PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini...
Transcript of PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur
(selanjutnya akan disebut dengan BBKSDA Jawa Timur), sebagai salah satu Unit
Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan, tengah menghadapi suatu konflik
pengelolaan kawasan pada Cagar Alam Pulau Sempu. Akar konflik yang terjadi
bermula dari kebijakan atau peraturan terkait dengan kawasan konservasi tersebut.
Perarutan yang ada, menentukan kegiatan apa saja yang diperbolehkan dalam batasan
ketentuan yang berlaku. Sebagai cagar alam, kawasan tersebut (berdasar peraturan
Undang-Undang Nomor: 5 tahun 1990) hanya boleh digunakan untuk kegiatan yang
sifatnya keilmuan, pengembangan budi daya, atau tempat penelitian. Namun
masyarakat, khususnya yang berada di sekitar kawasan, telah melanggar batas aturan
tersebut dengan menggunakannnya sebagai objek wisata alam. Tentunya banyak
alasan kenapa terjadi pelanggaran ketentuan tersebut. Alasan yang menonjol bagi
masyarakat sekitar kawasan adalah penghasilan yang bisa diperoleh dari kegiatan
wisata tersebut, mereka memperoleh keuntungan langsung berupa materi, penghasilan
tambahan dimana mereka sebelumnya hanya mengandalkan penghasilan dari
pekerjaan sebagai petani atau nelayan.
Pemerintah daerah Kabupaten Malang juga tertarik untuk mengembangkan
sektor pariwisata di daerah sekitar Pulau Sempu, yaitu pantai Sendang Biru, guna
menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka. Pihak Perhutani, yang merupkan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kehutanan, juga cenderung mendukung kegiatan
2
pariwisata di tempat tersebut, karena untuk menuju kawasan cagar alam tersebut orang
melewati akses yang dikelola Perhutani yang berupa Wanawisata Sendang Biru, yang
artinya juga mendatangkan pendapatan bagi mereka. Kondisi ini makin memperumit
keadaan, dan pihak-pihak yang terkait atau terlibat konflik makin banyak. Pihak
BBKSDA Jawa Timur sendiri, selaku pengelola kawasan, punya banyak keterbatasan,
sehingga untuk menegakkan peraturan yang semestinya di tempat tersebut sangat sulit.
Akan sangat beresiko apabila kegiatan wisata tidak dikelola dan diatur
dengan baik, karena ketertarikan yang sangat besar dari masyarakat untuk berwisata ke
Pulau Sempu. Perlu suatu pengaturan dan pengendalian dimana pengunjung diberikan
kesempatan untuk melihat, menikmati dan mengambil pengetahuan atas obyek atau
fenomena yang ada dan tidak diperkenankan melakukan aktivitas lain yang bersifat
destruktif, yang pada akhirnya dapat mengancam keutuhan kawasan. Kondisi saat ini
menempatkan Pulau Sempu dalam ketidakjelasan terkait pengelolaan kegiatan
pariwisata yang terus berlangsung di sana.
Konflik pengelolaan ini menjadi menarik, karena sampai saat ini belum
ditetapkan solusi yang tepat dan memuaskan semua pihak, walaupun telah diupayakan
beberapa alternatif pemecahan permasalahan di sana. Persoalan utama yang mendasari
hal ini adalah perbedaan cara pandang antara pihak pengelola kawasan dengan
masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan. Pariwisata mendatangkan
manfaat yang dirasa lebih nyata, yaitu berupa pendapatan langsung yang bisa
diperoleh mereka sekarang, sedangkan konservasi sebenarnya juga mendatangkan
manfaat tapi tidak disadari atau kadang tidak dirasakan secara langsung meskipun
sebenarnya sangat berguna untuk kehidupan jangka panjang.
3
Isu ini penting untuk dikaji guna melihat apa penyebab sebenarnya terhadap
terjadinya konflik pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. Kenapa aturan
yang ada tidak bisa ditegakkan ? maka perlu diketahui sejauh mana pengaruh kondisi
ekonomi, politik, sosial dan budaya masyarakat terhadap cara pandang mereka
terhadap status kawasan konservasi tersebut. Dengan mengetahui penyebab yang
sebenarnya, diharapkan nantinya pihak-pihak terkait bisa mengupayakan jalan keluar
yang terbaik. Penting pula dibuat suatu gambaran atau peta konflik, mengingat konflik
pengelolaan ini adalah suatu sengketa publik yang untuk penyelesaiannya perlu
melibatkan semua governance stakeholder.
Konflik ini cukup rumit, karena akan membenturkan dua kebutuhan yang
sama-sama memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, yaitu kebutuhan konservasi
dengan kebutuhan ekonomi (pariwisata). Kedua hal tersebut memiliki pendukung
dengan dilandasi argumennya masing-masing, yang bisa jadi sulit untuk
mempertemukan keduanya. Untuk itulah penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji
kasus ini dengan judul : “Konflik Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Pulau
Sempu; antara Kebutuhan Konservasi dan Pariwisata”.
