Pendekatan Contextual Teaching and Learning dan Realistic Mathematics Education
-
Upload
muhammad-alfiansyah -
Category
Education
-
view
43 -
download
4
Transcript of Pendekatan Contextual Teaching and Learning dan Realistic Mathematics Education
1
PENDEKATAN KONTEKSTUAL DAN
PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK
(Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Desain dan Strategi Pembelajaran Matematika)
NAMA : MUH. ALFIANSYAH
NIM : 161050701024
KELAS : 02
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan, oleh
karena itu, pembaruan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan Nasional yang diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat
manusia Indonesia. Untuk mencapai itu, pendidikan harus adaptif dan terhadap
perubahan zaman.
Belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang
konsep sangat lemah, kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan
matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal lain yang menyebabkan sulitnya
matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang
bermakna. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema
yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika.
Memasuki abad ke-21 ini, keadaan sumber daya manusia kita sangat tidak
kompetitif, menurut catatan Human Development Report tahun 3003 versi UNDP,
peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas sumber daya manusia
Indonesia berada diurutan 112. Indonesia jauh berada dibawah Filipina (85), Thailand
(74), Malaysia (58), Brunai (31), Korsel (30), Singapira (28). Interbational Education
Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia
2
berada diurutan 38 dari 39 Negara yang disurvei. Sementara itu, Third Matemathics
and science study (TIMSS 55), lembaga yang mengukur hasil pendidikan didunia,
melaporkan bahwa kemampuan mamtematika siswa SMP kita berada diurutan ke- 34
dari 38 negara, sedangkan kemampuan LPA siswa SMP kita berada diurutan ke- 32
dari 38 negara. Jadi keadaan pendidikan kita memang memprihatinkan. Untuk itu,
pembaruan pendidikan harus terus dilakukan.
Dalam konteks pembaruan pendidikan, ada tiga isu utama yang perlu disoroti,
yaitu pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran dan efektifitas
metode pembelajaran. Kurikulum pendidikan harus konfrehensif dan renponsif
terhadap dinamika sosial, relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan
keragaman keperluan dan kemajuan tegnologi. Kualitas pembelajaran harus
ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Dan secara mikro, harus
ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang efektif dikelas, yang lebih
memberdayakan potensi siswa. Ketiga hal itulah yang sekarang menjadi fokud
pembaruan pendidikan Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan kontekstual?
2. Bagaimanakah tujuan pendekatan kontekstual?
3. Bagaimanakah komponen-komponen pembelajaran kontekstual?
4. Bagaimanakah langkah- langkah pembelajaran kontekstual?
5. Bagaimanakah kelebihan dan kelemahan pembelajaran kontekstual?
3
C. TUJUAN
1. Bagaimanakah pengertian pendekatan matematika realistik?
2. Bagaimanakah prinsip pendekatan matematika realistik?
3. Bagaimanakah komponen-komponen pendekatan matematika realistik?
4. Bagaimanakah langkah umum pelaksanaan pendekatan matematika realistik?
5. Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan pendekatan matematika realistik?
4
BAB II
PEMBAHASAN
D. PENDEKATAN KONTEKSTUAL
1. Pengertian Pendekatan Kontekstual
Kata kontekstual berasal dari Bahasa Inggris yaitu contextual kemudian
diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi kontekstual. Kontekstual memiliki arti
berhubungan dengan konteks atau dalam konteks. Konteks membawa maksud
keadaan, situasi dan kejadian. Secara umum kontekstual memiliki arti: berkenaan
dengan, relevan, ada hubungan atau kegiatan langsung, mengikuti konteks dan
membawa maksud, makna dan kepentingan (Ningrum, 2009).
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003) menyatakan: “Pendekatan
kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme
(Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiri), masyarakat belajar
(Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (reflection) dan penilaian
sebenarnya (Authentic Assessment).”
