Phylogeny of Labidodemas and the Holothuriidae (Holothuroidea
PENGARUH EKSTRAK TERIPANG (Holothuroidea ...repository.ub.ac.id/4898/1/AYU SYUKRIYAH...
Transcript of PENGARUH EKSTRAK TERIPANG (Holothuroidea ...repository.ub.ac.id/4898/1/AYU SYUKRIYAH...
PENGARUH EKSTRAK TERIPANG (Holothuroidea)
TERHADAP GAMBARAN MIKROSKOPIS ORGAN PARU-
PARU DARI MENCIT (Mus musculus) YANG
TERKONTAMINASI INSEKTISIDA DIAZINON
SKRIPSI
OLEH :
AYU SYUKRIYAH ZULFITA
135090301111020
JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PENGARUH EKSTRAK TERIPANG (Holothuroidea)
TERHADAP GAMBARAN MIKROSKOPIS ORGAN PARU-
PARU DARI MENCIT (Mus musculus) YANG
TERKONTAMINASI INSEKTISIDA DIAZINON
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
dalam Bidang Fisika
Universitas Brawijaya
OLEH :
AYU SYUKRIYAH ZULFITA
135090301111020
JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
PENGARUH EKSTRAK TERIPANG (Holothuroidea)
TERHADAP GAMBARAN MIKROSKOPIS ORGAN PARU-
PARU DARI MENCIT (Mus musculus) YANG
TERKONTAMINASI INSEKTISIDA DIAZINON
Oleh :
AYU SYUKRIYAH ZULFITA
135090301111020
Setelah Dipertahankan didepan Majelis Penguji
Pada tanggal……….....
dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Sains dalam bidang fisika
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Drs. Unggul P Juswono, M.Sc.
NIP. 196501111990021002
Gancang Saroja, S.Si, M.T
NIP. 19771118200501 1001
Mengetahui
Ketua Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Brawijaya
Prof. Dr. rer.nat. Muhammad Nurhuda
NIP. 196409101990021001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ayu Syukriyah Zulfita
NIM : 135090301111020
Jurusan : Fisika
Penulis Skripsi berjudul : Pengaruh Ekstrak Teripang
(Holothuroidea) Terhadap Gambaran Mikroskopis
Organ Paru-Paru Dari Mencit (Mus musculus) Yang
Terkontaminasi Insektisida Diazinon
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Isi dari Skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya
sendiri dan tidak menjiplak karya orang lain, selain nama-
nama yang termaktub di isi dan tertulis di daftar pustaka
dalam Skripsi ini.
2. Apabila dikemudian hari ternyata Skripsi yang saya tulis
terbukti hasil jiplakan, maka saya akan bersedia
menanggung segala resiko yang akan saya terima.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.
Malang, 20 Juli 2017
Yang menyatakan,
Ayu Syukriyah Zulfita
NIM. 135090301111020
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan puji syukur
kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik, kedua kepada orang-orang
yang sudah mendoakan dan mendukung dalam penyelesaian skripsi
ini, kepada:
1. Ibu dan ayah atas segala doa, dukungan, pengertian, dan
motivasi, serta kakak dan adik yang selalu memberikan
semangat.
2. Drs. Unggul P. Juswono, M.Sc. selaku dosen pembimbing I
yang sudah membimbing, memberikan ilmu dan motivasi
dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Gancang Saroja, S. Si., M.T selaku dosen pembimbing II
yang sudah membimbing, memberikan ilmu dan motivasi
dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Tria, Silvia, Wafie dan Aulia teman satu tim penelitian.
5. Teman-teman fisika angkatan 2013.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Malang, Juli 2017
Penulis
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Pengaruh Ekstrak Teripang (Holothuroidea) Terhadap
Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Dari Mencit (Mus
musculus) Yang Terkontaminasi Insektisida Diazinon”. Tujuan
dilakukannya penelitian ini yaitu untuk menganalisa pengaruh
pemberian antioksidan teripang (Sea cucumber) terhadap organ paru-
paru dari mencit (Mus musculus) yang terkontaminasi pestisida
diazinon. Diharapkan dengan diadakannya penelitian ini mampi
memberikan kegunaan kepada masyarakat tentang bahaya
penggunaan pestisida yang tidak sesuai anjuran dan manfaat
antioksidan yang terkandung dalam ekstrak teripang.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dalam penyusunan skripsi ini dan darapan penulis
semoga skripsi ini dapat dijadikan referensi yang bermanfaat bagi
pembaca.
Malang, Juli 2017
Penulis
vi
PENGARUH EKSTRAK TERIPANG (Holothuroidea)
TERHADAP GAMBARAN MIKROSKOPIS ORGAN PARU-
PARU DARI MENCIT (Mus musculus) YANG
TERKONTAMINASI INSEKTISIDA DIAZINON
ABSTRAK
Diazinon merupakan pestisida golongan organofosfat yang
bersifat neurotoksik, mutagenik, karsinogenik dan teratogenik.
Organofosfat dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernapasan, bersamaan dengan makanan (oral) dan permukaan kulit.
Ekstrak teripang memiliki senyawa aktif saponin triterpenoid sebagai
antioksidan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa
pengaruh pemberian antioksidan teripang (Sea cucumber) terhadap
organ paru-paru dari mencit (Mus musculus) yang terkontaminasi
pestisida diazinon. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah mencit diberikan pestisida dan antioksidan dengan variasi
dosis selama 14 hari. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa
pestisida dapat merusak organ paru-paru mencit dengan persentasi
kerusakan 40,11% pada dosis 150 mg/L aquades. Penambahan
antioksidan ekstrak teripang mampu mereduksi radikal bebas dengan
persentase kerusakan 21,07% pada dosis 0,09 ml/kg BB mencit.
Kata kunci: pestisida, insektisida diazinon, antioksidan, paru-paru
vii
THE EFFECT OF SEA CUCUMBER (Holothuroidea)
EXTRACT ON THE MICROSCOPIC IMAGE OF MICE (Mus
musculus) LUNGS CONTAMINATED BY DIAZINON
INSECTICIDE
ABSTRACT
Diazinon is an organophosphate pesticide that is neurotoxic,
mutagenic, carcinogenic, and teratogenic. Organophosphates may
enter the body through the respiratory tract (oral), along with food
and skin surfaces. Sea cucumber extract has the active compound of
saponin triterpenoid as an antioxidant. The aim of this research is to
analyze the effect of sea cucumber antioxidant treatment on the lungs
of mice (Mus musculus) contamined by diazinon pesticide. The
research was done by giving mice treatments of pesticide damaged
the lungs of mice at a percentage of 40,11% with a dose of 150 mg/L
distilled water. The antioxidant treatment with sea cucumber extract
was able to reduce free radicals. Organ damage with the additional
of antioxidant decrease to a percentage of 21,07% with a dose of
0,09 ml/kg body weight of mice.
Keywords: pesticide, diazinon insecticide, antioxidant, lungs
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................ vi
ABSTRAC ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................ 3
1.4. Batasan Masalah ................................................................. 3
1.5. Manfaat Penelitian .............................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Pestisida .................................................. 5
2.1.1 Definisi Pestisida ........................................................ 5
2.1.2 Pestisida Golongan Insektisida ................................... 6
2.1.3 Organofosfat ............................................................... 7
2.1.4 Insektisida Diazinon ................................................... 7
ix
2.1.5 Jalan Masuk Pestisida ke Dalam Tubuh ..................... 8
2.2 Teripang Sebagai Antioksidan ......................................... 10
2.2.1 Antioksidan .............................................................. 10
2.2.2 Deskripsi dan Klasifikasi Teripang .......................... 10
2.2.3 Kandungan Senyawa Bioaktif Teripang ................... 11
2.3 Tinjauan Umum Paru-Paru ............................................... 13
2.3.1 Anatomi Paru ............................................................ 13
2.3.2 Struktur Histologi Paru ............................................. 14
2.3.3 Gejala Kerusakan Saluran Pernapasan ..................... 17
2.4 Tinjauan Umum Mencit ................................................... 20
BAB III METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat ........................................................... 23
3.2. Alat dan Bahan ................................................................. 23
3.3. Tahapan Penelitian ........................................................... 23
3.3.1 Persiapan Sampel ..................................................... 24
3.3.2 Pengukuran Dosis Pestisida Diazinon ...................... 25
3.3.3 Pengukuran Dosis Ekstrak Teripang ........................ 25
3.3.4 Persiapan Alat dan Perlakuan ................................... 26
3.3.5 Pembuatan Preparat .................................................. 28
3.4 Pengamatan dan Analisis Data ......................................... 29
3.4.1 Cara Membaca Data dari Preparat ............................ 29
3.4.2 Perhitungan Kerusakan dan Perbaikan Sel ............... 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian................................................................. 31
4.1.1 Pengamatan Kerusakan Organ Paru-Paru Mencit (Mus
Musculus) .................................................................. 32
x
4.1.2 Pengaruh Pemberian Pestisida Terhadap Kerusakan
Organ Paru-Paru Pada Mencit ................................... 39
4.1.3 Pengaruh Pemberian Antioksidan Terhadap Kerusakan
Alveolus Organ Paru-Paru Pada Mencit ................... 41
4.2 Pembahasan ...................................................................... 43
4.2.1 Mekanisme Toksisitas .............................................. 44
4.2.2 Interaksi Antioksidan dengan Radikal Bebas ........... 44
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ....................................................................... 49
5.2 Saran ................................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 51
LAMPIRAN .................................................................................... 57
xi
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur Kimia Pestisida Diazinon ............................... 8
Gambar 2.2 Anatomi Teripang .................................................... 11
Gambar 2.3 Senyawa Saponin Triterpenoid . ................................ 13
Gambar 2.4 Struktur Alveolus Pada Paru-Paru ............................ 16
Gambar 2.5 Gambaran Mikroskopis Alveolus Paru-Paru Yang
Normal .................................................................... 16
Gambar 2.6 Berbagai Penyakit Pada Paru-Paru ........................ 18
Gambar 2.7 Alveolus Paru-Paru Yang Rusak Disebabkan Emfi-
sema ........................................................................ 19
Gambar 2.8 Anatomi Mencit ....................................................... 21
Gambar 3.1 Tahapan Penelitian .................................................. 23
Gambar 3.2 Rangkaian Alat Tahap 1 .......................................... 26
Gambar 3.3 Rangkaian Alat Tahap 2 .......................................... 27
Gambar 4.1 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok Kontrol .................................................. 32
Gambar 4.2 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok D- Dosis Pestisida 50 mg/L Aquades .... 33
Gambar 4.3 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok D- Dosis Pestisida 75 mg/L Aquades .... 34
Gambar 4.4 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok D- Dosis Pestisida 100 mg/L Aquades .. 34
Gambar 4.5 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok D- Dosis Pestisida 125 mg/L Aquades .. 35
Gambar 4.6 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok D- Dosis Pestisida 150 mg/L Aquades .. 35
Gambar 4.7 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok D+ Dosis Antioksidan 0,02 ml/Kg BB
Mencit ..................................................................... 36
xiii
Gambar 4.8 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok D+ Dosis Antioksidan 0,03 ml/Kg BB
Mencit ..................................................................... 37
Gambar 4.9 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok D+ Dosis Antioksidan 0,05 ml /Kg BB
Mencit ..................................................................... 37
Gambar 4.10 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok D+ Dosis Antioksidan 0,07 ml /Kg BB
Mencit ..................................................................... 38
Gambar 4.11 Gambaran Mikroskopis Organ Paru-Paru Mencit
Kelompok D+ Dosis Antioksidan 0,09 ml /Kg BB
Mencit ..................................................................... 38
Gambar 4.12 Grafik Persentase Kerusakan Emfisema Organ Paru-
Paru Mencit Terhadap Dosis Pestisida Diazinon .... 40
Gambar 4.13 Grafik Persentase Kerusakan Destruksi Septum
Alveolar Organ Paru-Paru Mencit Terhadap Dosis
Pestisida Diazinon .................................................. 40
Gambar 4.14 Grafik Persentase Sel Normal Organ Paru-Paru Mencit
Terhadap Dosis Pestisida Diazinon ........................ 41
Gambar 4.15 Grafik Persentase Kerusakan Emfisema Organ Paru-
Paru Mencit Terhadap Dosis Antioksidan .............. 42
Gambar 4.16 Grafik Persentase Kerusakan Destruksi Septum
Alveolar Organ Paru-Paru Mencit Terhadap Dosis
Antioksidan ............................................................. 42
Gambar 4.17 Grafik Persentase Sel Normal Organ Paru-Paru Mencit
Terhadap Dosis Antioksidan................................... 43
Gambar 4.18 Reaksi Oksidasi Senyawa Diazinon Dengan Enzim
Monooksidase ......................................................... 45
Gambar 4.19 Reaksi Diazoxon Dengan Senyawa Antioksidan
(Saponin Triterpenoid) ........................................... 47
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Alat Dan Bahan Penelitian ............................................ 57
Lampiran 2 Data Hasil Pengamatan ................................................. 61
Lampiran 3 Sertifikat Laik Etik Penelitian ....................................... 73
Lampiran 4 Deteksi Plagiasi ............................................................. 75
xv
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Kelompok Perlakuan Hewan Uji Coba ......................... 24
Tabel 3.2 Persiapan Pengelompokan Dosis Pestisida Dan Antioksi-
dan ................................................................................ 24
Tabel 4.1 Energi Ikat .................................................................. 46
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sampai saat ini, sumber terbesar kontaminasi pestisida berasal
dari penggunaannya di bidang pertanian. Pada prinsipnya, pestisida
bersifat neurotoksik, mutagenik, karsinogenik dan teratogenik
(Arisman, 2008). Pestisida mungkin secara sengaja disemprotkan ke
tanah untuk mengendalikan serangga atau nematoda. Semprotan
pestisida yang cukup banyak pada hasil pertanian mungkin tidak
mencapai sasaran, hanya mengenai permukaan tanah (Arisman,
2008).
