penelitian THT done.docx..doc
-
Upload
nurlatifah-chairil-anwar -
Category
Documents
-
view
290 -
download
4
Transcript of penelitian THT done.docx..doc
JUMLAH PENGGUNAAN KATETER FOLLEY
SEBAGAI VARIASI TAMPON PADA TONSILEKTOMI,
ADENOTONSILEKTOMI DAN BIOPSI NASOFARING
PENELITIAN
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran
NAFIS SYAUQIVICKY OCTAVIANIAKHTA YUDISTIRA
PROGRAM PENDIDIKAN KEDOKTERANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, OKTOBER 2015
Bidang Ilmu : Pendidikan Kedokteran
JUDUL
JUMLAH PENGGUNAAN KATETER FOLLEY SEBAGAI
VARIASI TAMPON PADA TONSILEKTOMI,
ADENOTONSILEKTOMI DAN BIOPSI NASOFARING
Disusun Untuk Memenuhi Tugas pada Bagian Ilmu THT RSUD Semarang
Vicky Octaviani (030.11.297)
Akhta Yudistira (030.11.014)
Nafis Syauqi (030.11.207)
PROGRAM PENDIDIKAN KEDOKTERANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, OKTOBER 2015
1
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Nafis Syauqi
Vicky Octaviani
Akhta Yudhistira
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Trisakti Jakarta
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit THT
Periode Kepaniteraan Klinik :
Judul Oenelitian : Jumlah penggunaan kateter foley sebagai variasi tampon pada
tonsilektomi, adenotonsilektomi dan biopsi nasofaring
Diajukan : September 2015
Pembimbing : dr. Bambang S, Sp.THT
dr. Djoko Prasetyo Adi, Sp.THT
Telah Diperiksa dan Disahkan Tanggal
Mengetahui:
Ketua SMF Ilmu Penyakit THT dan Pembimbing
Pembimbing RSUD Kota Semarang
dr. Bambang S, Sp.THT dr. Djoko Prasetyo Adi, Sp.THT
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah
operasi.1 Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang,
namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan
penambahan berat badan, overbite, tounge thrust, halitosis, mendengkur, gangguan bicara dan
enuresis. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan
rekomendasi resmi yang merupakan kesepakatan para ahli mengenai indikasi tindakan
tonsilektomi.1
Meskipun banyak keuntungan dari tonsilektomi, tetapi perlu juga diperhatikan
komplikasi dari operasi seperti sakit pada tenggorok, mual dan muntah setelah operasi,
tertundanya asupan makan, perdarahan dan perubahan suara serta kematian walaupun jarang
terjadi.2 Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pascaoperasi berkisar antara 0,1-8,1% dari
jumlah kasus dan kematian pada operasi sangat jarang. Kematian dapat terjadi akibat
komplikasi bedah maupun anestesi. Tantangan terbesar selain operasinya sendiri adalah
pengambilan keputusan dan teknik yang dilakukan dalam pelaksanaannya.
Biopsi nasofaring merupakan diagnosis pasti kanker nasofaring (KNF). Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan
tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan
kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan
hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring
dalam nakrosis. Tindakan kuret nasofaring dapat menimbulkan komplikasi berupa perdarahan.
1.2. Rumusan Masalah
Mengingat adanya modifikasi yang dilakukan dalam penggunaan tampon pada operasi
adenotonsilektomi dan biopsi nasofaring maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab:
jumlah prevalensi penggunaan kateter sebagai pengganti tampon pada tindakan
adenotonsilektomi dan biopsi nasofaring?
3
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui jumlah penggunaan kateter foley sebgai variasi pilihan tampon pada
tindakan adenotonsilektomi dan biopsi nasofaring?
1.4. Manfaat
1.4.2. Bagi ilmu pengetahuan : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
ilmiah mengenai penggunaan kateter pada tindakan adenotonsilektomi dan biopsi
nasofaring.
1.4.3. Bagi profesi : Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
praktisi tenaga medis.
1.4.4. Bagi masyarakat luas : Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi
kepada masyarakat tentang variasi pilihan tampon pada tindakan adenotonsilektomi
dan biopsi nasofaring
4
BAB II
2.1 TONSILEKTOMI
2.1.1 Definisi
Tonsilektomi (TE) didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina.3,4 Adenotonsilektomi (ATE) adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid
di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.5
2.1.2 Epidemiologi
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,
adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat.6 Angka ini
menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000
anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari
jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%)
menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang
dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada
tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200 operasi).7
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM tahun 1999-
2003 menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga
terlihat pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua
(275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus).8 Sedangkan data dari rumah
sakit Fatmawati dalam tahun 2002-2004 menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah
operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.9
2.1.3 Indikasi Tonsilektomi
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini,
indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
2.1.3.1 Indikasi Absolut (AAO)
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan
tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
5
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
2.1.3.2 Indikasi Relatif (AAO)
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah
mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan
dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya
sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena
infeksi kronik.
2.1.4 Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang
“manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:8
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
2.1.5 Persiapan Praoperasi
2.1.5.1 Penilaian Praoperasi
6
Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang pasien terletak di tangan
dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorok atau dokter yang
bertanggungjawab bila dalam keadaan tertentu tidak ada dokter spesialis THT.
Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka kondisi
kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan kelayakannya menjalani
operasi tersebut. Karena sebagian besar pasien yang menjalani tonsilektomi adalah anak-anak
dan sisanya orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan kerjasama dokter umum, dokter
spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian preoperasi
terhadap pasien. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa konsultasi kepada dokter spesialis
anak maupun penyakit dalam hanya dilakukan untuk kondisi tertentu oleh dokter spesialis
THT atau anestesi. Misalnya anak dengan malnutrisi, kelainan metabolik atau penyakit
tertentu yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas selama dan pascaoperasi.
Konsultasi ini dapat dilakukan baik oleh dokter spesialis THT maupun spesialis anestesi.
Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat mengurangi lama perawatan di
rumah sakit dan meminimalkan pembatalan atau penundaan operasi (American Family
Physician). Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis yang diperoleh
dari anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik. Penilaian laboratoris dan radiologik
kadang dibutuhkan. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan baik di kalangan klinisi
maupun institusi pelayanan kesehatan dalam memilih pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi tertentu. Hal ini memiliki dampak pada
keselamatan pasien selain meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pasien,
pemerintah atau pihak ketiga.
2.1.5.2 Anamnesis dan Rekam Medik
Riwayat kesehatan.
Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan maksilofasial pada anak dan pada
orang dewasa asma, kelainan paru, diabetes melitus, hipertensi, epilepsi, dll.
Riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran), imunisasi, infeksi terakhir
terutama infeksi saluran napas khususnya pneumonia, Penyakit kronik terutama paru-paru
dan jantung, kelainan anatomi, obat yang sedang dan pernah digunakan beserta dosisnya.
Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi
2.1.5.3 Pemeriksaan Fisik
7
Keadaan umum
Status gizi: malnutrisi
Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur pada jantung, tanda-tanda
gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruktif menahun.
Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien dengan penyulit
berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital di daerah orofaring dan kelainan
fungsional. Pada pasien ini, kelainan yang telah ada dapat menyulitkan proses operasi.
Selain itu penting untuk mendokumentasikan semua temuan pemeriksaan fisik dalam
rekam medik.
2.1.5.4 Pemeriksaan Penunjang10
Berdasarkan hasil kajian HTA Indonesia 2003 tentang persiapan rutin prabedah elektif, maka
pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk tonsilektomi adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit
2) Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT
2.1.5.5 Informed consent
Informed consent perlu diberikan kepada pasien sehubungan dengan risiko dan komplikasi
yang potensial akan dialami pasien.
2.1.5.6 Persiapan praoperasi
Puasa harus dilakukan sebelum operasi dilakukan. Lama puasa dapat dilihat pada tabel 2,
berdasarkan umur pasien.
Usia Jangka waktu puasa
Makanan padat Cairan jernih
Anak <6 bulan 4 jam 2 jam
6 –36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam
Dewasa 8 jam 3 jam
Tabel1.JANGKA WAKTU PUASA PERSIAPAN RUTIN PRABEDAH ELEKTIF10
8
2.1.6 Teknik Operasi Tonsilektomi
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
2.1.6.1 Guillotine11
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan
dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Namun
tidak ada literatur yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai dikerjakan.
Tonsilektomi modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan
pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome
merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau
elongasi.
Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari Philadelphia,
sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah modifikasi Sluder.
Di negara-negara maju cara ini sudah jarang digunakan dan di Indonesia cara ini
hanya digunakan pada anak-anak dalam anestesi umum. Teknik :
a. Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan
berhadapan dengan pasien.
b. Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan
pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula.
c. Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui
sudut kiri.
d. Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub
bawah tonsil dimasukkan ke dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk
tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke
dalam Iubang guillotine.
e. Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
f. Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine,
dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan
diangkat keluar. Perdarahan dirawat.
9
2.1.6.2 Cara diseksi
Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Cara ini
digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa, baik dalam anestesi umum
maupun lokal. Teknik :
a. Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala
sedikit ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien.
b. Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.
c. Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial
d. Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari
fosanya secara tumpul sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan
menggunakan jerat tonsil, tonsil diangkat. Perdarahan dirawat.
2.1.6.3 Cryogenic tonsilectomy
Tindakan pembedahan tonsil dapat menggunakan cara cryosurgery yaitu
proses pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin
yang dipakai adalah freon dan cairan nitrogen.1
2.1.6.4 Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4Mhz.
Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk
karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan
listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway).
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade,
monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga
listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan atau
untuk koagulasi.
2.1.6.4 Teknik Radiofrekuensi
10
Pada teknik ini elektrode radiofrekuensi disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
2.1.6.5 Teknik Skapel Harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini
menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser.
Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur
sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 1500C-
4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi
jauh lebih rendah (biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas
generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal
kaki.
2.1.7 Penyulit
Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam
melakukan tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa:5
1. Kelainan anatomi:
- Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)
- Kelainan maksilofasial dan dentofasial
2. Kelainan pada komponen darah:
- Hemoglobin < 10 g/100 dl
- Hematokrit < 30 g%
- Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)
3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain
4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
5. Multiple Allergy
6. Penyakit lain, seperti:
- Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
- Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
11
- Obesitas, kejang demam, epilepsi
2.1.8 Teknik Anestesi12
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia
pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan
dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi
masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan
lagi.
Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi:
1. Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik
2. Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi
3. Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau
obat-obatan yang dibutuhkan
4. Menyediakan rapid emergence.
2.1.8.1 Anestesi Umum
Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat
anestesia eter tidak boleh digunakan lagi jika pembedahan menggunakan
kauter/diatermi. Teknik anestesi yang dianjurkan adalah menggunakan pipa
endotrakeal, karena dengan ini saturasi oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas
terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan mudah. Dokter ahli
anestesi serta perawat anestesi walaupun berada di luar lapangan operasi namun
masih memegang kendali jalan napas.31
2.1.9 Perawatan postoperasi20
Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah
operasi dan bisa dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake
oral secara adekuat, muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan
sampai pasien dalam keadaan stabil. Pengambilan keputusan untuk tetap
mengobservasi pasien sering hanya berdasarkan pertimbangan perasaan ahli
bedah daripada adanya bukti yang jelas dapat menunjang keputusan tersebut.
12
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi
randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara
berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika
postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora
rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani
tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat
faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada
pasien dengan kelainan jantung. Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan.
2.1.10 Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi
anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.35
2.1.10.1 Komplikasi anestesi13
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi dan adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini
terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat
ditemukan berupa:
- Laringospasme
- Gelisah pasca operasi
- Mual muntah
- Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi14
- Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan
henti jantung14
- Hipersensitif terhadap obat anestesi
13
2.2 Komplikasi bedah
2.2.1 Perdarahan.
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).15 Perdarahan
dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah. Kematian
akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien
kembali karena masalah perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan
transfusi darah.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding,
perdarahan primer atau “reactionary haemorrage” dengan kemungkinan
penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi. Umumnya
terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat berbahaya, karena
terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum
sempurna. Darah dapat menyumbat jalan napas sehingga terjadi asfiksia.
Perdarahan dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding
atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah.
Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum
dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang
menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan
yang keras.
2.2.2 Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi.
Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik
“cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan
pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan
terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya
14
dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit
untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.
2.2.3 Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,
stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
2.3 BIOPSI NASOFARING
2.3.1 Definisi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan di
bawah mikroskop dan merupakan cara biopsi untuk menegakkan diagnosis pasti
suatu keganasan.
Biopsi nasofaring adalah mengambil sampel jaringan dari nasofaring
untuk menegakkan diagnosis kanker nasofaring.
2.3.2 Anastesi biopsi nasofaring
Pengambilan spesimen biopsi dari nasofaring dapat dikerjakan dengan
bantuan anestesi lokal ataupun dengan anestesi umum.
Biopsi Nasofaring Dengan Anestesi Lokal:
Biopsi dilakukan dengan menggunakan tang biopsi yang dimasukkan
melalui hidung atau mulut dengan tuntunan rinoskopi posterior atau
tuntunan nasofaringoskopi rigid/fiber.
Eksplorasi Nasofaring dengan Anestesi Umum, prosedur ini dilakukan
jika:
1. Dari biopsi dengan anestesi lokal tidak didapatkan hasil yang positif
sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri karsinoma
nasofaring.
15
2. Unknown Primary Cancer
Prosedur ini dapat langsung dikerjakan pada :
Penderita anak
Penderita dengan keadaan umum kurang baik
Keadaan trismus sehingga nasofaring tidak dapat diperiksa.
Penderita yang tidak kooperatif
Penderita yang laringnya terlampau sensitif
2.3.3 Cara pengambilan jaringan nasofaring
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media
ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy
(Krishnakat, Samir,2002 dan Nasir, 2008).
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung.
Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum
mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa
tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya
dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%
16
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka penelitian ini menjelaskan tentang jumlah penggunaan kateter
foley, usia dan jenis kelamin berkaitan dengan tindakan kuret nasofaring dan
adenotonsilektomi.
Kerangka penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka konsep
3.2 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat variable bebas (independent variable) yaitu
usia, jenis kelamin dan tindakan pemasangan kateter foley. Variable tergantung
(dependent variable) pada penelitian ini adalah tindakan biopsi nasofaring dan
adenotonsilektomi.
3.3 Definisi Operasional
Jenis kelamin
Biopsi nasfofaring
Usia
= variabel tergantung
= variabel bebas
= korelasi univariat
Keterangan :
Penggunaan kateter
Adenotonsilektomi
17
Definisi operasional merupakan batasan atau pengertian tentang variabel
yang akan diukur, dan ditetapkan oleh peneliti. Definisi operasional dibuat untuk
memudahkan dan menjaga konsistensi pengumpulan data, menghindarkan
perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup variabel. Variabel yang
dimasukkan dalam definisi operasional adalah semua variabel yang dikumpulkan
dan dianalisis, dapat diukur secara operasional dan dapat dipertanggung jawabkan.
18
Tabel 2. Definisi Operasional
Variable Identifikasi variable Alat ukur Cara pengukuran Hasil Pengukuran Skala pengukuran ReferensiBiopsi nasofaring
Tindakan pengambilan jaringan patologi pada bagian nasofaring.
Jumlah tindakan pada tahun 2014
Pengambilan data sekunder
Jumlah tindakan Numerikal Glynn F1, Keogh IJ, Ali TA, Timon CI, Donnelly M. Routine nasopharyngeal biopsy in adults presenting with isolated serous otitis media: is it justified?. J Laryngol Otol. 2006 Jun;120(6):439-41.
Usia Satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk
Tanggal lahir dari rekam medis
Pengambilan data sekunder
Usia dalam tahun Numerikal http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
19
Adenotonsilektomi
Tindakan pembuangan tonsil dan adeonid secara operatif
rekam medis Pengambilan data sekunder
Jumlah tindakan Numerik Mitchell RB1. Adenotonsillectomy for obstructive sleep apnea in children: outcome evaluated by pre- and postoperative polysomnography. Laryngoscope. 2007 Oct;117(10):1844-54.
Jenis kelamin Variasi jenis kelamin dalam populasi
Keterangan rekam medis
Pengambilan data sekunder
Laki-laki dan perempuan
Ordinal http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
Penggunaan kateter
Penggunaan kateter sebagai variasi pilihan tampon
Keterangan reka medis
Pengambilan data sekunder
Menggunakan dan tidak menggunakan (tampon konvensional)
Ordinal
20
BAB IVMETODE
4.1 Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan penelitian. Dengan demikian,
desain penelitian ini adalah menggunakan descriptive-observasional dimana
peneliti melakukan pengukuran variabel bebas dan variabel tergantung pada
waktu yang bersamaan dan hanya dilakukan sekali untuk menunjukkan jumlah
kejadian variabel bebas terhadap variabel tergantung.
4.2 Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUD Semarang pada bulan Oktober 2015
4.3 Populasi penelitian
Populasi terjangkau penelitian adalah pasien biopsi nasofaring dan
adenotonsilektomi di RSUD Semarang periode Januari - Desember 2014.
4.4 Sampel Penelitian
4.4.1 Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh pasien biopsi nasofaring, tonsilektomidan
adenotonsilektomi di RSUD Semarang periode Januari - Desember 2014.
4.4.2 Kriteria inklusi
Seluruh pasien biopsi nasofaring, tonsilektomi dan adenotonsilektomi di
RSUD Semarang periode Januari - Desember 2014.
21
4.6 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sample dari total data terkumpul akan menggunakan purposive
sampling, dimana data yang diambil telah berkaitan dengan tujuan penelitian.
Gambar 2. Alur penelitian
4.7 Variabel penelitian
4.7.1 Variabel tergantung
Biopsi nasofaring, tonsilektomi dan adenotonsilektomi
4.7.2 Variabel bebas
Usia, jenis kelamin dan penggunaan kateter foley
4.8 Analisis data
Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan
tahapan cleaning, editing, coding, dan data entry. Analisis univariat meliputi
distribusi frekuensi terhadap usia, jenis kelamin dan penggunaan kateter sebagai
variasi tampon pada tindakan biopsi nasofaring dan adenotonsilektomi dimana
analisis ini dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi.
22
4.9 Etika penelitian
Peneliti mengajukan ethical clearance terhadap komisi etik RSUD
Semarangmelalui bagian pendidikan dan pelatihan. Data yang diambil dari rekam
medis dari bagian rekam medis akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.
4.10 Jadwal penelitian
Tabel 3. Penjadwalan penelitian
Kegiatan
WAKTUSempeteber Oktober
Persiapan dan pengumpulan dataPenyusunan dan penyelesaian BAB I (Pendahuluan)Penyusunan dan penyelesaian BAB II (Tinjauan Pustaka)Penyusunan dan penyelesaian BAB III (Kerangka konsep dan Definisi operasional)Penyusunan dan penyelesaian BAB IV (Metodologi)Penyusunan dan penyelesaian BAB V (Hasil dan Pembahasan)Penyusunan dan penyelesaian BAB VI (Kesimpulan dan Saran)Persiapan ujian skripsiPenyusunan manuskrip publikasi E-jurnal
23
Bab V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2015 - October 2015
bertempat di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang. Penelitian ini
mengambil sampel dengan data yang bersumber dari rekam medis pasien THT
sebanyak 212 pasien. Dimana sampel terdiri 206 pasien tindakan
adenotonsilektomi dan tonsilektomi dan 6 pasien biopsi nasofaring
5.1 Karakteristik responden
Analisis univariat merupakan analisis data berupa perhitungan distribusi
frekuensi dari masing-masing variabel untuk memperoleh informasi dari data
yang diolah.
Tabel 4. Karakteristik responden
Distribusi frekuensi n %Karakteristik respondenUmur seluruh responden
7-12 tahun 92 44.813-17 tahun 87 42.118-85 tahun 33 12.6
Jenis kelaminLaki-Laki 93 42.6Perempuan 119 56.8
Penggunaan KateterTidak Menggunakan 86 40.2
Menggunakan 126 58.9Jenis Tindakan
Adenotonsilektomi 143 66.6Tonsilektomi 63 29.7
Biopsi nasofaring 6 2,8
24
Pada tabel 4 menggambarkan jumlah tindakan Adenotonsilektomi,
tonsilektomi yang dilakukan pada tahun 2014 sebanyak 212 tindakan . Tindakan
Adenotonsilektomidan dan tonsilektomi yang dilakukan sebanyak 143 dan 63
dengan pesentase sebesar 66,6 % dan 29,7% sedangkan tindakan biopsi
nasofaring yang dilakukan sebanyak 6 kali dengan presentase 2,8% . Pada tabel 4
juga menggambarkan frekuensi jenis kelamin sebanyak 119 pasien memiliki jenis
kelamin perempuan dengan presentase 56,8 % sedangkan 93 pasien berjenis
kelamin laki laki dengan presentase 42,6 %. Tabel 4 menggambarkan usia dimana
pada penelitian ini peneliti membagi rentang usia berdasarkan 3 kategori yaitu 7-
12, 13-17 dan 17-85. Pada kategori 7-12 terdapat 92 pasien dengan presentase
tertinggi sebesar 43,3%, 13-17 sebanyak 87 pasien dengan presentase sebesar
40,7% persen dan dewasa sebanyak 33 pasien dengan presentase terendah sebesar
15,3 %. Pada tabel juga menjelaskan jumlah penggunaan kateter foley sebanyak
126 kali dengan 58,9 % dan yang menggunaakan tampon konvensional (kasa) 86
dengan 40,2%.
25
BAB VIPEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah penggunaan kateter foley
sebagai variasi tampon pada tindakan adenotonsilektomi, tonsilektomi dan biopsi
nasofaring. Jumlah responden penelitian adalah 212 orang yang memenuhi
kriteria inklusi penelitian.
Pada klasifikasi kriteria responden dengan tonsilektomi dan
adenotonsilektomi berdasarkan penelitian ini faktor gender , frekuensi wanita
lebih banyak dibandingkan dengan laki laki sebanyak 119 pasien memiliki jenis
kelamin perempuan dengan presentase 56,8 % .Sedangkan 93 pasien berjenis
kelamin laki laki dengan presentase 42,6 % berbanding terbalik pada penelitian
yang dilakukan oleh Allison16, insiden terbanyak pada jenis kelamin laki laki
(58,2%) dan pada penelitian Paulson17 di Amerika menyatakan distribusi
terbanyak pada jenis kelamin laki-laki (56,52%) maka dari itu fenomena itu harus
diteliti lebih lanjut.
Pada klasifikasi responden usia kami mendapatkan pada kategori 7-12
terdapat 92 pasien dengan presentase tertinggi sebesar 43,3%, 13-17 sebanyak 87
pasien dengan presentase sebesar 40,7% persen dan dewasa sebanyak 33 pasien
dengan presentase terendah sebesar 15,3 %. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Boss18 yang menemukan angka tindakan tonsilektomi sebesar 33,8 per
10.000 pada kelompok usia 13-17 tahun dan 91,3 per 10.000 kejadian pada
kelompok usia 7-12 tahun.
Penggunaan depth tampon kassa dan Kateter folley dimaksudkan untuk
menghentikan perdarahan yang terjadi pada saat tindakan. Pada penelitian ini hasil
yang kami dapatkan penggunaan kateter foley sebanyak 126 kali dengan 58,9 %
dan yang menggunaakan tampon konvensional (kasa) 86 dengan 40,2%. Metode
kateter folley merupakan metode baru dan belum terdapat referensi yang
membahas metode tersebut maka dari itu fenomena ini menarik dan harus
dilakukan studi lanjut agar inovasi baru ini lebih dikenal pada dunia kedokteran
THT .
26
Bab VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang angka penggunaan kateter foley
sebagai varian tampon pada adenotonsilektomi, tonsilektomi dan biopsi
nasofaring, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Angka perlakuan biopsi nasofaring, tonsilektomi dan
adenotonsilektomi di RSUD semarang paling banyak dilakukan pada
golongan usia 7-12 tahun.
2. Tindakan adenotonsilektomi merupakan tindakan yang paling
banyak dilakukan di RSUD Semarang,
3. Penggunaan depth kasa lebih banyak (52.6 %) dibanding dengan
kateter foley (47,4%).
7.2 Saran
Untuk penelitian mendatang sebaiknya diambil responden yang lebih
bervariatif, dengan latar belakang pendidikan, keluarga dan sosial ekonomi yang
beragam, memiliki variabel yang lebih variatif dan dicari hubungan antar variabel.
Dan diharapkan dapat dilanjutkan berupa uji klinis dikarenakan tidak adanya
literatur mengenai judul terkait.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-97.
2. Baugh, et al. Clinical practice guideline: tonsillectomy in children. Otolaryngol Head Neck Surg. 2011 Jan;144(1).
3. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
4. Larizgoita I. Tonsillectomy: scientific evidence, clinical practice and uncertainties. Barcelona: CAHTA 1999
5. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2-327-6
6. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:3-5
7. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky M. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in moderately affected children. Pediatrics 2002;110:7-15
8. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian THT FKUI-RSUPNCM.
9. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004 RS Fatmawati.10. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa I, Umbas R, Thayeb U, Windiastuti E,
dkk. Persiapan rutin prabedah elektif. HTA Indonesia 200311. Mathews J, Lancaster J, Sherman I, Sullivan GO. Historical article
guillotine tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United Kingdom. The Journal of Laryngology and Otology 2002;116:988-91
12. Practice advisory for preanesthesia evaluation. A report by the American Society of anesthesiologists task force on preanesthesia evaluation. 2003.
13. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ, Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for .
14. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE, Tinker JH, Morgan GE,editors. Principles and practice of anesthesiology. London: Mosby 1998.2nd ed.p.2208-10. infants and children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd ed.p.461-67.
15. Randal DA, Hoffer ME. Complication of tonsillectomy and adenoidectomy. Otolaryngol Head Neck Surg 1998;118:61-8
16. Glover JA. The Incidence of Tonsillectomy in School children. Int. J. Epidemiol.(2008) 37 (1): 9-19.doi: 10.1093/ije/dym258
17. Paulson LM, Macarthur CJ, Beaulieu KB, Brockman JH, Milczuk HA. Speech Outcomes after Tonsillectomy in Patients with Known
28
Velopharyngeal Insufficiency. International Journal of Otolaryngology 01/2012; 2012(3):912767. DOI: 10.1155/2012/912767
18. Boss EF1, Marsteller JA, Simon AE. Outpatient tonsillectomy in children: demographic and geographic variation in the United States, 2006. J Pediatr. 2012 May;160(5):814-9. doi: 10.1016/j.jpeds.2011.11.041. Epub 2011 Dec 17
29
Lampiran 1. Tabel statistikJenis Tindakan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
1 .5 .5 .5
Adenotonsilektomi 143 66.6 66.6 66.6
Tonsilektomi 63 29.7 29.7 96.3
Biopsi nasofaaring 6 2,8 2,8 100
Total 212 100.0 100.0
Tabel 2.Jenis kelamin
Jenis kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
1 .5 .5 .5
Laki laki 93 42.6 42.6 43.2
Perempuan 119 56.8 56.8 100.0
Total 212 100.0 100.0
Usia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
1 .5 .5 .5
Anak 92 44.8 44.8 45.4
Dewasa 33 12.6 12.6 57.9
Remaja 87 42.1 42.1 100.0
Total 212 100.0 100.0
30
Tabel 4.Penggunaan kateter
Penggunaan kateter foley
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
2 .9 .9 .9
Tidak menggunakan 86 40.2 40.2 41.1
Menggunakan 126 58.9 58.9 100.0
Total 212 100.0 100.0
31