertujuan mengidentifikasi kebutuhan FCC dalam perawatan bayi sakit kritis di NICU. Metode penelitian menggunakan mixed method dengan strategi eksplanatoris sekuensial. Penelitian kuantitatif dilakukan terhadap 45 responden dan menggunakan kuesioner NICU Family Need Inventory. Analisis data dilakukan dengan mean. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap 7 partisipan dengan menggunakan pedoman wawancara. Analisis data menerapkan teknik content analysis. Penelitian dilaksanakan di NICU Rumah Sakit Pemerintah Wilayah Bandung Raya. Orang tua memiliki urutan prioritas kebutuhan terhadap kepastian (M = 3,90), informasi (M = 3,82), kedekatan (M = 3,76), dukungan (M = 3,49), dan kenyamanan (M = 3,37). Pada penelitian kualitatif didapatkan, orang tua lebih membutuhkan kepastian terkait jaminan bayinya mendapatkan perawatan terbaik; kebutuhan terhadap informasi jujur, jelas, dan rutin mengenai kondisi, perkembangan, dan tindakan yang dilakukan terhadap bayi; dan kebutuhan terhadap kedekatan untuk selalu dekat dan melakukan kontak dengan bayi. Kebutuhan orang tua lebih berfokus pada kesejahteraan bayi. Dalam melakukan asuhan keperawatan, selain meningkatkan pelayanan terhadap bayi, perawat harus memerhatikan kebutuhan orang tua terkait jaminan kepastian bayinya mendapatkan perawatan terbaik, penyampaian informasi dengan komunikasi terbuka, dan menjalin kontak dengan bayi. Dengan mengidentifikasi kebutuhan orang tua, dapat menuntun perawat mengintegrasikan kebutuhan orang tua kedalam FCC sehingga orang tua dapat memenuhi kebutuhannya, mendapatkan kepuasan, dan meningkatkan kualitas hidup bayi.

Kata kunci: Bayi sakit kritis, kebutuhan orang tua, perawatan berpusat pada keluarga.

Study of Family Centered Care Needs in Critically Ill Infants Care in the Neonatal Intensive Care Unit

Abstract

Infants hospitalization in the NICU adversely affect for infants and parents. Efforts can be developed to minimize this impact is by applying family centered care (FCC). The first step is identify needs of parents. In previous study examined the differences needs of parents. This study aimed to identify the FCC needs in critically ill infants care in the NICU. The research method was mixed method design with sequential explanatory strategy. The samples in quantitative research were 45 respondents and using questionnaires NICU Family Need Inventory. Data analysis was done by mean. Qualitative research using 7 participants and using interview guidelines. Data analysis used analysis content technique. This research has been carried out in the NICU Government Hospital of Bandung Raya. The quantitative result indicated that parents with critically ill infants in the NICU need assurance most (M = 3.90), followed by information (M = 3.82), proximity (M = 3.76), support (M = 3.49), and comfort (M = 3.37). The main themes from qualitative analysis demonstrated needs of parents in assurance associated with assured the best care possible is being given to infants; information is honest, clear, and routine regarding condition, prognosis, and procedures that performed to infants; and proximity to always close and make contact with the infants. Needs of parents are focused on the wellbeing of their infants. In doing nursing care, beside improving care to the infants, the nurses should pay attention to needs of parents related the assurance their infants get the best care, open communication, and close contact with their infants. By identifying the needs of parents in the NICU, it can allow nurses to integrate the needs of parents into FCC so that parents can meet these needs, get satisfaction, and can improve the quality of life infants.

Keywords: Critically ill infants, family centered care, needs of parents.

Page 187: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

156 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pendahuluan

Angka kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 2000, Angka Kematian Bayi (AKB) di dunia sebesar 54 per 1000 kelahiran hidup dan pada tahun 2006 menjadi 49 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan menurut data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), AKB di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015, yaitu 23 per 1000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2010). Menurut WHO, ditemukan bahwa 29% kematian bayi disebabkan oleh berat badan lahir rendah (BBLR).

Bayi baru lahir dapat mengalami perawatan di ruang perawatan intensif dengan berbagai alasan masuk, diantaranya prematuritas, BBLR, sepsis, kesulitan bernafas, atau gagal nafas. Perawatan bayi baru lahir di ruang perawatan intensif memerlukan waktu yang cukup lama, dari beberapa minggu hingga beberapa bulan (Mundy, 2010). Bayi akan terpapar lingkungan yang bervariasi dan stimulus berlebihan dengan berbagai prosedur yang dilakukan. Perawatan tersebut dapat memberikan dampak negatif bagi bayi dan orang tuanya.

Bayi yang lahir dengan berat lahir rendah, selain menyebabkan tingginya angka kematian tetapi juga berisiko mengalami gangguan kognitif dan memiliki tingkat intelligence quotient (IQ) yang lebih rendah (UNICEF, 2012). Bayi yang mendapatkan perawatan di rumah sakit, apalagi di ruang perawatan intensif, sering mengalami masalah, terutama infeksi, stres hospitalisasi, serta gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Penelitian Setiasih, Fatimah, dan Rahayu (2013) menunjukkan bahwa neonatus, terutama yang lahir prematur dan dirawat di NICU rentan mengalami infeksi, sehingga harus mendapatkan terapi antibiotik melalui pemasangan akses intravena peripherally inserted central catheter (PICC). Lingkungan perawatan dan prosedur medis tersebut selama fase kritis berkontribusi terhadap gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Jika terdapat gangguan dalam proses

pertumbuhan dan perkembangan, maka kemungkinan besar akan terdapat gangguan juga baik pada aspek fisik, emosi, kognitif, atau sosial, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup neonatus (Vance, 2011). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nurhidayah, Hendrawati, Mediani, dan Adistie (2016), kondisi sakit kronis yang dihadapi anak dapat memengaruhi kualitas hidupnya, baik terhadap kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan kognitif.

Perawatan bayi di ruang perawatan intensif bagi orang tua merupakan suatu situasi krisis yang mengakibatkan pengalaman stres, cemas, depresi, dan bahkan dapat mengalami posttraumatic stress (Cleveland, 2008). Hal ini terjadi karena secara psikologis orang tua belum siap untuk menghadapi penyakit kritis bayinya. Orang tua mungkin kecewa, mereka mungkin memiliki perasaan bersalah, kegagalan, putus asa, marah, ketidakberdayaan, dan hilangnya harga diri. Menurut hasil penelitian Shaw et al. dalam Cleveland (2008), sumber stres orang tua berawal dari perpisahan dengan bayinya yang baru lahir; ketidakmampuan untuk membantu, menjaga, dan merawat bayi; ketidakmampuan melindungi bayi dari nyeri; penggunaan teknologi serta alat-alat di ruang intensif; dan kritisnya kondisi bayi.

Upaya yang dapat dikembangkan untuk meminimalkan dampak negatif perawatan tersebut, baik bagi bayi ataupun orang tua, yaitu dengan mengaplikasikan family centered care (FCC). FCC merupakan model perawatan bayi di ruang perawatan intensif, dimana perawat melibatkan orang tua dalam merawat bayi yang sakit dengan bimbingan dan arahan dari perawat (Mattsson, Forsner, Castre´n, & Arman, 2013). Model ini dikembangkan berdasarkan filosofi bahwa orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap kesehatan dan kesembuhan anak (Mundy, 2010; Trajkovski, Schmied, Vickers, & Jackson, 2012; & Hiromi, 2012). Pada model ini, anak dipandang sebagai bagian dari orang tua yang tidak terpisahkan (Mattsson, Forsner, Castre´n, & Arman, 2013).

Family centered care melibatkan orang tua dari berperan pasif menjadi berperan aktif untuk terlibat dalam perawatan anaknya (Akbarbegloo, Valizadeh, & Asadollahi, 2009; Soury-Lavergne et al., 2011; &

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 188: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

157JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

O’Brien et al., 2013). Berdasarkan berbagai hasil penelitian, didapatkan bahwa FCC merupakan model yang relatif aman dan mudah diterapkan. Selain itu, model ini juga terbukti dapat meningkatkan berat badan bayi, menurunkan behavioral stress pada bayi, meningkatkan kesejahteraan dan bonding attachment antara ibu dan bayi, menurunkan stres yang dialami orang tua terkait perawatan bayinya, menurunkan length of stay (LOS), dan membuat orang tua merasa lebih percaya diri dan kompeten dalam merawat bayinya setelah pulang ke rumah (Sikorova & Kucova, 2012; Skene, Franck, Curtis, & Gerrish, 2012; Byers et al., 2012; & O’Brien et al., 2013). Sehingga dengan diaplikasikannya FCC, diharapkan dapat juga meningkatkan kualitas hidup neonatus.

Langkah pertama untuk mengaplikasikan model FCC di ruang perawatan intensif neonatal adalah dengan mengidentifikasi kebutuhan orang tua. Menurut Ward (2001), kebutuhan orang tua dibagi kedalam 5 hal, yaitu: kebutuhan terhadap informasi (information), kebutuhan terhadap kepastian (assurance), kebutuhan terhadap kedekatan (proximity), kebutuhan terhadap kenyamanan (comfort), dan kebutuhan terhadap dukungan (support). Jika kebutuhan orang tua dapat diidentifikasi dengan baik, maka perawat dapat memberikan dukungan yang tepat bagi orang tua dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan terpenuhinya kebutuhan orang tua, dapat meningkatkan kualitas perawatan yang diberikan oleh perawat di ruang perawatan intensif neonatal, baik kepada anak, orang tua, maupun keluarganya. Sebaliknya, respon yang tidak tepat dalam menanggapi kebutuhan orang tua, dapat menyebabkan orang tua lebih cemas, stres, takut, dan kebingungan (Ward, 2001).

Hasil penelitian yang dilakukan Sikorova dan Kucova (2012) mengenai identifikasi kebutuhan ibu dengan bayi yang dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) di Ostrava, Czech Republic, menunjukkan bahwa ibu sangat membutuhkan dukungan dari perawat. Ibu membutuhkan caring dari perawat untuk berespon dengan baik terhadap pertanyaan dari orang tua dan melibatkan ibu dalam merawat bayinya yang sakit. Jika tidak dilibatkan dalam perawatan bayinya, ibu akan

mengalami stres yang tinggi akibat berpisah dengan bayinya; merasa tidak berdaya dan tidak mampu untuk melindungi bayinya dari prosedur perawatan yang menyakitkan; dan ketidakmampuan untuk menyusui bayinya.

Penelitian serupa juga dilakukan Mundy (2010) di salah satu NICU di Amerika, menunjukkan hasil bahwa kebutuhan terhadap kepastian merupakan kebutuhan yang paling penting. Kebutuhan tersebut diantaranya terdiri dari kebutuhan untuk selalu dihubungi petugas kesehatan mengenai perubahan penting pada kondisi penyakit bayinya, memastikan bahwa bayinya mendapatkan perawatan terbaik, dan memastikan bahwa petugas kesehatan peduli terhadap bayinya. Adapun orang tua memilih kebutuhan terhadap dukungan merupakan kebutuhan yang kurang penting, diantaranya kebutuhan terhadap dukungan spiritual dari pemuka agama, dukungan anggota keluarga lain, dan diskusi dengan sesama orang tua yang bayinya dirawat di NICU. Hasil penelitian berbeda ditunjukkan oleh Mok dan Leung (2006) di NICU Hongkong, yang menunjukkan hasil bahwa ibu memilih kebutuhan terhadap dukungan perawat dalam hal berbagi informasi dan komunikasi efektif merupakan kebutuhan paling penting. Sedangkan hasil penelitian Orapiriyakul et al. (2007) di NICU Thailand, menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap kedekatan untuk terlibat dalam perawatan bayi merupakan kebutuhan paling penting.

Berbagai hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa orang tua dengan bayi yang dirawat di NICU memiliki kebutuhan yang unik dan berbeda. Apa yang perawat pikirkan mengenai kebutuhan yang paling penting bagi orang tua terkadang berbeda dari apa yang dibutuhkan sebenarnya, sehingga tidak selalu terjadi ketepatan antara apa yang dibutuhkan orang tua dengan dukungan yang diberikan perawat. Menurut hasil penelitian Vaškelytė dan Butkevičienė (2010), terdapat perbedaan yang signifikan antara orang tua dan perawat mengenai persepsi terhadap pemenuhan kebutuhan orang tua di NICU. Oleh karena itu, mungkin sulit bagi perawat untuk secara benar dan tepat dalam mengidentifikasi kebutuhan orang tua. Dengan demikian, identifikasi kebutuhan orang tua menjadi penting untuk dilakukan

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 189: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

158 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

oleh perawat di NICU sebelum menerapkan model family centered care (Cleveland, 2008 & Mundy, 2010).

Observasi peneliti di lapangan menunjukkan bahwa besarnya beban kerja perawat dan kesibukan perawat di ruangan terkadang membuat perawat berinteraksi dengan keluarga hanya sebatas bertukar informasi mengenai kesehatan bayi. Perawat berinteraksi dengan orang tua saat meminta persetujuan tindakan. Intervensi yang dilakukan lebih berfokus pada penanganan masalah kesehatan bayi dan kurang terperhatikan keadaan psikologis orang tua. Hasil wawancara pada studi pendahuluan dengan tiga orang ibu yang memiliki bayi yang dirawat di NICU, mengungkapkan bahwa kondisi bayi yang membutuhkan perawatan khusus di NICU membuat orang tua terutama ibu merasakan kehilangan karena bayinya tidak dirawat gabung bersama ibu. Sementara ibu lain dapat dirawat gabung dengan bayinya. Menurut orang tua, mereka sebenarnya ingin selalu dekat dan berdampingan dengan bayinya untuk mengetahui setiap perubahan masa kritis yang dialami bayinya dan melakukan bonding attachment dengan bayinya. Tetapi karena di NICU terdapat pembatasan jam kunjungan, orang tua tidak dapat masuk untuk menemani bayinya dan mereka hanya diperbolehkan masuk pada saat jam besuk atau ketika perawat dan dokter membutuhkannya. Hal ini sering menyebabkan stres orang tua meningkat sehingga orang tua tidak tenang, kelelahan, tidak ada selera makan, dan mengalami gangguan tidur.

Hasil studi pendahuluan juga menunjukkan bahwa orang tua juga merasa bingung dengan berbagai teknologi canggih di NICU. Orang tua ingin mendapatkan informasi dari perawat mengenai penyakit apa yang diderita bayinya?, bagaimana perkembangan bayinya?, berapa lama akan menjalani perawatan di NICU?, kenapa harus dipasang peralatan tersebut dan apa tujuannya?, apakah penyakit bayinya bisa sembuh?, dan bagaimana dengan pembiayaannya?. Orang tua pun merasa perlu untuk selalu meyakinkan diri dan percaya bahwa bayinya mendapatkan perawatan yang terbaik di NICU. Semua hal ini berkaitan dengan kebutuhan orang tua terkait dukungan, kenyamanan, informasi,

kepastian, dan kedekatan selama bayi menjalani perawatan di NICU.

Beberapa penelitian tentang kebutuhan orang tua dengan bayi yang dirawat di NICU telah dilakukan di beberapa negara, umumnya di negara-negara Eropa dan Amerika. Hal ini akan sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia, karena adanya perbedaan budaya, etnis atau ras, kepercayaan, cara pandang, dan nilai-nilai yang dianut. Orang Indonesia terkenal dengan kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, saling membantu, dan ramah tamah. Orang Indonesia pun sangat senang kalau dekat dengan keluarga (Agus, 2006). Hal ini memungkinkan orang tua memiliki kebutuhan berbeda, sehingga aplikasi family centered care pun akan berbeda karena kebutuhan yang berbeda tersebut.

Di Indonesia sendiri, khususnya di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan RSUD Majalaya, penelitian terkait kebutuhan orang tua untuk mengaplikasikan family centered care dalam perawatan bayi sakit kritis di NICU belum pernah dilakukan. Kebutuhan orang tua tidak hanya terkait dengan menghilangkan masalah yang timbul akibat penyakit atau komplikasi penyakit yang diderita bayinya, tetapi juga terkait dengan perawatan bayi agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi bayi dan orang tua serta keluarganya. Oleh karena itu, maka peneliti memandang penting untuk menganalisis kebutuhan orang tua dengan bayi sakit kritis yang mengalami perawatan di NICU sebagai langkah pertama untuk dapat mengaplikasikan family centered care.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian campuran (mixed method). Strategi mixed method yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi eksplanatoris sekuensial, terdiri dari urutan analisis kuantitatif dan kualitatif. Sampel pada penelitian ini adalah orang tua, yaitu ibu dengan bayi sakit kritis yang mengalami perawatan di NICU. Kriteria inklusi pada penelitian ini, diantaranya: (1) Ibu biologis dari bayi yang sedang menjalani perawatan di NICU rumah sakit tempat penelitian dilakukan, termasuk bayi rujukan

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 190: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

159JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

dari rumah sakit lain, (2) Bayi telah menjalani perawatan di NICU selama ≥ 72 jam, (3) Ibu telah lebih dari sekali mengunjungi bayinya di NICU, (4) Dapat melakukan baca tulis, (5) Mampu berkomunikasi dengan baik dan kooperatif, dan (6) Bersedia menjadi responden. Sedangkan yang menjadi kriteria eksklusi pada penelitian ini, diantaranya: (1) Ibu dengan kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk menjadi responden seperti ibu postpartum atau ibu yang sedang mengalami sakit dan (2) Ibu yang tidak mampu mengontrol emosi yang dirasakan, seperti menangis dan marah. Teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling. Penelitian dilakukan selama periode bulan Desember 2014 sampai dengan bulan Januari 2015. Jumlah sampel yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu sebanyak 45 responden. Sedangkan untuk partisipan penelitian kualitatif dalam penelitian ini, diambil dari sampel penelitian kuantitatif. Adapun jumlah partisipan yang dibutuhkan dalam penelitian kualitatif ini sebanyak 7 (tujuh) partisipan sehingga mencapai saturasi data, yaitu partisipan pada suatu titik kejenuhan dimana tidak ada informasi baru yang didapatkan dan pengulangan data telah dicapai. Penelitian dilakukan di NICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan RSUD Majalaya.

Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan pengisian kuesioner NICU Family Needs Inventory (NFNI) yang berisi 56 pernyataan yang berhubungan dengan kebutuhan keluarga, dalam hal ini orang tua, dengan memberikan check list (√) pada kuesioner yang disediakan. Kuisioner menggunakan skala likert dengan rentang 1-4, dengan nilai 1 = tidak penting, 2 = cukup penting, 3 = penting, dan 4 = sangat penting. Sebanyak 56 pernyataan dalam NFNI merepresentasikan 5 dimensi kebutuhan. Lima kebutuhan tersebut terdiri dari kebutuhan terhadap dukungan (support), kenyamanan (comfort), informasi (information), kedekatan (proximity), dan kepastian (assurance). Uji validitas dan reliabilitas instrumen telah dilakukan oleh Ward (2001). Content validity dilakukan kepada ahli dan uji reliabilitas dilakukan dengan uji instrumen yang kemudian dianalisis dengan menggunakan Cronbach’s alpha, dan dihasilkan nilai 0.928. Original version dari kuisioner tersebut

tersedia dalam bahasa Inggris. Kuisioner tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan kemudian dilakukan adaptasi dan penyesuaian yang disesuaikan dengan karekteristik responden. Untuk menjaga kevalidan instrumen, peneliti menggunakan teknik “translation back translation” sesuai panduan WHO. Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara semi terstruktur dengan menggunakan alat bantu perekam dan pedoman wawancara.

Analisis data kebutuhan orang tua dilakukan dengan menganalisis respon dari responden untuk setiap item pernyataan yang terdapat dalam kuisioner NFNI dengan menganalisis nilai mean dan standar deviasi setiap item pernyataan dari dimensi kebutuhan. Dimensi kebutuhan orang tua dengan bayi sakit kritis yang mengalami perawatan di NICU, meliputi kebutuhan terhadap dukungan (support (S)), kenyamanan (comfort (C)), informasi (information (I)), kedekatan (proximity (P)), dan kepastian (assurance (A)). Penyajian data disusun berdasarkan item yang paling tinggi nilai mean-nya. Dengan cara tersebut dapat diketahui item dari dimensi kebutuhan mana yang paling penting sampai tidak penting bagi orang tua dengan bayi sakit kritis yang mengalami perawatan di NICU berdasarkan nilai mean-nya. Analisis data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analysis content yang terdiri dari proses pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing/verification) (Creswell, 2009).

Sebelum pelaksanaan pengumpulan data, peneliti mengajukan persetujuan etik di Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung dan ijin penelitian di bagian pendidikan dan penelitian (Diklit) RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan RSUD Majalaya. Peneliti juga memerhatikan prinsip-prinsip dasar etika penelitian menurut Polit dan Beck (2008) yang meliputi: menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity), menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and confidentiality), keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness), serta memperhitungkan manfaat dan kerugian

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 191: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

160 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

yang ditimbulkan (balancing harms and benefits).

Hasil Penelitian

Hasil Penelitian KuantitatifBerikut ini adalah tabel yang menyajikan

nilai mean kebutuhan orang tua dengan bayi sakit kritis yang mengalami perawatan di NICU terhadap setiap dimensi kebutuhan yang diukur berdasarkan kuisioner NFNI dari Ward (2001).

Pada tabel 1 diatas terlihat bahwa kebutuhan orang tua dengan bayi sakit kritis yang mengalami perawatan di NICU, yang nilai mean-nya paling tinggi terdapat pada dimensi kebutuhan terhadap kepastian yakni sebesar 3,90 (SD = 0,12). Adapun dimensi kebutuhan dengan nilai mean paling rendah terdapat pada dimensi kebutuhan terhadap kenyamanan dengan nilai mean 3,37 (SD = 0,24). Kebutuhan terhadap kepastian yaitu kebutuhan untuk mendapatkan jawaban yang jujur atas pertanyaan yang diajukan mengenai kondisi bayi (M = 4,00 dan SD = 0,00), merasa yakin bahwa perawatan terbaik diberikan kepada bayi (M = 3,98 dan SD = 0,15), dan memiliki harapan untuk kesembuhan bayi (M = 3,98 dan SD = 0,15) merupakan kebutuhan paling penting yang dirasakan oleh orang tua dengan bayi sakit kritis yang mengalami perawatan di NICU.

Hasil Penelitian KualitatifBerikut ini merupakan tema-tema yang teridentifikaai dari ke-5 dimensi kebutuhan tersebut berdasarkan hasil wawancara semi terstruktur dengan 7 (tujuh) orang partisipan dari 45 orang responden dalam penelitian

ini. Tema-tema berikut ini merupakan kebutuhan paling penting yang dirasakan oleh ibu berdasarkan masing-masing dimensi kebutuhan.

Berdasarkan dimensi kepastian, didapatkan 3 tema kebutuhan yang dirasakan ibu sebagai kebutuhan paling penting, yaitu:(1) Jawaban yang jujur atas pertanyaan yang diajukan mengenai kondisi bayi

Partisipan mengharapkan mendapatkan informasi yang sejujur-jujurnya dan tidak ditutup-tutupi dari perawat mengenai kondisi bayinya. Berikut ungkapan beberapa partisipan:

“... terus informasi juga kalau bisa mah mendingan informasi teh jelas, misalkan “Ibu, ini ade teh kondisinya sekarang begini.., begini.. atau misalkan “Kemungkinan nya begini.., begini..” atau misalkan ya gimanalah apa yang harus saya tau, ya disampaikan sejelas-jelasnya, jangan ada yang ditutup-tutupi ...” (P.4)

Keberadaan keluarga yang memiliki bayi dengan sakit kritis dapat menimbulkan perasaan ketidakpastian akan masa depan sehingga keluarga terutama orang tua membutuhkan dukungan dan perhatian dari petugas kesehatan untuk harapan anak kedepannya. Berikut ungkapan beberapa partisipan:

“... Ya semua informasi tentang keadaan ade harus dikasih tau ke orang tua sejelas-jelasnya sesuai keadaan supaya orang tua teh tau apa yang terjadi, terus harapan kedepannya seperti apa ...” (P.5) “... Iya saya juga suka tanya nanti kemungkinan anak saya sembuh terus nanti kedepannya bagaimana? ...” (P.7)

Tabel 1 Nilai Mean Kebutuhan Orang Tua dengan Bayi Sakit Kritis yang Mengalami Perawatan di NICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan RSUD Majalaya (n = 45)

Demensi Kebutuhan Range Nilai Mean (M) Standar Deviasi (SD)

Kepastian 3,78 – 4,00 3,90 0,12Informasi 3,70 – 3,98 3,82 0,15Kedekatan 3,11 – 3,96 3,76 0,14Dukungan 2,98 – 3,88 3,49 0,16Kenyamanan 2,91 – 3,98 3,37 0,24

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 192: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

161JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

(2) Jaminan dalam penanganan bayiMerasa yakin dan percaya bahwa bayi mendapatkan perawatan terbaik merupakan salah satu jaminan dalam penanganan bayi bagi partisipan. Hal ini dibutuhkan partisipan untuk merasa tenang dan yakin bahwa bayinya mendapatkan pelayanan dan penanganan terbaik, sehingga bayinya berada dalam kondisi yang tenang dan nyaman. Jaminan tersebut diperoleh misalnya dengan kehadiran orang tua di dekat anak pada saat dilakukan tindakan. Sebagaimana yang diungkapkan partisipan berikut:

“... Tapi menurut saya penting juga untuk tau apa yang dilakukan, seperti di IGD mah kan boleh nemenin terus lihat tindakan dilakukan. Itu teh untuk mastiin kalau tindakan yang dilakukan teh apa gitu ....” (P.2)“... Untuk perawatan bayi juga perawatnya sigap.. Jadi saya percaya bahwa perawatan anak saya terjamin. Eemmhh.. Hal itu sangat penting bagi saya ...” (P.3)

(3) Penjelasan terhadap hal-hal yang tidak dimengertiJika terdapat hal-hal yang tidak dimengerti terkait kondisi bayinya, partisipan membutuhkan penjelasan dari dokter atau perawat yang menangani bayinya. Sebagaimana terungkap dari partisipan berikut ini:

“... Waktu itu pernah tidak dijelaskan secara detail proses operasinya, akhirnya kita yang nanya-nanya. Terus dijelaskan ...” (P.3)

Berdasarkan dimensi informasi, didapatkan 3 tema kebutuhan yang dirasakan ibu sebagai kebutuhan paling penting, yaitu:(1) Informasi yang jelas mengenai kondisi, perkembangan, dan tindakan yang dilakukan terhadap bayi

Kondisi bayi pada saat dirawat di NICU merupakan kondisi kritis. Kebutuhan informasi pada partisipan tidak hanya diperlukan pada saat terjadi perubahan kondisi. Kebutuhan informasi ini sangat dibutuhkan oleh partisipan setiap harinya. Pemberian informasi ini harus jelas dan diberikan secara rutin. Hal ini terungkap dari partisipan berikut:

“... Informasi juga perlu diberi tau setiap

hari ke orang tua. Jadi tidak hanya saat ada perubahan atau mau dilakukan tindakan. Tapi, naik turunnya kondisi bayi juga harus setiap hari lah dikabarkan ke orang tua ...” (P.2)

“... informasi tentang perawatan ade, kumaha-kumahana kondisi ade teh, perkembangannana kumaha.. kemungkinannana kumaha ...” (P.6)

Berbagai tindakan medis dan perawatan dilakukan untuk mengatasi keadaan kritis pada bayi di NICU. Hal ini bagi partisipan merupakan salah satu faktor yang terkait dengan kecemasan yang dirasakan, maka dari itu setiap akan dilakukan tindakan medis ataupun perawatan harus dijelaskan tujuannya, manfaatnya, dan risiko atau efek samping yang mungkin muncul. Sebagaimana yang diungkapkan oleh partisipan berikut:

“... Alhamdulillah, selama perawatan di NICU ini, eemmhh.. Saya selalu dikasih tau kalau setiap akan dilakukan tindakan, terus dikasih penjelasan gimana manfaat terus kemungkinannya gimana ...” (P.2)

“... Terus dijelasin, ini alat yang mau dipasang ini untuk bantu nafas, terus nanti bisa dilihat dari monitor ini kemajuannya, terus nanti respon bayinya gimana.. Nya itu dijelaskan ...” (P.7)

(2) Inisiatif perawat untuk menyampaikan informasi dengan cara yang baik

Perawat harus berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti orang tua. Partisipan mengharapkan perawat dapat memberikan informasi secara rutin atas inisiatifnya sendiri dan cara penyampaiannya pun baik, tanpa diminta. Berikut ungkapan beberapa partisipan:

“... Tapi lebih bagus lagi perkembangan ade teh dikasih tau ke orang tua setiap hari pada saat besuk. Misalnya “Ibu kondisi ade teh sekarang begini.. begini..” jadi kan tenang. Tapi kalau kita bertanya ke perawat mah suka dijelaskan itu juga, tapi harus nanya dulu ...” (P.1)

(3) Terlibat dalam membuat keputusan tentang rencana perawatan bayiBayi dengan kondisi kritis membutuhkan berbagai tindakan medis dan perawatan. Partisipan merasa perlu untuk terlibat

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 193: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

162 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

dalam membuat keputusan tentang rencana perawatan bayi. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa partisipan berikut:

“... Terus, setelah itu orang tua dilibatkan dalam setiap memutuskan tindakan. Kaya waktu itu, eeuuhh.. Kan mau dipasang buat bantu nafas teh apa namanya..?, eeuuhh.. venti.. ventilator nya?.. Itu dijelasin untuk apa, terus nanti respon dede gimana-gimananya dikasih tau ...” (P.2)

Berdasarkan dimensi kedekatan, didapatkan 3 tema kebutuhan yang dirasakan ibu sebagai kebutuhan paling penting, yaitu:(1) Berada di dekat bayi yang sakitKetika ada salah satu anak yang dirawat, apalagi dirawat di ruang perawatan intensif, partisipan menginginkan dekat dengan anak yang dicintainya. Hal ini karena jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap bayi, maka partisipan merasa dirinya akan menyesal apabila tidak berada di dekat bayinya. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa partisipan sebagai berikut:

“... Tapi kalau bisa mah, ibu bisa berkunjung tidak hanya jam besuk aja walaupun hanya sekedar lihat ade dari kaca jendela ... Eeuuhh.. Tapi kan da gordennya juga tidak dibuka, padahal kalau bisa dibuka aja sedikit, biar bisa lihat kondisi ade setiap saat dari kaca jendela ...” (P.1)

(2) Kontak dengan bayiPerawatan bayi di ruang perawatan intensif menyebabkan bayi minim mendapat sentuhan dan komunikasi dari orang tua. Bagi partisipan dapat kontak dengan bayinya merupakan salah satu kebutuhan yang diharapkan dapat dipenuhinya. Berikut merupakan ungkapan partisipan:

“... Kalau diijinkan saya suka mengelus-elus ade, eeuuhh.. Atau kadang pas besuk perawatnya lagi ngurus ade, saya suka lihat dan sedikit banyak bisa sambil belajar cara merawat ade, kan sekarang, eemmhh.. Kondisinya beda neng, ade lagi sakit jadi ngerawatnya juga harus hati-hati ...” (P.1)

(3) Diberitahukan mengenai perubahan penting kondisi bayiBagi partisipan perubahan penting mengenai kondisi bayi juga dibutuhkan oleh orang tua untuk memastikan kondisi bayinya. Berikut

ungkapan partisipan:“... kalau ada apa-apa mah nanti perawat atau dokternya nelpon ibu atau bapak …” (P.1)

Berdasarkan dimensi dukungan, didapatkan 3 tema kebutuhan yang dirasakan ibu sebagai kebutuhan paling penting, yaitu:(1) Dukungan KeluargaPada penelitian ini semua partisipan mendapatkan dukungan dari keluarga. Peneliti menemukan bahwa partisipan membutuhkan keluarga sebagai sumber dukungan, baik secara moril ataupun materil. Berikut ungkapan dari partisipan:“... Dukungan keluarga sangat saya rasakan. Kakak saya, uwa nya anak-anak, bantu saya rawat kakak-kakaknya supaya saya fokus ke perawatan ade di sini. Terus yang saya rasakan lagi, pernah waktu itu tengah malam jam 1-an, saya dihubungi oleh NICU karena ada tindakan yang harus dilakukan segera, sementara ayahnya di luar kota, jadi saat itu saya butuh sekali keluarga untuk menemani saya ke sini karena kalau sendiri saya tidak berani di jalannya. Jadi keluarga sangat membantu dan saya butuhkan ...” (P.3)

(2) Dukungan spiritual Dukungan spiritual sangat dibutuhkan partisipan, terutama dukungan untuk mendoakan kesembuhan bayi. Berikut ungkapan dari beberapa partisipan:“... Saya selalu doa untuk kesembuhan ade. Keluarga juga sama. Mudah-mudahan ade cepet pulih ...” (P.3)

Dalam menghadapi kondisi perawatan bayinya yang sedang sakit kritis di NICU, partisipan hanya bisa berusaha secara maksimal, berdoa, dan berserah diri kepada Allah SWT sehingga merasa menjadi lebih dekat dengan sang pencipta. Hal ini terungkap dari pernyataan partisipan:“... Saat seperti ini saya hanya bisa berdoa dan pasrah. Saya yakin Allah maha tau apa yang terbaik untuk anak saya jadi saya serahkan semuanya pada Nya walaupun ari manusia mah kadang saya suka berpikiran kenapa harus anak saya, tapi ya mungkin ini sudah takdirnya jadi diserahkan lagi ke Allah ...” (P.7)

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 194: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

163JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

(3) Dukungan sesama orang tuaDukungan sesama orang tua yang memiliki bayi dalam kondisi yang sama dapat memberikan penguatan tersendiri kepada partisipan. Dukungan tersebut diantaranya melalui berbagi pengalaman dan perasaan yang dirasakan terkait perawatan bayi mereka. Sebagaimana yang diungkapkan partisipan berikut ini:

“... Terus suka denger juga pengalaman dari orang tua lain, perkembangan bayinya bagus, kan kita juga tenang, berarti masih ada harapan, jadi semangat.. Ada nenek-nenek yang tanya, “Kenapa ceunah bayinya?. Dirawat di NICU?”. Terus saya jawab “Iya, radang paru”. Terus nenek itu bilang lagi, “Cucu ibu juga dulu radang paru dan dirawat di NICU, sekarang anaknya sehat, tidak apa-apa”. Jadi plong ke kita nya tuh ...” (P.2)

Dengan saling bertukar cerita dengan sesama orang tua lainnya, maka partisipan pun merasakan ada teman yang senasib sepenanggungan. Sehingga partisipan merasa bahwa dirinya tidak sendiri dalam menghadapi kondisi ini. Berikut ungkapan partisipan:

“... di sini juga saat ibu besuk kan suka ketemu sama keluarga lainnya yang lagi besuk atau nungguin juga anaknya yang sakit yang dirawat di NICU atau PICU, ibu suka cerita-cerita sama mereka. Eeuuhh.. Nya ieu neng apa namanya, eemmhh.. Berbagi pengalaman kumaha-kumahana. Jadi ibu teh merasa asa ada temen juga ...” (P.1)

Berdasarkan dimensi kenyamanan, didapatkan 3 tema kebutuhan yang dirasakan ibu sebagai kebutuhan paling penting, yaitu:(1) Penerimaan yang baik dari petugas kesehatan terhadap orang tua

Bagi partisipan, penerimaan perawat yang baik dapat membuatnya merasa dihargai dan dianggap sebagai bagian dari perawatan bayinya. Penerimaan petugas kesehatan, baik dari perawat maupun dokter terhadap orang tua sudah baik. Hal ini terungkap dari partisipan:

“... semua stafnya, perawat dan dokternya ramah dan baik sama orang tua. Kalau ada hal yang ditanyakan terkait kondisi dan perawatan anak, ya perawat atau dokter menjelaskannya ke orang tua ...” (P.3)“... perawatnya ramah, eemmhh.. Terus

perhatian. Dokternya juga sama seperti itu ...” (P.4)

Penerimaan baik tersebut salah satunya dapat terlihat dari perawat yang membantu ibu untuk menemukan solusi dari masalahnya terkait perawatan bayinya. Berikut ungkapan beberapa partisipan:

“... Kalau pada intinya mah dukungan perawatnya sudah baik nya neng. Seperti yang ibu katakan tadi, kalau ibu sedang besuk kalau pas kebetulan perawat lagi ngurus ade, ibu suka lihat dan lihat bagaimana cara merawat ade yang lagi sakit. Eeuuhh.. Perawatnya juga suka ngasih tau bagaimana caranya kan beda kondisinya walaupun saya sudah punya 4 anak, tapi kan ngerawat anak sakit mah, apalagi bayi kan beda nya neng ...” (P.1)

(2) Perawat memperlakukan bayi dengan baik dan peduli

Selain penerimaan yang baik dari petugas kesehatan terhadap orang tua, partisipan juga merasakan bahwa perawat juga harus memperlakukan bayi dengan baik serta memiliki rasa kepedulian terhadap bayi. Pada saat partisipan menyaksikan perawat memperlakukan bayinya dengan baik dan penuh rasa peduli, maka hal ini dapat membuat partisipan menjadi lebih tenang. Berikut pernyataan partisipan:

“... Iya, saya juga kadang kalau lagi besuk suka kebetulan lihat perawat yang sedang merawat anak saya, kaya gantiin popok gitu.. Perawatnya memperlakukan anak dengan baik, suka di ajak ngobrol juga anaknya, jadi tenang ke saya nya gitu …” (P.3)

(3) Ruang tunggu dan fasilitasnya yang memadai

Ruang tunggu merupakan salah satu kebutuhan apalagi bagi orang tua yang tinggal jauh dari rumah sakit. Perawatan bayi di NICU membuat partisipan tidak mau meninggalkan rumah sakit walaupun hanya sebentar. Partisipan senantiasa menunggu kabar perkembangan bayi walaupun dirinya sampai merasakan sakit, kurang tidur, dan kelelahan. Partisipan mengungkapkan bahwa ruang tunggu harus dilengkapi kamar mandi, tempat ibadah, kursi tunggu, tempat memompa ASI bagi ibu, dan lain-lain.

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 195: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

164 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Berikut ungkapan beberapa partisipan:“... Iya kalau bisa mah ada ruangan untuk yang nunggu, karena di sini kan pasien penuh terus. Ada sih ruang tunggu, eeuuhh.. Tapi kalau hujan, kehujanan terus penuh sama pasien lain juga yang berobat jalan terus nginep disitu karena rumahnya jauh ...” (P.1)

“... Menurut saya yang penting mah itu tuh fasilitas kamar mandi dan mushola, terus ada tempat untuk ibu mompa ASI. Jadi ada tempatlah setidaknya buat kita nunggu.. eemmhh.. Ini juga mesjid ada, tapi jauh di ujung sana (sambil nunjuk ke arah mesjid).. Kalau bisa mah ada mushola di dekat sini.. Kamar mandi juga harus antri kan terbatas ...” (P.2)

Pembahasan

Hasil penelitian ini tentang kebutuhan orang tua untuk mengaplikasikan family centered care dengan bayi sakit kritis yang mengalami perawatan di NICU, menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap kepastian merupakan kebutuhan paling penting bagi orang tua (M = 3,90 dan SD = 0,12) yang kemudian diikuti oleh prioritas kebutuhan terhadap informasi (M = 3,82 dan SD = 0,15), kedekatan (M = 3,76 dan SD = 0,14), dukungan (M = 3,49 dan SD = 0,16), dan kenyamanan (M = 3,37 dan SD = 0,24). Hasil penelitian ini menempatkan prioritas kebutuhan terhadap kepastian, informasi, dan kedekatan diatas kebutuhan terhadap dukungan dan kenyamanan. Hal ini sesuai dengan berbagai hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan NFNI (Ward, 2001; Nicholas, 2006; Orapiriyakul et al., 2007; & Mundy, 2010).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua, yang dalam hal ini diwakili oleh ibu dengan bayi sakit kritis yang mengalami perawatan di NICU menilai bahwa kebutuhan terhadap kepastian merupakan kebutuhan yang paling penting diantara kebutuhan lainnya. Penelitian lain (Ward, 2001; Lam & Beaulieu, 2004; Nicholas, 2006; Yang, 2008; & Mundy, 2010) juga menunjukkan hasil yang sama, yang menempatkan kebutuhan terhadap kepastian merupakan kebutuhan paling penting diantara kebutuhan lainnya. Adapun dalam penelitian lainnya

(Bialoskurski, Cox, & Wiggins, 2002; Mok & Leung, 2006; & Sikorova & Kucova, 2012) menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap informasi merupakan kebutuhan yang dirasakan oleh orang tua sebagai kebutuhan yang paling penting. Sedangkan dalam penelitian ini, orang tua menilai bahwa kebutuhan terhadap informasi merupakan kebutuhan yang menempati urutan ke-2 kebutuhan paling penting setelah kebutuhan terhadap kepastian. Meskipun demikian, nilai mean untuk kebutuhan terhadap informasi menunjukkan nilai 3,82 yang berarti bahwa kebutuhan terhadap informasi masih merupakan kebutuhan orang tua yang dinilai sangat penting.

Pada penelitian ini kebutuhan terhadap kepastian, informasi, dan kedekatan merupakan kebutuhan yang paling penting bagi orang tua. Kemungkinan pada saat itu merupakan waktu ketika orang tua dari bayi dengan sakit kritis yang mengalami perawatan di NICU mengalami perasaan shock, antisipasi, dan ketidakyakinan terhadap kondisi dan prognosis bayi. Lingkungan NICU dapat menyebabkan stres, baik pada orang tua maupun bayi. Bahkan orang tua dapat mengalami post traumatic stress diasorder (PTSD), kecemasan, sampai depresi (Carter, Mulder, Bartram et al., 2003; Ahn & Kim, 2007; Turan, Başbakkal, & Ozbek, 2008; McAdam, & Puntillo, 2009; Latour, Hazelzet, Duivenvoorden, & Van Goudoever, 2010; & Hunt, 2011). Menurut Buus-Frank (2011), stres dapat disebabkan karena perpisahan dengan bayinya, informasi yang tidak jelas, ketidakpastian prognosis bayi, kondisi lingkungan perawatan, prosedur tindakan yang dilakukan terhadap bayi, dan perilaku dan komunikasi antara petugas kesehatan dan orang tua yang tidak efektif.

Keadaan tersebut di atas mendorong orang tua untuk mencari kepastian akan kondisi bayinya dengan mengumpulkan informasi yang adekuat mengenai kondisi bayinya, dan berusaha untuk selalu dekat dengan bayinya untuk memastikan bahwa bayinya mendapatkan perawatan yang terbaik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang menempatkan kebutuhan untuk mendapatkan jawaban yang jujur atas pertanyaan yang diajukan mengenai kondisi bayi (M = 4,00 dan SD = 0,00), merasa yakin bahwa

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 196: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

165JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

perawatan terbaik diberikan kepada bayi (M = 3,98 dsn SD = 0,15), dan memiliki harapan untuk kesembuhan bayi (M = 3,98 dan SD = 0,15) merupakan 3 kebutuhan paling penting diantara kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Sementara itu berdasarkan hasil penelitian ini, ibu memilih kebutuhan terhadap kenyamanan merupakan kebutuhan dengan prioritas paling rendah, yang ditunjukkan oleh nilai mean secara keseluruhan pada dimensi ini menempati nilai terendah (M = 3,37 dan SD = 0,24). Hal ini terjadi mungkin dapat disebabkan oleh orang tua lebih mengutamakan untuk berfokus terhadap kondisi bayinya yang sedang dalam kondisi kritis, sehingga orang tua tidak terlalu memerhatikan kebutuhan dirinya sendiri termasuk kebutuhan terhadap kenyamanannya. Orang tua rela mengorbankan kebutuhannya demi bayinya. Sehingga kebutuhan yang sifatnya pribadi mendapatkan prioritas yang rendah. Orang tua lebih mementingkan keselamatan bayi dan hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan kondisi bayinya. Walaupun kalau ditinjau dari nilai mean, hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap kenyamanan juga masih merupakan kebutuhan yang penting bagi orang tua.

Penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh Ward (2001), Nicholas (2006), dan Mundy (2010). Beberapa penelitian tersebut menempatkan kebutuhan terhadap dukungan merupakan kebutuhan yang memiliki prioritas paling rendah dan dinilai sebagai kebutuhan yang kurang penting dirasakan orang tua. Sementara pada penelitian ini kebutuhan terhadap dukungan (M = 3,49 dan SD = 0,16) masih merupakan kebutuhan yang dirasakan penting bagi orang tua. Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya. Ward (2001), Nicholas (2006), dan Mundy (2010) melakukan penelitian terhadap responden dengan latar belakang budaya barat, sementara itu penelitian yang peneliti lakukan ini dilakukan pada responden yang memiliki budaya ketimuran. Tentu saja hal ini dapat memberikan hasil yang berbeda.

Semua responden dalam penelitian ini berasal dari suku sunda yang menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Karekteristik

utama dari budaya timur itu sendiri adalah familism, dekat dengan keluarga (Yang, 2008). Hal ini merupakan karekteristik sosial yang unik, dimana individu lebih mengutamakan kedekatan dengan keluarga, saling ketergantungan, dan menjunjung tinggi kekerabatan. Karekteristik budaya timur ini lebih mengutamakan kepentingan keluarga sehingga individu rela mengorbankan kebutuhan masing-masing demi kepentingan keluarga. Dengan demikian maka dukungan dari keluarga, kerabat, atau teman merupakan sumber dukungan utama. Berbeda dengan budaya barat yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, sehingga dukungan dari luar termasuk dukungan keluarga bukan merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi mereka.

Penelitian ini juga diikuti oleh penelitian kualitatif, yang dilakukan dengan melakukan wawancara semi terstruktur kepada orang tua yang diwakili oleh ibu biologis dari bayi. Penelitian kualitatif ini menunjukkan hasil tidak jauh berbeda dengan penelitian kuantitatif. Pada penelitian kualitatif pun didapatkan bahwa kebutuhan terhadap kepastian, informasi, kedekatan, dukungan, dan kenyamanan merupakan kebutuhan yang orang tua harapkan dapat terpenuhi ketika bayinya sedang menjalani perawatan di NICU. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif ini dihasilkan beberapa tema dari setiap dimensi kebutuhan orang tua. Tema-tema yang dihasilkan dari penelitian kualitatif ini mendukung hasil penelitian kuantitatif karena pada penelitian kualitatif ini tergambar lebih jelas setiap kebutuhan yang orang tua harapkan.

Apabila kebutuhan orang tua terpenuhi maka dapat menurunkan gejala PTSD, kecemasan, dan depresi pada orang tua (McAdam & Puntillo, 2009). Dengan mengidentifikasi kebutuhan orang tua, maka dapat meningkatkan kualitas perawatan yang diberikan di NICU. Terkadang dukungan yang diberikan perawat kepada orang tua cenderung berdasarkan persepsi perawat dibandingkan dengan kebutuhan aktual yang dirasakan orang tua (Turan, Başbakkal, & Ozbek, 2008).

Kebutuhan terhadap kepastian dalam hal ini merupakan kebutuhan orang tua untuk merasa percaya diri, aman, dan memiliki

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 197: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

166 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

harapan positif tentang kondisi dan prognosis bayinya, dan terjalin hubungan saling percaya antara orang tua dan sistem pelayanan kesehatan. Kebutuhan terhadap kepastian merupakan prioritas kebutuhan orang tua yang paling penting berdasarkan hasil penelitian ini. Menurut hasil kajian kebutuhan orang tua dengan menggunakan NFNI dalam penelitian ini, dihasilkan bahwa kebutuhan yang paling penting adalah kebutuhan untuk mendapatkan jawaban yang jujur atas pertanyaan yang diajukan mengenai kondisi bayi (M = 4,00 dan SD = 0,00), merasa yakin bahwa perawatan terbaik diberikan kepada bayi (M = 3,98 dan SD = 0,15), dan memiliki harapan untuk kesembuhan bayi (M = 3,98 dan SD = 0,15). Ketiga pernyataan tersebut merupakan dimensi kebutuhan terhadap kepastian.

Hasil penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian kualitatif yang juga dilakukan pada penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif didapatkan tema utama untuk dimensi kepastian ini yaitu jawaban yang jujur mengenai kondisi bayi, jaminan dalam penanganan bayi, dan penjelasan terhadap hal-hal yang tidak dimengerti. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Lam and Beaulieu (2004) yang menghasilkan tema utama tentang kebutuhan terhadap jaminan atau keyakinan bahwa anggota keluarga yang sedang sakit mendapatkan perawatan terbaik.Dari penelitian kualitatif ini tereksplorasi bahwa selama bayi menjalani perawatan di NICU, orang tua sangat mengharapkan mendapatkan informasi yang sejujur-jujurnya dari perawat atau dokter mengenai kondisi bayinya, jadi jangan sampai ada sesuatu yang ditutup-tutupi atau disembunyikan. Lebih baik semua informasi mengenai kondisi bayi disampaikan kepada orang tua tentang baik-buruknya. Selain itu, merasa yakin dan percaya bahwa bayi mendapatkan perawatan terbaik merupakan salah satu jaminan dalam penanganan bayi bagi orang tua. Hal ini dapat diwujudkan misalnya dengan kehadiran orang tua pada waktu dilakukan tindakan sehingga membuat orang tua merasa tenang dan yakin bahwa bayinya mendapatkan pelayanan dan penanganan terbaik, dan bayinya pun berada dalam kondisi yang tenang dan nyaman (Mundy, 2010).

Perasaan ketidakpastian yang dirasakan orang tua dapat diminimalisir dengan peran perawat untuk menciptakan lingkungan yang saling percaya dan mendukung dimana keluarga diakui sebagai bagian integral dari perawatan bayi dan pemulihannya; memberikan jaminan bahwa bayi mendapatkan perawatan yang terbaik dengan memberikan penjelasan prognosis bayi kedepannya, tindakan yang dilakukan pada bayi, dan perkembangan kondisi bayi; menunjukkan kompetensi dalam merawat bayi; menghargai kehadiran orang tua; menjalin hubungan baik dengan orang tua; sikap empati; dan hadir pada saat orang tua membutuhkan bantuan karena orang tua ingin diyakinkan bahwa perawatan sebaik mungkin diberikan kepada bayinya. Hal ini dapat memfasilitasi peningkatan pemahaman dan persepsi yang realistik orang tua terhadap kondisi kritis bayinya.

Kebutuhan terhadap informasi merupakan kebutuhan orang tua untuk mendapatkan informasi yang realistik tentang kondisi bayi, meliputi kebutuhan untuk terlibat aktif dalam perawatan bayinya dan kebutuhan untuk kontak dengan dokter dan perawat yang merawat bayinya. Orang tua yang memiliki bayi yang dirawat di NICU, mengharapkan untuk mendapatkan informasi yang akurat, mudah dimengerti, dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan (Nicholas, 2006 & Cleveland, 2008). Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa kebutuhan informasi yang paling penting berdasarkan penelitian kuantitatif yaitu kebutuhan untuk mengetahui secara jelas apa yang sedang dilakukan kepada bayi (M = 3,98 dan SD = 0,15), mengetahui alasan mengapa suatu tindakan dilakukan terhadap bayi (M = 3,98 dan SD = 0,15), dan mengetahui bagaimana pengobatan yang dilakukan kepada bayi (M = 3,98 dan SD = 0,15). Hasil penelitian kuantitatif tersebut didukung oleh hasil penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menghasilkan tema yang terdiri dari informasi yang jelas mengenai kondisi, perkembangan, dan tindakan yang dilakukan terhadap bayi; inisiatif perawat untuk menyampaikan informasi dengan cara yang baik; dan terlibat dalam membuat keputusan tentang rencana perawatan bagi bayi.

Dari penelitian ini terkaji bahwa pemberian

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 198: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

167JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

informasi ini harus jelas dan diberikan secara rutin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Mundy (2010) yang menunjukkan bahwa orang tua dari bayi sakit kritis senantiasa sangat membutuhkan perawat atau dokter agar dapat memberikan informasi yang jujur dan akurat secara rutin mengenai kondisi bayi kepada orang tuanya. Dalam memberikan informasi mengenai kondisi bayi, perawat harus mempunyai inisiatif. Dalam hal ini perawat harus mampu mengidentifikasi kebutuhan orang tua akan informasi dan komunikasi yang diharapkan. Seorang perawat ataupun dokter diharapkan dapat berkomunikasi atau memberikan informasi tanpa harus menunggu orang tua bertanya terlebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan kesadaran yang tinggi dari perawat untuk mengkaji adanya kebutuhan komunikasi terapeutik bagi orang tua yang mengalami stres dan kecemasan terkait kondisi bayinya.

Perawat juga harus bisa memfasilitasi komunikasi antara orang tua dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya (Clevaland, 2008). Terkadang orang tua merasa segan untuk bertanya tentang kondisi bayinya. Hal ini mungkin terkait dengan budaya ketimuran yang menerima apa adanya dan ketakutan untuk stigma takut dibilang cerewet jika bertanya terus menerus (Yang, 2008). Padahal pemberian informasi yang tidak jelas dapat meningkatkan stres orang tua bahkan dapat sampai menyebabkan depresi yang tinggi (McAdam & Puntillo, 2009 & Buus-Frank, 2011).

Kebutuhan kedekatan merupakan kebutuhan orang tua untuk dekat dengan bayinya, baik secara emosional atau kontak fisik, yang diidentifikasi sebagai hal yang penting bagi orang tua (Nicholas, 2006 & Cleveland, 2008). Menurut Wigert et al. (2006), sejak lahir bayi memiliki kemampuan untuk berespon dengan lingkungannya, termasuk interaksi dengan ibunya. Ketika kemampuan tersebut dibatasi, maka akan berdampak pada perkembangan emosional bayi yang negatif. Ketika bayi membutuhkan perawatan di NICU, maka hal ini akan mempersulit kontak antara ibu dan bayi. Penggunaan teknologi canggih dan alat-alat di NICU, seperti monitor, intravenous lines, ventilator, dan peralatan lainnya dapat

mengganggu kontak fisik secara langsung antara orang tua dan bayi (Gooding, 2010). Dalam hal ini, perawat memiliki peran yang penting untuk memfasilitasi dan membantu orang tua agar tetap dekat dengan bayinya. Dari hasil penelitian ini, didapatkan bahwa orang tua memiliki kebutuhan untuk dapat mengunjungi dan melihat kondisi bayinya sesering mungkin (M = 3,96 dan SD = 0,21). Kebutuhan untuk dapat mengunjungi bayi secara rutin dapat menurunkan stres orang tua (Mundy, 2010).

Tingginya partisipasi keluarga dalam memberikan dukungan berupa perilaku kehadiran digambarkan juga dalam hasil penelitian dengan desain mixed method yang dilakukan Yang (2008). Yang (2008) memaparkan bahwa keluarga rela menghabiskan waktu di ruang tunggu dan meninggalkan kerja serta tugas keluarga lainnya untuk dapat melihat anggota keluarganya dengan sakit kritis setiap waktu berkunjung. Kondisi ini menurut Yang (2008) disebabkan oleh karena datang dan mendampingi merupakan salah satu kebutuhan dari keluarga sendiri, yaitu kebutuhan untuk dekat dan kebutuhan mengetahui keadaan anggota keluarganya, seperti juga diungkapkan Erikson, Bergomb, dan Lindahl (2011). MacAdam, Shoshana, dan Puntillo (2008) juga menjelaskan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa keluarga hadir dan mendampingi klien kritis karena mereka yakin bahwa kehadiran mereka sangat berarti. Kehadiran saat berkunjung membuat keluarga dapat melihat klien dan mencari informasi sendiri apakah orang yang dicintainya tersebut mendapatkan perawatan seperti yang diharapkan (Olsen, Dysvik, & Hansen, 2009).

Dari hasil pertanyaan terbuka mengenai kebutuhan orang tua selain yang tercantum dalam NFNI, ternyata orang tua merasa bahwa waktu kunjungan terbatas bagi orang tua untuk mengunjungi bayi yang dirawat di NICU dan mengharapkan adanya waktu tambahan pada jam kunjungan ke ruang NICU. Selain itu, selama ini yang diijinkan untuk mengunjungi bayi hanya orang tua bayi saja (ayah dan ibunya). Maka dari itu diharapkan bahwa keluarga lain, terutama kakek dan nenek dari bayi, dapat mengunjungi bayi yang sedang dirawat karena anggota

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 199: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

168 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

keluarga lain pun ingin melihat kondisi bayi secara langsung dan lebih dekat dengan bayi.Kebutuhan terhadap dukungan digambarkan sebagai kebutuhan terhadap sumber, sistem, dan struktur yang dibutuhkan orang tua, seperti kebutuhan untuk mengekspresikan emosi, mengatasi masalah finansial, ada yang perhatian untuk diri mereka sendiri, dan dukungan spiritual. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa orang tua membutuhkan dukungan dan perhatian selama perawatan bayi di NICU, baik dari keluarga, petugas kesehatan, ataupun sesama orang tua yang bayinya mengalami perawatan di NICU. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Wahyuni dan Parendrawati (2013), yang menunjukkan bahwa dukungan dari suami merupakan dukungan yang paling ibu harapkan karena suami merupakan orang terdekat dari ibu. Selain itu dukungan emosional juga diperlukan untuk meningkatkan kenyamanan, perasaan tenang, merasa dilibatkan, diperhatikan, rasa percaya diri dan kompeten dalam merawat bayinya (Wahyuni & Parendrawati, 2013).

Dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan tergali bahwa dukungan keluarga merupakan sumber dukungan bagi orang tua. Dukungan keluarga baik berupa dukungan moril ataupun materil sangat dibutuhkan orang tua dalam menghadapi situasi kritis bayinya. Hal ini terjadi karena orang tua merasa memiliki kedekatan dengan keluarga, saling ketergantungan, dan menjunjung tinggi kekerabatan (Yang, 2008).

Selain dukungan dari keluarga, orang tua juga membutuhkan dukungan yang tidak kalah penting yaitu dukungan spiritual. Salah satu hal yang dapat mengurangi tekanan dan dapat memberikan ketenangan adalah terpenuhinya kebutuhan spiritual yaitu kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Hamid, 2010).

Dukungan sesama orang tua yang memiliki bayi yang dirawat di NICU merupakan dukungan yang orang tua butuhkan juga. Dukungan ini diantaranya dukungan untuk saling bertukar pengalaman dan saling

menguatkan. Pada beberapa penelitian sebelumnya (Ward, 2001; Nicholas, 2006; & Mundy, 2011) hal ini merupakan kebutuhan yang dirasakan kurang penting bagi orang tua. Perbedaan hal ini dapat disebabkan oleh karekteristik orang tua yang berbeda, dimana pada penelitian sebelumnya orang tua memiliki latar belakang budaya barat yang cenderung menganut paham individualisme dibandingkan dalam penelitian ini yang pada dasarnya orang tua memiliki latar belakang budaya ketimuran yang menjunjung tinggi kolektivisme atau kebersamaan.

Kebutuhan terhadap kenyamanan diartikan sebagai kebutuhan terhadap kenyamanan personal yang penting bagi anggota keluarga, seperti memiliki ruang istirahat atau fasilitas lainnya yang tersedia di sekitar NICU. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa orang tua membutuhkan penerimaan yang baik dari petugas kesehatan terhadap orang tua, perawat memperlakukan bayi dengan baik dan peduli terhadap bayi, dan tersedianya ruang tunggu dan fasilitasnya yang memadai di NICU. Orang tua mengharapkan ruang tunggu yang tidak jauh dari ruang perawatan agar orang tua dapat senantiasa melihat kondisi bayi. Orang tua juga mengharapkan ruang tunggu dilengkapi fasilitas yang memadai. Orang tua menganggap bahwa kenyamanan lingkungan perawatan bayinya, seperti tersedianya ruang tunggu dan akses untuk selalu dapat melihat bayinya merupakan salah satu kebutuhannya di NICU (Nicholas, 2006). Lingkungan perawatan yang nyaman dan perilaku yang positif dari staf perawat dapat membantu menurunkan perasaan stres pada orang tua yang bayinya dirawat di NICU (Sikorova & Kucova, 2012).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan kenyamanan merupakan kebutuhan dengan prioritas paling rendah. Dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan, maka tergali bahwa hal ini dikarenakan orang tua lebih mengutamakan kondisi kritis bayinya. Jadi dalam hal ini yang orang tua butuhkan adalah segala sesuatu mengenai kepastian dan kejelasan informasi tentang kondisi bayinya yang dirawat di NICU. Orang tua rela mengorbankan kebutuhannya demi untuk kebutuhan bayinya.

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 200: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

169JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Simpulan

Apabila mengacu pada bentuk pelayanan FCC, tentunya dalam memberikan asuhan keperawatan kritis kepada bayi di NICU, perawat tidak hanya berfokus pada life saving dari bayi yang dirawat tetapi juga harus memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga, khususnya kepada orang tua. Orang tua merupakan bagian dari perawatan bayi di NICU, dimana orang tua juga memiliki peranan yang penting untuk kesembuhan bayinya. Identifikasi kebutuhan orang tua merupakan langkah awal untuk mengaplikasikan FCC agar perawat dapat memberikan dukungan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan orang tua tersebut. Kebutuhan orang tua tersebut lebih berfokus pada kesejahteraan bayinya. Hal ini mendorong orang tua untuk mencari kepastian akan kondisi bayinya dengan mengumpulkan informasi yang adekuat mengenai kondisi bayinya dan berusaha untuk selalu dekat dengan bayinya untuk memastikan bahwa bayinya mendapatkan perawatan yang terbaik.

Penelitian kualitatif menunjukkan bahwa orang tua lebih membutuhkan kepastian terkait dengan jaminan bahwa bayinya mendapatkan perawatan terbaik; informasi yang jujur, jelas, dan rutin mengenai kondisi, perkembangan, dan tindakan yang dilakukan terhadap bayi; dan kedekatan untuk selalu dekat dan melakukan kontak dengan bayi. Sehingga diharapkan petugas kesehatan, perawat khususnya, selain meningkatkan pelayanan terhadap bayi juga dapat memenuhi kebutuhan orang tua tersebut dan mengintegrasikannya kedalam FCC.

Hasil penelitian ini menyarankan kepada perawat ruangan NICU untuk lebih memberikan perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan orang tua dengan bayi sakit kritis pada berbagai dimensi kebutuhan orang tua, terutama dimensi kebutuhan terhadap kepastian, informasi, dan kedekatan karena orang tua merupakan bagian dari perawatan bayi di NICU sehingga FCC dapat diaplikasikan dengan baik. Perasaan ketidakpastian yang dirasakan orang tua dapat diminimalisir dengan peran perawat untuk menciptakan lingkungan yang saling percaya dan mendukung dimana keluarga

diakui sebagai bagian penting dari perawatan bayi dan pemulihannya; memberikan jaminan bahwa bayi mendapatkan perawatan yang terbaik dengan memberikan penjelasan atau informasi secara rutin, jelas, mudah dipahami, dan sejujur-jujurnya mengenai prognosis bayi kedepannya, tindakan yang dilakukan pada bayi, dan perkembangan kondisi bayi; komunikasi terapeutik; menunjukkan kompetensi dalam merawat bayi; mengijinkan dan menghargai kehadiran orang tua di NICU untuk dekat dengan bayi dan memberikan sentuhan kepada bayi; menjalin hubungan baik dengan orang tua; sikap empati; dan hadir pada saat orang tua membutuhkan bantuan.

Daftar Pustaka

Agus, B. (2006). Pengantar antropologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ahn, Y-M., & Kim, N-H. (2007). Parental perception of neonates, parental stres and education for NICU parents. Asian Nursing Research, 1(3), 199–210.

Akbarbegloo, M., Valizadeh, L., & Asadollahi M. I. (2009), Mothers and nurses viewpoint on importance and amount of nursing supports for parents with hospitalized premature infants in Neonatal Intensive Care Unit. Iranian Journal of Critical Care Nursing Summer, 2(2), 71–74.

Bialoskurski, M.M., Cox, C.L., & Wiggins, R.D. (2002). The relationship between maternal needs and priorities in a Neonatal Intensive Care Environment. J Adv Nurs, 37(1), 62–69.

Buus-Frank, M.E. (2011). Principles and practices of family centered care and the late preterm infant. Dynamic Neonatal Solutions. Updated Fall 2011.

Byers, J.F., Linda, B.L., Francis, J., Kaigle, K., Lutz, N.H., Waddell, T., & Diaz, A.L. (2006). A quasi-experimental trial on individualized, developmentally supportive family-centered care. JOGNN, 35, 105–115.

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 201: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

170 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

DOI: 10.1111/J.1552-6909.2006.00002.x.

Carter, J.D., Mulder, R.T., & Bartram, A.F. (2003). Infants in a Neonatal Intensive Care Unit: Parental response. Arch Dis Child Fetal Neonatal, 90, 109–113. DOI: 10.1136/adc.2003.031641.

Cleveland, L.M. (2008). Parenting in the Neonatal Intensive Care Unit. The Association of Women’s Health, Obstetric and Neonatal Nurses, JOGNN, 37(6), 666–691. DOI: 10.1111/j.1552-6909.2008.00288.x.

Creswell, J.W. (2009). Research design qualitative, quantitative, and mixed methods approaches (3rd Ed.). California: Sage Publication.

Erikson, T., Bergbom, I., & Lindahl, B. (2011). The experiences of patient and their families of visiting while in an Intensive Care Unit-A hermeneutic interview study. Intensive and Critical Care Nursing, 27, 60–66. DOI: 10.1016/j.iccn.2011.01.001.Gooding, J.S. (2010). Family support and family-centered care in the NICU: Origins, Advances, Impact Women’s Health Symposium. Las Vegas, Nevada, November 19, 2010.

Hamid, A.Y. (2000). Buku ajar aspek spiritual dalam keperawatan. Jakarta: Widya Medika.

Hiromi. (2011). Original article: Predictors of nurses’ family-centered care practices in the Neonatal Intensive Care Unit. Japan Journal of Nursing Science, 8, 57–65. DOI: 10.1111/j.1742-7924.2010.00159.x.

Hunt, K.N. (2011). The NICU: Environmental effects of the Neonatal Intensive Care Unit on infants and caregivers. Research Papers, 71. Available at: http://opensiuc.lib.siu.edu/gs_rp/71.

Kemenkes. (2010). Pelayanan kesehatan neonatal esensial: Pedoman teknis pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Lam, P., & Beaulieu, M. (2004). Experiences of families in the Neurological ICU:

A ‘bedside phenomenon’. Journal of Neuroscience Nursing, 36(3), 142–155.

Latour, J.M., Hazelzet, J.A., Duivenvoorden, H.J., & Van Goudoever, J.B. (2010). Perceptions of parents, nurses, and physicians on neonatal intensive care practices. Journal of Pediatrics, 157(2), 215–220.

MacAdam, J.L., Shoshana, A., & Puntillo, K.A. (2008). Unrecognised contributions of families in the Intensive Care Unit. Intensive Care Medicine, 34, 1097–1101.

Mattsson, J., Forsner, M., Castrén, M., & Arman, M. (2013). Caring for children in Pediatric Intensive Care Units: An observation study focusing on nurses’ concerns. Nursing Ethics, 20(5), 528–538. DOI: 10.1177/0969733012466000.

McAdam, J.L., & Puntillo, K. (2009). Symptoms experienced by family members of patients in Intensive Care Units. American Journal of Critical Care, 18(3), 200–209.Mok, E., & Leung, S. (2006). Nurses as providers of support for mothers of premature infants. Children and Families, 15, 726–734.

Mundy, C.A. (2010). Assessment of family needs in Neonatal Intensive Care Units. Am J Crit Care, 19, 156–163. DOI: 10.4037/ajcc2010130.

Nicholas, A.L. (2006). An examination of the needs of mothers with infants in the Neonatal Intensive Care Unit. Dissertation. Faculty of the Graduate School of the University of Maryland, College Park.

Nurhidayah, I., Hendrawati, S., Mediani, H. S., & Adistie, F. (2016). Kualitas Hidup pada Anak dengan Kanker. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(1).

O’Brien, K., Bracht, M., Macdonell, K., McBride, T., Robson, R., O’Leary, L., Christie, K., et al. (2013). A pilot cohort analytic study of family integrated care in a Canadian Neonatal Intensive Care Unit. BMC Pregnancy and Childbirth, 13(1), S12. Available at: http://www.biomedcentral.com/1471-2393/13/S1/S12.

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 202: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

171JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Olsen, K.D., Dysvik, E., & Hansen, B. (2009). The meaning of family member’s presence during intensive care stay: A qualitative study. Intensive and Critical Care Nursing, 25(4), 190–198. DOI: 10.1016/j.iccn.2009.04.004.

Orapiriyakul, R., Jirapaet, V., & Rodcumdee, D. (2007). Struggling to get connected: The process of maternal attachment to the preterm infant in the Neonatal Intensive Care Unit. Thai Journal of Nursing Research, 11(4), 251–264.

Polit, D.F., & Beck, C.T. (2008). Nursing research: Generating and assessing evidence for nursing practice (8th Ed.). Philadelphia: Lippincott.

Setiasih, Y., Fatimah, S., & Rahayu, S. Y. (2013). Peripherally Inserted Central Catheter dan Pemberian Terapi Intravena pada Neonatus. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 1(2).

Sikorova, L., & Kucova, J. (2012). The needs of mothers to newborns hospitalised in Intensive Care Units. Biomed, 156(4), 330–336.

Skene, C., Franck, L., Curtis, P., & Gerrish, K. (2012). Parental involvement in neonatal comfort care. JOGNN, 41(6), 786-797. DOI: 10.1111/j.1552-6909.2012.01393.x.

Soury-Lavergne, A., Hauchard, I., Dray, S., Baillot, M-L., Bertholet, E., Clabault, K., et al. (2011). Carer perspectives: Survey of caregiver opinions on the practicalities of family-centered care in Intensive Care Units. Journal of Clinical Nursing, 21, 1060–1067. DOI: 10.1111/j.1365-2702.2011.03866.x.

Trajkovski, S., Schmied, V., Vickers, M., & Jackson, D. (2012). Clinical issues neonatal nurses’ perspectives of family-centered care: A qualitative study. Journal of Clinical Nursing, 21, 2477–2487. DOI: 10.1111/j.1365-2702.2012.04138.x.

Turan, T. I., Başbakkal, Z., & Ozbek, S. (2008). Effect of nursing interventions on stressors of parents of premature infants in Neonatal Intensive Care Unit. J Clin Nurs., 17(21), 2856–66. DOI: 10.1111/j.1365-2702.2008.02307.x.