B. Rumusan Masalah
Ada beberapa problem atau persoalan yang menarik perhatian terkait
konflik pengelolaan, sebagaimana uraian singkat di atas, yang menjadi fokus dalam
penelitian ini, diantaranya adalah :
1. Apa yang menjadikan kegiatan pariwisata di Cagar Alam Pulau Sempu lebih
menarik bagi warga sekitar kawasan dibanding kegiatan konservasi.
4
2. Bagaimana cara pandang masyarakat terutama yang di sekitar kawasan maupun
stakeholder yang lain, mengenai makna konservasi Cagar Alam Pulau Sempu
sebagai sebuah kawasan yang memiliki ketentuan tersendiri dalam tata kelola dan
penggunaannya, yang bisa jadi berbeda atau berseberangan dengan cara pandang
pihak pengelola kawasan.
3. Balai Besar KSDA Jawa Timur selaku institusi pengelola kawasan Cagar Alam
Pulau Sempu tidak mampu menegakkan aturan sebagaimana mestinya. Selain
menghadapi masyarakat sekitar kawasan dalam persoalan pariwisata ini, Balai
Besar KSDA Jawa Timur juga harus menghadapi berbagai institusi pemerintahan di
tingkat daerah yang melakukan pembangunan wilayahnya yang berdampak
langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan cagar alam tersebut.
Dari beberapa problema atau persoalan di atas, bisa kita tarik pertanyaan
penelitian, yaitu :
Mengapa konflik pengelolaan cagar alam Pulau Sempu antara pihak pengelola yaitu
Balai Besar KSDA Jawa Timur baik dengan masyarakat sekitar kawasan maupun
dengan institusi pemerintahan lain di daerah, masih terus berlangsung sampai
sekarang ?
Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan guna penyelesaian konflik dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu ini ?
5
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa penyebab utama terjadinya konflik pengelolaan kawasan
di Cagar Alam Pulau Sempu
2. Mengidentifikasi para pihak yang terlibat konflik (para stakeholder) dan sejauh
mana keterlibatan mereka masing-masing
3. Untuk mencoba menyusun suatu alternatif pemecahan masalah, berupa
rancangan resolusi konflik pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi
berbagai pihak, dan secara garis besar bisa dikategorikan dalam dua hal:
1. Manfaat Teoritis
Bisa menjadi suatu sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama dalam bidang pengelolaan konflik .
2. Manfaat Praktis
Bagi Kementerian Kehutanan khususnya BBKSDA Jawa Timur, Pemerintah
Propinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Malang, Lembaga Swadaya
Masyarakat, Masyarakat umum dan Swasta, bisa digunakan sebagai bahan
pertimbangan atau acuan dalam menyusun rancangan dan kebijakan guna
menemukan solusi yang bisa diterima semua pihak atas konflik yang sedang
dihadapi saat ini maupun di masa mendatang.
6
E. Kajian Pustaka
1. Keaslian Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian terhadap situasi konflik dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, yang saat ini tengah berlangsung.
Penelitian dititik beratkan pada factor-faktor penyebab terjadinya konflik, pihak-
pihak yang terlibat konflik, dan upaya resolusi konflik seperti apa yang bisa
dijalankan. Sampai saat ini, sepengetahuan penulis, belum ada kajian terhadap
konflik yang terjadi di tempat tersebut.
Ada beberapa kajian atau penelitian terdahulu menyangkut pengelolaan
cagar alam Pulau Sempu, yang sedikit-banyak terkait dengan topik penelitian
yang akan dilakukan. Studi atau kajian tersebut diantaranya yaitu sebagaimana
terangkum dalam Tabel.1.
7
Tabel 1. Studi atau Penelitian Terdahulu Terkait Pengelolaan Cagar Alam Pulau Sempu
No Nama Peneliti Judul Penerbit Tahun Tujuan atau Topik
1. Budianto Optimalisasi PengembanganPeruntukan Lahan dalamPemanfaatan Potensi Pulau SempuKabupaten Malang
Tesis ITS Surabaya 2008 1. Mengetahui dan menggali persepsistakeholder mengenai Pulau SempuSebagai Kawasan Cagar Alam,
2. Sebagai dasar pengembanganpartisipasi pengelolaan kawasankonservasi untuk menekan danmengendalikan kerusakanekosistem,
3. Menganalisis alternatif pengelolaanyang sesuai dengan pemanfaatan
2. Hari Purnomo,
Bambang Silistyantara,dan
Andi Gunawan
Peluang Usaha Ekowisata diKawasan Cagar Alam PulauSempu, Jawa Timur
Jurnal Jurnal PenelitianSosial danEkonomiKehutanan
Vol. 10 No.4Desember2013
1. Mengidentifikasi dan menganalisispotensi objek daya tarik wisata alamkawasan wisata Cagar Alam PulauSempu
2. Mengevaluasi dampak wisata alamterhadap kawasan Cagar alam PulauSempu
3. Merumuskan alternatif strategipengelolaan kawasan Pulau Sempuyang sesuai dengan potensi danstatus kawasan
3. Tatag Muttaqin, Kajian potensi dan strategipengembangan ekowisata di Cagar
Jurnal GAMMA, Vol. 6,Nomor 2,
1. Mengkaji kondisi kawasan Cagar AlamPulau Sempu yang dikenal masyarakat
8
No Nama Peneliti Judul Penerbit Tahun Tujuan atau Topik
Ris Hadi purwanto,
dan Siti Nurul Rufiqo.
