Penerapan Pengukuran Kinerja Sebagai Kontrol Pada Organisasi Pemerintah Daerah
Click here to load reader
description
Transcript of Penerapan Pengukuran Kinerja Sebagai Kontrol Pada Organisasi Pemerintah Daerah
PENERAPAN PENGUKURAN KINERJA SEBAGAI KONTROL PADA
ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH
Latar Belakang
Otonomi daerah di Indonesia merupakan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya
sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah pusat. Otonomi daerah diberlakukan
dengan diterbitkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 kemudian direvisi melalui
UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dengan demikian,
pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola sumber daya yang dimilikinya dan
melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga akan berdampak pada
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Pada kenyataannya kebijakan otonomi daerah yang diterapkan pemerintah
pusat belum dapat berjalan dengan baik. Menurut Arja Sadjiarto (2000) beberapa
kali terjadi pernyataan ketidakpuasan atas kepemimpinan kepala daerah dalam
melakukan manajemen pelayanan publik maupun penggunaan anggaran belanja
daerah. Masyarakat mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh atas
pelayanan yang dilakukan pemerintah. Walaupun anggaran rutin dan
pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin membengkak,
nampaknya masyarakat belum puas atas kualitas jasa maupun barang yang
diberikan. Masyarakat sekarang cenderung ingin mengetahui lebih jauh apakah
pemerintahan daerah yang dipilihnya telah beroperasi dengan ekonomis, efisien
dan efektif. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus pandai dalam
menyelenggarakan pemerintahannya sehingga tercipta tata kelola pemerintahan
yang baik serta adanya evaluasi yang berkala atas capaian pemerintah daerah
dalam kurun waktu tertentu.
Menurut Arie Soelendro (2000:13), unsur-unsur pokok upaya perwujudan
good governance ini adalah transparency, fairness, responsibility dan
accountability. Sedangkan Hadori Yunus (2000:1) berpendapat bahwa unsur-
unsur good governance adalah tuntutan keterbukaan (transparency), peningkatan
efisiensi di segala bidang (efficiency), tanggung jawab yang lebih jelas
(responsibility) dan kewajaran (fairness). Hal ini muncul sebenarnya sebagai
1
akibat dari perkembangan proses demokratisasi di berbagai bidang serta kemajuan
profesionalisme. Dengan demikian pemerintah sebagai pelaku utama pelaksanaan
good governance ini dituntut untuk memberikan pertanggungjawaban yang lebih
transparan dan lebih akurat. Hal ini semakin penting untuk dilakukan dalam era
reformasi ini melalui pemberdayaan peran lembaga-lembaga kontrol sebagai
pengimbang kekuasaan pemerintah.
Selama ini, pengukuran kinerja unit organisasi pemerintah daerah lebih
ditekankan kepada kemampuannya dalam menyerap anggaran (Soepomo, 2000).
Dengan kata lain, suatu unit akan dinyatakan berhasil apabila mampu nenyerap
keseluruhan anggaran pemerintah, walaupun hasil maupun dampak yang dicapai
dari pelaksanaan program tersebut masih berada jauh di bawah standar. Oleh
karena itu, sudah saatnya dilakukan suatu sistem pengukuran kinerja yang dapat
memberikan informasi atas efektivitas dan efisiensi pencapaian kinerja organisasi
pemerintah daerah.
Selama beberapa tahun terakhir, para peneliti akuntansi manajemen telah
menemukan implikasi dari reformasi sektor publik melalui desain dan
implementasi sistem pengukuran kinerja (Lapsley dan Mitchell, 1996; Ballantine
et al, 1998;. Modell , 1998; Johnsen, 1999; Kloot dan Martin, 2000). Maka, agar
kinerja organisasi pemerintah daerah dapat terpantau dengan baik, seluruh
aktivitasnya harus dapat diukur (Osbourne et al, 1992). Pengukuran tersebut tidak
semata-mata pada input dari kegiatan tetapi lebih ditekankan kepada output,
manfaat, outcome. Dengan kata lain, sistem pengukuran kinerja yang merupakan
elemen pokok dari laporan akuntabilitas pemerintah daerah akan mengubah
paradigma pengukuran keberhasilan. Selama ini, keberhasilan suatu unit
organisasi pemerintah daerah lebih ditekankan kepada kemampuannya dalam
menyerap anggaran sebanyak-banyaknya, meskipun hasilnya sangat
mengecewakan.
Melalui pengukuran kinerja, keberhasilan organisasi pemerintah daerah
akan lebih dilihat dari kemampuannya, berdasarkan sumber daya yang
dikelolanya, untuk mencapai hasil sesuai dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya.
2
Pembahasan
Pengertian Pengukuran Kinerja
Menurut Mardiasmo (2002), sistem pengukuran kinerja sektor publik
adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer sektor publik
menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial.
