PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’ANe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1752/1/skripsi...
Transcript of PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’ANe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1752/1/skripsi...
i
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN
SURAT MARYAM AYAT 41-42
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
SAYIDATUL MUWAFIQOH
NIM: 111-12-089
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
ت علمون يا أي ها الذين آمنوا ال تونوا اللو والرسول وتونوا أماناتكم وأن تم
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
(QS. Al-Anfāl: 27)
vii
PERSEMBAHAN
Perjuangan merupakan pengalaman berharga yang dapat menjadikan kita
manusia yang berkualitas.
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Kedua orang tuaku (bapak Nahrowi dan ibu Muzawaroh) yang telah
memberikan kasih sayang, segala dukungan, doa dan cinta kasih yang tiada
terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas
yang bertuliskan kata cinta dan persembahan.
2. Kedua kakakku (Asa dan Imam) dan adikku (Ezra) yang telah memberikan
semangat dan nasehatnya selama ini.
3. Sahabat-sahabatku (Noviana, Nia, Zulaika, Tesa, Rani, Anggun, Helmi,
Hani, Heni, Reni, Kuni, Ika, Fida, Mazu, Rumi, Topiqin, Dedi, Tri, Sian‟s
Hostel Family, My Best Joko Sarifudin, dan semua teman-teman) terima
kasih atas bantuan, doa, nasehat, hiburan, traktiran, ojekan, dan semangat
yang kalian berikan selama aku kuliah, aku tak akan melupakan semua yang
telah kalian berikan selama ini.
4. Bapak Prof. Dr. H. Budiardjo, M.Ag. yang selalu membimbing dan
memotivasi penulis.
5. Keluarga besar PAI C dan teman-teman PAI 2012.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis bisa menjalani kehidupan ini sesuai
dengan ridha-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi besar kita nabi
Muhammad SAW. Atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul “Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an Surat Maryam Ayat 41-
42” sesuai dengan rencana.
Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu pembuatan skripsi ini, kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN
Salatiga yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
dengan sabarnya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Bapak M. Ali Zamroni, MA. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
ix
Semoga skripsi ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi kita semua dan
dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca khususnya para mahasiswa-
mahasiswi IAIN Salatiga. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk
perbaikan skripsi ini.
Wassalammu’alaikum wr.wb.
x
ABSTRAK
Muwafiqoh, Sayidatul. 2017. Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an Surat Maryam Ayat 41-
42. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Prof.
Dr. H. Budihardjo. M. Ag.
Kata Kunci: Pendidikan, Akhlak, Surat Maryam ayat 41-42.
Prolematika rendahnya pendidikan akhlak yang berarah pada kehancuran bangsa ini
sangat memprihatinkan, sehingga untuk menyelamatkan bangsa seluruh masyarakat, para
orang tua, pendidik, harus membiasakan anak dengan akhlak yang baik agar tercipta
generasi yag mampu menghadapi tantangan hidup. Nabi Ibrāhīm AS merupakan seorang
nabi yang memiliki sifat jujur dan tauhid yang baik. Sehingga para orang tua dan pendidik
mampu mengaplikasikan atau mencontoh dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada masa
sekarang ini banyak orang pintar, tetapi sedikit orang yang memiliki sifat jujur.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui pendidikan akhlak yang terdapat
dalam surat Maryam ayat 41-42, agar bisa di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah, (1) bagaimanakah
akhlak dan pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an?, dan (2) bagaimana isi pendidikan akhlak
yang terdapat dalam surat Maryam ayat 41-42. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka
penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research), atau bahan-bahan
bacaan untuk mencari pendapat para ahli tafsir dan ahli pendidikan tentang pendidikan
akhlak. Kemudian dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian. Metode yang penulis
gunakan yaitu metode tafsir maudhu‟i.
Berdasarkan telaah dari literature maka hasil penelitian menunjukkan bahwa akhlak
dan pendidikan akhlak dalam Islam meliputi macam-macam akhlak, faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan akhlak, dasar pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak,
ruang lingkup pendidikan akhlak, metode pendidikan akhlak yang semua itu didasarkan
pada al-Qur‟an dan Hadist. Sedangkan isi dari pendidikan akhlak yang terdapat dalam surat
Maryam ayat 41-42 yaitu berupa sifat jujur (siddiq). Selain itu aktualisasi ayat itu dalam
pendidikan karakter berupa: menanamkan sifat jujur, menanamkan sifat tauhid kepada
anak sejak dini, bersikap lemah lembut kepada orang tua, serta menanamkan sifat lemah
lembut dan tegas dalam membela yang benar.
xi
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................. i
LEMBAR BERLOGO ......................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAAN ....................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................................... v
MOTTO ................................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................ ix
DAFTAR ISI......................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................... .................................................... 4
C. Tujuan penelitian.................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 4
E. Penegasan Istilah ....................................................................................................... 5
xii
F. Metode Penelitian................................................................................. 9
G. Kajian Pustaka...................................................................................... 12
H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 14
BAB II RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AKHLAK
A. Akhlak .................................................................................................. 15
1. Pengertian Akhlak .......................................................................... 15
2. Macam-Macam Akhlak.................................................................. 16
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak ............ 18
B. Pendidikan Akhlak ............................................................................... 23
1. Pengertian Pendidikan Akhlak ....................................................... 23
2. Dasar Pendidikan Akhlak............................................................... 25
3. Tujuan Pendidikan Akhlak............................................................. 27
C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ..................................................... 29
D. Metode Pendidikan Akhlak .................................................................. 38
BAB III TAFSIR SURAT MARYAM AYAT 41-42
1. Jenis-jenis Tafsir .................................................................................. 45
2. Kisah Nabi Ibrāhīm AS ........................................................................ 49
3. Asbāb An-Nuzūl Surat Maryam............................................................ 56
4. Analisis Surat Maryam Ayat 41-42 ..................................................... 59 a. Surat Maryam Ayat 41 ................................................................... 59
xiii
b. Surat Maryam Ayat 42 ................................................................... 63
BAB IV PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN
SURAT MARYAM AYAT 41-42
A. Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an................................................... 71
B. Pendidikan Akhlak yang Terdapat dalam Surat Maryam
Ayat 41-42 dan Aktualisasinya dalam Pendidikan Karakter ............... 73
1. Pendidikan Akhlak dalam Surat Maryam Ayat 41-42 ................... 73
2. Aktualisasi QS. Maryam 41-42 dalam Pendidikan Karakter ......... 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 80
B. Saran-Saran .......................................................................................... 81
C. Penutup................................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar Riwayat Hidup Penulis
2. Daftar SKK
3. Nota Pembimbing Skripsi
4. Lembar Konsultasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menurunkan kitab-kitab suci-Nya kepada para Rasul-Nya sebagai
pedoman hidup manusia, diantara kitab-kitab suci itu adalah al-Qur‟an. Al-
Qur‟an merupakan firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat (sebagai
bukti kebenaran atas kenabian Muhammad SAW) yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW, yang tertulis di dalam mushaf-mushaf, yang dinukil
(diriwayatkan) dengan jalan mutawatir, dan yang membacanya dipandang
beribadah (Masjfuk Zuhdi, 1997: 1).
Al-Qur‟an tersebut diberikan kepada nabi Muhammad SAW dengan
perantara malaikat Jibril yang di dalamnya mengandung petunjuk, panduan,
aqidah, akhlak, hukum, kisah, ibadah serta janji dan ancaman (Ali Abdul
Hamim Mahmud, 2004: 178).
Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar dapat bermuamalah dengan
adab dan akhlak yang baik, akhlak yang terpuji bagi seorang muslim
mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bahkan salah satu risalah yang
diemban nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak. Ini semua
karena beliau seorang yang diakui kebaikan akhlaknya oleh Allah dan manusia.
وإنك لعلى خلق عظيم “Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki budi pekerti yang luhur”.
(QS. Al-Qalam: 4)
2
Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang
memiliki kedudukan yang sangat penting. Akhlak mulia juga merupakan buah
yang dihasilkan dari proses penerapan aqidah dan syariah. Ibarat bangunan,
akhlak mulia merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi
dan bangunannya dibangun dengan baik.
Sumber akidah dan akhlak dalam ajaran Islam pada dasarnya berasal
pada al-Qur‟an dan Sunnah nabi Muhammad SAW (Darmiyati Zuchdi, 2009:
86). Baik dan buruk dalam akhlak Islam ukuranya adalah baik dan buruk
menurut kedua sumber itu, bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia.
Karena kebenaran dan keaslian al-Qur‟an sudah tidak diragukan lagi.
Secara umum akhlak Islam dibagi menjadi dua, yaitu akhlak mulia (al-
akhlaq al-mahmudah/al-karimah) dan akhlak tercela (al-akhlaq al-
madzmumah/al-qabihah). Akhlak mulia harus diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, sedangkan akhlak tercela harus dijauhi dan jangan sampai
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Akhlak bukan hanya teori tetapi juga pernah dipraktikkan oleh sejumlah
manusia dalam suatu zaman, sehingga muncul sebagai penyelamat dunia dan
pelopor peradaban. Ada sebuah syair yang digubah oleh Syauqi Bek yakni:
ا المم ال خلق ما بقيت , فإن ىم ذىبت أ خل ق هم ذىب وا وإن “Suatu bangsa dikenal karena akhlaknya (budi pekerti), jika budi pekertinya
telah runtuh maka runtuhlah bangsa itu”. (Mansur, 2007: 230)
Hal itu menunjukkan betapa pentingnya akhlak sebagai karakter bangsa,
bila mereka masih menginginkan eksis di dunia (Mansur, 2007: 230). Artinya
bahwa bangsa akan jaya jika warga negaranya terdiri atas masyarakat yang
3
berakhlak luhur. Sebab yang menyebabkan kehancuran dan kejahatan itu
memang bukan kurangnya ilmu melainkan kurangnya akhlak.
Tujuan utama pendidikan akhlak adalah agar manusia berada dalam
kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan
oleh Allah. Inilah yang akan mengantar manusia kepada kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika perbuatannya
mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur‟an dan Sunnah.
Adapun alasan peneliti mengambil surat Maryam ayat 41-42 bahwa di
dalam surat ini diceritakan kisah nabi Ibrāhīm, yaitu seorang yang sangat benar
sikap, ucapan, dan perbuatnya, serta nabi Ibrāhīm ini merupakan seseorang
yang memiliki tauhid yang baik. Akhlak nabi Ibrāhīm ini di akui di dalam al-
Qur‟an dan menjadi pedoman terutama bagi orang tua dan pendidik.
Diharapkan pendidik dan orang tua mencontoh serta dapat mengaplikasikan
dalam pendidikan anak. Apalah arti seorang anak pintar dan cerdas tapi tidak
memiliki hati nurani, angkuh, sombong, tidak mensyukuri nikmat Allah,
durhaka kepada orang tua dan menganggap orang lain tidak ada apa-apanya.
Pendidik dan orang tua diharapkan mampu untuk mencontoh pendidikan akhlak
yang terdapat dalam al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42. Hal tersebut yang
mendorong penulis untuk menyusun skripsi dengan judul PENDIDIKAN
AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN SURAT MARYAM AYAT 41-42.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, pokok permasalahan dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
4
1. Bagaimana akhlak dan pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an?
2. Bagaimana isi pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42
dan aktualisasinya dalam pendidikan karakter?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui akhlak dan pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an.
2. Mengetahui isi pendidikan akhlak yang terdapat dalam al-Qur‟an surat
Maryam ayat 41-42 dan aktualisasinya dalam pendidikan karakter.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi beberapa manfaat, baik
secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Memberi sumbangan pemikir bagi ilmu pendidikan Islam pada
umumnya dan pendidikan akhlak pada khususnya terutama mengenai
konsep pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an dan pendidikan akhlak yang
terkandung surat Maryam 41-42.
2. Manfaat Praktis
Memberi masukan kepada pendidik, pemikir dimasa mendatang atau
manusia seluruhnya dalam mensosialisasikan pendidikan akhlak di
masyarakat sesuai dengan aturan ajaran agama Islam. Begitu juga peran
5
keluarga dan orang tua sangat dibutuhkan, sehingga tujuan pendidikan
akhlak dapat tercapai yaitu akhlak-akhlak yang mulia.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari adanya kemungkinan penafsiran yang salah tentang
istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian, maka penulis perlu untuk
menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini, antara lain:
1. Pendidikan Akhlak
Pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang mendapat awalan pe
dan akhiran an, yang berarti suatu perbuatan untuk memelihara, memberi
latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan). Dalam mendidik juga akan dihasilkan
suatu “didikan” yang berarti hasil mendidik yang berupa manusia atau
hewan yang dididik, ini semua berhubungan erat dengan “pendidik” yaitu
orang yang mendidik. Jadi, pendidikan dalam KBBI adalah suatu proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang
berupa proses, cara, dan perbuatan mendidik (KBBI, 2000: 263).
Pendidikan adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk
menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara efektif dan
efisien (Azyumardi Azra, 2012: 4). Dengan pendidikan, maka akan
dihasilkan kualitas manusia yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, dan
memiliki kesadaran penciptaan dirinya.
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu “khuluqun” ( خلق( juga
diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Akhlak
6
secara bahasa berasal dari kata khalaqa ( ق خل ). Kalimat tersebuat
mengandung persesuaian dengan perkataan “khalqun” ( خلق( yang berarti
kejadian, serta berhubungan erat dengan “Khāliq” ( خبلق( yang berarti
pencipta dan “makhluq” ( مخلوق( yang bebarti yang diciptakan (Zahruddin,
2004: 1)
Sedangkan pengertian akhlak menurut Al-Ghazali dalam kitab Ihya‟
Ulum al-Din yakni:
ها تصدرالف عال بسهولة ويسرمن غيحاجة إل فاللق عبارة عن ىيئة ف الن فس راسخة, عن فكر ورؤية.
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan”. (Imam al-Ghazali, 2003: 53)
Dengan demikian bila ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud
akhlak pada pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Akhlak mengenai hubungan manusia dengan manusia sebagai ciptaan
(hablumminannas).
b. Akhlak dalam hubungannya manusia dengan Allah sebagai pencipta
(hablumminallah).
Pendidikan akhlak adalah usaha sadar dan tidak sadar yang
dilakukan oleh seorang pendidik untuk membentuk kepribadian yang baik
pada seorang anak didik baik dari segi jasmani maupun rohani, sehingga
terbentuk manusia yang taat kepada Allah. (http://skripsi-
tarbiyahpai.blogspot.co.id/2015/01/pengertian-pendidikan-akhlak-
menurut.html. 10.00.13062016).
2. Al-Qur‟an
7
Ditinjau dari bahasa, al-Qur‟an berasal dari bahasa Arab, yaitu
bentuk jamak dari kata benda (masdar) dari kata qara‟a – yaqra‟u –
qur‟anan ( قرانب -قرأ –قرأ ) yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca
berulang-ulang (Mahmud Yunus, 2010: 335). Kosep pemakaian kata
tersebut dapat dijumpai pada salah satu surah al-Qur‟an yaitu surat al-
Qiyāmah ayat 17-18:
()فإذا ق رأناه فاتبع ق رآنو () نا جعو وق رآنو إن علي “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. al-Qiyāmah: 17-18)
Al-Qur‟an secara istilah yaitu firman Allah yang bersifat (berfungsi)
mukjizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad) yang
diturunkan kepada nabi Muhammad, yang tertulis di dalam mushaf-mushaf,
yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir, dan yang membacanya
dipandang beribadah (Masjfuk Zuhdi, 1997: 1). Al-Qur‟an yang diberikan
Allah kepada nabi Muhammad di dalamnya mengajarkan berbagai prinsip
dalam hidup, diantaranya aqidah, akhlak, muamalah, pendidikan dan
sebagainya.
