Penelitian2 mengenai EM menunjukkan bahwa pgunaan accrual ...  · Web viewFitriany Amarullah....

33
STUDI ATAS PELAKSANAAN METODE PBL DAN HUBUNGANNYA DENGAN SOFT SKILL DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA Fitriany Amarullah Dahlia Sari Departemen Akuntansi Fakutas Ekonomi Universitas Indonesia Abstract The purpose of this research is to conduct survey on the student’s assessment about trigger problem, facilitator and learning climate in PBL implementation. This research investigates the relationship between student’s performance and skill enhancement with trigger problem, facilitator and learning climate. This research compares the student’s performance in PBL class and the lecturing class. This research also compares the soft skill enhancement when the students use PBL method and when they use lecturing method. The result of this research shows that trigger and learning climate have positive (and significant) relationship with soft skill enhancement, and only trigger that has positive relationship with student’s performance. There is no significant difference on student’s performance between PBL class and lecturing class. For skill enhancement, only communication skill and working in team skill that have significant difference between PBL class and lecturing class. Keywords: PBL, lecturing, trigger, facilitator,learning climate A.PENDAHULUAN 1 Bidang Kajian: Pendidikan Akuntansi

Transcript of Penelitian2 mengenai EM menunjukkan bahwa pgunaan accrual ...  · Web viewFitriany Amarullah....

STUDI ATAS PELAKSANAAN METODE PBL DAN HUBUNGANNYA DENGAN

SOFT SKILL DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA

Fitriany Amarullah

Dahlia Sari

Departemen Akuntansi Fakutas Ekonomi Universitas Indonesia

Abstract

The purpose of this research is to conduct survey on the student’s assessment about trigger

problem, facilitator and learning climate in PBL implementation. This research investigates

the relationship between student’s performance and skill enhancement with trigger problem,

facilitator and learning climate. This research compares the student’s performance in PBL

class and the lecturing class. This research also compares the soft skill enhancement when

the students use PBL method and when they use lecturing method. The result of this research

shows that trigger and learning climate have positive (and significant) relationship with soft

skill enhancement, and only trigger that has positive relationship with student’s performance.

There is no significant difference on student’s performance between PBL class and lecturing

class. For skill enhancement, only communication skill and working in team skill that have

significant difference between PBL class and lecturing class.

Keywords: PBL, lecturing, trigger, facilitator,learning climate

A. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Metode pengajaran yang paling tradisional dan telah lama digunakan dalam sejarah

pendidikan adalah metode ceramah (lecturing), yaitu suatu cara mengajar yang digunakan

untuk menyampaikan informasi atau uraian tentang suatu pokok permasalah secara lisan.

Dalam metode ini, keterampilan pengajar dalam menyampaikan informasi dapat menentukan

1

Bidang Kajian: Pendidikan Akuntansi

tercapai tidaknya tujuan pengajaran sehingga peran pengajar bagi proses belajar didalam

kelas sangat besar. Dengan metode ceramah (lecturing), peran peserta didik dikelas sangat

terbatas, dimana peserta didik hanya mendengarkan apa yang dikatakan oleh pengajar dan

sesekali mencatat. Bahkan beberapa penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan metode

ceramah (lecturing) dapat menghambat proses belajar peserta didik (Turnwald, Bull &

Seeler, 1993 dalam Tri Wardhani, 2002).

Chims et al. (1990, dalam Tri Wardhani, 2002) mengatakan beberapa kekurangan

dalam metode lecturing :

- Metode lecturing dapat menghalangi proses belajar karena menenpatkan siswa pada

peran pasif didalam kelas.

- Metode lecturing sangat kurang memberikan umpan balik baik kepada peserta didik

maupun pengajar;

- Metode lecturing memerlukan pengajar yang efektif

- Metode lecturing menempatkan tanggung jawab untuk mengorganisasi dan sintesa

terhadap isi materi pengajaran hanya kepada pengajar

- Metode lecturing tidak sesuai digunakan untuk menjelaskan materi yang terlalu

kompeks, detail dan abstrak.

Bonwell dan Eison (1991) mendefinisikan belajar aktif sebagai aktifitas pengajaran

yang melibatkan peserta didik dalam melakukan sesuatu dan berfikir tentang apa yang sedang

mereka lakukan. Silberman (1996) mengatakan jika proses belajar terjadi secara aktif, maka

peserta didik melakukan banyak hal. Mereka menggunakan otak mereka, mempelajari ide-

ide, memecahkan masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari. Selain itu

Campbell dan Piccinin (1996) berpendapat bahwa belajar aktif menekankan keterlibatan

peserta didik secara aktif dalam proses belajarnya.

Shenker, Goss & Bernstein, (1996, dalam Tri Wardhani 2002) mengatakan bahwa

tujuan belajar aktif adalah menumbuhkan kemampuan berfikir kritis dan analitis, juga

kemampuan peserta didik untuk menggunakan keterampilan tersebut agar dapat menguasai

2

materi pengajaran. Dengan demikian tujuan pengajaran aktif tidak hanya sekedar

memindahkan informasi dari pengajar kepada peserta didik.