Sistem pengukuran kinerja ini dapat dijadikan sebagai alat pengendalian
organisasi.
Maksud dilakukannya pengukuran kinerja sektor publik antara lain:
1. Membantu memperbaiki kinerja pemerintah agar dapat berfokus pada
tujuan dan sasaran program unit kerja yangn pada akhirnya akan
meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor publik dalam
memberikan layanan kepada masyarakat.
2. Ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya
dan pembuatan keputusan.
3. Untuk mewujudkan tanggung jawab publik dan memperbaiki komunikasi
kelembagaan.
Selain itu, pihak legislatif menggunakan ukuran kinerja ini untuk
menentukan kelayakan biaya pelayanan (cost of service) yang dibebankan kepada
masyarakat pengguna jasa publik karena mereka tidak mau selalu ditarik pungutan
tanpa adanya peningkatan kualitas dan kuantitas dari pelayanan yang diterima
tersebut.
Menurut Dixit (2002), kinerja sektor publik bersifat multidimensional,
sehingga tidak ada indikator tunggal yang dapat digunakan untuk menunjukkan
kinerja secara komprehensif. Berbeda dengan sektor swasta, karena sifat output
yang dihasilkan sektor publik lebih banyak bersifat intangible output, maka
ukuran finansial saja tidak cukup untuk mengukur kinerja sektor publik. Oleh
karena itu, perlu dikembangkan ukuran kerja non-finansial.
Tujuan Sistem Pengukuran Kinerja
Tujuan sistem pengukuran kinerja antara lain:
3
1. Untuk mengkomunikasikan strategi secara lebih baik (top down and
bottom up).
2. Untuk mengukur kinerja finansial dan non-finansial secara berimbang
sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strateginya.
3. Untuk mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah
dan bawah serta motivasi untuk mencapai good congruence.
4. Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual
dan kemampuan kolektif yang rasional.
Prinsip-prinsip Pemilihan Ukuran Kinerja
Berikut ini merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih
ukuran-ukuran kinerja instansi yang sesuai dengan skema indikator:
Evaluasi kembali ukuran yang
ada
Informasi kinerja tetap dibutuhkan oleh
manajemen. Apabila skema indikator kinerja
sudah tidak berfungsi, maka manajemen
akan mengembangkan skema baru.
Mengukur kegiatan yang
penting, tidak hanya hasil
Kinerja selalu berorientasi hasil. Ukuran
hasil sering diformulasikan dalam rasio
keuangan. Pencapaian hasil akan
menunjukkan adanya permasalahan. Hasil
tersebut tidak akan menunjukkan diagnosis
hasil.
Pengukuran harus mendorong
tim kerja yang akan mencapai
tujuan
Pembagian proses pengukuran menciptakan
lingkungan tim kerja yang aktivitasnya
diarahkan pada pencapaian tujuan
organisasi.
Pengukuran harus merupakan
perangkat yang terintegrasi,
seimbang dalam penerapannya
Agar efektif, sistem pengukuran harus
diciptakan sebagai perangkat terintegrasi
yang diperoleh dari strategi perusahaan.
Sebagian besar perusahaan berusaha
meminimalkan biaya, meningkatkan
kualitas, mengurangi waktu pelaksanaan
4
produksi, dan menciptakan pengembalian
investasi yang wajar.
Pengukuran harus memiliki
fokus eksternal jika
memungkinkan
Ukuran internal yang umum dipakai dalam
sebuah organisasi perbandingan kinerja dari
tahun ke tahun. Suatu perbandingan tertentu
dapat dilakukan ke tingkatan mikro: divisi,
departemen, kelompok, bahkan individu.
Siklus Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja dilakukan dengan melalui lima tahapan berikut ini:
1. Perencanaan strategi: siklus pengukuran kinerja dimulai dengan proses
penskemaan strategi, yang berkenaan dengan penetapan visi, misi, tujuan
dan sasaran, kebijakan, program operasional dan kegiatan/aktivitas.
2. Penciptaan indikator kinerja: penciptaan indikator kinerja dilakukan
setelah perumusan strategi. Indikator yang mudah adalah untuk aktivitas
yang dapat dihitung, contohnya adalah jumlah klaim yang diproses.
3. Mengembangkan sistem pengukuran kinerja: tahap ini terdiri dari tiga
langkah, yaitu: pertama, meyakinkan keberadaan data yang diperlukan
dalam siklus pengukuran kinerja. Kedua, mengukur kinerja dengan data
yang tersedia dan data yang dikumpulkan. Ketiga, penggunaan data
pengukuran yang dihimpun, harus dipresentasikan dalam cara-cara yang
dapat dimengerti dan bermanfaat.