Di beberapa negara, sedikit kontrol atau anjuran mengenai
jadwal atau waktu penggunaan pestisida; tak jarang pestisida
disemprotkan beberapa jam atau hari sebelum hasil pertanian
dipanen. Hasil pertanian seperti itu mungkin mengandung residu
yang dapat menyebabkan paparan tingkat tinggi jika langsung
dikonsumsi setelah panen (Arisman, 2008). Pestisida juga sengaja
disemprotkan pada saat hasil pertanian sedang dipasarkan untuk
mengendalikan serangga. Hasil pertanian yang telah disemprotkan
tersebut langsung dipasarkan tanpa melalui proses pencucian
(Widiastuti & Ester, 2005).
Pestisida yang sering digunakan di Indonesia adalah
diazinon. Diazinon tergolong ke dalam jenis pestisida organofosfat.
Penggunaan pestisida organofosfat di Indonesia lazimnya dilakukan
dengan cara penyemprotan langsung setelah terjadi serangan hama,
dengan kondisi yang tidak memperdulikan bahaya penggunaannya.
Tatacara pemberian dengan cara penyemprotan memungkinkan
masuknya organofosfat ke dalam tubuh petani melalui inhalasi.
Aerosol atau uap organofosfat yang terhirup secara langsung dalam
paparan jangka panjang akan bereaksi dengan saluran pernafasan.
Reaksi yang terjadi dapat menyebabkan iritasi dan penyempitan
saluran nafas. Intensitas paparan tinggi memungkinkan penurunan
fungsi paru sebagai organ vital dalam sistem pernafasan. Penurunan
fungsi paru yang terjadi secara terus-menerus dan semakin
memburuk dari waktu ke waktu (Listiawati, 2014).
Masyarakat yang berada di lingkungan tinggi paparan
dibutuhkan antioksidan tambahan agar keseimbangan sistem pro-
oksidan atau antioksidan tidak terganggu sehingga dapat
menurunkan kondisi patologis yang disebabkan radikal bebas
(Arisman, 2008). Antioksidan mampu menangkap radikal bebas
tersebut sehingga tidak dapat menginduksi suatu penyakit (Andayani,
L & Maimunah, 2008). Peranan antioksidan sangat penting dalam
menetralkan dan menghancurkan radikal bebas yang dapat
menyebabkan kerusakan sel dan juga merusak biomolekul di dalam
tubuh yang akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif
(Manimaran & Rajneesh, 2009).
Antioksidan atau antiradikal bebas secara endogenik terdapat
di dalam tubuh dalam jumlah yang sedikit (Praptiwi & Harapini,
2006). Radikal bebas dapat dinetralkan oleh sistem enzimatik tubuh
(Middleton & Kandaswami, 2000) seperti enzim katalase, glutatione
peroksidase, superokside dismutase, dan glutathione-s-transferase.
Bila jumlah radikal bebas dalam tubuh berlebih maka dibutuhkan
antioksidan yang berasal dari luar tubuh (eksogenik) seperti
flavonoid, vitamin A, vitamin C, vitamin E, maupun berbagai jenis
sayuran dan buah-buahan (Reynertson, 2007).
Salah satu sumber antioksidan alami adalah teripang.
Kandungan nutrisi yang lengkap menyebabkan teripang sering
disebut sebagai ginseng dasar laut dan menjadi suplemen yang
mujarab. Pada pengobatan Cina tradisional, teripang diketahui
bermanfaat untuk mempercepat penyembuhan luka, dan antiseptik
tradisional (Ren Dkk., 2003. Teripang mengandung bahan aktif
antibakteri, antifungi (antijamur), antitumor dan antikoagulan
(antipenggumpal) (Farouk Dkk., 2007). Selain penyembuhan luka,
ekstrak Teripang mengandung senyawa antikoagulan dan
antithrombosis (Zancan dan Mourao, 2004). Teripang juga
mengandung senyawa yang dapat mereduksi kolesterol dan lipid,
antikanker dan senyawa antitumor (Hatakeyama Dkk., 2002) serta
senyawa antibakteri (Afiyatullov Dkk., 2002). Senyawa yang biasa
terkandung dalam teripang adalah Triterpeneglycoside. Senyawa
triterpeneglycoside yang terdapat dalam teripang ternyata bermanfaat
sebagai anti tumor, anti jamur, anti bakteri dan anti virus (Han,
2009). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
efek kontaminasi imsektisida diazinon dan efek samping pemberian
ekstrak teripang khususnya pada organ paru-paru dari mencit, yaitu
sebagai organ vital dalam sistem pernapasan.
1.2. Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
pengaruh teripang (Sea cucumber) terhadap gambaran mikroskopis
organ paru-paru dari mencit (Mus musculus) yang terkontaminnasi
pestisida diazinon.
1.3. Tujuan penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisa
pengaruh pemberian antioksidan teripang (Sea cucumber) terhadap
organ paru-paru dari mencit (Mus musculus) yang terkontaminasi
pestisida diazinon.
1.4. Batasan masalah
Batasan masalah penelitian ini antara lain objek penelitian
yang digunakan mencit (Mus musculus). Antioksidan yang
digunakan adalah teripang (Sea cucumber) yang telah diekstrak
dalam bentuk cair dan dijual di pasaran dengan merk dagang
tertentu. Pestisida yang digunakan adalah golongan insektisida jenis
organofosfat yaitu diazinon.
1.5. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai kajian ilmiah untuk
masyarakat tentang pengaruh pemberian ekstrak teripang (Sea
cucumber) dalam tubuh sebagai antioksidan dan pengaruh paparan
pestisida diazinon yang masuk ke dalam tubuh, sebagai sumber
informasi tentang pestisida diazinon dan ekstrak teripang (Sea
cucumber) serta sebagai acuan penggunaan pestisida diazinon dalam
kehidupan sehari-hari.
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Pestisida
2.1.1 Definisi Pestisida
Berdasarkan asal katanya, pestisida atau pesticide
berasal dari kata pest yang berarti hama dan cide yang berarti
mematikan atau racun. Jadi, pestisida adalah racun hama.
Secara umum, pestisida dapat didefinisikan sebagai bahan
yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang
dianggap sebagai pest yang secara langsung maupun tidak
langsung merugikan kepentingan manusia (Munaf, 1997).
Menurut peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973
(Djojosumarto, 2008) pestisida adalah semua zat kimia atau
bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk
:
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-
penyakit yang merusak tanaman atau hasil-hasil
pertanian.
2. Memberantas rerumputan.
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman
atau bagian-bagian tanaman, tidak termasuk pupuk.
4. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada
hewan-hewan peliharaan dan ternak.
5. Memberantas dan mencegah hama-hama air.
6. Memberikan atau mencegah binatang-binatang dan
jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan
alat-alat pengangkutan, memberantas atau mencegah
binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.
Secara harfiah, pestisida berarti pest-killing agent atau
bahan pembunuh hama. Akan tetapi, batasan operasional
pestisida kemudian berkembang menjadi “semua bahan yang
digunakan untuk membunuh, mencegah, mengusir, mengubah
hama, dan/atau bahan yang digunakan untuk merangsang,
mengatur, dan mengendalikan tumbuhan” (Hayes, 1975).
2.1.2 Pestisida Golongan Insektisida
Pestisida khususnya insektisida merupakan kelompok
pestisida yang terbesar dan terdiri atas beberapa sub kelompok
kimia yang berbeda yaitu:
2.1.2.1 Organoklorin
Merupakan insektisida chlorinated hydrocarbon
secara kimiawi tergolong insektisida yang relatif stabil
dan kurang reaktif, ditandai dengan dampak residunya
yang lama terurai di lingkungan. Salah satu insektisida
organoklorin yang terkenal adalah DDT. Kelompok
organoklorin merupakan racun terhadap susunan syaraf
baik pada serangga maupun mamalia. Keracunan dapat
bersifat akut atau kronis. Keracunan kronis bersifat
karsinogenik (kanker).
2.1.2.2 Organofosfat.
Insektisida ini merupakan ester asam fosfat atau
asam tiofosfat. Pestisida ini umumnya merupakan racun
pembasmi serangga yang paling toksik secara akut
terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan,
burung, cicak dan mamalia. Pestisida ini mempunyai
efek, memblokade penyaluran impuls syaraf dengan
cara mengikat enzim asetilkolinesterase. Keracunan
kronis pestisida golongan organofosfat berpotensi
karsinogenik.