Menurut Nurhadi (2013) pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) adalah konsep belajar di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam
kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
5
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara
siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas sedikit
demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk
memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Johnson (2002) merumuskan pengertian CTL sebagai berikut : Sistem CTL
merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna
dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan
konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya,
sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL akan
menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama CTL yaitu melakukan hubungan
yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri,
bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/merawat probadi siswa,
mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan asesmen autentik..
Jadi, pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang mengaitkan antara
materi pelajaran dengan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa dituntut
menemukan dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru sesuai dengan
pengetahuan yang mereka miliki. Dengan demikian, siswa akan lebih memahami dan
lebih memaknai pengetahuannya itu.
2. Tujuan Pendekatan Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistik
dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang
6
dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka
sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki
pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari
satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya (Faridah, 2012). Lebih
jauh, tujuan pendekatan kontekstual dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Melalui pembelajaran kontekstual diharapkan siswa tidak sekadar menghafal
tetapi perlu adanya pemahaman dalam proses belajar.
b. Menekankan pada pengembangan minat pengalaman siswa.
c. Melatih siswa berpikir kritis dan terampil dalam memproses pengetahuan agar
dapat menemukan dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri
dan orang lain.
d. Menjadikan proses pembelajaran lebih produktif dan bermakna.
e. Mengajak siswa pada suatu aktivitas yang mengkaitkan materi akademik dengan
konteks jehidupan sehari-hari.
f. Tujuan pembelajaran pendekatan kontekstual ini yakni agar siswa secara indinidu
dapat menemukan dan mentrasfer informasi-informasi kompleks dan siswa dapat
menjadikan informasi itu miliknya sendiri.
3. Komponen-Komponen Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan kontekstual terdiri atas tujuh komponen utama yaitu,
konstruktivisme (Construc-tivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiri),
masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi
7
(reflection) dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment). Berikut jabaran
masing-masing komponen (Yenti, 2009).
a. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita
sendiri (von Glasersfeld dalam Yenti, 2009). Komponen ini merupakan landasan
berpikir CTL yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Dalam pandangan ini, strategi
memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan
mengingat pengetahuan. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus
menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain dan
apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik sendiri. Selain itu, siswa mengkon-
struksi pengetahuan tersebut dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
b. Bertanya
Bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk
menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan. Pada semua aktivitas belajar,
bertanya dapat diterapkan: antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa,
antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas
dan sebagainya.
c. Menemukan
Menemukan adalah salah satu cara dalam mendapatkan sesuatu. Menemukan
merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran menggunakan CTL. Guru harus
8
selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan. Ada beberapa
langkah yang harus dilakukan untuk kegiatan menemukan, yaitu: merumuskan
masalah, mengamati atau melakukan observasi, menganalisis dan menyajikan hasil
(berupa tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lainnya)dan
mengkomunikasikan (pada pembaca, teman sekelas, guru atau yang lainnya).
d. Masyarakat belajar
Masyarakat belajar adalah kegiatan belajar yang terjadi melalui kerjasama
dengan orang lain. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua
arah dan tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi tersebut. Prakteknya dalam
pembelajaran terwujud dalam bentuk kelompok kecil, kelompok besar,
mendatangkan ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja kelompok
dengan kelas di atasnya, bekerja dengan masyarakat dan sebagainya.
e. Pemodelan
Model adalah contoh yang dapat ditiru. Dalam CTL, guru bukan satusatunya
model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Model juga dapat
didatangkan dari luar.
f. Refleksi
Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang hal-hal yang telah dilakukan pada masa lalu. Dengan
metoda ini, siswa akan mampu berpikir ulang dan menganalisa ilmu pengetahuan
yang baru didapatnya.