UNICEF. (2012). Normal birthweight is critical to future health and development. Available at: http://www.childinfo.org. low birthweight.html. Retrieved May 15, 2014.

Vance, C.A.E. (2011). Measuring neonatal quality of life (NeoQoL) for critically-ill newborns in Neonatal Intensive Care Units. Dissertation. University of Washington. Available at search.proquest.com.

Vaškelytė, A., & Butkevičienė, R. (2010). Needs of parents with premature newborns in the Neonatal Intensive Care Unit: Parents’ and nurses’ perceptions. Medicina (Kaunas), 46 (1 priedas).

Wahyuni, S., & Parendrawati, D. P. (2013). Pengalaman Ibu dalam Melakukan Perawatan Metode Kanguru. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 1(3).

Ward, K. (2001). Perceived needs of parents of critically ill infants in a Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Pediatr Nurs, 27(3), 281–286.

Wigert, H., Johansson, R., Berg, M., & Hellström, A. L. (2006). Mothers’ experiences having their newborn child in a Neonatal Intensive Care Unit. Scandinavian Journal of Caring Sciences, 20, 35–41.

World Health Organization (WHO). (2012). Preterm birth [Internet]. Available at: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs363/en/. Retrieved May 15, 2014.

Yang, S. (2008). A mixed method study on the need of Korean families in the Intensive Care Unit. Australian Advance Nursing, 25(4), 79–86.

Sri Hendrawati : Kajian Kebutuhan Family Centered Care dalam Perawatan Bayu Sakit Kritis

Page 203: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

172 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence pada Pasien Post Laparatomi

Tita Puspita Ningrum, Henny Suzana Mediani, Chandra Isabella H.PFakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Email: [email protected]

Abstrak

Wound dehiscence sering terjadi setelah pembedahan mayor abdomen menimbulkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Wound dehiscence dapat menimbulkan stres, eviserasi, reoperasi, gangguan citra tubuh, meningkatnya lama rawat dan biaya rawat, menurunkan kualitas hidup pasien serta kematian sehingga perlu menangani faktor yang memengaruhi kejadian wound dehiscence. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian wound dehiscence pada pasien dewasa post laparatomi di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Metode penelitian menggunakan analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional. Sampel yang digunakan berjumlah 40 orang yang diambil dengan menggunakan consecutive sampling. Pengumpulan data dengan cara wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi dan analisis bivariat menggunakan uji Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan kejadian wound dehiscence terjadi ketika perawatan di rumah (35%). Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara infeksi luka (p=0,0001), operasi emergensi (p = 0,020), hipoalbumin (p=0,037), anemia (p = 0,028), status nutrisi (0,010), dan adanya penyakit penyerta (p = 0,008) dengan kejadian wound dehiscence, serta tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor usia (p = 0,581) dan jenis kelamin (p= 0,604) dengan kejadian wound dehiscence. Penting bagi perawat untuk mengidentifikasi potensial faktor risiko wound dehiscence pada pasien yang dilakukan operasi laparatomi dan segera melakukan intervensi yang diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi wound dehiscence, diantaranya dengan melakukan discharge planning terkait perawatan luka dan pentingnya asupan protein yang adekuat supaya bisa dikenali ditahab mana terjadinya wound dehiscence.

Kata kunci: Pasien, post laparatomi, wound dehiscence.

Factors correlating of Wound Dehiscence in Patients after Laparatomi at Dr Hasan Sadikin General Hospital Bandung

Absract

Wound dehiscence is often occurred after major abdominal surgery which impacts on morbidity and mortality rates and significantly contributes to prolonged hospital stays, implicit and explicit costs, associate with psychosocial stressor on patients, evisceration re-surgical operation, and may affect to quality of life patients. It is therefore necessary to identify factors affecting wound dehiscence. The aims of the study was to analyze factors correlating of post-operative wound dehiscence in adult patients at Dr Hasan Sadikin general hospital. Correlational analytic with cross sectional approach was used in this study. 40 patients were selected to be participated in this study by using consecutive sampling. Observations, interviews and study documents were conducted in data collection process. Univariate and Bivariate analysis with Chi Square were performed to analyze the data. Results of the study identified than wound dehiscence were occurred during patients at home (35%). Result of analysis bivariate showed that there was a significance correlation between wound infection (p=0, 0001), surgical emergency (p = 0,020), hypo albumin (p=0,037), anemia (p = 0,028), nutrition status (0,010), and other illness (p = 0,008) with wound dehiscence. Whereas, there was no correlation significantly between age factor (p = 0,581) and gender (p= 0,604) with wound dehiscence. It is important for nurses to identify potential risk factors of wound dehiscence in patients after post-operative laparotomy and prevent complication of wound dehiscence by doing discharge planning especially in term of wound care and the need of taking protein consumption adequately to avoid wound dehiscence.

Key words: Adult patients, post-laparatomi, wound dehiscence.

Page 204: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

173JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pendahuluan

Menurut data World Health Organization (WHO) (2013), jumlah pasien dengan tindakan operasi mencapai angka peningkatan yang sangat signifikan. Pada tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia, dan pada tahun 2012 diperkirakan meningkat menjadi 148 juta jiwa. Pada tahun 2012 di Indonesia, tindakan operasi mencapai 1,2 juta jiwa dan diperkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan bedah laparatomi (Kemenkes RI, 2013). Sementara tindakan bedah laparatomi di RSUP Dr Hasan Sadikin dapat mencapai lebih kurang 50 operasi setiap bulannya (Djaya, Rudiman, & Lukman, 2012). Sementara angka kejadian di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, sekitar 0,4% – 1,13%. Pada tahun 2011 sampai 2014 ditemukan kurang lebih 252 kasus abdominal wound dehiscence.

Laparatomi merupakan jenis operasi bedah mayor yang dilakukan di daerah abdomen (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).Sayatan pada operasi laparatomi menimbulkan luka yang berukuran besar dan dalam sehingga membutuhkan waktu penyembuhan yang lama dan perawatan berkelanjutan (Potter & Perry, 2006). Luka pasca operasi sembuh sampai dengan hari ke 10 sampai 14 (Enoch & Leaper, 2007; Heather et al., 2010).

Meskipun memiliki tahap-tahap yang dapat diidentifikasi, pada kenyataannya penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks, terus menerus dan proses penyembuhan luka tidak selalu berjalan dengan lancar (Smeltzer & Bare, 2010). Di sisi lain, keterlambatan penyembuhan luka terjadi ketika tepi jaringan granulasi yang berlawanan tidak sembuh atau dijahit kembali akibat dari infeksi. Selama fase ini, infeksi memproduksi enzim yang merusak jaringan dan jahitan di sekitarnya. Akibatnya, jaringan rusak dapat memicu terjadinya wound dehiscence (Johnson, 2009) yang biasanya muncul 4 – 14 hari pasca operasi, dengan rata-rata pada hari ke 7 (Kenig, Richter, Lasek, Zbierska, & Zurawska, 2014). Wound dehiscence adalah kelainan pada fasia yang muncul pada periode awal postoperasi (Ramshorst et al., 2010), dan Spiliotis et al. (2009), mendefinisikan wound dehiscence sebagai kegagalan mekanik dari

proses penyembuhan luka, dimana hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor.

Beberapa penelitian memperlihatkan hasil yang berbeda mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian wound dehiscence. Faktor-faktor yang memiliki nilai signifikan yang tinggi dikaitkan dengan kejadian wound dehiscence diantaranya faktor usia, jenis kelamin, malnutrisi, anemia, hipoalbumin, penyakit paru konik, infeksi luka operasi, keganasan, operasi emergensi, jaundice (Ramshorst et al., 2010); obesitas Hitesh, Pratik, Nilesh, & Jovin, 2015), diabetes (Meena et al., 2013)

Dikaitkan pada karakteristik pasien, kejadian wound dehiscence lebih sering terjadi pada pasien dewasa lanjut (Waqar et al., 2005). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa wound dehiscence banyak terjadi pada usia di atas 40 tahun Waqar et al. (2005); Ramshorst et al. (2010); Ramneesh, Sheerin, Surinder, dan Bir (2014) . Hal ini mungkin terletak pada kerusakan mekanisme perbaikan jaringan pada usia lanjut, terutama selama beberapa hari pertama dari proses penyembuhan dimana sistem kekebalan tubuh memiliki peranan penting. Perubahan fungsional berpengaruh buruk terhadap masuknya sel-sel dan senyawa yang penting untuk perbaikan jaringan (Ramshorst et al.,2010). Selain itu, semakin bertambah tua usia pasien, maka semakin berkurang produksi glikoaminoglikan, kolagen, dan struktur matriks sehingga terjadi substansi dasar kulit, menurunkan vaskularisasi, dan ketebalan jaringan dimana hal ini berpengaruh terhadap perbaikan jaringan (Waqar et al., 2005).

Hasil Penelitian cross sectional yang dilakukan Shammary (2012) di Rumah sakit pendidikan Al-Kindy menunjukkan dari 66 kasus wound dehiscence, sebagian besar (72%) terjadi pada laki-laki dibanding perempuan (27,3%). Hal ini dikaitkan dengan kebiasaan merokok yang cenderung banyak dilakukan oleh laki-laki dimana efek dari merokok dapat menghambat proses penyembuhan luka.

Infeksi luka operasi dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan terjadinya wound dehiscence. Adanya bakteri menyebabkan influks dan aktivasi neutrofil serta meningkatkan degradasi

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 205: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

174 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

matrix metalloproteinases (MMPs).Tidak adanya penutupan jaringan inhibitor dari MMPS, menimbulkan degradasi pada luka.Terlepasnya endotoksin oleh bakteri menyebabkan produksi kolagenase, yaitu degradasi serat kolagen. Infeksi menyebakan memanjangnya fase inflamasi, dan berdampak negatif terhadap deposisi kolagen dan aktivitas fibroblas. Adanya bakteri pada jaringan yang sedang mengalami proses penyembuhan memengaruhi semua proses penyembuhan (Ramshorst et al., 2010)

Anemia merupakan faktor risiko yang dihubungkan dengan meningkatnya stres perioperative, tranfusi darah dan menurunnya oksigenasi ke jaringan dimana kesemuanya memengaruhi sistem imun dan proses penyembuhan luka (Ramshorst et al., 2010). Pasien dengan anemia mengalami proses penyembuhan yang buruk dan cenderung memiliki celah pada luka (Ramneesh et al., 2014). Hasil penelitian prospektif yang dilakukan Sivender, Ilaiah, dan Reddy (2015) pada 50 kasus wound dehiscence post operasi abdomen di Rumah Sakit Osmania Hyderabad memperlihatkan pasien dengan anemia (Hb < 10 g/dl) yang mengalami wound dehiscence yaitu 28 pasien (56%) sementara pasien dengan Hb > 10 g/dl yang mengalami wound dehiscence yaitu sebanyak 14 pasien (28%).Hipoalbuminemia berkontribusi mem-perpanjang fase inflamasi dan fibroplasia, proliferasi, proteoglycan dan sintesis kolagen, neoangiogenesis dan penutupan luka. Secara umum, albumin yang rendah dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan luka, meningkatkan wound dehiscence serta meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dan kualitas jaringan scar yang buruk (Boyle, 2006).

Malnutrisi sering dihubungkan dengan komplikasi yang terjadi pada tindakan pembedahan, dimana malnutrisi dapat menghambat penyembuhan luka operasi, daya tahan tubuh, penurunan fungsi otot jantung dan sistem pernafasan (Ramshorst et al., 2010). Hasil penelitian kohort prospektif yang dilakukan Meylani et al. (2012) memperlihatkan risiko dehiscence meningkat secara bermakna pada gizi buruk dibandingkan dengan gizi baik (p=0,000). Sementar itu hasil penelitian Dudley, Kettle, dan Ismail (2013) dan Hitesh et al. (2015) menunjukkan

kasus wound dehiscence banyak ditemukan pada pasien dengan obesitas, dan penelitian Yadi (2011) menunjukkan indeks massa tubuh tidak memengaruhi secara bermakna akan terjadinya wound dehiscence (p=0,131).

Beberapa literature memperlihatkan bahwa wound dehiscence banyak terjadi pada kasus-kasus operasi emergensi dibandingkan dengan operasi elektif, namun hasil penelitian Sorensen et al. (2005) serta Hitesh et al. (2015) tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara kejadian wound dehiscence pada pasien dengan operasi emergensi (55%) dan operasi elektif (45%). Penelitian lebih lanjut di RS Hasan Sadikin diperlukan untuk mendapatkan faktor yang paling memengaruhi sesuai karakterisitik pasien.

Wound dehiscence merupakan salah satu komplikasi luka post operasi yang paling serius. Beberapa penelitian memperlihatkan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi yaitu 3–35% (Khorgami et al., 2012), dengan insiden wound dehiscence di dunia sekitar0,4%–3,5% setelah pembedahan mayor abdomen dan dihubungkan dengan kematian sekitar 10% – 45% (Ramshorst et al., 2010). Dampak dari wound dehiscence, diantaranya meningkatkan stres pada pasien, viserasi, reoperasi, gangguan body image, menurunkan kualitas hidup pasien, meningkatkan lama rawat dan biaya rawat lebih dari 300 persen dan membuang anggaran kesehatan rumah sakit (Khorgami et al., 2012; Ramshorst, Eker, Voet, Jeekel, & Lange, 2013), menyebabkan trauma psikologi, risiko infeksi berat dengan akibat kematian (Hitesh et al., 2015).

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti baik kepada 5 pasien dan keluarga yang mengalami wound deshicence, menunjukkan dari 5 pasien dengan wound dehiscence, diperoleh data kelima pasien berjenis kelamin laki-laki, dengan 3 pasien berusia < 40 tahun dan 2 pasien pasien berusia > 40 tahun, yang memiliki Hb > 10 gr/dl sebanyak 2 orang dan < 10 gr/dl sebanyak 3 orang; 2 pasien memiliki albumin < 3,5 g/dl serta 3 pasien dengan albumin di atas 3,5 gr/dl; 4 pasien menjalani operasi emergensi dan mengalami infeksi pada area luka, 1 pasien menjalani operasi elektif, 2 pasien dengan malnutrisi, 1 pasien obesitas dan 2 pasien dengan gizi baik. Berdasarkan riwayat penyakit penyerta

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 206: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

175JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

diperoleh data 3 pasien dengan keganasan, 1 pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, 1 pasien dengan trauma abdomen, dan 1 pasien dengan penyakit pneumonia.

Berdasarkan hasil wawancara data sekunder dengan keluarga pasien, tiga diantaranya mengatakan setelah pulang dari rumah sakit lukanya tidak kunjung sembuh dan tidak tahu bagaimana cara merawat luka operasi yang benar serta tidak mengetahui bahwa makanan yang mengandung protein memengaruhi proses penyembuhan sehingga baik pasien maupun keluarga tidak terlalu memerhatikan asupan protein pasien sehingga perlu diteliti apakah ini menjadi factor yang berpengaruh pada kejadian dehiscence.

Hal ini menjadi tantangan bagi perawat, tidak hanya untuk mencegah berkembangnya infeksiluka dan mendidik pasien mengenai prosedur membersihkan luka yang tepat, tetapi juga memonitor potensial faktor risiko terkait dengan wound dehiscence mulai dari preoperasi sampai post operasi. Monitoring dilanjutkan dengan cermat terkait kimia darah pada periode pascaoperasi, termasuk memerhatikan dan mendokumentasikan keluhan pasien, misalnya merasakan sensasi robek, mengidentifikasi adanya nyeri perut, radang, drainase serosanguinus, atau demam yang bisa menjadi awal adanya gangguan pada luka dan segera memberikan intervensi keperawatan yang diperlukan bila diduga terdapat masalah pada luka untuk membantu memperbaiki kondisi pasien (Smeltzer & Bare, 2010).

Beberapa faktor risiko wound dehiscence dapat dihindari dan diprediksi sejak awal untuk menurunkan jumlah kejadian baik itu sebelum atau setelah operasi (Johnson, 2009).

Memprediksi kemungkinan komplikasi, menurut Kitara, Kakande, Mugisa, dan Obol (2010), merupakan bagian yang esensial dari manajemen risiko, dimana manajemen risiko merupakan isu penting pelayanan kesehatan.

Metode Penelitian

Desain Penelitian ini adalah analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang post laparatomi.Teknik pengambilan sampel yaitu consecutive sampling yang dilakukan selama dua bulan di Ruang Perawatan Bedah RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung setelah mendapatkan ijin dari dan lolos uji etik,, dengan kriteria inklusi responden adalah pasien dewasa dengan usia> 18 tahun post laparatomi yang dirawat di ruang perawatan bedah setelah hari ketiga perawatan, sehingga diperoleh jumlah sampel sebanyak 40 orang yaitu pasien yang menjalani operasi laparatomy. Tidak anemia (Hb>10gr/dl),. Data diambil dengan menggunakan lembar observasi melalui studi dokumentasi, wawancara dan observasi. Kemudian dilakukan analisis univariat dengan menggunakan distribusi frekuensi dan analisis bivariat menggunakan chi square test. Sampel diambil yang belum terdpat wound dehiscence, diikuti sampai datang kembali ke poli RSHS untuk mengobservasi adakah kejadian dehiscence.

Hasil Penelitian

Analisis univariat dalam penelitian ini

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Status Nutrisi, Anemia, Hipoalbumin, Jenis Operasi, Infeksi Luka Operasi dan Kejadian Wound Deshicence (n = 40)

Variabel f %Usia 18 – 40 tahun 13 32,5 > 40 tahun 27 67,5

Jenis KelaminPerempuan 18 45Laki-laki 22 55

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 207: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

176 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Variabel f %

Status NutrisiObesitas/malnutrisi 20 50Baik 20 50Anemia 21 52,5Tidak Anemia 19 47,5

Hipoalbumin 23 57,5Tidak hipoalbumin 17 42,5

Jenis OperasiEmergensi 21 52,5Elektif 19 47,5

Penyakit Penyerta: keganasan/DM/COPD

25 62,5

Tidak ada Penyakit Penyerta 15 37,5

Tidak ada infeksi luka operasi 19 47,5Ada Infeksi luka operasi 21 52,5

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Kejadian Wound dehiscence pada Pasien Post Laparatomi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung (n=40)

Kejadian wound dehiscence f %

Tidak wound dehiscence 16 40Wound dehiscence terjadi di rumah 14 35

rujukan rumah sakit lain 4 10terjadi di RSHS 6 15

meliputi analisis terhadap variabel-variabel independen, usia, jenis kelamin, status nutrisi, anemia, hipoalbumin, jenis operasi, infeksi luka operasi serta wound dehiscence sebagai variabel dependen Adapun hasil analisis univariat dalam bentuk distribusi frekuensi dan interpretasi hasil dapat dilihat pada tabel 1.

Berdasarkan tabel 1.di atas dapat diperoleh rata-rata sebagian besar responden (67,5%) berusia lebih dari 40 tahun dan pasien berjenis kelamin laik-laki (55%). Dilihat dari status nutrisi, sebanyak 20 (50%) pasien dengan gizi baik serta 20 (50%) pasien dengan obesitas dan malnutrisi. Dilihat dari pemeriksaan laboratorium darah, sebanyak

21 (52,5%) pasien dengan anemia, 23 (57,5%) pasien dengan hipoalbumin dan sebanyak 21 (52,5%) pasien dengan infeksi luka operasi. Berdasarkan jenis operasi, sebagian besar responden, yaitu 21 (52,5%) pasien menjalani operasi emergensi. 25 (62,5%) pasien dengan penyakit penyerta baik itu keganasan, diabetes mellitus, maupun penyakit pulmonal.

Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 40 responden, sebagian besar responden mengalami wound dehiscence yaitu sebanyak 60%, dan sebagian besar kejadian wound dehiscence yaitu sebanyak 35% terjadi ketika perawatan di rumah.

Analisis bivariat ini digunakan untuk menganalisis hubungan variabel independen

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 208: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

177JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

yaitu usia, jenis kelamin, jenis operasi, anemia, hipoalbumin, status nutrisi, infeksi luka operasi, penyakit penyerta dengan kejadian wound dehiscence. Hasil analisa uji statistik menggunakan chi square test menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara infeksi luka operasi (p=0,0001), operasi emergensi (p = 0,020), hipoalbumin (p= 0,037), anemia (p=0,028), status nutrisi (0,010), dan adanya penyakit penyerta (p= 0,008) dengan kejadian wound dehiscence. Sedangkan faktor usia (p= 0,581) dan jenis kelamin (p=0,604) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian wound dehiscence.

Pembahasan

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa pasien-pasien post laparatomi di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung, jumlah terbanyak berada pada rentang usia > 40 tahun, berjenis kelamin laki-laki, menderita anemia serta hipoalbumin, menjalani operasi emergensi, memiliki penyakit penyerta berupa keganasan, diabetes mellitus, COPD, serta mengalami luka infeksi dan mengalami wound dehiscence ketika perawatan di rumah. Banyaknya kejadian wound dehiscence di rumah kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan pasien atau

Tabel 3 Hubungan Variabel Usia, Jenis Kelamin, Infeksi Luka Operasi, Jenis Operasi, Anemia, Hipoalbumin, Status Nutrisi dengan Kejadian Wound Dehiscence di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung(n = 40)

Wound DehiscenceVariabel Tidak Ya

OR P=Valuef % f %

Usia18 – 40 tahun 6 46,2 7 53,8 1,475 0,581>40 tahun 10 37 17 63Jenis kelaminLaki-laki 8 36,4 14 63,6 1,400 0,604Perempuan 8 44,4 10 55,6Infeksi luka Operasi

Tidak ada infeksi 13 68,4 6 31,6 13,000 0,0001 Ada infeksi 3 14,3 18 85,7Jenis Operasi Elektif 12 57,1 9 42,9 5 0,020Emergensi 4 21,1 15 78,9AnemiaTidak anemia (Hb>10gr/dl) 11 57,9 8 42,1 4,829 0,028anemia (Hb<10g/dl) 5 23,8 16 76,2AlbuminTidak hipoalbumin 10 58,8 7 41,2 4,048 0,037Hipoalbumin 6 26,1 17 73,9Status NutrisiGizi baik 12 60 8 40 6 0,010Malnutrisi/obesitas 4 20 16 80Penyakit PenyertaTidak ada Penyakit Penyerta 10 66,7 5 33,3 6,333 0,008Ada Penyakit Penyerta 6 24 19 76

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 209: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

178 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

keluarga mengenai perawatan luka ketika di rumah serta pentingnya asupan nutrisi terutama protein untuk proses penyembuhan luka, seperti yang disampaikan beberapa responden bahwa mereka tidak mengetahui cara merawat luka, tidak memiliki peralatan seperti yang dimiliki rumah sakit dan tidak mengetahui bahwa protein diperlukan untuk proses penyembuhan luka.

Hubungan usia dengan kejadian wound dehiscence jika berdasarkan frekuensi kejadian, hasil penelitian menunjukkan bahwa wound deshicence banyak terjadi pada pasien dengan usia> 40 tahun (63%). Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa referensi yang mengatakan bahwa usia> 40 tahun memiliki risiko mengalami wound dehiscence. Rhamsorst et al. (2010) mengkaitkan hal ini dengan menurunnya fungsi tubuh yang berpengaruh terhadap mekanisme perbaikan jaringan dan sistem kekebalan tubuh dimana kedua hal tersebut diperlukan dalam proses penyembuhan luka terutama beberapa hari setelah post operasi. Selain itu, menurut Waqar et al. (2005) semakin bertambah usia, produksi glikoaminoglikan, kolagen, dan struktur matriks akan semakin berkurang dimana hal ini menyebabkan terjadinya substansi di dasar kulit, menurunkan vaskularisasi dan ketebalan jaringan yang berpengaruh terhadap perbaikan jaringan. Walau secara persentase menunjukkan bahwa sebagian besar wound dehiscence terjadi pada pasien dengan usia di atas 40 tahun, namun analisis bivariat dalam penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian wound dehiscence(p=0,581).

Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian wound dehiscence dari hasil penelitian menunjukkan wound dehiscence banyak terjadi pada pasien laki-laki (63,6%) dibanding perempuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sivender et al. (2015) yang menunjukkan wound dehiscence 3 kali lebih besar terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Menurut Aliet al. (2014), meningkatnya kejadian wound dehiscence pada laki-laki dikaitkan dengan kebiasaan merokok. Berdasarkan hasil studi sebagian besar perokok cenderung laki-laki dimana efek merokok memengaruhi proses perbaikan

jaringan. Efek akut yang merugikan dari merokok, menurut Sorensen (2012) memicu kematian jaringan post operasi dengan menurunnya suplai darah seperti pada kasus penutupan jaringan dan menghambat respon inflamasi dari proses penyembuhan luka serta menurunnya mekanisme penghancuran bakteri yang memicu terjadinya infeksi luka operasi. Selain itu, efek dari rokok memperlambat proses proliferasi dan metabolisme kolagen yang memicu terjadinya dehiscence.

Hasil uji bivariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian wound dehiscence(p=0,604). Tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian wound dehiscence bisa disebabkan karena jumlah sampel yang tidak begitu banyak dikarenakan jarangnya kasus tersebut, serta anatomi kulit laki-laki dan perempuan yang tidak begitu berbeda sehingga frekuensi kejadian wound dehiscence pada pasien laki-laki dan perempuan tidak menunjukkan perbedaan yang jauh.

Hubungan antara infeksi luka operasi dengan wound dehiscence pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara infeksi luka operasi (p=0,0001) dengan kejadian wound dehiscence. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rhamshorst et al. (2010), dan Ramneesh et al. (2014). Penelitian lain yang mendukung yaitu menurut penelitian cross sectional yang dilakukan Ali et al. (2014), dimana hasil penelitian memperlihatkan sebanyak 26 orang (14,7%) mengalami wound dehiscence dan infeksi luka operasi ditemukan pada semua pasien yang mengalami wound dehiscence (p<0,05).

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan, dimana gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan yang ditandai dengan adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih. Adanya bakteri menyebabkan influx dan aktivasi neurofil serta meningkatkan tingkat degradasi matrix metalloproteinases (MMPs).Tidak adanya penutupan jaringan inhibitor

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 210: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

179JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

dari MMPS, menimbulkan degradasi pada luka.Terlepasnya endotoksin oleh bakteri menyebabkan produksi kolagenase, yaitu degradasi serat kolagen.Infeksi menyebakan memanjangnya fase inflamasi dan berdampak negatif terhadap deposisi kolagen serta aktivitas fibroblas (Ramshorst et al., 2010).

Selain itu, adanya rongga yang mati di dalam luka operasi, menurut Johnson (2009) dapat menyebabkan terkumpulnya darah dan cairan serous lainnya yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan merupakan predisposisi terjadinya infeksi (surgical site infection). Pada penelitian ini sekitar 35% pasien mengalami wound dehiscence ketika perawatan di rumah.Banyaknya kejadian wound dehiscence ketika di rumah mungkin disebabkan karena perawatan luka yang tidak sesuai dengan prosedur dan penyediaan alat steril yang terbatas, dimanadari hasil wawancara dengan beberapa responden, sebagian besar responden tidak mengetahui bagaimana cara merawat luka operasi ketika di rumah dan tidak memiliki peralatan untuk membersihkan luka seperti di rumah sakit.

Hubungan jenis operasi emergensi dengan kejadian wound dehiscence pada hasil penelitian menunjukkan, wound dehiscence banyak terjadi pada operasi emergensi dibanding operasi elektif, yaitu 78,9%. Hasil uji bivariat menujukkan adanya hubungan yang signifikan antara jenis operasi dengan kejadian wound dehiscence(p=0,020). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rhamshorst et al. (2010) (p=0,001), begitu pula hasil penelitian Shammary (2012) dimana sebagian besar (92%) wound dehiscenceterjadi pada pasien yang dilakukan operasi emergensi dibandingkan dengan elektif.

Menurut Ramshorst et al. (2010) serta Ali et al. (2014), pasien yang mengalami operasi emergensi secara umum berada berada pada kondisi dan status nutrisi yang buruk serta berpotensi tinggi terkontaminasi dari lingkungan operasi dibandingkan operasi elektif. Selain itu, operasi emergensi yang sifatnya segera biasanya dilakukan pada waktu kapanpun bahkan malam hari. Operasi yang dilakukan pada malam hari berpotensi memengaruhi kinerja dokter bedah yang menyebabkan proses penutupan abdomen

pada akhir operasi menjadi kurang optimal. Selain itu, menurut Murtaza et al. (2010)

Hubungan antara anemia dengan wound dehiscence, ada variabel yang diteliti selanjutnya yaitu anemia. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa wound dehiscence lebih banyak terjadi pada pasien dengan anemia (76,2%) dan terdapat hubungan yang signifikan antara anemia dengan kejadian wound dehiscence(p=0,028). Hal ini sejalan dengan penelitian Ramshort et al. (2010) dimana sebanyak 61% (p<0,001) pasien dengan kadar hemoglobin < 10 g/dl mengalami wound dehiscence.

Menurut Ramshort et al. (2010), Pasien dengan anemia mengalami proses penyembuhan yang buruk dan cenderung memiliki celah pada luka. Kehilangan darah saat perioperative, menurut Sorensen et al. (2005) menjadi prediktor dari komplikasi pada luka dan jaringan post operatif yang menyebabkan menurunnya oksigenasi ke jaringan dimana hal ini mengganggu proses penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi serta kejadian wound dehiscence. Pada kondisi anemia terjadi penurunan jumlah kapasitas oksigen dalam darah yang dibawa ke sel yang menyebabkan hipoksia jaringan dan terhambatnya proses penyembuhan luka (Mahey et al., 2016).

Hubungan status nutrisi dengan wound dehiscence pada hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara status nutrisi dengan kejadian wound dehiscence(p= 0,03). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Meylani et al. (2012) dimana wound dehiscence banyak terjadi pada pasien dengan gizi buruk 59% (p = 0,02). Sivender et al. (2015) dimana wound dehiscence banyak terjadi pada pasien dengan BMI > 25 yaitu sebanyak 13% (p= 0,02) dan terjadi pada pasien dengan BMI < 18,5 yaitu 13% (p= 0,03).

Nutrisi yang optimum merupakan kunci utama untuk pemeliharaan seluruh fase penyembuhan luka.Menurut Meylani et al. (2012) malnutrisi dapat menghambat penyembuhan luka operasi, daya tahan tubuh, penurunan fungsi otot jantungdan respirasi. Lebih jauh lagi pasien malnutrisi akan mempunyai risiko morbiditas lebih tinggi sebanding dengan lama rawat yang

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 211: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

180 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

lebih panjang, apabila dibandingkan dengan pasien gizi baik. Secara umum, menurut Boyle (2006) malnutrisi dapat memengaruhi imunitas, dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi luka operasi, menyebabkan berkurangnya kekuatan luka sehingga jaringan luka menjadi rapuh dan meningkatkan kejadian wound dehiscence,

Menurut Hahler (2009), pasien yang mengalami obesitas memiliki jaringan lemak yang sangat rentan terhadap infeksi selama fase pembedahan sehingga rentan mengalami infeksi luka operasi. Selain itu, menurut NICE (2008) jaringan lemak memiliki vaskularisasi yang buruk dan efeknya pada oksigenasi jaringan serta fungsi respon imun yang dianggap meningkatkan risiko infeksi luka operasi yang berpotensi menyebabkan terjadinya wound dehiscence.

Hubungan antara hipoalbumin dengan kejadian wound dehiscence pada hasil penelitian menunjukkan wound dehiscence banyak terjadi pada pasien dengan hipoalbumin (73,9%). Hasil uji bivariat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara hipoalbumin dengan kejadian wound dehiscence. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hennesey et al. (2010), dimana hipoalbuminemia menjadi prediktor independen infeksi lukaoperasi pada pasien yang menjalani operasi kolorektal.

Menurut Hitesh et al. (2014) dan Rivadeneira (2007) Hipoalbuminemia berkontribusi memperpanjang fase inflamasi dan fibroplasia, proliferasi, proteoglycan dan sintesis kolagen, neoangiogenesis dan proses remodeling serta penurunan kekebalan tubuh.Pada kondisi hipoalbuminemia, menurut Hussein et al. (2015) terjadi perubahan dalam metabolisme sitokin terutama aktivitas interleukin-1 yang terganggu dan kegagalan pada sistem komplemen. Oleh karena itu, pada kondisi hipoalbuminemia umumnya sering ditemukan infeksi luka operas dan menjadi salah satu faktor risiko untuk terjadinya dehiscence.

Hubungan antara penyakit penyerta dengan kejadian wound dehiscence pada hasil penelitian menunjukkan wound dehiscence lebih banyak terjadi pada pasien yang memiliki penyakit penyerta seperti keganasan, diabetes ataupun masalah pulmonal (76%).

Hasil uji bivariat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara adanya penyakit penyerta dengan kejadian wound dehiscence(p=0,008). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sorensen et al. (2005) dengan p=0,041 begitupun dengan penelitian Shammary (2012) dimana pasien yang memiliki penyakit keganasan, diabetes mellitus, penyakit paru kronik, berisiko lebih besar mengalami wound dehiscence. Diabetes mellitus memengaruhi microvaskular yang menyebabkan menurunnya perfusi ke jaringan dan penyakit pulmonal menyebabkan hipoksia jaringan yang mereduksi sintesa kolagen dan mekanisme kerja neutrophil dalam membunuh mikroorganisme yang secara keseluruhan memperburuk kondisi pasien (Sorensen et al., 2005).

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari delapan faktor yang diteliti, terdapat enam faktor yang berhubungan dan menjadi faktor prediktor terjadinya wound dehiscence yaitu jenis operasi, status nutrisi, anemia, hipoalbumin, infeksi luka operasi, dan adanya penyakit penyerta berupa keganasan, diabetes mellitus dan pulmonal. Sementara dua faktor yang tidak berhubungan dengan kejadian wound dehiscence yaitu usia dan jenis kelamin. Komplikasi wound dehiscence terjadi pada pasien yang memiliki lebih dari 3 faktor risiko dan banyak terjadi ketika perawatan di rumah.

Berdasarkan hasil wound dehiscence terjadi di rumah, maka , diharapkan semua tenaga kesehatan mampu berperan aktif baik secara mandiri atau kolaborasi dalam upaya mencegah terjadinya komplikasi operasi wound dehiscence pada pasien pasca bedah laparatomi. Hal yang dapat dilakukan yaitu monitoring potensial faktor risiko yang terdapat pada pasien dan melakukan pencegahan baik itu melalui persiapan perioperatif, saat operasi dan perawatan pasca operasi laparatomi. Melakukan perawatan luka dengan mempertahankan teknik steril untuk pencegahan infeksi serta hal lain yang dapat dilakukan adalah melibatkan

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 212: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

181JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

keluarga dalam proses perawatan pasien melalui pemberian informasi dan pendidikan kesehatan atau discharge planning terkait perawatan luka pasien post laparatomi di rumah serta pentingnya asupan protein untuk proses penyembuhan luka. Discharge planning sangat perlu untuk memnastikan pasien sudah mendapat penkes yang tepat untuk mencegah wound dehiscence di rumah.

Daftar Pustaka

Ali, M., Saeeda., Israr, M., &Ullah, H.M. (2014). Frequency of abdominal wound dehiscence and role of wound infection as a major causative factor. Park J Surg, 30(1), 4–8.

Boyle, M. (2006). Wound healing in Midwifery. Radcliffe. Oxford.Djaya, W., Rudiman, R., &Lukman, K. (2012) Efek Oksigen Konsentrat Tinggi Paskaoperasi Laparatomi terhadap Tingkat Infeksi Luka Operasi. MKBB, 40(3).

Dudley, L., Kettle, C., & Khaled, I. (2013). Prevalence, pathophysiology and current management of dehisced perineal wounds following childbirt. British Journal of Midwifery, 21(3).

Enoch, S., & Leaper, D.J. (2007). Basic Science of wound healing. Surgery journal, 26(2), 31–37. DOI : 10.1016/j.mpsur.2007.11.005.

Hahler, B. (2006). Surgical WoundDehiscence. MEDSURG Nursing. 15(5), 301–305.

Heather, L.O., Keast, D.K., Kuhnke, J., Armstrong, P., Attrell, E., Beaumier, M.,… Orchard, M.T. (2010). Best Practice Recommendations for the Prevention and Management of Open Surgical Wounds. Wound Care Canada, 8(1), 6–34.

Hennessey, D.B., Burke J.P., Dhonochu, T.N., Shielda, D., Winter, D.C., & Melay, K. (2010). Preoperative hypoalbuminemia is an independent risk factor for the development

of surgical site infection following gastrointestinal surgery : a multi-institutional study. Ann Surg, 252(2), 325–329. doi: 10.1097/SLA0b013e3181e9819a.

Hitesh, K., Pratik, V., Nilesh, P., & Jovin, M. (2015). Factors affecting post-operative laparotomy wound coplications. International archives of Integrated Medicine, 2(1), 71–74.

Hussein, A. F., Fares, K.M., Mostafa, M.A.M., Mohammed, S.A., Hamed, H.B., & Hagras, A.M.G. (2015). Implication of Hypoalbuminemia in Early Postoperative Complications. SECI Oncology. DOI: 10.18056/seci2015.3..

Johnson,C.M. (2009). Development of abdominal wound dehiscence after a colectomy : a nursing challenge. MedSurg Nursing, 1–7.

Kemenkes RI. (2013). Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta : Kemenkes.

Kenig, J., Richter, P., Lasek, A., Zbierska, K., & Zurawska, S. (2014). The Efficacy of risk scores for predicting abdominal wound dehiscence : a case-controlled validation study. BioMed central, 14(65), 1–6.

Kenig, J., Richter, P., Lasek, A., Zurawska, S. &Zbierska, K., (2013). Risk factors for wound dehiscence after laparotomy - Clinical control trial. POLSKI PRZEGLAD CHIRURGICZNY, 84(11), 565-573.Doi: 10.247/v10035-012-0094-0.

Khorgami, Z., Shoar, B., Laghaie, B., Aminian, A., Araghi, N.H., & Soroush, A. (2012). Prophylactic retention suture in midline laparotomy in high risk for wound dehiscence : a randomized controlled trial. Journal of Surgical Research, xxx, E1-E6.

Mahey, R., Ghetla, S., Rajpurohit, J., Desai, D., & Suryawanshi, S. (2016). A prospective study of risk factors for abdominal wound dehiscence. International Surgery Journal, 4(1). DOI : 10.18203/2349-2902.isj20163983.

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 213: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

182 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Meena, K., Ali, S., Chawla, A.S., Aggarwal, L., Suhani, S., Kumar, S., & Khan, R, N. (2013). A Prospective Study of Factors Influencing Wound Dehiscence after Midline Laparotomy. Surgical Science, 4, 354–358.

Meilany, T.A., Alexandra., Arianto, A., Bausat, Q., Endang., Prihartono, J., & Sjarif, D.R.. (2012). Pengaruh Malnutrisi dan Faktor lainnya terhadap Kejadian Wound Dehiscence pada Pembedahan Abdominal Anak Pada Periode Perioperatif. Sari Pediatri. 14(2).

Murtaza, B., Seed, S., & Sharif, M. A. (2010). Post Operative Complications in Emergency Versus Elective Laparotomies at a Peripheral Hospital. J Ayub Med Coll Abbottabad, 22(3).

National Institute for Health and Clinical Excellence. (2008). Surgical Site Infection: Prevention and Treatment of Surgical Site Infection Clinical Guideline 74. NICE. London

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC.

Ramneesh, G., Sheerin, S., Surinder, S., &Bir, S. (2014). A Prospective Study of Predictors for Post Laparotomy Abdominal Wound Dehiscence. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 8(1), 80–83.

Ramshorst, G. H., Nieuwenhuizen., Hop, W.C.J., Arends, P., Boom, J., Jeekel, J., & Lange, J.F. (2010). Abdominal Wound Dehiscence in Adults : Development and Validation of a Risk Model. World Journal Surgical, 34, 20–27. Doi : 10.1007/s00268-009-0277-y.

Ramshort, G. H., Eker, H. H., Voet, J. A., Jeekel, J., & Lange, J. F. (2013). Long-Term Outcome Study in Patients with Abdominal Wound Dehiscence : a Comparative Study on Quality of Life, Body Image, and Incisional Hernia. Gastrointest Surg, 17, 1477–1484.

Ramshorst, G. H., Hansen, B.E., Jeekel, J., Hovius, S.E.R., & Lange, J.F. (2014). A 1,000 laparotomy prospective cohort study

on abdominal wound dehiscence: high morbidity might be improved. Wound Failure in laparotomy : new insights, 51–76. ISBN: 978-94-6108-570-2.

Shammary, S.A. (2012). Risk Factors of Abdominal Wound Dehiscence : Evaluation and Outcome. iraqi J Med SCI, 10(4).

Shanmugam, V.K., Fernandez, S., Evans, K.K., McNish, S., Benerjee, A., Couch,

Sivender, A., Ilaiah, M., &Reddy, S. (2015) A Clinical Study on risk factors causing abdominal wound dehiscence and management. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences, 14(10), 18–23.

Smeltzer, S.C., &Bare, B.G. (2010). Post operative nursing wound management. In Brunner & Suddart's Textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). Philadelphia: J.B. Lippincott Company.

Sorensen, L. T., Hemmingsen, U., Kallehave, F., Jorgensen, P.W., Kjoergaard, J., Moller, L.N., & Jorgensen, T. (2005). Risk Factor for Tissue and Wound Complications in Gastrointestinal Surgery. Anns of Surgery, 241(4,). Doi: 10.1097/01.

Sorensen, L.T. (2012). Wound Healing and Infection Surgery : The Clinical Impact of Smoking and Smoking Cessation : A Systematic Review and Meta-analysis. Arc Surg, 147(4):37–383.

Spiliotis, J., Tsiveriotis, K., Datsis, A.D.,Vaxevanidou, A., Zacharis, G., Konstantinos, G.,... Rogdakis, A. (2009). Wound Dehiscence : is still a problem in the 21th century : a restropective study. World Journal of Emergency Surgery, 4(12), 1–5. doi:10.1186/1749-7922-4-12.

Wolfram, D., Tzakhonvand, A., & Kalzer, H.P. (2009). Hypertropic Scars and Keloids Review of Their Pathophysiology, Risk Factors, and Therapeutic Management. Dermatol Surg 35, 171–181.

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 214: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

183JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Waqar, S., Malik, Z., Razzaq, A., Abdullah, M., Shaima, A., & Zahid, M. (2005). Frequency and risk factors for wound dehiscence/burst abdomen in midline laparotomies. Journal Ayub Medical College Abottabad, 17(4), 70–73.

Yadi, M. (2011). Wound Dehiscence Paska Bedah Caesar Pada Rumah Sakit DR. Kariadi Semarang. jurnal Health & Sport, 3(1), 199–284.

Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence

Page 215: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

214 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual pada Keluarga Pasien Stroke

Muhamad Zulfatul A’la1, Iyus Yosep2, Hana R. Agustina2

1PSIK, Universitas Jember, 2Fakultas Keperawatan Universitas PadjadjaranEmail: [email protected]

Abstrak

Spiritualitas adalah faktor protektif dalam proses berduka pada keluarga pasien kronis. Bereavement life review adalah salah satu intervensi dalam penguatan spiritual keluarga pasien penyakit kanker. Stroke dan kanker adalah penyakit kronis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh bereavement life review pada kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke. Desain penelitian ini adalah quasi-eksperimental dengan pretest posttest control group. Sampel yang digunakan adalah salah satu keluarga pasien stroke yang merawat pasien di rumah sakit. Sehingga didapatkan sampel sebanyak 28 responden dengan 14 kelompok kontrol dan 14 kelompok intervensi. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan consecutive sampling. Kelompok intervensi mendapatkan bereavement life review dengan dua sesi yang dilakukan oleh spesialis keperawatan jiwa. Kesejahteraan spiritual diukur menggunakan instrumen SWBS (spiritual well-being scale). Analisis data menggunakan dependent t-test, Mann Whitney dan Wilcoxon. Uji homogenitas memerlihatkan tidak satupun karekteristik responden antara kelompok intervensi dan kontrol berbeda secara signifikan (p > 0,05). Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan skor rerata postest kesejahteraan spiritual pada kelompok kontrol dengan kelompok intervensi (98,71 ± 3,65 dan 106,5 ± 1,83; p = 0,000). Terdapat perbedaan skor rerata kesejahteraan spiritual pada pretest dengan posttest pada kelompok intervensi (99,07 ± 2,95 dan 106,5 ± 1,83; p = 0,001). Proses bereavement life review merupakan proses peningkatan spiritual melalui proses rekontekstualisasi, memaafkan terhadap diri, dan refleksi yang membentuk penguatan koping sehingga muncul pemaknaan terhadap diri sendiri. Dapat disimpulkan bereavement life review berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke. Bereavement life review dapat digunakan sebagai intervensi perawatan pasien stroke dan keluarga. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melihat pengaruh bereavement life review untuk penyakit kronis yang lain, seperti diabetes melitus atau kanker. Selain itu, indikator psikologis pasien dan keluarga sebagai output intervensi perlu dikaji lebih mendalam.

Kata kunci: Bereavement life review, keluarga pasien stroke, keperawatan spiritual, kesejahateraan paliatif.

Influence of Bereavement Life Review on Spiritual Well-Being of Stroke Family Caregiver

Abstract

Spirituality is a protective factor of grieving process in patient and family with chronic illness. Bereavement life review is one of the interventions which is enhancing the spiritual well-being in cancer diseases. Cancer and Stroke are chronic diseases. The purpose of this study was to determine the effect of bereavement life review of the spiritual well-being of stroke family. Quasi-experimental with pretest posttest control group used in study. Sample in this study are stroke family who caring the stroke patient in hospital which is 28 respondents. The intervention group was given bereavement life review with two sessions which given by expert in psychiatric nursing. Spiritual well-being was measured by SWBS (spiritual well-being scale). Data analysis were using a dependent t-test, Mann Whitney and Wilcoxon. Homogenity of respondent characteristics showed that it have not correlation between control and intervention group (p > 0,05). The study showed the difference in the mean posttest scores of spiritual well-being of the control group with the intervention group (98.71 ± 3.65 and 106.5 ± 1.83, p = 0.000). There were differences in the mean scores pretest to posttest spiritual well-being in the intervention group (99.07 ± 2.95 and 106.5 ± 1.83, p = 0.001). Bereavement life review is a process of enhancing spirituality through recontextualization, forgiveness, and reflection proccess that strengthening coping process. Bereavement life review has positive effect on the spiritual well-being of the stroke family which can be considered as an intervention in the treatment of stroke patients and families. Further study know the effect of bereavement life review in other chronic diseases patient, like hypertension or diabetes mellitus. Moreover, other psychological outcome for this intervention needs to be explored.

Keywords: Bereavement life review, palliative care, spiritual well-being, stroke family.

Page 216: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

215JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pendahuluan

Perkembangan keperawatan paliatif kekinian berkembang pesat dengan banyaknya penyakit terminal dengan kebutuhan perawatan end-of-life (Morton & Fontaine, 2005). Keperawatan paliatif juga mengarahkan terhadap perawatan yang berfokus terhadap keluarga. Keluarga dianggap sebagai elemen penting dalam proses perawatan terhadap pasien dalam keadaan terminal untuk menuju kematian yang damai. Selain penyakit kanker, penyakit stroke merupakan permasalahan utama dalam perawatan paliatif (Stevens, Payne, Burton, Addington-Hall, & Jones, 2007).

Stroke adalah salah satu masalah kesehatan yang serius. Tahun 2015, World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 20 juta orang yang akan meninggal karena stroke. Proporsi kematian stroke adalah 15,4% pada tahun 2007. Satu dari tujuh orang meninggal karena penyakit stroke (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Stroke sering terjadi mendadak dan tidak terprediksi (Iosif, Papathanasiou, Staboulis, & Gouliamos, 2012). Hal ini membawa dampak yang berat bagi keluarga, terutama pasangan hidupnya (Wallace & Christianna, 2008). Seperti halnya penelitian Wilz dan Kalytta (2008) yang dilakukan pada 114 pasangan pasien yang mengalami stroke, prevalensi kejadian kecemasan keluarga mencapai 27,6%–28,9%. Hasil penelitian Daulay, Setiawan, & Febriani (2014) secara kualitatif juga menunujukkan bahwa keluarga dengan pasien stroke mengalami masalah fisik, psikologis dan sosial yang berat. Apabila tidak dicegah, kondisi ini akan mengakibatkan permasalahan yang lebih serius, antara lain munculnya post traumatic distress syndrome (PTSD) dan penyakit kardiovaskular akibat psikologis yang berlebihan.

Kecemasan adalah salah satu faktor penyebab timbulnya distress spiritual keluarga dan pasien stroke (Crowe et al., 2015). Distress spiritual juga memberikan dampak yang buruk bagi keluarga pasien dengan penyakit kronis. Distress spiritual dapat menurunkan dukungan keluarga, sehingga memengaruhi kualitas hidup pasien dengan penyakit kronis (Clarke, 2009).

Masalah spiritual merupakan masalah

mandiri keperawatan dan diselesaikan dengan intervensi mandiri (Willey, 2013). Dukungan spiritual tidak hanya terbatas dalam praktik keagamaan seperti halnya membaca kitab suci maupun berdoa, akan tetapi dukungan spiritual juga mengacu pada menenangkan, menghibur, mendengarkan, menghormati privasi, serta membantu mencari makna dan tujuan hidup keluarga. Depresi adalah salah satu faktor yang memengaruhi spiritual (Strada-Russo, 2006).

Intervensi dalam peningkatan spiritual keluarga pasien stroke merupakan hal yang perlu dikembangkan. Life review adalah sebuah bentuk intervensi yang efektif dalam upaya peningkatan kesejahteraan spiritual. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa life review efektif dalam mendorong proses berduka pasien yang efektif. Seperti dalam penelitian Ando et al. (2010) menyebutkan bahwa life review jangka pendek efektif dalam peningkatan kesejahteraan spiritual pasien dengan penyakit terminal, dan menurunkan distress psikososial dan mengantarkan ke kematian yang sejahtera.

Bereavement life review merupakan pengembangan life review dan spesifik digunakan untuk keluarga yang mengalami proses berduka. Hal yang ditambahkan dalam bereavement life review adalah adanya visualisasi autobiografi menggunakan album kehidupan. Visualisasi tersebut diharapkan mampu menjadikan pasien lebih mampu melihat kehidupannya bernilai. Kehidupan yang bernilai mampu meningkatkan kesehatan mental keluarga dan dapat meningkatkan kualitas perawatan terhadap pasien (Ando, Morita, & Miyashita, 2010).

Pengembangan bereavement life review belum melihat bagaimana intervensi tersebut efektif dalam mencegah proses berduka yang tidak efektif. Penelitian Ando, Morita, dan Miyashita (2010) hanya melihat efek bereavement life review setelah keluarga melalui proses berduka pada pasien dengan penyakit kanker. Berduka yang tidak efektif bisa muncul akibat persiapan berduka yang buruk (Strada-Russo, 2006). Persiapan yang baik adalah persiapan pada keluarga yang akan mengalami proses berduka akibat kematian yang diakibatkan oleh penyakit stroke (Iosif et al., 2012). Persiapan yang baik dapat dilakukan melalui upaya peningkatan

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 217: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

216 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

spiritual dan penurunan kecemasan. Salah satu intervensi keperawatan yang berpotensi meningkatkan komponen tersebut adalah reminiscence therapy (Stuart, 2013). Bereavement life review merupakan pengembangan dari reminiscence therapy (Ando, Sakaguchi, Shiihara, & Izuhara, 2013).

Bereavement life review merupakan intervensi yang prosesnya adalah dengan mencari dan menggali makna hidup individu sehingga makna spiritualitas pasien atau keluarga dapat meningkat, namun hanya pada pasien kanker. Bereavement life review juga merupakan intervensi yang mudah, cepat, dan dapat dilakukan oleh perawat yang terlatih (Ando et al., 2013). Namun, hasil telaah literatur, belum menemukan penelitian mengenai efektifitas bereavement life review yang spesifik untuk keluarga pasien stroke.

Melihat data dan fakta di atas peneliti ingin melihat efektifitas bereavement life review terhadap kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bereavement life review terhadap kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke di RSD dr. Soebandi Jember.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi eksperimental yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu satu variabel bebas dan satu variabel tergantung. Variabel terikat penelitian ini adalah tingkat kesejahteraan spiritual yang diukur menggunakan kuesioner SWBS (spiritual well-being scale) pada keluarga pasien dengan stroke (Paloutzian, Bufford, & Wildman, 2012). Sedangkan variabel bebas pada penelitian ini adalah intervensi bereavement life review. Intervensi bereavement life review dilakukan oleh seorang ners spesialis keperawatan jiwa atau ners generalis dengan sertifikasi life review dan dilakukan di ruang tertutup untuk menjaga privasi responden. Intervensi bereavement life review dilakukan selama dua sesi. Sesi pertama adalah sesi penggalian dengan beberapa pertanyaan yang diadopsi

dari penelitian Ando, Morita, dan Miyashita (2010) yang terdiri dari: 1) Apa yang menurut Anda paling terpenting dalam kehidupan Anda, berikan alasannya?, 2) Hal apa yang menurut Anda yang paling berkesan dari pasien sampai saat ini?, 3) Sampai saat ini, ketika merawat pasien apa yang paling berkesan menurut Anda?, 4) Hal apa yang menjadikan diri Anda bangga dalam merawat pasien sampai saat ini?, 5) Hal apa yang berperan terhadap kehidupan Anda?, 6) Apa yang Anda banggakan di hidup Anda?. Hasil wawancara dengan pasien direkam. Sesi pertama dilakukan selama kurang lebih satu jam, mulai dari prainteraksi sampai terminasi dalam tahapan komunikasi terapeutik. Setelah wawancara sesi pertama selesai, terapis mentranskripsi hasil wawancara dan peneliti membuat suatu mini album, kata kunci dari pertanyaan digambarkan di dalam album dan diberikan kepada pasien. Sesi kedua dilakukan satu minggu setelah sesi pertama. Sesi kedua peneliti dan terapis mendampingi keluarga untuk melihat album yang telah dibuat peneliti. Sesi kedua dilakukan kurang lebih satu jam. Setiap responden melewati sesi pertama dan kedua sebanyak satu kali.

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Daerah (RSD) Subandi, Kabupaten Jember di Ruang Melati (Ruang Neurologi). RSD dr. Subandi merupakan rumah sakit rujukan wilayah timur Propinsi Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, bulan April sampai Juni 2014.

Populasi yang ditargetkan pada penelitian ini adalah keluarga pada pasien dengan stroke yang dirawat di RSD Soebandi Jember. Sampel dipilih dengan cara consecutive sampling, yaitu jumlah sampel yang dipilih dari urutan pasien yang dirawat. Penentuan sampel menggunakan kriteria inklusi: 1) keluarga pada pasien dengan diagnosis stroke oleh dokter yang dirawat lebih dari dua hari, 2) keluarga adalah orang yang terdekat yaitu suami/istri pasien, atau anak kandung pasien atau adik/kakak kandung pasien, 3) keluarga yang bisa membaca dan menulis, dan 4) keluarga yang tidak mengalami gangguan jiwa. Sedangkan kriteria eksklusi adalah keluarga yang tidak mengikuti program sampai selesai. Jumlah sampel yang dipakai berdasarkan penelitian Ando, Minota,

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 218: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

217JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Shibukawa, dan Kira (2012). Perhitungan jumlah sampel menggunakan rumus power analysis, dengan rumus sebagai berikut: Keterangan :

2

21)(2

−+

=XX

SBZZn βα

n : Besar sampelS : Simpang baku x1-x2 : Perbedaan rerata kesejahteraan spiritual antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.Zα : kesalahan tipe I (5% =1,96)Zβ : kesalahan tipe II (10% = 0,84 )

Berdasar pada penelitian yang dilakukan Ando, Minota, Shibukawa, & Kira (2012) perbedaan rata-rata kesejahteraaan spiritual antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah 10, simpangan baku (SB) adalah 8,3. kesalahan tipe I 5% hipotesis satu arah (Zα=1,96), dan kesalahan tipe II sebesar 10% (Zβ = 0,84) didapatkan jumlah sampel sebesar 12.Untuk mengantisipasi subjek dengan drop out, loss to follow up, atau subjek yang tidak taat, dilakukan koreksi besar sampel dengan rumus (Sugiyono, 2009) :an’ = n/(1-f)

keterangan :n = 12f = perkiraan proporsi subjek yang DO = 10%

Dengan menggunakan rumus koreksi besar sampel, didapatkan hasil besar sampel sebanyak 13,3 dan dibulatkan menjadi 14 orang responden. Sehingga sampel yang digunakan adalah total 28 orang dengan 14 orang kelompok intervensi dan 14 orang kelompok

Responden kelompok kontrol dan intervensi akan mendapatkan pre-test untuk melihat kesejahteraan spiritual menggunakan spiritual Well Being Scale (SWBS). SWBS terdiri dari dua subskala, Religion well-being (RWB) dan Exstensional Well-being (EWB). Masing-masing subskala terdiri dari 10 item pernyataan. Total item pernyataan SWBS sebanyak 20 item. Subskala RWB terdapat pada item pernyataan nomor 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, dan 19. Subskala EWB terdapat

pada item 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, dan 20. Pernyataan unfavourabel terdiri dari sembilan item yaitu item nomor 1, 2, 5, 6, 9, 12, 13, 16 dan 18. Setiap item pernyataan memiliki nilai 1–6. Penilaian untuk pernyataan favourable adalah: sangat tidak setuju (STS) dinilai 1, Cukup tidak setuju (CTS) dinilai 2, tidak setuju (TS) dinilai 3, setuju (S) dinilai 4, cukup setuju (CS) dinilai 5, dan sangat setuju (SS) dinilai 6. Sedangkan penilaian untuk unfavourable adalah sebaliknya. Hasil akhir adalah skor kesejahteraan spiritual, dimana total skor kesejahteraan spiritual antara 20–120, semakin tinggi skor mencerminkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan spiritual responden. SWBS telah banyak dikembangkan dalam beberapa bahasa antara lain, Indonesia, Malaysia, spanyol, Portugis, China dan Arab. Masing-masing negara telah menguji validitas dari SWBS ini. Hasil penulusuran literatur didapatkan tiga bahasa yang telah di validasi terjemahan SWBS yaitu Arab, Inggris dan Malaysia, dengan nilai r > 0,80 (Imam, Noor, Abdul, Nor, & Jusoh, 2009; Musa & Pevalin, 2012). Kelompok intervensi setelah pre-test mendapatkan intervensi bereavement life review satu kali dalam dua sesi selama satu minggu. Setelah sesi kedua, responden langsung mendapatkan postest dengan kuesioner yang sama. sedangkan kelompok kontrol mendapatkan intervensi bereavement life review setelah diberikan posttest. Jarak antara pretest dan posttest pada kelompok kontrol adalah sama dengan kelompok intervensi, yaitu satu minggu. .

Hasil Penelitian

Karakteristik responden dalam penelitian ini mencakup umur, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, riwayat pekerjaan, pendapatan per bulan, hubungan dengan pasien dan lama menunggu, karakteristik responden tersebut merupakan faktor pengganggu dalam efektifitas pemberian berevement life review (Ando, Sakaguchi, et al., 2013). Uji homogenitas antara kelompok kontrol dan intervensi juga diperlukan untuk mengurangi bias dalam penelitian (Polit & Beck, 2009). Karakteristik responden terlihat pada tabel 1. Tabel. 1 dan tabel 2 menunjukkan

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 219: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

218 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Tabel 1 Distribusi Frekuensi pada Karekteristik Jenis Kelamin, Status Pernikahan, Pendidikan, Riwayat Pekerjaan, Pendapatan per Bulan, Hubungan dengan Pasien dan Uji Homogentitas pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol (n = 28)

KarekteristikKelompok Kontrol (n = 14) Kelompok Intervensi (n = 14)

Nilai pJumlah % Jumlah %

Jenis Kelamin Laki-laki 2 14,3 3 21,41,0001

Perempuan 12 85,7 11 78,6

Status Pernikahan

Kawin 13 92,9 9 64,30,1671

Tidak Kawin 1 7,1 5 35,7

Pendidikan

Tidak Sekolah 0 0,0 0 0,0

0,8212

SD/Sederajat 1 7,1 2 14,3SMP/Sederajat 3 21,4 3 21,4

SLTA/Sederajat 9 64,3 7 50,0

Diploma/lebih tinggi 1 7,1 2 14,3

Riwayat Pekerjaan

Tidak Bekerja 12 85,7 8 57,10,0682Swasta 1 7,1 6 42,9

Petani 1 7,1 0 0,0

Pendapatan per Bulan

Tinggi 0 0,0 0 0,01,0001Sedang 12 85,7 11 78,6

Rendah 2 14,3 3 21,4

Hubungan dengan Pasien

Suami/Istri 3 21,4 4 28,6

0,5332

Adik/Kakak Kandung 1 7,1 0 0,0

Anak Kandung 10 7,14 9 64,3

Orang Lain 0 0,0 1 7,1

Tabel 2 Rata-rata, Standar Deviasi, dan Nilai Min-Max pada Karekteristik Umur dan Lama Menunggu serta Uji Homogentitas pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol (n = 28)

Karekteristik Kelompok Kontrol (n = 14) Kelompok Intervensi (n = 14) Nilai pRata-rata (Standar Deviasi)

Min–Max Rata-rata (Standar Deviasi)

Min–Max

Umur (dalam tahun)

39,14 (5,37) 29–48 39,28(5,82) 28–48 0,9471

Lama Menunggu (dalam hari)

3,28 (0,47) 3–4 3,14 (0,36) 3–4 0,3662

1 uji t tidak berpasangan2 uji Mann-Whitney

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 220: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

219JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Tabel 3 Perbedaan Rerata Skor Kesejahteraan Spiritual Sebelum dan Sesudah Bereavement Life Review

Kesejahteraan Spiritual

Kelompok T/Z Nilai p Perbedaan rerata (CI 95%)Intervensi (n

= 14)Kontrol (n =

14)Rerata pre-test 99,21 99,07 Z = -0,232 0,8171 -Rerata (SD) post-test

106,5 (1,83) 98,71 (3,64) T = -7,786 0,0002 -7,78 (-10,06–5,504)

1uji Mann-Withney2uji t tidak berpasangan (df = 19,153)

Tabel 4 Perbedaan Rerata pada Pretest dengan Posttest Skor Kesejahteraa Spiritual KeluargaKelompok Rerata (SD) T/Z Nilai p Perbedaan rerata (CI

95%)Pretest PosttestIntervensi (n = 14)

99,07 106,5 Z = -3,307 0,0011 -

Kontrol (n = 14)

99,21 (2,83) 98,71 (3,65) T = 0,82 0,4262 0,5 (-0,82) – (1,82)

1Uji Wilcoxon2Uji t berpasangan (df = 13)

Tabel 5 Uji Statistik Perbedaan Peningkatan (Δ Pretest dan Posttest) Skor Kesejahteraan SpiritualKelompok Perbedaan Peningkatan (Δ

Pretest dan Posttest) Skor Kesejahteraan Spiritual

t Nilai p Perbedaan rerata (CI 95%)

Mean SDKontrol (n=14) 0,5 2,28 8,76 0,000* 7,93 (6,06–9,78)Intervensi (n=14)

-7,43 2,50

*Uji t tidak berpasangan (df = 26)

bahwa tidak satupun karakteristik responden antara kelompok intervensi dan kontrol berbeda secara signifikan (p>0,05).

Perbedaan rerata skor kesejahteraan spiritual sebelum dan sesudah bereavement life review pada kelompok kontrol dengan kelompok intervensi di rsd dr. soebandi jember terlihat pada tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan bahwa skor pre-test kesejahteraan spiritual pada kelompok kontrol lebih rendah dibanding kelompok intervensi, namun tidak berbeda signifikan secara statistik (p = 0,817). Adapun skor post test kelompok intervensi secara signifikan lebih tinggi – yang bermakna spiritual lebih baik dibanding skor post test kelompok kontrol (p = 0,000).

Perbedaan rerata pada pre-test dengan post-

test dari skor kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di rsd dr. soebandi jember terlihat pada tabel 4. Tabel. 4 memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan rerata pre-test dan post-test kesejahteraan spiritual pada kelompok intervensi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai p=0,001 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan rerata skor pre-test dan post-test kesejahteraan spiritual pada kelompok intervensi. Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa terdapat tidak ada perbedaan rerata pre-test dan post-test kesejahteraan spiritual pada kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p=0,426 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa tidak terdapat

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 221: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

220 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

perbedaan rerata pre-test dan post-test pada kelompok kontrol. Interpretasi nilai CI 95% berarti bahwa dengan tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa selisih skor pre-test dan post-test tingkat kesejahteraan spiritual keluarga kelompok kontrol adalah antara -0,82 dan 1,82.

Perbedaan peningkatan (δ pre-test dan post-test) skor kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan rerata dari perbedaan peningkatan (Δ pre-test dan post-test) skor kesejahteraan spiritual pada kelompok intervensi dan kontrol (p=0,000). Interpretasi nilai CI 95% berarti bahwa dengan tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa selisih skor perbedaan peningkatan (Δ pre-test dan post-test) skor kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke pada kelompok intervensi dan kontrol adalah 6,06 dan 9,78. (mohon maaf, untuk tabel ini adalah data selisih, jadi skor pre test dikurangi skor post test. Hasil pengurangan tersebut dicari rata-ratanya, sehingga disebut dengan delta, ini hanya untuk memperkuat data-data sebelumnya, mungkin mohon masukan dari reviewer, apakah perlu dimasukkan juga atau tidak, terimakasih).

Pembahasan

Karakteristik RespondenKarakteristik responden pada kelompok kontrol dan intervensi terbanyak adalah dengan jenis kelamin perempuan, menikah dan tidak bekerja serta merupakan anak kandung dari pasien. Perempuan rumah tangga terbiasa melakukan aktifitas merawat suami atau ibu saat dirawat di rumah sakit. Penelitian Ando, Morita, & Miyashita (2010) yang dilakukan di Jepang terhadap keluarga pasien terminal, responden terbanyak juga adalah perempuan.

Uji homogenitas menununjukkan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik responden (umur, lama menunggu, status perkawinan, pendidikan, riwayat pekerjaan, pendapatan perbulan dan hubungan keluarga) antara kelompok kontrol dan intervensi. Tidak adanya perbedaan ini memberikan gambaran

bahwa faktor-faktor yang memengaruhi spiritual dapat dikontrol dan risiko bias responden bisa dikurangi.

Seperti dalam penjelasan sebelumnya agama, umur, lama menunggu, status perkawinan, pendidikan, riwayat pekerjaan, pendapatan perbulan dan hubungan keluarga adalah faktor yang memengaruhi kesejahteraan spiritual. Sebagai upaya menurunkan bias penelitian, peneliti membatasi umur responden, lama menunggu dan kedekatan keluarga, dan agama sehingga data bersifat homogen.

Agama sebagai aspek penting spiritual sangat memengaruhi spiritual (White, Peters, & Schim, 2011). Dalam pemahaman spiritual sangat dipengaruhi agama seseorang. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah responden yang beragama Islam, sehingga hasil yang dicapai akan homogen.

Umur akan memengaruhi spiritualitas. Penelitian ini menggunakan rentang umur dalam tahap perkembangan dewasa, hal ini dikarenakan pada tingkat perkembangan dewasa, spiritualitas individu telah matang dan membutuhkan peningkatan dalam upaya menemukan makna hidup dan mempersiapkan masa tuanya (Stuart, 2013).Lama menunggu dan kedekatan keluarga adalah faktor yang memengaruhi spiritul dari aspek hubungan sosial. Lama menunggu memperlihatkan kedekatan keluarga dengan pasien, sedangkan hubungan keluarga menggambarkan hubungan secara kedekatan dengan pasien. Tingkat sosial akan memengaruhi spiritual, tingkat sosial yang baik akan memengaruhi spiritual individu (Stuart, 2013).Bereavement life review

Ando, Morita, & Miyashita (2010) menyebutkan bahwa bereavement life review efektif dalam meningkatkan spiritualitas pada keluarga pasien kanker stadium terminal. penelitian tersebut dilakukan di rumah paliatif di Jepang. Hasil penelitian terdapat peningkatan rerata kesejahteraan spiritual pada sebelum dan sesudah pemberian intervensi bereavement life review (19,9±5,8 ke 22,8±5,1;p=0,028). Life review sebagai intervensi dalam peningkatan spiritual juga telah diberikan terhadap pasien kanker stadium akhir dalam peningkatan spiritualitasnya. Ando, Morita, Akechi, & Okamoto (2010)

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 222: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

221JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

membuktikan dalam penelitiannya di pusat paliatif di Jepang bahwa terdapat juga peningkatan kesejahteraan spiritual setelah pemberian life review ( 17,2±6,9 ke 22,5±49; p=0,000), namun penelitian ini dilakukan terhadap pasien terminal.

Ando, Sakaguchi, et al., (2013) dalam penelitiannya yang lain membuktikan bahwa bereavement life review juga dapat diaplikasikan terhadap keluarga pasien selain keluarga pasien kanker. Hasil penelitian Ando, Sakaguchi, et al., (2013) menyimpulkan bahwa peningkatan kesejahteraan spiritual pada keluarga pasien kanker dan non kanker setelah intervensi bereavement life review digambarkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,34). Penggunaan bereavement life review dapat digunakan dalam semua jenis kondisi atau setting dari keluarga. kanker adalah penyakit terminal dan membutuhkan perawatan paliatif, sehingga beberapa penyakit terminal lain dengan kemungkinan perlu perawatan paliatif (Stroke dan Diabetes Mellitus) dapat menggunakan bereavement life review dalam salah satu intervensinya.

Bereavement life review fokus terhadap pendampingan pada keluarga dengan pendekatan family-centered care. Pendampingan keluarga dan peningkatan spiritualitas keluarga adalah salah satu upaya penerapan family-centered care pada pasien stroke dan keluarga (Payne, Burton, Addington-Hall, & Jones, 2010). Saat kondisi menghadapi kematian, bereavement care merupakan pendampingan dan dukungan mental spiritual kepada keluarga yang akan ditinggal dan setelah ditinggal pasien (Nurbani, 2009). Stevens, et al., (2007) tiannya menyebutkan bahwa family-centered care dan bereavement care adalah implementasi perawatan paliatif pada pasien stroke.