Alam Pulau Sempu KabupatenMalang Jawa Timur.
Maret2011.
sebagai kawasan wisata,
2. Mengkaji potensi wisata kawasan CagarAlam pulau sempu untuk digunakansebagai dasar evaluasi fungsi dan statuskawasan serta sebagai dasarpengembangan ekowisata di kawasanCagar alam pulau sempu berdasarkanpersepsi wisatawan dan stakeholder.
4. Dias Satria Strategi pengembangan ekowisataberbasis ekonomiLokal dalam rangka programpengentasan kemiskinanDi wilayah kabupaten malang
Jurnal Journal ofIndonesianAppliedEconomics
Vol. 3 No.1 Mei2009,
1. Mengidentifikasi kekuatan ekonomilokal yang berada di wilayah ekowisatadi Kabupaten Malang, dan
2. Menyusun str ategi yang dapatmendorong pengembangan potensiekowisata yang berbasis ekonomi lokaldi Kabupaten Malang.
5. Tim Peneliti KP3H Eksplorasi Cagar Alam PulauSempu; Keanekaragaman JenisHerpetofauna di Cagar Alam PulauSempu Kecamatan SumbermanjingKabupaten Malang
LaporanPenelitian
FKT UGM 2011 1. Mengetahui Jenis Herpetofauna diCagar Alam. Pulau Sempu
2. Mengetahui KeanekaragamanHerpetofauna di Cagar Alam. PulauSempu
*) menyusun suatu data primer yang bisadijadikan dasar bagi pengelola dalammenyusun kebijakan pengelolaanHerpetiofauna di CAGAR ALAM PulauSempu
9
No Nama Peneliti Judul Penerbit Tahun Tujuan atau Topik
6. Anonim Evaluasi fungsi kawasankonservasi di Cagar Alam PulauSempu Kabupaten Malang ProvinsiJawa Timur. Surabaya.
Laporan Balai BesarKSDA JawaTimur.
2010 1. Memperoleh data dan informasi yang
akurat mengenai kondisi cagar alam
sebagai bahan evaluasi lebih lanjut
tentang fungsi Cagar Alam Pulau Sempu.
2. Mengetahui kegiatan pemanfaatan ilegal
yang mengancam kelestarian Cagar
Alam Pulau Sempu.
3. Mendapatkan rekomendasiataustrategi
dalam rangka pengelolaan Cagar Alam
Pulau Sempu terkait kondisi aktual di
lapangan.
10
2. Kebaharuan Penelitian
Penelitian terhadap berbagai situasi konflik, di berbagai tempat telah
banyak dilakukan dan menghasilkan banyak resolusi konflik. Namun belum
banyak penelitian terkait konflik yang melibatkan rezim konservasi dengan
pariwisata, atau benturan antara cara pandang teknokratis berhadapan dengan cara
pandang demokrasi dengan mengambil setting pada kawasan konservasi. Dan
mengingat bahwa setiap situasi konflik punya kekhasannya sendiri, faktor-faktor
penyebab konflik di suatu tempat belum tentu menjadi penyebab konflik yang
sama di tempat lain, maka penelitian ini menghasilkan sesuatu yang baru dalam
studi konflik.
Dengan penelitian ini kita akan mengetahui kesuaian berbagai konsep
di atas dengan konteks konflik di Cagar Alam Pulau Sempu. Dengan kata lain kita
akan mengetahui sejauh mana konsep-konsep di atas bisa diterapkan di dalam
pengelolaan konflik ini. Setiap konflik memiliki konteks dan faktor-faktornya
sendiri, yang tidak sama satu-sama lain. Suatu faktor penyebab konflik di tempat
yang satu belum tentu menjadi penyebab konflik di tempat yang lain.
F. Landasan Teori
1. Biografi Konflik
Sumber Konflik adalah kondisi-kondisi laten dan aktual yang
kemudian memproduksi keyakinan atau kepercayaan tentang adanya tujuan-tujuan
yang tak selaras (Kriesberg 1982:17,18). Konflik adalah sebuah ‘situasi
persaingan’ antar-pihak yang menyadari bahwa mereka memiliki potensi untuk
tak selaras dalam posisi masing-masing di masa depan, dan masing-masing
11
menginginkan untuk menguasai atau merebut posisi yang tak selaras dengan
keinginan pihak lain (Boulding 1962). Konflik adalah persepsi mengenai
ketidakselarasan kepentingan, atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada
saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt dan Rubin, 1986).