9
g. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan
gambaran perkembangan siswa. Dengan cara ini, guru dapat memastikan bahwa iswa
mengalami proses pembelajaran yang benar. Jadi, inti dari penilaian yang sebenarnya
adalah “Apakah siswa telah belajar” bukan apa yang telah diketahui siswa. Siswa
tidak hanya dinilai kemampuannya dari ulangan saja, namun penilaian dilakukan
dengan berbagai cara, misalnya PR, kuis, karya siswa, presentasi atau penampilan
siswa, laporan dan lain-lain.
4. Langkah-langkah Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Setiap pendekatan, model, atau teknik pembelajaran memiliki prosedur
pelaksanaan yang terstruktur sesuai dengan karakteristiknya. Begitupun dengan
pendekatan kontekstual, berikut ini langkah-langkah penerapan pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran yang dikemukakan oleh Trianto (2010), yaitu:
a. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara
bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan
bertanya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Ciptakan masyarakat belajar.
e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
10
g. Lakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assesment) dengan berbagai cara.
Pendapat selaras dikemukakan oleh Mulyasa (2013), bahwa terdapat lima
elemen yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pendekatan kontekstual, yakni:
a. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta
didik.
b. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagianbagiannya secara
khusus (dari umum ke khusus).
c. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara:
1) menyusun konsep sementara.
2) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang
lain.
3) merevisi dan mengembangkan konsep.
d. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktikkan secara langsung apa-apa
yang dipelajari.
e. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan
yang dipelajari.
5. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Kontekstual
Kelebihan dan kelemahan selalu terdapat dalam setiap model, strategi,
pendekatan atau metode pembelajaran. Namun, kelebihan dan kelemahan tersebut
hendaknya menjadi referensi untuk penekanan-penekanan terhadap hal yang positif
11
dan meminimalisir kelemahan-kelemahannya dalam pelaksanaan pembelajaran.
Menurut Sanjaya (2006) kelebihan pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut:
a. Menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa berperan aktif dalam
proses pembelajaran.
b. Dalam pembelajaran kontekstual siswa belajar dalam kelompok, kerjasama,
diskusi, saling menerima dan memberi.
c. Berkaitan secara riil dengan dunia nyata.
d. Kemampuan berdasarkan pengalaman.
e. Dalam pembelajaran kontekstual perilaku dibangun atas kesadaran sendiri.
f. Pengetahuan siswa selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang
dialaminya.
g. Pembelajaran dapat dilakukan dimana saja sesuai dengan kebutuhan.
h. Pembelajaran kontekstual dapat diukur melalui beberapa cara, misalnya evaluasi
proses, hasil karya siswa, penampilan, observasi, rekaman, wawancara, dll.
Sementara kelemahan dari pendekatan kontekstual dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. Pemiliha informasi atau materi dikelas didasarkan pada kebutuhan siswa
padahal,dalam kelas itu tingkat kemampuan siswanya berbeda-beda sehinnga
guru akan kesulitan dalam menetukan materi pelajaran karena tingkat
pencapaianya siswa tadi tidak sama
b. Tidak efisien karena membutuhkan waktu yang agak lama dalam Proses
pembelajaran.
12
c. Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan kontekstual akan nampak jelas
antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan siswa yang memiliki
kemampuan kurang, yang kemudian menimbulkan rasa tidak percaya diri bagi
siswa yang kurang kemampuannya
d. Bagi siswa yang tertinggal dalam proses pembelajaran ini akan terus tertinggal
dan sulit untuk mengejar ketertinggalan, karena dalam model pembelajaran ini
kesuksesan siswa tergantung dari keaktifan dan usaha sendiri jadi siswa yang
dengan baik mengikuti setiap pembelajaran dengan model ini tidak akan
menunggu teman yang tertinggal dan mengalami kesulitan.
e. Tidak setiap siswa dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan mengembangkan
kemampuan yang dimiliki dengan penggunaan pendekatan ini.
f. Kemampuan setiap siswa berbeda-beda, dan siswa yang memiliki kemampuan
intelektual tinggi namun sulit untuk mengapresiasikannya dalam bentuk lesan
akan mengalami kesulitan sebab pendekatan ini lebih mengembangkan
ketrampilan dan kemampuan soft skill daripada kemampuan intelektualnya.