Maryam adalah seorang hamba Allah yang taqwa dan memperoleh
rahmad dari-Nya. Surat ini dinamakan Maryam, karena mengandung kisah
Maryam, ibu dari nabi Isā AS. Surat ini menceritakan kelahiran yang ajaib,
dimana ia melahirkan Isā AS sedang ia belum pernah digauli oleh seorang
laki-laki. Kelahiran Isā AS tanpa ayah merupakan suatu bukti kekuasaan
Allah (Departemen Agama RI, 2009: 34).
8
Dalam surat Maryam 41-42 ini juga diceritakan kisah nabi Ibrāhīm,
yaitu seorang nabi yang sangat benar sikap, ucapan, dan perbuatanya. Sifat
baik Ibrāhīm menekankan pada pendidikan akhlak dan tauhid. Adapun QS.
Maryam ayar 41-42 tersebut yaitu:
ي قانب ) ( اذقال البيو يابت ل ت عبد ماال يسمع وال واذكرف الكتب اب رىيم, انو كان صد(شيئا )ي بصر والي غن عنك
41. Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrāhīm di dalam Al Kitab (Al-
Qur‟an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat mencintai
kebenaran dan seorang Nabi.
42. (Ingatlah) ketika ia (Ibrāhīm) berkata kepada bapaknya; "Wahai
bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak
melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?. (QS. Maryam: 41-42).
Penulis membatasi surat Maryam beberapa ayat, dalam hal ini yang
dimaksud adalah ayat 41-42 karena ayat tersebut ada kaitanya dengan
pendidikan akhlak,
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library
research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka
(Sutrisna Hadi, 1981: 9). Penelitian kepustakaan adalah penelitian dengan
mencari dan membandingkan naskah atau pendapat para ahli tafsir dan ahli
pendidik tentang pendidikan akhlak.
2. Sumber Data
Sumber data di sini penulis golongkan menjadi dua macam yaitu:
a. Sumber Data Primer
9
Yang dimaksud sumber data primer di sini kitab-kitab tafsir, al-
Qur‟an yang membahas pokok permasalahan secara langsung yang
dijadikan acuan penulis untuk membuat skripsi.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang penulis maksud adalah buku-buku
yang membahas pokok permasalahan secara tidak langsung. Adapun
sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku karangan
ilmiah, majalah, artikel yang berhubungan dengan pokok permasalahan.
3. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan atau mengadakan
penelitian kepustakaan (library research), maka metode yang digunakan
untuk membahas sekaligus sebagai kerangka pikir pada penelitian adalah
sebagai berikut:
a. Metode Tafsir Maudhu‟i
Metode tafsir maudhu‟i (tematik) adalah metode yang
ditempuh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat
al-Qur‟an yang berbicara tentang satu masalah/ tema (maudhu‟) serta
mengarah kepada satu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat-ayat
itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai surat dalam al-
Qur‟an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya (Said Agil Husin
Al Munawar, 2002: 73).
Kemudian ia menentukan ayat-ayat itu sesuai dengan masa
turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu
10
dimungkinkan (jika ayat-ayat itu turun karena sebab tertentu),
menguraikanya dengan sempurna menjelaskan makna dan tujuannya,
mengkaji terhadap seluruh segi dan apa yang dapat diistinbatkan
darinya, segi i‟rabnya, unsur-unsur balaghahnya, segi-segi i‟jaznya
(kemu‟jizatanya) dan lain-lain. Namun penulis hanya membatasi dua
ayat saja dalam pembahasan ini, yaitu dalam surat Maryam ayat 41-42.
Dalam kaitanya dengan pendidikan akhlak, disini dapat kita lihat
ayat-ayat tentang pendidikan akhlak cukup banyak tersebut baik di
tengah-tengah surat Makiyyah maupun Madaniyah.
Seorang penafsir dapat mengikuti runtutan ayat yang sudah
tersusun dengan mengemukakan munasabah dan asbabun nuzul dan
dalil-dalil yang relevan mengenai pendidikan akhlak, lalu
menjelaskannya dan menarik kesimpulan makna yang dimaksud dengan
yang memperkuat ide atau pendidikan akhlak berdasarkan argumentasi
yang jelas.
b. Metode Deskripsi
Metode deskripsi adalah suatu metode penelitian dengan
mendiskripsikan realita-realita, fenomena sebagaimana adanya yang
dipilih dari prespektif subyektif (Winarno, 1989: 132). Maka penulis
mendiskripsikan pemikiran al-Qur‟an khususnya surah Maryam ayat 41-
42.
c. Metode Analisis
11
Metode analisis adalah metode yang digunakan untuk
menganalisis bab perbab guna mencari pendidikan akhlak yang
terkandung dalam al-Qur‟an khususnya surat Maryam ayat 41-42 yang
diperkuat oleh tafsir para mufassir.
G. Kajian Pustaka
Fungsi kajian pustaka adalah untuk mengemukakan hasi-hasil penelitian
dahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Adapun
beberapa penelitian yang diakukan dan sejauh ini telah penulis ketahui adalah
sebagai berikut:
1. Deden Indiarto, STAIN Salatiga, ekstensi jurusan PAI (2007), dengan judul
skripsi “Pendidikan Akhlak dalam al-Qur‟an surat ad-Dhuha ayat 9 sampai
11”, menyimpulkan bahwa konsep pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an yaitu
berupa tingkah laku atau perbuatan, dinilai baik dan buruk, terpuji dan
tercela, semata-mata karena syara‟ (al-Qur‟an dan As-Sunnah). Contoh
mengasihi anak yatim dan dermawan merupakan sifat terpuji. Begitu pula
sebaliknya, mendzalimi anak yatim, kikir, merupakan sifat tercela. Nilai
pendidikan akhlak dalam surat ad-Dhuha ayat 9-11 sebagai berikut: a)
larangan menghardik anak yatim, b) larangan menolak dengan kasar orang
yang meminta-minta, c) anjuran untuk bersyukur atas nikmat Allah. Para
mufasir Ibnu Katsir dan Al-Maraghi bersepakat mengatakan bahwa surat
ad-Dhuha diturunkan kepada Rasulullah sebagai hiburan untuknya, dan
Allah akan memberi dua kabar gembira kepada Rasulullah, kabar pertama
12
bahwasanya Allah akan menambah kemuliaan beliau, dan yang dicita-
citakan oleh Rasulullah.
2. Siti Nurismawandari, STAIN Salatiga, jurusan PAI (2012), dengan judul
skripsi “Pendidikan Akhlak dalam al-Qur‟an dalam surat Luqman ayat 12-
19”. Menceritakan kisah hidup seorang hamba Allah yang bernama Luqman
terkenal dengan sebutan Al-Hakim, yang merupakan seorang yang
bijaksana , berilmu pengetahuan, pemahaman, perkataan serta perbuatan,
sehingga dapat mengendalikan diri dari perbuatan jahat, dan bisa menempati
sesuatu pada tempatnya. Luqman bukan seorang nabi, tetapi ia seorang
hamba Allah yang banyak berbuat kebajikan, dan keyakinannya yang lurus,
adapun pendidikan Luqman dalam mendidik anaknya antara lain: a)
pendidikan bersyukur. b) pendidikan keimanan, c) pendidikan untuk
berbakti kepada orang tua, d) pendidikan intelektual, e) pendidikan shalat, f)
larangan takabur atau sombong,
H. Sistematika Penelitian
Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan menyeluruh
maka diperlukan sebuah sistematika penulisan yang runtut dari satu bab ke bab
yang selanjutnya. Sistematika sendiri memiliki arti suatu tata urutan yang saling
berkaitan, saling berhubungan, dan saling melengkapi. Adapun sistematika
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I pendahuluan akan dipaparkan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah,
metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.
13
Bab II akan dikemukakan tentang pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an
yang meliputi: pengertian akhlak, macam-macam akhlak, faktor yang
mempengaruhi pembentukan akhlak, pengertian pendidikan akhlak, dasar
pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak,
serta metode pendidikan akhlak.
Bab III dikemukakan tentang tafsir al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42,
yang sebelumnya juga dikemukakan jenis-jenis tafsir, kisah nabi Ibrāhīm AS,
Asbābun nuzūl surat Maryam, baru kemudian analisis surat Maryam ayat 41-42.
Bab IV akan dikemukakan tentang pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an
dan pendidikan akhlak yang terdapat dalam surat Maryam ayat 41-42 dan
aktualisasinya dalam pendidikan karakter.
Bab V akan dikemukakan tentang penutup, berisi tentang kesimpulan,
saran-saran, dan penutup.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AKHLAK
A. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Secara bahasa kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, yaitu khuluqun
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari )خلق )
kata khalaqa ( خلق) yang berarti menciptakan, seakar dengan kata Khāliq ( خبلق)
yang berarti pencipta, makhlūq ( مخلوق) yang berarti diciptakan, dan khalq (خلق)
yang berarti penciptaan (Zahruddin, 2004: 1).
Al-Ghazali menjelaskan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam
dalam jiwa, dari sifat itu timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan
tidak memerlukan pertimbangan pikiran lebih dulu (Imam al-Ghazali, 2003:
53).
Pendapat Al-Ghazali hampir sama dengan pendapat Ibn Miskawaih,
bahwa akhlak adalah sesuatu dalam jiwa yang mendorong seseorang
mempunyai potensi-potensi yang sudah ada sejak lahir (Yunahar Ilyas, 2007:
2).
Menurut Ahmad Amin akhlak adalah kehendak yang dibiasakan.
Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan
akhlak (Zahruddin RR, 2004: 4). Sedangkan menurut Abdullah Dirroj, akhlak
adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak
15
berkombinasi membawa kecenderungan pada pilihan pihak yang benar (dalam
hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak jahat) (Mansur,
2007: 223). Jadi, akhlak menurut pendapat penulis adalah suatu perbuatan yang
dimiliki manusia sejak lahir dan menjadi sebuah kebiasaan yang mantap.
Akhlak diartikan sebagai tata krama, yaitu ilmu yang berusaha mengenal
tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau
buruk sesuai norma-norma dan tata susila.
2. Macam-Macam Akhlak
Pada dasarnya akhlak manusia itu ada dua macam, yaitu akhlak yang
terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan akhlak yang tercela (al-akhlaq al-
mazmumah) (Mansur, 2007: 238).
a. Akhlak Yang Terpuji (Al-Akhlaq Al-Mahmudah)
Akhlak terpuji adalah perbuatan-perbuatan baik yang datang dari
sifat-sifat batin yang ada dalam hati menurut syara‟. Sifat-sifat itu biasanya
disandang oleh para Rasul, anbiya, aulia, dan orang-orang salih. Adapun
syarat-syarat diterima tiap amal salih itu dilandasi dengan sifat-sifat terpuji
juga antara lain sebagai berikut:
1) Ikhlas, artinya beramal karena Allah.
2) Wara‟, artinya meninggalkan setiap hal yang haram atau yang ada
subhatnya.
3) Zuhud, artinya meninggalkan tamak dan meninggalkan yang bagus-
bagus dari kelezatan dunia baik berupa makanan, minuman, rumah, dan
lain-lain.
16
b. Akhlak Yang Tercela (Al-Akhlaq Al-Mazmumah)
Sifat tercela menurut syara‟ dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu
sifat-sifat ahli maksiat pada Allah. Sifat-sifat itu sebab tidak diterimanya
amalan-amalan manusia, antara lain:
1) Ujub, yakni melihat kebagusan dan kebajikan diri sendiri dengan ajaib
hingga dia memuji akan dirinya sendiri.
2) Takabur, yakni membesarkan diri atas yang lain dengan pangkat, harta,
ilmu, dan amal.
3) Riya‟, yakni beramal dengan tujuan ingin mendapatkan pangkat, harta,
nama, pujian, sebagai lawan dari ikhlas.
4) Hasad, yakni dengki, suka harta dunia baik halal maupun haram, lawan
dari wara‟ dan zuhud. Akhlak tercela lainya adalah mengumpat,
namimah, main judi, mencuri, mendengarkan bunyi-bunyian yang
haram, melihat sesuatu yang haram, dan bid‟ah.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
Faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak, merupakan faktor
penting yang berperan dalam menentukan baik dan buruknya tingkah laku
seseorang (Ali Mas‟ud, 2012: 39). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan akhlak, meliputi:
a. Instink (Naluri)
17
Instink (naluri) adalah pola perilaku yang tidak dipelajari,
mekanisme yang dianggap ada sejak lahir dan juga muncul pada setiap
spesies (A. Budiarjo, 1987: 208-209). Dari definisi di atas, dapat ditarik
pengertian bahwa setiap kelakuan manusia, lahir dari suatu kehendak yang
digerakkan oleh naluri. Naluri merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak
lahir, jadi merupakan suatu pembawaan asli manusia. Naluri dapat
mendatangkan manfaat dan mendatangkan kerusakan, tergantung cara
pengekspresiannya. Naluri makan misalnya, jika diperturutkan begitu saja
dengan memakan apa saja tanpa melihat halal haramnya, juga cara
mendapatkanya sesuai dengan keinginan hawa nafsu, maka pastilah akan
merusak diri sendiri. Islam mengajarkan agar naluri ini disalurkan dengan
memakan dan meminum barang yang baik, halal, suci, dan tidak
memperturutkan hawa nafsu. Sebagaimana firman Allah:
عدو مبي يا أي ها الناس كلوا ما ف االرض حلال طيبا والت تبعوا حطوات الشيطان إنو لكم “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik, dari apa yang ada
di bumi, dan jangan lah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-
Baqarah: 168)
b. Keturunan
Keturunan adalah kekuatan yang menjadikan anak menurut
gambaran orang tua. Ada yang mengatakan turunan adalah persamaan
antara cabang dan pokok. Ada pula yang mengatakan bahwa turunan adalah
yang terbelakang mempunyai persediaan persamaan dengan terdahulu
(Rahmad Djatmika, 1985: 76).
18
Seperti halnya doa nabi Zakariā kepada Allah agar diberi anak yang
baik, yang terdapat dalam surat Ali-„Imrān ayat 38:
عاء يع الد ىنالك دعا زكريا ربو قال رب ىب ل من لدنك ذرية طيبة إنك س“Di sanalah Zakariya mendo'a kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya
Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.
Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a". (QS. Ali-„Imrān: 38)
Sifat-sifat yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya, pada
garis besarnya ada dua macam:
1) Sifat Jasmaniah. Yakni kekuatan dan kelemahan otot dan urat syaraf
orang tua dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Orang tua yang kekar
ototnya, kemungkinan mewariskan kekekaran itu pada anak cucunya,
misalnya orang-orang Negro. Dan orang tua yang lemah fisiknya,
kemungkinan mewariskan pula kelemahan itu pada anak cucunya.
