PENERIMAAN UPAH DALAM PELAKSANAAN IBADAH MENURUT …
Transcript of PENERIMAAN UPAH DALAM PELAKSANAAN IBADAH MENURUT …
PENERIMAAN UPAH DALAM PELAKSANAAN
IBADAH MENURUT IBNU KATSIR
HALAMAN JUDUL
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu (S.1) dalam Ilmu Al-Quran dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Oleh:
WAN MUHAMMAD FADLI BIN WAN MANAN
NIM: IAT 301170062
POGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2019 NOTA DINAS
ii
NOTA DINAS
iii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSIKRIPSI
iv
PENGESAHAN
v
MOTTO
ج هم أ زين ولج بة ة طي هۥ حيو ؤمن فلنحيين م ث وهو ن
و أ
ر أ ك ن ذ م لحا حسن من عمل ص
أ رهم ب
عملون ٩٧ما كنوا ي"Barang siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan."1(QS. An-Nahl: 97).
1 Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sygma Examedia
Arkanleema,2010), 278.
vi
PERSEMBAHAN
رب العالمين الحمد لله
Kupersembahkan skripsi ini
Untuk orang-orang yang kucintai
Ibunda Dan Ayahanda Tercinta Serta Keluarga
Ayahanda Wan Manan Bin Wan Derahman dan arwah ibunda Senawiah Binti Mat
Hassan Yang telah mendidik dan mengasuh ananda dari kecil hingga dewasa
dengan penuh kasih sayang, agar kelak ananda menjadi anak yang berbakti
kepada orang tua dan berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa, dan dapat meraih
cita-cita serta tidak lupa pada pemberi semangat yaitu adik-beradik tercinta Wan
Muhammad Ridzuan, Marwan dan Nor Akma.
Dosen Pebimbing
Tidak lupa kepada kedua-dua pembimbing saya yaitu
bapak Dr. H. Hasbullah MA dan ibu Nurbaiti, S. Ag., M.Fil.I karena banyak ilmu
yang dicurahkan dan banyak memberi tunjuk ajar kepada saya arti daya dan upaya
untuk menghadapi cabaran hidup dalam mencari ilmu.
Teman-Teman Seperjuangan
Serta tak lupa pula terima kasih juga untuk insan yang tercinta yaitu sahabat
sejatiku dari Alumni G24, Pelajar Lelaki Kudqi, Pelajar Lelaki Jambi, serta
teman-temanku lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan Pelajar-pelajar
Malaysia di Indonesia Cabang Jambi, yang setia telah memberikan semangat dan
dorongan di kala suka maupun duka, semoga persahabatan kita tetap terjalin
dengan baik dan semoga ini semua menjadi kenangan yang terindah dalam hidup
kita dan bakal dibawa hingga ke surga.
vii
ABTRAK
Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Penerimaan Upah Dalam
Pelaksanaan Ibadah Menurut Ibnu Katsir. Melihat kehidupan dunia pelaksanaan
ibadah banyak dalam kehidupan manusia maka hanya sumber yang mutlak yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi panduan hidup. Tujuan penulis menfokuskan
membahas tentang mengetahui landasan upah serta maksud dan pandangan
penafsiran Ibnu Katsir dalam penerimaan upah pelaksanaan Ibadah dari ayat-ayat
upah menurut Al-Quran adalah untuk pemahaman umat Islam tentang masalah ini
dalam menjalani kehidupan dengan kebaikan tidak pada keburukan dalam
penerimaan upah pelaksanaan ibadah ini.
Pendekatan penelitian dalam studi tokoh yang penulis gunakan adalah
(Library Research) untuk fokus dalam penelitiaannya berdasarkan data primer dan
data skunder. Informasi juga diambil dari karya atau bahan-bahan tertulis seperti
buku ilmiah kemudian mengkaji dan menelaah berbagai buku dan tulisan yang
berkaitan dengan masalah yang penulis bahas termasuk Al-Qur’an dan Hadits
dalam membahaskan ayat-ayat upah. Penulis berupaya mengumpul buku-buku
berkaitan dengan pembahasan terutama kitab Tafsir Ibnu Katsir, serta kitab Al-
Bidayah Wan Nihayah, Tafsir Wal Mufassirun dan buku Pekerjaan Haram Di Akhir
Zaman.
Hasilnya penulis menemukan landasan upah itu menurut Ibnu Katsir adalah
pahala yang bermaksud di dunia mendapat kesenangan dan di akhirat mendapat
surga-surga yang tinggi. Penerimaan upah pelaksanaan ibadah paling terbaik hanya
dari Allah dan disimpan disisinya dan pelaksanaan tersebut tidak untuk keuntungan
dunia tapi untuk keuntungan akhirat. Pandangan Ibnu Katsir tentang penerimaan
upah pelaksanaan ini melihat kepada zaman nabi dan hadits-hadits nabi sebagai
panduan dan pedoman umat Islam karena mencari rezeki yang halal adalah impian
setiap muslim dan menjadi tanggungjawab dalam mencari nafkah untuk keluarga
dan kebutuhan diri sendiri. Akhirnya penulis merekomendasikan kepada umat
Islam tidak menjadikan pelaksanaan ibadah ini suatu tempat untuk mencari
keuntungan atau tempat menambahkan harta karena dengan niat yang baik akan
mendapat imbalan dari Allah SWT. di dunia dan akhirat.
viii
KATA PENGANTAR
رحيم حمن ٱل ر ٱل ١بسم ٱلل
Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq dan hidayah ke jalan yang
benar. Hanya Engkaulah sebaik-baik pembimbing dan penolong. Selawat dan
salam atas junjungan Nabi Muhammad serta keluarga dan sahabat Baginda, karena
dengan berkat dan rahmat-Nya judul “PENERIMAAN UPAH DALAM
PELAKSANAAN IBADAH MENURUT IBNU KATSIR” ini dapat
diselesaikan dengan baik dan lancar. Skripsi ini disusun sebagai memenuhi salah
satu syarat untuk memperolehi Sarjana Strata Satu (S.I) Fakultas Ushuluddin dan
Studi Agama dalam Jurusan Ilmu Al-Quran Tafsir, UIN Sulthan Thaha
Saifuddin,Jambi. Tidak lupa juga rasa terima kasih yang mendalam penulis
ucapkan kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. H. Hasbullah MA, selaku Dosen Pembimbing I, dan Ibu Nurbaiti,S,Ag.,
M.Fil.I, selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu dan meluangkan waktu
dalam membimbing penyelesaian skripsi ini.
2. Ibu Ermawati, MA, selaku Ketua Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas
Usuluddin dan Studi Agama
3. Dr. M. Subhan, M.ag, selaku Dosen Pembimbing Akedemik yang membimbing
dari semester lima sampai semester delapan.
4. Bapak Dr. H. Abdul Ghaffar, M.Ag, selaku Dekan Fakultas
Usuluddin dan Studi Agama.
5. Bapak Dr.Masiyan, M.Ag, H. Abdullah Firdaus, Lc., MA., Ph.D, Dr. Pirhat Abbas,
M.Ag. selaku Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Usuluddin dan Studi Agama.
6. Bapak Prof. Dr. Su’aidi, MA. Ph.D, MA, selaku Rektor Universitas Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
7. Bapak Dr. H. Hidayat, M. Pd, dan Ibu Dr.Hj Fadilah, M. Pd, selaku Wakil Rektor
I, II, dan III UIN STS Jambi
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Usuluddin dan Studi Agama Universitas Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
9. Para Karyawan dan tenaga administrasi Fakultas Usuluddin dan Studi Agama
10. Para karyawan dan pegawai Perpustakaan Provinsi Jambi maupun Perpustakaan
Fakultas Usuluddin dan Studi Agama. 11. Kedua orang tua, adik-adik dan keluarga besar penulis.
12. Sahabat-sahabat Jurusan Ilmu-Al-Quran dan Tafsir Fakultas Usuluddin dan Studi
Agama Universitas Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
13. Sahabat-sahabat dari Malaysia yang selalu memberikan kata-kata semangat.
14. Serta sahabat-sahabat seperjuangan yang telah memberi sokongan dan inspirasi
kepada penulis.
ix
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i
NOTA DINAS ....................................................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ..................................... iii
PENGESAHAN ....................................................................................................iv
MOTTO ................................................................................................................. v
PERSEMBAHAN .................................................................................................vi
ABSTRAK .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Permasalahan................................................................................. 6
C. Batasan Masalah............................................................................ 6
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 6
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 7
F. Metode Penelitian.......................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan.................................................................. 11
BAB II BIOGRAFI DAN GAMBARAN UMUM KITAB TAFSIR AL-
QURAN AL-’AẒĪM
A. Biografi Ibnu Katsir .................................................................... 13
B. Gambaran Umum Kitab Tafsir Al-Quran Al-Azim .................... 17
1. Nama Tafsir ................................................................................. 18
2. Corak dan Metode penafsiran ..................................................... 19
3. Keistimewaan Tafsir Ibnu Katsir ................................................ 20
4. Pendapat Ibnu Katsir Terhadap Israiliyat .................................... 21
5. Sistematika Tafsir Ibnu Katsir .................................................... 22
C. Penilaian Ulama Terhadap Ibnu Katsir ........................................ 22
1. Referensi Tafsir Ibnu Katsir ........................................................ 22
BAB III MAKNA DAN HAKIKAT UPAH DALAM AL-QURAN
A. Pengertian Upah .......................................................................... 24
B. Klasifikasi Ayat dari Segi Makkiyah dan Madaniyah ................ 27
C. Landasan Al-Qur’an Mengenai Al-Ujrah (Upah) Menurut
Ibnu Katsir ...................................................................................... 29
D. Pemberi Upah Dan Penerima Upah Pelaksanaan Ibadah ............... 37
E. Ayat-Ayat Upah Dalam Al-Quran ................................................. 42
BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT UPAH MENURUT IBNU KATSIR
A. Penafsiran Ayat Upah dalam Tafsir Ibnu Katsir. ......................... 45
B. Pandangan Mufassir Lain Tentang Ayat Upah dalam Al-Quran 55
C. Analisis Penafsiran ...................................................................... 81
xi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 85
B. Rekomendasi ............................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURRICULUM VITEA
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
ṭ ط ’ ا
ẓ ظ b ب
‘ ع t ت
gh غ th ث
f ف j ج
q ق ḥ ح
k ك kh خ
l ل d د
m م dh ذ
n ن r ر
h ه z ز
w و s س
٬ ء sh ش
y ي ṣ ص
ḍ ض
B. Vokal dan Harkat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
ىا ā ا a ا
وا á ا ى u ا aw
وا i ا ū ىا ay
xiii
C. Tā’ Marbtūṭah
Transliterasi untuk ta marbutah ini ada dua macam:
1. Tā’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, maka
transliterasinya adalah /h/.
Arab Indonesia
Ṣalāh صلاة
Mir’āh مراة
2. Ta Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan
dammah, maka transliterasinya adalah /t/.
Arab Indonesia
Wizārat al-Tarbiyah وزارة التربية
Mir’āt al-zaman مراة الزمن
3. Ta Marbutah yang berharkat tanwin maka translitnya adalah /tan/tin/tun.
Contoh:
Arab Indonesia
Fajannatan فجنة
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia tercatat oleh Allah sebagaimana niatnya.
Bila niatnya baik maka tujuan yang dicapai akan baik dan bernilai pahala oleh
Allah, namun bila berniat buruk berarti akan memperoleh yang sebaliknya sesuai
apa yang diniatkan.
Sebuah contoh bila ada seseorang beribadah atau melaksanakan ibadah pada
Allah, tapi dalam hatinya ada keinginan agar dilihat kebolehan atau rajin oleh orang
lain, maka yang diperoleh orang itu hanyalah pujian dari orang yang memujinya,
tidak mendapat pahala, meskipun ibadahnya mantap dan telah melafalkan niat
ibadah itu. Begitu pula dengan ibadah yang lainya seperti sedekah, puasa dan lain
sebagainya.2
Setiap apa yang kita laksanakan pasti akan mengharapkan sesuatu yang
menguntungkan. Dalam melaksanakan ibadah juga kita kadang-kadang berharap
dapat bukan sekadar pahala tapi ganjaran lain tanpa kita sadari dan meminta, apakah
itu sesuatu yang baik atau buruk bagi kita untuk menerimanya. Kita bisa lihat di
masa Rasulullah setiap masalah pelaksanaan ibadah hanya karena Allah semata-
mata dan menolak segala penghargaan lain dari manusia karena takut ibadah yang
dilakukan menjadi sia-sia.
Semua pekerjaan kita boleh menjadi ibadah jika dilakukan mengikut cara-
cara yang telah ditetapkan oleh Islam. Ia mesti mengandungi hubungan kita dengan
Allah dan hubungan kita sesama manusia.3 Hendaklah seseorang tidak memiliki
tujuan dengan pengetahuannya untuk mencapai kesenangan, posisi, keunggulan
atas orang lain, pujian dari publik atau ingin mendapatkan perhatian orang dan hal-
hal seperti itu.
Biarlah seseorang itu juga tidak mengharapkan dengan pengajaran atau
pekerjaannya itu sesuatu yang diperlukan daripada masyarakat, sama ada ia berupa
2 Muhammad Qasim Kamil, Halal Haram dalam Islam, (Perpustakaan Nasional : Katalog
Dalam Terbitan (KDT),2014), 134. 3 Jakim, IslamGRID 2.0 Obor yang Menyinari Alam, diakses melaui alamat
http://ii.islam.gov.my/articles/ibadah/pengertian-ibadah.php, tanggal 7 Disember 2018.
2
pemberian harta atau layanan, meskipun sedikit. Sekalipun berupa hadiah yang
seandainya dia tidak lakukan itu, tentulah dia tidak diberi hadiah tersebut.4 Allah
SWT berfirman :
رث من د ح ري ن ي ك زد ل ٱلأخرة رثه ۥن رث ۦ ف ح ريد ح ن ي اومن ك ني ؤته ٱلد ا وما ل ۦن ۥمنه
ف يب ٱلأخرة ٢٠من نص
“Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan
keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan didunia
Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak
akan mendapat bagian di akhirat”. (QS. Asy-Shūrā : 20).5
Kalau kita hanya menegakkan salah satu dari dua hubungan ini saja,
umpamanya hubungan sesama manusia saja tanpa hubungan dengan Allah SWT
dan tidak menurut perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW, ia tidak dikira ibadah
dan Allah mungkin menimpa azab dan kehinaan ke atas kita.6 Pada zaman ini
masyarakat, bangsa dan keturunan kita melaksanakan ibadah contohnya mengajar
Al-Qur’an, pengurusan jenazah, pengupahan haji atau umrah dan ibadah-ibadah
lain untuk mencari nafkah seolah-olah hanya demi ganjaran dunia. Akan tetapi tidak
semua begitu, ada juga yang ambil upah melaksanakan ibadah karena menjadi
pekerjaan tetap bagi menguruskan kehidupan mereka. Semua ini mungkin terjadi
disebabkan sesuatu dan mungkin ada keperluan dan tujuan yang harus dipenuhi.
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik sesuai
hakikat wujud manusia dalam kehidupan di dunia, yakni melaksanakan tugas
kekholifahan dalam rangka pengabdian kepada sang maha pencipta, Allah SWT.
Sebagai kholifah-nya di muka bumi, manusia diberi amanah untuk memperdayakan
seisi alam raya dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk yang
4 Ustaz Mohd Hazri Hashim Al- Bindany, Panduan Berinteraksi Dengan Al-Qur’an,
Terjemahan kitab At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Quran Karya Al-Imam An-Nawawi (Kuala Lumpur:
Galeri Ilmu,2017), 15. 5 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sygma Examedia
Arkanleema,2010), hlm. 485. 6 Jakim, IslamGRID 2.0 Obor yang Menyinari Alam diakses melaui alamat
http://ii.islam.gov.my/articles/ibadah/pengertian-ibadah.php, tanggal 7 Disember 2018
3
ada dimuka bumi ini.7
Kita tahu bahwa Allah SWT menciptakan manusia itu sebagai zoon
politician. Yakni ia membutuhkan orang lain yang bisa dijadikan sebagai teman
untuk saling berbagi kemanfaatan dalam segala urusan, baik itu dengan cara
pernikahan, berjual beli, upah, perlakuan di depan hukum, berlaku sosial di dalam
atau dalam menanami lahan dan urusan pertanian serta hal-hal lainnya dari segala
segi yang semua itu dapat menjadikan sebab manusia bisa berkumpul, tidak
berpecah belah, saling bertetangga dan tidak berjauhan.8
Islam sebagai agama Allah SWT, mengatur kehidupan manusia baik
kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ibadah adalah kehidupan manusia maka
hanya sumber yang mutlak yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi panduan
dalam menjalani kehidupan dan ini menjadikan Islam sebagai agama yang
teristimewa berbanding dengan agama lain.9
Perkara utama yang mesti dilakukan oleh guru atau pelaksana dalam ibadah
adalah mengharapkan keredhaan Allah.
Allah SWT berfirman: ا وم عبدوا إل ل ا رو م
أ ل ٱلل ين لص ن م ي ٱلد فا ء ويقيموا ة حن لو ٱلص ؤتوا ة وي كو ز ك ٱل ل وذ
مةدين ٥ ٱلقي
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-
Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan
shalat dan menunaikan zakat; dan demikian itulah agama yang lurus (benar)”.
(QS. Al-Bayyinah : 5).10
Upah dalam Islam adalah imbalan yang diterima seseorang atas
pekerjaannya dalam imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk
7 Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali
Pena,2004),3 8 Ali A. Al Jurjawi, Hikmah dibalik Hukum Islam, (Jakarta: Mustaqim, 2003),206 9 Nurul Huda, Mustofa E. Naution, dkk, Ekonomi Makro Islam, (Jakarta: Penerbit Kencana,
2007), 3. 10 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sygma Examedia
Arkanleema,2010), 597.
4
imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).11 Kita perhatikan di masa ini
bahkan dalam pelaksanaan ibadah ada kebutuhan upah untuk pekerjaan itu untuk
seseorang itu mendapatkan uang atau lebih bersikap adil kepada mereka yang
melakukan pekerjaan pelaksanaan ibadah pada masyarakat.
Biasanya dalam masyarakat upah dalam pekerjaan perlaksanaan ibadah ini
dinamakan atau istilahnya adalah hadiah sekalian niat di hati hanya memberi hadiah
pada yang menolong mengerjakan pelaksanaan ibadah itu karena istilah upah lebih
sepadan pada kerja yang untuk mendapatkan uang atau hanya dengan cara halal.12
Al-Isfahani menuliskan bahwa al-ajru bermakna apa yang diperoleh dari
balasan suatu perbuatan baik yang bersifat duniawi ataupun ukhrawi. Balasan atau
upah yang bersifat ukhrawi adalah ganjaran atau pahala yang diperoleh seseorang
atas amal saleh yang ia kerjakan selama di dunia.13
Untuk kerja pelaksanaan ibadah atau dakwah memperjuangkan agama
Allah haruslah ada ketulusan yang tulus dari pada menetapkan harga untuk
pelaksanaan seperti itu meskipun menjadi pekerjaan tetap kita seperti dipetik dari
Firman Allah SWT:14 وقل ى ٱعملوا ي فس م ورسول ٱلل ؤمنون و ۥعملك لم ٱلم ع ل ون إ د ت غيب وس و ٱل ة د ه ٱلش
عملون ئكم بما كنتم ت ١٠٥فينب
“Dan katakanlah, “Berkerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu,
begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-
Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Tawbah 105).15
Semua aspek menerima upah dalam melakukan ibadah ini dapat terjadi
11 Idwal B. Dosen Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam Iain Bengkulu, “Upah Dan
Tenaga Kerja Dalam Islam”,diakses melalui alamat
www.academia.edu/26696012/UPAH_DAN_TENAGA_KERJA_DALAM_ISLAM tanggal 7
Disember 2018. 12 Ibid. 13Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi (Bandung: Citapustaka Media Perintis,
2012), 156. 14 H. Muhammad Amin Suma, Tafsir Ayat Ekonomi: Teks Terjemahan dan Tafsir, cet. Ke.
2 (Jakarta: AMZAH,2013), 60. 15 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sygma Examedia
Arkanleema,2010), 188.
5
karena sesuatu dan mungkin ada kebutuhan dan tujuan yang harus dipenuhi. Ada
banyak keuntungan dan kerugian yang mungkin kita buat sebagai contoh dan
menjadi orang yang berguna dan bisa melakukan ibadah dengan baik. Sebaik-
baiknya kita menjadi seseorang yang hanya mengharap balasan baik dari Allah dan
dalam masa yang sama diberi ganjaran dunia seperti Ulama Salaf radhiallahu
‘anhum tidak suka menerima upah atas sesuatu yang termasuk ibadah dan fardhu
kifayah seperti memandikan mayit dan mengubur mereka serta azan dan solat
terawih. Oleh karena demikian, mereka jadikan perniagaan sebagai sumber rezeki
untuk menjalani kehidupan.16
Setiap pekerjaan yang mencari rezeki yang halal adalah ibadah tetapi untuk
pekerjaan pelaksanaan ibadah seperti fardhu kifayah berbeda dari pekerjaan lain
karena untuk kerja ini kita tidak bisa mengharapkan sesuatu upah atau hadiah dari
siapa yang kita berikan khidmat karena ia ibadah dan perintah yang diturunkan dari
Allah SWT. supaya tidak ada permasalahan pada imbalan di akhirat nanti karena
apakah kita dapat manfaat dari apa yang kita kerjakan di dunia diterima di akhirat
kelak.
Maka bertitik tolak dari latar belakang masalah ini, penulis tertarik untuk
menekuni atau menulusuri tentang masalah penerimaan upah pelaksanaan ibadah
yang berlaku serta pelaksanaan upah ini bagi umat Islam. Jadi dengan itu penulis
ingin mengupas tentang penerimaan upah dalam pelaksanaan ibadah menurut Ibnu
Katsir.
Alasan penulisan judul ini adalah melihat dari apa yang diterapkan umat
Islam tentang hal ini di dalam kehidupan masa lalu hingga saat ini karena ada yang
berpandukan akal fikiran dan ada yang berpandukan perintah Allah SWT. Oleh
karena itu, penulis memilih penelitian ini menurut Ibnu Katsir dengan metode studi
tokoh dari 13 ayat Al-Qur’an pada seorang penafsir yaitu Ibnu Katsir karena antara
ciri khas tafsirnya ialah perhatiannya yang besar pada masalah tafsir Al-Qur’an bi
Al-Qur’an (menafsirkan ayat dengan ayat) dan ada beberapa pandangan orang yang
berpengetahuan bahwa tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau
16 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al- Ghazali, Ringkasan IHYA’ Ulumuddin,
(Selangor: Pustaka Al-Ehsan,2013), .173.
6
memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya.
B. Permasalahan
Pokok masalah yang diangkat berdasarkan latar belakang di atas sebagai kajian
utama penelitian ini adalah bagaimana penafsiran tentang penerimaan upah dalam
pelaksanaan ibadah menurut Ibnu Katsir dalam tafsir Ibnu Katsir? Untuk
mengkonkritkan pokok masalah diatas maka menjadi beberapa pertanyaan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah landasan Al-Qur’an mengenai Al-Ujrah (upah) menurut Ibnu
Katsir?
2. Apa yang dimaksudkan dengan penerimaan upah dalam pelaksanaan ibadah
dalam Al-Qur’an menurut Ibnu Katsir?
3. Bagaimana pandangan Ibnu Katsir tentang penerimaan upah dalam
pelaksanaan ibadah menurut Al-Qur’an?
C. Batasan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya pendapat tentang upah atas kerja, maka
batasan yang menjadi tumpuan utama dari karya ilmiah ini agar tidak terjadi
kesalahan fahaman dalam pembahasan, baik terhadap penulis sendiri maupun para
pembaca. Maka penelitian ini dibatasi pada lingkup bahasan yang terkait dengan
penerimaan upah dalam pelaksanaan ibadah menurut Ibnu Katsir kajian studi tokoh
dari Tafsir Al-Qur’an Al-’Aẓīm karya Ibnu Katsir.
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan manusia memiliki tujuan yang ingin dicapai.
Begitu juga dalam penelitian ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai agar
perolehi gambaran yang jelas dan tepat. Berdasarkan latar belakang, permasalahan
dan batasan yang dibahaskan, maka secara umum penelitian diusahakan untuk
mencapai bagi mengetahui diantaranya adalah untuk:
1. Mengetahui maksud penerimaan upah dalam ibadah dalam Al-Qur’an menurut
Ibnu Katsir.
2. Mengetahui pandangan Ibnu Katsir tentang penerimaan upah pelaksanaan ibadah
menurut Al-Qur’an.
7
3. Mengetahui apa landasan Al-Qur’an mengenai Al-Ujrah menurut Ibnu Katsir.
Dari rangkaian rumusan masalah, maka kegunaan dari penelitian ini
diharapkan bersifat teoritis dan juga praktis yaitu:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah hazanah keilmuan
di dalam studi Al-Qur’an terutama di bidang kajian tafsir.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu berkontribusi secara lebih, baik
dalam bidang akademis, terlebih untuk masyarakat luas terutama bagi kaum
muslimin yang ingin mempelajari tentang penafsiran ayat-ayat penerimaan upah
dalam pelaksanaan ibadah.
3. Secara umum diharapkan dapat memberi kesedaran dan menjadikan teladan
untuk melahirkan pelaksanaan ibadah yang mengikut perintah Allah SWT.
4. Untuk memberikan informasi mengenai penerimaan upah dalam pelaksanaan
ibadah menurut Al-Qur’an.
5. Menjadi kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN STS Jambi yang tengah
mengembangkan paradigma keilmuan yang berwawasan global dalam bentuk
Universitas Islam.
E. Tinjauan Pustaka
Sebagai mana pengetahuan peneliti bahwa belum ada diantara kajian yang
meneliti tentang judul penelitian ini dan belum diketahui adanya mahasiswa dan
mahasiswi Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Universitas Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang melakukan kajian ini.
Buku karya H. Azhari Akmal Tarigan dengan judul Tafsir Ayat-Ayat
Ekonomi. Buku ini menjelaskan tentang pengertian Al Ujrah (upah) dan ganjaran
duniawi dan ukhrawi.17
Namun ada skripsi yang penulis temukan, Dewi Yuliana, Jurusan Hukum
Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, UIN STS Jambi 2014, Dalam skripsinya
berjudul “Model Upah Adil Perspektif Ibnu Taimiyah” ada membahas tentang upah
dalam islam sebagai hak pekerja dan upah yang adil menurut Ibnu Taimiyah serta
17Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi (Bandung: Citapustaka Media Perintis,
2012), 156.
