PENELITIAN ANALISIS TERHADAP KEBERADAAN BUKTI...
Transcript of PENELITIAN ANALISIS TERHADAP KEBERADAAN BUKTI...
1
PENELITIAN
ANALISIS TERHADAP KEBERADAAN BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI DASAR GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG
DIAJUKAN LEH PT. SARANA MEDITAMA INTERNASIONAL TERHADAPPRITA MULYASASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN NOMOR
300/Pdt.G/2009/PN TANGGERANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pergaulan atau hubungan masyarakat adalah interaksi antara manusia dan
kelompok manusia yang saling tergantung dan membutuhkan. Agar hubungan ini
dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan aturan yang dapat melindungi kepentingannya
dan menghormati kepentingan dan hak orang lain sesuai hak dan kewajiban yang
ditentukan aturan ( hukum)1. Untuk itu, masyarakat membuat aturan hukum untuk
dipatuhi dan akan ditegakkan bila terjadi pelanggaran.
Selaras dengan pernyataan diatas, Pasal 28D huruf 1 UUD 1945 Amandemen
Keempat menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan, jaminan
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
1 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu PengenalanPertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku 1, Bandung, 2000, hlm 16.
2
Kepentingan setiap orang tidak jarang harus berbenturan dengan kepentingan
orang lain. Benturan ini menimbulkan perselisihan atau sengketa yang memerlukan
penyelesaian. Pada dasarnya, sepanjang masalah yang timbul tidak termasuk
kriminal, maka perselisihan tidak harus bermuara di pengadilan.
Timbulnya sengketa perdata disebabkan oleh terjadinya perbuatan melawan
hukum dan wanprestasi. Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa tiap perbuatan
melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang
yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian2, sementara itu
terminologi perbuatan melawan hukum merupakan terjemahan dari kata
”onrechtmatigedaad”, diatur dalam KUHPerdata Buku III tentang Perikatan yaitu
Pasal 1365 hingga 1380. Sarana untuk menyelesaikan persengketaan perdata pada
hakikatnya dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu 3:
1. Secara litigasi, yaitu penyelesaian sengketa melalui badan periap padilan
yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan -
perselisihan dalam masyarakat melalui empat lingkungan peradilan
menurut Undang - undang No. 48 Tahun 2009.
2. Melalui alternatif penyelesaian sengketa ( Alternative Dispute Resolution).
Bentuk lembaga ini adalah bersifat partikulir, tidak dibentuk oleh
pemerintah tetapi oleh kebutuhan masyarakat. Alternatif penyelesaian
sengketa yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 sebenarnya
2 R Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita,2003, hlm 346.
3 Andriani Nurdin, “ Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri Sebagai CikalPenyelesaian Sengketa Niaga Syariah Di Pengadilan Agama”, Majalah Hukum Nasional, BadanPembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Nomor 1 Tahun 2007.
3
merupakan pengembangan dari cara penyelesaian sengketa secara
musyawarah baik dengan bantuan seorang negosiator, mediator,
konsoliator, maupun arbiter.
Proses penyelesaian sengketa perdata melalui lembaga litigasi / pengadilan,
diselesaikan dengan berdasarkan kepada ketentuan - ketentuan yang sebagian besar
tertuang dalam Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Rechtsreglement
Buitengewesten (Rbg), serta peraturan perundang – undangan lainnya 4. Dalam
tahapan penyelesaian sengketa, proses yang paling penting dan menentukan sebelum
dijatuhkannya putusan adalah proses pembuktian.
Berdasarkan Pasal 164 HIR, alat bukti yang dikenal dalam pasal tersebut
untuk menyelesaikan sengketa perdata yaitu surat, saksi, persangkaan-persangkaan,
pengakuan, dan sumpah. Het Herzien Indonesich Reglement (HIR) menentukan
secara limitatif alat bukti yang dapat diajukan dalam pembuktian acara perdata.
