PENELITIAN POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN...

202
PENELITIAN POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH KERJA SAMA ANTARA PUSAT STUDI KAJIAN NEGARA FAkULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG DENGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) REPUBLIK INDONESIA JAKARTA, 2009

Transcript of PENELITIAN POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN...

PENELITIAN

POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH

KERJA SAMA ANTARA PUSAT STUDI KAJIAN NEGARA

FAkULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

DENGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)

REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA, 2009

i

POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH

ABSTRAK

UUD 1945 telah memberikan dasar-dasar pola hubungan antara Pusat dan Daerah, meliputi desentralisasi teritorial, dengan asas otonomi dan tugas pembantuan, dan memberikan otonomi seluas-luasnya. Namun dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, telah mendorong penyeragaman sekaligus sentralisasi tersembunyi melalui undang-undang sektoral. Penelitian ini merupakan kajian bertujuan untuk mengetahui prinsip-prinsip pemikiran yang mendasari pola hubungan antara Pusat dan daerah, dengan pendekatan uraian mengenai dimensi hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, penelitian merupakan penelitian asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. Pembahasan penelitian ini menunjukkan bahwa terhadap dimensi-dimensi hubungan antara Pusat dan daerah terjadi inkonsistensi, baik dalam perspektif kerangka negara kesatuan, paradigma negara kesejahteraan, demokrastisasi, dan prinsip otonomi yang dimaksudkan dalam Perubahan UUD 1945. Dengan demikian perlu kecermatan lebih lanjut untuk menata kembali harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sebaga pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, untuk mengembalikan hakikat otonomi daerah.

ii

The Pattern of Central and Regional/Local Government Relationship

Abstract

The 1945 Constitution has provided the basic principles of the relationship between central and regional/local government, including territorial decentralization, with the principle of autonomy and co-administration, and provides wide-ranging autonomy. But with the various implementing regulations, has encouraged uniformity and centralization hidden through sectoral legislation. This research aims to determine the principles that underlie the pattern of relationship between central and regional/local government, with a description of the dimensional approach of authority, concerning: relations, institutional, financial, and supervision relationship. By using the method of normative juridical approach, the research categorized as research on principles of law, systematic of law, and the level of vertical and horizontal synchronization. This research show that the dimensions of the relationship between central and regional/local government, inconsistencies occurred, both in the perspective of the unitary state framework, the welfare state paradigm, democratization, the principle of autonomy which is intended in The Amended 1945 Constitution. Thus the need to further precision to restructure the harmonization of legislation as the implementation of Article 18 UUD 1945, to restore the nature of regional/local autonomy.

Kata Pengantar

Laporan penelitian yang disajikan ini merupakan hasil kerja sama antara

Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH

Unpad) dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD – RI). Dari

beberapa tema yang ditawarkan, sengaja kami memilih persoalan hubungan

keuangan antara pusat daerah karena dalam konteks negara terdesentralisasi

seperti Indonesia, persoalan tersebut selalu berkembang.

Bagi kalangan juris perkembangan tersebut tampak misalnya dalam hal

perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah

yang sangat dinamis. Bahkan dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-

undangan di bidang ini merupakan peraturan perundang-undangan yang sangat

berkembang pesat, dari mulai Indonesia merdeka hingga saat ini. Perkembangan

peraturan perundang-undang tersebut akan menggambarkan konsep dinamis antara

desentralisasi dan sentralisasi yang seperti “bandul”. Misalnya, sebelum Perubahan

UUD 1945 (khususnya Pasal 18), beberapa undang-undang bercorak desentralistis,

seperti UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan beberapa lagi lebih

mencerminkan sifat sentralistis, seperti UU No. 5 Tahun 1974. Hal tersebut sangat

mungkin terjadi hingga saat ini di mana Pasal 18 UUD 1945 telah diubah menjadi 3

pasal pada masa Perubahan Kedua UUD 1945, misalnya antara UU No. 22 Tahun

1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebelum

Pasal 18 UUD 1945 berubah namun secara prinsip tidak bertentangan dengan

perubahan Pasal 18 tersebut. Sementara itu, UU No. 32 Tahun 2004 dibentuk

setelah Perubahan Pasal 18 UUD 1945 dan mengubah ketentuan UU No. 22 Tahun

1999, begitu pula UU lainnya di bidang perimbangan keuangan pusat – daerah.

Perkembangan tersebut selalu menarik untuk diteliti, karena format desentralisasi

selalu akan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.

Namun demikian, memilih tema hubungan pusat – daerah ini cukup beresiko,

khususnya dalam hal kedalaman studi, karena terdapat beberapa dimensi hubungan

pusat – daerah. Kami mengambil resiko tersebut dengan tujuan bahwa penelitian ini

menghasilkan gambaran persoalan hubungan pusat – daerah ini secara umum

(overview). Setidaknya dengan penelitian yang umum ini, diharapkan akan muncul

penelitian – penelitian lanjutan yang lebih spesifik lagi, seperti hubungan

kewenangan pusat – daerah atau dimensi – dimensi lainnya.

iii

Kami sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

pelaksanaan penelitian ini, khususnya kepada DPD – RI yang telah melakukan kerja

sama penelitian ini dengan kami. Kami sadar laporan penelitian ini banyak

kekurangan, sehingga kami sangat membuka diri untuk segala kritik dan saran untuk

perbaikan ke depan. Akhir kata, selama membaca.

Bandung, 2009

Tim Peneliti

iv

v

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Pembagian desentralisasi menurut Van der Pot 10

Bagan 2 Pembagian desentralisasi menurut Irawan Soejito 10

Bagan 3 Pembagian desentralisasi menurut Amrah Muslimin 11

Bagan 4 Pembagian desentralisasi menurut Hans Kelsen 12Bagan 5 Alur Penelitian 15

Bagan 6 Pembagian Urusan Pemerintahan 75

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Ruang lingkup pengawasan

Atas penyelenggaraan pemerintahan daerah

65

Tabel 2 Perbandingan Pengawasan Pusat Terhadap Daerah di Inggris, Perancis dan Belanda

69

Tabel 3

Model-Model Pengawasan dan Pengendalian Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004

118

Tabel 4

Perkembangan Pengaturan Pengawasan 124

Tabel 5 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource)

150

Tabel 6 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade)

151

Tabel 7 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kehutanan (Forestry)

152

Tabel 8 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Perhubungan

152

Tabel 9 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kelautan dan Perikanan

153

Tabel 10 Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Pungutan Lainnya Yang Dibatalkan Oleh Menteri Dalam Negeri Pada Tahun 2007

154

Tabel 11 Hasil Evaluasi Peraturan Daerah di Departemen Dalam Negeri Sampai dengan November 2007

156

Tabel 13 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource)

157

vii

Tabel 14 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Indramayu Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource))

158

Tabel 15 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Tasikmalaya Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource))

158

Tabel 16 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) Wilayah Provinsi Jawa Barat)

158

Tabel 17 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Karawang Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) )

160

Tabel 18 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Cimahi Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade))

160

Tabel 19 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))

161

Tabel 20 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Ciamis Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Kehutanan (Forestry))

161

Tabel 21 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Garut Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))

162

Tabel 22 Jumlah Undang-Undang Pembentukan Daerah (Pemekaran Daerah) 2007 – 2008

163

Tabel 23 Skema Pola Hubungan Pengawasan Pusat-Daerah 173

viii

DAFTAR ISI

Abstrak i

Abstract ii

Kata Pengantar iii

Daftar Bagan v

Daftar Tabel vi

Daftar Isi viii

BAB I Pendahuluan

1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 3

C. Tujuan Penelitian 3

D. Kerangka Pemikiran 4

E. Kegunaan Penelitian 12

F. Metode Penelitian 12

G. Alur Penelitian 14

H. Personalia Penelitian 16

I. Sistematika Penulisan 16

BAB II Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah

18

A. Negara Kesatuan 18

B. Negara Hukum 19

C. Demokrasi 23

1. Demokrasi sebagai instrumen Mekanisme pemerintahan 23

2. Demokrasi sebagai instrumen pengambilan keputusan 25

3. Demokrasi ekonomi 26

D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 29

1. Desentralisasi 29

2. Sistem Rumah Tangga Daerah 36

ix

3. Kelembagaan 43

4. Ruang Lingkup dan Prinsip-Prinsip Desentralisasi Fiskal 47

5. Sumber-Sumber Penerimaan/ Pendapatan Daerah 52

6. Hakikat Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Daerah 58

BAB III Pengaturan Hubungan Antara Pusat dan Daerah

74

A. Hubungan Kewenangan: dari mulai UUD 1945, UU, dan

Pengaturan Sektoral.

74

B. Hubungan Kelembagaan 75

C. Hubungan Keuangan 99

D. Hubungan Pengawasan 112

BAB IV Tinjauan Dimensi-Dimensi Hubungan Antara Pusat dan Daerah A. Pilar-Pilar Penyelenggaraan Pemerintahan 125

B. Dimensi Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah 126

C. Dimensi Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah 128

D. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 139

E. Dimensi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah 149

BAB V Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan 182

B. Saran 183

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya telah memberikan

landasan konstitusional mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di

Indonesia. Di antara ketentuan tersebut yaitu: 1) prinsip pengakuan dan

penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia;1 2) Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;2 3) prinsip

menjalankan otonomi seluas-luasnya;3 4) prinsip mengakui dan menghormati

pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa;4 5) prinsip badan

perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu;5 6) prinsip hubungan pusat

dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil;6 7) prinsip

hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus

memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;7 8) prinsip hubungan

keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah

dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang;8 dan 9)

prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa;9

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari dasar konstitusional tersebut,

satuan pemerintahan di bawah pemerintah pusat yaitu daerah provinsi dan

1 Pasal 18 B ayat (2) 2 Pasal 18 ayat (2) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945. 3 Pasal 18 ayat (5) 4 Pasal 18 B ayat (1) 5 Pasal 18 ayat (3) 6 Pasal 18 A ayat (2) 7 Pasal 18 A ayat (1) 8 Pasal 18 A ayat (2) 9 Pasal 18 B ayat (1)

2

kabupaten/kota memiliki urusan yang bersifat wajib dan pilihan.10 Provinsi

memiliki urusan wajib dan urusan pilihan.11 Selain itu ditetapkan pula

kewenangan pemerintah Pusat menjadi urusan Pemerintahan yang

meliputi:12 a) politik luar negeri; b) pertahanan; c) keamanan; d) yustisi; e)

moneter dan fiskal nasional; dan f) agama. Walaupun dengan ketentuan

pemberlakuan otonomi seluas-luasnya dalam UUD 194513, namun muncul

pula pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 yang

membagi urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah

provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Hubungan-hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

memiliki empat dimensi penting untuk dicermati, yaitu meliputi hubungan

kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pertama,

pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan

pemerintahan tersebut akan sangat mempengaruhi sejauhmana Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan

urusan-urusan Pemerintahan, karena wilayah kekuasaan Pemerintah Pusat

meliputi Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi obyek yang

diurusi adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda. Kedua,

pembagian kewenangan ini membawa implikasi kepada hubungan

keuangan, yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketiga,

implikasi terhadap hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah

mengharuskan kehati-hatian mengenai besaran kelembagaan yang

diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi urusan masing-

masing. Keempat, hubungan pengawasan merupakan konsekuensi yang

muncul dari pemberian kewenangan, agar terjaga keutuhan negara

Kesatuan. Kesemuanya itu, selain diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004

tersebut, juga tersebar pengaturannya dalam berbagai UU sektoral yang

10 Pasal 13 ayat (1) dan (2) dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004. 11 Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004. 12 Pasal 10 ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2004. 13 Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

3

pada kenyataannya masing-masing tidak sama dalam pembagian

kewenangannya.14 Pengaturan yang demikian menunjukkan bahwa tarik

menarik hubungan tersebut kemudian memunculkan apa yang oleh Bagir

Manan disebut dengan spanning15 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah.

Dewan Perwakilan Daerah juga mengidentifikasi adanya kewenangan

yang tumpah tindih antar instansi pemerintahan dan aturan yang berlaku,

baik aturan di tingkat pusat dan/atau peraturan di tingkat daerah.16 Hal

tersebut terutama berhubungan dengan a) otoritas terkait tanggungjawab

pemerintah pusat dan daerah; b) kewenangan yang didelegasikan dan

fungsi-fungsi yang disediakan oleh Departemen kepada daerah; dan c)

kewenangan yang dalam menyusun standar operasional prosedur bagi

daerah dalam menterjemahkan setiap peraturan perundang-undangan yang

ada. 17 Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan suatu kajian

sebagai penelitian payung yang melandasi hubungan antara Pemerintah

Pusat dengan daerah.

B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini dibagi berdasarkan empat

dimensi hubungan pemerintahan pusat dan daerah, sebagai berikut:

1. Apa dasar-dasar pemikiran yang melandasi terbangunnya pola hubungan

antara pusat dan daerah?

2. Bagaimana pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi-dimensi

kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan?

C. Tujuan Penelitian

14 Kerangka Acuan Penelitian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD Ri Dengan Perguruan Tinggi Di Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta 2009, hlm. 6. 15 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 22-23 16 Ibid., hlm. 8. 17 Ibid.

4

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Mengetahui dasar-dasar pemikiran yang melandasi terbangunnya pola

hubungan antara pusat dan daerah?

2. Mengetahui bagaimana pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi-

dimensi kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan?

D. Kerangka Pemikiran

Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa

Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum atas dasar

kedaulatan rakyat.

Teori negara kesatuan digunakan untuk membedakan pembagian

kekuasaan secara vetikal dengan negara berbentuk federasi. Dalam hal ini

dikemukakan pemikiran dari CF Strong mengenai negara kesatuan.18

Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di

bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki

berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan

oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah

itu. Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara

tanpa ada batasan yang ditetapkan hukum yang memberikan kekuasaan

khusus pada bagian-bagiannya. “Unitarisme” dalam pengertian politik

didefinisikan oleh Dicey sebagai “pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif

tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”. Sementara itu menurut Apeldoorn,

yang dikutip oleh Tim Penyusun buku “Otonomi atau Federalisme”, suatu

negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh

pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari

pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak

mandiri.19 Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary

state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua

18 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87. 19 Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, Dampaknya Terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14.

5

kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan

kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan. 20

Ni’matul Huda mengatakan bahwa desentralisasi adalah strategi

mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian

pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam

praktik administrasi publik.21Demokrasi yang lazim pula disebut dengan

kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat,

sehingga dalam pelaksanaan tugasnya pemerintah harus berpegang pada

kehendak rakyat.22 Sejalan dengan perputaran waktu, konsep demokrasi

juga mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi dari masyarakat

modern.23 C.F. Strong mengartikan demokrasi secara beragam24 termasuk

untuk menyebut suatu bentuk pemerintahan atau kondisi suatu masyarakat.

Namun di dunia kontemporer, ketika nasionalisme menjadi dasar bagi

demokrasi politik maka pemerintahan politik yang demokratis menjadi

instrumen kemajuan sosial. Di sinilah letak keterkaitannya dengan demokrasi

politik yang mengisyaratkan pemerintah harus bergantung pada persetujuan

pihak yang diperintah; artinya, ekspresi persetujuan maupun ketidaksetujuan

rakyat sudah harus memiliki sarana penyaluran yang nyata dalam pemilihan

umum, program politik partai, media massa, dan lain-lain. Faktor luas wilayah

dari suatu negara dan besaran jumlah penduduk serta pertambahan

kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen bahwa demokrasi

langsung (direct democracy) tidak mungkin untuk dilaksanakan.25

Berdasarkan kenyataan demikian, muncullah yang dikenal sebagai

demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang pelaksanaan

kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung

20 Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999, hlm. 21. 21 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009, hlm. 66. 22 Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 10. 23 Ibid. 24 C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi …, op.cit, hlm. 17. 25 Ibid.

6

melainkan melalui lembaga perwakilan rakyat.26 Dalam rangka mewujudkan

prinsip kedaulatan rakyat, akomodasi seluruh aspirasi rakyat jauh lebih

berguna dari unsur di dalam masyarakat harus terwakili di dalam sistem

perwakilan.27 Rousseau memberi catatan bahwa jika kita menempatkan

istilah ini dalam pemahaman yang kaku, tidak pernah ada demokrasi yang

nyata dan tidak akan pernah ada demokrasi.28 Dalam pemikiran mengenai

bagaimana demokrasi bagi Indonesia, Muhammad Hatta mengingatkan

bahwa masyarakat asli Indonesia mempunyai sifat dasar dalam segala hal

mengenai kepentingan hidup bersama.29 Sifat pertama, yaitu mengambil

keputusan secara mufakat dengan musyawarah, adalah dasar dari

demokrasi politik. Sifat kedua yaitu tolong menolong dan gotong royong

adalah sendi yang bagus untuk menegakkan demokrasi ekonomi.30

Selanjutnya pilar yang lain yang secara konsitusional diakui oleh

Indonesia adalah negara hukum. Neumann yang dikutip oleh Satjipto

Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan negara hukum di Inggris

berbeda daripada Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik.31 Di

Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin

supremasi parlemen.32 Parlemen berhak untuk melakukan apa saja,

termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “… that

the souvereignity of Parliament furthers the rule of the land… prevent those

inroads upon the law of the land which a despotic monarch … might effects

by ordinance or decrees… “33 Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of

legislation by Parliament, with the balance between the House of Commons,

the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges

26 Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, ..., op.cit. hlm. 11. 27 Ibid., hlm. 284. 28 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), terjemahan Tim Visimedia, Visimedia, Jakarta, 2007, hlm. 113. 29 Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009, hlm. 69. 30 Ibid. hlm. 70. 31 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta, Mei 2009, hlm. 8 32 Ibid., hlm. 8-9. 33 Ibid., hlm. 9.

7

… and finally, explains the absence od adiministrative law.” Jadi dalam

mengartikan “the rule of law” di Inggris, maka parlemen atau rakyatlah

merupakan instansi tertinggi.

Menurut Julius Stahl yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie34, konsep

Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup

empat elemen penting, yaitu: 1) perlindungan hak asasi manusia; 2)

pembagian kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan

4) Peradilan tata usaha Negara. Sementara itu A.V. Dicey menguraikan

adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya

dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1) Supremacy of Law; 2) Equality

before the law, dan 3) Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’

yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat

digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh

A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman

sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-

prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan

tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman

sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara

demokrasi.35

Negara hukum yang muncul di abad ke-sembilan belas adalah tipe

negara hukum sebagai “penjaga malam” (nachtwakersstaat). Disebut

sebagai penjaga malam, karena dalam tipe tersebut, tindakannya dibatasi

hanya sampaiu kepada penjaga ketertiban dan keamanan.36 Pada

perkembangannya negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan

34 Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”, lihat Jimly Asshidiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, makalah disampaikan dalam acara Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004,hlm. 1-2, diunduh dari http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc., pada 8/24/2009 9:38:03 AM. 35 Ibid. 36 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum …, op.cit., hlm. 26.

8

individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri-sendiri problem-

problem tersebut. Satjipto kemudian mengutip dari de Haan et al bahwa

menyerahkan penyelesaian kepada mekanisme pasar sosial akan

menempatkan golongan lapisan bawah (the have not) dalam masyarakat

sebagai pihak yang sangat menderita (“De staat mocht niet langer, door als

neutral toeschouwer op te stellen, de door het industriele kapitalisme

veranderde samenleving ongemoeid laten, maar behoorde zich

daadwerkelijk de belangen van de achtergestelde groepen in die

samenleving aan te trekken. Naast de traditionele overheidstaken vroegen

nieuwe terreinen om ordening en verzorging van staatswege”). Ini

menimbulkan konsep “negara kesejahteraan” (welfare state).

Perubahan tersebut, yaitu campur tangan negara ke dalam masyarakat,

sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh hukum

administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional, negara hanya

bertindak sesekali dan sebagai pelengkap (incidenteel en aanvullend). Tetapi

sekarang negara harus memasuki aktivitas yang lebih luas, seperti

pembuatan undang-undang dan pembuatan undang-undang semu (pseudo),

perencanaan, perjanjian, dan kepemilikan (eigendom) negara, keterbukaan

dan penggugatan. Menurut William A. Robson, kelahiran konsep negara

kesejahteraan didahului oleh rentetan ide-ide panjang, di antaranya adalah

”liberty, equality, dan fraternity” (revolusi Perancis) dan “The greates

happiness for the greatest number” (Bentham).37

Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik adalah yang dapat

menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat sampai ke pelosok wilayah

negara, mempertimbangkan pertama, tujuan penyelenggaraan negara, yaitu

kesejahteraan rakyat di satu sisi, dan kedua, jarak yang jauh antara pusat

pemerintahan dengan bagian-bagian daerah yang harus diperintah di sisi

lain. Oleh karena itu menurut Ateng Syafrudin perlu diadakan pembagian

37 Ibid., hlm. 27.

9

kerja secara teritorial di samping pembagian kerja secara fungsional.38

Pembagian-pembagian kerja urusan penyelenggaraan pemerintahan

tersebut yang kemudian mengarah kepada proses desentralisasi.

Bagir Manan menjelaskan desentralisasi dengan menggunakan

pendapat Van Der Pot.39 Menurut pakar Hukum Tata Negara Belanda ini,

desentralisasi dibagi menjadi dua macam, yaitu desentralisasi teritorial dan

desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk

badan yang didasarkan pada wilayah (gebeidscorporatis), sedangkan

desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang

didasarkan pada pada tujuan-tujuan tertentu (doelcorporaties). Desentralisasi

teretorial berbentuk otonomi dan tugas pembantuan.

Bagan 1: Pembagian desentralisasi menurut Van der Pot

Pendapat dari Van der Pot ini diikuti antara lain oleh FAM Stroink,

Steenbeek, JM de Meij, dan Belifante. Dengan penggolongan yang sedikit

berbeda, Irawan Soejito membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi

teretorial, desentralisasi fungsional, desentralisasi administratif

(dekonsentrasi). Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi (ambtelijk

decentralisatie) terjadi apabila “Pemerintah melimpahkan sebagian

kewenangannya kepada alat perlengkapan atau organ Pemerintah sendiri di

daerah, yakni pejabat-pejabat Pemerintah yang ada di daerah, untuk

dilaksanakan.40

38 Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi dalam Pembangunan Daerah. Citra Media Hukum. Yogyakarta. 2006, hlm. 72. 39 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm. 20-21 40 Ibid, hlm 21

10

Bagan 2. Pembagian desentralisasi menurut Irawan Soejito

Irawan Soejito mengatakan bahwa dekonsentrasi merupakan bagian

dari desentralisasi, dan merupakan pelunakan sentralisasi menuju

desentralisasi.

Pakar hukum lainnya, Amrah Muslimin, membedakan desentralisasi

menjadi desentralisasi politik41, desentralisasi fungsional desentralisasi

kebudayaan.42 Pembahasan tentang pemerintahan di daerah tidak akan

lepas dari asas kedaerahan dalam pemerintahan. Menurutnya asas

kedaerahan mengandung dua macam prinsip pemerintahan, yaitu :43

1. Dekonsentrasi, merupakan pelimpahan sebahagian kewenangan

pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah,

2. Desentralisasi, merupakan pelimpahan wewenang kepada badan-badan

dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk

mengurus rumah tangganya sendiri.

41 Desentralisasi politik adalah “pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat yang menimbulkan hak mengurus rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik yang ada di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu, lihat Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm 5 42 Ibid. 43 Ibid.

11

Bagan 3. Pembagian desentralisasi menurut Amrah Muslimin

Sebagai tambahan mengenai pembagian desentralisasi, dari

Logemann, Colloge aantekemingen, 194744, Ateng Syafrudin

mengemukakan bahwa desentralisasi dalam arti luas terdiri dari:

a. Staatkundige atau Politieke decentralisatie. Isinya adalah kewenangan

membuat peraturan (regelende bevoegheid) dan kewenangan membuat

keputusan atau mengurus (bestuurende bevoegheid).

b. Ambtelijke decentralisatie atau deconsentratie. Lingkup staatkundige

decentralisatie dibagi dua, yaitu:

1) territoriale decentralisatie;

2) fungctionele decentralisatie.

Bentuk dari territoriale decentralisatie adalah autonomie dan medebewind

yang kadang-kadang disebut juga sebagai medebestur, selfgovernment,

zelfbestuur. Pengertian otonomi di sini sama dengan isi dari staatkundige

atau politiche decentralisatie.

tkan bahwa desentralisasi terbagi dalam arti luas dan arti sempit.

Penelitian ini menggunakan pengertian desentralisasi dalam arti sempit.

Pemilihan tersebut diambil sebagaimana yang digunakan oleh Bagir Manan

dalam menggali gagasan-gagasan dasar pola hubungan antara Pusat dan

Daerah dalam Undang-Undang Dasar 1945.45

44 Ateng Syafrudin, Handsout dan Course Material Hukum Pemerintahan Daerah, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Program Studi Hukum Tata negara, hlm. 1. 45 Bagir Manan, Hubungan…., op.cit., hlm. …

12

Dalam kaitan ini Bagir Manan menguraikan mengenai kaitan

desentralisasi, kerakyatan, dan Negara hukum, hubungan Pusat dan Daerah

akan dipengaruhi oleh:46

1) Sampai sejauh manakah desentralisasi diterima sebagai cara terbaik

untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang berkedaulatan rakyat

dengan partisipasi luas dari anggota masyarakat?

2) Sampai sejauh mana desentralisasi dipandang sebagai cara untuk

menjamin dan mewujudkan Negara hukum?

3) Sampai sejauh mana desentralisasi dipandang sebagai cara untuk

mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat?

Lebih dari hal tersebut, yang tidak kalah penting untuk dicermati

adalah bahwa pola hubungan antara Pusat dan Daerah tidak dapat terlepas

dalam bingkai Negara Kesatuan. Dengan demikian perlu dicari titik temu

antara keutuhan Negara Kesatuan di satu sisi, dan demokratisasi di sisi lain

sebagai upaya mencapai tujuan bernegara yaitu kesejahteraan rakyat.

E. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para

Anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai tambahan pengetahuan

mengenai hubungan pusat dan daerah.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan langkah-langkah penelitian untuk

memperoleh data atau bahan dan analisis sebagai berikut:

1. Jenis/ Spesifikasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis. Penelitian ini

menjelaskan dan menganalisa pengaturan beserta asas-asas yang

berkenaan dengan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah yang

berlaku di Indonesia.

2. Metode Pendekatan 46 Bagir Manan, Hubungan Pusat….., op.cit., hlm. 39.

13

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.

Pendekatan yuridis normatif47 adalah pendekatan dengan melakukan

penelitian secara mendalam terhadap hukum yang berlaku. Di antara

cakupan dari penelitian hukum normatif tersebut, penelitian ini akan

dilakukan terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf

sinkronisasi vertikal dan horisontal.48

3. Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

a. Studi Pustaka Penelitian ini dilakukan dengan penelusuran terhadap bahan-bahan

hukum,49 meliputi:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.50 Bahan

hukum ini meliputi antara lain Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksana, perubahan-

perubahan, dan peraturan yang secara tidak langsung terkait, seperti

peraturan terdahulu;

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer,51 seperti rancangan undang-undang,

hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum;

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus, dan ensiklopedia.52

b. Penelitian Lapangan 47 Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Menggunakan Teori dan Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Monograf, penerbit, kota, dan tahun penerbitan tidak tercantum, hlm. 6. 48 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 14 49 Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Sarjana (S1), Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun 2007, hlm. 72. 50 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 52. 51 Ibid. 52 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2006, hlm. 31-32.

14

Penelitian lapangan dilakukan untuk mendukung penelitian

kepustakaan dengan cara menyelenggarakan diskusi terfokus (focused

group discussion-FGD).

4. Pengolahan dan Analisis Data Bahan penelitian yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis dengan

menggunakan analisis kualitatif, yakni dengan menggunakan penafsiran

hukum53 dan selanjutnya dituangkan secara deskriptif yaitu bersifat

menggambarkan masalah.

G. Alur Penelitian

53 Penelitian hukum normatif tidak dapat terlepas dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum, dalam Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hlm. 37. Lihat juga Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 152.

15

• Pembentukan

Hubungan Kewenangan

04

n

Pembagian Urusan Pemerintahan

Negara Kesatuan

Demokrasi

to mi

Negara Hukum

Hubungan Pusat

Daerah

ODe

Daerah Hubungan

em

sen

asi

no

Tugasbant n

UU No.32/20dan

pelaksanaanya

Alur Penelitian

Bagan 5.

UU

• Organisasi Perangkat Daerah

Dana Perimbangan Dana Tugas Pembantuan

UU No. 33/2004

Hubungan Keuangan

Kelembagaan

• Pengawasan Pembentukan Perda

• Pengawasan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan

Hubungan Pengawasan

UU Sektoral

D 1945

ua P

tral is

16

H. Personalia Penelitian

Ketua : DR. Indra Perwira, S.H., M.H.

Wakil : Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M.

Sekretaris : Inna Junaenah, S.H.

Anggota Prof. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H.,

DR. H. Kuntana Magnar, S.H., M.H.,

DR. Agus Kusnadi,S.H., M.H.,

Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M., Ph.D.,

H. Rosjidi Ranggawidjaja, S.H., M.H.

Ali Abdurahman, S.H., M.H.

Tenaga Pendukung : Hernadi Affandi, S.H., LL.M.

Rahayu Prasetianingsih, S.H.

Bilal Dewansyah, S.H.

I. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, kegunaan

penelitian, dan metode penelitian.

Bab II Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah

Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai teori-teori umum yang

mendasari penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi prinsip-

prinsip negara Kesatuan, Negara Hukum, demokrasi, dan teori

desentralisasi.

Bab III Deskripsi Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai pengaturan mengenai hubungan

antara Pusat dan Daerah dalam empat dimensi, yaitu hubungan

17

kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan, disertai

permasalahan hubungan antara Pusat dan Daerah pada empat dimensi

tersebut.

Bab IV Tinjauan Dimensi-Dimensi Hubungan Antara Pusat dan Daerah Bab ini berisi analisa terhadap pengaturan dan problematika empat dimensi

pola hubungan antara Pusat dan Daerah dalam perpektif prinsip-prinsip

pemikiran yang mendasarinya.

Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi Dalam Bab ini akan digarisbawahi berbagai telaah terhadap hubungan Pusat

dan daerah melalui kesimpulan, yang akan disertai dengan rekomendasi

sebagai gagasan-gagasan reformasi pola hubungan antara Pusat dan

Daerah di masa yang akan datang.

18

BAB II PRINSIP-PRINSIP UMUM POLA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH

Pilar-pilar yang perlu diketengahkan dalam membangun pola

hubungan pusat dan daerah sedikitnya dibentuk dari prinsip negara

kesatuan, kedaulatan rakyat, dan negara hukum. Dengan demikian perlu

dipahami terlebih dahulu mengenai prinsip-prinsip yang terkandung dalam

masing-masing dasar pemikiran tersebut untuk menghantarkan kemunculan

hubungan antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintahan yang lebih

rendah.

A. Negara Kesatuan Uraian mengenai konsep negara kesatuan perlu diketengahkan untuk

membedakan pembagian kekuasaan secara vetikal dengan negara

berbentuk federasi. Dalam hal ini dapat dikemukakan pemikiran dari CF

Strong mengenai deskripsi suatu negara kesatuan.54 Dikatakan bahwa

negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di bawah satu

pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai

distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh

pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu.

Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara tanpa

ada batasan yang ditetapkan hukum yang memberikan kekuasaan khusus

pada bagian-bagiannya. “Unitarisme” dalam pengertian politik didefinisikan

dengan baik oleh Dicey sebagai “pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif

tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”. Sementara itu menurut Apeldoorn,

yang dikutip oleh Tim Penyusun buku “Otonomi atau Federalisme”, suatu

negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh

pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari

pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak

54 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87.

19

mandiri.55 Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary

state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua

kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan

kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan.56 Dalam negara-

negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary state), ditinjau dari sudut

pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni

yang dipusatkan dan atau dipencarkan.57

Sementara itu setelah negara-negara di dunia mengalami

perkembangan yang sedemikian pesat, wilayah negara menjadi semakin

luas, urusan pemerintahannya menjadi semakin kompleks. Serta warga

negaranya semakin banyak dan heterogen, maka penyelenggaraan

pemerintahan di daerah, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat

kepada pejabat-pejabatnya di daerah, untuk melaksanakan urusan-urusan

pemerintahan pusat yang ada di daerah.

B. Negara Hukum Selanjutnya pilar yang lain yang secara konsitusional diakui oleh

Indonesia adalah negara hukum. Neumann (1986) yang dikutip oleh Satjipto

Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan negara hukum di Inggris

berbeda daripada Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik.58 Di

Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin

supremasi parlemen.59 Parlemen berhak untuk melakukan apa saja,

termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “… that

the souvereignity of Parliament furthers the rule of the land… prevent those

inroads upon the law of the land which a despotic monarch … might effects

55 Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, dampaknya terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14. 56 Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999, hlm. 21. 57 Ibid., lihat pula The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 109. 58 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta, Mei 2009, hlm. 8. 59 Ibid., hlm. 8-9.

20

by ordinance or decrees… “60 Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of

legislation by Parliament, with the balance between the House of Commons,

the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges

… and finally, explains the absence od adiministrative law.” Jadi dalam

mengartikan “the rule of law” di Inggris, maka parlemen atau rakyatlah

merupakan instansi tertinggi.

Menurut Julius Stahl yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie61, konsep

Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup

empat elemen penting, yaitu: 1) perlindungan hak asasi manusia; 2)

pembagian kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan

4) Peradilan tata usaha Negara. Sementara itu A.V. Dicey menguraikan

adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya

dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1) Supremacy of Law; 2) Equality

before the law, dan 3) Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’

yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat

digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh

A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman

sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-

prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan

tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman

sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara

demokrasi.62

Negara hukum yang muncul di abad ke-sembilan belas adalah tipe

negara hukum sebagai “penjaga malam” (nachtwakersstaat). Disebut

sebagai penjaga malam, karena dalam tipe tersebut, tindakannya dibatasi

hanya sampai kepada penjaga ketertiban dan keamanan.63 Pada

60 Ibid., hlm. 9. 61 Jimly Asshidiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, makalah disampaikan dalam acara Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004, hlm. 1-2, diunduh dari http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc. pada 8/24/2009 9:38:03 AM. 62 Ibid. 63 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum …, op.cit., hlm. 26.

21

perkembangannya negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan

individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri-sendiri problem-

problem tersebut. Satjipto kemudian mengutip dari de Haan et al (1978)

bahwa menyerahkan penyelesaian kepada mekanisme pasar sosial akan

menempatkan golongan lapisan bawah (the have not) dalam masyarakat

sebagai pihak yang sangat menderita (“De staat mocht niet langer, door als

neutral toeschouwer op te stellen, de door het industriele kapitalisme

veranderde samenleving ongemoeid laten, maar behoorde zich

daadwerkelijk de belangen van de achtergestelde groepen in die

samenleving aan te trekken. Naast de traditionele overheidstaken vroegen

nieuwe terreinen om ordening en verzorging van staatswege”). Ini

menimbulkan konsep “negara kesejahteraan” (welfare state).

Perubahan tersebut, yaitu campur tangan negara ke dalam masyarakat,

sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh hukum

administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional. Dalam hukum

administrasi tradisional, negara hanya bertindak sesekali dan sebagai

pelengkap (incidenteel en aanvullend). Tetapi sekarang negara harus

memasuki aktivitas yang lebih luas, seperti pembuatan undang-undang dan

pembuatan undang-undang semu (pseudo), perencanaan, perjanjian, dan

kepemilikan (eigendom) negara, keterbukaan dan penggugatan (de Haan,

1978). Menurut William A. Robson, kelahiran konsep negara kesejahteraan

didahului oleh rentetan ide-ide panjang, di antaranya adalah ”liberty, equality,

dan fraternity” (revolusi Perancis) dan “The greates happiness for the

greatest number” (Bentham).64

Kembali kepada pembicaraan mengenai rule of law, Wade yang dikutip

oleh Munir Fuadi65 berpendapat bahwa implikasi dari penerapan konsep

tersebut dalam suatu negara akan mengarahkan para penyelenggara negara

ke dalam prinsip-prinsip dan otoritas sebagaai berikut:

64 Ibid., hlm. 27. 65 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 9

22

1. Pelaksanaan konsep rule of law lebih menghendaki adanya suasana

penghormatan kepada “hukum dan ketertiban” (law and order);

2. Penyelenggaraan kewenangan oleh penyelenggaran negara haruslah

selalu sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika ada dispute, badan

yudikatiflah yang yang harus memutuskannya. Mengenai peran badan

peradilan ini, dalam rangka untuk menjaga tertib hukum dengan melihat

konsistensinya terhadap konsitusi, muncul pranata hukum yang disebut

judicial review. Munir Fuady menjelaskan lebih jauh pranata ini sebagai

lembaga khusus untuk melakukan penunjauan ulang, dengan jalan

menerapkan atau menafsirkan ketentuan dan semangat dari konstitusi,

sehingga hasilnya dapat menguatkan atau menyatakan batal, menambah

atau mengurangi terhadap suatu tindakan berbuat atau tidak berbuat dari

aparat pemerintah (eksekutif) atau dari pihak-pihak lainnya (termasuk

parlemen).66

3. Badan-badan politik (terutama parlemen) menentukan rincian mekanisme

rule of law, baik yang bersifat substantif, maupun secara prosedural.

Lebih lanjut mengenai pelaksanaan rule of law dalam

penyelenggaraan pemerintahan, dapat ditambahkan bahwa konsep ini tidak

dapat dipisahkan dengan konsep good governance. Fuady menunjukkan hal

tersebut melalui beberapa faktor utama yang berpengaruh satu sama lain

dalam menerapkan prinsip good governance ke dalam suatu

pemerintahan.67 Pertama, aturan hukum yang baik, yakni seperangkat aturan

terkait warga masyarakat, pemerintah, parlemen, pengadilan, pers,

lingkungan hidup, serta para stakeholders lainnya. Kedua, law enforcement

yang baik, yakni seperangkat mekanisme yang secara langsung mendukung

upaya penegakan aturann hukum. Ketiga, sistem pemerintahan yang efektif,

efisien, jujur, transparan, accountable, dan berwawasan hak asasi manusia.

Keempat, sistem pemerintahan yang dapat menciptakan masyarakat yang

cerdas dan egaliter. Kelima, sistem pemerintahan yang kondusif terhadap

66 Ibid., hlm. 81. 67 Ibid., hlm. 79.

23

pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Dengan gambaran tersebut Fuady

hendak menegaskan bahwa pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang

baik harus mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum. Demikian juga

sebaliknya bahwa pelaksanaan prinsip negara hukum yang baik harus selalu

memperhatikan dan melaksanakan prinsip good governance.68

C. Demokrasi Istilah demokrasi menurut C.F. Strong diartikan secara beragam.69

Terkadang digunakan untuk menyebut suatu bentuk pemerintahan dan

terkadang dikonotasikan dengan kondisi suatu masyarakat. Namun di dunia

kontemporer, ketika nasionalisme menjadi dasar bagi demokrasi politik maka

pemerintahan politik yang demokratis menjadi instrumen kemajuan sosial. Di

sinilah letak keterkaitannya dengan demokrasi politik yang mengisyaratkan

pemerintah harus bergantung pada persetujuan pihak yang diperintah;

artinya, ekspresi persetujuan maupun ketidaksetujuan rakyat sudah harus

memiliki sarana penyaluran yang nyata dalam pemilihan umum, program

politik partai, media massa, dan lain-lain.

Dari penelusuran sementara yang berkaitan dengan demokrasi,

sedikitnya dapat dikemukakan bahwa demokrasi diterapkan dalam dimensi-

dimensi instrumen mekanisme pemerintahan, mekanisme pengambilan

keputusan serta demokrasi ekonomi.

1. Instrumen mekanisme pemerintahan Demokrasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara telah dipraktekan

hampir di setiap negara. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Amos J.

Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara-negara yang

diperbandingkannya terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi

menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%).70 Istilah demokrasi71 telah

68 Ibid., hlm. 80. 69 C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi …, op.cit, hlm. 17. 70 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 140. 71 Demokrasi berasal dari kata “demokratia”, “demos” berarti rakyat dan “kratia” berarti pemerintahan.

24

menjadi bahasa umum yang digunakan oleh negara-negara untuk

menunjukan suatu bentuk penyelenggaraan negara yang dianggap ideal.

Paham kedaulatan rakyat sebagai embrio demokrasi, mengantarkan

pengertian demokrasi yaitu, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk

rakyat.

“Pemerintahan dari rakyat yaitu mereka yang duduk sebagai penyelenggara negara atau pemerintahan harus terdiri dari seluruh rakyat itu sendiri atau yang disetujui dan didukung oleh rakyat. Oleh rakyat maksudnya bahwa penyelenggara negara atau pemerintahan dilakukan sendiri oleh rakyat atau atas nama rakyat yang mewakili sedangkan untuk rakyat maksudnya pemerintahan dijalankan atau berjalan sesuai dengan kehendak rakyat.”72

Dalam perkembangan istilah demokrasi kemudian ada yang disebut

“participatory democracy”. “Participatory democracy” menambahkan kata

“bersama” sehingga dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama

rakyat.73 Dari pengertian tersebut dapat menunjukan demokrasi sebagai

instrumen mekanisme pemerintahan. Dalam hubungannya dengan cita-cita,

demokrasi hanyalah sarana, -bukan tujuan- untuk mencapai persamaan

(equality) secara politik yang mencakup tiga tujuan utama : kebebasan

manusia (secara individu dan kolektif), perkembangan diri manusia dan

perlindungan terhadap nilai (harkat dan martabat) kemanusiaan.74

Demokrasi sebagai instrumen mekanisme pemerintahan, dalam

perkembangannya sulit dilaksanakan jika secara langsung. Faktor luas

wilayah dari suatu negara dan besaran jumlah penduduk serta pertambahan

kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen bahwa demokrasi

langsung (direct democracy) tidak mungkin untuk dilaksanakan.75

Berdasarkan kenyataan demikian, dalam penjelasan Eddy Purnama,

72 I Gde Pantja Astawa,Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran Bandung, 1999, hlm 70. 73 Participatory democracy strives to create opportunities for all members of a political group to make meaningful contributions to decision-making, and seeks to broaden the range of people who have access to such opportunities…http://en.wikipedia.org/wiki/Participatory_democracy diunduh tanggal 27 Agustus 2009 74 I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm. 66. 75 Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 10.