4. Penyempurnaan ukuran: pada tahap ini dilakukan pemikiran kembali atas
indikator hasil (outcomes) dan indikator dampak (impacts) menjadi lebih
penting dibandingkan dengan pemikiran kembali atas indikator masukan
(inputs) dan keluaran (outputs).
5. Pengintegrasian dengan proses manajemen: bagaimana menggunakan
ukuran kinerja tersedian secara efektif merupakan tantangan selanjutnya.
Penggunaan data organisasi dapat dijadikan alat untuk memotivasi
tindakan dalam organisasi.
5
Informasi yang Digunakan Untuk Pengukuran Kinerja
a) Informasi Finansial
Penilaian laporan kinerja finansial diukur berdasarkan pada anggaran
yang telah dibuat. Penilaian tersebut dilakukan dengan menganalisis varians
(selisih atau perbedaan) antara kinerja aktual dengan anggaran yang
dianggarkan.
Analisis varians secara garis besar berfokus pada :
1. Varians pendapatan (revenue varians)
Varians pendapatan adalah semua penerimaan dalam bentuk peningkatan
aktiva atau penurunan utang dari berbagai sumber dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan.
2. Varians pengeluaran (expenditure variance)
Varians belanja rutin
Anggaran belanja rutin adalah anggaran yang disediakan
untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang sifatnya lancar dan terus
menerus yang dimaksudkan untuk menjaga kelemahan roda
pemerintahan dan memelihara hasil-hasil pembangunan.
Varians belanja investasi/modal (recurrent expenditure variance)
Belanja investasi/modal adalah pengeluaran yang manfaatnya
cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset
atau kekayaanpemerintah, dan selanjutnya akan menambah anggaran
rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaan.
Setelah dilakukan analisis varians, maka tahap selanjutnya dilakukan
identifikasi sumber penyebab terjadinya varians dengan menelusuri varians
tersebut hingga level manajemen paling bawah.
b) Informasi Nonfinansial
Informasi nonfinansial dapat menambah keyakinan terhadap kualitas
proses pengendalian manajemen (Burgess et al, 2002). Teknik pengukuran
kinerja yang komprehensif dan banyak dikembangkan oleh berbagai
organisasi dewasa ini adalah Balanced Scorecard. Metode Balanced
Scorecard merupakan pengukuran kinerja organisasi berdasarkan aspek
6
finansial dan juga aspek nonfinasial. Menurut Mannion dan Goddard (2000),
balanced Scorecard dinilai cocok untuk organisasi sektor publik karena tidak
hanya menekankan pada aspek kuantitatif-finansial, tetapi juga aspek
kualitatif dan nonfinansial. Hal tersebut sejalan dengan sektor publik yang
menempatkan laba bukan hanya sebagai ukuran kinerja utama, namun
pelayanan yang cenderung bersifat kualitatif dan nonkeuangan (Mahmudi,
2007). Pengukuran dengan metode ini melibatkan empat aspek, antara lain :
1. Perspektif finansial (financial perspective)
Perspektif finansial menjadi perhatian dalam balanced scorecard
karena ukuran keuangan merupakan ikhtisar dari konsekuensi ekonomi
yang terjadi yang disebabkan oleh pengambilan keputusan. Aspek
keuangan menunjukkan apakah perencanaan, implementasi, dan
pelaksanaan dari strategi memberikan perbaikan yang mendasar.
Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari
siklus kehidupan bisnis.
2. Perspektif kepuasan pelanggan (customer perspective)
Dalam perspektif ini, perhatian perusahaan harus ditujukan pada
kemampuan internal untuk peningkatan kinerja produk, inovasi, dan
teknologi dengan memahami selera pasar. Dalam perspektif ini, peran
riset pasar sangat besar. Perspektif pelanggan memiliki dua kelompok
pengukuran, yaitu:
Core measurement group, yang memiliki beberapa komponen
pengukuran, yaitu:
1) Pangsa Pasar (market share) : pangsa pasar ini menggambarkan
proporsi bisnis yang dijual oleh sebuah unit bisnis di pasar
tertentu. Hal itu diungkapkan dalam bentuk jumlah uang
pelanggan yang dibelanjakan atau volume satuan yang terjual.
2) Retensi Pelanggan (Customer Retention) : menunjukkan tingkat
dimana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan
pelanggan. Pengukuran dapat dilakukan dengan mengetahui
besarnya presentase pertumbuhan bisnis dengan pelanggan yang
ada saat ini.
7
3) Akuisisi Pelanggan (Customer Acquisition) : pengukuran ini
menunjukkan tingkat dimana suatu unit bisnis mampu menarik
pelanggan baru memenangkan bisnis baru. Akuisisi ini dapat
diukur dengan membandingkan banyaknya jumlah pelanggan
baru di segmen yang ada.
4) Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction) : pengukuran ini
berfungsi untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan terkait
dengan kriteria spesifik dalam value proportion.
Customer Value Proportion yang merupakan pemicu kinerja yang
terdapat pada Core value proportion didasarkan pada atribut sebagai
berikut:
1) Product/service attributes yang meliputi fungsi produk atau
jasa, harga, dan kualitas. Perusahaan harus mengidentifikasikan
apa yang diinginkan pelanggan atas produk atau jasa yang
ditawarkan.
2) Customer relationship adalah strategi dimana perusahaan
mengadakan pendekatan agar perasaan pelanggan merasa puas
atau produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan.
3) Image and reputation membangun image dan reputasi dapat
dilakukan melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang
dijanjikan.
3. Perspektif efisiensi proses internal (internal process efficiency)
Dalam hal ini perusahaan berfokus pada tiga proses bisnis utama
yaitu:
1) Proses inovasi
Dalam proses penciptaan nilai tambah bagi pelanggan, proses
inovasi merupakan salah satu kritikal proses, dimana efisiensi dan
efektifitas serta ketepatan waktu dari proses inovasi ini akan
mendorong terjadinya efisiensi biaya pada proses penciptaan nilai
tambah bagi pelanggan. Proses inovasi dapat dibagi menjadi dua
yaitu:
8
Pengukuran terhadap proses inovasi yang bersifat penelitian
dasar dan terapan.
Pengukuran terhadap proses pengembangan produk.
2) Proses Operasi
Pada proses operasi yang dilakukan oleh masing-masing
organisasi bisnis, lebih menitikberatkan pada efisiensi proses,
konsistensi, dan ketepatan waktu dari barang dan jasa yang diberikan
kepada pelanggan.
3) Pelayanan Purna Jual
Tahap terakhir dalam pengukuran proses bisnis internal adalah
dilakukannya pengukuran terhadap pelayanan purna jual kepada
pelanggan. Pengukuran ini menjadi bagian yang cukup penting
dalam proses bisnis internal, karena pelayanan purna jual ini akan
berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pelanggan.
4. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth
perspective).
Kaplan (Kaplan, 1996) mengungkapkan betapa pentingnya suatu
organisasi bisnis untuk terus mempertahankan karyawannya, memantau
kesejahteraan karyawan, dan meningkatkan pengetahuan karyawan
karena dengan meningkatnya tingkat pengetahuan karyawan akan
meningkatkan pula kemampuan karyawan untuk berpartisipasi dalam
pencapaian hasil ketiga perspektif diatas dan tujuan perusahaan.
Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan organisasi merupakan faktor
pendorong dihasilkannya kinerja yang istimewa dalam tiga perspektif
Balanced Scorecard.
5. Perspektif/Faktor yang Dinilai Misi atau Visi
Jenis informasi non-finansial dapat dinyatakan dalam bentuk
variabel kunci.Variabel kunci adalah variabel yang mengindikasikan
faktor-faktor yang menjadi penyebab kesuksesan organisasi.
Karakteristik variabel kunci, yaitu :
1) Menjelaskan faktor pemicu keberhasilan dan kegagalan organisasi
2) Sangat volatile (mudah berubah) dan dapat berubah dengan cepat
9
3) Perubahannya tidak dapat diprediksi
4) Jika terjadi perubahan perlu diambil tindakan segera
5) Variabel tersebut dapat diukur, baik secara langsung maupun melalui
ukuran antara (surrogate). Sebagai contoh, kepuasan masyarakat
tidak dapat diukur secara langsung akan tetapi dapat dibuat ukuran
antaranya, misalnya jumlah aduan, tuntutan dan demonstrasi dapat
dijadikan variabel kunci.
Peranan Indikator Kinerja dalam Pengukuran Kinerja
Indikator kinerja digunakan sebagai indikator pelaksanaan strategi yang
telah ditetapkan. Indikator kinerja tersebut dapat berbentuk faktor-faktor
keberhasilan utama organisasi (critical success factors) dan indikator kinerja
kunci .
Faktor keberhasilan utama adalah suatu area yang mengindikasikan
kesuksesan kinerja unit kerja organisasi. Area ini merefleksikan preferensi
manajerial dengan memperhatikan variabel-variabel kunci finansial dan non-
finansial pada kondisi waktu tertentu. Indikator kinerja kunci merupakan
sekumpulan indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kinerja kunci baik
yang bersifat finansial maupun non-finansial untuk melaksanakan operasi dan
kinerja unit bisnis. Indikator ini digunakan oleh manajer untuk mendeteksi dan
memonitor capaian kinerja.