Namun seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, dalam proses penyelesaian
sengketanya kemudian dikenal adanya alat bukti elektronik, antara lain surat
elektronik.
Surat elektronik / E-mail adalah surat yang dibuat dan dikomunikasikan
dengan menggunakan komputer melalui jaringan internet, yang digunakan untuk
berkomunikasi jarak jauh dalam waktu singkat. Dalam perkembangannya, Undang-
undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik melalui
Pasal 5 ayat (1) mengatur tentang bukti elektronik yang menyebut bahwa:
4 Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm202.
4
” Informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan
alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah”
Salah satu kasus yang menggunakan alat bukti elektronik berupa elektronic
mail yang sangat marak diperbincangkan beberapa waktu yang lalu adalah kasus
Prita Mulyasari yang digugat oleh PT. Sarana Meditama Internasional sebagai pihak
yang mengelola Rumah Sakit Omni Internasional. Kasus ini bermula saat Prita
Mulyasari memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit (RS) Omni Medical
Care Internasional pada 7 Agustus 2008. Prita Mulyasari mengeluhkan
pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care
International dan juga dokter yang merawatnya. Akibat permintaan rekam
medis dan keluhan yang tidak ditanggapi dengan baik, Prita Mulyasari
akhirnya menuliskan pengalamannya melalui surat elektronik atau email
kemudian mengirimkan email tersebut kepada teman-teman dekat Prita, namun
belakangan email ini terus menyebar ke berbagai milis. Pada akhirnya pihak
Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional menganggap prita
mulyasari telah merusak citra dan nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Medical
Care Internasional. Melalui kuasa hukum, PT. Sarana Meditama Internasional
akhirnya melayangkan gugatan perdata kepada Prita Mulyasari dengan dasar
gugatan perbuatan melawan hukum, kejahatan dunia maya (UU ITE) dan
pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 310 dan 311 KUHP.
Melalui penelitian ini, penulis mencoba untuk melakukan anotasi terhadap
putusan Pengadilan Negeri Tanggerang yang mengadili kasus antara PT. Sarana
5
Meditama Internasional Versus Prita Mulyasari, yang didasarkan oleh adanya
perbuatan melawan hukum melalui beredarnya surat elektronik. Sementara itu,
perbuatan melawan hukum dapat diartikan sebagai suatu perbuatan atau kealpaan
yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan maupun keharusan yang
harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda.
Beranjak dari uraian di atas, maka dirasakan perlu untuk dilakukan pengkajian
dan analisis terhadap putusan pengadilan No. 300/Pdt.G/2009/PN Tanggerang.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
membatasi permasalahan-permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Sejauhmana hakim pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara antara
PT. Sarana Meditama Internasional versus Prita Mulyasari terikat pada
diajukannya electronic mail sebagai bukti elektronik menurut UU No. 11
Tahun 2008?
2. Apakah putusan hakim Pengadilan Negeri Tanggerang No.
300/Pdt.G/2009/PN TGR yang memutus adanya perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh Prita Mulyasari sudah sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam KUHPerdata dan yurisprudensi?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Alat Bukti Elektronik dan Kekuataan Pembuktiannya
Menurut R. Subekti, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan ialah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan.5 Oleh karenanya pembuktian ini sangat diperlukan
terutama apabila timbul suatu sengketa atau suatu perselisihan. Hal ini erat
kaitannya guna meyakinkan hakim bahwa seseorang mempunyai suatu hak seperti
dinyatakan dalam pasal 1865 KUH Perdata bahwa :
“setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atauguna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lainmenunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwatersebut”.
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa yang harus dibuktikan dalam suatu
proses perdata adalah mengenai peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya tidak
harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak tetapi secara ex officio dianggap
5 Subekti. R, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hlm.1
7
harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit). Ketentuan ini dapat
disimpulkan dari Pasal 178 ayat (1) HIR (ps. 189 ayat 1 Rbg) dan pasal 50 ayat (1)
Rv.