2) Sifat Rohaniah. Yakni lemah atau kuatnya suatu naluri dapat
diturunkaan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi tingkah laku
anak cucunya.
c. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang melingkupi atau
mengelilingi individu sepanjang hidupnya (Hamzah Ya‟qub, 1993: 71-72).
Karena luasnya pengertian “segala sesuatu” itu maka dapat disebut:
lingkungan fisik dan lingkungan psikologis. Lingkungan fisik yang meliputi
rumahnya, orangtuanya, sekolahmya, teman-temannya, dan sebagainya.
sedangkan lingkungan spikologis seperti aspirasinya, cita-citanya, masalah-
masalah yang dihadapinya, dan lain sebagainya.
19
Faktor lingkungan dipandang cukup menentukan bagi pematangan
watak dan kelakuan seseorang. Hal ini sejalan dengan penjelasan Allah
dalam al-Qur‟an:
قل كل ي عمل على شاكلتو ف ربكم أعلم بن ىو أىدى سبيل “Katakanlah: tiap-tiap orang berbuat menurut keadaan masing-masing.
Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalanya”. (QS. A-
Isrā‟ [17]: 84)
Sabda nabi Muhammad yang diriwayatkan At-Tirmidzi:
ع ن أ ب ذ ر ال غ ف ار ي ر ض ي الل ع ن و ق ال : ق ال ر س و ل الل ص ل ى الل ع ل ي و و س ل م : ا ت ق الل ح ي ث م ا ك ن ت ، و أ ت ب ع الس ي ئ ة ال س ن ة ت ح ه ا، و خ ال ق الن اس ب ل ق ح س ن .
dari Abi Dzar Al Ghifari r.a. berkata, sabda Rasulullah SAW:
“Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutlah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik maka akan menghapuskanya, dan
bergaullah dengan manusia dengan sebaik-baik pergaulan”. (HR. At-
Tirmidzi no.1987)
d. Kebiasaan
Salah satu faktor penting dalam akhlak manusia adalah kebiasaan.
Kebiasaan adalah perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga mudah
dikerjakan. Sebuah adat istiadat yang dilakukan dalam kehidupan sehari-
hari selalu menimbulkan dampak positif dan bisa juga dampak negatif, tapi
nilai adat tersebut tetap berfungsi sebagai pedoman manusia untuk hidup
bersama masyarakat dimana ia tinggal. Apabila adat kebiasaan telah lahir
dalam suatu masyarakat ataupun pada diri seseorang, maka sifat dari adat itu
sendiri adalah:
1) Mudah melakukan apapun pekerjaan yang sudah biasa dikerjakan
tersebut.
20
2) Tidak memakan waktu lama dan perhatian berlebihan dari sebelumnya
(Istighfarotun Rahmaniyah, 2010: 98-99)
e. Kehendak
Kehendak merupakan faktor yang menggerakkan manusia untuk
berbuat dengan sungguh-sungguh. Seseorang dapat bekerja sampai larut
malam, dan pergi menuntut ilmu di negeri seberang berkat kekuatan
kehendak.
Kehendak ini mendapatkan perhatian khusus dalam lapangan etik,
karena itulah yang menentukan baik buruknya suatu perbuatan, dari
kehendak inilah menjelma niat yang baik dan memburuk, sehingga
perbuatan atau tingkah laku manusia menjadi baik dan buruk karena
kehendaknya.
Menurut Hamzah Ya‟qub (1993: 74) bahwa kadang-kadang
kehendak itu terkena penyakit sebagaimana halnya tubuh kita, antara lain:
1) Kelemahan Kehendak
Seseorang mudah menyerah kepada hawa nafsu, kepada
lingkungan atau kepada pengaruh yang jelek. Kelemahan kehendak ini
melahirkan kemalasan dan kelemahan dalam perbuatan.
2) Kehendak Yang Kuat Tetapi Salah Arah
Yaitu pada pola hidup yang merusak dalam berbagai bentuk
kedurhakaan dan kerusakan. Misalnya, kehendak orang merampok
seorang hartawan.
f. Pendidikan
21
Pendidikan merupakan faktor penting yang memberikan pengaruh
dalam pembentukan akhlak. Pendidikan turut mematangkan kepribadian
manusia sehingga tingkah lakunya sesuai dengan pendidikan yang telah
diterimanya.
Seperti halnya firman Allah dalam al-Qur‟an surat al-Mujādilah ayat
11:
ي رفع اللو الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات واللو با ت عملون خبي Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujādilah: 11)
Sistem perilaku atau akhlak dapat dididikkan atau diteruskan dengan
menggunakan sekurang-kurangnya dua pendekatan:
1) Rangsangan-jawaban (stimulus-response) atau yang disebut proses
mengkondisi, sehingga terjadi automatisasi, dan dapat dilakukan dengan
melalui latihan, tanya jawab, dan mencontoh.
2) Kognitif yaitu penyampaian informasi secara teoritis, yang dapat
dilakukan dengan cara melalui dakwah, ceramah, diskusi, dan lain-lain
(Zakiah Daradjat, 1990: 545-555).
B. Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak terbentuk dari dua suku kata yaitu “pendidikan” dan
“akhlak”, dan untuk memudahkan dan memahami pengertian pendidikan akhlak
membutuhkan terlebih dahulu pemahaman akan dua kata tersebut. Dalam
pendidikan banyak sekali para ahli berpendapat dalam mengartikan kata
22
pendidikan, baik para ahli pendidikan barat maupun para ahli pendidikan Islam.
Sedangkan pendidikan dalam KBBI adalah suatu proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang berupa proses, cara, dan perbuatan
mendidik (KBBI, 2000: 263). Sedangkan dalam bahasa Arab “pendidikan”
sama dengan “At-Tarbiyyah”, kata At-Tarbiyyah berasal dari tiga bentuk
“rabā-yarbū” yang berarti bertambah tumbuh (Mahmud Yunus, 1989: 20).
Kata kedua “robaya” yang berarti mendidik, mengajar, mengasuh, dan yang
ketiga adalah kata “rabba-rabaya” yang berarti mengasuh, mendidik,
mengemong (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, 2002: 952).
Merujuk pada ayat dalam al-Qur‟an:
را واخفض لما جناح الذل من الرحة وقل رب ارحهما كما رب يا ن صغي “ya Allah, sayangilah keduanya (orang tuaku) sebagaimana mereka telah
mengasuhku (mendidikku) sejak kecil”. (QS. Al-Isrā‟: 24)
Sementara ahli pendidik Islam menyatakan bahwa “Tarbiyah” adalah
proses menyadarkan manusia agar dapat mewujudkan penghambaan diri kepada
Allah SWT. Baik secara individu maupun bersama-sama (Cahyadi Takariawan,
2003: 137).
Menurut Langeveld pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh,
perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada
pendewasaan anak itu, atau lebih cepat membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri (Hasbullah, 2009: 2).
Pendidikan akhlak adalah proses mengarahkan atau mendidik manusia
mengenai ajaran baik dan buruk agar tercapai tujuan yang dicita-citakan, yaitu
23
bahagia di dunia dan akhirat. Pendidikan akhlak adalah suatu usaha yang
disengaja, memberikan bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan ajaran Islam
yang berupa penanaman akhlak mulia, latihan moral, fisik sehingga
menghasilkan perubahan dalam hidup meliputi kebiasaan, tingkah laku,
berfikir, dan bersikap dalam membentuk kepribadian yang mulia.
2. Dasar Pendidikan Akhlak
Dasar pendidikan akhlak adalah al-Qur‟an dan Hadist, karena akhlak
merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Al-Qur‟an dan hadist
sebagai pedoman hidup umat manusia menjelaskan kriteria baik dan buruknya
suatu perbuatan (Abu Ahmad dan Noor Salimi, 1994: 199). Al-Qur‟an sebagai
dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan
bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-
Ahzāb, 21:
م الخر وذكر اللو لقد كان لكم ف رسول اللو أسوة حسنة لمن كان ي ر جوا اللو والي و م الي و را كثي
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(QS. Al-Ahzāb: 21)
Mengenai landasan atau dasar pendidikan akhlak telah dijelaskan dalam
al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42 yang berisikan tentang teladan baik nabi
Ibrāhīm, jelasnya yaitu:
ي قانب ) بيو يابت ل ت عبد ماال يسمع وال ( اذقال ال واذكرف الكتب اب رىيم, انو كان صد(ي بصر والي غن عنك شيئا )
41. Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrāhīm di dalam Al Kitab (Al-
Qur‟an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat mencintai kebenaran
dan seorang Nabi.
24
42. (Ingatlah) ketika ia (Ibrāhīm) berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku,
mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan
tidak dapat menolong kamu sedikitpun?. (QS. Maryam: 41-42)
Dasar pentingnya akhlak dalam as-Sunnah dijelaskan oleh Rasulullah
dalam sabdanya:
ا بعثت لتم مكارم الخلق إن“sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia”. (HR.Ahmad dan Baihaqi) (Imam Ahmad Ibn Hanbal, 1991: 504)
Dari ayat-ayat al-Qur‟an dan as-Sunnah di atas, menunjukkan bahwa
dasar dan pijakan pendidikan akhlak adalah al-Qur‟an dan Sunnah nabi. Dari
dasar dan pedoman itulah dapat diketahui kriteria suatu perbuatan itu baik
ataupun buruk.
3. Tujuan Pendidikan Akhlak
Al-Qur‟an menegaskan bahwa tujuan pendidikana akhlak adalah
membina manusia. Secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan
fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, untuk membangun konsep
yang di tentukan Allah. Manusia yang dibina adalah akhlak makhluk yang
memiliki unsur material (jasmani) dan inmaterial (akal dan jiwa), pembinaan
akal menghasilkan menghasilkan ilmu, sedangkan pembinaan jiwanya
menghasilkan kesucian dan akhlak mulia, dan pembinaan jasmaninya
menghasilkan ketrampilan (Slamet Untung, 2007: 107).
Dalam konteks ini secara tegas menjelaskan bahwa apapun aktifitas
yang dilakukan oleh manusia tidak dapat lepas dari tujuan dan penghambaan
kepada Allah. Hal ini sebagaimana tertuang dalam surat al-An‟ām, 162:
لو رب العالمي قل إن صلت ونسكي ومياي ومات ل
25
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An‟ām: 162)
Adapun tujuan pendidikan akhlak menurut pendapat beberapa tokoh
diantaranya:
a) Mahmud Yunus
Tujuan pendidikan akhlak yaitu membentuk putra-putri yang
berakhlak mulia, berbudi luhur, bercita-cita tinggi, kemauan keras, beradab,
sopan santun, baik tingkah lakunya, tutur bahasanya jujur dalam segala
perbuatan, suci murni hatinya (Mahmud Yunus, 1996: 22).
b) Oemar M. At Taumy Asy-Syaibany
Tujuan pendidikan akhlak adalah menciptakan kebahagiaan dunia
dan akhirat, kesempurnaan jiwa bagi individu dan menciptakan
kebahagiaan, kemajuan, kekuatan, dan keteguhan bagi masyarakat (Oemar
M. At Taumy Asy-Syaibany, 1979: 346).
c) M. Athiyah al-Abrasyi
Tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk orang-orang bermoral
baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam
tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, beradab, ikhlas, jujur, dan suci
(M. Athiyah al-Abrasyi, 1970: 1-2).
d) Anwar Masy‟ari
Tujuan pendidikan akhlak adalah untuk mengetahui perbedaan
perangai manusia yang baik dan yang jahat, agar manusia memegang teguh
perangai-perangai yang baik dan menjauhi perangai-perangai yang jelek,
sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan masyarakat, tidak saling
26
membenci, tidak saling mencurigai, serta tidak ada persengketaan diantara
hamba Allah (Anwar Masy‟ari, 2007: 5).
Adapun tujan utama pendidikan akhlak adalah agar manusia berada dalam
kebenaran dan senantiasa berjalan di jalan yang lurus yaitu jalan yang diridhai oleh
Allah. Inilah yang akan mengantar manusia bahagia di dunia dan akhirat.
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan akhlak adalah terbinanya akhlak terpuji dan mulia sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah dan dapat tercapai keselamatan di dunia dan akhirat.
C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Dalam garis besarnya, akhlak di bagi menjadi dua bagian yaitu, akhlak
terhadap Allah (yang menciptakan) dan makhluk (yang diciptakan) (Zubaedi, 2011:
66). Adapun uraian sebagai berikut:
1. Akhlak Terhadap Allah SWT
Akhlak kepada Allah merupakan esensial dari pada akhlak-akhlak yang
lain. Akhlak terhadap Allah merupakan tolak ukur keberhasilan dalam
memahami dan melaksanakan nilai-nilai akhlak yang lainnya. Jika akhlak
terhadap Allah lemah (kualitas rendah), maka akan mempengaruhi kualitas
akhlak lainya. Dengan demikian, untuk menjalani proses hidup dengan baik,
manusia perlu menjalin hubungan (bertakarub) secara harmonis dengan
pencipta (al-Khaliq), sehingga perjalanan kehidupan manusia senantiasa
mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah.
Manusia harus mensyukuri nikmat yang di berikan Allah kepadanya
serta malu kepada-Nya ketika akan berbuat maksiat, bertaubat dengan benar,
27
bertawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut akan siksaan-Nya,
itulah yang dinamakan akhlak kepada Allah. Ketika manusia konsisten dan
menjaga akhlak kepada Allah dengan baik, maka manusia akan di tambah
derajatnya, kedudukan semakin tinggi, dan kemuliaan yang agung. Sehingga
manusia akan mendapatkan perlindungan dari Allah.
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 163:
ىو الرحن الرحيم وإل هكم إلو واحد ال إلو إال “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 163)
Ibadah secara umum meliputi segala perbuatan yang diizinkan oleh
Allah. Manusia sebagai ciptaan Allah mempunyai kewajiban terhadap sang
pencipta dan terhadap sesama manusia. Untuk ibadah dalam pengertian khusus
artinya ibadah yang pelaksanaanya mempunyai tata cara tertentu. Dalam ajaran
Islam, ibadah yang bersifat khusus antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji.
Melalui ibadah manusia akan membangun kedekatan dengan sang pencipta.
Sementara itu, termasuk bagian dari akhlak terhadap Allah yitu meminta tolong
kepada Allah setelah terlebih dahulu melakukan ikhtiyar semaksimal mungkin.
2. Akhlak Terhadap Rasulullah SAW
Setiap umat Islam yakin bahwa Muhammad adalah rasul Allah dan
merupakan kewajiban bagi manusia untuk beriman kepada Allah dan para rasul-
Nya.
Iman bukan hanya sekedar percaya terhadap sesuatu yang diyakini,
tetapi harus pula dibuktikan dengan amal perbuatan yang dijelaskan di dalam
28
al-Qur‟an dan hadist tentang bagaimana bersikap kepada Rasulullah. Itulah
yang dinamakan akhlak terhadap rasulullah.
Nabi Muhammad adalah manusia istimewa yang dipilih Allah yang harus
dicintai, diikuti, dan ditaati oleh setiap muslim dan muslimah. Kedudukan
sebagai nabi dan rasul inilah yang menjadikan nabi Muhammad mempunyai
posisi tersendiri dibandingkan manusia lainnya.
Diantara perilaku atau akhlak yang harus dilakukan oleh setiap manusia
terhadap rasulullah ialah sebagai berikut:
a. Menerima dan mengamalkan ajaran yang di bawanya.
