PENGARUH EKSTRAK ETANOL RUMPUT MUTIARA ...digilib.unila.ac.id/60873/3/SKRIPSI TANPA...

72
PENGARUH EKSTRAK ETANOL RUMPUT MUTIARA (Hedyotis corymbosa L.) TERHADAP HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN DAN ISONIAZID (Skripsi) OLEH ZENI OKTA WIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG 2020

Transcript of PENGARUH EKSTRAK ETANOL RUMPUT MUTIARA ...digilib.unila.ac.id/60873/3/SKRIPSI TANPA...

PENGARUH EKSTRAK ETANOL RUMPUT MUTIARA (Hedyotis corymbosa L.)

TERHADAP HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

JANTAN GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI

RIFAMPISIN DAN ISONIAZID

(Skripsi)

OLEH

ZENI OKTA WIYANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG

2020

PENGARUH EKSTRAK ETANOL RUMPUT MUTIARA (Hedyotis corymbosa L.)

TERHADAP HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

JANTAN GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI

RIFAMPISIN DAN ISONIAZID

Oleh

ZENI OKTA WIYANTI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

SARJANA KEDOKTERAN

pada

Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG

2020

ABSTRACT

THE EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF PEARL GRASS

(Hedyotis Corymbosa L.) ON LIVER HISTOPATHOLOGY

IN WHITE RATS (Rattus norvegicus) MALE

Sprague dawley STRAIN INDUCED BY

RIFAMPICIN AND ISONIAZID

By

ZENI OKTA WIYANTI

Background: Rifampicin and isoniazid are the first line treatment of

tuberculosis. Long term treatment has caused rifampicin and isoniazid to

have hepatotoxic side effects on the liver. Pearl grass effect through

mechanism as antioxidants.

Purpose: To determine the effect of ethanol extract of pearl grass on liver

histopathology in white rats male Sprague dawley strain induced by

rifampicin and isoniazid.

Method: This study used 30 rats divided into 5 groups, that control 1 (K1)

given aquades, control 2 (K2) without giving pearl, treatments groups 1,2,

and 3 given rifampicin and isoniazid 200 mg/kgBB orally followed by pearl

grass ethanol extract at successive doses of 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB,

800 mg/kgBB for 14 days. On the 14th days, the rats was terminated and the

liver of the rats was taken for microscopic preparation.

Result: The average liver damage score obtained was K1=198,16,

K2=501,44 P1=501,2, P2=417,6, and P3=394,4. Data were tasted with

Shapiro-Wilk followed by post hoc tamhane’s test and found a significant

differences.

Conclusion: There is an effect of pearl grass extract on liver histopathology

in white rats male Sprague dawley strain induced by rifampicin and

isoniazid.

Keywords: antioxidants, liver histopathology, pearl grass, tuberculosis

ABSTRAK

PENGARUH EKSTRAK ETANOL RUMPUT MUTIARA

(Hedyotis corymbosa L) TERHADAP HISTOPATOLOGI

HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN

GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI

RIFAMPISIN DAN ISONIAZID

Oleh

ZENI OKTA WIYANTI

Latar Belakang: Rifampisin dan isoniazid merupakan pengobatan lini

pertama dari tuberkulosis. Pengobatan dalam jangka waktu yang lama

menyebabkan rifampisin dan isoniazid memiliki efek samping hepatotoksik

terhadap hepar. Rumput mutiara memiliki efek hepatoprotektor melalui

mekanisme sebagai antioksidan.

Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol rumput mutiara

terhadap histopatologi hepar pada tikus putih jantan galur Sprague dawley

yang diinduksi rifampisin dan isoniazid.

Metode: Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus yang dibagi menjadi 5

kelompok, yaitu kontrol 1 (K1) yang diberikan aquades, kontrol 2 (K2)

tanpa diberi rumput mutiara, kelompok perlakuan 1, 2, dan 3 yang

diberikan rifampisin dan isoniazid 200 mg/kgBB peroral dilanjutkan dengan

ekstrak etanol rumput mutiara dengan dosis berturut-turut 200 mg/kgBB,

400 mg/kgBB, 800 mg/kgBB selama 14 hari.

Hasil: Rerata skor kerusakan hepar yang didapatkan adalah K1=198,16, K2:

501,44, P1=501,2, P2=417,6, dan P3=394,4. Data diuji dengan Shapiro-

Wilk dilanjutkan dengan uji post hoc Tamhane’s dan didapatkan adanya

perbedaan rerata yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan.

Simpulan: Terdapat pengaruh ekstrak etanol rumput mutiara terhadap

histopatologi hepar tikus putih jantan galur Sprague dawley yang diinduksi

rifampisin dan isoniazid.

Kata Kunci: antioksidan, histopatologi hepar, rumput mutiara, tuberkulosis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Menggala pada tanggal 04 Desember 1997, sebagai anak

pertama dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Roni Hasan dan Ibu Yuli Yanti.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Citra Insani Rawajitu

pada tahun 2004. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 1

Perumnas Way Halim Bandar Lampung pada tahun 2010, Sekolah Menengah

Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 29 Bandar Lampung pada tahun 2013, dan

Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 9 Bandar Lampung pada

tahun 2016.

Pada tahun 2016, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung melalui jalur seleksi Mandiri.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif pada organisasi Badan Eksekutif

Mahasiswa (BEM) sebagai anggota staf eksternal tahun 2018.

Sebuah Persembahan Sederhana untuk:

Abi, Bunda, Uci, Bung,Teman-teman serta Keluarga Besarku tersayang

untuk doa yang tak pernah usai

SANWACANA

Puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Ekstrak Etanol Rumput Mutiara (Hedyotis

corymbosa L.) terhadap Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Jantan Galur Sprague dawley yang Diinduksi Rifampisin dan Isoniazid” adalah

salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas

Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Karomani, M.Si selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Ibu Dr. Dyah Wulan SRW, S.K.M., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung;

3. Ibu Dr. dr. Susianti, S.ked, M.Sc selaku Pembimbing Satu penulis, yang

bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta arahan yang bermanfaat

terhadap penulis selama penyusunan skripsi;

4. Ibu dr. Rasmi Zakiah Oktarlina, S.Ked, M.Farm selaku Pembimbing Dua

penulis, yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta arahan yang

bermanfaat terhadap penulis selama penyusunan skripsi;

5. Ibu dr. Tri Umiana Soleha, S.Ked, M.Kes selaku Pembahas Skripsi penulis,

yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta arahan yang bermanfaat

terhadap penulis selama penyusunan skripsi;

6. Ibu Soraya Rahmanisa, S.Si, M.Sc selaku Pembimbing Akademik penulis,

yang selama ini sudah meluangkan waktu untuk membimbing penulis selama

di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

7. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

atas segala ilmu dan bimbingan yang kelak akan digunakan sebagai bekal

untuk masa depan;

8. Kedua orang tua, Abi Roni Hasan dan Bunda Yuli Yanti, atas segala cinta dan

kasih sayangnya. Terimakasih sudah menjadi pundak untuk bersandar ketika

sedang senang maupun sedih, selalu memberi semangat dan dorongan di

sepanjang hidup. Terimakasih untuk doa dan tetesan keringat yang tiada henti-

hentinya terhadap penulis. Kalian adalah alasan agar tidak mudah menyerah

dan semangat dalam menjalankan studi ini, semoga diberi umur yang panjang

untuk kalian berdua;

9. Kedua adikku tercinta, Uci Fenny Fela Agustina dan Bung Al- Hafiz Yusuf

Maulana. Terimakasih telah menjadi obat untuk segala kegelisahan dan

kegundahan, untuk senyum dan tawa yang selalu bisa memberi semangat,

semoga kelak dapat menjadi seorang kakak yang dapat kalian banggakan

dimanapun dan kapanpun;

10. Seluruh keluarga besar lainnya yang mungkin tidak dapat penulis ucapkan satu

persatu, terimakasih atas doa dan dukungan terhadap penulis;

11. Ketiga sahabatku, Mega Endiana Dewi, Martha Sella Rianti, dan Nabila

Nuranjumi. Tiada kata yang bisa diungkapkan untuk menjelaskan betapa

berharganya kalian. Terimakasih untuk semua waktu dan kebahagiaan yang

telah kalian beri, semoga kita selalu diberikan kelancaran dalam menjalankan

studi ini;

12. Teman-teman tersayang, Frecilia Afrida, Sinta Meidina, Syalsa Zaiva, Redina

Andini, Lailatut Toriqoh, Brenda Widya dan Josepin Kevina. Terimakasih

telah mewarnai kehidupan penulis selama ini;

13. Semua orang yang pernah datang baik yang telah pergi maupun yang masih

ada. Terimakasih untuk segala pembelajaran dan kenangannya, semoga selalu

bahagia.

14. Teman-teman yang membantu di animal house selama penelitian yang tidak

dapat disebutkan satu persatu;

15. Keluarga besar TR1GEMINUS, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Terimakasih untuk tahun-tahun terberat yang telah kita lewati bersama. Terus

jaga kekompakkan dan silaturahmi.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata kesempurnaan. Akan

tetapi, penulis berharap semoga penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi

kita semua.

