PENGARUH DINAMIKA SEKTOR EKONOMI TERHADAP …
Transcript of PENGARUH DINAMIKA SEKTOR EKONOMI TERHADAP …
iii
TESISPENGARUH DINAMIKA SEKTOR EKONOMI TERHADAPKETIMPANGAN PENDAPATAN DI SULAWESI SELATAN
THE EFFECT OF THE DYNAMIC OF ECONOMIC SECTORSTO INCOME INEQUALITY IN SOUTH SULAWESI
NELY AYU ADRIANI UDHAR
A032171003
PROGRAM MAGISTER
EKONOMI PEMBANGUNAN DAN PERENCANAAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
iv
HALAMAN JUDUL
PENGARUH DINAMIKA SEKTOR EKONOMI TERHADAPKETIMPANGAN PENDAPATAN DI SULAWESI SELATAN
THE EFFECT OF THE DYNAMIC OF ECONOMIC SECTORSTO INCOME INEQUALITY IN SOUTH SULAWESI
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan
Disusun dan Diajukan Oleh:
NELY AYU ADRIANI UDHAR
A032171003
PROGRAM MAGISTEREKONOMI PEMBANGUNAN DAN PERENCANAAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
v
v
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : NELY AYU ADRIANI UDHAR
Nomor Pokok : A032171003
Program Studi : EKONOMI PEMBANGUNAN DANPERENCANAAN
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya
tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan
merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
sebagian atau keseluruhan tesis ini karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, November 2020
Yang menyatakan
NELY AYU ADRIANI UDHAR
vii
ABSTRAK
NELY AYU ADRIANI UDHAR. Pengaruh Transformasi Struktural terhadapKetimpangan Pendapatan di Sulawesi Selatan (dibimbing oleh Agussalim danSultan Suhab).
Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh langsung dan tidak langsungTransformasi struktural (sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier)terhadap ketimpangan pendapatan melalui penyerapan tenaga kerja danpendapatan perkapita di Sulawesi Selatan.
Jenis data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunderberupa panel data (pooled data) yang menggabungkan data lintas daerah (cross-section) dan data lintas waktu (time series). Penganalisisan data menggunakanmetode analisis jalur (path analysis).
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa sektor primer berpengaruh positifdan signifikan secara langsung terhadap ketimpangan pendapatan danberhubungan negative dan signifkan secara tidak langsung melalui penyerapantenaga kerja dan pendapatan perkapita. Sektor sekunder berpengaruh negatifdan signifikan terhadap Ketimpangan pendapatan baik secara langsung maupunsecara tidak langsung melalui penyerapan tenaga kerja dan pendapatanperkapita. Hasil pengujian data menunjukkan bahwa secara langsungpergeseran struktur ekonomi dari sektor primer ke sekunder memberikanpengaruh yang signifikan dalam menurunkan tingkat ketimpangan. Ketimpanganpendapatan akan menurun dengan adanya transisi menuju sektor industri.Sektor tersier berpengaruh negatif dan signifikan secara tidak langsung terhadapketimpangan pendapatan melalui penyerapan tenaga kerja dan pendapatanperkapita di Sulawesi Selatan. Pergeseran sturktur menuju sektor tersier darisektor pertanian dan sektor industri berpengaruh signifikan dalam menurunkantingkat ketimpangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terjadinyapergeseran struktur ekonomi akan memperbaiki distribusi pendapatan.
Kata Kunci: Ketimpangan pendapatan, transformasi struktural, penyerapantenaga kerja, pendapatan perkapita
viii
ABSTRACT
NELY AYU ADRIANI UDHAR. The Effect of Structural Transformation to IncomeInequality in South Sulawesi (Supervised by Agussalim and Sultan Suhab).
This study aims to look at the direct and indirect effects of structuraltransformation (primary sector, secondary sector and tertiary sector) on incomeinequality through employment and per capita income in South Sulawesi.
The type of data analyzed in this study is secondary data in the form ofpanel data (pooled data) that combines cross-regional data (cross-section) andcross-time data (time series). Analyzing data uses the path analysis method.
The results showed that the primary sector had a positive and significant effectdirectly on income inequality and was negatively and indirectly related throughemployment and income per capita. The secondary sector has a negative andsignificant effect on income inequality both directly and indirectly throughemployment and per capita income. The results of testing the data show that thedirect shift in the structure of the economy from the primary to the secondarysector has a significant influence in reducing inequality. Income inequality willdecrease with the transition to the industrial sector. The tertiary sector has anegative and significant effect on income inequality through employment and percapita income in South Sulawesi. The shift in structure towards the tertiary sectorfrom the agricultural and industrial sectors has a significant effect in reducinginequality. Thus, it can be said that a shift in economic structure will improveincome distribution
Keywords: income inequality, structural transformation, employment, per capitaincome
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT, atas Rahmat dan
Hidayah-Nya, dan shalawat tak lupa penulis curahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, yang telah mengangkat umatnya dari alam yang gelap
menuju alam yang penuh dengan cahaya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis dengan judul ”Pengaruh Dinamika Ekonomi terhadap
Ketimpangan Pendapatan di Sulawesi Selatan” sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan program Magister (S1) pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin pada Prodi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan.
Tesis ini tentunya tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan, dukungan
serta masukan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis,
Hatibuddin, S.Sos., MM dan Harmi, SP yang telah memberikan kasih sayang
yang tulus, terima kasih atas doa, pengertian, dan perjuangan, serta
pengorbanan yang telah dicurahkan untuk penulis, tak banyak yang bisa penulis
lakukan untuk membalas kasih sayang mereka, selain pengabdian serta doa
yang tulus kepada ALLAH SWT agar senantiasa diberikan kesehatan,
kesejahteraan, keimanan dan perlindungan. Terima kasih pula kepada kakak-
kakakku Risma Aulia Udhar, S.Kel., M.si, Muhammad Rais, S.Kom, Mulya Ari
Rifai Udhar, SE, Nurraya Baharuddin, Amd, Keb, Indra Tri Susmitro Udhar, SM
dan Andi Nurdiana yang telah mencurahkan perhatian, waktu, dan tenaga
kepada penulis serta senantiasa mendengarkan keluh kesah dan memberikan
dukungan yang tiada henti. Dan terima kasih pula kepada para keponakanku
yang lucu dan cerdas, Ahmad Faqiyh Dzakwan Khairy, Adelia Dwi Raihanah,
Nur Fadzlil Hadi El-Fatih, Adila Mossa Nauren dan Ahmad Gafi Fasal semoga
x
kelak menjadi anak yang soleh dan soleha, amiin. Ucapan terima kasih juga
hendak penulis ucapkan kepada:
Dr. Indraswati Tri Abdi Revianne, MA selaku Ketua Program Studi Ekonomi
Pembangunan dan Perencanaan (EPP). Terima kasih atas ilmu dan segala
bantuan yang telah diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi pada
prodi EPP .
Dr. Agussalim, SE., M.Si selaku pembimbing I, yang memberikan banyak
inspirasi dan motivasi kepada penulis selama perkuliahan dan juga terima kasih
atas arahan, bimbingan, saran serta waktu yang diberikan kepada penulis
selama penyusunan tesis ini dan Dr. Sultan Suhab, SE., MS selaku pembimbing
II, terima kasih atas saran, dan arahan serta waktu yang telah diberikan selama
penyusunan tesis ini.
Dr. Anas Iswanto Anwar, SE., M.Si, Dr. Sanusi Fattah, SE., M.Si dan Dr.Sabir,
SE., M.Si, selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak saran sehingga
penulis terpacu untuk terus belajar.
Kepada Prof. Dr. Nursini, MA, Dr. Sri Unday Nurbayani, SE., M.Si dan seluruh
staf P2KP Unhas yang telah layaknya keluarga baru di Unhas banyak
memberikan dukungan serta motivasi dalam menyelesaikan study.
Segenap dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah mendidik dan
membagikan ilmu, menginspirasi, dan memotivasi penulis. Penulis juga
menghaturkan banyak terima kasih atas pembelajaran selama tahun
perkuliahan.
Seluruh Staf akademik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin
yang telah memberikan banyak bantuan selama penyelesaian study.
Bappeda Kabupaten Bone terkhusus untuk Bidang Perencanaan dan Evaluasi
Pembangunan Daerah yang telah memfasilitasi, memberi bantuan, dan
xi
memotivasi dalam penyelesaian akhir magister.
Tim Rusuh Bappeda; Ita, Kak Niar, Ancha, Kak Ocing, Tina, Herul, Eko dan
Filsah yang sudah layaknya saudara selama bermukim di Bone.
Sothyl Guel Kaka Qarina (Alma), Kaka Cell (Susang), Kaka Nurul (Njawa) dan
Kaka Mita (Kinana) yang selalu menjadi solusi dalam segala kesulitan, paling
kompek powder selalu se iya sekata, seirama, simbang dan selaras.
Sahabatku tercinta Unyu yang selalu setia menemani, memberikan semangat
dan pertemanan yang tulus, selalu menjadi tempat terbaik untuk cerita dan
tertawa bersama. Kepada Rosa, Akmal, Jaddid, dan Iin yang selalu memberikan
bantuan selama perkuliahan dan penyelesaian magister.
Saudara-saudara Magister EPP dan ESD. Terima kasih atas segala bantuan,
pembelajaran, dan kenangan yang indah yang telah diberikan selama penulis
menempuh masa perkuliahan.
Dan terkhusus Kepada Ade Putra, SH., MH yang selalu menemani dan
mendampingi dengan tulus, senantiasa mendoakan dan menyanyangi dengan
sepenuh hati.
Akhir kata, tiada kata yang patut peneliti ucapkan selain doa semoga Allah
SWT senantiasa melimpahkan ridho dan berkah-Nya atas amalan kita di dunia.
Aamin Ya Rabbal Alamin.
