PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini...

26
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (selanjutnya akan disebut dengan BBKSDA Jawa Timur), sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan, tengah menghadapi suatu konflik pengelolaan kawasan pada Cagar Alam Pulau Sempu. Akar konflik yang terjadi bermula dari kebijakan atau peraturan terkait dengan kawasan konservasi tersebut. Perarutan yang ada, menentukan kegiatan apa saja yang diperbolehkan dalam batasan ketentuan yang berlaku. Sebagai cagar alam, kawasan tersebut (berdasar peraturan Undang-Undang Nomor: 5 tahun 1990) hanya boleh digunakan untuk kegiatan yang sifatnya keilmuan, pengembangan budi daya, atau tempat penelitian. Namun masyarakat, khususnya yang berada di sekitar kawasan, telah melanggar batas aturan tersebut dengan menggunakannnya sebagai objek wisata alam. Tentunya banyak alasan kenapa terjadi pelanggaran ketentuan tersebut. Alasan yang menonjol bagi masyarakat sekitar kawasan adalah penghasilan yang bisa diperoleh dari kegiatan wisata tersebut, mereka memperoleh keuntungan langsung berupa materi, penghasilan tambahan dimana mereka sebelumnya hanya mengandalkan penghasilan dari pekerjaan sebagai petani atau nelayan. Pemerintah daerah Kabupaten Malang juga tertarik untuk mengembangkan sektor pariwisata di daerah sekitar Pulau Sempu, yaitu pantai Sendang Biru, guna menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka. Pihak Perhutani, yang merupkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kehutanan, juga cenderung mendukung kegiatan

Transcript of PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada saat ini Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur

(selanjutnya akan disebut dengan BBKSDA Jawa Timur), sebagai salah satu Unit

Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan, tengah menghadapi suatu konflik

pengelolaan kawasan pada Cagar Alam Pulau Sempu. Akar konflik yang terjadi

bermula dari kebijakan atau peraturan terkait dengan kawasan konservasi tersebut.

Perarutan yang ada, menentukan kegiatan apa saja yang diperbolehkan dalam batasan

ketentuan yang berlaku. Sebagai cagar alam, kawasan tersebut (berdasar peraturan

Undang-Undang Nomor: 5 tahun 1990) hanya boleh digunakan untuk kegiatan yang

sifatnya keilmuan, pengembangan budi daya, atau tempat penelitian. Namun

masyarakat, khususnya yang berada di sekitar kawasan, telah melanggar batas aturan

tersebut dengan menggunakannnya sebagai objek wisata alam. Tentunya banyak

alasan kenapa terjadi pelanggaran ketentuan tersebut. Alasan yang menonjol bagi

masyarakat sekitar kawasan adalah penghasilan yang bisa diperoleh dari kegiatan

wisata tersebut, mereka memperoleh keuntungan langsung berupa materi, penghasilan

tambahan dimana mereka sebelumnya hanya mengandalkan penghasilan dari

pekerjaan sebagai petani atau nelayan.

Pemerintah daerah Kabupaten Malang juga tertarik untuk mengembangkan

sektor pariwisata di daerah sekitar Pulau Sempu, yaitu pantai Sendang Biru, guna

menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka. Pihak Perhutani, yang merupkan

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kehutanan, juga cenderung mendukung kegiatan

2

pariwisata di tempat tersebut, karena untuk menuju kawasan cagar alam tersebut orang

melewati akses yang dikelola Perhutani yang berupa Wanawisata Sendang Biru, yang

artinya juga mendatangkan pendapatan bagi mereka. Kondisi ini makin memperumit

keadaan, dan pihak-pihak yang terkait atau terlibat konflik makin banyak. Pihak

BBKSDA Jawa Timur sendiri, selaku pengelola kawasan, punya banyak keterbatasan,

sehingga untuk menegakkan peraturan yang semestinya di tempat tersebut sangat sulit.

Akan sangat beresiko apabila kegiatan wisata tidak dikelola dan diatur

dengan baik, karena ketertarikan yang sangat besar dari masyarakat untuk berwisata ke

Pulau Sempu. Perlu suatu pengaturan dan pengendalian dimana pengunjung diberikan

kesempatan untuk melihat, menikmati dan mengambil pengetahuan atas obyek atau

fenomena yang ada dan tidak diperkenankan melakukan aktivitas lain yang bersifat

destruktif, yang pada akhirnya dapat mengancam keutuhan kawasan. Kondisi saat ini

menempatkan Pulau Sempu dalam ketidakjelasan terkait pengelolaan kegiatan

pariwisata yang terus berlangsung di sana.

Konflik pengelolaan ini menjadi menarik, karena sampai saat ini belum

ditetapkan solusi yang tepat dan memuaskan semua pihak, walaupun telah diupayakan

beberapa alternatif pemecahan permasalahan di sana. Persoalan utama yang mendasari

hal ini adalah perbedaan cara pandang antara pihak pengelola kawasan dengan

masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan. Pariwisata mendatangkan

manfaat yang dirasa lebih nyata, yaitu berupa pendapatan langsung yang bisa

diperoleh mereka sekarang, sedangkan konservasi sebenarnya juga mendatangkan

manfaat tapi tidak disadari atau kadang tidak dirasakan secara langsung meskipun

sebenarnya sangat berguna untuk kehidupan jangka panjang.

