PENDIDIKAN KARAKTER: TEORI DAN PRAKSIS DALAM PENDIDIKAN ... · PDF fileKata kunci: Pendidikan...
Transcript of PENDIDIKAN KARAKTER: TEORI DAN PRAKSIS DALAM PENDIDIKAN ... · PDF fileKata kunci: Pendidikan...
STULOS 12/1 (April 2013) 65-96
PENDIDIKAN KARAKTER: TEORI DAN PRAKSIS
DALAM PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA
Heriyanto
Abstraksi: Penulisan ini membicarakan Pelaksanaan di sekolah sekuler sudah
terwujudkan. Melihat juga urgensi pendidikan karakter dalam lembaga
pendidikan Kristen. Dasar dari pelaksanaan pendidikan karakter
merujuk pada PL dan PB. Pola pendidikan karakter Kristen adalah
unik yang mencirikan kehidupan umat Tuhan.
Kata kunci: Pendidikan karakter, moral, nilai, budaya, lembaga pendidikan,
pendidik, praksis, praktisi pendidikan, pendidikan Kristen.
PENILAIAN AWAL
“To educate a person in mind and not in morals is to educate a
manace to society” (Theodore Roosevelt). Pernyataan ini seyogyanya
menyadarkan para pendidik akan esensi pendidikan yang seharusnya.
Munculnya beragam konsep pendidikan yang kian marak dalam dunia
pendidikan di Indonesia turut menyumbang keberagaman dampak proses
pendidikan yang dihasilkan. Ada yang menginginkan pendidikan berfokus
pada kecerdasan otak dan ada pula yang menganjurkan pendidikan lebih
mengedepankan aspek moral. Sementara yang lain lebih memilih agar
ada integrasi antara kecerdasan otak dengan aspek moral dalam proporsi
yang berlainan. Kondisi ini semakin membingungkan ketika masyarakat
terlena dengan sebutan sekolah-sekolah dengan klaim “unggulan” yang
pada prakteknya tidak mampu menjamin keunggulan karakter yang
menyertainya.1
1Majalah Tempo Edisi Januari 3013, dengan lugas membahas persoalan keberadaan
sekolah unggulan dalam kaca mata hukum. Dalam laporannya, Tempo membahas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 50 ayat 3 undang-undang nomor 20
66 PENDIDIKAN KARAKTER
Dalam konteks dimana masyarakat tidak terlalu ambil peduli dengan
proses pendidikan yang dimaksud, tak heran jika banyak program
pendidikan justru menjauhkan nara didik dari tujuan pendidikan yang
diharapkan.
Pendidikan yang merupakan agent of change harus mampu melakukan
perbaikan karakter peserta didik, demikian kira-kira harapan dari banyak
orang. Karenanya, pola dan konsep pendidikan kita perlu direkonstruksi
ulang agar dapat menghasilkan lulusan yang menunjukkan karakter mulia
(perubahan pikir sekaligus perilaku) sehingga siap menghadapi masa
depan dengan segala problemanya. Dengan kata lain, pendidikan harus
mampu mengemban misi pembentukan karakter (character building)
sehingga peserta didik dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan di
masa depan tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia seiring dengan
berkembangnya wawasan berpikir mereka.2
Pada prakteknya, sekolah sebagai lembaga pendidikan cenderung
mendidik peserta didik cerdas secara kognitif dan sulit mewujudkan
pendidikan yang menyertakan aspek moral jika tidak boleh disebut
mengabaikan aspek moral. Bagaimana tidak, kini lebih sering masyarakat
tahun 2003. Sekitar 1.300 sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf international (RSBI) kehilangan pijakan hukumnya. Dalam pembahasannya, Tempo juga memuat gugatan koalisi pendidikan yang mempertanyaan program pemerintah berkaitan dengan RSBI di sekolah negeri, dengan banyak pertimbangan salah satunya sekolah yang mengadopsi kurikulum negara maju itu dinilai telah melahirkan diskriminasi dan pengastaan dalam pendidikan, ini jelas menabrak juga nilai pendidikan karakter.
2Dalam artikelnya berjudul “The Character Education Movement” David Clyde Jones mengungkapkan keperhatian dan keprihatinan yang sama dalam konteks pendidikan di Amerika terhadap pendidikan karakter. Ia mencermati, one remarkable trend in American culture over the last decade has been the renewed emphasis on “the content of our character.” Kepekaan dan respon yang cepat terhadap pendidikan karakter telah menjadi trend positif dalam konteks pendidikan di Amerika dari berbagai kalangan. Menurutnya, around the same time, a number of national organizations for character education were launched, notably Character Counts! Coalition (1993) and The Character Education Partnership (1994), which have similar goals and some overlapping membership. Dalam artikelnya ini, ia menegaskan bahwa keperhatian terhadap pendidikan karakter di Amerika telah menjadi gerakan bersama (masal) dari beragam kalangan. David Clyde Jones, The Character Education Movement (Journal Presbyterion: Covenent Theological Seminary Review, Vol. XXVI number 2, (Fall 2000): 84-92.
JURNAL TEOLOGI STULOS 67
dikejutkan oleh ulah sekelompok pelajar yang selama studi justru
melakukan tindakan-tindakan amoral dan menabrak nilai-nilai luhur
kehidupan. Tawuran pelajar atau mahasiswa, tindak kriminalitas pelajar
yang kian meningkat, budaya menyontek, penyalahgunaan obat terlarang,
pornografi bahkan pornoaksi yang sengaja diekspos di media internet
telah meresahkan banyak kalangan. Kondisi ini diperburuk dengan
meningkatnya tindakan korupsi anggota dewan generasi muda yang
selama sekolah dulunya amat menentang, kini justru seolah menjadi ciri
kehidupan mereka. Kondisi ini hendak menegaskan bahwa penekanan
pada kecerdasan kognitif dalam proses pembelajaran di sekolah tidaklah
cukup untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang mampu bertindak
etis dan meminimalkan krisis moral bangsa ini.3
Pendidikan karakter akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan
di tengah masyarakat Indonesia, terutama oleh kalangan akademisi.
Pengabaian nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kesantunan, kebersamaan
dan religiusitas berdampak masuknya budaya asing yang cenderung
hedonistik, materialistik dan individualistik. Akibatnya, nilai-nilai luhur
yang dipunyai oleh bangsa ini tidak lagi dianggap penting terutama jika
bertentangan dengan tujuan yang ingin diperoleh dalam realitas hidup
keseharian. Perubahan nilai luhur dan mulia bangsa ini tidak saja terjadi
dalam pendidikan umum namun tak jarang juga nyata dalam pendidikan
Kristen.
Artikel ini tidak bertujuan untuk mengevaluasi proses pendidikan
Kristen yang ada, hingga menemukan konsep dan metode pendidikan
karakter yang tepat dan diwujudkan dalam pendidikan karakter di tengah
pendidikan Kristen di Indonesia.
3Tinjauan lembaga ESQ (Emosional Spiritual Quetient adalah lembaga training
membentuk karakter) telah mengungkap terjadinya krisis moral yang mengkuawatirkan di tengah masyarakat. Menurut data mereka setidaknya ada tujuh krisis moral antara lain krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan. Baca selengkapnya Darmiyati Zuhdi, Pendidikan Karakter (Yogyakarta: UNY Press, 2009) 39-40.
68 PENDIDIKAN KARAKTER
LATAR BELAKANG PEMAHAMAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan Karakter: Kontroversi Penyamaan Persepsi.
Maraknya tindakan amoral yang dilakukan oleh generasi muda saat
ini mau tidak mau menghasilkan keprihatinan mendalam dari semua
kalangan. Kondisi ini membawa kesepakatan bahwa sudah saatnya
pendidikan karakter dilaksanakan secara sistematis, strategis dan
menyeluruh di sekolah sehingga pendidikan karakter menjadi efektif
dalam pembentukan pribadi para siswa.4
Gencarnya desakan dan dorongan dari masyarakat akan urgensi
pendidikan karakter dalam pendidikan nasional menunjukkan ketidakpuasan
masyarakat akan kualitas lembaga pendidikan di Indonesia. Di balik semua
ini, harus disadari bahwa membahas gagasan tentang pendidikan karakter
tidaklah sesederhana ketika kita mendesakkan atau membicarakannya.
