PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT … · Remaja Rosdakaya, ) ... Munculnya gejala pendidikan...
Transcript of PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT … · Remaja Rosdakaya, ) ... Munculnya gejala pendidikan...
PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT
NURCHOLISH MADJID
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Devi Febrina
108011000108
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Pendidikan Agama Dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)
Oleh:
Devi Febrina
NIM: 108011000108
Di bawah Bimbingan
Dosen Pembimbing Skripsi
Drs. Ahmad Basuni, M.Ag
NIP: 19491126 197901 1 001
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
iii
iv
ABSTRAK
Devi Febrina, Nim 108011000108, “ PPendidikan Agama Dalam KeluargaMenurut Nurcolish Madjid”, Skripsi, Jurusan Pendidikan agama Islam, FakultasIlmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kata Kunci : Pendidikan Agama, Keluarga
Masalah dalam penelitian ini ialah pendidikan agama tidak benar jika dibatasihanya pengertian-pengertian yang kovensional di masyarakat dan tidak dapatdipahami secara terbatas hanya kepada pengajaran agama saja. Agama tidak terbataspada pengajaran tentang seberapa jauh anak itu menguasai hal-hal yang bersifatkognitif atau ritual-ritual dan segi-segi formalistik agama saja, tidak pulapengingkaran terhadap perlunya ritu-ritus dan segi- segi formal itu diajarkan kepadaanak namun pengertian itu perlu disempurnakan. Karena ritual-ritual dan formalitasitu di ibaratkan “bingkai” atau “kerangka” bagi bangunan agama. Karena itu setiapanak harus diajarkan bagaimana melaksanakan ritus-ritus itu dengan baik denganmemenuhi segala “syarat dan ruku” keabsahanya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pendidikan agama dalamkeluarga menurut Nurcholish Madjid. Adapun metode penelitian penyusunan skripsiini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis.Yaitu pemecahan masalah- masalah yang ada dengan usaha menganalisis danmenjelaskan dengan teliti kenyataan-kenyatan faktual dari subjek yang ditelitisehingga diperoleh gambaran yang utuh berdasarkan fakta. Pendekatan yang penulisgunakan yaitu pendekatan content analisis, yaitu metode analisis yangmenitikberatkan pada pemahaman isi dan maksud yang sebenrnya dari sebuah data
Dari hasil penelitian yang penulis temukan menurut Nurcholish Madjidbahwasanya peranan pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat sepenuhnyadilakukan oleh guru ngaji yang didatangkan kerumah. Pendidikan tersebut melibatkanperan orang tua dan seluruh anggota keluarga. Dan peran orang tua dalammemberikan pendidikan agama dalam keluarga tidak perlu berbentuk pengajaran(yang notabene dapat “diwakilkan” kepada orang lain tersebut). Peran orang tuaadalah berupa tingkah laku, tulada atau teladan, dan pola-pola hubungannya dengananak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan secara menyeluruh.Pendidikan agama baru mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orangyang bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub)kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaq karimah). Adapun nilai-nilai keagamaan yang harus ditanamkan pada anak dalam keluarga adalah: a) shalatberjamaah, b) taqwa, c) iman, d) islam, f) tawakkal, g) syukur, h) sabar, dan i)akhlakul karimah.
v
KATA PENGANTAR
بسم
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sang penentu
segala urusan atas berkat, rahmat, taufik, hidayah, dan limpahan petunjuk-Nya
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Pendidikan
Agama Dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid”. Shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan
para sahabatnya yang telah membawa petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia.
Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa terimakasih kepada orang-orang
yang tidak penulis sebutkan namanya, penulis perlu menyampaikan terimakasih
khususnya kepada:
1. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Kepala Jurusan Pendidikan Agama
Islam, yang selalu memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang
beliau berikan selama penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI.
3. Marhamah Shaleh Lc, M.A. Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Siti Khodijah M.A. Dosen Penasehat Akademik Jurusan Pendidikan Agama
Islam, yang memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis.
5. Bapak Drs. Ahmad Basuni, M.Ag. Dosen Pembimbing skripsi, yang selalu
menyempatkan waktu ditengah kesibukan beliau untuk membimbing,
mengarahkan dan memberikan semangat selama proses penulisan skripsi ini.
6. Yang paling utama untuk orang tuaku tercinta, Ayahanda dan Ibunda, Misin
Bulut dan Ihat Solihat. Yang selalu dengan tulus memberikan do’a dan
dukungan serta semangat yang tak henti- hentinya demi kemajuan penulis.
vi
7. Teruntuk suamiku tersayang Ahmad Baidowi, yang telah memberikan
dukungan baik moral maupun materil, yang terus- menerus memberikan
semangat sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
8. Kawan-Kawan PAI C angakatan 2008 khususnya Siti Rohimah, Mira
Humaira, Mudzakir Fauzi, Umi Hany, Cindy Pratiwi, Ana Mutiara dan
Maryati, yang menjadi tempat berdiskusi, bertukar pikiran dengan semangat
perjuangan kita bersama-sama menuju kesuksesan.
9. Teman- temanku di rumah Siti Kamilah, Lu’lu Al-Maknun Salim, dan Upi
Siti Mariyam yang selalu mendukung, menghibur, dan memberikan semangat
kepada penulis.
10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan
kepada penulis baik secara moral dan material.
Tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai balas jasa kepada mereka yang
telah memberikan banyak bantuan dan dukungan kepada penulis, kecuali dengan
do’a semoga Allah SWT, membalas-Nya. Amiiin
Ciputat, 04 April 2014
Penulis
Devi Febrina
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR......................................................................... .. v
DAFTAR ISI.......................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 6
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .................................. 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Agama Islam .......................................... 8
B. Dasar Pendidikan Islam............................................................... 16
C. Tujuan Pendidikan Islam............................................................. 19
D. Pola Asuh……………………………………………………… 19
1. Pengertian Pola Asuh……………………………………….. 19
2. Bentuk-bentuk Pola Asuh…………………………………… 20
E. Keluarga........................................................................... ........... 21
F. Fungsi Keluarga………………………… .................................. 23
G. Peranan Pendidikan Agama Dalam Keluarga............................. 24
H. Hasil Penelitian Relevan.............................................................. 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian danTempat Penelitian ..................................... 30
B. Metodologi Penelitian ................................................................. 30
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................ 31
1. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 31
v
2. Teknik Pengolahan Data......................................................... 32
D. Tehnik Analisis Data................................................................... 32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data............................................................................. 33
1. Biografi dan Riwayat Pendidikan Nurcholish Madjid .......... 33
2. Karya-karya Tulis Nurcholish Madjid .................................. 37
B. Pembahasan................................................................................. 41
1. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
Menurut Nurcholish Madjid................................................. 41
2. Orang Tua Sebagai Pendidik Bukan Pengajar……………... 46
3. Peranan Pendidikan Agama dalam Keluarga
Menurut Nurcholish Madjid................................................. 48
4. Nilai-nilai Keagamaan yang Ditanamkan pada Diri
Anak Menurut Nurcholish Madjid....................................... 53
5. Pola Asuh Anak Menurut Nurcholish Madjid..................... 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................. 71
B. Saran............................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanggung jawab pendidikan dalam Islam adalah dengan dilaksanakannya
kewajiban mendidik. Pengertian mendidik atau pendidikan dalam pengertian yang
umum adalah untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi jasmaniah dan
rohaniah anak didik atau seorang untuk mendapatkan nilai-nilai dan norma-norma
tertentu. Kegiatan pendidikan tersebut dapat berlangsung dalam keluarga, sekolah
dan masyararakat. “Lembaga-lembaga tersebut yang ikut bertanggung jawab
memberi pertolongan kepada anak didik atau seorang dalam perkembangan rohani
dan jasmaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan dan mampu berdiri sendiri
memenuhi tugasnya sebagai mahluk Allah, mahluk sosial dan sebagai individu’’.1
Ketiga lingkaran lingkungan tersebut yaitu keluarga, sekolah dan
masyarakat adalah lingkungan yang dapat membentuk karakter manusia. Meski
ketiganya saling mempengaruhi, tetapi pendidikan keluargalah yang paling
dominan pengaruhnya terhadap pendidikan anak. Jika suatu rumah tangga berhasil
membangun keluarga sakinah, maka peran sekolah dan masyarakat menjadi
pelengkap.2
1 Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam Menggali TradisiMengukuhkan Eksisntensi, ( Malang : UIN Malang Press, 2007), cet. I, h. 83
2 Ahmad Mubarok, Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa,(Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 2005) cet. I, h. 152
1
2
Seperti kita ketahui seorang bayi yang baru lahir adalah mahluk AllahSWT yang tidak berdaya dan senantiasa memerlukan pertolongan untukdapat melangsungkan hidupnya didunia. Maha bijaksana Allah SWT telahmenganugerahkan rasa kasih sayang kepada semua ibu dan bapak untukmemelihara anaknya dengan baik tanpa mengharapkan imbalan.3
Seorang anak senantiasa selalu membutuhkan pendidikan karenapendidikan berusaha mengubah keadaan seseorang dari tidak tau menjaditahu, dari tidak dapat berbuat menjadi dapat berbuat, dari bersikap yangtidak diharapkan menjadi bersikap seperti yang diharapkan. Kegiatanpendidikan ialah usaha untuk membentuk manusia secara keseluruhanaspek kemanusiaanya secara utuh, lenkap dan terpadu. Secara umum danringkas dapat dikatakan pembentukan kepribadian.4
Oleh karena itu, manusia tidak bisa dipisahkan dari pendidikan.
Pendidikan dapat membawa manusia kearah yang lebih baik. Terutama
pendidikan pada masa anak-anak, pendidikan bagi anak harus di mulai dalam
lingkungan keluarga, sejak anak masih dalam kandungan (periode pra-natal)
hingga dilahirkan sampai mereka dewasa (periode post-natal) sampai memiliki
kecerdasan intelektual, emosional dan spritual yang matang.
Lingkungan keluarga sering pula disebut sebagai lembaga pertamadan utama pendidikan yang dikenal anak. Kedua orang tuanyalah orangyang pertama dikenal dan diterimanya pendidikan. Bimbingan danperhatian dan kasih sayang yang terjalin antara kedua orang tua dan anak-anaknya, merupakan basis yang ampuh bagi pertumbuhan danperkembangan psikis serta nilai-nilai sosial dan religius pada diri anakdidik. 5
3 Abdul Majid, dkk. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. ( Bandung : PT.Remaja Rosdakaya, ) 2004, h . 11
4 Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta Direktorat PembinaanPerguruan Tinggi Agama Islam, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: IAINJakarta,1983) , h. 60
5 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, ( Jakarta: GayaMedia Pratama, 2001), cet. I, h. 125
3
Munculnya gejala pendidikan dalam suatu keluarga disebabkan karena
adanya pergaulan antara orang tua sebagai manusia dewasa dan anak yang belum
dewasa. Dari situlah lahirlah peristiwa pendidikan dalam sebuah wadah yakni
keluarga. “Kehadiran anak dalam keluarga merupakan tanggung jawab dan
pengabdian orang tua terhadapnya, yang bersifat kodrati dan berdasarkan cinta
kasih”.6
Pendidikan dalam lingkungan keluarga bersifat pertama dan utamaatau tertua, artinya pembiasaan atau tradisi untuk mengembangkankepribadian anak adalah pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga.Alam keluarga adalah alam pendidikan yang pertama dan yang terpenting,karena sejak timbulnya adat kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga ituselalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti manusia.7
Oleh karena itu, keluarga merupakan lembaga sosial yang palingdasar untuk mencetak kualitas manusia. Sampai saat ini masih menjadikeyakinan dan harapan bersama bahwa keluarga senantiasa dapatdiandalkan sebagai lembaga ketahanan moral, akhlaq al-karimah dalamkonteks bermasyarakat, bahkan baik buruknya generasi suatu bangsa,ditentukan pula oleh pembentukan pribadi dalam keluarga. Disinilahkeluarga memiliki peranan strategis untuk memenuhi harapan tersebut.8
Kehidupan keluarga diibaratkan sebagai satu bangunan, demi
terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa, maka ia
harus didirikan diatas fondasi yang kuat dengan bahan bangunan yang kokoh serta
jalinan perekat yang lengket. “Fondasi kehidupan kekeluargaan adalah ajaran
agama, disertai dengan kesiapan fisik dan mental calon-calon ibu dan ayah”.9
Pembinaan moral atau mental agama harus dimulai sejak anak lahir, oleh
ibu bapaknya. Karena setiap pengalaman yang dilalui oleh si anak, baik melalui
pendengaran, penglihatan, perlakuan, pembinaan dan sebagainya, akan menjadi
bagian pribadinya yang akan bertumbuh nanti. “Apabila orang tuanya mengerti
6 Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008),h. 207
7 Ibid, 2088 Mufidah, Psikologi Keluarga Dalam Berwawasan Gender, (Malang : UIN Malang
Press, 2008), cet. I, h. 399 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, ( Bandung: Mizan, 1994), h.254
4
dan menjalankan agama dalam hidup mereka, yang berarti bermoral agama, maka
pengalaman anak yang akan menjadi bagian dari pribadinya itu mempunyai
unsur-unsur keagamaan pula”.10
“Seperti kita ketahui pendidikan agama dalam keluarga, sebelum si anak
masuk sekolah terjadi secara tidak formil, yaitu melalui semua pengalaman si
anak, baik melalui ucapan, perbuatan dan sikap yang dilihatnya, maupun
perlakuan yang dirasakannya. Oleh karena itu keadaan orang tua dalam kehidupan
mereka sehari-hari mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembinaan
kepribadian anak.”11 “Untuk itu, semakin banyak pengalaman yang bernilai
agamis mampu ditranfer dan diterimanya, maka akan banyak pula unsure agama
dan pengalaman keagamaan yang mampu mewarnai proses pembentukan
kepribadianya.”12
Sedemikian sangat berpengaruhnya pendidikan agama dalam keluarga bagi
anak, tidak salah bila Rasulullah mengibaratkan seorang anak yang baru
dilahirkan itu fitrah atau suci orang tualah yang menjadikan anak itu Yahudi,
Majusi atau Nasrani. Sebagai mana sabda Rasulullah SAW :
Semua anak dilahirkan fithrah atau suci, orang tuanyalah yangmenjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”(H.R Bukhori dan Muslim)
“Hadis di atas pada intinya menyatakan bahwa setiap anak itu lahir dalam
keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang akan menjadikan ia Yahudi,
Nasrani, atau Majusi. Kalau sampai menjadi Yahudi, Majusi atau Nasrani orang
tua mempertanggungjawabkannya”.13 Dari kedua orang tua terutama ibu, dan
untuk pertama kali pengaruh dari sesuatu yang dilakukan ibu itu secara tidak
10 Zakiah Drajat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, ( Jakarta: PT. BulanBintang, 1970), cet. 15, h. 61
11 Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1975), h. 10912 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, ( Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), cet. I, h. 12613 Sudan, Al- Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, (Yogyakarta: PT Darma
Bakti Prima Yasa, 1997), h. 293
5
langsung akan membentuk watak atau ciri khas kepada anaknya. Ibu merupakan
orang tua yang pertama kali sebagai tempat pendidikan anak. Karena ibu ibarat
sekolah, jika ibu mempersiapkan anak berarti ibu telah mempersiapkan generasi
yang kokoh dan kuat. Dengan generasi yang kuat berarti telah menginvestasikan
sesuatu pada diri anak agar bermanfaat kelak mengarungi kehidupan yang lebih
global. Itulah sebabnya pendidikan dalam keluarga disebut pendidikan yang
pertama dan utama, serta merupakan peletak fondasi dari watak dan pendidikan
anak.
Begitu besarnya tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak.Maka, Jalaludin dan Usman Said menyebut tanggung jawab orang tuaadalah Pertama, mencegah anak dari kemungkaran dan selalu mengajakkepada kebaikan. Kedua, memberikan arahan dan binaan untuk selaluberbuat baik. Ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena itutugas dan tanggung jawab orang tua adalah membimbing anak agarmenjadi hamba yang taat menjalan ajaran agama.14
Makna pendidikan tidaklah semata-mata menyekolahkan anak kesekolah untuk menimba ilmu pengetahuan, namun lebih luas daripada itu.Seorang anak akan tumbuh berkembang dengan baik manakala iamemperoleh pendidikan yang paripurna (komprehensif), agar ia kelakmenjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, danagama. Anak yang demikian ini adalah anak yang sehat dalam arti luas,yaitu sehat fisik, mental, emosional, mental-intelektual, mental-sosial danmental-spiritual. Pendidikan itu sendiri sudah harus dilakukan sedinimungkin terutama dalam lingkungan keluarga sebagai pencetak pertamagenerasi bangsa”. 15
Nurcholis Madjid salah satu tokoh cendikiawan muslim Indonesia yang
cukup concern menyumbangkan pemikirannya tentang pendidikan Islam dan
salah satunya yang tak luput dari perhatiannya adalah masalah pendidikan agama
dalam keluarga. Mengingat ajaran agama adalah sebagai fondasi bagi kehidupan
keluarga, maka pendidikan agama seharusnya dapat mewarnai kepribadian anak,
sehingga agama itu benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan
menjadi pengendali dalam kehidupanya dikemudian hari. Sehubungan dengan itu
peran orang tua mendidik anak melalui pendidikan agama yang benar amat
14Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Perss, 2008),h .206
15 Dadang Hawari, Al-Qur'an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:PT Darma Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 195 – 196.
6
penting. Namun, perlu direnungkan kembali apa sebenarnya arti pendidikan
agama, Bagaimana pendidikan agama dalam keluarga, Dan nilai- nilai keagamaan
apa saja yang harus ditanamkan kepada anak dalam keluarga.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merasa tertarik mengangkat
tema ini dengan judul “ Peranan Pendidikan Agama Dalam Keluarga
Menurut Nurcholish Majdid”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama
bagi anak
2. Pendidikan agama dalam keluarga merupakan fondasi bagi kehidupan
anak kelak
3. Pendidikan bagi anak tidak hanya menyekolahkan anak semata-mata
namun anak harus mendapatkan pendidikan yang komprehensif yaitu
dari sekolah, lingkungan dan terutama keluarga.
4. Bagaimana peranan pendidikan agama dalam keluarga menurut
Nurcholish Madjid
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis tidak berpretensi mengkaji seluruh aspek
pemikiran Nurcolish Madjid, namun hanya dibatasi pada seputar pendidikan
agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid itu sendiri. Adapun rumusan
masalah yang diajukan penulis yaitu bagaimana peranan pendidikan agama dalam
keluarga menurut Nurcholish Majdid?
7
Demikianlah batasan dan rumusan masalah yang penulis ajukan dalam
penelitian ini. Adapun judul yang penulis ajukan dalam skripsi ini, berdasarkan
latar belakang masalah dalam penelitian ini.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.Tujuan Peneliti
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan
Nurcholish Madjid tentang pendidikan agama dalam keluarga.
2. Manfaat Penelitian
Nilai guna yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
a) Secara Teoritis, penulisan ini sebagai bagian dari usaha untuk menambah
khasanah ilmu pengetahuan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan
pada umumnya dan jurusan pendidikan agama Islam khususnya.
b) Secara Praktis, dengan meneliti pemikiran Nurcholish Madjid tentang
peranan pendidikan agama dalam keluarga , maka akan menambah
pemahaman yang lebih mendalam melalui studi pemikiran tokoh ini.