3

Isu ini penting untuk dikaji guna melihat apa penyebab sebenarnya terhadap

terjadinya konflik pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. Kenapa aturan

yang ada tidak bisa ditegakkan ? maka perlu diketahui sejauh mana pengaruh kondisi

ekonomi, politik, sosial dan budaya masyarakat terhadap cara pandang mereka

terhadap status kawasan konservasi tersebut. Dengan mengetahui penyebab yang

sebenarnya, diharapkan nantinya pihak-pihak terkait bisa mengupayakan jalan keluar

yang terbaik. Penting pula dibuat suatu gambaran atau peta konflik, mengingat konflik

pengelolaan ini adalah suatu sengketa publik yang untuk penyelesaiannya perlu

melibatkan semua governance stakeholder.

Konflik ini cukup rumit, karena akan membenturkan dua kebutuhan yang

sama-sama memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, yaitu kebutuhan konservasi

dengan kebutuhan ekonomi (pariwisata). Kedua hal tersebut memiliki pendukung

dengan dilandasi argumennya masing-masing, yang bisa jadi sulit untuk

mempertemukan keduanya. Untuk itulah penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji

kasus ini dengan judul : “Konflik Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Pulau

Sempu; antara Kebutuhan Konservasi dan Pariwisata”.

B. Rumusan Masalah

Ada beberapa problem atau persoalan yang menarik perhatian terkait

konflik pengelolaan, sebagaimana uraian singkat di atas, yang menjadi fokus dalam

penelitian ini, diantaranya adalah :

1. Apa yang menjadikan kegiatan pariwisata di Cagar Alam Pulau Sempu lebih

menarik bagi warga sekitar kawasan dibanding kegiatan konservasi.

4

2. Bagaimana cara pandang masyarakat terutama yang di sekitar kawasan maupun

stakeholder yang lain, mengenai makna konservasi Cagar Alam Pulau Sempu

sebagai sebuah kawasan yang memiliki ketentuan tersendiri dalam tata kelola dan

penggunaannya, yang bisa jadi berbeda atau berseberangan dengan cara pandang

pihak pengelola kawasan.

3. Balai Besar KSDA Jawa Timur selaku institusi pengelola kawasan Cagar Alam

Pulau Sempu tidak mampu menegakkan aturan sebagaimana mestinya. Selain

menghadapi masyarakat sekitar kawasan dalam persoalan pariwisata ini, Balai

Besar KSDA Jawa Timur juga harus menghadapi berbagai institusi pemerintahan di

tingkat daerah yang melakukan pembangunan wilayahnya yang berdampak

langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan cagar alam tersebut.

Dari beberapa problema atau persoalan di atas, bisa kita tarik pertanyaan

penelitian, yaitu :

Mengapa konflik pengelolaan cagar alam Pulau Sempu antara pihak pengelola yaitu

Balai Besar KSDA Jawa Timur baik dengan masyarakat sekitar kawasan maupun

dengan institusi pemerintahan lain di daerah, masih terus berlangsung sampai

sekarang ?

Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan guna penyelesaian konflik dalam

pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu ini ?

5

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa penyebab utama terjadinya konflik pengelolaan kawasan

di Cagar Alam Pulau Sempu

2. Mengidentifikasi para pihak yang terlibat konflik (para stakeholder) dan sejauh

mana keterlibatan mereka masing-masing

3. Untuk mencoba menyusun suatu alternatif pemecahan masalah, berupa

rancangan resolusi konflik pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi

berbagai pihak, dan secara garis besar bisa dikategorikan dalam dua hal:

1. Manfaat Teoritis

Bisa menjadi suatu sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan,

terutama dalam bidang pengelolaan konflik .

2. Manfaat Praktis

Bagi Kementerian Kehutanan khususnya BBKSDA Jawa Timur, Pemerintah

Propinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Malang, Lembaga Swadaya

Masyarakat, Masyarakat umum dan Swasta, bisa digunakan sebagai bahan

pertimbangan atau acuan dalam menyusun rancangan dan kebijakan guna

menemukan solusi yang bisa diterima semua pihak atas konflik yang sedang

dihadapi saat ini maupun di masa mendatang.

6

E. Kajian Pustaka

1. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian terhadap situasi konflik dalam

pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, yang saat ini tengah berlangsung.

Penelitian dititik beratkan pada factor-faktor penyebab terjadinya konflik, pihak-

pihak yang terlibat konflik, dan upaya resolusi konflik seperti apa yang bisa

dijalankan. Sampai saat ini, sepengetahuan penulis, belum ada kajian terhadap

konflik yang terjadi di tempat tersebut.

Ada beberapa kajian atau penelitian terdahulu menyangkut pengelolaan

cagar alam Pulau Sempu, yang sedikit-banyak terkait dengan topik penelitian

yang akan dilakukan. Studi atau kajian tersebut diantaranya yaitu sebagaimana

terangkum dalam Tabel.1.