Bandar Lampung, 21 Januari 2020

Penulis,

Zeni Okta Wiyanti

iv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

DAFTAR TABEL................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 5

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 5

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 5

1.4.1 Bagi Ilmu Pengetahuan ................................................................ 5

1.4.2 Bagi Institusi ................................................................................ 5

1.4.3 Bagi Peneliti Lain ......................................................................... 5

1.4.4 Bagi Peneliti ................................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 7

2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................................. 7

2.1.1 Gambaran Umum Hepar ........................................................... 7

2.1.2 Histopatologi Hepar ................................................................ 14

2.1.3 Rifampisin ............................................................................... 17

2.1.3.1 Mekanisme Kerja ....................................................... 18

2.1.3.2 Farmakokinetik ........................................................... 18

2.1.3.3 Efek Samping ............................................................. 19

2.1.4 Isoniazid (INH) ....................................................................... 19

2.1.4.1 Mekanisme Kerja ....................................................... 20

2.1.4.2 Farmakokinetik ........................................................... 20

2.1.4.3 Efek Samping ............................................................. 21

2.1.5 Mekanisme Kerusakan Hati yang Diakibatkan oleh Kombinasi

Isoniazid dan Rifampisin ........................................................ 21

2.1.6 Rumput mutiara ...................................................................... 23

2.1.6.1 Klasifikasi Tanaman Rumput Mutiara ....................... 23

2.1.6.2 Habitat dan Morfologi ................................................ 23

2.1.6.3 Kandungan Kimia....................................................... 24

2.1.7 Tikus Putih Galur Sprague dawley ......................................... 25

2.2 Kerangka Teori ................................................................................. 27

2.3 Kerangka Konsep .............................................................................. 29

ii

2.4 Hipotesis ........................................................................................... 29

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 30

3.1 Rancangan Penelitian ....................................................................... 30

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 30

3.2.1 Waktu Penelitian .................................................................... 30

3.2.2 Tempat Penelitian .................................................................. 30

3.3 Subjek Penelitian ............................................................................. 31

3.3.1 Populasi .................................................................................. 31

3.3.2 Sampel ................................................................................... 32

3.3.3 Kelompok Perlakuan .............................................................. 33

3.3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................. 34

3.4 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional................................ 34

3.4.1 Variabel Penelitian ................................................................. 34

3.4.2 Definisi Operasional .............................................................. 35

3.5 Alat dan Bahan ................................................................................. 36

3.5.1 Alat Penelitian ........................................................................ 36

3.5.2 Bahan Penelitian .................................................................... 36

3.6 Prosedur Penelitian .......................................................................... 37

3.6.1 Pengadaan Hewan Uji ............................................................ 37

3.6.2 Pemeliharaan Hewan Uji ....................................................... 37

3.6.3 Pembuatan Ekstrak Rumput Mutiara ..................................... 37

3.6.4 Cara Perhitungan Dosis Ekstrak Rumput Mutiara ................. 38

3.6.5 Prosedur Pemberian Dosis Rifampisin dan Isoniazid ............ 39

3.6.6 Prosedur Perlakuan pada Tikus .............................................. 41

3.6.7 Prosedur Pengambilan Organ Hepar ...................................... 42

3.6.8 Proses Pembuatan Preparat .................................................... 43

3.7 Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 46

3.7.1 Pengolahan Data .................................................................... 46

3.7.2 Analisis Data .......................................................................... 46

3.8 Etika Penelitian ................................................................................ 48

3.9 Alur Penelitian ................................................................................. 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 51

4.1 Hasil Penelitian ................................................................................ 51

4.1.1 Gambaran Histopatologi Hepar ............................................. 51

4.1.2 Analisis Histopatologi Hepar Tikus ....................................... 55

4.2 Pembahasan...................................................................................... 58

BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 63

5.1 Simpulan ........................................................................................... 63

5.2 Saran ................................................................................................. 63

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi Operasional.......................................................................................... 35

2. Rerata Kerusakan Hepar ................................................................................... 55

3. Hasil Analisis Post Hoc Tamhane’s .................................................................. 57

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Anatomi Hepar Anterior ................................................................................... 9

2. Anatomi Hepar Posterior ................................................................................... 9

3. Trias Porta Hepatica ........................................................................................ 11

4. Lobulus Hepar ................................................................................................. 13

5. Histopatologi Hepar ........................................................................................ 16

6. Metabolisme Isoniazid .................................................................................... 21

7. Rumput Mutiara .............................................................................................. 24

8. Tikus Putih Galur Sprague dawley ................................................................. 26

9. Kerangka Teori ................................................................................................ 27

10. Kerangka Konsep ............................................................................................ 29

11. Cara Sampling ................................................................................................. 33

12. Alur Penelitian ................................................................................................ 50

13. Histopatologi Hepar Tikus K1 ........................................................................ 52

14. Histopatologi Hepar Tikus K2 ........................................................................ 52

15. Histopatologi Hepar Tikus P1 ......................................................................... 53

16. Histopatologi Hepar Tikus P2 ......................................................................... 54

17. Histopatologi Hepar Tikus P3 ......................................................................... 54

iv

v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Kaji Etik

Lampiran 2 : Surat Izin Peminjaman Pet House

Lampiran 3 : Surat Izin Peminjaman Laboratorium

Lampiran 4 : Surat Peminjaman Alat

Lampiran 5 : Surat Izin Pre-Survey Penelitian

Lampiran 6 : Surat Izin Melakukan Penelitian

Lampiran 7 : Surat Keterangan Hewan

Lampiran 8 : Dokumentasi Penelitian

Lampiran 9 : Uji Statistik Data Penelitian

iii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insidensi tuberkulosis (TB) di Indonesia mencapai 450.000 dengan angka

mortalitas 170.000 pada tahun 2014 menurut World Health Organization

(WHO). Pada tahun 2018 insidensi TB di indonesia diperkirakan mencapai

842.000 kasus dengan angka mortalitas 107.000 kasus (WHO, 2018). Hal

tersebut menandakan Indonesia berada di urutan tertinggi ketiga di dunia

setelah india dan tiongkok. Dalam pengobatan TB ada beberapa jenis obat

yang cukup sering dipakai salah satunya yaitu rifampisin dan isoniazid.

Kombinasi antara rifampisin dan isoniazid merupakan pengobatan

tuberkulosis yang paling banyak digunakan saat ini. Gangguan fungsi hati

hingga nekrosis jaringan hati merupakan salah satu efek samping dari

keduanya ketika dikombinasikan. Penggunaan kombinasi antara rifampisin

dan isoniazid akan memberikan pengaruh toksik pada hati yang lebih besar

dibandingkan dengan penggunaan isoniazid secara tunggal (Adhvaryu et al.,

2008).

Rifampisin diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB setiap hari atau tiga kali

seminggu dengan dosis maksimum 600 mg. Sedangkan dosis INH dengan

tablet 50, 100, 200, dan 400 mg, sirup 10 mg/ml, dosis tunggal peroral setiap

hari dengan dosis 5 mg/kgBB dengan maksimum dosis 300 mg/hari, anak <4

2

tahun 10 mg/kgBB/hari diberikan secara intermitten 2x seminggu dengan

dosis 15 mg/kgBB/hari dan diberikan dengan piridoksin 10 mg/hari.

Rifampisin sebagai obat utama pada TB memiliki hepatotoksik paling rendah

dibandingkan dengan INH. Kadar rifampisin plasma sangat rendah pada

penderita TB setelah mengkonsumsi obat yaitu hanya <4 mg/l, sedangkan

rentang terapetiknya 4-8 mg/l hal tersebut hanya didapatkan pada 3%

penderita, dan tidak ada penderita yang kadar plasmanya >20 mg/l (Van

crevel, 2002). Penurunan kadar plasma pada rifampisin disebabkan oleh

faktor genetik yaitu adanya variasi urutan gen yang mengkode pengangkut

obat sedangkan faktor bukan genetik yaitu diabetes melitus, HIV, umur, berat

badan, jenis kelamin, formulasi obat TB, dan interaksi obat. Hal tersebut yang

mendasari penelitian ini menggunakan OAT kombinasi antara rifampisin dan

INH (Saad et al., 2006).

Penyakit hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia

menurut World Health Organization (WHO) 2004 dengan prevalensi 1,3%.

Cause Spesifik Death Rate (CSDR) sirosis hati di Amerika Serikat pada tahun

2001 sebesar 22,0 per 100.000 penduduk dan data WHO 2007 sirosis hati dan

penyakit hati kronik merupakan penyebab kematian kedua belas tahun 2007

di Amerika Serikat dengan jumlah 29.165 (1,2%). Penyebab paling umum

sirosis di AS antara lain hepatitis C (26%), penyakit hati alkoholik atau

sirosis Laennec (21%), penyebab kriptogenik (18%), hepatitis ditambah

penyakit hati alkoholik (15%), dan hepatitis B (15%). Pada tahun 2007

prevalensi sirosis hati di Australia sebesar 2% sedangkan di Jepang mencapai

2,7%. Pada penelitian di Indonesia pada RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun

3

2002-2006 jumlah penderita sirosis hati mencapai 637 orang dengan angka

kematian sebesar 9,7% (Karina, 2007).

Penyakit hati merupakan suatu proses peradangan pada jaringan hati.

Penyebab penyakit pada hepar yang ditemukan sangat bervariasi, penyebab

timbulnya kerusakan hati dapat disebabkan oleh virus, bakteri, konsumsi

alkohol yang berkepanjangan, aflatoksin serta obat-obatan. Hati memiliki

aneka fungsi dan merupakan organ yang sangat penting sehingga hati sering

terpajan zat kimia. Zat kimia akan menjadi tidak berbahaya bagi tubuh karena

mengalami detoksikasi dan inaktivasi. Kerusakan hati yang dikarenakan oleh

zat kimia dan obat dapat terjadi jika regenerasi sel hati hilang dan cadangan

daya tahan hati berkurang sehingga akan mengalami kerusakan permanen.

Penyakit hepar yang disebabkan oleh virus dapat menular yaitu melalui

seksual, fekal-oral, parenteral, perinatal, dan lain-lain (Direktorat Jenderal

Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007).

Berdasarkan hal tersebut rifampisin dan isoniazid (INH) memiliki efek

samping yakni hepatotoksik ketika dikombinasikan. Dampak hepatotoksik

setiap populasi sangat bervariasi sekitar 1-30 dalam 100 individu pada

penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) isoniazid dan rifampisin.

Hepatotoksik dapat terjadi dikarenakan rifampisin dapat meningkatkan

produksi acetylhidrazin dan hydrazine yang merupakan metabolit toksik dari

metabolisme isoniazid. Rifampisin dan isoniazid dapat menginduksi

kerusakan hati melalui peningkatan stress oksidatif, aktivitas enzim tertentu,

peroksidasi lipid dan menurunkan kadar glutation (Tostman et al., 2007).

4

Obat tradisional telah menjadi alternatif untuk mencegah kerusakan hepar

dikarenakan harga yang murah dan mudah untuk didapatkan. Jenis tumbuhan

yang dapat digunakan yaitu rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.).

Rumput mutiara dapat mengobati berbagai penyakit seperti radang kandung

empedu, hipertensi, infeksi saluran kemih, radang usus buntu, bisul, borok,

tonsilis, bronkitis, radang panggul serta hepatitis (Permadi, 2006). Serta

memiliki beberapa khasiat yaitu sebagai antitoksin, antiradang

(antiinflamasi), antikarbunkular (menyembuhkan bisul), diuretik, antipiretik,

memperlancar sumbatan sperma (Kusuma & Zaky 2005) serta imunitas

hormonal dan meningkatan daya fagositosis sel darah putih (Dalimarta,

2005).

Masyarakat sering menggunakan tanaman tersebut dengan cara meminum air

rebusannya. Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.) merupakan tanaman

yang dapat digunakan baik secara segar maupun yang sudah dikeringkan.