Sistem HIR dalam acara perdata, hakim terikat pada alat-alat bukti yang
sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-
alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat bukti dalam acara perdata
yang disebutkan oleh undang-undang, diatur dalam Pasal 164 HIR, 284 RBg, dan
1866 BW.
Mengenai alat-alat bukti dan hukum pembuktian selain diatur dalam
HIR/RBg, juga diatur (sama) dalam BW. Akan tetapi, karena hukum pembuktian
perdata merupakan sebagian dari hukum acara perdata, pengadilan pada prinsipnya
dalam menangani perkara perdata harus mendasarkan pada hukum pembuktian
dari HIR dan RBg, sedangkan BW hanya sebagai pedoman saja apabila
diperlukan, misalnya bila dalam suatu perkara perdata harus dilaksanakan suatu
peraturan hukum perdata yang termuat dalam BW dan pelaksanaan ini hanya tepat
jika hukum BW yang diikuti. 6
Menurut Pasal 164 HIR (284 RBg) mengatur secara limitatif mengenai alat
bukti dalam perkara perdata yang terdiri atas :
a. Alat bukti tertulis/surat ;
b. Kesaksian (keterangan saksi-saksi) ;
c. Persangkaan-persangkaan ;
6 Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1992,hlm. 101.
8
d. Pengakuan ;
e. Sumpah.
Dalam perkembangan di era globalisasi dewasa ini berkembang pula alat
bukti elektronik. Kendati telah diatur dalam undang-undang, namun alat bukti
elektronik sifatnya masih parsial, sebab hanya dapat dipergunakan dalam tindakan
hukum tertentu.
Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem
elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti
elektronik dapat memiliki kekuataan hukum apabila informasinya dapat dijamin
keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dapat ditampilkan
sehingga mampu menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti
elektronik harus dapat menunjukan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari
sistem elektronik yang dapat dipercaya 7. Saat ini Indonesia membuka babak baru
sejarah dengan diundangkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-undang No. 11 Tahun 2008 merupakan satu upaya penting dalam
hal, pertama: pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam
kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum
transaksi elektronik dapat terjamin. Kedua: diklarifikasikannya tindakan-tindakan
7 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,1992, hlm 125.
9
yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalagunaan teknologi
informasi.
Seiring dengan pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah
mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan
hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan
sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat.8
Penggunaan sistem elektronik yang berbasis jaringan telekomunikasi dan
media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis,
menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik merupakan
perwujudan penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentuk
organisasi dan manajemen sesuai dengan karakteristik kebutuhan pada organisasi
atau lembaga yang sesuai dengan tujuan peruntukkannya.
Secara sederhana, otentifikasi dilakukan terhadap alat bukti elektronik
dengan memastikan terlebih dahulu apakah alat bukti elektronik tersebut dihasilkan
dari sumber yang benar. Terkait dengan hal ini, maka otentifikasi sedapat mungkin
mendapat pernyataan kebenaran dari orang dan/atau insitusi yang mengeluarkannya
atau yang mengelola komputer tersebut.
Pasal 6 UU ITE mengatur bahwa dalam kaitannya dengan ketentuan yang
mengatur suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, untuk informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang
8 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008.
10
tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Dari apa yang diuraikan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa secara umum
bentuk lain dari alat bukti elektronik itu adalah informasi elektronik, dokumen
elektronik, dan keluaran komputer lainnya.
B. Konsep Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365
KUHPerdata pada awalnya memang mengandung pengertian yang sempit sebagai
pengaruh dari ajaran legisme. Pengertian yang dihanut adalah perbuatan melawan
hukum sama dengan perbuatan melawan undang-undang.
Dengan adanya beberapa Arrest Hoge Raad antara lain dalam perkara Singer,
Zutphense, dan Cohen v Lindenbaum, maka pengertian perbuatan melawan hukum
menjadi lebih luas, yang diartikan tidak saja melanggar kaidah-kaidah tertulis tapi
juga bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku dan melanggar hak subjektif
orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah tidak tertulis.
