PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileAgama/kepercayaan lokal adalah agama yang...

327
1 Dinamika Agama Lokal di Indonesia PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia mempunyai tradisi keberagamaan yang sangat plural. Tidak hanya agama mainstream yang sudah terlembaga, tetapi juga kepercayaan lokal. Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat, bahkan jauh sebelum negara Indonesia ada. Pada era Orde Baru berdasarkan GBHN paham keagamaan lokal digolongkan ke dalam aliran kepercayaan. Pada waktu itu pembinaan aliran kepercayaan diarahkan agar kembali kepada induk agamanya masingmasing. Maka pada waktu itu pula ada kebijakan, agama/kepercayaan lokal untuk digabungkan dengan agama yang ajarannya mendekati. Berbagai agama/kepercayaan lokal seperti Kaharingan (Dayak), Aluk Todolo (Toraja) digabungkan ke dalam agama Hindu dan agama Khonghucu digabungkan ke dalam agama Buddha, sedangkan agama sunda wiwitan, agama Samin dan aliran kebatinan digabungkan ke dalam agama Islam. Dengan kebijakan pemerintah yang pada waktu itu sangat represif, maka demi menyelamatkan diri mereka dengan sangat terpaksa menerima penggabungan tersebut. Dengan berakhirnya Era Orde Baru dan munculnya Era Reformasi, maka halhal yang tadinya tertutup, mulai terbuka. Mereka yang tadinya tidak berani menyuarakan aspirasinya, kini mulai berani menyuarakan tuntutannya. Diantara tuntutannya ialah, mereka ingin agama/kepercayaan lokal mereka diakui terpisah dari agama induknya, karena menurut mereka dari segi ajaran sangat jauh berbeda. Dengan demikian muncullah tuntutan agar agama/kepercayaan lokal

Transcript of PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileAgama/kepercayaan lokal adalah agama yang...

1

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

PENDAHULUAN  

A. Latar Belakang Masalah Masyarakat  Indonesia  mempunyai  tradisi 

keberagamaan  yang  sangat  plural.  Tidak  hanya  agama mainstream yang  sudah  terlembaga,  tetapi  juga kepercayaan lokal.  Kepercayaan  lokal  dengan  sistem  ajaran,  tradisi, pengikut merupakan  sesuatu yang hidup dalam masyarakat, bahkan jauh sebelum negara Indonesia ada. 

Pada  era  Orde  Baru  berdasarkan  GBHN    paham keagamaan  lokal  digolongkan  ke  dalam  aliran  kepercayaan. Pada waktu itu pembinaan aliran kepercayaan diarahkan agar kembali kepada  induk agamanya masing‐masing. Maka pada waktu itu pula ada kebijakan, agama/kepercayaan lokal untuk digabungkan  dengan  agama  yang  ajarannya  mendekati. Berbagai  agama/kepercayaan  lokal  seperti  Kaharingan (Dayak), Aluk Todolo  (Toraja) digabungkan ke dalam agama Hindu dan agama Khonghucu digabungkan ke dalam agama Buddha, sedangkan agama sunda wiwitan, agama Samin dan aliran kebatinan digabungkan ke dalam agama Islam. Dengan kebijakan  pemerintah  yang  pada waktu  itu  sangat  represif, maka  demi  menyelamatkan  diri  mereka  dengan  sangat terpaksa menerima penggabungan tersebut. 

Dengan  berakhirnya  Era  Orde  Baru  dan munculnya Era  Reformasi,  maka  hal‐hal  yang  tadinya  tertutup,  mulai terbuka.  Mereka  yang  tadinya  tidak  berani  menyuarakan aspirasinya,  kini  mulai  berani  menyuarakan    tuntutannya. Diantara tuntutannya ialah, mereka ingin agama/kepercayaan lokal  mereka  diakui  terpisah  dari  agama  induknya,  karena menurut mereka dari segi ajaran sangat jauh berbeda. Dengan demikian muncullah  tuntutan  agar  agama/kepercayaan  lokal 

mereka  diberikan  pelayanan  sebagaimana  agama‐agama lainnya.  Pertama  kali  tuntutan  itu  muncul  dari  agama Kaharingan,  Khonghucu,  dan  Sunda  Wiwitan.  Selama  ini informasi  tentang keberadaan paham keagamaan  lokal masih belum  banyak  diketahui  oleh  pemerintah  dan  masyarakat luas, meskipun Puslitbang Kehidupan Keagamaan  telah   dua tahun berturut‐turut  (tahun 2010 dan  tahun 2011) melakukan penelitian  tentang  agama  lokal.  Oleh  sebab  itu  pada  tahun 2012 ini penelitian tersebut dilanjutkan kembali dengan fokus masalah pelayanan hak‐hak sipil mereka. 

Secara  yuridis,  agama  lokal  berhak  memperoleh jaminan hak hidup dan pelayanan hak sipil dari negara pasal 29  UUD  1945  berbunyi:  (1)  Negara  didasarkan  pada Ketuhanan Yang Maha Esa.  (2) Negara menjamin kebebasan setiap warga  negara  untuk memilih  agamanya  sendiri,  dan beribadat menurut  agamanya  dan  kepercayaannya  itu. Kata kepercayaan  dalam  pasal  29  ayat  2  itu  telah memiliki multi‐interpretasi  yang  dampaknya  tidak  sederhana.  Bagi  aliran kebatinan  (kepercayaan)  seperti;  Sapto  Dharma,  Sumarah, Subud  dan  Pangestu  yang  merupakan  aliran  kepercayaan utama  yang  keberadaannya  jauh  sebelum  kemerdekaan diproklamasikan, pasal 29 yang memuat kata ”kepercayaan” dianggap  merupakan  pengakuan  negara  terhadap  aliran kebatinan itu setaraf dengan agama yang dilayani pemerintah. 

Dalam  penjelasan  Pasal  1  UU  N0.  1  /PNPS  /1965 disebutkan  bahwa  terdapat  6  (enam)    agama  yang  dipeluk penduduk  Indonesia  ialah  Islam,  Kristen,  Katolik,  Hindu, Buddha  dan Konghucu  (Confusius).  Ini  tidak  berarti  bahwa  agama‐agama  lain, misalnya  :  Yahudi,  Zarasustrian,  Shinto, atau Taoism dilarang di  Indonesia.  (Kementerian Agama RI, 

2

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

3

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012 : 184).   

Undang‐Undang  No.  23  Tahun  2006  tentang Administrasi  Kependudukan  (UU  Adminduk)  khususnya pasal 64 ayat (1) juga tidak melarang agama‐agama lain selain yang  secara  faktual  dan  sosiologis  dipeluk  oleh masyarakat Indonesia.  Namun,  dalam  ketentuan  pasal  64  ayat  (2)  UU Adminduk  dinyatakan  bahwa  :  “Keterangan  tentang  agama sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  bagi  penduduk  yang agamanya  belum  diakui  sebagai  agama  berdasarkan ketentuan  Peraturan  Perundang‐Undangan  atau  bagi penghayat  kepercayaan  tidak  diisi,  tetapi  tetap  dilayani  dan dicatat dalam database kependudukan”.  

Oleh  karena  itu  meskipun  agama/kepercayaan  lokal  seperti  yang  telah  disebutkan  diatas,  tampaknya mengalami stagnasi,  namun  komunitas  pengikut  agama/kepercayaan lokal sebenarnya mengalami perkembangan pasang surut. Hal itu  terkait  dengan  adanya  perubahan‐perubahan  di  dalam dirinya sendiri, maupun perubahan yang diakibatkan karena adanya  perkembangan  di  sekitarnya.  Faktor  politik  juga seringkali  turut  mempengaruhi  perubahan‐perubahan tersebut.  

B. Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas, masalah penelitian 

ini dapat dirumuskan sebagai berikut:  1. Bagaimana  perkembangan  sistem  agama/  kepercayaan 

lokal dan persebaran pemeluknya ? 2. Bagaimana  dinamika  relasi  sosial  pengikut 

agama/kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya?  

3. Bagaimana  realisasi  hak  yuridis  pengikut  agama/ kepercayaan  lokal,  terutama menyangkut pelayanan hak‐hak  sipil,  baik  sebelum  maupun  sesudah  lahirnya  UU Adminduk No.  23  tahun  2006  (Akte  kelahiran,  Identitas agama  dalam  KTP,  Pencatatan  pernikahan  dan  tempat pemakaman)? 

 C. Tujuan Penelitian 

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menggali  informasi  tentang  perkembangan  komunitas 

pengikut  agama/kepercayaan  lokal  dan  persebarannya, baik  menyangkut  paham  dan  keyakinan,  pengikut, organisasi maupun tradisi. 

2. Menelusuri  kebijakan  politik  pemerintah  Indonesia terhadap  komunitas  pengikut  agama/kepercayaa  lokal, terutama  terkait  dengan  pelayanan  hak‐hak  sipilnya sebagai  warga  Negara,  baik  sebelum  maupun  sesudah lahirnya  UU  No.  23  Tahun  2006  tentang  Administrasi Kependudukan(  Akte  kelahiran,  Identitas  agama  dalam KTP  dan  Pencatatan  pernikahan  maupun  tempat pemakamannnya). 

3. Menelusuri  dinamika  relasi  sosial  komunitas  pengikut agama/kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya. 

 D. Kegunaan Penelitian 

Hasil  penelitian  ini  dapat  digunakan  sebagai rekomendasi  kepada  pimpinan  Kementerian  Agama  dan pihak‐pihak  lain  yang  terkait  dalam  rangka  peningkatan kualitas  pelayanan  pemerintah  terhadap  hak‐hak  sipil pengikut  agama/kepercayaan lokal.  

 

4

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

5

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

E. Definisi Operasional  Agama/kepercayaan  lokal  adalah  agama  yang 

berkembang  dan  dianut  oleh  komunitas  di  daerah  tertentu. Agama  lokal nusantara, memiliki berbagai nama, yang  lazim digunakan di tempat mereka hidup sehari‐hari.   

Agama  asli nusantara adalah  agama  lokal, yang  lahir dan tumbuh di nusantara, jauh sebelum adanya agama Hindu,  Buddha,  Islam,  Konghucu,  Katolik,  dan  Kristen.  Mungkin banyak  di  kalangan masyarakat  Indonesia  sudah  tidak  lagi mengetahui bahwa sebelum  adanya agama‐agama tersebut di atas, telah ada agama lokal yang jauh lebih tua. Ciri‐ciri utama agama  lokal  adalah  keyakinan  terhadap  Tuhan  Yang Maha Esa, gotong royong dan saling menghormati hubungan antara sesama  manusia,  alam  dan  Tuhan.  Masyarakat  penganut agama/kepercayaan  lokal  menyebut  nama  agama‐agama mereka sesuai dengan bahasa masing‐masing.  

Setelah  Indonesia  merdeka,  kesadaran  untuk mengembangkan  agama/kepercayaan  lokal  tumbuh berkembang  sesuai  UUD  dan  kebijakan  Pemerintah  terkait dengan agama/ kepercayaan  terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada  tahun 1965 muncul PNPS yang menyebutkan beberapa agama  yang  hidup  dan  dianut  oleh mayoritas  penduduk  di Indonesia.  Disamping  itu  terdapat  kelompok‐kelompok keagamaan/kepercayaan  lokal  yang  pada  masa  Orde  Baru diintegrasikan  kepada  agama‐agama  induknya,  kebijakan pemerintah  terhadap  penganut  agama  lokal  juga  diarahkan kembali  ke  agama  asal. Namun  bagi  penganut  kepercayaan yang  tidak memiliki  latar belakang ajaran pada agama besar, pembinaannya ditangani oleh Kemendikbud.   

F. Metodologi Penelitian  ini merupakan penelitian  kualitatif dengan 

pendekatan  studi  kasus  dalam  tradisi  sosiologi/antropologi, menggambarkan realitas sosial, penelitian ini bersifat deskriftif analitik  tidak  menggunakan  model  thick  description  dari Geertz,  yaitu  model  yang  lebih  menekankan    penggalian makna  dari  pada  sekedar  menggali  pola  atau  hukum keteraturan (Geerts, 1973:5‐7). 

 Jenis Data yang Dihimpun 

Adapun  data  yang  dihimpun  dalam  penelitian  ini adalah sebagai berikut: 

Data  yang  terkait  dengan  perkembangan  komunitas pengikut agama/kepercayaan  lokal, baik menyangkut paham dan  keyakinan,  organisasi  maupun  tradisi,  digali  melalui observasi,  wawancara  dengan  pihak‐pihak  yang  dipandang mempunyai  kompetensi  dan  penggalian  dokumen  yang relevan. 

Data  yang  terkait  dengan  perkembangan  kebijakan politik  pemerintah,  baik  pusat  maupun  daerah  terhadap pengikut  agama/kepercayaan  lokal,  terutama  menyangkut pelayanan  hak‐hak  sipilnya,  digali  melalui  undang‐undang dan regulasi di bawahnya, termasuk peraturan daerah. 

Data  yang  terkait  dengan  dinamika  relasi  sosial pengikut  agama/kepercayaan  lokal  dengan  masyarakat  di luarnya, digali dari pandangan komunitas kepercayaan  lokal terhadap  masyarakat di luarnya dan juga sebaliknya.  Teknik Pengumpulan Data 

Pengumpulan  data  dilakukan  dengan  melalui beberapa  cara  antara  lain:  1)  kajian  pustaka  dengan 

6

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

7

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

mempelajari  beberapa  dokumen,  literatur  yang mendukung; 2)  wawancara  mendalam(indepth  interview);  3)  observasi lapangan. 

Kajian  pustaka  dilakukan  di  beberapa  perpustakaan untuk  mempelajari  buku‐buku  hasil  penelitian  yang  ada kaitannya dengan masalah yang kita teliti. 

Wawancara mendalam dilakukan terhadap pihak yang terkait dengan penelitian  ini antara  lain: pimpinan kelompok paham  keagamaan  lokal  yang  diteliti,  pengikutnya, pemerintah daerah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan  pariwisata  daerah,  pimpinan  ormas  keagamaan,  tokoh agama,  tokoh  masyarakat,  tokoh  adat,  aparat  pemerintah setempat  (Kantor  Kementerian Agama,  Kantor  catatan  sipil, Kantor  Urusan  Agama,  Camat,  Lurah/Kades,  Kejaksaan/ intelegen,  Kepolisian,  Pengawas  Aliran  Kepercayaan Masyarakat (Pakem).  

Sedangkan observasi  lapangan   dilakukan  antara  lain mengenai  aktivitas  sehari‐hari  pengikut  paham  keagamaan lokal, tradisi yang mereka jalankan serta interaksi sosial antara pengikut dan bukan pengikut, memperhatikan perkembangan agama/kepercayaan  lokal,  baik  sebelum  dan  sesudah mengalami perkembangan hingga kini.  G. Sasaran dan Lokasi Penelitian 

Komunitas  yang  masih  memelihara    kepercayaan agama  lokal  di  Indonesia  jumlahnya  sangat  banyak,  seperti penelitian  agama  lokal  yang  pernah  dilakukan  Puslitbang Kehidupan  Keagamaan  pada  tahun  2010  adalah:  1)  Paham Madrais  di  Cigugur  Kuningan;  2)  Himpunan  Penghayat Kepercayaan  (HPK)  Masade/Islam  Kaum  Tua  di  Sulawesi Utara;  3)  Paguyuban  Sumarah  sebelum  dan  sesudah  Pasca 

Reformasi di Yogyakarta; 4) Sapto Dharmo di Provinsi Daerah Istimewa  Yogyakarta;  5)  Aluk  To  Dolo  di  Tana  Toraja Sulawesi Selatan; 6) Agama Kaharingan pada Era Reformasi di Kalimantan Tengah; 7) Boda Sasak di Lombok Utara. 

Selain  itu  penelitian  agama/kepercayaan  lokal  yang juga  telah dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan  pada  tahun  2011  adalah:  1)  Komunitas  Towani  Tolotang  di Kabupaten  Sidrap  Provinsi  Sulawesi  Selatan;  2)  Komunitas  Parmalim  di  Sumatera  Utara;  3)  Komunitas  Samin  di Kabupaten Blora  Jawa Tengah;  4) Komunitas Kampung Naga diTasikmalaya;  5)  Komunitas  Dayak  Hindu  Buddha  Bumi Segandu  di  Indramayu  Jawa  Barat;  dan  6)  Komunitas  Suku Anak Dalam  di Jambi. 

Sedangkan  penelitian  pada  tahun  2013  ini  melanjutkan  penelitian‐penelitian  sebelumnya,  namun  lokasi agama/kepercayaan  lokalnya  berbeda,  dengan  permasalahan yang  sama,  tetapi  fokus  penekanannya  pada  pencatatan perkawinan,  identitas  agama  dalam KTP  dan  akte  kelahiran serta tempat pemakamannya. Agama‐agama lokal yang dikaji meliputi:  1) Agama/Kepercayaan Merapu  di  Sumba NTT;  2) Agama/Kepercayaan Kasepuhan Ciptagelar Gunung Halimun di  Sukabumi  Jawa  Barat;  3)  Agama/Kepercayaan  Sunda Wiwitan  Suku  Baduy  di  Desa  Kanekes  Lebak  Banten;  4) Agama/Kepercayaan Islam Wetu Telu di Bayan Lombok Utara NTB;  5) Agama/Kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan di Kecamatan  Ciparay  Kabupaten  Bandung;  6)  Agama/ Kepercayaan  Buhun  orang  Kranggan  Jati  Sampurna  Kota Bekasi  Jawa  Barat;  7)  Agama/Kepercayaan  Masyarakat Kampung Dukuh Dalam;  

Agama/Kepercayaan  lokal  tersebut  dipilih  dengan pertimbangan;  (1)  paham  keagamaan/kepercayaan    tersebut 

8

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

9

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

bersifat lokal, artinya dianut oleh komunitas yang terbatas; (2) paham  keagamaan/kepercayaan  tersebut  bertahan  hidup dalam  berbagai  perkembangan  sosial;  (3)  ajaran  dan  ritual keagamaan/kepercayaan  tersebut  masih  mereka  patuhi  dan taati oleh komunitasnya yang berbentuk  tradisi hidup  (living tradition),  seperti:  kelahiran,  kematian/pemakaman, perkawinan,  dan  lain  sebagainya;  (4) mempunyai  dinamika yang menarik,  baik  terkait  dengan  sikap  politik  pemerintah terhadap mereka, maupun terhadap lingkungan sosial dimana komunitas itu berada.  H. Studi Kepustakaan 

Kajian  terkait  agama/kepercayaan  lokal  yang  pernah dilakukan  Puslitbang  Kehidupan  Keagamaan    pada  tahun 2012,  yaitu:  1) Komunitas  Parmalim,    secara  umum  telah  mengalami 

stagnasi. Namun  tradisi adat mereka dapat dipertahankan oleh para pengikutnya. Kebijakan  pemerintah menyangkut pelayanan  hak‐hak  sipilnya  belum  mencerminkan implementasi  dari  UU  No.  23  tahun  2006  tentang Administrasi Kependudukan. Sampai hari ini belum tertera di  kolom  kartu  tanda  penduduk  (KTP)  yang mencantumkan  agama  mereka.  Akte  kelahiran  dan pencatatan  nikah  juga  belum  dilayani  oleh  pemerintah meskipun sudah ada perintah dari Undang‐Undang. Relasi sosialnya  dengan  masyarakat  luar  terutama  terhadap agama mainstream sangat baik dan sangat toleran; 

2) Kepercayaan  Suku  Anak  Dalam,  telah  mengalami perubahan,  mereka  yang  semula  tidak  menganut  agama apapun,  sebagian  sudah menjadi mu’alaf muslim dan ada juga  yang  masuk  Kristen.  Pemerintah  belum  melakukan 

pendataan secara serius dan belum memberikan pelayanan  maksimal  terkait hak‐hak sipilnya belum  terlayani dengan baik  (pelayanan  KTP,  Akte  kelahiran,  pencatatan perkawinan  dan  kematian).  Relasi  sosial  terhadap internalnya cukup baik, namun terhadap kelompok agama mainstream mereka tidak mengenalnya;  

3) Komunitas  Dayak  Hindu  Budha  Bumi  Segandu  di  Jawa Barat.  Komunitas  tersebut  sejak  awal  sudah  mengalami perubahan  baik  dari  segi  nama  maupun  ajaran  mereka. Perubahan  tersebut  dilakukan  dalam  rangka menghadapi tantangan  yang  terjadi  karena  kondisi  sosial  yang berubah.Pemerintah setempat belum melakukan pendataan terhadap  komunitas  tersebut.  Selama  ini  menurut keterangan  camat   Losarang  (Ahmad Midan) mengatakan komunitas agama  lokal baru mengurus KTP ketika beliau baru mau melakukan pernikahan, karena menurutnya KTP itu  tidak  penting.  Salah  satu  penyebab  keengganannya untuk  memenuhi  hak  sipil  mereka  karena  adanya keharusan mengisi kolom agama, sementara mereka  tidak mengikatkan  diri  pada  salah  satu  agama  maupun organisasi  kepercayaan  terhadap  Tuhan  Yang Maha  Esa. Relasi sosial terhadap internal maupun eksternalnya cukup baik. 

4) Kepercayaan  Masyarakat  Kampung  Naga  di  Kabupaten Tasikmalaya  Jawa  Barat.  Penduduk  Kampung  Naga mayoritas beragama Islam. Islam sebagai agama mayoritas penduduk,  diterima  dan  diakomodasi  dalam  tradisi budaya masyarakat  Kampung Naga  dengan warna  etnik Sunda.  Pencatatan  perkawinannya  dilakukan  di  KUA Kecamatan  Salawu  Kabupaten  Tasikmalaya,  karena masyarakatnya  beragama  Islam.Untuk  pencatatan  akte 

10

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

11

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

kelahiran dan kematian dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Relasinya  dengan masyarakat  sekitar  dan  dengan  ormas‐ormas lainnya berjalan dengan baik. 

5) Kepercayaan  Sedulur  Sikep  (Samin)  di  Kabupaten  Blora Jawa  Tengah,  Pada  era  reformasi  hingga  kini  komunitas Samin  memperoleh  kebijakan  yang  spesifik,  seperti identitas  agama dalam KTP boleh ditulis Samin atau boleh dikosongkan/tanda setrip dan akte kelahiran dilayani sama dengan  penduduk  lainnya.  Dalam  masalah  perkawinan, pemerintah  belum memberikan  payung  hukum,  sehingga mereka  masih  melakukan  berdasarkan  hukum  adat  dan masih  menunggu  payung  hukum  dari  pemerintah.Relasi sosial  sesama  komunitas  Samin  cukup  baik  dan  akrab bahkan  saling membantu dalam  kebutuhan  hidup  sehari‐hari.  Tetapi  relasi  sosial  dengan  kelompok  mainstream tidak  terlihat  karena  komunitas  Samin  hidup mengelompok seakan‐akan membuat komunitas  tersendiri dan mereka  jarang ke  luar  rumah kecuali pergi ke kebun dan keladang.  

6) Kepercayaan  Towani  Tolotang  di  Kabupaten  Sidrap Sulawesi  Selatan,  penganut  agama  lokal  ini  hingga sekarang masih bertahan. Mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,  tidak menuntut apa yang  tidak  menjadi  hak  mereka.  Identitas  agama  dalam KTP dituliskan  agama Hindu untuk mencari  keselamatan dan ketentraman.Masalah perkawinan mengikuti cara‐cara agama Hindu, yaitu  calon pengantin  laki‐laki mendatangi Petugas  Pembantu  Pencatat  Perkawinan.Relasi  sosialnya terjadi  interaksi  terhadap  sesama  golongan  apapun  yang ada di sekitarnya.  

I. Kerangka Teori Menurut  para  antropolog  dan  sosiolog,  agama 

merupakan  sistem  keyakinan  yang  dianut  dan  diwujudkan dalam  tindakan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan dan memberi respon  terhadap apa yang dirasakan  dan  diyakini  sebagai  sesuatu  yang  suci  dan  gaib. “Dari pengertian  tersebut maka  terjadinya perubahan Paham dan keyakinan keagamaan  sangat dimungkinkan. Perubahan tersebut disebabkan karena perbedaan‐perbedaan  interpretasi dan cara pandang dalam memahami situasi‐situasi yang terus berubah  atau  ilmu  pengetahuan  yang  berkembang” (Abdurrahman Mas ‘ud, 2009).     

Perbedaan  interpretasi  ajaran  atau  doktrin  sebuah agama/kepercayaan  lokal  mengakibatkan  timbulnya perbedaan  keyakinan,  faham  atau  aliran  keagamaan.  Jadi secara  teoritis  dan  praktis  perbedaan  interpretasi  terhadap doktrin  agama  yang menimbulkan  aliran  agama  baru  pada tingkat  pemahaman  pada  prinsipnya  tidak  bisa dihindarkan terutama  karena  adanya  perbedaan  tingkat  pengetahuan, pemahaman  dan  pengamalan  serta  perkembangan  budaya masyarakat.  

Sistem kepercayaan yang dianut  tidak disebut berasal dari  Tuhan,  tetapi  sebagai  produk  kebudayaan manusia  itu sendiri,  sebagaimana  dikemukakan  Clifford  Geertz  (1981), agama  pada  dasarnya  merupakan  produk  kebudayaan. Karena  itu,  sebuah  sistem  keyakinan  tidak  bisa  dilepaskan dari  kebudayaan  masyarakatnya.  Persoalannya  adalah bagaimana  posisi  individu  dan  komunitas  pengikut agama/kepercayaan  lokal  dalam  statusnya  sebagai  warga Negara diperlakukan. Hal ini terkait dengan kebijakan sebuah Negara mengenai status kewarganegaraan masyarakatnya.  

12

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

13

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

         

AGAMA/KEPERCAYAAN MERAPU DI SUMBA  NUSA TENGGARA TIMUR 

Oleh :  Wakhid Sugiyarto 

  

GAMBARAN UMUM WILAYAH   

Sumba Selayang Pandang Penelitian  agama  Marapu  dilaksanakan  di  daratan 

Sumba  Provinsi  Nusa  Tenggara  Timur  atau  disebut  ‘Bumi Marapu”  tepatnya di Kabupaten Sumba Barat. Bumi Marapu adalah  sebutan  lain  bagi  Tana  Humba  atau  Sumba  untuk keseluruhan daratan Sumba.  

Agama Marapu sebagai agama komunitas masyarakat daratan Sumba hingga kini masih tetap eksis, meskipun secara administrasi kependudukan mereka  sudah  semakin  terdesak dan  digantikan  sebagai  orang Kristen  dan Katolik. Menurut informan  dari  pihak Kristen  dan Katolik,  hal  itu  dipandang sebagai  cara  adaptasi,  agar  mereka  dapat  berperan  sejajar dengan  warga  negara  Indonesia  lainnya  di  seluruh  Sumba dalam  aspek  kehidupan  sosial,  pendidikan,  ekonomi  dan politik. 

Di  sepanjang  pantai  timur  hingga  pantai  barat  tersimpan misteri agama Marapu dan rumah‐rumah adat yag menjulang  tinggi  diperbukitan  maupun  di  ngarai,  altar megalit dan  batu  kuburan  keramat  yang  nampak menghiasi setiap depan rumah, pojok ruang kota, kampung (kabisu) dan dusun  (paraingu) kiri kanan  sepanjang  jalanan  trans  Sumba. Di  tengah‐tengah  kota  Waikabubak  sebagai  ibukota Kabupaten  Sumba  Barat,  juga  dapat  disaksikan  kampung‐kampung  adat  dengan  rumah‐rumah  adat  joglo  yang  tinggi menjulang  beratapkan  ilalang. Keberadaanya menjadi  obyek wisata  bagi  turis‐turis  asing,  meskipun    bagi  kita  sendiri malah  menjadi  simbol  peninggalan  peradaban  jaman  batu yang harus segera ditinggalkan.  

14

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

15

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Rumah‐rumah itu di dalamnya bercampur aduk antara penyimpanan  bahan  makanan,  tempat    memasak,  tidur, buang  hajat,  kandang  babi,  kandang  kerbau,  anjing  dan gudang  menjadi  sesuatu  yang  mengesankan  adalah  lokasi yang  jorok  itu  dibanggakan  dan  diperlihatkan  kepada  para turis. Kondisi  lingkungan perkampungan adat yang  terkesan jorok itu, bisa saja menurut kita memerlukan rehabilitasi total, supaya  lingkungan berubah menjadi  lingkungan yang  sehat, dalam hal ini tentu saja harus melibatkan Pemerintah Daerah, karena hal tersebut  memerlukan dana besar. Tetapi bagi para penghuninya,  kondisi  lingkungan  seperti  itu  ternyata  sama sekali  tidak mengganggu  kehidupan  sehari‐harinya, mereka bisa hidup dengan  tenang, seperti  tidak ada problem apapun berkaitan dengan kondisi lingkunganya. 

      Kondisi Geografis dan Demografis  

Kondisi daratan  tanah pulau Sumba secara  topografis terdiri dari perbukitan, lahan daratan rendah yang landai dan bertingkat‐tingkat.  Wilayahnya  bersuhu  tinggi  sehingga mengakibatkan  batu‐batuan  menjadi  mudah  lapuk.  Jenis tumbuhan  yang  dapat  tumbuh  pada  umumnya  berupa tanaman  keras  seperti  jati,  kelapa,  aren  dan  sebagainya. Sedangkan hewan peliharaan umumnya adalah kerbau, sapi, babi, kuda dan anjing sesuai dengan keadaan alamnya.  

Masyarakat  Sumba  umumnya  bermata  pencarian sebagai petani  ladang,  sedikit  sawah basah,  tadah hujan dan peternak.  Kebiasaan  bertani  dan  beternak  diwariskan  oleh nenek  moyang  sejak  zaman  dulu.  Sekalipun  pulau  Sumba dikelilingi  lautan  luas,  namun  sedikit  orang  Sumba  yang menjadi nelayan  tradisional,  sebagaimana orang‐orang Bima, Bugis dan Jawa.  

Jumlah penduduk di Pulau Sumba ada sekitar 699.686 jiwa.  Dilihat  dari    persebaran  jumlah  penduduknya  adalah Sumba Barat Daya, 290.539  jiwa, Sumba Timur   232.237  jiwa, Sumba Barat 113.189  jiwa, dan Sumba Tengah 63.721  jiwa. Di Sumba  Barat  kepadatan  penduduknya  153  jiwa/km2,  terdiri dari  laki‐laki  58.638  jiwa  dan  perempuan  54.551  tergabung dalam  256.963  Kepala  Keluarga.  Penduduk  terpadat  adalah Kecamatan  Kota Waikabubak  yaitu  29.494  jiwa;  Loli  27.785 jiwa; Tana Righu 18.000 jiwa; Lamboya 16.097 jiwa; Wanokaka 14.375 jiwa dan Kecamatan Lamboya Barat berpenduduk 7.438 jiwa (Kabupaten Sumba Dalam Angka, 2012).  

  

16

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

17

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

TEMUAN HASIL PENELITIAN  

Kehidupan Sosial Keagamaan Secara  umum  Provinsi  NTT  masih  memperlihatkan 

lima  (5)  agama  besar  yang  dilayani  Pemerintah,  sementara Khong  Huchu  belum  tampak  prosentasenya.  Namun, sesungguhnya,  di  seluruh  wilayah  NTT  masih  banyak penganut  agama  lokal,  tetapi  dilihat  dari  data  BPS,  tidak nampak,  sehingga  tidak  ada  data  resmi  jumlah  penganut agama lokal di seluruh Provinsi NTT.  

Secara administratif, penduduk Sumba Barat mayoritas memeluk agama Kristen 69.406 jiwa, Katolik 23.483 jiwa, Islam 9.291  jiwa  dan  Hindu  199  jiwa    (Kabupaten  Sumba  Barat Dalam Angka, 2012). Berdasarkan data  lainnya    jumlah umat Kristen 55.635 jiwa, umat Katolik 22.084 jiwa, umat Islam 8.543 jiwa, umat Hindu 198 jiwa dan umat Marapu sebanyak 24.198 jiwa (Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka, 2010). 

Menurut  informan, dari kalangan bangsawan dan elit politik  Sumba  maupun  orang‐orang  penting  di  Sumba mengatakan  bahwa  sebahagian  dari  kami  masih  taat menjalankan ritual Marapu,  meskipun sebagian besar lainnya sudah  ke  gereja. Hal  ini  sebagaimana  dinyatakan  juga  oleh Rambu Sama Pati, yang masih  seorang darah biru di Sumba Barat, adik kandung dari Bupati Sumba Tengah Umbu Sappi Pateduk,  mengatakan  bahwa  dirinya  dan  umumnya  para politisi  dan  birokrat  meskipun  sudah  Kristen,  tetap  masih menjalankan  tradisi  Agama  Marapu.  (diolah  dari  hasil wawancara  dengan  Rambu  Sama  Pati,  12  April  2013).  Dari hasil wawancara dan FGD, diperoleh  informasi, bahwa para pendeta,  guru,  Dinas  Pendidikan  dan  Pemerintah  telah membuat  jebakan mematikan  keberadaan  komunitas  agama 

Marapu, yaitu dengan menggiring anak‐anak usia sekolah ke sebuah kandang yang sudah disiapkan dan  tidak ada pilihan lainya, mereka   harus memiliki surat babtis di semua  jenjang pendidikan.  Anak‐anak  usia  sekolah  itu  termasuk  orang tuanya,  masuk  ke  agama  Kristen/Katolik,  sementara  yang mereka kehendaki adalah dididik sesuai agama Marapu.  

Alasan menggiring anak‐anak usia sekolah ke kandang agama Kristen atau Katolik, ternyata cukup logis, yaitu bahwa di  sekolah  harus  ada  pelajaran  agama,  bahkan  nilai  agama minimal  harus  6.  Jika  anak  murid  sekolah  tidak  ada  nilai pelajaran agamanya maka siswa tersebut tidak akan naik kelas di  semua  jenjang pendidikan.  Sementara  itu,  agama Marapu yang memang mayoritas  itu masih dipandang bukan sebagai agama,  karena  tidak  ada  kitabnya,  sehingga  tidak  dapat diajarkan  dan  tidak  dapat  disusun  kurikulumnya,  tidak  ada gurunya, dan tidak ada pula pengawas agama Marapu. Satu‐satunya  jalan  yaitu  harus  diajarkan  dengan  ajaran  agama formal  yang  ada,  yaitu  Kristen  atau  Katolik.  Sementara  itu berkaitan dengan hak pendidikan agama bagi anak itu, terikat dengan  agama  apa  yang  dianut  oleh  siswa.  Jika  agamanya Kristen, maka  didatangkanlah  guru  agama Kristen,  dan  jika siswanya  beragama  Katolik,  maka  didatangkanlah  guru agama Katolik. Untuk mengetahui kebutuhan  itu, maka satu‐satunya  jalan  adalah dengan  surat wajib babtis dari pendeta Kristen  ataupun  Katolik,  sehingga  sekolah  tidak dipersalahkan oleh siapapun, karena pendidikan agama yang diberikan kepada siswa sudah sesuai dengan siswa yang telah memiliki  surat babtis dari gereja.  Jika  tidak di babtis, berarti siswa  tersebut  tidak  bisa  sekolah  dan  tidak  bisa  menjadi pegawai  negeri,  tentara,  polisi  dan  sebagainya  yang mensyaratkan dalam KTP‐nya harus ada agama formal. 

18

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

19

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Informan  lain  mengatakan  bahwa  dahulu  ia  ketika masuk Sekolah Dasar diharuskan memiliki  surat babtis yang dikeluarkan  oleh  Gereja,  jika  tidak,  maka  ia  tidak  dapat sekolah. Oleh karena itu ia terpaksa minta surat babtis kepada pendeta  Gereja  Kristen  Sumba  (GKS)  agar  bisa  bersekolah. Sementara  itu sampai hari  ini,  ia  tidak pernah  tahu di dalam gereja itu ada apa. (diolah dari hasil wawancara dengan Weny Dela Kondo, 13 April 2013).  

Informan  lainnya  juga  mengatakan,  bahwa  memang salah  besar  ketika  semua  lembaga  pendidikan  negeri  dan swasta  di  semua  jenjang  mengharuskan  calon  siswa  untuk memiliki  surat  babtis  dari  pendeta  di  gereja.  Sebab masalah keyakinan  tidak  boleh  dipaksakan  seperti  itu  dan  masalah agama merupakan hak azasi manusia yang paling mendasar yang  tidak  bisa  diganggu  gugat.  Persoalanya  adalah  bahwa agama Marapu  ini  tidak  ada kitab  suci  tertulisnya,  sehingga timbul  kesulitan  jika  kelompok  lain  ingin  membuktikan bahwa  Marapu  adalah  agama.    Karena  semua  orang  setidaknya  85%  masyarakat  ber‐KTP  sebagai  umat Kristen/Katolik,  tetapi  seluruh  perjalanan  hidupnya  masih bernilai  sebagai  orang Marapu. Oleh  karena  itu  tidak  heran jika  semua  gereja  sepi  pada  hari  minggu,  karena  sebagian besar  orang  masih  beragama  Marapu.  Komunitas  Marapu menjadi  komunitas  tak  berdaya  berhadapan  dengan  definisi agama yang diberikan oleh orang  lain, pemerintah dan para agamawan  lain,  karena  pemerintah  tetap  menempatkan Marapu sebagai aliran kepercayaan dan bukan sebagai agama. Cita‐cita untuk mendirikan  lembaga  adat Marapupun masih terkendala oleh desakan para pendeta agar pemerintah jangan sampai  melegalkan  Marapu  sebagai  agama,  karena  akan mengancam  posisi  mayoritas  Kristen  di  Kabupaten  Sumba 

Barat.  Pendirian  Lembaga  Adat  sudah  langsung  mendapat kecurigaan dan reaksi dari para pendeta Kristen dan Katolik, karena ia tahu bahwa dengan pendirian lembaga adat Marapu akan menjadi langkah awal dari pengukuhan Marapu sebagai agama.  Dan  merekapun  mengetahui  bahwa  begitu Marapu dikukuhkan  sebagai  agama, maka  sebagian  besar  penduduk akan  berpindah  ke  agama Marapu. Hasilnya  adalah  amanat kepada  Pemerintah  Daerah  untuk  memfasilitasi  komunitas adat  Marapu,  yaitu  sebuah  kantor  yang  representatif  bagi lembaga adat  tersebut dan sekaligus menjadi pusat  informasi yang  berkaitan  dengan  Marapu.  Sementara  ini,  informasi berkaitan  dengan  Marapu  di  bawah  kewenangan  Dinas Pariwisata, yang menurut Lele sama sekali tidak paham seluk beluk  kepercayaan  dan  adat Marapu.  Bahkan    pegawainya malah menjadi guide bagi wisatawan dan bukan menyiapkan paket‐paket  dan  inovasi  pariwisata,  dan  dengan  jengkelnya Lele  Dapa Wole  mengatakan,  pegawai  di  Dinas  pariwisata termasuk kepala Dinasnya hanya makan gaji buta. (diolah dari hasil wawancara dengan Lele Dapa Wolu dan Ana Angelina Lele, 1 Mei 2013). 