Komponen yang digunakan dalam penentuan indikator kinerja :
a) Biaya pelayanan (cost of service)
Indikator biaya diukur dalam bentuk biaya unit (unit cost), misalnya biaya
per unit pelayanan (panjang jalan yang diperbaiki, jumlah ton sampah
yang terangkut, biaya per siswa). Beberapa pelayanan mungkin tidak dapat
ditentukan biaya unitnya karena output yang dihasilkan tidak dapat
dikuantifikasi atau tidak ada keseragaman tipe pelayanan yang diberikan.
Untuk kondisi tersebut maka dibuat indikator kinerja produksi misalnya
belanja per kapita.
b) Penggunaan (utilization)
10
Indikator ini membandingkan antara jumlah pelayanan yang
ditawarkan (supply of service) dengan permintaan publik (public
demand). Indikator ini harus mempertimbangkan preferensi publik
sedangkan pengukurannya berupa volume absolut atau presentase tertentu,
misalnya presentase penggunaan kapasitas. Contoh lain yaitu rata-rata
jumlah penumpang per bus yang dioperasikan. Indikator kinerja ini
digunakan untuk mengetahui frekuensi operasi atau kapasitas kendaraan
yang digunakan pada tiap-tiap jalur.
c) Kualitas dan standar pelayanan (quality and standards)
Indikator ini merupakan indikator yang paling sulit diukur karena
menyangkut pertimbangan yang sifatnya subyektif. Contohnya yaitu
perubahan jumlah komplain masyarakat atas pelayanan tertentu.
d) Cakupan pelayanan (coverage)
Indikator ini perlu dipertimbangkan jika terdapat kebijakan atau peraturan
perundangan yang mensyaratkan untuk memberikan pelayanan dengan
tingkat pelayanan minimal yang telah ditetapkan.
e) Kepuasan (satisfaction)
Indikator kepuasan diukur melalui metode jajak pendapat secara langsung.
Bagi pemerintah daerah, metode penjaringan aspirasi masyarakat (need
assessment) dapat juga digunakan untuk menetapkan indikator kepuasan.
Namun, dapat juga digunakan indikator proksi misalnya jumlah komplain.
Pembuatan indikator kinerja tersebut memerlukan kerjasama antar unit
kerja.
Contoh Pengembangan Indikator Kinerja:
Dinas/Unit Kerja Indikator Kinerja
Rumah Sakit Biaya total rata-rata rawat jalan per pasien yang masuk
Biaya rata-rata pelayanan medis dan paramedis per
pasien yang masuk
Biaya rata-rata pelayanan umum (non-klinis) per pasien
yang masuk
Penggunaan fasilitas
Rata-rata masa tinggal pasien di rumah sakit
11
Jumlah pasien rata-rata per bed per tahun
Rasio antara pasien baru dengan pasien lama yang
masuk kembali
Proporsi tingkat hunian
Klinik Kesehatan Jumlah pelanggan yang dilayani per hari per jumlah total
penduduk untuk wilayah tertentu
Pekerjaan Umum Panjang jalan yang dibangun atau diperbaiki/total
panjang jalan
Panjang jalan yang disapu atau dibersihkan/total panjang
jalan
Kondisi jalan
Keamanan jalan (road safety)
Kepolisian % Jumlah kriminalitas yang tertangani/Jumlah
kriminalitas yang terdeteksi/tercatat
% Penurunan jumlah kecelakaan atau pelanggaran lalu
lintas
% Jumlah pengaduan masyarakat yang
tertangani/Jumlah total pengaduan masyarakat yang
masuk
DPR/DPRD % Jumlah pengaduan dan tuntutan masyarakat yang
tertangani/Jumlah total aspirasi yang masuk
Jumlah rapat yang dilakukan per bulan/tahun
Jumlah peraturan yang dihasilkan per bulan/tahun
% Jumlah peserta rapat per total anggota
Dispenda % Jumlah pendapatan yang terkumpul/potensi
Indikator Kinerja dan Pengukuran Value for Money
Menurut Mahmudi (2005:97) dalam bukunya Manajemen Kinerja Sektor
Publik menyatakan karakteristik indikator kinerja sebagai berikut:
a) Sederhana dan mudah dipahami,
b) Dapat diukur,
c) Dapat dikualifikasikan, misalnya dalam bentuk rasio persentase dan angka,
12
d) Dikaitkan dengan standar atau target kinerja,
e) Berfokus pada costumer service, kualitas, dan efisiensi, dan
f) Dikaji secara teratur.