7

Tabel 1. Studi atau Penelitian Terdahulu Terkait Pengelolaan Cagar Alam Pulau Sempu

No Nama Peneliti Judul Penerbit Tahun Tujuan atau Topik

1. Budianto Optimalisasi PengembanganPeruntukan Lahan dalamPemanfaatan Potensi Pulau SempuKabupaten Malang

Tesis ITS Surabaya 2008 1. Mengetahui dan menggali persepsistakeholder mengenai Pulau SempuSebagai Kawasan Cagar Alam,

2. Sebagai dasar pengembanganpartisipasi pengelolaan kawasankonservasi untuk menekan danmengendalikan kerusakanekosistem,

3. Menganalisis alternatif pengelolaanyang sesuai dengan pemanfaatan

2. Hari Purnomo,

Bambang Silistyantara,dan

Andi Gunawan

Peluang Usaha Ekowisata diKawasan Cagar Alam PulauSempu, Jawa Timur

Jurnal Jurnal PenelitianSosial danEkonomiKehutanan

Vol. 10 No.4Desember2013

1. Mengidentifikasi dan menganalisispotensi objek daya tarik wisata alamkawasan wisata Cagar Alam PulauSempu

2. Mengevaluasi dampak wisata alamterhadap kawasan Cagar alam PulauSempu

3. Merumuskan alternatif strategipengelolaan kawasan Pulau Sempuyang sesuai dengan potensi danstatus kawasan

3. Tatag Muttaqin, Kajian potensi dan strategipengembangan ekowisata di Cagar

Jurnal GAMMA, Vol. 6,Nomor 2,

1. Mengkaji kondisi kawasan Cagar AlamPulau Sempu yang dikenal masyarakat

8

No Nama Peneliti Judul Penerbit Tahun Tujuan atau Topik

Ris Hadi purwanto,

dan Siti Nurul Rufiqo.

Alam Pulau Sempu KabupatenMalang Jawa Timur.

Maret2011.

sebagai kawasan wisata,

2. Mengkaji potensi wisata kawasan CagarAlam pulau sempu untuk digunakansebagai dasar evaluasi fungsi dan statuskawasan serta sebagai dasarpengembangan ekowisata di kawasanCagar alam pulau sempu berdasarkanpersepsi wisatawan dan stakeholder.

4. Dias Satria Strategi pengembangan ekowisataberbasis ekonomiLokal dalam rangka programpengentasan kemiskinanDi wilayah kabupaten malang

Jurnal Journal ofIndonesianAppliedEconomics

Vol. 3 No.1 Mei2009,

1. Mengidentifikasi kekuatan ekonomilokal yang berada di wilayah ekowisatadi Kabupaten Malang, dan

2. Menyusun str ategi yang dapatmendorong pengembangan potensiekowisata yang berbasis ekonomi lokaldi Kabupaten Malang.

5. Tim Peneliti KP3H Eksplorasi Cagar Alam PulauSempu; Keanekaragaman JenisHerpetofauna di Cagar Alam PulauSempu Kecamatan SumbermanjingKabupaten Malang

LaporanPenelitian

FKT UGM 2011 1. Mengetahui Jenis Herpetofauna diCagar Alam. Pulau Sempu

2. Mengetahui KeanekaragamanHerpetofauna di Cagar Alam. PulauSempu

*) menyusun suatu data primer yang bisadijadikan dasar bagi pengelola dalammenyusun kebijakan pengelolaanHerpetiofauna di CAGAR ALAM PulauSempu

9

No Nama Peneliti Judul Penerbit Tahun Tujuan atau Topik

6. Anonim Evaluasi fungsi kawasankonservasi di Cagar Alam PulauSempu Kabupaten Malang ProvinsiJawa Timur. Surabaya.

Laporan Balai BesarKSDA JawaTimur.

2010 1. Memperoleh data dan informasi yang

akurat mengenai kondisi cagar alam

sebagai bahan evaluasi lebih lanjut

tentang fungsi Cagar Alam Pulau Sempu.

2. Mengetahui kegiatan pemanfaatan ilegal

yang mengancam kelestarian Cagar

Alam Pulau Sempu.

3. Mendapatkan rekomendasiataustrategi

dalam rangka pengelolaan Cagar Alam

Pulau Sempu terkait kondisi aktual di

lapangan.

10

2. Kebaharuan Penelitian

Penelitian terhadap berbagai situasi konflik, di berbagai tempat telah

banyak dilakukan dan menghasilkan banyak resolusi konflik. Namun belum

banyak penelitian terkait konflik yang melibatkan rezim konservasi dengan

pariwisata, atau benturan antara cara pandang teknokratis berhadapan dengan cara

pandang demokrasi dengan mengambil setting pada kawasan konservasi. Dan

mengingat bahwa setiap situasi konflik punya kekhasannya sendiri, faktor-faktor

penyebab konflik di suatu tempat belum tentu menjadi penyebab konflik yang

sama di tempat lain, maka penelitian ini menghasilkan sesuatu yang baru dalam

studi konflik.