Watampone, 30 November 2020
NELY AYU ADRIANI UDHAR
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 11
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................11
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................................ 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori ......................................................................................................13
2.1.1 Teori Ketimpangan Pendapatan ...................................................................13
2.1.2 Indikator Pengukuran Distribusi Pendapatan................................................. 17
2.1.3 Teori Transformasi Struktural ........................................................................ 23
2.2 Hubungan Antar Variabel ..................................................................................... 28
2.2.1 Hubungan Dinamika sektor ekonomi dengan Ketimpangan Pendapatan.......28
2.2.2 Hubungan Penyerapan tenaga kerja Dan Ketimpangan Pendapatan ............ 30
2.2.3 Hubungan Pendapatan perkapita Dan Ketimpangan Pendapatan................. 32
2.2.4 Hubungan Dinamika sektor ekonomi, Penyerapan tenaga kerja dan
Pendapatan Perkapita ................................................................................... 34
2.2.5 Hubungan Dinamika sektor ekonomi, Penyerapan Tenaga Kerja,
Pendapatan Perkapita Dan Ketimpangan Pendapatan..................................38
2.3 Studi Empiris ........................................................................................................ 39
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
xiii
3.1 Kerangka Pemikiran ............................................................................................. 46
3.2 Hipotesis .............................................................................................................. 48
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Sumber Data........................................................................................ 50
4.2 Model Analisis Data............................................................................................. 51
4.3 Uji Asumsi Klasik..................................................................................................56
4.4 Definisi Operasional Variabel ............................................................................... 59
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Makro Ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan.............................. 61
5.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2015-2019 ......... 61
5.1.2 Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2015-2019................. 62
5.1.3 Inflasi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2015-2019 ....................................64
5.2 Deskripsi Data ....................................................................................................65
5.2.1 Gini Rasio Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Periode
2015-2017...................................................................................................65
5.2.2 Pendapatan Perkapita Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Periode 2015-2017......................................................................... 67
5.2.3 Penyerapan Tenaga Kerja Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Periode 2015-2017......................................................................... 69
5.2.4 Sektor Primer Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan
Periode 2015-2017...................................................................................... 71
vi
5.2.5 Sektor Sekunder Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan
Periode 2015-2017...................................................................................... 72
5.2.6 Sektor Tersier Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan
Periode 2015-2017...................................................................................... 74
5.3 Hasil Penelitian ...................................................................................................75
5.3.1 Hasil Uji Asumsi Klasik ................................................................................ 75
5.3.2 Hasil Analisis Pengaruh Dinamika sektor ekonomi, Penyerapan Tenaga
Kerja, dan Pendapatan Perkapita terhadap Ketimpangan Pendapatan
di Sulawesi Selatan.................................................................................. 79
5.3.3 Hasil Analisis Pengaruh Dinamika sektor ekonomi terhadap Ketimpangan
Pendapatan melalui Penyerapan Tenaga Kerja dan Pendapatan Perkapita
Pada Kota/Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan....................................90
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan......................................................................................................... 96
6.2 Saran.................................................................................................................. 98
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 99
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kriteria Ketimpangan Berdasarkan Indeks Gini 20
Tabel 4.1 Identifikasi Autokorelasi 59
Tabel 5.1 Hasil Uji Multikolinearitas 77
Tabel 5.2 Hasil Uji Linearitas 78
Tabel 5.3 Pengaruh Langsung 79
Tabel 5.4 Pengaruh Tidak Langsung 90
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Sulawesi
Selatan terhadap Nasional Tahun 2013-2017
3
Gambar 1.2Persentase Distribusi Pendapatan Sulawesi Selatan Tahun
2013 – 2015
4
Gambar 1.3 Kontribusi Sektor Terhadap PDRB Sulawesi Selatan Tahun
2010-2017
6
Gambar 1.4 Persentase Penduduk Bekerja terhadap Angkatan Kerja dan
Penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2013- 2017
7
Gambar 1.5 PDRB Perkapita Sulawesi Selatan Tahun 2013- 2017 (Juta
Rupiah)
8
Gambar 2.1 Kurva “U” terbalik (Hipotesis Kuznetz) 14
Gambar 2.2 Kurva Lorenz 19
Gambar 2.3 Perubahan Peranan Sektor dalam Menciptakan Produksi
Nasional
35
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran 48
Gambar 5.1 Perkembangan Gini Rasio Periode 2015-2017 66
Gambar 5.2 Pendapatan Perkapita Pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan Periode 2015-2017
68
Gambar 5.3 Penyerapan Tenaga Kerja Pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan Periode 2015-2017
70
Gambar 5.4 Sektor Primer Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Periode 2015-2017
71
Gambar 5.5 Sektor Sekunder Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Periode 2015-2017
72
Gambar 5.6 Sektor Tersier Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Periode 2015-2017
74
Gambar 5.7 Hasil Uji Normalitas 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan ekonomi merupakan suatu tekad masyarakat untuk
berupaya mencapai kehidupan yang lebih baik dalam peningkatan ketersediaan
serta perluasan distribusi berbagai barang pokok, peningkatan standar hidup
secara ekonomi dan sosial (Todaro, 2006). Pembangunan sejatinya ialah proses
terencana menuju kondisi yang lebih baik, pembangunan ekonomi dapat
diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan
perkapita, yang disertai dengan perubahan struktur ekonomi, perbaikan distribusi
pendapatan dan pengurangan angka kemiskinan. Pembangunan ekonomi
mempunyai tujuan utama yakni pengurangan angka kemiskinan yang dapat
dicapai melalui pertumbuhan ekonomi dan atau melalui redistribusi pendapatan.
Pertumbuhan ekonomi seringkali dinilai sebagai indikator keberhasilan
ekonomi suatu wilayah, Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
tinggi senantiasa ditonjolkan sebagai sebuah parameter kemakmuran. Namun
kegigihan Indonesia dalam mengejar laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
ternyata tidak diiringi dengan perbaikan distribusi pendapatan, disamping itu
melahirkan praktek konglomerasi. Timbul gejala dalam perekonomian, dimana
sumberdaya dan asset hanya memusat pada sekelompok kecil orang,
kepemilikan usaha menumpuk pada segelintir orang, persaingan usaha tumbuh
secara tidak sehat serta timbulnya perekonomian dengan wajah dualistik:
makmur vs kumuh, metropolis vs terisolir (Agussalim, 2009).
2
Ketimpangan distribusi pendapatan kerap muncul dalam proses
pembangunan, masalah ini tidak hanya dihadapi oleh negara sedang
berkembang, negara maju sekalipun tidak terlepas dari persoalan tersebut.
Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat ketimpangan
yang terjadi dalam masyarakat serta tingkat kesulitan dalam mengatasinya yang
akan dipengaruhi oleh karakteristik suatu negara (luas wilayah, jumlah penduduk,
sumberdaya alam, struktur ekonomi dan sebagainya). Semakin tinggi tingkat
ketimpangan yang terjadi semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya.
Negara maju menunjukkan tingkat ketimpangan yang relatif kecil, sebaliknya
negara sedang berkembang cenderung memiliki tingkat ketimpangan yang relatif
tinggi dan untuk mengatasinya relatif sulit, sehingga memerlukan perhatian
khusus (Arsyad 2010).
Dalam satu dasawarsa terakhir Indonesia telah mencatat laju pertumbuhan
ekonomi yang sangat mengesankan bahkan berlangsung secara konsisten
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 5.11 persen pertahun, dan pada tahun
2017 pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,07 persen. Sementara itu,
Sulawesi Selatan sebagai salah satu provinsi diluar Jawa, memiliki pertumbuhan
ekonomi yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi nasional yaitu sebesar 7,23 persen pada tahun 2017, hal ini juga
sekaligus menempatkan Sulawesi Selatan sebagai salah satu provinsi dengan
pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia.
3
Gambar 1.1Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Sulawesi Selatan
terhadap Nasional Tahun 2013-2017
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan (Diolah, 2019)
Selanjutnya data pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir
menunjukkan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sangat akseleratif dengan
rata-rata pertumbuhan sebesar 7,4 persen pertahun. Pencapaian ini tidak hanya
melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi Nasional, tetapi juga menempatkan
Sulawesi Selatan, bersama dengan Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara,
sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi sekaligus sebagai
kawasan paling dinamis di Indonesia.
Namun demikian dibalik fakta yang menggembirakan tersebut, muncul
fakta lain yang merisaukan, yaitu ketimpangan pendapatan yang semakin
melebar. Ketimpangan pendapatan yang direfleksikan dengan gini coefficient
menunjukkan pergerakan yang begitu cepat dari 0,36 pada tahun 2008
membesar menjadi 0,407 di tahun 2017. Atau dengan kata lain, hanya dalam
0,37
0,38
0,39
0,4
0,41
0,42
0,43
0,44
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2013 2014 2015 2016 2017
Pers
en
PertumbuhanEkonomi Nasional
PertumbuhanEkonomi Sulsel
Indeks Gini Nasional
Indeks Gini Sulsel
4
sepuluh tahun derajat ketimpangan di Sulawesi Selatan dari bergerak kriteria
“moderat” menuju kriteria “tinggi”. Angka 0,407 bukan hanya berada di atas
angka Nasional 0,39, tetapi juga telah memposisikan Sulawesi Selatan sebagai
salah satu daerah dengan tingkat ketimpangan tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan laporan yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi
Sulawesi Selatan, dalam lima tahun terakhir tidak hanya derajat ketimpangan
pendapatan pada Provinsi Sulawesi Selatan yang berada dalam kategori tinggi,
tetapi derajat ketimpangan pendapatan tersebut juga cenderung meningkat
setiap tahunnya. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan tercatat
sangat tinggi dengan angka diatas tujuh persen setiap tahun. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang tinggi
terdistribusi timpang.
Gambar 1.2Persentase Distribusi Pendapatan Sulawesi Selatan Tahun 2013 – 2015
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan (Diolah, 2019)
16,26 14,2821,8
34,92 34,9437,89
48,82 50,7840,31
0
20
40
60
80
100
120
2013 2014 2015
20% Atas
40% Tengah
40% Bawah
5
Mencermati data distribusi pendapatan, distribusi pendapatan Sulawesi
Selatan masih belum merata atau timpang, dimana 48,82 persen dari total
pendapatan Sulawesi Selatan dinikmati oleh 20 persen berpendapatan tinggi,
34,92 persen dinikmati oleh 40 persen penduduk berpendapatan menengah, dan
sisanya hanya 16.26 persen yang dinikmati oleh 40 persen penduduk
berpendapatan rendah pada tahun 2013. Setahun berikutnya (2014) lebih
memprihatinkan, setengah dari total pendapatan Sulawesi Selatan dinikmati oleh
20 persen penduduk berpendapatan tinggi, dan hanya sekitar 14.28 persen yang
dinikmati oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah, atau dengan kata lain
kue kesejahteraan yang dinikmati oleh 20 persen penduduk berpendapatan
tinggi tiga kali lebih banyak dibanding penduduk berpendapatan rendah.