Family Focused Grief Therapy (FFGT) adalah sebuah bentuk pendampingan pada keluarga pasien dalam menghadapi berduka (Kissane et al., 2006). FFGT dan bereavement life review ini memiliki kesamaan dalam prosesnya. Pelaksanaan kedua terapi ini menggunakan pendekatan konsep pendampingan sehingga menghasilkan pemaknaan keluarga terhadap kematian dan kesakitan. Proses pemaknaan hidup tersebut

sangat berpengaruh terhadap aspek psikologis maupun aspek fisik dari keluarga tersebut. Namun, bereavement life review mempunyai kelebihan dalam prosesnya karena lebih cepat dan lebih mudah untuk diaplikasikan kepada pasien dalam peningkatan spiritual, sedangkan FFGT mempunyai kelemahan waktu yang lama dan lebih sulit dalam mengaplikasikan di tatanan klinik.Kesejahteraan Spiritual Keluarga Pasien Stroke

Kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke dalam penelitian ini terdapat dua aspek yang mengalami peningkatan akibat intervensi bereavement life review, aspek eksistensial dan aspek religiusitas (Paloutzian et al., 2012). Aspek eksistensional meningkat akibat dari peningkatan self relience. Kesejahteraan spiritual adalah proses saat individu memandang tentang harapan yang terlihat. Kesejahteran spiritual dapat dinilai secara kuantitatif yang disajikan dalam skor ataupun dinilai secara kualitatif dalam bentuk narasi (Paloutzian et al., 2012). Kesejahteraan Spiritual merupakan aspek penyembuhan bagi pasien dan keluarga dengan penyakit kronis (Nuraeni, Nurhidayah, Hidayati, Windani, & Sari, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk melihat peningkatan kesejahteraan spiritual sehingga akan lebih terlihat ketika menggunakan skor untuk menggambarkan terjadinya peningkatan atau penurunan kesejahteraan spiritual.

Aspek agama (religious) dalam kesejahteraan spiritual sangat dipengaruhi oleh kepercayaan dan doktrin agama dari individu, terkait hubungannya dengan sang pencipta. Dalam menghindari adanya bias seleksi dalam penelitian ini, semua responden adalah yang beragama Islam, sehingga proses intervensi, responden mempunyai latar belakang yang sama terhadap keyakinan dan doktrin yang didapat.

Bereavement life review dalam Islam sejalan dengan konsep muhasabah. Muhasabah dapat diartikan sebagai merupakan suatu sikap yang selalu menghitung/menghisab (layak atau tidak) bertentangan dengan kehendak Allah, sehingga terhindar dari perasaan bersalah yang berlebihan, cemas, dan lain sebagainya. Individu akan mengetahui kekurangan-kekurangan dan kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya serta mengetahui hak

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 223: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

222 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Allah atas dirinya saat proses bermuhasabah (Anam, 2012). Proses bereavement life review juga melihat masa lalu untuk mendapatkan pemaknaan yang baik pada masa yang akan datang, kedua proses ini merupakan hal yang sejalan dalam upaya peningkatan spiritual.

Keluarga pasien stroke mempunyai kekhasan sendiri dalam merawat pasien. Menurut Iosif, Papathanasiou, Staboulis, & Gouliamos (2012) stroke adalah penyakit yang mendadak dan tiba-tiba terkadang keluarga masih belum siap terhadap apa yang terjadi pada pasien. Stressor yang unik ini membutuhkan intervensi dengan pendekatan individu. Hal ini merupakan proses berduka yang perlu diselesaikan dalam peningkatan kualitas hidup keluarga dan kualitas perawatan keluarga yang diberikan kepada pasien. Peningkatan spiritual ini merupakan upaya dalam membawa proses berduka menuju berduka yang efektif dan tidak terjadi maladaptif. Spiritualitas ini adalah sebagai upaya protektif dalam pencegahan kejadian yang tidak diinginkan akibat berduka yang tidak efektif, seperti PTSD dan kejadian penyakit kardiovaskuler (Houwen et al., 2010). Hasil rerata pre-test skor kesejahteraan spiritual responden pada kelompok kontrol dan intervensi dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan stressor stroke ini berdampak terhadap kesejahteraan spiritual pasien.Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual Keluarga Pasien Stroke

Pengaruh bereavement life review terhadap kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke pada hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh Bereavement life review terhadap spiritual keluarga pasien stroke. Pengaruh ini terlihat dari adanya perbedaan post-test skor SWBS pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. peningkatan perbedaan (Δ pre-test dan post-test) skor SWBS juga terlihat terdapat perbedaan pada kelompok kontrol dan intervensi. Pada Penelitian di Jepang, Bereavement life review memengaruhi spiritual keluarga pasien dengan penyakit kronis (Ando, Morita, & Miyashita, 2010; Ando, Sakaguchi, et al., 2013). Bereavement life review memengaruhi spiritual keluarga pasien stroke melalui setiap tahapan konsep bereavement life review. Setiap tahapan dari bereavement life

review dapat membentuk aspek spiritual baik eksistensional dan religiusitas keluarga pasien stroke. Tahap dalam bereavement life review meliputi rekonstektualisasi, memaafkan terhadap diri individu dan proses refleksi (Garland & Garland, 2005). Ketiga tahap ini mempunyai karakteristik yang berbeda dalam individu dan merupakan proses yang dilewati dalam proses bereavement life review.

Proses rekontekstualisasi terbentuk saat responden dan terapis melakukan interaksi pada pertemuan pertama. Menurut Ando, Morita & Miyashita (2010) tahap rekonstektualisasi dalam bereavement life review muncul ketika responden mampu membentuk lingkungan yang membuat responden melupakan sedikit kesedihannya. Tahap rekontekstualisasi adalah proses penguatan tahap acceptance dalam tahapan berduka, respon individu dalam rekontekstualiasi akan lebih cepat ketika individu telah dalam tahap acceptance. (Jenko, Gonzalez, & Alley, 2010).

Tahap kedua adalah memaafkan terhadap diri individu (forgiving). Proses ini merupakan upaya peningkatan kemampuan koping individu dalam menghadapi proses berduka dan dapat meningkatkan spiritualitas (Garland & Garland, 2005). Proses memaafkan ini muncul setelah akhir sesi pertama dan menuju proses sesi ke dua. Menurut Ando, Morita & Miyashita (2010) tahap setelah pengkondisian lingkungan adalah mengingat memori yang baik dan mengevaluasi memori yang buruk. Hal ini senada dengan pendapat Garland dan Garland (2005) proses memafkan terhadap diri individu ini muncul ketika terdapat evaluasi dari memori atau hal yang berkesan dari responden saat bersama dan merawat pasien.

Proses memaafkan terhadap diri individu ini ditandai dengan peningkatan emosi, menangis dan merasakan keadaan pasien sebagai hal yang disyukuri tanpa menyalahkan diri sendiri sebagai keluarga terdekat pasien. Proses ini merupakan upaya penemuan makna hidup responden sehingga dapat menata hidup lebih baik dan meningkatkan self relience individu. Tahap memafkan ini membutuhkan waktu 2–4 hari sebagai upaya peningkatan self relience (Jenko, Gonzalez, & Alley, 2010).

Proses selanjutnya adalah refleksi.

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 224: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

223JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Refleksi muncul setelah proses memaafkan diri itu mampu memberikan suatu makna mendalam dari keluarga terhadap pasien yang sedang dirawatnya (Garland & Garland, 2005). Refleksi dalam penelitian ini dibantu dengan visualisasi berupa album mini yang dibuat sesuai dengan hasil intervensi bereavement life review. Visualisasi menurut Ando, Morita & Miyashita (2010) dapat meningkatkan spiritual sebagai pengingat terhadap siapa yang menciptakan, untuk apa dia hidup dan pengulangan terhadap apa yang telah dilakukan.

Album yang diberikan berupa gambar yang dapat meningkatkan spiritual, baik aspek religiusitas maupun aspek eksistensional. gambar yang ditampilkan berupa gambar simbol-simbol agama, dalam hal ini adalah Islam. Simbol-simbol tersebut merupakan identitas dari agama sebagai salah satu aspek religiusitas dalam konsep spiritual (Arjmandi, Tahir, Shabankareh, Shabani, & Mazaheri, 2011). Kombinasi tulisan juga ditampilkan berupa frasa pendek yang dapat terekam dengan baik oleh responden (Ando, Morita, & Miyashita, 2010). Frasa ini diproses dari rekaman bereavement life review yang telah dilewati oleh responden. Penentuan frasa dilakukan bersama terapis agar makna yang terkandung dari hasil wawancara tidak hilang. Bibliografi ini dapat menambah kemampuan refleksi dari responden sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan spiritual responden dan mempercepat proses berduka dan mencegah terjadinya berduka disfungsional.

Ke tiga tahap ini harus dilewati oleh responden untuk meningkatkan spiritualitas. Responden akan mengalami peningkatan spiritual ketika telah melewati ke tiga tahap tersebut. Saat responden mencapai tahap refleksi koping individu mulai muncul dan diperkuat dengan gambar-gambar spiritual sehingga pemaknaan hidup individu akan terbentuk. Pemaknaan hidup yang kuat adalah salah satu indikator spiritualitas indivisu meningkat. Penelitian ini memang tidak melihat secara objektif tahapan yang telah dilalui. Evaluasi yang digunakan adalah outcome terakhir berupa tingkat kesejahteraan spiritual, sehingga tidak bisa menggambarkan perjalanan secara jelas mengenai apa yang sedang dialami oleh

pasien selama terapi yang dilakukan. Proses bereavement life review ini

sangat dipengaruhi oleh keadaan awal dari responden (Ando, Sakaguchi, et al., 2013). Pasien dengan depresi akut tidak bisa dilakukan bereavement life review, perlu adanya intervensi lain untuk menenangkan individu tersebut dahulu, kemudian dilakukan intervensi bereavement life review. Bereavement life review dalam beberapa teori mampu untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual dan menurunkan depresi, namun depresi dalam konteks ini adalah depresi sedang yang bukan dalam keadaan akut (Ando, Tsuda, et al., 2013).

Proses bereavement life review juga sangat terkait dengan budaya. Penelitian dilakukan kepada pasien dengan budaya yang sama. Ahli keperawatan jiwa sebagai fasilitator bereavement life review adalah individu yang telah lama tinggal di Jember, hal ini sebagai upaya pendekatan budaya dalam proses bereavement life review. Budaya Jember sendiri menurut hasil wawancara dengan perawat ruang melati, menyebutkan bahwa individu dengan latar belakang etnis Jember lebih nyaman berdiskusi dan mengutarakan pendapat dengan orang yang mempunyai latar budaya yang sama. Keunikan etnis Jember juga adalah keterbukaan informasi akan lebih cepat diutarakan sehingga sesuai apabila menggunakan Bereavement life review dalam menggali makna hidup sebagai upaya peningkatan kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke.

Spiritual adalah aspek yang dinamis dalam suatu individu. Mempertahankan kesejahteraan spiritual agar tetap dalam keadaan baik adalah fungsi perawat dalam upaya peningkatan kualitas hidup dan sebagai faktor protektif terjadinya berduka disfungsional (Strada-Russo, 2006). Spiritual yang bersifat dinamis ini sangat memengaruhi intervensi bereavement life review ini, dalam pelaksanaannya bereavement life review perlu dilakukan berkelanjutan, tidak bisa dilakukan sekali. dalam setting klinik, bereavement life review perlu dilakukan ketika pasien telah mulai dalam keadaan penurunan harapan hidup dan menuju depresi. Pengkajian berkelanjutan juga perlu dilakukan secara berkala sebagai dasar dilakukan intervensi bereavement life review.

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 225: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

224 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Pengembangan alat ukur spiritual juga perlu dilakukan. Spiritual yang berpengaruh pada budaya merupakan hal yang perlu diperhatikan. Item pertanyaan dalam SWBS perlu pengkajian lebih dalam terkait kesesuaian dengan budaya dan agama di Jember khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Proses pengembangan kuesioner juga membutuhkan kajian riset yang mendalam sebagai upaya menjaga realibilitas dan validitas kuesioner tersebut.

Life review merupakan terapi yang telah lama dikembangkan tapi masih sangat jarang digunakan dalam setting klinik. Life review sangat potensial digunakan sebagai terapi komplementer dalam penguatan status psikologis dan status spiritual pasien maupun keluarga (Jenko, Gonzalez, & Alley, 2010). penelitian selanjutnya terkait bereavement life review perlu adanya modifikasi intervensi. Life review dapat dikombinasikan dengan pendidikan kesehatan perawatan pascastroke, hal ini dapat memperkuat status spiritual keluarga juga dapat meningkatkan pengetahuan keluarga dalam perawatan pascastroke. Bereavement life review bisa menjadi terapi yang lengkap dan dapat memberikan hasil yang maksimal bagi keluarga dan pasien.

Dampak bereavement life review yang lain terkait status kesehatan yang berkaitan dengan spiritual seperti kecemasan, depresi, kompleksitas berduka dan motivasi serta kualitas hidup belum dimunculkan dalam penelitian ini, karena tingkat kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke berkaitan dengan aspek psikologis yang lain sehingga pembahasan akan lebih komperehensif. Penelitian ini masih murni penelitian kuantitatif. Seharusnya penelitian terkait bereavement life review juga harus dikaji dari sisi kualitatif, terkait analisis data yang diungkapkan langsung oleh pasien dalam proses intervensi sehingga terlihat proses yang dilalui saat pemberian intervensi bereavement life review. Penelitian ini juga hanya terbatas terhadap keluarga pasien stroke serangan pertama dengan latar belakang etnis Jember, sehingga belum bisa untuk digeneralisir secara umum dari pengaruh bereavement life review terhadap peningkatan kesejahteraan spiritual.

Simpulan

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh dari bereavement life review sebagai terapi psikologis dalam peningkatan kesejahteraan spiritual keluarga pasien stroke. Bereavement life review memberikan efek peningkatan koping melalui proses peningkatan integritas diri sehingga dapat meningkatkan pemaknaan terhadap diri dan lingkungan. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah studi terkait intervensi bereavement life review dalam dampaknya terhadap depresi, kecemasan dan kualitas hidup keluarga dan pasien stroke.. Pengembangan penelitian keterkaitan bereavement life review dapat dilakukan dengan melihat pengaruh intervensi terhadap penyakit kronis yang lain seperti, diabetes mellitus atau hipertensi. Pengembangan indikator psikologis lain dari pengaruh bereavement life review seperti pemberdayaan, manajemen diri, efikasi diri maupun kualitas hidup juga perlu dilakukan.

Daftar Pustaka

Anam, K. (2012). Konsepsi Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tentang muhasabah. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Retrieved from: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/993.

Ando, M., Minota, H., Shibukawa, C., & Kira, H. (2012). Simple life review for terminally ill cancer patients with low cognitive function. Journal of Cancer Therapy, 3(5), 528–533. https://doi.org/10.4236/jct.2012.35068.

Ando, M., Morita, T., Akechi, T., & Okamoto, T. (2010). Efficacy of short-term life-review interviews on the spiritual well-being of terminally ill cancer patients. Journal of Pain and Symptom Management, 39(6), 993–1002. https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2009.11.320.

Ando, M., Morita, T., & Miyashita, M. (2010). Effects of bereavement life review on spiritual well-being and depression. Journal of Pain and Symptom Management, 40(3), 453–459. https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2009.12.028.

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 226: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

225JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

Ando, M., Sakaguchi, Y., Shiihara, Y., & Izuhara, K. (2013). Universality of bereavement life review for spirituality and depression in bereaved families. The American Journal of Hospice & Palliative Care. https://doi.org/10.1177/1049909113488928.

Ando, M., Tsuda, A., Morita, T., Miyashita, M., Sanjo, M., & Shima, Y. (2013). A pilot study of adaptation of the transtheoretical model to narratives of bereaved family members in the bereavement life review. The American Journal of Hospice & Palliative Care. https://doi.org/10.1177/1049909113490068.Arjmandi, H., Tahir, M., Shabankareh, H., Shabani, M., & Mazaheri, F. (2011). Psychological and spiritual effects of light and color from Iranian traditional houses on dwellers. Journal of Social Science and Humanities, 6(2), 288–301.

Clarke, J. (2009). A critical view of how nursing has defined spirituality. Journal of Clinical Nursing, 18(12), 1666–73. https://doi.org/10.1111/j.1365-2702.2008.02707.x.

Crowe, C., Coen, R.F., Kidd, N., Hevey, D., Cooney, J., & Harbison, J. (2015). A qualitative study of the experience of psychological distress post-stroke. Journal of Health Psychology. https://doi.org/10.1177/1359105315581067.

Daulay, N. M., Setiawan, S., & Febriani, N. (2014). Pengalaman Keluarga sebagai Caregiver dalam Merawat Pasien Strok di Rumah. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 2(3), 161–170.

Garland, J., & Garland, C. (2005). Life review in health and social care: A practitioner’s guide. Philadelphia: Taylor & Francis e-Library.

Houwen, K., Van Der, Stroebe, M., Stroebe, W., Schut, H., Bout, J., Van Den, & Meij, L. W.-D. (2010). Risk factors for bereavement outcome: A multivariate approach. Death Studies, 34(3), 195–220. https://doi.org/10.1080/07481180903559196.

Imam, S., Noor, I., Abdul, H., Nor, K., & Jusoh, R. (2009). Malay version of spiritual

well-being scale: Is Malay spiritual well-being scale a psychometrically sound instrument. Journal of Research in Nursing 4(1), 59–69.

Iosif, C., Papathanasiou, M., Staboulis, E., & Gouliamos, A. (2012). Social factors influencing hospital arrival time in acute ischemic stroke patients. Neuroradiology, 54(4), 361–7. https://doi.org/10.1007/s00234-011-0884-9.

Jenko, M., Gonzalez, L., & Alley, P. (2010). Life review in critical care: Possibilities at the end of life. Critical Care Nurse, 30(1). https://doi.org/10.4037/ccn2010122.

Kementerian Kesehatan RI. (2012). Gambaran penyakit tidak menular di rumah sakit tahun 2011. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, 1–48.

Kissane, D.W., McKenzie, M., Bloch, S., Moskowitz, C., McKenzie, D.P., & O’Neill, I. (2006). Family focused grief therapy: A randomized, controlled trial in palliative care and bereavement. The American Journal of Psychiatry, 163(7), 1208–18. https://doi.org/10.1176/appi.ajp.163.7.1208.

Morton, P., & Fontaine, D. (2005). Critical care nursing: A holistic approach (8th Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Musa, A., & Pevalin, D.J. (2012). An Arabic version of the spiritual well-being scale. International Journal for the Psychology of Religion, 22(2). https://doi.org/10.1080/10508619.2011.638592.

Nuraeni, A., Nurhidayah, I., Hidayati, N., Windani, C., & Sari, M. (2015). Kebutuhan Spiritual pada Pasien Kanker. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 3(2), 57–66.

Nurbani. (2009). Pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap masalah psikososial: Ansietas dan beban keluarga (caregiver) dalam merawat pasien stroke di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tesis Universitas Indonesia. Depok.

Paloutzian, R., Bufford, R., & Wildman, A.

Muhamad Zulfatul A’la : Pengaruh Bereavement Life Review terhadap Kesejahteraan Spiritual

Page 227: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

226 JKP - Volume 5 Nomor 2 Agustus 2017

(2012). Spiritual well-being scale: Mental and physical health relationship. In M. Cobb, C. Puchalski, & B. Rumbold (Eds.), Oxford Textbook of Spirituality in Healthcare. New York: Oxford University Press.

Payne, S., Burton, C., Addington-Hall, J., & Jones, A. (2010). End-of-life issues in acute stroke care: A qualitative study of the experiences and preferences of patients and families. Palliative Medicine, 24(2), 146–53.

https://doi.org/10.1177/0269216309350252.

Polit, D., & Beck, C. (2009). Nursing research: Principle and method (7th Ed.). Lippincott: William&Wilkins.

Stevens, T., Payne, S., Burton, C., Addington-Hall, J., & Jones. (2007). Palliative care in stroke: A critical review of the literature. Palliative Medicine, 21(4), 323–31. https://doi.org/10.1177/0269216307079160.

Page 228: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id
Page 229: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

DAFTAR ISI

Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada

Perawat

Iwan M. Ramdan, Abd. Rahman ................................................................ 229-241

Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis dengan Inter-Dialytic

Weight Gain (IDWG) pada Pasien Hemodialisis

Bayhakki, Yesi Hasneli .............................................................................. 242-248

Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan

Masyarakat (IPKM) untuk Meningkatkan Nilai Sub-Indeks

Penyakit Menular

Ika Dharmayanti, Dwi Hapsari Tjandararini .............................................. 249-257

Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration

Rate, Saturasi Oksigen pada Bayi Prematur

Etika Emaliyawati, Sari Fatimah, Lydia .................................................... 258-270

Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin

pada Pasien yang Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Kusman Ibrahim, Yusshy Kurnia H, Laili Rahayuwati, Baiq Emi

Nurmalisa, Siti Ulfah Rifa’atul Fitri ........................................................... 271-280

Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Skrining Kekerasan terhadap

Anak “ICAST-C” versi Bahasa Indonesia

Meita Dhamayanti, Anne Dian Rachmawati, Nita Arisanti, Elsa Puji

Setiawati, Viramita K Rusmi, Nanan Sekarwana ...................................... 281-289

Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Mutiara, Suryani, Ikeu Nurhidayah, Sri Hendrawati ................................. 290-301

Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien

Gangguan Jiwa Pasca Pasung

Ah. Yusuf, Rr. Dian Tristiana, Ignatius Purwo MS ................................... 302-314

Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan terhadap Kadar

Bilirubin Serum Bayi Hiperbilirubinemia

Novi Novianti, Henny Suzana Mediani, Ikeu Nurhidayah ......................... 315-327

Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem Pemberian

Pelayanan Keperawatan Profesional di RSUD Cibabat: Studi

Fenomenologi

Oyoh, Irman Somantri, Nanan Sekarwana ................................................. 328-339

Page 230: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

229JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Iwan M. Ramdan, Abd. RahmanFakultas Kesehatan Masyarakat, Universiats Mulawarman

Email: [email protected]

Abstrak

Perawat merupakan petugas kesehatan dengan presentasi terbesar dan memegang peranan penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan tugasnya perawat berisiko mengalami gangguan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko K3 pada perawat di instalasi gawat darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Soemarmo Sosroatmodjo dalam rangka mencari upaya pengendalian risiko yang tepat sehingga perawat terhindar dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Penelitian mixed method telah dilakukan pada seluruh perawat di IGD yang berjumlah 20 orang (total sampling), penilaian risiko mengacu pada standar AS/NZS 4360:2004 tentang Risk Management. Untuk mengkaji likelihood, exposure, dan consequence digunakan pedoman wawancara dan job hazard analysis form. Penilaian tingkat risiko mengacu pada rumus dan tabel “William Fine”. Disimpulkan, bahaya level terbesar diperoleh pada tindakan memasang infus berupa risiko tertusuk jarum suntik, terpapar darah pasien, posisi tubuh yang salah, terpapar virus hepatitis, dan low back pain. Nilai Consequences (C), Exposure (E), dan Likelihood (L) pada tindakan ini adalah C:5, E:6, dan L:6. Rumah sakit disarankan untuk melakukan upaya pengendalian lebih lanjut sesuai dengan hirarki pengendalian K3.

Kata kunci: Analisis risiko, instalasi gawat darurat, kesehatan dan keselamatan kerja, perawat.

Analysis of Health and Work Safety Risk (K3) on Nurse

Abstract

Nurses are health workers with the largest presentation and have important role in the provision of health services. In performing its duties the nurse is at risk to experience health and safety disorder (K3). This research aims to analysis risk of health and work safety (K3) at emergency unit (IGD) of dr. H. Soemarmo Sostroatmodjo regional public hospital in order to find appropriate risk control measures with the result that nurses avoid work accidents and occupational diseases. The mixed method research has been done to all nurses at emergency unit (IGD) with 20 people as total of the samplings, risk assessment refers to the US / NZS 4360: 2004 on risk management standard. Interview guidelines and job hazards analysis form have been used to review likelihood, exposure and consequence. Risk level assessment refers to the William Fine formula and table. In conclusion, the greatest level of danger is obtained in the act of installing infusions such as the risk of needle piercing, exposure to the patient’s blood, the wrong body position, exposure to hepatitis and low back pain. The values of Consequences (C), Exposure (E), Likelihood (L) in this action is C: 5, E: 6 and L: 6. Hospitals are advised to make further control efforts in accordance with K 3 control hierarchy.

Keywords: Emergency unit, nurse, occupational health and safety, risk analysis.

Page 231: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

230 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pendahuluan

Instalasi gawat darurat (IGD) adalah bagian dari unit pelayanan yang paling vital dalam membantu menyelamatkan nyawa pasien yang mengalami kegawatan medis ketika pertama kali masuk rumah sakit. Karena penanganan gawat darurat harus mendapatkan response time yang cepat dan tindakan yang tepat telah menyebabkan tenaga kesehatan di bagian ini sering terpapar berbagai sumber bahaya yang dapat mengancam jiwa dan kesehatannya (Depkes RI, 2006). Menurut Nurmansyah dkk (2014) permintaan jasa pelayanan rumah sakit termasuk di IGD terus meningkat, hal ini disebabkan peningkatan berbagai jenis penyakit infeksi, penyakit akut degeneratif, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, bencana dan kejadian lainnya.

Perawat merupakan petugas kesehatan dengan presentasi terbesar dan memegang peranan penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. WHO (2013) mencatat, dari 39,47 juta petugas kesehatan di seluruh dunia, 66,7%-nya adalah perawat. Di Indonesia, perawat juga merupakan bagian terbesar dari tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit yaitu sekitar 47,08% dan paling banyak berinteraksi dengan pasien (Depkes RI, 2014). Ada sekitar dua puluh tindakan keperawatan, delegasi, dan mandat yang dilakukan dan yang mempunyai potensi bahaya biologis, mekanik, ergonomik, dan fisik terutama pada pekerjaan mengangkat pasien, melakukan injeksi, menjahit luka, pemasangan infus, mengambil sampel darah, dan memasang kateter.

Hasil penelitian di beberapa negara membuktikan bahwa rumah sakit adalah salah satu tempat kerja yang berbahaya dan perawat adalah salah satu petugas kesehatan yang berisiko untuk mengalami gangguan kesehatan dan keselamatan kerja akibat dari pekerjaannya. Sebagai gambaran, biro statistik ketenagakerjaan dan Konsil Nasional Asuransi Amerika (2013) menyimpulkan pada rumah sakit di Amerika setiap 100 jam kerja terjadi 6,8 kejadian kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK). Angka ini menempatkan kecelakaan kerja dan PAK di rumah sakit sedikit lebih tinggi dibanding dengan kecelakaan kerja dan PAK di sektor lainnya, seperti sektor konstruksi, manufaktur,

dan pelayanan profesional dan bisnis lainnya. Sebanyak 48% kecelakaan kerja disebabkan karena penggunaan tenaga/otot yang berlebihan oleh perawat ketika menangani pasien, seperti mengangkat, memindahkan atau menjangkau pasien, dan peralatan medis lainnya. Selain itu, 54% jenis kecelakaan yang dialami berhubungan dengan gangguan musculoskeletal, seperti sprain dan strain otot, dan hal ini menempatkan gangguan muskuloskeletal sebagai penerima klaim kompensasi terbesar dari biaya rumah sakit. Kerugian material yang harus dikeluarkan dari kecelakaan kerja dan PAK setiap tahunnya sekitar 2 Milyar US$.

Penelitian lainnya di negara berkembang seperti India juga menyimpulkan hasil yang sama. Sandeep, Shreemathi, Kalyan, Teddy, Kapil, dan Prachi (2016) melaporkan dalam 1 tahun terakhir 5,4% perawat rumah sakit di India mengalami luka akibat tertusuk jarum suntik, 7,4% mengalami varises, dan 56,9% mengalami stres kerja. Situasi menegangkan yang sering dialami perawat adalah tindakan kekerasan dan pelecehan dari pasien. Sementara itu data-data tentang kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja pada petugas kesehatan rumah sakit di Indonesia belum tercatat dan dilaporkan dengan baik, hal ini mengindikasikan penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di rumah sakit di Indonesia masih memerlukan upaya perbaikan.

Usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko gangguan kesehatan dan keselamatan kerja dari aktivitas pekerjaan yang dilakukan perawat yaitu pengelolaan risiko atau dikenal dengan manajemen risiko. Menurut standar Australia/New Zealand (2004), pada dasarnya manajemen risiko bersifat pencegahan terhadap terjadinya kerugian maupun kecelakaan kerja. Langkah-langkah pengelolaan risiko dilakukan secara berurutan yang bertujuan untuk membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih baik dengan melihat risiko dan dampak yang kemungkinan ditimbulkan. Tujuan dari manajemen risiko itu sendiri adalah meminimalkan kerugian dengan urutan terdiri dari penentuan konteks, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, pengendalian risiko, monitor dan evaluasi, serta komunikasi dan konsultasi.

Rumah Sakit Daerah dr. H. Soemarno

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 232: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

231JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Sosroatmodjo merupakan salah satu rumah sakit milik pemerintah yang berlokasi di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara. Berdasarkan survei pendahuluan di instalasi gawat darurat, dalam kurun waktu 2013-2015 tercatat kasus kegawatdaruratan yang telah ditangani sebanyak 19.826 kasus dengan tenaga perawat sebanyak 18 orang. Beberapa kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang sering dialami perawat di bagian ini adalah sakit pinggang, tertusuk jarum suntik, dan tergores pecahan botol. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko kesehatan dan keselamatan kerja pada perawat di Instalasi Gawat Darurat dengan tujuan akhir diperoleh gambaran risiko dan saran pengelolaannya.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan bulan Juni – Juli 2016 dengan menggunakan metode penelitian campuran kualitatif dan kuantitatif. Mixed method menghasilkan fakta yang lebih komprehensif dalam meneliti masalah penelitian, karena peneliti memiliki kebebasan untuk menggunakan semua alat pengumpul data sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan. Pengambilan data/penilaian risiko yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada standar Australia/New Zealand (AS/NZS 4360:2004) tentang Risk Mangement, dengan metode semi kuantitatif yang terdiri dari identifikasi risiko dengan menggunakan job hazard analysis (JHA), kemudian melakukan analisis risiko dengan menentukan nilai consequence, exposure, dan likelihood dari setiap risiko, nilai tersebut kemudian dihitung dan dibandingkan dengan standar level risiko untuk mendapatkan tingkatan risiko yang ada pada setiap langkah kerja dalam tahapan pekerjaan perawat di IGD RSD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Tanjung Selor.

Objek dalam penelitian ini adalah bahaya dan risiko kesehatan dan keselamatan kerja dari proses pekerjaan perawat yang bekerja di IGD RSD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Tanjung Selor yang terdiri dari 10 orang perawat laki-laki dan 8 orang perawat perempuan. Data primer diambil dengan cara observasi dan wawancara kepada

perawat serta divalidasi dengan Kepala Bidang Keperawatan dan Kepala Ruangan IGD. Data sekunder berasal dari IGD untuk mendukung dalam penilaian likelihood, exposure, dan consequence tingkat risiko. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa pedoman wawancara yang terdiri dari pertanyaaan terbuka secara umum dan khusus untuk menentukan likelihood, exposure, dan consequence. Form JHA (Job Hazard Analysis) digunakan untuk mengetahui setiap langkah pekerjaan dan bahaya yang mungkin timbul, dan alat perekam digital untuk merekam wawancara dan kamera untuk mengambil foto kegiatan yang menjadi objek penelitian.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan tabel JHA yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Data dianalisis berdasarkan tabel penilaian risiko semikuantitatif, dan untuk menentukan nilai risiko terlebih dahulu diperkirakan nilai konsekuensi, paparan, dan peluang, selanjutnya nilai risiko dihitung berdasarkan rumus “William Fine“.

Setelah nilai risiko diperoleh, maka nilai risiko tersebut dibandingkan dengan tabel standar level risiko dari “William Fine” untuk mengetahui tingkatan risiko yang terdapat pada tahapan kerja perawat di IGD. Validitas dan reliabilitas data penelitian menggunakan metode triangulasi sumber, triangulasi metode, dan triangulasi data.

Hasil Penelitian

Karekteristik informan dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, dan lama bekerja. Informan yang berumur antara 20–25 tahun sebanyak dua orang (10%), 26–30 tahun sebanyak lima orang (25%), 31–35 tahun sebanyak enam orang (30%), dan ≥ 36 tahun berjumlah tujuh orang (35%). Pendidikan perawat mayoritas Diploma III Keperawatan sebesar 89% (16 orang) dan Diploma IV Gawat Darurat 1% (2 orang). Kriteria lama kerja terendah adalah 3 bulan dan tertinggi adalah 13 tahun.

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa tindakan perawat IGD RSD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Tanjung Selor terdiri dari 3

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 233: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

232 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Tabel 1 Jenis Tindakan di UGD RSUD dr.H. Soemarno Sosroatmodjo Tanjung SelorNo Kategori Jenis Tindakan Jumlah (%)1 Mandiri Anamnese pasien 6 30

Memeriksa Tanda- tanda Vital (TTV)Mengangkat dan memindahkan pasienMembuat Asuhan KeperawatanMemberi KompresKIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)

2 Delegasi Memasang NGT 13 65Mengambil sampel darahMembersihkan lukaMelakukan suctioningResusitasi Jantung Paru/Bantuan Hidup DasarMemberikan obat per rectalMemberi OksigenPerekaman EKG NebulizerMemasang SpalkMemasang ChateterMemberi InjeksiMemasang infus

3 Mandat Menjahit luka 1 5

Tabel 2 Hasil Identifikasi Bahaya di UGD RSUD dr.H. Soemarno Sosroatmodjo Tanjung SelorNo Tindakan Potensi bahaya Pengendalian yang ada1 Memasang infus Jarum infus (Abocath),

Terpapar darah pasien, Tempat tidur rendah, Kontrol tempat tidur rusak, Perawat tidak memakai APD

SOP pasang infus APD: Masker dan Sarung tanganPenggunaan kursi tempat duduk

2 Menjahit luka Gunting, Obat anastesi, Jarum jahit, Meja tindakan statis (tidak bisa dikontrol), Menggunakan tangan untuk menahan tepi luka

SOP jahit lukaAPD: Masker dan Sarung tanganPenggunaan kursi tempat duduk

3 Mengambil sampel darah

Jarum suntik, Tempat tidur rendah, Perawat tidak pakai APD

APD: Masker dan Sarung tangan

4 Mengangkat dan memindahkan pasien

Tempat tidur rendah, Posisi waktu mengangkat janggal

Meminta bantuan petugas Portier

5 Melakukan Suctioning

Cairan tubuh pasien, droplet dari pasien, posisi kerja

SOP Suction APD : Masker dan Sarung tangan

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 234: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

233JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

No Tindakan Potensi bahaya Pengendalian yang ada6 Memasang Chateter Ciaran tubuh pasien, urine pasien SOP pasang chateter

APD : Sarung tangan

7 Memberikan obat Injeksi

Jarum suntik, terpapar darah, tidak pakai APD

SOP TindakanAPD : Sarung tangan

8 Melakukan resusitasi jantung paru

Pekerjaan cepat dan berulang, Tempat tindakan tidak punya matras resusitasi, posisi kerja membungkuk, Keluarga pasien ada di dalam ruangan

SOP bantuan hidup dasar (BHD) APD : Sarung tangan

9 Merawat Luka Darah pasien , Meja tindakan rendah SOP merawat luka APD: Sarung tangan, celemek

10 Memberi injeksi Memakai Jarum suntik, tidak pakai APD SOPinjeksiAPD : Sarung tangan

11 Memberikan obat melalui rectal

Feces SOP tindakanAPD : Sarung tangan

Keterangan :SOP = Standar operasional prosedur, APD = Alat pelindung diri

kategori, yaitu mandiri, delegasi, dan mandat. Delegasi merupakan tindakan keperawatan yang paling banyak dilakukan, yaitu sebesar 65%, disusul tindakan mandiri sebanyak 30%, dan terkecil tindakan mandat sebesar 5%.Analisis risiko diidentifikasi melalui identifikasi berbagai jenis tindakan yang dikerjakan perawat, selanjutnya ditentukan nilai Consequenses (C), Exposure (E), dan Likelihood dari setiap risiko dan ketiganya dikalikan sehingga didapatkan Nilai Risiko (NR), kemudian hasilnya dibandingkan dengan tabel risiko dari “William Fine” dan hasil yang diperoleh sebagai basic risk (risiko dasar) yaitu risiko tanpa melihat pengendalian yang sudah ada. Selanjutnya dilakukan evaluasi risiko dengan cara menghitung kembali nilai Consequenses (C), Exposure (E), dan Likelihood dari setiap risiko setelah melihat pengendalian yang sudah dilakukan. Nilai yang diperoleh dari perhitungan ini disebut dengan existing level.

Pada tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai risiko (NR) tertinggi diperoleh sebesar 540 (sangat tinggi), yakni pada tindakan menjahit luka berupa risiko tertusuk jarum suntik dan hecting, luka gores terkena ampul, dan kontak dengan darah pasien, serta tertular HIV AIDS. Sementara nilai terendah diperoleh sebesar 45 (rendah) pada tindakan bantuan

hidup dasar berupa kecemasan. Tindakan memasang infus memiliki 3

risiko, yaitu luka tusuk, kontak dengan darah pasien, dan postur janggal (membungkuk). Nilai risiko dasar dari luka tusuk dan terpapar darah adalah 500 (sangat tinggi), sedangkan risiko pada postur janggal (membungkuk) adalah 300. Setelah dilakukan evaluasi risiko dengan melihat pengendalian yang ada, maka nilai risiko existing level dari luka tusuk dan terpapar darah adalah 180 (risiko besar) dan postur janggal (membungkuk) dengan nilai risiko 90 (risiko besar).

Pada tindakan menjahit luka terdapat tiga risiko, yaitu tertusuk jarum, luka kena ampul, dan kontak dengan darah pasien yang tertular HIV/AIDS, Hepatitis. serta postur janggal (membungkuk). Nilai risiko dasar pada risiko tertusuk jarum, luka kena ampul, dan kontak dengan darah pasien yang tertular HIV/AIDS, Hepatitis adalah 540 (sangat tinggi), sedangkan membungkuk nilai riskonya adalah 300 dengan level risiko prioritas 1. Setelah dibandingkan dengan upaya pengendalian yang sudah dilakukan, nilai risiko tertusuk jarum dan luka kena ampul turun menjadi 270, sedangkan kontak dengan darah pasien yang tertular HIV/AIDS dan Hepatitis turun menjadi 80 (risiko besar), sedangkan membungkuk nilai riskonya turun menjadi 180 (risiko besar).

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 235: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

234 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Tabel 3 Analisis Risiko dan Evaluasi Risiko padaTindakan Perawat di IGD RSD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Tanjung Selor

Pekerjaan & Risiko Basic Risk Pengendalian Existing risk Level risk RRPemasangan infusLuka tusuk 500 Sarung tangan, SOP 180 Besar 64%Kontak dengan darah pasien 500 Sarung tangan 180 Besar 64%Posisi janggal, jongkok, membungkuk, low back pain

300 Memakai kursi 90 Besar 40%

Menjahit lukaTertusuk jarum suntik dan hecting, luka gores terkena ampul

540 Sarung tangan, SOP menjahit luka

270 Prioritas 1 50%

Kontak dengan darah pasien, tertular HIV AIDS

540 Sarung tangan 90 Besar 83%

Membungkuk, musculoskeletal disorders, low back pain, nyeri otot

300 Kursi tempat duduk 180 Besar 40%

Mobilisasi pasienPostur janggal 180 Tenaga portier 90 Prioritas 3 50%

Mengambil sampel darahTertusuk jarum 500 Sarung tangan 180 Besar 40%

Memasang Dower ChateterTerpapar cairan tubuh pasien 180 Penyediaan APD 45 Prioritas 3 50%

Memasang Naso Gastric TubeTerpapar cairan tubuh pasien, terpapar kuman dari pasien

90 Sarung tanga, masker, celemek

30 Prioritas 3 83%

Memberi injeksiTertusuk jarum 500 SOP tindakan 60 Prioritas 3 88%

Membersihkan lukaTerpapar darah pasien 500 Sarung tangan 100 Besar 80%Low back pain, nyeri otot 345 Kursi duduk 45 Prioritas 3 80%Bantuan Hidup DasarPostur janggal, LBP 90 SOP tindakan 60 Prioritas 3 33%Cemas 45 45 Prioritas 3 100%SuctioningTerpapar darah, droplet dan cairan tubuh pasien

270 SOP tindakan, Sarung tangan

90 Besar 66%

Memberi obat supositoriaTerpapar feaces pasien 90 SOP tindakan, Sarung

tangan30 Prioritas 3 33%

Keterangan :C : ConsequencesE : ExposureL : LikelihoodNilai Risiko (NR) : C x E x LRisk Reduction (RR) : (Basic level - Existing Level X 100%) : Basic level

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 236: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

235JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Tabel 4 Rekomendasi Pengendalian Risko Perawat di IGD RSD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Tanjung Selor

Jenis tindakan & Risiko NilaiRisiko

Level Risiko Deskripsi pengendalian

Memasang infusTertusuk jarum suntik, terpapar darah pasien

180 Besar Substitusi:Mengganti abocatch dengan yang lebih

amanAdmnistratif: Roleplay, pengawasan

pelaksanaan SOP, Pemeriksaan kesehatan berkala dan Program

imunisasi

Muskuloskeletal disorder 90 Besar Substitusi:Mengganti Tempat tidur dengan yang

lebih aman Rekayasa teknik

Memperbaiki tempat tidur yang rusak

Menjahit lukaTertusuk jarum, terpapar darah pasien 90 Besar Adminstratif: Roleplay, pengawasan

pelaksanaan SOP, pemeriksaaan kesehatan berkala & Vaksinasi

APD surgical glove

Low back pain 180 Besar Substitusi: Mengganti meja tindakan dengan yang lebih aman

Mobilisasi pasienLow back pain 90 Prioritas 3 Administratif: SOP memindahkan

pasien & Training ergonomiMengambil darahLuka tusuk 180 Besar Administratif: SOP pengambilan darah

& Penempatan laboran di UGDTerpapar darah pasien 60 Prioritas 3 Administratif : SOP mengambil darahPasang Dower ChateterTerpapar cairan tubuh pasien 90 Besar Administratif: Job safety analysis &

Pemeriksaan kesehatan berkalaPasang Naso gastric tubeTerpapar cairan tubuh pasien, dan kuman

30 Prioritas 3 Administratif: Job safety analysis berkala & Pengawasan pelaksanaan

SOPMemberi injeksiTertusuk jarum 60 Prioritas 3 Administratif: Training K3 &

Pelaksanaan SOPTerpapar darah pasien 60 Prioritas 3 Administratif : Training K3Membersihkan lukaTerpapar darah pasien 100 Besar Administratif : Training K3Posisi janggal 45 Prioritas 3 Substitusi: Mengganti meja tindakan

dengan yang lebih amanBantuan hidup dasarPostur janggal, Low back pain 90 Prioritas 3 Administratif: Pengadaan tempat tidur

khusus BHD & Job safety analysis

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 237: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

236 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pada tindakan mengangkat dan memindahkan pasien hanya satu risiko yaitu postur janggal dengan nilai 180 (besar), setelah dibandingkan dengan melihat pengendalian yang sudah dilakukan maka risikonya turun menjadi 90 (prioritas 3).

Pada tindakan mengambil darah terdapat dua risiko yaitu tertusuk jarum dan terpapar darah dengan nilai 500. Setelah dilakukan evaluasi nilai risiko pada tertusuk jarum menjadi 180 dan terpapar darah menjadi 60 (prioritas 3). Untuk memasang kateter, risiko terpapar cairan tubuh pasien dan urin nilai risikonya 500, setelah dilakukan evaluasi risiko menjadi 45 (prioritas 3).

Tindakan injeksi mempunyai nilai risiko 500 (sangat tinggi) dan nilai risikonya turun menjadi 60 (prioritas 3) setelah dibandingkan dengan pengendalian yang ada. Pada tindakan membersihkan luka, risiko terpapar darah pasien mempunyai nilai risiko 500 (sangat tinggi), low back pain dan nyeri otot 45 (prioritas 3) dan dilakukan evaluasi didapatkan nilai risiko 100 dan 45. Pada tindakan BHD (bantuan hidup dasar) risiko yang ada adalah postur janggal dan cemas, nilai riiskonya 90 dan 45. Setelah dievaluasi dan nilai risikonya dihitung kembali, risiko dari tindakan ini menjadi 60 dan 45 (prioritas 3). Untuk tindakan penghisapan lendir (suctioning) risikonya yaitu terpapar darah, terhirup droplet, dan terpapar muntahan pasien menjadi mempunyai nilai risiko 270 (prioritas 1) dan nilai evaluasi risikonya adalah 90. Sedangkan pada tindakan pemberian obat melalui rektal nilai risikonya 90 dan setelah dilakukan evalusi risiko 45 (prioritas 3).

Pengendalian risiko dilakukan setelah

mengetahui besarnya nilai risiko dan potensial akibatnya, sehingga isi dari pengendalian risiko adalah rekomendasi beberapa alternatif pengendalian sesuai dengan hierarki pengendalian risiko standar AS/NZS 4360 2004, seperti pada tabel 4.

Pada tabel 4 diketahui bahwa rekomendasi pengendalian risiko pada tindakan pemasangan infus secara substitusi adalah mengganti jarum IV cath dengan yang lebih aman, secara administratif melakukan role play tindakan, pengawasan terhadap pelaksanaan SOP, pemeriksaan kesehatan secara berkala, pemberian vaksinasi bagi perawat yang berisiko dan beberapa tindakan lain, untuk menjahit luka secara subsitusi mengganti meja tindakan. Secara administratif dilakukan dengan pengawasan SOP, sosialisasi K3, risk transfer kepada asuransi, role play tindakan, dan selalu memakai sarung tangan bedah (surgical glove).

Tindakan lain seperti mengangkat dan memindahkan pasien diperlukan adanya SOP dan pelatihan ergonomi. Untuk pengambilan sampel darah tindakan pengendaliannya menempatkan petugas laboratorium di IGD dan dibuatkan SOP. Pada tindakan pemasangan kateter dan pemasangan NGT, rekomendasi pengendalian yang dapat dilakukan secara administrative yaitu pengawasan terhadap pelaksanaan SOP, peningkatan pengetahuan tentang K3, dan job safety analysis (JSA). Dalam tindakan memberi injeksi dan merawat luka, tindakan pengendalian yang dilakukan adalah peningkatan pengetahuan tentang K3 dan pengawasan terhadap SOP. Demikian juga untuk tindakan penghisapan

Jenis tindakan & Risiko NilaiRisiko

Level Risiko Deskripsi pengendalian

Cemas mengalami kekerasan 60 Prioritas 3 Administratif: Tempatkan petugas keamanan di IGD

SuctioningTerpapar darah, terhirup droplet dan cairan tubuh pasien

90 Besar Administratif: Job safety analysis & Pelaksanaan pelaksanaan SOP

Memberi obat supositoriaTerpapar cairan tubuh dan feaces 30 Prioritas 3 Administratif: Peningkatan pemahaman

K3 & Job safety analysis

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 238: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

237JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

lendir (suctioning). Sementara untuk tindakan bantuan hidup dasar (BHD) diperlukan penyediaan tempat tidur khusus untuk BHD dan penempatan tenaga keamanan khusus untuk di Instalasi Gawat Darurat.

Pembahasan

Setiap tindakan yang dilakukan oleh perawat mempunyai potensi bahaya berupa bahaya fisik, biologi, dan ergonomi. Bahaya fisik didapatkan pada pekerjaan yang menggunakan alat yang tajam, seperti memasang infus dan menjahit luka. Bahaya biologi terdapat pada tindakan invasif, merawat luka, memasang infuse, dan memberikan obat melalui rektal. Sedangkan postur janggal ketika membungkuk merupakan bahaya pekerjaan karena faktor ergonomi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di negara berkembang lainnya oleh Ndejjo et al. (2015) yang menyimpulkan tenaga kesehatan di rumah sakit di Uganda terpapar bahaya (hazard) biologis dan nonbiologis. Paparan hazard biologis terdiri dari tertusuk jarum, luka gores, terpapar spesimen atau materi biologis lainnya, terkena penyakit yang ditularkan lewat udara, penyakit infeksi, penyakit yang ditularkan melalui darah, dan vektor penyakit. Sementara itu hazard nonbiologis terdiri dari stress; kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan kekerasan verbal; gangguan muskuloskeletal, terjatuh atau terpeleset, patah tulang; dan terpapar bahan kimia berbahaya.

Tindakan perawat terbanyak di Instalasi Gawat Darurat RSD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo Tanjung Selor yaitu memasang infus dan menjahit luka. Potensi bahaya pada tindakan ini adalah tertusuk jarum infus dan terpapar darah pasien yang terjadi karena ketika jarum ditusukkan ke vena, pasien bergerak dan mengenai jari perawat atau yang melakukan pembendungan pada pembuluh darah yang akan diinfus (stuwing) atau bisa juga karena setelah pemasangan, jarum tidak ditutup atau waktu menutup menggunakan dua tangan. Bahaya dari pekerjaan yang menggunakan jarum ini sangat signifikan sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Manzoor et al. (2010) mendapatkan

data bahwa 71,9% perawat yang bekerja dalam satu tahun mengalami tertusuk jarum. Apabila tertusuk jarum yang sudah dipakai, maka berisiko tertular HIV walaupun persentasenya kecil dengan persentase 1%. Bahaya lain yang teridentifikasi adalah bahaya sarana kerja, seperti tempat tidur yang rendah karena pengatur tinggi rendahnya tidak berfungsi sehingga perawat dalam bekerja harus membungkuk 900 yang dapat menyebabkan low back pain.

Pada tindakan menjahit luka, bahaya yang teridentifikasi adalah luka kena pecahan ampul obat anestesi. Bahaya ini terjadi pada tahap menyiapkan obat anestesi, perawat memecahkan ampul obat tanpa menggunakan APD atau pelindung lain sehingga pecahan ampul obat langsung mengenai jari tangan. Tertusuk jarum jahit terjadi pada tahap penjahitan luka, hal ini terjadi karena perawat menjahit tidak menggunakan pinset untuk menahan tepi luka, tetapi menggunakan jari tangannya sendiri. Bahaya lain yang teridentifikasi adalah posisi kerja yang tidak normal sehingga perawat harus membungkuk, postur tubuh yang janggal ini karena sarana kerja yang tidak ergonomis. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cho et al. (2013) yang menyimpulkan mayoritas perawat (70,4%) di rumah sakit di Korea Selatan mengalami luka akibat tertusuk jarum suntik atau jarum infus. Kejadian ini berhubungan dengan faktor karekteristik perawat dan karakteristik organisasi rumah sakit.

Pada tindakan pemasangan infus, risiko tertusuk jarum sering terjadi. Beberapa hal yang menjadi alasan karena memasang infus adalah tindakan yang paling sering dilakukan oleh perawat IGD dengan frekuensi 5-10 kali setiap giliran kerja sehingga frekuensi paparan antara bahaya dan sumber risiko diberi rating 10 (continuosly). Demikian juga peluang terjadinya bahaya kecelakaan kerja, dari 18 perawat yang ada didapatkan sebanyak 10 orang pernah tertusuk jarum, data ini menunjukkan bahwa kejadian sering terjadi. Hasil analisis semikuantitatif, tindakan ini berada pada level tertinggi yaitu almost certain dengan rating 10. Kondisi ini sesuai dengan penelitian Memish et al. (2013) yang menyimpulkan bahwa tertusuk jarum suntik dan benda tajam lainnya, seperti

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 239: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

238 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

pecahan botol, merupakan kecelakaan kerja yang paling sering terjadi pada perawat rumah sakit di Saudi Arabia. Jenis kecelakaan kerja ini sering dialami oleh perawat di ruang gawat darurat dan ruang perawatan intensif.

Terpapar darah pasien merupakan risiko biologi, terjadi karena frekuensi paparan yang tinggi, luka karena tertusuk benda tajam dan perilaku yang tidak aman (unsafe act) dengan tidak memakai APD. Hal ini terjadi karena tingkat pengetahuan universal precaution dan pelaksanaan SOP tindakan kurang baik, hal ini dapat dilihat bahwa terdapat 12 orang perawat dari 18 (67%) tidak mengetahui tentang universal precaution. Begitu juga dengan SOP, walaupun sudah terdapat SOP di ruangan namun tidak dilaksanakan. Menurut Kepala Ruangan IGD “Perawat itu bekerja yang penting berhasil dalam tindakan, tidak memerhatikan apakah bekerja sesuai dengan SOP atau tidak”. Risiko lainnya berupa tertular penyakit HIV/AIDS dan Hepatitis apabila waktu terpapar darah pasien dalam kondisi ada bagian tubuh yang terluka seperti tertusuk jarum. Risiko tersebut hampir sama dengan penelitian Ndejjo et al. (2015) yang menyimpulkan bahwa terdapat 21,5% tenaga kesehatan yang terpapar bahaya biologi didahului dengan luka akibat benda tajam terlebih dahulu dan salah satu predictor terjadinya kecelakaan kerja tidak mematuhi standar yang sudah ditetapkan, seperti memakai APD terutama pada rumah sakit milik pemerintah.

Risiko ergonomi yang sering terjadi adalah postur janggal yang disebabkan faktor sarana kerja. Rata-rata tempat tidur yang ada sudah tidak layak karena tinggi rendahnya tidak bisa diatur sehingga memaksa perawat untuk membungkuk ketika memberikan tindakan, seperti memasang infus harus membungkuk lebih dari 90 derajat. Dampaknya adalah musculoskeletal disorder (MSDS), seperti nyeri otot dan low back pain (LBP). Risiko ini sesuai dengan data WHO bahwa sebanyak 41% perawat RS menderita LBP akibat kerja (occupational low back pain), dan sejalan dengan hasil penelitian Chiou, Wong, dan Lee (1994) di China bahwa sebanyak 77,9% perawat China mengalami LBP. Faktor risiko dari kejadian low back pain ini adalah usia, tinggi badan, berat badan, durasi waktu

kerja, kebiasaan kerja, dan postur tubuh saat mengangkat/memindahkan pasien. Hasil penelitian ini juga melengkapi penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Shani et al. (2016) yang menyimpulkan prevalensi kejadian low back pain kronis pada perawat di Amerika adalah 50%-80%, dan faktor yang memengaruhi kejadian penyakit akibat kerja ini adalah faktor gaya hidup, faktor fisik, psikologis, psikososial, dan faktor pekerjaan perawat.

Dalam tindakan menjahit luka, terdapat tiga risiko K3 dalam tahapan pelaksanaan tindakannya. Tertusuk jarum jahit diberi nilai 270 (prioritas 1) dengan alasan tertusuk jarum pada tindakan ini dapat dipastikan jarumnya sudah terpapar dengan darah, sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya luka tusuk biasa tetapi merupakan jalan masuk (port the entry) dari kuman atau bakteri penyakit yang dapat menular melalui darah ke perawat sehingga dapat menimbulkan penyakit seperti HIV/AIDS dan Hepatitis. Nilai Consequences pada risiko ini diberi nilai 15 (Serious), dan tindakan ini juga dilakukan oleh perawat hampir setiap hari sehingga exposure atau interaksi antara perawat dengan sumber risiko juga sering terjadi, sehingga dapat diberi nilai 6. Peluang terjadinya kecelakaan (Likelihood) pada tindakan ini diberi nilai 3 yaitu unsure but possible karena pekerja sudah memakai sarung tangan bedah (Surgical Glove), sudah tersedia pinset baik anatomis dan chirurgis, tetapi masih ada perawat yang menggunakan kedua jarinya untuk menahan pinggir luka dan jarum jahit dan ketika menjahit luka, jarum jahit ditembuskan antara kedua jari tersebut. Langkah kerja ini tidak sesuai dengan SOP dan merupakan perilaku tidak aman (unsafe act) yang menurut Cooper (2007) merupakan 85% penyebab kecelakaan kerja. Perilaku tidak aman bisa disebabkan pengetahuan dan keahlian yang belum memadai dam kondisi lingkungan kerja yang tidak baik.

Bahaya yang terdapat dalam tindakan memindahkan dan mengangkat pasien adalah bahaya ergonomi dengan nilai risiko 90 dan level risiko prioritas 3 dengan alasan Consequences memiliki nilai 5 yaitu important, karena perawat waktu mengangkat dan memindahkan pasien dari mobil dan dari

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 240: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

239JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

tempat tidur rendah ke brancard dengan beban yang berat menumpukan tenaganya pada pinggang dan tangan, dilakukan dengan membungkuk (posisi janggal). Dampaknya akan terjadi LBP. Exposure memiliki nilai 6 yaitu frequently, karena tindakan mengangkat dan memindahkan pasien paling tidak 1 kali dalam seharusnya. Sedangkan Likelihood atau peluang terjadinya kecelakaan memiliki nilai 3 yaitu unsure but possible karena kemungkinan kejadian kecelakaan 50%-50%. Keadaan yang mempersulit dan meningkatkan risko adalah ketika mengangkat pasien dari mobil ke brancard karena posisi yang sempit dan membungkuk sehingga kekuatan ketika mengangkat bertumpu pada pinggang. Berat badan pasien yang berat karena banyak pasien obesitas. Begitu juga ketika mengangkat dari tempat tidur yang rendah ke brancard. Tidak ada perawat yang mulai mengangkat dengan posisi jongkok, tetapi semuanya membungkuk. Nilai risiko yang ditetapkan pada aktivitas mengangkat pasien ini sejalan dengan penelitian Kurniawidjaya, Purnomo, Maretti, dan Pujiriani (2014), bahwa aktivitas yang dominan yang menimbulkan low back pain pada perawat adalah prosedur angkat angkut pasien.

Hasil evaluasi didapatkan risiko yang berada pada prioritas 1 sebanyak 6%, risiko besar sebanyak 47%, dan prioritas 3 sebanyak 47%. Risiko yang masih tinggi disebabkan beberapa hal, antara lain tidak patuhnya tenaga kesehatan terhadap SOP, kurangnya pengetahuan perawat terhadap prosedur kerja yang benar dan aman, kesadaran akan pentingnya keselamatan dalam bekerja masih rendah, faktor sarana kerja yang tidak ergonomis akan terus menerus menjadi sumber risiko apabila tidak dilakukan penanganan segera.

Pengendalian risiko bertujuan untuk meminimalisasi efek negatif atau meningkatkan peluang positif. Hal ini dapat dilakukan pada proses kerja, peraturan atau SOP, dan melengkapi alat pelaksanaan atau tindakannya. Sesuai dengan standar internasional, pengendalian risiko di tempat kerja terdiri dari elimination, substitution, engineering control, administrative control, dan personal protective equipment (PPE). Eliminasi adalah menghilangkan potensi

bahaya dari sumbernya, substitusi adalah mengganti alat, bahan atau prosedur yang berbahaya dengan yang lebih aman, engineering control adalah rekayasa teknik, adminstrative control adalah rekayasa adminstrasi, dan upaya terakhir jika semua upaya sebelumnya dirasakan belum optimal adalah memberikan alat pelindung diri (CDC, 2012; & NYCOHS, 2012).

Upaya pengendalian risiko K3 pada perawat dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah hierarchy of control K3 yang disesuaikan dengan jenis tindakan keperawatan yang dilakukan. Pada tindakan pemasangan infus, risiko paparan faktor fisik dan biologis dikendalikan melalui upaya eliminasi/substitusi (seperti mengurangi tindakan injeksi yang tidak perlu, menghilangkan benda tajam/jarum yang tidak diperlukan, menggunakan konektor tanpa jarum); upaya pengandalian engineering (seperti pengaturan pencahayaan yang tepat dan ruang yang memadai, penggunaan jarum infus yang lebih aman, dan penyediaan kontainer bekas jarum infus); upaya pengendalian administratif (seperti pengembangan kebijakan K3 rumah sakit dan penyelenggaraan berbagai program pelatihan, serta penyusunan SOP pemasangan infus yang aman; dan penggunaan alat pelindung diri yang memadai (seperti penggunaan sarung tangan, masker dan gown) (Gallagher & Sunley, 2013)

Upaya pengendalian untuk risiko ergonomi dapat dilakukan dengan mengganti/memperbaiki tempat tidur yang bisa diatur ketinggiannya agar bisa disesuaikan dengan tinggi perawat (engineering control). Pada tindakan menjahit luka, risiko paparan faktor biologi dapat dicegah dengan meningkatkan pengetahuan mengenai tindakan aman melalui pelatihan tindakan medikal bedah, sosialisasi K3, pemeriksaan secara berkala, memberikan vaksin untuk petugas yang berisiko, pengawasan terhadap pelaksanaan SOP, dan membuat SOP kejadian tidak diharapkan (KTD) agar apabila terjadi kecelakaan kerja ada pedoman yang harus dilakukan.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa perawat di instalasi gawat darurat berisiko untuk mengalami gangguan terhadap

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 241: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

240 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

kesehatan dan keselamatan kerja yang bersumber dari aktivitas asuhan keperawatan yang dilakukannya, untuk itu diperlukan berbagai upaya pengendalian risiko. Langkah awal agar pengendalian berbagai risiko kesehatan dan keselamatan kerja untuk perawat di Rumah Sakit agar berhasil optimal maka perlu dibudayakan K3 di berbagai bagian di Rumah Sakit. Sesuai dengan pendapat Mulyati dkk. (2016) bahwa budaya keselamatan dan kesehatan kerja di Rumah Sakit merupakan kunci untuk tercapainya peningkatan kesehatan dan keselamatan kerja dalam organisasi.

Penelitian ini mempunyai keterbatasan dari aspek lokasi penelitian atau tempat kerja perawat, yakni hanya dilakukan pada instalasi gawat darurat sehingga hasil analisis risiko K3 tidak bisa digeneralisir untuk seluruh perawat di rumah sakit. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan agar seluruh unit pelayanan di rumah sakit dapat dianalisis sehingga kondisi kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit semakin membaik.

Simpulan

Jenis tindakan perawat yang sering dilakukan di IGD yaitu memasang infus, menjahit luka, mengangkat dan memindahkan pasien dan tindakan lain. Risiko pada pemasangan infus yaitu tertusuk jarum suntik, terpapar darah pasien, postur janggal, tertular penyakit Hepatitis dan low back pain. Nilai Consequences (C), Exposure (E), Likelihood (L) pada tindakan pemasangan infus untuk risiko fisik dan biologi adalah C:5, E:6, dan L:6, (180); risiko ergonomi C:5, E:3 dan L:3; (45). Tingkat risiko bahaya pemasangan infus berada pada level risiko besar. Pengendalian yang sudah di lakukan manajemen Rumah Sakit adalah penyediaan APD berupa (masker, sarung tangan, sepatu, celemek), SOP tindakan untuk semua jenis pekerjaan, dan perlengkapan alat cuci tangan.

Disarankan untuk upaya pengendalian lebih lanjut sesuai dengan hierarki pengendalian K3 yang terdiri implementasi SOP, role play setiap tindakan, dan pelatihan yang berhubungan dengan pengetahuan keterampilan perawat tentang K3 rumah sakit, upaya perbaikan perilaku aman

selama bekerja, pemeriksaan kesehatan berkala, program vaksinasi, serta melengkapi beberapa peralatan dan meja tindakan yang aman.

Daftar Pustaka

Australian Standard/New Zealand Standard 4360:2004. (2004). Risk mangement. Retrived from www.riskmanagement.com.au.

Center for Disease Control and Prevention (CDC). (2012). Hierarchy of controls. Retrived from http://www.cdc.gov/niosh/topics/engcontrols/.

Chiou, W.K., Wong, M.Y., & Lee, Y.H. (1994). Epidemiology of low back pain in chinese nurses. Int Journal of Nursing Studies, 31(4), 361-368.

Cho, E., Lee., H., Choi, M., Park, S.H., Yoo, I.Y., & Aiken, L.H. (2013). Factors associated with needlestick and sharp injuries among hospital nurses: A cross-sectional questionnaire survey. Int J Nurs Stud, 50(8), 1025–1032.

Cooper, D., 2007. Behavioral safety approaches. USA: CEO BSMS Inc. Francelin.

Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1087/Menkes/SK/VIII/2010 tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan kerja Rumah Sakit. Jakarta Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan No. 856/Menkes/SK/IX/2010 tentang Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit.

Departemen Kesehatan RI. (2006). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan RI. (2014). Profil kesehatan Indonesia tahun 2014. Retrieved from www.depkes.go.id/resources/.../prof i l -kesehatan. . . /prof i l -kesehatan-indonesia-2014.

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 242: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

241JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Gallagher, R., & Sunley, K. (2013). Sharps safety. RCN Guidance to support the implementation of the health and safety. UK: Royal College of Nursing.

Kurniawidjaya, L.M., Purnomo, E., Maretti, N., & Pujiriani, I. (2014). Pengendalian risiko ergonomi kasus low back pain pada perawat di Rumah Sakit. Majalah Kedokteran Bandung, 46(4), 225-233.

Manzoor, I., Daud, S., Hashmi, N.R., Sardar, H., Babar, M.S., & Malik, M. (2010). Needle stick injuries in nurses at a tertiary health care facility. J Ayub Med Coll Abbottabad, 22(3), 174-8.

Memish, Z.A., Assiri, A.M., Eldalatony, M.M., Hathout, H.M., Alzoman, H., & Undaya, M. (2013). Risk analysis of needle stick and sharp object injuries among health care workers in a tertiary care hospital (Saudi Arabia). J. Epidemiol Glob Health, 3(3), 123-9.

Mulyati, L., Rachman, D., & Herdiana, Y. (2016). Fakor Determinan yang Memengaruhi Budaya Keselamatan Pasien di RS Pemerintah Kabupaten Kuningan. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(2).

National Council on Compensation Insurance. (2013). Hospital workers’ compensation claims for policy years 2005–2009.

Ndejjo, R., Musinguji, G., Yu X., Buregyeya, E., Musoke, D., Wang, JS., ..., & Ssempebwa, J. (2015). Occupational health hazards among healthcare workers in Kampala, Uganda. Journal of Environmental and Public Health, 2015. Article ID 913741.

Nurmansyah, E., Susilaningsih, F. S., & Setiawan, S. (2014). Tingkat Ketergantungan dan Lama Perawatan Pasien Rawat Observasi di IGD. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 2(3).

NYCOSH (New York Comitte for Occupational Safety and Health). (2012). Hierarchy of hazard controls. Retrived from http://nycosh.org/index.php?page=Hierarchy-of-Hazard-Controls.

Sandeep, N., Shreemathi, M., Kalyan, C., Teddy, A., Kapil, G., & Prachi, P. (2016). Work-related injuries and stress level in nursing professional. International Journal of Medical Science and Public Health, 5(08).

Shani, P.B., Berry, D.L., Arcari, P., Langevine, H., & Wayne, P.M. (2016). Mind-body exercises for nurses with chronic low back pain: An evidence-based review. Nursing Research and Practice, 2016. Article ID 9018036.

US.Bureau of Labor Statistics. (2013). For detailed citations, see OSHA’s “Facts About Hospital Worker Safety”. Retrived from www.osha.gov/dsg/hospitals.

World Health Organization. The world health report 2006-working together for health. Geneva, Switzerland: WHO. Retrived from www.who.int/whr/2006/whr06_en.pdf.

World Health Organization. (2013). The world health report 2006: Working together for health. Geneva, Switzerland: WHO. Retrived from www.who.int/whr/2006/whr06_en.pdf.

Iwan M. Ramdan: Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat

Page 243: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

242 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis dengan Inter-Dialytic Weight Gain (IDWG) pada Pasien Hemodialisis

Bayhakki, Yesi HasneliProgram Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Riau

Email: [email protected]

Abstrak

Inter-Dialytic Weight Gain (IDWG) atau peningkatan berat badan diantara dua tindakan hemodialisis (HD) menjadi salah satu indikator keberhasilan terapi pasien HD. Semakin tinggi IDWG, maka semakin banyak cairan yang menumpuk di dalam tubuh pasien dan semakin berat dampak yang ditimbulkan. Semakin lama seseorang menjalani HD, semestinya semakin banyak yang diketahuinya tentang penyakitnya dan cara mencegah komplikasi sehingga IDWG semestinya semakin turun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lama waktu menjalani hemodialisis dengan IDWG. Penelitian korelasional ini dilakukan secara cross sectional dengan melibatkan 34 pasien yang telah menjalani hemodialisis minimal 1 tahun di RSUD Dumai, dapat berkomunikasi secara verbal, dan dapat berdiri untuk menimbang berat badan. Data lama waktu menjalani hemodialisis dilihat dari catatan medis pasien. Adapun IDWG dihitung dalam periode siklus satu minggu menjalani hemodialisis menggunakan timbangan dan dicatat di lembar observasi. Data dianalisis menggunakan uji Spearman. Hasil penelitian menunjukkan median 22 serta nilai minimum dan maksimum yaitu 12 dan 86 bulan. Untuk data IDWG median adalah 3 serta nilai minimum dan maksimum yaitu 1 dan 4,5 kilogram. Analisis hubungan menunjukkan tidak ada hubungan antara lama waktu menjalani hemodialiasis dengan IDWG pada pasien hemodialisis di RSUD Dumai (p value = 0,952) dengan nilai r = 0,01. Diharapkan perawat menganalisis pengetahuan serta pemahaman pasien tentang perlunya mengontrol asupan cairan dan berat badan terutama pada pasien yang telah lama menjalani hemodialisis untuk mencegah kenaikan IDWG yang dapat memperberat kondisi pasien.

Kata kunci: Cairan, IDWG, lama hemodialisis.

Long-Term Relationship In Hemodialysis With Inter-Dialytic Weight Gain

(IDWG) On Hemodialysis Patients

Abstract

Inter-Dialytic Weight Gain (IDWG) or weight gain between two haemodialysis’ (HD) actions became one of the indicators of successful treatment of HD patients. The higher the IDWG the more fluid accumulates in the patient’s body and the more severe the impact is. The longer a person undergoing HD should be the more he knows about his illness and how to prevent complications so IDWG should be getting down. The correlation research has been done by cross sectional which involved 34 patients who are in haemodialysis treatment during minimum a year at Dumai Regional Public Hospital, capable to make verbal communication, and be able to place on the weight measure. Calculating of IDWG in one cycle’s period in a week on haemodialysis treatment uses weight measure and it records on observation sheet. The Spearman test has been used in analyzing data. The result of the research shows that mean of 22 and minimum and maximum values are 12 and 86 months. Median for IDWG data is 3 and minimum and maximum values are 1 and 4, 5 kilogram. Relationship analysis demonstrates that there is no differentiation among long treatments of haemodialysis with IDWG on haemodialysis patients at Dumai Regional Public Hospital (p value = 0,952) with r = 0,01 value. It be expected that nurses should do analysis of knowledge and understanding to patients regards to control fluid intake and weight, especially in patients who have long haemodialysis treatments to prevent the increase of IDWG which can burden the condition of patients.