2.1.2.3 Karbamat
Kelompok ini merupakan ester asam N-
metilkarbamat. Bekerja menghambat asetilkolinesterase
tetapi pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak
berlangsung lama, karena prosesnya cepat reversibel
(Darmansyah, 1987). Pengaruh yang ditimbulkan tidak
bertahan lama dan cepat kembali normal. Pada
umumnya, pestisida kelompok ini dapat bertahan dalam
tubuh ahanya dalam waktu sehari sehingga cepat
diekskresikan.
2.1.2.4 Piretroid dan yang berasal dari tanaman
lainnya
Piretroid berasal dari piretrum diperoleh dari
bunga Chrysanthemum cinerariaefolium. Piretrum
mempunyai toksisitas rendah pada manusia tetapi dapat
menimbulkan alergi pada orang yang peka. Insektisida
tanaman lain adalah nikotin yang sangat toksik secara
akut dan bekerja pada susunan saraf.
(Hayes Dkk., 1991).
2.1.3 Organofosfat
Pestisida Organofosfat (OPs) merupakan sekelompok
zat kimia dengan struktur dan aktifitas kimia yang beragam.
Organofosfat paling banyak dihubungkan dengan kejadian
toksisitas pada manusia. Hal ini ditandai dengan efek
pesitisida organofosfat pada sistem syaraf melalui
penghambatan enzim acethylcholinesterase (Kamanyire &
Karalliedde, 2004). Pestisida dari golongan organofosfat ini
mem-phosphorilisasi hampir semua jumlah enzim
acetylcholinesterase dari jaringan-jaringan yang tidak dapat
bereaksi kembali (irreversible). Pestisida ini dapat diserap
melalui inhalasi (pernafasan), ingesti atau makanan, dan
penetrasi kulit. Beberapa diantaranya diubah menjadi
intermediat yang lebih toksik (Departemen Kesehatan RI,
1984). Pestisida organofosfat mengakibatkan gangguan
kesehatan baik akut maupun kronis. Efek pajanan akut
pestisida organofosfat antara lain somnolence atau insomnia,
berkeringat, muntah-muntah, lemas, dan kematian akibat
kegagalan pernapasan (Hallenbeck & Cunningham, 1985).
2.1.4 Insektisida Diazinon
Diazinon (CAS 333-41-5; NCI C08673) adalah nama
yang direkomendasikan oleh British Standards Institution, the
International Standardization Organization, dan Entomological
Society of America untuk insektisida organofosfat, 0,0-diethyl
0-(2-isopropyl-6-methyl-4pyrimidinyl) phosphorothioate.
Diazinon pertama kali dipasarkan pada tahun 1954 sebagai
insektisida dan akarisida dan sudah digunakan sejak itu dalam
bentuk pestisida bubuk maupun pestisida semprot di pertanian,
dalam industri dan rumah (National Cancer Institute, 1979).
Rumus kimia diazinon terlihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur kimia pestisida diazinon (Djojosumarto,
2008)
Diazinon merupakan salah satu insektisida golongan
organofosfat yang umum digunakan dalam pertanian (Public
Health Service Agancy for Toxic Substances and Disease
Registry, 2008). Diazinon pada lingkungan dan makhluk hidup
dapat dijumpai sebagai senyawa metabolitnya. Metabolisme
pada tanaman dan hewan menyebabkan diazinon terdegradasi
menjadi oksi-pirimidinil, diazoxon, dialkilfosfat, dan
dialkiltiofosfat. Senyawa metabolit diazinon, ada yang
memiliki sifat toksisitas yang lebih tinggi, lebih rendah, dan
sama dengan diazinon .
Diazinon mempunyai sifat pestisida dengan spektrum
yang luas, hasilnya cepat diketahui dan sifat persistensinya
rendah. Bila hal ini tidak mendapatkan perhatian cepat maka
akan menimbulkan dampak yang semakin buruk, merusak
lingkungan, dan kesehatan manusia. Diazinon yang sering
digunakan oleh para petani ini memiliki batas maksimum
dalam air minum sebesar 0,0104 ppm.
2.1.5 Jalan Masuk Pestisida ke dalam Tubuh
Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
berbagai rute, yakni (Djojosumarto, 2008):
2.1.5.1 Penetrasi lewat kulit (dermal contamination)
Pestisida yang menempel di permukaan kulit
dapat meresap ke dalam tubuh dan menimbulkan
keracunan. Kejadian kontaminasi pestisida lewat kulit
merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi.
Pekerjaan yang menimbulkan resiko tinggi kontaminasi
lewat kulit adalah:
a. Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk
pemaparan langsung oleh droplet atau drift
pestisida dan menyeka wajah dengan tangan,
lengan baju, atau sarung tangan yang
terkontaminsai pestisida.
b. Pencampuran pestisida.
c. Mencuci alat-alat aplikasi.
2.1.5.2 Terhisap lewat saluran pernafasan (inhalation)
Keracunan pestisida karena partikel pestisida
terhisap lewat hidung merupakan terbanyak kedua
setelah kulit. Gas dan partikel semprotan yang sangat
halus (kurang dari 10 mikron) dapat masuk ke paru-
paru, sedangkan partikel yang lebih besar (lebih dari 50
mikron) akan menempel di selaput lendir atau
kerongkongan. Pekerjaan-pekerjaan yang menyebabkan
terjadinya kontaminasi lewat saluran pernafasan adalah :
a. Bekerja dengan pestisida (menimbang,
mencampur, dsb) di ruang tertutup atau yang
ventilasinya buruk.
b. Aplikasi pestisida berbentuk gas atau yang akan
membentuk gas, aerosol, terutama aplikasi di
dalam ruangan, aplikasi berbentuk tepung
mempunyai resiko tinggi.
c. Mencampur pestisida berbentuk tepung (debu
terhisap pernafasan).
2.1.5.3 Masuk ke dalam saluran pencernaan makanan
lewat mulut (oral)
Pestisida keracunan lewat mulut sebenarnya
tidak sering terjadi dibandingkan dengan kontaminasi
lewat kulit. Keracunan lewat mulut dapat terjadi karena
:
a. Kasus bunuh diri.
b. Makan, minum, dan merokok ketika bekerja
dengan pestisida.
c. Menyeka keringat di wajah dengan tangan,
lengan baju, atau sarung tangan yang
terkontaminasi pestisida.
d. Drift pestisida terbawa angin masuk ke mulut.
e. Makanan dan minuman terkontaminasi
pestisida.
2.2 Teripang sebagai Antioksidan
2.2.1 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang mendonorkan
satu elektron atau lebih kepada radikal bebas sehingga terjadi
peredaman pada radikal bebas. Berdasarkan sumber
perolehannya ada dua macam antioksidan, yaitu antioksidan
alami dan antioksodan buatan (Dalimartha, 2007).
Antioksidan alami mampu melindungi tubuh dari
kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu
menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta
menghambat peroksidase lipid pada makanan. Meningkatnya
minat terhadap penggunaan antioksidan alami terjadi beberapa
tahun terakhir ini. Antioksidan alami umumnya mempunyai
gugus hidroksi dalam struktur molekulnya (Sunarni, 2007).
2.2.2 Deskripsi dan Klasifikasi Teripang
Klasifikasi Teripang Pasir secara umum menurut
Hickman Dkk. (1974) dalam Rusyani Dkk. (2011) adalah
sebagai berikut :
Filum : Echinodermata
Sub filum : Echinozoa
Kelas : Holothuridae
Sub Kelas : Aspidochirotacea
Ordo : Aspidochirotida
Famili : Holothuriidae
Genus : Holothuria
Spesies : Holothuria scabra Jaeger
Anatomi teripang secara umum terdiri dari tentakel
berfungsi sebagai alat gerak, merasa, memeriksa dan alat
penagkap mangsa. Stomach atau perut berfungsi sebagai alat
pencernaan. Gonad kelenjar kelamin yang berfungsi sebagai
penghasil hormon kelamin. Saluran kelamin Berfungsi sebagai
saluran menuju gonad. Madreporit Lempeng tali lapisan pada
ujung saluran air. Esofagus saluran di belakang rongga mulut
berfungsi menghubungkan rongga mulut dan lambung.
Gambar 2.2 Anatomi Teripang (Apriyani, 2009).
Dorsal mesentery berfungsi sebagai pembungkus usus
dan menggantungnya ke dinding tubuh pinggang. Anus
mengeluarkan sisa metabolisme pada teripang. Cloaca sebagai
alat pencernaan. Intestin sebagai alat pencernaan yang
letaknya di antara pilorus hingga usus (Rusyani Dkk., 2011)
2.2.3 Kandungan Senyawa Bioaktif Teripang
Di Indonesia, teripang yang telah banyak dimanfaatkan
sebagai bahan pangan adalah dari jenis teripang pasir
(Holothuria scabra). Teripang ini selanjutnya dipasarkan
dalam bentuk kering. Produk olahan teripang diantaranya
adalah teripang kering (beche-de-mer), gonad kering
(konoko), usus kering (konowata) dan kerupuk. Daging
teripang pasir kering mengandung protein sebesar 34,13 %;
lemak 2,17 %, dan air 3,07 % (Kustiariyah, 2006).
Komponen-komponen lain yang dikandung teripang
adalah asam amino esensial, kolagen, vitamin E, zat-zat
mineral seperti khromium, ferum, kadmium, mangan, nikel,
kobalt dan seng. Kandungan asam lemak penting seperti EPA
dan DHA turut memainkan peranan penting sebagai agen
penyembuh luka dan antithrombotik yaitu untuk mengurangi
pembekuan darah di dalam saluran darah. Hal ini dapat
mengurangi risiko penyakit stroke dan jantung. Kedua asam di
Gambar 2.2 Anatomi Teripang (Rusyana Dkk, 2011)
atas juga dapat membantu memperlambat proses degenerasi
sel disamping juga memperlambat proses penuaan
(Anonymous, 2004).
Bahan bioaktif teripang juga dikenal sebagai
antioksidan yang membantu mengurangi kerusakan sel dan
jaringan tubuh. Kandungan antibakteri dan antifungi teripang
dapat meningkatkan kemampuannya untuk tujuan perawatan
kulit. Teripang juga diketahui mempunyai efek antinosiseptif
(penahan sakit) dan anti-inflamasi (melawan radang dan
mengurangi pembengkakan) (Wibowo Dkk.,1997). Penelitian
yang telah dilakukan di beberapa daerah terutama di Malaysia
terhadap penduduk di Kudat, Semporna, Setiu, Kuantan,
Pekan dan Pulau Pangkor membuktikan khasiat teripang
sebagai agen anti-hipertensi (Anonymous, 2004).
Kaswandi Dkk. (2000) dan Lian Dkk. (2000)
melaporkan bahan aktif yang dihasilkan oleh Holothuria sp.
sebagai antibakteri dan antifungi. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut disimpulkan bahwa bahan aktif dari teripang
Holothuria tubolosa tersebut dapat menghambat pertumbuhan
Saccharomyces cerevisiae. Kustiariyah Dkk. (2006)
melaporkan bahwa bioaktif dari teripang pasir (Holothuria
scabra) dapat menghambat pertumbuhan kapang Candida
maltosa. Disamping mengandung antibakteri dan antikapang,
teripang juga dilaporkan mengandung berbagai asam lemak
tak jenuh seperti linoleat, oleat, eikosa pentaenoat (EPA), dan
dokosaheksaenoat (DHA) (Fredalina Dkk., 1999). Beberapa
kajian juga menunjukkan potensi teripang sebagai anti-tumor
dan memberi khasiat positif terhadap penyakit AIDS (Scheuer,
1995).