Kriesberg (1982) mengungkapkan, bahwa ada dalam suatu konflik
terdapat suatu tahapan yang dia sebut dengan ‘biografi konflik’. Dalam biografi
konflik tersebut, secara berurutan tahapan yang berjalan secara siklikal; dimulai
dari sumber konflik, kemunculan konflik, pemicu awal konflik, eskalasi konflik,
deeskalasi konflik, terminasi konflik, hasil (outcome) konflik, dan konsekwensi
konflik, kemudian berawal lagi sebagai sumber konflik yang baru dan seterusnya.
Resolusi pada dasarnya adalah setiap upaya intervensi untuk mencegah
aktualisasi, mendeeskalasi, menghentikan dan menyelesaikan konflik dalam salah
satu (atau lebih) tahap konflik tersebut. Untuk lebih jelasnya mengenai siklus
biografi konflik dari Kriesberg (1982) ini, dapat digambarkan sebagai berikut :
12
Gambar 1.1. Biografi Konflik menurut Kriesberg (1982)
2. Governance atau Collaborative Governance
Mengingat apa yang menjadi pokok bahasan adalah upaya
penyelesaian konflik melalui jalur governance, maka di sini terlebih akan
memakai kerangka pemikiran mengenai pengelolaan konflik atau sengketa publik.
Sengketa publik merupakan suatu konflik yang terjadi antara masyarakat dan
pihak pengambil kebijakan, antara sektor-sektor yang ada dalam sebuah
pemerintahan, antara organisasi-organisasi, dan antara organisasi dan publik.
“Dispute over publik isues come in all sizes and shapes. They occur between
communities and their decision makers, between organizations, and between
organizations and the publik.” (Carpenter dan Kennedy 1988: h.3)
Salah satu alternatif yang bisa ditempuh dalam suatu konflik atau
sengketa publik adalah Governance, yaitu suatu mekanisme praktek dan tata cara
13
pemerintah dan warga mengatur sumber daya dan memcahkan masalah-masalah
publik. Dalam hal ini William Zartman berpendapat bahwa “governing as conflict
managemen” yaitu governance adalah pengelolaan konflik (Zartman 1997).
Proses pengelolaan konflik atau sengketa publik akan sangat
dipengaruhi oleh mekanisme, kearifan, dan inisiatif yang dikembangkan oleh 3
(tiga) governance stakeholders utama (Carpenter dan Kennedy 1988):
◦ Peran negara atau pemerintah yang fasilitatif, untuk mendukung usaha-
usaha resolusi konflik
◦ Peran komunitas dan peran advokasi dari lembaga non-negara untuk
mengembangkan inisatif dalam resolusi konflik
◦ Peran suportif para pelaku dunia usaha dan atau pemilik modal dalam
usaha-usaha resolusi konflik.
Governance yang efektif sangat tergantung pada kemapanan akan
suatu consensus dalam norma-noma yang ada, penegakan norma aturan dan nilai
sebagai sumber legitimasi, dan pembangunan suatu prinsip dan institusi yang baru
jika nilai-nilai dan institusi yang lama terbukti tidak cocok lagi (Zartman 1997).
Bagaimana mengembangkan peran governance stakeholders dalam
setiap dimensi konflik, adalah hal utama bagi efektivitas proses pengelolaan
konflik. Bagaimana mengembangkan kerjasama, sinergi, kolaborasi, koordinasi,
dan lain-lain di antara mereka dalam mencegah dan mengelola sikap-sikap,
perilaku dan situasi yang mengarah pada terjadinya konflik yang terbuka. Dengan
kata lain, langkah penting yang harus diambil adalah bagaimana membangun
suatu kolaborasi diantara para pihak, bagaimana semua pihak bekerja-sama dalam
14
membangun alternatif untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain akan terjadi
suatu proses negosiasi, yang berpijak pada kepentingan antar para piha tersebut.
Negosiasi adalah proses memadukan posisi-posisi yang berlainan atau
bertentangan melalui komunikasi dalam suatu keputusan bersama. Perundingan
bisa mencegah persengketaan dari eskalasi menuju kekerasan, bisa digunakan
untuk memecahkan persoalan-persoalan penting dan isu-isu utama, juga bisa
digunakan untuk mengakhiri berbagai konflik, kadang setelah melalui suatu
eskalsi tinggi, kadang setelah melalui periode keras kepala panjang (Zartman
2008).