Keywords: Fluid excess, IDWG, long-term haemodialysis.

Page 244: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

243JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pendahuluan

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan penyakit kronik yang progresif merusak ginjal sehingga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh yang berdampak pada semua sistem tubuh. PGK saat ini menjadi salah satu penyakit yang banyak terjadi dan menjadi perhatian di dunia termasuk di Indonesia. Jumlah penderita penyakit ini sangat banyak dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) merilis data pertumbuhan jumlah penderita gagal ginjal kronik di dunia pada tahun 2013 meningkat sebesar 50% dari tahun sebelumnya dan di Amerika angka kejadian gagal ginjal kronik meningkat sebesar 50% pada tahun 2014 dan setiap tahun 200.000 orang Amerika menjalani hemodialisis (Widyastuti, 2014). Angka kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih dari 500 juta orang dan yang harus menjalani hemodialis sekitar 1,5 juta orang (Yuliana, 2015). Diperkirakan jumlah penderita PGK di Indonesia sekitar 70.000 orang dan yang menjalani hemodialisis 10.000 orang (Tandi, Mongan, & Manoppo, 2014).

Salah satu pilihan terapi untuk pasien PGK adalah hemodialisis (HD). Hemodialisis dilakukan untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia, seperti kelebihan ureum, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semipermeabel. Pasien PGK menjalani proses hemodialisis sebanyak dua sampai tiga kali seminggu, dimana setiap kali hemodialis rata-rata memerlukan waktu antara empat sampai lima jam (Rahman, Kaunang, & Elim, 2016).

Hemodialisis dipercaya dapat meningkatkan survival atau bertahan hidup pasien PGK (Widianti, Hermayanti, & Kurniawan, 2017). Kemampuan bertahan hidup penderita PGK yang menjalani hemodialisis dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tingkat keparahan penyakit yang dialami, kondisi berbagai sistem tubuh yang terganggu oleh racun akibat PGK, pengaturan intake cairan dan makanan, sampai kepatuhan mengikuti jadwal hemodialisis (Wijayanti, Isroin, & Purwanti, 2017). Pasien hemodialisis ada yang tidak lama bertahan hidup, namun ada juga yang

bertahan hingga bertahun-tahun hidup dengan menjalani hemodialisis (Wahyuni, Irwanti, & Indrayana, 2014). Sekitar 60% sampai 80% pasien hemodialisis meninggal karena kelebihan cairan (Istanti, 2014).

Kelebihan cairan pada pasien HD dapat menimbulkan komplikasi lanjut, seperti hipertensi, aritmia, kardiomiopati, uremic pericarditis, efusi perikardial, gagal jantung, serta edema pulmonal, nyeri pleura, efusi pleura, uremic pleuritis, uremic lung, dan sesak nafas (Prabowo & Pranata, 2014). Indikator keberhasilan pasien HD mengelola cairan adalah dengan mengontrol kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan dalam waktu singkat dapat berarti peningkatan jumlah cairan dalam tubuh.

Peningkatan berat badan yang mengindikasikan kelebihan cairan dikenal dengan Interdialytic Weight Gain (IDWG). IDWG merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik (Istanti, 2014). Menurut Neuman (2013), IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh tidak lebih dari 3% berat badan kering. Berat badan kering ialah berat badan dimana tidak ada tanda-tanda klinis retensi cairan (Linberg, 2010). Semakin tinggi IDWG maka semakin besar jumlah kelebihan cairan dalam tubuh pasien dan semakin tinggi risiko komplikasi. Penelitian Istanti (2014) menunjukkan bahwa semakin meningkat umur pasien, maka IDWG semakin menurun. Namun, masih banyak pasien yang IDWGnya meningkat sejalan dengan peningkatan umur. Bagi pasien HD, semakin meningkat umur berarti semakin lama menjalani hemodialisis.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dumai merupakan rumah sakit terbesar di Kota Dumai yang memiliki unit hemodialisis. Dumai merupakan kota terbesar dan cukup berkembang di daerah pesisir Riau yang penting dan strategis dalam tata letak geografis di Riau. Selain itu, jumlah penduduk juga cukup banyak di kota ini. Berdasarkan data Rekam Medik di RSUD Dumai, jumlah penderita PGK yang menjalani hemodialisis tahun 2015 sekitar 57 orang dan tahun 2016 sebanyak 59 orang. Beberapa pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Dumai menunjukkan terjadi peningkatan IDWG

Bayhakki: Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis dengan Inter-Dialytic Weight Gain

Page 245: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

244 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

pada pasien dengan lama waktu menjalani hemodialisis yang berbeda-beda. Semakin lama orang menjalani HD, memberi peluang bagi pasien untuk lebih adaptatif dengan program terapi. Di sisi lain, semakin lama menjalani HD juga semakin tinggi potensi munculnya komplikasi yang justru dapat menghambat kepatuhan terhadap program terapi. Hasil studi memberikan hasil yang berbeda terhadap hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan IDWG. Studi yang dilakukan oleh Sulistini, Sari, dan Hamid (2013) menunjukkan terdapat hubungan antara lamanya menjalani hemodialisis dengan IDWG. Di sisi lain, studi yang dilakukan Mustikasari dan Noorratri (2017) menunjukkan lamanya hemodialisis tidak secara signifikan berhubungan dengan IDWG. Perbedaan karekteristik pasien dan faktor komplikasi serta kepatuhan terhadap restriksi cairan menjadi penyebab perbedaan hasil-hasil penelitian diatas. Dengan demikian, penting untuk mengidentifikasi lebih lanjut apakah terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan Inter-Dialytic Weight Gain (IDWG) pada pasien hemodialisis di RSUD Dumai.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan desain korelasi dan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dilakukan di RSUD Dumai dimana rumah sakit ini merupakan rumah sakit terbesar di Kota Dumai yang memiliki fasilitas unit hemodialisis.

Pengambilan sampel dilakukan dengan merekrut pasien-pasien hemodialisis di RSUD Dumai yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inkusi pada penelitian ini adalah pasien Chronic Kidney Diseases (CKD) dengan atau tanpa komplikasi yang rutin menjalani hemodialisis minimal sudah berjalan 1 tahun dengan pertimbangan pasien telah dapat beradaptasi dalam menjalani HD, dapat berkomunikasi secara verbal, dapat berdiri untuk ditimbang berat badannya, serta bersedia menjadi responden. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan menjadi reponden penelitian berjumlah 34 orang.

Lama waktu menjalani hemodialisis didapat dengan melihat catatan medis pasien. IDWG dihitung dalam periode siklus satu minggu menjalani hemodialisis menggunakan timbangan dan dicatat di lembar observasi, dimana dalam satu minggu semua responden menjalani hemodialisis sebanyak dua kali. IDWG dihitung dengan cara: setelah hemodialisis pertama selesai, lalu pasien ditimbang berat badannya dan dicatat. Kemudian sebelum hemodialisis kedua dimulai, ditimbang kembali berat badan pasien kemudian dihitung selisihnya dengan berat badan setelah hemodialisis pertama. Data dikumpulkan dan dianalisis secara statisitik menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan uji Spearman, karena data tidak terdistribusi secara normal. Hasil analisis dikatakan berhubungan jika p value > alpha (0,05). Dalam menganalisis data, peneliti fokus pada menganalisis hubungan antara dua variabel yang diteliti saja tanpa mengalisis faktor perancu atau membuat pemodelan tertentu.

Hasil Penelitian

Hasil pengumpulan data pada minggu kedua Agustus 2016 di Unit Hemodialisis RSUD Kota Dumai diketahui bahwa jumlah pasien PGK yang menjalani hemodialisis pada minggu kedua Agustus 2016 tersebut adalah sebanyak 57 orang. Dari jumlah tersebut yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 34 orang pasien. Tabel di bawah ini memberikan gambaran karekteristik responden dan hasil analisis bivariat.

Hasil penelitian dari 34 orang responden, mayoritas adalah responden laki-laki dan berusia pada rentang 40 – 59 tahun. Responden yang termuda adalah mahasiswa berumur 19 tahun dan yang tertua yaitu seorang laki-laki berumur 85 tahun.

Lama waktu menjalani hemodialisis yang paling banyak adalah pada rentang waktu dibawah dua tahun yaitu sebanyak 20 responden atau 58,8%. Berdasarkan data IDWG, yang paling banyak adalah IDGW dibawah tiga kilogram yaitu sebanyak 25 orang responden atau 73,5% dan satu orang responden mengalami IDWG paling tinggi

Bayhakki: Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis dengan Inter-Dialytic Weight Gain

Page 246: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

245JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Tabel 1 Karakteristik Responden Penelitian (n = 34)Karakteristik Pasien Jumlah Persentase

Jenis kelamin Laki-laki

Perempuan 2212

64,735,3

Umur (tahun) : 19-39 40-59 60-85

1114 9

32,341,226,5

Lama menjalani HD (bulan):12-2425-3536-4748-60 ≥61

209131

58,826,52,98,92,9

IDWG (kg):0,0 – 1,01,1 - 2,02,1- 3,03,1 – 4,04,1 – 4,5

461581

11,817,744,123,52,9

Tabel 2 Hasil Analisis Univariat dan Bivariat Variabel PenelitianVariabel Mean SD Median Nilai min &

maxP Value r

Lama menjalani HD 26,65 15,15 22 12 & 86 0,952 0,01IDWG 2,73 1,05 3 1 & 4,5

yaitu 4,5 kilogram. Nilai koefisien korelasi atau r = 0,01 yang menunjukkan hubungan yang sangat lemah dan tidak signifikan (p value = 0,95) antara lama menjalani hemodialisis dengan IDWG.

Pembahasan

Pasien hemodialisis pada umumnya memiliki lama waktu menjalani hemodialisis yang berbeda-beda dan peningkatan berat badan diantara dua hemodialisis yang berbeda-beda juga. Pada penelitian ini didapatkan rata-rata peningkatan berat badan diantara dua tindakan hemodialisis atau Interdialytic Weight Gain (IDWG) adalah 2,73 kilogram. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Wahyuni, Irwanti, dan Indrayana (2014) yang mendapatkan nilai mean 2,67 kilogram. IDWG pada hasil penelitian ini masih diatas nilai IDWG yang dapat ditoleransi tubuh yaitu sebesar 1,5 kilogram (Welch, 2006).

Penambahan nilai IDWG yang terlalu tinggi dapat menimbulkan efek negatif terhadap keadaan pasien, diantaranya hipotensi, kram otot, hipertensi, sesak nafas, mual dan muntah, dan lainnya (Muttaqin & Sari, 2011). Menurut Kanyar dan Kalantar (2009) menambahkan IDWG antara 1,5-2,0 kg berpotensi 25% peningkatan risiko kematian, lebih dari 4,0 kg berpotensi 28% peningkatan risiko kematian dan IDWG dibawah 1,5 kg berpotensi 26%-33% mengalami penurunan risiko kematian.

Banyak faktor yang memengaruhi IDWG, seperti lingkungan, gizi, perilaku pasien, faktor fisiologis, serta faktor psikologis (Hwang, Wang, & Chien, 2007; Sarkar, Kotanko, & Levin, 2006). Andriati dan Rohimi (2016) menyatakan kemampuan pasien hemodialisis mempertahankan IDWG yang normal dipengaruhi oleh kepatuhan pasien dalam mempertahankan berat badan, kesadaran diri sendiri untuk tidak lalai atau lupa, serta didukung oleh keluarga dan

Bayhakki: Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis dengan Inter-Dialytic Weight Gain

Page 247: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

246 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

harapan mendapatkan kualitas hidup lebih baik yang kuat.

Dikaitkan dengan usia responden, pada penelitian ini IDWG tergolong tinggi. Hal ini kemungkinan karena sebagian besar responden berada pada usia 60 tahun kebawah, dimana menurut Sarkar, Kotanko, dan Levin (2006), usia memiliki hubungan yang terbalik dengan IDWG. Semakin bertambah usia pasien, semakin sedikit atau kecil IDWG. Hal ini disebabkan karena penurunan sensasi haus akibat bertambah usia, sehingga konsumsi cairan menurun dan berimplikasi terhadap peningkatan berat badan yang minimal. Pengambilan data secara cross sectional juga dapat menyebabkan hasil penelitian ini menemukan IDWG yang tinggi.

Hasil penelitian ini menunjukkan mean atau rata-rata lama waktu menjalani hemodialis adalah 26,65 bulan. Angka ini jauh lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan Sulistini, Sari, dan Hamid (2013) di Palembang, dimana mereka menemukan lama menjalani hemodialisis hanya 13,86 bulan. Penelitian ini juga menunjukkan lama waktu menjalani hemodialisis pada responden penelitian ini, sebagian besar (58,8%) berada pada rentang satu sampai dua tahun. Hasil ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Riyanto (2011) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa sebagian pasien hemodialisis memiliki lama waktu menjalani hemodialisis rata-rata dua tahun (32,19%). Mailani, Setiawan, dan Cholina (2015) juga mengungkapkan mayoritas pasien pada penelitian mereka telah menjalani hemodialisis lebih dari satu tahun. Rambod dan Rafii (2010) mengungkapkan mayoritas pasien hemodialisis menjalani terapi ini dalam rentang dua sampai empat tahun (67,8%). Tingginya angka lama menjalani hemodialisis menunjukkan juga bahwa sebagian besar pasien hemodialisis mampu bertahan hidup yang cukup lama meskipun dalam kondisi ginjal yang tidak berfungsi dengan baik dan berbagai masalah kesehatan akibat kerusakan ginjal yang dialaminya.

Uji korelasi pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara lama waktu menjalani hemodialisis dengan IDWG. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian

Sulistini, Sari, dan Hamid (2013) dimana mereka mendapatkan ada hubungan antara lama waktu menjalani hemodialisis dengan IDWG. Perbedaan hasil ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perbedaan jumlah responden dimana penelitian mereka tersebut memiliki responden yang lebih banyak dan rata-rata IDWG dan lama waktu menjalani yang lebih rendah daripada hasil penelitian ini. Selain itu, karekteristik responden yang berbeda dan kriteria inklusi yang berbeda menjadi faktor yang dapat menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian tersebut.

Perbedaan hasil ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti tingkat pengetahuan pasien tentang pembatasan cairan dan pengontrolan berat badan, kepatuhan pasien terhadap kontrol asupan cairan, dan lain-lain yang tentu saja dapat memengaruhi IDWG pasien hemodialisis yang tidak dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini. Tidak adanya hubungan antara lama menjalani HD dengan IDWG memberikan implikasi bahwa semakin lama pasien menjalani HD tidak menjamin pasien semakin memahami dan mematuhi pembatasan-pembatasan yang seharusnya dipatuhi, seperti pembatasan masukan atau intake cairan, protein, dan garam yang dapat memperberat kondisi pasien.

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata lama waktu menjalani hemodialisis adalah 26,65 bulan dan rata-rata IDWG dari penelitian ini adalah 2,73 kilogram. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara lama waktu menjalani hemodialiasis dengan IDWG pada pasien hemodialisis di RSUD Dumai (p value = 0,952). Saran dari hasil penelitian ini adalah perlunya dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah responden yang lebih banyak dan melibatkan beberapa rumah sakit yang memiliki unit hemodialisis serta dengan kriteria inklusi yang berbeda. Selain itu, diharapkan perawat mampu menganalisis pengetahuan serta pemahaman pasien tentang perlunya mengontrol asupan cairan dan berat badan untuk mencegah timbulnya masalah

Bayhakki: Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis dengan Inter-Dialytic Weight Gain

Page 248: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

247JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

lebih lanjut akibat kerusakan ginjal yang dialami pasien hemodialisis.

Daftar Pustaka

Andriati, R., & Rohimi, A. (2016). Kepatuhan pasien gagal ginjal kronis (GGK) dalam mempertahankan berat badan diantara dua waktu dialisis (inter dialysis weight gain = IDWG) di Ruang Hemodialisa RS Sari Asih Serang (Skripsi). STIKes Widya Dharma Husada, Tangerang-Indonesia. Tidak dipublikasikan.

Hwang, J., Wang, C.T., & Chien, C.C. (2007). Effect of climatic temperature on fluid gain in hemodialysis patients with different degrees of overhydration. Blood Purification, 25(5-6), 473–479.

Istanti, Y.P. (2104). Hubungan antara masukan cairan dengan interdialytic weight gains (IDWG) pada pasien chronic kidney diseases di Unit Hemodialisis RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Profesi, 10, 14–20.

Kanyar, & Kalantar, Z. (2009). Interdialytic weight gain, mortality linked. Nephrology Nursing Journal, 18. Retrieved November 20, 2016, from http://www.renalandurologynews.com/ interdialytic-weight-gain-mortalitylinked/ article/127528/.

Linberg, M. (2010). Excessive fluid overload among hemodialysis patients: Prevalence, individual characteristic and self regulation of fluid intake. Faculty of Medicine Uppsala Universitet. Retrieved December 10, 2016, from http://www.diva-portal. org/smash/get/diva2:308451/FULLTEXT01.pdf.

Mailani, F., Setiawan, & Cholina, T.S. (2015). Pengalaman spiritualitas pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 3(1), 11-17.

Mustikasari, I., & Noorratri, E.D. (2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai interdialytic weight gain pasien hemodialisa

di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Gaster, 15(1), 78-86.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan keperawatan gangguan sistem perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Neuman, C. (2013). Body weight telemetri is useful to reduce interdialytic weight gain in patients with end-stage renal failure on hemodialysis. Journal of the American telemedicine, 1. Retrieved October 28, 2016, from http: www.ncbi.nlm.nih.gov/.

Prabowo, E., & Pranata, A.E. (2014). Buku ajar asuhan keperawatan sistem perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Rahman, M., Kaunang, T., & Elim, C. (2016). Hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. e-CliniC, 4(1).

Rambod, M., & Rafii, F. (2010). Perceived social support and quality o f life in Iranian hemodialysis patients. Journal of Nursing Scholarship, 42(3), 242–249.

Riyanto, W. (2011). Hubungan antara penambahan berat badan diantara dua waktu hemodialisis (interdialysis weight gain = IDWG) terhadap kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta (Tesis). Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Jakarta. Tidak dipublikasikan.

Sarkar, S.R., Kotanko, P., & Levin, N.W. (2006). Dialysis: Interdialytic weight gain: Implications in hemodialysis patients. Seminars in Dialysis, 19(5), 429-433.

Sulistini, R., Sari, I.P., & Hamid, N.A. (2013). Hubungan antara tekanan darah pre hemodialisis dan lama menjalani hemodialisis dengan penambahan berat badan interdialitik di Ruang Hemodialisis RS Moh. Hoesin Palembang. Poltekes Kemmenkes Palembang, Palembang. Jurnal Kesehatan, 14(1), 1–8.

Bayhakki: Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis dengan Inter-Dialytic Weight Gain

Page 249: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

248 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Tandi, M., Mongan, A., & Manoppo, F. (2014). Hubungan antara derajat penyakit ginjal kronik dengan nilai agregasi trombosit di RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. Jurnal e-Biomedik (eBM), 2.

Wahyuni, Irwanti, W., & Indrayana, S. (2014). Korelasi penambahan berat badan diantara dua waktu dialisis dengan kualitas hidup pasien menjalani hemodialisa. JNKI, 2(2), 51-56.

Welch, L. (2006). Patterns of interdialytic weight gain during the first year of hemodialysis. Nephrology Nursing Journal, 33, 493-498. Retrieved November 5, 2016, from http://web.ebscohost. com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?sid=e89b5333-8 f 0 d - 4 4 1 b - a 4 3 e 7 2 f a 2 3 6 8 9 9 8 f %40sessionmgr11&vid =1&hid=12.

Widianti, A.T., Hermayanti, Y., & Kurniawan, T. (2017). Pengaruh latihan kekuatan

terhadap restless legs syndrome pasien hemodialisis. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(1), 47-56.

Widyastuti, R. (2014). Korelasi lama menjalani hemodialisis dengan indeks massa tubuh pasien gagal ginjal kronik di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Jurnal Gizi, 1(2).

Wijayanti, W., Isro’in, L., & Purwanti, L.E. (2017). Analisis perilaku pasien hemodialisis dalam pengontrolan cairan tubuh. Indonesian Journal for Health Sciences, 1(1), 10-16.

Yuliana, Y. (2015). Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta (Skripsi). STIKES Aisyiyah, Yogyakarta.

Bayhakki: Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis dengan Inter-Dialytic Weight Gain

Page 250: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

249JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) untuk Meningkatkan Nilai Sub-Indeks Penyakit Menular

Ika Dharmayanti, Dwi Hapsari TjandarariniPuslitbang Uapaya Kesehatan Masyarakat

Email: [email protected]

Abstrak

Sejak tahun 2009, Kementerian Kesehatan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan telah merumuskan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) untuk menggambarkan kesehatan masyarakat Indonesia. Tahun 2013, IPKM dijabarkan dalam tujuh subindeks yaitu kesehatan balita, kesehatan reproduksi, pelayanan kesehatan, perilaku kesehatan, penyakit tidak menular, penyakit menular, dan kesehatan lingkungan. Penyakit diare dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita serta pneumonia merupakan penyakit infeksi yang digunakan dalam perhitungan subindeks penyakit menular dalam IPKM 2013. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi indikator-indikator dalam IPKM yang dapat meningkatkan nilai subindeks penyakit menular. IPKM merupakan komposit dari 30 indikator kesehatan utama yang dihitung dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Disain Riskesdas 2013 merupakan survei potong lintang dengan jumlah sampel yaitu seluruh rumah tangga di 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota di Indonesia. Analisis data menggunakan regresi linier. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa indikator cakupan akses sanitasi (p = 0,000), cakupan air bersih (p = 0,027), serta cakupan perilaku masyarakat dalam bercuci tangan dengan benar (p = 0,001) memiliki peran penting dalam meningkatkan nilai subindeks penyakit menular. Sehingga diharapkan dengan adanya peningkatan cakupan tiga indikator diatas, maka nilai tiga subindeks (penyakit menular, kesehatan lingkungan, dan perilaku kesehatan) akan turut meningkat. Oleh karena itu, apabila kabupaten/kota ingin meningkatkan nilai subindeks penyakit menular, yang perlu diperhatikan yaitu intervensi terhadap lingkungan dan perilaku manusia. Dengan demikian, nilai IPKM kabupaten/kota juga akan meningkat.

Kata kunci: Lingkungan, penyakit menular, perilaku.

Identification of Indicators on Public Health Development (IPKM) to Increase Sub Index Value of Infectious Disease

Abstract

Since 2009, ministry of health through research and health development has formulated index of Public Health Development (IPKM) in order to describe Indonesian health. In 2013, IPKM consists into seven sub indexes; they are health of toddlers, reproduction health, health services, health behavior, non infectious disease, infectious disease and environmental health. Diarrhea and acute respiratory infection (ISPA) as well as pneumonia on toddlers are infectious diseases used in the calculating on Health Basic Research (Riskesdas) in 2013. The design of Riskesdas 2013 is a cross-sectional survey with a total sample of all households in 33 provinces and 497 districts / cities in Indonesia. Linear regression has been used in analyzing data. The result of the research found that indicators of coverage of sanitation access is (p = 0,000), hygienic water (p= 0,027), as well as health behavior through washing hand correctly (p = 0,001) play an important role in increasing value of sub-infectious diseases. So it is expected that with the increase of coverage of three indicators above, then the value of three sub-indexes (infectious disease, environmental health, and health behavior) will also increase. Therefore, if the district / city wants to increase the value of infectious disease sub-index, it should be noted that the intervention to the environment and human behavior. Thus, the value of district / city IPKM will also increase. Keywords: Behavior, environment, infectious diseases.

Page 251: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

250 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pendahuluan

Penyakit menular merupakan masalah penting bidang kesehatan di hampir semua negara berkembang. Hal ini karena angka kesakitan dan kematiannya yang relatif tinggi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular adalah sebuah penyakit infeksi yang disebabkan oleh sebuah agen biologi, seperti virus, bakteria atau parasit. Penyakit ini dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain, baik secara langsung maupun dengan perantara. Secara garis besar cara penularan penyakit menular dapat melalui media langsung, yaitu dari orang ke orang, contoh melalui permukaan kulit. Melalui media udara disebut sebagai airborne disease, contoh penyakit yang dapat ditularkan dan menyebar secara langsung maupun tidak langsung melalui udara pernapasan. Melalui media air disebut sebagai waterborne disease atau water related disease, contoh penyakit yang ditularkan melalui air. Melalui media vektor, sering juga disebut sebagai vector-borne diseases merupakan penyakit yang seringkali bersifat endemis maupun epidemis dan sering menimbulkan bahaya kematian (Widoyono, 2008). Umumnya, penyakit menular jenis ini disebut juga penyakit berbasis lingkungan. Hal ini dikarenakan timbulnya penyakit disebabkan oleh adanya interaksi manusia dengan sekitarnya yang memiliki potensi penyakit.

Data penyakit menular di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan bahwa diare sebagai salah satu penyakit menular dan merupakan penyebab kematian terbanyak pada anak dibawah lima tahun. Diare sebagai penyebab kematian anak umur dibawah satu tahun sebanyak 31 persen, dan kematian anak umur 1 – 4 tahun sebanyak 25 persen (Kemenkes RI, 2008). Menurut Riskesdas tahun 2013, insiden diare pada balita sekitar 7 persen (Kemenkes RI, 2013b). Penyakit diare merupakan gangguan Buang Air Besar (BAB) lebih dari 3 kali dalam sehari, dengan konsistensi tinja cair dan dapat disertai darah atau lendir (Depkes RI, 2000). Penyakit menular lainnya yaitu infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita. Penyakit ISPA pada umumnya diawali dengan panas tinggi yang disertai dengan

tenggorokan sakit atau nyeri saat menelan, pilek, batuk kering atau berdahak (Ditjen PPM & PL, 2012). Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, dua kelompok umur yang paling banyak menderita ISPA yaitu kelompok umur dibawah 1 tahun sebesar 35 persen dan kelompok umur 1 – 4 tahun sebesar 42 persen (Kemenkes RI, 2013b). Hal ini menandakan kedua kelompok umur ini rentan terhadap penyakit ISPA karena sistem pertahanan tubuh masih dalam tahap perkembangan sehingga mudah terkena penyakit infeksi (Hayati, 2014). Selain diare dan ISPA pada balita, indikator penyakit menular yang penting menjadi perhatian yaitu pneumonia. Penyakit ini merupakan infeksi akut yang menyerang jaringan paru-paru (alveoli). Gejala pada penyakit ini yaitu panas tinggi yang disertai batuk berdahak, nafas cepat (frekuensi nafas > 50 kali/menit), sesak dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah, dan nafsu makan berkurang) (Ditjen PPM & PL, 2012). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 dan 2013, period prevalence pneumonia untuk seluruh kelompok umur sekitar 2 persen (Kemenkes RI, 2008, 2013b). Sedangkan berdasarkan data mortalitas menurut jenis penyakit (menular dan tidak menular) pada Riskesdas 2007, pneumonia merupakan penyebab kematian ketiga dengan presentase lebih dari 14 persen pada semua kelompok umur setelah tuberkulosis (TB) dan penyakit hati (Kemenkes RI, 2008).

Masih tingginya prevalensi penyakit menular di Indonesia dan sifat menular yang dapat menyebabkan wabah serta menimbulkan kerugian yang besar, maka penyakit menular menjadi salah satu dari tujuh subindeks yang dilibatkan dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013. IPKM yang disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan merupakan kumpulan indikator kesehatan yang mudah dan dapat diukur secara langsung untuk melihat permasalahan kesehatan (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan IPKM dapat diketahui peningkatan dan penurunan nilai maupun peringkat status kesehatan kabupaten/ kota. Manfaat lain dari IPKM adalah pemantauan status kesehatan masing-masing kabupaten/kota dan diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan umur harapan

Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Page 252: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

251JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

hidup masyarakat Indonesia.Penyusunan IPKM dimulai Balitbangkes

pada tahun 2009 berdasarkan 24 indikator dengan menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007-2008, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2007, dan Potensi Desa (Podes) tahun 2008. Pada tahun 2014 dengan menggunakan Riskesdas 2013 dan Podes 2011, IPKM 2007 tersebut disempurnakan metode hitungnya dan jumlah indikator menjadi 30 indikator. Penambahan indikator bertujuan untuk memperkaya informasi yang dapat mendukung pengambilan kebijakan dalam menentukan dasar pembangunan kesehatan. Perubahan metode hitung bertujuan mempermudah penentuan masalah kelompok indikator yang harus diintervensi. Kelompok indikator atau subindeks yang dibentuk pada IPKM 2013 adalah kesehatan reproduksi, pelayanan kesehatan, perilaku kesehatan, penyakit tidak menular, penyakit menular, kesehatan lingkungan, dan kesehatan balita (Kemenkes RI, 2014).

Subindeks penyakit menular merupakan salah satu hal yang penting diperhatikan karena umumnya penyakit menular bersifat akut dan menyerang semua lapisan masyarakat. Indikator yang dilibatkan dalam subindeks penyakit menular adalah pneumonia semua umur, diare, dan ISPA pada balita. Jika dilihat media penularan penyakit ini adalah faktor lingkungan dan perilaku. Fasilitas sanitasi yang tidak layak akan mencemari air dan dapat menjadi sumber penularan penyakit. Ketersediaan air bersih yang memenuhi syarat mempunyai peran penting untuk kesehatan. Kurangnya akses terhadap air bersih merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kejadian diare dan kematian anak balita di Indonesia. Faktor penting lain yaitu berperilaku hidup bersih agar tidak mudah terserang penyakit, seperti perilaku cuci tangan dengan benar dan buang air besar (BAB) di jamban.

Berdasarkan data dan teori di atas, maka dalam artikel ini akan membahas upaya peningkatan nilai subindeks penyakit menular melalui indikator pada kelompok subindeks kesehatan lingkungan dan kelompok subindeks perilaku kesehatan. Subindeks kesehatan lingkungan terdiri dari akses air bersih dan sanitasi, sedangkan subindeks

perilaku kesehatan terdiri dari cuci tangan dengan benar dan buang air besar di jamban. Upaya peningkatan nilai subindeks penyakit menular berarti menurunkan prevalensi penyakit pneumonia, diare, dan ISPA.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data Riskesdas 2013 milik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riskesdas 2013 adalah survei dengan desain potong lintang. Populasi sampel dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga di 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota di Indonesia (Kemenkes RI, 2013a).

Data Riskesdas 2013 dan Podes 2011 kemudian diolah menjadi IPKM yang memiliki 30 indikator dan 7 kelompok indikator (subindeks). Dari data IPKM tersebut, yang digunakan sebagai variabel terikat pada penelitian ini adalah nilai subindeks penyakit menular yang diperoleh dari penjumlahan nilai indikator diare balita, ISPA balita, dan pneumonia dikalikan bobot indikator.

Variabel bebas terdiri dari indikator pada subindeks kesehatan lingkungan yaitu akses sanitasi dan akses air bersih serta subindeks perilaku kesehatan yaitu cuci tangan dengan benar dan BAB di jamban. Data cakupan akses sanitasi diperoleh dari komposit kepemilikan jamban dengan jenis kloset leher angsa. Data kecukupan air bersih diperoleh dari komposit sumber air utama rumah tangga yang menggunakan sumber air terlindung, seperti air ledeng, air eceran, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, dan mata air terlindung dengan penggunaan minimal 20 liter/orang/hari dan berjarak kurang dari 1 km (Kemenkes RI, 2013a).

Variabel dari subindeks perilaku kesehatan, yaitu proporsi perilaku cuci tangan diperoleh dari cuci tangan dengan sabun pada kondisi sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor (memegang uang, binatang, berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi, setelah menggunakan pestisida/insektisida dan sebelum menyusui bayi. Data perilaku BAB diperoleh dari kebiasaan buang

Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Page 253: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

252 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

air besar di jamban (Kemenkes RI, 2013a).Analisis data dilakukan menggunakan

software SPSS versi 16 milik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dengan serial number 5061284. Analisis menggunakan regresi linier dari masing-masing cakupan indikator: sanitasi, akses air bersih, perilaku cuci tangan, dan BAB di jamban terhadap nilai subindeks penyakit menular.

Hasil Penelitian

Laporan Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga di Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi hasilnya cukup menggembirakan, yaitu terjadi penurunan persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses fasilitas sanitasi. Akses sanitasi yang terdapat dalam laporan Riskesdas, sesuai kriteria JMP (Joint Monitoring Program) WHO/UNICEF tahun 2006. Proporsi rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang baik, pada tahun 2007 sebesar 59,7%; tahun 2010 sebesar 48,5%; dan tahun 2013 sebesar 40,2% (Kemenkes RI, 2013b). Sedangkan

untuk akses air bersih, laporan Riskesdas tahun 2007 menyebutkan persentase rumah tangga yang kurang mendapatkan akses terhadap air bersih sesuai kriteria JMP WHO/UNICEF sebesar 42,3%. Pada tahun 2010 yang kurang mendapat akses terhadap air minum sebesar 46,3%. Sedangkan pada tahun 2013, akses air minum tidak tercapai pada 33,2% rumah tangga (Kemenkes RI, 2013b).

Kelompok indikator perilaku yang dibahas dalam artikel ini yaitu perilaku cuci tangan dengan benar dan buang air besar (BAB) di jamban. Kebiasaan cuci tangan dengan benar berdasarkan laporan Riskesdas, data tahun 2013 sebesar 47%, lebih tinggi dibandingkan data tahun 2007 yang sebesar 23,2% (Kemenkes RI, 2013b). Dengan adanya peningkatan perilaku cuci tangan dengan benar diharapkan dapat menurunkan insiden penyakit menular di masyarakat. Perilaku BAB di jamban menurut laporan Riskesdas 2007 dan 2013 terjadi peningkatan. Tahun 2007 sebesar 71,1% dan tahun 2013 menjadi 82,6% (Kemenkes RI, 2008, 2013b). Hal ini berarti meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih agar tidak

Tabel 1 Indikator Lingkungan dan Perilaku terhadap Nilai Sub-Indeks Penyakit Menular

Variabel R square BSig.

(p value)95% Confidence Interval for B

Lower bound Lower bound

Sanitasi 0,147 0,653 0,000 0,632 0,675Akses air bersih 0,016 0,725 0,005 0,707 0,743

Cuci tangan 0,064 0,682 0,000 0,658 0,705Buang air besar 0,113 0,590 0,000 0,550 0,630

Tabel 2 Hasil Uji Multivariabel

Variabel

Unstandardized coefficients

Standardized coefficients

tSig.

(p value)

95% Confidence Interval for B

B SE B Lower bound

Upper bound

Konstanta 0,634 0,013 47,583 0,000 0,608 0,661Sanitasi 0,002 0,000 0,385 7,820 0,000 0,001 0,002

Akses air bersih

0,000 0,000 -0,105 -2,212 0,027 -0,001 0,000

Cuci tangan 0,001 0,000 0,146 3,312 0,001 0,000 0,000

Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Page 254: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

253JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

mudah terserang penyakit. Masyarakat miskin perkotaan merupakan kelompok masyarakat paling rentan terhadap buruknya fasilitas sanitasi dan akses terhadap air bersih, sehingga perilaku cuci tangan pun menjadi terkendala karena kurangnya akses terhadap air bersih.

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa indikator sanitasi, akses air bersih, cuci tangan dengan benar, dan BAB di jamban menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai subindeks penyakit menular (nilai p < 0,05). Masing-masing menunjukkan hubungan positif, sebagai contoh jika cakupan perilaku cuci tangan meningkat maka nilai subindeks penyakit menular akan meningkat. Nilai subindeks merupakan kumpulan indikator positif yaitu indikator tidak sakit pneumonia, tidak diare, dan tidak ISPA.

Hasil uji multivariabel pada tabel 2, diperoleh 3 indikator yang berhubungan secara bermakna dengan nilai subindeks penyakit menular. Sedangkan perilaku BAB di jamban tidak menunjukkan hubungan yang bermakna (nilai p > 0,05). Berdasarkan hasil analisis multivariabel, diperoleh model dengan nilai p sebesar 0,000 dan R square 0,171. Model ini memenuhi syarat uji regresi linier, dengan nilai Durbin Watson sebesar 1,714; hasil uji anova model 0,00; dan nilai mean residual sebesar 0,00. Titik scatter plot menyebar tidak memiliki pola tertentu yang jelas dan grafik histogram menunjukkan distribusi normal.

Dari model statistik ini diketahui bahwa indikator sanitasi, akses air bersih, dan perilaku cuci tangan sangat berperan dalam peningkatan nilai subindeks penyakit menular. Dengan demikian apabila terjadi penurunan nilai indikator kelompok lingkungan dan perilaku cuci tangan, dapat menurunkan nilai subindeks penyakit menular dan dapat berakibat pada penurunan nilai IPKM kabupaten/kota tersebut.

Pembahasan

Diare, ISPA, dan pneumonia merupakan penyakit menular yang paling sering diderita oleh semua kelompok umur. Ketiga penyakit ini terutama rentan diderita anak-anak dan bisa menyebabkan kematian, umumnya

karena pneumonia. Pneumonia merupakan infeksi jaringan paru-paru (alveoli) dan bersifat akut. Klasifikasi pneumonia menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) berdasarkan penyebab, dibagi atas: (1) pneumonia bakteri/tipikal yang disebabkan oleh bakteri penumokokus; (2) pneumonia akibat virus oleh virus influenza; dan (3) pneumonia jamur, merupakan infeksi sekunder pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised).

ISPA dan pneumonia dapat dicegah dengan menggunakan masker saat di luar rumah, mencuci tangan dengan benar, serta perilaku sehat lainnya. Hal ini berlaku juga untuk mencegah penyakit diare. Umumnya, diare pada anak-anak yang tidak ditangani dengan segera, dapat menyebabkan kekurangan cairan, lemas, dehidrasi berat bahkan hingga kematian. Widjaja (2002) menyatakan, penyebab diare sebagian besar oleh infeksi virus, bakteri, basil, parasit atau jamur. Penularannya melalui tangan yang kotor, botol maupun alat makan.

Masih tingginya prevalensi penyakit berbasis lingkungan di masyarakat, erat kaitannya dengan faktor lingkungan serta perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah. Umumnya, permasalahan yang terkait dengan penyakit berbasis lingkungan yaitu tidak tersedianya air bersih, kurangnya pemanfaatan jamban sehat, pencemaran air, tanah dan udara oleh limbah rumah tangga dan industri. Oleh karena itu, indikator lingkungan dalam IPKM yaitu akses sanitasi dan air bersih merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan sehari-hari untuk mengatasi penyakit menular yang berbasis lingkungan.

Sanitasi dan air bersih merupakan salah satu dari sasaran Milenium Development Goal (MDGs) 2015 yang diharapkan dapat tercapai pada lebih dari setengah jumlah penduduk. Permasalahan sanitasi terkait dengan ketersediaan jamban di rumah, masih harus menjadi perhatian pemerintah. Berdasarkan laporan Riskesdas 2013 menunjukkan kepemilikan fasilitas tempat buang air besar di perkotaan (84,9%) dan di perdesaan (67,3%) merupakan milik sendiri, sedangkan sisanya merupakan fasilitas milik bersama dan umum. Bahkan, sebanyak 20,8% rumah tangga di perdesaan masih BAB sembarangan, sedangkan di perkotaan

Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Page 255: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

254 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

sebesar 5,1% rumah tangga yang melakukan BAB di sembarang tempat (Kemenkes RI, 2013b). Kepemilikan tempat BAB juga merupakan hal penting dalam stimulasi toilet training pada anak prasekolah di Poliklinik Anak Rumah Sakit TK. II Dustira Cimahi (Andriyani et al., 2014). Dengan kepemilikan tempat BAB sendiri, ibu dapat mengajarkan anak untuk melakukan BAK dan BAB sendiri.

Buruknya akses sanitasi juga dapat meningkatkan prevalensi virus hepatitis A (Sunartyasih & Kartikasari, 2013), penyakit diare (Anwar & Musadad, 2009), dan lainnya. Masih rendahnya akses sanitasi yang layak serta masih rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan lingkungan, dapat memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat.

Air sangat diperlukan untuk keperluan sehari-hari, untuk kegiatan mencuci, memasak, minum hingga untuk kebersihan keluarga. Saat ini, ketersediaan air bersih semakin berkurang setiap harinya, akibat pertambahan penduduk dan pencemaran limbah industri dan rumah tangga. Dampak dari kelangkaan air bersih terhadap kesehatan masyarakat yaitu timbulnya penyakit seperti diare, tipus, polio dan cacingan yang dapat berjangkit di masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga ketersediaan sumber air bersih.

Hasil analisis indikator sanitasi, akses air bersih dan perilaku cuci tangan memiliki hubungan yang bermakna dengan kelompok indikator penyakit menular. Studi yang mengaitkan indikator penyakit menular diare balita telah dibahas oleh Azhar, Kumala, dan Hapsari (2015) di wilayah DKI Jakarta. Hasil penelitian Azhar menyebutkan 47,1% balita yang menggunakan air minum isi ulang sebagai sumber air minum keluarga berpotensi terkena diare. Penggunaan air minum yang tidak aman (unimproved), memiliki odds 1,9 kali untuk menyebabkan diare pada balita dibandingkan air minum yang aman (improved) setelah dilakukan pengontrolan terhadap perilaku cuci tangan ibu dan sanitasi yang aman. Penggunaan air minum yang tidak aman seperti air minum isi ulang perlu menjadi perhatian pemerintah untuk pemantauan kualitas bakteriologis sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat. Bahkan, untuk konsumsi sebagai air minum,

air isi ulang perlu diolah terlebih dahulu seperti dimasak hingga mendidih untuk mencegah kontaminasi bakteri patogen.

Penelitian terkait diare balita juga telah telah dilakukan oleh Anwar dan Musadad (2009). Penelitian ini menyebutkan bahwa yang berpengaruh pada kejadian diare balita yaitu kualitas fisik air (kekeruhan dan bau), jumlah pemakaian serta kemudahan dalam memperoleh air bersih tersebut. Selain itu, tempat BAB, kepemilikan jamban dan jenis jamban juga memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian diare balita. Dengan demikian, akses terhadap air bersih dan sanitasi sangat mempengaruhi kejadian diare balita. Hubungan diare balita dengan faktor lingkungan (sumber air minum, tempat pembuangan tinja, dan jenis lantai) telah dilakukan oleh Wulandari (2009) dan diare balita dengan dengan tempat pembuangan tinja oleh Soentpiet, Manoppo, dan Wilar (2015). Selain itu, masih banyak publikasi yang mengaitkan antara diare balita dengan faktor lingkungan, serta adanya hubungan yang bermakna antara keduanya. Hal ini membuktikan bahwa untuk menurunkan kejadian diare balita perlumenjadikan prioritas perbaikan sarana dan prasarana lingkungan seperti akses air dan sanitasi di tempat tinggal.

Faktor perilaku cuci tangan dengan benar juga memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian diare. Purwandari, Ardiana, dan Wantiyah (2013) menyebutkan bahwa diperoleh nilai p = 0,000 antara perilaku cuci tangan dengan diare pada anak usia sekolah di Kabupaten Jember. Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Rosyidah (2014) yang menunjukkan adanya hubungan perilaku cuci tangan dengan diare di SDN Ciputat 02. Mencuci tangan menggunakan sabun dapat memutuskan mata rantai penyakit. Kuman penyakit dalam kotoran dan lemak yang menempel di tangan, dapat terlepas saat tangan digosok dengan sabun. Kuman-kuman tersebut menempel di tangan setelah bersentuhan dengan kotoran manusia, binatang, ataupun benda lain yang terkontaminasi kuman.

Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun menurut Pusat Data dan Informasi (2014) terbukti dapat mengurangi infeksi hingga 25%. Cuci tangan dengan sabun dapat

Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Page 256: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

255JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

menurunkan kejadian diare (31%) dan ISPA (21%). Hasil riset global juga menunjukkan bahwa kebiasaaan mencuci tangan dengan benarbahkan dapat mencegah kejadian diare hingga 50% dan ISPA hingga 45% (Fazriyati, 2013). Menurut Aiello, Coulborn, Perez, dan Larson, (2008), cuci tangan dengan sabun pada umumnya dapat menurunkan risiko penyakit saluran pencernaan (31%) dan pernafasan (21%). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Carabin et al. (1999) dan Roberts et al. (2000) di tempat pengasuhan anak menunjukkan bahwa adanya intervensi pada pengasuh anak yaitu program cuci tangan dengan sabun pada pengasuh anak di tempat pengasuhan anak dapat menurunkan penyakit ISPA pada anak di bawah 24 bulan. Hasil penelitian Merk, Kühlmann-berenzon, Linde, dan Nyrén (2014) menyebutkan bahwa banyaknya cuci tangan yang dilakukan berulang kali selama 1 hari, ternyata tidak menurunkan secara signifikan kejadian ISPA (5-9 kali OR=1,08; 10-19 kali 1,22; ≥ 20 kali OR = 1,03). Akan tetapi cuci tangan dengan sabun secara signifikan dapat mengurangi risiko ISPA.

Selain itu, cuci tangan dengan sabun juga dapat menurunkan risiko pneumonia menurut (Luby et al., 2005). Ibu dengan perilaku yang tidak sehat juga dapat meningkatkan risiko balita menderita pneumonia (1,13 – 5,5) kali lebih besar daripada ibu dengan perilaku yang tidak sehat (Sundari, Pratiwi, & Khairudin, 2014). Salah satu perilaku sehat dalam penelitian ini yaitu cuci tangan dengan sabun.

Oleh karena itu, apabila kabupaten/kota ingin menurunkan prevalensi penyakit menular di wilayahnya atau meningkatkan nilai subindeks penyakit menular, yang perlu diperhatikan yaitu intervensi terhadap lingkungan dan perilaku manusia. Komponen yang terkait dengan permasalahan ini yaitu peningkatan cakupan akses sanitasi, cakupan air bersih, serta cakupan perilaku masyarakat dalam bercuci tangan dengan benar. Hal ini sejalan dengan teori Blum, bahwa dua faktor dominan yang sangat berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat yaitu kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih. Dua komponen ini yang sangat mungkin untuk diintervensi dan merupakan dasar dilakukannya tindakan promotif dan preventif pada sebagian besar permasalahan penyakit

menular pada khususnya dan kesehatan pada umumnya.

Simpulan

Penyakit menular dapat menjadi prioritas intervensi karena sifat menularnya yang bisa menyebabkan wabah dan kematian. Penyebabnya yaitu kurangnya akses air bersih dan sarana sanitasi yang layak di pemukiman dan tempat umum. Selain itu, perubahan perilaku yang paling sederhana yaitu mencuci tangan dengan sabun, diharapkan dapat menurunkan prevalensi penyakit menular. Melalui peningkatan cakupan tiga indikator tersebut maka akan sekaligus meningkatkan tiga nilai subindeks yaitu penyakit menular, kesehatan lingkungan, dan perilaku kesehatan. Hasil akhir dari peningkatan nilai tiga subindeks maka akan meningkatkan nilai IPKM kabupaten/ kota.

Nilai IPKM dapat digunakan Kabupaten/Kota sebagai dasar dalam merencanakan program pembangunan kesehatan dan menentukan alokasi anggaran kesehatan daerah. Manfaat lain dari IPKM sebagai bahan advokasi untuk meningkatkan peringkat provinsi, kabupaten/kota berdasarkan permasalahan di masing-masing sub indeks.

Daftar Pustaka

Aiello, A.E., Coulborn, R.M., Perez, V., & Larson, E.L. (2008). Effect of hand hygiene on infectious disease risk in the community setting: A meta-analysis, 98(8), 1372–1382. http://doi.org/10.2105/AJPH.2007.124610.

Andriyani, S., Ibrahim, K., Wulandari, S. (2014). Analisis faktor-faktor yang berhubungan toilet training pada anak prasekolah (Analysis of factors related to toilet training in preschool age children). Jurnal Keperawatan Padjajaran, 2(3), 146–153.

Anwar, A., & Musadad, A. (2009). Pengaruh akses penyediaan air bersih terhadap kejadian diare pada balita. Jurnal Ekologi Kesehatan, 8(2), 953–963.

Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Page 257: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

256 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Azhar, K., Kumala, D.S., & Hapsari, D. (2015). Diare balita di Provinsi DKI Jakarta ditinjau dari aspek air minum, sanitasi dan PHBS (analisis data Riskesdas 2013). Jurnal Ekologi Kesehatan, 14(1), 29–40.

Carabin, H., Gyorkos, T.W., Soto, J.C., Joseph, L., Payment, P., & Collet, J.P. (1999). Effectiveness of a training program in reducing infections in toddlers attending day care centers. Epidmeiology, 10(3), 219–227.

Depkes RI. (2000). Buku pedoman pelaksanaan program P2 diare. Jakarta: Ditjen PPM dan PL.

Fazriyati, W. (2013, September). Kebiasaan CTPS di RS tekan infeksi nosokomial. Kompas.com. Jakarta. Retrieved from http://lifestyle.kompas.com/read/2013/09/26/1643106/Kebiasaan.CTPS.di.RS.Tekan.Infeksi.Nosokomial.

Hayati, S. (2014). Gambaran faktor penyebab infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung. Jurnal Ilmu Keperawatan, 2(1), 62–67.

Indonesia, P.D.P. (2003). Pneumonia komuniti: Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.

Kemenkes RI. (2013a). Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional 2013. http://doi.org/1 Desember 2013.

Kemenkes RI. (2008). Riset kesehatan dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Kemenkes RI. (2013b). Riset kesehatan dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Kemenkes RI. (2014). Indeks pembangunan kesehatan masyarakat. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Kemenkes RI. (2012). Pedoman pengendalian infeksi saluran pernafasan akut. Jakarta: Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Kemenkes RI. (2014). Perilaku mencuci tangan pakai sabun di Indonesia. Pusat Data dan Informasi. Jakarta.

Luby, S.P., Agboatwalla, M., Feikin, D.R., Painter, J., Ms, W.B., Altaf, A., & Hoekstra, R.M. (2005). Effect of handwashing on child health: A randomised controlled trial. The Lancet, 366, 225–233.

Merk, H., Kühlmann-berenzon, S., Linde, A., & Nyrén, O. (2014). Associations of hand-washing frequency with incidence of acute respiratory tract infection and influenza-like illness in adults: A population-based study in Sweden. BioMed Central, 14(509), 1–8. http://doi.org/10.1186/1471-2334-14-509.

Purwandari, R., Ardiana, A., & Wantiyah. (2013). Hubungan antara perilaku mencuci tangan dengan insiden diare pada anak usia sekolah di Kabupaten Jember. Jurnal Keperawatan, 4(2), 122–130.

Roberts, L., Smith, W., Jorm, L., Patel, M., Douglas, R.M., & McGilchrist, C. (2000). Respiratory infection in child care: A randomized controlled trial. Pediatrics, 105(4), 738–742.

Rosyidah, A.N. (2014). Hubungan perilaku cuci tangan terhadap kejadian diare pada siswa di Sekolah Dasar Negeri Ciputat 02.

Soentpiet, M.G., Manoppo, J.I.C., & Wilar, R. (2015). Hubungan faktor sosiodemografi dan lingkungan dengan diare pada anak balita di Derah Aliran Sungai Tondano. Jurnal E-Clinic (eCl), 3(3), 820–825.

Sunartyasih, R., & Kartikasari, L.A. (2013). Hubungan host dan lingkungan dengan manifestasi klinis hepatitis (The relationships between host and environtment with clinical manifestation of Hepatitis A). Jurnal Keperawatan Padjajaran, 1(2), 72–78.

Sundari, S., Pratiwi, & Khairudin. (2014). Perilaku tidak sehat ibu yang menjadi faktor resiko terjadinya ISPA pneumonia pada balita. Jurnal Pendidikan Sains, 2(3), 141–147.

Widjaja. (2002). Mengatasi diare dan

Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Page 258: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

257JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

keracunan pada balita. Jakarta: Kawan Pustaka.

Widoyono. (2008). Penyakit tropis: Epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

Wulandari, A.P. (2009). Hubungan antara faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi dengan kejadian diare pada balita di desa Blimbing kecamatan Sambirejo kabupaten Sragen tahun 2009.

Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Page 259: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

258 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart rate, respiration rate, Saturasi Oksigen pada Bayi Prematur

Etika Emaliyawati1, Sari Fatimah1, Lydia1,2

1Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran, 2Rumah Sakit LimijatiEmail: [email protected]

Abstrak

Bayi prematur yang terpasang alat bantu napas harus dalam kondisi tenang sehingga ada sinkronisasi antara napas bayi dengan alat bantu napas yang dimanifestasikan dengan perubahan heart rate, respiration rate dan saturasi oksigen. Salah satu cara membuat bayi tenang selama penggunaan alat bantu napas adalah pemberian terapi musik lullaby. Tujuan penelitian ini untuk melihat pengaruh terapi musik lullaby terhadap heart rate, respiration rate dan saturasi oksigen pada bayi prematur yang terpasang alat bantu napas. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment design with pre-post test without control group terhadap 22 bayi prematur yang dipilih secara non probability sampling melalui pendekatan purposive dengan kriteria bayi dipasang alat bantu napas, usia gestasi 24–36 minggu, dan tidak mengalami ensepalofati hipoksik iskemik. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran heart rate, respiration rate, dan saturasi oksigen sebelum dan setelah terapi musik lullaby diberikan dan setelah musik lullaby diberikan selama 3 hari. Analisis data yang digunakan adalah uji t-dependen. Hasil menunjukkan adanya perbedaan rata-rata heart rate, respiration rate, dan saturasi oksigen pada hari pertama sebelum terapi musik lullaby diberikan dibandingkan dengan hari ketiga setelah terapi musik lullaby diberikan dengan nilai pvalue <0,05 untuk heart rate, pvalue <0,05 untuk respiration rate, dan pvalue <0,05 untuk saturasi oksigen. Pemberian musik lullaby terbukti mampu membuat bayi prematur tenang dan dapat dilakukan di tempat perawatan bayi prematur lainnya yang terpasang alat bantu napas sebagai salah satu upaya mempertahankan ketenangan pada bayi prematur.

Kata kunci: Bayi prematur, heart rate, respiration rate, saturasi oksigen, terapi musik lullaby.

Effect of Lullaby Music Therapy on Heart Rate, Respiration Rate, Oxygen Saturation on Prematur Infant

Abstract

Premature infants assisted with breathing apparatus should be in calm condition so that there is synchronization between the baby’s breath and the breathing apparatus manifested by changes in heart rate, respiration rate and oxygen saturation. One way to make babies calm during the use of breathing aids is the provision of lullaby music therapy. The purpose of this study was to find out the effect of lullaby music therapy on heart rate, respiration rate and oxygen saturation in premature infants with breathing apparatus. This study used quasi experiment design with pre-post test without control group to 22 preterm babies selected by nonprobability sampling technique via purposive approach with criteria of infant with breathing apparatus, gestational age 24-36 weeks, and no ischemic hypoxic ensepalofati. Samples taken were heart rate measurement, respiration rate, and oxygen saturation before and afterlullaby music therapy was given for 3 days. Data analysis used was t test dependent. The statistical results showed the difference in heart rate, respiration rate and oxygen saturation on the first day before lullaby music therapy was administered compared to the third day after lullaby music therapy was administered with a pvalue value <0.05 for heart rate, pvalue <0.05 for respiration rate, and pvalue <0.05 for oxygen saturation. The provision of lullaby music was proven to make premature babies at peace and could be provided in other baby care unit with breathing support as an effort to sustain peace for premature babies.

Keywords: Heart rate, lullaby music therapy, premature infants, respiration rate, oxygen saturation.

Page 260: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

259JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pendahuluan

Angka kejadian bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) di Indonesia masih tinggi. Prevalensi bayi prematur dan BBLR di Indonesia sekitar 10,2% dari jumlah kelahiran, bahkan beberapa daerah mencapai 17%. Angka ini lebih besar bila dibandingkan pada negara berkembang sekitar 5-9% (Hocckenberry, 2007; Riset Kesehatan Dasar 2013). Bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia gestasi 20-37 minggu (Asuhan Neonatal Esensial, 2008). Pada umumnya bayi prematur berat badan lahirnya rendah kurang dari 2500 gram.

Bayi prematur juga memiliki risiko tinggi untuk gangguan perkembangan mulai dari tingkat ringan sampai dengan berat yang memiliki dampak terjadinya kecacatan. Sehingga ilmu dan teknologi yang dikembangkan saat ini tidak hanya untuk membuat bayi prematur dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya tetapi juga dapat mengejar ketinggalan perkembangan akibat kelahiran prematurnya. Bayi prematur sering mengalami masalah yang berhubungan dengan komplikasi karena keadaan prematurnya yang berhubungan dengan anemia prematuritas, sindrom distres pernapasan, retinopati prematuritas, paten duktus arteriosus, perdarahan intraventrikular, enterokolitis nekrotikan dan apnea prematuritas. Sedangkan komplikasi jangka panjangnya adalah displasia bronkopulmoner, defek bicara, dan defek neurologis (Butler, 2007; Gorrie, Mckinney, & Murray, 2005; Pilliteri, 2003).

Hasil penelitian yang dilakukan Chirian et al. (2012) di Jepang menunjukkan bahwa masalah pada bayi prematur yang dirawat di neonatal intensive care unit (NICU) terbanyak adalah sindrom distres pernapasan sekitar 68%. Hal ini dikarenakan surfaktan belum terbentuk sempurna yang berfungsi sebagai pelumas untuk pengembangan paru dengan cara menurunkan tegangan paru dan imaturitas sistem neurologis yang mengatur pernapasan (Bathia, 2000). Insidensi sindrom distres pernapasan ini akan bertambah besar bila bayi lahir dengan usia gestasi semakin kecil. Dari EuroNeoStat (2006) bayi prematur akan berpotensi mengalami sindrom distres pernapasan, yaitu 91% pada usia gestasi

23-25 minggu, 88% pada usia gestasi 26-27 minggu, 74% pada usia gestasi 28-29 minggu, dan 52% pada usia gestasi 30-31 minggu.

Manifestasi yang muncul dari sindrom distres napas, diantaranya peningkatan frekuensi napas, penurunan saturasi, usaha napas yang meningkat, sianosis, dan penurunan suara paru. Untuk mengatasi sindrom distres pernapasan bayi prematur diberikan surfaktan dari luar untuk mengurangi tegangan alveoli dan tidak membuat alveoli kolaps. Sehingga hal ini memudahkan proses inspirasi dan ekspirasi. Pemberian surfaktan ini biasanya diikuti dengan pemasangan ventilasi mekanik atau mesin continuous positive airway pressure (CPAP) untuk mempertahankan alveoli tetap mengembang (David et al, 2010). Tujuan dari penanganan masalah sindrom distres pernapasan pada bayi prematur adalah menghindari atelektrauma dengan menjaga stabilitas alveoli, membatasi tidal volume untuk mencegah distensi berlebihan pada alveolar dan mencegah toksisitas oksigen (Berger et al., 2013).

Selama menggunakan alat bantu napas seperti ventilasi mekanik ataupun mesin CPAP bayi prematur dirawat di neonatal intensif care unit (NICU). Lingkungan NICU berbeda dengan lingkungan rahim yang seharusnya bayi prematur berada. Bagaimanapun perawatan dirancang untuk mempertahankan hidup dan membantu tumbuh kembang bayi prematur, lingkungan NICU merupakan lingkungan yang dapat menimbulkan stres bagi bayi prematur.

Keadaan stres dapat menimbulkan respon fisik bagi bayi prematur seperti kenaikan heart rate, penurunan saturasi, peningkatan tekanan intrakranial (Hastuti, 2016; Field et al, 2009), dan perubahan respon wajah. Selain itu juga dapat meningkatnya kortisol didalam plasma (Gunnar, 2005), gangguan tidur dan menurunkan sistem imunitas yang diketahui imunitas bayi prematur sangat rendah (Anand, 2008). Selain itu perubahan respiration rate yang dapat mengakibatkan napas bayi dan napas yang dihasilkan mesin ventilasi mekanik tidak sinkron atau dikenal dengan istilah fighting yang dapat mengakibatkan distensi alveolar yang berlebihan dan pada akhirnya atelektrauma. Selain itu kerja jantung yang meningkat

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 261: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

260 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

mengakibatkan kebutuhan oksigen yang meningkat bayi dapat mengalami desaturasi. Untuk mengatasi desaturasi maka dinaikan fraksi oksigen yang dapat berdampak toksisitas oksigen.

Selain pemasangan alat bantu napas yang membuat bayi prematur merasa tidak nyaman, berbagai tindakan yang dilakukan perawat seperti pengambilan sampel darah, pemasangan infus, dan mengganti popok dapat membuat bayi stres. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi stres bagi bayi prematur di NICU adalah pengelompokan tindakan, pengaturan posisi bayi dengan menggunakan nesting, pijat bayi, melakukan metode kangguru (Wahyuni, 2013), pemberian sukrosa oral, non-nutritive sucking dan terapi musik. Sehingga bayi prematur tidak mengalami stres dan dapat mendukung tumbuh kembang bayi prematur. Banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan tindakan yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan bayi prematur.

Terapi musik merupakan terapi komplementer di ruangan intensif neonatologi digunakan untuk meningkatkan perkembangan dan promotif maturasi pada bayi prematur. Musik digunakan untuk menenangkan, untuk meningkatkan kemampuan menerima stimulasi, meningkatkan refleks hisap, mengurangi rasa nyeri, meningkatkan hubungan ibu dan bayi dan mempersingkat lama rawat (Standley, 2010).

Terapi musik dapat diberikan kepada berbagai kelompok usia, seperti halnya diungkapkan Setyawan, Susilaningsih dan Emaliyawati (2013) yang mengungkapkan perawatan standar ruangan yang dikombinasikan dengan terapi musik lebih efektif menurunkan tingkat kecemasan dan 76,2% efektif menurunkan tingkat nyeri pada pasien dibandingkan tanpa terapi musik. Tujuh puluh lima persen (75%) perawatan standar yang dikombinasikan dengan terapi suara alam lebih efektif menurunkan kecemasan dan 100% efektif menurunkan tingkat nyeri pasien dibandingkan tanpa terapi suara alam. Perawatan standar yang dikombinasikan dengan gabungan antara terapi musik relaksasi dan suara

alam menunjukkan bahwa 100% efektif menurunkan nyeri dan kecemasan pasien. Seorang bayi memiliki keterbatasan sensoris dan musik yang sering diputarkan pada bayi adalah musik lullaby yang memberikan efek menenangkan. Musik lullaby sering digunakan dalam stimulasi multimodal. Musik lullaby termasuk dalam musik klasik Brahm atau Mozart, musik daerah atau nyanyian ibu yang dapat mengatur perilaku bayi untuk dapat fokus pada dirinya dan juga menenangkan yang dikomunikasikan secara emosional. Terutama pada bayi prematur yang secara dini keluar dari lingkungan aman dan nyaman yaitu rahim ibu. Hasil penelitian Standley (2010) secara statistik signifikan menunjukkan musik memiliki dampak kebaikan bagi bayi prematur di neonatal intensive care unit (NICU).

Musik lullaby yang diberikan pada bayi intervensi bertujuan untuk meningkatkan stabilitas bayi prematur dan mengurangi dampak yang muncul selama bayi prematur menjalani perawatan. Perkembangan koklea pada sistem auditori dimulai pada usia gestasi 7 minggu dan sempurna pada usia gestasi 30 minggu. Sekitar usia gestasi 18-20 minggu struktur sistem auditori belum sempurna tetapi janin dapat merekam suara walaupun belum dapat membedakan suara, sedangkan diusia 24-25 minggu janin sudah dapat membedakan suara dan merespon dalam bentuk gerakan dan tendangan didalam rahim (Chou et al., 2003).

Berdasarkan paparan di atas dimana musik dapat memengaruhi fisik, dan psikologis, maka peneliti tertarik untuk melihat adanya pengaruh musik lullaby pada heart rate, respiration rate, dan saturasi oksigen bayi premature. Mengidentifikasi pengaruh terapi musik lullaby pada bayi prematur terhadap heart rate, respiration rate dan saturasi oksigen yang terpasang alat bantu napas di RS Swasta di Bandung.

Tujuan khususa. Mengidentifikasi gambaran heart

rate, respiration rate, dan saturasi oksigen bayi prematur yang terpasang alat bantu napas sebelum dan setelah diberi terapi musik lullaby.

b. Menganalisis pengaruh terapi musik

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 262: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

261JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

lullaby terhadap heart rate, respiration rate dan saturasi oksigen bayi prematur yang terpasang alat bantu napas.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini adalah quasi experiment design with pre-post test without control group. Populasi dalam penelitian ini adalah bayi prematur dengan gangguan pernapasan dan menggunakan alat bantu napas di NICU Rumah Sakit Ibu Anak Limijati Bandung dengan teknik nonprobability sampling. Sampel yang diambil berdasarkan kriteria yaitu (1) Bayi dipasang alat bantu napas baik invasif terintubasi menggunakan ventilator dengan modus napas spontan maupun noninvasif dengan nasal pronge setelah 24 jam, (2) Usia gestasi dari hasil pemeriksaan Ballard score berada pada rentang 24-36 minggu, (3)Bayi tidak menunjukan adanya gejala ensepalofati hipoksik iskemik seperti kejang, dan penurunan kesadaran.

Setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi peneliti akan meminta informed consent ke orang tua dan melakukan pengumpulan data dengan cara mengambil heart rate, respiration rate, dan saturasi oksigen sebelum terapi musik lullaby dimulai lalu memutarkan musik lullaby selama 30 menit dengan menggunakan MP3 player dan earphone, kemudian mengambil heart rate, respiration rate dan saturasi oksigen setelah diberikan terapi musik lullaby. Terapi musik lullaby ini diberikan satu kali perhari durasi 30 menit selama 3 hari. Berdasarkan meta analisis yang dilakukan oleh Standley (2010), terapi musik memiliki efek setelah 3 hari pemberian pada bayi prematur. Alat

pengumpul data adalah lembar observasi heart rate, respiration rate, dan saturasi oksigen yang diambil dari monitor bedside, lalu kebisingan inkubator dan musik menggunakan audiometer, pemutar musik menggunakan MP3 player dan musik lullaby yang digunakan adalah musik Brahm yang telah dikalibrasi. Sebelum dilakukan uji analisis untuk mengetahui perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah pemberian terapi musik lullaby dilakukan terlebih dahulu uji normalitas data dengan menggunakan Saphiro wilk dengan hasil p value >0,05 maka data berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji normalitas yang hasilnya data berdistribusi normal maka untuk melihat pengaruh terapi musik lullaby digunakan uji dependen t-test.

Hasil penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Desember 2016–Februari 2017 dan didapatkan hasil penelitian sebagai berikut: Pada tabel 1 didapatkan hasil rata-rata usia kehamilan pada penelitian ini adalah 32,05 minggu dengan berat badan rata-rata 1618,60 gr dan hemoglobin rata-rata 16,92mg/dL. Sedangkan pada skor Downe yang tidak berdistribusi normal didapatkan nilai median 4.

Pada tabel 2 dapat dijelaskan rata-rata heart rate pada untuk pre adalah 142,05 dan post 135,71 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan dan diikuti standar deviasi yang semakin kecil. Sedangkan untuk respiration rate rata-rata pre 58,71 dan post 55,67 juga menunjukkan adanya penurunan. Dan untuk saturasi oksigen pre 93,41% dan post 94,08% terjadi peningkatan. Sehingga

Tabel 1 Distribusi Gambaran Variabel Berdasarkan Usia Kehamilan, Berat Badan, Usia, Down Score, Skala Nyeri, dan Hemoglobin yang Diberikan Terapi Musik Lullaby di Ruangan NICU Rumah Sakit Ibu Anak Limijati Bandung.

Variabel Mean SDUsia kehamilan (minggu) 32,05 1,70Berat badan (gram) 1618,60 266,67Skor downe 4,00 1,00Hemoglobin 16,92 2,35

*data tidak berdistribusi normal (median dan interval quartile range)

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 263: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

262 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

disimpulkan untuk heart rate dan respiration rate setelah diperdengarkan musik lullaby terjadi penurunan dan saturasi oksigen terjadi peningkatan.

Pada tabel 3 dapat dilihat pengaruh bermakna pada heart rate, respiration rate, dan saturasi oksigen dari hari pertama sebelum terapi musik lullaby diberikan dibandingkan pada hari ketiga setelah musik lullaby diberikan didapatkan nilai p<0,005 untuk setiap variabel. Sehingga dapat disimpulkan terapi musik lullaby memiliki pengaruh terhadap heart rate, respiration rate, dan saturasi oksigen.

Pembahasan

Pada penelitian ini hasil analisis statistik memperoleh adanya perbedaan signifikan heart rate, respiration rate dan saturasi oksigen sebelum dan sesudah pemberian terapi musik lullaby dengan nilai untuk p (t-test) heart rate 0,00(7,24), respiration rate 0,00 (7,33) dan saturasi oksigen 0,00 (-3,02). Beberapa penelitian menunjukan hal yang postif setelah diberikan terapi musik lullaby di ruangan NICU.