Dengan penelitian ini kita akan mengetahui kesuaian berbagai konsep

di atas dengan konteks konflik di Cagar Alam Pulau Sempu. Dengan kata lain kita

akan mengetahui sejauh mana konsep-konsep di atas bisa diterapkan di dalam

pengelolaan konflik ini. Setiap konflik memiliki konteks dan faktor-faktornya

sendiri, yang tidak sama satu-sama lain. Suatu faktor penyebab konflik di tempat

yang satu belum tentu menjadi penyebab konflik di tempat yang lain.

F. Landasan Teori

1. Biografi Konflik

Sumber Konflik adalah kondisi-kondisi laten dan aktual yang

kemudian memproduksi keyakinan atau kepercayaan tentang adanya tujuan-tujuan

yang tak selaras (Kriesberg 1982:17,18). Konflik adalah sebuah ‘situasi

persaingan’ antar-pihak yang menyadari bahwa mereka memiliki potensi untuk

tak selaras dalam posisi masing-masing di masa depan, dan masing-masing

11

menginginkan untuk menguasai atau merebut posisi yang tak selaras dengan

keinginan pihak lain (Boulding 1962). Konflik adalah persepsi mengenai

ketidakselarasan kepentingan, atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada

saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt dan Rubin, 1986).

Kriesberg (1982) mengungkapkan, bahwa ada dalam suatu konflik

terdapat suatu tahapan yang dia sebut dengan ‘biografi konflik’. Dalam biografi

konflik tersebut, secara berurutan tahapan yang berjalan secara siklikal; dimulai

dari sumber konflik, kemunculan konflik, pemicu awal konflik, eskalasi konflik,

deeskalasi konflik, terminasi konflik, hasil (outcome) konflik, dan konsekwensi

konflik, kemudian berawal lagi sebagai sumber konflik yang baru dan seterusnya.

Resolusi pada dasarnya adalah setiap upaya intervensi untuk mencegah

aktualisasi, mendeeskalasi, menghentikan dan menyelesaikan konflik dalam salah

satu (atau lebih) tahap konflik tersebut. Untuk lebih jelasnya mengenai siklus

biografi konflik dari Kriesberg (1982) ini, dapat digambarkan sebagai berikut :

12

Gambar 1.1. Biografi Konflik menurut Kriesberg (1982)

2. Governance atau Collaborative Governance

Mengingat apa yang menjadi pokok bahasan adalah upaya

penyelesaian konflik melalui jalur governance, maka di sini terlebih akan

memakai kerangka pemikiran mengenai pengelolaan konflik atau sengketa publik.

Sengketa publik merupakan suatu konflik yang terjadi antara masyarakat dan

pihak pengambil kebijakan, antara sektor-sektor yang ada dalam sebuah

pemerintahan, antara organisasi-organisasi, dan antara organisasi dan publik.

“Dispute over publik isues come in all sizes and shapes. They occur between

communities and their decision makers, between organizations, and between

organizations and the publik.” (Carpenter dan Kennedy 1988: h.3)

Salah satu alternatif yang bisa ditempuh dalam suatu konflik atau

sengketa publik adalah Governance, yaitu suatu mekanisme praktek dan tata cara

13

pemerintah dan warga mengatur sumber daya dan memcahkan masalah-masalah

publik. Dalam hal ini William Zartman berpendapat bahwa “governing as conflict

managemen” yaitu governance adalah pengelolaan konflik (Zartman 1997).

Proses pengelolaan konflik atau sengketa publik akan sangat

dipengaruhi oleh mekanisme, kearifan, dan inisiatif yang dikembangkan oleh 3

(tiga) governance stakeholders utama (Carpenter dan Kennedy 1988):

◦ Peran negara atau pemerintah yang fasilitatif, untuk mendukung usaha-

usaha resolusi konflik

◦ Peran komunitas dan peran advokasi dari lembaga non-negara untuk

mengembangkan inisatif dalam resolusi konflik

◦ Peran suportif para pelaku dunia usaha dan atau pemilik modal dalam

usaha-usaha resolusi konflik.

Governance yang efektif sangat tergantung pada kemapanan akan

suatu consensus dalam norma-noma yang ada, penegakan norma aturan dan nilai

sebagai sumber legitimasi, dan pembangunan suatu prinsip dan institusi yang baru

jika nilai-nilai dan institusi yang lama terbukti tidak cocok lagi (Zartman 1997).

Bagaimana mengembangkan peran governance stakeholders dalam

setiap dimensi konflik, adalah hal utama bagi efektivitas proses pengelolaan

konflik. Bagaimana mengembangkan kerjasama, sinergi, kolaborasi, koordinasi,

dan lain-lain di antara mereka dalam mencegah dan mengelola sikap-sikap,

perilaku dan situasi yang mengarah pada terjadinya konflik yang terbuka. Dengan

kata lain, langkah penting yang harus diambil adalah bagaimana membangun

suatu kolaborasi diantara para pihak, bagaimana semua pihak bekerja-sama dalam

14

membangun alternatif untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain akan terjadi

suatu proses negosiasi, yang berpijak pada kepentingan antar para piha tersebut.