Sampai  hari  ini  ada  ketentuan  bahwa  setiap  siswa ketika akan mendaftarkan dirinya ke sekolah di semua jenjang harus memiliki surat babtis dan itu masih berlaku. Merekapun seolah‐olah  masuk  Kristen  dengan  surat  babtis  itu,  tetapi sesungguhnya  dalam  kehidupan  dari  lahir  hingga  matinya masih  dengan  cara  kepercayaan,  nilai  dan  rasa  agama Marapu,  termasuk  Lele  Dapa Wole  dan  Ana  Angelia  Lele. Alasan bersedia di babtis dengan nama Kristen dan ber‐KTP Kristen  juga  diilhami  oleh  kenyataan  lapangan,  bahwa  jika tidak memiliki surat babtis itu, maka anak‐anak dari keluarga Marapu  tidak  dapat  bersekolah  dan  bekerja  disektor 

20

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

21

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

pemerintahan  atau  sektor  lain  yang memerlukan  keterangan agamanya.  Jadi  mereka  masuk  agama  Kristen,  sebenarnya karena  tidak  ada  pilihan  dan  digiring masuk  kandang  yang tidak dikehendakinya. Oleh karena itu dengan cara demikian, pemerintah dan semua lembaga pendidikan telah menggiring anak‐anak Marapu masuk Kristen,  setidaknya  secara  formal. Soal mereka masih Marapu atau taat dan belum menjalankan nilai‐nilai dan ajaran Kristen  itu hanya soal waktu saja, yang kemungkinan besar dalam beberapa generasi dipastikan akan meninggalkan  kepercayaan  lamanya.(diolah  dari  hasil wawancara dengan Oktavianus Bobsini, 28 April 2013).  

Agama  Islam    sudah  diperkenalkan  kepada  orang‐orang Sumba beberapa abad yang  lalu oleh orang‐orang dari Bima,  tetapi  belum  mampu  menembus  blokade  tradisi Marapu  yang  sangat  kuat  di  masyarakat.  Hal  ini  adalah karena perbedaanya terlalu banyak, bisa dikatakan 180 derajat bertentangan dengan Islam, sementara mereka tidak mau ada konflik secara agama. Tidak seperti misalnya kaum Paderi di Sumatra  Barat  dan  Tapanuli  Selatan,  di  mana  kelompok Paderi  atau  kelompok  Islam  pembaharu melakukan  perang total melawan kaum adat. Jika di Sumatra Barat Kaum Paderi perang melawan kaum adat yang sudah muslim, sementara di Tapanuli Selatan Kaum Paderi perang melawan kaum Malim. Korban dari kedua belah pihak sangat besar, apalgi kaum adat kemudian berkianat yaitu dengan meminta bantuan Belanda, sementara kaum Malim banyak menjadi korban pembersihan oleh karena  tradisi Malim yang bertentangan dengan prinsip keagamaan kaum Islam pembaharu.  

Ketidakmampuan menembus  kaum  adat Marapu  ini menyebabkan  pemeluk  Islam  sampai  hari  ini masih  sangat terbatas  di  kalangan  suku  Sumba.    Islam  hanya  banyak 

dipeluk  di  kalangan  suku  Bima  dan  beberapa  orang  Arab seperti di Sumba Timur dan Tambolaka. Barulah sekitar tahun 1990‐an  orang‐orang  Jawa muslim mulai  berdatangan  yang akhirnya  ikut meramaikan  dinamika  kehidupan  keagamaan muslim  di  daratan  Sumba.  Orang  Jawa  di  Sumba  dikenal sebagai pekerja  keras,  tabah menghadapi  kesulitan, ulet dan sabar, jujur dan dapat dipercaya, dermawan dan suka beramal shalih,  apalagi  untuk  pembangunan  rumah  ibadah,  dan mereka  rajin  bersedekah  kepada  orang‐orang  Sumba  di pedesaan.  Mereka  setiap  beberapa    bulan  sekali  mengirim sembako ke pedesaan muallaf dalam  jumlah besar, seperti ke Mamboro,  Lamboya,  dan  Wanokaka  yang  akhirnya  juga diikuti  oleh  orang‐orang  Bima.  Masa  depan    agama  Islam cukup  baik  di  Sumba  meskipun  Kristen  dan  Katolik  serta Pemerintah  telah berkomplot melakukan planting curch, yaitu mendiamkan wajib  surat babtis bagi  anak usia  sekolah yang ingin bersekolah di semua jenjang pendidikan. Sayang banyak pula di antara orang Jawa yang merantau ke Waikabubak  ini tidak  menjalankan  shalat,  meskipun  rajin  ikut  pengajian paguyuban  Jawa  yang  jumlahnya  ada  5  kelompok  majelis taklim.  (diolah  dari  hasil  wawancara  dengan  Pua  Monto Umbu Ney, 23 April 2013). 

Sebagai  umat  beragama  tentu  saja  memiliki  banyak rumah  ibadat  yang  dipergunakan  untuk  sembahyang  atau menghadap  Yang  Kuasa,  begitupun  umat  beragama  di kabupaten  Sumba  Barat. Agama Marapu memiliki  5  tempat ibadat  secara khusus. Sementara yang umum adalah dimana saja  ia  mempunyai  keperluan,  di  situ  ia  sembahyang  atau dalam  bahasa Marapunya  adalah Noppa memohon  kepada Amaholu Amarawi. Rumah  ibadat agama Marapu  ini bukan sebuah  gedung  megah  dengan  berbagai  asesoris  arsitektur 

22

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

23

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

modern, tetapi hanya sebuah tanah lapang kemudian di salah satu  sisinya  sebelah  barat  terdapat  menara  batu  sebagai simbol untuk menuju kepada yang disembah yaitu Amaholu Amarawi.  Itulah sebabnya, orang di  luar Marapu memahami bahwa  Marapu  hanyalah  kepercayaan  yang  menyembah kepada batu atau berhala,  sementara dalam prakteknya batu itu  simbol  Marapu  belaka,  sebagaimana  umat  Kristen  di dalam  gerejanya  terdapat  patung  Yesus  atau  Katolik  yang didalamnya  ada  patung Yesus dan Bunda Maria dan dalam Islam  versi  tradisional  ada  wasilah.  Oleh  karena  itu pertanyaan Lele adalah apa bedanya Marapu dengan Nasrani, Khonghuchu, Budha dan Hindu yang secara kasat mata  juga menyembah  patung.  Tetapi  jika  bertanya  kepada  yang bersangkutan,  benarkah  ia  menyembah  patung  Buddha, patung  Yesus  dan  Bunda Maria?  Yang membedakan  antara Kristen,  Katolik,  Buddha  dan  Konghchu  dengan  agama Marapu  adalah  bahwa  Kristen,  Katolik,  Buddha  dan Konghchu  kitab  sucinya  tertulis  secara  jelas,  sehingga siapapun  bisa  belajar  dan  mengacu  kepada  kitab  suci  itu. Sementara,  sistem  kepercayaan,  ritual,  dan  tradisi  agama Marapu  yang  jauh  lebih  banyak  dan  padat  makna dibandingkan  dengan  yang  disebut  di  atas,  tetapi  tidak  ada kitab  suci  tertulisnya. Semua praktek keagamaanya mengalir begitu saja dari generasi ke generasi melalui tutur dan tradisi yang  terus  terpelihara hingga hari  ini. Tidak  ada perubahan apapun  dalam  peraktek  keagamaan Marapu,  karena  begitu ada perbedaan dengan yang  sebelumnya  langsung ada yang mengingatkannya.  (diolah dari hasil wawancara dengan Lele Dapa Wollu, 1 Mei 2013). 

Dalam kehidupan keagamaan, umat Kristen memiliki gereja 168 buah yang terpencar di berbagai kecamatan. Seperti 

di  Kecamatan  Kota Waikabubak  terdapat  14  gedung  gereja, Loli terdapat 45 buah, Wanokaka 25 buah, Lamboya 24 buah, Lamboya  Barat  8  buah  dan  di  Kecamatan  Tana  Righu sebanyak 47 buah. Secara keseluruhan, yang  layak pakai 118 gereja,  karena  umat  yang  ada  masih  merupakan  penganut agama  Marapu,  sehingga  gereja  yang  rusak  itu  tidak diperbaiki.  Jumlah umat Kristen, menurut data Kementerian Agama,   April  2013  berjumlah  64.975  jiwa  dari  keseluruhan jumlah  penduduk  Kabupaten  Sumba  Barat  yang berjumlah123.189  jiwa.  Untuk  pembinaan  keagamaan  di kalangan  umat  Kristen,  terdapat  174  rokhaniawan.  Dalam bidang  pendidikan,  umat  Kristen  memiliki  lembaga pendidikan Kristen  sebanyak  17  SD,  2  SMP  dan  1  SMA. Di samping  itu  juga  memiliki  satu  yayasan  namanya  Yayasan Pendidikan  Kristen  (YAPKRIS)  yang memiliki  sebuah  SMA Kristen Weekarow.  Sekolah  Tinggi  Teologi  (STT)  yang  ada satu‐satunya  adalah  STT  Gereja  Kristen  Sumba  (GKS)  di Waingapu  (Data Keagamaan Kementerian Agama Kabupaten Sumba Barat tahun 2013). 

Sementara  itu  umat  Katolik memiliki  gereja  8  buah, memiliki  SD  Katolik  Santa Ana  1  buah,  SMP  Katolik  Santo Yusuf dan 1 SMA Katolik Santo Yusuf. Umat  Islam memiliki 13  buah  masjid  yang  letaknya  terpencar  di  berbagai kecamatan  terutama  di  Kecamatan  Kota  Waikabubak, kecamatan Tana Righu dan Kecamatan Wanokaka, sedangkan agama lainnya tidak memiliki rumah ibadat.   

 Sejarah Marapu 

Masyarakat di daratan Sumba pada umumnya sampai hari  ini  masih  beragama  Marapu,  meskipun  secara administratif  sebagai  umat  Kristen  dan  Katolik.  Beberapa 

24

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

25

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

penulis  tentang  Marapu  mengotak‐atik  dari  mana  istilah Marapu,  yang  setelah  dikonfirmasi  dengan  pemangku  adat, otak‐atik mereka  itu  tidak  ada yang benar.  Justru  ada kesan memojokan  komunitas masyarakat  punya  agama. Misalnya, kata  ’Marapu’  terdiri  dari  dua  kata, ma  dan  rapu. Kata ma berarti  ’yang’.  Sedangkan  kata  rapu  berarti  ’dihormati’  dan ’didewakan’. Atau mera dan appu. Mera artinya ’serupa’ dan appu  artinya  ’nenek moyang’.  Jadi Marapu  artinya  ’serupa dengan  nenek  moyang’.  Dalam  kaitannya  ini,  ’Marapu” digiring menjadi  berarti merupakan  kepercayaan  asli  orang Sumba  yang  menyembah  nenek  moyang.  Akhirnya defnisipun  diseret  kearah  pemujaan  kepada  arwah  nenek moyang atau leluhur yang didewakan. Otak‐atik kata Marapu ini  menurut  informan  sama  sekali  bertentangan  dengan kenyataan penganut Marapu, karena penganut Marapu  tidak menyembah  roh nenek moyang dan  juga bukan penyembah dewa.  Masyarakat  Marapu  menyembah  Amaholuamarawi, sementara para roh  leluhur hanyalah sebagai wasilah, karena mereka  beraggapan  bahwa  memohon  langsung  kepada Amaholuamarawi  adalah  kelancangan.  Penyebutan Amaholuamarawi  pun  tidak  sering  dilakukan,  yang  disebut adalah  sifat‐sifatnya  Amaholuamarawi  saja,  sehingga  posisi para  roh  leluhur,  utamanya  roh  para  rato  rumatta  adalah menjadi wasilah atau perantara dalam setiap peribadatan dan upacara ritualnya (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde,   26 April  2013). 

Ada lagi yang melihat kata mera dan appu, kata mera artinya  “serupa”  dan  appu  artinya  “nenek  moyang”,  jadi Marapu  adalah  serupa  dengan  nenek  moyang  atau  kata Marapu berasal dari kata ma yang artinya “yang” dan rappu yang  artinya  “mengkristal  ke  dasar”  yang  diartikannya 

sebagai  “telah  rampung”,  “telah  beres”  “telah  selesai”. Maksudnya dengan “telah rampung, telah beres, telah selesai” adalah  dalam  hubungan  dengan  nenek moyang  yang  telah meninggal  setelah  selesai  dikuburkan  sesuai  dengan  aturan adat  istiadat. Pemaknaan  seperti  ini dipersalahkan oleh Rato Rumatta,  karena  dianggap  seperti  asal  nyambung  belaka, tidak  sesuai  denga  kenyataan.(diolah  dari  hasil  waancara dengan Rato Rumatta Lado Rege Tera, 25 April 2013).   

Sementara  itu  dalam  doa‐doanya,  mereka  selalu meyebut  Mekah  dan  Madinah.  Di  mana  mereka  percaya bahwa  jika  jasad  telah  dikuburkan,  sementara  jiwanya  telah berada di tempat yang disediakan oleh Tuhan Yang Mahaesa yaitu di Makkah dan Madinah.  Jiwa yang berada di Makkah dan  Madinah  itu  kemudian  menjadi  wasilah  dan  dapat menjadi  penghubung  antara  manusia  dengan  Amahol Amarawi,  Tuhan  Yang  Maha  Esa.  Amaholu  Amarawi  adalah kekuatan supra natural yang berpribadi atau pun  tidak yang tampil  dalam  berbagai  bentuk  dan  juga  dapat  berarti  suci, sakti,  mulia  sehingga  harus  dihormati  dan  tak  dapat diperlakukan  sembarangan.(diolah  dari  hasil  wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April  2013 dan Rato Rumatta Lado Rege Tera, 25 April 2013).  

Sistem Kepercayaan dan Mitos dalam Komunitas Marapu Sebagaimana  dipahami  dalam  kajian  antropologi, 

bahwa  sistem  kepercayaan  dalam  suatu  religi mengandung bayangan  manusia  tentang  wujud  dunia  gaib,  malaikat, makhluk halus, kekuatan sakti, kepercayaan mengenai hidup dan  mati  serta  kesusastraan  suci  dan  sebagainya.  Orang Sumba  menyadari bahwa ada suatu dunia yang tidak tampak yang  berada  di  luar  batas  kemampuan  pancaindra  dan 

26

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

27

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

akalnya, yaitu dunia gaib. Dunia gaib ini dihuni oleh para roh‐roh,  makhluk‐makhluk  halus  dan  kekuatan‐kekuatan  sakti yang  tidak dapat dikuasai oleh manusia  secara biasa, karena itu  sangat  ditakuti.  Agar  segenap  penghuni  dunia  gaib  itu menjadi  senang  atau menaruh  belas  kasihan  sehingga  tidak membawa  bencana  kepada mereka  dan  bahkan melindungi serta  membantu  kehidupanya,  maka  dalam  menghadapi penghuni  dunia  gaib  ini  orang  Sumba  menyandarkan  diri serta  memohon  agar  disampaikan  permintaanya  atau  do’a‐do’anya  kepada  Amaholu  Amarawi.  Orang  Sumba   memiliki kepercaaan  kepada  malaikat  yang  memiliki  tugas  masing‐masing dan memiliki tempat persemayaman sendiri di rumah suatu  kabihu  yang  memwasilahkan  semua  permintaanya kepada Tuhan. Para malaikat dan roh‐roh para Rato biasanya tidak selalu berada di  tempat persemayamannya, kecuali bila sedang  ada  upacara  tertentu.  Para  arwah  leluhur  yang memiliki  wasilah  itu  sangat  dimuliakan,  dihormati,  selalu disebut  dalam    doa’anya  dan  dipercaya  sebagai  lindi papakalangu‐ketu  papajualangu  (titian  yang  menyeberang‐kan,  kaitan  yang  menjulurkan,  perantara/  wasilah)  antara manusia dengan Amaholu Amarawi  (Tuhan Yang Membuat Manusia dan Yang Membentuk Manusia, Pencipta Manusia). Para marapu inilah yang telah menerima nuku ‐ hara (hukum dan  cara)  atau  tata  tertib  hidup  bermasyarakat  dari  Maha Pencipta yang wajib ditaati oleh manusia. Para marapu  (roh leluhur)  adalah  makhluk‐makhluk  mulia  yang  mempunyai pikiran,  perasaan  dan  kepribadian  seperti  manusia,  tapi dengan kepandaian dan  sifat‐sifat  lebih unggul. Mereka  juga terdiri  dari  jenis  pria  dan  wanita  dan  berpasangan  sebagai suami istri. (diolah dari hasil wawancara dengan  Lidah Mawo Mudde,  26 April    2013, Rato Rumatta  25 April  2013, Daniel 

Mesa Kallo, Amaniga dan Lele Dapa Wolu 22‐ 27 April 2013 dan lihat FD. Wellem, 2004 : 33‐ 90).  

Di antara keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap sebagai nenek moyang yang menjadi cikal‐bakal dari  kabihu‐kabihu/marga/klan/kanilah/suku.  Marapu‐marapu  ini  dibedakan  antara Marapu Rato dengan Marapu. Marapu  rato  ialah  marapu  yang  turun  dari  langit  dan merupakan  leluhur dari marapu  lainnya. Sedangkan Marapu ialah  arwah  leluhur  yang  menjadi  cikal‐bakal  dari  suatu kabihu/suku  tertentu. Adapun kata‐kata  sifat yang ditujukan untuk  menyebut  Amaholu  Amarawi  antara  lain :  Pencipta Manusia,  Yang  Membentuk  dan  Membuat  Manusia,  Yang Menumbuhkan  dan  Yang Menjadikan,  Pencipta  Langit  dan Bumi,  Yang  Tidak  Disebut  Namanya  dan  Yang  Tidak Dikatakan  Namanya,  Jiwa  dan  Roh  Yang  Maha  Esa,  Yang dapat melihat dan mendengar seluruhnya, Yang Memandang dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui segala perbuatan baik atau buruk dari  tingkah  laku manusia dan sebagainya. Sifat‐sifat Amaholuamarawi ini selalu disebut dalam  setiap  do’a  dalam  sembahyang maupun  dalam  do’a‐do’a ketika memulai persembahan, memulai  tanam, memulai panen  dan  seterusnya.  Mereka  tidak  mau  menyebut  nama Tuhan  dengan  sia‐sia  atau  sembarangan,  dan merasa  tidak pantas  menyebut  Amaholu  Amarawi.  (diolah  dari  hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde,   26 April  2013). 

Selain kepada para Marapu  (para  roh  rato dan nenek moyang),  orang  Sumba  juga  percaya  bahwa  di  dunia  gaib penuh  dengan makhluk‐makhluk  halus,  seperti  patau  tana, mamarungu, maranongu, katiku kamawa dan bumbu. Patau tana  adalah  roh‐roh  halus  yang  dapat  berasal  dari manusia,dan  bukan  berasal  dari  manusia.  Biasanya mereka 

28

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

29

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

menjadi penghuni pohon‐pohon besar, batu‐batu besar, gua‐gua, hutan atau di kuburan. Patau  tana  ini bersifat  jahat dan selalu mengganggu manusia, karena itu sangat ditakuti. Patau tana yang berasal dari manusia  adalah  roh dari orang‐orang yang  mati  secara  tidak  wajar,  misalnya  disebabkan kecelakaan,  bunuh  diri,  dibunuh  dan  sebagainya.  Roh‐roh semacam  ini menjadi jahat karena penasaran atau kesal tidak dapat  terlepas dari hidupnya yang  lama. Mamarungu adalah roh halus yang bukan berasal dari manusia dan mempunyai sifat jahat. Kedudukan roh halus ini lebih rendah dari marapu karena  mereka  merupakan  pesuruh‐pesuruh  para  marapu. Karena  sifatnya  yang  jahat, mereka  sering mengganggu dan mencelakakan  manusia  dengan  memasuki  tubuh  manusia yang  hidup.  Orang  yang  kerasukan  mamarungu  ini  akan menjadi  jahat pula dan selalu  ingin mencelakakan orang  lain. Oleh karena  itu, orang yang  sering mencelakakan orang  lain disebut mamarungu  juga. Pada masa  lalu orang semacam  ini dibunuh  karena  dianggap membahayakan  orang.  Roh  halus sederajat dengan mamarungu  ialah maranongu. Akan  tetapi, maranongu  mempunyal  sifat  baik  dan  suka  menolong manusia.  (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April  2013).  

Katiku  kamawa  adalah makhluk  halus  lainnya  yang termasuk  kategori  patau  tana,  tetapi  bukan  berasal  dari manusia dan  tidak diketahui asa‐usulnya. Penampilan katiku kamawa ini berupa kepala manusia tanpa rambut dan berkulit hitam  legam. Kebiasaannya berguling‐guling di  tanah sambil tertawa. Makhluk  halus  ini  suka mengganggu manusia  dan bertempat  tinggal  di  pohon‐pohon  besar  atau  di  pohon mangga. Adapun bumbu adalah makhluk halus yang berupa kambing  jantan. Makhluk  halus  ini  pun  suka  mengganggu 

manusia dan bertempat tinggal di antara pepohonan, gunung‐gunung  atau di  tempat‐tempat  sunyi. Orang  Sumba percaya bahwa di  sekeliling mereka ada kekuatan gaib dalam gejala‐gejala dan hal‐hal  luar biasa yang dapat berupa gejala‐gejala alam,  tokoh‐tokoh  manusia,  bagian‐bagian  tubuh  manusia, binatang,  tumbuh‐tumbuhan,  benda‐benda  dan  suara‐suara yang  luar  biasa.  Gejala‐gejala  alam  yang  dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah angin yang bertiup dan arah udik, karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan binatang  ternak.  Angin  tersebut  disebut  ngilu  katiu.  Untuk mencegah penyakit yang dibawa oleh angin itu, orang Sumba menyelipkan  ruu  kamala  pau  (daun mangga)  pada  atap  di sekeliling  rumah  mereka.  Tokoh‐tokoh  manusia  yang dianggap mempunyal  kekuatan  gaib  ialah  para  rato,  karena mereka  ini dianggap mempunyal kekuatan untuk menguasai tenaga  alam  seperti  hujan,  menyembuhkan  penyakit  atau mencelakakan  orang  dengan  cara  gaib,  yaitu  dengan mengucapkan mantra‐mantra  tertentu.  Ilmu gaib  (puhi) yang dilakukan  oleh  para  rato  untuk  mendatangkan  hujan  ialah dengan melaksanakan upacara kanjiku. Upacara ini dilakukan di  katuada  dengan  membawa  persembahan  pahapa, kawadaku, hunggu maraku, seekor kambing dan empat ekor anak  ayam  kepada  para  marapu  terutama  kepada  Uma Ndapataungu. Seorang rato ketika menjalanan ilmu gaib yang bersifat  agresif,  mempersembahkan  pahapa,  kawadaku  dan beberapa  ekor  ayam  (dua,  empat  atau  delapan  ekor tergantung  kebutuhan)  kepada para marapu  yang  berada di hutan hijau dan  tebing batu, yaitu para marapu yang dipuja oleh  kabihu Menggitu  atau  pada Marapu  Ratu Kabuarangu dan  Marapu  Kabala.  Kemudian  melakukan  upacara sembahyang dan mengucapkan mantra‐mantra  (tundu wara) 

30

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

31

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

dengan  maksud  agar  orang  yang  dituju  menjadi  sakit, mendapat  kesialan  atau  kematian.  Ada  pula  ilmu  gaib  lain yang  disebut  kabeli mata  (membalik mata),  yaitu  ilmu  gaib semacam  sihir  yang  dapat  mengubah  manusia  menjadi binatang,  pohon  atau  batu.  Apabila  ada  seseorang  yang ditimpa penyakit, maka ia dapat meminta pertolongan kepada mapingu muru untuk mengobatinya. Mapingu muru biasanya akan memberi muru  (obat  dari  ramuan  daun‐daunan)  atau tada  ai  (obat  dri  ramuan  akar‐akar  pohon  atau  kulit  kayu) yang telah diberi mantra‐mantra tertentu kepada si sakit (F.D. Wellem, 2004: 33 – 90). 

Bagian  tubuh  manusia  yang  paling  dianggap mempunyai  kekuatan  gaib  ialah  kapai  atau ngati  (kemaluan wanita).  Bila  kapai  ini  sampai  terlihat  oleh  orang  lain (terutama  laki‐laki),  maka  dianggap  akan  membawa  sial kepada yang melihatnya. Hal itu berlaku pula untuk suami si wanita.  Itulah  sebabnya persetubuhan harus dilakukan pada malam  hari  atau  di  tempat  gelap.  Alat  kelamin  wanita dianggap  palili  (tabu)  karena  merupakan  tempat  keluar sesuatu yang penuh dengan kekuatan gaib,  seperti  roh  anak yang lahir dan darah. Darah, terutama yang keluar ketika haid dianggap mengandung kekuatan gaib yang dapat membawa kesialan  kepada  orang  lain. Karena  itu, wanita  yang  sedang haid dilarang memasuki uma marapu atau tempat‐tempat suci lainnya, dilarang menyiapkan sesajian untuk para marapu dan tidak boleh mandi di sungai. Wanita yang sedang haid harus berdiam  di  kamar  dan  mandi  di  kamarnya  pula  dengan menggunakan air panas yang diberi  ramuan kayu dan daun kahi jawa (asam) yang gunanya untuk menghangatkan badan dan  melancarkan  keluarnya  darah.  Bagian  tubuh  manusia yang  juga  dianggap  mengandung  kekuatan  gaib  ialah  air 

ludah.  Air  ludah  digunakan  untuk  obat,  antara  lain  untuk menghilangkan  rasa pegal‐pegal yang diakibatkan oleh  sakit malaria, yaitu dengan  cara melumuri badan dengan hadabai (rumput yang  tumbuh di batu‐batu) yang dikunyah bersama sirih pinang dan dicampur air ludah. Demikian pula bayi yang baru lahir, agar luka pada pusarnya cepat sembuh maka luka itu  dilumuri  air  ludah  yang  telah  bercampur  dengan kunyahan sirih pinang. Rambut adalah bagian tubuh manusia yang  juga dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, rambut seseorang yang dipotong ketika ia baru lahir akan disimpan  di  dalam  kahipatu  dengan  maksud  agar  selama hidupnya  terhindar  dan mara  bahaya.  Kelak  bila  orang  itu meninggal, maka rambut dalam kahipatu itu akan dikuburkan pula  bersamanya.  Binatang  yang  dianggap  mempunyal kekuatan gaib antara lain; burung wangi (burung hantu), kuu (burung alap‐alap) dan nggangga (burung gagak). Ketiga jenis burung itu ditakuti oleh orang Sumba karena dianggap dapat membawa kesialan. Binatang lain yang dianggap mempunyai kekuatan  gaib  dan  mempunyai  kedudukan  khusus  dalam kepercayaan  mereka  ialah  wei  (babi),  karambua  (kerbau), njara (kuda), manu (ayam) dan ahu (anjing). Babi merupakan hewan  korban  yang  utama  dalam  upacara‐upacara keagamaan dan dianggap mempunyai kekuatan gaib karena dapat menyampaikan segala kehendak manusia kepada para marapu.  Diterima  atau  tidaknya  suatu  permohonan,  dapat dilihat melalui  hati  babi.  Kerbau merupakan  binatang  yang biasa  dikorbankan  pada  upacara‐upacara  keagamaan, terutama  pada  upacara  perkawinan,  kematian, membangun rumah baru dan panen. Secara  simbolis daging kerbau yang dikorbankan  itu  dipersembahkan  kepada  para  arwah. Menurut  kepercayaan, kerbau‐kerbau  korban  itu merupakan 

32

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

33

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

bekal  arwah  orang  yang meninggal dalam  perjalanannya  ke parai  marapu,  dan  setibanya  di  parai  marapu  digunakan untuk menjamu  arwah keluarganya yang  telah  lebih dahulu berada  di  sana.  Selain  itu  kerbau  dianggap  binatang  yang dapat  membawa  keberuntungan  pada  pemiliknya.  Oleh karena  itu,  ada  tempat  pemujaan  khusus  yang  disebut  uma karambua,  yaitu  tempat  memuja  leluhur  untuk  memohon kekayaan.  Binatang  yang  melambangkan  ketaatan  paling utama  dan  dianggap  membawa  kejayaan  pada  pemiliknya ialah kuda. Ketaatan kuda ini tidak terbatas di dunia saja, tapi juga di akhirat  sebagai  tunggangan majikannya. Oleh karena itu,  ketika  majikannya  meninggal,  kuda  kesayangan  harus dikorbankan  untuk  mengantar  arwah  majikannya  ke  parai marapu.  Seperti  halnya  kerbau, maka  kuda  pun  ada  tempat permujaan  khusus  yang  disebut  uma  njara,  yaitu  tempat memuja  leluhur  untuk  memohon  kejayaan  dan  kekayaan. Jenis  binatang  lainnya  yang  dianggap mempunyai  kekuatan gaib  ialah  ayam  jantan.  Bulu‐bulu  ayam  jantan  dianggap mempunyai  kekuatan  untuk  menolak  bahaya  dan  dapat memayungi  arwah  seseorang  dalam  perjalanannya  menuju parai marapu.  Selain  itu kokok  ayam  jantan dianggap dapat membangunkan  arwah  orang  yang meninggal  agar  bersiap untuk  menempuh  perjalanan  ke  alam  baka.  Anjing  adalah binatang  peliharaan  yang  senantiasa  mengikuti  majikannya jika sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan dinilai sebagai kawan senasib sepenanggungan yang tidak terbatas di dunia  saja,  tetapi  juga  di  akhirat.  Pada  upacara  kematian, anjing  kesayangan  dikorbankan  agar  arwahnya  dapat mengikuti  arwah  majikannya.  Selain  itu  anjing  dianggap mempunyai  kekuatan  gaib  yang  dapat  melihat  makhluk‐makhluk  halus.  Tumbuh‐tumbuhan  yang  dianggap 

mempunyai  kekuatan  gaib  antara  lain  kalala  (kaktus), karangga  langadi  (akar  bahar),  pau  (mangga)  dan menggitu (lontar).  Kekuatan  gaib  yang  ada  dalam  tanaman  tersebut ialah dapat menolak bahaya dan penyakit. Selain  itu mereka pun  percaya  bahwa  semua  daun‐daunan  yang  mempunyal khasiat  sebagai  obat,  misalnya  kuta  (sirih),  kabaru  (waru), kahi  jawa (asam), muru mangandingu (sejenis sulur‐suluran), yawilu  (kayu  manis),  kunu  buti  dan  ruto,  juga  dianggap mempunyai  kekuatan  gaib  yang  dapat  menghilangkan pernyakit.  Pohon  yang  dianggap  keramat  tetapi  tidak mempunyai  akibat  buruk  ialah  wangga  (beringin),  mayela, kunjuru  (teniring)  dan  kanawa  (angsana).  Benda‐benda  lain yang  juga dianggap mempunyai  kekuatan  gaib  ialah  benda‐benda  pusaka,  seperti  parang,  kain‐kain,  perhiasan  mas, perhiasan manik‐manik  (ana  hida)  dan  hiwaru  (jimat)  yang dikeluarkan  atau  dibawa  hanya  pada  saat‐saat  tertentu  saja oleh  pemiliknya.  Suara‐suara  yang  dianggap  mempunyai kekuatan  gaib  ialah  mantra‐mantra  atau  tundu  wara  yang diucapkan para ratu, tau mapingu papuhi dan mapingu muru. Selain itu suara‐suara nyanyian dan irama pukulan gong yang dibawakan  pada  suatu  upacara  dianggap  mempunyai kekuatan  gaib  juga,  karena  mampu  menciptakan  suasana yang diperlukan. Menurut kepercayaan orang Loli, seseorang yang lahir ke dunia ini adalah atas kehendak Yang Maha Esa, demikian  pula  bila  seseorang  meninggal  itu  pun  atas kehendakNya.  Peristiwa  kematian  adalah  suatu  peristiwa perpindahan atau peralihan dari alam nyata  (dunia) ke alam gaib  (akhirat).  Menurut  pandangan  mereka,  kehidupan  di alam gaib mempunyai struktur yang sama dengan kehidupan di  alam  nyata.  Akan  tetapi  kehidupan  di  alam  nyata  tidak kekal, sedangkan kehidupan di alam gaib adalah kekal. Tubuh 

34

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

35

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

manusia hanyalah  sebagai  teda  (kulit) atau haruma  (selaput) yang  dapat mati,  sedangkan  yang  hidup  kekal  (njulu)  ialah ndiawa  (roh). Dalam  kepercayaan Marapu  roh  ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus  kembali  kepada  Amaholuamarawi.  Roh  orang  yang mati  akan menjadi  penghuni  parai marapu  dan  dimuliakan sebagai  marapu‐marapu.  Roh  seseorang  yang  mati  bisa mencapai  parai  marapu  apabila  dalam  hidupnya  di  dunia memenuhi segala nuku‐hara yang  telah ditetapkan oleh para leluhur. Seseorang yang telah jatuh dalam dosa, maka Ia harus menyerahkan  diri  kepada  seorang wai maringu  (air  dingin) untuk menebus segala dosanya, dan kelak bila dia mati harus dikebumikan  dengan  berbagai  upacara.  Apabila  tidak demikian halnya, maka selama itu rohnya akan hidup merana karena  tidak  diterima  di  parai marapu  dan  akan  bergabung dengan makhluk‐makhluk halus lainnya yang selalu berusaha mengganggu kehidupan manusia. Roh  itu  sendiri dalam diri manusia  terdapat  dua macam,  yaitu  yang  disebut  hamangu (jiwa,  semangat)  dan  ndiawa  (roh).  Hamangu  ialah  roh manusia  selama  hidupnya  yang  menjadi  inti  kekuatan badannya.  Berkat  hamangu  itulah  manusia  dapat  berpikir, berperasaan  dan  bertindak.  Hamangu  ini  akan  bertambah kuat  dalam  pertumbuhan  hidup,  dan menjadi  lemah  ketika manusia  sakit  dan  tua. Hamangu  yang  telah meninggalkan tubuh  manusia  yang  mati  akan  menjadi  makhluk  halus dengan  kepribadian  tersendiri  dan  disebut  ndiawa. Ndiawa terdapat dalam segala makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh‐tumbuhan  yang  kelak  menjadi  penghuni  parai marapu  pula.  (diolah  dari  hasil  wawancara  dengan  Lidah Mawo Mudde,   26 April   2013, Rato Rumatta, 25 April 2013, Daniel Mesa, Amaniga, Adreas Sama Lele, Servius Matu Pala, 

Margareta,  Angela  Lele  Dapa Wolu, Weny  Amaniga,  22‐27 April 2013 dan lihat juga FD. Wellem, 2004 : 33‐90).  Setiap ada pesta‐pesta adat dan upacara‐upacara penting, misalnya pada upacara pamangu langu paraingu, muti uhu, kanduku wuaka, pamangu ndiawa, pamau papa, paremi wulu uma, pataningu, kesusastraan  suci  diceritakan  kembali  dengan  diiringi nyanyian‐nyanyian.  Fungsi  kesusastraan  suci  ini  untuk menerangkan  asal‐usul  penduduk  Umalulu  serta  para marapu‐marapunya. Kesusastraan suci dianggap bertuah dan dianggap dapat mendatangkan kemakmuran pada penduduk dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternaknya.  

 Sistem Upacara‐upacara Keagamaan 

Dunia  gaib  dapat  dihadapi  manusia  dengan  rasa hormat,  bakti,  takut  dan  sebagainya,  atau  dengan  suatu campuran  dari  segala  macam  perasaan  tersebut.  Perasaan‐perasaan  itu  akan  mendorong  manusia  untuk  melakukan hubungan  dengan  dunia  gaib  yang  disebut  kelakuan keagamaan. Seperti yang telah dikemukakan bahwa perasaan yang  mendorong  orang  Loli  untuk  melakukan  hubungan dengan  para  marapu  berlainan  sekali  dengan  dorongan terhadap  mamarungu  dan  patau  tana.  Perasaan  yang melatarbelakangi hubungan orang Loli, Lamboya, Wanokaka, Kodi,  Waejewa,  Mamboro  dan  sebagainya  dengan  para marapu didasari oleh rasa cinta, hormat dan bakti, sebaliknya terhadap mamarungu atau patau tana didasari oleh rasa takut dan  benci.  Perasaan‐perasaan  yang  berbeda  inilah  yang menentukan  serta  mewarnai  kelakuan  keagamaan  mereka, dan  kelakuan  keagamaan  yang  dilaksanakan  menurut  tata kelakuan  baku  yang  biasa  disebut  upacara  keagamaan. Upacara‐upacara  keagamaan  di  Sumba  selalu  dianggap 

36

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

37

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

keramat, karena itu tempat‐tempat upacara, saat‐saat upacara, benda‐benda  yang merupakan  alat‐alat  dalam  upacara  serta orang‐orang  yang  menjalankan  upacara  dianggap  keramat pula. Pada bagian muka  sudah dikemukakan bahwa  seluruh kehidupan orang Sumba selalu diliputi oleh rasa keagamaan. Mereka  menyembah  Amaholuamarawi  dengan  perantaraan para  marapu  yang  merupakan  media  atau  wasilah  dan perantara  antara manusia dengan Pencipta‐Nya.  (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde,  26 April  2013, Rato Rumatta, 25 April 2013, Daniel Mesa, Amaniga, Adreas, Servius, Margareta, Angela Dapa Wolu, 22‐27 April 2013). 