Anand (2008) menyatakan bahwa respon stres pada bayi prematur dimanifestasikan dengan perubahan akut pada heart rate, tekanan darah, variasi heart rate, tekanan intrakranial dan penurunan saturasi oksigen. Keadaan napas bayi prematur mengalami gangguan pernafasan akibat imaturitas paru, dan juga belum terbentuk sempurnanya surfaktan sebagai pelumas dalam kembang kempis paru yang dapat membuat bayi stres. Sehingga hasil perubahan heart rate, respiration rate dan saturasi oksigen harus segera ditangani. Keadaan ini apabila dibiarkan dapat mengakibatkan ensepalopati hipoksi iskemik. Semakin berat keadaan ini akan berakibat irreversible terhadap jaringan otak yang mengalami perfusi buruk dan akan memengaruhi kerja miokard, neurosensori, dan metabolisme akibat adanya gangguan perfusi serebral. Sehingga perubahan heart rate, respiration rate, dan saturasi oksigen bukan hanya diakibatkan imaturitas paru tetapi adanya gangguan neurosensorik (Anggriawan, 2016)

Pada penelitian ini bayi prematur yang menjadi subjek penelitian tidak menunjukkan kondisi ensepalopati hipoksi iskemik. Perubahan heart rate, respiration rate dan

Tabel 2 Distribusi Heart rate, respiration rate, dan Saturasi Oksigen pada Setiap Harinya Sebelum dan Sesudah diberikan terapi musik lullaby di ruangan NICU Rumah Sakit Ibu Anak Limijati Bandung

Hr(x/m)Mean (sD)

rr(x/m)Mean (sD)

sat o2(%)Mean (sD)

Hari 1 pre 143,82(11,16) 61,58(8,30) 92,23(1,63)Hari 1 post 143,82(11,16) 60,14(8,47 92,27(1,75)Hari 1 pre 141,55(9,10) 58,82(5,58) 92,86(1,58)Hari 1 post 136,27(8,60) 55,91(6,53) 93,82(1,22)Hari 1 pre 140,77(10,02) 55,73(3,19) 95,14(1,64)Hari 1 post 130,09(6,90) 50,95(4,35) 96,14(1,55)

Tabel 3 Distribusi Pengaruh Terapi Musik terhadap Heart rate, respiration rate, dan Saturasi Oksigen Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Musik Lullaby di Ruangan NICU Rumah Sakit Ibu Anak Limijati Bandung

Hr rr satMean sD pvalue Mean sD pvalue Mean sD pvalue

Hr 1 pre 143,82 11,16 0,00 61,58 8,30 0,00 92,23 1,63 0,00Hr 3 post 130,09 6,90 50,95 4,35 96,14 1,55

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 264: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

263JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

saturasi oksigen dikarenakan imaturitas paru. Pemberian terapi musik lullaby diberikan pada bayi prematur pada penelitian ini yang murni mengalami gangguan napas akibat imaturias paru.

Perubahan heart rate, respiration rate, dan saturasi oksigen pada bayi prematur ditangani untuk mencegah injuri pada paru-paru yang akan berdampak pada jangka panjang (Berger, 2013). Heart rate yang tinggi mengakibatkan metabolisme tinggi, sehingga dapat menurunkan imaturitas dan terhambatnya kenaikan berat badan (Anand, 2008). Selain itu peningkatan respiration rate dalam jangka waktu yang panjang dapat mengakibatkan spontan pneumotoraks, bahkan apnea.

Hater et al. (2006) menilai perilaku dan heart rate bayi yang diberi terapi musik lullaby, menunjukkan bahwa setelah diberikan terapi musik lullaby dan didapatkan hasil terjadi penurunan heart rate dan perubahan perilaku respon stres bayi selama dirawat di NICU setelah menjalani operasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Neal dan Lindeke tahun 2008 dengan memperdengarkan musik lullaby selama 15 menit pada bayi usia getasi 32–35 minggu mendapatkan hasil terjadinya peningkatan saturasi oksigen setelah 10 menit terapi diberikan. Selanjutnya penelitian Amiri et al. (2009) tentang pengaruh musik lullaby terhadap saturasi oksigen pada 40 bayi prematur yang dirawat di NICU menunjukkan adanya perbedaan saturasi yang signifikan pada kedua kelompok. Pemberian terapi musik menurunkan frekuensi jantung, hal ini didapat dari penelitian Arnon et al. (2006) pada 31 bayi prematur yang diberikan musik live untuk melihat respon fisiologis dan tingkah laku bayi. hasil yang didapat frekuensi jantung bayi menurun dan bayi dapat tidur dengan tenang di NICU.

Penelitian lain yang membuktikan adanya perubahan frekuensi pernapasan setelah pemberian terapi musik adalah penelitian Alipour, Eskandari, Taheran, Hossaini dan Sangi (2013). Penelitian Alipour et al. (2013) memperdengarkan musik lullaby pada bayi prematur dengan usia gestasi 28–37 minggu. Hasil penelitian didapatkan adanya perbedaan signifikan terhadap frekuensi pernapasan sebelum, selama dan sesudah pemberian terapi musik.

Bayi prematur selama perawatan terpapar dengan stres yang dapat meningkatkan heart rate, respiration rate dan penurunan saturasi oksigen yang dapat memengaruhi kualitas hidup kedepannya dan perkembangan neuropsikomotor (Santos, 2012). Respon fisik ini diikuti dengan respon endokrin dan metabolik dengan keluarnya hormon seperti adrenalin, noradrenalin dan kortisol dimana dapat membuat hiperglikemia dan meningkatkan katabolisme lipid dan protein. Kondisi ini dapat memengaruhi keseimbangan hemostatik bayi prematur dan mengakibatkan peningkatan heart rate, respiration rate, dan penurunan saturasi oksigen (Gaspardo, 2006). Pada penelitian ini tidak dilihat berapa lama efek setelah terapi musik lullaby diberikan memengaruhi penurunan heart rate, respiration rate, dan kenaikan saturasi oksigen

Musik memiliki irama yang dapat memengaruhi irama gerakan denyut jantung dan pernapasan manusia (Trappe, 2010). Jika suara musik yang diterima adalah suara yang menenangkan dan teratur secara berulang-ulang, maka musik akan memberikan impuls pada hipotalamus untuk merespon kelenjar medula adrenal untuk menekan pengeluaran hormon epinephrin dan norepinephrin atau pelepasan katekolamin kedalam pembuluh darah menjadi berkurang. Akibat konsentrasi katekolamin dalam plasma menjadi rendah, sehingga denyut jantung menurun dan konsumsi oksigen berkurang, yang akhirnya menjadi frekuensi bernapas menjadi lambat (Sloane, 2004; Kirby, Oliva & Sahler, 2010).

Bayi prematur yang dibiarkan dalam keadaan stres, setelah beberapa lama dirawat di NICU tetap mengalami metabolisme tinggi dan kadar kortisol tinggi akibat stres yang kronik dan tidak ada intervensi (Cassidy, 2010). Sehingga metabolisme yang tinggi ini dapat mengakibatkan kenaikan berat badan bayi prematur terhambat. Pada penelitian Lai et al. (2008) dengan pemberian musik bayi yang dirawat di NICU menjadi lebih tenang dan dapat membantu pertumbuhan yang lebih baik pada bayi. Pada bayi prematur yang diperdengarkan musik selama 40 menit perhari pada hari keempat pemeriksaan didapatkan perbedaan dengan kelompok kontrol dalam hal kenaikan berat badan, refleks hisap dan lama rawat. Kenaikan berat

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 265: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

264 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

badan pada metaanalisis yang dilakukan oleh Standley (2012) memiliki pengaruh terhadap respiration rate dan saturasi oksigen dengan nilai uji korelasi p=0,004 dan p=0,013 dan pembagian berat badan 1000gr (cohen’s d=2,15), 1000gr-1500gr (cohen’s d=0,97) dan >1500gr (cohen’s d=0,73). Sehingga dengan mengurangi stres pada bayi akan dapat menaikan berat badan dan secara tidak langsung akan memperbaiki respiration rate bayi prematur. Tetapi pada penelitian ini peneliti tidak meneliti kenaikan berat badan.

Menurut Kirby, Oliva dan Sahler (2010) mengungkapkan bahwa dengan mendengarkan musik dapat meningkatkan relaksasi, mengurangi persepsi terhadap nyeri, dan memberikan stimulasi suara yang akan mempengaruhi fungsi fisiologis. Musik dapat mempengaruhi sitem saraf otonom dan merangsang kelenjar hipofisis untuk memproduksi hormon endorphine dan serotonin. Hormon endorphine dan serotonin dapat memberikan perasaan tenang dan berperan dalam menurunkan rasa nyeri, sehingga membuat rasa tenang (Kazemi, Ghazimoghaddam, Besharat & Kashani, 2012). Dengan diberikan musik terjadi perubahan pada status gelombang otak dan hormon stres. Aktivitas lobus temporal kanan akan turun sehingga hormon kortisol dihambat sekresinya sampai berada pada rentang normal (Halim, 2002:Snyder & Linquist, 2002). Musik diperdengarkan dan ditangkap dengan proses mekanik masuk ke telinga dari bagian luar, tengah dan dalam. Di koklea diubah menjadi energi lalu ditrasfer ke otak melalui sinap saraf auditori, diterima dan diinterpretasikan di lobus temporal. Kondisi tenang dapat mencegah komplikasi pemasangan alat bantu napas dan meningkatkan oksigenasi.

Cevasco (2005) menyatakan musik efektif menstabilkan tingkat saturasi oksigen dan tidak ada efek negatif terhadap apnea dan bradikardia. Hal ini disebabkan karena pada bayi baru lahir baik prematur ataupun cukup bulan sudah mampu merespon suara-suara yang ada di lingkungan sekitarnya, karena struktur pendengaran janin sudah terbentuk sejak usia 7 minggu dan pada usia 18 minggu janin sudah mampu untuk mendengar (Gooding, 2010). Pada penelitian ini rata-rata usia gestasi berada pada 32 minggu dengan

berat badan 1680 gr. Usia gestasi dihitung dengan menggunakan Ballard score melihat kematangan fisik dan neuromuskular lalu dibandingkan dengan tabel Lubchenco maka berat bayi pada rentang 10-90 percentil yang artinya berat badan sesuai dengan usia kehamilan. Organ telinga diharapkan berkembang baik dan dapat merespon terapi musik lulllaby yang diberikan. Selain itu dengan rata-rata usia gestasi 32 minggu menggambarkan ketidakmatangan paru-paru bayi. Pembentukan paru dimulai pada usia kehamilan 3-4 minggu dengan terbentuknya trakea dan esophagus. Pada usia 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Di usia kehamilan 30 minggu bronkiolus terminal dibentuk dan alveoli pada 32–34 minggu (Jobe, 2009). Surfaktan muncul pertama pada usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru, mulai muncul pada cairan amnion 28-32 minggu dan matur pada usia kehamilan 35 minggu. Fungsi surfaktan untuk menurunkan tegangan permukaan alveoli sehingga alveoli dapat mengembang dan terjadi pertukan gas. Sehingga kadar oksigen dalam darah memenuhi untuk metabolisme (Suardana, 2013). Saat bayi prematur lahir maturasi pernapasan terjadi di luar kandungan. Hiperoksia, hipoksia dan ventilasi mekanik dapat memengaruhi alveolarisasi (Halliday, 2008).

Pada penelitian ini rata-rata derajat sindrom distres napas bayi prematur berada pada derajat II dan penanganan terhadap kondisi ini harus segera sehingga alveolarisasi terjadi dengan baik. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Sehingga terjadi pembalikan parsial darah melalui duktus arteriosus sedangkan duktus arteriosus pada bayi prematur belum menutup sehingga dapat memengaruhi saturasi oksigen. Karena darah dari aorta bercampur dengan darah dari arteri pulmonalis (Nelson, 2008). Menurut Mathai (2007) target saturasi pada bayi preterm 28–34minggu 88–94% dan <28 minggu 85–92%.

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 266: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

265JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Derajat distres napas dapat dinilai dengan menggunakan skor Downe. Komponen yang terdapat dalam downe score adalah frekuensi napas, aliran udara pada kedua paru, sianosis, suara grunting dan retraksi. Pada penelitian Buch, Makwana, & Chudasama (2013) Skor Downe dapat digunakan sebagai clinical assessment tool dalam penangan distres pernapasan. Salah satu manifestasi distres pernapasan yang dapat dinilai adalah peningkatan kecepatan respirasi.

Pada kondisi anemia masalah oksigenasi dapat terjadi. Pada penelitian ini 18,2% bayi mengalami anemia. Pada penelitian kadar hemoglobin tidak berpengaruh pada penelitian. Bayi prematur dapat mengalami anemia karena berbagai faktor. Menurut Myrtha (2014) faktor yang dapat menyebabkan anemia pada bayi prematur adalah penurunan masa eritrosit saat lahir, iatrogenik, masa hidup eritrosit pendek, produksi eritropoietin kurang adekuat dan pertumbuhan badan yang cepat. Selain itu bayi prematur memiliki waktu lebih singkat untuk mensintesis hemoglobin saat intrauterin, sehingga saat lahir hemoglobinnya rendah. Gejala yang ditunjukkan anemia prematuritas adalah kenaikan heart rate, penurunan saturasi dan apnea. Pada kondisi anemia pada bayi prematur pemberian tranfusi perlu dipertimbangkan hal ini dikarenakan beban kerja jantung yang meningkat, rekasi tranfusi dan risiko infeksi meningkat Myrtha, 2014). Selain itu hemoglobin berperan sebagai pengikat oksigen dalam setiap molekulnya dimana oksigen ini dibutuhkan untuk metabolisme (Walsh, 2002).

Janin yang berada dalam kandungan sudah dapat mendengarkan atau merasakan suara yang menenangkan yang didengar oleh bayi prematur dari aliran darah saat di dalam rahim dan suara detak jantung ibu secara terus menerus (Gooding, 2010). Perkembangan pendengaran janin sudah berfungsi penuh pada usia kehamilan 28-32 minggu, sehingga pada awal usia gestasi 32 minggu janin sudah dapat mendengar suara ibu berbicara atau menyanyi untuk dirinya sendiri dan janin. Selain itu janin dapat menanggapi suara-suara yang ada terutama yang terkait dengan nada dan irama atau suara musik (McGarath, 2004; Graven & Browne 2008).

Pemberiaan terapi musik lullaby pada

bayi prematur dengan jenis kelamin yang berbeda bedasarkan literatur memiliki pengaruh terhadap kemampuan mendengar dan sensitivitas. Pemeriksaan respon auditori pada jenis kelamin perempuan lebih sensitif dibandingkan laki-laki (Eldredge & Salamy, 2006). Pada penelitian Standley (2010) juga ditemukan pemberian simulasi multimodal pada bayi laki-laki dan perempuan di NICU menunjukkan lama rawat bayi perempuan lebih pendek daripada bayi laki-laki. Pada pemeriksaan transient evoked otoacoustic emissions (TEOAE) menunjukan sensitivitas bayi perempuan lebih tinggi daripada bayi laki-laki. Penilaian analisi posthoc nilai TEOAE. Cassidy (2010) menentukan bahwa telinga bayi perempuan lebih sensitif dibandingkan dengan bayi laki-laki pada berbagai frekuensi dan jenis suara. Pada penelitian ini tidak dinilai perbedaan jenis kelamin terhadap sensitifitas terapi musik yang diberikan.

Pemberian terapi musik merupakan salah satu usaha untuk mengurangi efek stres dari stimulasi lingkungan yang berlebihan pada bayi prematur selama perawatan (Burn, 2008). Hal ini dapat mengganggu tumbuh kembang dari bayi prematur dikemudian hari. Dengan pemberian terapi musik mengakibatkan sensitivitas pendengaran bayi terhadap kebisingan dari luar menjadi berkurang sehingga mengurangi stres pada bayi yang akhirnya akan mengurangi kebutuhan terhadap oksigen.

Stimulasi yang berlebihan yang didapatkan bayi prematur dari lingkungannya dapat diminimalkan dengan pemberian terapi musik (Gooding, 2010; Keith, Russel & Weaver, 2009) Musik lullaby merupakan musik pengantar tidur yang mempunyai struktur suara yang menenangkan, mempunyai irama yang konstan dan stabil, serta melodi yang tenang dan tidak mengejutkan (Neal & Lindeke, 2008). Suara musik yang mampu menghasilkan stimulan yang bersifat ritmis. Stimulan ini kemudian ditangkap oleh sistem pendengaran dan dilanjutkan ke sistem limbik yang mengatur emosi, kemudian diolah didalam sistem persarafan serta korteks otak yang mereorganisasi interpretasi bunyi kedalam ritme internal pendengaran. Jika suara musik diinterpretasikan sebagai penenang, maka suara musik akan diterima

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 267: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

266 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

dapat mengubah atau memulihkan ritme pernapasan menjadi diperlambat dan diperdalam (Trappe, 2010).

Selain itu bayi prematur seharusnya hidup di intrauterine selama sembilan bulan pada keadaan free running rhythm yang irama ini tidak dipengaruhi oleh faktor eksogen seperti iluminasi matahari, suhu, dan kegiatan sehari-hari (Manalu, 2004). Free running rhythm ini lebih banyak bergantung pada pengendalian hipothalamus. Dengan pemberian terapi musik lullaby sebagai stimulus akan masuk ke bagian hipotalamus yang nantinya akan memengaruhi pengeluaran hormon stres sehingga berdampak pada perubahan heart rate, respiration rate, dan saturasi oksigen

Pada penelitian ini dilihat heart rate, respiration rate dan saturasi oksigen hari pertama sebelum bayi diberikan terapi musik lullaby dan dibandingkan pada hari ketiga setelah terapi musik lullaby. Tetapi pengambilan data dilakukan setiap hari sebelum dan sesudah terapi musik diberikan. Bila ditelaah dari hari ke hari sebelum dan sesudah diberikan terapi musik lullaby maka pada hari kedua setelah terapi musik lullaby diberikan dibandingkan hari ketiga sebelum terapi musik lullaby diberikan pengaruhnya tidak signifikan dengan nilai p>0,05. Kebisingan dikontrol sesuai dengan prosedur penelitian 60 desibel. Sebelum musik dinyalakan kondisi kebisingan lingkungan bayi prematur dalam inkubator <40 desibel. Kondisi bayi setelah diberikan minum dan dalam keadaan kondisi tenang. Dari penelitian Standley (2008) kebisingan yang dapat menurunkan heart rate, respiration rate, dan menaikan saturasi oksigen maksimal 60 desibel.

Kondisi bayi sesuai dengan kriteria tetapi perubahan tidak terjadi pada hari kedua. Pada penelitian Lubetzky (2009) dikatakan bahwa pemberian terapi musik dilakukan selama 3 hari. Hal yang sama juga dilakukan oleh Cevasco (2005) membandingkan efektivitas suara rekaman ibu dengan musik lullaby yang dilakukan selama 3 hari.

Berbagai penelitian dilakukan untuk dapat melihat pengaruh pemberian terapi musik pada bayi prematur. Meta analisis tentang efficacy of music therapy for preterm infant yang dilakukan Standley (2002) memberikan prosedur terapi musik di NICU seperti (1)

terapi musik dapat digunakan pada usia gestasi bayi 24 minggu, (2) berikan musik yang konstan, stabil dan tidak berubah secara tiba-tiba dan hindari intervensi saat terapi musik diberikan, (3) ritme konstan dan ringan, (4) melodi berada pada lapang vokal yang luas, (5) pastikan maksimal pemberian musik 1,5 jam perhari dengan waktu terpendek sekali pemberian 20 menit terutama saat seperti saat tidur, tenang dan segera setelah prosedur yang menimbulkan stres, (6) jaga volume kurang dari 70 desibel.

Mefford, L. C. (1989) menyatakan bahwa konsep adaptasi bayi prematur untuk dapat merespon perubahan kehidupan intrauterine ke ekstrauterine adalah dengan mempertahankan wholeness, adaptasi dan konservasi. Penerapan prinsip wholeness yang dilakukan bayi prematur adalah bayi prematur harus berusaha memenuhi seperti kebutuhan oksigen, nutrisi, dan pengaturan suhu. Dengan keterbatasannya akibat prematur, bayi harus dapat memenuhi segala kebutuhan yang selama intrauterine dipenuhi oleh ibunya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan ini terjadi perubahan kerja organ yang dapat terjadi dengan manifestasi salah satunya adalah kenaikan heart rate dan respiration rate.

Adaptasi bayi prematur terhadap ektrauterine kebanyakan memiliki masalah. Proses adaptasi ini dapat merubah fungsi organ untuk memenuhi kebutuhan bayi prematur. Proses adaptasi pada bayi prematur dapat dilihat dari pengaturan suhu, pernapasan, dan pencernaan. Kegagalan adaptasi pada bayi prematur menimbulkan komplikasi seperti anemia prematuritas, sindrom distres pernapasan, retinopati prematuritas, paten duktus arteriosus, perdarahan intraventrikular, enterokolitis nekrotikan dan apnea prematuritas. Sedangkan komplikasi jangka panjangnya adalah displasia bronkopulmoner, defek bicara, dan defek neurologis (Butler, 2007; Gorrie, Mckinney & Murray, 2005; Pilliteri, 2003).

Bayi prematur dapat dilihat dari lingkungan internalnya dan lingkungan eksternalnya. Lingkungan internal bayi prematur adalah keadaan fisiologi bayi. Bayi prematur memiliki kondisi organ yang belum matur untuk menjalankan fungsinya

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 268: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

267JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

sehingga bayi akan memerlukan usaha yang lebih besar dibandingkan bayi cukup bulan. Sedangkan lingkungan eksternal bayi prematur yang sebelumnya rahim ibu berubah menjadi lingkungan NICU. Untuk berhasil menghadapi tantangan lingkungan internal dan eksternal maka diperlukan suatu konservasi (Bobak, Lowdermik & Jensen, 2005; Hockenberry & Wilson, 2007; Tomey & Alligood, 2006).

Konservasi yang dikaitkan dengan terapi musik adalah konservasi integritas struktur. Integritas struktur tergantung dari sistem pertahanan tubuh yang mendukung perbaikan dan penyembuhan sebagai respon terhadap perubahan lingkungan internal dan eksternal. Konservasi ini melibatkan integritas kulit, muskuloskeletal, imunitas dan proses inflamasi. Pemberian terapi musik akan berefek pada peningkatan imunitas bayi (Bitmann, 2001; George, 1995; Tomey & Alligood, 2006).

Simpulan

Pemberian terapi musik lullaby berpengaruh terhadap heart rate, respiration rate dan saturasi oksigen bayi prematur yang terpasang alat bantu napas. Terdapat perbedaan rata-rata heart rate pada bayi prematur yang terpasang alat bantu napas hari ke 1 (pretest) hari ke 3 (posttest), perbedaan rata-rata respiration rate pada bayi prematur yang terpasang alat bantu napas hari ke 1 (pretest) dan hari ke 3 (posttest), perbedaan rata-rata saturasi oksigen pada bayi prematur yang terpasang alat bantu napas hari ke 1 (pretest) dan hari ke 3 (posttest).

Perawat diharapkan dapat memberikan terapi musik lullaby selama bayi prematur terpasang alat bantu napas. Musik yang digunakan adalah musik lullaby dengan intensitas 60 desibel, diberikan pada malam hari pukul 19.00-20.00 selama 3 hari. Musik lullaby diperdengarkan dengan menggunakan earphone yang diposisikan 30 cm dari telinga ke arah kaki bayi prematur selama 30 menit. Pemberian terapi musik ini dilakukan setelah aktivitas seperti mengganti popok, memberi susu, atau pemeriksaan pada bayi. Rumah sakit dapat memfasilitasi pembuatan standar operasional prosedur pada pemberian

terapi musik lullaby pada bayi prematur yang terpasang alat bantu napas sehingga pelaksanaan berjalan baik dan didapatkan hasil yang baik.

Daftar Pustaka

Alipour, z., Eskandari, N., Tehran, H., Hossaini, SK., Sangi, S.(2013). Effect of Music on Physiological and Behavioral Responses of Prematur Infant. A Random Contol Trial. Complementary Therapies in Clinical Practice,30,1–5.

Amiri et al. (2009). Musical and verbal intrventions in music therapy: a qualitative study. Journal of Music Therapy 36(2): 144–175.

Anand, KJS. (2008). Clinal Importance of Pain and Stress in Preterm Neonates. Biology of Neonate ProQuest Biology Journal, 73(1).

Anggriawan, A. 2016. Tinjauan Klinis Hypoxic-Ischemic Enchephalopathy. CDK-234, 43(8).

Arnon, S., Shapsa, A., Forman, L., Regev, R., Bauer, S., Litmanovitz, I., & Dolfin, T. (2006). Live Music is Beneficial to Preterm Infants in The Neonatal Intensive Care Unit Environment. Birth, 33(2), 131–136.

Asuhan Neonatal esensial. (2008). Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif. Jakarta.

Bathia. (2000). Current option in The Management of Apnea Prematurity. Clinical Pediatrics; June 2013; 39, 6; ProQuest Nursing & Allied Health Sourcepg.327.

Berger, T., Fontana, M., Stocker, M.(2013). The Journey Towards Lung Protective Respiratory Support in Preterm Neonates. Neonatology, 104, 265–274.

Bitmann, B.B.,Berk, L.E., Felten, D.L.,Westengard, J., Simoton, O.C., Pappars, J., & Ninehouser, M. (2001). Composite Effect of Group Drumming Music Therapy on Modulation of Neuroendocrine-Immune

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 269: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

268 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Parameters in Normal Subjects. Alternative therapies, 7 (1).

Bobak, I.M.,Lowdermik. D.L., & Jensen, M.D. (2013). Keperawatan Maternitas. Edisi4. Jakaarta. Penerbit EGC.

Buch, PM., Makwana, AM., Chudasama, PK. (2013). Usefulness of Downe Score as Clinical Assesment Tool and Bubble CPAP As Primary Support in Neonatal Respiratory Distress Syndrome. Journal of Pediatric Sciences. 5(10), e176.

Burns, K., Cunningham, N., White-Traut, R., Silvestri, J., & Nelson, M.N. (2008). Infant stimulation: Modification of an intervention based on physiologic and behavioral cues. Journal of Obstretric, Gynecologic and Neonatal Nursing, 23, 581–589.

Butler K. (2007) Psychological Care of The Ventilated Patient. Journal of Clinical Nursing. 4(6): 398–400.

Cassidy, J.W. (2010). The Effect of Decibel Level of Music Stimuli and Gender on Head Circuference and Physiological Responses of Premature Infants in The NICU. Journal of Music Therapy. ProQuest Nursing & Allied Health Source pg.180.

Cevasco, A.M. (2005). The Effect of Mothers’ Singing on Fullterm an Preterm Infant and Maternal Emotional Responses. Journal of Music Therapy, 45(3). ProQuest Nursing & Allied Health Source pg. 273.

Chirian., Uji, A., Isayama, T., & Shah, V. (2012). Neonatal Care in Japanese NICU: Note Base on Site Visit. Neonatal Network, 3(2).

Chou, L.(2003). Effect of Music Therapy an Oxygen Saturation Infant Receiving Endotracheal Suctioning. Journal of Nursing Research, 2(3), 209-215 .

David, G., Carnielli, V., Greisen, G., Hallman, M., Ozek, E., Plavka, R. (2010). European Consensus Guidelines on Management of Neonatal Respiratory Distress Syndrom in Preterm Infants-2010 Update. Neonatology. ,

97, 402-417. Karger.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Profil kesehatan Indonesia 2013. Diperoleh 1 Februari 2015 dari http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan%20Indonesia.pdf.

Eldredge, L., and A. Salamy. 1996. Functional auditory development in preterm and full term infants. Early Human Development, 45:215–28.

EuroNeoStat Annual report for Very Low Gestational Age Infant. (2006). The ENS Project. Hospital de Cruses. [email protected] .

Field, T. M, Dempsey, J. R., Hatch, J., Ting, G., & Clifton, R. K. (1979). Cardiac and behavioral responses to repeated tactile and auditory stimulation by preterm and term neonates. Developmental Psychology, 15, 406–416.

Gaspardo, C.(2006). Monitoring hemodinamic neonatus. Pediatic, 3(7), 14–22.

Gooding, LF. (2010). Using Music Therapy Protocols in The Treatment of Premature Infant; An Introduction to current Practices. The Art in Psycotherapy, 37, 211–214.

Gorrie, T.M., McKinney, E.S., & Murray, S.S. (2005). Foundation of maternal-newborn nursing.(2ndEd). Philadelphia:W.B. Saunders Company.

Graven & Browne. (2008). Sound and the developing infant in the NICU: Conclusions and recommendations for care. Journal of Perinatology, 20, 88–93.

Gunnar, M. R. (1989). Studies of the human infant’s adrenocortical response to potentially stressful events. In M. Lewis & J. Worobey (Eds.), Infant stress andcoping (pp.3–18). San Francisco: Jossey-Bass.

Halim, S. 2002. Music as Complementary Therapy in Medical Treatment. Med J Indones, 11(4).250–257.

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 270: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

269JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Halliday, H.L. 2008. Surfactants: Past, present and Future. Journal of Perinatology, 28, 47–56.

Hastuti, D., & Juhaeriah, J. (2016). Efek Stimulasi Taktil Kinestetik erhadap Perkembangan Bayi Berat Badan Lahir Rendah. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(1).

Hater.,G., Grunnar, B., Baskin, K., (2006). Music Therapy for Premature Infant and Their Parents; an Integrative Review. Nordic Journal of Music Therapy; Vol.21, No.3, Oct, 2012, pg, 203-226. Yale Library

Hockenberry, M.J., & Wilson, K. (2007). Nursing care of infant & children 7th ed.). Missouri: Mosby Inc.

Jobe, A.H.(2006). Lung Development and Maturation. 8th edition. 407-18..Mosby Elsavier.

Kazemi S., Ghazmoghaddam.,K., Besharat.,S & Kashani. (2012). Music and Anxiety in Hospitalized Children. Journal of clinical an diagnostic research. 6(1),94–96.

Keith, Russell K& Weaver BS. (2009). The effects of music listening on inconsolable crying in premature infants. Journal Music Therapy. 9;46:191-203. Pubmed:19757875.

Kirby.,LA., Oliva,R & Sahler,OJ. (2010). Music Therapy and Pain Management in Pediatric Patient Undergoing Painful Procedur. A Review of Literature and a Call for Research. Journal of Alternative Medicine Research.2(1), 7–16.

Mefford, L. C. (1989). Quality of rest state in the premature infant in flexed sidelying and supine positioning. Unpublished master’s thesis, University of Tennessee, Knoxville. Google Scholar.

Lubetzky.R., Momouni, F.B., Ashbel, G., Dolberg, S.,Reifen, R, & Mandel, D. (2009). Effect of Music Lullaby on Engergy Expendiure in Growing Preterm Infant. Journal of American Academy of Pediatric, 125. Pg.24–28.

McGarath., J.M. (2004). Development care of newborn and infant; a guide for health professionals. St.Louis; Elsavier Mosby.

Myrtha., R. (2014). Diagnosis Banding dan Penatalaksanaan Anemia Neonatus. CDK221/vol.41;No. 10.2014.

Neal.,Do., Lindeke.,LL. (2008). Music as a Nursing Intervention for Preterm infant in The NICU. Neonatal Network.27 (5). 319–327

Pilliteri.,A (2003). Maternal & child health nursing: Care of Childbearing & childbearing family. 4 th edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

Santos, L.M., (2012). Behavioral Changes; neonatology. Pediatric. No.3–4; 25–30 .

Sloane, E. (2004). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta;EGC.

Snyder, M., & Lindquist, R. (2002). Complementary/alternative therapies in nursing. 4th edition. Newyork. Springer Publising Company Soetjiningsih.1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit EGC.

Soetjiningsih.(1998). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit EGC.

Standley, J.M., Lyndaqiust. (2002). Music Therapy Research in the NICU: An Update Meta-Analysis. Neonatal network. Vol 31. No.5, Sepetmber/October 2012. Springer Publishing Company. http://dx.doi.org/10.1891/0730-0832.31.5.311.

Standley, J.M;Cassidy, Jane;Grant, Roy;Cevasco, Andrea;Szuch, Chaterine, Nguyen, Judy;Walworth, Darcy;Procelli, Danielle;et al. (2010). The Effect of Music Reinforcement for Non-nutritive Sucking on Nipple Feeding of Premature Infant. Pediatric Nursing. May/June 2010/Vol.36/No.3.

Standley, J.M. (2006). The Effect of Music and Multimodal Stimulation on Responses of Premature Infant in Neonatal Intensive Care. Pediatric Nursing; Nov/Dec 2006; 24,

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 271: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

270 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

6; ProQuest Nursing & Allied health Source pg.532.

Standley, J.M. (2008). The Effect of Contingent Music to Increase Non-Nutritive Sucking of Premature Infant. Pediatric Nursing; Sept/Oct 2000; 26, 5; ProQuest Nursing & Allied health Source pg.493.

Suardana.,K. (2013). Kerja surfaktan dalam pematangan paru bayi preterm. Jakarta; EGC.

Tomey & Alligood. (2006). Nursing Theorist and their work. 6th Edition, ST. Louis: Mosby Elsevier, Inc.

_________ (2006). Nursing Theorist Utilization and application. 3rd Edition,

USA: Mosby Elsevier, Inc.

__________ (2006). Nursing Theorist and Nursing Practice. 3rd Edition, USA :Mosby Elsevier, Inc.

Trappe, J.H. (2010). The effect of music on the cardiovascular health. Heart, 98, 1868-1871. Wahyuni, S., & Parendrawati, D. P. (2013). Pengalaman Ibu dalam Melakukan Perawatan Metode Kanguru. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 1(3).

Walsh.,F. (2002). A family resilience framework: innovative practice applications,family relations 51 (2):130– 137.

Etika Emaliyawati: Pengaruh Terapi Musik Lullaby terhadap Heart Rate, Respiration Rate

Page 272: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

271JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin pada Pasien yang Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Kusman Ibrahim, Yusshy Kurnia H, Laili Rahayuwati, Baiq Emi Nurmalisa, Siti Ulfah Rifa’atul Fitri

Fakultas Keperawatan, Universitas PadjadjaranEmail: [email protected]

Abstrak

Keberadaan Human Immunodeficiency Virus (HIV) di dalam tubuh secara terus menerus menyebabkan gangguan pada hampir semua sistem tubuh yang berdampak pada munculnya gejala kelelahan (fatigue). Fatigue banyak dilaporkan pada penderita HIV/AIDS dengan prevalensi berkisar antara 20% sampai 60%. Penelitian ini bertujuan menguji hubungan antara fatigue dengan jumlah CD4 dan kadar Hb pada pasien HIV/AIDS. Sebanyak 77 responden direkrut secara purposif di sebuah Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit di Kota Bandung. Fatigue diukur menggunakan kuesioner HIV Related Fatigue Score (HRFS). Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji pearson correlation. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara fatigue dengan jumlah CD4 dalam darah (r = -.289, p< 0.05) dan kadar Hb (r = -.349, p< 0.05). Selain itu, kadar Hb memiliki hubungan yang bermakna dengan jumlah CD4 pada pasien HIV/AIDS (r = .360, p < .01). Hasil penelitian ini mengindikasikan perlunya monitoring kadar CD4 dan Hb secara berkala dan melakukan intervensi untuk mengatasi penurunan Hb dan CD4 sesegera mungkin sehingga dapat mencegah agar fatigue tidak berkelanjutan.

Kata kunci: CD4, fatigue, hemoglobin, HIV/AIDS.

The Correlation of Between Fatigue, CD4 Cell Count, and Hemoglobin Level among HIV/AIDS Patients

Abstract

The existence of Human Immunodeficiency Virus (HIV) in the body continuously causes disruption in almost all body systems that impact on the emergence of symptoms of fatigue. Fatigue was widely reported in HIV/AIDS patients with prevalence ranging from 20% to 60%. This study examined the relationship between fatigue and CD4 cell count and hemoglobin levels in HIV/AIDS patients. A total of 77 respondents were recruited purposively in Outpatient Clinic, General Hospital Bandung City. Fatigue was measured using the HIV Related Fatigue Score (HRFS) questionnaire. The collected data were analyzed using pearson correlation product moment. The results showed there were significant relationship between fatigue and CD4 count in blood (r = -.289, p< 0.05) and hemoglobin level (r = -.349, p< 0.05). In addition, CD4 had significantly correlation with Hb (r = .360, p < .01). The results of this study indicated that nurses or health care providers need to periodically monitor the CD4 and Hb levels and provide early intervention to manage the hemoglobin and CD4 cell count at optimum levels to prevent prolonging fatiguel.

Keywords: CD4, fatigue, hemoglobin, HIV/AIDS.

Page 273: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

272 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pendahuluan

Hingga saat ini, penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) masih merupakan permasalahan kesehatan yang cukup kompleks dan terus meningkat dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia (Departemen Kesehatan R1, 2007). Pada tahun 2013, jumlah infeksi baru HIV mencapai 2,1 juta dan jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI, 2014). Jumlah penderita HIV di Jawa Barat pada tahun 2016 mencapai 23.145 orang dan menempati peringkat keempat setelah DKI Jakarta, Jawa Timur dan Papua (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI, 2016). Kota Bandung menjadi kota dengan kasus HIV tertinggi setelah kota-kota lainnya di Jawa Barat seperti Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Indramayu dan Kabupaten Bekasi (Dinkes Jabar, 2012).

Virus HIV tidak menyebabkan kematian secara langsung pada penderitanya, akan tetapi adanya penurunan imunitas tubuh yang mengakibatkan mudah terserangnya infeksi oportunistik bagi penderitanya (Fauci & Lane, 2012; WHO, 2014). Penyakit HIV yang semula bersifat akut dan mematikan berubah menjadi penyakit kronis yang bisa dikelola. Namun demikian, hidup dengan penyakit kronis menyisakan persoalan-persoalan lain yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian baik secara fisik, psikologis, sosial, daan spiritual (Lindayani & Maryam, 2017).

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Fransiska dan Kurniawaty (2015) ditemukan bahwa salah satu komplikasi hematologi yang paling sering pada penderita HIV/AIDS adalah berupa rendahnya kadar hemoglobin pasien (anemia). Hal ini menyebabkan kapasitas angkut oksigennya tidak mampu mencukupi kebuthan fisiologis tubuh. Anemia pada pasien HIV terjadi karena tiga mekanisme yaitu penurunan produksi sel darah merah, peningkatan destruksi sel darah merah dan produksi sel darah merah yang inefektif. Anemia terkait dengan infeksi HIV bersifat kompleks dan multifactorial seperti

infeksi oportunistik atau keganasan, defisiensi mikronutrien, atau dapat juga disebabkan karena efek samping pengobatan ART yang mengakibatkan gangguan hematopoiesis (Redig & Berliner). Penurunan suplai oksigen ke jaringan karena anemia menyebabkan metabolisme terganggu dan produksi energi tubuh menurun sehingga pasien merasa cepat lelah (fatigue). Meskipun penyebab fatigue pada infeksi HIV juga bisa disebabkan banyak faktor, namun anemia menjadi salah satu penyabab paling berpengaruh terhadap terjadinya fatigue.

Persoalan-persoalan tersebut secara berkepanjangan akan berdampak pada pasien HIV/AIDS berupa perasaan kelelahan (fatigue) (Jenkin, Koch & Kralik, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rayasari (2011) terhadap 92 orang pasien HIV/AIDS menyatakan bahwa 51% merasakan fatigue berat sedangkan 49% sisanya mengalami fatigue ringan. Hal ini menunjukan bahwa fatigue menjadi salah satu gejala yang paling banyak dirasakan oleh pasien dengan HIV/AIDS.

Fatigue pada penderita HIV/AIDS merupakan suatu hal yang bersifat kompleks dan multidimensional (Lerdal, Gay, Aouizerat, Portillo & Lee, 2011) dan didefinisikan sebagai perasaan subjektif terkait kelemahan, kelelahan dan berkurangnya energi (Radbruch dkk, 2008). Menurut Matilda, Cercel, Rodica, Cristina, dan Ruxandra (2012), gejala yang berhubungan dengan terjaidnya fatigue pada HIV/AIDS yaitu terkait fisik (penurunan energi atau penampilan fisik), cognitive (berkurangnya konsentrasi dan perhatian), dan affective (menurunnya motivasi dan minat).

Menurut Julie (2014), fatigue pada pasien dengan HIV merupakan suatu hal perlu di evaluasi secara hati-hati, karena banyak dari pasien HIV/AIDS yang mengalami fatigue, namun tidak dapat di identifikasi secara spesifik penyebabnya. Beberapa studi juga melaporkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fatigue pada pasien HIV/AIDS seperti faktor personal, fisiologis, psikososial dan situasional (Matilda dkk, 2012; Salahuddin, Barroso, Leserman, Harmon, & Pence, 2009; Barroso, Hammil, Leserman, Salahuddin, Harmon, & Pence, 2010).

Kusman Ibrahim: Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin

Page 274: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

273JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Penatalaksanaan fatigue pada HIV/AIDS yang tidak adekuat dapat menimbulkan berbagai macam permasalahan. Misalnya, fatigue dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan seseorang dalam melakukan self-care, menurunkan motivasi dan menurunkan kualitas hidup pasien (Harmon, Barroso, Pence, Leserman, & Salahuddin, 2008; Jong dkk, 2010). Selain itu, fatigue merupakan salah satu diagnosa keperawatan yang harus ditangani melalui intervensi keperawatan (NANDA International, 2015).

Peran perawat dalam memberikan asuhan kepada pasien HIV adalah dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan biologis, penguatan strategi koping, pemberian dukungan sosial, dan dukungan spiritual kepada pasien selama menjalani perawatan untuk mempertahankan kekebalan tubuh yang optimal. Penting untuk diperhatikan bahwa tujuan dari asuhan keperawatan pasien HIV/AIDS dalam meningkatkan imunitas pasien yaitu melalui pemenuhan kebutuhan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual melalui cara menurunkan stress dan meningkatkan relaksasi. Stres psikososial-spiritual pasien terinfeksi HIV berlanjut dapat mencapai tingkat exhausted stage stres yang dapat menimbulkan kegagalan fungsi sistem imun, memperparah keadaan pasien, mempercepat kejadian AIDS, dan bahkan meningkatkan angka kematian. Oleh karena itu, jumlah CD4 dan tanda klinis dapat diajdikan acuan untuk melihat respons imunitas pasien dan membuat rencana asuhan keperawatan (Nursalam & Dian, 2007).

Beberapa penelitian pada pasien HIV/AIDS menemukan bahwa fatigue terjadi dihubungkan dengan adanya imunosupresi lanjut (misal jumlah CD4 yang rendah) atau juga pada tingkat virus HIV yang beredar (Barroso & Voss, 2013; Matilda dkk, 2012). Selain itu berdasarkan studi yang dilakukan oleh Fransiska dan Kurniawaty (2015) ditemukan juga bahwa salah satu komplikasi hematologi yang paling sering pada penderita HIV/AIDS adalah berupa kadar hemoglobin yang rendah. Hal ini akan mempengaruhi kapasitas daya angkut oksigennya sehingga tidak mampu mencukupi kebuthan fisiologis tubuh. Dampak yang bisa ditimbulkan dari rendahnya jumlah Hb adalah berupa fatigue, gangguan fungsi fisik, dan penurunan kualitas

hidup.Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan

mengidentifikasi hubungan antara jumlah CD4 dan kadar hemoglobin dengan tingkat fatigue pada penderita HIV/AIDS. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai untuk merancang intervensi yang tepat untuk mengatasi fatigue pada pasien HIV/AIDS.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode analisis korelasi. Populasi pada penelitian ini adalah pasien HIV/AIDS yang menjalani rawat jalan di poliklinik VCT RSUD Kota Bandung. Sampel pada penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling. Ukuran sampel ditentukan dengan menggunakan perhitungan power analysis untuk korelasi bivariat (Polit & Beck, 2004) dengan α = 0.05, power (1-β) = 0.8, dan effect size (γ) = 0.4 (medium), maka didapat ukuran sample 50. Namun untuk mengantisipasi drop out atau ketidaklengkapan data maka dilakukan penambahan jumlah sampel sehingga jumlah keseluruhan sampel menjadi 77 responden. Adapaun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah; pasien HIV/AIDS usia dewasa; kesadaran compos mentis dan tidak dalam keadaan sakit berat; dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1) Karakteristik responden meliputi data nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, marital status, penghasilan, jumlah CD4, kadar hemoglobin, dan 2) Pengukuran Skala Kelelahan (fatigue) menggunakan kuesioner HIV Related Fatigue Score (HRFS) yang dikembangkan oleh Barroso dan Lynn (2002). Instrument tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Rayasari (2011). Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner fatigue didapatkan nilai r hitung lebih besar dari r tabel (r tabel > 0,632) dengan nilai alpha chronbach 0,766. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa instrumen pengukuran fatigue ini memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang sangat baik untuk digunakan di dalam penelitian ini.

Sebelum melakukan analisa statistik,

Kusman Ibrahim: Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin

Page 275: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

274 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

peneliti melakukan uji normalitas data. Data yang telah terkumpul dilakukan uji asumsi normalitas data dengan menggunakan uji Kolmogorov smirnov (n > 50). Hasil uji normalitas menunjukan bawa fatigue, jumlah CD4, dan kadar Hb terdistribusi normal yang ditunjukan dengan nilai signifikansi > 0,05. Selanjutnya data dianalisis menggunakan korelasi bivariate untuk menjelaskan hubungan diantara variabel fatigue, jumlah CD4, dan kadar Hb. Uji parametrik (uji Pearson correlation) dilakukan untuk mengetahui hubungan anatara variable fatigue, jumlah CD4, dan kadar Hb.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian tentang data karakteristik demografi dari responden dapat dilihat pada

table 1 di bawah ini. Tabel 1 di atas menunjukan bahwa

sebagian besar (66,2%) responden berusia antara 20-29 tahun, dengan usia termuda 20 tahun dan usia tertua 49 tahun. Sebagian besar (58,4 %) responden ialah laki-laki, dan lebih dari setengahnya (50,6%) belum menikah. Tingkat pendidikan responden sebagian besar (71,4%) ialah lulusan SMA, dan 79,2% dari mereka masih bekerja. Berdasarkan status pernikahan, lebih dari setengahnya (50,6%) responden belum menikah. Berdasarkan ketegori penghasilan sebagian besar (87%) responden tergolong berpenghasilan di bawah UMR kota Bandung (≤ UMR Rp 2.843.662), dengan rerata penghasilan responden yaitu Rp. 2.059.090.

Berdasarkan tabel 2 di atas, hasil analisis hubungan antara fatigue dengan jumlah CD4 pada pasien HIV/AIDS diperoleh nilai r =

Tabel 1 Karakteristik Demografi Responden (n = 77)Karakteristik Total

f %Usia- 20-29 tahun 48 66,2- 30-39 tahun 25 28,6- 40-49 tahun 4 5,2Jenis kelamin- Laki-laki 45 58,4- Perempuan 32 41,6Pendidikan- SD 1 1,3- SMP 8 10,4- SMA 55 71,4- Perguruan tinggi 13 16,9Status pekerjaan- Tidak bekerja/IRT 16 20,8- Bekerja 61 79,2Status pernikahan- Menikah 27 35,1- Belum menikah 39 50,6- Janda/duda 11 14,3Penghasilan keluarga- Rendah(≤ UMR) 67 87- Tinggi (>UMR) 10 13

Kusman Ibrahim: Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin

Page 276: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

275JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

-.289, p< 0.05. Hal ini menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara variable fatigue dengan jumlah CD4 pada pasien HIV/AIDS. Selain itu table 2 menggambarkan hubungan yang signifikan antara variable fatigue dengan kadar Hb pada pasien HIV/AIDS (r = -.349, p< 0.05). Sementara itu, kadar Hb dan CD4 pada pasien HIV/AIDS menunjukkan hubungan yang signifikan dengan nilai r = .360, p < .01.

Pembahasan

Hasil penelitian data karakteristik demografi responden ditemukan bahwa kelompok usia 20 – 29 tahun merupakan kelompok usia terbanyak (66,2%) dari pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian ini. Data ini sesuai dengan data dari Depkes RI (2010) bahwa penderita HIV/AIDS terbanyak adalah pada rentang usia produktif (20 – 40 tahun). Hal ini juga sesuai dengan survey yang dilakukan oleh UNAIDS (2009), bahwa kelompk usia terbanyak penderita HIV/AIDS di seluruh dunia juga berada pada kelompok usia 20 – 40 tahun. Karakteristik lain pada penderita HIV/AIDS ditemukan bahwa jenis kelamin laki-laki memiliki jumlah lebih banyak (58.4%) dibandingkan dengan perempuan (41.6%). Hasil penelitian ini sejalan dengan data yang dilaporkan oleh Ditjen PP dan PL (2016) bahwa penderita HIV/AIDS terbanyak ialah laki-laki dan merupakan salah satu faktor resiko tertinggi dalam penularan infeksi HIV/AIDS. Hal ini karena berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh BKKBN didapatkan bahwa seorang pekerja seks wanita yang terinfeksi HIV/AIDS sedikitnya dapat menularkan kepada 6 pria yang melakukan hubungan seks dengannya. Selain itu, hubungan seks

sesama jenis juga merupakan salah satu resiko penularan yang tinggi dikalangan sesama pria (BPS, BKKBN, Kemenkes, & ICF International, 2013).

Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini didapatkan bahwa lulusan SLTA merupakan jumlah terbanyak yakni sebesar 71.4%. Data ini sesuai dengan beberapa penelitian bahwa sebagian besar para penderita HIV/AIDS memiliki tingkat pendidikan tingkat SLTA (Astuti, Yosep, & Susanti, 2015; Kusuma, 2010; Rayasari, 2011).

Mayoritas responden dalam penlitian ini bekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa angka kejadian HIV/AIDS cukup tinggi pada pekerja terutama karyawan swasta (Handajani, Djoerban., & Irawan., 2012). Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung melaporkan hal serupa dimana pekerjaan terbanyak pada pasien HIV AIDS yaitu pada pekerja swasta (26,65%), dan wiraswasta (16,75%). Walaupun demikian, akhir-akhir ini prevalensi HIV pada ibu rumah tangga (IRT) dan kelompok tidak bekerja juga cenderung meningkat. Kasus penularan HIV pada IRT dalam penelitian ini dilaporkan 18.2% dan sejalan dengan laporan KPA Kota Bandung terkait penularan HIV melalui transmisi seks pada IRT yang saat ini mencapai 11,70 % dari kasus HIV total (Komisi penanggulangan AIDS Kota Bandung, 2013).

Berdasarkan pekerjaan yang mereka lakukan, diperoleh penghasilan dimana rata-rata responden memiliki tingkat penghasilan yang tidak adekuat (inadequate income). Hal ini menyebabkan pasien akan berusaha memenuhi kebutuhan yang menjadi prioritas atau kebutuhan dasar mereka saja, sehingga untuk mencapai nutrisi yang seimbang

Table 2 Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hb pada Penderita HIV/AIDSVariabel Fatigue Jumlah CD4 Kadar HbFatigue - r = -.289*

(p = .011)r = -.349*(p = .002)

Jumlah CD4 - r = .360**(p = .001)

Kadar Hb -*significant statistik dengan p < .05, **significant statistik dengan p < .01

Kusman Ibrahim: Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin

Page 277: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

276 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

dan perawatan yang adekuat menjadi tidak maksimal. Menurut studi yang dilakukan oleh Kusuma (2010), menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara penghasilan keluarga dengan kualitas hidup pasien ODHA. Penghasilan keluarga yang adekuat dapat menunjang pemenuhan kebutuhan hidup pasien. Kebutuhan yang dipenuhi tidak hanya terbatas pada kebutuhan sehari-hari, akan tetapi terkait biaya pengobatan dan perawatan sehingga hal ini dapat menjaga derajat kesehatan pasien secara keseluruhan (Oluwagbemiga, 2007).

Kelelahan (fatigue) merupakan rasa letih yang luar biasa dan terus menerus serta penurunan kapasitas kerja fisik serta mental pada tingkat kerja biasanya (NANDA International, 2015). Menurut Matilda dkk (2012), gejala fatigue pada pasien HIV/AIDS berhubungan dengan fisik (penurunan energi atau penampilan fisik), cognitive (berkurangnya konsentrasi dan perhatian), dan affective (menurunnya motivasi dan minat). Menurut Barroso dan Voss (2013), dalam suatu penelitian melaporkan bahwa kejadian fatigue pada pasien HIV/AIDS dapat disebabkan oleh faktor fisiologis seperti kadar Hb, jumlah CD4, gangguan fungsi liver dan fungsi tiroid.

Hasil analisis hubungan antara fatigue dengan jumlah CD4 pada pasien HIV/AIDS dalam penelitian ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara fatigue dengan jumlah CD4. Nilai r =-0,289 menunjukan korelasi “negative”. Hal ini menunjukan semakin rendah jumlah CD4 maka semakin tinggi skor fatigue (semakin berat) pada pasien HIV/AIDS. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Matilda dkk (2012) pada 60 pasien HIV/AIDS yang sudah terdiagnosa selama 10 tahun, menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah CD4 dengan tingkat keparahan fatigue (p = 0.006).

CD4 merupakan sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. CD4 merupakan indikator yang sangat penting karena berkurangnya jumlah CD4 menunjukkan penurunan sistem kekebalan tubuh, sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke dalam

tubuh juga berkurang. Adapun nilai CD4 pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang baik antara 600-1500 cell/mm3 (Andersen, Pramudo, & Sofro, 2017). Pada pasien yang mengalami gangguan pada sistem kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV jumlah CD4 dapat terus menurun seiring dengan progresifitas penyakit (Swanson, 2010). Oleh karena itu, jumlah CD4 dapat menjadi salah satu indikator untuk menilai tingkat system kekebalan tubuh pada pasien dengan HIV/AIDS (Yogani, Karyadi, Uyainah, & Koesnoe, 2015).

Mempertahankan kadar CD4 agar tetap tinggi atau mendekati normal merupakan hal yang penting pada pasien HIV/AIDS karena semakin tinggi jumlah CD4 semakin menurun resiko kejadian fatigue pada pasien HIV/AIDS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yogani dkk (2015) disimpulkan bahwa pasien-pasien yang mendapat Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) mengalami perubahan kenaikan jumlah CD4, walaupun ini tergantung pada kondisi jumlah CD4 diawal, kepatuhan minum obat ART, dan infeksi TB. Kepatuhan minum obat merupakan hal yang penting dalam pentalaksanaan pasien HIV/AIDS karena berhubungan dengan progesivitas dari penyakit HIV (Yogani dkk, 2015). Penelitian tersebut juga menunjukan bahwa mengkonsumsi semua dosis HAART secara benar dan tidak terlewat oleh pasien HIV/AIDS dapat mencapai tingkat supresi virus yang optimal (mencapai 90-95%).

Hasil analisis hubungan antara fatigue dengan kadar Hb pada penelitian ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara fatigue dengan kadar Hb pada pasien HIV/AIDS. Nilai r = - 0,349 menunjukan korelasi “negative”. Hal ini menujukan semakin rendah kadar Hb maka semakin tinggi skor fatigue (semakin berat) pada pasien HIV/AIDS. Hasil penelitian ini sejalan dengan studi sebelumnya yang menyatakan bahwa penurunan kadar hemoglobin berhubungan dengan terjadinya fatigue pada pasien HIV/AIDS (Dinos, 2009; Matilda dkk, 2012).

Anemia atau berkurangnya kadar hemoglobin merupakan gangguan hematologi yang paling banyak terjadi pada pasien HIV/AIDS. Hemoglobin merupakan

Kusman Ibrahim: Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin

Page 278: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

277JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

protein dalam eritrosit yang berfungsi untuk mengikat oksigen yang didapat dari paru kemudian mengedarkannya ke seluruh tubuh dan mengikat karbondioksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru (Andersen dkk, 2017). Kadar normal Hb untuk orang dewasa laki-laki yaitu 14–18 gr/dl, sedangkan perempuan 12–16 gr/dl. Bila kadar Hb dalam darah dibawah normal, maka orang tersebut dikatakan mengalami anemia.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Louvati dan Berembaun (2015) bahwa pada pasien HIV terjadi peningkatan proinflamatori sitokin seperti IL-1, IL-6, TNF alpa interferon yang dapat menyebabkan kadar hemoglobin yang berkurang akibat penurunan eritropoesis. Kondisi anemia ini dapat menyebabkan pembentukan ATP menjadi lebih sedikit sehingga kontraksi otot pun berkurang dan menyebabkan kelemahan (fatigue) (Mandorfer dkk, 2014). Selain itu, kurangnya eritrosit dalam darah pada kasus anemia dapat menyebabkan gangguan pada transport oksigen ke mitokondria dimana tempat terjadinya metabolisme melalui proses fosporilasi oksidatif untuk menghasilkan energi (Irawan, 2007). Hal inilah yang menyebabkan pasien HIV dengan kadar Hb rendah (anemia) akan mengalami kelelahan (fatigue).

Menurut Mandorfer dkk (2014), tingkat keparahan fatigue dapat dikaji jika kadar hemoglobin turun di bawah 10 g/dl. Dengan demikian, optimalisasi pengelolaaan anemia sangat penting untuk mencegah turunya kadarhemoglobin sehingga tingkat keparahan fatigue pada pasien dengan HIV/AIDS dapat berkurang. Pasien yang terinfeksi HIV umumnya membutuhkan lebih banyak energi dibanding orang sehat. Menurut penelitian Yuniarti, Purba, dan Pangastuti (2013) ditemukan bahwa dilakukannya konseling gizi terbukti efektif untuk membantu mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh virus terkait gejala rendahnya kadar hemoglobin (anemia) pada pasien HIV/AIDS. Melalui konseling gizi dan asupan nutrisi yang memadai kepada pasien HIV/AIDS diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan motivasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi secara tepat dan memadai. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan dan

perilaku seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan lebih berlangsung lama daripada perilaku atas dasar paksaan.

Kadar Hb dan CD4 pada pasien HIV/AIDS memiliki hubungan positif yang signifikan seperti yang ditemukan pada penelitian ini. Hal ini berarti penurunan jumlah CD4 sejalan dengan dengan penurunan kadar Hb dalam darah, dan begitupun sebaliknya. Hb dan CD4 keduanya dibentuk dengan memerlukan nutrisi sebagai bahan bakunya. Pasien HIV yang mengalami permasalahan nutrisi karena dampak dari infeksi oportunistik seperti candidiasis pada mulut, diare, atau mual muntah karena efek samping obat ARV, beresiko mengalami penurunan kadar Hb dan CD4 yang akhirnya berdampak juga pada terjadinya fatigue. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa BMI < 18,5 dan CD4 ≤ 50 sel/mm berpeluang terjadinya anemia (Sumantri, Wicaksana., & Ariantana., 2009).

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian fatigue pada pasien HIV/AIDS memiliki hubungan dengan jumlah CD4 dan kadar Hb, dimana kadar Hb dan jumlah CD4 yang menurun akan meningkatkan kejadian fatigue. Adapun kadar Hb memiliki hubungan positif dengan jumlah CD4 pada pasien HIV/AIDS, yang bermakna penurunan jumlah CD4 sejalan dengan penurunan kadar Hb dalam darah, dan begitu pun sebaliknya. Mengetahui adanya hubungan tersebut, maka perawat dapat memberikan intervensi atau upaya-upaya yang tepat kepada pasien HIV/AIDS untuk bisa meningkatkan jumlah CD4 dan kadar hemoglobin seperti memberikan asupan nutrisi dan vitamin yang cukup, membimbing melakukan aktivitas fisik secara rutin, memantau dan mendukung tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi. Melalui intervensi tersebut diharapkan mampu menurunkan kejadian fatigue pada pasien HIV/AIDS.

Daftar Pustaka

Astuti, R., Yosep, I., & Susanti, R. D.

Kusman Ibrahim: Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin

Page 279: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

278 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

(2015).Pengaruh Intervensi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) terhadap Penurunan Tingkat Depresi Ibu Rumah Tangga dengan HIV. Jurnal Keperawatan Padjadjaran,3(1).

Andersen, K., Pramudo, S. G., & Sofro, M. A. U. (2017). Hubungan Status Gizi Dengan Kualitas Hidup Orang Dengan HIV/AIDS Di Semarang (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

Barroso, J & Lynn, M.R.(2002). Psychometric properties of the HIV/AIDS Related Fatigue Scale.Journal of The Association of Nurses in AIDS Care 13 (1) : 66–75.

Barroso, J., Hammil, B.G., Leserman, J., Salahuddin, N., Harmon, J.L., & Pence, B.W. (2010).Physiological and Psychosocial Factors that Predict HIV-Related Fatigue.AIDS Behav14(6): 1415–1427. doi:10.1007/s10461-010-9691-2.

Barroso, J & Voss, J,G. (2013). Fatigue in HIV and AIDS : An analysis of evidence. Journal of the association of nurses in AIDS care 24 (1) : S5-S14. Doi : 10.1016/j.jana.2012.07.003.

Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan (Kemekes), dan ICF International. (2013). Indonesia demographic and health survey 2012. Jakarta, Indonesia: BPS, BKKBN, Kemenkes, dan ICF International.

Rayasari, F. (2014). Depresi, Self-care, dan Tingkat Fatigue pada Pasien HIV/AIDS. Nursing Science Jurnal Keperawatan. Vol. 1.1, 58–64.

Departemen Kesehatan RI. (2007). Panduan Tatalaksana Klinis infeksi HIV pada orang dewasa dan Remaja, Edisi ke 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Departemen Kesehatan RI. (2010). Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja, Edisi ke 2.Departemen

Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penvehatan Lingkungan.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. (2012). “Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2012.” Diakses dari http://www.depkes.go.id/resources/ download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/12_Profil_Kes.Prov.JawaBarat_201

Dinos S, Khoshaba B, Ashby D, et al. (2009). A systematic review of chronic fatigue, its syndromes and ethnicity: prevalence, severity, co-morbidity and coping. International Journal of Epidemiology,38: 1554–1570.

Ditjen PP & PL. Departemen Kesehatan RI. (2016). Statistik Kasus HIV di Indonesia.Diakses dari http://www.spiritia.or.id/stats/statCurr.stat2016.xls.

Fauci, A.S., Lane, H.C. Human Immunodeficiency Virus Disease : AIDS amd Related Disorder.Dalam : Longo DL., Fauci, A.S., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Jameson JL., Loscalzo J (ed) : Harrison’s Principles of Internal Medecine. Eighteenth Editiom. New York. Mc Graw-Hill. 2012.1506-1587.

Fransiska, Y. Y., & Kurniawaty, E. (2015). Anemia pada Infeksi HIV.

Handajani, Y. S., Djoerban, Z., & Irawan, H. (2012). Quality of life people living with HIV/AIDS: outpatient in Kramat 128 Hospital Jakarta. Acta Med Indones, 44(4), 310-316.

Harmon, J.L., Barroso, J., Pence, B.W., Leserman, J., & Salahuddin, N. (2008). Demographic and illness-related variables associated with HIV-related fatigue. Journal of The Association of Nurses in AIDS Care 19:90–97.

Irawan, M.A. (2007). Glukosa dan Metabolisme Energy.Polton Sports Science & Performance Lab, Vol 1 (6), hal 01-05.

Jenkin, P., Koch, T., & Kralik, D. (2006).The experience of fatigue for adults living with HIV.Journal of Clinical Nursing

Kusman Ibrahim: Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin

Page 280: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

279JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

15, 1123– 1131.doi: 10.1111/j.1365-2702.2006.01343.x.

Jong, E., Oudhoff, L.A., Epskamp, C., Wagener, M.N., Van Duijn, M., Fischer, S., Van Gorp, E.C. (2010). Predictors and treatment strategies of HIV-related fatigue in the combined antiretroviral therapy era. AIDS, 24, 1387-1405. Doi : 10.1097/QAD.0b013e328339d004.

Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung. (2013). ANALISIS EPIDEMIOLOGI HIV – AIDS DI KOTA BANDUNG. Diakses dari: http://kpakotabandung.or.id/wp-content/uploads/Materi-dr.-Yori-Analisa-Epidemiologi-HIV-AIDS-di-Kota-Bandung.pdf

Kusuma, H., Nurachmah, E., & Gayatri, D. (2010).Hubungan antara depresi dan dukungan keluarga dengan kualitas hitlup pasien HIV/AIDS yang menjalani perawatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.Tesis Program S2 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, tidak dipublikasikan.

Lerdal, A., Gay, C.L., Aouizerat, B.E., Portilo, C.J., & Lee, K.A. (2011). Patterns of morning and evening fatigue among adults with HIV/AIDS.Journal of Clinical Nurse ; 20 (15-16): 2204-2216. DOI:10.1111/j.1365-2702.2011.03751.x.

Lindayani, L., & Maryam, N. N. A. (2017). Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home Care untuk Pasien dengan HIV/AIDS. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(1).

Louvati, K & Berenbaum, F. (2015). Fatigue in chronic inflamation- a link to pain pathways. Athritis Research & Therapy17 :254. DOI: 10.1186/s13075-015-0784-1.

Mandorfer, M., Payer, B. A., Scheiner, B., Breitenecker, F., Aichelburg, M. C., Grabmeier‐Pfistershammer, K., ...& Reiberger, T. (2014). Health‐related quality of life and severity of fatigue in HIV/HCV co‐infected patients before, during, and after antiviral therapy with pegylated interferon plus ribavirin.Liver international, 34(1), 69-

77.

Matilda, B., Cercel, S., Mariana, M., Rodica, U., Cristina, P., & Ruxandra, D. (2012), Fatigue in HIV/AIDS Patients. Therapeutic,Pharmacology, and Clinical Toxicology. 16 (2) : 111-115.

Muflih, M., & Setiawan, D. I. (2017).Pengaruh Konseling Short Message Service (SMS) Gateway terhadap Self Efficacy Menghindari Seks Bebas dan HIV/AIDS Remaja. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(1).

NANDA International. (2015). Nursing Diagnoses: Definitions and Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.

Nursalam, D. K., & Dian, N. (2007). Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV. Jakarta: Salemba Medika.

Oluwagbemiga, A.E. (2007). HIV/AIDS and Family Support systema : A situationn Analysis of People Living with HIV/AIDS in Logos State. Journal of social aspect of HIV/AIDS. Vol 4 (3): 668-677.

Polit, F.D., & Beck, C.T. (2004). Nursing Research: Pronciples and Methods. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Rayasari, F. (2011). Hubungan depresi dan self care practice dengan tingkat fatigue pada pasien HIV/AIDS di Pokja HIV/AIDS RSPI Prof Dr Sulianto Saroso. Tesis. Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Redig AJ., & Berliner N. (2013). Pathogenesis and Clinical Implication of HIV-related Anemia in 2013. Hemathology. 2013, 2013:377-81.

Sumantri, R., Wicaksana, R., & Ariantana, A. R. (2009). Prevalensi dan faktor risiko anemia pada HIV-AIDS. Majalah Kedokteran Bandung, 41(4).

Swanson, B. (2010). ANAC’s Core Curriculum for HIV/AIDS Nursing. Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers.

Kusman Ibrahim: Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin

Page 281: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

280 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Radbruch, L., Strasser, F., Elsner. F., Goncalves, J.F., Loge, J., Kaasa, S., et al. (2008). Fatigue in Palliatve Care patients –an EAPC approach.Palliative medecine 22:13-32.

UNAIDS. (2009). Statistic HIV/AIDS update. Diunduh tanggal 3 Maret 2017 dari http://data.unaids.org.

Yogani, I., Karyadi, T. H., Uyainah, A., & Koesnoe, S. (2017). Faktor-faktor yang

Berhubungan dengan Kenaikan CD4 pada Pasien HIV yang Mendapat Highly Active Antiretroviral Therapy dalam 6 bulan Pertama. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 2(4).

Yuniarti, Y., Purba, M. B., & Pangastuti, R. (2013).Pengaruh konseling gizi dan penambahan makanan terhadap asupan zat gizi dan status gizi pasien HIV/AIDS. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 9(3), 132-138.

Kusman Ibrahim: Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin

Page 282: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

281JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Skrining Kekerasan terhadap Anak “ICAST-C” versi Bahasa Indonesia

Meita Dhamayanti, Anne Dian Rachmawati, Nita Arisanti, Elsa Puji Setiawati, Viramita K Rusmi, Nanan Sekarwana

Fakultas Kedokteran. Universitas PadjadjaranEmail: [email protected]

Abstrak

Saat ini belum ada kuesioner skrining kekerasan terhadap anak (KtA) di Indonesia. Upaya deteksi dini dapat menurunkan kejadian KtA. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan alat skrining kekerasan terhadap anak dengan cara modifikasi dari kuesioner yang telah banyak digunakan di Negara lain, yaitu the International Society for Prevention of Child Abuse and Neglect (ISPCAN)-Child Abuse Screening Tool (ICAST)-for Children (ICAST-C). Rancangan deskriptif dilakukan untuk menilai validitas dan reliabilitas instrumen. Pertama dilakukan lima tahapan translasi dan adaptasi lintas budaya terhadap instrumen hingga didapatkan kuesioner ICAST-C versi Bahasa Indonesia. Kedua dilakukan uji coba terhadap 45 anak usia 11–18 tahun yang bersekolah di SMP dan SMA Kota Bandung. Uji korelasi Rank-Spearman dan Kuder-Richardson digunakan masing-masing untuk mengukur validitas item dan reliabilitas. Validitas item kuesioner ICAST-C versi Bahasa Indonesia sebagian besar dinilai valid kecuali pada sembilan item (Rs ≤0,3). Reliabilitas keseluruhan variabel ICAST versi Bahasa Indonesia adalah KR 0,919. Kuesioner ICAST-C versi Bahasa Indonesia mempunyai validitas item dan reliabilitas yang baik sebagai alat skrining kekerasan terhadap anak

Kata kunci: ICAST-C, kekerasan terhadap anak, kuesioner skrining.

Validity and Reliability of The Indonesian Version of The “ICAST-C” Violence Screening Questionnaire

Abstract

Nowadays there is still no screening tool for violence against child in Indonesia, Early detection may decrease child abuse prevalence The objective study was to obtain a screening tool for child abuse by modifying the questionnaires that have been widely used in other countries, specifically the International Society for Prevention of Child Abuse and Neglect (ISPCAN) -Child Abuse Screening Tool (ICAST) -for Children (ICAST-C). This descriptive study was begun with 5 phase of translation and adaptation across cultural of ICAST-C to establish Bahasa version. The item validity and reliability were measured by correlation Rank Spearman and Kuder-Richardson, respectively The items of ICAST-C Indonesian version were valid except on 9 items (Rs ≤0,3). The reliability of the ICAST-C Indonesian version was KR 0.919. The Indonesian versionquestionnaire of ICAST-C had a good item validity and reliability as a screening tool for child abuse.

Keywords: Child abuse, ICAST-C, questionnaire screening.

Page 283: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

282 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pendahuluan

Kekerasan terhadap anak (KtA) atau disebut juga sebagai ‘child maltreatment’ merupakan semua bentuk perlakuan yang merusak fisik dan/atau emosional, pelecehan seksual, perlakukan lalai atau melalaikan, ekploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang berpotensi membahayakan atau membahayakan secara nyata terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup, perkembangan atau kehormatan dalam konteks tanggung jawab, kepercayaan atau wewenang (WHO & ISPCAN, 2006; Gilbert et al., 2011).