إن اللو شديد العقاب وما آتاكم الرسول فخذوه وما ن هاكم عنو فانت هوا وات قوا اللو “Apa yang di berikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumanya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
b. Mengikuti dan Mengamalkan Sunahnya
Merupakan keharusan bagi umatnya yaitu umat Islam untuk
mengikuti jejaknya baik dalam ibadah maupun akhlak, karena di sana ada
jaminan dari Rasulullah, barang siapa yang mengikuti beliau akan dicintai
Allah dan di ampuni dosanya.
c. Mengucapkan Shalawat dan Salam Kepadanya.
Adapun akhlak manusia terhadap Rasulullah antara lain:
1) Taat kepada rasulullah, mengikuti jejaknya, dan meniti jalanya dalam
seluruh aspek dunia dan akhirat.
2) Cinta kepada rasulullah, hormat kepadanya, dan pengagungan
kepadanya harus didahului daripada cinta kepada yang lain, hormat
kepada yang lain, dan pengagungan yang lain, siapapun orangnya.
29
3) Mencintai siapapun yang dicintai rasulullah. Memusuhi siapa saja yang
di musuhi oleh rasulullah, ridha dengan apa saja yang diridhainya, dan
marah kepada apa yang dimarahi beliau.
4) Mengagungkan rasulullah, mengucap salawat dan salam untuknya, dan
menghormati seluruh kelebihanya.
5) Membenarkan apa yang dijelaskan oleh rasulullah tentang persoalan
dunia, dan masalah-masalah ghaib di kehidupan dunia atau kehidupan
akhi rat.
6) Menghidupkan sunah rasulullah mementingkan syariatnya,
menyampaikan dakwahnya, dan melaksanakan wasiatnya.
7) Merendahkan suara di kuburanya, dan di masjid bagi orang yang
mendapatkan kehormatan bisa menziarahi kuburanya.
8) Mencintai orang-orang salih, loyal kepada mereka karena kecintaannya
rasulullah kepada mereka, marah kepada orang-orang fasik, dan
memusuhi mereka, karena kemarahan beliau kepada mereka.
3. Akhlak Pada Diri Sendiri
Orang muslim meyakini bahwa kebahagiaan di dunia, dan akhirat sangat
di tentukan oleh sejauh mana pembinaan terhadap dirinya, perbaikan dirinya
dan penyucian diirinya.
Di dalam Islam, orang muslim dalam memperbaiki dirinya, pembinanya,
dan membersihkan dengan menempuh jalan-jalan sebagai berikut:
a. Taubat
30
Taubat adalah melepaskan diri dari semua dosa dan maksiat,
menyesali semua dosa-dosa masalahnya, dan bertekad tidak kembali kepada
dosa di sisa-sisa umurnya.
Firman Allah:
يعا أي ها المؤمنون لعلكم ت فلحون وتوبوا إل اللو ج“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuūr: 31)
b. Muraqobah
Muraqobah adalah merasa diawasi oleh Allah di setiap waktu
kehidupan sehingga akhir kehidupanya, dan mengamati apa saja yang
dikerjakan oleh semua jiwa.
Firman Allah:
و إب راىيم ومن أحسن دينا من أسلم وجهو لل وىو مسن وات بع ملة إب راىيم حنيفا واتذ الل خليل
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan,
dan ia mengikuti agama Ibrāhīm yang lurus ? Dan Allah mengambil
Ibrāhīm menjadi kesayanganNya.” (QS.An-Nisā: 125)
c. Muhasabah (Evaluasi)
Orang muslim mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya
atas amal perbuatanya sepanjang siang harinya. Jika ia melihat dirinya
kurang mengerjakan ibadah-ibadah wajib, ia mencela dirinya dan
memarahinya, kemudian memaksa dirinya untuk melakukan ibadah-ibadah
wajib tersebut dan memperbanyak ibadah-ibadah sunah. Jika manusia
melihat banyak dosa yang terdapat pada dirinya, maka ia beristighfar,
menyesali, bertaubat, dan mengajarkan amal shalih yang bisa memperbaiki
31
apa yang telah dirusak. Inilah yang dinamakan muhasabah terhadap dirinya
sendiri.
Allah berfirman:
مت لغد وات قوا اللو إن اللو خب ي با ت عملون يا أي ها الذين آمنوا ات قوا اللو ولتنظر ن فس ما قد “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 59)
d. Mujahadah (Perjuangan)
Orang muslim mengetahui bahwa musuh besarnya adalah hawa
nafsu yang ada pada dirinya, bahwa watak hawa nafsu adalah condong
kepada keburukan , lari dari kebaikan, dan memerintahkan kepada
keburukan seperti yang dikatakan Zulaikah dalam al-Qur‟an.
م رب إن رب غفور رحيم وما أب رئ ن فسي إن الن فس لمارة بالسوء إال ما رح “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yūsuf: 53)
Selain itu, watak hawa nafsu ialah senang malas-malasan, santai, dan
menganggur, serta larut dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat
kecelakaan, dan membinasakan. Manusia harus mampu melawan hawa
nafsu dan bertekat mengatasi seluruh perjuanganya melawan hawa nafsu.
Menentang syahwatnya hingga dirinya menjadi tentram, bersih, dan menjadi
baik. Itulah tujuan utama mujahadah (perjuangan) terhadap hawa nafsu.
4. Akhlak Manusia Kepada Sesama Manusia
Ajaran sosial dan pembinaan akhlak dalam al-Qur‟an bertujuan untuk
memperkuat kerjasama dalam lingkungan keluarga dengan mengatur anggota-
32
anggota keluarga melalui pembentukan kepribadian individu yang baik. Sebagai
salah satu bagian dari masyarakat, untuk lebih jelasnya kondisi masyarakat itu
ada beberapa uraian:
a. Akhlak di Lingkungan Keluarga
Setelah manusia lahir, maka akan terlibat dengan jelas fungsi
keluarga dalam pendidikan, yaitu memberi pengalaman kepada anak, baik
melalui pemeliharaan, pembinaan, dan pengaruh yang menuju pada
terbentuknya tingkah laku yang diinginkan oleh orang tua.
Orang tua (keluarga) merupakan pusat kegiatan rohani pada anak
yang pertama, baik itu tentang sikap, cara berbuat, cara berfikir itu akan
kelihatan. Keluarga juga sebagai pelaksana pendidikaan Islam yang akan
mempengaruhi dalam pembentukan akhlak yang mulia.
b. Akhlak di Lingkungan Tetangga atau Kerabat
Tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya, dan akhlak harus
dijalankan terhadap tetangga mereka dengan sempurna, berdasarkan dalil-
dalil berikut:
Firman Allah:
وبالوالدين إحسانا وبذي القرب واليتامى والمساكي والار ذي القرب والار النب “Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh”. (QS. An-Nisā‟: 36)
c. Akhlak Kepada Manusia Secara Umum
Terbentuknya suatu masyarakat manusia yang luas di mana satu
sama lainnya saling melengkapi kebutuhan masing-masing, saling
33
menolong, saling komitmen dalam kebersamaan sehingga terwujudnya
hubungan komunikasi yang harmonis serta tumbuh sikap persaudaraan.
Manusia yang bersatu dan menggalang agar terciptanya kedamaian,
ketentraman, dan kesejahteraan yang dapat menjadikan masyarakat yang
diidamkan.
5. Akhlak Manusia Kepada Alam Sekitar
Akhlak manusia terhadap alam bukan semata-mata untuk kepentingan
alam, tetapi jauh dari itu untuk memelihara, melestarikan alam, dan sekaligus
memakmurkan manusia. Alam dalam hal ini dipahami sebagai segala sesuatu
yang berada di langit dan di bumi beserta isinya selain Allah. Manusia
ditugaskan Allah menjadi khalifah (wakil) di bumi dengan diberikan
kemampuan untuk mengelola dan mengolah alam semesta. Hubungan antara
manusia dan alam bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang di
tahlukkan atau antara tuan dan hambanya, tetapi hubungan kebersamaan dalam
ketundukan kepada Allah. Hal ini karena kemampuan manusia dalam
mengelola dan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia.
Firman Allah dalam surat Ali-„Imrān ayat 191:
الذين يذكرون اللو قياما وق عودا وعلى جنوبم وي ت فكرون ف خلق السماوات والرض رب نا ما خلقت ىذا باطل
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia.” (QS. Ali-„Imrān: 191)
Manusia wajib untuk berakhlak kepada alam karena didasarkan pada
alasan-alasan berikut:
34
a. Manusia hidup dan mati berada di alam (bumi).
b. Alam merupakan salah satu hal pokok yang dibicarakan oleh al-Qur‟an.
c. Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga kelestarian alam.
d. Allah memerintahkan kepada manusia untuk mengambil manfaat sebesar-
besarnya dari alam, agar kehidupan menjadi makmur.
e. Manusia berkewajiban mewujuddkan kemakmuran dan kebahagiaan di
muka bumi.
Berakhlak terhadap alam dapat dilakukan manusia dengan upaya-upaya
pelestarian alam sebagai berikut:
a. Melarang penebangan pohon secara liar.
b. Melarang perburuan binatang secara liar.
c. Melakukan reboisasi (penghijauan).
d. Membuat cagar alam dan suakamargasatwa.
e. Mengendalikan erosi dan lain-lain.
D. Metode Pendidikan Akhlak
Mendidik akhlak anak (peserta didik) merupakan pekerjaan yang bernilai
tinggi dan paling penting, karena anak merupakan anugerah dari Allah bagi orang
tuanya, dimana hatinya bersih dan suci bagaikan mutiara yang cemerlang dan
jiwanya sedehana yang kosong dari segala lukisan dan ukiran. Anak-anak itu akan
menerima segala sesuatu yang akan diukir padanya, serta condong kepada sesuatu
yang mengotorinya. Jika ia dibiasakan dengan kebiasaan yang baik, maka ia akan
tumbuh menjadi baik, dan ia akan hidup bahagia di dunia dan di akhirat, dan begitu
pula sebaliknya (Ali al-Jumbulati, 2002: 152). Beberapa metode yang bisa
35
digunakan dalam rangka pendidikan akhlak menuju terwujudnya peserta didik
berakhlak baik, antara lain:
a. Metode Alami
Sebagai berkat anugerah Allah, manusia diciptakan telah dilengkapi
dengan akal, syahwat, dan nafsu. Semua anugerah tersebut berjalan sesuai
dengan hajat hidup manusia yang diperlukan adanya keseimbangan. Metode
alami ini adalah suatu metode akhlak yang baik diperoleh bukan melalui
pendidikan, pengalaman ataupun latihan, tetapi diperoleh melalui insting atau
naluri yang dimilikinya secara alami. Sesuai firman Allah SWT:
ها فطرة اللو الت فطر الناس علي “(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu”. (QS. Ar-Rūm: 30)
Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik,
seperti halnya berakhlak baik. Sebab bila ia berbuat jahat, sebenarnya sangat
bertentangan dan tidak dikehendaki oleh jiwa (hati) yang mengandung fitrah
tadi. Meskipun demikian, metode ini tidak bisa diharapkan secara pasti tanpa
adanya metode atau faktor lain yang mendukung, seperti pendidikan,
pengalaman, latihan, dan lain-lain. Tetapi paling tidak metode alami ini jika
dipelihara dan dipertahankan akan melakukan akhlak yang baik sesuai dengan
fitrah dan suara hati manusia. Metode ini cukup efektif untuk menanamkan
kebaikan pada anak, karena pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk
berbuat kebaikan, tinggal bagaimana merawat dan menjaganya.
b. Metode Langsung
36
Maksud dari metode langsung adalah dengan cara mempergunakan
petunjuk, tuntunan, nasihat, menyebutkan manfaat dan bahayanya sesuatu.
Kepada peserta didik dijelaskan mengenai hal-hal yang bermanfaat dan yang
tidak, menuntunnya pada amal-amal salih, menolong mereka untuk berbudi
pekerti yang tinggi dan menghindari hal-hal yang tercela.
c. Metode Tidak Langsung
Metode ini berjalan dengan cara memberikan sugesti, seperti
mendiktekan sajak-sajak yang mengandung hikmat-hikmat kepada anak-anak,
memberikan nasihat-nasihat dan berita-berita berharga, mencegah mereka dari
membaca sajak yang kosong, termasuk yang menggugah soal-soal cinta dan
pelakon-pelakonya (Muhammad „Athiyyah Al-Abrasyi, 2003: 116-117).
d. Metode Mujahadah dan Riyadlah
Orang yang ingin menjadi penyantun, maka jalannya dengan
membiasakan bersedekah, sehingga menjadi tabiat yang mudah mengerjakanya
dan merasa tidak berat lagi. Mujahadah atau perjuangan yang dilakukan oleh
guru menghasilkan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Memang pada awalnya
cukup berat, namun apabila manusia bersunggu-sungguh pasti akan menjadi
suatu kebiasaan. Metode ini sangat tepat untuk mengajarkan tingkah laku dan
perbuatan baik lainya, agar peserta didik mempunyai kebisaan berbuat baik,
sehingga menjadi akhlak baik baginya, walaupun dengan usaha yang keras dan
melalui perjuangan yang sungguh-sungguh.
Imam Al-Ghozali sangat menganjurkan agar mendidik anak dan
membina akhlaknya dengan cara latihan dan pembiasaan yang sesuai dengan
37
perkembangan jiwanya walaupun seakan-akan dipaksakan, agar anak dapat
terhindar dari keterlanjuran yang menyesatkan (Zainuddin, 1991: 107).
Oleh karena itu, guru harus memberikan bimbingan secara terus
menerus kepada peserta didiknya agar tujuan pendidikan akhlak dapat tercapai
secara optimal.
e. Metode Teladan
Akhlak yang baik tidak hanya diperoleh melalui mujahadah, latihan atau
riyadlah, dan diperoleh secara alami berdasarkan fitrah saja. Akan tetapi akhlak
juga bisa diperoleh melalui teladan, yaitu mengambil contoh atau meniru orang
yang dekat dengannya. Oleh karena itu dianjurkan untuk bergaul dengan orang-
orang yang berbudi pekerti luhur. Pergaulan sebagai salah satu bentuk
komunikasi manusia memang sangat berpengaruh dan akan memberikan
pengalaman-pengalaman yang bermacam-macam.
Metode teladan ini memberikan kesan atau pengaruh atas tingkah laku
perbuatan manusia, metode ini sangat efektif untuk pengajaran akhlak. Maka
seyogyanya guru menjadi panutan utama bagi peserta didik dalam segala hal,
misalnya kelembutan dan kasih sayang, banyak senyum dan ceria, lemah
lembut dalam bertutur kata, disiplin beribadah dan menghiasi diri dengan
tingkah laku yang baik (Chabib Thoha, 1999: 127-129).
f. Metode Pengawasan/Perhatian
Pendidikan yang disertai dengan pengawasan yaitu pendidikan dengan
cara mendampingianak dalam upaya membentuk akidah dan moral,
mengawasinya dalam mempersiapkannya secara psikis serta senantiasa
38
menanyakan secara terus menerus tentang keadaannya, baik dari jasmani
maupun rohani. Dengan kata lain, pendidikan dengan pengawasan dan
perhatian tidak hanya terbatas pada satu pembentukan saja. Tetapi juga
mencakup berbagai segi yaitu keimanan, intelektual, moral,fisik, spikis, dan
sosial kemasyarakatan. Perlu diingat, dalam memberikan perhatian dan
pengawasan hendaknya dengan tata carayang menyenangkan sehingga anak
tidak merasa terkekang dan sebagainya.
g. Metode Nasehat
Diantara metode dan cara-cara mendidik yang efektif didalam upaya
membentuk keimanan anak, mempersiapkannya secara moral, psikis dan secara
sosial adalah mendidik dengan memberi nasehat (Abdullah Nashih Ulwan,
1998: 70). Yang dimaksud metode nasehat adalah memberi peringatan untuk
menghindarisuatu perbuatan yang dilarang dan memerintahkan untuk
mengerjakan perbuatan yang baik dengan berbicara lemah lembut, sehingga
menyentuh hati anak yang dinasehati. “maka suatu hal yang pasti jika pendidik
memberi nasehat dengan jiwa iklas, suci, dan dengan hati yang terbuka serta
akal yang bijak, maka nasehat itu akan lebih cepat terpengaruh tanpa bimbang.