Dengan dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata,
pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan
11
melawan hukum hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya
apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya 9.
Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum tahu
betul bahwa perbuataanya akan berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan
pihak lain, maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan bahwa seorang tahu betul akan
adanya akibat itu, ialah bahwa seorang itu tahu betul adanya keadaan-keadaan sekitar
perbuatannya yang tertentu itu, yaitu keadaan-keadaan yang menyebabkan
kemungkinan akibat tersebut terjadi.
Dalam hukum Indonesia sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa
melawan hukum tidak saja diartikan sebagai melanggar hukum tertulis atau undang-
undang tetapi juga melanggar hukum tidak tertulis. Mariam darus Badruzaman
mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan
sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:10
1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat
positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau
tidak berbuat.
2. Perbuatan itu harus melawan hukum, baik karena melanggar hak subjektif orang
lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan
kesusilaan, maupun bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.
9 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm46.
10 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,Bandung, Penerbit lumni, edisi kedua, 1996, hlm 8
12
Perbuatan yang termasuk dalam kategori bertentangan dengan kepatutan
adalah:11
a. Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak;
b. Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain
berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan
3. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dan kerugian.
Unsur kerugian dalam perbuatan melawan hukum harus dibuktikan dapat berupa
kerugian materiil, yaitu dapat dimintakan suatu ganti rugi sejumlah kerugian
yang diderita maupun keuntungan yang akan diperoleh bila ada. Selain itu, dapat
pula berupa kerugian idiil, seperti dalam hal penghinaan, tuntutan yang ditujukan
adalah untuk mendapat ganti rugi dan pemulihan nama baik.
Ada dua ajaran yang berkaitan dengan hubungan kausal, yaitu:
a. Teori Conditio Sine Qua Non (Van Buri)
b. Teori Adaequate Veroorzaking ( Van Kries)
4. Ada kesalahan (schuld), dalam Pasal 1365 KUHperdata mencakup kesengajaan
dan kelalaian.
Pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam
Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa seseorang tidak saja
bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri,
11 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 1979, hlm 82-83.
13
tetapi juga terhadap perbuatan orang yang menjadi tanggungannya atau barang-
barang yang berada dalam pengawasannya.
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk dapat
mengetahui, memahami, dan menganalisis :
1. Keterikatan hakim yang memeriksa dan memutus perkara antara PT.
Sarana Meditama Internasional versus Prita Mulyasari pada electronic mail
sebagai bukti elektronik menurut UU No. 11 Tahun 2008.
2. Putusan hakim Pengadilan Negeri Tanggerang No. 300/Pdt.G/2009/PN TGR
yang memutus adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Prita
Mulyasari sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata
dan yurisprudensi
14
B. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini secara umum diharapkan dapat dijadikan acuan bagi
para akademisi dan mahasiswa dalam mempelajari hukum acara perdata dan secara
khusus diharapkan dapat memberi manfaat berupa sumbangan pemikiran bagi para
penegak hukum dan pihak terkait lainnya yang berhubungan erat dengan
diajukannya bukti elektronik sebagai alat bukti serta mendasarkan gugatan pada
perbuatan melawan hukum.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif
analitis yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai
keberadaan bukti elektronik sebagai dasar gugatan perbuatan melawan hukum yang
diajukan Oleh PT. Sarana Meditama Internasional terhadap Prita Mulyasari dalam
putusan Pengadilan nomor 300/Pdt.G/2009/PN Tanggerang.
B. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu
penelitian hukum yang mengutamakan cara meneliti bahan pustaka atau data
15
sekunder berupa hukum positif yaitu HIR khususnya Pasal 164, UU No. 11 Tahun
2008, dan Pasal 1365 KUHPerdata.