World Health Organization (WHO) memperkirakan 41.000 anak dibawah 15 tahun meninggal karena kekerasan setiap tahun dan korban kekerasan fisik 25–50% korban kekerasan seksual, terdiri dari 20% anak perempuan serta 5–10% anak laki-laki (Optimus, 2012). Kekerasan anak ini merupakan fenomena gunung es. Institusi pemerintah maupun swasta yang bergerak di bidang perlindungan anak, secara berkala menyajikan angka kekerasan anak yang cenderung meningkat. Meskipun saat ini telah ada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang kewajiban pemberi layanan kesehatan untuk memberi informasi atas adanya dugaan kekerasan terhadap anak. (Kemenkes, 2013), angka-angka yang dipublikasi tersebut masih sebatas kasus yang dilaporkan atau yang memperoleh pelayanan di rumah sakit, puskesmas, komisi perlindungan anak indonesia (KPAI), kepolisian, dan lembaga pelayanan dan perlindungan anak. Angka-angka yang sesungguhnya masih sulit ditemukan. Kesulitan untuk mendeteksi adanya kekerasan pada anak, berhubungan dengan budaya di Indonesia yang beragam, menyebabkan kekerasan seringkali luput dari perhatian sehingga kejadian yang dilaporkan merupakan bentuk kekerasan yang berat atau setelah terjadi kematian. (“Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak,” 2007). Menurut Hardianti, Nurhidayah, dan Rahayu Fitri (2013) perawat berperan dalam pemberian dukungan dan konseling bagi anak termasuk korban kekerasan. Pemberian konseling dapat melibatkan pihak sekolah dengan menunjuk guru pembimbing sebagai konselor dari sekolah.

Upaya deteksi ini bukan merupakan hal yang mudah. Saat ini belum banyak alat atau metode deteksi dini yang digunakan. UNICEF melalui ISPCAN telah mengembangkan instrumen deteksi dini kekerasan terhadap anak yang dapat dilakukan pada anak, orang tua dan guru. Organisasi ini telah menganjurkan kepada negara-negara di dunia agar dapat mengadaptasi instrumen ini yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. (Runyan, Dunne, & Zolotor, 2009)

The International Society for Prevention of Child Abuse and Neglect (ISPCAN) menyusun suatu kuesioner skrining KtA yang telah digunakan di berbagai negara, yaitu Child Abuse Screening Tool yang populer disebut ICAST. Kuesioner ICAST dinilai lebih unggul dibandingkan yang lain karena dapat mencakup kelima jenis KtA berupa penelantaran, kekerasan psikologis, kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan paparan kekerasan (Runyan, Dunne, & Zolotor, 2009). Kuesioner ICAST ada tiga jenis yaitu untuk anak (ICAST-C), orang tua (ICAST-P) dan guru (ICAST-T), yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi berbagai bentuk kekerasan yang dapat terjadi di rumah, institusi maupun di masyarakat. Zolotor et al. (2009) melakukan penelitian multisenter untuk menelaah kuesioner ini, yang melibatkan 130 ahli dari 43 negara,melaporkan validitas konstruksi yang dapat diterima serta reliabilitas yang baik dinilai dengan Cronbach’s alpha untuk kekerasan fisik (0,77), kekerasan psikologis, seksual, penelantaran, dan pengalaman kekerasan masing masing yaitu 0,77; 0,78; 0,72; 0,83; dan 0,69. Saat ini telah diterjemahkan kedalam 20 bahasa. (Runyan, Dunne, & Zolotor, 2009; Zolotor et al., 2009)

Tujuan penelitian ini, untuk mengembangkan instrumen kuesioner skrining/ deteksi dini KtA dengan mengadaptasi dan menerjemahkan kuesioner ICAST-C kedalam bahasa Indonesia serta menilai validitas dan reliabilitasnya.

Metode Pnelitian

Untuk memperoleh instrumen dengan konsistensi internal, validitas dan reliabilitas yang dapat dipertahankan sesuai versi asli,

Meita Dhamayanti: Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Skrining Kekerasan terhadap Anak

Page 284: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

283JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

dilakukan beberapa tahapan, sebagai berikut:1.1 Proses Adaptasi dan Translasi Lintas

BudayaAdaptasi lintas budaya merupakan proses

untuk mendapatkan suatu instrumen yang akan digunakan di negara, kultur, dan/atau bahasa baru (McDowell, 2006) Proses ini memerlukan metodologi khusus untuk mendapatkan persamaan antara versi asli dengan target bahasa. Alat ukur lintas budaya ini untuk dapat digunakan di negara baru tidak semata-mata hanya menerjemahkan kedalam bahasa baru secara harfiah, namun harus dilakukan proses adaptasi untuk menjaga validitas isi dari instrumen tersebut. Maksud dari adaptasi ‘lintas budaya’ menuju kepada proses diantara kedua bahasa (translasi) dan adaptasi budaya dalam proses mempersiapkan instrumen untuk dapat digunakan di tempat yang baru. Proses adaptasi lintas kultural untuk mendapatkan instrumen dengan konsistensi internal, validitas, dan reliabilitas yang dapat dipertahankan sesuai dengan versi asli. Untuk mendapatkan hal tersebut, proses adaptasi ini terdiri dari 6 tahapan. (Beaton dkk., 2002)

1.1.1 Penerjemahan Awal (translation)Tahapan pertama dari adaptasi lintas

budaya adalah forward translation. Instrumen akan diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh dua orang penerjemah. Hal ini bertujuan agar kedua hasil terjemahan dapat dibandingkan, kata-kata yang bermakna ganda pada instrumen asli atau yang muncul akibat proses penerjemahan dapat terdeteksi. Kedua penerjemah kemudian dapat mendiskusikan dan mengidentifikasi pemilihan kata-kata yang kurang tepat. Penerjemah pertama diharapkan dapat menghasilkan terjemahan yang lebih andal baik dari perspektif klinis maupun perspektif pengukuran akan menghasilkan terjemahan awal 1 (T1). Penerjemah kedua diharapkan tidak terpengaruh oleh tujuan akademik dan hasil terjemahannya merupakan refleksi dari bahasa yang digunakan oleh populasi umum akan menghasilkan terjemahan awal 2 (T2).

1.1.2 Sintesis Terjemahan AwalPada tahapan sintesis terjemahan ini

kedua penerjemah dan seorang pengamat akan berdiskusi untuk membuat terjemahan gabungan (T12). Terjemahan gabungan (T12) dibuat berdasarkan instrumen asli, instrumen

terjemahan versi penerjemah pertama (T1) dan instrumen terjemahan versi penerjemah kedua (T2).

1.1.3 Penerjemahan KembaliBerdasarkan hasil terjemahan gabungan

(T12) dan tanpa mengetahui instrumen versi aslinya, dua orang penerjemah yang akan menerjemahkan instrumen T12 kembali ke bahasa Inggris dan akan menghasilkan Terjemahan Kembali 1 (BT1) dan Terjemahan Kembali 2 (BT2). Proses ini bertujuan untuk memeriksa kesahihan proses penerjemahan dan memastikan bahwa versi terjemahan merefleksikan arti yang sama dengan versi asli. Penerjemahan kembali dilakukan oleh dua orang individu dengan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu.

1.1.4 Ulasan Komite AhliPeranan komite ahli sangat penting dalam

pencapaian ekuivalensi lintas budaya. Komite ini sedikitnya beranggotakan ahli metodologi, profesional kesehatan, dan penerjemah (penerjemah maju dan penerjemah kembali). Peran komite ahli adalah mengkonsolidasikan seluruh versi instrumen dan mengembangkan instrumen versi prefinal untuk digunakan pada uji lapangan. Materi yang dapat digunakan oleh komite ini adalah instrumen asli, seluruh hasil terjemahan (T1, T2, T12, BT1 dan BT2) beserta laporan tertulisnya. Komite ahli ini bertugas untuk mengambil keputusan penting, sehingga dokumentasi tentang diskusi yang dilakukan dibuat secara tertulis. Ekuivalensi versi prefinal dan versi original harus tercapai pada empat area, yaitu semantik, idiomatik, eksperensial, dan konseptual. Komite ini harus memeriksa kuesioner versi asli dan versi terjemahan untuk semua ekuivalensi diatas.

1.1.5 Pra-Uji/Uji Karakteristik Psikometrik Awal

Tahapan terakhir dari proses adaptasi adalah uji lapangan. Instrumen versi prefinal akan diujikan di lapangan pada anak atau subjek yang menjadi target. Dengan asumsi jumlah sampel berdistribusi normal instrumen versi prefinal diujikan pada sampel minimal 30 orang. Masing-masing subjek mengisi kuesioner dan diwawancara untuk mendalami mengenai apa yang mereka pikirkan tentang masing-masing pertanyaan dan respon yang dipilih. Subjek penelitian mengisi kuesioner versi bahasa Indonesia,

Meita Dhamayanti: Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Skrining Kekerasan terhadap Anak

Page 285: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

284 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

arti dari pertanyaan dan respon yang diberikan kemudian dieksplorasi lebih lanjut. Responden kemudian mengisi kuesioner prefi nal yang sama pada waktu 1 minggu setelah kuesioner pertama dikerjakan.

1.1.6 Uji Karakteristik Psikometrik AkhirTahapan ini merupakan tahap akhir untuk

mengetahui karakteristik psikometrik ICAST versi Bahasa Indonesia. Pada tahap ini subjek akan diminta untuk mengisi instrumen versi fi nal. Langkah terakhir dilakukan analisis karakteristik psikometrik.

1.2 Validitas ItemUntuk mengukur validilitas item-item

yang digunakan dalam instrumen, digunakan ukuran korelasi antara masing-masing item dengan total nilai seluruh item. Item yang disertakan adalah yang memiliki skala pengukuran interval, yaitu jawaban hanya akan dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu menjadi 1 = Ada riwayat kekerasan dan 0 = Tidak ada riwayat kekerasan. Respons yang diberikan akan dianggap 2 jenis, yaitu ‘ya’ dan ‘tidak’. Analisis validilitasnya akan

Gambar 1 Enam Tahapan Adaptasi Lintas Kultural (Sumber: Beaton dkk., 2000)

Meita Dhamayanti: Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Skrining Kekerasan terhadap Anak

Page 286: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

285JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

menggunakan metode korelasi poin biserial skala dari jawaban responden hanya terdiri dari 0 dan 1 (skala Guttman).

Item yang mengukur eksplorasi lebih lanjut seperti pertanyaan “Siapa orang yang melakukan kekerasan, dan lain-lain”, tidak akan disertakan. Dalam instrumen kuesioner ICAST-C yaitu diberikan kode ‘a’ dibelakangnya. Item yang berupa pertanyaan terbuka juga tidak akan diikut sertakan. Uji yang digunakan adalah korelasi Rank-spearman.

1.3 Uji ReliabilitasUji reliabilitas dilakukan terhadap

alat ukur dalam bentuk kuesioner untuk mengetahui sejauh mana tingkat konsistensi atau kepercayaan hasil suatu pengukuran atau sejauh mana pertanyaan dapat dipahami sehingga tidak menyebabkan perbedaan interpretasi dalam memahami pertanyaan. (McDowell, 2006) Reliabilitas suatu pengukuran dipengaruhi oleh kesalahan acak (random eror) yaitu kesalahan yang terjadi bersifat tidak simetris. Alat uji yang digunakan

yaitu koefisien reliabilitas Chronbach’s Alpha. Dalam pengujian reliabilitas instrumen akan digunakan Metode Kuder- Richarson: K-R 20 dan K-R 21. Nilai KR yang diperoleh akan dibandingkan dengan acuan ukuran reliabilitas pada tabel 1.

Hasil Penelitian

Penerjemah pada tahap pertama yaitu menerjemahkan 71 pertanyaan dalam kuesioner ICAST-C asli ke dalam bahasa Indonesia, dilakukan 2 penerjemah secara terpisah. Penerjemah pertama dari jurusan psikologi yang memiliki latar belakang medis dan mengetahui konsep yang diukur oleh instrumen ini, sedangkan penerjemah kedua adalah sebaliknya berasal dari awam. Kedua penerjemah telah menyusun laporan tertulis mengenai frase-frase yang sulit, memilih kata yang masih diragukan atau tidak pasti, dan alasan penerjemah memilih kata tersebut. Membuat laporan, tentang pemilihan kata

Tabel 1 Acuan ReliabilitasKoefisien Reliabilitas(Guilford, 1956:145)

Tingkat keandalan

0,1 – 0,20 Kurang Reliabel>0,20 – 0,40 Agak Reliabel>0,40 – 0,60 Cukup Reliabel>0,60 – 0,80 Reliabel>0,80 – 1,00 Sangat Reliabel

Tabel 2 Hasil Pengujian Validilitas Item ICAST-CNo Item Korelasi Hasil No Item Korelasi Hasil No Item Korelasi Hasil1 ICASTC.16 0.3782 Valid 26 ICASTC.41 0.5139 Valid 51 ICASTC.66 0.3788 Valid2 ICASTC.17 0.5867 Valid 27 ICASTC.42 0.3579 Valid 52 ICASTC.67 0.3843 Valid3 ICASTC.18 0.3567 Valid 28 ICASTC.43 0.4001 Valid 53 ICASTC.68 0.4095 Valid4 ICASTC.19 0.3788 Valid 29 ICASTC.44 0.3384 Valid 54 ICASTC.69 0.3456 Valid5 ICASTC.20 0.4548 Valid 30 ICASTC.45 0.3894 Valid 55 ICASTC.70 0.3030 Valid6 ICASTC.21 0.5692 Valid 31 ICASTC.46 0.4165 Valid 56 ICASTC.72 0.4341 Valid7 ICASTC.22 0.5831 Valid 32 ICASTC.47 0.3787 Valid 57 ICASTC.73 0.6628 Valid8 ICASTC.23 0.5890 Valid 33 ICASTC.48 0.4251 Valid 58 ICASTC.74 0.4951 Valid9 ICASTC.24 0.4835 Valid 34 ICASTC.49 0.4253 Valid 59 ICASTC.75 0.3148 Valid10 ICASTC.25 0.6527 Valid 35 ICASTC.50 0.3694 Valid 60 ICASTC.76 0.3942 Valid11 ICASTC.26 0.4765 Valid 36 ICASTC.51 0.3813 Valid 61 ICASTC.77 0.3309 Valid

12 ICASTC.27 0.3724 Valid 37 ICASTC.52 0.3923 Valid 62 ICASTC.78 0.3349 Valid13 ICASTC.28 0.3226 Valid 38 ICASTC.53 0.3903 Valid 63 ICASTC.79 0.3349 Valid

Meita Dhamayanti: Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Skrining Kekerasan terhadap Anak

Page 287: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

286 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

yang masih diragukan atau tidak pasti, dan alasan penerjemah memilih kata tersebut.

Sintesis hasil terjemahan tahap pertama selanjutnya dilakukan diskusi antara 2 penerjemah dengan tim peneliti. Setelah disepakati hasil penerjemahan tahapa pertama, selanjutnya dilakukan penerjemahan tahap kedua yang dilakukan oleh 2 penerjemah dari lembaga bahasa Inggris. Kedua penerjemah tidak mengetahui tentang konsep instrumen yang sedang diterjemahkan dan tidak memiliki latar belakang medis. Alasan utama dari pemilihan ini adalah untuk menghindari kerancuan informasi dan menemukan pengertian yang tidak diduga pada versi terjemahan gabungan (T12). Hasil penerjemahan kembali sebelum dilakukan ulasan komite ahli dikirimkan kepada Desmond D Runyan sebagai representasi dari ISPCAN untuk ditelaah terlebih dahulu. Setelah ditelaah baru dilanjutkan ke tahapan ulasan komite ahli.

Hasil telaah komite ahli ditemukan beberapa kata seperti “distrap” mengganti istilah “hukuman berdiri” dan beberapa istilah “pantat” diganti menjadi “bokong”.

Tahap akhir proses adaptasi pada peneilitian ini adalah melakukan uji lapangan. Instrumen versi prafinal diujikan di lapangan pada anak atau subjek yang menjadi target. Jumlah sampel berdistribusi normal instrumen versi prefinal diujikan pada sampel minimal 45 orang.

Hasil Pengujian Validilitas

Hasil pengujian validitas kuesioner memberikan hasil yang dapat dilihat pada tabel. Nilai korelasi item dengan nilai total yang diperoleh dibandingkan dengan nilai acuan dari tabel dengan mengambil 𝛼 = 5%dari jumlah responden yang dilibatkan adalah 45 orang yaitu sebesar 0,294. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kuesioner merupakan instrumen yang sangat reliabel dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil perbandingan dengan nilai batas atau nilai kritisnya diperoleh hasil bahwa semua item memberikan hasil pengujian dengan kesimpulan adalah valid (tabel 2).

Hasil Pengujian Reliabilitas

Hasil perhitungan nilai koefisien korelasi dengan rumus Kuder-Richardson KR20 dan KR21 pada tabel 3, Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kuesioner merupakan instrumen yang sangat reliabel.

Reliabilitas dinilai dengan menghitung konsistensi internal dengan metode one shot, yaitu peneliti hanya mengujikan instrumen tersebut satu kali saja, kemudian jawaban yang diperoleh dibandingkan dengan jawaban lainnya. Sekumpulan pertanyaan dikatakan reliabel dan berhasil mengukur variabel

14 ICASTC.29 0.3121 Valid 39 ICASTC.54 0.3661 Valid 64 ICASTC.80 0.4095 Valid15 ICASTC.30 0.4122 Valid 40 ICASTC.55 0.3725 Valid 65 ICASTC.81 0.3931 Valid16 ICASTC.31 0.5398 Valid 41 ICASTC.56 0.3787 Valid17 ICASTC.32 0.5398 Valid 42 ICASTC.57 0.4423 Valid18 ICASTC.33 0.4405 Valid 43 ICASTC.58 0.3094 Valid19 ICASTC.34 0.4635 Valid 44 ICASTC.59 0.4461 Valid20 ICASTC.35 0.3343 Valid 45 ICASTC.60 0.5060 Valid21 ICASTC.36 0.3325 Valid 46 ICASTC.61 0.6064 Valid22 ICASTC.37 0.4077 Valid 47 ICASTC.62 0.3724 Valid23 ICASTC.38 0.5307 Valid 48 ICASTC.63 0.3373 Valid24 ICASTC.39 0.4116 Valid 49 ICASTC.64 0.3461 Valid25 ICASTC.40 0.4261 Valid 50 ICASTC.65 0.3591 Valid

Meita Dhamayanti: Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Skrining Kekerasan terhadap Anak

Page 288: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

287JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

yang kita ukur jika koefisien reliabilitasnya ≥0,7. Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik Cronbach’s Alpha, dengan hasil yang disajikan pada tabel 4.

Reliabilitas dinilai berdasarkan nilai Cronbach’s Alpha, didapatkan hasil yang sebagian besar dinilai reliabel, dengan nilai Alpha yang berkisar antara 0,483 hingga 0,966, kecuali pada variabel paparan kekerasan dan eksploitasi serta variabel penelantaran, didapatkan hasil yang tidak reliabel dengan nilai Alpha 0,483 dan 0,445 dan diinterpretasikan tidak reliabel. Total Alpha yang didapatkan untuk seluruh variabel adalah 0,919 sehingga dikatakan memiliki reliabilitas yang sangat baik dan dapat diterima.

Pembahasan

Bayi dan anak usia sekolah merupakan populasi yang memiliki risiko tinggi untuk terjadi kekerasan yang berat, berhubungan dengan sifatnya yang masih tergantung terhadap orang dewasa, mudah luka, dan relatif terabaikan di lingkungan sosial.(WHO dan ISPCAN, 2006). Menurut Christian (2015) kekerasan terhadap anak berhubungan dengan sejumlah kondisi kesehatan anak, termasuk penyakit infeksi, nyeri, hipertensi, diabetes, asma, penyakit jantung, inflamasi, obesitas, dan keadaan kesehatan umum yang buruk.

Untuk mencegah terjadinya gangguan di masa yang akan datang, maka diperlukan alat skrining KtA. Kuesioner ICAST-C adalah satu diantara tiga kuesioner wawancara kepada orang tua, dewasa muda, dan anak. Tujuan instrumen ini adalah untuk memfasilitasi

pelaporan kejadian segala bentuk KtA dengan lebih akurat dan lebih menggambarkan kondisi sebenarnya. (Zolotor et al., 2009; Runyan et al., 2009)

Validasi instrumen ICAST telah dilakukan di Cina dan Korea dan didapatkan validitas konstruksi yang dapat diterima. Reliabilitas dinilai dengan menggunakan Chronbach’s alpha, dengan hasil adekuat dan cukup tinggi, dengan nilai 0,69 (paparan kekerasan di rumah), 0,77 (kekerasan fisik), 0,78 (kekerasan psikologis), 0,72 (kekerasan seksual), 0.83 (penelantaran anak), 0,85 (kekerasan fisik di institusi), 0,86 (kekerasan psikologis di institusi), dan 0.78 (kekerasan seksual di institusi) (Chang et al., 2013; Lee & Kim, 2011).

Alat ukur dalam penelitian harus teruji. Dalam bentuk penelitian survei dipakai alat ukur kuesioner yang diuji menggunakan cara uji validitas dan reliabilitas. Reliabilitas dapat dinilai melalui konsistensi internal dan test-retest reliability.

Instrumen ICAST merupakan instrumen untuk mendeteksi adanya KtA yang dikembangkan oleh ISPCAN melalui UN Secretary-General dan dirancang untuk dapat diaplikasikan pada penelitian lintas budaya, multi-nasional, dan muli-kultural mengenai kekerasan anak di berbagai waktu dan negara. Instrumen ini telah dilakukan adaptasi lintas budaya dan diujikan pada setidaknya 8 negara, didapatkan hasil yang baik, dengan data missing minimal serta memiliki konsistensi internal yang baik hingga sangat baik. (Runyan et al., 2009)

Instrumen pengukuran KtA lain juga telah dikembangkan dengan berbagai teori yang mendasari. Seluruh instrumen ini tidak hanya mengukur melalui definisi kekerasan

Tabel 3 Nilai acuan Korelasi Kuder-RichardsonKR20 0.92 Sangat Andal / ReliabelKR21 0.87 Sangat Andal / Reliabel

Tabel 4 Konsistensi Internal (Cronbach’s Alpha)Bagian Paparan

Kekerasan dan Ekploitasi

Variabel Kekerasan Psikologis

Variabel Kekerasan

Fisik

Variabel Penelantaran

Kekerasan seksual

Item 7 19 18 11 4Alpha 0,483 0,805 0,879 0,445 0,966

Meita Dhamayanti: Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Skrining Kekerasan terhadap Anak

Page 289: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

288 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

dari berbagai sudut pandang, namun juga fenomena lain dari sudut pandang berbeda (anak, orang tua, atau retrospektif) serta batasan waktu (saat ini, tahun lalu, 18 tahun pertama kehidupan). Skala reliabilitas dari seluruh instrumen dinilai baik dengan nilai r rata-rata 0,6 dengan koefisien yang dapat diterima untuk penelitian, namun tidak penting untuk tujuan diagnosis karena dapat terjadi misdiagnosis dan sebaiknya disertakan frekuensi apabila diperlukan untuk kepentingan diagnosis (Ritacco & Suffla, 2012).

Proses translasi dan adaptasi lintas budaya dinilai cukup baik, dengan didapatkan ambiguitas yang minimal, translasi yang sesuai, serta arti setiap kata yang baik. Hasil analisis tidak didapatkan data yang tidak lengkap. Pada pertemuan para ahli saat proses translasi dan adaptasi lintas budaya didapatkan kesepakatan untuk menghilangkan frekuensi kejadian menjadi pernah atau tidak pernah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi bias recall dari subjek penelitian.

Koefisien validitas item dihitung berdasarkan korelasi item-total menggunakan korelasi Pearson menunjukkan seluruh item pada 5 jenis KtA. Pada kuesioner ICAST-C versi Bahasa Indonesia ini didapatkan nilai yang valid, kecuali pada 9 item, yaitu item paparan terhadap lingkungan yang menggunakan alkohol atau obat-obatan terlarang, adanya orang dewasa yang bersenjata di rumah, pengalaman diganggu oleh saudara serumah, instruksi untuk merubah perilaku, larangan keluar rumah, pengalaman dicubit, dijelaskan mengenai kesalahan, diberi penghargaan, dan diberi hadiah atau uang. Selanjutnya 9 item yang tidak valid dilakukan perubahan tata bahasa, setelah diuji lagi, kemudian memberikan hasil yang baik. Penelitian lain yang dilakukan adaptasi Brazilian-Portugis, terdapat 7 dari 59 item yang dinilai tidak valid sehingga perlu diganti atau dihilangkan (Silveira & Oliveira, 2016).

Penelitian Runyan et al. (2009) menunjukkan nilai Alpha yang baik untuk ketiga jenis instrumen ICAST dengan nilai Alpha untuk ICAST-C berkisar pada 0,69 hingga 0,86. Penelitian ini memiliki nilai Alpha keseluruhan 0,919 dan dikatakan reliabel dan dalam kategori sangat baik,

meskipun nilai Alpha pada variabel paparan kekerasan dan eksploitasi memiliki nilai yang tidak reliabel, yaitu 0,483 dan 0,445. Keadaan ini serupa dengan penelitian multi-nasional yang dilakukan oleh Zolotor et al. (2009) didapatkan nilai Alpha yang kurang reliabel yaitu 0,69 untuk variabel paparan kekerasan.

Keterbatasan penelitian ini adalah belum menilai aspek reliabilitas (test-retest reliability) dan aspek validitas (validitas konstruksi dan criterion-related validity versi Bahasa Indonesia dibandingkan dengan kuesioner KtA lain seperti Parent-Child Conflict Tactics Scale, the Adverse Childhood Experiences (ACE) Study Questionnaires, The Lifetime Victimization Screening Questionnaire) sehingga belum dapat diketahui criterion-related validity, sensitivitas, dan spesifitas ICAST-C versi Bahasa Indonesia.

Kuesioner ICAST-C versi Bahasa Indonesia ini belum memasukkan frekuensi dan mengelompokkan jenis kekerasan, sehingga beratnya kekerasan belum dapat dinilai Sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya agar memasukkan frekuensi kekerasan dan mengelompokkan jenis kekerasan berat hingga ringan agar dapat bermanfaat untuk sistem pelaporan dan tatalaksana kekerasan terhadap anak.

Simpulan

Alat skrining International Society for Prevention of Child Abuse and Neglect-Child Abuse Screening Tools (ICAST) for Children versi Bahasa Indonesia masih perlu perbaikan pada 9 item yang tidak valid yaitu paparan terhadap lingkungan yang menggunakan alkohol atau obat-obatan terlarang, adanya orang dewasa yang bersenjata di rumah, pengalaman diganggu oleh saudara serumah, instruksi untuk merubah perilaku, larangan keluar rumah, pengalaman dicubit, dijelaskan mengenai kesalahan, diberi penghargaan, dan diberi hadiah atau uang. Selain itu juga, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui criterion-related validity, sensitivitas dan spesifisitas ICAST-C versi Bahasa Indonesia dengan membandingkan hasil skrining ICAST-C dengan alat skrining

Meita Dhamayanti: Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Skrining Kekerasan terhadap Anak

Page 290: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

289JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

KtA lainnya.

Daftar Pustaka

Beaton, D,, Bombardier, C., Guillemin, F., & Ferraz, M.B. (2000). Guidelines for the process of cross-cultural adaptation of self-report measures. Spine, 25(24), 3186−3191.

Chang, H.Y., Lin, C.L., Chang, Y.T., Tsai, M.C, & Feng, J.Y. (2013). Psychometric testing of the Chinese version of ISPCAN Child Abuse Screening Tools Children’s Home Version (ICAST-CH-C). Children and Youth Services Review, 35(12), 2135−2139. doi: 10.1016/j.childyouth.2013.10.020.

Christian, C.W. (2015). The Evaluation of Suspected Child Physical Abuse. American Academy of Pediatrics, 135, 1337−54.

Gilbert, R., Fluke, J., O’Donnell, M., Gonzalez-Izquierdo, A., Brownell, M., Gulliver, P., . . . & Sidebotham, Peter. (2011). Child maltreatment : variation in trends and policies in six developed countries. The Lancet, 379(9817), 758−72. doi: http://dx.doi.org/10.1016/ S0140-6736(11)61087-8

Hardianti, H.A., Nurhidayah, I., Rahayu Fitri, S.Y. (2013). Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perilaku Adiksi Bermain Game Online pada Anak Usia Sekolah. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 1(3), 166−75.

Kemenkes. (2013). Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 68 tahun 2013. Jakarta.

Lee, Y., & Kim, S. (2011). Childhood maltreatment in South Korea: Retrospective study. Child Abuse And Neglect, 35, 1037−44 doi: 10.1016/j.chiabu.2011.09.005.

McDowell, I. (2006). Measuring Health: A Guide to Rating Scales and Questionnaires. OXFORD, Third.

Optimus, Study. (2012). Promoting Research

to Prevent Child Maltreatment. XIXth ISPCAN International Congress on Child Abuse and Neglect.

Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak. (2007b). Bina Kesehatan Masyarakat.

Preventing child maltreatment: A Guide to Taking Action and Generating Evidence. (2006).

Ritacco, G., & Suffla, S. (2012). A critical review of child maltreatment indices: Psychometric properties and application in the South African context. ASP, 10(2), 1−15.

Runyan, D., Brandspigel, S., Zolotor, A., & Dunne, M. (2015). Manual for Administration: The ISPCAN Child Abuse Screening Tool (ICAST). International Society for the Prevention of Child Abuse and Neglect (ISPCAN).

Runyan, D., Dunne, M., & Zolotor, A. (2009). Introduction to the development of the ISPCAN child abuse screening tools. Child Abuse And Neglect, 33(11), 842−45. doi: 10.1016/j.chiabu.2009.08.003.

Silveira, A.L., & Oliveira, R.G. (2016). Semantic Validation of The Ispcan Child Abuse Screening Tools (icast) in Brazilian Portuguese. Trends Psychiatry Psychother, 38(2), 105−10. doi: 10.1590/2237-6089-2016-0012.

Zolotor, A., Runyan, D., Dunne, M., Jain, D., Péturs, Helga R., Ramirez, C., . . . Isaeva, O. (2009). ISPCAN child abuse screening tool children’s version (ICAST-C): Instrument development and multi-national pilot testing. Child Abuse And Neglect, 33, 833−41. doi: 10.1016/j.chiabu.2009.09.004.

WHO & ISPCAN. (2006). Preventing child maltreatment: A guide to taking action and generating evidence. WHO and International Society for Prevention of Child Abuse and Neglect.

Meita Dhamayanti: Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Skrining Kekerasan terhadap Anak

Page 291: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

290 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Mutiara, Suryani, Ikeu Nurhidayah, Sri HendrawatiFakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran

Email: [email protected]

Abstrak

Pendidikan keperawatan dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia perawat yang kompeten, baik secara akademik maupun dalam tataran praktik. Berbagai penelitian merekomendasikan pendekatan student centered learning dengan metode problem-based learning (PBL) sebagai metode yang efektif memfasilitasi pencapaian kompetensi perawat. Metode ini akan memberikan pengalaman bagi mahasiswa untuk menghadapi real-world problem solving. Meski demikian, bagi mahasiswa program sarjana (undergraduate), pembelajaran PBL merupakan pengalaman baru. Selain itu, literatur juga menunjukkan mahasiswa yang justru frustasi saat menjalankan metode ini. Dengan demikian mengidentifikasi persepsi mahasiswa terhadap metode pembelajaran ini merupakan hal penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perspektif mahasiswa tingkat akhir mengenai pembelajaran dengan menggunakan metode PBL. Penelitian deskriptif kuantitatif ini menggunakan total sampling dengan melibatkan 159 mahasiswa tingkat akhir di salah satu institusi pendidikan tinggi keperawatan di Bandung. Data dikumpulkan menggunakan Course Experience Quesionnaire yang dikembangkan oleh David Caroll (2013). Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian secara umum menunjukkan 46,94% responden mempunyai perspektif netral; 42,86% responden mempunyai perspektif positif; dan 6,20% responden memiliki perspektif negatif. Dilihat berdasarkan dimensinya, 50% mahasiswa memiliki persepsi netral terhadap kualitas pembelajaran (good teaching scale); 83,3% persepsi positif dalam keterampilan umum (good skills scale); 100% persepsi netral dalam kepuasan mahasiswa (overal satisfaction); 80% persepsi netral terhadap kejelasan tujuan dan standar pembelajaran (clear goals and standars); 75% persepsi netral terhadap tingkat penugasan (appropriate workload scale); dan 33,3% persepsi positif terhadap evaluasi pembelajaran (appropriate assessment scale). Hal ini menunjukkan mahasiswa tidak secara tegas menilai pelaksanaan PBL baik atau tidak baik. Hal tersebut dikarenakan di satu sisi mereka merasakan ada hal yang positif dari pelaksanaan PBL tetapi disisi lain ada hal yang negatif yang mereka alami.

Kata kunci: Evaluasi, mahasiswa, metode, persepsi, problem-based learning.

Student Perspective on Problem-Based Learning (PBL)

Abstract

Nursing education was demanded to form human resources that fulfill qualification such as academic potential and practice that are good in order to form a professional and competent nurse. Various studies recommend student centered learning approach with problem-based learning method as an effective method for the achievement of nurse competence, because it provides experience for students to face real-world problem solving. However, for undergraduate students, PBL learning is a new experience that is different from that obtained during high school, in addition some studies also show students who are frustrated in class, so the evaluation of how students’ perceptions of this learning method is important. The research aimed to identify final grade student’s perspective on learning using problem-based learning method. The research method was using descriptive qualitative, and instruments used Course Experience Quesionnaire developed by David Caroll (2013). The sample in this research is the final grade students at nursing higher education institution in Bandung with total 159 people and taken data by using total sampling technique. Data analyzed by frequency distribution. Results of research showed 46.96% of a neutral perspective respondent, 42.86% of a positive perspective respondent, and 6.20% of negative perspective respondent. Judging by its dimensions, 50% of students have neutral perceptions of the quality of learning (good teaching scale); 83.3% positive perceptions in general skills (good skills scale); 100% neutral perception in student satisfaction (overal satisfaction); 80% neutral perceptions of clarity of objectives and learning standards (clear goals and standars); 75% neutral perception of the workload (appropriate workload scale); and 33.3% positive perceptions of the learning assessment (appropriate assessment scale). The result shows that students do not explicitly assess the implementation of PBL as good or bad, due to they experienced positive and negative thing from the implementation of PBL.

Keywords: Evaluation, method, problem based learning, student.

Page 292: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

291JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pendahuluan

Pendidikan keperawatan dituntut untuk mendukung dan mencetak sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi sesuai dengan yang dibutuhkan yaitu kompetensi akademik dan praktik yang baik (Afifah, 2005). Pendidikan keperawatan merupakan awal mulai terbentuknya perawat yang profesional dan kompeten. Untuk itu, pendidikan keperawatan perlu mengembangkan kurikulum, program pendidikan, serta model pembelajaran agar tercapai hasil yang diharapkan. Kurikulum pendidikan keperawatan di Indonesia saat ini adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Jenis metode pembelajaran yang umum diterapkan oleh perguruan tinggi, antara lain Teacher Centered Learning (TCL) dan Student Centered Learning (SCL). Teacher Centered Learning merupakan proses pembelajaran yang banyak dipraktikan dalam bentuk penyampaian yang searah (interaksi searah). Konteks TCL, spoon-feeding bagi para peserta didik tidak lagi sesuai karena proses pembelajaran bersifat lamban dan para peserta didik tidak mempunyai peluang untuk memilih metode pembelajaran yang sesuai. Kelambanan proses pembelajaran yang terjadi didalam paradigma metode TCL dapat menyebabkan peserta didik tertinggal di belakang, tidak dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Untuk mengatasi kelambanan dan ketertinggalan maka proses pembelajaran perlu diubah, dari one-way traffic menjadi two-way traffic dan interaktif. Pembelajaran interaktif merupakan salah satu karekteristik metode SCL (Fitria, Hernawaty, & Hidayati, 2013). Metode SCL merupakan suatu metode pembelajaran dimana mahasiswa menjadi pusat pembelajaran (Hadi, 2007). Salah satu model pembelajaran metode SCL yaitu Problem Based Learning (PBL).

Problem Based Learning (PBL) memfasilitasi mahasiswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan yang dikehendaki di masa yang akan datang. Model pembelajaran PBL juga merupakan strategi yang inovatif dalam mengubah konteks belajar dan strategi pembelajaran,

dimana didalamnya menggunakan masalah untuk belajar. Selain itu, mahasiswa harus mampu memecahkan masalah yang telah diberikan dalam bentuk kasus dengan cara mengeksplorasi konsep-konsep yang mereka kuasai, baik dengan bertanya ataupun berpendapat melalui diskusi selama kegiatan tutorial (Erol, Yesin, & Mahmet, 2008). Diskusi kelompok kecil (tutorial) merupakan salah satu jantung dari PBL. Aktivitas PBL bertumpu pada proses tutorial, dimana mahasiswa bersama-sama melakukan pemahaman dan pencarian pengetahuan yang diberikan pada setiap kasus melalui langkah-langkah terstruktur untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Salah satu metode PBL adalah seven jump step. Prosedur ini terdiri dari tujuh langkah yaitu memperjelas konsep dalam masalah, mendefinisikan masalah, menganalisis masalah berdasarkan pengetahuan sebelumnya, mengatur penjelasan yang diusulkan, merumuskan tujuan pembelajaran, mencoba untuk mengisi kesenjangan pengetahuan dengan cara belajar mandiri, dan akhirnya melaporkan hasil temuan dalam kelompok untuk menjawab tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran ini didasarkan pada model pembelajaran orang dewasa, dengan penekanan pada belajar mandiri (Erol, Yesin, & Mahmet, 2008).

Di beberapa negara, terutama di Inggris, metode PBL sudah diterapkan. Dari hasil penelitian Duncan, Lyons, dan Al-Nakeeb (2007) menunjukkan bahwa penerapan PBL memberikan hasil yang baik. Peningkatan mutu proses pembelajaran dalam pendekatan PBL memberikan peningkatan suasana akademik yang kondusif, meningkatkan IPK, dan meningkatkan kemampuan problem solving. Meski demikian, pelaksanaan PBL kadang menjumpai beberapa kendala. Ada banyak kendala bahkan permasalahan yang ada di setiap proses tersebut (Carlisle & Ibbotson, 2005). Sehingga diperlukan adanya suatu evaluasi pembelajaran untuk metode PBL sebagai perbaikan untuk sistem pembelajaran tersebut sehingga menjadi lebih baik lagi kedepannya.

Evaluasi terkait PBL diperlukan untuk mengetahui sejauh mana sikap dan keterampilan (soft skill) mahasiswa setelah menerapkan metode PBL. Sehingga diketahui

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Page 293: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

292 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

sampai dimana pemahaman dan sejauh apa penerapan dari proses pembelajaran. Selain itu, evaluasi juga diperlukan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari penerapan PBL dalam memfasilitasi pencapaian kompetensi mahasiswa yang optimal. Evaluasi pembelajaran berperan untuk mengidentifikasi program perbaikan yang dibutuhkan demi tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Sistem evaluasi dalam pembelajaran, baik pada evaluasi berkelanjutan maupun evaluasi akhir biasanya dikembangkan berdasarkan sejumlah prinsip yaitu menyeluruh, berkelanjutan, berorientasi pada indikor ketercapaian, dan sesuai dengan pengalaman belajar (Jihad & Haris, 2012).

Hasil penelitian Gurpinal, Yesim, dan Aktekin (2008) menyatakan bahwa hasil evaluasi metode PBL di Universitas Akdezit Fakultas Kedokteran Turki menemukan bahwa mahasiswa menganggap metode PBL ini cukup baik dan bermanfaat (66,9%). Lebih lanjut 54,9% mahasiswa merasa puas dengan metode tersebut. Hasil dari penelitian lain juga menunjukkan bahwa evaluasi metode PBL dari satu kasus ke kasus berikutnya ada peningkatan kualitas pembelajaran yang cukup signifikan, baik dari segi proses maupun hasil yang menunjukkan adanya perubahan perilaku. Secara proses, jalannya perkuliahan berlangsung semakin lancar, diskusi lebih hidup, dan tercipta dinamika kelompok yang semakin membaik. Rasa ingin tahu mahasiswa meningkat sehingga dapat meningkatkan efektivitas dalam berbagi informasi (Kushartanti, 2010).

Saat ini metode PBL diterapkan di hampir seluruh institusi pendidikan tinggi keperawatan di Indonesia. Hasil studi pendahuluan pada 10 orang mahasiswa tingkat akhir di institusi pendidikan tinggi keperawatan di Bandung menunjukkan bahwa 9 dari 10 mahasiswa menghadiri proses pembelajaran lebih dari 80% kehadiran, 4 dari 10 mahasiswa mengatakan tertarik dengan pendekatan PBL yang dirasakan cukup membantu dalam proses pembelajaran karena pada metode PBL ini dituntut untuk menyelesaikan suatu kasus mulai dari step 1–7 (seven-jump system), serta proses pembelajarannya lebih menarik. Akan tetapi 6 dari 10 mahasiswa mengatakan kurang

tertarik dengan metode PBL, alasannya mereka bosan dan kurang semangat, serta kurang antusias dalam mengikuti proses belajar. Pembelajaran menggunakan PBL dirasakan mahasiswa membutuhkan waktu yang lebih lama, serta penugasan yang dirasakan berlebihan. Mahasiswa juga mengeluh tidak seimbangnya peran mahasiswa yang aktif dan tidak aktif, sistem pembelajaran yang monoton, kesulitan dan malas mencari literatur, padatnya jadwal perkuliahan, dan perbedaan persepsi antara dosen.

Setiap pembelajaran diikuti dengan evaluasi. Evaluasi metode PBL merupakan analisis pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran tersebut dan hasil yang diperoleh digunakan untuk memberikan feedback dalam pembelajaran dan memperbaiki serta menyempurnakan proses pembelajaran untuk hasil yang lebih baik Evaluasi ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui dan menilai apakah suatu program telah terlaksana dengan baik dan apakah pencapaian hasil sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, dilakukan keputusan apakah metode tersebut dapat diteruskan, diperbaiki, dihentikan, atau dirumuskan kembali sehingga nanti diperoleh titik temu tujuan, sasaran, dan alternatif baru yang berbeda dengan sebelumnya. Sehingga kedepannya dapat diaplikasikan metode PBL yang sesuai dengan yang diharapkan, serta untuk menyusun metode pembelajaran yang lebih baik.

Dengan demikian, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bagaimana perspektif mahasiswa tingkat akhir di institusi pendidikan tinggi keperawatan di Bandung mengenai metode PBL. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai evidence base practice bagi mahasiswa keperawatan dan institusi pendidikan keperawatan tentang pelaksanaan metode pembelajaran dengan pendekatan PBL beserta fungsinya untuk diterapkan di setiap perguruan tinggi sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas lulusan yang memiliki kompetensi tinggi.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Page 294: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

293JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

deskriptif kuantitatif berkaitan dengan perspektif mahasiswa tingkat akhir di institusi pendidikan tinggi keperawatan di Bandung tentang metode PBL sebagai variabel penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa tingkat akhir di institusi pendidikan tinggi keperawatan di Bandung, sejumlah 159 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling. Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang bersifat evaluation report yang diadopsi dari Course Experience Quesionnaire (CEQ). Kuesioner ini dikembangkan oleh David Caroll (2013) dan kuesioner memiliki satisfactory validity dan reliability yang tinggi dalam konteks pendidikan. Secara berturut-turut tinggi konsistansi internalnya dilihat dari Alpa Cronbach sebesar 0,91 dan 0,92.

Instrumen/kuesioner ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan dilakukan back translation oleh ahlinya kedalam bahasa Inggris serta di proofreading oleh ahlinya di Lembaga Bahasa. Instrumen yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia tersebut dilakukan face validity dengan meminta beberapa penilai kepada 20 orang responden yang telah menerapkan metode PBL selama empat tahun. Mahasiswa yang telah mengisi instrumen untuk diuji validitas ini tidak digunakan sebagai sampel penelitian. Hasil face validity dari mahasiswa mengenai pernyataan, mereka semua memahami atau paham mengenai isi kuesioner dari 49 pernyataan.

Instrumen terdiri dari 49 pernyataan untuk mengidentifikasi persepsi mahasiswa mengenai PBL. Terdapat 11 domain dari metode CEQ yang peneliti gunakan dalam evaluasi yaitu, good teaching scale (GTS) yang terdiri 6 item, generic skill scale (GSS) 6 item, overall atau tisfaction item (OSI) 1 item, clear goals and standards scale (CGS) 4 item, appropriete workload scale (AWS) 4 item, appropriete assesment scale (AAS) 3 item, intellectual motivation scale (IMS) 4 item, student support scale (SSS) 5 item, graduate quality scale (GQS) 6 item, learning resources scale (LRS) 5 item, dan learning community scale (LCS) 5 item. Instrumen ini bersifat modular, artinya interpretasi skor pada masing-masing domain dapat digunakan secara bersama-sama atau terpisah

bergantung pada peneliti yang disesuaikan dengan kebutukan penelitiannya (Carroll, 2013).

Course Experiance Questionnare (CEQ) didasarkan pada pekerjaan empiris dan teoritis pada kualitas pengajaran dalam pendidikan tinggi. Mahasiswa diminta untuk menilai kualitas program yang mereka jalani menggunakan pertanyaan dengan skala Likert lima poin. Penilaian tersebut pada dasarnya meliputi lima domain, yaitu mengajar, tujuan, beban kerja, penilaian, dan kemandirian siswa. Course Experiance Questionnare (CEQ) telah diuji di 50 lembaga pendidikan Australia pada 4.500 siswa dengan berbagai disiplin ilmu dan ditemukan untuk membedakan antara gaya mengajar dan kualitas dalam dan diantara mata pelajaran yang berbeda. Penggunaan CEQ sekarang wajib digunakan di Lembaga Pendidikan Tinggi Australia. Course Experiance Questionnare (CEQ) juga digunakan untuk mengevaluasi kepuasan mahasiswa terhadap metode PBL di Fakultas Ilmu Kesehatan di Universitas Griffith di Brisbane. Course Experiance Questionnare (CEQ) telah diperbarui beberapa kali. Salah satu alasan untuk menggunakan versi asli dari CEQ adalah penekanan pada independensi domain (yang muncul sangat relevan dengan evaluasi Problem Based Learning) telah turun dari versi yang lebih baru dari domain yang sekarang digunakan secara luas. CEQ merupakan inventory yang telah teruji validitas dan reabilitasnya dan telah digunakan di berbagai Universitas di belahan dunia. Secara berturut-turut tinggi konsistansi internalnya dilihat dari Alpa Cronbach sebesar 0,91 dan 0,92 (Caroll, 2013).

Teknik pengumpulan data dimulai dari peneliti mengumpulkan mahasiswa tingkat akhir di salah satu Institusi Pendidikan Tinggi Keperawatan di Bandung, pengambilan data dilakukan di ruang tutorial setelah kegiatan belajar mengajar selesai. Peneliti dibantu oleh empat (4) orang asisten peneliti dalam menyebarkan dan pengumpulan kembali kuesioner, dimana sebelumnya peneliti dan asisten peneliti telah melakukan penyamaan persepsi terkait teknis pengambilan data dan pengisian kuesioner. Sebelum melakukan pengumpulan data, terlebih dahulu peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan dan

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Page 295: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

294 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

maksud dari penelitian yang dilakukan kepada responden. Kemudian, peneliti meminta kesediaan dari responden (informed consent) untuk mengikuti kegiatan penelitian ini. Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti juga memerhatikan prinsip etik legal penelitian, diantaranya beneficence/non-maleficence, respect for autonomy, confidentiality, dan justice. Setelah semua data terkumpul, data dianalisis dengan menggunakan distribusi frekuensi.

Hasil Penelitian

Tabel 1 menunjukkan bahwa hampir setengahnya dari item (42,86%) menyatakan perspektif yang positif, hampir setengahnya item (46,94%) menyatakan perspektif yang netral, dan hanya sebagian kecil item (6,20%) mempunyai pespektif negatif.

Pada skala GTS (good teaching scale) terdiri dari 6 item pernyataan, berdasarkan analisis gambaran evaluasi metode PBL

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Evaluasi tiap Item Pernyataan terhadap Perspektif MahasiswaNo Hasil f %1 Positif 21 42,862 Netral 23 46,943 Negatif 5 6,20

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Perspektif Mahasiswa terhadap Kualitas Pembelajaran GTS (Good Teaching Scale) dalam Metode PBL

No Hasil Item f %1 Positif 10 1 16,672 Netral 3, 15, 16 3 50,003 Negatif 1, 27 2 33,33

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Perspektif Mahasiswa terhadap Perkembangan Keterampilan Umum GSS (Good Skills Scale) pada Metode PBL

No Hasil Item f %1 Positif 6, 14, 23, 32, 43 5 83,332 Netral 42 1 16,673 Negatif 0 0,00

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Persepsi Mahasiswa terhadap Kepuasan Mahasiswa OSI (Overall Satisfaction) pada Metode PBL

No Hasil Item f %1 Positif 0 0,002 Netral 49 1 100,003 Negatif 0 0,00

Tabel 5 Distribusi Frekuensi Evaluasi Perspektif Mahasiswa terhadap Kejelasan dan Tujuan Pembelajaran serta Standar Pembelajaran CGS (Clear Goals and Standars) pada Metode PBL

No Hasil Item f %1 Positif 46 1 20,002 Netral 8,28,39 4 80,003 Negatif 0 0,00

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Page 296: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

295JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

menurut perspektif mahasiswa diketahui bahwa sebagian responden menyatakan perspektif netral yaitu sebanyak 50,00% dan dapat disimpulkan hasil evaluasi menyertakan cukup baik.

Pada domain GSS (good skills scale) terdiri dari 6 item pernyataan yang menunjukkan hasil sebesar 83,33% memberikan perspektif positif.

Pada domain OSI (overall satisfaction) terdiri dari 1 item pernyataan, bedasarkan analisis gambaran evaluasi metode PBL menurut perspektif mahasiswa tingkat akhir dengan melihat scale diagram, diketahui bahwa seluruhnya menyatakan netral dan dapat diartikan hasil evaluasi menyatakan baik.

Pada domain CGS (clear goals and standars) terdiri dari 5 item pernyataan, bedasarkan analisis gambaran evaluasi metode PBL menurut perspektif mahasiswa dengan melihat scale diagram diketahui bahwa hampir seluruh responden yaitu sebanyak 80,00% menyatakan perspektif netral.

Pada domain AWS (appropriate workload scale) terdiri dari 4 item pernyataan, bedasarkan analisis gambaran evaluasi metode PBL menurut perspektif mahasiswa dengan melihat scale diketahui bahwa sebagian besar responden, yaitu sebanyak 75,00% menyatakan netral. Pada domain AAS (appropriate assessment scale) terdiri dari 3 item pernyataan. Berdasarkan analisis gambaran evaluasi metode PBL menurut perspektif mahasiswa diketahui bahwa 33,33% menyatakan perspektif positif.

Pembahasan

Hasil penelitian pada tabel 1 menunjukkan distribusi frekuensi perspektif responden terhadap hasil jawaban pernyataan yang menghasilkan total 23 item (46,94%) memiliki nilai perspektif netral. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan kuesioner OSI bahwa seluruh responden yaitu sebesar 100% menyatakan perspektif netral. Hal tersebut mengindikasikan bahwa mahasiswa tidak secara tegas menyatakan bahwa proses pembelajaran telah berjalan dengan baik atau kurang baik.

Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Graduate Careers di Australia, diketahui hampir seluruh item menghasilkan perspektif positif oleh responden yaitu sebanyak 45 item (91,84%), sebagian kecil item yaitu 1 item (2,04%) menghasilkan perspektif netral, dan sebagian kecil item yaitu 2 item (6,12%) menghasilkan perspektif negatif. Pada penelitian oleh Graduate Careers di Australia dapat disimpulkan bahwa keseluruhan menyatakan perspektif positif dari responden, dan mengartikan bahwa metode sudah tepat dijalankan pada evaluasi pembelajaran oleh Graduate Careers di Australia tersebut (Carroll, 2013).

Perbedaan hasil antara penelitian ini dengan penelitian Carroll (2013), kemungkinan disebabkan oleh perbedaan sumber daya dan sarana prasarana yang tersedia diantara kedua tempat penelitian tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Rusman (2012) dalam Wulandari dan Dwi (2013) bahwa

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Tabel 6 Distribusi Frekuensi Perspektif Mahasiswa terhadap Tingkat Penugasan Appropiate Workload Scale (AWS) dan Appropriate Assessment Scale (AAS)

No Hasil Item f %Komponen AWS:

1. Positif 9 1 25,002. Netral 5, 19, 29 3 75,003. Negatif 0 0,00

Komponen AAS:1. Positif 4 1 33,332. Netral 44 1 33,333. Negatif 26 1 33,33

Page 297: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

296 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

pembelajaran dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang berhubungan satu dengan yang lain. Komponen tersebut meliputi tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Metode merupakan upaya untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata untuk mencapai tujuan, serta tujuan metode pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang disengaja dengan mendesain, mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi dengan metode tertentu guna memfasilitasi siswa dengan tujuan mencapai suatu kompetensi (Wulandari & Dwi, 2013).

Hasil penelitian juga menunjukkan GTS mahasiswa menyatakan perspektif netral. Hal ini dikarenakan pada kualitas pembelajaran dalam metode PBL didapatkan hasil sebagian kecil responden (8,18%) menyatakan dosen mempunyai banyak waktu dengan memberikan umpan balik, akan tetapi sebagian besar responden (53,46%) menyatakan perspektif yang sebaliknya yaitu dosen kurang memberikan umpan balik dalam proses PBL dan perspektif lainnya menyatakan bahwa dosen tidak mengerti kesulitan yang dialami oleh mahasiswa dalam memberikan tugas.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tampereen Amattikorkeakoulu (TAMK) University of Applied Science pada tahun 2010, pada domain GTS menggambarkan bahwa sebagian besar responden (67,13%) menyatakan perspektif positif tentang pernyataan dosen mempunyai waktu untuk memberikan umpan balik. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kualitas pengajaran di sana menurut penelitian TAMK ini sangatlah baik dan fasilitator atau pengajar memiliki kompetensi yang baik sehingga dapat memberikan pengajaran yang baik pula, serta sebagian besar responden (55,9%) menyatakan bahwa dosen sangat memberikan feedback terhadap pembelajaran.

Hasil penelitian apabila ditinjau dari subvariabel GTS, maka perlu dilakukannya perbaikan dalam hal kompetensi dosen sebagai fasilitator agar lebih baik lagi karena kompetensi mereka sangat diperlukan dalam pelaksanaan metode PBL yang seharusnya. Dalam metode PBL, peran dosen dan asisten

adalah sebagai fasilitator pembelajaran dan membangun komunitas pembelajaran. Peran dosen adalah: pertama, mempersiapkan sekenario yang dibahas pada tiap sesi dan mengatur silabus mata kuliah. Kedua, secara bertahap mempersiapkan materi perkuliahan dalam bentuk file elektronik dan memberikan beberapa sumber antara lain buku referensi dan link website. Ketiga, sebagai fasilitator dosen mendorong para mahasiswa untuk mengeksplorasi pengetahuan yang telah mereka miliki dan menentukan pengetahuan yang diperlukan selanjutnya (Sudarman, 2007).

Pada metode PBL diharapkan fasilitator atau dosen memiliki feedback dalam belajar selama pembelajaran berlangsung karena dalam PBL pengajar dan mahasiswa bersama-sama mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan-keterampilan dari satu atau lebih bidang-bidang ilmu untuk menyelesaikan suatu masalah (Kristyani, 2008). Dalam metode PBL ini, pengajar bertindak sebagai fasilitator yang akan mendampingi mahasiswanya untuk menyelesaikan suatu masalah.

Ditinjau dari variabel GSS, responden menyatakan perspektif positif. Hal ini dikarenakan pada perkembangan keterampilan-keterampilan umum (good skills scale) pada metode PBL, GSS dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi yaitu terdapat sebagian besar responden, yaitu sebanyak 78,62%, yang menyatakan hal tersebut dan beberapa responden lainnya, sebanyak 64,78%, menyatakan metode PBL membantu mahasiswa dalam meningkatkan kemampuan bekerja secara kelompok.

Penelitian sebelumnya pada Graduate Careers di Australia tahun 2013 pada domain GSS menggambarkan bahwa sebagian besar responden (78,76%) menyatakan perspektif positif. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kualitas pengajaran di Australia menurut penelitian GCA dapat membuat pelajar termotivasi dan mendapatkan hasil dari pembelajaran. Sebagian besar responden, yaitu sebanyak 56,8%, menyatakan bahwa pembelajaran membantu dalam membangun motivasi untuk pengerjaan tugas (Carroll, 2013). Berbeda dengan hasil penelitian menurut Muhson (2009) dengan judul

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Page 298: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

297JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Peningkatan Minat Belajar dan Pemahaman Mahasiswa melalui Penerapan Problem-Based Learning di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menghasilkan bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki kompetensi yang baik dalam teoritis, namun secara aplikatif mahasiswa memiliki kompetensi yang kurang.

Hasil analisis penelitian ini dan penelitian Muhson menyimpulkan bahwa domain Good Skills Scale (GSS) menghasilkan hasil evaluasi positif dan hal ini perlu dipertahankan. Namun tidak pada penelitiannya Carroll (2013) yang menyatakan bahwa di Australia mahasiswanya kurang memiliki kompensi secara aplikatif dan hal ini harus diperbaiki untuk pencapaian metode PBL yaitu untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah.

Kelompok-kelompok kecil pada mahasiwa diperlukan untuk menjalankan metode PBL dengan baik. Alasan utamanya adalah agar para anggota kelompok dapat berbagi pengetahuan dan gagasan. Selain itu, situasi yang sering terjadi dalam proses kerja kelompok dapat membentuk berbagai kompetensi yang diperlukan mahasiswa, misalnya kompetensi interpersonal, kompetensi dalam berkomunikasi, dan kompetensi pembelajaran itu sendiri. Proses kerja kelompok tidak mungkin bisa berjalan dengan baik apabila anggota tidak memiliki semacam tatalaksana dalam kelompok, baik yang terkait dengan pekerjaannya maupun yang terkait dengan proses interaksinya (Amir, 2009).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh mahasiswa menyatakan perspektif netral dalam subvariabel OSI. Artinya seluruh responden menyatakan keraguannya untuk kepuasan terhadap metode PBL. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya pada University of London di Inggris tahun 2005 pada domain OSI menggambarkan bahwa sebagian besar responden (83,1%) menyatakan perspektif positif. Hal ini dapat dikarenakan fasilitas, sarana, dan prasarana disana sangat bagus dan baik sehingga mahasiswa merasa puas dengan metode PBL karena fasilitasnya dapat menunjang para mahasiswa dalam menjalankan kegiatan belajar. Dapat disimpulkan bahwa

secara keseluruhan, kepuasan (satistaction) pembelajaran di Inggris menurut penelitian ini sudah baik (Newman, 2005).

Kepuasan berawal dari sebuah pembelajaran yang efektif dan didasari oleh penilaian mahasiswa terhadap metode pembelajaran yang sedang diterapkan. Kualitas pembelajaran sangat menentukan penguasaan kompetensi peserta didik yang pada akhirnya menentukan mutu atau kompetensi lulusan. Kualitas suatu sistem dapat menentukan tingkat kepuasan para pelajarnya, yang dimaksud dengan kepuasan adalah istilah evaluatif yang menggambarkan suka dan tidak suka. Persepsi mahasiswa tentang pembelajaran adalah pemahaman/bayangan mahasiswa tentang pembelajaran yang meliputi tujuan, manfaat, kesiapan, partsipasi, fasilitas (sarana/prasarana), dan motivasi.

Perlu dilakukan persiapan yang lebih intensif untuk melakukan perkuliahan dengan menggunakan metode PBL. Dalam perkuliahan dengan metode PBL terdapat tiga komponen yang akan berpengaruh terhadap hasil pencapaian yaitu (1) institusi, (2) dosen dan asisten dosen, dan (3) mahasiswa. Ketiga komponen ini bekerja sesuai peran atau tugas masing-masing untuk mendapatkan capaian metode PBL secara optimal.

Penelitian ini menunjukkan bahwa domain CGS (clear goals and standars) metode PBL menghasilkan sebesar 80% perspektif netral, artinya hampir seluruh mahasiswa menyatakan keraguannya mengenai kejelasan dan standar pembelajaran ini. Berbeda pada penelitian sebelumnya pada Middlesex University di Inggris tahun 2005 pada domain CGS menggambarkan bahwa sebagian besar responden (61,75%) menyatakan perspektif positif. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan penerapan metode pembelajaran sangatlah jelas dan dapat diraih dengan domain pendukung lainnya. Sebagian besar responden, sebanyak 57,2%, menyatakan bahwa pelajaran selalu mempunyai gambaran apa yang dicapai dalam metode pembelajaran ini (Newman, 2005).

Pembelajaran adalah kegiatan atau proses dan merupakan unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan jenjang pendidikan, hal ini berarti keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan sangat tergantung pada

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Page 299: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

298 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

keberhasilan proses belajar mahasiswa di kampus dan lingkungan sekitarnya. Pada dasarnya pembelajaran merupakan tahapan perubahan perilaku mahasiswa yang relatif positif dan mantap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (Jihad & Abdul, 2012). Proses pembelajaran juga dapat membentuk service learning, yang terdiri dari komponen pengalaman belajar lapangan intrakurikuler yang terstruktur, refleksi, reciprocity (manfaat timbal balik), dan penentuan hasil dan manfaat yang spesifik untuk semua pihak yang terlibat (Juniarti, Zannettino, Fuller, & Grant, 2016).

Pada awal pembelajaran metode PBL, dosen seharusnya menjelaskan maksud pembelajarannya, membangun sikap positif terhadap pelajaran itu, dan mendeskripsikan sesuatu yang diharapkan oleh mahasiswa. Dosen harus menjelaskan terlebih dahulu proses-proses dan prosedur-prosedur dalam metode ini agar lebih paham dan terperinci. Hal yang perlu diperhatikan salah satunya adalah tujuan utama mahasiswa untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru tetapi untuk menginvestigasi berbagai permasalahan penting menjadi mahasiswa yang lebih mandiri, selama fase investigatif pelajaran mahasiswa akan didorong untuk melontarkan pernyataan mencari informasi (Duncan, Lyons, & Al-Nakeeb, 2007).

Hakikat PBL adalah memfasilitasi mahasiswa agar mengalami pembelajaran sebagai hasil dari proses bekerja dalam rangka memahami atau memecahkan suatu masalah. Dengan kata lain, PBL merupakan strategi untuk mengonstruksi atau menumbuhkan kompetensi tertentu dengan menggunakan masalah sebagai stimulus sekaligus fokus terhadap aktivitas belajar. Pendekatan pembelajaran semacam ini sejajar dengan kebijakan pemerintah yang menekankan pengembangan kurikulum dan pembelajaran yang berbasis kompetensi (Supratiknya & Kristiyani, 2010).

Beberapa ciri pokok PBL adalah prinsip self-directed learning atau independent learning yaitu mahasiswa bertanggung jawab atas proses belajar sendiri, mahasiswa bertanggung jawab mengintegrasikan pengetahuan tentang teori-konsep yang

dipelajari dengan aplikasinya dalam bentuk keterampilan menganalisis dan menemukan solusi atas masalah yang nyata, proses belajar distimulasi lewat kerja kelompok kecil sejak awal hingga akhir aktivitas pembelajaran, dan proses belajar berlangsung secara komulatif dan progresif berupa penguasaan aneka pengetahuan dan keterampilan yang semakin luas dan mendalam dalam rangka menganalisis dan menemukan solusi atas masalah-masalah nyata (Kristyani, 2008).

Hasil penelitian pada domain AWS (appropiate workload) metode PBL menghasilkan perspektif netral dalam subvariabel AWS, artinya sebagian besar responden menyatakan keraguan dalam tingkat penugasan dalam metode PBL. Hal ini menyatakan hasil evaluasi netral namun pada kuesioner pernyataan pada AWS bersifat pernyataan negatif. Hasil kuesioner menunjukan sebanyak 55,35% menyatakan bahwa dari semua pelajaran yang mahasiswa pelajari, tidak seluruhnya mahasiswa paham dan sebagian lainnya sebanyak 41,51% menyatakan bahwa tugas yang diberikan terlalu berat dan cukup sulit. Hasil penelitian sebelumnya pada Graduate Careers di Australia tahun 2013 pada domain AWS menggambarkan bahwa hampir setengah responden (33,07%) menyatakan Tidak Setuju (TS) terhadap domain ini dan menyimpulkan perspektif negatif. Namun pada domain AWS ini item menggambarkan pernyataan negatif yang artinya hasil penelitian GCA menggambarkan tanggapan positif dimana responden menyatakan tidak benar bahwa beban kerja yang diberikan sangat berat (Carroll, 2013). Hal ini menunjukkan hal yang berbeda antara hasil penelitian ini dengan penelitian di Australia. Karena pada penelitian ini, kemungkinan mahasiswa merasa terbebani atas penugasan yang diberikan karena waktu yang diberikan kurang cukup dan hal ini harus jadi perbaikan untuk institusi agar mahasiswa dapat menyelesaikan tugas dengan baik.

Faktor yang memengaruhi beban kerja mental seseorang dalam mengenai suatu pekerjaan, antara lain jenis pekerjaan, situasi kerjaan, waktu respon, waktu penyelesaian yang tersedia, faktor individu (tingkat motivasi, keahlian, kelelahan, kejenuhan

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Page 300: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

299JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

dan toleransi performansi yang diijinkan), dan fasilitas pendukung pekerjaan. Fasilitas pendukung pekerjaan adalah bagian yang mendukung dalam penyelesaian penugasan, pengaruh fasilitas terhadap beban kerja ini yaitu referensi yang tersedia dapat membantu dalam pengerjaan sehingga beban pekerjaan menjadi mudah karena terdapat pendukung dalam pengerjaan pekerjaan.

Sementara itu, hasil penelitian pada domain Appropriate Assesment Scale (AAS) menghasilkan perspektif positif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya pada Graduate Careers di Australia tahun 2013 pada domain AAS menggambarkan bahwa hampir setengah responden sebanyak (39,63%) menyatakan positif, dan hampir setengah responden (38,4%) menyatakan bahwa banyak penugasan yang diberi dosen yang hanya bertanya tentang fakta yang terjadi namun diluar pembahasan teori yang dipelajari. Hasil penelitian menunjukan responden (41,8%) menyatakan setuju bahwa penguasaan dalam materi sangat diharuskan sebelum pembelajaran berlangsung karena fasilitator tidak secara langsung menerangkan konsep secara teori (Carroll, 2013). Hasil penelitian ini menghasilkan evaluasi perspektif mahasiswa positif terhadap AAS dan hal ini perlu dipertahankan dalam pelaksanaan metode PBL.

Pada penugasan dalam metode PBL dilakukan melalui pemberian suatu masalah dimana mahasiswa diharuskan untuk mencari materi yang diberikan oleh dosen sebelum melakukan pembelajaran atau tutorial, sehingga mahasiswa mampu menguasai materi yang disajikan oleh dosen. Sebelum pembelajaran dimulai dalam metode PBL, mahasiswa diberikan masalah-masalah. Masalah yang disajikan adalah masalah yang memiliki konteks dengan dunia nyata, semakin dekat dengan dunia nyata maka akan semakin baik pengaruhnya pada peningkatan kecakapan mahasiswa. Setelah masalah diberikan, mahasiswa kemudian bekerja sama dalam kelompok, mencoba memecahkan masalah dengan kemampuan yang dimiliki dan sekaligus mencari informasi yang relevan (Widodo & Widayati, 2013).

Peran dosen sangatlah menentukan

terhadap keberhasilan suatu program belajar salah satunya metode PBL dan dosen memberi penugasan setelah kegiatan belajar mengajar atau diskusi berakhir. Dengan demikian peran dosen sangatlah penting, karena peran dosen disini adalah sebagai fasilitator dan seseorang yang dominan dalam melaksanakan proses belajar kelompok atau tutorial untuk mencapai suatu tujuan, karena dosen terlibat langsung dalam pembinaan dan pembelajaran tutorial.

Simpulan

Hasil pengolahan data dan pembahasan tentang evaluasi metode PBL menurut perspektif mahasiswa keperawatan tingkat akhir menunjukkan bahwa 46,94% menyatakan perspektif netral. Hal ini menunjukan mahasiswa tidak secara tegas menilai pelaksanaan PBL baik atau tidak baik. Hal tersebut dikarenakan di satu sisi mereka merasakan ada hal yang positif dari pelaksanaan PBL, tetapi di sisi lain ada hal yang negatif yang mereka alami. Evaluasi yang dilakukan telah menghasilkan perspektif mahasiswa yang menyatakan hasil evaluasi positif terhadap pembelajaran dengan menggunakan metode PBL.

Hasil penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi untuk sistem pembelajaran tersebut sehingga menjadi lebih baik lagi kedepannya, diantaranya perlu persamaan persepsi diantara dosen yang terlibat dalam satu mata kuliah sistem untuk mencegah perbedaan pengajaran yang membingungkan mahasiswa, perlu dilakukan modifikasi dalam metode pembelajaran agar tidak monoton dan membosankan, perlu peningkatan sumber referensi yang menunjuang dalam mengetahui pengetahuan yang terbaru (up-to date), mahasiswa lebih aktif untuk belajar dengan mandiri sehingga metode PBL yang sedang berjalan menjadikan mahasiswa lebih aktif mencari solusi dari permasalahan yang diberikan, dan mahasiswa dihimbau untuk mencari informasi jadwal perkuliahan karena keterbatasan fakultas yang belum bisa menentukan jadwal pasti untuk pembelajaran PBL ini sehingga diharuskan untuk menunggu kabar pengajar dan ruangan yang disediakan

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Page 301: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

300 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

ada.

Daftar Pustaka

Afifah, E., & Syahreni, F. (2005). Hubungan penerapan metode pembelajaran collaborative learning dan problem based learning dengan motivasi belajar pada mahasiswa keperawatan Universitas Indonesia. Jurnal Keperawatan Indonesia, 9(1), 7–12.

Amir, M.T. (2009). Inovasi pendidikan melalui problem based learning: Bagaimana pendidikan memberdayakan pemelajar di era pengetahuan. Jakarta: Prenamedia Group.

Carlisle, C., & Ibbotson, T. (2005). Introduce problem-based learning into research methods teaching: Student and facilitator evaluation. Nursing Education Today, 527–541.

Carroll, D. (2013). Graduate course experience 2013: A report on the course experience perception of resent graduate. Australia: Graduate Carees Australia Ldt.