Bahkan dengan cepat tunduk kepada kebenaran dan menerima hidayah Allah
yang diturunkan”. (Abdullah Nashih Ulwan, 1998: 65-66)
Allah berfirman:
ادع إل سبيل ربك بالكمة والموعظة السنة وجادلم بالت ىي أحسن
39
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An-Nahl: 125).
h. Metode Pembiasaan
Sejak kecil anak harus dibiasakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan
yang baik, dilatih untuk bertingkah laku yang baik, diajari sopan santun dan
sebagainya. Pembiasaan adalah suatu peran penting dalam membentuk pribadi
anak, banyak contoh pola kehidupan anak, dan tujuan dari pembiasaan itu
sendiri adalah peranan kecakapan-kecakapan berbuat dan menyampaikan
sesuatu, agar cara-cara tepat dapat dikuasai (Ahmad D. Marimba, 1989: 82).
Maka untuk itu orang tua tua atau pendidik, harus mengajarkan pebiasaan
dengan prinsip-prinsip kebaikan, harapanya nanti menjadi pelajaran bagi anak,
karena apabila anak membiasakan sesuatu yang baik, maka akan terbiasa.
40
BAB III
TAFSIR SURAT MARYAM AYAT 41-42
Surat Maryam terdiri dari 98 ayat. Keseluruhan ayatnya turun sebelum nabi
Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Nabi Muhammad menamai surat ini dengan
“Surat Maryam” karena pada surat ini diuraikan dengan cukup panjang kisah Maryam (M.
Quraish shihab, 2012: 335).
Selain kisah Maryam surat ini juga menguraikan kisah-kisah lain seperti kisah
Zakariyā, Īsā, Yahyā, Ibrāhīm, Isḫāq, Mūsa, Hārūn, Ismāīl, dan Idrīs.
Skripsi ini hanya fokus pada surat Maryam ayat 41-42 yang berisi teladan nabi
Ibrāhīm. Pembahasan dalam tafsir ayat ini diambil dari tafsir al-Misbah dan al-Lubab karya
Quraish Shihab, tafsir Ibnu Katsir karya M. Nasib ar-Rifa‟I dan kitab-kitab tafsir alqur‟an
lainnya. Namun, sebelum membahas tafsir surat Maryam 41-42 tersebut, alangkah lebih
baiknya jika kita mengetahui jenis-jenis tafsir dan kisah nabi Ibrāhīm AS terlebih dahulu.
1. Jenis-Jenis Tafsir
Tafsir adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang
bersangkutan dengan al-Qur‟an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan al-Qur‟an, khususnya
menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami dan samar artinya, dalam memahami
dan menafsirkan al-Qur‟an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja
tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut al-Qur‟an dan
isinya, ilmu untuk memahami al-Qur‟an dinamakan ulumul Qur‟an. Adapun
metode-metode dalam menafsirkan al-Qur‟an diantaranya sebagai berikut:
a. Ijmali
41
Ijmali yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan uraian singkat dan global,
tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat dengan
uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas arti tanpa menyinggung hal-hal
selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an
ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai urutan dalam muskhaf dalam
rangkai uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang dapat dipahami orang
yang pintar dan orang yang bodoh dan juga orang pertengahan antara keduanya.
b. Tahlili
Tahlili adalah tafsir yang mengkajia ayat-ayat al-Qur‟an dari segala segi
dan maknanya, ayat demi ayat dan surat dami surat, sesuai dengan urutan dalam
muskhaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini kosa kata dan lafadz,
menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat,
menjelaskan apa yang dapat diistinbathkan dari ayat serta mengemukakan
kaitan ayat-ayat dan relevansinya dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya.
Untuk itu ia merujuk kepada sebab sebab turunya ayat, hadist-hadist Rasulullah
dan riwayat dari para sahabat dan tabi‟in. metode ini di bagi menjadi 7 jenis,
yaitu: tafsir bi al-ma‟tsur, tafsir bi al-ra‟yi, tafsir shufi, tafsir fikih, tafsir falsafi,
tafsir „ilmi, dan tafsir adabi.
Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan
bentuk Al-Tafsir bi al-Ma‟tsur (Penafsiran ayat dengan ayat lain), misalnya :
kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam ayat 1 surat al-Baqarah
dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :
42
( والذين ي ؤمنون با أنزل زق ناىم ي نفقون )الذين ي ؤمنون بالغيب ويقيمون الصلة وما ر م وأولئك ىم إليك وما أنزل من ق بلك وباآلخرة ىم يوقنون ) ( أولئك على ىدى من رب
(المفلحون ) (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan
mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS.
al-Baqarah: 3-5)
c. Muqaran
Muqaran aitu metode yang ditempuh seorang mufassir dengan cara
mengambil sejumlah ayat al-Quran, kemudian mengemukakan penafsiran para
ulama terhadap ayat-ayat itu, dan mengungkapkan pendapat mereka serta
membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berada
dalam penafsiran al-Qur‟an. Kemudian menjelaskan bahwa diantara mereka
ada yang corak penafsiranya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya.
Ada diantara mereka yang menitik beratkan pada bidang nahwu, yakni segi-segi
i‟rab, seperti Imam al-Zarkasyi. Ada yang corak penafsiranya ditentukan oleh
kecenderungannya kepada bidang balaghah, seperti „Abd al-Qahhar al-Jurjany
dalam kitab tafsirnya I‟jaznya al-Qur‟an dan Abu Ubaidah Ma‟mar ibn al-
Mutsanna dalam kitab tafsirnya al-mujaz, dimana ia memberi perhatian pada
penjelasan ilmu ma‟any, bayan, badi, baqiqat, dan majaz. Seorang mufassar
dengan metode muqaran dituntut mampu menganalisis pendapat para ulama
tafsir yang ia temukan, lalu ia harus mengambil sikap menerima penafsiran
yang dinilai benar dan menolak penafsir yang tidak dapat diterima rasionya,
43
serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga
pembaca merasa puas.
d. Maudhui (Tematik)
Maudhui Yaitu metode yang ditempuh seorang mufassir dengan cara
menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang sesuatu
masalah/tema (maudhu) serta mengarah kepada suatu pengertian dan satu
tujuan, sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai
surat dalam al-Qur‟an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya (Said Agil
Husin al-Munawar,2001: 73). Kemudian ia menemukan ayat-ayat sesuai dengan
masa turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan
(jika ayat turun karena sebab tertentu), menguraikan dengan sempurna
menjelaskan makna tujuannya, mengkaji terhadap seluruh segi dan apa yang
dapat diistinbatkan darinya, segi I‟rabnya, unsur-unsur balaghahnya, segi-segi
I‟jaznya (kemukjizatannya) dan lain-lain, sehingga satu tema dapat dipecahkan
secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-Qur‟an itu dan karenanya, tidak
diperlukan ayat-ayat lain.
2. Kisah Nabi Ibrāhīm AS
عنا ف ت يذكرىم ي قال لو إب راىيم .() قالوا س“mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-
berhala ini yang bernama Ibrāhīm ". (QS. Al-Anbiyā‟: 60).
Dialah kekasih Allah, Ibrāhīm “sang penepat janji”. Allah memberikan
petunjuk diusianya yang masih belia.
Ibrāhīm mendapati kaumnya dalam kesesatan, maka ia tak mau bersama
orang-orang yang bodoh. Ia merenungkan batu-batu yang disembah oleh kaumnya,
44
maka ia tahu bahwa batu-batu itu tiada dapat memberikan manfaat dan mudharat,
tiada dapat mendengar dan melihat, tiada dapat memberikan pertolongan apapun.
Karena itu, ia memutuskan untuk meninggalkan batu-batu itu, bahkan bertekad
menghancurkanya. Maka ia pun menghancurkan semua batu itu kecuali yang paling
besar. Hal itu sengaja ia lakukan agar orang-orang bertanya kepada berhala yang
paling besar itu, siapakah gerangan yang menghancurkan tuhan-tuhan mereka yang
lain. Demikianlah yang dilakukan Ibrāhīm muda (Mustafa Al-„Adawy, 2006: 198).
Ibrāhīm muda merenung,
ف لما جن عليو الليل رأى كوكبا قال ىذا رب ف لما أفل قال ال أحب اآلفلي
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah
Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka
kepada yang tenggelam." (QS. Al-An‟ām: 76).
Sebab, bintang lebih memukau daripada batu dan patung. Namun kemudian
bintang itu tenggelam. Maka ia berkata “ aku tak suka yang tenggelam”.
Kemudian ia melihat bulan, dan berkata:
م و ف لما رأى القمر بازغا قال ى ذا رب ف لما أفل قال لئن ل ي هدن رب لكونن من الق (الضالي )
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi
setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat." (QS. Al-
An‟ām: 77).
Kemudian ia melihat matahari dan berkata:
ا ف لما رأى الشمس بازغة قال ى ذا رب ى ذا أكب ر ف لما أف لت قال يا ق وم إن بريء م الرض حنيفا وما أنا من ( إن وجهت وجهي للذي فطر السماوات و تشركون )
(المشركي ) “Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini
yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya
45
aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. Al-An‟ām: 78-79).
Ketika itulah kaumnya membantah dan ia pun membantah mereka, mereka
mendebatnya dan ia pun mendebat mereka dan membantah argument mereka. Ia
berkata:
رب وحآجو ق ومو قال أتاجون ف اللو وقد ىدان وال أخاف ما تشركون بو إال أن يشاء ( وكيف أخاف ما أشركتم وال شيئا وسع رب كل شيء علما أفل ت تذكرون )
نتم من إن ك تافون أنكم أشركتم باللو ما ل ي ن زل بو عليكم سلطانا فأي الفريقي أحق بال ( ( الذين آمنوا ول ي لبسواإميان هم بظلم أول ئك لم المن وىم مهتدون )ت علمون )
“Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantah
tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku".
Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu
persekutukan dengan Allah, kecuali dikala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari
malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah
kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)? Bagaimana aku takut
kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal
kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah
sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukanNya. Maka
manakah diantara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan
(dari malapetaka), jika kamu mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. Al-An‟ām: 80-82).
Demikian Ibrāhīm berkata. Ia berfikir dan tidak mau sekedar mengekor. Ia
tidak mentaklid buta pada ayahnya dalam kesesatan dan tidak mengikuti kaumnya
dalam kebatilan mereka. Justru ia menasehati dan mengingatkan mereka.
Ia berkata kepada ayahnya:
( يا أبت إن إذ قال لبيو يا أبت ل ت عبد ما ال يسمع وال ي بصر وال ي غن عنك شيئا )( يا أبت ال ت عبد تك فاتبعن أىدك صراطا سويا )قد جاءن من العلم ما ل يأ
46
( يا أبت إن أخاف أن ميسك عذاب من الشيطان إن الشيطان كان للرحن عصيا )(الرحن ف تكون للشيطان وليا )
“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku! mengapa kamu
menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat
menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku
sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku,
niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku,
janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada
Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa
kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi
kawan bagi syaitan.” (QS. Maryam: 42-45).
Ayahnya mengancamnya, namun ia tetap teguh dan tidak mau kembali
kepada kebatilan.
Ayahnya berkata:
(لئن ل تنتو لرجنك واىجرن مليا )قال أراغب أنت عن آلت يا إبراىيم Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrāhīm? Jika
kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku
buat waktu yang lama". (QS. Maryam: 46).
Maka Ibrāhīm berkata:
(قال سلم عليك سأست غفر لك رب إنو كان ب حفيا ) Berkata Ibrāhīm: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan
memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik
kepadaku.” (QS. Maryam: 47).
Dengan gamblang, ia menjelaskan kepada kaumnya,
(إذ قال لبيو وق ومو ماذا ت عبدون ) “(Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu
sembah itu ?” (QS. Ash-Shāffāt: 85).
(اللو تريدون )أئفكا آلة دون “Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan
berbohong?” (QS. Ash-Shāffāt: 86).
Kemudian ia dilempar ke dalam api, namun ia sabar dan teguh pendirian. Ia
berkata, “Cukuplah Allah sebagai penolongku. Dan Allah adalah sebaik-baik
47
pelindung”. Maka Allah pun menyelamatkannya dari api. Api itu berubah menjadi
dingin dan menyelamatkan.
Ia keluar dan memutuskan untuk meninggalkan tanah airnya, menjauhi
kaumnya serta teman-temannya. Sebab mereka tidak sejalan dengannya. Ia berkata:
(( رب ىب ل من الصالي )وقال إن ذاىب إل رب سي هدين ) “Dan Ibrāhīm berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku,
dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku
(seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shāffāt: 99-
100).
Lalu ia pergi, Allah pun menolong dan menjaganya. Dan Ibrāhīm menjadi
pemimpin orang-orang yang bertaqwa.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa nabi Ibrāhīm AS bangkit menentang
dan memberantas berbagai penyelewengan yang dilakukan umatnya dengan
menggunakan akal dan argumen. Pada saat yang sama, Ibrāhīm AS juga
menyatakan berlepas diri dari segala bentuk patung serta yang mereka sembah.
Dalam ayat di atas, Allah SWT menjelaskan bahwa berbagai tindakan tegas
Ibrāhīm AS tadi telah membuat ia memperoleh anugerah berupa kemampuan
melihat tanda-tanda Allah yang ada di lagit atupun yang ada di bumi.
Diperlihatkannya tanda-tanda Allah itulah yang kemudian membuat Ibrāhīm
bertambah yakin bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan Dialah penguasa
mutlak segala sesuatu.
Pada zaman nabi Ibrāhīm masih hidup, masyarakat penyembah berhala juga
sangat memperhatikan benda-benda langit. Mereka menganggap bahwa perputaran
benda-benda itu sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Kepercayaan seperti ini
hingga sekarang masih dengan mudah kita temukan dalam karya-karya sastra.
48
Dalam menghadapi pikiran-pikiran yang sesat seperti itu, nabi Ibrāhīm
mengambil langkah yang agak unik. Pertama-tama ia menempatkan diri seakan-
akan seperti mereka yang sangat menggantungkan diri kepada bintang, rembulan,
dan matahari. Ketika disaksikannya benda-benda langit itu senantiasa muncul dan
tenggelam, Ibrāhīm lantas mengambil kesimpulan bahwa benda-benda itu tidak
layak untuk disembah. Dengan kata lain, dalam benak Ibrāhīm yang tergambar
adalah logika bahwa alih-alih mampu menguasai alam, benda-benda tadi malah
tidak bisa melepaskan diri dari hukum alam. Karenanya sangatlah aneh jika benda-
benda itu sampai tidak bisa menguasai nasib seseorang.
mengikuti penjelasan ayat diatas penyembahan bintang dan bantahan
terhadapnya, ayat ini menunjuk kepada para penyembah bulan dan matahari.
Disana disebutkan bahwa Ibrāhīm dengan melihat bulan dan matahari,
sebagaimana orang-orang lain, menunjukkan penghambaan kepadanya. Namun
ketika dilihatnya matahari dan bulan tenggelam, Ibrāhīm memperingatkan kaumnya
bahwa benda-benda langit itu bisa terbit dan tenggelam. Artinya benda-benda
tersebut tidak layak untuk disembah.
Ibrāhīm menyatakan kepada kaumnya, "Tindakan kalian itu adalah sebuah
penyelewengan dan jika aku mengikuti kalian, aku akan tersesat. Bagaimana
mungkin kalian bisa menjadikan bulan dan bintang sebagai sekutu Tuhan dalam
mengatur bumi sementara mereka itu tidak mampu mengatur dirinya sendiri”. Di
akhir perdebatan logis dan fitri dengan kaum penyembah berhala dan penyembah
bintang, bulan, dan matahari, nabi Ibrāhīm AS berkata, "Tidak ada satupun dari
benda-benda itu yang bisa menjadi Tuhanku. Tuhanku adalah yang menciptakan
49
aku, pencipta benda-benda itu, dan pencipta langit dan bumi. Aku mengikuti jalan
yang benar dan lurus. Tanpa ada sekutu dan penyelewengan, aku hadapkan diriku
secara ikhlas kepada-Nya dan kepada-Nya-lah aku mengikatkan hatiku."
Kontekstualisasi dari kisah nabi Ibrāhīm di atas untuk masa kini dan yang
akan datang antara lain:
a. Siapa saja yang mengetahui kebenaran dan mengajak orang lain untuk
mengikuti kebenaran itu, pasti akan memperoleh hidayah
Allah Swt berupa diperlihatkannya tanda-tanda-Nya yang ada di langit
dan di bumi.
b. Kita diperintahkan untuk tidak hanya membatasi pandangan kita
terhadap hal-hal yang lahiriah di dunia. Kita tidak boleh melupakan
hubungan antara Allah, manusia, dan alam semesta.
c. Salah satau cara berdakwah adalah dengan menempatkan diri kita
seolah-olah bersama mereka yang tersesat dan menjadi obyek dakwah
kita itu. Setelah itu, kita tunjukkan kekeliruan mereka itu dengan
menggunakan logika dan membangkitkan fitrah mereka.
d. Sesuatu yang disembah haruslah dicintai oleh penyembahnya. Karena
aktivitas penyembahan sendiri berkaitan dengan hati dan
perasaan, bukan dengan indera atau akal.
e. Pembangunan fitrah dan pengaktifan pemikiran merupkan metode
dakwah para rasul Allah
50
f. Menghadapi pemikiran dan perilaku yang menyimpang harus dilakukan
langkah demi langkah. Misalnya, nabi Ibrāhīm awalnya menolak
bintang, kemudian bulan, dan terakhir matahari
g. Setiap kali kebenaran tampak kepada kita, dengan tegas dan jelas, kita
harus mengumumkan kebenaran itu dan kita harus berlepas diri dari
kebatilan.
h. Menjauhkan diri dari syirik artinya semua pekerjaan yang dilakukan
oleh manusia hanyalah dipersembahkan kepada Tuhan dan segala
bentuk keterikatan kepada benda atau orang lain akan menjauhkan diri
dari tauhid dan akan masuk ke dalam batasan syirik.
3. Asbāb An-Nuzūl Surat Maryam
Secara bahasa, asbāb an-nuzūl dapat diartikan dengan sebab turunnya al-
Qur‟an. Kita tahu bahwa al-Qur‟an di turunkan kurang lebih selama 23 tahun secara
mutawatir (berangsur-angsur), dan bertujuan untuk meperbaiki tata cara kehidupan
orang yang hidup pada masa zaman jahiliyah.
Namun, pembahasan sebab diturunkanya al-Qur‟an di atas, bukanlah
maksud dari asbābun nuzūl dalam tulisan ini. Secara bahasa, kata asbābun nuzūl
berasal dari kata asbāb dan nuzūl. Kata asbāb merupakan mufrod (bentuk tunggal)
dari kata sabab yang artinya alasan atau sebab. Sebab adalah kejadian atau sesuatu
hal yang melatarbelakangi suatu wahyu al-Qur‟an di turunkan (Idhoh Anas, 2008:
9).
Sedangkan nuzul secara bahasa berarti turun, jadi asbābun nuzūl dapat
diartikan sebagai sebab-sebab turunnya al-Qur‟an. Secara terminologi, ada
51
beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama‟. Menurut Dr. Shubhi al-Shalih
definisi dari asbābun nuzūl adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya suatu ayat
yang memberi jawaban terhadap sebab itu, dan menerangkan hukumnya pada masa
terjadinya sebab itu (Ahmad Shadali, 2000: 90).
Muhammad Ali Ash Shaubuny mengartikan asbābun nuzūl sebagai sebab
atau masalah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat al-Qur‟an (Muhammad
Ali Ash Shaubuny, 1987: 45).
Dari penjelasan itu dapat diambil pengertian bahwa sebab turunnya al-
Qur‟an (turunnya suatu ayat) ada kalanya berbentuk pertanyaan suatu ayat atau
beberapa ayat turun guna menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa
tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.
Anggapan mempelajari asbābun nuzūl tidak bermanfaat dan membuang-
buang waktu adalah tidak benar. Karena dengan mempelajari asbābun nuzūl itu
sendiri, ada beberapa manfaat yang dapat kita ambil, diantaranya yaitu:
a. Mengerti segi rahasia yang mendorong disyariatkanya beberapa hukum.
b. Jalan yang kuat untuk memahami arti dan makna al-Qur‟an karena dengan
mengetahui sebabnya maka akan tahu pula perkara yang diakibatkan (Idhoh
Anas, 2008: 10).
Dilihat dari segi turunnya, al-Qur‟an dibedakan menjadi dua kelompok,
yang pertama adalah ayat yang tidak memiliki sebab dan hubungan dengan
kejadian. Bagian yang kedua adalah ayat yang memiliki sebab dengan suatu
peristiwa (Muhammad Nor Ichwan, 2008: 74).
52
QS. Maryam yaitu bahan pembuatan skripsi ini, juga ada ayat yang
memiliki asbābun nuzūl dan ada juga yang tidak memiliki asbābun nuzūl nya.
Ayat dari surat Maryam yang memiliki asbābun nuzūl adalah ayat 64, ayat 77, dan
ayat 96 (Qomaruddin Shaleh dkk, 1990: 317).
Berdasarkan keterangan mengenai mana-mana ayat dari QS. Maryam yang
memiliki sebab diturunkanya secara khusus, maka QS. Maryam 41-42 yang
menjadi bahan kajian skripsi ini, adalah tidak memiliki asbābun nuzūl . Dengan
kata lain, QS. Maryam ayat 41-42 tidak memiliki sebab yang khusus ketika ayat
tersebut diturunkan.
4. Analisis Surat Maryam Ayat 41-42
a. Surat Maryam ayat 41
ي قانب ) (واذكرف الكتب اب رىيم, انو كان صد “Dan ingatkanlah yang terdapat di dalam al-Kitab tentang Ibrāhīm.
Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar lagi seorang Nabi.” (QS.
Maryam: 41)
Ulama menghubungkan ayat ini dengan ayat-ayat yang lalu dengan
menampilkan terlebih dahulu tema utama surah ini, yakni penjelasan tentang
keEsaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kebangkitan. Ada dua kelompok
besar yang mempersekutukan Allah. Pertama, mempersekutukan-Nya dengan
makhluk-Nya yang hidup dan berakal, seperti kaum Nasrani yang
mempersekutukan Allah dengan al-Masih, sedang kedua adalah yang
mempersekutukanNya dengan makhlukNya yang tidak hidup dan tidak berakal
seperti bintang dan berhala-berhala (Bachtiar Surin, 1991: 1259). Kalau ayat
yang lalu telah mengecam mereka yang mempersekutukan Allah dengan siapa
53
yang berakal dari makhlukNya, yakni mereka yang mempertuhan Isa AS,
kelompok ini menguraikan tentang mereka yang mempersekutukanNya dengan
berhala, yakni nabi Ibrāhīm AS.
Al-Biqa‟i menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya dari sisi
kandungan makna kewarisan, yang antara lain menurutnya tercermin dalam
kemenangan para nabi dan pengikut-pengikut mereka menghadapi kebanyakan
penghuni bumi, yakni dengan kembalinya penganut agama yang batil kepada
para nabi itu (M. Quraish Shihab, 2012: 457). Dan karena nabi Ibrāhīm AS
adalah tokoh yang memiliki anak cucu yang banyak, itu berarti beliau
merupakan orang yang paling banyak mewarisi bumi. Di sisi lain, beliau seperti
halnya nabi Zakariyā AS yang mengharapkan serta dianugerahi ahli waris
(anak) ketika usianya telah lanjut dan istrinya dinilai mandul.
Apa pun hubungan yang anda pilih atau kemukakan, yang jelas setelah
ayat-ayat yang lalu memerintahkan nabi Muhammad SAW Menyampaikan
kisah Maryam AS dan putra beliau, kini ayat-ayat di atas memerintahkan
bahwa: ”Ceritakan dan ingatkanlah juga, wahai nabi Muhammad SAW, kisah
yang terdapat di dalam al-Kitab, yakni ayat-ayat al-Qur‟an yang selama ini
engkau telah terima, tentang nabi Ibrāhīm AS. ”Sesungguhnya ia adalah
seorang yang sangat benar sikap, ucapan, dan perbuatanya lagi seorang nabi
yang mendapat wahyu dari Allah SWT.”
Kata ( واذكر) wadzkur berasal dari kata ذكر dzakara yang berarti
mengingat atau bercerita. Sedangkan kata ( واذكر) wadzkur sendiri berarti
54
ceritakanlah )Mahmud Yunus, 2007: 134). Kata ini merupakan kata perintah
yang Allah tujukan kepada nabi Muhammad SAW.
Bahwa sesungguhnya nabi Muhammad SAW diperintahkan Allah SWT
untuk menerangkan kepada kaum musyrikin Mekah kisah nabi Ibrāhīm AS
yang mereka anggap sebagai bapak bangsa Arab dan mereka sendiri adalah
anak cucunya dan mendakwakan bahwa mereka adalah pengikut-pengikut
agamanya. Padahal nabi Ibrāhīm AS adalah seorang mukmin kekasih Allah dan
seorang nabi penyembah Tuhan Yang Maha Esa bukan seorang musyrikin
penyembah berhala. Allah memerintahkan kepada nabi Muhammad agar dia
menceritakan kepada mereka ketika nabi Ibrāhīm AS melarang kaumnya
menyembah berhala (Muhammad Nasib ar-Rifa‟I, 2008: 71)
Kata فى الكتت fī al-kitabi berasal dari kata الكتت al-kitabu yang jama‟nya
dari kata ت ت ك kutubun yang berarti kitab atau buku (Munawir, 1997: 1187). dan
mendapat tambahan فى fī yang berarti di, atau menunjukkan suatu keberadaan.
Sehingga فى الكتت fī al-kitabi berarti di dalam kitab. Kitab yang di maksud
adalah kitab al-Qur‟an karena rujukannya kembali pada kata sebelumnya, yaitu
nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW hanya memiliki satu kitab yang
diberi oleh Allah SWT, sehingga dapat di pastikan bahwa yang di maksud
dalam kata فى الكتت fī al-kitabi ini adalah al-Qur‟an.
Kata م Ibrāhīma adalah salah satu nabi yang kisahnya di ceritakan اثره
dalam al-Qur‟an karena berakhlak mulia dan memiliki tauhid yang baik
(Allamah kamal Faqih Imani dan tim ulama, 2005: 272 ).
55
Ayat di atas mengatakan bahwa Ibrāhīm harus disebutkan dalam Kitab
ini, yakni al-Qur‟an lantaran dia seorang manusia yang penuh kebenaran dan
penyaksi ajaran-ajaran dan perintah-perintah Ilahi. Dia juga seorang nabi Allah.
Ayat dia atas mengatakan, “Dan sebutkanlah Ibrāhīm di dalam al-Kitab.
Sesungguhnya dia seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi”.
Kata انه innahu berarti sesungguhnya dia. Dia yang di maksud ini adalah
nabi Ibrāhīm, karena merujuk kepada kata sebelumnya (Ahmad Maslakhudin,
2006: 6).
Kata كبن kāna pada ayat ini, di samping untuk menunjukkan kebenaran
nabi Ibrāhīm. Karena sesungguhnya nabi Ibrāhīm AS adalah seorang nabi yang
cepat membenarkan semua hal yang ghaib yang datang dari Allah.
Kata )صدق( shiddīq merupakan hiperbola dari kata (صدق) shidq/benar.
Yakni seorang yang selalu benar sikap, ucapan, dan perbuatanya (M. Quraish
Shihab, 2012: 458). Dia yang dengan pengertian apapun selalu benar dan jujur,
tidak ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan
dengan kebenaran, serta selalu tampak di pelupuk mata mereka yang haq.
Shiddiq juga berarti orang yang selalu membenarkan tuntutan-tuntutan Ilahi,
pembenaran melalui ucapan dan pengalamanya. Selanjutnya, ayat ini menyifati
Nabi Ibarhim AS dengan kata (نجب) nabiyyan, yakni manusia yang dipilih Allah
untuk memeroleh bimbingan sekaligus ditugasi untuk menuntun manusia
menuju kebenaran Ilahi. Ia yang memiliki kesungguhan, amanat, kecerdasan,
dan keterbukaan sehingga mereka menyampaikan segala sesuatu yang harus di
56
sampaikan. Mereka adalah orang-orang yang terpelihara identitas mereka
sehingga tidak melakukan dosa atau pelanggaran apa pun.
Kata (نجب) nabiyyan terambil dari kata (نجأ) naba‟ yang berarti berita
yang penting. Seorang yang mendapat wahyu dari Allah dinamai demikian
karena ia mendapat berita penting dari Allah. Bisa juga kata nabiyy terambil
dari kata (انجوح) an-nubuwwah yang bermakna ketinggian. Ini karena ketinggian
derajatnya di sisi Allah swt (M. Quraish Shihab, 2012: 458).
Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui bahwa seorang nabi itu
wajib memiliki sifat jujur, dan kita sebagai umatnya harus meneladani sifat
jujur tersebut.
b. Surat Maryam Ayat 42
(اذقال البيو يابت ل ت عبد ماال يسمع وال ي بصر والي غن عنك شيئا ) “ketika ia berkata kepada orang tuanya:” Wahai bapakku. Mengapa engkau
menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat serta tidak dapat
menolongmu sedikit pun.” (QS. Maryam: 42)
Ayat yang lalu memerintahkan nabi Muhammad SAW. Mengingatkan
tentang ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang Nabi Ibrāhīm AS. Ayat ini
menyebut secara khusus satu peristiwa yang berkaitan dengan beliau, yakni
ketika ia dengan lemah lembut berkata kepada orang tuanya sambil
memanggilnya dengan panggilan mesra:
”Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu, yakni berhala atau
bintang-bintang yang tidak dapat mendengar dan tidak juga dapat melihat
serta tidak dapat menolongmu atau mendatangkan manfaat sedikitpun
kepadamu dan tidak juga dapat menampik mudharat atasmu? Bukankah yang
disembah adalah sesuatu yang jauh lebih tinggi kedudukanya dan jauh lebih
mampu daripada yang menyembahnya?”