C. Tahap Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Penelitian bahan hukum, meliputi :
1. Bahan hukum primer berupa hukum positif, yaitu Herziene
Indonesisch Reglement ( HIR), UU No. 11 Tahun 2008, dan Pasal
1365 KUHPerdata.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan - bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer antara lain literatur bidang hukum acara
perdata.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan sekunder, antara lain putusan pengadilan,
artikel di koran, majalah, dan browsing internet yang berkaitan dengan
masalah yang sedang diteliti.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data terdiri dari :
1. Studi literatur, yaitu yang terkait dengan objek penelitian yang turut didukung
data data dari internet sebagai data baru yang lebih up to date.
2. Studi terhadap putusan pengadilan.
16
E. Metode Analisis Data
Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan
dengan metode analisis normatif kualitatif. Normatif karena penelitian bertitik tolak
dari peraturan yang ada sebagai hukum positif, asas asas hukum, dan pengertian
hukum. Kualitatif karena merupakan analisis data yang tidak bersifat numerik.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hakim Pengadilan yang Memeriksa dan Memutus Perkara Antara PT. Sarana
Meditama Internasional versus Prita Mulyasari Terikat dengan Diajukannya
Electronic Mail sebagai Bukti Elektronik Menurut UU No. 11 Tahun 2008.
Pada tanggal 24 September 2010, Penggungat yang adalah pengelola Rumah
Sakit “Omni International Hospital Alam Sutera” mengajukan gugatan terhadap Prita
Mulya Sari. Prita Mulya Sari (selanjutnya disebut sebagai Tergugat) marah-marah
dengan alasan tidak puas dengan pelayanan perawatan yang dilakukan Para
Penggugat ( Rumah Sakit Omni Internasional dan para dokter) yang menangani
keluhan penyakitnya. Tidak cukup dengan hanya mengisi lembar “MASUKAN
DAN SARAN”, tergugat dengan menggunakan alamat email
17
[email protected] juga membuat surat elektronik terbuka pada
situs:[email protected] dengan judul “Penipuan OMNI
International Hospital Alam Sutera Tangerang” (Bukti P-6). Surat elektronik terbuka
tersebut kemudian telah disebarluaskan ke berbagai alamat email (Bukti P-7).
Bahwa dalam surat elektronik terbuka tersebut, tergugat menggunakan kata-
kata yang tidak pantas dan melanggar hak pribadi para penggugat, yaitu pencemaran
nama baik dan penipuan. Tergugat dalam jawabannya tertanggal 03 Desember 2008
mengajukan eksepsi antara lain gugatan penggugat prematur dan gugatan kurang
pihak/tidak lengkap (exception plurium litis consortium). Terhadap gugatan para
penggugat, hakim memutus dan mengabulkan untuk sebagian, begitu pula putusan
hakim tingkat banding yang menguatkan putusan hakim tingkat pertama.
Dalam kasus RS. Omni International Hospital Versus Prita Mulyasari, yang
dijadikan alat bukti adalah email/surat elektronik. Sementara itu, sistem HIR dalam
acara perdata mengatur bahwa hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang
berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat bukti dalam acara perdata yang
disebutkan oleh undang-undang, diatur dalam Pasal 164 HIR, 284 RBg, dan 1866
BW.
Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan pada era
globalisasi, nampaknya masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktik pengadilan
di Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah memang belum
18
biasa digunakan dalam perkara-perkara perdata 12. Ketidakmungkinan email
dijadikan sebagai alat bukti tidaklah absolut, akan tetapi bersifat relatif sebab
menurut hukum acara perdata di Indonesia, apabila ada sengketa, kemudian sengketa
tersebut diserahkan pada hakim dalam menyelesaikannya hakim tidak boleh
menolak perkara tersebut dengan alasan tidak ada hukumnya. Alat bukti elektronik
seperti email, tidaklah diatur dalam HIR, namun sejak tahun 2008 melalui UU ITE
dinyatakan bahwa Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik
(Pasal 5 sd. 12 UU ITE), juga secara umum dikatakan bahwa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum
Acara yang berlaku di Indonesia. Dengan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa email merupakan alat bukti yang kedudukannya sama dengan alat bukti surat
yang wujudnya adalah tertulis.