25

muncullah yang dikenal sebagai demokrasi tidak langsung (indirect

democracy), yang pelaksanaan kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan

oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga perwakilan rakyat.76

Hal semacam ini lazim dinamakan demokrasi perwakilan (representative

democracy). 77 Dalam rangka mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat,

akomodasi seluruh aspirasi rakyat jauh lebih berguna dari unsur di dalam

masyarakat harus terwakili di dalam sistem perwakilan.78 Menurut

International Commision of Jurist, sistem politik demokratis (demokrasi

perwakilan) adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat

keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui

wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada

mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.79 Demokrasi perwakilan

menjadi alternatif terbaik demi tercapainya Representative Government.80

2. Mekanisme pengambilan keputusan

Ide kedaulatan rakyat yang tercermin dalam demokrasi juga meliputi

proses pengambilan keputusan baik di bidang legislatif maupun di bidang

eksekutif. Rakyat berdaulat terhadap produk hukum mulai dari perencanaan,

penetapan, hingga ke pengawasan. Hal ini diperjelas dalam pengertian-

pengertian demokrasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut :81

Henry B. Majo :

”A democratic political system is one in which public policies are made on majority basis, by representatives subject to effective popular control at

76 Ibid., hlm. 11. 77 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993, hlm 61. 78 Eddy Purnama, Kedaulatan ..., op.cit. hlm. 284. 79 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993, hlm 61. 80 In Modern democracy, both ideals individual rights and equality pen find their highest fulfillment and justification in the citizen’s right to participation in government, the Government of the People. This, in modern states, means representative government through elected deputies” Wolfgang Friedmann, Legal Theory, Steven Sons, London, 1967, hlm, 419. 81 I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm. 75.

26

periodic election which are conducted on the pinciple of politcal equality and under condition of political freedom.”

Arthur Lewis

“all who are affected by a decision should have the chanc to participate in making that decision, either directly or through chosen representative,”

CF Strong : “a system of government in which the majority of the rule grown members of political community participate through a method of representation which secures that the government is ultimately responsible for its actions to that majority.”82

Dalam paham kedaulatan rakyat yang berdaulat dari segi politik

bukanlah person rakyat itu sendiri, melainkan proses kehidupan kenegaraan

sebagai keseluruhan.83 Proses kehidupan kenegaraan ini termasuk di

dalamnya adalah proses pengambilan keputusan.

Di Indonesia sendiri, instrumen pengambilan keputusan yang khas

diberlakukan adalah melalui musyawarah mufakat. Yamin berpandangan

bahwa permusyawaratan untuk mencapai mufakat, merupakan perpaduan

antara dua konsepsi yaitu paham permusyawaratan yang bersumber dari

ajaran Islam, sedangkan mufakat bersumber dari tatanan asli Indonesia.84

Musyawarah dilakukan untuk menampung dan memperhatikan semua ide

atau pandangan yang ada dan permufakatan menjadi output dari apa yang

telah dimusyawarahkan. Proses pengambilan keputusan yang demokratis

model Indonesia ini disebutkan dengan jelas dalam sila ke – 4 Pancasila.

Oleh karena itu, demokrasi dapat juga dikatakan sebagai instrumen

pengambilan keputusan.

3. Demokrasi ekonomi

82 CF Strong, Modern Political Constitution, Sidgwick & Jackson Limited, London, 1960, hlm.13 83 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi ..., op.cit. hlm. 148. 84 I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm.86.

27

Demokrasi sebagai instrumen mekanisme pemerintahan dan

instrumen pengambilan keputusan merupakan penjabaran dari demokrasi

yang bersifat politik. Kekuasaan bidang politik dan ekonomi dapat dibedakan

satu sama lain namun sesungguhnya mempunyai hubungan fungsional yang

erat satu sama lain.85 Demokrasi politik harus menjamin setiap individu agar

memperoleh akses sama dalam setiap kegiatan ekonomi. Demikian yang

pengertian demokrasi dari Bung Karno yang tidak sepakat dengan

demorkrasi ala barat yang liberal dan didasarkan pada kapitalisme.86

Kedaulatan rakyat tidak hanya di bidang politik namun juga di bidang

ekonomi, sehingga negara memegang peranan penting dalam

menyejahterakan rakyatnya. Demokrasi yang demikian ini menurut Bung

Karno adalah Demokrasi sosial yang terdiri dari Demokrasi politik ditambah

dengan Demokrasi ekonomi.

Lebih jelas lagi Hatta berpendapat bahwa kekurangan demokrasi

liberal di Barat adalah karena terlalu dominannya prinsip individualisme,

sehingga politik hanya berlaku secara politik saja.87 Demokrasi asli yang ada

di desa-desa di Indonesia mempunyai tiga sifat yang utama, yang harus

dipakai sebagai sendi Perumahan Indonesia Merdeka”.88 Selengkapnya

Hatta mengatakan bahwa tiga sifat utama tersebut adalah:

Pertama: cita-cita rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia dari zaman dahulu sampai sekarang. Rapat ialah tempat rakyat atau utusan rakyat bermusyawarah dan mufakat tentang segala urusan yang bersangkutan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Di sini tampak dasar demokrasi, pemerintahan rakyat.

85 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi ..., op.cit. hlm. 147. 86 “Disemua negeri modern itu adalah “demokrasi”. Tetapi,.disemua negeri modern itu kapitalisme subur dan meradjalela! Disemua negeri itu kaum proletar ditindas hidupnja.Disemua negeri modern itu kini hidup miljunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro,-disemua negeri modern itu rakjat tidak selamat, bahkan sengsara sesengsara-sengsara nja. Inikah hasilnja “demokrasi” jang dikeramatkan orang?...” Tabloid Fikiran Ra’jat, No. 18 dan 19 (edisi 4 November), tahun 1932. http://www.opensubscriber.com/message/[email protected]/9511217.html diunduh tanggal 27 Agustus 2009. 87 I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm. 80. 88 Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, dalam Miriam Budiardjo (ed), Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980, hlm 42.

28

Kedua: cita-cita massa-protest, yaitu hak rakyat untuk membantah dengan cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil. Hak ini besar artinya terhadap kepada pemerintahan despotisme atau autokrasi yang tersusun di atas pundak desa-demokrasi. Dan demokrasi tidak dapat berlaku, kalau tidak ada hak rakyat untuk mengadakan protes bersama. Dalam hak ini tercantum hak rakyat untuk merdeka bergerak dan merdeka berkumpul.

Ketiga: cita-cita tolong menolong. Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa-bersama, kolektiviteit. Di atas sendi yang pertama dan kedua dapat didirikan tiang-tiang politik daripada demokrasi yang sebenarnya: satu pemerintahan negeri yang dilakukan oleh rakyat dengan perantaraan wakil-wakilnya atau Badan-badan Perwakilan. Di atas sendi yang ketiga dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi.89

Walaupun menolak individualisme pada Demokrasi Barat, namun

menurut Hatta asas kolektivisme yang dimaksudkannya bukanlah

kolektivisme yang berdasar sentralisasi (satu pimpinan dari atas), melainkan

desentralisasi yaitu tiap-tiap bagian berhak menentukan nasibnya sendiri,

sepeti sifat hak ulayat atas tanah bukan negeri seumumnya yang berhak

melainkan desa.90

Dalam pemikiran mengenai bagaimana demokrasi bagi Indonesia,

Muhammad Hatta mengingatkan bahwa masyarakat asli Indonesia

mempunyai sifat dasar dalam segala hal mengenai kepentingan hidup

bersama.91 Sifat pertama, yaitu mengambil keputusan secara mufakat

dengan musyawarah, adalah dasar dari demokrasi politik. Sifat kedua yaitu

tolong menolong dan gotong royong adalah sendi yang bagus untuk

menegakkan demokrasi ekonomi.92

Dihubungkan dengan desentralisasi, Ni’matul Huda mengatakannya

sebagai mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian

pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam

praktik administrasi publik.93Demokrasi yang lazim pula disebut dengan

89 Ibid, hlm 42-43. 90 I Gde Pantja Astawa, Op Cit. hlm. 84. 91 Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009, hlm. 69. 92 Ibid. hlm. 70. 93 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009, hlm. 66.

29

kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat,

sehingga dalam pelaksanaan tugasnya pemerintah harus berpegang pada

kehendak rakyat.94 Sejalan dengan perputaran waktu, konsep demokrasi

juga mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi dari masyarakat

modern.95 Dengan demikian menjadi sejalan dengan apa yang dicatat oleh

Rousseau bahwa jika kita menempatkan istilah ini dalam pemahaman yang

kaku, tidak pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak akan pernah ada

demokrasi.96

D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam upaya memahami hubungan kewenangan antara pusat dan

daerah akan digunakan dua teori yakni, desentralisasi dan sistem rumah

tangga daerah.

1. Desentralisasi Bagir Manan menjelaskan bahwa secara umum desentralisasi

merupakan ‘bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang

dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat’.97 Lebih lanjut Bagir Manan

berpendapat bahwa desentralisasi bukan merupakan asas penyelenggaraan

pemerintahan daerah, melainkan suatu proses.98 Dalam kaitan dengan

pemerintahan otonom, desentralisasi hanya mencakup pemencaran

kekuasaan di bidang otonomi.99

Koesoemahatmadja menguraikan bahwa desentralisasi terbagi dua,

yaitu ambtelijke decentralisati/deconsentratie (dekonsentrasi) dan

staatkundige decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan).100 Sementara

desentralisasi ketatanegaraan yang merupakan penyerahan kekuasaaan

94 Eddy Purnama, Kedaulatan ..., op.cit. hlm. 10 95 Ibid. 96 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Visimedia, Jakarta, 2007, hlm. 113. 97 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 10. 98 Ibid., hlm 11. 99 Ibid., hlm 10. 100 RDH Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1979, hlm.15

30

perundang-undangan dan pemerintahan (regelende en besturende

bevoegheid) kepada daerah otonom, juga terbagi dua yakni, desentralisasi

teritorial (territoriale decentralisatie) dan desentralisasi fungsional

(functionele decentralisatie). Desentralisasi teritorial mencakup autonomie

(otonomi) dan medebewind atau zelfbestuur (tugas pembantuan). Dengan

perkataan lain, baik otonomi maupun tugas pembantuan, keduanya masuk

dalam lingkup desentralisasi.

Van Der Pot, sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, membagi

desentralisasi menjadi desentralisasi teritorial yang menjelma dalam bentuk

badan yang didasarkan pada wilayah, sedangkan desentralisasi fungsional

menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan-tujuan

tertentu.101 Mengenai desentralisasi, Van der Pot mengemukakan, tidak

semua peraturan dan penyelenggaraaan pemerintahan dilakukan dari pusat

(central).102 Pelaksanaan pemerintahan dilakukan baik oleh pusat maupun

berbagai badan otonom. Badan-badan otonom ini dibedakan antara

desentralisasi berdasarkan teritorial (territoriale decentralisatie) dan

desentralisasi fungsional (functionaeele decentralisatie). Bentuk

desentralisasi itu dibedakan antara otonomi dan tugas pembantuan.

Pemikiran di atas memberi pengertian bahwa tugas pembantuan merupakan

salah satu bentuk dari desentralisasi. Menempatkan kedudukan yang sejajar

antar desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai asas-asas yang terpisah

merupakan suatu yang keliru. Demikian pula, bahwa desentralisasi adalah

otonomi, tetapi otonomi tidak sama dengan desentralisasi. Otonomi

merupakan salah satu bentuk desentralisasi.

Irawan Soejito, sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, menjelaskan

penggolongan desentralisasi yang agak berbeda, yang terdiri atas

desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional dan desentralisasi

administratif (dekonsentrasi).103 Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat dua

101 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm 21. 102 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 10. 103 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit.

31

pandangan mengenai hubungan antara desentralisasi dan dekonsentrasi.

Pandangan pertama mengatakan bahwa dekonsentrasi sebagai salah satu

bentuk desentralisasi sedangkan pandangan kedua beranggapan bahwa

dekonsentrasi merupakan pelunakan sentralisasi menuju ke arah

desentralisasi.104

Ahli lain yang melakukan penggolongan desentralisasi adalah Amrah

Muslimin. Menurutnya desentralisasi terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu

desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan desentralisasi

kebudayaan.105 Desentralisasi politik adalah “pelimpahan kewenangan dari

Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah

tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh

rakyat dalam daerah-daerah tertentu”.106 Menurut Bagir Manan pengertian

desentralisasi politik tersebut sama dengan desentralisasi teritorial karena

faktor ‘daerah’ menjadi salah satu unsurnya.107 Mengenai desentralisasi

kebudayaan, Amrah Muslimin mengartikan:

“memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat

(minoritas) menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur

pendidikan, agama, dan lain-lain). Dalam kebanyakan Negara

kewenangan ini diberikan pada kedutaan-kedutaan asing demi

pendidikan warga negara masing-masing negara dari keduataan yang

bersangkutan”.108

Terhadap pendapat Amrah Muslimin mengenai desentralisasi

kebudayaan di atas, Bagir Manan berpendapat bahwa desentralisasi pada

prinsipnya merupakan bentuk dari susunan organisasi negara dan

pemberian atau pengakuan hak minoritas untuk mengatur dan mengurus

soal agama dan pendidikan di kalangan mereka sendiri lebih tampak sebagai

perwujudan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia daripada 104 Ibid., hlm 21-22. 105 Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm 5. 106 Ibid. 107 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit., hlm 22. 108 Amrah Muslimin, Aspek..., op.cit., hlm 5-6.

32

sebagai bagian susunan organisasi negara.109 Lebih lanjut dikatakan bahwa

pemberian hak kepada kedutaan juga tidak dapat dikategorikan sebagai

desentralisasi karena kedutaan bukan bagian dari susunan organisasi di

mana kedutaan itu berada.110

Desentralisasi teritorial, khususnya otonomi, berkonsekuensi terhadap

pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah oleh

pemerintahan daerah. Seperti dikatakan oleh B.C. Smith bahwa it is obvious

that the exercise of governmental powers at the subnational level entails

expenditure by subnational governments.111 Hal yang sama juga dikatakan

oleh Bagir Manan bahwa hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri

menyiratkan pula makna membelanjai diri sendiri.112 Begitu pula dengan

Pheni Chalid yang berpendapat bahwa desentralisasi kewenangan

pengelolaan pemerintahan berarti beban pembiayaan harus ditanggung

sepenuhnya oleh pemerintahan daerah.113 Artinya, pemerintahan daerah

harus memiliki sumber keuangan sendiri untuk dapat menyelenggarakan

rumah tangganya secara mandiri.

Konsekuensi desentralisasi pada pembiayaan urusan pemerintahan

daerah pada hakikatnya adalah desentralisasi di bidang keuangan atau

desentralisasi fiskal. Bahcrul Elmi mengatakan bahwa desentralisasi fiskal

dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang

sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi dan pemanfaatannya

diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat114.

Namun demikian, ada yang mengartikan desentralisasi fiskal lebih

luas dari sekedar pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan. Dalam

perspektif ilmu ekonomi, desentralisasi fiskal diartikan dalam ukuran –

109 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit.. 110 Ibid. 111 B.C. Smith, Decentralization The Territorial Dimension of The State, Gerge Allen Unwin, London, 1985, hlm. 99. 112 Bagir Manan, Hubungan Antara….,op.cit., hlm. 204. 113 Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi, Kemitraan, Jakarta, 2005, hlm vii 114 Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Press, Jakarta,2002, hlm 26.

33

ukuran keuangan seperti expenditure (pengeluaran/belanja) atau revenue

(penerimaan/pendapatan). Pengertian desentralisasi fiskal yang tidak hanya

pada aspek penerimaan, namun juga pada aspek pengeluaran, berhubungan

dengan adanya kewenangan daerah atas sumber-sumber penerimaan

daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran/ belanja sesuai dengan

kewenangan daerah.

Persoalan desentralisasi fiskal terutama dari aspek ekonomi selalu

dikaitkan dengan persoalan efisiensi, misalnya Oates (1993) mengatakan

bahwa peningkatan efisiensi ekonomi merupakan dasar ekonomis dari

desentralisasi.115 Teori keuangan negara melekatkan desentralisasi dalam

rangka mencapai efisiensi pada dua pelaku: konsumen dan produsen.116

Efisiensi dari aspek konsumen didefinisikan sebagai keuntungan yang

didapatkan oleh konsumen dari kebijakan pengeluaran/belanja (negara) yang

sesuai dengan preferensi pembayar pajak. Sementara itu, efisiensi dari

aspek produsen didefinisikan sebagai keuntungan ekstra yang didapatkan

ketika sejumlah pengeluaran yang sama dapat menghasilkan barang dan

jasa dengan kuantitas yang besar atau kualitas yang lebih baik, atau ketika

sejumlah barang dan jasa dapat dihasikan dengan biaya yang lebih

rendah.117

Persoalannya, jika tujuan desentralisasi fiskal adalah hanya efisiensi,

maka hal tersebut dapat dilakukan dengan skema hubungan pusat daerah

yang sentralistik.118 Padahal, sepeti dikatakan oleh Bagir Manan bahwa

115 Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003, hlm. 13. 116 Ibid. 117 Ibid.,hlm. 14. 118 Misalnya, untuk kasus Indonesia dalam fase awal desentralisasi fiskal (2001-masa efektif pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999), dikatakan oleh Joko mengutip pendapat Benyamin Hoesein bahwa “Pola pengaturan hubungan antara Pusat dan Daerah yang semula bersifat sentralistik di masa Orde Baru yang diterjemahkan melalui Undang – Undang No 5 tahun 1974, telah dirubah dalam suatu pola hubungan yang lebih bersifat desentralisasi, dimanifestasikan melalui dasar hukum Undang - Undang No 22 tahun 1999 serta Undang – Undang No 25 tahun 1999. Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut dapat disimak dari pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah, dari “structural efficiency model“ yang menekankan efisiensi dan

34

hakikat dari otonomi yang merupakan wujud desentralisasi adalah

kemandirian walaupun bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan yang

merdeka.119 Otonomi juga berkaitan dengan gagasan demokrasi di mana

masyarakat daerah berhak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerahnya. Seperti dikatakan oleh Moh. Hatta, bahwa:

”Menurut dasar kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan

nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan

juga pada tiap tempat, di kota, di desa, di daerah...jadi, bukan saja

persekutuan yang besar, rakyat semuanya, mempunyai hak untuk

menentukan nasib sendiri melainkan juga tiap-tiap bagian dari negeri

atau bagian dari rakyat yang banyak. Keadaan yang seperti itu penting

sekali, karena keperluan tiap-tiao tempat dalam satu negeri tidak sama,

melainkan berlainan”.120

Dalam konteks desentralisasi fiskal, pendapat di atas sejalan dengan

pendapat Roy Bahl yang mengatakan, bahwa ”as a working definition, fiscal

decentralization as ”the empowerment of people by fiscal empowerment of

their local govenment” (pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan

fiskal dari pemerintah daerahnya).121 Artinya, efisiensi dalam rangka

peningkatan kesejahteraan rakyat dalam sistem desentralisasi, hanya

memungkinkan jika terdapat kebebasan berotonomi, karena otonomilah

ujung tombak usaha mewujudkan kesejahteraan tersebut.122 Hal ini sejalan

dengan pendapat Bahcrul Elmi, bahwa :

”...salah satu makna dari desentralisasi fiskal dalam bentuk otonomi,

penerimaan otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan)

keseragaman pemerintahan lokal dirubah menjadi “local democracy model“ dengan penekanan pada nilai-nilai demokrasi dan keberagaman di dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal”. (cetak tebal oleh Tim Peneliti). Joko Tri Haryanto, “ Potret PAD Dan Relevansinya Terhadap Kemandirian Daerah”, makalah, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 1. http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2009. 119 Bagir Manan, Menyongsong Fajar…., op.cit, hlm. 26. 120 Bagir Manan, Hubungan Antara…., op.cit, hlm. 33. 121 Roy Bahl dalam Jameson Boex, Renata R Simatupang, “Fiscal Decentralisation and Empowerment: Evolving Concepts and Alternative Measures” Journal Compilation Institute of Fiscal Studies Vol. 29, No. 4, Blackwell Publishing Ltd, UK-USA, 2008, hlm. 442. 122 Ibid.

35

kepada daerah-daerah merupakan suatu proses mengintensifkan

peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.123

Desentralisasi fiskal dapat menjadi salah satu ukuran keberhasilan

otonomi. Pola dan ukuran dalam desentralisasi fiskal akan mencerminkan

derajat otonomi yang dimiliki daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Bird

(1986), bahwa:

”...a decentralization measure is the autonomy or power of decision making of regional government. In this context, a fiscal decentralization measure should be able to quantify the amount of independent decesion - making power (or discretion) in the provision of public services at different level of government”.124

Dari berbagai pendapat para ahli di atas mengenai desentralisasi,

dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, pengertian desentralisasi yang

agak sempit sebagaimana dikemukakan oleh Van Der Pot yang hanya

mengklasifikasikan desentralisasi menjadi dua jenis yakni desentralisasi

teritorial dan desentralisasi fungsional. Koesoemahatmadja juga termasuk

dalam kategori yang membagi desentralisasi agak sempit karena

menurutnya desentralisasi terbagi atas dekonsentrasi dan desentralisasi

ketatanegaraan. Kedua, pengertian desentralisasi yang lebih luas dari

kategorisasi yang disampaikan oleh Van Der Pot dan Koesoemahatmadja.

Dalam kategori kedua ini dijumpai pembagian desentralisasi yang

disampaikan oleh Amrah Muslimin dan Irawan Soejito. Selain desentralisasi

teritorial dan fungsional, juga terdapat desentralisasi administratif atau

dekonsentrasi. Amrah Muslimin selain membagi kedalam desentralisasi

teritorial dan fungsional juga memasukkan desentralisasi kebudayaan.

Berbeda dengan kedua ahli lainnya, Amrah Muslimin tidak memasukkan

123Ibid.

124 Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003, hlm.`12.

36

dekonsentrasi sebagai salah satu bentuk desentralisasi. Ketiga, pengertian

desentralisasi yang lebih sempit dari yang dijelaskan oleh para ahli di atas

yakni pengertian desentralisasi menurut UU No. 32 Tahun 2004. Pasal 1

angka 7 menyatakan bahwa desentralisasi adalah “penyerahan wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia”.

Dengan demikian, terlepas dari perdebatan mengenai apakah suatu

jenis desentralisasi termasuk pengertian desentralisasi atau bukan, berbagai

penggolongan desentralisasi yang disebut-sebut oleh sejumlah ahli tersebut

dapat muncul 1) desentralisasi teritorial, 2) desentralisasi fungsional, 3)

desentralisasi kebudayaan, dan 4) desentralisasi fiskal. Pertama,

desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada

wilayah. Kedua, desentralisasi Fungsional125 adalah pemberian hak dan

kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau

golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat maupun tidak pada

suatu daerah tertentu,seperti mengurus kepentinganirigasi bagi golongan

tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap; Subak Bali).

Ketiga, desentralisasi kebudayaan (culturele decentralisatie), yaitu

memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat

(minoritas) menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur

pendidikan, agama, dll). Keempat, desentralisasi fiskal berwujud

perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

2. Sistem Rumah Tangga Daerah Sistem rumah tangga merupakan tatanan yang berkaitan dengan

cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah.126 Atas dasar

tersebut, daerah akan mempunyai urusan pemerintahan yang didasarkan

125 Amrah Muslimin, Pokok-Pokok…, hlm. 119-120 126 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit., hlm 26.

37

atas penyerahan, pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah

tangga daerah. Secara teori, terdapat tiga sistem rumah tangga daerah, yaitu

sistem-sistem rumah tangga formal, material, dan nyata (riil).127

a. Sistem rumah tangga formal Berdasarkan sistem ini, urusan pemerintahan pusat dan daerah tidak

dibagi secara rinci karena sistem ini berpangkal tolak dari asumsi bahwa

secara prinsip tidak terdapat perbedaan antara urusan pusat dan daerah.

Apabila terdapat pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab hanyalah

didasarkan atas pertimbangan daya guna dan hasil guna.128 Secara teoritik,

sistem ini memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada daerah untuk

mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya dan satu-satunya

pembatasannya adalah daerah tidak dapat mengatur dan mengurus suatu

urusan yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, misalnya dengan undang-undang atau peraturan daerah yang lebih

tinggi.

Sepintas nampak bahwa otonomi formal akan memungkinkan

pemerintah daerah bertindak lebih leluasa mengatur, mengurus, dan

membela kepentingan daerahnya. Tetapi pelaksanaan otonomi formal

menimbulkan kesulitan-kesulitan, antara lain :

(1) Tidak adanya ketegasan mengenai urusan pemerintahan yang menjadi

urusan rumah tangga daerah, menimbulkan keraguan atau

ketidakpastian untuk mengurus sesuatu urusan pemerintahan. Ada

kekhawatiran bahwa urusan tersebut termasuk atau telah diatur dan

diurus oleh satuan pemerintahan yang lebih tinggi. Begitu banyaknya

peraturan perundang-undangan dari satuan pemerintahan yang lebih

tinggi, dengan kemungkinan telah mengatur sesuatu hal yang bertahun-

tahun yang lang lalu, sehingga tidak diketahui atau dikenal secara pasti.

(2) Suatu urusan pemerintahan yang telah diatur, diurus, dan dijalankan

sebagai urusan rumah tangga daerah tertentu, kemungkinan kemudian

127 Ibid., hlm 26-33. 128 Bagir Manan, ..., op.cit, hlm 26.

38

diatur dan diurus oleh satuan pemerintahan yang lebih tinggi. Keadaan

seperti ini dapat menimbulkan kesulitan bagi daerah yang bersangkutan.

Dengan perubahan itu daerah yang bersangkutran akan kehilangan

berbagai keuntungan yang diperoleh dari urusan tersebut. Juga rakyat

dapat merasakan dirugikan apabila dengan perubahan itu pelayanan

terhadap rakyat menjadi kurang lancar atau terganggu.

(3) Sesuatu urusan pemerintahan oleh daerah tertentu diatur dan diurus

sebagai urusan rumah tangga, tetapi daerah lain tidak berani karena

beranggapan bahwa hal itu termasuk urusan satuan pemerintahan yang

lebih tinggi. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam melayani

anggota masyarakat yang mempunyai kegiatan atau kepentingan lintas

daerah.

(4) Setiap urusan rumah tangga itu terutama yang membebankan kewajiban

harus disertai dengan daya dukung tertentu terutama (sumber)

keuangan. Sumber keuangan itu berada pada pemerintah pusat. Kalau

suatu urusan oleh daerah diurus dan diatur, tidak selalu ada jaminan

akan ada sumber keuangan untuk menjalankan urusan tersebut dengan

sebaik-baiknya.

Secara praktik, terdapat beberapa hambatan untuk mencapai daya

guna dan hasil guna, antara lain hambatan kreativitas daerah, keuangan

daerah serta teknis.129 Kreativitas daerah sangat menentukan karena

daerahlah yang dapat menetapkan ukuran kewajaran untuk mengatur dan

mengurus suatu urusan tertentu. Kecilnya kreativitas daerah akan

menyebabkan daerah hanya menunggu ‘arahan atau petunjuk’ dari satuan

pemerintahan atasnya untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan

pemerintahan. Hambatan lain ditemukan dalam kaitan dengan keuangan

daerah. Meskipun daerah memiliki peluang menyelenggarakan urusan

seluas-luasnya namun tanpa dukungan keuangan yang memadai akan

menyebabkan urusan-urusan tersebut tidak dapat terselenggara dengan

baik. Akhirnya, keberhasilan sistem rumah tangga formal ditentukan sampai

129 Ibid., hlm 27.

39

sejauhmana daerah dapat mengatasi hambatan teknis yang menunjuk pada

tidak mudahnya mengetahui urusan yang belum diselenggarakan oleh pusat

atau pemerintahan daerah tingkat lebih atas.

b. Sistem rumah tangga material Berbeda dengan sistem rumah tangga formal, sistem material ini

bertolak dari asumsi bahwa terdapat perbedaan secara mendasar antara

urusan pusat dan daerah dan dengan demikian urusan pemerintahan dapat

dipilah-pilah dan dapat ditetapkan secara pasti.130 Atau dengan kata lain,

pemilahan urusan pemerintahan didasarkan pada perbedaan kepentingan.131

Di Belanda, sistem ini dikenal juga sebagai ajaran tiga lingkungan atau de

driekriengenleer karena sesuai dengan susunan satuan organisasi

pemerintahan Belanda yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Provinsi dan

Gemeente.132 Dalam sistem otonomi material atau rumah tangga material,

urusan rumah tangga daerah itu ditentukan dengan pasti. Di luar urusan-

urusan itu, daerah tidak berwenang mengurus dan mengaturnya. Untuk

memungkinkan pelaksanaan otonomi material harus ada prosedur

penyerahan urusan kepada daerah. Penyerahan ini dapat terjadi dengan

beberapa cara :

(1) Urusan-urusan rumah tangga daerah telah diperinci dalam peraturan

perundang-undangan tentang pokok-pokok pemerintahan daerah.

Daerah otonom secara otomatis berhak mengatur dan mengurus

urusan-urusan tersebut;

(2) Urusan-urusan rumah tangga daerah tidak diatur dalam peraturan

perundang-undangan tentang pokok-pokok pmerintahan daerah,

melainkan dalam peraturan perundang-undangan tentang pembentukan

masing-masing daerah otonom. Setiap daerah otonom terbentuk disertai

dengan perincian urusan rumah tangganya;

130 Ibid., hlm 28. 131 Ibid. 132 Ibid.

40

(3) Urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, tetapi

penyerahannya kepada suatu daerah otonom tertentu diatur tersendiri.

Selama suatu urusan belum diserahkan secara nyata, maka urusan itu

belum menjadi urusan rumah tangga yang bersangkutan.

Kepastian urusan-urusan rumah tangga dalam rumah tangga material

lebih memudahkan pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan

kewajibannya. Biasanya penyerahan urusan itu sekaligus disertai dengan

sumber keuangan dan alat-alat kelengkapan yang diperlukan.

Sistem otonomi material ini juga tidak lepas dari kesulitan-kesulitan

antara lain :

(1) Sangat tidak mudah menentukan dan merinci urusan-urusan yang akan

dijadikan urusan rumah tangga daerah. Lebih-lebih dalam zaman

modern ini. Negara menurut konsep negara kesejahteraan memasuki

hampir pada semua sektor kehidupan. Sukar sekali pada saat ini untuk

menemukan urusan yang berada di luar kompetensi negara atau

pemerintah. Urusan itu begitu luas sehingga tidak mudah untuk

menentukan urusan-urusan diperuntukkan rumah tangga daerah dan

yang tidak. Ciri umum yang lazim dipergunakan adalah urusan-urusan

rumah tangga daerah adalah urusan-urusan yang bersifat lokal yang

membutuhkan penanganan yang mungkin berbeda antara daerah yang

satu dengan yang lain. Penanganan secara seragam urusan semacam

itu tidak efisien dan tidak efektif bahkan mungkin menimbulkan

ketidakadilan. Akan tetapi untuk menentukan ukuran lokal dan tidak lokal

suatu urusan tidaklah mudah.

(2) Sistem otonomi material bersifat rigid, antara lain, tidak mudah

menampung perubahan sifat suatu urusan dari lokal menjadi tidak lokal

atau sebaliknya. Setiap perubahan harus menempuh tatacara tertentu

yaitu menyerahkan atau menarik urusan harus melalui peraturan

perundang-undangan tertentu dan dilakukan dalam suatu peninjauan

kembali secara nasional urusan rumah tangga daerah. Berbeda dengan

otonomi formal, daerah berhak mengatur dan mengurus setiap urusan

41

kecuali hal yang sudah diatur dan diurus atau yang kemudian diatur dan

diurusa oleh satuan pemerintahan yang lebih tinggi.

(3) Kemungkinan urusan-urusan rumah tangga dalam sistem otonomi

material sedemikian sempit atau sedemikian luas yang menimbulkan

kesulitan dalam pelaksanaannya.

Urusan-urusan rumah tangga dalam sistem otonomi material bersifat

seragam, kurang memperhatikan karakteristik, potensi, dan kemampuan

daerah yang mungkin berbeda-beda. Mengenai sistem rumah tangga

material ini, Bagir Manan berpendapat bahwa sistem ini tidak dapat dijadikan

patokan obyektif untuk menciptakan hubungan yang serasi antara pusat dan

daerah.133 Hal ini dasarkan pada beberapa argumen yang meliputi:

(1) Sistem ini berpangkal tolak dari asumsi yang keliru yaitu anggapan dasar

bahwa urusan pemerintahan dapat dipilah-pilah.134 Memang urusan-

urusan tertentu, misalnya pertahanan keamanan, moneter, luar negeri

menampakkan sifat atau karakter sebagai urusan tertentu yang

dilaksanakan oleh pusat. Namun, urusan-urusan lain banyak juga yang

menampakkan sifat ganda, misalnya urusan pertanian. Bagian urusan

perrtanian dapat saja dilakukan oleh satuan pemrintahan yang berbeda.

Dengan demikian dalam praktek terdapat kesulitan untuk menentukan

secara rinci urusan masing-masing satuan pemerintahan.

(2) Sistem ini tidak memberikan peluang untuk secara cepat menyesuaikan

dengan perubahan-perubahan yang terjadi.135 Suatu urusan

pemerintahan yang semula adalah urusan daerah, karena

perkembangan, dapat beralih menjadi urusan pusat. Misalnya, urusan

persampahan. Karena perkembangan teknologi, sampah tidak lagi

diartikan secara tradisional, melainkan meliputi sampah industri, sampah

nuklir, dan lain-lain. Akibatnya sampah-sampah semacam ini berdampak

pada lingkungan hidup yang berskala lebih luas dimana penangannya

membutuhkan teknologi serta keahlian yang lebih, yang mungkin saja

133 Ibid., hlm 30. 134 Ibid., hlm 29. 135 Ibid.

42

tidak dimiliki oleh daerah. Dalam hal demikian, urusan sampah tersebut

dapat saja beralih menjadi urusan pusat.

(3) Sistem ini terasa lebih mengekang karena terikat pada urusan yang

secara rinci ditetapkan sebagai urusan rumah tangga.136

(4) Sistem ini akan lebih banyak menimbulkan spanning hubungan antara

pusat dan daerah.137

c. Sistem rumah tangga nyata (riil) Disebut ‘nyata’ karena isi rumah tangga daerah didasarkan pada

keadaan dan faktor-faktor yang nyata.138 Bagir Manan mengutip pendapat

Tresna menyatakan bahwa sistem ini merupakan jalan tengah antara sistem

formal dan material dengan pengutamaan pada sistem formal.139 Fungsi

sistem rumah tangga material pada sistem ini ditunjukkan pada adanya

urusan pangkal sehingga sejak awal pendirian suatu daerah telah

mempunyai kepastian urusan rumah tangga daerahnya.140 Sebagai sistem

tengah antara sistem formal dan material, sistem rumah tangga nyata

memiliki beberapa ciri, yakni:141

(1) Adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan daerah

otonom yang memberikan kepastian kepada daerah berkenaan dengan

urusan rumah tangganya.

(2) Selain memiliki urusan-urusan awal yang ditetapkan secara material,

daerh juga dapat mengatur dan mengurus urusan-urusan lain yang

dianggap penting bagi daerah tersebut, sepanjang urusan-urusan itu

belum diatur dan diurus oleh pusat dan daerah tingkat lebih atas.

(3) Otonomi dalam sistem rumah tangga nyata didasarkan pada faktor-

faktor nyata suatu daerah. Dengan demikian, dapat terjadi perbedaan isi

rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.

136 Ibid., hlm 31. 137 Ibid. 138 Ibid. hlm 30. 139 Ibid. 140 Ibid. 141 Ibid., hlm 32.

43

Telah dikatakan sebelumnya bahwa sistem rumah tangga merupakan

tatanan yang berkaitan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan

tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat

dan daerah. Dari penjelasan tersebut nampaklah bahwa ajaran ini

memberikan landasan bagi kemunculan dimensi hubungan kewenangan

antara Pusat dan Daerah.

Proses penyelenggaraan pemerintahan dengan desentralisasi

teritorial memunculkan bentuk otonomi dan tugas pembantuan. Tujuan dari

otonomi adalah untuk memunculkan kemandirian daerah dan bukan

kedaulatan.142 Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk

memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna

penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap

masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan

tersebut maka kepada daerah diberikan kewenangan-kewenangan untuk

melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah

tangganya.143 Sementara itu, tugas pembantuan dapat menjadi jembatan

menuju otonomi.144 Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan

pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan.

otonomi adalah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya

tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan

ketaanegaraan, otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan

susunan organisasi Negara.145 Dengan demikian kemudian muncullah

dimensi hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah.

3. Kelembagaan

142 Tim Penyusun, Otonomi atau ..., op.cit. hlm. 14. 143 Ateng Syafrudin, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 9 144 Ibid. 145 Bagir Manan, Menyongsong ..., op.cit. hlm. 24

44

Sebelum membahas hubungan kelembagaan antara pemerintah

pusat dan daerah terlebih dahulu akan dibahas mengenai apa yang

dimaksud dengan kelembagaan, dan hubungan kelembagaan. Dengan

diperoleh pengertian dan istilah yang tepat diharapkan dapat lebih

mempertegas kajian mengenai hubungan kelembagaan antara pemerintah

pusat dan daerah ini.

a. Makna Kelembagaan Istilah “kelembagaan” merupakan padanan kata “Institution” dalam

bahasa Inggris, yang juga sering dipersamakan dengan istilah organisasi

(organization). Dalam kajian sosiologi, kata kelembagaan lebih memberi

kesan sosial, lebih menghargai budaya lokal dan lebih humanistis,

sedangkan kata organisasi menunjuk kepada suatu social form yang bersifat

formal, sehingga saat ini orang lebih suka menggunakan istilah kelembagaan

dalam kajian sosial daripada istilah organisasi, namun secara umum istilah

kelembagaan dipergunakan dalam kedua istilah organisasi maupun

kelembagaan itu sendiri. 146

Sebagaimana dikutip Syahyuti, Sumner memasukkan aspek struktur

ke dalam pengertian kelembagaan:147

“An institution consist s of a concept (idea, notion, doctrine, interest) and structure. The structure is a framework, or apparatus, or perhaps only a number of functionaries set to-operate in prescribed ways at a certain conjuncture. The structure holds the concepts and furnishes instrumentalis for bringing it into the world of facts and action in a way to serve the interest of men in society”.

Ditinjau dari tujuannya, menurut Hadari Nawawi, organisasi dapat

dirumuska sebagai, “… a system of actions” atau sebagai “sistem kerjasama

sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.” Dari segi prosesnya

organisasi dapat dirumuskan oleh Herleigh Tecker sebagai, “a process of

combining the work which individual or group have to performs with the

146 Syahyuti, Tinjauan Sosiologis Terhadap Konsep Kelembagaan dan Upaya Membangun Rumusan yang Lebih Operasional, hlm. 1 www.geocities.com/syahyuti/Rumusan_konsep_kelembagaan.pdf 147 Ibid., hlm. 3.

45

faculties necessary for its execution, so that the duties so performed provide

the best channels for the efficient, systematic, positive, and coordinated

application of effort”. Atau dapat disebut juga sebagai, “… the act or process

of bringing together or arranging the related groups of agency into a working

whole”. 148

Sementara itu ditinjau dari segi strukturnya, menurut Kamus

Administrasi Negara (The Liang Gie), organisasi dapat dirumuskan sebagai

susunan yang terdiri dari satuan-satuan organisasi beserta segenap pejabat,

kekuasaan, tugas, dan hubungan-hubungan satu sama lain dalam rangka

pencapaian tujuan tertentu.149 Dalam kajian ini penulis menggunakan istilah

kelembagaan yang menunjuk kepada susunan kelembagaan yang ada

dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia.

Asas –asas organisasi paling tidak mencakup enam asas, masing-

masing: perumusan tujuan yang jelas; pembagian pekerjaan; pelimpahan

wewenang; koordinasi; rentang kontrol dan kesatuan komando.150 Asas

pembagian pekerjaan merupakan asas yang harus diterapkan dalam

organisasi, termasuk dalam organisasi pemerintahan daerah. Pembagian

kerja penting karena akan memperjelas batas-batas kewenangan, kewajiban,

hak dan tanggung jawab setiap orang dalam suatu organisasi. Dengan

demikian kekacauan, konflik kewenangan/kekuasaan, tumpang tindih

ataupun kecenderungan menghindari tanggung jawab dapat dielakkan.

Pembagian kerja harus diikuti oleh adanya pendelegasian wewenang,

sehingga tanggung jawab pelaksanaan bidang tugas dapat dilakukan

sepenuhnya oleh seseorang. Pelimpahan wewenang berarti penyerahan

sebagian hak yang seharusnya dilakuan oleh seorang pejabat atasan

kepada pejabat bawahan.151

Asas lain yang harus diterapkan dalam setiap organisasi, adalah

koordinasi, koordinasi ini secara prinsip merupakan usaha untuk 148 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah, di Negara Republik Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 232 149 Ibid. 150 Ibid, hlm. 289 151 Ibid

46

menyelaraskan aktivitas antara satuan-satuan organisasi, tugas dan pejabat

dalam organisasi. Adanya koordinasi dimaksudkan untuk kesatuan tindakan

dan guna meramalkan dan mencegah terjadinya krisis. Di samping itu

koordinasi diperlukan guna mencegah terjadinya konflik; dapat memaksa

pejabat untuk bertindak dan berfikir sesuai dengan sasaran dan tujuan

organisasi; mencegah kesimpangsiuran dan duplikasi; serta dapat

mengembangkan prakarsa improvisasi. Koordinasi ini dapat dilakukan

misalnya melalui pertemuan-pertemuan informal antara para pejabat,

pertemuan formal, surat edaran berantai, buku pedoman dan sebagainya.152

b. Hubungan Kelembagaan Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa kelembagaan

dimaksud adalah susunan atau struktur organisasi pemerintahan, menurut

Bagir Manan153, Struktur organisasi pemerintahan daerah menyatakan

bahwa struktur organisasi pemerintahan daerah mengandung dua segi, yaitu

susunan luar (external structure) dan susunan dalam (internal structure).