Polisakarida sulfat dengan rantai panjang, seperti
chondroitin dapat menghambat pertumbuhan virus. Jepang
telah memiliki paten tentang aktivitas chondroitin sulfat dari
teripang untuk terapi bagi penderita HIV. Disamping itu,
teripang juga kaya akan saponin, terutama triterpen glikosida.
Senyawa ini mempunyai aktivitas sebagaimana tonik yang
berasal dari ginseng, ganoderma dan tumbuhan. Secara
farmakologis, saponin juga menunjukkan aktivitas sebagai
anti-inflamasi dan antikanker (Dharmananda, 2003).
Gambar 2.3 Senyawa saponin triterpenoid (Hassan, 2008)
2.3 Tinjauan Umum Paru-Paru
2.3.1 Anatomi Paru
Paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan
berisi udara yang terletak di rongga toraks. Paru merupakan
jalinan atau susunan bronkus bronkiolus, bronkiolus
respiratori, alveoli, sirkulasi paru, saraf, dan sistem limfatik.
Paru adalah alat pernapasan utama yang merupakan organ
berbentuk kerucut apeks di atas dan sedikit lebih tinggi dari
klavikula di dalam dasar leher (Sloane, 2003).
Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fisura. Paru
kanan dibagi menjadi 3 lobus oleh 2 fisura, sedangkan paru
kiri terbagi 2 lobus oleh 1 fisura. Paru memiliki hilus paru
yang dibentuk oleh arteri pulmonalis, vena pulmonalis,
bronkus, arteri bronkialis, vena bronkialis, pembuluh limfe,
persarafan, dan kelenjar limfe (Moore Dkk., 2009).
Paru dibungkus oleh membran serosa yang disebut
pleura. Pleura yang melapisi rongga dada disebut pleura
parietalis. Pleura yang menyelubungi paru disebut pleura
visceralis. Di antara pleura parietalis dan pleura visceralis
terdapat suatu lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi untuk
memudahkan permukaan bergerak selama pernapasan dan
untuk mencegah pemisahan thoraks dan paru (Price dan
Wilson, 1995).
2.3.2 Struktur Histologi Paru
2.3.2.1 Bronkiolus Intrapulmonal
Bronkus intrapulmonal biasanya dikenali dari
adanya beberapa lempeng tulang rawan yang letaknya
berdekatan. Epitelnya adalah epitel bertingkat semu
silindris bersilia dengan sel goblet. Sel goblet adalah sel
penghasil lendir, berbentuk mirip piala. Dinding sel
terdiri dari lamina propria tipis, selapis tipis otot polos,
submukosa dengan kelenjar bronkial, lempeng tulang
rawan hialin, dan adventisia (Eroschenko, 2003).
2.3.2.2 Bronkiolus
Bronkiolus merupakan segmen saluran
konduksi yang terdapat di dalam lobulus paru.
Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan maupun
kelenjar dalam mukosanya tetapi rongganya masih
mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai
epitelium berbentuk kubus bersilia. Selain silia,
bronkiolus juga menghasilkan mukus yang berfungsi
sebagai pembersih udara. Struktur mukosa berlipat dan
otot polos yang mengelilingi lumennya relatif banyak
(Eroschenko, 2003).
2.3.2.3 Bronkiolus Terminalis
Bronkiolus terminalis merupakan bagian
konduksi saluran napas terkecil yang menampakkan
mukosa berombak dengan epitel silindris bersilia dan
sudah tidak dijumpai lagi sel goblet. Lamina propria
tipis, selapis otot polos yang berkembang baik, dan
masih ada adventisia. Pada bronkiolus terminalis
terdapat sel kuboid tanpa silia, yang disebut sel clara.
Fungsi sel ini adalah mensekresi surfaktan (Eroschenko,
2003).
2.3.2.4 Bronkiolus Respiratorius
Setiap bronkiolus terminalis bercabang menjadi
dua atau lebih bronkiolus respiratorius yang berfungsi
sebagai peralihan antara bagian konduksi dan bagian
respirasi dari sistem pernapasan. Bronkiolus
respiratorius langsung berhubungan dengan duktus
alveolaris dan alveoli. Epitel pada bronkiolus ini adalah
selapis silindris rendah atau kuboid dan dapat bersilia di
bagian proksimal. Jaringan ikat dalam otot polos
terdapat dalam jumlah sedikit disertai dengan serat
elastin lamina propria dan pembuluh darah. Setiap
alveolusterdapat pada dinding bronkus respiratorius
berupa kantung-kantung kecil. Jumlah alveoli makin
bertambah ke arah distal. Epitel dan otot polos pada
bronkiolus respiratorius distal tampak sebagai daerah
terputus-putus dan kecil di muara alveoli (Eroschenko,
2003).
2.3.2.5 Duktus Alveolaris
Bagian terminal setiap bronkiolus respiratorius
bercabang menjadi beberapa duktus alveolaris. Dinding
duktus alveolaris biasanya dibentuk oleh sederetan
alveoli yang saling bersebelahan (Eroschenko, 2003).
2.3.2.6 Alveolus
Jumlah alveolus (Gambar 1) mencapai 300 juta
buah. Dengan adanya alveolus, luas permukaan seluruh
Sel alveolus diperkirakan mencapai 100 kali lebih luas
daripada luas permukaan tubuh. Dinding alveolus
mengandung kapiler darah yang memungkinkan
terjadinya difusi gas. Alveoli dilapisi selapis sel alveolar
gepeng dan sangat tipis (sel alveolar tipe I). Sel
iniletaknya rapat pada endotel pelapis kapiler dan
membentuk sawar udara- darah untuk respirasi. Sel
alveolar tipe I merupakan lapisan tipis yangmenyebar
menutupi lebih dari 90 % daerah permukaan paru
(Eroschenko, 2003).
Gambar 2.4 Struktur alveolus paru-paru (Campbell Dkk,
1999)
Gambar 2.5 Gambaran mikroskopis Alveolus paru-
paru yang normal (Toole, 1999)
Selain itu, alveoli juga mengandung sel alveolar
besar (sel alveolar tipe II). Sel tersebut menghasilkan
produk kaya fosfolipid, yang disebut surfaktan.
Surfaktan menutupi permukaan sel alveolar,
membasahinya, dan menurunkan tegangan permukaan
alveolar. Makrofag alveolar terdapat di dalam jaringan
ikat septa interalveolar dan di dalam alveoli. Di dalam
septa interalveolar juga terdapat banyak kapiler darah,
arteri dan vena pulmonalis, duktus limfatik, dan saraf
(Eroschenko, 2003).
2.3.3 Gejala Kerusakan Saluran Pernapasan
Gangguan pada pernapasan biasanya disebabkan oleh
kelainan dan penyakit yang menyerang alat-alat pernapasan.
Beberapa jenis kelainan dan penyakit pada pernapasan sebagai
berikut.
1. Asfiksi, yaitu kelainan atau gangguan dalam pengangkutan
oksigen ke jaringan atau gangguan penggunaan oksigen
oleh jaringan. Penyebabnya dapat terletak di paru-paru, di
pembuluh darah, atau dalam jaringan tubuh. Misalnya:
seseorang yang tenggelam, alveolus-nya terisi air; orang
yang menderita pneumonia, alveolus-nya terisi cairan
limfa; serta orang yang keracunan karbon monoksida dan
asam sianida, Hb-nya tercemar oleh zat racun tersebut.
Keracunan karbon monoksida dan asam sianida terjadi
karena kedua zat ini memiliki afinitas terhadap hemoglobin
lebih besar daripada oksigen.
2. Penyempitan atau penyumbatan saluran napas. Dapat
disebabkan oleh pembengkakan kelenjar limfa, misalnya
polip (di hidung) dan amandel (di tekak), yang
menyebabkan penyempitan saluran pernapasan sehingga
menimbulkan kesan wajah bodoh dan sering disebut wajah
adenoid. Penyempitan ini dapat pula terjadi karena saluran
pernapasannya yang menyempit akibat alergi, misalnya
pada asma bronkiale.
Gambar 2.6 Berbagai penyakit pada paru-paru (Mader, 1997)
3. Anthrakosis, yaitu kelainan pada alat pernapasan yang
disebabkan oleh masuknya debu tambang. Jika yang masuk
debu silikat, disebut silicosis.
4. Bronkitis, terjadi karena peradangan bronkus.
5. Pleuritis, yaitu peradangan selaput (pleura) karena pleura
mengalami penambahan cairan intrapleura, akibatnya
timbul rasa nyeri saat bernapas.
6. Tuberkulosis (TBC), yaitu penyakit paru-paru karena
Mycobacterium tuberculosis, tandanya terbentuk bintik-
bintik kecil pada dinding alveolus.
7. Pneumonia atau logensteking, yaitu penyakit radang
paruparu yang disebabkan Diplococcus pneumonia.
8. Penyakit diphteri, misalnya diphteri tekak, tenggorokan,
dan diphteri hidung. Penyakit ini biasa menyerang saluran
pernapasan anak bagian atas. Kuman penyebabnya
Corynebacterium diphteriae. Kuman diphteri tersebut
mengeluarkan racun dan bila racun ini beredar bersama
darah, akan merusak selaput jantung.
9. Faringitis, yaitu infeksi pada faring oleh bakteri dan virus.
Gejalanya adalah kerongkongan terasa nyeri saat menelan.
10. Tonsilitis, yaitu radang karena infeksi oleh bakteri tertentu
pada tonsil. Gejalanya yaitu tenggorokan sakit, sulit
menelan, suhu tubuh naik, demam, dan otot-otot terasa
sakit.
11. Kanker paru-paru, biasa diderita oleh perokok. Kanker ini
disebabkan oleh adanya tumor ganas yang terbentuk di
dalam epitel bronkiolus.
12. Asma, yaitu gangguan pada rongga saluran pernapasan
yang diakibatkan oleh berkontraksinya otot polos pada
trakea. Hal ini akan mengakibatkan penderita sukar
bernapas.
13. Influenza, disebabkan oleh virus yang menimbulkan radang
pada selaput mukosa di saluran pernapasan.
14. Emfisema, yaitu suatu penyakit yang terjadi karena
ketidaknormalan (abnormalitas) susunan dan fungsi
alveolus. Akibatnya, terjadi inefisiensi pengikatan O2
sehingga pernapasan menjadi sulit.
(Darmawan, 2013).
Gambar 2.7 Alveolus paru-paru yang rusak disebabkan
emfisema (Toole, 1999)
2.4 Tinjauan Umum Mencit Mencit merupakan salah satu hewan yang sering dipakai untuk
percobaan. Hewan ini paling kecil diantara jenisnya dan memiliki
galur mencit yang berwarna putih. Mencit termasuk hewan pengerat
(rodentia) yang dapat dengan cepat berkembang biak. Pemeliharan
hewan ini relative muda, walaupun dalam jumlah yang banyak.
Pemeliharaannya ekonomis dan efisien dalam hal tempat dan biaya.
Mencit memiliki variasi genetic cukup besar serta sifat anatomis dan
fisiologinya terkarakterisasi dengan baik (Malole & Pramono, 1989).