Meskipun terjadi perbaikan pada tahun 2015 yaitu proporsi distribusi pendapatan
untuk 20 persen penduduk berpendapatan tinggi menurun, dan terjadi
peningkatan untuk proporsi pendapatan 40 persen penduduk berpendapatan
rendah, namun masih dalam kategori yang sangat timpang, yaitu hanya
setengah dari proporsi 20 persen penduduk berpendapatan tinggi yang dinikmati
oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah. Berdasarkan data distribusi
pendapatan tersebut mengindikasikan terjadinya trickle up effect dalam proses
pembangunan di Sulawesi Selatan.
Pembangunan ekonomi dalam jangka panjang akan membawa
serangkaian perubahan mendasar dalam struktur ekonomi suatu negara atau
disebut transformasi ekonomi, yang semula lebih bersifat subsisten dan
menitikberatkan pada sektor primer menuju ke struktur perekonomian yang lebih
modern yang didominasi oleh sektor sekunder dan tersier. Perubahan struktur
ekonomi merupakan suatu proses terjadinya pergeseran peran sektor-sektor
6
dalam struktur perekonomian, dari sektor primer ke sektor sekunder kemudian ke
sektor tersier (Chenery dan Syrquin 1975). Semakin tinggi Produk Domestik
Bruto dalam suatu masyarakat peranan sektor pertanian dalam output dan
kesempatan kerja semakin menurun, sebaliknya peranan sektor industri dan jasa
semakin meningkat. Berdasarkan hal tersebut maka Chenery dan Syrquin (1975)
menyatakan bahwa terjadinya perubahan dalam struktur perekonomian dapat
ditandai dengan: a) produk domestik bruto dari sektor pertanian menurun dan
sektor lainnya meningkat; b) persentase tenaga kerja yang bekerja disektor
pertanian semakin menurun dan sektor lainnya mengalami peningkatan; c) sifat
produksi berubah menjadi bersifat industrial
Gambar 1.3Kontribusi Sektor Terhadap PDRB Sulawesi Selatan Tahun 2010-2017
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan (Diolah, 2019)
Terkait dengan kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB Provinsi
Sulawesi Selatan, secara umum mengalami kenaikan setiap tahunnya kecuali
pada sektor pertanian. PDRB Sulawesi Selatan meskipun dari sisi dominasi
sektoral tidak terjadi perubahan struktur ekonomi, tetapi berdasarkan kontribusi
sektor-sektor terhadap PDRB telah terjadi perubahan pada struktur yang ditandai
30,25827,063
25,638 26,231
44,104
46,706
0,000
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
50,000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Pers
en Primer
Sekunder
Tersier
7
dengan semakin menurunnya kontribusi sektor primer dan semakin
meningkatnya kontribusi sektor lainnya dalam delapan tahun terakhir.
Secara umum dalam jangka waktu tersebut, menunjukkan dominasi sektor
tersier yang impresif dibandingkan dengan dua sektor lainnya. Pada tahun 2010
nampak bahwa peranan sektor primer lebih dominan dibandingkan dengan
sektor sekunder, akan tetapi tahun terakhir menunjukkan kondisi yang berbeda,
dimana peranan sektor sekunder lebih tinggi dibandingkan dengan peranan
sektor primer, hal ini dipicu oleh semakin berkembangnya sektor industri ditandai
dengan tingginya investasi sektor industri dan pengembangan kawasan industri
pada tujuh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dengan pengembangan
wirausahawan baru ingga 313.845 orang. Hal ini merupakan upaya yang
dilakukan untuk mengembangkan sektor industri di Sulawesi Selatan yang
selama ini hanya didominasi oleh kota Makassar dan luwu timur.
Gambar 1.4Persentase Penduduk Bekerja terhadap Angkatan Kerja dan Penyerapan
tenaga kerja di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013- 2017
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan (Diolah, 2019)
93,4093,6093,8094,0094,2094,4094,6094,8095,0095,2095,40
3
3,1
3,2
3,3
3,4
3,5
3,6
3,7
3,8
2013 2014 2015 2016 2017
Pers
en
Juta
Ora
ng
Penduduk Bekerja
Persentase PendudukBekerja terhadapAngkatan Kerja
8
Data penduduk bekerja pada Provinsi Sulawesi Selatan mengalami
fluktuasi selama lima tahun terakhir, namun masih dalam kondisi yang stabil
dengan jumlah 3,5 juta orang pada tahun 2017. Sama halnya dengan proporsi
penduduk bekerja terhadap angkatan kerja Provinsi Sulawesi Selatan,
menunjukkan data yang cukup menggembirakan, dimana lebih dari 90 persen
penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja, terserap dalam lapangan kerja
dan kurang dari 10 persen sisanya yang menganggur.
Gambar 1.5PDRB Perkapita Sulawesi Selatan Tahun 2013- 2017 (Juta Rupiah)
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan (Diolah, 2019)
Sementara itu, PDRB perkapita Sulawesi Selatan dari tahun ketahun terus
meningkat dan dinilai cukup baik serta akseleratif dengan pertumbuhan rata-rata
11,75 persen selama lima tahun. Tahun 2017 pendapatan perkapita penduduk
Sulawesi Selatan telah mendekati angka 50 juta rupiah pertahun yaitu sebesar
48,21 juta rupiah perorang pertahun. Apabila melihat kondisi ketenagakerjaan,
bisa disimpulkan bahwa dari aspek ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Selatan
31,0335,34
39,9544,11
48,21
0
10
20
30
40
50
60
2013 2014 2015 2016 2017
Juta
Rup
iah
PDRBPerkapita
9
dinilai cukup baik, namun pada kenyataannya pendapatan terdistribusi sangat
timpang.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang diiringi oleh perubahan struktur
memang merupakan salah satu indikator yang umum digunakan untuk melihat
tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak cukup
dengan peningkatan pendapatan perkapita dalam jangka panjang saja, tetapi
yang lebih penting lagi adalah jumlah penduduk miskin tidak mengalami
peningkatan dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang. Dudley dan Seers
merujuk 3 (tiga) sasaran utama dari pembangunan, yaitu: 1.What has been
happening to poverty? 2.What has been happening to unemployment? 3.What
has been to inequality? (Hasan, 2018)
Dalam pertanyaan yang diajukan oleh Profesor Dudley tersebut,
penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan merupakan salah satu
persoalan yang harus diatasi dalam proses pembangunan. Sehingga dalam
proses pembangunan ekonomi, selain pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
pemerataan pendapatan juga merupakan tujuan yang harus dicapai.
Permasalahan ketimpangan pendapatan tersebut merupakan suatu masalah
yang penting untuk diatas karena berdampak bukan hanya dalam hal ekonomi
tetapi juga dalam hal sosial. Todaro (2006), menyebutkan dua alasan mengapa
ketimpangan harus diperhatikan yaitu, ketimpangan yang ekstrem dapat
menyebabkan inefisiensi ekonomi serta melemahkan stabilitas sosial dan
solidaritas.
Realitas menunjukkan keterkaitan erat antara ketimpangan dan kualitas
hidup suatu bangsa. Bahkan kondisi sosial masyarakat yang rusak dan situasi
10
ekonomi yang carut marut dipercaya merupakan salah satu dampak jangka
panjang dari ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Ada banyak studi yang
dilakukan untuk mengetahui secara mendalam dampak kongkrit penurunan
terhadap peningkatan kualitas hidup manusia. Paling tidak, dampak tersebut
dikelompokkan dalam beberapa aspek diantaranya adalah tingkat kriminalitas,
tingkat kebahagiaan, tingkat kesehatan, kualitas social trust, dan tingkat
kestabilan politik.
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan akibat ketimpangan
pendapatan, maka diperlukan strategi khusus untuk mengatasi permasalahan
ketimpangan pendapatan yang semakin melebar di Sulawesi Selatan.
Ketimpangan yang semakin memburuk di Sulawesi Selatan pada akhirnya juga
akan berdampak pada semakin memburuknya ketimpangan pendapatan di
Indonesia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chongvilaivan
(2013) dengan menggunakan dekomposisi indeks theil, ketimpangan distribusi
pendapatan yang terjadi di Indonesia tahun 2007, sebesar 93,9 persen
disumbang oleh ketimpangan pendapatan yang terjadi dalam provinsi itu sendiri.
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan tersebut, penulis tertarik untuk
mengkaji pengaruh transformasi struktural terhadap ketimpangan pendapatan di
Sulawesi Selatan melalui variabel antara penyerapan tenaga kerja dan
pendapatan perkapita dengan mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh
Dinamika Sektor Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan di Sulawesi
Selatan”.
11
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan,maka
rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan sektor primer secara langsung terhadap
ketimpangan pendapatan dan secara tidak langsung melalui penyerapan
tenaga kerja dan pendapatan perkapita di Sulawesi Selatan?
2. Bagaimana perubahan sektor sekunder secara langsung terhadap
ketimpangan pendapatan dan secara tidak langsung melalui penyerapan
tenaga kerja dan pendapatan perkapita di Sulawesi Selatan?
3. Bagaimana perubahan sektor tersier secara langsung terhadap
ketimpangan pendapatan dan secara tidak langsung melalui penyerapan
tenaga kerja dan pendapatan perkapita di Sulawesi Selatan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan, peneliti memiliki
tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui dan menganalisis perubahan sektor primer secara langsung
terhadap ketimpangan pendapatan dan secara tidak langsung melalui
penyerapan tenaga kerja dan pendapatan perkapita.
2. Mengetahui dan menganalisis perubahan sektor sekunder secara
langsung terhadap ketimpangan pendapatan dan secara tidak langsung
melalui penyerapan tenaga kerja dan pendapatan perkapita.