Secara etimologis ada yang menjelaskan kata karakter (Inggris:
character) berasal dari bahasa Yunani yaitu charassein yang berarti to
engrave, kata ini bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan
atau menggoreskan.5 Pendapat lain mengatakan bahwa istilah karakter
berasal dari bahasa Yunani karaso (cetak biru, format dasar, sidik jari).6
Definisi ini jelas menunjukkan bahwa karakter ternyata telah dibawa oleh
manusia sejak hadirnya ke dalam dunia. Dalam penjelasannya tentang
definisi karakter, Prof. Dr. Muchlas Samani, mengutip beragam pendapat
4Menurut Dr. Zubaedi, kondisi krisis dan dekadensi moral ini menandakan bahwa
seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkan di bangku sekolah ternyata kurang berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Dr. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter (Jakarta: Prenada Media Group, 2011) 2.
5Kevin Ryan & Karen E. Bohlin, Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life (San Francisco: Jossey Bass, 1999). Apa yang hendak ditekankan oleh mereka adalah bahwa demi pembentukan karakter yang diharapkan diperlukan usaha sengaja layaknya memahat atau melukiskan karakter tersebut atas seorang pribadi.
6Dalam tradisi Yahudi, para tetua melihat alam (laut) sebagai sebuah karakter. Artinya, sebagai sesuatu yang bebas, tidak dapat dikuasai manusia. Karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi seperti ganasnya laut dengan gelombang pasang dan angin yang menyertainya. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh (Yogyakarta: Kanisius, 2012) 55.
JURNAL TEOLOGI STULOS 69
ahli tentang hal ini.7 Kamus besar bahasa Indonesia memberi pengertian
karakter dapat kita lihat dalam catatan di bawah.8 Sebagai pembanding,
the webster’s dictionary memberikan penjelasan tentang hal ini.9
Berhadapan dengan ambiguitas etimologi “karakter” ini Mounier
mengajukan dua cara interpretasi.10
Menurut Lickona, karakter berkaitan
dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral felling) dan
perilaku moral (moral behavior).11
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat
ditegaskan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang
kebaikan, keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan
kebaikan.
7Salah satu pendapat yang beliau kutip berasal dari Helen G.Douglas, character
isn’t inherited. One builds its daily by the way one thinks and acts, thought by thought, action by action. Pengertian lain berasal dari Scerenko, ia mendefinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis dan kompleksitas mental seseorang, suatu kelompok atau suatu bangsa. Prof.Dr. Muchlas Samani dan Drs. Hariyanto, M.S., Pendidikan Karakter (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011) 41-43.
8 Kamus besar bahasa Indonesia memberikan definisi karakter sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan lainnya, dan watak. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. (kamus besar bahasa Indonesia edisi kedua, 1999). Dalam pemahaman ini karakter dimaknai sebagai nilai unik baik yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilakunya.
9Webster’s Dictionary menerangkan character sebagai the aggregate features and traits that form the apparent individual nature of some person or thing; moral or ethical quality; qualities of honesty; courage, integrity, good reputation; an account of the qualities or peculiarities of a person or thing. The new International Webster’s student dictionary.
10Ia melihat karakter sebagai dua hal: pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja atau telah ada begitu saja yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter seperti ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari sananya (given). Kedua, karakter juga dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter demikian ini disebut sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed). Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh (Yogyakarta: Kanisius, 2012) 56-57.
11Menurutnya, karakter mengalami pertumbuhan yang membuat suatu nilai menjadi budi pekerti, sebuah watak batin yang dapat diandalkan dan digunakan untuk merespon berbagai situasi dengan cara yang bermoral. Kebiasaan pikiran, kebiasaan hati dan kebiasaan perbuatan merupakan ketiga hal yang penting untuk menjalankan hidup yang bermoral dan ketiganya dalah faktor pembentuk kematangan moral. Thomas Lickona, Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi Pintar dan Baik, terj. (Bandung: Nusa Media, 2013) 71-72.
70 PENDIDIKAN KARAKTER
Doni Koesoema, melihat karakter sebagai kondisi dinamis struktur
antropologis individu yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi
kodratnya, melainkan juga sebuah usaha untuk hidup semakin integral
mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan
dirinya secara terus menerus.12
Senada dengan hal ini, Prof. Dr. Muchlas
Samani, menyimpulkan bahwa karakter dimaknai sebagai nilai dasar yang
membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas
maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain
serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari.13
Pengertian ini dapat dimaknai bahwa karakter identik
dengan akhlak. Dengan demikian karakter merupakan nilai-nilai perilaku
manusia yang universal meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam
rangka dengan dirinya, dengan sesamanya, bahkan dengan Tuhannya,
maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perilaku berdasarkan norma agama, hukum, tata
krama, budaya/tradisi, dan adat istiadat. Pengertian demikian ini jelas
memungkinkan terbentuknya formulasi pendidikan karakter dalam
lingkup sekolah. Dengan kata lain, dari konsep karakter inilah muncul
konsep pendidikan karakter (character education).
Penyelidikan sekilas tentang etimologis “karakter” ini menegaskan
bahwa pemahaman tentang karakter tidak hanya berangkat dari pengertian
akan istilah, tetapi juga menemukan keberadaan atas karakter itu sendiri.
Berkaitan dengan keberadaannya, karakter ternyata secara umum dipahami
setidaknya dengan dua konsep: ia telah dibawa dari lahir, kedua merupakan
hasil dari didikan. Jika kita menerima karakter itu tidak diwariskan tapi
dibawa dari lahir bahkan seperti sidik jari, konsekuensinya adalah sulit
rasanya kita merancang apa yang disebut pendidikan karakter di sekolah
yang diharapkan dapat mengubah perilaku siswa. Sebaliknya jika kita
12Sebagai kondisi dinamis, karakter bukanlah produk yang sudah jadi, bukan
tempelan atau tambahan dalam diri manusia. Ia merupakan proses, sekaligus hasil yang terus berlangsung menuju keutuhan. Doni Koesoema, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh, 56-57.
13Prof. Dr. Muchlas Samani dan Drs. Hariyanto, M.S, Pendidikan Karakter, 43.
JURNAL TEOLOGI STULOS 71
memahami karakter adalah sesuatu tabiat yang dapat diatur dan
diciptakan maka memunculkan persoalan baru mengapa banyak pendidik
gagal menciptakan pribadi yang sesuai dengan karakter yang diajarkannya?
Secara terminologis, makna karakter banyak dibahas dan dikemukakan
oleh Thomas Lickona. Dalam penjelasannya, karakter mulia (good
character) meliputi hal-hal dasar seperti pengetahuan tentang kebaikan,
lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya
benar-benar melakukan kebaikan. Dalam bukunya pendidikan karakter,
Lickona memperlihatkan beberapa kualitas moral, ciri karakter yang
membentuk pengetahuan moral, perasaan moral dan perbuatan moral
(lihat diagram dibawah).14
Melihat rangkaian komponen karakter yang
baik berdasarkan diagram ini maka karakter mengacu kepada serangkaian
pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations),
serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Menurut banyak praktisi pendidikan, terminologi pendidikan karakter
mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai
14Thomas Lickona, Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi
Pintar dan Baik, terj., 74.
72 PENDIDIKAN KARAKTER
tokoh pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku The Return of
Character Education dan Educating for Character: How Our School Can
Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku ini, ia menyadarkan
dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter.15
Pendidikan karakter
menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui
kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good),
dan melakukan kebaikan (doing the good).16
Tindakan moral menurutnya
adalah produk dari dua bagian karakter lainnya.17
Menurut Doni Koesoema, pendidikan karakter adalah usaha sadar
manusia untuk mengembangkan keseluruhan dinamika relasional antar
pribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari
luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya
sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya
sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka
berdasarkan nilai-nilai moral yang menghargai kemartabatan manusia.18
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Lickona.19
Penekanan
pada “usaha sadar dan sengaja” merupakan ciri khusus dari praksis
pendidikan karakter.20
Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan
15Dalam artikelnya yang lain ia juga menyinggung tentang apa maksud pendidikan
karakter terkait dengan kebajikan (virtue). Menurutnya, character education is the deliberate effort to teach virtue. Virtues are objectively good human qualities. They are good for the individual (they help a person lead a fulfilling life), and they are good for the whole human community (they enable us to live together harmoniously and productively. Thomas Lickona, dalam Journal of Education, Vol. 179, Number 2, 1997, 64-65.
16Muchlas Samani dan Hariyanto, M.S, Pendidikan Karakter, 49-50. 17Thomas Lickona, Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi
Pintar dan Baik, 86. Ia menegaskan untuk memahami sepenuhnya apa yang menggerakkan sesorang sehingga mampu melakukan tindakan bermoral atau justru menghalanginya kita perlu melihat lebih jauh dalam tiga aspek karakter lainnya yakni: kompetensi, kemauan dan kebiasaan.
18Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh, 57. 19 Menurut Lickona, pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh untuk
membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai etis. Maka penekanan disini, pendidikan karakter sebagai upaya yang dirancang secara sengaja untuk memperbaiki karakter para siswa. Prof. Dr. Muchlas Samani dan Drs.Hariyanto, M.S, Pendidikan Karakter, 44.
20Dalam konteks sekolah, menurut Dr. Zubaedi, pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character
JURNAL TEOLOGI STULOS 73
mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi juga
menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta
didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik, semua
ini merupakan usaha secara sengaja dan sadar.21
Proses pendidikan
karakter dipandang sebagai usaha sadar dan terencana bukan usaha yang
sifatnya terjadi secara kebetulan. Atas dasar ini, pendidikan karakter
adalah usaha yang sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk
nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga
masyarakat atau warga negara secara keseluruhan.
Pendidikan karakter menjadi vital dan tidak ada pilihan lain untuk
mewujudkan Indonesia cerdas dan bermoral. Hal ini penting segera
direncanakan dan dirancang dalam konteks sekolah menghadapi tantangan
regional dan global. Sebagai upaya sengaja, maka diperlukan kecermatan
dan evaluasi objektif dalam pelaksanannya pendidikan karakter.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter yang disebut sebagai
gerakan masal dalam konteks Amerika hendaknya menjadi gerakan positif
khususnya dalam konteks pendidikan Kristen di Indonesia.
Fungsi, Target dan Tujuan Pendidikan Karakter
Apa yang hendak dicapai dalam pelaksanaan konsep pendidikan
karakter dalam lingkup sekolah Kristen? Sekolah Kristen harus sadar
development. Dalam kutipannya terhadap definisi pendidikan karakter ia mengutip pendapat David Elkind, pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk membantu manusia memahami, peduli tentang dan melaksanakan nilai-nilai etika inti. Demikian juga yang dikatakan oleh William dan Schnaps, pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan leh para personel sekolah bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggta masyarakat untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian dan bertanggungjawab. Dr. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, 14-15.
21Thomas Lickona, Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi Pintar dan Baik, terj., hl. 88. Menurutnya, karakter tidak berfungsi dalam ruang hampa, karakter berfungsi dalam lingkungan sosial. Maka tindakan moral amat dipengaruhi oleh ruang yang mendukungnya, sebuah lingkungan seringkali menindas kepedulian moral kita atau membuat seseorang berani bersikap tindakan bermoral.
74 PENDIDIKAN KARAKTER
benar bahwa keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari lingkup konteks
budaya bangsa yang didalamnya harus mempertimbangkan nilai-nilai
tradisi dan budaya sekitarnya, sekaligus menunjukkan jatidirinya sebagai
murid Kristus. Karenanya, dalam perwujudan pendidikan karakter kita
harus melihat fungsi pendidikan karakter dalam konteks sekolah. Dr.
Zubaedi setidaknya mendaftarkan ada tiga fungsi utama pendidikan
karakter.22
Dalam konteks Indonesia, menurut Novan Ardy Wiyani ada
sejumlah target yang hendak dicapai dengan diadakannya pendidikan
karakter.23
Selain beberapa target ini, praktek pendidikan karakter juga
hendaknya merupakan pencapaian target pada perkembangan kecerdasan
emosi anak, diantaranya: rasa percaya diri, kemampuan bekerjasama,
kemampuan bergaul dalam keanekaragaman, kemampuan berempati, dan
kemampuan berkomunikasi. Target internal ini, merupakan capaian yang
harus dikaitkan dengan budaya bangsa dalam praktek kongkritnya. Harus
diakui, krisis moral bangsa ini telah merobek kebanggaan insan Indonesia
pada negerinya. Dalam konteks inilah, pendidikan karakter dapat dijadikan
sarana pemulihan emosi dan jatidiri kebangsaan. Pengetahuan yang
memadai dalam konteks budaya Indonesia dengan keanekaragamanya ini
penting mendapat perhatian oleh pendidik demi merumuskan konsep
yang tepat dan cermat bagi pelaksanaan pendidikan karakter. Dengan
demikian, pendidikan karakter di Indonesia seharusnya mempertimbangkan
nilai-nilai karakter bangsa yang unik dari konsep pendidikan karakter dari
lainnya.24
Nilai-nilai karakter bangsa yang dianggap penting demi
22Dr. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, hl.18-19. Pendidikan karakter memiliki
tiga fungsi utama: pertama fungsi pembentukan dan pengembangan potensi, kedua fungsi perbaikan dan penguatan (disini dibutuhkan keterlibatan keluarga, stuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah), serta ketiga fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
23Dalam konteks masyarakat Indonesia, pendidikan karakter harus ditekankan pada upaya mengatasi masalah yang akhir-akhir ini terus berkembang, diantaranya: kepekaan pada solusi kemiskinan dan keterbelakangan, konflik SARA, budaya pembodohan oleh televisi, korupsi yang semakin meluas, dan kerusakan alam. Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2012) 4-15.
24Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Tanpa ketiga hal
JURNAL TEOLOGI STULOS 75
terwujudnya tujuan pendidikan karakter telah disusun oleh pusat
Balitbang Kemendiknas. Lembaga ini merumuskan beragam nilai
berlandaskan budaya bangsa yang hendak dicapai dalam perwujudan
tujuan pendidikan karakter dalam lingkup sekolah di Indonesia.
Cakupan pendidikan karakter amatlah kompleks. Selain target yang
hendak kita capai juga ada tujuan yang seharusnya kita pikirkan bersama.
Dalam kerangka pragmatis, perlulah diperjelas tentang tujuan dari
pendidikan karakter. Banyak orang memahami tujuan pendidikan karakter
sebagai pengembangan kepribadian dimana pertumbuhan individu sebagai
pribadi yang sehat merupakan sasaran akhir.25
Mengutip pendapat Said
Hamir Hasan, pendidikan karakter secara terperinci memiliki lima tujuan.26
ini menurut Lickona, pendidikan karakter tidak akan efektif selain harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Melalui hal inilah nara didik diperkenalkan dengan budaya dan persoalan bangsa hingga menumbuhkan kepedulian terhadap usaha perbaikan bangsa. Selain ini, praktek pendidikan karakter di sekolah juga juga akan mengurangi resiko penyebab kegagalan murid disekolah. Ibid, 16.
25Ada pula yang memusatkan diri pada penanaman nilai moral melalui pengajaran, ada pula yang sekedar mengajak anak untuk menjernihkan nilai moralnya sendiri dan mengambil keputusan atas dasar penjernihan tersebut. Ada pula yang berfokus pada pendidikan rohani, agama atau religiusitas karena menganggap bahwa ketaatan dan kepatuhan pada norma agama itulah yang dapat membuat hidup seseorang lebih berbahagia dan bermakna. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh, 34.
26Pertama, mengembangkan potensi nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga Negara yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif dan
76 PENDIDIKAN KARAKTER
Berdasarkan pembelajaran mengenai tujuan pendidikan karakter, dapat
kita tarik kesimpulan bahwa dalam konteks Indonesia pendidikan karakter
pada intinya bertujuan membentuk pribadi anak bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong,
berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan
berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari faktor pendidikan yang membentuknya: jati diri, nilai
moral, kepekaan terhadap lingkungan sosialnya, agama, keanekaragaman
budaya dan kebanggaannya pada bangsa sendiri. Maka, pendidikan
karakter jelaslah merupakan sebuah upaya pembentukan pribadi yang
mampu menemukan jati dirinya memahami nilai moral, kebajikan, agama,
budaya dan kebanggaan kebangsaan yang dirancang dan dilatih sehingga
pribadi yang dihasilkan mampu bertindak sesuai dengan jati dirinya
tersebut.27
Pendidikan karakter terkait dengan bidang-bidang lain, khususnya
budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga bidang kehidupan terakhir ini
berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia
dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya
mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi
masyarakat. Pendidikan, selain mencakup proses transfer dan transmisi
ilmu pengetahuan juga merupakan proses sangat strategis dalam
menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak bangsa. Sementara
itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia
berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang amat jujur, penuh kreativitas dan persahabatan dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity). Dr. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, 18.
27Dalam pandangannya, Lickona juga membahas perbedaan antara virtue dan value. Baginya, virtue unlike “values,” don’t change. Justice, honesty and patience always have been virtuees and always will be virtues. Virtues represent objective moral standards that transcend time, culture, and invidual choice. Every virtue has three parts: moral knowledge, moral feeling, and moral behavior. Thomas Lickona, The Character’s role in Character Education, 65.
JURNAL TEOLOGI STULOS 77
bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.
