Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional...

92
Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja Oleh : Kartini Ayu Trisnawati ( 1329111006 ) Abstrak: Penulisan laporan ini bertujuan untuk membantu menangani krisis identitas yang dialami siswa kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja. Kegiatan eksperimen sederhana yang dilaksanakan dengan subjek terdiri dari lima kelas yang masing-masing terdiri atas 27 orang siswa sehingga total jumlahnya 140 orang. Terdapat 18 siswa yang menampakan perilaku remaja yang mengalami krisis identitas dilihat berdasarkan persentase hasil kuesionernya dan observasi langsung, dan ke-18 siswa tersebut diberikan tindakan berupa konseling kelompok dengan pendekatan kognitif perilaku dan rasional emotif. Hasil analisis menunjukkan bahwa upaya mengatasi krisis identitas yang dialami oleh siswa dengan menggunakan layanan konseling kelompok dengan pendekatan kognitif perilaku dan rasional emotif pada siswa kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja berhasil, karena terjadi perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih positif secara individu maupun kelompok. Yang mana konseling kognitif perilaku dengan rata-rata persentase peningkatan sebesar 41,44% dapat dikatakan lebih efektif dalam membantu menangani krisis identitas yang dialami oleh siswa dibandingkan konseling rasional emotif yang rata-rata persentase peningkatannya hanya 38,89%. Kata Kunci : Konseling Kelompok, Konseling Kognitif Perilaku, Konseling Rasional Emotif, Krisis Identitas 1

description

Laporan Penelitian Sederhana mengenai Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja

Transcript of Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional...

Page 1: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan

Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif

Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa

Kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja

Oleh :

Kartini Ayu Trisnawati ( 1329111006 )

Abstrak: Penulisan laporan ini bertujuan untuk membantu menangani krisis identitas yang dialami siswa kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja. Kegiatan eksperimen sederhana yang dilaksanakan dengan subjek terdiri dari lima kelas yang masing-masing terdiri atas 27 orang siswa sehingga total jumlahnya 140 orang. Terdapat 18 siswa yang menampakan perilaku remaja yang mengalami krisis identitas dilihat berdasarkan persentase hasil kuesionernya dan observasi langsung, dan ke-18 siswa tersebut diberikan tindakan berupa konseling kelompok dengan pendekatan kognitif perilaku dan rasional emotif. Hasil analisis menunjukkan bahwa upaya mengatasi krisis identitas yang dialami oleh siswa dengan menggunakan layanan konseling kelompok dengan pendekatan kognitif perilaku dan rasional emotif pada siswa kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja berhasil, karena terjadi perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih positif secara individu maupun kelompok. Yang mana konseling kognitif perilaku dengan rata-rata persentase peningkatan sebesar 41,44% dapat dikatakan lebih efektif dalam membantu menangani krisis identitas yang dialami oleh siswa dibandingkan konseling rasional emotif yang rata-rata persentase peningkatannya hanya 38,89%.

Kata Kunci : Konseling Kelompok, Konseling Kognitif Perilaku, Konseling Rasional Emotif, Krisis Identitas

A. Pendahuluan

A.1 Identifikasi Masalah

Perkembangan jaman yang semakin modern terutama pada era

globalisasi seperti sekarang ini menuntut adanya sumber daya manusia yang

berkualitas tinggi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan

prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu wahana

untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut adalah

pendidikan.

1

Page 2: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi

sumber daya manusia melalui kegiatan pengajaran. UU Sistem Pendidikan

Nasional No. 20 tahun 2003, menyatakan, bahwa tujuan pendidikan nasional

adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia

Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha

Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,

kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta

tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Menurut Musaheri (2007 : 48), pendidikan dalam arti luas merupakan

bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain

untuk mengembangkan dan memfungsionalkan rohani ( pikiran, rasa, karsa,

cipta dan budi nurani ) manusia dan jasmani ( pancaindera dan keterampilan-

keterampilan ) manusia agar meningkat wawasan pengetahuannya. Jadi

pendidikan tidak cukup terfokus pada aspek kognitif semata tetapi juga aspek

non kognitif. Kedua aspek ini memberi pengaruh yang cukup besar terhadap

perkembangan peserta didik. Pendidikan kognitif mengembangkan aspek

intelektual, sedangkan aspek non kognitif membantu mengembangkan sikap

dan keterampilan.

Sebagaimana diketahui bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua

faktor besar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal

meliputi masyarakat, keluarga dan sekolah. Masyarakat selain berperan

sebagai pemberi masukan dalam mengembangkan pendidikan, juga membantu

menyediakan sarana dan prasarana belajar. Sedangkan keluarga berperan

sebagai peletak dasar bagi anak-anak. Gunarsa (1976:9) menyatakan bahwa,

keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan

dan kecerdasan intelektuil manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan

anggota keluarganya sendiri. Selain keluarga sebagai tempat pendidikan anak,

sekolah berperan melanjutkan pendidikan keluarga dengan memberi

pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan akademis dan non

akademis. Demikianlah pendidikan itu dilakukan dalam tiga tempat untuk

saling melengkapi. Dalam UU SPN RI No: 20/2003 Bab I Ketentuan Umum

2

Page 3: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

ayat 2 tentang sistem Pendidikan tertera bahwa, semua proses pendidikan itu

bertujuan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa

dan negara.

Kenyataan di lapangan mengindikasikan bahwa sekolah lebih

mengutamakan nilai hasil belajar/akademik dari pada pengembangan

kepribadian. Persyaratan untuk memasuki sekolah pada jenjang pendidikan

tertentu menggunakan nilai UAN (Ujian Akhir Nasional), seleksi TPA (Tes

Potensi Akademik), dan persyaratan akademis lainnya. Jarang kita mendengar

ada sekolah yang menggunakan kepribadian sebagai persyaratan diterima

sebagai siswa baru pada sekolah tertentu. Akibatnya banyak sekolah yang

hanya menekankan pada bagaimana caranya agar nilai akademis anak dapat

ditingkatkan. Dampak lanjutannya adalah anak banyak diberikan les-les atau

bimbingan belajar, baik yang dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah;

diselenggarakannya lomba-lomba peningkatan prestasi akademik seperti

olimpiade matematika, fisika, biologi, dan berbagai jenis lomba akademik

lainnya.

Akibat dari adanya ketidakseimbangan kedua aspek pendidikan

tersebut, anak terkesan menjadi anak pintar tetapi angkuh dan meninggalkan

aspek emosional. Goleman (2003 : 48) menyatakan bahwa keberhasilan

seseorang dalam hidup, dalam hal ini keberhasilan berperilaku sosial yang

positif bukan hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual semata akan tetapi

banyak dipengaruhi oleh kecerdasan emosional. Banyak bukti yang

memperlihatkan bahwa orang yang secara emosional cakap mengelola

perasaan dengan baik, dan yang mampu membaca serta menghadapi perasaan

orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam bidang hidup.

Sebagaimana dikatakan oleh Kartadinata, dkk (2000 : 06) bahwa,

kebermutuan SDM tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual, tetapi

juga kecerdasan sosial dan emosional. Keberhasilan atau prestasi yang dicapai

manusia masyarakat global tidak semata-mata ditentukan oleh kecerdasan

3

Page 4: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

intelektual tapi juga oleh ketekunan, komitmen, motivasi, kesungguhan,

disiplin dan etos kerja, kemampuan berempati, dan berinterelasi.

Jadi, perilaku sosial memegang peranan penting dalam kehidupan. Hal

ini merupakan salah satu aspek non kognitif yang seringkali dilupakan

peranannya. Indikasi perilaku sosial yang baik adalah seperti sopan santun,

kemampuan berempati, suka bekerjasama, membantu orang lain, tidak

memaksakan kehendak kepada orang lain akan memperoleh penyesuaian yang

baik di masyarakat dan bisa diterima masyarakat serta terciptanya

keharmonisan hubungan antar sesama. Sebaliknya, orang yang cerdas secara

intelektual akan tetapi tidak tahu bagaimana bergaul, egois, ingin menang

sendiri, tidak menghargai orang lain, tidak akan diterima baik oleh masyarakat

dalam pergaulannya.

Pada umumnya sekolah merupakan salah satu lingkungan pendidikan

yang terdiri dari berbagai macam individu dengan segala keunikan dan

perbedaan-perbedaan. Hal ini sangat memungkinkan anak untuk dapat

mengembangkan perilakunya karena anak akan berinteraksi dengan banyak

orang yang berbeda dan mereka akan belajar menerima perbedaan tersebut.

Seperti yang telah diketahui bahwa di sekolah masih banyak siswa - siswa

yang memiliki perilaku rendah, baik itu di dalam kelas maupun di luar kelas.

Untuk mengatasi perilaku tersebut guru telah melakukan usaha-usaha yang

bertujuan untuk membina siswa. Akan tetapi tampaknya pembinaan guru

terhadap siswa tersebut tidak berhasil secara optimal karena anak tetap

menampakkan perilaku yang menyimpang.

Perilaku menyimpang disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal

dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor penyebab yang berasal

dari dalam diri seseorang seperti kebutuhan yang tidak terpenuhi, motif-motif

tertentu, kecemasan, konflik batin, kemampuan belajar lamban, konsep diri

yang negatif (mudah cemas, pemalu, dan sombong). Anak-anak yang

memiliki perilaku bermasalah akibat dari gangguan dalam pribadinya.

Faktor eksternal merupakan faktor penyebab dari luar diri seseorang

seperti lingkungan geografis dan lingkungan sosial (keluarga, sekolah dan

masyarakat). Faktor luar tersebut adalah pengalaman - pengalaman yang

4

Page 5: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

diperoleh dari alam sekitar dan pendidikan. Lingkungan sosial yang tidak

terkodisi merupakan sumber utama penyebab terbentuknya perilaku

menyimpang, seperti pergaulan anak-anak di luar rumah atau masyarakat.

Gunarsa (1979) menyatakan bahwa anak yang terlalu disayang, dilindungi dan

dimanja oleh keluarganya mengakibatkan anak menjadi malu, cemas,

ketakutan serta tingkah lakunya tidak patuh, maka disekolah akan

memperlihatkan gejala-gejala yang sama seperti di rumah, tidak patuh dengan

peraturan-peraturan dan perintah-perintah, suka menarik perhatian dan

menguasai orang lain atau alat permainan anak lainnya. Gambaran yang

didapat dari pernyataan tersebut adalah kasih sayang yang tidak wajar dari

kedua orang tuanya dapat menimbulkan perilaku menyimpang pada anak.

Ketidak harmonisan keluarga seperti perceraian keluarga yang tidak lengkap

strukturnya, ketidak hadiran orang tua dalam waktu yang lama secara

berencana atau kontinu dapat memicu terjadinya perilaku menyimpang pada

anak. Pendapat-pendapat di atas memberikan indikasi bahwa faktor internal

dan eksternal sangat memberikan warna terhadap perilaku seseorang. Konsep

diri sebagai salah satu faktor internal dan pola asuh orang tua sebagai faktor

eksternal sangat mempengaruhi terbentuknya kecenderungan perilaku

menyimpang.

Konsep diri sebagai pusat perilaku pada individu tentunya akan

menentukan pola perilaku individu dalam menghadapi lingkungan di sekitar

serta cara berinteraksi dengan orang lain. Siswa dengan konsep diri yang

negatif cenderung untuk memiliki reaksi negatif terhadap dirinya, teman, guru

dan pendidikannya di sekolah, dan begitu pula sebaliknya. Misalnya, jika

tidak tertanam dengan kuat konsep diri positif seperti tanggung jawab dalam

belajar dan mengikuti pendidikan dengan penuh semangat, maka siswa akan

mudah terpengaruh oleh lingkungan sebayanya yang berkecenderungan

menyimpang, contohnya membolos, tidak mengerjakan tuhas-tugas yang

diberikan, atau perilaku-perilaku menyimpang seperti berkelahi dan

melanggar peraturan. Hal sebaliknya akan ditunjukan oleh siswa dengan

konsep diri yang positif, yang dalam pengasuhan orang tua ditanamkan

konsep-konsep diri yang positif seperti tanggung jawab, maka siswa

5

Page 6: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

bersangkutan akan mengikuti pelajaran dengan seksama, menuruti setiap

peraturan yang berlaku dan tidak akan mudah terpengaruh dengan lingkungan

yang berkecenderungan menyimpang. Konsep diri merupakan sebuah

pernyataan tentang “siapa saya” yang akan menentukan bagaimana seorang

individu bersikap dan berperilaku dalam kesehariannya, dan bagaimana

individu tersebut menerima atau menolak berbagai pengaruh dari

lingkungannya.

