Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
-
Upload
supri-yanto -
Category
Documents
-
view
318 -
download
2
Transcript of Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
-
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
1/20
Pendekatan Normatif dan Deskriptif dalam Studi Islam (Telaah atas Karya Charles J.Adams)
Written by Muhammad Latif Fauzi, SHI, MSI
Friday, 13 July 2007
Pendahuluan
Terdapat dua persoalan yang menjadi kegelisahan akademik Adams sehingga ia membuat pemetaan pendekatan studi Islam,yaitu pertama, Islam, berkenaan dengan betapa sulitnya membuat garis pemisah yang jelas antara mana wilayah yang Islami
dan yang tidak. Kedua, agama, adanya persoalan yang sangat rumit ketika ada yang memahami agama (Islam) sebagai tradisi(tradition) dan sebagai kepercayaan (faith) an sich.
Penelitian Adams ini penting karena pertama, beberapa universitas (baik di Barat maupun di daerah lainnya) masihmenyimpan sejumlah masalah dalam mengadakan studi Islam secara netral dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah.
Kedua, terjadinya kebuntuan metodologis dan pendekatan di kalangan mahasiswa (baik di Barat maupun Timur) ketika
mempelajari studi agama. Di satu pihak, mahasiswa dituntut agar dapat memahami agama dalam orientasi akademik, pada
pihak yang lain, mereka harus menjaga nilai transendetal dari agama.Dalam mengkaji persoalan agama dan Islam, Charles J. Adams telah menelaah karya-karya peneliti sebelumnya, di antaranyavon Grunebaum, W.C. Smith, Kenneth Gragg. Dari karya-karya itu Adams membuat pemetaan terhadap pendekatan studi
Islam.
Kontribusi akademik dari peneltian Adams ini antara lain, pertama, memiliki nilai kontributif yang sangat signifikan dalammemecahkan problem studi Islam di lembaga akademik (universitas), terutama dalam hal pendekatan dan metodologi yangakan dipakai. Kedua, membantu mereka untuk memahami agama, baik dalam konteks historis-empiris maupun normatif-
teologis.
Tulisan Charles J. Adams ini dimulai dengan pembahasan tentang Islam dan agama. Setelah problem di dalamya, Adamsmembuat dua formulasi pendekatan studi Islam, yaitu pendekatan normatif (yang terdiri dari pendekatan misionaris
tradisional, pendekatan apologetik, dan pendekatan irenic) dan pendekatan deskriptif(yang mencakup pendekatan filologisdan sejarah, pendekatan ilmu sosial, dan pendekatan fenomenologis). Selanjutnya Adams, membagi wilayah kajian Islam kedalam 11 aspek. Pada bagian terakhir tulisannya, Adams memberikan beberapa rekomendasi untuk pengambangan studi
Islam masa depan.
Kegelisahan Akademik
Berbicara tentang persoalan Islam dikaitkan dengan tradisi, terdapat dua hal penting yang perlu dipikir ulang (rethought)
menurut Charles J. Adams, yaitu Islam dan agama.[1] Dua hal itu merupakan kata kunci yang menjadi kegelisahan akademikAdams sehingga ia berkeinginan menggagas sebuah formulasi pendekatan studi Islam yang tepat dalam mengkaji persoalan
Islam, agama, dan tradisi.
Persoalan yang pertama, Islam, berkenaan dengan betapa sulitnya membuat garis pemisah yang jelas antara mana wilayah
yang Islami dan yang tidak. Banyak orang yang masih takut membuat penjelasan atau jawaban ketika ditanya tentang Islam,
apalagi jika jawaban itu berbeda dan kontradiktif dari persepsi yang selama ini telah terbangun. Padahal, menurut Adams,
mustahil menjelaskan dan menemukan pemahaman esensi Islam yang dapat mencapai kesepakatan universal.[2]
Dalam konteks ini, maka selain Islam harus dipahamidalam perspektif sejarahsebagai sesuatu yang selalu berubah(change) dan berkembang (evolve), generasi Muslim harus mampu pula merespon kenyataan dunia (vision of reality) danmakna kehidupan manusia (meaning of human life). [3] Dengan demikian Islam bukanlah sesuatu yang satu. Islam tidak
hanya sistem kepercayaan dan ibadah, tetapi multisistem dalam historisitas yang selalu berubah dan berkembang.[4] CharlesJ. Adams mengatakan:
Thus Islam cannot be one thing but rather is many systems, not a system of beliefs and practices, etc., but many systems(or
non systems) in a never ceasing flux of development and changing relations to evolving historical situations.[5]
Sedangkan, menyangkut persoalan kedua, agama, Adamsmengutip dari W.C. Smithmengungkapkan bahwa terdapat
persoalan yang sangat rumit ketika ada yang memahami agama (Islam) sebagai tradisi (tradition) dan sebagai kepercayaan(faith) an sich.[6] Agar lebih sederhana, penulis mengilustrasikan dalam tabel berikut:
| Tradition | Faith || External | Internal |
| Observe social | Ineffable (tak terkatakan)| Historical aspect | Transendentally orientedof religiousness
| | Private dimension of religious life
Dua pemahaman yang berbeda di atas, sama-sama berdiri kokoh. Di satu sisi, aliran tradisi menghendaki pendekataan agamadilakukan dalam frame yang bersifat eksternalistik, sosial, dan historis, pada sisi yang lain, aliran faith menghendaki agaragama dimaknai dari sisi yang berkarakter internalistik, innefable, transenden, dan berdimensi privat.
http://cfis.uii.ac.id/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=32&itemid=87http://cfis.uii.ac.id/index2.php?option=com_content&task=view&id=32&pop=1&page=0&Itemid=87http://cfis.uii.ac.id/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=32&itemid=87http://cfis.uii.ac.id/index2.php?option=com_content&task=view&id=32&pop=1&page=0&Itemid=87 -
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
2/20
Agar dapat mencerna dan memahami dua model pemahaman agama yang saling bertolak belakang tersebut, Adams
terdorong melakukan penelitian dalam konteks studi Islam. Bagaimanapun juga, menurutnya, agama memiliki dua sisi yang
tak terpisahkan, pengalaman batiniah (inward experience) dan sikap keberagamaan lahiriah (outward behavior). Begitu juga,para mahasiswa Islamic studies harus mampu mencurahkan segala kemampuannya dalam mengeksplorasi keduanya.
Selain itu, persoalan agama yang tersisa, menurut Adams, adalah terlalu banyaknya definisi tentang agama. Kendatiseseorang dapat menemukan pemahaman terhadap agamadalam pengertian umumyang dapat memuaskannya, tetapi masih
terdapat pertanyaan yang harus dijawab, misalnya, dalam konteks agama apa seseorang dapat menemukan pemahaman yangutuh terhadap agama, Islamkah atau yang lain? Atau taruhlah keberagamaan seseorang dapat dilihat dari keyakinan terhadap
doktrin agama, pelaksanaan ibadah, moral yang baik, partisipasinya dalam kehidupan sosial, pertanyaan kemudian adalahapakah beberapa hal itu mencukupi untuk memahami agama? Bukankah masih ada hal lain di balik itu semua, seperti
pengalaman keagamaan yang bersifat individual dan gnostic yang tidak dapat terukur?[7]
Bertolak dari beberapa masalah di atas, baik seputar Islam maupun agama, penulis berusaha merumuskan beberapakegelisahan akademik Charles J. Adams dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: bagaimana Islam dan agama selayaknya
dipahami? Pendekatan apa yang dapat digunakan dalam mengkaji persoalan Islam dan agama?