 Tempat‐tempat Upacara 

Setiap  kabihu  mempunyai  marapu  sendiri  yang dipujanya  agar  segala  doa  dan  kehendaknya  disampaikan kepada  Maha  Pencipta.  Para  marapu  itu  diupacarakan  di dalam  rumah‐rumah yang didiami  oleh warga  suatu kabihu terutama di  rumah  yang disebut  uma  bokulu  (rumah  besar, rumah  pusat)  atau  uma  bungguru  (rumah  persekutuan). Di dalam  rumah  itulah  dilakukan  upacara‐upacara  keagamaan yang  menyangkut  kepentingan  seluruh  warga  kabihu, misalnya  upacara  kelahiran,  perkawinan,  kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya. Ada pun rumah‐rumah  lain  yang  khusus  digunakan  untuk  tempat  upacara ritual  terhadap  marapu  yang  mempunyai  kekuasaan  atau tugas  tertentu,  antara  lain :  Uma  karambua  ialah  tempat meminta  kepada  leluhur  untuk  meminta  kekayaan;  Uma andungu  ialah  tempat  semuja  leluhur  untuk  minta keberhasilan  dalam  peperangan;  Uma  payenu  ialah  tempat memuja leluhur untuk memohon berkat bagi setiap pengantin baru;  Uma  pakilungu  ialah  tempat  memuja  leluhur  untuk 

menolak  bahaya  penyakit;  Uma  menggitu  ialah  tempat memuja  leluhur  untuk  mengundang  arwah‐arwah  yang berada di hutan‐hutan atau di gua‐gua agar turut serta dalam mengalahkan musuh; Uma mbaradita tempat memuja leluhur untuk meminta  kekuatan,  keberanian  dan  kekebalan.  Selain itu,  tempat  upacara  pemujaan  kepada  para  marapu  bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katuada.  Katuada  ialah  tempat  upacara  pamujaan  di  luar rumah berupa  tugu  (semacam  lingga‐yoni) yang dibuat dari sebatang  kayu  kunjuru  atau  kayu  kanawa  yang  pada  sisi‐sisinya  diletakkan  batu  pipih.  Di  atas  batu  pipih  inilah bermacam‐macam  sesaji,  seperti pahapa, kawadaku dan uhu mangejingu diletakkan untuk dipersembahkan kepada Umbu‐Rambu  (dewa‐dewi) yang berada di  tempat  itu.  (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde,   26 April  2013, Ratu  Rumatta,  25  April  2013,  Daniel,  Amaniga,  Lele  dapa Wolu, 22‐27 April 2013 dan lihat FD. Wellem, 2004 : 33‐90). 

Katuada  ini  ada  bermacam‐macam  menurut  tempat dan fungsinya, yaitu :  1. Katuada kawindu (tugu halaman), tugu sembahyang yang 

dipancangkan di halaman  setiap  rumah. Pada  tugu  inilah tiap‐tiap keluarga batih melakukan upacara  ritual kepada dewa‐dewi agar dijauhkan dari bahaya penyakit. Selain itu dari  tugu  ini  pula  para  marapu  dari  luar  rumah  diajak masuk  bila  ada  upacara  di  dalam  rumah,  dan  sebaliknya para marapu yang berada di dalam  rumah diajak ke  luar bila  ada  upacara  di  luar  rumah. Katuada  paraingu  (tugu kampung), tugu sembahyang yang dipancangkan di muka uma  bokulu.  Tugu  ini  merupakan  tempat  upacara  yang meliputi kepentingan  seluruh warga paraingu atau warga kuataku,  misalnya  pada  upacara  hiri  paraingu,  puru  la 

38

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

39

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

manangu  dan  pamangu  langu  paraingu.  Katuada  pindu (tugu  pintu),  tugu  sembahyang  yang  dipancang  di  pintu kampung  dan  merupakan  tempat  upacara  sembahyang untuk menolak mara bahaya dari luar kampung. Selain itu sebagai  tempat  untuk  mengajak  para  marapu  dan  para arwah  lainnya agar masuk ke kampung bila ada upacara. Demikian  pula  sebaliknya.  Ketuada  padangu  (tugu padang),  tempat  melakukan  upacara  sembahyang  di padang  rumput  untuk  meminta  agar  hewan  ternak berkembang biak dengan baik.  

2. Katuada  wuaka  (tugu  kebun),  tugu  sembahyang  yang dipancangkan  di  katiku  wuaka  (kepala  kebun)  dan merupakan  tempat  upacara  sembahyang  untuk  minta kesuburan tanaman serta menolak segala bencana.  

3. Katuada  latangu  (tugu  sawah),  tugu  sembahyang  yang dipancangkan  di  ngaru  wai  (mulut  air),  yaitu  tempat permulaan  air masuk ke  sawah. Tugu  ini  tempat upacara sembahyang  untuk  meminta  keamanan  dan  kelimpahan hasil tanaman di sawah.  

4. Katuada  padira  tana  (tugu  batas  tanah),  tempat mengulpulkan  arwah‐arwah  dari  seluruh  tanah perkebunan agar tidak mengganggu tanaman dalam kebun itu.  

5. Katuada  bungguru  (tugu  persekutuan),  tempat  upacara sembahyang yang meliputi seluruh daerah perkebunan dan persawahan,  yaitu  untuk  mengucapkan  terima  kasih kepada para marapu dan arwah yang berada di situ karena telah menjaga serta memberikan hasil panen yang baik.  

6. Katuada  patamangu  (tugu  perburuan).  tempat  upacara sembahyang  ketika  hendak  berburu  dengan  permohonan agar  arwah‐arwah  yang  berada  di  tempat  perburuan 

menolak  segala  bahaya  dan  memberikan  hasil  buruan seperti yang diharapkan.  

7. Katuada mananga  (tugu muara),  tugu  sembahyang  yang dipancangkan  di  muara  sungai  dan  merupakan  tempat upacara untuk memohon kebersihan lahan, menolak segala bencana  dan  agar  hujan  turun  dengan  baik.  Upacara sembahyang  di  katuada mananga  ini  biasanya  dilakukan oleh seorang mangu tanangu (tuan tanah).  

8. Andungu  (tiang).  merupakan  sebuah  katuada  juga,  tapi karena  tugu  ini  merupakan  tiang  kekuatan  dan  seluruh kabihu maka disebut andungu. Ada dua macam andungu, pertama  yang  disebut  andu  uhu  (tugu  padi),  yaitu  tugu tempat  upacara  mengenai  padi  yang  biasanya dipancangkan di rumah pusat mangu tanangu; kedua yang disebut  andu  katiku  (tugu  kepala),  yaitu  tugu  tempat memancangkan  kepala‐kepala  manusia  yang  berhasil  di penggal dalam  peperangan. Tugu  ini dipancang di muka rumah  kabihu  yang  leluhurnya  mempunyai  kewajiban untuk keperluan tersebut.  

9. Pahuamba  (penyembahan),  merupakan  suatu  timbunan batu  yang  biasanya  berada  di  bawah  pepohonan  dan merupakan tempat upacara pemujaan kepada para marapu terutama yang berasal dan Kiri Awangu‐ Mata Lodu (ujung langit  dan matahari). Upacara  pemujaan  pada  pahuamba ini  dilakukan  ketika  diadakan  Pamangu  Ndiawa (perjamuan  dewa)  yaitu  upacara  pemujaan  dan persembahan  kepada  para  marapu  agar  seluruh  warga tiap‐tiap kabihu diberi perlindungan dan kemakmuran. Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Maha leluhur di Umalulu ialah Umbu  Endalu  dan  dipuja  dalam  suatu  rumah  kecil 

40

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

41

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

yang  tidak  dihuni manusia,  karena  itu  rumah  pemujaan tersebut  bernama  Uma  Ndapataungu  (rumah  yang  tak berorang)  yang  dalam  luluku  disebut  sebagai  Uma Ndapataungu‐  Panongu  Ndapakelangu  (rumah  yang  tak berorang  dan  tangga  yang  tak  berpijak).  Menurut kepercayaan orang Sumba, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut  secara  gaib.  Secara  lahir  rumah  itu  tampak  kecil saja,  tetapi  secara  gaib  rumah  itu  sebenarnya merupakan rumah  besar.  Mereka  menganggap  Umbu  Endalu senantiasa  berada  di  dalam  rumah  tersebut,  karena  itu tangga  untuk  naik  turun  ke  rumah  selalu  disandarkan. Rumah  permujaan Uma Ndapataungu  disebut  juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali) karena untuk  datang  dan  membicarakan  rumah  tersebut  harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur.  Uma  Ndapataungu  berbentuk  uma  kamudungu (rumah  tak  bermenara)  dan  rnenghadap  ke  arah  tundu luku  (menurut  aliran  air  sungai,  hilir  )  serta  terletak  di bagian  kani  padua  (pertengahan,  pusat)  dari  Paraingu Umalulu.  Adapun  bahan‐bahan  yang  digunakan  untuk membangun  rumah  pemujaan  itu  ialah  kayu  ndai  linga atau  ai  nitu  (cendana)  yang  digunakan  untuk  tiang‐tiang (jumlah  seluruh  tiang dari  rumah pemujaan  ini ada  enam belas  buah  tiang),  atap  dan  dinding  dari  bahan  ruu kalamaku  (daun  kelapa),  tali  pengikat  dari  bahan  huaba (selubung mayang  kelapa).  (diolah  dari  hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde,  26 April  2013, Rato Rumatta, 25 April 2013, Daniel,Amaniga, Adreas, Servius, Margareta, Angela,  Weny  Amaniga,  Lele  Dapa  Wolu,  22‐27  April 2013). 

 Saat‐saat Upacara 

Menurut  pandangan  orang  Sumba,  manusia  itu merupakan  bagian  dari  alam  semesta  yang  tak  terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan  irama gerak alam  semesta  dan  selalu  mengusahakan  agar  ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu  manusia  harus  pula  mengusahakan  keseimbangan hubungan dengan kekuatan‐kekuatan gaib yang ada di setiap bagian  alam  semesta  ini.  Bila  selalu  memelihara  hubungan baik  atau  kerja  sama  antara  manusia  dengan  alam,  maka keseimbangan  dan  ketertiban  itu  dapat  dipertahankan.  Hal tersebut  berlaku  pula  antara  manusia  yang  masih  hidup dengan arwah‐arwah dan manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai  kewajiban untuk  tetap dapat mengadakan  hubungan  dengan  arwah‐arwah  leluhurnya. Mereka  beranggapan  bahwa  para  arwah  leluhur  itu  selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar  segala  nuku‐hara  sehingga  keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu (diolah  dari  hasil wawancara  dengan  Lidah Mawo Mudde, Lele Dapa Wolu, Rambu Sama Pati, Angela Lele Dapa Wolu, Weny Anggi Pana, Amaghani, Daniel Mesa, 25 April 2013). 

Untuk  memulihkan  ketidakseimbangan  yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan  mengadakan  kontak  dengan  para  arwah  leluhurnya, maka manusia  harus melaksanakan  berbagai  upacara.  Saat‐saat upacara dirasakan sebagai saat‐saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat‐saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak  alam  semesta.  Pengaturan  waktu  untuk  melakukan 

42

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

43

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

berbagai  upacara  itu  didasarkan  pada  suatu  kalender  adat yang  disebut  tanda wulangu. Kalender  adat  ini  tidak  boleh diubah  atau ditiadakan  karena  telah ditetapkan  berdasarkan nuku‐ hara dari para  leluhur. Bila diubah akan menimbulkan kegoncangan yang menimbulkan bahaya dan kemarahan para leluhur. Secara kalender adat  setiap  tahun dibagi dalam dua belas bulan yang pada setiap bulannya selalu ada acara‐acara adat. Dalam  jangka waktu  kehidupan  tertentu  tiap  individu dalam  masyarakat  Sumba  ada  saat  yang  dianggap  genting atau krisis, ada saat baik dan berkah, ada saat naas. Saat‐saat itu ialah sekitar kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian.  Pada  saat  sekitar  kelahiran  seorang  bayi,  ada beberapa  peristiwa  penting  yang  harus mendapat  perhatian orang  tua  dan  kaum  kerabatnya.  Misalnya  pada  bulan keempat  masa  kehamilan,  diadakan  upacara  Pamandungu pelungu  (meneguhkan  tumpuan) dengan mempersembahkan pahapa, kewadaku dan mangejingu kepada para marapu agar kandungan  luput  dari  mara  bahaya.  Selain  itu  untuk mencegah adanya kekuatan‐kekuatan gaib yang bersifat jahat, wanita  yang  sedang  hamil  selalu menyelipkan  sebilah pisau bertuah di pinggangnya. Selama kehamilan suami‐istri harus mentaati  beberapa  pantangan makanan  dan  perbuatan  agar nantinya tidak menyulitkan kelahiran dan tidak menimbulkan cacat kepada anak yang akan lahir.  

Bila  saat  kelahiran  telah  tiba  dilakukanlah  upacara ritual  dengan  persembahan  pahapa,  kawadaku  dan mangejingu  untuk menyambut  tamu  yang  baru  datang  dari alam  gaib. Menurut  anggapan  orang  Sumba,  ana  rara  (bayi) yang akan  lahir adalah makhluk gaib yang datang dari alam gaib  dengan  tena  (perahu).  Oleh  karena  itu,  untuk melancarkan  kelahirannya,  segala  dosa  orang  tuanya  harus 

diakui  dan  segala  kelalaian  dalam  memenuhi  kewajiban terhadap  para  marapu  harus  dinyatakan.  Setelah  bayi dimandikan dan diberi nama melalui upacara Dekangu tamu, dilakukan  lagi  upacara  ritual  baha  kaheli  untuk membersihkan  segala  kekotoran  dan  menghaturkan  terima kasih kepada para marapu. Ketika bayi sudah berumur empat hari dilakukan upacara Kikiru (cukur). Kemudian rambut dan tali  pusar  si  bayi  disimpan  dalam  kahipatu  untuk  turut dikuburkan  bila  dia  meninggal  di  kemudian  hari.  Apabila sudah berumur delapan hari dilakukan upacara  ritual, yaitu upacara  penyambutan  si  bayi  di  tengah  kaum  kerabatnya. Pada masa inilah ia mulai menginjak tanah dan turut mandi di sungai.  Upacara‐upacara  tersebut  selalu  disertai  dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Khususnya persembahan  mangejingu  pada  upacara  ritual,  harus disediakan  seekor  babi  yang  seluruh  tubuhnya  berwarna hitam  (wei mitingu). Setelah berumur dua sampai  tiga  tahun dilakukan  upacara  peralihan  dari  masa  anarara  menjadi anakiada  (kanak‐kanak),  yaitu  upacara  Papaita  wai  huhu (memahitkan  air  susu dalam  penyapihan).  (diolah dari  hasil wawancara  dengan  Lidah Mawo Mudde,  Lele  Dapa Wolu, Rambu Sama Pati, Angela Lele Dapa Wolu, Weny Anggi Pana, Amaghani, Daniel Mesa, 25 April 2013 ). 

Upacara  ini  dilakukan  dengan  permohonan  kepada para marapu agar si anak cepat besar, diberikan rejekinya dan keselamatan.  Pada  masa  ini  seorang  anakiada  sudah  boleh makan  telur  ayam  dan  mengikuti  orang  tuanya  bekerja  di ladang.  Anakiada  yang  berusia  antara  dua  sampai  delapan tahun  biasanya  disebut  anakiada  kudu.  Pada  usia  ini,  anak perempuan disebut pula hiliwuku kudu (gadis kecil), rambut mereka  dicukur  hanya  bagian  atasnya  saja,  bagian  belakang 

44

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

45

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

dibiarkan  panjang,  sedangkan  bagian  atas  dahi  disisakan sedikit. Setelah melalui masa anakiada kudu, yaitu antara usia delapan  sampai  enam  belas  tahun,  anakiada  ini  disebut anakiada matua atau hiliwuku bokulu  (gadis besar). Rambut mereka  masih  dicukur  seperti  anakiada  kudu  tetapi  sudah lebih  teratur.  Pada  usia  15  –  21  tahun,  untuk  anak  laki‐laki dilakukan  upacara  sunat  dengan  memotong  beberapa  ekor babi dan ayam, rambutnya dicukur pendek saja, kecuali pada masa  anakiada  kudu  mempunyai  potongan  yang  sama dengan  anak  perempuan.  Pada  waktu  anakiada  beralih menjadi  bidi  tau,  yaitu  antara  usia  enam  belas  sampai  dua puluh  empat  tahun,  dilakukan  berbagai  upacara  untuk menghadapi saat krisis dalam menginjak dewasa. Untuk para bidi mini  (pemuda) dilakukan upacara Puru  la wai  (turun ke air)  yang  disebut  juga  upacara  Waku  atau  Kari.  Beberapa pemuda  dengan  jumlah  genap  berpasangan mempersiapkan diri  selama  tiga  hari  untuk merayakan  upacara  itu. Mereka membuat suatu pondok yang tersembunyi di dekat sungai. Ke pondok itulah mereka membawa makanan berupa ayam, babi dan  kambing  yang  mereka  peroleh  secara  meminta  atau mencuri  di  kampung‐kampung  sekitarnya.  Pada  hari keempat,  rato  atau  parato  yang  bertindak  sebagai  pengatur upacara  mengundang  para  ama  bokulu  untuk  melakukan upacara hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu yang dilanjutkan dengan pemotongan ayam dan babi. Sementara masing‐masing calon mengaku dosa dan memohon  ampun.  Kemudian  kulup  alat  kemaluan  mereka ditetak  atau  ditoreh  dengan  pisau  tajam  di  atas  tempurung. Beberapa  hari  kemudian  setelah  mereka  sembuh,  diadakan selamatan dengan memotong ayam, babi atau kerbau. Dengan dilaksanakannya upacara  itu diharapkan  tambahan kekuatan 

gaib  untuk  kesuburan  dan  kesejahteraan.  Setelah  upacara sunat itu selesai, masih ada lagi upacara yang harus dilakukan oleh  pemuda  menjelang  dewasa,  yaitu  upacara  rondangu (memapar gigi  ) yang disertai dengan kamiti  (menghitamkan gigi).  Selanjutnya  dibuat  katatu/tatoo  (rajah  tubuh)  dengan berbagai  gambar.  Rajah  tubuh  ini  perlu  dilakukan  karena sebagai tanda pengenal bila masuk ke Parai Marapu. Menurut kepercayaan  setempat,  orang  yang  tidak mempunyai  katatu akan ditolak memasuki Parai Marapu. Bagi para bidi kawini (pemudi)  atau  disebut  juga  anakaria  (anak  dara)  dilakukan upacara  Nggutingu  (menggunting)  sebagai  tanda  bahwa mereka  telah  dewasa.  Selain  itu  dilakukan  pula  upacara Rondangu, Kamiti dan membuat katatu. Ketika melaksanakan upacara  Rondangu,  dilakukan  pula  upacara  ritual  secara sederhana  dengan  persembahan  dan  hewan  kurban.  Saat peralihan  lain  yang  merupakan  saat  krisis  dan  dianggap penting  dalam  kehidupan  seseorang  ialah  saat  perkawinan. Untuk menghadapi  saat  krisis  itu,  orang  Sumba melakukan upacara  Pamau  papa  (memberkati  jodoh)  dengan  maksud meminta pertolongan, perlindungan, pemeIiharaan dan berkat dari  para  marapu.  Saat  peralihan  lainnya  yang  dianggap penting  pula  ialah  kematian.  Saat  kematian merupakan  saat perubahan  atau  perpindahan  dari  alam  nyata  ke  alam  gaib yang  dalam  luluku  dikatakan  njulu  la  kura  luku‐  halubu  la mandu  mara  (menjelma  bagai  udang  sungai  dan  berubah bagai  ular  darat).  Tubuh  yang  mati  hanyalah  sebagai  tada (kulit)  atau  haruma  (selaput)  dan  tidak  bersifat  kekal, sedangkan  yang  hidup  kekal  ialah  ndiawa  (roh). Roh  inilah yang  harus  kembali  kepada Amaholuamarawi. Akan  tetapi, Selama  tubuh  yang  mati  itu  belum  dikebumikan  dengan berbagai  upacara,  maka  selama  itu  pula  rohnya  masih 

46

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

47

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

melayang‐layang dan dapat membawa bahaya, baik terhadap kerabatnya  maupun  terhadap  orang  lain  (diolah  dari  hasil wawancara  dengan  Lidah Mawo Mudde,  Lele  Dapa Wolu, Rambu Sama Pati, Angela Lele Dapa Wolu, Weny Anggi Pana, Amaghani, Daniel Mesa, 25 April 2013 ). 

Orang  Sumba  membedakan  dua  macam  kematian, yaitu  meti  mbana  (kematian  panas)  dan  meti  maringu (kematian  dingin).  Adapun  yang  dimaksud  dengan  meti mbana  ialah  kematian  yang  bukan  disebabkan  oleh  ketuaan atau  penyakit,  melainkan  karena  mati  terlantar  (njadangu), kecelakaan( manjurangu) dan akibat perang ( meti la pabiara). Sedangkan  meti  maringu  ialah  kematian  yang  disebabkan oleh  usia  tua  atau  penyakit.  Pada  saat  kematian  seseorang diumumkan,  keluarga dan  kenalan dekatnya datang dengan membawa  kain  kapan,  sarung,  selimut  dan  ikat  kepala. Pahapa  dan  mangejingu  dipersiapkan,  gong  dibunyikan disertai  lagu  duka  dan  ludu  rato.  Kemudian  dilakukanlah upacara  Pahadangu,  yaitu  upacara  pemasukan  janazah  ke dalam kabangu  (keranda)  secara duduk dengan  lutut dilipat dan  bertopang  dagu  serupa  janin  dalam  rahim  ibu.  Semua kain bawaan orang yang datang melayat diselubungkan pada jenazah.  Kemudian  jenazah  dipindahkan  ke  kaheli  bokulu (balai besar) dan  selama empat malam dijaga bergiliran oleh kaum  keluarganya.  Pada  waktu  itu  pula  dipersembahkan korban kerbau, kuda, babi dan ayam. 

Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberi persembahan pada saat kematian ini adalah :  1.  Yubuhu  ‐  karandi  (kafan  dan  pengikat),  terdiri  dan  kain 

selimut  (hinggi)  dan  kain  pengikat  (tiara)  bila  si mati  itu laki‐laki,  sedangkan  untuk wanita  ialah  sarung  (lau)  dan tiara.  Hal  ini  pun  dibedakan  menjadi  dua  bagian,  yaitu 

yubuhu  la  tana  (kapan  di  tanah)  yang  harus  disertakan dengan si mati ke dalam kubur, dan yubuhu kaheli (kapan di balai‐balai) untuk keluarga  si mati  sebagai  sumbangan. Yubuhu karandi ini dibawa oleh pihak yiara‐ anamini (ipar dan saudara laki‐laki). 

2. Dangangu  ‐  ihi ngaru  (iringan dan  isi mulut),  terdiri dari perhiasan  mas  dan  perak,  kerbau  dan  kuda.  Dangangu dibedakan antara danga meti (iringan mati ), yaitu kurban yang harus dipotong, dan danga luri (iringan hidup ) yaitu yang  diberikan  kepada  keluarga  si  mati  sebagai sumbangan.  Sedangkan  Ihi  ngaru  dibedakan  antara  ihi ngaru  la  tana  (isi  mulut  di  tanah),  yaitu  perhiasan  mas perak yang harus disertakan ke dalam kubur, dan ihi ngaru la  kaheli  (isi mulut  di  balai‐balai)  yang  diberikan  untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Dangangu‐  ihi ngaru ini dibawa oleh pihak  laiya  ‐ anakawini  (ipar dan saudara wanita).  Jadi pembawaan orang pada saat kematian selalu dari dua  jurusan, yaitu dan pihak yiara  (pemberi wanita) dan  dari  pihak  laiya  (penerima wanita). Orang  lain  yang termasuk  kerabat  dapat  membawa  salah  satu  dari  dua macam pembawaan tersebut. Selain itu  jenazah baru boleh dikuburkan  setelah  semua  sengketa  antar  keluarga  (bila ada) didamaikan, suatu hal yang kadang‐kadang menuntut waktu  lama.  Apabila  kemungkinan  pelaksanaan pemakaman  masih  lama  lagi,  maka  untuk  menyimpan jenazah dilakukan upacara kaba tana kawaru watu. Dalam upacara  ini  jenazah dimasukkan ke dalam peti  tanah atau batu  kemudian  dimakamkan,  tetapi  belum  pemakaman yang sesungguhnya.  

3.  Cara  lainnya  lagi  ialah  jenazah  dimasukkan  ke  dalam kabangu  (keranda), kemudian diletakkan di dalam sebuah 

48

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

49

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

kawarungu (pondok) yang dibuat di tengah halaman dekat pekuburan,  atau  dapat  pula  diletakkan  di  kaheli  bokulu. Jenazah dalam kabangu  itu selalu dijaga oleh orang‐orang yang  khusus  untuk  maksud  itu  yang  disebut pahapanggangu  (yang  dipapah,  pengawal  arwah).  Setiap malam  diadakan  persembahan  berupa  makanan  kepada arwah,  berupa  pahapa  dan  kurban  ayam  atau  babi. Ada kalanya  pula  dipotong  kerbau  atau  kuda,  yaitu  bila  ada kerabat  lain  yang  hendak pawala  (berjaga). Penyimpanan jenazah ini dapat berlangsung empat bulan, delapan bulan atau  lebih,  bahkan  ada  kalanya  hingga  bertahun‐tahun, tergantung  pada  mungkin  atau  tidaknya  upacara pemakaman dilaksanakan. Apabila ternyata segala sesuatu yang  berkaitan  dengan  pelaksanaan  upacara  pemakaman memungkinkan,  maka  empat  atau  delapan  hari sebelumnya  dilakukan  dundangu  (mengundang)  ke seluruh  kerabat,  handai‐taulan  di  dalam  atau  di  luar kampung  untuk menghadirinya.  Biasanya  keluarga  yang jauh  tempat  tinggalnya,  datang  sehari  sebelumnya. Sedangkan  keluarga  yang  bertempat  tinggal  dekat  serta undangan  lainnya datang  pada  hari  pemakaman. Mereka disambut  tuan  rumah  dengan  segala  hormat  dan dipersilakan  duduk  di  bangga  hanamba,  kemudian dibagikan  sirih pinang dalam  tanga wahilu. Kaum wanita biasanya  langsung  naik  ke  kaheli  bokulu  untuk meratapi jenazah.  Setelah  penyambutan  tamu  dan  menetapkan perimbangan  bawaan,  dipersiapkan  perbekalan  si  mati untuk  ke  alam  arwah.  Untuk  keperluan  itu  disembelih seekor  kerbau.  Gong  dibunyikan  disertai  nyanyian  lagu duka  dan  ratap  tangis  para  kerabat.  Sementara  itu  para pahapanggangu  (yang  dipapah,  pengawal  arwah) 

didandani  dengan  pakaian  dan  perhiasan  yang  indah. Ketika  saat  pemakaman  tiba,  jenazah  diturunkan  dari rumah dan diarak dengan banyak pengawal ke pekuburan. Pengawal  yang  menunggang  kuda  dipayungi  dengan payung  yang  dilapisi  kain  sutera.  Pada  saat  itu  para pengawal  menjadi  tidak  sadar  (trance)  sehingga  harus dipapah.  Sementara  itu dua  pasang  kuda disembelih dan perbekalan  arwah  si  mati  dibuang  ke  arah  matahari terbenam.  Setibanya  di  pekuburan,  jenazah  dikeluarkan dari  keranda,  lubang  kubur  ditutupi  kain,  kemudian jenazah diturunkan dan didudukkan menghadap  ke  arah matahari  terbenam.  Pada  saat  inilah  kaum  keluarga  yang ingin memberi  bekal  kepada  arwah  si mati melemparkan benda‐benda berharga ke dalam  lubang kubur. Setelah  itu lubang ditutupi tanah dan di atasnya ditutupi  lagi dengan watu  reti  (batu  kubur)  (diolah  dari  hasil  wawancara dengan  Lidah  Mawo  Mudde,  Lele  Dapa  Wolu,  Rato Rumatta dan Daniel Mesa Kallo, 25 April, 2013). 

Pada  kalangan  bangsawan, mulut  lubang  kubur  itu ditutupi  batu  rata,  kemudian  di  atasnya  ditaruh  sebuah batu besar yang diberi kaki, dan pada bagian kepala serta kaki didirikan penji reti (batu nisan). Kubur yang semacam itu disebut reti pawihi. Ketika jenazah diturunkan ke dalam lubang kubur, disembelih lagi dua pasang kuda agar arwah si mati  dapat mengendarainya  ke  Parai Marapu  Sesudah semuanya  beres,  para  pengurus  jenazah mencuci  tangan mereka dengan air kelapa empat buah di atas kubur. Para wanita  meletakkan  pahapa  dan  menyirami  bagian  hulu kubur  dengan  minyak  wangi.  Selanjutnya  dilakukan upacara  Pahewa  (berpisah),  yaitu  upacara  perpisahan antara  si mati dengan kaum kerabatnya yang datang dan 

50

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

51

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

kampung  lain. Peristiwa  itu ditandai dengan diberikannya kain kepada pihak  layia, dan perhiasan mas perak kepada pihak  yiara.  Kemudian  acara  dilanjutkan  dengan  makan bersama. Empat hari  kemudian dilakukan upacara Padita waimata  (menaikkan  air mata).  Saat  itu merupakan  saat terakhir  meletakkan  pahapa  di  atas  kubur  dan  berakhir pulalah saat perkabungan. Dalam upacara ini dikorbankan seekor kerbau atau babi. Keesokan harinya semua kerabat diberi  jamuan makan minum, memberi kain kepada pihak layia,  memberi  kuda  dan  perhiasan  mas  perak  kepada pihak yiara dan masing‐masing diberi pula kameti (daging kurban).  Setelah  itu  berpisahlah  mereka  semua.  Empat tahun  kemudian  dilakukan  upacara  perpisahan  terakhir, yaitu upacara Palundungu. Upacara ini dilaksanakan untuk menyampaikan  arwah  si  mati  ke  parai  Marapu,  karena menurut  kepercayaan,  sebelum  dilakukan  upacara  ini maka  arwah  si mati masih  tinggal  di  luar  kampung  saja. Upacara dimeriahkan dengan memotong babi dan kerbau sebagai kurban bagi para marapu dan hidangan bagi kaum kerabat.  Sebagai  tanda  bahwa  hubungan  dengan  alam nyata  sudah  putus,  maka  tempat  sirih  pinang  si  mati dibuang  ke  luar  kampung.  Dengan  berakhirnya  upacara tersebut,  arwah  si  mati  sudah  menjadi  marapu  seperti arwah para  leluhur  lainnya. Para arwah  itu setahun sekali diundang  untuk  menikmati  persembahan  pada  pesta dalam  penutupan  Wolapuddu.  (diolah  dari  hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, Lele Dapa Wolu, Rambu  Sama  Pati, Angela  Lele Dapa Wolu, Weny Anggi Pana, Amaghani, Daniel Mesa, 25 April 2013). 

  

Benda‐benda Upacara Untuk  memperingati  marapu,  orang  Sumba 

mengeramatkan  benda‐benda  yang  biasanya  digunakan dalam upacara‐upacara. Berdasarkan  fungsinya,benda‐benda keramat  itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu benda‐benda  upacara  dan  alat‐alat  upacara.  Benda‐benda  upacara dijadikan  obyek  ritual,  karena  dianggap  sebagai  lambang yang  mewakili  para  marapu.  Sedangkan  alat‐alat  upacara tidak  dijadikan  obyek  pemujaan. Walaupun  demikian,  alat‐alat  itu dianggap keramat pula karena telah  lama digunakan sebagai  alat  pemujaan.  Benda‐benda  upacara  yang dikeramatkan  itu  disebut  tanggu  marapu  (bagian  leluhur). Tanggu marapu dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu ; Pertama,  tanggu  marapu  la  hindi  (bagian  marapu  di  atas loteng),  yaitu  benda‐benda  yang  sangat  dikeramatkan sehingga  tidak  seorang  pun  boleh menyentuh  benda‐benda itu  kecuali  rato  dan  rato  rumatta.  Manurut  kepercayaan Marapu,  roh‐roh  leluhur  ada  di  dalam  benda‐benda  itu (biasanya  terbuat  dan  emas)  sehingga  dianggap  sebagai marapu  itu  sendiri.  Tanggu  marapu  la  hindi  yang  paling dipuja di Loli  ialah  tanggu marapu dari Uma Ndapataungu yang berupa perhiasan emas dan dua buah guci yang disebut na mbalu  rara‐na  kihi muru.  Suatu  hal  yang  istimewa  dari tanggu  marapu  dari  Uma  Ndapataungu  ini  ialah  tidak disimpan  di  dalam  menara  rumah  seperti  tanggu  marapu lainnya,  melainkan  mempunyai  tempat  khusus,  yaitu  di dalam  rumah  pemujaan  yang  disebut  Uma  Ndapataungu juga.  Tanggu marapu  dalam  golongan  kedua  ialah  tanggu marapu  la  kaheli  (bagian  leluhur  di  balai).  Tanggu marapu golongan  ini merupakan benda‐benda pusaka yang dimiliki oleh  suatu  kabihu  dan  tidak  sekeramat  tanggu  marapu  la 

52

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

53

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

hindi.  Tanggu  marapu  la  kaheli  ini  antara  lain  berupa perhiasan‐perhiasan  mas  perak,  kain  kain,  gelang  gading, kalung manik‐manik, gong, perhiasan kepala dan sebagainya. Bila  ada  peristiwa‐peristiwa  penting,  seperti  upacara kematian, pesta langu paraingu dan pamangu ndiawa benda‐benda tersebut dipamerkan. Adapun alat‐alat upacara antara lain berupa wadah‐wadah yang  terbuat dari anyaman daun lontar,  tempurung  kelapa,  piring  tembaga  atau  perunggu, pisau, parang,  tombak, gunting, piring kayu,  lesung, periuk tanah,  tali  dan  kendali  kuda.  (diolah  dari  hasil wawancara dengan  Lidah  Mawo  Mudde,  Weny  Anggi  Pana,  Rambu Sama  Pati,  Rato  Rumatta, Daniel Mesa  Kalo,  22  ‐  27 April 2013).  

Tokoh Agama Marapu  Setiap agama memiliki  tokoh kharismatik yang selalu 

menuntun umatnya  agar  terus  berusaha untuk hidup  sesuai dengan  kepercayaan,  ajaran  dan  nilai‐nilai  agama  yang dianut. Tentu saja istilah yang digunakan dalam setiap agama berkaitan  dengan  tokoh  agama  atau  pemimpin  agama  itu berbeda‐beda. Di  kalangan  komunitas Marapu  juga  terdapat pemimpin  agama,  yang  disebut  dengan Rato Rumatta. Rato Rumatta  adalah  pemimpin  tertinggi  agama  Marapu  dalam satu  kabisu  atau marga,  atau  klan.  Sementara  itu  pemimpin agama Marapu yang membawahi seluruh kabisu, marga atau klan  tidak  ada,  sehingga  para  Rato  Rumatta  itu  hanyalah merupakan  pemimpin  agama  di  tingkat  klanya,  marganya atau kabisunya. Di bawah Rato Rumatta  terdapat pemimpin atau  tokoh  agama Marapu  yang  disebut  dengan  rato,  yaitu pemimpin agama yang memimpin pengikut agama Marapu di tingkat  kampung  adat.    Perlu  diketahui  bahwa  klan, marga 

atau kabisu adalah kumpulan dari beberapa masyarakat adat dalam  klan,  marga  atau  kabisunya  itu.  Misalnya,  Rato Rumatta  Lado  Rege  Tera  adalah  Rato  Rumatta  bagi  klan, marga atau kabisu sub suku Sumba Loli. Sementara di dalam marga Loli  itu  terdapat beberapa kampung  adat  atau dusun dan  disinilah  para  rato  menjadi  tokoh  Marapu.  Di  Sumba Barat  terdapat  beberapa marga,  klan  dan  kabisu,  yaitu  Loli, Wanokaka,  Lamboya,  dan  Tana  Righu  yang  dalam  sistem pemerintahan  juga  ditandai  dengan  kecamatan‐kecamatan yang  terpisah.  Jadi  kecamatan  yang  ada  hampir  selalu menunjukan kumpulan dari satu klan, marga atau kabisu itu. Tetapi  ada dua kecamatan yang  tidak merupakan  satu klan, tetapi merupakan bagian dari klan  lainya, seperti Kecamatan Lamboya  Barat  dan  Kecamatan  Kota  Waikabubak.  Warga Kecamatan Lamboya Barat merupakan bagian dari klan atau marga  Lamboya,  dan warga  Kecamatan  Kota Waikakbubak merupakan bagian dari klan atau marga Loli. Di dalam klan, marga  atau  kabisu  Loli  inilah  terlahir  raja‐raja  di  seluruh Sumba,  dan  kemudian  juga  termasuk  para  elit  lokal,  baik politik  maupun  keagamaan.  Di  Sumba  Barat  Daya  ada Waejewa,  Kodi  dst.  Di  Sumba  Tengah  ada  Mamboro, Anakalang  dan  seterusnya.  (diolah  dari  hasil  wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, Lele Dapa Wolu, Rato Rumatta, Daniel Mesa Kallo, 22‐ 25 April 2013). 