Dalam literatur berjudul Kenakalan Orang Tua Penyebab Kenakalan

Remaja, dikatakan bahwa kenakalan remaja, perilaku agresif dan perilaku

menyimpang diidentifikasi sebagai tiga bentuk problem psikososial yang

paling umum dialami oleh remaja. Menurut perspektif perkembangan yang

banyak memusatkan perhatian pada perkembangan remaja, yakni teori

perkembangan psikososial dari Erikson (1968), problem psikososial pada

remaja dapat diatribusikan dengan adanya hambatan dalam menangani isu

perkembangan psikososial pada periode remaja, yakni krisis identitas.

Maka penelitian yang dilaksanakan ini dimaksudkan untuk

memperoleh suatu model intervensi konseling yang efektif untuk menangani

krisis identitas dan problem psikososial remaja. Dalam penelitian ini akan

dicobakan program konseling kelompok untuk membantu siswa dalam

mengatasi krisis identitas mereka. Akan tetapi penyelesaian krisis identitas

tentu tidak cukup hanya melalui konseling kelompok. Selanjutnya siswa yang

belum mampu menyelesaikan krisis identitasnya dalam konseling kelompok

akan diperlakukan juga dengan konseling kognitif perilaku dan konseling

rasional emotif yang diharapkan mampu menuntaskan masalah krisis identitas

siswa.

A.2 Permasalahan Yang Akan Di Angkat

Dalam literatur, kenakalan remaja, perilaku agresif dan perilaku

menyimpang diidentifikasi sebagai tiga bentuk problem psikososial yang paling

umum dialami oleh remaja. Menurut perspektif perkembangan yang banyak

6

Page 7: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

memusatkan perhatian pada perkembangan remaja, yakni teori perkembangan

psikososial dari Erikson (1968), problem psikososial pada remaja dapat

diatribusikan dengan adanya hambatan dalam menangani isu perkembangan

psikososial pada periode remaja, yakni krisis identitas.

Krisis identitas yang dialami oleh siswa kelas VIII SMP Laboratorium

Undiksha Singaraja berdasarkan hasil observasi merupakan bentuk kenakalan

remaja tingkat sedang. Permasalahan yang mereka alami berpusat pada masalah

adaptasi siswa dengan lingkungan sekitarnya, seperti siswa yang suka main tangan

dan berbicara dengan bahasa yang kasar karena teman di sekitar rumahnya adalah

orang dewasa yang tidak baik (preman). Permasalahan lainnya adalah

kecemburuan yang terjadi di rumahnya terbawa ke sekolah sehingga siswa

berusaha mencari perhatian disekolah dengan cara yang salah, siswa yang suka

korupsi uang SPP, siswa yang suka mengganggu siswa lain dengan kejahilan yang

agak diluar batas dan banyak masalah lainnya.

Maka penelitian yang dilaksanakan ini dimaksudkan untuk memperoleh

suatu model intervensi konseling yang efektif untuk menangani krisis identitas

dan problem psikososial remaja. Keterkaitan antara keduanya adalah dimana

diberikan program konseling kelompok dengan dua pendekatan yaitu konseling

kognitif perilaku dan konseling rasional emotif untuk membantu siswa dalam

mengatasi krisis identitas mereka. Dari dua pendekatan ini mana yang bisa

menuntaskan permasalahan krisis identias siswa kelas VIII SMP Laboratorium

Undiksha Singaraja ini.

B. Kajian Teori

B.1 Jenis Layanan

Menurut Depdiknas, ”program bimbingan dan konseling mengandung empat

komponen pelayanan, yaitu: (1) pelayanan dasar bimbingan; (2) pelayanan

responsif, (3) perencanaan individual, dan (4) dukungan sistem”. Adapun

pengertian tiap-tiap komponen pelayanan tersebut sebagai berikut:

7

Page 8: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

1. Pelayanan Dasar

Pelayanan dasar diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada

seluruh konseli melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara

klasikal atau kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka

mengembangkan perilaku jangka panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas

perkembangan (yang dituangkan sebagai standar kompetensi kemandirian)

yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan memilih dan mengambil

keputusan dalam menjalani kehidupannya. Kurikulum bimbingan ini

diperuntukan kepada seluruh peserta didik yang diharapkan dapat

memfasilitasi peningkatan keterampilan sesuai dengan tahap perkembangan

peserta didik. Penggunaan instrumen asesmen perkembangan dan kegiatan

tatap muka terjadwal di kelas sangat diperlukan untuk mendukung

implementasi komponen ini. Asesmen kebutuhan diperlukan untuk dijadikan

landasan pengembang; pengalaman terstruktur yang disebutkan.

2. Pelayanan Responsif

Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli

yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan

dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan

dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan. Hal tersebut sejalan

dengan pendapat yang di ungkapkan oleh Gysbers & Henderson (American

School Counselor Association, 2005: 22), tujuan pelayanan ini adalah

memberikan bantuan khusus bagi konseli yang menghadapi kebutuhan dan

masalah yang memerlukan pertolongan degan segera.

3. Perencanaan Individual

Perencanaan individual diartikan sebagai bantuan kepada peserta didik

agar mampu merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan

perencanaan masa depan berdasarkan pemahaman akan kelebihan dan

kekurangan dirinya, serta pemahaman akan peluang dan kesempatan yang

8

Page 9: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

tersedia di lingkungannya. Pemahaman konseli secara mendalam dengan

segala karakteristiknya, penafsiran hasil asesmen, dan penyediaan informasi

yang akurat sesuai dengan peluang dan potensi yang dimiliki konseli amat

diperlukan sehingga konseli mampu memilih dan mengambil keputusan yang

tepat di dalam mengem-bangkan potensinya secara optimal, termasuk

keberbakatan dan kebutuhan khusus konseli. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat yang di ungkapkan oleh Gysbers & Henderson (American School

Counselor Association, 2005: 22), perencanaan individual merupakan

kegiatan yang sistematis yang dirancang untuk membantu peserta didik

memahami dan mengambil tindakan untuk mengembangkan rencana masa

depan.

4. Dukungan Sistem

Ketiga komponen di atas, merupakan pemberian bimbingan dan

konseling kepada konseli secara langsung. Menurut Gysber & Henderson

(2006: 81), dukungan sistem merupakan komponen pelayanan dan kegiatan

manajemen, tata kerja infra struktur (misalnya Teknologi Informasi dan

Komunikasi), dan pengembangan kemampuan profesional konselor secara

berkelanjutan, yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada

konseli atau memfasilitasi kelancaran perkembangan konseli.

Program ini memberikan dukungan kepada konselor dalam

memperlancar penyelenggaraan pelayanan di atas. Sedangkan bagi personel

pendidik lainnya adalah untuk memperlancar penyelenggaraan program

pendidikan di sekolah/madrasah. Dukungan sistem ini meliputi aspek-aspek:

(a) pengembangan jejaring (networking), (b) kegiatan manajemen, (c) riset dan

pengembangan.

Berdasarkan pembahasan diatas dapat diketahui bahwa jenis pelayanan

yang akan dilaksanakan adalah pelayanan responsif karena permasalahan-

permasalahan yang dialami oleh para siswa ini bila tidak segera dituntaskan

dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas

9

Page 10: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

perkembangannya sebagai remaja yang sedang dalam perjalanan menemukan

jati dirinya.

1. Konseling Kelompok

1.1. Pengertian Konseling

Proses konseling pada dasarnya dilakukan secara indifidual

(between two persons). Yaitu antara seorang konseli dan konselor,

walaupun dalam perkembangan kemudian ada konseling kelompok (group

counseling). Pemecahan masalah dalam proses konseling itu dijalankan

dengan wawancara atau diskusi antara seorang konseli dan konselor dan

wawancara itu dijalankan secara face to face. (tatap muka). Dengan urayan

tersebut dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan bantuan yang

diberikan kepada peserta didik untuk memecahkan masalah kehidupanya

dengan cara wawancara dan dengan cara yang sesuai dengan keadaan yang

dihadapi induvidu untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Dalam hal ini

perlu diketahui bahwa individu pada akhirnya dapat memecahkan masalah

dengan kemampuanya sendiri, dengan demikian konseli konseli tetap

dalam keadaan aktif memupuk kesanggupanya sendiri didalam

memecahkan setiap masalah yang mungkin akan dihadapi dalam

kehidupanya. Dari penjelasan diatas dapat dikemukakan bahwa konseling

lebih bersifat kuratif atau korektif. (Walgito, 2010:8)

1.2. Pengertian Kelompok

Pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial yang hidup

berkelompok, yang tidak bisa hidup dari bantuan orang lain. Menurut

Brodbeek dan Lewin (dalam Hartinah, 2009:20). Mengemukakan bahwa

kelompok dengan menggambarkanya sebagai kumpulan individu-individu

yang mempunyai hubungan-hubungan tertentu, yang membuat mereka

saling ketergantungan satu sama lain dalam ukuran-ukuran yang bermakna.

Menurutnya kelompok adalah untuk melangsungkan hidupnya karena

10

Page 11: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

dengan kelompok manusia dapat memenuhi kebutuhan, mengembangkan

diri, mengembangkan potensi, serta aktualisasi diri.

1.3 Konseling Kelompok (Counseling Group)

Istilah kelompok konseling sebenarnya tidak hanya digunakan di

institusi pendidikan sekolah, tetapi di Indonesia hanya digunakan oleh

jajaran tenaga bimbingan pada jenjang pendidikan menengah dan

perguruan tinggi. Dapat disimpulkan bahwa dalam konseling kelompok

yaitu membantu mengembangkan hubungan antar pribadi melalui orang-

orang berketerampilan sosial. Dan kelompok berfungsi sebagai

laboratorium atau lokakarya keterampilan kelompok yang efektif.

Layanan konseling kelompok pada hakekatnya adalah suatu proses

antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan perilaku yang

disadari, dibina dalam suatu kelompok kecil mengungkapkan diri kepada

sesama anggota dan konselor, dimana komunikasi antar pribadi tersebut

dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri

terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk belajar

perilaku tertentu ke arah yang lebih baik dari sebelumnya (Winkel, 2004).

Konseling kelompok bersifat memberikan kemudahan dalam

pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam arti bahwa konseling

kelompok  memberikan dorongan dan motivasi kepada individu untuk

membuat perubahan-perubahan dengan memanfaatkan potensi secara

maksimal sehingga dapat mewujudkan diri.

Pendekatan ini menitik beratkan pada interaksi antar anggota,

anggota dengan pemimipin kelompok dan sebaliknya. Interaksi ini selain

berusaha bersama untuk dapat memecahkan masalah juga anggota

kelompok dapat belajar untuk mendengarkan secara aktif, melakukan

konfrontasi dengan tepat, memperlihatkan perhatian dengan sungguh-

sungguh terhadap anggota lain.

11

Page 12: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Kesempatan memberi dan menerima dalam kelompok akan

menimbulkan rasa saling menolong, menerima, dan berempathi dengan

tulus. Keadaan ini membutuhkan suasana yang positif antar anggota,

sehingga mereka akan merasa diterima, dimengerti, dan menambah rasa

positif dalam diri mereka.

Dalam konseling kelompok, dengan memanfaatkan dinamika

kelompok para anggota kelompok dapat mengembangkan diri dan

memperoleh keuntungan-keuntungan lainnya. Arah pengembangan diri

yang dimaksud terutama adalah dikembangkannya kemampuan-

kemampuan sosial secara umum yang selayaknya dikuasai oleh individu

individu yang berkepribadian mantap. Keterampilan berkomunikasi secara

efektif, sikap tenggang rasa, memberi dan menerima, toleran,

mementingkan musyawarah untuk mencapai mufakat seiring dengan sikap

demokratis, memiliki rasa tanggung jawab sosial seiring dengan

kemandirian yang kuat merupakan arah pengembang pribadi yang dapat

dijangkau melalui diaktifkannya dinamika kelompok itu.