Dalam konteks pendidikan karakter di sekolah Kristen diperlukan
kecermatan untuk mendesain program ini berdasarkan karakter Kristen.
Jika tidak, konsep pendidikan karakter bisa jadi hanya didasarkan pada
pengapdosian nilai-nilai luhur/tradisi atas nama budaya yang justru
mungkin bertabrakan dengan nilai kekristenan itu sendiri.28
Konsep nilai
moral Lickona menjadi relevan bagi pendidikan Kristen guna memilah
budaya mana yang sesuai dengan pengajaran Kristen. Apresiasi terhadap
budaya hendaknya tidak bertabrakan dengan nilai-nilai pengajaran agama
yang dianut peserta didik. Sebaliknya penegasan terhadap nilai-nilai
agama, haruslah bijaksana mengingat Indonesia memiliki beragam agama
selain keragaman budayanya. Disinilah, dibutuhkan kreativitas dan
sensitivitas akademisi Kristen dalam mendesain program pendidikan
karakter di sekolahnya.
Asumsi Dibalik Praksis Pendidikan Karakter
Evaluasi terhadap hal ini dapat terlihat ketika mempelajari praksis
pendidikan karakter. Doni Koesoema dengan baik menjelaskan beberapa
asumsi dibalik praksis pendidikan karakter. Menurutnya setidaknya ada 4
asumsi yang terjadi:29
pertama, asumsi membuat mata pelajaran khusus
yang berbeda dengan mata pelajaran lain yang sudah ada. Kedua,
28Dalam penjelasannya mengenai nilai moral, Lickona membagi dua macam nilai:
moral dan nonmoral. Nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab dan keadilan mengandung kewajiban. Sementara nilai nonmoral menjukkan apa yang kita ingini dan sukai yang tidak mengandung kewajiban bagi orang lain. Nilai-nilai moral menurutnya dibagi kedalam dua kategori: universal dan nonuniversal. Nilai moral universal seperti memperlakukan orang dengan adil, menghormati kehidupan, kebebasan, kesetaraan, dll. Nilai nonuniversal sebaliknya tidak mengandung kewajiban moral yang universal, misalnya memeluk agama tertentu, melakukan kewajiban ibadah agama tertentu: doa, puasa, memperingati hari besar agama, dll. Thomas Lickona, Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi Pintar dan Baik, terj., 55-60.
29 Dalam penjelasannya, setiap asumsi memiliki konsekwensi logis dalam prakteknya. Baca selanjutnya dalam bukunya pendidikan karakter. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh, 10-14.
78 PENDIDIKAN KARAKTER
pengelompokan mata pelajaran tertentu yang sengaja dirancang dengan
muatan pendidikan karakter. Ketiga, pendidikan karakter dilaksanakan
secara sistematis melalui kebijakan terpusat negara dengan kekuatan
memaksa baik dari segi penentuan isi materi maupun praksis di lapangan.
Keempat, pendidikan karakter terjadi begitu saja, tidak perlu direncanakan
atau diprogramkan karena setiap tindakan mendidik adalah proses
pembentukan karakter.
Berdasarkan pandangan asumsi di atas, praktisi pendidikan perlu
mencermati praksis pendidikan karakter yang ada masuk dalam kategori
“asumsi” atau nyata berdampak bagi perilaku siswa. Hal ini memerlukan
evaluasi objektif dan kejujuran pelaku pendidikan. Menurut Novan Ardy
Wiyani, terdapat beberapa pendekatan yang biasanya dilakukan dalam
lingkup pendidikan karakter. Pertama pendekatan komprehensif dalam
pendidikan karakter, kedua, pembelajaran terintegrasi dan ketiga,
pengembangan kultur sekolah.30
Pada prakteknya, hal ini membutuhkan
penilaian dan evaluasi.31
Karenanya, sesulit apapun dalam rangka
penilaian dan evaluasi, proses ini perlu dilakukan guna memberikan
jaminan bahwa sebuah proses pendidikan karakter telah memberi dampak
yang nyata sebagaimana yang diharapkan.32
30Dalam evaluasinya, ia menyebutkan bahwa bagi generasi masa lalu, pendidikan
karakter yang bersifat indoktrinasi sudah cukup memadai untuk membendung terjadinya perilaku menyimpang dari nrma kemasyarakatan. Namun kini cara ini tidak efektif. Maka diperlukan pendekatan yang komprehensif yang mengandung beberapa aspek: pertama, isinya harus komprehensif meliputi persoalan yang menyangkut pribadi sampai umum, kedua metdenya harus komprehensif (di dalamnya inkulkasi nilai, pemberian teladan, pelatihan soft skill, dll), ketiga pendidikan karakter hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan (di kelas, ekstrakurikuler, pembimbingan, penghargaan, dll). Dan keempat, pendidikan karakter hendaknya terjadi pula melalui kehidupan masyarakat. Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter, 27-30.
31Menurut Prof.Dr. Muchlas Samani, evaluasi terhadap pendidikan karakter harus juga menilai karakter sekolah (komunitas yang peduli dan menghargai), fungsi staff sebagai pendidik karakter, sampai pada implementasi pada kehidupan nyata siswa (jujur, relasi baik, penyelesaian konflik, dll). Prof.Dr. Muchlas Samani dan Drs.Hariyanto, M.S, Pendidikan Karakter, 174-175.
32 Demi efektivitas praksis pendidikan karakter, Doni Koesoema mengusulkan beberapa kriteria penilaian pendidikan karakter, meliputi: criteria tindakan, criteria moral, criteria perfomansi (kinerja) pendidikan, kerjasama dengan lembaga lain serta kedisiplinan. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh, 208-220.
JURNAL TEOLOGI STULOS 79
Pendidikan Karakter dalam Sejarah Pendidikan Kristen
Proses formulasi pendidikan karakter amat penting untuk dikaji dan
dipikirkan praktisi pendidikan Kristen oleh karena kita harus mampu
membawa dan menunjukkan keunikan pendidikan Kristen yang kita
maksud kepada dunia. Konsepsi mengenai hal ini mendasari pemunculan
proses pendidikan yang dapat diklaim sebagai pendidikan Kristen.
Menurut Lawrence Cremin, pendidikan adalah usaha sengaja,
sistematis dan terus-menerus untuk menyampaikan, menimbulkan atau
memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian atau kepekaan,
juga setiap akibat dari usaha itu.33
Sementara Alfred North Whitehead
mendefinisikan pendidikan adalah bimbingan bagi individu untuk
memahami seni kehidupan, yang dimaknai sebagai prestasi paling
lengkap dari pelbagai kegiatan yang mengekpresikan potensi makhluk
hidup ketika berhadapan dengan lingkungannya yang sebenarnya.
Kekuatan definisi ini adalah penekanannya pada pendekatan holistik
terhadap manusia yang memperhatikan seluruh “seni kehidupan.”
Melihat sekilas definisi pendidikan di atas, apa sebenarnya keunikan
pendidikan Kristen. Konsepsi istilah pendidikan dalam konteks Kristen
memunculkan perdebatan. Ada yang tetap menggunakan istilah
pendidikan Kristen (Christian Education), tetapi ada pula yang
menekankan istilah pendidikan agama Kristen (Christian Religious
Education).34
Tanpa bermaksud mengabaikan perdebatan yang ada, dan
33Dalam pandangan ini pendidikan selalu mewajibkan kesengajaan, sistematis dan
terus menerus. Maka kekuatan lain definisi ini adalah mengarahkan kegiatan pendidikan ke arah manusia yang utuh “pengetahuan, sikap, nilai, keahlian, dan kepekaan seseorang.” Thomas Groom, Christian Religious Education, terj. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010) 30.
34Kecaman terhadap penggunaan istilah Pendidikan Kristen (Christian Education) datang dari beragam kalangan. Menurut ajaran Marx maupun Freud, penegasan pemakaian istilah kristen menghalangi timbulnya pembebasan dan kebebasan manusia. Alasan lain, menurut Moran istilah pendidikan Kristen pada umumnya dimengerti sebagai kegiatan yang melaluinya “pejabat-pejabat gereja mengindoktrinasi anak-anak agar mematuhi gereja yang resmi.” Thomas Groom, Christian Religious Education, 35.
80 PENDIDIKAN KARAKTER
dalam kerangka memikirkan kembali efektivitas proses pendidikan
Kristen, saya akan menggunakan kedua istilah ini dalam maksud yang
sama. Menurut Groom, tujuan pendidikan agama Kristen adalah untuk
memampukan orang-orang hidup sebagai orang-orang Kristen yakni
hidup sesuai iman Kristen.35
Tujuan semua pendidikan Kristen yakni
merespon perintah Yesus: “Karena itu pergilah, ajarlah… Mat. 28:19-20).