Dalam  keagamaan  Marapu  tidak  dikenal  semacam ormas  keagamaan  secara  tertulis,  tetapi  semua  didasarkan pada kharisma seseorang dan diakui oleh para Rato yang lain. Pengikut  agama Marapu disebut dengan  ata  bara,  atau umat Marapu  atau  pengikut  agama  Marapu.  Komunitas  Marapu yang  tidak  terorganisir  ini  telah membuatnya menjadi  tidak berdaya  berhadapan  dengan  kekuatan  yang  berada  di 

54

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

55

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

luarnya,  baik  organsiasi  keagamaan  maupun  Pemerintah Daerah. Komunitas Marapu  ini  akhirnya  secara  formal  tidak memiliki  posisi  tawar  yang  dapat  membela  kepentingan komunitasnya. Kasus  kewajiban  siswa  untuk memiliki  surat babtis  agar  dapat  bersekolah  adalah  bentuk  tekanan  resmi yang  berusaha  meminggirkan  komunitas  agama  Marapu sebagai kelompok keagamaan yang mestinya berhak membina anak‐anaknya  dan  sekaligus  dapat  bersekolah  milik pemerintah maupun swasta. Peran Pemerintah Daerah sendiri terhadap  komunitas Marapu  juga  terlihat  ambivalen,  karena di  satu  sisi  dipertahankan  tradisi‐tradisinya,  tetapi  sebagai komunitas  diabaikan.  Bahkan  sarasehan  tentang  eksistensi komunitas  Marapu  yang  pernah  dilakukan  di Waikabubak tahun  2006,  agar Pemerintah Daerah memfasilitasi pendirian Lembaga  Adat  bagi  komunitas  Marapu  ternyata  tidak dilaksanakan  sampai  hari  ini,  sehingga  komunitas  Marapu tetap menjadi komunitas pinggiran dalam kontelasi berbagai bidang. Dengan  tidak  adanya  lembaga  adat, maka para  rato rumatta  di  semua  klan  tetap  merupakan  pemimpin  lokal dalam kabisu‐kabisunya sendiri.  Jadi pendirian  lembaga adat saja  tidak  dilakukan  apalagi  mendirikan  ormas  keagamaan seperti  umat  agama  lain  yang  dilayani  oleh  pemerintah, seperti  Islam,  Kristen,  Katolik,  Hindu,  Buddha  dan Khonghucu.(diolah  dari  hasil wawancara  dengan  Lele Dapa Wole,  Rato  Rumatta,  dan Daniel Mesa  Kallo,  25  –  27 April 2013). 

Rato  Rumatta  adalah  rato  yang  terpilih  untuk memimpin  para  rato  dan melayani  semua  kepentingan  rato dan  ata  bara/umat Marapu.  Pemilihan  rato  tidak  dilakukan secara  tertulis  atau dengan  suara  terbanyak. Cara pemilihan rato rumatta  ini sangat unik, magis dan mendebarkan semua 

orang. Misalnya pemilihan Rato Rumatta yang sekarang yaitu Lado Rege Tera harus bersaing dengan dua calon lainya yang juga para rato. Dalam pemilihan Rato Rumatta ini ada  fid and propertestnya  atau  uji  kelayakan  menempati  posisi  jabatan juga.  Di  saat  test  uji  kelayakan  inilah  saat‐saat  yang mendebarkan,  karena  para  roh  leluhur  atau  para  marapu seperti  ikut  pemilihan  itu  secara  ghaif.  Tehnik  tes  menjadi ratoRumata dalam bentuk, berdiri tegak memegang tongkat di depan  rumah  besar  (tempat  ritual  agung)  selama  beberapa menit menunggu munculnya  keajaiban pada diri  calon Rato Rumatta.  Sepandai  apapun  orang  berbicara,  jika  dalam pemilihan  itu bakal  tidak  terpilih, maka  ia  tiba‐tiba glagaban dan ngomongnya salah melulu. Jadi tidak ada jaminan tukang khotbah  dan  pandai  agama  secara  substansial  atau  secara lahiriah sangat memahami keyakinan dan ajaran Marapu bisa menjadi Rato Rumatta. Seseorang yang menjadi rato Rumataa adalah seorang yang bersih, adil, sederhana, mengayomi, dan memiliki  kharisma.  Tetapi  jika  ia  bakal  terpilih  dan  direstui para roh leluhur, maka meskipun tadinya bukan oerang yang pandai  berbicara  seperti  tukang pidato dan  tukang  khotbah, maka  tiba‐tiba  ia  berbicara  penuh  dengan  kewibawaan, lantang,  lancar berbicara, rapi  (runtut  tata bahasanya), penuh makna dan  kharismanya  akan menghiasi  suasana  pemilihan yang mendebarkan  itu.  Begitu  terpilih  dan  lancar  berbicara, maka  yang  lain  dengan  senang  hati  akan  mendaulat  dan berbai’at  kepada Rato Rumatta  terpilih.  Tidak  ada  ceritanya pemilihan Rato Rumatta  kemudian terjadi perkelahian karena kalah  atau  menang  dalam  pemilihan  itu.(diolah  dari  hasil wawancara  dengan  Lidah  Mawo  Mudde  dan  Daniel  Mesa Kallo, 25 – 26 April 2013). 

56

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

57

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Setelah Rato Rumatta  terpilih, maka  ia harus  keliling daratan Sumba dalam waktu paling lama 4  jam. Ketika itulah Rato Rumatta dengan tetap memegang tongkat akan kelililing daratan  Sumba  dalam  simbol.  Keliling  daratan  Sumba  ini hanyalah  simbol,  tetapi  pelaksanaanya  juga  sangat  serius, yaitu ia harus menyebutkan rute yang dilalui dari Loli ke arah selatan  melalui  Wanokaka,  Lamboya,  Laboya  Barat,  Kodi, Waitabula, Tambolaka pantai utara dst sampai ke Waingapu, Mangili  terus  menyusuri  pantai  selatan  sampai  kembali  ke rumah  besar  di mana  ia  berdiri memegang  tonggak. Dalam keliling  daratan  Sumba  itu  Rato  Rumatta  yang  baru  juga bercerita tentang apa yang terjadi atau ada apa yang menarik perhatianya  untuk  diceriterakan  maka  akan  diucapkannya. Setelah selesai mengeliling daratan Sumba melalui  jalan‐jalan pingiran  pantai,  maka  ia  kembali  ke  rumah  besarnya  dan biasanya  terus  pingsan  karena  seperti  kelelahan.  Setelah  itu potong ayam hitam, badanya di belah untuk melihat hatinya. Jika  ia  direstui, maka  di  situ  akan  ada  tandanya,  jika  tidak direstui maka  tanda‐tanda  itu  tidak muncul. Oleh karena  itu kejujuran bagi yang melihat hati ayam ini sangat penting, dan kebetulan tidak ada yang berani bohong dalam melihat tanda‐tanda  kepemimpinan  ini.  Jika  berani  bohong, maka  saat  itu pula  mereka  yang  bohong  akan  kena  bala’.  Jadi  kejujuran dalam  segala  hal  akhirnya  menjadi  sangat  penting  dalam kehidupan  komunitas  Marapu.  Seluruh  proses  pemilihan sampai  pelantikan  itu  dalam  suasana  menegangkan, mencekam dan penuh aura magis, dihadiri oleh para rato dari 12 kampung adat, dan tokoh‐tokoh masyarakat Marapu, baik yang masih  ber  KTP  lali‐lain maupun  yang  sudah  ber‐KTP Kristen,  tetapi  hidupnya  masih  Marapu.  Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa meskipun masyarakat Sumba sudah 

beragama  Kristen  dan  bahkan  sudah  babtis  dan  ber‐KTP Kristen  tetapi  sebagian  besar masih  hidup  dengan  suasana, cara, nilai, ajaran dan aroma Marapu yang sangat kental dan akan  selalu  mengakui  Rato  Rumatta  yang  baru  terpilih. Setelah  semua  selesai,  maka  dipotonglah  kerbau  untuk menjamu semua orang yang hadir dalam acara pemlihan dan pelantikan  Rato  Rumatta  yang  baru.(  diolah  dari  hasil wawancara  dengan  Lado  Rege  Tera,  Lidah  Mawo  Mudde, Daniel, Amaniga dan Lele Dapa Wolu, April 2013). 

Rato Rumatta yang terpilih terakhir adalah Lado Rege Tera yang hadir juga dalam acara FGD menyampaikan banyak informasi berkaitan dengan keagamaan Marapu dan harapan‐harapanya  kepada  pemerintah.  Lado  Rege  Tera  ini  terpilih dalam  pemilihan  Rato  Rumata  pada  tahun  2006  ketika  ia berumur 26  tahun dan belum menikah sampai hari  ini. Lado Rege  Tera  hanya  lulusan  SMP  Negeri  Waikabubak,  yang waktu masuk diwajibkan memiliki surat babtis, tetapi ia tidak bersedia.  Anehnya  ia  tidak  dilarang  masuk  sekolah  dan mengikuti  semua  pelajaran  oleh  guru,  termasuk  mengikuti pelajaran agama Kristen. Prestasi Lado Rege Tera cukup bagus di sekolah, sayangnya ayahnya meninggal ketika  ia baru klas 2 SMP, sehingga cita‐cita sekolah lebih tinggi kandas di tengah jalan. Lado Rege Tera adalah anak dari ayah bernama Kurilele Lebba  Ari  asli  kampung  Tarung  dengan  ibu  Lidah  Mawo Mude yang berasal dari kampung adat Gollu Tana dan masih marga Loli. Mama Lidah Mawo Mude    ini sangat memahami kepercayaan,  ajaran,  ritual  dan  tradisi  Marapu,  karena  ia sendiri  di Gollu  Tana  adalah  anak  seorang Rato  atau  tokoh Marapu di Gollu Tana. Ia juga informan sangat penting dalam penelitian  ini,  sehingga  diperoleh  semesta  pemahaman peneliti  terhadap  agama  Marapu.  Ia  dengan  sabar 

58

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

59

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

menjelaskan  satu  persatu  kepercayaan,  ajaran,  ritual,  tradisi dengan  bahasa  lokal  kemudian diterjemahkan dalam  bahasa Indonesia.  Peneliti  sangat  terbantu  dalam  mendekripsikan hasil  wawancara  dan  berbagai  observasi  lapangan  ketika harus konfirmasi ulang agar tidak salah penulisan dan laporan penelitian. 

Rato  Rumata  Lado  Rege  Tera  yang  dipilih  secara demokratis versi Marapu ini adalah rato rumata yang ketujuh dari  kabihu  atau  marga  Loli.  Keturunan  yang  ketujuh  ini sebenarnya  hanya  ingin  menunjukkan  rato  rumata  yang berasal dari kampung Tarung saja, bukan kampung adat yang lain. Sebagaimana pemilihan pemimpin yang dilakukan secara demokratis, maka tidak selamanya komunitas Marapu kabihu Loli  itu selalu berasal dari Kampung Tarung. Terkadang dari Kampung Waitabar, Gollu  Tana  dan  setersunya. Hanya  saja rato rumata yang berasal dari Kampung Tarung itu sebanyak 7  orang.  Rato  rumata  yang  pertama  namanya  sama  dengan rato  rumata  hari  ini,  bernama Rato Rumata Lado Rege Tera Rato rumata yang kedua adalah Rato Rumata Kure Lele, rato ketiga  Rato  Rumata  Nissa  Bodo  Bulu,  rato  keempat  Rato Rumata Dangu Manu,  rato  kelima Rato Rumata Nissa Bodo Bulu,  dan  keenam  adalah  Rato  Rumata  Bulu  Ubbu  Raga. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudded an Rato Rumatta, 25 April 2013). 

Tugas  rato  rumatta  sangatlah  berat  karena  harus mengawal  seluruh  kegiatan  adat  yang  akan  dilaksanakan, menguasai dunia gaif  kaum Marapu, memenuhi permintaan berbagai  macam  keperluan  ata  bara  (umatnya).  Banyak  di antaranya  ata  bara  yang  sakit,  ia  akan  datang  kepada  rato rumata  untuk  berobat,  bertanya  tentang  perjalanan  nasib hidupnya,  bertanya  tentang  orang‐orang  yang  tidak  senang 

dengan  dirnya  (musuh),  bahkan  sampai  bertanya  tentang suatu  pertandingan  sepak  bola  siapa  yang  akan  menang dalam permainan  itu dan  sebagainya.  Jadi  tugas  rato  rumata sangat  banyak,  ia harus menguasai  kemampuan pengobatan orang  sakit  fisik  dengan  perbendaharaan  ramuan  obat tradisional  yang mumpuni,  ia  harus menguasai  dunia  ghaif yang membahayakan komunitas Marapu dan siap memimpin perang dengan kabihu  lain yang menganggunya, baik karena membela  kabihunya  sendiri  atau  karena  secara  tidak  terasa diperalat oleh kaangan elit lokal. Kasus perang antara kabihu Loli  dengan  kabihu  Waejewa  tahun  2006  adalah  kasus kepentingan  politik  elit  lokal. Di mana  pada  saat  itu  bupati Sumba Barat masih dipimpin oleh orang dari Loli dan Ketua DPRD  berasal  dari Waejewa.    Persoalan  kepentingan  kedua elit yang tidak dapat diselesaikan dengan cara baik, akhirnya melahirkan  perang  antar  kabihu,  yaitu  kabihu  Loli  dengan kabihu Waejewa. Akhirnya Gubernur Nusa Tenggara Timur waktu  itu  turun  tangan  dan  perangpun  berakhir.  Kbihu Waejewa yang datang meyerbu ke Kota Waikabubak menjadi bulan‐bulanan  dari  warga  Kampung  Tarung  Waitabar. Dengan  berbagai  senjata  mereka  berperang  untuk  saling mempertahankan  gengsi  politik  para  pemimpinya,  terutama dengan  senjata  panah  beracunya.  Pada  perang  antar  kabihu itu, warga penyerang yaitu komunitas kabihu Waejewa banya mengalami  kehancuran,  yang meninggal  saja mencapai  150 orang,  luka‐luka  230  orang,  10  truk  hancur,  dan  beberapa mobil  habis  terbakar.  Sementara  dari  pihak  jabihu  Loli,  50 orang meninggal, 60 orang  luka‐luka, 49  rumah dibakar dan 25  motor  habis  dibakar  penyerang.  Oleh  karena  itu  atas terjadinya  perang  itu  orang  kabihu  Waejewa  menolak bergabung  dengan  Kabupaten  Sumba  Barat  ketika  Sumba 

60

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

61

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Barat dimekarkan menjadi  Sumba Tengah, dan  Sumba Barat Daya.  Kabihu  Waejewa  yang  berkumpul  dalam  satu kecamatan  Waejewa  bergabung  dengan  Kabupaten  Sumba Barat  Daya,  meskipun  ia  berbatasan  langsung  dengan Kecamatan  Kota  Waikabubak,  sehingga  Kabupaten  Sumba Barat hanya terdiri dari 6 kecamatan saja dengan luas wilayah hanya  sekitar  35  %  jika  dibandingkan  dengan  Kabpaten Sumba  Barat  Daya  yang  memiliki  luas  wilayah  65  %  jika kedua  kabupaten  itu  digabungkan.(diolah  dari  hasil wawancara  dengan  Lele  Dapa Wolu, Margareta,  Anggarita, Angela Lele Dapa Wolu, Rato Rumatta dan Daniel Mesa Kalla, 25 ‐ 28 April 2013). 

Belakangan  ini, para  rato yang diwakili Rato Rumata Lado  Rege  Tera  telah  menyesal  atas  dukunganya  terhadap pemekaran  kabupaten  menjadi  tiga  ini,  karena  mestinya cukup  dengan  dua  kabupaten  saja  yaitu  Kabupaten  Sumba Tengah dan Kabupaten Sumba Barat. Pemekaran menjadi tiga kabupaten itu bagi komunitas Marapu tidak memiliki dampak bagus,  karena  akhirnya  posisi‐posisi  penting  diduduki  oleh mereka  yang  memiliki  loyalitas  keagamaan  ganda,  yaitu secara  formal  sebagai  Kristen meskipun  secara  antropologis masih Marapu.  Sementara  yang  tetap Marapu,  sama  sekali tidak  ada  yang  terlibat  dalam  semua  peluang  yang  tersedia itu, karena  tidak ada yang berpendidikan cukup. Masyarakat jauh  lebih menyesal  lagi,  karena  semua hanya menguntung‐kan  mereka  yang  berpendidikan  saja,  sementara  dalam pelayanan  sebenarnya  tidak  ada  kendala  ketika masih  satu Kabupaten  Sumba  Barat,  karena  yang  terpenting  adalah infrastruktur  masyarakat.  Infrastruktur  sudah  sangat  baik, sehingga  jarak tempunh dari desa paling pelosokpun ke Kota Wakabubak  hanya  1  jam,  sehingga  tidak  perlu  dimekarkan. 

Jarak antara Kota Waikabubak ke Tambolaka sebagai  ibukota Kabupaten  Sumba  Barat  Daya  hanya  25  menit.(diolah  dari hasil wawancara  dengan  Rato  Rumata  Lado  Rege  Tera  dan Daniel Mesa Kallo, 25 April 2013). 

 Wacana Terkini tentang Komunitas Agama Marapu 

Agama Merapu sebagai agama asli masyarakat Sumba merupakan agama yang diyakini secara  turun  temurun yang masih  diakui,  dipelihara,  dipertahankan  dan  dilaksanakan secara  teratur  dengan  tutur  lisan  dari  generasi  ke  generasi. Tidak  ada  perubahan  apapun  dalam  sisi  teologis  dan  tata ritual. Semua  terpelihara dengan  sangat baik. Bahkan  rumah adat  sebagai  salah  satu  simbol  agama  Merapu  juga  masih bertahan  hingga  kini.  Khusus  dikampung‐kampung  adat masih menggunakan bahan kayu, bambo, beratap alang‐alang dan  tanpa  paku,  tetapi  semua  diikat menggunakan  tali  dari rotan  jenis  tertentu.  Kayu  yang  digunakan  untuk  bahan bagunan  juga  kayu  khusus  yang  diambil  dari  hutan. Sementara di  sekitar  lingkungan masyarakat  kampung  adat, model  rumah  tetap  gaya  Merapu  tetapi  bahan‐bahan bangunan sudah menggunakan tembok dan beratapkan seng, termasuk kantor‐kantor pemerintah juga masih mempertahan‐kan gaya rumah adat itu.  

Rumah‐rumah  penduduk  yang  masih  menganut agama Merapu  selalu  ada  tanda  atau  simbol  tanduk  kerbau berbentuk  bulat  panjang  atau  kotak  yang  diletakan  di  atas atap yang disebut dengan  tanduk  rumah.  Jika Weber berteori bahwa  agama  harus  disiarkan  agar  berkembang  dan  untuk menyelamatkan  manusia  dalam  hidupnya  baik  di  dunia maupun  akhirat, maka  di  kalangan  komunitas Merapu  ini, agama dalam posisi bertahan dan stagnan. Bentuk pertahanan 

62

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

63

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

diri yang mereka lakukan itu adalah mempertahankan semua ajaran dan  tradisi Marapu  secara  turun menurun, di  tengah‐tengah planting curch kamunitas Kristen dan Katolik dengan memperalat Pemerintah Daerah dan kepala Sekolah di semua jenjang  pendidikan  untuk  mewajibkan  adanya  surat  babtis dari gereja jika ingin masuk seklah. Adanya surat wajib babtis menjadi  syarat  adanya  pelajaran  agama  di  sekolah,  karena dalam  hal  ini  tidak  ada  yang  bersdia  dipersalahkan  oleh siapapun. Di lembaga pendidikan itu, nilai pendidikan agama minimal  harus  enam,  sementara  jika mereka  tidak memiliki surat  babtis,  mereka  tidak  dapat  mendapatkan  pendidikan agama di sekolah, karena agama Marapu tidak diakui sebagai agama,  tetapi  hanya  sebagai  aliran  kepercayaan  yang berlakunyapun  juga  sangat  lokal,  yaitu  hanya  di  daratan Sumba.  Pihak  Kristenpun  tidak  mau  dipersalahkan  karena mengajarkan  pendidikan  agama  Kristen  di  semua  jenjang pendidikan,  sementara  Pemerintah  Daerah  juga  tidak  mau dipersalahkan  oleh  siapapun,  karena  anak‐anak  sekolah menerima  pendidikan  agama  Kristen.  Tetapi  dari  pihak Pemerintah  Daerah  sendiri  sesungguhnya  ada  unsur kesengajaan  juga  untuk  tidak  mengakui  Marapu  sebagai agama, karena kebetulan birokrasi sendiri dipegang oleh umat Kristen, meskipun  Kristennya  juga  hanya  KTP.  (diolah  dari hasil wawancara dengan Lele Dapa Wole). 

Masyarakat  Sumba,  meskipun  secara  administratif sudah  kelar  dari  agama  sukunya,  yaitu  agama Marapu  dan sudah Kristen atau Katolik yang diperoleh secara tidak benar sesuai hak azasi manusia (HAM), tetapi jelas secara sosiologis dan  antropologis mereka masih  sangat  kental dengan  ajaran agama  dan  tradisi Marapu.  Keluarnya  dari  agama  suku  ke agama  Kristen  yang  mereka  bkanlah  karena  kesadaran 

sendiri,  tetapi karena berbagai pertimbangan yang  tidak bisa dihindarinya. Oleh  karena  itu  gereja‐gereja  sepi‐sepi  saja  di hari  minggu,  karena  sebagian  besar  memang  masih memegang  agama  dan  tradisi Marapu.  Sementara  sebagian kecil pergi ke gereja beribadah minggu,  sebagian besar  tetap melaksanakan aktifitas seperti biasa, bahkan di sekitar gereja sekalipun.  Jadi  klaim  bahwa  masyarakat  daratan  Sumba mayoritas  beragama  Kristen  atau  Katolik  hanyalah merupakan  klaim  administratif,  sementara  secara  sosiologis dan antropologis masih menganut agama dan tradisi Merapu. 

Lidah Mawo Mudde, mama dari Rato Rumatta Lado Rege  Tera  di  kampung  adat  Tarung  Waetabar  yang dikramatkan  komunitas  Merapu  seluruh  daratan  Sumba, mengatakan  bahwa  awal  bulan  Februari  2013  kedatangan  8 pendeta dari gereja tertentu yang rata‐rata berkulit putih, dan hanya satu yang asli Sumba. Pendeta itu datang dengan baik‐baik,  tiba‐tiba bertanya “Mama agamanya apa”. Mama Lidah Mawo Muddepun menjawab,  “agama  saya  agama Merapu”. Pendeta itu mengatakan “Tidak ada agama Merapu itu mama, yang  ada  hanyalah  agama  Yesus  dengan  sebutan  agama Kristen”. Kemudian terjadilah perdebatan sengit antara Lidah Mawo Mudde dengan salah seorang pendeta dari Sumba  itu, yang  intinya  bahwa  para  pendeta  telah  menghina  Lidah Mawo  Mudde  punya  agama.  Lidah  Mawo  Mudde  marah sekali  dikatakan  tidak  beragama,  sehingga  meluncurlah kalimat‐kalimat  pembelaan  atas  penghinaan  terhadap agamanya  itu.  Oleh  para  pendeta  itu,  agama  Merapu dilihatnya  sebagai  agama  pagan  atau  agama  berhala  dan animisme  karena  menyembah  roh‐roh  leluhurnya.  Lidah Mawo  Mude  mengatakan  bahwa  agama  Marapu  adalah agama  yang  tidak  menyembah  berhala  seperti  dipahami 

64

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

65

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

orang, tetapi menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa Sang Penciptalan  Seisinya.  Penganut  agama  Marapu  sangat  arif menyebut nama Tuhan dengan tidak menyebut nama aslinya yaitu  Amaholuamarawi  dengan  sia‐sia  dan  sembarangan, sehingga  di  kalangan  komunitas  Merapu  hanya  menyebut gelarnya  saja.  Komunitas  Merapu  memang  tidak  pernah menyebut  nama  Tuhan  yang  sesungguhnya,  tetapi  cukup dengan menggunakan gelarnya saja yaitu Sang Pencipta, Yang Maha Suci, Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa dan seterusnya. Nama  Tuhan  komunitas  Merapu  yang  disebut  dengan Amaholuamarawi  jarang  disebut,  karena  tidak  mau menyebutnya  dengan  sia‐sia.  Maksudnya  ketika  menyebut Amaholuamarawi,  maka  itu  sudah  merupakan  puncak pengakuan  dan  jika  ternyata  melakukan  kebohongan  pasti menemukan  bala  dan  membuat  seseorang  akan  sengsara seumur hidupnya,  itulah keyakinan Merapu. Oleh karena  itu komunitas  Merapu  jika  tidak  dalam  situasi  gawat  dan  di acara‐acara  ritual  besar,  maka  tidak  akan  menyebut  nama tuhanya  dengan  Amaholuamarawi,  tetapi  cukup  dengan nama‐nama  sifat‐sifat‐Nya  atau  gelarnya  saja.  Para  pendeta itupun  tidak  bisa  berkata‐kata  secara  argumentatif,  karena memang  Lidah  Mawo  Mudde  sebagai  seorang  mama  rato rumatta  sangat  luas  dan  rinci  menjelaskan  Marapu  secara teologis,  ritual  dan  budaya  dari  akar  sampai  dahan  dan daunnya.  (Diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 13 April 2013). 

Bagi  Lidah Mawo Mudde,  apa  yang  dilakukan  oleh para  pendeta  itu  adalah  kekeliruan  besar  jika  mengatakan bahwa  Merapu  disebutnya  bukan  agama,  tetapi  hanya kepercayaan  terhadap  roh‐roh  leluhur.  Apalagi  dalam kedatanganya itu secara vulgar menyuruh dan meminta Lidah 

Mawo Mudde  dan  seluruh  pengikutnya  untuk  ikut  agama Kristen  baik  secara  administratif  maupun  secara  sosiologis dan meninggalkan tradisi budayanya. Oleh karena itu hari ini dan  hari‐hari  berikutnya  adalah  perjuangan  besar  bagi Komunitas Merapu untuk mendapat pengakuan secara benar dari  pemerintah.  Permintaanya  sederhana,  yaitu  tuliskan nama  agama  Mrapu  dalam  kolom  agama  di  KTP,  dicatat perkawinanya  di  Kantor  Catatan  Sipil  (KCS)  dan  diberikan ajaran agama Merapu bagi anak‐anak sekolah yang beragama Merapu, itu saja.  

Lidah  Mawo  Mudde  mengatakan,  akhirnya  semua terserah  kepada  pemerintah  membuat  kebijakan  bagi komunitas  Merapu,  tetapi  yang  ia  inginkan  hanyalah kesamaan  hak  bagi  setiap warga  negara  untuk menjalankan ajaran  agama  dan menjaganya  sesuai  dengan  yang  diyakini sebagai  agama  kebenaran.  Agama‐agama  lain  disebutnya sebagai  pendatang  di  negeri  ini.  Misalnya  ia  mengatakan bahwa Kristen  itu berasal dari Yerusalem, Katolik  itu berasal dari Perancis dan Islam berasal dari jasirah Arab, yaitu Mekah dan Madinah. Makah  dan Madinah  ini  selalu  disebut‐sebut dalam doa‐doa dan ritual yang dlakukan oleh para penganut agama  Marapu  ini,  karena  Makkah  dan  Madinah  adalah perjalanan manusia berikutnya setelah di alam dunia  ini. Dia katakan  bahwa  seluruh  jiwa  dan  roh  manusia  seteleh meninggal  akan  menuju  Mekkah  dan  Madinah  untuk berkumpul  dan  sebagai  gua  terbesar  bagi  umat  manusia untuk  berkumpul  dari  seluruh  dunia  apapun  agama  dan tatacara  ritual  dan  budayanya  sambil menunggu  perjalanan menuju padang gurun. Di Padang Gurun itulah seluruh umat manusia  akan  mengetahui  kemana  perjalanan  berikutnya, karena di padang gurun itu manusia akan memegang catatan 

66

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

67

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

amal  baik dan  amal  buruknya dalam  kehidupan  pada masa hidup  di  dunia.(diolah  dari  hasil wawancara  dengan  Lidah Mawo Mudde, 28 April 2013). 

Dari  hasil  observasi,  wawancara  dan  FGD,  dapat dinyatakan  bahwa  hampir  seluruh  segi‐segi  kehidupan masyarakat  Sumba  masih  utuh  dipengaruhi  oleh  rasa  dan nilai keagamaan Marapu. Sampai dewasa  ini agama Marapu  masih  mempunyai  pengaruh  besar  terhadap  kehidupan masyarakatnya,  baik  di  kota  maupun  di  desa.  Meskipun sebagian  besar  sudah  ber‐KTP Kristen  dan Katolik,  ternyata tidak mudah  bagi mereka  untuk melepaskan  rasa  dan  nilai keagamaan  Marapu.  Menurut  catatan  sejarah,  masyarakat Sumba pernah mendapat pengaruh Hindu melalui  kerajaan‐kerajaan  dari  Jawa,  yaitu  Kediri,  Singosari  dan  Majapahit. Namun pengaruh Hindu  tersebut hampir  tidak memberikan bekas  di  bidang  keagamaan. Demikian  pula  halnya  dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dari sebagian kecil suku Sumba.  

Pekabaran atau penyebaran agama Kristen yang sudah dilakukan sejak tahun 1881, secara sosiologis dan antropologis hanya  berpengaruh  pada  kalangan  elit  atau  pada  golongan atas  saja  (yaitu  pada  golongan  Ratu  dan  Maramba)  dalam kehidupan  sosial masyarakat  Sumba dan  itu  pun  tak  begitu banyak  jumlahnya. Mereka  ini  sebenarnya diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat untuk beralih  agama dari  agama Marapu  ke  agama  Kristen.  Kemudian  sekolah‐sekolah  dari pekabaran  Injil  (Zending)  juga  sudah mulai  didirikan  pada tahun  1892  di  Melolo  (ibukota  kecamatan  Rindi‐Umalulu) Sumba Timur berupa Volks School,  tetapi pengaruhnya  juga baru  sedikit.  Usaha‐uasaha  Kristenisasi  dengan  mendirikan 

sekolah zending tersebut ternyata belum mendapat hasil yang memuaskan.  

Jikalau  kita  percaya  bahwa  perubahan  itu  adalah sunatullah, maka asumsi kita kehidupan keagamaan Marapu juga  akan  berubah  seiring  dengan  perubahan  yang  terus terjadi.  Dengan  demikian,  sesungguhnya  tidak  ada  suatu masyarakatpun  yang  tidak  berubah.  Dengan  kata  lain, perubahan  itu  konstan  dalam  kebudayaan  manusia. Perbedaannya hanya ada perubahan kebudayaan yang  cepat dan  ada perubahan yang  lambat, hal mana  tergantung pada latar  belakang  stabilitas  kebudayaan  dan  juga  hubungannya dengan  kemungkinan  adanya  penolakan  akan  perubahan. Menurut  Geertz  agama  pun  dapat  mengalami  perubahan, tetapi  yang  berubah  adalah  tradisi‐tradisi  keagamaan  atau sistem‐sistem keyakinan keagamaan, sedangkan teks suci atau doktrin agama itu sendiri tidak berubah. Mengingat bahwa di dalam  masyarakat  selalu  ada  dua  macam  kekuatan,  yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolak  perubahan, maka  di  dalam  sistem  keyakinan  yang dianut masyarakat Sumbapun mungkin saja akan atau dapat berubah  sejalan  dengan  proses  dan  terjadinya  perubahan sosial‐budaya pada masyarakat yang bersangkutan.  

Proses  perubahan  itu  sendiri  bisa  saja  dengan  jalan damai, atau bisa  juga dengan  jalan  ‘pemaksaan’, dengan kata lain  suka  atau  tidak  suka  sebagai  sesuatu  hal  yang  ‘harus dilakukan’. Perubahan  yang  ‘dipaksakan’  ini  rupanya  sudah sering pula dilakukan pihak luar. Akan tetapi, sejauh itu pula tidak  atau  belum mendapat  hasil  yang memuaskan. Hal  ini terbukti  hingga  tahun  1982  hanya  1,1%  saja  dari  seluruh jumlah  penduduk  Sumba  yang  beralih  agama  menjadi pemeluk  agama  Kristen,  selebihnya masih memeluk  agama 

68

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

69

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

asli  mereka,  yaitu  agama  Marapu  (Suriadiredja,1983:49). Namun  perkembangan  selanjutnya  (terutama  sejak  tahun 1990‐an)  agak  mengejutkan,  karena  ternyata  data  tersebut mengungkapkan  yang  sebaliknya.  Kini  sebagian  besar  dari mereka (+/‐ 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, meskipun baru pada  tahap adminsitratif.  Salah  satu  hal  yang  sangat  penting  strategi perubahan  dalam  kristenisasi  dan  yang menyumbang  andil yang luar biasa bagi beralihnya masyarakat agama Marapu ke agama Kristen,  yaitu  diwajibkanya  anak  usia  sekolah  untuk memiliki surat babtis dari gereja. Akankah masyarakat Sumba benar‐benar  dapat  menjadi  pengikut  Gereja  Kristen  Sumba (GKS atau  lainya secara  teologis, dmisnitratif maupun secara antropologis. Hanya sejarah yang akan membuktikan hal  itu, karena  sepanjang kritenisasi di Sumba  ternyata masih belum mendapatkan  umat  Kristen  yang  sesungguhnya.  Wallahu a’lam bishawaf. 

Berdasarkan  hasil  wawancara  berbagai  narasumber berbeda, secara umum diperoleh informasi yang menunjukan bahwa  terdapat  4  (empat)  langkah  dalam  menjalankan maupun  menurunkan  ajaran  lisan  Bara  Marapu.  Pertama, sesungguhnya  Bara Marapu  dipertahankan  secara  oral  atau tradisi  lisan  dari  generasi  ke  generasi.  Kedua,  sekalipun pengikutnya  tidak  ada  batasan,  akan  tetapi  yang  bisa  Bara Marapu  adalah  yang  dikehendaki  oleh  Gha  Magholo  Gha Marawi  atau  Amaholu  Amarawi  yaitu  seseorang  yang diberikan  karunia  untuk  mampu  memimpin  upacara  Bara Marapu.  Dalam  dialek  Loura,  orang  yang  memperoleh karunia  dari  nenek  moyang  atau  Marapu  disebut  “Pa  Ka zangada.” Ketiga, orang yang  terpanggil karena “dipakai atau dipilih  oleh  Marapu”  untuk  menjalankan  ritual‐ritual  Bara 

Marapu. Dalam  beberapa  bukti  kehidupan,  terdapat  banyak rato Bara Marapu yang  sesungguhnya  sebelum menjadi Rato Urrata  atau  Rato  Rumatta  sudah  pernah  menganut  agama formal  seperti  Katholik  atau  Protestan,  akan  tetapi  karena panggilan Marapu, secara otomatis bisa berbicara dalam syair‐syair  adat  yang  sangat  bernilai  tinggi maupun  kemampuan memimpin  semua  jenis  upacara  adat  Bara  Marapu.  Yang bersangkutan  serta  merta  meninggalkan  agama  formal  dan kembali  ke  Bara Marapu. Usia  rata‐rata  usia  para  penganut Bara Marapu sudah  tua dan sangaat sedikit sekali anak‐anak muda  atau  generasi  muda  yang  tertarik  untuk  mengikuti ajaran lisan Bara Marapu tersebut, apalagi ketika akan sekolah harus  memiliki  surat  babtis.  Oleh  karena  itu,  meskipun mereka sudah Kristen, tetapi orang tuanya masih Marapuisme bahkan  menjadi  Rato  Bara  Marapu,  tetapi  sebagian  tidak menganut Bara Marapu.  

Salah satu konsekuensi dari pemekaran wilayah pada jaman otonomi daerah tersebut adalah  semakin berkurangnya jumlah penganut dan pemraktek  agama Bara Marapu.  Salah satu  hal  yang  berkembang  dalam  FGD  adalah  adanya pendapat  dari  peserta  yang  berasal  dari  berbagai  unsur keterwakilan, bahwa peran Pemerintah Pusat melalui berbagai instrumen peraturan perundang‐undangan yang ada sebelum dan  selama  masa  Orde  Reformasi,  sesungguhnya  telah merampas  hak‐hak  penganut  Bara Marapu.  Jika  pada  tahun 1940an‐1960an, jumlah penganut agama formal seperti Katolik dan  Protestan  hanya  sedikit  dari  jumlah  penganut  Bara Marapu,  maka  semenjak  tahun  1970an‐1990an  jumlah penganut  Bara  Marapu  terus  mengalami  penurunan.  Salah satu momentum  yang menjadi media  perantara  dan  paling berperan  dalam  penurunan  drastis  angka  penganut  Bara 

70

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

71

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Marapu  adalah  kebijakan  Pemerintah  Orde  Baru  yang mengharuskan warga negara termasuk orang Sumba penganut Bara Marapu untuk mau tidak mau harus menentukan pilihan atas  salah  satu  dari  lima  agama  formal  yang  ada  pada jamannya, yaitu  Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Melalui berbagai kebijakan yang sistematis antara lain melalui pelayanan  hak‐hak  sipil  yang  selalu  disertai  dengan  kolom agama yang dianut, maka sang penganut Bara Marapu, serta merta  dipaksa  untuk memilih  agama  Katolik  atau  Protestan yang  sudah  lama  membumi  di  Sumba.  Di  samping  itu, kebijaksanaan  pemerintah  lainya  yang  menyebabkan  Bara Marapu semakin punah adalah adanya kewajiban surat babtis untuk  masuk  sekolah.  Data  berikut  memperlihatkan kekuatiran  akan  ancaman  kepunahan  agama  lokal  Bara Marapu di Sumba secara umum dan Kabupaten Sumba Barat Daya  sebagai  kabupaten  berpendudukn    terbesar  di  Sumba. Sejalan dengan kemajuan peradaban orang Sumba, penetrasi pengenalan  dan  pengajaran  agama  Katholik  dan  agama Protestan  semakin menjauhkan  orang  Sumba  dalam  praktek penganutan  agama  asli  mereka  yaitu  Marapu.  Penurunan agama  asli  orang  Sumba  tersebut  tidak  saja  disebabkan semakin  banyaknya  kaum  tua  yang memutuskan menganut agama  formal  seperti  yang  dianut  anak‐anak mereka  yakni Katholik  atau  Protestan,  akan  tetapi  lebih  dari  itu  terutama disebabkan oleh tidak adanya pengajaran secara tertulis.  

