PENGARUH FORMULA EKSTRAK 4 TANAMAN OBAT … · kemahasiswaan seperti Komunitas Seni Steril sebagai...
Transcript of PENGARUH FORMULA EKSTRAK 4 TANAMAN OBAT … · kemahasiswaan seperti Komunitas Seni Steril sebagai...
PENGARUH FORMULA EKSTRAK 4 TANAMAN OBAT
TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI LIMPA
AYAM BROILER
GREGORIO NAGA BAJARA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Formula Ekstrak 4
Tanaman Obat terhadap Gambaran Histopatologi Limpa Ayam Broiler adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Gregorio Naga Bajara
NIM B04080197
ABSTRACT
GREGORIO NAGA BAJARA. The Effects of 4 medicinal plants extract formulas
on Spleen Histopathology of Broiler Chicken. Under direction of BAMBANG
PONTJO PRIOSOERYANTO dan MAWAR SUBANGKIT.
This research was aimed to elaborate the effects of four medicinal plants
extract formulas (Temulawak/Curcuma xanthorriza Roxb., Temu Ireng/Curcuma
aureginosa Roxb., Meniran/Phyllanthus niruri Linn., and Sambiloto/Andographis
paniculata Ness.) on histopathological lesions of chicken’s spleen by examine the
general lesions and measuring cell density on white pulp. Twenty five of day old
chicks were divided into five groups with various treatments. The treatments
were: (1) F1: Temulawak, Temu Ireng, Meniran, and Sambiloto; (2) F2:
Temulawak, Temu Ireng, and Meniran; (3) F3: Temulawak and Temu Ireng; (4)
F4 Meniran and Sambiloto; and (5) control. The chickens were treated for 28
days. All birds were necropsied then the spleen was processed for
histopathological slides using Hematoxylin Eosin staining. Cell density on white
pulp areas was examined by computer software MacBiophotonic ImageJ®. The
result showed there were formation of secondary follicles on all groups. White
pulp cells increased significanly in F2 and F3 compared to the control and other
treated groups (p< 0.05). We concluded that 4 medicinal plants were not make
pathological effect to chicken spleen. Curcuminoids, flavonoids, and phylanthines
of medicinal plants in F2 and F3 may induced lymphoid cells proliferation in
white pulp.
Keywords: medicinal plant, extract, Curcuma xanthorriza Roxb., Curcuma
Aureginosa Roxb. Phyllanthus niruri Linn., Andographis paniculata
Ness., chicken spleen, histopathology, formula
RINGKASAN
GREGORIO NAGA BAJARA. Pengaruh Formula Ekstrak 4 Tanaman Obat
terhadap Gambaran Histopatologi Limpa Ayam Broiler. Dibimbing oleh
BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO dan MAWAR SUBANGKIT.
Ayam broiler adalah salah satu komoditi perunggasan Indonesia. Harganya
relatif murah dibanding daging sapi, kambing, dan domba. Kebutuhan akan
daging ayam semakin bertambah seiring pertumbuhan penduduk dan dalam
pemenuhannya masih terdapat hambatan. Hambatan tersebut terutama disebabkan
oleh penyakit baik oleh agen infeksius, lingkungan yang ekstrim, maupun
defisiensi nutrien. Pengendalian dapat dilakukan dengan vaksinasi dan pemberian
obat-obatan kimia yang harganya tidak murah. Beberapa tanaman obat yang telah
digunakan secara turun-temurun di Indonesia mempunyai potensi untuk
meningkatkan tanggap kebal ayam yang dapat dilihat melalui organ pertahanan,
salah satunya limpa.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian formula ekstrak
4 tanaman obat (Temulawak, Temu Ireng, Meniran, dan Sambiloto) terhadap
gambaran histopatologi limpa dengan melihat perubahan histopatologi pada limpa
dan kepadatan sel pada pulpa putih. Dua puluh lima DOC dibagi menjadi lima
kelompok. Masing-masing diberi ekstrak yang berbeda, yaitu (1) F1: Temulawak,
Temu Ireng, Meniran, dan Sambiloto; (2) F2: Temulawak, Temu Ireng, dan
Meniran; (3) F3: Temulawak dan Temu Ireng; F4 diberikan formula campuran
ekstrak Meniran dan Sambiloto; (5) kontrol (aquades). Ekstrak diberikan selama
28 hari setiap pukul 16.00 WIB dan dilarutkan dalam aquades sebanyak 1
ml/ekor. Semua ayam dinekropsi kemudian limpa diambil untuk pembuatan
sediaan histopatologi, diwarnai dengan Hematoksilin dan Eosin. Sediaan
histopatologi diamati dengan mikroskop cahaya dan 10 pulpa putih dipilih secara
acak untuk difoto dengan perbesaran 400X. Jumlah sel dan luas pulpa putih
dihitung dengan program MacBiopthonic Image® (mbf_imagej). Kepadatan pulpa
putih didapat dengan membagi jumlah sel dengan luasnya.
Hasil penelitian menunjukkan adanya kongesti ringan di daerah pulpa
merah pada kontrol dan F2 yang diduga karena masih tertinggalnya eritrosit pada
saat ayam dinekropsi. Perubahan umum pada limpa berupa pembentukan folikel
limfoid sekunder terjadi pada semua kelompok perlakuan baik kontrol maupun
F1, F2, F3 F, dan F4. Kepadatan sel pada pulpa putih meningkat secara signifikan
pada kelompok F2 dan F3 dibanding dengan kontrol dan kelompok lainnya (p<
0.05). Berdasarkan hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa pemberian formula 4
tanaman obat tidak menyebabkan perubahan patologis yang berarti pada limpa
ayam broiler. Kandungan kurkuminoid, flavonoid, dan filantin dari tanaman obat
pada F2 dan F3 dapat menginduksi proliferasi sel limfoid pada pulpa putih.
Kata kunci: tanaman obat, ekstrak, Temulawak, Temu Ireng, Meniran,
Sambiloto, limpa ayam, histopatologi, formula
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian sebagiaan atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGARUH FORMULA EKSTRAK 4 TANAMAN OBAT
TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI LIMPA
AYAM BROLER
GREGORIO NAGA BAJARA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul : Pengaruh Formula Ekstrak 4 Tanaman Obat Terhadap
Gambaran Histopatologi Limpa Ayam Broiler
Nama Mahasiswa : Gregorio Naga Bajara
NIM : B04080197
Disetujui
Prof. Drh. Bambang Pontjo P, MS, Ph.D, APVet. Drh. Mawar Subangkit
Ketua Anggota
Diketahui
Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet.
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul Pengaruh Formula Ekstrak
4 Tanaman Obat Terhadap Gambaran Histopatologi Limpa Ayam Broiler telah
diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Drh.
Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D. APVet. dan Drh. Mawar Subangkit
selaku dosen pembimbing tugas akhir yang telah banyak memberikan ilmu dan
waktunya untuk membimbing penulis; keluarga tercinta, Ayah, Ibu, K’ Ai, K’ Sin,
Bang Aik, Bang Den, D’Thian dan Niar. dan Adek atas cinta yang tak terkira dan
dukungan selama masa studi; Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi
dan Patologi (KRP) FKH IPB yang memfasilitasi penelitian ini; Drh. Rr.