57
Kata اذقبل idzqōla terdiri dari dua suku kata yaitu kata اذ idz berarti ketika
dan kata قبل qāla berkata. Jadi ل اذقب idzqāla itu berarti ketia dia berkata. Dia yang
di maksud yaitu nabi Ibrāhīm AS. Nabi Ibrāhīm AS adalah seorang hamba yang
selalu menepati janji, sehingga apa yang di ucapkan beliau selalu yang baik-
baik dan benar.
Kata (أثه) abīhi penulis terjemahkan dengan orang tuanya. Ini serupa
dengan terjemahan penulis untuk ayat 74 surah al-An‟ām. Disana, antara lain
penulis kemukakan bahwa berbeda-beda pendapat ulama menyangkut Ãzar
yang disebut (أة) ab nabi Ibrāhīm AS, apakah dia ayah kandung beliau atau
pamanya (M. Quraish Shihab, 2012: 459).
Salah satu alasan yang menolak memahami kata (أثه) abīhi dalam arti
bapak kandung adalah bahwa jika Ãzar adalah bapak kandung nabi Ibrāhīm AS.
Itu berarti ada dari leluhur nabi Muhammad SAW yang musyrik karena beliau
adalah keturunan nabi Ibrāhīm AS. Ini di tolak oleh banyak ulama dengan
alasan bahwa sekian banyak riwayat yang mengatakan kebersihan dan kesucian
leluhur nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:
ما ولدن شيء من سفاح الاىلية ، وما ولدن إال نكاح كنكاح اإلسلم ”Sedikitpun aku tidak dilahirkan dari perzinahan orang-orang ahli Jahiliyah
dan tidak pula aku dilahirkan kecuali dengan nikah seperti nikahnya Islam.”
(HR. ath-Thabrani, Al-Mu'jam Al-Kabir no.10812 10/329)
Ini berarti bahwa tidak seorang pun dari leluhur beliau yang
mepersekutukan Allah SWT dan dengan demikian, jika memang Ãzar yang
membuat dan menyembah patung itu adalah ayah kandung nabi Ibrāhīm AS.
58
Sedangkan nabi Ibrāhīm AS adalah leluhur nabi Muhammad SAW, maka
berarti ada leluhur beliau yang pernah mempersekutukan Allah SWT.
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama menyangkut hal ini, apa yang
dikemukakan oleh penafsir Syi‟ah, Yhabāthabā‟i, sangat wajar untuk
dipertimbangkan. Menurutnya, al-Qur‟an menggunakan kata ( لدوا ) wālid untuk
makna “ayah kandung”, sedangkan kata (أة) ab digunakan al-Qur‟an untuk
makna “kakek” atau “paman” dan lain-lain. Arti-arti kata demikian sama halnya
dalam QS. Al-Baqarah: 33, dan QS. Yūsuf: 38 (M. Quraish Shihab, 2012: 459).
Apa yang dikemukakan di atas benar adanya, tetapi perlu dicatat bahwa
al-Qur‟an menggunakan kata ab untuk menunjuk orangtua kandung, misalnya
QS. Yūsuf ayat 4:
قمر رأي ت هم ل ساجدين إذ قال يوسف لبيو يا أبت إن رأيت أحد عشر كوكبا والشمس وال “(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku ,
sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan;
kulihat semuanya sujud kepadaku." (QS. Yūsuf: 4)
Di sisi lain perlu juga dicatat bahwa, merujuk kepada al-Qur‟an, Nabi
Ibrāhīm AS, menggunakan kedua kata tersebut. Dalam QS. Ibrāhīm ayat 41:
رب نا اغفر ل ولوالدي وللمؤمني ي وم ي قوم الساب “Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-
orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrāhīm: 4)
Beliau menggunakan kata ( والدي) wālidayya untuk menunjuk kepada
bapak ibunya.
Ash-Sya‟rawi dalam tafsirnya setelah membuktikan bahwa kata (أة) ab
digunakan untuk menunjuk ayah kandung atau paman, ia mengemukakan
bahwa biasanya bila kata ab dirangkai dengan namanya, yang dimaksud adalah
59
selain ayah kandung. Kalau ada yang akan bertanya ke mana ayah kandung
seseorang, cukup sudah ia bertanya: kemana ayahmu? Tetapi, kalau yang
ditanyakan selain ayah kandung, di sini pertanyaannya harus di sertai dengan
nama yang bersangkutan. Nah, ayat al-An‟ām itu menggunakan kata ab/ayah
sambil menyebut nama, yakni Ãzar. Dengan demikian, yang bersangkutan
bukan ayah kandung nabi Ibrāhīm AS. Demikian tulis ulama Mesir itu ketika
menafsirkan ayat al-An‟ām. Apakah ini berarti bahwa yang di maksud dengan
abihi pada ayat surat Maryam ini adalah ayah kandung nabi Ibrāhīm AS.
Kata (أثت) abati terambil dari kata ( ة أ ) abun berarti bapak/ayah yang
dirangkaikan dengan huruf )تب( tā yang berfungsi sebagai pengganti huruf (ب) yā
yang menunjukkan makna kepemilikan (M. Quraish Shihab, 2012: 460).
Sehingga, abati bisa diartikan ayak/bapakku. Kata ini mengandung makna
kelemah lembutan dan memberi kesan merengek untuk meminta sesuatu kepada
orangtua.
Kata لم تعجد lima ta‟budu berasal dari kata عجد „abada yang berarti
mengabdi atau menyembah (Mahmud Yunus, 2010: 252). Kemudian
mendapatkan tambahan huruf jazm berupa لم lima dan ت ta yang merupakan
tanda fi‟il mudhari. Jadi لم تعجد lima ta‟buda berarti mengapa kalian menyembah.
Menyembah yaitu mengabdikan diri kepada yang diyakininya. Namun
yang dimaksud dalam ayat ini adalah menyembah, tetapi mengikuti bisikan
setan. Memang, boleh Jadi orang tua dan masyarakat nabi Ibrāhīm AS.
menyembah setan, jin, dan malaikat, tetapi semua penyembahan itu lahir dari
60
rayuan dan tipu daya setan yang diikuti oleh para pendurhakan sehingga pada
akhirnya lebih tepat memahami kata ta‟bud dalam arti mengikuti bisikan setan
Kata مب mā ini bermakna sesuatu. Bahwasanya menyembah itu perlu
sesuatu yang di sembah. Sesuatu disini berupa patung berhala yang dibuat oleh
umat yang hidup pada zaman nabi Ibrāhīm AS dan kemudian disembah oleh
orang-orang kafir.
Kata ل سمع lā yasma‟u berasal dari kata سمع sami‟a yang berarti
mendengar. Kemudian mendapat tambahan ل lā nahi yang berarti tidak.
Sehingga ل سمع lā yasma‟u berarti tidak adapat mendengar (Munawir, 1997:
660).
Kata wa lā yughnī berasal dari kata ولغن ghoniya yang berarti غن
mencukupi atau kaya. Kemudian mendapatkan tambahan ل lā nahi yang
bermakna tidak. Sehingga wa lā yughnī bermakna tidak mencukupi ولغن
Mahmud Yunus, 2010: 303).
Kata عنك „anka berarti dari kamu. Ini yang di maksud ialah kamu atau
mereka para penyembah berhala.
Kata ئب syaian bermakna sedikitpun. Maksudnya yaitu tidak ada ش
sedikitpun kebaikan yang bermanfaat bagi para penyembah berhala dan bahkan
berbahaya apa yang selama ini dilakukan. Nabi Ibrāhīm AS berkata yang
terdapat dlam surat Maryam ayat 44:
د الشيطان إن الشيطان كان للرحن عصيا يا أبت ال ت عب .() “Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan
itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam: 44)
61
Maksud dari “Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan”,
yakni berhala dan bintang yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan
sedikitpun. Tetapi, setan yang memperindah penyembahan dan dengan
demikian, penyembahan berhala atau bintang dan apapun selain Allah berarti
menyembah setan. Sesungguhnya syaitan sejak dahulu durhaka kepada Tuhan
Yang Maha Pemurah.
Nabi Ibrāhīm AS. Pada ayat ini tidak secara tegas menyebut berhala-
berhala sebagai sesembahan orangtuanya, tetapi menyebut sifatnya, yakni tidak
dapat mendengar dan melihat, sehingga, dengan demikian, beliau sekaligus
membuktikan bahwa apa yang disembahnya itu sama sekali batil dan tidak
beralasan, yaitu:
Pertama, karena yang disembah mestinya adalah sesuatu yang
kedudukanya lebih tinggi daripada yang menyembahnya, sedang manusia jauh
lebih tinggi kedudukaanya daripada berhala. Bukankah manusia yang membuat
berhala-berhala itu dan bukankah apa yang di sembah itu tidak dapat
mendengar dan melihat?
Kedua, sesuatu yang disembah adalah yang diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan yang menyembahnya, mendengar permohonannya, dan melihat
keadaanya. Apa yang disembah oleh orang tua Nabi Ibrāhīm AS itu sama sekali
tidak memenuhi syarat untuk disembah, sebagaimana ditegaskan oleh akhir ayat
di atas.
Pelajaran yang dapat dipetik dari surat Maryam ayat 42, yaitu kewajiban
menghormati orang tua, kendati tidak seiman dengan anak, siapa pun yang tidak
62
mengetahui harus mengikuti siapa yang mengetahui, walau yang tidak tahu itu
seorang yang harus dihormati. Seperti orangtua, bahkan ayah kandung.
Menyembah selain dari Allah Yang Maha Esa adalah dampak dari megikuti
setan dan dapat dinilai sama dengan menyembah setan, serta setiap orang
berkewajiban mengingatkan siapapun (M. Quraish Shihab, 2012: 353).
63
BAB IV
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN
SURAT MARYAM AYAT 41-42
Berpijak pada uraian bab-bab sebelumnya, maka pada bab IV ini akan dilakukan
analisis tentang pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an telaah surat Maryam ayat 41-42,
sebagai berikut:
A. Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an
Perlu diketahui bahwa salah satu ciri terpenting dari pendidikan Islam yang
berbasis al-Qur‟an adalah penekanan akhlaknya. Secara garis besar pendidikan
akhlak dalam al-Qur‟an dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan secara
sadar guna memberikan bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan ajaran Islam
yang berupa penanaman akhlak mulia kepada seseorang, sehingga menghasilkan
perubahan yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan hidup
baik itu meliputi: tingkah laku, cara berfikir dan bersikap baik yang dapat
menjadikan manusia sempurna (insan kamil).
Perbuatan mulia yang keluar dari kekuatan jiwa tanpa keterpaksaan itu
disebut akhlak yang baik (akhlakul mahmudah), seperti: kemurnian hati, lemah
lembut, sabar, teguh, berani, adil, jujur, amanah, dan akhlak-akhlak mulia serta
kesempurnaan jiwa lainnya.
Penemuan baru akan mendorong masyarakat untuk lebih jauh menyibak
kebenaran konsep akhlak, masalah perkembangan akhlak selama ini lebih banyak
dipengaruhi oleh kurang adanya bukti riil dalam mempengaruhi peningkatan akhlak
64
masyarakat (Mansur, 2007: 229). Begitu juga jika ditelantarkan, tidak disentuh oleh
pendidikan yang memadai atau tidak dibantu untuk menumbuhkan unsur-unsur
kebaikan yang tersembunyi di dalam jiwanya atau bahkan dididik oleh pendidik
yang buruk sehingga kejelekan menjadi kegemaran, kebaikan menjadi kebencian,
dan perkataan serta perbuatan tercela mengalir tanpa rasa terpaksa, maka jiwa yang
demikian disebut buruk, perkataan dan perbuatan tercela keluar darinya disebut
akhlak tercela (akhlak madzmumah), seperti: menghina orang, khianat, dusta, putus
asa, ghibah, mencela diri sendiri, berbuat kedzaliman dan berkata kotor.
Di sini al-Qur‟an menjadi penyeru pada akhlak yang baik dan mengajak
kepada pendidikan akhlak di kalangan kaum muslimin, menumbuhkannya di jiwa
mereka, dan menilai keimanan seseorang dengan kemuliaan akhlaknya. Allah
memuji nabi-Nya karena akhlaknya yang agung. Allah berfirman:
(وإنك لعلى خلق عظيم ) “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-
Qalam: 4)
Allah pun memerintahkan agar manusia berakhlak mulia. Allah berfirman:
يم ) نو عداوة كأنو ول ح نك وب ي (ادفع بالت ىي أحسن فإذا الذي ب ي “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34)
Tujuan dari pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an adalah terbentuknya akhlak-
akhlak yang terpuji dan mulia dalam diri manusia sebagaimana yang telah
digambarkan dalam al-Qur‟an dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga
terwujudnya keselamatan dunia dan akhirat. Sedangkan materi pendidikan akhlak
dalam al-Qur‟an, meliputi: akhlak manusia kepada Allah, Rasulullah, diri sendiri,
65
sesama manusia dan alam sekitar (Zubaedi, 2011: 66). Metode yang di gunakan
dalam pendidikan akhlak, antara lain: pengarahan, bimbingan, nasehat, motivasi
dan suri tauladan yang baik.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pendidikan akhlak antara
lain:
1. Faktor intern yaitu faktor yang ada pada diri manusia secara fitrah mempunyai
bakat untuk membentuk akhlak.
2. Faktor ekstern yaitu faktor yang mempengaruhi kelakuan dan perbuatan
manusia dari luar pribadi manusia yang meliputi: pengaruh keluarga, sekolah
dan masyarakat.
B. Pendidikan Akhlak yang Terdapat dalam Surat Maryam Ayat 41-42 dan
Aktualisasinya dalam Pendidikan Karakter
1. Pendidikan Akhlak dalam Surat Maryam Ayat 41-42
Allah memberikan petunjuk kepada hambaNya melalui berbagai macam cara.
Salah satunya Allah menurunkan al-Qur‟an sebagai pedoman manusia hidup di
bumi ini agar selamat di dunia dan akhirat. Salah satunya surat Maryam ayat
41-42:
ي قانب ) ( اذقال البيو يابت ل ت عبد ماال يسمع وال واذكرف الكتب اب رىيم, انو كان صد(ر والي غن عنك شيئا )ي بص
41. Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrāhīm di dalam Al Kitab (Al-
Qur‟an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat mencintai kebenaran
dan seorang Nabi.
42. (Ingatlah) ketika ia (Ibrāhīm) berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku,
mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan
tidak dapat menolong kamu sedikitpun?. (QS. Maryam: 41-42).
Setelah mengetahui dan memahami penafsiran surat Maryam ayat 41-42 yang
telah dikemukakan oleh para ahli tafsir serta aspek-aspek pendidikan akhlak
66
yang ada di dalamnya, maka secara garis besar dalam ayat di atas mengandung
nilai-nilai pendidikan akhlak yaitu berupa kejujuran (Shiddiq).