8
relevensi pemikiran Ibnu Taimiyah terhadap UMR Jambi.18
Selanjutnya, Tesis Syahdian Noor, LC., Filsafat Hukum Islam, IAIN
Antasari Banjarmasin 2016, Tesisnya berjudul “Istinbath Hukum Terhadap Upah
Mengajar Al-Qur’an (Analisis Pendapat Fuqaha Klasik Dan Kontemporer)”
membahaskan tentang para fuqaha klasik dan kontemporer mengharamkan dan
membolehkan menerima upah dari mengajarkan Al-Qur’an serta metode istinbath
hukum yang diterapkan.19
Sementara jurnal karya Fuad Riyadi dengan judul Sistem Dan Strategi
Pengupahan Perspektif Islam. Dalam karyanya tersebut beliau membahas
pengertian upah pada pekerja karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk
yang tidak bisa hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain dan salah satu
bentuk kegiatan manusia dalam bentuk muamalah ialah upah mengupah.20
Jurnal selanjutnya yakni karya Armansyah Walian dengan judul Konsepsi
Islam Tentang Kerja Rekonstruksi Terhadap Pemahaman Kerja Seorang Muslim.
Dalam karyanya ada membahas tentang kerja dan amal sesungguhnya mempunyai
terjemahan yang sama meskipun masyarakat mengenalnya dari sudut yang berbeda
karena upah atau gaji dalam uang maupun material adalah untuk menjaga
kelangsungan hidup bagi diri sendiri atau orang-orang yang bawah
tanggungjawabnya.21
Menurut analisis kajian yang dijumpai ini penulis merasakan perlu lebih
mendalami kajian tentang penerimaan upah dalam pelaksanaan ibadah karena tidak
ada yang membahas tentang penerimaan upah dalam pelaksanaan ibadah secara
mendalam menurut Ibnu Katsir dari sudut tafsir dan pembahasannya terlalu sedikit
di dalam karya-karya ilmiah. Dalam penelitian ini, fokus bahasan terletak pada
penafsiran Ibnu Katsir tentang ayat-ayat menerima upah pelaksanaan ibadah
18 Dewi Yuliana, “Model Upah Adil Perspektif Ibnu Taimiyah”, Skripsi (Jambi: Fakultas
Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2014), 64-65. 19 Syahdian Noor, “Istinbath Hukum Terhadap Upah Mengajar Al-Qur’an (Analisis
Pendapat Fuqaha Klasik Dan Kontemporer)”, Tesis (Banjarmasin: Program Pascasarjana IAIN
Antasari Banjarmasin,2016), 132. 20 Fuad Riyadi. “Sistem Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam.” Jurnal Iqtishadia, Vol
8, No. 1, Maret (2015),159. 21 Armansyah Walian. “Konsepsi Islam Tentang Kerja Rekonstruksi Terhadap Pemahaman
Kerja Seorang Muslim.” Jurnal An Nisa’a, Vol 8, No. 1, Juni (2013),65
9
menurut Al-Qur’an dalam Kitab Tafsir Al- Quran Al-’Aẓīm.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian (studi tokoh)
dengan pendekatan penelitian (library research) dengan menggunakan:
1.Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Yakni
penelitian yang fokus penelitiannya berdasarkan data-data dan informasi dengan
bantuan berbagai macam literatur yang ada di perpustakaan22 atau datanya diambil
dari karya atau bahan-bahan tertulis yang telah dipublikasikan, baik melalui media
cetak maupun elektronik seperti bahan pustaka karya Ibnu Katsir.
2.Sumber dan Jenis Data
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, karena itu sumber data dalam
penelitian ini adalah data-data literatur, dokumentasi, atau berbagai sumber tertulis
lainnya seperti buku ilmiah, majalah ilmiah, sumber arsip, dokumen pribadi,
ataupun berbagai artikel.
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dapat penulis
klasifikasi dalam dua jenis, yaitu data primer dan data skunder. Data primer
merupakan data literatur yang secara langsung memiliki keterkaitan dan hubungan
langsung dengan topik bahasan penelitian, berupa sumber-sumber yang langsung
ditulis oleh Ibnu Katsir terutama karyanya, yaitu kitab Tafsir Al-Qur’an Al-’Aẓīm.
Adapun data sekunder ialah berupa buku-buku, majalah-majalah, artikel, internet,
dan merupakan karya-karya yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan
dalam penelitian ini.
Di atas sumber-sumber data tersebut penulis juga menyandarkan data hadits
dalam membangun penelitian ini, sehingga diharapkan relatif dapat di terima oleh
kalangan akademik dan kalangan umum pemerhati masalah keislaman dan sejarah.
3.Teknik Pengumpulan Data
22Adib Sofia, Metode Penulisan Karya Ilmiah (Yogtakarta: Karyamedia, 2012), 102.
10
Mengingat penelitian ini adalah library research, maka penulis
menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi yaitu dengan mencari dan
mengumpulkan berbagai data yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu melakukan
penulusuran pustaka dengan membaca, menela’ah dan menganalisa kemudian
mengkaji dan menela’ah berbagai buku dan tulisan yang berkaitan dengan masalah
yang penulis bahas termasuk Al-Qur’an dan Hadits.
4.Metode Analisis Data
Analisis data kualitatif dalam studi tokoh dapat dilakukan melalui langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Menemukan pola atau tema tertentu. Artinya, peneliti berusaha menangkap
karakteristik pemikiran Ibnu Katsir dengan cara menata dan melihatnya
berdasarkan dimensi suatu bidang keilmuan sehingga dapati ditemukan pola atau
tema tertentu.
b. Mencari hubungan logis antara pemikiran Ibnu Katsir dalam berbagai bidang,
sehingga dapat ditemukan alasan mengenai penmikiran tersebut. Di samping itu,
peneliti juga berupaya untuk menentukan arti di balik pemikiran tersebut,
berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang mengintarinya.
c. Mengklasifikasikan dalam arti membuat pengelompokan pemikiran sang tokoh
sehingga dapat dikelompokkan ke dalam berbagai bidang.
d. Mencari generalisasi gagasan yang spesifik. Artinya, berdasarkan temuan-
temuan yang spesifik tentang Ibnu Katsir, peneliti mungkin akan dapat
digenerallisasikan untuk tokoh-tokoh lain yang serupa.23
Selain itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
maudhu’i/tematik adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu
tema tertentu, lalu mencari pandangan Al-Qur’an tetang tema tersebut dengan jalan
menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan
memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat
umum dikaitkan dengan yang khusus, yang Muthlaq digandengkan dengan yang
23 H. Arief Furchan dan H. Agus Maimun, STUDI TOKOH, Metode Penelitian Mengenai
Tokoh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 60.
11
Muqayad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-hadist yang
berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh
dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu.24
Data juga dianalisis melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan
cara sebagai berikut:
a. Induktif yaitu mulai dari fakta, realiti, gejala, masalah yang diperoleh
melalui suatu observasi khusus. Dari realiti dan fakta yang khusus ini
kemudian peneliti membangun pola-pola umum. Induktif berarti
bertitik tolak dari yang khusus ke umum.25
b. Deduktif yaitu merupakan proses pengambilan kesimpulan sebagai
akibat dari alasan-alasan yang diajukan berdasarkan hasil analisis data.
Proses pengambilan kesimpulan dengan cara deduksi didasari oleh
alasan yang benar dan valid.26
Semua tehnik analisis data tersebut akan penulis terapkan dalam
merampungkan penelitian yang berbicara tentang penerimaan upah dalam
pelaksanaan ibadah menurut Al-Qur’an dalam perspektif penafsiran Ibnu Katsir.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mensistematisasi penulisan dan menjawab pertanyaan dalam
penelitian ini, maka penelitian merujuk pada tekhnik penulisan yang disepakati
pada Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi. Penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab.
Bab I Membahas tentang latar belakang masalah, permasalahan, batasan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian,
serta sistematika penulisan.
Bab II, Penulis akan mendiskripsikan sosok Ibnu Katsir dan kitab tafsirnya
yaitu Tafsir Al-Qur’an Al-’Aẓīm. Pada bagian pertama akan dipaparkan tentang
24 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda
Ketahui Dalam MemahamiAl-Qur’an, (Tangerang: Lantera Hati, 2013),385. 25 Conny R. Semiawan, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik Dan
Keunggulannya (Jakarta: PT Grasindo, 2010),121. 26 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Sktipsi, Tesis, Disertasi Dan Karya Ilmiah
(Jakarta: Kencana, 2011),16.
12
biografi Ibnu Katsir, kemudian dilanjutkan pada pembahasan mengenai gambaran
umum tentang kitab tafsir Ibnu Katsir yang meliputi nama tafsir, corak dan metode
penafsiran, keistimewaan tafsir Ibnu Katsir serta sikap atau pendapat ibnu katsir
terhadap Israi’liyat serta sistematika penafsirannya. Sedangkan pada bagian
berikutnya akan dipaparkan mengenai beberapa penilaian ulama terhadap Ibnu
Katsir dan sumber tafsir Ibnu Katsir. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan
gambaran lengkap dari pemikiran dan metode penafsiran Ibnu Katsir terhadap ayat-
ayat menerima upah pelaksanaan ibadah.
Bab III, Berisi pengertian mengenai upah pelaksanaan ibadah dalam Al-
Qur’an yang meliputi tentang manfaat dan hakikat upah. Kemudian dilanjutkan
pada klasifikasi ayat upah yang ditinjau dari segi Makiyah dan Madaniyah dan
pembahasan tentang landasan Al-Qur’an mengenai Al-Ujrah (upah) menurut Ibnu
Katsir dalam pandangan mufassir, selanjutnya akan dipaparkan mengenai siapakah
pemberi upah pelaksanaan ibadah dan siapakah penerima upah pelaksanaan ibadah
dan isi dari upah tersebut. Penulis paparkan juga 13 ayat-ayat upah dalam Al-
Qur’an yang terkait pada upah pelaksanaan ibadah.
Bab IV, Secara khusus berbicara tentang penafsiran dan pandangan Ibnu
Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-’Aẓīm mengenai ayat-ayat menerima upah dalam
Al-Qur’an. Kemudian pada pembahasan selanjutnya akan dipaparkan mengenai
pandangan mufassir lain tentang ayat menerima upah menurut Al-Qur’an, dan
analisis penafsiran.
Akhirnya bab V, Merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang
kesimpulan akhir penelitian, rekomendasi dari penulis tentang manfaat dan
peringatan pada upah dalam pelaksanaan ibadah bagi umat Islam, serta kata penutup
yang akan mengakhiri penelitian.
13
BAB II
BIOGRAFI DAN GAMBARAN UMUM KITAB TAFSIR AL-QUR’AN AL-
’AẒĪM
A) Biografi
Beliau adalah seorang yang dijuluki sebagai Al-Hafiz, Al-Hujjah, Al-
Muarrikh Ats-Tsiqah Imaduddin Abu Fida’ Ismail Ibnu Umar Ibnu Katsir Al-
Quraysi Al-Bashrawi Ad-Dimasyq Asy-Syafi’i yang kemudian lebih dikenali
dengan sebutan Ibnu Katsir.27
Predikat Al-Bushrawy sering dicantumkan dibelakang namanya karena ia
lahir di Basrah. Demikian pula predikat Ad-Dimasyqi sering menghiasi namanya.
Hal ini berkaitan dengan berkaitan dengan kedudukan kota Basrah yang menjadi
bagian kawasan Damaskus, atau mungkin disebabkan kepindahan predikat Al-
Bushry berkaitan dengan pertumbuhan dan pendidikannya. Dan predikat Asy-
Syafi’i berkaitan dengan mazhabnya.28
Beliau lahir disebuah desa yang bernama Mijdal daerah bagian Bushra pada
tahun 700 H. Ayahnya meninggal ketika beliau berusia tiga tahun dan beliau
terkenal sebagai khatib di kota itu. Adapun Ismail Ibnu Katsir merupakan anak
paling bungsu. Beliau dinamai Ismail sesuai dengan nama kakaknya yang paling
besar yang wafat ketika menimba ilmu di kota Damaskus sebelum beliau lahir.29
Ia juga menjalin hubungan keluarga (menjadi menantu) dengan Al-Hafizh
Al-Mizzi, maka ia pun banyak meriwayatkan darinya, berfatwa, menelaah, dan
berdiskusi dengannya. Ia sangat mumpuni dalam fikih, tafsir, nahwu, dan sangat
mengerti tentang kondisi para perawi dan kritikus hadits.
Ibnu Katsir mempunyai banyak kemampuan, diantaranya memori yang kuat
dan kemapuan memahami. Di samping menguasai bahasa dan merangkai syair.
27 Muhammad Isfahan, Al-Bidayah Wan Nihayah (Yang Pertama Dan Yang Terakhir),
Diterjemahkan Dari Buku Aslinya Yang Berjudul “Al-Bidayah Wan Nihayah” Oleh Ibnu Katsir
{Selangor: Crescent News, 2013), 7. 28 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari Dan Tafsir
Ibnu Katsir, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999), 69. 29 Muhammad Isfahan, (Yang Pertama Dan Yang Terakhir) Al-Bidayah Wan Nihayah,
Diterjemahkan Dari Buku Aslinya Yang Berjudul “Al-Bidayah Wan Nihayah” Oleh Ibnu Katsir
{Selangor: Crescent News, 2013), 7.
14
Ibnu Katsir juga menghafal dan menulis banyak buku.
Setelah berguru kepada banyak ulama, semisal Syaikh Burhanuddin Al-
Fazari dan Kamaluddin bin Qodhy Suhbah, Ibnu Katsir mengokohkan ilmunya.
Kemudian ia menyunting putri Al-Hafidz Abu Al-Hajaj Al-Muzzi, ia membiasakan
mengaji dengannya. Dalam bidang hadist, Ibnu Katsir mengambil banyak dari ilmu
Ibnu Taimiyyah. Membaca Ushul Hadits dengan Al-Ashfahani. Disamping itu ia
juga menyimak banyak ilmu dari berbagai ulama. Menghafal banyak matan,
mengenali sanad, cacat, biografi tokoh dan sejarah di usia muda.30
Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus, dan disanalah dia mula
menuntut ilmu dari saudara kandungnya Abdul Wahhab ketika itu dia telah hafal
Al-Qur’an, dan sangat mengandungi pelajaran hadits, fikih, maupun tarikh. Beliau
juga turut menimba ilmu dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat tahun 728 H).
Begitu besarnya cintanya kepada gurunya ini sehingga dia terus-menerus
bermulazamah (mengiringinya), dan begitu terpengaruh dengannya hingga
mendapat berbagai macam cobaan dan hal-hal yang menyakitinya demi membela
dan mempertahankan gurunya ini.31
Pergaulan dengan gurunya itu membuahkan berbagai macam faedah yang
turut membentuk keilmuannya, akhlaknya dan tarbiyah kemandirian dirinya yang
begitu mendalam, karena itulah beliau menjadi seorang yang benar-benar mandiri
dalam berpendapat. Beliau akan selalu berjalan sesuai dengan dalil, tidak pernah
taksub (fanatik) dengan mazhabnya, apalagi mazhab orang lain, dan karya-karya
besarnya menjadi saksi atas sikapnya ini. Beliau selalu berjalan atas sunnah,
konsisten mengamalnya.32
Ibnu Katsir menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Khamis bulan
Sya’ban 774 H di kota Damaskus. Sebelum meninggal, Ibnu Katsir kehilangan
penglihatan matanya. Jasadnya dimakamkan disamping makam gurunya
Taqiyyudin Ibnu Taimiyyah. Selama masa hidupnya, ia dikenal sebagai orang yang
memiliki ketinggian ilmu dan karya-karyanya banyak memberi manfaat yang besar
30 Muhammad Sofyan, Tafsir Wal Mufassirun, (Medan: Perdana Publishing, 2015), 53. 31 Muhammad Isfahan, Al-Bidayah Wan Nihayah, {Selangor: Crescent News, 2013), 8. 32 Ibid., 8.
15
bagi masyarakat.33
1) Para Guru Dan Muridnya
Ibnu Katsir memiliki banyak guru diantaranya, yaitu Ibnu Taimiyyah, Al-
Hajjaar, dan Az-Dzahabi. Semasa muda, Ibnu Katsir menduduki banyak jabatan
penting di bidang pendidikan, ia juga menjadi guru besar di masjid Umayyah
Damaskus.34
Juga yang lainnya, dari Ibnu Qasim bin AAsakir Ibnu Syarazi, Ishaq bin
Amidi, Muhammad bin Zarrad rahimahumullah, dan yang memberinya ijazah di
Mesir adalah Abu Musa Al-Qarafi, Al Husaini, Abu Al Fath Ad-Dabusi, Ali bin
Umar Al Wani, Yusuf Al Khatni, dan yang lainnya rahimahumullah.35
Ibnu Katsir memiliki murid yang sangat banyak. Hal ini karena beliau
pernah menjabat sebagai guru besar pada sebuah sekolah “Darul Hadits Al-
Asyrafiyyah” dan sekolah “Ummu Shalah serta At-Tankaziyyah”. Diantara nama
muridnya yang terkenal adalah Syihabuddin Ibnu Hijji.
Muridnya yang bernama Hijji berkata, “Dia adalah orang yang pernah kami
temui dan yang paling kuat hafalannya terhadap matan hadits, paling paham dengan
takhrij dan para perawinya, dapat membedakan yang hadits shahih dengan yang
lemah, banyak menghafal di luar kepala berbagai kitab tafsir dan tarikh, jarang
sekali lupa, dan memiliki pemahaman yang baik serta agama yang benar.36
2) Karya-Karyanya
Berbagai cabang ilmu keislaman dipelajari secara mendalam oleh Ibnu
Katsir, terutama hadits, fikih, sejarah, dan tafsir. Dalam keempat bidang ini dapat
dijumpai karya-karya tulisnya sehingga wajar apabila gelar Al-Hadits, Al-
Muhaddits, Al-Fikih, dan Al-Mu’arrikh melekat di depan namanya. Namun,
popularitas karya-karyanya di bidang sejarah dan tafsirlah yang memberi andil
33 Muhammad Sofyan, Tafsir Wal Mufassirun, (Medan: Perdana Publishing, 2015), 53. 34 Tedi Ruhiyat et. al., Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan Dari Buku Aslinya
Yang Berjudul “Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir” Oleh Muhammad Ali (Bandung: Jabal, 2018), 2. 35 Ibnu Majjah, Biografi Imam Ibnu Katsir, diakses melalui alamat
https://ibnumajjah.files.wordpress.com/2018/02/biografi-ibnu-katsir-asy-syafi_i. tanggal 22 mei
2019. 36 Muhammad Isfahan, Al-Bidayah Wan Nihayah, {Selangor: Crescent News, 2013), 8.
16
terbesar dan mengangkat namanya menjadi tokoh ilmuwan yang dikenal di dunia
Islam.37
Diantara karya besarnya, Tafsir Al-Qur’anul’Aẓīm, Jami’al Al-Masanid iya
as-Sunan, At-Takmu Fi Ma’rifatis Tsiqat Wa Ad-Dhuafa’wa Al-Mujahil dalam
kitab ini beliau menggabungkan apa yang terdapat dalam kitab Tahdzibul Kamal
karya besar Al-Mizzi dan Mizanul ‘idal karya Adz-Dzahabi dengan sedikit
penambahan dalam ilmu jarh wa at-ta’du dan kitab lainnya iaitu Al-Bidayah Wan
Nihayah.38
Karya tulis sejarah yang dikarang oleh Ibnu Katsir adalah kitab Al-Bidayah
Wa An-Nihayah terdiri ats 14 jilid besar yang memaparkan berbagai peristiwa yang
terjadi semenjak awal penciptaan alam sampai dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada tahun 768 H atau enam tahun sebelum wafatnya. Sedang karya
tafsirnya yang dimaksud adalah Tafsir Al-Qur’an Al-’Aẓīm atau sering disebut
dengan nama tafsir Ibnu Katsir.
Dalam bidang hadist, Ibnu Katsir menulis sebuah kitab yang berjudul At-
Takmil yang berisi daftar ulama-ulama hadist kurun pertama. Namun karyanya
yang terpenting dalam bidang ini adalah kitab Al-Jamil yang berisikan hadist-hadist
yang terdapat dalam musnad Ibnu Hambal, Al-kutub As-Sittah dan sumber-sumber
lainya berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya yang disusun secara
altabetis. Ia juga menulis Al-Mukhtashar sebagai ringkasan kitab Muqaddimah Li
Ulūm Al- Ḥadist karya Ibnu Ash-Shalah. Di samping itu, ia juga menulis uraian
tentang Shahih Al-Bukhari yang penyelesaiannya dilanjutkan oleh Ibnu Hajar Al-
Atsqalani.39
Di bidang fiqih, ia merencanakan menulis sebuah kitab yang berlandaskan
Al-Qur’an dan Hadist, tetapi hanya terlaksana satu bab, yaitu mengenai ibadah
sampai persoalan haji. Dalam fatwanya mengenai jihad, ia banyak dipengaruhi
kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyyah. Karya-karya lainnya
37 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari Dan Tafsir
Ibnu Katsir, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999), 70. 38 Muhammad Isfahan, Al-Bidayah Wan Nihayah, {Selangor: Crescent News, 2013), 9. 39 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari Dan Tafsir
Ibnu Katsir, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999), 70.
17
adalah ‘Ala Abwab At-Tauhid, Takhrij Ahadits At-Tanbih, Musnad Syaikhani, As-
Sirah An-Nabawiyyah dan Mukhtashar kitab Al-Madkhal karya Baihaqi.40
Para ulama sepakat akan keluhuran ilmu Ibnu Katsir, terutama dalam bidang
Al-Qur’an. Seorang murid Ibnu Katsir mengatakan “dari ulama yang ada di zaman
ini, Ibnu Katsir merupakan orang yang terbaik dalam menghafal hadist dan yang
paling mahir dalam meneliti tingkat kebenaran dan kapasitas rowi suatu hadist”.
Kita melihat bagaimana keperibadian ulama terdahulu mungkin sedikit
yang kita tahu itupun sudah jauh dengan keperibadian umat kini, semoga dengan
semua pengorbanannya menjadi pengajaran untuk umat akhir zaman dengan semua
manfaat-manfaat yang diberikan dari kekasih-kekasih Allah SWT.
B) Gambaran Umum Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-’Azim
Kajian serta upaya memahami dan memahamkan Al-Qur’an, belajar dan
mengajarkannya kepada orang lain termasuk tujuan amat luhur dan sasaran yang
sangat mulia. Dan ilmu tentang Al-Qur’an yang paling sempurna adalah ilmu
tafsir.41
Ibnu Katsir adalah salah seortang ulama tafsir yang kemampuannya diakui
oleh para ulama lainnya. Imam Az-Dzahabi berkata tentang beliau, “Dia pandai
memberikan fatwa, ahli dalam berdebat, menguasai fikih, tafsir, nahwu dan sangat
menguasai ilmu hadist”.42
Tafsirnya ini merupakan tafsir terbesar dan mengandung manfaat yang luar
biasa banyaknya. Sebuah tafsir yang paling besar perhatiannnya terhadap manhaj
tafsir yang benar, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir sendiri dalam
muqaddimah yang disampaikannya, “metode penafsiran yang paling benar, yaitu
penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Jika tidak dapat menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, maka hendaklah anda menafsirkannya dengan hadist. Dan jika
tidak menemukan penafsirannya di dalam Al-Qur’an dan Hadist, maka hendaklah
merujuk pada pendapat para sahabat, karena mereka lebih mengetahui berdasarkan
konteks dan kondisi yang hanya merekalah yang menyaksikannya, selain itu
40 Ibid,.71. 41 Ibid,.54. 42 Abdullah Bin Muhammad, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Bogor: Pustaka Imam
Asy Syafi’i, 2005), 1.
18
mereka juga memiliki pemahaman yang sempurna, pengetahuan yang benar, dan
amal shalih. Namun jika tidak ditemukan juga, maka kebanyakkan para imam
sesudahnya”.43
Kitab tafsir Ibnu Katsir menjadi pilihan karena memiliki beberapa kelebihan
dari kitab-kitab tafsir lainnya. Tafsir Ibnu Katsir kaya akan hikmah dan faidah.
Imam Ali Ash-Shabuni mengemukakan bahwa tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab
tafsir Al-Qur’an Bil Mat’sur yang terbaik, yang menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan
ayat Al-Qur’an, kemudian dengan hadist-hadist masyhur yang diambil dari
kumpulan kitab-kitab hadist. Di samping itu, dengan terbuka beliau menyebutkan
status hadist-hadistnya, mana yang shahih dan mana yang dha’if. Beliau juga
menyertakan atsar para sahabat dan tabiin.
1) Nama Tafsir
Pada umumnya para penulis sejarah tafsir menyebut tafsir Ibnu Katsir
dengan nama Tafsir Al-Qur’an Al-’Aẓīm. Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam
salah satu karyanya menulis Tafsir Al-Hafidz bin Katsir Al-Musamma Tafsir Al-
Qur’an Al-’Aẓīm, namun nama tersebut belum mengandungi ketegasan tentang
siapakah yang memberi nama itu, sedangkan Ali Ash-Shabunny dalam
mukhtasarnya dengan tegas mengatakan bahwa nama itu sebagai pemberian Ibnu
Katsir sendiri.
Ibnu Katsir sendiri nampaknya tidak pernah menyebut secara khusus untuk
kitab tafsir ini. Hal ini sangat berbeda dengan para penulis kitab dahulu yang selalu
mencantumkan nama kitab pada mukaddimahnya, yang pada umumnya dipilih dari
rangkaian dan kalimat bersajak.
Para penulis biografi kitab klasik tidak mencantumkan nama khusus untuk
kitab tafsir ini. Hal ini berbeda dengan sikap mereka terhadap karya-karya Ibnu
Katsir lainnya. Barangkali hanya Ibnu Taghri Bardi (813 H-874 H) dalam An-
Nujum Adz-Dzahiriyyah yang menyebutnya dengan tegas. Namun, nama yang
disebutnya berbeda dengan nama yang disebutkan diatas, yaitu Tafsir Al-Qur’an
43 Ibid., 1.
19
Al-Karim. 44
2) Corak Dan Metode Penafsiran
Ibnu Katsir terkadang memaparkan beberapa aturan-aturan linguistic, I’rab,
Nahwu, dan aspek Balaghah, maka hal itu sangat jarang dan semata-mata ditujukan
untuk membantu dan memudahkan para pembaca untuk memahami ayat secara
luas.
Tafsir ini dalam pembahasannya pada dasarnya menjelaskan sekadarnya
saja. Kemudian para ulama yang lain memperdalam topik-topik ayat yang
ditafsirkan selaras dengan keinginan secara terperinci dan luas. Tujuannya adalah
untuk memperdalam pokok-pokok ilmu tafsir yang sesuai keilmuan dan
pemahaman yang dimiliki oleh ulama. Sehingga dapat menjadi terurai dan
gamblang.45
Al-tafsir Al-Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Penafsir yang
mengikut metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y
(pemikiran). Di antara salah satu kitab yang menggunakan metode ini adalah tafsir
Al-Qur’an Al-’Aẓīm (terkenal dengan tafsir Ibnu Katsir) karangan Ibnu Katsir.46
Metode Ibnu Katsir dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah merupakan sekian
dari metodologi ideal yang banyak digunakan dalam bidang tafsir. Menurutnya,
metodologi yang lain tepat alam menafsirkan Al-Qur’an adalah:
1. Tafsir Al-Qur’an terhadap tafsir Al-Qur’an itu sendiri.
2. Menggunakan sunnah yang merupakan penjelas Al-Qur’an, bilamana tidak
ditemukan ayat lain yang menjelaskan. Ibnu Katsir menjelaskan bahawa
Imam Syafi’i pernah mengatakan, “setiap hukum yang diterapkan
Rasullullah merupakan hasil pemahaman terhadap Al-Qur’an.
