Pendidikan Agama Islam
-
Upload
ahmad-fadil-djamil -
Category
Documents
-
view
215 -
download
1
description
Transcript of Pendidikan Agama Islam
qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfgh
jklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvb
nmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwer
tyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
dfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuio
pasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghj
klzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbn
Universitas 17 Agustus
Banyuwangi
Pendidikan Agama Islam
Khawarij dan Syi’ah
Ahmad Fadli Djamil
Teknik Industri
KHAWARIJ
A. Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini
dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari
barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah
menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr
ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka
menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual
(mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-
Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti
Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena
seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada
hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa,
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian hadits-hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits-hadits
yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau
yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu
besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah
saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan
(laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara
laqob berada di mana-mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah
Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku-buku yang membahas masalah ini masih
sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati-hati terhadap firqah ini.
B. Awal Mula Munculnya Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij
Sebenarnya awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa
Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang
di desa Ju’ronah -pasca perang Hunain- beliau memberikan seratus ekor unta kepada Aqra’
bin Habis dan Uyainah bin Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa orang dari tokoh
quraisy dan pemuka-pemuka arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang lainnya.
Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) dengan mata melotot dan urat
lehernya menggelembung berkata: “Demi Allah ini adalah pembagian yang tidak adil dan
tidak mengharapkan wajah Allah”. Atau dalam riwayat lain dia mengatakan kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum
berbuat adil!”.
Sungguh, kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi terbaik
dan di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani berbuat lancang dan menuduh
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berbuat adil. Mendengar ucapan ini
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan wajah yang memerah bersabda:
“Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah
merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia bersabar.” (HR. Bukhari
Muslim)
Saat itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu meminta izin untuk membunuhnya,
namun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Beliau menghabarkan akan
munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner (khawarij) sebagaimana disebutkan dalam
riwayat berikutnya:
“Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian akan merasa
kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya dengan puasa mereka; mereka
keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari buruannya.” (HR. al-Ajurri, Lihat asy-
Syari’ah, hal. 33)
Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya
generasi semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah puas
dengan penguasa manapun, menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam.
Dikatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar dari agama
ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi dan keluar dari
sisi yang lain dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun kotorannya, padahal ia telah
melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-
Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi
tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana
keluarnya anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya.
Mereka adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim)
Dari riwayat ini, kita mendapatkan ciri-ciri dari kaum khawarij, yakni mereka dapat membaca
al-Qur’an dengan baik dan indah; tapi tidak memahaminya dengan benar. Atau dapat
memahaminya tapi tidak sampai ke dalam hatinya. Mereka berjalan hanya dengan hawa
nafsu dan emosinya.
Ciri khas mereka lainnya adalah: “Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan
orang-orang kafir” sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini satu kaum; yang membaca al-Qur’an,
namun tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh kaum muslimin dan
membiarkan para penyembah berhala. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana
keluarnya anak panah dari buruannya. Jika sekiranya aku menemui mereka, pasti aku bunuh
mereka seperti terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari Muslim)
Sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap seorang yang shalih dan keluarganya yaitu
Abdullah –anak dari shahabat Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu. Mereka membantainya,
merobek perut istrinya dan mengeluarkan janinnya. Setelah itu dalam keadaan pedang masih
berlumuran darah, mereka mendatangi kebun kurma milik seorang Yahudi. Pemilik kebun
ketakutan seraya berkata: “Ambillah seluruhnya apa yang kalian mau!” Pimpinan khawarij
itu menjawab dengan arif: “Kami tidak akan mengambilnya kecuali dengan membayar
harganya”. (Lihat al-Milal wan Nihal)
Maka kelompok ini sungguh sangat membahayakan kaum muslimin, terlepas dari niat
mereka dan kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka menghalalkan darah kaum
muslimin dengan kebodohan. Untuk itu mereka tidak segan-segan melakukan teror,
pembunuhan, pembantaian dan sejenisnya terhadap kaum muslimin sendiri.
Ciri berikutnya adalah: kebanyakan di antara mereka berusia muda, dan bodoh pemikirannya
karena kurangnya kedewasaan mereka. Mereka hanya mengandalkan semangat dan
emosinya, tanpa dilandasi oleh ilmu dan pertimbangan yang matang. Sebagaimana yang
terdapat dalam riwayat lainnya, ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya.
Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka tidak
melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari
buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh
mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjuluki mereka dengan gelaran yang sangat jelek
yaitu “anjing-anjing neraka” sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa bahwa dia
mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“ Khawarij adalah anjing-anjing neraka. “ (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan
dishahihkan oleh al-Albani dalam Dlilalul Jannah)
C. Sejarah Kelahiran Khawarij
Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari
komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali
ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk
mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan
dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan
“Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum
kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok
militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini
terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali ra.
Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash
dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan
kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu
Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya
setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah
menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata
dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti
proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa
setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh). (Abu Zahrah: 60)
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah
kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah
kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu
sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)
Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras
memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama lahirnya
kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh
mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive,
tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang
dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain
yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam
memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi
seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar
bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja. (Abu
Zahrah: 63)
Bukan hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari
kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya
kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy
sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa
Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab)
yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64).
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari
barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap
bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS: 4, 100. yang merujuk
pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya
(Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang
berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang
seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309).
Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di
pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan
pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan
prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309).
D. Latar Belakang Ekstremitas Khawarij
Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag
ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib
salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa
‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak
pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan
keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-
kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi
juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang
mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali
hanya kafir atau musyrik.
Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka
menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya
menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi
al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan
Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali
Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka
gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat
mereka.
Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki
pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan analisis
terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al– Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi
Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung.
Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan
teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah
yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang
dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.
Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih
cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-
orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University,
Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’
walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an.
Uraian yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah al-Qurrâ’ ditulis
oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11-78
H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan di Exterter University,
England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para
sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn ‘Atsam cenderung menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai
para penghafal Al-Qur’an. Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi
ibn ’Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang mengatakan; “Ahabbukum
ilayya akramukum li kitâbillah.
Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang
melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl min qurâ’
ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun
yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-
Qurra’ itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang
kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung
di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah
disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman.
Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari
orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat
sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap
merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang
Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat
dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan
sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang
sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit,
ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan
terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil.
Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi
golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus
menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang
ada di zaman mereka.
Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn ‘Affan
mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga
berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di
wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang
ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi,
tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran
perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka
sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini.
‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan
pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain ‘Utsman menyatakan bahwa para veteran
yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-
tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran
mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan
pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak
memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan ‘Utsman itu
kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang
dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak
mereka.
Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi
kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah. Mereka
memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan
kekerasan ini.
E. Sifat-sifat Khawarij
1. Mencela dan Menyesatkan
Orang-orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan
Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul
sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya,
tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah,
dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya
mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan kesalahan
kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang-orang Khawarij adalah kaum yang paling
mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak
adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha
Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan
pembesar-pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam
rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan
menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih-lebihan dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat sederhana,
pakaian mereka sampai terlihat serat-seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka
mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan
dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan
lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang-orang Khawarij dengan
sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa-apanya, apalagi kalau
dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih-lebihannya ibadah
mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada apa-apanya.
4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi
membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin
Habbab bin Al-Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan mereka
meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits-hadits yang didengar dari Rasulullah
saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,
“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang
berjalan….”
Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah.
Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan
mengeluarkan janin dari perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah
seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu
bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika
mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi
itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari orang
yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang-orang Khawarij umurnya masih muda-muda
yang hanya mempunyai bekal semangat.
6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada
manusia untuk mengamalkan Al-Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak
mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al-Qur’an akan menolongnya di
akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.
7. Nilai Khawarij
Orang-orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw.,
“Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”
8. Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang
terakhir keluar bersama Al-Masih Ad-Dajjal”
9. Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di
akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau
bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”
Syi’ah
A. Pengertian Syi'ah
Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam
Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni
menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i (Bahasa Arab:
menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim (.شيعي
sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah
Syī`ī شيعي.