Kata )صدق( shiddīq merupakan hiperbola dari kata (صدق) shidq yang
bearti benar, jujur, dan dapat dipercaya (M. Quraish Shihab, 2012: 458). Namun
siddiq di sini lebih menjurus kepada sebuah sikap membenarkan sesuatu yang
datang dari Allah SWT dan Rasulullah SAW yang timbul dari rasa dan naluri
keimanan yang mendalam.
Sifat jujur merupakan sifat wajib yang harus dimiliki oleh para nabi, tak
terkecuali nabi Ibrāhīm yang menjadi pembahasan dalam surat ini. sifat-sifat ini
harus teladani oleh manusia di bumi ini.
Sifat jujur adalah sifat yang selalu benar dalam bersikap, ucapan dan
perbuatanya. Seseorang yang hatinya telah tertanam oleh sifat jujur tidak akan
ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan
kebenaran, serta selalu tampak di pelupuk mata mereka yang haq.
Sesungguhnya sifat yang paling nyata dari seorang nabi dan pembahwa
wahyu Ilahi adalah bahwa mereka betul-betul menyampaikana perintah Allah
kepada hamba-hamba Allah sepenuhnya.
2. Aktualisasi Surat Maryam Ayat 41-42 dalam Pendidikan Karakter
Nabi Ibrāhīm AS dikenal dengan nabi yang sangat lemah lembut
sifatnya, sesungguhnya Ibrāhīm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi
penyantun (QS. At-Taubah: 114) hal ini terlihat ketika nabi Ibrāhīm
mengingkari ayahanda dan kaumnya, Ibrāhīm bahkan menentang ayahnya
dengan kata-kata yang sopan dan masih menjaga kebaktiannya dan rasa
67
hormatnya kepada ayahnya. Begitu juga ketika Ibrāhīm mendebat kaumnya,
“sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan
langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. Al-
An‟am: 79) artinya saya tujukan ibadah dan tauhid saya kepada Allah semata
beragama yang benar, yaitu condong kepada yang hak dan aku tidaklah berbuat
syirik dalam ibadah kepada Allah (tafsir Ibnu katsir, 2008: 149-152). Dari kisah
nabi Ibrāhīm di atas terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan yang dapat kita
aktualisasikan dalam pendidikan karakter, diantaranya:
a. Menanamkan Sifat Jujur
Sifat mulia yang dimiliki nabi Ibrāhīm yang dapat kita teladani
berupa sifat jujurnya, sebagai karakter kenabiannya. Kita sebagai umat
dapat membentuk karakter itu salah satunya melalui pendidikan. maka
penyiapan sumberdaya manusia yang berkarakter menjadi keniscayaan.
Artinya, pendidikan karakter suatu yang mutlak untuk menumbuhkan
kesadaran manusia sebagai makhluk dan hamba Allah, yang seluruh
rangkaian aktivitasnya senantiasa disandarkan pada nilai kebenaran dan
kejujuran yang diajarkan dalam proses pendidikannya.
karakter seseorang tidak bisa dibentuk secara instan atau sekadar lewat
transfer pengetahuan (knowledge) atau lewat aturan-aturan formal, tapi
harus memberi contoh konkrit para penyuaranya. Seseorang pendidik tidak
cukup dengan menyuarakan tentang kebaikan, tentang berbuat benar, tapi
68
dirinya juga mesti menunjukkan sikap dan karakter yang baik dan berbuat
benar.
b. Menanamkan Sifat Tauhid Kepada Anak Sejak Dini
Telah dibahas ayat-ayat di atas mengenai tauhid nabi Ibrāhīm, maka
kita sebagai umatnya hendaknya meneladani sifat tauhid tersebut dengan
cara menanamkannya pada diri anak sejak dini. Penananman tauhid kepada
anak yang merupaan proses pendidikan akhlak anak kepada Allah SWT.
Dalam perspektif agama Islam keluarga (orang tua) sangat berpengaruh
dalam pembentukan pilihan keyakinan dan sikap hidup yang akan dipilih
oleh seorang anak/anggota keluarga. Karena setiap orang tua diperintahkan
untuk berupaya semaksimal mungkin memelihara diri dari dan anggotanya
dari perilaku yang dapat menjerumuskan diri dan dampak buruk baik di
dunia maupun akherat (QS. at-Tahrim:6). Keluarga dengan demikian
bertanggung jawab dalam mengembangkan budaya positif yang mendorong
seluruh anggotanya keluarganya untuk memiliki semangat beribadah dan
mengembangkan akhlaq mulia (Muhjidin, 2011: 30). Adapun cara dan
materi penanaman tauhid untuk anak usia dini yang dapat diambil dari surat
al Baqoroh 132, yaitu:
1) Mengajarkan Kalimat Tauhid
2) Mengenalkan dan Menanamkan Cinta Pada Allah.
c. Bersikap Lemah Lembut Kepada Orang Tua
69
Dari kisah nabi Ibrāhīm mengajarkan kepada umat Islam bahwa
dalam mengajak kepada kebenaran atau dalam berdakwah kepada siapapun
seorang da‟i harus melakukan dengan benar dengan cara tetap menjaga
sopan santun dan menghargai mereka terlebih dahulu jika objek dakwah
adalah kedua orang tua, maka wajib seorang da‟i untuk tetap menjaga sopan
santun dan hormat kepada mereka. Hal ini berkaitan dengan apa yang
dilakukan oleh nabi Ibrāhīm dalam al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrāhīm di dalam Al Kitab (Al-
Qur‟an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat mencintai
kebenaran dan seorang Nabi. (Ingatlah) ketika ia (Ibrāhīm) berkata kepada
bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?”
Ketika mengajak dan menyeru ayahnya pada kebenaran nabi Ibrāhīm
memanggil ayahnya dengan sebutan wahai ayahku. Ibrāhīm memulai setiap
nasehatnya dengan kata ya abati sebagai penghubung dan penggugah
hatinya (tafsir al-Qasimi, jilid 11 hlm. 120).
d. Menanamkan Sifat Lemah Lembut dan Tegas dalam Membela yang Benar
Nabi Ibrāhīm AS dalam menyampaikan kebenaran kepada kaumnya
tetepa memegang teguh dalam sikap kelembutanya dan mendebatkan
dengan sebaik-baiknya dengan menunjukkan hujjah-hujjah yang benar
walaupun kaumnya mengancam akan membunuhnya dengan
memasukkannya kedalam api. Ibrāhīm tidak takut karena kebenaran yang ia
sampaikan. Ibrāhīm berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit
70
dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang
dapat memberikan bukti atas yang demikian itu".
Sikap yang tegas merupakan sikap yang harus dimiki oleh
pemimpin, maka sikap ini dapat kita tanamkan sikap ini pada anak didik
sebagai generasi yang akan datang agar memiliki karakter yang tegas agar
mampu menjadi pemimpin yang berkarakter dan tidak terombang ambing
dalam perkembangan zaman.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan mengenai pendidikam akhlak dalam al-Qur‟an
surat Maryam ayat 41-42, maka dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Akhlak merupakan suatu perbuatan yang dimiliki manusia yang dilakuakan
tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran terlebih dahulu karena telah
menjadi kebiasaan yang mantap. Pada dasarnya akhlak manusia itu ada dua
macam, yaitu akahlak terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan akhlak yang tercela
(al-akhlak al-mazmumah).
Untuk membentuk akhlak yang mulia perlu adanya suatu proses
pendidikan. Pendidikan akhlak itu sendiri adalah suatu proses pengarahan
manusia mengenai ajaran baik agar tercapai tujuan yang di cita-citakan, yaitu
bahagia dunia dan akhirat dengan mendasarkan al-Qur‟an dan Hadist sebagai
pedomannya.
2. Pendidikan akhlak yang terdapat dalam QS. Maryam ayat 41-42 secara garis
besar mengandung nilai-nilai pendidikan kejujuran (siddiq). Selain itu
aktualisasi ayat itu dalam pendidikan karakter berupa: menanamkan sifat jujur,
menanamkan sifat tauhid kepada anak sejak dini, bersikap lemah lembut kepada
orang tua, serta menanamkan sifat lemah lembut dan tegas dalam membela
yang benar.
B. Saran-Saran
72
Dari hasil penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Kepada Pendidik
Pendidikan akhlak sangat berperan penting dalam upaya menciptakan
individu dan masyarakat yang beradap. Karena pada dasarnya pendidikan
akhlak itu mengenai perintah berperilaku mulia dan larangan berperilaku
tercela. Hal itu telah nyata dan dijelaskan dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah,
diantaranya adalah yang terkandung dalam surat Maryam ayat 41-42. Oleh
karena itu, penulis menyarankan kepada pendidik agar penggalian ajaran
tersebut dapat diaplikasikan atau diterapkan pada pendidik sebagai tauladan
bagi pesertaa didik, dengan melakukan perbaikkan akhlak manusia dalam
menjalani hidup di dunia.
2. Bagi Pembaca
Hendaknya membenahi apabila menemukan kesalahan dalam skripsi ini
agar sesuai dengan hasil yang diinginkan oleh penulis, yaitu memberi manfaat
baik secara teoritis kepada dunia pendidikan dan secara praktis kepada pendidik
dan para orang tua yang berperan dalam pembentukan akhlak yang mulia
kepada anak.
C. Penutup
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa
memberikan petunjuk, kelancaran, dan kecerahan pikiran serta nikmat yang tak
73
terkira hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. tiada daya upaya melainkan
dengan pertolongan-Nya.
Alam yang sangat luas ini ibarat kitab, syair, lukisan, dan bangunan dengan
tekstur yang amat indah. Tentu ilmu dan nikmat yang di sediakan Allah pada alam
dan kita tidak terbatas.
Penulis berharap apabila dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini belum
memenuhi syarat, atas nama pribadi penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Karena penulis sendiri menyadari kita sebagai manusia yang jauh dari
kesempurnaan dan tak luput dari salah dan lupa. Untuk pembaca hendaknya
berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun menuju perbaikan.
Dengan saran tersebut semoga mampu memberikan semangat bagi penulis untuk
memperbaiki karya-karya selanjutnya.
Akhirnya, hanya ucapan terima kasih yang dapat penulis haturkan kepada
semua belah pihak yang ikut membantu, memberi motivasi dengan segala
kerendahan hati sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini jazzakumullah khaira
jazza‟ teriring doa dan salam, sehingga skrispsi ini memberi manfaat kepada kita
semua.
74
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. dan Salimi, N. (1994). Dasar-dasar Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Al-Abrasyi, M.A. (1970). Dasar-Dasar pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
. (2003). Dasar-Dasar pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Adawi, M. (2006). Fiqh Akhlak. Jakarta: Qishti Press
Al-Ghazali, I. (2003). Ihya „Ulum Al-Din juz III. Mesir: Isa Bab Al-Halaby tt.
Al-Jumbulati, A. (2002). Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Al-Munawar,S.A.H. (2002). Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press
Ali, A dan A. Zuhdi M. (2002). Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Jakarta: Multi
Karya Grafika.
„Ali Ash-Shabuni, M. (1987). Syafwah At-Tafsir. Beirut: Dar Al-Qur‟an Al-Karim.
Ash-Syaibany, O.M. (1979). Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyah, terjemahan: Hasan
Lunggalung. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (1976). Departemen Agama RI, Jakarta: Bumi Restu.
Ar-Rifa‟i, M.N. (1989). Al-Qur‟an-Tafsir (Taisiru al-Aliyyui Qadir Ii Ikhtishari Tafsir Ibnu
Katsir, jilid 3). Bandung: Maktabah Ma‟arif Riyadh.
. (2008). Al-Qur‟an-Tafsir (Taisiru al-Aliyyui Qadir Ii Ikhtishari Tafsir Ibnu
Katsir, jilid 3). Bandung: Maktabah Ma‟arif Riyadh.
Asmuni, Y. (1993). Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Azra, A. (2012). Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Budiarjo, A. (1987). Kamus Psikologi. Semarang: Dakara Prize.
Daradjat, Z. (1990). Dasar-dasar Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Djatmika, R. (1985). Sistem Etika Islam. Surabaya: Pustaka Islam.
Hadi, S. (1981). Metode Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada.
Hasbullah. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
75
Ibn Hanbal, I.A. (1991). Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut: Darul Kutub al
Ilmiyyah
Ichwan, M.N. (2008). Memasuki Dunia Al-Qur‟an. Semarang: Lubuk Raya.
Idhoh, A. (2008). Kaidah-Kaidah Ulumul Qur‟an. Pekalongan: Al Asri.
Ilyas, Y. 2007. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
. (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Imani, A.K.F. dan tim ulama. (2005). Tafsir Nurul Qur‟an. Jakarta: Al-Huda.
Mahmud, A.A.H. (2004). Karakteristik Umat Terbaik, Telaah Manhaj, Akidah dan
Harakah. Jakarta: Gema Insan Press.
Mansur. (2007). Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Marimba, A.D. (1989). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Ma‟arif.
Maslakhudin, A. (2006). Modul Nahwu Shorof. Semarang: UNNES.
Mas‟ud, A. (2012). Akhlak Tasawuf. Sidoarjo: CV Dwi Putri Pustaka Jaya.
Masy‟ari, A. (2007). Akhlak Al-Qur‟an. Surabaya: Bina Ilmu.
Munawir, A.W. (1997). Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.
Rahmaniah, I. (2010). Pendidikan Etika. Malang: UIN Maliki.
Sabikah. (2012). Al-Qur‟an dan Terjemah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sarqawi, U.S. (2001). Zikir itu Nikmat. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Shadali, A. (2000). Ulumul Qur‟an. Bandung: Pustaka Setia.
Shaleh, Q. (1990). Asbabun Nuzul (Latar Belakang History Turunnya Al-Qur‟an).
Bandung: CV Diponegoro.
Shihab, M.Q. (2012). Al-Lubab (Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-
Qur‟an). Tangerang: Lentera Hati.
Slamet. (2007). Pengaruh Penerapan Kecakapan Hidup. Jakarta: UPI.
Surin, B. (1991). Tafsir Al-Qur‟an Adz Dzikra lengkap (juz 16-20). Bandung: Angkasa.
Syafri, U.A. (2014). Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Takariawan, C. (2003). Prinsip-Prinsip Dakwah. Yogyakarta: Izzan Pustaka.
76
Thoha, C.et, al. (1999). Metodologi Pengajaran Agama. Semarang: Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo.
Ulwan, A.N. (1992). Pendidikan Anak Menurut Islam (Kaidah-Kaidah Dasar). Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Winarno. (1989). Pengantar Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung: Tarsito.
Ya‟qub, H. (1993). Etika Islam. Bandung: Diponegoro.
Yunus, M. (1989). Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
. (1996). Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: Hidakarya
Agung.
. (2007). Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah.
(2010). Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah.
Zahruddin, AR. (2004). Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Zahruddin. (2004). Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Zainuddin, et,al. (1991). Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.
Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter (Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan). Jakarta: Kencana
Zuchdi, D, dkk. (2009). Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilai-nilai Target.
Yogyakarta: Uny Press.
Zuhdi, M. (1997). Pengantar Ulumul Qur‟an. Surabaya: Karya Abditama.
http://skripsi-tarbiyahpai.blogspot.co.id/2015/01/pengertian-pendidikan-akhlak-
menurut.html. 10.00.13062016
77
78
79
80
81
82