Efek farmakologis serta sifat kimiawi nya terdapat rasa sedikit pahit, manis,

tawar, netral, lembut, dan sejuk agak dingin (Kusuma & Zaky 2005). Rumput

mutiara memiliki beberapa kandungan diantaranya stigmasterol, asam ursolat,

hentriakontan, asam oleanolat, beta-sitosterol, sitosterol-D-glukosida, iridoid

glikosida, analog kumarin, alizarin, ikatan antragalol dan krorogenin

(Soenanto & Kuncoro, 2005). Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti

ingin mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol rumput mutiara

(Hedyotis corymbosa L.) terhadap histopatologi hepar pada tikus putih

(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley yang diinduksi rifampisin

dan isoniazid.

5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, disusunlah rumusan masalah

sebagai berikut:

Apakah terdapat pengaruh ekstrak etanol rumput mutiara (Hedyotis

corymbosa L.) terhadap histopatologi hepar pada tikus putih (Rattus

norvegicus) jantan galur Sprague dawley yang diinduksi rifampisin dan

isoniazid?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui pengaruh ekstrak etanol rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.)

terhadap histopatologi hepar pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague dawley yang diinduksi rifampisin dan isoniazid.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

mengenai pengaruh ekstrak etanol rumput mutiara (Hedyotis corymbosa

L.) terhadap histopatologi hepar pada tikus putih (Rattus norvegicus)

jantan galur Sprague dawley yang diinduksi rifampisin dan isoniazid.

1.4.2 Bagi Institusi

Menambah sumber referensi mengenai manfaat rumput mutiara

terhadap kesehatan.

1.4.3 Bagi Peneliti Lain

Dapat dijadikan bahan acuan untuk dilakukannya penelitian yang

serupa yang berkaitan dengan rumput mutiara (Hedyotis Corymbosa L.)

terhadap organ lainnya selain hepar.

6

1.4.4 Bagi Peneliti

Penelitian ini akan memperluas wawasan keilmuan peneliti serta

menjadi pengalaman yang bermanfaat dalam pengaplikasian disiplin

ilmu yang telah dipelajari selama perkuliahan.

iii

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Gambaran Umum Hepar

Hepar merupakan organ terbesar di tubuh yang memiliki berat sekitar

1,5 kg atau sekitar 2% dari berat tubuh orang dewasa. Sedangkan, hepar

pada bayi memiliki ukuran 5% dari berat tubuh atau dua kali lebih

besar serta berfungsi sebagai organ hematopoetik. Setelah itu, dari masa

kanak-kanak sampai seterusnya hepar akan mengisi hampir semua

hipokondrium kanan dan epigastrium. Hati juga merupakan salah satu

kelenjar terbesar yang terletak pada rongga perut bawah diagfragma.

Hepar memanjang ke dalam hipokondrium kiri, di sebelah inferior

diafragma, yang memisahkan dari paru, perikardium, jantung, dan

pleura (Daniel & Widjaya, 2007).

Hepar berada di kuadran atas abdomen serta memiliki dasar di sebelah

kanan dan puncak di sebelah kiri. Saat keadaan normal, hepar akan

meluas ke kaudal sampai ke arcus costalis dexter. Hepar memiliki suatu

permukaan diafragmatik konveks dan permukaan viseral yang konkaf

atau bahkan relatif rata. Permukaan diafragmatik dilapisi peritonium

viseralis, kecuali di posterior pada area nuda sedangkan permukaan

viseral hepar dilapisi peritoneum kecuali pada vesika biliaris (fellea)

8

dan porta hepatis. Kemudian, hepar terbagi menjadi lobus kanan dan

lobus kiri. Lobus kanan lebih besar dibandingkan dengan lobus kiri dan

dibatasi oleh Lig. Falciforme di sebelah ventral. Pada hepar juga

terdapat lobus quadratus di bagian ventral dan lobus caudatus di bagian

dorsal (Paulsen & Waschke, 2015).

Hepar diperdarahi oleh arteriae hepatica propria, arteri tersebut berasal

dari arteriae hepatica communis, yang merupakan cabang dari truncus

coeliacus. Setelah itu, arteriae hepatica propia akan bercabang menjadi

arteriae gastrica dextra lalu berjalan keligamentum hepatoduodenale

bersama-sama dengan ductus choledochus dan vena portae hepatis

menuju hilum hepatis. Hepar juga memiliki aliran darah balik dengan

sistem vena masuk dan keluar. Vena portae hepatis akan bertugas untuk

mengumpulkan darah yang kaya nutrisi dari organ abdoman yang tidak

memiliki pasangan seperti usus, pankreas, limpa serta gaster lalu akan

mengalirkannya bersama dengan darah arterial dari a.hepatica

communis menuju ke dalam sinusoid lobulus hepaticus. Sedangkan,

tiga vena hepar akan membawa darah dari hepar menuju ke vena cava

inferior (Paulsen & Waschke, 2015).

9

Gambar 1. Anatomi Hepar Anterior (Moore & Dalley, 2013).

Gambar 2. Anatomi Hepar Posterior (Moore & Dalley, 2013).

10

Fungsi utama hepar dalam sistem pencernaan antara lain sekresi garam

empedu untuk membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Selain itu,

ada berbagai fungsi lain dari hepar yaitu:

1. Mengaktifkan vitamin D yang dilakukan bersama ginjal.

2. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.

3. Pemrosesan metabolik kategori-kategori utama nutrien seperti

karbohidrat, protein, dan lemak setelah zat tersebut diserap oleh

saluran cerna.

4. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan

untuk pembekuan darah.

5. Mendetoksifikasi zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan senyawa

asing lain.

6. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah yang sudah tua, berkat

adanya makrofag residen.

7. Mengeksresikan kolesterol dan bilirubin.

8. Memproduksi protein fase akut yang penting dalam inflamasi.

9. Menyekresi hormon trombopoietin, hepsidin, dan faktor

pertumbuhan (Sherwood, 2016).

Hepar mempunyai suatu kemampuan untuk regenerasi ketika sesudah

kehilangan jaringan akibat jejas hepar akut atau hepatektomi parsial,

namun selama jejas itu tidak diperparah oleh infeksi virus atau

inflamasi. Lobulus akan membesar saat dilakukan hepatektomi parsial

yang mengambil 70% jaringan hepar dan mengembalikan hepar ke

ukuran semula. Regenerasi ini akan berlangsung sekitar 5 sampai 7 hari

11

pada tikus. Ketika proses regenerasi, hepatosit diperkirakan akan

mengalami replikasi sebanyak satu sampai dua kali, dan setelah tercapai

ukuran semula, hepatosit akan kembali kepada keadaannya yang semula

(Hall & Guyton, 2011).

Hepar memiliki sel hati atau hepatosit yang berbentuk polihedral

membentuk lempeng-lempeng yang saling berhubungan yang berasal

dari sel epitel yang berkelompok. Ribuan lobulus hati kecil (0,7 x 2

mm) menyusun hepatosit yang merupakan unit struktural dan

fungsional. Setiap lobulus memiliki suatu venula yang disebut vena

sentral di bagian pusat dan memiliki tiga sampai enam area portal di

bagian perifer pada setiap lobulus. Di sudut lobulus terdapat zona portal

yang terdiri dari arteriol (cabang a. hepatica), duktus epitel kuboid

(cabang sistem duktus biliaris), dan jaringan ikat dengan suatu venula

(cabang vena porta). Ketiga struktur tersebut yang biasa disebut dengan

trias porta (Mescher, 2012).

Gambar 3. Trias Porta Hepatica (Mescher, 2012).

12

Venula tersebut mengandung darah yang berasal dari vena mesentrica

superior dan vena mesentrica inferior serta vena lienalis. Aorta

abdominalis akan mengirimkan darah menuju truncus coeliacus lalu

darah tersebut akan diterima oleh arteriol. Duktus akan membawa

empedu yang dihasilkan oleh sel parenkim (hepatosit) dan akhirnya

akan ke duktus hepatikus. Pada manusia akan sulit untuk membedakan

batas yang jelas antar berbagai lobulus dikarenakan lobulus berkontak

erat hampir di setiap sisinya. Hepatosit memiliki suatu celah diantara

lempeng yang berbentuk seperti susunan batu bata di tembok dan

lempeng sel yang tersusun radial di sekeliling vena sentral, celah

tersebut disebut dengan sinusoid hati yang mengandung komponen

mikrovaskular yang penting. Celah perisinusoid (celah Disse) yaitu

celah yang sangat sempit yang berada di di bawah sel endotel yang

terpisah. Mikrovili pada hepatosit sedikit menonjol ke celah tersebut

agar terjadi pertukaran antara sel dan plasma tersebut. Pertukaran ini

penting secara fisiologis karena banyak makromolekul (misalnya

albuminm, fibrinogen, lipoprotein) yang oleh hepatosit akan disekresi

ke dalam darah dan untuk mengatabolisme dan mengambil beberapa

molekul besar ini (Mescher, 2012).

13

Gambar 4. Lobulus Hepar (Mescher, 2012).

Selubung serat retikuler halus mengelilingi dan menunjang sinusoid.

Terdapat dua sel penting yang berhubungan dengan sinusoid selain sel

endotel yaitu sel Kupffer dan sel-sel Ito. Sel Kupffer atau sejumlah

besar makrofag stelata akan ditemukan di permukaan laminal dan

diantara sel endotel sinusoid, yang berfungsi untuk menghancurkan

eritrosit tua, menghancurkan debris atau bakteri yang dapat memasuki

darah portal dari usus, menggunakan ulang heme dan sebagai sel

penyaji antigen pada imunitas adaptif. Sedangkan di celah perisinusoid

terdapat sel penimbun lemak stelata atau sel Ito yang mengandung

vitamin A, yang berfungsi untuk menghasilkan komponen matriks

ekstrasel, menyimpan banyak vitamin A pada tubuh dan berperan

dalam mengatur imunitas setempat (Mescher, 2012).

Hati menerima darah dari vena porta yang membawa darah kaya nutrien

namun miskin oksigen dari organ visera abdominal. Arteri hepatica

akan memberi darah yang teroksigenasi dalam jumlah yang lebih

sedikit. Sistem porta membawa darah dari limpa, usus, dan pankreas.

14

Zat toksik dinetralkan dan dihilangkan serta nutrien terakumulasi dan

diubah dalam hati. Vena porta pada hati akan bercabang-cabang dan

menjadi venula porta kecil menuju celah porta. Kemudian venula porta

akan bercabang menjadi venula pendistribusi keci yang akan berjalan

ke tepi lobulus lalu berujung dalam sinusoid. Sinusoid akan berjalan

radial yang akan membentuk vena sentralis atau vena sentrolobular.