Hasil dari pengkajian dan pemahaman tentang bagaimana pendidikan
agama dalam keluarga sedikit banyak akan dapat membantu dalam
pencapaian tujuan dalam membentuk keluarga yang bahagia dan islami.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Agar pembahasan mengenai pendidikan lebih terarah, sebelum
mengemukakan lebih jelas mengenai arti pendidikan agama Islam, alangkah
baiknya penulis mendefinisikan pendidikan secara etimologi terlebih dahulu,
berikut adalah beberapa definisi pendidikan secara etimologi.
Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani paedagogieyang berarti “pendidikan” dan paedagogia yang berarti “pergaulandengan anak.” Sedangkan orang yang tugasnya membimbing ataumembimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdirisendiri disebut paedagogos. Istilah paedagogos berasal dari kata paedos(anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin). Jadi, dari istilahteresebut pendidikan bisa diartikan sebagai usaha yang dilakukan orangdewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk membimbing danmemimpin. perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.1
“Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia, pendidikan berasal dari kata
“didik”, mendapat awalan “pen” dan akhiran “an”, yang berarti proses
pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.2
1 Armai Arif, Reformulasi Pendidikan Islam. (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet-1, h.172 Abdullah Syukri Zarkasi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2005), ed-1 h.19
8
9
Dalam literatur arab pengertian pendidikan sering digunakan pada
beberapa istilah, antara lain, at-talim -al ,(التعلیم) tarbiyah ( التربیة) , dan al-ta’dib
.(التادیب) “Namun demikian ketiga kata tersebut memiliki makna tersendiri dalam
menunjuk pada pengertian pendidikan”.3
“Pertama, kata ta’lim (التعلیم) merupakan masdar dari kata ‘allama (عّلم)
yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian,
pengetahuan, dan masdar dari kata ‘allama (عّلم) yang berarti pengajaran yang
bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan
keterampilan.”4
Penunjukan kata al-ta’lim pada pengertian pendidikan, sesuai dengan
firman Allah SWT.
):۳۱(
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat laluberfirman; Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamumemang orang-orang yang benar. (QS al Baqarah: 31).
Bila batasan pengertian yang ditawarkan dari kata al-ta’lim dan ayatdiatas, terlihat pengertian pendidikan mengandung makna yang sempit.Pengertian al-ta’lim hanya sebatas proses pentranferan seperangkat nilaiantar manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai nilai yang di transfersecara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada domainafektif.5
Kedua, kata al-tarbiyah ( ربیةالت ), merupakan masdar dari kata (رّب) yang
berarti mengasuh, mendidik, dan memelihara.
3 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,(Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), h.37-136-277
4 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: GayaMedia Pratama, 001), cet. 1, h. 86
5 Ibid, h. 86
10
Sedangkan kata al-tarbiyah, ditinjau dari akar katanya dapat dilihat pada
tiga bentuk, yaitu:
a. تربية, يربو, ; yang berarti bertambah dan berkembang
b. , تربية, ; yang berarti tumbuh dan menjadi besar
c. تربية, , ; yang berarti memperbaiki (ashlaha), mengurusi
urusannya, memelihara dan merawat, menunaikan, memperindah,
memberi makan, tuan, memiliki, mengatur, dan menjaga kelestarian
atau eksistensinya.6
Bila ditarik pada pengertian interaksi edukatif antara manusia dalampendidikan, maka menurut An- Nahlawi yang dikutip oleh Syamsul Nizaristilah al-tarbiyah mengandung makna :
a. Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi) anak didikuntuk mencapai kedewasaan
a. Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, denganberbagai sarana pendukung (terutama bagi akal budinya).
b. Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki anak didik menujukebaikan dan kesempurnaan, seoptimal munkin.
c. Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahapsesuai dengan irama perkembangan diri anak.7
“Ketiga , istilah untuk pendidikan adalah al-ta’dib , merupakan masdar
dari kata adabba, yang dapat diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju
pada pembinaan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi
kata al-ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang akhlak
mulia”.8
Menurut Muhammad Al-Naquib al-Attas sebagaimana dikutip oleh
Syamsul Nizar, penggunaan terma al-ta’dib lebih cocok digunakan dalam
6 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: GayaMedia Pratama,2 001), h. 87
7 Ibid, h. 908 Ibid, h. 90
11
dikursus pendidikan Islam, disbanding menggunakan terma at-ta’lim atau al-
tarbiyah.9
Hal ini disebabkan, karena pengetian at-ta’lim hanya ditunjukan pada
proses pentransferan ilmu, tanpa adanya pengenalan lebih mendasar pada
perubahan tingkah laku. Sedangan terma al-tarbiyah penunjukan makna
pendidikan masih bersipat umum.
Secara terminologi, para ilmuwan mendefinisikan pendidikan dalam arti
luas pada beberapa versi, yaitu sebagai berikut:
a. “Hasan langgulung memandang pendidikan bahwa sebagaimana dikutip
oleh Syamsul Nizar, pendidikan sebagai upaya merubah dan memindahkan
nilai budaya kepada setiap individu dalam masyarakat, yang melalui proses
tertentu”.10
b. Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan ialah bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani siterdidik menuju terbentuk kepribadian yang utama.
c. Ki Hajar Dewantoro mengemukakan bahwa pendidikan sebagaimana
yang dikutip oleh Armai Arif adalah sebagai daya upaya untuk memajukan
perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani
anak-anak. “Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan
hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alam dan
masyarakatnya”.11
Dari berbagai definisi pendidikan diatas dapat ditarik suatu pengertian
bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan seorang atau sekelompok orang
(masyarakat) dalam memengaruhi orang lain atau peserta didik yang bertujuan
untuk mendewasakan manusia seutuhnya, baik lahir maupun batin. Artinya,
9 Ibid, h. 90-9110 Nizar, op. cit, cet. I, h. 92.11 Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam Di Minangkabau, (Jakarta: Penerbit
Suara Adi) cet.I, h. 32-33
12
dengan pendidikan, manusia bisa memiliki kesetabilan dalam pandangan hidup
dan kesetabilan dalam nilai-nilai kehidupan dengan rasa tanggung jawab.
Terminologi diatas, terkesan belum terlihatnya penekanan pada nilai-nilai
religius atau agama sebagai nilai yang tak terlepaskan pada diri manusia, dan
sebagai nilai kontrol. Untuk itu, para ilmuan muslim, mencoba untuk
mendefinisikan terminologi pendidikan dalam perspektif Islam, yang secara
khusus, pada beberapa versi. Namun , sebelum membahas pengertian agama dari
segi terminologi terlebih dahulu penulis ingin membahas agama dari segi
etimologi.
“Menurut Nurcholish Madjid, Islam atau agama disebut juga sabagai din.
Din adalah sistem ketundukan atau kepatuhan. Sedangkan masyarakat disebut
madinah artinya suatu tempat dimana kehidupan itu terarur, karena orang-
orangnya tunduk dan patuh terhadap aturan.”12
“Menurut Zakiah Drajat, agama adalah kebutuhan jiwa manusia, yang
mengatur dan mengendalikan sikap, pandangan hidup, kelakuan serta cara
menghadapi tiap-tiap masalah.”13
Sedangkan pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melaluiajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa asuhan dan bimbingan terhadapanak didik agar nantinya setalah selesai dari pendidikan ia dapatmemaham, mengahayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islamyang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agamaIslam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatandankesejahteraan hidup di di dunia dan akhirat.14
Menurut Muhaimin, bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu
bagian pendidikan Islam. Istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami dalam
beberapa perspektif, yaitu:
1. Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam,dan/atau sistem pendidikan Islami, yakni pendidikan yang difahami dan
12 Nurcholish Madjid, Pesan-pesan Takwa, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. I, h.913 Zakiah Drajat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, ( Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1975), cet.3, h. 4714 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996 ), cet. II, h. 86
13
dikembangan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yangterkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan asSunnah/hadist.
2. Pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upayamendidik tentang agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agarmenjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang.
3. Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraanpendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umatIslam. Dalam arti proses bertumbuh kembangnya Islam dan umatnya,baik Islam sebagai agama ajaran maupun sistem budaya dan peradaban,sejak zaman nabi Muhammad Saw. sampai sekarang.15
Ahmad Tafsir membedakan antara pendidikan agama Islam (PAI) danpendidikan Islam. PAI dilakukan sebagai nama kegiatan mendidikanagama Islam. PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan “AgamaIslam”, karena yang diajarkan agama Islam bukan pendidikan agamaIslam. Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan agamaIslam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Kata “pendidikan” ini adadan mengikuti setiap mata pelajaran. Dalam hal ini PAI sejajar denganpendidikan Matematika (nama mata pelajarannya adalah Matemateka)pendidikan Olahraga (nama mata pelajarannya adalah Olahraga) ,pendidikan Biologi (nama mata pelajarannya adalah Biologi) danseterusnya. Sedangkan pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistempendidikan yang Islami, yang memiliki komponen-komponen yang secarakeseluruhan mendukung terwujudnya sosok Muslim yang diidealkan.Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teorinya-teorinya disusunberdasarkan Al-Quran dan Hadist.16
Jadi dari berbagai uraian diatas, pendidikan agama Islam dapat diartikan
sebagai usaha sadar dan terencana yang dilakukan pendidik dalam rangka
menyiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran
Islam, dengan kata lain pendidikan agama Islam adalah pendidikan untuk
pertumbuhan total peserta didik, menjadikan ajaran agama Islam sebagai way of
live (pandangan hidup) yang bersumber dan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist
demi keselamatandan kesejahteraan hidup di di dunia dan akhirat.
Setelah mengartikan pendidikan agama Islam secara panjang lebar melalui
beberapa tokoh diatas, maka penulis ingin menambahkan arti pendidikan Islam
itu sendiri, karena yang dimaksud pendidikan agama disini menurut Nurcholis
Madjid adalah Pendidikan Islam.
15 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah,Madarasah dan Perguruan Tinggi, ( Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2007), h. 7- 8
16 Ibid, h. 6
14
“Dalam konteks pendidikan Islam, Hasan Langgulung memaknai
pendidikan Islam sebagai proses untuk menyiapkan generasi muda dalam mengisi
perannya, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan
dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan akhirat”.17
“Pendidikan islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam, menuju kepada terbentuknya kepribadian yang
utama. Kepribadian utama menurut Islam tersebut adalah pribadi yang memiliki
nilai-nilai agama Islam, bertanggung jawab dan sesuai dengan Al-Qur’an dan
Hadist”.18
Sedangkan hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun
1960, memberikan pengertian pendidikan Islam yaitu sebagai bimbingan terhadap
pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran islam dengan hikmah
mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua
ajaran Islam.
“Istilah membimbing, mengarahkan, mengasuh, mengajarkan atau melatih
mengandung pengertian usaha memengaruhi jiwa anak didik melalui proses
setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan taqwa
akhlak serta menegakan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang
berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam”.19
Pendidikan Islam, menurut Prof. Dr. Omar Muhammad al-Toumy Al-Syaebani, diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalamkehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupandalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan, perubahan itudilandasi dengan nilai-nilai Islami. Jadi, proses pendidikan merupakanrangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yangberupa kemampuan-kemampuan mendasar dan kemampuan belajar,sehingga terjadilah perubahan dialam kehidupan pribadinya sebagaimakhluk individual dan sosial dalam hubungannya dengan alam sekitardimana ia hidup. Proses tersebut senantiasa berada dalam nilai-nilai islami,
18 Zuhairi, Filsafat Pendidikan islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 29019 Muzain Arifin, Filsafat Pendidikan islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,2009), cet. 4, h.
15
yaitu nilai-nilai yang melahirkan norma-norma syariah dan akhlak al-karimah.20
H.M Arifin memandang, bahwa : Pendidikan Islam adalah “suatuproses sistem pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yangdibutuhkan oleh hamba Allah (anak didik) dengan berpedoman pada ajaranIslam”. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa pendidikan Islam merupakanusaha dari orang dewasa (muslim) yang bertaqwa, yang secara sadarmengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (potendi dasar) anak didik melalui ajaran islam kearah titik maksimalpertumbuhan dan perkembangannya. 21
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik suatu pengertian, bahwa
yang dimaksud pendidikan Islam adalah suatu proses penanaman nila-nilai Islam,
melalui pengajaran, bimbingan dan latihan yang dilakukan dengan sadar dan
penuh dengan rasa tanggung jawab agar peserta didik mampu menghayati,
memahami serta mengimani ajaran Islam tersebut, dalam rangka pembentukan
pembinaan, pendayagunaan dan pengembangan, pikir, dan kreasi manusia,
sehingga terbentuk pribadi muslim sejati, yang mampu mengembangkan
kehidupannya dengan penuh tanggung jawab dalam rangka beribadah kepada
Allah SWT. Untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
B. Dasar Pendidikan Agama Islam
Islam merupakan agama universal yang diwahyukan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW untuk disampikan kepada manusia diseluruh muka bumi
ini sebagai jalan keselamatan dunia dan akhirat kelak. Untuk mencapai
keselamatan dan kebahagiaan tersebut diperlukan adanya suatu usaha, yang
merupakan kewajiban bagi manusia dan sebagai pelaksanaannya manusia harus
berpedoman pada tata aturan yang telah ditentukan Allah SWT, karena dalam
melakukan suatu perubahan kearah yang lebih baik, manusia sendiri yang
melakukannya.
20 Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam Di Minangkabau, (Jakarta: PenerbitSuara Adi) cet. Ke-1, 34
21 Nizar, op. cit h. 93
16
Pendidikan merupakan suatu usaha sekaligus proses mencapai perubahan
dan perbaikan dalam mencapai kebahagiaan hidup yang dilakukannya secara
bertahap dan berkesinambungan dari sejak lahir hingga akhir hayat. Oleh karena
tugas yang cukup berat dan mulia itu maka diperlukan suatu landasan, dasar atau
fondasi tempat berpijak sehingga apa yang menjadi tujuan dari pendidikan tidak
menyimpang dan pindah jalur.
Dasar atau landasan pendidikan Islam itu terdiri dari Al-Qur’an, Sunnah
Nabi Muhammad SAW dan ijthad.
Al-Qur’an ialah firman Allah yang berupa wahyu yang disampaikan oleh
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang
dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad.
Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu
yang hubungannya dengan masalah keimanan yang disebut Aqidah dan yang
berhubungan dengan amal yang disebut Syari’ah.22
Didalam Al-Qur’an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip
berkenaan dengan kegiatan tau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca
kisah Lukman mengajari anaknya dalam surar Lukman ayat 12- 19. Cerita itu
mengariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak
ibadat, sosial dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tentang tujuan hidup
dan tentang nilai sesuatu kegiatan amal shaleh. Itu berarti bahwa kegiatan
pendidikan harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu pendidikan
Islam harus menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam merumuskan
berbagai teori tentang tentang pendidikan Islam. 23
Sementara itu selain Al-Qur’an, hadits Nabi pun sebagai landasan dalam
pendidikan Islam yang ideal. Hadists Nabi yang dijadikan landasan ialah berupa
perkatan, perbuatan atau pengakuan Nabi dalam bentuk isyarat. Yang dimaksud
dengan pengakuan isyarat ialah sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat
atau orang lain dan Nabi membiarkan saja dan perbuatan atau kejadian itu terus
22 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996 ), cet. II, h. 1923 Ibid, h. 20
17
berlangsung. Didalam hadist Nabi berisi tentang aqidah, syariah, dan akhlak
seperti Al-Qur’an, yang juga berkaitan dengan pendidikan. Yang lebih penting
lagi ialah dalam hadist Nabi tercermin tingkah laku dan suru tauladan Nabi
Muhamad yang harus diikutin setiap muslim sebagi satu model kepribadian
Islam.24
Selanjutnya, untuk menetapkan atau mentukan suatu hukum syariat Islam
dalam hal-hal tertentu yang ternyata belum dijelaskan dalam Al-Qur’an dan al-
Sunnah, maka diperlukan ijtihad para fuqaha dengan menggunakan seluruh ilmu
yang mereka miliki. Begitu pula dalam masalah pendidikan Islam diperlukan juga
ijtihad para fuqaha. Masalah pendidikan Islam terus berkembang sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kurun waktu kewaktu.25
Hasil ijtihad para ulama Islam dijadikan sebagai landasan pengembangan
pendidikan Islam. Maksudnya, landasan pengembangan pendidikan Islam ialah
hasil pemikiran ulama Islam yang berkaitan dengan masalah pendidikan,
kemudian dijadikan sebagi rujukan atau dasar untuk melaksanakan kegiatan
pendidikan.
Dari uraian diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, sumber nilai
yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan pendidikan Islam secara general adalah
Al-qur’an, dan sunnah Nabi, serta hasil ijtihad umat Islam. Didalam ketiga sumber
tersebut, al-Qur’an dioposisikan sebagai sumber ideal, hadist sebagi sumber
operasional dan ijtihad sebagai sumber dinamika pengembangan pendidikan
Islam. Hasil ijtihad dikatakan sebagai dinamika pendidikan Islam, karena pemiran
manusi (ulama) dalam kurun waktu tertentu dalam kontekst sosia-historisnya
selalu mengalami perubahan. Hal ini menghendaki pemikiran pendidikan Islam
juga harus selalu berkembang, agar bisa dijadikan sebagai sumber atau landasan
24 Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam Menggali TradisiMengukuhkan Eksisntensi, ( Malang : UIN Malang Press, 2007), cet. I, h. 53
25 Ibid, h.56
18
pelaksanaan pendidikan Islam yang kontekstualnya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.26
C. Tujuan Pendidikan Islam
Istilah “tujuan” secara etimologi, mengandung arti arah, maksud, atau
haluan. Dalam bahasa Ingris diistilahkan dengan “goal, purpose, objectives atau
am”.secara terminologi berarti sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sebuah
usaha atau kegiatan”.
Selain itu merujuk kepada konsep rububiyah Allah terhadap manusia.
Maka pendidikan Islam berfungsi untuk mempersiapkan manusia agar mampu
melaksanakan tugas dan fungsi kekholifahan di muka bumi ini.
Dikatakan oleh Dr. Zakiah Daradjat bahwa :Tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kerpibadian seorangyang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola taqwa, insan kamilartinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembangsecara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT. Inimengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan mengahasilkanmanusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dangemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalamberhubungan dengan Allah dan dengan sesamanya dapat mengambilmanfaat yang semakin yang semakin meningkat dari alam semesta iniuntuk kepentingan hidup didunia kini dan diakhirat nanti. Tujuan inikelihatanya terlalu ideal, sehingga sukar dicapai. Tetapi, dengan kerjakeras yang dilakukan secara berencana dengan kerangka-kerangka kerjayang konsepsional mendasar, pencapaian tujuan ini bukanlah suatu yangmustahil.
Imam Al- Ghazali mengatakan bahwa: “ Ada dua tujuan pendidikanyang ingin dicapai, yaitu kesempurnaan manusia yang bertujuanmendekatkan diri dalam arti kualitatif- kepada Allah Swr, sertakesempurnaan manusia yang bertujuan kebahagiaan dunia dan akherat.Walaupun terbentuknya hanya satu tetapi ibarat pisau bermata dua. Untukmenjadikan manusia Insan Kamil tidaklah tercipta hanya sekejap mata tapimelalui proses yang panjang dan ada syarat-syarat yang harus dipenuhiyaitu dengan mempelajari berbagai ilmu, mengamalkannya, danmenghadapi berbagai cobaan yang munkin terjadi dalam prosespendidikan”.