Susunan luar menunjuk kepada badan-badan pemerintahan (publieklichaam)

tingkat daerah seperti daerah tingkat I dan daerah tingkat II, sedangkan

susunan dalan menunjuk kepada alat kelengkapan (organ) pemerintahan

daerah seperti DPRD dan Kepala Daerah.

Susunan organisasi pemerintahan daerah merupakan salah satu

aspek yang dapat mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah, karena dengan dibentuknya satuan pemerintahan di

tingkat daerah tentunya disertai juga dengan penyerahan kewenangan dari

pusat kepada daerah dalam bentuk urusan-urusan pemerintahan untuk

dijalankan oleh pemerintah daerah. Urusan-urusan pemerintahan yang akan

diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai konsekuensi pelaksanaan

152 Ibid, hlm. 290-291 153 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm.191

47

desentralisasi, titik berat pelaksanaannya akan diletakan pada daerah yang

mana?154

Susunan organisasi pemerintahan di daerah akan berpengaruh

terhadap hubungan antara pusat dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peran

dan fungsi masing-masing susunan atau tingkatan dalam penyelenggaraan

otonomi. Artinya peran dan fungsi tersebut dapat ditentukan oleh

pelaksanaan titik berat otonomi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu : (a) faktor sistem rumah tangga daerah; (b) faktor ruang lingkup urusan

pemerintahan; dan (c) faktor sifat dan kualitas urusan.155 Ateng Syafrudin

menjelaskan yang dimaksud dengan “titik berat” otonomi mengandung arti

jumlah atau besarnya tugas, kewajiban, hak dan wewenang serta tnggung

jawab urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah otonomi untuk menjadi isi rumah tangga

daerah.156 Titik berat otonomi daerah ini perlu diletakan pada satuan

pemerintahan yang lebih dekat kepada dan berhubungan langsung dengan

masyarakat, sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi

aspirasi-aspirasi masyarakat setempat.157 Tetapi dekatnya jarak antara

satuan pelayanan bukanlah satu-satunya ukuran untuk menentukan

penekanan atau pengutamaan fungsi pada tingkat daerah tertentu. Ada

faktor-faktor lain, seperti kemampuan keuangan, dan manajemen.158

Hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial merupakan

konsep dalam Negara kesatuan. Satuan otonomi teritorial merupakan suatu

satuan mandiri dalam lingkungan Negara kesatuan yang berhak melakukan

tindakan hukum sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi

pemerintahan (administrasi Negara) yang menjadi urusan rumah tangganya.

Jadi hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi territorial memiliki

kesamaan dengan hubungan pusat dan daerah atas dasar federal yaitu

hubungan antara dua subjek hukum yang masing-masing berdiri sendiri. 154 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan ..., op.cit., hlm. 24 155 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit., hlm. 194-195 156 Ateng Syafrudin, Titik Berat ..., op.cit., hlm. 52 157 Ibid. 158 Bagir Manan, Hubungan …, op.cit. hlm. 197

48

Perbedaannya, dalam otonomi territorial, pada dasarnya seluruh fungsi

kenegaraan dan pemerintahan ada dalam lingkungan pemerintahan pusat

yang kemudian dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi.159 Oleh karena

Negara (Pemerintah Pusat) dan daerah itu masing-masing merupakan badan

hukum publik, hubungan antara kedua badan hukum publik itu tidaklah

seperti hubungan hierarkis yang ada, misalnya antara Menteri Dalam Negeri

dengan Gubernur.160

4. Ruang Lingkup dan Prinsip-Prinsip Desentralisasi Fiskal Anwar Shah mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal

mencakup (1) the assignment of services responsibilities (penetapan

tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan), (2) assignment of local

government revenue raising authority (penetapan kewenangan pemerintah

daerah untuk meningkatkan pendapatan), dan (3) design of

intergovernmental transfer system (desain sistem transfer antar susunan

pemerintahan).161

Penetapan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan dibutuhkan

agar tidak terjadi hasil yang tidak efektif ketika ada satu susunan

pemerintahan atau lebih menyediakan pelayanan yang sama atau ketika

satu susunan pemerintahan gagal menyediakan pelayanan dengan harapan,

akan disediakan oleh susunan pemerintahan lainnya.162

Sementara itu, kewenangan untuk meningkatkan pendapatan daerah

untuk membiayai belanja daerah, biasanya diperoleh dengan dua cara, yaitu

pendapatan yang diperoleh oleh daerah sendiri (pendapatan asli- pen) dan

transfer dana dari pemerintahan tingkat yang lain (pinjaman daerah juga

159 Bagir manan, Menyongsong..., op.cit., hlm. 35-36 160 Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerbit Bina Aksara, 1984, hlm. 178 161 Anwar Shah, “The Reform of Intergovenmental Fiscal Relation in Developing and Emerging Market Economy”, World Bank Policy and Research Series No.23, The World Bank, Washington DC, 1994, sebagimana dikutip dalam Larry Schroeder, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, PrAcademic Press, 2003, hlm. 388. 162 Ibid.

49

merupakan sumber pendapatan daerah lainnya yang harus dibayar

kemudian dengan pendapatan asli atau transfer dana).163 Masalah yang

umumnya dihadapi adalah kewenangan daerah yang sangat terbatas untuk

dapat meningkatkan pendapatan asli (own revenue), misalnya melalui pajak

daerah atau retribusi.164 Bahkan dengan kewenangan atas jenis-jenis pajak

terbatas, daerah hanya memiliki otonomi dalam menentukan tarif pajak dan

batas yang telah ditentukan (to rate setting within the limit).165 Dalam hal ini,

adanya intergovernental fiscal transfer menjadi mekanisme yang diharapkan

dapat menciptakan horizontal equity (kesamaan horizontal) antara susunan

pemerintahan daerah.166 Hal tersebut (bersama keterbatasan pendapatan

asli daerah), harus menjadi bagian dari desain transfer dana antara tingkatan

pemerintahan.

Desentralisasi fiskal bagaimana pun kebijakannya harus dikaitkan

dengan upaya membangun kemandirian daerah untuk membiayai urusan

pemerintahannya baik dalam hal pendapatan daerah (termasuk alternatif

lainnya) maupun kewenangan untuk membelanjakan pendapatan tersebut.

Dalam hal ini, Shah menegaskan komponen desentralisasi fiskal yang

menjadi ukuran keberhasilan desentralisasi fiskal, yaitu (a) revenue

autonomy and adequacy (otonomi dan kecukupan pendapatan); (b)

expenditure autonomy (otonomi dalam pengeluaran/ belanja) dan; (c)

borrowing privileges (keleluasaan untuk melakukan pinjaman).167 Hal yang

hampir sama juga diungkapkan oleh Era Dabla-Norris mengenai the

measure of autonomy168 (ukuran otonomi) dalam desentralisasi fiskal, yang

mencakup revenue autonomy, expenditure autonomy, transfer dan

163 Ibid. 164 Anwar Shah, “Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies: Progress, Problems, and the Promise” World Bank Policy Research Working Paper 3282, World Bank, Washington, DC USA, April 2004, hlm. 18. 165 Ibid., hlm. 18 – 19. 166 Larry Schroeder, op.cit., hlm. 389. 167 Anwar Shah, Theresa Thompson, “Implementing Decentralized Local Governance: A Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures”, World Bank Policy Research Working Paper 3353, The World Bank, Washington DC, USA, June 2004, hlm. 8. 168 Era Dabla-Norris, “ The Challenge of Fiscal Decentralisation in Transition Countries”, Comparative Economic Studies, Vol.48, 2006, hlm. 107.

50

subnational borrowing.169 Dalam pendapat Shah, transfer (intergovernmental

fiscal transfer), juga termasuk dalam komponen otonomi dan kecukupan

pendapatan, sementara Norris menekankan transfer dana tersebut

merupakan komponen tersendiri, karena revenue autonomy ditekankan pada

pada pendapatan asli daerah. Ukuran-ukuran tersebut merupakan prinsip

desentralisasi fiskal, karena hal tersebut merupakan kunci keberhasilan dari

desentralisasi fiskal.

Prinsip otonomi dalam pendapatan artinya sejauh mana daerah

memiliki sumber-sumber pendapatan yang merupakan pendapatan asli

daerah. Dalam literatur, otonomi pendapatan secara dominan diukur dari

kewenangan daerah memungut pajak.170 Artinya, ukuran suatu daerah

memiliki otonomi dalam pendapatan adalah seberapa besar kewenangan

untuk memungut pajak daerah atau pungutan lain, termasuk dalam

menentukan tarifnya. Seperti dikatakan oleh Norris bahwa:

On the revenue side, this requires that subnational governments have the authority to own-finance locally provided services at the margin. More complete revenue autonomy requires a minimum of authority to set tax rates and an assignment of at least one significant tax source.171

Sementara itu, prinsip otonomi dalam pengeluaran artinya daerah

memiliki keleluasaan untuk membelanjakan, termasuk menentukan prioritas-

prioritas belanja daerah atas pendapatan daerah yang dimiliki. Dalam hal ini,

prinsip otonomi pengeluaran berkaitan dengan alokasi penerimaan daerah

dalam anggaran belanja daerah. Seperti dikatakan oleh Norris bahwa: ”this

requires subnational budget flexibility to decide – within limits – expenditure

priorities and the choice of both the output mix and techniques of

production”.172

169 Ibid., hlm. 117 – 123. 170 Lihat, Norris, Loc.cit., hlm. 107.; Bagir Manan, Hubungan Antara…,op.cit., hlm. 204.; Bahl dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 3.; Jaime Bonet, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006, hlm. 663. 171 Norris, loc.cit. 172 Ibid.

51

Prinsip transfer dana antar tingkatan pemerintahan (khususnya dari

pusat ke daerah), tercermin dalam dalam dua dimensi.173 Pertama, dimensi

vertical fiscal balance (keseimbangan fiskal secara veritikal/ pusat-daerah), di

mana transfer tersebut untuk mengurangi ketidakseimbangan keuangan

antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance). Kedua, dimensi

horrizontal fiscal balance (keseimbangan fiskal horizontal/antar daerah), di

mana transfer tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah

ketidakseimbangan keuangan antar daerah. Kedua-duanya harus

diperhitungankan dalam desain kebijakan transfer dana dari pusat ke

daerah.174

Pemberian sejumlah dana pusat kepada daerah melalui mekanisme

transfer dana, juga disebabkan logika bahwa mahalnya pelayanan (publik)

yang disediakan oleh pemerintahan daerah adalah untuk memenuhi tujuan

(otonomi – pen) yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, bukan hanya

untuk kepentingan daerah, namun juga kepentingan nasional yang lebih

baik.175

Sebagai agen, mau tidak mau (namun sering kali mau) untuk

memenuhi kepentingan nasional, pemerintahan daerah tidak akan dapat

mengharapkan (pendapatan) dari sumber dayanya sendiri.176 Sumber-

sumber pendapatan sendiri (asli) sangat terbatas, karena bergantung pada

pusat.177

Terkait dengan hal di atas, Bagir Manan mengatakan bahwa sesuai

dengan pembawaannya (karakteristiknya), urusan keuangan di mana pun

senantiasa dikategorikan sebagian urusan pusat.178 Daerah hanya boleh

mengatur dan mengurus sepanjang ada penyerahan dari pusat yang diatur

173 Roy Bahl, “Promise and Reality of Fiscal Decentralization”, dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 10. 174 Ibid., hlm. 11. 175 Alan Norton, International Hand Book of Local and Regional Government A Comparatve Analysis of Advanced Democracies, Edward Elgar Limited – Edaward Elgar Publishing Company, England, USA, 1993, hlm. 80. 176 Ibid. 177 Bagir Manan, Hubungan Antara….,op.cit., hlm. 205. 178 Ibid.

52

dalam peraturan perundang-undangan.179 Adanya transfer dana atau

bantuan dari pusat, bermaksud untuk menutupi kemampuan keuangan

daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan.

Prinsip keleluasaan untuk melakukan pinjaman berkaitan dengan hard

budget constraint (pembatasan anggaran secara ketat) di mana

pemerintahan daerah harus menyeimbangkan anggarannya tanpa bantuan

dari pusat pada akhir tahun anggaran.180 Artinya, jika pendapatan daerah

(termasuk transfer/bantuan keuangan dari pusat) yang dialokasikan untuk

pengeluaran/ belanja daerah tidak mencakupi, pemerintahan daerah harus

mendapatkan sumber penerimaan lainnya untuk menutupi kekurangan

anggaran (defisit), tanpa bantuan pemerintah pusat, terutama dengan

melakukan pinjaman.

Prinsip-prinsip tersebut akan terlihat dalam pengaturan sumber-

sumber penerimaan pemerintahan daerah untuk memenuhi belanja daerah.

5. Sumber-Sumber Penerimaan/ Pendapatan Daerah Secara umum, sumber penerimaan/ pendapatan daerah (revenue

sources of local governments) secara umum terdiri dari pendapatan asli

daerah (local own revenue), transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah

(intergovernmental fiscal transfers) dan pinjaman daerah (local borrowing).181

a. Pendapatan Asli Daerah Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa pendapatan asli

daerah selalu dihubungkan dengan kewenangan daerah untuk memungut

pajak (daerah) atau pungutan lainnya seperti retribusi, padahal pendapatan

asli daerah juga dapat berasal dari sumber lain, seperti hasil pengelolaan

perusahaan daerah, namun dengan hasil yang relatif kecil.182

179 Ibid. 180 Roy Bahl, dalam dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), op.cit., hlm. 15. 181 Motohiro Sato, “Summary Report of Seminar B: Local Public Finance, Asian Development Conference 2003: Development and Decentralization in Asia”, dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 396. 182 Lihat Bagir Manan, Hubungan Antara…, op.cit., hlm. 208.

53

Persoalan kewenangan pemungutan pajak, terkait dengan

pembagian kewenangan di sektor pajak antara pemerintah pusat dengan

pemerintahan daerah. Dalam hal ini, Anwar Shah mengintroduksi 4 prinsip

yang harus diperhatikan dalam pembagian kewenangan pemungutan pajak

di semua tingkatan pemerintahan.183

Pertama, pajak dengan objek bergerak dan barang-barang dagang

yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi terhadap pasar domestik harus

menjadi kewenangan pemerintah pusat.184 Kedua, pajak-pajak yang karena

pertimbangan keseragaman secara nasonal dilakukan dengan sistem

redistribusi progresif (pajak progresif), harus menjadi kewenangan

pemerintah pusat.185 Ketiga, pajak harus dipungut pada wilayah yang yang

dapat dilakukan pemantauan dan penilaian yang relevan.186 Hal ini untuk

meminimalisasi biaya administrasi pemungutan, misalnya pajak property

(tanah dan bangunan) lebih baik menjadi kewenangan daerah untuk

meningkatkan nilai jual objek tersebut di pasaran.187 Keempat, untuk

memastikan adanya akuntabilitas, penerimaan dari pajak harus disesuaikan

dengan kebutuhan pengeluaran belanja (daerah).188

Dalam praktek, pengaturan pajak daerah dan pungutan daerah

lainnya sangat beragam. Pemerintahan daerah di negara-negara maju lebih

banyak memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak.189

Sementara itu, di negara – negara berkembang dan negara-negara dalam

fase transisi, pemerintah pusat lebih sedikit menyerahkan kewenangan untuk

memungut pajak kepada daerah.190 Hal tersebut menyebabkan perbedaan

pendapatan daerah dari sektor pajak daerah.191

183 Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…,loc.cit., hlm.17. 184 Ibid. 185 Ibid. 186 Ibid. 187 Ibid. 188 Ibid., hlm.17-18. 189 Roy Bahl, “Promise and…..”, op.cit., hlm. 9. 190 Ibid., hlm.10. 191 Bahl mengatakan bahwa kontribusi pajak lokal terhadap total pendapatan sektor pajak secara nasional di negara-negara berkembang dan negara-negara dalam transisi hanya mencapai 10%, sementara di negara-negaa maju mencapai 20%. Ibid.

54

Di Asia, misalnya, Bahl mengatakan bahwa rendahnya pendapatan

daerah dari pajak daerah disebabkan pemerintah pusat tidak rela

melepaskan kewenangan terhadap pajak-pajak yang produktif.192 Di negara-

negara berkembang dan negara dalam masa transisi, pemerintah pusat

memiliki kewenangan pada jenis-jenis pajak tidak langsung, sementara

pemerintahan daerah hanya memiliki sedikit kewenangan terhadap pajak-

pajak yang secara langsung bersumber pada potensi lokal.193 Dalam hal ini,

walaupun kewenangan untuk menggunakan pendapatan dana diberikan

kepada daerah, namun tanpa kewenangan daerah cukup dalam memungut

pajak, menyebabkan daerah tidak dapat membiayai pengeluaran dengan

pendapatan sendiri.194 Hal tersebut menyebabkan pemerintahan daerah

sangat bergantung pada transfer dana dari pusat.195

b. Transfer Dana dari Pusat ke Daerah (Intergovernmental Fiscal

Transfers) Adanya kecenderungan ketergantungan daerah pada transfer dana

dari pemerintah pusat di negara-negara berkembang menimbulkan

pertanyaan apakah pemerintahan daerah masih memiliki otonomi dalam

kebijakan desentralisasi fiskal? Namun demikian, pola transfer dana dari

pusat ke daerah juga dialami di negara-negara maju. Seperti dikatakan oleh

Anwar Shah, pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa

keberhasilan desentralisasi fiskal tidak bisa tercapai tanpa adanya sebuah

program transfer dana yang didesain dengan baik (well – designed fiscal

transfer program).196 Artinya, baik di negara-negara maju maupun negara-

negara berkembang, sistem transfer atau bantuan keuangan antar tingkatan

192 Dalam hal ini Bahl member pengecualian terhadap Filipina di mana konstribusi sektor pajak daerahnya mencapai 1/3 dari total pendapatan sektor pajak secara nasional. Ibid. 193 Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…., loc.cit., hlm. 18. 194 K. Brueckner, “Partial Fiscal Decentralization”, Cesifo Working Paper No. 2137, Category 1: Public Finance, November 2007. Diunduh dari http://www.ssrn.com/abstract=1029581, hlm. 1 195 Ibid. 196 Jaime Bonet, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006, hlm.663.

55

pemerintahan (khususnya dari pusat ke daerah), menjadi salah mekanisme

yang mendukung keberhasilan desentralisasi.

Dari paparan di atas, tercermin bahwa transfer dana/ bantuan

keuangan dari pusat ke daerah akan selalu ada. Menurut Bagir Manan,

usaha-usaha untuk menghapuskan bantuan keuangan bukan cara terbaik

untuk memecahkan masalah keuangan daerah.197 Bagir Manan sendiri lebih

menyetujui agar pemecahan masalah keuangan daerah hendaknya ditujukan

pada upaya agar bantuan –bantuan pusat tidak akan begitu banyak

mengurangi kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus urusan

rumah tangga daerahnya sendiri.198

Adanya bantuan dana (subsidi) dari pusat ke daerah merupakan

bagian dari mekanisme perimbangan keuangan antara pusat daerah yang

merupakan inti dari hubungan keuangan pusat – daerah.199 Seperti dikatakan

oleh Bagir Manan, bahwa:

”perimbangan keuangan tidak sekedar diartikan memperbesar sumber

lumbung keuangan daerah, namun tidak kalah penting mengatur sistem

keuangan daerah seperti subsidi yang tetap menjamin kemandirian,

keleluasaan dan kekuasaan daerah mengatur dan mengurus rumah

tangganya.”200

Dilihat dari derajat otonomi peruntukan dan pemanfaatannya, Bagir

Manan yang mengatakan bahwa bantuan keuangan dari pusat ke daerah,

dapat digolongkan ke dalam tiga kategori utama, yaitu bantuan bebas,

bantuan:201

1. Bantuan bebas

Bantuan yang hanya ditentukan jumlahnya. Peruntukan dan tata cara

penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing daerah.

197 Bagir Manan, Hubungn Antara…, op.cit., hlm. 210. 198 Ibid. 199 Ibid. 200 Ibid., hlm. 42. 201 Ibid.

56

Daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri peruntukan dan

tata cara penggunaannya.

2. Bantuan dengan pembatasan tertentu.

Bantuan yang ditentukan peruntukannya secara umum.

Peruntukannya secara khusus dan cara-cara pemanfaatannya diserahkan

sepenuhnya kepada daerah. Bantuan jenis kedua ini lebih mengikat atau

lebih membatasi kemandirian daerah dibandingkan dengan yang pertama.

3. Bantuan terikat

Bantuan yang ditentukan secara rinci peruntukan dan tata cara

pemanfaatannya. Daerah tidak ada kesempatan untuk menentukan sendiri

peruntukan maupun tata cara pemanfaatannya. Bantuan ini sangat mengikat

daerah. Sementara itu, Roy Bahl mengatakan, jenis transfer dana yang

diberikan, terdiri dari transfer dana yang sifatnya unconditional (tidak

bersyarat), conditional (bersyarat), dan Ad-hoc (tidak tetap).202 Pendapat

Bahl tersebut hampir sama dengan pendapat Bagir Manan. Perbedaannya,

Bagir Manan tidak memasukkan jenis transfer dana (bantuan keuangan)

yang sifatnya Ad-hoc, sementara Bahl tidak membagi varian lain dari

conditional transfer, sebagaimana dilakukan oleh Bagir Manan yang

membaginya menjadi dua kategori, yaitu bantuan dengan pembatasan

tertentu dan bantuan terikat. Namun demikian, kedua pendapat tersebut

saling melengkapi. Dengan demikian, terdapat 4 jenis tranfer dana (bantuan

keuangan) dari pusat ke daerah, yaitu bantuan bebas (unconditional grants),

bantuan dengan pembatasan tertentu, bantuan terikat, dan bantuan yang

sifatnya Ad-Hoc.

Manurut Bahl, unconditional grants (bantuan bebas) dianggap “more

consistent with local autonomy goals of decentralization” (lebih konsisten

dengan tujuan otonomi daerah dalam kerangka desentralisasi).203 Jika

bantuan tersebut berdasarkan pembagian pajak pusat, maka pemerintah

pusat memberikan akses kepada pemerintahan daerah dengan dasar

202Roy Bahl, op.cit., hlm. 11 203 Ibid.

57

perhitungan pajak yang elastis (elastic tax base) yang relative memberikan

kepastian jumlah yang akan diterima.204 Sementara itu, conditional grant

adalah bantuan yang membolehkan pemerintah pusat untuk mengawasi

penggunaan dana tersebut dengan asumi agar daerah menjalankan fungsi

yang memiliki eksternalitas positif dan/ atau distribusi keuntungan.205

Distribusi conditional grant, menurut Bahl dilakukan dengan beberapa cara,

namun yang paling umum digunakan adalah sistem pembayaran yang

didasarkan pada beberapa standar pengeluaran.206 Biasanya pola

conditional grant berhasil mencapai target yang diinginkan. Namun

persoalannya, conditional grant diterapkan dengan pola yang seragam di

seluruh daerah dan tidak memberikan pertimbangan yang cukup terhadap

kondisi daerah.207 Hal tersebut menyebabkan pola pengeluaran (keuangan)

pemerintahan daerah menyimpang dari kecenderungan lokal.208

Sementara itu, transfer dana/ bantuan keuangan yang sifatnya Ad-

Hoc didasarkan pada pertimbangan politis. Hal tersebut menyebabkan pola

bantuan tersebut tidak transparan dan jauh dari ukuran-ukuran objektif.

Bahkan Cina dan Thailand, yang mengalokasikan sebagian bantuan dalam

bentuk ad-hoc, menghadapi persoalan ketidakpastian anggaran di tingkat

daerah.209

c. Pinjaman Daerah

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pinjaman daerah

sangat berkatan dengan penerapan hard budget constraint (pembatasan

anggaran secara ketat) di mana tidak ada bantuan dari pusat pada saat

204 Ibid. 205 Ibid., hlm. 14. 206 Ibid 207 Ibid. 208 Ibid. 209 Ibid.

58

terjadi akhir tahun anggaran. Menurut Davey (1983) ada beberapa alasan

pemerintah daerah melakukan pinjaman dana seperti:210

a. untuk menutup defisit keuangan jangka pendek;

b. untuk membiayai kekurangan belanja rutin dan penghasilan retribusi

dalam anggaran tahunan (annual budget);

c. membiayai pembelian perlengkapan dan mesin-mesin;

d. membiayai investasi yang akan menghasilkan pendapatan;

e. membiayai pembentukan modal jangka panjang (long term capital

development).

Menurut J. Glasson, tujuan utama pemanfaatan dana pinjaman

daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan melakukan

pembangunan yang menerus (sustainable development).211 Hal tersebut

sangat wajar karena dengan penerapan hard budget constraint terbatasnya

kemampuan keuangan daerah, maka terselenggaranya progam-program

daerah tidak hanya bergantung pada pendapatan daerah dan bantuan dari

pusat, namun sangat bergantung pada pinjaman daerah. Oleh karena itu,

seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa keleluasaan bagi daerah untuk

melakukan pinjaman merupakan salah prinsip dari desentralisasi fiskal.

Pengaturan mengenai pinjaman daerah di setiap menunjukkan pola

yang berbeda-beda. Menurut Shah, di negara-negara berkembang di mana

pasar (keuangan) belum terbangun dengan baik untuk kredit jangka panjang

dan kemampuan daerah untuk membayar pinjaman, menyebabkan akses

daerah untuk melakukan pinjaman sangat terbatas.212 Hal tersebut

menyebabkan pengaturan pinjaman daerah lebih menekankan pada

pengawasan pemerintah pusat, sementara bantuan pusat untuk mendorong

daerah melakukan pinjaman sangat jarang menjadi perhatian. Biasanya yang

menjadi ukuran pola pengawasan pusat dalam hal pinjaman daerah adalah 210 Lihat Bachrul Elmi dan Syahrir Ika, “Hutang Sebagai Salah Satu Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah Otonom”, Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 6 No. 1, Maret, 2002, hlm. 64. 211 Ibid., hlm. 62. 212 Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…., op.cit., hlm. 29

59

apakah daerah berwenang melakukan pinjaman? Jika dibolehkan, apakah

daerah dapat melakukan pinjaman ke luar negeri?

6. Hakikat Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Daerah

a. Pengertian dan Tujuan Pengawasan Istilah “pengawasan” sering dipadankan (equivalent) dengan istilah

“toezicht” (Belanda), “supervision” (Inggris), dan “control” (Belanda dan

Inggris). Pengawasan atau kontrol dapat dilakukan sebelum, sepanjang, dan

sesudah suatu kegiatan dilaksanakan. James H. Donnelly, James L.

Gobson, dan John M. Ivancevich dalam Fundamentals of Management

(1981) menyebut hal itu Preliminary control, concurrent control dan feedback

control. James A. F. Stoner dan Charles Wankel dalam Management (1986)

menyebut ketiga macam kontrol itu Pre-action cotrol, steering control dan

post-action control.213

Pengawasan (toezicht, supervision) merupakan unsur yang tidak

dapat dipisahkan dari kebebasan berotonomi. Antara kebebasan dan

kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain,

merupakan dua sisi dari satu mata uang dalam negara kesatuan dengan

sistem otonomi (desentralisasi). Kebebasan dan kemandirian berotonomi

dapat dipandang sebagai pengawasan atau kendali terhadap kecenderungan

sentralisasi yang berlebihan. Sebaliknya pengawasan (toezicht) merupakan

kendali terhadap desentralisasi berlebihan. Tidak ada otonomi tanpa sistem

pengawasan.214

Namun demikian, perlu diketahui, pengertian pengawasan (toezicht,

supervision) adalah suatu bentuk hubungan dengan legal entity yang

mandiri, bukan hubungan internal dari entitas yang sama. Bentuk dan isi

pengawasan dilakukan semata-mata menurut atau berdasarkan ketentuan

213 Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid I, Rineka Cipta, Jakarta 2003, hlm. 197. 214 Bagir Manan, Menyongsong ..., op.cit. hlm.153.

60

undang-undang. Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap

hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.215

Dengan demikian, dalam kaitan dengan Undang-Undang tentang

pemerintahan daerah khususnya desentralisasi istilah pengawasan lebih

tepat dipadankan dengan “toezicht” atau “supervision” dan tidak dengan

“control”. Istilah control selain mengandung arti pengawasan, juga

mengandung arti pengendalian, mengarahkan, mengurus atau mengatur.

Pengawasan (toezicht) pada desentralisasi, secara asasi tidak mengandung

makna ikut mengarahkan, apalagi ikut mengurus atau ikut mengatur.

Pengawasan pada desentralisasi dibatasi untuk “menguji” apakah suatu

keputusan suatu satuan pemerintahan otonom (yang lebih rendah)

bertentangan atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum. Memang perlu disadari

bahwa dalam perkembangan, pengawasan dalam arti toezicht atau

supervision, mengalami perkembangan seperti adanya “petunjuk”,

“pedoman”, “bimbingan”, “penentuan syarat-syarat yang harus diikuti”.

Perkembangan ini menyebabkan pengawasan tidak lagi sekedar “checking”

atau dalam rangka “menjaga keseimbangan”. Pengawasan dalam kualitas

tertentu menjadi semacam “mencampuri” wewenang daerah untuk mengatur

dan mengurus rumah tangganya sendiri. Apabila hal semacam ini jika

dibiarkan berjalan tanpa batas, akan besar pengaruhnya pada sifat

“kemandirian” (zelf standigheid) daerah otonom.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pengertian umum dari

beberapa aspek pengawasan kiranya dapat dirumuskan sebagai berikut :

1) Pengawasan sebagai sarana (instrumen) pemeritahan yang lebih atas

tingkatannya untuk memaksakan kehendaknya pada pemerintahan yang

lebih rendah tingkatannya.

2) Pengawasan menunjukkan adanya pengarahan atau pengendalian

(aturan) terhadap tindakan pemerintahan yang lebih rendah tingkatannya

dari pemerintahan yang lebih atas tingkatannya.

215 Taliziduhu Ndraha, Kybernology ..., op.cit., hlm. 197.

61

3) Pengawasan berbeda dengan sarana pengendalian lainnya.

Pengawasan hanya terbatas pada segi pemerintahan yang dilakukan

oleh satuan pemerintahan yang diawasi.

4) Pengawasan menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang

satuan pemerintahan yang diawasi tidak boleh bertentangan dengan

hukum dan kepentingan umum.

Mengenai kepentingan umum, Black Law Dictionary, mendefinisikan

Public Interest, yaitu:

a. The general welfare of public that warrants recognation and protection;

b. Something in which the public as a whole has a stake espesially an

interest that justifies governmental regulation216.(Terj. bebas dari

pengertian di atas adalah bahwa kepentingan umum merupakan

kepentingan bagi kesejahteraan umum yang menjamin perlindungan dan

merupakan sesuatu di mana publik secara keseluruhan mempunyai

suatu pancang/landasan terutama suatu yang membenarkan peraturan

yang dibentuk oleh pemerintah).

Adapun menurut Bagir Manan, terdapat beberapa ukuran yang dapat

dipergunakan untuk menentukan kepentingan umum, yakni: Pertama;

dibutuhkan orang banyak. Kedua; setiap orang dapat menikmati dan

memperoleh manfaat, tanpa ada pembatasan karena kondisi invidual

seseorang. Ketiga; harus dalam rangka kesejahteraan umum, baik dalam arti

materiil maupun spiritual217.

b. Penggolongan Pengawasan Pengawasan dapat dibedakan ke dalam berbagai macam, misalnya

pengawasan menurut sifat/bentuk dan tujuannya, pengawasan menurut

216 Bryan A. Garner, Black Law Dictionary, 1999, hlm.1244. 217 Bagir Manan, Menyongsong Fajar….,Op.Cit., hlm.141.

62

ruang lingkupnya dan pengawasan menurut metodenya. Berikut ini

diidentifikasikan berbagai macam pengertian pengawasan tersebut.218

1) Pengawasan Menurut Sifat/Bentuk dan Tujuannya Secara konsepsional, pengawasan menurut sifat/bentuk dan

tujuannya dapat dikelompokan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) pengawasan

preventif dan; (2) pengawasan represif atau pengawasan detektif.

a) Pengawasan Preventif Secara umum pengertian pengawasan preventif pada dasarnya

dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam

pelaksanaan kegiatan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan

daerah, maka pengawasan preventif bertujuan untuk mencegah

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan pemerintahan

daerah. Relevan dengan pembentukan produk hukum di daerah dan

tindakan tertentu organ pemerintahan daerah, menurut Bagir Manan,

pengawasan preventif ini berkaitan dengan wewenang mengesahkan

(goedkeuring).219 Pengawasan preventif ini memiliki tujuan yang menurut

Revrisond Baswir diidentifikasikan sebagai berikut:

a) mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang menyimpang dari dasar

yang telah ditentukan.

b) memberi pedoman bagi terselenggaranya pelaksanaan kegiatan secara

efesien dan efektif;

c) menentukan sasaran dan tujuan yang akan dicapai; dan

d) menentukan kewenangan dan tanggung jawab sebagai instansi

sehubungan dengan tugas yang harus dilaksanakan.

b) Pengawasan Represif atau Pengawasan Detektif Sebagian ahli mempergunakan istilah pengawasan ini dengan istilah

pengawasan represif, sebagian lainnya mempergunakannya dengan istilah

218 Lihat Elektison Somi, Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia (Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2006, hlm. 91-95. 219 Bagir Manan, Menyongsong Fajar .…Op.Cit, hlm. 154

63

pengawasan detektif. Namun demikian, kedua istilah ini pada prinsipnya

dilaksanakan setelah dilakukannya tindakan yaitu dengan membandingkan

antara hal yang telah terjadi dengan hal yang seharusnya terjadi. Berkaitan

dengan pembentukan produk hukum daerah dan tindakan tertentu organ

pemerintah daerah, pengawasan ini menurut Bagir Manan berkaitan dengan

wewenang pembatalan (Verneitiging) atau penangguhan (schorsing).220

Berkaitan dengan berbagai macam bentuk pengawasan, Paulus Effendie Lotulung mengatakan bahwa salah satu permasalahan pokok

dalam studi tentang dasar-dasar hukum Administrasi adalah pelajaran

tentang adanya atau dikenalnya berbagai macam kontrol atau pengawasan

yang dapat dilakukan terhadap Pemerintah. Sebab di dalam melaksanakan

tugasnya atau “mission”nya untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum

dan pelayanan kepentingan umum atau lazim disebut “public service”, maka

terhadap Pemerintah selaku organ administarasi Negara dapat dikenakan

bermacam-macam bentuk kontrol atau pengawasan. Tujuan pokok dari

kontrol ini adalah untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik

yang disengaja maupun tidak disengaja, sebagai suatu usaha preventif, atau

juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai

suatu usaha represif. Dalam praktek, adanya kontrol itu sering dilihat sebagai

sarana unutuk mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas

pemerintahan dari apa yang telah digariskan. Memang di sinilah letak inti

atau hakekat dari suatu pengawasan.221

Apabila dibandingkan berbagai macam bentuk kontrol yang ada,

maka dapat dibedakannya dari beberapa segi. Ditinjau dari segi kedudukan

dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan/organ yang

dikontrol, dapatlah dibedakan antara jenis kontrol yang disebut Kontrol Intern

dan Kontrol Ekstern. Suatu Kontrol Intern berarti bahwa pengawasan itu

dilakukan oleh suatu badan yang secara oraganisatoris/ struktural masih

termasuk dalam lingkungan Pemerintah sendiri, misalnya: pengawasan yang

220 Bagir Manan, op.Cit 221 Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986, hlm.xv.

64

dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkis,

ataupun pengawasan yang dilakukan oleh tim/ panitia verifikasi yang

dibentuk secara insidentil dan biasanya terdiri dari beberapa orang ahli

dalam bidang-bidang tertentu. Bentuk kontrol-kontrol semacam itu dapat

digolongkan dalan jenis kontrol teknis-administratif atau lazim pula disebut

sebagai suatu bentuk “built-in control”. Sebaliknya, suatu Kontrol Ekstern

adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang

secara organisatoris/struktural berada di luar Pemerintah dalam arti

eksekutif, misalnya: kontrol keuangan yang dilakukan oleh Badan Pengawas

Keuangan (BPK), kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat melalui

pers/masmedia, kontrol politis yang pada umumnya dilakukan oleh lembaga-

lembaga perwakilan rakyat dalam bentuk “hearing” ataupun hak bertanya

para anggotanya. Termasuk pula kontrol ekstern ini adalah kontrol yang

dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan (judicial

control) dalam hal timbul persengketaan atau perkara dengan pihak

Pemerintah.222

Ditinjau dari segi saat/waktu dilaksanakannya suatu kontrol atau

pengawasan, dapat pula dibedakan dalam 2 jenis kontrol, yaitu apa yang

disebut sebagai Kontrol a-priori ada yang disebut Kontrol a-posteriori.

Dikatakan sebagai Kontrol a-priori adalah bila pengawasan itu dilakukan

sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan Pemerintah

ataupun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi

wewenang Pemerintah. Dalam hal ini tampak jelas unsur preventif dari

maksud kontrol itu, sebab tujuan utamanya adalah untuk mencegah atau

menghindari terjadinya kekeliruan. Misalnya: pengeluaran suatu yang untuk

berlaku sah dan dilaksanakan, harus terlebih dahulu memperoleh

persetujuan dan pengesahan dari instansi atasan, atau peraturan

pemerintah daerah-daerah tingkat II harus mendapat pengesahan terlebih

dahulu dari pemerintah daerah tingkat I, demikian seterusnya. Sedangkan

sebaliknya, Kontrol a-posteriori adalah jika pengawasan itu baru terjadi

222 Ibid, hlm. xvi

65

sesudah dikeluarkan keputusan/ketetapan Pemerintah atau sesudah

terjadinya tindakan/perbuatan Pemerintah. Dengan kata lain, arti

pengawasan di sini adalah dititikberatkan kepada tujuan yang bersifat

korektif dan memulihkan suatu tindakan yang keliru. Peranan badan

peradilan melalui suatu judicial control adalah selalu bersifat Kontrol a-

posteriori, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya sustu perbuatan atau

tindakan.

Di samping kedua macam kriteria pembedaan tersebut di atas, dikenal

pula pembedaan yang ditinjau dari segi sifat kontrol itu terhadap objek yang

diawasi. Dengan kata lain, apakah kontrol itu hanya dimaksudkan untuk

menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat hukum-nya (segi

legalitas), yaitu segi “rechtmatigheid” dari perbuatan Pemerintah ataukah

juga di samping segi “rechtmatigheid” ini dinilai pula benar-tidak benarnya

perbuatan itu ditinjau dari segi/pertimbangan kemanfaatannya (opportunitas),

yaitu segi “doelmatigheid”. Jadi dibedakanlah antara Kontrol segi hukum

(rechtmatigheidstoetsing) dan Kontrol segi kemanfaatan

(doelmatigheidstoetsing). Misalnya: Kontrol yang dilakukan oleh badan

peradilan (judicial control) pada prinsipnya hanya menitikberatkan pada segi

legalitas, yaitu Kontrol segi hukum, sedangkan suatu kontrol teknis

administratif intern dalam lingkungan Pemerintah sendiri (built-in control)

bersifat selain penilaian legalitas (rechtsmatigsheidtoetsing) juga dan bahkan

lebih menitikberatkan pada segi penilaian kemanfaatan.223

Di lapangan pemerintahan daerah, instrumen pengawasan, baik yang

bersifat preventif maupun yang bersifat represif seringkali digunakan.

2) Ruang Lingkup, Waktu Pelaksanaan, Wujud, dan Jangka Waktu Pelaksanaan Pengawasan

Preventif berasal dari kata preventie yang berarti pencegahan,

sedangkan represif dari kata repressie yang berarti penekanan atau

pengekangan. Antara keduanya terdapat perbedaan baik dalam ruang

223 Ibid, hlm. xvi-xvii

66

lingkup/lingkungan berlakunya, perwujudan maupun jangka waktu

pelaksanaanya.224

Perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai berikut:225

a. Ruang lingkup berlakunya Pengawasan preventif hanya dilaksanakan terhadap beberapa

Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah tertentu saja yang

menyangkut kepentingaan-kepentingan besar atau yang mungkin

menimbulkan keresahan-keresahan, kegelisahan-kegelisahan dan

gangguan-gangguan dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan kepentingan

umum, apabila tidak ditetapkan dengan sebaik-baiknya oleh Pemerintah

Daerah. Pengawasan represif dijalankan terhadap semua Peraturan Daerah

dan keputusan Kepala Daerah tanpa kecuali. Jadi pengawasan ini

mempunyai ruang lingkup (scope) yang lebih luas dari pengawasan

preventif. Peraturan-peraturan dan Keputusan-keputusan Kepala Daerah

tertentu yang diawasi secara preventif adalah ketentuan-ketentuan yang

memberikan beban kepada rakyat, yang mengandung perintah, larangan,

keharusan, ancaman pidana, dan yang menyangkut kepentingan rakyat

banyak. Jika digambarkan dalam suatu bagan, ruang lingkup pengawasan

atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 1: RUANG LINGKUP PENGAWASAN

ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah (baik yang menyangkutan urusan otonomi maupun tugas pembantuan).