Layanan konseling kelompok memberikan kesempatan kepada

anggota kelompok berinteraksi antar pribadi yang khas, yang tidak

mungkin terjadi pada layanan konseling individual. Interaksi sosial yang

intensif dan dinamis selama pelaksanaan layanan, diharapkan tujuantujuan

layanan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan individu anggota

kelompok dapat tercapai secara mantap. Pada kegiatan konseling

kelompok setiap individu mendapatkan kesempatan untuk menggali tiap

masalah yang dialami anggota. Kelompok dapat juga dipakai untuk belajar

mengekspresikan perasaan, menunjukan perhatian terhadap orang lain, dan

berbagi pengalaman.

Pendekatan interaksional merupakan pendekatan yang digunakan

dalam layanan konseling kelompok. Pendekatan ini menitikberatkan pada

interaksi antar anggota, anggota dengan pemimpin kelompok dan

sebaliknya. Interaksi ini selain berusaha bersama untuk dapat memecahkan

12

Page 13: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

masalah juga anggota kelompok dapat belajar untuk  mendengarkan secara

aktif, melakukan konfrontasi dengan tepat, memperlihatkan perhatian

dengan sungguh-sungguh terhadap anggota lain.

Kesempatan memberi dan menerima dalam kelompok akan

menimbulkan rasa saling menolong, menerima, dan berempathi dengan

tulus. Keadaan ini membutuhkan suasana yang positif antar anggota,

sehingga mereka akan merasa diterima, dimengerti, dan menambah rasa

positif dalam diri mereka.

Konseling kelompok merupakan wahana untuk menambah

penerimaan diri dan orang lain, menemukan alternatif cara penyelesaian

masalah dan mengambil keputusan yang tepat dari konflik yang

dialamimya dan untuk meningkatkan tujuan diri, otonomi dan rasa

tanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain. Dengan  demikian

konseling kelompok memberikan kontribusi yang penting dalam

meningkatkan penyesuaian diri, apalagi masalah penyesuaian diri

merupakan masalah yang banyak dialami oleh siswa yang menyebabkan

banyak siswa mengalami krisis identitas sehingga mudah terjerumus ke

hal-hal yang negatif seperti tawuran dan penyalahgunaan narkoba,

sehingga untuk mengefisiensikan waktu konseling kelompok

dimungkinkan lebih efektif dibandingkan layanan konseling individual.

2. Konseling Kognitif Perilaku

2.1 Pengertian Konseling Kognitif Perilaku

Pendekatan Konseling Kognitif-Perilaku merupakan pendekatan

konseling yang memadukan pendekatan kognitif dan perilaku untuk

memecahkan masalah. Bush (2003) mengungkapkan bahwa Cognitive

Behavior Therapy ( CBT ) atau Konseling Kognitif Perilaku ( KKP )

merupakan perpaduan dari dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu

13

Page 14: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi kognitif memfokuskan

pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi

individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam berpikir atau

pikiran yang irasional menjadi rasional. Sedangkan terapi tingkah laku

membantu individu untuk membentuk perilaku baru dalam memecahkan

masalahnya.

Beck (1964) mendefinisikan KKP sebagai pendekatan

konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada

saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang

menyimpang. Pedekatan KKP didasarkan pada formulasi kognitif,

keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling

didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan

khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari KKP yaitu munculnya

restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan

untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.

Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-

behavior therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara

spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus

konseling yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran. Para ahli yang

tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral Therapists

(NAKKP), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy

yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang

penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan.

(NAKKP, 2007).

2.2 Proses Konseling Kognitif Perilaku

Pendekatan kognitif perilaku tidak berfokus pada kehidupan masa

lalu dari individu akan tetapi memfokuskan pada masalah saat ini dengan

tidak mengabaikan masa lalu. Secara umum, proses Konseling Kognitif-

Perilaku adalah pembukaan, tahapan inti dan terminasi (pengakhiran).

Menurut Oemarjadi (2003) bahwasanya sesi terapi dalam pendekatan

terapi kognitif perilaku bisa berlangsung sekitar 5 sampai 12 sesi

14

Page 15: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

pertemuan. Adapun yang Cormier dan Cormier (dalam Yuliati, 2004)

mengemukakan beberapa elemen penting dalam proses konseling

kelompok kognitif-perilaku yaitu: rasional, pemodelan, gladi perilaku, dan

pemberian tugas rumah. Berikut akan disajikan tahapan terapi yang

diungkapkan oleh Oemarjoedi (2003: 24-26):

Tabel 1: Proses Konseling Kognitif-Perilaku yang Telah Disesuaikan

Dengan Kultur di Indonesia

No. Proses Sesi

1. Assesmen dan Diagnosa 12. Mencari Pikiran Negatif, Pikiran Otomatis dan

Keyakinan Utama Yang Berhubungan Dengan Gangguan

2

3. Menyusun Rencana Intervensi Dengan Memberikan Konsekwensi positif-negatif Kepada Siswa

3

4. Formulasi Status, Fokus Terapi, Intervensi Tingkah Laku

4

5. Pencegahan 5

Konseling Kognitif-Perilaku terbukti efektif dalam menangani

masalah yang berkenaan dengan gangguan-gangguan yang bersifat

emosional dan perilaku. Untuk itu, Konseling Kognitif Perilaku

merupakan pendekatan yang digunakan dalam melakukan intervensi untuk

mengatasi krisis identitas siswa. Dengan kata lain, banyak teknik yang

digunakan dalam kegiatan konseling dengan mengambil teknik-teknik

Konseling Kognitif Perilaku. Tujuan dari Konseling Kognitif Perilaku

(Oemarjoedi, 2003: 9) yaitu mengajak siswa untuk menentang pikiran-

pikiran yang salah dan menampilkan perilaku yang baru. Untuk itu,

program yang dirancang bertujuan untuk menangani krisis identitas pada

siswa, yatu agar menghentikan atau meminimalisasi hal-hal negatif yang

telah terlanjur dilakukan dalam rangka siswa tersebut menemukan jati

dirinya.

Teori Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 6) pada dasarnya

meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-

15

Page 16: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam

jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor

penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan

bertindak. Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki

potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, di mana

pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah

laku yang menyimpang, maka KKP diarahkan pada modifikasi fungsi

berfikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam

menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali.

Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, konseli diharapkan

dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi

positif. Berdasarkan paparan definisi mengenai KKP, maka KKP adalah

pendekatan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau

pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan

dirinya baik secara fisik maupun psikis. KKP merupakan konseling yang

dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling

ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan

bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa,

pengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali.

Sedangkan, pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun

hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan

mereaksi permasalahan. Tujuan dari KKP yaitu mengajak individu untuk

belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga

merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat

keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan KKP diharapkan

dapat membantu konseli dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan

bertindak.

2.3 Tujuan Konseling Kognitif Perilaku

Tujuan dari konseling Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9)

yaitu mengajak konseli untuk menentang pikiran dan emosi yang salah

dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan

16

Page 17: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu

menolong konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam

diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya.

Dalam proses konseling, beberapa ahli KKP (NAKKP, 2007;

Oemarjoedi,2003) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus

penting dalamkonseling. Oleh sebab itu KKP dalam pelaksanaan

konseling lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan

tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. KKP tetap menghargai masa

lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat konseli

menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir

masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh

sebab itu, KKP lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini

untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif.

2.4 Fokus Konseling Kognitif Perilaku

KKP merupakan konseling yang menitik beratkan pada

restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat

kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih

melihat ke masa depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam KKP

antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi

dan memfasilitasi konseli belajar mengenali dan mengubah kesalahan

dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioral dalam KKP

yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan

kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku,

menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir

lebih jelas.

2.5 Teknik Konseling Kognitif Perilaku

Konselor biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi untuk

mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik yang

biasa dipergunakan oleh para ahli dalam Konseling Kognitif Perilaku

(McLeod, 2006: 157-158) yaitu:

17

Page 18: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

a. Menata keyakinan irasional.

b. Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai

sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.

c. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri

dalam role play dengan konselor.

d.  Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda

dalam situasi riil.

e. Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas

yang dialami pada saat ini dengan skala 0-100.

f. Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran

negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.

g.  Desensitization systematic. Digantinya respons takut dan cemas

dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan

secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat

sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional

konseli.

h.  Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat

menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.

i.  Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa

bertindak tegas.

j.  In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah

dengan memasuki situasi tersebut.

k. Covert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan

menekankan kepada proses psikologis yang terjadi di dalam diri

individu. Peranannya di dalam mengontrol perilaku berdasarkan

kepada imajinasi, perasaan dan persepsi.

2.6 Prinsip – Prinsip Konseling Kognitf Perilaku

Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau

permasalahan konseli, tentunya konselor harus memahami prinsip-prinsip

yang mendasari KKP. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip ini diharapkan

dapat mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam

18

Page 19: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

merencanakan proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-

teknik KKP. Berikut adalah prinsip-prinsip dasar dari KKP berdasarkan

kajian yang diungkapkan oleh Beck (2011):

Prinsip 1: Konseling Kognitf Perilaku didasarkan pada

formulasi yang terus berkembang dari permasalahan konseli dan

konseptualisasi kognitif konseli. Formulasi konseling terus diperbaiki

seiring dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada

momen yang strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan

konseptualisasi kognitif konseli yang menyimpang dan meluruskannya

sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian antara

berfikir, merasa dan bertindak.

Prinsip 2: Konseling Kognitf Perilaku didasarkan pada pemahaman

yang sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang

dihadapi konseli. Melalui situasi konseling yang penuh dengan

kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap permasalahan

konseli akan membuat pemahaman yang sama terhadap permasalahan

yang dihadapi konseli. Kondisi tersebut akan menunjukan sebuah

keberhasilan dari konseling.

Prinsip 3: Konseling Kognitf Perilaku memerlukan kolaborasi dan

partisipasi aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling

maka keputusan konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan

konseli. Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling,

karena konseli mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi

konseling.

Prinsip 4: Konseling Kognitf Perilaku berorientasi pada tujuan dan

berfokus pada permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan

evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini

diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-pikiran yang

19

Page 20: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus pada

permasalahan konseli.

Prinsip 5: Konseling Kognitf Perilaku berfokus pada kejadiansaat ini.

Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat

ini dan di sini (here and now). Perhatian konseling beralih pada dua

keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam

melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses

berfikir yang menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang

berpotensi merubah kepercayaan dan tingkahlaku ke arah yang lebih baik.

Prinsip 6: Konseling Kognitf Perilaku merupakan edukasi, bertujuan

mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri,

dan menekankan pada pencegahan. Sesi pertama KKP mengarahkan

konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya

termasuk proses konseling cognitive-behavior serta model kognitifnya

karena KKP meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi dan perilaku.

Konselor membantu menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi dan

mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemudian

merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.

Prinsip 7: Konseling Kognitf Perilaku berlangsung pada waktu yang

terbatas. Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan

antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu

yang panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu dan

melatih konseli untuk melakukan self-help.

Prinsip 8: Sesi Konseling Kognitf Perilaku yang terstruktur.Struktur

ini terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal, menganalisis

perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian yang terjadi dalam satu

minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi

konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework

20

Page 21: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

asigment), membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang

telah berlangsung, serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan

dilakukan. Bagian akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan

dari setiap sesi konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini membuat

proses konseling lebih dipahami oleh konseli dan

meningkatkan kemungkinan mereka mampu melakukan self-help di akhir

sesi konseling.

Prinsip 9: Konseling Kognitf Perilaku mengajarkan konseli untuk

mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi

pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari konseli

memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan

mempengaruhi suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor

membantu konseli dalam mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan

dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang mengarahkan konseli

untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan

mengurangi kondisi psikologis negatif. Konselor juga menciptakan

pengalaman baru yang disebut dengan eksperimen perilaku. Konseli

dilatih untuk menciptakan pengalaman barunya dengan cara menguji

pemikiran mereka (misalnya: jika saya melihat gambar laba-laba, maka

akan saya merasa sangat cemas, namun saya pasti bisa

menghilangkan perasaan cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan

baik). Dengan cara ini, konselor terlibat dalam eksperimen kolaboratif.

Konselor dan konseli bersama-sama menguji pemikiran konseli untuk

mengembangkan respon yang lebih bermanfaat dan akurat.

Prinsip 10: Konseling Kognitf Perilaku menggunakan berbagai teknik

untuk merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku.

Pertanyaanpertanyaan yang berbentuk sokratik memudahkan konselor

dalam melakukan konseling cognitive-behavior. Pertanyaan dalam bentuk

sokratik merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam

proses konseling, KKP tidak mempermasalahkan konselor menggunakan

21

Page 22: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

teknik-teknik dalam konseling lain seperti teknik Gestalt, Psikodinamik,

Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses konseling yang

lebih saingkat dan memudahkan konelor dalam membantu konseli. Jenis

teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh konseptualisasi

konselor tehadap konseli, masalah yang sedang ditangani, dan tujuan

konselor dalam sesi konseling tersebut.

3. Konseling Rasional Emotif

3.1 Pengertian Konseling Rasional Emotif

Pendekatan Konseling Rasional Emotif atau dikenal sebagai

Rational Emotive Therapy (RET) adalah sistem psikoterapi yang mengajari

individu bagaimana sistem keyakinannya menentukan yang dirasakan dan

dilakukannya pada berbagai peristiwa dalam kehidupan. Penekanan terapi

ini pada cara berpikir mempengaruhi perasaan, sehingga termasuk dalam

terapi kognitif. Pandangan pendekatan rasional emotif tentang

kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada

tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event

(A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang

kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.

a. Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami

atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta,

kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu

keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon

karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.

b. Belief (B) yaitukeyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri

individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua

macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan

keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB).

Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system

keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu

22

Page 23: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan

keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk

akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.

c. emotional Consequence (C) merupakan konsekuensi emosional

sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang

atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent

event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari

A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk

keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.

3.2 Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah

laku bermasalah adalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada

cara berpikir yang irrasional.

Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b)

menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka)

yang sebenarnya tidak perlu; (c) menghalangi individu untuk berkembang

dalam kehidupan sehari-hari yang efektif.

Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a)

individu tidak berpikir jelas tentangg saat ini dan yang akan dating, antara

kenyatan dan imajinasi; (b) individu tergantung pada perencanaan dan

pemikiran orang lain; (c) orang tua atau masyarakat memiliki

kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui

berbagai media.

Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam

masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala

sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak orang dalam kehidupan masyarakat

yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut

dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa

dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat,

23

Page 24: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh

manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-

kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan

menanganinya; (e) penderitaan emosional dari seseorang muncul dari

tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan

sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut; (f)

pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap

kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu

pada saat sekarang; (g) untuk mencapai derajat yang tinggi dalam

hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan

kekuatan supranatural; dan (h) nilai diri sebagai manusia dan penerimaan

orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan

tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.

3.3 Proses Konseling Rasional Emotif

Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan

prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan

untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas tujuan yang disusun

secara bersama-sama oleh konselor dan klien. Tugas konselor

menunjukkan bahwa masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu

dan pikiran-pikiran yang tidak rasional dan klien perlu berusaha untuk

mengatasi masalah adalah dengan harus kembali kepada sebab-sebab

permulaan.

Operasionalisasi tugas konselor : (a) lebih edukatif-direktif kepada

klien, dengan cara banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya

pada tahap awal mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung; (b)

menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki

cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik

dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide

irrasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien; (c)

mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya;

24

Page 25: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

(d) menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor

dan “menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara

irasional.

3.4 Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif

1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor

lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan

memecahkan masalahnya.

2. Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk

berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan

masalah yang rasional.

3. Emotif-ekspreriensial, artinya bahwa hubungan konseling yang

dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan

mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus

membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari

gangguan tersebut.

4. Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang

dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya

perubahan tingkah laku klien.

3.5 Teknik Konseling Rasional Emotif

Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai

teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan

dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai

berikut.

1. Teknik-Teknik Emotif (Afektif)

Assertive adaptive. Teknik yang digunakan untuk melatih,

mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus

menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-

latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.

25

Page 26: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Bermain peran. Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis

perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu

suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat

secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.

Imitasi. Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model

tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan

tingkah lakunya sendiri yang negatif.

2. Teknik-teknik Behavioristik

Reinforcement. Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku

yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal

(reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini dimaksudkan untuk

membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan

menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan

reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan

sistem nilai yang diharapkan kepadanya.

Social modeling. Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku

baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam

suatu model sosial yang diharapkan dengan cara meniru,

mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan

norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang

telah disiapkan oleh konselor.

3. Teknik-teknik Kognitif

Home work assigments, Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk

tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan

menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah

laku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien

diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan

perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari

bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek

kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu

26

Page 27: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment

yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan

tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina

dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada

diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri

klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.

Assertive Training, Teknik untuk melatih keberanian klien dalam

mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan

melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial.

Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong

kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan

dengan emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam

mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi

hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk meningkatkan

kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan

untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri

sendiri.

3.6 Tujuan Konseling Rasional Emotif

Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan

serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi

pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri,

meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah

laku kognitif dan afektif yang positif. Menghilangkan gangguan-gangguan

emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa marah, takut, rasa

bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa iri.

Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling

dengan pendekatan rasional-emotif :

a. Insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku

penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya

27

Page 28: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang

peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat

yang lalu.

b. Insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami

bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena

berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh

sebelumnya.

c. Insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai

pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari

hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan

keyakinan yang irasional.

Klien yang telah memiliki keyakinan rasional terjadi peningkatan

dalam hal : (1) minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan

diri, (4) toleransi terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima

ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, (8)

penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima

kenyataan.

4. Krisis Identitas

4.1 Pengertian identitas

Berdasarkan sebuah teori psikologi, pelajar yang berada pada masa

remaja dikatakan sedang membentuk identitas dirinya. Proses pencarian

identitas diri disebut dengan krisis identitas. Menurut Erikson, krisis

identitas adalah tahap untuk membuat keputusan terhadap permasalahan-

permasalahan penting yang berkaitan dengan pertanyaan tentang identitas

dirinya (Marheni:2004). Krisis identitas yang dialami remaja ada yang

berjalan baik, ada yang kurang baik. Definisi identitas menurut para ahli :

28

Page 29: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

a. Menurut Adams dan Gullota (1983)

“Identity is a complex psychologycal phenomenon it might be thought

of as the person in personality. It includes our own interpretation of

early childhood identification with important individual in our lives.It

includes a sense of direction, commitment, and trust in a personal

ideal. A sense of identity integrates sex-role identfication, individual

ideology, accepted group norms and standards, and much more.”

Identitas merupakan suatu fenomena psikologis yang komplek

yang mungkin dikira sebagai “orang” dalam suatu kepribadian.

Didalamnya termasuk juga interpretasi kita sendiri tentang

identifikasi masa kanak-kanak awal dengan orang-orang yang penting

dalam hidup kita. Termasuk didalamnya yaitu kemampuan untuk

mengarahkan diri sendiri, komitmen, dan kepercayaan terhadap

seseorang yang diidealkan. Kemampuan mengidentifikasi

kemampuan sesuai peran gender, ideologi pribadi, penerimaan

terhadap norma kelompok dan standar kelompok serta yang lainnya.

b. Menurut Erikson (1988) teori psikososial

“Selama masa-masa sulit yang dialami remaja, ternyata ia

berusaha merumuskan dan mengambangkan nilai kesetiaan

(komitmen), yaitu kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang

diikrarkan dengan bebas meskipun terdapat kontradiksi-kontradiksi

yang terelakkan diantara sistem-sistem nilai.”

Jadi, krisis identitas adalah suatu masa dimana seorang individu yang

berada pada tahap perkembangan remaja. Ketika itu, remaja memiliki

sikap untuk mencari identitas dirinya. Siapa dirinya saat sekarang dan di

masa depan.

29

Page 30: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

4.2 Pembentukan Identitas

Proses pencarian identitas adalah proses dimana seorang remaja

mengembangan suatu identitas personal atau sense of self yang unik yang

berbeda dari orang lain (individuation).

Dalam psikologi perkembangan pembentukan identitas merupakan

tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan tercapai

pada akhir masa remaja. Pembentukan identitas sebenarnya sudah dimulai

dari masa anak-anak, tetapi pada masa remaja ia menerima dimensi-

dimensi baru karena berhadapan dengan perubahan-perubahan fisik,

kognitif, dan relasional (Grotevant dan Cooper, 1998).

Pada masa remaja mereka para remaja mulai menyadari tentang

kepastian identitas dirinya sehingga pada remaja awal mereka mulai

melakukan eksplorasi terhadap kepribadian dirinya. Pencarian identitas

pada masa remaja menjadi lebih kuat sehingga ia berusaha untuk mencari

identitas dan mendefinisikan kembali siapakah ia saat ini dan akan

menjadi siapakah ia di masa depan. Perkembangan identitas selama masa

remaja ini dianggap sangat penting karena identitas tersebut dapat

memberikan suatu dasar unuk perkembangan psikososial dan relasi

interpersoanal pada masa dewasa (Jones dan Hartmann, 1988).

Tabel 2 : Tahapan Perkembangan Identitas

Tahap Usia KarakteristikDiferentiation

Practice

Rapprochment

12-14 tahun

14-15 tahun

15-18tahun

Remaja menyadari bahwa ia berbeda secara psikologis dari orang tuanya. Kesadaran ini sering membuatnya mempertanyakan dan menolak nilai-nilai dan nasihat-nasihat orang tuanya, sekalipun nilai-nilai dan nasihat tersebut masuk akal.

Remaja percaya bahwa ia mengetahui segala-galanya dan dapat melakukan sesuatu tanpa salah. Ia menyangkal kebutuhan akan peringatan atau nasihat dan menantang orang tuanya pada setiap kesempatan. Komitmennya terhadap teman-teman juga bertambah.

Karena kesedihan dan kekhawatiran yang dialaminya, telah mendorong remaja untuk

30

Page 31: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Consolidation 18-21 tahun

menerima kembali sebagian otoritas orang tuanya, tetapi dengan bersyarat. Tingkah lakunya sering silih berganti antara eksperimentasi dan penyesuaian, kadang mereka menantang dan kadang berdamai dan bekerjasama dengan orang tua mereka. Di satu sisi ia menerima tanggung jawab di sekitar rumah, namun di sisi lain ia akan mendongkol ketika orang tuanya selalu mengontrol membatasi gerak-gerik dan akitvitasnya diluar rumah.

Remaja mengembangkan kesadaran akan identitas personal, yang menjadi dasar bagi pemahaman dirinya dan diri orang lain, serta untuk mempertahankan perasaan otonomi, independen dan individualitas.

Dalam teori psikososial (Erikson) ada beberapa tahap yang harus

ditempuh untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya. Akan

dipaparkan dibawah ini:

Tabel 3 : Tugas-Tugas Perkembangan Erikson

Tahap psikososial Perkiraan usia1. Kepercayaan vs

ketidakpercayaan

(trust vs mistrust)

2. Otonomi vs rasa malu & ragu

(autonomy vs shame & doubt)

3. Inisiatif vs rasa bersalah

(Intiative vs guilt)

4. Ketekunan vs rasa rendah diri

(industry vs inferiority)

5. Identitas vs kebingungan peran

(ego identity vs role-confution)

6. keintiman vs isolasi

Lahir- 1 tahun (masa bayi)

1-3 tahun (masa kanak-kanak)

4-5 tahun (masa prasekolah)

6-11 tahun (masa sekolah dasar)

12-20 tahun (masa remaja)

20-24 tahun (masa awal dewasa)

31

Page 32: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

(intimacy vs isolation)

7. generatifitas vs stagnasi

(generativity vs stagnation)

8. integritas ego vs keputuasan

(ego integrity vs despair)

25-65 tahun (masa pertengahan dewasa)

65-mati (masa akhir dewasa)

Erik Erikson (1902-1994) mengatakan bahwa terdapat delapan tahap

perkembangan terbentang ketika kita melampaui siklus kehidupan. Masing-

masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas dan mengedepankan

individu dengan suatu krisis yang harus dihadapi. Bagi Erikson, krisis ini

bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan kerentanan dan

peningkatan potensi. Semakin berhasil individu mengatasi krisis, akan

semakin sehat perkembangan mereka. Berikut adalah beberapa penjelasan

mengenai tahap krisis perkembangan menurut Erikson dalam buku Life Span

Development oleh Santrock (2002).