3. Qoul As-Shahabah, bila dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak ditemukan
pembahasannya. Karena para sahabat mengetahui banyak sebab-sebab ayat
itu diturunkan dan kondisi pada waktu itu.
44 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari Dan Tafsir
Ibnu Katsir, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999), 71. 45 Muhammad Sofyan, Tafsir Wal Mufassirun, (Medan: Perdana Publishing, 2015), 56. 46 Ibid,.27
20
4. Referensi tabi’in bila mana dalam Al-Qur’an, sunnah dan qoul sahabat tidak
ditemukan tafsirnya.47
Menurut Adz-Dzahabi, tafsir Ibnu Katsir termasuk dalam kategori tafsir bi
al-ma’tsur, yakni menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat-ayat Al-Qur’an, hadist-hadist
nabi, atau riwayat-riwayat yang berasal dari sahabat dan tabi’in. Namun, perlu
diperhatikan bahwa dimasukkannya suatu kitab tafsir kedalam kategori yang
bercorakkan bi Al-Ma’tsur tidak berarti menutup kemungkinan bagi penulisnya
untuk memasukkan juga unsur-unsur non riwayat, seperti kupasan ijtihad.48
3) Keistimewaan Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir Ibnu Katsir adalah yang paling masyhur yang memberikan perhatian
terhadap apa yang telah diberikan oleh mufassir salaf dan menjelaskan makna-
makna dan hukumnya serta perhatian yang sangat besar dengan penafsiran antara
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Tafsir ini merupakan yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-
ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan
hadist marfu’ yang ada relevensinya dengan ayat yang sedang ditafsirkan serta
menjelaskan apa yang dijadikan hujjah dari ayat tersebut kemudian diikuti pula
dengan atsar para sahabat dan pendapat tabi’in dan ulama salaf disertakan selalu
peringatan akan cerita-cerita Isra’illiyat yang tertolak (mungkar) yang banyak
tersebar di dalam tafsir-tafsir bil ma’tsur. Baik peringatan itu secara global atau
mendetail dan bersandarkan pada riwayat-riwayat dari sabda Nabi SAW. para
sahabat dan tabi’in.
Keluasan sanad-sanad dan sabda-sabda yang diriwayatkan serta tarjihnya
akan riwayat-riwayat tersebut menjadikan penguaasaan terhadap ayat-ayat nāsikh
Mansūkh, serta-serta penguasaannya terhadap shahih dan selainnya jalan-jalan
riwayat dan kerapannya, penjelasannya dalam segi I’rab, dan istinbatnya tentang
hukum-hukum syar’i dan ayat-ayat Al-Qur’an.
Penjelasannya dalam segi I’rab, dan istinbatnya tentang hukum-hukum
47Ibid,. 55. 48 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari Dan Tafsir
Ibnu Katsir, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999), 72.
21
syar’i dan ayat-ayat Al-Qur’an menjadi literature mufassir setelahnya, telah dicetak
dan disebarkan ke segala penjuru dunia serta tidak mengandung permusuhan
diskusi, golongan dan mazhab. Mengajak pada persatuan dan mencari kebenaran
bersama.49
4) Pendapat Ibnu Katsir Terhadap Israi’liyat
Ibnu Katsir juga menghadapi dilema dalam masalah Israi’liyat dan untuk
memecahkan dilema itu, Ibnu Katsir membagi Israi’liyat dalam tiga klasifikasi
yaitu berita yang diketahui kebenarannya, berita yang diketahui kebohongannya
dan berita yang didiamkan (maskut’anhu). Dengan pengklasifikasian ini,
nampaknya ia telah berhasil mengurangi dilema yang dihadapinya. Buktinya, ia
tidak banyak mempersoalkan Israi’lliyat yang termasuk bagian pertama dan kedua
karena penyelesaiannya adalah mudah. Israi’liyat yang termasuk bagian pertama
harus diterima, sedangkan bagian kedua harus ditolak. Ia hanya mempersoalkan
israi’liyat yang termasuk ke bagian ketiga.
Ibnu katsir memperbolehkan meriwayatkan bagian ketiga dengan dua
syarat:
1) Tidak bertentangan dengan akal dan belum terbukti kebohongannya.
2) Meskipun pensyaratan pertama terpenuhi, Israi’liyat jenis ketiga ini tetap tidak
boleh didustakan dan tidak boleh pula dibenarkan. Dengan demikian, bila
melihat keterangan Ibnu Katsir diatas, bagian orang ketiga ini boleh
diriwayatkan, tetapi tidak boleh dijadikan keyakinan.
Kebolehan yang diberikan oleh Ibnu Katsir untuk meriwayatkan Israi’liyat
yang didiamkan oleh syariat tidak menunjukkan sikapnya yang lunak terhadap
persoalan ini. Sebab ia pun mengetahui bahwa Israi’liyat itu pada umumnya tidak
memberi faidah apa-apa bagi agama dan sedikit sekali yang benar.50
5) Sistematika
Sistematika tafsir Ibnu Katsir menganut sistem tradisional, yakni
sistematika tertib mushafi dengan merampungkan penafsiran seluruh ayat Al-
49 Muhammad Sofyan, Tafsir Wal Mufassirun, (Medan: Perdana Publishing, 2015), 58. 50 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari Dan Tafsir
Ibnu Katsir, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999), 139-141.
22
Qur’an dimulai dari Sūrah Al-Fātihah dan diakhiri oleh Sūrah An-Nās. Hanya
dalam operasionalisasinya, Ibnu Katsir menempuh cara pengelompokan ayat-ayat
yang berbeda, tetapi berada dalam konteks yang sama.51
C) Penilaian Ulama Terhadap Ibnu Katsir
Az-Dzahabi berkata tentang sifat Ibnu Katsir, “Ia pandai memberikan fatwa,
juga dalam berdebat, menguasai fikih, tafsir, nahwu, dan sangat menguasai ilmu
rijāl hadist”. Imam Az-Dzahabi dalam “Thabaqatul Hufadz” berkata, “Ibnu Katsir
seorang ahli fikih yang sangat teliti, ahli hadist yang cermat, dan ahli tafsir yang
sangat kritis”.
Imam Syaukani dalam “Al-Badru At-Thaali” berkata, “Ibnu Katsir sangat
pandai dalam fikih, tafsir, nahwu, sangat faham dalam ilmu rijāl hadist, selain
mengajar ia juga boleh memberikan fatwa”.
Imam Ali Ash-Shabuni {Dr, Tafsir Fakultas Syariah Wa Diratsah Islamiyah
Universitas Al-Malik Abdul Aziz) mengemukakan, tafsir Al-Qur’an yang beliau
tulis merupakan salah satu tafsir Al-Qur’an bil Ma’tsur yang terbaik. 52
1) Referensi Tafsir Ibnu Katsir
Sungguh suatu pengakuan yang jujur dan penghargaan yang tidak
berlebihan kiranya ketika seorang mufassir besar, Imam Suyuthi (W. 911) berkata
mengenai tafsir Ibnu Katsir, “Lam yulafa’la namthihi mitsluhu”. Setelah diteliti
oleh muhaqiq dalam bidang tafsir dan hadist, tafsir Ibnu Katsir sangat ilmiah dan
kaya dengan referensi yang sulit didapat. Bahkan sekarang ada beberapa jenis
referensi yang sudah tidak ada dan sangat sulit dicari. Betapa karya karya ini kaya
dengan ilmu yang menyimpan mutiara-mutiara berharga, karena Ibnu Katsir
menjadikan referensi karyanya yang diambil dari berbagai disiplin ilmu, baik itu
tafsir, ilmu tafsir, hadist, ilmu-ilmu hadist, lughah, sejarah, fiqh, ushul fiqh, bahkan
geografi. Dari hasil penelitian, tafsir Ibnu Katsir menjadikan rujukannya tidak
kurang dari 241 referensi yang terkumpul dari berbagai disiplin ilmu. 53
51 Ibid., 71-72. 52 Tedi Ruhiyat et. al., Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Jabal, 2018), 3. 53 Ibnu Majjah, Biografi Imam Ibnu Katsir, diakses melalui alamat
https://ibnumajjah.files.wordpress.com/2018/02/biografi-ibnu-katsir-asy-syafi_i. tanggal 22 mei
2019.
23
Ibnu Katsir diberikankan penguasaan ilmu yang sangat luas dan dalam
kehidupan masyarakat juga ia memberikan banyak manfaat dan kepemimpinan.
Melihat lebih dekat tentang upah pelaksanaan ibadah beliau menafsirkannya
dengan memperhitungkan semua pandangan mazhab dan sejarah para nabi, sahabat
dan ulama sesudahnya. Dari sudut pandang dan fakta membuktikan dirinya adalah
seorang yang layak menjadi tokoh keilmuan dengan semua hasil ilmu dan karya
beliau memberi manfaat dan referensi hingga hari ini.
24
BAB III
MAKNA DAN HAKIKAT UPAH DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian Upah
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang tidak bisa hidup sendiri
tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam
lingkup muamalah adalah upah-mengupah,54 kita melihat bahwa kalimah ini juga
dikaitkan dalam pelaksanaan ibadah di saat ini karena kebutuhan dan menjadi
pekerjaan yang tetap baik secara peribadi atau melalui pemerintah atau penguasa
sesebuah persatuan dan negara.
Menurut kamus Bahasa Indonesia, maksud (upah) berarti uang dan
sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang
sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu seperti gaji atau imbalan hasil
sebagai akibat dari suatu perbuatan atau usaha.55
Istilah upah dalam kehidupan sehari-hari kita sudah tidak asing lagi, namun
ada beberapa hal yang perlu kita fahami supaya dalam pemberian upah tidak salah
dan tidak mendzalimi bagi orang yang berhak menerima upah. Rasulullah
memerintahkan upah harus diberikan secara adil, bahkan dalam memberi upah tidak
boleh menunda-nunda.56
Menurut istilah bagi kalimah ijārah merujuk kepada bayaran yang diberikan
kepada orang yang melakukan sesuatu kerja sebagai ganjaran kepada apa yang
dilakukannya. Ia juga disebutkan sebagai ajr dan ujrah. ‘Ajjarahu’ atau ‘Aājarahu’
bermaksud memberi upah karena kerja yang dilakukan.
kata ini hanya digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang memberikan
keuntungan dan tidak digunakan untuk sesuatu yang merugikan. Ajr biasanya
digunakan untuk merujuk ganjaran akhirat sementara istilah ujrah pula merujuk
pada ganjaran dunia.57
54 Fuad Riyadi, “Sistem Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam” Jurnal Iqtishadia, Vol
8, No. 1 (2005), 159. 55 Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1595. 56 Siswadi, “Pemberian Upah Yang Benar Dalam Islam Upaya Pemerataan Ekonomi Umat
Dan Keadilan” Jurnal Ummul Qura Vol Iv, No. 2 (2014), 107. 57 Zulkifli Mohamad, Al-Fiqh Al-Manhaji Muamalat Dan Kewangan Islam Dalam Fiqh
Al- Syafi’i (Selangor: Darul Syakir,2017), 185.
25
Secara bahasa ibadah artinya: taat dan secara istilah menurut Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah mendefinisi Ibadah sebagai kata yang mencakup semua yang
disukai dan diridhai oleh Allah SWT. baik berupa perkataan maupun perbuatan
yang tersembunyi dan terang-terangan. Seperti pelaksanaan ibadah berkait seperti
berbicara benar, menunaikan amanah, amar ma’ruf nahi munkar, jihad, buat baik
pada manusia dan sebagainya.58
Allah menghalalkan upah, sebab upah (tsaman) adalah konpensasi atas jasa
yang telah diberikan seorang pekerja, dan perampasan terhadap upah merupakan
suatu perbuatan buruk yang akan mendapat ancaman siksa dari Allah.59
Banyak dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadist pada zaman sahabat dan juga
pandangan ulama-ulama tentang upah seperti:
Dalil Al-Qur’an:
منوا وعملوا ٱلص ن ءا ي ن عملا إن ٱل حسمن أ ر ج
أ ع ا ل نضي حت إن ٣٠ل
"Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-
benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan
yang baik itu”. (QS. Al-Kahf: 30).60
Dalil Hadis:
انهصلىاللهعليهوسلماحتجموأعطىالحجاماجره)رواهالشيخان( “Sesungguhnya Rasulullah SAW. pernah berbekam kepada seseorang dan
baginda memberi upah tukang bekam itu.”61
ك إ ن م اأ خ ذت ع ل يه أ جرا الله أ ح ق ت اب "Sungguh, sesuatu yang lebih berhak kalian ambil sebagai upah adalah
(upah) mengajarkan Kitabullah(Al-Qur’an).62
Dari kisah sejarah pula, Al-Wadhi’ bin Atha’ berkata, “ada tiga orang guru
yang mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak Madinah. Umar pun memberikan
58 Manhaj Tarbawi, “Ibadah” Jurnal Divisi Pendidikan Yayasan Al‐Fityan Jakarta (2018),
1. 59 Sri Dewi Yusuf, “Konsep Penentuan Upah Dalam Ekonomi Islam” Jurnal Al- Ulum
Volume. 10, Nomor 2 (2010), 311. 60 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 297. 61 Haji Osman Bin Jantan, Pedoman Mu’amalat Dan Munakahat (Singapura: Pustaka
Nasional, 2001), 20. 62 Muhammad Fuad, Ringkasan Sahih Al-Bukhari (Selangor: Sofa Production, 2014), 396.
26
gaji kepada mereka sebesar 15 (dirham) setiap bulan.
Mengenai upah ada beberapa perkara yang membawa pengertiannya kearah
istilah hadiah atau dalam bahasa Arab boleh dibaca dengan baris atas (Ja’alah),
bawah (Ji’alah) dan hadapan (Jua’alah). Kata nama ini merujuk pada sesuatu
diberikan oleh seseorang kepada seseorang karena sesuatu dilakukan. Ia juga
disebut sebagai Ju’lun atau Jailah.63
Hikmah amalan ini ada betulnya dan dibenarkan karena amalan seumpama
ini diperlukan oleh manusia. Adakalanya manusia kehilangan sesuatu dan tiada
siapa yang secara sukarela mau mencari dan memulangkan kepadanya. Mungkin
seseorang itu tidak berupaya untuk bekerja sedangkan kerja tersebut tidak boleh
diupah karena wujud unsur ketidakpastian. Melalui cara ini, dia bisa mendapatkan
seseorang untuk melakukannya dengan dibayar sebagai hadiah. Oleh karena itu,
kasus ini dibenarkan bagi memenuhi keperluan ini.64
Hakikat upah adalah Agama Islam tidak memutuskan sesuatu sehingga
menzalimi umatnya. Oleh karena itu, diberi petunjuk dari ayat-ayat Al-Qur’an,
Hadis, Sahabat dan ulama-ulama untuk kita jadikan panduan dan pegangan sesuai
dengan keinginan semua umat Islam mencari rezeki dan harta yang halal, diridhai
sehingga mendapat ganjaran berlipat ganda di akhirat nanti.
Dunia kerja dalam Islam meliputi semua usaha yang bersifat dan
menjangkau semua jenis pekerjaan/mata pencarian yang banyak orang melakukan
apa saja untuk mendapatkan harta kekayaan walaupun dengan upah yang dari
sumber-sumber penipuan, penyuapan, perompakan dan sebagainya.
Manusia perlu mencari upah yang baik dari pekerjaan yang baik karena atas
dunia upah itu berupa uang dan harta benda tetapi di akhirat hidangan Allah SWT.
itu adalah surga. Jalan masuk surga adalah ajaran agama yang diwahyukan Allah
SWT. kepada Rasul-Nya65 maka tentunya manusia perlu mengikuti orang yang
dipercayakan untuk mendapat imbalan di dunia dan akhirat dengan ganjaran yang
63 Zulkifli Mohamad, Al-Fiqh Al-Manhaji Muamalat Dan Kewangan Islam Dalam Fiqh
Al- Syafi’i (Selangor: Darul Syakir,2017), 219. 64 Ibid., 222. 65 Ahsin W. Alhafidz, Indahnya Ibadah Dalam Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2010), 10.
27
besar.
Gunakan semua kelebihan yang dianugerahkan untuk membuat kebaikan,
Setiap orang diberi kelebihan yang berbeda-beda. Bagi orang yang berharta, harta
itu dapat digunakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan
orang yang berilmu pula, ilmu itu boleh disebarkan untuk memadaikan manusia
sejagat. Begitulah cara kita dapat memanfaatkan dunia untuk kepentingan akhirat.
Setiap orang berpeluang melakukan kebaikan mengikut kemampuan masing-
masing.66
Upah pekerjaaan pelaksanaan ibadah lebih kepada pekerjaan seperti ustadz
atau seseorang yang melaksana dan menyebarkan ajaran islam dari Al-Qur’an serta
dari hukum islam berbeda dari upah pekerjaan lain meskipun semuanya adalah
dianggap ibadah jika pekerjaan itu baik dan tidak ada larangan dari Allah SWT.
tetapi dari penerimaan upah kedua pekerjaan ini berbeda karena pekerjaan
pelaksanaan ibadah adalah perkara fardhu dan kewajiban pada insan yang
berpengetahuan untuk menepati perintah Allah. Upah ini ada yang dibolehkan dan
tidak dibolehkan hasil dari penulis melakukan penelitian penafsiran seorang tokoh
dari kitab tafsir Al-Qur’an Al-’Aẓīm.
Kajian dalam penulisan tentang upah ini penulis lebih khususkan tentang
upah dalam pelaksanaan ibadah menurut Ibnu Katsir yang ada sebagian sama
dengan upah pelaksanaan lain tetapi mungkin ada yang berbeda dari segi aspek
penerimaannya menurut pandangan atau penafsiran dari Ibnu Katsir.
B. Klasifikasi Ayat Upah dari Segi Makiyyah dan Madaniyah
Kita dapati para pengembang dakwah yang terdiri dari para sahabat, tabiin,
dan generasi sesudahnya, mengadakan penelitian dengan cermat tentang tempat
turunnya Al-Qur’an ayat demi ayat, baik dalam hal waktu dan tempatnya. Penelitian
ini merupakan pilar kuat dalam sejarah perundang-undangan. Dia juga menjadi
landasan bagi para peneliti untuk mengetahui metode dakwah, macam-macam
seruan, pentahapan dalam penetapan hukum, dan perintah.67
66 Abdullah Khairi, Tuhan Bayar Cash! (Kuala Lumpur: PTS Publications, 2018), 73. 67 H. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Diterjemahkan Dari Buku
Aslinya Yang Berjudul “Mubaahis Fii Ulum Al-Qur’an” Oleh Syaikh Manna Al-Qaththan (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007), 59.
28
Telah kita ketahui bersama, bahwa Rasulullah SAW. menghabiskan
sebagian hidup beliau di Mekah, baik sebelum diutus jadi rasul maupun
sesudahnya. Kemudian beliau hijrah ke Madinah, menetap disana sampai wafat.
Al-Qur’an diturunkan saat Rasulullah berada di kota-kota, pendesaan,
gunung-gunung, lembah-lembah, lereng-lereng, serta pada waktu yang berbeda-
beda seperti malam, siang, dalam perjalanan, didalam kota, pada musim panas,
musim dingin, dalam keadaan damai maupun pada saat perang.68
Untuk mengetahui dan menentukan Makiyyah dan Madaniyah para ulama
bersandar pada dua cara utama, sima’i naqli (pandangan seperti apa adanya) dan
qiyasi ijtihadi (bersifat ijtihad). Namun demikian, semua itu tidak terdapat sedikit
pun keterangan dari Rasulullah, karena ia tidak termasuk dalam kewajiban, kecuali
terdapat dalam batas yang dapat membedakan mana yang nāsakh dan mana yang
mansūkh.69
Diantara keistimewaaan Sūrah-Sūrah Makiyyah adalah pembelaan aqidah
Islam dalam jiwa melalui ajakan beribadah (penyembahan) kepada Allah yang Esa,
beriman kepada risalah Muhammad SAW. kepada hari akhir. Juga pembatalan
keyakinan-keyakinan poganisme jahili, penyembahan kepada selain Allah serta
pemunculan hujjah-hujjah dan bukti-bukti.70
Diantara keistimewaan Sūrah-Sūrah madaniyah pula adalah Al-Qur’an
berbicara kepada masyarakat Islam Madinah, pada umumnya berisi tentang
penetapan hukum-hukum syariah, ibadah dan muamalah, sanksi-sanksi dan
kewajiban-kewajiban, hukum jihad, dan lain-lain.71
Bilangan Sūrah-Sūrah Makiyyah dan Madaniyah para ulama berbeda
pendapat dalam (menghitung) jumlah Sūrah Madaniyah. Suyuthi telah mengutip
dari Ibnu Al-Hashar, bahwa Madaniyah terdiri atas 20 Sūrah, 12 Sūrah
diperlisihkan dan lainnya Makiyyah. Artinya Sūrah Makiyyah adalah berjumlah 82
68 Fahd Bin Abdurrahman, Ulumul Qur’an; Studi Kompleksitas Al-Qur’an (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016), 185. 69 H. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2007), 72. 70 Fahd Bin Abdurrahman, Ulumul Qur’an; Studi Kompleksitas Al-Qur’an (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016), 198. 71 Ibid., 201.
29
(Delapan puluh dua Sūrah).72
Maka dalam klafisikasi ayat upah ini penulis mendapat atau menemui 13
ayat yang mengenai upah dalam Al-Qur’an yang terkait dengan judul penelitian
penulis.
Ayat yang tergolong Makiyyah adalah Sūrah Al-An’ām, Yūnus, Hūd,
Yūsuf, Al-Isrā’, Al-Furqan, Asy-Syu’ara, Saba’, Yasin, dan Ṣad. Sedangkan ayat
yang tergolong Madaniyah pula adalah Sūrah Al-Baqarah.
C) Landasan Al-Qur’an Mengenai Al-Ujrah (Upah) Menurut Ibnu Katsir
(AJR) lafaz ini mempunyai dua makna yang berkaitan. Ia bermakna "upah
atas sesuatu pekerjaan" dan juga "merawat tulang yang retak." Bagi makna pertama,
ia berbentuk al- ajr atau al-ujrah.73
Al-Khalil berkata, "Ajr bermaksud ganjaran atas sesuatu amalan. Daripada
kalimah itu dinamakan juga mahar perempuan sebagai ajr (jamaknya ujur), seperti
yang terdapat dalam ayat Allah " sedangkan bagi makna merawat tangan yang retak,
dikatakan ujirat yaduh (tangannya dirawat) atau ajartu yadah (aku merawat
tangannya).
Lafaz ajr disebut sebanyak 84 kali di dalam Al-Qur’an iaitu dalam sūrah al-
Baqarah (2), ayat 62, 112, 262, 274, 277; Āli Imrān (3), ayat 136, 171, 172, 179,
199; an-Nisā’ (4), ayat 40, 67, 74, 95, 100, 114, 146, 162; al-Mā'idah (5), ayat 9; al-
An’ām (6), ayat 90, al-A’rāf (7), ayat 113, 170, al-Anfāl (8), ayat 28, al-Taubah (9),
ayat 22, 120; Yūnus (10), ayat 72; Hūd (11), ayat 11, 51, 115; Yūsuf (13), ayat 56,
57, 90, 104; al-Nahl (16), ayat 41, 96, 97; al-Kahf (18), ayat 2, 30, 77; al-Isrā’ (17),
ayat 9, al- Furqan (25), ayat 57, al-Syu'ara (26), ayat 41, 109, 127, 145, 164, 180;
al-Qasas (28), ayat 25, 54; al- ’Ankabut (29), ayat 27, 58; al-Ahzāb (33), ayat 29,
31, 35, 44; Saba’ (34), ayat 47; Fatir (35), ayat 7; Yasin (36), ayat 11, 21; Ṣad (38),
ayat 86, al-Zumar (39), ayat 10, 35, 74; Fussilat (41), ayat 8; al-Syura (42), ayat 23,
40; al-Fath (48), ayat 10, 16, 29; al-Hujurat (49), ayat 3; at-Tur (52), ayat 40, al-
Hadid (57), ayat 7, 11, 18, 19, 27; at-Tagabun (64), ayat 15; al-Talaq (65), ayat 5:
72 Fahd Bin Abdurrahman, Ulumul Qur’an; Studi Kompleksitas Al-Qur’an (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016), 189-190. 73 Zulkifli Mohd Yusoff, Kamus Al-Qur’an (Selangor: PTS Publishing House, 2010), 37.
30
al Mulk (67), ayat 12; al Qalam (68), ayat 3, 46; al-Muzzammil (73), ayat 20; al
Insyiqaq (84), ayat 25, at Tin (950, ayat 6.74
Secara khususnya landasan Al-Qur’an mengenai Al-Ujrah menurut Ibnu
Katsir menafsirkannya atau memberi pandangan pahala itu dimaksudkan
pertolongan dan kemenangan didunia dan diakhirat adalah surga-surga yang tinggi.
Sementara sebesar mana kekuasaan kewibawaan yang dapat didunia tidak dapat
tandingi di akhirat yang lebih besar dari semuanya dan bagaimana para nabi dan
rasul mengupah sesuatu pekerjaan juga dengan upah yang adil dengan apa yang
dimintanya dengan tidak memberatkan, tidak menyakiti dan tidak menguasai pada
seseorang yang menjadi landasan dalam sesuatu upah pekerjaan.
Ayat tentang upah penyusuan juga merupakan landasan Al-Ujrah dalam
memberikan upah yang adil dan berhak mengikat perjanjian mengenai upah yang
akan diberikan dan urusan itu harus secara baik tanpa membahayakan masing-
masing pihak. landasan untuk upah menurut Al-Qur’an juga adalah untuk
perkongsian rahmat yang diberikan Allah antara satu sama lain karena sebagian
mereka membutuhkan sebagian yang lain. Landasan upah ini penting bagi manusia
yang mencari rezeki dengan pekerjaan yang menghasilkan upah untuk mengetahui
bahwa adakah ia berada di jalan yang betul dan halal dalam memberi dan menerima
sesuatu upah dalam bentuk apa pun.