26 Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008),h. 47- 49
19
“Secara umum pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama
Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat
berbangsa dan bernegara.”
Sedangkan menurut Ibnu Taymiah bahwa tujuan pendidikan Islam itu
adalah:
1. Pembinaan pribadi muslim yang mampu berfikir, merasa dan berbuatsebagai mana yang dieperintahkan oleh ajaran Islam , terutama dalammenanamkan akhlak Islam seperti bersikap benar dalam segala aspekkehidupan.
2. Mewujudkan masyarakat islam yang mampu mengatur hubungan sosialsejalan dengan syariat Islam dalam hal ini mampu menciptakan kulturyang Islami kerena ikatan Aqidah Islam.
3. Mendakwahkan ajaran Islam sebagai tatanan universal dalam pergaulanhidup.
Perumusan tujuan pendidikan ini menjadi penting artinya bagi proses
pendidikan, karena dengan adanya tujuan yang jelas dan tepat maka arah proses
itu akan jelas dan tepat pula. Tujuan pendidikan Islam dengan jelas mengarah
kepada terbentuknya insal kamil yang berkepribadian muslim, merupakan
perwujudan manusia seutuhnya, taqwa cerdas, baik budi pekerinya, terampil kuat
kepribadiannya, berguna bagi diri sendiri, agama, keluarga, masyarakat dan
negara. Ia menjadi “kholifah fil ardl” yang cakap sesuai dengan bidang masing-
masing.
Dari berbagai uraian diatas jelaslah bahwasanya tujuan pendidikan islam
itu tidak sempit. Tujuan pendidikan Islam menjangkau seluruh aspek kehidupan
manusia yang selalu berorientasi kepada penyerahan diri kepada Allah Swt. Cita-
cita dan nilai-nilai yang ingin diwujudkan adalah kebahagian kehidupan dunia dan
akhirat.
D. Pola Asuh
1. Pengetian Pola Asuh
20
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang
berkepribadian baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Orang tua
sebagai pembentukpribadi yang pertama dalam kehidupan anak harus menjadi
teladan yang baik begi anak-anaknya. Sebagai mana dikatakan Zakiah Darajat,
bahwa: “ kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup merupakan unsur-unsur
pendidikan yang secara tidak langsung akan masuk ke dalam pribadi anak yang
sedang tumbuh’.27
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa, keluarga merupakan: “ pusatpendidikan” yang pertama yang terpenting karena sejak timbulnya adabkemanusiaan sampai kini, keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhanbudi pekerti tiap-tiap manusia. Disamping itu, orang tua dapatmenanamkan benih kebatinan yang sesuai dengan kebatinannya sendirikedalam jiwa anak-anaknya. Inilah hak orang tua yang utama dan tidakbisa dibatalkan oleh orang lain. 28
Dalam mendidik anak, terdapat bermacam bentuk pola asuh yang bisa
dipilih dan digunakan orang tua. Sebelum berlanjut kepembahasan berikutnya,
terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian pola asuh itu sendiri.
“Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola asuh berarti corak, model,
sistem, cara kerja, bentuk struktur yang tetap”.29 “Sedangkan kata asuh dapat
berarti menjaga atau merawat dan mendidik, memimpin (mengepalai dan
menyelenggarakan suatu lembaga).”30 Lebih jelasnya kata asuh adalah mencakup
segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, bantuan,
sehingga orang tetap berdiri menjalani hidupnya secara sehat.
Menurut Yaumil Agoes Achir “Pola asuh adalah tata sikap dan prilaku
orang tua dalam membina kelangsungan hidup anak, perlindungan anak secara
menyeluruh baik fisik, sosial maupun rohani”.31
“Pola asuh di dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai perilaku dan
sikap orang tua ketika bergaul dan berkomunikasi dengan anaknya, karena secara
27 Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 5628Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua, (Jakarta: PT, Rineka Cipta, 2000) h. 1029 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 5430 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. Ke.I, h 69231 Soegeng Santoso, Problematika Pendidikan dan Cara Pemecahannya , (Jakarta:
Kreasi Pena Gading, 2001) h. 148
21
sadar atau tidak ketika orang tua berkomunikasi dengan anaknya dalam kehidupan
sehari-hari mereka berbuat sesuai sikap atau prilakunya sendiri, keras lembut atau
bijaksana”.32
Pola asuh pada hakikatnya adalah cara orang tua dalam mendidik anak
untuk bertindak sesuai dengan apa yang telah ditentukan dengan menggunakan
kekuasaan tanpa memaksakan dalam melakukan suatu tindakan yang diinginkan.
Dari uraian diatas mengenai pola asuh maka penulis mendefinisikan pola
asuh adalah interakasi yang terjadi antara orang tua dan anak dimana orang tua
bermaksud menstimulasi anak nya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan,
serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak mampunyai
pribadi yang utama. Dalam kaitan dengan pendidikan agama orang tua dapat
menstimulasi anaknya dengan memasukan unsur-unsur nilai relegius pada diri
anaknya.
2. Bentuk-bentuk Pola Asuh
Menurut Baumrind yang dikutip dari buku Agoes Dariyo, “ Psikologi
Perkembangan”, Beliau mengatakan bahwa terdapat 4 macam pola asuh orang
tua, diantaranya:
1. Pola Asuh Demokratis.Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskankepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka.Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasaritindakannya pada rasio dan pemikiran-pemikiran.
2. Pola Asuh OtoriterPola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harusdituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipeini cenderung memaksa, memerintah, dan menghukum.
3. Pola Asuh PermisifPola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar.Memberikan kesempatan kepada anaknya untuk melakukan sesuatutanpa pemaksaan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidakmenegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dakambahaya.
32 Muhammad Nur Abdul Hafizh, mendidik anak bersama Rasulullah SAW,(Bandung:Albayan, Kelompok Penerbit Mizan, 1983), h. 35
22
4. Pola Asuh PenelantarOrang tua tipe ini pada umunya memberikan waktu dan biaya yangsangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakanuntuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkalbiaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe iniadalah prilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yangdepresi.33
E. Keluarga
“Dalam kamus besar Bahasa Indonesia keluarga adalah suatu kerabat yang
mendasar dalam masyarakat yang terdiri dari ibu dan bapak dengan anak-
anaknya”.34
Menurut psikologi, keluarga bisa diartikan sebagai dua orang yangberjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta,menjalankan tugas dan fungsi yang saling terkait karena sebuah ikatanbatin, atau hubungan perkawinan yang kemudian melahirkan ikatansedarah, terdapat pula nilai kesepahaman, watak, kepribadian yang satusama lain saling mempengaruhi walaupun terdapat keragaman, menurutketentuan norma, adat, nilai yang diyakini dalam membatasi keluarga danyang bukan keluarga.35
Prof. Quraish Shihab mengatakan: “Keluarga adalah jiwa masyarakatdan tulang punggungnya. Kesejahtraan lahir dan batin yang dinikmati olehsuatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan, dan keterbelakangannya,adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup padamasyarakat itu.
Lebih jelas lagi beliau mengatakan bahwasanya hakikat diatas adalahkesimpulan pandangan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pakar-pakaragama Islam. Itulah antara lain yang menjadi sebab sehingga agama Islammemberikan perhatian yang sanagt besar terhadap pembinaan keluarga,perhatian yang sepadan dengan perhatiannya terhadap kehidupan individuserta kehidupan manusia secara keseluruhan.”36
33 Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan / Atitama, ( Bandung: PT, Refika Aditama,2007), hlm. 206-208
34 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia EdisiKedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) hal. 471
35 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga dalam Berwawasan Gender, (Malang: UIN MalangPress, 2008 ) cet. I, hal. 38
36 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qu’an Peran dan Fungsinya Wahyu dalamKehidupan Masyarakat.( Bandung: Mizan, 1994) cet. IV h.53
23
Pada intinya lembaga keluarga terbentuk melalui temuan suami dan istri
yang permanen dalam masa yang cukup lama sehingga berlangsung proses
reproduksi. Dalam bentuknya yang paling umum dan sederhana, keluarga terdiri
dari ayah, ibu, dan anak (keluarga batih). Dua komponen yang pertama, ibu dan
ayah dapat dikatakan sebagai komponen yang sangat menentukan kehidupan
anak, khususnya pada usia dini. “Baik ayah maupun ibu, keduanyan adalah
pengasuh utama dan pertama bagi sang anak dalam lingkungan keluarga, baik
karena alasan biologis maupun psikologis”.37
“Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan berpendapat bahwa
keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu keturunan
lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial,
enak dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk
memuliakan masing-masing anggotanya”.38
Dari beberapa pengertian keluarga diatas maka penulis dapat mangambil
kseimpulan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarat yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak yang terikat oleh satu keturunan yang masing-masing
anggotanya mempunyai peran dan tanggung jawab.
F. Fungsi Keluarga
Keluarga adalah unit satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus
merupakan suatu kelompok kecil dalam masayarakat. Kelompok ini dalam
hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan sebutan
primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai
macam bentuk kepribadiannya dalan nasyarakat. “Tidaklah dapat dipungkiri,
37 Fuaduddin, Pengasuhan Anak dalam keluarga Islam. (Jakarta: Lembaga KajianAgama dan Jender, 1999), h. 5-6
38 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), ce. II, h. 96
24
bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas selaku
penerus keturunan saja.”39
Secara sosiologis, Djudju Sudjana mengemukakan tujuh macam fungsi
keluarga, yaitu:
1. Fungsi biologis, perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agarmemperoleh keturanan, dapat memelihara kehormatan serta martabatmanusia sebagai mahluk berakal dan beradab. Fungsi biologis inilahyang membedakan manusia dengan binatang, sebab fungsi ini di aturdalam suatu norma perkawinan yang diakui masyarakat.
2. Fungsi edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semuaanggotanya dimana orang tua memiliki peran yang cukup penting untukmembawa anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam dimensikognitif, afektif maupun skill, dengan tujuan untuk mengembangkanaspek spiritual, moral, intelektual, dan profesional.
3. Fungsi religius, keluarga merupakan tempat penanaman nilai moralagama melalui pemahaman, penyadaran praktek dalam kehidupansehari-sehari sehingga tercipta iklim keagamaan didalamnya.
4. Fungsi protektif, dimana keluarga menjadi tempat yang aman darigangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkalsegala pengaruh negatif yang masuk di dalamnya.
5. Fungsi sosialisasi adalah berkaitan dengan mempersiapkan anakmenjadi anggota masyarakat yang baik, mampu memegang norma-norma kehidupan secara universal baik inter relasi dalam keluarga itusendiri maupun dalam menyikapi masyarakat yang pluralistik lintassuku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa maupun jeniskelaminnya.
6. Fungsi rekreatif, bahwa keluarga merupakan tempat yang dapatmemberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga. Fungsi rekreatif ini dapat mewujudkansuasana keluarga yang menyenangkan, saling menghargai,menghormati, dan menghibur masing-masing anggota keluargasehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang dan setiapangota keluarga merasa “ rumahku adalah syugaku”.
7. Fungsi ekonomis, yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimanakeluarga memiliki aktifitas mencari nafkah, pembinaan usaha,perencanaan anggaran, pengelolaan dan bagaimana memanfatkansumber-sumber penghasilan dengan baik, serta mempertanggungjawabkan kekayaan harta bendanya secara sosial maupun moral.40
Guna merealisasikan fungsi diatas, keluarga dapat menawarkan sekaligus
dapat memperkenalkan beberapa kegiatan pendidikan kepada anak, antara lain:
39 Ibid, cet. II, h. 8740 Mufidah Ch, op. cit, cet. I, hal. 42-47
25
a. Pendidikan jasmani yaitu kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh dandalam keluarga terhadap perkembangan fisik anak tidak berarti hanyaperkembangan otot dan tenaga saja, melainkan juga menyiapkankontruksi fisiknya secara sehat dan baik.
b. Pendidikan intelektual yaitu kegiatan orang tua yang dapat merangsangintelektual anak. Sebagai contoh dengan cara menumbuhkan kesadaranuntuk membaca buku pada diri anak, yaitu dengan menyediakanperpustakaan kecil dikamar anak.
c. Pendidikan emosional, hal terpenting dalam pengembangan emosi anakadalah menciptakan mengarahkan emosinya. Pencapaian kearah ini,perlu diwujudkan lingkungan dan suasana harmonis antara orang tuadan anaknya. Serta perlu ditumbuh kembangkan jalinan cinta kasih dansikap positif orang tua terhadap anaknya.
d. Pendidikan sosial, dalam hubungan keluarga akan terjadi interaksiantara orang tua dan anak-anak yang lain. Dengan interaksi tersebutterjadilah sosialisasi antara mereka untuk menentukan norma-normatertentu, agar anak memahami kewajibannya sebagai anggota keluarga.Untuk mengoptimalkan pendidikan sosial pada anak orang tua dapatmemberikan beberapa kegiatan misalnya, anak diberikan kesempatanbergaul secara terbuka dengan masayarakat.
e. Pendidikan moral dan agama, dalam keluarga orang tua sebaiknyamenanamkan sejak dini, pendidikan agama, dasar-dasar etika danmoral melalui keteladanan atau uswah hasanah karena dengan contohyang posisif dari orang tua akan mebentuk kepribadian anak karenapada masa perkembangan seorang anak banyak mengadopsi polaperilaku apa saja yang ditampilkan dalam keluarganya.41
G. Peranan Pendidikan Agama dalam Keluarga
Barangkali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan.
Anak-anak sejak masih bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal,
yaitu keluarga. Makanya tak mengherankan bila Gilbet Highest menyatakan
bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh
pendidikan keluarga. “Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali,
anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga.”42
Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu
baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak
tentu akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan ibu dalam keluarga
41 A.Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam,( Malang :Uin Malang Press,2008),cet. Ke-1, h. 210-213
42 Jalaludin, Psikologi Agama, ( Jakata: PT. Aja Gafindo, 2005) cet. I, h. 227
26
amat penting. Dialah yang mengatur, membuat rumah tangganya menjadi syurga
bagi anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan
suaminya.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang
pertama dan pendidiknya adalah orang tuanya. Orang tua adalah pendidik kodrati.
Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan
anugrah oleh Tuhan pencipta berupa naluri orang tua. “Karena naluri itu timbul
rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral
keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi,
melindungi serta membimbing keturunan mereka.”43
“Menurut Rasulallah Saw, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu
untuk membentuk kearah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau setiap
bayi dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan
agama yang akan di anut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan,
pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka”.44
Suasana keluarga yang aman dan bahagia, adalah wadah yang baik dansubur bagi pertumbuhan jiwa anak yang lahir dan dibesarkan dalamkeluarga itu. Semua pengalaman yang dilalui si anak sejak lahirnya itumerupakan pendidikan agama, yang diterimanya secara tidak langsung,baik melalui penglihatan, pendengaran dan perlakuan yang diterimanya.Kalau dia sering menyaksikan kedua orang tuanya sembahyang, berdo’a,berpuasa, dan tekun menjalan kan ibadah, maka apa yang dilihatnya itu,merupakan pengalaman yang akan menjadi bagian dari pribadinya, sertaakan masuklah unsur agama dalam pembinaan pribadinya. Demikianpulalah dengan pengalaman melalui pendengaran dan perlakuan orang tuamencerminkan ajaran agama.45
Keluarga adalah basis awal pengembangan pendidikan bagi anak-anak.Keluarga sebagai institusi yang sejak dini dan awal telah menanamkansendi-sendi kehidupan bagi masa depan manusia terutama bagi anak-anakyang masih sangat membutuhkan arahan, bimbingan dan pedoman hidupkedepan. Namun demikian, orang tua dalam kehidupan keluarga harusmemposisikan diri sebagai fasilitator dalam segala kebutuhan anak, baiksebagai tempat mengadu, meminta, dan tempat berkonsultasi bagi
43 Zakiah Drajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, ( Jakarta: CV. Ruhama,1995), h. 47
44 Jalaludin, Op. Cit. h. 230.45 Zakiah Drajat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang ) h. 95
27
perkembangan pendidikan anak dalam kehidupannya. Islam memandangbahwa orang tua memiliki tanggung jawab penuh dalam mengantarkananak-anaknya, untuk bekal kehidupan kelak, baik kehidupan duniamaupun ukhrawi.”46
Pendidikan agama di lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam
pembentukan kepribadian bagi anak-anak, karena di lingkungan keluargalah anak-
anak pertama kali menerima pendidikan yang dapat mempengaruhi perkembangan
anak selanjutnya. Agar anak-anak memiliki kepribadian yang baik dan terhindar
dari pelanggaran-pelanggaran moral, maka perlu adanya pembinaan agama sejak
dini kepada anak-anak dalam keluarga.
Proses pembinaan nilai-nilai agama dalam membentuk kepribadian aak-
anak dapat dimulai sejak anak lahir sampai ia dewasa. Ketika lahir diperkenalkan
dengan kalimah thoyyibah, kemudian setelah mereka tumbuh dan berkembang
menjadi anak-anak, maka yang pertama harus ditanamkan ialah nilai-nilai agama
yang berkaitan dengan keimanan, sehingga anak meyakini adanya Allah dan dapat
mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya . Bersamaan dengan itu, anak-anak juga
dibimbing mengenai nilai-nilai moral, seperti cara bertutur kata yang baik,
berpakaian yang baik, bergaul dengan baik, dan lain-lainnya. Kepada anak-anak
juga ditanamkan sifat-sifat yang baik, seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan, hidup
serderhana, sabar dan lain-lainnya. Selain itu, agar anak-anak memiliki nilai-nilai
moral yang baik, juga di dalam keluarga, khususnya antara ibu dan bapak harus
menjaga harmonisasi hubungan antara keduanya dan harus menjadi suri tauladan
bagi anak-anaknya
H. Hasil Penelitian yang Relevan
Sepanjang pengetahuan dan kajian pustaka yang penulis lakukan, terdapat
beberapa karya tulis, baik berbentuk skripsi, tesis maupun karya buku utuh yang
telah mengkaji lebih dahulu terkait dengan pemikiran Nurcholish Madjid. Namun
demikian berdasarkan analisis penulis, dari seluruh kajian ilmiah tersebut, belum
ada satupun penelitian yang mengangkat tentang pendidikan agama dalam
keluarga menurut Nurcholish Madjid. Untuk menunjukan asumsi tersebut, maka
46 Yasin, op. cit, h. 220
28
disini penulis akan menguraikan satu persatu, namun hanya sebagian saja yang
penulis anggap sudah mewakili beberapa karya lainnya.
Pertama, adalah karya tulis Drs. Yasmadi, MA. Modernisasi Pesantren
Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, dalam
bukunya beliau membahas tentang kekecewaan Nurcholish Madjid terhadap
lembaga pendidikan Islam Tradisional (pesantren), menurutnya pendidikan Islam
tradisional sudah mulai meninggalkan akar sejarahnya. Buku ini berupaya
membedah secara tuntas akar kekecewaan dan kelemahan pesantren di Indonesia.