Vena sentralis dari masing-masing lobulus akan menyatu menjadi vena,

lalu akan membentuk dua atau lebih vena hepatica besar yang akhirnya

ke vena cava inferior. Darah akan mengalir dari tepi lalu ke pusat

lobulus hati. Hal tersebut menjadikan substansi toksik maupun

nontoksik yang diserap usus, oksigen, maupun metabolit akan sampai

dibagian tepi terlebih dahulu lalu kemudian akan masuk ke bagian pusat

lobulus. Hal tersebut yang memberikan alasan sifat dan fungsi hepatosit

periportal berbeda dari sel sentrolobular. Sintesis protein akan lebih

aktif ketika berada di hepatosit bagian portal serta mengandalkan

metabolisme aerob, sedangkan yang berperan dalam detoksifikasi dan

metabolisme glikogen ke bagian hepatosit yang berada lebih pusat

(Mescher, 2012).

2.1.2 Histopatologi Hepar

Jembatan penghubung antara saluran cerna dengan organ lain pada

tubuh adalah hati dan merupakan organ yang memelihara homeostasis

metabolisme. Hal tersebut menyebabkan hati akan menjadi tempat yang

sangat rentan untuk terkena zat toksik, jejas sampah metabolit, mikroba

dan jejas gangguan sirkulasi. Penyakit hati dapat terjadi sebagai

15

penyakit primer yaitu penyakit yang memang berasal dari hati atau

dapat terjadi akibat efek samping dari organ lain seperti diabetes atau

gagal jantung (Kumar et al., 2013).

Hati memiliki kemampuan untuk regenerasi sel yang bagus bahkan saat

kerusakan hati akut maupun berat sehingga hati juga memiliki cadangan

fungsional yang sangat besar. Reseksi atau pengangkatan jaringan hati

yang mencapai 60% pada individu dengan keadaan normal akan

mengalami gangguan fungsi sesaat dan minimal, namun dalam 4-6

minggu kedepan akan mengalami perbaikan. Hal tersebut dapat terjadi

karena terjadi regenerasi sel hati yang sama besar dengan jaringan hati

yang telah diangkat. Saat seseorang mengalami nekrosis hati namun

dapat bertahan terhadap gangguan metabolit berat pada saat terjadi

gagal fungsi hati maka akan mengalami restorasi atau penyembuhan

yang sempurna. Kerusakan jaringan hati yang luas, gangguan sirkulasi

darah, dan gangguan aliran empedu dapat mengancam jiwa karena

merupakan salah satu penyakit hati yang progresif (Kumar et al., 2013).

Hati bertugas sebagai organ yang melakukan metabolisme dan

detoksifikasi terhadap obat dan zat kimia yang masuk ke dalam tubuh,

sehingga hati sangat mudah terkena jejas berbagai obat-obatan dan zat

kimia. Hal tersebut dapat terdiagnosis jika terdapat riwayat pernah

terpapar zat kimia atau obat-obatan yang dapat berpotensi untuk

menimbulkan kerusakan hati. Penyakit hati yang disebabkan oleh obat-

obatan sangat banyak ditemukan kasusnya mulai dari gejala yang

16

ringan hingga berat, serta penyakit hati yang akut bahkan kronik.

Penyakit hati yang disebabkan oleh obat atau toksin dapat dibedakan

menjadi dua yakni yang dapat diduga sebelumnya (intrinsik) ataupun

yang tidak terduga (idiosinkrasi). Dosis dan cara pemberian sangat

memengaruhi kerusakan hati yang berupa zat hepatotoksik. Pola

kerusakan jaringan hati akibat kerusakan hati sangat beraneka ragam

sehingga penyebab kerusakan oleh toksin atau obat selalu dipikirkan

sebagai diagnosis banding (Kumar et al., 2013).

Gambar 5. Gambaran Histopatologi Hepar (Prasetiawan et al., 2013).

Vena Sentralis Sel Hepatosit normal Degenerasi Parenkimatosa

Binuklear Degenerasi Hidropik Nekrosis

17

Gagal fungsi hepar yang disebabkan oleh pola kerusakan hepar dapat

dibedakan menjadi tiga kategori :

1. Gagal hati yang akut dengan nekrosis hati masif

Obat atau infeksi virus hepatitis merupakan penyebab tersering.

Gambaran klinis gagal hati dapat ditandai dengan insufisiensi hati

dan dalam 2-3 minggu diikuti dengan ensefelopati hati. Gagal hati

akut yang masif sangat jarang terjadi namun sangat membahayakan

sehingga membutuhkan transplantasi hati.

2. Penyakit hati yang kronik

Penyakit hati kronik merupakan penyebab tersering gagal hati yang

merupakan perjalanan yang terakhir dari penyakit hati. Kerusakan

pada sel hati atau hepatosit, kerusakan pada sistem bilier dan

kerusakan pada sistem vaskular menjadi pemicu terjadinya

kerusakan hati.

3. Disfungsi hati tanpa disertai dengan nekrosis hati

Keadaan dimana fungsi metabolisme tidak dapat berjalan secara

normal namun sel hati dalam keadaan hidup (Kumar et al., 2013).

2.1.3 Rifampisin

Rifampisin merupakan anggota dari kelompok antibiotik makrosiklik

dan derivat semisintetik rifamisin B yang dihasilkan oleh Streptomyces

mediterranei. Rifampisin dapat menghambat berbagai pertumbuhan

kuman gram-negatif, gram-negatif, dan mikrobakterium (Istiantoro &

Rianto, 2007).

18

2.1.3.1 Mekanisme Kerja

Rifampisin bekerja dengan menghambat mekanisme kerja RNA-

polimerase dari beberapa mikroorganisme dan mikrobakteri

yang bergantung pada DNA. Pada penggunaan rifampisin

dengan dosis tinggi dapat menginhibisi enzim bakteri sekaligus

sisntesis RNA dalam mitokondria mamalia. Kemampuan

rifampisin untuk membunuh bakteri yang sedang tumbuh aktif

maupun yang sedang tidak aktif (Almeida & Palomino, 2011).

2.1.3.2 Farmakokinetik

Dosis tunggal rifampisin sebesar 600 mg dan akan

menghasilkan kadar sekitar 7 μg/ml; kadar puncak dalam plasma

pada pemberian rifampisin secara oral akan terjadi setelah 2-4

jam. Rifampisin akan cepat diekskresi melalui empedu setelah

obat tersebut diserap oleh saluran cerna lalu setelah itu akan

mengalami sirkulasi enterohepatik. Makanan dapat menghambat

penyerapannya, sehingga dalam 6 jam setelahnya obat yang

berada dalam empedu akan berbentuk deasetil rifampisin yang

memiliki aktivitas antibakteri penuh. Rifampisin memiliki

bioavailabilitas yang tinggi, eliminasi meningkat saat pemberian

berulang, hal tersebut dapat terjadi dikarenakan rifampisin

menyebabkan induksi metabolisme. Pada keadaan normal, masa

paruh eliminasi rifampisin akan bervariasi sekitar 1,5 sampai 5

jam, namun pada keadaan kelainan fungsi hati maka masa

paruhnya akan memanjang. Masa paruh eliminasi akan

19

memendek sekitar 40% dalam waktu 14 hari ketika pemberian

obatnya berulang. Pasien dengan asetilator lambat masa paruh

dapat juga memendek jika diberikan bersama isoniazid.

Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh dan sekitar 75% akan

terikat pada protein plasma. Warna merah jingga pada tinja,

ludah, urin, air mata, sputum, dan keringat dapat menandakan

distribusi rifampisin (Istiantoro & Rianto, 2007).

2.1.3.3 Efek Samping

Penyakit kuning (ikterus) merupakan efek samping yang

terpenting namun tidak sering terjadi, bila dikonsumsi dengan

isoniazid (INH) akan berpengaruh agak toksik bagi hati. Jika

penggunaan dengan rentang waktu yang lama dianjurkan untuk

memantau fungsi hati secara periodik. Efek samping yang agak

sering terjadi pada rifampisin biasanya gangguan saluran cerna

seperti diare, mual, muntah, sakit ulu hati, dan kejang perut (Tan

& Rahardja, 2007).

2.1.4 Isoniazid (INH)

Isonikotinil hizdrazid atau isoniazid yang sering disingkat INH

merupakan derivat asam isonikotinat. Secara in vitro, isoniazid bersifat

tuberkulosid dan tuberkulostatik. Pada kuman yang sedang tumbuh

aktif akan terlihat efek bakterisid dari isoniazid. INH akan aktif

terhadap kuman di luar sel (ekstraseluler) maupun didalam sel

(intraseluler) dalam makrofag (Tan & Rahardja, 2007).

20

2.1.4.1 Mekanisme Kerja

Isoniazid memiliki mekanisme kerja berdasarkan terganggunya

sintesa mycolic acid, hal tersebut diperlukan untuk membangun

dinding bakteri. INH menghambat biosintesis mycolic acid

dalam mekanisme kerjanya sehingga bakteri akan rentan

terhadap paparan radikal bebas dan faktor lingkungan lainnya.

Dalam kadar rendah INH dapat mencegah perpanjangan rantai

asam lemak yang panjang yaitu bentuk molekul asam mikolat

awal. Berbagai tipe tuberkulosis masih tetap menggunakan INH

sebagai obat kemoterapi yang terpenting bersama dengan

rifampisin dan pirazinamid (Tan & Rahadja, 2007).

2.1.4.2 Farmakokinetik

Pada pemberian oral maupun parenteral isoniazid mudah untuk

di absorpsi. Kadar puncak dapat dicapai sekitar 1-2 jam setelah

dikonsumsi secara oral. Pada manusia, kecepatan metabolisme

dipengaruhi oleh faktor genetik yang kemudian akan

mempengaruhi masa paruh dan kadar obat dalam plasma

sedangkan di hati akan mengalami asetilasi. Kadar isoniazid

pada pasien yang tergolong asetilator cepat dalam sirkulasi

berkisar antara 30-50% dengan masa paruh 1-4 jam tergantung

dengan kecepatan asetilasi. Rata-rata masa paruh pada asetilasi

cepat sekitar 70 menit, sedangkan pada asetilator lambat masa

paruh 2-5 jam. 75-95% isoniazid akan diekskresi melalui urin

dan hampir semuanya dalam bentuk metabolit. Eksresi akan

21

terjadi dalam bentuk asam isonikonat yang merupakan metabolit

proses hidrolisis dan bentuk asetil isoniazid yang merupakan

metabolit proses asetilasi (Istiantoro & Rianto, 2007).