Dilakukan oleh aparat pengawas intern, baik Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Pemerintah Daerah itu sendiri. (Inspektorat)

Pengawasan terhadap produk-produk hukum yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah ( pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah).

a. Melalui pranata pengujian (material dan formal) ke badan peradilan (MA);

b. Melalui pranata pembatalan (vernietiging) atau berupa penangguhan pemberlakuan

224 Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat Dan Daerah Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. hlm. 149. 225 Ibid, hlm.149-153

67

(schorsing), oleh Pemerintah Pusat.226

c. Melalui proses/prosedur tertentu, misalnya dalam bentuk “evaluasi” terhadap Raperda dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, untuk provinsi oleh Mendagri dan untuk kabupaten/kota oleh Gubernur; penetapan pedoman, kriteria, monitoring, dsb.

b. Mengenai waktu pelaksanaanya. Pengawasan preventif dilaksanakan sebelum Peraturan-peraturan dan

Keputusan-keputusan Kepala Daerah tersebut mulai berlaku; jadi sebelum

peraturan-peraturan/keputusan-keputusan tersebut dijalankan. Pengawasan

represif dilakukan sesudah Peraturan-peraturan Daerah dan Keputusan-

keputusan Kepala Daerah berlaku dan dijalankan.

c. Wujud dari masing-masing pengawasan. Pengawasan preventif berujud kewajiban atau keharusan untuk

memperoleh pengesahan lebih dahulu dari pihak pengawas yaitu Menteri

Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah /Keputusan-keputusan Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I bagi

Peraturan-peraturan Daerah dan Keputusan-keputusan Kepala Daerah

Tingkat II, sebelum peratuan-peraturan itu mulai berlaku dan dijalankan. Jadi

pengawasan ini di satu pihak merupakan hak pengawasan dari pihak

pengawas dan di lain pihak merupakan kewajiban untuk meminta

226 UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 145 (3) dengan secara eksplisit menetapkan bahwa pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden, sementara dalam praktek pembatalan terhadap perda ditetapakn oleh Menteri Dalam Negeri (dalam bentuk Peraturan Menteri?).

68

pengesahan dari pihak yang diawasi. Apabila pihak pengawas beranggapan

bahwa peraturan-peraturan yang dimintakan pengesahan tersebut

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatnya atau

bertentangan dengan kepentingan umum, maka pengawas menolak untuk

memberikan pengesahan. Penolakan tersebut dengan disertai alasan-

alasannya disampaikan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Dengan penolakan tersebut, maka peraturan yang dimintakan pengesahan

tersebut tidak dapat berlaku.

Keputusan-keputusan/peraturan-peraturan lain di luar hal-hal yang

tersebut di atas (di luar ketentuan-ketentuan yang memberikan beban

kepada rakyat, perintah, larangan, keharusan, ancaman pidana dan yang

menyangkut kepentingan rakyat banyak), dikenakan pengawasan represif.

Pengawasan represif berupa penundaan/penangguhan atau pembatalan

oleh pihak pengawas terhadap Peraturan-Peraturan Daerah/Keputusan-

keputusan Kepala Daerah yang telah berjalan tersebut. Penundaan atau

pembatalan dilakukan apabila peraturan-peraturan atau keputusan-

keputusan Daerah yang telah dijalankan itu bertentanagan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya atau dengan kepentingan

umum

Apabila sesuatu Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah

yang telah berlaku dengan tanpa pengesahan, diduga atau dianggap

mungkin bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi tingkatnya atau dengan kepentingan umum, maka instansi/pejabat

yang berwenang dalam pengawasan represif dapat menunda

keputusan/peraturan tersebut. Penundaan bermaksud untuk menahan buat

sementara waktu berjalannya Keputusan Kepala Daerah/Peraturan Daerah

yang telah berlaku selama masih dalam pertimbangan untuk dibatalkan. Jadi

penundaan adalah langkah awal dari pembatalan. Setelah Keputusan Kepala

Daerah/Peraturan Daerah itu ditunda/ditangguhkan berlakunya, maka pihak

pengawas akan mengadakan peninjauan atau penyelidikan lebih lanjut

apakah memang keputusan tersebut memang perlu dibatalkan ataukah tidak.

69

Keputusan untuk menunda harus disampaikan kepada Daerah beserta

alasan-alasannya.

d. Mengenai jangka waktu pelaksanaan Pengawasan preventif dijalankan dalam jangka waktu

terbatas/tertentu, misalnya 3 bulan. Jadi dalam waktu 3 bulan itu pejabat

yang berwenang untuk memberikan pengesahan harus memberikan

pengesahan yang dimintakan atau menolaknya. Bilamana sesudah jangka

waktu 3 bulan tersebut belum ada pengesahan atau penolakan , maka

menurut ketentuan, Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah itu

dapat diberlakukan. Kalau ditolak maka alasan-alasan penolakan itu

disampaikan kepada Daerah yang bersangkutan. Bilamana Daerah

berkeberatan atas penolakan tersebut, maka Daerah dapat mengajukan

keberatan. Pengawasan represif dilakukan untuk jangka waktu yang tidak

terbatas, yaitu selama sesuatu Peraturan Daerah/Keputusan Kepala Daerah

masih berlaku, sewaktu-waktu dapat ditangguhkan atau dibatalkan.

Pengawasan (toezicht, supervision) merupakan unsur yang tidak

dapat dipisahkan dari kebebasan berotonomi. Antara kebebasan dan

kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain,

merupakan dua sisi dari satu mata uang dalam negara kesatuan dengan

sistem otonomi (desentralisasi). Kebebasan dan kemandirian berotonomi

dapat dipandang sebagai pengawasan atau kendali terhadap kecenderungan

sentralisasi yang berlebihan. Sebaliknya pengawasan (toezicht) merupakan

kendali terhadap desentralisasi berlebihan. Tidak ada otonomi tanpa sistem

pengawasan.227

Namun demikian, pengertian pengawasan (toezicht, supervision)

adalah suatu bentuk hubungan dengan sebuah legal entity yang mandiri,

bukan hubungan internal dari entitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan

dilakukan semata-mata menurut atau berdasarkan ketentuan undang-

undang. Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal yang secara

227 Bagir Manan, Menyongsong Fajar...., Op.Cit., hlm.153.

70

tegas ditentukan dalam undang-undang. Pengawasan tidak berlaku atau

tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan

undang-undang.228

Ada dua jenis pengawasan baku terhadap satuan pemerintahan

otonom yaitu pengawasan preventif (preventief toezicht) dan pengawasan

represif (repressief toezicht). Pengawasan ini berkaitan dengan produk

hukum daerah dan tindakan tertentu organ pemerintahan daerah.

Pengawasan preventif dikatkan dengan wewenang mengesahkan

(goedkeuring), Pengawasan represif adalah wewenang pembatalan

(vernietiging) atau penangguhan(schorsing).229

c. Objek-Objek Pengawasan Untuk mengetahui objek-objek pengawasan dalam konteks hubungan

pusat dan daerah, dapat didekati melalui perbandingan pengawasan yang

berlaku di Inggris, Perancis, dan Belanda.

Tabel 2: Perbandingan Pengawasan Pusat Terhadap Daerah di Inggris, Perancis

dan Belanda230

NO KATEGORI INGGRIS PERANCIS BELANDA 1 2 3 4 5

a. Pengawasan Legislatif

a. Pengawasan Administratif

a. Pengawasan Preventif

b. Pengawasan Administratif

1.

Jenis/Bentuk Pengawasan

c. Pengawasan Yudisial

b. Pengawasan Yudisial

b. Pengawasan Represif

228 Loc.Cit. 229 Ibid., hlm. 154 230 Sumber : Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, hlm.43-114, dibuat Tabel oleh Agus Kusnadi, Bentuk dan Ruang Lingkup Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Yang Demokratis Menurut UUD 1945, Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009.

71

a. Parlemen a. Prefect dan Counseil d’Etat

a. Kroon (Mahkota), dan Gedeputeerde Staten

b. Pemerintah Pusat

2.

Subjek Pengawasan

c. Pengadilan

b. Counseil d’Etat, Tribuneux Administratif, Cour des Comptes (Court of Accounts)

b. Kroon (Mahkota), Pembentuk Undang- Undang, Commissaris van de Koning, Gedeputeerde Staten

a. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan undang-undang Parlemen

a. Peraturan/ Kebijakan Commune, Peraturan/ Kebijakan Ekonomi Pemerintah Daerah

a. Keputusan- Keputusan yang harus mendapat pengesahan pemerintahan tingkat atasnya

b. Peraturan, Keputusan dan Kebijakan Daerah

3.

Objek Pengawasan

c. Peraturan dan Keputusan Daerah

b. Keputusan atau tindakan administrasi negara

b. Keputusan yang mempunyai akibat hukum, baik di bidang otonomi maupun tugas perbantuan.

Dari bagan yang ditunjukkan di atas dapat ditarik suatu kelaziman

bahwa objek pengawasan pemerintah pusat terhadap satuan pemerintahan

di bawahnya (atau pengawasan pusat terhadap daerah) adalah terhadap: a)

Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan undang-

undang nasional; b) Peraturan daerah (bersifat regeling); c) Tindakan

administrasi negara pada pemerintahan daerah (bersifat beschikking dan

72

beleidsregel); dan d) Keputusan yang harus mendapatkan pengesahan dari

satuan pemerintahan di atasnya.

f. Tujuan Pengawasan Relevan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan

pemerintahan di daerah, Raul P. De Guzman dan Artno Pascho231

mengisyaratkan setidaknya ada 5 (lima) alasan mengapa pengawasan itu

menjadi instrumen penting dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas

pemerintahan di daerah, yakni;

1. To maintain minimun standards in the performance of services by local

authorities;

(Terj.untuk memelihara standar-standar minimum dalam melaksanakan

pelayanan-pelayanan oleh pemerintah daerah);

2. To maintain standards of administration as well as coordinate

administrations between and among various levels of government;

(Terj. Untuk memelihara standar-standar administrasi sebaik koordinasi

administrasi antara dan diantara berbagai macam tingkatan

pemerintahan);

3. To control local expenditures as part of the management and planning of

the national economy;

(Terj. Untuk mengawasi pengeluaran atau belanja daerah sebagai bagian

manajemen dan perencanaan dari perekonomian nasional);

4. To protect the citizens against the abuse of power by local authorities;

(Terj. Untuk melindungi para warga negara dari tindakan sewenang-wenang

dari (pejabat) pemerintah daerah);

5. To Wield and integrated the diverse people into a nation.

(memegang teguh dan menyatukan beraneka ragam rakyat menjadi suatu

bangsa).

231 Ateng Syafrudin, Masalah Hukum dalam Pemerintahan di Daerah, Makalah untuk pendidikan non-gelar anggota DPRD tingkat II se-Jawa Barat di Fakultas ISIP Unpad, 28 Desember 1992, hlm. 7.

73

Ateng Syafrudin232 menyebutkan 3 (tiga) tujuan dari pelaksanaan

pengawasan, berkenaan dengan penyelenggaraan tugas-tugas

pemerintahan daerah, yakni;

1. untuk menjaga kewibawaan pemerintah daerah dan kepentingannya;

2. untuk menghindari atau mencegah penyalahgunaan wewenang;

3. untuk mencegah kelalaian dalam administrasi yang dapat merugikan

negara atau daerah.

Menurut M.N. Azmy Akhir, agar pelaksanaan pengawasan dapat

dijadikan sebagai suatu alat (instrumen) yang efektif dalam rangka

penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan daerah, maka harus

diperhatikan beberapa kriteria sebagai berikut :

a. Apa yang diawasi (obyek yang perlu diawasi)

b. Mengapa perlu diadakan pengawasan.

c. Dimana dan kapan diadakan pengawasan dan oleh siapa pengawasan

tersebut harus dilakukan.

d. Bagaimana pengawasan tersebut dapat dilakukan;

e. Pengawasan tersebut harus bersifat rasional, fleksibel, terus menerus,

dan fragmatis.233

Kriteria-kriteria di atas penting untuk menjadi pertimbangan dalam

melakukan pengawasan, sehingga tujuan dari kegiatan pengawasan tersebut

dapat tercapai. Menurut H. Bohari, untuk mencapai hal-hal sebagai berikut :

a. Menjaga agar rencana itu dalam realisasinya tetap terarah pada tujuan

yang telah ditentukan;

3) Menjaga agar pelaksanaannya itu dijalankan sesuai dengan peraturan-

peraturan yang telah ditetapkan (peraturan yang berlaku).

4) Menjaga agar tugas itu dijalankan berdaya guna (termasuk pengurusan,

pemeliharaan) sesuai dengan tujuan;

5) Melakukan usaha-usaha untuk mengatasi hambatan, mengendalikan

penyimpangan-penyimpangan, serta akibat-akibatnya.234

232 Ibid. 233 M.N. Azmy Akhir. Masalah Pengurusan Keuangan Negara : Suatu Pengantar Teknis. CV. Dinna. Jakarta. 1986, hlm. 71

74

Paling tidak tujuan pengawasan itu adalah untuk mencegah sedini

mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan,

kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta

pelaksanaan tugas-tugas organisasi.235

234 H. Bohari, Hukum Anggaran Negara. Rajawali Pers. Jakarta. 1995, hlm. 117-118 235 Lembaga Administrasi Negara RI. Op.Cit, hlm. 159

75

BAB III PENGATURAN HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH

A. Hubungan Kewenangan

Perubahan Kedua UUD 1945 yang terjadi pada tahun 2000 mengubah

secara mendasar pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia.

Berdasarkan dasar hukum konstitusional pengaturan pemerintahan daerah

dijumpai dalam Pasal-pasal 18, 18A dan 18B. pemerintahan daerah

diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: pertama,

Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam

Pasal 18 ayat (2) UUD 1945.236 Kedua, Prinsip menjalankan otonomi seluas-

luasnya yang diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945.237 Ketiga, Prinsip

kekhususan dan keragaman daerah sebagai diatur dalam Pasal 18 ayat (1)

UUD 1945.238 Keempat, prinsip mengakui dan menghormati kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana diatur

dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.239 Kelima, prinsip mengakui dan

menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa

sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.240 Keenam,

Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum

sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945.241 Ketujuh, prinsip

hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil

sebagaimana terdapat dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.242 Saat ini undang-undang penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai

pelaksanaan Pasal 18 ayat (7) didasarkan pada UU No. 32/2004 jo UU No.

236 Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm. 8-9. 237 Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18, UNSIKA, Karawang, 1993, hlm 21, dan Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 12. 238 Bagir Manan, Menyongsong Fajar ..., op.cit., hlm. 12-13. 239 Ibid., hlm. 13. 240 Ibid., hlm 15-16. 241 Ibid. 242 Ibid., hlm 17.

76

12/2008, UU No. 33/2004 serta berbagai peraturan lain yang relevan. Peraturan

pelaksana yang mengatur hubungan kewenangan antara lain PP No. 38/2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Ketentuan Pasal 10

UU No. 32/2004 itu mengandung pengertian bahwa urusan pemerintahan dapat

dibagi dalam dua kelompok, yaitu urusan pemerintahan yang secara mutlak menjadi urusan pusat dan urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan baik oleh

pemerintah, provinsi, maupun kabupaten/kota (concurrent power).

Bagan 6

Pembagian Urusan Pemerintahan

MM

URUSAN PEMERINTAHAN URUSAN ‘BERSAMA’

(concurrent power) Pusat, Provinsi,

Kabupaten/Kota

Urusan Wajib Antara lain : - kesehatan; - pendidikan; - lingkungan

hidup; - perhubunga

n

Urusan Pilihan Antara lain : - pertanian - kelautan - industri - pariwisata

MUTLAK URUSAN PUSAT - Politik Luar Negeri; - Pertahanan; - Keamanan; - Moneter dan Fiskal

Nasional; - Yustisi; dan - Agama.

B. Hubungan Kelembagaan Hakekat Negara adalah organisasi dan dalam organisasi Negara,

dapat di identifikasi dua macam kelompok organ, yang memiliki perbedaan

yang signifikan. Pertama, adalah organ-organ Negara (staatsorganen);

kedua, adalah organ-organ pemerintahan (regeringsorganen).243 Dalam

Negara kesatuan, organ Negara termaksud hanya dijumpai di ibu kota

Negara (di tingkat pemerintahan nasional). Kedudukan organisasi Negara ini

tidak hierarkis sementara organ pemerintahan terdapat baik di tingkat

243 Bhenyamin Hoessein, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalam Kumpulan Tulisan pasang surut otonomi Daerah, Yayasan Tifa, Jakarta, 2005. hlm. 197.

77

nasional maupun di subnasional. Kedudukan organ-organ pemerintahan

bersifat hierarkis di bawah Presiden (Pemerintah).244

Dengan desentralisasi, terjadi pembentukan dan implementasi

kebijakan yang tersebar diberbagai jenjang pemerintahan subnasional. Asas

ini berfungsi untuk menciptakan keanekaragaman dalam penyelenggaraan

pemerintahan, sesuai dengan kondisi dan potensi masyarakat. Dengan

perkataan lain, desentralisasi berfungsi untuk mengakomodasi

keanekaragaman masyarakat, sehingga terwujud variasi struktur dan politik

untuk menyalurkan aspirasi masyarakat setempat.245

Dalam penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam

arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah. Daerah memiliki

kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,

peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang

bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip

tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan

bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk

menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,

wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk

tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan

daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak

selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi

yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya

harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi,

yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.246

UUD 1945 menghendaki susunan pemerintahan, khususnya

pemerintahan tingkat daerah tersusun dalam satu kesatuan struktural dan

244 Ibid., hlm. 197 245 Ibid.,, hlm. 198 246 Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2004

78

fungsional yang utuh, meskipun tidak dalam susunan hirarkis satu sama

lain.247 Negara (pemerintah Pusat) dan daerah kedua-duanya merupakan

badan hukum publik yang masing-masing mempunyai badan

pemerintahannya sendiri-sendiri dengan hak, kewenangan dan kewajiban

sendiri-sendiri.248

Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah otonom diatur

dengan cara-cara tertentu yang diatur dengan undang-undang. Dalam hal ini

adalah UU No. 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah beserta

peraturan pelaksanaannya.

1. Hubungan dalam pengaturan organisasi perangkat daerah Sebagaimana diketahui bentuk Negara Indonesia tercantum di dalam

Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945, yang penyelenggaraannya melalui ketentuan

Pasal 18 ayat (1). Atas dasar ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa

penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan menggunakan sistem

desentralisasi, dengan demikian terdapat pemencaran kekuasaan dari pusat

kedaerah baik menurut asas otonomi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi.

Berdasarkan kenyataan itu, antara pusat dan daerah akan terjadi hubungan

antara lain hubungan kelembagaan, hubungan tersebut dalam praktek

terlihat misalnya pada pengaturan organisasi perangkat daerah dan

pemekaran daerah.249

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

beserta perubahannya, susunan kelembagaan pemerintahan daerah terdiri

dari: 1. Susunan luar dibawah Pemerintah Pusat terdapat Pemerintahan Daerah

Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.250

247 Bagir Manan, Hubungan… hlm. 197 248 Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerbit Bina Aksara, 1984, hlm. 182 249 Kuntana Magnar, Bahan diskusi pada Diskusi Terbatas Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009 250 Pasal 3 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004

79

2. Susunan dalam terdiri dari DPRD dan kepala Daerah beserta perangkat

daerah251

a. Perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu kepala daerah

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari

sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga

teknis daerah252

b. Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala

daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari

sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis

daerah, kecamatan, dan kelurahan.253

2. Kepala daerah

Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan pada Setiap daerah

dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah, Kepala

daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan

untuk kota disebut walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil

kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten

disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota.

Dalam hal pelantikan terdapat hubungan antara pemerintah dan

pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 111 ayat (1) Gubernur

dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.

(2) Bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota dilantik oleh

Gubernur atas nama Presiden. (4) Tata cara pelantikan dan pengaturan

selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah

Kedudukan dan peranan kepala daerah dengan beragam penyebutan seperti

Gubernur, Bupati/Walikota, telah menunjukan eksistensinya, baik sebagai

pemimpin organisasi pemerintahan yang mengayomi, melindungi dan

melayani masyarakat maupun dalam memimpin organisasi administrasi

pemerintahan. Dalam memutar roda organisasi pemerintahan, pembangunan

251 Pasal 3 Ayat (2)jo. Pasal 19 Ayat (2)UU No. 32 Tahun 2004 252 Pasal 1 angka 7 PP No. 41 Tahun 2007 253 Pasal 1 angka 8 PP No. 41

80

dan pembinaan kemasyarakatan, serta dalam menghadapi konflik, gejolak

dan permasalahan pemerintahan di daerah, kepala daerah secara terus

menerus dihadapkan pada pelbagai tuntutan dan tantangan baik secara

internal maupun eksternal yang harus di respon dan diantisipasi sekaligus

merupakan ujian terhadap kapabilitias dan kompetensi Kepala Daerah.254

3. Hubungan Kepala Daerah dengan Pemerintah Menurut UU No. 32 Tahun 2004

Hubungan organisasi perangkat daerah antara pemerintah dengan

pemerintah daerah terdapat dalam hal melaksanakan tugas dan wewenang kepala

daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban menjalin hubungan kerja

dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah (Pasal 27

Ayat (1)). Kepala Daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan

penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Pasal 27 Ayat (2), pada

Ayat (3) dikatakan Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada

Pemerintah dimaksud disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri

untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk

Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Laporan tersebut digunakan

Pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan

daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Selain itu, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan

laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan

memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta

menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada

masyarakat. Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah

disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan

kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali

dalam 1 (satu) tahun.

254 J. Kaloh, Kepala Daerah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003. Hlm. 3

81

Laporan sebagaimana dimaksud digunakan Pemerintah sebagai dasar

melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan

pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30 ayat (1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan

sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan

melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling

singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan. Tindak pidana itu

antara lain menurut Pasal 31 ayat (1) tindak pidana korupsi, tindak pidana

terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan Negara. Pada Ayat

(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa

melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 34 ayat

(3) menyebutkan apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan

sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan

Pasal 32 ayat (5), Presiden menetapkan penjabat Gubernur atas usul Menteri

Dalam Negeri atau penjabat Bupati/Walikota atas usul Gubernur dengan

pertimbangan DPRD sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

4. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil

Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.255 Dalam kedudukannya

tersebut Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.256 Gubernur dalam

kedudukannya sebagai wakil pusat di daerah, memiliki tugas dan

wewenang257 dalam hal a) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

pemerintahan daerah kabupaten/kota; b) koordinasi penyelenggaraan urusan

Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c) koordinasi pembinaan

dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi

dan kabupaten/kota.

255 Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2004 ayat (1) 256 Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2004 ayat (2) 257 Pasal 38 Ayat (1)

82

5. DPRD Konsep perwakilan politik lokal terkait dengan sistem pemerintahan

yang dipraktikkan suatu Negara. Konsep perwakilan politik lokal merupakan

bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi, artinya, keterlibatan

masyarakat secara langsung dan tidak langsung ikut menentukan urusan

urusan rumah tangga daerahnya.258

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa DPRD merupakan

unsur pemerintahan daerah bersama kepala daerah (Pasal 40 UU No. 32

Tahun 2004) dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah dipilih

melalui pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan anggota DPR dan

DPD. Dengan kedudukannya seperti tersebut DPRD memiliki fungsi legislasi,

anggaran, dan pengawasan (Pasal 41). Adapun mengenai tugas dan

wewenang DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU 32 Tahun 2004

adalah:

a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat

persetujuan bersama;

b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama

dengan kepala daerah;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan

perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan

pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah,

dan kerja sama internasional di daerah;

d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil

kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi

DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi

DPRD kabupaten/kota;

e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil

kepala daerah.

258 BN. Marbun, Perwakilan Politik Lokal dan Eksistensi DPRD dalam Konteks Otonomi Daerah, dalam Kumpulan Tulisan “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Institute for Local Development Yayasan TIFA, editor Anhar Gonggong, Jakarta 2005, hlm. 327

83

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah

terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang

dilakukan oleh pemerintah daerah;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah;

i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;

j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan

dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

Pengaturan mengenai DPRD ini selain diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004

juga diatur dalam UU yang mengatur tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD

dan DPRD, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39

UU No. 32 Tahun 2004. Meskipun pengaturan tentang susunan, kedudukan serta

fungsi DPRD ini berada dalam satu undang-undang yang sama dengan pengaturan

mengenai susunan, kedudukan dan fungsi DPR RI, bahkan dalam cara

pengisiannyapun sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu,

namun DPRD tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan DPR, atau

dengan perkataan lain DPRD bukan merupakan subordinasi dari DPR RI.

Disamping itu DPRD juga sebenarnya merupakan bagian atau unsur kekuasaan

eksekutif pada level pusat karena merupakan bagian dari penyelenggara

pemerintahan daerah. Bahkan dalam hal pembentukan perda, kekuasaan DPRD

baik tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota akan melalui sebuah upaya evaluasi

peraturan pelaksanaannya.

6. Perangkat Daerah

Keberadaan perangkat daerah dijumpai pada Pasal 1 Angka 3 dan

Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2004 yang pelaksanaannya melalui PP No. 41

Tahun 2007. Dengan adanya PP tersebut menunjukan adanya hubungan

84

kelembagaan antara pusat dan daerah dalam pengaturan organisasi

perangkat daerah.

Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat

DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Sedang untuk

Kabupaten/Kota ditambah dengan kecamatan dan keluarahan (Pasal 120

UU No. 32 Tahun 2004). Pembentukan organisasi perangkat daerah

ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada PP

mengenai Susunan, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Perangkat

Daerah. Setiap perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum,

dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 136 Ayat(

4)). Suatu raperda ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling

lama 30 hari sejak disetujui bersama (Pasal 144 Ayat (3)). Dalam hal tidak

ditetapkan Gubernur, Bupati/Walikota dalam jangka waktu tersebut, raperda

itu sah menjadi perda (Ayat 4). Perda yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lebih tinggi,

dapat dibatalkan oleh pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan

Presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya perda oleh Pemerintah (Pasal

145 ayat (2), (3)). Paling lama 30 hari setelah pembatalan, Kepala Daerah

harus memberhentikan pelaksanaan perda. Selanjutnya DPRD dengan

Kepala Daerah mencabut perda dimaksud (Ayat (4)). Apabila Provinsi,

Kabupaten/Kota tidak menerima pembatalan tersebut dengan alasan yang

dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah

dapat mengajukan keberatan pada Mahkamah Agung (Ayat (5)). Apabila

keberatan itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya putusan Mahkamah

Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak

mempunyai kekuatan hukum.

Pada penjelasan umum PP No. 41 Tahun 2007 dijelaskan bahwa

Pembinaan dan pengendalian organisasi dalam Peraturan Pemerintah ini

dimaksudkan dalam rangka penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan

simplifikasi antardaerah dan antarsektor, sehingga masing-masing

pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan

perangkat daerah. Dalam ketentuan ini pemerintah dapat membatalkan

85

peraturan daerah tentang perangkat daerah yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan dengan konsekuensi pembatalan hak-hak

keuangan dan kepegawaian serta tindakan administratif lainnya. Dalam

pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah,

pemerintah senantiasa melakukan fasilitasi melalui asistensi, pemberian

arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan, serta kerja sama,

sehingga sinkronisasi dan simplifikasi dapat tercapai secara optimal dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.259

7. Hubungan dalam pembentukan daerah (pemekaran dan pembubaran

daerah)260 Hubungan kelembagaan lainnya terdapat dalam pembentukan daerah

(pemekaran dan pembubaran daerah). Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 menganut

desentralisasi teritorial sehingga akan dibentuk daerah-daerah baik Provinsi,

Kabupaten dan Kota dengan UU. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 antara lain

diatur didalam Pasal 4 Ayat (3) dan (4), Pasal 5, Pasal 7 Ayat (1) dan (2)

serta Pasal 8. Pada Pasal 5 Ayat (2) dan (3) jelas nampak adanya hubungan

kelembagaan antara pusat dan daerah dalam pembentukan daerah, yaitu

dalam hal syarat administratif terkait DRPD Kabupaten dan Kota, Bupati dan

Walikota, DPRD Provinsi dan Gubernur dengan Menteri Dalam Negeri.

Demikian pula pada Pasal 7 dan Pasal 8. Sementara pada kelembagaan

pusat, Selain akan terkait dengan DPR dan Presiden (dalam hal ini diwakili

Mendagri), juga terdapat celah bagi peran DPD meskipun sangat terbatas

terlihat pada Pasal 22 D ayat 1,2 dan 3 UUD 1945. Dalam sepuluh tahun terakhir, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi

banyak sekali pemekaran daerah provinsi, kabupaten, maupun kota di

Indonesia. Hal itu disebabkan diberikannya peluang yang sangat besar

(untuk terjadinya pemekaran) oleh undang-undang tersebut yang kemudian

259 Penjelasan Umum PP No. 41 Tahun 2007 Tentang SOTK 260 Kuntana Magnar, Bahan Diskusi Terbatas, Pusat Studi HTN

86

dimanfaatkan oleh para politisi atau elit lokal (daerah). Dalam hal ini, banyak

elit daerah yang mengajukan pemekaran daerah dengan dalih sudah

memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Pembentukan

daerah baru juga dilakukan atas nama kepentingan masyarakat, yaitu untuk

meningkatkan kesejahtraan masyarakat, pelayanan masyarakat (publik), dan

daya saing daerah. Sebagai akibatnya, pembentukan daerah baru pun

banyak terjadi seperti cendawan tumbuh di musim hujan.

Adanya fakta banyak daerah baru yang dibentuk, baik provinsi,

kabupaten, maupun kota, adalah salah satu implikasi negatif berlakunya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Sekalipun saat ini undang-undang

tersebut sudah tidak berlaku, kecenderungan untuk melakukan pemekaran

daerah atau pembentukan daerah baru masih saja berlanjut. Di satu sisi,

kecenderungan tersebut dapat diterima dan dipahami sebagai wujud adanya

kedewasaan dan harapan untuk mengurus dan mengembangkan potensi

daerah dan masyarakatnya. Namun di sisi lain, mengundang kecemasan

mengenai keberlanjutan dan kemampuan suatu daerah otonom baru untuk

dapat bertahan mengurus rumah tangganya sendiri.261 Dengan demikian,

pemekaran daerah belum menjadi jaminan atau obat yang mujarab dalam

upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik (umum),

dan daya saing daerah sebagaimana yang diharapkan ketika pembentukan

daerah baru. Bahkan sangat mungkin terjadi sebaliknya di mana pemekaran

daerah dapat menjadi penyebab persoalan bagi kehidupan masyarakat di

daerah yang baru dibentuk tersebut.

Namun demikian, kecenderungan membentuk daerah otonom baru

tidak serta-merta berakhir dengan digantinya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Bahkan,

tampaknya paradigma berpikir masyarakat pun tidak berubah dengan

perubahan dasar hukum pemerintahan daerah tersebut. Para politisi lokal

pun tetap beramai-ramai membentuk daerah baru dengan mengedepankan

261 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Wilayah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Pengkajian Penataan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Laporan Penelitian, Bandung, 2002, hlm. 4.

87

alasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik,

maupun daya saing daerah. Alasan tersebut menjadi senjata yang sangat

ampuh untuk membentuk daerah baru tanpa mempertimbangkan aspek lain,

seperti keadaan sosial-budaya masyarakat, keharmonisan hubungan

pemerintahan, maupun kemampuan daerah, baik dari segi sumberdaya

manusia, sumberdaya keuangan, maupun sumberdaya alamnya.

8. Pengaturan Pemekaran Daerah dalam Peraturan Perundang-undangan

Berbicara tentang pengaturan pemekaran daerah, sebenarnya tidak

ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hal

tersebut. Pembentukan daerah (baru) dapat ditafsirkan dari bunyi Pasal 18

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) hasil perubahan kedua

pada tanggal 18 Agustus 2000262 yang menyatakan bahwa “Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur

dengan undang-undang”. Dari bunyi pasal tersebut dapat diasumsikan

bahwa wilayah Indonesia dibagi baik ke dalam provinsi yang sudah ada atau

dapat dibagi lagi ke dalam provinsi yang baru melalui pemekaran. Demikian

pula untuk provinsi dapat dibagi ke dalam kabupaten dan kota yang sudah

ada maupun dibagi lagi ke dalam kabupaten dan kota yang baru. Berkaitan

dengan hal itu, penjabarannya (akan) diatur lebih lanjut dengan undang-

undang.

Namun demikian, secara faktual pada saat itu sudah terdapat

undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut, yaitu Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian,

sekalipun ketentuan UUD 1945 menyebutkan “akan” diatur lebih lanjut

dengan undang-undang, pada kenyataannya masalah tersebut “sudah”

262 Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2009, hlm. 31.

88

diatur dengan undang-undang yang ada. Bahkan sebenarnya, rumusan

Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 adalah hasil adopsi rumusan Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pasal tersebut berbunyi “Wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah

Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom”. Apabila dilihat

rumusannya, sebenarnya rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999 lebih baik daripada rumusan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.

Berkaitan dengan pemekaran daerah, hal itu diatur dalam Pasal 6

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi:

(1) Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat

dihapus dan atau digabung dengan Daerah lain.

(2) Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu Daerah.

(3) Kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan pemekaran

Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Penghapusan, penggabungan dan pemekaran Daerah, sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Undang-

undang.

Dari bunyi pasal di atas, pemekaran daerah sangat dimungkinkan

bahkan ketentuannya terkesan sangat longgar, sehingga tidak ada

pembatasan sampai berapa tahap pemekaran itu dapat dilakukan dan

sampai berapa jumlah provinsi, kabupaten, dan kota yang harus ada di

Indonesia. Kenyataan itu juga turut dipermudah dengan proses dan

mekanisme pemekaran yang sangat mudah seperti yang dapat dilihat dalam

penjelasan Pasal 115 ayat (1) yang berkaitan dengan tugas Dewan

Pertimbangan Otonomi Daerah. Adapun mekanisme pembentukan,

penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran daerah dijelaskan

sebagai berikut:

a. Daerah yang akan dibentuk, dihapus, digabung, dan/atau dimekarkan

diusulkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD kepada

Pemerintah;

b. Pemerintah menugaskan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah

89

untuk melakukan penelitian dengan memperhatikan kemampuan

ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah

penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain;

c. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyampaikan pertimbangan

untuk penyusunan rancangan undang-undang yang mengatur

pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran

Daerah Otonom.

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut perintah Pasal 6 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan,

Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan

Penggabungan Daerah. Dalam BAB IV tentang Kriteria Pemekaran,

Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, terutama dalam Pasal 13

ayat (1) disebutkan bahwa pemekaran daerah dapat dilakukan

berdasarkan kriteria sebagai berikut:

a. kemampuan ekonomi;

b. potensi daerah;

c. sosial budaya;

d. sosial politik;

e. jumlah penduduk;

f. luas daerah;

g. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi

Daerah.

Selanjutnya, berkaitan dengan prosedur pemekaran daerah

dianggap sama dengan prosedur pembentukan daerah, yaitu:

a. ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan;

b. pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah;

c. usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;

90

d. usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Propinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;

e. dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;

f. berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;

g. para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;

h. berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;

i. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden;

j. apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan.

Selanjutnya, peraturan pemerintah yang berkaitan dengan

persyaratan, pembentukan, dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan

penggabungan daerah diganti seiring dengan digantinya Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah. Sama halnya dengan undang-undang

sebelumnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga masih membuka

peluang terjadinya pemekaran daerah. Hal itu dapat dilihat dari bunyi Pasal 2

ayat (1) yang berbunyi ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas

daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan

kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Oleh karena

itu, tidak mengherankan sampai saat ini proses pemekaran daerah masih

91

dilakukan dan terus berlangsung karena memang undang-undangnya

membuka peluang untuk itu.

Pengaturan tentang pembentukan daerah dan pemekaran daerah

diatur dalam Pasal 4, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan undang-undang,

(2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.

(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.

(4) Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

Pasal 5 (1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus

memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. (2) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk

provinsi, meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

(4) Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

(5) Syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

92

Pasal 6

(1) Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.

(2) Penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(3) Pedoman evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 6 U No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa penghapusan dan

penggabungan daerah otonom, dilakukan setelah melalui proses evaluasi,

terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kepala Daerah

berkewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan

daerah kepada Pemerintah (pusat). Laporan tersebut disampaikan kepada

Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri

Dalam Negari melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota dalam satu tahun.

Selanjutnya laporan dimaksud digunakan pemerintah sebagai dasar

melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 27 Ayat

(2) dan (3) UU 32 Tahun 2004).

Sementara itu dalam Pasal 7 Ayat (1) ditentukan bahwa penghapusan

dan penggabungan daerah beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-

undang. Sehubungan dengan itu, dalam pembentukan dan pememkaran

serta penggabungan daerah terkait juga peran dari Dewan Perwakilan

Daerah (DPD) meskipun sangat terbatas, yaitu DPD dapat menngajukan

kepada DPR rancangan undang-undang (RUU) tentang hal dimaksud,

sedangkan mengenai perubahan batas suatu daerah, perubahan nama

daerah, pemberian nama, serta perubahannya atau pemindahan ibu kota

ditetapkan dengan PP, atas usul dan persetujuan daerah yang bersangkutan

(Ayat (2) dan (3)).

Tata cara pembentukan penghapusan dan penggabungan daerah,

diatur dengan PP (Pasal 8). Dalam ketentuan Pasal 8 tidak ditegaskan

93

bagaimana dengan pemekaran dan perluasan daerah, sebab apabila

merujuk pada Pasal 4 Ayat (3) dikatakan pembentukan daerah dapat berupa:

a. Penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan;

b. Pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih;

c. Pada ketentuan ini tidak ditegaskan bagaimana dengan perluasan

daerah.

Selanjutnya, ketentuan tentang tata cara pembentukan,

penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Adapun peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan

Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan,

Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Berkaitan dengan pemekaran

daerah menurut Peraturan Pemerintah tersebut sebenarnya hampir sama

sebagaimana diatur dalam Pasal 2, yaitu:

(1) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa

daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari

satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.

(2) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat

berupa pembentukan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.

(3) Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dapat berupa:

a. Pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau

lebih;

b. Penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersanding pada

wilayah provinsi yang berbeda;

c. Penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.

(4) Pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dapat berupa:

a. Pemekaran dari 1 (satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua)

kabupaten/kota atau lebih;

b. Penggabungan beberapa kecamatan yang bersanding pada

wilayah kabupaten/kota yang berbeda;

94

c. Penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu)

kabupaten/kota.

Salah satu perbedaan penting antara kedua peraturan pemerintah

tersebut adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 diatur

tentang batas waktu minimal suatu daerah dapat dimekarkan (lagi) setelah

dimekarkan. Hal ini sangat penting agar suatu daerah dapat menjalankan

roda pemerintahan sebagai daerah yang baru dibentuk. Selengkapnya Pasal

3 berbunyi “Daerah yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a dapat dimekarkan setelah mencapai

batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan 10 (sepuluh) tahun bagi

provinsi dan 7 (tujuh) tahun bagi kabupaten/kota. Hal ini adalah suatu

kemajuan dibandingkan dengan peraturan pemerintah sebelumnya.

Namun demikian, kedua peraturan perundang-undangan di atas

memiliki kesamaan di mana keduanya sangat membuka peluang terjadinya

pemekaran daerah baru. Sebagai akibat dari mudahnya prosedur pemekaran

daerah seperti yang dijelaskan di atas, sampai dengan sekarang (2009) telah

terjadi banyak sekali pemekaran daerah menjadi daerah otonom baru baik

provinsi, kabupaten, maupun kota. Berdasarkan data yang diajukan oleh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato pengantar Rancangan

Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(RAPBN) 2010 dan Nota Keuangan di depan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) tanggal 3 Agustus 2009 diketahui bahwa sejak tahun 1999

sampai dengan 2009 telah terbentuk 205 daerah baru yang terdiri dari 7

provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan demikian, sampai sekarang

(2009), jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 33 provinsi, 389

kabupaten, dan 96 kota.

Apabila ketentuan Pasal 4 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 diteliti,

maka terhadap pengertian pemekaran sebenarnya bukan pemecahan, tetapi

mengandung arti bahwa suatu daerah seharusnya dibesarkan bukan

95

dipacah. Melalui PP No. 129 Tahun 2000 (semasa UU No. 22 Tahun 1999)

dapat diketahui bahwa:

1. Pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu

sebagai Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota;

2. Pemekaran daerah adalah pemekaran wewenang dari Pemerintah

kepada Gubernur sebagai wakil pwemerintah dan/atau perangkat pusat di

daerah;

3. Penggabungan daerah adalah pengaturan daerah yang dihapus kepada

daerah lain.

Pembentukan daerah itu sendiri harus memenuhi syarat administratif

dan fisik kewilayahan (Pasal 5 Ayat (1)). Syarat administrasi untuk Provinsi

meliputi adanya persetujuan DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/ Walikota

yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi. Persetujuan DPRD Provinsi

induk dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri (Pasal 5 Ayat

(2)) adapun untuk Kabupaten/Kota meliputi adanya persetujuan DPRD

Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan. Persetujuan DPRD

Provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri (Ayat 3).

Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah

yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah social budaya,

social politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan keamanan, dan faktor

lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Sementara

syarat fisik meliputi paling sedikit 5 Kabupaten/Kota untuk pembentukan

Provinsi dan paling sedikit 5 Kecamatan untuk pembentukan Kabupaten, 4

kecamatan untuk Kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana

pemerintahan. Sebenarnya yang perlu diperhatikan dalam pembentukan

pemekaran penhapusan dan penggabungan daerah yaitu tujuannya untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui:

a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat;

b. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;

c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;

d. Percepatan pengelolaan potensi daerah;

e. peningkatan keamanan dan ketertiban; dan

96

f. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Untuk itu terlebih dahulu harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. kemampuan ekonomi;

b. potensi daerah;

c. sosial budaya

d. sosial politik;

e. jumlah penduduk;

f. luas daerah;

g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya ekonomi

daerah.

Di bawah ini disajikan data perkembangan jumlah daerah provinsi di

Indonesia melalui pemekaran daerah sejak 1945-2009.263

Daftar Nama dan Jumlah Provinsi di Indonesia Sejak 1945-2009

1. Pada tahun 1945, pemerintah menetapkan Indonesia dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Jumlah provinsi: 8.