3. Model analisis konflik
Dalam rangka melakukan analisis terhadap suatu peristiwa konflik,
banyak teori yang bisa dipakai untuk membantu memahami fenomena yang
terjadi. Disamping teori, alat bantu analisis yang lain yang bisa digunakan dikenal
dengan model analisis. Model analisis bisa digunakan untuk menganalisis suatu
konflik yang tengah terjadi dan selanjutnya mengupayakan solusi guna
penyelesaiannya. Model analisis bisa dianggap sebagai pemandu bagi praktisi
yang tengah mencari penyelesaian terhadap suatu konflik.
Salah satu model analisis konflik, yaitu Boundary Model (atau Model
Batas), yang dikenalkan oleh Dr. Larry Prevost (Furlong, 2005). Boundary Model
menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan oleh bagaimana orang-orang
berhubungan dan berinteraksi dengan batasan-batasan yang ada. Kehidupan
masyarakat dipenuhi dengan berbagai macam batasan. Dalam masyarakat manusia
15
batasan-batasan tersebut bisa berupa undang-undang, kesepakatan, perjanjian,
aturan, prosedur, konvensi, tatanan (order), keputusan, dan lain-lain.
Boundaries (batasan-batasan) mempunyai 4 (empat) elemen kunci :
1) Standar Perilaku yang ditetapkan
Batasan harus memiliki standar yang jelas (standar umum) mengenai perilaku
maksimum (dan/atau minimum) yang diperbolehkan. Standar-standar ini lah
merupakan bentukan pembatas yang menyusun suatu batasan (boundary).
2) Jurisdiksi atau legitimasi
Batasan-batasan harus memiliki “jurisdiksi”, yang merupakan sumber
legitimasi guna eksistensi (berlakunya) terhadap keseluruhan.
3) Otoritas atau penegakkan
Batasan harus memiliki suatu bentuk “otoritas”. Otoritas dalam hal ini adalah
suatu entitas (kesatuan yang sungguh ada), proses, atau orang (kelompok
orang) yang bertanggung jawab untuk menegakkan batas tersebut.
Tanpa adanya suatu proses atau orang (kelompok orang) yang menegakkan
suatu batas, batasan tersebut secara efektif tidak benar-benar ada.
4) Norma-norma
Batas biasanya (walau tidak selalu) mempunyai suatu derajat toleransi atau
ruang gerak atau kebebasan (latitude) atau variance tertentu, yang disebut
dengan norma-norma. Norma-norma merupakan ruang gerak yang masuk
akal (pantas) terkait batas tersebut, yang bisa diterima tanpa menganggap
batas telah dilanggar.
Suatu contoh sederhana bisa diambil dari pola perilaku tertib
berkendara di suatu jalan raya. Di suatu jalan raya telah ditentukan bahwa
16
kecepatan minimum berkendara di jalan tersebut adalah 70 km per jam dan
kecepatan maximumnya adalah 100 km per jam. Batas kecepatan tersebut
merupakan batas perilaku yang diperbolehkan di jalan raya tersebut. Pada
kenyataannya orang bisa berkendara di jalan tersebut dalam kecepatan 60 km per
jam (dibawah 70 km) atau pada kecepatan 110 km per jam (di atas 100 km) tanpa
kuatir ditilang karena kecepatan tersebut masih berada dalam batas toleransi yang
diperbolehkan dan sudah umum dilakukan oleh masyarakat pengguna jalan
tersebut. Pelebaran batas ini dalam model batas disebut dengan norma-norma.
Adapun yang memegang otoritas dalam hal ini adalah Polisi Lalu Lintas (dan atau
Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya), dengan jurisdiksi yang bersumber pada
Undang-undang Lalu Lintas yang berlaku. Lebih jelasnya, contoh model batas
dalam hal tertib lalu lintas di jalan raya ini bisa dilihat dalam gambar berikut :
Boundary Model
Gambar 1.2. Contoh Boundary model dalam tata tertib berkendara di jalan raya .(Furlong.2005)
Norma Norma
60 km 110 km
Kecepatan Minimum yangdiperbolehkan 70 km
Kecepatan Maximum yangdiperbolehkan 100 km
Batasan Perilaku
(Otoritas = Polisi LaluLintas; DLLAJR)
(Jurisdiksi = UU Lalu Lintas)
17
a. Definisi kunci dalam Boundary Model
Terdapat 2 (dua) definisi kunci dalam Boundary Model :
1) Definisi “konflik”
Konflik terjadi atau disebabkan karena batas dan norma-
normanya telah ditentang, terancam atau dielakkanataudiabaikan. Konflik
membutuhkan suatu intervensi dalam rangka memecahkan masalahnya. Jika
norma-norma yang ada telah dilampaui dan pihak yang mempunyai yurisdiksi
atau otoritas terhadap batas ini gagal untuk menghalangi (campur tangan),
yang terjadi selanjutnya adalah terancamnya keberadaan batas-batas tersebut.