Hakim harus menerima dan mempertimbangkan setiap bukti yang diajukan
kepadanya karena salah satu tugas hakim dalam suatu proses perdata adalah untuk
menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar
ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila
penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar
gugatnya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, gugatannya
akan dikabulkan. Hakim dalam proses pemeriksaan perkara yang berkaitan dengan
diajukannya email dalam kasus Prita Mulyasari dapat menerapkan asas lex specialis
12 Arsyad Sanusi, Data Elektronik Sebagai Alat Bukti, Varia Peradilan No. 257, April 2007, hlm29.
19
derogate lex generali, yaitu undang-undang yang bersifat khusus dalam hal ini UU
ITE dapat mengeyampingkan undang-undang yang bersifat umum yaitu HIR. Di
samping itu, hakim juga dapat menerapkan asas lex posteriore derogate lex priori,
yaitu UU ITE dapat menyampingkan HIR dalam hal penggunaan alat bukti email.
Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata
meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subjek pelakunya
harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum
secara nyata. Dengan menuliskan keluhan terhadap pelayanan RS. Omni
International Hospital, Prita Mulyasari dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE,
yang isinya:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik”.
Menurut pengakuan tergugat, surat elektronik yang ditulisnya hanya dikirim
kesepuluh temannya. Terhadap pengakuan ini, hakim pun dapat mempertimbangkan
pengakuan tersebut sebagai alat bukti. Menurut Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang harus
dijerat dengan hukuman adalah orang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Jika
sekedar menuliskan dalam account email menurut hemat penulis adalah “ranah
pribadi”, namun saat dikirim ke mailing list baru masuk ranah publik.” Untuk itu,
20
pihak yang dijerat adalah yang meneruskan surat elektronik tersebut ke mailing list.
Oleh karena itu, hakim dapat meminta para pihak untuk menghadirkan saksi ahli
untuk menyakinkan validitasnya, dalam hal ini dengan cara memberi keterangan
dari keahliannya menyakinkan hakim apakah pencemaran nama baik tersebut hanya
sebatas surat menyurat dalam email atau sengaja disebarluaskan dari email ke dalam
mailing list.
B. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang No. 300/Pdt.G/2009/PN TGR
yang Memutus Adanya Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Prita
Mulyasari Sudah Sesuai Dengan Ketentuan yang diatur Dalam KUHPerdata
dan Yurisprudensi.
Dalam kasus RS. Omni International Hospital versus Prita Mulyasari, yang
menjadi dasar dari gugatan adalah perbuatan yang melanggar hukum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata (Perbuatan Melawan Hukum).
Hal ini disebabkan karena jelas isi surat elektronik terbuka yang dibuat, dikirim dan
disebarluaskan oleh tergugat tidak sesuai dan melanggar hak-hak pribadi
(kehormatan dan nama baik) para penggugat, serta bertentangan dengan asas
kepatutan, asas ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang
dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat. Sebagai akibat lebih lanjut, para
21
penggugat harus melakukan klarifikasi kepada sesama rekanan dokter, pasien, dan
pihak asuransi termasuk harus membuat pengumuman dan bantahan di media masa.
Sebagai akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat
kepada para penggugat, maka para penggugat telah mengalami kerugian baik secara
materiil maupun immaterial yang total seluruhnya berjumlah Rp. 559.623.064.960 (
lima ratus lima puluh Sembilan milyar enam ratus dua puluh tiga juta enam puluh
empat ribu Sembilan ratus enam puluh rupiah). Hakim Pengadilan Negeri
Tanggerang mengabulkan gugatan penggugat dan menghukum tergugat untuk
mengganti rugi.
Bertitik tolak dari pengertian melawan hukum, pada awalnya mengandung
pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme. Pengertian yang
dianut adalah perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan
dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Dengan kata lain bahwa
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan
undang-undang (onwetmatigedaad), sehingga penulis menyimpulkan bahwa
perbuatan melawan hukum terjadi ketika unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata
terpenuhi.