2. Antara tahun 1946-1949, terdapat berbagai perubahan wilayah Indonesia karena munculnya negara-negara baru dalam wilayah Indonesia. Pada akhir tahun 1949, ketika Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, RIS terdiri atas 16 negara bagian dan 1 Wilayah Federal Batavia. Keenam belas negara bagian itu adalah: Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur, Riau, Negara Sumatera Selatan, Bangka, Belitung, Negara Pasundan, Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Daerah Istimewa Borneo Barat, Dayak Besar, Federasi Borneo Timur, Daerah Banjar, Borneo Tenggara, dan Negara Indonesia Timur. Jumlah provinsi: 16.

3. Pada awal tahun 1950, muncul gerakan untuk kembali ke negara kesatuan. Akibatnya tiap-tiap negara bagian mulai menyatukan diri satu per satu dengan Republik Indonesia.

263 Data diolah dari http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php/topic,5619.0.html

97

Awal Agustus 1950, RIS hanya terdiri atas 4 negara bagian, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur, Daerah Istimewa Borneo Barat, dan Negara Indonesia Timur. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS dinyatakan bubar dan diganti dengan NKRI, dan ketiga negara bagian selain RI dinyatakan bubar dan dimasukkan ke dalam wilayah NKRI. Pada tahun 1950, Yogyakarta dikeluarkan dari Jawa Tengah menjadi provinsi tersendiri dan diberi status Daerah Istimewa, dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun yang sama, Provinsi Sumatera dipecah menjadi tiga provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Jumlah provinsi: 11.

4. Pada tahun 1953, Provinsi Borneo diganti namanya menjadi Kalimantan. Pada tahun 1956, Provinsi Aceh terbentuk, hasil pemekaran dari Sumatera Utara. Pada akhir tahun 1956, Kalimantan dipecah menjadi tiga provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Jumlah provinsi: 14.

5. Pada tahun 1958, Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi tiga provinsi, yaitu Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Kemudian Provinsi Sunda Kecil juga dipecah menjadi tiga provinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.Jumlah provinsi: 18.

6. Pada tahun 1959, Provinsi Kalimantan Tengah terbentuk, hasil pemekaran dari Kalimantan Selatan. Pada akhir tahun 1959, Provinsi Aceh diberi status Daerah Istimewa, dengan nama Daerah Istimewa Aceh. Jumlah provinsi: 19.

7. Pada tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi dua provinsi, yaitu Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Jumlah provinsi: 20.

8. Pada tahun 1961, Kota Jakarta resmi dikeluarkan dari Jawa Barat dan menjadi provinsi tersendiri dan diberi status Daerah Khusus Ibukota, dengan nama Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Jumlah provinsi: 21.

9. Pada tahun 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan administrasi wilayah Irian Barat kepada Indonesia. Pada tahun 1964, tiga provinsi baru terbentuk, yaitu Lampung (dari Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah (dari Sulawesi Utara), dan Sulawesi Tenggara (dari Sulawesi Selatan). Kemudian, Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya secara resmi ditetapkan sebagai ibukota Republik Indonesia. Jumlah provinsi: 24.

10. Pada tahun 1968, Provinsi Bengkulu terbentuk, hasil pemekaran dari Sumatera Selatan. Jumlah provinsi: 25.

98

11. Pada tahun 1969, setelah diadakan Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera), Irian Barat secara resmi menjadi bagian dari NKRI dan menjadi salah satu provinsi di Indonesia. Pada tahun 1973, Provinsi Irian Barat diubah namanya menjadi Irian Jaya. Jumlah provinsi: 26.

12. Pada akhir tahun 1975, Indonesia menguasai wilayah Timor Timur dan pada tahun 1976, Timor Timur dimasukkan ke dalam wilayah NKRI dan menjadi salah satu provinsi di Indonesia. Jumlah provinsi: 27.

13. Pada tahun 1999, diadakan jajak pendapat (referendum) di Timor Timur dan Timor Timur secara resmi keluar dari NKRI. Tetapi, pada akhir tahun 1999, Provinsi Maluku Utara terbentuk, hasil pemekaran dari Provinsi Maluku. Jumlah provinsi: 27.

14. Pada awal tahun 2000, Provinsi Irian Jaya diganti namanya menjadi Papua. Kemudian pada akhir tahun 2000, Provinsi Banten resmi berdiri, dimekarkan dari Jawa Barat. Jumlah provinsi: 28.

15. Pada tahun 2001, dua provinsi baru resmi berdiri, yaitu Kepulauan Bangka Belitung (dari Sumatera Selatan) dan Gorontalo (dari Sulawesi Utara). Pada tahun yang sama, Daerah Istimewa Aceh diganti namanya menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, dan diberi status Otonomi Khusus. Sama halnya dengan NAD, Provinsi Papua juga diberi status Otonomi Khusus.

Jumlah provinsi: 30. 16. Pada tahun 2003, Provinsi Irian Jaya Barat resmi berdiri, hasil

pemekaran dari Provinsi Papua. Pada tahun 2007, Provinsi Irian Jaya Barat diubah namanya menjadi Papua Barat. Jumlah provinsi: 31.

17. Pada tahun 2004, dua provinsi baru resmi berdiri, yaitu Kepulauan Riau (dari Provinsi Riau) dan Sulawesi Barat (dari Sulawesi Selatan). Jumlah provinsi: 33.

Apabila dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan, jumlah

provinsi dalam sepuluh tahun terakhir meningkat menjadi lebih dari 400%.

Jumlah tersebut mungkin akan bertambah banyak seiring dengan keinginan

banyak pihak yang masih menginginkan pemekaran daerahnya. Jumlah

tersebut juga belum termasuk kabupaten/kota, kecamatan, atau

kelurahan/desa yang juga mengalami pemekaran. Dengan semakin

bertambahnya jumlah daerah baru tersebut tentu akan membebani

anggaran negara dan semakin mengurangi alokasi untuk mewujudkan

kesejahteraan rakyat karena APBN/APBD akan lebih banyak dialokasikan

99

dan tersedot untuk daerah-daerah baru tersebut. Anggaran tersebut

misalnya untuk alokasi pembangunan infrastruktur baru, gedung baru, gaji

pejabat baru, tunjangan jabatan pejabat baru, pakaian dinas baru,

kendaraan baru, dan sebagainya.

Dengan demikian, tujuan utama untuk membentuk daerah baru dalam

upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik juga

menjadi persoalan yang tidak mudah untuk diwujudkan. Pada kenyataannya,

masyarakat tetap saja merasakan tidak adanya peningkatan kesejahteraan

maupun pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah barunya. Bahkan

keadaan yang lebih parah dapat terjadi di daerah baru tersebut

dibandingkan dengan pada waktu masih menginduk kepada daerah

induknya. Hal itu terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan daerah yang

baru belum memiliki pengalaman yang memadai dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat maupun menjalankan roda pemerintahan.

Selain itu, keterbatasan sarana dan prasarana atau infrastruktur juga dapat

menjadi penyebab terbatasnya pelayanan publik sebagaimana mestinya.

Di lain pihak, untuk mengerem terjadinya pemekaran daerah, secara

konseptual dan yuridis formal pemerintah sudah mencoba melakukan upaya

tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008

Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah tersebut sebagai pelaksanaan perintah Pasal 6 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk mengevaluasi keberadaan

daerah, termasuk daerah baru hasil pemekaran, apakah mampu atau tidak

menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam hal ini, untuk daerah tertentu

yang dianggap tidak mampu dimungkinkan untuk dihapuskan atau

digabungkan dengan daerah lain. Akan tetapi, penghapusan dan

penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi

terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

Di dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan

alasan pentingnya dilakukan evaluasi terhadap suatu daerah sebagai

berikut:

100

”... Pemerintah berkewajiban mengevaluasi kinerja pemerintahan daerah ... untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah dengan capaian keluaran dan hasil yang telah direncanakan. Tujuan utama dilaksanakannya evaluasi, adalah untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya peningkatan kinerja untuk mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik...”.

Namun tampaknya peraturan pemerintah tersebut belum optimal

dijalankan mengingat sampai saat ini tidak diperoleh data yang terbuka

untuk umum tentang hasil evaluasi yang dilakukan oleh Tim Nasional

Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam mengevaluasi

daerah-daerah baru hasil pemekaran. Selain itu, sampai saat ini juga belum

ada data yang menunjukkan bahwa ada daerah tertentu yang sudah

dihapuskan atau digabungkan dengan daerah lainnya karena dianggap tidak

mampu menjalankan otonomi daerah. Padahal, secara faktual banyak sekali

daerah, terutama daerah baru, yang tidak mampu menjalankan

pemerintahannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

ataupun tujuan awal pembentukannya yaitu meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, pelayanan umum, maupun daya saing daerah.

C. Hubungan Keuangan

UU No. 33 Tahun 2004 menitikberatkan pada pengaturan perimbangan

keuangan pusat-daerah. Namun demikian, pengaturan tersebut tidak

terlepas dari pendapatan daerah untuk membiayai urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangannya. Dalam bagian ini yang akan dibahas adalah

pendapatan daerah, khususnya PAD dan dana perimbangan (tidak

termasuk mengenai dana otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi

Papua dan Aceh), serta pembiayaan berupa pinjaman daerah,

UU No. 33 Tahun 2004, memperbaiki sistem perimbangan keuangan

pusat – daerah yang diatur sebelumnya dalam UU No. 25 Tahun 1999.

Dalam hal jenis dana perimbangan terdapat istilah baru untuk menyebut

101

dana perimbangan yang berasal dari pembagian pajak dan sumber daya

alam. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, dana tersebut disebut sebagai Bagian

Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan264. Sementara itu dalam UU No. 33 Tahun 2004,

istilah dana tersebut diubah menjadi dana bagi hasil (DBH). Perubahan

tersebut, tidak hanya sekedar penggantian istilah, namun juga ditambah

dengan perubahan asal dana yang dibagi, yaitu dalam hal jenis pajak265.

Khusus mengenai dana perimbangan lainnya, istilah dan substansinya tetap

dipertahankan dalam UU No. 33 Tahun 2004, yaitu dana alokasi umum

(DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), namun berbeda dari segi

formulanya. Mengenai DBH, DAU dan DAK akan dibahas selanjutnya.

Walaupun inti dari hubungan keuangan pusat daerah adalah

perimbangan keuangan, namun hubungan keuangan pusat-daerah juga

berkaitan dengan pembiayaan urusan pusat yang diselenggarakan oleh

pemerintahan daerah dan oleh aparat pusat yang juga unsur pemerintah

daerah. Hal ini disebabkan UU No. 33 Tahun 2004, tidak hanya mengatur

dana perimbangan dalam rangka desentralisasi, melainkan juga dana tugas

pembantuan dan dana dekonsentrasi. Namun demikian, dalam penelitian ini

tidak dibahas mengenai dana tugas pembantuan dan dekonsentrasi karena

memerlukan penelitian tersendiri yang lebih mendetail.

1. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi

daerah; hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan lain-lain

PAD yang sah.266 Walaupun daerah diberikan kewenangan untuk

meningkatkan PAD, namun daerah dilarang menetapkan peraturan daerah

(Perda) tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan

menetapkan Perda tentang pendapatan yang menghambat mobilitas

264 Lihat Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No.22 Tahun 1999. 265 Dalam UU No. 33 Tahun 2004, PPh tertentu juga menjadi DBH, sementara dalam UU No. 25 Tahun 2002, PPh tidak dijadikan pajak yang dibagi ke daerah. 266 Pasal 6 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004.

102

penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan

impor/ekspor.267

Dalam UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah merupakan UU yang penting di bidang ini, karena menggantikan UU

sebelumnya yang telah berlaku dalam waktu yang cukup lama (Undang-

Undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan umum Pajak Daerah

dan Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum

Retribusi Daerah).

UU No. 18 Tahun 1997 mengatur kewenangan daerah untuk

memungut 3 pajak daerah untuk provinsi, 7 pajak daerah untuk kabupaten/

kota, dan 3 golongan retribusi daerah.268 Dalam PP No. 20 Tahun 1997,

ditentukan 11 jenis dari golongan retribusi jasa umum, 12 jenis untuk

golongan retribusi jasa usaha, dan 6 jenis golongan retribusi perizinan

tertentu.

Setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, UU N0.18 Tahun 1997

diubah untuk disesuikan, dan lahirlah perubahan pertama dari UU tersebut

(UU No. 34 Tahun 2000). UU No. 34 Tahun 2000 menambahkan 1 jenis

pajak daerah untuk provinsi dan 1 jenis untuk pajak daerah kabupaten/ kota.

Sementara itu, pengaturan mengenai retribusi daerah diatur dalam PP No.66

Tahun 2001 (menggantikan PP No. 20 Tahun 1997) dan ditentukan 10 jenis

dari golongan jasa retribusi umum, 13 jenis untuk golongan retribusi jasa

usaha, dan 4 jenis golongan retribusi perizinan tertentu yang menjadi

kewenangan pemerintahan daerah.

UU No. 18 Tahun 1997 dan UU No. 34 Tahun 2000 sama-sama

mengatur bahwa selain jenis pajak daerah yang telah ditentukan dapat

ditambahkan jenis pajak daerah lain berdasarkan kriteria yang ditentukan UU

tersebut (sistem terbuka). Perbedaannya, UU No 18 Tahun 1997 mengatur

267 Pasal 7 UU No. 33 Tahun 2004. 268 UU No.18 Tahun 1997 tidak mengatur jenis-jenis retribusi daerah seperti halnya pajak daerah. Jenis-jenis retribusi daerah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1997.

103

bahwa penambahan jenis pajak daerah tersebut ditetapkan dalam PP269,

sementara dalam UU No. 34 Tahun 2000, penambahan tersebut ditetapkan

dengan peraturan daerah.270

Dalam hal retribusi daerah, PP No. 20 Tahun 1997 tidak memberikan

kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis retribusi lain selain

yang ditetapkan dalam PP tersebut (sistem tertutup). Sementara itu, PP

No.66 Tahun 2001 menentukan bahwa daerah dapat mengatur jenis retribusi

daerah selain yang ditentukan dalam kedua PP tersebut dengan kriteria yang

ditentukan dalam UU No. 34 Tahun 2000 (sistem terbuka). Penambahan

jenis retribusi daerah ditetapkan dalam bentuk Perda.

Perbedaan pengaturan di atas mencerminkan bahwa UU No. 18

Tahun 1997 dan PP No. 20 Tahun 1997 memberikan kewenangan untuk

menambahkan jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah kepada

pemerintah pusat, sementara UU No. 34 Tahun 2000 dan PP No. 66 Tahun

2001, memberikan kewenangan tersebut kepada pemerintahan daerah.

Dengan demikian, ketentuan dalam UU No. 34 Tahun 2000 dan PP No. 66

Tahun 2001, memberikan otonomi yang lebih luas dibandingkan UU No. 18

Tahun 1997 dan PP No. 20 Tahun 1997 dalam menentukan jenis-jenis pajak

daerah dan retribusi daerah.

Menggantikan UU sebelumnya, UU No. 28 Tahun 2009 mulai

diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010.271 Berbeda dengan dengan UU

No. 18 Tahun 1997 dan perubahan pertamanya (UU No. 34 Tahun 2000),

UU No. 28 Tahun 2009, mengatur jenis pajak daerah sistem daftar

tertutup272. Artinya, daerah tidak dapat memungut pajak daerah selain yang

ditentukan dalam UU tersebut.

269 Lihat Pasal 2 ayat (3) UU No. 18 Tahun 1997. 270 Lihat Pasal 2 ayat (4) UU No. 34 Tahun 2000. 271 Lihat Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009. 272 Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa (4/8) mengatakan: ”Sistem yang ditetapkan bersifat daftar tertutup, artinya daerah hanya diperbolehkan memungut pajak dan retribusi sesuai undang-undang ini sehingga tidak ada lagi daerah yang perlu mengubah, mencari, atau berkreasi yang tidak baik dalam arti mencari-cari penghasilan asli daerah,” “Pajak Daerah Dibatasi,

104

UU No. 28 Tahun 2009 juga menambahkan jenis pajak daerah baru,

masing –masing 1 untuk provinsi (pajak rokok) dan 3 untuk kabupaten/ kota

(pajak sarang burung wallet, PBB pedesan dan perkotaan serta BPHTB).273

Sebelumnya, semua PBB, termasuk PBB pedesaan dan perkotaan menjadi

kewenangan pusat, BPHTB. Walaupun tidak semua jenis PBB diberikan

kewenangan kepada daerah, namun hal ini merupakan satu kemajuan dalam

hal kewenangan daerah memungut pajak. Padahal jika dibandingkan dengan

negara-negara asia tenggara lainnya, seperti Filipina, Thailand, Malaysia

PBB atau secara umum dikenal sebagai property tax sudah diberikan

kewenangannya kepada daerah sejak lama.274

Pungutan atas usaha rokok sebelumnya, hanya dikenal pungutan

cukai rokok, sementara dalam UU No. 28 Tahun 2009, selain cukai rokok

yang menjadi kewenangan provinsi, cukai rokok pun tetap diberlakukan dan

tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pajak rokok sebagai pajak

daerah baru ditentukan untuk dipungut instansi pemerintah yang berwenang

memungut cukai bersamaan pungutan cukai rokok.275 Pajak rokok ini baru

berlaku 1 Januari 2014.276

Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai rokok yang ditetapkan

pemetintah terhadap rokok dan tarif pajak rokok ditentukan sebesar 10% dari

cukai rokok.277 Hasil penerimaan pajak tersebut juga merupakan objek

pembagian antara kabupaten/ kota dan provinsi. Hasil penerimaan pajak

tersebut sebesar 70% dialokasikan untuk kabupaten/kota278, sehingga

provinsi menerima sisanya (30%). Sementara itu, pajak sarang burung walet

Pelayanan kepada Masyarakat Wajib Ditingkatkan”, Kompas, Rabu, 5 Agustus 2009, diakses dari http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/05/04112298/pajak.daerah.dibatasi. 273 Ibid. 274 Filipina memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut the real property tax sejak diundangkannya Local Government Act 1959, sementara Thailand memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut a single property based tax (1999). Malaysia juga memberikan kewenangan yang sama kepada daerah (berupa property tax) sejak diundangkannya Local Government Act 1976 (Act No. 171). Lihat, Larry Schroeder, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003, hlm. 392, 393, 402, 405. 275 Pasal 27 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009. 276 Pasal 181 UU No. 28 Tahun 2009. 277 Lihat Pasal 28 dan Pasal 29 UU No. 28 Tahun 2009. 278 Pasal 94 ayat (1) huruf c UU No. 28 Tahun 2009.

105

merupakan pajak daerah yang dipungut bagi daerah-daerah yang memiliki

sumber daya tersebut dengan tarif maksimal 10 %.279

Selain penambahan jenis pajak baru, UU No. 28 Tahun 2009 juga

mengubah beberapa pengaturan pajak daerah yang sebelumnya telah ada

dalam UU sebelumnya. Pertama, pajak kendaraan bermotor menggunakan

tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya

dengan tarif 2% sampai maksimal 10% di mana ketentuan progresivitasnya

ditentukan oleh Perda provinsi, kepemilikan pertama ditetapkan tariff minimal

1% dan maksimal 2%.280 Kedua, tarif pajak bahan bakar kendaraan

bermotor ditetapkan maksimal 10%281, namun tarif pajak untuk kendaraan

umum dapat ditentukan 50% lebih rendah dari tarif kendaraan pribadi.282 Bila

terjadi kenaikan harga tinggi atas BBM, pemerintah pusat dapat mengubah

besaran tarif Perda melalui Perpres.283 Ketiga, Pajak Pengambilan dan

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang semula merupakan

kewenangan Provinsi, digantikan istilahnya dengan pajak pengambilan dan

pemanfatan air tanah dan air permukaan. Tidak sekedar menggantikan

nomenklatur, UU tersebut juga menentukan bahwa pajak air tanah menjadi

pajak daerah kabupaten/kota, sementara pajak air permukaan menjadi pajak

daerah provinsi,284 dan air permukaan yang hanya di satu kabupaten/kota

berlaku aturan khusus.285 Keempat, ada beberapa jenis pajak daerah yang

sudah ada, basis pajaknya (tax base) diperluas, yaitu, Pajak Kendaraan

Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga

mencakup kendaraan Pemerintah,286 Pajak Hotel diperluas hingga

279 Pasal 75 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009. 280 Pasal 6 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009. 281 Pasal19 ayat(1) UU No. 28 Tahun 2009. 282 Pasal19 ayat(2) UU No. 28 Tahun 2009. 283 Pasal19 ayat(3) UU No. 28 Tahun 2009. 284 Lihat Pasal 2 ayat(1) huruf d, dan Pasal 2 ayat (2) huruf h UU No. 28 Tahun 2009. 285 Hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen). Lihat Pasal 94 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009. 286 Tarif pajak Kendaraan pemerintah (termasuk TNI/POLRI, dan Pemerintah Daerah) bersama Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan

106

mencakup seluruh persewaan di hotel,287 Pajak Restoran diperluas hingga

mencakup pelayanan katering,288 tarif Pajak Hiburan untuk hiburan – hiburan

tertentu dinaikkan hingga mencapai tariff maksimal 75%.289 Kelima, ada

beberapa jenis pajak yang hasil penerimaan ditentukan penggunaannya,

yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (minimal 10% dari hasi penerimaan pajak

ini untuk belanja infrastruktur jalan (pembangunan dan/atau pemeliharaan

jalan) serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum di

daerahnya)290; Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian

kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk

mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh

aparat yang berwenang291; dan Pajak Penerangan Jalan juga sebagian

dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.292

2. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil

Komponen DBH dalam UU No. 33 Tahun 2004 terdiri pembagian

beberapa jenis pajak (pusat) dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Pajak

pusat yang menjadi sumber DBH dari pajak adalah dari pajak bumi dan

bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi

Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.293 Hal tersebut berbeda dengan Bagian

Perda, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% dan paling tinggi sebesar 1%. Lihat Pasal 6 ayat(3) UU No. 28 Tahun 2009. 287 Pengertian hotel menjadi diperluas menjadi: fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata,pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Lihat Pasal 1 angka 21 UU No. 28 Tahun 2009. 288 Pengertian restoran dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 28 Tahun 2009 juga mencakup jasa boga/katering. 289 Jenis hiburan yang dimaksud yaitu: pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa . Lihat Pasal 45 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009. 290 Lihat Pasal 8 ayat (5) UU No. 28 Tahun 2009. 291 Pasal 31 UU No. 28 Tahun 2009. 292 Pasal 56 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009. 293 Pasal 11 ayat (2) UU No.33 Tahun 2004.

107

Daerah atas pajak dalam UU No. 22 Tahun 1999, yang tidak mencantumkan

PPh sebagai salah satu sumber bagian daerah atas pajak.

DBH dari penerimaan sumber daya alam (DBH-SDA) berasal dari 6

bidang sumber daya alam yang menjadi sumber yaitu: kehutanan,

pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,

pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.294 Hal ini juga

berbeda dengan bidang –bidang sumber daya alam yang menjadi sumber

Bagian Daerah atas sumber daya alam dalam UU No.22 Tahun 1999 yang

tidak mencantumkan bidang pertambangan panas bumi. Dengan demikian,

jika dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999, maka UU No. 33 Tahun

2004 menambah penerimaan pusat atas bidang sumber daya alam yang

dibagi ke daerah.

Dalam DBH pajak ada dua hal yang penting, yaitu: mengenai

prosentase alokasi DBH dari sektor pajak, serta persentase pembagian DBH

antara satuan pemerintahan daerah. Pengaturan persentase perimbangan

alokasi DBH PBB dan BPHTB antara pusat dan daerah adalah 10 % : 90 %

untuk DBH PBB dan 20% : 80 % untuk DBH BPHTB. Sementara itu, 10%

(sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada

seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi

penerimaan PBB tahun anggaran berjalan. Dari persentase 10 % bagian

pusat dengan imbangan di atas maka persentase riil yang dibagi adalah

6,5% untuk seluruh kabupaten/kota yang dibagikan secara merata, dan

3,5% yang dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan/kota.

Penerimaan insentif tersebut diberikan kepada kabupaten/ kota yang

realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan pada tahun

anggaran sebelumnya, mencapai/melampaui rencana penerimaan yang

ditetapkan. 295

294 Pasal 11 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004. 295 Lihat Pasal 6 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2005.

108

Sementara itu, DBH dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80%

(delapan puluh persen)296, sementara 20% (dua puluh persen) bagian

Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama

besar untuk seluruh kabupaten dan kota.297

Dari pengaturan di atas, walauapun pada awalnya terdapat

perimbangan alokasi DBH antara pusat dan daerah, namun berujung pada

pengalokasian DBH dari penerimaan PBB dan BPHTB 100 % pada daerah.

Dengan demikian, pendapatan negara dari penerimaan PBB dan BPHTB

dibagi habis kepada daerah dengan persentase di atas.

Berbeda dengan DBH dari PBB dan BPHTB yang dibagi habis pada

daerah, alokasi DBH dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib

Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 hanya 20 % yang

menjadi bagian daerah.298 Dengan demikian, 80 % penerimaan PPh di atas

menjadi bagian pusat.

Dari 20 % bagian daerah di atas, dibagi dengan imbangan 60% (enam

puluh persen) untuk kabupaten/kota dan 40% (empat puluh persen) untuk

provinsi. Dengan demikian, provinsi mendapatkan bagian sebesar 8 % dan

kabupaten/ kota di provinsi bersangkutan mendapatkan 12 % dari bagian

daerah.299

Sementara itu, penerimaan 6 bidang SDA yang dibagi dengan daerah

dilakukan dengan memberikan persentase tertentu yang sifatnya tetap.

Untuk penerimaan kehutanan, terdapat dua macam sub bidang penerimaan

yang dibagi yaitu penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Provisi

Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi. Persentase pembagian

IHPH dan PSDH yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan

adalah 20 % untuk pusat dan 80 % untuk daerah.300 Sementara itu,

penerimaan kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan

296 Lihat Pasal 13 ayat (4) UU No.33 Tahun 2004. 297 Pasal 12 ayat (5) UU No. 33 Tahun 2004. 298 Lihat Pasal 13 ayat (1) UU No, 33 Tahun 2004. 299 Lihat Pasal 8 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2005. 300 Lihat Pasal 14 huruf a UU No. 33 Tahun 2004.

109

imbangan sebesar 60% untuk pusat dan 40% untuk daerah,301 untuk

mendanai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.302

Penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan dari wilayah

daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh

persen) untuk pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.303

Sementara itu, persentase pembagian Penerimaan Perikanan yang diterima

secara nasional juga sama (20% : 80%), namun 80 % bagian daerah hanya

diperuntukkan bagi seluruh kabupaten/kota, tidak kepada provinsi.304

Penerimaan Perikanan tersebut terdiri atas Penerimaan Pungutan

Pengusahaan Perikanan; dan Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan305 dan

dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota di seluruh

Indonesia.306

Penerimaan Pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah

daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan

lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan

imbangan:307 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk

Pemerintah; dan 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah.

Sementara itu, penerimaan dari pertambangan gas bumi dibagi

dengan imbangan:308 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk

pemerintah; dan 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk daerah. Bagi

DBH yang berasal dari penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas

bumi, UU No. 33 Tahun 2004 mengatur bahwa sebesar 0,5% dialokasikan

untuk menambah anggaran pendidikan dasar.309

301 Lihat Pasal14 huruf b UU No.33 Tahun 2004. 302 Lihat Pasal 16 huruf b UU No. 33 Tahun 2004. 303 Lihat Pasal 14 huruf c UU No.33 Tahun 2004. 304 Lihat Pasal14 huruf d UU No.33 Tahun 2004. 305 Lihat Pasal 18 ayat (1) UU No.33 Tahun 2004. 306 Lihat Pasal 18 ayat (2) UU No.33 Tahun 2004. 307 Lihat Pasal14 huruf e UU No.33 Tahun 2004. 308 Lihat Pasal14 huruf f UU No.33 Tahun 2004. 309 Lihat Pasal 20 ayat (1)

110

Jika ketentuan peruntukkan untuk alokasi pendidikan dasar tersebut

dilanggar, UU No. 33 Tahun 2004 mengatur sanksi administrasi berupa

pemotongan atas penyaluran DBH minyak bumi dan gas bumi.310

Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang

bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang

terdiri atas:311 Setoran Bagian Pemerintah; dan, Iuran tetap dan iuran

produksi. Penerimaan tersebut dibagi dengan imbangan 20% untuk pusat

dan 80% untuk daerah.312 20% DBH tersebut dibagi dengan rincian:313 16%

(enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; 32% (tiga puluh dua

persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan 32% (tiga puluh dua persen)

untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.314

b. Dana Alokasi Umum DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah

duntuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi.315 Presentase keseluruhan dana tersebut sekurang-

kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto316 yang ditetapkan

dalam APBN.317 Istilah “sekurang-kurangnya”, berkaitan dengan

kemungkinan bertambahnya presentase DAU jika terdapat kelebihan

penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi yang ditetapkan dalam

APBN Perubahanyang dialokasikan sebagai DAU tambahan318 berdasarkan

formula DAU atas dasar celah fiskal.319 Jika dibandingkan dengan UU No.

310 Lihat Pasal 25 UU No. 33 Tahun 2004. 311 Lihat Pasal 21 ayat (1) UU No.33 Tahun 2004. 312 Lihat Pasal14 huruf g UU No.33 Tahun 2004. 313 Lihat Pasal 21 ayat (2) UU No.33 Tahun 2004. 314 dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Lihat Pasal 21 ayat (3) UU No.33 Tahun 2004. 315 Pasal 1 angka 21 UU No.33 Tahun 2004. 316 Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah Penerimaan Negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan Penerimaan Negara yang dibagihasilkan kepada Daerah. Lihat Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 317 Pasal 27 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 318 Lihat Pasal 47 ayat (1) PP No. 55 Tahun 2005. 319 Lihat Pasal 47 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2005.

111

25 Tahun 1999 yang hanya mengatur jumlah DAU sebesar 25 % dengan

formula yang hampir sama, presentase DAU berdasarkan UU No. 33 Tahun

2004 lebih besar.320

DAU pada dasarnya yang dialokasikan untuk suatu daerah

dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar.321 UU No. 33 Tahun

2004 menentukan bahwa formula menentukan celah fiskal adalah kebutuhan

fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah.322 Sementara itu, alokasi

dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah

(PNSD).323 Dengan demikian, jumlah DAU yang diterima setiap daerah

adalah celah fiskal ditambah alokasi dasar.

Sebagaimana disinggung di atas bahwa, celah fiskal merupakan

kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal yang

merupakan kebutuhan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan

fungsi layanan dasar umum324, diukur secara berturut-turut dengan jumlah

penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Produk

Domestik Regional Bruto (PDB) per kapita, dan Indeks Pembangunan

Manusia (IPM).325 Sementara itu, Kapasitas fiskal Daerah merupakan

sumber pendanaan Daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil.326

Dari pengaturan tersebut, terlihat bahwa formula penentuan celah fiskal,

khususnya formula penghitungan kebutuhan fiskal lebih rumit, jika

dibandingkan dengan penghitungan alokasi dasar yang hanya didasarkan

pada gaji PNSD. Apalagi ditentukan juga bahwa proporsi DAU antara daerah

provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan

antara provinsi dan kabupaten/kota.327

320 Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1999 diatur bahwa “Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN”. 321 Pasal 27 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 322 Pasal 27 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004. 323 Pasal 27 ayat (4) UU No. 33 Tahun 2004. 324 Pasal 28 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 325 Pasal 28 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 326 Pasal 28 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004. 327 Pasal 29 UU No. 33 Tahun 2004.

112

Besarnya jumlah celah fiskal akan mempengaruhi jumlah alokasi DAU

yang diperoleh suatu daerah. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama

dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar.328 Sementara itu, daerah

yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil

dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi

nilai celah fiskal.329 Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai

negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima

DAU.330

c. Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari

pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan

untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah

dan sesuai dengan prioritas nasional.331 Berbeda dengan dana perimbangan

lainnya, DAK tidak ditentukan berdasarkan presentase tertentu. Besaran

DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.332 Hal ini disebabkan DAK

dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus sesuai

dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN333 yang merupakan urusan

daerah.334

Daerah penerima DAK juga ditentukan wajib menyediakan Dana

Pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK335. Hal ini dapat

dimengerti karena pada dasarnya urusan pemerintahan yang dibiayai DAK

merupakan kewenangan daerah. Namun demikian, daerah dengan

kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.

3. Pinjaman Daerah

328 Pasal 32 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 329 Pasal 32 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 330 Pasal 32 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004. 331 Lihat Pasal 1 angka 23 UU No. 33 Tahun 2004. 332 Pasal 38 UU No. 33 Tahun 2004. 333 Pasal 39 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 334 Pasal 39 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 335 Pasal 41 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004.

113

Salah satu sumber pembiayaan daerah (untuk menutupi defisit

anggaran) yang diandalkan adalah melalui pinjaman daerah. UU No. 33

Tahun 2004 mengatur sejumlah ketentuan mengenai kewenangan

pemerintahan daerah untuk melakukan pinjaman (daerah), termasuk

kewenangan yang tetap dimiliki oleh pusat, dalam 6 batas pinjaman,

prosedur pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman,

penggunaan pinjaman, persyaratan pinjaman.

Mengenai batas pinjaman, pemerintah pusat menetapkan batas

maksimal kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah

dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan

perekonomian nasional.336 Batas maksimal kumulatif pinjaman tidak melebihi

60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun

bersangkutan.337 Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif

pinjaman Pemerintah Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya bulan

Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.338

Namun demikian, yang paling penting dalam hal ini, bahwa daerah

tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.339 Jika

daerah melakuan pelanggaran terhadap ketentuan, maka akan dikenakan

sanksi administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan atas

penyaluran dana perimbangan oleh Menteri Keuangan.340 Hal ini berkaitan

dengan pengaturan mengenai prosedur pinjaman daerah, di mana

pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang

dananya berasal dari luar negeri.341 Pinjaman kepada pemerintah daerah

dilakukan melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada pemerintah

daerah.342 Perjanjian penerusan pinjaman dilakukan antara Menteri

Keuangan dan Kepala Daerah dan dapat dinyatakan dalam mata uang

336 Pasal 49 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 337 Pasal 49 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 338 Pasal 49 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004. 339 Pasal 50 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 340 Pasal 50 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 341 Pasal 56 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 342 Pasal 56 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004.

114

Rupiah atau mata uang asing.343 Daerah memang tidak diberikan

kewenangan untuk melakukan pinjaman luar negeri, namun daerah secara

tidak langsung juga dapat melakukan pinjaman luar negeri melalui

penerusan pinjaman oleh pemerintah pusat.

C. Hubungan Pengawasan Pengawasan oleh Pusat terhadap Daerah ternyata secara yuridis-

historis telah dilakukan sejak bangsa Indonesia memulai kehidupan

bernegaranya sebagai bangsa yang merdeka. Undang-Undang Dasar 1945

sebagai konstitusi negara sejak awal telah meletakkan dasar-dasar berpikir

tentang keberadaan pengawasan Pusat terhadap Daerah. Memang,

ketentuan tentang pengawasan Pusat terhadap Daerah menurut UUD 1945

secara normatif-eksplisit tidak diatur di dalam UUD 1945. Akan tetapi

landasan berpikirnya dapat ditelusuri paling dari 2 (dua) hal, yaitu:

1. Pembukaan UUD 1945 (Alinea Keempat); dan Batang Tubuh UUD 1945

Di dalam Pembukaan UUD 1945, landasan berpikir tentang

pengawasan Pusat terhadap Daerah dapat ditelusuri di dalam Alinea

Keempat UUD 1945. Rumusan alinea keempat itu adalah:

”Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan

sosial, maka disusunlah kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-

Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan

Negara Republik Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan Kerakyatan

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan

343 Pasal 56 ayat (3) dan (4) UU No. 33 Tahun 2004.

115

/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.”

Untuk mengkaji dasar pemikiran pengawasan Pusat terhadap Daerah

menurut batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu dipilah

materi hukum Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan dilakukan

(Naskah Asli), dan materi hukum Undang-Undang Dasar 1945 setelah

perubahan dilakukan. Ini disebabkan, pasal-pasal yang mengatur tentang

pemerintahan daerah di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam beberapa

ketentuan sudah mengalami perubahan. Untuk itu, kajian tentang dasar

pengawasan Pusat terhadap Daerah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori.

Pertama, menurut Batang Tubuh UUD 1945 Sebelum Perubahan.

Terdapat ada 1 (satu) pasal yang memungkinkan untuk dikaji, yaitu Pasal 18.

Pasal 18 UUD 1945 ini dirumuskan sebagai berikut :

“Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa”.

Kedua, menurut Batang Tubuh UUD 1945 Setelah Perubahan. Dasar

pemikiran tentang pengawasan Pusat terhadap Daerah menurut batang

tubuh UUD 1945 setelah perubahan, dapat dikaji dari beberapa pasal dan

ayat. Dikatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas

daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan

kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.344 Pemerintahan

daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota yang dimaksud tersebut

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan.345 Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ini, kiranya dapat

dikemukakan pertama, bahwa penggunaan istilah “dibagi atas” menurut

Jimly Asshiddiqie, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hubungan antara

344 Pasal 18 ayat (1) Perubahan kedua UUD 1945 345 Pasal 18 ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945

116

pemerintah pusat dan daerah bersifat hirarkis dan vertikal. Hal ini dianggap

perlu ditegaskan karena adanya penafsiran yang timbul akibat penerapan

kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang

mengembangkan pola hubungan antara pusat dan daerah serta hubungan

antara daerah yang dipahami bersifat horizontal.346 Kedua, bahwa tiap-tiap

satuan pemerintahan daerah itu oleh UUD 1945 diberi kewenangan untuk

mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan. Ada beberapa ayat yang penting untuk

diidentifikasikan sehubungan dengan dasar pengawasan Pusat terhadap

Daerah. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

pemerintah pusat.347 Untuk menjalankan urusan yang diberikan itu,

Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan,348 yang

susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam

undang-undang.349 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat

ditarik beberapa pengertian bahwa pertama, pemerintahan daerah memiliki

hak untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan;

kedua, tetapi pelaksanaan otonomi itu dibatasi oleh 2 (dua) hal, yaitu karena

bukan urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai

urusan pemerintah pusat dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan

daerahnya diatur oleh undang-undang. Ketiga, peraturan daerah merupakan

merupakan instrumen hukum yang dibentuk oleh pemerintahan daerah

dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.

Keempat, dengan memahami logika hukum pernyataan pertama dan

kedua,dapat dikemukakan bahwa ternyata secara konstitusional terdapat

pembatasan-pembatasan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

daerah berdasarkan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dan tugas 346 Lihat, Jimly Ashiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH. UI, Jakarta, 2002, hlm. 21 347 Pasal 18 ayat (5) Perubahan kedua UUD 1945 348 Pasal 18 ayat (6) Perubahan kedua UUD 1945 349 Pasal 18 ayat (7) Perubahan kedua UUD 1945

117

pembantuan. Pembatasan-pembatasan tersebut dimaksudkan agar Daerah

tidak mengatur urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan

sebagai urusan pemerintah pusat. Untuk kepentingan itulah, maka dalam

rangka penegakan ketentuan hukum ini, lembaga ’pengawasan’ Pusat

terhadap Daerah dipandang perlu keberadaannya. Tujuannya tidak lain

adalah dalam rangka mencegah atau menanggulangi terjadinya

penyimpangan-penyimpangan wewenang oleh Daerah berkenaan dengan

implementasi kebijakannya untuk mengatur urusan rumah tangga

Daerahnya.

Selain beberapa ketentuan di atas, yang dapat dicermati adalah

dalam Pasal 18A adalah bahwa tidak tercantum secara eksplisit ketentuan

yang mengatur tentang pengawasan Pusat terhadap Daerah. Akan tetapi,

dengan memahami materi hubungan wewenang antara Pusat dan Daerah,

maka akan dapat diperoleh petunjuk bahwa lembaga ’pengawasan’ ternyata

juga memperoleh dasar pemikiran dalam pasal ini. Hubungan wewenang

antara Pusat dan Daerah dengan memperhatikan kekhususan dan

keragaman masing-masing daerah diatur dengan Undang-undang.

Kekhususan dan keragaman dimaksudkan yang ada pada masing-masing

daerah.350 Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan

sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara Pusat dengan Daerah

juga diatur dengan Undang-Undang.351

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai Undang-Undang

organik Pasal 18A UUD 1945, ternyata telah mengatur hubungan wewenang

antara Pusat dan Daerah, termasuk wewenang pembinaan dan pengawasan

Pusat terhadap Daerah dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan

daerah.

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

350 Pasal 18 A ayat (1) Perubahan kedua UUD 1945. 351 Pasal 18 A ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945.

118

Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah pada

dasarnya merupakan kewenangan pemerintah pusat yakni mencakup

beberapa hal.

Pertama, pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di

daerah. Pasal 222 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa

pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara

nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pembinaan dan

pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut untuk

kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur.352 Pembinaan dan

pengawasan penyelenggaraan desa dikoordinasikan oleh bupati/walikota.353

Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan tersebutdapat

melimpahkan pada camat.354

Kedua, pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala

daerah. Ketentuan pengawasan oleh Gubernur juga tersirat dalam ketentuan

mengenai penyusunan APBD kabupaten dan kota.355 Dikatakan bahwa

Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui

bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran

APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari

disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan

oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari

terhitung sejak diterimanya rancangan Perda kabupaten/kota dan rancangan

Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD tersebut. Apabila

Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan

rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sudah

sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi

Perda dan Peraturan Bupati/Walikota. Apabila Gubernur menyatakan hasil

evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan

352 Pasal 222 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 353 Pasal 222 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 354 Pasal 222 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 355 Pasal 186 UU No. 32 Tahun 2004

119

Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan

umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota

bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak

diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh

Bupati/Walikota dan DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan

rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota

tentang Penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota,

Gubernur membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud

sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya. Gubernur

menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota tentang

APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang APBD dan

rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada

Menteri Dalam Negeri.

Berdasarkan Pasal 186 ini, Gubernur memiliki wewenang untuk

melakukan pengawasan terhadap rancangan APBD maupun setelah APBD

tersebut disahkan oleh kabupaten dan kota. Jika pasal dihubungkan dengan

Pasal 222, ternyata Gubernur tidak hanya melakukan koordinasi tapi juga

memiliki wewenang untuk melakukan tindakan hukum terhadap rancangan

Perda APBD dan Perda APBD. Jadi dapat dikatakan, puncaknya adalah

pemberitahuan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri mengenai

tindak lanjut hasil pengawasan. Lebih lanjut dapat dikemukakan mengenai

model-model pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan

pemerintahan daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004. Tabel 3

Model-Model Pengawasan dan Pengendalian Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004

NO

UMUM

PREVENTIF

REPRESIF

KETERANGAN

1 Penetapan urusan

pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah (Pasal-pasal 10, 11, 12, 13 dan 14).

Ditetapkan oleh UU

2 Penentuan adanya Ditetapkan oleh

120

tugas, wewenang, kewajiban dan larangan bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dan DPRD.

UU

3 Pedoman tentang susunan organisasi perangkat daerah dan formasi serta persyaratan jabatan perangkat daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam PP dan berbagai peraturan perundang-undangan

Pasal 128

4 Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada kabupaten/kota perlu berkonsultasi dengan Gubernur

Pasal 130

5 Perpindahan PNS antar kabupaten/kota dalam, antar provinsi, dan dari provinsi/kabupaten/kota perlu memperoleh pertimbangan dari Kepala Badan Kepegawaian Negara

Pasal 131

6 Penetapan formasi PNS dilaksanakan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Pasal 132

7 Pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dikoordinasikan pada tingkat daerah oleh Gubernur

Pasal 135

8 Larangan Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

Pasal 136

9 Tata cara mempersiapkan Raperda diatur

Pasal 140

121

dengan Perpres 10 Perda yang

memuat ancaman pidana dan denda, harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pasal 143

11 Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 hari setelah ditetapkan

Pasal 145 ayat (1)

12 Pembatalan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dilakukan oleh Presiden (ditetapkan dengan Perpres)

Pasal 145 ayat (2) s/d ayat (7)

13 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), berpedoman pada PP dan perencanaan pembangunan nasiona.

Pasal 150

14 Penetapan Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah berpedoman pada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain.

Pasal 158

15 Pedoman penggunaan, supervisi, monitoring dan evaluasi atas dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil SDA, DAU dan DAK diatur dalam Permendagri

Pasal 163

16 Belanja daerah harus Pasal 167

122

mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolok ukur kinerja, dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

17 Belanja kepala daerah dan wakil kepala daerah dan belanja pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam Perda dengan berpedoman pad PP

Pasal 168

18 Pertimbangan Mendagri dalam melakukan pinjaman yang berasal dari penrusan pinjaman hutang luar negeri dari Menkeu.

Pasal 170

19 Ketentuan mengenai pinjaman daerah dan obligasi daerah diaatur dengan PP

Pasal 171

20 Pengaturan tentang persyaratan pembentukan dana cadangan daerah, pengelolaan dan pertanggungjawabannya ditetapkan dengan PP

Pasal 172

21 Penyertaan modal daerah pada suatu BUMN/swasta, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pasal 173

22 Pengendalian defisit anggaran

Pasal 174-175

123

oleh Mendagri 23 Pengelolaan Barang

Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 178

24 Evaluasi Raperda dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, untuk provinsi oleh Mendagri dan untuk kabupaten/kota oleh Gubernur.

Pasal 185 s/d 190

25 Pedoman penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur dalam PP.

Pasal 194

26 Tata cara pelaksanaan kerja sama antar daerah diatur dalam PP

Pasal 195 s/d 197

27 Pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan, dan sanksi ditetapkan dalam PP.

Pasal 217 s/d 223.

28 Pemeriksaan oleh BPK terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah

Pasal 221 dan UU tentang BPK

29 Pembentukan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah diatur dalam Perpres.

Pasal 224

124

3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah diterbitkan

sebagai pedoman pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

pemerintahan daerah.356 PP ini memisahkan antara pembinaan dan

pengawasan dalam Bab yang berbeda, yaitu Bab II dan Bab III. Mengenai

pembinaan dikatakan bahwa Pembinaan atas penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:357 a)

koordinasi pemerintahan antar susunan Pemerintahan; b) pemberian

pedoman dan standar pelaksanaan urusan Pemerintahan; c) pemberian

bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; d)

pendidikan dan pelatihan; dan e) perencanaan, penelitian, pengembangan,

pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan Pemerintahan. Pembinaan

sebagaimana tersebut dilakukan terhadap kepala daerah atau wakil kepala

daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perangkat daerah,

pegawai negeri sipil daerah, dan kepala desa, perangkat desa, dan anggota

badan permusyawaratan desa.358

Pada pengaturan mengenai pengawasan, disebutkan bahwa

pengawasan pelaksanaan urusan Pemerintahan di daerah meliputi:359 a)

pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi; b) pelaksanaan

urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota; dan c) pelaksanaan urusan

pemerintahan desa. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi

tersebut terdiri dari:360 a) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang

bersifat wajib; b) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat

pilihan; dan c) pelaksanaan urusan pemerintahan menurut dekonsentrasi

dan tugas pembantuan. Pengawasan terhadap urusan pemerintahan di

356 Konsiderans PP No. 79 Tahun 2008 Tentang Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 357 Pasal 2 ayat (1). 358 Pasal 2 ayat (2). 359 Pasal 20 360 Pasal 21.

125

daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah sesuai

dengan fungsi dan kewenangannya,361 yang dilakukan oleh Inspektorat

Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non

Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota.362

Pelaksanan pengawasan tersebut dilakukan oleh pejabat pengawas

pemerintah yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.363

Untuk mengetahui perkembangan sistem pengawasan Pusat terhadap

Daerah dalam pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia dan di

beberapa negara lain, dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini:

361 Pasal 24 ayat (1). 362 Pasal 24 ayat (2). 363 Pasal 24 ayat (3) dan (4).

126

Tabel 4 Perkembangan Pengaturan Pengawasan

No. Periode Sifat/Bentuk Pengawasan

1. UU No. 1 Tahun 1945 Non-Yudisial 2. UU No. 22 Tahun 1948 1. Non-yudisial

2. Represif 3. Preventif

3. UU No. 1 Tahun 1957 1. Preventif 2. Represif

4. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 Represif 5. UU No. 18 Tahun 1965 1. Preventif

2. Represif 3. Umum

6. UU No. 5 Tahun 1974 1. Preventif 2. Represif 3. Umum

7. UU No. 22 Tahun 1999 Represif 8. UU No. 32 Tahun 2004 1. Preventif

2. Represif

127

BAB IV TINJAUAN DIMENSI-DIMENSI HUBUNGAN

ANTARA PUSAT DAN DAERAH

A. Pilar-Pilar Penyelenggaraan Pemerintahan Pengakuan bahwa Indonesia berkomitmen terhadap pilar-pilar negara

kesatuan, kedaulatan rakyat, dan negara hukum telah dituangkan dalam

perubahan ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.364 Pertama, pilar

negara kesatuan dinyatakan dalam UUD 1945 terdapat dalam Pasal 1 ayat

(1). Disebutkan bahwa bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan,

yang berbentuk Republik. Kedua, pilar kedaulatan rakyat dinyatakan dalam

ayat (2), yaitu bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar. Ketiga, pilar negara hukum dinyatakan oleh

UUD 1945 dalam Pasal 1 ayat (3), yaitu bahwa Negara Indonesia adalah

negara hukum.

Lebih dari kedaulatan-kedaulatan tersebut, Jimly Asshiddiqie

menjelaskan bahwa Indonesia pun menganut kedaulatan Tuhan dalam

konstitusi. Dari segi internal atau kedaulatan internal, Jimly berpendapat

bahwa UUD 1945 menganut paham kedaulatan yang unik.365 UUD 1945

menggabungkan konsep kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan

kedaulatan Tuhan secara sekaligus. … (pasal 1 ayat (2)): kedulatan rakyat,

ayat (3) kedaulatan hukum, pada pokoknya menganut supremasi hukum.

Gagasan kedaulatan Tuhan dianut juga dalam:

1. alinea pertama pembukaan, yang mengatakan “Atas berkat Rahmat Alloh

Yang Maha Kuasa…”

2. Juga, “ kemerdekaan… Negara … berkedaulatan rakyat berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, …”

364 Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 365 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Komputer, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007, hlm. 149, 150.

128

3. Pasal 9 ayat (1) dan (2) menentukan sumpah jabatan presiden … dengan

menyatakan “Demi Alloh”.

4. Pasal 28J ayat (2):

Hanya saja paham kedaulatan Tuhan itu tidak terjelma atau

terwujudkan dalam diri Raja atau Ratu seperti dalam paham teokrasi

(theocracy) yang pernah dipraktikkan dalam sejarah negara-negara Eropa

Masa lalu. Ide kedaulatan Tuhan itu diwujudkan dalam prinsip kebebasan

setiap individu dalam sistem demokrasi dan dicerminkan pula dalam sistem

hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar.

B. Dimensi Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah UUD 1945 telah memberikan dasar-dasar pola hubungan antara

Pusat dan Daerah, meliputi desentralisasi teritorial, dengan asas otonomi

dan tugas pembantuan, dan memberikan otonomi seluas-luasnya. Dengan

pemberian otonomi seluas-luasnya seperti itu, seharusnya sudah

memungkinkan bagi daerah-daerah untuk beragam memiliki urusan.

Walaupun demikian melalui berbagai peraturan pelaksana, dapat terlihat

berbagai ketidakkonsistenan dengan landasan konstitusional ini, pada

dimensi-dimensi hubungan pusat dan daerah. Titinjau dari pola hubungan kewenangan, dari ketentuan Pasal 18 ayat (5)

UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (3) UU No. 32/2004 dapat diambil beberapa hal.

Pertama, kedua ketentuan di atas menggunakan kata ‘kecuali’ (exception) dalam

hal pembagian kewenangan. Kata kecuali dapat diartikan membatasi. Dalam hal ini

membatasi urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Jika

ketentuan ini diidentifikasi sebagai rumusan limitatif, maka urusan pemerintah pusat

itu terbatas pada enam urusan ini. Di luar enam urusan ini merupakan urusan

pemerintahan daerah. Pemahaman seperti ini dikenal dengan pendekatan residual.

Residual powernya ada pada pemerintahan daerah sehingga pemerintahan daerah

memiliki otonomi yang luas. Kedua, pelaksanaan pemerintahan daerah yang

berdasarkan otonomi seluas-luasnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Tujuan-tujuan tersebut

sejalan dengan fungsi negara dan pemerintah pada masa modern yang secara

umum dikatakan sebagai negara pelayan (the service state). Apa isi pelayanan itu?

129

Kalau digolongkan terdapat tiga fungsi negara atau pemerintah terhadap rakyat,

yaitu politik, keamanan dan ketertiban (hukum), kemasyarakatan (ekonomi, sosial,

dan lain-lain). Sebagai ujung tombak mewujudkan negara kesejahteraan, tugas

utama pemerintahan daerah di bidang kemasyarakatan adalah yang berkaitan

dengan penyediaan prasarana dan sarana publik (public utilities), pelayanan umum

(public services), dan ketertiban umum yang berkaitan dengan kenyamanan dan

ketenteraman warga.366

Berkaitan dengan daerah istimewa dan otonomi khusus, perkataan ‘khusus’

dalam Pasal 18B UUD 1945 akan memiliki cakupan yang lebih luas karena

dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus (Aceh dan

Papua).367 Untuk Aceh, otonomi khusus berkaitan dengan pelaksanaan syariat

Islam sehingga tidak berbeda dengan status Aceh sebagai daerah istimewa.368

Dengan demikian tidak dapat lagi dijumpai perbedaan mendasar antara ‘khusus’

dan ‘istimewa’ atau dengan kata lain tidak terdapat ‘kriteria baku’ yang dapat

digunakan untuk membedakan kedua istilah tersebut.369 Ketiadaan kriteria baku ini

mengandung resiko-resiko tertentu karena suatu daerah dapat saja menuntut suatu

kekhususan semata-mata didasarkan pada faktor-faktor tertentu.370

Dari persoalan tersebut, jika otonomi dimaknai sebagai sebuah pengakuan

atas keberagaman, maka tidak perlu penyeragaman terlalu banyak baik melalui

rincian pembagian urusan maupun pedoman dan standard. Demikian pula

penjabaran RPJP saat ini cenderung mengubah kepentingan sektor menjadi

kepentingan wilayah. Jika otonomi dijalankan sebagaimana yang dimaksud dalam

Perubahan UUD 1945, maka akan ditemukan bahwa pada setiap daerah memiliki

karakter khusus. Sementara itu pemberian otonomi khusus seperti yang

diberlakukan dalam berbagai UU saat ini lebih merupakan anomali. Berimplikasi

kepada kelembagaan, perangkat di pusat tidak perlu gemuk, kalau urusan-urusan

pemerintahan didesentralisasikan.

366 Bagir Manan, Tugas Sosial Pemerintahan Daerah, Makalah, 2008, hlm. 4. 367 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 15-16. 368 Ibid., hlm. 16. 369 Ibid. 370 Ibid.

130

Ketidakkonsistenan otonomi kemudian muncul melalui pembagian

kewenangan yang dirinci melalui PP No. 38 tahun 2007, yang mengurangi

keberagaman daerah sebagai bagian dari hakikat otonomi. “penyelundupan”

desentralisasi pun terjadi pula melalui UU sektoral yang menarik urusan yang

sudah didesentralisasikan, menjadi kewenangan pusat, misalnya pada UU

Kehutanan. Inkonsistensi terjadi pula dalam UU Olah raga dan penyuluhan

pertanian yang menghendaki pembentukan semacam lembaga pelaksana di

daerah.

Kekhususan urusan kemudian terjadi dalam pengaturan Pasal 18B

UUD 1945. Perkataan ‘khusus’ tersebut akan memiliki cakupan yang lebih

luas karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan

otonomi khusus (Aceh dan Papua).371 Untuk Aceh, otonomi khusus berkaitan

dengan pelaksanaan syariat Islam sehingga tidak berbeda dengan status

Aceh sebagai daerah istimewa.372

C. Dimensi Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah Pemerintahan daerah merupakan subsistem dari pemerintahan

nasional atau Negara. Efekivitas pemerintahan Negara bergantung kepada

efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Keberhasilan

kepemimpinan di daerah menentukan kesuksesan kepemimpinan nasional.

Ketidakmampuan Kepala Daerah dalam menyukseskan pembangunan

daerah berimplikasi pada rendah atau berkurangnya kinerja dan efektivitas

penyelenggaraan pembangunan nasional.373

Paradigma baru Otonomi Daerah harus diterjemahkan oleh Kepala

Daerah sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga

serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat, karena menurut

James W Fesler, otonomi daerah bukanlah tujuan melainkan suatu

instrument untuk mencapai tujuan. Instrument tersebut haruslah digunakan

secara arif oleh kepala daerah tanpa harus menimbulkan konflik antara pusat

371 Ibid., 15-16. 372 Ibid., 16. 373 J. Kaloh, Kepala Daerah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003, hlm. 4.

131

dan daerah, atau antar provinsi dan kabupaten/Kota karena jika demikian,

makna otonomi daerah menjadi kabur. Dalam kondisi demikian, kepala

daerah harus waspada terhadap munculnya hubungan antar tingkat

pemerintahan yang bergerang dalam saling ketidakpercayaan, atau suasana

kurang harmonis seperti munculnya egoism masing-masing tanpa menyadari

bahwa fungsi pemerintahan hanya meliputi tiga hal, yaitu pelayanan kepada

masyarakat (public services); membuatkan pedoman/arah atau ketentuan

kepada masyarakat (regulation); dan pemberdayaan (empowerment).374

Pemilihan langsung kepala daerah yang diharapkan dapat

meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya tidak terjadi. Proses

penjaringan calon kepala daerah menjadi domain ekslusif partai politik. Klaim

partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya melalui partai politik

akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam prakteknya juga tidak

menjadi kenyataan. Yang terjadi adalah praktek jual beli “perahu partai

politik” dalam proses pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat

dipaksa untuk memilih calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses

penjaringan yang partisipatif.375

Tuntutan reformasi kelembagaan dicirikan oleh asumsi sebagai

berikut:376

1. Reformasi kelembagaan yang aspiratif dan akseleratif mensyaratkan

adanya kemauan, keberanian, dan komitment politik yang kuat dari

pemerintah daerah;

2. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya transparansi dan

objektivitas guna menghindari perbuatan KKN dengan cara

mengutamakan orang-orang yang “dekat” dengan pejabat pengambil

374 Ibid, hlm. 16 375 Eko Prasojo, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fisip UI, http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/ 376 Asep Warlan Yusuf, Hubungan Kelembagaan antara Pusat dan Daerah, makalah pada Diskusi Terbatas tentang Hubungan Pusat dan daerah, Pusat Studi Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009

132

keputusan, terutama dalam rangka penataan kepegawaian dalam

kelembagaan yang baru;

3. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya kepastian dan

perlindungan terhadap upaya pemberdayaan daerah, artinya tidak

dilakukan dengan setengah hati sehingga terjadi tarik ulur antara

kewenangan Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota;

4. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya penguatan Civil Society

(masyarakat madani) agar sukses, partisipasi serta kontribusi dari dan

oleh mnasyarakat dapat terakomodasi secara maksimal;

5. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya pengembangan dan

pemberdayaan dalam membangun berbagai aliansi strategis dengan

pihak manapun.

Mekanisme hubungan pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah

dalam kelembagaan (susunan organisasi) menurut Bagir Manan:377

1. Susunan luar; semua satuan pemerintahan tingkat daerah harus tersusun

dalam satu kesatuan susunan integral.

2. Susunan dalam harus mencerminkan dasar permusyawaratan dalam

sistem pemerintahan Negara.

3. Dalam rangka lebih memperkokoh asas desentralisasi sebagai salah satu

sendi system ketatanegaraan RI, disarankan agar Pemerintah Pusat

mengurangi badan-badan penyelenggara urusan pemerintahan pusat di

daerah. Agar diusahakan sebanyak mungkin pelaksanaan urusan

pemerintahan pusat di daerah dilakukan melalui atau kerjasama dengan

Pemerintah Daerah.378

Konstruksi hubungan tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang

mengenai tingkatan pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian

wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan;

377 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 256 378 Ibid., hlm. 257

133

perimbangan keuangan antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah

dalam pembuatan keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat

terhadap daerah.379

Persoalan hubungan pusat dan daerah dalam Negara Kesatuan

dengan sistem desentralisasi lebih luas dari sekedar bertalian dengan cara-

cara penentuan Rumah Tangga daerah, tetapi bersumber pula antara lain

pada cara menyusun dan menyelenggarakan organisasi pemerintahan di

daerah ditinjau dari macam-macam peraturan perundang-undangan

mengenai pemerintahan daerah yang pernah berlaku. Terlihat perbedaan

perwujudan politik otonomi disatu pihak condong kearah desentralisasi,

dipihak lain ke arah sentraliasi. Di samping ada pula yang mengarah pada

gabungan keduanya. Meskipun demikian, segala sesuatunya perlu

ditempatkan dalam hubungan yang serasi. Hubungan pusat dan daerah

dalam sistem otonomi yang bagaimanapun luasnya bukanlah ketentuan

statis tetapi harus merupakan ketentuan yang dinamis pola hubungan itu

harus selalu bergerak seimbang antara ke pusat dan ke daerah yang mampu

menampung kebutuhan masyarakat dan pemerintahan. Dalam hal ini, harus

diperhatikan bergeraknya pola hubungan tersebut tidak sampai menimbulkan

masalah besar khususnya bagi daerah. Dengan diterapkannya otonomi luas

(terutama di Kabupaten dan Kota), akan memperbesar organisasi

pemerintahan daerah, kemungkinan demikian harus diantisipasi dengan

cermat sehingga tidak terjadi susunan organiasi “yang kegemukan” atau

sebaliknya. Begitu pula kemampuan daerah yang satu belum tentu sama

dengan daerah yang lainnya, sehingga harus dimungkinkan adanya

perbedaan susunan organisasi setiap daerah. Bertambah luasnya urusan

Rumah Tangga daerah belum tentu selalu membawa keuntungan bagi

daerah, bahkan sebaliknya dapat menambah beban terlebih-lebih masalah

yang dihadapi bukanlah hanya terletak dalam hubungan antara pusat dan

daerah, tetapi juga hubungan antar daerah itu sendiri.

379 http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/

134

Mengenai kedudukan gubernur, karena ada dua kedudukan sebagai

alat pemerintah pusat, yaitu dalam arti sebagai kepala pemerintahan

daripada pemerintah lokal administratif umum pusat dan sebagai alat

Pemerintah Daerah, yaitu dalam arti sebagai Kepala Pemerintahan dari pada

pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri,

dengan sendirinya ia mempunyai dua macam tugas yang berbeda satu

dengan yang lainnya. Perbedaan antara dua macam tugas tersebut tidak

hanya terletak pada macam tugasnya, tapi juga pada cara

penyelenggaraannya dan pertanggungjawabannya.380

Penyelenggaraan dan pertanggungjawaban tugas oleh Gubernur

dalam kedudukannya sebagai alat pemerintah Pusat, tunduk pada prinsip-

prinsip dekonsentrasi, sedangkan dalam kedudukannya sebagai alat

pemerintah daerah tunduk kepada prinsip-prinsip desentralisasi.381 masing-

masing sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini yaitu UU No. 32

Tahun 2004.

Begitu pula berkaitan dengan kelembagaan DPRD. Konsep

perwakilan politik lokal terkait dengan sistem pemerintahan yang dipraktikkan

suatu Negara. Konsep perwakilan politik lokal merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari sistem demokrasi, artinya, keterlibatan masyarakat secara

langsung dan tidak langsung ikut menentukan urusan urusan rumah tangga

daerahnya.382

Meskipun pengaturan tentang susunan, kedudukan serta fungsi

DPRD ini berada dalam satu undang-undang yang sama dengan pengaturan

mengenai susunan, kedudukan dan fungsi DPR RI, bahkan dalam cara

pengisiannyapun sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui

pemilu, namun DPRD tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan

DPR, atau dengan perkataan lain DPRD bukan merupakan subordinasi dari

380 R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hlm. 215. 381 Ibid. 382 BN. Marbun, Perwakilan Politik Lokal dan Eksistensi DPRD dalam Konteks Otonomi Daerah, dalam Kumpulan Tulisan, Pasang Surut Otonomi Daerah, Institute for Local Development dan Yayasan TIFA, editor Anhar Gonggong, Jakarta 2005, hlm. 327

135

DPR RI. Di samping itu DPRD juga sebenarnya merupakan bagian atau

unsur kekuasaan eksekutif pada level pusat karena merupakan bagian dari

penyelenggara pemerintahan daerah. Bahkan dalam hal pembentukan

perda, kekuasaan DPRD baik tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota akan

melalui sebuah upaya evaluasi peraturan pelaksanaannya.

Di atas sudah dijelaskan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir sudah

banyak dibentuk atau dimekarkan suatu daerah, baik provinsi, kabupaten,

atau kota. Terjadinya pemekaran daerah yang meluas hampir di seluruh

wilayah Indonesia sebenarnya diawali dengan peluang yang diberikan oleh

peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 disebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi

atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten

dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. (Kursif dari Tim

Peneliti).

Di lain pihak, kecenderungan masyarakat untuk membentuk daerah

baru juga didukung oleh lembaga formal baik pada tingkat daerah maupun

pusat. Dalam hal ini, pemerintah daerah induknya, baik

provinsi/kabupaten/kota dan DPRD-nya masing-masing juga menjadi faktor

pendukung terjadinya pemekaran daerah dengan mudahnya memberikan

persetujuan pemekaran daerah yang bersangkutan. Bahkan tidak sedikit di

antara daerah yang memekarkan diri itu diketuai oleh kepala daerah atau

para anggota DPRD-nya. Sebagai balasannnya, banyak di antara mereka

yang kemudian mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang baru tersebut.

Dengan demikian, alasan utama untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, pelayanan publik, maupun daya saing daerah pun menjadi

tersamar dan yang muncul justru adalah kepentingan elit politik lokal

tersebut.

Demikian pula halnya keterlibatan pemerintah pusat maupun lembaga

negara yang diharapkan akan menjadi penyaring dalam pemekaran daerah

juga tidak berjalan dengan baik. Hal itu dapat dilihat dari mudahnya

pemerintah pusat, melalui Menteri Dalam Negeri, memberikan rekomendasi

136

dalam pembentukan daerah baru. Demikian pula halnya, keterlibatan Dewan

Perwakilan Daerah (DPD) dalam mengajukan rancangan undang-undang

tentang pemekaran daerah sangat memungkinkan dan mendorong terjadinya

pemekaran daerah. Hal itu ternyata menjadi penyebab pemekaran daerah

tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, peran lembaga formal sangat

penting dalam menyaring dan mengendalikan pemekaran daerah agar

pemekaran daerah itu dapat dikurangi atau dihentikan.

Alasan Majelis Permusyawaratan Rakyat menggunakan istilah

“dibagi” bukan “terdiri atas” adalah untuk menjelaskan bahwa Indonesia

adalah negara kesatuan yang kedaulatan negara berada di tangan Pusat.

Selain itu, hal itu konsisten dengan kesepakatan untuk tetap

mempertahankan bentuk negara kesatuan, di mana jika menggunakan

istilah “terdiri atas” akan lebih menunjukkan susbtansi federalisme karena

istilah itu menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara-negara

bagian. 383 Secara konseptual dan teoretis, hal itu dapat diterima karena

sangat masuk akal dan berdasar.

Akan tetapi, ternyata dari kata “dibagi” tersebut kemudian

menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam praktik di mana hal itu

diartikan Indonesia akan selalu dibagi ke dalam provinsi, dan provinsi akan

selalu dibagi ke dalam kabupaten atau kota. Penafsiran itu mungkin terlalu

naïf, tetapi faktanya memang seperti itu di mana kemudian pembagian

wilayah atau daerah di Indonesia menjadi sangat dipermudah dalam

undang-undang pelaksanaannya. Hal itu sangat dimungkinkan karena

undang-undang yang berkaitan memang membuka peluang seperti

dijelaskan di atas. Sebagai bukti, hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan “Daerah dapat

dimekarkan menjadi lebih dari satu Daerah”. Dari bunyi pasal tersebut

tampak bahwa memang sangat dimungkinkan suatu daerah untuk

dimekarkan bahkan dapat menjadi lebih dari satu daerah (baru).

383 Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit, hlm. 31.

137

Namun, di sisi lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak

membatasi secara tegas sampai berapa banyak jumlah provinsi, kabupaten,

dan kota yang dapat dibentuk di Indonesia. Apabila undang-undang itu

dibaca dalam waktu yang berbeda, maka tampak seperti tidak ada

pembatasan sampai berapa tahap suatu daerah dapat dibagi ke dalam

daerah yang lebih kecil. Artinya, wilayah Indonesia dapat dibagi terus ke

dalam provinsi-provinsi, provinsi dapat dibagi terus ke dalam kabupaten atau

kota, kabupaten atau kota juga dapat dimekarkan terus ke dalam

kecamatan-kecamatan, dan kecamatan pun dapat dipecah lagi ke dalam

kelurahan-kelurahan dan desa-desa. Pasal tersebut sangat memungkinkan

terjadinya pemekaran daerah seperti halnya pemecahan sel yang

berlangsung terus-menerus tanpa ada pembatasan.

Secara formal, kriteria dan prosedur pemekaran daerah yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut sudah cukup baik

selama dijalankan secara ketat dan teruji melalui penelitian dan pengkajian

yang komprehensif. Namun, di sisi lain kriteria dan prosedur tersebut dapat

dianggap terlalu mudah dan terkesan formalistik, sehingga pemenuhannya

lebih banyak ditekankan kepada aspek formalnya semata-mata. Dengan kata

lain, ketentuan tersebut sangat membuka peluang kepada semua daerah

untuk memekarkan diri tanpa melihat kondisi objektif daerah. Oleh karena itu,

tidak mengherankan apabila banyak daerah yang mencoba mengajukan

usulan pemekaran diri sekalipun secara faktual daerahnya tidak memenuhi

persyaratan atau persyaratan formalnya terpenuhi tetapi faktualnya tidak.

Pemenuhan persyaratan yang diajukan dalam pemekaran daerah itu

lebih banyak hanya ditekankan dari segi formal dan prosedur, sementara dari

segi faktual-material banyak yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi

nyata di daerah yang bersangkutan. Bahkan tidak sedikit pula dalam

pemekaran daerah itu dilakukan dengan memaksakan diri padahal situasi

dan kondisi daerah itu sebenarnya belum atau tidak layak dimekarkan.

Dengan kata lain, dalam pemekaran daerah banyak memunculkan data dan

fakta yang berbeda dengan situasi, kondisi, maupun kemampuan daerah

yang bersangkutan. Keadaan itu dimungkinkan terjadi karena adanya

138

kemudahan yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan

dan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mencapai tujuannya.

Hal itu itu menunjukkan sangat longgarnya persyaratan dan prosedur

pemekaran daerah dalam undang-undang, terutama Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999 dan peraturan pelaksananya. Sebagai akibatnya, undang-

undang tersebut yang pada awal kehadirannya disambut dengan harapan

yang sangat tinggi agar pelaksanaan otonomi daerah yang sebelumnya

dilaksanakan secara sentralistik berubah menjadi lebih desentralistik justru

dianggap menimbulkan banyak masalah. Hal itu sebagai akibat negatif di

mana daerah diberi kewenangan dan keleluasaan yang sangat luas untuk

mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Pada gilirannya,

pelaksanaan otonomi daerah yang sangat luas tersebut tidak mampu

membawa kesejahteraan bagi masyarakat di daerah.

Dengan demikian, sejarah menunjukkan bahwa pelaksanaan undang-

undang tersebut ternyata tidak berhasil dengan baik, sehingga tujuan

pemberian otonomi daerah seluas-luasnya tidak berjalan sesuai dengan

harapan. Padahal, dengan diberikannya otonomi yang seluas-luasnya

kepada daerah menyebabkan daerah memiliki kekuasaan yang luar biasa

besar dalam menentukan dan mengambil kebijakan menyangkut daerahnya.

Semestinya, hal itu dijadikan peluang untuk mewujudkan kesejahteraan

masyarakat, pelayanan publik, maupun daya saing daerah. Namun yang

terjadi justru sebaliknya di mana dengan otonomi yang sangat luas tersebut

menimbulkan banyak ekses negatif, termasuk kebebasan daerah dalam

memekarkan daerahnya menjadi daerah otonom baru. Sebagai akibatnya,

banyak daerah provinsi, kabupaten, atau kota yang sibuk melakukan

pemekaran daerah baru dengan melupakan keberadaannya sebagai

penyelenggara pemerintahan daerah yang memiliki tugas untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan masyarakat, maupun

daya saing daerah.

Akibat lain dari berlakunya undang-undang tersebut, selain banyak

munculnya daerah baru, adalah timbulnya berbagai persoalan yang dihadapi

oleh daerah, seperti adanya kerusakan lingkungan, korupsi, konflik

139

masyarakat, dan sebagainya. Hal itu disebabkan demikian besarnya

kewenangan daerah kabupaten dan kota untuk mengambil kebijakan,

sehingga tidak dapat dikontrol oleh provinsi maupun pusat. Pada akhirnya,

tujuan semula dikeluarkannya undang-undang tersebut tidak berhasil

diwujudkan sesuai dengan harapan pembentuk undang-undang sendiri

maupun masyarakat. Dengan demikian, era otonomi daerah yang sudah

mulai dinikmati oleh daerah kemudian menjadi kehilangan momentum

karena daerah tidak mampu memelihara dan menjaganya.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut

digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Penggantian

tersebut dilakukan untuk mengubah paradigma yang dianut oleh undang-

undang sebelumnya yang terlalu memberikan keleluasan sepenuhnya

kepada daerah tanpa adanya mekanisme kontrol yang proporsional,

termasuk dalam hal pemekaran daerah. Namun demikian, Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 juga ternyata masih membuka peluang yang cukup

besar bagi daerah untuk melakukan pemekaran daerah. Hal itu dapat dilihat

dari bunyi Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi ”Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi

atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan

daerah”.

Dengan demikian, semangat undang-undang tersebut masih sama

dengan semangat undang-undang sebelumnya yang ”akan selalu membagi”

wilayah atau daerah Indonesia ke dalam bagian yang lebih kecil. Oleh

karena itu, tidak mengherankan dalam kurun waktu 2004 sampai dengan

sekarang (2009) pemekaran daerah juga masih berlangsung. Hal itu

dimungkinkan terjadi dan terus berlangsung karena memang undang-

undangnya membuka peluang untuk itu. Sekalipun banyak pihak yang sudah

menganjurkan upaya pemekaran tersebut dihentikan, hal itu tidak

dilaksanakan oleh banyak daerah. Dengan demikian, ada di antaranya

dalam proses pemekaran tersebut menimbulkan konflik horizontal di antara

masyarakat sendiri atau dengan pemerintah induk (provinsi/kabupaten/ kota)

bahkan dengan pemerintah pusat. Hal itu terjadi karena adanya pihak

140

tertentu yang menginginkan pemekaran dan di lain pihak justru

menentangnya dengan masing-masing alasannya.

Apabila dibandingkan antara kedua ketentuan peraturan perundang-

undangan tersebut, tampaknya tidak terlalu berbeda di mana keduanya

sangat membuka peluang dilakukannya pemekaran daerah. Hal itu

disebabkan persyaratan yang harus dipenuhi tidak ketat, termasuk

posedurnya juga cukup sederhana. Sebagai contoh, tidak adanya syarat

yang mewajibkan persetujuan dari daerah lain dalam pembentukan daerah

baru. Misalnya, apabila akan dibentuk provinsi baru, semua provinsi di

Indonesia harus menyetujui pembentukan provinsi baru tersebut. Hal itu

sangat penting, di samping akan mempengaruhi alokasi anggaran masing-

masing provinsi yang sudah ada, pembentukan daerah baru juga akan

menjadi penyebab berubahnya administrasi kependudukan, kepegawaian,

penghasilan daerah, potensi daerah, dan sebagainya.

Demikian pula halnya dalam pembentukan kabupaten/kota baru harus

mendapatkan persetujuan dari semua kabupaten/kota yang ada dalam

provinsi yang sama. Selain fakto-faktor yang sama dalam pembentukan

provinsi, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah terjadinya “gangguan”

terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Misalnya, akan terjadi

pemungutan retribusi baru oleh kabupaten/kota baru bagi warganya yang

akan melintasi daerah baru tersebut, padahal sebelumnya tidak dipungut

retribusi karena masih merupakan bagian daerah kabupaten/kota yang

bersangkutan. Apabila sudah berdiri sendiri sebagai kabupaten/kota, daerah

tersebut akan menerapkan ketentuan yang menguntungkan daerahnya

sendiri, tidak peduli apakah “korbannya” adalah tetangganya yang

sebelumnya adalah sesama warga kabupaten/kota sebelum pemekaran

(daerah induk).

Sekalipun dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah

diatur tentang pembatasan waktu berapa lama suatu daerah yang sudah

dimekarkan dapat dimekarkan lagi, baik untuk daerah lama yang sudah

pernah dimekarkan maupun daerah baru yang kemudian akan dimekarkan

lagi, praktiknya hal itu sangat riskan. Alasannya, waktu 10 tahun untuk

141

provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota dirasakan kurang karena dalam

waktu sesingkat itu pemerintahannya belum stabil seperti halnya suatu

provinsi atau kabupaten/kota yang sudah lama berdiri. Sebagai contoh,

provinsi Jawa Barat sudah pernah dimekarkan dengan dibentuknya provinsi

Banten pada tahun 2001. Berapa lama sebenarnya kemudian provinsi Jawa

Barat dapat dimekarkan lagi ke dalam provinsi baru? Hal ini sangat penting

untuk memperoleh kejelasan karena sekarang ini sudah muncul

pembentukan provinsi Cirebon dan provinsi Pantai Utara (Pantura).

Demikian pula halnya untuk pembentukan kabupaten/kota baru harus ada

penegasan hal yang sama.

D. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah a. Telaah Terhadap Mekanisme Perimbangan Keuangan

Dilihat dari substansi pengaturannya, UU No. 33 Tahun 2004

memperbaiki ketentuan UU sebelumnya (UU No. 25. Tahun 2000) terkait

dengan jenis –jenis dana perimbangan, persentase yang lebih besar, adanya

dana perimbangan yang peruntukannya di atur (0, 5% DBH sektor Migas

untuk alokasi pendidikan dasar)384 dan sanksinya jika ketentuan tersebut

dilanggar385, serta dalam mekanisme dana perimbangan sebagai instrumen

pengendali pengelolaan keuangan daerah.386 Namun demikian, ada

beberapa hal yang masih menjadi masalah dalam UU tersebut atau jika

dikaitkan dengan UU lainnya.

UU No. 33 Tahun 2004 lebih menekan pada pembagian pendapatan

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam konteks tersebut,

penyempurnaan jenis-jenis dana perimbangan, termasuk asal dananya, serta

persentase dana perimbangan menjadi perhatian utama dalam UU tersebut.

384 Lihat Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 385 Berupa pemotongan DBH sektor Migas. Pasal 25 UU No. 33 Tahun 2004. 386 Hal tersebut berupa ancaman sanksi penundaan atau pemotongan dana perimbangan jika daerah melanggar larangan melakukan pinjaman luar negeri, kriteria dan batas defisit APBD, kewajiban menyampaikan informasi keuangan daerah sesuai dengan standard akuntansi pemerintah. Lihat Pasal 50 ayat(2), Pasal 83 ayat(4), Pasal 102 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004.

142

Dalam konteks tersebut, UU No. 33 Tahun 2004 lebih menekankan konsep

desentralisasi fiskal pada transfer dana pusat ke daerah. Padahal

desentralisasi fiskal tidak hanya mencakup hal tersebut, tetapi juga menjamin

daerah untuk lebih mandiri mendapatkan sumber-sumber penerimaan

daerah sesuai dengan potensinya. Transfer dana pusat ke daerah

seharusnya ditempatkan sebagai mekanisme penyeimbang dalam hal

mengatasi masalah ketidakseimbangan kemampuan keuangan secara

vertikal dan horizontal (vertical and horizontal fiscal imbalance). 387 Padahal

jika dikaitkan dengan konsep desentralisasi fiskal, maka sangat besarnya

transfer dana dari pusat ke daerah akan menyebabkan ketergantungan

daerah yang tinggi terhadap pusat.388

DAU yang didasarkan pada perhitungan celah fiskal dapat mengatasi

persoalan vertical imbalance antara pusat dengan daerah. Daerah-daerah

miskin dan terpencil mendapatkan keuntungan yang besar dari pola DAU

dalam UU No. 3 Tahun 2004 terutama sejak tahun 2006, yang disebut oleh

Fengler dan Hofman sebagai the second big bang.389 Sementara itu, daerah-

daerah yang memiliki DBH baik dari sektor pajak, dan terutama DBH sumber

daya alam, pasti memiliki DAU lebih kecil sehingga antara daerah-daerah

yang kaya dengan daerah-daerah miskin dan terpencil dapat tercipta

keseimbangan kemampuan keuangan secara horizontal. Namun demikian,

walaupun secara normatif dan perhitungan “di atas kertas” tercipta

keseimbangan baik vertikal maupun horizontal, namun kenyataannya dana-

dana tersebut sebagian besar tidak terserap, seperti di Aceh dan daerah

Indonesia timur, dana-dana perimbangan tersebut lebih banyak berada di

rekening bank,390 atau dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),391

387 Roh Bahl, dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), loc.cit., hlm. 10 – 11. 388 Lihat pendapat K. Brueckner, loc.cit., hlm. 1. 389 Istilah big bang (decentralization) mengacu pada fenomena desentralisasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 (efektif pada tahun 2001) yang mengubah Indonesia dari negara sentralistis menjadi negara terdesentralisasi secara drastis. Lihat Wolfgang Fengler, Bert Hofman, “Managing Indonesia’s Rapid Decentralization: Achievements And Challenges”, dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), op.cit., hlm. 245 – 246. 390 Ibid., hlm. 254. 391 Ibid., hlm. 246.

143

sementara secara kontras, penyerapan PAD lebih mudah dilakukan.

Meminjam istilah Fengler dan Hofman, daerah lebih mudah menyerap “dana

rakyat yang lain”392 (PAD). Fengler dan Hofman sendiri menegaskan

persoalan ke depan yang menjadi tantangan bukanlah bagaimana

menambah transfer dana dari pusat ke daerah – daerah miskin dan terpencil,

tetapi bagaimana mengelola dana-dana transfer tersebut secara efektif.393

Selain menumpuknya dana-dana transfer dari pusat, belanja daerah pun

lebih banyak dikeluarkan untuk membiayai gaji pegawai, dibandingkan

belanja lain yang terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintah,

seperti belanja modal atau infrastruktur.394 Hal-hal di atas menunjukkan

bahwa desentralisasi fiskal Indonesia lebih banyak ditekankan pada otonomi

pengeluaran, walauapun hasilnya tidak efektif. Dengan kata lain, tantangan

desentralisasi Indonesia di kemudian hari tidak hanya ditekankan pada

efektifitas penggunaan sumber-sumber keuangan daerah secara efektif.

Persoalan yang juga signifikan adalah tingkat otonomi dan kecukupan

pendapatan (revenue autonomy and adequacy) untuk mendapatkan PAD.