2) Definisi "Krisis":
Krisis merupakan suatu eskalasi dari konflik. Ketika batas
terancam, dilanggar, atau dielakkan, dan situasi ini dibiarkan terus berlanjut
tanpa intervensiataupenanganan, hal itu bisa mengakibatkan batas menjadi
runtuh sama sekali. Ketika hal itu terjadi, hal tersebut menyebabkan suatu
krisis.(sudah tidak ada kepatuhan terhadap batas).
Model ini menyebutkan bahwa sebagian besar konflik terjadi
disebabkan oleh 4 (empat) alasan utama yang terkait langsung dengan
bagaimana orang berinteraksi dengan batas-batas yang mereka hadapi, yaitu :
1) Kurangnya kejelasan terkait apa batas tersebut. Batas-batas haruslah jelas
dan spesifik (rinci), sehingga dapat ditegakkan.
2) Kurang bisa menerima terhadap siapa yang mempunyai otoritas untuk
menegakkan suatu batas.
18
3) Kurang bisa menerima jurisdiksi atau legitimasi atas batas tersebut.
4) Suatu pelebaran atau perluasan akan norma-norma dari suatu aturan yang
diterima pada masa lalu. Saat ada pelanggaran terhadap suatu batas,
ternyata tidak ada sanksi, maka besoknya akan makin banyak yang ikut
melanggar, dan jenis pelanggaran yang terjadi juga makin banyak. Norma-
norma yang mulai melebar (meluas) tanpa adanya penanganan, ketika
norma-norma telah sedemikian melebar, terjadilah konflik dan krisis.
Menurut model ini, penyebab paling umum terjadinya konflik adalah
kurang jelasnya mengenai batas-batas dan norma-norma, atau makin
melebarnya norma-norma, alasan nomor 1 dan 4 diatas. Sudah menjadi sifat
manusia, ingin menekan batas-batas dan terus memperlebar norma-normanya.
Anak-anak secara konstan selalu menguji berbagai batasan yang telah disusun
orang tuanya, selalu ingin tahu apa yang akan terjadi jika mereka
melonggarkannya atau melanggarnya.
Disamping adanya tendensi untuk “push the envelope” yang menjadi
penyebab dari banyak konflik, penyebab utama lain yang sebenarnya adalah
karena orang (kelompok orang) yang memegang jurisdiksi dan otoritas sering
memaklumi atau memaafkan norma-norma yang diperlebar tersebut.
Kurangnya penanganan atau pencegahan atau intervensi inilah yang menopang
dan meningkatkan konflik.
Diagnosis situasi dengan menggunakan Boundary Model lebih
cenderung pada hasil perilaku, artinya bahwa análisis boundary model
cenderung bersifat fungsional dan praktek, dari pada psikologis dan teoritis.
19
b. Arahan Strategis dari Boundary Model
Secara strategis, model ini menyatakan bahwa ketika suatu konflik
atau krisis terjadi, disana harus dilakukan suatu intervensi. Intervensi ini harus
memiliki suatu tujuan utama yaitu membangun kembali keempat elemen dari
batas.
1) Untuk membangun kembali dan memperjelas apa yang menjadi batas itu
(penegakan aturan), bukan norma-norma. Norma-norma dimaknai sebagai
suatu ruang gerak yang bisa diterima dari suatu batas aturan, dan tidak
punya eksistensi formal di dalam atau atas dirimereka sendiri.
2) Membangun kembali dan memperjelas jurisdiksi atau legitimasi terhadap
aturan main atau batas itu. (adanya pengakuan semua pihak, sehingga
peraturan akan dihormati)
3) Membangun kembali dan memperjelas otoritas kewenangan. Adanya
lembaga yang memiliki otoritas kewenangan untuk penegakan dan
pengawasan pelaksanaan peraturan, yang diterima semua pihak.
4) Norma-norma yang bisa diijinkan, sebagai suatu pilihan saja dan itupun
setelah ketiga hal di atas bisa dijalankan. Sebagai langkah pilihan karena
bisa saja batas yang diterapkan menggunakan prinsip “tanpa toleransi”.
Guna keperluan analisis, perlu untuk mengidentifikasi isu-isu dalam
konflik, dan untuk masing-masing, kemudian dilakukan identifikasi atas batas
yang dilanggar, diabaikan, atau terancam.
20
Berdasarkan intervensi yang disarankan oleh boundary model, suatu
panduan sederhana dapat dikembangkan berdasar pada diagnosis mengenai apa
yang menyebabkan konflik :
Diagnosis Masalah Intervensi Strategis
Pelanggaran batas terkait dengan kurang
jelas atau tegasnya batas, atau karena
perbedaan ekspektasi
Memperjelas dan mempertegas batas
serta membicarakan semua ekspektasi
dari para pihak. Mempertegas segala
konsekwensi atas pelanggaran
terhadap batas yang ada.