1. Kepercayaan dan ketidakpercayaan (trust versus mistrust), adalah

suatu tahap psikososial pertama yang dialami dalam tahun pertama

kehidupan. Suatu rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik

dan sejumlah kecil ketakutan serta kekuatiran akan masa depan.

Kepercayaan pada masa bayi menentukan harapan bahwa dunia akan

menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.

2. Otonomi dengan rasa malu dan keragu-raguan (autonomy versus

shame and doubt) adalah tahap perkembangan kedua yang berlangsung

pada masa bayi dan baru mulai berjalan (1-3 tahun). Setelah

memperoleh rasa percaya kepada pengasuh mereka, bayi mulai

menemukan bahwa perilaku mereka adalah atas kehendaknya. Mereka

menyadari kemauan mereka dengan rasa mandiri dan otonomi mereka.

Bila bayi cenderung dibatasi maka mereka akan cenderung

mengembangkan rasa malu dan keragu-raguan.

3. Prakarsa dan rasa bersalah (initiative versus guilt), merupakan tahap

ketiga yang berlangsung selama tahun-tahun sekolah. Ketika mereka

32

Page 33: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

masuk dunia sekolah mereka lebih tertantang dibanding ketika masih

bayi. Anak-anak diharapkan aktif untuk menghadapi tantangan ini

dengan rasa tanggung jawab atas perilaku mereka, mainan mereka, dan

hewan peliharaan mereka. Anak-anak bertanggung jawab meningkatkan

prakarsa. Namun, perasaan bersalah dapat muncul, bila anak tidak

diberi kepercayaan dan dibuat mereka sangat cemas.

4. Tekun dan rendah diri (industry versus inferiority), berlangsung

selama tahun-tahun sekolah dasar. Tidak ada masalah lain yang lebih

antusias dari pada akhir periode masa awal anak-anak yang penuh

imajinasi. Ketika anak-anak memasuki tahun sekolah dasar, mereka

mengarahkan energi mereka pada penguasaan pengetahuan dan

keterampilan intelektual. Yang berbahaya pada tahap ini adalah

perasaan tidak kompeten dan tidak produktif.

5. Identitas dan Kebingungan Peran (ego identity versus role-

confution), adalah tahap kelima yang dialami individu selama tahun-

tahun masa remaja. Pada tahap ini mereka dihadapkan oleh pencarian

siapa mereka, bagaimana mereka nanti, dan ke mana mereka akan

menuju masa depannya. Satu dimensi yang penting adalah penjajakan

pilihan-pilihan alternatif terhadap peran. Penjajakan karir merupakan

hal penting. Orangtua harus mengijinkan anak remaja menjajaki banyak

peran dan berbagai jalan. Jika anak menjajaki berbagai peran dan

menemukan peran positif maka ia akan mencapai identitas yang positif.

Jika orangtua menolak identitas remaja sedangkan remaja tidak

mengetahui banyak peran dan juga tidak dijelaskan tentang jalan masa

depan yang positif maka ia akan mengalami kebingungan identitas.

6. Keintiman dan keterkucilan (intimacy versus isolation), tahap

keenam yang dialami pada masa-masa awal dewasa. Pada masa ini

individu dihadapi tugas perkembangan pembentukan relasi intim

dengan orang lain. Saat anak muda membentuk persahabatan yang sehat

dan relasi akrab yang intim dengan orang lain, keintiman akan dicapai,

kalau tidak, isolasi akan terjadi.

33

Page 34: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

7. Bangkit dan berhenti (generality versus stagnation), tahap ketujuh

perkembangan yang dialami pada masa pertengahan dewasa. Persoalan

utama adalah membantu generasi muda mengembangkan dan

mengarahkan kehidupan yang berguna (generality). Perasaan belum

melakukan sesuatu untuk menolong generasi berikutnya adalah

stagnation.

8. Integritas dan kekecewaan (integrity versus despair), tahap kedelapan

yang dialami pada masa dewasa akhir. Pada tahun terakhir kehidupan,

kita menoleh ke belakang dan mengevaluasi apa yang telah kita lakukan

selama hidup. Jika ia telah melakukan sesuatu yang baik dalam

kehidupan lalu maka integritas tercapai. Sebaliknya, jika ia

menganggap selama kehidupan lalu dengan cara negatif maka akan

cenderung merasa bersalah dan kecewa.

Dalam teori psikososial terdapat salah satu tahapan yang akan

dialami oleh semua individu yaitu identitas vs kebingungan peran (ego

identity vs role-confution) dan berlangsung sekitar 12-20 tahun dimana

pada masa itu sedang berlangsung masa remaja yang berarti mereka

sedang mencari identitas dirinya, yang kelak akan menjadi identitas

dirinya dimasa itu dan masa yang akan datang.

Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa remaja

dapat dipandang telah memiliki identitas yang matang (sehat), apabila

sudah memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menyesuaikan diri

dengan diri sendiri, peran-perannya dalam kehidupan sosial (di lingkungan

keluarga, sekolah, atau masyarakat), dunia kerja, dan nilai-nilai agama.

Dalam pembentukan identitas diri, ada pelajar yang cepat melewati

krisis identitasnya dan ada pula yang lambat, bahkan ada kemungkinan

mengalami kegagalan. Maka, tidaklah heran apabila ada pelajar yang

berperilaku mulia dan pelajar yang “menyalahi norma” dalam usia tak jauh

berbeda. Ditinjau dari status pembentukan identitas, pelajar yang

melakukan kekerasan mungkin berada dalam diffussion status berdasarkan

teori Erikson. Maksud status ini adalah suatu keadaan di mana remaja

kehilangan arah, tidak melakukan eksplorasi, dan tidak memiliki

34

Page 35: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

komitmen terhadap peran-peran tertentu, sehingga tak dapat menemukan

identitas dirinya. Mereka akan mudah menghindari persoalan dan

cenderung mencari pemuasan dengan segera. Diffussion status kerap

dialami oleh remaja yang ditolak dan tak mendapatkan perhatian. Mereka

cenderung akan melakukan hal-hal yang tak dapat diterima masyarakat,

seperti mabuk-mabukan dan penyalahgunaan obat sebagai cara

menghindari tanggung jawab (Marheni:2004). Pelajar yang melakukan

kekerasaan dimungkinkan berada dalam status tersebut.

4.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Identitas

Perkembangan identitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

Iklim keluarga (pola asuh orang tua) Keluarga merupakan awal

pembentukan identitas seorang individu, terutama orangtua.

Artinya gaya pengasuhan dari orangtua merupakan dasar

pembentukan identitas individu. Beberapa dibawah ini contoh gaya

pengasuhan orangtua, seperti :

1. Pengasuhan demokratis. Gaya pengasuhan ini mendorong

remaja untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan

keluarga akan mempercepat “pencapaian identitas”.

2. Pengasuhan otokratis. Mengendalikan perilaku remaja tanpa

memberi remaja suatu peluang unutk mengemukakan pendapat

akan “menghambat pencapaian identitas”.

3. Pengasuhan permisif. Memberi bimbingan terbatas kepada

remaja dan mengizinkan mereka mengambil keputusan-

keputusan sendiri akan meningkatkan “kebingungan identitas”.

tokoh idola

peluang pengembangan diri

Dalam upaya membantu remaja atau siswa baik dalam jenjang

pendidikan SMP maupun SMA untuk menemukan identitas dirinya,

Woolfolk (1995 : 73) menyarankan sebagai berikut :

35

Page 36: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

1. Memberi para siswa informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-

peran orang dewasa.

2. membantu siswa untuk menemukan sumber-sumber untuk memecahkan

masalah pribadinya.

3. bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yang dipandang aneh,

seperti dalam berpakaian.

4. memberi umpan balik yang realistik terhadap siswa tentang dirinya.

4.4 Ciri-ciri Kepribadian Remaja Yang Sudah Memperoleh Identitasnya

Ketika remaja tersebut sudah memperoleh identitas dirinya maka ia akan

menyadari ciri-ciri kepribadian dirinya, diantaranya :

a. Kesukaan atau ketidaksukaannya akan suatu hal.

b. Aspirasi, mulai berani menyatakan aspirasi, bisa mengatakan pendapat-

pendapat yang diinginkan dengan bebas namun sesuai dengan

kapasitasnya.

c. Bertanggung jawab akan apapun yang sudah menjadi pilihannya maupun

pilihan apapun yang sudah ditolaknya.

d. Tujuan masa depan yang diantisipasi. Sudah bisa menentukan atau

menggambarkan masa depan seperti apa yang diinginkan dalam hidupnya.

e. Perasaan bahwa ia sudah dapat dan harus bisa mengatur orientasi

hidupnya.

B.2 Kerangka Berpikir

Kenakalan remaja, perilaku agresif dan perilaku menyimpang

diidentifikasi sebagai tiga bentuk problem psikososial yang paling umum dialami

oleh remaja. Menurut perspektif perkembangan yang banyak memusatkan

perhatian pada perkembangan remaja, yakni teori perkembangan psikososial dari

Erikson (1968), problem psikososial pada remaja dapat diatribusikan dengan

adanya hambatan dalam menangani isu perkembangan psikososial pada periode

remaja, yakni krisis identitas.

36

Page 37: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Krisis identitas yang dialami oleh siswa kelas VIII SMP Laboratorium

Undiksha Singaraja berdasarkan hasil observasi merupakan bentuk kenakalan

remaja tingkat sedang. Permasalahan yang mereka alami berpusat pada masalah

adaptasi siswa dengan lingkungan sekitarnya, seperti siswa yang suka main tangan

dan berbicara dengan bahasa yang kasar karena teman di sekitar rumahnya adalah

orang dewasa yang tidak baik (preman). Permasalahan lainnya adalah

kecemburuan yang terjadi di rumahnya terbawa ke sekolah sehingga siswa

berusaha mencari perhatian disekolah dengan cara yang salah, siswa yang suka

korupsi uang SPP, siswa yang suka mengganggu siswa lain dengan kejahilan yang

agak diluar batas dan banyak masalah lainnya.

Maka penelitian yang dilaksanakan ini dimaksudkan untuk memperoleh

suatu model intervensi konseling yang efektif untuk menangani krisis identitas

dan problem psikososial remaja. Keterkaitan antara keduanya adalah dimana

diberikan program konseling kelompok dengan dua pendekatan yaitu konseling

kognitif perilaku dan konseling rasional emotif untuk membantu siswa dalam

mengatasi krisis identitas mereka. Dari dua pendekatan ini mana yang bisa

menuntaskan permasalahan krisis identias siswa kelas VIII SMP Laboratorium

Undiksha Singaraja ini.

Konseling kelompok adalah membahas masalah individu. Setiap anggota

menyampaikan permasalahannya, namun tidak harus semua anggota kelompok.

Jika telah terkemukakan masalah, maka perlu dibahas dan dimusyawarahkan

masalah siapa yang terlebih dahulu masalahnya dibahas. Dalam konseling

kelompok ini nantinya siswa dapat mencobakan sikap dan ide-ide. Penerimaan

dan pengalaman-pengalaman dan perubahan sikap yang dicoba akan memperkuat

motivasi untuk mengadakan perubahan pada dirinya. Selanjutnya pengalaman

berkelompok akan meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan orang lain

dan akan berkembang hubungan antar pribadi yang secara genuine. Penerimaan

dan pengertian dari teman dalam kelompok menghasilkan rasa aman dan rasa

bersatu yang akan mendukung proses intropeksi dan ekspresi perasaan-perasaan

mendalam. Dimana diharapkan akan memperkembangkan keberanian untuk

mencoba memecahkan masalah-masalah pribadi dan konflik emosional di dalam

dan di luar diri dalam membantu menyelesaikan krisis identitas.

37

Page 38: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Akan tetapi tentu tidak cukup melalui konseling kelompok saja,

selanjutnya siswa yang belum mampu menyelesaikan krisis identitasnya dalam

konseling kelompok biasa maka akan dibantu dengan konseling kelompok dengan

pendekatan konseling kognitif perilaku dan konseling rasional emotif yang

diharapkan mampu menuntaskan masalah krisis identitas siswa.

B.3 Hipotesis

Sehubungan dengan adanya keterkaitan antara konseling kelompok

dengan pendekatan konseling kognitif perilaku dan konseling rasional emotif

serta krisis identitas, maka hipotesis penelitian yang diuji dalam penelitian ini

adalah penerapan konseling kelompok dengan pendekatan konseling kognitif

perilaku dan konseling rasional emotif dapat membantu menangani krisis identitas

pada siswa kelas VIII di SMP Laboratorium Undiksha Singaraja.

Hipotesis Mayor :

Ada pengaruh yang signifikan antara penerapan konseling kelompok dengan

pendekatan konseling kognitif perilaku dan konseling rasional emotif dalam

membantu menangani krisis identitas pada siswa kelas VIII di SMP Laboratorium

Undiksha Singaraja.

Hipotesis Minor :

Ada pengaruh yang signifikan penerapan konseling kelompok dengan

pendekatan konseling kognitif perilaku dalam membantu menangani krisis

identitas pada siswa kelas VIII di SMP Laboratorium Undiksha Singaraja.

Ada pengaruh yang signifikan antara penerapan konseling kelompok

dengan pendekatan konseling kognitif perilaku dan konseling rasional

emotif dapat membantu menangani krisis identitas pada siswa kelas VIII

di SMP Laboratorium Undiksha Singaraja.

38

Page 39: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

C. Metodologi Pelayanan

Dalam penelitian ilmiah, penelitian harus menggunakan metode ilmiah

yang jelas untuk mencapai kebenaran. Metode ilmiah sangat diperlukan dalam

kegiatan penelitian agar pengetahuan yang diperoleh dipercaya kebenarannya.

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui apakah penerapan konseling

kelompok dengan pendekatan konseling kognitif perilaku dan konseling rasional

emotif efektif dalam membantu menangani krisis identitas pada siswa kelas VIII

di SMP Laboratorium Undiksha Singaraja. Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan penelitian eksperimental, penelitian eksperimental merupakan

penelitian yang dilakukan dengan memberikan perlakuan (treatment) tertentu

terhadap subjek penelitian yang bersangkutan. Dengan menggunakan desain

gabungan antara One – Shoot Case Study dan One Group Pretest-Posttest Control

Group Design. One – Shoot Case Study merupakan desain penelitian yang

terdapat suatu kelompok diberi treatment dan selanjutnya diobservasi hasilnya,

treatment adalah sebagai variabel independen dan hasil adalah sebagai variabel

dependen. Dalam eksperimen ini subjek penelitian akan diberikan beberapa

treatment lalu diukur hasilnya. Untuk kemudahan membandingkan hasil antar dua

pendekatan ini maka akan dilaksanakan juga dengan One Group Pretest-Posttest

Control Group Design yang telah dikembangkan dalam rangka menemukan

perbandingan yang mana antara dua treatment yang diberikan yang lebih efektif

dalam membantu menangani krisis identitas, yakni dalam penelitian ini terdapat

dua kelompok yang digunakan sebagai kelompok eksperimen (KE) yang

diberikan dua treatment yang berbeda tanpa adanya kelompok kontrol.

Tabel 4. Rancangan Penelitian

39

KE 1O1 X1 O2

KE 2O1 X2 O2

Page 40: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Keterangan :

KE 1 : Kelompok eksperimen dengan konseling kognitif perilaku

KE 2 : Kelompok eksperimen dengan konseling rasional emotif

X1 : Treatment I (konseling kognitif perilaku)

X2 : Treatment II (konseling rasional emotif)

O1 : Pretest

O2 : Posttest

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha

Singaraja. Sebagai subjek penelitian jumlah siswa kelas VIII adalah 5 kelas

masing-masing kelas terdiri atas 27 siswa. Dari seluruh populasi siswa tersebut

pada saat penelitian ini diambil beberapa orang siswa yang mengalami krisis

identitas untuk dibagi menjadi dua kelompok dan satu kelompok diberikan

konseling kognitif perilaku dan satu kelompok lagi akan diberikan konseling

rasional emotif untuk membantu menangani krisis identitas yang dialami siswa

tersebut.

Objek penelitian yang dilaksanakan ini adalah bagaimana cara untuk

menangani krisis identitas yang dialami oleh siswa kelas VIII SMP Laboratorium

Undiksha Singaraja.

Adapun tahapan-tahapan yang akan dilaksanakan selama proses pemberian

treatment sebagai berikut :

Tahap perencanaan. Tahap dilaksanakan di awal penelitian.

Perencanaan yang dilakukan pada tahap ini adalah:

a. Meminta ijin dan berkonsultasi kepada kepala sekolah, guru BK, guru

wali kelas untuk melakukan eksperimen dengan subjek siswa kelas

VIII untuk mengetahui siswa yang kemungkinan mengalami krisis

identitas.

40

Page 41: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

b. Menyusun jadwal kegiatan eksperimen.

c. Mempersiapkan tempat untuk melakukan kegiatan konseling.

d. Menyusun dan mempersiapkan pedoman observasi yang akan

digunakan untuk memantau pelaksanaan dan hasil tindakan.

e. Menyebarkan kuesioner tentang kenakalan remaja, perilaku agresif,

dan perilaku menyimpang tahap I (pretest) kepada siswa kelas VIII

SMP Laboratorium Undiksha Singaraja untuk mendapatkan data

siswa yang mengalami krisis identitas.

Tahap Pelaksanaan. Adapun kegiatan-kegiatan yang ditempuh dalam

pelaksanaan tindakan ini adalah:

a. Langkah pertama, memahami masalah klien, dan menganalisis secara

rasional hal apa yang menyebabkan klien berperilaku negatif dalam

rangka mencari jati dirinya sebagai remaja. Hasil pengkajian terhadap

masalah tersebut disampaikan kepada kasus yang dikaji, sehingga

klien menyadari bahwa banyak cara lain untuk menemukan identitas

dirinya tanpa terjerumus ke hal-hal yang negatif.

b. Langkah kedua, mengajak klien membahas masalahnya, hingga klien

mengetahui bahwa krisis identitas yang sedang dialami wajar namun

perlu untuk dihadapi dengan baik oleh klien karena nantinya identitas

yang baik akan menentukan masa depannya.

c. Langkah ketiga, mengarahkan klien sesuai dengan treatment untuk

berperilaku yang logis serta rasional dengan mengajak siswa untuk

menentang pikiran-pikiran yang salah dan menampilkan perilaku yang

baru.

d. Langkah keempat, mengajak klien untuk mengembangkan rasa

percaya diri yang klien miliki, agar menghentikan atau meminimalisasi

hal-hal negatif yang telah terlanjur dilakukan dalam rangka siswa

tersebut menemukan jati dirinya

41

Page 42: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Tahap Observasi dan Evaluasi. Observasi adalah pengamatan atas

hasil atau dampak dari tindakan yang dilaksanakan terhadap subjek

yang dikenai tindakan. Yang dilakukan untuk mengamati perubahan

yang terjadi pada siswa terkait dengan berkurangnya perilaku-perilaku

negatif yang dialami dalam rangka mencari jati dirinya adalah dengan

menggunakan pedoman observasi berdasarkan indikator yang terdapat

pada variabel penyebab krisis identitas. Selain mengunakan indikator

tersebut, pada tahap ini akan dilakukan penyebaran kuesioner tahap II

(posttest) dimana ini bertujuan untuk mengetahui apakah klien

mengalami perubahan sebelum dan sesudah dilakukannya kegiatan

konseling dengan harapan mencapai persentase hingga 80% agar dapat

dikatakan berhasil atau sudah mengalami peningkatan. Adapun

pedoman yang digunakan adalah sebagai berikut.

Tabel 5. Pedoman Observasi Siswa

Aspek Indikator TampakTidak

Tampak

Kenakalan Remaja

1. Kenakalan biasa

2. Kenakalan yang mengarah pada pelanggaran serta kejahatan

3. Kenakalan khusus

Pergaulan teman sebaya

1. Membentuk kelompok-kelompok persahabatan

2. Adanya penerimaan dan penolakan berdasarkan keserasian dan kesamaan pola tingkah laku, minat/kesenangan, kepribadian dan nilai-nilai yang dianut

Perilaku menyimpang dan perilaku gresif

1. Perilaku menyerang.

2. Perilaku menyakiti atau merusak diri sendiri, orang lain, atau objek-objek penggantinya.

3. Perilaku yang tidak diinginkan

42

Page 43: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

orang yang menjadi sasarannya.

4. Perilaku yang melanggar norma sosial.

5. Sikap bermusuhan terhadap orang lain.

Konsep Diri 1. Konsep diri fisik

2. Konsep diri akademik

3. Konsep diri sosial

Kriteria Keberhasilan

Kriteria keberhasilan pemberian treatment ini disesuaikan dengan adanya

perubahan perilaku dari siswa yang mengalami krisis identitas dan disesuaikan

dengan persentase pencapaian skor minimal yaitu 80%. Subjek yang diberikan

treatment, bila menunjukkan peningkatan minimal 25% dari skor awalnya maka

dikategorikan berhasil/tepat guna atau sesuai dengan perubahan perilakunya.

Makin banyak perubahan yang positif dari siswa tersebut maka makin berhasil

treatment yang diberikan.

Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ilmiah, ada beberapa teknik pengumpulan data beserta

masing-masing perangkat pengumpulan datanya, yaitu: (1) Observasi, (2)

Dokumentasi, (3) Wawancara, (4) Angket (kuesioner) (Umar, 2004:40). Dalam

penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yaitu kuesioner. Selain

menggunakan teknik kuesioner penelitian ini juga menggunakan metode observasi

dan wawancara untuk mendapatkan hasil yang lebih relevan.

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data dengan memberikan atau

menyebarkan daftar pertanyaan atau pernyataan kepada respon siswa dengan

43

Page 44: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

harapan, responden memberikan respon atas daftar pertanyaan atau pernyataan

tersebut. Daftar pertanyaan atau pernyataan dapat bersifat terbuka jika jawaban

tidak ditentukan sebelumnya dan dapat bersifat tertutup jika alternatif-alternatif

jawaban telah disediakan (Umar, 2004:49). Untuk penelitian ini menggunakan

daftar pernyataan yang bersifat tertutup.

Walaupun metode kuesioner ini memiliki kelemahan, bahwa kita hanya

dapat mengukur sikap seseorang dalam taraf normatif saja dan belum dapat

dipastikan apkah sikap yang diambil dalam taraf normatif itu, sungguh-sungguh

dilaksanakan dalam tindakan yang nyata (Nurkancana, 1990). Penelitian ini tetap

menggunakan metode kuesioner karena kuesioner sangat cocok untuk

mengumpulkan data tentang aspek-aspek kepribadian, seperti: karakter,

tempramen, penyesuaian sikap dan minat. Selain itu ada asumsi bahwa keadaan

diri yang sebenar-benarnya hanya diketahui oleh responden itu sendiri. Untuk

penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data tentang kecenderungan siswa

berbuat kenakalan remaja, perilaku agresif maupun penyimpangan perilaku dalam

rangka mencari identitas dirinya. Untuk memperoleh data tersebut, dalam

penelitian ini digunakan instrument kuesioner kenakalan remaja, perilaku agresif

serta penyimpangan perilaku yang dikembangkan berdasarkan teori yang relevan.

Pengembangan Instrumen

Secara operasional, pengembangan kuesioner mengenai krisis identitas

yang terdiri dari kuesioner tentang kenakalan remaja, pergaulan teman sebaya,

perilaku agresif serta penyimpangan perilaku dan konsep diri, melalui langkah-

langkah sebagai berikut: (1) Menyusun kisi-kisi instrument, (2) Merumuskan butir

pernyataan, (3) Melakukan uji validitas dan reliabilitas (keterandalan) perangkat.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang perilaku-

perilaku siswa yang mengindikasikan siswa mengalami krisis identitas.. Untuk

memperoleh data yang akurat dari masing-masing variabel yang diteliti, maka

digunakan kuesioner tentang krisis identitas. Dalam penelitian ini kuesioner

percaya diri dikembangkan menjadi tiga aspek, yaitu: (1) kenakalan remaja, (2)

perilaku agresif, (3) penyimpangan perilaku. Masing-masing butir pernyataan

disediakan lima alternatif jawaban yang di klarifikasikan sesuai dengan skala pola

44

Page 45: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

likert, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), sangan

tidak setuju (STS). Untuk pernyataan positif pilihan sangat setuju skornya 5,

setuju skornya 4, netral skornya 3, tidak setuju skornya 2, dan sangat tidak setuju

skornya 1. Untuk pernyataan yang negatif sangat setuju skornya 1, setuju skornya

2, netral skornya 3, tidak setuju skornya 4 dan sangat tidak setuju skornya 5.

Dalam penelitian ini, kuesioner tentang krisis identitas disusun sesuai dengan

aspek yang bersangkutan dengan perilaku-perilaku siswa yang mengindikasikan

siswa tersebut mengalami krisis identitas dan kuesioner ini rencananya akan

dikembangkan sendiri. (kuesioner Krisis Identitas terlampir)

Tabel 6. Kisi- Kisi Instrumen Krisis Identitas

Aspek IndikatorNomor Butir

Positif Negatif

Kenakalan Remaja

1. Kenakalan biasa

2. Kenakalan yang mengarah pada pelanggaran serta kejahatan

3. Kenakalan khusus

1,2,3,4,5,6,7,9,12

8,10,11,13,15,17,2122,27,313429

Pergaulan teman sebaya

1. Membentuk kelompok-kelompok persahabatan

2. Adanya penerimaan dan penolakan berdasarkan keserasian dan kesamaan pola tingkah laku, minat/kesenangan, kepribadian dan nilai-nilai yang dianut

12

42

14,35

38,39

Perilaku menyimpang dan perilaku gresif

1. Perilaku menyerang.

2. Perilaku menyakiti atau merusak diri sendiri, orang lain, atau objek-objek penggantinya.

3. Perilaku yang tidak diinginkan orang yang menjadi sasarannya.

43 28

32,33

45

Page 46: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

4. Perilaku yang melanggar norma sosial.

5. Sikap bermusuhan terhadap orang lain.

Konsep Diri 1. Konsep diri fisik

2. Konsep diri akademik

3. Konsep diri sosial

16,21

18,19,20,26,30,36,45

25,37,40,44

41

Jumlah 16 29

Metode Analisis Data

Hasil perubahan prilaku berupa pengurangan perilaku negatif

dipantau dengan kuesioner tentang krisis identitas, untuk melihat seberapa besar

manfaat konseling kognitif perilaku dan konseling rasional emotif untuk

meningkatkan perilaku positif maka skor hasil penyebaran kuesioner setelah

treatment dilaksanakan, akan di analisis secara deskriptif dengan mengikuti aturan

menurut Nurkancana, (1990: 170) untuk mengetahui persentase telah teratasinya

krisis identitas siswa maka digunakan rumus sebagai berikut:

P =

Keterangan : P = Persentase Pencapaian

X = Skor Aktual

SMI = Skor Maksimal Ideal

Kriteria :

90 % - 100% = Sangat Tinggi

80% - 89% = Tinggi

65% - 79 % = Cukup

55 % - 64% = Rendah

0% - 54 % = Sangat Rendah

46

Page 47: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Sebagai langkah lebih lanjut dalam penelitian ini, dilakukan suatu

prosedur analisis terhadap data-data yang diperoleh peneliti. Tujuan dari analisis

data ini adalah mengungkapkan apa yang ingin diketahui dari penelitian ini.

Dalam menganalisis data yang diperoleh selama melakukan eksperimen

terjadi peningkatan poin yang berarti semakin terentaskannya sebagian masalah

siswa, peningkatan tersebut dapat dihitung melalui skor “Post Rate dan Base

Rate” masing-masing individu dengan menggunakan rumus peningkatan seperti di

atas. Perhitungannya sebagai berikut:

Keterangan :

Pp : Persentase Peningkatan

Base rate : Sebelum Tindakan

Post rate : Setelah Tindakan

Metode Pelayanan

Treatment diberikan sesuai dengan teknik yang ada kepada KE agar apa

yang ingin dicapai dalam eksperimen ini akan tercapai, yaitu terentaskannya

masalah krisis identitas siswa dengan menggunakan treatment dibawah ini:

1. Konseling Kelompok dengan pendekatan Konseling Kognitif Perilaku

2. Konseling Kelompok dengan pendekatan Konseling Rasional Emotif

Tabel 7. Perbandingan Pendekatan Kognitif Perilaku dan Rasional Emotif

No.Perbandingan

Konseling Kognitif Perilaku Konseling Rasional Emotif1. Teknik Konseling

Teknik yang digunakan bebas dan tidak mengikat serta boleh mengadaptasi teknik konseling manapun selama pemberian

Teknik KonselingTeknik yang digunakan terbagi menjadi tiga yaitu teknik konseling kognitif, emotif dan perilaku.

47

Page 48: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

konsekuensi positif-negatif tercapai2. Tujuan Terapi

Tujuannya adalah untuk mengubah pola berpikir atau perilaku yang berada di balik kesulitan seseorang, dan mengubah cara mereka merasa melalui pemberian konsekuensi positif-negatif

Tujuan TerapiBertujuan memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan serta pandangan klien yang irasional menjadi rational, sehingga ia dapat mengembangkan diri dan mencapai realisasi yang optimal.

3. Peranan Konselora. lebih ke arah edukatif-direktifb. konselor diharapkan mampu

menolong konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya.

c.lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif

d. menggunakan pendekatan kognitif dan hipnosis dalam rangka mengkonstruk kognitif baru

Peranan Konselor a. lebih emotif-direktif kepada klienb. menggunakan pendekatan yang

dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide irasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien

c. mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya

d. menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor dan “menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara irasional

4. Jangka Waktu PelaksanaanSesi konseling ini terbilang singkat minimal 5 sesi dan maksimal 14 sesi.

Jangka Waktu PelaksanaanSesi ini sangat panjang dan lama karena diperlukan pengulangan-pengulangan dalam membentuk perilaku baru sesuai dengan tekniknya.

D. Pembahasan

D.1 Hasil Implementasi Pelayanan BK

Dalam eksperimen yang dilaksanakan dalam kurun waktu kurang dari

empat minggu ini didapatkan hasil pretest dan posttest yang dapat menunjukkan

48

Page 49: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

peningkatan skor yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari paparan hasil

penyebaran kuesioner yang telah dianalisis berikut ini.

Tabel 8. Hasil Penyebaran Kuesioner Krisis Identitas Pada PreTest

Kelompok Eksperimen 1 dengan Pendekatan Konseling Kognitif

Perilaku

NoNama Siswa( Sampel )

KelasSkor Pretest

Krisis Identitas

Persentase(%)

Kategori

1 ARIS SETIAWAN KETUT VIII - 1 142 63,11 Rendah2 BAGUS SANG AJI VIII - 1 145 64,44 Rendah3 ERY TRESNAJAYA I

WAYAN VIII - 2 142 63,11 Rendah

4 KURNIA ARTHA GD VIII - 2 141 62,67 Rendah5 IMMAS MARCHANTY

DEVI VIII - 3 131 58,22 Rendah

6 JESIKA ANGELINA RORONG VIII - 3 133 59,11 Rendah

7 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 141 62,67 Rendah8 VERENT KURNIAWAN

EMMANUEL T. VIII - 4 143 63,56 Rendah

9 YUDHI ADRITAMA GEDE VIII - 5 138 61,33 Rendah

Tabel 9. Hasil Penyebaran Kuesioner Krisis Identitas Pada PreTest

Kelompok Eksperimen 2 dengan Pendekatan Konseling Rasional

Emotif

NoNama Siswa( Sampel )

KelasSkor Pretest

Krisis Identitas

Persentase (%)

Kategori

1 KRISNA ARI WIBAWA PUTU VIII - 1 134 59,56 Rendah

2 REZA NOVENDRA KOMANG VIII - 1 141 62,67 Rendah

3 SURYA SAPUTRA GEDE VIII - 2 137 60,89 Rendah4 TEGUH SADEWA

ARISANDI NYOMAN VIII - 2 134 59,56 Rendah

5 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 135 60 Rendah6 JORDAN SURYA LOKA

WIBAWA PUTU VIII - 3 135 60 Rendah

7 BAGUS RAHMAN ARDIYANTO PUTRA P. VIII - 4 141 62,67 Rendah

8 MANGGALA DWI WARENDRA MD VIII - 4 145 64,44 Rendah

9 DARMA YASA GEDE VIII - 5 135 60 Rendah

49

Page 50: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

Tabel 10. Hasil Penyebaran Kuesioner Krisis Identitas Pada PostTest

Kelompok Eksperimen 1 dengan Pendekatan Konseling Kognitif

Perilaku setelah 5 Sesi Konseling Kelompok

NoNama Siswa( Sampel )

KelasSkor PostTest

Krisis Identitas

Persentase (%)

Kategori

1 ARIS SETIAWAN KETUT VIII - 1 193 85,78 Tinggi2 BAGUS SANG AJI VIII - 1 197 87,56 Tinggi3 ERY TRESNAJAYA I

WAYAN VIII - 2 199 88,44 Tinggi

4 KURNIA ARTHA GD VIII - 2 199 88,44 Tinggi5 IMMAS MARCHANTY

DEVI VIII - 3 201 89,33Sangat Tinggi

6 JESIKA ANGELINA RORONG VIII - 3 203 90,22

Sangat Tinggi

7 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 194 86,22 Tinggi8 VERENT KURNIAWAN

EMMANUEL T. VIII - 4 192 85,33 Tinggi

9 YUDHI ADRITAMA GEDE VIII - 5 196 87,11 Tinggi

Tabel 11. Hasil Penyebaran Kuesioner Krisis Identitas Pada PostTest

Kelompok Eksperimen 2 dengan Pendekatan Konseling Rasional

Emotif setelah 7 Sesi Konseling Kelompok

NoNama Siswa( Sampel )

KelasSkor PostTest

Krisis Identitas

Persentase (%)

Kategori

1 KRISNA ARI WIBAWA PUTU VIII - 1 181 80,44 Tinggi

2 REZA NOVENDRA KOMANG VIII - 1 187 83,11 Tinggi

3 SURYA SAPUTRA GEDE VIII - 2 189 84 Tinggi4 TEGUH SADEWA

ARISANDI NYOMAN VIII - 2 190 84,44 Tinggi

5 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 198 88 Tinggi6 JORDAN SURYA LOKA

WIBAWA PUTU VIII - 3 200 88,89 Tinggi

7 BAGUS RAHMAN ARDIYANTO PUTRA P. VIII - 4 194 86,22 Tinggi

8 MANGGALA DWI WARENDRA MD VIII - 4 192 85,33 Tinggi

9 DARMA YASA GEDE VIII - 5 186 82,67 Tinggi

50

Page 51: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

D.2 Penyelesaian Masalah

Berdasarkan hasil eksperimen diketahui bahwa krisis identitas siswa

setelah diberikan layanan konseling kelompok dengan pendekatan konseling

kognitif perilaku sebanyak 5 sesi konseling ternyata dapat terentaskan. Dari

perbandingan hasil pretest - posttest, dapat dilihat adanya perubahan yang tinggi

dalam cara siswa mengatasi permasalahan yang sedang dialami. Ini menunjukkan

bahwa konseling kelompok dengan pendekatan konseling kognitif perilaku efektif

digunakan untuk membantu dalam mengatasi krisis identitas siswa. Hal ini telah

terlihat bahwa konseling kelompok dengan pendekatan kognitif perilaku bila

digunakan secara tepat dalam membantu siswa untuk memecahkan masalahnya,

dengan perlahan hasilnya akan nampak. Karena konselor bukan untuk

memberikan saran tapi memberikan pilihan-pilihan yang mungkin akan dihadapi

oleh siswa, dengan menjabarkan konsep positif dan negatif dari suatu pilihan.

Meski sebagian permasalahan belum dapat diselesaikan seutuhnya, namun siswa

merasa lebih nyaman. Proses konseling dalam kegiatan konseling ini membantu

siswa untuk mengubah perilaku yang kurang baik, kebiasaan belajar yang kurang

baik, kebiasaan siswa yang negatif, serta kebiasaan kabur atau mencari jalan

pintas dalam mengatasi masalahnya bisa dikurangi hal ini sesuai dengan

perubahan tingkah laku yang diinginkan, siswa mulai bisa menentukan pola

pikirnya dengan penanaman prinsip menerima konsekuensi positif ataukah

konsekuensi negatif.

Dari hasil analisis data secara deskriptif menunjukkan terjadi peningkatan

pemahaman siswa akan masalahnya yang menyebabkan siswa menjadi

51

Page 52: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

mengambil keputusan yang tepat akan masalahnya yaitu berkisar antara 34,27%

sampai 53,44%. Kisaran angka ini terbilang tinggi dan bila diambil rata-rata

persentase peningkatannya maka akan mendapatkan angka sebesar 41,44%.

Tabel 12. Persentase Peningkatan Kelompok Eksperimen 1 dengan

Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku

No. Nama Siswa KelasPretest Posttest Presentase

Peningkatan (%)

Skor % Skor %

1 ARIS SETIAWAN KETUT VIII - 1 142 63,11 193 85,78 35,92

2 BAGUS SANG AJI VIII - 1 145 64,44 197 87,56 35,86

3ERY TRESNAJAYA I WAYAN VIII - 2 142 63,11 199 88,44 40,14

4 KURNIA ARTHA GD VIII - 2 141 62,67 199 88,44 41,13

5IMMAS MARCHANTY DEVI VIII - 3 131 58,22 201 89,33 53,44

6JESIKA ANGELINA RORONG VIII - 3 133 59,11 203 90,22 52,63

7 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 141 62,67 194 86,22 37,59

8VERENT KURNIAWAN EMMANUEL T. VIII - 4 143 63,56 192 85,33 34,27

9YUDHI ADRITAMA GEDE VIII - 5 138 61,33 196 87,11 42,03

Rata-Rata Persentase Peningkatan 41,44

Berdasarkan hasil eksperimen diketahui bahwa krisis identitas siswa

setelah diberikan layanan konseling kelompok dengan pendekatan konseling

rasional emotif selama 7 sesi konseling terbilang berhasil. Dari perbandingan

hasil pretest - posttest, dapat dilihat adanya perubahan yang tinggi dalam cara

siswa mengatasi permasalahan yang sedang dialami, para siswa tetap

menunjukkan gejala positif dalam bertindak, bergaul sehari-hari serta dalam

belajar. Pada umumnya siswa sudah menunjukkan sikap kearah yang lebih

baik.mereka sudah berusaha untuk bertutur kata dengan sopan, mulai menjaga

emosi, tidak membuat keributan didalam kelas serta tidak lagi membolos

52

Page 53: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

sekolah. Hal ini telah terlihat bahwa konseling kelompok dengan pendekatan

rasional emotif bila digunakan secara tepat dalam membantu siswa untuk

memecahkan masalahnya, dengan perlahan hasilnya akan nampak. Proses

konseling dalam kegiatan konseling ini membantu siswa untuk mengubah

perilaku yang kurang baik, kebiasaan belajar yang kurang baik, serta kebiasaan

kabur atau mencari jalan pintas dalam mengatasi masalahnya bisa dikurangi hal

ini sesuai dengan perubahan tingkah laku yang diinginkan.

Dari hasil analisis data secara deskriptif menunjukkan terjadi

peningkatan pemahaman siswa akan masalahnya yang menyebabkan siswa

menjadi mengambil keputusan yang tepat akan masalahnya yaitu berkisar

antara 32,41% sampai 48,15%. Kisaran angka ini terbilang cukup tinggi dan

bila diambil rata-rata persentase peningkatannya maka akan mendapatkan

angka sebesar 38,89%.

Tabel 13. Persentase Peningkatan Kelompok Eksperimen 2 dengan

Pendekatan Konseling Rasional Emotif

No. Nama Siswa KelasPretest Posttest Presentase

Peningkatan (%)

Skor % Skor %

1KRISNA ARI WIBAWA

PUTU VIII - 1 134 59,56 181 80,44 35,07

2REZA NOVENDRA

KOMANG VIII - 1 141 62,67 187 83,11 32,62

3 SURYA SAPUTRA GEDE VIII - 2 137 60,89 189 84 37,96

4TEGUH SADEWA ARISANDI NYOMAN VIII - 2 134 59,56 190 84,44 41,79

5 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 135 60 198 88 46,67

6JORDAN SURYA LOKA WIBAWA PUTU VIII - 3 135 60 200 88,89 48,15

7BAGUS RAHMAN ARDIYANTO PUTRA P. VIII - 4 141 62,67 194 86,22 37,59

8MANGGALA DWI WARENDRA MD VIII - 4 145 64,44 192 85,33 32,41

9 DARMA YASA GEDE VIII - 5 135 60 186 82,67 37,78Rata-Rata Persentase Peningkatan 38,89

53

Page 54: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

D.3 Kesimpulan

1. Penggunaan konseling kelompok dengan pendekatan kognitif perilaku

dapat membantu siswa untuk mengatasi permasalahan penyebab krisis

identitas siswa. Dari sembilan siswa yang menampakkan tanda-tanda

mengalami krisis identitas ternyata secara berangsur berkurang dan

mulai terentaskan setelah diberikan konseling dengan baik. Ini berarti

semakin baik penggunaan konseling kelompok dengan pendekatan

kognitif perilaku, maka akan dapat mengentaskan permasalahan siswa

sehingga siswa mampu berinteraksi dengan baik dengan lingkungan

sekolah serta keluarga dan mampu fokus dalam studinya. Hanya

dengan waktu yang relatif singkat pada siswa yang mengalami krisis

identitas telah terjadi rata-rata peningkatan sebesar 41,44%.

2. Penggunaan konseling kelompok dengan pendekatan rasional emotif

dapat membantu siswa untuk mengatasi permasalahan penyebab krisis

identitas siswa. Dari sembilan siswa yang menampakkan tanda-tanda

mengalami krisis identitas ternyata secara berangsur berkurang dan

mulai terentaskan setelah diberikan konseling dengan baik. Ini berarti

semakin baik penggunaan konseling kelompok dengan pendekatan

rasional emotif, maka akan dapat mengentaskan permasalahan siswa

sehingga siswa mampu berinteraksi dengan baik dengan lingkungan

sekolah serta keluarga dan mampu fokus dalam studinya. Pada siswa

yang mengalami krisis identitas telah terjadi rata-rata peningkatan

54

Page 55: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

sebesar 38,89%. Hanya saja, pencapaian hal ini menggunakan alokasi

waktu yang cukup lama sehingga dirasa kurang efektif dan efisien.

3. Kesimpulan akhir yang didapatkan adalah, meskipun kedua

pendekatan konseling ini serumpun, namun untuk membantu

menangani krisis identitas pada siswa akan lebih baik, efisien dan

efektif bila menggunakan konseling kelompok pendekatan konseling

kognitif perilaku daripada menggunakan konseling kelompok dengan

pendekatan konseling rasional emotif. Hal ini dikarenakan konseling

kognitif perilaku lebih tepat sasaran dalam waktu yang singkat.

D.4 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, dapat dikemukakan

beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi siswa

Siswa perlu belajar untuk lebih terbuka saat mengalami

permasalahan tertentu. Bilamana tidak bisa meminta bantuan atau

saran dari teman, guru pembimbing maupun wali kelas tentu akan

dengan senang hati untuk membantu. Juga diharapkan siswa mulai

membiasakan diri untuk selalu mempertimbangkan baik dan buruk

suatu keputusan sebelum dilaksanakan sehingga tidak salah

langkah dan berujung pada krisis identitas. Dengan demikian siswa

mampu belajar dari suatu kesalahan yang dilakukan sebelumnya

untuk membuat dirinya lebih berusaha lagi dan berhati-hati dalam

membuat keputusan.

55

Page 56: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

2. Bagi Konselor Sekolah

Diharapkan untuk dapat menerapkan konseling secara

berkelanjutan dengan tujuan mengetahui perkembangan siswa baik

yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah. Dan konselor

agar dapat pula memilih pendekatan mana yang dirasa tepat untuk

diberikan kepada siswa asuhnya agar masalah siswa terentaskan

dengan baik dan tidak mengganggu tugas perkembangannya.

3. Bagi Sekolah

Terkait dengan prestasi siswa di sekolah kemampuan mengatasi

masalah bagi siswa merupakan hal yang menentukan kenyamanan

dan keamanan bagi siswa untuk belajar dengan baik tanpa

terbebani masalah yang akan berujung pada tindakan yang negatif.

Jadi, penting bagi sekolah menjaga dan membentuk keharmonisan

serta rasa kekeluargaan dilingkungan sekolah supaya terus

ditingkatkan dan selalu mengadakan pantauan terhadap

perkembangan siswa.

4. Bagi Keluarga

Hubungan yang harmonis dan nyaman baiknya ditingkatkan.

Sehingga dengan demikian akan menjadi cerminan bagi

perkembangan perilaku anak. Bagaimanapun juga dari keluargalah

pribadi utama seorang anak terbentuk, umumnya anak banyak

56

Page 57: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

mengimitasi perilaku orang-orang yang ada dikeluarganya, jadi

bila menginginkan anak-anaknya untuk menjadi orang dengan

pribadi yang baik hendaknya keluarga selalu memantau dirinya

sendiri dan anaknya.

E. Referensi

Adhiputra, A.A. Ngurah. 2010. Konseling Lintas Budaya. Denpasar : IKAPI.

Ali, Mohammad.2011. PSIKOLOGI REMAJA : Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta: PT. RinekaCipta.

Corey, Gerald, (E.Koeswara. Penerjemah). 2010.Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT.Refika Aditama.

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Hartono, Soedarmadji. 2012. Psikologi Konseling. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ diakses pada September 2012.

http://belajarpsikologi.com/ diakses pada Februari 2013.

http://ewintri.co.cc/index.php/bimbingan-konseling/1-bimbingan-konseling/13-teknik-konseling-behavorial.html diakses pada Mei 2012

http://wawasanbk.blogspot.com/ diakses pada Mei 2013

http://www.e-psikologi.com/remaja/101106.htm. diakses pada tanggal 26 Maret 2012.

Iskandaryah, Aulia.2005. Remaja dan Masalahnya, Makalah, Universitas Pajajaran, Bandung diunduh dari http://www.digilib.unpad.ac.id diakses pada Oktober 2012.

57

Page 58: Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium

McLeod, John. (2006). Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Alih Bahasa oleh A.K. Anwar. Jakarta: Kenca

Nurihsan, Ahmad Juntika. 2009. Bimbingan dan Konseling Dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung : PT. Refika Aditama.

Nurkancana. 1990. Pemahaman Individu. Surabaya : PT Usaha Nasional.Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.

Prayitno dan Erman Amti. 1994. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.

Rahman, Fathur. 2009. Modul Ajar Pengembangan dan Program Evaluasi BK. Yogyakarta : Penerbit Universitas Negeri Yogyakarta.

Roger – Daniel. 2009. Teknik-Teknik Mengatasi Emosi. Yogyakarta : GaraIlmu.

Sedanayasa. 2007. Teknik dan Keterampilan Konseling. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha.

Sedanayasa dan Suranata. 2009. Buku Ajar Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha.

Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling Di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta.

Supriatna, Mamat. 2011. Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi. Jakarta : Rajawali Pers.

Suranata, Kadek. 2010. Mikro Konseling. Singaraja : Penerbitan Undiksha.

Uno, Mien R. 2009. Etiket Untuk Remaja. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

58