Pentingnya Topik Penelitian
Penelitian Charles J. Adams, sejauh amatan penulis, memiliki nilai signifikansi paling tidak dalam dua hal, yaitu:
Pertama, beberapa universitas (baik di Barat maupun di daerah lainnya) masih menyimpan sejumlah masalah dalammengadakan studi Islam secara netral dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah. Penelitian yang dilakukan oleh Adamsini memiliki nilai kontributif yang sangat signifikan dan urgen dalam memecahkan problem studi Islam di lembaga akademik
(universitas), terutama dalam hal pendekatan dan metodologi yang akan dipakai.
Kedua, kebuntuan yang terjadi di kalangan mahasiswa (baik di Barat maupun Timur) dalam mempelajari studi agama. Di
satu pihak, mahasiswa dituntut agar dapat memahami agama dalam orientasi akademik, pada pihak yang lain, mereka harusmenjaga nilai transendetal dari agama.
Penelitian Terdahulu
Dalam mengkaji persoalan agama dan Islam, Charles J. Adams telah menelaah karya-karya peneliti sebelumnya, di antaranya
von Grunebaum, W.C. Smith, Kenneth Gragg.
von Grunebaum mengemukakan bahwa kesadaran umat Islam telah beralih dari heterogenetic kepada orthogenetic. Pendapatini dipakai oleh Adams, ketika ia menjelaskan bahwa dunia Islam dewasa ini dihadapakan pada persoalan yang cukup
dilematis ketika berhubungan dengan modernitas, di mana umat Islam hanya dapat pasrah pada keadaan dan bergantung pada
takdir Tuhan.[8]
W.C. Smith seperti dirujuk oleh Adams, menjelaskan problem keagamaan baik pada tataran pengalaman keagamaan secarabatin maupun sikap keberagamaan secara lahir dengan membuat pembedaan yang jelas antara sisi tradisi empiris pada agama
dan sisi kepercayaan doktrinal pada agama. Yang pertama berkait erat dengan wilayah eksternal, penelitian sosial, dan aspek
historis dari keberagamaan itu sendiri. Sedang yang kedua menyangkut wilayah internal, innefable, orientasi transendental,
dan dimensi kehidupan agama yang sangat privat.[9]
Kenneth Gragg dalam pandangan Adams adalah seorang yang sangat mumpuni dalam kajian Arab dan seorang theolog yangexcellent. Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup berhasil
menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang
menjiwai tradisi Islam. Hal ini, menurutnya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataanini.[10]
Pendekatan Penelitian
Berbicara mengenai kajian Islam, Charles J. Adams mempunyai uraian tersendiri dalam penjelasannya tentang pendekatanyang ia lakukan. Berdasar pada kegelisah akademik yang telah dijelaskan di bagian awal tulisannya, pendekatan studi Islam
yang ia tawarkan merupakan jalan keluar atas persoalan yang terjadi di beberapa universitas di Barat. Persoalan itu adalah
kesulitan universitas dalam mengadakan studi agama yang netral[11] ketika mengkaji sisi normativitas dan filosofis agama.
Oleh karena itu, Charles J. Adams membuat formulasi baru pendekatan dalam pengkajian Islam. Menurutnya, terdapat duapola pendekatan untuk mengkaji Islam, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif.
Tentu saja, dua pendekatan ini tidak muncul seketika. Adams menjelaskan bahwa dua pendekatan ini terilhami oleh realitasketika seseorang mengkaji Islam (atau agama lainnya) dengan tujuan agar lebih kokoh keislaman dan kepercayaannya
(proselytizing) pada satu sisi, dan pada sisi yang lain, ada yang didasarkan atas dorongan intelektual (intellectual curiosity)
semata karena melihat adanya persoalan agama yang cukup kompleks dalam konteks sosial.[12]
Penjelasan lebih detail dan komprehensif tentang dua pendekatan di atas, dapat dilihat pada uraian berikut ini.
-
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
3/20
Pendekatan normatif. Pendekatan ini, oleh Adams diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Pendekatan missionaris tradisional
Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh gereja-gereja, aliran, dan sekte dalam Kristen.
Gerakan ini menyertai dan sejalan dengan pertumbuhan kehidupan politik, ekonomi, dan militer di Eropa yang sangatberpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Asia dan Afrika. Sebagai konsekuensi logis dari gerakan itu, banyak
misionaris dari kalangan Kristen yang pergi ke Asia dan Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk merubah suatukomunitas masyarakat agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban Barat.[13]
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola
hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa
daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengandemikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai
pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam.[14]
Dalam konteks itukarena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen, maka Charles J. Adams
berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alatpendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan missionaris tradisional (traditionalmissionaris approach) dalam studi Islam.
2. Pendekatan apologetik
Di antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu adalah keasyikannya (preoccupation) dengan
pendekatan apologetik dalam studi agama. Dorongan untuk menggunakan pendekatan apologetik dalam khazanah pemikirankeislaman semakin kuat. Di sebagian wilayah dunia Islam, seperti di India, cukup sulit ditemukan penulis yang tidakmenggunakan pendekatan apologetik. Perkembangan pendekatan apologetik ini dapat dimaknai sebagai respon mentalitas
umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada kenyataan modernitas. Selain itu, apologetikini muncul didasari oleh kesadaran seorang yang ingin keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari jerat
penjajahan peradaban Barat.[15]
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam
dalam banyak hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas
keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencobamenghadirkan Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakanunsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama, metode yang berusaha mempertahankan dan
membenarkan kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional
asal muasal ilahi dari iman. Ketiga, apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan danmembenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekuranganinternal. Karena, di satu pihak, apologetik menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama
yang pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam
isi.[16]
3. Pendekatan irenic
Yang ketiga ini ada semacam usaha untuk membuat jembatan antara cara pandang para orientalis terdahulu yang penuh
dengan motivasi negatif dan para pengikut Islam yang merasa hasil kajian para orientalis tersebut banyak mengandung
penyimpangan.
Sejak Perang Dunia II, gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itubertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikapapresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat,
khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antaraumat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi
kegamaan dan bangsa.[17]
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan irenic.[18] Usaha ini pernah dilakukan oleh
uskup Kenneth Gragg, seorang yang mumpuni dalam kajian Arab dan teologi.[19] Melalui beberapa seri tulisannya yangcukup elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum
Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugasbagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah W.C. Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku
dan tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas (perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan
agama (religious diversity) merupakan karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama (religousexclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia.