Value for money merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik
yang mendasarkan pada tiga elemen utama yaitu ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas. Value for money merupakan inti dari pengukuran kinerja pada
organisasi pemerintah. Menurut Barnow (1992) permasalahan yang sering
dihadapi oleh pemerintah dalam melakukan pengukuran kinerja adalah sulitnya
mengukur output karena output yang dihasilkan tidak selalu berupa output
berwujud tetapi lebih banyak berupa intangible output. Untuk dapat mengukur
kinerja pemerintah, maka perlu diketahui indikator-indikator kinerja sebagai dasar
penilaian kinerja. Mekanisme yang diperlukan untuk menentukan indikator
kinerja, antara lain :
1. Sistem perencanaan dan pengendalian
Meliputi proses, prosedur, dan struktur yang memberi jaminan
bahwa tujuan organisasi telah dijelaskan dan dikomunikasikan ke seluruh
bagian organisasi dengan menggunakan rantai komando yang jelas yang
didasarkan pada spesifikasi tugas pokok dan fungsi, kewenangan, serta
tanggungjawab.
2. Spesifikasi dan standarisasi
Kinerja suatu kegiatan, program, dan organisasi diukur dengan
menggunakan spesifikasi teknis secara detail untuk memberikan jaminan
bahwa spesifikasi teknis tersebut dijadikan sebagai standar penilaian.
3. Kompetensi teknis dan profesionalisme
Untuk memberikan jaminan terpenuhinya spesifikasi teknis dan
standarisasi yang ditetapkan maka diperlukan personel yang memiliki
kompetensi teknis dan professional dalam bekerja.
4. Mekanisme ekonomi dan mekanisme pasar
Mekanisme ekonomi terkait dengan pemberian penghargaan dan
hukuman (reward and punishment) yang bersifat finansial, sedangkan
mekanisme pasar terkait dengan penggunaan sumber daya yang
menjamin terpenuhinya value for money. Ukuran kinerja digunakan
13
sebagai dasar untuk memberikan penghargaan dan hukuman (alat
pembinaan).
5. Mekanisme sumber daya manusia
Pemerintah perlu menggunakan beberapa mekanisme untuk memotivasi
stafnya untuk memperbaiki kinerja personal dan organisasi. Peran indikator
kinerja bagi pemerintah antara lain :
a) Untuk membantu memperjelas tujuan organisasi
b) Untuk mengevaluasi target akhir (final outcome) yang dihasilkan
c) Sebagai masukan untuk menentukan skema insensif manajerial
d) Memungkinkan pemakai jasa layanan pemerintah melakukan pilihan
e) Untuk menunjukkan standar kinerja
f) Untuk menunjukkan efektivitas
g) Untuk membantu menentukan aktivitas yang memiliki efektivitas biaya
yang paling baik untuk mencapai target sasaran
h) Untuk menunjukkan wilayah, bagian, atau proses yang masih potensial
untuk dilakukan penghematan biaya.
Pengukuran Value for Money
Kriteria pokok manajemen publik didasari atas: ekonomi, efisiensi,
efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas publik. Dengan tujuan yang
dikehendaki masyarakat mencakup pertanggungjawaban atas pelaksanaan value
for money, yaitu: ekonomis (hermat cermat) dalam pengadaan dan alokasi
sumberdaya, efisiensi (berdaya guna) dalam penggunaan sumberdaya, serta efektif
(berhasil guna) dalam arti mencapai tujuan atau sasaran. Untuk mengukur kinerja
organisasi dapat dilakukan secara obyektif digunakanlah indikator kinerja, yang
idealnya terkait paada efisiensi biaya dan kualitas pelayanan (Smith, 1995).
Pengembangan Indikator Valur for Money
Peran indikator kinerja adalah untuk menyediakan informasi sebagai
pertimbangan untuk pembuatan keputusan. Indikator value for money dibagi
menjadi dua bagian, yaitu: indikator alokasi biaya (ekonomi dan efisisensi), dan
14
indikator kualitas pelayanan (efektifitas). Indikator kinerja harus dapat
dimanfaatkan oleh pihak internal maupun eksternal dan juga akan membantu
pemerintah dalam proses pengambilan keputusan anggaran dan dalam mengawasi
kinerja anggaran (Damanik, 2000).
Tiga pokok bahasan dalam indikator value for money:
1) Ekonomi
Ekonomi adalah hubungan antara pasar dan masukan (cost of input).
Dengan kata lain, ekonomi adalah praktik pembelian barang dan jasa input
dengan tingkat kualitas tertentu pada harga terbaik yang dimungkinkan
(spending less).
2) Efisiensi
Efisiensi berhubungan erat dengan konsep produktifitasnya.
Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara
output yang dihasilakn terhadap input yang digunakan (cost of output), dan
dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat
dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya
(spending well).
3) Efektifitas
Pada dasarnya berhubungan erat dengan pencapaian tujuan atau target
kebijakan (hasil guna). Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses
kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (spending wisely).
Dari uraian diatas, value for money sangat berkaitan. Ekonomi membahas
masukan (input), efisiensi membahas masukan (input) dan keluaran (output), dan
efektifitas membahas mengenai keluaran (output) dan dampak (outcome).