Bagi Groom, tujuan ini sebagai metapurpose pendidikan agama Kristen.
Maka tujuan utama para pendidik agama Kristen adalah untuk menuntun
orang-orang keluar menuju ke kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus.36
Dalam pemahaman ini, maka sekolah Kristen merupakan suatu wadah
yang seharusnya menanamkan, melatih dan membentuk pribadi Kristen
yang sesuai dengan karakter Kerajaan Allah.
Peta Konteks Pendidikan Di Indonesia
Persoalan Pendidikan di Indonesia
Pendidikan karakter kembali menemukan momentumnya belakangan
ini; bahkan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan
Nasional (Kemendikbudnas). Telah banyak diskusi baik melalui konferensi
atau seminar tentang pendidikan karakter, namun belum banyak terobosan
kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter.
Disatu sisi hal ini amat positif, namun disisi lain ternyata menegaskan
perubahan perilaku peserta didik yang perlu mendapatkan pengarahan
secara sistematis. Persoalan pendidikan di Indonesia sebenarnya dipicu
35Apa yang sebenarnya diharapkan dari seorang Kristen dan bagaimana gaya hidup
yang demikian dipromosikan telah mengambil ekspresi-ekspresi yang berbeda pada waktu yang berbeda pula. Ibid, 48.
36Ada tiga alasan menurut Groom yang mendukung alasan ini: pertama dalam kitab suci orang Yahudi, visi kerajaan Allah ditempatkan sebagai visi dan rencana Allah sendiri bagi seluruh manusia dan ciptaan. Kedua, kesinambungan dengan tradisi Yahudi tersebut, Yesus memberitakan kabar baik-Nya dalam konteks kerajaan Allah. Ketiga, meskipun kerajaan Allah sebagai tema utama pemberitaan Kristen mengalami stagnasi di gereja mula-mula, kerajaan Allah telah menjadi yang utama kembali dalam telogi kontemporer. Ibid, 49-50.
JURNAL TEOLOGI STULOS 81
oleh banyak faktor. Factor pertama datang dari kehadiran budaya kota di
Indonesia, factor kedua adalah teknologi komunikasi. Dua faktor ini, kini
menghasilkan “dunia modern” dengan segala pengaruhnya. Teknologi
komunikasi dan informasi memungkinkan para siswa mengakses informasi
tanpa batas. Menurut Robby I Chandra, praktisi pendidikan harus peka
terhadap perubahan yang ada. Kondisi ini menuntut evaluasi ulang proses
pembelajaran: materi, metode dan sensitifitas pada perubahan dunia yang
terjadi dengan cepat.37
Dimana letak pendidikan karakter? Setidaknya ada
3 sumber nilai yang perlu ditegaskan: budaya, pendidikan dan agama.
Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi
karena terjadinya perubahan-perubahan cepat, misalnya, industrialisasi,
urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi.
Tujuan pendidikan di Indonesia
Amanat UUD 1945 amat jelas menentukan Arah dan tujuan
pendidikan nasional Indnesia. Tujuan pendidikan adalah peningkatan
iman dan takwa serta pembinaan akhlak mulia para peserta didik yang
dalam hal ini adalah seluruh warga negara yang mengikuti proses
pendidikan di Indonesia. Amanat ini tegas memberikan perhatian besar
akan pentingnya pendidikan karakter (akhlak mulia) dalam setiap proses
pendidikan demi membumikan nilai-nilai agama dan kebangsaan melalui
ilmu pengetahuan dan teknologi bagi peserta didik. Munculnya undang-
undang tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), yakni UU no. 20
tahun 2003, menegaskan kembali fungsi dan tujuan pendidikan nasional
37Dr. Robby I Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi
Infomedia, 2006) 27-43. Dalam pemaparannya, ia mengingatkan para pendidik sadar bahwa kini mereka mendidik di dunia yang berubah cepat. Setidaknya ada 3 paradigma pendidikan yang berkembang: paradigma pertama, menganggap proses pendidikan adalah proses menolong siswa agar potensi terpendam mereka menjadi berkembang penuh. Para pendidik berperan sebagai fasilitator, teladan dan inspirasi siswa. Paradigma kedua, pendidikan dipandang sebagai proses membekali dan melatih siswa dengan kompetensi umum yang dapat mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari atau profesi mereka kelak. Paradigm ketiga, pendidikan dipandang sebagai proses menyiapkan para siswa untuk dapat melakukan rangkaian tugas tertentu.
82 PENDIDIKAN KARAKTER
Indonesia. Penegasan pasal 3 UU adalah pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Amanat mulia
pendidikan nasional seperti ini menuntut semua praktisi pendidikan
memiliki kepedulian yang tinggi akan masalah moral atau karakter.
Pendidikan Karakter dalam perspektif Kristen
Praksis pendidikan karakter dalam konteks sekolah Kristen di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari arah dan tujuan pendidikan nasional
yang telah diamanatkan dalam UUD 1945. Disamping ini, harus juga
dipertimbangkan sejarah pendidikan karakter dalam perspektif kristen.
Para sejarawan pendidikan Kristen meyakini bahwa pengajaran Kristen
saat ini menemukan akarnya pada pendidikan Ibrani (Yudaisme). Menurut
Hope S.Antone, setidaknya ada tiga periode utama dalam Alkitab yang
perlu ditinjau kembali agar dapat memahami bagaimana pendidikan
Kristiani terjadi pada zaman Alkitab.38
Dalam penjabarannya, Hope S.
Antone membahas bahwa Pendidikan pre-exilic yang sebagian dijelaskan
dalam kitab Ulangan 6, menyiratkan pola-pola kehidupan keluarga yang
kuat sebagai latar belakang utama bagi pemeliharaan iman dan karakter.
Pada masa pembuangan dan sesudahnya, Sinagoge menjadi penanda
pemeliharaan pengajaran agama yang di dalamnya juga penerusan warisan
nilai-nilai kehidupan karakter umat Allah. Dalam Perjanjian Baru
pendidikan karakter dapat dilihat dalam dua cara yakni: pertama, menurut
cara Yesus yang terwujud dalam tiga metode: pemberitaan langsung,
38Tiga periode utama tersebut adalah: periode sebelum pembuangan (pre-exilic),
peride sesudah pembuangan (post-exilic) dari masa Perjanjian Lama, dan periode Perjanjian Baru. Hope S.Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual, terj. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010) 17-18.
JURNAL TEOLOGI STULOS 83
perayaan doa dan pelayanan bagi kebutuhan manusia). Kedua, cara
murid-murid Yesus yang pertama, terwujud dalam tiga metode juga:
perhatian pada kebutuhan manusia, merayakan hubungan yang baru
dengan Allah dan pekabaran Injil.
Jelaslah kini, pendidikan karakter dalam perspektif Kristen tak dapat
dipisahkan dari peran Kristen secara kongkrit pada waktu, kondisi dan
tempat sesuai dengan jaman mereka. Sejarah mencatat, kekristenan
mula-mula justru amat dihormati oleh karena mereka dikenal sebagai
komunitas yang disukai semua orang dan bahkan diikuti oleh banyak
orang (Kis. 2:47, tiap hari Tuhan menambah jumlah orang yang
diselamatkan). Pembahasan ini menegaskan bahwa konsepsi pendidikan
karakter dalam perspektif sejarah Kristen telah berlangsung nyata dalam
kehidupan umat Allah. Maka, sejatinya pendidikan karakter telah menjadi
ciri umat Allah yang membedakannya dari umat lainnya.
Isu-isu Pendidikan Kristen: problematika dan tantangan39
Disadari atau tidak, Pendidikan Kristen telah mengalami pergeseran
baik arah maupun nilai. Pergesaran itu nampak pada dasar, isi dan tujuan
pendidikan. Persoalan yang sedang terjadi dengan Pendidikan Kristen
masa kini:
1. Pendidikan Agama sebagai benteng moral tidak lagi menjadi hal
terdepan.
2. Kekristenan yang menjunjung tinggi finalitas Kristus dan Alkitab,
kebanyakan tergeser dari esensi Pendidikan Kristen, oleh sebab
pluralitas agama dan pengetahuan. Hingga nyaris menjadi pendidikan
tanpa Allah (Godless Education).
3. Nilai-nilai non Kristen bahkan anti Kristen memberikan penekanan
39Materi ini diambil dari bahan kuliah Sejarah PAK STT Bandung yang diampu
oleh Heriyanto, M.Th.
84 PENDIDIKAN KARAKTER
luar biasa di sekolah-sekolah Kristen.
4. Dampak dan pengaruh globalisasi Pendidikan. Dampak globalisasi
terhadap dunia pendidikan paling tidak terlihat dalam 3 perubahan
mendasar dalam dunia pendidikan. Pertama, dalam perspektif
neo-liberalisme, globalisasi menjadikan pendidikan sebagai komoditas
dan komersil. Globalisasi mampu memaksa liberalisasi berbagai
sektor yang dulunya non-komersial menjadi komoditas dalam pasar
yang baru. Menurut C. Leys, Pasar baru bisa muncul kalau memenuhi
4 kriteria: (1) Rekonfigurasi (membentuk ulang) produk dan layanan
sehingga memiliki nilai dan layak dijual; (2) Merayu agar orang mau
membelinya: (3) Mengubah perilaku melayani kepentingan bersama
menjadi usaha untuk menghasilkan laba bagi pemilik modal sesuai
dengan mekanisme pasar; dan (4) Adanya jaminan negara terhadap
resiko yang mungkin terjadi terhadap modal. Tuntutan pasar ini
mendorong perubahan dalam dunia pendidikan. Perubahan tersebut
bisa dalam bentuk penyesuaian program studi, kurikulum,
manajemen, dll. Komersialisasi pendidikan juga memacu privatisasi
lembaga-lembaga pendidikan. Kedua, globalisasi mempengaruhi
kontrol pendidikan oleh negara. Sepintas terlihat bahwa pemerintah
masih mengontrol sistem pendidikan di suatu negara dengan cara
intervensi langsung berupa pembuatan kebijakan dan payung
legalitas. Ketiga, globalisasi mendorong delokalisasi dan perubahan
teknologi serta orientasi pendidikan. Pemanfaataan teknologi baru
disamping membantu akselerasi arus pertukaran informasi, juga telah
ikut mendorong menjamurnya sistem pendidikan jarak jauh. Di sini
terlihat fenomena delokalisasi, di mana orang-orang belajar dalam
suasana yang sangat individual dan menghalanginya untuk
berinteraksi dengan tetangga atau orang-orang di sekitarnya.
Dipandang dari beragam sisi, kita bisa membuat sebuah generalisasi
bahwa kata kunci dari globalisasi adalah: kompetisi.
5. Pendidikan seutuhnya yang terdiri dari aspek Religious, Knowledge
JURNAL TEOLOGI STULOS 85
dan Skill yang seharusnya menjadi satu paket, kini terabaikan dan
menjadi humanistic (hanya berpusat pada manusia).
6. Pendidikan Agama Kristen (PAK) telah dijadikan kurikulum dalam
pendidikan nasional, namun pelaksanaannya masih belum terasa pada
anak didik. Hal ini disebabkan: a. Adanya pemisahan antara masalah
iman dengan masalah pengetahuan, sehingga mempersempit wilayah
kerja PAK. b. Integrasi antara iman Kristen dan dampaknya bagi
perubahan perilaku hidup anak didik belum nampak. c. Falsafah
pluralisme yang merendahkan finalitas Kristus dan Alkitab sebagai
satu-satunya jalan keselamatan dan standart moral.
7. Carl Henry mengingatkan : ”Generasi kita kini kehilangan kebenaran
Allah, realitas pewahyuan Ilahi, isi kehendak Allah, otoritas Firman
Allah dan kuasa penebusan-Nya. Kehilangan ini membuat
kekristenan membayar mahal yakni kekafiran yang merajalela dalam
kehidupan yang mengaku diri sebagai Kristen.” Jika kebenaran Allah
yang seharusnya menjadi dasar dari pendidikan karakter terabaikan,
tidak heran persoalan karakter dalam pribadi nara didik kristen akan
semakin merajalela.
Hasil dari teori pendidikan karakter yang diterapkan oleh lembaga
pendidikan sekuler terbatas pada pemulihan hubungan dengan pluralitas
kemanusiaan, apa yang menjadi keunikan pendidikan karakter Kristen?
Jelas, tidak hanya pemulihan antar sesama manusia dan tanggung
jawabnya sebagai warga negara tetapi juga menuntun pada pemulihan
antara nara didik Kristen dengan Allah dan mampu menunjukkan
kesaksian dirinya sebagai umat Allah dalam dunia.
Pelaku Pendidikan Karakter dalam Konteks Pendidikan Kristen,
Tiga Faktor Penentu
1. Pendidikan Karakter dalam Keluarga Kristen. Melalui kitab
Ulangan 6, keluarga Kristen diperingatkan tanggung jawabnya
86 PENDIDIKAN KARAKTER
mewujudkan pendidikan umat Allah termasuk pendidikan karakter.
Peran keluarga yang dimaksud adalah Ayah dan Ibu. Ulangan 6:4-9
diawali perintah Allah agar bangsa Israel melakukan dan memegang
teguh segala perintah dan peraturan yang Allah berikan, disertai janji
berkat jika mereka setia melakukannya. (ayat 1-3).5 Perintah ini
diberikan dalam kaitan persiapan mereka memasuki tanah Kanaan
(ayat 3). Maksud dari perintah ini diberikan supaya bangsa Israel
melakukannya ketika mereka masuk dan hidup di tanah Perjanjian
sehingga mereka mampu menunjukkan keunikan sebagai umat Allah.
Dalam tradisi Yahudi kata “syema” disebut sebagai “the fundamental
truth of Israel’s religion” and “ the fundamental duty founded upon
it.” Maka Ulangan 6:4-9 merupakan patokan bagi keluarga Yahudi
yang harus dilaksanakan. “Syema” merupakan merupakan inti dari
pengakuan iman bangsa Israel. Dalam perkembangannya “syema”
menjadi bagian penting bagi kehidupan bangsa Israel dan menjadi
dasar bagi pendidikan kepada anak-anak mereka.
Prinsip penting pendidikan anak berdasarkan Ul.6 : pendidikan harus
berkaitan dengan pengakuan bahwa Allah itu Esa, pendidikan harus
dilakukan dengan serius, harus diajarkan di setiap kesempatan, harus
diajarkan dengan prinsip keteladanan, pendidikan harus diberikan
sejak Anak-anak dan pendidikan adalah tanggung jawab orang tua.
Karenanya, tidak ada satu orangtuapun yang dapat menghindar atau
beralasan untuk tidak melakukan peran ini sekalipun dalam
keterbatasan mereka.40
Perlu diingat, banyak orang tua gagal dalam
pendidikan karakter anak-anaknya karena kesibukan atau justru karena
lebih mementingkan aspek kognitif saja.
40Para ahli pendidikan meyakini bahwa keluarga merupakan agen terdepan dalam
pembentukan watak sehat. Mengutip pendapat Virginia Satir, keluarga merupakan pabrik pengolahan kepribadian (peoplemakers), tata nilai dan watak. Dalam keluargalah tata nilai ditanamkan: keluarga membentuk konsep diri (posistif atau negative), keluarga mengajarkan kepada anak cara berkomunikasi (tertutup atau terbuka), keluarga menanamkan disiplin, dan keluarga mendidik anak memainkan peran social mereka. B.S. Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul suatu Pendekatan Telogis terhadap Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2011) 23-24.
JURNAL TEOLOGI STULOS 87
2. Pendidikan karakter dalam sekolah Kristen
Semua pihak mengharapkan, sekolah dapat benar-benar menjalankan
perannya sebagai wadah pendidikan bagi pembentukan pribadi
siswanya.41
Dalam pembahasannya, Lazerson menegaskan ada dua
tantangan yang harus dijawab oleh sekolah sebagai wadah pendidikan
yakni equality (persamaan) dan Excellence (keunggulan). Sekolah
haruslah menanamkan pada siswa sikap persamaan sekaligus
penerimaan keunggulan pribadi.
3. Pendidikan Karakter dalam Masyarakat atau Gereja
Kebiasaan karakter membutuhkan komunitas yang mendukungnya.
Maka, gereja dan komunitas Kristen perlu bersatu untuk memiliki
konsepsi dan gerakan yang sama dalam perwujudannya. Komunitas
Kristen tidak boleh dianggap hanya sebagai wadah bertemu untuk
beribadah semata, komunitas ini harus juga berperan sebagai
“community as educator. Kini kita diperhadapkan dengan pekerjaan
rumah yang berat di tengah pluralitas pendidikan yang ada. Dalam
penjelasannya, Hope S Antone, menggambarkan metode pendidikan
Kristiani dari waktu ke waktu. Menurutnya, pada periode Reformasi
baik Katolik maupun Protestan melanjutkan pemanfaatan pendidikan
di rumah, di gereja (ibadah), pengajaran pastoral, bimbingan iman
yang benar dan praktik benar (karakter).42
Gambaran ini menegaskan
bahwa pendidikan karakter dalam komunitas, diwarisi dari komunitas
Kristen awal, dan terus dipelihara dalam konteks kekristenan.
Efektivitas praksis pendidikan Kristen harus menjadi gerakan bersama
antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.43
Karenanya, langkah
41From the beginning, schools had a special role in preparing the next generation
for the responsibilities of citizenship. Demikian pernyataan Marvin Lazerson dan kawan-kawan, dalam buku mereka. Marvin Lazerson, An Education of Value the Purpose and Practices f Schools (Cambridge: Cambridge University Press, 1985) 4-5.
42Hope S.Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual, terj. 21-23. 43Dalam pemaparannya, B.S.Sidjabat menegaskan orang tua di rumah, guru di
sekolah, majelis/diaken dan gembala siding di gereja memiliki peran penting dan mendesak. Mereka semua merupakan pengarah iman (spiritual director) dan pembimbing
88 PENDIDIKAN KARAKTER
pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan
dan educational networks yang nyaris terputus antara ketiga
lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan
karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan
pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Sekolah Kristen sebagai Entitas Strategis dalam Implementasi
Pendidikan Karakter. Tidak adil rasanya jika kita menumpahkan
semua tanggung jawab praksis pendidikan Kristen pada lembaga
sekolah Kristen semata. Sebaliknya, tidak bertanggung jawab pula
kiranya jika sekolah Kristen sebagai wadah yang dipercaya
menanamkan karakter Kristen justru tak mampu mewujudkan
perannya. Praksis pendidikan karakter harus menjadi kesadaran tugas
mendesak dan tepat guna. Kondisi ini diperparah oleh jaman yang
disebut oleh James Davison Hunter sebagai The Death of
Character.44
Bagaimana sekolah Kristen memaksimalkan perannya
dalam praksis pendidikan karakter?
- Pilar Pendidikan Karakter
Pada umumnya terdapat beberapa pilar dalam pendidikan
karakter, setidaknya ada 6 pilar yang harus nyata, yakni:45
trustworthiness (be honest), respect (treat others with respect),
responsibility (do what you are supposed to do, fairness (play
by the rules), caring (be kind), and citizenship (do your share to
make your school and community better. Dengan tidak
mengabaikan pilar-pilar pendidikan karakter yang telah ada,
moral (moral guide) bagi pribadi-pribadi dan kelompok yang diasuh dan dibesarkan. B.S.Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul suatu Pendekatan Telogis terhadap Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2011) 25.
44Mengawali bukunya, James Davison Hunter menegaskan: The death of character comes at a time when the call to “renew values” and to “restore character” is especially loud, persistent, universal-not to mention urgent. James Davison Hunter, The Death of Character Moral Education in age without Good or Evil (New York: Basic Books, 2000)
45David Clyde Jones, The Character Education Movement (Journal Presbyterion: Covenent Theological Seminary Review, Vol. XXVI Fall 2000 number 2, 85.
JURNAL TEOLOGI STULOS 89
pendidikan karakter dalam konteks sekolah Kristen perlu
menambahkan kekhususan mereka. David Gill mengusulkan
apa yang disebut dengan pembaruan karakter yang diwujudkan
dalam prinsip-prinsip praktis.46
Dalam praksis pendidikan
karakter di pendidikan Kristen, semua pilar pendidikan yang
ada haruslah menghasilkan tujuan yang ultimat, demikian
pendapat Gill, yakni: supaya Allah dimuliakan dengan perubahan
karakter kita (Mat. 5:13-16. Kedua, untuk menyatakan kasih
kepada sesame manusia dan perubahan karakter itu membawa
dampak bagi orang-orang di sekitarnya. Ketiga, dunia “digarami”
melalui karakter baik. Keempat, Kristen menghadirkan hidup,
terang dan perubahan dunia. Kelima kita sendiri dan orang-orang
sekitar akan mendapat berkat.
- Sekolah Kristen sebagai wahana pendidikan karakter.
Fungsi transformasi nilai-nilai luhur yang dilaksanakan di
sekolah mencakup lima dimensi, yaitu:47
pertama, pendidikan
tidak hanya mencakup pengetahuan dan ketrampilan semata
tetapi juga sikap, nilai dan kepekaan pribadi. Kedua, peran
seleksi (mencakup tidak hanya pemberian sertifikat, tetapi juga
melakukan seleksi terhadap peluang kerja). Ketiga, fungsi
indktrinasi. Keempat, fungsi pemeliharaan anak. Kelima, aktivitas
kemasyarakatan.
4. Pribadi umat Allah yang dihasilkan. Menanggapi maraknya
pendidikan karakter yang diusulkan oleh para pakar pendidikan
umum, beberapa pemikir Kristiani memberikan pendapat mereka
46B.S.Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul suatu Pendekatan Telogis terhadap
Pendidikan Karakter, hl. 284. Prinsip-prinsip pembaruan karakter: pertama, hidup dalam relasi dengan Allah termasuk mengalami perjumpaan pribadi dengan Dia melalui kelahiran baru. kedua, mendengarkan dan menceritakan kisah perbuatan-perbuatan-Nya sebagaimana ditulis dalam Alkitab. Ketiga, mempelajari secara lebih dalam ajaran tentang kebaikan Allah. Keempat, meneladani dan menaati kebaikan Allah. Kelima, bertumbuh dalam komunitas yang beriman kepada Allah dalam Kristus Yesus.
47Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter, 35-36.
90 PENDIDIKAN KARAKTER
sebagai arahan kepada praktisi pendidikan dalam mengadopsi
konsepsi pendidikan karakter yang ada dan berkembang. Menurut
Nicholas Wolterstorff, manusia dipanggil untuk hidup bertanggung
jawab kepada Tuhan, dirinya, sesamanya dan terhadap lingkungannya.
Pemberontakan manusia pertama membuat manusia jatuh ke dalam
dosa, yang selanjutnya melumpuhkan kemampuan manusia untuk
hidup bertanggung jawab. Tetapi karena kasih dan kemurahan Allah
melalui karya Yesus Kristus di kayu salib. Hasil pembenaran dan
pendamaian dengan Allah dalam Kristus inilah yang memunculkan
berbagai potensi moral baru.48
Wolterstorff menegaskan dalam
landasan anugerah Allah sematalah pendidikan karakter itu dapat
dibangun. Maka ia mengusulkan tiga strategi dalam prakteknya:
pertama, dengan jalan pembangkitan kesadaran akan anugerah Allah
oleh pendidik (orang tua, guru dan gereja). Kedua, pembangkitan
kesanggupan atau ability learning (bersifat dorongan, kesempatan
dan pemberian pujian). Ketiga, pembiasaan atau tendency learning
(harus ada model).
Apa yang diharapkan terjadi dalam pribadi umat Allah dalam
pembentukan karakter? Menurut David Gill, pertama memahami dan
mempraktikkan kebajikan utama yang sudah dikenal gereja sejak
awal yakni keadilan, hikmat atau kebijaksanaan, keberanian dan
pengendalian diri. Kedua, memahami dan mengembangkan akhlak
utama Kristen sebagaimana disebutkan oleh Paulus: iman, kasih dan
pengharapan (1 Kor. 13:13, Kol. 1:4-5, 1 Tes. 1:2-3). Ketiga,
menjadikan 8 dasar hidup bahagia menurut Yesus Kristus menjadi
dasar kekuatan moral kita (Mat. 5:3-12).
5. Peran guru. Peran guru amat vital terwujudnya praksis pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan Kristen. Guru sebagai model
48B.S.Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul suatu Pendekatan Telogis terhadap
Pendidikan Karakter, hl.272-274. Berkenaan dengan pendidikan karakter, Wolterstoff tidak setuju kepada pandangan humanistis yang menekankan bahwa anak harus diizinkan memilih sikap dan perbuatan moral sesuai kehendaknya.
JURNAL TEOLOGI STULOS 91
pembentukan karakter secara otomatis harus memiliki syarat-syarat
yang ketat. Menurut Craig R. Dykstra, The teacher is a person who is
intentionally responsible for involving learners in the experience of
the repenting, praying, and serving community in such a way that its
various aspect might be explored, shared, understood, and participated
in.49
Dalam konteks sekolah, pengajaran nilai hidup, iman dan
karakter membutuhkan pendekatan seperti ini: pertama, truth
encounter yakni melalui pengajaran verbal atau penyelidikan dan
diskusi atas Firman Tuhan. Kedua, power encounter yakni melalui
kehadiran dan karya kuasa Allah (jamahan Ilahi). Ketiga, life
encounter yakni melalui keteladan hidup sehari-hari, demikian
menurut B.S.Sidjabat. figur seorang guru Kristen dengan demikian
bukanlah sembarang dan gampangan, ia tidak boleh hanya fasih
dalam penyampaian materi, tapi ia harus menghidupi pembaharuan
karakter yang dialami secara pribadi bersama Allah hingga hidupnya
layak diteladani.50
Dalam penjelasannya mengenai seni mendidik
karakter Kristen, Dr. Stephen Tong menegaskan seorang guru selain
meneladani Kristus, ia juga memiliki beberapa aspek penting dalam
profesinya: pendidik yang mencintai Tuhan, pendidik yang mencintai
kebenaran, dan pendidik yang mencintai murid.51
6. Strategi manajemen pendidikan karakter di sekolah. Banyak
pendekatan yang telah dilakukan demi terwujudnya praksis
49Ibid, hl. 279-280. Maka menurutnya, ada tiga langkah yang harus dilakukan guru
dalam pembelajaran watak: pertama, dengan sikap sensitive mengenali peserta didiknya, termasuk konteks kehidupan (tetangga, musuh dan rang asing), kedua, menyediakan sumber-sumber belajar dalam rangka menuntun peserta didik memahami pergumulannya. Ketiga, guru memberanikan peserta didik mengusulkan konsep “jalan keluar” cara menghadapi konflik atau pergumulan moralnya.
50Penegasan senada juga disampaikan oleh Steven S.Tigner, baginya teacher and other school personnel best promote dispositions in student t make people seriously as a persons by taking students themselves seriously as persons. Indeed, there is no other way to do it. It must be made clear t students that who they are-the persons that they are (and are becoming)-really matters. Steven S.Tigner, Character Education: outline of seven point program, Journal of Education vol.175 number 2, 1993, hl. 13-15.
51Dr.Mary Setiawani, Pdt Dr. Stephen Tong, Seni mendidik Karakter Kristen (Jakarta: Lembaga Reformed Injil Indnesia, 1995) 78-81.
92 PENDIDIKAN KARAKTER
pendidikan karakter dalam konteks sekolah. Beberapa pola berikut ini
dapat dijadikan pertimbangan dalam konteks sekolah Kristen.
Thomas Lickona, memberikan diagram strategi praksis pendidikan
karakter dalam lingkup sekolah.52
7. Bagi Novan Ardy Wiyani, dalam pendidikan karakter di sekolah,
semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri:53
isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas/kegiatan
kokurikuler, pemberdayaan sarana dan prasarana, pembiayaan,
serta etos kerja seluruh warga sekolah. Lihat diagram berikut:
52Lickona mengusulkan komponen-komponen yang seharusnya terjadi dalam kelas:
1. The Teacher as caregiver, moral model and moral mentor. 2. Creating a caring classroom community. 3. Moral discipline. 4. Creating a democratic classroom environment. 5. teaching values through the curriculum.6 cooperative learning. 7. The conscience of craft. 8. Ethical reflection. 9. Teaching conflict resolution. Thomas Lickona,The Character’s role in Character Education, Journal of Education, Vol. 179, number 2, 1997, 66-76.
53 Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter, hl.78-79. Baginya, penerapan pendidikan karakter di sekolah setidaknya dapat ditempuh melalui 4 alternatif strategi secara terpadu: pertama, mengintegrasikan konten pendidikan karakter yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran. Kedua, mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Ketiga, mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan. Keempat, membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik.
JURNAL TEOLOGI STULOS 93
8. Pendidikan Karakter: Meneladani Kristus dan Pembaharuan
dalam Roh Kudus.
Keunikan pendidikan karakter Kristen tentu tidak dapat
dipisahkan dari teladan Kristus. Sehebat apapun kemampuan
manusia tanpa kesadaran anugerah Kristus dan meneladani
karakter-Nya hanya akan menghasilkan karakter yang amat
humanistic. Apa yang dapat kita teladani dari Yesus Kristus
sebagai Guru Agung dalam rangka pendidikan karakter? Menurut
B.S. Sidjabat: pertama, Dia mengkomunikasikan kebenaran dan
nilai hidup melalui khotbah, percakapan dan Tanya jawab. Kedua,
Ia melakukan berbagai tanda dan mujizat untuk menyatakan
bahwa kebenaran Allah itu nyata. Ketiga, Dia hidup di tengah
banyak orang sebagai teladan. Pribadi pendidik maupun peserta
didik seharusnya menjadi komunitas yang mengalami secara
pribadi pembaharuan karakter dari Roh Kudus. Dengan demikian,
pembaharuan karakter terjadi bukan didasari oleh usaha manusia
semata tetapi merupakan pengalaman hidup nyata bersama Tuhan
kita.
94 PENDIDIKAN KARAKTER
PENUTUP
Gagasan tentang pendidikan karakter kini telah menjadi gerakan
bersama dalam konteks pendidikan di Indonesia. Apa yang dapat dilihat
sebagai keunikan pendidikan Kristen dalam konteks Indonesia, menjadi
pembukti yang dinantikan dunia pendidikan. Anggapan sekolah Kristen
sebagai lembaga sekolah yang elit dan ekslusive yang pada gilirannya
menciptakan pengastaan dan diskriminasi, sebaiknya segera dihindari.
Dibalik semua ini, konsepsi dan praksis pendidikan karakter dalam
lingkup sekolah Kristen harus mampu menunjukkan keunikannya. Tujuan
akhir pembinaan iman dan moral adalah menuntun orang menjadi murid
Kristus (Mat. 28:19-20) dalam arti anak-anak, remaja, pemuda dan orang
tua yang percaya, mempercayakan diri dan mengikuti serta menaati
pengajaran-Nya dalam realitas kehidupan sehari-hari. Tanpa mengabaikan
semua upaya yang dilakukan oleh beragam kalangan untuk
mewujudnyatakan pendidikan karakter, tapi jika semua upaya tersebut
tanpa intervensi Allah tidaklah sanggup mengubah karakter sejati siswa.
Praksis pendidikan karakter dalam konteks komunitas Kristen
melibatkan banyak kalangan yang dengannya harus memiliki semangat
yang sama dalam perwujudannya. Dibutuhkan upaya, kerjasama dan
penyerahan nyata pada Allah agar upaya ini tidak sia-sia belaka. Dalam
semua upaya tersebut tidak boleh abai dan lupa esensi pembaharuan
karakter dalam pribadi umat-Nya memiliki tujuan yang khas yakni
pemberitaan Injil yang menuntun agar orang mengaku percaya dengan
hati dan mulutnya dalam kesadaran (Roma 3:24-25), menyadari dan
mensyukuri kehadiran Roh Allah dalam hidup kita, serta tujuan akhir
perubahan ini adalah menjadi serupa dengan gambar-Nya (2 Kor. 3:17-18)
hingga dunia tahu keunikan umat-Nya.
Jadi akhirnya, saudara-saudara semua yang benar, semua yang mulia,
semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap
didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah
semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu
JURNAL TEOLOGI STULOS 95
terima dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat
padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan
menyertai kamu (Fil. 4:8-9).
96 PENDIDIKAN KARAKTER
DAFTAR PUSTAKA
A, Doni Koesoema. Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh.
Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Dr. Chandra, Robby I. Pendidikan Menuju Manusia Mandiri, Bandung:
Generasi Infomedia, 2006.
Dr. Setiawani, Mary Pdt Dr. Stephen Tong, Seni mendidik Karakter
Kristen (Jakarta: Lembaga Reformed Injil Indnesia,
Dr. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Prenada Media
Group, 2011.
Groom, Thomas. Christian Religious Education, terj. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 2010.
Hunter, James Davison The Death of Character Moral Education in age
without Good or Evil, New York: Basic Books, 2000
Lazerson, Marvin An Education of Value the Purpose and Practices of
Schools, Cambridge: Cambridge University Press, 1985.
Lickona, Thomas. Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik
Siswa menjadi Pintar dan Baik, terj. Bandung: Nusa Media, 2013.
Prof.Dr. Samani, Muchlas dan Drs.Hariyanto, M.S, Pendidikan Karakter.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Ryan, Kevin & Karen E. Bohlin, Building Character in Schools:
Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco:
Jossey Bass, 1999.
Sidjabat, B.S. Membangun Pribadi Unggul suatu Pendekatan Telogis
terhadap Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Yayasan Andi, 2011
Wiyani, Novan Ardy. Manajemen Pendidikan Karakter, Yogyakarta: PT.
Pustaka Insan Madani, 2012
Zuhdi, Darmiyati. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: UNY Press, 2009.