2.1.4.3 Efek Samping

Kerusakan hati sering terjadi bila dikombinasi dengan rifampisin

dan pada orang pengasetilir-lambat (slow-acetylators). Proses

asetilasi yang mempengaruhi masa paruh dan kadar obat dalam

plasma akan bergantung dari banyaknya asetiltransferase yang

pada setiap orang akan berbeda secara genetis (Tan & Rahardja,

2007).

2.1.5 Mekanisme Kerusakan Hati yang Diakibatkan oleh Kombinasi

Isoniazid dan Rifampisin

Gambar 6. Metabolisme Isoniazid (Askgaard et al., 1995).

22

N-acetyltransferase (NAT -2) pada metabolisme utama isoniazid akan

menghasilkan acetylisoniazid. Acetylisoniazid akan dihidrolisis

sehingga membentuk acetylhydrazine dan asam isonikonat yang

merupakan senyawa non-toksik. Metabolisme isoniazid pada asetilator

lambat yang melaui jalur metabolik sekunder yaitu oksidasi akan

menghasilkan hidrazine melalui sitokrom P450 CYP2E1 dan senyawa

non-toksik yakni asam isonikotikonat. Pada penggunaan isoniazid yang

akan menyebabkan hepatotoksisitas adalah hidrazine. Hidrazine akan

menghasilkan radikal saat dioksidasi sehingga akan menjadi penyebab

utama terjadinya kerusakan sel hati. Pada asetilator yang lambat ketika

dihidrolisis akan menyebabkan lebih banyak isoniazid yang tertinggal

sehingga akan terakumulasi menjadi asetilhidrazine yang kemudian

akan berubah menjadi hidrazine (Tostmann et al., 2007).

Rifampisin merupakan salah satu obat yang menjadi induser kuat sistem

CYP450 pada hati yang dapat meningkatkan metabolit dari senyawa

lain. Ketika dikombinasikan dengan isoniazid maka rifampisin akan

meningkatkan aktivitas CYP2E1 yang dapat meningkatkan produksi

hidrazine sehingga menyebabkan hepatoksisitas (Tostmann et al.,

2007).

23

2.1.6 Rumput mutiara

2.1.6.1 Klasifikasi Tanaman Rumput Mutiara (USDA, 2016):

Divisi : Magnoliophyta.

Kelas : Magnoliopsida.

Ordo : Rubiales.

Famili : Rubiaceae.

Genus : Oldenlandia L.

Spesies : Hedotys corymbosa L.

2.1.6.2 Habitat dan Morfologi

Rumput mutiara memiliki beberapa nama lain, seperti lidah ular

(Indonesia), pengka (Makassar), katepan, urek-urek polo, dan

bunga telor (Melayu) (Dalimartha, 2006). Rumput mutiara

tumbuh subur di tanah yang lembab, halaman rumah, selokan,

pinggir jalan dan di kebun kosong yang basah atau lembab.

Tumbuhan ini tumbuh cukup rindang berserak dikarenakan

banyaknya percabangan dengan batang yang bersegi, lemah dan

tinggi dengan kisaran 15-50 cm. Bentuk daun kecil lanset, ujung

dan pangkal daun runcing sedangkan pinggir daun rata, berdaun

tunggal, berwarna keabu-abuan dibagian permukaan bawah,

tangkai pendek, dengan ukuran panjang 1 cm sampai 3 cm, lebar

1,5 mm sampai 5 mm. Batang berwarna hijau kecoklatan,

bentuk persegi empat, bercabang, dan memili tebal kurang lebih

1 mm. Buah memiliki kelopak berupa tonjolon kecil runcing

dibagian ujung permukaan luar, memiliki panjang 1,75 mm

24

sampai 2 mm, lebar 2 mm sampai 2,5 mm. Memiliki biji yang

bersudut-sudut. Akar tunggang berwarna kecoklatan dengan

garis tengah lebih kurang 1 mm sedangkan akar cabang

menyerupai benang-benang. Dari ketiak daun akan keluar bunga

yang berbentuk payung berwarna putih dan majemuk. Tanaman

ini juga memiliki buah yang ujungnya tampak pecah-pecah

(Margareth, 2010).

Gambar 7. Rumput Mutiara (Hedotys corymbosa L.).

2.1.6.3 Kandungan Kimia

Rumput mutiara memiliki beberapa kandungan seperti

stigmasterol, asam oleanolat, flavonoid, asam ursolat, asam-p-

kumarat, hentriazontane, sitosterol-D-glikosida, β-sitosterol,

analog kumarin (baihuasheshecaosu), flavonoid-glycosides,

alizarin, krorogenin, iridoid glikosida dan ikatan tragalol. Secara

invitro tanaman ini telah terbukti memiliki efek antiinflamasi

pada dosis 50 μg/ml. Tanaman ini sering digunakan oleh

masyarakat secara tradisional sebagai pengobatan terhadap

25

radang usus buntu, radang amandel, hepatitis, kanker dan radang

kantung empedu (Wijayakusuma, 2004).

Selain itu, rumput mutiara dapat mengobati berbagai penyakit

seperti, hipertensi, infeksi saluran kemih, bisul, borok, tonsilis,

bronkitis, radang panggul serta hepatitis (Permadi,2006). Serta

memiliki beberapa khasiat yaitu sebagai antitoksin, antiradang

(antiinflamasi), antikarbunkular untuk menyembuhkan bisul,

diuretik, antipiretik, memperlancar sumbatan sperma (Kusuma

& Zaky 2005) serta imunitas hormonal dan meningkatan daya

fagositosis sel darah putih (Dalimarta, 2005).

2.1.7 Tikus Putih Galur Sprague dawley

Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley

(Myres & Armitage, 2004):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Sciurognathi

Famili : Muridae

Sub-Famili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Galur : Sprague dawley

26

Gambar 8. Tikus Putih Galur Sprague dawley.

Tikus sering digunakan sebagai hewan coba untuk penelitian media

dikarenakan tikus mudah untuk didapatkan, memiliki karakteristik

genetik yang unik, murah serta mudah berkembang biak. Tikus

merupakan hewan yang sifatnya nocturnal (beraktivitas pada malam

hari). Hewan coba adalah hewan yang dapat dikembang biakkan untuk

keperluan sebagai hewan uji coba (Adiyati, 2011).

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan yang awalnya

berasal dari cina lalu menyebar ke daerah eropa bagian barat (Sirois,

2005). Sedangkan, tikus ini berkembang biak di Asia Tenggara juga

seperti Indonesia, Laos, Singapura, Filipina, dan Malaysia (Adiyati,

2011). Tikus putih merupakan strain dari albino pada Rattus

norvegicus. Pada tikus, ada beberapa galur yang merupakan pembiakan

sesama jenis atau 15 persilangan. Galur tikus yang sering dipakai dalam

penelitian yaitu Sprague Dawley dan Wistar. Tikus galur Sprague

27

Dawley dikembangkan dari tikus dengan galur Wistar. Pada tikus

bergalur Sprague dawley biasanya memiliki tubuh yang panjang dengan

kepala yang lebih sempit, berambut halus, telinga pendek dan tebal,

ekor lebih panjang dari tubuhnya serta mata berwarna merah. Rata-rata

bobot badan tikus betina yang berumur dua belas minggu 200 gram

sedangkan yang jantan 240 gram. Biasanya tikus ini akan bertahan 4

sampai 5 tahun dengan berat badan yang umum 225-325 gram untuk

betina dan 267-500 gram pada jantan. Galur Sprague dawley ini berasal

dari peternakan Institut Sprague dawley yang terbentuk tahun 1906

(Sirois, 2005).

2.2 Kerangka Teori

Kerusakan organ hepar akibat penggunaan obat kombinasi rifampisin dan

isoniazid terjadi karena rifampisin dapat meningkatkan aktivitas CYP2E1

pada isoniazid sehingga hidrazine yang menyebabkan kerusakan sel hati pun

akan meningkat (Tostmann et al., 2007).

Efek antioksidan pada rumput mutiara yang berasal dari senyawa aktif

stigmasterol, asam ursolat, hentriakontan, asam oleanolat, beta-sitosterol,

sitosterol-D-glukosida, iridoid glikosida, analog kumarin, alizarin, ikatan

antragalol dan krorogenin (Soenanto & Kuncoro, 2005) dapat mencegah

kerusakan pada hepar. Radikal bebas yang terdapat pada sel hati dapat

dicegah dengan efek antioksidan. Kandungan flavonoid akan berbanding

lurus dengan potensi antioksidannya (Soeksmanto et al., 2007).

28

Gambar 9. Kerangka Teori.

Keterangan:

: Memicu

: Menghambat

: Yang Diuji

Rifampisin & Isoniazid Rumput Mutiara

Senyawa aktif:

Flavonoid, stigmasterol, asam ursolat,

hentriakontan, asam oleanolat, beta-

sitosterol, sitosterol-D-glukosida, iridoid

glikosida, analog kumarin, alizarin, ikatan

antragalol dan krorogenin

Pemakaian secara

kombinasi

Meningkatkan produksi

hidrazin

Efek antioksidan

Mencegah radikal bebas

Kerusakan sel hati

Makromolekul pada sel hati

29

2.3 Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian aktivitas antioksidan rumput mutiara

(Hedotys corymbosa L.) pada kerusakan sel hepar tikus galur Sprague dawley

yang diinduksi rifampisin dan isoniazid dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 10. Kerangka Konsep.

2.4 Hipotesis

Terdapat pengaruh ekstrak etanol rumput mutiara (Hedotys corymbosa L.)

terhadap histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague dawley yang diinduksi rifampisin dan isoniazid.

Pemberian ekstrak etanol rumput

mutiara

Gambaran histopatologi hepar

tikus putih (Rattus norgicus) jantan

galur Sprague dawley

Variabel Bebas Variabel Terikat

30

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai yaitu penelitian eksperimental laboratorium.

Desain penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan Post Test

Only Control Group Design. Pada penelitian ini dilakukan randomisasi yaitu

semua kelompok kontrol dan eksperimen sebelum dilakukan perlakuan akan

dianggap sama sehingga pengelompokan kelompok kontrol dan kelompok

eksperimen dilakukan secara acak. Pada akhir penelitian akan dilakukan

pengambilan data dengan membandingkan kelompok kontrol dan eksperimen

setelah diberi perlakuan.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan bulan Agustus 2019 s.d Januari 2020.

3.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Animal House Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung, Laboratorium Kimia Organik Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung, dan

Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar

Lampung.