3. Mengetahui dan menganalisis pengaruh sektor tersier secara langsung
terhadap ketimpangan pendapatan dan secara tidak langsung melalui
penyerapan tenaga kerja dan pendapatan perkapita.
12
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
ekonomi pembangunan. Manfaat khusus bagi ilmu pengetahuan yakni
dapat melengkapi kajian mengenai ketimpangan pendapatan dan
Dinamika sektor ekonomi di Sulawesi Selatan.
2. Hasil penelitian ini dapat diajadikan salah satu acuan bagi pengambil
kebijakan terkait dengan pengembangan sektor ekonomi yang dapat
meningkatkan kemerataan distribusi pendapatan. Bagi pihak lain,
diharapkan dapat menjadi sumber informasi tambahan dalam melakukan
penelitian dengan mengangkat tema yang sama, atau hanya sebagai
bahan bacaan untuk memperluas wawasan pembaca.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN TEORI
2.1.1 Teori Ketimpangan Pendapatan
Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian
hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Ketimpangan
pendapatan merupakan perbedaan pendapatan yang diterima oleh setiap
individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah yang dipengaruhi oleh tingkat
produktivitasnya. Ketimpangan pendapatan merupakan masalah yang terjadi jika
suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi, ketimpangan pendapatan
yang terjadi menunjukkan bahwa pendapatan rendah dinikmati sebagian besar
penduduk dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil
penduduk. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas
etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang
gagal menghargai property rights (Glaeser 2006).
Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan
yang ekstrim akan menyebabkan beberapa hal, antara lain:
1. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim akan menyebabkan inefisiensi
ekonomi, yang terjadi karena semakin sulitnya masyarakat mengakses
kredit terutama penduduk miskin, sedangkan penduduk kaya
cenderung lebih konsumtif untuk barang mewah
14
2. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim akan melemahkan stabilitas
sosal dan solidaritas.
3. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim umumnya dianggap tidak adil.
Kuznetz (1955) menyatakan bahwa pendapatan di sektor industri dan jasa
bukan hanya tinggi tetapi juga tidak merata sehingga ketika pertumbuhan
ekonomi mengarah pada semakin besarnya peran kedua sektor tersebut maka
akan terjadi perbedaan ditribusi pendapatan yang semakin memburuk atau
semakin timpang. Akan tetapi ketika perekonomian mencapai level yang paling
tinggi maka akan terjadi redtribusi pendapatan melalui transfer pendapatan
kepada faktor produksi dalam proses pembangunan sehingga distribusi akan
semakin membaik. Konsep yang dikemukan oleh Kuznetz tersebut selanjutnya
dikenal luas dengan nama konsep kurva Kuznetz U terbalik yang diambil dari
bentuk kurvanya yang terlihat pada Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1 Kurva “U” terbalik (Hipotesis Kuznetz)
Dari pernyataan tersebut muncullah pertanyaan mengapa pada waktu
proses pembangunan dilaksanakan di negara sedang berkembang ketimpangan
meningkat. Hal tersebut dikarenakan pada waktu proses pembangunan baru
dimulai di negara sedang berkembang kesempatan dan peluang pembangunan
15
yang ada tentunya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi
pembangunannya sudah lebih baik. Sedangkan pada daerah yang masih sangat
terbelakang tidak mampu melaksanakan peluang ini karena keterbatasan sarana
dan prasarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hambatan ini
tidak saja disebabkan oleh faktor ekonomi tetapi juga faktor sosial dan budaya
sehingga akibat ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat
karena pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah yang dikarenakan
kondisinya lebih baik. Sedangkan pada daerah yang terbelakang tidak banyak
mengalami kemajuan.
Pada awal proses pembangunan, ketimpangan dalam distribusi
pendapatan naik sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi; pada
akhir proses pembangunan, ketimpangan menurun, yakni pada saat sektor
industri di daerah perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari tenaga
kerja yang datang dari pedesaan (sektor pertanian) atau pada saat pangsa
pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan. Pada tahap
pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern (dalam model Lewis).
Pada tahap ini, lapangan kerja terbatas, namun tingkat upah dan produktivitas
terhitung tinggi. Kesenjangan pendapatan antara sektor industri modern dengan
sektor pertanian tradisional pada awalnya akan melebar dengan cepat sebelum
pada akhirnya menyempit kembali. Ketimpangan dalam sektor modern yang
telah mengalami pertumbuhan pesat itu sendiri jauh lebih besar daripada yang
terkandung dalam sektor tradisional yang relatif stagnan dan konstan (Arsyad,
2010).
16
Menurut Nikoloski (2009) validitas hipotesis Kuznets telah diselidiki
berulang kali dan dengan hasil yang bertentangan. Beberapa Penelitian telah
mengkonfirmasi hal tersebut dan sebagian besar tidak menemukan bukti
keberadaan hubungan deterministik. Pendapatan (McKay et al (2003)) White dan
Anderson (2001) menemukan bahwa "efek pertumbuhan" telah menjadi sumber
utama pertumbuhan pendapatan bagi kaum miskin di negara berkembang.
Sejalan dengan penelitian tersebut, Ravaillon (2001) berpendapat bahwa
pengentasan kemiskinan telah lebih berhasil di negara-negara berkembang yang
menggabungkan tingkat pertumbuhan yang tinggi dengan ketidaksetaraan yang
menurun. Barro (2000) menemukan bukti bahwa pertumbuhan mengurangi
ketimpangan. Selain itu, Birdsall, Ross dan Sabat (1995) menemukan bukti
bahwa pertumbuhan jangka panjang mengurangi ketimpangan (melalui
meningkatkan pencapaian pendidikan dalam jangka panjang). Panizza (2002)
menemukan bukti serupa berkaitan dengan hubungan antara ketimpangan dan
pertumbuhan. Akhirnya, Stephen Knowles (2005) mengambil pendekatan
berbeda dalam mengukur ketimpangan dan ia masih menemukan hubungan
negatif antara pertumbuhan dan ketimpangan dalam jangka panjang (Dalam
Nikoloski, 2009).
Lebih lanjut Nikoloski (2009) menjelaskan bahwa yang harus dicatat
bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan adalah sangat
kompleks karena terdapat hubungan kausalitas. Beberapa penelitian empiris juga
telah menemukan bahwa negara-negara dengan tingkat ketimpangan yang lebih
tinggi mengalami tingkat pertumbuhan yang lebih rendah (Persson dan Tebellini
(1994); Allesina dan Rodrik (1994) dan Deninger dan Squire (1996)).
17
Adelman Morris (1973) sebagaimana dikutip oleh Bryant dan White (1982)
menyatakan bahwa pembangunan pada mulanya disertai dengan penurunan
absolut maupun relatif pada pendapatan rata-rata kelompok penduduk miskin
dan setelah itu lama-kelamaan kelompok-kelompok itu akan memasuki ekonomi
upah, pada titik inilah ketidakmerataan secara bertahap akan berkurang.
Sedangkan Susanti et al. (1995) menyatakan bahwa perbedaan distribusi
pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya,
faktor produksi, dan kepemilikan barang-barang modal (capital stock). Pihak
yang memiliki barang modal lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang
lebih banyak pula dibandingkan dengan pihak yang memiliki sedikit barang
modal. Dalam pandangan teori Neoklasik perbedaan kepemilikan faktor produksi
akan terjadi pembagian “kue kesejahteraan” bukan dari atas ke bawah, tetapi
kekayaan daerah mengalir ke pusat dan yang melahirkan ketimpangan
pendapatan.
Myrdal berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi terpusat menghasilkan
suatu proses sirkuler yang membuat pemilik modal mendapat keuntungan
semakin banyak, dan mereka yang tidak memiliki modal menjadi semakin miskin.
Proses ini semakin memperlebar ketimpangan pembangunan di negara-negara
terbelakang. Ketimpangan ini disebabkan oleh sistem ekonomi yang bermotif
mengejar laba. Motif inilah yang mendorong berkembangnya pembangunan
berpusat di daerah yang memiliki potensi keuntungan yang besar, sementara
daerah lain tetap terlantar. Hal ini disebabkan kekuatan pasar bebas, yang
cenderung memperlebar dibandingkan mempersempit ketimpangan regional.
18
Perpindahan modal juga cenderung meningkatkan ketimpangan wilayah. Di
wilayah maju, permintaan yang meningkat akan merangsang investasi yang pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan menyebabkan putaran kedua
investasi dan seterusnya. Lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra
pengembangan dapat menciptakan kelangkaan modal di wilayah terbelakang
(Jhingan, 2012).
Pendapat lain, menyatakan bahwa ketidakmerataan pembagian
pendapatan terjadi akibat dari ketidaksempurnaan pasar yang diartikan sebagai
adanya gangguan sehingga pasar tidak dapat bekerja secara sempurna yang
dapat disebabkan oleh perbedaan kepemilikan informasi, intervensi pemerintah,
dan yang paling sering terjadi di negara berkembang adalah adanya kolusi
antara beberapa pelaku ekonomi dengan pemerintah. Secara umum menurut
Adelman dan Morris dalam Arsyad (2010), ada delapan penyebab timbulnya
ketidakmerataan distribusi pendapatan, yaitu: a) pertumbuhan penduduk yang
tinggi akan memicu penurunan pendapatan per kapita, b) inflasi dimana
pendapatan atas uang bertambah namun tidak diikuti secara proporsional oleh
pertambahan produksi barang-barang, c) ketidakmerataan pembangungan antar
daerah, d) investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal,
e) rendahnya mobilitas social, f) pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor
yang mengakitbatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri, g)
memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara yang masih berkembang
dalam perdagangan dengan negara yang maju, h) hancurnya industri-industri
kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
19
2.1.1 Indikator Pengukuran Distribusi Pendapatan
Terdapat dua ukuran pokok yang digunakan dalam menganalisa distribusi
pendapatan yaitu distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) dan
distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor
produksi (functional or factor share distribution of income) (Todaro dan Smith
2006). Size distribution of income secara langsung menghitung jumlah
penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Berdasarkan
ukuran ini, cara mendapatkan penghasilan tidak dipermasalahkan, apa yang
lebih diperhatikan dari ukuran ini adalah seberapa banyak pendapatan yang
diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya. Selain itu, lokasi sumber
penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang menjadi
sumber penghasilan (pertanian, manufaktur, perdagangan, jasa) juga diabaikan.