Kritikan Cak Nur sebenarnya dalam rangka menemukan landasan filosofis yang
lebih mendasar dan konstruktif guna menata kembali dunia pendidikan
Tradisional Islam Indonesia. Bagi Cak Nur, perwujudan masyarakat madani
merupakan tanggung jawab institusi pesantren. Karena itu pesantren seyogianya
respon dengan perkembangan dunia modern dan modernisasi pendidikan
pesantren.
Kedua, adalah karya tulis Yusuf. E, Analisa Gagasan Nurcholish Madjid
Tentang Pengembangan Kurikulum Pesantren. Skripsi ini membahas gagasan
Nurcholish Madjid tentang kurikulum pesantren, menurutnya kurikulum
pesantren masih di dominasi dengan pelajaran-pelajaran agama, bahkan
materinya hanya khusus disajikan dalam bahasa Arab. Adapun mata pelajarannya
meliputi fiqih (paling utama), aqaid, nahwu-sharaf (juga mendapat kedudukan
penting), dan lain-lain. Sedangkan tasawuf menurutnya inti dari kurikulum
“keagamaan” cenderung terabaikan. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya
masih dilaksanakan setengah-setengah sehingga kemampuan santri sangat terbatas
dan kurang mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Jadi pada umumnya
pembagian keahlian dilingkungan pesantren yang pada; nahwu-sharaf, fiqih,
aqaid, tasawuf, bahasa arab dan lain-lain. Dan penyempitan orientasi kurikulum
pesantren ini menurutnya selain ada sisi positifnya, tetapi juga mempunyai
dampak negatif bagin pesantren itu sendiri.
29
Ketiga, adalah sebuah tesis yang berjudul Konsep Pembaharuan
Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid karya Abdul Rahman, konsep
pembaharuan pendidikan menurut Nurcholish Madjid sangat dipengaruhi oleh
faham pembaharuannya dalam ajaran Islam, yaitu rasionalis, kristis, inklusif,
pluralis dan liberal. Visi dan misi pendidikan menurut Nurcholish Madjid adalah
mewujudkan suatu sistem pendidikan yang memiliki keterpaduan antara unsur
keislaman, keindonesian dan keilmuan. Sedangkan tujuan pendidikan menurutnya
ialah selain menumbuhkan nilai-nilai yang universal seperti masyarakat madani
tujuan pendidikan menurut Nurcholish Madjid juga untuk mengembangkan SDM
yang unggul. Selain itu, menurut Nurcholish Madjid lembaga pendidikan
sebaiknya dengan sungguh-sungguh memikirkan pengadaan gedung atau ruang
perpustakaan yang memadai. Lembaga- lembaga pendidikan dan keilmuan yang
tinggi yang bermutu biasanya menempatkan gedung perpustakaan sebagai
bangunan sentral kompleks atau kampusnya. Sementara itu, isi perpustakaan
adalah faktor yang lebih-lebih lagi amat menentukan tinggi rendahnya mutu
pendidikan, penelitian dan keilmuan lembaga ilmiah itu.
Dari uraian beberapa karya ilmiah diatas yaitu sebuah buku yang berjudul
Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional , skripsi yang berjudul Analisa Gagasan Nurcholish Madjid Tentang
Pengembangan Kurikulum Pesantren dan tesis yang berjudul Konsep
Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid, dari hasil
pengaamatan penulis maka apa yang ingin dikaji penulis dalam penelitian ini
berbeda. Pada penelitian ini, penulis ingin lebih memfokuskan kajian terhadap
pandangan Nurcholish Madjid tentang pendidikan agama dalam keluarga , yang
menurut dugaan kuat sementara penulis syarat sekali dengan nilai-nilai religius
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya adalah sebuah keharusan ilmiah dan
intelektual untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji kebenaran
hipotesis tersebut. Maka masih terbuka lebar bagi penulis untuk melalakukan
penelitian skripsi ini, disamping juga belum ada yang meneliti sebagaimana telah
penulis kemukakan.
30
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul “ Peranan Pendidikan Agama Dalam Keluarga
Menurut Nurcholish Madjid.” Ini dilaksanakan dari bulan Juni 2013 sampai
bulan April 2014 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber
tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain
yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan pendidikan agama
dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid.
B. Metodologi Penelitian
Sebagai suatu kajian terhadap gagasan dari seorang tokoh, dalam hal ini
metode penelitian penyusunan skripsi ini penulis menggunakan penelitian
kualitatif dengan metode deskriptip analisis. Yaitu pemecahan masalah- masalah
yang ada dengan usaha menganalisis dan menjelaskan dengan teliti kenyataan-
kenyatan faktual dari subjek yang diteliti sehingga diperoleh gambaran yang utuh
berdasarkan fakta.1 Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan (library research) yakni dengan membaca , menelaah, dan mengkaji
buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas.
Pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan content analisis, yaitu
metode analisis yang menitikberatkan pada pemahaman isi dan maksud yang
sebenrnya dari sebuah data.
1Wiranto Surahkmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan tehnik, (Bandung:Tarsito: 1998), h.139
30
31
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Teknik pengumpulan data
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka
penulis menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu
mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan
bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan,2
misalnya berupa buku-buku, naskah, catatan kisah sejarah, internet dan
sumber lain, yang berhubungan dengan Nurcholish Madjid dan pemikirannya
tentang pendidikan agama dalam keluarga.
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur
yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan
data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer
dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya.
Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library research).
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan
data-data yang valid maka diperlukan sumber data penelitian yang valid pula.
Dalam penelitian ini ada dua sumber yaitu:
a. Data Primer yaitu data yang langsung dari sumber pertama mengenai
masalah yang diungkap secara sederhana disebut data asli. Data
yang dimaksud yaitu buku-buku karya Nurcholish Madjid,
Masyarakat Religius, Pesan-pesan Taqwa (Kumpulan Khutbah
Jum’at di Paramadina), Pintu-pintu Menuju Tuhan, dan Tradisi
Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia
adalah landasan utama untuk menjadi rujukan dalam mengkaji
masalah pendidikan agama dalam keluarga.
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber lain selain
sumber primer. Data sekunder ini dimaksudkan untuk mendukung
dan melengkapi data primer. Data yang dimaksud yaitu yang relevan
2 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,(Bandung: PT Alfabeta, 2008), h. 329.
32
dengan skripsi ini. Yaitu buku-buku yang ditulis orang lain yang
membahas tentang pemikiran Nurcholish Madjid. Data sekunder ini
sifatnya sebagai pelengkap untuk memperkuat landasan teori yang
utamanya ditempatkan pada bab dua skripsi ini
2. Teknik pengolahan data
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan
adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi
data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk
selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
D. Tehnik Analisis Data
Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan
transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi yang lain yang telah
terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai materi-materi
tersebut dan untuk memungkinkan peneliti menyajikan apa yang sudah
ditemukannya kepada orang lain.3
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content
analysis) dalam bentuk deskriptif analisis yaitu berupa catatan informasi faktual
yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran
secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua
aspek yang diteliti. Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang
dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan,
kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan.4
3 Ibid, h. 854 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. 3, h. 155-159
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Biografi dan Riwayat Pendidikan Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid selanjutnya dipanggil Caknur, lahir di Mojoanyar
Jombang Jawa Timur pada tanggal 17 Maret 1939, anak dari Abdurrahman
Madjid seorang tokoh masyarakat dan ulama di Majoanyar, Jombang”. Hal ini
terbukti dengan sebutan terhadap Abdurrahman Madjid yang dipanggil “Kiai
Haji” sebagai ungkapan penghormatan bagi ketinggian ilmu-ilmu keislamannya
dan yang paling berperan dalam membesarkan dan mengawasi Madrasah
Wathaniyah di wilayah tempat tinggalnya. Ia adalah murid Hasyim Asy’ary
seorang Tokoh NU dan menamatkannya di Sekolah Rakyat.1
Bersama keluarganya, Nurcholish menjalani dan menikmati masa anak-
anaknya di Jombang. Masa muda Nurcholish banyak dihabiskan di pesantren
tempat dia menuntut dan menimba ilmu. Dia menikahi Omi Komariah dan
dikaruniai dua orang anak. Nadia Madjid dan Ahmad Mikail. Tinggal di jakarta,
kelurga ini hidup berbahagia, rukun dan harmonis menjalani kehidupan rumah
1 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PTRajagrafindo Persada,2005), ed-1, h.322
34
tangganya. Nurcholish mempunyai menantu bernama David bychon (suami
nadia).2
“Pendidikanya dimulai dari Sekolah Rakyat di Majoanyar pada pagi hari,
sedangkan sore hari ia bersekolah di Madrasah Ibtidai’yah di Majoanyar. Setelah
itu ia dimasukan ayahnya ke pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang”. Namun,
hanya bertahan dua tahun karena alasan politik. Ayahnya tetap di Masyumi,
meskipun pada NU menyatakan keluar. Maka ia pun memindahkan Nurcholish
Madjid dari basis tradisional ke pesantren Modern terkenal Darussalam Gontor
Ponorogo. Menurut Nurcholish Madjid sendiri, di sinilah masa yang paling
menentukan pembentukan sikap keagamaan.3
Selama belajar di Pondok Modern Gontor, yang terkenal dengan sistem
pendidikannya yang diorientasiakan pada sikap mandiri, dan kemampuan
menguasai asing (bahasa arab dan Inggris), Nurcholish Madjid merasa enjoy dan
kerasan. Disana ia pun mendapatkan pengalaman baru dalam pengalaman
keagamaan. Di Pondok Modern Gontor boleh dibilang tidak dikenal kultur
mempertentangkan faham-faham keagamaan seperti soal-soal khilafiah yang
sering menimbulkan eskalasi emosi dan pertikaian dikalangan masyarakat awam,
seperti antara NU dan Muhammadyiah. “Di Gontor anak-anak NU dan
Muhammdiyah tidak ada yang ngotot mempertahankan fahamnya masing-
masing.Mereka adalah santri Gontor. Mereka beribadah menurut cara Gontor.
Misalnya waktu shalat jumat, apakah adzan satu kali atau dua kali, shalat taraweh
11 rakaat atau 23 rakaat, tergantung kesepakatan yang sudah lazim di Gontor”.4
“Kemudian Nurcholish Madjid melanjutkan program studinya ke Fakultas
Adab/Sastra dan Budaya UIN (Universitas Islam Negeri; dulu: IAIN/ Institut
2 Faisal Ismail,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta:Lasswell, 2010), h. 18
3 Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam Di Indonesia (Gagasan Sentral NurcholishMadjid dan Abdurahman wahib), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), Cet. Ke-1, h.22-23
4 Marwan Surijdo, Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia TetapBerjilbab. (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), cet.Ke-1, h.5-6
35
Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta, tamat tahun 1965 (B,A) dan
1968 (Doktorandus)”.5
Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholish Madjid
bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972-1976. Setelah berhasil
meraih gelar Doktor pada tahun 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang
filsafat di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu,
sejak tahun 1978 ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesi (LIPI).6
“Basis, bobot, dan peralatan intelektual Nurcholish menjadi jauh lebih
terasa lebih tajam ketika ia melanjutkan studinya ke program doktor di Universitas
Chicago, Amerika Serikat. Nurcholish menyelesaikan program doktornya di
Universitas Chicago pada tahun 1984”. Dia mengambil spesialisasi di bidang
filsafat atau pemikiran islam. Dia menulis disertasi yang berjudul Ibn Taimiya on
Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam di bawah
bimbingan Profesor Fazlur Rahman , seorang sarjana muslim Pakistan. Profesor
Fazlur Rahman terkenal sebagai sarjana yang sangat mendalami bidang studi
pemikiran islam yang mengajar di Universitas Chicago pada saat itu.7
Nurcholish sebagai aktivis mahasiswa, tidak hanya serius menekuni
studinya di fakultasnya, akan tetapi juga terlibat secara aktif dalam kegiatan-
kegiatan kemahasiswaan dan diskusi diluar kampus dan berkecimpung pula
dalam berbagai kancah aktivitas ekstra kurikuler.
Nurcholish pernah menjadi ketua umum PB HMI (Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode (1967-1969 dan 1969-1971).
Antara tahun 1967-1969, dia mendapat amanat untuk menjabat sebagai Presiden
persatuan Mahasiswa Islam se-Asia Tenggara (PERMIAT). Salah satu wakilnya
adalah Anwar Ibrahim (yang kemudian pernah menjabat sebagai Deputi Perdana
Menteri Malaysia).8
5 Ismail, Op.cit, h. 206 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada,2005), ed-1, h.3237 Faisal Ismail,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta:
Lasswell, 2010), h. 20-218 Ibid, h. 22
36
Nurcholish Madjid pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penelitian
Ekonomi dan Sosial (Leknas LIPI, 1978-1984), peneliti senior LIPI (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1984-2005), kemudian menjadi anggota MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat) selama dua periode/ sepuluh tahun (1987-
1992 dan 1992-1997) di masa pemerintahan Orde Baru. Dia tercatat pula sebagai
pakar dan anggota Dewan Riset Nasional dan dikenal sebagai penggagas
pendirian Komite Independen Pemantau Pemilu (KKIP). Karena jasa-jasanya
kepada negara dan bangsa, dia pada tahun 1998 dianugrahi Bintang Mahaputra
oleh Pemerintah Republik Indonesia.9
“Kiprah, karya, dan kepedulian Nurcholish Madjid juga merambah ke
masalah-masalah peka kemanusiaan dimana ia terlibat secara aktif sebagai
anggota Komnas HAM ( Hak- Hak Asasi Manusia, 1993-2005). Kerja-kerja mulai
kemanusiaan seperti itu sangat erat bersentuhan dengan minatnya sehingga
mengangkat dan menobatkan dirinya sebagai sosok intelektual humanis,
penggagas toleransi, dan aktivis penggalang keharmonisan antar umat beragama
di negeri ini. “Dia adalah penyeru ulung kerukunan antar umat beragama, baik
dalam ide maupun dalam praktik. Pluralisme , inklusivisme, harmoni, dan
toleransi antar umat beragama sudah menjadi bentangan benang merah visi
humanitasnya dan menjadi bagian penting yang mencuat dalam tema-tema besar
pemukiran Nurcholish, disamping tema Neo-Modernisme Islam”.10
Nurcholish Madjid adalah sosok intelektual yang dikenal luas, terutama
dikalangan sarjana dan ilmuwan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pada tahun 1991, Nurcholish menjadi dosen tamu di Institute of Islamics Studies,
Universitas McGill. Montreal, Kanada. Pengalaman akademis ini semakin
mengkukuhkan dirinya sebagai akademiskus yang bertaraf internasional. Sebagai
profesor tamu di Universitas McGill, dia menempatkan diri sejajar dengan para
profesor yang telah mempunyai nama terkenal dan reputasi tingkat Internasional.
9 Faisal Ismail,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta:Lasswell, 2010), h. 21
10 Ibid, h. 21- 22
37
Di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, dia memberi kuliah tentang
Ibnu Taimiyah dalam bahasa Arab klasik yang pelik.11
Didalam berbagai tulisan dan bukunya, Nurcholish Madjid banyak
melontarkan gagasan dan pemikirannya yang mengundang kontroversi dikalangan
ilmuan. Diantara gagasan dan pemikiran yang mengandung kontriversi adalah
tentang partai politik : “Islam Yes, Partai Islam No,” ide sekulerisasi tentang
masalah-masalah keduniaan, tentang teologi dan masih banyak lagi. Pemikiran-
pemikirannya ini telah banyak memengaruhi kalangan intelektual muda yang
bergabung dalam Yayasan Wakaf Paramadina. Muhamad Kamal Hasan, seorang
guru besar di Malaysia, pernah melakukan penelitian terhadap ide-ide
pembaharuan atau modernisasi Indonesia dengan menempatkan pemikiran
Nurcholish Madjid sebagai acuannya.
Selanjutnya sejak tahun 1986 bersama dengan beberapa kawanya di
Jakarta Nurcholish Madjid mendirikan dan memimpin Yayasan wakaf
Paramadina dengan kegiatan yang mengarah pada gerakan intelektual Islam
Indonesia. “Sejak 1991 hingga sekarang ia juga menjabat sebagai Ketua Dewan
Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), anggota Komisi Nasional
hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan tercatat pula sebagai salah seorang
anggota Majelis Permusyawaratan rakyat Replublik Indonesia”.12
Seluruh rekam jejak pencapaian karier dan reputasi ilmiah yang baik diatas
membuktikan dengan jelas bahwa Nurcholish Madjid, sebagai sosok intelektual,
yang sangat diperhitungkan kehadirannya dan sangat diharapkan bentangan
kontribusi ide-ide bernasnya oleh masyarakat ilmuan internasional. Oleh karena
itu, ia seringkali diundang untuk berpartisipasi dalam seminar-seminar
internasional itu. Reputasi cemerlang Nurcholish Madjid sebagai intelektual
terkenal dan ilmuan berbobot tidak ada yang meragukan. Nurcholish dikukuhkan
sebagai Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tahun 1998, dan pada
11 Ibid, h. 2212 Ibid , 325
38
tahun 1999 dia dikukuhkan pula sebagai ahli peneliti utama (APU) LIPI. Dengan
demikian predikat akademisi dan peneliti melekat pada sosok dirinya.13
Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil “Cak Nur” telah meninggal dunia
pada hari senin, 29 Agustus 2005, pukul 14.05 WIB di RS Pondok Indah Jakarta.
2. Karya-karya Tulis Nurcholish Madjid
Selain sebagai orang yang banyak berkecimpung di organisasi dan
memangku berbagai jabatan, Nurcholish Madjid juga sebagai seorang penulis
yang produktif. Nurcholish Madjid tidak bedanya dengan pemikir-pemikir
lainnya, bahwa setiap buah pemikirannya tertuang dalam goresan tinta. Buku
adalah sarana untuk mengenalkan dan menyampaikan ide dan gagasannya kepada
manusia-manusia yang gandrung dengan disiplin ilmu yang dimilikinya, dan
bukulah yang pantas untuk menggoreskan tinta pemikiran seorang tokoh. Oleh
karena itulah Nurcholish Madjid mengabadikan pemikirannya di setiap lembaran-
lembaran dalam buku.
Adapun buku-buku yang sudah diterbitkan di Indonesia merupakan
komplikasi dari artikel, makalah bahan kuliah, bahan ceramah dan materi khutbah
yang pernah ditulisnya. Adapun karya-karyanya antara lain:
Khazanah Intelektual Islam, buku ini diterbitkah di Jakarta oleh PT. Bulan
Bintang pada tahun1984 ini adalah langkah awal mengabadikan pemikirannya
lewat tulisan di saat Nurcholish madjid melewati hari-harinya di Chicago
University, Amerika Serikat. Maksud buku suntingan ini adalah untuk
memperkenalkan bidang pemikiran yang merupakan segi kejayaan Islam bagi
para generasi Islam dan para pembaca lainnya. Selain itu dalam buku ini
Nurcholish Madjid juga memperkenalkan kepada para pembaca tentang corak
pemikoran para tokoh klasik. Tokoh yang disebut Cak Nur dalam buku ini adalah:
al-Kindi (258 H/870 M), al-Asy’ari (w. 300 H/913 M), al-Farabi (w. 337 H/950
13 Ismail, op. cit, h. 23
39
M), Ibn Sina (370 H-428 H/980 M-10307 M), al-Ghozali (w. 505 H/111 M), Ibn
Rusyd ( w. 594 H/1198 M), Ibn Taymiyyah (w. 782 H/1328 M), Ibn Khaldun (w.
808 H/1406 M), Jamaluddin al-Afghani (1255 H-1315 H/1839 M-1897 M), dan
Muhammad Abduh (1262 H-1323 H/1845 M-1905 M). Penulis ingin menegaskan
tentang buku ini, seperti yang diunkapkan Nurcholish sendiri bahwa buku ini
hanya sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam
tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam.
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, buku ini diterbitkan di Bandung
oleh Mizan pada tahun 1987. Dalam isi buku ini membincangkan tentang
permasalahan-permasalahan dan juga isu-isu yang aktual saat ini, dan disisi lain
juga kontribusi penulis buku ini dalam mewujudkan beberapa solusi keagamaan
dan keindonesiaan, sekitar tahun 70-an permasalahan-permasalah menjadi
wancana yang menggegerkan dan penuh dengan pandangan-pandangan yang
kontroverisial.
Islam Doktrin dan Peradapan, buku ini diterbitkan di Jakarta oleh
Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1992. Buku ini berisi tentang Islam di
Indonesia adalah kemajemukan. Pluralitas (kemajemukan) adalah kenyataan yang
telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia
diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan
menghargai. Maka pluralitas ini meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem
nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri.
Islam Agama Peradapan , Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam Dalam Sejarah, buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf
Paramadina pada tahun 1992. Dalam buku ini, Nurcholish Madjid memaparkan
tentang bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang trasendental
berdasarkan iman yang dinyatakan dalam bentuk amal, kebijakan sosial,
menciptkan masyarakat egaliter dan inklusif dalam mencari kebenaran dan
keadilan. Sebenarnya, buku ini hanya kumpulan sebagian makalah dari kelompok
40
kajian agama yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina yang
diadakan sekali dalam sebulan dengan beranggotakan 200 orang.
Tradisi Islam Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia,
buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun
1997. Dalam buku ini caknur mengungkapkan peran strategis ajaran-ajaran Islam
sebagai sumber subtansi bagi pembanganan yang sedang dilaksankan di
indonesia. Peran intelektual Indonesia dalam membangun etos keilmuan dan
tradisi intelektual, mengembangkan demokrasi serta mebangun sumber daya
manusia yang siap memasuki era indutrialisasi dan era tinggal landas.
Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, buku ini diterbitkan di
Jakarta oleh Paramadina pada tahun 1997. Buku ini berisi tentang kesenjangan
antara dunia pesantren dengan dunia modern. Maka dalam buku ini Caknur
mengajak dunia pesantren “membuka diri” dan berbenah diri untuk paling tidak
memperkecil jarak kesenjangan tersebut. Kritikan Nurcholish tertuju pada
kurikulum pesantren yang ada di Indonesia. Menurutnya, bahwa materi
keagamaan masih mendominasi di lingkungan pesantren yang disajikan hanya dan
selalu dalam bahasa Arab, seperti Fiqh, Aqa’id, Nahwu-Sharaf. Padahal
menurutnya, masih ada yang lebih penting pasa tataran praktis disaat seorang
muslim berinteraksi dengan sesama, yakni semangat religius juga Tasawuf yang
merupakan inti dari kurikulum keagamaan. Sedangkan disisi lain, pengetahuan
umum nyatanya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, akibatnya
kemampuan santri sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari
masyarakat ilmu-ilmu eksak. Itulah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan
antara dunia pesantren dengan dunia modern.
Pintu-pintu Menuju Tuhan, buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan
Wakaf Paramadina pada tahun 1995. Isi buku ini merupakan kumpulan tulisan
Nurcholish Madjid yang tercecer, yang telah dimuat pada Harian Pelita dan
Majalah Tempo. Disini Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa umat Islam jangan
hanya melihat satu pintu untuk menuju Tuhan, karena Islam menyediakan banyak
pintu untuk menuju Tuhan untuk meraih sisi yang mulia disampinya.
41
Masyarakat Religius, buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf
Paramadina pada tahun 1997. Buku ini menyodorkan tesis bahwa makna hidup
yang hakiki dan sejati itu ada , agama sebagai sistem keyakinan menyediakan
konsep tentang hakikat dan makna hidup itu. Buku ini juga mengetengahkan
tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial dan
konsep pendidikan agama Islam dalam keluarga.
Cita-cita politik Islam Era Reformasi, 1999. Dalam buku ini Nurcholish
Madjid mengetengahkan gagasan politiknya, demokrasi, kebangsaan dan
kenegaraan. Ia menyampaikan persoalan-persoalan tersebut dengan argumentasi
yang fresh dan jernih. Diman dalam uraiannya mengaitkan dengan persoalan-
persoalan kontemporer yang tengah mengahadang bangsa Indonesia, seperti cita-
cita politik bangsa dan persoalan keadilan.
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), buku ini ditulis pada saat menjabat
sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, yang berisi
tentang Materi Pengkaderan tentang keislaman. Namun, buku ini kemudian
diubah menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Buku ini menjadi bacaaan wajib
yang menjadi dasar dan motivasi perjuangan anggota Himpunana Mahasiswa
Islam.
Selain buku-buku diatas yang sudah dipaparkan, masih banyak pula karya
Nurcholish Madjid yang sudah beredar dipasaran dan tidak sempat dimuat dalam
bab ini. Buku-buku itu diantaranya: Pesan-pesan Takwa Nurcholish Madjid,
Fatsoen Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di
Masa Tradisi , Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Kaki Langit Peradapan
Islam, Dialog Ramadhan dan Fiqh Lintas Agama, ia juga pernah menterjemahkan
buku Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukuk Islam: Sebuah Pembelaan
Kaum Sunni , karya uatafa Al-Sibai. Hal lain yang dilakukan Nurcolish Madjid
adalah, bahwa ia banyak mendorong kaum intelektual Islam serta memprakarsai
penulisan buku-buku bermutu dan standard.14
14 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PTRajagrafindo Persada,2005), ed-1, h. 324
42
Tidak hanya dalam buku , Nurcholis Madjid juga menulis berbagai artikel
tentang keislaman, politik Islam, moral dan sebagainya yang dimuat dalam,
Harian Kompas, Pelita, Suara Pembaharuan, Replublika, Jurnal Ulumul Qur’an,
Panji Masyarakat, Prisma, Amanah, dan lain sebagainya.15
Berdasarkan uraian tentang beberapa karya dan buah pikiran Nurcholish
Madjid diatas, dapatlah disimpulkan bahwa Cak Nur sosok pemikir yang handal
dan julakan pun melekat padanya, yakni seoarang teolog, filosof dan sejarawan
konseptor dan pembaharu yang selalu mengedepankan toleransi pada setiap
perbedaan dan menjaga nilai-nilai kemanusian yang berpijak pada ajaran Islam.
B. Pembahasan
1. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Nurcholish
Madjid
a. Hak orang tua dari anak
Orang tua mempunyai kewajiban memelihara anak dengan penuh
tanggung jawab sebagai amanah Allah. Namun sebaliknya, orang tua pun
mempunyai hak terhadap anak sebagai berikut Pertama, anak-anak harus
melayani orang tuanya dengan baik, lemah-lembut menyayanginya, selalu
menghormati, dan syukur atas jasa-jasa mereka terhadapnya. Anak-anak juga
harus mematuhi perintah perintahnya kecuali kalau menyuruh kepada yang
bathil atau munkar.
Sebagaimana Allah telah berwasiat kepada kita semua umat manusia
tentang banyaknya hal. Wasiat-wasiat Allah tersebut membentuk bagian amat
penting dan ajaran Islam. “Salah satu ialah yang berkenaan dengan ibu-bapak
atau orang tua, Allah berwasiat kepada manusia bahwa mereka mutlak harus
berbuat baik kepada orang tua”.16
“Menurut Nurcolish Madjid hubungan antara anak dan orang-tua dalam
sistem ajaran Islam yang menyeluruh adalah perkara yang sangat penting
setelah tauhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Yaitu hubungan dalam
15 Ibid, h. 32416 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. VI,
h. 136
43
bentuk perbuatan baik dari pihak anak kepada ayah-ibunya”. 17 Berbuat baik
kepada orang tua dalam ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci adalah
perintah. Dan dalam suatu ayat disebukan sebagai suatu “keputusan Tuhan”
Penilaian ini bisa disimpulkan dari firman-firman Allah:
Dan Tuhanmu telah memutuskan bahwa hendaknya kamu sekalian tidak
beribadat kecuali kepada-Nya saja, dan bahwa hendaknya kamu berbuat
baik kepada kedua orang-tua”.. (QS. al-Isra: 23).18
“Dari ayat diatas dijelaskan betapa kewajiban berbuat baik kepada orang
tua itu disenafaskan dalam suatu firman, merupakan kewajiban kedua setelah
kewajiban manusia untuknya menyembah kepada Allah”.19 Kemudian dalam
ayat lain Allah berfirman:
dan Kami berpesan kepada manusia (berbuat) kebaikan kepada dua
orang ibu- bapaknya.” (Q.S Al-Ankabut: 8)20
17 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 11118 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 22719 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. VI, h.
13620 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 317
44
Dan Kami berpesan kepada manusia tentang kedua orang tuanya ibunya
mengandungnya dalam kesusahan demi kesusahan, berpisah setelah dua
tahun maka hendaknya engkau (manusia) bersyukur kepada-Ku dan
kepada orang-tuamu. Kepada-Ku-lah tempat kembalimu”
(QS. Luqman: 14).21
Menurut Nurcholish Madjid, jika disimak lebih mendalam petunjuk-
petunjuk Ilahi, maka dapat ditarik kesimpulan betapa pentingnya hubungan
orang-tua dan anak dalam hidup ini, dan betapa ia terkait erat serta secara
langsung dengan inti makna hidup itu sendiri. Yaitu, beribadat dan pasrah
kepada Allah, Pencipta semesta alam dan manusia sendiri. Berkenaan
dengan itu menurut Nurcholish Madjid, di sini agaknya diperlukan kejelasan
dan penegasan tentang suatu masalah. Tekanan "keputusan" dan "pesan"
Allah kepada manusia berkenaan dengan kedua orang-tua itu ialah pada
kewajibannya berbuat baik (husn, ihsan) kepada ibu-bapaknya bukan pada
kewajibannya taat atau menaati mereka. Berbuat baik meliputi makna yang
luas dan mencakup banyak sekali jenis tingkah laku dan sikap anak kepada
orang-tua. Sedangkan taat hanyalah satu saja dari sekian banyak bentuk
perbuatan baik tersebut, itu pun bersyarat.22
Ketaatan anak kepada orang-tua itu, seperti halnya dengan setiap bentuk
ketaatan orang kepada siapa pun dan apa pun selain Allah dibenarkan untuk
dilakukan hanya dengan syarat bahwa ketaatan itu menyangkut kebenaran
dan kebaikan, bukan kepalsuan dan kejahatan. Maka demikian pula halnya
dengan ketaatan anak kepada orang tua dapat dan harus dilakukan hanya jika
menyangkut suatu hal yang benar dan baik. “Dalam keadaan syarat itu
terpenuhi, ketaatan anak kepada orang-tua merupakan bagian dari kewajiban
21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 32922 Ibid, h. 112
45
berbuat baiknya kepada mereka. Sedangkan dalam keadaan syarat itu tidak
terpenuhi, ketaatan itu justru menjadi terlarang”.23
“Tetapi sebaliknya, menurut Nurcholish Madjid "keputusan" dan "pesan"
Tuhan agar orang berbuat baik kepada ibu-bapaknya adalah mutlak, tanpa
syarat, bahkan sekalipun ibu-bapaknya itu jahat, sampai- sampai sekalipun
ibu-bapaknya itu secara sadar melawan kebenaran (kafir)”.24
Begitulah ditegaskan dalam ajaran agama, seperti dalam ayat suci
kelanjutan kutipan di atas
Dan jika keduanya (orang-tuamu) itu berusaha mendorongmu agar
engkau memperserikatkan Aku (Tuhan) dengan sesuatu yang engkau tidak
berpengetahuan mengenainya (sebagai hal yang benar), maka janganlah
kau taati mereka namun tetaplah bergaul dengan mereka berdua itu di
duniawi dengan cara yang baik”...(QS. Luqman: 15).25
“Juga terhadap keseluruhan keluarga dan kaum kerabat yang menyimpang
pun seorang anak tetap diperintahkan Allah untuk menunjukkan sikap hormat
dan sopan santun, meskipun anak itu dengan jelas tidak dapat menerima jalan
hidup mereka”.26
23 Ibid, h.11224 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 112-
11325 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 32926 Ibid, h. 113
46
Dan bahkan jika engkau harus berpaling dari mereka demi memperoleh
rahmat Tuhanmu yang kau harapkan, namun bertuturlah dengan mereka
dengan penuturan penuh kasih sayang”. (QS. al-Isra:28).27
Menurut Nurcholish Madjid berdasarkan ayat-ayat diatas bahwasanya
ketaatan anak terhadap orang tua hanya dituntut kepada sesuatu kebenaran
(alhaqq) dan kebaikan (ma”ruf) dan jelas tidak dituntut dalam kepalsuan
(Albathil) dan kejahatan (almunkar). Tetapi orang tua tetap berhak
mendapatkan mendapatkan perlakuan baik dari anaknya. Seorang anak
dilarang berkata kasar terhadap orang tuanya sebaliknya seorang anak harus
berlaku lembah lembut terhadap orang tuanya sesuai apa yang menjadi
“keputusan” dan “pesan” di dalam Al-Qur’an.
Sebagaimana ternyata dari firman suci yang dikutip dibagian pertama tadi,
kewajiban anak berbuat baik kepada orang tua adalah pertama-tama dan
terutama dituntut dalam hubungan dengan ibunya. Sebab tidak ada didunia ini
yang sedemikian pengorbananya untuk anak, dan tidak pula kecintaanya
kepada anak demikian tulusnya seperti ibunya sendiri. “Dalam firman tadi
dilukiskan oleh Allah, betapa ibu mengandung si anak dalam kesusahan, dan
tidak bisa melepaskan atau memisahkan dirinya dari si anak selam dua
tahun”.28
Mengenai hal ini sebuah sabda Rasulullah yang seringkali dikutip ialah
yang menegaskan bahwa “syurga berada dibawah telapak kaki ibu”. Makna
dari hadist ini ialah bahwasanya jika seorang ingin “masuk syurga” maka ia
harus berbuat baik kepada ibunya. “Bahwa hadist ini juga memantulkan
tentang peranan ibu yang sangat besar bagi nasib anaknya, karena syurga itu
berada sepenuh-penuhnya di bawah telapak kaki mereka”.29 Hadist ini pun
mengandung arti betapa besarnya tanggung jawab ibu terhadap masa depan
anak. Dari segi kependidikan maka hadist tersebut ditunjukan kepada ibu agar
ia sadar, betapa besarnya tanggung jawab ibu terhadap anaknya, sampai
27 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 22728 Ibid, h.11829 Ibid, h.119
47
kepada nasibnya diakherat nanti. Sebagai mana janji Allah, bahwa kehidupan
diakherat nanti adalah kehidupan sebenarnya, didasarkan hasil perbuatan
selama hidup di dunia. Bila amal shalehnya banyak, ia diberi kehidupan yang
baik dan dimasukan ke dalam syurga-Nya.
Dihubungkan dengan masalah pendidikan anak, hal tersebut mengandung
arti timbal balik, bahwa sebagaiman pertama-tama anak harus berbuat baik
kepada ibunya, maka begitu pula sang ibulah yang banyak mempengaruhi
anaknya . ini disebabkan bahwa hubungan emosional ibu dengan anak, jika
tidak ada faktor-faktor lain yang luar biasa, umumnya terpateri rapat dan
menjadi abadi, sampai anak menjadi dewasa.30
Maka dari itu begitu pentingnya peranan ibu dalam pendidikan anaknya
sampai ada sebuah syair yang mengatakan bahwasanya “ ibu adalah sekolah,
bila dipersiapkan dapat membentuk bangsa yang baik dan kuat”. Makna
syair tersebut mangandung arti bahwa seorang ibu mempunyai peran yang
cukup siginifikan dalam penumbuhan dan pengembangkan pendidikan anak
kedepan. Ibu diibaratkan sekolah didalamnya berperan menampung anak-
anaknya untuk proses pendidikan (belajar-mengajar secara langsung)
sehingga anak dapat tumbuh berkembang, baik jasmani maupun rohani.
Tetapi tentu saja yang bertanggung jawab atas pendidikan anak tidak
hanya ibu. Meskipun tidak memiliki hubungan emosional dengan anak
sehangat para ibu, kaum bapak pun ikut bertanggung jawab dalam
pendidikan anak. Faktor yang paling menentukan peranan bapak ialah
kedudukannya sebagai kepala keluarga. Ini tidak saja berarti sebagi
“pengahasil nasi” dalam keluarga, tetapi juga, untuk anak, fungsinya
sebagai, “imago ideal”. Para ahli umumnya mengatakan bahwa dalam
jiwa anak yang ingin mencari suri tauladan dan bahkan “pahlawan”, sang
ayah selalu menempati urutan pertama, dan baru orang lain. Oleh karena
itu pendidikan anak pun akan ikut ditentukan, berhasil atau gagalnya oleh
“penampilan” sang ayah dalam penglihatan anak.31
30 Ibid, h.11831 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 119
48
Oleh karena itu peranan orang tua sangat besar pula menentukan
pertumbuhan anak secara psikologis dan kultural. “ Maka sudah selayaknya
sebagai seorang anak dan diajarkan pula dalam agama untuk berbuat baik
dan berterimakasih kepada orang tua. Dan selalu memohon doa kepada Allah
agar memberikan rahmat kepada orang tua”. 32
b. Orang Tua sebagai Pendidik bukan Pengajar bagi Anak
Jika menginsyafi lebih dalam lagi, bahwasanya harta benda dan anak-anak
adalah karunia Ilahi, yang merupakan sebagai ujian atau percobaan (fitnah)
bagi manusia, dan apakah manusia (orang tua) dapat memanfatkan harta itu
dan mendidik anak dengan baik atau tidak. Sebab tidak perlu diragukan lagi
bahwa harta dan anak adalah unsur-unsur utama kehidupan manusia, yang
membuatnya memperoleh kebahagian lahir dan duniawi.33
Karena “harta dan anak adalah kehidupan duniawi,” maka juga “
sesungguhnya hidup dunia ini adalah permainan, kesenangan dan kemegahan
serta saling bangga dan saling berlomba dalam harta dan anak....”. Jadi,
sebagai fitnah, sisi lain dari harta dan anak ialah kemunkinan dengan mudah
berubah dari sumber kebahagiaan menjadi sumber kesengsaraan dan
kenistaan yang tidak terkira. Yaitu kalau kita tidak sanggup memanfatkan
harta dan mendidik anak tersebut dengan apa yang dipesankan dan amanatkan
Allah.34
Disebut cobaan, karena anak (dan harta) adalah batu penguji tentang siapa
kita ini sebenarnya dari sudut kualitas hidup dan kepribadian kita. Sebab
kualitas itu akan dengan sendirinya tercermin dalam apa yang kita lakukan
kepada anak (dan harta) itu, menuju kebaikan ataukah membawa keburukan.
Maka sebagai orang tua berkewajiban menuntun, membimbing,
menumbuhkan anaknya menjadi orang shalih, yang bermanfaat sesamanya
32 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. VI,h. 137
33 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 12134 Ibid, h. 121-122
49
dan dirinya sendiri. “ Inilah bentuk kecintaan yang sejati seseorang kepada
anak, karena kecintaan serupa itu merupakan konsistensi kecintaan kepada
Allah. Dan itulah pula salah satu pelaksanaan tanggung jawab keluarga
adalah agar menjaga dan memelihara keluarganya dari hidup yang abadi.
Sebagaiman firman Allah”:35
Jagalah diri kamu dan kelurga kamu dari api neraka... (Q.S al-Tahrim
66: 6)36
Pembentukan atau pembinaan kepribadian anak berlangsung secara
berangsur-angsur, bukanlah hal yang sekali saja, melainkan suatu hal yang
berkembang, oleh karena itu pembentukan kepribadian anak merupakan suatu
proses . Apabila dalam pertumbuhannya anak mengalami proses yang baik
dan benar, maka akan menghasilkan suatu kepribadian yang baik , matang
dan harmonis.
Pendidikan agama dalam keluarga adalah unsur pertama yang harus
ditanamkan kepada-anak. Karena jika diibaratkan sebuah bangunan maka
agama adalah sebagai pondasi atau dasar dari bangunan tersebut.
Perkembangan agama pada anak sangat tergantung dengan apa pendidikan
dan pengalaman yang dialaluinya dalam keluarga, baik sejak masih dalam
kandungan maupun dalam masa kanak-kanak. Kata-kata, sikap, tindakan
orang tua serta perhatian orang tua sangat mempengaruhi perkembangan
keagaamaan dan kepribadian anak. Dalam hal ini pembinaan kepribadian itu
tidak terlepas dari pendidikan agama karena agama adalah sebagai landasan
pembentukan kepribadian. Dengan demikan peranan agama dalam keluraga
35 Ibid,h. 11736Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 447
50
sangat penting dalam menumbuh kembangan kepribadian anak agar anak
memiliki pribadi yang utama sesui dengan petunjuk agama.
Menurut Nurcholish Madjid pendidikan agama dalam keluarga tidak
cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dan
formal agama. Namun didalam masyarakat sering terjadi kekeliruan, orang
tua sering melimpakan tanggung jawab pendidikan agama kepada lembaga
dan orang lain atau guru mengaji yang lebih populer dikalangan masyarakat.
Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga lain atau guru
mengaji terutama hanyalah pengajaran agama, berupa segi- segi ritual dan
formal agama. Dan disini yang ditekankan adalah pendidikan agama yang
diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Sedangkan para pelaku
pendidikan, seperti guru mengaji, dan guru agama disekolah adalah sebagai
wakil- wakil orang tua dan pelanjut peran orang tua dalam menumbuhkan
mengembangan potensi keagamaan dalam diri anak. Meskipun ada guru
mengaji sekaligus juga bertindak sebagai pendidik agama, namun peran
mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang tua sepenuhnya. Jadi guru
mengaji pun sebenarnya terbatas perannya hanya sebagai pengajar agama,
yakni penuntun ke arah segi-segi kognitif agama itu, bukan pendidikan
agama.
2. Peranan Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish
Madjid
Menurut Nurcholish Madjid pertumbuhan dan perkembangan abak tidak
bisa dilihat hanya terbatas pada segi fisiknya saja. Justru tidak kurang pentingnya
ialah usaha penumbuhan dan peningkatan yang tidak bersifat fisik. “ Yaitu,
penumbuhan dan peningkatan potensi positif seorang anak agar menjadi manusia
dengan tingkat kualitas yang setinggi-tingginya. Orang-tua tidaklah berkuasa
untuk membuat anaknya "baik," sebab potensi kebaikan itu sebenarnya justru
sudah ada pada si anak”.37
37 Ibid, h. 115
51
Pertama kali dalam mempertimbangkan akal perbuatan ialah hati nurani.
Hati nurani diberikan kepada kita oleh Allah sebagai petunjuk pertama hidup yang
benar. Nurani artinya bersifat cahaya. Seperni ruhani yang berasal dari kata ruh
dan jasmana berasal dari kata jism, maka nurani berasal dari kata nur. Mengapa
hati ini disebut nurani? Karena itulah modal azali, modal primodial dari Tuhan
untuk menrangi hidup ini. Seperti firman Allah:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”38
Dari ayat diatas jelas bahwasanya setiap jiwa manusia sudah memiliki
kelengkapan dalam dirinya untuk mengetahui apa yang baik dan buruk, benar dan
salah. “Kelengkapan itu adalah hati nurani. Sementara hati yang masih suci
disebut nurani, maka dosa dalam Al-Qur’an yang paling banyak digunakan adalah
kata zhulmun. Maka orang yang berdosa disebut zhalim. Sehingga orang yang
terlalu banyak berbuat jahat dan tidak lagi memiliki kesadaran, maka dia disebut
tidak mempunyai nurani atau hatinya tidak memiliki sifat nurani”.39
Rasulullah sendiri telah menegaskan dalam berbagai kesempatan, sebuah
hadist meriwayatkan, ada sebuah sahabat Nabi bernama Wabishah yang kasar dan
tidak terpelajar. Ia memaksa untuk menghadap Nabi pada waktu beliau sedang
sibuk mengajar. Para sahabat menghalangi, tetapi dia dipanggil nabi dan ditanya,
“Mengapa kamu mau datang?”“Ya saya tidak mau pergi sebelum saya
38 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 44739 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina,
(Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 93-95
52
mendapatkan keterangan tentang apa itu kebaikan dan keburukan. Nabi
mengatakan bahwa kebaikan adalah sesuatu yang membuat hati tentram dan
kejahatan ialah sesuatu yang membuat hati bergejolak meskipun kamu didukung
oleh seluruh umat manusia.40 Hadist ini jelas menerangkan bahwa pada dasarnya
potensi kebaikan itu sudah ada pada diri manusia karena jika manusia melalukan
kejahatan walaupun didukung oleh banyak manusia sesengguhnya hati tidak bisa
menerimanya atau bergejolak.
Maka dari itu tugas orang tua ialah mengembangkan apa yang secara
primordial sudah ada pada si anak, yaitu nature kebaikannya sendiri sesuai
dengan fitrahnya. Sementara itu, di pihak lain, orang-tua mempunyai
peranan menentukan dan memikul beban tanggung jawab utama yaitu
jangan sampai terjadi pada diri si anak menyimpang dari nature dan
potensi kebaikannya itu sehingga menjadi manusia dengan ciri-ciri kualitas
rendah Inilah salah satu makna sebuah hadis yang amat terkenal, yang
menegaskan betapa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (nature kesucian),
kemudian ibu bapaknyalah yang berkemungkinan membuatnya
menyimpang dari fithrah itu”.41
Dalam kaitannya dengan pendidikan agama anak dalam keluarga,
menurut Nurcholish Madjid bahwa peran pendidikan agama sangat besar
pengaruhnya dalam mewarnai kehidupan anak. Akan tetapi perlu
direnungkan tentang apa yang dimaksud agama? Diantara para mubalihg
dan tokoh agama ada yang memperingatkan bahwa agama bukanlah
sekedar tindakan ritual seperti shalat dan membaca do’a saja. Agama lebih
dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia dan tingkah laku itu
membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (akhlakul karimah), atas
dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi dihari
kemudian demi memperoleh ridlo Allah. 42
40 Ibid, h. 9441 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 11542 Ibid, h. 123
53
Karena itu renungan tentang apa yang dimaksud tentang pendidikan
agama muncul secara logis, sebagai lanjutan dari renungan tentang apa itu
agama. Karena agama yang diamaksud diatas , maka agama tidak hanya terbatas
pada pengajaran tentang ritu- ritus dan segi-segi formalistiknya belaka. Ini tidak
berarti pengingkaran terhadap perlunya ritus-ritus dan segi formalistik agama,
tidak pula pengingkaran terhadap perlunya ritu-ritus dan segi- segi formal itu
diajarkan kepada anak. Karena ritus-ritus dan formalitas itu di ibaratkan “bingkai”
atau “kerangka” bagi bangunan agama. Karena itu setiap anak harus diajarkan
bagaimana melaksanakan ritus-ritus itu dengan baik dengan memenuhi segala
“syarat dan ruku” keabsahanya.43
Tetapi sebagai “binkai” atau “kerangka” ritus dan dan formalitas bukanlah
tujuan dalam dirinya sendiri. Ritus dan formalitas yang dalam hal ini terwujud
dalam apa yang biasa disebut "rukun Islam" . “ Ritus dan formalitas keagamaan
tersebut itu baru mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orang yang
bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub)
kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaq karimah)”.44
Maka menurut Nurcholish Masjid peranan pendidikan agama dalam
keluarga sesungguhnya adalah pendidikan agama berperan untuk pertumbuhan
total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak dapat dipahami secara terbatas
hanya kepada pengajaran agama saja. Karena itu keberhasilan pendidikan agama
bagi anak-anak tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak itu
menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama
atau ritus-ritus keagamaan semata. Justru yang lebih penting, berdasarkan ajaran
Kitab dan Sunnah sendiri, ialah seberapa jauh peran orang tua dapat menanamkan
nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa anak, dan seberapa jauh pula nilai-nilai
itu mewujud-nyata dalam tingkah laku dan budi pekertinya sehari-hari.
Perwujudan nyata nilai-nilai tersebut dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-
hari akan melahirkan budi luhur atau al-akhlaq al-karimah.
43 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 12444 Ibid, h. 124
54
Menurut Nurcholish Madjid pendidikan agama dalan keluarga yang
perlu ditanamkan ialah keterkaitan yang erat antara taqwa dan budi luhur
dan juga makna keterkaitan antara iman dan amal saleh, salat dan zakat,
hubungan dengan Allah (habl-un min al-Lah) dan hubungan dengan
sesama manusia (habl-un minal-nas), ini juga terdapat pada bacaan takbir
(lafal Allahu Akbar) pada pembukaan salat dan bacaan taslim (lafal
Alsalam-u 'alaykum) pada penutupan shalat. Pendeknya, terdapat
keterkaitan yang mutlak antara Ketuhanan sebagai dimensi hidup pertama
manusia yang vertikal dengan Kemanusiaan sebagai dimensi kedua hidup
manusia yang horizontal. Oleh karena sedemikian kuatnya penegasan-
penegasan dalam sumber-sumber suci agama (Kitab Suci dan Sunnah
Nabi) mengenai keterkaitan antara kedua dimensi itu, maka pendidikan
agama, baik di dalam keluarga maupun di sekolah, tidak dapat disebut
berhasil kecuali jika pada anak didik tertanam dan tumbuh dengan baik
kedua nilai itu: Ketuhanan dan Kemanusiaan, Taqwa dan Budi luhur.45
Mengapa ada keterkaitan antara takwa dan budi luhur? Menurut
Nurcholish Madjid secara garis besar takwa itu ialah pola hidup atau gaya hidup
kita menempuh hidup, yang disertai dengan kesadaran bahwa Allah itu hadir.
Kesadaran bahwa Allah beserta kita mempunyai efek atau pengaruh yang besar
sekali dalam hidup kita. Pertama, kesadaran itu memberikan kemantapan dalam
hidup. Bahwa kita ini tidak pernah sendirian. Kemudian dampak kedua, bahwa
dengan kesadaran hadirnya Allah dalam hidup ini, maka kita akan dimbimbing
kearah budi luhur, ke arah akhlakul karimah. Mengapa? “ Karena kalau kita
menyadari bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita, maka tentunya kita tidak
akan melalukan sesuatu yang sekiranya tidak mendapat perkenan dari Dia. Tidak
mendapat ridlo dari Dia (Allah)”.46
Dalam renungan lebih lanjut, penyebutan peranan ayah dan ibu oleh Nabi
saw dalam hadist Fithrah itu berarti bernada peringatan tentang kemunkinan
45 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 13346 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina,
(Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 233-234
55
pengaruh negatif orang-tua dalam pendidikan anaknya sehingga ia bisa dari
nature kesucian primordialnya. Ini tentu saja, harus ditafsirkan bisa terjadi jika
ayah-ibu kurang menyadari peran pengarahannya bagi pertumbuhan anak, maka
sama saja membiarkan anak dibentuk oleh lingkungan. “Sebab lingkungan turut
andil juga dalam mempengaruhi watak dan akhlak anak. Maka jika dibaratkan
sebagai “stotz kontak” orang tua adalah yang paling besar setrumnya
dibandingkan dengan lingkungan”.47
Orang tua berperan sebagai penyaring bagi anak dari segala pengaruh
buruk yang terdapat dari lingkungan. Oleh karena itu kedua orang tua (ibu dan
bapak) harus membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu
agama, yang nantinya di tranfer dan di internalisasikan kepada anak, serta orang
tua dituntut untuk menyiapkan waktu yang cukup guna mendapingi dalam
memberikan pendidikan bagi anaknya khususnya pendidikan agama.
3. Nilai-nilai Keagamaan yang Ditanamkan pada Diri Anak Menurut
Nurcholish Madjid
Adapun upaya-upaya yang dilakukan keluarga dalam hal menanamkam
pendidikan keagamaan bagi anak menurut Nurcholish Madjid, penulis membatasi
dalam hal sebagai berikut:
a. Mendidik dengan Keteladanan
Pendidikan dengan keteladanan berarti pendidikan dengan memberi
contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berpikir, dan sebagainya. Contoh
atau teladan yang baik dari orang tua akan membentuk kepribadian anak
dimasa perkembangan anak pada masa perkembangan banyak mengadopsi
pola prilaku apa saja yang ditampilkan oleh kehidupan dalam keluarganya,
lebih-lebih pada ayah dan ibunya.
Pendidikan agama dalam keluarga, jelas melibatkan peran orang tua dan
seluruh anggota keluarga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang
baik dan benar dalam keluarga.
47 Ibid,, h. 119-120
56
Dan peran orang tua tidak perlu berupa peran pengajaran yang
nota-bene nya dapat diwakilkan kepada orang lain atau guru. Peran
orang tua adalah peran tingkah laku tulada atau teladan. Seperti sebuah
pepatah yang berbunyi “bahasa perbuatan adalah lebih fasih dari pada
bahasa ucapan” (lisan-ul hal-i afshah-u min lisa-il-maqal). Jadi jelas
pendidikan agama menuntut tindakan percontohan lebih-lebih dari pada
pengajaran verbal. Dengan meminjam istilah yang populer
dimasyarakat, dapat dikatakan bahwa “pendidikan dengan bahasa
perbuatan” (tarbiyah bi lisan-i’l-hal) untuk anak adalah lebih efektif
dan lebih mantap daripada “pendidikan dengan bahasa ucapan”
(tarbiyah bi lisan- il-maqal).48
Para ahli umumnya mengatakan bahwasanya bila seorang anak mecari
sosok suri teladan dan bahkan “pahlawan”, seoarang ayah selalu menmpati
urutan pertama, dan baru orang lain. Peranan seorang ayah terhadap
pendidikan anak- anaknya sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap dan
tingkah laku mereka. Oleh karena itu apa dan bagaimana tingkah laku yang
dilakukan seorang ayah akan berpengaruh juga pada tingkah laku anak- anak.
Jika si ayah memberikan keteladanan sebagai penolong dalam keluarga,
maka akan terkesan pula pada hati anak-anak akan keberhasilah didikan ayah
terhadap anak-anaknya
b. Membiasakan Shalat Berjamaah
Sebagai “bingkai” atau “kerangka” keagamaan, shalat adalah titik
tolak yang sangat baik untuk pendidikan keagamaan seterusnya.
Pertama-pertama, shalat itu mengandung arti penguatan ketaqwaan
kepada Allah, memperkokoh dimensi vertikal hidup manusia, yaitu
“tali hubungan dengan Allah” (habl-un min al-Lah). Segi ini
dilambangkan dalam takbirat-u-‘ l-ihram, yaitu takbir atau ucapan
Allahu Akbar pada pembukaan shalat. Kedua shalat itu menegaskan
48 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 126-127
57
pentingnya memelihara hubungan dengan sesama manusia secara baik,
penuh kedamaian, dengan kasih atau rahmat serta berkah Tuhan. Jadi
memperkuat dimensi horizontal hidup manusia, yaitu “tali hubungan
dengan sesama manusia” (habl-un min al-nas). Ini dilambangkan
dengan taslim atau ucapan salam pada akhir shalat dengan anjuran kuat
menengok ke kanan dan kekiri.49
Shalat pun sebetulnya dirancang agar kita senantiasa selalu ingat
kepada Allah. Seperti firman Allah kepada Nabi Musa:
tegakkanlah salat untuk mengingat Aku”(Q.S 20:14)50
Dalam firman lain juga disebutkan bahwa salat itu mencegah dari
perbuatan keji dan jahat.
sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar,
dan ingat kepada Allah itu memang sangat agung” (Q.S 29:45)
“Kalimat wa ladzikkr-u I-lah-i akbar itu sendiri yang mengartikan
sebagai penegasan tujuan dari salat. Tapi juga ada yang mengartikan sebagai
peringatan bahwa salat itu memang mencegah kita dari perbuatan jahat
karena ingat kepada Allah”.51
Anak yang masih kecil, kegiatan ibadah yang lebih menarik baginya
adalah yang mengandung gerak, sedangkan pengertian tentang ajaran agama
belum dapat dipahaminya karena itu, ajaran yang abstrak tidak menarik
49 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 25150 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 32151 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina,
(Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 101
58
perhatiannya. Salah satu ibadah yang mengandung gerak adalah shalat. Anak-
anak suka melakukan shalat meniru orang tuanya kendatipun ia tidak
mengerti apa yang dilakukan itu. Pengalaman keagamaan yang menarik bagi
anak diantaranya shalat berjama’ah.
Meskipun shalat bersama masih termasuk segi ritual dan formal
keagamaan, namun pelaksanaannya secara bersama dalam keluarga
dapat memberikan dampak yang sangat positif kepada seluruh anggota
keluarga. Ada ungkapan Inggris yang mengatakan bahwa, “A family
who pray together will never fall apart” (sebuah keluarga yang selalu
berdoa atau sembahyang bersama tidak akan berantakan) .52
c. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Ketuhanan dalam Diri Anak
Pendidikan Islam, sering dikatakan memiliki sasaran dan dimensi
hidup, yaitu penanaman rasa takwa kepada Allah dan pengembangan
rasa kemanusiaan kepada sesamanya, dimensi hidup ketuhanan ini juga
disebut jiwa rabbaniyah (Q.S Al- Imron: 79) atau biasa disebut tauhid
rubuniyah, suatu bentuk keyakinan bahwa semua yang ada di alam
semesta dikendalikan oleh Allah yang Maha Esa, tanpa campur tangan
sekutu lain. 53
Adapun wujud nyata subtansi jiwa ketuhanan itu adalah nilai- nilai
keagamaan yang harus ditanamkan dalam pendidikan. Dan jika dicoba
merinci apa saja wujud nyata atau subtansi jiwa Ketuhanan ini, maka kita
dapatkan nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang harus
ditanamkan kepada anak. Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang
sesungguhnya akan menjadi inti pendidikan keagamaan. Diantara nilai-
nilai yang sangat mendasar adalah:
a) Taqwa
52 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 12753 Ibid, h. 130
59
Meunurut Nurcholish Madjid kata taqwa itu sendiri merupakan
serapan dari bahasa Arab yang biasa terjemahkan sebagai sikap takut
kepada Allah atau sikap menjaga diri dari perbuatan jahat, atau sikap
patuh memenuhi segala kewajiban dan menjauhi segala larangan
Allah. Meskipun penjelasan itu semua mengandung kebenaran , tetapi
belumlah merangkum seluruh tentang taqwa. “Takut kepada Allah”
tidak mencakup segi positif taqwa, sedangkan sikap “menjaga diri dari
perbuatan jahat” hanya menggambarkan satu segi saja dari
keseluruhan makna taqwa. Muhammad Asad, seorang penerjemah dan
penafsir al-Qur’an yang terkenal masa kini, menterjemahkan kata
taqwa dengan menggunakan bahasa Inggris “God Consiousness”,
yakni, “kesadaran ketuhanan”. Dan kesadaran ketuhanan sebagai
uraian tentang taqwa sejiwa dengan perkataan “rabbaniyah” atau
“ribbiyah” (semangat ketuhanan) yang dalam kitab suci di isyaratkan
sebagai tujuan diutusnya para Nabi dan Rasul. Selanjutnya, yang
dimaksud dengan “kesadaran atau semangat ketuhanan” itu ialah
seperti dijabarkan Muhammad Asad kesadaran bahwa Tuhan adalah
Maha Hadir (omnipresent) dan kesediaan untuk menyesuaikan
keberadaan diri seseorang di bawah sorotan kesadaran itu.54
Satu hal yang sangat penting kita ketahui adalah bahwa taqwa
merupakan asas hidup, dalam Al-Qur’an perkataan asas hanya dikaitkan
dengan takwa. “Hubungan antara takwa dengan asas hidup dipaparkan
dalam konteks peristiwa ketika orang-orang munafik di Mekah mencoba
menyaingi Nabi dengan mendirikan sebuah masjid yang kemudian disebut
dengan masjid Dhirar. Artinya, masjid yang menimbulkan bahaya
perpecahan”: 55
54 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan diIndonesia. (Jakarta: Paramadina) cet. I h. 141
55 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina,(Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 89
60
Dan diantara orang-orang munafik itu ada orang-orang yang
mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudlaratan (pada orang-
orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara
orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang
telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka
sesungguhnya bersumpah: “kami tidak menghendaki selain
kebaikan,”.“Dan Allah menjadi saksi maka sesunngguhnya mereka
itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)” (Q.S.9:107)56
Allah SWT kemudian menurunkan wahyu untuk mengingatkan bahwa
tidak sepatutnya Nabi bersama kaum beriman bersembahyang di masjid
yang didirikan dengan niat tidak baik itu. Dan Allah berfirman bahwa
masjid Nabi yang terdahulu itu yaitu masjid Quba lebih baik sebagai
tempat sembahyang dari pada masjid Dhirar itu. Masjid kuba yang
didirikan oleh nabi sendiri, yang disebut sebagai masjid-un ussis-a ‘ala
taqwa, masjid yang didirikan atas dasar takwa. Setelah cerita hal praktis-
historis ini, ada pesan moral yang bunyinya sebagi berikut:
56 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 162
61
Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunnanya diaatas
dasar takwa kepada Allah dan keridlaan-Nya yang baik, ataukah
orang-orang yang mendirikan bangunannya ditepi jurang yang
runtuh, lalu bangunanya itun jatuh bersama-sama dengan dia
kedalam neraka Jahanam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk
kepada orang-orang yang zalim. (Q.S 9:109)57
“Jadi, asas hidup adalah takwa kepada Allah dan upaya mencapai
keridlaan-Nya. Dan semua asas hidup, selain takwa dan mencapai ridla
Allah, diibaratkan sebagai pondasi dari sebuah bangunan yang didirikan
ditepi jurang yang retak. Sehingga ketika bangunan itu berdiri, justru
runtuh dan masuk kedalam neraka Jahanam”. 58
Melalui takwa, kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup. Inti
takwa adalah kesadaran yang sangat mendalam bahwa Allah selalu hadir
dalam hidup kita. Bisa ditarik kesimpulan takwa ialah kesadaran penuh
bahwa setiap yang apa yang kita kerjakan bahwasanya Allah selalu beserta
kita, Allah selalu menyertai kita, Allah mengawasi kita dan Allah
memperhitungkan perbuatan kita. Sehingga dalam diri kita timbul suatu
57 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 16358 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina,
(Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 90
62
keinsyafan untuk melakukan segala sesuatu yang sekiranya akan Allah
perkenankan atau Allah ridlai.59
Taqwa kepada Allah sebagai dimensi pertama hidup ini dimulai
dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama berupa ibadat-
ibadat. “Dan pelaksanaan itu harus disertai dengan penghayatan yang
sedalam-dalamnya akan makna ibadat-ibadat tersebut, sehingga ibadat itu
tidak dilaksanakan hanya semata-mata sebagai ritus formal belaka,
melainkan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita”.60
Rasa taqwa kepada Allah itulah kemudian dapat dikembangkan
dengan menghayati keagungan dan kebesaran tuhan lewat perhatian
kepada alam semesta beserta segala isinya, dan kepada lingkungan
sekitar. Sebab menurut al-Qur’an hanyalah mereka yang memahami
alam sekitar dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung
di dalamnya sebagai ciptaan Ilahi yang dapat dengan benar-benar
merasakan kehadiran Tuhan sehingga bertaqwa kepada kepadanya. 61
59 Ibid, h. 89-9260 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 12861 Ibid, h. 128
63
27. “tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari
langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka
macam jenisnya. dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih
dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam
peka”.
28. “dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ulama, Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun”62
Kata-kata arab untuk orang-orang yang berpengetahuan ialah al-
ulama, bentuk jamak dari perkataan ‘alim yang artinya ialah orang yang
berilmu. Dalam firman itu disebutkan bahwa yang benar-benar bertaqwa
dan takut kepada Allah hanyalah al-ulama (para ulama). Dan dalam
konteks firman itu dapat dengan jelas diketahui bahwa yang dimaksud
dengan al-ulama ialah orang-orang yang bepengetahuan. Yakni mereka
yang senantiasa memerhatikan alam raya dan gejala-gejala alam , mereka
juga yang memperhatikan gejala umat manusia dan kehidupan mereka,
secara biologis dan fisik yang bermacam-macam warna, dapat juga secara
sosiologis dan kultural yang terdiri dari berbagai warna paham hidup,
ideologi dan budaya. Dan akhirnya yang dimaksud dalam firman itu
62 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 349
64
dengan al-Ulama ialah mereka yang memperhatikan, mempelajari dan
meneliti, dunia flora dan fauna. Singkatnya, yang dimaksud dengan al-
ulama dalam fitrman tersebut dan yang dipuji Tuhan sebagai golongan
hambanya yang mampu benar-benar bertaqwa kepadanya ialah yang
sekarang ini dalam masyarakat disebut para sarjana atau ilmuwan, yang
dalam wawasan keilmuwannya tetap menghayati kehadiran Tuhan dengan
segala keagungannya.63
Dengan begitu, hasil perhatian, pengamatan dan penelitiannya
kepada gejala alam dan sosial kemanusiaan tidak hanya menghasilkan
ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif belaka, juga tidak hanya yang
bersifat aplikatif dan penggunaan praktis semata (berujud kemampuan
teknologis atau teknokratis untuk mempermudah hidup lahiriah dan
material manusia), tetapi membawanya kepada keinsyafan ketuhanan
yang lebih mendalam, melalui penghayatan keagungan dan kebesaran
Tuhan yang sebagaimana tercermin dalam seluruh ciptaan-Nya. 64
Dalam al-qur’an banyak sekali firman yang bernada perintah atau
anjuran kita memperhatikan alam atau gejala alam seperti itu, yang pada
pokoknya bertujuan menginsyafkan manusia akan kebesaran dan
keagungan Tuhan. Karena keinsyafan ini merupakan unsur amat penting
dalam menumbuhkan rasa taqwa, maka pendidikan keagamaan harus pula
meliputi hal hal yang nota bene diperintahkan Tuhan dalam Al-Qur’an.
Jadi jelas sekali, begitu pentingnya penanaman nilai taqwa dalam diri
anak, karena taqwa sebagai fondasi dalam kehidupan. Nilai-nilai taqwa
harus ditanamkan sedini munkin karena taqwa berarti penghayatan
keagungan akan kebesaran Tuhan dan kesadaran penuh bahwa setiap yang
apa yang kita kerjakan bahwasanya Allah selalu beserta kita, Allah selalu
63 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h 129-130
64 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 130
65
menyertai kita, Allah mengawasi kita dan Allah memperhitungkan
perbuatan kita. Sehingga dalam diri kita timbul suatu keinsyafan untuk
melakukan segala sesuatu yang sekiranya akan Allah perkenankan atau
Allah ridla. Dan nilai itulah yang harus ditanamkan pada diri anak.
b) Iman
Iman yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Allah. Jadi
tidak cukup hanya percaya kepada adanya Allah, tetapi harus pula
“mempercayai” Allah itu dalam kualitasNya sebagai satu- satunya yang
bersifat keilahian atau ketuhanan, dan sama sekali tidak memandang
adanya kualitas serupa kepada sesuatu apa pun yang lain. Selanjutnya, dan
sebagai konsekuensinya, karena kita mempercayai Allah, kita harus
bersandar sepenuhnya kepada-Nya, berpandangan positif kepadanya,
“menaruh kepercayaan” kepadanya.
Sebagai manusia kita harus berkeyakinan bahwa iman itu pasti akan
membawa pengaruh kepada kehidupan. Dan pertama kali yang harus kita
imani adalah Allah, bahwa barang siapa yang beriman kepada Allah,
maka Allah berjanji akan menyediakan kehidupan yang baik didunia ini,
dan juga kehidupan yang lebih baik di akherat. Janji itu untuk pribadi-
pribadi dan kepada umat manusia sebagi kelompok, seperti dalam firman
Allah:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
66
dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
kami siksa mereka akibat perbuatannya”. (Q. S 7:96)65
Kemudian yang kedua ialah kita beriman kepada Malaikat. Kita
percaya bahwa hidup didunia ini tidak hanya dalam lingkungan makhluk-
makhluk lahiri, tetapi ada juga makhluk-makhluk lain yang disebut ghaib
termasuk malaikat yang salah satunya diperintahkan Allah untuk mencatat
amal baik dan buruk kita dan kalau kita yakin akan hal itu niscaya kita
akan selalu ingin berbuat baik karena selalu merasa diawasi oleh malaikat.
Kemudian kita percaya kepada kitab-kitab suci, namun perlu diingat
bahwa kitab suci yang masih murni dan asli masih memuat kehendak
Allah hanyalah Al-Qur’an, karena dengan Al-Qur’an kita mengetahui
rincian lebih lanjut bagaimana caranya hidup yang benar dimuka bumi ini.
Dan selanjutnya percaya kepada Nabi, sebab para Nabi itulah yang
membawa kitab-kitab suci, terutama bagi mereka yang ditugasi untuk
menyampaikan kepada orang lain sehingga martabatnya naik menjadi
Rasul.
“Dengan beriman kepada Allah maka berarti kita menyadari tentang
adanya asal atau tujuan hidup. Bahwa hidup kita berasal dari Allah SWT
dan akan kembali pada-Nya. Itulah satu makna yang kita ungkapkan dalam
ucapan sehari-sehari dengan mengambil dari Al-Qur’an yaitu:”66
Yaitu apabila orang-orang yang ditimpa musibah, mereka ungkapkan,
“kita semuanya berasal dari Allah dan kembali kepada Allah”. (Q. S
Al-Baqarah 2:156)67
65 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h.12966 Ibid, h. 17067 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 18
67
Kalau kita menyadari hal itu, maka kita menyadari hidup itu harus
ditempuh dengan penuh kesungguhan, penuh tanggung jawab, sebab hidup
ini tidak hanya ada asal dan tujuan saja. Beriman kepada hari kemudian
merupakan penegasan tentang tujuan hidup ini, dimana ada
pertanggungjawaban, dan bersifat pribadi, tidak ada pertanggung jawaban
kolektif. Jika kita beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka salah
satu konsekuensinya kita akan menjalani hidup ini dengan sungguh-
sungguh karena kita akan mempertanggungjawabkan semua tingkah laku
kita dihari kemudian. Dan jika kita yakin bahwa ada hari kemudian atau
yakin adanya hidup lain selain hidup sekarang, dan dimintai pertanggung
jawaban kelak, membawa konsekuensi pada keyakinan akan adanya kada
dan kadar yang berlaku dalam hidup dan kehidupan manusia didunia yang
fana ini yang membawa akibar kehidupan di alam baka kelak.
Dari uraian singkat tersebut diatas, tampak logis dan sistematisnya
pokok-pokok keyakinan Islam yang terangkum dalam istilah Rukun Iman.
Pokok-pokok keyakinan ini merupakan asas seluruh ajaran Islam, seperti
telah diuraikan diatas maka Rukun Iman jumlahnya enam, yang dimulai
dari (a) keyakinan kepada Allah, (b) keyakinan kepada Malaikat-Malaikat,
(c) keyakinan kepada Kitab-kitab Suci, (d) keyakinan kepda para Nabi dan
Rasul Allah, (e) keyakinan akan adanya Hari Akhir, (f) keyakinan pada
Kada dan Kadar Allah. Pokok-pokok keyakinan atau Rukun Iman ini
merupakan akidah Islam.
Dalam menanamkan nilai-nilai keimanan pada diri anak dilakukan
orang tua sedini munkin, sebagai orang tua harus terus berupaya
mengajarkan nilai- nilai keimanan kepada anak tentunya dengan cara baik,
lembut dan kasih sayang, selain itu juga harus memahami tingkat usia
mereka. Menanamkan nilai-nilai keimanan kepada anak harus dengan
kesabaran dan ketelatenan apabila anak belum mengerti hendaklah
mengulanginya pada waktu berikutnya sampai anak mengerti dan
mengaplikasikan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan sehari-hari.
68
c) Islam
“Menurut Nurcholish Madjid Islam adalah sikap tunduk, patuh, atau
taat kepada Tuhan yang semula digunakan untuk menunjukkan semangat
yang kemudian digunakan sebagai nama yaitu khususnya semangat dan
nama agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw”.68
“Dalam pengertian lain Nurcholish Madjid mengartikan Islam sebagai
kelanjutan adanya iman, maka sikap pasrah kepadanya (yang merupakan
makna asal perkataan arab islam), dengan meyakini bahwa apapun yang
datang dari Tuhan tentu mengandung hikmah kebaikan, yang kita yang
dlaif ini tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya”. 69
Dari uraian diatas dapat disimpulkan Islam ialah sikap pasrah, taat,
patuh dan tunduk terhadap aturan-aturan dan ketentuan yang ditetapkan
Tuhan serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada kepada-Nya untuk
menempuh jalan keselelamatan guna mendapatkan kedamaian,
kesejahteraan, kesentosaan dengan keamanan dan kedamaian serta mulia
kedudukannya didunia sampai diakhirat.
d) Ikhlas
“Ikhlas yaitu sikap murni tingkah laku dan perbuatan, semata-mata
demi memperoleh ridla dan perkenaan Allah, dan bebas dari pamrih lahir
dan batin, tertutup maupun atau terbuka. Dengan sikap yang ikhlash orang
akan mampu mencapai tingkat tertinggi nilai karsa batin dan lahirnya, baik
pribadi maupun social”.70
Nurcholish madjid mengartikan keikhlasan sama dengan taubat,
yakni kembali kepada Allah. Begitu juga Inabah. Wa anibu ila
rabbikum wa aslim-u lah-u, yang artinya, “Kembalilah kepada
68 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan diIndonesia. (Jakarta: Paramadina) cet. I h. 140
69 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. VI,h.2
70 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, 131
69
Tuhanmu dan pasrahlah kepada-Nya”. Terimalah apapun yang ada
dari Tuhan itu tanpa persoalan. Ini juga yang disebut Ikhlas.
Sedemikin halusnya ikhlas itu sehingga dalam hadist kudsi disebutkan
sebagai rahasia antara Tuhan dengan seorang hamban-Nya yang saleh,
al-ikhlash-u sirr-un min asrari, ikhlas itu adalah salah satu dari
rahasiaku, awda ‘tuhu qalba man ahbab-tuhu, yang aku titipkan
dalam kalbu orang yang aku cintai, la ya’lam-u syaithan fayufsida,
syaitan tidak mengetahui keikhlasan orang itu sehingga tidak bisa
dirusak olehnya, wal la l-mala ikat-u fayaktub-uhu, dan malaikatpun
juga tidak mengetahui keikhlasan seorang itu sehingga tidak bisa
dicatat oleh malaikat. Karena ikhlas adalah rahasia antara kita dan
Allah, maka untuk menjadi ikhlas kita memerlukan latihan terus
menerus.71
e) Tawakal
“Tawakkal (dalam ejaan yang lebih tepat, “tawakkul”): yaitu sikap
senantiasa bersandar kepada Allah, dengan penuh harapan kepada-Nya dan
keyakinan bahwa ia akan menolong kita dalam mencari dan menemukan
jalan yang terbaik. Karena kita mempercayai atau menaruh kepercayaan
kepada Allah, maka tawakkal adalah suatu kemestian”.72
Kemudian tawakal dapat diartikan kesadaran yang mendalam
bahwasanya Allah selalu beserta kita, mempunyai efek atau pengaruh yang
besar sekali bagi hidup kita. “Pertama, kesadaran itu memberikan
kemantapan dalam hidup. Bahwa kita ini tidak pernah sendirian. Oleh
karena itu kita tidak akan pernah takut menempuh hidup ini dan kita
bersandar kepadaNya. Maka sikap bersandar kepada Allah itu disebut
tawakal. Salah satu sifat Allah ialah al-Wakil artinya tempat bersandar”. 73
71 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina,(Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 107
72 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, 13173 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina,
(Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 234
70
"Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-
baik Pelindung".74
Sikap tawakal ini harus ditanamkan kepada anak sedini munkin,
dengan sikap tawakal diharapkan seorang anak akan menyandarkan
hidupnya hanya kepada Allah. Seorang anak pasti akan mengalami
beberapa fase perkembangan dalam kehidupannya dan fase-fase tersebut
secara tidak langsung akan mempengaruhi emosionalnya pula. Semakin
beranjak dewasa anak juga akan mengalami berbagai macam problem jika
seorang anak sudan menyandarkan dirinya kepada Allah maka anak
tersebut bisa melewati beberapa fase dan perubahan kehidupannya dengan
baik.
f) Syukur
Menurut Nurcholish Madjid Syukur yaitu sikap penuh rasa terima
kasih dan penghargaan, dalam hal ini atas segala nikmat dan karunia
yang tidak terbilang banyaknya, yang dianugrahkan Allah kepada kita.
Sikap bersyukur sebenarnya sikap optimis kepada hidup ini dan
pandangan senantiasa berpengharapan kepada Allah. Karena itu sikap
bersyukur kepada Allah adalah sesungguhnya sikap bersyukur kepada
diri sendiri. Karena manfaat besar kejiwaanya yang akan kembali
kepada yang bersangkutan.75
Rasa syukur sudah seharusnya ditingkatkan, syukur adalah pernyataan
hati atas kecintaan pada Zat yang memberi nikma, gerak anggota tubuh
dalam beribadah serta diunkapkan secara lisan dengan selalu mengingat-
Nya dan memuji-Nya.
74 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 5875 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, 131
71
g) Sabar
“Sabar dalam bahasa Arabnya al-shabr, yang arti sesungguhnya
adalah ketabahan, kesanggupan menahan diri, dan kesediaan untuk tidak
mendahulukan kepentingan diri sendiri yang merugikan kepentingan orang
banyak”. 76
Lebih lanjut lagi Nurcholish Madjid mengartikan sabar yaitu
sikap tabah menghadapi segala kepahitan hidup, besar dan kecil lahir
dan batin fisiologis maupun psikologis, karena keyakinan yang tak
tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan kembali
kepadanYa. Jadi sabar adalah sikap batin yang tumbuh karena
kesadaran akan asal dan tujuan hidup, yaitu Allah SWT.77
Tentu masih banyak lagi nilai-nilai keagamaan pribadi yang
diajarkan dalam Islam. Namun kiranya sedikit yang tersebutkan diatas itu
akan cukup mewakili nilai-nilai keagamaan mendasar yang perlu
ditanamkan kepada anak, sebagai bagian amat penting dari pendidikan
keagamaanya. “Biasanya, orang tua atau pendidik akan dapat
mengembangkan pandangan tersebut sehingga nilai-nilai keagamaan
lainnya sesuai dengan perkembangan anak”.78
d. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Kemanusian dalam Diri Anak
Berkenaan dengan nilai kamanusian, patut sekali kita renungan
sabda-sabda nabi sebagai berikut:
“Yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga ialah taqwa
kepada Allah dan keluhuran budi.”
76 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan diIndonesia. (Jakarta: Paramadina) cet. I h.143
77 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 13278 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 131-
132
72
“Tiada sesuatu apapun yng dalam timbangan (nilainya) lebih berat
daripada keluhuran budi”79
Budi pekerti adalah perkataan majemuk perkataan budi dan pekerti,
gabungan kata yang berasal dari bahasa Sangsekerta dan bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Sangsekerta budi artinya alat kesadaran (batin), sedang
dalam bahasa indonesia pekerti berarti kelakuan.
Secara terminologis, akhlak berarti kemauan yang kuat tentang sesuatu
yang dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi adat (membudaya)
yang mengarah kepada kebaikan ataupun keburukan. Akhlak dapat juga
berarti tingkah laku yang telah melekat pada diri seseorang karena hal itu
telah sering dilakukan secara terus menerus, sehingga ia berbuat secara sopan.
Keterkaitan yang erat antara taqwa dan budi luhur itu adalah juga
makna keterkaitan antara iman dan amal shaleh, shalat dan zakat,
hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia, bacaan takbir
pada pembukaan shalat dan bacaan pendeknya, terdapat keterkaitan
yang mutlak antara ketuhanan sebagai dimensi kedua hidup manusia
yang horizontal. Oleh karena sedemikian kuatnya penegasan-penegasan
mengenai keterkaitan antara dua dimensi itu, maka pendidikan agama,
baik di dalam keluarga maupun di sekolah, tidak dapat disebut berhasil
kecuali pada anak didik tertanam dan tumbuh dengan baik kedua nilai
itu: Ketuhanan dan Kemanusiaan, Taqwa dan Budi luhur.80
Begitu pentingnya penananaman akhlak bagi anak, sehingga para ulama
pun memperingatkan bahwa kejayaan suatu bangsa tergantung kepada
keteguhan akhlak, budi pekerti, atau moral bangsa itu. Biasanya peringatan
itu dikaitkan dengan adagium yang berbentuk sayir Arab, yang artinya:
“Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama akhlaknya tegak, dan jika
79 I bid, h. 13380 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h.133
73
akhlaknya runtuh, maka runtuh pulalah bangsa-bangsa itu”.81 Oleh karena
anak adalah penerus bangsa maka sudah selayaknya orang tua menanamkan
budi pekerti atau akhlakul karimah bagi anaknya sedini munkin agar nanti
besarnya mempunyai keteguhan akhlak yang kuat.
Di atas kita kemukakan beberapa nilai ketuhanan yang amat perlu
ditanamkan kepada anak. Tentang nilai-nilai budi luhur, sesungguhnya
kita dapat mengetahuinya secara akal sehat atau “common sense”
mengikuti hati nurani kita. Dan memang begitulah petunjuk Nabi,
bahwa kita akan mengetahui amal perbuatan yang berbudi luhur jika
kita rajin bertanya kepada hati nurani kita. Justru dalam agama islam
hati kita disebut nurani (dari bahasa Arab, nurani, artinya bersifat
cahaya atau karena terang), karena baik menurut al-qur’an maupun
sunnah nabi, hati kita adalah modal primordial untuk menerangi jalan
hidup kita sehingga kita terbimbing ke arah yang benar dan baik, yakni
ke arah budi luhur. “Tetapi sekadar untuk pegangan operatif dalam
menjalankan pendidikan keagamaan kepada anak. Mungkin nilai-nilai
akhlak berikut ini patut sekali dipertimbangkan oleh orang tua untuk
ditanamkan kepada anak dan keturunannya adalah sebagai berikut”:82
a) Silaturrahmi (dari bahasa arab, shilat al-rahm): yaitu pertalian rasa
cinta kasih antara sesama manusia, khususnya antara saudara, kerabat,
handai taulan, tetangga dan sebagainya. Sifat utama Tuhan adalah
kasih. Sebagai satu-satunya sifat Ilahi yang diwajibkan sendiri atau
dirinya. Maka manusia pun harus cinta kepada sesamanya, agar Allah
cinta kepadanya. “ kasihlah kepada orang di bumi, maka Dia (Tuhan)
yang ada di langit akan kasih kepadamu.”
b) Persaudaraan (ukhuwah): yaitu semangat persaudaraan, lebih-lebih
sesama kaum beriman seperti disebutkan di al-Qur’an, yang intinya
81 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, ( Jakarta: Paramadian, 2002), cet. IV,h. 184
82 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h.133
74
ialah hendaknya kita tidak merendahkan golongan yang lain, kalau-
kalau mereka itu lebih baik daripada kita sendiri, tidak saling menghina,
saling mengejek, banyak berprasangka, suka mencari-mencari
kesalahan orang lain, dan suka mengumpat (membicarakan keburukan
yang tidak ada di depan kita).
c) Persamaan (al-musawwah): yaitu pandangan bahwa semua manusia
tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya, dan
lain-lain, adalah sama dalam harkat dan martabat. Tinggi rendah
manusia hanya ada dalam pandangan Tuhan yang tahu kadar taqwa itu,
Prinsip itu dipaparkan dalam kitab suci sebagai kelanjutan pemaparan
tentang prinsip persaudaraan di kalangan kaum beriman. Jadi
persaudaraan berdasarkan iman (ukhuwah islamiyah) diteruskan dengan
persaudaraan berdasarkan kemanusiaan (akhuwah insaniyah).
d) Adil (dari perkataan Arab” adl”): yaitu wawasan yang seimbang atau
balanced dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu atau
seseorang, dst. Jadi tidak secara apriori menunjukkan sikap positif dan
negatif. Sikap kepada sesuatu atau seseorang dilakukan hanya setelah
mempertimbangkan segala segi tentang sesuatu atau seseorang tersebut
secara jujur dan seimbang, dengan penuh i’tikad baik dan bebas dari
prasangka. Sikap ini juga disebut tengah dan al-Qur’an menyebutkan
bahwa kaum beriman dirancang oleh Allah untuk menjadi golongan
tengah agar dapat menjadi saksi untuk sekalian umat manusia, sebagai
kekuatan penengah (wasith, indonesia “wasit”).
e) Baik sangka (husn-u’zh-zhann): yaitu sikap penuh baik sangka kepada
sesama manusia, berdasarkan ajaran agama bahwa manusia itu pada
asal dan hakekat aslinya adalah baik, karena diciptakan Allah dan
dilahirkan atas fithrah atau kejadian asal yang suci. Sehingga manusia
itu pun hakikatnya adalah makhluk yang kecenderungan kepada
kebenaran dan kebaikan (hanif).
75
f) Rendah hati (tawadlu): yaitu sikap yang tumbuh karena keinsyafan
bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah, maka tidak sepantasnya
manusia “mengklaim” kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik
dan perbuatan yang baik, yang itu pun hanya Allah akan menilainya.
lagi pula kita harus rendah hati karena ” di atas setiap orang yang
tahu(berilmu)adalah Dia yang maha Tahu (maha berilmu).” Apabila
sesama orang yang beriman, sikap rendah hati itu adalah suatu
kemestian. Hanya kepada mereka yang jelas- jelas menentang
kebenaran kita dibolehkan untuk bersikap “ tinggi hati”.
g) Tepat janji (al-Waffa): salah satu sifat orang yang benar-benar beriman
ialah sikap selalu menepati janji bila membuat perjanjian. Dalam
masyarakat dengan pola hubungan yang lebih kompleks dan luas, sikap
janji lebih-lebih lagi merupakan unsur budi luhur yang amat diperlukan
dan dipuji.
h) Lapang dada (insyirah): yaitu penuh sikap kesediaan menghargai orang
lain dengan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya, seperti
dituturkan dalam al-Qur’an mengenai sikap Nabi sendiri disertai pujian
kepada beliau. Sikap terbuka dan toleran serta kesediaan
bermusyawarah secara denokratis terkait erat sekali dengan budi luhur
lapang dada ini.
i) Dapat dipercaya (al-amanah”amanaah”): yaitu salah satu konsekuensi
iman ialah amanah atau penampilan diri yang dapat dipercaya. Amanah
sebagai budi luhur adalah lawan dari khianat yang amat tercela.
Keteguhan masyarakat memerlukan orang-orang para anggotanya yang
terdiri dari pribadi-pribadi yang penuh amanah dan memiliki rasa
tanggung jawab yang besar.
j) Perwira (iffah atau ta’afuff): yaitu sikap penuh harga diri namun tidak
sombong, dan tidak mudah menunjukkan sikap memelas atau iba
76
dengan maksud mengundang belas kasihan orang lain dan
mengharapkan pertolongannya.
k) Hemat (qawamiyah): yaitu sikap tidak boros (israf) dan tidak pula kikir
(qatr) dalam menggunakan harta, melainkan sedang (qawwam) antara
keduanya. apalagi al-Qur;an menggambarkan bahwa orang yang boros
adalah teman setan yang menentang Tuhannya.
l) Dermawan (al-munfiqun, menjalankan infaq): yaitu sikap kaum
beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama
manusia, terutama mereka yang kurang beruntung(para fakir miskin
dan terbelenggu oleh perbudakan dan kesulitan hidup lainnya) dengan
mendermakan sebagian harta benda yang dikaruniakan dan
diamanatkan Tuhan kepada mereka. Sebab manusia tidak akan
memperoleh kebaikan sebelum mendermakan sebagian dari harta benda
yang dicintainya itu.83
Pendidikan akhlak didalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan
teladan dari orang tua. Prilaku dan sopan santun orang tua dalam hubungan
dan pergaulan ibu dan bapak, perlakuan dengan orang tua terhadap anak-
anaknya, dan perlakuan orang tua terhadap orang lain di dalam lingkungan
keluarga dan lingkungan masyarakat, akan menjadi teladan bagi anak-anak.
Sama halnya dengan nilai-nilai ketuhanan yang membentuk ketaqwaan
tersebut di muka, nilai-nilai kemanusiaan yang membentuk akhlak mulia di
atas itu tentu masih bisa ditambah dengan deretan nilai yang banyak sekali.
Namun kiranya yang tersebut di atas itu akan sedikit membantu
mengidentifikasi agenda peranan pendidikan agama dalam keluarga yang
lebih kongkrit dan operasiponal. Sekali lagi, pengalaman nyata orang tua dan
pendidik akan membawanya kepada kesadaran akan nilai-nilai budi luhur
lainnya yang lebih relevan untuk perkembangan anak.
83 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 137
77
Tanggung jawab pendidikan anak ini sungguh amat berat, khususnya
bagi orang tua. Karenanya kita hendaknya tidak putus-putus memohon
pertolongan kepada Allah untuk memperoleh bimbingan dan petunjuk-Nya.
“Seperti pengakuan yang lebih mendalam dalam ajaran kesufian islam,
manusia tidak akan mampu melaksanakan apa-apa, termasuk melaksanakan
perbuatan baik seperti mendidik anak, jika tanpa bantuan dan bimbingan
Allah, karena tiada daya, tiada pula kemampuan, kecuali dengan Allah Yang
Maha Tinggi dan Maha Agung”.
4. Pola Asuh Anak Menurut Nurcholish Madjid
Pola asuh adalah tata sikap dan prilaku orang tua dalam membina
kelangsungan hidup anak, perlindungan anak secara menyeluruh baik fisik, sosial
maupun rohani.Pola asuh juga berarti cara atau model dan sikap orang tua dalam
merawat mendidik anak dalam mengembangkan seluruh aspek pada diri anak.
Menurut Nurcholish Madjid berkaitan dengan pendidikan agama dalam
keluarga, dalam mengasuh atau mendidik anak orang tua sangat berperan aktif
dalam menumbuh kembangkan pendidikan moral dan agama anak. Dan peran
orang tua adalah tulada atau keteladanan yang dijiwai dengan semangat
menanamkan nilai-nilai religius dalam diri anak. Orang tua tidak hanya
mengajarkan anak tentang bagaimana ritual-ritual dalam beribadah seperti shalat,
puasa, zakat, dan lainnya sebagainya. Namun lebih dari itu, orang tua dituntut
untuk lebih menekankan tentang nilai-nilai apa yang terkandung dalam ritual-
ritual tersebut, yang kemudian nilai-nilai tersebut diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Dan pendidikan agama sejatinya baru mempunyai makna yang hakiki
jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula,
yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia
(akhlaqul al-karimah).
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pandangan Nurcholish
Madjid tentang pendidikan agama dalam keluarga adalah:
Menurut Nurcholish Madjid Pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat
sepenuhnya dilakukan oleh guru ngaji yang didatangkan kerumah. Pendidikan
tersebut melibatkan peran orang tua dan seluruh anggota keluarga. Dan peran
orang tua dalam memberikan pendidikan agama dalam keluarga tidak perlu
berbentuk pengajaran (yang notabene dapat “diwakilkan” kepada orang lain
tersebut). Peran orang tua adalah berupa tingkah laku, tulada atau teladan, dan
pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai
keagamaan secara menyeluruh. Pendidikan agama baru mempunyai makna yang
hakiki jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang
hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama
manusia (akhlaqul al-karimah). Adapun nilai-nilai keagamaan yang harus
ditanamkan pada anak dalam keluarga adalah: a) shalat berjamaah, b) taqwa, c)
iman, d) islam, f) tawakkal, g) syukur, h) sabar, dan i) akhlakul karimah.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, maka penulis
menyarankan bahwa :
72
73
1. Meskipun pemikiran Nurcholish Madjid tentang peranan pendidikan
agama dalam keluarga masih kurang memuaskan atau mungkin masih
dianggap kurang memadai dalam mendidik anak, namun setidaknya
dapat dijadikan masukan bagi masyarakat terutama orang tua dan para
pendidik. Pemikiran tokoh ini dapat dijadikan studi banding oleh
peneliti lainnya dalam mewujudkan anak yang cerdas, iman dan taqwa.
2. Hendaknya para orang dapat menjadi uswah hasanah bagi anaknya
dengan menjaga sikap dan tingkah lakunya di hadapan anak-anaknya.
Serta mendidik anak-anakya dengan penuh kasih sayang serta
memperhatikan perkembangan dari berbagai aspek keagamaanya.
3. Sebelum memasuki gerbang pernikahan atau menjadi ayah dan ibu
hendaknya para calon orang tua menyiapkan mental dan mempelajari
pendidikan agama lebih dalam guna mempersiapkan pendidikan agama
yang lebih baik bagi anaknya. Karena tidak dapat dipungkiri agama
adalah sebagai peletak dasar atau fondasi bagi kehidupan.
73
73
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991
Ali, Heri Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999
Amir Aziz, Ahmad. Neo-Modernisme Islam Di Indonesia (Gagasan SentralNurcholish Madjid dan Abdurahman wahib). Jakarta: PT. Rineka Cipta,1999
Arief, Armai, H. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press, 2005
Arief, Armai, H. Pembaharuan Pendidikan Islam Di Minangkabau. Jakarta:Penerbit Suara Adi,2009
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2008
Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1970
-------. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996
-------. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, Jakarta: PT. BulanBintang, 1970
-------. Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV. Ruhama,1995
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia EdisiKedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1996
Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah. Pendidikan Islam Menggali TradisiMengukuhkan Eksisntensi. Malang : UIN Malang Press, 2007
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data . Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2011
Fuaduddin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam. Jakarta: Lembaga KajianAgama dan Jender, 1999
Hawari, Dadang. Al-Qur'an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996
Ismail, Faisal. Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta:Lasswell, 2010
Jalaludin. Psikologi Agama. Jakata: PT. Aja Gafindo, 2005
Majid, Abdul dkk. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung : PT.Remaja Rosdakaya, 2004
Madjid , Nurcholish. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 1997
-------,Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina. Jakarta:Paramadina, 2005
74
73
-------, Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 2002
-------, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia.Jakarta: Paramadina, 1997.
Mubarok, Ahmad . Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga KeluargaBangsa. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 2005
Muhaimin,dkk. Paradigma Pendidikan Islam (Upaya MengekfektifkanPendidikan Agama Islam di Sekolah). Jakarta:PT.Remaja Rosdakarya,2004
Mufidah, Ch. Psikologi Keluarga Dalam Berwawasan Gender. Malang : UINMalang Press, 2008
Nata, Abuddin. Pendidikan Dalam Perspektif Hadits. Jakarta: UIN Jakarta Press,2005
Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001
Proyek Pembinaan Pergurun Tinggi Agama/IAIN di Jakarta Direktorat PembinaanPerguruan Tinggi Agama Islam. Metodologi Pengajaran Agama Islam.Jakarta: IAIN Jakarta,1983.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu DalamKehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994
Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, danR&D. Bandung: PT Alfabeta, 2008
Surijdo, Marwan. Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia TetapBerjilbab. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005
Soebahar , Abdul Halim. Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta: KalamMulia,2002.
Surahkmad, Wiranto. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dantehnik.Bandung: Tarsito: 1998
Syukri Zarkasi, Abdullah. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren.Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005
Undang-undang Replublik Indonesia NO.20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional (Sisdiknas). Jakarta: Sinar Grafika,2004
Yasin, Fatah .Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press,2008
Uhbiyati, Uhbiyati. Ilmu Pendidikan Islam . Bandung: CV.Pustaka Setia, 1998