Salah satu metode pembelajaran aktif adalah PBL (Problem Based Learning) atau

Pembelajaran Berdasarkan Masalah. PBL adalah proses pembelajaran yang dimulai dengan

“problem” dan bukannya paparan/penjelasan mengenai knowledge (D.Boud, G. Feletti, 1987

dalam Pengantar PBL, Djauhari Widjajakusumah). Dalam PBL, problem disajikan terlebih

dahulu sebelum knowlegde diberikan. Problem yang disajikan harus menanyakan suatu

masalah secara komprehensif, aplikasi, analisa dan sintesa. Peserta didik harus memilih

knowledge yang dibutuhkan, mempelajari hal tersebut, dan menghubungkannya dengan

problem yang diberikan.

David; Patel Burdett; Rangachari, 1999 (dalam Pengantar PBL, Djauhari

Widjajakusumah) menyebutkan bahwa inti dari PBL adalah :

1. Diskusi kelompok kecil berdasarkan suatu problem (trigger material), untuk

memutuskan knowledge apa yang harus mereka pelajari;

2. Self Study, proses memperoleh knowledge;

3. Diskusi kelompok kecil untuk membagi knowledge, membandingkan dan

menghubungkan apa yang telah mereka temukan/dapatkan pada masa self study, dan mencari

tahu apakah mereka telah meng-cover dasar yang kuat;

4. Pengembangan sejumlah skills dan attitude :

reasoning skills

problem solving skills

self- directed learning skills

communication skills

Tujuan dari program PBL yang well integrated adalah dapat mencapai 1) perolehan

integrated body of knowledge yang dapat di-recall, diadaptasi dan diaplikasikan ketika

dibutuhkan; 2) mengembangkan reasoning and problem solving skills, communication skills,

3

working in teams

initiative

sharing information

menghargai orang lain

self directed learning dan teams skills yang memungkinkan peserta didik berhubungan secara

efektif dengan problem yang baru dan kompleks yang akan mereka temui dalam dunia kerja

atau kehidupan pribadi.

Wee Keng Neo (2004) menyatakan bahwa komponen-komponen yang harus

dievaluasi dalam pelaksanaan metode PBL adalah trigger problem, kurikulum, proses APBL,

fasilitator dan learning climate. Dalam proses evaluasi perlu melibatkan peserta didik,

lulusan, fasilitator, employer.

Dalam penelitian ini survey akan dilakukan kepada mahasiswa. Survey dilakukan

untuk melihat penilaian mahasiswa terhadap trigger problem, fasilitator dan learning climate.

Penelitian ini juga akan mengkaitkan antara penilaian mahasiswa tersebut dengan prestasi

belajar mahasiswa.

Pertanyaan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah hubungan antara penilaian mahasiswa dengan trigger problem,

fasilitator dan learning climate dengan peningkatan soft skill mahasiswa?

2. Bagaimanakah hubungan antara penilaian mahasiswa dengan trigger problem,

fasilitator dan learning climate dengan prestasi belajar mahasiswa?

3. Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar antara kelas yang menggunakan metode

PBL dengan metode lecturing.

4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan softskill antara mahasiswa ketika

menggunakan metode PBL dan ketika menggunakan metode lecturing.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan survey atas penilaian mahasiswa

terhadap trigger problem, fasilitator dan learning climate dalam pelaksanaan metode PBL.

Penelitian ini akan mengkaji hubungan antara peningkatan soft skill dan prestasi belajar

mahasiswa dengan penilaian mahasiswa terhadap trigger problem, fasilitator dan learning

climate dalam kelas yang menerapkan PBL. Penelitian ini juga bertujuan untuk

membandingkan prestasi belajar mahasiswa antara kelas yang menerapkan metode PBL

4

dengan kelas yang menerapkan metode lecturing. Selain itu penelitian ini juga akan

membandingkan peningkatan softskill antara mahasiswa ketika menggunakan metode PBL

dan ketika menggunakan metode lecturing.

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian ini akan menjadi alat evaluasi pelaksanaan metode PBL yang sudah

diterapkan. Hasil survey penilaian mahasiswa terhadap trigger problem, fasilitator

dan learning climate akan menjadi bahan masukan untuk perbaikan terhadap trigger

problem, fasilitator dan learning climatet dalam pelaksanaan PBL di masa depan.

2. Bagi dunia Akuntansi Indonesia, diharapkan hasil penelitian ini akan menjadi

masukan bagi kalangan akuntan pendidik di Indonesia dalam peningkatan kualitas

pengajaran untuk mahasiswa.

3. Bagi dunia penelitian akuntansi, hasil penelitian ini akan memperkaya khasanah

penelitian khususnya tentang metode pembelajaran yang dilakukan di Asia.

B. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

Penelitian sehubungan dengan learning climate dalam pelaksanaan metode PBL

dilakukan oleh Kieva and Kieva (2005). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa

merasa memiliki peran yang lebih aktif dalam proses pembelajaran dengan menggunakan

metode PBL dibandingkan dengan proses pembelajaran yang menggunakan metode

lecturing. Hasil penelitian yang senada juga ditunjukkan oleh Cooke and Moyle (2002). Dari

analisa atas respon peserta didik terhadap penerapan metode PBL, ditemukan bahwa peserta

didik menilai pendekatan PBL akan meningkatkan kemampuan untuk berpikir kritis dan

memecahkan masalah. Selain itu, peserta didik juga menilai bahwa metode pembelajaran ini

realistis, menyenangkan dan menarik.

Penelitian yang berhubungan dengan trigger problem dan fasilitator dilakukan oleh

Schwartz et all (1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fasilitator yang aktif sangat

5

mendukung pelaksanaan PBL. Selain itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa PBL adalah

metode yang menyenangkan apabila didukung oleh trigger problem yang bagus dan

fasilitator yang aktif.

Menurut Wee Keng Neo, Lynda (2004) ada 4 hal penting dari PBL yaitu :

1. Penggunaan problem sebagai trigger

2. Proses pembelajaran peserta didik dalam kelompok kecil

3. Proses pembelajaran dibawah bimbingan fasilitator

4. Proses PBL

Berikut penjelasan untuk masing-masing hal tersebut :

1. Problems (Trigger)

Kualitas problem yang diberikan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran

sangat mempengaruhi keberhasilan mereka dalam me-manage masalah yang serupa yang

akan mereka hadapi di dunia kerja. Behavior dan skills yang ditunjukkan oleh peserta didik

dalam proses pembelajaran harus merefleksikan value dalam karir mereka. Sehingga harus

digunakan problem yang menggambarkan kebutuhan dunia kerja dalam hal format dan

kompleksitas.

Problem juga harus bersifat multidimensional, relevan dan memotivasi peserta didik

serta menawarkan ruang bagi peserta didik untuk mempertanyakannya dan melakukan riset.

Dalam pembelajaran yang konvensional, jawaban biasanya hanya lebih sederhana, kurang

kompleks serta sedikit yang berhubungan dengan dunia nyata.

Dalam PBL, problem harus menstimulus peserta didik untuk mempelajari content

dan process skill secara simultan, misalnya skill in reasoning, problem solving, self directed

learning, teamwork dan komunikasi.

2. Learning in Small Group

Proses pembelajaran sebaiknya dilakukan dalam kelompok kecil. Hal ini disebabkan

karena skill development of reasoning, problem solving, self-directed learning, collaboration

dan communication lebih dapat diperoleh dalam kelompok kecil. Dalam small-group

6

learning, keterlibatan aktif peserta didik secara inherent terbentuk, skills yang

memungkinkan lulusan program profesional lebih siap memasuki dunia kerja (Daviz &

Haerden, 1999 dalam Wee Keng Neo, 2004).

PBL adalah metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (Wee & Kek,

2002). Metode ini berbeda dengan pendekatan konvensional dimana staf pengajar menjadi

pusat dari learning process. Dalam PBL, staf pengajar bukan bagian dari small grup, tapi

berfungsi sebagai fasilitator.

Learning outcomes yang dapat dicapai dari kelompok kecil adalah :

- Peserta didik dapat membandingkan prestasinya dengan peer (rekan);

- Peserta didik mengembangkan sense of responsibility untuk proses pembelajaran;

- Peserta didik belajar mengenai interaksi dengan sesama, mengembangkan

interpersonal skills, dan menjadi sadar terhadap emosinya;

- Peserta didik belajar bagaimana mendengar dan menerima kritik, memberi kritik dan

feedback kepada yang lain.

3. Skilled Facilitator

Ada perbedaan mendasar antara konsep mengajar konvensional dan PBL. Biasanya

pengajar konvensional menganggap bahwa untuk efektif dalam mengajar, mereka harus

master the matter/content dan mereka bertanggung jawab untuk menyampaikan subject

matter secara efisien dan akurat kepada peserta didiknya. Dalam PBL, fasilitator

memfasilitasi peserta didik untuk mencapai hasil PBL. Mereka tidak mengajar.

Fasilitator/pengajar yang baik adalah seseorang yang secara positif dan aktif mengarahkan

peserta didik pada tingkat metacognitif (Barrows, 1988).

4. PBL Process

Komponen terakhir dari PBL yang juga penting adalah proses PBL yang diadopsi

oleh fasilitator untuk mengarahkan kelompok kecil peserta didik. Proses tersebut

didefinisikan sebagai siklus yang secara sengaja diatur dan dibuat untuk membantu fasilitator

dalam mencapai hasil PBL. Proses tersebut adalah :

7

1. Skills Development

Peserta didik belajar untuk mengembangkan skill dalam hal :

- reasoning and problem solving skills,

- self-directed learning skills,

- collaboration and communication skills

2. Reiterative Process

PBL bukan proses yang linier.

3. Reflective Learning

Dalam menyelesaikan tugas yang diminta, peserta didik harus merefleksikannya

dalamnya pada learning journey mereka. Mereka mendiskusikan apa yang mereka

pelajari dan membuat generalisasi tentang potential application terhadap problem.

Berdasarkan landasan teori di atas, hipotesis yang dikembangkan dari penelitian ini

adalah:

H1: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas trigger problem

dengan peningkatan softskill mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.

H2: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas fasilitator dengan

peningkatan softskill mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.

H3: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas learning climate

dengan peningkatan softskill mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.

H4: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas trigger problem

dengan prestasi belajar mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.

H5: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas fasilitator dengan

prestasi belajar mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.

H6: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas learning climate

dengan prestasi belajar mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.

H7: Ada hubungan positif antara peningkatan softskill mahasiswa dengan prestasi belajar

mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.

8

H8: Terdapat perbedaan prestasi belajar mahasiswa dalam kelas yang menerapkan PBL

dengan yang menggunakan metode lecturing.

H9: Terdapat perbedaan dalam peningkatan skill mahasiswa (reasoning skills, problem

solving skills, self-directed learning skills,communication skills,working in teams,

sharing information) antara kelas ketika menggunakan metode PBL dengan kelas

ketika menggunakan metode lecturing.

C. METODOLOGI PENELITIAN

Pemilihan Sampel

Untuk hipotesis 1 sampai dengan hipotesis 7, sampel diambil dari mahasiswa Program

S1 reguler akuntansi yang sedang mengambil mata kuliah Akuntansi manajemen yang

menggunakan metode PBL.

Untuk menguji hipotesa 8, dilakukan pengujian untuk materi kuliah yang sama, dosen

yang berbeda namun dengan nilai EDOM yang hampir sama.

Untuk menguji hipotesa 9, sampel diambil dari kelas yang sama, dosen yang sama,

namun dengan materi yang berbeda. Contohnya, ketika kelas A sedang membahas materi 1

dengan menggunakan metode PBL, dilakukan penyebaran kuesioner. Dan ketika kelas A

sedang membahas materi 2 dengan menggunakan metode lecturing, dilakukan penyebaran

kuesioner lagi.

Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui survey kuesioner yang diisi oleh para responden. Proses

pengumpulan survey akan berlangsung sebagai berikut:

Untuk pengujian hipotesa 1-7, mahasiswa yang sudah menjalani suatu topik mata

kuliah dengan menggunakan metode PBL akan diminta untuk menyelesaikan soal

9

kuis yang berhubungan dengan mata kuliah tersebut, setelah itu mereka akan diminta

untuk mengisi kuesioner yang berhubungan dengan penelitian.

Untuk pengujian hipotesa 8, mahasiswa di kelas lain dengan materi yang sama,

belajar dengan menggunakan metode lecturing. Setelah kuliah dengan metode

lecturing selesai, mereka diminta untuk menjawab kuis. Nilai kuis ini akan

dibandingkan dengan nilai kuis di kelas lain yang menggunakan PBL.

Untuk pengujian hipotesa 9, setelah mahasiswa melaksanakan metode PBL, mereka

diberi kuesioner yang berisi pertanyaan tentang peningkatkan softskill ketika

menggunakan PBL. Kemudian di pertemuan lain, di kelas yang sama ketika

mahasiswa melaksanakan metode lecturing, mereka juga diberi kuesioner yang berisi

pertanyaan tentang peningkatkan softskill ketika menggunakan Lecturing. Jawaban

mereka atas 2 kuesioner tersebut akan dibandingkan.

Metode Analisis

Untuk menguji hipotesis 1 sampai dengan hipotesis 7 digunakan software Linear

Structural RELationship (LISREL) 8.72 full version. Sedangkan untuk menguji hipotesis 8

dan 9 akan dilakukan uji beda dengan menggunakan software SPSS.

Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian sebagai berikut:

Untuk mengukur prestasi belajar, yaitu penguasaan atas suatu topik di dalam mata

kuliah, digunakan soal kuis yang berisi pertanyaan-pertanyaan atas suatu topik.

Untuk mengukur penilaian mahasiswa terhadap Soal PBL, Fasilitator, Learning

Climate dan Peningkatan Softskill digunakan kuesioner yang telah dimodifikasi

dari buku Jump Start Authentic problem-Based Learning yang ditulis oleh Keng Neo

Lynda Wee (2004). Kuesioner ini adalah pilot test atas PBL yang didanai oleh The

Enterprise Challenge, Prime Minister’s Office, Singapore. Pada setiap pertanyaan

dalam kuesioner, metode respon yang digunakan adalah skala likert 1 sampai dengan

5. Skor 1,2,3,4 dan 5 mewakili jawaban Sangat Tidak Setuju, Tidak Setuju, Netral,

10

Setuju dan Sangat Setuju (untuk kuesioner trigger dan learning climate), yang berarti

semakin tinggi skor, semakin baik penilaian mahasiswa tentang trigger dan learning

climate. Sedangkan kuesioner mengenai fasilitator juga menggunakan skala likert 1-5

yaitu Dilakukan dengan sangat baik, Dilakukan dengan Baik, Dilakukan dengan

Cukup, Kurang, Tidak dilakukan, yang berarti semakin tinggi nilai yang diberikan

oleh mahasiswa, semakin baik kualiatas fasilitator.

Model Penelitian

Model penelitian untuk menguji hubungan antara peningkatan soft skill dengan

learning climate, trigger dan facilitator:

PS = a + β1 Climate + β2 Trigger + β3 Fas

Model penelitian untuk menguji hubungan antara prestasi belajar mahasiswa dengan

learning climate, trigger dan facilitator:

Pres = a + β1 Climate + β2 Trigger + β3 Fas

Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan Data Untuk Hipotesa 1 - 7

Jumlah responden yang memenuhi syarat untuk dianalisis dengan lisrel adalah

sebanyak 350. Pengujian dilakukan dengan mengikuti tahapan yang berlaku dalam SEM

menggunakan piranti lunak Lisrel 8.72 dengan metode robust maximum likelihood. Terdapat

dua langkah pengujian yang harus dilakukan (Hair et al., 1995) yaitu pengujian kecocokan

model pengukuran dan kecocokan model struktural.

Prosedur Pengolahan Data untuk hipotesa 8 (Uji Beda Nilai)

Pengujian hipotesis 8 dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik t-test agar

dapat diketahui beda rata-rata dan standar deviasi dari variabel yang diuji. Menurut Sekaran

(2003), t-test dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan pada rata-

rata variabel dari kedua kelompok yang diuji. Karena yang dibandingkan dalam penelitian ini

adalah perbedaan rata-rata antar dua kelompok yang berbeda, maka pengujian yang dilakukan

adalah independent sample t-test.

11

Prosedur Pengolahan Data untuk hipotesa 9 (Uji Beda Skills)

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat uji non

parametrik Mann-Whitney. Uji non parametrik dilakukan karena normalitas data tidak

diketahui dan data dikumpulkan menggunakan skala ordinal sehingga tidak diketahui

besarnya perbedaan antara pilihan jawaban yang satu dengan yang lain (Sekaran, 2003).

Pengujian non parametrik ini sendiri menggunakan alat uji Mann-Whitney yang merupakan

alat untuk mengukur perbedaan signifikan di antara kedua variabel.

D. HASIL PENELITIAN

Deskripsi Statistik

Deskripsi statistik menunjukkan bahwa secara total responden mayoritas adalah

perempuan (62%), dengan IPK mayoritas 3 – 3,49 (55%). Mayoritas mahasiswa sedang tidak

mengulang (76%) dan sudah pernah melaksanakan PBL (91%).

Hasil Pengujian Hipótesis 1-7

Analisa Persamaan Struktural

Analisis ini dilakukan terhadap koefisien-koefisien persamaan struktural dengan

menspesifikasikan tingkat signifikansi tertentu. Analisa model struktural ini untuk menguji

hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini. Untuk tingkat signifikansi sebesar 0,05 maka

nilai t dari persamaan struktural harus lebih besar atau sama dengan 1,96 atau untuk

praktisnya lebih besar sama dengan 2 (Wijanto, 2006).

Dari pengolahan data untuk pengujian hipotesis 1-3 diperoleh persamaan sebagai

berikut:

PS = 0.55*Climate + 0.36*Triger + 0.0030*Fas, Errorvar.= 0.21 , R² = 0.79

(0.15) (0.15) (0.037) (0.033)

3.77 2.43 0.081 6.42

12

Dari persamaan di atas, dapat dilihat bahwa koefisien Learning Climate dan Trigger

memiliki nilai t yang signifikan, namun Fasilitator tidak signifikan. Jadi kesimpulan yang

dapat diambil adalah bahwa H1, H2 terbukti sedangkan H3 tidak terbukti.

Hasil di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara

Trigger dengan peningkatan softskill mahasiswa. Artinya semakin bagus kualitas trigger,

maka semakin tinggi peningkatan softskill mahasiswa.

Pada mata kuliah Akuntansi Manajemen, trigger dibuat hanya dengan 1 kalimat dan

untuk menjawabnya mahasiswa diminta untuk brainstorming dengan timnya untuk mencari

pertanyaan-pertanyaan kecil. Hal ini yang menyebabkan softskill seperti communication skill

meningkat. Seperti yang sudah dinyatakan dalam landasan teori bahwa trigger yang disajikan

harus menanyakan suatu masalah secara komprehensif, aplikatif, analitis dan sintesis. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa agar peningkatan softskill mahasiswa semakin baik, maka

trigger yang diberikan juga semakin baik, yaitu yang menanyakan masalah secara

komprehensif, aplikatif, analitis dan sintesis. Dengan semakin baiknya trigger, maka akan

menstimulus mahasiswa untuk berpikir kritis, mengkolaborasikan pengetahuan dan juga

memicu diskusi dengan teman-teman sekelompoknya.

Hasil di atas juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan

antara Learning Climate dengan peningkatan softskill mahasiswa. Artinya semakin bagus

kualitas Learning Climate, maka semakin tinggi peningkatan softskill mahasiswa.

Hubungan positif yang signifikan ini disebabkan karena dalam melaksanakan PBL di

semester gasal 2007/2008, mata kuliah Akuntansi Manajemen berada di bawah koordinasi

yang cukup baik karena adanya hibah Teaching Grant untuk mata kuliah ini. Salah satu

bentuk koordinasi yang dilakukan adalah adanya panduan untuk dosen dan mahasiswa

melaksanakan PBL. Panduan tersebut berisi arahan agar mahasiswa dapat belajar mandiri,

aktif dalam berdiskusi dan dapat melakukan working in team. Dengan demikian tercipta iklim

yang kondusif untuk mahasiswa dalam meningkatkan softskill mahasiswa.

13

Dari pengolahan data untuk pengujian hipotesis 4-6 diperoleh persamaan sebagai

berikut:

Pres = - 1.10*Ps - 7.14*Climate + 10.39*Triger + 0.34*Fas, Errorvar.= 284.48, R² =

0.062

( 2.75) (4.61) (4.11) (1.05) (23.17)

-0.40 -1.55 2.53 0.32 12.28

Untuk persamaan dalam model kedua ini, terlihat bahwa hanya koefisien Trigger yang

memiliki nilai t yang signifikan di atas 1,96. Jadi kesimpulan yang dapat diambil adalah

bahwa H5 terbukti sedangkan H4, H6, dan H7 tidak terbukti.

Penelitian ini mendukung sebagian hasil penelitian Schwartz et all (1997) yang

mengatakan bahwa trigger dan fasilitator mendukung keberhasilan metode pembelajaran

dengan PBL. Dalam penelitian ini hanya trigger yang signifikan, sedangkan faktor lainnya

tidak mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa. Penelitian yang dilakukan oleh Schwartz et

all (1997) menunjukkan bahwa fasilitator yang aktif sangat mendukung pelaksanaan PBL.

Wee Keng Neo, Lynda (2004) juga mengatakan bahwa ada 4 hal penting dari pelaksanaan

PBL yaitu learning climate, fasilitator, trigger dan proses PBL.

Tidak berpengaruhnya fasilitator dalam penelitian ini mungkin disebabkan karena

para dosen belum melaksanakan fungsinya sebagai fasilitator dengan baik. Dalam PBL,

fasilitator berfungsi memfasilitasi peserta didik untuk mencapai hasil PBL. Mereka tidak

mengajar. Fasilitator/pengajar yang baik adalah seseorang yang secara positif dan aktif

mengarahkan peserta didik pada tingkat metacognitif (Barrows, 1988). Untuk pelaksanaan

PBL yang baik sebenarnya tidak cukup hanya 1 fasilitator untuk setiap kelas. Butuh lebih dari

1 fasilitator. Fasilitator harus memotivasi mahasiswa untuk berdiskusi dengan sesama teman,

saling mengeluarkan pendapat, dan saling memberikan kritik, fasilitator harus memancing

daya kritis mahasiswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah.

14

Terkadang fungsi ini tidak berjalan dengan baik karena keterbatasan waktu perkuliahan dan

kondisi mahasiswa yang tidak biasa mengeluarkan pendapat.

Learning climate (iklim pembelajaran) juga tidak berhubungan dengan prestasi

mahasiswa, hal ini mungkin disebabkan karena memang learning climate-nya masih kurang

baik, dimana proses belajar kelompok belum berjalan dengan efisien, mahasiswa belum

bekerja sama dan belajar dari anggota tim lainnya, mahasiswa tidak mempersiapkan diri

dengan baik dalam menghadapi perkuliahan, mahasiswa dan fasilitator belum bekerja sama

dengan baik dalam proses pembelajaran, disamping fasilitas yang kurang memadai, ruang

untuk melakukan diskusi kelompok masih kurang, design ruang kelas yang kurang kondusif

untuk pelaksanaan PBL (antara lain kursi yang tidak bisa dipindah-pindah), ruang kelas yang

kurang besar untuk tempat diskusi mahasiswa.

Hasil di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara

Trigger dengan prestasi belajar mahasiswa. Artinya penilaian mahasiswa terhadap trigger

berhubungan positif dengan nilai kuis mahasiswa. Seperti yang sudah dinyatakan dalam

landasan teori bahwa trigger yang disajikan harus menanyakan suatu masalah secara

komprehensif, aplikatif, analitis dan sintesis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

agar prestasi belajar mahasiswa semakin baik, maka trigger yang diberikan juga semakin

baik, yaitu yang menanyakan masalah secara komprehensif, aplikatif, analitis dan sintesis.

Untuk menilai seberapa baik coefficient of determination dari persamaan struktural,

akan dilihat dari besaran dari R2 (Wijanto, 2006). Hasil pengujian Lisrel yang dapat dilihat

pada Reduced Form Equation didapatkan nilai R2 untuk masing-masing persamaan.

Persamaan pertama yang menguji hipotesis 1-3 memiliki nilai R² 0,79 yang berarti model ini

mampu menjelaskan 79 % dari perubahan pada variabel laten PBL. Persamaan kedua yang

menguji hipotesis 4-6 memiliki nilai R² 0.062 yang berarti model ini hanya mampu

menjelaskan 6,2 % dari perubahan pada variabel laten Prestasi. Secara keseluruhan nilai t

dari tujuh hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan dalam tabel 3

berikut :

15

Tabel

Nilai t-value untuk masing-masing hipotesa

Hipotesa Path EstimasiNilai t-value Kesimpulan

H1 Learning Climate PBL 0.55 3.77 Signifikan

H2 Trigger PBL 0.36 2.43 Signifikan

H3 Facilitator PBL 0.0030 0.081 Tidak Signifikan

H4 Learning Climate Prestasi -7.14 -1.55 Tidak Signifikan

H5 Trigger Prestasi 10.39 2.53 SignifikanH6 Facilitator Prestasi 0.34 0.32 Tidak SignifikanH7 PS Prestasi -1.10 -0.40 Tidak Signifikan

Hasil Pengujian Hipotesis 8

Hipotesis 8 menguji apakah terdapat perbedaan prestasi belajar mahasiswa dalam

kelas yang menerapkan PBL dengan yang menggunakan metode lecturing.

Tabel

Rata-Rata Nilai Kuis dan Hasil Uji Beda T-Test untuk Mata Kuliah Akuntansi Manajemen

dan Akuntansi Keuangan 1

Mata Kuliah Nilai KuisMetode PBL

Nilai KuisMetode lecturing

P-Value

Akuntansi Manajemen 77.5 63.5 0.44

Dari hasil di atas menunjukkan bahwa pada kedua mata kuliah tidak terdapat perbedaan

signifikan antara nilai kuis pada kelas yang menggunakan metode PBL dengan kelas yang

menggunakan metode Lecturing. Hasil ini mendukung hasil regresi, yaitu diperoleh nilai R2

yang rendah, yang berarti bahwa masih banyak faktor lain selain penggunaan metode PBL,

yang menentukan prestasi (yang diukur dengan nilai kuis) mahasiswa. Hal ini menyebabkan

perbedaan metode pembelajaran tidak menghasilkan nilai kuis yang berbeda secara

signifikan.

Hasil ini sebenarnya juga menjadi masukan bahwa harus ada perbaikan dalam

pelaksanaan metode PBL. Karena seharusnya mahasiswa yang malas belajar harus lebih

16

’terpaksa’ rajin belajar ketika menggunakan metode PBL, sehingga nilai kuisnya lebih tinggi

ketika materi disampaikan dengan metode PBL.

Hasil Pengujian Hipotesa 9

Hipotesa 9 menguji apakah terdapat perbedaan dalam peningkatan skill mahasiswa

(reasoning skills, problem solving skills, self-directed learning skills,communication

skills,working in teams, sharing information) antara kelas ketika menggunakan metode PBL

dengan kelas ketika menggunakan metode lecturing.

Tabel

Rata-Rata Skor atas Pertanyaan Tentang Peningkatan Soft Skill dan Hasil Uji Beda

Mann Whitney untuk MK Akuntansi Manajemen

No SoftSkill SkorMetode PBL

SkorMetode Lecturing

P-Value

1 Reasoning Skills 3.58 3.86 0.0002 Self-Directed Learning Skills 3.60 3.69 0.4523 Problem Solving Skills 3.53 3.75 0.0024 Collaboration Skills 3.62 3.79 0.0145 Communication Skill. 3.64 3.33 0.0006 Knowledge Level 3.5 4.05 0.0007 Working In Team Skill 3.76 3.42 0.0008 Retain Dan Recall 3.41 3.29 0.145

Dari hasil di atas kita melihat bahwa respon mahasiswa terhadap Reasoning Skills,

Problem Soving Skill, Collaboration Skill dan Knowledge level berbeda secara signifikan

antara metode PBL dan Lecturing, namun ternyata rata-rata skor yang lebih tinggi diberikan

untuk metode lecturing. Hal ini berarti metode PBL yang diterapkan belum membuat

mahasiswa merasa mendapat peningkatan Reasoning Skills, Problem Soving Skill,

Collaboration Skill dan Knowledge level dibanding dengan metode lecturing. Mahasiswa

merasa bahwa dengan metode PBL, mereka tidak memperoleh penjelasan materi secara utuh

dari dosen seperti yang mereka peroleh di metode lecturing, sehingga akhirnya mereka

merasa kurang dapat menjelaskan suatu konsep (Reasoning Skills), memecahkan suatu

17

masalah (Problem Soving Skill), mengkolaborasikan pengetahuan (Collaboration Skill) dan

tidak mengalami peningkatan pengetahuan (Knowledge Level). Hal yang sebaliknya terjadi

ketika mereka menggunakan metode lecturing.

Dari hasil di atas kita juga melihat bahwa Communication Skill dan Working In Team

Skill memperoleh respon yang berbeda secara signifikan pada metode PBL dan lecturing.

Rata-rata skor yang lebih tinggi diberikan pada metode PBL. Hal ini menunjukkan bahwa

mahasiswa merasa mengalami peningkatan Communication Skill dan Working In Team Skill

pada metode PBL. Hal ini berarti metode PBL yang diterapkan di mata kuliah Akuntansi

Manajemen dirasakan mahasiswa dapat meningkatkan Communication Skill dan Working In

Team Skill. Hal ini mungkin berkaitan dengan pelaksanaan PBL di Akuntansi Manajemen

yang terkoordinasi (karena adanya hibah teaching grant), dimana ada panduan untuk

melaksanakan PBL yang didalamnya juga memuat arahan untuk melakukan diskusi

kelompok, presentasi dan diskusi kelas.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan survey atas penilaian mahasiswa terhadap

trigger problem, fasilitator dan learning climate dalam pelaksanaan metode PBL. Penelitian

ini mengkaji hubungan antara prestasi belajar mahasiswa dengan penilaian mahasiswa

terhadap trigger problem, fasilitator dan learning climate dalam kelas yang menerapkan PBL.

Penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan prestasi belajar mahasiswa antara kelas

yang menerapkan metode PBL dengan kelas yang menerapkan metode lecturing. Selain itu

penelitian ini membandingkan peningkatan softskill antara mahasiswa ketika menggunakan

metode PBL dan ketika menggunakan metode lecturing.

Dari hasil penelitian, untuk hipotesis 1-3, yaitu menguji apakah ada hubungan positif

dan signifikan antara kualitas trigger problem, fasilitator dan learning climate dengan

peningkatan softskills mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL, hasilnya

menunjukkan bahwa kualitas trigger dan learning climate memiliki hubungan yang positif

18

dan signifikan dengan peningkatan softskills mahasiswa, tapi fasilitator tidak punya

hubungan yang signifikan dengan peningkatan softskills mahasiswa.

Hipotesis 4-7 menguji apakah ada hubungan positif dan signifikan antara kualitas

trigger problem, fasilitator, learning climate dan peningkatan softskills dengan prestasi

belajar mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa hanya kualitas trigger yang memiliki hubungan yang positif dan

signifikan dengan prestasi belajar mahasiswa. Faktor lain belum menunjukkan hubungan

dengan prestasi belajar.

Hipotesis 8 menguji apakah terdapat perbedaan prestasi belajar mahasiswa dalam

kelas yang menerapkan PBL dengan yang menggunakan metode lecturing. Hasilnya

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar

mahasiswa dalam kelas yang menerapkan PBL dengan yang menggunakan metode lecturing.

Hal ini kemugkinan disebabkan karena metode PBL belum dilaksanakan dengan benar

sehingga belum memberi hasil yang baik, hal ini sejalan dengan penilaian mahasiswa

mengenai metode PBL dan Lecturing yang tidak jauh berbeda. Temuan ini juga mendukung

hasil lisrel yang menunjukkan nilai R squared yang sangat rendah antara prestasi dengan

trigger, learning climate dan fasilitator ( hanya 0,06 %). Mungkin kuis yang dilaksanakan

bukan merupakan proksi yang tepat untuk mengukur prestasi. Harus dicari proksi yang lebih

tepat untuk mengukur keberhasilan PBL.

Hipotesa 9 menguji apakah terdapat perbedaan dalam peningkatan skill mahasiswa

(reasoning skills, problem solving skills, self-directed learning skills,communication

skills,working in teams, sharing information) antara kelas yang menggunakan metode PBL

dengan kelas yang menggunakan metode lecturing. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk

mata kuliah Akuntansi Manajemen, metode PBL menghasilkan Communication Skill dan

Working In Team Skill yang lebih baik daripada metode lecturing, namun Reasoning Skills,

Problem Solving Skill, Knowledge level justru lebih pada metode lecturing.

19

Kelemahan dalam penelitian ini adalah bahwa sampel yang diperoleh dari kelas

Akuntansi Keuangan 1 kurang banyak (hanya 2 kelas) sehingga tidak dapat dilakukan

pengujian dengan menggunakan lisrel. Seperti penelitian dengan kuesioner lainnya, penilaian

yang diberikan oleh responden mengandung subjektifitas.

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah adanya perbaikan dalam pertanyaan

kuesioner untuk menghindari respon yang salah dari responden karena kurang memahami

pertanyaan. Selain itu dapat pula dilakukan eksperimental riset dan menggunakan kasus

untuk mengukur skills yang diperoleh mahasiswa dari metode pembelajaran PBL dan

Lecturing. Bukan menggunakan direct question seperti pada penelitian ini. Variabel IPK

dapat pula dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi prestasi mahasiswa.

20

Daftar Pustaka

Cooke, Marie and Kadie Moyle. Students' Evaluation of Problem-Based Learning. Nurse Education Today. Volume 22, Issue 4, May 2002, Pages 330-339

Kivela, Jakša and Ruth Jeanine Kivela. Student perceptions of an embedded problem-based learning instructional approach in a hospitality undergraduate program. International Journal of Hospitality Management. Volume 24, Issue 3, September 2005.

Tri Wardhani, Adinda. Perbedaan Goal Orientation pada Siswa Sekolah Dasar yang Mendapatkan Metode Pengajaran Belajar Aktif dan Belajar Pasif. Skripsi. Fakultas Psikologi UI: 2002

Wee Keng Neo, Lynda. Jump Start Authentic Problem-Based Learning.Prentice Hall, 2004

Widjajakusumah M.Djauhari, Pengantar PBL, Bahan Penataran Pekerti, UI, 2006

W. Schwartz, Richard, Michael B. Donnelly, David A. Sloan and William E. Strodel. Residents' Evaluation of A Problem-Based Learning Curriculum In A General Surgery Residency Program. The American Journal of Surgery. Volume 173, Issue 4, April 1997, Pages 338-341.

21