"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali علي artinya شيعة
"pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat
turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-
orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)[1]
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu
juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut
terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat
utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum
muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau.[2] Syi'ah, dalam sejarahnya
mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami
perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber
pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi
Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan
menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus
kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang
diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah
langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.[3]
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang
tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan
hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari
Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah
(juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte
dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.[4]
2. Sejarah munculnya Syi'ah
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut
Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan
kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun
menurut Watt, syi’ah baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali
dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon
atas penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah. Pasukan Ali diceritakan
terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali (Syi’ah) dan kelompok mendak
sikap Ali (Khawarij).
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengn masalah
penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin
Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib
yang berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut
sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal
kenabian ketika Muhammad SAW diperintahkan menya,paikan dakwah ke kerabatnya, yang
pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu
mengatakan bahwa orang yang pertama menemui ajakannya akan menjadi penerus dan
pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang luar biasa
besar.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm.
Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekkah ke
Madinah di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai
pengantinya dihadapan massa yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya
menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikna
Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya berbicara
lain.
Berlawanan dengan harpan mereka, ketika nabi wafata dan jasadnya belum dikuburkan, ada
kelompok lain yang pergi ke masjid untuk menentukan pemimpin yang baru karena
hilangnya pemimpin yang secara tiba-tiba, sedangkan anggota keluarga nabi dan beberapa
sahabat masih sibuk dengan persiapan upacara pemakaman Nabi. Kelompok inilah yang
kemudian menjadai mayoritas bertindak lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih
pemimpin yang baru dengan alasan kesejahteraan umat dann memcahkan masalah mereka
saat itu. Mereka melakukan itu tanpa berunding dahulu dengan ahlul bait, kerabat, atau pun
sahabat yang pada saat itu masih mengurusi pemakaman. Mereka tidak memberi tahu
sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihdapkan pada suatu hal yang sudah tak
bias berubah lagi (faith accomply).
Karena kenyataan itulah muncul suatu sikap dari kalangan kaum muslimin yang menentanga
kekhalifahan dan kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka
tetap berpendapat bahwa pengganti nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali.
Mereka yakin bahwa semua masalah kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya dan
mengajak masyarakat mengikutinya.[10] Kaum inilah yang disebut dengan kaum Syi’ah.
Namun lebih dari pada itu, seperti yang dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah
terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga
mesti diwujudkan.
Perbedaan pendapat dikalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang
wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam yang memang
mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh momentumnya
yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah Perang Siffin.
Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait,
berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat dan kekhalifahan
jatuh ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa
kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidin sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka
bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin syi’ah
kepada masyarakat.
Syi’ah mendapatkan pengikut yang besar terutama pada masa dinasti Amawiyah. Hal ini
menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terdapat
ahl al-Bait. Diantara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan pengusaha bani Umayyah.
Yazid bin Muawiyah, umpamanya, pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh
Ibn Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala.[12] Diceritakan bahwa setelah
dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tonkatnya Yazid memukul
kepala cucu Nabi SAW. Yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi.[13] Kekejaman
seperti ini menyebabkan kebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti mazhab Syi’ah,
atau paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedy yang menimpa ahl al-bait.
Dalam perkembangan selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait dihadapan dinasti
Ammawiyah dan Abbasiyah, syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri.
Berkitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan
kepada kenabian), Nubuwwah (Percaya kepada kenabian), Ma’ad (kepercyaan akan adanya
hidup diakhirat), imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan ahl-al
bait), dan adl (keadaan ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia ditulis bahwa perbedaan
antara sunni dan syi’ah terletak pada doktrin imamah.[14] Meskipun mempunyai landasan
keimanan yang sama, syi’ah tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan
sejrah, kelompok ini akhirnya tepecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama
dipicu oleh masalah doktrin imamah. Diantara sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah,
Sab’iyah. Zaidiyah, dan Ghullat.
3. Pokok-pokok Ajaran Syi'ah
Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya
diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad.
a. At tauhid
Kaun Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk,
tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di
bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan
sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir
(berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim azaliy baq
(tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq (benar).
Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat
yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa
bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan
tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.[15]
b. Al ‘adl
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah
melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk yang lainnya. Allah tidak melakukan
sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut kaum Syi’ah
semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan
dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah Swt adalah baik. Jadi dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu melakukan
perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang buruk.Tuhan juga tidak meninggalkan
sesuatu yang wajib dikerjakanNya.
c. An nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya dengan kaum
muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rasul untuk membimbing
umat manusia. Rasul-rasul itu memberikan kabar gembira bagi mereka-mereka yang
melakukan amal shaleh dan memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-mereka
yang durhaka dan mengingkari Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa
jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah nabi Muhammad
SAW yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri Nabi adalah
orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi terpelihara dari segala bentuk kesalahan
baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Qur’an adalah mukjizat Nabi
Muhammad yang kekal, dan kalam Allah adalah hadis (baru), makhluk (diciptakan) hukian
qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas huruf-huruf dan suara-suara yang dapat di
dengar, sedangkan Allah berkata-kata tidak dengan huruf dan suara.[17]
d. Al-Imamah
Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam
dunia.Ia merupakan pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had
atau hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta
ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang
imam dan menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adlah pemimpin yang ilegal dan
tidak wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali
pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping itu imam
dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga iamam tidak berdosa serta perintah,
larangan tindakan maupun perbuatannya tidak boleh diganggu gugat ataupun dikritik.[18]
e. Al-Ma’ad
Secara harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat. Kaum
Syi’ah percaya sepenuhnya bahwahari akhirat itu pasti terjadi. Menurut keyakinan mereka
manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya akan dikembalikan ke
asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus
memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia di
hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala bagi orang yang
beramal shaleh dan menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan.[19]
4. Perkembangan Syi'ah
Semua sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib,
kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan
mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat.
Pendapat kelompok pertama yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin
Ali, sedangkan kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin
Hanafiyah, putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.
Akibat perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para
penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan tetapi, para
ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah dan Kaum Gulat.
a. Al-Kaisaniyah
Kaisaniyah ialah nama sekte Syiah yang meyakini bahwa kepemimpinan setelah Ali bin Abi
Thalib beralih ke anaknya Muhammad bin Hanafiyah. Para ahli berselisih pendapat mengenai
pendiri Syiah Kaisaniyah ini, ada yang berkata ia adalah Kaisan bekas budak Ali bin Abi
Thalib r.a. Ada juga yang berkata bahwa ia adalah Almukhtar bin Abi Ubaid yang memiliki
nama lain Kaisan.[20]
Diantara ajaran dari Syiah Kaisaniyah ini ialah, mengkafirkan khalifah yang mendahului
Imam Ali r.a dan mengkafirkan mereka yang terlibat perang Sifin dan Perang Jamal (Unta),
dan Kaisan mengira bahwa Jibril a.s mendatangi Almukhtar dan mengabarkan kepadanya
bahwa Allah Swt menyembunyikan Muhammad bin Hanafiyah.
Sekte Kaisaniyah ini terbagi menjadi beberapa kelompok, namun kesemuanya kembali
kepada dua paham yang berbeda yaitu: 1. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah masih
hidup. 2. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah tiada, dan jabatan kepemimpinan
beralih kepada yang lain.[22]
Pokok-pokok ajaran Syi’ah al-Kaisaniyah anatara lain:
(1) Mereka tidak percaya adanya roh Tuhan menetes ke dalam tubuh Ali ibn Abi Thalib,
seperti kepercayaan orang-orang Saba’iyah.
(2) Mereka mempercayai kembalinya imam (raj’ah) setelah meninggalnya. Bahkan
kebanyakan pengikut al-Kaisaniyah percaya bahwa Muhammad Ibn Hanafiyah itu tidak
meninggal, tetapi masih hidup bertempat di gunung Radlwa.
(3) Mereka menganggap bahwa Allah Swt. itu mengubah kehendak-Nya menurut perubahan
ilmu-Nya. Allah Swt. Memerintah sesuatu, kemudian memerintah pula kebalikannya.
