PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI...
Transcript of PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI...
PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL
SEBAGAI UPAYA KONTRA RADIKALISME
(Studi di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah
Nurul Iman Parung-Bogor)
Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang
Ilmu Agama Islam
Oleh:
Ihwanul Mu’adib
NIM: 21151200000017
Pembimbing:
Prof. Dr. H. M. Suparta, MA
oleh:
KONSENTRASI/PEMINATAN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH PASCA SARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/1438 H
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul
Iman Parung Bogor memahami bahwa pendidikan multikultural mampu menjadi
alternatif dalam membendung radikalisme. Dikatakan alternatif karena tujuan
utama pendidikan multikultural bukanlah deradikalisasi, melainkan
persamaan/kesetaraan hak, toleransi dan keadilan. Kesimpulan tersebut didapat
setelah peneliti melakukan penelitian tentang kondisi latar belakang berdirinya
pondok pesantren, biografi pendiri, jumlah santri yang mencapai 10.378 dengan
latar belakang yang majemuk (Jawa, Palembang, Lampung, Madura, Papua, NTB,
Flores, Kalimantan, Aceh, Singapura, Malaysia, dll)\, model kurikulum, hubungan
kerja sama antar pesantren dengan lembaga luar pesantren baik negeri maupun
swasta, dan yang berbeda agama serta sikap pesantren terhadap kasus-kasus radikal
yang muncul selama beberapa tahun terakhir.
Melalui tulisan ini, penulis sependapat dengan Ainurrofiq Dawam (2006)
yang mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah model pendidikan
yang menjunjung tinggi arti sebuah memanusiakan manusia. Berikutnya, H>.A.R
Tilaar (2004) yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural bertujuan untuk
menciptakan sikap anak didik yang humanis, demokratis, dan toleransi antar
sesama manusia walaupun beragam dan berbeda latar belakang. Selain itu, tulisan
ini juga sependapat dengan James Bank (2008) yang mengatakan bahwa
pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of colours di mana
pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan
(anugerah Tuhan/ Sunnatulla>h). Namun, Penelitian ini tidak sefaham dengan
pendapat Charis Boutieri (2013) yang menyatakan bahwa pendidikan agama tidak
dapat mewujudkan pendidikan yang humanis dan akomodatif yang menghargai
perbedaan dan keragaman. Kemudian, Louis Ernesto Mora (2014), David B.
Skillicorn (2012) yang menyatakan bahwa agama mengantarkan manusia menjadi
fundamental, radikal, dan mendorong manusia berpikir yang irasional.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan
fenomenologi, sosiologi, dan antropologi. Pendekatan tersebut digunakan untuk
memahami bagaimana proses pendidikan dan pengembangan lembaga yang
berlangsung di pesantren tersebut melalui keterlibatan peneliti, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penulis melakukan observasi ke pesantren
tersebut untuk memperoleh data-data melalui dokumentasi, wawancara, dan
pengamatan langsung terhadap kehidupan para santri. Dari hasil observasi tersebut
penulis melakukan analisis kritis.
Sumber data primer penelitian ini adalah dokumentasi dan observasi secara
langsung terhadap proses pendidikan di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul
Iman. Sedangkan data sekundernya adalah buku-buku atau karya tulis ilmiah
lainya, website, berita, majalah, koran, dan lain sebagainya. Kemudian, untuk
teknik analisa data adalah dengan analisis deskriptif.
vi
Kata Kunci:pendidikan, multikulturalisme, deradikalisasi, pondok pesantren,
budaya.
ABSTRACT
This research concluded that boarding school of al-Ashriyyah Nurul Iman
Parung Bogor understood a multicultural education can be an alternative for
stemming of radicalism. It is said to be an alternative because the main purpose of
multicultural education is not deradicalization, but equality / equality of rights,
tolerance and justice. The conclusion is obtained after the researcher conducted
research on the background condition of the founding boarding school, biography
of founder, amount of students reaching 10.378 with a pluralistic background
(Java, Palembang, Lampung, Madura, Papua, NTB, Flores, Kalimantan, Aceh,
Singapore, Malaysia, etc.), curriculum model, relationships of the boarding school
between inside and outside institutions of boarding school, the institutions which
different religious and the reaction of boarding school to radical cases that have
occured since the last years.
Through this research, the researcher agree with Ainurrofiq Dawam (2006)
who said that a multicultural education is an educational model that respects the
meaning of a humanize human or humanity. Then, H> .A.R Tilaar (2004) which
states that a multicultural education aims to create a humanist, democratic, and
tolerant attitude among humans despite they have a diverse backgrounds. In
addition, this research also agree with James Bank (2008) which said that a
multicultural education as an education for people of colours where multicultural
education wants to explore differences as a necessity (grace of God / Sunnatulla>h).
But, This research disagree with Charis Boutieri (2013) argues that religious
education can not achieve a humanistic and accommodative education that respect
differences and diversity. Then, Louis Ernesto Mora (2014), David B. Skillicorn
(2012) who declare that religion makes a human being to fundamental, radical, and
encourages irrational thinking.
This research uses qualitative method through approach of
phenomenology, sociology, and anthropology. The approach is used to understand
how the process of education and institutional development that in this boarding
school through the involvement of researcher, either directly or indirectly. In
practice, the researcher make observations in this boarding school to obtain data
through documentations, interviews, and the direct observation to the living of the
students. From the results of these observations the researcher makes critical
analysis.
The primary data source of this research is the documentation and
observation directly to the educational process at al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic
boarding school. While the secondary data is books or other scientific papers,
websites, news, magazines, newspapers, and etc. Then, for the technique of data
analysis is a descriptive analysis.
vii
Keywords: Education, Multiculturalism, Deradicalization, Boarding School,
Culture.
ملخصة نور الامان تفهم تربة متعدد قد استنتج هذا البحث ان المعهد العصر
بدل لأن اقال إنه / نزعة التطرف. كون بدلا ف القضاء على التطرفتأن الثقافات
لأقامة ها هدفولكن متعدد الثقافات لس نزع عن التطرف ، لتربةالهدف الرئس ل
ةتم الحصول على الاستنتاج بعد ملاحظ. المساواة ف الحقوق والتسامح والعدالة
۱۰ صل إلى الطلاب عدد, وسرة المؤسسهذا المعهد, وحالة الخلفة ل الباحث
)جاوا,فالمبانج, لامفونج, مادورا, فافوا, وخارج البلاد(, وشكل مع خلفة تعددة
البلاد ومؤسسة الدنة المختلفة سفارة بن هذا الهعد و ةعلاقات التعاون, والمناهج
.الماضةة السنف إلى حالات التطرفة الت نشأت المعهد تجاوب وغرها, و
ن أقال الذي (٢) عن الرفق دواممع وافق الباحث، وف هذا البحث
مع . ثم وافقنسانم معنى الإنسان الإدع تتعلم ال شكل متعدد الثقافات ه تربةال
تجعل الطلاب الذن متعدد الثقافات تربةنص على أن ال الذي () ه. ا. ر. تلأر
. متنوعةالبن البشر على الرغم من خلفات هموتسامح ,ودمقراط ,إنسان لهم
تربة ه متعدد الثقافات تربةن الوغر ذالك, وافق مع جمس ا. بانك الذي قال أ
ان تكون مستلزمات )فضل من الاختلافاتتستطلع وجود حث, متنوعال للناس
اله/سنة الله(.
أن قال الذي( ۰)حارس بوتري وافق مع لا الباحث ثم ف هذا البحث,
إنسانا و الت لس لها ةالدن تربةال .لمتنوعاتواالاختلافات احترام ضافة تعلما
سكلقورن( ، دفد ب. ۱ستو مورا )لوس إرن معوافق لا وغر ذالك
غر تفكرا، و اتطرفو ،االبشر أساس جعل( الذي نص على أن الدن ۱)
.منطق
الظواهر وعلم الاجتماع بتقربهذا البحث الطرقة النوعة عملست
إشراك ب ةوتطور المؤسس التربةة مل لفهم ع عمل هذا التقرب ست. ووالأنثروبولوج
من الناحة العملة ، قوم . أو غر مباشركان ، إما مباشر هذا المعهد لباحث فا
والملاحظة المباشرة ة,ق والمقابلوثتالبلحصول البانات المعهد ف ةبملاحظ الباحث
.قوم الباحث تحلل نقدي ةالملاحظنتجة من لحاة الطلاب.
والملاحظة مباشرة إلى مصدر البانات الأساس لهذا البحث هو التوثق
أن البانات الثانوة ه الكتب أو ثممان. الإرة نور صالع المعهدالعملة التعلمة ف
viii
غرها من الأوراق العلمة ، والمواقع ، والأخبار ، والمجلات ، والصحف ،
ذلك. ثم ، لأسلوب تحلل البانات عن طرق التحلل الوصفغرو
الثقافة المعهد,ة, تعدد الثقافات, نزعة التطرف,: الترببحثالكلمة ال
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
ALA-LC ROMANIZATION TABLES
q = ق z = ز a = ا
k = ك s = س b = ب
l = ل sh = ش t = ت
m = م s }= ص th = ث
n = ن d} = ض j = ج
h = ه,ة t} = ط h} = ح
w = و z} = ظ kh = خ
y = ع = ‘ ي d = د
gh = غ dh = ذ
f = ف r = ر
Diftong Vokal Panjang Vokal Pendek
aw = و a> = ا a =
ay = ي i> = ي i =
u> = و u =
Ta’ Marbu>t}ah (ة) Transliterasi ta’ marbutah di akhir kata bila dimatikan ditulis h.
Contoh: مرأة : mar’ah, مدرسة : madrasah
Ketentuan ini tidak digunakan pada kata-kata arab yang sudah terserap ke
dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat, dan sebagainya kecuali
dikehendaki lafal aslinya.
Shaddah
Shaddah/tashdid dalam transliterasi ini di lambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama dengan huruf bershaddah tersebut.
Contoh: ربنا : rabbana, شول : shawwal.
Kata Sandang Alif + Lam
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al.
Contoh: القلم: al-Qalam
vi
Apabila diikuti huruf shamsiyyah ditulis dengan menggandeng huruf
shamsiyyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l-nya.
Contoh: الشمس : al-Shams, الناس : al-Na>s.
Pengecualian Transliterasi
Adalah kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa
Indonesia, seperti الله, asma>’ al-Husna>, dan ibn, kecuali menghadirkanya dalam
konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillah> al-Rahma>n al-Rahi>m, al-Hamdulilla>h rabbi al-‘Alami>n, wa al-S}ala>tu wa al-Sala>mu ‘ala> sayyidina> Muhammadin wa ‘ala> alihi wa s}ah}bihi ajma’i>n. Segala puji dan shukur ke Hadirat Allah SWT Tuhan semesta alam, berkat rahmat,
karunia, serta inayah-Nya penelitian ini dapat dilaksanakan hingga selesai. S}alawat
dan salam semoga tercurah kepada baginda Rasulillah SAW., seorang manusia
mulia sebagai suri tauladan sekaligus pencerah dan isnpirator seluruh umat
penduduk alam. Semoga kita dapat menindak lanjuti perjuanganya dan
meneladaninya sehingga dapat meraih syafaatnya.
Selanjutnya, penelitian yang berjudul ‚Pendidikan Berwawasan
Multikultural sebagai Upaya Kontra Radikalisme (Studi di Pon-pes al-Ashriyyah
Nurul Iman Parung Bogor),‛ ini bukan sepenuhnya merupakan jerih payah seorang
diri pribadi, tetapi dalam penelitian ini telah melibatkan banyak pihak, baik dalam
penemuan ide awal hingga dalam proses penelitian serta penulisan tesis ini. Oleh
karena itu, saya ingin menyampaikan penghargaan yang tinggi dan mengucapkan
banyak terima kasih, terutama kepada:
1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, wakil direktur Prof.
Dr. Ahmad Rodoni, MM., ketua program S3 Prof. Dr. Didin Saepudin,
MA., dan ketua program S2 Dr. JM. Muslimin, MA.
3. Pembimbing tesis Prof. Dr. M. Suparta, MA., yang penuh perhatian dan
ketelitian dalam menelaah, mengoreksi, mendiskusikan, dan
memberikan arahan tesis.
4. Prof. Dr. Azyumardi, MA., Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA., Prof.
Dr. Husni Rahim, Prof. Dr. Bambang Pranowo (almarhum), Prof. Dr.
Armai Arif, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., Prof. Dr. Ridwan Lubis, Dr.
Amelia Fauzia, Dr. Nurul Azkia, Dr. Abd. Rozak, M.Si., Dr. Arif
Mufraini yang ikut terlibat berkontribusi memberikan pandangan-
pandanganya serta perbaikan tesis ini dalam konsultasi pribadi maupun
di dalam kelas serta dalam ujian-ujian, mulai dari seminar proposal,
WIP I, WIP II, Ujian Komprehensif tulis dan lisan hingga ujian
pendahuluan.
5. Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin
Salim (almarhum) dan penerus perjuangan beliau Ummi Waheeda binti
Abdul Rahman, M.Si., pribadi yang selalu menginspirasi penulis
sekaligus tempat melakukan objek penelitian.
6. Direktur Utama Yayasan Bulan Purnama Irfandi Ahmad, SHI. MH.
yang telah memberikan beasiswa dalam menyelesaikan pendidikan ini.
7. Ketua CEM periode 2014-2016 Irvan Budi Rachman, MM., Ketua CEM
Periode 2016-2019 Deshir Mauludin yang telah memberikan support
dalam menyelesaikan pendidikan ini.
viii
8. Semua guru besar, para dosen, dan staf SPs. UIN Jakarta yang telah
memberikan ilmunya yang tulus ikhlas. Staf akademik yang telah
memberikan pelayanan yang terbaik dan memuaskan sehingga dalam
proses penulisan tesis ini berjalan lancar. Staf perpustakaan SPs. UIN
Jakarta yang telah memberikan pelayananya yang baik ketika
mengakses literatur-literatur.
9. Ayahanda Masruhan dan Ibunda Rofi’ah yang dengan tulus ikhlas
mendorong, mendo’akan, dan menginspirasi dalam melakukan
pendidikan ini. Tidak lupa Min’amus Sukri dan Nur Khanifatul Afi
selaku adik dari penulis yang terus giat memotivasi. Terkhusus Nur
Lailatul Nikmah yang menjadi teman setia untuk berdiskusi dan
memotivasi.
10. Semua teman seperjuangan SPs UIN Jakarta angkatan 2015/ganjil yang
tidak saya sebutkan satu persatu yang ikut terlibat dalam berdiskusi,
mengoreksi dan membantu dalam penyelesaian tesis ini. Lebih khusus
teman satu kampung dan satu asrama Kang Abdul Azis, Muhammad
Syafii, Muhammad Shohib, Samsudin, Ayun, Muhzen, Umam, Sukron,
serta tidak lupa kepada Kang Ali Muttakin , Kang Ghufron Maksum,
dan Kang Nadhif Ali Ash’ari yang banyak direpotkan dalam penelitian
ini terutama dalam mencari data.
Kepada mereka, selain saya haturkan penghargaan tinggi dan ucapan
terima kasih saya sampaikan jazakumulla>h ahsan al-Jaza>’. Selanjutnya, saya ingin menyampaikan bahwa tesis ini masih banyak
kekurangan. Oleh karenanya, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
sangat diharapkan untuk melengkapi segala kekurangannya. Semoga tesis ini
dengan segala kelemahan dan kelebihanya dapat memberikan manfaat, terutama
terkait dengan pengembangan pendidikan, umumnya di Indonesia dan khususnya di
lingkungan pesantren.
Jakarta, 2 Mei 2018
Ihwanul Muadib
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................ i
Surat Pernyataan Bebas Plagiarisme .............................................................. ii
Persetujuan Pembimbing ................................................................................ iii
Pernyataan Telah Verifikasi ........................................................................... iv
Abstrak ........................................................................................................... v
Abstract ........................................................................................................... vi
vii ............................................................................................................ الولخص
Pedoman Trasliterasi ...................................................................................... viii
Kata Pengantar ............................................................................................... x
Daftar Isi ......................................................................................................... xii
Daftar Singkatan ............................................................................................ xiii
Daftar Bagan dan Tabel ................................................................................. xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah .................................................................... 10
2. Perumusan Masalah ..................................................................... 10
3. Pembatasan Masalah ................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10
D. Manfaat/Signifikansi Penelitian ........................................................ 11
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................... 11
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian ............................................................................ 13
2. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 15
3. Sumber Data Penelitian ............................................................... 17
4. Proses Analisis Data .................................................................... 18
BAB II : PESANTREN, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL,
DAN DERADIKALISASI
A. Pesantren dan Perkembangan Ragam Pesantren ................................ 20
B. Multikulturalisme dalam Tinjauan Islam ........................................... 23
x
C. Diskursus Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
1. Pengertian Multikulturalisme ...................................................... 23
2. Sejarah Multikulturalisme ........................................................... 29
3. Pengertian Pendidikan Multikultural .......................................... 33
4. Orientasi Pendidikan Multikultural ............................................. 38
D. Masyarakat Sipil (Santri) Sarana Efektif Deradikalisasi ................... 44
BAB III : KIPRAH PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH
NURUL IMAN DALAM MEMPERJUANGKAN NILAI-
NILAI MULTIKULTURAL
A. Letak Geografis dan Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman ................................................................... 51
B. Visi Misi Pesantren dan Profil Kiyai Pendiri Pesantren .................... 55
C. Latar belakang Santri dan Pengurus Pesantren .................................. 61
D. Membuka Kerja Sama yang Inklusif.
1. Berbeda Agama, saling mengasihi .............................................. 66
2. Mendakwahkan kebaikan, menjaga citra baik Agama Islam ....... 70
3. Kemandirian Ekonomi Pesantren ................................................. 73
E. Output dan Outcome Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman ................. 76
1. Mengembangkan Pemikiran Sang Kiyai ..................................... 77
2. Santri memberdayakan ekonomi mandiri .................................... 79
BAB IV : IMPLEMENTASI PENDIDIKAN
BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI
UPAYA KONTRA RADIKALISME DI PONDOK PESANTREN
AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN
A. Kebijaksanaan Pesantren Dalam Upaya Pengembangan
Pendidikan Multikultural ................................................................... 82
B. Doktrin yang dikembangkan Pesantren ............................................. 82
1. Kurikulum Pesantren Penentu Output dan Outcome Pesantren .. 85
2. Mengaji Gejala-Gejala Radikalisme dan Pencegahanya .............. 95
C. Proses Pembentukan Santri yang Berpaham Multikultural ............... 100
1. Pola Pengajaran Kitab Kuning, Membentuk Santri yang
berpaham Multikultural dan Anti Radikalisme ............................ 101
2. Pendidik/Guru yang Inklusif sebagai Uswah Hasanah
semangat multikultural .............................................................. 104
3. Semangat Multikultural dalam Berbagai Kegiatan
Ekstrakurikuler Santri .................................................................. 106
xi
4. Majelis Muh}a>d}arah, Ajang Melatih Kepercayaan Diri ................ 108
5. Santri Wajib Militer, Menanamkan Jiwa Nasionalisme .............. 110
6. Pola Pengasuhan Santri di Asrama .............................................. 112
D. Kendala-Kendala yang Dihadapi Pondok Pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman ......................................................................................... 114
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 120
B. Saran .................................................................................................. 121
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 122
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR SINGKATAN
AICIS : Annual International Conference on Islamic Studies
AMINEF : The American Indonesian Exchange Foundation
BANSER ; Barisan Serba Guna
BAP : Berita Acara Perkara
BNPT : Badan Nasonal Penanggulangan Terorisme
BPS : Badan Pusat Statistik
CTITF : Counter Terrorism Implementation Task Force
FPI : Front Pembela Islam
GP ANSOR : Gerakan Pemuda Ansor
HAM : Hak Asasi Manusia
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
IKSANI : Ikatan Keluarga Santri al-Ashriyyah Nurul Iman
MLB : Muktamar Luar Biasa
MTQ : Musabaqah Tilawatil Qur’an
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
NU : Nahdhatul Ulama’
PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PERPPU ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
PILGUB : Pemilihan Gubernur
PKB : Partai Kebangkitan Bangsa
PON-PES : Pondok Pesantren
SARA : Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan
SD : Sekolah Dasar
SDM : Sumber Daya Manusia
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMP : Sekolah Menengah Pertama
TOSERBA : Toko Serba Ada
TK : Taman Kanak-Kanak
TPQ : Taman Pendidikan al-Qur’an
UNESCO : United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
UU : Undang-Undang
WASP : White Anglon-Saxon Protestan
WAMIL : Wajib Militer
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 : Gambar lokasi pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman berbentuk telapak kaki ........................................... 55
Gambar 3.2 : Foto Habib Saggaf bersama Gusdur
(KH. Abdurrahman Wahid) saat MLB PKB di pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman ............................................. 60
Gambar 3.3 : Foto santri al-Ashriyyah Nurul Iman saat berkunjung ke
Lembaga AMINEF untuk berdiskusi tentang pertukaran
budaya ......................................................................................... 69
Gambar 4.1 : Foto santri saat berhalaqah membahas kitab kuning ................. 104
Gambar 4.2 : Foto pencaksilat dan takwondo santri al-Ashriyyah
Nurul Iman ................................................................................. 108
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Latar belakang santri berdasarkan klasifikasi asal daerah .......... 62
Tabel 3.2 : Pemetaan Input-Proses-Output-Outcome santri
al-Ashriyyah Nurul Iman ............................................................ 77
Tabel 4.1 : Klasifikasi kitab kelas I’da>d ....................................................... 91
Tabel 4.2 : Klasifikasi kitab kelas Ula> ......................................................... 91
Tabel 4.3 : Klasifikasi kitab kelas Wust}a> ..................................................... 91
Tabel 4.4 : Klasifikasi kitab kelas ‘Ulya> ...................................................... 91
Tabel 4.5 : Rutinitas kegiatan keseharian santri .......................................... 149
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 : Skema Snowball sampling ......................................................... 18
Bagan 2.1 : Standar dalam penyelenggaraan pendidikan multikultural ........ 42
Bagan 2.2 : Hubungan pendidikan multikultural dengan deradikalisasi ....... 48
Bagan 4.1 : Hubungan Impelementasi pendidikan multikultural
dan proses deradikalisasi di pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman ................................................................................. 100
Bagan 4.2 : Manajemen sarana prasarana di poondok pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman ............................................................ 116
Bagan 4.3 : Skema pengambilan keputusan / kebijakan di pondok pesan-
tren al-Ashriyyah Nurul Iman .................................................... 118
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi memiliki pengaruh besar terhadap perubahan pola hidup
manusia, mulai dari sosial budaya, politik, hukum, ekonomi dan sikap keagamaan.
Hubungan manusia satu dengan lainya yang berbeda bangsa dan negara menjadi
terbuka semakin luas karena perkembangan teknologi yang semakin pesat. Dengan
teknologi itu mereka mudah untuk bertukar informasi. Perubahan pola hidup
seperti ini menimbulkan berbagai masalah baru dalam kehidupan.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar
di dunia1. Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Kemajemukan tersebut
ditandai dengan beragamnya etnis, suku, agama, budaya dan adat istiadat yang
terdapat didalamnya.2 Dari Sabang sampai merauke terdapat beragam masyarakat
dengan latar belakang yang berbeda dan unik tersebut memiliki potensi kekuatan
yang dapat menjadi modal sosial pembangunan bangsa Indonesia dan memiliki
potensi timbulnya konflik dan gesekan-gesekan sosial yang dapat mengancam
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ketika keragaman tersebut
tidak disikapi dengan baik.
Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, sekitar 11 ribu pulau dihuni oleh
penduduk 359 suku dan 726 bahasa. Mengacu pada PNPS no. 1 tahun 1965 yang
telah ditolak judicial review nya oleh Mahkamah Konstitusi dengan nomor
140/PUU-VII/2009, Indonesia memiliki lima agama3. Kemudian pada masa
Presiden Abdurrahman Wahid, konghucu menjadi agama keenam. Meski hanya
enam, di dalam masing-masing agama tersebut terdiri dari berbagai aliran dalam
bentuk organisasi sosial. Begitu juga ratusan aliran kepercayaan, hidup dan
berkembang di Indonesia.4
Multikultural secara sederhana berarti kebudayaan yang beragam.
Multikultural tidak hanya menyangkut masalah SARA (suku, agama, ras, dan antar
1Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) yang dirilis pada tanggal 1 Juli 2015,
Indonesia memiliki jumlah penduduk dengan total 255,461,700 jiwa, 3,47 % dari penduduk
dunia. Jika dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, yakni tahun 2010, Indonesia
memiliki peningkatan sekitar 20 juta jiwa di mana pada tahun 2010 jumlah penduduk
Indonesia sebanyak 238.518.800. Lihat
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1274. diakses pada tanggal 25 oktober 2016 2Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme: Pandangan Baru PAI di
Indonesia (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2011), 13. 3Menurut undang-undang tersebut, agama yang resmi diakui pemerintah adalah
Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Meskipun hanya lima yang diakui secara resmi,
tetapi pemerintah tetap memberikan kebebasan bagi penganut kepercayaan di luar lima
agama tersebut, seperti Shinto, sunda wiwitan, kejawen, darmo gandul, dan lain
sebagainya. 4Husni Mubarok, ‚Memahami Kembali Arti Keragaman: Dimensi Eksistensi,
Sosial dan Institusional‛, HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, IX (35) Juli-
September 2010:33
2
golongan) melainkan keragaman yang lebih luas, seperti kemampuan fisik maupun
nonfisik, umur, status sosial, dan lain sebagainya. Multikulturalisme merupakan
sebuah konsep atau ide yang menekankan pada keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan atau kesetaraan. Artinya setiap individu diperlakukan sama, tidak
ada diskriminasi dan pengebirian hak-hak.
Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan ‛Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa‛.5 Bunyi pasal tersebut
mengindikasikan bahwa pandangan multikulturalisme menjadi salah satu bahan
pertimbangan khusus dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Pada konteks
ini dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah
untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut
agama dan budaya yang berbeda.6 Harapan yang lebih jauh lagi, penganut agama
dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju
dengan adanya sikap ketidak-toleranan (intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan
negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan
hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Adanya kenyataan bahwa Indonesia memiliki corak masyarakat dengan
berbagai keragamannya menjadi salah satu pendorong munculnya gagasan tentang
pendidikan multikultural sebagai salah satu model pendidikan di masa mendatang.
Menurut Muhaemin El-Mahady dikatakan: ‛Kenyataan yang tak dapat ditolak
bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman sosial,
kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain sehingga masyarakat
dan bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
‚multikultural.‛ El-Mahady lebih lanjut mengatakan bahwa realitas multikultural
tersebut mendorong adanya kebutuhan yang mendesak untuk merekonstruksi
kembali ‚kebudayaan nasional Indonesia‛ atau ‚budaya bangsa‛ yang dapat
menjadi ‚integrating force‛ yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, suku
bangsa, dan budaya tersebut.7
Sepertinya Indonesia belum maksimal mengelola kemajemukan yang ada.
Terlihat banyak aksi radikal dan teror merebak di Indonesia, seperti akhir 2015
sampai tahun 2016 ini banyak sekali muncul kasus radikal, di antaranya kasus bom
Sarinah, kasus kelompok Gafatar, kasus pemberontakan yang mengatasnamakan
pendirian negara Islam, pembakaran Gereja di Singkil Aceh, dan isu-isu adu domba
antar sekte-sekte agama. Banyaknya konflik tersebut menunjukkan bahwa bangsa
ini belum sepenuhnya memahami arti keragaman dan perbedaan. Tidak sedikit di
antara manusia yang hendak meniadakan kebhinekaan (plurality) dan
5Lihat UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB III
tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan pada pasal 4. 6Henry Alexis RudolfTilaar, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global
Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 123. 7Herimanto, Triyanto, Musa Pelu, Pengembangan Model Pembelajaran Budi
Pekerti Berbasis Multikultural, Journal.uny.ac.id/index.php/jipsindo/article/download/2880/2404, diakses 22 Mei 2016
3
menggantinya dengan ketunggalan dan keseragaman (uniformity). Ironisnya para
teroris dan kaum radikalis mengklaim bahwa semua itu dilakukan karena perintah
agama (Islam).8
Fenomena aksi radikal tersebut sejalan dengan pernyataan Tahir Abbas
dalam penelitianya terhadap fenomena politik atas fundamentalisme dan
radikalisme agama di Eropa Barat, khususnya di Inggris. Kesimpulan dari
penelitian Tahir Abbas tersebut adalah aksi radikal didorong oleh faktor internal
penganut agama dalam memahami ayat-ayat jihad dalam al-Qur’a>n.9 Sikap
eksklusif cenderung mebuat manusia merasa paling benar, sehingga tidak mau
menerima argumen atau ide gagasan dari luar, apalagi jika argumen tersebut
datang dari kelompok atau agama yang berbeda denganya. Terbukti, terjadinya
penolakan kemodernan yang datang dari Barat oleh kelompok Boko Haram di
Nigeria. Kelompok ini menggunakan doktrin-doktrin agama untuk melegitimasi
jihad melawan kebijakan pemerintah.10
Maraknya aksi radikalisme dan terorisme atas nama Islam di dunia
internasional maupun di Indonesia sedikit banyak telah menempatkan umat Islam
sebagai pihak yang dipersalahkan. Ajaran jihad dalam Islam seringkali dijadikan
sasaran tuduhan sebagai sumber utama terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh
sebagian orang Islam. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia semisal madrasah
ataupun pondok pesantren, juga tidak lepas dari tuduhan yang mendiskreditkan
tersebut.11
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia tertua dalam sejarah Indonesia
ini seringkali dipersepsikan sebagai markas atau sentral pemahaman Islam yang
sangat fundamental yang kemudian menjadi akar bagi gerakan radikal yang
mengatasnamakan Islam.12
Pendidikan dan lembaga pendidikan menduduki posisi strategis sebagai
penyebar benih radikalisme dan sekaligus penangkal –deradikalisasi– dari gerakan
Islam radikal. Studi-studi tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya
lembaga pendidikan Islam tertentu (terutama yang nonformal, seperti pesantren)
telah mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme kepada peserta didik sehingga
8Indriyani Ma’rifah, Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya
Membangun Kesadaran Multikultural untuk Mereduksi Terorisme dan Radikalisme Islam,Conference Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS)
XII IAIN Sunan Ampel Surabaya 5-8 November 2012:227 9Tahir Abbas, A Theory of Islamic Poltical Radicalism in Britain: Sociology,
Theology and International Political Economy, Contemporary Islam, vol. 1, issue 2 (2007):
109 -122 10
Three Anonymous, The Popular Discourse of Salafi Radicalism and Salafi
Counter-Radicalism in Nigeria: A Case Satudy of Boko Haram , Journal Religion in Africa 42 (2012) : 118 - 144
11Ahmad Darmadji, ‚Pondok Pesantren dan Deradikalisasi Islam di Indonesia,‛
Millah, vol. XI, no. 1 (2011): 236-251. 12
Andik Wahyun Muqoyyidin, ‚Membangun Kesadaran Inklusif-Multikultural
untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam,‛ Jurnal Pendidikan Islam, vol. 1, no. 2 (2012
M/1434 H): 131-151.
4
hal ini memicu seorang Jusuf Kalla sempat melontarkan ide pengambilan sidik jari
dari semua santri.13
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) ada 19
pesantren terindikasi mengajarkan benih radikalisme.14
Pondok pesantren yang
seharusnya menjadi penebar Islam rahmatan li al‘a>lami>n tetapi malah terindikasi
benih ajaran radikal. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian besar bagi pemerhati
pendidikan Islam agar fenomena Islamofobia15 di dunia internasional tidak semakin
menjadi-jadi.
Pemerintah telah mengatur tentang tindak pidana terorisme melalui
Undang-Undang No 15 Tahun 2003. Dari Undang-Undang ini pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2010 tentang
pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang
ditandatangani Presiden tanggal 16 Juli 2010. Pertimbangan lain yang mendasari
terbitnya Perpres ini menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto bahwa terorisme masih tetap
merupakan ancaman nyata dan serius yang setiap saat dapat membahayakan
keamanan bangsa dan negara, terorganisasi mempunyai jaringan luas, serta
13
Niken Widya Yunita, ‚Sidik Jari Santri, Kalla Soroti Sikap Sensitif Tanpa Alasan,‛ detikNews. Rabu, 7 Desember 2005.
http://news.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/12/tgl/07/time/132014/idnews/493843/idkanal/10.
14Sembilan belas pondok pesantren menurut BNPT terindikasi mendukung
radikalisme ialah Pondok Pesantren Al-Muaddib, Cilacap; Pondok Pesantren Al-Ikhlas,
Lamongan; Pondok Pesantren Nurul Bayan, Lombok Utara; Pondok Pesantren Al-Ansar,
Ambon; Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah, Makassar; Pondok Pesantren Darul Aman,
Makassar; Pondok Pesantren Islam Amanah, Poso; Pondok Pesantren Missi Islam Pusat,
Jakarta Utara; Pondok Pesantren Al-Muttaqin, Cirebon; Pondok Pesantren Nurul Salam,
Ciamis; dan beberapa pondok pesantren lain di Aceh, Solo, dan Serang. lihat
www.bnpt.go.id, lihat juga https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160203201841-20-108711/bnpt-19-pesantren-terindikasi-ajarkan-radikalisme/
15Islamofobia merupakan istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan
diskriminasi pada agama Islam dan muslim. Istilah itu sudah ada sejak tahun 1980-an,
tetapi menjadi lebih populer setelah terjadinya peristiwa serangan 11 September 2001 di
Amerika. Pada tahun 1997, Runnymede Trust seorang Inggris mendefinisikan Islamofobia
sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan juga pada semua muslim. Dibuktikan
bahwa Islamofobia juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap muslim dengan
memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa. Di
dalamnya juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan
budaya lain, lebih rendah dibanding budaya barat dan lebih berupa ideologi politik yang
bengis dari pada berupa suatu agama. Langkah-langkah telah diambil untuk peresmian
istilah ini pada bulan Januari 2001 di "Stockholm International Forum on Combating
Intolerance". Di sana Islamofobia dikenal sebagai bentuk intoleransi seperti Xenofobia dan
Antisemitisme. Lihat Robert Spencer, ‚There really isn't a phenomena like "Islamophobia"
- at least no more than there was a "Germanophobia" in hating Hitler or "Russiaphobia" in
detesting Stalin." - Historian Victor Davis Hanson, in the The Politically Incorrect Guide to Islam (and the Crusades), Regnery Publishing, Page. 200. Lihat juga Sandra Fredman,
Discrimination and Human Rights, Oxford University Press, p.121.
5
mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, sehingga
memerlukan penanganan secara terpusat, terpadu dan terkoordinasi.16
Dalam rangka memperkuat upaya penanggulangan radikalisme dan
terorisme, pemerintah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang ormas.17
Di
dalam Perppu tersebut dijelaskan bahwa semua ormas dilarang melakukan tindakan
permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan; melakukan penyalahgunaan,
penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; melakukan
tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau
merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan melakukan kegiatan yang menjadi
tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dengan adanya perppu ini, diharapkan ormas-ormas yang
terindikasi memiliki aktivitas radikal dan teror dapat segera ditindak secara tegas
agar tidak dapat tumbuh subur di Indonesia.
Menurut Imam Mustofa selaku Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok
Pesantren UII Yogyakarta, kurang efektifnya langkah-langkah untuk memutus
mata rantai radikalisme dan terorisme di antaranya disebabkan oleh pendekatan
yang cenderung militeristik yang mengedepankan proses hukum. Langkah ini pada
dasarnya hanya mendorong langkah dari tengah, belum menelisik jauh dan
mengoptimalkan pendekatan lain, seperti pendekatan ekonomi, politik dan
pendekatan agama.18
Menurut Neil J. Smelser ada tiga faktor yakni ekonomi, politik dan agama
dapat memengaruhi perilaku seseorang sehingga dapat menimbulkan gerakan
terorganisir dan terlibat terorisme.19
Faktor ini akan menjadi faktor pemicu
terjadinya tindakan radikal dan mengarah pada upaya terorisme bila direkatkan
dengan doktrin-doktrin keagamaan seperti jiha>d fi sabi>lillah, dan da’wah amar ma’ru >f nahi> munkar.20
Menurut M. Khusna Amal, proses deradikalisasi akan lebih efektif jika
melibatkan pondok pesantren.21
Hal ini karena, pertama pesantren di sinyalir
sebagai sarang teroris, persoalan ini mencuat setelah tragedi Legian Bali atau yang
16
Ruslan Burhani, ‚Pemerintah Terbitkan PERPRES Pembentukan BNPT,‛
https://www.antaranews.com/berita/214146/pemerintah-terbitkan-perpres-pembentukan-bnpt, 30 Juli 2010. Diakses pada 5 Oktober 2016.
17Lihat Perpu No. 2 Tahun 2017, Lihat juga http://setkab.go.id/inilah-perppu-no-
22017-tentang-perubahan-uu-no-172013-tentang-organisasi-kemasyarakatan/ 18
Imam Mustofa, detik,com, 2010, dalam Rohmat Suprapto, ‚Deradikalisasi
Agama melalui Pendidikan Multikultural Inklusiv (Studi pada Pesantren Imam Syuhodo
Sukoharjo),‛ PROFETIKA Jurnal Studi Islam, vol. 15, no. 2 (2014): 246-260. 19
Imam Mustofa ‚Teorisme:Antara Aksi dan Reaksi (Gerakan Islam Radikal
sebagai Respon Terhadap Imperialisme Modern),‛ Jurnal Religia, vol. 15, no. 1 (2012): 65-
87. 20
M. Habib Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis dan Fundamentalis (Yogyakarta: Pilar, 2007).
21M. Khusna Amal, Kontestasi dan Negosiasi Agama, Lokalitas dan Harmoni
Sosial di Kota Padalungan, dalam Jurnal Harmon, Volume VII, (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2008).
6
terkenal dengan Bom Bali I dan Bom Hotel JW Mariot yang melibatkan Amrozi
beserta kelompoknya yang memiliki hubungan kental dengan pesantren al-Mukmin
Ngruki Sukoharjo. Bahkan, Amerika Serikat dan media Barat mengklaim beberapa
pondok pesantren sebagai sarang teroris. Di antaranya Pesantren Hidayatullah yang
terletak 35 km dari Kota Balikpapan Kalimantan Timur dan pesantren al-Mukmin
Ngruki Solo Jawa Tengah. Amerika menuduh Abu Bakar Baasyir memiliki
jaringan kuat sebagai otak beberapa pengeboman di beberapa tempat tadi.22
Dengan adanya klaim sarang teoris kepada pesantren mengakibatkan
reputasi lembaga pendidikan Islam menjadi negatif. Perlu adanya terobosan baru
dalam mengelola lembaga pendidkan Islam untuk memperbaiki reputasi tersebut di
mata dunia internasional. Salah satunya adalah penerapan pendidikan yang
berwawasan multikultural. Melalui penerapan konsep pendidikan multikultural,
pesantren akan dianggap lembaga pendidikan Islam yang berideologi terbuka.
Ideologi terbuka seyogianya akan mudah menerima perbedaan.
Ide tentang membumikan pendidikan multikultural menjadi komitmen
internasional sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh UNESCO pada bulan
Oktober 1994 di Kota Jenewa. Di dalam rekomendasi itu memuat empat pesan,
Pertama, pendidikan harus senantiasa mengembangkan kemampuan untuk
mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis
kelamin, masyarakat dan budaya serta mengedepankan kemampuan untuk
berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan
seyogianya menguatkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian-penyelesaian yang memperkuat perdamaian, persaudaraan dan
solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan harus senantiasa
meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa
kekerasan. Keempat, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan
rasa, sikap damai dalam diri dan pikiran peserta didik sehingga mereka mampu
memperkuat kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara
keragaman.
Konsep pendidikan multikultural sendiri memiliki banyak arti. Menurut
Andersen dan Cusher pendidikan multikultural diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman.23
Sedangkan James Bank mendefinisikan pendidikan
multikultural sebagai pendidikan untuk people of colours. Artinya pendidikan
multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah
Tuhan/sunnatullah).24
Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan
multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan
22
Rohmat Suprapto, ‚Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan Multikultural
Inklusivisme (Studi pada Pesantren Imam Syuhodo Sukoharjo‛ http://journals.ums.ac.id/index.php/profetika/article/view/2001
23Andersen dan Cusher dalam Choirul Mahfud,Pendidikan Multikultural.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 167. 24
James Bank dalam Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), 168.
7
ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia
yang kompleks dan beragam secara kultur. Pendidikan multikultural juga
merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama,
status sosial, ekonomi, serta pengecualian dalam proses pendidikan.25
Setelah dikaji konsep pendidikan multikultural, agaknya memang relevan
untuk dijadikan konsep pendidikan di Indonesia. Namun, disisi lain ada kritik
terhadap pendidikan multikultural. Kritik ini disampaikan oleh Prihanto dalam
tulisanya yang berjudul ‚Kritik atas Konsep Pendidikan Multikulturalisme‛. Ia
mengatakan bahwa pendidikan multikultural mengajarkan untuk menghargai
keragaman budaya, etnis, ras, suku dan aliran-aliran kegamaan. Jika yang diajarkan
hanya toleransi tentunya tidak bermasalah. Namun, bila dianalisis secara
paradigmatis, pendidikan model ini mengalami problem teologis. Sebab bukan
sekedar toleransi yang diajarkan, tetapi faham pluralisme yang berbasis pada
relativisme.26
Selain itu, kritik terhadap multikulturalisme juga datang dari Jerman. Pada
17 Oktober 2010, Seorang Kanselir Jerman, Angela Markel mengatakan bahwa
praktek multikulturalisme telah gagal. Markel menambahkan, adalah sebuah ilusi
bahwa orang Jerman dan pekerja asing bisa hidup berdampingan secara damai.
Dalam komentar Markel, ‚it had been an illusion to think that Germans and foreign workers could live happily side by side.‛ Meskipun demikian, Markel
mengakui bahwa Jerman terbuka untuk imigran, tetapi sikap utamanya adalah
sejalan dengan Horst Seehofer, yang satu pekan sebelumnya menyerukan agar
Jerman melarang bertambahnya imigran dari Turki dan Arab. Bahkan, Seehofer
menyatakan, ‚Multiculturalism is dead.‛27
Azyumardi Azra merespon hal tersebut dengan menyatakan bahwa Praktek
Multikulturalisme masih menjadi agenda yang belum terselesaikan di banyak
Negara Eropa. Meskipun sebenarnya, perkembangan demografi dan sosial-budaya
di negara-negara Eropa sangat membutuhkan penerapan multikulturalisme dalam
kehidupan warga negara yang kian beragam. Ia juga sempat menyampaikan bahwa
Kanselir Jerman Angela Merkel belum lama ini pernah menyatakan,
multikulturalisme telah gagal di banyak wilayah benua ini.28
Munculnya persepsi perihal kegagalan multikulturalisme di Negara Eropa
disebabkan oleh tidak terjadinya akulturasi dan akomodasi budaya secara
signifikan di antara para warga. Para imigran yang bertambah banyak, datang dari
Afrika dan Asia Barat dan Asia Selatan sejak 1950an membuat masyarakat Eropa
25
Hilda Hernandez, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content. (Canada: Pearson, 2001).
26Prihanto, Kritik atas Konsep Pendidikan Multikulturalisme (ISLAMIA,
VOLUME IX, No. 1. 2014), 45. 27
Angela Merkel declares death of German multiculturalism, http://www.guar
dian.co.uk/ world/2010/oct/17/angelamerkel- germany-multiculturalismfailures). Diakses
pada 20 April 2017. 28
Azyumardi Azra, ‚Multikulturalisme Indonesia dan Eropa‛,
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/04/16/n44s1l-multikulturalisme-indonesia-dan-eropa. Diakses pada 20 April 2017
8
secara etnis dan agama menjadi beragam. Namun, sebenarnya kaum imigran yang
saat ini telah menjadi banyak tersebut sudah memasuki generasi ketiga, tetap
masih sulit untuk berbaur dengan penduduk pribumi lokal; mereka cenderung hidup
dalam perkampungan (enclave) miskin dan kumuh.
Sementara fenomena krisis atau kesulitan ekonomi yang terjadi di
sejumlah negara Eropa Selatan seperti Yunani, Italia, Spanyol atau Portugal
membuat kaum imigran menjadi ‘kambing hitam’. Mereka dituduh telah merampas
pekerjaan warga lokal, merusak tatanan sosial-budaya, dan mengganggu
keseimbangan demografi keagamaan. Sikap anti-migran yang berbaur dengan
Islamo-fobia segera mengejawantahkan diri dalam politik dengan munculnya
kelompok politik partai ultra-kanan di beberapa negara Eropa.
Azyumardi Azra menegaskan bahwa multikulturalisme adalah sebagai
pandangan dunia yang mengakui dan menerima keragaman budaya. Lebih lanjut, ia
menyatakan bahwa kehidupan multikultural merupakan sunnatullah yang harus
dirawat dan dijaga, termasuk di Negara Indonesia. Cara merawat dan menjaganya
adalah membumikan pandangan multikulturalisme kepada masyarakat. Upaya
yang paling efektif menjaga dan merawat multikulturalisme adalah melalui
pendidikan. Ada dua model yang dapat dikembangkan, pertama pendidikan dengan
mengedepankan multikulturalisme yang saling terintegrasi dan yang kedua mata
pelajaran khusus yang memuat nilai-nilai multikultural.29
Penelitian ini menggambarkan penyelenggaraan pendidikan di sebuah
pesantren. Pesantren tersebut telah menerapkan pendidikan yang berwawasan
multikultural. Nama pesantren tersebut adalah pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman Parung Bogor. Penulis tertarik untuk menjadikan pesantren ini sebagai
objek penelitian karena pesantren ini memiliki santri yang berlatar belakang
majemuk, jumlah santri yang mencapai 10.378 dan berasal dari ras, suku, strata
sosial yang berbeda30
. Selain itu, pesantren tersebut juga bersikap inklusif, terbukti
dengan dilakukannya kerja sama dengan umat agama lain, sebagai contoh umat
agama Budha yang tergabung dalam Yayasan Budha Tzuchi, umat Agama Hindu
yang tergabung dalam Yayasan Gandhi Sevaloka, juga berbagai lembaga
pemerintah dalam negeri maupun luar negeri dan berbagai lembaga swasta.
Kerja sama yang terjalin antar lembaga itu terlaksana dengan baik dan
harmonis. Satu sama lain menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
universal. Hal itu dapat dilihat bahwa pondok pesantren tersebut selalu
mengundang pihak Budha Tzuchi ketika sedang berlangsung kegiatan-kegiatan
besar pondok pesantren (maulid nabi, haflah akhir sanah, harlah pondok pesantren
bahkan haul pendiri pondok pesantren). Begitupun sebaliknya saat ada kegiatan
Waisak atau kegiatan sakral lainya yang diselenggarakan oleh pihak Budha Tzuchi,
29
Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia (Yogyakarta:
Kanisius, 2007). 30
Informasi ini didapat berdasarkan pengamatan langsung oleh penulis saat di
pesantren tersebut. Santri di pesantren tersebut ada yang berasal dari Jawa, Sunda, Aceh,
Papua, NTB, Flores, Kalimantan, NTT, Sulawesi, Palembang, Lampung, Jambi. Selain itu
juga ada yang memiliki latar belakang broken home, anak pejabat negara, anak kiyai, anak
pengusaha, anak petani, dan lain sebagainya.
9
pondok pesantren tersebut selalu menyempatkan hadir memenuhi undangan
tersebut. Hal serupa juga di lakukan oleh pondok pesantren dengan umat agama
Hindu, yang bekerja sama melalui Yayasan Gandhi Sevaloka. Telah berdiri asrama
megah di pesantren tersebut yang merupakan bantuan dari Yayasan Gandhi
Sevaloka.
Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
multikultural. Nilai-nilai multikultural menjadi hal wajib yang harus dilaksanakan
dalam pendidikan multikultural. Yaitu, berupa sikap menghargai perbedaan (non-diskriminatif), toleransi, kesetaran, demokrasi dan keadilan. Karena sejak lahir
semua manusia memiliki hak yang sama. Hal itu dibuktikan dengan proses
penerimaan seluruh santri yang mendaftar tanpa mempertimbangkan latar belakang
suku, ras, status sosial, dll. Kemudian, memberikan fasilitas yang sama, membekali
santri dengan berbagai kompetensi melalui ragam pelatihan dan kegiatan
ekstrakurikuler.
Pesantren ini juga mengutuk –radikalisme agama– aksi atau tindakan
radikal dalam mendakwahkan agama Islam. Tidak sepakat dengan tindakan-
tindakan kekerasan yang mengatasnamakan jihad membela agama. Sikap yang
tegas pernah disampaikan oleh pendiri pesantren Habib Saggaf bin Mahdi dalam
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan mengutuk aksi radikal. Ketika terjadi
kerusuhan yang melibatkan Ormas FPI di Monas pada tahun 2008, beliau sangat
mengutuk sikap FPI yang anarki. Lebih dari itu, beliau menilai sikap FPI tersebut
bukan mencerminkan sikap seorang muslim. Contoh lain adalah, beliau juga tidak
setuju dengan adanya persekusi terhadap orang-orang Ahmadiyah. Mereka
merupakan warga Negara Indonesia yang berhak mendapatkan hak yang sama
sebagai warga Negara yaitu kehidupan yang aman, nyaman dan sejahtera. Dalam
hal perbedaan pemahaman keagamaan itu bisa didiskusikan dengan baik.31
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi, antropologi dan
sosiologi. Melalui pendekatan ini penulis dapat mengamati segala kegiatan
pesantren dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural sebagai upaya
deradikalisasi. Kegiatan pesantren yang akan diteliti adalah sistem pendidikan
pesantren yang meliputi kurikulum, ekstra kurikuler, seleksi penerimaan santri,
pembagian asrama (tempat tinggal), bimbingan konseling, kerja sama lembaga,
petuah-petuah (fatwa-fatwa) pimpinan pesantren, dll. Tujuan mengamati kegiatan
pesantren adalah untuk melihat ada atau tidaknya sikap driskiminasi dan radikal.
Jika ditemukan sikap tersebut maka pesantren dinyatakan gagal
mengimplementasikan pendidikan multikultural. Begitupun sebaliknya.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah yang timbul
dalam pembahasan penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
31
Dokumentasi video wawancara seorang wartawan yang meminta pendapat Habib
Saggaf tentang aksi anarki dan persekusi terhadap Ahmadiyyah dan aksi kerusuhan di
Monas yang melibatkan Ormas FPI. Penulis menemukan video ini dari salah seorang santri.
10
a. Maraknya aksi radikal di Indonesia yang muncul dengan dalih jihad
atau menegakan ajaran Islam.
b. Ada beberapa pesantren yang terindikasi mengajarkan benih radikal.
c. Masih sedikit pesantren yang mengampanyekan pendidikan
multikultural. Sekalipun sebenarnya, pesantren telah melaksanakan
pendidikan multikultural.
d. Deradikalisasi akan lebih efektif jika dilakukan melalui pendekatan
kultural (pendidikan), tidak hanya struktural (produk hukum/aparat
keamanan).
e. Pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman menolak segala bentuk
ajaran dan tindakan radikalisme.
f. Pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman menggunakan pendekatan
berwawasan multikultural sebagai upaya kontra radikalisme.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka
masalah pokok yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
terhadap konsep pendidikan multikultural?
2. Bagaimana implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural
sebagai upaya kontra radikalisme di pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman?
3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural?
3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah yang penulis uraikan dan
perincikan di atas, maka untuk lebih memfokuskan penelitian ini penulis
membatasi masalah penelitian pada implementasi pendidikan yang bermuatan
multikultural di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dan upaya
deradikalisasi terhadapa santri di pondok pesantren tersebut.
C. Tujuan Penelitian
Penulisan ini diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menelaah lebih jauh tentang pemahaman pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terhadap konsep pendidikan
multikultural.
2. Mengetahui dan mendiskusikan lebih jauh tentang implementasi
pendidikan yang berwawasan multikultural sebagai upaya kontra
radikalisme di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.
3. Mengetahui dan menelaah kendala-kendala yang dihadapi oleh pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dalam melaksanakan pendidikan
yang berwawasan multikultural sebagai upaya kontra radikalisme.
11
D. Manfaat / Signifikansi Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan
ganda, yakni teoritis dan praktis. Kegunaan teoritis terkandung dalam materi
kajian yang disajikan penulis sebagai referensi untuk para pembaca. Selain itu
diharapkan tulisan ini menambah wawasan, pengetahuan serta pertimbangan para
ahli pendidikan dalam mendidik generasi penerus bangsa yang memiliki karakter
memanusiakan manusia.
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah diharapkan memiliki
pengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat yang dapat meredam adanya konflik-
konflik sehingga tidak terjadi tindakan radikal.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian mengenai pendidikan multikultural memang telah banyak dilakukan
oleh akademisi, baik dalam bentuk penelitian individu ataupun kelompok, berupa
karya ilmiah, buku-buku dan artikel. Berdasarkan penelusuran, penulis menemukan
beberapa literatur yang membahas tema pendidikan multikultural yang bisa
dijadikan sebagai suatu bahan dan perbandingan oleh penulis dalam penelitian ini.
Literatur-literatur yang penulis maksud adalah sebagai berikut:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Hasan Aydin yang berjudul
‚Multicultural Education Curriculum Development in Turkey‛. Dalam penelitian
ini ia menyatakan bahwa sekolah-sekolah Turki sudah mengembangkan kurikulum
pendidikan multikultural. Faktor pengembangan itu karena di Turki sendiri banyak
siswa yang memiliki latar belakang yang berbeda ditambah meningkatnya
masyarakat imigran. Ia mengungkapkan bahwa pendidikan dengan kurikulum
multikultural mampu menjaga prinsip keadilan global (global justice). Selain itu,
kurikulum multikultural dapat menguatkan hubungan siswa yang berlatar belakang
status ekonomi dengan status sosial yang berbeda. Aydin hanya mengfokuskan
penelitiannya pada pengembangan kurikulum pendidikan multikultural di sekolah
Turki, tidak menguraikan secara detail implementasi dari kurikulum pendidikan
multikultural tersebut.32
Kedua, karya Nuryadin ‚Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren
Karya Pembangunan Puruk Cahu Kabupaten Murung Raya‛ menyimpulkan bahwa
pesantren tersebut menanamkan nilai-nilai demokrasi, nilai toleransi, nilai
humanisme dan nilai inklusif dengan berbagai sisinya seperti keadilan, kerja sama,
penghargaan, gotong royong, persaudaraan, kebebasan berkreasi santri dan
perdamaian. Penelitian ini hanya berfokus pada temuan penanaman nilai-nilai
pendidikan multikultural di pesantren tersebut melalui pendekatan fenomenologi.33
Ketiga, karya Muhammad A.S. Hikam ‚Peran Masyarakat Sipil Indonesia
Membendung Radikalisme‛ menyimpulkan bahwa upaya penanggulangan
32
Hasan Aydin, ‚Multicultural Education Curriculum Development in Turkey‛,
Mediterranean Journal of Social Sciences, 3.3 (2012): 227-286 33
Nuryadin, Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren Karya Pembangunan
Puruk cahu Kabupaten Murung Raya‛ (Tesis Program Magister Pendidikan Islam Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2014).