Pandangan legistis kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan Hoge
Rad 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum vs. Cohen yang dikenal sebagai
Drukkers Arrest. Dengan adanya Arrest ini, maka pengertian perbuatan melawan
hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak
hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu perbuatan yang
22
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar kaidah hak subjektif
orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu
kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau
terhadap harta benda warga masyarakat. Unsur-unsur dari perbuatan melawan
hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata adalah:
1) Perbuatan
Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat digolongkan dalam 2
bagian, yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan dan perbuatan yang
merupakan kelalaian. Prita Mulyasari/ tergugat pada awalnya tidak berniat
untuk menyebarluaskan email yang bersangkutan namun dalam
kenyataannya berita dalam email tersebut beredar diberbagai mailing list.
Hal ini berarti tergugat tidak melakukan hal tersebut secara sengaja, tapi
karena kelalaian yang menimbulkan kerugian pada Penggugat.
2) Perbuatan yang dilakukan itu, harus melawan hukum. Sejak tahun 1919,
unsur melawan hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya, sehingga
meliputi hal-hal yaitu: perbuatan melanggar undang-undang, perbuatan
melanggar hak orang lain yang dilindungi hukum, perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, perbuatan yang
bertentangan kesusilaan (geode zeden ) dan perbuatan yang bertentangan
sikap baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
23
Tindakan yang dilakukan oleh tergugat sangat tidak berdasar dan surat
elektronik yang dibuat bertentangan dengan kesusilaan karena telah
mencaci maki para penggugat serta bertentangan dengan sikap baik dalam
masyarakat karena Omni International Hospital Alam Sutera Tanggerang
dianggap telah melakukan penipuan.
3. Unsur kesalahan
Undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan untuk dapat dikategorikan
perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia, maka pada pelaku harus mengandung unsur
kesalahan (schuldelement) dalam melakukan perbuatan tersebut. Karena itu,
tanggungjawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk
tanggungjawab dalam Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata
Indonesia. Bilamana dalam hal-hal tertentu berlaku tanggungjawab tanpa
kesalahan (strict liability), hal demikian bukan berdasarkan Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
4. Ada kerugian bagi pelaku
Kerugian (schade) bagi korban merupakan unsur perbuatan melawan
hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Dalam gugatan atau tuntutan berdasarkan alasan hukum wanprestasi
berbeda dengan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Gugatan
berdasarkan wan prestasi hanya mengenal kerugian materil, sedangkan
24
dalam gugatan perbuatan melawan hukum selain mengandung kerugian
materil juga mengandung kerugian imateril, yang dinilai dengan uang.
Selain menderita kerugian materil, kerugian immaterial yang diderita
penggugat karena pencemaran nama baik dan menurunnya reputasi para
penggugat, serta menurunnya kepercayaan masyarakat maupun rekanan
bisnis yang sesungguhnya tidak dapat dinilai dengan uang.
5. Ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Tergugat menolak tuntutan ganti rugi baik materil maupun immaterial
sebagaimana dikemukakan oleh para penggugat karena pengumuman dan
bantahan di Kompas dan Media Indonesia semata-mata merupakan
keinginan Para Penggugat serta merupakan promosi para penggugat
sedangkan penurunan omzet rumah sakit bukan tidak mungkin semata-
mata disebabkan atas ketidak professional para penggugat dalam
memberikan tindakan dan pelayanan medis kepada para pasiennya. Dengan
demikian, biaya-biaya yang tidak diperinci secara jelas dan tegas serta tidak
didukung dengan bukti-bukti yang akurat dan otentik maka patut dan
beralasan untuk ditolak sesuai dengan yurisprudensi tetap Mahkamah
Agung RI yaitu:
a. No. 550 K/Sip/1979 tertanggal 8 Mei 1980 yang pada pokoknya
berbunyi: “petitum ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat
diterima karena tidak diadakan perincian mengenai kerugian-
kerugian yang dituntut”.
25
b. No. 492 K/Sip/1970 tertanggal 16 Desember 1970 dan putusan
Mahkamah Agung RI No. 1720K/Pdt/1986 tertanggal 18
Agustus 1980 yang isinya berbunyi : “ setiap tuntutan ganti
rugi harus disertai perincian dalam bentuk apa yang menjadi
dasar tuntutannya. Tanpa perincian dimaksud, maka tuntutan
ganti rugi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima
karena tuntutan tersebut tidak jelas/tidak sempurna.
Akibat perbuatan tergugat, penggugat telah mengalami kerugian
material yang dalam gugatannya dirinci, antara lain atas hilangnya
keuntungan yang diharapkan akibat penurunan omset RS OIH Alam Sutera
sebesar Rp. 108.105.000 perhari yang diperkirakan baru akan pulih (tercover)
dalam waktu 1(satu) tahun /365 hari:365 hari x Rp. 108.105.000= Rp.
39.458.325.000.
Nampak jelas bahwa ada hubungan kausa antara perbuatan dan kerugian yang
diderita. Menurut penulis, pertimbangan dan putusan hakim sudah tepat yang
mengabulkan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dengan
mempertimbangkan unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dan perbuatan
melawan hukum dalam pengertian yang luas karena adanya pelanggaran hak-hak
pribadi (kehormatan dan nama baik), bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian,
dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang (in casu tergugat).
26
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan dalam bab-bab sebelumnya, maka beberapa hal yang
dapat penulis simpulkan adalah sebagai berikut:
1. Elektronic Mail merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia. Hakim harus menerima dan mempertimbangkan setiap bukti yang
27
diajukan kepadanya karena salah satu tugas hakim dalam suatu proses perdata
adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar
gugatan benar-benar ada atau tidak. Hakim dalam proses pemeriksaan perkara
yang berkaitan dengan diajukannya email dalam kasus Prita Mulyasari dapat
menerapkan asas lex specialis derogate lex generali, yaitu undang-undang yang
bersifat khusus dalam hal ini UU ITE dapat mengeyampingkan undang-undang
yang bersifat umum yaitu HIR. Di samping itu, hakim juga dapat menerapkan
asas lex posteriore derogate lex priori, yaitu UU ITE dapat menyampingkan HIR
dalam hal penggunaan alat bukti email.
2. Pertimbangan hukum dan putusan hakim Pengadilan Negeri Tanggerang sudah
tepat yang mengabulkan gugatan penggugat berdasarkan perbuatan melawan
hukum dengan mempertimbangkan unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata,
dan perbuatan melawan hukum dalam pengertian yang luas karena adanya
pelanggaran hak-hak pribadi (kehormatan dan nama baik), bertentangan dengan
asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang
(in casu tergugat).
Saran:
1. Pengaturan tentang bukti elekronik sebagai alat bukti sebaiknya diatur secara
formal dalam Hukum Acara Perdata yang baru, bukan dalam bentuk hukum
materil, dalam hal ini UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Disarankan agar berhati-hati dan tidak merugikan pihak lain dalam
menuangkan isi hati dan pikiran dalam media elektronik karena dengan
28
adanya kemajuan informasi dan teknologi pesan tersebut sangat mudah untuk
diakses dan disadap pihak lain.
29
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum SuatuPengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku 1, Bandung,2000.
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta, 1992.
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2003.
Subekti R dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. PradnyaParamita, 2003.
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1980.
Peraturan Perundang Undangan :
Het Herziene Indonesisch Reglement.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang - undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sumber Lain :
Andriani Nurdin, “ Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri Sebagai CikalPenyelesaian Sengketa Niaga Syariah Di Pengadilan Agama”, Majalah HukumNasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI,Nomor 1 Tahun 2007.
Arsyad Sanusi, Data Elektronik Sebagai Alat Bukti, Varia Peradilan No. 257, April 2007