-
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
4/20
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu: pertama, pertanyaan ilmiah
(scientific question) untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi. Kedua,
pertanyaan teologis (theological question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama danketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.[20]
Pendekatan deskriptif. Dalam pendekatan yang bersifat deskriptif, Adams membagi ke dalam tiga komponen, yaitu:
Pendekatan filologis dan sejarah
Adams mengemukakan bahwa tidak dapat dipungkiri pengetahuan yang paling produktif dalam studi Islam adalah filologisdan historis. Lebih dari 100 tahun sarjana Islam dibekali dengan dasar bahasa dan mendapat training metode filologis yang
dapat mengantarkan kepada pemahaman teks sebagai bagian dari warisan klasik.[21]
Hasil dari studi dengan pendekatan filologis, menurut Adams, adalah sebuah sumber pustaka (literatur) yang dapatmenyentuh semua aspek kehidupan dan kesalihan umat Islam. Tidak hanya menjadi rujukan pengetahun Barat tentang Islam
dan sejarahnya, filologis juga memainkan peranan penting di dunia Islam. Outcome dari pendekatan filologis dan historis inisebagian besar telah dimanfaatkan oleh para intelektual, politisi, dan sebagainya. Selain itu, filologi harus turut andil dalam
studi Islam. Hal terpenting yang dimiliki oleh mahasiswa Muslim adalah kekayaan literatur klasik seperti sejarah, teologi,dan mistisisme. yang kesemuanya tidak mungkin dipahami tanpa bantuan filologi.[22]
Penelitian agama dengan menggunakan pendekatan filologi dapat dibagi dalam tiga pendekatan, yaitu tafsir, content analysis,
dan hermeneutika. Ketiga pendekatan tersebut tidak terpisah secara ekstrim. Pendekatan-pendekatan itu bisa over lapping,saling melengkapi, atau bahkan dalam sudut tertentu sama.[23] Filologi berguna untuk meneliti bahasa, meneliti kajianlinguistik, makna kata-kata dan ungkapan terhadap karya sastra.[24]
Sedangkan sejarah atau historis merupakan ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsurtempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak
menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanyakesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.[25]
Ada dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisis sejarah. Pertama, kegunaan dari konsep periodesasi dan derivasi darinya.Kedua, rekonstruksi proses genesis, perubahan, dan perkembangan.dengan analisis ini, manusia dapat dipahami secara
kesejarahan.[26]
Kendati Adams menyebut pendekatan ini dengan filologis historis, tampaknya ia lebih cenderung kepada yang pertama,karena porsi penjelasan tentang filologis lebih besar dari pada historis. Bisa jadi, karena hubungan antara kedua pendekatanitu sangat erat sehingga bagi Adams berbicara filologis termasuk di dalamnya pendekatan historis.[27]
Pendekatan ilmu-ilmu sosial
Sangat sulit untuk mendefinisikan apa yang disebut dengan pendekatan ilmu sosial terhadap studi agama terutamasemenjak terdapat banyak pendapat di kalangan ilmuwan tentang alam dan validitas studi yang mereka gunakan.[28]
Dalam wilayah studi agama, usaha yang ditempuh oleh pakar ilmu sosial adalah memahami agama secara objektif dan
peranannya dalam kehidupan masyarakat. Tujuannya agar dapat menemukan aspek empirik dari keberagamaan berdasarkan
keyakinan bahwa dengan membongkar sisi empirik dari agama itu akan membawa seseorang kepada agama yang lebihsesuai dengan realitasnya, profan (membumi).[29] Walaupun ilmu ini juga mempunyai kekurangan, yaitu melakukan reduksi
pemahaman seseorang terhadap agama.
Salah satu ciri dari ilmu sosial ini adalah kecenderungannnya untuk melakukan studi tentang manusia dengan cara membagidan memetakan aktivitas masyarakat ke dalam beberapa kategori.
Dalam diskursus penelitian agama di Indonesia, Mukti Ali misalnya menyatakan bahwa Islamisis dan atau agamawan lebihcenderung untuk mempelajari ilmu sosial. Hal ini disebabkan karena: pertama, salah satu ciri pemikiran ahli agama adalah
spekulasi teoritis. Menurut mereka pemikiran spekulasi teoritis itu ternyata tidak dapat memecahkan masalah. Kedua, merekamenyadari bahwa usaha memahami masyarakat religius harus juga didekati dengan metode empiris, dengan demikian ilmu
sosial menjadi perlu. Ketiga, dalam kasus tertentu, pendekatan secara deduktif seringkali menimbulkan kekecewaan.
Untuk hal ini, maka selain pendekatan secara deduktif, pendekatan secara induktif harus dikembangkan, yaitu mengajukanberabagi macam fakta sebagai bukti kebenaran yang umum. Dalam konteks ini, mutlak diperlukan penguasaan terhadap ilmu
pengetahuan sosial.[30]
Menurut Atho Mudzhar, agama merupakan gejala sosial dan budaya.[31] Cakupan objek studi agama (Islam) dalamperspektif sosiologis, menurutnya, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tema kajian, yaitu (1) pengaruh agama terhadapmasyarakat, (2) pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan, (3)
tingkat pengamalan beragama masyarakat, (4) pola interaksi sosial masyarakat muslim, dan (5) gerakan masyarakat yang
membawa paham yang dapat melemahkan atau menunjang kehidupan beragama.[32]
Pendekatan fenomenologis
-
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
5/20
Terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi agama. Pertama, fenomenologi adalah metode untuk
memahami agama sesorang yang termasuk di dalamnya usaha sebagian sarjana dalam mengkaji pilihan dan komitmen
mereka secara netral sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skemataksonomik untuk mengklasifikasi fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara umum,
pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi keberagamaan semua manusia secara
sama, tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu dan perbedaan budaya masyarakat.[33]
Arah dari pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang apa yang yang disebut denganritual dan uapacara keagamaan, doktrin, reaksi sosial terhdap pelaku drama keagamaan. Sebagai sebuah ilmu yang relatif
kebenarannya, pendekatan ini tidak dapat berjalan sendiri. Secara operasioonal, ia membutuhkan perangkat lain, misalnyasejarah, filologi, arkeologi, studi literatur, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.[34]
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang secara harfiahberarti gejala atau apa ayng telahmenampakkan diri sehingga nyata bagi kita. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Dalam operasionalnya,fenomenologi agama menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran-
pikiran, perasaan-perasaan, ide-ide, emosi, maksud, pengalaman, dan sebagainya dari seseorang yang diungkapkan dalamtindakan luar.[35]
Pendekatan fenomenologi berusaha memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental tentang fenomenakeberagamaan manusia. Pendekatan fenomenologi berupaya untuk mencari esensi keberagamaan manusia. Usaha
pendekatan fenomenologi agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-
empiris ke pangkalannya agar tidak terlalu jauh melampaui batas-batas kewenangannya.[36]
Untuk memahami Islam dan agama terkait dengan tradisi, ternyata tidak cukup dengan hanya menjelaskan dua pendekatan di
atas. Agar komprehensif dan sistematis, penjelasan Admas juga disertai dengan pemaparan tentang objek kajian agama.
Oleh karena itu, setelah menjelaskan pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam studi Islam tersebut, Adams juga
memetakan wilayah kajian studi Islam. Adams mengelompokkan studi Islam menjadi: (1) Arabia pra-Islamic (pre-IslamicArabia) (2) Kajian tentang Rasul (studies of the Prophet) (3) Kajian al-Qur'an (Quranic studies) (4) Hadits (prophetic
tradition) (6) Hukum Islam (Islamic law) (7) Filsafat (falsafah) (8) Tasawuf (tasawwuf) (9) Aliran dalam Islam (the Islamicsects) (10) Ibadah (worship and devotional life) (11) dan Agama Rakyat (popular religion).
Ruang Lingkup dan Istilah Kunci Penelitian
Ruang lingkup penelitian yang dilakukan Adams adalah Islam dan agama. Berkenaan dengan dua hal tersebut, pertanyaanmendasar yang muncul adalah bagaimana masing-masing dari keduanya dipahami serta pendekatan apa yang dapat dipakaiuntuk memahami keduanya. Berangkat dari dua kunci pokok tersebut, menurut Adams, terdapat pendekatan normatif dan
deskriptif dalam studi Islam.
Dengan demikian, ruang lingkup dan atau istilah kunci dalam penelitian Adams ini antara lain: pendekatan normatif:pendekatan misisonaris tradisional, pendekatan apologetik, dan pendekatan irenic, pendekatan deskriptif: pendekatanfilologis dan sejarah, pendekatan ilmu-ilmu sosial, dan pendekatan fenomenologis.
Sumbangan Terhadap Pengetahuan
Penelitian yang dilakukan oleh Charles J. Adams ini memiliki sumbangan yang besar terhadap dua hal, pertama, penelitianyang dilakukan oleh Adams ini memiliki nilai kontributif yang sangat signifikan dan urgen dalam memecahkan problemstudi Islam di lembaga akademik (universitas), terutama dalam hal pendekatan dan metodologi yang akan dipakai. Kedua,
penelitian ini membantu mereka untuk memahami agama, baik dalam konteks historis-empiris maupun normatif-teologis.
Sumbangan yang lain adalah gagasan agar dilakukannya pengembangan terhadap studi Islam masa depan (future studies).
Sederhananya, Adams memberikan rekomendasi kepada para mahasiswa Islamic studies agar memprioritaskan kajiansebagai berikut: (1) studi al-Quran terutama yang terkait dengan ide dan pandangan dunia al-Quran, (2) sejarah teologiIslam masa awal, lebih spesifik lagi kajian tentang Mutazilah, (3) studi tentang sufi, (4) studi tentang syiah dengan fokus
keunikan dan kekayaan kontribusi Syiah bagi ilmu agama, dan (5) studi Islam dalam konteks metode dengan pendekatanilmiah serta sejarah agama (religionwissenschaft).
Sistematika Penulisan
Tulisan Charles J. Adams ini dimulai dengan pembahasan tentang Islam dan agama. Setalah menjelaskan tentang persoalandalam Islam dan agama secara umum, Adams menwarkan dua pendekatan dalam studi Islam, yaitu pendekatan normatif
(yang terdiri dari pendekatan misionaris tradisional, pendekatan apologetik, dan pendekatan irenic) dan pendekatandeskriptif(yang mencakup pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan ilmu sosial,dan pendekatan fenomenologis).Selanjutnya Adams, membagi wilayah kajian Islam ke dalam 11 aspek. Pada bagian terakhir tulisannya, Adams memberikan
beberapa rekomendasi untuk pengambangan studi Islam masa depan.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Relevansi Studi Agama-Agama dalam Milenium Ketiga dalam Amin Abdullah dkk., Mencari Islam
-
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
6/20
(Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
________, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
________, Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius dalam Ahmad Baidowi,
dkk (Ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, Yogyakarta: SUKA-Press, 2003.
Adams, Charles J., Islamic Religious Tradition dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research andScholarship in the Humanities and the Social Science, Canada: John Wiley and Sonc, Inc, 1976.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000.
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
________, Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam dalam Amin Abdullah dkkk., Mencari Islam: Studi Islam
dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, Jakarta:Sinar Harapan, 1982.
Nasution, Khoiruddin, Pembidangan Ilmu dalam Studi Islam dan Kemungkinan Pendekatannya dalam Amin Abdullah
dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2002.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
O Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Rosdakarya, 2001.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman dalam Taufik Abdullah (Ed.), Metodologi PenelitianAgama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
[1] Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research
and Scholarship in the Humanities and the Social Science (Canada: John Wiley and Sonc, Inc, 1976), hlm. 29.
[2] Ibid., hlm. 31.
[3] Ibid.
[4] Hal ini selaras dengan pendapat M. Amin Abdullah yang menyatakan bahwa dalam diskursus keagamaan kontemporertelah dijelaskan bahwa agama mempunyai banyak wajah (multifaces), bukan lagi berwajah tunggal. Agama tidak lagidipahami sebagai hal yang semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, credo, pandangan hidup, dan
ultimate concern. Selain sifat konvensionalnya, tenyata agama juga terkait erat dengan dengan persoalan-persoalan historis-
kultural yang merupakan keniscayaan manusiawi belaka.. Lebih lanjut baca Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi
Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius dalam Ahmad Baidowi, dkk (Ed.), Rekonstruksi Metodologi
Ilmu-Ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA-Press, 2003), hlm. 4.
[5] Charles J. Adams, op. cit., hlm. 31.
[6] Ibid.., hlm. 33.
[7] Ibid., hlm. 32-33.
[8] Ibid., hlm. 30.
[9] Ibid., hlm. 33.
[10] Ibid., hlm. 38.
-
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
7/20
Rabu, 04 November 2009
PENDEKATAN HISTORIS DALAM STUDI ISLAM
PENDEKATAN HISTORIS DALAM STUDI ISLAMPendahuluan
Munculnya istilah Studi Islam yang di dunia Barat dikenal dengan istilah Islamic Studies, dalam dunia Islam dikenaldengan Dirasah Islamiyah, sesungguhnya telah didahului oleh adanya perhatian besar terhadap disiplin ilmu agama yang
terjadi pada abad ke sembilan belas di dunia Barat. Perhatian ini di tandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidangkeagamaan, seperti: bukuIntruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele
(1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama
seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dansebagainya. Amirika menghasilkan tokoh seperti William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of
Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaidedari Rumania. Itulah sebagian nama yang dikenal dalam dunia ilmu agama, walaupun tidak seluruhnya dapat penulis
sebutkan di sini.Tidak hanya di Barat, di Asia pun muncul beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang muncul J. Takakusu yang berjasa
memperkenalkan Budhisme pada penghujung abad kesembilan belas dan T. Suzuki dengan sederaetan karya ilmiahnya
tentang Zen Budhisme. India mempunyai S Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun filsafat India, Moses D.Granaprakasam, Religious Truth an relation between Religions (1950), dan Dr. P. D. Devanadan, penulis The Gospel and
Renascent Hinduism, yang diterbitkan di London pada 1959.
Berbeda dengan dunia Barat, Ilmu Agama (baca: Studi Islam) di dunia Islam telah lama muncul. Dalam dunia Islamdikenal bebera tokoh dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang yurisprudensi (hukum) dikenal tokoh seperti Abu Hanifah,
Al-SyafiI, Malik, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir dikenal tokoh seperti Al -Thabary, Ibn Katsir, Al-Zamahsyari, dan sebagainya pada sekitar abad kedua dan keempat hijriyah. Dan akhirnya muncul tokoh-tokoh abad
kesembilan belas seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Abad kedua puluh seperti Musthafa al-Maraghy, penulisTafsir al-Maraghy. Di bidang kalam pun muncul tokh-tokoh besar dari berbagai aliran: Khawarij, Murjiah, Syiah,
Asyariyah, dan Mutazilah. Penulis bidang ini antara lain; al -Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughny dan Syarah al-Ushul
al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf melahirkan tokoh-tokoh seperti al-qusyairi yang terkenal dengan Kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-Sarraj al-Thusy (w. 378 H), penulis al-Luma, Al-Kalabadzi, penulis al-
taarruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abdul Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy, dansebagainya.
Walaupun secara realitas studi ilmu agama (baca: studi Islam [agama]) keberadaannya tidak terbantahkan, tetapi
dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah ia (Studi Islam) dapat dimasukkan ke dalambidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di
sekitar permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah misalnya mengatakan jikapenyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah
keagamaan di kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar
bangku sekolah? Merespon sinyalemen tersebut menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scopewilayah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara
yang bersifat normative dan histories. Pada tataran normativ kelihatan Islam kurang pas kalau dikatakan sebagai disiplinilmu, sedangkan untiuk dataran histories nampaknya relevan.
Tidak hanya kesukaran yang dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen dan guru juga mengalami hal
yang sama. Banyak dijumpai seorang guru atau dosen yang tidak mengerti fungsi dan substansi mata pelajaran atau matakuliah yang diajarkan. Sehingga banyak murid atau mahasiswa yang tidak memahami apa yang mereka pelajari, sungguh
ironis.Pada tataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak,
romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentuyang masih sangat terbatas.
Dengan demikian secara sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaimana yangterdapat dalam al-Quran dan Hadits, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya
paradigma ilmu pengetahuan yaitu paradigma analitis, kiritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama Islam lebihbersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Sedangkan jika dilihat dari segi historis, yakni Islam dalam arti yang
dipraktekkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai
sebuah disiplin ilmu yaitu Ilmu Ke-Islaman,Islamic Studies, atauDirasah Islamiyah.Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri.
Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitandengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak
dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).Selanjutnya studi Islam sebagaimana yang dikemukakan di atas, berbeda pula dengan apa yang disebut sebagai SainsIslam. Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyed Husen Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum
muslimin sejak abad kedua hijriyah, seperti kedokteran, astronomi, dan lain sebagainya.Dengan demikian sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern yang dibangun atas arahan nilai-nilai Islami.
Sementara studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan
kehidupan manusia. Sedangkan pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allahdan Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi oleh sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-Quran dan
akhlak.Berdasarkan uraian di atas, berkenaan dengan Studi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri sangat terkait erat
dengan persoalan metode dan pendekatan yang akan dipakai dalam melakukan pengkajian terhadapnya. Inilah yang menjadi
topik utama dalam kajian makalah ini.
-
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
8/20
Metode dan pendekatan dalam Studi Islam mulai diperkenalkan oleh para pemikir Muslim Indonesia sekita tahun 1998
dan menjadi mejadi matakuliah baru dengan nama Metodologi Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup PerguruanTinggi Agama Islam di Indonesia tanpa silabi yang jelas.
Pertumbuhan dan Obyek Studi Islam
Sebelum masuk ke dalam pembahasan tentang metode dan pendekatan dalam Studi Islam terlebih dahulu penulisjelaskan mengenai pertumbhan dan obyek Studi Islam. Studi Islam, pada masa-masa awal, terutama masa Nabi dan sahabat,
dilakukan di Masjid. Pusat-pusat studi Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, Sejarawan Islam kontemporer,berada di Hijaz berpusat Makkah dan Madinah; Irak berpusat di Basrah dan Kufah serta Damaskus. Masing-masing daerah
diwakili oleh sahabat ternama.
Pada masa keemasan Islam, pada masa pemerintahan Abbasiyah, studi Islam di pusatkan di Baghdad, Bait al-Hikmah.Sedangkan pada pemerintahan Islam di Spanyol di pusatkan di Universitas Cordova pada pemerintahan Abdurrahman III
yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah dari kalanganSyiah.
Studi Islam sekarang berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik Islam maupun yang bukan Islam. DiIndonesia studi Islam dilaksanakan di UIN, IAIN, STAIN. Ada juga sejumlah Perguruan Tinggi Swasta yang
menyelengggarakan Studi Islam seperti Unissula (Semarang) dan Unisba (Bandung). Studi Islam di negara-negara non Islam
diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di AligarchUniversity India, Studi Islam di bagi mnjadi dua: Islam sebagai doktrin di kaji di Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua
jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab Syiah. Sedangkan Islam dari Aspek sejarah di kaji di
Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jamiah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program di kaji diFakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian Studies, dan Political Science.
Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan di Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada di bawahPusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Dilembaga ini, kajian Islam lebih
mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab. DiAmerika, studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan
ilmu-ilmu social. Studi Islam di Amirika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.
Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen. Pertama, doktrin dan sejarah Islam; kedua, bahasa Arab;ketiga, ilmu-ilmu social, sejarah, dan sosiologi. Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African
Studies (Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika) yang memiliki berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan Afrika.Dengan demikian obyek studi Islam dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu, sumber-sumber Islam, doktrin
Islam, ritual dan institusi Islam, Sejarah Islam, aliran dan pemikiran tokoh, studi kawasan, dan bahasa.
Metode dan Pendekatan dalam Studi Islam
Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) menjadi disiplin ilmu tersendiri. Maka telebih dahulu harus di
bedakan antara kenyataan, pengetahuan, dan ilmu. Setidaknya ada dua kenyataan yang dijumpai dalam hidup ini. Pertama,kenyataan yang disepakati (agreed reality), yaitu segala sesuatu yang dianggap nyata karena kita bersepakat menetapkannya
sebagai kenyataan; kenyataan yang dialami orang lain dan kita akui sebagai kenyataan. Kedua, kenyataan yang didasarkan
atas pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya dua jenis kenyataan itu, pegetahuan pun terbagimenjadi dua macam; pengetahuan yang diperoleh melalui persetujuan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman
langsung atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh dengan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain karena kitatidak belajar segala sesuatu melalui pengalaman kita sendiri.
Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, tetapi ada satu hal yang mesti diingat, bahwa setiap tipe pengetahuan
mengajukan tuntutan (claim) agar orang membangun apa yang diketahui menjadi sesuatu yang sahih (valid) atau benar(true). Kesahihan pengetahuan benyak bergantung pada sumbernya. Ada dua sumber pengetahuan yang kita peroleh melalui
agreement: tradisi dan autoritas. Sumber tradisi adalah pengetahuan yang diperoleh melalui warisan atau transmisi darigenerasi ke generasi (al-tawatur). Sumber pengetahuan kedua adalah autoritas (authority), yaitu pengetahuan yang
dihasilkan melalui penemuan-penemuan baru oleh mereka yang mempunyai wewenang dan keahlian di bidangnya.Penerimaan autoritas sebagai pengetahuan bergantung pada status orang yang menemukannya atau menyampaikannya.Berbeda dengan pengetahuan, ilmu dalam arti science menawarkan dua bentuk pendekatan terhadap kenyataan
(reality), baik agreed reality maupun experienced reality, melalui penalaran personal, yaitu pendekatan khusus untukmenemukan kenyataan itu. Ilmu menawarkan pendekatan khusus yang disebut metodologi, yaitu ilmu untuk mengetahui.
Metode terbaik untuk memperoleh pengetahuan adalah metode ilmiah (scientific method). Untuk memahami metodeini terlebih dahulu harus dipahami pengertian ilmu. Ilmu dalam arti science dapat dibedakan dengan ilmu dalam arti
pengetahuan (knowledge). Ilmu adalah pengetahuan yang sistematik. Ilmu mengawali penjelajahannya dari pengalaman
manusia dan berhenti pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian ini tidak mempelajari ihwal surga maupun nerakakarena keduanya berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Demikian juga mengenai keadaan sebelum dan sesudah
mati, tidak menjadi obyek penjelajahan ilmu. Hal-hal seperti ini menjadi kajian agama. Namun demikian, pengetahuanagama yang telah tersusun secara sistematik, terstruktur, dan berdisiplin, dapat juga dinyatakan sebagai ilmu agama.
Menurut Ibnu Taimiyyah ilmu apapun mempunyai dua macam sifat: tabidan matbu. Ilmu yang mempunyai sifatyang pertama ialah ilmu yang keberadaan obyeknya tidak memerlukan pengetahuan si subyeknya tentang keberadaan obyektersebut. Sifat ilmu yang kedua, ialah ilmu yang keberadaan obyeknya bergantung pada pengetahuan dan keinginan si
subyek.Berdasarkan teori ilmu di atas, ilmu di bagi kepada dua cabang besar. Pertama ilmu tentang Tuhan, dan kedua ilmu
tentang makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Ilmu pertama melahirkan ilmu kalam atau teology, dan ilmu kedua melahirkan
ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan metodologi dalam arti umum. Ilmu-ilmu kealaman dengan menggunakan metode ilmiahtermasuk kedalam cabang ilmu kedua ilmu ini.
Ilmu pada kategori kedua, menurut Ibnu Taimiyyah dapat dipersamakan dengan ilmu menurut pengertian para pakarilmu modern, yakni ilmu yang didasarkan atas prosedur metode ilmiah dan kaidah-kaidahnya. Yang dimaksud metode di sini
adalah cara mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematik. Sedangkan kajian mengenai kaidah-kaidah dalam
metode tersebut disebut metodologi. Dengan demikian metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hipotetico-
-
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
9/20
verifikasi yang merupakan gabungan dari metode deduktif dan induktif. Dalam kontek inilah ilmu agama dalam Studi Islam
(Islamic Studies) yang menjadi disiplin ilmu tersendiri, harus dipelajari dengan menggunakan prosedur ilmiah. Yakni harusmenggunakan metode dan pendekatan yang sistematis, terukur menurut syarat-syarat ilmiah.
Dalam studi Islam dikenal adanya beberapa metode yang dipergunakan dalam memahami Islam. Penguasaan dan
ketepatan pemilihan metode tidak dapat dianggap sepele. Karena penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkanseseorang dapat mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan
menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Oleh karenanya disadari bahwa kemampuan dalam menguasai materikeilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat
dikembangkan.
Diantara metode studi Islam yang pernah ada dalam sejarah, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama,metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam
tersebut dengan agama lainnya. Dengan cara yang demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh.Kedua metode sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang
rasional, obyektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normatif.Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang nampak dalam kenyataan historis, empiris, dan sosiologis.
Sedangkan metode teologis normative digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode
teologis normative ini seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan kerena agama berasal dari Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agamapun mutlak benar.
Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan
manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dpandang tidak cukup lagi, sehingga
diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak
pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis normatif, antropologis,sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan, dan pendekatan filodofis.
Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), adalah cara pandang atau paradigma
yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, JalaluddinRahmat, menandasakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang
diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada persoalan apakahpenelitian agama itu penelitian ilmu social, penelitian filosofis, atau penelitian legalistik.
Mengenai banyaknya pendekatan ini, penulis tidak akan menguraikan secara keseluruhan pendekatan yang ada,
melaikan hanya pendekatan historis sesuai dengan judul di atas, yakni pendekatan historis. Sejarah atau histories adalahsuatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang,
dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa ituterjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari
keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis denganyang ada di alam empiris dan historis. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena gama
itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan iniKuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah.
Ketika ia mempelajari al-Quran ia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Quran itu terbagi
menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapati banyak sekali istilah al-Quran yang merujuk kepada
pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan padaumumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal
oleh masyarakat Arab pada waktu al-Quran, atau bias jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukungadanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah itu kemudian dintegrasikan ke dalampandangan dunia al-Quran, dan dengan demikian, lalu menjadi onsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konseptentang Allah, Malaikat, Akherat, maruf, munkar, dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak. Sedangkan konsep tentang
fuqara, masakin, termasuk yang konkret. Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep, al-Quran bermaksudmembentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi kisah dan
perumpamaan, al-Quran ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan denganpenerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang
yang ingin memahami al-Quran secara benar misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Quran ataukejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Quran yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada
intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Quran. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkadungdalam suatu ayat yang berkenaan dengan hokum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari at dari kekeliruanmemahaminya.
D. PenutupBerdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan sejarah dalam studi islam diperlukan
untuk melihat hakikat realitas sebenarnya dari sebuah peristiwa yang menyangkut islam. Dari keadaan ini seseorang akan
melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris danhistoris. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena gama itu sendiri turun dalam situasi
yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Bagaimanapun pendekatan sejarah dalam studi Islammerupakan hal penting yang tidak dapat diabaikan begitu saja bagi seseorang yang ingin memahami Islam dengan benar.
-
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
10/20
DAFTAR PUSTAKASumber Buku :Abdullah, Amin. (1996). Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Ombak.Abdul Hakim, Atang dan Mubarok, Jaih. (2007).Metodologi Studi Islam. Bandung: Rosda.
Abdullah, Taufik. (1987). Sejarah dan Masyarakat.Jakarta: Pustaka Firdaus.Abdullah, Taufik dan Karim, Rusli. (1990). Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta.Babbie, Earl. (1986). The Practice of Social Research.California: Wadasworth Publishing Co.
Nata, Abudin. (1998).Metodologi Studi Islam.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasr, Sayyed Husen. (1995).Menjelajah Dunia Modern, (terj.) Hasti tarekat, dari judul asliA Young Muslims Guide in TheModern World. Bandung: Mizan.
Praja, Juhaya S. (2002).Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia.Jakarta: Teraju.Sumardi, Mulyanto. (1982).Penelitian Agama.Jakarta: Sinar Harapan.
http://hetiindriawati.blogspot.com/2009/11/pendekatan-historis-dalam-studi-islam.html
http://hetiindriawati.blogspot.com/2009/11/pendekatan-historis-dalam-studi-islam.htmlhttp://hetiindriawati.blogspot.com/2009/11/pendekatan-historis-dalam-studi-islam.htmlhttp://hetiindriawati.blogspot.com/2009/11/pendekatan-historis-dalam-studi-islam.html -
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
11/20
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PENDEKATAN MULTIDISIPLINER: Suatu Pengantar Kajian Gradual Menuju
Paradigma Global
16 f 2009 pada 5:02 am (Agama)Tags:Pendidikan
PendahuluanPerubahan dalam realitas merupakan suatu hukum alam dan juga merupakan realitas keagungan Tuhan yang harus disikapi
secaraflexible. Perubahan yang terus bergulir akan mengubah perspektif yang memandang dunia ini penuh keteraturanmenjadi dunia yang turbulen. Hal tersebut diindikasikan dengan berubahnya fase newtonian menjadi fase quantum dan
economicalcapitalmenjadi intellectual capital. Perubahan-perubahan ini juga akan berimbas pada realitas konsumtif
menuju realitas reinventorbahkan juga membangun realitas kompetitif-regional menjadi realitas kompetitif-global.Perubahan tersebut akan membawa rancangan mekanisme atau aturan tersendiri yang akan menjadi suatu sistem nilai-nilai
(systems of values) yang luhur dan juga menjadi pegangan setiap individu, keluarga, atau kelompok komunitas ataumasyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu. Hal ini pernah disinyalir oleh John Naisbitt dan Patricia
Aburdence, futurlog suami istri terkemuka dunia, pada era decade tahun 90-an yang meramalkan bahwa abad 21 merupakanera baru.[1]Ternyata ramalan dua futurolog dunia tersebut menjadi kebenaran tak terbantahkan bahwa perubahan
realitas/era telah menjadi era dengan nilai baru. Suatu era dimana yang menjadi bagian global dalam kehidupan manusia
adalah fenomena ekonomi global dan informasi. Bahkan pola relasi mengantikan hirarki sebagai modal utama untukmenyelesaikan semua problema kehidupan.
Begitu juga dengan dunia pendidikan tidak akan lepas dari unsur perubahan, maka sangat wajar jika dari perspektif filosofis,
pembelajaran (learning) oleh Peter M. Senge diartikan denganstudy and practice constanly.[2]Karena hal tersebut tidaklepas dari hukum alam yang akan merongrong pendidikan untuk menapak tangga yang lebih tinggi dan juga tuntut untuk
menempatkan eksistensinya sesuai dengan tuntutan realitas. Tetapi walaupun dalam realitas tersebut terus mengalirperubahan-perubahan yang menuntut hal lain pada dunia pendidikan dan juga pada manusia tetapi curiosity harus tetap
menjadi spirit dalam hidup manusia. Artinya kedinamisan realitas harus diimbangi dengan gerakan konstruktif-solutif.Meminjam statemen dari Russel bahwa it is better to be clearly wrong than vaguely right,[3]maka sikap seperti itu
seharusnya yang dibangun dalam tatanan kehidupan dalam lingkaran pendidikan dan manusia sendiri untuk memunculkan
suatu sikap optimistik-selektif dan juga untuk menumbuhkan spirit dalam mencariproblem soulvinguntuk menjawabtuntutan realitas terhadap pendidikan (way of life long education).
Sebenarnya, esensi dari pendidikan itu sendiri adalah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide, etika dan nilai-nilai spiritual serta estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap
masyarakat atau bangsa.[4]Proses transmisi ini diharapkan mampu untuk menjadi nilai hidup dalam mempersiapkan Sumber
Daya Manusia (Human Resources) generasi berikutnya untuk menghadapi perubahan era baru.Oleh sebab itu, dalam tataran ini, sejarah pendidikan mempunyai sejarah yang usianya sesuai dengan alur usia masyarakat
pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal dan non-formaldalam masyarakat agraris maupun industri. Artinya, rentang waktu yang dilalui oleh pendidikan sebagai bagian dari sejarah
social kemanusiaan mempunyai hubungan erat dengan peradaban manusia itu sendiri dan juga rentang waktu perjalanan
manusia di muka bumi. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Edward Hallett Carr, yang dikutip oleh DjokoSoerjo, bahwa sejarah (pendidikan) merupakan suatu dialog tiada akhir antara masa kini dan masa lalu.[5]
Selama ini sejarah pendidikan masih menggunakan pendekatan konvensional yang umumnya bersifat diakronis yangkajiannya berpusat pada sejarah dari ide-ide dan tokoh pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan
dan juga lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. Pendekatan
yang umumnya bersifat diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembanganzaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta
pendekatan baru dalam sejarah pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikankemudian.
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antarapenyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy)umum bagi pendidikan nasional. Produk (output) dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun
horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakanterutama oleh masyarakat sebagai konsumen pendidikan.
Fenomena pendidikan tersebut di atas merupakan lingkaran setan yang kita tidak bisa keluar dengan hanya mengadalkan satupendekatan yang bersifat diakronis. Apalagi dalam pendidikan Islam yang sampai sekarang masih mempunyai masalah
serius yang dihadapi oleh sebagian besar konseptor pendidikan Islam yaitu rendahnya tingkat kemampuan memahami
pendidikan Islam sebagai suatu ilmu dan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan. Harus diakui, memahamipendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan dan membedakan pengertiannya dengan pendidikan Islam sebagai
suatu lembaga pendidikan tidak semudah seperti memahami objek ilmu bersifat abstrak sedangkan lembaga pendidikanbersifat konkrit.
Sehubungan dengan di atas pendekatan sejarah pendidikan (Islam) baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perluada pendekatan metodologis yang baru yaitu dengan pendekatan interdisipliner. Dalam pendekatan interdisipliner dilakukankombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ilmu sosial. Pada era sekarang ini, ilmu-ilmu sosial tertentu
seperti antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki perbatasan (sejarah) pendidikan dengan ilmu-ilmu terapanyang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan
secara optimal dan maksimal hubungan dialogis simbiosis mutualistis antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.
Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk mendeskripsikan pendidikan Islam dengan pendekatan kombinasi yaitu pendekatandiakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ilmu sosial yaitu sosiologi dan antropologi dengan memunculkan karakteristik-
karakteristiknya dan juga tokoh-tokohnya. Serta yang terakhir penulis mencoba untuk memberikan alternatif-solutif tentangpendekatan yang harus digunakan untuk kajian pendidikan Islam kedepannya.
Pembahasan
http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/http://id.wordpress.com/tag/agama/http://id.wordpress.com/tag/agama/http://id.wordpress.com/tag/agama/http://id.wordpress.com/tag/pendidikan/http://id.wordpress.com/tag/pendidikan/http://id.wordpress.com/tag/pendidikan/http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn1http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn1http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn1http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn2http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn2http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn2http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn3http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn3http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn3http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn4http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn4http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn4http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn5http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn5http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn5http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn5http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn4http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn3http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn2http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn1http://id.wordpress.com/tag/pendidikan/http://id.wordpress.com/tag/agama/http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/ -
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
12/20
Sebelum membahas lebih detail tentang pendidikan Islam dalam pendekatan multidisipliner yaitu dari pendekatan historis
(sejarah), antropologi, dan sosiologi, maka penulis sedikit memaparkan tentang definisi pendidikan dan pendidikan Islam.Dengan pendefinisian tersebut akan tercipta satu konsepsi dan persepsi tentang pendidikan dan pendidikan Islam yang
intepretable, karena tergantung penekanan pendefinisiannya. Hal pertama dilakukan dalam memeri definisi tersebut adalah
memaparkan definisi dari tokoh-tokoh yang selanjutnya penulis menyimpulkan pendapat para tokoh tersebut untukmendapatkan definisi dari pendidikan Islam sebagai tema sentral dari pembahasan ini.
Menurut Crow and crow, seperti yang dikutip oleh Fuad Ihsan dalam bukunya Dasar-Dasar Kependidikan, mengatakanbahwa pendidikan adalah proses yang berisikan berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan
sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan social dari generasi ke generasi.[6]Sedangkan
dalam Undang-Undang SISDIKNAS tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkansuasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukandirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.[7]
Sedangkan pendidikan Islam menurut Endang Saifuddin Anshori, seperti yang dikutip oleh Azyumardi Azra, adalah prosesbimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi
dan sebagainya) dan raga objek didik dengan bahan-bahan tertentu pada jangka waktu tertentu dan dengan alat perlengkapan
yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[8]Sedangkan Muhammad S. A. Ibrahimy, sebagaimana yang di kutip oleh Syaiful dalam Laporan Penelitiannya, memberikan
definisi bahwa pendidikan Islam adalah:Islamic education in the true sense of learn, is a system of education wich enables a
man to lead his life according of the islamic ideology, so that he may easily mould his life accordence with tenets of Islam.[9]Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan suatu sistem pendidikan yang membimbing peserta didik pada
perkembangan jiwa dan raganya yang berideologi pada ajaran Islam yaitu al-Quran dan hadist.1. Pendidikan Islam Dalam Pendekatan SejarahSejarah merupakan rekonstruksi masa lalu, yaitu merekonstruksi apa saja yang sudah dipikirkan, dikerjakan, dikatakan,dirasakan, dan dialami manusia. Namun, perlu ditegaskan bahwa membangun kembali masa lalu bukan untuk kepentingan
masa lalu itu sendiri.[10]Sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan, bahkan, untuk masa yang akan datang. Oleh
karenanya, orang tidak akan belajar sejarah karena tidak akan ada gunanya. Kenyataannya, sejarah terus di tulis, di semuaperadaban dan di sepanjang waktu. Hal ini, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu sangat urgen.[11]
Namun dalam sejarah konvensional yang banyak dideskripsikan adalah pengalaman manusia yang menyangkut tentangsistem perpolitikan, peperangan dan juga terdistorsi pada tataran bangun jatuhnya suatu kekuasaan seperti dinasti, khilafah
atau kerajaan. sebaliknya dalam sejarah harus ada upaya rekonstruksi masa lalu yang berhubungan dengan totalitas
pengalaman manusia. Maka dengan konsep tersebut, sejarah mempunyai batas-batas definisi yang longgar dibandingkandengan definisi-definisi ilmu sosial lainnya. Sejarah dapat didefinisikan dengan politik masa lalu, ekonomi masa lalu,
masyarakat masa lalu ataupun sebagai sains atau ilmu pengetahuan masa lalu.Namun kebanyakan sejarah sosial -khususnya tentang pendidikan- masih berkutat pada pembahasan tentang sejarah ekonomi
yang menyangkut tentang aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini, Kuntowijoyo berpendapat bahwa sejarah sosial
mempunyai hubungan erat dengan sejarah ekonomi, sehingga menjadi semacam sejarah sosial ekonomi.[12]Walaupundemikian, ada beberapa tema yang berkaitan dengan sejarah sosial. Ada pengertian bahwa sejarah sosial yang mencakup
berbagai aspek kehidupan manusia kecuali masalah-masalah berkaitan masalah politik.[13]Dari deskripsi diatas, kita bisa memetakan definisi dari sejarah pendidikan atau terspesifikasi pada pendidikan Islam.
Substansi dan tekanan dalam sejarah pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari
tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistem pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai pada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial
atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan denganitu semua sejarah pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial.[14]
Maka dalam pengkajian pendidikan Islam melalui pendekatan sejarah, banyak para pakar pendidikan Islam mengunakan polapemikiran rasionalistik-fenomenologik untuk memahami pesan sejarah pendidikan Islam. Seperti halnya dengan IbnuKhaldun yang kapasitasnya sebagai seorang pemikir, Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang walaupun kadang
terasa kurang baik. Dalam hal ini Muhammad Abdullah Enan melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang istimewa itudengan mencoba memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun, walaupun diakuinya secara moral ini tidak selalu sesuai.
Menurutnya ia melihat dalam diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi, tidak menentu dan kurangmemiliki rasa terima kasih. Namun di samping sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani, tabah
dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Disamping memiliki intelegensi yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai
berpuisi.[15]Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh
yang saling bertolak belakang, yaitu Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd.[16]Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidangfilsafat. Ibnu Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al-Ghozali adalah penentang filsafat Aristoteles yang
gigih. Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut IbnuRusyd dalam usahanya mempengaruhi massa. Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadariarti pentingnya praduga dan katagori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan intelektual. Barangkali
karena itulah seperti anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagaiupayanya untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik-spiritualistik. Sedangkan
logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir relatifistik-temporalistik-materialistik.[17]
Dengan berpola pikir seperti itulah Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya,termasuk juga aspek pendidikan, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang modern. Karya-karya
intelektual Ibnu Khaldun adalah sebagai berikut:a) Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar).
Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat
nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn6http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn6http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn6http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn7http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn7http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn7http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn8http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn8http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn8http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn9http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn9http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn9http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn10http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn10http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn10http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn11http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn11http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn11http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn12http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn12http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn12http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn13http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn13http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn13http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn14http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn14http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn14http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn15http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn15http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn15http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn16http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn16http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn16http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn17http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn17http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn17http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn17http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn16http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn15http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn14http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn13http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn12http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn11http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn10http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn9http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn8http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn7http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn6 -
7/27/2019 Pendekatan Normatif Dan Deskriptif Dalam Studi Islam
13/20
b) Kitab al-Ibar, wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar, fi Ayyam al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum
min dzawi as-Sulthani al-Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakupPeristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka),yang kemudian terkenal dengan kitab Ibar, yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah,
atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian,penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari
empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasimereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara
yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-
orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasaBarbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).
c) Kitab al-Tarif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Tarif, dan oleh orang-orang Baratdisebut dengan Autobiografi, merupakan bagian terakhir dari kitab al-Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai
kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, karenaterpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lain.
2. Pendidikan Islam Dalam Pendekatan AntropologiAntropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih komprehensif.[18]Antropologi
pertama kali dipergunakan oleh kaum Misionaris dalam rangka penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu pula
berlangsung sistem penjajahan terhadap negar-negara diluar Eropa. Pada era dewasa ini, antropologi dipergunakan sebagai
suatu hal untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmuitu sendiri, di negara-negara yang masuk dalam kategori Negara ketiga (Negara berkembang) sangat urgen sebagai pisau
analisis untuk pengambilan kebijakan (policy) dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.Sebagai suatu disiplin ilmu yang cakupan studinya cukup luas, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu
menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna dan global. Sehingga, antropologi terfregmentasi menjadi beberapabagian yang masing-masing ahli antropologi mengkhususkan dirinya pada spesialisasi bidangnya masing-masing. Pada
dataran ini, antropologi menjadi amat plural, sesuai dengan perkembangan ahli-ahli antropologi dalam mengarahkan studinya
untuk lebih memahami sifat-sifat dan hajat hidup manusia secara lebih komprehensif. Dan hubungan dengan ini pula, adabermacam-macam antropologi seperti antropologi ekonomi, antropologi politik, antropologi kebudayaan, antropologi agama,
antropologi pendidikan, antropologi perkotaan, dan lain sebagainya. Grace de Raguna, seorang filsuf wanita pada tahun1941, menyampaikna pidatonya dihadapanAmerican Philosophical Association Eastern Division, bahwa antropologi telah
memberi lebih banyak kejelasan tentang sifat manusia daripada semua pemikiran filsuf atau studi para ilmuwan di
laboratoriumnya.[19]Dan dalam studi kependidikan yang dikaji melalui pendekatan antropologi, maka kajian tersebut masuk dalam sub
antropologi yang bias dikenal menjadi antropologi pendidikan. Artinya apabila antropologi pendidikan dimunculkan sebagaisuatu materi kajian, maka yang objek dikajiannya adalah penggunaan teori-teori dan metode yang digunakan oleh para
antropolog serta pengetahuan yang diperoleh khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia atau masyarakat.
Dengan demikian, kajian materi antropologi pendidikan, bukan bertujuan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkanmenambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif antropologi. Meskipun berkemungkinan ada
yang menjadi antropolog pendidikan setelah memperoleh wawasan pengetahuan dari mengkaji antropologi pendidikan.Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kedudukan antropologi pendidikan sebagai sebuah disiplin studi yang tergolong
baru di tambah kata Islam sehingga menjadi antropologi pendidikan Islam. Hal ini telah menjadi sorotan para ahli
pendidikan Islam, bahwa hal tersebut merupakan suatu langkah yang ada relevansinya dengan isu-isu Islamisasi ilmupengetahuan.[20]Dengan pola itu, maka antropologi pendidikan Islam tentunya harus dikategorikan sama dengan ekonomi
Islam. Artinya bagaimana bagunan keilmuan yang ditonjolkan dalam ekonomi Islam muncul juga dalam dalam antropologipendidikan Islam, sehingga muncul pula kaidah-kaidah keilmiahannya yang bersumber dari kitab suci Al Quran dan dari As
Sunah. Seperti dalam ekonomi Islam (juga Hukum Islam) yang sejak awal pertumbuhannya telah diberi contoh oleh NabiMuhammad dan diteruskan oleh para sahabat. Maka antropologi pendidikan Islam, kaidah-kaidah keilmiahannya harus jugabersumber atau didasarkan pada Al Quran dan As Sunah. Akan tetapi dalam sejarah kebudayaan Islam belum ada
pengakuan terhadap tokoh-tokoh atau pelopor antropologi yang diakui dari zaman Nabi Muhammad atau sesudahnya.[21]Karakteristik dari antropologi pendidikan Islam adalah terletak pada sasaran kajiannya yang tertuju pada fenomena
pemikiran yang berarah balik dengan fenomena Pendidikan Agama Islam (PAI). Pendidikan Agama Islam arahnya dari ataske bawah, artinya sesuatu yang dilakukan berupa upaya agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan pandangan hidup anak
didik (manusia). Sedangkan antropologi pendidikan Islam dari bawah ke atas, mempunyai sesuatu yang diupayakan dalam
mendidik anak, agar anak dapat membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya bagi kemampuannyauntuk menghadapi lingkungan.[22]Masalah ilmiah yang mendasar pada Pendidikan Agama Islam adalah berpusat pada
bagaimana (metode) cara yang seharusnya dilakukan. Sedangkan masalah yang mendasar pada antropologi pendidikan Islamadalah berpusat pada pengalaman apa yang ditemui.
Ibnu Sina, yang kita kenal sebagai tokoh kedokteran dalam dunia Islam ternyata juga merupakan sorang pemerhatipendidikan anak usia dini yang merupakan pengalaman pertama anak. Dalam kitabnya al-Siyasah, Ibnu Sina banyakmemaparkan tentang pentingnya pendidikan usia dini yang dimulai dengan pemberian nama yang baik dan di teruskan
dengan membiasakan berperilaku, berucap-kata, dan berpenampilan yang baik serta pujian dan hukuman dalam mendidikananak.[23]Dan juga yang paling urgen adalah penanaman nilai-nilai sosial pada anak seperti rasa belas kasihan (confession)
dan empati terhadap orang lain.[24]
Kaya-karya Ibnu Sina yang cukup terkenal antara lain:a) Al-Syifa, sebuah karya filsafat.
b) Fi Aqsam Ulum al-Aqliyyah, sebuah kitab logika.c) Al-Siyasah
d) Mabhats an al-Quwa al-Nafsaniyyah
e) Dan lain sebagainya.
http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn18http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn18http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn18http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn19http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn19http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn19http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-suatu-pengantar-kajian-gradual-menuju-paradigma-global-2/#_ftn20http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/pendidikan-islam-dalam-pendekatan-multidisipliner-sua