Adapun klasifikasi dari mencit (Mus musculus) :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus Musculus. SW
(Pribadi, 2008).
Mus musculus rumah merupakan hewan yang satu spesies
dengan Mus musculus yang sering digunakan sebagai hewan uji di
laboratorium (Smith & Mangkoewidjojo, 1988).
Mencit merupakan hewan percobaan yang sering digunakan
dalam penelitian in vivo. Tetapi karena hewan ini paling kecil
diantara berbagai jenis hewan percobaan dan memliki banyak galur,
maka hewan ini disebut mencit. Mencit liar atau mencit rumah
adalah hewan semarga dengan mencit laboratorium. Hewan tersebut
tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan di dekat atau di dalam
gedung dan rumah yang dihuni manusia. Mencit juga banyak
ditemukan di daerah lain yang tidak dekat dengan manusia, jika ada
makanan dan tempat berlindung. Semua galur mencit laboratorium
yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah
melalui peternakan selektif (Yuwono, 2009).
Mus musculus jantan dan betina muda sukar untuk dibedakan.
Mus musculus betina dapat dikenali karena jarak yang berdekatan
antar lubang anus dan lubang genitalnya. Testis pada Mus musculus
jantan pada saat matang seksual terlihat sangat jelas, berukuran
relatif besar dan biasanya tidak tertutup oleh rambut. Testis dapat
ditarik masuk ke dalam tubuh. Mus musculus betina memiliki lima
pasang kelenjar susu dan putting susu sedang pada Mus musculus
jantan tidak dijumpai (Suckow Dkk., 2006).
Mencit laboratorium mempunyai berat badan yang hampir
sama dengan mencit liar, yaitu 18-20 gram pada umur 4 minggu dan
30-40 gram pada umur 6 minggu atau lebih. Setelah diternakkan
secara selektif sejak tahun 1920, sekarang ada berbagai warna dan
timbul banyak galur dengan berat badan berbeda-beda. Mencit
laboratorium dapat di kandang dalam kotak sebesar kotak sepatu.
Kotak dapat dibuat dari berbagai macam bahan, misalnya plastik
(polipropilen atau polikarbonat), aluminium, atau baja tahan karat
(stainless steel). Kadang-kadang mencit dapat ditempatkan di
kandang yang mempunyai dinding dan lantai dari kawat (Yuwono,
2009).
Kualitas makanan berpengaruh pada kondisi mencit,
diantaranya pada bagian mata, hidung, gerak, dan rambut yang dapat
mempengaruhi kemampuan mencit mencapai potensi genetik untuk
tumbuh, berbiak, umur, atau reaksi terhadap pengobatan dan lain-
lain. Oleh karena itu status makanan hewan yang diberikan dalam
percobaan biomedis mempunyai pengaruh nyata pada kualitas hasil
percobaan. Persiapan dalam menyediakan makan mencit yang
lengkap termasuk memperhatikan kira-kira 50 komponen penting
(Suckow Dkk., 2006).
Persiapan ini meliputi membuat resep dan membuat makanan
sehingga mengandung komponen-komponen dengan kadar yang
diperlukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang
mempunyai pengaruh terhadap kualitas makanan termasuk apakah
bahan makanan mudah dicerna, lezat, dan mencit berselera untuk
makan, cara menyiapkan dan menyimpan makanan serta konsentrasi
zat kimia atau bahkan bahan pencemar (Suckow Dkk., 2006).
Gambar 2.8 Anatomi mencit (Saragih, 2012).
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
BAB III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama ± 5 bulan pada bulan
Oktober 2016 sampai dengan Februari 2017 yang dilaksanakan di
laboratorium fisiologi hewan Fakultas Sains Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dan laboratorium biofisika
Universitas Brawijaya.
3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain
mikroskop, box plastic kandang mencit, alat bedah, sonde lambung,
pipet tetes, masker dan sarung tangan. Sedangkan bahan yang
digunakan untuk penelitian ini antara lain pestisida diazinon, ekstrak
teripang, mencit, pelet, air mineral, aquades, klorofoam, formalin,
alkohol, xilol, ethanol, sekam, paraffin, dan hemaktosilin-eosin.
3.3. Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian ini dapat dilihat pada bagan dibawah ini:
Gambar 3.1 Tahapan Penelitian
Persiapan Sampel
Pengukuran dosis pestisida dan antioksidan
Perlakuan terhadap hewan Uji (K+, D-, dan D+)
Pembuatan preparat organ paru-paru
Pengamatan gambaran mikroskopis
Analisa dan hasil
Mulai Selesai
Mulai
3.3.1 Persiapan sampel
Pada penelitian ini sampel yang digunakan berupa
mencit dengan jumlah 55 ekor dengan kondisi seluruh hewan
uji dalam keadaan sehat. Hewan uji diletakkan dalam box
plastic kandang dengan diberi sekam, pellet dan air mineral.
Masing-masing kandang berisi 5 mencit dengan jumlah
kandang sebanyak 11 buah. Hewan uji dari penelitian ini dapat
dikelompokan menjadi 3, antara lain:
Tabel 3. 1 Kelompok perlakuan hewan uji coba
Terdapat lima variasi dosis pestisida diazinon pada
kelompok perlakuan D- dan lima variasi dosis antioksidan
pada kelompok perlakuan D+ yang disajikan dalam bentuk
tabel 3.2
Tabel 3.2 Persiapan pengelompokan dosis pestisida dan
antioksidan
Kontrol
Positif
Tanpa pemberian pestisida diazinon dan
tanpa diberi ekstrak tripang
Diazinon
Negatif
1 Pemberian pestisida dengan dosis 50 mg/1
liter aquades
2 Pemberian pestisida dengan dosis 75 mg/1
liter aquades
3 Pemberian pestisida dengan dosis 100 mg/1
liter aquades
4 Pemberian pestisida dengan dosis 125 mg/1
liter aquades
5 Pemberian pestisida dengan dosis 150 mg/1
Kelompok
Perlakuan
Pestisida diazinon Ekstrak teripang
K+ - -
D- + -
D+ + +
liter aquades
Diazinon
Positif
1 Pemberian pestisida dengan dosis maksimal
(D(m)) dan pemberian ekstrak tripang
0,01714 ml
2 Pemberian pestisida dengan dosis maksimal
(D(m)) dan pemberian ekstrak tripang
0,03428 ml
3 Pemberian pestisida dengan dosis maksimal
(D(m)) dan pemberian ekstrak tripang
0,051428 ml
4 Pemberian pestisida dengan dosis maksimal
(D(m)) dan pemberian ekstrak tripang
0,068571 ml
5 Pemberian pestisida dengan dosis maksimal
(D(m)) dan pemberian ekstrak tripang
0,08571 ml
3.3.2 Pengukuran dosis pestisida diazinon
Dosis pestisida diazinon yang dianjurkan untuk sekali
penyemprotan pada tanaman yang terdapat hama tanaman
adalah 50 mg/L dimana dosis tersebut untuk semua jenis
paparan baik manusia, hewan, maupun tumbuhan maka
didapatkan dosis bertingkat pestisida diazinonuntuk mencit:
Dosis 1 = 50 mg/L diberikan selama 14 hari
Dosis 2 = 75 mg/L diberikan selama 14 hari
Dosis 3 = 100 mg/L diberikan selama 14 hari
Dosis 4 = 125 mg/L diberikan selama 14 hari
Dosis 5 = 150 mg/L diberikan selama 14 hari
3.3.3 Pengukuran dosis ekstrak teripang
Dosis ekstrak teripang untuk manusia adalah 20
ml dengan anjuran minum 3 kali sehari. Sehingga dalam satu
hari manusia mengkonsumsi 60 ml ekstrak teripang. konversi
dosis dari manusia ke mencit adalah:
0,01714 ml
Jumlah dosis yang diberikan ke mencit dalam
satu hari adalah 0,01714 ml ekstrak teripang. Maka didapatkan
dosis bertingkat ekstrak teripang untuk mencit :
Dosis 1 = 0,01714 ml
Dosis 2 = 0,03428 ml
Dosis 3 = 0,051428 ml
Dosis 4 = 0,068571 ml
Dosis 5 = 0,08571 ml
3.3.4 Persiapan Alat dan Perlakuan
Rangkaian alat pada penelitian dimulai dari persiapan
sonde lambung. Percobaan ini dibagi menjadi dua tahap yaitu,
tahap pertama (1) pemberian pestidisa diazinon dan tahap
kedua (2) pemberian diazimon dengan dosis efektif dan
antioksidan ekstrak teripang.
1. Tahap 1
Gambar 3.2 Rangkaian Alat Tahap 1
Keterangan:
1. Sonde lambung
2. Pestisida diazinon
3. Mencit
1
2 3
2. Tahap 2
Gambar 3.3 Rangkaian Alat Tahap 2
Keterangan:
1. Petisida diazinon
2. Ektrak teripang
3. Sonde lambung
4. Mencit
3.3.4.1 Pestisida yang Digunakan
Pestisida yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pestisida dengan jenis insektisida golongan
organofosfat mengandung senyawa aktif diazinon.
Pestisida ini merupakan pestisida yang banyak
digunakan dalam bidang pertanian.
1 2
3
4
3.3.4.2 Persiapan Ekstrak Teripang
Ekstrak teripang yang diberikan kepada mencit
berupa cairan yang sudah dijual dipasaran. Ekstrak
teripang diberikan pada mencit dengan cara oral
menggunakan sonde lambung. Dosis ekstrak teripang
yang diberikan pada mencit disesuaikan dengan berat
badan mencit.
3.3.5 Pembuatan preparat
Pengukuran sampel pada penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Mencit dibius menggunakan klorofoam kemudian
mencit dimasukkan dalam kotak sampai terlihat lemas
2. Mencit yang telah dibedah, diambil sampel organ paru-
paru
3. Kemudian difiksasi dengan cara direndam dalam
formalin 10% selama lebih dari 24 jam
4. Dimasukkan kedalam larutan etanol secara bertingkat
etanol 70%, 80%, 90%, 95% dan 96% selama 30 menit.
Khusus untuk etanol 95% dan 96% dilakukan 2 kali
perendaman.
5. Preparat kemudian dimasukkan kedalam xilol selama 3
x 30 menit
6. Preparat dipindahkan kedalam paraffin cair dalam blok
preparat
7. Dicetak preparat dipotong dan ditempelkan pada objek
gelas yang telah diberi entelan dan dipanaskan dengan
suhu 2-5 C dibawah titik lebur paraffin (sekitar 40 C)
sampai kering
8. Dimasukkan kedalam xylol murni selama 5-10 menit
9. Ambil preparat dan masukkan kedalam larutan etanol
berturut-turut 96%, 95%, 90%, 80% dan 70% selama 5-
10 menit
10. Dicuci dengan air kemudian diwarnai menggunakan
hemaktosilin-eosin selama 1-2 menit
11. Bilas dengan air, kemudian dikeringkan pada suhu
kamar dan ditutup dengan obyek gelas
12. Diamati di mikroskop dengan pembesaran 100 kali.
3.4 Pengamatan dan Analisis data
3.4.1 Cara membaca data dari preparat
Cara membaca data dari preparat dari penelitian ini
dengan meletakkan preparat yang telah disiapkan di bawah
mikroskop. Kemudian preparat diatur sampai objek yang akan
teramati dapat terlihat jelas dengan perbesaran mikroskop 400
kali. Setelah objek terlihat dilakukan pengambilan gambar
serta mengamati bagian-bagian dalam sampel antara lain:
1. Luas sampel
2. Kerusakan sel dengan menghitung jumlah sel rusak
dalam satu sampel
3. Sel sehat
Kemudian lakukan pengulangan pembacaan data untuk sampel
dengan sisi yang berbeda dalam satu preparat. Pembacaan data
dilakukan minimal 5 sampel.
3.4.2 Perhitungan kerusakan dan perbaikan sel
Setelah proses pembacaan data dari penelitian ini selesai
selanjutnya akan dilakukan pengolahan data dengan
menggunakan Microsoft Excel 2010 untuk mengetahui
persentase kerusakan dan perbaikan sel darah dengan rumus
perhitungan persentase kerusakan sebagai berikut:
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Pada persiapan hewan coba, mencit terbagi atas tiga kelompok
perlakuan. Kelompok pertama tanpa pemberian pestisida dan
antioksidan disebut sebagai kelompok perlakuan kontrol. Kelompok
kedua yaitu dengan pemberian pestida dan tanpa pemberian
antioksidan disebut sebagai kelompok perlakuan D-. Kelompok
ketiga yaitu dengan pemberian pestisida dan antioksidan disebut
sebagai kelompok perlakuan D+.
Penelitian dilakukan dengan dua tahapan. Tahap pertama di
lakukan pada kelompok kontrol dan kelompok D- dengan variasi
dosis pestisida pada kelompok perlakuan D- sebesar 50 mg/L
aquades, 75 mg/L aquades, 100 mg/L aquades, 125 mg/L aquades,
150 mg/L aquades. Tahap kedua dilakukan pada kelompok D+
dengan variasi dosis antioksidan ekstrak teripang 0,02 ml/kg BB
mencit; 0,03 ml/kg BB mencit; 0,05 ml/ kg BB mencit; 0,07 ml/ kg
BB mencit; 0,09 ml/ kg BB mencit. Terdapat mencit sebanyak lima
ekor pada masing-masing variasi dosis, baik tahap pertama maupun
tahap kedua.
Sebelum dilakukan perlakuan, mencit terlebih dahulu
diaklimatisasi selama tujuh hari, hal ini dilakukan untuk penyesuaian
lingkungan agar mencit tidak mengalami stress yang dapat
mengganggu berlangsungnya penelitian. Perlakuan dilakukan selama
14 hari kemudian dilakukan pembadahan dan pembuatan preparat
organ paru-paru. Pembuatan preparat dilakukan untuk semua
kelompok perlakuan, maka didapat sebanyak 55 preparat organ paru-
paru, kemudian dilakukan pengamatan.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop
binokuler untuk melihat gambaran mikroskopis dari organ paru-paru
mencit. Pengamatan dilakukan dengan mengambil lima lapang
pandang pada masing-masing preparat sehingga didapat gambar
mikroskopis sebanyak 275 gambar. Pada gambaran mikroskopis
dilakukan perhitungan kerusakan dengan menggunakan software
Image Raster. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan MS.
Excel maka akan didapat persentase kerusakan organ paru-paru.
Persentase kerusakan didapat dari perhitungan melalui rumus jumlah
sel organ paru-paru rusak dibagi dengan jumlah sel total dikalikan
100 persen. Dilakukan analisa terhadap data persentase kerusakan
organ dengan tujuan memperoleh hasil dan informasi yang berkaitan
dengan penelitian ini.
4.1.1 Pengamatan Kerusakan Organ Paru-paru Mencit
(Mus musculus)
Hasil pengamatan menunjukan bahwa pemberian
pestisida dapat menyebabkan perubahan dan kerusakan
struktur organ paru-paru mencit. Perubahan struktur organ
paru-paru mencit dapat dilihat pada gambaran
mikroskopisnya. Terdapat dua jenis kerusakan yang
diakibatkan dari pemberian pestisida yaitu destruksi septum
alveolar (DSA) dan emfisema. Dekstruksi septum alveolar
ditandai dengan menipisnya dindingalveolus yang berdekatan.
Emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal (PDPI, 2003).
Gambar 4.1 Gambaran mikroskopis organ paru-paru mencit
kelompok kontrol perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: emfisema
Dapat dilihat pada Gambar 4.1 bahwa terdapat alveolus
normal dalam jumlah banyak, sedikit penipisan pada dinding
sel dan nekrosis pada sel. Penipisan yang terjadi pada dinding
sel dan nekrosis menunjukan adanya suatu kerusakan.
Terdapat kerusakan pada kelompok kontrol meskipun tidak
diberi pestisida maupun antioksidan disebabkan oleh adanya
variabel luar yang tidak bisa dikendalikan seperti kondisi
psikologik mencit, imunitas mencit, dan daya regenerasi
masing-masing mencit.
Gambar 4.2 Gambaran mikroskopis organ paru-paru mencit
kelompok D- dosis pestisida 50 mg/L aquades dengan
perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: emfisema
Gambar 4.3 Gambaran mikroskopis organ paru-paru mencit
kelompok D- dosis pestisida 75 mg/L aquades dengan
perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: emfisema
Gambar 4.4 Gambaran mikroskopis organ paru-paru mencit
kelompok D- dosis pestisida 100 mg/L aquades dengan
perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: emfisema
Gambar 4.5 Gambaran mikroskopis organ paru-paru
mencitkelompok D- dosis pestisida 125 mg/L aquades dengan
perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: emfisema
Gambar 4.6 Gambaran mikroskopis organ paru-paru
mencitkelompok D- dosis pestisida 150 mg/L aquades dengan
perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: emfisema
Pada Gambar 4.2 – Gambar 4.6 kerusakan organ
mengalami peningkatan. Ditemukan banyak membran
alveolus tidak utuh, mengalami pelebaran lumen dan
hubungan antar alveolus tidak rapat. Dapat dilihat bahwa
variasi dosis pestisida menunjukan perbedaan terhadap
struktur histologi organ paru-paru. Kerusakan meningkat
seiring dengan bertambahnya dosis pestisida. Pengamatan
gambaran mikroskopis organ paru-paru pada kelompok ini
menghasilkan data persentase kerusakan. Data didapatkan
melalui proses perhitungan jumlah sel yang mengalami
dekstruksi septum alveolar dan emfisema sel sel normal. Dari
data persentase kerusakan tersebut, dapat diperoleh grafik
persentase kerusakan organ paru-paru mencit terhadap
pemberian pestisida dengan variasi dosis.
Gambar 4.7 Gambaran mikroskopis organ paru-paru mencit
kelompok D+ dosis antioksidan 0,02 ml/kg BB mencit dengan
perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: Emfisema
Gambar 4.8 Gambaran mikroskopis organ paru-paru mencit
kelompok D+ dosis antioksidan 0,03 ml/kg BB mencit dengan
perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: emfisema
D+(2)
Gambar 4.9 Gambaran mikroskopis organ paru-paru mencit
kelompok D+ dosis antioksidan 0,05 ml/kg BB mencit dengan
perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: emfisema
Gambar 4.10 Gambaran mikroskopis organ paru-paru mencit
kelompok D+ dosis antioksidan 0,07 ml/kg BB mencit dengan
perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: emfisema
D+(3)
D+(4)
D+(5
)
Gambar 4.11 Gambaran mikroskopis organ paru-paru mencit
kelompok D+ dosis antioksidan 0,03 ml/kg BB mencit dengan
perbesaran 100x
: Normal
: Dekstruksi septum alveolar
: emfisema
Pada Gambar 4.7 – Gambar 4.11 dapat dilihat bahwa
kerusakan organ mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan gambaran mikroskopis kelompok perlakuan D- pada
dosis efektif. Dari data pengamatan tersebut dapat diperoleh
grafik persentase kerusakan organ paru-paru mencit terhadap
pemberian antioksidan ekstrak teripang dengan variasi dosis
0,02 ml/kg BB mencit, 0,02 ml/kg BB mencit, 0,02 ml/kg BB
mencit, 0,02 ml/kg BB mencit dan 0,02 ml/kg BB mencit.
Persentasi kerusakan organ paru-paru mencit di dapat dari
perhitungan sel yang mengalami desktruksi septum alveolar,
emfisema serta banyaknya sel normal.
4.1.2 Pengaruh Pemberian Pestisida terhadap Kerusakan
Organ Paru-paru pada Mencit
Pada pengamatan gambaran mikroskopis organ paru-
paru dihasilkan data persentase kerusakan dari proses
perhitungan. Data tersebut digambarkan dalam sebuah grafik
polinomial orde dua yang menyatakan hubungan antara
persentase kerusakan dengan pemberian pestisida pada mencit.
Grafik hubungan antara persentase kerusakan dengan
pemberian pestisida pada mencit dapat dilihat pada Gambar
4.12 – Gambar 4.14.
Pada Gambar 4.12 dan Gambar 4.13 dapat dilihat bahwa
persentasi kerusakan mengalami kenaikan. Pada grafik
kerusakan emfisema (Gambar 4.12) nilai kerusakan di titik
kontrol sebesar 11,59% dan mengalami kenaikan hingga
22,52% pada dosis 150 mg/L aquades, didapatkan persamaan
y = 0.0003x2 + 0.0268x+11.223 dan nilai R² = 0.9675. Pada
grafik kerusakan destruksi septum alveolar (Gambar 4.13)
nilai kerusakan di titik kontrol sebesar 2,03% dan mengalami
kenaikan hingga 17,59% pada dosis 150 mg/L aquades,
didapatkan persamaan y = 0.0002x2+0.0721x+2.2938 dan nilai
R² = 0.9776.
Gambar 4. 12 Grafik persentase kerusakan emfisema organ
paru-paru mencit terhadap dosis pestisida diazinon mg/L
0
5
10
15
20
25
30
0 50 100 150
Per
senta
se K
erusa
kan
(%
)
Dosis Pestisida Diazinon (mg/L)
Grafik Kerusakan Emfisema Organ Paru-Paru
Akibat Pemberian Diazinon
Gambar 4.13 Grafik persentase kerusakan dekstruksi septum
alveolar organ paru-paru mencit terhadap dosis pestisida diazinon
mg/L
Gambar 4.14 Grafik persentase sel normal organ paru-paru
mencit terhadap dosis pestisida diazinon mg/L
Gambar 4.14 merupakan grafik sel normal. Grafik
tersebut (Gambar 4.14) menunjukan trendline berbeda dari
Gambar 4.12 dan Gambar 4.13. Grafik mengalami penurunan
dari nilai 86,38% di titik kontrol hingga 59,88% pada dosis
150 mg/L aquades. Dari ketiga gambaran grafik tersebut dapat
dibuktikan bahwa semakin banyak dosis pestisida yang
0
5
10
15
20
0 50 100 150
Per
sen
tase
Ker
usa
kan
(%
)
Dosis Pestisida Diazinon (mg/L)
Grafik Kerusakan Dekstruksi Septum Alveolar
Organ Paru-Paru Akibat Pemberian Diazinon
0
20
40
60
80
100
0 50 100 150
Per
sen
tase
Ker
usa
kan
(%
)
Dosis Pestisida Diazinon (mg/L)
Grafik Sel Normal Organ Paru-Paru Akibat
Pemberian Diazinon
diberikan maka nilai persentasi kerusakan organ semakin
tinggi.