Contoh-contoh ayat yang menjadi landasan dalam sistem pengupahan:
1. Sūrah Āl-Imrān ayat 57:
ا من ٱ وأ ي منوا وعملوا ل حت ٱءا ل جورهم و لص
ٱ فيوف يهم أ ب لل ين ٱل ي لم ظ ٥٧ ل
“Dan ada pun orang yang beriman dan melakukan kebajikan, maka Dia akan
memberikan pahala kepada mereka dengan sempurna. Dan Allah tidak
menyukai orang zalim.”75
Menurut Ibnu Katsir arti ayat ini, yaitu di dunia dan di akhirat. Pahala di
dunia berupa pertolongan dan kemenangan. Sedangkan di akhirat berupa Surga-
74 Ibid., 38. 75 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 57.
31
Surga yang tinggi. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.76
2. Sūrah yūsuf ayat 57:
ر ج ٱ ول لأخرة ي ل ل ن خ قو منوا وكنوا يت ٥٧ين ءا
“Dan sungguh, pahala akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman
dan selalu bertaqwa.”77
Menurut Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, Allah memberitahukan bahwa
yang disediakan untuk Yusuf A.S. di akhirat nanti lebih besar, lebih banyak, dan
lebih agung daripada kekuasaan dan kewibawaan yang diberikan kepadanya di
dunia, sebagaimana firman Allah tentang Sulaiman A.S.,
ذا طا ؤنا ف ه ن ٱع مو أ
ب مسك أ ي حسا غ ف وحسن م ۥل وإن ٣٩ب زل ندنا ل ب ع ٤٠ا
“Inilah anugerah Kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah
(untuk dirimu sendiri) tanpa perhintungan. Dan sungguh, dia mempunyai
kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik” (QS.
Ṣad: 39-40).78
Maksudnya, Yusuf A.S. diangkat oleh raja Mesir yang telah membelinya,
yaitu suami dari wanita yang merayunya. Raja Mesir ini masuk Islam di tangan
beliau A.S., demikian pendapat Mujahid.79
3. Sūrah Al-Qasas ayat 26-27
ت قالت ب
أ ي هما ى ت ٱإحد س ره من ج ي ت ٱإن خ رت س مين ٱ لقوي ٱ جن قال ٢٦ ل
ريد أ
إن أ
نكحك إحدى ت ٱأ تممت عش بن
ج فإن أ ن حج م رن ث ج
أ ن ت
أ عل تين ه ا فمن عندك
ش ن إن عليك ستجد شق ن أ
د أ ري
ٱا ء وما أ ن لل ين ٱم لح ٢٧ لص
“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku!
Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling
baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan
dipercayai.” (26) “Dia (Syeikh Madyan) berkata, sesungguhnya aku
bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak
76 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 2, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 41. 77 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 242. 78 Ibid., 455. 79 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 4, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 339.
32
perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama
delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah
(suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau.
Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.” (27)80
Menurut Ibnu Katsir, beliau menafsirkan ayat ini yaitu, berkata salah
seorang puteri laki-laki ini. Satu pendapat mengatakan, wanita itu adalah yang pergi
di belakang Musa AS., ia berkata kepada ayahnya “Hai ayahku, ambillah ia sebagai
pekerja,” yaitu sebagai penggembala kambingnya.81
Umar, Ibnu Abbas, Syuraih al-Qadhi, Abu Malik, Qatadah, Muhammad bin
Ishaq dan selainnya berkata: Ketika wanita itu berkata: “Karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang engkau ambil untuk pekerja adalah orang yang kuat
lagi amanah,” maka ayahnya berkata kepadanya: “Apa yang kamu ketahui tentang
itu?” Wanita itu berkata: “Dia telah mengangkat sebuah batu besar yang tidak
mampu diangkat kecuali oleh 10 orang laki-laki. Dan saatku datang bersamanya,
aku berjalan di depannya, lalu ia berkata kepadaku: ‘Berjalanlah di belakangku.’
Jika ia berbeda jalan denganku, ia memberikan sebuah tanda batu kerikil agar aku
mengetahui ke mana ia berjalan.”
Sufyan ats-Tsauri berkata dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Manusia
paling cerdik adalah 3 orang; Abu Bakar yang memberikan kecerdikan kepada
Umar, teman Yusuf ketika ia berkata, Berikanlah kepadanya tempat yangt baik, dan
teman wanita Musa yang berkata: “Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya,”
Ayahnya berkata, “ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini.” Laki-laki tua ini memintanya untuk
menggembalakan kambingnya dan menikahkannya dengan salah seorang
puterinya.
Syu’aib al-Jubba-I berkata: “Keduanya cantik dan molek.” Para murid Abu
Hanifah mengambil dalil ayat ini tentang sahnya jual beli, dimana seorang berkata:
80 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 388. 81 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 6, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 206.
33
“Aku jual kepadamu salah satu dua budak ini dengann harga 100,” lalu ia berkata:
“Aku beli,” maka sah. Wallaahu a’lam.
“Atas dasar bahwa engkau bekerja denganku delapan tahun dan jika engkau
cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah darimu,” kewajibanmu hanya
menggembala kambingku selama delapan tahun. Jika engkau mendermakan dengan
melebihkannya dua tahun, maka itu adalah darimu sendiri. Kalau tidak, cukup
delapan tahun saja. “maka aku tidak hendak memberatkanmu. Dan engkau insya
Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik,” yaitu, aku tidak akan
memberatkanmu, tidak menyakitimu dan tidak mengusaimu.82
4. Sūrah Thalaq ayat 6:
سكنوهن عليه أ قوا وهن لضي ار ض ت م ول ن وجدك م ث سكنتم ت من حي ول
كن أ ن ن وإ
عن لكم ف رضأ إن ن ف له ن ح ع يض ت ن ح عليه نفقوا
أ ف ل جو ح
اتوهن أ روا تم
ن وأ ره
تضع ل ينكمب تم فس عاس روف وإن ت ع رى ۥ بم خ ٦أ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka
melahirkan kandungannya, kemudian jika mereka menyusukan (anak-
anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan
musyawarahkanlah di aantara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika
kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya.”83
Menurut pandangan Ibnu Katsir, Allah berfirman seraya memerintahkan
kepada hamba-hamba-Nya, jika salah seorang dari mereka menceraikan isterinya
maka hendaklah dia menempatkannya didalam rumah sampai dia selesai menjalani
masa ‘iddahnya, maksudnya di sisi kalian. Ibnu Abbas, Mujahid, dan beberapa
ulama lainnya mengatakan: “Yakni, kesanggupan kalian.” Sampai Qatadah
mengemukakan “kalau pun engkau tidak mendapatkan tempat kecuali di samping
rumahmu, maka tempatkanlah di sana.”84
82 Ibid., 206. 83 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 559. 84 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 8, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 174.
34
Dan firman Allah Taala, “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka.” Muqatil bin Hayyan mengatakan: Yakni,
menakutinya agar dia mau memberikan tebusan dengan apa yang dimilikinya atau
agar keluar dari rumahnya.”
Ats-Tsauri menceritakan dari Manshur, dari Abudh Dhuha, dia berkata:
“Maksudnya adalah menceraikannya. Jika tersisa dua hari lagi, dia akan merujuk
kembali.”
Banyak ulama, diantaranya Ibnu Abbas dan sekelompok ulama Salaf serta
beberapa kelompok ulama Kalaf, mengatakan bahwa hal itu berkenaan dengan
wanita yang ditalak ba’in. jika di ditalak dalam keadaan hamil, maka dia harus
diberi nafkah sampai ia melahirkan. Dalam hal itu mereka berdalil bahwa wanita
yang ditalak raj’i itu harus diberi nafkah, baik dalam keadaan hamil atau tidak.
Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwa siyaq ayat secara keseluruhan
berkenaan dengan talak raj’i, dan yang menashkan keharusan memberikan nafkah
hanya kepada wanita yang tengah hamil saja, meskipun hanya dijatuhi talak raj’i.
Karena kehamilan itu seringkali memerlukan waktu yang panjang. Dengan
demikian, dibutuhkan ketetapan nash yang mewajibkan pemberian nafkah sampai
waktu melahirkan, agar tidak ada anggapan bahwa diwajibkannya nafkah itu
hanyalah sesuai dengan lamanya masa ‘iddah.
Kemudian para ulama berbeda pendapat, apakah nafkah itu diberikan kepda
pihak isteri dengan perantara kehamilan ataukah nafkah itu murni karena kehamilan
itu sendiri? Mengenai hal tersebut terdapat dua pendapat yang bersumber dari Imam
asy-Syafi’i dan juga selainya, dan darinya berkembang menjadi berbagai macam
masalah yang disebutkan dalam ilmu furu’.85
Firman Allah Taala, “kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu)
untukmu.” Maksudnya, jika isteri-isteri itu melahirkan kandungannya sedang
mereka dalam keadaan sudah diceraikan suaminya, maka sempurnalah talak ba’in
dengan berakhirnya masa ‘iddah mereka. Pada saat itu dia berhak menyusui
anaknya atau menolak untuk menyusui. Tetapi hak ini berlaku setelah dia
85 Ibid., 175.
35
meberikan air susu ibu yang pertama kepada anaknya, yakni air susu ibu yang
paling pertama keluar, di mana seorang anak biasanya tidak akan tumbuh kecuali
setelah merasakannya. Jika isterinya itu menyusui anaknya, maka dia berhak
mendapatkan balasan yang setimpal, dan dia juga berhak untuk mengikat perjanjian
melalui ayahnya atau walinya mengenai upah yang akan diberikan.
Hendaklah semua urusan antara kalian itu dikelola secara baik tanpa harus
membahayakan masing-masing pihak. Sebagaimana yang difirmankan Allah Taala
dalam Sūrah Al-Baqarah:
لادهۦ ولود لهۥ بوا لا ما لادهاا وا ة بوا لدا ار وا لا تضا
“janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga
seorang ayahnya karena anaknya.” (QS. Al-Baqarah: 233).86
Jika pasangan suami isteri berbeda pendapat, dimana sang isteri menuntut
upah yang banyak namun sang suami tidak memenuhi tuntutan tersebut, atau
memberi upah tetapi hanya sedikit sedang isterinya tidak menyepakatinya, maka
hendaklah suami itu menyusukan anaknya kepada wanita lain. Seandainya sang ibu
menyetujui pembayaran upah untuk wanita lain, maka dia lebih berhak menyusui
anaknya.87
5. Sūrah Al-’Ankabut ayat 58:
منوا ين ءا ين وٱل ل خ ر نهٱل من تتها ري رفا ت ة غ ن ل ن ٱ م هم ئن حت لبو ل ٱلص ملوا وع
ين مل ع ر ٱل جعم أ ٥٨فيها ن
“Dan Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh,
mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam
surga), yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
Itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan.”88
Menurut Ibnu Katsir maksudnya, kami akan menempatkan mereka
ditempat-tempat yang tinggi di dalam Surga dimana mengalir sungai-sungai
86 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 35. 87 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 8, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 175. 88 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 403.
36
dibawahnya dengan berbagai ragam air, khamr, madu dan susunya yang dapat
didistribusikan dan dialirkan sesuai kehendak mereka. Yaitu mereka tinggal di
dalam Surga selama-lamanya, mereka tidak ingin berpindah darinya. Kamar-kamar
ini adalah sebaik-baik pahala atas amal-amal orang-orang yang beriman.89
6. Sūrah Az-Zukhruf ayat 32:
عيشتهم ف ا بينهم م ن قسمن ك ن ب ت ر هم يقسمون رحعن أ ا ورف ني ة ٱلد يو ل ق ٱ عضهم فو ا ب
عون ا يم م م ي ت رب ك خ ورح ا ري عضا سخ عضهم ب ذ ب خ ت ت ل ض درج ع ٣٢ب"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang
menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”90
Pandangan Ibnu Katsir, Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman menolak
pertentangan mereka ini, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu?”
Yaitu, perkaranya bukanlah dikembalikan kepada mereka, akan tetapi kepada Allah
SWT. Dan Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia jadikan risalahnya, karena Dia
tidak menurunkannya kecuali kepada makhluk-Nya yang hati dan jiwanya paling
bersih, serta keluarganya paling terhormat dan asal-usulnya paling suci. Kemudian,
Allah SWT. berfirman memberikan penjelasan bahwa Dia memberikan tingkatan
kepada makhluk-Nya tentang harta akal dan pemahaman yang diberikan kepada
mereka serta berbagai daya, lahir dan bathin.91
Firman Allah Yang Maha Agung kebesaran-Nya: “Agar sebagian mereka
dapat mempergunakan sebagian yang lain.” Satu pendapat mengatakan bahwa
maknanya adalah, agar sebagian mereka mempergunakan sebagian yang lain dalam
berbagai amal, karena sebagian membutuhkan sebagian yang lain. Itulah yang
dikatakan oleh As-Suddi dan lain-lain. Sedangkan Qatadah dana dh-Dhahhak
berkata: “Agar sebagian mereka memiliki sebagian yang lain,” makna ini kembali
89 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 6, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 262. 90 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 400. 91 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 7, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 207.
37
kepada yang pertama.
Rahmat Allah kepada para makhluk-Nya lebih baik bagi mereka daripada
apa yang mereka miliki berupa harta benda dan kesenangan kehidupan dunia.92
Diatas ini penulis hadirkan mengenai Al Ujrah (Upah) dari landasan Al-
Qur’an Menurut Ibnu Katsir, kita bisa melihat pandangannya tentang ayat-ayat
yang menjadi landasan kepada umat Islam dalam aspek upah-mengupah dan
memahami arti upah yang sebenarnya dan apa yang telah diperintahkan oleh Allah
SWT.
Mayoritas penggunaan lafaz ajr di dalam Al-Qur’an adalah ganjaran atau
balasan bagi orang yang beramal soleh, bertakwa, berbuat kebaikan dan lain-lain,
berupa nikmat surga di akhirat dan sebagainya. Faktanya, hampir keseluruhannya
membawa maksud ini kecuali beberapa ayat sepertimana yang dibentangkan di atas.
Maka, maksud umum lafaz ajr ialah ganjaran balasan kebaikan dan bukan
kejahatan, sedangkan makna khususnya ialah upah seperti dalam Sūrah Al- Qasas
dan dalam ayat di atas dan lain-lain.93
D. Pemberi Upah Dan Penerima Upah Pelaksanaan Ibadah
Sebagai orang Islam, kita seharusnya sentiasa menjadikan Al-Qur’an dan
Sunnah sebagai pegangan hidup kita dalam mencari rezeki. Allah sudah menjamin
bahwa hamba-hambanya yang mencari rezeki(harta) sesuai mengikut petunjuk-Nya
dan Rasul-Nya, pasti akan merasakan keberkahan, kenikmatan dan kebahagiaan
dari setiap rezeki (harta) yang diperolehnya.94
Jika dilihat upah pelaksanaan ibadah apa yang ditafsirkan juga sama dengan
upah pekerjaaan lainnya karena untuk pekerjaan ini adalah menjadi sumber
rezekinya karena berkhidmat seluruh waktunya untuk dakwah, perobatan, pengajar
dan sebagainya seperti contohnya ayat Al-Qur’an.
ف ن ل ك م ض ع أ ر ف إ ن أ ج ور ه ن ات وه ن
“kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah
92 Ibid., 208. 93 Zulkifli Mohd Yusoff, Kamus Al-Qur’an (Selangor: PTS Publishing House, 2010), 38. 94 Ahmad Sabki Mohd Tahir, Ibadah Menuju Taqwa (Kuala Lumpur: Crescent News,
2012), 73.
38
imbalannya kepada mereka”. QS. Al-Thalaq: 6.95
Akan tetapi di dalam pekerjaan pelaksanaan ibadah ini ada dua pemberi
upahnya mengikut pandangan umat Islam asalkan niatnya itu betul. Yang pertama,
amal ibadah seseorang yang ikhlas akan hanya mengharap redha Allah SWT. dan
imbalan di akhirat. Keduanya, pemberian upah dari baitu’lmāl, pegawai atau orang
yang mengambilnya karena ingin menggunakan khidmatnya dan ingin
mengupahnya atas sesuatu pelaksanaan ibadah.
Kita memulakan setiap pekerjaan dengan niat. Kita tidak mungkin membuat
sesuatu pekerjaan itu tanpa memasang niat terlebih dahulu. Pekerjaan tanpa ada niat
tidak mendatangkan manfaat apa-apa. Dan dalam Islam, melakukan amalan tanpa
niat hanyalah mendatangkan penat lelah saja. Dalam kitabnya Ash-Shahhah, Al-
Jauhari berkata “Niat adalah kemauan yang kuat”. Al-Baidawy pula berkata bahwa
“Niat adalah dorongan hati yang dilihatnya sesuai dengan suatu tujuan, berupa
mendatangkan manfaat atau mengenyahkan mudarat, dari sisi keadaan maupun
harta”. Bagi Al-Mawardy, “Niat adalah tujuan sesuatu yang disertai
pelaksanaannya. Jika hanya tujuan, maka itu disebut kemauan yang kuat”.96 .
Jadi karunia yang pertama sangatlah diharapkan oleh pelaksanaan ibadah
karena ikhlas akan menjadi sebab diturunkan rahmat Allah kepadanya. Rahmat itu
bisa menjadi bentuk pertolongan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Bisa juga menjadi bentuk kemudahan-kemudahan hidup dan juga bisa menjadi
perlindungan dari bahaya duniawi atau gangguan iblis laknatullah.97
Untuk pemberian kedua walaupun dibenarkan tetapi ada syarat dan sebab
untuk mereka yang melaksanakannya menerima upah tersebut. Jauhilah dari
menjadi ulama yang menjadikan ilmunya sebagai alat untuk memperoleh kekayaan.
As-Syirazi menyatakan, “setan mendandani keburukan dihadapan ulama hingga
berhasil menjerumuskan agama, memperalat ilmu untuk mendapatkan kekayaan
95 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 559. 96 Ahmad Sabki Mohd Tahir, Ibadah Menuju Taqwa (Kuala Lumpur: Crescent News,
2012), 85. 97 Iskandar, Ruqyah Antara Syarie Dan Syirik (Kuala Lumpur: Yayasan Al-Jauhari, 2017),
40.
39
dari anak yatim, dan orang miskin.98
Bagi penerima dari upah pelaksanaan ibadah, secara khususnya penulis
membahas tentang penerimaan upah ini adalah pada pelaksanaan dakwah, pengajar
ilmu Al-Qur’an, peruqyah, dan pelaksanaan ibadah-ibadah lainnya. Yang paling
penting berpeganglah dengan perintah atau tuntunan dakwah para nabi dan rasul.
Firman Allah:
ٱ عوا هتدون من ل يس تب م را وهم ج ٢١لكم أ
“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Yasin 21).99
Maka untuk para ustadz yang mendapatkan imbalan atau uang dari
mengajarkan Al-Qur’an dan sunnah dianugerahkan bagi mereka untuk upah
seperlunya apalagi bagi mereka yang sudah mencurahkan seluruh waktu untuk
mengajarkan Islam, maka akan ada untuk mengambil bayaran dari apa yang
dicurahkannya. Yang buruk itu, jika kegiatan mengajarkan Islam digunakan sebagai
pekerjaan untuk memupuk kekayaan bahkan menentukan tarif yang mahal sehingga
memberatkan bagi mereka yang tidak berduit tebal.100
Semuanya adalah untuk kebaikan seperti adanya pendakwah dan pengajar
sepenuh waktu memberi manfaat dengan adanya yang mahir ditempat khusus maka
lebih terpelihara agama dan dapat ilmu dari sumber yang betul. Sikap buruk
sebagian manusia itu perlu penjagaan untuk orang dibidang ini karena jika
disalahgunakan soal upah pelaksanaan ibadah menjadi insan tercela disisi Allah,
sedangkan jalan yang dibawa itu adalah perintah Allah dan Rasul.
Bagi peruqyah juga perlu menjaga dalam melakukan perkhidmatan rawatan.
Karena banyak berlaku ayat Al-Qur’an dianggap kuasa penyembuh sedangkan
penyembuh itu adalah Allah SWT. Turut berlaku, kos biaya layanan dikenakan
98 Amru Nur Kholis, Pekerjaan Haram Di Akhir Zaman (Jawa Tengah: Granada
Mediatama, 2017), 193-194. 99 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 441. 100 Amru Nur Kholis, Pekerjaan Haram Di Akhir Zaman (Jawa Tengah: Granada
Mediatama, 2017), 201.
40
dengan harga yang tinggi dan tidak masuk akal.101
Jika diteliti atau dikaji semua pandangan Ibnu Katsir kita dapat melihat
bahwa ia tidak menyebut bagaimana penerimaan upah pelaksanaan ibadah secara
luas tetapi hanya kisah para nabi dan rasul tidak mengambil upah untuk pelaksanaan
tersebut. Namun, Ibnu Katsir menafsirkan bagaimana penerimaan itu dan
menghadirkan hadis-hadis yang berkaitan mengenai upah pelaksanaan ibadah ini.
Ada beberapa hadist yang mempengaruhi penerimaan upah ini yaitu:
ك تاباللهاناحقمااخذتعليهاجرا“Sesungguhnya yang lebih berhak kalian ambil darinya upah adalah
Kitabullah.”102
Sedangkan hadits Ubadah bin Ash-Shamir, yang mengisahkan bahwa ia
pernah mengajarkan kepada salah seorang ahli shuffah sesuatu dari Al-Qur’an, lalu
orang itu memberinya hadiah berupa busur panah. Kemudian ia menanyakan hal itu
kepada Rasulullah SAW, maka beliau pun bersabda:
اناحببتانتطوقبقوسمننارفاقبله“Jika engkau suka dikalungi dengan busur dari api neraka, maka terimalah
busur tersebut.” (HR. Abu Dawud). Maka akhirnya ia menolak pemberian
busur itu.103
Penerimaan upah pelaksanaan ibadah dalam Al-Qur’an menurut Ibnu Katsir
banyak ditafsirkan kepada kisah para nabi dan rasul yang hanya mengharapkan
pemberian upah tersebut hanya dari Allah saja dan menyimpan semua itu disisi
Allah SWT. Itulah sebaik-baik upah atau imbalan dalam pelaksanaan ibadah.
Menurut Ibnu Katsir tentang penerimaan upah pelaksanaan ibadah dalam
Al-Qur’an, makna atau maksud penerimaan upah itu adalah mengambil upah
mungkin dari segi uang atau sehubungan dengannya dalam mengajarkan ilmu Al-
Qur’an yang berasal dari Al-Qur’an dan Rasul-Nya. Ibnu Katsir juga mengatakan
penerimaan upah dari pelaksanaan ibadah adalah diterima dari Baitu’lmāl guna
memenuhi kebutuhan diri dan keluarga karena jika pelaksanaan ibadah ini
101 Iskandar, Ruqyah Antara Syarie Dan Syirik (Kuala Lumpur: Yayasan Al-Jauhari, 2017),
146. 102 Muhammad Fuad, Ringkasan Sahih Al-Bukhari (Selangor: Sofa Production, 2014), 396. 103 Hafidz Al Mundziry, Tarjamah Sunan Abi Daud (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993), 53.
41
menghalangi seseorang dari mencari penghasilan lain berarti penerimaan upah itu
perlu untuk keperluan hidupnya.
Menurut Ibnu Katsir juga upah dalam pelaksanaan ibadah ini
penerimaannya tidak hanya untuk dunia tetapi lebih untuk akhirat. Penerimaan upah
ini yang terbaik pada pelaksanaan ibadah hanya mengharapkan dari Allah SWT.
tidak dari manusia apalagi meminta upah dari pelaksanaannya. Maksud Ibnu Katsir
tentang penerimaan upah pelaksanaan ibadah ini juga ialah menerima upah dari
mengajarkan ilmu kepada orang lain atau berdakwah dan pelaksanaan ibadah yang
merupakan suatu pekerjaaan seorang manusia yang berilmu dan dipilih oleh Allah
SWT. sebagai pewaris para nabi dan rasul dalam menyampaikan risalah dan ajaran
agama Islam kepada orang lain maka penerimaan upah untuk pelaksanaan ibadah
yang sebenarnya tidak diragukan lagi adalah ganjaran besar disisi Allah.
Semua penerima upah pelaksanaan ibadah dalam ibadah apapun yang paling
penting adalah pahala yang merupakan ganjaran dari Allah SWT. yang diberikan
kepada para hambanya disebabkan kebaikan yang dilakukan. Nilaian pahala tidak
dapat dinisbahkan seperti uang Rupiah. Yang pasti, penganugerahan pahala sangat
bermakna buat insan yang beriman. Maka jadikanlah pelaksanaan ibadah itu bukan
dengan meletakkan sesuatu bayaran tetapi untuk melaksanakan ibadah itu karena
tuntutan Islam maka apa yang diberi tanpa diduga menjadi pemberian dari Allah
untuk kita.104
Pemberi dan penerima upah dalam pelaksanaan ibadah ini manfaatkanlah
kehidupan dunia dengan melakukan sebanyak mungkin kebaikan agar tidak
menyesal di akhirat. Dunia ibarat jambatan ke akhirat, jangan penuhkan kehidupan
dunia dengan amalan-amalan yang tidak menguntungkan kehidupan akhirat.105
E. Ayat-Ayat Upah Dalam Al-Qur’an
1. Sūrah Al-Baqarah ayat 41
منوا به وءا ر ل كف و أ عكم ول تكونو ا ا ل ما م ق زلت مصد ن
ا أ ب ل و ۦ بم وا ت ل تش ا قلي ت ثمن ي
ي ف قون ٱوإي ٤١ ت
104 Abdullah Khairi, Tuhan Bayar Cash! (Kuala Lumpur: PTS Publications, 2018), 123. 105 Ibid., 71.
42
“Dan berimanlah kamu kepada apa (Al-Qur’an) yang telah aku turunkan yang
membenarkan apa (taurat) yang ada pada kamu dan janganlah kamu menjadi
orang pertama kafir kepadanya, janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga
murah dan bertaqwalah hanya kepadaku.106
2. Sūrah Al-An’ām ayat 90
ئك ولين ٱ أ ٱهدى ل هم لل ى ٱفبهد س قتده
ل ل أ ين ق لم ع رى لل ن هو إل ذك إ ا را ج
يه أ لكم عل
٩٠ “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah maka ikutlah
petunjuk mereka. Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta imbalan
kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an).” Al-Qur’an itu tidak lain
hanyalah peringatan untuk (segala umat) seluruh alam.107
3. Sūrah Yūnus ayat 72
فإن إ ر جن أ م لكم
ما سأ تم ف عل تول ل ري إ ج
ٱن أ من لل كون
ن أ
رت أ م
ين ٱوأ ٧٢ لمسلم
“Maka jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta imbalan
sedikit pun darimu. Imbalanku tidak lain hanyalah dari Allah, dan aku
diperintah agar aku termasuk golongan orang-orang muslim (berserah diri).108
4. Sūrah Hūd ayat 15-16
ريد من ة ٱكن ي يو نياٱ ل لهم فيها وهم فيها ل ي لد م ع إلهم أ ئك ١٥بخسون وزينتها نوف ل و
أ
ين ٱ ف ل ٱليس لهم رة ل لأخ ٱإ ار عملون ل ا كنوا ي م طل عوا فيها وب ما صن ط ١٦وحب“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti kami
berikan (balasan) penuh atas peerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan
mereka di dunia tidak akan dirugikan.(15) “itulah orang-orang yang tidak
peroleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah
mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka
kerjakan.(16)109
5. Sūrah Hūd ayat 29
قوم س ويعل ل أ ل ري إ ج
إن أ مالا ه علي ٱلكم طارد لل ب ا ن
ن ٱوما أ ي ل قوا ل م هم إن منو ا ءا
كم قوما تهلون ى ر أ ن ك ٢٩رب هم ول
“Dan wahai kaumku! Aku tidak meminta harta kepada kamu (sebagai imbalan)
atas seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah dan aku sekali-sekali tidak akan
mengusir orang yang telah beriman. Sungguh, mereka akan bertemu dengan
106 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 7. 107 Ibid., 138. 108 Ibid., 217. 109 Ibid., 223.