 Pelayanan Hak‐Hak Sipil 

Sekalipun Pemerintah  telah menjamin pelayanan hak‐hak  sipil  dari  warga  negara  penganut  agama  lokal sebagaimana diatur dalam Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 2006  tentang Adminduk,  namun  fakta  di  lapangan  bertolak 

belakang dengan amanat undang‐undang tersebut. Salah satu faktor  penyebabnya  adalah  tidak  adanya  harmonisasi peraturan perundang‐undangan yang ada. 

Berbagai  macam  hak‐hak  sipil  yang  diberikan pemerintah,  oleh  kalangan penganut Bara Marapu dianggap tidak ada perbedaannya antara mereka yang masih menganut dan  menjalankan  agama  lokal  Bara  Marapu  dengan  yang sudah  menganut  agama  formal  lainnya  seperti  Katolik, Protestan  dan  Islam.  Dalam  hal  ini,  para  penganut  Bara Marapu  tetap memperoleh  hak  pelayanan  adminduk  seperti KTP  dan  KK,  akta  kelahiran  bagi  anak‐anak  mereka  yang menjadi  syarat  untuk  memperoleh  pendidikan.  Dalam kaitannya  dengan  hak  pencatatan  perkawinan,  berbagai narasumber  dan  peserta  FGD  mengatakan  bahwa  tidak pernah lagi ditemui adanya perkawinan yang murni pasangan penganut Bara Marapu. Seluruh perkawinan yang ada untuk usia  generasi muda  sudah melalui  tata  cara  agama  formal, baik Katolik atau Protestan. 

Semua  tata  cara  penguburan  orang  Sumba  Kristen masih merujuk  pada  adat  penguburan  orang mati menurut kepercayaan  Bara  Marapu  seperti  bentuk  galian  kuburan antara  di  atas  permukaan  tanah  atau  di  bawa  permukaan tanah, posisi  jenazah saat diturunkan dalam  liang  lahat yang dibungkus kain adat Sumba berlapis‐lapis dalam posisi duduk menelungkup.  Ada  pun  adat  perkawinan  yang  dilakukan sudah menyesuaikan  keadaan  zaman,  sekalipun mahar  atau belis  dan  tata  cara  perkawinan  budaya  Sumba masih  tetap dipegang teguh, namun demikian tidak ada perkawinan yang dilakukan  dicatat  sipil  dengan  menyebutkan  agama  yang dianut Bara Marapu.  

72

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

73

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Temuan  yang  menarik  bahwa  dalam  hal  pelayanan administrasi  kependudukan  seperti  KTP  dan  KK,  melalui Form  F‐1.01  yang memuat mengenai  Formulir  Isian  Biodata Penduduk  Untuk WNI  (Per  Keluarga),  pada  kolom  Agama tertulis  Marapu,  yang  diisikan  oleh  pencacah  berdasarkan pengakuan  warga  yang  disensus  atau  oleh  warga  yang bersangkutan. Namun demikian, ketika data manual  tersebut dimasukan  dalam  sistem  komputerisasi  Adminduk  yang berbasi  online  nasional,  maka  kolom  agama  yang  muncul adalah  lain‐lain  yang  berakibat  pada  pencetakan  KTP  yang tidak jarang tertulis salah satu agama formal. 

  

PENUTUP  

Kesimpulan   1. Perkembangan  zaman  yang  terus  mewarnai  peradaban 

Sumba telah mendorong perubahan strata sosial di kalangan orang Sumba. Dimana, pada zaman sebelum tahun 1980an, pengaruh keturunan Raja dan tokoh masih sangat dominan dalam  hidup  keseharian  orang  Sumba,  sekarang  telah bergeser  dipegang  oleh  kaum  keturunan  strata  sosial kalangan biasa yang memiliki tingkat pendidikan tinggi. 

2. Tata  cara  perkawinan  bagi  masyarakat  Bara  Marapu dilakukan menurut agama formal Katolik atau Kristen. 

3. Pemekaran wilayah yang melahirkan dua kabupaten baru yaitu Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Tengah tidak ikut mengubah sistem kebudayaan atau adat istiadat yang sudah secara turun temurun hidup di Sumba. 

4. Secara  faktual  (sensus  tertulis  di  tingkat  kecamatan), mayoritas  orang  Sumba  masih  Marapuisme,  meskipun secara  administrative  kependudukan,  mereka  beragama Kristen,  sehingga  tidak mengejutkan  jika  gereja‐gereja  di hari  minggu  sepi,  karena  sebagian  besar  masyarakatnya masih Marapu bukan Kristen. 

5. Tradisi  kehidupan  orang  Sumba    sebagian  besar  masih eksis sampai hari ini, karena disetiap upacara adat apapun selalu dikorbankan kerbau, babi, anjing, dan ayam. 

6. Pelayanan  hak‐hak  sipil  keluarga  Bara  Marapu  tidak mengalami hambatan, terutama pelayanan pencatatan Bara Marapu  dalam  berbagai  dokumen  kependudukan  tetap dilakukan secara manual pada dokumen agama lokal, akan tetapi menjadi hilang pada sistem nasional. Sehingga kolom 

74

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

75

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

agama   dalam KTP, ditulis dengan  tanda  setrip atau  lain‐lain. 

7. Relasi  sosial masyarakat Bara Marapu dengan masyarakat di luar lingkungannya dikatakan cukup baik 

 Rekomendasi 

Pertama,  pentingnya  mendorong  Pemerintah Kabupaten  dan  Kantor  Kementerian  Agama  Kabupaten  di seluruh Sumba, untuk membentuk Lembaga Pemangku Adat, sesuai ketentuan yang berlaku,  idealnya Lembaga Pemangku Adat  tersebut hendaknya diambil dari penganut agama Bara Marapu, dan bukan oleh penganut agama formal. 

Kedua,    Kementerian  Dalam  Negeri,  seharusnya membuat  terobosan  dengan  menyempurnakan  Sistem Adminduk  yang  memungkinkan  secara  elektronik  dapat dicantumkan nama agama  lokal yang akan  tercetak di Kartu Tanda Penduduk, misalnya khusus wilayah Sumba “Agama: Bara Marapu.”  

Ketiga,  pelayanan  hak‐hak  sipil  seperti  KTP,  Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, Pencatatan Perkawinan Adat, dan Pendidikan;  hendaknya  secara  tegas  diatur  dalam  sebuah Peraturan  Perundang‐undangan  baik  pada  tataran  PP, Perpres, Permen, dan Perda.    

76

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA  Buletin Nusadadi Nomor 01, Cetakan I, Juli‐Desember 2012. 

Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka, 2012. 

Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka, 2010. 

Laporan Data Keagamaan Kementerian Agama Kabupaten  Sumba Barat, 2013. 

Wellem  FD,  Injil  dan Marapu:  Studi  Historis  Teologis  tentang Perjumpaan  Injil  dengan  Masyarakat  Sumba,  pada Periode  1876‐1990,  BPK  Gunung  Mulia,  Jakarta, 2004. 

 

DAFTAR INFORMAN 

Lidah Mawo Mudde; Agela Lele Dapu Wole; Ana Angelina Lele; Rambu Sama Pati; Weny Anggi Pana; Weny Dela Kondo; Amaghani; Amaniga; Danil Mesa Kalla; Rattu Rumatta; Lado Rege Tera; Lele Dapa Wolu; Oktavianus Bobsini.  

 

77

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

        

AGAMA/KEPERCAYAAN KASEPUHAN CIPTAGELAR GUNUNG HALIMUN DI SUKABUMI JAWA BARAT 

   Oleh : Nuhrison, M. Nuh    

GAMBARAN UMUM WILAYAH   

Kecamatan Cisolok Kecamatan    Cisolok merupakan  salah  satu  kecamatan 

yang  terdapat  di  Kabupaten  Sukabumi.  Kecamatan  Cisolok terdiri  dari  13  desa  yaitu:  Desa  Cisolok,  Cikahuripan, Karangpapak,  Pasirbaru, Cikelat, Gunung Karamat, Gunung Tanjung, Cicadas, Sirnaresmi, Caringin dan Sukarame. 

Luas wilayah kecamatan Cisolok 17.806.726 Ha, dengan ketinggian dari permukaan laut 2‐325 m. Suhu rata‐rata 45‐63O C,  dengan  demikian  suhu  di  kecamatan  ini  sangat  panas karena berada ditepian laut Samudra Indonesia. 

Kecamatan  Cisolok  berbatasan  sebelah  utara  dengan Kabupaten  Lebak  Provinsi  Banten,  sebelah  selatan  dengan Samudra  Indonesia,  sebelah  barat  dengan Kabupaten  Lebak Provinsi  Banten  dan  sebelah  timur  dengan  kecamatan Cikakak.  Jarak  dari  Ibukota Kabupaten  (Pelabuhan Ratu)  14 km, dan jarak dari Ibukota Provinsi 162 km. 

Jumlah  penduduk  Kecamatan  Cisolok  65058  jiwa, dengan  perincian  penduduk  laki‐laki  32939  jiwa,  dan perempuan  32119  jiwa.  Jumlah  KK  sebanyak  18237,  berarti setiap KK terdiri dari 4 jiwa, dengan demikian KB didaerah ini sudah berhasil, dimana  setiap keluarga hanya mempunyai  2 orang anak. 

Jumlah  penduduk  bila  dilihat  dari  segi  agama:  Islam sebanyak  64.707  orang,  Kristen,  17  orang,  Katolik  18  orang, Buddha 2 orang dan Penganut Kepercayaan 4 orang.  

Mengenai  Desa  Sirnaresmi  dimana  Kasepuhan Ciptagelar  berada,  diperoleh  informasi  sebagai  berikut:  luas wilayah 4917 Ha, dengan ketinggian dari permukaan laut 620 ‐ 1200 m, dengan suhu rata‐rata 20 – 23 derajat celcius, maka 

78

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

79

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

suhu  didaerah  ini  tergolong  dingin/sejuk.  Desa  Sirnaresmi berbatasan  sebelah  utara  dengan  desa  Sirnagalih Kabupaten Lebak Provinsi Banten, sebelah selatan  dengan Desa Cicadas, sebelah barat dengan Desa Cicadas, dan sebelah timur dengan desa  Cianten    Kabaupaten  Bogor.  Jarak Desa  Sirnaresmi  ke Ibukota Kabupaten  33 km, dan ke Ibukota Provinsi 192 km. 

Desa  Sirnaresmi  terletak  22  km  dari  Pelabuhan  Ratu (ibukota  Kabupaten  Sukabumi),  dapat  ditempuh  dengan kendaraan  mobil,  selama  1.5  jam.  Di  dekat  kantor  desa terdapat Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sinar Resmi, sedangkan Kasepuhan Ciptagelar  terletak 16 Km dari Kantor Desa  Sirna  Resmi,  yang  hanya  dapat  ditempuh  dengan  kendaraan ”mobil offroad” atau motor, selama 1.5  jam.  Jalan menuju  ke  Kasepuhan  Ciptagelar    berbatu‐batu  cadas,  dan berkelok‐kelok,  sehingga  laju  kendaraan  sangat  lambat  dan berbahaya. 

Menurut  data  dari  KUA  Kecamatan  Cisolok,  jumlah penduduk  Desa  Sirnaresmi  5113  jiwa,  dan  Desa  Cicadas berpenduduk  5331  jiwa.  Desa  Cicadas  merupakan  pecahan dari  desa  Sirnaresmi,  dan  penduduknya  sebagian  besar merupakan  anggota  komunitas  kasepuhan.  Persebaran anggota  masing‐masing  kasepuhan  tidak  berdasarkan wilayah,  tetapi  berdasarkan  kepengikutan.  Desa  Sirnaresmi berbatasan  dengan  tiga  kabupaten,  yaitu  Kabupaten Sukabumi (desa Cicadas), Kabupaten Lebak (desa Sirnagalih), dan  Kabupaten  Bogor  (Kecamatan  Leuwiliyang).  Di  tiga kabupaten  tersebut  terdapat 21 kasepuhan yang pengikutnya berjumlah  350.000  jiwa,  tergabung  dalam  Kesatuan  Adat Banten  Kidul  (Data  dari  Aliansi  Adat  Nusantara,  Abah  Asep). Dinamakan Kesatuan Adat Banten Kidul karena pada waktu itu  belum  ada  provinsi  Banten.  Kepala  Desa  Sirnaresmi, 

sekarang  dijabat  oleh  Ujang  Supendi,  dan  Kepala  Desa Cicadas, dijabat oleh Adang Suganda. 

 Permukiman di Lembur Ciptagelar 

Lembur  Ciptagelar  merupakan  lembur  utama  dari seluruh  lembur  yang  tergabung  dalam  Kasepuhan  Gunung Halimun.  Lembur  Ciptagelar  lazim  disebut  Kasepuhan Ciptagelar. Dalam bahasa Sunda kata kasepuhan mengacu pada golongan masyakat  yang masih  hidup  dan  bertingkah  laku  sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Kata Ciptagelar berarti terbuka atau  pasrah.  Hal  ini  berarti  Kasepuhan  Ciptagelar  sudah terbuka terhadap dunia luar. Berdirinya desa Ciptagelar tidak terlepas  dari  yang  sifatnya  mitos  dan  tradisi  yang  melekat pada masyarakat tradisional. 

 Penduduk  desa  Ciptagelar  merupakan  penduduk pindahan dari desa Ciptarasa. Perpindahan ini didahului oleh sebuah mimpi  atau wangsit yang diterima oleh Abah Anom yang menyuruh mereka pindah. Maka pada bulan  Juli  tahun 2001,  Abah  Anom  bersama  belasan  baris  kolot  (pembantu sesepuh  girang)  menjalankan  wangsit  tersebut.  Beberapa rumah  baris  kolot    beserta  seluruh  isinya  ikut  dibawah pindah. Lokasi baru tempat tinggal Abah Anom beserta baris kolotnya  bukan merupakan daerah yang  baru dibuka. Abah Anom  pindah  ke  tempat  yang  telah  ada  penduduknya  dan kampungnya  bernama  Sukamulya.  Oleh  Abah  Anom kampung Sukamulya diganti menjadi Ciptagelar. 

Pusat pemukiman Kasepuhan Ciptagelar berupa rumah‐rumah  dan  bangunan  lain  yang  berderet  rapi  mengelilingi tanah  lapang  atau  alun‐alun  yang  berbentuk  persegi.  Di sekeliling  tanah  lapang  tersebut  terdapat  rumah  kediaman Abah  Ugi,  gedung  pertemuan,  leuit  induk,  Imah  Gede, 

80

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

81

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

mushallah,  stasiun  TV Ciptagelar,  Pemancar Radio  FM,  dan dua  buah  rumah  untuk  tamu menginap,  kalau  rumah  Ima Gede  tidak  mampu  menampung  tamu  yang  datang  untuk menginap. Dengan  pola  pemukiman  seperti  ini,  nampaknya arah rumah bukanlah hal yang penting secara magis relegius, tetapi penting berdasarkan fungsinya atau keindahan. 

Jumlah  rumah  yang  terdapat  di  kampung  Ciptagelar sebanyak  90  buah  rumah,  dengan  jumlah KK  sebanyak  140 KK, dengan jumlah penduduk kira‐kira 330 orang. Sedangkan kampung‐kampung  lainnya  seperti  Ciptarasa  dan  Cipulus yang  berbatasan  dengan  kampung  Ciptagelar  walaupun masih berada dibawah pengaruh kasepuhan Ciptagelar sudah boleh  mengadakan  perubahan,  seperti  atap  rumah  sudah boleh  memakai  genteng,  dinding  rumah  berdindingkan tembok.  Dalam  membajak  sawah  sudah  boleh  memakai traktor,  hanya  di  kampung  Ciptagelar  ketentuan  adat dijalankan  secara  ketat.  Menurut  Abah  Ugi,  disamping memelihara  adat  istiadat  kita  juga  tetap  menerima perkembangan  teknologi sebagai konsekuensi perkembangan zaman, karena kita  juga ingin maju, dan tidak ingin dibodohi oleh teknologi selama tidak mengganggu tatacara adat disini. Adapun  teknologi yang masuk  tetap dikontrol, bahkan dulu listrik  dan  televisi  dilarang  samasekali,  namun  ketika pimpinan Abah Anom  kmai mulai mencari  tahu  kenapa  ini dilarang,  dan  ternyata  apabila  tidak  mengganggu  tatacara adat  kebiasaan, maka  teknologi  tidak masalah  untuk masuk kesini. Dulu ketika Abag di SMA ada pikiran dari  ilmu yang Abah dapat apa yang bisa Abah sumbangkan bagi kemajuan kampung, maka Abah merintis  Radio  Komunitas  FM  suara Ciptagelar,  pada  tahun  2004,  kemudian  pada  tahun  2008 

mendirikan TV Ciptafelar.  (wawancara dengan Abah Ugi, 26 April 2013).  

Bangunan‐bangunan tersebut sengaja dibuat secara tidak permanent,  oleh  karena  kebiasaan mereka  yang  berpindah‐pindah  dari  suatu  tempat  ke  tempat  lain  didalam  kawasan Gunung  Halimun.  Dengan  kondisi  bangunan  dan  bahan bangunan  yang  tidak  permanent maka memudahkan  untuk membongkar  dan  memasangnya  kembali  bila  terjadi perpindahan. Kapan waktu pindah dan berapa  lama mereka tinggal di dalam suatu lokasi, sukar untuk ditentukan, karena waktu  untuk  berpindah  ke  lokasi  permukiman  baru tergantung  dari  wangsit  yang  datang  atau  diterima  oleh kepala adat (Sesepuh Girang) yang dipanggil dengan sebutan Abah. (Jajang Gunawijaya, 2011: 12‐13). 

Rumah  penduduk  umumnya  berbentuk  panggung, berdindingkan bambu dan beratapkan  ijuk, hal  itu dilakukan memang kondisi alam dimana mereka tinggal terdapat pohon  bambu,  pohon  aren,  dengan  demikian  nampaknya  mereka sengaja membangun rumah dengan memanfaatkan    tumbuh‐tumbuhan  yang  ada  disekitar  mereka.  Dengan  demikian mereka ingin menyatu dengan alam sekitarnya. 

Kampung  Ciptagelar  mempunyai  luas  empat  hektar, dengan jarak 44 km dari Pelabuhan Ratu kea rah Cisolok, atau 200  km  dari  Jakarta.  Berbatasan  dengan    kawasan  Taman Nasional  Gunung  Halimun  (TNGH).  Untuk  mencapai kampung tersebut para pengunjung harus melalui jalan tanah berbatu  kasar  sepanjang  14  km,  dengan  jalan menurun  dan menanjak yang  sangat  tajam dari  lereng yang  satu ke  lereng yang  lain  di  Gunung  Halimun.  Dengan  kendaraan  motor (ojek) dapat ditempuh selama 1,5 jam, dengan biaya Rp 75.000 (Tujuh  Puluh  Lima  Ribu  Rupiah),  sedangkan  dengan 

82

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

83

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

kendaraan mobil  ditempuh  selama  2  jam,  itupun mobilnya harus yang mempunyai dua gardan. 

 Pemanfaatan Lahan dan Kegiatan Pertanian 

Mengingat  kondisi  fisik  lingkungan Gunung Halimun, maka sumber daya alam berupa lahan pertanian yang digarap masyarakat kasepuhan  antara  lain  sawah  (merupakan usaha pertanian utama), ladang dan kebun campuran. 

Areal persawahan  terletak pada daerah  lereng, dataran dan depresi, yang  sebagian berada di dekat pemukiman dan sebagian  lagi  berada  agak  jauh  dari  pemukiman.  Sebagian besar areal persawahan penduduk berada di kawasan Perum Perhutani. Sumber air sawah berasal dari sungai dan mata air. Pada  daerah  persawahan  yang  berlererng  dibentuk  sistem terasiring  dengan  galangan‐galangan  sempit  sebagai pembatas  yang  juga  berfungsi  sebagai  jalan  setapak  atau sebagai  lahan  pertanian  tambahan  yang  ditanami  palawija (jagung  dan  kacang‐kacangan),  sayuran  (kangkung,  kacang panjang,  katuk  dan  lain‐lain)  dan  pohon  buah  (pisang, pepaya, jeruk, dan lain‐lain). 

Selain  menanam  tanaman  pangan  untuk  kebutuhan sehari‐hari, mereka juga terbiasa menenam tanaman cash atau tanaman  yang  hasilnya  untuk  mendapatkan  uang  tunai disamping  untuk  kebutuhan  sendiri.  Komoditi  tersebut ditanam  di  sawah  yang  sudah  mengering,  di  kebun,  talun (lahan  hutan  yang  boleh  digarap),  atau  di  pinggiran  sawah bersamaan  dengan  tanaman  padi.  Tanaman  tersebut  di antaranya  adalah:  cabe merah,  cabe  rawit,  cabe  keriting,  kol (kubis), kacang‐kacangan, kentang besar dan jagung. Selain itu mereka  juga menanam cengkeh, pisang, advokado, kapol dan lain‐lain.  Sumber  uang  tunai  yang  lain  adalah  pohon  kayu 

manglid  yang  dijual  setelah  berusia  10  tahun.  (Jajang Gunawijaya, 2011: 14‐15). 

Dalam  bertani masyarakat mencoba untuk menyelaras‐kan dengan alam sehingga mereka tidak mau menanam padi jenis  unggul  versi  pemerintah,  karena:  (a)  upacara  adat mengharuskan menggunakan padi lokal, (b) padi jenis unggul (pemerintah)  tidak  dapat  tumbuh  dengan  baik  di  daerah lembab  dan  terlalu  dingin,  (c)  padi  jenis  lokal  berbatang panjang  sehingga memudahkan dietem, mudah pengeringan dan penyimpanannya, tahan sampai waktu lebih dari 5 tahun dan tidak rontok, (d) melestraikan adat leluhur, ada sekitar 43 jenis pare rurukan (padi pokok) dan 100  jenis padi hasil silang dari  pare  rurukan,  (e)  dengan menanam  padi  setahun  sekali, juga menghentikan  siklus hama wereng yang biasanya  jatuh pada bulan dan musim yang sudah diperhitungkan, (f) untuk menentukan  masa  tanam  didasarkan  pada  perhitungan dengan  menggunakan  perhitungan  bintang.  Kusnaka Adimiharja mencontohkan: Tanggal Kerti Kana Beusi, Tanggal Kidang  turun Kijang  (untuk menyiapkan alat‐alat pertanian), Kidang Ngarangsang  Ti Wetan,  Kerti  ngagoredag  ka  kulon (untuk memulai menggarap lahan). 

Pengetahuan  tentang  hutan  di  masyarakat  adat kasepuhan  dibagi  tiga  golongan,  yaitu  (a)  Hutan  Tua (Leuweung  Kolot),  Hutan  asli  dengan  kerimbunan  dan kerapatan tinggi dan banyak satwa, tidak boleh di eksploitasi. (b) Hutan Titipan/Kramat  (Leuweng Titipan). Hutan Kramat yang  harus  dijaga  oleh  setiap  orang  dan  tidak  boleh digunakan  tanpa  seizin  sesepuh  girang,  memungkinkan penggunaan hasil hutannya bila ada wangsit dari  leluhur.  (c) Hutan Sempalan/bukaan (Leuweng Sampalan), Hutan bukaan yang  boleh  dieksploitasi  untuk  ladang,  menggembalakan 

84

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

85

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

ternak, mencari  kayu  bakar  dan  ditanami  berbagai  tanaman kayu dan buah‐buahan yang hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. 

 Fasilitas Umum dan Kreatifitas Lokal 

Fasilitas  umum  yang  tersedia  sebagai  hasil  dari kreatifitas  lokal  dari  elit‐elit  kasepuhan  diantaranya  adalah pemancar televisi lokal, radio AM lokal, sumber tenaga listrik mikro,  dan  lembaga  pendidikan  formal.  Semua  fasilitas  itu dibangun  berdasarkan  dana  swadaya  masyarakat  dan bantuan  dari  NGO  asing  yang  merupakan  jaringan  elit‐elit lokal.  Semua  fasilitas  itu  dapat  dinikmati  sepenuhnya  oleh warga kasepuhan. Selain itu terdapat pula dua buah mushalla, yang  pertama  khusus  untuk  tamu,yang  terletak  di  samping alun‐alun  (tanah  lapang)dan  yang  kedua  terletak  ditengah‐tengah  pemukiman  warga,  dimanfaatkan  untuk  warga kasepuhan,  diantaranya  digunakan  oleh  anak‐anak  untuk belajar  mengaji  yang  dibimbing  oleh  penghulu  Rahman. Berdasarkan  informasi  dari  Pak  Rahman,  anak‐anak  yang mengaji  berjumlah  20  orang, waktu  belajar mengaji didakan sehabis  shalat maghrib. Untuk  shalat  jumat warga  pergi  ke masjid  yang  terdapat  di  dusun Cipulus,  berjarak  2  km  dari Ciptagelar.  Ketika  waktu  subuh  terdengar  suara  azan  dari mushalla  tersebut,  yang  dapat  peneliti  dengar  dari  rumah tempat kami menginap. 

 

TEMUAN HASIL PENELITIAN  

 Sejarah Kasepuhan Sejauh    ini  berdasarkan  bukti  sejarah,  masih  banyak 

pihak  yang  meragukan  keberadaan  warga  desa  Ciptagelar yang memiliki  hubungan  erat  dengan  Raja  Pajajaran  Prabu Siliwangi.  Bila melihat  fakta  situs,  diduga  kuat merupakan peninggalan Kerajaan  Pajajaran  yang  berada  di  sekitar  desa tersebut,  tepatnya  di  kampung  Pangguyangan.  Apalagi disekitar situs tumbuh pohon hanjuang (pajajaran). Situs yang ditemukan  di  perkampungan  tersebut  katanya,  dilihat  dari ilmu  arkeologi  diyakini  tempat  pemujaan  animis.  Di  sana terdapat  situs  megalitik,  batu  jolang  (tempat  pemandian), salak datar,  tugu gede,  cungkuk, batu kursi dan batu dakon (alat perhitungan tangga/ilmu bintang). 

Perkampungan  tersebut,  menurut  cerita  legenda merupakan  salah  satu    tempat  pelarian  keturunan  dan pengikut  Kerajaan  Pajajaran.  Sekitar  tahun  1300,  saat  Prabu Siliwangi  dan  pengikutnya  dikejar‐kejar  Kerajaan  Mataram dari  Banten  mencoba  melarikan  diri  ke  Pulau  Christmas (Australia)  lewat Pantai Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi. Tapi  itu  gagal  dilakukan  Prabu  Siliwangi  dan  pengikutnya, karena ombak Samudra Hindia saat itu sedang pasang. Tanpa memikir  panjang,  Prabu  Siliwangi meminta  pada  keturunan dan  pengikutnya  untuk mencari  jalan masing‐masing  untuk menyelamatkan diri dari kejaran Kerajaan Mataram. 

Dari  sekian  banyak  pengikut  dan  keturunan  Prabu Siliwangi, mereka akhirnya berpencar. Sebagian di antaranya melarikan  diri  ke  Urug  (Bogor)  dan  sebagian  lagi  lari  ke Citorek  (Banten),  Sirna  Rasa  dan  Ciganas  (Sukabumi). 

86

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

87

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Sedangkan  Prabu  Siliwangi  sendiri  lari  kearah  utara  pantai Tegal Buleud. 

Berdirinya  desa  Cipta  gelar  tidak  terlepas  dari  yang sifatnya  mitos  dan  tradisi  yang  melekat  pada  penduduk tradisional  sebagaimana  mestinya.  Penduduk  Ciptagelar merupakan  penduduk  pindahan  dari  desa  Ciptarasa. Perpindahan  ini di dahului oleh  sebuah mimpi atau wangsit yang  diterima  Abah  Anom  yang  menyuruh  pindah,  maka tepatnya  bulan  Juli  2001 Abah Anom  bersama  belasan  baris kolot beserta seluruh  isinya  ikut dibawa pindah. Lokasi baru tempat  Abah  Anom    beserta  baris  kolotnya  pindah  bukan daerah baru dibuka. Abah Anom pindah ketempat yang telah ada  penduduknya  dan  kampungnya  bernama  Sukamulya. Oleh Abah Anom kemudian diganti menjadi Ciptagelar. 

Abah Anom  yang nama  aslinya Encup  Sucipta  sebagai pucuk  pimpinan  kampung  adat  memberi  nama  Ciptagelar sebagai  tempat  pindahnya  yang  baru.  Arti  dari  kata  Cipta gelar adalah terbuka atau pasrah. Kepindahan dari Kampung Ciptarasa  ke  kampung  Ciptagelar  lebih  disebabkan  karena ”perintah  leluhur”  yang  disebut  wangsit.  Wangsit  ini diperoleh  atau  diterima Abah Anom  setelah melalui  proses ritual beliau, dimana hasilnya tidak boleh tidak harus pindah. Oleh  karena  itulah  kepindahan  kampung  adat  bagi  warga Ciptagelar  merupakan  bentuk  kesetiaan  dan  kepatuhan kepada  leluhurnya.  (http://wacananusantara.org/kehidupan‐kolektif‐kebudayaan‐masyarakat‐desa‐ciptagelar/23/4/2013). 

 Sistem Organisasi Adat 

Menurut  keterangan    Abah  Asep  yang  memimpin Kasepuhan Sinar Resmi, dulu Kasepuhan Gunung Halimun di pimpin  oleh  Abah Harjo.  Dia mempunyai  tiga  orang  anak, 

dua orang dari isteri pertama dan satu orang dari isteri kedua. Dari  isteri  pertama    lahir  Abah  Uum  dan  Abah  Ujat, sedangkan dari  isteri kedua  lahir Abah Encup. Setelah Abah Harjo  meninggal  kasepuhan  terpecah  menjadi  tiga  yaitu Kasepuhan  Cipta  Mulya  dipimpin  oleh  Abah  Uum, Kasepuhan  Sinar  Resmi  dipimpin  oleh  Abah  Ujat  dan Kasepuhan  Ciptagelar  dipimpin  oleh  Abah  Anom  (Encup Sucipta).  Setelah  ketiga  orang  tersebut  meninggal  dunia, kepemimpinan  diteruskan  oleh  anak‐anak  mereka berdasarkan keturunan. 

Sekarang  ini  Kasepuhan  Ciptamulya  dipimpin  oleh Abah Hendrik, Kasepuhan  Sinar Resmi dipimpin  oleh Abah Asep  dan  Kasepuhan  Ciptagelar  dipimpin  oleh  Abah  Ugi Sukriana  Rakasiwi.  Ketiga  kasepuhan  ini  terletak  di  Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. 

Pimpinan adat atau Sesepuh Girang diharuskan seorang laki‐laki,  pemilihan  sesepuh  girang  tidak  dipilih  secara langsung  oleh  rakyatnya,  tetapi  berdasarkan wangsit, dalam hal  ini  biasanya  yang  terpilih  menjadi  kepala  adat  adalah salah  satu  anak  dari  ketua  adat  yang menjabat  sebelumnya. Aparatur  sesepuh  adalah  orang‐orang  yang  terpilih  dan dipercaya oleh ketua adat. 

Sistem    pengangkatan  pemimpin  adat  dilakukan  atas dasar  wangsit  yang  diberikan  oleh  leluhur.  Wangsit merupakan petunjuk atau perintah leluhur yang disampaikan kepada  baris  kolot  atau  calon  pemimpin  melalui  mimpi. Keberadaan  wangsit  dilingkungan  masyarakat  kasepuhan Ciptagelar sangat sakral, wangsit merupakan perintah leluhur yang harus dipatuhi tanpa kecuali, tidak boleh ada penolakan atau  pelanggaran,  bagi  yang melanggar  akan mendapatkan kabendon atau musibah.  

88

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

89

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Abah Anom menjadi  sesepuh  girang  sejak  tahun  1982 sampai  tahun  2007.  Setelah  Abah  Anom  meninggal  pada tahun  2007, Kasepuhan  Ciptagelar  dipimpin  oleh Abah Ugi Sukriana  Rakasiwi  anak  dari  Abah  Anom.  Ia  lahir  di  Kampung  Ciptarasa  pada  tanggal  16  Oktober  1985. Pendidikannya sampai pada  tingkat SMA di Pelabuhan Ratu dan pernah mengenyam pendidikan di  Fakultas Kedokteran Sukabumi, tapi tidak selesai, karena merasa bukan bidangnya, dia  lebih  tertarik  pada   masalah  teknologi. Kemampuannya mengutak‐  atik  barang‐barang  elektronik  tersebut  kemudian diwujudkannya  dengan  mendirikan  Radio  FM  dan  stasion Televisi  Ciptagelar.  Pada  mulanya  di  kasepuhan  tidak diperbolehkan menonton  televisi, mendengarkan  radio,  dan menggunakan  telepon,  sekarang  ini  semuanya  sudah diperbolehkan,  mungkin  hal  tersebut  berdasarkan pengalaman Abah Ugi ketika hidup di kota, berbaur dengan masyarakat disekitarnya, dimana  ketika  itu dia  sudah dapat mengakses hal‐hal  tersebut, dan merasakan manfaatnya. Dia diangkat menjadi Abah pada akhir  tahun 2007, dan menikah dengan  seorang gadis dari Pelabuhan Ratu pada awal  tahun 2008.  

Meskipun  bukan  pemimpin  formal,  namun  pengaruh Abah  Ugi  melebihi  kepala  desa,  camat  bahkan  bupati sekalipun.  Menurut  penjelasan  para  tokoh  masyarakat  di Ciptagelar, hingga saat ini Kasepuhan Ciptagelar membawahi 568  sepuh  lembur  (kepala kampung) yang  tersebar di wilayah Kabupaten  Sukabumi,  Bogor  dan  Lebak.  Kasepuhan  ini menurut  pengakuan  mereka  mempunyai  pengikut  jutaan orang  yang  tersebar  diberbagai  kota  seperti  Bogor,  Jakarta, Bandung,  Surabaya,  dan  kota‐kota  dalam Wilayah  Provinsi Banten. Mereka  tergabung dalam organisasi primordial yang 

disebut  Persatuan  Adat  Banten  Kidul.  Sejumlah  kasepuhan (perkampungan)  yang  berada  dalam  kawasan  Gunung Halimun  masing‐masing  dipimpin  oleh  seorang  sesepuh kampung  atau  kokolot  lembur.  Nama‐nama  kampung  atau lembur  tersebut  di  antaranya  seperti  dikemukakan  di  atas. (Jajang Gunawijaya, 2011:13). 

Abah dikenal memiliki  banyak pembantu  atau menteri yang  tersebar dari pusat   hingga ke berbagai daerah.  Secara structural tertinggi kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Ia  didampingi  oleh  sesepuh  induk  yang  dijabat  oleh  bapak Umit.  Sesepuh  induk  merupakan  mediator  untuk mempertemukan    para  kolot  lembur  dengan  abah Ugi,  jika ada  persoalan  adat  atau  persoalan  warga, misalnya  konflik masalah  tanah, maka  biasanya  akan  ditangani  oleh  terlebih dahulu  oleh  kolot  lembur  daerah,  jika  tidak  berhasil  dapat dibawa ke  sesepuh  induk. Umit  sebagai  sesepuh  induk akan berusaha menyelesaikan persoalan  itu.  Jika  tidak  bisa, maka Abah Ugi yang akan menjadi penentu. Tapi selama ini  jarang ada konflik karena warga memegang  teguh aturan adapt. Di tingkat  pusat maupun  daerah  juga  ada  fungsi‐fungsi  untuk menjalankan roda tata kelola adat. 