12
radikalisme melalui pendekatan budaya sangat strategis untuk terus dikembangkan
di Indonesia. Buku ini menunjukan bahwa pentingnya peranan masyarakat sipil
dalam mencegah adanya tindakan-tindakan radikal tapi belum menyebutkan peran
spesifik pondok pesantren.34
Keempat, karya Chairil Mahfud ‚Pendidikan Multikultural‛ menyimpulkan
pendidikan multikultural mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat
bahwa konflik bukan merupakan hal yang baik untuk dibudidayakan. Sehingga
pada prinsipnya pendidikan multikultural adalah pendidikan menghargai
perbedaan. Buku ini lebih spesifik menjelaskan konsep pendidikan multikultural
tidak membedah suatu kasus tertentu35
Kelima, karya Ainurrofiq Dawam ‚Pendidikan Multikultural‛yang
mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah model pendidikan yang
menjunjung tinggi arti sebuah memanusiakan manusia. Buku ini hanya mengupas
landasan filosofis pendidikan multikultural yaitu meliputi hakikat manusia,
dimensi manusia dan kebutuhan manusia. Buku ini juga tidak merupakan hasil dari
sebuah studi kasus.36
Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Yeni Rachmawati, Pai, Yi-Fong,
Hui-Hua Chen yang berjudul ‚The Necessity of Multicultural Education in
Indonesia‛. Dalam penelitian ini diungkapkan bahwa di Indonesia sangat perlu
diterapkan pendidikan multikultural. Melihat fakta yang ada, Indonesia memiliki
keragaman suku, budaya, ras, bahasa, adat istiadat, pandangan politik. Oleh karena
itu Indonesia memiliki semboyan ‚Bhineka tunggal Ika‛. Dalam penelitian ini
disajikan data sejarah munculnya pendidikan multikultural di Amerika Serikat
kemudian dijadikan rujukan untuk Indonesia. Selain itu juga dibahas bagaimana
mempertahankan keragaman di Indonesia.37
Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Anna Christina Abdullah yang
berjudul ‚Multicultural Education in Early Childhood: Issues and Challengs‛.
Penelitian membahas isu-isu dan tantangan pendidikan multikultural untuk anak
usia dini. Dipaparkan strategi pelaksanaan pendidikan multikultural untuk anak
usia dini. Penelitian ini berasumsi bahwa pendidikan multikultural adalah sangat
penting untuk mengantisipasi adanya konflik. Oleh karena itu, harus dimulai sejak
pendidikan usia ini.38
Kedelapan, penelitian yang dilakukan oleh Yesim Orbalas. Dalam
disertasinya yang berjudul ‚Perspectives on Multicultural Education: Case Studies
34
Muhammad A.S. Hikam, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme (Jakarta: Kompas, 2016).
35Chairil Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
Cet-5. 36
Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: LKIS, 2014). 37
Yeni Rachmawati, Pai, Yi-Fong, Hui-Hua Chen, The Necessity of Multicultural Education in Indonesia(International Journal of Education and Research, Vol. 2 No. 10.
Oktober 2014), 317-328. 38
Anna Christina Abdullah, Multicultural Education in Early Childhood: Issues and Challengs (CICE Hiroshima University, Journal of International Coorperation In Education, Vol. 12 No. 1, 2009), 159-175.
13
of A German and An American Female Minority Teacher‛. Orbalas telah
menguraikan tentang pengalaman dua orang guru perempuan yang minoritas yang
telah mengimplementasikan pendidikan multikultural. Selain itu berupaya
menguraikan perbedaan dan kesamaan kedua guru tersebut dalam menerapkan
pendidikan multikultural di ruang kelas. Dalam disertasi ini, orbalas menyimpulkan
bahwasanya penerapan pendidikan multikultural di ruang kelas disebabkan oleh
adanya I’tikad/keyakinan yang kuat dari pribadi pendidik. Jadi, perspektif pendidik
tentang pendidikan multikultural memengaruhi aktifitas belajar mengajar di
kelas.39
Di dalam penelitian ini tidak ditemukan bagaimana sistem implementasi
pendidikan multikultural secara utuh.
Dari beberapa literatur sebelumnya yang telah penulis sajikan, penulis
memandang ada hal yang belum dibahas oleh peneliti sebelumnya, yaitu tentang
implementasi pendidikan multikultural di pondok pesantren yang memiliki latar
belakang santri yang majemuk sebagai upaya membendung radikalisme. Oleh
karena itu penulis mencoba membahas implementasi pendidikan multikultural
sebagai upaya deradikalisasi.
Terkait dengan objek penelitian yaitu pondok pesantren yang memiliki
kesamaan dengan penelitian karya Nuryadin penulis meyakini adanya hasil yang
berbeda karena beberapa faktor, yaitu lokasi pondok pesantren yang berbeda,
jumlah santri dan pengaitan dengan adanya tindakan deradikalisasi. Penelitian
Nuryadin hanya menemukan nilai-nilai multikultural yang telah dilaksanakan di
lokasi penelitian tidak dikaitkan dengan upaya deradikalisasi. Begitupula dengan
pendekatan yang akan dipakai, dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
fenomenologi, sosiologi dan antropologi.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menekankan studi
lapangan (field research) sebagai sumber perolehan data utama. Jenis kualitatif
dipilih karena penelitian ini berangkat dari realitas sosial yang dinamis, kompleks
dan membutuhkan pemahaman holistik dan hubungan gejala yang bersifat
interaktif.40
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah fenomenologi,
sosiologi41
, dan antropologi42
. Pendekatan fenomenologi adalah sebuah tradisi
39
Yesim Orbalas, Perspectives on Multicultural Education: Case Studies of A German and An American Female Minority Teacher, PhD. Dissertation, Georgia State
University, Georgia (2008). 40
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2012), 8. 41
Setidaknya terdapat beberapa pendekatan dari perspektif sosiologi yang dapat
digunakan dalam menganalisis permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam bidang
pendidikan. Di antaranya seperti yang disampaikan oleh Abu Ahmadi dalam bukunya
Sosiologi Pendidikan yaitu pendekatan individu, sosial, interaksi dan teori medan. Lihat
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta. 2007).
14
penelitian kualitatif yang berakar pada filosofi dan psikologi, dan memiliki fokus
pada pengalaman hidup seseorang/manusia. Pendekatan fenomenologi menjadikan
pengalaman hidup sebagai alat untuk memahami tentang sosial budaya, politik
atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi. Penelitian ini akan
mendiskusikan tentang suatu objek kajian dangan memahami inti pengalaman dari
suatu fenomena. Peneliti akan mengkaji secara mendalam isu sentral dari struktur
utama suatu objek kajian dan selalu bertanya "apa pengalaman utama yang akan
dijelaskan informan tentang subjek kajian penelitian". Peneliti memulai kajiannya
dengan ide filosofikal yang menggambarkan tema utama. Translasi dilakukan
dengan memasuki wawasan persepsi informan, melihat bagaimana mereka melalui
suatu pengalaman, kehidupan dan memperlihatkan fenomena serta mencari makna
dari pengalaman informan.43
Sementara penggunaan pendekatan sosiologi dalam pendidikan adalah
untuk mengetahui prosess interaksi sosial anak mulai dari keluarga, masa sekolah
sampai dewasa serta dengan kondisi-kondisi sosiol kultural yang terdapat dalam
lingkungannya atau masyarakat dimana ia tinggal atau dibesarkan. Penggunaan
pendekatan sosiologi juga akan membantu peneliti dalam memperoleh data yang
akurat karena pada prinsipnya dalam pendekatan sosiologi ada teknik memperoleh
data dengan pendekatan individu (the individual approach). Dalam pendekatan
individu tersebut ada dua faktor yang mempengaruhi yaitu internal (primer) yang
mencakup faktor biologis dan psikologis. Selain itu ada faktor eksternal (sekunder)
yang meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Seorang individu menurut
sosiologi tidak dapat lepas dari dua faktor tersebut.44
Selain pendekatan individu ada juga pendekatan sosial (the societal approach). Titik tekan pendekatan ini adalah masyarakat dengan berbagai lembaga,
kelompok, organisasi dan aktivitasnya. Secara kongkrit pendekatan sosial ini
membahas aspek-aspek atau komponen dari kebudayaan manusia, seperti keluarga,
tradisi, adat-istiadat, dan sebagainya. Jadi jelas di sini yang menjadi gejala primer
42
Secara umum, Antropologi adalah studi tentang umat manusia yang berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, serta untuk
memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Sedangkan
Antropologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dan
memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis berdasarkan konsep-konsep dan
pendekatan Antropologi. Antropologi pendidikan mencoba mengungkapkan proses-proses
transmisi budaya atau pewarisan pengetahuan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi.
Selain itu, proses belajar individu sebagai kegiatan sosial budaya merupakan pemahaman
dari Antropologi Pendidikan, termasuk di dalamnya peran pendidikan formal dan
pendidikan informal. Lihat Nasution, Antropologi Pendidikan ( Jakarta : Bumi Aksara.
2004). 43
Andrean Perdana, ‚Pendekatan Fenomenologi Penelitian Kualitatif,‛
http://www.andreanperdana.com/2014/05/pendekatan-fenomenologipenelitian-kualitatif.html diakses 22 Mei 2016
44Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta. 2007) 35-36
15
adalah kelompok masyarakat, sedangkan individu merupakan gejala sekunder
saja.45
Terakhir adalah pendekatan interaksi (the interaction approach). Dalam
pendekatan interaksi ini fokus perhatianya adalah penggabungan dari pendekatan
individu dan pendekatan sosial melalui interaksi. Sebab pada kenyataannya
menurut pendekatan interaksi ini, individu dan masyarakat itu saling
mempengaruhi dan memiliki hubungan timbal balik. Jadi antara individu dan
masyarakat itu mempunyai daya kekuatan yang saling membentuk dan saling
menyempurnakan.46
Kesimpulanya adalah sosiologi pendidikan tidak semata-mata
hanya mempelajari individu atau masyarakat saja tetapi harus kedua-duanya.
Antropologi pendidikan mencoba mengungkapkan proses-proses transmisi
budaya atau pewarisan pengetahuan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi.
Selain itu, proses belajar individu sebagai kegiatan sosial budaya merupakan
pemahaman dari Antropologi Pendidikan, termasuk di dalamnya peran pendidikan
formal dan pendidikan informal.47
Oleh karena itu, pendekatan antropologi dalam
penelitian pendidikan juga sangat penting. Mengingat G.D. Spindler berpendirian
bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan
adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan
dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam
lingkungan sosial budayanya.48
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data, Penelitian ini menggunakan studi pustaka,
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Di lokasi penelitian penulis melakukan
pengamatan atau observasi tentang proses pendidikan yang dilakukan lembaga
pesantren ini. Menurut Sugiyono ada tiga jenis observasi49
yaitu:
1. Observasi partisipatif
Penulis mengamati apa yang dikerjakan orang-orang (santri ataupun
pengurus) disekitar pesantren, mendengarkan apa yang diucapkan, dan
berpartisipasi dalam aktivitas mereka. Observasi ini digolongkan menjadi
partisipasi pasif.
2. Observasi terus terang
Penulis menyatakan terus terang kepada sumber data bahwa sedang
melakukan penelitian.
3. Observasi tak berstruktur
Observasi ini dilakukan dengan cara tidak menggunakan pedoman
observasi. Oleh karena itu, peneliti dapat melakukan pengamatan bebas.
Tiga observasi di atas dipakai oleh peneliti dalam mengumpulkan data.
Observasi tersebut berguna untuk peneliti agar dapat memahami konteks data
45
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, 41 46
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, 44 47
Nasution, Antropologi Pendidikan (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), 36. 48
Hasojo, Pengantar Antropologi (Bandung : Bina Cipta, 1984), 25. 49
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2012), 12.
16
dalam keseluruhan situasi sosial, mendapatkan pengalaman langsung, melihat hal-
hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, menemukan hal-hal yang tidak akan
terungkapkan oleh responden dalam wawancara, menemukan hal-hal diluar
persepsi responden, memperoleh kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi
sosial yang diteliti. Objek penelitian dalam penelitian kualitatif yaitu tempat,
pelaku, dan aktivitas, event, time, goal, dan feeling.
Dalam pelaksanaan obeservasi ini akan dibuatkan format atau blanko
pengamatan sebagai instrumenya. Format/blanko tersebut disusun berisi item-item
tentang kejadian atau tingkah laku yang akan diteliti di lokasi penelitian. Dari
format ini akan diperoleh suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah
sekedar mencatat, tetapi juga mempertimbangkan efektif atau tidaknya poin-poin
yang diobservasi. Selain itu juga dilakukan penilaian kepada skala bertingakat.
Misalnya, mengobservasi reaksi penonton televisi bukan hanya mencatat rekasi
tersebut, tetapi juga menilai reaksi tersebut dengan memberikan skala penilaian
dengan sangat kurang, atau tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
peneliti.50
Di antara poin-poin yang akan menjadi pedoman observasi adalah sebagai
berikut:
Apa yang saya kerjakan pada saat berada di pondok pesantren?
Bagaimana sistem pendidikan pondok pesantren?
Apa yang dilakukan oleh pimpinan, ustadz, santri, alumni dan pengurus
di pesantren dalam hal pengembangan pendidikan?
Apa pendapat penduduk di sekitar pesantren terhadap pesantren?
Adapun untuk lebih lengkapnya mengenai instrumen observasi akan dipaparkan
selanjutnya menjadi sebuah lampiran dalam laporan penelitian.
Setelah melakukan observasi, peneliti melakukan dokumentasi data-data
tertulis pesantren yang mendukung tema penelitian. Data-data tersebut berupa
pelaksanaan pendidikan di pesantren, foto-foto kegiatan, video, berita di website
dan lain sebagainya yang dapat dijadikan data sekunder. Setelah semua dilakukan
dengan baik akan dilakukan tahapan selanjutnya yaitu wawancara.
Wawancara (interview), teknik ini merupakan salah satu penyelidikan
ilmiah yang menggunakan verbal dalam proses komunikasi untuk mendapatkan
data yang berhubungan dengan tema penelitian. Menurut Antonio wawancara
sebagai teknik investigasi secara ilmiah untuk mendapatkan informasi yang
dinginkan.51
Penulis dalam hal ini melakukan wawancara terhadap subjek
penelitian di pesantren dengan sejumlah pertanyaan yang telah disiapkan
sebelumnya.52
Data dokumentasi yang telah didapatkan akan dilakukan
50
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek., (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2006), 229. 51
Antonio Sandu, Simona Ponca, and Elena Unguru, ‚Qualitative Methodology in
Analyzing Edzucational Phenomena‛, RomanianJournal for Multidimensional Edzucation EBSCO , year 2, no. 5 (2010): 126 -127.
52Penulis memperlakukan informan sebagai teman diskusi yang bebas dan terbuka
yang tidak terbatas pada pertanyaan yang sudah direncanakan saja. Dengan cara ini,
informan dapat memberikan informasi seluas-luasny sehingga penulis mendapatkan
17
trianggulasi53
dengan data yang dihasilkan dari wawancara dan observasi, karena
menurut Antonio trianggulasi data bertujuan untuk saling menguatkan dan
merekatkan.54
3. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
primer adalah yang berkaitan langsung dengan topik penelitian dan digali langsung
dari sumber pertama. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap objek
penelitian dan hasil pengamatan langsung terhadap aktifitas santri di pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Data primer yang didapatkan bisa berupa
implementasi, peranan pondok pesantren, dan nilai-nilai multikultural yang
diterapkan. Sementara data sekunder merupakan data pendukung yang didapatkan
bukan langsung dari sumber pertama, misalnya dari buku, website, berita, majalah,
koran, dan lain sebagainya.
Objek kajian55
dalam penelitian ini adalah seluruh elemen pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman Parung Bogor. Sementara informan yang
peneliti wawancara adalah orang-orang atau individu-individu yang dianggap
mengetahui dan memahami apa yang menjadi masalah dalam penelitian ini.
Informan dalam penelitian ini tidak bersifat acak, informan dicari secara sengaja,
maksudnya peneliti menentukan sendiri informan yang diambil karena
pertimbangan tertentu. Pertimbangannya lebih pada kemampuan informan untuk
memasok informasi selengkap mungkin kepada peneliti. Jadi, informan tidak
diambil secara acak, tetapi ditentukan sendiri oleh peneliti. Kemudian, untuk
menggali informasi yang lebih dalam, peneliti mengumpulkan data dari satu
informan kepada informan lain yang memenuhi kriteria melalui wawancara
mendalam, kemudian berhenti ketika tidak ada informasi baru lagi, terjadi replikasi
atau pengulangan variasi informasi, ataupun mengalami titik jenuh informasi.
Dengan kata lain informasi yang diberikan oleh informan berikutnya tersebut sama
saja dengan apa yang diberikan oleh para informan sebelumnya. Teknik pencarian
informasi yang mendalam. Dalam proses wawancara penulis melakukan transkripsi yaitu
pencatatan terhadap informasi yang telah didapat dari informan. Lihat Elizabeth Charters,
‚The Use of Think-aload Methods in Qualitative Research An Introduction to Think-aload
Methods‛, Brock Education 12, 2 (2003):78-79 53
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan
melalui sumber lainnya (Moleong, 2005:330) 54
Antonio Sandu, Simona Ponca, and Elena Unguru, ‚Qualitative Methodology in
Analyzing Edzucational Phenomena‛, RomanianJournal for Multidimensional Edzucation EBSCO , year 2, no. 5 (2010): 126 -127.
55Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi dinamakan
situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku (actor), dan
aktivitas (activity). Lihat Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif (Malang: UMM
Press, 2010). Lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2012), 8. Lihat http://www.eurekapendidikan.com/2014/11/teknik-sampling-pada-penelitian.html.
18
informan ini bermula pada satu orang informan, kemudian informan tersebut
diminta rekomendasi untuk memberikan pandangan tentang informan berikutnya.
Begitu seterusnya sehingga jumlah informan semakin banyak dan jumlah data
semakin akurat.56
Berikut skemanya:
4. Proses Analisis Data
Analisis data sebagai proses pemilahan dan pengelompokan data empiris
yang selanjutnya menjadi sebuah kumpulan informasi ilmiah yang tersusun dan
terstruktur secara sistematis menjadi laporan hasil penelitian. Dalam proses
analisis data, teknik yang dilakukan adalah analisis data sebelum ke lapangan dan
analisis di lapangan.
Sebelum datang ke lapangan, peneliti melakukan analisis data. Yakni
menganalisis data hasil studi pendahuluan ataupun data sekunder seperti hasil data
dari website atau dokumentasi yang ada. Dari analisis ini dapat menentukan fokus
pencarian data selanjutnya. Kemudian, analisis data dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung dan setelah pengumpulan data pada waktu yang
berbeda. Pada saat peneliti melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan
analisis, sehingga jika didapatkan pertanyaan yang kurang mendalam maka peneliti
akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai didapatkan jawaban yang memuaskan.
Kemudian proses pemilahan atau pengategorian data menggunakan model
seperti yang dijelaskan M. Atho Mudzhar, yaitu analisis komparatif konstan.
Analisis ini adalah analisis terhadap setiap kategori data yang muncul dengan cara
membandingkanya satu sama lain. Memperbandingkan setiap datum untuk
memunculkan berbagai kategori. Kemudian memperbandingkan, mengintegrasikan
56
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2012), 61.
A Informan Pertama
Pilihan A
D E
B
F G
C
I H
Bagan 1.1: Tentang pengambilan informan
19
kategori-kategori untuk memunculkan hipotesis dan memberikan batasan teori.
Tujuan membandingkanya adalah untuk memverifikasi.57
57
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 47-54.
20
BAB II
PESANTREN, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL, DAN DERADIKALISASI
Akhir-akhir ini pendidikan di lembaga pesantren menjadi perhatian yang
sangat serius. Hal itu dikarenakan pesantren dinilai selalu mengikuti pola
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Selain itu, pesantren juga menjadi
laboratorium sosial peserta didik (red:santri) untuk berlatih mandiri, kreatif,
berdisiplin, berdemokrasi, bertoleransi, bekerja sama, berkeskpresi, menyelesaikan
konflik, menggali ilmu pengetahun, dan tentunya ilmu agama. Kesemuanya itu,
tentunya sangat dibutuhkan oleh generasi penerus bangsa untuk menghadapi
tantangan di zaman yang serba cepat perubahannya ini. Perubahan sosial yang
sangat cepat tadi, tentunya sangat rawan menimbulkan konflik dan tindakan
radikal. Pendidikan mutikultural di pesantren mencoba menjadi alternatif untuk
menetralisir adanya fenomena konflik dan tindakan radikal tersebut.
Bab ini berupaya untuk menyajikan beberapa hal terkait dengan pesantren,
multikulturalisme dalam tinjauan Islam, pendidikan multikultural, dan
deradikalisasi. Termasuk di dalam bab ini, juga dikaji peran masyarakat sipil dalam
membendung radikalisme dan teorisme.
A. Pesantren dan Perkembangan Ragam Pesantren
Pembahasan tentang pesantren1 akan terus menarik perhatian khalayak
luas. Lembaga pendidikan Islam ini memilki daya tarik tersendiri untuk
1Makna pesantren dapat dilacak dari akar kata ‚santri‛ yang diimbuhi awalan ‚pe‛
dan akhiran ‚an‛. Kata ‚santri‛ sendiri, menurut Profesor John sebagaimana dikutip
Zamakhsyari Dhofier berasal dari bahasa Tamil yang bermakna Guru mengaji; dan menurut
C.C. Berg berasal dari kata India shastri yang bermakna orang yang tahu buku-buku suci
Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Sementara itu, shastri berasal dari kata shastra, berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau pengetahun.
Nurcholis Majid menjelaskan bahwa asal usul kata ‚santri‛ itu ada (sekurang-kurangnya)
dua pendapat yang bisa dijadikan acuan. Pertama, kata santri itu berasal dari perkataan
sastri sebuah kata dari bahasa Sansekerta, yang artinya melek huruf. Kedua, artinya orang
perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik, artrinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap.
Menurt Clifford Geertz, perkataan santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti
sempit, santri adalah seorang murid atau sekolah agama yang disebut pondok atau
pesantren. Kata pesantren itu sendiri diambil dari akar kata santri yang berarti tempat
untuk para santri. Dalam arti yang luas dan umum, santri adalah bagian penduduk Jawa
yang memeluk agama Islam secara benar-benar – bersembahyang, pergi ke masjid hari
Jum’at dan seterusnya. Dari akar kata inilah, kemudian kata pesantren diartikan sebagai
tempat tinggal para santri untuk menuntut ilmu-ilmu agama, yang lazim disebut dengan
istilah pondok. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. 6, 18. Nurkholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 19-20. Clifford Geertz, The Religion of Java, terjemahan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
21
diperbincangkan. Ia menempati posisi strategis dalam sumbangsih peningkatan
sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia. Pesantren tidak hanya
menampakkan wajah keaslian (indigenous) Indonesia, tetapi juga menampakkan
wajah keislaman, sebab lembaga yang serupa dengan pesantren telah ada di
Indonesia sejak zaman sebelum masuknya Islam (Hindu-Budha). Islam hadir
meneruskan dan mengislamkannya.2
Di Indonesia, pesantren biasa disebut lembaga pendidikan tradisional.3
Lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan sebutan pesantren pada
kenyataanya kini sangat beragam. Lembaga itu memperlihatkan potret sebuah
lingkungan pendidikan dengan segala unsurnya, yang secara tradisional
berkembang sebagai pusat kegiatan pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi> al-
di>n). Sementara itu, lembaga pendidikan serupa, karena berangkat dari unsur-unsur
modern, tidak disebut sebagai sebuah lembaga pesantren. Kenyataan keragaman
pandangan tentang pesantren menuntut pencarian kriteria yang mungkin
mempersatukan penyebutan pesantren, jika lembaga pendidikan ini masih akan
terus dikembangkan. Kenyataan memang membuktikan bahwa sistem pendidikan
pondok pesantren yang berkembang secara dinamis hingga dewasa ini tetap
diterima oleh masyarakat.4
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang asal usul lembaga pendidikan
yang disebut pesantren. Pendapat pertama menyatakan bahwa pesantren
merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari praktik pendidikan pra-Islam atau
masa kekuasaan Hindu-Budha. Pendapat ini, antara lain diungkapakan oleh
Brugmans, Manfred Ziemiek, Nurcholis Madjid dan Denis Lombard. Brugmans
dalam kajiannya mengenai asal usul pesantren menyimpulkan bahwa pesantren
adalah bentuk lembaga pendidikan khas berasal dari India yang sebagian
dipengaruhi oleh orang-orang Islam.5
Jawa (Jakarta: Dunia Pustaka, 1983), cet. Ke-2, 268. Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat (Jakarta:
Asta Buana Sejahtera, 2009), 1. 2Nurcholis Madjid, Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren, dalam
Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah (Jakarta: LP3ES,
1985), 3. Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat (Jakarta:Asta Buana Sejahtera, 2009), 2. Amin Haedari,
Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Kompleksitas Global (Jakarta:
IRD Press, 2004), 3. 3Istilah tradisional disini menurut penulis karena pesantren merupakan wajah asli
(indigenous) pendidikan Indonesia. Berbeda dengan istilah sekolah yang diperkenalkan oleh
Belanda. 4Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap
Perilaku Keagamaan Masyarakat (Jakarta:Asta Buana Sejahtera, 2009), 53. 5I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch Indie, dalam Selo
Sumardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: UGM Press, 1981), 275.
22
Ziemek menyatakan bahwa pesantren merupakan hasil perkembangan
secara paralel dari lembaga pendidikan pra-Islam yang telah melembaga berabad-
berabad lamanya.6 Hampir senada dengan Ziemek, Nurcholis Madjid menyatakan
bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam
yang sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, lalu Islam meneruskan dan
meng-Islamkanya.7 Kesamaan antara pesantren dan lembaga pra-Islam, menurut
Lombard terletak pada tempatnya yang jauh dari keramaian; Ikatan guru-murid
sama dengan kiyai-santri yaitu kebapakan; dan terpeliharanya komunikasi antar
pesantren.8
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Van Bruinessen, dia menyatakan
bahwa pesantren memiliki kecenderungan sama dengan sistem pendidikan Islam di
Timur Tengah. Didalam tesisnya, ia mengungkapkan Al-Azhar dan riwaq-nya
merupakan model yang diambil pesantren pada abad ke-18/19 M.9 Ia juga
menyatakan bahwa di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok muncul lembaga sejenis
pesantren pada abad ke-20 M. Namun, pesantren Tegalsari Jawa Timur merupakan
salah satu pesantren tertua yang didirikan pada tahun 1742.10
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, pesantren tetap menjadi lembaga
pendidikan yang konsisten membangun karakter bangsa Indonesia yang beradab.
Pada proses perkembanganya pesantren mencoba berakulturasi dengan model-
model pendidikan di luar pesantren, sehingga menjadi beragam. Hal ini melahirkan
klasifikasi terhadap pesantren itu sendiri. Di antaranya adalah pesantren salafiyah,
pesantren khalafiyah, pesantren tradisional, pesantren modern, pesantren
konvensional, pesantren kontemporer, pesantren entrepreneur.11
Jenis-jenis pesantren tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Mulai dari
corak kurikulum sampai dengan lulusan (out put) yang dihasilkan. Hal itu
dikarenakan visi yang diusung berbeda meskipun masih dalam satu nafas syi’a>r
agama Islam. Titik sentral yang menentukan model pesantren dan lulusan
pesantren adalah seorang kyai atau pimpinan pesantren. Kyai dituntut memiliki
6Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1983), 16-17.
7Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:
Paramadina, 1997), 3. 8Denis Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid III (Jakarta; Gramedia, 1997), 86.
Menurut Pegeaud, pesantren adalah sebuah komunitas independen yang tempatnya jauh di
Pegunungan dan berasal dari sejenis zaman pra-Islam semacam mandala dan asrama. Lihat
Th. G. Th. Pigeaud, Literature of Java: Descriptive List of Javanese Manuscripts Jilid I (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1967), 77.
9Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan,
1995), Cet. ke-1, 24. 10
Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat (Jakarta:Asta Buana Sejahtera, 2009), 53.
11Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap
Perilaku Keagamaan Masyarakat, 55.
23
kapasitas pribadi yang sarat dengan bobot kualitatif. Bobot kualitatif inilah yang
menjadikan sosok kyai pesantren sebagai rujukan bagi santri dan masyarakat.12
Pesantren identik dengan budaya kekeluargaanya. Hubungan batin antara
santri dan kyai sangat kuat sebagaimana seorang anak dan orang tuanya. Hal ini
diperkuat dengan adanya doktrin bahwa hubungan santri dan kyai sampai nanti di
akhirat sehingga apa yang diajarkan dan dicontohkan kyai akan melekat kuat pada
santri.
B. Multikulturalisme Dalam Tinjauan Islam.
Kemajemukan dan keragaman budaya adalah sebuah fenomena yang tidak
mungkin dihindari. Kita hidup di dalam keragaman budaya dan merupakan bagian
dari proses kemajemukan, aktif maupun pasif. Ia menyusup dan menyangkut dalam
setiap seluruh ruang kehidupan kita, tak terkecuali juga dalam hal kepercayaan.
Kemajemukan dilihat dari agama yang dipeluk dan faham-faham keagamaan yang
diikuti, oleh Tuhan juga tidak dilihat sebagai bencana, tetapi justru diberi ruang
untuk saling bekerjasama agar tercipta suatu sinergi.13
Al-Qur’an menjelaskan dalam surat al-Maidah ayat 48:
رات بلوكم ف ما آتاكم فاستبقوا الخ كن ل ة واحدة ول لجعلكم أمه ولو شاء اللهه‚Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan‛ (Q.S. al-Maidah, 5:48).
Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perbedaan dan kemajemukan itu
adalah sunnatullah (keputusan Allah). Tugas manusia adalah berbuat baik dengan
maksimal tanpa memandang perbedaan. Bersinergi dan bekerjasama membangun
peradaban untuk mewujudkan kemakmuran. Tidak malah saling menjatuhkan
apalagi bermusuhan. Jika permusuhan terjadi maka seorang manusia telah gagal
mengamalkan nilai-nilai dalam al-Qur’an.
Di samping itu, kita juga menghadapi kenyataan adanya berbagai agama
dengan umatnya masing-masing, bahkan tidak hanya itu, kita pun menghadapi
orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan. Dalam menghadapi kemajemukan
seperti itu tentu saja kita tidak mungkin mengambil sikap anti pluralisme. Kita
harus belajar toleran tehadap kemajemukan. Kita dituntut untuk hidup di atas
dasar dan semangat pluralisme agama.14
Agama Islam mendidik pemeluknya agar dapat menjadi manusia yang
berakhlak mulia dan dapat menghargai keragaman budaya di sekitarnya. Hal
12
Achmad Fatoni, Peran Kyai Pesantren dalam Partai Politik (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), 3. Cet. ke-1. 13
Mudjahirin Thohir, ‚Nasionalisme Indonesia: Membingkai Pluralitas dalam
Kedamaian‛, dalam Zudi Setiawan, Nasionalisme NU (Semarang: Aneka Ilmu), 300. 14
Johan Effendi, Kemusliman dan Kemajemukan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), 61.
24
tersebut senada dengan prinsip yang ada dalam multikulturalisme. Dalam literatur
Islam, Islam sangat menaruh perhatian (concern) terhadap segala budaya dan
tradisi (‘urf) yang berlaku di kalangan umat manusia dalam setiap waktu dan
kondisi, baik yang bersifat umum atau hanya berlaku dalam satu komonitas. Hal
ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ketetapan-ketetapan dalam Islam yang
berdasarkan ‘urf yang berlaku. Sabda Rasulullah SAW yang dijadikan sebagai
salah satu dalil dari bentuk concern Islam terhadap ‘urf adalah:
حسن الله عند فهو حسنا المسلمون رآه ما‚apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itupun merupakan
kebaikan menurut Allah‛ (HR. Ahmad).
Secara garis besar dalam agama Islam terdapat dua aspek yang saling
melengkapi. Pertama, aspek luar, lahiriyah, simbol, kulit, dan bentuk formalisme
yang kemudian menjadi identitas dan sekaligus alat untuk memperkenalkan dirinya
kepada manusia. Aspek ajaran yang bersifat lahiriyah ini dalam ajaran Islam,
misalnya terlihat pada ajaran yang terdapat dalam rukun Islam mulai dari shahadat
yaitu pengakuan bahwa hanya Allah sajalah sebagai Tuhan yang wajib disembah
dan pengakuan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, salat, puasa, zakat,
dan haji. Kedua, aspek dalam, batiniyah, substansi, dan isi, yaitu pesan moral, etika
dan nilai-nilai spiritual yang terdapat dalam ajaran yang bersifat lahiriyah tersebut.
Shahadat mengajarkan agar manusia memiliki komitmen yang kokoh untuk
senantiasa berorientasi pada nilai-nilai luhur dan universal yang berasal dari Tuhan.
Selanjutnya dalam salat terdapat ajaran tentang perlunya membangun
komitmen dan hubungan vertikal dengan Tuhan dalam rangka pencerahan spiritual
sehingga terhindar dari perbuatan yang keji dan munkar, dan ketika salat tersebut
dilaksanakan secara berjama'ah, maka didalamnya terdapat ajaran tentang
pentingnya hidup bermasyarakat, saling mengenal, dan peduli terhadap lingkungan.
Dalam ajaran puasa terdapat ajaran agar manusia senantiasa merasa dekat dengan
Allah, mampu mengendalikan hawa nafsu, peduli terhadap orang yang selalu
kelaparan. Kemudian dalam berzakat terdapat pesan ajaran tentang pentingnya
membangun hidup yang seimbang antara pemenuhan terhadap kepentingan diri
sendiri dan kepentingan orang lain. Kemudian dalam ibadah haji terdapat ajaran
tentang pentingnya budaya memahami keragaman budaya, saling kenal mengenal
dengan berbagai bangsa di dunia, serta menjadi manusia yang senantiasa berakhlak
mulia.15
Dengan demikian di balik aspek lahiriah dari agama terdapat aspek
batiniyah yang pada intinya ajaran tentang moral, etika, dan budi pekerti. Atas
dasar ini, kiranya cukup berasalan apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa
15
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
cet. X, 78 – 80.
25
inti ajaran agama adalah moral yang bertumpu pada hubungan vertical dengan
Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama manusia.16
Dilihat dari segi fungsinya ajaran moral dan etika tersebut ada yang terkait
dengan Tuhan dan dengan manusia. Di antara ajaran moral dan etika yang terkait
dengan manusia, khususnya dalam rangka mewujudkan konsep pendidikan
multikultural adalah ajaran tentang keadilan, musyawarah, egaliter, dan toleransi.
Ajaran tentang keadilan ini termasuk ajaran yang amat ditekankan dalam
Islam. Dalam al-Qur’an, kata adil dijumapi dalam banyak konteks ayat. Misalnya
dalam adil dalam konteks berpoligami (Q.S. al-Nisa’, 4:3, 129, dan 135); dalam
konteks etika profesi (Q.S. al-Maidah, 5:8) yakni seseorang tidak boleh berlaku
tidak adil yang disebabkan atas kebencianya kepada seseorang yang akan menjadi
objek atas kebijakanya; dalam konteks ketaqwaan yakni adil mendekatkan
seseorang kepada ketaqwaan (Q.S. al-Maidah, 5:8); dalam konteks sebagai seorang
juru tulis atau notaris (Q.S. al-Baqarah, 2:282); dalam konteks sebagai syarat
seorang hakim memutuskan sebuah perkara (Q.S. al-Nisa, 4:58); dalam konteks
sebagai akhlak yang mulia sebagaimana akhlak berbuat baik kepada para karib
kerabat (Q.S. al-Nahl, 16:90); dalam konteks sebagai syarat seorang yang
mendamaikan orang yang bertengkar (Q.S. al-Hujurat, 49:9). Dari keseluruhan
ayat-ayat tersebut terlihat bahwa keadilan digunakan dalam konteks hubungan
dengan orang lain.
Selanjutnya ajaran musyawarah, yakni sikap yang memerhatikan pendapat
orang lain dalam memutuskan perkara. Ajaran musyawarah ini dekat dengan ajaran
tentang demokrasi dalam arti bukan demokrasi yang liberal, melainkan ajaran
demokrasi yang dibatasi oleh hukum yang berdasarkan ketuhanan dan
kemanusiaan. Di dalam al-Qur’an ajaran musyawarah dihubungkan dengan
memutuskan suatu perkara (Q.S. Ali Imran, 3:159); dan al-Syura, 43:38) bahkan
juga musyawarah digunakan pula ketika akan menghentikan (menyapih) seorang
anak dari menyusu sebelum dua tahun (Q.S. al-Baqarah, 2:223).
Adapun ajaran egaliter terkait dengan sikap menganggap sederajat dengan
orang lain yang berbeda agama, bahasa, suku, budaya, dan lain sebagainya. Mereka
yang mengamalkan ajaran egaliter tidak akan merendahkan orang lain yang
disebabkan karena perbedaan-perbedaan tersebut. Ajaran ini misalnya dijumpai
pada Q.S. al-Hujurat, 49:13. Berdasarkan ayat ini maka perbedaan yang terdapat di
masyarakat bukanlah untuk dipertentangkan atau untuk saling mengalahkan,
melainkan untuk saling disinergikan. Dengan cara demikian, maka kekurangan
yang ada pada orang lain dapat kita tutupi dengan kelebihan yang ada pada kita,
dan kelebihan pada orang lain dapat menutupi kekurangan pada diri kita.
Kenyataan hidup menunjukkan bahwa berbagai kebutuhan hidup yang diperlukan
oleh seseorang hanya dapat dipenuhi dengan bantuan orang lain.
16
Fazlur Rahman, Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), cet. 1, 90.
26
Ajaran tentang egaliter tersebut juga diperlukan dalam menyikapi
pluralisme agama, budaya, jenis kelamin, kebangsaan, suku, etnis, dan lain
sebagainya yang selanjutnya membawa kepada ajaran tentang toleransi. Ajaran ini
dapat dijumpai dalam Q.S. al-Kafirun, 109:6. Ajaran ini selanjutnya akan
membawa kepada kehidupan yang penuh toleransi dan harmoni.
Hadits nabi pun menjelaskan bahwa semua manusia itu sama di mata
Tuhan meskipun ia berkulit hitam dan berstatus sosial rendah. yang membedakan
hanya ketaqwaan.
كم واحد وإنه أباكم واحد ألا لا فضل لعرب اس ألا إنه ربه ها النه ا أ على قال رسول الله
ولاأحمر على أسود ولا أسود على أحمر إلاه على عرب و لا أعجم أعجم
قوى )رواه أحمد( بالته
‚Wahai manusia sekalian, ketahuilah bahwa Tuhan kalian satu, bapak kalian juga
satu, ketahuilah tidak ada keutamaan dari orang arab terhadap non arab, dan juga
tidak ada keutamaan orang non arab dari orang arab kecuali ketakwaannya.‛ (HR.
Imam Ahmad).
Multikulturalisme juga senada dengan tujuan agama yang berbunyi:
‚Tujuan umum syari’ah Islam adalah mewujudkan kepentingan umum melalui
perlindungan dan jaminan kebutuhan-kebutuhan dasar (al-daruriyyah) serta
pemenuhan kepentingan (al-hajiyyat) dan penghiasan (tahsiniyyah) mereka.‛17
Dari
konsep inilah kemudian tercipta sebuah konsep al-daruriyyah al-khamsah (lima
dasar kebutuhan manusia), yang meliputi jiwa (al-nafs), akal (al-aql), kehormatan
(al-‘irdh), harta benda (al-mal), dan agama (al-din).18
C. Diskursus Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
1. Pengertian Multikulturalisme
Konsep Multikulturalisme berangkat dari sebuah perbedaan dan
kemajemukan di dalam kehidupan sosial. Dengan adanya multikulturalisme ini
perbedaan dan kemajemukan bukan merupakan masalah tersendiri. Perbedaan
dalam bahasa Inggris disebut dengan diversity. Kata tersebut memiliki arti
berjenis-jenis atau adanya ketidaksamaan/keanekaragaman di antara satu sama
lainya.19
Kata lain yang maknanya dekat dengan diversity adalah kata plurality.
Istilah ini secara bahasa bermakna majemuk atau banyak. Majemuk ini dapat
diartikan adanya dua sampai tiga hal atau lebih.20
Dalam bahasa Arab makna
17
Abd al-Wahhab Khalaf, Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 198. 18
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, hlm. 102.
19John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia An English-
Indonesian Dictionary (Jakarta: PT. Gramedia), 191. 20
John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesian Dictionary, 435.
27
perbedaan keanekaragman, keanekaragman, bermacam-macam, ketidaksamaan
disebut dengan kata al-mukhtalif/al-mukha>lafah/al-munawwi’u.21Adanya
perbedaan dan kemajemukan di dunia ini merupakan suatu hal yang tidak dapat
terhindari, karena keberadaanya secara alamiah. Dalam konteks sosial budaya,
James A. Banks menyebutkan perbedaan itu ada 8 kategori, yaitu perbedaan
gender, orientasi seksual, agama/keyakinan, abilitas dan disabilitas, bahasa,
kelompok ras, identitas etnik, dan kelas sosial.22
Mendifinisikan Multikulturalisme bukan hal yang mudah. Tokoh-tokoh
didalamnya memiliki pandangan-pandangan tersendiri. H.A.R. Tilaar
mengungkapkan didalam kata multikulturalisme mengandung dua pengertian yang
sangat kompleks yaitu ‚multi‛ yang berarti plural, ‚kulturalisme‛ berisi pengertian
kultur atau budaya.23
Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, sedangkan
pluralisme sendiri tidak hanya mengakui akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis
tetapi pengakuan tersebut mempunyai implikasi didalam bidang politik, sosial dan
ekonomi.
Masih menurut H.AR Tilaar, perbedaan dan kemajemukan itu selain
karena beragam budaya juga karena kekayaan yang ada dalam Negara itu sendiri,
seperti di Indonesia ini. Indonesia adalah Negara yang mempunyai tiga kekayaan
yang luar biasa. Kekayaan itu adalah kekayaan sumber daya alam, kekayaan
budaya, dan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia. Kekayaan Indonesia
itu mampu menjadikan rakyat selalu eksis dan dinamis dalam segala kehidupan.
Kekayaan alam sebagai penyangga kehidupan, terhitung ada 17.000 pulau yang ada
di Nusantara. Kemudian, kekayaan budaya menunjukkan identitas bangsa. Sejarah
Indonesia mempunyai banyak budaya karena banyak penduduk dunia bermigrasi di
kepulauan Nusantara. Mulanya, kelompok-kelompok dari gelombang migrasi
manusia pada manusia purba berdatangan ke kepulauan Nusantara dan membawa
keanekaragaman kebudayaan. Karena secara geografis Nusantara sangat strategis
yang diapit oleh benua Australia dan Asia serta samudera Pasifik dan samudera
Hindia, sehingga menjadi lokasi perdagangan dunia terutama hasil bumi. Melalui
kepentingan inilah para kolonial berdatangan memperebutkan kekuasaan di
Nusantara. Atas kedatangan mereka kita mengenal kebudayaan-kebudayaan yang
ditinggalkan seperti kebudayaan Hindu-Budha, Islam, China, dan kebudayaan
Barat yang dibawa oleh kolonialisme Barat. Ditambah lagi dengan adanya
asimilasi dan akulturasi budaya asli dan budaya asing sehingga menjadilah
beraneka ragam kebudayaan yang ada ini.24
21
Ahmad Warson Munawwir, AL-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 363.
22James A. Banks, An Introduction Multicultural Education, 26.
23H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 82. 24
H.A.R. Tilaar, ‚Multikulturalisme, Bahasa Indonesia, dan Nasionalisme dalam
Sistem Pendidikan Nasional.‛ Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional yang
28
Sedangkan James. T Collins menambahkan bahwa kemajemukan dan
keragaman itu karena kompleksitas masyarakat. Ia menjelaskan kompleksitas
masyarakat ini seperti yang terjadi di Indonesia sejak empat puluh ribu tahun yang
lalu. Ia membuktikan kompleksitas itu tampil pada profil kebahasaan di Indonesia.
menurutnya, Indonesia memiliki 706 bahasa. Jumlah ini merupakan jumlah yang
mencengangkan karena hampir 10% bahasa di dunia diturunkan di Indonesia.
Wilayah Indonesia semakin ke Timur semakin banyak bahasa yang dtemui. Papua
adalah wilayah terbanyak, yaitu terdapat 256 bahasa. Disusul Maluku 128 bahasa,
Sulawesi 114 bahasa, Nusa Tenggara 73, Kalimantan 74, Jawa 17, dan Sumatera
49 bahasa. Sebab keanekaragaman bahasa di kepulauan Nusantara ini karena
adanya migrasi dua manusia purba, yakni migrasi Australo Melanesia dan migrasi
Austronesia. Dua arus penyebaran jenis manusia purba tersebut berpengaruh pada
pembentukan budaya dan bahasa Nusantara hingga sekarang.25
Menurut pendapat lain yang dikemukakan oleh Parekh, Multikulturalisme
adalah suatu gagasan ideal yang hendak diwujudkan dan mengakomodasi
keberagaman kelompok kultur dalam masyarakat majemuk secara adil dan fair.26
Multikultural mengakomodasi seluruh interes kelompok-kelompok kultur dalam
berbagai aktifitas pemenuhan kebutuhan hidup, dalam mencapai nilai-nilai sosial di
masyarakat. Parekh menambahkan, multikultural sebagai cultural diversity
merupakan keanekaragaman budaya yang berbeda dan terjadi secara alamiah.
Sebab terjadinya keragaman budaya karena adanya perbedaan suku, agama, bahasa,
dan tradisi di tengah-tengah masyarakat. Sebab lain, karena adanya arus
globalisasi.
Arus globalisasi meningkatkan migrasi masyarakat nasional maupun
internasional. Menurutnya, masyarakat yang beragam/majemuk seperti itu
cenderung terjadi diskriminasi sosial. Misalnya, Tidak ada kesamaan hak, tidak
adanya kebebasan hak, perlakuan tidak adik oleh kelompok mayoritas kepada
minoritas, dan diskriminasi sosial oleh ras/suku yang berkasta tinggi terhadapa
ras/suku yang berkasta rendah. Dalam masyarakat yang multikultur, upaya yang
bisa dilakukan agar tidak terjadi adanya diskriminasi tersebut adalah dengan
melalui 1) asimilasi, 2) inetgrasi, 3) common belonging, dan 4) kebijakan sosial.27
bertema Pendidikan Bebasis Keragaman Budaya: Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia di Syahida Inn, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 4-6 November 2014.
25James T. Collin, ‚Keragaman Bahasa dan Kesepakatan Masyarakat: Pluralitas
dan Komunikasi.‛ Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional yang bertema
Pendidikan Bebasis Keragaman Budaya: Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia di
Syahida Inn, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 4-6 November 2014. 26
Bhikhu Parekh, National Culture and Multiculturalism, dalam Kenneth
Thompson (ed), Media and Cultural Regulation (London: Sage Publication, 1977), 164. 27
Bhikhu Parekh, Unity and Diversity in Multicultural Societies (Geneva:
International Institute for Labour Studies, 2005), 1-20.
29
Charles Taylor mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah sebuah
politik pengakuan (the politics of recognition).28
Taylor menjelaskan bahwa salah
satu masalah dalam multikulturalisme adalah pentingnya pengakuan terhadap
identitas kultural bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan (subaltern).29
Dia
mengemukakan perlunya bentuk-bentuk politik cultural yang mampu menampung
semua identitas kultural secara harmonis, dimana beragam kultur hidup dalam
kedamaian dan kesejahteraan, dinamis, terbuka pada perubahan, baik dari dalam
maupun dari luar. Masih menurut Taylor, pengakuan bukan sekadar ungkapan
sopan santun terhadap sesama, tetapi yang penting adalah pengakuan akan
identitas kulturalnya. Tuntutan akan pengakuan merupakan kebutuhan dasar
manusia.
Jurgen Habermas mengomentari penjelasan Charles Taylor tentang
multikulturalisme. Habermas mengungkapkan bahwa perlindungan yang sama
dibawah hukum saja belum cukup dalam suatu demokrasi konstitusional. Kita
harus menyadari bahwa persamaan hak di bawah hukum juga harus disertai dengan
kemampuan untuk mengerti bahwa kita sendiri adalah penulis (authors) dari
hukum-hukum tersebut yang mengikat kita. Komentar Habermas ini menunjukan
bahwa sistem (hukum) yang mengikat kita tidak mengahpuskan kondisi sosial dan
budaya yang berbeda-beda. Untuk mencegah adanya konflik yang disebabkan oleh
diskursus perbedaan-perbedaan Habermas menganjurkan agar seluruh warga
Negara dipersatukan oleh mutual respect terhadap hak-hak orang lain.30
Perkembangan kebutuhan akan recognition berasal dari filsuf Jean-Jacques
Rousseau. Melalui tulisanya yang berjudul Dicourse Inequality, Rousseau
mengritik tajam sistem kehormatan hirarkis yang disebutnya preferences. Menurut
Rousseau preferences tersebut merupakan akar dari korupsi dan ketidakadilan. Hal
itu disebabkan oleh pemberian penghargaan kepada sesuatu yang prefential.
Sebaliknya di dalam suatu masyarakat republic, semua orang mempunyai hak yang
saya sehingga pandangan preferential tersebut tidak akan muncul. Rousseau
menekankan adanya pengakuan keunikan identitas seseorang.31
Senada dengan
gagasan multikulturalisme, adalah temuan Immanuel Kant tentang politik
28
Amy Gutman, Multikulturalism, Examining the Politics of Recognition dalam
H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 82.
29Menurut Spivak, subaltern merupakan kelompok-kelompok yang mengalami
penindasan oleh kelas penguasa. Gayatri Spivak menjelaskan mengenai eksploitasi kaum
tertindas dengan menggunakan analisis Marxis. Spivak menekankan bahwa eksploitasi
terhadap kaum tertindas disebabkan adanya dominasi struktural. Dominasi struktural
tersebut muncul dari suatu sistem pembagian kerja internasional. Lihat
http//:postkolonialweb.org/poldiscourse/spivak/spivak2/html 30
H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, 79.
31H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, 80.
30
kesamaan martabat manusia (equal dignity of human rights). Temuan Kant
didasarkan pad ide bahwa sesama manusia mempunyai martabat yang sama.32
Parsudi Suparlan menjelaskan, anatara konsep multikulturalisme dengan
konsep keanekaragaman secara suku-bangsa atau kebudayaan suku-bangsa adalah
berbeda. Konsep kebudayaan suku-bangsa merupakan ciri masyarakat majemuk,
sedangkan multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Kajian mengenai multikulturalisme tentunya tidak akan terlepas
dari kajian yang mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini,
yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja
dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip
etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.33
Multikulturalisme lahir
dari benih-benih konsep yang sama dengan demokrasi, supremasi hukum, hak asasi
manusia, dan prinsip-prinsip etika dan moral egaliter sosial-politik.34
Multikulturalisme juga berkaitan erat dengan epistemologi. Berbeda
dengan epistemologi filsafat yang menekankan kepada asal-usul ilmu pengetahuan.
Sementara epistemologi di dalam sosiologi menekankan pada perkembangan ilmu
pengetahuan di dalam kaitanya dengan kehidupan sosial. Multikulturalisme dalam
epistemologi sosial mempunyai makna yang lain. Dalam epistemologi sosial, tidak
ada kebenaran yang mutlak. Hal itu berarti ilmu pengetahuan selalu mengandung
arti nilai. Di dalam suatu masyarakat, yang benar adalah yang baik bagi
masyarakat itu. Yang benar tidak akan mendahului yang baik.35
Pasang surut pengertian multikulturalisme dapat dibedakan sebagai
berikut. Pertama, Pengertian multikulturalisme secara tradisional, dalam
pengertian ini multikulturalisme mempunyai dua ciri utama yaitu: 1) Kebutuhan
terhadap pengakuan (the need of recognition), 2) Legitimasi keragaman budaya
atau pluralisme budaya. Selain itu, multikulturalisme dalam pengertian tradisional
baru fokus pada hal-hal yang esensial dalam memperjuangkan kelakuan budaya
yang berbeda (the other).
Pengertian multikulturalisme berkembang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahun. Perkembangan paham multikulturalisme ini diistilahkan dengan
32
H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, 80.
33Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Keynote
Address Simposium III Internasional Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Udayana,
Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002. 34
Brian Fay, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural
Approach. (Oxford: Blackwell, 1996). 35
H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 83.
31
gelombang kedua36 Paham multikulturalisme menampung berbagai jenis pemikiran
baru sebagai berikut:37
Pertama, studi cultural (cultural studies)38
antara lain melihat secara kritis
masalah-masalah esensial di dalam kebudayaan kontemporer seperti identitas
kelompok, distribusi kekuasaan di dalam masyarakat yang diskriminatif, peranan
kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalisasi, feminisme dan masalah-
masalah kontemporer seperti toleransi antar kelompok dan agama.
Kedua, poskolonialisme. Pemikiran ini mengusung sebuah tujuan untuk
melihat kembali hubungan antara eks penjajah dengan daerah jajahanya yang telah
meninggalkan banyak stigma yang biasanya merendahkan kaum terjajah.
Pandangan paham kolonialisme antara lain ingin mengungkit kembali nilai-nilai
indigenous di dalam budaya sendiri, disisi lain ada upaya untuk membanggakan
budaya asing (mensejajarkan budaya asing dengan nilai-nilai indigenous). Menurut
Bill Aschroft sebagai pelopor kajian poskolonial menyatakan bahwa,
poskolonialisme sebagai ‚Deals with the effects of colonization on cultures and
societies‛. Artinya poskolonialisme mengedepankan kajian terhadap efek atau
pengaruh kolonialisme terhadap kebudayaan atau masyarakat tertentu dengan cara
mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme.39
Ketiga, globalisasi. Globalisasi ternyata melahirkan budaya global yang
memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Revitalisasi budaya local merupakan
upaya menentang globalisasi yang mengarah kepada monokultur budaya dunia.