Walaupun daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak daerah dan

retribusi daerah, namun hal tersebut tidak efektif. Pajak daerah dan retribusi

daerah yang diberikan kewenangannya kepada daerah dalam UU No.18

Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 sangat terbatas. Pajak daerah dalam

UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 lebih menekankan pada

keseragaman antar daerah, dalam bentuk kewenangan memungut pajak

tertentu (positive list) yang basis pajaknya/ objeknya telah ditetapkan dalam

undang-undang.395 Walaupun daerah dapat menetapkan jenis pajak daerah

lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan UU tersebut, namun sangat sulit

392 Ibid., hlm. 255. 393 Loc.it., hlm. 246. 394 Misalnya pada tahun 2006 APBD Kabupaten/ Kota untuk belanja pegawai termasuk gedung-gedung pemerintah daerah mencapai 32% dari seluruh pengeluaran, yang juga disebabkan karena meningkatnya daerah-daerah baru hasil pemekaran. Sementara itu, belanja infrastruktur yang terkait langsung dengan pelayanan publik hanya mencapai 15%. Lihat World Bank 2007, Spending for Development — Making the Most of Indonesia’s New Opportunities (Public Expenditure Review 2007), Jakarta 2007. www.worldbank.org/id. 395 Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, cetakan kedua, 2007, hlm. 264.

144

ditemukan jenis pajak daerah baru, karena ketatnya kriteria-kriteria

tersebut.396 Praktiknya, hasil pajak daerah dan retribusi daerah tidak

berkontribusi signifikan terhadap PAD, terutama kepada kabupaten/ kota.397

Bahkan hasil yang diperoleh dari pajak dearah dan retribusi daerah lebih

kecil dari pada biaya pemungutannya398 dan sebagian besar akibat dari

pajak daerah dan retribusi daerah tersebut menyebabkan ekonomi berbiaya

tinggi sehingga merusak iklim investasi.399 Hal – hal di atas mencerminkan

masih rendahnya tingkat otonomi pendapatan dari daerah.

Dengan diundangkannya UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah menggantikan UU sebelumnya, terdapat

beberapa perubahan signifikan, salah satunya adalah penambahan pajak

daerah dan retribusi daerah baru. Namun demikian, dengan diterapkannya

sistem penetapan jenis pajak daerah secara tertutup, menimbulkan

pertanyaan, apakah otonomi pendapatan dari daerah semakin menguat atau

semakin melemah?

Salah satu alasan diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 karena

selama ini penyerahan kewenangan di bidang perpajakan dan retribusi

(daerah) kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah.400 Pemberian

kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan

pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan.401 Dengan

argumentasi demikian, UU No. 28 Tahun 2009 mengatur perluasan basis

pajak dengan menambah pajak daerah dan retribusi daerah yang baru.

Namun demikian, apakah pajak-pajak daerah yang baru dapat menjamin

hasil pungutan pajak daerah yang besar pula dan apakah tersebut dapat

396 Ibid., hlm. 266. 397 Di tingkat kabupaten/ kota kontribusi PAD hanya menyumbang kurang dari 10% terhadap APBD. Tjip Ismail, op.cit.,hlm. 263. 398 Biaya penyelenggaraaan pajak daerah dan retribusi daerah mencapai lebih dari 50% dari hasil yang diterima. Wolfgang Fengler, Bert Hofman, op.cit.,hlm. 255. 399 Ibid., hlm. 256. 400 Penjelasan Umum paragraf 8 UU No. 28 Tahun 2009. 401 Ibid.

145

meningkatkan kemandirian daerah dalam upaya peningkatan PAD secara

tepat?

Dari jenis pajak daerah baru tersebut, hanya pajak rokok yang secara

signifikan memberikan kontribusi terhadap PAD dengan tarif 10% dari cukai

nasional dan sebagian lagi dari pajak hiburan yang dapat mencapai tariff

maksimum 75 % untuk hiburan-hiburan tertentu.402 Namun demikian, khusus

mengenai pajak rokok, terdapat kejanggalan dalam konteks pemungutan.

Walaupun pajak rokok adalah pajak daerah provinsi, namun yang melakukan

pemungutan pajak adalah instansi pemerintah berwenang memungut cukai

bersamaan dengan pemungutan cukai rokok403, yang artinya pemerintah

pusat. Hal ini merupakan mekanisme yang tidak menciptakan kemandirian

daerah untuk melakukan pemungutan pajak daerah. Pajak rokok lebih

tampak seperti dana perimbangan dari konsumsi rokok, karena dipungut oleh

pemerintah pusat lalu disalurkan ke rekening kas umum daerah provinsi

secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.404

Sementara itu, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan

Perkotaan serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan(BPHTB)

sebenarnya bukan pajak baru, karena hal tersebut merupakan pajak pusat

yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada daerah sebagai dana bagi

hasil(DBH) dari sektor pajak.405 Sementara itu, Pajak Sarang Burung Walet

dipungut bagi daerah-daerah yang memiliki potensi ini. Artinya, tidak semua

daerah dapat memungut pajak daerah tersebut, karena tidak setiap daerah

memiliki potensi sarang burung walet.

Perluasan objek pajak daerah, misalnya untuk pajak hotel dan

restoran sebenarnya juga bukan hal baru. Beberapa daerah juga telah

402 Hiburan tertentu yang dimaksud adalah Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa. Lihat Pasal 45 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009. 403 Pasal 27 ayat (3) UU No.28 Tahun 2009. 404 Pasal 27 ayat (4) UU No.28 Tahun 2009. 405 Pengaturan persentase perimbangan alokasi DBH PBB dan BPHTB antara pusat dan daerah adalah 10 % : 90 % untuk DBH PBB dan 20% : 80 % untuk DBH BPHTB. 10 % bagian pusat dari PBB dan 20 % bagian pusat dari BPHTB dibagikan seluruhnya kepada daerah dengan formula tertentu. Lihat Pasal 12 ayat (2) dan ayat(5) UU No. 33 Tahun 2004.

146

menetapkan jenis pajak daerah di luar UU No. 34 Tahun 2000, yang

menyerupai perluasan objek pajak tersebut, misalnya pajak rumah kos di

Kabupaten Sumedang. Dengan demikian, perluasan objek pajak tersebut

sebenarnya hanya mengambil dan mengukuhkan secara nasional pajak-

pajak daerah yang sebelum telah dipungut di beberapa daerah.

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang tarifnya ditentukan secara

progresif pun di mulai dari prosentase tariff 1% untuk kepemilikan kendaraan

pribadi yang pertama, walaupun untuk kendaraan kedua dan seterusnya

dapat naikkan secara progresif hingga 10%. Secara sepintas, pajak tersebut

dapat menghasilkan dana yang besar mengingat tingginya pembelian

kendaraan bermotor. Namun demikian, jika mekanisme pengawasan tentang

kepemilikan kendaraan bermotor tidak ditetapkan dengan baik, maka

kemungkinan terjadinya penyelundupan hukum dapat mengakibatkan hasil

pemungutan pajak tersebut tidak signifikan.

Begitu pula dengan pemecahan Pajak Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan menjadi Pajak Air Tanah (kabupaten/ kota) dan Pajak Air

Permukaan (untuk provinsi), pada dasarnya memiliki objek pajak yang tidak

berubah, dengan tarif yang sama dengan UU sebelumnya untuk Pajak Air

Tanah (maksimal 20%406), namun lebih rendah untuk Pajak Air Permukaan

(maksimal 10%).407

Hal – hal di atas menunjukkan bahwa pemberian pajak baru,

penyesuaian tarif pajak daerah tidak dapat dipastikan dapat meningkatkan

PAD. Apalagi jika dikaitkan dengan kemungkinan masalah yang muncul

dalam praktik, misalnya mekanisme pengawasan kepemilikan kendaraan

bermotor pribadi dengan tariff pajak progresif. Jika mekanisme tersebut tidak

dibentuk, maka pelaksanaan pemungutan pajak tersebut, berpotensi

menimbulkan ketidakadilan.408 Berdasarkan hal-hal tersebut, maka otonomi

406 Pasal 70 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009. 407 Pasal 24 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009. 408 UU No. 28 Tahun 2009 tidak mewajibkan mekanisme balik nama jika terjadi peralihan hak atas kepemilikan kendaraan pribadi. Artinya, jika seseorang telah menjual kendaraannya kepada orang lain tanpa melakukan balik nama, maka orang tersebut akan

147

pendapatan yang diharapkan dapat meningkat dengan adanya UU ini, belum

tentu dapat terwujud.

Jika asumsi PAD dari sektor pajak daerah belum dapat ditingkatkan

dengan adanya UU No. 28 Tahun 2009, maka dengan sistem penetapan

jenis pajak yang tertutup, daerah kurang dapat memanfaatkan potensi pajak

daerah lain, selain yang telah ditetapkan secara limitatif dalam UU tersebut.

Pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 berargumen bahwa sistem

tertutup tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi

masyarakat.409 Namun demikian, pembentukan UU tersebut tidak melihat

bahwa otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia adalah otonomi seluas-

luasnya di mana urusan pemerintahan daerah sangat luas, mencakup

seluruh urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan pemerintah pusat.410 Artinya, dibutuhkan biaya yang sangat

besar untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, sehingga hal

tersebut harus didukung dengan sumber pendapatan yang juga sangat

besar.

Pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 berargumen bahwa dengan

sistem pajak daerah selama ini, banyak daerah yang melanggar kriteria yang

telah ditetapkan untuk menetapkan pajak daerah baru, ditambah dengan

lemahnya pengawasan penetapan Perda Pajak Daerah dan perilaku banyak

daerah yang tidak menyampaikan Perda Pajak Daerah untuk dievaluasi.411

Namun demikian, UU No. 28 Tahun 2009 tetap menerapkan sistem yang

semi terbuka untuk retribusi daerah. Artinya, selain retribusi daerah yang

ditetapkan dalam UU No. 28 Tahun 2009, daerah dapat menetapkan jenis

retribusi daerah lain, berdasarkan kriteria yang ditetapkan.412 Padahal

pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 juga mengakui bahwa penetapan

dikenakan tariff progresif jika akan membeli kendaraan bermotor lagi untuk jenis yang sama, padahal orang tersebut secara de facto hanya memiliki 1 kendaraan pribadi. 409 Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009. 410 Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua UUD 1945, menyatakan: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. 411 Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009. 412 Pasal 150 UU No. 28 Tahun 2009.

148

retribusi daerah yang banyak melanggar kriteria yang telah ditetapkan

disebabkan, hasil penerimaan dari jenis pajak daerah yang ditetapkan, tidak

dapat memenuhi kebutuhan daerah.413 Padahal dengan sistem pajak daerah

yang sifatnya tertutup maka, pelangggaran terhadap kriteria jenis retribusi

daerah lain kemungkinan akan terulang kembali. Hal tersebut menunjukkan

ambiguitas pemikiran para pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 dalam

mendudukkan pajak daerah dan retribusi daerah.

Hal-hal di atas menunjukkan, waluaupun terdapat upaya untuk

menambahkan kewenangan pajak daerah dan retribusi daerah dalam UU

No. 28 Tahun 2009, namun hal tersebut tidak menjamin terciptanya otonomi

dan kecukupan pendapatan bagi daerah. Artinya, jika tujuan meningkatkan

otonomi pendapatan dalam UU ini tidak tercapai, maka daerah akan tetap

bergantung pada dana perimbangan yang diberikan oleh pusat.

b. Telah Terhadap Pinjaman Daerah Pengaturan pinjaman daerah dalam UU No. 33 Tahun 20004 dalam

beberapa hal lebih baik jika dibandingkan dalam UU No. 25 Tahun 1999,

misalnya dalam hal batas kumulatif pinjaman yang lebih ketat, dan sanksi

bagi daerah yang melanggar ketentuan tersebut. Dengan pengaturan yang

lebih ketat, tidak berarti daerah tidak memiliki borrowing previllage yang

terbatas. Batas-batas objektif dalam melakukan pinjaman daerah diperlukan

agar hal tersebut sesuai dengan maksud pinjaman daerah, khususnya untuk

meningkatkan taraf hidup masyarakat dan melakukan pembangunan yang

menerus (sustainable development).414 Adanya kategorisasi pinjaman

daerah sesuai peruntukkannya dalam UU No. 33 Tahun 2004 merupakan

salah satu cara untuk menempatkan pinjaman daerah sesuai dengan

kebutuhan pinjaman tersebut dilakukan.

Namun demikian, Menurut Shah, di negara-negara berkembang

(termasuk Indonesia) di mana pasar (keuangan) belum terbangun dengan

413 Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009. 414 Glasson dalam Bachrul Elmi dan Syahrir Ika, loc.cit., hlm. 62.

149

baik untuk kredit jangka panjang dan kemampuan daerah untuk membayar

pinjaman, menyebabkan akses daerah untuk melakukan pinjaman sangat

terbatas.415 Dalam konteks tersebut, maka yang paling mungkin dilakukan di

Indonesia adalah pinjaman jangka pendek dan menengah yang tidak

ditujukan untuk menghasilkan penerimaan. Artinya, pinjaman daerah di

Indonesia hanya berperan untuk mempertahankan struktur APBD agar tetap

berimbang seiring dengan diterapkannya hard budget constraints dalam hal

APBD. Pinjaman daerah di Indonesia belum dapat diberdayakan untuk dapat

menghasilkan penerimaan, walaupun jenis pinjaman tersebut disediakan

(pinjaman jangka panjang untuk pembiayaan investasi).

Belum berkembangnya pasar keuangan di negara-negara

berkembang, seperti lembaga keuangan bank dan non-bank, termasuk di

Indonesia, maka sumber pinjaman daerah sangat terbatas. Otomatis,

sumber pinjaman daerah yang secara signifikan diharapkan oleh daerah

berasal dari pemerintah, karena pinjaman dari masyarakat (obligasi daerah)

dan pinjaman dari pemerintah daerah lain belum banyak diberdayakan.

Namun demikian, pemerintah pusat pun tidak selamanya dapat memberikan

pinjaman kepada daerah, khususnya selain untuk tujuan menutupi defisit,

karena transfer dana pusat ke daerah sudah begitu besar, khususnya dari

DAU. Apalagi dalam UU No. 33 Tahun 2004, daerah dilarang melakukan

pinjaman luar negeri, kecuali berasal dari penerusan pinjaman dari pusat

yang dananya dari pinjaman luar negeri. Artinya sumber dana pinjaman

daerah semakin terbatas.

Dalam kewenangan melakukan pinjaman, daerah tidak dapat

memanfaatkan sumber pinjaman luar negeri secara langsung, namun harus

melalui penerusan pinjaman dari pemerintah pusat.416 Dalam hal pinjaman

dari luar negeri, UU No. 22 Tahun 1999 memberikan mekanisme yang lebih

realistis. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah dapat melakukan

peminjaman dari sumber dalam negeri dan/atau dari sumber luar negeri

415 Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…., loc.cit., hlm. 29 416 Lihat Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004.

150

untuk membiayai kegiatan pemerintahan dengan persetujuan DPRD.417

Pinjaman dari dalam negeri diberitahukan kepada Pemerintah dan

dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.418

Peminjaman dan sumber dana pinjaman yang berasal dari luar negeri, harus

mendapatkan persetujuan pemerintah pusat.419

Walaupun UU No. 22 Tahun 1999 membolehkan daerah melakukan

pinjaman luar negeri, namun pada prinsipnya hal tersebut tidak sepenuhnya

menjadi kewenangan daerah, karena harus mendapatkan persetujuan pusat.

Artinya, prinsip bahwa urusan luar negeri adalah urusan pemerintah pusat

sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, masih tetap

dipertahankan. Namun demikian, walaupun keputusan akhir ada di tangan

pemerintah pusat, dalam mekanisme UU No. 22 Tahun 1999, daerah tetap

dapat melakukan penjajakan potensi pinjaman luar negeri. Artinya,

kebebasan untuk melakukan pinjaman lebih terjamin. Walaupun demikian,

dalam konteks penjajakan pinjaman luar negeri, tidak diatur bagaimana

mekanisme keterlibatan pemerintah pusat, sehingga hal ini menjadi salah

satu kelemahan UU No. 22 Tahun 1999. Kelemahan lainnya, UU No. 22

Tahun 1999 (dan UU No. 25 Tahun 1999), tidak mengatur kriteria pinjaman

yang dananya berasal dari luar negeri. Padahal hal tersebut sangat penting.

Jenis-jenis pinjaman yang diperuntukan untuk menutupi arus kas atau

penyediaan pelayanan publik seharusnya tidak berasal dari pinjaman luar

negeri. Pinjaman luar negeri seharusnya ditentukan hanya berupa pinjaman

jangka panjang yang diperuntukkan untuk membiayai proyek investasi yang

menghasilkan penerimaan.

Dalam UU No. 33 Tahun 2004, daerah tidak memiliki inisiatif untuk

menjajaki pinjaman, padahal unsur esensial dalam melakukan pinjaman

adalah unsur persetujuan dari pemerintah pusat. Artinya, seharusnya daerah

tetap diberikan kewenangan untuk menjajaki potensi pinjaman dari sumber

dana luar negeri. Walaupun demikian, proses penjajakan tersebut sebaiknya

417 Pasal 81 ayat (1) UU No.22 Tahun 1999. 418 Pasal 81 ayat (2) UU No.22 Tahun 1999. 419 Lihat Pasal 81 ayat (3) UU No.22 Tahun 1999

151

juga harus melibatkan pemerintah pusat, karena terkait dengan urusan luar

negeri.

Dengan pengaturan saat ini, adanya keterbatasan pemerintah untuk

memberikan pinjaman kepada daerah, maka pinjaman yang dapat diterima

oleh daerah dari pusat terbatas pada tujuan untuk menutupi kekurangan arus

kas (defisit APBD) atau untuk melakukan penyediaan pelayanan publik yang

tidak menghasilkan penerimaan. Artinya, kemampuan pemerintah pusat

untuk memberikan pinjaman kepada daerah tidak dapat diharapkan untuk

dapat membiayai proyek-proyek investasi besar yang dapat menghasilkan

penerimaan, melainkan hanya untuk menutupi defisit, dan penyediaan

pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan.

Pengaturan pinjaman daerah dalam UU No. 33 Tahun 2004, tidak

terlepas dari transfer dana pusat ke daerah yang sangat besar. Artinya,

dengan dana perimbangan yang besar, maka tingkat defisit APBD yang

rendah, walaupun dengan PAD yang kecil. Dengan demikian, maka

diharapkan pinjaman yang dilakukan oleh menjadi tidak besar. Padahal,

dengan besarnya dana perimbangan, khususnya DAU dan DBH, fungsi

pinjaman daerah di kemudian hari tidak ditekankan untuk menutupi defisit

APBD, tetapi adalah untuk melakukan investasi produktif yang dapat dapat

menghasilkan penerimaan.

E. Dimensi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah Perubahan UUD 1945 secara eksplisit tidak menyebutkan mengenai

pengawasan. Namun pranata ini dapat dilihat sebagai konsekuensi dari

pembagian Negara yang “dibagi atas” daerah-daerah provinsi, dan

kabupaten/kota. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal tersebut dimaksudkan untuk

menegaskan bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat

hirarkis dan vertikal. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 18, dalam UU No. 32

Tahun 2004 disebutkan berbagai mekanisme pengawasan, di antaranya

152

terhadap peraturan daerah.420 Pasal 222 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004

mengatur bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

pemerintahan daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam

Negeri. Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 223 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan

Pemerintah diterbitkan sebagai pedoman pembinaan dan pengawasan

penyelenggaraan pemerintahan daerah.421 Objek pengawasan lainnya

adalah pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala

daerah, yang salah satunya disiratkan melalui ketentuan pengawasan oleh

Gubernur mengenai penyusunan APBD kabupaten dan kota.422 Selain itu

dalam rangka pengawasan pula, disebutkan bahwa perda yang bertentangan

dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, dapat dibatalkan oleh Presiden (ditetapkan dengan Perpres).423

Persoalan kemudian muncul di antaranya berkaitan dengan apakah

pengaturan pengawasan preventif dan represif terhadap perda ditambah

pengawasan yudisial sudah tepat? Selain itu adalah bahwa pada

kenyataannya setiap perda yang dibatalkan dilaksanakan melalui keputusan

Menteri Dalam Negeri, memunculkan pernyataan legitimasi bentuk instrumen

hukum tersebut.

1. Instrumen Pengawasan Sebagai Fenomena Tarik Ulur Hubungan Pusat-Daerah Untuk mengetahui bahwa dalam praktik pelaksanaan pengawasan dalam

rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia pada umumnya dan

di Jawa Barat pada khususnya, di bawah ini diuraikan data sebagai berikut: Tabel 5

420 Lihat, Jimly Ashiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH. UI, Jakarta, 2002, hlm. 21. 421 Konsiderans PP No. 79 Tahun 2008 Tentang Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 422 Pasal 186 UU No. 32 Tahun 2004. 423 Pasal 145 ayat (2) s/d ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004.

153

Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral

(Energy And Mineral Resource)

No Wilayah Jumlah1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 0

2 Provinsi Sumatera Utara 7

3 Provinsi Bengkulu 2

4 Provinsi Jambi 3

5 Provinsi Riau 1

6 Provinsi Sumatera Barat 0

7 Provinsi Sumatera Selatan 3

8 Provinsi Lampung 3

9 Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung 0

10 Provinsi Kepulauan Riau 1

11 Provinsi Banten 0

12 Provinsi Jawa Barat 3

13 Provinsi DKI Jakarta 0

14 Provinsi Jawa Tengah 1

15 Provinsi Jawa Timur 0

16 Provinsi D.I.Yogyakarta 0

17 Provinsi Bali 1

Tabel 6 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry

And Trade)

No Wilayah Jumlah1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 0

2 Provinsi Sumatera Utara 7

3 Provinsi Bengkulu 2

4 Provinsi Jambi 0

5 Provinsi Riau 3

154

6 Provinsi Sumatera Barat 3

7 Provinsi Sumatera Selatan 3

8 Provinsi Lampung 3

9 Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung 0

10 Provinsi Kepulauan Riau 1

11 Provinsi Banten 0

12 Provinsi Jawa Barat 2

13 Provinsi DKI Jakarta 0

14 Provinsi Jawa Tengah 5

15 Provinsi Jawa Timur 2

16 Provinsi D.I.Yogyakarta 1

17 Provinsi Bali 0

Tabel 7 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kehutanan (Forestry)

No Wilayah Jumlah1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 0

2 Provinsi Sumatera Utara 3

3 Provinsi Bengkulu 1

4 Provinsi Jambi 4

5 Provinsi Riau 1

6 Provinsi Sumatera Barat 4

7 Provinsi Sumatera Selatan 2

8 Provinsi Lampung 0

9 Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung 0

10 Provinsi Kepulauan Riau 0

11 Provinsi Banten 1

12 Provinsi Jawa Barat 3

13 Provinsi DKI Jakarta 0

155

14 Provinsi Jawa Tengah 4

15 Provinsi Jawa Timur 4

16 Provinsi D.I.Yogyakarta 0

17 Provinsi Bali 1

Tabel 8 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Perhubungan

No Wilayah Jumlah1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 1

2 Provinsi Sumatera Utara 4

3 Provinsi Bengkulu 0

4 Provinsi Jambi 5

5 Provinsi Riau 9

6 Provinsi Sumatera Barat 2

7 Provinsi Sumatera Selatan 2

8 Provinsi Lampung 6

9 Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung 1

10 Provinsi Kepulauan Riau 0

11 Provinsi Banten 3

12 Provinsi Jawa Barat 9

13 Provinsi DKI Jakarta 0

14 Provinsi Jawa Tengah 6

15 Provinsi Jawa Timur 10

16 Provinsi D.I.Yogyakarta 0

17 Provinsi Bali 0

Tabel 9 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kelautan dan Perikanan

No Wilayah Jumlah1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 0

156

2 Provinsi Sumatera Utara 4

3 Provinsi Bengkulu 0

4 Provinsi Jambi 3

5 Provinsi Riau 1

6 Provinsi Sumatera Barat 0

7 Provinsi Sumatera Selatan 0

8 Provinsi Lampung 1

9 Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung 2

10 Provinsi Kepulauan Riau 0

11 Provinsi Banten 1

12 Provinsi Jawa Barat 0

13 Provinsi DKI Jakarta 0

14 Provinsi Jawa Tengah 0

15 Provinsi Jawa Timur 0

16 Provinsi D.I.Yogyakarta 0

17 Provinsi Bali 1

Tabel 10 Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan

Pungutan Lainnya Yang Dibatalkan Oleh Menteri Dalam Negeri Pada Tahun 2007

NO Peraturan Daerah Rekomendasi

Surat Teguran Mendagri

SK Mendagri

1 Provinsi Sumatera UtaraNO 5 TAHUN 2003tentang Retribusi Pengawasan Dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan Dan Holtikultura

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.1 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

2 Kab.Muko-muko NO 34 Tahun 2004tentang Retribusi Surat Izin Usaha Perdagangan (siup) Dan Retribusi Tanda Daftar Perusahaan (tdp)

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.10 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

3 Kab.Muko-muko NO 11 Tahun 2005tentang Retribusi Izin Tempat Usaha Dalam Kabupaten Mukomuko

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.11 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

4 Kab.Muaraenim NO 7 Tahun 2005tentang Surat Izin Usaha

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.12 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

157

Perdagangan (siup) 5 Kab.Sintang

NO 7 TAHUN 2002tentang Retribusi Pendirian Dan Pengelolaan Badan Hukum Koperasi

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.13 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

6 Kab.Nunukan NO 6 Tahun 2005tentang Retribusi Izin Tempat Usaha

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.14 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

7 Kab.Nunukan NO 8 Tahun 2005tentang Retribusi Pelayanan Penerbitan Surat-surat, Surat Keterangan Kecakapan (skk) Dan Surat Izin Berlayar (sib)

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.15 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

8 Kab.Hulu Sungai SelatanNO 11 Tahun 2001tentang Retribusi Dana Pembangunan Daerah Kerja Bagian Sisa Hasil Usaha Koperasi

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.16 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

9 Kota TangerangNO 12 Tahun 2000tentang Retribusi Ijin Undang-undang Gangguan (ho)

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.17 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

10 kab.Bandung NO 24 Tahun 2001tentang Retribusi Pelayanan Perizinan Penyelenggaraan Koperasi

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.18 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

11 Kab.Tasikmalaya NO 4 Tahun 2003tentang Retribusi Pelayanan Bidang Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.19 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

12 Kab.Deliserdang NO 25 TAHUN 1998tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.2 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

13 Kab.Karawang NO 23 TAHUN 2001tentang Retribusi Pelayanan Bidang Koperasi, Pengusaha Kecil Dan Menengah

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.20 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

14 Kab.Sukabumi NO 12 TAHUN 2002tentang Tanda Daftar Industri DanIzin Usaha Industri

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.21 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

15 Kab.Magelang NO 11 Tahun 2005tentang Retribusi Izin Usaha

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.22 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

158

Pariwisata 16 Kab.Magelang

NO 15 Tahun 2005tentang Retribusi Perizinan Ketenagakerjaan

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.23 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

17 Kab.Bantul NO 10 Tahun 2002tentang Pengesahan Akta Pendirian, Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar Dan Pembubaran Koperasi Di Kabupaten Bantul

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.24 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

18 Kab.Bantul NO 13 Tahun 2005tentang Retribusi Izin Usaha Bengkel Perawatan Kendaraan Bermotor

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.25 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

19 Kab.Banyuwangi NO 46 Tahun 2002tentang Retribusi Izin Perkoperasian

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.26 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

20 Kab.Madiun NO 12 Tahun 2005tentang Perubahan Atas Perda Kabupaten Madiun Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Retribusi Penggunaan Jalan Kabupaten

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.27 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

21 Kab.Jembrana NO 10 TAHUN 2002tentang Retribusi Izin Usaha Industri Dan Perdagangan

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.28 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

22 Kab.Sumbawa BaratNO 8 Tahun 2005tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan Dan Industri

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.29 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

23 Kab.Dairi NO 14 Tahun 2000tentang Pengesahan Akta Pendirian Dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.3 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

24 Kab.Sumbawa BaratNO 10 Tahun 2005tentang Retribusi Tanda Daftar Gudang

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.30 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

25 Kab.Pangkajene KepulauanNO 11 TAHUN 2001tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.31 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

26 Provinsi Sulawesi Tenggara S-093/MK.10/2006 - Kepmendagri NO.32

159

NO 6 Tahun 2002tentang Pengesahan Akta Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar Dan Pembubaran Koperasi

Tgl. 23-06-2005 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

27 Kota JayapuraNO 5 Tahun 2005tentang Retribusi Penumpang Kapal Laut Dan Pesawat Udara

S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005

- Kepmendagri NO.33 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007

Tabel 11

Hasil Evaluasi Peraturan Daerah di Departemen Dalam Negeri Sampai dengan November 2007

Diterima Hasil Evaluasi Dalam Proses Batal Revisi Layak

Daerah

Perda

Raperda Perda Raperda Perda Raperda Perda Raperda

Perda

Raperda Provinsi 495 32 121 3 2 17 298 12 74 0

Kab 6.836 883 651 93 101 361 3.503 324 2.581 105 Kota 2.303 181 191 11 45 90 1.275 55 792 25 Total 9.634 1.096 963 107 148 468 5.076 391 3.447 130

Sumber: Situs Kementerian Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Januari 2008

Tabel 12

Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Dari Tahun 2002 s.d. 2006424

No Sektor Jumlah

1 Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource) 32

2 Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) 77

3 Kehutanan (Forestry) 50

4 Perhubungan 83

5 Kelautan dan Perikanan 37

6 Perkebunan (Plantation) 13

7 Pertanian 19

8 Sumbangan Pihak Ketiga (Donation From Third Party) 21

9 Ketenagakerjaan (Labor Force) 54

10 Kimpraswil dan Pekerjaan Umum (Public Work And Housing) 9

11 Lain-Lain 189

424 Sumber: bakd.depdagri.go.id/www.google.com, tanggal 20 Pebruari 2008

160

12 Pendidikan 1

13 Kesehatan 0

14 Pariwisata 3

15 Lingkungan Hidup 14

16 Koperasi 4

17 Peternakan 52

18 Pertanian dan Perikanan 1

Tabel 13 Rekap Pembatalan Perda Tentang

Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi

Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource) No. Kabupaten Jumlah 1 kab.Bandung 0

2 Kab.Bekasi 0

3 Kab.Bogor 0

4 Kab.Ciamis 0

5 Kab.Cianjur 0

6 Kab.Cirebon 0

7 Kab.Garut 0

8 Kab.Indramayu 2

9 Kab.Karawang 0

10 Kab.Kuningan 0

11 Kab.Majalengka 0

12 Kab.Purwakarta 0

13 Kab.Subang 0

14 Kab.Sukabumi 0

15 Kab.Sumedang 0

16 Kab.Tasikmalaya 1

17 Kota Bandung 0

18 Kota Banjar 0

19 Kota Bekasi 0

20 Kota Bogor 0

161

21 Kota Cimahi 0

22 Kota Cirebon 0

23 Kota Depok 0

24 Kota Sukabumi 0

25 Kota Tasikmalaya 0

Tabel 14 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Indramayu Wilayah Provinsi

Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral

Resource)) No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 25

TAHUN 2002

00-00-2002

PERDA KAB.INDRAMAYU NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PAJAK PENGELOLAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Pajak

2 Batal 05 TAHUN 2002

00-00-2002

KETENAGALISTRIKAN Retribusi Jasa Umum

Tabel 15 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Tasikmalaya Wilayah Provinsi

Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral

Resource)) No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 13 TAHUN

2004 00-00-2004

PERDA KAB. TASIKMALAYA NOMOR 13 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN

Retribusi Jasa Usaha

Tabel 16

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan

(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) Wilayah Provinsi Jawa Barat)

No Kabupaten Jumlah1 Kab.Bandung 0

2 Kab.Bekasi 0

3 Kab.Bogor 0

162

4 Kab.Ciamis 0

5 Kab.Cianjur 0

6 Kab.Cirebon 0

7 Kab.Garut 0

8 Kab.Indramayu 0

9 Kab.Karawang 1

10 Kab.Kuningan 0

11 Kab.Majalengka 0

12 Kab.Purwakarta 0

13 Kab.Subang 0

14 Kab.Sukabumi 0

15 Kab.Sumedang 0

16 Kab.Tasikmalaya 0

17 Kota Bandung 0

18 Kota Banjar 0

19 Kota Bekasi 0

20 Kota Bogor 0

21 Kota Cimahi 1

22 Kota Cirebon 0

23 Kota Depok 0

24 Kota Sukabumi 0

25 Kota Tasikmalaya 0

Tabel 17 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Karawang Wilayah Provinsi

Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) )

No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 11 TAHUN

2001 00-00-2001

RETRIBUSI TERA DAN TERA ALAT UKUR

Retribusi Jasa Umum

Tabel 18

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Cimahi Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan

(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade))

163

No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 26

TAHUN 2003

00-00-2003

PERDA KOTA CIMAHI NOMOR 26 TAHUN 2003 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PELAYANAN PEMBERIAN IJIN USAHA INDUSTRI

Retribusi Jasa Umum

Tabel 19

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan

(Sektor Kehutanan (Forestry))

No Kabupaten Jumlah1 kab.Bandung 0

2 Kab.Bekasi 0

3 Kab.Bogor 0

4 Kab.Ciamis 1

5 Kab.Cianjur 0

6 Kab.Cirebon 0

7 Kab.Garut 1

8 Kab.Indramayu 0

9 Kab.Karawang 0

10 Kab.Kuningan 1

11 Kab.Majalengka 0

12 Kab.Purwakarta 0

13 Kab.Subang 0

14 Kab.Sukabumi 0

15 Kab.Sumedang 0

16 Kab.Tasikmalaya 0

17 Kota Bandung 0

18 Kota Banjar 0

19 Kota Bekasi 0

20 Kota Bogor 0

21 Kota Cimahi 0

22 Kota Cirebon 0

23 Kota Depok 0

164

24 Kota Sukabumi 0

25 Kota Tasikmalaya 0

Tabel 20 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Ciamis Provinsi Jawa Barat

Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))

No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 10

TAHUN 2001

00-00-2001

RETRIBUSI PELAYANAN TATA USAHA HASIL HUTAN MILIK

Retribusi Jasa Usaha

Tabel 21 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Garut Provinsi Jawa Barat

Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))

No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 09 TAHUN

2001 00-00-2001

RETRIBUSI PELAYANAN IZIN PENGELOLA KAYU MILIK

Retribusi Jasa Usaha

Dari data yang diuraikan sebagaimana tersebut di muka

dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama; bahwa bentuk pengawasan yang berjalan dalam praktik adalah

bentuk pengawasan preventif (pengesahan) dan bentuk pengawasan

represif (pembatalan atau penangguhan), serta tidak ada pelaksanaan

bentuk pengawasan umum.

Kedua; pengawasan Pusat terhadap daerah telah berlangsung efektif dan

bermanfaat bagi pemerintahan daerah agar pemerintahannya tidak

menyimpang dari tujuan penyelenggaran otonomi daerah, terutama

kebijaksaan yang telah ditetapkan Daerah tidak bertentangan dengan

kebijaksanaan nasional (Pusat) dan/atau bertentangan dengan kepentingan

umum.

Lebih dari itu persoalan muncul terkait dengan instrumen penetapan

pembatalan suatu Perda. Sejumlah tabel di atas menunjukkan bahwa dalam

praktik, pembatalan perda selalu ditetapkan dengan keputusan Menteri

165

dalam negeri (kepmendagri). Sementara itu di lain pihak, telah ada

pengaturan bahwa Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan

oleh Pemerintah425 dan Keputusan pembatalan Perda tersebut ditetapkan

dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak

diterimanya Perda.426 Terhadap persoalan ini, perlu pembahasan di bagian

lain, terkait dengan legitimasi Kepmendagri sebagai instrumen penetapan

suatu perda.

Persoalan lain muncul menyangkut fenomena pemekaran daerah.

Perjalanan pemekaran daerah yang dapat terlihat pada tahun 2007 dan 2008

dapat dipetakan sebagai berikut:

Tabel 22 Jumlah Undang-Undang Pembentukan Daerah (Pemekaran

Daerah) 2007 – 2008 No Tahun

Pembentukan Undang-Undang

UU Pembentukan Daerah/Pemekaran

UU Non Pemekaran

Jumlah

1. 2007 21 UU, dikecualikan terhadap Undang-Undang Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia

24 50

2. 2008 30 26 56

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa dalam dua tahun (2007-dan

2008) pembentukan daerah-daerah baru mengalami kenaikan yang pesat.

Artinya bahwa terutama dalam dua tahun tersebut, hampir setengah dari

produk legislasi DPR merupakan undang-undang pemekaran daerah.

425 Pasal 145 ayat (2). 426 Pasal 145 ayat (3).

166

Pada tahun 2007 keluar persyaratan baru terhadap pemekaran yang

dipandang lebih ketat.427 Di dalamnya diatur bahwa pemberian status daerah

baru didahului dengan evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan

pemerintahan daerah dan evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi

daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.428 PP

tersebut mengatur pula mengenai kemungkinan pencabutan status daerah

jika dinilai tidak mampu.429 Pertanyaan pun muncul dari sebagian kalangan

mengenai dapatkah aturan baru itu memperlambat atau bahkan

menghentikan lajunya usulan pemekaran yang semakin marak.430 Satu sisi

dinilai bahwa PP tersebut menetapkan syarat yang lebih ketat, di sisi lain,

ternyata pada tahun 2008, pembentukan daerah-daerah baru terjadi bahkan

melebihi 50 persen jumlah produk undang-undang.

Persoalan-persoalan di atas sedikitnya memunculkan tantangan

mengenai bagaimana pembinaan dan pengawasan dapat menyeimbangkan

tarik ulur antara hubungan pusat dan daerah. Pengaturan yang berlaku

sebagai rangkaian pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah

tidak final unuk diarahkan menengahi spanning yang senantiasa

memungkinkan muncul dalam hubungan pusat dan daerah.

2. Telaah terhadap Pengawasan Peraturan Daerah Berbicara negara kesatuan, dikatakan oleh CF strong, the supreme

legislative power by one central power. Hanya satu kekuasaan legislatif, yaitu

di tangan pemerintah pusat. Oleh sebab itu di dalam negara kesatuan

kedudukan pemerintah pusat lebih tinggi daripada pemerintah daerah.

Dengan kata lain, ada satu sistem hukum yang harus diikuti sampai ke

427 SB, Memperlambat Laju Pemekaran Daerah, Harian KOMPAS, Rabu, 16 Januari 2008, dalam Publikasi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), http://kppod.org/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=2 , pada 8/12/2009 2:01:32 PM

428 Pasal `22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah 429 Bab IV dan Bab V Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. 430 SB, Memperlambat …, Op.cit..

167

daerah-daerah otonom. Hanya satu sistem hukum, yaitu yang dibuat oleh

kekuasaan legislatif tertinggi. Inilah yang mendasari harus ada pengawasan

pusat terhadap daerah. Pada intinya adalah apakah daerah tidak

menyimpang terhadap sistem perundang-undangan. Agar tidak

menyimpang dari peraturan perundang-undangan secara nasional. Maka

harus ada pengawasan pusat terhadap daerah. Ini mempertegas bahwa

yang diawasi adalah peraturan perundang-undangan. Yang lebih jelas lagi

adalah dalam perundang-undangan adalah perda dan peraturan kepala

daerah. Ini kaitannya dengan teori negara hukum, kegara kesatuan, dan

demokratisasi. Untuk mensejahterakan rakyat, pemerintah menyerahkan

sebagian urusan kepada daerah dalam rangka mencapai tujuan itu.

Bentuk dan lingkup pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap

Daerah berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan tentang

pemerintahan daerah, ternyata berbeda-beda, baik bentuk maupun lingkup

pengawasannya. Dengan demikian, berdasarkan sejarah perkembangan

pengawasan Pusat terhadap Daerah menurut UUD 1945, dalam

implementasinya diatur dan dijabarkan berbeda-beda oleh berbagai

undang-undang. Bentuk maupun ruang lingkupnya terus berkembang

dinamis mengikuti perkembangan kehidupan sosial politik yang ada pada

kurun waktu yang berbeda.

Berdasarkan perkembangan pengawasan dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang pernah diatur dalam peraturan perundang-

undangan sampai sekarang terdapat 3 (tiga) bentuk yakni pengawasan

preventif, pengawasan represif dan pengawasan umum. Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 mengatur 2 (dua) bentuk pengawasan yakni

pengawasan preventif dan pengawasan represif. Sedangkan undang-undang

sebelumnya, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1974 mengatur 3 (tiga)

bentuk pengawasan yakni pengawasan umum, pengawasan preventif, dan

pengawasan represif dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 hanya

mengatur pengawasan represif saja.

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pengawasan preventif

dilaksanakan melalui tindakan pengesahan terhadap peraturan daerah

168

bidang tertentu yakni Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,

Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Rencana Umum Tata Ruang Daerah.

Jadi, sebuah peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah terlebih dahulu harus

dilakukan evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Peraturan Daerah

Provinsi dan oleh Gubernur terhadap Peraturan Daerah Kabupaten dan

Kota. Apabila hasil evaluasi tersebut, ternyata rancangan Peraturan Daerah

yang telah disetujui bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

dan/atau kepentingan umum, maka daerah yang bersangkutan harus

melakukan revisi agar tidak bertentangan dengan perundangan yang lebih

tinggi dan/atau kepentingan umum. Setelah melalui proses tersebut, maka

Peraturan Daerah dapat diberlakukan oleh Daerah. Dengan adanya

pengawasan preventif, peraturan daerah tidak serta merta berlaku, namun

terlebih dahulu dilakukan evaluasi oleh pemerintah pusat dan/atau

pemerintah provinsi.

Pada masa berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, ternyata pengawasan preventif ditiadakan. Hal

tersebut sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan, UU No. 22 Tahun 1999

mengambil jalan politik baru yaitu meniadakan pengawasan preventif dalam

pembentukan peraturan daerah. Peraturan daerah akan serta merta berlaku

karena tidak memerlukan pengesahan. Yang ada adalah pengawasan

represif yaitu wewenang membatalkan atau penundaan.431 Terhadap

pengawasan preventif ini, menurut Bagir Manan,432 terdapat segi positif dan

negatifnya. Positifnya, pengawasan preventif dapat menjadi daya kendali

atau belenggu terhadap inisiatif daerah. Melalui pengawasan preventif,

daerah “dipaksa” selalu tunduk pada kemauan pihak yang berwenang

memberi pengesahan. Segi negatifnya, tidak ada unsur pencegahan

terhadap kekeliruan, kecerobohan, atau kesalahan suatu peraturan daerah.

431 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,…, Op., Cit., hlm. 154. 432 Ibid.

169

Pengawasan represif, sebagaimana dikemukakan di atas adalah

wewenang untuk membatalkan atau penundaan berlakunya peraturan

daerah. Jadi pengawasan represif dilakukan setelah suatu peraturan daerah

mempunyai akibat hukum, baik dalam rangka desentralisasi maupun tugas

pembantuan. Pelaksanaan pengawasan preventif berada pada posisi “lebih

awal” dari pengawasan represif. Daya campur tangan terhadap daerah juga

menjadi lebih besar. Pengawasan preventif mengandung “prasyarat” agar

peraturan daerah atau yang mengandung sifat tertentu dapat dijalankan.

Pembatasan terhadap pengawasan preventif lebih ketat dibanding

pengawasan represif. Salah satu pembatasan adalah dengan cara mengatur

atau menentukan secara pasti jenis atau macam peraturan daerah yang

memerlukan pengesahan.

Memahami pengaturan dan praktik pengawasan dalam rangka

penyelenggaran pemerintahan daerah yang berjalan selama ini, bentuk

pengawasan yang seyogyanya dikembangkan atau diterapkan dalam

Undang-undang yang mengatur pemerintahan ke depan adalah bentuk

pengawasan preventif dan pengawasan represif. Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 dapat dikatakan sudah sangat tepat mengatur pengawasan

preventif dan pengawasan represif ini, karena telah diatur dengan jelas dan

rinci ruang lingkup dari kedua bentuk pengawasan tersebut serta ditentukan

dengan tegas batas-batas ruang lingkupnya sehingga diharapkan dapat

dicegah tindakan Pemerintah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah di

daerah untuk bertindak sewenang-wenang atau melampaui kewenangan.

Selain itu, sejalan dengan pelaksanaan pengawasan represif, yang berupa

pembatalan terhadap produk-produk hukum daerah, ternyata Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 demi terwujudnya pemerintahan daerah yang

demokratis telah memberi saluran hukum ‘judicial review’ kepada Daerah

yang keberatan produk-produk hukumnya telah dibatalkan, yakni dengan

cara mengajukan perkara pembatalan ini ke lembaga yudisial, dalam hal ini

Mahkamah Agung.

Dengan pengaturan atau peran lembaga Yudisial (Mahkamah Agung)

dalam rangka pengawasan (represif) Pusat terhadap Daerah, terlihat bahwa

170

lingkup pengawasan Pemerintah terhadap penyelenggaraan pemerintahan

daerah hanya sebatas pengawasan dalam bidang administrasi

pemerintahan atau administrasi negara. Selain itu peran tersebut tidak dalam

kerangka memberikan keputusan-keputusan yang bersifat hukum (yudisial).

Dalam hal pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah, apabila

adanya kejanggalan-kejanggalan atau dugaan penyimpangan dalam materi

hukum produk-produk hukum Daerah, maka Pemerintah Pusat dapat

memberikan evaluasi serta rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan untuk

pembenahan.

Selanjutnya, apabila pembatalan oleh Pemerintah Pusat tidak dapat

diterima, Daerah dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung,

kemudian atas dasar putusan yudisial dari Mahkamah Agung tersebut,

Pemerintah Pusat apabila memenangkan sengketa melalui Mendagri sesuai

dengan wewenangnya dapat mengintruksikan kepada Daerah yang

bersangkutan untuk segera mencabut dan mengubahnya. Atas dasar

wewenang pengawasan yang diberikan kepadanya, Pemerintah Pusat juga

dapat menerapkan sanksi administratif kepada Daerah yang sengaja atau

lalai melaksanakan perintah untuk mencabut dan mengubah peraturan

daerah yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung itu.

Berdasarkan gagasan sebagaimana tersebut di atas, maka paling

tidak dalam praktik penyelenggaran daerah, keberadaan pengawasan dilihat

dari mekanisme yang diatur di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 itu dapat

menghindari 2 (dua) hal yang kontra produktif. Pertama, terhindar adanya

intervensi lembaga Pemerintah (badan eksekutif) terhadap fungsi yudisial

pengadilan. Kedua, terhindar timbulnya dominasi eksekutif atas

pemerintahan daerah (Kepala Daerah dan DPRD) yang telah menetapkan

produk-produk hukum secara demokratis.

Di antara penggolongan pengawasan pemerintah pusat terhadap

pemerintah daerah, yang dipandang tepat yaitu preventif, represif

(administrative), yang dilengkapi dengan pengawasan yudisial. Apabila

berkebaratan perdanya dibatalkan, dapat mengajukan ke mahkamah agung.

Itu yang tidak dapat berjalan dalam praktik. Dengan demikian telah

171

terlaksana pengawasan secara demokratis. Pada intinya bahwa pengaturan

tentang pengawasan saat ini menuju kepada yang ideal. Apakah control

sama dengan review? Dapat dikatakan ya, karena yang dikontrol adalah

peraturan perundang-undangan, dalam hal ini perda atau peraturan kepala

daerah. Berbeda dengan legislative review, yaitu dilakukan oleh DPR/DPRD.

Berbicara pengawasan dari pusat dan daerah hanya dua macam, represif

dan preventif. tapi UU No. 32 Tahun 2004 nampaknya sejalan dengan

otonomi seluas-luasnya daerah diberikan kesempatan untuk banding.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa persoalan

mengenai apakah pengaturan pengawasan preventif dan represif terhadap

perda, ditambah pengawasan yudisial sudah tepat, terdapat beberapa hal

yang dapat dikemukakan. Pertama, Selama ini yang diverifikasi adalah lebih

kepada legislative drafting, bukan karena semata-mata bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Dengan demikian

apakah cocok pengawasan preventif terhadap empat hal tertentu?

Nampaknya pengawasan secara represif untuk semua bidang cenderung

lebih baik. Hal tersebut terkait dengan agenda-agenda pembangunan daerah

yang membutuhkan proses yang lebih efisien. Biarkan setiap norma menjadi

sah sampai ditentukan lain. Kedua, di sisi lain dapat dipandang bahwa

bentuk pengawasan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini sudah

mendekati bentuk yang ideal. Letak kedaulatan rakyat dalam pola hubungan

pengawasan antara pusat-daerah dalam UU ini adalah pemberian ruang bagi

pemerintah daerah untuk menyampaikan keberatan kepada Mahkamah

Agung atas pembatalan perda.

3. Telaah Terhadap Bentuk-Bentuk/ Lingkup dan Objek Pengawasan

Telah diuraikan bahwa dari beberapa jenis objek pengawasan, yang

berlaku saat ini dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan terhadap

peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. setelah berbagai sisi positif

dan negatif yang timbul dari pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999, dalam UU

No. 32 Tahun 2004 dimunculkan kembali pengawasan preventif dan represif.

172

Namun, khusus yang berkenaan dengan pranata pengawasan preventif

terhadap perda, UU ini hanya membatasi substansinya pada Perda tentang

APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan lingkungan hidup, dengan

mekanisme evaluasi dan pengesahannya. Sementara itu pengawasan

represif ditujukan terhadap semua perda, tanpa kecuali.

Berkaitan dengan hal tersebut I Gde Pantja Astawa memberikan

penegasan bahwa baik pengawasan preventif maupun pengawasan represif,

mempunyai objek ataupun mengenai hal yang sama.433 Pertama, saat

pelaksanaannya. Artinya, pengawasan preventif dilakukan sebelum Perda

diberlakukan, sedangkan pengawasan represif harus memperhitungkan

akibat hukum yang telah timbul selama Perda tersebut masih berlaku.

Kedua, akibat hukumnya. Karena Perda belum berlaku, penolakan

pengesahan belum menyentuh akibat hukum yang timbul dari Perda

tersebut. Sebaliknya, pengawasan represif harus memperhitungkan akibat

hukum yang telah timbul selama Perda tersebut berlaku.

Dalam konteks agar pengawasan tidak menjadi terlampau longgar

dan tidak pula terlampau ketat, perlu diketahui bahwa pengertian

pengawasan adalah suatu bentuk hubungan dengan sebuah legal entity

yang mandiri, bukan hubungan internal dari entitas yang sama.434 Maka dari

itu bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata menurut berdasarkan

ketentuan Undang-Undang. Gde Pantja menegaskan kembali bahwa

pengawasan tidak berlaku ataupun tidak diterapkan terhadap hal-hal yang

tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.435 Maka dari itu salah

satu bentuk pengawasan yang menurut tim peneliti harus dihindari dan tidak

diatur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah bentuk/jenis

pengawasan yang disebut pengawasan umum, sebagaimana pada masa lalu

diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Pengawasan umum

sangat luas ruang lingkupnya sehingga betul-betul dapat mematikan atau

433 I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Alumni, bandung, 2009, hlm. 322-323. 434 Ibid., hlm. 322. 435 Ibid.

173

membelenggu prakarsa atau inisiatif Daerah dalam mengatur dan mengurus

rumah tangga daerah sehingga tidak sejalan dengan upaya mewujudkan

pemerintahan daerah yang demokratis. Jadi sudah dapat terlihat bahwa

pengaturan pengawasan saat ini lebih mengarah ke demokratis.

4. Telaah Terhadap Instrumen Penetapan Pembatalan Perda

Keberadaan pengawasan sebagai konsekuensi dari keberadaan

hubungan hirarkis. Dalam Undang-Undang menyatakan bahwa yang diawasi

adalah peraturan perundang-undangan yang bernama perda dan perat

kepala daerah.436 Maka dari itu, judicial control sama dengan judicial review.

Peraturan daerah yang berlaku sebagai undang-undang bagi daerah,

proses penyusunan maupun implementasinya perlu dimonitor secara terus

menerus untuk memberikan jaminan kepada publik bahwa semua ketentuan

yang diatur dalam perda tersebut sudah mengikuti norma-norma/kaidah-

kaidah yang berlaku yaitu memenuhi persyaratan sebagai peraturan yang

baik. Kegiatan monitoring tersebut pada dasarnya adalah merupakan bagian

dari kegiatan pengawasan yang harus dilakukan oleh suatu

lembaga/institusi tertentu yang pada lazimnya mempunyai kedudukan lebih

tinggi dan mempunyai kewenangan untuk melakukan penilaian untuk

memastikan bahwa segala ketentuan yang tercantum di dalam peraturan

daerah dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan maupun

prinsip-prinsip yang harus diikuti berkaitan dengan pengenaan suatu

pungutan.

Sebagai konsekuensi bahwa peraturan daerah tidak boleh

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka pencabutannya pun

hanya dapat dilakukan dengan peraturan yang lebih tinggi atau sederajat.

Dalam rangka pengawasan, merupakan konsekuensi logis jika suatu

peraturan daerah dapat dibatalkan atau dicabut hanya dengan peraturan

yang lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan urutan peraturan perundang-

436 Pengawasan lainnya yang dilakukan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan daerah adalah pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, lihat Pasal 218 ayat (1) huruf a.

174

undangan yang ditetapkan dalam UU No. 10 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.437 Ketentuan Undang-undang bahwa

perda dapat dibatalkan oleh bentuk peraturan presiden dapat dinilai tepat.

Pasal 145 ayat (3) sudah memberikan atribusi kewenangan438 kepada

Presiden untuk dapat membatalkan suatu perda. Begitu pula dikuatkan

bahwa Dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah di yang mengatur

pajak dan retribusi daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 15

(lima belas) hari setelah ditetapkan.439 Dalam hal Peraturan Daerah tersebut

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, Pemerintah dapat membatalkan Peraturan

Daerah dimaksud,440 Namun ternyata Presiden pun memberikan delegasi

kepada Menteri Dalam Negeri untuk dapat membatalkan Perda, melalui PP

No. 79 Tahun 2008. Dalam Pasal 37 ayat (1) dikatakan bahwa Peraturan

Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah

paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan. Pemerintah melakukan

pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh Menteri. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

437 Pasal 7 ayat (1) mengatur bahwa Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

Ditambahkan dalam ayat (2) bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

438 kompetensi/kewenangan administrasi negara (pejabat TUN) berdasarkan suatu perundang-undangan formal, lihat Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hl. 10. 439 Pasal 25A ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. 440 Pasal 25A ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.

175

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden

berdasarkan usulan Menteri. Peraturan Kepala Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum,

Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

dapat dibatalkan dengan Peraturan Menteri. Sementara itu PasaI 38

menambahkan bahwa Peraturan Presiden tentang pembatalan Peraturan

Daerah ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak Peraturan

Daerah diterima oleh Pemerintah. Peraturan Menteri tentang pembatalan

Peraturan Kepala Daerah ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari

setelah Peraturan Kepala Daerah diterima oleh Menteri.

Dari ketentuan tersebut dapat dikemukakan bahwa:

1. Kedua Pasal yang memberikan kemungkinan kepada Menteri untuk

membatalkan suatu perda, dalam rangka pengawasan, tidak menunjuk

secara spesifik menteri apa/bertanggungjawab di bidang apa, untuk

menetapkan pembatalan perda. Baru ditemukan dalam rangka

pengawasan terhadap PP yang mengatur pajak dan Retribusi daerah,

dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri;

2. Kedua Pasal tersebut tidak memberikan kriteria mengenai kapan suatu

pembatalan perda ditetapkan oleh peraturan presiden dan kapan

dibatalkan oleh menteri;

3. Kedua Pasal tersebut hanya menyebutkan nama instrumen berupa

peraturan Menteri, bukan keputusan menteri sebagai instrument

pembatalan perda yang memungkinkan didelegasikan oleh Presiden.

Dengan demikian, antara ketentuan-ketentuan yang berlaku terkait

dengan pembatalan perda, terdapat suatu ketidakharmonisan antara

peraturan secara vertikal, yaitu antara UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 10

Tahun 2004, dengan PP No. 79 Tahun 2005. Melihat bahwa pada praktik

menunjukkan ketentuan dalam PP No. 79 Tahun 2005 yang terlaksanakan,

maka ketetuan dalam kedua UU di atasnya seolah-olah menjadi tidak hidup.

Dengan demikian, sepanjang kedua UU tersebut, terutama UU No. 32 Tahun

2004, yang spesifik pertentangannya, belum dicabut, maka ketentuan yang

176

terkait di dalamnya masih harus ditaati. Kecuali jika praktik menghendaki

lain, maka perlu dilakukan suatu perubahan terhadap UU No. 10 Tahun

2004, yang diarahkan untuk memberi kemungkinan tempat bagi peraturan

setingkat menteri, sebagai representasi pemerintah, ke dalam urutan

peraturan perundang-undangan.

Dilihat dari paradigma kerangka Negara Kesatuan, demokratisasi dan

negara hukum, pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan

kepala daerah yang berlaku saat ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

Tabel 23

Skema Pola Hubungan Pengawasan Pusat-Daerah

NEGARA KESATUAN

Pemberian otonomi daerah bukan untuk mengarahkan kepada pembagian kedaulatan, melainkan hanya satu Kedaulatan, yaitu dalam kerangka negara kesatuan. Pengawasan menjadi instrumen pemerintah pusat untuk menjamin bahwa penyelenggaraan pemerintahan dapat terlaksana sesuai perencanaan.

NEGARA HUKUM DAN KESEJAHTERAAN

Pengawasan baik secara preventif dan represif dilaksanakan untuk menjamin supremasi hukum, agar peraturan perundang-undangan di tingkat satuan pemerintahan yang lebih rendah, sesuai dengan peraturan nasional (satuan pemerintahan pusat).

Jaminan HAM yang menjadi salah satu ciri negara hukum menjadi bagian dari kewajiban negara hingga oleh satuan pemerintahan yang lebih rendah.

Pembagian kekuasaan: tidak saja pembagaian secara horizontal (eksekutif, legislative, dan yudikatif), tetapi juga secara vertikal (satuan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah).

Semua diarahkan bahwa negara menghantarkan kepada pencapaian kesejahteraan rakyat.

DEMOKRATISASI Terdapat pengawasan hukum dengan judicial review, bahwa jika suatu perda dibatalkan dan pemda berkeberatan terhadap pembatalan tersebut, pemda dapat mengajukan judicial review instrumenn

177

pembatalan tersebut ke Mahkamah Agung.

Kedaulatan negara tidak untuk menjadikan negara menentukan

segalanya (totaliterisme), melainkan harus dengan keseimbangan legitimasi

etis dan sosial (normatif-moral).441 Letak kedaulatan negara dalam hubungan

pengawasan adalah pada pengawasan secara preventif dan represif

terhadap ranperda dan perda. Di sinilah mengapa kedaulatan negara

dengan kedaulatan rakyat dapat saling tarik menarik, dapat pula saling

menyeimbangkan. Kedaulatan rakyat tidak boleh tidak terbatas, melainkan

melalui perwakilan dan keterbukaan (publicity) pemerintah (daerah). 442 Letak

kedaulatan rakyat dalam pola hubungan pengawasan antara pusat-daerah

adalah pemberian ruang bagi pemerintah daerah untuk menyampaikan

keberatan kepada Mahkamah Agung atas pembatalan perda.

Persoalan kedua, terdapat suatu ketidakharmonisan antara peraturan

secara vertikal, yaitu antara UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun

2004, dengan PP No. 79 Tahun 2005. Melihat bahwa pada praktik

menunjukkan pembatalan perda selalu dengan Kepmendagri, maka ketetuan

dalam kedua UU di atasnya seolah-olah menjadi tidak hidup. Dalam PP No.

79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan itu sendiri, pada pasal

37 dan Pasal 38 dapat dikemukakan bahwa:

4. Kedua Pasal yang memberikan kemungkinan kepada Menteri untuk

membatalkan suatu perda, dalam rangka pengawasan, tidak menunjuk

secara spesifik menteri apa/bertanggungjawab di bidang apa, untuk

menetapkan pembatalan perda. Baru ditemukan dalam rangka

pengawasan terhadap PP lain, yaitu mengatur pajak dan Retribusi

daerah, dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri;

441 Frans Magnis-Soeseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 177-179. 442 Ibid., hlm. 290-291.

178

5. Kedua Pasal tersebut tidak memberikan kriteria mengenai kapan suatu

pembatalan perda ditetapkan oleh peraturan presiden dan kapan

dibatalkan oleh menteri;

6. Kedua Pasal tersebut hanya menyebutkan nama instrumen berupa

peraturan Menteri, bukan keputusan menteri sebagai instrumen

pembatalan perda yang memungkinkan didelegasikan oleh Presiden.

Dengan demikian, sepanjang kedua UU tersebut, terutama UU No.

32 Tahun 2004, yang spesifik pertentangannya, belum dicabut, maka

ketentuan yang terkait di dalamnya masih harus ditaati.

Masih dalam rangka pengawasan yang tidak dapat dilepaskan dari

pembinaan, jika akan dikeluarkan semacam pedoman dan standard dalam

rangka pembinaan kepada daerah, hendaknya unsur ini tidak perlu terlalu

banyak. Semakin banyak pedoman dan standard cenderung menjadikan

semakin mendorong keseragaman. hal inilah yang seharusnya dihindari

karena bertentangan dengan otonomi itu sendiri. Yang perlu lebih didorong

dari unsur pembinaan ini adalah berupa koordinasi dan fasilitasi.

Berdasarkan rumusan alinea keempat Undang-Undang dasar 1945,

jelas bahwa konsep bernegara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan

pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah memiliki tujuan yang arahnya

untuk memajukan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,443 atau meminjam

konsep Lemaire negara menjalankan fungsi berstuurszorg. Konsep

bernegara yang demikian ini secara teoretikal dianut oleh negara-negara

hukum modern menjelang akhir abad ke XIX, atau awal abad ke XX. Dasar pemikiran keberadaan pengawasan Pusat terhadap Daerah sangat

terkait dengan konsepsi Negara Kesatuan yang dianut di dalam Pasal 1 ayat (1)

UUD 1945. Adanya pengawasan Pusat terhadap Daerah adalah sebagai

443 Otje Salman dan Anton F. Susanto menyatakan, apabila dilihat secara bulat atau holistik (satu kesatuan), yaitu dengan melihat dasar pikiran dalam sila Pertama, Ketiga, dan Kelima, maka keseimbangan (balande) merupakan subtansi pokok yang terkandung didalamnya (maksudnya alinea keempat-penulis). Kesimbangan yang dijelaskan dalam silanya adalah, kesimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat serta kepentingan penguasa, yang dituntun oleh Sila Ketuhanan. Lihat, Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 159.

179

konsekuensi Pemerintah NKRI mempunyai tanggung jawab utama untuk tetap

menjamin tercapainya tujuan nasional yang tercantum di dalam Alinea Keempat

Pembukaan UUD 1945. Di Indonesia pada prinsipnya pengawasan merupakan

konsekuensi dari Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi. Adanya

pembagian kekuasaan secara vertikal antara Pusat dan Daerah sebagaimana diatur

Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyebabkan adanya pengawasan Pusat terhadap

Daerah atau dengan lain perkataan adanya penyerahan urusan pemerintahan dari

Pusat kepada Daerah mengakibatkan Pusat mempunyai tugas dan wewenang

untuk melakukan pengawasan, dengan tujuan agar Daerah terhindar dari

penyimpangan-penyimpangan terhadap peraturan-perundang-undangan yang lebih

tinggi dan kepentingan umum sehingga Daerah dalam menjalankan

pemerintahannya senantiasa sejalan dengan tujuan penyelenggaraan otonomi

daerah.

Dengan demikian pengawasan Pusat terhadap Daerah, apakah itu

berupa pengawasan preventif atau represif (berupa pembatalan atau

penangguhan) suatu produk hukum Daerah, apabila ditelusuri dari

Pembukaan UUD 1945, menemukan dasarnya dari konsep Negara

Kesejahteraan sebagaimana telah dirumuskan di dalam alinea keempat UUD

1945. Tindakan atau keputusan pembatalan suatu Perda yang dilakukan

oleh Pemerintah Pusat misalnya, harus dianggap sah menurut hukum

(praduga rechtmatig) sampai ada pembuktian sebaliknya secara hukum.

Oleh karena itu, sejak berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Daerah

Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, terdapat

ketentuan yang memberikan kemungkinan untuk menguji tindakan atau

keputusan pembatalan suatu Perda melalui apa yang disebut dengan

pranata ’keberatan’: Daerah-Daerah yang merasa keberatan atas

pembatalan peraturan-peraturan daerahnya dapat mengajukan keberatan

kepada Mahkamah Agung. Maka, Mahkamah Agung sebagai institusi

yudisial kemudian menguji keputusan pembatalan itu.

Bagir Manan, yang dalam desertasinya membahas sampai Undang-Undang

No. 5 tahun 1974, namun tidak mengomentari apakah bentuk pengawasan

harus seperti apa. Bagaimanapun dalam No. 5 tahun 1974, yang tidak

180

dibahas dalam desertasinya itu, menunjukkan bahwa terdiri dari pengawasan

umum, represif, dan preventif. Setelah berlaku UU No. 22 tahun 1999, ada

pendapat Bagir Manan, bahwa yang diatur dalam UU 22 Tahun 1999 dengan

menghapus pengawasan preventif, Bagir Manan setuju hanya satu.

Pengawasan yang bagaimana yang tidak membelenggu kemandirian

daerah? Walaupun diawasi tapi daerah masih ada keleluasaaan. Dengan

pengawasan yudisial, pengawasan menghindari pembelengguan daerah.

Ruang lingkup pengawasan terhadap daerah dibatasi pada peraturan daerah

dan peraturan kepala daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis

pengawasan yang dipandang tepat yaitu preventif, represif (administrative),

yang dilengkapi dengan pengawasan yudisial. Apabila suatu daerah

berkeberatan perdanya dibatalkan, dapat mengajukan ke Mahkamah Agung.

Itu yang tidak dapat berjalan dalam praktik. Dengan demikian telah

terlaksana pengawasan secara demokratis. Itu pendapat kita yang intinya

bahwa pengaturan tentang pengawasan saat ini menuju kepada yang ideal.

Pengawasan senantiasa diperlukan sebagai pranata bagi pemerintah

pusat atau satuan pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya untuk

mengendalikan, mempengaruhi, bahkan memaksakan kehendaknya kepada

satuan pemerintahan yang lebih rendah. Alasan utama yang dikemukakan

Gde Pantja444 adalah supaya desentralisasi dengan pemberian otonomi

daerah tidak bergeser menjadi semacam kemerdekaan, walaupun hanya

sekadar untuk urusan pemerintahan tertentu. Tanpa mengesampingkan arti

penting pengawasan, tidak dikehendaki suatu pengawasan yang tidak punya

batasan ruang lingkup.445 Pengawasan demikian tidak sama artinya dengan

pengawasan terhadap segala hal. Pengawasan yang disebut terakhir

menghendaki dibutuhkan sebagai instrument untuk mencapai hakikat

pengawasan, yaitu segala upaya untuk mengetahui bahwa segala hal yang

direncanakan terlaksana. Maka dari itu, pengawasan yang baik adalah

444 I Gde Pantja Astawa, Problematika …., op.cit., hlm. 321. 445 Pengawasan seperti ini mirip dengan jenis pengawasan umum yang diatur pada masa UU No. 5 Tahun 1974.

181

pengawasan terhadap segala hal dengan pembatasan ruang lingkup dan

bentuk, yang ditetapkan dalam undang-undang.

Bentuk pengawasan Pusat terhadap Daerah yang seyogyanya

dikembangkan dan diterapkan dalam undang-undang yang mengatur

pemerintahan daerah adalah bentuk pengawasan preventif dan represif

(pengawasan administratif) dan dilengkapi pengawasan yudisial.

Kemuncullan kembali pengawasan preventif sebagaimana diatur oleh

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak menyebabkan membelenggu

kemandirian Daerah karena pengawasan preventif telah ditentukan batas-

batas ruang lingkupnya serta di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004, pengawasan administratif (preventif dan represif) dilengkapi dengan

pengawasan yudisial. Ditetapkannya tentang bentuk dan ruang lingkup

pengawasan di dalam suatu undang-undang merupakan perwujudan dari

pemerintahan daerah yang demokratis. Dengan demikian, walaupun terdapat

pengawasan, Daerah tetap mempunyai kewenangan untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri atau tetap mempunyai kemandirian. Melihat dari paradigma yang cukup mendasar, Ateng Syafrudin446

berpendapat bahwa terdapat benang merah yang sampai sekarang menjadi

persoalan. Tapi banyak pemikiran-pemikiran di balik pembentukan UU ini,

dipengaruhi dari negeri Belanda. Padahal orang Belanda sendiri berpendapat

bahwa ternyata cara membagai otonomi itu bersumber dari kedaulatan negara,

bukan kedaulatan rakyat. Paradigma ini tidak diketahui umum, sedangkan kita

berpijak pada kedaulatan rakyat. Tidak heran pada tahun 1974 ada suatu

pandangan bahwa otonomi adalah hak prerogatif. Ateng Stafrudin membantah

bahwa itu adalah tugas konstitusional presiden. Itu bersumber dari abad

pertengahan, bahwa hak prerogatif dimulai dari ampunan dosa-dosa, hak

menentukan nilai mata uang, ketiga, berhak memilih kepercayaan sendiri siapa

yang mewakilinya. Ada juga batas-batasnya, melahirkan hak placet: hak penguasa

yang lebih tinggi untuk tidak setuju terhadap gagasan dari satuan pemerintahan di

bawahnya. Hal tersebut ditujukan dalam rangka membina dan memelihara

446 Ateng Syafrudin, disampaikan dalam acara Focused Group Discussion (Fgd) Tentang “Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah”, diselenggarakan atas kerja sama antara Dewan Perwakilan Daerah RI dan Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 4 Agustus 2009.

182

bawahannya. Pemerintah pusat punya hak placet, tapi hrs dijelaskan supaya tidak

menimbulkan konflik. Sekarang pemda baru berindikator pada IPM. Yang lainnya

harus ada. Apakah kalau sudah membangun gedung-gedung menjadi sudah

berhasil? Sering orang hanya mengukur secara materil. Terhadap kedaulatan

negara yang menjadi paradigma dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah ini,

dapat dikemukakan pendapat Hans Kelsen mengenai kedaulatan.447 Kedaulatan

dikatakan sebagai karakteristik definitif dari kekuasaan tertentu: satu negara, satu

teritorial, satu rakyat, dan satu kekuasaan.448 Kekuasaan negara mesti berupa

validitas dan efektifitas tata hukum, jika kedaulatan dipandang sebagai satu kualitas

dari kekuasaan ini.449 Sebab kedaulatan hanya dapat sebagai kualitas dari suatu

tata normatif sebagai suatu kekuasaan yang merupakan sumber kewajiban-

kewajiban dan hak-hak.450 Dengan demikian kedaulatan negara dalam hal ini

ditempatkan terutama dalam kepentingan untuk menjamin kesatuan hukum dari

satuan pemerintahan pusat sampai dengan satuan pemerintahan yang paling

rendah.

Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, kedaulatan negara untuk menjamin

kesatuan hukum atau dengan kata lain untuk menjaga harmonisasi peraturan

perundang-undangan tersebut salah satunya dilaksanakan melalui mekanisme

pengawasan terhadap peraturan daerah. Mengenai praktik bahwa semua

pembatalan sebagai salah satu bentuk pengawasan selalu ditetapkan dengan

kepmendagri, menurut ilmu perundang-undangan, sudah tepat ketentuan bahwa

perda dibatalkan oleh perpres, yaitu mengacu kepada UU No. 10 Tahun 2004.

Namun ketentuan ini tidak berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan itu tidak

dapat dilaksanakan (tidak sesuai dengan asas feasible). Walaupun demikian,

sepanjang suatu peraturan belum diubah atau dicabut, maka ketentuan yang masih

berlaku seharusnya diataati.

Konsep dalam UU yang berlaku saat ini selalu mengaitkan

pengawasan dengan pembinaan dan koordinasi. Walaupun begitu masih

perlu suatu pengujian konsep itu, betulkah bahwa setiap penyelengggaraan

447 Hans Kelsen (alih Bahasa: Somardi), Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press, 1995, hlm. 255. 448 Ibid. 449 Ibid. 450 Ibid.

183

pemerintahan, masalah pengawasan mutlak terkait satu sama lain dengan

koordinasi dan pembinaan, dan tidak dapat terpisah sendiri-sendiri.

Pembinaan pun dalam rangka pengawasan, bahwa dalam sistem negara

hukum harus berjalan. Pengawasan tidak dapat terpisahkan dari

pembinaan. Penetapan pedoman standard dalam rangka pembinaan tidak

boleh terlalu rinci agar keberagaman setiap daerah tetap terjaga. Dengan

demikian kreatifitas daerah tidak terkekang dengan upaya penyeragaman

sebagai dampak dari penetapan pedoman standard. Bentuk evaluasi dalam

rangka pembinaan dan pengawasan perlu dikembangkan, terutama terkait

dengan pemekaran daerah. Penetapan pemekaran daerah yang sudah

marak dan mendominasi produk legislatif beberapa tahun terakhir perlu

ditindaklanjuti dengan mekanisme evaluasi. Tidak hanya cukup sebelum

pemberian status daerah baru, evaluasi dibutuhkan juga setelah pemberian

status daerah baru. Ke depan dapat dikembangkan bahwa sebagai tahapan

menuju pemberian status daerah baru dilakukan terlebih dahulu pemberian

semacam status administratif, seperti yang pernah berlaku pada masa UU

nomor 5 Tahun 1975. Perbedaan yang harus dikembangkan terletak pada

tindak lanjut setelah pemberian status administratif, apakah menjadi kota

atau menjadi kabupaten baru. Pada intinya yang menjadi penting adalah

bagaimana suatu daerah telah terlatih dan terbina terlebih dahulu untuk

menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan sebelum mendapatkan status

daerah yang baru dibentuk. Hal tersebut untuk melihat apakah sebetulnya

daerah-daerah yang dimekarkan (terutama yang berbentuk provinsi) mampu

memenuhi segala syarat kemandirian, dan terutama dapat menjaga

keutuhan Negara Kesatuan, demokratisasi, dan negara hukum dan

kesejahteraan.**

184

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan singkat di atas, dapat dikemukakan beberapa

hal berkaitan dengan prinsip-prinsip pemikiran dan dimensi-dimensi pola

hubungan antara pusat dan daerah.

Pertama, Prinsip-Prinsip Pemikiran Pola Hubungan Antara Pusat Dan Daerah

Prinsip-prinsip ini dapat didekati dari paradigma negara kesatuan,

negara hukum (dengan paradigm negara kesejahteraan), demokratisasi,

yang dilaksanakan dengan cara desentralisasi. Dengan paradigma negara

kesejahteraan, satuan pemerintahan yang terendah adalah ujung tombak

dari upaya menghantarkan kesejahteraan rakyat. Kecenderungan tarik

menarik kekuasaan yang didesentralisasikan tersebut dipengaruhi oleh

sistem rumah tangga seperti apa yang dianut.

Kedua, dimensi-dimensi pola hubungan antara pusat dan daerah UUD 1945 telah memberikan dasar-dasar pola hubungan antara

Pusat dan Daerah, meliputi desentralisasi teritorial, dengan asas otonomi

dan tugas pembantuan, dan memberikan otonomi seluas-luasnya. Dengan

pemberian otonomi seluas-luasnya seperti itu, seharusnya sudah

memungkinkan bagi daerah-daerah untuk beragam memiliki urusan. Dalam

implementasinya, dasar-dasar pola hubungan pusat dijabarkan lebih lanjut

melalui berbagai peraturan pelaksana. Melalui PP No. 38 Tahun 2007, yang

lebih tampak adalah bahwa yang rumah tangga yang dianut adalah rumah

tangga materiil. Dengan konstruksi demikian seperti itu, prinsip otonomi

seluas-luasnya menjadi tidak tampak. Hal tersebut menjadikan setiap daerah

cenderung menjadi seragam. Padahal fungsi otonomi sendiri adalah

keberagaman. Keberadaaan otonomi khusus justru merupakan anomali dari

pemberian otonomi seluas-luasnya. Dengan pemberian berbagai urusan

pemerintahan yang didesentralisasikan, cenderung terjadi

185

ketidakkonsistenan dengan begitu gemuknya kelembagaan di Pusat,

sehingga menyerupai piramida terbalik. Setiap pembentukan kelembagaan di

daerah belum sepenuhnya berdasarkan kebutuhan urusan yang riil dan

kemampuan SDM serta keuangan daerah. Ketentuan yang berlaku sekarang

untuk mengoptimalkan kemampuan daerah masih bergantung kepada

perimbangan keuangan, belum memungkinkan optimalisasi kerja sama

daerah, terutama untuk melakukan pinjaman luar negeri. Upaya

kebergantungan daerah terhadap pusat muncul lagi melalui pranata

pengawasan yang tidak berimbang dengan upaya fasilitasi dan koordinasi

oleh Pusat. Hal tersebut ditambah pula dengan persoalan instrumen hukum

pembatalan perda yang menurut atribusi UU No. 32 Tahun 2004 dilakukan

oleh perpres, namun praktiknya selalu dengan kepmendagri yang

nampaknya lebih memenuhi asas feasible (dapat dilaksanakan) suatu

peraturan. Dengan seperti itu menjadikan atribusi kewenangan dalam UU

tersebut tidak hidup.

B. Saran Dari berbagai telaah mengenai asas, teori, pengaturan, serta

persoalan pola hubungan antara pusat dan daerah, mencerminkan perlunya

upaya untuk mengkaji kembali berbagai peraturan perundang-undangan

yang belum harmonis dengan UUD 1945. Pengkajian yang lebih mendalam

perlu ditindaklanjuti untuk mengembalikan makna otonomi dalam bingkai

negara kesatuan, sebagai upaya untuk menegakkan supremasi hukum,

menghantarkan kepada kesejahteraan rakyat, dan demokratisasi.**

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2006.

Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986.

_______, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986.

Anhar Gonggong (ed), Kumpulan Tulisan Pasang Surut Otonomi Daerah, Institute for Local Development dan Yayasan TIFA, editor Jakarta 2005.

Ateng Syafrudin, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990.

_______, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi dalam Pembangunan Daerah. Citra Media Hukum. Yogyakarta. 2006.

Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Press, Jakarta, 2002.

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18, UNSIKA, Karawang, 1993.

_______, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

_______, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001.

Bhenyamin Hoessein, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalam Kumpulan Tulisan pasang surut otonomi Daerah, Yayasan Tifa, Jakarta, 2005.

Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.

Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007.

Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003.

Frans Magnis-Soeseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.

H. Bohari, Hukum Anggaran Negara. Rajawali Pers. Jakarta. 1995.

I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Alumni, bandung, 2009.

Ichimura, Shinichi; Bahl, Roy (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009.

Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerbit Bina Aksara, 1984.

J. Kaloh, Kepala Daerah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003.

Jimly Ashiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH. UI, Jakarta, 2002.

_______, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

_______, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Komputer, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007.

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah, di Negara Republik Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Kelsen, Hans, (alih Bahasa: Somardi), Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press, 1995.

Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Menggunakan Teori dan Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Monograf, penerbit, kota, dan tahun penerbitan tidak tercantum.

M.N. Azmy Akhir. Masalah Pengurusan Keuangan Negara : Suatu Pengantar Teknis. CV. Dinna. Jakarta. 1986.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993.

Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, dalam Miriam Budiardjo (ed), Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980.

_______, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009.

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009.

Niessen, Nicole, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999.

Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009.

Norton, Alan, International Hand Book of Local and Regional Government A Comparatve Analysis of Advanced Democracies, Edward Elgar Limited – Edaward Elgar Publishing Company, England, USA, 1993.

Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986.

Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi, Kemitraan, Jakarta, 2005.

R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Penerbit Alumni, Bandung, 1982.

RDH Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1979.

Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Visimedia, Jakarta, 2007.

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta.

Smith, B.C., Decentralization The Territorial Dimension of The State, Gerge Allen Unwin, London, 1985.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Strong, CF, Modern Political Constitution, Sidgwick & Jackson Limited, London, 1960.

Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993.

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 2006.

Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid I, Rineka Cipta, Jakarta 2003.

Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, cetakan kedua, 2007.

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta, 1995.

Wolfgang Friedmann, Legal Theory, Steven Sons, London, 1967.

DESERTASI/TESIS/LAPORAN PENELITIAN/MAKALAH/JURNAL

Agus Kusnadi, Bentuk dan Ruang Lingkup Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Yang Demokratis Menurut UUD 1945, Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009.

Anwar Shah, “Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies: Progress, Problems, and the Promise” World Bank Policy Research Working Paper 3282, World Bank, Washington, DC USA, April 2004.

_______, Theresa Thompson, “Implementing Decentralized Local Governance: A Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures”, World Bank Policy Research Working Paper 3353, The World Bank, Washington DC, USA, June 2004.

Asep Warlan Yusuf, Hubungan Kelembagaan antara Pusat dan Daerah, makalah pada Diskusi Terbatas tentang Hubungan Pusat dan daerah, Pusat Studi Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009

Ateng Syafrudin, Masalah Hukum dalam Pemerintahan di Daerah, Makalah untuk pendidikan non-gelar anggota DPRD tingkat II se-Jawa Barat di Fakultas ISIP Unpad, 28 Desember 1992.

_______, disampaikan dalam acara Focused Group Discussion (Fgd) Tentang “Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah”, diselenggarakan atas kerja sama antara Dewan Perwakilan Daerah RI dan Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 4 Agustus 2009.

_______, Handsout dan Course Material Hukum Pemerintahan Daerah, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Program Studi Hukum Tata negara, 2009.

Bachrul Elmi dan Syahrir Ika, “Hutang Sebagai Salah Satu Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah Otonom”, Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 6 No. 1, Maret, 2002.

Bagir Manan, Tugas Sosial Pemerintahan Daerah, Makalah, 2008.

Bahl dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 3.; Jaime Bonet, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006.

Bonet, Jaime, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006.

Elektison Somi, Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia (Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2006.

Era Dabla-Norris, “The Challenge of Fiscal Decentralisation in Transition Countries”, Comparative Economic Studies, Vol.48, 2006.

I Gde Pantja Astawa,Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran Bandung, 1999.

Jameson Boex, Renata R Simatupang, “Fiscal Decentralisation and Empowerment: Evolving Concepts and Alternative Measures” Journal Compilation Institute of Fiscal Studies Vol. 29, No. 4, Blackwell Publishing Ltd, UK-USA, 2008.

Kerangka Acuan Penelitian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD RI Dengan Perguruan Tinggi Di Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta 2009.

Kuntana Magnar, Bahan diskusi pada Diskusi Terbatas Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009

Larry Schroeder, Fiscal Decentralization in South East Asia, Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003.

Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Sarjana (S1), Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun 2007.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Wilayah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Pengkajian Penataan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Laporan Penelitian, Bandung, 2002.

Schroeder, Larry, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003.

Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, dampaknya terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor No. 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor No.33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Undang-Undang Nomor No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1997 Tentang Retribusi Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2008 Tentang Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Sumber Internet

http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc.

http://www.opensubscriber.com/message/[email protected]/9511217.html

www.geocities.com/syahyuti/Rumusan_konsep_kelembagaan.pdf

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/05/04112298/pajak.daerah.dibatasi.

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91036/20/2/RUU-Pajak-dan-Retribusi-Daerah-Disahkan-Jadi-UU

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/05/04112298/pajak.daerah.dibatasi.

http://www.detikfinance.com/read/2009/08/18/103708/1184734/4/15-poin-uu-pokok-pajak-daerah-dan-retribusi-daerah

www.worldbank.org/id.

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf.

www.bakd.depdagri.go.id/

www.google.com

http://kppod.org/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=2

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91036/20/2/RUU-Pajak-dan-Retribusi-Daerah-Disahkan-Jadi-UU

http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php/topic,5619.0.html

http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/

http://en.wikipedia.org/wiki/Participatory_democracy

http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/

http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc.

http://www.ssrn.com/abstract=1029581