31

3.3 Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini menggunakan tikus putih jantan galur Sprague

dawley berusia 8-12 minggu. Untuk menghitung besar sampel

digunakan rumus Frederer sebagai berikut:

(n-1) (t-1) ≥ 15

t = jumlah kelompok percobaan

n = jumlah pengulangan atau jumlah sampel setiap kelompok

Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan sehingga t = 5, maka

didapatkan :

(n-1) (t-1) ≥ 15

(n-1) (5-1) ≥ 15

(n-1) 4 ≥ 15

(n-1) ≥ 3,75

n ≥ 4,75

Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan sampel 5

ekor tikus galur Sprague dawley per kelompok.

Untuk menghindari drop out ditambahkan tikus dengan rumus sebagai

berikut :

F

nN

1

32

Keterangan :

N = besar sampel koreksi.

n = besar sampel awal.

f = perkiraan proporsi drop out sebesar 10%

(6)

Berdasarkan perhitungan sampel di atas, akan diberikan penambahan 1

ekor tikus per kelompok untuk menghindari drop out. Sehingga total

sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 30 ekor

tikus galur Sprague dawley. Sampel akan dipilih menggunakan simple

random sampling.

3.3.2 Sampel

Penempatan tikus ke dalam 5 kelompok percobaan akan dilakukan

secara acak atau randomisasi dengan perlakuan yang dapat dilihat pada

gambar 9.

33

Gambar 11. Cara Sampling

Keterangan :

S = Sampel

R = Randomisasi

K = Kontrol

P = Perlakuan

3.3.3 Kelompok Perlakuan

1. K1 = Kelompok kontrol diberikan aquades 4 ml dan pakan setiap

harinya.

2. K2 = Kelompok kontrol 2 diberikan obat rifampisin dan isoniazid

dosis 200 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB tanpa diberikan ekstrak

rumput mutiara setelahnya.

3. P1 = Kelompok perlakuan 1 diberikan obat rifampisin dan

isoniazid dosis 200 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB setelah itu

diberikan ekstrak rumput mutiara dosis 200 mg/kgBB.

4. P2 = Kelompok perlakuan 2 diberikan obat rifampisin dan

isoniazid dosis 200 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB setelah itu

diberikan ekstrak rumput mutiara dosis 400 mg/kgBB.

S R

P3

P2

P1

K2

K1

34

5. P3 = Kelompok perlakuan 3 diberikan obat rifampisin dan

isoniazid dosis 200 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB setelah itu

diberikan ekstrak rumput mutiara dosis 800 mg/kgBB.

3.3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

a) Tikus Sehat.

b) Berat tikus 150 - 250 gram.

c) Berjenis kelamin jantan.

d) Berusia sekitar 2 – 3 bulan.

2. Kriteria Eksklusi

a) Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% pada saat masa

adaptasi di laboratorium FK Unila.

b) Sakit (rambut rontok dan aktifitas tidak aktif).

3.4 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

3.4.1 Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas:

Ekstrak etanol rumput mutiara.

2. Variabel Terikat:

Gambar histopatologi hepar tikus putih jantan (Rattus norvegicus)

galur Sprague dawley.

35

3. Variabel terkendali

a. Galur Tikus : Sprague dawley.

b. Umur Tikus : 8 - 12 minggu.

c. Berat badan tikus : 150 - 250 gram.

3.4.2 Definisi Operasional

Tabel 1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

Ekstrak etanol

rumput mutiara

Pemberian ekstrak

etanol rumput

mutiara

Neraca

Analitik

Dosis efektif

ekstrak etanol

rumput mutiara

adalah 400

mg/kgBB.

Dosis ekstrak

etanol rumput

mutiara masing-

masing

kelompok

perlakuan :

P1 = 200

mg/kgBB

P2 = 400

mg/kgBB

P3 = 800

mg/kgBB

Ordinal

Gambaran

histopatologi

hepar

Kerusakan hepar

tikus akan dilihat di

daerah lobulus

klasik area

sentrilobular dengan

melakukan

pengamatan sediaan

histopatologi

menggunakan

mikroskop cahaya

dengan perbesaran

400x pada 5 lapang

pandang dan dinilai

tiap lapang pandang.

Dengan cara

mengalikan jumlah

sel yang rusak

dengan skor Manja

Roenigk. Kerusakan

tiap lapang pandang

dijumlahkan dan di

rata-ratakan.

Mikroskop

Cahaya

Kriteria

penilaian

derajat

histopatologi

hepar

menggunakan

model scoring

histopathology

sebagai berikut.

1: Normal

2: Degenerasi

parenkimatosa

3: Degenerasi

hidropik

4: Nekrosis

(Arifuddin et

al., 2016).

Numerik

36

3.5 Alat dan Bahan

3.5.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan diantaranya :

1. Neraca elektronik.

2. Kandang tikus.

3. Tempat makan tikus.

4. Botol minum.

5. Sonde lambung.

6. Object dan cover glass.

7. Alat bedah (bak paraffin, gunting, pinset, jarum, dan gelas arloji).

8. Ketamin.

9. Alat pembuatan preparat histopatologi (object glass, deck glass,

ebedding cassatte, rotarymicrotome, oven, water bath, platening

table, autochincom processor, staning jar, staning rak, kertas

saring, histoplast, dan parafin dispenser).

3.5.2 Bahan Penelitian

1. Tikus galur Sprague dawley.

2. Ekstrak Rumput Mutiara.

3. Sekam.

4. Pakan tikus.

5. Air minum.

6. Handscoen.

7. Bahan-bahan untuk pengamatan mikroskop.

37

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Pengadaan Hewan Uji

Hewan uji berupa tikus putih jantan galur Sprague dawley berjumlah 30

ekor diperoleh dari Animal Laboratory Services Dramaga Kabupaten

Bogor Jawa Barat.

3.6.2 Pemeliharaan Hewan Uji

Hewan uji tikus putih jantan galur Sprague dawley akan menjalani

masa adaptasi selama 1 minggu di kandang pemeliharaan untuk

menyeragamkan cara hidup dan makanannya sebelum diberi perlakuan.

Tikus ditempatkan di kandang pemeliharaan dengan tutup terbuat dari

kawat dan dialasi oleh sekam padi setebal 0,5 – 1 cm dan diganti setiap

hari untuk mencegah terjadinya infeksi. Dalam 1 kelompok, 5 ekor

tikus ditempatkan dalam 1 kandang. Suhu dijaga pada suhu 250C

lingkungan kandang dijaga agar tidak lembab dan diberikan

pencahayaan yang cukup. Pemberian makanan dan minuman melalui ad

libitum. Makanan tikus diberikan berupa pelet. Pemberian makanan dan

minuman diberikan secukupnya dengan wadah terpisah dan diganti

setiap hari untuk menjaga kesehatan tikus agar tidak sakit atau mati.

3.6.3 Pembuatan Ekstrak Rumput Mutiara

Seluruh bagian dari tanaman digunakan dalam pembuatan ekstrak,

sebanyak 5 kg tanaman rumput mutiara dicuci sampai bersih, setelah itu

dikeringkan di udara yang terbuka selama 7 hari. Kemudian dilakukan

pengeringan kembali menggunakan oven dengan suhu 60-70 ºC. Serbuk

38

tanaman sebanyak 500 g diekstraksi secara maserasi dengan

menggunakan pelarut etanol dengan perbandingan 1:10 selama 24 jam

dengan suhu ruang, sambil dilakukan pengocokan menggunakan

inkubator bergoyang, maserasi dilakukan triplo. Setelah 24 jam sampel

disaring untuk memisahkan filtrat dengan ampasnya. Masing-masing

filtrat di evaporasi menggunakan evaporator vakum 40ºC untuk

menguapkan ekstrak pekat yang diperoleh kemudian dikeringkan

dengan oven pada suhu 40-60ºC.

3.6.4 Cara Perhitungan Dosis Ekstrak Rumput Mutiara

Dosis ekstrak rumput mutiara yang digunakan yaitu 400 mg/kgBB dan

800 mg/kgBB, ini didasarkan oleh penelitian Ardiningsih (1995) pada

rumput laut dengan dosis yang sama kemudiaan dikonversikan dengan

rendeman hasil ekstraksi yang diinduksikan ke tikus. Dosis pertama

ekstrak rumput mutiara di ambil dari setengah dosis efektif tikus,

sedangkan dosis kedua diambil dari dosis efektif, dan dosis ketiga

diambil dari hasil pengalian dua kali dari dosis yang efektif. Sehingga

dosis pada perlakuan pertama 200 mg/kgBB, perlakuan kedua 400

mg/kgBB dan perlakuan ketiga 800 mg/kgBB.

Dalam penelitian ini kelompok kontrol 1 dan 2 tidak diberi ekstrak

rumput mutiara sehingga dosis tikus pada perlakuan I,II,III adalah:

39

1) Dosis untuk tiap kelompok perlakuan I

2) Dosis untuk tiap kelompok perlakuan II

3) Dosis untuk tiap kelompok perlakuan III

3.6.5 Prosedur Pemberian Dosis Rifampisin dan Isoniazid

Penelitian yang dilakukan oleh Diah Hermayanti et al dan Kumar et al

yang bertujuan untuk mengetahui efek jus belimbing manis sebagai

hepatoprotektor pada hepar tikus yang diinduksi rifampisin dan

isoniazid selama 14 hari. Dalam penelitian tersebut, menggunakan tikus

wistar yang diinjeksi dengan rifampisin 200 mg/kgBB dan isoniazid

200 mg/kgBB. Jika dilakukan konversi untuk dosis tikus dewasa adalah

sebagai berikut:

Berat manusia dewasa umumnya 70 kg dosis 200 mg/kgBB/hari maka

dosis total 14000 mg. Maka konversi dari manusia 70 kg ke tikus 200

Dosis tikus (150g) = 200 mg/kgBB/150

= 0,2 mg x 150

= 30 mg/150gBB

Dosis tikus (150g) = 400 mg/kgBB/150

= 0,4 mg x 150

= 60 mg/150gBB

Dosis tikus (150g) = 800 mg/kgBB/150

= 0,8 mg x 150

= 120 mg/150gBB

40

gr adalah 0,018. Sehingga dosis isoniazid untuk tikus 200 gr adalah

0,018 x 14000= 252 mg.

Rata rata berat tikus yang digunakan pada penelitian ini adalah 150 gr.

Dosis yang dipakai pada tikus 150 gr adalah 37,8 mg untuk

mempermudah pembagian dosis dibulatkan menjadi 35 mg.

Dosis isoniazid yang dipilih adalah dosis isoniazid tablet sediaan 300

mg, dikarenakan pemberian dosis secara oral sehingga kadar puncak

dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Isoniazid tablet digerus

dalam 10 ml aquadest. Sehingga, dalam 1 ml larutan isoniazid terdapat

30 mg.

Sedangkan untuk dosis rifampisin menggunakan kaplet 450 mg.

Rifampisin digerus menggunakan aquadest 10 ml. Sehingga 1 ml

rifampisin terdapat 45 mg.

Sehingga semua perlakuan I,II,III,IV akan diberikan masing masing

dosis rifampisin dan isoniazid sebesar:

1. Dosis untuk rifampisin

Dosis tikus (150g) = 200 mg/kgBB/150

= 0,2 mg x 150

= 30 mg/150gBB

41

2. Dosis untuk isoniazid

3.6.6 Prosedur Perlakuan pada Tikus

1. Tikus sebanyak 30 ekor, akan dikelompokkan dalam 5 kelompok.

2. Selama satu minggu akan dilakukan adaptasi pada setiap kelompok

tikus sebelum diberi perlakuan.

3. Mengukur berat badan tikus sebelum dilakukan perlakuan.

4. Melakukan perlakuan pada masing-masing kelompok sebagai

berikut:

a. Kelompok 1 sebagai kontrol 1 yang diberikan aquades dan

pakan standar selama 14 hari.

b. Kelompok 2 sebagai kontrol 2 diberikan aquades dan pakan

standar ditambah dengan rifampisin 200 mg/kgBB dan isoniazid

200 mg/kgBB tanpa diberikan ekstrak rumput mutiara selama

14 hari.

c. Kelompok 3 sebagai perlakuan 1 diberikan aquades dan pakan

standar ditambah dengan rifampisin 200 mg/kgBB dan isoniazid

200 mg/kgBB. Lalu, diberikan ekstrak rumput mutiara 200

mg/kgBB melalui oral selama 14 hari.

d. Kelompok 4 sebagai perlakuan 2 diberikan aquades dan pakan

standar ditambah dengan rifampisin 200 mg/kgBB dan isoniazid

Dosis tikus (150g) = 200 mg/kgBB/150

= 0,2 mg x 150

= 30 mg/150gBB

42

200 mg/kgBB. Lalu, diberikan ekstrak rumput mutiara 400

mg/kgBB melalui oral selama 14 hari.

e. Kelompok 5 sebagai perlakuan 3 diberikan aquades dan pakan

standar ditambah dengan rifampisin 200 mg/kgBB dan isoniazid

200 mg/kgBB. Lalu, diberikan ekstrak rumput mutiara 400

mg/kgBB melalui oral selama 14 hari.

5. Setelah 14 hari, perlakuan diberhentikan.

6. Lima tikus dari setiap kelompok diterminasi dengan ketamin dan

dilakukan laparotomi untuk mengambil organ hepar.

7. Pembuatan sediaan mikroskopis digunakan metode paraffin dan

pewarnaan hematoksilin eosin.

3.6.7 Prosedur Pengambilan Organ Hepar

Tikus dikeluarkan dari kandang lalu ditempatkan terpisah dengan tikus

lainnya kemudian beberapa saat didiamkan terlebih dahulu untuk

mengurangi penderitaan pada tikus akibat aktivitas antara lain,

penanganan, pemindahan, gangguan antar kelompok, dan penghapusan

tanda yang pernah dilakukan pada tikus. Setelah itu, menggunakan

ketamin tikus dianestesi (Leary, 2013). Kemudian dilakukan

pembedahan hepar tikus diambil untuk sediaan mikroskopis.

43

3.6.8 Proses Pembuatan Preparat

Metode pembuatan preparat histopatologi adalah sebagai berikut.

1. Fixation

Memfiksasi spesimen berupa potongan organ hepar yang telah

dipilih dengan larutan pengawet formalin 10% dan dicuci dengan air

mengalir 3-5 kali.

2. Trimming/sampling

Membuat irisan potongan hepar dengan ketebalan sekitar 3-5 mm.

Kemudian, memasukan potongan organ hepar tersebut ke dalam

embedding cassette.

3. Dehidration

Menuntaskan air dengan meletakkan embedding cassette pada kertas

tisu. Berturut-turut melakukan perendaman organ hepar dalam

alkohol bertingkat 70% lalu 96%, absolut I, II, III masing-masing

selama 1 jam.

4. Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xilol I,

II, III masing-masing selama 30 menit.

5. Impregnation

Impregnasi dengan menggunakan parafin selama 1 jam di dalam

inkubator dengan suhu 65,1ºC.

6. Embedding

a. Membersihkan sisa parafin yang ada pada pan logam dengan

memanaskan beberapa saat di atas api dan usap dengan kapas

44

b. Menyiapkan parafin dengan memasukan parafin ke dalam cangkir

logam dan memasukkan ke dalam oven dengan suhu di atas

58 ºC.

c. Menuangkan parafin cair ke dalam pan.

d. Memindahkan satu persatu dari embedding cassete ke dasar pan

dengan mengatur jarak satu dengan yang lainnya.

e. Memasukkan pan ke dalam air.

f. Melepaskan parafin yang berisi potongan hepar dari pan dengan

memasukkan ke dalam suhu 4-6 ºC beberapa saat.

g. Memotong parafin sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan

menggunakan scalpel/pisau hangat.

h. Meletakkan pada balok kayu, ratakan pinggirannya dan buat

ujungnya meruncing.

i. Memblok parafin siap dipotong dengan mikrotom.

7. Cutting

a. Melakukan pemotongan pada ruangan dingin.

b. Sebelum memotong, mendinginkan blok terlebih dahulu.

c. Melakukan pemotongan kasar, dilanjutkan dengan pemotongan

halus dengan tebal 4-5 mikron.

d. Memilih lembaran potongan yang paling baik.

e. Memindahkan lembaran jaringan ke dalam water bath dengan

suhu 60 ºC selama beberapa detik sampai mengembang

sempurna.

45

f. Dengan gerakan menyendok mengambil lembaran jaringan

tersebut dengan slide bersih dan menempatkan di tengah atau

pada sepertiga atas atau bawah, mencegah jangan sampai ada

gelembung udara di bawah jaringan.

g. Mengeringkan slide. Jika sudah kering, slide dipanaskan pada

inkubator (suhu 37 ºC) selama 24 jam untuk merekatkan jaringan

dan mencairkan parafin sebelum pewarnaan.

8. Stainning (pewarnaan) dengan Harris Hematoxylin Eosin

Pertama, dilakukan deparafinisasi dengan menggunakan larutan xilol

I dan II masing-masing selama 5 menit serta hidrasi ke dalam

alkohol absolut selama 1 menit serta alkohol 96%, dan alkohol 70%

masing-masing selama 2 menit lalu dengan air/akuades selama 10

menit. Kedua, lakukan pulasan inti dengan zat warna Harris

Hematoxylin selama 15 menit, lalu air mengalir, dan eosin selama

maksimal 1 menit. Ketiga, lakukan dehidrasi dengan menggunakan

alkohol 70%, 96%, dan absolut masing-masing selama 2 menit.

Keempat, lakukan penjernihan dengan menggunakan larutan xilol I

dan II masing-masing selama 2 menit.

9. Mounting

Menempatkan slide di atas kertas tisu pada tempat datar, menetesi

dengan bahan mounting yaitu kanada balsam dan tutup dengan cover

glass cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara. Kemudian

membaca slide dengan mikroskop.

46

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1 Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah

dalam bentuk tabel, kemudian proses pengolahan data menggunakan

software komputer yang terdiri dari beberapa langkah:

1. Koding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang

dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk

keperluan analisis.

2. Data entry, memasukan data ke dalam program software.

3. Verifikasi, memasukan data pemeriksaan secara visual terhadap

data yang telah dimasukan ke dalam program software.

4. Output, hasil yang telah dianalisis oleh software komputer

kemudian dicetak.

3.7.2 Analisis Data

Analisis statistik untuk mengolah data yang diperoleh akan

menggunakan program pengolahan data dengan jenis analisis univariat

dan bivariat. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Uji normalitas data (p >0,05)

Pengujian normalitas data menggunakan Shapiro-Wilk test

dikarenakan besar sampel ≤50 (30 sampel). Uji normalitas

dilakukan untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak

normal. Distribusi normal adalah data yang telah ditransformasikan

ke dalam bentuk p dan diasumsikan normal. Jika nilainya di atas

47

0,05 maka distribusi data dinyatakan memenuhi asumsi normalitas

dan jika nilainya di bawah 0,05 maka diinterpretasikan sebagai

tidak normal. Hasil uji normalitas ini untuk menentukan analisis

berikutnya yaitu analisis parametrik bila data berdistribusi normal

atau non parametrik bila data tidak berdistribusi normal.

2. Uji homogenitas data (p >0,05)

Pengujian homogenitas data menggunakan uji Levene untuk

mengetahui data homogen atau tidak homogen. Jika nilainya di atas

0,05 maka homogenitas data dinyatakan memenuhi asumsi

homogen, dan jika nilainya di bawah 0,05 maka diinterpretasikan

sebagai tidak homogen. Hasil uji homogenitas ini untuk

menentukan analisis berikutnya, yaitu analisis parametrik bila data

homogen atau non parametrik bila data tidak homogen.

3. Uji parametrik (One-Way ANOVA)

Pengujian parametrik dilakukan untuk menguji perbedaan pengaruh

kelompok I, kelompok II, kelompok III, kelompok IV, dan

kelompok V. Uji one way analysis of variance (one way ANOVA)

dilakukan karena penelitian ini berupa analisis komparatif numerik

tidak berpasangan >2 kelompok. Bila tidak memenuhi syarat

parametrik (distribusi data tidak normal) maka dilakukan uji non

parametrik yaitu uji Kruskal-Wallis.

48

3.8 Etika Penelitian

Penelitian ini telah melalui kaji etik dan mendapat surat kelayakan etik untuk

melakukan penelitian dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor surat

3769/UN26.18/PP.05.02.00/2019.

Tiga prinsip dasar etik pelaksanaan penelitian menggunakan hewan coba:

1. Tiga pilar prinsip etik penelitian

a. Respect for Animals

Setiap peneliti yang menggunakan hewan coba harus

menghormati hewan coba tersebut.

b. Beneficience

Bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup lain.

c. Justice

Bersikap adil dalam memanfaatkan hewan coba.

2. Prinsip etik penggunaan hewan coba

a. Reduction

Penggunaan hewan dalam jumlah sekecil mungkin tetapi

memberikan hasil yang sahih.

b. Replacement

Relatif: mengganti hewan percobaan dengan memakai

organ dan jaringan hewan dari rumah potong atau ordo

yang lebih rendah.

Absolut: mengganti hewan percobaan dengan memakai

kultur sel jaringan atau program komputer.

49

c. Refinement

Mengurangi rasa distress dengan menggunakan analgetik

sedativa, anestesi atau dengan melakukan prosedur dengan

cara benar oleh tenaga terlatih.