Keempat, feminisme dan posfeminisme. Gerakan feminisme yang semula
berupaya untuk mencari kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki kini
meningkat ke arah kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan
bukan hanya menuntut penghargaan yang sama dengan fungsi yang sama dengan
laki-laki tetapi juga sebagai mitra yang sejajar dalam melaksankan semua tugas
dan pekerjaan di dalam masyarakat.
Kelima, teori ekonomi politik neo-Marxisme. Teori ini terutama
memfokuskan kepada struktur kekuasaan didalam suatu masyarakat yang
didominasi oleh kelompok yang kuat. Teori neo-Marxisme dari Antonio Gramsci
mengemukakan mengenai hegemoni yang dapat dijalankan tanpa revolusi oleh
intelektual organis yang dapat mengubah suatu masyarakat, antara lain di dalam
memerhatikan kelompok-kelompok yang termarginalisasi.
36
Ram Mahalingam McCarthy, Multicultural Curriculum (2000), 15. Lihat juga:
Simon During, The Cultural Study Reader (1999). 37
H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 83.
38Mengenai studi kultural dan perkembanganya lihat Lawrence Grossberg, Cary
Nelson, Paula Treicher. Cultural Studies (1992). 39
Zulkifli Hi Manna, Perspektif Poskolonialisme dalam Hubungan Internasional. Lihat http://www.haryoprasodjo.com/2014/05/perspektif-poskolonialisme-dalam.html
diakses pada 20 April 2017
32
Keenam, pos-strukturalisme. Pandangan ini mengemukakan bahwa
perlunya dekonstruksi dan rekontruksi masyarakat yang telah mempunyai struktur-
struktur yang telah mapan yang biasanya hanya untuk melanggengkan struktur
kekuasaan yang ada. Setelah memperhatikan perkembangan dari multikulturalisme
di atas, dapat dikemukakan beberapa tantangan multikulturalisme dewasa ini:40
Pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
dan ilmu pengetahuan. Komunitas, terutama negara-negara berkembang perlu
mempelajari sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam bidang-bidang tersebut dan
mengambil langkah-langkah seperlunya untuk mengatasinya sehingga dapat berdiri
sama tegak dengan dunia Barat.
Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya
untuk mencari esensi budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang
xenophobia41 dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme
yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu di dalam era globalisasi.
Ketiga, proses globalisasi. Globalisasi dapat berupa monokulturalisme,
karena gelombang dahsyat globalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-
bentuk kehidupan bersama dan budaya tradisional. Memang tidak ada budaya yang
statis, namun masyarakat yang kehilangan akar budayanya akan kehilangan tempat
berpijak dan dia akan disapu bersih oleh gelombang dahsyat globalisasi.42
Masyarakat tersebut akan kehilangan pribadinya, identitasnya dan hanya sekedar
pemain-pemain atau konsumen dari imperialism baru yang dibawa oleh globalisasi.
2. Sejarah Multikulturalisme
Multikulturalisme ini adalah sebuah gerakan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok yang berbeda-beda seperti penduduk asli, imigran, minoritas
bangsa, perempuan dan kelompok lainya. Gerakan-gerakan ini menentang
ketidakadilan yang dilakukan oleh kelompok kultur yang mayoritas, dan menuntut
kesamaan di wilayah publik.43
40
H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 85.
41Xenofobia adalah ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari
negara lain, atau yang dianggap asing. Beberapa definisi menyatakan xenofobia terbentuk
dari keirasionalan dan ketidakmasukakalan. Berasal dari bahasa Yunani xenos, artinya
"orang asing", dan phobos, artinya "ketakutan"). 42
Bung Karno sangat mengagumi ungkapan Dr. Sam Ratulangi yang gandrung
memelihara budayanya sebagai pegangan dalam perjuangan nasionalnya yang mengatakan
‚Ons hart trekt naar de top van Klabat, maar onze voeten brengan ons tot Airmadidi.‛
Amanat PYM Presiden RI Soekarno pada penyerahan secara simbolis patung DR. G.S.J.J
Ratulangie, dalam penutupan Musyawarah Kawanua (Gedung Pemuda, 18 Agustus 1960). 43
Melani Budianta. ‛Multiculturalism: In Search of a Critical Framework for
Assessing Diversity in Indonesia‛ dalam Kamanto Sunarto dkk (ed) ‛Multiculturalism
Education in Indonesia and Southeast Asia‛ Jurnal Antropologi Indonesia (Depok, 2004),
24-25.
33
Multikultulisme ini berkembang di Amerika Serikat pada pertengahan
tahun 1960, dilatarbelakangi oleh kelompok kulit hitam Amerika, yang menuntut
perlakuan yang sama sebagai orang Amerika dan menuntut kompensasi
ketidakadilan yang telah mereka rasakan44
, Selanjutnya multikulturalisme
menyebar ke Eropa. Multikulturalisme menuntut kebijakan pemerintah dalam dwi
bahasa, yaitu kelompok pengguna bahasa Ingris dan kelompok pengguna bahasa
Perancis.
Kebudayaan di Amerika didominasi oleh kaum imigran putih dengan
budaya WASP45
(White Anglo-Saxon Protestant), yaitu kebudayaan putih (White),
dari bangsa yang berketurunan British (Anglo-Saxon), dan yang beragama Kristen
Protestan. Nilai-nilai WASP inilah yang menguasai mainstream kebudayaan di
Amerika Serikat. Melalui penguasaan mainstream kebudayaan tersebut, terjadilah
segresi dan diskriminasi bukan hanya dalam bidang ras tetapi juga dalam bidang
agama, budaya dan gaya hidup (life style). Kelompok yang paling
didiskriminasikan adalah kelompok Afrika-Amerika. Korban dari politik
diskriminasi tersebut adalah kelompok non-WASP, yaitu kelompok Indian (Native
America), kelompok Chicano (dari Negara-negara latin terutama Mexico), dan
pada akhir abad ke-20 dari kelompok Asia-Amerika.
Respon yang telah dilakukan untuk menghadapi masyarakat yang bersifat
melting pot46 tersebut adalah melalui dikembangkannya berbagai praktik
44
Rida Ahida, Keadilan Multikultural ( Jakarta: Ciputat Press, 2008), 60. 45
WASP adalah istilah sosiologis Amerika Utara yang berasal dari singkatan
White Anglo-Saxon Protestant. WASP adalah sebuah julukan yang mengacu pada kaum
berkulit putih di Amerika ,yang umumnya merupakan keturunan British, dan menganut
agama Kristen protestan. Istilah ini menyiratkan sekelompok masyarakat elit tertutup yang
memiliki kekayaan dan gelar hak istimewa di Amerika Utara dan Northwestern. Pada
awalnya, istilah ini dibawa oleh orang-orang British yang merasa lebih superior dari bangsa
manapun. Kemudian, istilah ini ikut berkembang di Amerika namun, istilah ini tidak
diperuntukan bagi kelompok minoritas pendatang seperti Yahudi, kaum kulit hitam,
penduduk Indian asli Amerika, penduduk beragama katolik dan masyarakat Asia. Istilah ini
juga digunakan di Australia dan Kanada untuk elit yang sama. Dalam hampir seluruh
sejarah Amerika, kaum WASP ini banyak memerintah bangsa Amerika dan bahkan
keturunan WASP ini menjadi founding father kemerdekaan Amerika. Lihat http://mahrita-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-75748-Sistem%20Politik%20Amerika-WHITE%20ANGLOSAXON%20PROTESTANT:%20Terkikisnya%20Sebuah%20Superioritas.html, diakses pada 2 Mei 2017
46Lebih jauh Alo Liliweri menjelaskan bahwa ada banyak ragam budaya hidup di
daerah-daerah perbatasan antar Negara, antar-suku bangsa, antar-etnik, antar-ras, dan
antar-geografis. Di sinilah muncul situasi dan kondisi masyarakat yang memiliki
keragaman budaya. Istilah methaphors digunakan untuk menggambarkan kebudayaan
campuran (mixed culture). Ada beberapa istilah yang menggunakan methapor yaitu:
Pertama, melting pot adalah masyarakat yang masih memelihara keunikan budaya untuk
membedakan keturunan mereka dengan orang lain atau bangsa lain. Dalam konsep ini
masing-masing etnis dengan budayanya menyadari adanya perbedaan antara sesamanya.
Namun, dengan perbedaan tersebut mereka dapat membina hidup bersama dengan baik dan
34
pendidikan yang berusaha menggaet kelompok-kelompok suku bangsa tersebut di
dalam suatu kebudayaan mainstream yang didominasi oleh WASP. Namun
demikian, pendekatan pendidikan yang diskriminatif tersebut mulai berubah,
karena pengaruh perkembangan politik dunia seperti HAM, deklarasi hak asasi
manusia dari PBB (Universal Declaration of Human Rights tahun 1948). Demikian
pula, gerakan human right (human right movement) yang mengglobal.
Perubahan pandangan terhadap hak asasi manusia telah semakin meluas
dan menyangkut hak asasi wanita dalam gerakan feminisme. Semua pengaruh yang
dijelaskan di atas menghasilkan suatu bentuk pendidikan yang ingin membongkar
politik segresi tersebut. Praktik-praktik pendidikan untuk menanamkan rasa
persatuan bangsa mulai gencar dilaksanakan seperti menghilangkan sekolah-
sekolah segregasi, mengajarkan budaya dari ras-ras yang lain di semua sekolah
pemerintah, dan studi-studi etnis yang hidup dalam masyarakat Amerika. Praktik-
praktik tersebut dikaji dan disempurnakan. Banyak sekali konsep yang telah
dicobakan dan masing-masing mempunyai nilai positif maupun negatif.
Pada dekade tahun 1940-an dan 1950-an telah lahir suatu konsep
pendidikan yang disebut pendidikan inter-kultural dan inter-kelompok (inter-
cultural and inter-group education). Pada hakikatnya inter-cultural education
tersebut merupakan suatu upaya cross culture education, yaitu mencari nilai-nilai
universal yang dapat diterima oleh kelompok masyarakat. Pendidikan interkultural
pada dasarnya mempunyai dua tema pokok, yaitu:
sehat. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa melting pot terdapat kekuatan untuk mensintesiskan
kebudayaan dari masing-masing kelompok. Kedua, tributaries yaitu menggambarkan aliran
sungai yang airnya merupakan campuran air dari sungai-sungai kecil lain. Aliran sungai itu
menuju kearah yang sama, ke sebuah muara. Hal ini menggambarkan bahwa sungai itu
merupakan lintasan dari sejumlah budaya yang terus mengalir. Masyarakat yang dibangun
dari beberapa individu memiliki karakteristik spesifik yang tidak dimiliki oleh individu
lain. Keanekaragaman karakteristik spesifik ini mengarah pada suatu muara yaitu
bercampurnya berbagai karakteristik. Bervariasinya karakteristik tersebut sebenarnya
sebagai media aliran berkembangnya kebudayaan yang akan dibangun. Berbeda dengan
melting pot, pada tributaries keberbedaan antar suku tetap dipandang memiliki arti yang
berbeda. Dengan demikian, setiap keberbedaan itu tetap dipertahankan meskipun berada
pada tujuan yang sama untuk mengembangkan dan mempertahankan budaya masing-
masing. Ketiga, tapestry adalah bagaikan dekorasi pakaian yang terbentuk dari sehelai
benang. Konsep ini diambil untuk menggambarkan kebudayaan Amerika yang dekoratif.
Analog yang dapat disampaikan antara lain kain yang terdiri dari satu warna kurang
memberikan hasrat bagi pemakainya. Dengan demikian, kain yang multiwarna sebagai
perpaduan dekoratif akan memperkaya seni dekorasi tersebut. Keempat, garden salad/salad bowl adalah kebudayaan ibarat mangkuk yang berisi campuran salad. Pada konsep ini yang
ada masing-masing kelompok etnis memperjuangkan keberhasilan kelompoknya sendiri.
Dapat saja masing-masing kelompok etnis hidup berdampingan tetapi tidak peduli satu
dengan yang lainya. Masing-masing masyarakat mengurus dirinya sendiri dan dapat hidup
bersama sepanjang yang satu tidak mengganggu kelompok lainnya. Olehnya, Garden Salad/Salad Bowl tidak memperdulikan adanya komitmen untuk mengetahui dan saling
berbagi antar unsure-unsur kebudayaan yang dimiliki kelompok lain.
35
(1) Melalui pendidikan interkultural, seorang tidak malu terhadap latar belakang
budayanya. Percaya diri dalam mengekspresikan budayanya. Seperti
diketahui, mainstream budaya di Amerika seperti WASP telah
menyepelekan budaya kelompok minoritas.
(2) Perlu dikembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan ras, agama, dan
budaya. Dalam rangka pengembangan sikap toleransi, dianjurkan program
asimilasi budaya. Dalam kaitan ini yang dipentingkan adalah adanya
persamaan dan bukan meletakkan perbedaan-perbedaan kebudayaan. Oleh
sebab itu, di dalam program pendidikan dikembangkan dua hal, yaitu:
a) Masalah prasangka (prejudice). Berbagai penelitian dan praktik untuk
mencari akar dari prasangka, baik prasangka ras maupun prasangka
agama. Seyogianya prasangka buruk harus diminimalisir, bahkan
dihilangkan.
b) Mencari cara efektif untuk maengubah tingkah laku dalam mengatasi
prasangka-prasangka tersebut.
Berbagai langkah yang dikampanyekan dalam pendidikan interkultural
dipusatkan untuk mengubah tingkah laku individu, bukan mempelajari konflik
antar kelompok. Padahal yang sering terjadi dalam masyarakat yang multi ras
adalah konflik kelompok. Hal ini memang masih diabaikan dalam program
pendidikan interkultural. Pendidikan di dalam pendekatan interkultular berarti
membina hubungan baik antar manusia yang demokratis. Masyarakat Amerika
adalah masyarakat demokratis yang memberikan nilai penting terhadap pluralitas
dengan hak-haknya, termasuk hak-hak minoritas sebagai warga negara.
Istilah multikulturalisme memiliki beberapa konotasi, yaitu demografi
deskriptif,47
ideologi normatif,48
dan kebijakan politik.49
Untuk memproteksi
keberadaan kelompok-kelompok minoritas maka PBB menetapkan satu kebijakan
dalam bentuk deklarasi tentang hak angggota-anggota minoritas nasional atau
etnik, religius, dan linguistik, yang berbeda dari populasi mayoritas masyarakat.50
Dalam sejarahnya, kebijakan multikulturalisme pernah menjadi perdebatan
panas di Negara Barat pada tahun 1960. Perdebatan tersebut hingga memakan
47
Dari aspek demografi deskriptif, istilah multikulturalisme yang menggambarkan
eksistensi dari kelompok-kelompok yang berbeda secara linguistik, kultural dan etnik pada
satu masyarakat atau negara, dari aspek ini diketahui bahwa masyarakat multikultural
terjadi karena proses penaklukan, migrasi, atau konsolidasi secara geografi dan politik. 48
Dari aspek ideologi normatif, multikulturalisme mengakui eksistensi
keberagaman kelompok-kelompok kultural mereka, untuk berpartisipasi dalam masyarakat
dan untuk menikmati akses penuh terhadap prinsip-prinsip konstitusional dan nilai-nilai
bersama yang berlaku pada masyarakat. 49
Aspek kebijakan politik, multikulturalisme menunjuk pada kebijakan-kebijakan
spesifik yang dikembangkan untuk merespon dan mengatur keberagaman kelompok-
kelompok kultur dalam berbagai bentuk. 50
Will Kymlicka, Liberalism and The Politicization of Ethnicity, dalam Julia
Stapleton (ed) Group Rights (Briston :Thoemmes Press,1995),26.
36
waktu yang lama. Puncaknya adalah pada tahun 1990-an. Perdebatanya terfokus
pada dampak positif dan dampak negatif dari kebijakan multikulturalisme.
Dampak negatifnya akan mengikis demokrasi liberal. Kebebasan masyarakat
imigran bisa mengikis hak, kebabasan, dan kebudayaan masyarakat asli yang
mayoritas. Selain itu, kebijakan multikulralisme sangat tidak ideal karena
rumusanya sangat normative. Teori multikulturalisme secara normatif tidak
memadahi tentang hubungan etnis dengan politik. Namun, Will Kymlicka
membantah asumsi itu. Kymlicka mengatakan bahwa kebijakan multikulturalisme
sangat mendukung terhadap demokrasi liberal bukan malah mengikis. Beberapa
bukti empiris yang ia sajikan adalah Kanada dan Australia berhasil menerapkan
kebijakan multikulturalisme. Masyarakat asli dan imigran mempunyai kesempatan
yang sama dan mencintai terhadap negaranya. Menurut Kymlicka kebijakan
multikultural adalah untuk menormalkan keragaman dan perbedaan.51
Dalam
perkembanganya kebijakan multikulturalisme di Barat masuk pada ranah
pendidikan, sehingga konsep pendidikan yang berbasis multikultural menjadi
penting dan menjadi kebijakan nasional.52
Di Kanada, konsep multikulturalisme masuk dalam kebijakan politik sejak
tahun 1970. Dengan kebijakan tersebut Negara Kanada mampu menumbuhkan
solidaritas bermasyarakat pada rakyatnya, bertoleransi, kesetaraan tanpa adanya
diskriminasi sehingga menjadi efektif dalam mengatasi konflik horisontal.53
Di
Eropa juga demikian. Multikulturalisme masuk ke dalam kebijakan pemerintah
sebagai upaya untuk membangun kewarganegaraan yang menekankan pada
penerimaan terhadap perbedaan. Utamanya, adalah kesamaan (equality) terhadap
warga Negara. Ada empat upaya multikulturalisme yang dikembangkan untuk
Negara-negara di Eropa, yaitu 1) anti diskriminasi, 2) penerimaan terhadap
terbukanya perubahan dan pencampuran etnis atau identitas, 3) pluralitas, dan 4)
inklusivisme.54
Sebelum multikulturalisme menjadi kebijakan politik di Barat, konsep
yang lebih dahulu berkembang adalah ‚melting polt‛ dan ‚salad bowl‛. Melting
pot adalah peleburan budaya-budaya yang berbeda, masing-masing melebur
menjadi satu ke dalam budaya penerima dan menjadi kebudayaan yang satu.
51
Will Kymlicka, ‚Testing the Multiculturalist Hypothesis: Normative Theories
and Social Sciences Evidence.‛ Canadian Journal of Political Science, vol. 43, no.2 (2010):
257-271. 52
Irham, ‚Pendidikan Berwawasan Multikultural, Studi Kasus Pendidikan Agama
Islam di SMA Plus Pembangunan Jaya, BIntaro.‛ Tesis Program Magister Pengkajian Islam Sekolah Pacasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (2016): 29-31.
53Li Wei, ‚Integration of Multicultural Education into English Teaching and
Learning, A Case in Liaoning Police Academy.‛ Theory and Practice in Language Studies, vol.3, no. 4 (2013): 612-619.
54Pieter Bevelander and Raymond Taras, ‚The Twilight of Multiculturalism?
Finding Euorope.,‛ dalam Challenging Multiculturalism: European Models of Diversity, ed., Raymond Taras (Udinburgh University Press, 2013), 44.
37
Strategi ini tidak berhasil sehingga konflik horizontal tidak tertangani bahkan
semakin tumbuh. Sementara itu, salad bowl (tempat salada) memandang bahwa
masing-masing budaya asal tidak dihilangkan namun diakomodasikan, diberikan
kesempatan untuk berkontribusi mengembangkan kebudayaanya di suatu bangsa.
Dua teori tersebut sama-sama tidak berhasil.55
3. Pengertian Pendidikan Multikultural
Pentingnya multikulturalisme adalah untuk mengetahui dan memahami
budaya di lingkungan orang/kelompok, karena budaya sebagai cara melihat dunia
atas pemikiran, emosi, dan perilaku yang terjadi. Di sinilah pentingnya wawasan
dan konsep multikulturalisme dalam pendidikan, karena untuk mengeksplorasi
ruang publik dalam memperkaya talenta/kemampuan yang bervariasi, budaya,
sejarah, dan pengalaman-pengalaman yang merepresentasikan perbedaan.
Berikutnya membantu mengembangkan identitasnya yang positif, kritis, menjadi
warga yang demokratis, mampu melihat tantangan dunia atas terjadinya fenomena
rasisme, kemiskinan, kekerasan dan hak asasi manusia serta membangun
inklusifitas peserta didik.56
Isu pendidikan multikultural memang telah lama diperbincangkan oleh
para pakar pendidikan. Meskipun demikian bahasan tentang pendidikan
multikultural tidak pernah habis. Selalu muncul kajian baru yang merupakan
pengembangan dari pendidikan multikultural. Masyarakat Indonesia tentunya
sangat mengapresiasi gagasan pendidikan multikultural ini, mengingat masyarakat
Indonesia secara objektif adalah masyarakat yang heterogen dan plural. Heterogen
dan pluralnya masyarakat Indonesia minimalnya dapat dilihat dari eksistensi
keragaman suku (etnis), ras, aliran (agama) dan budaya (kultur).
Istilah multikultural berakar dari kata kultur yang berarti budaya atau
peradaban. Dalam pendidikan multikultural selalu muncul dua kata kunci yaitu
pluralitas dan kultural.57
Pemahaman terhadap pluralitas itu sendiri adalah
mencakup segala perbedaan dan keragaman. Sedangkan kultur itu sendiri tidak bisa
terlepas dari tema aliran (agama), ras (etnis), suku, dan budaya. Akar pendidikan
multikultural, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ellis, dkk. dalam buku
Introduction to the Foundation of Education berasal dari perhatian seorang pakar
pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (1803-1890 M) yang secara intensif
55
David Howes and Costance Classen, Ways of Sensing Understanding The Sense in Society (New York: Routledge, 2014), 80-81. Lihat juga Eva Kolb, The Evolution of New York City’s Multiculturalism: Melting Pot or Salad Bowl: Immigrants in New York from the 19th Century Until The End of the Gilded Age (Norderstedt: BoD, 2009).
56Ratna Ghosh dan Mariuszz Galezynski, Redefining Multicultural Education
Inclusion and The Rigt To Be Different, Third Edition (Toronto: Canadian Scholar’s Press
Inc, 2014), 1-25. 57
Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural (Jogjakarta: INSPEAL, 2006), 74.
38
menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik
ditinjau dari aspek budaya, etnis dan agamanya.58
Pendidikan yang memerhatikan
secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi
munculnya pendidikan multikultural.
Secara etimologis, pendidikan multikultural terdiri atas dua terma. Yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses
pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, perbuatan, dan cara-
cara yang mendidik.59
Sedangkan istilah multikultural sebenarnya merupakan kata
dasar yang mendapat awalan. Kata dasar itu adalah kultur (culture)60
yang berarti
kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan, sedangkan awalannya adalah multi
58
Athur K Ellis, dkk. Introduction to the Foundations of Education (New Jersey:
Prentice-Hall, 1981). 59
Sebagaimana dikutip oleh Fuad Ihsan (2005: 4-5) dalam kajian dan pemikiran
tentang pendidikan ada 2 istilah yang hampir sama bentuknya dan sering dipergunakan
dalam dunia pendidikan yaitu; Pedagogik yang berarti pendidikan dan pedagonik yang
berarti Ilmu pendidikan. Pendidikan dimaknai sebagai upaya memanusiakan manusia muda.
Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut mendidik. Ki Hadjar Dewantara
merumuskan pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Dalam Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses dimana seseorang
mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya didalam
masyarakat di mana ia hidup, proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh
lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia
dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial, dan perkembangan
individu yang optimum. Untuk lebih lengkap tentang pengertian pendidikan dan ruang
lingkupnya baca buku (Imam Barnadib, 1982), (Noeng Muhadjir, 1987), (Zahara Idris dan
Lisma Jamal, 1992). 60
Alo Liliweri M.S. (2003: 7-9), dalam bukunya ‚Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya‛, mengutip lebih dari lima makna kebudayaan. Pertama, menurut Iris Varner dan Linda Beamer, dalam Inter-cultural Communication in the Global Workplace mengartikan kebudayaan sebagai pandangan yang koheren tentang sesuatu yang
dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan oleh sekelompok orang. Pandangan itu
berisi apa yang mendasari kehidupan, apa yang menjadi derajat kepentingan, tentang sikap
mereka yang tepat terhadap sesuatu, gambaran suatu prilaku yang harus diterima
oleh sesama atau yang berkaitan dengan orang lain. Kedua, kebudayaan, dalam arti
yang luas, adalah perilaku yang telah tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu
yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial
(disosialisasikan), tidak sekedar sebuah catatan ringkas, tetapi dalam bentuk
prilaku melalui pembelajaran sosial (Social Learning). Ketiga, kebudayaan adalah
komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah ketrampilan kelompok, pengetahuan,
sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-simbol itu dipelajari dan disebarluaskan
dalam masyarakat melalui institusi. Untuk memperdalam tentang kebudayaan dan
ruang lingkupnya lebih lanjut baca (T.O. Ihromi,1996), (Van Peursen, 1985),
(Achdiat M. Miharja, 1977), (Suwardi Endraswara, 2003), dan lain sebagainya.
39
yang berarti banyak, ragam, atau aneka. Dengan demikian, multikultural berarti
keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Namun,
disini lebih ditekankan pada arti keragaman budaya sebagai ejawantah dari
keragaman latar belakang seorang.61
Dalam bahasan terminologis pendidikan multikultural berarti proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran
(agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian tentu mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara
umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan
demikian, pendidikan multikultural menghendaki adanya penghormatan dan
penghargaan setinggi-tinginya terhadap harkat dan martabat manusia darimana
pun dia datangnya dan berbudaya apa pun. Harapanya secara sekilas adalah
terciptanya kedamaian sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan,
kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari
jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.62
Menurut pendapat Andersen dan Cusher bahwa pendidikan multikultural
adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Menurut definisi ini
keragamaan kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari dan berstatus sebagai
objek studi. Dengan kata lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran
yang harus diperhatikan para pengembang kurikulum.63
Kemudian, James Banks
mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of
colour. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai
keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah).64
Selanjutnya, bagaimana kita mampu
menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.
Sleeter mendefinisikan pendidikan multikultural berupa sekumpulan proses
yang dilakukan oleh sekolah untuk menentang kelompok yang menindas.65
Sejalan
dengan pemikiran di atas, Muhaimin el Ma’hady berpendapat bahwa secara
sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang
61
Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, 75. 62
Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, 75. Lihat juga Rustam Ibrahim,
‚Pendidikan Multikultural: Pengertian, Prinsip, Dan Relevansinya Dengan Tujuan
Pendidikan Islam.‛ ADDIN, vol. 7, no. 1, Februari (2013): 137. 63
Andersen dan Cusher, ‚Multicultural and Intercultural Studies‛ dalam C. Marsh
(ed), Teaching Studies of Society and Environment (Sydney: Prentice-Hall, 1994), 320. 64
James Banks, ‚Multicultural Education: Historical Development, Dimensions,
And Practice‛, Review of Research in Education, 1993, hlm. 3. 65
Sleeter, dalam G. Burnett, Varieties of Multicultural Education: an Introduction, (Eric learinghouse on Urban Education, Digest, 1994), hlm. 1.
40
keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural
lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan66
Selanjutnya, M. Ainul Yaqin memahami pendidikan multikultural sebagai
strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan
cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti
perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, klas sosial, ras, kemampuan dan umur agar
proses belajar menjadi mudah.67
John W. Santrock mendefinisikan pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang menghargai diversitas dan mewadahi
prespektif dari beragam kelompok kultural atas dasar basis regular.68
Mundzier Suparta dalam bukunya Islamic Multicultural Education,
mencatat lebih dari sepuluh definisi tentang pendidikan multikultural69
, Di
antaranya adalah; (a) Pendidikan Multikultural adalah sebuah filosofi yang
menekankan pada makna penting, legitimasi dan vitalitas keragaman etnik dan
budaya dalam membentuk kehidupan individu, kelompok maupun bangsa. (b)
Pendidikan Multikultural adalah menginstitusionalkan sebuah filosofi pluralisme
budaya ke dalam sistem pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
persamaan (equality), saling menghormati dan menerima, memahami dan adanya
komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial. (c) Pendidikan Multikultural adalah
sebuah pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang didasarkan atas nilai-nilai
demokratis yang mendorong berkembangnya pluralisme budaya; dalam hampir
seluruh bentuk komprehensifnya. (d) Pendidikan multikultural merupakan sebuah
komitmen untuk meraih persamaan pendidikan, mengembangkan kurikulum yang
menumbuhkan pemahaman tentang kelompok-kelompok etnik dan memberangus
praktik-praktek penindasan. (e) Pendidikan Multikultural merupakan reformasi
sekolah yang komprehensif dan pendidikan yang paling dasar untuk semua anak
didik, menentang semua bentuk diskriminasi dan intruksi yang menindas,
mengharmonisasikan hubungan antar personal di dalam kelas dan memberikan
prinsip-prinsip demokratis keadilan sosial.
Hilda Hernandez dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher’s
Guide to Content and Process menjelaskan bahwa pendidikan mulltikultural
sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang
dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks
dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas
66
Muhaemin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2016), 176. Cet.
ke-8. 67
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005). 25.
68John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Terj. Tri Wibowo B.S. (Jakarta:
Kencana, 2007), 184. 69
Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas pendidikan Agama Islam di Indonesia (Jakarta: Al Ghazali Center, 2008), 37.
41
dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-
pengecualian dalam proses pendidikan.70
Menurut pendapat Blum, pendidikan multibudaya sarat dengan
penghargaan, penghormatan dan kebersamaan dalam suatu komunitas yang
majemuk. Lebih lanjut Blum menegaskan bahwa pendidikan multibudaya meliputi
sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah
penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi
penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti
menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan
mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai
bagi anggota-anggotanya sendiri.71
Blum membagi tiga elemen dalam pendidikan multibudaya. Pertama,
menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai warisan budaya
seseorang. Kedua, menghormati dan berkeinginan untuk memahami serta belajar
tentang etnik/kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya. Ketiga, menilai dan
merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri; yaitu memandang
keberadaan dari kelompok-kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat
seseorang sebagai kebaikan yang positif untuk dihargai dan dipelihara .72
4. Orientasi Pendidikan Multikultural
Dari beberapa paparan yang telah disajikan, secara sederhana pendidikan
multikultural, dapat didefenisikan sebagai ‚pendidikan untuk/tentang keragaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan‛.
Pendidikan multicultural yang mencoba mengantisipasi berbagai
perbedaan dari yang hanya sekedar berbeda, berhadapan (vis-a-vis), bertolak
belakang/berpisahan (dikotomis) sampai yang saling berlawanan (konfrontative).
Pluralitas dan heterogenitas sebagai sebuah realita tidak dapat dipungkiri
eksistensinya di dunia ini. Bisa dikatakan bahwa heterogenitas dan pluralitas
adalah sebuah hukum alam (natural law/sunnatullah). Sebagai sebuah hukum alam,
eksistensinya tidak dapat digugat sama sekali. Tugas manusia adalah mengatur
berbagai perbedaan tersebut.
Pendidikan multikultural sebagaimana dijelaskan di muka, merupakan
sebuah pendidikan alternatif yang menjunjung tinggi dan menghargai berbagai
70
Hilda Hernandez, Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Content and Process (Columbus, Ohio: Merrill Publishing Company, 1989), 4.
71A. Lawrence Blum, Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras,
Tiga Nilai Yang bersifat Mendidik Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam Larry
May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultural, Alih
Bahasa: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 16. 72
A. Lawrence Blum, Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai Yang bersifat Mendidik Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, 19.
42
perbedaan. Oleh karena itu, pendidikan multikultural diharapkan memiliki
orientasi yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan
multikultural nantinya tidak kehilangan arah atau bahkan berlawanan dengan nilai-
nilai dasar multikulturalisme. Orientasi yang seharusnya dibangun dan
dipertahankan meliputi:73
Pertama, orientasi kemanusiaan. Kemanusiaan atau humanisme merupakan
sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan.
Kemanusiaan bersifat universal, global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan,
dan agama. Pada dasarnya setiap manusia secara inheren memiliki nilai-nilai
kemanusiaan. Yaitu nilai-nilai yang sesuai dengan hati nurani yang paling dalam.
Nurani adalah hakim yang paling jujur, adil, berwawasan, dan tidak berkepentingan
apa-apa kecuali kepentingan kemanusiaan itu sendiri.
Dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal inilah kemudian
dibangun institusi pendidikan yang tidak bersifat eksploitatif, mendominasi,
kompetisi sebebas-bebasnya. Orientasi yang demikian ini diharapkan
memunculkan manusia yang humanis tanpa kehilangan jati dirinya sendiri.
Kedua, orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme
merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan
heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang
tidak ada batasnya. Tentunya kebersamaan yang dibangun di sini adalah
kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif.
Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-masing pihak
merasa tidak merugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, Negara, bahkan
merugikan Agamanya.
Dengan kebersamaan yang sangat paripurna inilah diharapkan muncul
manusia yang aktif, kreatif, toleran, tenggang rasa yang mendalam, dan terbuka.
Tidak ada kebersamaan yang hakiki ketika masing-masing pihak memiliki hidden
agenda sendiri-sendiri. Karena yang akan terjadi adalah kesalingcurigaan dari
masing-masing pihak.
Ketiga, orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan
sebuah kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini
hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Khususnya oleh partai poliltik.
Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh
siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan perilaku
menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat. Orientasi pendidikan
multikultural yang berorientasi kesejahteraan ini bukan berarti harus terjebak pada
pemenuhan kebutuhan materi yang berlebih dan sama banyaknya oleh semua
orang. Melainkan yang menjadi orientasinya adalah bahwa masyarakat secara sadar
dan tidak dipaksa mengatakan bahwa diri mereka telah sejahtera.
73
Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, 78.
43
Dengan demikian, bisa saja ada seseorang yang meskipun secara materi
dan ekonomi itu pas-pasan atau cukup, akan tetapi dia merasa sejahtera. Rasa
sejahtera ini diharapkan dimiliki oleh semua anggota masyarakat. Tentunya dengan
perlakuan yang manusiawi. Manusia pada dasarnya sudah merasa sejahtera ketika
kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi, dihargai dan diakui oleh orang lain dan
diberlakukan sebagai manusia.
Keempat, orientasi proporsional. Proporsional merupakan sebuah nilai
yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat
proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif,
tepat kuantitatif, dan tepat tujuan. Ketetapan di sini tidak diartikan sebagai
ketepatan yang bersifat rigid dalam arti hanya menggunakan salah satu
pertimbangan, misalnya pertimbangan kualitas intelektual, atau kuantitasnya,
melainkan ketepatan yang ditinjau dari semua sudut pandang, khususnya yang
berkaitan langsung dengan nilai proporsional, sehingga semua pihak dapat
menerima dengan baik, lapang dada, dan tidak menimbulkan kasak-kusuk di
belakang.
Kelima, orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan
heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara
fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang
diyakini oleh sekelompok orang. Misalnya kebenaran yang didasarkan pada hasil
metode ilmiah dengan melalui hipotetiko-logiko-verifikatif, sehingga kaum
positivis tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang tidak sama
atau tidak sepakat bahkan menolak kebenaran positif tersebut. Pemaksakan
kehendak untuk menerima pendapat, pemikiran, teori, kebijakan, sistem politik,
sistem ekonomi, sistem budaya, sistem pendidikan dan sebagainya adalah tidak
sesuai dengan pendidikan multikultural.
Jika sikap-sikap tersebut tidak dieliminir, maka penghilangan generasi
suatu kelompok sampai yang tak berdosa sekalipun akan sering muncul.
Penghapusan etnik, penganut agama, kelompok masyarakat, atau bahkan
penghilangan Negara tertentu akan menjadi fenomena yang biasa dan wajar.
Padahal semua itu jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai
orientasi utama pendidikan multikultural ini.
Keenam, orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. Dominasi dan
hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja
kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh
para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis dan neoliberalis. Hegemoni bukan
hanya di bidang politik, melainkan juga di bidang pelayanan terhadap masyarakat.
Karena dewasa ini, yang menjadi penguasa dan menjadi perhatian utama adalah
kaum berduit. Jutawan, miliarder, atau bahkan triliuner menjadi impian semua
orang, sehingga merekalah yang akan mendapatkan pelayanan very important
(VIP), sementara kaum cilik, miskin, terbelakang, kalah kompetisi, dan bodoh
44
selalu disisihkan bahkan dilecehkan. Model interaksi sosial yang demikian inilah
yang diharapkan dibangun dalam pendidikan multikultural.
Dari uraian orientasi pendidikan multikultural yang telah dipaparkan, jika
semua itu dapat dilaksankan dengan baik dalam ssistem pendidikan Negara ini
maka sikap fanatisme buta, fundamentalisme picik, radikalisme, anarkhisme
membabi buta, bahkan terorisme dapat dihindari atau bahkan dihilangkan sama
sekali. Tentunya semua itu memerlukan tanggapan, dukungan, bantuan, tahapan,
dan tindakan real untuk melaksanakan pendidikan multikultural dengan sebaik-
baiknya. Reduksi kemanusiaan (dehumanisasi) yang selama ini terus muncul harus
dicegah dengan tindakan nyata, akan tetapi tidak melalui kekerasan dan
anarkhisme yang menjadi ciri khas dehumanisasi itu sendiri.
Orientasi-orientasi tersebut, tentunya berangkat dari hakikat ontologi
pendidikan multikultural sendiri. Keterkaitan antara hakikat dan orientasi perlu
terus dijaga. Sebab kesenjangan yang selama ini terjadi disebabkan oleh adanya
kesenjangan antara slogan pendidikan yang mampu mengentaskan seluruh umat
manusia, namun pada kenyataanya justru telah terjadi eksploitasi yang sangat luar
biasa dan besar-besaran. Sampai-sampai manusia itu sendiri tereduksi di dalamnya
tanpa mampu keluar dari lingkaran setan (the satanic circle) modernisasi dan
liberalisasi.
Lihua Geng memberikan analisis kritis terhadap pendidikan multikultural
yang tidak hanya membentuk sikap harmonis dan dapat saling menghargai antara
sesama siswa yang berbeda latar belakang. Namun juga membentuk siswa mampu
berpikir kritis di tengah-tengah perbedaan.74
Begitu pula Aneta Barakoska
menambahkan pendidikan multicultural sebagai proses penyadaran untuk
mengakui terhadap perbedaan pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial.75
Selain itu penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat menciptakan
pengaruh ke dalam empat factor yaitu; (1) gerakan hak asasi manusia, (2)
meningkatnya kesadaran kesukuan, (3) analisis lebih kritis terhadap buku teks dan
bahan-bahan lainya, (4) hilangnya kepercayaan terhadap pandangan/teori tentang
kekurangan budaya. Sedangkan karakteristiknya adalah proses pendidikan yang
berkelanjutan dan dinamis, proses pembelajaran yang kritis antara guru dan murid,
anti rasisme, integrasi atas semua komponen pendidikan, meresap dalam proses
pendidikan secara keseluruhan. semua itu menjadi sangat penting bagi siswa yang
minoritas maupun mayoritas untuk meciptakan keadilan sekolah.76
74
Lihua Geng, ‚Reflection on Multiculture Education Under The Background of
Globalization,‛ Higher Education Studies, vol. 3, no. 6 (2013): 53-57. 75
Aneta Barakosa, ‚Multiculturalism As Important Characteristic of
Contemporary Education,‛ IJCRSEE, vol. 1, no. 1 (2013),
http://ijcrsee.com/index.php/ijcrsee/article/view/5/47, (accessed May 30, 2017). 76
Hasan Arslan, ‚Multicultural Education: Approaches, Dimesions and Principles,‛
in Multicultural Education From Theory to Practice, eds. Hasan Arslan dan Georgeta Rata
(Newcastle: Camridge Scholars Publishing, 2013), 18.
45
James A. Banks lebih merinci ada delapan karakter yang menunjukkan
sebagai sekolah multikultural; (1) sikap, persepsi, kepercayaan, dan tindakan staf
sekolah yang menunjukkan inklusif. Staf sekolah mempunyai harapan tinggi dan
bersikap positif kepada semua siswa; (2) formulasi kurikulum pendidikan yang
mencerminkan pengalaman, budaya, dan berbagai perspektif kelompok etnik,
budaya yang berbeda; (3) model pembelajaran yang sesuai dengan karakter belajar,
budaya dan motivasi siswa; (4) staf sekolah menunjukkan adanya penghormatan
terhadap bahasa dan dialek asli siswa: (5) materi pembelajaran menunjukkan
konsep, situasi, keadaan yang mencerminkan dari berbagai perspektif kelompok
ras, budaya dan etnik; (6) hal yang menjadi ukuran evaluasi belajar adalah
kepekaan terhadap budaya dan menunjukkan proporsionalitas terhadap bakat
siswa; (7) budaya dan kurikulum sekolah mencerminkan perbedaan; (8) guru
konseling di sekolah mempunyai harapan tinggi kepada semua siswa terhadap
tujuan positif karir mereka.77
James A. bank menyatakan Ada lima dimensi yang harus dikembangkan di
dalam pendidikan multikultural. (1) adanya integrasi konten dalam program
pembelajaran; (2) proses konstruksi pengetahuan; (3) pengurangan prasangka
buruk; (4) kesetaraan pendidikan; (5) pemberdayaan struktur sosial dan budaya
sekolah.78
Kelima dimensi ini tentu sebagai dasar dalam pengembangan pendidikan
multicultural, tidak menutup kemungkinan akan ditemukan dimensi-dimensi lain
yang tak terbatas.
Selain itu James A. Bank juga menguraikan standar dalam
menyelengarakan pendidikan multikultural. Dalam menyelenggarakan pendidikan
ini ada 8 standar yang tidak boleh ditinggalkan. Pertama adanya pengumuman atas
kebijakan sekolah yang mengembangkan pendidikan multikultural dan mendukung
perbedaan. Standar awal ini dapat memberikan kesadaran para pengelola
pendidikan untuk menyiapkan segala unsur kependidikan yang mengarah pada
tujuan dari pendidikan multikultural. Kedua, staf sekolah, termasuk bagian
administrasi, guru, konselor dan karyawan sekolah mencerminkan keberagaman.
Cerminan ini dapat menjadi pembelajaran terhadap warga sekolah dalam interaksi
bersama di lingkungan sekolah. Ketiga, harapan dan sikap staf sekolah yang positif
terhadap perbedaan. Keempat, bentuk kurikulum yang transformatif dan lebih
fokus pada aksi. Kelima, partisipasi wali murid dalam menyediakan dan
memberikan jaringan kepada anak didik dalam memperluas pengetahuan terutama
dalam konteks budaya. Keenam, strategi pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan, interaktif dan kooperatif. Ketujuh, menyiapkan bahan pembelajaran
yang menunjukkan pengalaman atas keragaman dan perbedaan. Kedelapan,
77
James A. Banks, An Indroduction Multicultural Education, (Allyn and Bacon,
2002), 36-38. 78
James A. Banks, An Indroduction Multicultural Education, 30-35.
46
memonitor selalu atas program pendidikan yang dijalankan.79
Berikut adalah bagan
standar implemntasi dari pendidikan multikultura
Selanjutnya menurut H.A.R. Tilaar, implementasi pendidikan multicultural
dapat melalui lima program prioritas. Pertama, lembaga-lembaga pendidikan
sebagai pusat budaya. Lembaga pendidikan selain sebagai pusat belajar dan
mengajar (intellectual development) juga merupakan pusat penghayatan dan
pengembangan budaya local, nasional maupun global. Kedua, melalui pendidikan
kewargaan. pendidikan ini titik tolaknya budaya dalam lingkungan peserta didik
yang kemudian akan bermuara kepada nilai-nilai budaya nasional. Ketiga, melalui
kurikulum pendidikan multicultural. Otonomi sekolah memberikan kesempatan
untuk menyusun kembali kurikulum yang berbasis multikultural yang sesuai
dengan kebutuhan. Keempat, kebijakan penyebaran informasi. Kebijakan ini
79
James A. Banks, An Indroduction Multicultural Education, 111-120.
Bagan 2.1: Standar dalam penyelenggaraan pendidikan multikultural.
Kebijakan dalam mendukung
Pendidikan Multikultural
Sikap Staf sekolah yang positif
atas keragaman peserta didik
Kurikulum yang Transformatif
dan berbasis aksi
Strategi pembelajaran yang
konstruktif, partisipatif dan
kooperatif
Staf Sekolah yang beragam latar
belakang
Partisipasi Wali Murid dalam
mendukung pendidikan
multikultural
Bahan Pengajaran yang mengarah
pada multikultural
Memonitor setiap komponen
program pendidikan
47
penting karena dapat member petunjuk bagi anak didik untuk memilih dan
menerima informasi-informasi baik dari guru, buku-buku, dan teknologi
informatika. Kelima, melalui pendidikan guru. Kompetensi guru dalam hal ini
signifikan sekali pengarugnya terhadap penanaman nilai-nilai multikultural anak
didik.80
D. Masyarakat Sipil (santri) Sarana Efektif Deradikalisasi.
Deradikalisasi bukan hanya dikembangkan dalam pengertian sebagai upaya
rehabilitasi, tetapi juga sebagai upaya kontra ideologi atau deideologisasi
(deideologization). Dengan demikian, program deradikalisasi dapat melakukan
pencegahan semenjak dini terhadap pengaruh-pengaruh ideologi radikal.
Deradikalisasi tidak hanya ditekankan pada para pendukung gerakan terorisme,
para mantan pelaku terror dan mereka yang menjadi tahanan saja. Namun,
deradikalisasi juga harus diperluas kepada organisasi ataupun lembaga masyarakat
sipil yang memiliki posisi strategis.81
Seperti sekolah, pesantren, ormas-ormas,
organisasi kepemudaan, karang taruna, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, penanganan radikalisme yang terlalu bertumpu pendekatan
legal formal dan bersifat represif yang selama ini dilakukan oleh pemerintah perlu
ditinjau ulang, karena logika pendekatan melalui mekanisme hukum berlawanan
dengan logika yang dianut oleh para teroris. Dalam 12 tahun terakhir pemerintah
sudah menangkap 750 lebih tersangka teroris dan 70 lebih ditembak mati,
termasuk para gembongnya. Sanksi pidana fisik tidak membuat pelaku berhenti,
tetapi para teroris bertindak jauh melampaui rasa takut terhadap ancaman
hukuman tersebut. Mengingat bahwa kekerasan yang dilakukan saat ini pada
umumnya berdasarkan ideologi agama, maka diperlukan pula gambaran etnis
berdasarkan aspek kultural religinya.82
Memang ada yang mengatakan bahwa
sekarang ini perang melawan radikalisme dan terorisme sudah memasuki kawasan
yang lebih subtantif, yakni tidak semata-mata konflik fisik, melainkan sudah
memasuki kawasan konflik gagasan atau adu kekuatan untuk merebut hati dan
pikiran. Itulah perang gagasan dan ideologi tentang terorisme dan counter of
terorism.
Deradikalisasi merupakan suatu strategi yang didasari oleh suatu
pemahaman konseptual untuk menangani masalah terorisme. Konsep ini
merefleksikan adanya suatu kebutuhan untuk melakukan perubahan dalam
penanggulangan terorisme. Strategi yang sebelumnya sangat didominasi oleh hard
80
H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-tangtangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, 223-232.
81Muhammad A.S. Hikam, Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung
Radikalisme (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2013), 80. 82
Dhyah Madya Ruth, Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Radikalisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010), 2.
48
power menjadi keseimbangan yang sinergis dengan soft power . Kata deradikalisasi
berasal dari kosa kata bahasa inggris, ‚radical‛ (radix= yang berkaitan dengan
akar) dan ‛deradicalization‛.83
Deradikalisasi tidak terlepas dari kata ‚radikal,
radikalisasi, dan radikalisme‛. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
radikal berarti ‚secara mendasar, amat keras menuntut perubahan, maju dalam
berpikir atau bertindak‛.84
Radikalisasi berarti suatu proses dalam berpikir
dan/atau bertindak, menuntut perubahan secara cepat dan mendasar. Radikalisme
berarti suatu paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik dengan cara kekerasan atau sikap ekstrem dalam suatu aliran
politik.85
Radikalisme merupakan fakta sosial yang spektrumnya merentang dari
lingkungan makro (global), lingkungan messo (nasional) maupun lingkungan mikro
(lokal). Kajian mengenai radikalisme lebih banyak memberi perhatian kepada
proses radikalisasi dan akibat-akibat radikalisme. Dalam pendekatan tersebut,
berupaya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan individu atau kelompok
bertindak radikal. Mereka memandang bahwa keyakinan, latar belakang
pendidikan, kondisi sosial dan ekonomi menjadi faktor-faktor yang membentuk
proses radikalisasi. Selain itu tindakan radikal, seringkali dipandang sebagai
pilihan rasional bagi sekelompok orang. Tindakan radikal melibatkan mobilisasi
sumber daya dan kesempatan politik yang dibingkai dengan kerangka tertentu,
misalnya agama.86
Istilah radikalisme tidak jarang dimaknai berbeda di antara kelompok
kepentingan, dalam lingkup kelompok keagamaan, radikalisme merupakan
gerakan-gerakan keagamaan yang bersusaha merombak secara total tatanan sosial
dan politik yang ada dengan menggunakan jalan kekerasan.87
Radikalisme agama
bertolak dari gerakan politik yang mendasarkan diri pada suatu doktrin keagamaan
yang paling fundamental secara penuh dan literal bebas dari kompromi, penjinakan
dan reinterpretasi (penafsiran).88
Sedangkan dalam studi ilmu sosial radikalisme
diartikan sebagai pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar
sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya.
Berdasarkan telaah arti radikalisme tersebut, radikalisme sesungguhnya merupakan
83
Muhammad A.S. Hikam, Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme, 81.
84Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
1995, hlm. 808. 85
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1995, hlm. 808.
86Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi
Kasus, (Jakarta: Gading Publishing, 2012). 87
A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007), 33.
88Azyumardi Azra, ‚Memahami Gejala Fundamentalisme‛ Jurnal Ulumul Qur’an,
IV, no. 3 (1993): 5.
49
konsep yang netral dan tidak bersifat pejorative (melecehkan). Karena perubahan
yang besifat radikal bisa dicapai melalui cara damai dan persuasive, tetapi bisa
juga dengan kekerasan.89
Deradikalisasi merupakan upaya untuk menghilangkan, meniadakan atau
paling tidak menetralisasi radikalisme. Di dalam konteks penanggulangan
terorisme, deradikalisasi pada awalnya dimaksudkan sebagai upaya untuk
membujuk teroris dan pendukungnya untuk meninggalkan penggunaan kekerasan.90
Namun demikian, istilah deradikalisasi juga mempunyai perkembangan arti. Kata
tersebut diartikan sebagai pemutusan atau ‚disengagement‛ dan deideologisasi
atau ‛deideologization‛. Pemutusan berarti meninggalkan atau melepaskan aksi
terorisme atau tindakan kekerasan. Hal ini berarti deradikalisasi mempunyai tujuan
untuk melaksanakan reorientasi sebagaimana dikonseptualisasikan oleh John
Horgan, yakni bahwa pemutusan adalah perubahan-perubahan sosial dan kognitif
dalam arti meninggalkan berbagai norma sosial, nilai, perilaku dan aspirasi yang
diikuti bersama dengan suatu cara yang hati-hati sementara individu yang
bersangkutan masih menjadi seorang anggota dari suatu jejaring teroris.91
Pengertian deradikalisasi yang berarti kontra ideologi umumnya mengacu
pada upaya menghentikan pemahaman dan penyebaran ideologi yang dimiliki
teroris.92
Deradikalisasi menjadi suatu kegiatan yang lebih fokus pada netralisasi
pengaruh pemikiran radikal, sehingga ia juga memiliki tujuan kontra radikalisme.
Menurut Counter Terrorism Implementation Task Force (CTITF), deradikalisasi
adalah program kebijakan yang ditujukan kepada pelaku dan napi terorisme,
dengan cara memberikan paket-paket bantuan sosial, hokum, politik, pendidikan
dan ekonomi.93
Pengertian deradikalisasi yang telah disebutkan di atas memang cenderung
digunakan dalam kebijakan pemerintah untuk melawan teororis. Namun, pada
dasarnya masih perlu upaya pengembangan lebih jauh agar lebih inklusif dan tidak
terbatas pada kelompok teroris atau mantan teroris. Hal ini disebabkan bahwa
upaya netralisasi ideologi pada hakikatnya adalah upaya memperkuat benteng
pertahanan ideologis dari warga Negara, terutama sebagai penetrasi terhadap
pengaruh ideologi radikal yang dibawa dan dipropagandakan oleh kelompok
radikal. Oleh karena itu, kelompok-kelompok, lembaga-lembaga strategis dalam
89
Ismail Hasani, dkk. Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama / Berkeyakinan (Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara, 2010), 19. 90
International Crisis Group, ‛Deradicalization and Indonesian Prisons‛: Asia
Report. No. 42, 19 November 2007. Dikutip dalam R. Petrus Golose, 81. 91
John Horgan, Journal of the Terorism Research Initiative, 2010, 82. 92
Petrus R. Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput (Jakarta: YPKIK, 2010), 85.
93Petrus R. Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan
Menyentuh Akar Rumput, 82 .
50
masyarakat juga merupakan sasaran program deradikalisasi, bahkan harus lebih
diintensifkan dan diperluas sosialisasinya sebagai bentuk tindakan preventif sejak
dini.
Dalam pelaksanaan program deradikalisasi yang dimulai pada tahun 2005,
sasaran yang diutamakan adalah para tawanan teroris dan keluarganya. Masyarakat
sipil yang dilibatkan adalah kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi yang
langsung memiliki hubungan dengan ideologi radikal. Misalnya saja seperti ormas
Islam dan tokoh-tokoh Islam, baik yang berafiliasi dengan kelompok moderat,
modernis maupun fundamentalis. Menurut Golose, program deradikalisasi
memiliki enam tujuan yaitu 1) melakukan counter-terrorism; 2) mencegah proses
berkembangnya radikalisme; 3) mencegah adanya provokasi, penyebaran
kebencian, dan permusuhan antar umat beragama; 3) mencegah masyarakat dari
indoktrinasi; 5) meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk menolak paham
teror; 6) memperkaya pemahaman atas khazanah perbandingan paham.94
Keberadaan dan peran masyarakat sipil dalam sejarah Indonesia memang
cukup panjang, bahkan sebelum kemerdekaan dicapai. Masyarakat sipil Indonesia
(MSI) modern dapat dikatakan mulai tumbuh bersamaan dengan munculnya
organisasi dan gerakan-gerakan mandiri dalam masyarakat kolonial ketika proses
industrialisasi diperkenalkan. Benih-benih MSI modern tersebut juga telah ada dan
dapat ditemukan dalam tradisi budaya yang menunjukkan ciri-ciri kemandirian,
keswasembadaan dan kesukarelaan. Sebagai contohnya tradisi lumbung desa,
tradisi tanah perdikan, lembaga pendidikan pesantren, budaya gotong royong,
arisan, musyawarah desa, dan lain sebagainya. Benih-benih tradisi seperti inilah
yang menjadi dasar munculnya etos kemandirian dan ketahanan masyarakat yang
dapat dipergunakan untuk menghadapi tekanan dan ancaman pihak luar pada
situasi dan kondisi krisis, baik yang datang dari alam maupun buatan manusia.