Negosiasi adalah proses memadukan posisi-posisi yang berlainan atau

bertentangan melalui komunikasi dalam suatu keputusan bersama. Perundingan

bisa mencegah persengketaan dari eskalasi menuju kekerasan, bisa digunakan

untuk memecahkan persoalan-persoalan penting dan isu-isu utama, juga bisa

digunakan untuk mengakhiri berbagai konflik, kadang setelah melalui suatu

eskalsi tinggi, kadang setelah melalui periode keras kepala panjang (Zartman

2008).

3. Model analisis konflik

Dalam rangka melakukan analisis terhadap suatu peristiwa konflik,

banyak teori yang bisa dipakai untuk membantu memahami fenomena yang

terjadi. Disamping teori, alat bantu analisis yang lain yang bisa digunakan dikenal

dengan model analisis. Model analisis bisa digunakan untuk menganalisis suatu

konflik yang tengah terjadi dan selanjutnya mengupayakan solusi guna

penyelesaiannya. Model analisis bisa dianggap sebagai pemandu bagi praktisi

yang tengah mencari penyelesaian terhadap suatu konflik.

Salah satu model analisis konflik, yaitu Boundary Model (atau Model

Batas), yang dikenalkan oleh Dr. Larry Prevost (Furlong, 2005). Boundary Model

menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan oleh bagaimana orang-orang

berhubungan dan berinteraksi dengan batasan-batasan yang ada. Kehidupan

masyarakat dipenuhi dengan berbagai macam batasan. Dalam masyarakat manusia

15

batasan-batasan tersebut bisa berupa undang-undang, kesepakatan, perjanjian,

aturan, prosedur, konvensi, tatanan (order), keputusan, dan lain-lain.

Boundaries (batasan-batasan) mempunyai 4 (empat) elemen kunci :

1) Standar Perilaku yang ditetapkan

Batasan harus memiliki standar yang jelas (standar umum) mengenai perilaku

maksimum (dan/atau minimum) yang diperbolehkan. Standar-standar ini lah

merupakan bentukan pembatas yang menyusun suatu batasan (boundary).

2) Jurisdiksi atau legitimasi

Batasan-batasan harus memiliki “jurisdiksi”, yang merupakan sumber

legitimasi guna eksistensi (berlakunya) terhadap keseluruhan.

3) Otoritas atau penegakkan

Batasan harus memiliki suatu bentuk “otoritas”. Otoritas dalam hal ini adalah

suatu entitas (kesatuan yang sungguh ada), proses, atau orang (kelompok

orang) yang bertanggung jawab untuk menegakkan batas tersebut.

Tanpa adanya suatu proses atau orang (kelompok orang) yang menegakkan

suatu batas, batasan tersebut secara efektif tidak benar-benar ada.

4) Norma-norma

Batas biasanya (walau tidak selalu) mempunyai suatu derajat toleransi atau

ruang gerak atau kebebasan (latitude) atau variance tertentu, yang disebut

dengan norma-norma. Norma-norma merupakan ruang gerak yang masuk

akal (pantas) terkait batas tersebut, yang bisa diterima tanpa menganggap

batas telah dilanggar.

Suatu contoh sederhana bisa diambil dari pola perilaku tertib

berkendara di suatu jalan raya. Di suatu jalan raya telah ditentukan bahwa

16

kecepatan minimum berkendara di jalan tersebut adalah 70 km per jam dan

kecepatan maximumnya adalah 100 km per jam. Batas kecepatan tersebut

merupakan batas perilaku yang diperbolehkan di jalan raya tersebut. Pada

kenyataannya orang bisa berkendara di jalan tersebut dalam kecepatan 60 km per

jam (dibawah 70 km) atau pada kecepatan 110 km per jam (di atas 100 km) tanpa

kuatir ditilang karena kecepatan tersebut masih berada dalam batas toleransi yang

diperbolehkan dan sudah umum dilakukan oleh masyarakat pengguna jalan

tersebut. Pelebaran batas ini dalam model batas disebut dengan norma-norma.

Adapun yang memegang otoritas dalam hal ini adalah Polisi Lalu Lintas (dan atau

Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya), dengan jurisdiksi yang bersumber pada

Undang-undang Lalu Lintas yang berlaku. Lebih jelasnya, contoh model batas

dalam hal tertib lalu lintas di jalan raya ini bisa dilihat dalam gambar berikut :

Boundary Model

Gambar 1.2. Contoh Boundary model dalam tata tertib berkendara di jalan raya .(Furlong.2005)

Norma Norma

60 km 110 km

Kecepatan Minimum yangdiperbolehkan 70 km

Kecepatan Maximum yangdiperbolehkan 100 km

Batasan Perilaku

(Otoritas = Polisi LaluLintas; DLLAJR)

(Jurisdiksi = UU Lalu Lintas)

17

a. Definisi kunci dalam Boundary Model

Terdapat 2 (dua) definisi kunci dalam Boundary Model :

1) Definisi “konflik”

Konflik terjadi atau disebabkan karena batas dan norma-

normanya telah ditentang, terancam atau dielakkanataudiabaikan. Konflik

membutuhkan suatu intervensi dalam rangka memecahkan masalahnya. Jika

norma-norma yang ada telah dilampaui dan pihak yang mempunyai yurisdiksi

atau otoritas terhadap batas ini gagal untuk menghalangi (campur tangan),

yang terjadi selanjutnya adalah terancamnya keberadaan batas-batas tersebut.