Menurut Carol dan Deborah (2003), indikator efisiensi dan efektifitas
harus digunakan secara bersama-sama. Karena disatu pihak mungkin
pelaksanaanya sudah dilakukan secara ekonomis dan efisien akan
tetapi output yang dihasilkan tidak sesuai target. Sedang dipihak lain, program
dikatakan efektif dalam mencapai tujuan, tetapi tidak dicapai dengan cara
ekonomis dan efisien. Jika suatu program efektif dan efisien maka program
tersebut dikatakan cost-effectivenness.
Langkah-langkah Pengukuran Value for Money
15
a) Pengukuran Ekonomi
Pengukuran ekonomi hanya mempertimbangkan masukan yang
dipergunakan dan merupakan ukuran relatif.
b) Pengukuran Efisiensi
Efisiensi dapat diukur dengan rasio antara output dengan input.
Rasio efisiensi tidak dinyatakan dalam bentuk absolute tetapi dalam
bentuk relatif, karena efisiensi diukur dengan membandingkan keluaran dan
masukan, maka perbaikan efisiensi dapat dilakukan dengan cara:
Meningkatkan output pada tingkat input yang sama
Meningkatkan output dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi
peningkatan input.
Menurunkan input pada tingkatan output yang sama.
Menurunkan input dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi
penurunan output.
c) Pengukuran Efektifitas
Efektifitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai
tujuannya. Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka
organisasi tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif.
d) Pengukuran Outcome
Outcome adalah dampak suatu program atau kegiatan terhadap
masyarakat. Outcome lebih tinggi nilainya daripada output,
karena output hanya mengukur hasil tanpa mengukur dampaknya terhadap
masyarakat, sedangkan outcome mengukur kualitas output dan dampak yang
dihasilkan (Smith, 1996)
e) Estimasi Indikator Kinerja
1. Kinerja tahun lalu
Digunakan sebagai dasar untuk mengestimasi indikator kinerja.
Karena merupakan perbandingan bagi unit untuk melihat seberapa besar
kinerja yang telah dilakukan. Disamping itu, terdapat time lag antara
aktivitas yang telah dilakukan dengan dampak yang timbul dari aktivitas
tersebut. Dampak yang timbul pada tahun sekarang dapat dirasakan pada
tahun yang akan datang.
16
2. Expert Judgement
Digunakan karena kinerja tahun lalu yang sangat berpengaruh
terhadap kinerja berikutnya. Teknik ini menggunakan pengetahuan dan
pengalaman dalam mengestimasi indikator kinerja. Expert
judgement digunakan untuk melakukan estimasi kinerja. Selain itu, dari
segi biaya juga tidak terlalu mahal. Tetapi mempunyai kelemahan yaitu
sangat tergantung pada pandangan subyektif para pengambil keputusan.
Dampak dari pencapaian kinerja tidak secara otomatis dapat dikatakan
bahwa unit tersebut mengalami peningkatan kinerja.
3. Trend
Digunakan dalam mengestimasi indikator kinerja karena adanya
pengaruh waktu dalam pencapaian kinerja unit kerja.
4. Regresi
Regresi dilakukan untuk menentukan seberapa besar pengaruh
variabel-variabel independen mampu mempengaruhi variabel dependen.
f) Pertimbangan dalam Membuat Indikator Kinerja
Langkah awal dalam membuat indikator kinerja ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas adalah memahami operasi dalam menganalisis kegiatan dan
program yang akan dilaksanakan. Terdapat dua jenis kebijakan
yaitu input dan proses yang mempunyai tujuan untuk mengatur alokasi
sumber daya input untuk dikonversi menjadi output melalui satu atau
beberapa proses konversi atau operasi.
Hasil kebijakan ada tiga jenis, yaitu: output, akibat, dampak, dan
distribusi manfaat. Output yang diproduksi diharapkan akan memberikan
sejumlah akibat dan dampak yang positif tehadap tujuan program. Hal ini
disebut dengan outcome program.
Apabila ukuran outcome tidak bersedia dan ukuran efektivitas suatu
program yang dapat dikuantifikasi tidak dapat ditentukan, maka perlu
dikembangkan ukuran kinerja antara. Karena ukuran kinerja pengganti tidak
dapat mengukur secara tepat dalam pencapaian program. Terlalu banyak
perhatian terhadap ukuran pengganti tersebut dapat menyebabkan perilaku
disfungsional pada manajer dan pengambilan keputusan.
17
Kesimpulan
Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan
untuk membantu manajer sektor publik menilai pencapaian suatu strategi melalui
alat ukur finansial dan nonfinansial. Sistem pengukuran kinerja ini dapat dijadikan
sebagai alat pengendalian organisasi. Melalui pengukuran kinerja, keberhasilan
organisasi pemerintah daerah akan lebih dilihat dari kemampuannya, berdasarkan
sumber daya yang dikelolanya, untuk mencapai hasil sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan sebelumnya.