Sesepuh  girang  membawahi  dua  orang  sekretaris, bendahara dan Baris Kolot/Kepala Urusan. Baris Kolot/Kepala Urusan membawahi  sespuh  lembur  (568 kampung kecil dan 360  kampung  besar).  Struktur  diatas  sebagai  tuntunan managemen  untuk  memperlancar  tugas‐tugas  Abah  dalam melayani warganya. Ke  13  baris  kolot  atau mkepala  urusan adalah  pembantu  Abah  secara  turun  temurun  dan  bersifat sosial  artinya  kerja  dan  jasanya  bagi  kasepuhan  tidak mendapat bayaran atau gaji, karena tugas tersebut merupakan kewajiban  dan  pengabdian  rakyatnya  terhadap  kasepuhan 

90

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

91

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

dan  pemimpin  adat  leluhurnya.  Ke  13  pengurus  adat  yang membantu tugas pemimpin adat adalah: a. Rorokan Pakakas atau petugas adat perawat pusaka yang 

bertugas  memeriksa  perkakaas,  menyiapkan  bahan  dan alat‐alat perdukunan dan pemakayan. 

b. Rorokan  Pamakayan  atau  petugas  adat  pertanian  yang bertugas:  mewakili  Abah  dalam  hal‐hal  yang  terkait dengan  pertanian;  menjalankan  perdukunan  atau pengobatan terhadap warga. 

c. Rorokan  Paninggaran  atau  petugaas  keamanan  dalam bidang  pertanian  yang  bertugas:  mengontrol  lahan pertanian,  memberantas  hama‐hama  yang  mengganggu seprti babi, mencari  ikan atau daging untuk kepentingan pemimpin adat (dengan berburu) tetapi sekarang ini tidak lagi dilakuakan karena warga sudah memelihara ternak. 

d. Rorokan Kepenghuluan atau petugas adat dalam masalah keagamaan,  yang  bertugas:  membimbing  warga  dalam keagamaan,  memimpin  acara  syukuran,  menjalankan syukuran misalnya rajaban, mauludan dan nadaran. 

e. Rorokan Kedukunan atau petugas adat dalam pengobatan yang bertugas untuk: memeriksa rorokan pusaka dibagian perdukunan, mengobati warga yang  tidak ditangani oleh Pamakayan. 

f. Rorokan  Bengkong  atau  petugas  adat  Khitan,  bertugas melaksanakan khitanan, mengatur hajatan di semua warga kasepuhan. 

g. Rorokan  Paraji/Nini  Beurangatur  petugas  adat  urusan dapur  rumah  pemimpin  ada  yang  bertugas:  mengatur dapur di Imah Gede atau wakilemak (sebutan isteri Abah), menyiapkan sesaji yang diperlukan oleh Abah. 

h. Rorokan  Paraji  Hias,  petugas  adat  urusan  merias  yang bertugas:  merias  pengantin,  selamatan  pengantin  yang terkait adat. 

i. Rorokan  Paraji  atau  petugas  adat menyangkut  kelahiran atau  dukun  bayi  yang  bertugas: mengurus  orang  hamil, mengurus orang yang melahirkan, mengatur syukuran 40 hari kelahiran. 

j. Rorokan Panahiban, petugas  adat kebersihan  lingkungan yang  bertugas: mengrus  halaman  Abah  dan  lingkungan Leuit (lumbung), merawat bentungan (tembok batu untuk jalan atau pondasi). 

k. Rorokan Ngebas,  petugas  adat  dalam  pertukangan  yang bertugas  untuk  :  kordinator  semua  tukang  bangunan, memimpin pembangunan dan perbaikan pembangunan. 

l. Rorokan Tatabuhan; petugas adat dibidang kesenian yang bertugas:  mengatur  grup  kesenian,  mengatur  kesenian untuk hajatan 

m. Rorokan  Kapamukaan/Bebentung,  petugas  adat  dalam menjaga keamanan yang bertrugas: menjaga rumah Abah atau  Imah Gede, mengatur  tamu  yang  akan menghadap Abah, mengamankan semua kawasan warga. Selain itu di beberapa kampung ada juga pengawal atau 

ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan  kolot  lembur  jika  bepergian  dinas.  Juga  terdapat pujangga keraton yang bertugas membunyikan kecapi buhun sambil  berpantun,  pada  malam  kedua  perayaan  seren  taun ketika  para  pengunjung  sudah  banyak  yang  pulang.  Isi pantunnya  menuturkan  asal  usul  perjalanan  hidup kasepuhan. 

Kasepuhan juga memiliki perangkat pemerintahan desa, yang  bekerja  lintas  administrasi  desa.  Dalam  satu  wilayah 

92

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

93

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

kampung adat bisa menaungi dan mengayomi beberapa desa. Di  kampung Ciptagelar  ini  tidak  ada  konflik  antara  otoritas pemerintah desa dengan pemerintah adat. 

Di sektor kependudukan, kasepuhan  juga memiliki biro stastika  yang  bisa mengecek  jumlah  penduduk  serta  angka mortalitas  dan  natalitas.  Penghitungan  jumlah  penduduk dibarengkan  dengan  pengumpulan  dana  untuk  keperluan adat   yang disebut pongokan. Tidak hanya  jumlah penduduk, jumlah  pongokan  juga  dihitung  secara  beraturan  yang dipungut berdasarkan perhitungan jumlah hewan piaraan dan kendaraan  yang  dimiliki  warga.  Kepemilikan  hewan  dan kendaraan  mempengaruhi  jumlah  dana  yang  ditarik  dari masing‐masing  keluarga.  Sebab,  dana  seren  taun  ini  juga berasal  dari  pajak  ingon  (hewan  peliharaan)  dan  pajak kendaraan. 

 Sistem Kepercayaan 

Secara  formal  sesuai  dengan  pengakuan  Abah  Ugi, masyakat  kasepuhan Ciptagelar  adalah  beragama  Islam,  hal ini mulai berlaku sejak Abah Ardjo menjadi sesepuh girang di Ciptarasa,  kemudian  diteruskan  oleh  pemimpin  adat berikutnya  (Abah Anom dan Abah Ugi). Meskipun demikian sebagian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih menganut kepercayaan  ”Sunda  Wiwitan”,  Urang  Girang,  atau  Kolot. Tuhan  atau  sistem  kekuasaan  tertinggi  dalam  keprcayan mereka  disebut  sesuai  dengan  sifatnya,  seperti  Sang  Hyang Kresa  (Yang  Maha  Kuasa),  Nu  Ngersaken  (Yang  Maha Berkehendak),  Batara  Jagat  (Penguasa  Alam),  Batara  Seda Niskala (Yang Gaib) dan Batara Tunggal.  

Warga  komunitas  tersebut  meyakini  bahwa  nenek moyang  mereka  berasal  dari  Kerajaan  Pajajaran,  para 

pimpinan  kasepuhan  tersebut  dipercaya  sebagai  orang  yang selalu mendapat wangsit  untuk memimpin  dan memelihara adat  kebiasaan  nenek  moyang  mereka  yang  disebut  tatali paranti  karuhun.  Mereka    diyakini  sebagai  keturunan  Raja Pajajaran  yang  memiliki  sejumlah  karuhun  (nenek  moyang yang  hidup  secara  gaib)  yang  selalu  melindungi, mendampingi, dan memberikan petunjuk kepadanya berupa wangsit‐wangsit atau kekuatan supranatural lainnya. 

Pedoman  tingkah  laku  dan  tindakan  serta  kehidupan sehari‐hari  ialah pikukuh yang bersumber dari Karuhun, yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi. Pikukuh  itu menentukan  bahwa  tempat  bermukim  mereka  harus dipelihara karena menjadi pancer bumi, atau  inti  jagad, yaitu pusat  bumi  yang  membuat  sejahtera  kehidupan  dunia. Kelompok masyarakat Sunda berdasarkan  sistem budya dan struktur  sosialnya  merupakan  kelompok  masyarakat  yang masih  menjalankan  tatanan  kehidupan  seperti  masyarakat Sunda  lama,  dari masa  sebelum  pengaruh Hindu masuk  ke Jawa Barat. 

Monoteisme  sudah  merupakan  landasan  beragama orang Sunda  sejak dahulu kala ketika Karuhun orang Sunda menganut  agama  Sunda  Wiwitan  atau  agama  Sunda  Asli. Semua  dewa  dalam  konsep  agama Hindu  (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama dll), tunduk kepada Batara Seda Niskala. (Edi.S.Ekadjati; 1995: 73). Konsep dewa dari India disesuaikan dengan  sitem  kepercayaan  lokal  yang  monoteistis.  Akar monoteisme  itu  sering  dijadikan  alasan  logis  bila  orang mempertanyakan  proses  masuknya  Islam  ke  Tatar  Sunda yang relatif mudah. 

Dari  sembilan wali  yang menyebarkan  agama  Islam di Pulau  Jawa,  hanya  satu  yang menyebarkan  ajaran  Islam  di 

94

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

95

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

wilayah Tatar Sunda., yaitu Sunan Gunung Jati. Hal ini sejalan dengan  apa  yang  dikatakan  oleh  sesepuh  warga  yang mengatakan  bahwa  keputusan  mereka  untuk  masuk  Islam adalah  karena  Islam mudah  dan  tidak memaksa. Walaupun awalnya mereka  enggan masuk  Islam  namun  seiring waktu dan  berubahnya  pandangan mereka  terhadap  Islam  sebagai agama yang damai mereka mau mengikuti dan menjalankan ajarannya.. 

Pada  masa  Aki  Ardjo  masyarakatnya  telah  mengenal agama  Islam,  bahkan  sebagian  dari  mereka  telah  memeluk Islam.  Seperti  kita  ketahui  bahwa  asal  usul  masyarakat Kasepuhan  Ciptagelar  berasal  dari  rakyat  kerajaan  Sunda yang  bercorak Hindu  di  Jawa  Barat. Kedatangan mereka  ke gunung  Kendeng  merupakan  penolakan  terhadap  Islam, namun  dalam  perkembangan  selanjutnya  Islam  mulai diterima di tengah‐tengah masyarakatnya. Islam yang datang dengan  damai  dan  tanpa  paksaan  menarik  mereka  untuk memeluk Islam. Walaupun begitu, masyarakat yang memeluk Islam masih menjadi minoritas. Selain  itu dalam pelaksanaan syariat  Islam  masih  bercampur  dengan  tradisi  Hindu,  hal tersebut  tidak  menjadi  kendala  bagi  agama  Islam,  karena Islam masuk  secara  damai  penuh  dengan  penyesuaian  dan kemudahan, sehingga tidak memberatkan umatnya. 

Masyarakat  yang memeluk  Islam  dan  Sunda Wiwitan dapat  hidup  berdampingan  dan  saling  menghormati.  Aki Ardjo  tidak  melarang  dan  membatasi  warganya  yang berkeinginan  memeluk  Islam.  Selama  mereka  dapat  hidup berdampingan  dan  mematuhi  pikukuh  Sunda  yang merupakan  warisan  nenek  moyangnya.  Kebijakan  tersebut terus berlanjut hingga kepemimpinan Abah Ugi sekarang  ini, sehingga  penganut  Islam  semakin  berkembang.  Fasilitas 

tempat  ibadah masih  kurang,  karena  hanya  tersedia  sebuah langgar  yang  tidak  terlalu  besar.  Aktifitas  sehari‐hari dilanggar  tersebut  adalah  shalat  Maghrib  berjamaah,  dan kegiatan belajar mengaji bagi anak‐anak kecil yang diikuti 20 orang  anak. Mereka  yang menjalankan  syariat  Islam  secara sempurnah masih merupakan minoritas. Diperoleh  informasi akan  dibangun  sebuah mushalla  yang  cukup  besar,  dibekas tempat pemandian isteri Abah. 

Dalam  tatali  paranti  karuhun,  dijabarkan  juga  tentang keyakinan  Masyarakat  Kasepuhan  yang  telah  dipengaruhi oleh Islam yaitu tentang adanya pemahaman ”lain selam lawas, lain selam anyar  tapi selam pangandika gusti rasul’  (bukan  Islam lama,  bukan  Islam  baru,  tapi  Islam  yang  mengikuti  ajaran Rasul).  Dari  ungkapan  keyakinan  tersebut,  hal  yang  sangat mendasar adalah pengertian ”pangandika” atau uacapan dan perilaku  (sunnah) menurut  kehendak  Sang  Pencipta.  Secara mendalam  pemahaman  tersebut  termuat  dalam  istilah  tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta‐eta keneh. Atau hubungan timbal balik  dari  Ucap‐Tekad‐Lampah;  Syara‐Buhun,Negara,  Papakean‐ Nyawa‐Raga. Yang bisa diartikan bahwa setiap tindakan harus diawali dengan niat dan  tekad yang kuat; adat  istiadat selalu berdasarkan  syariat  agama  dan  tidak  bertentangan  dengan aturan negara; dan hubungan  adat‐  agama/spiritualitas   dan aturan  negara  diibaratkan  seperti  tubuh  manusia  yang memiliki  jasad,  nyawa,  dan  ditutupi  oleh  pakaian.  Bisa dibayangkan  jika  kehidupan  meninggalkan  adat  istiadat beserta  kearifan  lokalnya,  bagaikan  sosok  manusia  yang mempunyai raga, berpakaian, tetapi tidak ada nyawanya, atau seperti  jasat  yang mati  (bangkai).  Bangkai  seperti  kita  tahu, ditutupi  pakaian  secantik  apapun  akan  menyebarkan  bau tidak sedap kemana‐mana. 

96

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

97

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Tiga  aspek  diatas  merupakan  hal  yang  harus  selalu diperhatikan  dalam  kehidupan  masyarakat  dan  diyakini merupakan  pandangan  dan  sikap  hidup  Masyarakat  Adat Kasepuhan.  Tekad, Ucap  dan  Lampah merupakan  cerminan ucapan dan  tingkah  laku yang harus berlandaskan niat yang dapat  dipertanggung  jawabkan,  yang  secara  kemanusiaan keadaan  tersebut  merupakan  atas  unsur  jiwa,  raga,  dan prilaku  yang  harus  selaras.  Makhluk  hidup  berpakaian mengandung makna  bahwa  ” Masyarakat  Adat  Kasepuhan memiliki  kebudayaan  tersendiri”, makna  pakaian  dalam  hal ini merupakan cerminan akhlak dan sikap mental. Budaya ini dibangun  berdasar  keyakinan masyarakat  kasepuhan  bahwa ada  hal‐hal  yang  ingin  dijaga  atau  dilindungi.  Dengan lambang  pakaian  dimaknakan  sebagai  penutup  aurat  yang berarti simbol yang akan memperlihatkan jati diri masyarakat yang  berupa  aturan,  adat  dan  agama. Ketiga  aspek  tersebut juga  menggambarkan  tentang  peleburan  antara  buhun (kepercayaan  adat Masyarakat  Kasepuhan),  nagara  (negara) dan  syara  (agama). Peleburan  seperti  ini yang menunjukkan adanya  sikap  terbuka  dan  pengakuan  terhadap  perubahan bernegara  (dari  kerajaan  Padjadjaran  menjadi  Pemerintah Indonesia) dan kehadiran keyakinan yang lain (Islam). 

Meskipun  mereka  telah  memeluk  agama  Islam, masyarakat  masih  mengadakan  ritual  yang  tidak  terdapat dalam  agama  Islam  seperti  ritual  Ngembang,  sebuah  acara untuk  meminta  restu  dan  perlindungan  kepada  leluhur sebelum melakukan kegiatan dengan cara mendatangi leluhur pemimpin  adat  dari  generasi  pertama  sampai  generasi kesepuluh  dengan  melakukan  arakan  yang  diikuti  oleh sebagian warganya. Ritual Ngembang merupakan  salah  satu contoh  ritual  yang  selalu  dilakukan  Abah  beserta  keluarga 

dan  rakyatnya  terutama  sebelum dilakukan acara  seren  taun agar  acara  tersebut  dapat  berjalan  lancar  dan  diberi keselamatan bagi seluruh warganya. 

Segala  tingkah  laku  dan  kebiasaan  hidup  sehari‐hari diatur  oleh  aturan  adat,  seperti  dalam  berpakaian  selalu memakai  pakaian  adat  dengan  stelan  yang  serba  hitam  dan ikat  kepala  bagi  laki‐laki  dan  kebaya  sederhana  dengan paduan  samping  atau  semacam  sarung  bagi  perempuan. Pembagian  tugas  dalam  kegiatan  sehari‐hari  telah  berjalan sesuai dengan kodratnya, yaitu perempuan mengurus rumah tangga  dan  laki‐laki  bekerja  mencari  nafkah  bagi  seluruh keluarganya. 

Dalam melaksanakan  upacara‐upacara  lingkaran  hidup dan  pertanian  disertai  doa  secara  agama  Islam  walaupun masih bercampur dengan doa yang berbahasa Sunda. Untuk membacakan  doa‐doa  tersebut  dilakukan  oleh  petugas  yang disebut  dengan  penghulu.  Menurut  Aki  Rahman,  tugas seorang penghulu antara  lain memimpin doa dalam upacara adat secara  Islam  (membaca yasin), mengurus mayit/jenazah, doa syukuran, dan menyembelih hewan (ayam/kambing). 

Sebagai contoh doa yang dibaca oleh Aki Rahman dalam upacara  Rasulan:  ”Asemak  asemik  ti  adhabi  adhabik,  kulubina wakulubina wajaeban aerin wama kubrotin, falawatin halimin hibkin arja  arji  kena  saomalam  labisin,  kaobal  jkausen,  ibnu  abdul manaf ibnu abdul mutholib birohmatika yaa arhamarrohimin.” 

Adapun doa  selamat:  ”Allahumma  afsil  sawaba wakiri atiina  watahlilina  washodaqotina  abaaina  Muhammadin shollallahu  alaihissalam,  jami’il  anbiyai  wal  auliyail walfuqoha  wasyuhada  washsholihina min masyarikina  ardi ila  maghribiha  wajamiil  muslimiina  wal  mu’minina  wal mu’minati  al  ahyau  minhum  wal  amwat  birohmatika  yaa 

98

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

99

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

arhamarrohimin”  doa‐doa  ini  digunakan  untuk  mipit, menanam padi.” 

Doa  kelahiran  bayi,  menurutnya  baca  doa  selamat: ”Allahumma  salamatan  alaina  fiddini,  wa  afiyatan  fil  jasadi  wa ziyadatan  fil  ilmi, wa  barokatan  fi  rizki  ea  taubatan  qoblal maut, warohmatan  indal maut, wa maghfirotan ba’dal maut, Allahumma hawwin alaina fi saaratul maut, qannajata minannari, walafwa indal hisaab.Robbana  la  tuzighqulubana  ba’da  izhadaitana  milladunka   rohmatan,  wa  rohmatan  antal  wahab  waqina  azabannar.” (wawancara dengan Aki Rahman, 27 April 2013). 

Dari  cuplikan  doa  diatas  nampak  sekali  bahwa pengetahuan penghulu  tersebut dalam masalah agama masih sangat kurang, hal itu wajar saja karena memang Aki Rahman tidak  pernah  sekolah  formal  baik  sekolah  agama  maupun umum,  sehingga  dia  tidak  dapat membaca  huruf  latin. Hal tersebut menjadi  hambatan  bagi dia untuk menambah  ilmu. Untuk  itu  pembinaan  terhadap  penghulu‐penghulu dibeberapa  kasepuhan  sangat  perlu  menjadi  perhatian Kementrian Agama. 

 Ajaran Karuhun Tentang Kehidupan 

Masyarakat  Kasepuhan  adalah  masyarakat  tradisional yang  lekat  dengan  aturan  hidup  dari  leluhur,  tidak  hanya mengenai hubungan mereka dengan leluhurnya tetapi aturan yang  diterapkan  dalam  kehidupan  sehari‐hari.  Bagi mereka pantang meninggalkan  aturan  hidup  dalam  setiap  kegiatan mereka  sehari‐hari,  karena mereka percaya  bahwa  apa  yang mereka  dapat  pada  hari  itu  karena  bukti  kasih  sayang leluhurnya,  begitu  juga  keselamatan  yang  selalu  menyertai kehidupan masyarakatnya merupakan limpahan dari leluhur. 

Pandangan  dan  ajaran  yang  harus  dipatuhi  oleh Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah: 1. Yakin kepada amanat leluhur yang diberikan kepada anak 

cucunya. 2. Harus melestarikan adat leluhur 3.  Harus bisa mengayomi hidup dengan tatacara leluhur 4. Nyaur  kadu  diukur; Nyabda  kadu  ditunggang;  bekasna 

bisa ngalakan ( berbicara harus benar; ucapan harus tepat jangan salah bicara, karena dapat mencelakakan). 

5. Mipit  kudu  amit;  ngala  kudu  menta;  make  suci,  dahar halal; ulah maen kartu, maen dadu; madat;  jinah; ngrinah tanpa wali  (memetik harus  izin; mengambil harus minta; makai apa saja mesti yang suci dan bersih; memakan yang halal;  jangan  berjudi;  madat;  berjinah  sebelum  ada perkawinan). 

6. Kudu  bagi  rasa,  rumasa,  ngarasa  kudu  hate  tekad,  ucap jeung  lampah,  kudu  akur  jeung  dulur,  hade  carek  jeung saderek,  kabatur  tunggal  makena  (harus  rukun  dengan saudara, bicara baik dengan orang, terhadap orang tinggal menerapkan) 

7. Kudu sarende saigel, sababad, sapi hancam (Ringan sama dijinijing, berat sama dipikul). 

8. Kudu jadi takeucik saleuwi, kudu jadi buyur sacing keung (Harus jadi satu wadah, tujuan dan haluan). Pandangan  hidup  masyarakat  ciptagelar  mengajarkan 

bahwa mereka  harus  dapat mensyukuri  anugerah  dan  rizki yang  didapat  sekecil  apapun  setiap  harinya,  karena  dengan rasa  syukur  itu  akan  mendatangkan  rizki  yang  lebih melimpah  dan  membuat  rezki  yang  mereka  dapat  lebih barokah atau  lebih bernilai. Selain  itu harus bersyukur dalam hidupnya,  masyarakat  ditutuntut  untuk  selalu  sadar  diri, 

100

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

101

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

dalam  arti  tidak  boleh  sombong dan  angkuh. Apa yang  ada didalam  diri  kita merupakan  sebuah  pemberian  dan  titipan yang harus dijaga, karena  akan diambil kembali  oleh Tuhan yang Maha Esa. Leluhur sangat benci terhadap kesombongan karena dapat merusak diri dan menimbulkan penyakit. 

Adapun adat  istiadat dalam menanam padi yang harus dipatuhi oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah: 1. Menanam padi hanya satu kali dalam setahun 2. Dalam  menanam  padi  harus  menggunakan  padi  lokal 

yang sekarang varietasnya ada 100 jenis. 3. Padi tidak boleh digiling 4. Beras tidak boleh di jual 5. Tidak boleh memasak diatas  tanah dan harus mengguna‐

kan tungku. Dalam  kehidupan  sehari‐hari,  masyarakat  adat 

Kasepuhan Ciptagelar, memakai ikat kepala adalah kebiasaan laki‐laki yang  tidak boleh ditinggalkan,  terutama bila berada dilingkungan  Imah  Gede.  Makna  dari  kebiasaan  tersebut sebagai  simbol  ajaran  hidup  yang  mengerti  dirinya  sendiri dan  lingkungan  hidup.  Hal  itu  dilambangkan  dengan  kain kepala  yang mempunyai  4  sudut  yang menunjukkan  4  arah mata  angin  kehidupan,  dan  lipatan  segitiga  yang  ujungnya mengarah  kebawah  sebagai  simbol  pengingat  diri. Manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan orang lain. 

Walaupun  aturan‐aturan  tersebut  diturunkan  secara lisan  dari  generasi  kegenerasi,  tetap  mempunyai  kekuatan yang  mengikat  masyarakatnya.  Sesepuh  girang  sendiripun akan mendapatkan sanksi atau hukuman bila melanggar adat. 

   

Upacara‐Upacara Di Kasepuhan  Ciptagelar Sebagian besar anggota komunitas  ini bekerja  sebagai 

petani,  maka  upacara‐upacara  yang  banyak  dilaksanakan berkaitan  dengan  pertanian. Upacara  yang  dimaksud  terdiri dari: 1.   Carita.  Sebelum  memulai  aktivitas  dalam  bertani  maka 

dilakukan kegiatan cerita secara  lahir maupun batin yang tujuannya  untuk meminta  doa  restu.  Carita  secara  lahir dilakukan  kepada  ibu/bapak,  sedangkan  secara  batin dengan  cara  ziarah  ke  kubur. Dalam  konteks  perubahan iklim,  semua  petunjuk  penetapan  bertani  ditentukan secara  komunal  oleh  sesepuh  adat.  Hal  ini  akan dibicarakan  pula,  tentang  ketentuan‐ketentuan  jenis  padi yang  akan  ditanam  di  lahan  adat  dengan  merespon kondisi alam. 

2.   Ngaseuk,  pelaksanaan  tatanen  (bercocok  tanam)  yang diutamakan  adalah  berhuma.  Langkah  awal  yang dilakukan  sebelum  tatanen  di  huma  (ngaseuk)  adalah menyiapkan  ”pupuhan”  (bagian  dari  areal  huma  yang berbentuk bujur sangkar dengan luas 1 meter persegi yang berfungsi  sebagai  tutuwuh/pancer  (patokan/pusat)  di huma).  Bagi  masyarakat  kasepuhan,  pupuhunan merupakan  lambang  dari  gambaran  awal  dan  akhir kehidupan  manusia.  Pada  pupuhunan  masyarakat  akan bisa memprediksikan dan mengantisipasi pola tanam yang harus  dilakukan  agar mendapatkan  hasil maksimal  dan tidak  merusak  alam.  Masyarakat  Kasepuhan  meyakini bahwa pupuhunan merupakan  tempat menyatunya Dewi Padi, bumi dan alam semeseta. 

2.   Mipit,  kegiatan  memanen  padi  dihuma  diawali  dengan membaca doa amit dan pemanenan padi pertama (indung 

102

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

103

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

pare) di pupuhunan oleh sesepuh girang. Setelah selesai di pupuhunan,  kegiatan  memanen  dilanjutkan  ke  seluruh huma oleh para warga Kasepuhan. 

3.   Ngadiukeun,  sesudah  semua  padi  dipanen,  dilakukan penjemuran  padi  ”dilantai”  selama  kurang  lebih  satu bulan,  kemudian  baru  dimasukkan  ke  lumbung (ngadiukeun).  Konsep  ngadiukeun  bukan  sekedar menyimpan  padi  di  leuyit  (lumbung  padi),  tetapi  lebih pada  mencontohkan  bagaimana  pranata  ekonomi  lokal dikembangkan  dikalangan  kasepuhan.  Dengan  2  jenis lumbung padi  (lumbung padi pribadi dan  lumbung padi kasepuhan), pola ketahanan pangan tradisonal yang relatif stabil  telah  teruji  selama  berabad  lamanya.  Tentunya pranata  lokal  ini  terbentuk  atas  respon/adaptasi  dari perubahan dan ketidak pastian alam termasuk didalamnya perubahan iklim. 

4.    Nganyaran,  sesudah netepkeun pare di  leuyit, dilakukan nganyaran yaitu upacara meminta izin kepada Nu Bogana (Tuhan  yang  memiliki  segala  sesuatu)  untuk  mulai mengkonsumsi padi yang baru dipanen. 

5.   Pongokan, sesudah padi dianyarkeun, kemudian diadakan serah  pongokan  yaitu  mengistirahatkan  tanah/bumi selama  21  hari  (3  minggu)  dan  meminta  restu  serta maafnya  karena  telah mengotori/menggaruk  bumi untuk keperluan  hidup  dalam  satu  tahun  lamanya.  Pada kesempatan  ini  juga  para  baris  kolot  berkumpul  untuk membahas jumlah jiwa yang harus membayar pajak untuk keperluan upacara seren taun. 

6.   Seren  Taun,  adalah  puncak  acara  dari  segala  kegiatan masyarakat  Kasepuhan  yang  dilakukan  hanya  di kampung  gede  setiap  tahunnya.  Upacara  besar  dalam 

menghormati  leluhur dan dewi Sri, dengan segala bentuk seni dan kesenian dari yang sangat buhun  (lama) sampai seni  yang  modern  ditampilkan  untuk  masyarakat,  dan padi  dibawa  dan  diarak  dengan  diiringi  oleh  orang banyak, untuk kemudian disimpan di  lumbung komunal Leuit Si Jimat. 

7.   Upacara  nebar,  adalah  selamatan  menabur  benih  padi menandai  permulaan musim  tanam. Waktu  pelaksanaan biasanya  1  bulan  setelah  upacara  seren  taun,  yang ditentukan oleh Abah dan baris sepuh.  

       Selain  upacara  yang  berkaitan  dengan  pertanian, masyarakat  juga  melaksanakan  upacara  lingkaran  hidup, seperti  upacara  sekitar  kehamilan,  kelahiran,  sunatan  dan perkawinan. Upacara  ini  sepenuhnya dikontrol  oleh  otoritas adat kasepuhan, bahkan perkawinan baru sah secara adat bila telah direstui oleh Abah. 

Upacara penyucian benda‐benda pusaka (upacara ngumba pakarang),  berlangsung  setiap  tanggal  15  bulan Maulid.  Inti dari  acara  ini  adalah  pencucian  benda‐benda  pusaka  yang terdiri  dari  berbagai  jenis  senjata  tradisional,  jimat‐jimat, benda‐benda keramat lainnya hingga perangkat gamelan baik milik  kasepuhan  ataupun  milik  orang‐orang  yang  menjadi pengikut Abah yang berasal dari berbagai kota atau daerah. 

Disamping  upacara  yang  menyangkut  pertanian  dan lingkaran  hidup,  juga  terdapat  upacara  selamatan  Rasulan (permohonan),  selamatan  Berebes  (menghindarkan  masalah karena pelanggaran) dan sedekah Maulud dan Rewah (saling mengirim makanan). 

Abah sebagai pimpinan kasepuhan dapat menyelenggara‐kan  pergelaran  kesenian  tradisional  Sunda  setiap  tanggal  14 penanggalan  setempat  bertepatan  dengan munculnya  bulan 

104

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

105

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

purnama.  Pergelaran  itu  sangat  diminati  oleh  warga kasepuhan maupun warga  dari  luar  kasepuhan  yang  secara suka rela datang ke pusat kasepuhan untuk menyaksikan event tersebut. 

Legitimasi  adat  yang  dimiliki  Abah  sebagai  pemimpin adat  tertinggi  itu,  menyebabkan  ia  memiliki  kewenangan untuk  mengontrol  tradisi  agar  tetap  dijalankan  oleh warganya, memiliki kesempatan untuk menciptakan berbagai bentuk  kreasi  baru  mulai  dari  bentuk‐bentuk  kesenian, pelaksanaan  berbagai upacara adat,  maupun praktik‐praktik sosial lainnya. Kreasi baru itu diterima dan dilaksanakan oleh warga masyarakatnya  karena  telah  dikemas  dengan  simbol‐simbol tradisi lama oleh inisiatornya. 

  Pelayanan Hak‐Hak Sipil 

Pelayanan  hak‐hak  sipil  yang  dimaksudkan  dalam penelitian  ini  adalah  pelayanan  dalam masalah  perkawinan, akte kelahiran, Kartu Tanda penduduk, dan pendidikan. 

Secara  formal  masyarakat  Kasepuhan  Ciptagelar menganut  agama  Islam maka  pelayanan  hak‐hak  sipil  tidak mengalami  hambatan.  Perkawinan  dilakukan  secara  agama Islam,  oleh  sebab  itu untuk melayani mereka  telah diangkat seorang  Amil  (Beni  Supritna,  SAg),  untuk  tingkat  Desa Sirnaresmi,  yang  juga  membawahi  kampung  Ciptagelar. Perkawinan mereka  tidak selalu dilaksanakan di kantor KUA, karena  terkadang  dilaksanakan  di  tempat  tinggal    pihak perempuan. Hanya  saja  ada  keluhan mahalnya  biaya  nikah, dengan  alasan  daerahnya  sulit  dijangkau  oleh  transportasi. Ketika peneliti dilapangan, umumnya warga sudah mengenal Bapak Amil,  karena  sudah  sering datang  ke daerah  tersebut  untuk menikahkan warga setempat. 

Kolom agama dalam KTP, di cantumkan agama Islam, hal tersebut terbukti dari KTP yang dimiliki oleh Bapak Umit Sumitra, seorang Kepala Kampung Induk (Ciptagelar), setelah kita lihat memang dicantumkan agamanya Islam. Bahkan KTP yang  diperlihatkan  kepada  peneliti,  sudah  dalam  bentuk  e‐KTP,  hanya  peneliti  tidak  melihat  KTP  warga  lainnya. Menurut  keterangan  Pak  Umit,  warga  lainnya  juga mencantumkan  Islam  sebagai  agamanya,  karena  memang sejak generasi ketiga pimpinan Kasepuhan  telah menyatakan Islam  sebagai  agama  masyarakat  Kasepuhan,  hanya masyarakat  Baduy  yang  diharuskan  tetap  memeluk  agama Sunda Wiwitan. 

Mengenai  akte  kelahiran,  belum  semua  warga  mengurus  akte kelahiran bagi anak‐anaknya. Hanya sebagian yang  sudah  mengurus  akte  kelahiran,  untuk  kepentingan anaknya dimasa depan ketika mau masuk  sekolah. Memang sejak Abah Anom menganjurkan agar warga menyekolahkan anaknya  untuk  bersekolah,  sudah  banyak  anak‐anak  yang bersekolah  SD  dan  SMP. Untuk  sekolah  SMA masih  jarang, karena harus keluar kampung (Pelabuhan Ratu). Sekarang ini sudah berdiri sekolah SD yang didirikan pada tahun 2000 dan hingga  sekarang  muridnya  sudah  mencapai  ratusan  orang, disekolah  tersebut sudah  tersedia guru agama Islam honorer, anaknya  Pak  Umit  Sumitra.  Dengan  demikian  anak‐anak setempat sudah memperoleh pelajaran agama Islam, dari guru agama  tersebut. Ketika  seorang anak ditanya apakah mereka menerima  pelajaran  agama  disekolah,  dia  mengatakan  ia sudah menerima. 

Dari  uraian  diatas,  ternyata  pelayanan  hak‐hak  sipil sudah tidak menjadi masalah lagi bagi masyarakat kasepuhan Ciptagelar,  hanya  proses  dalam  pelayanan  tersebut  yang 

106

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

107

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

masih  menjadi  hambatan  terutama  dalam  masalah transportasi. 

 Relasi Sosial dengan Masyarakat Luar 

Sejak  Abah  Anom  menjadi  pimpinan  Kasepuhan Ciptagelar,  sangat  terbuka  dengan  dunia  luar,  hingga demikian,  maka  hubungannya  dengan  masyarakat  diluar kasepuhan sangat mungkin terjadi. 

Dengan terbukanya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, sangat  memungkinkan  terjadinya  interaksi  antara  warga kasepuhan  dengan  masyarakat  sekitar  dan  pemerintahan. Berdasarkan  wawancara  dengan  pimpinan  kasepuhan  dan pemuka  masyarakat  Kecamatan  Cisolok,  terjadi  hubungan yang  harmonis  diantara  kedua  belah  pihak.  Sepanjang sejarahnya hanya terjadi satu konflik antara warga kasepuhan dan  masyarakat  sekitar.  Hal  tersebut  terjadi  karena masyarakat  kasepuhan masih memegang  adat  leluhur  yang mengajarkan  hidup  saling menghormati  dengan  orang  lain. Masyarakat sekitar menganggap warga kasepuhan berprilaku sangat sopan, dan selalu menjaga perkataan dari hal‐hal yang menyakitkan orang lain. 

Sekarang ini hampir setiap minggu, banyak tamu yang datang  berkunjung  ke  Kasepuhan,  dan  diterima  dengan penuh ramah  tamah. Tamu yang rutin datang setiap minggu adalah  kelompok  offroad,  mereka  datang  dari  berbagai daerah.  Selain  itu  masyarakat  berkunjung  ke  Kasepuhan setiap malam bulan purnama (12‐13 bulan qomariyah), karena pada  saat  tersebut  diadakan  pertunjukkan  kesenian, diantaranya  musik  dangdut,  yang  menjadi  kegemaran masyarakat setempat. Selain  itu setiap  tahun ada acara seren taun  yang  juga  ramai  dikunjungi  masyarakat  dari  luar 

kasepuhan,  bahkan  banyak  tamu  yang  datang  dari  tempat‐tempat  jauh  seperti  Jakarta,  Surabaya,  dan  Palembang. Demikian pula banyak warga yang bekerja di Pelabuhan Ratu, dan menjadi  tukang  ojek,  yang  sudah  pasti  terjadi  interaksi ditempat kerja  mereka masing‐masing. 

Hubungan  mereka  dengan  pemerintah  setempat terjalin sangat baik, karena dalam ajaran mereka harus selalu menghormati  pemerintah,  ngahulu  ka  hukum,  nyanghunjar  ka nagara  ( hidup harus  taat pada hukum, dan berlindung pada negara).  Selain  itu  ada  kesatuan  antara  Syara’,  Buhun  dan Negara.  Pemerintah  telah  memberikan  bantuan  berupa bangunan  Puskesmas,  sebuah  sekolah  dasar  (SD),  sebuah gedung  untuk  balai  pertemuan,  yang  dibangun  oleh  Dinas Sosial Kabupaten Sukabumi. Selain itu pada acara Seren Taun, Dinas Pariwisata turut berpartisipasi diantaranya memberikan bantuan  tenda  untuk  para  tamu  berteduh.  Dalam pembangunan  pembangkit  tenaga  listrik  ada  bantuan  dari Jepang, disamping swadaya masyarakat setempat. 

Pembangunan  menara  (tower)  telepon  seluler bekerjasama  dengan  Indosat  dan  Telkomsel,  sehingga hubungan telepon seluler (HP) sudah dapat diterima didaerah ini dengan baik. 

Selain  itu  yang  diharapkan  oleh  mereka  terhadap pemerintah  adalah  agar  dapat  dilakukan  pengaspalan  jalan yang sekarang masih berupa  jalan berbatu yang masih sangat sulit dilalui oleh kendaraan, pada hal  jalan‐jalan yang berada di provinsi Banten umumnya sudah diaspal. Sehingga banyak juga  kendaraan  yang  akan menuju  Ciptagelar melalui  jalan lingkar dari daerah Banten, walaupun jalannya menjadi jauh. 

  

108

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

109

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

PENUTUP  

Kesimpulan 1. Kepercayaan  Masyarakat  Kasepuhan  Ciptagelar  masih 

tetap  eksis,  karena  kepercayaan  tersebut  masih  terus dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi, dan  adanya  keyakinan  bahwa  barang  siapa  yang melanggar  aturan  adat  akan  memperoleh  tulah  dari leluhur (karuhun). 

2. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar secara formal mengaku beragama  Islam,  tetapi  dalam  kenyataannya  terjadi sinkretisme  antara  ajaran  Islam  dengan  kepercayaan karuhun. Bahkan sebagian besar masyarakat lebih banyak mengamalkan ajaran karuhun daripada syariat Islam. 

3. Relasi  sosial  antara  masyarakat  Kasepuhan  Ciptagelar dengan  masyarakat  sekitar  dan  pemerintah    terjalin dengan  baik,  meskipun  mereka  menjalankan  ajaran leluhur  yang menekankan  hidup  selaras  dengan  Tuhan, manusia dan alam sekitar. 

4. Pelayanan  hak‐hak  sipil  warga  Kasepuhan,  sudah diberikan oleh pemerintah  sesuai dengan peraturan yang berlaku dan mereka menerimanya. Namun demikian ada satu  hal  yang  mereka  inginkan  dari  pemerintah  agar  dapat membangunkan jalan aspal. 