g. Pengetahuan yang didapat oleh setiap siswa akan berbeda-beda dan tidak merata.
h. Peran guru tidak nampak terlalu penting lagi karena dalam pendekatan ini peran
guru hanya sebagai pengarah dan pembimbing, karena lebih menuntut siswa
untuk aktif dan berusaha sendiri mencari informasi, mengamati fakta dan
menemukan pengetahuan-pengetahuan baru di lapangan
13
B. PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK
1. Pengertian Pendekatan Matematika Realistik
Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education
(RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan
matematika di Belanda yang dirasakan kurang bermakna bagi pebelajar. Gerakan ini
mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffre (1968) melalui proyek Wiskobas.
Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai sekarang sebagian besar ditentukan oleh
pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika. Menurut pandangannya
matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan
relevan terhadap
Menurut Zainurie (Soviawati, 2011) matematika realistik adalah matematika
sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa
sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber
munculnya konsepkonsep matematika atau pengetahuan matematika formal.
Pembelajaran matematika realistik di kelas berorientasi pada karakteristik-
karakteristik Realistic Mathematics Education (RME), sehingga siswa mempunyai
kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan
matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-
konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam
bidang lain.
Hadi (2005) menjelaskan bahwa dalam matematika realistik dunia nyata
digunakan sebagai titik awal untuk pengembangan ide dan konsep matematika.
14
Penjelasan lebih lanjut bahwa pembelajaran matematika realistik ini berangkat dari
kehidupan anak, yang dapat dengan mudah dipahami oleh anak, nyata, dan
terjangkau oleh imajinasinya, dan dapat dibayangkan sehingga mudah baginya untuk
mencari kemungkinan penyelesaiannya dengan menggunakan kemampuan matematis
yang telah dimiliki.
Soedjadi (2007) Pendidikan Matematika Realistik (PMR) merupakan inovasi
pendidikan matematika disebut juga inovasi pendekatan pembelajaran matematika
yang sejalan dengan teori kunstruktivis. Dalam PMR lebih diperhatikan adanya
potensi pada diri anak atau siswa yang justru harus dikembangkan. Keyakinan guru
akan adanya potensi itu akan mempunyai dampak kepada bagaimana guru harus
mengelola pembelajaran matematika. Itupun juga akan berdampak kepada bagaimana
siswa membiasakan melakukan kegiatan yang diharapkan muncul sesuai kemampuan
diri yang dimilikinya. Keduanya akan berpengaruh kepada budaya guru dalam
“mengajar” dan bagaimana budaya anak atau siswa harus “belajar”. Dengan demikian
maka inovasi pembelajaran matematika ini tidak sekedar akan memungkinkan
pengubahan peta konsep materi matematika dan hubungannya, namun yang tidak
kalah pentingnya adalah akan mengubah budaya kearah yang lebih dinamis namun
tetap dalam koridor etika pergaulan.
Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas
dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses
pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara
lebih baik dari pada yang lalu. Yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang
15
nyata atau kongret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat
membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan
tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat
yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan
sehari-hari.
2. Prinsip Pendekatan Matematika Realistik
Ada tiga unsur prinsip utama dalam pembelajaran Matematika realistik
menurut Soedjadi (2007) yaitu:
a. Guided reinvention and progresive mathematizing (penemuan kembali
terbimbing/ pematematikaan progresif)
1) Guided Re-invention atau “menemukan kembali secara terbimbing”
Prinsip ini menekankan penemuan kembali secara terbimbing. Melalui topik-
topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan sama untuk membangun dan
menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika. Setiap siswa diberi
kesempatan sama untuk merasakan situasi danmengalami masalah kontekstual yang
mmiliki berbagai kemungkinan solusi. Bila diperlukan dapat diberikan bimbingan
yang diperlukan. Jadi pembelajaran tidak diawali dari “sifat” atau “definisi” atau
“teorema” atau “aturan” dan diikuti dengan “contoh-contoh” serta “penerapannya”,
tetapi justru dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata meski hanya dengan
memba yangkannya, dan selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat
menemukan kembali sifat,definisi dan lainnya itu. Hal terakhir menunjukkan
16
kesesuiannya dengan paham konstruktivisme yang meyakini bahwa pengetahuan
tidak dapat ditransfer dari seseorang kepada orang lain tanpa aktivitas yang dilakukan
sendiri oleh orang yang akan mengetahui pengetahuan tersebut.
2) Progressive mathematization atau matematisasi progresif.
Bagian-2 dari prinsip pertama ini menekankan matematisasi atau
pematematikaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mengarahkan kepada
pemikiran matematika. Dikatakan prograsif karena terdapat dua langkah matematisasi
itu, yaitu matematisasi (1) horisontal dan (2) vertikal.yang berawal dari masalah
kontekstual yang diberikan dan akan berakhir pada matematika yang formal.
b. Didactical Phenomenology atau fenomenologi didaktik
Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan
menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik
matematika kepada siswa. Masalah kontekstual dipilih dengan mempertimbangkan
(1) aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2)
kecocokan dengan proses re-invention yang berarti bahwa aturan/cara,atau konsep
atau sifat termasuk model matematika tidak disediakan atau diajarkan oleh guru
tetapisiswa perlu berusaha sendiri untuk menemukan atau membangun sendiri dengan
berpangkal dari masalah kontektual yang diberikan. Ini akan menimbulkan “learning
trajectory” / lintasan belajar yang akan menuju tujuan yang ditetapkan.Tidak mustahil
lintasan belajar itu untuk setiap siswa bisa berbeda meskipun akan mencapai tujuan
yang sama. Ini berarti bahwa pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi akan
berpusat pada siswa bahkan dapat juga disebut berpusat pada masalah kontekstual
17
yang dihadapi. Masalah kontekstual dapat juga untuk memantapkan pemahaman
sesuatu yang telah didapatnya.
c. Self developed model atau membangun sendiri model
Prinsip ketiga ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa model.
Karena berpangkal dari masalah kontekstual dan akan menuju ke matematika formal
serta adanya kebebasan pada anakmaka tidaklah mustahil siswa akan
mengembangkan model sendiri. Model itu mungkin masih seder-hana dan masih
mirip dengan masalah kontekstualnya. Model ini disebut “model of” dan sifatnya
masih dapat disebut “matematika informal”. Selanjutnya mungkin melalui
generalisasi ataupun formalisasi dapat mengembangkan model yang mengarahkan ke
matematika formal, model ini dapat disebut “model for”. Hal tersebut sesuai dengan
matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal, yang memungkinkan siswa dapat
menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya sendiri.
3. Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik
Pendekatan Matematika Realistik mencerminkan pandangan matematika
tertentu mengenai bagaimana anak belajar matematika dan bagiamana matematika
harus diajarkan. Pandangan ini tercermin dalam lima karakteristik yaitu (Soedjadi,
2007):
a. Menggunakan konteks.
Pembelajaran menggunakan masalah kontekstual. Kontekstual yang dimaksud
adalah lingkungan siswa yang nyata baik aspek budaya maupun aspek geografis.
18
Matematika memandang hal tersebut tidak selalu diartikan konkret tetapi dapat juga
yang telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan. Masalah kontekstual biasanya
dikemukakan di awal pembelajaran. Namun demikian masalah dapat saja disajikan di
tengah atau di akhir pembelajaran suatu topik atau sub topik. Masalah kontekstual
disajikan di awal pembelajaran, bila dimaksudkan untuk memungkinkan siswa
membangun/menemukan sesuatu konsep, definisi, operasi ataupun sufat matematika
serta cara pemecahan masalah itu. Masalah kontektual di sajikan di tengah
pembelajaran bila dimaksudkan untuk memantapkan apa yang telah dibangun/
ditemukan. Masalah kontekstual disajikan di akhir pembelajaran bila dimaksudkan
untuk mampu mengaplikasikan apa yang telah dibangun/ditemukan.
b. Menggunakan model
Pembelajaran matematika sering perlu melalui waktu yang panjang serta
bergerak dari berbagai tingkat abstraksi. Dalam abstraksi itu perlu menggunakan
model. Model itu dapat bermacam-macam, dapat konkret berupa benda, gambar,
skema, yang kesemuanya itu dimaksudkan sebagai jembatan dari konkret ke abstrak
atau dari abstrak ke abstrak yang lain. Dikenal model yang serupa atau mirip dengan
masalah nyatanya, yang disebut model of dan dikenal juga model yang mengarahkan
ke pemikiran abstrak atau formal, yang disebut model for.
c. Menggunakan kontribusi siswa.
Proses pembelajaran perlu sekali memperhatikan sumbangan atau kontribusi
siswa yang mungkin berupa ide, gagasan ataupun aneka jawab/cara. Konstribusi
19
siswa itu dapat menyumbang kepada konstruksi atau produksi yang perlu
dilakukan/dihasilkan sehubungan denagn pemecahan masalah kontekstual.
d. Interaktivitas.
Proses pembelajaran jelas perlu sekali melaksanakan interaksi, baik antara
siswa dan siswa ataupun bila perlu antara siswa dan guru yang bertindak sebagai
fasilitator. Interaksi itu juga mungkin terjadi antara siswa dengan sarana atau antara
siswa dengan matematika ataupun dengan lingkungan. Bentuk interaksi itu dapat juga
macam-macam, misalnya diskusi, negosiasi, memberi penjelasan atau komunikasi.
e. Keterkaitan antar topik (intertwinning).
Proses pembelajaran matematika perlu disadari bahwa matematika adalah
suatu ilmu yang terstruktur dengan ketat konsistensinya. Keterkaitan antara topik,
konsep, operasi dsb sangat kuat, sehingga sangat dimungkinkan adanya integrasi
antara topik dsb. itu. Bahkan mungkin saja antar matematika dengan lain bidang
pengetahuan untuk lebih tajam kebermanfaat belajar matematika. Hal ini
memungkinkan akan dapat menghemat waktu pembelajaran. Selain itu dengan
dimungkinkannya pengaitan antar topik atau sub topik sangat mungkin akan tersusun
struktur kurikulum yang berbeda dengan struktur kurikulum yang selama ini dikenal,
tetapi tetap mengarah kepada kompetensi yang ditetapkan.
4. Langkah Umum Pelaksanaan Pendekatan Matematika Realistik
Secara umum dapat dikemukakan langkah- langkah pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMR di bawah ini (Soedjadi, 2007):
20
a. Mempersiapkan kelas
1) Persiapkan sarana dan prasarana pembelajaran yang diperlukan, misalnya
buku siswa, LKS, alat peraga dan lain sebagainya.
2) Kelompokkan siswa jika perlu (sesuai dengan rencana).
3) Sampaikan tujuan atau kompetensi dasar yang diharapkan dicapai serta cara
belajar yang akan dipakai hari itu
b. Kegiatan pembelajaran.
1) Berikan masalah kontekstual atau mungkin berupa soal ceriera. (secara lisan
atau tertulis). Masalah tersebut untuk dipahami siswa.
2) Berilah penjelasan singkat dan seperlunya saja jika ada siswa yang belum
memahami soal atau masalah kontekstual yang diberikan. Mungkin secara
individual ataupun secara kelompok.(Jangan menunjukkan selesaian, boleh
mengajukan pertanyaan pancingan.
3) Mintalah siswa secara kelompok ataupun secara individual, untuk
mengerjakan atau menjawab masalah kontekstual yang diberikan dengan
caranya sendiri. Berilah waktu yang cukup siswa untuk mengerjakannya.
4) Jika dalam waktu yang dipandang cukup, siswa tidak ada satupun yang dapat
menemukan cara pemecahan, berilah guide atau petunjuk seperluya atau
berilah pertanyaan yang menantang. Petunjuk itu dapat berupa LKS ataupun
bentuk lain.
5) Mintalah seorang siswa atau wakil dari kelompok siswa untuk menyampaian
hasil kerjanya atau hasil pemikirannya (bisa lebih dari satu orang)
21
6) Tawarkan kepada seluruh kelas untuk mengemukakan pendapatnya atau
tanggapannyatentang berbagai selesaian yang disajikan temannya didepan
kelas. Bila ada selesaian lebih dari satu, uangkaplah semua.
7) Buatlah kesepakan kelas tentang selesaian manakah yang diangap paling
tepat. Terjadi suatu negosiasi. Berikanlah penekanan kepada selesaian yang
dipilih atau benar.
8) Bila masih tidak ada selesaian yang benar, mintalah siswa memikirkan cara
lain.
5. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Matematika realistik
Pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Kelebihan
1) Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan
kehidupan sehari – hari dan kegunaan matematika pada umumnya.
2) Pembelajaran matematika reaslistis memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu kajian yang
dikonstruksi dan dikembangkan oleh siswa .
3) Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian masalah tidak harus
tunggal dan tidak harus sama antara satu siswa dengan siswa yang lainnya.
22
4) Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa bahwa untuk menemukan suatu hasil dalam
matematika diperlukan suatu proses.
b. Kelemahan
1) Upaya penerapan Pembelajaran matematika realistik membutuhkan perubahan
yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk
dipraktekan dan juga diperlukan waktu yang lama.
2) Pencarian soal – soal kontekstual yang memenuhi syarat – syarat yang
dituntut pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap
topik yang akan dipelajari , terlebih lagi soal – soal tersebut harus diselesaikan
dengan berbagai macam cara.
3) Upaya mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah juga merupakan salah
satu kerugian pembelajaran matematika realistik.
4) Metode Pembelajaran matematika realistik memperlukan partisipasi siswa
secara aktif baik fisik maupun mental.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat dismpulkan bahwa metode pembelajaran
matematika realistik adalah metode pembelajaran matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal
pembelajaran. Selanjutnya siswa diberi kesempatan mengpalikasikan konsep– konsep
matematika untuk memecahkan masalah sehari – hari atau dalam bidang yang
lainnya. Jadi dengan kata lain guru hanya memfasilitasi saja sedangkan siswa bekerja
sendiri untuk menemukan sebuah penyelesaian dengan melalui beberapa langkah–
langkah.
B. Kritik dan Saran
Bagi para pembaca terutama kepada calon guru untuk melakukan sebuah
metode pembelajaran matematika realistik dibutuhkan segenap tenaga dan persiapan
yang matang untuk mengerjakannya karena apabila tidak, maka metode tersebut tidak
akan berjalan dan akan membuat siswa semakin kebingungan.
24
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual
Teaching and Learning/ CTL), Jakarta
Faridah. 2012. Pembelajaran Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan.
Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik . Banjarmasin: Penerbit Tulip.
Johnson, E,. B. 2002. Contextual Teaching and Learning: What It is and Why It’s
Here to Stay, California: Corwin Press Inc.
Soedjadi, R. 2007. Inti Dasar-Dasar Pendidikan Matematika Realistik. Jurnal
Pendidikan Matematika, Vol.1, No. 2. 1-10.
Soviawati, E. 2011. Pendekatan matematika Realistik (PMR) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa di Tingkat Sekolah Dasar. Edisi Khusus, No.2. 79-85.
Yenti, I., N. 2009. Pendekatan Kontekstual dan Implikasinya dalam Pembelajaran
Matematika. Ta’dih, Vol.12, No.2. 118-125.