3. Prinsip etik pemeliharaan/perlakuan terhadap hewan coba

a. Freedom for hunger and thirsty.

b. Freedom from pain, injury and disease.

c. Freedom from discomfort.

d. Freedom from fear and distress.

e. Express natural behaviour.

50

3.10 Alur Penelitian

Gambar 12. Alur Penelitian.

30 ekor tikus galur Sprague dawley

Adaptasi hewan coba selama 7 hari

Perlakuan hewan coba 14 hari

K1 K2 P1 P2 P3

Aquades

dan

Pakan Tanpa

ekstrak

mutiara

Ekstrak mutiara

800 mg/kgBB

Ekstrak

mutiara 400

mg/kgBB

Ekstrak

mutiara 200

mg/kgBB

Hari ke 14 dilakukan terminasi pada tikus

Dilakukan Pembedahan dan Pengambilan organ hepar

Pengamatan di Bawah Mikroskop dan Interpretasi Hasil

Pengamatan

Dilakukan Pembuatan Preparat Organ Hepar

Rifampisin 200 mg/kgBB

Isoniazid 200 mg/kgBB

63

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Terdapat pengaruh ekstrak etanol rumput mutiara (Hedotys corymbosa L.)

terhadap histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague dawley yang diinduksi rifampisin dan isoniazid.

5.2 Saran

1. Peneliti lain disarankan untuk menguji pengaruh ekstrak etanol rumput

mutiara (Hedotys corymbosa L.) terhadap organ lainnya.

2. Peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut

menggunakan dosis yang lebih tinggi maupun jangka waktu yang lama

untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol rumput mutiara (Hedotys

corymbosa L.)

64

DAFTAR PUSTAKA

Adiyati PN. 2011. Ragam jenis ektoparasit pada hewan coba tikus putih (rattus

norvegicus) galur sprague dawley. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian

Bogor.

Adhvaryu MR, Reddy N, Vakharia BC. 2008. Drug information handbook: a

comprehensive resource for all clinicians and healthcare proffesionals. 20

ed. Washington: Hudson.

Almeida DSPE, Palomino JC. 2011. Molecular basis and mechanisms of drug

resistance in mycobacterium tuberculosis: Classical and New Drugs. J

Antimicrob Chemother. 66(7): 1425.

Amelia G. 2006. Potensi rumput mutiara (hedotys corimbosa L.) sebagai

antioksidan alami. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Ardiningsih P. 1995. Efek pemberian rumput laut (sargassum sp) terhadap kadar

sgot dan sgpt ayam. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Arifuddin, Asri A, Elmatris. 2016. Efek pemberian vitamin c terhadap gambaran

histopatologi hati tikus wistar yang terpapar timbal asetat. Padang;

Universitas Andalas.

Askgaard DS, Torgny W, Martin, D. 1995. Hepatotoxicity caused by the

combined action of isoniazid and rifampicin. Thorax. 50: 2013-2014.

Bardan SN. 2007. Tanaman berkhasiat obat. Jakarta: PT. Sunda Kelapa Pustaka.

Crevel RV. 2002. Innate immunity to mycobacterium tuberculosis. Clin.

microbiol. Pages. 294-309.

Dalimartha S. 2002. Atlas tumbuhan obat indonesia Jilid 2. Jakarta: Trubus

Agriwidya.

Dalimartha S. 2005. Ramuan tradisional untuk pengobatan hepatitis. Jakarta:

Penebar Swadaya.

Dalimartha S. 2006. Atlas tumbuhan obat indonesia. Jilid 5. Jakarta: Pustaka

Bunda.

Daniel SW, Widjaya P. 2007. Anatomi tubuh manusia. Bandung: Graha Ilmu.

65

Direktorat Bina Farmasi Komuitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan dan Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical care

untuk penyakit hati. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Febriana MV. 2015. Pengaruh meniran (phyllanthus niruri linn) terhadap

gambaran histopatologi hepar tikus putih (rattus norvegicus) jantan yang

diinduksi obat anti tuberkulosis (rifampisin dan isoniazid). [Skripsi].

Lampung: Universitas Lampung.

Farell GC. 1994. Drug-induced acute hepatitis. In: drug induce liver disease.

Churchill livingstone: Edinburgh, UK.hlm. 247-299.

Febrianti N, Sari FJ. 2016. Kadar flavonoid total berbagai jenis buah tropis di

indonesia. Proceeding Symbion (Symposium on Biology Education); 2016

Aug 27; Universitas Ahmad Dahlan. hlm. 607-12.

Hall JE, Guyton AC. 2014. Buku ajar fisiologi kedokteran. 12th ed. Jakarta:

Elsevier.

Hernani & Rahardjo M. 2005. Tanaman berkhasiat antioksidan. Jakarta: Penebar

Swadaya.

Hermayanti D, Syafitri F, Iralawati AD. 2015. Jus belimbing manis sebagai

hepatoprotektor pada tikus putih galur wistar yang diinduksi

antituberkulosis rifampisin dan isoniazid. Vol. 11. Malang: Universitas

Muhamadiyah Malang.

Istiantoro YH, Rianto S. 2007. Tuberkulostatik dan leprostatik. Dalam: Sulistia

GG, penyunting. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Departemen

Farmakologi dan Terapetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

hlm. 613-617.

Iqbal MJ, Dewan, Fauzia Z, Chowdhury, Mamun, Moshiuzzaman M, Begum,

Monowara. 2008. Pre-treatment by n-hexane extract of phyllanthus niruri

can alleviate paracetamol-induced damage of the rat liver. Bangladesh

Journal of Pharmacology, 2(1), pp. 43–8.

Junqueira L, Carneiro CJ, Kelley RO. (2002). Basic histology. twelve Edition.

USA: Appleton and Lange. hlm. 678-681.

Johnson K, Hess K, Goad JWU. 2006. Isoniazid completion rates for latent

tuberculosis infection among collage students managed by a community

pharmacist.

Karina. 2007. Faktor risiko kematian penderita sirosis hati di rsup dr. kariadi

semarang tahun 2002-2006. Semarang: Universitas Diponegoro.

66

Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. 2014. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi

13 Jakarta: EGC.

Kumar V, Abbas AK, Aster, JC. 2013. Robbin’s basic pathology. Philadelphia:

Elsevier. hlm. 6-9.

Kumar GSJ, Krishna BRB, Kumar VG. 2010. Hepatoprotective and antioxidant

activity of the alcoholic extract of ipomoea turpetnm against anti-tb drugs

induced hepatotoxicity in rats. Journal of Advances in Drug Research.

Vol.1 Issue.1. pp 10-19.

Kusuma FR, Zaky BM. 2005. Tumbuhan liar berkhasiat obat. Jakarta: Agromedia

Pustaka.

Leary S, Underwood W, Lilly E, Anthony R, Cartner S, Corey D. 2013. Avma

guidlines for the euthanasia of animals. United States: American

Veterinary Medical Association.

Marasani A. (2014). Hepatoprotective activity of bauhinia variegate against

isonized and rifampicin-induced toxicity in experimental rats. International

Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science.6(4): 0975-1491.

Margareth AM. 2010. Kamus pintar obat herbal. Yogyakarta: Nuha Medika. hlm.

105-106.

Mescher AL. 2015. Histologi dasar junqueira teks dan atlas. edisi 12. Jakarta:

EGC.

Moore KL, Dalley AF. 2013. Anatomi berorientasi klinis. Edisi 5. Jakarta:

Erlangga.

Myres P, Artimage D. 2004. Rattus norvegicus. Animal Diversity.

Paulsen F, Waschke J. 2015. Sobotta atlas anatomi manusia organ-organ dalam

jilid 2 edisi 23. Jakarta: EGC.

Permadi A. 2006. Tanaman obat pelancar seni. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pramono CSU. 2005. Penggunaan hewan-hewan uji coba di laboratorium. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

Prasetiawan S, Yustika AR, Aulannia’am. 2013. Kadar malondialdehid (mda) dan

gambaran histologi pada ginjal tikus putih. Student Journal, 1(2):222–8.

Saad MS, Bagalkotkar G, Sagineedu SR, Stanslas J. 2006. Phytochemicals from

phyllantus niruri lin and their phamacological properties: a review. Journal

of Pharmacy and Pharmacology. Volume 58, Issue 12. Pages. 1559-1570.

67

Silvani FN. 2019. Pengaruh ekstrak etanol belimbing wuluh (averrho bilimbi

linn.) sebagai antioksidan terhadaphistopatologi hepar tikus galur sprague

dawley yang diinduksi paracetamol. [Skripsi]. Lampung: Universitas

Lampung.

Sirois M. 2005. Laboratory animal medicine: principles and procedure. United

State of America: Mosby, Inc.

Sherwood L. 2016. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 8. Jakarta: EGC.

Soekmanto A. 2007. Kandungan antioksidan pada beberapa bagian tanaman

mahkota dewa phaleria macrocarpa (cheff) boerl. (thymelaceae).Volume

8.2. Jakarta: Universitas Pancasila.hlm.92-95.

Soenanto HD, Kuncoro.2009. Obat tradisional. Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo.

Tan HT, Rahardja K. 2007. Obat-obat penting: khasiat, penggunaan, dan efek-

efek sampingnya. Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. hlm.

158-161.

Tostmann A, Boeree MJ, Aarnoutse RE, Lange Wiel CMD, Ven AJAM,

Dekhuijzen R. 2007. Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity:

concise up-to-date review. Journal of Gastroenterology and Hepatology.

23: 192-202.

United State Department of Agriculture (USDA). 2016. Oldenlandia corymbosa

L. Diakses 18 Agustus 2019. http://plants.usda.gov/core/profile?

symbol=OLCO.

Victoria H. 2017. Efek protektif thymoquinone terhadap gambaran histopatologi

hepar pada tikus putih (rattus norvegicus) galur sprague dawley yang

diinduksi rifampisin. [Skripsi]. Lampung: Universitas Lampung.

WHO (World Health Organization). 2018. Global tuberculosis report 2018.

Switzerland.

Wijayakusuma H. 2004. Atasi kanker dengan tanaman obat. Jakarta: Puspa swara.

Vernon AA. 2004. Rifamycin Antibiotics with a focus on newer agents. Dalam

Rom NW dan Garar MS (penyunting). Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincot

Williams & Wilkins.

Yuda KY. 2018. Efek protektif jahe merah (zingiber officinale var. rubrum)

terhadap gambaran histopatologi hepar tikus putih (rattus norvegicus)

galur sprague dawley yang diinduksi paracetamol. Lampung: Universitas

Lampung.