 Rekomendasi 1.   Masyarakat  Kasepuhan  Ciptagelar,  karena  mengaku 

beragama  Islam,  dan  masih  mengamalkan  ajaran  yang dianggap  sinkretis, maka  sebaiknya Kanwil Kementerian Agama menugaskan   penyuluh agama untuk bertugas di daerah  tersebut.  Pendekatan  yang  digunakan  adalah 

pendekatan  budaya,  dalam  arti  upacara‐upacara  yang dilakukan diberi warna Islam. 

2.   Pemerintah setempat, sebaiknya  memperhatikan tuntutan masyarakat,  agar  mereka  tidak  merasa  adanya deskriminasi  dengan  masyarakat  yang  ada  di  daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten. 

    

110

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

111

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA  

Agus Hermawan Atmadilaga et.al: Ekspedisi Geografi Indonesia, Cibinong, Bakosurtanal, 2005. 

Berger, Peter,L, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial,  terj. M.Fanani, Jakarta, LP3ES, 1991. 

‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐,  Kabar  Angin  dari  Langit:  Makna  Teologi  dalam Masyarakat  Modern,  terj.Salihin,  Jakarta,  LP3ES, 1992. 

Dove,  Michael:  Peran  Kebudayaan  Tradisonal  Indonesia  dalam Modernisasi  (Penyunting),  Jakarta,  Yayasan  Obor Indonesia, 1985. 

Eliade,  Mircea,  The  Sacred  and  the  Profane:  The  Nature  of Relegion, Harcourt: Brace & World Inc, 1959. 

Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka Jaya, 1981. 

Humaedi, M.Alie, Pandangan Hidup Orang Tau Taa di Vananga Bulang Tojo Una‐una, Jakarta, LIPI Press, 2009. 

‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐,  Ekspedidi  Menuju  Tuhan,  Yogyakarta,  Valia  Press, 2011. 

Jajang  Gunawijaya:  Tatali  Paranti  Karuhun:  Invensi  Tradisi Komunitas Kasepuhan Gunung Halimun Di  Sukabum, Jawa Barat, Disertasi, UI, Jakarta,  2011.   

Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan  Keagamaan,  Dinamika  Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonseia, Jakarta, 2010. 

‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Perkembangan Paham Keagamaan Lokal  di  Indonesia, Jakarta, 2011. 

Kusnaka  Adimihardja,  Kasepuhan  yang  Tumbuh  di  Atas  yang Luruh, Bandung, Tarsito, 1992. 

Koentjaraningrat,  Beberapa  Pokok  Antropologi  Sosial,  Jakarta, Grafiti Press, 1980. 

Mas’ud, Abdurrahman: Menyikapi Keberadaan Aliran Sempalan, Jurnal DIALOG, No 32, Tahun 2009. 

N.Septiarini: Kearifan Tradisional di Kawasan Ekosistem Halimun, http://www.rareplanet.org/en/node/28788,  di unduh tanggal 25/04/2013). 

Sheldon,W.H,  The  Varieties  of  Temperament:  A  Psychology  of Constitutional  Differences,  New  York:  Harper &Brother, 1942. 

112

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

113

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

         

AGAMA/KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN  SUKU BADUY DI DESA KANEKES LEBAK BANTEN 

 Oleh :  

Asnawati  

GAMBARAN UMUM WILAYAH   

Geografis dan Demografis Suku Baduy Masyarakat  Baduy  bertempat  tinggal  di  tanah  adat 

(ulayat)  di  daerah  pedesaan  di  antara  perbukitan  dan pegunungan  Kendeng,  yakni  Desa  Kanekes,  Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Letak desa Kanekes sekitar 17 kilometer sebelah selatan Kota Kecamatan Leuwidamar. Desa Kanekes berjarak sekitar 40 Km dari Kota Rangkasbitung,  dan  dari  Serang  ±  95  Km  dan  dari  Jakarta sebagai  Ibu  Kota  Negara  berjarak  sekitar  150  Km.  Desa Kanekes  yang  berhawa  sejuk  berada  pada  ketinggian  dari permukaan laut berkisar antara 200‐300 meter di bagian utara dan  900‐1000 meter  di  bagian  selatan  dengan  suhu  berkisar antara  16ºC  ‐  30ºC.  Tanahnya  berbukit‐bukit  dengan kemiringan  antara  30  hingga  70  derajat.  Perbukitan  itu kemudian  membentuk  gunung‐gunung,  sehingga  dapat dikatakan  bahwa  masyarakat  Baduy  bermukim  di  gunung. (Abdul Aziz, 1989/1990: 5).  

Untuk menuju  Kota  Rangkasbitung  bila  tidak  dengan kendaraan sendiri, maka dapat menggunakan kereta api dari Tanah  Abang  menuju  Rangkas  dengan  ongkos  Rp.4.000,‐. Kemudian  perjalanan  dilanjutkan  dengan  menggunakan angkutan  kota  (angkot) menuju  terminal  Aweh  di  Rangkas dengan  tarif  Rp.  3.000,‐.  Dari  terminal  Aweh  perjalanan dilanjutkan  dengan  menggunakan  angkutan  umum  Elf dengan  tarif  Rp.  15.000,‐  sampai  terminal  Ciboleger  yang berbatasan  dengan  perkampungan  Wisata  Budaya  Baduy Luar. Rute perjalanan kendaraan Elf beroperasi dari Rangkas ke  Ciboleger  selalu  ada,  namun  untuk  kembali  ke  Rangkas dengan  Elf,  beroperasi  terakhir  hanya  sampai  pukul  13.00 

114

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

115

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

WIB,  dan  sebagai  solusinya maka  ada  kendaraan  roda  dua (ojek motor) dengan tarif Rp. 50.000,‐. 

Perjalanan  menuju  Ciboleger  cukup  panjang  dengan kondisi jalan yang berkelok‐kelok, naik turun dan tidak mulus karena  banyak  jalan  beraspal  dan  berlubang‐lubang. Sesampainya   di Ciboleger, situasi cukup  ramai dengan para pedagang yang menjual aneka ragam souvenir khas kerajinan masyarakat  Baduy,  mulai  dari  gantungan  kunci,  tas  khas Baduy  (Koja)  dan  beberapa warung  yang menjual makanan dan minuman serta satu mini market Indomart. Sesampainya di pintu gerbang perkampungan  suku Baduy Luar,    tampak  tertulis Selamat Datang di Wisata Budaya Masyarakat Baduy.  

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun  2001,  luas  desa  ini  kira‐kira  5.101,85  hektar.  Luasnya terdiri dari pemukiman masyarakat seluas 2.101,85 hektar dan hutan  lindung mutlak  (taneuh  larangan)  seluas  3.000 hektar.  Meskipun masyarakat Baduy bermukim di kaki‐kaki gunung, hidup  berdampingan  dengan  alam  (perbukitan,  sungai  dan hutan lindung), bukanlah berarti sebagai suku terasing. (Hasil wawancara  dengan  Dainah  Kepala  Desa  Kanekes).  Selain itupun mereka mempertahankan  tradisi  yang  telah  diwarisi nenek  moyangnya  secara  turun  temurun  selama  ratusan tahun,  sehingga  menjadi  bagian  tak  terpisahkan  dari keyakinan religius mereka. (Abdul Aziz, 1989/1990: 5).   

Suku  Baduy  tidak  mau  terpengaruh  kultur  luar  dan tetap  mempertahankan  dan  menunaikan  amanat  leluhur untuk memelihara dan  tidak merusak  alam  semesta. Hal  ini dikarenakan  ketentuan  hukum  adat  yang  melarang  tanah Ulayat adat Baduy dibangun  secara modern  termasuk untuk dilalui  kendaraan  bermotor.  Selain  itu  juga  karena didorong oleh  keyakinan  yang  kuat,  sehingga  baik masyarakat Baduy 

luar maupun Baduy dalam, tidak ada yang berani menentang ataupun menolak aturan yang ditetapkan oleh Pu’un.  

Lokasi  pemukiman  komunitas masyarakat  Baduy  luar mudah dijangkau, lain halnya bila ke lokasi komunitas Baduy dalam, karena kondisi alam yang berbukit‐bukit, jalan setapak berkelok‐kelok,  dengan  jarak  dari  kampung  ke  kampung cukup jauh karena itu hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki,  dengan  waktu  tempuh  berkisar  antara  satu  atau  satu setengah  jam   untuk  sampai  ke Baduy  luar Kampung Kadu Ketug. Mereka  juga  dilarang memakai  sandal  atau  apapun sejenisnya termasuk menggunakan kendaraan saat bepergian, termasuk  larangan  memakai  pakaian  selain  yang  telah ditentukan oleh adat. Berbeda halnya bagi masyarakat umum yang  ingin  ke  Baduy  Dalam,  misalnya  pada  salah  satu kampung Cibeo, maka harus juga dengan berjalan kaki selama hampir 6  jam, karena  tidak ada kendaraan  roda dua apalagi roda  empat,  karena medannya  tidak memungkinkan  untuk menggunakan kendaraan.  

Secara  demografi  pertumbuhan  dan  perkembangan penduduk  Suku  Baduy  termasuk  kategori  cepat  dan  tinggi, hal  ini  ditandai  dengan  seiring  bertambahnya  jumlah kampung  dari  tahun  ke  tahun.    Pada  tahun  1994  saat kepemimpinan  Jaro Asep  jumlah penduduk  yang  tercatat di Desa Kanekes adalah 6.483 jiwa terdiri dari 3.339 jiwa laki‐laki dan  3.144  jiwa  perempuan  dengan  jumlah KK  sekitar  1.533. Dengan  demikian  jumlah  kampung  bertambah  menjadi  49 kampung.  Pada  saat  pemerintahan  dijabat  oleh  Jaro Dainah berdasarkan  hasil  sensus  penduduk  tahun  2000,  jumlah penduduk  meningkat  dan  otomatis  jumlah  kampung bertambah  menjadi  52.  Pada  tahun  2009  jumlah  kampung bertambah  menjadi  59  kampung.  Jumlah  penduduk  suku 

116

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

117

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Baduy  menurut  data  di  Desa  Kanekes  pada  bulan  Januari tahun  2010,  penduduk  laki‐laki  berjumlah  5.624  jiwa, perempuan  5.548  jiwa  dan  jumlah  seluruhnya  11.172  jiwa.( Saatnya Baduy Bicara, 2010: 72). 

Berdasarkan data kependudukan masyarakat komunitas Baduy  di  Desa  Kanekes  dari  Kantor  Catatan  Sipil  Lebak, berjumlah  10.344  jiwa  dan  yang wajib KTP  berjumlah  6.642 jiwa.  (Wawancara  dengan  Wewen,  23  April  2013).  Namun menurut  Sekdes Kanekes  (H.  Sapin)  bahwa  jumlah  tersebut belum termasuk orang Baduy yang berada di di luar Kanekes, karena itu tercatat secara keseluruhan berjumlah 12.876 jiwa.  

Pertumbuhan  penduduk  sangat  pesat  seiring  dengan perubahan lahan tempat tinggal (teritorial) pun terus menerus berkembang.  Dalam  Peraturan  Daerah  No.  23  Tahun  2001 berdasarkan  posisi,  dalam  dan  luar,  tempat  tinggal  warga, secara  administratif masyarakat  Baduy  dibagi menjadi  dua: Baduy dalam dan Baduy luar.  

Masyarakat  Baduy  baik  yang  berada  di  luar maupun yang  di  dalam,  hidup  saling  menghargai  dan  saling menyelamatkan, dan  jauh dari perselisihan. “Menurut Sekdes Kadu  Ketug  bahwa  kalau  ada  masalah  antara  orang  adat dengan orang adat atau antara orang adat dengan orang  luar karena  perselisihan  paham,  maka  tidak  langsung  melapor pada  urusan‐urusan  lain,  tetapi  diselesaikan  dengan  urusan keluarga, dengan urusan adat. Misalnya perselisihan paham, atau karena garapan  lahan  (pohon duren), diselesaikan  tidak dengan  jalur hukum  tetapi  secara kekeluargaan atau dengan kebijakan    adat,  sehingga  tidak  ada  dendam.  Orang  Baduy tidak  ada  yang  saling  bacok  dan  sebagainya  (Diolah  dari wawancara dengan H. Sapin, Sekdes, tanggal 25 April 2013 di perkampungan  Suku  Baduy  Luar).  Itulah  sebabnya  Baduy 

Dalam dengan segala kepatuhan menjalankan amanat leluhur dengan  konsekwensi  dalam  menjalankan  keyakinannya sebagai  wiwitan.  Sedangkan  Baduy  luar  adalah  sebagai saudara  yang  selalu menjaga  dan membantu  saudaranya  di Baduy dalam. 

 Administrasi Pemerintahan 

Desa  Kanekes  yang  dibatasi  dan  diapit  secara administratif  oleh  11 Desa  dari  6 Kecamatan.  Batas wilayah secara administratif  yaitu: a. Sebelah Utara dibatasi oleh:  

1) Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar  2) Desa Cisimeut Raya Kecamatan Leuwidamar 3) Desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar 

b. Sebelah Selatan dibatasi oleh: 1) Desa Cikate Kecamatan Cigemblong 2) Desa Wangunjaya Kecamatan Sobang  

c. Sebelah Barat dibatasi oleh:  1) Desa Parakan Beusi Kecamatan Bojongmanik  2) Desa Kebon Cau Kecamatan Cirinten 3) Desa Karangnunggal Kecamatan Cirinten  

d. Sebelah Timur dibatasi oleh:  1) Desa Karang Combong Kecamatan Muncang  2) Desa Hariang Kecamatan Sobang  3) Desa Cicalebang Kecamatan Sobang  

Masyarakat  Baduy  Kanekes  (dalam  maupun  luar), mengenal  dua  sistem  pemerintahan  yaitu  pertama:  secara nasional mengikuti  aturan Negara;  kedua:    secara  keyakinan mengikuti  adat  istiadat; Dimana  aturan  secara  adat,  tunduk pada  pimpinan  adat  Kanekes  yang  tertinggi  adalah  Pu’un 

118

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

119

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

(Kepala  Adat).  Kedua  struktur  ini  mempunyai  sistem  alur kerja dan kekuatan hukum yang berbeda. 

Sementara  itu  aturan  secara  nasional  bagi  penduduk Kanekes  dipimpin  oleh  Kepala  Desa  yang  disebut  Jaro Pamarentah,  sementara  urusan  adat  kepada  Pu’un.  Jaro Pamarentah  Desa  Kanekes  berada  di  Baduy  luar  Kp.  Kadu Ketug dan sudah berjalan 3 periode   dijabat oleh Jaro Dainah yang berada di bawah Camat, yang  diangkat sejak tahun 1997 sampai  dengan  sekarang  tahun  2013.  Sebelumnya  yang menjabat  sebagai  Jaro  Pamarentah  pada  tahun  1992  adalah Asrap.  Jabatan selanjutnya dipimpin  Jaro Pulung pada  tahun 1993‐1995. Tahun 1996 kosong (sekitar 8 bulan).  

Seorang Kepala Desa dipilih dan diangkat berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Puun. Setelah disahkan oleh lembaga  adat  diajukan  kepada  Bupati  melalui  Camat. SK.Kepala Desa Kanekes  secara  remi  di  SK.kan  oleh  Bupati sama  dengan  desa‐desa  lain  yang  ada  di  kabupaten  Lebak khususnya di  Indonesia.Oleh karena  itu Kepala Desa 50% ke adat,  dan  sisanya  kepada  aturan‐aturan  lain.  Termasuk Sekretaris Desa, meskipun orang luar, tetap mematuhi aturan‐aturan adat setempat. (Wawancara dengan Sekretaris Desa, H. Sapin, 25 April 2013). 

Meskipun  jabatannya  sebagai  Jaro pamarentah,  namun dalam  pengangkatannya  sesuai    menurut  aturan  adat  dan tetap diberikan sesuai dengan kemampuannya dan sepanjang masih  bisa  diterima  oleh  yang  bersangkutan  dan  tentunya diatas  pertanggungjawaban  lembaga  adat.  (wawancara dengan Jaro Dainah, 24 April 2013).  

Bila dilihat dari struktur pemerintahan adat, maka posisi Kepala  Desa  Kanekes  berada  di  strata  sosial  yang  paling rendah, karena Kepala Desa Kanekes dipilih dan diberhenti‐

kan oleh Lembaga Adat. Namun sebaliknya bila dikaji dari sisi pemerintahan, maka posisi Kepala Desa Kanekes memegang peranan  yang  sangat  strategis,  sebagai  penentu  lancar tidaknya program‐program yang disodorkan pemerintah bagi Suku Baduy. (Skripsi H. Sapin. 2010: 96).  

Seorang Kepala Desa dipilih dan diangkat berdasarkan keputusan  yang  dikeluarkan  oleh  Puun.  Berawal  dari pengajuan yang dilakukan oleh Tanggungan  Jaro Dua Belas, Jaro  Tangtu  dan  Baris  Kolot,  kemudian  ketiga  Puun mengadakan  musyawarah  untuk  selanjutnya  diambil persetujuan  untuk  mengesahkan  seorang  kepala  desa ditentukan  oleh  Lembaga    adat  tersebut.Sedangkan  yang mengesahkan  secara  adat  didalam  Lembaga  Adat  adalah Tangkesan dan disetujui oleh Tanggungan Jaro Dua Belas dan anggota Jaro Tujuh(Lembaga Adat). 

Dalam  melaksanakan  tugas  Jaro  Pamarentah  dibantu oleh seorang Carik  (Sekdes)serta dua orang staf dan delapan orang  Panggiwa  (Kadus).  Secara  berkala  mereka  harus mengadakan  kunjungan  dan  penyuluhan  aturan  adat  dan keamanan  lingkungan  desa,  selain menyampaikan  program dari pemerintah ke  tiap‐tiap kampung, baik kampung Baduy dalam maupun Kampung Baduy luar.(Skripsi H. Sapin) 

Pemimpin  tertinggi  struktur  pemerintahan  adat  di pegang  oleh  tiga  Pu’un  yang  ada  di  tiga  kampung  tangtu, yaitu Pu’un Cibeo, Pu’un   Cikartawana dan Pu’un Cikeusik. Struktur pemerintahan adat terpusat di Baduy dalam, yang di dalamnya merupakan  gabungan  antara para pemimpin  adat di Baduy dalam dengan para pemimpin adat di Baduy  luar, yang dikenal dengan sebutan Lembaga Adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh.  

120

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

121

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Yang  dimaksud  dengan  sebutan  Tangtu  Tilu  adalah ketiga  Pu’un  yang  melimpahkan  wewenang  dan  juga keputusannya  untuk  mengatur  tentang  pelaksanaan pemerintahan adat kepada tiga Jaro Tangtu, yaitu: Jaro Tangtu Cibeo,  Jaro  Tangtu  Cikartawana  dan  Jaro  Tangtu  Cikeusik. Pengertian  lain  dari  Tangtu  Tilu  adalah  bahwa  ketiga kampung  kepu’unan  (Cibeo,  Cikartawana,  dan  Cikeusik) berfungsi  sebagai  penentu  kebijakan  dan  keputusan  hukum adat  Suku  Baduy.  Jaro  Tangtu  di  kesukuan  Baduy  sangat tinggi, karena  jabatan  tersebut adalah  jabatan  tertinggi kedua setelah Pu’un. Kedudukannya yang kedua setelah Pu’un, juga dihormati  dan  disegani  oleh  para  pemimpin  adat  lainnya, karena memiliki mandat  penuh  tugas  dan wewenang  yang melekat  pada  Pu’un.  (Asep Kurnia dan Ahmad  Sihabuddin; 2010: 94). 

Jika  dilihat  dari  struktur  pemerintahan  desa,  seorang Kepala  Desa  Kanekes  (Jaro  Pamarentah)  mempunyai kewenangan yang sangat  terbatas, khususnya yang berkaitan dengan  pemerintahan  di  atasnya.  Karena  dalam  setiap pengambilan keputusan akan lebih ditentukan oleh keputusan Lembaga adat. Disamping itu seorang Sekretaris Desa (Carik) yang ada di Desa Kanekes dipegang oleh warga masyarakat luar desa Kanekes yang diangkat oleh kepala desa atas dasar persetujuan  lembaga  Adat.  Karena  tugas  Carik  diantaranya membantu tugas kepala desa menjembatani program‐program dari pemerintah kepada pihak masyarakat adat. Secara umum masyarakat  Baduy  sangat  tunduk  dan  patuh  pada  hukum adat. Indikasinya terlihat dari kehidupan kesehariannya yang senantiasa  berpatokan  pada  hukum  adat.  Namun  dengan demikian mereka juga mengakui akan keberadaan Negara dan 

merasa  termasuk  ke  dalam  wilayah  Negara  Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  

Terkait  dengan  inspirasi  politik  warga  masyarakat Baduy,  menurut  keterangan  tokoh  masyarakat  Baduy memaparkan  masalah  perilaku  politik  terdapat  perbedaan yang cukup signifikan, salah satunya adalah masalah perilaku pada pelaksanaan Pemilu. Khusus masyarakat Baduy dalam dimana  seluruh  warganya  tidak  mau  menggunakan  hak suaranya  (memilih  dan  dipilih), mereka  lebih memilih diam dengan bahasa mendoakan saja siapapun yang jadi pemimpin kami  dari  pihak  adat mengakui  dan menghormati. Mereka sangat  menghormati  keberadaan  Pemerintah  Republik Indonesia yang merupakan pelindung mereka, namun mereka tidak  akan  turut  campur  dalam masalah  politik  khususnya politik praktis. Lain halnya masyarakat Baduy luar mayoritas mau mengikuti acara pesta demokrasi tersebut.  

Sejalan  dengan  paradigma  baru  dalam  Pemilihan Umum,  termasuk dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU)  serta  Undang‐Undang  Pemilu,  bahwa  bagi  golongan masyarakat  yang  dikategorikan  terbelakang  dan  memiliki minimal 7.000  (Tujuh  ribu)  Jiwa, mereka berhak mengajukan wakilnya  untuk  duduk  di Majelis  Permusyawaratan  Rakyat (MPR). 

Tugas  dan  wewenang  pemimpin  adat  Suku  Baduy adalah sebagai berikut : 1) Puun;  antara  lain  sebagai  kepala  adat  (pemberi  restu 

hukum adat), dan sebagai Pemimpin spiritual. Menariknya ruang lingkup dan gerak kehidupan Puun lebih sederhana dan  terbatas  dibanding  dengan  kehidupan  anggota masyarakatnya,  Pu’un mendekati  seorang  resi  yang  jauh dari nafsu kematerian.   

122

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

123

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

2)  Jaro  Tangtu;  antara  lain  mewakili  seluruh  tugas  Pu’un dalam  aspek  kegiatan  berdasarkan  ketentuan  adat, mandataris  Pu’un,  dan  mengawasi  tentang  pelanggaran pelaksanaan hukum adat di masyarakat Baduy Dalam dan Luar.  

3) Wakil Jaro Tangtu (Jaro Parawari); Tugas  utamanya membantu  Jaro  Tangtu mempersiapkan alat  dan  kebutuhan  untuk  upacara‐upacara  adat  seperti  ; Kawalu, Ngalaksa dan upacara adat lainnya. 

4) Baresan; Tugasnya setara dengan Jaro Parawari yaitu sama‐sama membantu Jaro Tangtu mempersiapkan upacara adat, tetapi  perbedaannya  adalah  Baresan  lebih  pada membangtu  prosesi  pelaksanaannya  agar  dapat  berjalan secara lancar.   

5) Tangkesan; tugasnya sebagai penasehat, diminta atau tidak diminta Tangkesan memberikan nasehat kepada tokoh adat yang  ada  di  Baduy  dalam  dan  pensehat  lembaga  adat Baduy luar. 

6) Jaro  Tanggungan  Duabelas;  Bersama  Tangkesan memberikan saran kepada Pu’un, Memberikan penjelasan kepada seluruh masyarakat Baduy mengenai larangan adat, Jaro Tujuh  : Anggotanya  sebanyak 7 orang yang masing‐masing membina Dangka‐dangka yang ada di wilayahnya masing‐masing.  

7) Jaro  Pamarentah;  dibentuk  sebagai  pelindung  Baduy dalam  demi  kelangsungan  hukum  adat  dari  rongrongan Belanda. 

Sejalan  dengan  uraian  di  atas, maka  di Desa  Kanekes Kecamatan  Leuwidamar  Kabupaten  Lebak  terdapat  adanya dualisme  sistem  administrasi  pemerintahan,  yaitu  adanya 

pemerintahan  yang  diatur  oleh  hukum  Negara  dan  yang diatur  dengan  hukum  adat  setempat  yang  sudah  turun temurun.  Segala  urusan  pemerintahan  berdasarkan  Perda Nomor    14  Tahun  2006,  dilaksanakan  oleh  Jaro  Pamarentah dengan mekanisme konsultatif dan koordinatif dengan BPD. Sedangkan  segala  urusan  adat  maka  Jaro  Pemerintah melaksanakan mekanisme konsultatif dan koordinasi dengan Lembaga Adat. Pada sisi ini seringkali yang lebih kuat adalah ketentuan lembaga adat yang bersumber dari Pu’un.  

Berdasarkan ketentuan adat bahwa seorang Kepala Desa dipilih dan diangkat berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh  Pu’un.  Berawal  dari  pengajuan  yang  dilakukan  oleh Tanggungan  jaro duabelas  (Lembaga Adat),  Jaro Tangtu dan Baris Kolot, kemudian ketiga Puun mengadakan musyawarah untuk  selanjutnya  diambil  persetujuan.  Sedangkan  yang mengesahkan  secara  adat  adalah  tangkesan  disetujui  oleh perangkat  jaro  tujuh  (Lembaga  Adat  Masyarakat  Baduy), sedangkan  yang  memberikan  Surat  Keputusan/  SK  Kepala Desa Kanekes adalah Bupati Atas Dasar Keputusan Lembaga Adat yang diajukan melalui Camat Kecamatan Leuwidamar. 

Masa  jabatan seorang Kepala Desa Kanekes   ditentukan oleh  peraturan  lembaga  Adat  dan  tidak  ditentukan  waktu masa  jabatan oleh ketentuan adat semasih bisa dipercaya dan tidak melanggar aturan hukum Adat Wiwitan, “Panjang Ulah Dipotong,  Pondok  Ulah  Disambung”  Nulin  Dilainkeun,  Nuenya Dinyakeun, Jeung Ulah Goroh, Ulah Linyok.Secara adat Peraturan Desa ditentukan Tangtu Tilu Jaro Tujuh Tanggungan Jaro dua belas  (Lembaga  Adat masyarakat Baduy). 

Sosial Budaya dan Mata Pencaharian Suku Baduy 

124

Dinamika Agama Lokal di Indonesi

Pola hidup antara masyarakat Baduy dalam dan Baduy luar secara umum hampir sama, misalnya anak‐anak mereka 

a

125

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

dilarang  bersekolah  secara  formal.  Menurut  seorang  ibu kepada peneliti: “kalau mereka bersekolah menjadi pinter dan kalau  pinter  ngeminterin  orang”.  Memang  anaknya berkeinginan untuk sekolah  tetapi dilarang oleh  Jaro, mereka harus  patuh  pada  apa  yang  sudah menjadi  ketentuan  yang disebut dengan pikukuh karuhun yang ditetapkan sang Pu’un. Jadi  dalam  hal  pendidikan  anak‐anak  usia  sekolah  bagi masyarakat  Baduy,  baik  Baduy  luar maupun  Baduy  dalam, sebagian  ada  keinginan  untuk  sekolah,  namun  tidak  dapat terlaksana karena adanya larangan dari adat. 

Permasalahan  yang  dihadapi  apabila  ketentuan  adat yang  diputuskan  oleh  Puun  bertentangan  dengan  ketentuan Pemerintah Kabupaten Lebak, misalnya dalam menuntaskan wajib  belajar  9  tahun  dimana  anak  usia  sekolah  harus menyelesaikan pendidikan dasar, tetapi ketentuan adat Baduy melarang anak‐anak Baduy luar maupun dalam untuk sekolah formal.  

Di  satu  sisi  Pemerintah Kabupaten  Lebak memandang bahwa  masyarakat  Baduy  perlu  diberdayakan  dan disamaratakan  penanganannya  sebagai  warga  masyarakat Kabupaten  Lebak  pada  umumnya,  hal  ini  dengan  melihat adanya  kecenderungan  generasi  muda  Baduy  memiliki ketertarikan  dan  secara  naluriah  berkeinginan  untuk  bisa hidup  berdampingan  secara  serasi  dengan  masyarakat Kabupaten  Lebak  pada  umumnya,  serta mereka  juga  ingin pintar  secara  keilmuan  dan  teknologi.  Gejala  yang  nampak pada  generasi muda  Baduy misalnya  Baduy  luar  ada  yang memiliki  alat  komunikasi  (HP  /Telepon  Genggam),  nonton Televisi,  beralas  kaki  dan  sebagainya.  Bahkan  gejala  umum peralatan  elektronik  dan  rumah  tangga  seperti  alat  makan sudah  menggunakan  hasil  produksi  luar.  Sejalan  dengan 

kondisi di atas, maka hal ini bertentangan dengan adat Baduy warisan  leluhur  dimana  masyarakatnya  dilarang  memiliki alat‐alat hasil produksi mesin modern.  

Orang Baduy dalam sering keluar dari kampungnya di Cibeo misalnya dengan tujuan untuk menjual hasil kebunnya seperti;  pisang.  Kedatangan  orang  Baduy  dalam  ke perkampungan Baduy  luar sudah menjadi rutinitasnya selain membawa hasil kebun untuk di  jual dan atau untuk membeli kebutuhan  sehari‐hari  keluarga,  misal  beras,  minyak  dan sebagainya, juga untuk sekedar bersilaturrahmi.  

Kesempatan  untuk  bisa melihat  tayangan  televisi  bagi anak‐anak muda dari Baduy luar maupun Baduy dalam yang kebetulan  sedang  bermain  keluar  kampungnya,  sehingga memanfaatkan waktunya untuk menyaksikan  tayangan acara di televisi atau ada yang membaca koran. Bahasa yang mereka gunakan dengan bahasa Sunda  logat Rangkas Bitung, namun demikian mereka mengerti berbahasa  Indonesia, bahkan bisa membaca, meskipun  anak‐anak  Baduy  tidak  di  izinkan  oleh adat  untuk  bersekolah  formal,  karena  baginya  cukup memperoleh pelajaran secara otodidak dari orang tuanya.   

Masyarakat  Baduy  termasuk  masyarakat  yang produktif,  senantiasa memanfaatkan waktu  untuk  kegiatan‐kegiatan  yang  menghasilkan  dan  bermanfaat.  Sebagaimana tampak  pada  salah  satu  rumah  penduduk  yang  peneliti hampiri di teras rumahnya ada seorang wanita usia sekitar 30 tahun  lebih,  sedang  tekun menenun  kain. Hasil  tenunannya ini  ada  berupa  selendang  dan  ikat  kepala.  Setelah  selesai dikerjakan selama beberapa hari lamanya menenun, misalnya selendang bisa dijual dengan harga yang bervariasi pula dari mulai  harga  100  ribu  rupiah  atau  lebih  tergantung  besar kecilnya  ukuran  tenun  selendang  yang  dibuat.  Kegiatan 

126

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

127

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

menenun ini dikerjakan saat waktu lengang dan tidak sedang ngahuma (berladang). 

Tampak beberapa anak muda  remaja  (laki‐laki) dengan memakai  baju  ciri  khas  Baduy  dalam  dengan  berlengan panjang  yang  disebut  Jamang  Sangsang,  warna  baju  serba putih polos. Baju yang dikenakannya  ini diberi  lubang pada bagian  leher  tanpa  boleh  dijahit  dengan mesin.  Bahan  yang digunakan dari benang kapas asli yang ditenun sendiri. Untuk bagian  bawahnya menggunakan  kain warna  hitam  kebiruan  serupa sarung, yang diikatkan pada bagian pinggang, ber‐ikat kepala  warna  putih.  Sementara  itu  cara  berpakaian  pada orang  Baduy  luar  ada  kesamaannya  dengan  Baduy  dalam, meski  ada  sedikit  kelonggaran dalam model maupun  bahan dasar  yang  digunakan  tidak  diharuskan  dari  benang  kapas murni. Pakaian orang Baduy  luar  lebih umum memakai baju kampret warna hitam dengan  ikat kepala berwarna biru  tua dengan  corak batik dengan memakai  celana  sebatas dengkul dan  sudah  dijahit.  Sedangkan  untuk  baju  sehari‐hari  yang dikenakan di kalangan wanita Baduy  luar,  tidak menampak‐kan  perbedaan  yang  mencolok  dengan  pakaian  wanita  di kalangan Baduy dalam memakai kebaya. Namun ada diantara wanita  Baduy  luar  yang memakai  perhiasan  emas  di  leher sebagai kalung dan gelang di pergelangan tangannya, namun tidak demikian halnya bagi wanita Baduy dalam.  

Mata  pencaharian masyarakat  Baduy  Kanekes  (Baduy luar dan Baduy dalam)   yang paling utama adalah bercocok tanam  padi  huma  (99%)  dan  berkebun  serta  membuat kerajinan  (koja  atau  tas  yang  terbuat  dari  kulit  kayu, mengolah  gula  aren,  dan  tenun.  Padi  tidak  di  jual,  kecuali cabe, pisang, jahe, sehingga ada satu kelompok yang membuat gula  jahe. Selain  itu suku Baduy  luar, ada  juga mendapatkan 

penghasilan tambahan dengan membantu mengerjakan  lahan orang  lain, di  luar desa Kanekes. Ada pula yang membantu memasarkan  hasil  kerajinan  khas  Baduy  seperti:  gantungan kunci dari batok kelapa, dan menenun selendang, sarung dan sebagainya.  Sementara  di  Baduy  dalam  yang  banyak menghasilkan  kebon  jahe  sampai  50  kwintal,  tidak  perlu membawanya keluar tetapi justru para pedagang (pengusaha) yang mendatangi langsung ke petani Baduy dalam. 

Secara  perlahan  sebagian  kecil  masyarakat  di  Baduy luar,  sudah  mengenal  berdagang  yang  membuka  warung‐warung  kecil,  seperti  di  Kp.  Gajebo,  Kp.  Karahkal,  dan  di Kp.Kadu  Jangkung,  yang  menjual  kebutuhan  sehari‐hari, bahkan sudah ada yang home industri.  

Mereka  sudah  sangat  memahami  (Baduy  luar  dan Baduy dalam) untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga tentunya memerlukan uang untuk dapat memilikinya, karena itu  dengan  transaksi  jual  beli.  Meski  pasar  di  kampung kawasan  Ciboleger  tidak  ada  aktifitas  setiap  hari,  namun kegiatan  rutin  keluar  masuk  kendaraan  ke  terminal  yang hanya berjarak 100 meter untuk menuju ke tanah Ulayat Suku Baduy yang datang dari berbagai kota. Termasuk bagi anak‐anak di Baduy luar untuk main bola sudah dperbolehkan. 

Meskipun  demikian  kehidupan  secara  sosial  dan ekonomi,  komunitas  Baduy  luar  tidak  jauh  berbeda  dengan Baduy dalam. Anak‐anak remaja Baduy dalam baik yang laki‐laki  maupun  yang  perempuan  dapat  melakukan  transaksi hasil  tani yang dibawanya dari dalam untuk dijual, misalnya Baduy dalam pergi keluar dengan membawa hasil kebunnya berupa  buah‐buahan  seperti  pisang.  Sambil membawa  hasil kebunnya mereka datang ke Baduy luar dengan berkelompok sampai 5‐7 orang kelompok laki‐laki (remaja), terpisah dengan 

128

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

129

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

kelompok  remaja  perempuan  Baduy  dalam,  dengan  tujuan yang sama. 

Pada  masyarakat  Baduy  luar  sudah  terlihat  dinamika perubahannya  sedikit    dibandingkan  dengan  saudaranya  di Baduy dalam yang secara adat masih memegang teguh tradisi leluhur.  Artinya  pola  hidup  masyarakat  Baduy  luar  sudah mulai bergeser dan menerima sedikit demi sedikit perubahan sesuai  dengan  kebutuhan,  mengingat  filosofi  pokok  hidup masyarakat Baduy adalah tidak boleh mengubah dan merusak alam.  

Kondisi  Baduy  luar  maupun  Baduy  dalam  sama aturannya  tidak  diperbolehkan  untuk  memiliki  kendaraan motor  atau  alat‐alat  elektronik  lainnya. Kalaupun  ada diluar batas  desa  Kanekes  sebagai  tetangga  kampung  dan  bukan orang  Baduy.  (Wawancara  dengan  Kades  Kanekes,  Jaro Dainah, 24 April 2013). 

Bentuk  bangunan  rumah  komunitas Baduy  luar  sudah memiliki  lebih dari  satu pintu dengan  bahan bangunan dari bambu dan menggunakan paku sebagai pengikatnya, berbeda dengan  rumah  di  Baduy  dalam  yang  hanya  memiliki  satu pintu,  dan  tidak  boleh  menggunakan  paku,  hanya menggunakan  pasak  dan  tali  dari  rotan,  demikian menurut Jaro Dainah. Bila dilihat dari bentuk bangunan rumah warga kampung Baduy luar, baik dari luas dan bahan bangunannya semua  terkondisikan  sama,  tampak  seperti  rumah panggung yang tidak terlalu tinggi dari permukaan tanah, sekitar 50 cm terbuat  dari  bambu  yang  dibelah‐belah  dan  beratap  rumbia dan injuk. 