Pelanggaran batas terkait dengan pelebaran
norma-norma atau toleransi
Membangun kembali dan menegaskan
batas
Kurang bisa menerima jurisdiksi Meraih penerimaan atas jurisdiksi;
membangun kembali legitimasi untuk
yurisdiksi. Bawa ke otorotas yang
lebih tinggi (jika perlu) untuk
memperjelas dan menentukan
jurisdiksi. Negosiasikan jurisdiksi baru
jika cocok.
Kurang menerima otoritas Dapatkan penerimaan atas siapa yang
memiliki otoritas; bangun kembali
legitimasi bagi otoritas. Bawa ke
otoritas lebih tinggi untuk memperjelas
dan menentukan isu-isu otoritas, jika
diperlukan. Negosiasikan level-level
otoritas baru jika memungkinkan.
21
4. Resolusi konflik
Setiap konflik perlu suatu pengelolaan sehingga tidak terus mengalami
eskalasi yang bisa mengarah pada tindak kekerasan. Pada tahap tertentu suatu
peristiwa konflik memerlukan intervensi agar bisa masuk dalam suatu tahapan de-
eskalasi konflik. Jika hubungan dan komunikasi yang dikembangkan para pihak
bisa terus berlanjut, konflik yang ada bisa memasuki fase terminasi konflik, yaitu
suatu tahap tercapainya suatu kesepakatan atau penyelesaian. Apa yang perlu
diperhatikan dalam proses mengelola konflik adalah bahwa akhir suatu konflik bisa
menjadi awal bagi munculnya suatu konflik baru (Kriesberg 1982).
Hal yang penting diperhatikan ialah pada setiap konflik atau sengketa
publik melibatkan banyak unsur dari berbagai level governance. Pada
kenyataannya, hampir semua konflik atau sengketa publik melibatkan satu atau
lebih level pemerintahan, yang seringkali sebagai salah satu pihak (yang
bersengketa), dan biasanya terkait dengan kedudukannya sebagai pengambil
keputusan (Carpenter dan Kennedy 1988). Sebagai upaya mengusulkan suatu
rancangan bagi resolusi konflik, suatu model rancangan dari Carpenter dan
Kennedy (1988) bisa dicoba untuk diterapkan di sana.
G. Hipotesis
Dan sebagai modal awal dimulainya, penelitian akan berangkat dari
suatu Basis of Expalanation (jawaban sementara), yaitu :
Cara pandang yang berbeda antar pihak yang berkonflik terhadap
manfaat dan fungsi kawasan cagar alam Pulau Sempu membuat konflik pengelolaan
kawasan ini masih terus berlangsung dan belum mencapai titik temu. Aturan yang
22
ada, yaitu tidak diperbolehkannya kegiatan pariwisata di tempat tersebut dirasa
memberatkan bagi masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan. Persoalan
pendapatan juga telah menghambat upaya pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh
BBKSDA Jawa Timur selaku pengelola kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, karena
berbenturan dengan institusi pemerintahan yang lain. Pengelolaan kawasan ini
menemui suatu dilema diantara kebutuhan ekonomi berbenturan dengan kebutuhan
konservasi.
H. Metode dan Teknik Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kualitatif, yang sifatnya
deskriptif dalam upaya menginterpretasikan gejala-gejala yang terjadi dalam
konteks sosial. Dengan metode seperti ini diharapkan bisa didapat berbagai data
sekomprehensif mungkin mengenai situasi yang tengah dipelajari (diteliti).
2. Sumber Data
Data yang akan dipakai dalam karya tulis ini dikumpulkan dari data
primer melalui wawancara dan observasi di lapangan, dan dari data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku, jurnal, Laporan atau dokumentasi
pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), internet, laporan penelitian,
dan lain-lain.
Lebih lanjut, apa yang dibahas dalam penelitian ini dituangkan dalam tabel
2., berikut:
23
Tabel 2. Konsep, variabel, dan idikator.
CONCEPT VARIABLESINDICATORatau
MEASURESMETHODS SOURCE
1. Kesejahteraan
2. Keamanankawasan
3. Keutuhankawasan
TingkatPendapatan
TingkatPendidikan
PelayananKesehatan
Pendapatanpenduduk sekitarkawasan
Pendidikanpenduduk
Pelayanan dansarana kesehatanyang ada
Persepsi terhadapfungsi kawasan
PengumpulanData Primer(kuisioner)
Data Sekunder(Laporan, studipustaka, dll)
Datastatistik,monografidesa,Daerahdalamangka, BPS,Internet
3. Metode Pengumpulan Data
Adapun pendekatan, metode, dan jenis data yang digunakan adalah
sebagaimana disebutkan pada Tabel berikut, :
Tabel 3. Metode pengumpulan data
No Pendekatan Metode Jenis Data
1. Survey ke dalam dansekitar kawasan
Pengamatanlangsung
1. Penggunaan kawasan secara ilegal2. Kerusakan akibat penggunaan
kawasan secara ilegal
2. Studi pustaka dan analisisdata sekunder
1. Status hukum fungsi kawasan2. Sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat sekitar kawasan CagarAlam
3. Pengetahuan umum seputar kawasan4. Refleksi keinginan terhadap kawasan5. Penggunaan kawasan
3. Wawancara denganpihak-pihak dan instansiterkait (Masyarakatsekitar, pengunjung,Perhutani, DinasKehutanan Kab. Malang,dan lain-lain)
Status hukum fungsi kawasan Sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat sekitar kawasan CagarAlam
Pengetahuan umum seputar kawasan Refleksi keinginan terhadap
kawasan
24
4. Metode Analisis Data
Data-data yang berhasil dikumpulkan natinya akan dikelompokkan
menurut kategori atau polanya tersendiri, kemudian diorganisasikan dalam tema-
tema tertentu. Tema-tema tersebut nantinya akan dianalisis menggunakan alur
kerangka pemikiran dan metode penelitian social, serta landasan teori yang relevan,
sehingga bisa menuntun pada ditemukannya suatu kesimpulan. Karya tulis ini
berusaha untuk memberikan gambaran mengenai suatu konflik, menganalisa, dan
membuat upaya pengelolaan konflik.
Metode kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data-
data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang dan pelaku yang
diamati.” Pencarian data-data dilakukan dengan metode induktif, yang
diberangkatkan dari fakta-fakta atau peristiwa umum kemudian ditarik generalisasi
yang bersifat khusus. Sedangkan pengelolaan datanya digunakan metode reflektif.
Komponen-komponen metode reflektif a dalah: (a) perekaan, (b) penafsiran, (c)
penilaian, (d) deskripsi, (e) pemahaman; dan (g) analisa. Kemudian, dalam berpikir
reflektif induksi akan diawali dari fakta-fakta khusus dan menuju ke pernyataann
umum yang menerangkan fakta-fakta itu. Kemudian dari ekplanasi yang bersifat
umum tersebut diselidiki kembali fakta-fakta yang telah ada tadi untuk meyakinkan
kebenaran ekplanasi yang telah dirumuskan (verifikasi). Model analisis data yang
digunakan untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah alat analisis boundary
model (Model Batas).
Ada beberapa alasan mengapa menggunakan Model batas sebagai alat
bantu analisis dalam kasus konflik pengelolaan kawasan Cagara Alam Pulau Sempu
ini :
25
1) Dalam hal diagnosis permasalahan, model ini dapat membantu mendiagnosis
penyebab potensial dari konflik dalam suatu keadaan tertentu. Namun begitu,
Model ini juga membatasi diagnosisnya pada isu-isu terkait batas, yang
berarti bahwa model ini ternatas dalam jangkauan atau skope diagnosisnya.
2) Dalam hal strategi pemecahan masalah, model ini menawarkan ide-ide yang
jelas bagi dilakukannya tindakan intervensi, seiring dengan tujuan kunci
dilakukannya intervensi, yang dapat membantu bagi para praktisi.
3) Model ini memiliki kegunaan yang sangat tinggi dalam hal konflik yang
bersifat relasional, konflik dimana para pihak yang terlibat akan terus
berinteraksi setelah sengketa yang terjadi dipecahkan.
5. Sistematika Penulisan
Guna menjawab problematika penelitian yang diusulkan ini, berbagai
data yang berhasil dikumpulkan akan disusun dalam suatu system penulisan, yang
disusun sebagai berikut :
Bab satu akan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, hipotesis, dan
sistematika penilisan. Bab ini merupakan pendahuluan.
Bab dua menggambarkan latar belakang konflik pengelolaan kawasan
Cagar Alam Pulau Sempu, termasuk didalamnya adalah gambaran umum kawasan
Cagar Alam tersebut dan potensi wisata yang dimilikinya, gambaran umum daerah
sekitar kawasan, serta biografi konflik yang terjadi di sana.
26
Pada bab tiga akan dibahas mengenai analisa terhadap konflik
pengelolaan yang terjadi di Cagar Alam pulau Sempu, serta skema alternatif
penyelesaian konflik tersebut, terutama guna mempertemukan antara kebutuhan
konservasi di satu sisi dan kebutuhan ekonomi (dalam hal ini kegiatan pariwisata)
dari para pihak yang berkonflik. Alasan mengapa alternatif penyelesaian konflik
tersebut perlu diambil dan perlu didukung juga disampaikan dalam bab ini.
Bab empat berisikan rancangan penyelesaian konflik pengelolaan
kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. Rancangan ini secara detail akan membahas
bagaimana para pihak yang berkonflik bisa bertemu, membahas berbagai persoalan,
sehingga bisa menemukan pemecahan masalah yang bisa diterima semua pihak.
Bab lima merupakan penutup yang memuat kesimpulan dan saran.