43
Tuhannya, dan sebaliknya aku memandangmu sebagai kaum yang bodoh.110
6. Sūrah Hūd ayat 51
قوم س يعل ل أ ري إل ج
إن أ ا را ج
ه أ يٱلكم علي عقل ل فل ت
أ طرن ٥١ون ف
“Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (seruanku) ini.
Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu
mengerti?”111
7. Sūrah Yūsuf ayat 104
ين تس وما م ل ع ر ل ل ر إن هو إل ذك جمن أ ه ١٠٤لهم علي
“Dan engkau tidak meminta imbalan apa pun kepada mereka (terhadap
seruanmu ini), sebab (seruan) itu adalah pengajaran bagi seluruh alam.112
8. Sūrah Al-Isrā’ ayat 18
ن ريد م ن ي جلة ٱك عا ا ل ل لن علنا ل ۥعج ريد ثم ج من ن ا نشا ء ل موما ۥفيها م ا مذ ه م يصلى جهندحورا ١٨م
“Barang siapa menghendakki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami
segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki. Kemudian Kami
sediakan baginya (di akhirat) neraka jahanam; dia akan memasukinya dalam
keadaan tercela dan terusir.113
9. Sūrah Al-Furqan ayat 57
س قل يه ما أ من شا ء لكم عل ل ر إ ج
ه من أ خذ إل رب ن يت
٥٧سبيل ۦأ
“Katakanlah, “Aku tidak meminta imbalan apa pun dari kamu dalam
menyampaikan (risalah) itu, melainkan (mengharapkan agar) orang-orang mau
mengambil jalan kepada Tuhannya.”114
10. Sūrah Asy-Syu’ara ayat 109
س وما أ رب عل ري إل ج
ن أ ر إ ج
من أ يه ين ٱلكم عل لم ع ١٠٩ ل
"Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu; imbalanku hanyalah
dari Tuhan seluruh alam."115
11.Sūrah Saba’ ayat 47
110 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 225. 111 Ibid., 227. 112 Ibid., 248. 113 Ibid., 284. 114 Ibid., Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma
Examedia Arkanleema, 2010), 365. 115 Ibid., 371.
44
قل
ر فهو لكمما سأ جن أ عل م ل ري إ ج
ٱلكم إن أ ء شهيد لل ش
ك عل ٤٧وهو “Katakanlah (Muhammad),” imbalan apa pun yang aku minta kepadamu, maka
itu untuk kamu. Imbalanku hanyalah dari Allah, dan Dia maha mengetahui
segala sesuatu.”116
12. Sūrah Yasin ayat 21
ٱ عوا هتدون من ل يس تب م را وهم ج ٢١لكم أ
“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.117
13. Sūrah Ṣad ayat 86
س قل مل ما أ يه ر و كم عل ج
من ن أ نا
ين ٱما أ ٨٦ لمتك ف
“Katakanlah (Muhammad),”Aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepadamu
atas (dakwahku); dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-ngada.118
116 Ibid., 433. 117 Ibid., 441 118 Ibid., 458.
45
BAB IV
PENAFSIRAN AYAT-AYAT MENERIMA UPAH MENURUT IBNU
KATSIR
A) Penafsiran Ayat Upah Dalam Tafsir Ibnu Katsir
1. Sūrah Al-Baqarah ayat 41
منوا به وءا ر ل كف و أ عكم ول تكونو ا ا ل ما م ق زلت مصد ن
ا أ ب ۦ بم وا ت ل تش ل و ا قلي ت ثمن ي
قون ٱي ف وإي ٤١ ت“Dan berimanlah kamu kepada apa (Al-Qur’an) yang telah aku turunkan yang
membenarkan apa (taurat) yang ada pada kamu dan janganlah kamu menjadi
orang pertama kafir kepadanya, janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga
murah dan bertaqwalah hanya kepadaku.119
Menurut Ibnu Katsir arti dari ayat ini, janganlah kalian menukar iman kalian
kepada ayat-ayatku dan pembenaran terhadap Rasul-Ku dengan dunia dan segala
isinya yang mengiurkan, karena ia merupakan suatu yang sedikit lagi binasa (tidak
kekal).
Sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin al-Mubarak, dari Abdur Rahman
bin Zaid bin Jabir, dari Harun bin Yazid, bahwa Hasan al-Bashri pernah ditanya
mengenai firman Allah SAW. ( نا قاليلا Harga yang murah” maka ia pun“ (ثاما
menjawab, “Harga yang murah adalah dunia dan segala isinya.”
Mengenai firmannya ( لا تاشتاروا ب نا قاليلا ا وا تي ثاما ايا ( Dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah, “Abu Ja’far meriwayatkan dari Rabi’ bin
Anas, dari Abu al-Aliyah, artinya, “ Janganlah kalian mengambil upah dalam
mengajarkannya,” hal itu telah tertulis dalam kitab mereka yang terdahulu: “Hai
anak Adam ajarkan (Ilmu ini) dengan Cuma sebagaimana diajarkan kepada kalian
secara Cuma-Cuma.”120
Dalam kitab Sunan Abi Dawud diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah r.a,
katanya Rasullah SAW. bersabda:
119 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 7. 120Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 149.
46
منتعلمعلماممايبتغىبهوجهالله،لايتعلمهإلاليصيببهعرضامنالدنيا،لميرحرائحةالجنةيومالقيامة
“Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang semestinya dicari untuk
memperoleh ridha Allah, kemudian ia tidak mempelajarinya kecuali untuk
mendapatkan kemewahan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada
hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).121
Adapun mengajarkan ilmu dengan mengambil upah, jika hal itu merupakan
suatu fardhu ain bagi dirinya, maka tidak dibolehkan mengambil upah darinya,
tetapi dibolehkan baginya menerima dari Baitu’lmāl guna memenuhi kebutuhan diri
dan keluarganya. Tetapi jika ia tidak memperoleh suatu apa pun dari pengajarannya
dan hal itu menghalangi dari mencari penghasilan, maka berarti pengajaran tersebut
tidak menjadi fardhu ain, dan dengan demikian dibolehkan baginya mengambil
upah darinya. Demikian menurut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas
ulama. Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Sa’id,
tentang kisah orang yang tersengat kalajengking Rasulullah SAW. bersabda:
كتاباللهاناحقمااخذتعليه اجرا“Sesungguhnya yang lebih berhak kalian ambil darinya upah adalah
Kitabullah.”122
Sedangkan hadits Ubadah bin Ash-Shamir, yang mengisahkan bahwa ia
pernah mengajarkan kepada salah seorang ahli shuffah sesuatu dari Al-Qur’an, lalu
orang itu memberinya hadiah berupa busur panah. Kemudian ia menanyakan hal itu
kepada Rasulullah SAW, maka beliau pun bersabda:
اناحببتانتطوقبقوسمننارفاقبله“Jika engakau suka dikalungi dengan busur dari api neraka, maka terimalah
busur tersebut.” (HR. Abu Dawud). Maka akhirnya ia menolak pemberian
busur itu.123
Hal serupa juga diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab secara marfu’. Jika sanad
hadits ini shahih, menurut kebanyakan para ulama, diantaranya Abu Umar bin
121 Hafidz Al Mundziry, Tarjamah Sunan Abi Daud jilid 4 (Semarang: CV. Asy Syifa’,
1993), 210. 122 Muhammad Fuad, Ringkasan Sahih Al-Bukhari (Selangor: Sofa Production, 2014), 396. 123 Hafidz Al Mundziry, Tarjamah Sunan Abi Daud Jilid 4 (Semarang: CV. Asy Syifa’,
1993), 55.
47
Abdul Barr, dapat dipahami bahwa yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu yang
diajarkan oleh Allah, sehingga tidak diperbolehkan baginya untuk menukar pahala
mengajarnya dengan busur panah. Namun, jika sejak semula ia mengajarkan ilmu
dengan mengambil upah, maka hal itu dibenarkan, sebagaimana yang telah
diterangkan dalam kedua hadits terakhir di atas, Wallahua’lam. 124
2. Sūrah Al-An’ām ayat 90
ئك ولن ٱ أ ي ٱهدى ل هم لل ى ٱفبهد ده س قت
ين قل ل أ لم ع رى لل ك ل ذ ن هو إ ا إ را ج
يه أ لكم عل
٩٠ “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah maka ikutlah
petunjuk mereka. Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta imbalan
kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an).” Al-Qur’an itu tidak lain
hanyalah peringatan untuk (segala umat) seluruh alam.125
Menurut Ibnu katsir arti ayat ini, aku tidak meminta upah dari kalian atas
penyampaian Al-Qur’an yang kulakukan terhadap kalian, bahkan aku sama sekali
tidak meminta sesuatu pun dari kalian. Dan juga mereka mengambil pelajaran dari
Al-Qur’an sehingga mereka bisa memperoleh petunjuk dari kebutaan menuju
kepada hidayah, dari kesesatan menuju jalan petunjuk, dan dari kekufuran menuju
kepada keimanan.126
3. Sūrah Yūnus ayat 72
عل فإن ري إل جر إن أ ج
ن أ م لكم
ا سأ تم فم ٱتول م لل
وأ
من رت أ كون
ين ٱن أ لمسلم
٧٢
“Maka jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta imbalan
sedikit pun darimu. Imbalanku tidak lain hanyalah dari Allah, dan aku
diperintah agar aku termasuk golongan orang-orang muslim (berserah diri).127
Menurut Ibnu Katsir maksudnya, kalian berdusta dan berpaling dari
124 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 150. 125 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 138. 126 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 3, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 268. 127 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 217.
48
ketaatan. Aku tidak meminta dari kalian sesuatu pun atas nasihatku kepada kalian.
Dan aku melaksanakan tugasku, Islam (berserah diri) kepada Allah SWT. Islam
adalah agama seluruh para Nabi dari yang pertama hingga yang terakhir, meskipun
syariat-syariat mereka bermacam-macam.128
4. Sūrah Hūd ayat 15-16
ريد من ة ٱكن ي يو لهم فيها وهم فيها ل يبخسون نيالد ٱ ل م ع إلهم أ ١٥وزينتها نوف
ئك ولن ٱ أ ي س لهم ف ل ٱلي ل لأخرة ٱإ ر طل لا ب ا و فيه عوا ا صن م عملون وحبط ي ا كنوا م
١٦
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti kami
berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna)
dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.(15) “itulah orang-orang yang tidak
peroleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang
telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka
kerjakan.(16)129
Al-Aufi menceritakan dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, bahwa orang-
orang suka berbuat riya’ (pamer), akan didatangkan kepada mereka kebaikan
mereka di dunia. Dan dengan demikian itu mereka tidak dizhalimi sedikit pun.
Allah berfirman,” Barangsiapa berbuat amal shalih dengan tujuan untuk
kepentingan dunia, baik itu berupa puasa, shalat atau tahajjud pada malam hari,
tidak ia kerjakan kecuali (hanya) untuk memperoleh keduniaan.”
Lebih lanjut Allah Taala berfirman, “Yakni orang yang mengejar balasan di
dunia sehingga amal yang dikerjakannya itu sia-sia karena tersingkirkan oleh
pengejaran hal-hal yang bersifat duniawi, maka di akhirat kelak ia termasuk orang-
orang yang merugi.”130
Demikian itulah yang diriwayatkan dari Mujahid, adh-Dhahhak dan
beberapa ulama lainnya.
Sedangkan Anas bin Malik dan Al-Hasan berkata: “Ayat tersebut turun
128 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 4, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 247. 129 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 223. 130 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 4, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 269.
49
berkenaan dengan orang-orang YaHūdi dan orang-orang Nasrani.”
Qatadah mengemukakan: “Barangsiapa yang menjadikan dunia ini sebagai
tujuan, niat dan kejarannya, maka Allah akan memberi balasan di dunia atas
kebaikannya yang telah ia lakukan, sehingga ketika menuju alam akhirat kelak,
tidak ada lagi kebaikan baginya yang dapat diberikan sebagai balasan. Sedangkan
orang mukmin, maka ia akan diberikan balasan di dunia atas kebaikan yang telah
dilakukannya dan diberikan pula pahala atasnya kelak di alam akhirat.”131
Hal yang senada pun telah disebutkan dalam sebuah hadits marfu’. Dalam
Sūrah yang lain, Allah SAW. berfirman:
رث من ح ريد ٱكن ي رة زد ل لأخ رثه ۥن رث ۦ ف ح د ح ري ي نياٱومن كن ؤته لد منها وما ۦن ٱف ۥل رة ٢٠ من نصيب لأخ
“Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambahkan
keuntungan itu baginya, dan barang siapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia
tidak akan mendapat bagian di akhirat.” (QS. Asy-Syura 20.132
5. Sūrah Hūd ayat 29
قوم س ويعل ل أ ري إل ج
إن أ لا يه ما ٱلكم عل طارد لل نا ب
ين ٱوما أ ل قوا ل هم م إن منو ا ءا
كم قوما تهلون ى ر أ ن ك ٢٩رب هم ول
“Dan wahai kaumku! Aku tidak meminta harta kepada kamu (sebagai
imbalan) atas seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah dan aku sekali-sekali
tidak akan mengusir orang yang telah beriman. Sungguh, mereka akan
bertemu dengan Tuhannya, dan sebaliknya aku memandangmu sebagai kaum
yang bodoh.133
Nuh AS. berkata kepada kaumnya, aku tidak meminta harta benda kepada
kalian atas pelajaran yang kuberikan kepada kalian, yakni aku tidak meminta upah
yang kuambil dari kalian. Tetapi, aku hanya mengharapkan balasan dari Allah.134
6. Sūrah Hūd ayat 51
131 Ibid., 269. 132 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 485. 133 Ibid., 225. 134 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 4, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 275.
50
قوم س يعل ل أ ري إل ج
إن أ ا را ج
ه أ يٱلكم علي عقلون ل فل ت
أ طرن ٥١ف
“Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (seruanku) ini.
Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu
mengerti?”135
Memberitahukan kepada mereka bahwa dia (Hud A.S.) tidak meminta dari
mereka upah atas nasihat dan penyampaian dari Allah ini, akan tetapi dia hanya
mengharapkan pahala dari Allah Taala yang telah menciptakannya. Apakah kamu
tidak terfikir orang yang mengajakmu kepada perbaikan dunia dan akhirat tanpa
mengharapkan upah, kemudian dia menyuruh mereka untuk memohon ampunan
yang dapat menghapus dosa-dosa yang telah lalu dan bertaubat dari dosa yang
sedang mereka hadapi.136
7. Sūrah Yūsuf ayat 104
ين تس وما م ل ع ر ل ل ر إن هو إل ذك جمن أ ه ١٠٤لهم علي
“Dan engkau tidak meminta imbalan apa pun kepada mereka (terhadap
seruanmu ini), sebab (seruan) itu adalah pengajaran bagi seluruh alam.137
Menurut Ibnu Katsir maksud ayat ini, kamu wahai Muhammad tidak
meminta dari mereka upah sebagai imbalan dari nasehat dan seruan kepada
kebaikan serta petunjuk ini, tetapi kamu melakukannya hanya karena
mengharapkan ridha Allah dan kasih yang tulus kepada makhluk-Nya. Agar mereka
menjadikan peringatan, petunjuk dan dapat selamat di dunia dan akhirat.138
8. Sūrah Al-Isrā’ ayat 18
ن د م ري ن ي ة ٱك عاجل ا ل ل لن ج نا ل ۥع عل د ثم ج ري ن ا نشا ء لمن م ها ها ۥفي م يصلى جهندحورا م موما ١٨مذ
“Barang siapa menghendakki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami
segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki. Kemudian Kami
sediakan baginya (di akhirat) neraka jahanam; dia akan memasukinya dalam
135 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 227. 136 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 4, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 284. 137 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 248. 138 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 4, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 357.
51
keadaan tercela dan terusir.139
Menurut Ibnu Katsir artinya, Allah SWT. memberitahukan bahwa tidak
semua orang yang mengejar dunia dan segala kenikmatan yang terdapat di
dalamnya, ia akan mendapatkannya, dan hal itu akan didapat oleh orang-orang yang
dikehendaki-Nya saja. Dan ayat ini membatasi pengertian yang ada pada ayat-ayat
lain yang umum, dimana Dia berfirman, “maka kami segerakan baginya di dunia
itu apa apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami
tentukan baginya neraka jahanam.” Yakni, neraka itu menenggelamkannya dari
semua sisi. “dalam keadaan tercela,” yakni, dalam keadaan terhina atas tindakan
dan perbuatannya yang buruk, di mana ia lebih memilih hal yang bersifat fana’
(sementara) daripada yang bersifat baqa’ (abadi). “dan terusir” Yakni, terjauhkan
dan tersisihkan dalam keadaan hina dina.140
Imam Ahmad meriwayatkan dari Aisyah RA., dimana ia bercerita,
Rasulullah SAW. bersabda:
الدنيادارمنلادارله،ومالمنلامالله،ولهايجمعمنلاعقلله“Dunia ini adalah tempat tinggal bagi orang yang tidak mempunyai tempat
tinggal, dan harta kekayaan bagi orang yang tidak mempunyai harta, dan
padanya berkumpul orang-orang yang tidak berakal.”141
9. Sūrah Al-Furqan ayat 57
س قل ه ما أ خذ إل رب ن يت
من شا ء أ ل ر إ ج
من أ يه ٥٧سبيل ۦلكم عل
“Katakanlah, “Aku tidak meminta imbalan apa pun dari kamu dalam
menyampaikan (risalah) itu, melainkan (mengharapkan agar) orang-orang
mau mengambil jalan kepada Tuhannya.”142
Menurut Ibnu Katsir maksud “Katakanlah, “Aku tidak meminta upah sedikit
pun kepadamu dalam menyampaikan risalah itu,” yaitu dalam menyampaikan dan
memperingatkan hal ini, (aku tidak meminta) upah dari harta-harta kalian. Aku
139 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 284. 140 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 5, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 58. 141 Imam Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad Jilid 20, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2011), 906. 142 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 365.
52
hanya melakukannya dalam rangka mencari wajah Allah Taala. “melainkan
(mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada
Rabbnya, “yaitu jalan, langkah dan cara yang diikuti dengan sesuatu yang diberikan
kepadamu.143
10. Sūrah Asy-Syu’ara ayat 109
س وما أ رب عل ري إل ج
ن أ ر إ ج
من أ يه ين ٱلكم عل لم ع ١٠٩ ل
"Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu; imbalanku
hanyalah dari Tuhan seluruh alam."144
Menurut Ibnu Katsir maksudnya, yakni aku tidak meminta upah kepada
kalian atas nasehatku kepada kalian, bahkan aku menyimpan pahala itu disisi Allah
SAW. 145
11.Sūrah Saba’ ayat 47
قل ري إ جر فهو لكم إن أ ج
ن أ م لكم
عل ما سأ ٱل ء شهيد لل ش
ك عل ٤٧وهو
“Katakanlah (Muhammad)” imbalan apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Imbalanku hanyalah dari Allah, dan Dia maha
mengetahui segala sesuatu.”146
Menurut Ibnu Katsir, Allah Taala berfirman memerintahkan Rasul-Nya
SAW. untuk berkata kepada orang-orang musyrik, “Upah apa pun yang aku minta
kepadamu, maka itu untuk kamu.” Yaitu, kau tidak menghendaki dari kalian
bayaran dan pemberian dalam menyampaikan risalah Allah SWT. dan nasehatku
kepada kalian serta dalam memerintahkan kalian untuk beribadah kepada Allah.
“Upahku hanyalah dari Allah,” yaitu, aku hanya mencari pahalanya dari sisi Allah.
“Dan dia maha mengetahui segala sesuatu.” Yaitu, maha mengetahui seluruh
perkara tentang keadaanku dalam menyampaikankan berita yang Dia mengutusku
143 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 6, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 107. 144 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 371. 145 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 6, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 136. 146 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 433.
53
untuk menyampaikannya kepada kalian, juga keadaan tentang kalian.147
12. Sūrah Yasin ayat 21
ٱ عوا هتدون من ل يس تب م را وهم ج ٢١لكم أ
“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.148
Menurut Ibnu Katsir arti “Ikutilah orang yang tidak meminta balasan
kepadamu,” Yaitu sebagai balasan menyampaikan risalah. “Dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk,” tentang apa yang mereka serukan kepada
kalian berupa beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya.149
13. Sūrah Ṣad ayat 86
س قل يه ما أ من لكم عل نا
ر وما أ ج
ين ٱمن أ ٨٦ لمتك ف
“Katakanlah (Muhammad),” Aku tidak meminta imbalan sedikit pun
kepadamu atas (dakwahku); dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-
ngada.150
Allah Taala berfirman: “Katakanlah hai Muhammad kepada orang-orang
musyrik itu, ‘Aku tidak meminta upah kepada kalian (yang kalian berikan) berupa
harta benda dunia atas penyampaian risalah dan nasehat ini.”
“Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” Artinya, aku
tidak menghendaki dan tidak menginginkan kelebihan atas risalah yang
disampaikan oleh Allah Taala kepadaku, bahkan aku tunaikan apa yang
diperintahkan-Nya kepadaku, aku tidak tambah dan kurangi, aku hanya mengharap
wajah Allah SWT. dan negeri akhirat.
Sufyan ats-Tsauri berkata dari al-A’masy dan Manshur, dari Abudh Dhuha,
bahwa Masruq berkata: “Kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud RA, lalu dia
berkata: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa mengetahui sesuatu, maka
147 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 6, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 466. 148 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 441. 149 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 6, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 506. 150 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 458.
54
hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tidak mengetahuinya, maka
katakanlah: الله اعلم (Allah lebih mengetahui). ‘Karena sesungguhnya termasuk
bagian dari sebuah ilmu bahwa seseorang mengatakan: الله اعلم (Allah lebih
mengetahui)’ apa yang tidak diketahuinya.” Sesungguhnya Allah SWT. berfirman
kepada nabi kalian SAW.
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Aku tidak meminta upah sedikit pun
kepadamu atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-
adakan.” Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkannya dari hadits al-A’masy.’151
Pandangan Ibnu Katsir tentang semua ayat Al-Qur’an yang telah
dilampirkan ini, dapat kita melihat bahwa arti ayat tersebut tidak ada menyebut
tentang bagaimana penerimaan upah pelaksanaan ibadah. Pandangan Ibnu Katsir
juga pelaksanaan ibadah ini hanya ingin membawa kebenaran dalam menyebarkan
agama Islam dan ilmu Al-Qur’an itu tidak untuk mendapatkan upah dari manusia
seperti pelaksanaan para nabi dan rasul.
Semua ini menggambarkan bahwa pelaksanaan ibadah itu bukan untuk
mencari keuntungan dunia dengan upah dari manusia karena ilmu ini adalah ilmu
suci yang tidak boleh ditukarkan dengan harta kekayaan apa lagi menetapkan harga
atas sesuatu penyampaian ilmu tersebut dan ditegaskan para nabi dan rasul tidak
akan meminta upah pada orang yang ingin kita sampaikan ilmu ini dan pada
penerima ilmu ini.
Semua ayat-ayat upah yang ditafsirkan Ibnu Katsir terkait dengan
penerimaan upah dalam pelaksanaan ibadah menemukan pandangan beliau lebih
kepada bagaimana kisah para nabi dan Rasul berdakwah dan menyebarkan risalah
tanpa meminta upah kepada ummatnya dan menegaskan perkara tersebut dari awal
permulaan penyampaian dakwah dan risalah Islam dari Allah SWT.
Apa yang paling penting manusia mengambil pelajaran dari Al-Qur’an dan
ilmu agama sehingga mereka bisa memperoleh petunjuk dari kebutaan menuju
hidayah, dari kesesatan menuju jalan petunjuk, dan dari kekufuran menuju
151 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 7, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 72.
55
keimanan. Hanya dari satu ayat ibnu katsir mengungkapkan tentang penerimaan
upah dalam pelaksanaan ibadah yang menghadirkan hadist dan pandangan ulama
tentang upah ini sebagai pedoman bagi ummat Islam.
Sekiranya pelaksanaan ibadah ini hanya untuk riya’(pamer) dan untuk dunia
maka hanya dunia yang mereka dapat kebaikan dan ganjarannya. Ketika menuju
akhirat tiada lagi kebaikan yang mereka dapat kecuali orang-orang yang hanya
mengharapkan balasan dari Allah maka ia selamat dunia dan akhirat serta mendapat
kebaikan pada kedua kehidupan ini. Demikianlah pandangan Ibnu Katsir dari
penerimaan upah dalam pelaksanaan ibadah menurut Ibnu Katsir.
B) Pandangan Mufassir Lain Tentang Ayat Upah Dalam Al-Qur’an
1. Sūrah Al-Baqarah ayat 41
منوا ه وءا ب ر ل كف و أ ونو ا عكم ول تك م ا ا ل م ق مصد ت زل ن
ا أ ب ۦ بم وا ت ل تش ت ثمنا و ي
ي ف قون ٱقليل وإي ٤١ ت
“Dan berimanlah kamu kepada apa (Al-Qur’an) yang telah aku turunkan yang
membenarkan apa (taurat) yang ada pada kamu dan janganlah kamu menjadi
orang pertama kafir kepadanya, janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan
harga murah dan bertaqwalah hanya kepadaku.152
Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya adalah para pemuka agama
YaHūdi diingatkan agar jangan menukar ayat-ayat-Ku yakni ajaran agama dengan
harga yang sedikit yakni dengan kemegahan duniawi karena betapapun banyaknya,
yang kamu terima, itu adalah sedikit dan murah dibanding dengan apa yang kamu
bayar yakni kesengsaraan duniawi dan ukhrawi.
Ayat ini tidak menjelaskan apa yang menjadi imbalan dari ayat-ayat Allah.
Ayat di atas hanya menyebut kata tsamanan/harga yang sedikit tanpa menjelaskan
apa yang diperoleh dari harga yang sedikit itu. Jika penggalan redaksi ayat ini
disebut secara lengkap maka bunyinya adalah: jangan kamu membeli/menukar
ayat-ayat-Ku dengan sesuatu yang kecil yakni nilainya. Nah, sesuatu itu tidak
dijelaskan oleh ayat ini. Bisa saja berupa kedudukan, atau harta atau apa saja dari
kemegahan duniawi. Agaknya hal tersebut sengaja tidak disebutkan untuk
152 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 7.