Perkampungan  komunitas  suku  Baduy  khususnya  di Baduy  luar,  tampak  bebas  bagi  siapapun  bisa  keluar masuk untuk melihat  cagar  budaya  ini,  kecuali  untuk memasuki  3 

(tiga)  perkampungan  Baduy  dalam  yaitu  kampung  Cikesik, Cibeo  dan  Cikartawana.  Pekecualian  ini  ditujukan  sesuai dengan aturan adat yang  tertulis, bahwa ada  larangan untuk memasuki  wilayah  tanah  Ulayat  Suku  Baduy  dalam,  bagi yang beragama non muslim berasal dari  etnis Cina, Belanda (kulit putih).  

Istilah  rumah  disebut  dengan  susuhunan.  Pada  tahun 2008,  jumlah  perkampungan  Baduy  luar  terdiri  dari  55 Kampung  dalam  data  penyebaran  penduduk Desa Kanekes. Bila  melihat  Perda  Kabupaten  Lebak  No.  32  Tahun  2001 tentang  Hak  Ulayat  Masyarakat  Baduy  ada  51  Kampung. (Ahmad Sihabuddin. 2010: 15). Menurut Sekdes H. Sarpin saat wawancara  (23  April  2013),  bahwa  komunitas  suku  Baduy luar  kini  berjumlah  59  kampung  yang  tersebar  di  daerah pegunungan Kendeng.  Susuhunan  (rumah)  sudah berjumlah 98, yang sebelumnya hanya berjumlah 60 susuhunan. Dimana dalam satu susuhunan berjumlah antara 1 sampai 2 Keluarga. 

 

130

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

131

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

TEMUAN HASIL PENELITIAN  

Kehidupan Keagamaan Suku Baduy Kepercayaan  suku  Baduy  dengan  sebutan  Slam  Sunda 

Wiwitan, bahwa berdasarkan pemujaan pada karuhun dengan ketentuan  adat  yang mutlak dengan  adanya pikukuh,  tanpa perubahan  apapun.  Menurut  Dainah:  Kalau  semua  itu berubah misalnya  alam  berubah  dan manusia  bisa  berubah, tetapi  wiwitan  karena  ada  sumpah  amanat,  yaitu  wiwitan sebagai  cikal bakal dari awal  sampai akhir zaman  tidak bisa berubah.  Lain  halnya  dengan  manusia  yang  bisa  berubah, misalnya H. Sapin dan H. Kasmin yang lahir disini, kakeknya masih  berada  di  Cibeo.  Yang  berubah manusianya  itu  bisa, tetapi wiwitan tidak bisa berubah.  

Masyarakat Baduy Kanekes (Baduy luar maupun Baduy dalam)  selalu  berpegang  teguh  kepada  seluruh  ketentuan  maupun  aturan‐aturan  yang  telah  ditetapkan  oleh  Pu’un (Kepala Adat). Kepatuhan terhadap ketentuan maupun aturan menjadi  pegangan  mutlak  untuk  menjalani  kehidupan bersama.  Selain  itu  didorong  oleh  kepatuhan  dan  ketaatan  mereka  pada  satu  keyakinan,  yakni  agama  Slam  Sunda Wiwitan, hanya untuk komunitas adat Baduy. (Saatnya Baduy Bicara; 2010: 9). Slam Sunda Wiwitan hanya ada di Baduy dan mengenal Tuhan dengan sebutan Gusti Nu Maha Soci, Allah yang  maha  kuasa,  namun  Baduy  tidak  kebagian  untuk menjalankan  salat.  Suku  Baduy  juga  mengucapkan alhamdulillah.  Dari  situlah  disebut  Slam  Sunda  Wiwitan, bukannya  Islam.  Slam  Sunda Wiwitan  hanya  ada  di  Baduy, sebab  cikal  bakal  manusia  di  dunia  itu  adalah  Baduy. (wawancara dengan Dainah, 24 April 2013). 

Slam  Sunda  Wiwitan.  Sunda  artinya  suku  Sunda, Wiwitan artinya pertama. Slam nya itu karena di sunat, sebab bila orang Baduy  tidak disunat,  jika  laki‐laki maka  tidak  sah menjadi orang Baduy dan  tidak bisa diangkat untuk menjadi pengurus  adat.  Pelaksanaan  sunat  bagi  laki‐laki  dan perempuan dengan di upacarakan. 

Menurut  H.  Sapin  bahwa  Slam  itu  di  ambil  (cirinya) kawin  dengan  baca  dua  kalimat  sahadat.  Ucapan  sahadat yang dilafalkan  oleh  Jaro Daenah, menurutnya  ada  bedanya sedikit,  yakni:  Audzubillahi  minassyaitonirozim bismillahirohmanirrohim.  Asyhadualla  ilaha  illallah, waasyhaduanna    muhammadarrosulalloh,  Allohumma sholliala  syaidina  muhammad,  (ditambah)  Isun  anggorahi saturane arane pangeran anging Allah,  Isun anggorohi arane nabi anging Muhammad.  

Dengan menjalani  kehidupan  sesuai  dengan  adat  dan aturan  yang  ditetapkan  oleh Kepala Adat, maka  kehidupan masyarakat  Baduy  tampak  damai  dan  sejahtera.  Kehidupan mereka  layaknya  kehidupan  masyarakat  lainnya,  hanya perbedaannya  adalah  begitu  banyaknya  aturan  tradisional yang  harus  dipatuhi.  Karena  kepatuhannya  pada  aturan, sehingga  ada  semacam  ketentuan  tidak  tertulis  bahwa  tidak boleh masuk ke Baduy dalam, bagi orang‐orang luar yang non Islam  (misalnya Cina dan Belanda/kulit putih).  Jika hal  ini di langgar, maka akan kena tulah (bala). 

Dasar  religi  masyarakat  Baduy  dalam  ajaran  Sunda Wiwitan  adalah  kepercayaan  yang  bersifat  monoteis, penghormatan  kepada  roh  nenek moyang,  dan  kepercayaan kepada  satu  kekuasaan  yakni  Sanghyang  Keresa  (Yang Maha Kuasa)  yang  disebut  juga  Batara  Tunggal  (Yang Maha  Esa), Batara  Jagat  (Penguasa Alam),  dan  Batara  Seda Niskala  (Yang 

132

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

133

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Maha Gaib) yang bersemayam di Buwana Nyungcung  (Buana Atas).  Orientasi,  konsep,  dan  pengamalan  keagamaan ditujukan  kepada  pikukuh  (pedoman  atau  aturan)  untuk menyejahterakan  kehidupan  di  jagat  mahpar  (dunia  ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan  tujuh  orang  batara  yang  dikirimkan  ke  dunia melalui  Kabuyutan  (wilayah  yang  disakralkan  dalam komunitas  Baduy);  titik  awal  bumi  Sasaka  Pusaka  Buana. Konsep buwana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan. (Garna, 1994:5) 

Menurut  ajaran  Sunda  Wiwitan,  perjalanan  hidup manusia  tidak  terpisah  dari  wadah  tiga  Buwana,  yaitu  (1) Buwana  Nyungcung  sama  dengan  Buwana  Luhur  atau  Ambu Luhur;  tempat  bersemayam  Sang  Hyang  Keresa  di  tempat paling atas;  (2) Buwana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam  dunia  pewayangan  sering  disebut  Mayapada  atau Arcapada  tempat hidup manusia dan mahluk  lainnya; dan  (3) Buwana  Larang  sama  dengan  Buwana  Handap  atau  Ambu Handap  yaitu  tempatnya  neraka.  Manusia  yang  hidup  di Buwana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buwana Akhir yaitu  Buwana  Larang,  sedangkan  proses  kelahirannya ditentukan di Buwana  Luhur. Antara Buwana Nyungcung dan Buwana Panca Tengah  terdapat 18  lapisan alam yang  tersusun dari  atas  ke  bawah,  lapisan  teratas  disebut  Bumi  Suci  Alam Padang  atau  Kahyangan  tempat  Sunan Ambu  dan  para  pohaci bersemayam. 

 Komunitas Adat Baduy  Bukan Suku Terasing Asal‐usul Suku Baduy 

Suku  Baduy  merupakan  keturunan  langsung  Adam Tunggal untuk menjaga alam dan mengamalkan amanat awal 

dengan bersumber “ Lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang dirakrak, mun ngadek kudu saclekna mun neukteuk kudu sateukna mun nilas kudu sapasna, nu lain dilainkeun nu enya  dienyakeun  ulah  gorok  ulah  linyok”. Artinya:  panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, gunung tidak  boleh  dihancurkan,  lembah  tidak  boleh  dirusak,  kalau menyabet  atau menebang  harus  sepasnya,  kalau memotong harus  sesuai  ukurannya,  kalau mengelupas  harus  sepasnya, yang salah nyatakan salah, yang benar nyatakan benar,  tidak boleh  menipu  dan  berbohong”.  (Asep  Kurnia  dan  Ahmad Sihabuddin: 2010: 24). 

Baduy merupakan sebutan populer orang  lain terhadap masyarakat  Desa  Kanekes  Banten.  Sebutan  Baduy  muncul sesudah  agama  Islam masuk  ke  daerah  Banten  utara  pada abad  ke‐16,  sekitar  tahun  1522‐1526  (Garna,  1987:  36). Akan tetapi, orang Baduy dipaparkan oleh Judistira Garna (1987: 16‐17),  sebagai  berikut:  “Kesetiaan  orang  Baduy  kepada  agama yang  diwarisi  secara  turun  temurun  dari  nenek moyangnya seperti  keadaan  sebelum  Hindu  dan  Islam  berkembang  di Jawa Barat serta letak desanya yang tak mudah dicapai orang seolah‐olah memperkuat  angggapan bahwa  orang Baduy  itu bukan orang Sunda”.  

Meskipun  demikian,  pada  tahun  1822  C.L.  Blume pernah  menulis  bahwa  masyarakat  Baduy  berasal  dari Kerajaan  Sunda  Kuno,  yakni  Pajajaran,  yang  bersembunyi ketika  kerajaan Pajajaran  runtuh  pada  awal  abad  ke‐17, dan sejalan  pesatnya  kemajuan  kerajaan  Banten  Islam  (Garna, 1993:  144  dan  Permana,  2006:  26).  Terlepas  dari  perdebatan para  ahli  sejarah  tentang  sebutan  Baduy,  penelusurannya dapat  diteruskan  dan  ditemukan  di  banyak  sumber. Karena itu, menurut Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Baduy 

134

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

135

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

adalah  masyarakat  setempat  yang  dijadikan  mandala (kawasan  suci)  secara  resmi  oleh  raja,  sebab masyarakatnya berkewajiban memelihara kabuyutan, tempat pemujaan nenek moyang,  bukan  Hindu  atau  Budha.  Kabuyutan  di  Desa Kanekes  dikenal  dengan  kabuyutan  Jati  Sunda  atau  Sunda Wiwitan.  Dari  sinilah, masyarakat  Baduy  sendiri menyebut agamanya  adalah  Sunda Wiwitan,  Sunda  Pertama  (Permana 1986: 4‐5 dan 2006: 27). Hal  itu menjelaskan  juga bahwa asal usul  Baduy  secara  tepat  bisa  ditemukan  di  dalam  diri masyarakat Baduy  itu sendiri yang kukuh melestarikan alam lindung  pegunungan  Kendeng  sebelum  ekspedisi  Islam datang mengubah kepercayaan mereka.  

 Baduy Bukan Suku Terasing 

Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yakni  sistem  nasional  dan  sistem  tradisional  (adat).  Desa Kanekes  merupakan  perkampungan  Suku  Baduy  dipimpin oleh Kepala Desa yang disebut Jaro Pamarentah, yang berada di  bawah  camat,  kecuali  untuk  urusan  adat,  suku  Baduy tunduk kepada Kepala Pemerintahan  tradisional  (adat) yang disebut Puun. Hanya bedanya dalam hal penunjukan  jabatan sebagai  kepala  desa  bila  di  desa  lain  yang memilih warga, namun untuk komunitas adat Baduy yang menunjuk adalah Puun baru kemudian diajukan melalui camat untuk disahkan sebagai kepala desa. 

Karena  itu  mereka  tidak  suka  disebut  sebagai  suku terasing   tetapi sengaja memilih mengasingkan diri dan tidak terlibat dengan peradaban modern yang bisa merusak akhlak, alam, lingkungan hidup dan warisan adat istiadat kebudayaan nenek moyang mereka. Sehingga mereka selamat dari bencana apapun karena selalu menjaga alam dan lingkungan. 

Prinsip Pikukuh  atau kepatuhan  terhadap konsep  lojor heunteu  beunang  dipotong,  pendek  heunteu  beunang disambung  (panjang  tidak  bisa/tidak  boleh  dipotong  dan pendek  tidak  bisa/tidak  boleh  disambung).  Konsep  hidup statis  secara  turun  temurun  dan  menerapkan  etika  Tabu sesuatu  yang  menyimpang/dilarang  oleh  adat  tidak  boleh dilanggar. Ketika  ada  pelanggaran  Tabu  akan mendapatkan peringatan dari Jaro atau Pu’un. 

Masyarakat  Baduy  termasuk  masyarakat  yang produktif,  senantiasa memanfaatkan waktu  untuk  kegiatan‐kegiatan  yang  menghasilkan  dan  bermanfaat.  Bagi  kaum wanitanya,  mereka  menenun  berbagai  jenis  pakaian  khas Baduy  misalnya  selendang,  sarung  dan  sebagainya.  Hasil tenunannya  dijual  dengan  harga  yang  bervariasi  pula  dari harga  100  ribu  rupiah  sampai  lebih  tergantung  panjang dan lebarnya sesuai hasil ukuran selendang yang dibuatnya.  

Pola  hidup  masyarakat  Baduy  Luar,  sudah  mulai longgar  dan  terbuka,  hal  demikan  karena  adatnya memberikan kelonggaran dibandingkan dengan hukum adat bagi  masyarakat  Baduy  Dalam.  Kelonggaran  tampak  pula pada  desain  dan  tata  ruang  rumah masyarakat  Baduy  Luar yang sudah bervariasi termasuk jumlah ruangan, jumlah pintu dan  diperbolehkan  menggunakan  paku,  serta  memakai peralatan  rumah  tangga  dan  sabun  untuk mencuci.  Berbeda dengan  rumah  masyarakat  Baduy  Dalam  yang  tidak  boleh memakai paku dan hanya memiliki satu pintu, dan tetap tidak berubah  dengan  ketentuan  yang  telah  ditetapkan  oleh  adat dan tidak mau melanggarnya. 

Bagi masyarakat  Baduy  luar  dan  Baduy  dalam  terkait dengan  pendidikan  secara  umum  hampir  sama,  misalnya anak‐anak  mereka  dilarang  bersekolah  secara  formal, 

136

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

137

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

termasuk dalam pola makan dan bentuk rumah yang seragam dengan  bentuk  nyulah  nyanda,  namun  pada  hal‐hal  tertentu adanya  perbedaan  yang  cukup  mencolok.  (Saatnya  Baduy Bicara, 2010: 63).  

Sementara  itu  pada  masyarakat  Baduy  luar  sudah terlihat  dinamika  perubahannya  dibandingkan  dengan saudaranya Baduy dalam yang secara adat masih memegang teguh  tradisi  leluhur. Artinya pola hidup masyarakat Baduy luar sudah mulai bergeser dan menerima sedikit demi sedikit perubahan  sesuai  dengan  kebutuhan,  karena  filosofi  pokok hidup masyarakat Baduy  adalah  tidak  boleh mengubah dan merusak  alam.  Sementara  itu  bagi  komunitas  Baduy  dalam, mereka  teguh  dalam mempertahankan  adat  istiadatnya  dan mengikat  kepada  semua  pihak  dan  semua  aspek kehidupannya  dan  bertahan  untuk  menutup  diri  dari pengaruh luar yang dianggapnya negatif.  

Mereka  lebih  memandang  tugas  dan  kewajiban kesukuan mereka yang dilahirkan ke dunia  ini adalah untuk bertapa,  yang  berarti  bertapa  untuk  tidak  makan,  tidak minum atau tidak tidur, tetapi bertapa untuk tidak mengubah dan merusak alam agar tetap terjaga keseimbangan fungsi dan manfaatnya  demi  kesejahteraan,  keharmonisan  seluruh manusia.  Apabila  ini  tidak  dipatuhi  maka  akan  berakibat hapusnya  wiwitan,  karena  akan  terpengaruh  oleh  zaman. Mengingat tugas ini berat, maka membagi tugas menjadi dua yaitu bagi orang Baduy dalam bertapa di wiwitan dan orang Baduy  luar  bertugas  menjaga  orang  yang  sedang  bertapa, bukan  karena  telah  melakukan  pelanggaran  adat  yang kemudian  di  istilahkan  sebagai  warga  penamping,  yaitu sebagai warga pinggiran  atau warga buangan.  (Asep Kurnia dan Ahmad Sihabuddin, 2010: 25‐26).  

Baduy  luar  itu  fungsinya  sebagai  penyaring.  Apabila kebutuhan ke Baduy dalam, maka Jaro Dainah yang bertugas menjelaskan.  Baduy  luar  bukan  berarti  karena  telah melanggar aturan, karena ketika dibentuknya tokoh adat, ada yang di dalam dan  ada  yang di  luar. Yang di  luar  bertugas menyambungkan dengan yang di dalam. Kondisi Baduy  luar maupun  Baduy  dalam  sama  aturannya  tidak  diperbolehkan untuk  memiliki  kendaraan  motor  atau  alat‐alat  elektronik lainnya.  Kalaupun  ada  diluar  batas  desa  Kanekes  sebagai tetangga kampung dan bukan orang Baduy. 

Secara  umum  yang membedakan  antara  Baduy  dalam dan Baduy  luar dalam  hal  hubungannya dengan dunia  luar adalah sebagai berikut: ‐ Baduy  luar  relatif  sudah  mau  menerima  inovasi  dan 

modernisasi dari  luar seperti memiliki HP, bahkan  lap‐top meskipun harus sembunyi‐sembunyi. 

‐ Baduy dalam belum dapat menerima hal‐hal yang berbau teknologi dan modernisasi. 

Sementara  itu  ada  perbedaan  dan  persamaan  antara suku Baduy luar dan Baduy dalam terkait dengan adat aturan antara lain mengenai:  ‐ Rumah Baduy  luar dan Baduy dalam,  ada persamaannya 

yaitu  sama‐sama dibangun dengan bahan yang  sama dari bambu, dengan atap  terbuat dari  rumbia dan  injuk. Letak perbedaaanya pada Baduy luar, boleh menggunakan paku, sudah menggunakan  alat makan dan minum  terbuat dari gelas  dan memakai  sabun  cuci,  serta memiliki  lebih  dari satu pintu. Pada Suku Baduy dalam bangunan  rumahnya hanya diikat dengan tali bambu tidak boleh menggunakan paku dan hanya memiliki satu pintu.  

138

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

139

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

‐ Bagi Suku Baduy dalam peralatan makan dan minum tidak boleh  menggunakan  peralatan  modern  serta  tidak  boleh menggunakan sabun saat mandi ataupun mencuci, karena akan membuat  tercemar sungai dengan bahan kimia. Baik Suku Baduy dalam maupun  Suku Baduy  luar  sama‐sama tidak  boleh  menggunakan  kendaraan  bermotor  saat bepergian  serta  tidak  diperkenankan memakai  alas  kaki. Perbedaannya  pada  Suku  Baduy  luar  sudah  memakai minyak  tanah  untuk  memakai  lampu  sebagai  alat penerang, sedangkan pada Suku Baduy dalam  tidak boleh menggunakan minyak tanah, karena itu untuk penerangan dengan menggunakan minyak kelapa.  

‐ Dalam  hal  berpakaian  pada  Suku  Baduy  luar,  umumnya pakaian berwarna hitam dan  terkadang bisa warna hitam dan warna putih dengan  ikat kepala berwarna  corak biru hitam.  Sementara  pada  Suku  Baduy  dalam  hanya  dua warna,  hitam  atau  putih  belacu,  umumnya  warna  putih dengan ikat kepala warna putih. 

Perkampungan  masyarakat  Baduy  luar,  berbatasan dengan perkampungan Ciboleger  sebagai masyarakat  Sunda di  luar Baduy. Karena termasuk daerah wisata, maka banyak masyarakat  umum  yang  membuka  usaha  dagang,  dari menyediakan  sembako, menjual makanan matang  semacam warteg    dan  berdagang  berbagai  kebutuhan  sehari‐hari masyarakat  umumnya. Ada  beberapa  pemilik warung  yang menjual  makanan  dan  minuman  dingin,  sekaligus  sebagai tempat  tinggal,  sehingga meletakkan  televisinya di  luar, dan dapat dinikmati oleh anak‐anak suku Baduy  luar dan Baduy dalam yang sedang berada di kampung suku Baduy luar. 

Menurut Adimihardja,komunitas adat adalah  kelompok masyarakat  yang  terisolasi,  baik  secara  geografi  maupun 

sosial budaya dan bertempat  tinggal di daerah  terpencil dan sulit  dijangkau.  Pranata  sosial  dalam  komunitas  adat  ini umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan yang sangat terbatas dan homogeni. (Ahmad Sihabuddin. 2009: 9). 

Menurut  Dainah  selaku  Jaro  Pamarentahan,  bahwa masyarakat  Baduy  memang  sejak  dahulu  selalu  berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan‐aturan yang ditetapkan  oleh  Pu’un  (Kepala  Adat).  Kepatuhan  kepada ketentuan‐ketentuan  tersebut  menjadi  pegangan  dan  acuan mutlak untuk mereka jalani dalam kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat  Baduy  luar maupun  Baduy  dalam  tidak  pernah ada  yang menentang  atau menolak  aturan  yang  diterapkan sang Pu’un.  

Dengan  menjalani  kehidupan  sesuai  adat  dan  aturan yang  ditetapkan  oleh  Kepala  Adat  di  sana,  tercipta  sebuah komunitas dengan  tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera.  ”Di  masyarakat  Baduy,  tidak  ada  orang  kaya, termasuk  tidak  ada  orang  miskin.  Kehidupan  mereka, hakekatnya,  sama  seperti  layaknya  kehidupan  masyarakat lainnya.  Hanya  saja  yang  membedakannya  adalah  begitu banyak  aturan  tradisional  yang  terkesan  kolot  yang  harus mereka patuhi.  

Sebagaimana  disebutkan  sebelumnya  bahwa  nama Sunda Wiwitan  mengandung  arti  sebagai  permulaan  awal. Pemahaman  Sunda  Wiwitan  sendiri  adalah  sebagai  sistem keyakinan  yang  merupakan  tradisi  nenek  moyang  dari masyarakat Sunda Kuno, jauh sebelum ada agama‐agama dari luar  nusantara  masuk.  (mengutip  paparan  Dewi  Kanthi Setyaningsih).  Yang  sampai  saat  ini  mempercayai  dan menganggap sakral pemujaan kepada nenek moyangnya atau 

140

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

141

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

mereka  menyebutnya  para  karuhun.  Orang  Baduy  hanya mempercayai satu Tuhan yang mereka sebut Gusti Nu Maha Agung  atau  Sang  Hyang  Tunggal  dan  dalam  hal  kenabian meyakini bahwa Nabi Adam  sebagai manusia yang pertama di bumi berasal dari Baduy.  

Sebutan  “Agama  Slam  Sunda  Wiwitan”,  merupakan agama khusus untuk komunitas Baduy dan  tidak disebarkan kepada  masyarakat  luar  Baduy.  Dari  sebutan  Slam  yang hampir  mirip  dengan  kata  “Islam”  itu  merupakan  bukti adanya  kedekatan  dengan  Islam. Kedekatannya  terlihat  dari kepercayaan  orang  Baduy  hanya  kepada  satu  Tuhan,  dan Nabi Muhammad dikatakannya dalam posisi sebagai saudara nabi  Adam.  Faktor  kedekatan  lainnya  antara  ajaran  Baduy dengan  Islam yaitu adanya pantangan minum arak  (khamar) dan  memakan  anjing.  (Kesuma,  Sobby,  Arsyad:  Fenomena Konversi Agama  pada Komunitas  Suku  Baduy  Banten”,    12 September, 2012). 

Suku Baduy  tetap mempertahankan ajaran Slam Sunda Wiwitan,  karena mereka meyakini  bahwa  alam  semesta  ini diciptakan  dan  dipelihara  oleh  kekuasaan  Tunggal  Maha Pencipta  yang mereka  sebut  Adam  Tunggal  adalah  leluhur dan  diakui  sebagai  nabinya.  Sedangkan  nabi  Muhammad dipandang  sebagai  saudara  muda  dari  keturunan  mereka, yang memiliki amanat sebagai penutup kesempurnaan untuk mengiblati  Ka’bah,  sehingga  pada  upacara  tertentu, mereka mengenal  dan  membaca  dua  kalimah  syahadat  sebagai penyempurnaan dari sahadat‐sahadat lainnya. Dari keyakinan dan  kepercayaan  semua  itu  mereka  namakan  Agama  Slam Sunda Wiwitan.  (Asep Kurnia dan Ahmad Sihabuddin, 2010: 25‐28). 

Kaitan  dengan  spesifikasi  ajaran  Slam  Sunda Wiwitan yang menitik beratkan pada keharmonisan hubungan  antara manusia  dengan  alam,  maka  dalam  ajaran  Slam  Sunda Wiwitan  dikenal  nama‐nama  sahadat  yang  diyakini keampuhannya  serta  kemustatajabannya  sebagai  suatu  doa yang disampaikan pada Gusti Allah sesuai dengan tujuan dan kebutuhan atau kejadian yang akan mereka lakukan. Sahadat‐sahadat  tersebut  digunakan  secara  spesifik  sesuai  dengan kegiatan  yang  akan  mereka  laksanakan,  karena  sahadat‐sahadat tersebut memiliki fungsi dan manfaat masing‐masing. Kata syahadat yang dimaksud ajaran sunda Wiwitan tentunya berbeda  dengan  kata  syahadat  pada  agama  Islam.  Syahadat menurut  ajaran  Sunda  Wiwitan  diartikan  sebagai  suatu rangkian  kalimat  atau  doa  atau  jampe‐jampe  yang  khusus dibacakan dan disampaikan kepada sang pencipta alam sesuai dengan  kebutuhan. Masalah  yang  dihadapi  dan  diucapkan tidak sembarangan tetapi ada tata kramanya. ( Saatnya Baduy Bicara, 2010: 140).  

Menurut  Jaro  Dainah,  sejak  zaman  kuno  syahadat  ini tidak  bisa dirubah,  karena Allah  yang mendirikan  baitullah. Namun  untuk  sebutan Allah  bagi  suku  Baduy  adalah Gusti Nu Maha Suci, Alloh Yang Maha Kuasa. Dari situlah disebut Slam  Sunda Wiwitan,  dan  bukannya  Islam,  termasuk  pada Suku  Baduy,  juga  mengucapkan  alhamdulillah.  Hanya masalah  salat,  bagi  Suku  Baduy  ketika  itu  tidak  kebagian untuk menjalankan salat. (Wawancara dengan Jaro Dainah, 23 April 2013). 

Beberapa  contoh  kalimat  syahadat  Baduy  yang jumlahnya  cukup  banyak  dan  digunakan  sesuai  dengan penempatan/penggunakannya,  salah  satu  contoh  dari  hasil wawancara dengan Jaro Dainah,  bahwa syahadat Baduy  ada 

142

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

143

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

bedanya  sedikit  dengan  syahadat  Islam  yaitu:  Audzubillahi minassyaitonirozim  bismillahirohmanirrohim.  Asyhadualla ilaha  illallah,  waasyhaduanna    muhammadarrosulalloh, Allohumma  sholliala  syaidina  muhammad,  kemudian ditambah  dengan  kata‐kata  Isun  anggorahi  saturane  arane pangeran  anging  Allah,  Isun  anggorohi  arane  nabi  anging Muhammad.  

Karena  itulah  terkait  dengan  Slam  Sunda  Wiwitan, menurut Jaro Dainah, semua bisa berubah, misalnya alam dan manusia bisa berubah. Tetapi pada wiwitan yang merupakan cikal bakal dari awal sampai akhir zaman tidak bisa berubah. Jadi  bagi  kami manusia  itu  bisa  berubah,  tapi  hukum  adat wiwitan tidak bisa berubah. Yang dimaksud dengan manusia bisa  berubah, misalnya H.  Sapin  dan H. Kasmin  yang  lahir disini, telah memeluk agama Islam sementara kakeknya masih berada di Cibeo.  

Terkait dengan  aturan untuk memasuki wilayah  tanah ulayat suku Baduy,  terutama bagi orang non  Islam, menurut Jaro Dainah sama halnya sesuai dengan sejarah, bahwa untuk memasuki Kota Mekkah dan Madinah tidak boleh orang asing masuk  ke  dalamnya.  Ini  aturan.  Demikian  pula  halnya  di Baduy  dalam,  aturannya  orang‐orang  luar  yang  non  Islam (misalnya Cina dan Belanda/kulit putih).tidak boleh masuk ke Baduy dalam. 

Meskipun  demikian  hubungan  orang  Baduy  dengan orang  luar  Baduy,  terjalin  dengan  baik,  semuanya  teman, tetapi  ada  batas  aturan. Misal:nya  di  Cicakal  Girang  (yang berada  ditengah‐tengah)  komunitas  Baduy,  sebagai  teman yang melaksanakan  salat  (karena  sebagai  umat  Islam),  kami dukung dan tidak mau merugikan orang  lain. Namun Baduy tetap bertahan dengan  adat dan  aturan. Karena  itu menurut 

orang  Baduy,  kalau  manusia  itu  bisa  berubah,  tapi  aturan tetap  tidak  bisa  berubah,  sepanjang  tidak merugikan  orang lain. (Wawancara dengan Jaro Dainah). 

Kehidupan sosial dan ekonomi, antara komunitas Baduy luar  tidak  jauh  berbeda  dengan  Baduy  dalam.  Anak‐anak remaja  Baduy  dalam  baik  yang  laki‐laki  maupun  yang perempuan  dapat  melakukan  transaksi  hasil  tani  yang dibawanya  dari  dalam  untuk  dijual, misalnya  Baduy  dalam pergi keluar dengan membawa hasil kebunnya seperti pisang. Sambil membawa  hasil  kebunnya mereka  datang  ke  Baduy luar  dengan  berkelompok  sampai  5‐7  orang  kelompok  laki‐laki  (remaja),  terpisah  dengan  kelompok  remaja  perempuan Baduy dalam, meskipun dengan tujuan yang sama. 

Masalah mitos  bahwa  komunitas  Baduy  dalam  hanya terdiri dari 40 suhunan, penulis dengar dari masyarakat Lebak yang  mengatakannya  demikian.  Artinya  apabila  di  Baduy dalam ada yang melahirkan atau ada yang meninggal dunia, maka ada yang dikeluarkan dari Baduy dalam dan ada pula yang  diambil  dari  Baduy  luar.  Ternyata  itu  hanya  sekedar “mitos  yang disebarkan  atau dimunculkan  oleh  orang‐orang Belanda  yang  saat  itu  menjajah  kita,  ketika  bertanya  pada tokoh  adat  masyarakat  berapa  jumlah  warga  Suku  Baduy. Oleh  tokoh  tersebut  dikatakan  berjumlah  40  suhunan  yang berada  di  hutan  belantara”.  Namun  faktanya menunjukkan bahwa  di  Baduy  dalam  (Cibeo,  Cikartawana  dan  Cikeusik), baik  jumlah  penduduk,  jumlah  rumah  dan  jumlah  keluarga sudah lebih dari 40, apalagi di Cibeo, rumah sudah lebih dari 96 rumah.(Saatnya Baduy Bicara, 2010: 34). 

Selain  mitos  40,  mereka  juga  dikatakan  kalau  orang Baduy  itu  bau,  karena  jarang mandi  dan  jarang mengganti bajunya  secara  rutin,    ini  keliru.  Ternyata  setelah  peneliti  

144

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

145

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

berdekatan  duduknya  saat  wawancara,  tidak  sedikitpun merasakan  ada  aroma  yang  kurang  sedap. Mereka  tampak bersih  dengan  warna  kulit  yang  kuning  langsat,  bahkan mereka meskipun tidak merasakan duduk di bangku sekolah secara  formal,  sangat menarik  karena  ternyata mereka  bisa membaca  dan  menulis,  bahkan  berita  seputar  politik  yang sedang banyak di bicarakan dan disampaikan melalui televisi merekapun  memahaminya.  Misalnya  kasus  Aceng  Fikri, mereka pun mengikuti beritanya.  

Diawali ketika bertanya mengenai panggilan apa untuk anak  laki‐laki  suku  Baduy,  maka  salah  seorang  dari  Suku Baduy  dalam  bernama Mursyid  dan  teman‐temannya  yang berjumlah  5  orang,  yang  kebetulan  sedang  berada  di komunitas  Suku  Baduy  luar  di  rumah  Jaro  Dainah, mengatakannya  bahwa  sebutan  panggilan  untuk  anak  laki‐laki    itu dengan Aceng. Lalu di  teruskan dengan kata Aceng Fikri  yang  terlibat  kasus  pernikahan  sesaat. Artinya mereka yang  dikatakan  tidak  bersekolah,  terbelakang  dan  bodoh ternyata mereka mengikuti berita di Koran dengan membaca dan melihat televisi saat berada di kampung Baduy luar.  

Konsep  dan  pengamalan  keagamaan  Suku  Baduy,  ada ibadah umum ,dikaitkan dengan tingkah laku sehari‐hari, dan ibadah  khusus  terkait dengan  hari  raya puasa. Puasa dalam ajaran  Sunda  Wiwitan  yang  disebut  dengan  Kawalu  yang dilaksanakan  dalam  satu  tahun  tiga  kali.  Pada  hari Kawalu banyak  prosesi  adat  yang  dilakukan,  sehingga  selama kegiatan  ini  tidak  diperbolehkan  melaksanakan  kegiatan selain  untuk  mempersiapkan  datangnya  hari  besar  bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba.  

Inti  kepercayaan  tersebut  dapat  ditunjukkan  dengan adanya  kepercayaan  akan  pikukuh  untuk  selalu  dianut  dan 

dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari‐hari masyarakat Baduy. Warisan pikukuh nenek moyang ini‐lah yang dijadikan ”sabda suci” dan panutan hidup orang Baduy sampai kini. Isi terpenting dari konsep pikukuh (kepatuhan) masyarakat Baduy adalah  konsep  ketentuan  “tanpa  perubahan  apapun”,  atau perubahan sesedikit mungkin. Hal  ini bisa dilihat dari ajaran pikukuh:  “Lojor  Teu  Meunang  Dipotong  Pondok  Teu  Meunag Disambung,  Gunung  Teu  Menang  dilebur,  Lebak  Teu  menang Dirusak, Buyut Teu Menang Dirobah” . 

Komunitas Baduy dikenal  sebagai komunitas yang  taat kepada kepercayaannya. Yang menariknya lagi, meskipun ada masyarakat Baduy yang enggan memeluk agama Islam, akan tetapi  faktanya  mereka  mengakui  dan  menggunakan  nama Islam dalam kepercayaannya. Seperti terlihat dalam ungkapan mereka:  “Agama  jeung  kapercayaan  Urang  Baduy  mah,  Islam Sunda Wiwitan. Ngan di Cicakal Girang  aya warga muslim, dina sajarah  kahadiranana  nyaeta  dipenta  ku  lembaga  adat  ka  Sultan Banten,  anu  tujuana  supaya  ngabantu  ngurus  pencatatan perkawinan warga Baduy atawa warga anu ngalanggar adat  jeung ngurus mayit…….”. 

Demikian pula halnya yang disampaikan ayah Karmain,  seorang warga Baduy dalam yang kebetulan sedang berada di Baduy  luar mengatakan bahwa Agama Slam Sunda Wiwitan, secara  turun  temurun  dari  nenek moyang mengakui  agama Sunda Wiwitan. Tetapi untuk disahkan secara hukum negara , sekarang sedang berusaha. Tetap kami mempunyai ketentuan “Agama Sunda Wiwitan “ yang mirip dan dekat ke Islam dan tidak  ke  Hindu. Misalnya  dalam  ibadahnya  ke  gusti  Allah juga, hanya dengan tatacara yang berbeda. Ada ibadah khusus dan  ibadah umum.  Ibadah khusus seperti hari Raya Kawalu. 

146

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

147

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Dan  ibadah  umum  terkait  dengan  perilaku  sehari‐hari. Seperti:  tolong menolong, saling menghargai, adil dan bijak.  

Umat  Sunda Wiwitan menjalankan  juga  ritual  ibadah sunah Rasul,  yakni  sunat  atau  khitan  (Djoewisno,  1987:  28). Ritus sunat diyakini sebagai nyelamkeun, mengislamkan, bagi laki‐laki pada umur 4‐7  tahun dan perempuan. Dan, mereka tak  lupa  juga  melaksanakan  ritual  ibadah  puasa  kawalu, lebaran.  Puasa  ini  dilakukan  hanya  sehari  pada  bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga dalam setahun sekali (Sam dkk., 1986: 64).  

 Agama Slam Sunda Wiwitan Tetap Eksis 

Kalau  alam  bisa  berubah  dan  manusia  bisa  berubah, tetapi wiwitan  karena  sebagai  cikal  bakal  dari  awal  sampai akhir zaman  tidak bisa berubah. Tetapi manusianya  jika ada yang  mau  berubah,  silahkan  misalnya  H.  Sapin  dan  H. Kasmin  yang  lahir  disini,  kakeknya masih  berada  di  Cibeo. Kalau yang berubah manusianya itu bisa, tetapi wiwitan tidak bisa berubah. 

Untuk  keagamaan,  bagi masyarakat  adat  Baduy,  tidak berubah.  Hanya  karena  kemauan  manusianya  (individu). Meskipun  tinggal di  luar desa Kanekes,  tetap menganut dan patuh pada aturan adat. 

Terkait  dengan  pencatatan  perkawinan  Suku  Baduy, dilaksanakan  secara  adat  dan  disahkan  oleh  Pu’un  dengan disaksikan oleh Amil dari KUA setempat. Dari pernikahan ini, mereka  tidak  memperoleh  buku  nikah,  sehingga  saat melahirkanpun  tidak  memperoleh  surat  akte  kelahiran. