PENDAHULUAN.doc

31
BAB I PENDAHULUAN Penyebab paling umum kematian akibat anafilaksis adalah kolaps pembuluh darah jantung dan sesak nafas akibat edema laring. Meskipun anafilaksis memiliki klinis yang spesifik, namun ada beberapa diagnosa banding yang mencakup kanker paru, sindrom menopause, sindrom karsinoid dan karsinoma medular tiroid. Iskemia miokard dapat terjadi pada anafilaksis akibat dari vasospasme arteri koroner tanpa adanya penyumbatan pembuluh darah. Penanganan untuk anafilaksis nharus cepat, dengan memberikan tambahan oksigen, suntikan epinefrin, suntikan antihistamin, kortikosteroid dan manajemen darurat nafas. Jika seseorang pernah mengalami anafilaksis, maka disarankan agar pasien dirujuk keseorang ahli alergi imunologi untuk pengelolaan jangka panjang. Anafilaksis didefinisikan sebagai reaksi yang tidak biasa atau berlebihan dari organisme untuk protein asing dan zat lain. Pada tahun 1902, Portier dan Richer melaporkan bahwa injeksi kedua protein asing yang sebelumnya tidak berbahaya dapat menyebabkan reaksi sistemik yang fatal. Diagnosis dan manajemen anafilaksis telah ditinjau oleh The Joint Task Force dan diterbitkan dalam jurnal alergi dan imunologi. Anafilaksis merupakan reaksi sistemik langsung dan cepat, IgE-mediator 1

description

ANAFILAKTIK

Transcript of PENDAHULUAN.doc

Page 1: PENDAHULUAN.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Penyebab paling umum kematian akibat anafilaksis adalah kolaps pembuluh darah

jantung dan sesak nafas akibat edema laring. Meskipun anafilaksis memiliki klinis yang

spesifik, namun ada beberapa diagnosa banding yang mencakup kanker paru, sindrom

menopause, sindrom karsinoid dan karsinoma medular tiroid.

Iskemia miokard dapat terjadi pada anafilaksis akibat dari vasospasme arteri koroner

tanpa adanya penyumbatan pembuluh darah. Penanganan untuk anafilaksis nharus cepat,

dengan memberikan tambahan oksigen, suntikan epinefrin, suntikan antihistamin,

kortikosteroid dan manajemen darurat nafas. Jika seseorang pernah mengalami anafilaksis,

maka disarankan agar pasien dirujuk keseorang ahli alergi imunologi untuk pengelolaan

jangka panjang.

Anafilaksis didefinisikan sebagai reaksi yang tidak biasa atau berlebihan dari

organisme untuk protein asing dan zat lain. Pada tahun 1902, Portier dan Richer melaporkan

bahwa injeksi kedua protein asing yang sebelumnya tidak berbahaya dapat menyebabkan

reaksi sistemik yang fatal. Diagnosis dan manajemen anafilaksis telah ditinjau oleh The Joint

Task Force dan diterbitkan dalam jurnal alergi dan imunologi. Anafilaksis merupakan reaksi

sistemik langsung dan cepat, IgE-mediator oleh pelepasan mediator poten dari sel mast

jaringan dan basofil daerah perifer.

Anafilaktoid adalah reaksi sistemik langsung yang menyerupai anafilaksis, tetapi

tidak disebabkan oleh IgE-mediator respon imun. Sel mast dan mediator basofil yang

mungkin berperan dalam anafilaksis dan anafilaktoid akan digambarkan pada table berikut.

Disamping itu anafilaksis telah ditinjau untuk praktek kantor dengan bentuk praktis dan

grafik yang dapat di download dan dimodifikasi. Tujuan dari kajian ini meliputi prosedur

kantor untuk mempersiapkan, mencegah, dan menanggapi anafilaksis sebagai pendidikan

staf dan pasien, mengenal tanda dan gejala awal, dan penanganan anafilaksis.

1

Page 2: PENDAHULUAN.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas generalisata atau sistemik yang

diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah

jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat atau masalah sirkulasi biasanya berhubungan

dengan kulit dan perubahan mukosa. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-

antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.(1,2,3)

EPIDEMIOLOGI

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka

kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat

penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit

penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas

sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari

kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan

mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien

anafilaksis.(1)

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan

bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda

dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih

tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan

dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.(1,2)

2

Page 3: PENDAHULUAN.doc

PENYEBAB DAN ANGKA KEJADIAN

Atopi telah dianggap sebagai factor risiko dengan angka kejadian 36% dan 49% dalam dua

laporan.

Mediator Patofisiologi Manifestasi klinisHistamin Bertindak melalui reseptor h1, h2

Meningkatkan permeabelitas pembuluh darah

Vasodilatasi Kontraksi otot polos Iritasi saraf sensorik

Kulit memerah Urtikaria Angioedema Wheezing Hipotensi Kram perut Diare

Metab. asam arachidonicJalur lipoxygenesis

Ltb4 Ltc4 Ltd4

Jalur cyclooxygenase Pgd2 Pgf2 alfa Tromboxane a2

Kemosis Kontraksi otot polos jalan nafas Meningkatkan permeabelitas

pembuluh darah Sekresi kelenjar submukosa, sel

goblet

Vasodilatasi perifer Kontraksi otot polos jalan nafas Vasokontriksi koroner Sekresi kelenjar submukosa, sel

goblet

Berperan dalam respon fase akhir

Memungkinkan terjadinya wheezing dan hipotensi

Kulit memerah Hipotensi Terjadinya wheezing Iskemia miokardium

Oksida nitrat Mediator lain pada sel endotel dan otot polos diproduksi oleh aksi histamine.

Akibat dari relaksasi otot polos, meningkatkan permeabelitas vaskuler

Hal ini akan memburuk dan mungkin penyebab utama terjainya hipotensi

Memiliki efek bermanfaat pada bronkospasme dan miokard/anoxia

Factor prostaglandin yang mengakibatkan anafilaksis

Formasi metabolic asam arachidonic dari kedua siklooksigenase dan jalur lipoksigenase

Sama seperti metabolic asam arachidonic diatas

Factor aktifitas platelet Kontraksi otot polos jalan nafas Permeabelitas pembuluh darah

Wheezing Hipotensi

Factor kemotasis eosinofil dan basofil

Infiltrasi dan aktivasi dari eosinofil dan basofil

Secara teoritis dapat memperpanjang, mengintensifka, reaksi, menghasilkan reaksi fase akhir

Dapat menyebabkan terjadinya peradangan pada tempat lain

Tryptase Dapat mengaktifkan komplemen dengan pemutusan c3 dan c4

Memutuskan fibrinogen Kemungkinan memiliki aktifitas

kallikrein

3

Page 4: PENDAHULUAN.doc

Kininogenase sel mast dan kimosis kallikrein basofil

Sistim kontak aktivasi dengan pemutusan formasi

Memutuskan neuropeptida Mencegah angiotensin I

menjadi angiotensi II

Berperan dalam respon terhadap hipotensi dengan konversi angiotensin bias memiliki efek bermanfaat oleh inaktivasi neuropeptida

Heparin Menghambat pembekuan, plasmin dan kallikrein antikomplemen

Kemungkinan memiliki efek yang bermanfaat (anti inflamasi)

Sel mast dan mediator basofil yang berperan dalam reaksi anafilaksis. Pengamatan

baru - baru ini terutama pada pengaruh besar pada perempuan , terutama di MayoClinic

series. Makanan , seperti kerang dan kacang , dan obat-obatan , seperti antibiotik dan

nonsteroid agen anti - inflamasi . Tabel 68-2 daftar penyebab lain dari reaksi anafilaksis dan

anafilaktoid .

Kurangnya temuan kulit seperti urtikaria , angioedema , dan reaksi radang memberikan

argumen yang kuat terhadap diagnosis anafilaksis sejak 90 % atau lebih dari pasien

mengalami episode anafilaksis memiliki satu atau lebih dari manifestasi kulit . Kejadian

reaksi anafilaksis dan frekuensi kematian AS untuk penisilin telah dilaporkan menjadi 1 :

100-200 untuk reaksi ringan dan 1 : 2500 untuk reaksi parah , dengan 400-800 kematian per

tahun .(3,4)

4

Page 5: PENDAHULUAN.doc

Immunoglobulin E-mediated reactionsMakananAntibiotik dan obat lainyaProtein asing ( Insulin, seminal protein, latex, chymopapain )ImmunotherapiHymenoptera stingsExercise plus food ingestion

Complement-mediated reactionsDarahProduk darah

Nonimmunological mast cell activatorsOpiat (narkotik)Media radiocontrastVancomycinDextran

Modulators of arachidonic acid metabolismNon steroid antiinflamasiTatrazineSulfating agentsIdiopathicAnaphilaxis catamenialIdiopathic recurrent anaphylaxis

PATOGENESIS

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I

(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan

aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai

diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase

aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama

sampai timbulnya gejala.(2,5,7)

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap

oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T,

dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B

berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk

antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. (2,5,7)

5

Page 6: PENDAHULUAN.doc

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan

reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.

Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera

yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa

bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators. (2,4,5,6)

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang

akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu

setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu

terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit

atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan

efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan

edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan

Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek

bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.

Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang

dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi. (2,4,5,7)

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya

fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran

darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.

Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia

jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita. (2,5,7)

6

Page 7: PENDAHULUAN.doc

GAMBARAN KLINIS (1,2,3,4,5,6,7)

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari

reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah

terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar

dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-

kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat

ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi

hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,

pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala

dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua

gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan

dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering

terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan

yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah

disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea

berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan

kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal

napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu

atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata,

susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering

dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit,

panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada

rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang

menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa

tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan

menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan

sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian

7

Page 8: PENDAHULUAN.doc

allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi.

Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret,

edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria,

kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan

saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal.

Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi

stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk.

Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada

anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena

bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat,

serta bersin-bersin.

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi

koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi

hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina),

kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia.

Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran

urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan

terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan

perubahan kandungan elektrolit pada urine.

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,

peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem

gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa

nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang

terjadi akibat iskemia atau infark usus.

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi

trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem

neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi

tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari

8

Page 9: PENDAHULUAN.doc

aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara

histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta

kebocoran sel.

System Signs Symptoms

Cutaneous Flushing, urticaria, angioedema Flushing,, pruritusCardiovascular Tachycardia, hypotension, shock,

syncope, arrhythmias.Faintness, palpitations, weakness

Gastrointestinal Abdominal distension,vomiting, diarrhea

Bloating, nausea, cramps, pain

Respiratory Rhinorrhea, laryngeal edema, wheezing, bronchorrhea, asphyxiation

Nasal congestion, shortness of breath, difficulty in breathing, choking, cough, hoarseness, lump in throat.

Other Diaphoresis, fecal or urinary incontinence

Feeling in impending doom, conjungtivitis, genital burning, metallic taste.

9

Page 10: PENDAHULUAN.doc

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,

memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil

pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau

meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.

Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari

suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu

IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked

Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu

dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang

tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah

dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji

intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan

gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak,

dan lain-lain.

DIAGNOSIS

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah

terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American

Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga

beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-

bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah,

uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,

stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala

yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).

10

Page 11: PENDAHULUAN.doc

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah

terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam),

yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh

tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise

(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);

penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop,

inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,

muntah).

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen

yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-

anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih

dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau

penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

DIFERENSIAL DIAGNOSA

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak

spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit

lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi

seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator

dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang

berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi

anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi

hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma

bronkiale, dan rhinitis alergika.

Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak

pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi

vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi

masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.Sementara infark

miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala

11

Page 12: PENDAHULUAN.doc

tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.

Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.

Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang

menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi

anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai

adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan

meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala,

diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai

beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah

mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma.

Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan

mereka yang diberi makanan tanpa MSG.

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan

suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,

aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika,

penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang

hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di

udara dingin.

12

Page 13: PENDAHULUAN.doc

PENATALAKSANAAN

Tindakan

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral

maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah

mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi

anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari

kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung

dan menaikkan tekanan darah.

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan

resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian

jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk

penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang

menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala,

tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,

harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau

trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada

tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok

anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas

total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong

dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit.

Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.

femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati

syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan

pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin

bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme

13

Page 14: PENDAHULUAN.doc

kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga

menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain

itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus

pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan

vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga

menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi

pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.

Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam

keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian

subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg

BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan

darah dan nadi menunjukkan perbaikan.

Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu

saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien

tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang

benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan

dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan

100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi

dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan

injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian

infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk

14

Page 15: PENDAHULUAN.doc

mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu

diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps

yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang

sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian

antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan

permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat

pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin.

Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada

keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin

(300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan

dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus

dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah

dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48

jam.

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak

banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang

hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.

Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.

Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil

(yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB,

dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7

mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau

aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan

diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol

(terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc

dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan

vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml

15

Page 16: PENDAHULUAN.doc

dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60

mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis

maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-

8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg

BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.

Terapi Cairan

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi

hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam

mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah

jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan

koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran

kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali

dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan

terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan

koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume

plasma.

Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa

melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan

pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler,

volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk

meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.

16

Page 17: PENDAHULUAN.doc

Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim

ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka

penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas

yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa

harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah

teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama

selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang

perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi

urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal

nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan

cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard,

aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin

lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.2,9,12

17

Page 18: PENDAHULUAN.doc

Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

PENCEGAHAN

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik

terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita

dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis.

Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi

terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok

anafilaktik.

18

Page 19: PENDAHULUAN.doc

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit

negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi

tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit

negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%

dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan

jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama

pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-

obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang

menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang

menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk

mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan.

Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

PROGNOSIS

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi

anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh

kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi

setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang

lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang

akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi,

penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan

elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval

waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi

adrenalin.

19

Page 20: PENDAHULUAN.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis, Iris. Sundaru, Heru. Renjatan Anafilaktik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid I. 2006. Jakarta: FK UI. Hal 190-193

2. Rachman, Oscar. Soepriadi, Myrna. Anafilaksis dalam Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak

Edisi KEdua. 2010. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Hal 207-223.

3. Frieri, Marianne. Anaphylaxis in Manual of Critical Care. 2000. New York: McGraw Hill.

721-729.

4. Resucitation Council (UK). Emergency treatment of anaphylactic reactions-Guidelines

for healthcare providers.2012.

5. Prof. Subowo, dr. MSc., PhD. Imunologi Klinik. 2010. Jakarta: CV Sagung Seto. Hal 31-71.

6. Frederic S. Bongard, MD. Current Critical Care. New York: McGraw Hill. 238-240

7. Navigating the Updated Anaphylaxis Parameters writer Stephen F. Kemp, MD

20