56
mencakup segala hal yang berkaitan dengan kemegahan duniawi.153
Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai salah satu dasar melarang
menerima upah mengajar Al-Qur’an, bahkan agama. Pemahaman demikian apalagi
melalui ayat ini terlalu dipaksakan. Betapapun demikian, larangan menerima upah
untuk mengajar Al-Qur'an bukanlah pendapat yang kuat, mayoritas ulama sejak
dahulu membolehkannya, antara lain Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad. Salah satu
alasan mereka adalah sabda Nabi melalui Ibnu Abbas ra. yang menyatakan bahwa:
"Sesungguhnya yang paling wajar kamu ambil sebagai upah adalah mengajar kitab
Allah". Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pakar-pakar hukum Madinah sepakat
membenarkan perolehan upah mengajar Al-Qur'an dan agama. Jika demikian
halnya pada masa lalu, maka lebih-lebih dewasa ini di mana kebutuhan hidup
semakin bertambah.
Sebenarnya, penggalan ayat ini tidak bermaksud kecuali melarang menukar
dan atau mengabaikan ayat-ayat Allah dengan memperoleh sesuatu imbalan.
Agaknya ini merupakan kecaman kepada pemuka-pemuka agama YaHūdi yang
menuntut imbalan atas fatwa-fatwa yang bertentangan dengan ajaran agama Ini
jelas berbeda dengan mengajar membaca Al-Qur’an atau menjelaskam
kandungannya. Pengajaran kitab suci dengan menerima upah bukanlah menukar
atau mengabaikan ayat-ayat itu tetapi justeru menyebarluaskannya dan
mengukuhkan pemahaman tuntunannya kepada yang diajar.154
Menurut Al-Maragi dalam tafsiran ayat ini artinya, janganlah kalian
berpaling dari kerasulan Nabi Muhammad SAW. dan apa yang diturunkan
kepadanya. Dan janganlah kalian mengganti hidayah yang dibawa Nabi hanya
lantaran persoalan sepele, yakni karena uang dan pangkat yang sengaja di alirkan
oleh para pemimpin mereka agar rakyat bersedia menolak kenabian Muhammad
SAW. Dan keadaan inilah diinginkan para pemimpin mereka karena alasan takut
kepada kekuasaan kaum YaHūdi jika rakyat menentangnya.155
Pertukaran seperti ini dikatakan sebagai sesuatu yang sedikit. Padahal
153 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 1 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 169. 154 Ibid., 170. 155 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi (Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang, 1992), 176.
57
mereka mendapatkan kerugian yang sangat besar karena kehilangan ridha Allah, di
samping akan mendapatkan siksaan Allah di dunia dan akhirat. Lebih-lebih, mereka
merugi karena kehilangan nilai-nilai kebenaran yang kini menjadi menjadi kabur di
mata mereka. Akal sehat mereka pun sudah hilang lantaran mereka berpaling dari
bukti-bukti yang jelas kebenarannya.156
2. Sūrah Al-An’ām ayat 90
ئك ولن ٱ أ ي ٱهدى ل هم لل ى ٱفبهد ده س قت
ل أ رى قل ك ل ذ ن هو إ إ ا را ج
ه أ علي لكم
ين لم ع ٩٠لل
“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah maka ikutlah
petunjuk mereka. Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta imbalan
kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an).” Al-Qur’an itu tidak lain
hanyalah peringatan untuk (segala umat) seluruh alam.157
Menurut Tafsir Nurul Quran, ayat ini memberitahukan apa yang telah
dilakukan para rasul terkemuka itu kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai contoh
petunjuk yang tinggi. Ayat ini menyatakan, Mereka itulah orang- orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.
Sekali lagi, ayat ini menjelaskan tentang prinsip dan metode para rasul Allah
yang sama dalam mengajak umat pada kebenaran, meskipun agama selanjutnya
lebih sempurna daripada agama sebelumnya. Istilah bahasa Arab hidayah
memberikan arti luas yang meliputi prinsip keesaan Allah dan prinsip-prinsip
agama yang lain. Hidayah juga berarti keSaba’ran, ketabahan, prinsip-prinsip moral
dan pendidikan lainnya.158
Pada kalimat selanjutnya, Nabi Muhammad SAW. diperintahkan untuk
menyampaikan kepada umat bahwa beliau tidak meminta upah atas tugas
kenabiannya. Sebagaimana tugas-tugas yang telah dilakukan oleh para rasul
sebelumnya, Rasulullah SAW. pun melaksanakan prinsip-prinsip yang sama dalam
menegakkan perintah Allah SWT.
156 Ibid.,176. 157 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 138. 158 Kamal Fakih, Tafsir Nurul Quran: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur’an
(Jakarta: Al-Hūda, 2004), 232.
58
Katakanlah, "Aku tidak meminta upah kepadamu (dari kenabian)" Selain itu, Al-
Qur’an dan kenabian merupakan petunjuk yang memberi peringatan kepada seluruh
umat manusia di dunia. Ayat ini menyatakan, Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah
peringatan untuk segala umat.
Karunia seperti itu seperti cahaya matahari, atau udara di atmosfer, atau
seperti turunnya hujan, yang semua itu dengan mudah dipahami telah memberikan
manfaat dalam kehidupan di dunia ini. Mereka tidak diberi tawaran atau
mendapatkan upah apapun dari manusia.159
Menurut M. Quraish Shihab pula, setelah menjelaskan kedudukan tinggi
para hamba-hamba-Nya yang mendapat petunjuk, lebih-lebih para nabi yang
disebut nama-namanya sebelum ini, maka kepada Nabi Muhammad SAW. yang
tidak disebut namanya dalam ayat yang lalu diarahkan ayat ini, yakni mereka para
nabi yang disebut nama- namanya itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk
yang sempurna oleh Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, maka dengan
petunjuk mereka khususnya yang berkaitan dengan sikap dan sifat istimewa
masing-masing dalam berdakwah hendaklah engkau ikuti, yakni teladani.160
Lanjutan ayat ini menjelaskan salah satu sikap mereka yang menonjol dan
yang perlu diteladani yaitu tidak menerima upah, karena itu diperintahkan kepada
Nabi SAW.: Katakanlah kepada semua yang engkau ajak bahwa: Aku tidak
meminta kepada kamu atasnya yakni atas dakwah yang kusampaikan termasuk
penyampaian wahyu Al-Qur’an, sedikit upah pun. la yakni Al-Qur’an atau dakwah
itu tidak lain kecuali peringatan yang berlangsung sepanjang masa untuk seluruh
alam khususnya bagi manusia dan jin.
Firman-Nya: maka dengan petunjuk itu hendaklah engkau ikuti
mengisyaratkan bahwa hidayah dan petunjuk Allah yang diperoleh oleh para nabi
itu adalah petunjuk yang sempurna. Penggalan ayat ini menjadi pengantar untuk
menyebut secara khusus dan secara tersendiri Nabi Muhammad SAW. sambil
menunjukkan betapa beliau SAW, telah menghimpun keistimewaan para nabi
terdahulu. Ini, karena beliau mengindahkan perintah ini. Ditemukan sekian riwayat
159 Ibid., 233. 160 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 4 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 182.
59
yang membuktikan hal tersebut. Ketika beliau diganggu oleh kaumnya, beliau
berucap sambil berSaba’r: "Sesungguhnya Musa telah diganggu lebih dari
gangguan yang kuhadapi ini, namun beliau bersabar (sehingga akupun harus
bersabar).161
Penutup ayat di atas dapat juga dipahami dalam arti "Saya tidak meminta
atas dakwah dan pengajaran yang saya sampaikan. Apa yang mendorong saya
melakukannya tidak lain kecuali memberi peringatan dengan Al-Qur'an dan petuah-
petuah yang lain". Ini berarti bahwa beliau tidak meminta upah, disebabkan oleh
dua hal. Pertama, peringatan dan nasehat untuk kemaslahatan mereka dan dalam
hal ini beliau tidak membutuhkan balasan dari mereka. Yang kedua, peringatan
untuk selain mereka bukan hanya khusus buat mereka.162
3. Sūrah Yūnus ayat 72
ر فإن جن أ م لكم
ا سأ تم فم عل تول ري إل ج
ٱ إن أ من لل كون
ن أ
رت أ م
ين ٱوأ لمسلم
٧٢
“Maka jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta imbalan
sedikit pun darimu. Imbalanku tidak lain hanyalah dari Allah, dan aku
diperintah agar aku termasuk golongan orang-orang muslim (berserah diri).163
Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar artinya, "Maka jika kamu
berpaling, tidaklah kepada kamu aku akan minta upah.” (pangkal ayat 72). Artinya,
Ayat ini menerangkan betapa sambutan Nabi Nuh atas penerimaan yang demikian.
Bahwasanya pekerjaannya ini tidak akan dihentikannya, walaupun mereka
berpaling. Dan dari mereka dia tidak meminta upah: "Tidak ada upahku, melainkan
atas tanggungan Allah." Janganlah kamu sangka bahwa kedatanganku ini hendak
merugikan kamu dari sisi harta, melainkan hendak memberimu keuntungan dari
segi pendirian hidup. Dan naikkanlah tingkat cara kamu berfikır kepada yang lebih
tinggi, jangan mengikut kedatangan seorang Rasul dengan kelobaan hidupmu yang
amat rendah, terikat oleh benda, sebab kamu menyembah benda: "Dan aku telah
diperintah" Oleh Tuhan Allah "Supaya adalah aku dari golongan orang yang
161 Ibid., 183. 162 Ibid., 185. 163 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 217.
60
Muslim (menyerah diri)." (ujung ayat 72). Dengan ujung ayat ini, menceritakan
percakapan Nabi Nuh kepada kaumnya, sekali lagi kita mendapat arti yang sangat
dalam atau cita yang paling tinggi dari hidup sebagai Muslim. Kita sudah tahu, arti
Muslimin ialah orang- orang yang benar-benar telah membulatkan kepercayaannya
kepada Allah. Karena sudah insaf bahwa tidak ada yang lain lagi yang berkuasa
menentukan hidup ataupun mati kita, menentukan rezeki kita, kaya dan miskin kita,
melainkan Allah. Sebab itu maka Islam yang sejati itu dirumuskan di dalam kalimat
Syahadat: "Tidak ada Tuhan, melainkan Allah." Maka Islam adalah mencakup
segala kegiatan hidup kita dan tawakkal adalah sebagian dari Islam. Dalam kedua
ayat-ayat berturut-turut ini, kita dapat memahami cara Nuh membawa tawakkal dan
Islam. Didalam menghadapi maksud jahat kaumnyanya, beliau bertawakkal kepada
Tuhan, dan di dalam menghadapi seluruh persoalan hidup, dan Islam kepada
Tuhan.164
Menurut M. Quraish Shihab artinya, Jika kamu memaksakan diri menentang
fitrah manusiawi yang telah diciptakan Allah dalam diri masing-masing manusia
sehingga berpaling enggan menerima peringatanku setelah kamu semua
mengetahui sikapku, maka ketahui pulalah bahwa aku tidak rugi sedikit pun dengan
keengganan kamu itu. Boleh jadi aku rugi kalau aku meminta upah kepada kamu
dalam penyampaian risalah itu karena tidak menerimanya kalau kalian berpaling itu
kalau aku meminta upah tetapi kalian tahu bahwa aku tidak meminta upah sedikit
pun dari kamu atas peringatan dan tuntunan Allah yang kusampaikan itu. Upahku
tidak lain hanyalah dari Allah semata-mata, dan aku disuruh supaya aku termasuk
kelompok orang-orang muslim yang berseralah diri secara mantap kepada-Nya.165
4. Sūrah Hūd ayat 15-16
ريد من ة ٱكن ي يو نياٱ ل لهم فيها وهم فيها ل يبخ لد م ع إلهم أ ١٥سون وزينتها نوف
ئك ولن ٱ أ ي س لهم ف ل ٱلي ل لأخرة ٱإ ر عملون لا ي ا كنوا م طل ب ا و فيه عوا ا صن م وحبط
١٦
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti kami
164 Abdulmalik AbdulKarim Amirullah, Tafsir Al-Azhar Jilid 5 (Singapura: Pustaka
Nasional, 2003), 3364-3365. 165 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 6 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 125.
61
berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna)
dan mereka di dunia tidak akan dirugikan (15) “itulah orang-orang yang tidak
peroleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang
telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka
kerjakan. (16)166
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya akan
Kami sempumakan ganjaran pekerjaan mereka atasnya. Dan mereka tidak akan
dirugikan padanya." (ayat 15).
Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar arti ayat ini, Apakah yang
engkau tuju dalam kehidupan ini? Apakah ambisi yang memenuhi hatimu dalam
perjuangan hidup itu? Apakah engkau menginginkan dunia dengan segala
perhiasannya? Jika engkau bersungguh-sungguh hendak mencapai dunia dengan
perhiasannya itu; dengan pangkat yang tinggi, dengan mahligai yang megah,
dengan kekayaan yang berlimpah, dan kehormatan dan segala kelebihannya,
semuanya itu akan engkau capai. Semuanya itu diberikan kepadamu. Tak usah
khuatir.
Tentu saja untuk mencapai dunia dengan perhiasannya itu engkau
menempuh jalanmu sendiri. "Untuk mencapai suatu tujuan, halal segala jalan Tentu
engkau tenggang-menenggang dengan orang lain. Yang engkau citakan itu akan
tercapai!167
Mereka itulah orang-orang yang tidak akan ada untuk mereka (bahagian di akhirat.
(pangkal ayat 16).
Mengapa tidak? Orang yang akan mendapat bahagian di akhirat ialah orang
yang menjadikan perjuangan dunia itu untuk akhirat. Orang yang sejak semula
sudah meniatkan bahwa dunia yang dikejarnya itu ialah untuk dia menanam amal.
Dan hasil amalnya itu disengajanya untuk diterimanya di akhirat. Adapun kalau
yang dikejar hanya semata dunia, tidaklah ada bahagiannya lagi di akhirat.
Seumpama Fir’aun menjadi Raja Mesir. Segala usaha, tipu-daya dan siasat
telah dipergunakannya agar dia mencapai tempat yang tinggi itu. Seluruh Mesir di
166 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 223. 167 Abdulmalik AbdulKarim Amirullah, Tafsir Al-Azhar Jilid 5 (Singapura: Pustaka
Nasional, 2003), 3446.
62
bawah telapak kakinya, sungai Nil mengalir di bawah kuasanya, dan akhir- nya dia
mendabik dada mengatakan dirinya Tuhan! - "Kecuali api neraka."
Mengapa api neraka? Sebab dia tidak akan sukses mencapai tempat dunia
dan perhiasannya itu kalau tidak dengan merugikan orang lain, menganiaya kepada
yang lemah karena dia merasa kuat. Untuk mengejar tempat yang dipandang mulia
itu dia mesti melakukan kebatilan, korupsi, menindas yang lemah; menyuap,
membujuk dan kadang-kadang merampas hak orang lain. Padahal dia kuat dan
kuasa itu hanya selama dalam dunia. Dan kalau dia sudah mulai keluar dari dalam
dunia ini dan masuk ke dalam alam kubur, seluruh kekuasaannya itu telah habis.
Dia kembali sebagai budak dari Allah, dan wajib bertanggungjawab di hadapan
Tuhan Rabbul 'lzzati tentang kezaliman-kezaliman yang telah dilakukannya.
Niscaya api nerakalah akan tempatnya karena dosa-dosanya yang besar itu. Puncak
dari dosa-dosa besar itu ialah karena semasa dia diberi Allah kekuasaan itu, dia
selalu merebut Maha Kekuasaan Allah 168
"Dan gugurlah apa yang mereka usahakan dan batal apa yang mereka
amalkan." (ujung ayat 16).
Mengapa dikatakan gugur apa yang mereka usahakan? Padahal banyak juga
usaha penguasa-penguasa itu yang baik? Mengapa batal apa yang mereka amalkan?
Padahal sudah nyata bahwa di samping kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, pasti
ada juga amal-amalnya yang baik? Sebabnya ialah karena usaha ataupun amal yang
dibuatnya selama dia mendapat dunia dan perhiasaannya itu hanyalah karena riya'
belaka, karena mengambil muka dan menipu rakyat atau masyarakat.169
Berkata Qatadah: "Barangsiapa yang tujuan, cita-cita dan niatnya hanya
dunia, akan didapatnya ganjarannya di dunia ini juga. Kemudian setelah sampai ke
hari Akhirat, tidaklah segala perbuatannya itu dapat penghargaan apa-apa,
walaupun pada lahir kelihatan baik. Tetapi kalau orang Mu'min yang berbuat baik,
di dunia dia dapat ganjaran dan di akhirat dapat pahala." 170
Menurut M. Quraish Shihab tentang ayat ini, karena salah satu sebab utama
168 Ibid., 3447. 169 Ibid., 3447. 170 Ibid., 3448
63
keengganan kaum musyrikin menerima tuntunan Al-Qur’an adalah kepentingan
dunia dan keinginan untuk meraih gemerlapnya sebanyak mungkin, maka ayat ini
mengisyaratkan dampak keengganan itu serta akibat ketamakan meraih gemerlapan
duniawi. Ayat ini menegaskan bahwa barang siapa yang menghendaki dengan
aneka aktifitasnya untuk meraih kehidupan dunia dan perhiasannya semata-mata,
sambil melupakan dan mengabaikan akhiratnya, niscaya Kami sempurnakan
aktivitas itu dengan mengantarnya bagi mereka hasil pekerjaan-pekerjaan yakni
usaha-usaha mereka di sana yakni dalam kehidupan dunia dan mereka di sana yakni
di dunia ini tidak akan dirugikan menyangkut balasan dan dampak aktifitas itu,
walaupun pada hakikatnya mereka merugikan diri sendiri. Itulah yang sangat jauh
dari rahmat Ilahi orang-orang yang membatasi pikiran dan aktivitas mereka untuk
meraih kenikmatan duniawi semata-mata yang tiada bagi mereka perolehan sedikit
pun di akhirat kelak, kecuali siksa api neraka akibat kedurhakaan mereka,
disamping karena telah sempurnanya balasan amal-amal mereka ketika mereka
hidup di dunia dan lenyaplah di akhirat nanti ganjaran apa yang telah mereka
usahakan dari amal-amal yang terlihat baik oleh pandangan manusia di sini yakni
di dunia dan sia-sialah apa yang senantiasa mereka kerjakan walaupun apa yang
mereka kerjakan itu dalam bentuk yang terlihat baik dan sempurna 171
Firman-Nya: (يريد الحياة الدنيا وزينتها) yuridu al-hayāta ad-dunyāwa
zīnatahā/menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya bukanlah sesuatu yang
tercela selama seseorang tidak terpaku padanya atau tidak mengabaikan nilai- nilai
agama dalam memperoleh dan menikmatinya. Seseorang tidak dilarang menikmati
dunia dan hidup senang serta dalam kondisi serba berkecukupan. Yang demikian
ini pun dinamai oleh Al-Qur’an kehidupan dunia dan perhiasannya sebagaimana
terbaca dalam QS. al-Ahzäb [33]:28 yang menguraikan pilihan yang diperintahkan
oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. agar ditawarkan kepada istri-istri
beliau yang merasa berat hidup sederhana, antara menikmati kehidupan dunia dan
perhiasannya dengan perceraian dengan baik.172
Firman-Nya: (نوف اليهم) nuwaffi ilaihim/Kami sempurnakan kepada mereka
171 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 6 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 207. 172 Ibid., 207
64
dipahami oleh sementara ulama dalam arti secara sempurna, karena mereka yang
enggan beriman itu tidak menyadari adanya kewajiban agama menyangkut
penggunaan dan pemanfaatan perolehan mereka. Mereka tidak merasa wajib
membayar zakat, berjihad, tidak juga terbatasi oleh ketentuan-ketentuan agama
sehingga apa pun yang mereka hendak lakukan dengan harta atau kenikmatan
duniawi yang mereka raih, dapat mereka lakukan. Demikian mereka
memperolehnya dengan sempurna, berbeda dengan kaum muslimin yang selalu
mempertimbangkan dan mengindahkan nilai-nilai agama sehingga mereka
menyadari bahwa tidak semua yang mereka peroleh dapat mereka nikmati sendiri.
Penyempurnaan hasil dan dampak yang diperoleh orang-orang kafir itu dapat
bertingkat-tingkat, tetapi paling sedikit, mereka terbebaskan dari kesulitan
melaksanakan kewajiban agama serta luput pula mereka dari keharusan bersabar
dan tabah menghadapi rayuan setan dan nafsu. Mereka bebas melakukan apa saja,
tidak seperti kaum muslimin yang kebebasannya terbatasi dalam koridor nilai-nilai
llahi.173
Ayat Sūrah Hūd ini mengingatkan kaum muslimin agar tidak menjadikan
kegiatan mereka hanya tertuju kepada upaya meraih kenikmatan duniawi semata-
mata, serta jangan pula terpengaruh dengan keadaan mereka yang bergelimang
dalam kenikmatan itu.174
5. Sūrah Hūd ayat 29
قوم س ويعل ل أ ري إل ج
ن أ إ لا ه ما ٱلكم علي طارد لل نا ب
ن ٱوما أ ي قوا ل ل م م ه إن منو ا ءا
كم قوما تهلون ى ر أ ن ك ٢٩رب هم ول
“Dan wahai kaumku! Aku tidak meminta harta kepada kamu (sebagai
imbalan) atas seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah dan aku sekali-sekali
tidak akan mengusir orang yang telah beriman. Sungguh, mereka akan
bertemu dengan Tuhannya, dan sebaliknya aku memandangmu sebagai kaum
yang bodoh.175
"Dan wahai kaumku! Tidaklah aku meminta harta kepada kamu atasnya.
173 Ibid., 208. 174 Ibid., 209. 175 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 225.
65
(pangkal ayat 29) Artinya: Atas pekerjaanku menyeru kamu kepada jalan yang
benar, hanya menyembah kepada Allah saja, tidaklah aku meminta supaya aku
diberi harta.
Ketika menafsirkan ayat ini, teringatlah penulis Tafsir al-Azhar ini akan
nasib orang orang yang menyediakan diri menjadi penyambut waris Nabi-nabi itu:
yaitu ahli ahli Dakwah, Muballigh-muballigh yang berjuang didorong oleh
kewajibannya buat menyampaikan seruan kebenaran, lalu seruan itu mereka
sampaikan kepada orang orang kaya, orang berpangkat, orang-orang yang
berkedudukan penting, lalu diukurnya seruan itu dengan sangkanya yang buruk.
Mentang-mentang muballigh muballigh dan ahli-ahli dakwah itu biasanya hidup
miskin, mereka sangka bahwa orang datang hendak mengemis kepadanya.
Disangkanya asal orang datang menyerukan kebenaran, bahwa orang itu
mengharapkan harta.
"Tidak lain upahku, hanyalah (terserah) kepada Allah." Allah yang
memerintahkan daku menyampaikan ini, dan Allah pula yang menjamin hidupku.
Urusan ini tidak ada hubungan dengan upah mengupah. "Dan tidaklah aku pengusir
orang-orang yang beriman.
"Apakah rahasia yang terkandung maka sampai Nabi Nuh terpaksa
mengeluarkan perkataan ini? Bahwa beliau tidak hendak mengusir orang yang telah
mengaku beriman? Apakah karena pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya itu
serupa pula yang pemuka-pemuka Quraisy? Yang tidak senang jika disama-ratakan
saja kedudukan mereka dengan orang-orang yang mereka pandang rendah? Dan
asal mereka diistimewakan oleh Nuh, lalu mereka bersedia memberikan Nuh uang?
Astaghfirullah!! Susunan ayat memang telah mengisyaratkan demikian.
Mereka merasa diri istimewa karena mereka berpangkat, mereka berharta
dan berpengaruh. Asal mereka diistimewakan, mereka mau membayar. Mereka
hanya mau duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan orang yang sama
berbangsa, sama berharta. Nafsu congkak manusia zaman purbakala itu, masih
mengalir ke dalam zaman moden kita ini. Manusia dihargai bukan karena
penderitaannya, bukan karena cita-citanya, bukan karena luhur budinya, tetapi
karena kedudukan dan harta. Tetapi Nuh a.s. telah memberikan kata tegas: Dan
66
tidaklah aku pengusir orang-orang beriman.176
Pengikut-pengikutnya yang telah menyatakan Iman itu tidak akan diusirnya.
Karena hubungan Nuh dengan mereka bukanlah hubungan harta. Meskipun orang-
orang yang beriman itu miskin tidak memberikan harta apa-apa kepada Nuh,
mereka itu lebih utama bagi Nuh daripada orang orang menilai pendirian manusia
dengan harta itu. Dan sekali lagi Nuh menjelaskan kepada pemuka-pemuka itu
kelebihan orang-orang yang beriman itu dan kekurangan pemuka-pemuka itu. Kata
Nuh selanjutnya: "Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka,
tetapi aku lihat kamu ini adalah kaum yang bodoh." (ujung ayat 29).177
Menurut M. Quraish Shihab tentang ayat ini, Nabi Nuh as. membantah dalih
kaumnya yang menyatakan bahwa beliau berbohong dan bermaksud meraih
kekayaan dan kekuasaan kaumnya serta membantah pula pelecehan mereka
terhadap pengikut- pengikutnya. Dan Nabi Nuh as. berkata juga membantah mereka
bahwa: "Hai kaumku, bagaimana kamu menuduh aku berbohong untuk meraih
harta benda dan kekuasaan kalian padahal aku sama sekali sepanjang hidupku tiada
meminta kepada kamu kini dan akan datang atasnya yakni atas seruanku kepada
kamu untuk beriman sedikit harta benda pun baik sebagai hadiah, imbalan atau
pemaksaan. Tidak lain upahku kecuali atas Allah yakni imbalan atas apa yang
kulakukan, tidak kuharapkan dari siapa pun kecuali dari Allah semata-mata.178
Selanjutnya beliau meluruskan pandangan mereka tentang pengikut-
pengikut beliau dengan berkata, "dan walaupun kalian melecehkan pengikut-
pengikutku karena mereka miskin dan meminta agar aku menyingkirkannya tetapi
aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman walau belum
mantap iman mereka-sebagaimana dipahami dari kata (الذين ءامنوا) alladẓina 'āmanu
bukan (المؤمنين) al-mu'minin. Bagaimanapun dan apapun motivasi mereka
mengikutiku, yang jelas sesungguhnya yakni pasti mereka akan bertemu dengan
Tuhan mereka pada hari Kebangkitan nanti di mana semua makhluk akan kembali
kepada-Nya dan ketika itu mereka akan memperoleh balasan dan ganjaran atas niat
176 Abdulmalik AbdulKarim Amirullah, Tafsir Al-Azhar Jilid 5 (Singapura: Pustaka
Nasional, 2003), 3463. 177 Ibid., 3464. 178 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 6 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 231.
67
dan amal mereka. Jika demikian, aku tidak dapat menilai kalian orang-orang
bijaksana akan tetapi aku memandang kamu yang menolak kerasulanku,
melecehkan orang-orang lemah dan miskin serta menuduh mereka dengan aneka
tuduhan palsu, adalah suatu kaum yang bodoh yakni bersikap dan berlaku seperti
orang bodoh sehingga tidak mengetahui bahwa ada hari kebangkitan dan ada juga
dalam hidup ini nilai-nilai Ilahiyah yang harus dianut dan diemban, dan itulah yang
menentukan kemuliaan seseorang dan membedakannya dengan yang lain, bukan
kedudukan sosial atau banyaknya harta dan pengikut.179
" Dan Selanjutnya Nabi Nuh as. mengingatkan mereka yang melecehkan
kaum lemah dan memintanya untuk mengusir mereka bahwa "Hai kaumku,
siapakah yang akan menolongku dan menghalangi jatuhnya siksa yang bersumber
dari Allah yang sangat pedih siksa-Nya jika aku mengikuti usul kalian mengusir
mereka kaum lemah itu. Maka tidakkah kamu mengingat, walau sedikit, bahwa hal
demikian adalah penganiayaan dan kedurhakaan? Tidakkah kamu mengingat
bahwa mereka dapat mengadukan aku kepada Allah., atau kalaupun mereka tidak
mengadu, Allah SWT. pasti mengetahui, sehingga aku terancam dijatuhi hukuman
oleh Allah? Allah Yang Maha Adil pasti membela yang teraniaya dan menghukum
yang menganiaya dan durhaka. Semoga, dengan mengingat, kalian Ṣadar dan tidak
melecehkan mereka serta mempercayai kerasulanku dan mengikuti pula tuntunan
Allah SWT. yang aku sampaikan kepada kamu.180
Jawaban Nabi Nuh as. yang menafikan permintaan harta dan bahwa beliau
hanya mengharapkan imbalan dari Allah SWT. mengisyaratkan bahwa Rasul mulia
itu sama sekali tidak mengharap harta dari siapa pun. Kepada Allah pun beliau tidak
memohonnya secara tegas. Memang kata (اجر) ajr/imbalan dapat mencakup harta,
tetapi Nabi mulia itu tidak menyebutnya, dan hanya menyerahkan kepada Allah
SWT. imbalan apa yang akan diberikan-Nya kepada beliau. Apa yang beliau
ucapkan itu adalah sesuatu yang sangat wajar, karena bagi yang memperhatikan
nilai-nilai ruhaniah, maka limpahan rahmat dan kenikmatan ruhani jauh melebihi
limpahan harta benda atau kenikmatan material. Di sisi lain, harapan memperoleh
179 Ibid., 231 180 Ibid., 232.
68
imbalan kepada Allah SWT. mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lakukan adalah
sesesuatu yang bermanfaat, karena tiada imbalan yang diharapkan kecuali atas
kegiatan yang bermanfaat. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa sebenarnya
kaumnyalah yang seharusnya memberi beliau sesuatu, karena mereka memperoleh
manfaat dari ajakan dan bimbingan Nabi Nuh as., namun demikian beliau tidak
menuntutnya.181
6. Sūrah Hūd ayat 51
قوم س ي ل أ
ه أ عل لكم علي ري إل ج
إن أ ا را يٱ ج عقلون ل فل ت
أ طرن ٥١ف
“Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (seruanku) ini.
Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu
mengerti?”182
Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar arti ayat ini, kemudian Hud
menerangkan lagi bahwasanya kedatangannya menyampaikan seruan suci itu
benar-benar timbul dari kewajiban batin yang tidak mengharapkan apa-apa dari
mereka: "Wahai kaumku! Tidaklah aku meminta kepada kamu atas (kerjaku) ini
akan upah." (pangkal ayat 51). Pekerjaan seperti ini, membukakan matamu kepada
kebenaran, menunjukkan jalan bagimu menuju Allah Tuhanmu Yang Maha Esa,
tidaklah dapat dinilai dengan harta benda. "Tidak ada upahku melainkan dari yang
menjadikan daku.” Sebab Dialah yang memerintahkan daku menyampaikan ini
kepadamu: "Apakah tidak kamu fikirkan?" (ujung ayat 51).
Dengan bertanya, apakah tidak kamu fikirkan? Nabi Nuh telah mengajak
kaumnya berfikir dengan tenang. Fikirkan segala kejadian, rezeki dan perlindungan
yang diberikan Allah kepada mereka, yang semuanya itu akan menimbulkan
keinsafan tentang nilai hidup dan nilai seruan yang dibawa oleh saudara mereka
sendiri. Dengan berfikir memakai akal dan fikiran yang jernih, niscaya mereka tidak
akan merasa perlu lagi menyembah kepada yang selain Allah, lalu taubat kembali
kepada Allah.183
181 Ibid., 232 182 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 227. 183 Abdulmalik AbdulKarim Amirullah, Tafsir Al-Azhar Jilid 5 (Singapura: Pustaka
Nasional, 2003), 3491.
69
Menurut Quraish Shihab, Selanjutnya Nabi Hud AS. mengingatkan bahwa
peringatan beliau ini adalah tulus tanpa pamrih dengan menyatakan: Hai kaumku,
aku tidak meminta kepada kamu sekarang dan akan dating sebagaimana dahulu aku
tidak pernah meminta atasnya yakni atas seruanku ini sedikit upah pun. Tidak lain
upahku yang kuharapkan hanyalah atas Allah yang telah menciptakanku. Sebab
ketika Dia menciptakanku pasti Dia pula yang menciptakan dan menyiapkan semua
sarana dan kebutuhan bahkan kesempurnaan hidupku, karena itu aku tidak
mengandalkan atau mengharap upah dari kalian. Maka jika demikian tidakkah
kamu memikirkannya untuk sampai kepada kesimpulan bahwa kamu telah berdosa
dengan mendurhakai atau mempersekutukan Yang Maha Esa itu.184
7. Sūrah Yūsuf ayat 104
ين تس وما م ل ع ر ل ل ر إن هو إل ذك جمن أ ه ١٠٤لهم علي
“Dan engkau tidak meminta imbalan apa pun kepada mereka (terhadap
seruanmu ini), sebab (seruan) itu adalah pengajaran bagi seluruh alam.185
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan ayat ini, "Sedangkan
engkau tidaklah meminta upah kepada mereka" (pangkal ayat 104). Manusia-
manusia itu enggan, betapa pun diajak, sedangkan Utusan Tuhan yang menyeru dan
mengajak itu tidaklah meminta upah dan bayaran dari usahanya mengajak mereka
dan menyeru mereka kepada kebenaran siang dan malam, menghabiskan seluruh
tenaga dan harta benda kepunyaan sendiri. Nabi Muhammad SAW. membawa
Kitab Suci Al-Qur’an dan menerangkan isinya kepada mereka: "Tidak lain dia,
hanyalah peringatan bagi manusia (ujung ayat 104).
Oleh karena isi Al-Qur’an itu adalah semata-mata peringatan kepada
manusia, Nabi kita Muhammad SAW. pun tidak henti-hentinya menyampaikan
peringatan itu. Bahwa di kalangan manusia banyak yang tidak mau percaya; itu
sudah mesti dimaklumi. Tetapi Allah SWT. telah memberikan kepada manusia itu
akal dan manusia itu pun telah dijadikan sebagai Khalifah Allah di bumi, dan akal
itulah alatnya menjadi Khalifah. Supaya akal tadi timbul dan tertuntun dengan baik,
184 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 6 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 267. 185 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 248.
70
didatangkan agama, diutus Rasul, diturunkan wahyu yang dipimpinkan oleh Rasul
itu. Maka walaupun dalam 1000 manusia, hanya seorang yang dapat tertuntun
akalnya oleh pimpinan wahyu, maka yang menentukan kelak bukan yang 999
orang. tetapi yang satu orang.186
Bagi M. Quraish Shihab pula, walaupun yang disampaikan ini sudah sangat
jelas menunjukkan bahwa engkau adalah rasul Allah SWT. yang mendapat
bimbingan Ilahi sehingga seharusnya mereka percaya, tetapi kenyataannya tidak
demikian. Oleh sebab itu, jangan bersedih hati. Memang, sebagian besar manusia
yaitu mereka yang bergelimang dalam kedurhakaan, walaupun engkau sangat
menginginkan keimanan mereka, tidak akan menjadi orang-orang mukmin karena
fitrah kesucian mereka telah dikotori oleh aneka dosa sehingga mereka lupa Allah
SWT. dan melupakan diri mereka sendiri. Padahal engkau ketika menyampaikan
Al-Qur’an yang merupakan bimbingan Allah SWT. sekali-kali tidak meminta upah
kepada mereka terhadap penyampaian bimbinganmu ini. la yakni Al-Qur’an tidak
lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam.187
8. Sūrah Al-Isrā’ ayat 18
ن د م ري ن ي ة ٱك عاجل ا ل ل لن ج نا ل ۥع عل د ثم ج ري ن ا نشا ء لمن م ها ها ۥفي م يصلى جهندحورا م موما ١٨مذ
“Barang siapa menghendakki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami
segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki. Kemudian Kami
sediakan baginya (di akhirat) neraka jahanam; dia akan memasukinya dalam
keadaan tercela dan terusir.188
Menurut Al-Maragi arti ayat ini, barangsiapa cita-citanya hanya dunia yang
sekarang, dan dia bekerja dan berusaha demi dunia dengan mencurahkan segala
perhatiannya kepadanya, sedang ia tidak yakin tentang adanya akhirat, tidak
mengharapkan pahala dan tidak takut akan hukuman dari tuhannya atas apa yang
dilakukan, maka Allah pun menyegerakan baginya di dunia ini apa yang dia
kehendaki, seperti diluaskannya rezeki dan dilebarkannya penghidupan. Kemudian,
186 Abdulmalik AbdulKarim Amirullah, Tafsir Al-Azhar Jilid 5 (Singapura: Pustaka
Nasional, 2003), 3718. 187 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 6 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 517. 188 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 284.
71
ketika dia hadir di hadapan Allah di akhirat kelak, maka akibat sakitnya karena tak
pandai bersyukur, dan keburukan perbuatannya di masa lalu, dan dia dijauhkan dari
rahmat Allah, dan terusir dari anugerah-Nya.189
Hukuman ini memuat tiga hal:
a. Bahwa hukuman itu abadi untuk selama-lamanya, hal ini, ditunjukkkan
dengan firman-Nya:
هاا ثم هانما ياصلاى لناا لاهۥ جا عا جا
Kemudian kami temukan baginya neraka Jahannam. Dia memasukinya,
hingga neraka itu meliputinya dari segala penjuru.
b. Hukuman itu bersifat menghinakan dan merendahkan, yang ditunjukkkan
pula oleh firman Allah Taala, mazmuman (dalam keadaan tercela).
c. Hukuman itu mengusir dan menjauhkan dari rahmat Allah terus-menerus,
dalam arti tidak diselingi oleh keenakkan dan tidak disudahi dengan
kebebasan. Hal ini pun ditunjukkan dengan firman Allah Taala, maudḥurā
(terusir).
Kemudian, firman Allah Taala, Li man nuridu, merupakan isyarat bahwa
kejayaan didunia, tidak mesti dicapai oleh orang yang menginginkannya, karena
nyatanya banyak orang kafir yang sesat berpaling dari agama, demi mencari dunia,
namun mereka tetap saja tidak memperoleh agama, dan juga dunia.
Hal ini merupakan ancaman dan cegahan besar terhadap orang kafir itu, karena
mereka kadang-kadang meninggalkan agama demi mencari dunia. Dan boleh jadi,
mereka pun takkan memperoleh dunia.190
Menurut Tafsir Jalalain arti ayat ini, (Barangsiapa yang menghendaki)
dengan amalnya, (kehidupan sekarang) yakni perkara duniawi, (maka Kami
segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami
kehendaki) Lafaz liman menjadi badal dari lafaz lahu yang juga disertai
pengulangan huruf jar, (dan kami tentukan baginya) di akhirat kelak, (neraka
Jahannam; ia akan memasukinya) dijebloskan kedalamnya, (dalam keadaan tercela)
189 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi (Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang, 1992), 44. 190 Ibid., 45.
72
terhina, (lagi terusir) dijauhkan rahmat Allah.191
9. Sūrah Al-Furqan ayat 57
س قل ه ما أ خذ إل رب ن يت
من شا ء أ ل ر إ ج
من أ يه ٥٧سبيل ۦلكم عل
“Katakanlah, “Aku tidak meminta imbalan apa pun dari kamu dalam
menyampaikan (risalah) itu, melainkan (mengharapkan agar) orang-orang
mau mengambil jalan kepada Tuhannya.”192
Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar di dalam ayat yang
selanjutnya disuruh Tuhan akan Nabi menjelaskan bahwa perjuangannya ini
tidaklah meminta upah dan tidak meminta gaji dari manusia. Sebab orang-orang
yang memperkembangkan dirinya kepada benda menyangka perjuangan orang
menegakkan kebenaran, dapat dinilai dengan upah.193
Berapa suatu pelancaran cita-cita harus dibayar? Berapa suatu jasa harus
dihargai? Suatu jasa kalau telah diberi harga dengan uang atau benda, jatuhlah
harganya. Apabila seorang Rasul mengajak orang kepada jalan yang benar tidaklah
itu untuk kepentingan dirinya, melainkan untuk kebahagiaan orang lain. Orang yang
telah hidup dalam cita-cita untuk kebahagiaan sesamanya manusia, sudahlah
merasa bahagia jika ajakan diturut, seruannya didengar. Itu sudahlah upah baginya.
Bukan saja Nabi Muhammad yang berkata demikian, bahkan sekalian Rasul
yang diutus Tuhan berkata demikian. Nabi Yūnus, Nabi Hūd, Nabi Shalih, Nabi
Syu'aib, bahkan sekalian Nabi, selalu berkata
Kadang-kadang "upah" yang mereka terima sangat menyedihkan. Dan
orang yang menjunjung tinggi suatu keyakinan pun akan menerima upah yang
kadang-kadang tak dapat diukur oleh kekuatan benda. Dibakar sebagai Ibrahim,
dipenjarakan sebagai Yūsuf, diusir sebagai Muhammad, berpindah besar-besaran
dengan membelah laut sebagai Musa, membuat perahu untuk memisahkan diri dari
kaum yang fasik sebagai Nabi Nuh.
191 Jalaludin Al-Mahalli Dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2003), 1135. 192 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 365. 193 Abdulmalik AbdulKarim Amirullah, Tafsir Al-Azhar Jilid 7 (Singapura: Pustaka
Nasional, 2003), 5051.
73
Dalam ayat ini Nabi Muhammad SAW. menegaskan bahwa saya tidak
mengharapkan upah daripada kamu, melainkan kalau ada di antara kamu yang sudi
menuruti jejakku ini, berjalan mengiringi daku menuju Ridha Allah, sudahlah itu
upah yang besar bagiku, tandanya usahaku berhasil. Apabila engkau mendapat
keselamatan dunia dan akhirat. Di dunia engkau menjadi orang baik dan mulia,
sebagai Abu Bakar dan Umar dan yang lain, senanglah sudah hatiku. Dan itulah
upahku.
Seakan-akan terbayanglah di mata khayal kita betapa hebatnya perjuangan
batin Rasulullah di dalam menghadapi sanggahan kaumnya yang belum mau
percaya itu. Rasul menyeru kepada hidup yang bahagia, memberi peringatan akan
siksaan jika mereka tidak mau turut, tidak pernah bosan siang dan malam, tidak
mengenal hari "libur". Lalu mereka bertanya: "Berapa kami harus bayar?"194
Menurut M. Quraish Shihab, pendapat yang mirip dikemukakan oleh Ibn
'Asyûr. Ulama ini terlebih dahulu menjelaskan bahwa (اجر) ajr/ upah adalah
imbalan bagi satu pekerjaan, walau dalam bentuk pekerjaan yang lain. Dari sini,
ulama asal Tunis itu memahami ayat di atas dalam arti: "Kecuali pekerjaan siapa
yang mau bersungguh-sungguh mencari jalan menuju Tuhannya yaitu dengan
mengikuti agama Islam." Nah, karena hal tersebut merupakan pemenuhan ajakan
dan dakwah Rasulullah SAW., maka ia serupa dengan ajr/ upah atas ajakan itu.
Pengecualian semacam ini- tulis Ibn Asyur terkadang dinamai istisná' munqathi.195
Satu hal lain lagi yang perlu dicatat, dalam firman-Nya: iliā man syā an
yatlakbidẓa ilā Rabbihi sabilān/ kecuali (tetapi) siapa yang mau kepada Tuhannya
mengambil jalan, adalah bahwa pelaku yang mau dan bersungguh-sungguh itu
adalah manusia itu sendiri, bukan Allah. Demikian ayat ini meletakkan tanggung
jawab di atas pundak manusia agar mau dan bersungguh-sungguh mencari jalan,
dan bila mereka telah melakukan hal tersebut, pasti Allah akan mengantarnya ke
sana.
Didahulukannya kata ilā Rabbihi/ kepada Tuhannya sebelum kata
sabilān/jalan bertujuan menekankan perlunya keikhlasan dan ketulusan kepada
194 Ibid., 5052. 195 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 9 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 507.
74
Allah, dan tidak mencari jalan-jalan lain selainnya.196
10. Sūrah Asy-Syu’ara ayat 109
س وما أ رب عل ري إل ج
ن أ ر إ ج
من أ يه ين ٱلكم عل لم ع ١٠٩ ل
"Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu; imbalanku
hanyalah dari Tuhan seluruh alam."197
Menurut Buya Hamka Tafsir Al- Azhar tentang ayat ini bermaksud, apa
sebab maka Nuh sampai berkata begitu? Ini dapatlah kita rasakan karena orang
orang yang berkata jujur kepada kaumnya, terutama rasul-rasul itu, membawa
pelajaran yang suci murni, diterima dengan salah oleh kaumnya Mereka kerapkali
mengukur orang yang jujur dengan hidup mereka sendiri Nuh ini selalu memberi
ajaran kepada kita, barangkali dia ini mengharapkan upah. Sebagaimana juga
kerapkali muballigh yang jujur di zaman kita ini disangka oleh orang yang kaya
raya dan hidup mewah bahwa muballigh itu mengharapkan "sedekah" rupanya di
mana-mana sejak dahulu, orang yang memperhambakan dirinya kepada benda,
mengukur cinta dan maksud baik orang lain dengan benda pula. Sebab itulah Nuh
mengatakan bahwa pekerjaanku ini bukanlah meminta upah daripada kamu. Tuhan
yang mengutus aku, maka Dialah yang menyediakan upah untukku. Bukan upah
benda, tetapi upah yang lebih tinggi daripada benda.
Maka jika aku sampaikan kepadamu ajaran Tuhan, tidaklah ada maksudku
supaya kamu bayar kepadaku ganti kerugian karena tempohku habis mengajar
menunjukimu.198
Menurut M. Quraish Shihab arti ayat ini, setelah menjelaskan dan
mengingatkan kaumnya tentang kerasulan dan ketepercayaan dan amanatnya, Nabi
Nuh as. menguatkan pernyataannya itu, dengan menampik dugaan negatif yang
boleh jadi terlintas dalam benak mereka tentang motivasi keduniaan di balik
dakwahnya. Beliau berkata: Dan di samping itu aku tidak meminta kepada kamu
atau kepada selain kamu atasnya yakni atas jerih payahku menyampaikan ajaran
196 Ibid., 508. 197 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 371. 198 Abdulmalik AbdulKarim Amirullah, Tafsir Al-Azhar Jilid 7 (Singapura: Pustaka
Nasional, 2003), 3718.
75
agama ini sedikit upah pun; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan Pemelihara dan
Pengendali semesta alam. Maka karena itu bertakwalah kepada Allah dan patuhilah
aku menyangkut perintah-perintah agama yang aku sampaikan.199
11.Sūrah Saba’ ayat 47
عل قل ل ري إ جر فهو لكم إن أ ج
ن أ م لكم
ٱما سأ لل
ك عل ء شهيد وهو ٤٧ش
“Katakanlah (Muhammad)” imbalan apa pun yang aku minta kepadamu,
maka itu untuk kamu. Imbalanku hanyalah dari Allah, dan Dia maha
mengetahui segala sesuatu.”200
Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar artinya,"Katakanlah: Upah
yang aku minta daripada kamu maka dia adalah untuk kamu jua" (pangkal ayal 47)
Ayat ini bukanlah berarti bahwa Rasulullah s.a.w. meminta upah dan mereka dalam
beliau melakukan dakwah. Ibarat kata ini ialah bantahan dan tangkisan kepada
mereka yang menilai dakwah Rasul akan meminta "persen" atau balas jasa. Kepada
orang seperti ini Nabi disuruh mengatakan kata sebagai itu, yang berarti:
"Simpanlah yang kamu sangka akan aku minta itu buat ke perluanmu sendiri.
"Upahku sendiri lain tidak adalah terserah kepada Allah. Yang mengutus aku
menjadi Rasul adalah Allah sendiri. Sebab itu maka hidupku dan matiku, jaminan
hidupku dan keselamatanku adalah dari Allah semata-mata. Jangan kamu
menyangka aku mengharapkan apa-apa dari kalian. Harapanku hanya kalian
berbahagia, selamat dunia dan akhirat. "Dan Dia atas segala sesuatu adalah
menyaksikan." (ujung ayat 47). Perjuanganku menegak kan dakwah kepada kamu,
sanggahan kamu terhadap seruanku, ataupun penerimaan kamu dengan baik,
semuanya di bawah kesaksian Allah semata- mata.201
Menurut M. Quraish Shihab maksud ayat ini, Jika mereka berpikir lurus,
pastilah mereka mengetahui secara pasti bahwa Nabi Muhammad SAW. tidak
mungkin mengidap penyakit gila sebagaimana tidak mungkin berbohong, setelah
mereka mengenal beliau jauh sebelum kenabiannya sebagai Al-Āmin (yang sangat
199 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 10 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 91. 200 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 443. 201 Abdulmalik AbdulKarim Amirullah, Tafsir Al-Azhar Jilid 8 (Singapura: Pustaka
Nasional, 2003), 5877-5878.
76
terpercaya). Boleh jadi ada yang menduga bahwa upaya beliau itu bertujuan
memperoleh keuntungan material. Untuk itu ayat di atas melanjutkan dengan
memerintahkan Nabi Muhammad SAW. bahwa: Katakan jugalah kepada mereka
bahwa: Aku tidak meminta sedikit pun upah kepada kamu atas ajaran Ilahi yang
kusampaikan, dan kalaupun seandainya kamu menilai aku meminta upah, maka
upah apapun yang aku minta kepada kamu, maka manfaat dari upah itu kembali
untuk kamu juga. Upahku yang kuharapkan hanyalah dari Allah, dan Dia atas segala
sesuatu Maha Menyaksikan."202
12. Sūrah Yasin ayat 21
ٱ عوا هتدون من ل يس تب م را وهم ج ٢١ لكم أ
“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.203
Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar artinya, disampaikannya
seruan itu dengan mengemukakan alasan yang kuat: "Ikutilah olehmu orang-orang
yang tidak meminta upah kepada kamu (pangkal ayat 21). Ini adalah alasan utama
bagi si penyeru yang datang tergesa-gesa itu untuk membuktikan kebenaran dan
kejujuran ketiga Rasul itu. Yaitu dia melakukan dakwah dan seruan, tidaklah
meminta upah. "Dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (ujung
ayat 21).
Mereka mendapat petunjuk dari Tuhan. Buktinya ialah karena seruan yang
dibawanya itu terang dan jelas, tidak berbelit-belit. Menyeru ummat kepada
penyembahan Tuhan Yang Esa tidak bersekutu dengan yang lain.204
Dia menarik perhatian kaumnya, karena ketiga Rasul ini tidak meminta
upah, tidak meminta persen atas seruan yang mereka bawa. Ini pun patut jadi
perhatian kita. Karena bukan di zaman sekarang saja, di zaman dahulu pun tidak
kurang kejadian ada penipu-penipu dan pembohong masuk ke suatu negeri.
Katanya membawa ajaran yang baru untuk keselamatan penduduk negeri itu. Tetapi
202 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 11 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 410. 203 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 441. 204 Abdulmalik AbdulKarim Amirullah, Tafsir Al-Azhar Jilid 8 (Singapura: Pustaka
Nasional, 2003), 5981.
77
penduduk itu hendaklah membayar sekian dan sekian. Kemudian setelah mereka
pergi baru ternyata bahwa mereka adalah penipu. Maka orang yang datang dengan
tergesa dari ujung negeri ini memberi ingat kaumnya bahwa Rasul yang bertiga ini
tidaklah begitu halnya. Sebab itu patutlah dia ditaati dan ajakannya diterima.205
Menurut pandangan M. Quraish Shihab, ucapan lelaki yang bergegas datang
itu, mendahulukan kalimat "Siapa yang tidak meminta dari kamu imbalan" atas
penegasannya bahwa “Mereka adalah orang orang yang mendapat petunjuk."
Agaknya ini sejalan dengan pandangan penduduk ketika itu. Mereka mengukur
semua orang sama dengan diri mereka sendiri. Penduduk yang bejat itu, selalu
menduga adanya keuntungan material di balik aktivitas setiap orang, karena
demikian itulah selalu sikap mereka. Mereka hampir tidak mengenal adanya
ketulusan dalam satu aktivitas mereka, dan karena itu pula mereka tidak percaya
kalau para rasul itu tulus dan tidak mengharap imbalan atas tuntunan mereka. Nah,
karena ini adalah sesuatu yang demikian mendarah daging dalam jiwa penduduk
itu, maka itulah yang wajar ditampik terlebih dahulu, dan karena itu lelaki yang
bergegas itu mendahulukannya. Di sisi lain, ketika menafikan adanya keinginan
memperoleh imbalan, ayat di atas menggunakan kata kerja masa kini yakni (يسالكم)
yas’alukum dan dalam bentuk jumlah fi'liyah/verbal sentense sebagai isyarat bahwa
sekalipun mereka pernah atau akan memintanya, apalagi berkali-kali dan menjadi
tujuan mereka, sedang ketika menetapkan hidayat, bentuk yang digunakan adalah
jumlah ismiyyah/nominal sentense yakni (هم مهتدون) hum mubtadun untuk
mengisyaratkan kemantapan mereka dalam perolehan hidayat.206
13. Sūrah Ṣad ayat 86
س قل من ما أ نا
ر وما أ ج
من أ يه ين ٱلكم عل ٨٦ لمتك ف
“Katakanlah (Muhammad),”Aku tidak meminta imbalan sedikit pun
kepadamu atas (dakwahku); dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-
ngada.207
Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, ayat-ayat ini adalah penutup
205 Ibid., 5982. 206 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 11 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 525-526. 207 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma Examedia
Arkanleema, 2010), 458.
78
Sūrah. Di penutup ini Nabi kita Muhammad SAW. diberi peringatan oleh Allah
supaya beliau katakan:
"Katakanlah:" (pangkal ayat 86). Olehmu hai Rasul-Ku kepada kaummu
Quraisy itu: "Tidaklah aku meminta kepada kamu sebarang upah pun." Disuruh
Tuhan memperingatkan hal ini kepada mereka agar jangan mereka ukur perjuangan
Nabi SAW. ini dengan penilaian harga harta benda, uang atau emas dan perak.
Tuhan menyuruhkan katakan begini niscaya telah ada pula di kalangan mereka itu
yang mengukur keperibadian Utusan Allah dengan hawa nafsunya sendiri. Orang-
orang terkemuka Quraisy kebanyakan adalah saudagar yang menghubungkan Utara
(Syam) dengan Selatan (Yaman) Yaman pintu ke India terus ke Tiongkok. Syam
pintu ke Laut Tengah lanjut ke Eropa. Sebab itu penghargaan atas seseorang
ditentukan oleh kekayaannya atau hasil harta, gaji, upah dan nilai jerih payah yang
didapatnya. Mungkin ada yang bertanya- tanya: "Dari mana dia dapat uang karena
pekerjaan ini?" Atau mungkin ada yang berkata: "Kalau mulutnya disumbat dengan
harta benda dia akan diam."
Maka disuruhlah Nabi SAW. menjelaskan bahwa dalam usahanya dan
perjuangannya menyampaikan dakwah agama ini dia tidak mengharapkan upah dari
mereka. Kalau kiranya diselidiki hidupnya masa di Makkah, waktu Sūrah Ṣad ini
turun, maka hidup di Makkah itu tidaklah pernah dia berkekurangan. Dia termasuk
orang yang mampu karena jaminan harta benda isterinya Khadijah yang termasuk
orang yang lebih dahulu menyatakan Iman akan seruannya. Sebab itulah maka
dalam Sūrah-Sūrah yang turun ke Makkah banyak kali diulang-ulangi oleh
Rasulullah SAW. bahwa dia tidak mengharapkan diberi upah. Upah apa yang akan
beliau harapkan daripada mereka, padahal perbaikan akidah dari syirik kepada
Tauhid bukanlah hal yang mereka inginkan. Mereka tidak memerlukan Nabi,
bahkan mereka menuduhnya tukang sihir pembohong.208
Dan semua Nabi-nabi dan Rasul-rasul pun tidak ada yang minta upah.
Ajaran berarti upah Maka sudah terang bahwa tidak ada seorang Rasul pun yang
mengharapkan upah harta. Tidak ada di antara seorang Nabi pun yang "mata
208 Abdulmalik AbdulKarim Amirullah, Tafsir Al-Azhar Jilid 8 (Singapura: Pustaka
Nasional, 2003), 6229.
79
duitan". Tetapi sebagai manusia Nabi-nabi dan rasul-rasul pun tentu ingin
penghargaan yang bukan benda. Ingin usahanya itu dihargai secara budi, disambut
baik. Karena terlebih dahulu mereka benar-benar telah bertawakkal kepada Allah.
Dari pihak kaum yang masih kafir hanya caci maki yang didapat, hanya tuduhan
gila, tukang sihir, pembohong dan sebagainya. Dari orang-orang begini tidak
diharap penghargaan selama mereka masih kafir. Tetapi Jika usaha beliau-beliau
berhasil, jika usaha Nabi kita Muhammad SAW., sampai isterinya sendiri yang
terlebih dahulu menyatakan iman kepada seruannya, itu adalah penghargaan. Obat
hati seorang Rasul ialah Iman ummatnya kepadanya.209
Dan sabda beliau selanjutnya: "Dan tidaklah aku termasuk orang yang
mengada-ada." (ujung ayat 86) Artinya ialah bahwa segala yang beliau serukan,
beliau rayukan, beliau ajakkan, tidak sepatah pun kata yang beliau ada-adakan
sendiri, yang timbul dari kehendak beliau sendiri. Apa yang beliau sampaikan
adalah wahyu Ilahi, yang mesti beliau sampaikan bagaimana adanya. Maka kalau
kiranya kaum Musyrikin di kalangan kaumnya itu merasa sakit hati karena berhala
mereka dicela, adat kebiasaan mereka disalahkan, kalau mempersekutukan Tuhan
dijelaskan salahnya, lalu mereka disuruh menyembah Allah Yang Tunggal tiada
sekutu dengan yang lain, memang karena demikianlah wahyu yang dia terima dan
mesti dia sampaikan. Kalau telinga mereka sakit mendengarkan, namun yang
merasa sakit itu ialah karena tidak tahan kena kritik. Cobalah berfikir dengan
tenang, bukankah seruan yang disampaikan itu benar? Bukankah kamu sendiri bila
ditanya dari hati ke hati senantiasa mengakui juga bahwa yang menciptakan langit
dan bumi, matahari dan bulan serta alam seisinya itu ialah Allah jua, tidak ada yang
lain yang turut menjadikannya pula. Tidak ada yang lain yang turut berkongsi
menciptakannya. Maka oleh sebab itu apa yang disampaikan Nabi bukanlah kata-
kata yang dia ada-adakan sendiri, melainkan dia adalah Utusan dari Tuhan.210
Menurut M. Quraish Shihab artinya, Setelah ayat-ayat yang lalu memberi
peringatan kepada semua pihak, kini ayat-ayat di atas kembali kepada uraian awal
Sūrah ini yang menegaskan tentang keagungan Al-Qur’an serta keangkuhan kaum
209 Ibid., 6229-6230. 210 Ibid., 6230.
80
kafir. Di sini Allah SWT. berfirman memerintahkan Nabi Muhammad SAW.
bahwa: Katakanlah: Aku tidak meminta kepada kamu atasnya yakni atas pengajaran
dan peringatan yang kusampaikan ini sedikit upah pun. Aku hanya mengharap dari
Allah atas keridhaan-Nya, dan di samping itu bukanlah juga aku termasuk orang-
orang yang mengada ada yakni berpura-pura. la yakni Al-Qur’an ini tidak lain
hanyalah peringatan serta kemuliaan bagi semesta alam, masing-masing dapat
menimba sesuai kemampuannya. Dan sesungguhrya kamu wahai para pengingkar
Al-Qur’an dan penolak kenabianku pasti akan mengetahui kebenaran beritanya
yakni informasi Al-Qur’an yang kusampaikan kepada kamu baik yang berkaitan
dengan kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Kamu pasti akan mengetahuinya
setelah beberapa waktu mendatang ini.211
" Kata (عليه) alaihi/ atasnya pada ayat di atas dipahami oleh al-Biqa’i sebagai
mengisyaratkan bahwa permintaan yang dinafikan itu adalah yang bersifat
mengatasi atau memaksa. Karena itu ayat ini tidak bertentangan dengan ayat lain
yang mengecualikan permintaan al-Mawaddata fi al-qurbā/ kasih sayang dalam
kekeluargaan serta ajakan untuk meneladani beliau. Kasih sayang dan ajakan itu
walaupun merupakan permintaan Nabi Muhammad SAW. sebagaimana terbaca
dalam QS. asy-Syura [42]: 23 tetapi bukan permintaan yang bersifat mengatasi dan
memaksa mereka. Keduanya adalah jiwa ajaran agama. Demikian lebih kurang al-
Biqa’i.
Kata ( لمتكلفينا ) al-mutakallifin terambil dari kata) تكلف) takallafa yaitu
membebani diri dengan sesuatu yang tidak mudah karena sesuatu itu berada di luar
bawaan atau sifat yang bersangkutan. Misalnya dengan berpura-pura mengetahui
padahal ia tidak tahu. Dalam konteks Nabi Muhammad SAW. misalnya dengan
mengaku nabi dan menerima wahyu padahal tidak demikian.
Sementara ulama menyebut tiga tanda bagi seseorang mutakallif yaitu: 1) Melawan
siapa yang berkedudukan lebih tinggi darinya, 2) Merindukan apa yang mustahil
diraihnya, serta 3) Menyampaikan apa yang tidak diketahuinya.212
C) Analisis Penafsiran Ibnu Katsir
211 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 12 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), 173-174. 212 Ibid., 174.
81
Secara terminilogis, tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. serta untuk menjalankan makna-
maknanya, mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
Para sahabat RA. dan orang-orang setelah mereka dalam memahami Al-
Qur’an tidak berada pada maqam (peringkat) yang sama. Mereka masing-masing
berbeda dalam hal ini. Kadang sebagian mereka menganggap sulit, sementara
sebagian yang lain tidak.213
Hal ini juga mengacu kepada perbedaan mereka dalam hal Bahasa, serta
pengetahuan tentang hal yang mengelilingi seputar turunnya ayat, baik peristiwa-
peristiwa, serta perangkat-perangkat lain seperti asbab an-Nuzul. Lebih dari itu,
bahkan menambah kemampuan akal mereka sebagai manusia. Seandainya akal
pikiran berada pada posisi yang sama dalam memahami makna-makna Al-Qur’an,
maka akan rusaklah kompetisi dan padamlah cita-cita. Dengan demikian ia
menghilangkan prestasi yang dikandungnya, menghilangkan pekerjaan akal
pikiran, perenungan dan penelitian. Akan tetapi, Allah yang Agung dengan
kebijaksanaan-Nya menjadikan lafal-lafal Al-Qur’an sebagai sesuatu yang kadang-
kadang mengandung banyak makna. Allah SWT. juga memerintahkan manusia
untuk merenung dan memikirkan Al-Qur’an, serta mendorong untuk berbuat
demikian. Sehingga para sahabat serta generasi setelah mereka berlomba
menafsirkannya, agar memperoleh pahala yang besar serta ganjaran yang
setimpal.214
Berhubung penafsiran Ibnu Katsir menggunakan metode Al-Tahlily dan
bercorakkan tafsir bil mat’sur maka berdasarkan kandungan ayat-ayat upah, Ibnu
Katsir menafsirkan 13 ayat dari yang dikemukakan penulis secara umumnya
berkaitan dengan upah pelaksanaan ibadah menyatakan imbalan akhirat. Sebagian
ayat ini ditafsirkan sebagai landasan upah pelaksanaan ibadah dan sebagiannya lagi
sebagai pengajaran dari rasul-rasul dan nabi-nabi untuk umatnya teladani.
Ibnu katsir menghadirkan hadist-hadist nabi, atau riwayat-riwayat yang
213 Fahd Bin Abddurrahman, Ulumul Quran; Studi kompleksitas Al-Qur’an (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016), 228. 214 Ibid., 229.
82
berasal dari sahabat dan tabiin seperti penafsirannya dalam ayat 41 Sūrah Al-
Baqarah. Menurut Ibnu Katsir arti dari ayat ini, janganlah kalian menukar iman
kalian kepada ayat-ayat-ku dan pembenaran terhadap Rasul-Ku dengan dunia dan
segala isinya yang mengiurkan, karena ia merupakan suatu yang sedikit lagi binasa
(tidak kekal).215
Dari penafsiran ini beliau hadirkan sumber yang membenarkan dan
melarangnya yaitu:
Dalam kitab Sunan Abi Dawud diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah r.a,
katanya Rasullah SAW. bersabda:
بهعرضامنالدنيا،لميرحيبيصمنتعلمعلماممايبتغىبهوجهالله،لايتعلمهإلالرائحةالجنةيومالقيامة
“Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang semestinya dicari untuk
memperoleh ridha Allah, kemudian ia tidak mempelajarinya kecuali untuk
mendapatkan kemewahan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada
hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).216
كتابالله اناحقمااخذتعليهاجرا“Sesungguhnya yang lebih berhak kalian ambil darinya upah adalah
Kitabullah.”217
Sedangkan hadits Ubadah bin Ash-Shamir, yang mengisahkan bahwa ia
pernah mengajarkan kepada salah seorang ahli shuffah sesuatu dari Al-Qur’an, lalu
orang itu memberinya hadiah berupa busur panah. Kemudian ia menanyakan hal itu
kepada Rasulullah SAW, maka beliau pun bersabda:
اناحببتانتطوقبقوسمننارفاقبله“Jika engkau suka dikalungi dengan busur dari api neraka, maka terimalah
busur tersebut.” (HR. Abu Dawud). Maka akhirnya ia menolak pemberian
busur itu.218
215 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 7, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 49. 216 Hafidz Al Mundziry, Tarjamah Sunan Abi Daud Jilid 4 (Semarang: CV. Asy Syifa’,
1993), 210. 217 Muhammad Fuad, Ringkasan Sahih Al-Bukhari (Selangor: Sofa Production, 2014), 396. 218 Hafidz Al Mundziry, Tarjamah Sunan Abi Daud Jilid 4 (Semarang: CV. Asy Syifa’,
1993), 55
83
Dalam Sūrah Hūd ayat 15-16 Ibnu Katsir hadirkan tentang Al-Aufi
menceritakan dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, bahwa orang-orang suka berbuat
riya’ (pamer), akan didatangkan kepada mereka kebaikan mereka di dunia. Dan
dengan demikian itu mereka tidak dizhalimi sedikit pun. Allah berfirman,”
Barangsiapa berbuat amal shalih dengan tujuan untuk kepentingan dunia, baik itu
berupa puasa, shalat atau tahajjud pada malam hari, tidak ia kerjakan kecuali
(hanya) untuk memperoleh keduniaan.”
Sedangkan Anas bin Malik dan Al-Hasan berkata: “Ayat tersebut turun
berkenaan dengan orang-orang YaHūdi dan orang-orang Nasrani.”
Qatadah mengemukakan: “Barangsiapa yang menjadikan dunia ini sebagai
tujuan, niat dan kejarannya, maka Allah akan memberi balasan di dunia atas
kebaikan nya yang telah ia lakukan, sehingga ketika menuju alam akhirat kelak,
tidak ada lagi kebaikan baginya yang dapat diberikan sebagai balasan. Sedangkan
orang mukmin, maka ia akan diberikan balasan di dunia atas kebaikan yang telah
dilakukannya dan diberikan pula pahala atasnya kelak di alam akhirat.”219
Di dalam Sūrah Al-Isra’ ayat 18, Menurut Ibnu Katsir artinya, Allah SWT.
memberitahukan bahwa tidak semua orang yang mengejar dunia dan segala
kenikmatan yang terdapat di dalamnya, ia akan mendapatkannya, dan hal itu akan
didapat oleh orang-orang yang dikehendaki-Nya saja.220
Imam Ahmad meriwayatkan dari Aisyah RA., dimana ia bercerita,
Rasulullah SAW. bersabda:
الدنيادارمنلادارله،ومالمنلامالله،ولهايجمعمنلاعقلله“Dunia ini adalah tempat tinggal bagi orang yang tidak mempunyai tempat
tinggal, dan harta kekayaan bagi orang yang tidak mempunyai harta, dan
padanya berkumpul orang-orang yang tidak berakal.”221
Dalam Sūrah Ṣad ayat 86, Ibnu Katsir hadirkan riwayat Sufyan ats-Tsauri
berkata dari al-A’masy dan Manshur, dari Abudh Dhuha, bahwa Masruq berkata:
219 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 4, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 247 220 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 5, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 58. 221 Imam Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad Jilid 20, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2011), 906.
84
“Kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud RA, lalu dia berkata: “Wahai sekalian
manusia, barangsiapa mengetahui sesuatu, maka hendaklah ia mengatakannya. Dan
barangsiapa tidak mengetahuinya, maka katakanlah: الله اعلم (Allah lebih
mengetahui). ‘Karena sesungguhnya termasuk bagian dari sebuah ilmu bahwa
seseorang mengatakan: الله اعلم (Allah lebih mengetahui)’ apa yang tidak
diketahuinya.”222
Dan Sūrah dan ayat-ayat yang lain mengisahkan peristiwa-peristiwa Nabi
Nuh, Nabi Hud, Nabi Muhammad dan para nabi dan rasul dalam menyebarkan
risalah dan berdakwah seperti penafsirannya Sūrah Yasin ayat 21, “Ikutilah orang
yang tidak meminta balasan kepadamu,” Yaitu sebagai balasan menyampaikan
risalah. “Dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk,” tentang apa
yang mereka serukan kepada kalian berupa beribadah kepada Allah semata yang
tidak ada sekutu bagi-Nya.223
Ibnu Katsir menyatakan semua dalil-dalil yang membenarkan dan melarang
bagi mendukung dan menjelaskan tentang upah dalam pelaksanaan ibadah ini.
Dalam penafsirannya boleh lihat bagaimana pandangan beliau dalam perkara ini
dan menerima segala pandangan ulama dalam penafsirannya
222 Imadudin Abu Fida’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Juz 7, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998), 82. 223 Ibid., 506.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua argumen yang penulis buat dalam kajian, penelitian dan pandangan
penafsiran Ibnu Katsir tentang ayat-ayat penerimaan upah dalam pelaksanaan
ibadah menurut Ibnu Katsir dapat penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1) Landasan Al-Qur’an mengenai Al-Ujrah (upah) menurut Ibnu Katsir
merupakan landasan untuk mendapat upah didunia dan akhirat. Pahala
didunia berupa pertolongan dan kemenangan sedangkan diakhirat berupa
surga-surga yang tinggi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang zhalim dan rahmat Allah kepada para makhluk-Nya untuk perkongsian
karena sebagian membutuhkan sebagian yang lain.
2) Penerimaan upah dalam pelaksanaan ibadah menurut Ibnu Katsir dalam
pelaksanaan atau penyampaian ilmu agama Islam yang terbaik hanya
diterima dari pemberian Allah SWT. tetapi jika menjadi keperluan maka
upah ini layak diterima dari Baitul Mal untuk kegunaan memenuhi
kebutuhan diri dan keluarga karena menghalang untuk mencari nafkah dari
sumber lain.
3) Pandangan Ibnu Katsir tentang penerimaan upah dalam pelaksanaan ibadah
menurut Al-Qur’an mengandungi banyak kisah para nabi dan rasul dalam
berdakwah yang hanya berharap mendapat pahala disisi Allah bukan dari
ummat manusia. Ibnu Katsir menambah pandangan beliau dari Al-Qur’an
dengan menghadirkan riwayat-riwayat dalam menafsirkan ayat-ayat ini
sebagai anugerah dan peringatan untuk insan yang terpilih oleh Allah bagi
mendapat ganjaran dunia dan juga akhirat.
B. Rekomendasi
Al-Qur’an dan hadist menceritakan banyak kisah para nabi dan rasul serta
para sahabat dalam berdakwah atau pelaksanaan ibadah kepada umat Islam. Semua
itu adalah untuk kita teladani supaya para pelaksana ibadah saat ini berada di jalan
yang benar dalam melakukan pelaksanaan ibadah tidak hanya untuk upah mereka
86
sendiri.
Mencari rezeki yang halal adalah impian setiap muslim dan menjadi
tanggungjawab mencari nafkah untuk keluarga. Jadi dalam pekerjaan pelaksanaan
ibadah ini tidak menjadikannya sesuatu tempat untuk mencari keuntungan atau
tempat menambahkan harta karena ia adalah sesuatu yang dikeji oleh Allah SWT.
Semoga penelitian memberi manfaat kepada semua dan untuk penelitian kepada
hukum Syariah boleh menjadikan penafsiran dari Al-Qur’an ini sebagai landasan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Bandung: PT. Sygma
Examedia Arkanleema, 2010.
Buku
Abu Fida’ Ismail, Imadudin. Tafsir Al-Quran Al-Azim. Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 1998.
Abdullah, Muhammad. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam Asy
Syafi’i, 2005.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang, 1992.
AbdulKarim Amirullah, Abdulmalik. Tafsir Al-Azhar. Singapura: Pustaka
Nasional, 2003.
Al Mundziry, Hafidz. Tarjamah Sunan Abi Daud. Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993.
Anwar, Rosihon. Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari Dan
Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: CV Pustaka Setia,1999.
Abdurrahman, Fahd Bin. Ulumul Qur’an; Studi Kompleksitas Al-Qur’an.
Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016.
A. Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:Rajawali
Pena,2004.
Amin Suma, Prof. Dr. H. Muhammad, S.H., M.A., MM, Tafsir Ayat Ekonomi: Teks
Terjemahan dan Tafsir, cet. Ke. 2 Jakarta: AMZAH,2013.
El-Mazni, H. Aunur Rafiq. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Diterjemahkan Dari
Buku Aslinya Yang Berjudul “Mubaahis Fii Ulum Al-Quran” Oleh Syaikh
Manna Al-Qaththan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Fakih, Kamal. Tafsir Nurul Quran: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-
Qur’an. Jakarta: Al-Huda, 2004.
Fuad, Muhammad. Ringkasan Sahih Al-Bukhari. Selangor: Sofa Production, 2014.
Furchan, H. Arief dan H. Agus Maimun. STUDI TOKOH, Metode Penelitian
Mengenai Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hashim Al- Bindany, Ustaz Mohd Hazri, Panduan Berinteraksi Dengan Al-Quran,
Terjemahan kitab At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Quran Karya Al-Imam An-
Nawawi, Kuala Lumpur: Galeri Ilmu,2017.
Isfahan, Muhammad. Al-Bidayah Wan Nihayah (Yang Pertama Dan Yang
Terakhir), Diterjemahkan Dari Buku Aslinya Yang Berjudul “Al-Bidayah
Wan Nihayah” Oleh Ibnu Katsir. Selangor: Crescent News, 2013.
Iskandar. Ruqyah Antara Syarie Dan Syirik. Kuala Lumpur: Yayasan Al-Jauhari,
2017.
Jantan, Haji Osman Bin. Pedoman Mu’amalat Dan Munakahat. Singapura: Pustaka
Nasional, 2001.
Kamil, Muhammad Qasim, Halal Haram dalam Islam. Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT),2014.
Khairi, Abdullah. Tuhan Bayar Cash!. Kuala Lumpur: PTS Publications, 2018.
Kholis, Amru Nur. Pekerjaan Haram Di Akhir Zaman. Jawa Tengah: Granada
Mediatama, 2017.
Muhammad Al- Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Ringkasan IHYA’ Ulumuddin,
Selangor: Pustaka Al-Ehsan,2013.
Mohamad, Zulkifli. Al-Fiqh Al-Manhaji Muamalat Dan Kewangan Islam Dalam
Fiqh Al- Syafi’i. Selangor: Darul Syakir,2017.
Mohd Yusoff, Zulkifli. Kamus Al-Qur’an. Selangor: PTS Publishing House, 2010.
Mohd Tahir, Ahmad Sabki. Ibadah Menuju Taqwa. Kuala Lumpur: Crescent News,
2012.
Mustofa, Nurul Huda, E. Naution, dkk, Ekonomi Makro Islam, Jakarta: Penerbit
Kencana, 2007.
Muhammad Bin Hanbal, Imam Ahmad Bin. Musnad Imam Ahmad Jilid 20, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2011.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian:Sktipsi,Tesis,Disertasi Dan Karya Ilmiah,
Jakarta:Kencana, 2011.
R. Semiawan,Conny. Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik Dan
Keunggulannya, Jakarta: PT Grasindo, 2010.
Ruhiyat, Tedi. et. al. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Diterjemahkan Dari Buku
Aslinya Yang Berjudul “Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir” Oleh Muhammad
Ali. Bandung: Jabal, 2018.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lantera Hati, 2002.
Shihab, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang
Patut Anda Ketahui Dalam Memahamial-Quran, Tangerang: Lantera Hati,
2013.
Sofia, Adib. Metode Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: Karyamedia,2012.
Sofyan, Muhammad. Tafsir Wal Mufassirun. Medan: Perdana Publishing, 2015.
Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Tarigan, Azhari Akmal. Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, Bandung: Citapustaka Media
Perintis, 2012.
Tim Penyusun, Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa, Fakultas Ushuluddin
IAIN STS Jambi, Jambi: Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi,2016.
W. Alhafidz, Ahsin. Indahnya Ibadah Dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2010.
Tesis/Skripsi
Majid, Ahmad. “Fasiq Dalam Gambaran Tafsir Ibnu Katsir”. Skripsi Sarjana:
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016. Noor, Syahdian. “Istinbath Hukum Terhadap Upah Mengajar Al-Quran (Analisis Pendapat
Fuqaha Klasik Dan Kontemporer)”. Tesis. Banjarmasin: Program Pascasarjana
IAIN Antasari Banjarmasin,2016. Yuliana, Dewi. “Model Upah Adil Perspektif Ibnu Taimiyah”. Skripsi. Jambi: Fakultas
Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2014. Samak, Muhammad Jawais. “Amanah Dalam Al-Quran (Kajian Tematik Tafsir Al-
Quran Al- Azim Karya Ibnu Katsir) Skripsi UIN SUNAN KALIJAGA,
YOGYAKARTA 2017.
Jurnal
Armansyah Walian. “Konsepsi Islam Tentang Kerja Rekonstruksi Terhadap
Pemahaman Kerja Seorang Muslim.” Jurnal An Nisa’a, Vol 8, No. 1, Juni
(2013), 63-80.
Fuad Riyadi. “Sistem Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam.” Jurnal
Iqtishadia, Vol 8, No. 1, Maret (2015), 155-188.
Siswadi. “Pemberian Upah Yang Benar Dalam Islam Upaya Pemerataan Ekonomi
Umat Dan Keadilan.” Jurnal Ummul Qura, Vol Iv, No. 2 (2014), 107.
Tarbawi, Manhaj. “Ibadah.” Jurnal Divisi.Pendidikan Yayasan Al‐Fityan Jakarta
(2018), 1.
Yusuf, Sri Dewi. “Konsep Penentuan Upah Dalam Ekonomi Islam.” Jurnal Al-
Ulum Volume. 10, Nomor 2 (2010), 311.
Website
Jakim, IslamGRID 2.0 Obor yang Menyinari Alam, diakses melaui alamat
http://ii.islam.gov.my/articles/ibadah/pengertian-ibadah.php, tanggal 7 Disember 2018.
Idwal B. Dosen Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam Iain Bengkulu,Upah Dan
Tenaga Kerja Dalam Islam,diakses melalui alamat
www.academia.edu/26696012/UPAH_DAN_TENAGA_KERJA_DALA
M_ISLAM. tanggal 7 Disember 2018 .
Siswadi, S.Ag., S.Pd., M.Pd.I, Pemberian Upah Yang Benar Dalam Islam Upaya
Pemerataan Ekonomi Umat Dan Keadilan diakses melalui. Alamat
https://sublibrary.com/view?t=105+PEMBERIAN+UPAH+YANG+BEN
AR+DALAM+ISLAM+UPAYA+...&u=http%3A%2F%2Fejournal.kopert
ais4.or.id tanggal 8 disember 2018
Majjah,Ibnu. “Biografi Imam Ibnu Katsir”. diakses melalui alamat
https://ibnumajjah.files.wordpress.com/2018/02/biografi-ibnu-katsir-asy-
syafi_i. tanggal 22 mei 2019.
CURRICULUM VITAE
A. Informasi Diri
Nama : Wan Muhammad Fadli Bin Wan Manan
Tempat & Tgl. Lahir : Pahang, Malaysia & 22 Mei 1995
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Kampung Pengkalan Berangan 21040
Marang, Terengganu.
B. Riwayat Pendidikan
S1 UIN STS Jambi : 2017-2019
Kolej Universiti Darul Qur’an Islamiyyah : 2014-2017
Ma’ahad Darul Quran : 2008-2014
Sekolah Rendah Pengkalan Berangan : 2002-2008