Soesetyoratih, MSi. selaku dosen pembimbing akademik dan Ibu Drh. Risa Tiuria
Priosoeryanto, MS, Ph.D. atas semua nasehat, perhatian, kebersamaan, dan
bimbingan yang diberikan; Oliv, Andrew, Adit, dan Cha-cha selaku teman
sepenelitian; Sperma Cumunity & Marco Balak 6, Bang Vio, Meichris, Mato,
Arif, Leo, Sul, Ibenk, Yensen, Monik atas keceriaan dan kegalauannya; teman-
teman anggota KPMKB Bogor atas semangatnya; teman-teman Komunitas Seni
Steril, HIMPRO HKSA dan teman-teman AVENZOAR 45 Kebersamaan ini tak
akan terlupakan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, September 2012
Gregorio Naga Bajara
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tiga Desa, Kabupaten Bengkayang Provinsi
Kalimantan Barat pada tanggal 11 Oktober 1988 dari ayah Isidorus Alep dan ibu
V. Jumi. Penulis merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara.
Penulis dibesarkan di Tiga Desa dan menempuh pendidikan sekolah dasar di
SDN 22 Tiga Desa hingga lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan
ke SLTP Negeri 1 Bengkayang lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama
penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Bengkayang. Penulis lulus pada
tahun 2007 dan diterima di IPB melalui program Pra Universitas-BUD. Pada
tahun 2008 penulis lulus Pra Universitas dan memilih program studi Kedokteran
Hewan sebagai pilihan pertama.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi
kemahasiswaan seperti Komunitas Seni Steril sebagai PLT ketua divisi Musik dan
Entertainment pada tahun 2010, anggota Himpunan Minat dan Profesi Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotis tahun 2009-2011, anggota Tim
Pendamping sebagai Asisten Dosen MKDU tahun 2008-2011, KEMAKI
(Keluarga Mahasiswa Katolik IPB) dan KPMKB (Keluarga Pelajar Mahasiswa
Kalimantan Barat) persidium Bogor.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................................ 1
Tujuan .......................................................................................................... 3
Manfaat ........................................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4
Temulawak .................................................................................................. 4
Temu Ireng .................................................................................................. 5
Meniran ....................................................................................................... 7
Sambiloto .................................................................................................... 8
Ayam Broiler ............................................................................................. 10
Limpa ........................................................................................................ 12
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 14
Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 14
Bahan dan Peralatan .................................................................................. 14
Persiapan Kandang Penelitian ................................................................... 14
Penyediaan Ekstrak ................................................................................... 15
Pemberian Ekstrak ..................................................................................... 15
Vaksinasi ................................................................................................... 15
Perlakuan penelitian .................................................................................. 15
Nekropsi dan Pengambilan Sampel Organ ................................................ 16
Pembuatan Sediaan Histopatologi ............................................................. 17
Pengamatan Sediaan Histopatologi ........................................................... 18
Pengolahan Data ........................................................................................ 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 20
Perubahan Histopatologi ........................................................................... 20
Kepadatan Sel Pulpa Putih ........................................................................ 22
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 27
Simpulan .................................................................................................... 28
Saran .......................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29
LAMPIRAN .......................................................................................................... 32
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kelompok perlakuan hewan coba ..................................................................... 16
2 Kepadatan sel pulpa putih ................................................................................. 22
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Rimpang Temulawak ......................................................................................... 4
2 Rimpang Temu Ireng .......................................................................................... 6
3 Tanaman Meniran ............................................................................................... 7
4 Tanaman Sambiloto ............................................................................................ 9
5 Ayam penelitian ............................................................................................... 11
6 Histopatologi limpa . ........................................................................................ 12
7 Jadwal perlakuan hewan coba .......................................................................... 17
8 Diagram alir penelitian. ..................................................................................... 19
9 Gambaran histopatologi limpa (HE). ............................................................... 21
10 Struktur kimia kurkuminoid ............................................................................ 23
11 Struktur kimia flavonoid .................................................................................. 24
12 Kemungkinan mekanisme induksi proliferasi limfosit oleh Temulawak, Temu
Ireng, dan Meniran ........................................................................................... 26
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam broiler adalah salah satu komoditi perunggasan Indonesia.
Harganya lebih murah daripada daging lain seperti daging sapi, kambing, dan
domba sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Harganya yang relatif
terjangkau menjadikan daging ayam sebagai sumber protein hewani yang paling
diminati. Kebutuhan akan daging ayam terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga industri perunggasan Indonesia terus
melakukan upaya pengembangan demi terpenuhinya kebutuhan tersebut.
Seiring dengan berkembangnya industri perunggasan, muncul masalah
yang menghambat kegiatan produksi. Masalah tersebut terutama disebabkan oleh
muncul penyakit seperti penyakit flu burung (AI). Penyakit ini menyebabkan
kerugian ekonomi yang besar dan kepanikan yang panjang. Industri perunggasan
Indonesia sempat lumpuh akibat AI. Banyak orang yang takut beternak ayam,
sehingga produksi dalam negeri turun dan masyarakat takut mengkonsumsi
daging ayam.
Penyakit pada ayam bukan hanya disebabkan oleh virus, tetapi juga
bakteri, cendawan, toksin, defiensi nutrien, dan keadaan lingkungan yang ekstrim
(Mulyantini 2011). Patogenitas penyakit berbeda-beda tergantung jenis dan
karakteristik agen penyebabnya, ada yang bersifat akut dan ada yang kronis
(Tarmudji 2005). Usaha yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit biasanya
dengan pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dilakukan dengan vaksinasi dan
pemberian antibiotik. Pengobatan pada ayam broiler tidak efisien untuk
peternakan broiler mengingat masa panen yang cepat dan besarnya jumlah ayam
yang dipelihara.
Vaksinasi pada ayam broiler biasanya dilakukan untuk pencegahan
penyakit Newcastle Disease (ND), AI, dan Infectious Bursal Disease (IBD). Di
antara penyakit ini, ada yang bersifat akut dan dapat menjadi subklinis, contohnya
AI dan ND. Walaupun sudah divaksinasi, kadang-kadang penyakit ini dapat
muncul. Kematiannya tidak terlalu tinggi, tetapi menyebabkan penurunan
produksi, karena pertumbuhan ayam terganggu. Hal ini berkaitan dengan sifat
2
virus AI yang mudah bermutasi (Medion 2010). Penyakit yang disebabkan oleh
bakteri, cendawan, koksidia, dan parasit biasa dicegah dengan pemberian obat-
obatan kimia yang harganya tidak murah (Rahardjo 2012).
Beberapa tanaman obat seperti Temulawak, Temu Ireng, Meniran, dan
Sambiloto telah digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Indonesia
sebagai obat tradisional. Temulawak dimanfaatkan untuk menghilangkan radang
sendi, menambah Air Susu Ibu (ASI), diuretik (peluruh kencing), laxative
(pencahar), antiradang, hepatoprotektor, dan penurun kolesterol (Mahendra 2005).
Selain itu, Temulawak juga berkhasiat untuk meningkatkan pertahanan tubuh
terhadap penyakit atau disebut juga imunostimulan (Bermawie et al. 2006). Temu
Ireng berkhasiat untuk menambah nafsu makan, mengobati luka lambung dan
usus, asma, batuk, dan mencegah obesitas. Sambiloto memiliki efek
hepatoprotektif, imunological potetential, antiinflamasi, dapat bekerja pada sistem
pernapasan, antimalaria, antidiare, dan berefek baik pada jantung. Meniran telah
dipakai sebagai obat yang berkhasiat untuk bermacam-macam penyakit seperti
luka, bengkak, gatal-gatal, gangguan hati, batu ginjal, dan gangguan pencernaan.
Bahkan, di India lazim digunakan pada gigitan ular.
Temulawak, Temu Ireng, Meniran, dan Sambiloto mempunyai kandungan
dan aktivitas yang berbeda-beda. Jika dikombinasikan, maka keempat tanaman
obat tersebut bisa saja mempunyai efek saling mendukung (sinergis), saling
menghilangkan (antagonis), saling melengkapi (komplementer) atau tidak
berpengaruh satu sama lain. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari sifat-sifat
kandungan masing-masing tanaman. Ekstrak Temulawak yang digunakan secara
tunggal pada dosis 35 mg/kg dapat meningkatkan jumlah pulpa putih dan jumlah
makrofag pada limpa ayam (Gusnita 2009). Ekstrak Meniran mengandung
flavonoid dan filantin yang telah diproduksi secara massal untuk obat
imunomodulator (Suhirman dan Winarti 2010). Sambiloto mengandung
Andrographolide dan flavonoid dapat meningkatkan proliferasi limfosit dan
meningkatkan antibodi (Winarto 2003, Elfahmi 2009). Keempat tanaman obat
tersebut sama-sama mempunyai aktivitas yang mempengaruhi tanggap kebal.
Tanggap kebal berhubungan dengan organ limfoid, termasuk limpa. Pemberian
formula ekstrak tanaman obat diharapkan memberikan pengaruh yang baik
3
terhadap gambaran limpa dan kekebalan tubuh sehingga dapat dipertimbangkan
sebagai obat alternatif untuk ayam.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian formulasi
ekstrak Temulawak, Temu Ireng, Meniran, dan Sambiloto pada gambaran
histopatologi limpa ayam broiler. Peubah yang diamati meliputi perubahan
histopatologi limpa dan kepadatan sel pada pulpa putih.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
formulasi Temulawak, Temu Ireng, Meniran, dan Sambiloto dalam sistem
pertahanan tubuh ayam khususnya pengaruhnya pada limpa.
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak
Temulawak merupakan tanaman semak tahunan dengan tinggi 50-200 cm,
tumbuh tegak lurus dan berumpun. Permukaan daun berwarna hijau tua, bergaris-
garis cokelat, dan berbintik jernih hijau, daun semu, berbentuk seperti mata
lembing memanjang. Bunganya pendek, berkembang secara teratur, dan berwarna
putih atau kuning muda bercampur warna merah. Penampang rimpang berwarna
kuning muda sampai kuning tua (Gambar 1), aromanya tajam dan rasanya pahit
(Sugiarto dan Putera 2008).
Gambar 1 Rimpang Temulawak
Taksonomi Temulawak menurut Supriadi (2008) adalah
kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta
kelas : Monocotyledonae
ordo : Zingiberales
famili : Zingiberaceae
genus : Curcuma
spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
5
Rimpang Temulawak mengandung zat berkhasiat seperti pati sekitar 48%-
54%, minyak atsiri sekitar 3%-12%, dan zat warna kuning yang disebut kurkumin.
Fraksi kurkumin mempunyai aroma yang khas, tidak toksik, terdiri dari kurkumin
I, demetoksikurkumin (kurkumin II), dan bisdemetoksikurkumin (kurkumin III)
(Ravindran et al. 2005). Minyak atsiri merupakan cairan warna kuning atau
kuning jingga, berbau aromatik tajam. Kadarnya tergantung pada ketinggian
tempat tumbuh. Diketahui bahwa daerah Cileungsi merupakan lingkungan
tumbuh yang paling sesuai untuk budidaya Temulawak dengan produktivitas
bioaktif tinggi. Teknik budidaya anorganik diketahui menghasilkan kadar
xanthorrhizol dan kurkuminoid lebih baik (Darusman et al. 2007).
Secara turun temurun Temulawak telah banyak digunakan di beberapa
daerah di Indonesia dan dipercaya berkhasiat untuk obat sakit ginjal,
antiinflamasi, imunostimulan, obat sakit pinggang, asma, sakit kepala, masuk
angin, maag (gastritis), mengobati cacar air, sariawan, jerawat, sakit perut.
Beberapa industri menggunakan Temulawak sebagai bahan dasar pembuatan jamu
(Syukur dan Hemani 2007). Kurkumin pada Temulawak mempunyai daya hambat
yang baik terhadap aktivitas bakteri, dapat digunakan sebagai obat antibakteri
pada saluran pencernaan dan pernapasan (Winarto 2003, Mahendra 2005). Selain
kurkumin, Temulawak juga mengandung flavonoid yang merupakan antioksidan.
Campuran Temulawak, Temu Ireng, Jahe Merah, dan Sambiloto digunakan
sebagai antikoksidia pada ayam (Trobos 2012). Temulawak dapat menghambat
serangan virus dari berbagai lini mulai dari mencegah penetrasi, mencegah
multifikasi, sampai dengan mencegah keluarnya virus dari sel (Dalimarta 2000).
Temu Ireng
Temu Ireng merupakan tanaman semak, berbatang semu, berdaun tunggal,
berwarna hijau kecoklatan, memiliki bunga majemuk dan rimpang induk yang
besar, berdaging dan mengerucut. Ciri utama rimpang Temu Ireng adalah bagian
dalam berwarna agak kebiruan, kulit luar berwarna kuning mengkilat, dan
ujungnya berwarna merah muda (Agung dan Putera 2008). Rimpang Temu Ireng
adalah bagian yang paling umum digunakan sebagai obat (Gambar 2).
6
Gambar 2 Rimpang Temu Ireng
Taksonomi Temu Ireng dalam Sastroamidjojo (2001) adalah
kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta
kelas : Liliopsida
ordo : Zingiberales
famili : Zingiberaceae
genus : Curcuma
spesies : Curcuma aeruginosa Roxb.
Ekstrak rimpang Temu Ireng mengandung minyak atsiri, tannin, kurkumol,
kurkumenol, isokurkumenol, kurzerenon, kurdion, kurkumalakton, germakron, α,
ß, γ-elemene, inderazulene, kurkumin, demetoksikurkumin, saponin,
bisdemetoksikurkumin, monoterpene, sesquiterpene, flavonoid dan alkaloid.
Syukur dan Hernani (2007) menyatakan bahwa rimpang Temu Ireng berkhasiat
untuk menambah nafsu makan, menyembuhkan cacingan, obat perut kembung,
obat luka, mempercepat masa nifas, obat batuk, asma, kudis, encok, meningkatkan
kontraksi uterus dan sebagai obat anti jamur. Carpain merupakan alkaloid pahit
pada Temu Ireng yang dapat merangsang lambung bekerja dengan baik sehingga
timbul nafsu makan dan performa yang dicapai menjadi lebih baik (Limananti dan
7
Triratnawati 2003). Para pencinta ayam laga menggunakan Temu Ireng sebagai
jamu untuk mempercepat pertumbuhan (Purwodadi 2012). Kombinasi Temu Ireng
dan tanaman obat lain seperti Temulawak, dan Jahe Merah digunakan untuk anti
koksidia. Kombinasi Temulawak 10%, Jahe Merah 10%, dan Temu Ireng 80%
mampu menekan populasi ookista Eimeria tenela setara dengan penggunaan sulfa
(Januwati 2012).
Meniran
Meniran merupakan rumput berdaun kecil, berwarna hijau pucat atau hijau
kemerahan. Batang berbentuk bulat, basah dengan tinggi kurang dari 50 cm. Daun
bersirip genap, setiap satu tangkai daun terdiri atas daun majemuk yang
mempunyai ukuran kecil dan berbentuk lonjong (Gambar 3). Bunga muncul di
ketiak daun dan menghadap ke arah bawah. Meniran mengandung senyawa kimia
berupa zat filantin, tannin, niranti, filokrisna, kuersitin (flavonoid), hipofilantin,
pseudokhiratin, dan nirurin (Agung dan Putera 2008). Meniran juga kaya akan
mineral, terutama Kalium. Semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan, baik akar,
batang, daun, maupun bunga.
Gambar 3 Tanaman Meniran
8
Taksonomi Meniran menurut Tjandrawinata et al. (2005) adalah:
Kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta
kelas : Magnoliopsida
ordo : Euphorbiales
famili : Euphorbiaceae
genus : Phyllanthus
spesies : Phyllanthus niruri L
Flavonoid dari Meniran dipakai sebagai pemacu aktivitas sistem imun atau
imunomodulator (Suhirman dan Winarti 2010, Jasaputra 2005). Jika aktivitas
sistem imun berkurang, maka kandungan flavonoid dalam Meniran akan
mengirimkan sinyal intraseluler pada reseptor sel untuk meningkatkan
aktivitasnya. Sebaliknya jika sistem imun kerjanya berlebihan, maka Meniran
berkhasiat dalam mengurangi kerja sistem imun tersebut.
Uji pra-klinis dilakukan terhadap tikus dan mencit. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ekstrak Meniran dapat memodulasi sistem imun melalui
proliferasi dan aktivasi limfosit T & B, sekresi sitokin spesifik (IFN-γ, interleukin,
dan tumor nekrosis faktor alfa/ TNF-α), aktivasi sistem komplemen, dan aktivasi
sel fagosit (makrofag dan monosit). Selain itu, juga terjadi peningkatan sel
sitotoksik, seperti Natural Killer Cell (Tjandrawinata et al. 2005). Kombinasi
ekstrak Meniran dengan Temulawak dapat menghambat aktivitas simian
retrovirus-2 (Karyawati 2011).
Sambiloto
Sambiloto merupakan herba atau terna semusim dengan tinggi 50-90 cm.
Batang berbentuk segi empat dan bercabang banyak dengan nodus yang
membesar. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan bersilang,
berbentuk lanset, pangkal runcing, ujung meruncing, tepi rata, permukaan atas
berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawah berwarna hijau muda (Gambar 4).
Tumbuhan ini berkhasiat sebagai obat hepatitis, kencing manis, darah tinggi,
kanker, kusta, asma, leptospirosis, radang amandel, malaria, pneumonia, dan
bronkhitis. Bagian yang dimanfaatkan adalah daun dan batang yang dipanen pada
saat mulai berbunga (Sugiarto dan Putera 2008).
9
Gambar 4 Tanaman Sambiloto
Taksonomi Sambiloto menurut Aji (2009) adalah:
kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta
kelas : Magnoliopsida
ordo : Scrophulariales
famili : Acanthaceae
genus : Andrographis
spesies : Andrographis paniculata Ness.
Zat aktif utama yang terkandung dalam Sambiloto adalah
Andrographolide yang mempunyai multi efek farmakologis (Winarto 2003, Taha
2009). Rasanya yang pahit mampu meningkatkan nafsu makan karena dapat
merangsang sekresi kelenjar saliva dan meningkatkan produksi antibodi sehingga
kekebalan tubuh meningkat. Andrographolide pada Sambiloto mampu
menghambat perlekatan (attachment) virus dengan reseptor pada sel (Taha 2009).
Zat aktif lain yang diduga terdapat di dalam Sambiloto adalah saponin, dan tannin
(Daniel 2005). Komponen flavonoid, dapat meningkatkan proliferasi dan induksi
IL-2 limfosit perifer darah (Elfahmi 2006). Kandungan flavonoid pada Sambiloto
dari uji fitokimia yang telah dilakukan mampu melindungi dinding usus terhadap
10
lipid peroksidasi akibat infeksi Eimeria tenela (Yelita et al. 2006). Sambiloto
berpotensi sebagai anthelmentik alami dan antimikroba alami (Roy et al. 2010).
Penelitian Balai Besar Veteriner menghasilkan inovasi berupa penggunaan
campuran bahan tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dan Jahe
(Zingiber officinale) untuk pencegahan dan obat aflatoksikosis (keracunan
aflatoksin) pada unggas (Januwati 2010). Hasil inovasi ini dalam bentuk serbuk
Sambiloto dan Jahe yang dicampurkan pada pakan unggas dengan dosis 0.2%
Sambiloto dan 0.5% Jahe (berat kering). Hasil inovasi penggunaan Sambiloto dan
Jahe (0.2% dan 0.5%) yang dicampurkan pada pakan unggas dapat meningkatkan
nilai titer ND, dapat memperbaiki kelainan organ hati yang rusak karena
aflatoksin.
Ayam Broiler
Ayam domestik Gallus gallus atau Gallus domesticus merupakan ayam
hutan asia Gallus bankvia yang didomestikasi dan dibawa ke Amerika oleh para
imigran Asia abad sekitar ke-17 (Campbell et al. 2003). Ayam ras pedaging
disebut juga broiler, merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-
bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam
memproduksi daging, karena hanya dalam waktu 5-6 minggu sudah bisa dipanen
(Gambar 5). Ayam broiler baru populer di Indonesia sejak tahun 1980-an ketika
pemerintah Indonesia mencanangkan panggalakan konsumsi daging ruminansia
yang pada saat itu semakin sulit keberadaannya (Prihatman 2000). Kelompok
ayam yang dihasilkan melalui proses pemuliabiakan oleh breeder farm untuk
tujuan ekonomis tertentu disebut dengan strain (Suprijatna et al. 2005). Adapun
jenis strain ayam broiler yang banyak beredar di Indonesia antara lain adalah
Vedett, Missouri, Goto, dan Cobb (Prihatman 2000).
11
Gambar 5 Ayam penelitian
Taksonomi ayam menurut Suprijatna et al. (2005) adalah
kingdom : Animalia
filum : Chordata
subfilum : Vertebrata
kelas : Aves
ordo : Galliformes
genus : Gallus
spesies : Gallus domesticus
Ayam merupakan hewan berdarah panas dengan tingkat metabolisme
tinggi. Ayam umur sehari (DOC – Day Old Chick) memiliki suhu tubuh 39°C.
Suhu tersebut meningkat secara bertahap setelah hari ke-4 dan mencapai suhu
maksimal pada hari ke-10. Suhu ayam dewasa berkisar antara 40.6°C – 40.7°C
(Suprijatna et al. 2005). Sistem perkandangan yang ideal ayam ras meliputi:
persyaratan temperatur berkisar antara 32.2-35 °C, kelembaban berkisar antara
60-70%, penerangan/pemanasan kandang sesuai dengan aturan yang ada, tata
letak kandang agar mendapat sinar matahari pagi dan tidak melawan arah angin
kencang, model kandang disesuaikan dengan umur ayam, untuk anakan sampai
umur 2 minggu atau 1 bulan memakai kandang boks, untuk ayam remaja ± 1
bulan sampai 2 atau 3 bulan memakai kandang boks yang dibesarkan dan untuk
ayam dewasa bisa dengan kandang litter atau kandang bateray (Prihatman 2000).
12
Limpa
Limpa adalah organ limfoid sekunder yang berfungsi sebagai tempat
memproduksi limfosit, menyaring dan menghancurkan sel darah merah yang tua
dan rusak, menjerat benda asing, menghancurkan bakteri dan virus dan pada masa
fetal, limpa adalah hematopoiesis aktif (Samuelson 2007). Struktur utama limpa
terdiri atas dua bagian. Satu bagian untuk penyimpanan eritrosit dan penjeratan
antigen, yang disebut pulpa merah. Satu bagian lagi untuk mekanisme tanggap
kebal, yaitu pulpa putih (Gambar 6).
Gambar 6 Histopatologi limpa (Vaughan 2002). Arteri trabekularis ditunjukkan
oleh huruf a, vena centralis huruf b, pulpa putih huruf c, folikel
limfoid sekunder huruf d, dan tanda panah menunjukkan daerah pulpa
merah.
c
d
b
a
Keterkaitan antara pulpa merah dan pulpa putih didasarkan atas
penyebaran pembuluh darahnya. Pembuluh yang masuk ke limpa berjalan
memasuki limpa berjalan mengikuti trabekula muskularis memasuki daerah
fungsionalnya. Segera setelah meninggalkan trabekula, tiap arteriol dikelilingi
oleh limfoid yang disebut Periarteriolar Limfoid Sheat (PALS). Arteriol ini
bermuara secara langsung atau tidak langsung, ke dalam sinus yang menyalurkan
ke venula limpa. Di sekitar PALS tersebar folikel primer yang kaya akan sel
limfosit B. Jika terjadi rangsangan antigen, folikel ini membentuk folikel sekunder
menjadi Germinal Center. Setiap folikel kelilingi oleh selapisan sel limfosit T
yang disebut zona mantel. Pulpa putih dan pulpa merah dipisahkan oleh sinus
pembatas, yaitu suatu selubung retikulum dan satu zona pembatas yang terdiri atas
sel fibroblastic reticulum (Tizard 2004). Antigen yang dimaksud dapat berupa
molekul asing yang kompleks berupa protein, polisakarida, dan lipida.
Selain sel-sel limfosit, pulpa putih menyimpan komponen sel lain dalam
jumlah sedikit. Sel-sel tersebut adalah sel endotelial, sel fagosit mononuklear, sel
retikulum fibroblastik. Sel endotel merupakan bagian penyusun dari vena sentralis
di tengah-tengah pulpa putih. Sel retikulum fibroblastik merupakan bagian yang
menyusun kompartemen tiga dimensi dari limpa. Sel fagosit mononuklear
merupakan sel yang berperan dalam fagositosis (Djiksara dan Kraal 2000).
14
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai November 2011.
Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di fasilitas kandang
hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pembuatan sediaan
histopatologi dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan
Patologi, FKH-IPB.
Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam pedaging strain
Cobb sebanyak 25 ekor; ND live vaccine lassota™, CAPRIVAC IBD-Inter®
live
vaccine, AI killed vaccine medivac®; bahan pembuatan sediaan histopatologi
seperti Buffer Neutral Formalin 10%, etanol (70%, 80% 90%, 95%, absolut),
xylene, parafin, pewarna jaringan Hematoksilin, pewarna Eosin, dan aquades;
kebutuhan harian ayam seperti air minum, pakan (Sinta®), lampu sebagai
penghangat, dan sekam sebagai alas kandang; dan ekstrak Temulawak, Temu
Ireng, Meniran, dan Sambiloto.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pemeliharaan dan
perlakuan ayam, seperti 5 petak kandang, syring untuk vaksinasi, dan syringe 1 ml
yang dibuang jarumnya untuk mencekok ekstrak; alat nekropsi seperti, scalpel,
gunting, pinset, dan botol plastik; alat untuk pembuatan sediaan histopatologi
seperti, gelas ukur, tissue cassete, tissue basket, tissue tang, Parrafin Embedding
Console, object glass, cover glass, automatic tissue processor Sakura tek®,
microtome, staining system, electronic eyepiece, mikroskop Olympus 130X®, dan
software mbf_imageJ ®.
Persiapan Kandang Penelitian
Kandang ayam dibuat menurut sistem litter dengan panjang 110 cm, lebar
40 cm dan tinggi 45 cm. Seluruh dinding dan lantai ruangan percobaan ditaburi
dengan kapur tembok berwarna putih, didesinfeksi dengan desinfektan kelompok
fenol sintetik dan difumigasi dengan gas formalin 5% v/v sehari sebelum ayam
percobaan dimasukkan.
15
Penyediaan Ekstrak
Ekstrak tanaman obat berasal dari empat tanaman, yaitu Temulawak,
Sambiloto, dan Temu Ireng dengan pelarut etanol dan tanaman Meniran
menggunakan pelarut air. Pembuatan ektraksi dan formula dari kombinasi
tanaman obat dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini menggunakan ektraksi yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.
Pemberian Ekstrak
Penyajian ekstrak untuk tiap kelompok perlakuan dilakukan dengan
melarutkan ekstrak yang telah jadi dengan air. Dosis yang ditentukan dikali
dengan bobot ayam rata-rata. Setiap hari, tiap kelompok ayam diminumkan
dengan masing-masing formula tanaman obat dengan menggunakan syringe 1 ml
yang jarumnya telah dilepas. Pencekokan dilakukan 1 kali sehari setiap pukul
16.00 WIB selama 28 hari.
Vaksinasi
Setelah masa adaptasi, semua kelompok ayam divaksinasi dengan ND live
vaccine lassota™ pada hari ke-4, CAPRIVAC IBD-Inter® live vaccine pada hari
ke-11, AI killed vaccine medivac® pada hari ke-15. Vaksin ND diberikan secara
tetes hidung dan tetes mata dan CAPRIVAC IBD-Inter® diberikan secara oral.
Vaksin AI diberikan melalui injeksi di bawah kuit leher bagian belakang dengan
dosis 0.2 ml.
Perlakuan penelitian
Penelitian ini menggunakan ayam broiler strain Cobb umur 1 hari dengan
bobot badan seragam. Sebelum perlakuan dimulai, diadakan masa adaptasi selama
4 hari untuk mengembalikan kondisi ayam dari stress karena pemindahan dan
transportasi. Selama masa ini diberikan vitamin dan elektrolit pada air minum
sesuai dengan rekomendasi pabrik pembuat. Sebanyak 25 ekor ayam pedaging
dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan. Masing-masing perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 1.
16
Tabel 1 Kelompok perlakuan hewan coba
Perlakuan Keterangan
Kontrol (-) 5 ekor ayam divaksin ND live vaccine (lassota™),
CAPRIVAC IBD-Inter®live vaccine, AI killed vaccine
medivac®, dan diberi aquades 1 ml
F1 5 ekor ayam divaksin ND live vaccine lassota™,
CAPRIVAC IBD-Inter® live vaccine, AI medivac®, dan
diberi formula Temulawak, Meniran, Sambiloto, dan Temu
Ireng 1 ml
F2 5 ekor ayam divaksin ND live vaccine (lassota™),
CAPRIVAC IBD-Inter® live vaccine, AI killed vaccine
medivac®, dan diberi formula Temulawak, Meniran, dan
Temu Ireng 1 ml
F3 5 ekor ayam divaksin ND live vaccine lassota™,
CAPRIVAC IBD-Inter® live vaccine, AI killed vaccine
medivac®, dan diberi formula Temulawak dan Temu Ireng
1 ml
F4 5 ekor ayam divaksin divaksin ND aktif, CAPRIVAC IBD-
Inter® live vaccine, AI killed vaccine medivac®, dan diberi
formula Meniran dan Sambiloto 1 ml
Nekropsi dan Pengambilan Sampel Organ
Semua ayam dinekropsi pada akhir penelitian untuk diambil limpanya.
Pertama-tama ayam dipotong dengan pisau tajam kemudian ayam ditelentangkan.
Dilakukan penyayatan pada kedua selangkangan kemudian dikuakkan sampai
jaringan subkutis dada dan perut terlihat. Setelah terkuak, dilakukan penyayatan
pada otot perut sepanjang tulang rusuk terakhir untuk membuka rongga perut.
Otot dada kedua sisi badan disayat sampai ke persendian axilla. Ujung tulang
dada dikuakkan ke kepala sehingga rongga dada terbuka. Organ dalam dikuakkan
dengan tangan dan diangkat. Masing-masing organ dipisahkan. Limpa diambil
dan dimasukkan ke dalam botol plastik yang berisi Buffer Neutral Formalin 10%
17
selama kurang lebih 48 jam dan setelah itu diproses untuk pembuatan sediaan
histopatologi. Jadwal kegiatan dijelaskan pada Gambar 7.
Gambar 7 Jadwal perlakuan hewan coba
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Limpa yang telah dikoleksi dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm,
dimasukkan ke dalam tissue cassete kemudian dilakukan tindakan dehidrasi
dengan merendam sediaan tersebut secara berurutan ke dalam etanol 70%, 80%,
90%, etanol 96%, etanol absolut I, etanol absolut II, xylene I, xylene II, xylene III
parafin I, parafin II, dan parafin III selama masing-masing 2 jam. Proses
perendaman dilakukan secara otomatis dalam automatic tissue processor Sakura
Tek®.
Jaringan yang sudah mengalami dehidrasi dimasukkan ke dalam cetakan
dan diisi parafin cair sampai cetakan penuh dan dibiarkan mengeras. Jaringan
dipotong dengan mikrotom dengan ketebalan 5 µm. Hasil potongan dimasukkan
ke dalam water bath (45 0C) untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan.
Sediaan diangkat dengan object glass kemudian dikeringkan dalam inkubator (60
0C). Deparafinasi dilakukan dengan cara memasukkan jaringan ke dalam xylene
sebanyak dua kali selama 2 menit. Proses dilanjutkan dengan rehidrasi jaringan,
dimulai dari pencelupan jaringan ke dalam alkohol absolut, sampai ke alkohol
70% secara berurutan selama 2 menit, dibilas dengan air mengalir.
18
Pewarnaan dilakukan pertama-tama dengan perwarna Mayer’s
Hematoksilin selama 3-4 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan
Lithium Karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air mengalir lagi.
Selanjutnya jaringan dicelupkan ke dalam pewarna Eosin selama 5-6 menit.
Sediaan dicuci dengan celupan alkohol 70%, 80%, 90%, 96% sebanyak 10 kali,
alkohol absolut I 10 kali, alkohol absolut II 10 celupan, xylene I-IV selama 2
menit. Langkah berikutnya dilanjutkan dengan menenetesi sediaan dengan perekat
PermountTM
kemudian ditutup dengan cover glass dan didiamkan minimal 1 hari
hingga perekat mengering. Sediaan yang telah jadi diperiksa menggunakan
mikroskop untuk mengevaluasi gambaran histopatologinya.
Pengamatan Sediaan Histopatologi
Pengamatan histopatologi dilakukan dengan mikroskop cahaya dan
software MacBiophotonic ImageJ®
(Rasban 2006). Masing-masing sediaan
histopatologi difoto pada 10 pulpa putih secara acak di bawah mikroskop cahaya
dengan perbesaran 400X. Luasan pulpa putih dan agregat sel pada pulpa putih
dihitung dengan komputer menggunakan software MacBiophotonic ImageJ®
(mbf_imageJ). Kepadatan sel pulpa putih diperoleh dengan cara membagikan
jumlah sel dengan luas pulpa putih.
Pengolahan Data
Data yang disajikan berupa data deskriftif untuk perubahan histopatologi
pada limpa dan data kuantitatif untuk kepadatan sel pada pulpa putih. Data diolah
dengan program SPSS 16. OneWay ANOVA digunakan membandingkan setiap
formula dan diuji lanjut menggunakan Duncan test. Diagram alir penelitian
dideskripsikan pada pada Gambar 8.
19
Gambar 8 Diagram alir penelitian Pengaruh Formula Ekstrak 4 Tanaman Obat
Terhadap Gambaran Histopatologi Limpa Ayam Broiler.
PERSIAPAN KANDANG, PAKAN,
EKSTRAK TANAMAN OBAT
25 DOC MASUK
PERLAKUAN
NEKROPSI DAN PENGAMBILAN
SAMPEL ORGAN
PEMBUATAN SEDIAAN
HISTOPATOLOGI
PEMBACAAN SEDIAAN
HISTOPATOLOGI
PENGOLAHAN DATA DAN
PENULISAN SKRIPSI
5 ekor 5 ekor 5 ekor 5 ekor
adaptasi adaptasi adaptasi adaptasi adaptasi
5 ekor
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Histopatologi
Pengamatan histopatologi limpa dilakukan untuk melihat lesio pada limpa.
Dari preparat yang diamati, pada seluruh kelompok perlakuan baik kontrol (-)
maupun F1-F4 tidak mengalami perubahan yang bersifat patologis berupa
hemoragi, edema, deplesi limfoid, kista, dan peradangan. Pada kelompok kontrol
(-) dan F2 terdapat kongesti ringan ditunjukkan dengan penumpukan eritrosit pada
daerah pulpa merah [Gambar 9 (A)]. Kongesti diduga karena masih tersisanya
eritrosit pada limpa pada saat ayam dinekropsi. Pada semua kelompok perlakuan
baik F1, F2, F3, dan F4, maupun kontrol (-) ditemukan Germinal Center yang
kemudian menjadi folikel limfoid sekunder. Folikel tersebut terdiri atas
sekumpulan sel limfosit yang terlihat bulat pada sediaan histopatologi yang
diwarnai dengan Hematoksilin Eosin [Gambar 9 (B)]. Pembentukan folikel
limfoid sekunder mungkin disebabkan oleh reaksi limpa terhadap vaksin.
Kongesti adalah berlimpahnya darah dalam pembuluh di regio tertentu.
Secara mikroskopis, kapiler-kapiler dalam jaringan terlihat melebar dan berisi
darah. Edema merupakan penimbunan cairan yang berlebihan antara sel-sel tubuh
atau rongga tubuh. Secara mikroskopis edema ditandai dengan adanya ruang
kosong yang berisi cairan. Hemoragi atau perdarahan terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah sehingga darah keluar kemudian terjadi penimbunan pada
jaringan atau ruang tubuh. Kista pada pulpa putih ditunjukkan dengan adanya
ruang-ruang kosong dan deplesi limfoid ditunjukkan dengan berkurangnya sel
pada folikel limfoid. (Price dan Wilson 2002). Peradangan ditunjukkan dengan
infiltrasi sel radang (Munakir 2001).
Pembentukan folikel sekunder diawali dengan penjeratan antigen (dari
vaksin) dalam limpa dan diambil oleh makrofag baik yang di zona pembatas
maupun yang membatasi sinusoid pulpa merah. Sel ini membawa antigen ke
dalam pulpa putih. Setelah beberapa hari, sel penghasil antibodi (limfosit B)
bermigrasi. Sel-sel ini menempati zona pembatas dan pulpa merah, di daerah ini
produksi antibodi pertama kali ditemukan. Selain di zona pembatas dan pulpa
21
merah antibodi juga dapat diproduksi dalam folikel sekunder yang hiperplastik
(Tizard 2004).
Gambar 9 Gambaran histopatologi limpa (HE): (A) terjadi kongesti ringan pada
kelompok F2, (B) Folikel limfoid sekunder ditunjukkan dengan tanda
panah.
22
Reaksi lain yang terjadi ketika antigen memasuki limpa adalah penjeratan
limfosit. Limfosit yang biasanya beredar bebas melewati organ ini terjerat
sehingga tidak bisa lepas. Sifat penjeratan ini tidak jelas, tetapi reaksi ini mungkin
disebabkan oleh monokin setelah interaksi antara antigen dan makrofag (Tizard
2004). Monokin tersebut mempengaruhi pergerakan limfosit dengan cara tertentu.
Penjeratan bermanfaat untuk mengumpulkan sel peka antigen di tempat dekat
dengan berkumpulnya antigen dan dengan demikian menambah efisiensi tanggap
kebal. Beberapa agen seperti bakteri, virus, koksidia, dan fungi bisa saja berada di
kandang dan menginfeksi ayam. Infeksi tersebut terjadi selama periode
pemeliharaan di kandang. Infeksi dapat bersumber dari pakan, air minum atau
tempat pakan atau minum yang terkontaminasi, dan lingkungan. Litter yang tidak
diganti, pakaian petugas kandang, dan alas kaki yang digunakan dapat membawa
agen infeksi dari luar ke kandang. Pembentukan folikel limfoid sekunder juga
mungkin disebabkan oleh reaksi limpa terhadap vaksin.
Kepadatan Sel Pulpa Putih
Kelompok F3, yaitu kelompok yang diberi formula ekstrak Temulawak
ditambah Temu Ireng memiliki kepadatan sel pulpa putih tertinggi diikuti oleh
kelompok F2 yang diberi formula Temulawak ditambah Temu Ireng dan Meniran.
Urutan berikutnya ditempati oleh kontrol (-), F4, dan F1. Kepadatan sel pulpa
putih pada setiap perlakuan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kepadatan sel pulpa putih
Perlakuan Kepadatan folikel
(sel/100µm2)
Kontrol (-) 3.5400 ± 0.27523a
F1 3.3640 ± 0.59206a
F2 4.1220 ± 0.41578b
F3 4.4040 ± 0.25530b
F4 3.5060 ± 0.26614a
Keterangan: Huruf superskript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05). K = kontrol negatif; F1 = Temulawak,
Temu Ireng, Sambiloto, dan Meniran; F2 = Temulawak, Temu Ireng, dan
Meniran; F3 = Temulawak dan Temu Ireng; F4 = Meniran dan Sambiloto.
23
Kepadatan sel pulpa putih pada kelompok F2 dan F3 berbeda secara
signifikan (p< 0.05) jika dibandingkan dengan kontrol (-). Kepadatan sel pulpa
putih pada kelompok F1 dan F4 secara statistik tidak berbeda dengan kontrol (-).
Pada kelompok F2, kepadatan pulpa putih tidak berbeda dengan kelompok F3.
Dengan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa formula F2 dan F3
berpengaruh pada kepadatan sel pulpa putih sedangkan formula pada kelompok
F1 dan F4 tidak berpengaruh.
Kandungan kurkuminoid pada Temulawak dan Temu Ireng diduga
berpengaruh pada sel pulpa putih. Kedua tanaman ini merupakan tanaman obat
yang berasal dari keluarga Zingiberaceae, sama-sama memproduksi senyawa
fenolik kurkuminoid (Gambar 10) sebagai hasil metabolit sekunder. Ravindran et
al. (2007) menyatakan bahwa kandungan utama dari kurkuminoid tersebut adalah
kurkumin berwarna kuning yang telah lama dimanfaatkan dalam industri farmasi,
parfum, dan lain-lain. Beberapa penelitian selama ini menyebutkan bahwa
kurkumin memiliki multi efek farmakologi yaitu efek anti inflamatori, anti
imunodefisiensi, anti virus (virus flu burung), anti bakteri, anti jamur, anti
oksidan, anti karsinogenik dan anti infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Sandy
(2012) menggunakan formula dan dosis yang sama memperlihatkan daya tahan
hidup lebih lama pada ayam broiler tanpa divaksin dan ditantang dengan virus AI
setelah diberikan formula campuran Temulawak dan Temu Ireng dibandingkan
dengan ayam yang divaksinasi AI.
Gambar 10 Struktur kimia kurkuminoid (Ravindran et al. 2006)
24
Kurkuminoid terdiri atas tiga derivat, yaitu kurkumin, demetoksikurkumin
(kurkumin II), dan bisdemetoksikurkumin (kurkumin III). Diantara ketiganya,
kurkuminoid yang paling banyak adalah kurkumin. Kurkumin komersial
mengandung 77% kurkumin I, 17% kurkumin II, dan 3% kurkumin II (Ravindran
et al. 2006). Pemberian ekstrak Temulawak sebesar 35 mg/kg BB memperlihatkan
adanya pertambahan jumlah pulpa putih, peningkatan diameter, dan peningkatan
jumlah makrofag limpa (Gusnita 2009). Pada proses proliferasi limfosit, makrofag
berperan mengeluarkan IL-1, yang mempunyai kemampuan untuk merangsang
proliferasi limfoit B. Faktor-faktor seperti IL-1 dan IL-4 yang menyebabkan
proliferasi sel B di sebut B cell growth factors (Kimbal 1990).
Selain kurkumin zat aktif yang mungkin berperan dalam peningkatan sel-
sel pulpa putih adalah kandungan minyak atsiri dari Temulawak dan Temu Ireng.
Di antara sekian banyak kandungan minyak atsiri tersebut, senyawa yang paling
potensial adalah flavonoid. Beberapa senyawa yang termasuk ke dalam kelompok
flovanoid adalah flavon, flavonol, flavanon, flavanolol, flavanol, anthocyanidins,
isoflavon, dan kalcon. Struktur kimia flavonoid dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 11 Struktur kimia flavonoid (Surai 2003)
Flavonoid terdapat pada semua tanaman obat yang digunakan. Selain
terdapat pada Temulawak dan Temu Ireng, zat ini terdapat pula pada Meniran dan
Sambiloto. Flavonoid merupakan antioksidan kuat yang dapat mencegah
pembentukan radikal bebas sebagai produk dari aktivitas fagositosis makrofag
25
(Surai 2003). Flavonoid yang berasal dari Meniran telah digunakan sebagai
imunomodulator. Isoflavon (genestein) diklaim dapat meningkatkan respon
antibodi (Koutsos dan Klasing 2008). Kandungan berkhasiat lain yang telah
digunakan pada Meniran adalah filantin dan hipofilantin. Kedua kandungan ini
berkhasiat untuk meningkatkan integritas dinding sel, melindungi hati dari zat
toksik, obat-obatan untuk penyakit akibat virus maupun bakteri (Kardinan 2007).
Formula yang terdiri atas campuran Temulawak, Temu Ireng, dan Meniran
memperlihatkan pengaruh yang sama secara statistik dengan formula campuran
Temulawak dan Temu Ireng. Hal ini berarti campuran Meniran pada Temulawak
dan Temu Ireng sama-sama berpengaruh pada proliferasi sel-sel pulpa putih.
Kepadatan sel pulpa putih pada kedua kelompok perlakuan tersebut meningkat
secara signifikan (p<0.05) dari kontrol negatif. Dengan dicampurnya ketiga ketiga
jenis tanaman ini, kandungan flavonoidnya bertambah. Bertambahnya kadar
flavonoid berpengaruh juga menambah kadar antioksidan pada kelompok F2.
Efek imunomudolator dari flavonoid berkaitan dengan sifat antioksidan ini
sebagai mitogen sel limfosit (Surai 2003).
Bahan pada Temulawak, Temu Ireng, dan Meniran diduga meningkatkan
aktivitas makrofag (Tjandrawinata 2005, Gusnita 2009) kemudian makrofag
mengeluarkan IL-1 (Kimbal 1990). IL-1 kemudian berikatan dengan limfosit B
melalui Ig M dan T cell receptor melalui ikatan hidrogen. Ikatan tersebut
mengaktivasi protein G yang kemudian memproduksi fosfolipase C. Enzim
fosfolipase C menghidrolisis fosfatidil inositol bifosfat (PIP2) menjadi produk
reaktif diasilgliserol (DAG) dan inositol trifosfat (IP3). Reaksi tersebut
berlangsung dalam membran plasma. Kemudian IP3 merangsang pelepasan Ca2+
ke dalam sitoplasma. Pelepasan Ca2+
berperan penting dalam stimulisasi kerja
enzim protein kinase C dan 5-lipoxygenase. Pemecahan lajut DAG menjadi
arakhidonat melalui jalur 5-lipoxygenase meningkatkan pembentukan cGMP.
Peningkatan cGMP mengakibatkan peningkatan cGMP dependent protein kinase
yang berfungsi pada aktivasi DNA dependent RNA polymerase dan awal sintesis
ribosom (rRNA) dan RNA lainnya. Sintesis RNA dan protein ini menyebabkan
sel limfosit B maupun T memasuki fase pembelahan (Kumala et al. 2006). Adaya
proliferasi sel-sel limfosit ini membuat sel pada pulpa putih semakin padat. Secara
26
ringkas kemungkinan mekanisme kerja formula tersebut disajikan pada Gambar
12.
Gambar 12 Kemungkinan mekanisme induksi proliferasi limfosit oleh
Temulawak, Temu Ireng, dan Meniran.
Formula F1 dan F4 yang memperlihatkan pengaruh yang tidak signifikan
pada kepadatan sel pulpa putih jika dibandingkan dengan kontrol (-). Dua
kelompok perlakuan tersebut diberi formula yang sama-sama mengandung
Sambiloto, sedangkan 2 kelompok yang lain (F2 dan F3) tidak. Bahan aktif
Sambiloto mungkin berinteraksi dengan bahan aktif Temulawak atau Temu Ireng
sehingga saling menghilangkan aktivitas satu sama lain. Salah satu kandungan
Sambiloto yang paling banyak diteliti adalah Andrographolide. Zat ini terdapat
sekitar 2,5-4,6% dari berat kering. Zat ini dapat merangsang pembentukan
F2
Temulawak dan Temuireng Meniran
kurkuminoid flavonoid filantin
Makrofag ↑ (Tjhandrawinata et al. 2005, Gusnita 2009)
Sekresi IL-1 ↑ (Kimbal 1990)
IL-1 berikatan dengan limfosit (Kumala et al. 2006 )
cGMP ↑ →cGMP dependent
protein kinase ↑
Protein kinase C ↑ →IL-2 ↑
IP3 →Ca2+ sitoplasma ↑
Protein G→ fosfolipase C→Hidrolisis
PIP2
DAG 5-lipoxygenase
PROLIFERASI LIMFOSIT
F3
27
antibodi. Andrographolid dan neoandrographolid secara signifikan menrangsang
antibodi dan menunda respon hipersensitivitas terhadap darah domba pada tikus.
Kandungan ini juga merangsang tanggap kebal non-spesifik dengan meningkatkan
fagositosis makrofag dan proliferasi limfosit pada limpa. Andrographolide pada
Sambiloto mampu menghambat perlekatan (attachment) virus dengan reseptor
pada sel (Taha 2009). Selain Andrographolide, Sambiloto juga minyak atsiri yang
mengandung tannin, saponin, dan flavonoid (Daniel 2005). Bahan aktif Sambiloto
mungkin berinteraksi dengan bahan aktif Temulawak, Temu Ireng, dan Meniran
sehingga saling menghilangkan aktivitas satu sama lain terhadap proliferasi
limfosit. Aktivitas penghambatan mungkin terjadi mirip seperti aktivitas
penghambatan attachment virus oleh ekstrak Sambiloto yang dikemukakan Taha
(2009). Interaksi zat aktif pada Sambiloto dengan tanaman obat lainnya mungkin
menghambat perlekatan IL-1 dengan sel limfosit sehingga induksi tidak
diteruskan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Formula ekstrak 4 tanaman obat yang diberikan selama empat minggu
tidak menyebabkan perubahan patologis yang berarti pada limpa ayam
broiler.Kepadatan sel pada pulpa putih meningkat secara signifikan pada ayam
yang diberikan formula yang terdiri atas ekstrak Temulawak dan Temu Ireng serta
formula campuran antara ekstrak Temulawak, Temu Ireng dan Meniran.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan interaksi bahan
aktif pada setiap herbal yang berperan dalam meningkatkan kekebalan tubuh.
Untuk melihat sel yang berproliferasi pada pulpa putih adalah sel limfosit B maka
perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut dengan metode pewarnaan
imunohistokimia. Sebaiknya hewan coba diuji tantang dengan berbagai agen
spesifik untuk melihat pengaruh spesifik dari setiap formula.
DAFTAR PUSTAKA
Aji W. 2009. Uji aktivitas antioksidan tablet effervescent kombinasi ekstrak etanol
daun dewa daru (Egenia uniflora L) dan herbal sambiloto (Andrographis
paniculata Ness) dengan metode DPPH [skripsi]. Surakarta:Fakultas
Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Bermawie N, Raharjo M, Wahyuno D, Ma’mun. 2006. Status Teknologi budidaya
dan pasca panen tanaman kunyit dan temulawak sebagai penghasil
kurkumin. Balai penelitian Obat dan Aromatik 02: 84-99.
Campbell JR, Kennedy MD, Campbell KL. 2003. Animal Science 4th
Edition.
USA: McGraw-Hill Companies.
Daniel M. 2005. Medicinal Plants Chemistry and Properties. New Hampshire:
Science Publishers.
Darusman LK, Priosoeryanto BP, Hasanah M, Rahardjo M, Djauhari EP. 2007.
Potensi temulawak terstandar untuk mengatasi flu burung [abstrak].
Bogor: Institut Pertanian Bogor dan Deptan.
Djiksara CD dan Kraal G. 2000. Non-lymphoid cells in the spleen’s white pulp.