Sedangkan functional or factor share distribution of income berfokus pada bagian
dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi
(tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan nasional ini pada
dasarnya mempersoalkan persentase penghasilan tenaga kerja secara
keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah
secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total
yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan
perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik). Walaupun individu-individu
tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari segenap sumber daya
tersebut, tetapi hal itu bukan merupakan perhatian dari analisis pendekatan
fungsional ini.
20
Guna mengukur ketimpangan pendapatan di antara penduduk, ukuran
yang digunakan berdasarkan ukuran size distribution of income. Namun, karena
data pendapatan sulit diperoleh, maka pengukuran ketimpangan atau distribusi
pendapatan selama ini didekati dengan menggunakan data pengeluaran. Dalam
hal ini analisis distribusi pendapatan dilakukan dengan menggunakan data total
pengeluaran rumah tangga sebagai proksi pendapatan. Terkait dengan hal
tersebut, terdapat empat ukuran yang merefleksikan ketimpangan distribusi
pendapatan yaitu indeks gini, ukuran Bank Dunia, indeks Theil dan indeks-L.
a. Indeks Gini
Indeks gini adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk
mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Adapun rumus
umum indeks gini adalah sebagai berikut:
GR = 1 - ( ( + − 1))Dimana: GR merupakan koefisien gini, merupakan frekuensi penduduk
dalam kelas pengeluaran ke-I; Fci merupakan frekuensi kumulatif dari total
pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i dan Fci-1 merupakan frekuensi
kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke (i-1).
Cara lain yang sering digunakan untuk mengitung indeks gini adalah
dengan menggunakan kurva Lorenz. Indeks gini dirumuskan sebagai rasio
antara luas bidang yang terletak antara kurva Lorenz dan garis diagonal (luas
bidang A) dengan luas separuh segi empat, dimana kurva Lorenz berada (luas
bidang BCD). Rumusan ini di ilustrasikan pada Gambar 2.2 berikut:
21
GR = Luas Bidang ALuas Bidang BCDGambar 2.2 Kurva Lorenz
Arsyad (2010) Menerangkan bahwa besarnya ketimpangan digambarkan
oleh daerah A, sedangkan indeks gini adalah rasio perbandingan antara luas
bidang A dengan luas segitiga BCD. Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa
bila pendapatan didistribusikan secara merata dengan sempurna, maka semua
titik akan terletak pada garis diagonal. Dengan demikian angka koefisiennya
sama dengan nol. Sebaliknya, bila hanya satu pihak saja yang menerima seluruh
pendapatan, maka luas daerah A akan sama dengan luas segitiga, sehingga
indeks gini bernilai satu. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa suatu
distribusi pendapatan dikatakan makin merata bila nilai indeks gini mendekati nol
(0), sedangkan makin tidak merata suatu distribusi pendapatan maka nilai indeks
gini makin mendekati satu. Menurut Todaro dan Smith (2006), kriteria
ketimpangan pendapatan berdasarkan indeks gini adalah sebagai berikut:
22
Tabel 2.1 Kriteria Ketimpangan Berdasarkan Indeks Gini
Nilai Koefisien (x) Distribusi Pendapatan
X = 0 Merata sempurna
0 < x < 0,4 Tingkat ketimpangan rendah
0,4 < x < 0,5 Tingkat ketimpangan sedang
0,5 < x < 1 Tingkat ketimpangan tinggi
X = 1 Tidak merata sempurna (dikuasai oleh satupihak)
b. Ukuran Bank Dunia
Cara lain yang juga sering diterapkan dalam mengidentifikasi ketimpangan
pendapatan adalah kriteria yang dikemukakan oleh Bank Dunia, dengan
mengelompokkan penduduk ke dalam tiga kelompok sesuai dengan besarnya
pendapatan, yaitu:
1. 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah.
2. 40 persen penduduk dengan pendapatan menengah.
3. 20 persen penduduk dengan pendapatan tinggi.
Kemudian berdasarkan kriteria ini, ketimpangan pendapatan diukur dengan
menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang
berpendapatan 40 persen terendah dibandingkan total pendapatan seluruh
penduduk. Selain dari sisi pendapatan, pengukuran ketimpangan berdasarkan
kriteria Bank Dunia tersebut juga dapat dilakukan dengan menggunakan data
pengeluaran. Karena data pengeluaran lebih mudah diperoleh, maka
23
pengukuran ketimpangan menurut kriteria Bank Dunia ini lebih sering
menggunakan data pengeluaran. Namun, pengukuran ketimpangan pendapatan
dengan pendekatan pengeluaran memiliki kelemahan antara lain data yang
disajikan akan underestimate dibandingkan bila data yang dipergunakan adalah
data berdasarkan pendapatan. Hal ini disebabkan adanya sebagian pendapatan
yang tidak dibelanjakan dan disimpan sebagai tabungan (saving). Penyebab
lainnya adalah adanya transfer pendapatan. Kategori ketimpangan yang
ditentukan dengan menggunakan kriteria Bank Dunia adalah sebagai berikut:
1. Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori
40% terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari
12% dikategorikan ketimpangan pendapatan tinggi;
2. Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40%
terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12%-17%
dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang atau menengah;
3. Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40%
terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17%
dikategorikan ketimpangan pendapatan rendah.
c. Indeks Theil dan Indeks-L
Ukuran ketimpangan pendapatan lain yang banyak digunakan adalah
Indeks Theil dan Indeks-L (ukuran deviasi log rata-rata). Kedua ukuran tersebut
masuk dalam famili ukuran ketimpangan “generalized enthropy”, adapun rumus
“generalized enthropy” umum dapat ditulis sebagai berikut:
24
GE = ( ) ∑ ( ∝ − 1Nilai GE bervariasi antara 0 dan ∞ dengan 0 mewakili distribusi yang
merata dan nilai yang lebih tinggi mewakili tingkat ketimpangan yang lebih tinggi.
Parameter α dalam kelompok ukuran GE mewakili penimbang yang diberikan
pada jarak antara pendapatan pada bagian yang berbeda dari distribusi
pendapatan. Untuk nilai α yang lebih rendah, GE lebih sensitif terhadap
perubahan pada ekor bawah dari distribusi (penduduk miskin), dan untuk nilai α
yang lebih tinggi GE lebih sensitif terhadap perubahan yang berakibat pada ekor
atas dari distribusi (penduduk kaya). Nilai α yang paling umum digunakan adalah
0 dan 1.
2.1.2 Teori Transformasi Struktural (Dinamika Sektor Ekonomi)
Transformasi struktural didefinisikan sebagai perubahan struktur ekonomi
dari sektor tradisonal yang memiliki produktivitas rendah menuju sektor ekonomi
dengan produktivitas tinggi. Berdasarkan model pembangunan dua sektor Arthur
Lewis, perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor
tradisonal, yaitu sektor perdesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan
ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol, kondisi ini
merupakan situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi
surplus tenaga kerja (surplus labor) sebagai suatu fakta bahwa jika sebagian
tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian maka sektor itu tidak akan
kehilangan outputnya dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat
produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang di
transfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten.
25
Model dua sektor Arthur Lewis memusatkan perhatian utamanya pada
terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, pertumbuhan output dan peningkatan
penyerapan tenaga kerja pada sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan
pertumbuhan kesempatan kerja dimungkinkan oleh adanya perluasan output
sektor modern. Kecepatan perluasan penyerapan tenaga kerja pada sektor
industri sangat tergantung pada tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi
modal secara keseluruhan di sektor modern.
Peningkatan investasi dimungkinkan oleh adanya kelebihan keuntungan
sektor modern dari selisih upah dengan asumsi bahwa para pemilik modal yang
berkecimpung di sektor modern menanamkan kembali seluruh keuntungannya.
Asumsi selanjutnya adalah tingkat upah pada sektor modern diasumsikan
konstan dan berdasarkan suatu premis tertentu jumlahnya ditetapkan melebihi
tingkat rata-rata upah di sektor pertanian subsiten tradisional. Tingkat upah di
daerah perkotaan sekurang-kurangnya harus 30% lebih tinggi dari pada rata-rata
pendapatan di daerah pedesaan untuk memaksa para pekerja pindah dari
desadesa asalnya ke kota (Todaro dan Smith, 2006) Perubahan struktur ekonomi
tersebut ditandai dengan menurunnya kontribusi sektor pertanian dan
meningkatnya kontribusi sektor industri dan jasa, baik dalam produk domestik
bruto (PDB) maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan pendapatan akan merubah pola konsumsi masyarakat terhadap
barang-barang pertanian. Peningkatan pendapatan masyarakat akan menggeser
permintaan masyarakat dari barangbarang makanan (pertanian) ke barang-
baranng non makanan (industri dan jasa). Hal ini sejalan dengan hukum Engel
26
yang menyatakan elastisitas pendapatan terhadap permintaan barang-barang
pertanian menurun seiring meningkatnya pendapatan.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh peningkatan konsumsi barang-
barang bernilai tinggi dan keterbatasan fisik masyarakat dalam mengonsumsi
makanan. Negara dengan penghasilan yang rendah memiliki elastisitas
pendapatan terhadap permintaan barang-barang makanan berkisar 0,6-0,9,
sementara negara maju memiliki elastisitas berkisar 0,2-0,3. Sementara
elastisitas pendapatan terhadap barang-barang industri diatas 1 yakni berkisar
antara 1,11 sampai 1,90 (Budiharsono, 1996).
Perubahan pola konsumsi tersebut akan meningkatkan output sektor
industri (modern) sehingga menyerap tenaga kerja dengan produktivitas marginal
nol yang ada di sektor tradisional (Todaro dan Smith, 2006). Oleh karenanya,
sektor industri seringkali dijadikan tolok ukur kemajuan pembangunan ekonomi
suatu negara; semakin tinggi kontribusi sektor industri dalam perekonomian,
semakin maju pula perkembangan pembangunan ekonominya. Pada banyak
negara berkembang, laju transformasi struktur tenaga kerja relatif lebih lambat
dibandingkan dengan laju transformasi struktur output. Fenomena tersebut
berkaitan erat dengan kritikan terhadap model dua sektor Arthur Lewis yang
dianggap gagal menjelaskan fenomena tersebut. Ada beberapa asumsi yang
ternyata sama sekali tidak cocok dengan kenyataan institusional dan ekonomis di
sebagian negara berkembang (dunia ketiga).