Pengukuran kinerja dilakukan melalui lima tahapan, yaitu perencanaan
strategi, penciptaan indikator kinerja, mengembangkan sistem pengukuran kinerja,
penyempurnaan ukuran, dan pengintegrasian dengan proses manajemen.
Informasi yang digunakan untuk pengukuran kinerja meliputi informasi
finansial dan non-finansial dengan indikator value for money dibagi menjadi dua
bagian, yaitu: indikator alokasi biaya (ekonomi dan efisisensi), dan indikator
kualitas pelayanan (efektifitas). Value for money merupakan inti dari pengukuran
kinerja pada organisasi pemerintah. Permasalahan yang sering dihadapi oleh
pemerintah dalam melakukan pengukuran kinerja adalah sulitnya mengukur
output karena output yang dihasilkan tidak selalu berupa output berwujud tetapi
lebih banyak berupa intangible output.
Untuk dapat mengukur kinerja pemerintah, maka perlu diketahui indikator-
indikator kinerja sebagai dasar penilaian kinerja berupa ekonomik, efisiensi dan
efektivitas. indikator efisiensi dan efektifitas harus digunakan secara bersama-
sama. Karena disatu pihak mungkin pelaksanaanya sudah dilakukan secara
ekonomis dan efisien akan tetapi output yang dihasilkan tidak sesuai target.
Sedang dipihak lain, program dikatakan efektif dalam mencapai tujuan, tetapi
tidak dicapai dengan cara ekonomis dan efisien. Jika suatu program efektif dan
efisien maka program tersebut dikatakan cost-effectivenness.
DAFTAR PUSTAKA
18
Arja Sardjito. 2000. Akuntabilitas dan pengukuran kerja pemerintahan. Jurnal
Akuntansi & Keuangan 2(2): 138–150.
Ballantine, J. A., Brignall, T. J. and Modell, S., 1998. Performance measurement
and management in public health services: a comparison of UK and
Swedish practice. Management Accounting Research 9(1): 71–94.
Barnow, BS. 1992. The Effect of Performance Standards on State and Local
Programs. Cambridge MA, Harvard University Press.
Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta:
Erlangga.
Burgess, S, Propper, C and Wilson, D. 2002. Does Performance Monitoring
Work? A Review of the Evidence from the UK Public Sector, Excluding
Health Care. CMPO University of Bristol 49(2).
Carol P and Deborah W. 2003. The Use and Usefulness of Performance Measures
in the Public Sector. CMPO Working Paper Series 3(73).
Damanik, Usman. 2000. Paradigma Baru Pengawasan Keuangan Negara.
Makalah Kongres Nasional Akuntan Indonesia IV.
Dixit, A. 2002. Incentives and Organizations in the Public Sector: An Interpretive
Review. Journal of Human Resources 37(4), 696-727.
Johnsen, Å., 1999. Implementation mode and local government performance
measurement: A Norwegian experience. Financial Accountability and
Management 15(1): 41–66.
Kloot, L. and Martin, J., 2000. Strategic performance management: A balanced
approach to performance management issues in local government.
Management Accounting Research, 11(3): 231–251.
Lapsley, I., Mitchell, F. 1996. Accounting and Performance Measurement. Issues
in the Private and Public Sectors. Paul Chapman Publishing.
Mahmudi. (2005). Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN.
19
Mannion, R and Goddard, M. 2000. The Impact of Performance Measurement in
the NHS: Report 3: Performance Measurement Systems: A Cross-Sectoral
Study. Report prepared for the Department of Health, Centre for Health
Economics, University of York.
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Modell, S., 1998. Performance Measurement Systems and Control in Municipal
Services (in Swedish). Research Report SNF 55-98.
Nordiawan, Deddi. 2011. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.
Osbourne S, Bovaird, T, Martin, S, Tricker, M, Waterson, P. 1995. Performance
Management and Accountability in Complex Public Programmes.
Financial Accountability and Management 11(2): 19-37.
Prodjoharjono, Soepomo. 2000. Redefinisi Akuntan Sektor Publik dalam Upaya
Penciptaan Good Government Governance. Makalah Kongres Nasional
Akuntan Indonesia IV.
Smith, P. 1995. On the Unintended Consequences of Publishing Performance
Data in the Public Sector. International Journal of Public Administration
18(3): 277-310
Soelendro, Ari. 2000. Paradigma Baru Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
Makalah Kongres Nasional Akuntan Indonesia IV.
Ulum, Ihyaul. 2012. Audit Sektor Publik. Jakarta: Bumi Aksara.
Yunus, Hadori. 2000. Paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik. Makalah
Kongres Nasional Akuntan Indonesia IV.
20