4.1.3 Pengaruh Pemberian Antioksidan terhadap
Kerusakan Alveolus Organ Paru-paru pada Mencit Pada Gambar 4.15 dan Gambar 4.16 dapat dilihat bahwa
persentasi kerusakan mengalami penurunan. Pada grafik
kerusakan emfisema (Gambar 4.15) nilai kerusakan di titik
kontrol sebesar 19,46% dan mengalami penurunan hingga
12,76% pada dosis 0,09 ml/kg BB mencit, didapatkan
persamaan y = 567.42x2-122.58x+19.595 dan nilai R² =
0.9303. Pada grafik kerusakan destruksi septum alveolar
(Gambar 4.16) nilai kerusakan di titik kontrol sebesar
15,38% dan mengalami penurunan hingga 8,30% pada dosis
0,09 ml/kg BB mencit, didapatkan persamaan y = 597.7x2 -
131.42x + 15.401 dan nilai R² = 0.9811.
Gambar 4.15 Grafik persentase kerusakan emfisema organ
paru-paru mencit terhadap dosis antioksidan ml/kg BB mencit
0
5
10
15
20
25
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1
Per
senta
se K
erusa
kan
(%
)
Dosis Antioksidan (ml/kg BB mencit)
Grafik Kerusakan Emfisema Organ Paru-Paru Setelah
Mendapat Antioksidan
Gambar 4.16 Grafik persentase kerusakan dekstruksi septum
alveolus organ paru-paru pada mencit terhadap dosis
antioksidan ml/kg BB mencit
Gambar 4.17 Grafik persentase sel normal organ paru-paru
pada mencit terhadap dosis antioksidan ml/kg BB mencit
Gambar 4.17 merupakan grafik sel normal. Grafik
tersebut (Gambar 4.17) menunjukan trendline berbeda dari
Gambar 4.15 dan Gambar 4.16. Grafik mengalami kenaikan
0
5
10
15
20
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1
Per
senta
se K
erusa
kan
(%
)
Dosis Antioksidan (ml/kg BB mencit)
Grafik Kerusakan Dekstruksi Septum AlveolarOrgan
Paru-Paru Setelah Mendapat Antioksidan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1
Per
senta
se K
erusa
kan
(%
)
Dosis Antioksidan (ml/kg BB mencit)
Grafik Sel Normal Organ Paru-Paru Setelah Mendapat
Antioksidan
dari nilai 64,98% di titik kontrol hingga 78,93% pada dosis
150 mg/L aquades. Hasil statistik dari penelitian ini
menunjukan bahwa pemberian antioksidan teripang mampu
memperbaiki kerusakan sel yang diakibatkan oleh kontaminasi
pestisida diazinon.
4.2 Pembahasan
Pada penelitian ini, kerusakan organ paru-paru mencit dinilai
berdasarkan adanya destruksi septum alveolar dan emfisema. Hasil
menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan D-
serta kelompok perlakuan D-
dan
kelompok perlakuan D+. Terdapat kerusakan sel pada kelompok
kontrol. Hal tersebut disebabkan oleh adanya variabel luar yang tidak
bisa dikendalikan seperti kondisi psikologik mencit, imunitas mencit,
dan daya regenerasi masing-masing mencit.
Hasil dari persentasi kerusakan organ paru-paru pada
kelompok perlakuan D-
lebih tinggi dari kelompok Kontrol. Nilai
tersebut menunjukan bahwa pestisida diazinon memiliki efek toksik
dan merupakan zat yang dapat merusak struktur organ.
Pada kelompok perlakuan D+ efek toksik pestisida diazinon
direduksi dan dicegah pembentukannya oleh antioksidan yang
terdapat pada ekstrak teripang. Antioksidan terbanyak yang
terkandung dalam ekstrak teripang yaitu saponin triterpenoid.
Senyawa ini tergolong radical scavenging antioxidants yang
berfungsi mencegah terbentuknya radikal bebas dan menghancurkan
radikal bebas yang telah terbentuk.
4.2.1 Mekanisme Toksisitas
Insektisida Diazinon termasuk ke dalam golongan
pestisida organofosfat. Insektisida yang tergolong kedalam
pestisida organofosfat memiliki toksisitas lebih tinggi di
antara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan
keracunan pada manusia. Bila tertelan, meskipun hanya dalam
jumlah sedikit, dapat menyebabkan kematian.
Pestisida masuk ke dalam tubuh melalui tiga cara yakni
bersama dengan makanan, saluran pernapasan dan permukaan
kulit. Mekanisme kerja insektisida di dalam tubuh yaitu
dengan menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma
dan kholinesterase dalam sel darah merah dan pada
sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal
menghidrolisis acetylcholine menjadi asetat dan kholin. Pada
saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah
acetylcholine meningkat dan berikatan dengan reseptor
muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer.
Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang
berpengaruh pada seluruh bagian tubuh (Raini, 2007).
4.2.2 Interaksi Antioksidan dengan Radikal Bebas
Diazinon yang masuk ke dalam tubuh mencit akan
mengalam biodegradasi melalui enzim yang berperan sebagai
biokatalis (Liu Dkk., 2007). Biodegradasi merupakan proses
yang melibatkan perubahan struktur suatu senyawa oleh
pengaruh biologis (Fauzi, 1996). Pembiodegradasi pada
penelitian ini adalah enzim monooksidase. Enzim
monooksidase merupakan enzim intraseluler yang dihasilkan
di dalam sel. komponen heterosiklik pada diazinon diaktivasi
oleh enzim monooksidase yang membentuk derivative P = O
menghasilkan diazoxon dapat dilihat pada Gambar 4.18
(Jumbriah, 2006).
Diazoxon memiliki sifat lebih toksik dari pada diazinon
karena adanya aktivitas anti asetilkkholinerase (Zhang, 1999).
Aktivitas anti asetilkkholinerase menyebabkan diazoxon lebih
berpotensi dalam penghambatan cholinesterase dibandingkan
dengan diazinon (Ahokas Dkk, 1987).
Gambar 4.18. Reaksi oksidasi senyawa diazinon dengan
enzim monooksidase berubah menjadi senyawa diazoxon
Reaksi diazinon dengan enzim monooksidase dalam
tubuh menyebabkan diazinon berpotensi sebagai radikal bebas.
Radikal bebas bersifat reaktif dan dapat menimbulkan
kerusakan pada komponen sel seperti DNA, lipid, protein dan
karbohidrat. Kerusakan tersebut dapat menimbulkan berbagai
+ monooksidase O
kelainan biologis seperti kanker dan penyakit degeneratif
lainnya (Soeksmanto Dkk., 2007).
Penyakit degeneratif ini disebabkan karena antioksidan
yang ada di dalam tubuh tidak mampu menetralisir
peningkatan konsentrasi radikal bebas. Tubuh memerlukan
suatu substansi penting yaitu antioksidan yang mampu
menangkap radikal bebas berlebih yang masuk sehingga
radikal bebas tersebut tidak dapat menginduksi suatu penyakit
(Andayani Dkk, 2008). Peranan antioksidan sangat penting
dalam menetralkan dan menghancurkan radikal bebas
(Manimaran & Rajneesh, 2009).
Antioksidan atau antiradikal bebas secara endogenik
terdapat di dalam tubuh dalam jumlah yang sedikit (Praptiwi
Dkk, 2006). Bila jumlah radikal bebas dalam tubuh berlebih
maka dibutuhkan antioksidan yang berasal dari luar tubuh
(eksogenik) (Praptiwi Dkk, 2006). Dalam penelitian ini yang
berperan sebagai antioksidan eksogenik adalah teripang.
Teripang kaya akan saponin, terutama triterpen glikosida.
Senyawa ini mempunyai aktivitas sebagaimana tonik yang
berasal dari ginseng, ganoderma dan tumbuhan
(Dharmananda, 2003).
Senyawa radikal bebas cenderung mengambil elektron
dari senyawa aktif. Salah satu jenis senyawa aktif yang dapat
berpotensi menstabilkan radikal bebas adalah antioksidan.
Antioksidan merupakan senyawa yang berfungsi untuk
menghambat reaksi berantai dari radikal bebas. Antioksidan
adalah senyawa kimia yang mendonorkan satu elektron atau
lebih kepada radikal bebas schingga terjadi porcdaman pada
radikal bcbas Berdasarkan sumber perolehannya ada dua
macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan
buatan (Dalimartha, 2007).
Tabel 4.1 Energi ikat
(Margaretha, 2015)
Prinsip kerja dari antioksidan adalah memberikan atau
mentransfer satu electron dengan ditandai hilangnya atom H
kepada senyawa radikal. Pada antioksidan, elektron yang
diberikan untuk radikal bebas adalah atom H yang berikatan
dengan atom O. Atom H yang berikatan dengan atom O
memiliki energi kecil untuk saling berikatan sehingga atom H
cenderung lebih mudah untuk melepaskan diri.
Semakin banyak jumlah senyawa aktif yang terdapat
pada antioksidan maka semakin dapat mempertahankan
kadar proteinnya. Saponin triterpenoid memilik struktur
benzene dan beberapa gugus OH. Gugus OH inilah yang
menyebabkan saponin triterpenoid dapat menyumbangkan
atom H untuk senyawa radikal sehingga senyawa radikal
menjadi normal dan saponin triterpenoid menjadi radikal
namun, sifatnya tidak reaktif dan tidak membahayakan
molekul lain (Anggra, 2016). Gambar 4.19 menunjukan
reaksi yang terjadi antara diazoxon dengan gugus hidroksil
dari antioksidan saponin triterpenoid.
+OH
Gambar 4.19 Reaksi diazoxon dengan senyawa antioksidan
(saponin triterpenoid)
Antioksidan merupakan substansi nutrisi maupun
non-nutrisi yang terkandung dalam bahan pangan, yang
mampu mencegah atau memperlambat terjadinya kerusakan
oksidatif dalam tubuh. Antioksidan merupakan senyawa
pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan/reduktor.
Antioksidan mampu menghambat reaksi oksidasi dengan cara
mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif
sehingga kerusakan sel dapat dicegah. Senyawa ini
mempunyai berat molekul kecil tapi mampu
menginaktivasi reaksi oksidasi dengan mencegah
terbentuknya radikal (Winarsi, 2007). Tamat Dkk. (2007)
menyatakan bahwa antioksidan merupakan zat yang dapat
menunda, memperlambat dan mencegah terjadinya proses
oksidasi.
Antioksidan alam mampu melindungi tubuh terhadap
kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu
menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta
menghambat peroksidase lipid pada makanan. Antioksidan
alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur
molekulnya (Sunarni, 2007) Fungsi utama antioksidan
digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses
oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya
proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa
pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas
lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah
hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Hernani, 2005).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan
bahwa insektisida diazinon termasuk ke dalam golongan pestisida
organofosfat yang bersifat toksik bagi organ paru-paru (racun
inhalasi) ditandai dengan adanya kerusakan sel. Ekstrak teripang
mengandung senyawa saponin triterpenoid yang bersifat antioksidan.