2) Definisi "Krisis":

Krisis merupakan suatu eskalasi dari konflik. Ketika batas

terancam, dilanggar, atau dielakkan, dan situasi ini dibiarkan terus berlanjut

tanpa intervensiataupenanganan, hal itu bisa mengakibatkan batas menjadi

runtuh sama sekali. Ketika hal itu terjadi, hal tersebut menyebabkan suatu

krisis.(sudah tidak ada kepatuhan terhadap batas).

Model ini menyebutkan bahwa sebagian besar konflik terjadi

disebabkan oleh 4 (empat) alasan utama yang terkait langsung dengan

bagaimana orang berinteraksi dengan batas-batas yang mereka hadapi, yaitu :

1) Kurangnya kejelasan terkait apa batas tersebut. Batas-batas haruslah jelas

dan spesifik (rinci), sehingga dapat ditegakkan.

2) Kurang bisa menerima terhadap siapa yang mempunyai otoritas untuk

menegakkan suatu batas.

18

3) Kurang bisa menerima jurisdiksi atau legitimasi atas batas tersebut.

4) Suatu pelebaran atau perluasan akan norma-norma dari suatu aturan yang

diterima pada masa lalu. Saat ada pelanggaran terhadap suatu batas,

ternyata tidak ada sanksi, maka besoknya akan makin banyak yang ikut

melanggar, dan jenis pelanggaran yang terjadi juga makin banyak. Norma-

norma yang mulai melebar (meluas) tanpa adanya penanganan, ketika

norma-norma telah sedemikian melebar, terjadilah konflik dan krisis.

Menurut model ini, penyebab paling umum terjadinya konflik adalah

kurang jelasnya mengenai batas-batas dan norma-norma, atau makin

melebarnya norma-norma, alasan nomor 1 dan 4 diatas. Sudah menjadi sifat

manusia, ingin menekan batas-batas dan terus memperlebar norma-normanya.

Anak-anak secara konstan selalu menguji berbagai batasan yang telah disusun

orang tuanya, selalu ingin tahu apa yang akan terjadi jika mereka

melonggarkannya atau melanggarnya.

Disamping adanya tendensi untuk “push the envelope” yang menjadi

penyebab dari banyak konflik, penyebab utama lain yang sebenarnya adalah

karena orang (kelompok orang) yang memegang jurisdiksi dan otoritas sering

memaklumi atau memaafkan norma-norma yang diperlebar tersebut.

Kurangnya penanganan atau pencegahan atau intervensi inilah yang menopang

dan meningkatkan konflik.

Diagnosis situasi dengan menggunakan Boundary Model lebih

cenderung pada hasil perilaku, artinya bahwa análisis boundary model

cenderung bersifat fungsional dan praktek, dari pada psikologis dan teoritis.

19

b. Arahan Strategis dari Boundary Model

Secara strategis, model ini menyatakan bahwa ketika suatu konflik

atau krisis terjadi, disana harus dilakukan suatu intervensi. Intervensi ini harus

memiliki suatu tujuan utama yaitu membangun kembali keempat elemen dari

batas.

1) Untuk membangun kembali dan memperjelas apa yang menjadi batas itu

(penegakan aturan), bukan norma-norma. Norma-norma dimaknai sebagai

suatu ruang gerak yang bisa diterima dari suatu batas aturan, dan tidak

punya eksistensi formal di dalam atau atas dirimereka sendiri.

2) Membangun kembali dan memperjelas jurisdiksi atau legitimasi terhadap

aturan main atau batas itu. (adanya pengakuan semua pihak, sehingga

peraturan akan dihormati)

3) Membangun kembali dan memperjelas otoritas kewenangan. Adanya

lembaga yang memiliki otoritas kewenangan untuk penegakan dan

pengawasan pelaksanaan peraturan, yang diterima semua pihak.

4) Norma-norma yang bisa diijinkan, sebagai suatu pilihan saja dan itupun

setelah ketiga hal di atas bisa dijalankan. Sebagai langkah pilihan karena

bisa saja batas yang diterapkan menggunakan prinsip “tanpa toleransi”.

Guna keperluan analisis, perlu untuk mengidentifikasi isu-isu dalam

konflik, dan untuk masing-masing, kemudian dilakukan identifikasi atas batas

yang dilanggar, diabaikan, atau terancam.