Duncan, M., Lyons, M., & Al-Nakeeb, Y. (2007).You have to do it rather than being in a class and just listening: The impact of problem based learning on the student experience in sports and exercises biomechanics. Journal of Hospitality, Leisure, Sport & Tourism Education, 6(1), 71–80.ISSN: 1473-8376.

Erol, G., Yesin, S., & Mahmet. (2008). Evaluation of problem based learning by tutors and student in a Medical Faculty of Turkey. Kuwait Medical Journal, 40(4), 276–280.

Fitria, N., Hernawaty, T., & Hidayati, N.O. (2013). Adversity quotient mahasiswa baru yang mengikuti kurikulum berbasis kompetensi. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 1(2), 99–105.

Gurnipar, E., Senil, Y., & Aktekin, R.M. (2009). Evaluation of problem based learning by tutors and student in a Medical Faculty of Turkey. Kuwait Medical Journal, 3(2), 276-280.

Hadi, R. (2007). Dari teacher-centred learning ke student-centered learning: Perubahan metode pembelajaran di perguruan tinggi. Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, 12(3), 32–38.

Jihad, A., & Abdul, H. (2012). Evaluasi pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo.

Juniarti, N., Zannettino, L., Fuller, J., & Grant, J. (2016). Defining service learning in nursing education: An integrative review. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(2), 200–212.

Kristyani, T. (2008). Efektivitas metode problem-based learning pada mata kuliah Psikologi Kepribadian I. Cakrawala Pendidikan, XXVI(3), 285–294.

Kushartanti, B. (2010). Pendekatan problem based learning dalam pembelajaran praktik kerja lapangan terapi fisik. Cakrawala Pendidikan, 5–11.

Muhson, A. (2009). Peningkatan minat belajar dan pemahaman mahasiswa melalui penerapan problem-based learning. Jurnal Pendidikan, 39(2), 171–182.

Newman, M.J. (2005). Problem Based Learning: An introduction and overview of the key features of the approach. J Vet Med Educ. Spring, 32(1), 12–20.

Sudarman. (2007). Problem based learning: Suatu model pembelajaran untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah. Jurnal Pendidikan, 2(2), 68–73.

Supratiknya, & Kristiyani, T. (2010). Efektivitas metode problem-based learning dalam pembelajaran mata kuliah teori psikologi kepribadian II. Jurnal psikologi, 33(1), ISSN: 0215-8884, 17–32.

Widodo, & Widayati, L. (2013). Peningkatan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa dengan metode problem based learning pada siswa kelas VIIA MTs NegeriDonomulyo Kulon Progo Tahun Pelajaran 2012/2013.

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Page 302: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

301JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Jurnal Fisika Indonesia, 49(17), 32-35.ISSN: 1410-2994.

Wulandari, B., & Dwi, H. (2013). Pengaruh

problem based learning terhadap hasil belajar ditinjau dari motivasi belajar PLC di SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi, 3(2), 178–191.

Ikeu Nurhidayah: Perspektif Mahasiswa mengenai Problem-Based Learning (PBL)

Page 303: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

302 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca Pasung

Ah. Yusuf, Rr. Dian Tristiana, Ignatius Purwo MSFakultas Keperawatan, Universitas Airlangga

Email: [email protected]

Abstrak

Indonesia bebas pasung bagi pasien gangguan jiwa merupakan program prioritas yang harus dicapai pemerintah pada tahun 2019. Saat ini upaya bebas pasung telah dilaksanakan dengan baik, permasalahan baru muncul setelah masa pengobatan selesai dan harus kembali kepada keluarga dan masyarakat. Keluarga tidak menghendaki pasien kembali kepada keluarga, diabaikan, kembali kambuh atau menjadi gelandangan psikotik. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran dukungan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif fenomenologi, jumlah partisipan sebesar 9 orang dipilih dengan purposive sampling, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, data dianalisis secara tematik. Hasil penelitian menunjukkan dukungan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung diperoleh 2 (dua) tema besar yaitu; fenomena pasung terhadap pasien gangguan jiwa dan dukungan keluarga. Fenomena pasung meliputi; alasan, keputusan, metode, pembebasan dan dampak pemasungan. Dukungan keluarga meliputi; dukungan penilaian, instrumental, informasional dan dukungan emosional. Dukungan keluarga dibutuhkan pasien untuk dapat mencapai penyembuhan dan mencegah kekambuhan. Pengetahuan yang kurang terhadap cara perawatan pasien gangguan jiwa pasca pasung menyebabkan dukungan keluarga yang diberikan terhadap pasien tidak optimal. Pandangan keluarga dan masyarakat yang keliru terhadap pasien gangguan jiwa mempengaruhi penanganan yang tepat terhadap pasien gangguan jiwa.

Kata kunci: Dukungan keluarga, gangguan jiwa, pasung.

Grasped Phenomena and Family Support on Post Grasped Psychiatric Patients

Abstract

A priority program to be achieved by the Government in 2019 is free grasp for psychiatric patients. Today, the effort to achieve the goal has been well implemented, new problem appear after treatment period is over and they must return to the family and society. Families do not want patients to return to them, ignored, relapse or become psychotic homeless. This research aims to gain describe of family support on post grasped psychiatric patients. This research uses phenomenology qualitative design with 9 participants that have been chosen by purposive sampling, in other hand collecting data has been done by using deep interview and thematic analysis. The result of the research shows that family support on post grasped psychiatric patients gain two big themes: grasped phenomena on psychiatric patients and family support. Grasped phenomena encompass reason, decision, method, liberation and effect of deprivation. Family support includes support assessment, instrumental, informational and emotional support. Family support is needed for patients to heal and prevent recurrence. The lack of knowledge about the procedure of treatment on post grasped psychiatric patients caused non optimal support of family. Misrepresentation of family and community views on psychiatric patients affects the proper treatment of psychiatric patients.

Keywords: Family support, grasped, psychiatric.

Page 304: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

303JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pendahuluan

Pasung merupakan tindakan pengekangan, pembatasan aktivitas secara fisik, menggunakan berbagai jenis alat seperti rantai, belenggu, tali, balok kayu, kurungan, diasingkan, atau dirantai pada ruangan terasing. Tindakan pasung dilakukan oleh 14,3 % Keluarga di Indonesia yang salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa berat (Kemenkes, 2013). Tindakan pasung dilakukan pada pasien gangguan jiwa kronik, disertai perilaku agresif, kekerasan, amuk, halusinasi yang berisiko menciderai diri sendiri, orang lain atau lingkungan (Daulima, 2014; Wahyuningsih, 2014). Upaya bebas pasung merupakan program prioritas yang harus dicapai pemerintah pada tahun 2019. Saat ini upaya bebas pasung telah dilaksanakan dengan baik, permasalahan baru muncul setelah masa pengobatan selesai dan harus kembali kepada keluarga dan masyarakat. Keluarga tidak menghendaki pasien kembali kepada keluarga, diabaikan, kembali kambuh atau menjadi gelandangan psikotik.

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit,anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Kristiyaningsih, 2011), dengan demikian tindakan pemasungan merupakan kegagalan keluarga dalam memberikan dukungan keluarga untuk membawa pasien ke tempat pelayanan kesehatan, tindakan pemasungan hanya memperparah kondisi penderita gangguan jiwa tersebut.

Pemasungan menyebabkan terbatasnya pemenuhan kebutuhan dasar hidup yang layak, termasuk kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan ODGJ yang dipasung (Halida, Dewi, & Rasni, 2016). Pasien yang dipasung dalam waktu lama akan mengalami atropi otot, tidak bisa lagi berjalan, mengalami cedera hingga pasien harus di terapi jika pasien tersebut dilepaskan dari pasung (Puteh, 2011; Malfasari, Keliat, & Helena (2016). Dampak lain pemasungan yaitu penderita mengalami trauma, dendam kepada keluarga, merasa dibuang, rendahdiri, dan putus asa, muncul depresi dan gejala niat bunuh diri (Lestari, Choiriyyah, & Mathafi, 2014).

Pasca pasung adalah ODGJ yang sudah terbebas dari pemasungan. Meskipun ODGJ telah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, namun beban keluarga masih belum berakhir. Biaya yang harus ditanggung pasien selain harga obat dan jasa konsultasi (apabila tidak ditanggung asuransi seperti BPJS Kesehatan), adalah biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya (Daulima, 2014).

Setelah dibebaskan dari pasung, dirawat di rumah sakit dan kembali ke rumah, menurut Lestari & Wardhani (2014) ODGJ tidak mendapatkan penanganan khusus yang berkelanjutan. Pengobatan penderita gangguan jiwa merupakan sebuah journey of challenge atau perjalanan yang penuh tantangan yang harus berkelanjutan, yaitu penderita gangguan jiwa sulit untuk langsung sembuh dalam satu kali perawatan, namun membutuhkan proses yang panjang dalam penyembuhan (Lestari & Wardhani, 2014). Ketika di rumah, dukungan keluarga sangat dibutuhkan agar penderita bisa menjalani proses penyembuhannya. Goldstein dan Shemansky (2000); Wahyuningsih, (2014) menyatakan bahwa terapi medikasi teratur pada pasien gangguan jiwa kronis dapat menurunkan angka relaps 30-40%. Relaps terjadi satu tahun pertama sekitar 60%-70% dan dengan kombinasi antipsikotik dan dukungan kelompok edukasi dapat menurunkan relaps sampai 15,7% (Wahyuningsih, 2014). Hal ini didukung dengan penelitian Saputra (2012) bahwa terdapat hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan mengkonsumsi obat antipsikotik pada pasien yang mengalami gangguan jiwa. Dukungan keluarga dibutuhkan agar pasien dapat mengakses pelayanan kesehatan untuk mendapatkan medikasi dengan teratur dan memastikan pasien meminum obat yang sudah didapatkan sesuai dengan ketentuan. Selain medikasi, Ambari (2010) menjelaskan bahwa semakin tinggi dukungan keluarga, maka semakin tinggi pula keberfungsian sosial pasien pasca perawatan di rumah sakit, demikian pula sebaliknya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang fenomena pasung yang terjadi di Indonesia dan bagimana dukungan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa setelah mendapatkan pasung.

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 305: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

304 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Partisipan berjumlah sembilan orang, dipilih secara purposif sampling dengan kriteria inklusi; care giver, tinggal serumah dengan pasien, memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa, pernah dipasung dan saat ini sudah lepas pasung, tinggal di wilayah Kabupan Banyumas Proponsi Jawa Tengah.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, dengan alat bantu; pedoman wawancara, catatan lapangan, dan recorder berupa voice recorder. Dalam penelitian ini Peneliti memberi kesempatan dan kebebasan kepada partisipan sebagai keluarga yang merawat klien gangguan jiwa pascapasung untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini (Respect), Setelah diberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan risiko yang mungkin terjadi pada pelaksanaan penelitian, maka partisipan diberikan kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak bersedia mengikuti penelitian ini secara sukarela (autonomy), Kerahasiaan identitas partisipan (Anonymity dan confidentiality), peneliti mengusahakan agar partisipan bebas dari rasa tidak nyaman, baik secara fisik maupun psikologis Nonmaleficence, dan Semua partisipan yang terpilih mendapat perlakuan yang sama selama proses penelitian (Justice).

Selama proses wawancara peneliti berupaya menyisihkan semua asumsi umum, prasangka, teori, filsafat, agama peneliti mengenai pasung untuk mendapatkan data yang obyektif dari partisipan. Proses analisis data dilakukan bersamaan dengan pengambilan data pada partisipan. Analisis data dilakukan dengan metode Collaizi. Proses analisis data ini dilakukan dengan cara 1) Membaca berkali-kali data yang diperoleh sambil mengurangi informasi tumpang tindih atau berulang-ulang. 2) Kedua melihat signifikansi atau pentingnya data yang diperoleh;Pertanyaan pendukung adalah: apakah yang penting dari informasi yang disampaikan;3)Mengklasifikasi atau mengkoding data yang memiliki kemiripan atau kecocokandengandata lain. Hasil klasifikasi data ini kemudian dibuat label

(labeling). 4) Mencari pola atau tema yang mengikat pikiran yang satu dengan lainnya.5) Mengkonstruksikan framework untuk mendapatkan essensi dari apa yang hendak disampaikan oleh data tersebut. Saturasi data terjadi pada partisipan ke sembilan saat peneliti tidak mendapatkan tema, sub tema maupun kategori baru dalam proses analisis data.

Untuk menjada validitas data penelitian, peneliti melakukan triangulasi yaitu triangulasi metode dengan wawancara dan observasi serta triangulasi antar aggota peneliti untuk menghindari subyektifitas peneliti. Selain itu, peneliti melakukan member checking yaitu dengan validasi data hasil wawancara dengan partisipan

Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga dengan nomor sertifikat laik etik 251-KEPK tanggal 20 Desember 2016.

Hasil Penelitian

Partisipan adalah care giver yaitu pemberi perawatan ODGJ yang merupakan salah satu anggota keluarga ODGJ, terdiri atas ayah, ibu, kakak atau adik responden, paling muda berusia 27 tahun, paling tua 66 tahun, mayoritas berpendidikan SD, tersebar di 7 Kecamatan; Lumbir, Sokaraja, Banyumas, Ajibarang, Cilongok, Pekuncen dan Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Data partisipan secara lengkap, seperti pada tabel berikut;

Jumlah pasien gangguan jiwa pasca pasung adalah 9 setelah terjadi saturasi data. Pasien ini terdiri atas 8 laki-laki dan 1 perempuan. Lama pasien dipasung bervariasi dari 7 hari – 24 tahun. Delapan pasien dipasung dengan cara dikurung dan 1 pasien dipasung dengan cara dirantai. Adanya akibat pemasungan terhadap fisik yaitu kecacatan yang terjadi pada pasien yang dipasung dengan cara dikurung dalam kandang, menentukan dukungan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa. Dengan kondisi kecacatan, pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien sangat tergantung pada dukungan keluarga untuk memenuhinya.

Peneliti memilih analisis tematik agar dapat mengidentifikasi ide atau data secara

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 306: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

305JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

implisit dan eksplisit, selain itu peneliti juga dapat menemukan “pola” pada penterjemahan data hasil penelitian. Dukungan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung didapatkan dua tema besar yaitu; perilaku pasung terhadap pasien gangguan jiwa dan dukungan keluarga. Perilaku pasung terhadap pasien gangguan jiwa meliputi; alasan, keputusan, metode, pembebasan dan dampak pemasungan. Dukungan keluarga meliputi; dukungan penilaian, instrumental, informasional dan dukungan emosional. Hasil tema penelitian secara lengkap tampak pada gambar.

Pembahasan

1. Perilaku pasung terhadap pasien gangguan jiwa

1) Alasan pemasunganTindakan pemasungan diakibatkan oleh

berbagai alasan yang dikemukakan oleh keluarga. Keluarga menjelaskan bahwa alasan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa adalah melakukan perilaku kekerasan, membantu kesembuhan, keluyuran dan tidak mampu merawat.

(1) Perilaku kekerasanPerilaku kekerasan yang diperoleh pada

penelitian ini adalah perilaku kekerasan

Tabel 1 Karakteristik Partisipan Partisipan Inisial Usia Jenis

KelaminPendidikan

TerakhirAgama Pekerjaan Hubungan

dengan pasien

1 P1 42 tahun Laki-laki SD Islam Tani Kakak kandung

2 P2 60 tahun Perempuan SD Islam Buruh tani Istri3 P3 66 tahun Perempuan SD Islam Ibu rumah

tanggaIbu

kandung4 P4 60 tahun Perempuan SD Islam Ibu rumah

tanggaIstri

5 P5 38 tahun Laki-laki SD Islam Wiraswasta Kakak kandung

6 P6 54 tahun Laki-laki SD Islam Buruh tani Adik ipar7 P7 27 tahun Laki-laki SD Islam Dagang Adik

kandung8 P8 60 tahun Perempuan SD Islam Tani Ibu

kandung9 P9 48 tahun Laki-laki SMP Islam Buruh tani Ayah

kandung

Tabel 2 Data Demografi Pasien Gangguan Jiwa Pasca Pasung\Pasien Gangguan

Jiwa Anggota Keluarga dari

Partisipan

Jenis Kelamin Lama Dipasung Metode Pemasungan

P1 Perempuan 5 tahun Dikurung dalam kandangP2 Laki-laki 20 tahun Dikurung dalam kamarP3 Laki-laki 10 tahun Dikurung dalam kamarP4 Laki-laki 1 tahun Diikat dengan rantaiP5 Laki-laki 14 tahun Dikurung dalam kandangP6 Laki-laki 24 tahun Dikurung dalam kandangP7 Laki-laki 7 hari Dikurung dalam kandangP8 Laki-laki 2 tahun Dikurung dalam kandangP9 Laki-laki 1 tahun Dikurung dalam kandang

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 307: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

306 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Gambar 1 Analisis tematik fenomena pasung dan dukungan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 308: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

307JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

terhadap diri sendiri, upaya melukai diri untuk bunuh diri dengan cara terjun ke dalam sumur. Perilaku kekerasan terhadap orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain (Yusuf, 2015). Penelitian ini menemukan bahwa perilaku kekerasan terhadap orang lain yang dilakukan oleh pasien gangguan jiwa adalah mengancam dan memukuli orang lain. Perilaku kekerasan terhadap orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Penelitian ini menemukan bahwa perilaku kekerasan terhadap orang lain yang dilakukan oleh pasien gangguan jiwa adalah mengancam dan memukuli orang lain. Hasil penelitian Wahyuningsih (2014) menemukan bahwa alasan pemasungan adalah merusak lingkungan, melukai orang lain dan risiko membunuh.

(2) Membantu kesembuhanKeluarga mengungkapkan bahwa alasan

pemasungan adalah untuk membantu kesembuhan. Keluarga mendapatkan informasi dari tetangga bahwa dengan dipasung, pasien bisa menjadi sembuh dari ngamuk-ngamuk dan merusak barang-barang

Hal ini ditemukan pada 3 dari 9 partisipan (P3, P5 dan P7). Semua partisipan yang mempunyai alasan bahwa memasung untuk kesembuhan mempunyai tingkat pendidikan rendah, yaitu lulusan SD. Keluarga melakukan pemasungan mempunyai harapan bahwa pasien yang dipasung dapat sembuh dari amuk dan merusak barang.

(3) KeluyuranAlasan lain yang dikemukakan keluarga

adalah keluyuran sejumlah 2 partisipan. Partisipan (P4) mengatakan bahwa pasien keluyuran dengan berjalan kaki berhari-hari dan membuat keluarga cemas, sehingga keluarga besar memutuskan untuk memasung pasien dengan memasang rantai pada kaki. Partisipan (P3) juga mengungkapkan bahwa pasien pergi bahwa pasien pergi dengan jalan kaki, singgah di rumah orang dan bingung pada saat hendak pulang, sehingga keluarga harus menjemput pasien walaupun malam ataupun dini hari. Hasil penelitian Minas dan Diatri (2008) dalam Daulima, (2014) serta hasil penelitian Wahyuningsih (2014) menemukan bahwa salah satu alasan pasung adalah agar pasien tidak keluyuran dan lari

sehingga dapat membahayakan orang lain. Penelitian ini menemukan bahwa pasien keluyuran berhari-hari dengan berjalan kaki (P4) dan keluarga memutuskan untuk memasung pasien dengan tujuan agar pasien tidak keluyuran. Keluarga mengungkapkan bahwa takut terjadi sesuatu dengan pasien saat keluyuran, seperti tertabrak kendaraan bermotor, jatuh ke sungai, dan sebagainya.

(4) Ketidakmampuan keluarga untuk merawat

Beban keluarga dapat diartikan sebagai stres atau efek dari adanya pasien gangguan jiwa dalam keluarga (Mohr, 2006 dalam Daulima, 2014). Beban keluarga merupakan tingkat pengalaman distress keluarga sebagai efek dari pasien gangguan jiwa terhadap keluarganya. Kondisi ini dapat memicu meningkatnya stres dalam keluarga. Penyimpangan perilaku yang terjadi pada pasien menyebabkan keluarga menanggung beban yang lebih berat dibandingkan pada saat pasien belum terjatuh ke dalam kondisi gangguan jiwa.

Pasien yang BAB dan BAK sembarangan, menyebabkan keluarga harus mengeluarkan tenaga, pikiran, dan waktu yang ekstra untuk membersihkan lingkungan rumah. Penelitian ini menemukan bahwa kondisi keluarga partisipan tingkat pendidikannya yang rendah yaitu lulusan SD dengan kondisi ekonomi yang terbatas dan jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Keterbatasan-keterbatasan sumber pengetahuan dan faktor ekonomi untuk merawat pasien dan lingkungan rumah menyebabkan keluarga tidak punya pilihan hingga memilih untuk memasung pasien.

Penelitian ini menemukan bahwa keluarga tidak mempunyai pilihan untuk bisa merawat pasien sehingga dengan terpaksa harus memasung pasien. Partisipan mengungkapkan bahwa, apabila pasien tidak dipasung, maka keluarga tidak bisa bekerja mengurus lahan pertanian karena menghabiskan waktu untuk merawat pasien. Pekerjaan sebagai buruh tani yang dijalani oleh keluarga, menuntut untuk bekerja atau tidak mendapatkan upah yang akan digunakan untuk menafkahi pasien dalam kehidupan sehari-harinya. Keluarga mengungkapkan bahwa dengan terpaksa harus memasung pasien untuk dapat melaksanakan perannya dalam keluarga sebagai pencari nafkah.

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 309: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

308 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

2) Keputusan pemasunganKeputusan pemasungan yang ditemukan

dalam penelitian ini ada 2 pelaku, yaitu dilakukan oleh keluarga dan masyarakat.

(1) KeluargaKeputusan pemasungan yang diambil

oleh keluarga ditemukan bahwa 4 partisipan mengungkapkan bahwa pengambil keputusan pemasungan adalah kepala keluarga dan seorang partisipan mengungkapkan bahwa pengambil keputusan pemasungan adalah anak pasien gangguan jiwa. Hampir seluruh partisipan (kecuali P3) berjarak lebih dari 10 km dari fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dengan kemampuan penanganan gangguan jiwa, serta belum berjalannya program kesehatan jiwa secara optimal pada Puskesmas di Kabupaten Banyumas menyebabkan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) terhadap gangguan jiwa dan pasung masih belum maksimal. Penelitian ini juga tokoh masyarakat yang memberikan kontribusi dengan memberikan persetujuan terhadap terjadinya pemasungan. Berdasarkan teori Green, faktor-faktor tersebut mempunyai kontribusi terhadap terjadinya kasus pasung di Kabupaten Banyumas, sehingga perlu edukasi terhadap masyarakat tentang gangguan jiwa, serta Pemantauan Wilayah Setempat terhadap gangguan jiwa dengan lebih optimal.

Kepala keluarga memutuskan secara sepihak karena mereka selama ini yang bertanggung jawab terhadap adanya kerugian yang dialami oleh tetangga sekitar akibat perilaku kekerasan yang dilakukan pasien. Keputusan pemasungan yang diambil oleh anak terjadi pada pasien gangguan jiwa yang sudah lanjut usia. Anak berinisiatif memasung karena mereka khawatir terhadap keamanan pasien apabila keluyuran. Selain itu dengan memasung, istri pasien juga tenang karena selalu cemas apabila pasien keluyuran.

(2) MasyarakatPemuka masyarakat mendukung keluarga

melakukan pasung karena ketidaktahuan keluarga, rasa malu, penyakit yang tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan keluarga untuk mengamankan lingkungan. Hal tersebut sesuai penelitian Minas dan Diatri (2008, dalam Daulima, 2014) yang menemukan bahwa pada hampir semua kasus dalam riset

mereka tentang pasung pada pasien gangguan jiwa, tindakan pasung ini juga mendapat dukungan dari pemuka masyarakat, sehingga keluarga dan pemuka masyarakat berinisiatif untuk melakukan pasung dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk mempertahankan tindakan tersebut.

3) Metode pemasunganDelapan partisipan mengatakan bahwa

anggota keluarga mereka dipasung dengan cara dikurung, sedangkan 2 partisipan mengatakan bahwa anggota keluarga pernah dipasung dengan cara diikat.

Penelitian ini mengidentifikasi bahwa metode pemasungan dengan cara dikurung dilakukan dengan cara bervariasi, yaitu dengan dikurung di dalam kandang yang menyerupai kandang ternak (P1, P5, P6, P7, P8 dan P9) dan dalam kamar (P2 dan P3). Kamar yang digunakan untuk mengurung adalah kamar yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga pasien tidak bisa keluar, misalnya dengan menggunakan pintu besi dan jendela yang dibuat kecil. Hasil wawancara mendalam dalam penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat yang mengambil keputusan pasung terhadap pasien gangguan jiwa berinisiatif membuatkan kandang dengan bergotong royong (ditemukan pada P6, P8 dan P9) dan membuatkan pintu besi (ditemukan pada P2). Sedangkan kandang yang dibuat oleh keluarga untuk pasien gangguan jiwa ditemukan pada P1, P5 dan P7, serta kamar yang dibuat oleh keluarga untuk memasung pasien gangguan jiwa ditemukan pada P3.

Metode pemasungan yang pernah dilakukan lainnya adalah diikat menggunakan rantai. Penelitian ini menemukan bahwa keluarga memasang belenggu berupa rantai pada salah satu kaki pasien, rantai ini kurang lebih sepanjang 2 meter dan ditambatkan pada kayu tempat tidur. Dengan metode ini pasien gangguan jiwa melakukan segala aktifitas di dalam kamarnya termasuk BAB, BAK, makan dan lain-lainnya.

Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar metode pemasungan di Kabupaten Banyumas adalah dengan dikurung (P1, P2, P3, P5, P6, P7, P8 dan P9). Hal ini sesuai dengan yang ditemukan oleh Minas dan Diastri (2008, dalam Daulima, 2014) dalam risetnya dengan metode cross-sectional,

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 310: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

309JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

menemukan bahwa jenis pasung yang paling sering ditemukan adalah pengisolasian dalam ruangan atau gubuk kecil.

Hasil penelitian Hasmilasari (2009) sebagaimana dikutip oleh Wahyuningsih (2014) menemukan bahwa bahwa di daerah Bierun, Nangroe Aceh Darussalam ditemukan sebagian besar kasus pasung, pasien dikurung dalam kamar atau ruangan tertentu di sekitar rumah. The Council of Europe Steering Committee on Bioethics Working Party on Psychiatry (2000) merekomendasikan pelatihan teknik physical restraint harus diberikan untuk staf yang bekerja di unit mental akut. Pengekangan terhadap pasien gangguan membuat pasien gangguan jiwa tidak mendapatkan pertolongan yang segera berkaitan dengan sakit medis fisiknya. Terlambat mendapatkan pertolongan ini akan berakibat kepada buruknya harapan kesembuhan pada pasien dan menurunkan kualitas hidupnya (Andri, 2012 dalam Wahyuningsih, 2014).

Metode pemasungan dengan cara dikurung dalam kandang dipilih keluarga dengan alasan bisa mengamankan pasien dari perilaku kekerasan yang dilakukannya. Partisipan juga mengungkapkan metode ini murah dan mudah dalam memperoleh bahan-bahan untuk membuat kandang yang tersedia di sekitar rumah partisipan. Seluruh partisipan berada pada wilayah pedesaan yang kaya dengan bahan-bahan material berupa kayu dan bambu yang dibutuhkan dalam pembuatan kandang untuk pemasungan.

4) Pembebasan pasungKasus pemasungan yang dibebaskan oleh

Puskesmas ditemukan sebanyak 5 (lima) kasus, oleh Polsek sebanyak 2 (dua) kasus, petugas Koramil 1 (satu) kasus dan 1 (satu) kasus oleh staf Wakil Bupati Banyumas yang kemudian dalam pelaksanaannya ditindaklanjuti oleh Puskesmas.

Inisiator yang teridentifikasi membebaskan pasung menurut partisipan yang dilakukan melalui Puskesmas adalah oleh tenaga kesehatan yaitu Bidan (P3, P4 dan P7) dan Perawat (P2 dan P5). Selain tenaga kesehatan, profesi lain adalah Polisi (P1 dan P8), TNI (P6) dan staf Setda Kabupaten Banyumas (P9).

Kebijakan pemerintah untuk melarang pasung sebenarnya sudah ada sejak tahun

1966 melalui UU No. 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar harus mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 Nopember 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien yang ada di daerah mereka.

Demikian pula dengan Provinsi Jawa Tengah melalui Peraturan Gubernur (Pergub) No. 1 Tahun 2012 tentang Penanggulangan Pasung di Provinsi Jawa Tengah. Hingga diterbitkannya UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dimana tertulis dalam pasal 86:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi ODMK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Ancaman pidana sesuai dengan yang tertulis dalam pasal 86 UU No. 18 Tahun 2014 tersebut menegaskan bahwa, setiap orang yang terlibat dalam pemasungan dapat dikenakan pasal-pasal yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan diproses secara hukum sebagai pelaku kriminal. Hal ini menyebabkan segenap komponen pemerintah selain Puskesmas, baik pemerintah daerah hingga TNI dan Polri melakukan pendataan secara proaktif untuk membebaskan pasung.

5) Dampak pemasunganPenelitian ini menemukan bahwa metode

pemasungan dan lamanya pemasungan mempengaruhi timbulnya akibat pemasungan yang berupa kecacatan pada pasien gangguan jiwa yang pernah dipasung. Ditemukan bahwa metode pemasungan dengan mengurung

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 311: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

310 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

pasien di dalam kandang yang sempit yang menyebabkan keterbatasan pergerakan pada pasien menyebabkan kecacatan fisik. Kecacatan fisik yang ditemukan adalah atrofi otot kaki dan kontraktur pada sendi lutut yang disebabkan karena pasien harus menekuk lutut selama dipasung bertahun-tahun. Dalam penelitian ini pasien yang mengalami kecacatan fisik ditemukan pada penderita yang dipasung dengan dimasukkan ke dalam kandang yang sempit selama sedikitnya 2 (dua) tahun.

Dampak pemasungan ada 2, yaitu dampak psikologis dan dampak fisik. Menurut Lestari, Choiriyyah, & Mathafi (2014) dampak psikologis pemasungan adalah trauma, dendam kepada keluarga, merasa dibuang, rendah diri, putus asa, lama-lama timbul gejala depresi dan bunuh diri. Dampak fisik pemasungan adalah keadaan atrofi otot kaki dan kontraktur sendi dimana kasus pemasungan penderita skizofrenia di Samosir, Sumatera Utara, dan Bireuen, Aceh ditemukan bahwa pada pasien gangguan jiwa yang dipasung adalah kaki dan tangan mengecil (Lestari, 2014). Penelitian ini menemukan bahwa kondisi atrofi otot kaki ditemukan pada pasien yang dipasung selama 2 (dua) tahun dengan metode pemasungan menggunakan kandang yang sempit (P8). Keluarga menjelaskan bahwa, kandang yang dibuat berbentuk persegi, sempit dan tidak memungkinkan pasien yang dipasung menggerakkan kakinya dengan bebas.

Menurut Daulima (2014), pasien gangguan jiwa seharusnya bukan dipasung bila mendapatkan terapi yang tepat. Penanganan yang tepat terhadap pasien gangguan jiwa (Hawari, 2001; Yusuf, 2015) adalah dengan terapi psikofarmaka, terapi somatik dan terapi modalitas. Pasien gangguan jiwa seharusnya dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan.

Penelitian ini menemukan bahwa pasien dipasung bervariasi dari 7 hari hingga 24 tahun, semakin lama dipasung mengakibatkan pasien tertunda untuk mendapatkan perawatan pada fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini mengakibatkan semakin parahnya kondisi gangguan jiwa yang dialami pasien, bahkan setelah dilepaskan dari pasung dan pulang dari rumah sakit dan menjadi tanggung jawab keluarga dalam perawatan dan pemenuhan

kebutuhan ADL (Activity Daily Living) pasien sehari-hari. Metode pemasungan dalam tempat yang sempit dan dalam waktu yang lama mengakibatkan dampak fisik berupa kecacatan yang menyebabkan kebutuhan dukungan keluarta yang lebih besar terutama dukungan instrumental dalam pemenuhan kebutuhan pasien sehari-hari.

2. Dukungan Keluarga1) Dukungan penilaian dari keluarga

terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasungPenelitian ini menemukan bahwa

kemampuan keluarga untuk memberikan dukungan penilaian terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung sangat minimal. Keluarga hanya akan bisa memberikan dukungan penilaian apabila keluarga memahami bahwa pasien gangguan jiwa sedang sakit dan membutuhkan bantuan. Masih adanya pemahaman bahwa pasien mengalami kesurupan dan anggapan bahwa pasien bukan orang baik-baik, merupakan hambatan keluarga dalam memberikan dukungan penilaian.

Gejala gangguan jiwa yang menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi yang sakit dan menderita tetap sebagai manusia seutuhnya (Maramis, 2010; Yusuf, 2015) menjelaskan bahwa gangguan jiwa merupakan berbagai bentuk penyimpangan perilaku dengan penyebab pasti belum jelas. Keluarga seharusnya dapat mengenal bahwa pasien gangguan jiwa adalah berada dalam kondisi sakit, sehingga dapat memahami penyimpangan perilaku yang timbul pada pasien dan menentukan pemecahan masalah terhadap masalah kesehatan pasien sesuai dengan tugas kesehatan keluarga (Yusuf, 2016; Laeli, 2017).

Adanya kesalahan persepsi terhadap kondisi sakit yang dialami pasien adalah tanda tidak berjalannya tugas kesehatan keluarga, dimana menurut Suprajitno (2004) dan Mubarak, (2009) tugas kesehatan keluarga yang pertama adalah mengenal kesehatan keluarga. Keluarga yang masih menganggap bahwa pasien gangguan jiwa mengalami kesurupan atau bukan orang baik-baik berarti keluarga tidak dapat mengenal masalah kesehatannya.

Kurangnya keluarga dalam memberikan perhatian terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung juga ditemukan dalam penelitian

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 312: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

311JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

ini, dimana hanya 2 dari 9 partisipan yang ditemukan memberikan perhatian kepada pasien gangguan jiwa pasca pasung. Menurut Friedman (1998) dalam Murniasih (2007) dukungan penilaian merupakan dukungan yang terjadi apabila ada penilaian yang positif terhadap individu. Lebih lanjut Friedman (1998, dalam Murniasih, 2007) menjelaskan bahwa individu mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka. Penilaian positif didapatkan apabila anggota keluarga memberikan perhatian terhadap pasien.

2) Dukungan instrumental dari keluarga terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung

Penelitian ini menemukan bahwa seluruh keluarga membantu memenuhi kebutuhan pasien dalam menyediakan makan dan minum. Keluarga adalah sumber bantuan praktis bagi pasien dalam pemenuhan kebutuhannya. Bentuk bantuan jasa yang diberikan keluarga dengan mengambilkan obat ke rumah sakit. Bantuan ini diberikan karena ketidakmampuan pasien untuk dapat pergi sendiri ke pelayanan kesehatan. Meskipun semua pasien gangguan jiwa pasca pasung dalam penelitian ini memiliki Kartu Jamkesmas sehingga pasien tidak memerlukan biaya pengobatan di rumah sakit, namun biaya, waktu dan tenaga untuk mengambil obat di rumah sakit ditanggung oeh keluarga.

Adanya keluarga dengan gangguan jiwa merupakan beban untuk keluarga. Pasien yang tidak dapat berfungsi secara ekonomi dan keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mengharuskan keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan pasien tersebut yang termasuk beban obyektif keluarga. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mohr (2006, dalam Ngadiran, 2010) beban obyektif adalah masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan perawatan pasien, yang meliputi: tempat tinggal, makanan, transportasi, pengobatan, keuangan dan intervensi krisis.

3) Dukungan informasional dari keluarga terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung

Keluarga memberikan dukungan informasional dengan cara memberikan informasi untuk minum obat dengan teratur. Sebagian besar partisipan mengungkapkan bahwa kunjungan rumah dan pendampingan

oleh Petugas Puskesmas hanya dilakukan pada saat sebelum pasien akan dibebaskan dari pasung. Pendampingan dan kunjungan rutin dari Puskesmas ditemukan pada P2 dan P6. Keterbatasan pengetahuan dan sumber informasi yang didapatkan keluarga merupakan penyebab minimalnya dukungan informasional yang dapat diberikan oleh keluarga. Keluarga membutuhkan informasi kesehatan untuk dapat memberikan solusi terhadap masalah pasien dengan gangguan jiwa pasca pasung. Sumber informasi yang dapat diakses oleh keluarga adalah institusi pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan rumah sakit, buku, koran, majalah ataupun sumber ahli lainnya.

Partisipan tidak mengakui bahwa tindakan mengurung di dalam kandang dan di kamar sebagai pemasungan. Pemasungan dalam perspektif keluarga dalam penelitian ini adalah perlakuan mengunci kaki dengan balok. Hal ini membuktikan sangat kurangnya pengetahuan partisipan tentang tindakan pasung. Partisipan mengatakan bahwa pasien saat ini tidak dikurung lagi, karena tidak boleh oleh aparat setempat dan petugas Puskesmas, tanpa dapat menyebutkan alasan dengan benar. Terbatasnya informasi yang dimiliki keluarga menyebabkan kurangnya dukungan informasional yang diberikan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung. Dalam proses penyembuhannya, keluarga membutuhkan informasi yang tepat tentang gangguan jiwa, agar dapat dicapai kondisi pasien yang dapat berfungsi secara sosial.

4) Dukungan emosional terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung

Penelitian ini mengidentifikasi bahwa dukungan emosional terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung diberikan dengan cara memberikan semangat terhadap pasien. Sebanyak lima partisipan mengungkapkan memberikan semangat cara yang berbeda-beda terhadap pasien. Satu orang partisipan (P6) teridentifikasi tidak memberikan dukungan keluarga saat menjelaskan bahwa untuk memberikan rasa nyaman dan membuat pasien berharga adalah cukup dengan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Menurut Friedman (1998, dalam Murniasih, 2007) dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman,

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 313: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

312 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

merasa dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Lebih lanjut Friedman (1998, dalam Murniasih, 2007) menjelaskan bahwa dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat.

Perasaan nyaman dan dicintai dibutuhkan oleh pasien gangguan jiwa pasca pasung untuk bisa mengoptimalkan kembali fungsi kognitifnya. Menurut Yusuf, Fitryasari, & Nihayati (2015) terjadinya gangguan jiwa dipengaruhi oleh masalah kepribadian awal, kondisi fisik pasien, situasi keluarga dan masyarakat. Situasi keluarga yang memberikan dukungan emosional akan membantu pasien untuk mencapai penyembuhan dengan optimal. Pasien membutuhkan motiviasi terus-menerus untuk dapat minum obat secara teratur dan yang dapat memberikan semangat untuk melakukannya adalah keluarga. Sikap empati dan rasa percaya dari keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien untuk mencegah kekambuhan.

Simpulan

Perilaku pasung yang dilakukan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa merupakan cara penanganan yang tidak tepat terhadap pasien gangguan jiwa. Perilaku pasung yang ditemukan dengan alasan pasien melakukan perilaku kekerasan, membantu kesembuhan pasien, pasien keluyuran dan keluarga tidak mampu merawat pasien. Keputusan pemasungan yang ditemukan dilakukan oleh masyarakat dan keluarga. Cara pemasungan pasien gangguan jiwa yang ditemukan adalah dengan dikurung dalam kandang atau kamar dan diikat dengan rantai. Pembebasan pasien gangguan jiwa dari pasung dalam penelitian ini seluruhnya dilakukan oleh sistem sosial yaitu Polsek, Koramil dan Puskesmas. Akibat pemasungan yang ditemukan adalah kecacatan fisik apabila metode pemasungan dengan cara dikurung dalam tempat yang terbatas dan sempit. Meskipun demikian, keluarga masih tetap memberikan dukungan kepada pasien, walaupun kurang memadai.

Daftar Pustaka

Ambari, P. K. (2010). Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Keberfungsian Sosial pada Pasien Skizofrenia Pasca Perawatan di Rumah Sakit. Semarang: Universitas Diponegoro.

BKD Banyumas. (2016). Peta Kabupaten Banyumas per Kecamatan. Retrieved from BKD Banyumas: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/54/Locator_kabupaten_banyumas.gif.

Daulima, N. H. (2014). Proses Pengambilan Keputusan Tindakan Pasung oleh Keluarga Terhadap Pasien Gangguan Jiwa. Fakultas Ilmu Keperawatan UI: Disertasi.

Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. (2016). Gambaran Kasus Pasung di Kabupaten Banyumas. Purwokerto: Bidang Pembinaan dan Pengendalian Pelayanan Kesehatan DKK Banyumas.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2014). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014. Retrieved from http://www.dinkesjatengprov.go.id: http://www.dinkesjatengprov.go.id/v2015/dokumen/profil2014/Profil_2014.pdf.

Effendy, N. (1998). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2, Editor Yasmin Asih. Jakarta: EGC.

Fitryasari, R. (2009). Pengalaman Keluarga dalam Merawat Anak dengan Autisme di Sekolah Kebutuhan Khusus Bangun Bangsa Surabaya. Manuskrip Penelitian: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Studi Pascasarjana.

Halida, N., Dewi, E. I., & Rasni, H. (2016). Pengalaman Keluarga dalam Pemenuhan Kebutuhan Perawatan pada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dengan Pasung di Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, 4(1), Januari, 78–85.

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 314: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

313JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Hawari, D. (2001). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Idaiani, S., & Raflizar. (2015). Faktor yang Paling Dominan Terhadap Pemasungan Orang dengan Gangguan Jiwa di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 18(1) : 11–17.

Kaplan, H., Sadock, B., & Grebb, J. (2010). Sinopsis Psikiatri Jilid 2,Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara.

Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2015). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kristiyaningsih, D. (2011). Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi pada Lansia. Jurnal Keperawatan, 1(1).

Farkhah, L., Suryani, S., & Hernawaty, T. (2017). Faktor Caregiver dan Kekambuhan Klien Skizofrenia. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(1).

Lestari, P., Choiriyyah, Z., & Mathafi . (2014). Kecenderungan atau Sikap Keluarga Penderita Gangguan Jiwa Terhadap Tindakan Pasung (Studi Kasus di RSJ Amino Gondho Hutomo Semarang). Jurnal Keperawatan Jiwa . 2(1) : 14–23.

Lestari, S. (2013). Psikologi Keluarga (Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga). Jakarta: Prenada Media Group.

Lestari, W., & Wardhani, Y. F. (2014). Stigma dan Penanganan Penderita Gangguan Jiwa Berat yang Dipasung. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 17(2) : 157–166.

Mahmudah. (2012, Agustus 28). Antara. Retrieved from Antara Jateng: http://jateng.antaranews.com/detail/waduhhampir-seribu-kasus-pasung-di-jateng.html.

Malfasari, E., Keliat, B., & Helena , N. (2016). Analisis Legal Aspek dan Kebijakan Restrain, Seklusi dan Pasung pada Pasien dengan Gangguan Jiwa. Retrieved from yimg: https://xa.yimg.com/kq/groups/86525909/971084920/name/manuskripeka.docx.

Maslim, R. (2002). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa - FK Unika Atmajaya.

Mubarak, W., & Chayatin, N. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas, Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika.

Ngadiran, A. (2010). Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga Tentang Beban dan Sumber Dukungan Keluarga dalam Merawat Pasien Halusinasi. Program Magister Keperawatan Jiwa: FIK UI.

Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Pendekatan Praktis, Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.

Pemerintah Kabupaten Banyumas. (2015). Kabupaten Banyumas dalam Angka 2014. Purwokerto: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banyumas.

Pemerintah Kabupaten Banyumas. (2015). Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas Tahun 2014. Purwokerto: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas.

Pemerintah Kabupaten Banyumas. (2016). Pemerintah Kabupaten Banyumas. Retrieved from Pemerintah Kabupaten Banyumas: http://www.banyumaskab.go.id/page/307/letak-geografis.

Provinsi Jawa Tengah. (2012). Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 1 Tahun 2012 Tentang Penanggulangan Pasung di

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 315: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

314 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Provinsi Jawa Tengah. Retrieved from http://jdihukum.jatengprov.go.id: http://jdihukum.jatengprov.go.id/download/produk_hukum/pergub/pergub_tahun_2012/pergub_1_th_2012.pdf.

Raco, J. R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: PT Gramedia Widia Sarana Indonesia.

Republik Indonesia. (2014). Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20I4 Nomor 185.

Samsung. (2015). Samsung. Retrieved from Samsung Galaxy J1 Ace: http://www.samsung.com/id/smartphones/galaxy-j1-ace-j110/.

Saputra, R. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Mengkonsumsi Obat Antipsikotik pada Pasien yang Mengalami Gangguan Jiwa di Poli Rawat Jalan RSJD Surakarta. Solo: Naskah Publikasi FIK, Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Edisi Pertama, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Setiadi. (2008). Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC.

Sugiyono. (2009). Metodologi Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.Suprajitno. (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga: Aplikasi dalam Praktik, Cetakan 1, Editor: Monica Ester. Jakarta: EGC.

Syarniah, Rizani, A., & Sirait, E. (2014). Studi Deskriptif Persepsi Masyarakat Tentang Pasung pada Pasien Gangguan Jiwa Berdasarkan Karakteristik Demografi di Desa Sungai Arpat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Jurnal Skala Kesehatan, 5(2).

Wahyuningsih, D., Mukhadiono, & Subagyo, W. (2014). Perilaku Pemasungan pada Pasien Gangguan Jiwa. Link, 10(1), ISSN.1829.5754, 723–728.

WHO. (2016). World Health Statistic 2016, Monitoring Health for the SDGs. Geneva: World Health Organization (WHO) Press.

Wikimedia. (2016). Wikimedia. Retrieved from Wikimedia: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/54/Locator_kabupaten_banyumas.gif.

Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Yusuf, A., Fitryasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Yusuf, A., Fitryasari, R., Nihayati, H. E., Tristiana RD., (2016) Kompetensi Perawat dalam Merawat Pasien Gangguan Jiwa, Jurnal Ners, 11(2), ISSN 1858 – 3598.

Yusuf : Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca

Page 316: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

315JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan terhadap Kadar Bilirubin Serum Bayi Hiperbilirubinemia

Novi Novianti, Henny Suzana Mediani, Ikeu NurhidayahFakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran

Email: [email protected]

Abstrak

Hiperbilirubinemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada masa neonatal. Terapi modalitas dibutuhkan karena fototerapi sebagai prosedur penatalaksanaan hiperbilirubinemia di rumah sakit berpotensi menimbulkan efek samping. Field massage sebagai terapi adjuvan, diduga dapat meningkatkan ekskresi bilirubin selama bayi mendapat fototerapi. Namun, penelitian field massage sebelumnya baru melaporkan penurunan kadar bilirubin diduga seiring meningkatnya frekuensi buang air besar sebagai efek massage. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh field massage sebagai adjuvan terhadap kadar bilirubin serum bayi hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi. Desain penelitian menggunakan kuasi eksperimen dengan non equivalen pre test-post test design with control group.Sampel diambil secara consecutive terbagi menjadi kelompok intervensi (16 responden) dan kelompok kontrol (16 responden). Data dianalisis menggunakan Dependen T-Test, Independen T-Test, dan Analysis of Covarians. Hasil menunjukkan rata-rata kadar bilirubin serum setelah intervensi pada kelompok intervensi (8,09+1,21) sedangkan kelompok kontrol (10,05+2,17). Penurunan rata-rata kadar bilirubin serum kelompok intervensi (7,20+1,59), sedangkan kelompok kontrol (4,64+1,25), antara kedua kelompok terdapat perbedaan penurunan yang bermakna (p=0,001). Kontribusi variabel confounding tidak berpengaruh terhadap penurunan rata-rata kadar bilirubin serum, setelah dikontrol variabel confounding pada kelompok intervensi memiliki nilai bersih (7,23+0,37), kelompok kontrol memiliki nilai bersih (4,61+0,37). Kesimpulan didapatkan field massage sebagai terapi adjuvan dapat menurunkan kadar bilirubin serum secara efektif. Berdasarkan hasil penelitian Field massage bisa menjadi salah satu alternatif intervensi keperawatan yang dapat digunakan dalam penatalaksanaan bayi hiperbilirubinemia di rumah sakit.

Kata kunci: Field massage, fototerapi, hiperbilirubinemia, neonatal.

Effect of Field Massage as Adjuvant Therapy on Serum Bilirubin Levels Neonatal Hyperbilirubinemia

Abstract

Hyperbilirubinemia is the common complication that occurs in neonatal period. Therapeutic modality is needed since phototherapy as a standard procedure for hiperbilirubinemia in hospital is often give side effects. Field massage is an adjuvant therapy might increases the excretion of infant bilirubin serum in procedure of phototherapy. However, previous research used field massage noticed that decreased levels of bilirubin allegedly increased with the frequency of defecation as massage effect. The purpose of this study was to determine effect of field massage as adjuvant to level of bilirubin serum in neonatal with phototherapy.The research design used quasi experiments with non equivalent pre test-post test design. The sample was recruited by consecutive sampling of 16 respondents in intervention group and 16 respondents in control group. Data were analyzed by using Dependent T-Test, Independent T-Test, and Analysis Covarians. Results showed that the mean serum bilirubin level after intervention in intervention group showed (8.09+1.21), while the control group were about 10.05+2.17. Decreasing mean serum bilirubin level in the intervention group (7.20+1.59) and the control group (4.64+1.25), between two groups showed that there had significant decrease (p=0.001). Contribution of confounding variables did not affect to the decreased mean serum bilirubin level, whereas after controlled confounding variables in the intervention group showed had net value (7.23+0.37), and for the control group (4.61+0.37). It can be concluded that field massage is effective and useful in decreasing bilirubin serum levels. Results of this study can be used as one of alternative nursing interventions in managing neonatal hyperbilirubinemia in hospitals.

Keywords: Field massage, hyperbilirubinemia, neonatal, phototherapy.

Page 317: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

316 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pendahuluan

Ikterus atau hiperbilirubinemia merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada masa neonatal. Sebanyak 75% alasan bayi dirawat inap selama periode neonatal disebabkan hiperbilirubinemia (Barbara, JS., 2008;Escobar, 2005;Shetty & Kumar, 2014). Sebagian besar hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir bersifat fisiologis, namun memiliki potensi meracuni sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan Kernicterus (Maisels & McDonagh, 2008; Yuliarti, et al, 2011).

Fototerapi merupakan prosedur standar dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia di rumah sakit, namun hasil-hasil penelitian menunjukkan pemberian fototerapi belum efektif dan ditemukan beberapa efek samping bagi bayi (Dewi, Kardana, & Suarta 2016); Kosim, Soetandio, & Sakundarno, 2008). Efek samping yang mungkin terjadi diantaranya: diare, dehidrasi, ruam kulit, gangguan retina, hipertermia, Bronze Baby Syndromme, bahkan kemandulan pada bayi laki-laki (Champlain Maternal Newborn Regional Programme, 2015). Fototerapi juga beresiko memicu stress, selama fototerapi bayi dilingkungan terpisah dari ibunya, gangguan mental dan emosional dapat terjadi akibat pemisahan saat fototerapi (Kianmehr et al., 2014). Perawat anak sebagai bagian integral dalam tim perawatan klien, perlu menemukan solusi untuk meningkatkan efektifitas fototerapi sehingga meminimalkan efek samping yang ditemukan.

Hasil-hasil penelitian tentang penurunan kadar bilirubin pada bayi yang menjalani fototerapi masih belum optimal, beberapa penelitian dilakukan untuk mencari terapi modalitas yang dapat digunakan sebagai adjuvan dalam mengefektifkan penurunan kadar bilirubin disamping pemberian fototerapi. Terapi modalitas tersebut adalah perubahan posisi selama fototerapi, pemberian jenis minum, dan field massage (Chen, Sadakata, Ishida, Sekizuka, & Sayama, 2011;Kianmehr et al., 2014; Rahmah, Yetti, & Besral, 2012; Shinta, 2008). Field massage merupakan terapi modalitas yang diduga dapat meningkatkan ekskresi bilirubin bayi selama fototerapi menurut beberapa penelitian terbaru (Chen et al., 2011;Dalili, Sheikhi, Shariat, & Haghnazarian, 2016;Kianmehr

et al., 2014;Naufal&Widodo, 2016; Robert, Princely Jeyaraj, & Kanchana, 2015).

Beberapa hasil penelitian terdahulu mendukung penggunaan field massage terhadap penurunan kadar bilirubin (Chen et al., 2011; Kianmehr et al., 2014). Namun korelasi yang jelas antara mekanisme massage dengan ekskresi bilirubin belum diketahui secara pasti. Penelitian sebelumnya sebatas melaporkan penurunan kadar bilirubin diduga seiring meningkatnya frekuensi buang air besar sebagai efek massage terhadap fungsi pencernaan. Selain itu, teknik massage penelitian sebelumnya hanya menggambarkan area pemijatan secara umum, belum merinci secara jelas teknik-teknik keseluruhan. Sehingga perlu dipertimbangkan mencari langkah-langkah pemijatan secara menyeluruh sebagai kebaruan penelitian ini.

Sentuhan merupakan kebutuhan dasar bagi bayi baru lahir. Melalui massage, bayi mempersepsikan sentuhan sebagai pemenuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman (Field, 2004). Pemberian field massage merupakan tindakan keperawatan memenuhi kebutuhan rasa aman dan nyaman bayi yang menjalani fototerapi (Robert et al., 2015). Penelitian ini menggunakan pendekatan teori comfort yang dikembangkan Kathrine Kolcaba dalam kerangka pemikirannya dengan menawarkan kenyamanan sebagai bagian terdepan dalam proses keperawatan. Perawat diharapkan dapat merencanakan intervensi yang sesuai dan tepat waktu menggunakan model perawatan berfokus pada kenyamanan klien (Ilmiasih, Nurhaeni, & Waluyanti, 2007).

Pengaruh field massage perlu dilakukan evaluasi melalui penelitian kembali, karena efektifitasnya sebagai terapi adjuvan terhadap kadar bilirubin masih beragam dan gambaran teknik yang menyeluruh belum jelas terperinci. Penelitian sebelumnya oleh Chen et al. (2011) yang melakukan baby massage dengan metode field, hasil menunjukkan massage dapat menginduksi penurunan bilirubin transkutaneus (p=0,009) dan bilirubin serum (p=0,007) secara signifikan. Kianmehr, et.al. (2014) menyebutkan field massage berpengaruh signifikan dalam menurunkan tingkat bilirubin bayi yang difototerapi (p=0,001). Robert et.al.(2015)

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 318: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

317JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

menilai therapeutik massage dengan metode field efektif menurunkan tingkat bilirubin neonatus (p=0,001).

Berbeda dengan penelitian Karbandi, Lotfi, Boskabadi, dan Esmaily (2015), yang melaporkan bahwa rata-rata kadar bilirubin transkutaneus kelompok intervensi dan kontrol tidak berbeda (nilai p=0.98). Massage metode field hanya meningkatkan frekuensi buang air besar kelompok intervensi pada hari ke 4-6 (p=0,01, p<0,001), p=0,005). Masih kurangnya penelitian sahih yang mendukung pengaruh positif massage terhadap bayi hiperbilirubinemia menjadi dasar dilakukan penelitian ini. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh field massage sebagai terapi adjuvan terhadap kadar bilirubin serum bayi hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi di Ruang Perinatal RSUD Kabupaten Sumedang.

Metode Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan pendekatan non equivalent control group pretest and posttest design. Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak dipilih secara random, setiap kelompok dilakukan pre test dan post test terkait variabel dependen yang diteliti (Polit & Beck, 2014).

Populasi dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi di RSUD Sumedang dengan jumlah populasi Januari-Desember 2016 sebanyak 304 bayi. Besar sampel ditentukan menggunakan rumus beda rerata dua populasi (Dahlan, 2013). Berdasarkan standar deviasi penelitian sebelumnya yaitu penelitian Kianmehr et.al.,(2014) dengan rerata level bilirubin kelompok intervensi (9.92+1.3) dan kelompok kontrol (11.97+1.52) didapatkan nilai Sd 1.409. Sehingga besar sampel didapatkan sebanyak 32 responden. Sampel diambil secara consecutive sesuai kriteria inklusi yaitu : 1) Bayi baru lahir aterm, berat badan antara 2500 s.d < 4000 gram; 2) Ikterus muncul pada 25–72 jam setelah kelahiran (ikterus fisiologis); 3) Kadar bilirubin serum total > 10 mg/dL sebagai level pemberian fototerapi bagi bayi hiperbilirubinemia di RSUD Sumedang; dan 4) Tidak terdapat

kontraindikasi dilakukan field massage, yaitu demam (suhu tubuh >38C), peningkatan tanda-tanda vital, dan lethargik. Adapun kriteria eksklusi sampel, yaitu: bayi dengan rhesus dan ABO inkompatibilitas, anomali kongenital, infeksi, obstruksi gastrointestinal, dan atresia bilier. Sampel kemudian dibagi menjadi dua kelompok: kelompok intervensi sebanyak 16 responden dan kelompok kontrol sebanyak 16 responden.

Penelitian ini dilakukan di Ruang Tanjung Bagian Perinatal RSUD Kabupaten Sumedang, pengumpulan data dilakukan selama 2 (dua) bulan. Uji etik penelitian (Ethical Clearance) didapatkan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Universitas Padjadjaran. Informed consent dilaksanakan kepada orang tua responden berkaitan responden merupakan pasien beresiko. Tujuan dan manfaat penelitian dijelaskan kepada orang tua responden yaitu mengetahui pengaruh field massage sebagai terapi adjuvan terhadap kadar bilirubin, sehingga hasil penelitian diharapkan dapat menjadi salah satu pendekatan keperawatan dalam manajemen bayi hiperbilirubinemia di rumah sakit. Manfaat bagi bayi, diharapkan massage dapat meningkatkan rasa nyaman yang merupakan kebutuhan dasar bayi baru lahir, terutama bayi yang mendapat paparan sinar fototerapi. Bahaya yang mungkin terjadi selama pelaksanaan massage dijelaskan, seperti bayi kedinginan atau cegukan. Oleh karena itu, pelaksanaan massage senantiasa dilakukan dalam infant warmer. Orangtua responden mempunyai hak menarik diri dari penelitian tanpa ada efek terhadap pelayanan yang sedang dilaksanakan terhadap bayinya.

Prosedur pengumpulan data dimulai dengan mengidentifikasi bayi yang berkunjung ke rumah sakit dengan diagnosa hiperbilirubinemia. Setelah bayi teridentifikasi dan sesuai untuk menjadi subjek penelitian, kemudian dilakukan informed consent kepada orang tua bayi dan menentukan kelompok kontrol atau kelompok intervensi. Kedua kelompok dipilih berdasarkan perbedaan waktu sehingga tidak dilakukan randomisasi. Kelompok intervensi adalah bayi hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi dan diberikan field massage sebanyak 2x/ hari (pagi dan sore hari) selama 3 hari dengan durasi 15-20 menit, dilakukan minimal 1 jam

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 319: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

318 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

setelah bayi minum. Sebelum dan setelah intervensi field massage (hari ke-1 dan ke-3) dilakukan pengukuran kadar bilirubin serum sesuai prosedur medis rutin. Kelompok kontrol adalah bayi hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi, diberikan terapi sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO) penatalaksanaan hiperbilirubinemia di rumah sakit dan dilakukan pengukuran kadar bilirubin serum (hari ke-1 dan ke-3) sesuai prosedur medis rutin.

Langkah-langkah pelaksanaan field massage secara terstruktur meliputi 5 (lima) area yaitu mulai dari wajah, dada, abdomen, ekstremitas, dan punggung dengan sentuhan tekanan sedang (moderate pressure) (Chen et al., 2011; Dalili, Sheikhi, Shariat, & Haghnazarian, 2016; Kianmehr et al., 2014). Sebagai kebaruan dalam penelitian ini, dalam menjabarkan teknik-teknik massage secara terperinci, peneliti mengadopsi teknik massage pada bayi yang dikembangkan oleh dr. Utami Roesli (Roesli, 2001) dan teknik baby massage yang dikembangkan di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pijat Sehat Indonesia (LP3S) dimana massage dilakukan tidak hanya melalui sentuhan (tactile) tapi dengan kinestetik (gerak) (Field, 1998;Roesli, 2001).

Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat. Uji normalitas data dan uji homogenitas dilakukan sebagai persyaratan dalam statistik parametrik. Uji normalitas dengan Shapiro Wilk didapatkan seluruh data kadar bilirubin serum pada kedua kelompok memiliki nilai p > 0.05 (0,814; 0,331; 0,759; 0,448; 0,926; dan 0,969), artinya data berdistribusi normal. Sehingga analisa bivariat dapat menggunakan Dependen T-Test untuk mengukur perbedaan rata-rata kadar bilirubin serum pada kelompok berpasangan. Uji homogenitas data penurunan kadar bilirubin serum dengan Levene Test (F) menghasilkan nilai 0,920 dan 0,3454 (p > 0,05), artinya data memiliki varians yang homogen. Sehingga perbedaan penurunan rata-rata kadar bilirubin serum antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat menggunakan uji Independen T-Test (Dahlan, 2009). Analisis multivariat menggunakan uji ANCOVA (Analysis of Covariance) dilakukan untuk mengontrol kontribusi variabel confounding terhadap pengaruh field massage (Montgomery C.D., 2001; Beck & Polit, 2014;Field, 2009).

Hasil Penelitian

Tabel 1 Karakteristik Responden Bayi Hiperbilirubinemia di Ruang Tanjung Bagian Perinatal RSUD Sumedang Tahun 2017

No Kategori Kontrol (n=16) Intervensi (n=16)f % f %

1. Jenis Kelamin Bayi- Laki-Laki 11 68,8 10 62,5- Perempuan 5 31,3 6 37,5

2. Jenis Kelahiran Bayi- Spontan 7 43,8 7 43,8- Vakum Ekstraksi 1 6,3 2 12,5- Sectio Caesarea 8 50, 7 43,8

3. Jenis Minum Bayi- ASI 13 81,3 12 75- ASI + Susu Formula

3 18,8 4 25

- Susu Formula 0 0 0 04. Jumlah Minum Bayi

- < 8x/ hari (100-150ml/ KgBB/ hari

2 12,5 0 0

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 320: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

319JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

- 8-12x/ hari (100-150 ml/ KgBB/ hari

14 87,5 16 100

5. Peningkatan Frekuensi BAB- Tidak meningkat 2 12,5 0 0

- 1 kali/hari 6 37,6 2 12,5- 2 kali/hari 5 31,3 6 37,5- 3 kali/hari 3 18,8 7 43,7- 4 kali/hari 0 0 1 6,3

Tabel 2 Perbedaan Rata-rata (Mean) Kadar Bilirubin Serum Sebelum dan Setelah Intervensi pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi

Variabel Kelompok Pengukuran Mean SD p-valueKadar bilirubin serum sebelum

– setelah intervensi

Kontrol Sebelum 14,69 2,25 0.001*Setelah 10,05 2,17

Intervensi Sebelum 15,26 2,00 0.001*Setelah 8,09 1,21

*Paired T-Test, bermaknα pada α< 0.05

Tabel 3 Perbandingan Selisih (Penurunan) Rata-Rata Kadar Bilirubin Serum Antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi

Variabel Kelompok n Mean SD Mean Difference

p-value

Penurunan kadar

bilirubin serum

Kontrol 16 4,64 1,25 2,56 0.001*Intervensi 16 7,20 1,59

*Independent T-Test, bermakna pada α < 0.05

Tabel 4 Analisis Multivariat Kontribusi Variabel PerancuVariabel Dependen Parameter B p-value

Rata-rata kadar bilirubin serum setelah intervensi Intercept 9,233 0,006Jenis minum responden 0,817 0,298Jumlah minum responden -1,080 0,433Intervensi field massage 1,872 0,007

Penurunan rata-rata kadar bilirubin serum Intercept 8,349 0,003Jenis minum responden -0,725 0,265Jumlah minum responden -0,117 0,918Intervensi field massage -2,625 0,000

Tabel 5 Analisis Multivariat Rata-Rata Kadar Bilirubin Serum Setelah Intervensi dan Penurunannya yang Dikontrol Variabel Perancu

Variabel Kelompok Sebelum DikontrolKovariat

Setelah DikontrolKovariat

Mean SD Mean SDKadar bilirubin serum setelah

intervensiKontrol 10,05 2,17 10,00 0.449

Intervensi 8,09 1,21 8,13 0.449

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 321: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

320 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Tabel 1 ini menjelaskan tentang karakteristik responden dalam penelitian ini yang meliputi : jenis kelamin, jenis kelahiran, jenis minum dan jumlah minum bayi, serta frekuensi buang air besar (BAB).

Dari beberapa karakteristik pada tabel 1, diidentifikasi 2 buah variabel yang dapat menimbulkan bias terhadap hasil penelitian, yaitu jenis minum dan jumlah minum bayi. Karakteristik jenis minum bayi selama perawatan menunjukkan sebagian besar responden kelompok kontrol (81.3%) dan kelompok intervensi (75%) diberi minum ASI saja. Sedangkan sisanya (18,8%) kelompok kontrol dan (25%) kelompok intervensi diberikan minum ASI+susu formula. Adapun jumlah minum bayi, hampir seluruh responden kelompok kontrol (87.5%) dan seluruh responden (100%) kelompok intervensi minum antara 8-12x/ hari (100–150/ KgBB/hari) dengan jumlah minum ASI saat dicoba diperah oleh ibunya mendapat sebanyak + 30 cc/2 jam. Kedua variabel yang berpotensi perancu dianalisis melalui analisis multivariat (Uji ANCOVA) untuk menilai ada tidaknya kontribusi variabel perancu terhadap intervensi dan hasil penelitian.

Analisis Bivariat Pengaruh Field Massage Sebagai Terapi Adjuvan

Hasil uji bivariat rata-rata kadar bilirubin serum sebelum dan setelah intervensi serta penurunan rata-rata kadar bilirubin serum digambarkan dalam tabel 2 berikut ini:

Hasil penelitian pada tabel 2, menunjukkan kadar bilirubin serum setelah mendapat perawatan rutin standar pada kelompok kontrol memiliki rata-rata (10,05+2,17). Sedangkan pada kelompok intervensi setelah mendapat perawatan standar dan diberikan field massage memiliki rata-rata (8,09 + 1,21). Hasil Uji Dependen T-Test pada kelompok kontrol didapatkan perbedaan bermakna (p=0,001). Begitupula pada kelompok intervensi didapatkan p–value (p=0,001), menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna kadar bilirubin sebelum dan setelah pemberian field massage sebagai terapi adjuvan.

Selanjutnya dianalisis selisih (penurunan)

rata–rata kadar bilirubin serum pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol menggunakan uji Independent T-Test untuk mengidentifikasi penurunan kadar bilirubin serum yang lebih signifikan diantara kedua kelompok. Tabel 3 berikut ini menjelaskan perbandingan penurunan kadar bilirubin serum diantara dua kelompok :

Tabel 3 memperlihatkan selisih (penurunan) rata-rata kadar bilirubin serum sebelum dan setelah intervensi pada kedua kelompok. Selisih (penurunan) sebesar (4,64+1,25) terjadi pada kelompok kontrol, sedangkan kelompok intervensi memiliki penurunan lebih besar yaitu (7,20+1,59). Perbedaan mean diantara kedua kelompok didapatkan 2,56, dan hasil uji Independent T-Test didapatkan p-value 0,001 (nilai p<0.05). Disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian field massage sebagai terapi adjuvan terhadap penurunan rata-rata kadar bilirubin serum bayi hiperbilirubinemia yang ditunjukkan dengan perbedaan rata-rata (mean difference) pada derajat kepercayaan 95% sebesar 2,56.

Analisis Multivariat Kontribusi Variabel Perancu Terhadap Intervensi

Adanya pengaruh variabel yang berpotensi perancu terhadap intervensi pemberian field massage diidentifikasi dengan uji ANCOVA (Analysis Of Covariance). Uji ANCOVA digunakan untuk mengontrol variabel yang berpotensi perancu (confounding) yaitu jenis minum dan jumlah minum bayi terhadap rata-rata kadar bilirubin serum setelah intervensi dan terhadap penurunan rata-rata kadar bilirubin serum sebelum dan setelah intervensi.

Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan Uji ANCOVA pada variabel dependen rata-rata kadar bilirubin serum setelah intervensi, didapatkan nilai p sebesar 0,298 (jenis minum) dan nilai p sebesar 0,433 (jumlah minum) responden (nilai p kedua variabel > nilai alpha). Hal tersebut menunjukkan jenis minum dan jumlah minum responden selama intervensi tidak secara signifikan berkontribusi terhadap kadar bilirubin serum setelah intervensi. Namun

Penurunan kadar bilirubin serum

Kontrol 4,64 1,25 4,61 0,37Intervensi 7,20 1,59 7,23 0,37

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 322: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

321JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

intervensi field massage menghasilkan nilai p=0,007 (nilai p<0,05). Artinya, field massage berpengaruh terhadap kadar bilirubin setelah intervensi.

Hasil uji ANCOVA pada variabel penurunan rata-rata kadar bilirubin serum menunjukkan nilai p sebesar 0,265 (variabel jenis minum) dan nilai p sebesar 0.918 (variabel jumlah minum). Kedua variabel memiliki nilai p > nilai alpha, menunjukkan bahwa jenis minum dan jumlah minum responden tidak secara signifikan berkontribusi terhadap rata-rata penurunan kadar bilirubin serum. Sedangkan intervensi field massage menghasilkan nilai p=0,000. Artinya, field massage berpengaruh terhadap penurunan kadar bilirubin serum.

Output uji ANCOVA juga menghasilkan nilai rata-rata (mean) kadar bilirubin serum yang dikontrol oleh kovariat (adjusting mean). Berikut gambaran rata-rata kadar bilirubin serum yang telah dikontrol oleh kedua kovariat.

Rata-rata kadar bilirubin serum setelah dikontrol oleh variabel confounding pada kelompok kontrol memiliki nilai bersih (10,00+0,44), dan kelompok intervensi memiliki nilai bersih (8,09+0,44). Perubahan nilai rata-rata dengan pengontrolan oleh faktor confounding sangat kecil, yaitu (0,05) dan (0,04) pada kedua kelompok. Selisih (penurunan) rata-rata kadar bilirubin serum setelah dikontrol variabel confounding pada kelompok kontrol memiliki nilai bersih (4,61+0,37) sedangkan pada kelompok intervensi memiliki nilai bersih (7,23+0,37). Perubahan nilai sebelum dan setelah pengontrolan oleh faktor confounding sangat kecil yaitu (0,03) pada masing-masing kelompok. Kedua nilai bersih yang didapatkan menunjukkan bahwa variabel confounding memiliki kontribusi sangat kecil, sehingga tidak berpengaruh secara signifikan.