38th
Forum in Immunology Amsterdam. Histological Organization of
Spleen: 325-328
Elfahmi. 2006. Phytochemical and biosynthetic studies of lignands with a focus
on Indonesian medicinal plants [disertasi]. Gronigen: Faculty of
Mathematics and Natural Sciences University of Gronigen.
http://dissertations.ub.rug.nl/faculties/science/2006/elfahmi/?pFullItemRec
ord=ON [2 Juli 2012].
Gusnita R. 2009. Gambaran histopatologi limpa ayam petelur yang diberi ekstrak
etanol Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)[skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Januwati M. 2010. Jamu berbasis tanaman biofarmaka untuk ayam [terhubung
berkala]. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/?p=794 [7 Agustus 2012].
Januwati M. 2012. Sambiloto dan Jahe untuk pencegahan aflatoksikosis
[terhubung berkala]. http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/833/ [7
Agustus 2012].
Jarukamjorn K and Nemoto N. 2008. Pharmacological Aspects of Andrographis
paniculata on Health and Its Major Diterpenoid Constituent
Androgapolide. Journal of Health Science 54:
http://jhs.pharm.or.jp/data/54(4)/54_370.pdf. [19 Maret 2012].
Jasaputra DK. 2005. Imunomodulator pada penyakit alergi [abstrak]. JKM 4: 2.
Kardinan A dan Kasman FR. 2007. Meniran Penambah Daya Tahan
Tubuh Alami. Jakarta: Agromedia.
Karyawati AT. 2007. Aktivitas antivirus simian Retrovirus Serotype-2 (SRV-2)
dari ekstrak meniran (Phyllanthus niruri) dan Temulawak (Curcuma
Xanthorrhiza). JPS 4: 14311-52.
30
Kimbal JW. 1990. Introduction of Imunology. Boston: Wesley Publishing.
Koutsos EA dan Klasing KC. 2008. Avian Imunology. Boston: Elsevier
Publishing.
Kumala S, Kusmardi, Indriatmoko DD. 2006. Pengaruh ekstrak Buah Merah
(Pandanus conoideus) terhadap pertumbuhan in vitro limfosit dan tumor.
Bogor: Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
Limananti AI dan Triratnawati A. 2003. Ramuan jamu cekok sebagai penyembuh
kurang nafsu makan pada anak: suatu kajian etnomedisin. JMK 7: 1.
Mahendra B. 2005. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar Swadaya.
[Medion]. 2010. Virus AI terus berubah dan masih mengancam kita, bagaimana
dengan vaksinnya? [terhubung berkala].
http://info.medion.co.id/index.php/artikel/layer/penyakit/virus-ai-dan
vaksinnya [9 Agustus 2012].
Mulyantini NGA. 2010. Ilmu Manajemen ternak Unggas. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Munakir Z. 2001. Respon imun terhadap infeksi bakteri. J Sari Pediatri 4: 193-
197.
Price SA, Wilson LM. 2002. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease
Processes. USA: Elsevier Science.
Prihatman K. 2000. Budidaya ayam pedaging.Jurnal budidaya peternakan.
http://www.warintek.ristek.go.id/peternakan/budidaya/ayam_pedaging. [23
Maret 2012].
Purwodadi S. 2012. Cara mempercepat pertumbuhan ayam [terhubung
berkala].www.ayamlaga.com [7 Agustus 2012].
Rahardjo Y. 2012. Mengapa harga ayam mahal? [terhubung berkala].
http://www.majalahinfovet.com/2008/10/mengapa-harga-ayam mahal.html
[9 Agustus 2012].
Raju V, Fatma P, Narasimhudu L, Devi S, Natha M, Raju N, Philip GH. 2011. In
vitro anthelmentik activity of Andrographis paniculata ness. IJPRD 3: 202-
205 [1 Juli 2012].
Rasban W. 2006. MacBiophotonic microscopy [terhubung berkala].
http://www.macbiophotonics.ca/imagej/ [11 Juli 2011]
Ravindran PN, Babu KN, Sivarman K. 2006. Curcumin: biological and medical
Propertis. J Tumeric the genus 10: 297-368.
Roy S, Rao K, Bhuvaneswari C, Giri A, Mangamoori LN. 2010. Phytochemical
analysis of Andrographis paniculata extract and its antimicrobial activity.
WJMB 26: 85-91.
Samuelson DA. 2007. Hanbook of Veterinary Hystology. Florida: Saunders.
Sandy AA. 2012. Pengaruh formula 4 tanaman obat terhadap ketahanan tubuh
ayam yang diuji tantang dengan virus Avian Influneza[skripsi]. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
31
Sastroamidjojo S. 2001. Obat Asli Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Sugiarto A dan Putera TD. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta: Agromedia
Pustaka.
Suhirman S dan Winarti C. 2010. Prospek dan fungsi tanaman obat sebagai
imunomodulator. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik &
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Supriadi D. 2008. Optimalisasi ekstraksi kurkuminoid temulawak (Curcuma
Xanthorriza Roxb.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
PengetahuanAlam, Institut Pertanian Bogor.
Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Depok: Penebar Swadaya.
Surai PF. 2003. Natural Antioxidants in Avian Nutrition and Reproduction.
Thrumpton: Nottongham University Press.
Syukur C, Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Depok: Penebar
Swadaya.
Taha RS. 2009. Kajian potensi ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Ness.)
dan beluntas (Pluchea indica Less.) sebagai bahan obat flu burung [thesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tarmudji. 2005. Kejadian penyakit pernapasan dilihat dari aspek klinis dan
patologis serta kejadiannya di Indonesia. Wartazoa 15: 2.
Tizard I. 2004. Veterinary Imunology Third Edition. Surabaya: Airlangga
University.
Tjandrawinata RR, Maat S, dan Noviyanty D. 2005. Effect of standarized
Phyllantus niruri extract on changes in immunologic parameters:
corelation between pre-clinical and clinic studies. Medika XXI (6): 367-
371.
[Trobos]. 2012. Jamu antikoksidiosis untuk ayam [terhubung berkala].
http://www.trobos.com/show_article.php?rid=19&aid=3409 [7 Agustus
2012].
Vaughan DW. 2002. Histology learning system[terhubung berkala].
http://www.bu.edu/histology/p/07703ooa.html [ 25 Maret 2012].
Wijayakusuma H. 2005. Menumpas Penyakit Kewanitaan dengan Tanaman Obat.
Jakarta: Puspa Swara.
Winarto WP. 2003. Sambiloto Budidaya dan Pemanfaatan untuk Obat. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Yelita, Yulia, Wahyuningsih U. 2007. Penggunaan fungsi antioksidan dari
Sambiloto (Andrographis paniculata ness) sebagai imbuhan pakan
terhadap Performa ayam yang diinfeksi Eimeria tenela [abstrak].
http://repository.unand.ac.id/2167/ [7 Agustus 2012].
33
Uji lanjut
ANOVA
sel/100µm2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between
Groups 4.064 4 1.016 6.918 .001
Within Groups 2.937 20 .147
Total 7.001 24
sel/100µm2
kelomp
ok N
Subset for alpha =
0.05
1 2
Duncana P1 5 3.3640
P4 5 3.5060
kontrol 5 3.5380
P2 5 4.1220
P3 5 4.4040
Sig. .506 .258
34
Multiple Comparisons
Dependent Variable:sel/100µm2
(I)
kelomp
ok
(J)
kelompo
k
Mean
Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower
Bound Upper Bound
Duncan kontrol P1 .17400 .24237 .481 -.3316 .6796
P2 -.58400* .24237 .026 -1.0896 -.0784
P3 -.86600* .24237 .002 -1.3716 -.3604
P4 .03200 .24237 .896 -.4736 .5376
P1 kontrol -.17400 .24237 .481 -.6796 .3316
P2 -.75800* .24237 .005 -1.2636 -.2524
P3 -1.04000* .24237 .000 -1.5456 -.5344
P4 -.14200 .24237 .565 -.6476 .3636
P2 kontrol .58400* .24237 .026 .0784 1.0896
P1 .75800* .24237 .005 .2524 1.2636
P3 -.28200 .24237 .258 -.7876 .2236
P4 .61600* .24237 .019 .1104 1.1216
P3 kontrol .86600* .24237 .002 .3604 1.3716
P1 1.04000* .24237 .000 .5344 1.5456
P2 .28200 .24237 .258 -.2236 .7876
P4 .89800* .24237 .001 .3924 1.4036
P4 kontrol -.03200 .24237 .896 -.5376 .4736
P1 .14200 .24237 .565 -.3636 .6476
P2 -.61600* .24237 .019 -1.1216 -.1104
P3 -.89800* .24237 .001 -1.4036 -.3924
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.