Pertama, model ini secara implisit mengasumsikan bahwa tingkat
pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor modern
27
sebanding dengan tingkat akumulasi modal sektor modern. Semakin cepat
tingkat akumolasi modalnya, semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor modern
dan semakin cepat pula penciptaan lapangan kerja baru. Akan tetapi pada
kenyataannya keuntungan yang didapat oleh para pemilik modal justru
diinvestasikan kembali dalam bentuk barang-barang modal yang lebih canggih
dan dan lebih hemat tenaga kerja bukan pada barang modal yang hanya
merupakan duplikasi dari modal yang sudah ada sebelumnya.
Kedua, asumsi terjadinya surplus tenaga kerja di pedesaan dan terjadinya
kondisi full employment di perkotaan tidak terbukti pada sebagian Negara-negara
berkembang. Faktanya jumlah pengangguran di perkotaan cukup besar
sebaliknya surplus tenaga kerja di pedesaan relatif sedikit. Ketiga, dugaan
tentang adanya pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor modern akan
menjamin keberlangsungan upah riil di perkotaan tetap konstan sampai surplus
tenaga kerja habis terpakai. Pada kenyataannya tingkat upah dan pasar tenaga
kerja perkotaan di hampir semua negara sedang berkembang cenderung
meningkat sangat besar dari waktu ke waktu baik secara absolut maupun secara
relatif, yakni apabila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan di daerah
pedesaan. Keempat, ketidaktepatan asumsi yang mengatakan bahwa tingkat
hasil akan semakin menurun pada sektor industri modern. Banyak fakta
membuktikan bahwa sektor industri modern mengalami peningkatan.
Kekurangan pada model dua sektor Arthur Lewis disempurnakan oleh
model perubahan struktural. Model tersebut disusun berdasarkan penelitian
empiris Hollis B. Chenery yang meneliti pola-pola pembangunan di sejumlah
negara Dunia Ketiga selama kurun waktu pasca perang dunia kedua. Bahan-
28
bahan studi meliputi transisi dari pola perekonomian agraris ke perekonomian
industri, kesinambungan akumolasi modal fisik dan manusia, perubahan jenis
permintaan konsumen dari produk kebutuhan pokok dan pangan ke berbagai
barang dan jasa manufaktur, perkembangan daerah perkotaan terutama pusat-
pusat industri berkat migrasi para pencari kerja dari daerah pertanian pedesaan
dan kota-kota kecil serta pengurangan jumlah anggota setiap keluarga. Dalam
proses pembangunan, pertama-tama pertumbuhan populasi akan meningkat
sebelum akhirnya menurun.
Hipotesis utama dari model perubahan struktural adalah pembangunan
merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan yang dapat diamati yang
ciri-ciri pokoknya sama di semua negara. Perbedaan dapat terjadi di antara satu
negara berkembang dengan yang lain dalam hal langkah-langkah yang
ditempuhnya serta pola umum pembangunannya yang semuanya ditentukan
oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut adalah jumlah dan jenis sumber daya
yang dimiliki masing-masing negara, ketepatan rangkaian kebijakan dan sasaran
yang ditetapkan oleh pemerintah setempat, tersedianya modal dan teknologi dari
luar, serta kondisi-kondisi lingkungan perdagangan internasional
2. 2 Hubungan Antar Variabel
2.2.1 Hubungan Dinamika Sektor Ekonomi dengan Ketimpangan
Pendapatan
Banyak perhatian yang telah diberikan terhadap perubahan distribusi
pendapatan dalam masa pembangunan. Salah satunya dikemukakan oleh
Kuznetz yang terkenal dengan hipotesis Kuznetz U terbalik, dengan
29
menggunakan data antar negara (cross section) dalam jangka waktu tertentu
(time series), Kuznetz (1955) menemukan hubungan antara ketimpangan
distribusi pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita dalam bentuk kurva U
terbalik. Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan
dalam proses transisi atau perubahan dalam struktur ekonomi dari suatu
ekonomi pedesaan (rural) ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi
industri. Pada awal proses pembangunan, ketimpangan dalam distribusi
pendapatan akan naik sebagai akibat dari proses industrialisasi, pada akhir
proses pembangunan, ketimpangan menurun, yakni saat sektor industri di
daerah perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar tenaga kerja yang
datang dari pedesaan (sektor Pertanian) atau pada saat pangsa pertanian kecil
di dalam produksi dan penciptaan pendapatan.
Pergerakan sektor ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder, hal ini
terjadi saat kontribusi sektor primer menurun dan meningkatnya kontribusi sektor
sekunder, perubahan dari sektor sekunder ke sektor tersier terjadi saat kontribusi
sektor sekunder menurun dan meningkatnya kontribusi sektor tersier, sedangkan
perubahan dari sektor primer ke sektor tersier, terjadi saat penurunan kontribusi
sektor primer dan meningkatnya kontribusi sektor tersier. Tiga perubahan struktur
ekonomi ini akan mempengaruhi distribusi pendapatan, hal ini sesuai dengan
Field (1980) bahwa perubahan struktur ekonomi akan mempengaruhi distribusi
pendapatan yaitu dapat menurunkan, meningkatkan, bahkan tidak
mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan samasekali. Perubahan
struktur ekonomi akan menurunkan tingkat ketimpangan jika diikuti oleh transfer
tenaga kerja dari sektor yang ditinggalkan ke sektor yang dituju.
30
Hal yang berbeda diungkapkan oleh Alesina and Rodrik (1994), Perotti
(1996), Afranca (2000), dan Pardo-Beltran (2002) lebih mendukung pandangan
yang mengatakan bahwa distribusi pendapatan-lah yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Mereka menemukan fakta bahwa pengaruh ketimpangan
distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah negatif. Allesina an
Rodrik (1994) secara umum mengikuti argument Perotti (1992) yang menjadi
awal bahwa konfigurasi awal sumber daya membentuk perjuangan politik untuk
distribusi pendapatan dan kekayaan yang pada gilirannya akan mempengaruhi
pertumbuhan dalam jangka panjang, Perotti (1992) menyimpulkan bahwa
ketimpangan yang tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berlangsung secara terus menerus
selalu diikuti oleh transformasi struktural dimana pada periode ini beberapa
sektor tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sektor yang lain. Transformasi
struktural didefinisikan sebagai perubahan struktur ekonomi dari sektor tradisonal
yang memiliki produktivitas rendah menuju sektor ekonomi dengan produktivitas
tinggi (Szirmai et al. 2012).
2.2.2 Hubungan Penyerapan Tenaga Kerja dan Ketimpangan Pendapatan
Penduduk merupakan salah satu modal dasar utama dalam
pembangunan. penduduk yang berkualitas baik secara jasmani maupun rohani
yang memiliki kemampuan dan keterampilan akan sangat membantu dalam
pembangunan. Penduduk mampu berperan sebagai motor penggerak
pembangunan maupun sebagai objek pembangunan. Sebagai subjek
pembangunan penduduk dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan
31
ekonomi sebagai tenaga kerja. Penduduk yang termasuk dalam penduduk usia
kerja adalah penduduk yang telah berumur 15 tahun atau lebih. Penduduk usia
kerja menurut kegiatan utamanya dibagi menjadi penduduk angkatan kerja dan
bukan angkatan kerja (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2015).
Field 1980 dalam Zikro (2006) dengan menggunakan kurva Lorenz,
melakukan sebuah kajian analisis tentang hubungan antara pergeseran sektor-
sektor ekonomi dengan pola distribusi pendapatan kajian analisis ini didasari
pada teori two sector surplus labour dari Lewis (1954) yang menyatakan bahwa
proses pembangunan akan menghasilkan transfer tenaga kerja dari sektor
tradisional (pertanian di pedesaan yang surplus tenaga kerja) ke sektor modern
di perkotaan. Dari hasil penelitian Field berhasil memperlihatkan sebuah kajian
analisis bagaimana hubungan antara pergeseran peran sektor ekonomi dengan
pola distribusi pendapatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat
keterkaitan antara penduduk bekerja dengan tingkat ketimpangan yang terjadi.
Penelitian Checchi (2008) yang membahas tentang dampak keseluruhan
lembaga pasar tenaga kerja terhadap ketimpangan pendapatan rumah tangga.
Hasil yang telah didapatkan bahwa lembaga pasar tenaga kerja menunjukkan
korelasi yang signifikan dengan distribusi pendapatan lintas negara dan dari
waktu ke waktu.
Hasil ini memiliki implikasi penting untuk mendiskusikan yang terjadi di
Eropa tentang implementasi reformasi pasar tenaga kerja bersama untuk
meningkatkan lapangan kerja. Kebijakan yang diusulkan Pemerintah adalah
pengurangan legislasi perlindungan kerja yang disebut dengan perjanjian
32
‘flexicurity'. Konsekuensi dari kebijakan tersebut kemungkinan akan menjadi
peningkatan substansial dalam ketimpangan pendapatan.
Ini menunjukkan bahwa strategi yang mungkin dilakukan adalah dengan
menggeser institusi, dengan tujuan mendorong lapangan kerja melalui
pengurangan perlindungan kerja, sambil mengimbangi implikasi distribusi
kebijakan ini dengan mengembangkan sistem penentuan upah yang
meningkatkan porsi upah dalam pendapatan nasional.
2.2.3 Hubungan Pendapatan Perkapita dan Ketimpangan Pendapatan
Peningkatan pendapatan perkapita memang menunjukkan tingkat
kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan
perkapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan telah
merata. Seringkali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih
menekankan penggunaan modal daripada penggunaan tenaga kerja sehingga
keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat
saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh
seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi
ketimpangan dalam distribusi pendapatan (Sabir, 2015).
Ahluwalia (1974) menganalisis tentang hubungan antara proses
pembangunan dan distribusi pendapatan per kapita. Hasil penelitian ini
mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Kuznetz bahwa pada tahap awal
pertumbuhan, yaitu ketika pendapatan per kapita US$100 sampai US$600,
distribusi pendapatan semakin memburuk yang ditandai dengan proporsi bagi
20% penduduk penerima pendapatan tertinggi semakin besar, sementara
33
proporsi bagi 40% penduduk penerima pendapatan terendah semakin kecil.
Proporsi ini akan tetap (constans) sampai pendapatan per kapita mendekati
US$800, apabila proses pembangunan terus berlanjut, akan membuat proporsi
bagi 20% penduduk penerima pendapatan tertinggi akan semakin mengecil yang
diiringi dengan peningkatan bagian pendapatan yang diterima oleh 40%
penduduk penerima pendapatan terendah, dan selanjutnya ketimpangan pada
distribusi pendapatan akan menurun.
2.2.4 Hubungan Transformasi Struktural (Dinamika Sektor Ekonomi),
Penyerapan tenaga kerja dan Pendapatan Perkapita
Teori patterns-of-development yang dikemukakan Chenery memfokuskan
tentang perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan struktur ekonomi,
industri, dan kelembagaan secara bertahap pada suatu perekonomian yang
terbelakang sebagai akibat meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat,
sehingga memungkinkan tampilnya industri-industri baru untuk menggantikan
kedudukan sektor pertanian sebagai penggerak roda pertumbuhan ekonomi
(Chenery dan Syrquin 1975).
Hasil penelitian empiris mengidentifikasi bahwa sejalan dengan
peningkatan pendapatan per kapita membawa perubahan dalam pola permintaan
konsumen dari penekanan pada makanan dan barang-barang kebutuhan pokok
lain ke berbagai macam barangbarang manufaktur dan jasa, akumulasi modal
fisik dan manusia (sumber daya manusia), perkembangan kota-kota dan
industri–industri di urban bersamaan dengan proses migrasi penduduk dari
pedesaan ke perkotaan, dan penurunan laju pertumbuhan penduduk, serta family
size yang semakin kecil, struktur ekonomi suatu negara bergeser dari yang
34
semula di dominasi oleh sektor pertanian dan pertambangan, menuju sektor-
sektor non primer khususnya industri.
Penelitian Chenery dan Syrquin (1975) menunjukkan semakin tinggi
Produk National Bruto (PNB), maka peranan sektor pertanian di dalam output
dan kesempatan kerja semakin menurun, sebaliknya peranan sektor industri dan
jasa semakin meningkat. Transformasi diartikan sebagai proses perubahan
struktur ekonomi, hal ini berarti yang dimaksud dengan perubahan struktur
ekonomi adalah terjadinya pergeseran dari satu sektor ekonomi kepada sektor
ekonomi lain yang dapat mempengaruhi perubahan Produk Domestik Bruto
(PDB) suatu negara. Aspek penting yang dibahas dalam analisis Chenery
tentang transformasi ekonomi adalah adanya penekanan mengenai hubungan
kuantitatif antara pendapatan per kapita dalam persentase sumbangan sektor-
sektor ekonomi terhadap produk domestik bruto tergantung kepada tingkat
pendapatan per kapita dan jumlah penduduk pada negara tersebut. Chenery
menggambarkannya seperti pada Gambar 2.3 berikut ini (Sukirno, 2006):
Gambar 2.3Perubahan Peranan Sektor dalam Menciptakan Produksi Nasional
Menunjukkan perubahan yang terjadi dalam subsektor industri
pengolahan dalam proses pembangunan, maka Chenery membagi industri-
35
industri tersebut ke dalam tiga golongan, yaitu industri barang konsumsi, industri
barang mentah, dan industri barang modal. Mengenai perubahan subsektor
industri pengolahan, Chenery menunjukkan bahwa pada waktu pendapatan per
kapita US$100 berbagai subsektor industri pengolahan di atas peranannya
adalah sebagai berikut; 68% dari produksi subsektor industri itu berasal dari
industri barang-barang mentah, dan 12% berasal dari industri barang-barang
modal. Kemudian pada tingkat pendapatan per kapita sebesar US$ 600,
komposisi produksi subsektor industri pengolahan adalah sebagai berikut;
industri barang-barang konsumsi peranannya menurun dan hanya menghasilkan
sebesar 43% dari produksi subsektor industri pengolahan, sedangkan industri
barang-barang modal peranannya meningkat, yaitu menghasilkan sebesar 35%
dari produksi subsektor industri pengolahan, sementara peranan industri barang-
barang mentah tidak mengalami perubahan.
Sementara itu, Teori stage of develpment diprakarsai oleh Collin Clark
yang bergabung dengan Fhisher. Pemikiran Clark dan Fhisher mengenai
perubahan struktur ekonomi adalah pergeseran tenaga kerja dan investasi dari
sektor primer ke sektor sekunder dan kemudian ke sektor tersier. Clark dan
Fhisher berpendapat bahwa makin tinggi pendapatan suatu negara, makin kecil
peran relatif sektor primer.
Fisher dalam Fabiomarta (2004) mengemukakan pertumbuhan ekonomi
yang disertai dengan pergeseran permintaan dari sektor primer ke sektor
sekunder dan akhirnya ke sektor tersier akan mengakibatkan perubahan dalam
struktur produksi melalui struktur ketenagakerjaan dan struktur dana. Clark
(1951) menyatakan bahwa terdapat hubungan erat antara perubahan struktur
36
produksi dan struktur ketenagakerjaan menurut sektor. Pergeseran kesempatan
kerja dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja dari sektor dengan
produktivitas rendah ke sektor dengan produktivitas tinggi. Menurut clark, makin
tinggi pendapatan per kapita suatu negara makin kecil peranan sektor pertanian
dalam menyediakan kesempatan kerja. Namun sebaliknya sektor industri makin
penting peranannya dalam menampung tenaga kerja. Menurut Clark-Fischer
perekonomian mempunyai tiga tahapan produksi:
1. Produksi primer, yaitu mengekstraksi bahan mentah/baku dari
pertanian, pertambangan, perikanan dan kelautan. Negara yang
berpendapatan rendah cenderung didominasi oleh kegiatan produksi
primer.
2. Produksi sekuder, yaitu produksi industri melalui industri pengolahan,
dan konstruksi, negara dengan penghasilan sedang biasanya
didominasi sektor ini.
3. Produksi tersier, yaitu mengutamakan kegiatan jasa seperti
pendidikan, pariwisata. Negara dengan pendapatan tinggi, sektor
produksinya didominasi oleh kegiatan sektor tersier ini.
Mendominasinya sektor tersier, menandakan kedewasaan dalam
proses pemabangunan.
Fisher pada tahun 1935 mengemukakan pendapat bahwa pertumbuhan
ekonomi biasanya disertai dengan pergeseran permintaan dari sektor primer ke
sektor sekunder dan tersier. Pada giliranya hal itu akan menyebabkan terjadinya
perubahan dalam struktur produksi yang sesuai dengan pergeseran
37
permintaannya, yaitu pegeseran kesempatan kerja dan alokasi dana dari sektor
primer ke sektor sekunder dan akhirnya ke sektor tersier (Fabiomarta 2004).
Clark (1951) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang disertai
dengan transformasi ekonomi dapat dicapai dengan cara meningkatkan
produkstivitas pada setiap sektor dengan mengalihkan tenaga kerja dari yang
produktivitasnya rendah ke yang produktivitasnya tinggi. Distribusi tenaga kerja di
negara-negara maju saat ini terlihat bahwa proporsi tenaga kerja terbesar
terletak pada sektor sekunder dan tersier. Clark dan Fisher (1951) dalam
Fabiorta (2004) dengan adanya kemajuan ekonomi suatu masyarakat jumlah
tenaga kerja sektor primer cenderung menurun dibandingkan dengan sektor
sekunder, dan selanjutnya sektor sekunder juga menurun dibandingkan sektor
tersier.
2.2.5 Hubungan Transformasi Struktural (Dinamika Sektor Ekonomi),
Penyerapan Tenaga Kerja, Pendapatan Perkapita dan Ketimpangan
Pendapatan
Berdasarkan hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Chenery dan
Syrquin (1975) dalam Tambunan (2001) tentang transformasi struktur ekonomi,
menunjukkan bahwa sejalan pertumbuhan ekonomi kemudian secara simultan
diikuti dengan peningkatan pendapatan per kapita, perekonomian suatu negara
akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian (primer) menuju
sektor non primer, yaitu sektor industri dan sektor jasa. Selanjutnya, dalam upaya
meningkatkan pendapatan per kapita suatu negara melalui percepatan
transformasi struktur ekonomi suatu negara, dikenal teori jebakan pendapatan
38
menengah (middle income trap). Middle income trap merujuk pada situasi
ekonomi suatu negara yang stagnan setelah berhasil mengalami pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Pada saat perekonomian mengalami stagnan, peningkatan
standar hidup pun menjadi stagnan.
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses terjadinya peningkatan
pendapatan total dan pendapatan per kapita dengan memperhitungkan adanya
pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam
struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk
suatu negara. Pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, masih
dihadapkan pada berbagai permasalahan, seperti masih tingginya tingkat
pengangguran, kemiskinan, ketimpangan struktural, dan terjadinya degradasi
sumberdaya alam dan lingkungan. Pertumbuhan yang berkualitas (the quality of
growth) merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang secara spesifik dapat
menurunkan tingkat kemiskinan secara cepat, memperkecil ketimpangan
struktural, pelestarian terhadap lingkungan hidup, dan terjadinya keberlanjutan
pertumbuhan ekonomi itu sendiri (Thomas et al. 2000).