Pembahasan

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu masalah kegawatan pada bayi baru lahir, dimana salah satu prediktor terjadinya hiperbilirubinemia adalah jenis kelamin (Keren, Luan, Friedman, Saddlemire, & Cnaan, 2008; Kosim, Garina, Chandra, & Adi, 2007). Penelitian Tazami, Mustarim,

dan Syah (2013) melaporkan sebanyak 68% kasus hiperbilirubinemia terjadi pada bayi laki-laki. Sejalan dengan hasil penelitian ini, didapatkan sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki. Faktor resiko hiperbilirubinemia dapat pula disebabkan oleh jenis kelahiran. Kelahiran bayi dengan tindakan memiliki risiko infeksi lebih besar dibanding persalinan spontan (Kosim et al., 2007). Dalam penelitian ini, sebagian besar responden, memiliki riwayat lahir dengan tindakan, baik Sectio Caesarea maupun vakum ekstraksi. Sesuai penelitian Kosim et. al (2007) bahwa 40% bayi yang lahir dengan tindakan dapat mengalami hiperbilirubinemia.

Karakteristik bayi yang berpotensi untuk menjadi faktor confounding dalam penelitian ini adalah jenis minum dan jumah minum bayi selama perawatan. Pemenuhan hidrasi yang adekuat pada bayi hiperbilirubinemia untuk mencegah dehidrasi selama bayi menjalani fototerapi merupakan tanggung jawab perawat (Hockenberry & Wilson, 2015). Hidrasi yang tidak adekuat menyebabkan kurangnya efektifitas fototerapi, sehingga upaya mempertahankan hidrasi yang adekuat sangat penting untuk meningkatkan efektifitas fototerapi (American Academy of Pediatrics, 2004;Maisels & McDonagh, 2008).

Berdasarkan karakteristik jenis minum bayi, didapatkan sebagian besar responden pada kedua kelompok diberi minum ASI saja, sedangkan sisanya diberikan ASI+susu formula. ASI diketahui ikut berperan dalam menghambat terjadinya bilirubin serum yang kembali ke sirkulasi enterohepatik pada neonatus (Blackburn, 2013 dalam Hockenberry & Wilson, 2015). Sehingga dibutuhkan edukasi dan pemberian motivasi yang kuat baik dari petugas maupun keluarga agar ibu optimal dalam memberikan ASI pada bayinya (Nurbaeti & Lestari, 2013; Pramukti, Hill, & Isa, 2014). Karakteristik jumlah minum responden, didapatkan hampir seluruh responden pada kedua kelompok diberikan minum 8-12x/hari (100–150/KgBB/hari) dengan jumlah minum ASI saat dicoba diperah oleh ibunya sebanyak + 30 cc/2 jam. Menurut Pedoman The American Academy of Pediatrics On Nutrition (2009), pada bayi yang mendapat fototerapi diberikan minum dengan frekuensi meningkat, yaitu

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 323: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

322 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

antara 8–12x/ hari (Muchowski et al., 2014). Berdasarkan kebutuhan cairan bayi baru lahir cukup bulan, mulai hari ke-3 sejak kelahiran dibutuhkan 100-150 ml/KgBB/hari (Murray & McKinney, 2007).

Keadekuatan pemberian Air Susu Ibu pada bayi Hiperbilirubinemia menjadi tantangan tersendiri bagi perawat dalam pemenuhan hidrasi pada bayi yang menjalani fototerapi. Selain resiko dehidrasi karena paparan sinar fototerapi, bayi hiperbilirubinemia juga biasanya malas menetek. Oleh karena itu perawat perlu optimalisasi dalam mempertahankan status hidrasi bayi agar terpenuhi sesuai kebutuhan (Rahmah et al., 2012). Sehingga dalam penelitian ini, karakteristik responden terkait pemenuhan hidrasi yaitu jenis minum dan jumlah minum responden tidak dijadikan kriteria inklusi maupun eksklusi penelitian untuk menghindari ketidakefektifan pemenuhan status hidrasi responden yang dapat berpengaruh kurang baik terhadap responden selama menjalani fototerapi.

Karakteristik frekuensi buang air besar (BAB) responden dibahas karena ekskresi bilirubin yang sudah dikonjugasi maupun bilirubin yang sudah dipecah oleh sinar fototerapi sebagian besar melalui feses (85%), hanya sedikit saja (1%) bilirubin yang diekskresikan melalui urin (Behrman, Kliegman, & Robert, 2004; Maisels et al., 2008). Frekuensi BAB merupakan salah satu indikator keadekuatan pemberian hidrasi bayi selama fototerapi. Frekuensi BAB minimal 3-4x/hari menunjukkan pemberian cairan terpenuhi sesuai kebutuhan bayi (Muchowski et al., 2014). Berdasarkan hasil penelitian, responden pada kelompok intervensi mengalami peningkatan frekuensi BAB lebih banyak dibanding kelompok kontrol.Sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya, kelompok yang diberikan field massage menunjukkan frekuensi BAB secara signifikan lebih baik, meningkat dalam batas normal dibandingkan kelompok kontrol (Chen et al., 2011; Karbandi, Lotfi, & Boskabadi, 2016; Kianmehr et al., 2014;Lin, Yang, Cheng, & Yen, 2015).

Bayi yang mengalami Hiperbilirubinemia fisiologis dapat diidentifikasi dengan pengukuran kadar bilirubin serum saat mengalami tanda dan gejala seperti ikterus

pada beberapa bagian tubuh, bayi malas menetek, dll. Saat dilakukan pengukuran pertama, bayi diketahui mengalami peningkatan kadar bilirubin serum 5-6 mg/dL pada hari ke 2-5 kelahiran sampai hari ke 12-14 kelahiran (Hockenberry & Wilson, 2015). Pemberian fototerapi, akan dipertimbangkan jika kadar bilirubin serum > 12 mg/dL (Kosim, Yunanto, Dewi, Sarosa, &Usman, 2012). Namun dalam Pedoman dan Panduan Pelayanan Pasien di RSUD Kabupaten Sumedang, pemberian fototerapi mulai dipertimbangkan saat kadar bilirubin serum total bayi > 10 mg/dL (RSUD Kab. Sumedang, 2013).

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pada derajat kepercayaan 95% terdapat perbedaan penurunan rata-rata kadar bilirubin serum yang signifikan antara kelompok yang diberikan field massage dibanding kelompok kontrol dimana penurunan lebih besar didapatkan pada kelompok intervensi. Hasil penelitian ini telah menjawab hipotesis mayor penelitian, bahwa terdapat pengaruh pemberian field massage sebagai terapi adjuvan terhadap kadar bilirubin serum pada bayi hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi. Kontribusi variabel confounding menunjukkan bahwa variabel jenis minum dan jumlah minum responden selama perawatan atau pemberian intervensi tidak secara signifikan berkontribusi baik terhadap kadar bilirubin serum setelah intervensi maupun terhadap penurunan rata-rata kadar bilirubin serum, karena perubahan nilai rata-rata sebelum dan setelah pengontrolan oleh faktor confounding sangat kecil pada kedua kelompok tersebut.

Penurunan kadar bilirubin serum yang lebih besar memungkinkan pemberian durasi fototerapi dapat dipersingkat. Adapun untuk penghentian fototerapi, belum ada standar prosedur yang pasti, namun fototerapi dapat dihentikan bila kadar Bilirubin Serum Total (BST) sudah berada dibawah nilai cut off point dari setiap kategori. Penurunan kadar bilirubin serum 6%-20% merupakan hal yang diharapkan setelah pemberian fototerapi (Muchowski et al., 2014). Berdasarkan hasil penelitian, kelompok yang diberikan field massage mengalami penurunan kadar bilirubin serum setelah intervensi sekitar 30-50%, sedangkan pada kelompok kontrol

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 324: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

323JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

penurunan kadar bilirubin serum setelah perawatan standar sekitar 13,5% - 40%.

Kadar bilirubin serum responden pada pengukuran pertama (sebelum intervensi) pada kedua kelompok memiliki nilai maksimum dalam kategori zona high risk menurut Normogram Bhutani (hour-specific bilirubin normogram), atau tingkat bilirubin membahayakan karena berada pada > persentil 95. Begitupula nilai minimum kadar bilirubin serum pada kedua kelompok berada pada zona high intermediate. Zona resiko tinggi merupakan kondisi yang memerlukan pemantauan intensif, bayi beresiko mengalami Kern icterus bahkan dapat mengalami Ensefalopati Bilirubin (Usman, 2007). Meskipun Kern icterus atau Ensefalopati Bilirubin sering terjadi pada bayi dengan defisiensi enzim G6PD sebagai penyebab hiperbilirubinemia, namun kadar bilirubin serum pada zona resiko tinggi menjadi faktor resiko mayor, dan zona high intermediate menjadi faktor resiko minor terjadinya kondisi tersebut (Usman, 2007). Sehingga manajemen penatalaksanaan Hiperbilirubinemia yang tepat dan efektif sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya Kern icterus dan Ensefalopati Bilirubin.

Kadar bilirubin serum setelah intervensi berdasarkan hasil penelitian pada kelompok intervensi berada dibawah garis “low risk zone” menurut Normogram Bhutani. Zona resiko rendah merupakan zona yang aman bagi bayi, karena setelah hari ke 7-10, kondisi hepar bayi akan lebih mudah mengkonjugasi bilirubin. Namun pada kelompok kontrol, kadar bilirubin serum pengukuran kedua berada pada zona “low risk zone” dan sebagian masih pada zona “low intermediate risk”. Dalam zona intermediet, bayi masih mempunyai resiko terjadi “rebound effect”, dimana bilirubin serum dapat naik kembali setelah fototerapi dihentikan (Hockenberry & Wilson, 2015).

Hasil-hasil yang didapatkan dalam penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya penurunan rata-rata kadar bilirubin lebih baik pada kelompok intervensi. Adapun perbedaan dalam penelitian ini adalah waktu pelaksanaan massage. Pada sebagian besar penelitian sebelumnya, intervensi field massage dilakukan dalam waktu 4-5

hari dan pengukuran level bilirubin serum setelah intervensi pada hari ke-4 (Chen et al., 2011;Kianmehr et al., 2014;Naufal & Widodo, 2016).Sedangkan penelitian ini, intervensi field massage dilakukan dalam waktu 3 (tiga) hari. Hal tersebut berkaitan dengan prosedur medis penatalaksanaan Hiperbilirubinemia di RSUD Kabupaten Sumedang, untuk meminimalkan lama waktu rawat pasien, setelah hari ke-3 manajemen penatalaksanaan Hiperbilirubinemia, dilakukan pengukuran kadar bilirubin serum kedua. Jika level bilirubin serum berada dibawah 10 mg/dL, maka bayi diperbolehkan pulang. Namun, waktu pelaksanaan massage dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian Lin et. al (2015), yang memberikan infant massage dalam waktu 3 hari dan pengukuran kadar bilirubin serum hari ke-3, pemberian massage dalam waktu 3 hari dapat memberikan hasil yang bermakna, dimana terdapat perbedaan signfikan (p=0,03) antara kelompok yang diberikan infant massage dibanding kelompok kontrol.

Field massage sebagai terapi adjuvan dapat meningkatkan ekskresi bilirubin yang telah dipecah melalui mekanisme fototerapi. Bilirubin hasil konversi oleh sinar fototerapi (lumirubin) seharusnya dapat diekskresikan dengan cepat melalui feses maupun urine. Namun pada bayi baru lahir, aktifitas intestinal untuk mengeluarkan mekonium belum sempurna berkaitan dengan asupan nutrisi belum optimal dan proses pencernaan belum matang. Sehingga lumirubin tidak mudah dihidrolisis dan direduksi oleh bakteri usus untuk diekskresikan melalui feses dan urine, bahkan isomer bilirubin dan lumirubin tersebut sangat mudah untuk direabsorpsi kembali melalui siklus enterohepatik (Kianmehr et al, 2014).

Melalui teknik-teknik dalam field massage, stimulus yang diberikan pada kulit bayi dapat langsung dikirim ke exteroceptor sebagai sensorik terminal di kulit. Stimulus tersebut akan menginduksi aliran darah, getah bening, dan cairan di jaringan subkutan. Massage juga dapat meningkatkan tonus nervus vagus (stimulasi vagal), dimana salah satu cabang nervus vagus akan menginversi traktus gastrointestinal. Nervus vagus merupakan komponen kunci dalam regulasi sistem saraf otonom dan fungsi sosioemosional yang

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 325: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

324 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

dapat menginervasi sebagian besar organ dalam tubuh termasuk sistem pencernaan dan kardiovaskular. Meningkatnya aktivitas vagal (vagal activity) dengan massage akan memicu motilitas saluran pencernaan, merangsang pengosongan lambung, meningkatkan sekresi cairan lambung dan pankreas sehingga produksi hormon gastrin dan insulin meningkat. Bayi akan terstimulasi untuk menyusu lebih banyak, jumlah asupan makanan dalam usus meningkat sehingga dapat mengikat lebih banyak bilirubin agar mudah diekskresikan (Field & Diego, 2008).

Massage juga dapat meningkatkan aliran getah bening dan sirkulasi darah, sehingga mempercepat ekskresi bilirubin hasil konversi oleh fototerapi. Bayi akan mengalami defekasi lebih awal, bilirubin hasil konversi dengan mudah terurai dan diekskresikan melalui feses dan urine, sehingga bilirubin yang kembali ke sirkulasi enterohepatik menurun. Sentuhan juga mempunyai efek sedasi dalam relaksasi otot, menurunkan level kortisol, mengurangi aktifitas kardiovaskuler, dan meningkatkan aktifitas enterokinesis yang membantu sistem pencernaan (Chen et al, 2011; Dalili et al, 2016; Kianmehr et al, 2014; Lin et al, 2015).

Berdasarkan paparan diatas, field massage dapat dijadikan salah satu pendekatan keperawatan untuk mengoptimalkan ekskresi bilirubin, sehingga durasi fototerapi dapat dipersingkat dan komplikasi hiperbilirubinemia yang mungkin terjadi dapat dihindari. Berdasarkan teori kenyamanan Kathrine Kolcaba, field massage berfungsi sebagai tindakan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan rasa aman dan nyaman bayi yang menjalani fototerapi. Bayi yang diberikan sentuhan (stimulasi taktil) melalui massage akan mempersepsikan sentuhan sebagai pemenuhan kebutuhan dasarnya. Sentuhan berupa stimulasi taktil dan kinestetik dapat berperan secara signifikan terhadap perkembangan fisiologis bayi dengan berat lahir rendah (Hastuti & Juhaeriah, 2016). Tercapainya peningkatan kenyamanan (enhanced comfort) berupa penurunan kadar bilirubin serum secara signifikan merupakan tujuan yang diharapkan. Jika intervensi kenyamanan dilaksanakan secara konsisten, maka kenyamanan cenderung kearah ditingkatkan, sehingga bayi

hiperbilirubinemia dapat mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang diinginkan.

Keterbatasan penelitian

Keterbatasan penelitian ini diantaranya adalah : jumlah responden merupakan minimal sampel untuk penelitian kuasi eksperimen dan belum mengukur durasi fototerapi dalam hitungan jam. Durasi fototerapi dapat menjadi variabel perancu terhadap hasil penelitian karena dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia di rumah sakit menjadi terapi utama untuk menurunkan kadar bilirubin serum. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih representatif dan mengukur durasi fototerapi untuk meningkatkan nilai presisi penelitian.

Implikasi terhadap praktik keperawatan

Field massage bermanfaat membantu bayi baru lahir mengeluarkan mekonium lebih awal dan lebih baik, sehingga dapat dilakukan lebih awal setelah bayi lahir. Pemberian field massage lebih awal dilakukan sebagai intervensi pencegahan terutama pada bayi yang lahir dengan faktor resiko hiperbilirubinemia, baik bayi yang lahir dengan tindakan maupun faktor resiko lainnya.Dengan pemberian field massage, diharapkan bayi dapat mempertahankan kadar bilirubin serum dalam batas normal meskipun mempunyai resiko mengalami peningkatan bilirubin serum.

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan pemberian field massage sebagai terapi adjuvan terhadap penurunan kadar bilirubin serum pada bayi hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi. Variabel perancu yang diidentifikasi tidak memengaruhi secara langsung intervensi field massage dalam menurunkan kadar bilirubin serum. Intervensi field massage dapat menurunkan level bilirubin serum pada kategori zona high risk dan zona high intermediate (zona membahayakan) menjadi

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 326: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

325JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

zona resiko rendah (zona aman) bagi bayi. Sehingga dapat menghindari resiko terjadi rebound effect. Field massage dapat menjadi salah satu intervensi keperawatan yang efektif untuk menyelesaikan masalah keperawatan yang dialami bayi hiperbilirubinemia fisiologis. Field massage merupakan intervensi yang mudah dilaksanakan, aman dan tanpa efek samping. Orangtua bayi dapat dilatih agar dapat melaksanakan massage secara mandiri. Field massage dapat dilanjutkan dirumah untuk mendapatkan manfaat lainnya, yaitu meningkatkan kualitas tidur, kemampuan bayi menetek, dan meningkatkan berat badan bayi.

Daftar Pustaka

Academy, A., & Pediatrics, S. on hyperbilirubinemia. (2004). Management of Hyperbilirubinemia in The Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics, 114(1), 297–316. https://doi.org/10.1542/peds.114.1.297.

Barbara, J. (2008). The Fetus and the Neonatal Infant. Nelson text book of pediatrics. (S. B. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Ed.) (18th Editi). Philadelphia: Saunders.

Behrman, R.E., Kliegman, Robert M., J. (2004). Nelson Textbook of Pediatrics. (17th Editi). Philadelphia: Saunders.

Champlain Maternal Newborn Regional Programme/ CMNRP. (2015). Neonatal Hyperbilirubinemia A Self Learning Module.

Chen, J., Sadakata, M., Ishida, M., Sekizuka, N., & Sayama, M. (2011). Baby massage ameliorates neonatal jaundice in full-term newborn infants. The Tohoku Journal of Experimental Medicine, 223(2), 97–102.

Dahlan, S. (2009). Statistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Dalili, H., Sheikhi, S., Shariat, M., & Haghnazarian, E. (2016a). Effects of baby massage on neonatal jaundice in healthy Iranian infants: A pilot study. Infant Behavior

and Development, 42, 22–26. https://doi.org/10.1016/j.infbeh.2015.10.009

Dalili, H., Sheikhi, S., Shariat, M., & Haghnazarian, E. (2016b). Effects of baby massage on neonatal jaundice in healthy Iranian infants: A pilot study. Infant Behavior and Development, 42, 22–26. https://doi.org/10.1016/j.infbeh.2015.10.009

Dewi, Kardana, & S. (2016). Efektivitas Fototerapi Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal di RSUP Sanglah. Sari Pediatri, 18(2), 81–86.

Escobar, G. J. (2005). Rehospitalisation after birth hospitalisation: patterns among infants of all gestations. Archives of Disease in Childhood, 90(2), 125–131. https://doi.org/10.1136/adc.2003.039974.

Field, A. (2009). Statistics, Discovering Spss, Using (Third Edit). Los Angeles: SAGE Publication Ltd.

Field, T. (Ed). (2004). Touch and Massagein Early Child Development. (Field Tiffany Touch Research Institutes, Ed.), Child Development. United States of America: Johnson & Johnson Pediatric Institute.

Field, T. M. (1998). Massage Therapy Effects. American Psychologist, 53(12), 1270–1281.

Hastuti, D., & Juhaeriah, J. (2016). Efek Stimulasi Taktil Kinestetik erhadap Perkembangan Bayi Berat Badan Lahir Rendah. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(1).

Hockenberry MJ & Wilson D. (2015). Wong’s Nursing Care Of Infant And Children (10th Editi). Missouri: Mosby Elsevier.

Ilmiasih, R., Nurhaeni, N., & Waluyanti, F. T. (2007). Aplikasi teori. Jurnal Keperawatan, 6(I), 27–33.

Karbandi, S., Lotfi, M., Boskabadi, H., & Esmaily, H. (2016). The Effects of Field Massage Technique on Bilirubin Level and the Number of Defecations in Preterm Infants.

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 327: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

326 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Evidence Based Care Journal. Volume 5 (4): 7-16 Available at http://ebcj.mums.ac.ir/article_6057_616.html

Keren, R., Luan, X., Friedman, S., Saddlemire, S., & Cnaan, A. (2008). A Comparison of Alternative Risk-Assessment Strategies for Predicting Significant Neonatal Hyperbilirubinemia in Term and Near-Term Infants. Pediatrics, 121(8), e170=e178. https://doi.org/10.1542/peds.2006-3499.

Kianmehr, M., Moslem, A., Moghadam, K. B., Naghavi, M., Noghabi, S. P., & Moghadam, M. B. (2014). The effect of massage on serum bilirubin levels in term neonates with hyperbilirubinemia undergoing phototherapy. Nautilus, 128(1), 36–41. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/260210325%0AThe.

Kolcaba, K., & DiMarco, M. A. (2005). Comfort theory and its application to pediatric nursing. Pediatric Nursing. 31(3), pp. 187-194

Kosim, M. S., Garina, L. A., Chandra, T., & Adi, M. S. (2007). Hubungan Hiperbilirubinemia dan Kematian Pasien yang Dirawat di NICU RSUP Dr Kariadi Semarang. Sari Pediatri, 9(4), 270–273.

Kosim, M. S., Soetandio, R., & Sakundarno, M. (2008). Dampak Lama Fototerapi Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal. Sari Pediatri, 10(3), 201–206.

Lin, C.-H., Yang, H.-C., Cheng, C.-S., & Yen, C.-E. (2015). Effects of infant massage on jaundiced neonates undergoing phototherapy. Italian Journal of Pediatrics, 41(1), 94. https://doi.org/10.1186/s13052-015-0202-y.

Maisels, M. J., & McDonagh, A. F. (2008). Phototherapy for neonatal jaundice. New England Journal of Medicine, 358(9), 920–928.

Montgomery C Douglas. (2001). Design And Analysis of Experiments.pdf. (Arizona State University, Ed.) (Fifth Edit). Newyork: John Willey & Sons. INC.

Muchowski, K. E., Hospital, N., Pendleton, C., Medicine, F., Program, R., & Pendleton, C. (2014). Evaluation and Treatment of Neonatal Hyperbilirubinemia.

Murray, S.S. & McKinney, S. A. (2007). Foundation Of Maternal Newborn Nursing (4th Editio). Singapore: Elsevier.

Naufal, A. F., & Widodo, A. (2016). THE EFFECT OF STIMULATING MASSAGE IN DECREASING NEONATES ’ BILIRUBIN LEVEL AT DR . MOEWARDI HOSPITAL SURAKARTA. In International Conference on Health andWell Being (pp. 382–391). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Nurbaeti, I., & Lestari, K. B. (2013). Efektivitas Comprehensive Breastfeeding Education terhadap Keberhasilan Pemberian Air Susu Ibu Postpartum. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 1(2).

Polit., D.F., & Beck, C.T. (2008). Nursing Research. Principles And Methods (Seventh Ed). Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.

Polit, D.F., & Beck C.T. (2014). Essentials of Nursing Research. Appraising Evidence for Nursing Practice (8th Edition). Philadelphia: Wolters Kluwer; Lippincot Willims & Wilkins.

Pramukti, I., Hill, M., & Isa, N. B. M. (2014). Mother and Family’s View on Exclusive Breastfeeding in Developing Country. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 2(3).

Pudjiadi, Hegar, Handryastuti, Idris, Gandaputra, Harmoniati, Yuliarti. (2011). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (Edisi II). Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Rahmah, Yetti, K., & Besral. (2012). Pemberian Asi Efektif Mempersingkat Durasi Pemberian Fototerapi. Keperawatan Indonesia, 15, 39–46.

Regional Programme Champlain Maternal Newborn. (2015). Newborn

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 328: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

327JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Hyperbilirubinemia. A Self Learning Module.

Robert, A., Princely Jeyaraj, R., & Kanchana, S. (2015). Effectiveness of Therapeutic Massage on Level of Bilirubin among Neonates with Physiological Jaundice. Issue Anitha Robert, 2(212), 1–6. Retrieved from http://ijcn.mainspringer.com.

Roesli, U. (2001). Pedoman pijat bayi prematur & bayi usia 0-3 bulan. Trubus Agriwidya.

Shetty, K. &. (2014). A Study Of Neonatal Hyperbilirubinemia In A Tertiary Care Hospital. International Journal of Medical

Science and Public Health, 3(10), 4–7. https://doi.org/10.5455/ijmsph.2014.010820141.

Shinta, Tina. (2015). Pengaruh Perubahan Posisi Tidur Pada Bayi Baru Lahir Hiperbilirubinemia Dengan Fototerapi Terhadap Kadar Bilirubin Total. STIKes Santo Borromeus, 1–10.

Sumedang, R. K. (2013). Pedoman Pelayanan Pasien. Sumedang: RSUD Kabupaten Sumedang.

Usman, A. (2007). Ensefalopati Bilirubin. Sari Pediatri, 8(4), 94–104.

Novi Novianti : Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan

Page 329: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

328 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem Pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional di RSUD Cibabat: Studi Fenomenologi

Oyoh1, Irman Somantri2, Nanan Sekarwana3

1STIKES Jend. A. Yani, 2Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran, 3Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Email: [email protected]

Abstrak

Pelayanan kesehatan bermutu merupakan salah satu wujud dari tuntutan masyarakat di era globalisasi saat ini. Implementasi Sistem Pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional (SP2KP) sebagai salah satu upaya dalam peningkatan mutu pelayanan di Rumah Sakit. Penerapan SP2KP yang tidak sesuai standar akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Penelitian yang mengkaji tentang pengalaman perawat dalam melaksanakan SP2KP masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat dalam pelaksanaan SP2KP. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara indepth interview. Partisipan adalah perawat yang terlibat dalam pelaksanaan SP2KP di ruang penyakit dalam yang berjumlah 7 partisipan. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive. Analisis dilakukan dengan metode Colaizzi. Dari hasil penelitian teridentifikasi 5 tema, yaitu: 1) Ketidaksamaan persepsi tentang SP2KP. 2) Hambatan melaksanakan SP2KP dengan baik. 3) Tanggung jawab dan tuntutan organisasi, 4) Hambatan menyeimbangkan tanggung jawab dan tuntutan organisasi. 5) Perlu peningkatan keterampilan profesional dan reward. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan SP2KP belum berjalan optimal karena beberapa kendala diantaranya: kurangnya komitmen dan dukungan dari berbagai pihak, perspektif antar perawat yang masih beragam dan unik. Untuk itu hendaknya pihak menejemen rumah sakit meningkatkan dukungan terhadap perawat SP2KP, melakukan penyelelarasan perspektif antar perawat, melakukan supervisi dan pengawasan dalam pelaksanaan SP2KP di ruangan, melengkapi fasilitas sesuai kebutuhan pasien dan merekrut perawat agar jumlah tenaga perawat sesuai dengan jumlah pasien, sehingga pelaksanaan SP2KP bisa berjalan optimal dan mutu pelayanan rumah sakit lebih meningkat.

Kata kunci : Fenomenologi, perawat, SP2KP.

Nurse Experience in the Implementation of Professional Nursing Services System at Cibabat Hospital: Phenomenology Study

Abstract

Quality health services is one manifestation of the demands of society in this current era of globalization. Implementation of Professional Nursing Services System (SP2KP) as one of the efforts in improving the quality of service in the Hospital. Implementation of SP2KP that does not meet the standards will affect the quality of health services. Researches on the experience of nurses in implementing SP2KP are barely conducted. Therefore, this study aims to explore the experience of nurses in the implementation of SP2KP. This research uses qualitative method with phenomenology approach. Data collection is collected by in-depth interview. Participants were nurses who are involved in the implementation of SP2KP in the internal disease room which amounted to 7 participants. Sampling is collected by purposive method. The analysis was done by using Colaizzi method. As a result, there were identified 5 themes, namely: 1) Inequality of perceptions about SP2KP. 2) Obstacles to implement SP2KP well. 3) Responsibilities and demands of the organization, 4) Obstacles to balance organizational responsibilities and demands. 5) Need improvement of professional skill and reward. The results showed that the implementation of SP2KP has not run optimally because of several obstacles such as: lack of commitment and support from various parties, nurse perspectives are still diverse and unique. As a solution for the problem, the hospital management should increase the support to SP2KP nurses, to align the perspectives between nurses, to supervise and supervise SP2KP implementation in the room, to complete the facilities according to the needs of the patients and to recruit the nurses so that the number of nurses in accordance with the number of patients, so that the SP2KP implementation can run optimally and the quality of hospital services will increase.

Keywords: Phenomenology, nurse, SP2KP.

Page 330: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

329JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pendahuluan

Rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat (Keputusan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008; Standar Kompetensi Perawat Indonesia 2012; Nursalam 2016). Pelayanan kesehatan bermutu merupakan salah satu wujud dari tuntutan masyarakat di era globalisasi saat ini. Masyarakat yang semakin kritis dan terdidik kian menguatkan agar pelayanan kesehatan lebih responsif atas kebutuhan masyarakat. Salah satu mutu pelayanan kesehatan yang harus ditingkatkan secara berkesinambungan adalah mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit (Kuntoro, 2010; Depkes RI, 2012; nursalam 2016). Setiap upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit harus juga disertai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan (Mulyono dkk, 2013; Budi,2009; Swanburg, Russel C. 2000).

Keperawatan sebagai profesi dan tenaga profesional bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan keperawatan sesuai kompetensi dan kewenangan yang dimiliki secara mandiri maupun bekerjasama dengan anggota tim kesehatan lain (Gustini, 2007; Kuntoro, 2010; Nursalam 2016). Oleh karena itu pelayanan keperawatan harus dikelola secara profesional demi peningkatan mutu pelayanan yang merupakan salah satu indikator manajemen pelayanan keperawatan di rumah sakit (Kemenkes, RI.2010; Hidayah, N, 2014). Demi tercapainya kualitas pelayanan keperawatan dengan standar rumah sakit kelas dunia atau bertaraf internasional, maka pelayanan keperawatan didasarkan pada profesionalisme, ilmu pengetahuan, aspek legal dan etik. Untuk itu diselenggarakan program penerapan Sistem Pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional (SP2KP) untuk mendukung sistem pelayanan kesehatan secara komprehensif (Kemenkes RI, 2012). SP2KP sebagai salah satu upaya dalam peningkatan indikator mutu pelayanan keperawatan (Depkes RI, 2009).

SP2KP adalah Sistem Pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional merupakan upaya untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan sehingga menjadi efektif

dan efisien. SP2KP mempunyai lingkup yang meliputi aplikasi nilai-nilai profesional dalam praktik keperawatan, manajemen dan pemberian asuhan keperawatan serta pengembangan profesional diri. SP2KP memperlihatkan pelayanan yang lebih terstruktur dan terorganisir yang lebih profesional dan lebih baik dalam memberikan tingkat pelayanan asuhan keperawatan terhadap klien (Somantri, 2015; Budi, 2009; Rantung, 2013).

Salah satu evaluasi outcome (hasil) dari penerapan SP2KP adalah meningkatkan kepuasan pasien (Kemenkes, 2012). Namun dalam pelaksanaanya menurut hasil monitoring-evaluasi Kemenkes RI, implementasi Sistem Pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional (SP2KP) di 22 provinsi diperoleh gambaran bahwa penyelenggaraan pelayanan keperawatan RS masih sangat bervariasi; belum adanya kesamaan persepsi perawat mengenai SP2KP, manajemen pelayanan keperawatan masih belum berorientasi pada mutu pelayanan serta belum kuatnya peran bidang dan komite keperawatan dalam pelaksanaan SP2KP (Kemenkes, 2012).

Hasil beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa ruang rawat inap yang menggunakan SP2KP mengalami peningkatan pada kepuasan pasien dan perawat, adanya peningkatan kinerja perawat, adanya peningkatan dalam penerapan Standar Asuhan Keperawatan (SAK), adanya penurunan Infeksi Nosokomial (INOS), manajemen dan asuhan keperawatan menjadi lebih baik, penerapan SP2KP berdampak positif terhadap pemberian pelayanan keperawatan (Kemenkes, 2012; Somantri, 2015; Wati, Ernawaty & Nurju’ah, 2011; Sitorus & Panjaitan, 2011).

Banyak rumah sakit yang menerapkan model dan sistem SP2KP. Menurut hasil penelitian Rantung, dkk (2013) bahwa manajemen dan pemberian asuhan keperawatan lebih baik diruangan SP2KP dari pada non-SP2KP. Pelaksanaan komponen SP2KP sangat penting untuk dilaksanakan terutama oleh perawat pelaksana yang memberikan asuhan keperawatan secara langsung kepada pasien. Pelayanan keperawatan di rumah sakit, menuntut adanya peningkatan kualitas serta profesionalisme

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional

Page 331: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

330 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

sumber daya manusia keperawatan (Rantung, Robin & Hamel (2013).

Berdasarkan studi pendahuluan jumlah tenaga pelaksana keperawatan yang ada di Ruang rawat inap C3 (ruang perawatan penyakit dalam kelas II) sebanyak 25 orang yang aktif dengan latar belakang pendidikan S1 sebanyak 4 orang, DIV 1 orang, dan DIII 20 orang. Hasil wawancara dengan bidang keperawatan mengatakan bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan terutama pelayanan keperawatan di RSUD Cibabat Ciamhi telah diterapkan Sistem Pemberian Pelayanan Keperawatan Professional (SP2KP) pada beberapa ruangan sejak tahun 2009 salah satunya di ruang rawat inap C3, akan tetapi di ruang C3 saat ini penerapan proses keperawatan profesional masih belum optimal, mayoritas perawat yang masih banyak DIII keperawatan, metode pemberian asuhan keperawatan yang dilaksanakan belum sepenuhnya berorientasi pada upaya pemenuhan kebutuhan klien, melainkan lebih berorientasi pada pelaksanaan tugas.

Hasil wawancara dengan 5 orang perawat pelaksana di ruang rawat inap C3 diperoleh informasi bahwa perawat 1 dan 2 belum memahami mengenai SP2KP. Dalam melaksanakan SP2KP perawat hanya mengerjakan instruksi dari kepala ruangan tanpa mengetahui cara pemberian asuhan keperawatan yang sesuai SP2KP. Perawat 3 dan 4 mengatakan di ruangan belum dilaksanakannya ronde keperawatan, supervisi belum berjalan, pemahaman perawat mengenai SP2KP masih berbeda. Perawat 5 mengatakan dalam pelaksanaan SP2KP kurangnya jumlah tenaga keperawatan, dalam timbang terima masih belum optimal pelaksanaannya, kurangnya sarana dan pra sarana dalam melaksanakan kegiatan di ruangan.

Berdasarkan penjelasan di atas ada kemungkinan bahwa penerapan SP2KP masih belum optimal, sehingga perlu diketahui secara mendalam. Untuk mengetahui atau memahami secara mendalam mengenai pengalaman perawat dalam melaksanakan SP2KP dibutuhkan metode pengkajian mendalam. Hal ini dapat dipenuhi dengan metode penelitian kualitatif. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merasa perlu menggunakan pendekatan kualitatif dengan

desain fenomenologi untuk mengetahui “pengalaman perawat dalam melaksanakan Sistem Pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional (SP2KP) Di RSUD Cibabat Cimahi tahun 2017”.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan (design) penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yaitu untuk menggali dan memahami makna yang terjadi pada perawat yang bekerja di ruang perawatan dengan menggunakan sistem pemberian pelayanan keperawatan profesional (SP2KP) dan berupaya mengungkapkan serta memahami realitas penelitian berdasarkan perspektif subjek penelitian. (Anselm S, Juliet C, 2009; Streubert, H.J. & Carpenter, D.R. 2011; Creswell, 2013). Penelitian ini mengekplorasi pengalaman perawat dalam pelaksanaan SP2KP di ruang perawatan C3 RSUD Cibabat Cimahi. Instrumen utama dalam penelitian kualitatif ini adalah peneliti yang dibantu dengan alat bantu pengumpul data berupa pedoman wawancara, camera dan buku catatan (Basrowi & Suwandi. 2008; Hamid, 2008; Maleong, 2011).

Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (in-depth interview) agar partisipan menceritakan pengalamannya selama bertugas di ruang C3 RSUD Cibabat Cimahi dan direkam menggunakan voice recorder. Penelitian kualitatif fenomenologi ini melibatkan tujuh Partisipan yaitu perawat yang bekerja di ruang perawatan C3 RSUD Cibabat-Cimahi (1 laki – laki dan 6 perempuan), Usia partisipan berkisar antara 32 tahun sampai dengan 45 tahun yang dipilih menggunakan tehnik purposive sampling, dengan kriteria inklusi sebagai berikut: Telah mendapatkan pelatihan/sosialisasi SP2KP, masa kerja > 1 tahun di ruang C3.

Analisis hasil wawancara menggunakan metode analisis Colaizzi dengan tahapan: Mendengarkan hasil wawancara verbal partisipan dari rekaman, membuat transkrip, kumpulkan semua transkrip, membaca keseluruhan transkrip dari semua partisipan berulangkali, sehingga dapat: menentukan intisari pernyataan yang signifikan,

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional

Page 332: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

331JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

menggarisbawahi pernyataan yang signifikan, significant statements, theme cluster, thema, menulis deskripsi yang sudah sempurna, validasi deskripsi dengan partisipan, menyatukan data baru dalam deskripsi final, integrasi thema dalam deskripsi naratif (Colaizzi, dalam Polit D.F., & Beck C.T., 2010). hasil penelitian ini dipaparkan dalam bentuk deskripsi naratif (West,. Richard,. Turner,. & Lynn H. (2008).).

Hasil Penelitian

Hasil peneltian fenomenologi yang telah dilaksanakan melalui proses data secara induktif dari hasil wawancara mendalam dan catatan lapangan, ditemukan thema-thema esensial yang selanjutnya dideskripsikan dalam bentuk naratif pada penyajian hasil penelitian berikut ini. Penyajian hasil penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu gambaran karakteristik partisipan dan pemaparan hasil penelitian pengalaman perawat dalam melaksanakan sistem pemberian pelayanan keperawatan professional (SP2KP). Paparan hasil penelitian mencangkup deskripsi hasil wawancara mendalam yang disusun berdasarkan thema – thema yang ditemukan.

Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak tujuh orang. Enam orang berjenis kelamin perempuan dan satu orang berjenis kelamin laki – laki. Usia partisipan berkisar antara 32 tahun sampai dengan 45 tahun. Pendidikan terakhir diploma dan sarjana keperawatan. Lama kerja di ruang C3 bervariasi antara 3 tahun sampai dengan 11 tahun.

Dari hasil analisa data, peneliti mendapatkan 5 thema yang menjelaskan permasalahan penelitian. Peneliti akan menggambarakan keseluruhan thema yang teridentifikasi berdasarkan jawaban-jawaban partisipan yang mengacu pada tujuan penelitian.

Thema-thema yang didapat dari hasil penelitian dengan judul “pengalaman perawat dalam melaksanakan sistem pemberian pelayanan keperawatan profesional (SP2KP) dengan metode tim” adalah sebagai berikut: 1) Ketidaksamaan persepsi tentang SP2KP, 2) Hambatan melaksanakan SP2KP dengan baik, 3) tanggung jawab dan tuntutan

organisasi, 4) Hambatan menyeimbangkan tanggung jawab dan tuntutan organisasi, 5) Perlu peningkatan keterampilan profesional dan reward.

Thema 1) Ketidaksamaan persepsi tentang SP2KP. Perawat di ruangan dalam melaksanakan SP2KP masih berbeda persepsinya mengenai SP2KP, seperti yang di ungkapkan partisipan berikut ini;

“…..ini kan kami punya tugas masing – masing, tapi apa....anu persepsinya masih belum sama mba oyoh….masih beda – beda gitu… kadang menurut katim begini nanti anggota tim beda lagi….terus kadang ketua tim yang satu dengan ketua tim yang lainnya masih belum sama ngasih arahannya…..”(P1)

Perbedaan persepsipun dirasakan oleh partisipan yang dinas siang dan dinas malam. partisipan berpikir yang penting pasien mendapat pelayanan dan pulang dengan sembuh. Seperti yang diungkapkan partisipan berikut ini:

“…..sebenarnya kita itu karu, katim dan anggota tim punya tugas sendiri – sendiri, hanya saja masih berbeda – beda persepsi mba, kadang kata katim begini nanti teh anggota tim melaksanakan tugasnya ada yang sesuai arahan, ada tidak sesuai arahan, apalagi kalau pelaksanaan tugasnya pada waktu engga ada karu atau katim……ya katanya yang penting mah pasien pulang dengan sembuh…..begitu…..”(P 2)

“…..karu, katim dan anggota tim punya tugas masing – masing mba. Tapi persepsi antar katim dan anggota tim masih belum sama persepsinya mba…..”(P3)

Thema 2) Hambatan melaksanakan SP2KP. Dalam pelaksanaan SP2KP perawat mengalami beberapa hambatan, seperti yang diungkapka oleh patisipan berikut ini:

“…belum semua kegiatan SP2KP terlaksana terutama yang ronde keperawatan….selama ruangan ini menjadi SP2KP, belum pernah melakukan ronde keperawatan….engga ada anggarannya mba..…” (P 1)

Selain ronde keperawatan, juga terungkap supervisi, dan evaluasi ruangan yang belum teratur pelaksanaannya menjadi hambatan dalam pelaksanaan SP2KP. Seperti yang diungkapkan partisipan berikut ini:

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional

Page 333: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

332 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

“…dalam pelaksanaan Sp2KP masih ada kegiatan yang belum terlaksana… misalnya ronde keperawatan….terus pelaksanaan supervise juga masih belum optimal….” (P 4)

“…kadang dua bulan sekali…..kadang tiga bulan baru dievaluasi…masih belum tentu jadual evaluasinya….” (P 3)

“…evaluasinya kadang dua bulan sekali….kadang tiga bulan sekali….gimana pas waktunya aja…”(P 6)

Thema 3) Tanggung Jawab dan tuntutan organisasi. Dalam pelalsanaan SP2KP Perawat melaksanakannya karena tanggung jawab dan tuntutan organisasi. Seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut ini:

“.....memberatkan memang…tapi kan ini tanggung jawab kita perawat.......kalau kita kembali ke system yang lama berarti kita mengalami kemunduran dalam melakukan pelayanan keperawatan terhadap pasien….”(P 1)

“….yah….harus dilakukan dengan ikhlas walaupun lebih cape dari pada dinas di ruangan biasa…udah jadi kewajiban kita….melakukan perbaikan sistem”( P4)

Disamping karena tanggung jawab, SP2KP juga dilaksanakan karena persiapan akreditasi sebagai tuntutan organisasi. Seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut ini:

“….karena akreditasi jadi banyak hal yang harus diperbaiki, kekurangan – kekurangan harus dibenahi termasuk system dalam pemberian pelayanan keperawatan di ruangan….” (P3)

“…..ya….karena…ada…pengawasan dari manajemen sih walaupun kadang – kadang supervisinya…….”(P5).

Thema 4) Hambatan menyeimbangkan tanggung jawab dan tuntutan organisasi. Selama pelaksanaan S2KP Perawat mengalami hambatan dalam menyeimbangkan tanggung jawab dan tuntutan organisasi, seperti yang diungkapkan partisipan berikut ini;

“…..dari hasil perhitungan, memang kita masih kekurangan tenaga perawat, kita udh coba mengajukan ke pimpinan agar ruangan kita di tambah tenaga perawatnya…..”(P 1)

“.…kadang kalau mau melakukan tindakan ke pasien harus gentian karena alatnya masih terbatas, ini juga ruangannya yang kurang nyaman buat pasien karena dipake akses

jalan keluar masuk perawat ngantar pasien dari ruangan lain….”(P 7)

“……coba kalau ada dukungan penuh mengenai SP2KP ini dari atasan, ada pengawasan ketat. Mungkin pelayanan kita kepasien bisa jauh lebih baik lagi, karena kita tahu apa aja yang harus diperbaikinya…..”(P6)

“.....saya rasa kalau saja semua unsur yang terlibat bisa komitment.....lebih fokus pada tujuan....pelaksanaan SP2KP ini bisa berjalan optimal....” (P3)

Thema 5) Perlu peningkatan keterampilan profesional dan reward. Dibutuhkan keterampilan profesional dan reward dalam pelaksanaan SP2KP. Seperti yang diungkapkan partisipan berikut ini;

“.....dari manajemen rumah sakit mungkin kita harusnya ada refreshing ilmu, terutama mengenai SP2KP ini, dan engga hanya kita perawat diruangan yang pelatihan SP2KP tapi harusnya para pengambil kebijakan juga ikut pelatihan biar tahu jadi ketika kita ada kendala dalam proses pelaksanaanya, para pengambil kebijakan bisa lebih responsif.....”(P 5)

Karena beban kerja yang meningkat dalam pelaksanaan SP2KP, selain butuh keterampilan profesional juga dibutuhkan adanya reward atau penghargaan khusus bagi perawat SP2KP. Seperti yang diungkapkan partisipan berikut ini;

“…..ya….harapannya sih…..ada rewardnya bagi perawat SP2KP, karena kan beban kerjanya lebih banyak, jadi lebih cape dibandingkan perawat non SP2KP….”(P4)

“…..harusnya mah ada penghargaan khusus, reward atau insentifnya di tambah….(P6)

“….ya….inginnyamah, kita itu mendapat penghargaan finansial ….......”(P 7)

Pembahasan

Pembahasan ini menjelaskan tentang interpretasi hasil penelitian yang telah dilakukan dan memberi makna penelitian terhadap perkembangan ilmu keperawatan. Interpretasi hasil penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian yang telah didapatkan dengan konsep, teori maupun hasil penelitian orang lain yang sesuai

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional

Page 334: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

333JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

dengan konteks penelitian untuk dilakukan analisis. Pembahasan menampilkan temuan penelitian, teori yang sesuai dengan konteks penelitian dan jurnal riview, diskusi dan pendapat peneliti.

1. Ketidaksamaan persepsi tentang SP2KP.

Temuan penelitian menunjukan persepsi partisipan terhadap sistem pemberian pelayanan keperawatan profesional (SP2KP) masih berbeda antara perawat yang satu dengan yang lainnya. Persepsi partisipan baik pada sub tema Definisi SP2KP, tujuan diadakannya ruang SP2KP, kajian ruangan sebelum pelaksanaan SP2KP dan persepsi partisipan kurang baik pada sub tema tugas Karu, Katim, Perawat Pelaksana. Informasi mengenai SP2KP ini penting didapatkan oleh para perawat SP2KP karena merupakan bagian dari langkah – langkah dalam pelaksanaan SP2KP (Nursalam, 2016) dan perawat SP2KP harus memiliki nilai-nilai intelektual yang berarti dalam memberikan ataupun mendokumentasikan asuhan keperawatan kepada klien harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sesuai kiat dan ilmu keperawatan, sehingga bisa bekerja dengan profesional (Sitorus, 2011). Profesionalisme dalam keperawatan didasarkan pada pemahaman adanya suatu landasan ilmiah yang spesifik dan menjadi dasar pada praktek keperawatan, disertai dengan adanya kemampuan tenaga keperawatan untuk melaksanakan praktek keperawatan tersebut dan diterapkan untuk kesejahteraan manusia (Manurung, S. 2011; Marquis, Bessie L and Huston, Carol J. 2003).

Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang sebab dari pengetahuan dan penelitian ternyata prilakunya yang disadari oleh pengetahuan akan lebih lenggang dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengatahuan (Notoatmodjo, 2010). Menurut Nursalam, 2009: prinsip dokumentasi yang efektif yaitu proses dan hasil dokumentasi dipengaruhi oleh pengetahuan, keterampilan, pendidikan dan pengalaman perawat.

2. Hambatan melaksanakan SP2KP dengan baik.

Hasil penelitian pada tema hambatan

melaksanakan SP2KP dengan baik, di dapatkan sub tema antara lain: Dalam penerapan pelayanan ASKEP di ruangan SP2KP, Pelaksanaan kegiatan SP2KP, Lama hari rawat pasien, evaluasi ruangan, beban kerja. Berdasarkan hasil penelitian, informan menyatakan senang dalam menerapkan SP2KP karena bisa memberikan asuhan keperawatan yang terbaik kepada klien namun karena berbagai kendala terutama reward yang belum didapatkan dan dirasakan oleh perawat SP2KP maka menjadikan motivasi dari perawat kadang-kadang menurun dalam menerapkan SP2KP. Hal ini mungkin saja terjadi, apalagi RSUD Cibabat Cimahi belum menerapkan SP2KP di semua ruangan sehingga tampak sekali perbedaan pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan ke pasien antara ruang SP2KP dan non- SP2KP. Tentu beban yang dirasakan oleh perawat di ruang SP2KP lebih berat karena mereka dituntut untuk mampu memberikan asuhan keperawatan yang benar-benar profesional dengan program-program yang telah direncanakan oleh kepala ruang selaku menejer ruangan. Wajar saja jika perawat SP2KP juga menginginkan penghargaan atau reward yang lebih atas beban kerja yang mereka miliki. Dalam subsistem dari SP2KP dijelaskan salah satunya tentang system kompensasi dan penghargaan yang memungkinkan perawat mendapatkan kompensasi dan penghargaan sesuai dengan sifat layanannya yang profesional (Hoffart & Woods, 1996). Untuk menangani hal ini seharusnya evaluasi dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga pihak menejemen rumah sakit mengetahui kekurangan dalam penerapan SP2KP di ruangan dan mengetahui apa yang perawat inginkan dan mengusahakan untuk memberikan sesuai yang perawat inginkan selama itu untuk menunjang jalannya pelayanan asuhan keperawatan profesional.

3. Tanggung Jawab dan tuntutan organisasi

SP2KP ini terlaksana salah satunya adalah karena adanya tanggung jawab peran sebagai seorang perawat. tanggung jawab peran ini ditunjukan dalam bentuk kesadaran bahwa SP2KP penting sebagai salah satu bentuk tugas perawat dalam melaksankan /

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional

Page 335: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

334 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

melakukan perbaikan-perbaikan di tatanan perawat. kesadaran perawat ini akan membuat perawat berpikir terbuka (open mindedness). Pikiran terbuka inilah yang diidentifikasi oleh Higuchi et al. (1999) dalam Rohmiyati, A. (2009) sebagai saalah satu cara meningkatkan kemampuan berpikir kritis perawat. Dengan memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik, maka pelaksanaan SP2KP yang dilaksaanakan perawat akan menjadi jauh lebih baik. Tuntutan organisasi menjadi salah satu faktor pendorong pelaksanaaan SP2KP. faktor tuntutan organisasai terjadi karena adanya akreditasi, peraturan kemenkes atau karena adanya pengawasan dari pengawas keperawatan / dari manajemen. Implementasi SP2KP harus ditunjang dengan pengawasan dari atasan dalam hal ini dari pihak manajemen rumah sakit, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana yang memadai. (Juniar, E., Neny, L.W., Nurju’ah. 2011). Untuk mempertahankan kualitas asuhan dan pelayanan keperawatan maka pengawasan dan pengendalian harus diterapkan secara disiplin di ruang SP2KP. Upaya ini diharapkan kualitas asuhan meningkat sampai dengan dengan bisa memenuhi tuntutan standart yang ada. Pengawasan dilakukan dengan metode langsung maupun tidak langsung agar kegiatan pelayanan dilakukan sesuai dengan yang seharusnya (Sitorus, 2011; Nursalam, 2016; Rohmiyati, 2009; rantung, 2013).

4. Hambatan menyeimbangkan tanggung jawab dan tuntutan organisasi

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa hambatan menyeimbangkan tanggung jawab dan tuntutan organisasi diantaranya karena: Perbandingan antara jumlah perawat dan jumlah pasien di ruang SP2KP yang masih belum sesuai dengan yang idealnya, kurangnya standar sarana dan pra sarana di ruangan / harus dilengkapi, belum optimalnya dukungan dari manajemen bagi perawat SP2KP dan belum optimalnya komitment yang terlibat. Hal-hal tersebut merupakan hal-hal pokok yang penting untuk menunjang keberhasilan dari penerapan SP2KP di ruangan sehingga asuhan keperawatan dapat terlaksana sesuai standart yang telah ditetapkan. Jelas sekali kita tahu untuk mendapatkan keberhasilan yang optimal dalam pemberian asuhan keperawatan

diperlukan keterampilan khusus sesuai dengan masalah keperawatan yang terjadi pada klien, sehingga asuhan keperawatan yang diberikan juga akan memakan banyak waktu dari perawat dan dengan jumlah pasien yang banyak tentu membutuhkan banyak waktu untuk pemberian asuhan keperawatan sehingga tentu saja jika jumlah perawat dalam suatu ruangan tidak sesuai dengan jumlah pasien maka asuhan keperawatan yang diberikan tidak dapat optimal dan masalah klien tidak terselesaikan.

Bila jumlah perawat tidak sesuai dengan jumlah tenaga yang dibutuhkan, tidak ada waktu lagi perawat untuk melakukan tindakan keperawatan yang seharusnya dilakukan sesuai dengan renpra. Waktu perawat hanya cukup untuk melakukan tindakan kolaborasi dan perawat tidak sempat melakukan tindakan terapi keperawatan, menganalisis tindakan observasi, dan pemberian pendidikan kesehatan. Faktor umum yang mempengaruhi pelaksanaan SP2KP adalah banyaknya tindakan administratif yang dilakukan perawat, separuh waktu perawat digunakan untuk pendokumentasian (Indah.dkk. (2014). jumlah pasien tiap perawat juga menjadi pertimbangan sebagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan dalam pelayanan keperawatan (Potter, Patricia A., RN. MSN et al (1993); Steffy R. dkk 2013).

Fasilitas atau sarana-prasarana sangat penting untuk menunjang pelaksanaan kegiatan yang telah diprogramkan oleh ruangan kepada pasien sehingga asuhan keperawatan yang diberikan dapat lebih optimal dan diharapkan masalah keperawatan pasien dapat lebih cepat terselesaikan. Implementasi SP2KP harus ditunjang dengan sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang memadai (Juniar, E., Neny, L.W., Nurju’ah. 2011). Jika sarana yang dibutuhkan dalam pelaksaan kegiatan kurang tersedia maka pelaksanaan kegiatan tersebut tentu akan mengalami hambatan akibatnya kegiatan tidak bisa berjalan dengan baik seperti rencana yang telah dibuat. Maka pihak rumah sakit seharusnya juga melengkapi fasilitas serta sarana pra-sarana di ruangan SP2KP sehingga kegiatan berjalan sesuai rencana yang telah ditentukan. Karena apa bila tenaga dan sarana (kuantitas dan kualitas) tidak sesuai dengan standar yang

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional

Page 336: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

335JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

telah ditetapkan (standard of personnel and facilities), serta jika dana yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan, maka sulit untuk meningkatkan kualitas pelayanan profesional (Asmuji, 2012; Didinus, Indar & Hamzah, 2013; Lusiani, 2006). fakta lain yang mempengaruhi pelaksanaan SP2KP adalah kelengkapan alat, standar prosedur operasional (SPO), kuantitas dan kualitas sumberdaya perawat, (rantung. dkk. 2013; Nursalam 2016).

5. Perlu peningkatan keterampilan profesional dan reward.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Perlunya peningkatan keterampilan profesional dan reward dalam pelaksanaan SP2KP, diantaranya: lebih komitmen dalam pelaksanaan SP2KP, adanya Reward khusus bagi perawat SP2KP, serta perlu adanya pendidikan dan pelatihan SP2KP bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan SP2KP. Perawat merupakan salah satu bagian dari sistem layanan kesehatan di rumah sakit, sehingga dalam menjalankan tugasnya tidak bisa dilepaskan dari peran pebuat kebijakan. karena itu partisipan berharap agar para pengambil kebijakan dan semua perawat yang terlibat dalam pelaksanaan SP2KP bisa lebih berkomitment. sehingga pelaksanaan SP2KP bisa lebih baik dan lebih berkualitas serta berdampat positif terhadap pelayanan keperawatan di rumah sakit.

Seperti menurut Letvaks, S. (2008) komitmen merupakan nilai sentral dalam mewujudkan soliditas organisasi. Hasil penelitian Alfi & Sumiyati, (2014): Tentang komitmen mendapatkan hasil : Komitmen tinggi dari anggota organisasi berkorelasi positif dengan tingginya motivasi dan meningkatnya kinerja, Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kemandirian dan “Self Control”, Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kesetiaan terhadap organisasi, Komitmen tinggi berkorelasi dengan tidak terlibatnya anggota dengan aktifitas kolektif yang mengurangi kualitas dan kuantitas kontribusinya. Lebih lanjut Alfi & Sumiyati, (2014) menjelaskan bahwa secara umum komitmen kuat terhadap organisasi terbukti, meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi absensi dan meningkatkan kinerja.

Dalam pelaksanaan SP2KP dibutuhkan

adanya reward bagi perawat. partisipan menyampaikan keinginannya agar penerapan SP2KP berdampak pada reward / penghargaan finansial yang layak. Seperti menurut Siagian S P (2012), bahwa penghargaan yang diterima oleh seseorang dari organisasi atas jasa / prestasi kerja yang telah diberikan dapat berupa gaji / upah, promosi jabatan atau dalam bentuk lainnya. Beer M (2010), menambahkan selain upah dan gaji penghargaan finansial juga dapat berupa jaminan sosial seperti program pensiun, asuransi kesehatan dan liburan. Reward dipandang sebagai penghargaan atas keberhasilan seseorang yang dapat menunjukan prestasi kerja yang tinggi dalam menjalankan pekerjaannya (Letvaks, S. 2008).

pendidikan dan pelatihan juga menjadi subtema dari perlu peningkatan keterampilan profesional dan reward. perawat menyatakan keinginannya untuk mendapatkan pendidikaan dan pelatihan tentang SP2KP agar persepsi mereka sama. pendidikan dan pelatian tentang SP2KP berperan penting dalam peningkatan kualitas pelayanan keperawatan profesional. Pendidikan dan pelatihan sebagai upaya dalam mengembangkan sumber daya manusia terutama untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian manusia. Oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam pengembangan pegawai diperlukan program pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan analisa jabatan agar pegawai mengetahui tujuan pendidikan dan pelatihan yang dijalankannya. Hal ini seperti yang dilaporkan oleh (Yanti I R & Warsito E B, 2013; Manurung, S, 2011), bahwa pengguna program pendidikan yang ditujukan untuk pelayanan keperawatan signifikan berpengaruh terhadap kualiatas pelayanan keperawatan dan manajemen dokumentasi keperawatan. studi lain yang dilakukan tahun 2006 dengan tujuan mengkaji dampak sebuah rogram pendidikan atas kualitas pendokumentasian keperawatan di ruangan, termasuk fitur karakteristik dan faktor yang berhubungan. Hasilnya terjadi peninggkatan yang signifikan terhadap mutu pelayanan keperawatan (Soeprijadi, 2006).

Suarli, S & Yayan Bahtiar (2008) menyatakan tingkat pendidikan mempengaruhi pelaksanaan sistem pemberian

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional

Page 337: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

336 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

pelayanan keperawatan profesional. Hasil penelitian Yanti I R & Warsito E B, (2013) menunjukan bahwa pelaksanaan kerja perawat dipengaruhi oleh pendidikan. Menurut Siagian (20012), Pendidikan merupakan salah satu karakteristik data demografi yang penting dipertimbangkan karena dapat berpengaruh terhadap persepsi seseorang mengenai pelaksanaan sistem pemberian pelayanan keperawatan, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin besar keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan sistem pemberian pelayanan keperawatan profesional.

Menurut Adrew E.Sikula dalam Mangkunegara (20014), tingkat pendidikan adalah suatu proses jangka panjang yang menggunakan prosedur sistematis yang terorganis, mempelajari pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan- tujuan umum. Begitu juga pendapat Notoatmojo (2010) pendidikan adalah proses penyampaian informasi kepada seseorang untuk mendapatkan perubahan perilaku. Hasibuan, M. (2013) menambah bahwa tingkat pendidikan seseorang karyawan dapat meningkatkan daya saing perusahaan dan memperbaiki kinerja perusahaan.

Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin besar keinginannya untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki (Siagian 2012). pendidikan sangat mempengaruhi pelaksanan sistem pemberian pelayanan keperawatan profesional, semakin tinggi pendidikan seseorang semakit besar keingginan perawat untuk meningkatkan keterampilan yang dimilikinya. Menurut Sunaryo. (2004)., kompetensi yang dimiliki oleh seorang perawat ditentukan oleh latar belakang pendidikan, peran, jenis praktek. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap kompotensi yang dimiliki oleh perawat pelaksana. Kompetensi tersebut mempengaruhi pelaksaan yang dihasilkan oleh perawat pelaksana.

Menurut Henderson (1980), “agar perawat yang praktik dipandang sebagai seorang ahli dibidangnya dan menggunakan pendekatan ilmiah untuk mengembangkan praktik keperawatan, perawat harus mengikuti

pendidikan pada tingkat universitas”. Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang sebab dari pengetahuan dan penelitian ternyata prilakunya yang disadari oleh pengetahuan akan lebih lenggang dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengatahuan (Notoatmodjo, 2010).

Simpulan

Pengalaman perawat dalam melaksanakan SP2KP terungkap 5 thema, penelitian ini menemukan wawasan baru dalam pelaksanaan SP2KP berupa; Ketidaksamaan persepsi tentang SP2KP, hambatan melaksanakan SP2KP dengan baik, tanggung jawab dan tuntutan organisasi, hambatan menyeimbangkan tanggung jawab dan tuntutan organisasi, perlu peningkatan keterampilan profesional dan reward. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pembelajaran bagi perawat dan semua pihak yang terkait dalam melaksanakan SP2KP di ruangan. Pendidikan dan pelatihan SP2KP, mengoptimalkan supervisi, melengkapi sarana dan prasarana ruangan, menyeimbangkan antara jumlah perawat di ruang SP2KP dengan pasien yang ada di ruangan tersebut, mempasilitasi ronde keperawatan, memberikan kebijakan adanya reward khusus bagi perawat SP2KP baik dalam bentuk finansial ataupun dalam bentuk yg lainnya seperti: Motivasi, pendalaman penanganan kasus pasien, dan sebagainy menjadi hal penting dalam pelaksanaan SP2KP di ruangan.

Daftar Pustaka

Alfi & Sumiyati, (2014). Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Pt. Bank Mandiri. Tbk. Area Cirebon (Yos Sudarso).http://antologi.upi.edu/file/Jurnal_Pengaruh_Komitmen_Organisasi_Terhadap_Kinerja_Karyawan.

Anselm S, Juliet C, (2009). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif; Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta:

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional

Page 338: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

337JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Pustaka Pelajar.

Asmuji. (2012). Manjemen keperawatan konsep & Aplikasi. Jakarta : perpustakaan nasional ; katalok dalam terbitan (KDT).

Basrowi & Suwandi. (2008). Memahami penelitian kualitatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Beer M, (2010). High Commitment High Performance. San Fransisco: Johnn Wiley & Sonc, Inc.

Budi. (2009). Sistem Pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional di RS. Presentasi disajikan dalam Workshop Bidang Keperawatan RS se Jawa Timur di Surabaya. Tanggal 25 Juli 2009, diambil 23 Maret 2010.

Creswell, J.W. (2013). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed (Edisi ketiga). Penerjemah; Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Didinus, Indar & Hamzah. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat di ruang rawat ianp rumah sakit ibnu sina YBW –UMI. Jurna Bagian AKK FKM Universitas Hasanudin.

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan DEPKES RI. (2009). Modul Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional. Jakarta: Departemen Kesehatan.

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan DEPKES RI. (2012). Modul Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional. Jakarta: Departemen Kesehatan.

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan DEPKES RI. (2009). Modul Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional. Jakarta: Departemen Kesehatan.

DEPKES RI, (2012). Peraturan Menteri Kesehatan Republic Indonesia Nomor: 659/Menkes/PER/VIII/2009 Tantang Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia. Jakarta: Depkes RI.

Depkes R.I., (2008). Peraturan Menteri

Kesehatan Republic Indonesia Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008. Tentang setandar pelayanan minimal RS. Jakarta: Depkes RI.

Gustini, (2007). Pelayanan Keperawatan, Artikel ilmiah: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Hamid, A.Y. (2008). Buku ajar riset keperawatan: Konsep, etika & instrumentasi (Edisi 2). Jakarta : EGC.

Hasibuan, M. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Hoffart, N. & Woods, C.Q. (1996 ). Elements of a nursing professional practice models. Journal of professional nursing, 12(6), 354–364.

Hidayah, N (2014). Manajemen Model Asuhan Keperawatan Profesional (Makp) Tim Dalam Peningkatan Kepuasan Pasien Di Rumah Sakit. Jurnal Kesehatan, VII(2).

Indah, dkk, (2014). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaksanan Sistem Pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional Oleh Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap Rsud Raden Mattaher Jambi, Jmj, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 54 – 75.https://media.neliti.com/media/publications/70420-ID-analisis-faktor-faktor-yang-berhubungan.pdf.

Juniar, E., Neny, L.W., Nurju’ah. (2011) Analisa Pelaksanaan Pemberian Pelayanan Keperawatan Di Ruang Murai I Dan Murai II RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Jurnal Ners Indonesia, 1(2),http://ejournal.unri.ac.id/index.php.JNI/article/download/635/628.

Kuntoro, A (2010). Buku Ajar Manajemen Keperawatan.Yogjakarta: Nuha Medika.Kementerian Kesehatan RI. (2012). Modul : Peningkatan Kemampuan Teknis Perawat dalam Sistem pemberian pelayanan keperawatan profesional di Rumah Sakit. Jakarta : Direktorat bina pelayanan keperawatan & tehnisian medik direktur jenderal bina upaya kesehatan.

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional

Page 339: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

338 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Kemenkes, RI. (2010). Modul Pelatihan Sistem pemberian pelayanan keperawatan propesional (SP2KP). Bandung: Direktorat bina pelayanan keperawatan & tehnisian medik direktur jendral bina upaya kesehatan.

Letvaks, S. (2008). Faktors Influencing work produktifity and intent to stay in nursing. Nursing economics. diunduh pada http:// findarticles.com/p/articles/mi_m0FSW/is 3 26/ai n 27507458/?tag=content;coll.

Lusiani. (2006). Hubungan karakteristik individu dan sistim penghargaan dengan kinerja perawat menurut persepsi perawat pelaksana di RS Sumber Waras Jakarta. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Manurung, S.(2011). Keperawatan Profesional. Jakarta : Trans Info Media.

Mulyono, Wati, Lya, dkk. (2013). “Analisa Pelaksanaan Pemberian Pelayanan Keperawatan di Ruang Murai I dan Murai II R S U D Arifin Achmad Pripinsi Riau”. Jumal Ners Indonesia, 1(2);http://ejournal.unri.ac.id/index.php.JNI/article/download/635/628.

Maleong, (2011). Metodologi penelitian kalitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mangkunegara, (2014), Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung.:Remaja Rosdakarya,

Manurung, S. (2011). Keperawatan Profesional. Jakarta : Trans Info Media. Marquis, Bessie L and Huston, Carol J. Alih Bahasa Widayawati, dkk. (2003). Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Teori dan Aplikasi. Jakarta : EGC.

Nursalam, (2016). Manajemen Keperawatan dan Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam, (2009). Proses Dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik, Jakarta: Salemba Medika.

Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Polit,. D.F., & Beck.C,T.,., (2010). Nursing research : Generating and assesing evidence for nursing practice (8th edition). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.

Potter, Patricia A., RN. MSN et al (1993), Fundamental of Nursing, Concept, Process & Practice, Third Edition, Mosby Year Book, St. Louis, 1993.

Rantung, dkk. (2013). Perbedaan pendokumentasian asuhan keperawatan ruang SP2KP dan non-SP2KP di Irna A dan Irna F RSUP dr.Kondou Manado, Jurnal Keperawatan, 1(1), http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2241.

Rohmiyati, A. (2009). Studi Fenomenologi : Pengalaman Perawat dalam menerapkan MPKP di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondhohutomo Semarang, Journal Ners Indonesia.

Sitorus & Panjaitan (2011). Manajemen keperawatan : Manajemen Keperawatan di Ruang Rawat. Jakarta: Agung seto.

Siagian,S.P. (2012). Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta : Rhineka Cipta.

Steffy R. dkk (2013). Ejournal Keperawatan (E-Kp). “Perbedaan Pendokumentasian Asuhan Keperawatan Ruangan Sp2kp dan Non-Sp2kp di Irina A dan Irina F Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado”. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran: Universitas Sam Ratulangi Manado, 1(1).

Swanburg, Russel C. (2000). Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Perawatan Klinis. Jakarta: EGC.

Streubert, H.J. & Carpenter, D.R. (2011). Qualitative research in nursing, advancing the humanistic imperative. five Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Soamantri I, (2011). Gambaran Pengetahuan Perawat Pelaksana RS Jiwa Provinsi Jawa Barat Tentang pelaksanaan Model

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional

Page 340: Pengaruh Konseling - repo.stikesicme-jbg.ac.id

339JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017

Praktek Keperawatan Profesional. Majalah Keperawatan UNPAD, 13, 189–195..Soeprijadi, (2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan dokumentasi asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat di Rumah Sakit Grhasia Propinsi DIY. PSIK: FK. http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JMK/article/view/1006/1055.

Suarli, S & Yayan Bahtiar. (2008). Manajemen Keperawatan dengan Pendekatan Praktis. Jakarta: Erlangga.

Standar Kompetensi Perawat Indonesia. (2012), diakses tanggal 3 mei 2016 www.hpeq.dikti.go.id.

Sunaryo. (2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta:EGC.

Wati, Ernawaty & Nurju’ah. (2011). Analisa pelaksanaan pemberian pelayanan keperawatan diruang Murai I dan Murai II RSUD Arifin Achmad Propinsi riau , jurnal Ners Indonesia, 1(2).

West,. Richard,. Turner,. & Lynn H. (2008). Pengantar teori analisis dan aplikasi edisi 3. Jakarta : Salemba Medika.

Yanti I R & Warsito E B, (2013). Hubungan Karakteristik Perawat, Motivasi, Dan Supervisi Dengan Kualitas Dokumentasi Proses Asuhan Keperawatan. Jurnal Managemen Keperawatan, 1(2) : 107–114. http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JMK/article/view/1006/1055.

Oyoh: Pengalaman Perawat dalam Pelaksanaan Sistem pemberian Pelayanan Keperawatan Profesional