MSI modern berkembang yang bermula dari masa penjajahan memiliki akar budaya
asli Indonesia yang berfungsi sebagai wahana persemaian gagasan dan gerakan
nasionalisme, anti kapitalisme dan juga semangat anti penjajahan.95
Deradikalisasi akan berjalan baik dengan adanya landasan budaya yang
memiliki perspektif multikulturalisme. Melalui pemahaman multikulturalisme
diharapkan tidak ada lagi berbagai stereotip yang membedakan secara tajam antara
‚kami‛ dan ‚mereka‛, di mana ‚kami‛ adalah yang unggul atau superior,
sedangkan ‚mereka‛ adalah asor/hina. Karena menurut Parsudi Suparlan melalui
perspektif multikulturalisme akan tercipta persamaan hak antar kelompok-
kelompok suku, bangsa, ras, gender dan agama.96
94
Petrus R. Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput, 116.
95Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), 98 -130. 96
Parsudi Suparlan, Ilmu Kepolisian (Jakarta: YKIK, 2008), 347.
51
Santri yang identitasnya identik dengan semangat keagamaan memiliki
kedudukan tersendiri. Ia cenderung mudah untuk menerima doktrin agama dan
dengan kuat memegang doktrin itu. Sementara, sejatinya doktrin agama yang
diasumsikan oleh beberapa gelintir orang merupakan faktor internal dan eksternal
dalam menyebabkan konflik sosial, justru memiliki semangat multikulturalisme.
Pernyataan ini selalu mengusik ketika agama dipahami sebagai pemicu
permasalahan sosial yang perlu dihindari dalam pembangunan sosial dan
kebudayaan atau peradaban bangsa. Bahwa secara teologis sebenarnya agama tidak
mengajarkan berbuat keburukan yang bertolak belakang dengan semangat
multikulturalisme. Namun, jika ada pemeluk agama yang berbuat keburukan, hal
itu bukan karena ajaran agama yang salah. Melainkan pemeluk agama yang gagal
paham terhadap ajaran agama. Sepaham dengan pernyataan Franz Magnis Suseno
yang menyatakan bahwa, penganut agama yang berbuat radikal atas nama agama
bukan karena ajaran agama yang radikal. Melainkan penganut agama tersebut yang
salah mengartikan ajaran agama.97
Multikulturalimse dengan sendirinya akan mengantarkan kepada terjadinya
deradikaliasi agama. Proses deradikalisasi adalah proses pembalikan dari
radikalisasi. Radikalisasi dimulai dari perekrutan, pengidentifikasian diri,
indoktrinasi, dan jihad yang disesatkan. Sedangkan proses deradikalisasi dimulai
dari identifikasi dan klasifikasi ajaran-ajaran agama Islam, fokus penanganan
terpadu, disengagement dengan pendekatan humanis, soul approach (pendekatan
jiwa) dan deideologi, multikulturalisme dan kemandirian.98
97
Franz Magnus Suseno, ‚Religious Harmony in Religious Diversity: The Case in
Indonesia,‛ in Religious Harmony: Problems, Practice and Education, ed. Micahel Pye,
Edith Franke, Alef Theria Wasim, and Abdurrahman Mas’ud (Berlin: Walter de Gruyter
GmbH & Co, 2006), 27-34. 98
Petrus R. Golose, Deradikalisasi Terorisme; Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu, 2009), 63.
52
Bagan 2.2: Hubungan Pendidikan Multikultural dengan Deradikalisasi
Abdurrahman Kasdi mengungkapkan bahwa pada dasarnya, watak dan
karakter pesantren yang apresiatif terhadap kebudayaan lokal adalah watak yang
damai, ramah dan toleran. Karena watak pesantren yang demikian ini, tidak
menyuguhkan praktek kekerasan (penetracion pacifigure) untuk mendialogkan
pesantren dengan kebudayaan lokal.99
Toleransi dan multikulturalisme pesantren
oleh Nikii Keddie, pengamat Timur Tengah, justru memandang karakter inilah
yang menjadi kebangggan Islam di Indonesia, dan umumnya di kawasan Asia
Tenggara.100
Setidaknya, seorang santri telah mengetahui dan menyadari bahwa contoh
sikap yang selaras dengan paham multikultural telah diimplementasikan oleh
Rasulullah saw. melalui konsep masyarakat madani di Madinah. Mulyadhi
Kartanegara menguraikan nilai-nilai madani multikultural yang menyokong
tegaknya masyarakat kosmopolitan meliputi: pertama, inklusivisme, yaitu
keterbukaan diri terhadap ‚unsur luar‛ melalui kemampuan melakukan apresiasi
dan seleksi secara konstruktif. Kedua, humanisme, dalam artian cara pandang yang
memperlakukan manusia semata-mata karena kemanusiaannya, tidak karena sebab
99
Abdurahman Kasdi, ‚Pendidikan Multikultural di Pesantren, Membangun
Kesadaran Keberagamaan yang Inklusif‛, dalam Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-
Desember (2012): 211-222. 100
Nikki R. Keddie, ‚Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East:
Coparative Reflections‛, dalam Sojourn, Volume 2, No. 1 (1987): 34.
Pendidikan Multikutural:
Keadilan Sosial,
kesetaraan (equality)
dan Hak Asasi
Manusia
Karakter Demokratis,
pluralis dan Humanis
Penolakan Rasisme,
Seksisme, Prejudice,
Stereotipe, dan
etnosentrisme
Keterampilan Aksi
Sosial
Global Vilage
Deradikalisasi:
Toleransi
Meluruskan
Pemahaman Jihad
Menjunjung tinggi
nilai-nilai
kemanusiaan
Menghilangkan
ketimpangan ekonomi
Pembekalan
keterampilan kerja
53
lain di luar itu, semisal ras, kasta, kekayaan, dan agama. Termasuk ke dalam
humanisme di sini adalah sifat egaliter yang memandang manusia sama derajatnya.
Ketiga, toleransi, yaitu adanya kelapangdadaan dan kebesaran jiwa dalam
menyikapi perbedaan. Keempat, demokrasi yang memberi ruang bagi kebebasan
berpikir dan penyampaian kritik.101
Dalam konteks aktor radikalisme, wacana yang berkembang dipahami
sebagai sekelompok orang yang kebanyakan terdidik dari pendidikan pesantren.
Akibatnya, tumbuh dalam pemahaman publik bahwa pesantren merupakan tempat
pendidikan bagi calon teroris. Fakta ke-Indonesia-an menunjukkan bahwa
pendidikan pesantren tidak mengajarkan tentang radikalisme. Isu radikalisme yang
mengaitkannya dengan pesantren telah membuat opini publik terhadap pesantren
menjadi buruk. Keberadaan kurikulum pengajaran seringkali menjadi faktor utama
keterlibatan pesantren dalam radikalisme.102
Santri adalah bagian dari pesantren, ia merupakan harapan output dan
outcome yang akan merealisasikan segala visi misi pesantrenya. Untuk
mengcounter, menetralisasi atau bahkan menghilangkan stigma tentang pesantren
sebagai tempat pengkaderan teroris, maka perlu adanya upaya memberikan
pengetahuan yang komprehensif tentang aksi-aksi radikal, teror, konsep tawassuth
(tidak memihak atau moderasi), tasammuh (toleransi), tawa>zun (menjaga
keseimbangan dan harmoni), tashawwur (musyawarah), adl (bersikap adil dalam
beraksi maupun bereaksi), dan pemahaman Islam sebagai agama rahmatan li
al‘a>lami>n.
Pesantren mempunyai sikap konsisten dalam menjalankan ajaran Islam
secara substantif dan inklusif-humanis sesuai kondisi lokalitas-kultural Islam
Indonesia yang damai.103
Pesantren sebagai ujung tombak syi’a>r Islam sebagai
agama rahmatan li al-’a>lami>n memiliki visi yang lebih jauh, yaitu menciptakan
perdamaian antar sesama manusia dan toleran terhadap berbagai macam
perbedaan. Dengan demikian radikalisme bukanlah bagian dari ajaran agama Islam,
dan bukanlah sebagai sebuah ajaran yang dikembangkan oleh pesantren.
101
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas (Jakarta: Erlangga, 2007), 80-91.
102Nuhrison M. Nuh (ed.), Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya
Damai, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2010), 3. 103
Terminologi pesantren mengindikasikan bahwa pesantren secara kultural lahir
dari budaya Indonesia, dari sinilah barangkali Nurcholis Madjid berpendapat, secara
historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian
Indonesia. Lihat, Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 62.
54
BAB III
KIPRAH PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN DALAM
MEMPERJUANGKAN NILAI-NILAI MULTIKULTURAL
Nilai-nilai multikultural sebenarnya telah membudaya di Nusantara jauh
sebelum munculnya konsep multikulturalisme Barat. Masyarakat Nusantara telah
terbiasa hidup berdampingan damai di tengah perbedaan budaya, ras, agama, suku,
dan bangsa. Sudah sepatutnya, generasi selanjutnya untuk terus merawat dan
melestarikan pandangan/nilai-nilai multikultural. Selain untuk mewujudkan
perdamaian, nilai-nilai multikultural memang sudah menjadi sunnatullah dalam
kehidupan di alam semesta.
Bab ini akan menguraikan kiprah pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul
Iman dalam memperjuangkan dan melestarikan nilai-nilai multikultural. Bagian
awal bab ini menguraikan terkait profil pondok pesantren mulai dari letak
geografis, sejarah berdirinya, visi misi dan profil kiyai pendiri pesantre. Kemudian,
disajikan data latar belakang santri dan pengurus pesantren. Tidak ketinggalan juga
dijelaskan tentang hubungan pondok pesantren dengan umat agama lain. Terakhir,
dijelaskan juga kiprah para lulusan/alumni dari pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman.
A. Letak Geografis dan Sejarah berdirinya Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul
Iman
Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dibangun di atas lahan yang
mencapai 75 hektar. Pondok Pesantren tersebut beralamatkan di Desa Waru Jaya
Kec. Parung Kab. Bogor Provinsi Jawa Barat. Pesantren didirikan pada 16 Juni
1998, tetapi baru terdaftar secara resmi di kantor Departemen Agama pada tanggal
12 Maret 1999 dengan nomor: MI-10/1/PP/007/825/1999.1 Pesantren ini termasuk
kategori pesantren modern2 yang didirikan oleh As-Syekh Habib Saggaf bin Mahdi
bin Syekh Abi bakar bin Salim (almarhum).
Pesantren, sebenarnya adalah lembaga perkotaan, sebab pusat-pusat
kehidupan muslimin pada mula sejarahnya, di Pulau Jawa, terletak di pesisir
sebelah utara, di kota-kota perdagangan. Pondok pesantren sebagai tempat mencari
ketenangan, justru terletak di tengah kesibukanya. Seperti Sinagog Yahudi, atau
biara Budha di Asia Tenggara. Bukan seperti biara Kristen di Timur Tengah
1http://www.nuruliman.or.id/sejarah-pesantren diakses pada 5 September 2017.
2Pesantren modern adalah anti-tesa dari Pesantren salaf. Istilah Pesantren modern
ini pertama kali dipopulerkan oleh Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor
Ponorogo. Pesantren modern disebut juga dengan Pesantren Kholaf atau ‘Ashriyyah yang
berarti modern, antonim dari salaf. Ciri dari Pesantren modern diantaranya Penekanan pada
bahasa Arab dan bahasa Inggris percakapan, memakai buku-buku literatur bahasa Arab
kontemporer (bukan klasik/kitab kuning), memiliki sekolah formal dibawah kurikulum
Diknas dan/atau Kemenag dari SD/MI MTS/SMP MA/SMA maupun sekolah tinggi, dan
tidak lagi memakai sistem pengajian tradisional seperti sorogan, wetonan, dan bandongan.
Lihat http://www.alkhoirot.com/beda-pondok-modern-dan-pesantren-salaf/ diakses pada 7
September 2017.
55
dahulu, yang umumnya terletak di tengah kesepian gurun. Kuatnya watak pondok
pesantren ini masih tampak nyata, walau selama dua – tiga ratus tahun terakhir ini
ia digusur ke pedalaman oleh perkembangan sejarah. Yaitu oleh gabungan
konfrontasi sosial-ekonomis melawan Kompeni Belanda, dan tekanan-tekanan
kraton pusat di pedalaman. Watak kekotaan masih dapat dilihat pada keceptan
komunikasi di kalangan pondok pesantren, dan cara-cara memobilisasi pendapat
umum melalui penyadaran massal dalam rapat-rapat umum dan sebagainya.3
Selaras dengan penjelasan di atas, pada saat pertama kali Pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman berdiri, Desa Waru Jaya4 masih identik dengan kategori
desa terpencil. Kenyataan itu didasarkan pada mayoritas masyarakat yang
berpenghasilan rendah dengan hanya mengandalkan penjualan daun melinjo beserta
buahnya dan ikan air tawar, ditambah dengan kondisi pendidikan masyarakat desa
tersebut yang masih sangat rendah pada masa itu.5 Meskipun berada di daerah
terpencil, watak kekotaanya terlihat saat pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
berkembang secara pesat. Belum sampai pada usia ke-10, pesantren tersebut sudah
menampung puluhan ribu santri dari berbagai pelosok daerah Negara Indonesia
(Aceh, Padang, Jambi, Palembang, Lampung, Jawa, NTB, NTT, Irian Jaya,
Sulawesi, Kalimantan, dan daerah lainya), bahkan ada yang dari luar negeri
(Singapura, Malaysia).
Perkembangan pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, menurut hemat peneliti
tidak lepas dari letak strategis wilayah Kecamatan Parung. Letak pesantren
berjarak hanya sekitar 15 km dari pusat kota Kecamatan Parung. Daerah Parung
merupakan jalur antar Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi
Banten. Selain itu, jarak pesantren dari terminal lebak bulus Jakarta Selatan sekitar
60 km. Jarak yang dapat ditempuh hanya sekitar 45 – 60 menit saja. Akses ini
memudahkan para santri dan wali santri untuk mengunjunginya.
Pada mulanya para santri menetap di asrama belakang rumah Habib
Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim, namun karena makin banyaknya
santri yang berminat maka dibangunkan sebuah kobong (bangunan dari bambu)
yang berukuran 4 x 5 meter di areal tanah yang awalnya sebuah hutan semak
belukar dan rumput ilalang. Seiring banyaknya santri yang berminat hingga kobong
tersebut tidak lagi mencukupi untuk ditempati. Mulailah, beliau membangun
3Abdurrahman Wahid, Pondok Pesantren: Dari Masa Lalu ke Masa Depan,
https://santri.or.id/pondok-pesantren-dari-masa-lalu-ke-masa-depan/ 4Menurut Habib Saggaf selaku pendidiri Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman,
Waru berarti wara’ (berhati-hati dalam bersikap agar terhindar dari sesuatu yang bersifat
haram, termasuk juga hal-hal yang sifatnya ragu-ragu atau subhat), sedangkan Jaya berarti
Sukses, Sejahtera. Jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan pesantren, maka terlihat
keselarasanya. Santri dituntut untuk bersikap wara’ agar dapat meraih kesuksesan di masa
depan (dunia dan akhirat). Hasil wawancara dengan salah seorang pengurus pesantren
bernama Ustadz Ali Mutakin pada tanggal 25 September 2017 di pondok pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman. 5https://www.nuruliman.or.id/sejarah-pesantren diakses 5 September 2017
56
gedung asrama di samping kobong tersebut, diawali dengan membangun gedung H.
Isya dengan luas 15x12 M2 pada tahun 2000.6
Animo masyarakat untuk menimba ilmu di pesantren ini tidak terbendung.
Perkembangan terus berlanjut, dari tahun ke tahun, peningkatan jumlah santri
begitu drastis yang pada akhirnya muncul asrama-asrama baru yang menjadi objek
penampungan para santri, seperti asrama Gandhi Sevaloka7 dengan luas 15x12 M2,
lalu disusul dengan dibangunya asrama Hb. Umar dengan luas 15x12 M2 yang
masih pada tahun 2000.
Program utama sebuah pesantren adalah implementasi ilmu akhirat.
Namun, untuk menunjang kehidupan dunia, pesantren memberikan pembekalan
IPTEK bagi santrinya. Oleh karenanya, sarana ibadah menjadi prioritas utama
selain asrama santri. Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman membangun sarana ibadah
berupa Mushola Syaukat dengan luas 32.5 x 9.50 M2 yang terletak di depan pintu
gerbang pondok.
Peningkatan jumlah Santri yang begitu drastis menarik perhatian orang-
orang dermawan untuk ikut andil dalam mengembangkan pesantren. Mereka
menjadi donatur dalam pembangunan berbagai sarana prasana lainya. Asrama
Hanif (perkomplekan putra) dengan luas 12 x 6 M2 , Asrama H. Qosim
(perkomplekan putra) dengan luas 12 x 6 M2, asrama Olga Fatma (perkomplekan
putra) dengan luas 20 x 12 M2, asrama Anwariyyah (perkomplekan putra) dengan
luas 56 x 12 M2, tiga lokal asrama (perkomplekan putri), asrama dengan tiga belas
kamar (perkomplekan putri), gedung belajar tingkat dua (perkomplekan putri) dan
dua tempat ibadah (Masjid) perkomplekan putra dengan luas 36x36 M2 (diberi
nama Masjid Thaha) dan di area perkomplekan putri dengan luas 30x20 M2 (diberi
nama Masjid Siti Fatimah). Nama-nama bangunan tersebut disandarkan pada
orang-orang yang telah mendermakan hartanya sebagai bentuk apresiasi dari
pimpinan pesantren terhadap para donatur.
Selain itu ada gedung belajar tingkat dua (perkomplekan putra) dengan
jumlah dua puluh enam ruangan, merupakan bantuan dari Yayasan Budha Tzu
Chi8. Satu ruang dipakai untuk laboratorium bahasa, satu ruang dipakai untuk
6H. Isya merupakan salah satu donatur tetap pesantren sekaligus teman akrab
Habib Saggaf. Wawancara dengan Ummi Waheeda selaku Pimpinan Pesantren Al
Ashriyyah Nurul Iman di Parung Bogor 14 September 2017. Lihat juga M. Suparta,
‚Manajemen Ekonomi Pondok Pesantren: Studi PP al-Ashriyyah Nurul Iman Parung
Bogor‛, Hikmah Journal of Islamic Studies Vol. XI, No. 2, (2015): 49-80. 7Asrama ini merupakan bantuan dari Yayasan Gandhi Sevaloka. Sebuah lembaga
yang didirikan oleh komunitas orang India yang ada di Indonesia. Mayoritas mereka
beragama Hindu. 8Yayasan Kemanusiaan Buddha Tzu Chi adalah sebuah organisasi nirlaba yang
bergerak di bidang sosial kemanusiaan, antara lain: amal sosial, kesehatan, pendidikan,
budaya humanis, pelestarian lingkungan, donor sumsum tulang, bantuan internasional, dan
relawan komunitas. Tzu Chi yang kini berpusat di Hualien, Taiwan, didirikan oleh
Master Cheng Yen, seorang biksuni, pada 14 April 1966, setelah dia terinspirasi oleh guru
sekaligus mentornya, Master Yin Shun (Yin Shun Dao Shi) dengan harapan yang besar:
"demi ajaran Budha dan demi semua makhluk". Berbeda dengan komunitas Buddhis pada
57
laboratorium komputer dan satu ruangan dipakai untuk laboratorium multimedia,
sisanya dijadikan ruang kelas belajar santri putra. Bangunan kampus hijau dengan
sepuluh ruangan, merupakan bantuan dari H. Abdurrahman, seorang dermawan dari
negeri Singapura. Bangunan Rusunawa merupakan bantuan dari Menpera (Mentri
Perumahan Rakyat) yang saat itu dijabat oleh Bapak Djan Farid. Gedung
Taekwondo dengan luas 60x40 M2 merupakan bantuan dari Mr. Park Young Su,
salah seorang non-Muslim dari korea selatan yang peduli terhadap pendidikan bela
diri santri.9 Bangunan kampus kaca
10 dengan luas 70x50 M2 yang difungsikan
untuk ruang kuliah, merupakan bantuan dari Tokoh Pluralisme sekaligus Presiden
Indonesia ke-4 yaitu KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gusdur.
Hubungan Gusdur dan Habib Saggaf dipertemukan pada sebuah keakraban tentang
toleransi antar umat beragama sebagai pembawa misi Islam Rahman lil ‘Alamin.
Nama al-Ashriyyah Nurul Iman berasal dari bahasa Arab, al-‘Ashriyyah
bermakna modern atau up to date11
, yang tujuanya menjadi pusat pembinaan
pendidikan agama dan pengetahuan umum secara terpadu dan modern sehingga
mampu menjawab tantangan era globalisasi. Nurul Iman berasal dari kosa kata
bahasa Arab, nu>r yang berarti cahaya, dan al-Ima>n bermakna keimanan. Oleh
karena itu, Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman diharapkan mampu
menciptakan generasi yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum yang terpadu dan modern dengan diselimuti cahaya keimanan
yang tinggi.
Menurut Habib Saggaf pemilihan lokasi pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman memiliki folosofi tersendiri. Pada tahun 2008 secara tidak sengaja
ditemukan gambar lokasi pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman yang
berbentuk telapak kaki kiri. Padahal, gambar telapak kaki itu tidak pernah didesain
oleh Habib Saggaf. Gambar tersebut diambil dari satelit. Menurut penuturan
beliau, makna dari fenomena gambar telapak kaki kiri itu adalah pondok pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman merupakan langkah awal dalam memajukan generasi
penerus bangsa. Sebagaimana setiap orang ketika hendak melangkahkan kaki akan
lebih mendahulukan kaki kirinya. Berikut adalah gambar lokasi pondok pesantren
yang berbentuk telapak kaki kiri.
umumnya yang lebih memfokuskan diri pada penerangan dan meditasi, Tzu Chi
memfokuskan pada lingkungan sosial. 9Berkat bantuan gedung taekwondo tersebut, santri al-Ashriyyah Nurul Iman
mampu meraih prestasi taekwondo nasional dan internasional. Tidak hanya membantu
penyediaan asrama gedung taekwondo, dari pihak korea selatan juga menyediakan tenaga
pengajar taekwondo dari Negara korea selatan secara gratis. Sampai saat ini hubungan
tersebut tetap harmonis. Bahkan, taekwondo Nurul Iman telah sering diundang untuk
tampil di salah satu stasiun TV Swasta. 10
Istilah kampus kaca disandarkan pada kaca yang digunakan sebagai penyekat
antara ruangan sehingga hampir seluruh rungan dikelilingi kaca. 11
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), Cet. XIV, 937.
58
Gambar 3.1: Gambar Lokasi Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
berbentuk telapak kaki
B. Visi Misi Pesantren dan Profil Kiyai Pendiri Pesantren
Dalam menentukan arah kebijakan untuk mencapai cita-cita yang ideal,
sebuah lembaga tentu memiliki sebuah visi misi. Pondok Pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman memiliki visi misi sebagai berikut:
1. Visi : ‚Membangun manusia seutuhnya serta menciptakan generasi
masa depan yang islami, cerdas, unggul, percaya diri dan berjiwa
mandiri‛.
2. Misi : Membekali santri dengan pengetahuan agama Islam sehingga
santri memiliki kualitas spiritual yang tinggi
Menginternalisasi nilai-nilai budi pekerti yang luhur bagi santri,
sehingga santri memiliki kepekaan sosial yang baik dan mampu
menciptakan solusi di tengah masyarakat.
Membekali santri dengan berbagai ilmu pengetahuan umum
dengan sebaik-baiknya sehingga santri dapat menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam mebangun daya intelektualitas
yang tangguh.
Menggali talenta dan jiwa kepemimpinan santri melalui berbagai
kegiatan ekstrakurikuler sehingga santri menjadi agent of change
yang unggul di masa mendatang.
Membekali santri dengan berbagai keterampilan berproduksi untuk
membangun jiwa kewirausahaan agar santri dapat menjadi motor
penggerak kehidupan sosial-ekonomi yang baik di masa mendatang
59
Tentunya, visi misi tersebut di atas berdasarkan intisari dari ajaran al-
Qur’an dan al-Hadi>th yang pendiri pesantren fahami. Bahwa kedua sumber utama
ajaran agama Islam tersebut tidak pernah mendikotomikan ilmu agama dan ilmu
umum. Santri harus mampu menjadi generasi yang memiliki IMTAQ (Iman dan
Taqwa) yang kuat dan unggul dalam IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).
Harapanya, santri memiliki kemantapan dalam merespon kehidupan global (arus
globalisasi).
Melihat visi misi pesantren tersebut di atas memang tidak diketahui secara
jelas bahwa pesantren tersebut mengembangkan pendidikan berbasis multikultural.
Pendidikan multikultural lebih ditunjukkan pada keteladanan-keteladanan dari
sang kiyai. Peneliti menduga, hal ini dikarenakan pesantren masih agak awam
dengan model pesantren atau sekolah yang beistilahkan multikultural secara
formal. Namun, dari segi nilai-nilai multikultural, pesantren telah memahami dan
melaksanakanya secara komprehensif sebagaimana yang diteladankan sang kiyai.12
Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman menunjukkan keseriusanya
dalam mendakwahkan model pendidikan dengan konsep pesantren kepada dunia
internasional. Terbukti, nama pondok pesantren diubah menjadi Islamic boarding school.13
Usai perubahan nama, pesantren memiliki motto‚ Free and Quality Education Supported by Entrepreneurship‛. Motto tersebut memiliki harapan
bahwa pendidikan di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman harus tetap gratis dan
berkualitas tinggi sampai kapanpun.
Motto pesantren di atas juga menunjukkan bahwa pesantren memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya bagi anak-anak generasi penerus bangsa dari
berbagai daerah untuk melanjutkan pendidikanya secara gratis. Kesempatan
tersebut diperuntukan bagi siapapun tanpa memandang ras, suku, bangsa, latar
belakang sosial, aliran keagamaan, tradisi, kepercayaan, agama dan golongan. Di
dalam kegiatan sehari-hari, semua santri diperlakukan sama. Mendapatkan fasilitas
dan kesempatan yang sama. Tidak ada penggolongan fasilitas keseharian santri
(makan, minum, asrama, MCK, dll) dan fasilitas pendidikan (ruang kelas, ruang
laboratorium, kursus, dll). Kebijakan pesantren ini merupakan wujud dari
12
Menurut peneliti, salah satu kekurangan manajemen pesantren adalah tidak
dicantumkanya visi misi pesantren di website pondok pesantren. Padahal, di era digital ini
informasi tersebut sangat diperlukan bagi wali santri yang ingin memondokkan anaknya.
Adapun menurut Ibrahim salah seorang pengurus pesantren bidang humas menyampaikan
bahwa nilai-nilai multikultural sudah tercakup dalam misi poin dua yaitu
‚menginternalisasi nilai-nilai budi pekerti yang luhur bagi santri, sehingga santri memiliki
kepekaan sosial yang baik dan mampu menciptakan solusi di tengah masyarakat‛. 13
Kebijakan ini diambil oleh Istri dari Habib Saggaf bin Mahdi yaitu Ummi
Waheeda binti Abdul Rahman selaku pimpinan pesantren usai Habib Saggaf bin Mahdi
wafat. Semula pondok pesantren tersebut bernama YAPPANI (Yayasan Pondok Pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman), diubah menjadi YANIIBS (Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman
Islamic Boarding School). Perubahan ini terjadi pada tahun 2011 dengan akta notaris
nomor 18 dan notaris H. Bambang Suprianto, S.H, M.H.
60
penyetaraan pendidikan bagi generasi penerus bangsa, sehingga dalam cita-cita
jangka panjang dapat tercipta kehidupan yang sejahtera.14
Pesantren ini memiliki lembaga pendidikan formal mulai dari PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini), TK (Taman Kanak-Kanak), SD (Sekolah Dasar),
SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas) sampai
Perguruan Tinggi. Selain pendidikan formal juga dikembangkan pendidikan non-
formal seperti kursus menjahit, kursus bahasa asing, kursus komputer, kursus tata
boga, kursus beladiri taekwondo dan pencaksilat, dan lain sebagainya.
Untuk mencapai visi misinya, pesantren mengembangkan sebuah kegiatan
agar para santri mengenali dan mencintai budaya khas dari daerah mereka berasal.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler yang ada di
pesantren. Mulai dari jenis tarian masing-masing daerah, seni musik, seni drama,
nama khas panggilan santri, bahasa daerah sampai jenis makanan. Hal ini sesuai
dengan penjelasan James A. Bank tentang delapan karakter yang menunjukkan
sebagai sekolah multikultural.15
Pesantren memiliki konsep integrasi keilmuan agama dan umum.
Menyeimbangkan antara spiritual dan intelektual santri. Spiritual santri diperkuat
dengan berbagai kegiatan yang meliputi sholat dan wirid berjama’ah, tadarus al-
qur’an, melakukan do’a bangun dan sebelum tidur secara berjama’ah, belajar tafsir
al-qur’an, belajar kitab-kitab klasik (fiqh, tajwi>d, tauhid, hadi>th, tasawwuf, us}u>l al-fiqh, balaghah, nahwu, sharf, bahasa arab, dll). Sedangkan intelektual santri
diperkuat dengan kurikulum umum yang berstandarkan nasional pada masing-
masing jenjang pendidikan (PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan PT), ditambah
pendidikan kemandirian ekonomi (pelatihan manajemen usaha, pelatihan akuntasi,
pelatihan desain, pelatihan berbagai bidang usaha, dll).
Santri yang masih berada pada jenjang SD, SMP, dan SMA, di asrama
tempat mereka menetap, dibuat kelompok dibawah dua orang ustadz
pembimbing16
. Kedua ustadz tersebut bertugas mengabsen disetiap waktu sholat,
waktu makan, dan waktu tidur. Kemudian, memberikan mufrodat (vocabulary)
bahasa asing, mengajari baca qur’an, menyimak hafalan santri, memberikan arahan
14
Hal ini senada dengan penjelasan Ainurraofiq Dawam tentang orientasi
pendidikan multikultural yaitu orientasi kesejahteraan. Dengan memberikan kesempatan
anak-anak dari keluarga yang kurang mampu (kurang sejahtera) untuk mengikuti
pendidikan di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman yang membekali para santri dengan
berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, diharapkan kesejahteraan keluarga tersebut
dapat meningkat. Senada juga dengan penjelasan James A. Bank tentang lima dimensi
pendidikan multikultural, diantaranya adalah kesetaraan pendidikan. Lihat penjelasan
peneliti pada BAB II tentang orientasi pendidikan multikultural dan dimensi pendidikan
multikultural. 15
Lihat penjelasan peneliti pada BAB II tentang delapan karakter yang
menunjukkan sebagai sekolah multikultural. 16
Untuk santri PAUD dan TK rata-rata berasal dari anak dari ustadz yang
mengajar dipesantre, sehingga santri pada tingkatan tersebut belum sepenuhnya berada di
pesantren. Ustadz yang membimbing masing-masing kelompok SD, SMP, dan SMA
berasal dari santri tingkat mahasiswa yang sudah semester 6.
61
ketika santri dalam kelompok tersebut memiliki berbagai masalah, memberikan
laporan pada orang tua/wali santri terkait perkembangan santri tersebut selama di
pesantren.
Selain visi misi yang mantap, magnet pesantren ini terletak pada kharisma
kewibawaan kiyai. Pendiri pesantren, Habib Saggaf bin Mahdi adalah salah
seorang ulama Indonesia keturunan arab yang lahir di Dompu Nusa Tenggara Barat
pada hari rabu 15 Agustus 1945. Putra dari pasangan Habib Mahdi dan Syarifah
Balqis.17
Pendidikanya di Dompu diselesaikan sampai tingkat SMP (Sekolah
Menengah Pertama). Usai lulus SMP, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Da>r al-Hadi>th Malang Jawa Timur
18. Pilihanya ke pesantren tersebut berawal dari sebuah
nasehat dari salah seorang ulama besar dari Bondowoso Jawa Timur Habib Soleh
bin Ahmad Al-Muhdhar,‚Nanti kamu jadi ulama besar dan kaya raya. Kamu masuk pondok saja. Berangkatlah tawakkaltu‛. Nasihat itu disampaikan usai ‚meneliti‛
kaki Saggaf bin Mahdi yang masih berusia 14 tahun. Namun, Saggaf muda masih
ragu. Pasalnya sejak kecil ia tak pernah belajar di pesantren (mondok). Mendengar
perintah itu, kepala Saggaf seperti mau pecah, teapi ia tetap membulatkan
tekadnya pergi juga ke pesantren asuhan Habib Abdul Qadir Bal Faqih al-‘Alawy
tersebut.19
Pertama kali Habib Saggaf diterima di Pesantren Da>r al-Hadi>th, Habib
Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih memberikan arahan ‚Kamu musti belajar baca al-Qur’an,‛ seraya memegang kuping Saggaf. Sontak, sakit kepala dan keraguan
Habib Saggaf hilang. ‚Hati saya terbuka. Ini guru saya. Apa pun yang terjadi, saya harus belajar di sini,‛ Ungkap Habib Saggaf muda. Habib Saggaf pun menempuh
pendidikan di sana dengan cemerlang. Hanya dua tahun tujuh bulan, ia sudah
mampu mengajar fiqh dan nahwu. Setelah 13 tahun berlalu ia dinyatakan lulus oleh
gurunya tersebut.
Sepulang dari Malang, Habib Saggaf menimba ilmu keluar negeri di
berbagai Negara. Di Baghdad berguru pada Syekh Nadhim ‘Arsy al-Baghdadi. Di
Aljazair berguru pada Syekh Balqaid al-Jazair. Habib Saggaf juga memperdalam
ilmu tareqat di Irak. Guru tarekatnya di Irak yang beraliran Syadziliyah,
merekomendasikannya belajar tareqat qadiriyyah naqsyabandiyah pada Syekh
Muslih Abdurrahman di Mranggen, Kabupaten Demak. Usai menyelesaikan
pendidikanya di berbagai Negara, Habib Saggaf kembali ke Dompu, Propinsi Nusa
Tenggara Barat untuk mendirikan Ponpes Ar-Rahman. Tak lama berselang, Habib
17
Kedua orang tuanya merupakan penduduk asli kelahiran Dompu NTB. Namun
kakek dari pihak ayah yang bernama Habib Idrus adalah seorang pedagang asli Hadhra
Maut yang mengembara sampai ke Indonesia. 18
Salah seorang tokoh nasional sekaligus pakar tafsir Indonesia yang pernah
belajar di Pondok Pesantren tersebut adalah Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. 19http://www.wartaislami.com/2016/02/habib-sagaf-bin-mahdi-ulama-
pejuang.html. Diakses pada 10 September 2017. Lihat juga
https://www.kompasiana.com/ihsanaceh/biografi-habib-saggaf-bin-mahdi-bin-syekh-abu-bakar-bin-salim-ramadhan-menulis-9_552b0c5c6ea834411b552cf9. Diakses pada 10
September 2017. Lihat juga http://arsip.gatra.com/artikel.php?id=96138 . Diakses pada 10
September 2017.
62
Saggaf pindah ke Parung Bogor mendirikan Ponpes al-Ashriyyah Nurul Iman.
Sebelum ke Parung, Habib Saggaf mendirikan Ponpes Nurul Ulum di Kali Mas
Madya, Surabaya, yang banyak menerima murid dari Singapura, Malaysia, Brunei
Darussalam dan Afrika.
Kedalaman keilmuan Habib Saggaf memberikan pengaruh besar pada sikap
keagamaannya. Beliau termasuk ulama yang selalu meneladankan toleransi antar
umat beragama, layaknya Gusdur. Jalinan hubunganya yang harmonis pada non-
muslim menunjukkan bahwa beliau memberikan teladan pada santrinya untuk
selalu bersikap toleran, cinta damai, saling menghargai, dan saling menghormati.
Di dalam sebuah ceramah agama yang bertempat di Jepara20
, beliau
menceritakan sebuah kisah. Suatu saat ada orang yang beragama Hindu bertamu ke
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Tamu tersebut lantas diajak ke Masjid untuk
diperkenalkan pada santri sebagai wujud keteladanan dalam toleransi. Tamu yang
beragama Hindu tersebut kaget. Baru kali ini dia diajak oleh orang Islam untuk
masuk masjid. Dia lantas bertanya pada Habib Saggaf ‚kenapa habib ajak saya masuk masjid sedangkan saya orang Hindu?‛. Habib Saggaf menjelaskan dengan
gaya yang santai ‚karena engkau dicintai Allah Swt‛. Tamu tersebut bertambah
kaget dan penuh kegelisahan dengan penjelasan Habib Saggaf. Dia kembali
meminta penjelasan kepada Habib Saggaf apa maksud dari dicintai Allah tersebut.
Habib Saggaf menjelaskan ‚engaku dicintai Allah karena engkau diciptakan sebagai manusia, jika engkau tidak diciptakan sebagai manusia engkau pasti dijadikan anjing, babi ataupun binatang lainya‛. Setelah mendengarkan penjelasan
itu, tamu tersebut bersujud kemudian bersyahadat untuk memeluk agama Islam.21
Pandangan Habib Saggaf tentang Islam Rahmatan lil ‘Alami>n, selalu
beriringan dengan pandangan Gusdur. Pernyataan ini diperkuat dengan sikap beliau
menentang FPI (Front Pembela Islam). Pada Tahun 2008, ribuan santri yang
tergabung ke dalam Pasukan Khusus al-Ashriyyah (PASKHAS) disiapkan dengan
dibekali doa antipeluru (kekebalan) serta diminta untuk membuat senjata yang
terdiri dari pentungan kayu dan alat-alat bela diri lainnya untuk menghadapi
serangan FPI. ‚Kalian pada hari ini saya kumpulkan karena negara sedang dalam ancaman. Kalian dilarang mengikuti tindakan FPI yang dipimpin oleh provokator Habib Rizieq Shihab, yang telah mengadu-domba anak bangsa sendiri itu,‛ tandas
Habib dengan berapi-api dan disambut Allahu Akbar oleh ribuan santri itu.22
20
Video ceramah Habib Saggaf bin Mahdi di Jepara saat acara peringatan maulid
Nabi Muhammad SAW. 21
Model dakwah yang sangat ramah selalu dicontohkan Habib Saggaf. Selalu
mengajarkan intisari dari ajaran Agama Islam bukan hanya normatif saja. Dengan
pendekatan yang ramah akan lebih menarik perhatian non-muslim. Bahwa semua manusia
dimulyakan (red:dicintai) oleh Allah Swt. Sesuai dengan penjelasan al-Isra’:70.
هم عل ولق لن ت وفضه ب ن ٱلطه هم م هم فى ٱلبر وٱلبحر ورزقن منا بنى ءادم وحملن ن خلقنا تفضلا د كره مه ى كثر م22
Kegiatan apel ini dilaksanakan sebagai respon Habib Saggaf terhadap aksi-aksi
FPI yang terindikasi radikal. Lihat
https://news.okezone.com/read/2008/06/03/1/115282/siaga-hadapi-fpi-santri-habib-saggaf-dibekali-doa-antipeluru. Diakses pada 10 Juli 2017 Lihat Juga
http://www.buntetpesantren.org/2008/06/habib-segaf-negara-teracam.html. Dikases pada
63
Habib Saggaf menilai, karena keberadaan FPI bangsa ini, memukuli dan
menganiaya anak bangsa sendiri. Sehingga tidak ada kedamaian dan tidak pula ada
toleransi, yang ada adalah permusuhan dan pertumpahan darah. Jadi, FPI ini
organisasi bejat, merusak citra Islam dan merusak kebhinnekaan. Bahkan mereka
itu merampas dan merampok hak orang lain. Sementara yang namanya Habib itu
tidak ada yang bejat tetapi selalu menebarkan kedamaian, mengikuti ketauladanan
Nabi Muhammad Saw.
Habib Saggaf juga menanggapi pernyataan Habib Rizieq yang menyebut
Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) sebagai orang yang buta mata dan buta hati. Menurutnya, pernyataan itu
sama sekali tidak mencerminkan sebagai seorang pimpinan ormas Islam, apalagi
seorang Imam Besar.23
Akhlak orang Islam seharusnya santun, ramah, lemah
lembut, mencintai sesama, memberikan rasa selamat dan menenteramkan. Senada
dengan Habib Saggaf, menurut Cak Fuad yang merupakan dosen Sastra Arab di
Universtas Malang bahwa definisi muslim adalah orang yang menjamin bahwa
sesama muslim dan semua manusia akan selamat dari tangan dan lidahnya.24
Dalam arti, seorang disebut muslim jika dia memastikan bahwa dia tidak akan
menyakiti baik itu dengan ucapanya apalagi dengan perilakunya. Berikut adalah
teladan kemuliaan akhlak Habib Saggaf pada Gusdur. Peristiwa ini disaksikan oleh
santri al-Ashriyyah Nurul Iman dan para kader Partai Kebangkitan Bangsa dalam
acara Muktamar Luar Biasa (MLB) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Gambar 3.2: Foto Habib Saggaf Bersama Gusdur
10 Juli 2017. Lihat Juga http://www.nu.or.id/post/read/12608/ribuan-santri-di-bogor-siap-
serbu-fpi. Diakses pada 10 Juli 2017. 23
Lihat http://www.nu.or.id/post/read/12608/ribuan-santri-di-bogor-siap-serbu-fpi. Diakses pada 10 Juli 2017. Pernyataan ini juga disaksikan oleh santri yang mengikuti apel
siap siaga menghadapi FPI. Wawancara dengan salah seorang santri yang berasal dari
Purbalingga Jawa Tengah Edi Trisnanto pada 11 Juli 2017. 24
Prayogi R. Saputra, Spiritual Journey: Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Najib (Jakarta: Kompas, 2012), 120.
64
Habib Saggaf wafat pada 12 November 2010. Kini kepemimpinan beliau
digantikan oleh Istri Beliau Ummi Waheeda binti Abdul Rahman. Meskipun beliau
kurang produktif dalam menulis, tetapi sikap keteladanan beliau mewakili pesan-
pesan perjuangan beliau dalam membumikan nilai-nilai pluralisme,
multikulturalisme yang berimplikasi pada toleransi dalam bingkai kehidupan yang
sangat beragam. Dari keteladan itu, para santri diharapkan mampu meneruskan
segala perjuangan dan pemikiran-pemikiran yang beliau ajarkan untuk mewujudkan
kehidupan yang aman, damai dan sejahtera.
C. Latar Belakang Santri dan Pengurus Pesantren
Predikat masyarakat yang multikultural memang tidak melulu hanya
disandarkan pada masyarakat yang berlatar belakang agama yang berbeda saja.
Melainkan dapat juga dari suku, ras, bahasa, aliran politik, pendidikan, dan status
sosial. Demikian juga, Santri Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman memiliki
latar belakang status sosial yang beragam atau multikultur. Mulai dari keluarga
petani, konglomerat, pejabat, kiyai hingga habaib.
Jumlah santri dari sejak beridiri (tahun 1998) sampai tahun 2010 selalu
meningkat di awal tahun ajaran baru penerimaan santri. Berawal dari satu orang
santri yang berasal dari daerah wonogiri sampai menjadi puluhan ribu dari berbagai
daerah pelosok negeri. Namun, dalam prosesnya dalam setiap tahun ajaran tidak
semuanya betah hingga lulus. Mereka yang rata-rata gugur ditengah perjalanan
menuntut ilmu dikarenakan memandang faktor sarana prasarana pesantren yang
belum memadai.
Sampai saat ini jumlah santri sebanyak 10.378 yang terdiri dari 5.871
santri putra dan 4.507 santri putri. Jumlah tersebut berasal dari berbagai daerah.
Berikut tabel jumlah santri berdasarkan latar belakang daerah asal.
65
Tabel 3.1: Latar belakang santri berdasarkan daerah asal.
No Propinsi
Jumlah
Jumlah Total
Putra Putri
1 Bangka Belitung 228 137 365
2 Bali 10 5 15
3 Banten 98 83 181
4 Bengkulu 34 23 57
5 D.I Yogyakarta 513 353 866
6 DKI Jakarta 593 473 1066
7 Gorontalo 10 8 18
8 Jawa Barat 925 830 1755
9 Jambi 15 11 26
10 Jawa Tengah 1062 732 1794
11 Jawa Timur 560 621 1181
12 Kalimantan Barat 43 28 71
13 Kalimantan Selatan 34 23 57
14 Kalimantan Tengah 18 12 30
15 Kalimantan Timur 41 28 69
16 Kepulauan Riau 88 68 156
17 Lampung 78 57 135
18 Luar Negeri 4 3 7
66
No Propinsi
Jumlah
Jumlah Total
Putra Putri
19 Maluku 34 23 57
20 Maluku Utara 43 28 71
21
Nanggroe Aceh
Darussalam 135 132
267
22 Nusa Tenggara Barat 45 30 75
23 Nusa Tenggara Timur 36 24 60
24 Papua Barat 15 10 25
25 Papua Tengah 30 20 50
26 Papua Timur 21 14 35
27 Riau 73 41 114
28 Sulawesi Selatan 46 31 77
29 Sulawesi Tengah 36 24 60
30 Sulawesi Tenggara 43 28 71
31 Sulawesi Utara 80 53 133
32 Sumatra barat 284 240 524
33 Sumatra Selatan 290 182 472
34 Sumatra Utara 306 132 438
Jumlah 5.871 4.507 10.378
Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah santri terbanyak berasal dari
Jawa Tengah sebanyak 1794 atau 16,7% dari total 10.378 santri, kemudian Jawa
Barat sebanyak 1755 atau 16,4%, Jawa Timur 1181 atau 11 % dan seterusnya.
Namun, untuk data latar belakang santri dari status sosial (anak pejabat, kiyai,
67
habaib, dan konglomerat) yang berbeda belum pernah dibuat oleh pesantren. Tidak
ditemukan alasan yang pasti atas tidak adanya klasifikasi data yang berlatar
belakang sosial tersebut.25
Dalam proses penerimaan santri, semua anak yang mendaftarkan diri
diterima sebagai anak didik. Semua anak diberikan kesempatan yang sama untuk
menimba ilmu di pesantren. Proses tes seleksi santri bukan untuk menentukan
diterima atau tidak, melainkan untuk mengklasifikasikan kemampuan santri dalam
bidang ilmu agama. Dari hasil tes tersebut dapat diklasifikasikan tingkat
pendidikan ibtida’, wust }o, dan ‘ulya>. Tes yang digunakan berupa membaca al-
qur’an dan membaca kitab klasik.
Perbedaan latar belakang daerah asal yang beragam memiliki tantangan
tersendiri bagi santri dan pengurus pesantren. Rentan konflik dikalangan santri.
Menurut Abdul Latif seorang santri dari Jawa Tengah menjelaskan bahwa santri
yang sering memicu konflik hingga berujung pada kekerasan fisik adalah santri
yang berasal dari Palembang dan Flores, sikap mereka yang cenderung sama-sama
keras. Keras dalam intonasi berbicara dan juga watak.26
Konflik seperti ini
biasanya diselesaikan oleh pengurus pesantren bagian keamanan. Dibuatkan Berita
Acara Perkara (BAP), diselidiki permasalahan intinya, dihadirkan saksi-saksi,
disidangkan, kemudian dijatuhkan saknsi.27
Menurut Ibnu Mukti selaku ketua harian kepesantrenan, dalam
menghadapi santri yang beragam latar belakang diperlukan sikap yang luwes.
Dalam menyelesaikan masalah diperlukan penyelidikan yang mendalam, sehingga
tercipta sebuah keadilan. Tidak mengadili/menjatuhi sanksi karena membenci atau
menyayangi, tetapi karena keadilan. Siapa yang bermasalah harus dihukum. Ia juga
menjelaskan tindakan preventif yang ia lakukan agar tidak terjadi konflik antar
santri. Biasanya ia lakukan selepas sholat jama’ah isya’ dengan memberikan arahan
kepada seluruh santri agar tidak melanggar peraturan pesantren dan menjalankan
apa yang telah diperintahkan pesantren dengan durasi waktu sekitar 10 menit.28
Sementara menurut penuturan kepala sekolah SD, SMP, dan SMA bahwa
santri yang beragam itu harus dibina dengan baik. Masing-masing mereka
mempunyai potensi tersendiri. Tidak benar jika mereka diperlakukan secara
diskriminatif. Ketiga kepala sekolah ini dalam memimpin lembaganya belum
terlalu fokus pada standar sekolah yang multikultural, semuanya berjalan alamiah
25
Sumber data Bagian Administrsai Umum Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman
Islamic Boarding School. Diperoleh dari Ustadz Ibrahim bagian humas pesantren pada 10
Agustus 2017. 26
Wawancara dengan santri bernama Abdul Latif Mahasiswa semester 5 Sekolah
Tinggi Agama Islam Nurul Iman pada tanggal 12 Agustus 2017. 27
Wawancara dengan pengurus pesantren ketua bagian kemananan Muhammad
Miftah pada 15 Agustus 2017. 28
Wawancara dengan pengurus pesantren ketua kepesantrenan Ibnu Mukti pada 15
Agustus 2017.
68
mengikuti kebijakan pimpinan pesantren. Hal ini dikarenakan kebijakan
pengembangan sepenuhnya dipegang oleh pimpinan pesantren.29
Namun, terkait dengan kurikulum yang diberlakukan di sekolah adalah
sesuai standar kurikulum nasional. Ketiga jenjang sekolah tersebut telah
memberlakukan kurikulum 2013. Dalam menerapkan kurikulum 2013 ini masih
sangat banyak kendala, terutama sarana prasarana dan tenaga pengajar.
Kebanyakan, para pengajar tidak mengajar sesuai dengan background ijazah S1
nya. Ada lulusan fakultas syari’ah mengajar matematika, ekonomi. Ada lulusan
pendidikan bahasa arab mengajar kimia, fisika, bahasa Indonesia dan lain
sebagainya. Ada lulusan fakultas ushu>l al-Din mengajar sejarah. Yang sesuai
dengan spesifikasi ijazah S1 nya adalah yang mengajar bahasa arab.
Hal ini dikarenakan seluruh pengajar diambil dari lulusan Sekolah Tinggi
pada pesantren tersebut yang notabenya hanya memiliki tiga fakultas yakni
fakultas tarbiyah program studi bahasa arab, fakultas syari’ah program studi ahwal
al-Syakhshiyyah, dan fakultas ushul al-Din program studi qur’an hadith. Meskipun
begitu, prestasi dari anak didik di sekolah tersebut tidak mengecewakan.
Disisi lain, santri yang beragam latar belakang daerah itu, memiliki ragam
motivasi juga saat memilih pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman sebagai tempat
menimba ilmu. Ada faktor karena gratisnya, ada faktor karena terpesona dengan
kekharismaan Habib Saggaf, ada faktor karena ingin bisa berbahasa asing, ada
faktor ingin kuliah, ada faktor ingin bisa mendalami agama dan berwirausaha, dan
lain sebagainya. Secara garis besar, pengurus pesantren belum menjumpai motivasi
santri yang mondok di al-Ashriyyah Nurul Iman berdasarkan pendidikan
multikultural yang dikembangkan pesantren.30
Berikutnya terkait dengan pengurus pesantren. Berdasarkan penuturan dari
Ibrahim, seluruh pengurus pesantren memiliki latar belakang daerah yang berbeda
pula. Mereka yang menjadi pengurus tidak diambil dari orang luar pesantren.
melainkan dari santri yang sudah menyelesaikan pendidikan strata satu (S1).
Mengingat peraturan pesantren bahwa semua santri yang sudah menyelesaikan
pendidikan strata satu (S1) tidak dinyatakan lulus sebelum menempuh masa
pengabdian dua tahun. Konsekuensinya apabila tidak menyelesaikan pengabdian
selama dua tahun maka tidak mendapatkan berkas ijazah dari berbagai jenjang
sekolah yang selama ini ditempuh di pesantren tersebut.
Berkaitan dengan penempatan tugas santri yang akan menempuh masa
pengabdian, disesuaikan dengan kompetensi masing-masing yang dimiliki. Ada
yang ditempatkan di sekolah sebagai guru dan tenaga administrasi di masing-
masing jenjang sekolah (baik sekolah umum maupun diniyyah), ada yang
ditugaskan sebagai pengelola unit-unit usaha (koperasi, percetakan, pertanian, daur
ulang sampah, peternakan, pabrik roti, konveksi, pabrik air minum, dan lain
29
Wawancara dengan M. Asep selaku kepala sekolah SD, Mahbub Zuhri selaku
kepala sekolah SMP dan Ahmad Ramadhan selaku kepala sekolah SMA pada tanggal 20
September 2017. 30
Wawancara dengan Ibrahim selaku pengurus pesantren bagian humas pada 10
Agustus 2017
69
sebagainya), ada yang ditugaskan sebagai bagian keamanan, kepesantrenan,
konsumsi (dapur), dan ada yang ditugaskan sebagai instruktur dalam berbagai
pelatihan atau lembaga kursus.
Usai menyelesaikan pengabdian dua tahun, santri dinyatakan lulus.
Sebagian besar santri memilih keluar untuk mempraktikan dan mengembangkan
ilmu yang telah didapatkan di masyarakat atau di lembaga pendidikan lainya.
Sebagian lagi ada yang menetap di pesantren menjadi pegawai tetap yayasan.
Santri yang menetap di pesantren biasanya menikah dengan santri putri, kemudian
keduanya menjadi pegawai tetap yayasan.31
D. Membuka Kerjasama yang Inklusif
1. Berbeda Agama, Saling Mengasihi
Dalam Islam, bermu’amalah dengan siapa saja dengan tidak memandang
latar belakang agama, ras, suku, golongan, ataupun bangsa pada prinsipnya
diperbolehkan.32
Pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman melakukan kerjasama
dengan lembaga mana saja tanpa memandang latar belakang yang beragam itu.
Selagi kerjasama tersebut bertujuan untuk kebaikan seluruh umat manusia.
Menurut Habib Saggaf yang berbeda itu seharusnya saling melengkapi dan saling
mengasihi, bukan malah saling memusuhi. Agama itu keyakinan pribadi dengan
Tuhan, satu sama lain tidak boleh saling memaksakan untuk mengikuti agama
yang mereka yakini.33
Ada lima wasiat Habib Saggaf yang menjadi pedoman para santri dan
pengurus pesantren. Wasiat ini ditulis di berbagai tempat sudut pesantren. Di buku
aurad (wirid) santri, di papan pengumuman yang terletak di taman pesantren, di
buku album santri yang akan lulus, di mading sekolah, di mading asrama, dll. Lima
wasiat itu adalah:
1. Selalulah bertaqwa kepada Allah Swt., taat kepada-Nya dan Rasul-Nya
atas apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.
2. Bersihkan hati dari penyakit dan kotoranya.
3. Senantiasa berdzikir dan membaca sholawat atas Rasulullah Saw.
4. Bacalah al-Qur’an, hafalkan, pelajari arti dan tafsirnya.
5. Tanamkanlah kasih sayang kepada semua makhluk.
Wasiat yang kelima inilah yang menjadi dasar para santri untuk senantiasa
menjalin hubungan yang baik, damai, harmonis tanpa memandang bangsa, ras,
suku, agama, status sosial, aliran keagamaan, pendidikan, dan lain sebagainya.
31
Wawancara dengan Ibrahim selaku pengurus pesantren bagian humas pada 10
Agustus 2017 32
Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh al-ashlu fi al-mu’a>malah al-iba>hah illa ma> dalla ‘ala tahrimihi
33Habib Saggaf dalam sebuah pengajian tafsir bersama para santri menjelaskan
makna dari al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256.
ق ف الل ب ن ه ؤ و ىت اغ الط ب ف ر ك ن و ف غ ل ا ن ه د ش لر ا ن ب ت د ق ن د ل ا ف اه ر ك إ ل ك س و ت اس د
ن ل ع ع و س الل و ا ه ل ام ص ف ن ا ل ى ق ث ى ل ا ة و ر ع ل ا ب
Informasi ini didapat dari hasil pengamatan peneliti pada dokumentasi video pengajian
tafsir Habib Saggaf bersama para santri.
70
Wasiat yang kelima ini pula yang menjadi dasar peneliti bahwa Habib Saggaf telah
menanamkan nilai-nilai multikultural pada santri.
Pada suatu kesempatan, sekitar tahun 2010 ketika Duta Besar Negara
Amerika Serikat berkunjung ke pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, Habib Saggaf
menyampaikan orasi pemahaman tentang multikultural. Beliau menjelaskan makna
dari al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13.
ل ائ ب ق ا و وب ع م ش اك ن ل ع ج ى و ث ن أ ر و ك ن ذ م م اك ن ق ل ا خ نه اس إ ا النه ه ا أ ر ب م خ ل ع
نه اللهه م إ اك ق ت أ د اللهه ن م ع ك م ر ك نه أ وا إ ف ار ع ت ل
Bahwa manusia yang diciptakan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mejaga
hubungan yang baik, mengikat persaudaraan, menebarkan kedamaian dan
keharmonisan. Jika ada seorang muslim yang melakukan perbuatan yang memecah
belah umat manusia dan memunculkan permusuhan antar bangsa satu dengan yang
lainya maka perbuatan tersebut tidak ada dalam tuntunan al-Qur’an. Beliau
meminta pada Duta Besar Negara Amerika agar Negara Amerika memberantas
segelintir orang yang mengatasnamakan Islam tetapi melakukan aksi teror sampai
keakar-akarnya. Mereka tidak hanya menjadi teroris pada bangsa-bangsa dan
agama-agama selain Islam di dunia tetapi juga menjadi teroris pada agama Islam
sendiri. Beliau juga meminta agar peringatan tragedi 11 September 2001 dengan
pembakaran al-Qur’an34
secara serentak tidak dilakukan, karena justru akan
merusak persaudaraan antar bangsa dan agama.
Agama Islam jelas memerintahkan umatnya untuk saling tolong menolong
atau bekerjasama dalam hal kebaikan. Perintah itu terdapat dalam al-Qur’an yang
merupakan kitab pedoman yang paling primer bagi umat muslim. Seperti dalam
surat al-Hujura>t ayat 13 yang telah penulis sebutkan di atas. Al-Qurtubi> menafsiri
ayat tersebut bahwa perbedaan yang diciptakan oleh Allah agar manusia
menciptakan kebaikan ditengah-tengah perbedaan.35
Sayyid Qutb menyatakan
bahwa perbedaan dimaksudkan agar manusia dapat melakukan hal yang sistematis
dan tidak saling bermusuhan.36
Ayat ini sangat cukup sekali untuk menjadi dasar
dalam pengembangan dimensi multikultural.
Habib Saggaf juga menyampaikan bahwa Yahudi dan Bani Israil adalah
keturunan Nabi Ishak, Nabi Ya’kub, Nabi Yusuf dan Nabi Isa, sedangkan Nabi
Muhammad adalah keturunan Nabi Ismail yang merupakan saudara sebapak dari
Nabi Ishak. Yahudi, Bani Israil dan Muslim adalah saudara, pemutarbalikan sejarah
lah yang menjadikanya saling bermusuhan. Dalam penutupan orasinya Habib
Saggaf meminta agar Negara Amerika selalu menjalin hubungan yang baik dengan
34
Lihat http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2010-09-09/jones-rencana-bakar-al-quran-jadi-dilakukan/76152, di akses pada 1 September 2017. Lihat juga
https://news.detik.com/berita/d-1413707/pemerintah-as-didesak-gagalkan-aksi-bakar-al-
quran-di-florida, diakses pada 1 September 2017 35
Abi> Abdilla>h Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi> Bakrin al-Qurtubi>, al-Ja>mi’ al-Ahka>m al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa a>yi al-Furqan, al-Juz al-Ta>si’ ‘Ashara (Beirut: al-Resalah Publisher, 2006 M/1427 H) 413.
36Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’an, jilid 19-20 (Kairo: Da>r al-Shuru>q, t.t), 2764.
71
Negara Indonesia, sering mengunjungi ulama-ulama Indonesia yang
berpengetahuan luas (moderat). Beliau juga memimpin ikrar para santri dengan
ucapan ‚Kami Cinta Amerika, Rakyat Amerika adalah saudara-saudara kami‛.37
Salah seorang santri bernama wisnu telah membuktikan, bahwa dengan
menjalin kasih sayang dan hubungan yang harmonis meskipun berbeda agama akan
membawa kesejahteraan dalam hidup. Pengalaman itu ia rasakan ketika pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman mendapatkan bantuan seorang guru bahasa
jepang yang notabenenya beragama non-muslim. Wisnu merupakan salah seorang
santri yang terdaftar sebagai peserta pelatihan bahasa Jepang. Dengan sangat
antusias, pelatihan itu dia ikuti sampai mecapai tingkat mahir. Usai pelatihan
tersebut, santri yang telah mahir bahasa Jepang mendapatkan kesempatan
menempuh pendidikan di Negara Sakura tersebut. Ia sangat bersyukur
mendapatkan kesempatan itu. Ia akan manfaatkan kesempatan itu untuk belajar
banyak hal di Jepang, mulai dari ekonomi sampai teknologi yang kemudian akan ia
gunakan untuk mengabdi pada bangsa Indonesia.38
Pada tahun 2013, Robert Jacobs Weber seorang warga Negara Amerika
yang beragama Yahudi diperbantukan oleh lembaga AMINEF (American
Indonesian Exchange Foundation), sebuah lembaga dibawah naungan keduataan
besar Amerika Serikat. Ia ditugaskan sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris di
pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Ia tinggal menetap di pesantren
selama kurang lebih enam bulan. Ia berbaur langsung dengan para santri. Hal ini
membuat para santri antusias untuk berdiskusi tentang banyak hal. Mulai dari
masalah sosial, politik, budaya, agama, ekonomi. Robert dan para santri saling
bertukar informasi, membangun komunikasi interpersonal. Satu sama lain
mendapatkan banyak pelajaran tentang sikap untuk kepribadian maupun kehidupan
sosial.
Hubungan pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dengan kedutaan
Amerika tetap berjalan baik sampai sekarang. Kerjasama yang dilakukan berupa
pertukaran informasi budaya dan pertukaran pelajar. Prinsip kerjasama ini
dibangun sesuai dengan dimensi pendidikan multikultural menurut James A. Bank
yaitu pengurangan prasangka buruk.39
Keduanya saling membangun kepercayaan,
saling setara, tidak saling mendominasi dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang universal.40
Berikut adalah dokumentasi peneliti saat santri al-
Ashriyyah Nurul Iman menghadiri kegiatan di kantor At America pada tanggal 28
September 2017.
37
Orasi Habib Saggaf ketika berpidato dihadapan para santri dan Kedutaan Besar
Negara Amerika Serikat pada tanggal 30 Juli 2010 di Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul
Iman. Peneliti mendapatkan video rekaman ini dari salah seorang santri yang bernama
Muhammad Syafi’i. 38
Wawancara dengan Wisnu, salah seorang santri yang antusias belajar bahasa
Jepang. Pada tanggal 5 Mei 2017. 39
Lihat penjelasan peneliti pada BAB II tentang dimensi pendidikan multikultural
menurut James A. Bank 40
Lihat penjelasan peneliti pada BAB II tentang orientasi pendidikan multikultural
menurut Ainurrofiq Dawam
72
Gambar 3.3: Foto Santri al-Ashriyyah Nurul Iman saat berkunjung ke
Kedubes Amerika
Selain itu, pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman juga melakukan
kerjasama dengan lembaga yang berbeda agama yaitu kedutaan besar Negara
Jepang, Korea Selatan, India, Yayasan Budha Tzuchi. Kesemuanya itu terjalin
dengan baik. Tercatat, ketika pesantren mengadakan acara keagamaan seperti
perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, Acara Haul Habib Saggaf, Peringatan
Isra’ Mi’raj, dll. maupun kegiatan non-keagamaan seperti perayaan hari lahir
pesantren, wisuda santri, pernikahan santri secara masal, dll., mereka diundang
untuk menghadiri acara tersebut. Begitupun sebaliknya, sebagai contoh saat
Yayasan Budha Tzuchi mengadakan perayaan Waisak para santri diminta untuk
menghadiri acara tersebut.
Dari hasil kerjasama tersebut, pesantren banyak mendapatkan manfaat.
Diantaranya mendapatkan bantuan gedung dua lantai dengan 24 ruangan dari
Yayasan Budha Tzuchi, bantuan sarana prasarana instalasi air minum dari
Kedutaan Jepang, bantuan gedung dari Yayasan Gandhi Sevaloka, bantuan
pertanian, bantuan perikananan, MCK, dan lain sebagainya.41
Namun, pada intinya
tujuan utama kerjasama tersebut bukanlah bergulirnya bantuan untuk pesantren,
tetapi untuk membumikan prinsip bahwa meskipun berbeda agama tetap saling
mengasihi.
Kebijakan yang diambil pesantren ini menimbulkan kontroversi di
kalangan ulama’-ulama’ pimpinan pondok pesantren. Tidak canggung, kesan
41
Wawancara dengan Ibrahim selaku pengurus pesantren bagian humas pada 10
Agustus 2017
73
negatif berupa label murtad disematkan kepada sosok Habib Saggaf. Ia juga dinilai
membawa santrinya pada jurang kemurtadan. Namun, kesan negatif tersebut tidak
membuat Habib Saggaf merubah kebijakan pesantren, sehingga tetap menjalin
bekerjasama dan menjaga hubungan baik dengan Yayasan Budha Tzuhi serta umat
agama lainya. Menurut Habib Saggaf, ia berjalan pada kebenaran sesuai aturan
agama Islam. Bahwa, dalam fiqh diterangkan boleh menerima bantuan dari non-
Muslim. Sebenarnya poin utamanya adalah bukan menerima bantuan, tetapi
menjalin hubungan yang harmonis antar sesama manusia meskipun berbeda agama,
suku, ras, aliran kepercayaan, aliran politik dan status sosial.
2. Mendakwahkan Kebaikan, Menjaga Citra Baik Islam
Di dalam Agama Islam ada sebuah perintah yang ditujukan bagi para
pemeluknya untuk mendakwahkan pesan-pesan yang bersumber dari ayat-ayat al-
Qur’an dan Hadith.42
Pesan-pesan tersebut tentunya menyeru kepada kebaikan.
Seperti menyeru manusia untuk saling tolong menolong, jujur, dermawan, cinta
damai, menghindari pertikaian, melarang pengrusakan, saling menghormati, dan
lain sebagainya. Namun, dalam mendakwahkan kebaikan, cara berdakwahnya harus
dengan cara yang baik pula. Dengan cara yang baik, Agama Islam akan terjaga
citra baiknya.
Kita ketahui bersama, akhir-akhir ini dunia internasional dihebohkan oleh
sekelompok orang yang mengatasnamakan Jihad untuk mendirikan Negara Islam.
Kelompok tersebut dikenal dengan nama Islamic State of Iraq And Syiria (ISIS).43
Mereka gemar melakukan tindakan kekerasan dan teror. Cita-cita mulia Agama
Islam yang mengusung pembawa rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alami>n) rusak oleh tindakan-tindakan kelompok tersebut. Hal ini mengakibatkan
penilaian negatif masyarakat internasional kepada Agama Islam, sehingga Islam
menjadi tersudutkan dan disebut sebagai Agama teroris.44
Hal ini menjadi fokus pondok pesantrean al-Ashriyyah Nurul Iman sebagai
lembaga pendidikan Islam. Pesantren memiliki tanggung jawab penuh untuk
menjaga citra baik Islam. Oleh karena itu, pesantren ini memberikan pemahaman
dakwah kepada santrinya secara komprehensif. Langkah tersebut dituangkan dalam
Sampaikanlah/ajarkanlah dari apa yang dibawa Nabi Muhammad Saw‚ بلغوا عن ولو آة42Walau Satu Ayat.
43Negara Islam Irak dan Syam (NIIS atau ISIL; Arab: الدولة الإسلامة ف العراق والشام),
juga dikenal dengan nama Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS atau ISIS ), Negara Islam
Irak dan asy-Syam, Daesh, atau Negara Islam (NI atau IS), adalah kelompok
militan ekstremis. Kelompok ini dipimpin oleh dan didominasi oleh anggota
Arab Sunni dari Irak dan Suriah. Hingga Maret 2015, NIIS menguasai wilayah
berpenduduk 10 juta orang di Irak dan Suriah. Lewat kelompok lokalnya, NIIS juga
menguasai wilayah kecil di Libya, Nigeria, dan Afghanistan. Kelompok ini juga beroperasi
atau memiliki afiliasi di berbagai wilayah dunia, termasuk Afrika Utara dan Asia Selatan. 44
Lihat http://www.islamnusantara.com/islam-dituduh-teroris-karena-perilaku-
muslim-itu-sendiri/. Diakses pada 16 Juli 2017. Lihat juga http://www.voa-
islam.com/read/christology/2014/05/24/30570/piore-vogel-tangkis-tuduhan-teroris-pada-
islam-1500-orang-jerman-bersyahadat/#sthash.eaF2TP7k.dpbs. Diakses pada 16 Juli 2017
74
sebuah lembaga kader dakwah (LKD). Di dalam lembaga ini diramu sebuah
kurikulum dan metode cara dakwah yang ramah. Menurut Abdul Rauf, LKD
memiliki komitmen tinggi untuk mendakwahkan Islam dengan cara-cara yang
santun dan ramah, tidak mudah memberikan stigma bid’ah, syirik, kafir, dan
memanfaatkan seni budaya.45
Abdul Rauf menambahkan, LKD tersebut mewarisi pesan Habib Saggaf
bahwa metode dakwah yang tepat menurut ajaran al-Qur’an dan Hadith adalah
dakwah dengan ramah dan santun. Dalam sebuah pengajian tafsir bersama para
santri, beliau menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk
berdakwah dengan cara yang ramah dan santun. Beliau megutip al-Qur’an surat
T}a>ha> ayat 44 dan surat al-Nah}l ayat 125. Dua ayat ini memiliki kedudukan kuat
sebagai prinsip dalam berdakwah.46
Senada dengan beliau, Quraish Shihab menjelaskan tafsir surat al-Nah}l ayat 125. Menurutnya, ayat ini menjelaskan tiga macam metode dakwah yang
harus disesuaikan dengan objek sasaran dakwah. Pertama, metode hikmah
diperuntukkan bagi cendikiawan yang memiliki intelektual tinggi,
yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.
Kedua, metode mau’idzhah diperuntukkan bagi masyarakat awam,
yakni memberikan nasehat dan contoh-contoh yang
menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Ketiga, metode jidal ahsan diperuntukkan bagi ahlu al-Kitab dan penganut agama-agama
lain, yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan
umpatan.47
M. Quraish Shihab juga mengutip pendapat pakar tafsir al-Biqa>’i yang
menggarisbawahi bahwa al-hakim, yakni yang memiliki hikmah, harus yakin
sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya sehingga dia
tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu atau kira-kira, dan
tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba. Kemudian, lebih lanjut beliau
menjelaskan al-mau’iz}ah (الموعظة), terambil dari kata (وعظ) wa’az}a yang
berarti nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar
kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. Sedang,
kata )جادلهم) ja>dilhum terambil dari kata (جدال) jida>l yang bermakna diskusi atau
bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalil mitra diskusi dan menjadikannya
tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun
hanya oleh mitra bicara. Ditemukan di atas bahwa mau’izhah hendaknya
disampaikan dengan (حسنة) h}asanah/baik, sedang perintah berjidal disifati dengan
kata (احسن) ah}san/yang terbaik, bukan sekedar baik. Keduanya berbeda dengan
hikmah yang tidak disifati oleh satu sifat pun. Ini berarti bahwa mau’iz}ah ada yang
45
Wawancara dengan Abdul Rauf selaku Ketua LKD pondok pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman pada 4 September 2017. 46
Dokumentasi Kajian Tafsir bersama Habib Saggaf, peneliti simak pada tanggal 5
September 2017 47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2011), Cet. IV, Jilid. 6, hlm. 774.
75
baik dan ada yang tidak baik, sedangkan jidal ada tiga macam, yang baik, yang
terbaik, dan yang buruk.
Masih menurut M. Quraish Shihab, mau’iz}ah baru dapat mengena pada
hati sasaran dakwah, apabila apa yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan
dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Inilah yang bersifat hasanah. Kalau
tidak demikian, maka sebaliknya, yakni yang bersifat buruk, dan ini yang
seharusnya dihindari. Mengenai jida>l, M. Quraish Shihab menjelaskan
bahwa jida>l terdiri dari tiga macam. Pertama, jida>l buruk yakni menyampaikan
argumen dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan, serta yang
menggunakan dalil-dalil yang tidak benar.‛ Kedua,jida>l baik yakni menyampaaikan
argumen dengan sopan serta menggunakan dalil-dalil walaupun dalil tersebut
hanya yang diakui oleh lawan. Ketiga, jida>l terbaik yakni menyampaikan argumen
dengan baik dan benar lagi membungkam lawan.48
Adapun Surat T}a>ha> ayat 44 tersebut memberikan penegasan terhadap surat
al-Nahl ayat 125, bahwa sebagai juru dakwah/utusan, Nabi Musa dan Nabi Harun
diperintahkan agar dalam menyampaikan risalah-Nya kepada Fir'aun memakai
bahasa dan tutur kata yang lemah lembut, santun, beradab, tidak membual
(mengada-ada), tidak keras ucapannya dan tidak kasar sikapnya. Meskipun, Fir'aun
adalah orang yang sangat membangkang dan sangat takabur. Ucapan yang lembut
dapat membuat orang lain menerima, sedangkan ucapan yang keras dapat membuat
orang lain menjauh.
Dakwah bukan hanya menjadi tugas para santri yang tergabung dalam
LKD saja, tetapi juga keseluruhan santri. Dakwah dipahami sebagai sebuah
kegiatan yang dilakukan tidak hanya di panggung saja memberikan ceramah.
Namun, dipahami sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan dalam semua lini
kehidupan, misalnya melalui dunia literasi, seni musik, seni lukis, seni kaligrafi,
cerpen, perfilman, dan lain sebagainya. Dengan pemahaman seperti ini diharapkan
seluruh alumni pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman mampu berdakwah
sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki.
Sebuah pengalaman menarik disampaikan oleh Takayuki Miyano49
. Selama
tinggal di Jepang, dia merasa agama Islam itu buruk (red:teroris, kekerasan, dll).
Kemudian, pandangan itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia
mengenal Islam di Indonesia, khususnya di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.
Perkenalanya dengan pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dimulai dari
sebuah perusahaan tempat ia bekerja. Perusahaan tersebut menjalin kerjasama
dengan pesantren berupa penyediaan teknologi penyaringan air minum dengan
karbon aktif. Seiring dengan frekuensinya berkunjung ke pondok pesantren yang
begitu sering, ia merasa nyaman dan tenteram saat bercengkrama dengan para
48
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an , 776
49Seorang Warga Negara Jepang yang memutuskan menjadi Muallaf ketika
mengenal Islam Indonesia, khusunya saat dia mengenal pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
Parung Bogor.
76
santri dengan suasana pesantren. Kemudian, ia tertarik untuk belajar agama
Islam.50
Setelah ia belajar beberapa hal yang prinsipil dalam Islam, ia sadar bahwa
agama Islam itu luar biasa, mengatur pribadi menjadi manusia yang mulia dan
mengajarkan kasih sayang kepada sesama manusia. Kemudian, ia memutuskan
untuk memeluk agama Islam. Ia sangat bersyukur mengenal agama Islam dan dapat
memeluknya. Bahkan ia berkeinginan untuk menyebarluaskan agama Islam di
Jepang. Oleh Ummi Waheeda, ia dinikahkan dengan salah seorang santri putri
pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman guna memperkuat gairah
mendakwahkan agama Islam di Jepang.
E. Kemandirian Ekonomi Pesantren
Memang tidak mudah menahkodai sebuah pondok pesantren yang
memiliki jumlah santri yang mencapai 10.000 dengan pembiayaan gratis. Biaya
gratis tersebut meliputi biaya pendidikan, makan, asrama, dan kesehatan. Tetapi
tugas berat itu telah dipikul oleh Habib Saggaf bin Mahdi (almarhum) selama 12
tahun (1998-2010), yang kini diteruskan oleh istri beliau Ummi Waheeda.
Setidaknya, jika diasumsikan bahwa kebutuhan makan satu orang santri selama
satu hari adalah Rp. 15.000,-, maka selama satu hari pesantren tersebut harus
menyiapkan uang sejumlah Rp. 150.000.000,-. Selama satu bulan kurang lebih akan
menghabiskan Rp. 4.500.000.000,-. Jumlah tersebut baru untuk kebutuhan makan,
belum kebutuhan operasional lainya. Oleh karena itu, diperlukan kemandirian
ekonomi yang kuat dengan segala sistem dan strateginya untuk menopang
kebutuhan pesantren.
Sejarah pesantren yang awalnya berada jauh dari perkotaan, kini mulai
banyak pesantren yang berdiri di pusat kota. Minat masyarakat terhadap pesantren
juga berasal dari kalangan masyarakat yang berekonomi beragam. Pesantren
dianggap sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan berbagai
ilmu-ilmu agama dan umum tetapi juga membentuk karakter manusia yang
berakhlakul karimah sehingga terbentuk manusia yang mumpuni dalam bidang
agama dan umum dengan akhlak yang mulia. Bahkan dalam perkembangan pada
saat ini sudah banyak pesantren yang mengembangkan orientasinya di samping
pengajaran pendidikan agama juga memberdayakan ekonominya dengan
mengeksplorasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang dimilikinya
serta membentuk jiwa entrepreneurship pada santrinya.51
Dalam kenyataanya keberadaan pondok pesantren di Indonesia pada
umumnya mempunyai dua modal utama dalam perekonomian, yaitu modal berupa
tanah sebagai sumber daya yang luas dan tenaga santri yang merupakan tenaga
kerja dalam perekonomian. Kelebihan-kelebihan inilah yang dimiliki oleh pondok
pesantren di Indonesia dan apabila dapat dimanfaatkan secara optimal akan
50
Youtube (Eagle Documentary): Selaras Di Bawah Atap Pesantren (METRO TV) Pesantren Nurul Iman Ciseeng Bogor. Di akses pada 6 Juni 2017.
51M. Suparta, ‚Manajemen Ekonomi Pondok Pesantren: Studi PP al-Ashriyyah
Nurul Iman Parung Bogor,‛Hikmah Journal of Islamic Studies, vol. XI, no. 2 (2015): 49-80.
77
menumbuhkan potensi perekonomian yang sangat besar. Hal inilah yang coba
dimanfaatkan oleh pendiri pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman untuk
memberdayakan potensi perekonomian yang dimiliki pesantren dalam rangka
kemandirian pesantren di bidang ekonomi.
Sumber pendanaan untuk biaya operasional pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman seluruhnya berasal dari hasil usaha pesantren, baik mandiri yang
dilakukan oleh pesantren, maupun berbentuk kerjasama dengan pihak luar. Sumber
dana dari usaha pesantren adalah hasil dari unit-unit wirausaha yang menghasilkan
produk dan jasa, seperti daur ulang sampah, konveksi, pabrik roti, susu kedelai,
percetakan, air mineral kemasan hexagonal (ointika), perikanan, peternakan dan
lain-lain. Sedangkan sumber dana yang berasal dari kerjasama dengan pihak luar
adalah meliputi; menyewakan lahan seluas 200 hektar di wilayah Karawang dan
kerjasama permodalan tambang batu bara di Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur dan Sumatera.
Dana modal wirausaha pada tahap awal diperoleh dari hasil daur ulang
sampah. Misalnya untuk membeli mesin pembuat roti dan donat, mesin pembuat
tahu dan unit wirausaha lainya yang berasal dari hasil daur ulang sampah.
Sedangkan dana untuk pembangunan fisik pesantren, seperti asrama, masjid, ruang
belajar dan sebagainya lebih banyak diperoleh dari sumbangan para dermawan,
baik dalam bentuk fisik bangunan maupun uang tunai melalui rekening pesantren.
seluruh dana/keuangan bermuara ke pesantren dan pengelolaan keuangan dikontrol
dan dipegang oleh pimpinan pondok pesantren.52
Sumber dana pesantren pada umumnya diklasifikasikan kedalam dua
kategori, yaitu kontribusi santri, sumbangan pihak lain (individu, lembaga swasta,
dan pemerintah), dan unit usaha pesantren. Dalam hal ini, pendanaan pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman bersumber dari sumbangan pihak lain dan unit usaha
pesantren.
Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman mendapatkan sumber pembiayaan
operasional terbanyak dari usaha yang dimilikinya. Dari sektor daur ulang sampah
yang merupakan sayap usaha rintisan awal, pesantren mendapatkan pemasukan
sekitar 10 juta setipa bulan. Usaha yang cukup dinamis adalah TOSERBA (Toko
Serba Ada) milik pesantren yang omzetnya mencapai 240 juta setiap bulanya.
Hasil pertanian yang selama ini dimanfaatkan langsung oleh pesantren terutama
untuk sayuran yang dimasak untuk kebutuhan santri. Usaha lain yang cukup besar
menyumbang kas pesantren adalah bisnis roti yang setiap hari omzetnya mencapai
10 juta lebih. Produksi tahu, tempe, dan kedelai bisa menghasilkan pendapatan
untuk pesantren sekitar 120 juta setiap bulanya. Sumber pendapatan besar lainya
untuk pesantren adalah pengahsilan dari saham yang dimiliki pesantren di
perusahaan tambang batu bara di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Pengelolaan bidang usaha pesantren umumnya dilakukan sendiri oleh pihak
pesantren. Santri yang dilibatkan hanya sebagai pembantu pengelola yang
berfungsi sebagai kegiatan ektrakurikuler pesantren. Keterlibatan santri hanya
52
Wawancara dengan Ummi Waheeda selaku Pimpinan Pesantren Al Ashriyyah
Nurul Iman di Parung Bogor 14 September 2017
78
sebatas sebagai sebuah pembelajaran untuk menjadi seorang entrepreneurship.
Santri yang telah lulus S1 diwajibkan mengabdi selama dua tahun di pesantren.
Pengabdian tersebut diwujudkan dalam bentuk peran pengabdian salah satunya di
bidang wirausaha pesantren. Meski demikian, peran pimpinan pesantren masih
sangat dominan dalam menentukan kegiatan usaha pesantren. Pengelolaan usaha
dilakukan secara modern dengan menggunakan sistem real time information.
Dengan jaringan informasi actual melalui jaringan internet, semua kegiatan usaha
dapat dipantau oleh pengasuh pesantren.
Distribusi hasil usaha pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman umumnya
digunakan untuk kepentingan pesantren. Hasil usaha pertanian dan perikanan
terutama sekali digunakan untuk konsumsi santri. Demikian halnya dengan
koperasi dan TOSERBA yang menyediakan bahan kebutuhan yang diperlukan oleh
santri dan dewan guru. Manfaat usaha yang dapat dirasakan pihak luar pesantren
sudah cukup banyak, di antaranya paving block, black diamond, sabun padat dan
cair, entertainment, dan air minum mineral dalm kemasan sudah diedarkan kepada
pihak luar meskipun masih dalam jumlah terbatas. Hasil produksi pesantren hanya
dipasarkan kepada pihak yang telah menjalin kerjasama atau memesan. Jadi,
pemasaranya belum sampai pada konsumen umum.
Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman ke depan akan banyak memperluas
jenis usaha di bidang perkebunan karena kepemilikan lahan yang begitu luas dan
permintaan pasar terhadap kayu jenis tertentu. Perlu langkah-langkah
mengembangkan jenis usaha baru dan memperluas usaha yang sudah ada. Peluang
pengembangan usaha di pesantren ini cukup besar karena beberapa dukungan,
antara lain; pertama, tuntutan internal untuk pengembangan usaha guna menutupi
biaya penyelenggaraan pesantren yang seluruhnya gratis. Kedua, jaringan
kerjasama yang sudah dijalin selama ini dengan beberapa perusahaan, lembaga,
pemerintah, dan individu. Ketiga, jaringan alumni yang tersebar di seluruh
Indonesia bahkan mancanegera menjadi modal bagi pengembangan usaha
pesantren. Keempat, tenaga kerja gratis dari santri-santri yang mengabdi
merupakan modal besar bagi pengembangan pesantren. Kelima, pengaruh
almarhum Habib Saggaf masih ada terutama kepada individu dan organisasi atau
lembaga tertentu.
Dalam kegiatan pelaksanaan wirausaha pesantren juga terdapat nilai-nilai
multikultural yang dijalankan oleh para santri. Jika dalam aktifitas keseharian,
antar santri diarahkan untuk berkeja sama satu sama lain untuk melakukan piket
kebersihan, mengerjakan tugas pelajaran, menyelesaikan masalah, menyukseskan
sebuah acara (event), dan lain sebagainya, maka di dunia bisnis (unit usaha)
mereka dituntut untuk bekerjasama bahu membahu melaksanakan tugas masing-
masing untuk suksesnya bisnis tersebut. Mereka yang berasal dari suku dan bahasa
yang berbeda harus belajar menghormati dan menghargai pendapat dalam
memusyawarhkan strategi pengelolaan, pemasaran dan manajemen keuangan.
Jujur, bertanggung jawab, loyal, toleran, kompak menjadi modal utama untuk
kesuksesan dalam menjalankan sebuah wirausaha.
79
F. Output dan Outcome Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
Keberhasilan pendidikan pesantren dapat diukur melalui output yang
dihasilkan. Jika output (alumni) yang dihasilkan sesuai dengan visi misi yang telah
dicanangkan maka pendidikan di pesantren tersebut dikatakan berhasil. Selain itu,
keberhasilan pendidikan pesantren dapat dilihat dari alumni yang terus berkarya di
masyarakat sebagai upaya mengembangkan ilmu yang telah didapatkan dari
pesantren. Mereka tidak stagnan, tetapi terus berkreasi, berinovasi, menyesuaikan
perkembangan zaman.
Menurut Lauren Kalauge Output adalah hasil langsung dan segera dari
pendidikan. Margaret C, Martha Taylor dan Michael Hendricks menambahkan
bahwa output adalah jumlah atau unit pelayanan yang telah diberikan atau jumlah
orang-orang yang telah dilayani. Sedangkan menurut NEA output adalah hasil dari
aktifitas, kegiatan atau pelayanan dari sebuah program, yang diukur dengan
menggunakan takaran volume/banyaknya.53
Masih menurut Lauren Kalauge, outcome adalah efek jangka panjang dari
proses pendidikan misalnya penerimaan di pendidikan lebih lanjut, prestasi dan
pelatihan berikutnya, kesempatan kerja, penghasilan serta prestise lebih lanjut.
Adapun menurut Margaret C, Martha Taylor dan Michael Hendricks outcome
adalah respon partisipan terhadap pelayanan yang diberikan dalam suatu program.
Sedangkan menurut NEA adalah dampak, manfaat, dan harapan perubahan dari
sebuah kegiatan atau pelayanan suatu program. Secara sederhana dikatakan bahwa
output adalah hasil yang dicapai dalam jangka pendek, sedangkan outcome adalah
hasil yang terjadi setelah pelaksanaan kegiatan jangka pendek atau dengan kata
lain outcome adalah hasil yang dicapai dalam jangka panjang.54
Berikut ini,
peneliti mencoba membuat table input-proses-output-outcome pesantren.
53http://www.academia.edu/12539621/MAKALAH_INPUT , diakses pada 25 Juli
2017. Lihat juga Sifa Siti Mukrimah, 53 Metode Belajar dan Pembelajaran Plus Aplikasinya (Bandung: Bumi Siliwangi, 2014), 13.
54Sifa Siti Mukrimah, 53 Metode Belajar dan Pembelajaran Plus Aplikasinya, 14.
80
Tabel 3.2: Pemetaan Input-Proses-Output-Outcome
INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME
Santri memiliki
latar belakang
daerah asal dan
status sosial
yang beragam.
Background
Tenaga
Pengajar tidak
sesuai dengan
Mata Pelajaran
yang diampu di
sekolah formal
Sarana Prasana
yang masih
belum
sebanding
dengan jumlah
santri
Kurikulum yang
terintegrasi
(Ilmu Agama
dan Ilmu umum)
Pembiayaan
yang Gratis
Santri diajarkan
bela Negara.
Wajib
mengikuti
program
WAMIL (Wajib
militer)
Kegiatan
Ekstrakurikuler
yang beragam
(pencaksilat,
kesenian dan
olah raga)
Pengenalan
budaya-budaya
antar santri
yang berbeda
daerah asal
Penanaman
wawasan
multikulturalis
me, pluralisme
dan
inklusivisme
melalui kajian
kitab-kitab
klasik.
Pembelajaran
dan praktik
berwirausaha.
Pembelajaran
tentang
teknologi
informasi dan
komunikasi
Santri memiliki
rasa optimisme
dan percaya diri
yang kuat,
karena telah
memiliki ilmu
agama dan
pengetahuan
umum yang
cukup.
Santri
mempunyai
sikap toleransi
yang tinggi.
Tidak mudah
terprovokasi
dan tidak
melakukan hate speech.
Santri memiliki
jiwa
nasionalisme
yang tinggi dan
dibalut dengan
spiritual yang
tinggi pula.
Santri mampu
menjuarai
berbagai
kompetisi
olahraga, lomba
baca kitab,
cerdas cermat,
lomba qira’ah
(MTQ),
kesenian, dll.
Partisipasi aktif
santri dalam
aktifitas politik.
Baik politik
praktis (partai
politik/ aparatur
Negara) maupun
politik
kebangsaan
(ikut aktif
dalam ormas-
ormas ataupun
LSM).
Membuka
lembaga
pendidikan baik
berupa
pesantren, TPQ,
sekolah maupun
lembaga
pendidikan
formal yang
mengajarkan
pentingnya
pendidikan
multikultural.
Mendirikan
usaha-usaha
kreatif dan
mandiri
sehingga dapat
membuka
lapangan
pekerjaan.
1. Mengembangkan Pemikiran Kiyai
Alumni pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman yang terdata sampai
saat ini adalah 2.747 santri dengan rincian 1.528 santri putra dan 1.219 santri putri
yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun alumni yang tidak terdaftar masih
81
banyak lagi. Alumni yang tidak terdata biasanya disebabkan oleh tidak tuntas
dalam proses pendidikan sampai lulus strata satu (S1). Meskipun tidak tuntas
sampai pendidikan sarjana, mereka tetap memiliki kecintaan yang kuat terhadap
pondok pesantren. Hal ini sesuai dengan ciri khas pesantren, bahwa santri akan
memiliki hubungan batin yang sangat kuat kepada kiyainya meskipun telah
menjadi alumni.55
Menurut Hasan Ayatullah, mayoritas alumni pondok pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman memilih untuk menjadi pengajar dan pendidik di daerah
mereka asal. Baik di lembaga pendidikan formal seperti sekolah, madrasah
diniyyah, dan TPQ (Taman Pendidikan al-Qur’an) maupun non-formal seperti guru
ngaji di mushola dan majelis ta’lim. Selain itu, sebagian dari alumni memilih untuk
berkarir menjadi karyawan, politisi tingkat desa sampai pusat, berdagang dan ikut
aktif menjadi kader salah satu ormas Islam yang moderat. Ada beberapa alumni
juga yang sudah merintis pondok pesantren di daerah Bekasi, Cibubur, Lampung,
dan Palembang.56
Berbekal nilai-nilai pendidikan multikultural yang mereka dapatkan
semasa menjadi santri, mereka mampu berkiprah di masyarakat dengan baik.
Menurut Idris dan Iing Ibrahim, sebagai alumni harus mampu mengembangkan
ilmu yang telah didapatkan di pesantren dan membawa manfaat yang nyata (real function) bagi masyarakat setempat. Alumni harus kreatif dan inovatif menyikapi
potensi dan kebutuhan masyarakat, sehingga apa yang diperjuangkan tepat guna.
Dengan begitu, outcome dari pesantren terlihat jelas.57
Berdasarkan data yang peneliti peroleh, ada beberapa alumni pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terlibat dalam program bina kawasan (Bantuan
Insentif dan Pembinaan Agama dan Keagamaan Islam di Wilayah Perbatasan).58
Program ini bertujuan untuk membina pendidikan masyarakat didaerah perbatasan
yang tersebar di beberapa daerah. Data ini menunjukan bahwa menurut kemenag,
output dari pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dinilai mampu mengemban
tugas tersebut dengan membumikan nilai-nilai multikultural yang telah mereka
terima dari pesantren. Nilai-nilai multikultural tersebut mereka integrasikan
dengan pengetahuan agama dalam membina masyarakat perbatasan.
Sementara menurut pengakuan Edi Trisnanto, ia merasakan manfaat dari
pendidikan multikultural yang telah diajarkan oleh Habib Saggaf. Selama
bergabung dalam sebuah organisasi ‛Jaringan Gusdurian‛, ia menyadari bahwa apa
yang telah ia dapatkan selama menjadi santri di pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman memiliki titik temu dengan apa yang dikampanyekan oleh organisasi
tersebut. Memperjuangkan manusia-manusia yang tertindas, korban dari
55
Lihat penjelasan peneliti pada BAB II tentang pesantren. 56
Wawancara dengan Hasan Ayatullah selaku Ketua IKSANI (Ikatan Keluarga
Santri al-Ashriyyah Nurul Iman) pada 16 September 2017. 57
Wawancara dengan Idris dan IIng Ibrahim selaku salah seorang alumni yang saat
ini telah mendirikan pesantren dengan jumlah santri 40 orang secara gratis di daerah Bekasi
dan Cibubur. Wawancara ini dilakukan pada 18 September 2017. 58
Bedasarkan Surat dari Kemenag a.n. Direktur Jenderal Direktur Pendidikan
Agama Islam No 2459/Dj.I/Dt.I.IV/Hm.01.1/09/2017.
82
diskriminasi. Menjalin kasih sayang dalam bingkai kemanusiaan tanpa memandang
agama, suku, ras, pilihan politik, aliran keagamaan dan kepercayaan. Menolak
gerakan Islam yang radikal. Ia juga mengajak alumni-alumni yang lain untuk
bergabung dalam organisasi tersebut.59
Fuad Al Ansori menambahkan bahwa alumni pondok pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman harus berjuang sesuai dengan apa yang telah Habib Saggaf
tanamkan. Ia sendiri memilih menjadi kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah di
daerah Bogor. Selain itu ia juga aktif sebagai kader GP ANSOR.60
Ia yakin bahwa
banyak alumni yang tergabung dalam organisasi tersebut di berbagai daerah. Hal
itu didasarkan bahwa doktrin yang Habib Saggaf tanamkan pada santrinya tentang
pengamalan Islam yang moderat begitu kuat.
Menarik untuk dicermati pula, menyikapi isu SARA yang sempat ramai di
arena pertarungan PILGUB DKI Jakarta. Alumni yang memiliki hak pilih di
Jakarta cenderung menolak hasutan yang membawa agama dalam panggung
politik. Muhammad Yakut menyayangkan atas beredarnya berita tidak akan
disholatkan jenazah orang muslim yang memilih pemimpin non-muslim (pasangan
Ahok-Djarot). Ia mengajak alumni area DKI Jakarta untuk menyikapi PILGUB
DKI Jakarta dengan melihat kejujuran, kemampuan, dan integritas dari masing-
masing pasangan calon. Tidak menggunakan isu agama untuk membuat
provokasi.61
Sayangnya, pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman belum memiliki
data valid tentang aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan alumni untuk
mengembangkan dan menjungjung tinggi ajaran pesantren tentang pendidikan
multikultural. Hal ini mengakibatkan peneliti tidak mampu menganilis lebih dalam
lagi. Namun, sejauh ini peneliti belum menemukan data bahwa alumni pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terlibat dalam kasus-kasus radikal.
2. Santri Memberdayakan Ekonomi Mandiri
Salah satu faktor tumbuh suburnya faham radikalisme adalah masalah
kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi. Tidak tersedianya lapangan pekerjaan
yang memadai. Orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan cenderung mudah
melakukan tindakan radikal yang berujung kriminal. Pendidikan di pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman mengarahkan santri-santrinya untuk menjadi
pengusaha dan membuka lapangan pekerjaan baru. Dengan begitu, alumni
diharapkan mapan secara ekonomi dengan memberdayakan ekonomi mandiri dan
mengikis faktor munculnya radikalisme.
Menurut Zulkifli Hasan selaku ketua MPR RI kemiskinan dapat menjadi
salah satu faktor pemicu munculnya gerakan radikalisme. Orang miskin biasanya
akses terhadap pendidikan dan kesehatan rendah, tidak punya tabungan dan tidak
59
Wawancara dengan Edi Trisnanto salah seorang alumni yang berasal dari
Purbalingga Jawa Tengah pada 11 Juli 2017. 60
Wawancara dengan Fuad Al Ansori, salah seorang alumni yang berasal dari
Bogor Jawa Barat pada 12 Juli 2017. 61
Wawancara dengan Muhammad Yakut, Ketua IKSANI area DKI Jakarta pada 9
September 2017.
83
punya investasi. Ketidakberdayaan karena keterbatasan itu selain kerap membuat
kualitas seseorang jadi rendah, juga dapat menimbulkan bahaya bagi masyarakat
yang ada di lingkungan orang tersebut. Saat mau sekolah tidak bisa, uang juga
tidak punya, orang jadi tidak punya harapan. Ketika itu kemiskinan bisa jadi
gerakan radikal.62
Hal serupa diuangkapkan oleh Ketua BPS (Badan Pusat Statistik)
Suhariyanto, bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia bisa mengakibatkan
timbulnya radikalisme. Sebab, salah satu munculnya radikalisme adalah tingginya
jumlah penduduk miskin di suatu negara. Seperti diketahui, radikalisme adalah
suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan
cara-cara kekerasan. Dengan adanya ketimpangan tersebut, penduduk miskin di
Indonesia merasa tersisihkan dari negara. Akibatnya, mereka akan dengan mudah
dipengaruhi oleh oknum-oknum yang menginginkan adanya perpecahan di Tanah
Air.63
Seperti diketahui, gini ratio64
di daerah perkotaan pada September 2016
sebesar 0,409, menurun tipis 0,001 poin dibanding Maret 2016 sebesar 0,410.
Sedangkan dibanding September 2015, gini ratio ini menurun 0,010 poin dari
sebelumnya sebesar 0,419. Sementara itu, gini ratio di daerah pedesaan pada
September 2016 sebesar 0,316, menurun 0,011 poin dibanding Maret 2016 sebesar
0,327. Angka ini juga menurun 0,013 poin dibanding September 2015 yang
mencapai 0,329.
Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ketua BNPT Komisaris
Jenderal Suhardi Alius, ia mengatakan bahwa radikalisme di era modern
menyerang masyarakat yang tanggap teknologi. Penyebaran paham radikal di
sosial media begitu masif. Jadi sudah bergeser dari sekedar masalah variabel
kemiskinan atau kurangnya pendidikan.65
Latar belakang alumni pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman yang
berasal dari berbagai daerah di Indonesia memiliki keuntungan tersendiri. Jaringan
yang terbentuk antar alumni diberbagai daerah merupakan modal yang dapat
dimanfaatkan dalam mengembangkan dunia usaha mereka. Masing-masing dari
mereka dapat bertukar barang dagangan khas daerah mereka. Misalnya, alumni
62
Ilham Tirta, Ketua MPR: Kemiskinan Bisa Memicu Radikalisme,
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/07/29/ottbez361-ketua-mpr-
kemiskinan-bisa-memicu-radikalisme. Diakses pada 5 Februari 2017. 63
Siti Nur Azzura, BPS sebut kemiskinan bisa timbulkan radikalisme,
https://www.merdeka.com/uang/bps-sebut-kemiskinan-bisa-timbulkan-radikalisme.html. Diakses pada 5 Februari 2017.
64Rasio Gini atau koefisien adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan
distribusi penduduk. ... Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan
sempurna, sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan
sempurna. 65
Yohanes Paskalis, BNPT: Pemicu Radikalisme tidak lagi kemiskinan dan
pendidikan, https://nasional.tempo.co/read/815363/bnpt-pemicu-radikalisme-tak-lagi-
kemiskinan-dan-pendidikan. Diakses pada 5 Februari 2017
84
pekalongan yang punya usaha batik dapat menyuplai alumni yang tinggal di
Kalimantan, Aceh maupun Papua.
Sejauh ini peneliti menemukan banyak alumni yang telah membuka usaha
secara mandiri. Ada yang jadi pengusaha bubur ayam, ayam bakar, fried chiken,
pecel lele, madu Sumbawa, batik, percetakan, kaligrafi, figura, toko sembako, agen
gas, laundry, nasi goreng, travel haji dan umroh, peternakan, fashion dan masih
banyak lagi. Menurut peneliti, hal ini merupakan sebuah keberhasilan pendidikan
pesantren dalam menanamkan ruh kewirausahaan.66
Namun yang disayangkan,
seperti yang peneliti sampaikan sebelumnya, manajemen pesantren belum memiliki
data valid terkait kegiatan alumni, sehingga pondok pesantren belum bisa
memetakan secara pasti outcome dari pendidikan pesantren tersebut.
Dengan adanya implementasi kemandirian ekonomi tersebut, para alumni
sudah terbebas dari salah satu faktor penyebab terjerumusnya kedalam faham
radikalisme dan terorisme. Mereka tidak gampang terpengaruh mengikuti faham
radikalisme dan terorisme karena iming-iming harta benda. Namun, memang untuk
terhindar dari radikalisme dan terorisme tidak cukup hanya sampai pemberdayaan
ekonomi saja, tetapi juga dalam hal lain seperti pemahaman toleransi secara
komprehensif, penggunaan media sosial yang sehat, sadar pemberitaan provokasi
dan hate speech dan lain sebagainya.
66
Berdasarkan penelusuran peneliti pada aktifitas alumni dengan sistem purposive sampling dan teknik snowball sampling. Lihat penjelasan peneliti pada bagan 1 BAB 1.
85
BAB IV
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL
SEBAGAI UPAYA KONTRA RADIKALISME DI PONDOK PESANTREN AL-
ASHRIYYAH NURUL IMAN
Pendidikan multikultural merupakan model penddidikan yang dapat
menjadikan manusia memiliki semangat humanis, demokratis, adil, toleransi,
gotong royong, dan terjaminya hak-hak manusia. Sementara kontra radikalisme
merupakan sebuah usaha untuk menepis benih-benih radikalisme yang timbul
akibat hilangnya semangat humanis, tidak adanya keadilan, minimnya toleransi,
dan tidak terjaminya hak-hak manusia. Kemudian, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kontra radikalisme berlawanan dengan radikalisme dan sejalan dengan pendidikan
multikultural. Semakin baik pelaksanaan pendidikan multikultural maka akan
semakin mendukung proses kontra radikalisme dan deradikalisasi.
Bab ini akan menjelaskan implementasi pendidikan berwawasan
multikultural dan kontra radikalisme di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul
Iman. Pertama kali yang akan dibahas adalah kebijaksanaan pesantren dalam upaya
pengembangan pendidikan berwawasan multikultural. Kemudian, dibahas tentang
elaborasi kitab kuning terhadap radikalisme dan pencegahanya. Selain itu, juga
dibahas implementasi pendidikan mutikultural melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Terakhir, dibahas tentang kendala-kendala yang dihadapi pesantren serta kebijakan
yang dilakukan.
A. Kebijaksanaan Pesantren Dalam Upaya Pengembangan Pendidikan
Berwawasan Multikultural
Menurut pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk merealisasikan amanat dari
undang-undang tersebut diperlukan berbagai upaya dan inovasi yang tertuang
dalam berbagai kebijakan pendidikan baik dilingkungan sekolah umum maupun
dilingkungan sekolah agama (pesantren).
Penentu sebuah kebijakan pesantren adalah seorang pimpinan pesantren,
dalam hal ini seorang kiyai atau penggantinya. Tidak jarang kebijakan yang
diambil oleh seorang pimpinan pesantren bersifat otoriter. Hal itu disebabkan oleh
kewibawaan kiyai yang disegani para santri dan pengurus pesantren, sehingga apa
yang telah menjadi keputusan seorang kiyai sudah berdasarkan pertimbangan akal
dan spiritual.1 Namun, tidak sedikit kiyai atau pimpinan pesantren yang bersikap
demokratis, ia memberlakukan sebuah kebijakan berdasarkan atas evaluasi,
1Seorang kiyai atau pimpinan pesantren sebelum memberlakukan sebuah kebijakan
biasanya melaksanakan munajat meminta petunjuk kepada Allah Swt. tidak hanya bedasar
pertimbangan logika saja.
86
informasi, usulan ataupun laporan yang disampaikan oleh para pengurus pesantren
dalam sebuah musyawarah antara kiyai pimpinan pesantren beserta jajaran
pengurus pesantren.
Di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, dalam menentukan kebijakan
menggunakan metode kolaborasi antara kedua model pengambilan kebijakan
tersebut di atas. Demokratisasi sebuah kebijakan dinilai baik untuk memberikan
kebebasan berekspresi, menuangkan ide dan berkarya bagi masing-masing jajaran
pengurus pesantren. Sementara, munajat seorang pimpinan pesantren dalam
pengambilan sebuah kebijakan juga diperlukan sebagai ciri khas sebuah pendidikan
agama (pesantren). Selain itu, aspirasi wali murid juga menjadi pertimbangan
dalam pengambilan sebuah kebijakan. Berikut alur sebuah penentuan kebijakan di
pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.
Untuk menopang keberhasilan pelaksanaan pendidikan multikultural yang
ada di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, pimpinan pesantren membuat kebijakan
sebagai berikut:
a) Bekerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah baik luar negeri
maupun dalam negeri. Seperti dengan Kementrian Perindustrian,
Kementrian Agama, Kementrian Pendidikan, Kemenrsitek Dikti,
Kemenhan, Kemendagri, Kedubes Amerika, Kedubes Jepang, Kedubes
Korea Selatan, dan lain sebagainya. Kerja sama yang terbentuk
mencerminkan sikap inklusif. Kerja sama yang terjalin bisa di bidang
pendidikan (pertukaran pelajaran), pertukaran budaya, pemberian
bantuan sarana prasarana, dan lain sebagainya. Melalui kerja sama ini
pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dapat mentransformasikan
nilai-nilai universal kemanusian dan mencerminkan sikap Islam yang
menjunjung tinggi kasih sayang.
Bagan 4.3: Skema Pengambilan Kebijakan di Pondok Pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman
Informasi/Keluhan/
Usulan Wali Santri
Pengurus
Pesantren
Pimpinan
Pesantren
Kebijakan
Tinjauan Ulang
Oleh Pimpinan
Pesantren
Revisi Kebijakan
87
b) Bekerja sama dengan lembaga non-pemerintah. Seperti Yayasan Budha
Tzuchi (Agama Budha), Yayasan Gandhi Sevaloka (agama Hindu),
Universitan di Taiwan, Universitas di Malaysia, dan berbagai pondok
pesantren di seluruh Indonesia. Pesantren al-Ashriyyan Nurul Iman
memiliki pemahaman bahwa kerja sama dengan umat agama lain tidak
akan merubah akidah. Justru sebagai lahan dakwah. Sebelum pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman berdiri, Habib Saggaf selaku pendiri telah
mempraktikan dengan bergaul dengan orang yang berbeda agama.
Beliau berpesan kepada santrinya agar memperbanyak teman. Pepatah
bilang banyak teman banyak rizki. Dari kerja sama ini mendapatkan
bantuan beras, pelatihan pertanian, asrama, dan lain sebagainya.
c) Memberikan kebebasan pada santri untuk mempelajari berbagai
budaya di Indonesia maupun dunia. Santri al-Ashriyyah Nurul Iman
memandang budaya itu sebagai produk manusia. Adakalanya ia baik,
adakalanya ia buruk (bertentangan syari’at). Untuk mengenali mana
baik dan mana yang buruk diperlukan penelitian dan pengematan. Oleh
karena itu santri al-Ashriyyah Nurul Iman diberikan kebebasan untuk
mempelajari budaya-budaya lain di luar dirinya. Bukan untuk
diduplikasi tapi diambil manfaatnya. Apabila budaya itu baik maka
harus dikembangkan, sedangkan apabila budaya itu buruk maka harus
dihindari dan dicari solusi untuk pencegahan persebaran budaya
tersebut.
d) Mengajarkan cara berdemokrasi yang baik melalui berbagai pemilihan
ketua organisasi, mengajarkan penyampaian pendapat dengan santun
dan menaati pemerintah. Santri merupakan salah satu generasi penerus
masa depan masyarakat, bangsa, dan Negara. Oleh karenanya, santri
harus tau betul cara berdemokrasi yang sesuai dengan kearifan lokal
agar tidak terjadi konflik antar sesame gara-gara merebut tahta dalam
proses berdemokrasi. Diajarkan menghargai perbedaan pendapat,
menyampaikan pendapat, dan tidak menyebarkan berita bohong (hoax)
apalagi fitnah.
e) Mengajarkan berprasangka baik dan mengurangi prasangka buruk
terhadap siapapun, meskipun berbeda ras, suku, agama, bangsa, dll.
Dalam Islam, berprasangka buruk itu dilarang. Prasangka buruk
merupakan bagian dari dosa. Selain itu, prasangka buruk juga akan
menimbulkan kecurigaan-kecurigaan yang tak berdasar sehingga
menyebabkan ketidakharmonisan yang berujung perpecahan. Dengan
demikian prasangka buruk menjadi hambatan untuk menjalin
hubungan yang harmonis antar sesame manusia. Agama Islam
mengedepankan berprasangka baik.
f) Memberikan pendidikan yang integratif dan holistik. Sudah menjadi
kebutuhan yang primer apabila manusia ingin menjadi manusia yang
hidup damai sentosa dan sejahtera. Kuncinya adalah berilmu. Berilmu
agama yang cukup dan pengetahuan umum yang mumpuni. Harus
mampu menggabungkan atau mengkolaborasikan ilmu agama dan
88
umum. Keduanya saling membutuhkan dan melengkapi. Tidak dapat
sempurna jika keduanya tidak seimbang. Oleh karenanya, di pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman selain diajarkan ilmu agama juga
diajarkan ilmu umum serta pelatihan-pelatihan wirausaha sampai
mahir. Selain itu juga dijarkan cara bermasyarakat yang baik.
Demikianlah wujud dari implementasi pendidikan yang integrative dan
holistik.
g) Memberikan pelayanan yang sama rata terhadap seluruh santri, tidak
ada diskriminasi meskipun berasal dari status sosial yang berbeda.
Sudah sepatutnya di sebuah lembaga pendidikan tidak mengotak-
ngotakan seorang siswa. Mereka harus diajarkan saling pengertian dan
saling merasakan. Tujuanya, agar satu sama lain terjadi ikatan
kekeluargaan yang sangat kuat. Istilah orang jawa ‚mangan ora mangan seng penting ngumpul‛. Melalui penyamarataan fasilitas inilah
mereka dapat hidup saling guyub, rukun, saling bahu membahun,
tolong menolong. Tidak timbul kecemburuan antar santri. Kalau pun
toh ada kecemburuan itupun berangkat dari faktor eksternal pesantren,
misalnya santri yang berasal dari keluarga kaya lebih sering dijenguk
dan mendapat kiriman dari keluarganya.
h) Menghormati bahasa dan dialek asli santri dari setiap daerah. Bahasa
daerah menjadi kekayaan lokal masing-masing individunya. Setiap
individu tentunya harus bangga terhadap kekayaan yang ia miliki serta
sudah menjadi kewajibanya untuk melestarikan bahasa daerah tersebut.
Di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terdapat kebijakan
penggunaan bahasa daerah di waktu tertentu. Misalnya pada hari libur
atau saat pukul 21.00 WIB sampai dengan 04.00 WIB. Harapan dengan
kebijakan ini masing-masing santri dapat melestarikan kekayaan
daerah asalnya dan juga mampu mempelajari bahasa daerah teman
santri lainya.
i) Mengundang umat agama lain (non-muslim) untuk menghadiri acara
kegiatan keagamaan, misalnya maulid nabi, isra’ mi’raj, idul adha, dll
dan memperbolehkan masuk masjid. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
memberikan teladan toleransi kepada santri secara praktik atau biasa
disebut dengan internalisasi. Santri harus terlibat langsung dengan
orang non-muslim agar mereka dapat benar-benar mempraktekkan
toleransi antar umat beragama.
j) Melakukan penyeleksian terhadap penerimaan tenaga pendidik.
Pendidik merupakan salah satu faktor penunjang dan penentu
berhasilnya anak didik. Oleh karenanya perlu penyeleksian yang ketat
terhadap kualitas dan mutu pendidik. Penyeleksian dilakukan oleh guru
yang sudah memiliki kompetensi yang mumpuni beserta pengurus
sekolah. Setelah dinyatakan oleh lulus oleh tim seleksi baru
dihadapkan pada ketua yayasan. Keputusan akhir ada pada pihak
yayasan.
89
k) Memberikan pelatihan pada guru dalam menyiapkan dan
menyampaikan seperangkat materi yang diajarkan pada santri.
Pelatihan sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu dan kualitas
guru. Biasanya mengundang narasumber yang sudah sangat ahli di
bidangnya. Misalnya dari dinas pendidikan, pakar pendidikan, dan lain
sebagainya yang sesuai dengan tema pelatihan yang diagendakan.
l) Memperbolehkan santri menghadiri acara keagamaan umat agama lain.
Menghadiri acara umat agama lain bukan berarti setuju dengan
keyakinan mereka. Melainkan sebuah pendidikan untuk menajamkan
rasa toleransi, menghargai, dan menghormati. Jika mereka mau
berkunjung ke acara keagamaan pondok pesantren, maka santripun
harus menghormati dan menghadiri undangan acara keagamaan
mereka.
m) Mengirimkan santri ke daerah-daerah tertinggal di berbagai negeri
untuk mengajar dan menebarkan nilai-nilai multikultural. Dakwah
merupakan kewajiban seorang santri. Dakwah dapat dilakukan dalam
berbagai kegiatan sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. Bisa
dengan mengajar, bermusik, melukis, menggambar, dan lain
sebagainya. Santri yang dikirim ke daerah perbatasan merupakan santri
yang memiliki kompetensi mengajar dan memiliki kompetensi
kemampuan komunikasi yang baik. Hal ini bertujuan agar mereka
dapat membaur dan mudah diterima di lingkungan masyarakat daerah
perbatasan. Kegiatan ini merupakan kegiatasn kerja sama dengan
kemenag RI. Daerah perbatasan yang dimaksud adalah papua,
Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Batam, dan lain sebagainya.
Melalui berbagai kebijakan tersebut diharapkan pendidikan multikultural
mampu merealisasikan transformasi pendidikan dengan memberikan pengaruh
terhadap perubahan sosial. Paul C. Gorski, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan
multikultural adalah sebagai proses transformasi. Ada tiga bagian transformasi
yang dilakukan, yaitu: transformasi pendidikan terhadap diri pribadi (the transformation of self), tarnsformasi pendidikan di sekolah (the transformation of school and schooling), dan tarnsformasi pendidikan di lingkungan masyarakat (the transformation of society). Ketiga tujuan transformasi ini dimasukkan dalam
rumusan kurikulum pendidikan dengan melakukan pemeriksaan dan pengukuran
terhadap segala aspek pendidikan, seperti persiapan guru, materi pendidikan,
kurikulum, ruang kelas, praktik konseling, dan assessment.2 Demikianlah beberapa proses transformasi pendidikan yang dilakukan
melalui pengimplementasian pendidikan multikultural, sebagai upaya untuk
mewariskan pada generasi muda kemampuan intelektual umum dan keagamaan
yang memadai juga jiwa sosial kemanusian yang cukup tinggi. Pendidikan sebagai
usaha restorasi budaya tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan
sebagai penyelenggara pendidikan formal tetapi juga keluarga dan mayarakat. Pada
2Paul C. Gorski, Multicultural Education and The Internet Intersection and
Integrations (New York: McGraw-Hill, 2005), 12-15.
90
akhirnya, setiap pendidikan harus mempersiapkan generasi muda untuk
mengarungi kehidupan masa depan yang terdiri dari: 1) kemampuan untuk mencari
nafkah, 2) kemampuan untuk mengembangkan kehidupan yang bermakna, dan 3)
kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan.
B. Doktrin yang dikembangkan Pesantren
Dalam mendidik santri di bidang Ibadah, pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman memilih Madzhab Syafi’i sebagai amaliah sehari-hari. Di bidang
Teologi memilih Ash’ariyyah Maturidiyyah. Meskipun begitu, pondok pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman tetap mengembangkan pengetahuan perbandingan
madzhab. Sedangkan dalam bermu’amalah tidak melulu hanya merujuk pada
Madzhab Syafi’i melainkan juga Madzhab Hanafi, Maliki maupun Hambali.3
Melalui luasnya pemahaman/cara pandang dibidang fiqh yang bersumber dari
beragam madzhab tersebut mampu berimplikasi pada santri untuk bersikap
moderat, tidak mudah menjustifikasi, tidak mendiskriminasi dan tidak
mendiskreditkan.
Berdasarkan pengakuan warga sekitar, pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
mengajarkan kepada santrinya untuk berhubungan baik kepada sesama apalagi
kepada tetangga4, dalam hal ini warga kampung sekitar pesantren. Mereka sangat
tidak keberatan untuk membantu warga kampung sekitar pesantren jika dimintai
pertolongan, bahkan sebelum dimintai pertolonganpun mereka sigap membantu.
Misalnya, saat terjadi musibah yang menimpa warga sekitar, menghadiri undangan
pengajian dan membagi-bagi sembako atau daging kurban meskipun warga sekitar
pesantren tersebut dalam segi aliran keagamaan berbeda paham dengan pesantren.
Misalnya, ada warga sekitar yang menolak penggunaan speaker (aspek/anti speaker) di mushola/masjid/saat pelaksanaan pengajian/ibadah sedangkan di
3Misalnya pendapat tentang pembolehan wanita haidh membaca al-Qur’an.
Sebenarnya Jumhur ulama (Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin
Hambal) mengatakan bahwa wanita haid haram membaca al-Qur’an (termasuk menghafal
dan setoran). Sedangkan Imam Malik memperbolehkan wanita haidh membaca, menghafal
dan setoran al-Qur’an agar tidak terjadi kekosongan ibadah dalam waktu yang lama selama
masa haidh. Dalam hal ini praktik yang terjadi di pondok pesantren al-Ashriyyah mengikuti
pendapat Imam Malik. Begitupun dalam hal menerima bantuan dari non-muslim, pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman lebih memilih pendapat yang memperbolehkan karena
untuk menjalin kasih sayang dalam keberlangsungan kehidupan. 4Sikap tersebut didasarkan pada sebuah hadi>th dibawah ini:
عن أب هررة رض الله عنه : أن رسول الله صلى الله عله وسلم قال : من كان ؤمن بالله والوم الآخر ، فلقل خرا أو لصمت ، ومن كان ؤمن بالله والوم الآخر ، فلكرم جاره
‚Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau
diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati
tetangganya‛
91
pesantren menggunakan speaker. Mereka tetap hidup berdampingan dan saling
bertoleransi.5
Sikap yang moderat selalu beriringan dengan nilai-nilai multikultural.
Terkait pendidikan multikultural, pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
memahaminya sebagai sebuah usaha/langkah/kegiatan dalam membina/mendidik
manusia agar memiliki wawasan yang luas, holistik dan integratif, cerdas,
berketerampilan yang cakap, kreatif, bertoleransi tinggi dan menebarkan kasih
sayang dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap perbedaan latar belakang
baik agama, ras, suku, bangsa, status sosial, aliran keagamaan dan aliran politik
serta selalu bersikap inklusif atas dasar bahwa seluruh santri pasti memiliki salah
satu dari multiple intelligences6 (kecerdasan majemuk).7
Semua santri yang mendaftarkan diri di pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman semua diterima. Tidak dilakukan tes formal sebagaimana yang
dilakukan oleh sekolah-sekolah elit.8 Kebijakan itu didasarkan pada konsep
multiple intelligences. Bahwa kecerdasan seseorang tidak bisa dibatasi dengan
indikator-indikator yang ada dalam achievement test (tes formal). Sebab setelah
diteliti, ternyata kecerdasan seseorang itu selalu berkembang (dinamis), tidak
statis. Tes yang dilakukan untuk menilai kecerdasan seseorang, praktis hanya
menilai kecerdasan pada saat itu, tidak untuk satu bulan lagi, apalagi satu tahun
lagi. Menurut Gardener, kecerdasan dapat dilihat dari kebiasaan seseorang. Padahal
kebiasaan adalah perilaku yang diulang-ulang. Sumber kecerdasan seseorang
adalah kebiasaannya untuk membuat produk-produk baru yang punya nilai budaya
(kreativitas) dan kebiasaanya menyelesaikan masalah secara mandiri (problem solving).
9
Dalam bukunya yang terkenal ‚Smart Baby, Clever Child‛, Valentine
Dmitriev mengatakan ada dua faktor dalam perkembangan otak manusia yang
menjadikan beberapa orang lebih pandai dari pada orang lain. Faktor itu adalah
keturunan dan lingkungan. Tidak banyak yang bisa dilakukan orang tua untuk
mengubah warisan gen seorang bayi, tetapi sangat banyak yang bisa dilakukan
untuk mengoptimalkan faktor lingkungan guna meningkatkan potensi
5Wawancara dengan Pak Capung selaku warga kampung sekitar Pondok Pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman pada 15 September 2017. 6Dalam buku Konsep dan Makna Pembelajaran dipaparkan delapan kecerdasan
majemuk (multiple intelligences) yaitu kecerdasan verbal/bahasa, kecerdasan
logika/matematika, kecerdasan spasial/visual, kecerdasan tubuh/kinestetik, kecerdasan
musical/ritmik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan spiritual.
Delapan kecerdasan tersebut dilontarkan oleh Howard Gardner. Lihat Syaiful Sagala,
Konsep dan Makna Pembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2013), 86. 7Wawancara dengan Ummi Waheeda selaku Pimpinan Pesantren Al Ashriyyah
Nurul Iman di Parung Bogor 14 September 2017. 8Rata-rata sekolah yang diminati oleh banyak murid dan orang tua murid,
melakukan seleksi dengan tes formal yang ketat, seperti Sekolah Dwi Warna, Madania,
Pesantren Gontor, dll. 9Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di
Indonesia (Bandung: Mizan Pustaka, 2011), 71, cet. IX.
92
perkembangan seorang anak. Otak tumbuh sebagai hasil dari informasi yang
diterima, disimpan, dan diprosesnya. Dengan kata lain otak tumbuh melalui proses
yang disebut ‚belajar‛.10
Dengan sistem yang telah dirancang, pondok pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman meyakini bahwa semua santri nantinya akan jadi orang
cerdas sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Kebijakan pesantren tersebut sesuai dengan prinsip yang disampaikan oleh
H.A.R Tilaar. Menurutnya ada tiga prinsip yang harus ada dalam pendidikan
multikultural. Pertama, pendidikan multikultural berdasarkan atas pedagogik
kesetaraan (equity pedagogic). Prinsip ini bukan hanya mengakui akan hak asasi
manusia melainkan hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, dan kelompok
bangsa. Kedua, pendidikan multikultural ditujukan untuk mewujudkan manusia
Indonesia yang cerdas. Ketiga, pendidikan multikultural mampu mengambil dan
memanfaatkan peluang dari globalisasi.11
Oleh karenanya pondok pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman bersikap inklusif pada siapapun atau lembaga apapun yang
memiliki cita-cita luhur mengangkat harkat dan martabat manusia.
Pemahaman pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terhadap
pendidikan multikultural juga sesuai dengan empat pilar dalam multikulturalisme
yaitu demokrasi, persamaan, kebebasan, dan pluralisme.12
Dalam hal demokrasi,
para santri dididik melalui berbagai pemilihan umum seperti pemilihan Ketua Osis,
Ketua BEM, Ketua Forum Mahasiswa, Ketua Pondok, Ketua Konsulat13
, dan
bidang-bidang yang lain. Melalui pemilihan tersebut santri diajarkan bagaimana
merumuskan dan menyampaikan visi misi dalam memimpin sebuah organisasi,
memengaruhi orang lain, melatih pengambilan keputusan, dan berpolitik secara
sehat. Dalam hal persamaan/kesetaraan, santri diberikan fasilitas yang sama baik
makan, minum, tempat tidur, MCK, tempat belajar, dan tempat berolahraga.
Dalam hal kebebasan, santri diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi
yang ia miliki, misalnya dengan cara bermusik, mengikuti bela diri, dan menekuni
bidang keilmuan tertentu. Tidak ada paksaan kepada santri yang belajar di
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, ketika telah menjadi alumni harus menjadi
seorang Ulama, Politisi, Seniman, ataupun lainya. Sedangkan dalam hal pluralisme,
santri diajarkan untuk berinteraksi dengan non-muslim secara langsung. Mereka
dilatih untuk bekerja sama dalam berbagai kegiatan sosial secara baik dengan non-
muslim.
Menurut Ummi Waheeda, pendidikan model seperti ini –yang oleh para
pakar disebut dengan pendidikan multikultural– telah dipraktikkan oleh Habib
10
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia, 73.
11H.A.R Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalm
Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 216-222. 12
Abuddin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam (Depok: Rajawali Pers, 2014), 235-
254. 13
Sebuah organisasi santri yang memiliki latar belakang daerah yang sama,
misalnya konsulat Kesip (Keluarga Santri Pekalongan), IKSAB (Ikatan Santri Bogor),
ISNAD (Ikatan Santri Asal Demak), INSAP (Ikatan Santri Asala Purwodadi), HISBAN
(Himpunan Santri Asal Banyumas), ORTIM (Organisasi Orang Timur), dll.
93
Saggaf sejak pertama kali pesantren didirikan. Pendidikan multikultural di al-
Ashriyyah Nurul Iman diberlakukan bukan sebagai respon setelah maraknya
fenomena radikalisme. Bahkan, pendidikan mutlikultural harus tetap dilestarikan
meskipun fenomena radikalisme telah hilang, karena sudah sepatutnya antar
manusia saling menjaga keharmonisan satu sama lain, gotong royong dan saling
tolong menolong tanpa adanya rasa saling curiga dan berburuk sangka, meskipun
berbeda Agama, Suku, Ras, Bangsa, dan Negara. Istilah pendidikan multikultural
hanya menjadi rumusanya saja.
Dalam pendidikan multikultural yang diterapkan di pondok pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman juga mempunyai upaya memperdalam dan memperluas
komunikasi interpersonal ataupun internasional pada persoalan ekonomi, budaya
maupun persoalan sosial lainya terhadap segala perbedaan. Perbedaan budaya tidak
akan menjadikan sebuah permasalahan bahkan dapat menjadi kesempatan untuk
memperkaya pengalaman. Tentu pengalaman tersebut dapat bermanfaat untuk
pengembangan kehidupan sosial. Salah satu contoh di China proses integrasi
multikulturalisme melalui pengajaran bahasa Inggris menjadi efektif sebagai
jembatan transmisi budaya yang baik dari Barat maupun dari Timur. Melalui
pengajaran bahasa Inggris tersebut dapat menjadi jembatan untuk memberikan
kepahaman kepada siswa agar saling mengenal budaya Barat dan Timur.14
1. Kurikulum Penentu Output-Outcome Pesantren
Kurikulum merupakan salah satu aspek penting di dalam sebuah lembaga
pendidikan. Kurikulum diibaratkan sebagai sebuah rel dimana gerbong lembaga
pendidikan itu berjalan dan sampai pada tujuanya. Kurikulum direncanakan sesuai
dengan tujuan lembaga pendidikan didirikan, sehingga menopang visi misinya.
Sebagai contoh di dalam masyarakat yang demokratis, kurikulum menjadi media
untuk mempersiapkan pengalaman belajar anak didik agar mampu bersikap dan
berpikir merdeka terhadap orang lain. Kemudian, untuk menumbuhkan sikap
penghargaan dan toleransi, pengakuan dan penerimaan terhadap perbedaan,
kemajemukan, dan pengayaan kehidupan individu yang berkaitan dengan kelas
sosial dan ras. Selanjutnya, untuk pemberdayaan politik dan sosial serta menerima
keragaman pemikiran.15
Dalam bahasan Arab, istilah kurikulum diartikan dengan manhaj, yakni
jalan yang terang, atau jalan yang terang yang dilalui pendidik/guru dengan peserta
didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-
nilai.16
Al-Khauly menjelaskan al-Manhaj sebagai perangkat rencana dan media
untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan
14
Li Wei, ‚Integrating of Multiculture Education into English Teaching and
Learning: A Case Study in Lioning Police Academy‛ Theory and Practice in Language Studies, vol. 3, no. 4 (2013): 612-619
15A.V. Kelly, The Curriculum: Theory and Practice, 6
th Edition (London: SAGE
Publication, 2009), 8. 16
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), 1.
94
yang diinginkan.17
Sementara menurut Kemp, Morrison dan Ross, sebuah
kurikulum menekankan pada isi mata pelajaran dan keterampilan-keterampilan
yang termuat dalam suatu program pendidikan.18
H.A.R Tilaar mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah infomasi dan
pengalaman yang disampaikan kepada anak didik. Menurutnya, kurikulum harus
direncanakan berdasarkan kebutuhan siswa sehingga dapat mengeksplorasi potensi,
skill yang dimiliki masing-masing siswa. Jika penentuan kurikulum secara uniform yaitu dari atas kebawah atau dari pemerintah ke sekolah, maka akan mengabaikan
hal-hal yang menjadi kebutuhan anak didik. Pola uniform dalam perencanaan
kurikulum dapat menjadi sebuah indoktrinasi melalui metode pemaksaan dan
kemudian diukur melalui suatu standar. Kurikulum yang demikian ini bertentangan
dengan prinsip kurikulum yang berpusat pada anak didik atau masyarakat. Sudah
tentu kurikulum seperti ini tidak mengakui otonomi individu, sehingga merupakan
suatu penindasan terhadap kreatifitas anak didik. Sebaiknya kurikulum ditentukan
bukan dari atas ke bawah melainkan dari bawah ke atas.19
Kurikulum sebagai salah satu komponen pendidikan sangat berperan dalam
mengantarkan peserta didik pada tujuan pendidikan yang diharapkan. Untuk itu,
kurikulum merupakan kekuatan utama yang memengaruhi dan membentuk proses
pembelajaran. Kesalahan dalam penyusunan kurikulum akan menyebabkan
kegagalan suatu pendidikan dan pendzaliman terhadap peserta didik.20
Herman H.
Home memberikan dasar bagi penyusunan kurikulum atas tiga macam, yaitu:
1. Dasar Psikologis, digunakan untuk memenuhi dan mengetahui
kemampuan yang diperoleh dan kebutuhan peserta didik (the ability and needs of children).
2. Dasar Sosiologis, digunakan untuk mengetahui tuntutan masyarakat
(the legitimate demands of society) terhadap pendidikan.
3. Dasar Filosofis, digunakan untuk mengetahui nilai yang akan dicapai
(the kind of universe in which we live).21
Bila dianalisis lebih jauh, dasar kurikulum yang ditawarkan di atas belum
lengkap untuk dijadikan dasar kurikulum pendidikan Islam, dalam hal ini
pesantren. Sebab dalam pendidikan Islam ada usaha-usaha untuk mentransfer dan
menanamkan nilai-nilai agama (ilahiah) sebagai titik sentral tujuan dan proses
17
Muhammad Ali al-Khauly, Qa>mus al-Tarbiyah: Injilizy-Araby (Beirut-Libanon:
Da>r al-‘a>lim lil al-Malayin, 1981). 18
Kemp, JE. Morrison, G.R. dan Ross, S.M., Designing Effective Instruction (USA: Macmillan College Publishing Company, inc., 1994). Dalam Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), 2.
19H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 356-358. 20
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), 310.
21Herman H. Home dalam Oemar Muhammad al-Toumy al-Shaibani, Falsafah
Pendidikan Islam. Diterjemahkan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 485.
95
pendidikan Islam. Oleh karena itu, al-Shaibany memberikan kerangka dasar yang
jelas tentang kurikulum Islam, yaitu:
1. Dasar Agama. Dasar ini hendaknya menjadi ruh dan target tertinggi
dalam kurikulum. Dasar agama dalam kurikulum pendidikan Islam
jelas harus didasarkan pada al-Qur’an, al-Sunnah dan sumber-sumber
yang bersifat furu’ lainya.
2. Dasar Falsafah. Dasar ini memberikan pedoman bagi tujuan pendidikan
Islam secara filosofis, sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum
mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk
nilai-nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran, baik ditinjau dari
segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi.
3. Dasar Psikologis. Dasar ini memberikan landasan dalam perumusan
kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan psikis peserta
didik, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya, memerhatikan
kecakapan pemikiran dan perbedaan perorangan antara satu peserta
didik dengan lainya.
4. Dasar Sosial. Dasar ini memberikan gambaran bagi kurikulum
pendidikan Islam yang tercermin pada dasar sosial yang mengandung
ciri-ciri masyarakat Islam dan kebudayaanya, baik dari segi
pengetahuan, nilai-nilai ideal, cara berfikir dan adat kebiasaan, seni
dan sebagainya. Sebab tidak ada suatu masyarakat yang tidak
berbudaya dan tidak ada suatu kebudayaan yang tidak berada pada
masyarakat. Kaitanya dengan kurikulum pendidikan Islam sudah tentu
kurikulum harus mengakar terhadap perubahan masyarakat dan
perkembanganya.22
Dengan berlandaskan kepada dasar-dasar tersebut, diharapkan kurikulum
pendidikan Islam akan dapat mengantarkan peserta didik untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Selanjutnya ada pula tujuan pendidikan diformulasi dengan berlandaskan
keyakinan atas suatu aliran kepercayaan dan agama. Misalnya, Calvinisme dan
Shintoisme. Calvinisme dengan ajaran inti Protestan yang melahirkan tujuan
pendidikan yang menekankan kerja keras dan berhemat cermat. Ajaran ini lahir
dari pandangan Max Weber. Adapun Sintoisme yang memercayai Kaisar Jepang
adalah keturunan Dewa Matahari (Amiterasu Omi Kami) telah melahirkan
keyakinan dikalangan rakyatnya sebelum perang dunia II bahwa rakyat harus
mengabdi kepada Kaisar seperti mengabdi kepada Amiterasu Omi Kami. Dalam
kehidupan sehari-hari, pandangan ini berimplikasi pada kepatuhan kepada
pemimpin dan rasa tanggung jawab yang besar sebagai inti dari ajaran Bosido yang
menjadi falsafah hidup mereka.
Terbentuknya warga Negara pragmatis yaitu warga Negara Comunist Marxist yang mampu bekerja keras, hemat, cermat dan warga Negara yang berjiwa
Basido. Tentunya, tidak serta merta (otomatis), melainkan melalui pendidikan dan
22
Oemar Muhammad al-Toumy al-Shaibani, Falsafah Pendidikan Islam. Diterjemahkan Hasan Langgulung, 520-522.
96
latihan yang memakan waktu lama. Dengan kata lain, mereka harus melalui
lembaga pendidikan yang didalamnya termuat paket pengajaran (kurikulum) yang
serasi dengan tujuan yang akan dicapai.23
Falsafah pendidikan Islam tentunya berdasarkan al-Qur’an sebagai sumber
utamanya dan otomatis menjadikan al-Qur’an sebagai sumber utama dalam
penyusunan kurikulumnya. Muhammad Fadhil al-Jamili mengemukakan bahwa al-
Qur’an al-Karim adalah kitab terbesar yang menjadi sumber filsafat pendidikan
dan pengajaran bagi umat Islam. Sudah seharusnya, kurikulum pendidikan Islam
disusun sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadith untuk melengkapinya. Di dalam al-
Qur’an dan al-Hadith ditemukan kerangka dasar yang dapat dijadikan sebagai
pedoman operasional dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam. Kerangka
tersebut adalah: (1) Tauhid dan (2) Perintah membaca.24
Menurut para ilmuan muslim, mereka banyak memberikan pandangan
tentang apa saja yang harus diketahui dan dipelajari oleh manusia selaku hamba
Allah, selaku anggota masyarakat, dan selaku pribadi berakhlak mulia. Diantaranya
adalah:
1. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok ilmu yaitu:
a) Ilmu yang tercela. Banyak atau sedikit, ilmu ini tidak ada manfaatnya
bagi manusia, baik di dunia dan di akhirat; misalnya ilmu sihir, nujum,
dan perdukunan. Nilai ilmu ini, jika dipelajari maka akan membawa
mudharat dan akan meragukan kebenaran adanya Allah. Oleh karena itu
jauhilah ilmu tersebut.
b) Ilmu yang terpuji. Banyak atau sedikit, ilmu ini akan membawa
manfaat di dunia dan di akhirat. Misalnya ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu
tajwid dan ilmu agama lainya. Ilmu ini bila dipelajari akan menjadikan
jiwa menjadi suci, bersih, dan terhindar dari kerendahan dan keburukan.
Dengan ini, manusia dapat mendekatkan diri pada Allah.
c) Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu yang tidak boleh didalami, karena
ilmu ini akan membawa kepada kegoncangan iman. Misalnya, ilmu
filsafat. Ilmu hanya dapat dipahami oleh segelintir orang yang telah
memiliki keimanan yang kuat dan dasar pikir yang matang.
Dari klasifikasi ilmu di atas, al-Ghazali membagi lagi menjadi dua
kelompok ilmu yang dilihat dari kepentinganya, yaitu: (1) ilmu fardhu ‘ain (wajib).
Wajib diketahui oleh semua orang muslim, yatitu ilmu agama; ilmu yang
bersumberkan dari kitab suci Allah dan Sunnah Rasulullah. (2) ilmu fardhu
kifayah. Tidak diwajibkan bagi setiap muslim. Ilmu ini bermanfaat untuk
keberlangsungan kehidupan dan memudahkan urusan hidup duniawi, seperti ilmu
23
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, 312.
24Muhammad Fadhil al-Jamili dalam Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam:
Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, 314.
97
hitung (matematika), ilmu astronomi, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu
pertanian, ilmu industri, ilmu dagang, dan bidang ilmu sosial dan sain lainya.25
2. Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam, yaitu:
a) Ilmu Lisan, yaitu ilmu lughah, nahwu, baya>n dan adab (sastra) atau
bahasa yang tersusun secara puitis (sha’ir).
b) Ilmu Naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi.
Ilmu ini berupa membaca al-Qur’an dan tafsirnya, mempelajari sanad
hadith dan perselisihanya, serta metode istimbath qanun-qanun fiqh. Dengan ilmu ini manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah
yang diwajibkan atas manusia. Sedangkan untuk memahami al-Qur’an
peserta didik hendaknya mempelajarinya melalui ilmu-ilmu tafsir, ilmu
hadith, ilmu ushul fiqh yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-
hukum Allah.
c) Ilmu Aqli, yaitu ilmu yang dapat mengembangkan daya pikir atau
kecerdasanya, seperti filsafat dan semua ilmu pengetahuan aqli lainya.
Termasuk dalam kategori ilmu ini adalah ilmu mant}iq (logis), ilmu
alam, ilmu teknik, ilmu hitung, tingkah laku (psikologi), astronomi,
kesehatan/ kedokteran. Terkait ilmu nujum, Ibnu Khaldun
menganggapnya sebagai ilmu fasid, karena ilmu ini dipergunakan untuk
meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan.
Hal itu merupakan sesuatu yang keliru dan berlawanan dengan ilmu
tauhid yang menegaskan bahwa tidak ada yang menciptakan kecuali
Allah sendiri.26
3. Ibnu Sina’ membagi ilmu pengetahuan pada dua jenis, yaitu: pertama, ilmu
nadhari (teoritis). Yaitu ilmu alam, ilmu riyadhi (ilmu urai atau matematika)
dan ilmu ilahi (ketuhanan); ilmu yang mengandung i’tibar tentang wujud
kejadian alam dan isinya melalui pengalisaan yang jelas dan jujur sehingga
diketahui siapa penciptanya. Kedua, ilmu amali (praktis) yaitu ilmu yang
membahas tentang tingkah laku manusia dilihat dari segi tingkah laku
individualnya. Ilmu ini menyangkut ilmu akhlak yang membicarakan tingkah
laku manusia, ilmu siya>sah (politik), filsafat dan berbagai cabangnya yang
bertujuan untuk mengetahui segala sesuatu menurut kemampuan akalnya.
Disamping itu, secara teoritis filsafat bertujuan untuk menyempurnakan jiwa
melalui hakekat kebenaran ilmu yang diperoleh. Sementara secara praktis
filsafat bertujuan menyempurnakan jiwa manusia yang dimunculkan melalui
amal perbuatan. Tujuan pertama adalah pengetahuan yang haq. Sedangkan
tujuan yang kedua adalah menuju kepada ma’rifat (mengetahui) atas nilai-
nilai kebaikan.27
25
Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul
Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003), h.30-31. 26
Ibnu Khaldun dalam Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, Terj. Arifin (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
27Ibnu Sina’ dalam Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis
Sistem Pendidikan Islam, 320.
98
Dari paparan tentang klasifikasi ilmu oleh ilmuan muslim dapat
disimpulkan bahwa tidak dapat dipertentangkan antara ilmu agama dan ilmu
umum. Keduanya diperlukan dan sangat bermanfaat bagi kehidupan, serta antara
keduanya saling menguatkan. Sebagaimana telah dibahas di BAB III, bahwa
pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman memadukan antara sistem pendidikan
salafiyah yang merujuk pada pembahasan kitab klasik serta sistem pendidikan
modern yang merujuk pada kurikulum yang ditetapkan oleh Kementrian
Pendidikan Republik Indonesia. Disamping itu, karena pendidikan di pesantren ini
adalah pendidikan padat karya, maka santri juga belajar membuat roti, tahu, tempe,
kecap, susu kedelai, mie telor, sabun, tata cara menjahit, air mineral, percetakan,
peternakan, animasi video, dan perakitan komputer.
Adapun kurikulum yang berlaku di sekolah formal (SD, SMP, dan SMA) di
lingkungan pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman adalah kurikulum 2013.
Sedangkan kurikulum yang berlaku di perguruan tinggi adalah sesuai dengan SN-
DIKTI (Standar Nasional Pendidikan Tinggi). Semua kurikulum tersebut sesuai
dengan penjelasan A.V. Kelly. Ia mengkategorikan sebagai berikut, pertama
kurikulum formal. Kurikulum ini tercermin dalam bentuk dokumen kurikulum
sekolah, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), bentuk penilaian, dan
rujukan belajar. Kedua, hidden kurikulum, kurikulum ini berbeda dengan kurikulum
formal, yakni berupa interaksi secara fisik, personal, maupun sosial antar siswa,
dan guru di lingkungan sekolah. Ketiga, kurikulum informal, kurikulum ini berupa
aktifitas siswa seperti olahraga, pengembangan diri, kejurnalisan, pencaksilat,
kelompok diskusi dan lain sebagainya. Kurikulum ini biasa disebut dengan
kurikulum ekstra. Semua kurikulum tersebut di dalam lembaga sekolah disebut
dengan ‚total kurikulum‛ (the total curriculum).28
Kurikulum tersebut dieksplorasi
untuk menanamkan nilai-nilai multikultural kepada santri.
Sedangkan kurikulum salafnya berbasis pada pembelajaran kitab kuning.
Meliputi fan/bidang al-Qur’an (Tafsir dan Tajwid), hadi>th dan us}u>l al-hadi>th,
Aqidah, Akhlak dan Tasawwuf, Fiqh dan us}u>l al-fiqh, Lughah (Gramatikal dan
Praktikal). Kitab-kitab yang diajarkan adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1: Klasifikasi Kitab Kelas I’da>d
No Fan/Bidang Keilmuan Nama Kitab
1. Al-Qur’an Turutan
2. Fiqih Praktis Fas}a>latan
3. Imla’ Kita>bati>
Tabel 4.2: Klasifikasi Kitab Kelas Ula>
No Fan/Keilmuan Nama Kitab
1. Al-Qur’an/Tajwi>d Tuhfat al-At}fa>l, Hida>yat al-Mustafi>d
2. Hadi>th Arba’i >n al-Nawawi>
3. Aqidah Aqi>dat al-Awwa>m
28
A.V. Kelly, The Curriculum: Theory and Practice, 9-13.
99
4. Akhlak Al-Akhlak Li al-Bani>n
5. Fiqih Safi>nat al-Najat, Sulam al-Taufi>q
6. Lughah Jurumiyyah, Imrit}i, Amthilat al-Tas}rifiyyah
7. Tarikh Khulas}ah Nur al-Yaqi>n
Tabel 4.3: Klasifikasi Kitab Kelas Wust}a>
No Fan/Keilmuan Nama Kitab
1. Al-Qur’an/Tajwid Naz}a>m Jazariyyah
2. Hadi>th Bulugh al-Mara>m, al-Baiquni>,
3. Aqidah Nur al-Z}ala>m
4. Akhlak
Ta’lim al-Muta’alli>m
5. Fiqih
Taqri>b, Fathu al-Qari>b, Mabadi’ Awwaliyah, Fathu al-Mu’i>n
6. Lughoh /Nahwu Mutammimah, al-Kailani, Husnu al-S}iya>ghah
Tabel 4.4: Klasifikasi Kitab Kelas ‘Ulya>
No. Fan/Keilmuan Nama Kitab
1. Al-Qur’an Tafsi>r al-Jala>lain, Tafsi>r al-S}a>wi> al-Tibya>n fi Hamlat al-Qur’an
2. Hadi>th Riya>dh al-S}a>lihi>n, Minhat al-Mughi>th
3. Aqidah Umm al-Bara>hin
4. Akhlak Kifa>yat al-Atqiya>
5. Fiqih Fathu al-Mu’i>n, al-Bayan.
6. Lughoh Al-Fiyyah ibn Ma>lik, Jauhar al-Maknu>n
Selain kitab yang tertera di atas masih ada kitab yang dipelajari secara halaqah.
Misalnya al-Hikam, Bida>yat al-Hida>yah, Fathu al-Wahha>b, Bida>yat al-Murtashidi>n, Kifa>yah al-Akhya>r, al-Umm, Tafsi>r Ibn Kathi>r, dan lain sebagainya.
Dengan mempelajari kitab kuning dari berbagai fan keilmuan, santri
diharapkan memiliki wawasan keislaman yang komprehensif, sehingga tidak
mudah terjebak dalam interpretasi yang sempit dan ekslusif. Mereka juga dituntut
untuk mendiskusikan lebih lanjut fan keilmuan yang telah diajarkan, kemudian
mengelaborasikan dengan kitab-kitab yang tidak terdaftar dalam kurikulum dari
masing-masing fan. Misalnya jika fan fiqh diajarkan menggunakan kitab fathu al-Mu’i >n maka santri diwajibkan juga membaca dan mendiskusikan kitab fathu al-Wahha>b, Syarh al-Muhadhdhab, Bughyat al-Murtashidi>n, Kifa>yah al-Akhya>r, dan
lain sejenisnya. Secara tidak langsung, mereka diajarkan untuk bersikap inklusif
100
dengan cara mengetahui berbagai perbedaan pendapat dari masing-masing ulama
lintas madzhab.29
Santri juga diarahkan untuk berpartisipasi dalam memahami dan
mengapresiasi kultur lain yang berbeda dengan dirinya. Praktik dari metode ini
yaitu mengikutsertakan peserta didik memilih buku bacaan (kitab) bersama-sama
dan melakukan aktivitas bersama. Selain itu, siswa juga diajak mengapresiasi
event-event keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Pengampu pendidikan (pimpinan pesantren, kepala sekolah, atau guru)
bisa melibatkan peserta didik di dalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan
dengan event-event tersebut. Dalam hal tertentu peserta didik juga dapat
dilibatkan untuk mendalami sebagian kecil dari kepelbagaian dari setiap tradisi
kebudayaan maupun keagamaan. Metode ini disebut dengan metode kontribusi
dalam pelaksanaan pendidikan multikultural.30
Implementasi dari metode
kontribusi tersebut yaitu, santri al-Ashriyyah Nurul Iman menghadiri undangan
perayaan Hari Waisak yang dilaksanakan oleh Yayasan Budha Tzuchi, Pertukaran
Informasi Budaya di Kedutaan Amerika Serikat juga berdiskusi dengan mahasiswa
Amerika, Taiwan, Malaysia, Jepang, Korea yang berkunjung ke pondok pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman.
Untuk melatih santri agar memiliki rasa simpati dan empati diantaranya
melalui pengelompokan asrama. Santri tidak dikelompokkan berdasar asal daerah,
tetapi dicampur (mix) dengan berbagai daerah. Dengan begitu, mereka akan
mengenali karakter budaya yang berbeda-beda di luar dirinya. Mereka dilatih
membangun kerja sama dan berdemokrasi dengan orang yang berbeda suku,
karakter, ras, status sosial melalui kebersamaan yang mereka jalin di asrama.
Misalnya, memilih kepengurusan asrama, membagi tugas kepengurusan asrama,
gotong royong membersihkan, memperindah, dan menciptakan lingkungan asrama
yang sehat.
Selain diajarkan pengetahuan agama dan umum, santri al-Ashriyyah Nurul
Iman juga dilatih untuk berdisiplin dalam berbagai aktifitas. Program WAMIL
(Wajib Militer)31
menjadi pendukung upaya membudayakan disiplin. Melalui
pembudayaan disiplin, santri diharapkan menjadi pribadi yang tangguh dan mampu
bersaing didunia global. Berikut adalah tabel aktifitas keseharian santri.
2. Mengaji Gejala-gejala Radikalisme dan Pencegahanya
Mengaca pada sejarah perkembanganya, di dalam Islam terdapat
aliran/kelompok/sekte yang ekstrem.32
Kelompok ekstrem ini cenderung
29
Wawancara dengan Ghufron Maksum selaku Ketua Bidang Pendidikan Diniyyah
pada 16 September 2017 30
Allison Cumming, McCann dalam ‚Multicultural Education Connecting Theory
to Practice‛(Vol. 6, Issue B Feb., NCSAAl, 2003), dalam http://icrp-online.com/2015/12/21/ragam-pendekatan-dalam-pendidikan-multikultural-bagian-i/
31Lihat tabel 2 pada BAB III yang menggambarkan input-proses-output-outcome
32Sebagai contoh adalah peristiwa terbunuhnya Sahabat Ali oleh orang Islam
sendiri yang bernama Abdurrahman ibn Muljam. Ia mengklaim bahwa Sahabat Ali telah
kufur karena mengingkari hukum Allah yang terkandung dalam al-Qur’an dan lebih
101
menggunakan cara-cara yang radikal untuk mewujudkan cita-citanya. Sebab aliran
ekstrem ini pulalah muncul konflik yang berkepanjangan di dalam keberlangsungan
kehidupan antar Negara-negara dunia.33
Kemudian, mucullah fenomena
Islamophobia yang memandang Islam bukan sebagai agama yang rahmatan lil ‘a>lamin>. Hal ini, tentunya tidak sesuai dengan harapan Nabi Muhammad Saw
selaku Rasul pembawa ajaran Islam. Oleh karenanya, santri selaku generasi penerus
perjuangan Rasul Muhammad Saw harus mampu meng-counter kelompok ekstrem
tersebut dengan mengetahui pola ajaran, sejarah munculnya, motif dan strategi
gerakanya secara komprehensif.
Radikalisme dapat dipahami sebagai suatu sikap atau posisi yang
mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan penghancuran secara
total, dan menggantikannya dengan yang sama sekali baru dan berbeda.34
Biasanya
cara yang digunakan bersifat revolusioner, yakni menjungkirbalikkan nilai-nilai
yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem.35
Radikalisme dapat terjadi pada pemeluk agama manapun, termasuk pemeluk
agama Islam. Secara sederhana radikalisme Islam diartikan sebagai segala
perbuatan yang berlebihan dalam beragama.36
Menurut Akbar S. Ahmed,
radikalisme Islam merupakan ekspresi vulgar dalam beragama yang cenderung
memakai kata-kata kasar serta kotor untuk menyudutkan lawan-lawan politiknya,
bahkan kadangkala tidak menyadari bahwa mereka mengklaim dan
memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara kasar, memuakkan dan
menjijikkan.37
Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1)
intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain), 2) fanatik
(selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif
(membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung
menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).38
meyakini kesepakatan bersama antara Sahabat Ali dan Sahabat Muawiyyah (arbitrase).
Kelompok dari Abdurrahman ibn Muljam tersebut yang merupakan cikal bakal dari
kelompok ekstrem dalam Islam. Lihat Ibrahim al-Quraibi, Al-Syifa>’ fi> Ta>rikh Khulafa>’ .
diterjemah oleh Faris Khairul Anam (Jakarta: Qisthi Press, 2009), 843. 33
Terlepas dari adanya pemanfaatan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab terhadap kelompok ekstrem ini, kenyataanya kelompok ini menimbulkan keresahan
di masyarakat nasional dan internasioanl. Misalnya adalah kelompok yang disebut dengan
wahabiyyah dan ISIS. 34
Muhammad Harfin Zuhdi, ‚Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi Ayat al-
Qur’an dan Hadith‛, dalam Jurnal Religia, Vol. 13, No. 1, April 2010, h. 83. 35
Marx Juergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama (Jakarta-Magelang: Nizam Press & Anima Publishing: 2002), h. 5.
36Muhammad Harfin Zuhdi, Fundamentalisme, h. 88.
37Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. M.
Sirozi (Bandung: Mizan, 1993), h.171. 38
BNPT, ‚Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme – ISIS‛,
belmawa.ristekdikti.go.id/.../Strategi-Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf. diakses pada 5 Oktober 2017
102
Berbeda dengan keterangan sebelumnya, Abdul Wahid menyatakan bahwa
meskipun klaim para radikalis agama itu didasarkan pada al-Qur’an dan Hadi>th.
Namun, sebenarnya radikalisme adalah hasil usaha manusia yang terikat dengan
tempat, waktu, dan kemampuan pelaku yang bersangkutan, dan tidak menutup
kemungkinan adanya kepentingan seseorang pribadi atau golongan. Jadi gerakan
radikalisme atas nama Islam tidak lepas dari berbagai kepentingan, dan tidak murni
merupakan gerakan keagamaan.39
Proses radikalisasi dapat bermula dari sumbu
mana pun. Mungkin dapat menyala dari problem ekonomi, politik, atau
keputusasaan yang sangat dari pelakunya, yang kemudian mendapatkan semangat
dari agamanya. Peneliti lebih condong pada penjelasan Abdul Wahid, menurut
peneliti pendapat tersebut adalah pendapat yang proporsional, sehingga tidak
terlalu menyudutkan umat Islam dan Agama Islam itu sendiri.
Agama Islam bukan agama yang mengajarkan radikalisme. Radikalisme
atas nama agama Islam itu hanya dilakukan oleh sebagian kelompok, sehingga
tidak tepat jika kemudian digunakan untuk men-generalisir ajaran agama Islam.
Munculnya paradigma terhadap ajaran agama Islam sebagai agama yang
mengajarkan radikalisme adalah karena rendahnya pemahaman terhadap Islam.
Menurut Azyumardi Azra orang yang memandang Islam sebagai agama yang
mengajarkan radikalisme merupakan korban dari berita media massa. Orang
tersebut tergolong masyarakat floating mass, yaitu massa mengambang yang
sikapnya berubah-ubah sesuai dengan apa yang terjadi. Mulai dari tingkat resmi
sampai pada tingkat media massa.40
Akhir-akhir ini menjadi sangat popular bahwa kalangan generasi muda
sangat rentan dari pengaruh ajaran sekaligus ajakan yang disebarkan oleh
kelompok radikal baik secara langsung maupun melalui media online. Karena
itulah, upaya membentengi generasi muda dari keterpengaruhan ajaran dan ajakan
kekerasan menjadi tugas bersama. Ada tiga institusi sosial yang sangat penting
untuk memerankan diri dalam melindungi generasi muda. Pertama, lembaga
pendidikan. Melalui peran lembaga pendidikan, guru dan kurikulum yang telah
tersistem agar dapat memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran
pada generasi muda. Kedua, keluarga. Melalui peran keluarga, orang tua
diharapkan dapat menanamkan rasa cinta dan kasih sayang kepada generasi muda
dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Ketiga, komunitas.
Melalui peran tokoh masyarakat dari masing-masing komunitas di lingkungannya,
diharapkan mampu mengarahkan kepada generasi muda untuk menciptakan ruang
kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian.
Radikalisme dapat mengakibatkan terorisme. ia merupakan tindakan
kejahatan yang mempunyai akar dan jaringan kompleks yang tidak hanya bisa
didekati dengan pendekatan kelembagaan melalui penegakan hukum semata.
39
Abdul Wahid, Pluralisme Agama, Pascamodernisme, dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: UNY, 2009), 19.
40Azyumardi Azra, ‚Sikap Barat Terhadap Radikalisme Islam‛, dalam Tarmizi
Taher, Meredam Gelombang Radikalisme (Jakarta: CMM (Center for Mederate Muslim,
2003), 49.
103
Keterlibatan komunitas masyarakat terutama lingkungan lembaga pendidikan,
keluarga dan lingkungan masyarakat serta generasi muda itu sendiri dalam
mencegah terorisme menjadi sangat penting. Karena itulah dibutuhkan keterlibatan
seluruh komponen masyarakat dalam memerangi radikalisme dan terorisme demi
keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara tercinta yang damai, adil dan
sejahtera.
Pada era reformasi sekarang ini, ancaman radikalisme-terorisme tidak lepas
dari kehendak untuk mengubah ideologi nasional Pancasila. Mereka ingin
membentuk Negara kebangsaan menjadi sebuah Negara Islam Indonesia sebagai
bagian dari Khilafah Islamiah atau Pan Islamisme. Gerakan-gerakan yang dulu
telah mengalami kekalahan seperti DI/TII dan NII kemudian melakukan
metamorfosis menjadi gerakan dan organisasi baru seperti Jamaah Islamiyah,
Majelis Mujahidin, Jamaah Ansharut Tauhid, dan sebagainya. Ditambah lagi
dengan masuknya organisasi dari luar negeri yang memiliki cita-cita yang hampir
serupa, seperti Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin yang kemudian menancapkan
pengaruhnya dalam kalangan umat Islam Indonesia bersama pengaruh ideologi
wahabismenya.41
Seluruh kekuatan politik yang ada, baik dalam ranah masyarakat politik
(political society), misalnya lembaga-lembaga politik seperti partai-partai politik,
lembaga perwakilan rakyat pusat ataupun daerah, maupun ranah masyarakat sipil
(civil society), seperti ormas, LSM, cendekiawan, media, kelompok professional,
bisnis, pekerja, petani, dan lainya harus bersatu-padu melawan ideologi radikal.
Persatuan tersebut penting agar apa yang telah terjadi pada masa lalu akan dapat
diulang lagi, yaitu pemberantasan ancaman eksistensial terhadap NKRI. Meskipun
pada saat ini ancaman tersebut memiliki karakter yang lebih internasional dan
menggunakan ideology agama (Islam). Hal tersebut tidak akan terlampau berbeda
pada sejarah NKRI sebelumnya.
Menurut Golose, deradikalisasi memiliki enam tujuan, yaitu 1) melakukan
counter terrorism; 2) mencegah proses radikalisme; 3) mencegah provokasi,
penyebaran kebencian (hate speech) dan permusuhan antar umat beragama; 4)
mencegah masyarakat dari indoktrinasi; 5) meningkatkan pengetahuan masyarakat
untuk menolak paham teror; dan 6) memperkaya khazanah atas perbandingan
faham.42
Dengan tujuan yang berlingkup luas ini, maka subjek deradikalisasi tentu
saja idealnya bukan hanya Polri, tetapi mencakup pemangku kepentingan yang
lebih luas. Contohnya, seperti penyidik kasus terorisme, tokoh agama, mantan
41
Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009). Ken Komboy, The Second Front: Inside the Deadliest Terrorist Network in Asia (Jakarta: Equinox, 2006). Bambang
Abimanyu, Teror Bom di Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2005), 161-228. Muhammad A.S.
Hikam, Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme (Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2013), 147. 42
Petrus R Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Manyentuh Akar Rumput (Jakarta: YKIK, 2010), 116. Lihat juga Muhammad AS. Hikam,
Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme: Deradikalisasi (Jakarta:
Kompas, 2016), 89.
104
anggota JI, para tersangka napi yang telah sadar serta kooperatif dan memiliki
keinginan kuat untuk membantu.
Bagi Ummi Waheeda, munculnya radikalisme salah satunya adalah karena
faktor kemiskinan. Ia menyatakan, dalam suatu kesempatan ia pernah diundang
oleh kementrian dalam negeri untuk memberikan materi penguatan ekonomi
kepada eks-narapidana. Melalui pengalamanya tersebut, ia merekomendasikan
kepada pemerintah untuk memberikan bantuan dan pelatihan ekonomi kepada
orang-orang miskin. Ia memberikan contoh program trasmigrasi yang diberlakukan
di zaman Presiden Soeharto. Hal itu akan mengurangi angka kemiskinan meskipun
tidak menjamin terhapusnya radikalisme, karena faktor radikalisme di zaman
digital saat ini sudah sangat kompleks, bukan hanya sekedar masalah kemiskinan
atau kesenjangan ekonomi.
Lebih lanjut menurut Ummi Waheeda, sebuah pesantren menjadi radikal
atau tidak tergantung pimpinanya. Oleh karena itu, oleh Ummi Waheeda selaku
pimpinan pesantren, santri al-Ashriyyah Nurul Iman dibina sejak dini untuk
mengenali gejala-gejala radikalisme. Kegiatan seminar tentang deradikalisasi dan
radikalisme sering diadakan untuk para mahasiswa di pondok pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman. Melalui kegiatan seminar tersebut, santri dapat mengetahui
akar dari radikalisme dan cara pencegahanya/deradikalisasi. Sementara pembinaan
tentang radikalisme dan deradikalisasi kepada santri yang masih duduk di bangku
SD, SMP dan SMA belum begitu intensif. Santri SD, SMP dan SMA hanya
ditekankan tentang nilai-nilai toleransi, bertutur kata yang lemah lembut dan
santun, menebar perdamaian, menghindari konflik dan kekerasan, dan
menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah.43
Selain itu, semua santri al-Ashriyyah Nurul Iman diajarkan untuk taat pada
pemerintah44
, mencintai tanah air, mengenang dan meneladani perjuangan para
pahlawan kemerdekaan dan menghindari adanya kegiatan demonstrasi.45
Dalam
menyelesaikan masalah lebih mengutamakan adanya upaya diplomasi terhadap
pemerintah. Upaya diplomasi dinilai lebih dapat memenangkan hati dan pikiran.46
Para santri juga dihimbau agar tidak mengikuti organisasi-organisasi yang
cenderung terindikasi radikal. Upaya lain yang ditempuh adalah penggunaan media
sosial yang cerdas dan menfilter informasi-informasi yang mengundang provokasi.
Di sisi lain, untuk mencegah adanya tindakan-tindakan radikal, pesantren
memberlakukan peraturan bahwa jika ada santri yang melakukan tindakan
43
Wawancara dengan Ahmad Ramadhan selaku Kepala Sekolah SMA al-
Ashriyyah Nurul Iman pada tanggal 17 Oktober 2017. 44
Pesan Habib Saggaf yang disampaikan kepada santri dalam sebuah ceramah,
bahwa setiap warga Negara diwajibkan untuk taat pada pemerintah termasuk didalamnya
adalah santri. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat al-Qur’an surat al-Nisa>’ ayat 59.
Keterangan ini diperoleh dari hasil dokumentasi ceramah Habib Saggaf. 45
Kegiatan Demontrasi dinilai cenderung menimbulkan kerusuhan, merusak
fasilitas umum, dan hal negatif lainya meskipun baru-baru ini pada tahun 2016 ada aksi
demonstrasi 411 dan 212 yang tertib dan rapi. 46
Internasitional Crisis Group, ‚Deradicalization and Indonesian Prisons ‛, Asia Report, No. 142, 19 November 2007, h.11.
105
kekerasan akan mendapatkan sanksi berupa dikeluarkan dan diserahkan kepada pihak berwajib. Peraturan ini diharapkan dapat memberikan shock therapy pada
santri agar tidak mudah melakukan tindakan-tindakan kekerasan dalam
menyelesaikan masalah. Di setiap tingkatan sekolah terdapat bagian Bimbingan
Konseling (BK) yang siap menampung segala macam problem, memediasi dan
membantu mencari solusi. Sementara, bagian keamanan juga tidak boleh
melakukan tindakan kekerasan atas dasar menindak santri yang melakukan
pelanggaran peraturan pondok pesantren. Mereka harus menggunakan cara-cara
kemanusiaan.
Bagan 4.1: Hubungan Implementasi Pendidikan Multikultural
dan Deradikalisasi
Sayangnya, menurut peneliti pesantren ini belum memanfaatkan media
digital secara maksimal untuk meng-counter gerakan radikalisme. Padahal, di
pondok pesantren tersebut telah ada website, TV yang berbasis aplikasi, fanpage,
dan instagram. Jika media digital tersebut dimanfaatkan secara maksimal maka
akan lebih terlihat usaha pesantren dalam menangkal radikalisme terhadap
Nilai-Nilai
Multikultural
Pengurus Pesantren
Merumuskan/Membuat
Konsep
Deradikalisasi
Santri
Seminar, Training
Guru, Pemutaran
Film, dll
Berpengetahuan Luas Cinta Damai Toleran Inklusif Demokratis
106
masyarakat luas, bukan hanya santri di pesantren tersebut saja. Dalam kacamata
peneliti, pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman belum begitu fokus menyusun konten
terhadap pola dakwah media digital.
C. Proses Pembentukan Santri yang Bepaham Multikultural
Perlu usaha yang sangat keras dan sistematis untuk membentuk santri yang
berhaluan multikultural. Dimulai dari apa yang diajarkan, sistem pengajaran, dan
pendidik/guru yang mengajarkan. Berikut adalah sedikit gambaran proses yang
dilakukan oleh pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman untuk membentuk
santrinya agar berhaluan multikultural.
1. Pola Pengajaran Kitab Kuning, Membentuk Santri yang Berpaham
Multikultural dan Anti Radikalisme
Berkembang luasnya gerakan radikal-transnasional di Tanah Air tak lepas
dari perubahan orientasi umat Islam terhadap sumber pengetahuannya setelah
menurunnya minat umat Islam terhadap kitab kuning. Padahal kitab kuning sejak
berabad-abad yang lalu telah menjadi sumber rujukan pengetahuan Islam. Kitab ku
ning adalah sumber utama umat Islam setelah al-Qur’an dan al-Sunnah. Para ulama
telah menumpahkan seluruh pengetahuannya dalam kitab kuning sehingga umat
Islam dapat memahami ajaran Islam dengan baik. Tetapi, pada zaman seperti
sekarang ini umat Islam mulai meninggalkan kitab kuning. Ini karena sulitnya
mereka mengakses pengetahuan dalam kitab kuning akibat tidak memiliki
seperangkat ilmu pengetahuan yang memadai.47
Disamping itu, kemudahan masyarakat mengakses pengetahuan
keagamaan melalui internet juga menjadikan mereka lebih sering menggunakan
internet. Akibatnya, pengetahuan mereka menjadi sangat instan dan dangkal, tidak
memiliki pondasi yang kuat. Anak-anak muda muda zaman sekarang rata-rata lebih
memilih mencari pengetahuan Islam dengan jalan melalui akses internet dari pada
datang kepada seorang guru/kiyai untuk belajar kitab kuning. Pada gilirannya
mereka tidak mampu memfilter pengetahuan yang justru bertolak pemahaman
dengan ajaran Islam yang selama ini mereka pahami dan lestarikan. Mereka pun
mudah dipengaruhi oleh ajaran untuk berbuat kekerasan atas nama agama dan
cenderung gampang mengkafirkan dan membid’ahkan. Di sinilah, pintu masuk
bagi pembentukan pemahaman keagamaan yang radikal. Aksi terorisme juga
banyak dipengaruhi oleh paham keagamaan yang tersebar di internet.
Tradisi mengaji kitab kuning telah menjadi ciri khas sebuah pondok
pesantren. begitupun pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, sebagaimana telah
disebutkan pada pembahasan sebelumnya mengenai kitab-kitab yang diajarkan di
pesantren tersebut. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang substansi dari
kitab kuning sebagai ajaran yang harus dilestarikan untuk melestarikan nilai-nilai
multikultural dan menepis radikalisme. Dari kitab kuning diajarkan sikap inklusif
47
Khamami Zada, ‚Kitab Kuning dan Tantangan Radikalisme‛, https://rmi-
jateng.org/iqro/1117-kitab-kuning-dan-tantangan-radikalisme-bagian-2-habis. Diakses pada
5 Oktober 2017.
107
terhadap segala bentuk perubahan zaman, konsep jiha>d, penegakan keadilan,
mengklarifikasi kebenaran berita hoax, pemerataan ekonomi, toleransi, berbangsa
dan bernegara.
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, kitab kuning dinilai
dapat membendung berkembangnya pemahaman radikal di Indonesia. Pernyataan
ini diperkuat oleh Ketua Asosiasi Pesantren se-Indonesia Rabithah Ma'ahid
Islamiyah (RMI) PBNU, Abdul Ghaffar Rozin. Ia mengatakan, dengan adanya
pemahaman kitab kuning yang komprehensif dapat mencegah tersebarnya
radikalisme di Indonesia. Kitab kuning memberikan pemahaman yang benar
dengan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an dan hadith melalui konteks yang sesuai
dengan zamannya. Salah satu munculnya radikalisme adalah karena adanya
penafsiran yang salah terhadap al-Qur’an, sehingga membutuhkan pengkajian
terhadap kitab kuning yang dikarang oleh ulama terdahulu. Misalnya terkait ayat
peperangan, ayat tersebut harus dilihat konteksnya. Salah satu cara
mengkontekstualisasikanya adalah dengan melihat pendapat para imam-imam yang
terdapat dalam kitab kuning.48
Salah satu ajaran dari kitab kuning adalah menjalin persaudaraan hubungan
yang harmonis dan tidak saling menyakiti antar sesama manusia dengan tidak
memandang latar belakang agama, status sosial, suku, bahasa, ras, budaya dan
bangsa. Misalnya dapat dilihat dalam kitab tafsir tentang surat al-Hujurat ayat 13.
Selain itu, terdapat juga terdapat dalam kitab hadith, Nabi menyatkan bahwa:
ه وسلم قال : من آذى ذم الله عنه أن رسول الله صلى الله عل ا فأنا خصمه ومن كنت عن ابن مسعود رض
امة )أخرجه الخطب ف تارخ بغداد وم الق 49(خصمه خصمته ‚Dari Ibnu Mas’ud RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ‚Siapa yang
menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi musuhnya.
Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan menuntutnya
pada hari kiamat‛
Konsekuensi dari hadith di atas adalah, orang Islam harus memberikan
hak-hak yang mendasar dalam kehidupan kepada non-muslim sebagaimana ia
memberikan hak-hak yang mendasar pada saudaranya yang muslim. Misalnya
kesempatan bekerja, kesempatan berkompetisi, berpolitik, hidup sejahtera,
keamanan, kenyamanan, kepemilikan rumah, tanah, terpenuhinya sarana ibadah,
dan lain sebagainya. Sehingga jika dari mereka ada yang membutuhkan
pertolongan maka harus dengan sigap membantunya. Bukan malah melakukan
tindakan diskriminasi karena berbeda agama. Sebab, mendiskriminasi merupakan
menyakiti, apalagi sampai mengintimidasi.
Dalam sebuah hadith lain dijelaskan:
48
Andri Saubani, ‚Lomba Kitab Kuning Dinilai Bisa Bendung Radikalisme‛,
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/12/01/p0ajif409-
lomba-kitab-kuning-dinilai-bisa-bendung-radikalisme. Diakses pada 20 September 2017. 49
Abu Bakar Ahmad ibn Ali ibn Tsabit al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad: Tarikh Madi>nah al-Sala>m (Beirut-Lebanon: Da>r al-Gharab al-Islami,2001). Juz 8, 370.
108
وجد من مسرة أربع ة ، وإنه رحها ل جد رح الجنه ة ، لم مهن عاما )رواه من قتل قتلا من أهل الذ
50النسائ(
‚Barang siapa membunuh ahli dzimmah maka ia tidak akan bisa menghirup bau
surga, sesungguhnya bau surga itu bisa dihirup dari jarak tempuh empat puluh
tahun‛
Hadith ini memberikan penekanan yang kuat bagi orang Islam agar tidak semena-
mena terhadap kafir dzimmi (non-muslim). Memastikan keselamatan mereka
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penjelasan tersebut senada dengan
nilai-nilai pendidikan multikultural yang disampaikan oleh Abdullah Aly yaitu: al-Musha>warah (berdialog/musyawarah), al-Musa>wah (persamaan), al-‘Adl (keadilan), al-Ta’a>ruf (saling mengenal), al-Ta’a>wun (saling tolong menolong), al-Tasa>muh (saling toleransi), al-Rahmah (saling menyayangi), al-Ihsa>n (berbuat
baik), dan al-Salam wa al-‘Afwu (resolusi konflik dan rekonsiliasi).51
Di sisi lain, melalui pola pengajaran kitab kuning, santri al-Ashriyyah
Nurul Iman diarahkan untuk memberikan penilaian yang salah/keliru terhadap
orang Islam yang mengatasnamakan jiha>d, kemudian melakukan pengeboman,
penghancuran maupun pembantaian terhadap non-muslim. Tindakan yang mereka
lakukan atas nama jiha>d tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut Ummi Waheeda, jiha>d adalah bagian dari kewajiban orang
muslim. Jihad dimaknai sebagai sebuah usaha yang sungguh-sungguh bukan hanya
sebatas perang fisik saja melainkan juga non-fisik. Seperti halnya jiha>d dalam
memberantas kebodohan dan kemiskinan. Ia menegaskan bahwa tidak setuju
dengan adanya ajakan untuk pergi berperang melawan kezaliman orang kafir,
misalnya di Palestina dan Myanmar.52
Tindakan pergi ke Palestina atau Myanmar
untuk ikut berperang justru akan memperkeruh suasana. Ia mendukung upaya
diplomasi yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia (RI).
Salah seorang santri bernama Abdul Latif yang berasal dari Grobogan Jawa
Tengah menyampaikan bahwa ‚makna jihad yang diajarkan kepada kami selaku santri adalah jihad melawan hawa nafsu kami agar selalu rajin belajar, menaati segala peraturan pondok, menaati peraturan pemerintah, mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah kami kuasai, menyayangi sesama manusia baik yang muslim maupun non-muslim, tidak melakukan kerusuhan dan pengrusakan‛.53 Konsep jihad tersebut dirasa sesuai dengan al-Qur’an dan Hadith yang telah
dijelaskan oleh para ulama di masa lalu. Misalnya dalam kitab Fathu al-Mu’in dijelaskan bahwa salah satu bentuk jiha>d adalah memberikan perlindungan (daf’u dhararin ma’su>min) kepada setiap warga masyarakat, muslim ataupun non muslim,
50
Abu Abd Rahman Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa>i, Kitab Sunan al-Kubra> Juz IV (Libanon: Da>r al-Kita>b), 221.
51Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), 124. 52
Wawancara dengan Ummi Waheeda selaku Pimpinan Pesantren Al Ashriyyah
Nurul Iman di Parung Bogor 14 September 2017. 53
Wawancara dengan Abdul Latif, santri yang berstatus mahasiswa Sekolah
Tinggi Agama Islam Nurul Iman semester 5, pada 23 Agustus 2017.
109
yang memiliki kepribadian baik. Perlindungan tersebut mencakup pemberian
makan, pakaian, tempat tinggal, termasuk kesehatan.54
Sama halnya pengelaborasian kitab kuning tentang respon terhadap berita-
berita provokatif yang belum jelas kebenaranya (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) juga diajarkan kepada santri al-Ashriyyah Nurul Iman. Dua hal tersebut
(hoax dan hate speech) juga merupakan sumber radikalisme dan terorisme selain
pemahaman jiha>d yang dangkal. Menurut Ali Mutakin selaku guru bidang fiqh,
dalam kesempatan tertentu ia memberikan kajian tematik tentang isu-isu
radikalisme, nilai-nilai multikultural, hoax, hate speech, ketimpangan sosial,
pemerataan ekonomi, dan lain sebagainya kepada santri. Meskipun materi yang
disampaikan belum begitu dalam, setidaknya telah memberikan sedikit stimulan
wawasan kepada santri. Hal ini merupakan salah satu strategi dalam menangkal
radikalisme dan pelestarian nilai-nilai multikultural melalui kajian kitab kuning.55
Adapun kitab-kitab yang diajarkan di pesantren ini telah peneliti sajikan
pada tabel daftar kitab dari masing-masing jenjang kelas diniyyah. Memang benar
adanya tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kitab kuning terdapat ajaran yang jika
dipahami secara dangkal akan menimbulkan radikalisme. Misalnya, orang yang
tidak melaksanakan sholat jum’at tiga kali berturut-turut maka dihukumi murtad.
Jika murtad maka halal untuk dibunuh. Contoh lain, adalah adanya rajam
(dilempari batu) sampai mati bagi pelaku zina muhson (yang sudah beristri/suami),
potong tangan bagi pelaku pencurian, dan lain sebagainya. Dalam menyikapi hal
ini pesantren al-Ashriyyah mengajarkan hukum fiqh kepada santrinya dengan
pendekatan tasawuf dan konteks hukum kenegaraan. Bahwa dalam konteks
tasawuf seseorang mendapat hidayah bisa dalam hitungan detik, bisa jadi seketika
pelaku maksiat tersebut usai melakukan dosa langsung melakukan taubat. Ada
sebuah ungkapan dari Imam Malik bin Anas bahwa:
ا م ه ن ب ع مه ج ن م ، و ق د ن ز ت د ق ف قه ف ت م ل و ف وه ص ت ن م ، و ق سه ف ت د ق ف ف وه ص ت م ل و ه قه ف ت ن م
ق قه ح ت د ق ف “Barang siapa yang mendalami hukum fiqh tanpa mendalami tasawuf maka ia
menjadi fasik, dan barang siapa yang mendalami tasawuf tanpa mendalami hukum
fiqh maka dia menjadi zindik, sedangkan orang yang mampu mengkolaborasikan
keduanya maka ia menemukan kebenaran sejati‛.56
Sementara dalam konteks kenegaraan memandang bahwa hukum di Negara
Indonesia adalah berdasarkan KUHP bukan berdasarkan hukum Islam sehingga
secara formal adakalanya hukum Islam tidak selaras dengan KUHP namun secara
substansi dapat dikompromikan atau diselaraskan. Melalui pendekatan seperti ini
54
Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fathu al-Mu’i>n bi Syarh Qurrati al-‘Ain (Surabaya: Dar al-Ilm), 133.
55Wawancara dengan Ali Mutakin selaku guru bidang fiqh di pondok pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman pada 6 september 2017. 56 195ص 3حاشة العلامة العدوي على شرح الإمام الزرقان على متن العزة ف الفقه المالك، ج
110
diharapakan santri akan memiliki pandangan yang luwes dalam menerapkan
hukum-hukum fiqh.57
2. Pendidik/Guru yang Inklusif sebagai Uswah Hasanah semangat
multikultural.
Seorang pendidik memiliki kewajiban tidak hanya mentransformasikan
pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga dituntut untuk
menginternalisasikan nilai-nilai (value/qi>mah) pada peserta didik. Bentuk nilai
yang ditransfromasikan dan disosialisasikan paling tidak meliputi: nilai etis, nilai
pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai religius. Selain itu dalam pendidikan
Islam seorang pendidik harus menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari
karakteristik kepribadiannya sebagai uswah h}asanah bagi peserta didik.58
Secara faktual, pelaksanaan transformasi pengetahuan dan internalisasi
nilai pada peserta didik secara integral merupakan tugas yang cukup berat di
tengah kehidupan masyarakat yang kompleks, apalagi di era globalisasi informasi.
Pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus yang melecehkan
keberadaan pendidik di sekolah, di luar sekolah maupun dalam kehidupan sosial
masyarakat yang demikian luas. Semua elemen pendidikan baik dari tenaga
pendidik maupun tenaga kependidikan harus bahu membahu menemukan formula
yang tepat untuk keberhasilan pendidikan. Pendidik dimaknai tidak hanya seorang
guru tetapi juga meliputi orang tua anak didik.
57
Rekaman Video pengajian Tafsir Jalalain Habib Saggaf bin Mahdi. 58
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), 207.
Gambar 4.1: Santri Berhalaqah Membahas Kitab Kuning
111
Di sebuah lembaga pendidikan guru merupakan aspek pertama yang harus
dipersiapkan untuk melaksanakan proses pendidikan agar sesuai dengan tujuan.59
Jika pendidik memiliki kemampuan dan sikap yang sesuai dengan yang diinginkan
maka tujuan pendidikan akan mudah tercapai. Misalnya, pendidik yang memiliki
sikap inklusif dapat mendukung pelaksanaan pelaksanaan pendidikan
multikultural. Pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dalam menentukan guru
yang memiliki kriteria inklusif berawal dari proses perekrutan tenaga pendidik.
Dalam hal ini kriteria seorang pendidik tidak sembarangan, pelamar sebagai calon
guru yang mempunyai kemampuan secara akademis tetapi tidak memiliki sikap
dan pemikiran yang inklusif maka tidak dapat diterima. Untuk menguatkan sikap
inklusif tenaga pendidik, guru diberikan upgrading tentang penguatan nilai-nilai
multikultural.
Guru merupakan uswah h}asanah bagi seorang murid. Dalam istilah
peribahasa dikenal ‚buah tidak jauh dari pohonya‛. Konsep uswah h}asanah dalam
Islam dimulai dari ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
merupakan suri tauladan yang harus diikuti. Bahwa segala tindakan, tutur kata, dan
sikap Nabi mencerminkan teladan bagi umat.60
Dengan demikian orang yang
meneladani Nabi akan menjadi orang yang seperti disebut dalam al-Qur’an,
memiliki akhlak yang agung.61
Menurut al-Qurtubi yang dimaksud dengan kata
akhlak dalam surat al-Qalam ayat 4 tersebut adalah adab atau budi pekerti yang
mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an. Dalam sebuah hadith dijelaskan bahwa
sesungguhnya peran Nabi diutus adalah untuk memperbaiki akhlak. Guru selain
sebagai uswah h}asanah juga berperan untuk merubah akhlak atau budi pekerti
seorang murid, sehingga menjadi penting paham inklusif yang dianut dan menjadi
sikap seorang guru. Perilaku murid merupakan reperesentasi dari gurunya.
Pentingnya mempersiapkan guru yang memiliki paham dan sikap inklusif
dalam pelaksanaan pendidikan multikultural adalah sesuai dengan pandangan
Abuddin Nata. Ia menjelaskan bahwa tenaga pendidik dan kependidikan
disyaratkan memiliki karakter sebagai tenaga professional yang mempunyai
kompetensi akademik, pedagogik, kepribadian, dan peka sosial. Selain itu juga
memiliki wawasan multikultural: wawasan demokrasi, kesamaan, kebebasan,
pluralisme, toleransi, pengendalian diri, kematangan emosi, keluasan pandangan
tentang kesatuan kemanusiaan dan kebangsaan yang dibangun dari pemahaman
agama yang inklusif, progresif, actual, dan kontekstual. Lebih lanjut Abuddin Nata
juga menguraikan cara mewujudkan tenaga pendidik dan kependidikan yang
memiliki kemampuan di atas melalui empat cara. Pertama, merekrut tenaga
59
Irham, ‚Pendidikan Berwawasan Multikultural: Studi Kasus Pendidikan Agama
Islam Di SMA Plus Pembangunan Jaya Bintaro,‛
http://www.purisdiki.id/2017/08/pendidikan-berwawasan-multikultural.html diakses pada
3 Maret 2017. 60
Tafsir al-Ah}zab ayat 21 dalam Abi> Abdillah Muh}ammad Ibn Ahmad Ibn Abi>
Bakrin al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ al-Ah}ka>m al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima> Tadhammanahu min al-Sunnah wa a>yi al-Furqa>n, al-Juz al-Ta>si’ ‘Ashara (Bayrut: al-Resalah Publisher,
2006 M/1427 H), 107-108. 61
Qs. Al-Qalam ayat 4: وانك لعلى خلق عظم
112
pendidik dan kependidikan yang memiliki kesadaran multikultural. Kedua,
memberikan pembinaan dan pelatihan terkait dengan motivasi, niat dan komitmen
yang kuat dalam rangka menjadi tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki
kompetensi di atas. Ketiga, mendorong pendidik untuk menggunakan pendekatan
interdisipliner dalam melakukan kajian atau pembelajaran. Keempat, memberikan
pembinaan dan pelatihan terkait teaching skill, soft skill, dan pedagogic skill.62 Pandangan Abuddin Nata ini menunjukkan bahwa tenaga pendidik dan
kependidikan yang inklusif merupakan syarat utama penyelenggaraan pendidikan
multikultural.
Melalui kemampuan guru dalam mengelaborasikan nilai-nilai multikultural
terhadap setiap mata pelajaran yang diampu, penanaman sikap multikultural pada
santri menjadi sangat efektif. Misalnya saja, di dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia yang memiliki tema membuat paragraf yang baik sesuai EYD, seorang
guru bisa menentukan tema yang harus dikerjakan murid berupa tema nilai-nilai
toleransi, keadilan, persamaan, hak asasi manusia, demokrasi, dan lain sebagainya.
Begitupun di dalam mata pelajaran lainya. Melalui pernyataan ini dapat
disimpulkan bahwa, seorang guru merupakan bagian dari ujung tombak penanaman
nilai-nilai multikultural pada santri.
3. Semangat Multikultural dalam Berbagai Kegiatan Ekskul Santri
Generasi bangsa yang hidup di awal abad 21 ini, memiliki corak yang
berbeda sekali dengan kehidupan abad-abad sebelumnya. Abad ini ditandai oleh
perubahan yang berjalan sangat cepat, kompleks, sulit diprediksi dan
kompetitif. Oleh karena itu, abad ini membutuhkan kecakapan individu (soft competence) yang dapat digunakan para generasi bangsa untuk merespon tuntutan
perubahan yang cepat itu dengan segala kompleksitas persoalannya.
Data hasil proyeksi penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan populasi penduduk Indonesia saat ini lebih didominasi oleh
kelompok umur produktif yakni antara 15-64 tahun. Kondisi ini yang menunjukkan
bahwa Indonesia tengah memasuki era bonus demografi, yaitu suatu periode
terjadinya ledakan penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang bisa menopang
penduduk usia non-produktif (0-14 dan 65+). Untuk memaksimalkan peluang dari
bonus demografi tersebut, perlu ditopang pendidikan yang berkualitas. Diantaranya
pembekalan berbagai kompetensi pada anak didik melalui kegiatan ekstrakurikuler
di berbagai lembaga pendidikan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ada banyak sekali
kegiatan ekstrakurikuler yang ada di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Di
antaranya: pencaksilat, tari tradisional/tarian daerah, tari modern (modern dance),
music, kursus bahasa asing, dan lain sebagainya. Melalui ragam ekskul tersebut
diharapkan santri dapat menemukan potensi dan bakat yang ia miliki. Pesantren
mempunyai keyakinan bahwa semua santri memiliki kecerdasan yang berbeda satu
sama lain dan memiliki keunikan tersendiri. Hal ini didasarkan pada teorinya
62
Abuddin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam, 271-273.
113
Howard Gardner63
tentang multiple intelligences yang telah dijelaskan
sebelumnya. Ragam kegiatan ekskul merupakan implementasi dari teori tersebut.
Melalui penyadaran multiple intelligences, santri dituntut untuk tidak
memandang dirinya sebagai orang yang cerdas sedangkan diluar dirinya sebagai
orang yang bodoh melainkan dituntut untuk memandang sama-sama memiliki
kecerdasan yang unggul. Bisa jadi salah seorang santri pandai dalam matematika
namun belum tentu ia pandai memainkan alat musik dan bernyanyi, begitupun
sebaliknya. Bisa jadi salah seorang santri pandai menulis sebuah artikel tapi belum
tentu ia pandai berpidato dan lain sebagainya. Dengan begitu, mereka akan sadar
bahwa kecerdasan mereka itu beragam, satu sama lain saling melengkapi dan
membutuhkan. Sudah sewajarnya mereka hidup berdampingan dengan saling
membantu dengan ragam kecerdasan yang mereka miliki itu.
Sebagai contoh, Berkacalah pada sejarah nusantara. Tanah nusantara ini
memiliki potensi sumber daya alam yang sangat bagus. Ia memiliki tanah yang
subur dan laut yang luas beserta kandunganya. Seharusnya, masyarakat nusantara
hidup makmur dan sejahtera. Namun, budaya masyarakat nusantara yang
cenderung bertani dan nelayan, sehingga kalah maju dengan budaya masyarakat
Arab, India dan Cina yang cenderung berdagang. Hingga sampai saat ini secara
ekonomi masyarakat nusantara kalah sejahtera dengan para saudagar dari Arab,
India dan Cina tersebut. Untuk mengejar ketertinggalan itu masyarakat nusantara
harus mempelajari dan melestarikan budaya dagang para saudagar Arab, India dan
Cina yang notabenenya bukan budaya nusantara. Pada akhirnya, dapat disimpulkan
bahwa mempelajari budaya bangsa lain akan memberikan kebaikan dalam hidup.
Tentunya setelah melalui proses verifikasi budaya yang sangat teliti.
Dalam hal kaitanya antara ragam ekstrakurikuler dengan pendidikan
multikultural adalah kebebasan santri mempelajari budaya diluar dirinya. Misalnya
santri yang berasal dari Aceh bebas belajar silat Cimande, santri yang berasal dari
Jawa Tengah bebas belajar Tari Saman ataupun Tari Jaipong, santri yang berasal
dari Palembang bebas belajar Bahasa Jepang, Mandarin, Inggris, Jawa, Sunda,
Madura dan lain sebagainya. Kebebasan belajar tersebut memberikan peluang
kepada santri untuk memiliki berbagai kompetensi di berbagai bidang. Tujuan
kegiatan ekskul tersebut sejalan dengan pendidikan multikultural yang bertujuan
untuk mempersiapkan peserta didik dengan sejumlah sikap dan keterampilan yang
diperlukan dalam lingkungan budaya entik mereka, budaya nasional dan antar
budaya lainnya. Seorang peserta didik dari Irian Jaya misalnya, bukan hanya harus
akrab dengan budaya kelompok etniknya sendiri, tetapi juga harus mampu
membaur dan akrab dengan budaya etnik lain di luar kelompoknya.64
Pelaksanaan ekskul untuk mendorong santri agar mengenal budaya-budaya
diluarnya dan membekali santri agar memiliki berbagai kompetensi di berbagai
63
Howard Gardner adalah tokoh pendidikan dan psikologi terkenal yang
mencetuskan teori tentang kecerdasan majemuk atau multiple intelligences. Lihat
Ladidlaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya ( Jakarta: Grasindo, 2004), 158-159.
64Ilyas Rifa’i, ‚Tantangan Pendidikan Multikultural Dalam Era Globalisasi Di
Indonesia‛, Jurnal Islamica Vol. 2 No. 2 Tahun 2015.
114
bidang adalah sesuai dengan pendapat A. Lawrence Blum yang terbagi dalam tiga
elemen: pertama, menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan
menilai warisan budaya seseorang. Kedua, menghormati dan berkeinginan untuk
memahami serta belajar tentang etnik/kebudayaan selain kebudayaanya. Ketiga,
menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri.
Perwujudanya dengan cara memandang keberadaan dari kelompok-kelompok
budaya yang berbeda dalam masyarakat sebagai suatu hal yang positif untuk
dihargai dan dilestarikan.65
Selain menumbuhkan potensi santri, ragam kegiatan ekskul ini juga
merupakan perwujudan dari kesetaraan/persamaan (equality/al-Musa>wah) dalam
pelaksanaan pembelajaran di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Setiap santri
mempunyai peluang yang sama/setara untuk menggali ilmu dan potensi yang ingin
dicapainya. Di sisi lain ragam kegiatan ekskul juga meningkatkan keakraban dan
keharmonisan antar santri yang berbeda jenjang kelas ataupun asrama. Mengingat
jumlah santri yang mencapai ribuan dan padatnya aktifitas mengakibatkan sulitnya
untuk bertatap muka satu sama lain kecuali dalam satu kegiatan, sehingga yang
awalnya tidak kenal karena berbeda jenjang/ruang kelas ataupun berbeda asrama
kemudian saling mengenal di kegiatan ekskul tersebut. Berikut salah satu bentuk
kegiatan ekstrakurikuler.
Gambar 4.2: Kegiatan Ekstrakurikuler Bidang Silat
4. Majelis Muha>dharah, Ajang Melatih Kepercayaan Diri.
Nilai-nilai moral adalah energi positif yang sangat berpengaruh dalam
nenentukan keberhasilan hidup seseorang di mana pun ia berada. Nilai-nilai moral
itu antara lain: jujur, rasa percaya diri, motivasi, kerja keras, tanggung jawab,
inisitaif, perhatian, kemauan bekerja sama, saling menghargai, disiplin, dan lain-
lain. Rasa percaya diri adalah perasaan mampu untuk melakukan sesuatu.66
Namun
65
Lihat penjelasan peneliti tentang pendapat A. Lawrence Blum pada BAB II. 66
William Damon (Ed.), Bringing in a New Era in Character Education (Stanford:
Hoover Institution Press, Stanford University, 2002). Dalam Endah Tri Priyatni,
115
sebenarnya percaya diri itu bukan sekedar perasaan mampu tetapi sebuah
keyakinan kuat bahwa ia mampu melakukan sesuatu. Rasa percaya diri merupakan
salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang
yang percaya diri, yakin atas kemampuan mereka sendiri serta memiliki
pengharapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka
tetap berpikiran positif dan dapat menerimanya.67
Sikap percaya diri merupakan modal utama setiap orang dalam menggeluti
profesinya. Melalui sikap percaya diri, seseorang mampu untuk mengambil
tindakan yang sesuai dan tepat terhadap suatu masalah yang dihadapi. Di dalam
Islam juga diajarkan untuk memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi.
Misalnya, petunjuk al-Qur’an yang tercantum dalam surat Ali Imran ayat 139 dan
Surat Fushilat ayat 30.68
Selain itu sikap percaya diri juga merupakan salah satu
dari pendidikan karakter bangsa yang menjadi bagian dalam rencana pembangunan
nasional non-fisik. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
Tahun 2005–2025, yang menetapkan prioritas pembangunan nasional dalam kurun
waktu dua puluh tahun. Prioritas yang ditentukan adalah mewujudkan masyarakat
Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila.
Sikap percaya diri membuat seseorang tidak akan merasa termarginalkan
dalam lingkunganya. Justru ia akan mengisi lingkunganya dengan kekhasan budaya
yang ia miliki. Oleh karena itu, dalam pendidikan multikultural seorang siswa
diarahkan agar memiliki rasa percaya diri terhadap masing-masing budaya lokal
(local wisdom) yang mereka miliki.69
Dengan begitu, akan terwujud kehidupan
masyarakat heterogen yang satu sama lain tidak menghegemoni, tidak bersikap
‚Internalisasi Karakter Percaya Diri Dengan Teknik Scaffolding”, Jurnal Pendidikan Karakter No.2, 2013. https://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/1437
67Endah Tri Priyatni, ‚Internalisasi Karakter Percaya Diri Dengan Teknik
Scaffolding”, Jurnal Pendidikan Karakter No.2, 2013.
https://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/1437 68
Surat Ali Imran ayat 139:
تم الأعلون إن كنتم مؤمنن ولا تهنوا ولا تحزنوا وأن ‚Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman‛.
Surat Fushilat ayat 30:
هم الملائكة ألاه تخافوا ولا تحزنوا وأبشر إنه الهذن ل عل ثمه استقاموا تتنزه ة الهت كنتم قالوا ربنا اللهه وا بالجنه
توعدون Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan
mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah
mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". 69
Dalam hal ini adalah budaya-budaya luhur yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal.
116
etnosentris yang eksklusif.70
Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap
lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Anggapan bahwa kebudayaan
tertentu lebih tinggi dari kebudayaan lain akan melahirkan fasisme, nativisme, dan
chauvinisme.71
Di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, setiap satu bulan sekali
diadakan kegiatan muha>dharah. Sebuah kegiatan kontes pertunjukan bakat.
Biasanya dalam kegiatan tersebut santri dapat menunjukkan bakat/potensinya dan
melatih rasa percaya diri tampil di hadapan publik. Kegiatan yang ditampilkan bisa
berupa pantomime, musik band, nasyid, tari-tarian, pembacaan puisi, ceramah
bahasa asing, demo silat dan lain sebagainya. Petugas yang menjadi pengisi
kegiatan muha>dharah dijadwal secara bergantian menurut asrama atau konsulat
(asal daerah). Tugas utamanya adalah menyediakan MC, Pertunjukan Bakat, dan
Ceramah. Sedangkan PIC (person in charge) yang bertugas untuk menyediakan
tempat beserta infrastruktur kegiatan muha>dharah dipegang oleh pengurus harian
kepesantrenan.
Menurut Muhammad Rizal, salah seorang santri dari Aceh. Ia menilai
kegiatan muha>dharah ini sangat bermanfaat bagi santri. Ia pernah menjadi MC
dengan menggunakan bahasa Inggris pada saat kegiatan tersebut. Sedangkan
teman-temanya yang lain bertugas menampikan kebudayaan khas asal Aceh (Tari
Saman). Ia dan teman-temanya merasa terbangun rasa percaya dirinya tampil
dihadapan ribuan santri, sehingga menjadikan mereka tidak lagi gugup (nervous) saat diminta untuk tampil di masyarakat luas. Terbukti, mereka sering
memenangkan perlombaan dan diminta untuk mengisi berbagai acara di daerah
Jabodetabek.72
Sementara menurut Mahfudhi seorang santri yang berasal dari
Demak Jawa Tengah, ia merasa sangat bersyukur dapat belajar di pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Ia dapat mempelajari berbagai budaya di
Indonesia melalui teman-temanya yang berasal dari daerah tersebut.73
Kegiatan muha>dharah merupakan wujud internalisasi (bukan indoktrinasi)
dari pembentukan sikap percaya diri kepada santri. Internalisasi artinya siswa
difasilitasi -melalui kegiatan muha>dharah- agar dapat mengalami, merasakan
70
Etnosentrisme adalah suatu sikap menilai kebudayaan masyarakat lain dengan
menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakatnya. Etnosentrisme dapat juga
diartikan fanatisme suku bangsa. Dalam etnosentrisme, ukuran yang dipakai adalah ukuran-
ukuran masyarakatnya, maka orang akan selalu menganggap kebudayaannya memiliki nilai
lebih tinggi dari kebudayaan kelompok masyarakat lain. Segi positif Etnosentrisme
diantaranya : dapat menjaga kestabilan dan keutuhan budayanya, dapat mempertinggi
semangat patriotisme dan kesetiaan kepada bangsa, serta dapat memperteguh rasa cinta
terhadap kebudayaan atau bangsa. 71
Syafiq A. Mughni, Pendidikan Berbasis Multikulturalisme: Dalam Pengantar Buku Pendidikan Multikultural Karya Chairil Mahfudh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2016), xiii, cet. 8. 72
Wawancara dengan Muhammad Rizal, santri yang berasal dari Aceh pada 23
Agustus 2017. 73
Wawancara dengan Ahmad Mahfudhi, santri yang berasal dari Demak pada 23
Agustus 2017.
117
keberhasilan dalam melakukan sesuatu kemudian siswa diminta mengungkapkan,
menceritakan, merefleksikan bagaimana siswa dapat melakukan keberhasilan itu.
Ini adalah teknik internalisasi bukan indoktrinasi. Rasa percaya diri itu
ditumbuhkan, digali dari pengalaman siswa, bukan diajarkan (indoktrinasi).
5. Santri Wajib Militer, Menanamkan Jiwa Nasionalisme
Mencintai tanah air merupakan kewajiban setiap warga Negara Indonesia.
terlebih bagi seorang santri. Slogan h}ubbu al-Wat}an min al-I>ma>n menjadi
pegangan hidup seorang santri. Terbukti dengan adanya resolusi jihad (fatwa) yang
dicetuskan oleh KH. Hasyim Ash’ari untuk memerangi kaum penjajah adalah fard}u ‘ain74
, santri berhasil mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang terancam.75
Fatwa tersebut membuktikan bahwa seorang panutan santri (red:kiyai) selalu
mengajarkan cinta tanah air (nasionalisme).
Multikulturalisme menopang Nasionalisme. Multikulturalisme memiliki
cita-cita keadilan dan kesetaraan. Sementara nasionalisme memiliki cita-cita
bersatu padunya seluruh warga Negara. Persatuan tidak akan dapat terbentuk tanpa
adanya keadilan dan kesetaraan. Dalam menanamkan sikap nasionalisme, tentunya
dalam konteks Indonesia juga harus menanamkan sikap multikulturalisme. Karena
keduanya berjalan beriringan dan saling menguatkan.
Berawal dari sebuah harapan agar santri memiliki sikap yang disiplin,
patuh, tangguh, berkarakter serta cinta tanah air. Pada tahun 2012, pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman telah mewajibkan santrinya untuk mengikuti
Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN). Program ini wajib diikuti oleh
seluruh santri tingkat SMA dan Perguruan Tinggi (mahasiswa). Untuk siswa SMA,
PPBN diberikan ketika mereka memasuki masa orientasi siswa (MOS) selama lima
hari. Sedangkan untuk mahasiswa, PPBN dilakukan selama 11 hari, yang dimulai
dari semeseter satu secara bergantian.76
Sebenarnya, sebelum program PPBN ini diberlakukan, pada tahun 2006
pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman telah bekerja sama dengan Danrindam.
Melalui kerja sama tersebut pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman mengirim
tiga puluh santri ke Rindam Jaya Jakarta untuk dilatih bela Negara (Belneg).
Selama di Rindam Jaya mereka dididik selama tiga hari tentang kedisiplinan dan
wawasan kebangsaan. Program tersebut berjalan lancar secara periodik sampai
pada tahun 2013. Sampai tahun tersebut santri yang dididik langsung oleh TNI-AD
tercatat lebih kurang 1000 santri. Dari kader yang dilatih langsung oleh TNI-AD
tersebut kemudian menularkan wawasan kepada santri lainya.
Santri yang berasal dari latar belakang daerah yang berbeda memiliki
peluang dan kekuatan tersendiri dalam mengasah sikap nasionalismenya. Mereka
dihadapkan pada fakta dan realitas miniatur ke-Indonesiaan. Wawasan kebangsaan
74
Dalam Terminologi Islam, fardhu ‘ain memiliki arti wajib bagi setiap orang yang
telah mukallaf. 75
Fatwa Resolusi Jihad terbit pada tanggal 22 Oktober 1945 yang melatar
belakangi pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya. 76
Budianto, ‚Al-Ashriyyah Nurul Iman Wajib Militer: Wujud Persiapan Indonesia
Menjadi Negara Maju‛, Majalah Nurul Iman, vol. 11 (2014),52-55.
118
yang mereka dapatkan dari pelatihan bela Negara, lebih lanjut dapat mereka
elaborasikan pada diskusi dengan santri lainya yang beragam tersebut. Dengan
demikian santri akan sangat matang sikap nasionalismenya juga
multikulturalismenya.
Selain itu, sikap nasionalisme juga akan memberikan angin segar pada
program deradikalisasi. Fenomena yang terjadi saat ini, aksi-aksi radikal muncul
karena kurangnya sikap nasionalisme. Kaum radikalis lebih mendahulukan
kepentingan golongan, bahkan kepentingan pribadi sehingga menanggalkan
kepentingan bersama dalam sebuah komunitas Negara. Aksi radikal umumnya juga
dilakukan oleh kaum pemberontak pada pemimpin sebuah Negara yang sah. Hal itu
menunjukkan minimnya sikap nasionalisme yang dimiliki oleh kaum pemberontak
(kaum radikalis) tadi.
Secara konseptual, tahapan yang telah dilakukan oleh pondok pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman untuk membentuk santri yang berhaluan multikultural telah
tepat. Namun, secara praktikal ditemukan data bahwa hasil yang didapatkan masih
sangat jauh dari ekpektasi tujuan pendidikan multikultural itu sendiri. Sebagai
contohnya, banyak lulusan santri yang masih mempersoalkan memilih pemilih non-
Muslim dalam arena pertarungan politik. Masih banyak santri yang masih takut
untuk menyuarakan semangat multikultural di tengah gelombang Islamisme
masyarakat urban yang sangat kuat. Takut distigma liberal, sekuler, lebih membela
kafir dari pada muslim dan lain sebagainya.
6. Pola Pengasuhan Santri di Asrama
Asrama merupakan salah satu bagian dari proses pendidikan santri selain
di kelas. Di asrama sebuah hidden curriculum berlangsung. Jika di kelas merupakan
tempat pembelajaran ilmu yang teoritis, maka di asrama merupakan tempat
pembelajaran praktis yang lebih tepatnya disebut dengan proses pembentukan
karakter santri.
Jika dilihat dari latar belakang daerah asal (suku), santri diasramakan
secara random. Hal ini bertujuan agar satu sama lain dapat saling melakukan
perkenalan dan pertukaran budaya dari masing-masing suku. Selain itu, juga
bertujuan agar santri dapat saling memahami, menghormati, dan menghargai watak
dari masing-masing daerah yang berbeda tadi. Misalnya, santri asal jawa yang
terkenal lemah lembut harus memahami dan tidak mudah tersinggung dengan
santri asal Palembang atau Medan (Batak) yang terkenal dengan nada bicaranya
yang keras dan kasar.
Adapun klasifikasi jenjang pendidikan tetap dibedakan, sehingga santri
dengan jenjang SD, SMP, dan SMA berasrama secara terpisah. Meskipun dalam
satu jenjang, pembagian asrama tidak sama dengan pembagian kelas di sekolah.
Misalnya, Ahmad adalah seorang santri asal jawa tingkat SMP kelas VII A, tidak
mesti harus satu asrama dengan Mahmud, santri tingkat SMP kelas VII A. Jadi,
semaksimal mungkin dilakukan pengasramaan secara random, mengingat jumlah
santri yang mencapai 10.000, juga agar sosialisasi santri satu sama lain berjalan
maksimal sehingga tidak terjadi sukuisme.
119
Santri dibuat kelompok-kelompok belajar, kelompok makan, dan kelompok
piket kebersihan. Melalui pengelompokan tersebut, bermaksud melatih kerja sama
antar santri. Interaksi antar santri di asrama menggunakan bahasa arab, inggris,
mandarin, dan bahasa daerah masing-masing santri. Penggunaan bahasa tersebut
dijadwalkan pada waktu-waktu tertentu.
Pola kepemimpinan juga terbentuk di asrama. Satu asrama yang berisikan
lebih kurang 300 santri secara demokratis melakukan pemilihan ketua asrama
setiap satu tahun sekali. Salah satu santri yang terpilih menjadi ketua asrama harus
membuat tim kepengurusan yang solid agar asrama tersebut dapat menjadi asrama
percontohan asrama lainnya. Di setiap triwulan dilakukan penilaian dan
penghargaan kepada asrama terbaik dengan katagori kebersihan, keindahan,
kedisiplinan, dan prestasi warga asrama tersebut (misalnya, pemenang lomba baca
kitab kuning, lomba mengisi kolom mading, dll).
Khusus di Asrama SD, SMP, dan SMA dipimpin oleh santri yang sudah
senior (mahasiswa semester akhir atau pengabdian). Masing-masing kelompok di
asrama SD, SMP, dan SMA dibina oleh seorang mahasiswa tingkat akhir, sehingga
mampu memberikan pengarahan dan mampu menjadi konsultan dalam
penyelesaian segala macam persoalan yang menimpa salah satu anggota dari
kelompok tersebut. Biasanya disebut dengan pembimbing. Tugas pembimbing
diantaranya adalah menerima setoran hafalan, mengabsen kehadiran salat di
Masjid, mengabsen saat hendak tidur, dan memberikan laporan progres kepada
wali santri.
Seorang ketua asrama juga memiliki otoritas dalam membuat peraturan di
asrama yang ia pimpin. Misalnya terkait dengan jadwal penguncian pintu, jadwal
pemakaian lampu, jadwal pemakaian kamar mandi, larangan melakukan kekerasan,
himbauan agar selalu menghargai perbedaan, dan pemberian sanksi pada santri
yang melanggar peraturan yang telah disepakati. Dalam pembuatan peraturan ini,
seorang ketua asrama juga harus berkoordinasi dengan pengurus harian pesantren
bagian keasramaan. Ia harus melaporkan segala kebijakan yang telah ia lakukan.
Hal ini bertujuan agar peraturan di asrama sejalan dengan visi misi pesantren.
Ada beberapa kegiatan menarik yang dilakukan di asrama. Misalnya,
kegiatan muh}adharah}, kegiatan peringatan Maulid Nabi, peringatan isra’ mi’raj,
tasyakuran kelulusan, kegiatan haflah akhir sanah, dll. Semua kegiatan tersebut
dilakukan agar hubungan antar santri semakin akrab. Dalam kegiatan tersebut,
turut mengundang perwakilan-perwakilan asrama lain, pengurus harian pesantren,
dan dewan guru. Selain ceramah agama, kegiatan tersebut juga bermuatan
menampilkan budaya-budaya khas daerah dan hiburan-hiburan seperti musik band,
sholawat rebana, komedi, pantomim, dan lain sebagainya.
Terkadang, di asrama juga terjadi gesekan (konflik) antar santri yang
berbeda suku. Konflik tersebut terjadi biasanya karena faktor dicurinya makanan,
baju, dan kebutuhan pribadi lainya. Namun, menurut ketua asrama konflik tersebut
selalu hanya berlangsung antar individu saja tidak melibatkan kelompok daerah.
Apabila ada kasus seperti itu, pemberian sanksi yang berat diserahkan kepada
bagian keamanan pesantren. Sementara, sanksi yang berikan oleh ketua asrama
adalah berupa sanksi sosial berupa piket kebersihan selama satu minggu penuh dan
120
sanksi administratif berupa rekomendasi agar dipindahkan di asrama lainya.
Sanksi administratif tersebut merupakan jalan terakhir apabila kesalahan tersebut
dilakukan secara berulang-ulang.
Untuk menghindari kejenuhan dan memaksimalkan interaksi sosial antar
santri, pola perpindahan asrama dilakukan setahun sekali. Semaksimal mungkin
dilakukan pengacakan agar santri yang jumlahnya 10.000 tersebut dapat saling
mengenal satu sama lainya. Sebenarnya, kebijakan seperti ini mengundang pro dan
kontra antar santri. Mereka yang kontra berargumen bahwa mereka harus
beradaptasi dengan asrama baru mereka lagi. Menurut mereka proses adaptasi
tersebut menghambat proses belajar mereka. Sementara, santri yang pro terhadap
kebijakan tersebut mengungkapkan bahwa adaptasi dengan asrama baru memang
mengganggu proses belajar tetapi tidak begitu lama, justru yang terpenting adalah
satu sama lain saling mengenal agar ikatan persaudaraan sesama santri semakin
kuat. Harapanya, persaudaraan tersebut terjalin tidak hanya semasa menjadi santri
saja tetapi sampai menjadi alumni dan sampai di surga. Dengan begitu, menjadi
sangat kokoh pergerakan santri setelah menjadi alumni, satu sama lain saling
membantu, baik dalam dunia pendidikan maupun berwirausaha.
D. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Pesantren
Setiap program yang diberlakukan di lembaga manapun, tentunya tidak
lepas dari kendala-kendala yang melingkupi. Oleh karena itu, diperlukan strategi
atau alternatif untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Begitupun, di pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Berdasarkan penelusuran peneliti, didapatkan
data tentang kendala-kendala pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dalam
memaksimalkan pendidikan multikultural. Secara umum dijelaskan sebagai
berikut:
a) Kompetensi Guru
Guru di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman kebanyakan memiliki
latar belakang yang tidak sesuai dengan bidang kajian yang diampunya, misalnya
guru sosiologi, matematika ataupun fisika berlatar belakang pendidikan sarjana
hukum Islam atau sarjana pendidikan bahasa Arab. Meskipun begitu, ada juga guru
yang sesuai dengan bidang yang diampunya seperti kitab fiqh, Nahwu, Sharf,
Tauhid, Tajwid, dan lain sebagainya. Minimnya kompetensi guru menyebabkan
tidak maksimalnya penyampaian dan pengelaborasian mata pelajaran yang diampu
terhadap nilai-nilai multikultural kepada santri.
Dalam implementasi pendidikan multikultural, elaborasi nilai-nilai
multikultural di setiap mata pelajaran itu sangat penting, karena menurut James
Bank pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan
satu dengan yang lainya. Pertama, content integration, yaitu mengintegrasikan
berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar,
generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge contruction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke
dalam sebuah mata pelajaran (displin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu
menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka
menfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya
121
ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik
ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.77
Sebagai alternatifnya, pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
mendatangkan seorang pakar untuk memberikan training kepada guru yang tidak
sesuai bidangnya. Biasanya juga dengan melakukan kerja sama dengan Dinas
Pendidikan untuk memberikan pelatihan. Dari pelatihan-pelatihan tersebut
diajarkan metode pembelajaran, membuat materi pembelajaran, menjadi konsultan
siswa (Bimbingan Konseling) dan lain sebagainya.
b) Sarana dan Prasarana
Pendidikan yang bermutu dapat dihasilkan melalui transformasi sebuah
sistem pendidikan yang didukung oleh komponen input yang bermutu pula. Salah
satu komponen input tersebut adalah sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana
merupakan komponen penting dalam pelaksanaan pendidikan sehingga perlu
dilakukan pengadaan dan pengelolaan sedemikian rupa terhadapnya. Menurut
Bafadal, sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, dan perabot
yang secara langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah. Sedangkan
prasarana pendidikan adalah semua perangkat kelengkapan dasar yang secara tidak
langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan di sekolah.78
Pondok pesantren ini memberlakukan biaya gratis kepada seluruh santri
tanpa terkecuali. Nilai positifnya adalah sangat membantu orang-orang yang
terkendala dalam biaya pendidikan. Namun, disisi lain pesantren tidak bisa cepat
merespon perkembangan zaman terutama dibidang IPTEK karena kesulitan
menyediakan sarana prasarana yang memadai. Misalnya, belum tersedianya
perpustakaan yang lengkap, minimnya fasilitas internet bagi guru dan siswa,
laboratorium untuk siswa SMA program IPA, ruang kelas siswa yang tidak
sebanding dengan jumlah siswa, dan biaya-biaya pengembangan pendidikan
lainnya.
Salah satu alternatif yang ditempuh adalah menjadikan teras asrama
sebagai ruang belajar atau pembelajaran dilakukan secara bergantian (shifting).
Kemudian, memanfaatkan instrument-instrumen yang sederhana untuk melakukan
praktik sains dan bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk membantu
penyediaan sarana prasarana. Sementara itu, dalam melakukan pengadaan sarana
prasarana pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman memberlakukan skema
berikut.
77
James A. Bank, An Introduction to Multikultural Education (Allyn & Bacon,
Incorporated, 1999), 30-35. 78
Ibrahim Bafadal, Manajemen Perlengkapan Sekolah: Teori dan Aplikasinya (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 2.
122
Bagan 4.2: Skema Manajemen Saran Prasarana di Ponpes al-Ashriyyah
Nurul Iman
c) Sumber Daya Manusia (SDM) Santri yang Majemuk
Setiap orang yang mendaftarkan diri di pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman tidak ada yang ditolak. Semua diterima. Tak heran jika jumlah santri
mencapai puluhan ribu. Kebijakan tersebut, berangkat dari sebuah cita-cita luhur
pesantren untuk memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh manusia dalam
memperoleh pendidikan. Tidak peduli mereka cacat fisik ataupun mental. Memang
sudah sepatutnya sebuah lembaga pendidikan menempa manusia yang belum pintar
menjadi pintar, bukan malah melakukan penyeleksian dengan berbagai instrumen
dan argumentasinya dalam rangka mencari bibit unggul.
Sesuai dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh Paolo Freire. Kemudian,
kritik yang Ivan Illich dan Everett Reimer justru lebih radikal yaitu lembaga-
lembaga yang sudah ada ini harus digusur alias dibubarkan semua. Menurut
keduanya sekolah bukanlah lembaga pendidikan akan tetapi lembaga penindasan
rakyat kecil, lembaga yang melestarikan feodalisme, lembaga yang melanggengkan
kolonialisme, lembaga yang menjunjung tinggi status quo, bahkan lembaga yang
mengabadikan sistem persaingan model hukum rimba.
Everett Reimer mengemukakan melalui bukunya yang berjudul School Is Dead: Alternative in Education (1971) bahwa lembaga pendidikan saat ini
(red:sekolah) bagi kebanyakan orang merupakan institusi pendukung privilege (hak
istimewa/kehormatan), bahkan pada waktu yang sama merupakan instrumen
1. Pengadaan
Analisis Kebutuhan
Analisis Anggaran
Seleksi
Keputusan
Pemerolehan
2. Pendistribusian
Pengalokasian
Pengadaan/Pembangunan
Membangun Kemitraan
3. Penggunaan dan
Pemeliharaan
4. Inventarisasi
5. Penghapusan/Pengkajian
ulang
123
bersama bagi mobilitas vertikal masyarakat. Sistem pelembagaan pendidikan
hanya membuat banyak anak-anak (khususnya keturunan kaum miskin struktural)
di dunia tidak dapat menikmati pendidikan. Hal ini disebabkan oleh adanya tinkat
kompetitifnya sangat tinggi, sementara mereka (rakyat miskin) tidak memiliki
modal dan bekal yang cukup.79
Sementara, Ivan Illich dengan bukunya yang berjudul Deschooling Society (1971) menghendaki sekolah-sekolah yang telah muncul dan berkembang di
Negara-negara ketiga dibubarkan saja. Hal ini disebabkan karena sekolah-sekolah
tersebut tidak mampu lagi membawa perubahan apa-apa pada masyarakat. Selain
itu, lanjut Illich, lembaga-lembaga inilah yang menjadi agen resmi bagai abadinya
hegemoni sistem pendidikan yang mempertahankan kemapanan atau status quo. Akibatnya masyarakat yang telah termarginalkan tidak akan pernah terlepas dari
terkaman kemiskinan structural yang terus dipertahankan lewat berbagai
kurikulum dan pembaruan yang katanya membawa kepada pemberdayaan
masyarakat yang tinggi.80
Dua argumen di atas, penulis sajikan sebagai kritik atas
fenomena ketimpangan pendidikan bagi kaum miskin dan kaum kayaBukan berarti
penulis setuju atas wacana yang digulirkan untuk membubarkan lembaga
pendidikan. Di sisi lain fenomena banyaknya santri yang diterima oleh pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman menjadi kendala bagi pengurus pesantren untuk
menciptakan formula yang tepat agar tidak terjadi ketimpangan yang tinggi bagi
kemampuan santri baik dari segi kognitif, afektif, maupun kinestetik. Sebenarnya,
menurut penulis hal tersebut bisa di atasi dengan cepat bila terdapat sumber
pendanaan yang memadai. Karena melalui pendanaan yang memadai segala bentuk
sarana prasarana dan instrument-instrumen pendukung proses pembelajaran dapat
diwujudkan.
79
Everett Reimer, School Is Dead: Alternative in Education (New York: Garden
City Dobelday, 1971). 80
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper and Row, 1971).
124
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara implisit kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pendidikan
multikultural mampu menjadi alternatif dalam membendung radikalisme.
Dikatakan alternatif karena tujuan utama pendidikan multikultural bukanlah
deradikalisasi, melainkan persamaan/kesetaraan hak, toleransi dan keadilan.
Adapun secara rinci, kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman tentang
pendidikan multikultural adalah sebuah usaha/langkah/kegiatan dalam
membina/mendidik manusia agar memiliki wawasan yang luas, holistik dan
integratif, cerdas, berketerampilan yang cakap, kreatif, bertoleransi tinggi
dan menebarkan kasih sayang dengan tidak melakukan diskriminasi
terhadap perbedaan latar belakang baik agama, ras, suku, bangsa, status
sosial, aliran keagamaan dan aliran politik serta selalu bersikap inklusif
atas dasar bahwa seluruh santri pasti memiliki salah satu dari multiple intelligences (kecerdasan majemuk). Hal itu dibuktikan dengan proses
penerimaan seluruh santri yang mendaftar tanpa mempertimbangkan latar
belakang suku, ras, status sosial, agama, aliran kepercayaan, dll. Kemudian,
memberikan fasilitas yang sama, membekali santri dengan berbagai
kompetensi melalui ragam pelatihan dan kegiatan ekstrakurikuler, dan
melibatkan santri dalam berbagai kegiatan bersama umat agama lain.
2. Implementasi pendidikan berwawasan multikultural di pondok pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman sebagai upaya kontra radikalisme adalah melalui
pengarusutamaan pemahaman nilai-nilai multikultural melalui kajian kitab
kuning, memberikan pemahaman pada guru agar selalu menyelipkan ajaran
multikultural disetiap mata pelajaran yang diajarkan, berinteraksi secara
langsung dengan pemeluk agama lain dan menjalin kerja sama denganya,
membentuk LKD (Lembaga Kader Dakwah) untuk memberikan
pemahaman pada santri agar menyampaikan materi dakwah secara santun,
tidak menebar kebencian (hate speech), tidak provokatif dan penuh damai,
memberikan pendidikan dan wawasan nasionalisme, serta memberikan
pembekalan berbagai jenis kompetensi dan skill dalam
berwirausaha/entrepreneur agar santri tidak mudah tergiur oleh ajaran
radikalisme dengan iming-iming uang.
3. Kendala-kendala yang dihadapi pesantren, yaitu pertama, kompetensi guru
yang belum sesuai dengan spesifikasi keilmuan mata pelajaran yang
diampu. Hal ini mengakibatkan seorang guru kesulitan untuk
mengelaborasikan materi yang diajarkan dengan nilai-nilai multikultural.
Kedua, sarana prasarana penunjang pendidikan. Tidak sebandingnya sarana
prasarana penunjang pendidikan dengan jumlah santri mengakibatkan
sebagian santri tidak kebagian ruang kelas untuk belajar. Ketiga, Sumber
Daya Manusia (SDM) santri yang majemuk. Beragam santri yang berasal
125
dari berbagai daerah dan memiliki SDM yang berbeda-beda menyebabkan
kesulitan untuk mencari formula konsep dan media pembelajaran yang
tepat. Tentunya kendala yang terakhir ini berkaitan erat dengan kendala
poin pertama dan kedua.
B. Saran
Penelitian ini juga dapat digunakan pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
dalam memaksimalkan pendidikan multikultural yang telah dilaksanakan.
Misalnya manajemen alumni agar aktif berkontribusi untuk kemajuan pondok
pesantren, memaksimalkan media digital sebagai media dakwah pesantren dalam
mengampanyekan nilai-nilai multikultural, dan menyiapkan konten-konten dakwah
Islam rahmatan lil ’a>lami>n yang lebih inovatif.
Melihat kendala-kendala yang terjadi di pesantren al-Ashriyyah Nurul
Iman peneliti memiliki saran agar lebih mengutamakan kualitas dari pada kuantitas
santri. Manajemen kurikulum pesantren agar dikelola lebih profesional, seperti
standar kelulusan, test masuk pesantren, pengaturan rombongan belajar (rombel),
skala prioritas pengadaan sarana dan prasarana, dan lain sebagainya. Melalui
manajemen yang professional diharapkan agar lahir alumni-alumni yang memiliki
kualitas intelektual yang baik dan jiwa religiusitas yang tinggi.
Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi berbagai
pesantren di seluruh Indonesia untuk menerapkan pendidikan berwawasan
multikultural. Pola kerja sama inklusif dengan lembaga apapun patut dijadikan
contoh oleh pesantren-pesantren lain.
Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementrian Agama Republik Indonesia
dan Kementrian Pendidikan Nasional harus mengapresiasi adanya lembaga
pendidikan model pesantren seperti ini. Untuk itu, dua kementrian ini harus lebih
intens dalam memberikan perhatian terutama dukungan pada segi anggaran
pembangunan sarana prasarana belajar. Tentunya, agar pondok pesantren tidak
hanya tempat untuk memperbaiki moral generasi bangsa saja, tetapi juga tempat
untuk mencetak generasi yang handal dalam sains dan teknologi.
126
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Utama Penelitian
Berita-berita media cetak dan online tentang Pondok Pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman.
Dokumentasi foto-foto kegiatan Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.
Dokumentasi Video Ceramah atau Pengajian Habib Saggaf selaku pendiri
sekaligus peletak dasar paham multikultural di Pondok Pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman.
Observasi dengan terlibat dalam kegiatan santri di Pondok Pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman Wawancara dengan Ummi Waheeda selaku pimpinan Pondok Pesantren al-
Ashriyyah Nurul Iman.
Wancara santri, pengurus pesantren, alumni dan wali santri Pondok Pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman.
Wawancara warga sekitar Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.
Website Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman: www.nuruliman.or.id
B. Buku-Buku
Abdullah, Abdurrahman Saleh. Education Theorycal-Qur’anic Outlook, Terj.
H. M. Arifin dan Zainuddin, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Ahida, Rida. Keadilan Multikultural. Jakarta: Ciputat Press, 2008.
Ahmadi, Abu. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2007.
Ahmed, Akbar S.. Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. M.
Siroz. Bandung: Mizan, 1993.
Ainani, Ali Khalil Abu. Falsafat al-Tarbiyah fi Qur’an al-Kari>m. Kairo: Da>r al-
Fikr al-Araby, 1980.
Al-Bantany, Muhmmad ibn Umar Al-Nawawi. Luba>b al-Hadi>th. Terj. Misbah
ibn Zain al-Mus}t}afa. Tanqi>h} al-Qaul al-H}athi>th. Surabaya: al-Hidayah,
tt.
Al-Maliky, Ahmad al-Sha>wy. Ha>shiyat al-‘Alla>mat al-Sha>wy ‘ala al-Tafsi>r al-Jala>lain, al-Mujallad al-Awwal. Semarang: Thaha Putera, tt.
Al-Khauly, Muhammad Ali. Qa>mus al-Tarbiyah: Injilizy-Araby. Beirut-
Libanon: Da>r al-‘a>lim lil al-Malayin, 1981.
Al-Ghazali. Ihya>’ Ulum al-Di>n. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
. Mi’ra>j al-Sa>liki>n. Kairo: al-T>saqa>fa>t al-Isla>miyah, 1964.
Al-Malibari, Zainuddin ibn Abdul Aziz. Fathu al-Mu’in bi Syarkh Qurrati al-‘Ain. Surabaya: Da>r al-Ilm. tt.
Al-Nasa>I, Abu Abd Rahman Ahmad ibn Syu’aib. Kitab Sunan al-Kubra> Juz IV. Libanon: Da>r al-Kita>b, tt.
Aly, Abdullah. Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren: Telaah Terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
127
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2006.
Arslan, Hasan. ‚Multicultural Education: Approaches, Dimensions and
Principles.‛ In Multicultural Education From Theory to Practice, eds.
Hasan Arslan and Georgeta Rata. Newcastle: Camridge Scholars
Publishing, 2013.
Azra, Azyumardi. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
. ‚Sikap Barat Terhadap Radikalisme Islam‛, dalam Tarmizi Taher,
Meredam Gelombang Radikalisme (Jakarta: CMM (Center for
Mederate Muslim, 2003.
Bafadal, Ibrahim. Manajemen Perlengkapan Sekolah: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Baidhawi, Zakiyudin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:
Erlangga, 2007.
Banks, James A. An Introduction Multicultural Education. Boston: Pearson,
2008.
. ‚Multicultural Education: Character and Goals.‛ In Multicultural Education Issues and Perspective. Ed. James A. Banks, Cherry A.
McGee Banks, 25. Seventh Edition. Haboken: RRD Crawfordsville,
2008.
Brugmans, I.J.. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch Indie,. Groningen : Wolters, 1938.
Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia. Cet. IX. Bandung: Mizan Pustaka, 2011.
Chirzin, M. Habib. Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis dan Fundamentalis. Yogyakarta: Pilar, 2007.
Dawam, Ainurrofiq. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: LKIS, 2014.
Day, Richard J.F. Multiculturalism and The History of Canadian Diversity. Canada: University of Toronto Press, 2000.
Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Departemen pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1995.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. Cet. Ke-6. Jakarta: LP3ES, 1994.
During, Simon. The Cultural Study Reader. Routledge, 2007.
Echols, John M. dan Hassan Shadili. Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: PT. Gramedia.
Fatoni, Achmad. Peran Kyai Pesantren dalam Partai Politik. Cet. Ke-1.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Fay, Brian. Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell, 1996.
128
Geertz, Clifford. The Religion of Jawa, terjemahan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial,
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Cet. Ke-2. Jakarta:
Dunia Pustaka, 1983.
Ghosh, Ratna dan Mariuszz Galezynski. Redefining Multicultural Education Inclusion and The Rigt To Be Different, Third Edition. Toronto:
Canadian Scholar’s Press Inc, 2014.
Gorski, Paul C.. Multicultural Education and The Internet Intersection and Integrations. New York: McGraw-Hill, 2005.
Grossberg, Lawrence. Cary Nelson, Paula Treicher. Cultural Studies.
Routledge, 1992.
Hanggulung, Hasan. Beberapa Tinjauan dalam Pendidikan Islam. Kuala
Lumpur: Pustaka Antara, 1981.
Hasojo. Pengantar Antropologi. Bandung : Bina Cipta, 1984.
Hasani, Ismail. dkk. Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama / Berkeyakinan.
Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2010.
Ha>zimi, Khalid bin Hamid. Usu>l al-Tarbiyah al-Islamiyah. Riyadh: Da>r ‘A>lim
al-Kutub, 2000 M/1420 H.
Hernandez, Hilda. Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Content and Process. Columbus, Ohio: Merrill Publishing Company, 1989.
Haedari, Amin. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD Press, 2004.
Hikam, Muhammad A.S., Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme. Jakarta: Kompas, 2016.
Illich, Ivan. Deschooling Society. New York: Harper and Row, 1971.
Jackson, Robert. Rethinking Religious Education and Plurality Issues in Diversity and Pedagogy. London: Routledge Falmer, 2004.
Juergensmeyer, Marx. Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama. Jakarta-Magelang: Nizam Press & Anima
Publishing: 2002.
Kartenegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontsruksi Amali dalam Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Kelly, A.V. The Curriculum: Theory and Practice. 6TH Edition. London: SAGE
Publication, 2009.
Kymlicka, Will. Liberalism and The Politicization of Ethnicity, dalam Julia
Stapleton (ed) Group Rights. Briston :Thoemmes Press,1995.
. Multiculture Citizenship. New York: Oxford University Press, 1995.
K Ellis, Athur. dkk. Introduction to the Foundations of Education. New Jersey:
Prentice-Hall, 1981.
Kolb, Eva. The Evolution of New York City’s Multiculturalism Melting Pot Or Salad Bowl: Immigrants in New York from the 19th Century Until the End of The Gilded Age. Norderstedt: BoD, 2009.
Langgulung, Hasan. Teori-Teori Kesehatan Mental: Perbandingan Psikologi Modern dan Pendekatan Pakar Pendidikan Islam. Kejang Selangor:
Pustaka Huda, 1992.
129
Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultural, Alih Bahasa: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Lebor, Adam. Pergulatan Muslim di Barat: Antara Identitas dan Integrasi. Terj. Yuliani Liputo, Cet. Ke-1. Bandung: Mizan, 2009.
Lombard, Denis. Nusa Jawa Silang Budaya Jilid III. Jakarta: Gramedia, 1997.
Mahfud, Chairil. Pendidikan Multikultural. Cet. Ke-5. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011.
Mahalingam, Ram Cameron McCarthy, Ram. Multicultural Curriculum : New
Directions for Social Theory, Practice, and Policy. Routledge, 2000.
Makassary, Ridwan dan Suparto, ed. Cerita Sukses Pendidikan Multikultural di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2010.
Maksum, Ali. Pluralisme dan Multikulturalisme: Pandangan Baru PAI di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2011.
Madjid, Nurkholis. Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina, 1997.
. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren, dalam Dawam
Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah. Jakarta: LP3ES, 1985.
Madya Ruth, Dhyah. Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Radikalisme.
Jakarta: Lazuardi Birru, 2010. M. Nuh, Nuhrison. (ed.). Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya
Damai. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2010.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005.
Mughni, Syafiq A.. Pendidikan Berbasis Multikulturalisme: Dalam Pengantar Buku Pendidikan Multikultural Karya Chairil Mahfudh. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016.
Mudzar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Nata, Abuddin. Pendidikan Islam di Era Global (Pendidikan Multikultural, Pendidikan Multiiman, Pendidikan Agama, Moral, dan Etika). Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2005.
. Sosiologi Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Patilima, Hamid. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press, 2010.
Parekh, Bhikhu. National Culture and Multiculturalism, dalam Kenneth
Thompson (ed), Media and Cultural Regulation. London: Sage
Publication, 1977.
. Unity and Diversity in Multicultural Societies. Geneva: International
Institute for Labour Studies, 2005.
Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 46 Tahun 2010 tentang pembentukan
Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2017
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
130
Pigeaud, Th. G. Th.. Literature of Java: Descriptive List of Javanese Manuscripts Jilid I. The Hauge: Martinus Nijhoff, 1967.
R. Golose, Petrus. Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK, 2010.
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2004.
Ramayulis. Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2015.
Reimer, Everett. School Is Dead: Alternative in Education. New York: Garden
City Dobelday, 1971.
Rubaidi, A.. Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2003.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Cet. Ke-6. Jakarta: SAS Foundation
dan LTN PBNU, 2012.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta, 2012.
Sumardjan, Selo. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: UGM Press,
1981.
Suparta, Mundzier. Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat. Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009.
. Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas pendidikan Agama Islam di Indonesia. Jakarta: Al Ghazali Center, 2008.
Suparlan, Parsudi. Ilmu Kepolisian. Jakarta: YKIK, 2008.
Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia dari Radikalisme Menuju Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Syaibany, Umar Muhammad al-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam. Alih
bahasa Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Susari. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikultural studi Kasus di SMU N 8 Kota Tangerang. Tangerang Selatan: 2012.
Tilaar, Henry Alexis Rudolf. Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Grasindo, 2004.
. Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
Taylor, Charles, Amy Gutmann, and Charles Taylor. Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Princeton, N.J: Princeton
University Press, 1994.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme.
Van Bruinessen, Marti. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Cet. Ke-1.
Bandung: Mizan, 1995.
131
Wahid, Abdul. Pluralisme Agama, Pascamodernisme, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: UNY, 2009.
Wahid, Abdurrahman (ed). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009.
W. Santrock, John. Psikologi Pendidikan, Terj. Tri Wibowo B.S. Jakarta:
Kencana, 2007.
Warson Munawwir, Ahmad. AL-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Wiktorowicz, Quintan. Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus. Jakarta: Gading Publishing, 2012.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Ziemek, Manfred. Pesantren dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1983.
C. Jurnal-Jurnal Nasional dan Internasional
Abbas, Tahir. A Theory of Islamic Poltical Radicalism in Britain: Sociology,
Theology and International Political Economy, Contemporary Islam,
vol. 1, issue 2. 2007.
Abdullah, Anna Christina. Multicultural Education in Early Childhood: Issues and Challengs (CICE Hiroshima University, Journal of International Coorperation In Education, Vol. 12 No. 1, 2009), 159-175.
Abdurahman.‛The Transformation of Religious Learning in Oman: Tradition
and Modernity.‛ JRAS 3, 21, 2 (2011): 147-157
Amal, M. Khusna. ‚Kontestasi dan Negosiasi Agama, Lokalitas dan Harmoni
Sosial di Kota Padalungan‛, dalam Jurnal Harmon, Volume VII.
Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008.
Anonymous, Three. The Popular Discourse of Salafi Radicalism and Salafi
Counter-Radicalism in Nigeria: A Case Satudy of Boko Haram ,
Journal Religion in Africa 42 (2012) : 118 – 144
Andersen dan Cusher, ‚Multicultural and Intercultural Studies‛ dalam C.
Marsh (ed), Teaching Studies of Society and Environment (Sydney:
Prentice-Hall, 1994), 320.
Arslan, Hasan. ‚Multicultural Education: Approaches, Dimesions and
Principles,‛ in Multicultural Education From Theory to Practice, eds.
Hasan Arslan dan Georgeta Rata (Newcastle: Camridge Scholars
Publishing, 2013), 18.
Aydin, Hasan. ‚Multicultural Education Curriculum Development in Turkey‛,
Mediterranean Journal of Social Sciences, 3.3 (2012): 227-286
Azra, Azyumardi. ‚Memahami Gejala Fundamentalisme: Jurnal Ulumul Qur’an‛ IV, no. 3 (1993): 5.
132
Barakosa, Aneta. ‚Multiculturalism As Important Characteristic of
Contemporary Education,‛ IJCRSEE, vol. 1, no. 1 (2013),
http://ijcrsee.com/index.php/ijcrsee/article/view/5/47, (diakses pada 30
Mei 2017).
Blumenfeld, Warren J. ‚How Comprehensive Is Multicultural Education?: A
Case for LGBT Inclusion.‛ Journal of Multiculturalism in Education, vol. 5, no. 2 (2010): 1-20.
Budianta, Melani. ‛Multiculturalism: In Search of a Critical Framework for
Assessing Diversity in Indonesia‛, (2004).
Banks, James A.. ‚Multicultural Education: Historical Development,
Dimensions, And Practice‛, Review of Research in Education, 1993,
hlm. 3.
Charis Boutieri, ‚Inheritance, Heritage, and the disinherited: Ambiguities of
Religious Pedagogy in the Moroccan Public School.‛ Anthropology & Education Quarterly, vol. 44, no. 4 (2013): 363-380,
http://www.jstor.org/stable/24028938 (accessed May 5, 2016).
Choudhury, Cyra Akila. ‚Ideology, Identity, and Law in The Production of
Islamophobia.‛ Dialect Anthropol 39 (2015): 47-61,
http://link.springer.com/article/10.1007/s10624-014-9357-y (Accessed
May 17, 2016).
Cliteur, Paul. ‚State and Religio Agains, The Backdrop of Religious
Radicalism.‛ Icon, vol. 10, no. 1, (2012): 127-152,
http://icon.oxfordjournals.org/ (Accessed May 17, 2016).
Duderija, Adis. ‚Constructing the Religious Self and the Other: Neo-
Traditional Salafi Manhaj.‛ Islam and Christian-Muslim Relations, vol. 21, issues 1 (2010): 75-93,
http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09596410903481879
(accessed June 6, 2016).
Fred Dervin, Martina Paatela-Nieminen, M.-Kaisa Kuoppala, Anna-Leena
Riitaoja.Multicultural Education in Finland -Renewed InterculturalCompetences to the Rescue?. International Journal of
Multicultural Education. Vol. X, No. X, 2012.
Geng, Lihua. ‚Reflection on Multiculture Education Under The Background
of Globalization,‛ Higher Education Studies, vol. 3, no. 6 (2013): 53-
57.
G. Burnett. Varieties of Multicultural Education: an Introduction, (Eric
learinghouse on Urban Education, Digest, 1994), hlm. 1.
Herimanto, Triyanto, Musa Pelu. ‚Pengembangan Model Pembelajaran Budi Pekerti Berbasis Multikultural.‛ Journal.uny.ac.id/index.php/jipsindo/article/download/2880/2404. Diakses 16 Mei 2016
Huntingtong, Samuel P. ‚ The Clash of Civilizations?, ‚ Foreign Affairs, vol. 72, no. 3 (1993): 22-49.
133
Homabadi, Jalal Vahabi and Ahmad Bahrami. ‚ Basic Principles of Islamic Education.‛ Journal of Social Issues & Humanities, vol. 2, issues 2 (2014): 241-243.
Hoon, Chang-Yau. ‚Mapping ‘Chinese’ Christian Schools in Indonesia: Ethnicity, Class, and Religion.‛ Asia Pacific Educ. Rev. (2011): 403-410.
Ibrahim, Rustam. ‚Pendidikan Multikultural: Pengertian, Prinsip, Dan
Relevansinya Dengan Tujuan Pendidikan Islam.‛ ADDIN, vol. 7, no. 1, Februari (2013): 137.
Kim, Dohwon. ‚Transformation and Globalization Foreign Language Classroom Environment in Higher Education.‛ Journal of Transformatif Learning, vol. 2, no. 1 (2013): 69-75.
Kymlicka, Will. ‚Testing The Liberal Multiculturalist Hypothesis: Normative Theories and Social Sciences Evidence.‛ Canadian Journal of Political Science, 43:2 (2010): 257-271.
Lubis, Maimun Aqsha, Ramlee Mustapha, and Abdullah Awang Lapoh. ‚Integrated Islamic Education in Brunei Darussalam: Philosophical Issues and Challenges.‛ Journal of Islamic and Arabic Education, 1 (2), (2009): 51-60.
Ma’rifah, Indriyani. ‚Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya Membangun Kesadaran Multikultural untuk Mereduksi Terorisme dan Radikalisme Islam,Conference Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII IAIN Sunan Ampel
Surabaya 5-8 November (2012): 227
Mubarok, Husni. ‚Memahami Kembali Arti Keragaman: Dimensi Eksistensi,
Sosial dan Institusional‛, HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, IX (35) Juli-September (2010): 33.
Muqoyyidin, Andik Wahyun. Membangun Kesadaran Inklusif-Multikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Islam
Volume II, Nomor 1, Juni 2013 M/1434 H.
Okoye, Ogo-Johnson. ‚Does Multiculture Education Improve Students’ Racial
Attitudes? Implication for Closing the Achievement Gap.‛ Journal of Black Studies, vol. 42, no. 8 (2011): 1252-1274.
Polat, Soner. ‚The Attitudes of School Directors to the Multiculture Education
in Turkey.‛ Mediterranean Journal of Social Sciences, vol. 2, no. 2
(2011): 385-393.
Prihanto, Kritik atas Konsep Pendidikan Multikulturalisme (ISLAMIA,
VOLUME IX, No. 1. 2014), 45.
Sandu, Antonio. dkk. ‚Qualitative Methodology in Analyzing Edzucational
Phenomena‛, RomanianJournal for Multidimensional Edzucation EBSCO , year 2, no. 5 (2010): 126 -127.
Shaikh, Khanum. ‚Gender, Religious Agency, and The Subject of al-Huda
International.‛ Meridians, vol. 11, no. 2 (2011): 62-90.
134
Suparlan, Parsudi. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Keynote
Address Simposium III Internasional Jurnal Antropologi Indonesia,
Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
Suparta, M. ‚Manajemen Ekonomi Pondok Pesantren: Studi PP al-Ashriyyah
Nurul Iman Parung Bogor,‛ Hikmah Journal of Islamic Studies, vol.
XI, no. 2, (2015): 49-80.
Sunarto, Kamanto. dkk (ed). ‛Multiculturalism Education in Indonesia and
Southeast Asia‛ Jurnal Antropologi Indonesia (Depok, 2004), 24-25.
Suprapto, Rohmat. Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan Multikultural Inklusivisme, jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/.../1198/1251
Srimulyani, Eka. ‚Islamic Schooling in Aceh: Change, Reform, and Local Context.‛ Studia Islamika, vol. 20, no.3, (2013): 467-487.
Wei, Li. ‚ Integration of Multikultural Education into English Teaching and Learning, A Case Study in Liaoning Police Academy.‛ Theory and Practice in Language Studies, vol. 3, no. 4 (2013): 612-619.
Yani, Zulkarnain. ‚Bacaan Aktivis Rohis: Studi Kasus di SMA Negeri 3 dan 4 Kota Medan.‛ Penamas, vol. 27, no. 1 (2014): 47-62
Yeni Rachmawati, Pai, Yi-Fong, Hui-Hua Chen, The Necessity of Multicultural Education in Indonesia (International Journal of
Education and Research, Vol. 2 No. 10. Oktober 2014), 317-328.
D. Tesis dan Disertasi
Enlaila, Nur. ‚Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural.‛
Tesis Program Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Irham. ‚Pendidikan Berwawasan Multikultural, Studi Kasus Pendidikan
Agama Islam di SMA Plus Pembangunan Jaya, BIntaro.‛ Tesis
Program Magister Pengkajian Islam Sekolah Pacasarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Nuryadin. ‚Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren Karya Pembangunan
Puruk cahu Kabupaten Murung Raya.‛ Tesis Program Magister
Pendidikan Islam Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, 2014.
Ozabrlas, Yesim. ‚Perspective On Multicultural Education: Case Studies of A
German And An American Female Minority Teacher.‛ Ph.D.
Dissertation, Georgia State University, Georgia, 2008.
Sukardja, Ahmad. ‚Pengamalan Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian
Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Islam
yang Majemuk.‛ Disertasi PPs. IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
1993.
Wahid, Din. ‚Nurturing The Salafi Manhaj: A Studi of Salafi Pesantrens in
Contemporary Indonesia.‛ Ph.D. Dissertation, Utrecht University,
Belanda, 2014.
135
E. Internet
Anonym. http://www.eurekapendidikan.com/2014/11/teknik-sampling-pada-
penelitian.html
Anonym. http://www.wartaislami.com/2016/02/habib-sagaf-bin-mahdi-ulama-
pejuang.html. Diakses pada 10 September 2017
Anonym. http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2010-09-09/jones-
rencana-bakar-al-quran-jadi-dilakukan/76152. Di akses pada 1
September 2017.
Anonym. http://arsip.gatra.com/artikel.php?id=96138 . Diakses pada 10
September 2017
Anonym. http://www.andreanperdana.com/2014/05/pendekatan-
fenomenologipenelitian-kualitatif.html. 22 Mei 2016
Anonym. http://www.haryoprasodjo.com/2014/05/perspektif-poskolonialisme-
dalam.html diakses pada 20 April 2017
Anonym. http://mahrita-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-75748
Sistem%20Politik%20Amerika
WHITE%20ANGLOSAXON%20PROTESTANT:%20Terkikisnya%20
Sebuah%20Superioritas.html, diakses pada 2 Mei 2017
Azra, Azyumardi. Multikulturalisme Indonesia dan Eropa.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/04/16/n44s1l-
multikulturalisme-indonesia-dan-eropa. Diakses pada 20 April 2017
Burhani, Ruslan. www.antaranews.com. Presiden terbitkan Kepres tentang
BNPT 16 Juli 2010. Diakses 30 Juli 2010
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1274
Nif. http://www.nu.or.id/post/read/12608/ribuan-santri-di-bogor-siap-serbu-fpi.
Diakses pada 10 Juli 2017
Partogi, Jacksen. https://id.scribd.com/doc/89205342/Pemikiran-Gayatri-
Spivak-Tentang-Subaltern-Dan-Refleksinya-Pada-Kasus-Diskriminasi-
Terhadap-Bangsa-Moro-Di-Filipina. diakses pada 17 April 2017
Republika Newsroom. ‚Perlu Deradikalisasi Pemahaman Islam di Ponpes.‛
Jumat, 6 Februari 2009. http://www.republika.co.id/berita/dunia-
islam/islam-nusantara/09/02/06/2987.
Santosa, M. Budi. https://news.okezone.com/read/2008/06/03/1/115282/siaga-
hadapi-fpi-santri-habib-saggaf-dibekali-doa-antipeluru. Diakses pada 10
Juli 2017
Sulis, Muhammad Ihsan. https://www.kompasiana.com/ihsanaceh/biografi-
habib-saggaf-bin-mahdi-bin-syekh-abu-bakar-bin-salim-ramadhan-
menulis-9_552b0c5c6ea834411b552cf9. Diakses pada 10 September
2017
136
Ulwan, M. Nashihul. http://www.portal-statistik.com/2014/02/teknik-
pengambilan-sampel-dengan-metode.html 22 Mei 2016
van/fay. https://news.detik.com/berita/d-1413707/pemerintah-as-didesak-
gagalkan-aksi-bakar-al-quran-di-florida, diakses pada 1 September 2017
Wahid, Abdurrahman. Pondok Pesantren: Dari Masa Lalu ke Masa Depan. https://santri.or.id/pondok-pesantren-dari-masa-lalu-ke-masa-depan/.
Diakses pada 5 April 2016
www.bnpt.go.id
Yunita, Niken Widya. Sidik Jari Santri, Kalla Soroti Sikap Sensitif Tanpa
Alasan. detikNews. Rabu, 7 Desember 2005.
http://news.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/12/tgl/07/
time/132014/idnews/493843/idkanal/10.
Youtube (Eagle Documentary): Selaras Di Bawah Atap Pesantren (METRO TV) Pesantren Nurul Iman Ciseeng Bogor. Di akses pada 6 Juni 2017.
Zal. http://www.buntetpesantren.org/2008/06/habib-segaf-negara-teracam.html.
Dikases pada 10 Juli 2017.
137
GLOSARIUM
Akhla>q al-Kari>mah : Perilaku yang baik dan mulia.
Budha Tzuchi : Sebuah Yayasan Kemanusian yang diprakarsai
oleh seorang biksu asal Taiwan yang bernam
Master Cheng Yen.
Dekadensi Nilai : Penurunan dan kemeorosotan nilai-nilai sosial
budaya dan nilai-nilai keagamaan di era
globalisasi.
Desain : Rancangan
Deradikalisasi : Proses atau upaya untuk menghilangkan
radikalisme.
Ekstrakurikuler : Kegiatan non-pelajaran formal yang dilakukan
peserta didik, umumnya diluar jam belajar
kurikulum standar. Kegiatan ekstrakurikuler ini
bertujuan agar dapat mengembangkan
kepribadian, bakat, dan kemampuanya di
berbagai bidang di luar bidang akademik.
Gandhi Sevaloka : Sebuah Yayasan yang menghimpun orang-orang
Hindu.
Globalisasi : Integrasi internasonal karena terbukanya arus
pemikiran, sosial budaya, ideologi, agama,
produk industri, dan lain sebagainya dari
masyarakat global.
Hak Asasi Manusia : Hak yang dilindungi secara internasional (yaitu
deklarasi PBB Declaration of Human Rights),
seperti hak untuk hidup, hak kemerdekaan, hak
untuk memiliki, hak untuk mengeluarkan
pendapat;
Implementasi : Pelaksanaan atau penerapan ke ranah praktis.
Inklusif : Sikap keberagamaan yang mempunyai pandangan
bahwa diluar agama yang dianutnya mempunyai
kebenaran, meskipun tidak sepenuhnya tidak
seperti kebenaran yang dianutnya. Selain itu,
dapat dimaknai sebagai berpikir terbuka. Artinya,
berpikir melebihi batas-batas disiplin ilmu
tertentu (multidisiplineris, transdisiplineris),
berpikir realistis, logis, ekologis, merdeka dan
historis.
Integrasi : Adanya keterpaduan, penyatuan/penggabungan.
138
Kearifan Lokal : Bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak
dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu
sendiri. Biasanya diwariskan secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi melalui
cerita mulut ke mulut.
Keberagamaan : Ekspresi lahiriah dalam bentuk perilaku maupun
pemahaman dan keyakinan orang yang beragama
yang merupakan respon atas ajaran agama.
Kemajemukan : Adanya dua sampai tiga hal atau lebih. Arti ini
menunjukkan banyak. Dalam bahasa Inggris
disebut plurality.
Komprehensif : Menyeluruh.
Kurikulum : Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Keadilan Sosial : Kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang
bersatu secara organis sehingga setiap anggota
masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan
nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada
kemampuan aslinya;
Multikulturalisme : Faham atau pandangan yang menekankan untuk
mengakui dan menghargai perbedaan dan
kemajemukan budaya, agama, ras, tradisi, bahasa,
idiologi, suku, aliran kepercyaan, aliran politik,
status sosial, dan keyakinan.
Nasionalisme : Rasa cinta tanah air.
Parung : Salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor Jawa
Barat.
Pendidikan Multikultural : Program pendidikan yang berupaya
mengembangkan nilai-nilai multikultural pada
anak didik. Pendidikan ini berupaya mengakui
perbedaan dan kemajemukan dan menanamkan
toleransi, demokrasi, memberikan keadilan
pendidikan tanpa ada diskriminasi,
memberdayakan semua potensi anak didik serta
mengembangkan keberagaman sesuai dengan
keyakinan masing-masing anak didik.
Pendidikan Diniyyah : Program pendidikan yang materi ajarnya
bersumber dari kitab-kitab klasik atau yang biasa
disebut dengan kitab kuning (kitab gundul).
Pendidikan Padat Karya : Program Pendidikan yang mengajarkan
139
kemampuan berkarya atau menjurus pada
keahlian dalam suatu bidang pekerjaan tertentu,
misalnya: membuat roti, menjahit, kursus
komputer.
Persamaan : Keadaan yang sama atau yang serupa dengan
yang lain; persesuaian;
Perbedaan : Adanya ketidaksamaan/keanekaragaman antara
satu dengan lainya. Dalam bahasa Inggris sering
disebut diversity. Radikalisme : Paham atau aliran yang menginginkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis
RPP : Merupakan singkatan dari Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran, rencana kegiatan pembelajaran
tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP
dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan
kegiatan pembelajaran peserta didik sebagai
upaya untuk mencapai kompetensi dasar.
Santri : Anak didik yang berada dilingkungan dan terikat
dengan pesantren.
Silabus : Rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata
pelajaran /tema tertentu yang meliputi standar
kompetensi, kompetensi dasar, materi inti,
kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian
(evaluasi), alokasi waktu, dan bahan/sumber/alat
ajar.
Sunnatullah : Hukum alam.
Terorisme : Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan
ketakutan dalam usaha mencapai tujuan
(terutama tujuan politik); praktik tindakan teror;
Toleransi : Kesadaran untuk menghargai, menghormati atas
segala perbedaan dan kemajemukan, baik yang
berupa pendirian, pendapat, pandangan,
keyakinan, tradisi, budaya, dan agama yang
berbeda.
Transformasi : Perubahan dari kerangka acuan (keyakinan,
pemahaman, pandangan, idiologi) menjadi
tindakan nyata.
UNESCO : Singkatan dari United Nations Educational
Scientific and Cultural Organization.
Unsur-Unsur Pendidikan : Seluruh komponen di dalam dunia kependidikan,
seperti: staf pendidik, staf administrasi dan
semua karyawan sekolah, kurikulum, sarana dan
prasarana, anak didik, guru, media belajar, ruang
140
belajar, dan yang lainya yang berhubungan
dengan pendidikan.
Wajib Militer : Program pendidikan kedisiplinan dan wawasan
kebangsaan.
141
DAFTAR INDEKS
A
Adab · 90, 105
Adat Istiadat · 2, 13
Agama · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 20,
21, 22, 23, 25, 27, 29, 30, 31, 34,
35, 36, 37, 38, 40, 44, 45, 47, 48,
49, 50, 52, 55, 56, 57, 58, 60, 62,
65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73,
74, 78, 79, 80, 84, 88, 89, 90, 91,
93, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 103,
105, 115, 116, 117, 118
Akhlak · 61, 74, 91, 105
Al-Ashriyyah Nurul Iman · 1, 9, 10,
11, 17, 18, 52, 53, 54, 55, 56, 57,
58, 60, 61, 62, 66, 67, 68, 69, 70,
71, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 79, 80,
81, 83, 84, 85, 86, 91, 93, 99, 101,
102, 103, 104, 105, 106, 108, 110,
111, 112, 113, 114, 115, 116, 118,
119, 120, 128
Al-Ghazali · 89, 120
Al-Hadith · 89
Aliran Kepercayaan · 2, 10, 71, 89,
118
Al-Khauly · 87, 120
Al-Qur’an · 57, 59, 67, 68, 71, 72, 73,
79, 83, 88, 89, 90, 91, 92, 96, 97,
99, 101, 102, 104, 105, 109, 120,
124
B
Budaya · 1, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 12, 13, 14,
15, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30,
31, 33, 34, 35, 37, 40, 41, 42, 43,
47, 50, 52, 54, 58, 69, 72, 78, 85,
86, 93, 98, 102, 107, 109, 110, 112,
116, 117
Budha · 2, 9, 21, 22, 24, 52, 54, 70,
71, 93, 116
Budha Tzuchi · 9, 70, 93, 116
D
Demokratis · 1, 3, 32, 34, 37, 83, 86,
115
Deradikalisasi · 1, 4, 6, 10, 11, 14,
20, 44, 46, 47, 48, 83, 98, 99, 118
Diskriminasi · 3, 5, 25, 30, 33, 37, 80,
84, 103, 116, 118
E
Ekstrakurikuler · 78, 94, 108
Etika · 26
G
Gandhi Sevaloka · 9, 54, 70, 116
Globalisasi · 2, 25, 28, 29, 55, 57, 85,
104
Guru · 20, 60, 104, 105, 112
H
H.A.R. Tilaar · 23, 24, 25, 26, 27, 28,
43, 44
Hak Asasi Manusia · 3, 27, 31, 34,
41, 85
Harmonis · 9, 25, 40, 55, 60, 67, 69,
71, 102
Hindu · 2, 9, 20, 21, 22, 24, 54, 60,
116
Humanis · 1, 38, 48, 50, 54, 83
142
I
Ibnu Khaldun · 90
Ibnu Sina · 90, 91
Ilmuan Muslim · 89, 91
Imigran · 8, 12, 29, 32
Indonesia · 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 12, 13,
21, 22, 23, 24, 25, 26, 29, 34, 36,
44, 45, 47, 48, 49, 50, 53, 54, 55,
59, 66, 69, 73, 74, 76, 78, 81, 85,
87, 91, 97, 98, 99, 102, 103, 106,
107, 109, 110, 111, 116, 119, 121,
122, 123, 124, 125, 126, 127, 128,
129
J
James Bank · 1, 7, 112
Jiha>D · 6, 102, 103, 104
K
Keadilan · 1, 10, 12, 26, 36, 37, 41,
65, 83, 102, 103, 111, 118, 125
Keamanan · 5, 11, 35, 65, 67, 100,
103
Kebijakan · 4, 25, 29, 32, 33, 40, 42,
43, 46, 56, 66, 71, 83, 115, 116,
117
Keragaman · 1, 2, 3, 7, 8, 9, 13, 21,
24, 25, 27, 30, 32, 34, 35, 36, 37,
38, 42, 87
Kesetaraan · 1, 3, 33, 41, 58, 85, 86,
108, 111, 118
Konflik · 2, 3, 7, 11, 12, 13, 20, 26,
31, 33, 44, 48, 65, 96, 99, 103
Kyai · 22, 23
M
Menyayangi · 65, 102, 103
Multikultural · 1, 3, 7, 8, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 18, 20, 25, 32, 34, 35,
36, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 49, 52,
57, 58, 62, 65, 66, 68, 69, 76, 78,
79, 80, 83, 84, 85, 86, 91, 93, 101,
102, 103, 104, 105, 107, 109, 112,
116, 117, 118, 119, 120
Mundzier Suparta · 21, 22, 36
N
Nasionalisme · 47, 78, 111
Non-Muslim · 60, 69, 80, 83, 86, 102,
103, 104, 116
O
Otoriter · 115
P
Pendidikan · 1, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 21, 22,
30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
40, 41, 42, 43, 45, 46, 47, 50, 53,
54, 55, 57, 58, 59, 62, 65, 66, 67,
69, 71, 74, 77, 78, 79, 80, 81, 82,
83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 93,
97, 98, 103, 104, 105, 106, 107,
109, 112, 113, 114, 115, 116, 117,
118, 119, 121, 124
Pendidikan Islam · 4, 5, 7, 20, 21, 22,
71, 88, 89, 104
Percaya Diri · 56, 72, 78, 108, 109,
110
Persamaan · 1, 26, 31, 37, 47, 85,
103, 108, 118
Pesantren · 1, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12,
14, 16, 17, 20, 21, 22, 44, 47, 49,
50, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60,
62, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72,
143
73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81,
82, 83, 84, 85, 86, 88, 91, 93, 99,
100, 101, 102, 104, 105, 106, 108,
110, 111, 112, 113, 114, 115, 116,
118, 119, 120, 129
R
Radikalisme · 1, 4, 5, 6, 10, 12, 14,
20, 40, 44, 45, 46, 47, 50, 80, 81,
82, 83, 86, 96, 97, 98, 99, 101, 102,
104, 118
Rekonsiliasi · 103
S
Santri · 1, 5, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 17,
20, 22, 23, 44, 49, 52, 53, 54, 55,
56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64,
65, 66, 67, 69, 70, 72, 73, 74, 75,
76, 78, 79, 80, 83, 84, 85, 91, 92,
93, 95, 96, 99, 100, 101, 103, 104,
106, 107, 108, 110, 111, 112, 113,
114, 115, 116, 117, 118, 120, 129
Sejahtera · 10, 39, 58, 62, 98, 103,
107
Status Sosial · 3, 8, 10, 12, 37, 41,
62, 64, 67, 71, 78, 84, 93, 102, 116,
118
Suku · 2, 6, 8, 9, 10, 13, 25, 26, 30,
31, 34, 35, 38, 47, 52, 57, 62, 67,
71, 76, 80, 84, 85, 93, 102, 109,
116, 118
T
Terorisme · 4, 5, 6, 40, 44, 46, 82, 98,
99, 102, 104, 124
Toleransi · 1, 7, 8, 10, 12, 27, 31, 50,
55, 60, 61, 62, 78, 82, 83, 87, 99,
102, 103, 105, 118
Tolong Menolong · 68, 71, 86, 103
144
LAMPIRAN – LAMPIRAN
Kegiatan Baksos Kesehatan Dan Serah Terima Bantuan Beras Oleh
Yayasan Budha Tzu-Chi Di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman
Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka
Habib Saggaf Menerima Kunjungan Band
HIP HOP Remarkable Current dari
Amerika
145
Kegiatan anak-anak PAUD
Kegiatan Pelatihan Menjahit dan
Kursus Bahasa
Penulis bersama para santri, pengurus, pimpinan dan pengasuh pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
146
Habib Saggaf Menerima Kunjungan
Pengusaha Etnis Tionghoa
Ummi Waheeda Menerima Kunjungan
Ibu Negara Korea Selatan
Habib Saggaf Menerima Kunjungan Presiden
Bank Dunia Paul Wolfowitz Dari Amerika
Habib Saggaf Menerima Kunjungan Tamu
Korea
Santri al-Ashriyyah Nurul Iman menghadiri
undangan Yayasan Budha Tzuchi
memperingati hari santri bersama Wakil
Presiden Jusuf Kalla
147
Tabel 4.5: Aktifitas Keseharian Santri
No Hari Waktu Jenis Kegiatan
1.
Sabtu-Kamis
03.30-04.00 WIB
Qiyamul lail, Pembacaan
Aurad Harian, Persiapan
Sholat Subuh,
2. 04.00-06.00 WIB
Sholat Subuh Berjamaah,
Pembacaan Aurad Harian,
Belajar Kelompok, Tahfidz,
dan Senam Pagi
3. 06.00-07.00 WIB
Persiapan Sekolah Formal,
Sarapan Pagi, dan sholat
dhuha
4. 07.00-12.00 WIB Sekolah Formal
5. 12.00-14.00 WIB
Sholat Dzuhur Berjamaah,
Pembacaan Aurad Harian,
Belajar Kelompok,
Pemberian
Vocabulary/Mufrodat harian, Makan Siang, dan
persiapan sekolah diniyyah
6. 14.00-16.00 WIB Sekolah Diniyyah
7. 16.00-17.00 WIB
Sholat Ashar Berjamaah dan
Pembacaan Aurad Harian,
Pemberian
Vocabulary/Mufrodat harian
8. 17.00-18.00 WIB
Pendidikan Padat Karya
(Kursus), Ekstrakurikuler,
dan Belajar Kelompok
9. 18.00-20.00 WIB
Sholat Maghrib Berjamaah,
Sholat Isya’ Berjamaah,
Pembacaan Aurad Harian,
Belajar Kelompok,
Pemberian Nasehat
(disampaikan oleh Pimpinan
Pesantren/Dewan
Asatidz/Pengurus Pesantren)
dan Tahfidz
10. 20.00-21.30 WIB
Makan Malam, Pendidikan
Padat Karya (kursus),
Belajar kelompok, dan
persiapan tidur.
11. 21.30-03.30 WIB Istirahat (tidur).
148
No Hari Waktu Jenis Kegiatan
12. Jum’at -
Sekolah Formal dan
Diniyyah Libur.
Begitupun percakapan
dengan bahasa asing juga
libur. Di hari aktif santri
wajib berbahasa asing
(Arab, English, Mandarin,
Jepang).
Setelah Sholat Subuh
Berjamaah ada kegiatan
‚JUMSIH‛ (Jum’at
Bersih) untuk
mengajarkan santri
bersikap bersih dan
terhindar dari berbagai
penyakit.
Adapun Kegiatan
WAMIL (Wajib Militer)
biasanya juga
dilaksanakan di hari
Jum’at, Sabtu dan
Minggu secara bergantian
sesuai dengan kelompok
santri.
Hari libur ini, biasanya
juga dimanfaatkan oleh
santri untuk berkumpul
dengan organisasi-
organisasi yang mereka
geluti guna melatih jiwa
leadership mereka.
Kegiatan Ibadah (Sholat
Berjamaah, Pembacaan
Aurad berjalan
sebagaimana hari-hari
aktif).
Selain itu, di malam
jum’at (kamis malam)
santri bersama-bersama
mengikuti pembacaan
maulid Nabi Besar
Muhammad Saw.
149
Daftar Pertanyaan Wawancara Pimpinan Pesantren, Ummi Waheeda, S.Psi.
M.Si.
1. Apa visi visi pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman? Apakah
mengusung pendidikan multikultural?
2. Bagaimana pemahaman pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terhadap
konsep dan implementasi pendidikan multikultural? Bentuknya seperti apa?
3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan
pendidikan multikultural?
4. Apakah kegiatan ekstrakurikuler yang ada di pesantren ini menumbuhkan
segala potensi yang dimiliki santri?
5. Kebijakan apa saja yang dilakukan pesantren untuk melestarikan pendidikan
multikultural?
6. Budaya-budaya apa saja yang dibangun pesantren untuk mendukung
implementasi pendidikan multikultural?
7. Bagaimana strategi pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman agar para
santri dari masing-masing daerah percaya diri, bangga dan faham dengan
budaya masing-masing, kemudian dengan kebangganya tersebut tidak timbul
gesekan (konflik) antar santri karena perbedaan latar belakang daerah, suku,
bahasa, watak dan lain sebagainya?
8. Bagaimana hubungan pesantren dengan non-Muslim? Apakah santri pernah
terlibat dalam kegiatan bersama-sama dengan non-muslim? Baik kegiatan
keagamaan maupun kegiatan sosial?
9. Apakah pesan Abah dalam lima wasiat abah “kasihilah semua mahluk”
merupakan wujud dari pendidikan multikultural?
10. Apakah pendidikan multikultural dapat menjadi pilihan alternatif dari
program deradikalisasi?
11. Bagaimana pandangan Ummi terkait adanya pesantren yang terindikasi
radikal dan mengajarkan benih-benih radikalisme terorisme? Menurut data
BNPT ada sekitar 19 pesantren.
12. Langkah Apa saja yang telah ditempuh pesantren sebagai upaya pencegahan
terhadap santri agar tidak bersikap radikal dan teror?
13. Bagaimana pandangan pesantren nurul iman tentang jihad? Misalnya dalam
kasus Muslim Rohingnya yang tertindas atau Palestina? Apakah santri Nurul
Iman boleh berangkat ke sana untuk ikut berperang melawan kekejaman yang
terjadi?
Daftar Pertanyaan Wawancara Santri
1. Apa yang melatarbelakangi anda memilih pondok pesantren ini sebagai
tempat mencari ilmu?
2. Di pesantren ini apakah anda diajarkan tentang nilai-nilai multikultural?jika
iya, bentuknya seperti apa?
3. Pernahkah anda mengalami konflik dengan teman yang berlatar belakang
suku yang berbeda? Bagaimana anda meyelesaikanya?
4. Bagaimana sikap anda terhadap orang yang berbeda latar belakang dengan
anda? Misalnya beda agama, suku, ras, umur, maupun status sosial?
150
5. Apakah anda mengerti tentang radikalisme? Jika iya, bagaimana anda
menyikapinya?
6. Apakah anda pernah terlibat kegiatan (misalnya menghadiri acara
keagamaan, atau acara sosial) yang berbaur dengan orang non-muslim?
7. Bagaimana sikap anda terhadap ISIS dan Teororis?
8. Apakah di pesantren ini anda diajarkan untuk percaya diri dan cinta terhadap
budaya anda? Bagaimana anda mengekspresikanya?
9. Bagaimana anda memahami materi yang ada dalam kitab kuning agar
bersikap inklusif?
10. Bagaimana anda memahami cara berdakwah?
Daftar Pertanyaan Wawancara Alumni 1. Apa yang anda kerjakan setelah menjadi alumni?
2. Ormas apa yang anda ikuti? Kenapa alasanya?
3. Adakah koordinasi ataupun konsolidasi antar alumni? Bentuknya seperti apa?
4. Bagaimana anda memandang isu SARA?
5. Sejauh mana peran alumni dalam membendung isu SARA dan Radikalisme?
6. Sejauh ini apakah ada alumni nurul iman yang terindikasi radikal?
7. Bagaimana peta persebaran alumni nurul iman melanjutkan perjuangan
pendidikan multikultural di seluruh daerah Indonesia?
Daftar Pertanyaan Wawancara Guru dan Pengurus
1. Bagaimana perlakuan pesantren terhadap santri yang memiliki latar belakang
yang beragam, baik suku, ras, dan status sosial?
2. Apa saja strategi yang dilakukan pesantren agar pengurus dan pengajar tetap
berpegang teguh pada nilai-nilai multicultural?
3. Bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai multikultural dengan kajian kitab
kuning sebagai upaya pencegahan radikalisme?
4. Bagaimana anda mengelaborasi nilai-nilai multikultural dalam sebuah
kebijakan peraturan atau ketika mengajarkan sesuatu mata pelajaran?
5. Bagimana anda mengelaborasikan mata pelajaran yang anda ampu dengan
nilai-nilai multikultural?
6. Bagaimana pandangan anda tentang pembentukan Negara khilafah misalnya
yang sering dikampanyekan oleh HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan ISIS?
151
BIODATA PENULIS
Ihwanul Muadib, merupakan anak pertama
dari tiga saudara dari pasangan Bapak Masruhan dan
Ibu Siti Rofi’ah. Dilahirkan pada 14 September 1989
di sebuah desa dekat dengan Makam Ki Ageng Selo
(Syekh Abdurrahman) yang merupakan Guru Para
Raja Jawa Kerajaan Mataram, yang terletak di
Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Merantau ke
Jakarta untuk menimba ilmu guna membangun
peradaban desa dimana penulis dilahirkan. Selain
kuliah penulis memiliki rutinitas mengais rahmat
ilahi untuk mandiri dan berdikari menyediakan jasa
percetakan.
Memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di Madrasah Ibtidaiyyah
Miftahul Ulum Pojok II. Kemudian pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan
menengah pertama di Madrasah Tsanawiyyah Al-Hikmah Pulokulon. Pada tahun
2004 melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Pulokulon. Di sela-
sela aktifitas pendidikan formal penulis menempuh pendidikan diniyyah ula> hingga
wust}a> sekaligus menjadi santri kalong di sekitar kampung dimana penulis
dilahirkan. Tahun 2007 penulis memantapkan hati untuk ngangsu kaweruh di
sebuah pondok pesantren asuhan salah seorang keturunan Rasulullah Saw. yakni
Habib Saggaf bin Mahdi. Sebuah pondok pesantren yang sederhana namun mampu
menampung ribuan santri secara gratis, baik biaya pendidikan maupun biaya hidup.
Terletak di Ds. Waru Jaya Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat.
Tahun 2011 penulis dinyatakan lulus dan mendapat gelar S.Pd.I di
bidangan pendidikan bahasa arab dari Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Iman
(STAINI) Parung Bogor. Usai lulus, penulis menjadi tenaga pendidik (guru) dan
tenaga kependidikan (Ka. Bag TU) di SMA al-Ashriyyah Nurul Iman sampai tahun
2014. Pada tahun 2015, melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta mengambil jurusan pengkajian Islam dengan konsentrasi
pendidikan Islam. Selama menjadi mahasiswa penulis telah melahirkan artikel
meluruskan pemahaman keutamaan membaca al-Qur’an yang dimuat di Buletin
Lazis Cendana Residence dan Tafsir Surat Yusuf: Ngaji Tafsir Bersama Habib Saggaf. Menjadi sangat membanggakan apabila karya tulis ini mampu menggugah
kreativitas dan inovasi para pemerhati pendidikan terutama terkait upaya kontra
radikalisme dan rekonsiliasi konflik. Harapan kedepan, seluruh elemen pendidikan
agar mampu bersinergi untuk mewujudkan segala cita-cita pendidikan Indonesia.