(4) Mereka mempercayai adanya reinkarnasi (tanasukh al-arwah)
(5) Mereka mempercayai adanya roh.
b. Az-Zaidiyah
Zaidiyah adalah sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin
Husein Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui
kepemimpinan Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena
menurut mereka Ali bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai
pemimpin. Dalam Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima
kriteria, yakni: keturunan Fatimah binti Muhammad SAW, berpengetahuan luas tentang
agama, zahid (hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah SWT dengan
mengangkat senjata dan berani.
Sekte Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar
bin Khattab. Dalam hal ini, Ali bn Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan
Umar bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling dekat
dengan sunnah.[24] Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan
pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat
karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali
bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
Pokok-pokok ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya :
(1) Meyakini seseorang dari keturunan Fathimah (puteri Nabi) yang melancarkan
pemberontakan dalam membela kebenaran, dapat diakui sebagai imam, jika ia memiliki
pengetahuan keagamaan, berakhlak mulia, berani, dan murah hati. Selanjutnya mereka
mengatakan bahwa siapapun dari keturunan Ali bin Abi Thalib dapat menjadi imam, bisa
lebih dari seorang dan bahkan tidak ada sama sekali. Jabatan imam dapat dikukuhkan
berdasarkan kemampuan dalam memimpin dan dapat juga berdasarkan latar belakang
pendidikan.
(2) Ajaran Syi’ah Zaidiyah mengenai kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin, mengakui
kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Utsman pada awal masa pemerintahannya, meskipun Ali
bin Abi thalib dinilainya sebagai sahabat yang paling mulia. Dalam kaitan ini, terdapat
konsep Syi’ah Zaidiyah yang berbunyi : األفضل وجود مع المفضول امامة . جواز Yang
dimaksud dengan المفضول adalah Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Usman. Sedangkan yang dimaksud
dengan األفضل ialah Ali bin Abi Thalib.
(3) Dalam ajaran Syi’ah Zaidiyah, tidak mengakui paham ishmah, yaitu keyakinan bahwa
para imam dijamin oleh Allah dari perbuatan salah, lupa dan dosa. Mereka juga menolak
paham rajaah (seorang imam akan muncul sesudah bersembunyi atau mati), paham mahdiyah
(seorang imam yang bergelar al-Mahdi akan muncul untuk mengambangkan keadilan dan
memusnahkan kebatilan), dan paham taqiyah (sikap kehati-hatian dengan menyembunyikan
identitas di depan lawan).
(4) Dari segi ushul atau prinsip-prinsip umum Islam, ajaran Syi’ah Zaidiyah mengikuti jalan
yang dekat dengan paham Mu’tazilah atau paham rasionalis. Adapun dari segi furu’ atau
masalah hukum dan lembaga-lembaganya, mereka menerapkan fikih Hanafi (salah satu
mazhab fikih dari golongan Sunni). Karenanya, dalam hal nikah mut’ah mereka
mengharamkannya, meskipun pada awal Islam nikah itu pernah dibolehkan namun telah
dibatalkan. Dewasa ini, fikih Syi’ah Zaidiyah termasuk fikih yang diajarkan di Universitas al-
Azhar.
a. Al-Imamiyah
Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali
bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena
itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman.
Bagi mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau
ushuludin.
Sekte imamah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang besar adalah golongan Isna'
Asyariyah atau Syi'ah dua belas. Golongan terbesar kedua adalah golongan Isma'iliyah.
Golongan Isma'iliyah berkuasa di Mesir dan Baghadad.[26] Disebut juga Tujuh Imam.
Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi
Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir
6. Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far Ash Shadiq
7. Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa
al-Kadzim.
Pokok-pokok ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya
(1) Ilmu al-Faidh al-Ilahi, yang Allah melimpahkannya pada imam. Maka dengan itu imam-
imam, mempunyai kedudukan di atas manusia pada umumnya dan beilmu belebihi manusia
lainnya. Mereka secara khusus mempunyai ilmu yang tidak dimiliki orang lain. Baginya
mengetahui ilmu Syari’at melebihi apa yang diketahui.
(2) Sesungguhnya iman itu tidak harus tampak dan di kenal masyarakat, tetapi boleh jadi
samar bersembunyi. Namun demikian tetap harus ditaati. Dialah al-Mahdi yang member
petunjuk kepada manusia, sekalipun dia tidak tampak pada beberapa waktu. Dia tentu
muncul, dan hari kiamat tidak akan dating sampai al-Mahdi itu muncul, memenuhi bumi ini
dengan keadilan, sebagaimana kejahatan dan kezaliman telah merajalela.