Sejalan dengan hal tersebut Penelitian yang dilakukan oleh Dastidar
(2004) menunjukkan hubungan antara perubahan struktur ekonomi dengan
distribusi pendapatan, hal ini didasarkan pada konsep yang dikemukakan oleh
Kuznetz (1955) berdasarkan kajian empirisnya tentang perubahan kontribusi
sektor-sektor dalam total output dan penyerapan tenaga kerja. Konsep tersebut
adalah; a) bahwa dalam proses pembangunan akan terjadi peningkatan
kontribusi dari sektor-sektor non-pertanian yang diiringi dengan penurunan
kontribusi dari sektor pertanian terhadap total output dan penyerapan tenaga
kerja; b) bahwa pendapatan per kapita di sektor-sektor non-pertanian selalu lebih
39
besar dari pada pendapatan per kapita di sektor pertanian; c) ketimpangan
distribusi pendapatan di sektor pertanian tidak sebesar yang terjadi di sektor non-
pertanian.
2.3 Tinjauan Empiris
Sejumlah Penelitian-penelitian terkait dengan transformasi struktural dan
ketimpangan pendapatan masih terus dilakukan baik yang berupa pengujian
hipotesis maupun pengembangan teori lebih lanjut. Berikut ini adalah peneliti-
peneliti yang telah melakukan penelitian:
Caselli dan Wilbur (2001) terkait “The U.S. Structural Transformation and
Regional Convergence: A Reinterpretation”, menyimpulkan bahwa sebagian
besar konvergensi regional disebabkan oleh transformasi struktural: konvergensi
nasional dari upah pertanian ke upah nonpertanian dan laju transisi yang lebih
cepat dari tenaga kerja Selatan dari pertanian ke pekerjaan nonpertanian. Hasil
yang serupa menggambarkan Midwest Timur Laut. Untuk menjelaskan
pengamatan ini, kami membangun sebuah model di mana Selatan (Midwest)
memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi barang pertanian padat
karya yang tidak memerlukan keterampilan. Jadi itu dimulai dengan bagian yang
tidak proporsional dari tenaga kerja tidak terampil dan pendapatan per kapita
yang lebih rendah. Seiring waktu, penurunan biaya pendidikan atau pelatihan
mendorong peningkatan proporsi angkatan kerja untuk keluar dari sektor
pertanian (tidak trampil) dan masuk ke sektor non-pertanian (terampil).
Penurunan tenaga kerja pertanian menyebabkan peningkatan relatif terhadap
upah pertanian.
40
Sejalan dengan penelitian tersebut, Golling (2002) melakukan penelitian
mengenai “Structural Transformation and Cross-Country income Differences”,
menyimpulkan bahwa produktivitas pertanian yang rendah dapat menunda
dimulainya industrialisasi di suatu negara untuk jangka waktu yang lama,
menyebabkan pendapatan per kapita suatu negara jauh di belakang negara
industri. Begitu industrialisasi dimulai, tren ini terbalik. Namun, sejauh mana
suatu negara mengejar terutama bergantung pada faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas dalam kegiatan non-pertanian. Kebijakan pertanian,
sebagian besar tidak relevan dalam jangka panjang. Namun dalam jangka
pendek, negara yang mengalami peningkatan besar dalam produktivitas
pertanian.
Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Benjamin et al.
(2005) yang meneliti ketimpangan distribusi pendapatan selama proses
transformasi struktur ekonomi di Cina tahun 1987-2002. Hasil penelitian
menemukan bahwa di daerah pedesaan, terjadi peningkatan ketimpangan
terutama terkait dengan disequalizing. Hal ini terjadi karena meningkatnya
pendapatan wirausahawan non-pertanian, sementara pendapatan di bidang
pertanian semakin menurun. Sedangkan peningkatan ketimpangan pendapatan
pada daerah perkotaan saat terjadi transformasi perekonomian lebih dikarenakan
adanya restrukturisasi dalam perekonomian.
Novalia (2014) dengan judul “Dampak Perubahan Struktur Ekonomi
terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia”, menyimpulkan ada
perbedaan pengaruh perubahan struktur ekonomi terhadap ketimpangan
distribusi pendapatan antara daerah berkembang dan daerah maju. Pada daerah
41
berkembang, proses perubahan struktur ekonomi dari sektor primer ke sektor
sekunder, dari sektor sekunder ke sektor tersier dan dari sektor primer ke sektor
tersier dapat meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan bila terjadi
penurunan kontribusi sektor primer, sedang pada daerah maju terjadi hal
sebaliknya, proses perubahan struktur ekonomi tidak meningkatkan ketimpangan
pada distribusi pendapatan. Hal ini terjadi karena rata-rata sektor primer yang
berkembang pada daerah berkembang adalah subsektor pertanian dan
perkebunan, yang merupakan subsektor dengan kemampuan menyerap banyak
tenaga kerja sehingga jika kontribusinya menurunnya ketimpangan akan
meningkat, sedangkan pada daerah maju sektor primer yang berkembang adalah
subsektor pertambangan dan penggalian yang hanya bisa dinikmati dan diakses
oleh sebagian kecil masyarakat, sehingga jika sektor primer menurun
ketimpangan juga menurun. Jika variabel tingkat ketimpangan awal tinggi pada
daerah maju maupun pada daerah berkembang cenderung meningkatkan
ketimpangan distribusi pendapatan. Peningkatan variabel pertumbuhan ekonomi
pada daerah berkembang dapat menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan
saat terjadi perubahan struktur ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder
dan dari sektor primer ke sektor tersier, sedangkan pada daerah maju justru
meningkatkan ketimpangan pendapatan ketika terjadi perubahan struktur
ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder.
Sementara itu, penelitian Saraan (2006) dalam Fabiomarta (2004)
menggunakan data key indicator of developping asian and pasific countries tahun
1980-2004 dengan metode Ordinary Least Square menyimpulkan bahwa telah
terjadi transformasi struktural perekonomian di Indonesia pada periode
42
pengamatan, yaitu transformasi sektor pertanian ke sektor industri. Selanjutnya,
Fabiomarta (2004) dengan metode yang sama mengembangkan model Chenery-
Syrquin untuk data Indonesia tahun 1977-2002 menemukan adanya
kecenderungan menurunnya peranan sektor primer. Sementara itu, Hill (1996)
menguraikan transformasi struktural pada periode 1966–1992 dengan obyek
penelitian perekonomian Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
transformasi yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu tersebut dinilai terlalu
cepat. Hal ini ditandai dengan sumbangan sektor pertanian terhadap Gross
Domestic Product (GDP) telah menyusut hingga kurang dari setengahnya sejak
tahun 1966, dan pada tahun 1992 sumbangannya hanya tinggal 36 persen.
Penurunan ini ternyata diikuti dengan kenaikan sumbangan sektor industri
(secara luas mencakup pertambangan, industri manufaktur, fasilitas umum dan
kontruksi), yang sumbangannya pada saat itu sebesar 35 persen lebih besar dari
nilainya pada pertengahan dekade 1960-an.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiharsono (1996),
tentang transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi antar daerah di
Indonesia periode 1969-1987 menunjukkan bahwa secara relatif provinsi-provinsi
di Kawasan Barat Indonesia (KBI) pertumbuhan ekonominya lebih cepat
dibanding provinsiprovinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pertumbuhan
ekonomi yang relatif stabil di KBI disebabkan kualitas sumberdaya manuasia
yang relatif lebih baik, dan struktur industri dan pertanian, khususnya perkebunan
besar yang relatif sudah maju. Sedangkan rendahnya pertumbuhan ekonomi di
KTI disebabkan antara lain rendahnya kualitas sumberdaya manuasia, masih
minimnya sarana prasarana ekonomi, dan adanya proyek-proyek pembangunan
43
yang tidak mengindahkan hak-hak masyarakat lokal. Selanjutnya pola
transformasi struktural antar daerah pada kurun waktu 1969-1987 terjadi
penyimpangan apabila dibandingkan dengan pola normal Chenery-Syrquin. Hal
ini karena relatif kecilnya keterkaitan antarsektor, terutama antara sektor
pertanian dengan sektor industri baik dalam proses produksi maupun
penyerapan tenaga kerja.
Hasil yang serupa juga didapatkan dalam Kurniawan (2011), meneliti
tentang transformasi struktural perekonomian Indonesia, pendekatan model
Input-Output tahun 1971-2008 menunjukkan bahwa transformasi struktur
perekonomian Indonesia jika dibandingkan dengan proses perubahan struktur
perekonomian yang terjadi pada negara-negara BRIC (Brazil, Rusia, India dan
China) dalam jangka waktu sekitar 40 tahun menunjukkan pola yang berbeda.
Pergeseran struktur GDP negara-negara BRIC diawali pergeseran peran sektor
pertanian oleh sektor industri yang selanjutya diikuti peningkatan peran sektor
jasa. Pergeseran struktur yang terjadi di Indonesia diawali pada kondisi dimana
sektor jasa telah mendominasi perekonomian, selanjutnya terjadi peningkatan
peran sektor industri menggeser sektor pertanian dan akhirnya mendominasi
perekonomian. Perkembangan struktur tenaga kerja di Indonesia menunjukkan
pola yang tidak biasa (unusual pattern) dan bertentangan dengan teori
perkembangan tenaga kerja. Tinjauan tentang tingkat produktivitas tenaga kerja
memberikan justifikasi kesimpulan atas apa yang terjadi bahwa sebenarnya
tenaga kerja yang bergeser dari sektor pertanian tidak beralih ke sektor yang
produktivitasnya lebih tinggi. Daya penyebaran yang tinggi pada sektor-sektor
sekunder tidak diikuti derajat kepekaan yang tinggi pada sektor-sektor primer
44
mengindikasikan tidak adanya link and match antara industri yang dibangun
dengan sumber bahan baku yang tersedia. Strategi industrialisasi yang kurang
tepat menyebabkan proses deindustrialisasi di Indonesia berjalan tidak alami dan
cenderung negatif.
Perbedaan antara studi empirik dengan penelitian ini adalah pada
penelitian sebelumnya kebanyakan meneliti dengan mengkombinasikan vaiabel
kebijakan pembangunan dan variable terukur dalam pembangunan. Sementara
itu, saya mencoba memadatkan seluruh variabel dalam penelitian sebelumnya
dengan fokus terhadap variable ketenagakerjaan yang erat kaitannya dengan
transformasi struktural dan ketimpangan pendapatan, sehingga membentuk
hubungan antara transformasi struktural terhadap penyerapan tenaga kerja dan
ketimpangan pendapatan dengan mengambil studi kasus yang berfokus pada 24
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.