Mampu menjadi anti radikal untuk senyawa diazixon. Hasil dari
penelitian ini menunjukan bahwa pestisida dapat merusak organ
paru-paru mencit dengan persentasi kerusakan 40,11% pada dosis
150 mg/L aquades. Penambahan antioksidan ekstrak teripang mampu
mereduksi radikal bebas sehingga persentase kerusakan menurun
21,07% pada dosis antioksidan ekstrak teripang 0,09 ml/kg BB
mencit.
5.2 Saran
Dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan
software otomatis untuk penandaan dan perhutunga sel normal dan
abnormal.
DAFTAR PUSTAKA
Afiyatullov, S. S., A. I. Kalinovsky, T. A. Kuznetsova, V. V. Isakov,
M. V. Pivkin, P. S. Dmitrenok and G. B. Elyakov, 2002. New
Diterpene Glycosides Of The Fungus Acremonium
Striatisporum Isolated From A Seacucumber. J Nat. Prod., 65:
641-4.
Ahokas J.T. 1995. Sub lethal effect of esfenvalerate pulse exposure
on spawningand non-spawning Australian Crimson-Spotted
rainbow fish(Melanotaenia fluviatulis). Arch. Environ. Con.
Tox. 28: 459-463.
Andayani, R., L, Y., & Maimunah. 2008. Penentuan Aktivitas
Antioksidan, Kadar Fenolat Total Dan Likopen Pada Buah
Tomat (Solanum Lycopersycum I). Jurusan Sains dan
Tegnologi Farmasi 13 (1), 31-37.
Anggra, 2016. physics.studentjournal.ub.ac.id/index.php/psj/article/
download/262/155. [30 Juli 2017].
Anonymous. 2004. http://gamatemas.dumei.com/gamat.htm. [26
Februari 2017].
Anonymous. 2003. http://cybermed.cbn.net.id. [14 Maret 2017].
Arisman. 2008. Buku Ajar Ilmu Gizi Keracunan Makanan. Jakarta:
Penerbit: Buku Kedokteran EGC.
Campbell. 1999. Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Erlangga, Jakarta.
Dalimartha, S., Felix, A. 2011. Khasiat Buah dan Sayur. Cetakan ke
2. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 139-141.
Darmansyah I., Gan Sulistia. 1987. Kolinergik, dalam Farmakologi
dan Terapi ed3. Jakarta : Farmakologi FKUI.
Darmawan, Armaidi. 2013. Penyakit Sistem Respirasi Akibat Kerja.
JMJ, Vol 1, Nomor 1, Hal: 68-83.
Departemen Pertanian RI. 1984. Pestisida dan Penggunaanya.
Gresik. PT. Petrokimia,Badan Pendidikan Latihan dan
Penyuluhan.
Dharmananda S. 2003. Sea cucumber: food and medicine. Institute
for Traditional Medicine. Oregon: Portland.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. AgroMedia
Pustaka : Jakarta. 22-24 hlm.
Dwidjoseputro, O. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni.
Bandung.
Eroschenko, VP. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi
Fungsional. Edisi 9. Jakarta: EGC. Hlm.202-204
Farouk, A., Ghouse, F., & Ridzwan, B. 2007. New Bacterial Species
Isolated from Malaysian Sea Cucumbers with Optimized
Secreted Antibacterial Activity. American Journal of
Biochemistry and Biotechnology 3 (2), 60-65.
Fauzi, M. 2006. Analisa Pangan dan Bahan Pertanian. Handout.
Jember: FTP UNEJ.
Fredalina BD, Ridzwan BH, Abidin AAZ, Kaswandi MA, Zaiton H,
Zali I, Kittakoop P, Mat Jais AM. 1999. Fatty acid
composition in local sea cucumber, Stichopus chloronatus, for
wound healing. General Pharmacology 3:337-340.
Hallenbeck WH and KM Cunningham-Burns. 1985. Pecticides and
Human Health. Berlin. Springer-Verlag.
Hassan SM, Haq AU, Byrd JA, Berhow MA, Cartwright A, Bailey
CA. 2010. Haemolytic and antimicrobial activities of saponin-
rich extracts from guar meal. Food Chem. 119:600605.
Hayes, Jr.. Wayland J., "Dosage and Other Factors Influencing
Toxicity" dalam Handbook of Pesticide Toxicology, 1991, vol.
I, 39-96.
Hernani. 2005. Tanaman Antioksidan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Halaman 8-19
Hickman et al., 2006. Integrated Principles of Zoology. The Mc
Grew Hill Companies Inc. New York.
Jumbriah. 2006. Bioremediasi Tanah Tercemar Diazinon secara Ex
Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur
(Spen Mushroom Compost).Thesis. Pascasarjana IPB. Bogor.
Kamanyire R, Karalliedde L. 2004. Organophosphate toxicity and
occupational exposure. Occupational Medicine. 54:69-75.
Kaswandi MA, Lian HH, Nurzakiah S, Ridzwan BH, Ujang S,
Samsudin MW, Jasnizat S, Ali AM. 2000. Crystal saponin
from three sea cucumber genus and their potential as
antibacterial agents. 9th Scientific Conference Electron
Microscopic Society, 12-14 Nov 2000, Kota Bharu, Kelantan.
273-276.
Kuncahyo, I. dan Sunardi. 2007. Uji aktivitas antioksidan ekstrak
belimbing wuluh (Averrhoa blimbi, L.) terhadap 1,1-
Diphenyl-2-Picrylhidrazyl (DPPH). Seminar Nasional
Teknologi, Yogyakarta.
Kustiariyah. 2006. Isolasi, karakterisasi dan uji aktivitas biologis
senyawa steroid dari teripang sebagai aprodisiaka alami
[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB
Listiawati, A. E. (2014). HUBUNGAN ANTARA KADAR
ASETILKOLINESTERASE DENGAN FUNGSI PARU PETANI
YANG TERPAPAR KRONIK ORGANOFOSFAT. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Liu Yc, Chang YC, Tzang BS, Chen CC. 2007. Antibiotic Amoxillin
induced DNA lesions in mamalian cells possibly via the
reactive oxygen species. Mutation Researh. 629 (2007): 133-
139
Margaretha, Yuliana. 2015. Energi Ikatan.
https://yulianamargareta.files.wordpress.com/2015/03/7-
energi-ikatan.pdf
Mader, S.S. 2004. Understanding Human Anatomy & Physiologi
(5th ed.). The McGrawHill Company.
Malole, M.B.M. and Pramono, C.S.U. 1989. Pengantar Hewan-
Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor. Pusat Antara
Universitas Biotegnologi IPB.
Manimaran, A., & Rajneesh, C. P. (2009). Activities of Antioxidant
Enzyme and Lipid. 2(2), 68-72.
Middleton, E., & Kandaswami, C. (2000). The effects of plant
flavonoids on mammalian cells:implications for inflammation,
heart disease, and cancer. Pharmacology Review 52, 673–751.
Metha Arsilita Hulma, Masrul Basyar, Henny Mulyani. Hubungan
Karakteristik Penderita Dengan Gambaran Sitopatologi pada
Kasus Karsinoma Paru yang Dirawat di RSUP Dr.M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas , 2014 ;3(2).
Moore, A.E., Greenhough, A., Smartt, H.J.M., Robert, H.R.,
Williams, A.C., Paraskeva, C., et al. 2009. The COX-2/PGE2
pathway: key roles in the hallmarks of cancer and adaptation
to the tumour microenvironment. Carcinogenesis. 3 (3): 377-
86.
Munaf, S. 1997. Keracunan Akut Pestisida Teknik Diagnosa
Pertolongan Pertama Pengobatan dan Pencegahannya. Jakarta.
Widya Medika.
NCI. 1979. National Cancer Institute, Bioassay of diazinon for
possible carcinogenicity. Carcinogenicity Testing Program.
NCI-NIH, Bethesda, MD. DHEW Publication No. NIH 79-
1392. MEID 00073372.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Kanker Paru Di Indonesia.
Jakarta: Indonesia.
Praptiwi, D., & Harapini, M. (2006). 2006. 17(1), 32-36.
Pribadi, G.A. 2008. Penggunaan Mencit Dan Tikut Sebagai Hewan
Model Penelitian Nikotin. Skripsi. Bogor. IPB
Raini M. 2007. Sikap Dan Perilaku Buruh Penyemprotan Yang
Keracunan Pestisida Organofosfat Di Kecamatan Pacet - Jawa
Barat. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Vol.
XI No. 2, 21-25.
Price, A. dan Wilson, L. (1995). Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4.
Penebit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, hal :1117-1119
Ren, W., Qlao, Z., Wang, H., Zhu, L., & Zhang. (2003). Flavonoid:
Promising Anticancer Agents. Medicinal Research Reviews,
23, 519-534.
Reynertson. (2007). Uji Efek Anti Inflamasi Ekstrak Etil Asetat
Buah Semu Jambu Mete (Anacardium occidentale L.)
Terhadap Edema Pada Telapak Kaki Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Jantan Galur Wistar yang Diindusi Karagenin.
Biomedika 2 (1), 33-37.
Rusyana, Adun. 2011. Zoologi Invertebrata. Bandung. Alfabeta
Saragih A. 2012. Efek Hipourikemia Ekstrak Daun Sidaguri (Sida
rhombifolia L) pada mencit jantan. Journal of pharmaceutics
and pharmachology, 1 (1): 21-28.
Scheuer PJ. 1995. Marine Natural Products. Penerjemah:
Koensoemardiyah. Semarang: IKIP Semarang Press.
Sloane, E., 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit
Buku Kedokteran (EGC). Jakarta.
Smith, J.B., Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Tikus
Laboratorium (Rattus Norvegicus): 37-57. Penerbit
Universitas Indonesia.
Suckow, M. A. (2006). he laboratory Rat,2 ed. San Diego: Elsevier
Academic Press.
Sunarni, T. 2005. Aktivitas antioksidan penangkap radikal bebas
beberapa kecambah dari biji tanaman familia Papilionaceae.
Jurnal Farmasi Indonesia 2(2):53-61
Soeksmanto. 2007 Kandungan Antioksidan pada Beberapa Bagian
Tanaman Mahkota Dewa, Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.
(Thymelaceae). B I O D I V E R S I T A S Volume 8, Nomor
2.Halaman: 92-95
Tamat, S. R., T. Wikanta dan L. S. Maulina. 2007. Aktivitas
Antioksidan dan Toksisitas Senyawa Bioaktif dari Ekstrak
Rumput Laut Hijau Ulva reticulata Forsskal. Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia, 5 (1) : 31-36.
Toole, G., Susan, 1999, Understanding Biology for Advanced Level
Stanley Tornes: Cheintenham.
Wibowo S, Yunizal, Setiabudi E, Erlina MD, Tazwir. 1997.
Tegnologi Penanganan dan Pengolahan Teripang
(Holothuroidea). Jakarta: IPPL Slipi.
Widiastuti , P., & Ester, M. (2005). Bahan Kimia pada Kesehatan
Manusia dan Lingkungan. Jakarta: EGC.
Winarsi, H, 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius,
Yogyakarta.
Yuwono. 2009. Mencit Strain CBR Swiss Derived. Pusat Penelitian
Penyakit Menular Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Zhang Q, Pehkonen SO. 1999. Oxidant od diazinon by aqueous
chlorine: kinetics,mechanism, and product studies. Agric food.
Chem. 47: 1760-1766.
(Halaman ini sengaja dikosongkan)