(3) Sesungguhnya imam itu tidak bertanggungjawab di hadapan siapa pun. Seorang pun
tidak boleh menyalahkannya, apa pun yang diperbuatnya. Masyarakat harus membenarkan
bahwa apa yang diperbuatnya adalah baik, tidak ada kejelekan sedikitpun. Sebab imam
mempunyai ilmu yang tidak dapat dicapai orang lain. Karena itulah mereka menetapkan
bahwa imam itu ma’shum.
b. Al-Ghaliyah
Istilah ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw yang artinya bertambah dan naik. Ghala
bi ad-din yang artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas. Syi’ah
ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim.
Lebih jauh Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang
menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian,
bahkan lebih tinggi daripada Nabi Muhammad.
Gelar ektrem (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya
yang janggal, yakni ada beberapa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan ada juga
beberapa orang yang dianggap sebagai Rasul setelah Nabi Muhammad. Selain itu mereka
juga mengembangkan doktrin-doktrin ekstrem lainnya tanasukh, hulul, tasbih dan ibaha.[29]
Sekte-sekte yang terkenal di dalam Syi’ah Ghulat ini adalah Sabahiyah, Kamaliyah,
Albaiyah, Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah,
Yunusiyah dan Nasyisiyahwa Ishaqiyah. Nama-nama sekte tersebut menggunakan nama
tokoh yang membawa atau memimpinnya. Sekte-sekte ini awalnya hanya ada satu, yakni
faham yang dibawa oleh Abdullah Bin Saba’ yang mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan.
Kemudian karena perbedaan prinsip dan ajaran, Syi’ah ghulat terpecah menjadi beberapa
sekte. Meskipun demikian seluruh sekte ini pada prinsipnya menyepakati tentang hulul dan
tanasukh. Faham ini dipengaruhi oleh sistem agama Babilonia Kuno yang ada di Irak seperti
Zoroaster, Yahudi, Manikam dan Mazdakisme.
Adapun doktrin Ghulat menurut Syahrastani ada enam yang membuat mereka ektrem yaitu:
(1) Tanasukh yang merupakan keluarrnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada
jasad yang lain. Faham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan
bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi
pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi.[30]
Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang
menyatakan seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin Abdullah Bin Ja’far bahwa roh Allah
berpindah kepada Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.
(2) Bada’ yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan
dengan perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan juga sebaliknya.[31] Syahrastani
menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah Ghulat memiliki bebrapa arti.
Bila berkaitan dengan ilmu, maka artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan
yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan kehendak maka artinya memperlihatkan yang
benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang diterapkanNya. Bila berkaitan
dengan perintah maka artinya yaitumemerintahkan hal lain yang bertentangan dengan
perintah yang sebelumnya.[32] Faham ini dipilih oleh Mukhtar ketika mendakwakan dirinya
dengan mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyu yang diturunkan
kepadanya atau melalui surat dari imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi
sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkan, maka itu dijustifikasikan
sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun jika terjadi sebaliknya, ia mengatakan bahwa
Tuhan menghendaki bada’
(3) Raj’ah yang masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai
bahwa Imam Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini
merupakan ajaran seluruh sekte dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa
yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali dan
sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali adalah Ja’far As-Shaddiq, Muhammad
bin Al-Hanafiyah bahkan ada yang mengatakan Mukhtar ats-Tsaqafi.[33]
(4) Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah
seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini
diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
(5) Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada
pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri
imam sehingga imam harus disembah.
(6) Ghayba yang artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan
Syi’ah bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa.
Konssep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada tahun 66 H/686
M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.[34]
C. Kesimpulan
Ajaran dalam Syi'ah amatlah banyak dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan
mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam
golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak bagian-bagian dan
perbedaan pendapat dalam bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte
seperti Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Gulat.
Hal ini menuntut kita untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras
yang mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan ajarannya
ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia. Salah
satunya adalah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat
dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin. Bahkan yang
lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib bukan manusia
biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.
Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam
meyakini dan mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain.
Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada keburukan.
Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.