20

Berdasarkan intervensi yang disarankan oleh boundary model, suatu

panduan sederhana dapat dikembangkan berdasar pada diagnosis mengenai apa

yang menyebabkan konflik :

Diagnosis Masalah Intervensi Strategis

Pelanggaran batas terkait dengan kurang

jelas atau tegasnya batas, atau karena

perbedaan ekspektasi

Memperjelas dan mempertegas batas

serta membicarakan semua ekspektasi

dari para pihak. Mempertegas segala

konsekwensi atas pelanggaran

terhadap batas yang ada.

Pelanggaran batas terkait dengan pelebaran

norma-norma atau toleransi

Membangun kembali dan menegaskan

batas

Kurang bisa menerima jurisdiksi Meraih penerimaan atas jurisdiksi;

membangun kembali legitimasi untuk

yurisdiksi. Bawa ke otorotas yang

lebih tinggi (jika perlu) untuk

memperjelas dan menentukan

jurisdiksi. Negosiasikan jurisdiksi baru

jika cocok.

Kurang menerima otoritas Dapatkan penerimaan atas siapa yang

memiliki otoritas; bangun kembali

legitimasi bagi otoritas. Bawa ke

otoritas lebih tinggi untuk memperjelas

dan menentukan isu-isu otoritas, jika

diperlukan. Negosiasikan level-level

otoritas baru jika memungkinkan.

21

4. Resolusi konflik

Setiap konflik perlu suatu pengelolaan sehingga tidak terus mengalami

eskalasi yang bisa mengarah pada tindak kekerasan. Pada tahap tertentu suatu

peristiwa konflik memerlukan intervensi agar bisa masuk dalam suatu tahapan de-

eskalasi konflik. Jika hubungan dan komunikasi yang dikembangkan para pihak

bisa terus berlanjut, konflik yang ada bisa memasuki fase terminasi konflik, yaitu

suatu tahap tercapainya suatu kesepakatan atau penyelesaian. Apa yang perlu

diperhatikan dalam proses mengelola konflik adalah bahwa akhir suatu konflik bisa

menjadi awal bagi munculnya suatu konflik baru (Kriesberg 1982).

Hal yang penting diperhatikan ialah pada setiap konflik atau sengketa

publik melibatkan banyak unsur dari berbagai level governance. Pada

kenyataannya, hampir semua konflik atau sengketa publik melibatkan satu atau

lebih level pemerintahan, yang seringkali sebagai salah satu pihak (yang

bersengketa), dan biasanya terkait dengan kedudukannya sebagai pengambil

keputusan (Carpenter dan Kennedy 1988). Sebagai upaya mengusulkan suatu

rancangan bagi resolusi konflik, suatu model rancangan dari Carpenter dan

Kennedy (1988) bisa dicoba untuk diterapkan di sana.

G. Hipotesis

Dan sebagai modal awal dimulainya, penelitian akan berangkat dari

suatu Basis of Expalanation (jawaban sementara), yaitu :

Cara pandang yang berbeda antar pihak yang berkonflik terhadap

manfaat dan fungsi kawasan cagar alam Pulau Sempu membuat konflik pengelolaan

kawasan ini masih terus berlangsung dan belum mencapai titik temu. Aturan yang

22

ada, yaitu tidak diperbolehkannya kegiatan pariwisata di tempat tersebut dirasa

memberatkan bagi masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan. Persoalan

pendapatan juga telah menghambat upaya pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh

BBKSDA Jawa Timur selaku pengelola kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, karena

berbenturan dengan institusi pemerintahan yang lain. Pengelolaan kawasan ini

menemui suatu dilema diantara kebutuhan ekonomi berbenturan dengan kebutuhan

konservasi.

H. Metode dan Teknik Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kualitatif, yang sifatnya

deskriptif dalam upaya menginterpretasikan gejala-gejala yang terjadi dalam

konteks sosial. Dengan metode seperti ini diharapkan bisa didapat berbagai data

sekomprehensif mungkin mengenai situasi yang tengah dipelajari (diteliti).

2. Sumber Data

Data yang akan dipakai dalam karya tulis ini dikumpulkan dari data

primer melalui wawancara dan observasi di lapangan, dan dari data sekunder yang

diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku, jurnal, Laporan atau dokumentasi

pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), internet, laporan penelitian,

dan lain-lain.

Lebih lanjut, apa yang dibahas dalam penelitian ini dituangkan dalam tabel

2., berikut:

23

Tabel 2. Konsep, variabel, dan idikator.

CONCEPT VARIABLESINDICATORatau

MEASURESMETHODS SOURCE

1. Kesejahteraan

2. Keamanankawasan

3. Keutuhankawasan

TingkatPendapatan

TingkatPendidikan

PelayananKesehatan

Pendapatanpenduduk sekitarkawasan

Pendidikanpenduduk

Pelayanan dansarana kesehatanyang ada

Persepsi terhadapfungsi kawasan

PengumpulanData Primer(kuisioner)

Data Sekunder(Laporan, studipustaka, dll)

Datastatistik,monografidesa,Daerahdalamangka, BPS,Internet

3. Metode Pengumpulan Data

Adapun pendekatan, metode, dan jenis data yang digunakan adalah

sebagaimana disebutkan pada Tabel berikut, :

Tabel 3. Metode pengumpulan data

No Pendekatan Metode Jenis Data

1. Survey ke dalam dansekitar kawasan

Pengamatanlangsung

1. Penggunaan kawasan secara ilegal2. Kerusakan akibat penggunaan

kawasan secara ilegal

2. Studi pustaka dan analisisdata sekunder

1. Status hukum fungsi kawasan2. Sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat sekitar kawasan CagarAlam

3. Pengetahuan umum seputar kawasan4. Refleksi keinginan terhadap kawasan5. Penggunaan kawasan

3. Wawancara denganpihak-pihak dan instansiterkait (Masyarakatsekitar, pengunjung,Perhutani, DinasKehutanan Kab. Malang,dan lain-lain)

Status hukum fungsi kawasan Sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat sekitar kawasan CagarAlam

Pengetahuan umum seputar kawasan Refleksi keinginan terhadap

kawasan

24

4. Metode Analisis Data

Data-data yang berhasil dikumpulkan natinya akan dikelompokkan

menurut kategori atau polanya tersendiri, kemudian diorganisasikan dalam tema-

tema tertentu. Tema-tema tersebut nantinya akan dianalisis menggunakan alur

kerangka pemikiran dan metode penelitian social, serta landasan teori yang relevan,

sehingga bisa menuntun pada ditemukannya suatu kesimpulan. Karya tulis ini

berusaha untuk memberikan gambaran mengenai suatu konflik, menganalisa, dan

membuat upaya pengelolaan konflik.

Metode kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data-

data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang dan pelaku yang

diamati.” Pencarian data-data dilakukan dengan metode induktif, yang

diberangkatkan dari fakta-fakta atau peristiwa umum kemudian ditarik generalisasi

yang bersifat khusus. Sedangkan pengelolaan datanya digunakan metode reflektif.

Komponen-komponen metode reflektif a dalah: (a) perekaan, (b) penafsiran, (c)

penilaian, (d) deskripsi, (e) pemahaman; dan (g) analisa. Kemudian, dalam berpikir

reflektif induksi akan diawali dari fakta-fakta khusus dan menuju ke pernyataann

umum yang menerangkan fakta-fakta itu. Kemudian dari ekplanasi yang bersifat

umum tersebut diselidiki kembali fakta-fakta yang telah ada tadi untuk meyakinkan

kebenaran ekplanasi yang telah dirumuskan (verifikasi). Model analisis data yang

digunakan untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah alat analisis boundary

model (Model Batas).

Ada beberapa alasan mengapa menggunakan Model batas sebagai alat

bantu analisis dalam kasus konflik pengelolaan kawasan Cagara Alam Pulau Sempu

ini :

25

1) Dalam hal diagnosis permasalahan, model ini dapat membantu mendiagnosis

penyebab potensial dari konflik dalam suatu keadaan tertentu. Namun begitu,

Model ini juga membatasi diagnosisnya pada isu-isu terkait batas, yang

berarti bahwa model ini ternatas dalam jangkauan atau skope diagnosisnya.

2) Dalam hal strategi pemecahan masalah, model ini menawarkan ide-ide yang

jelas bagi dilakukannya tindakan intervensi, seiring dengan tujuan kunci

dilakukannya intervensi, yang dapat membantu bagi para praktisi.

3) Model ini memiliki kegunaan yang sangat tinggi dalam hal konflik yang

bersifat relasional, konflik dimana para pihak yang terlibat akan terus

berinteraksi setelah sengketa yang terjadi dipecahkan.

5. Sistematika Penulisan

Guna menjawab problematika penelitian yang diusulkan ini, berbagai

data yang berhasil dikumpulkan akan disusun dalam suatu system penulisan, yang

disusun sebagai berikut :

Bab satu akan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, hipotesis, dan

sistematika penilisan. Bab ini merupakan pendahuluan.

Bab dua menggambarkan latar belakang konflik pengelolaan kawasan

Cagar Alam Pulau Sempu, termasuk didalamnya adalah gambaran umum kawasan

Cagar Alam tersebut dan potensi wisata yang dimilikinya, gambaran umum daerah

sekitar kawasan, serta biografi konflik yang terjadi di sana.

26

Pada bab tiga akan dibahas mengenai analisa terhadap konflik

pengelolaan yang terjadi di Cagar Alam pulau Sempu, serta skema alternatif

penyelesaian konflik tersebut, terutama guna mempertemukan antara kebutuhan

konservasi di satu sisi dan kebutuhan ekonomi (dalam hal ini kegiatan pariwisata)

dari para pihak yang berkonflik. Alasan mengapa alternatif penyelesaian konflik

tersebut perlu diambil dan perlu didukung juga disampaikan dalam bab ini.

Bab empat berisikan rancangan penyelesaian konflik pengelolaan

kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. Rancangan ini secara detail akan membahas

bagaimana para pihak yang berkonflik bisa bertemu, membahas berbagai persoalan,

sehingga bisa menemukan pemecahan masalah yang bisa diterima semua pihak.

Bab lima merupakan penutup yang memuat kesimpulan dan saran.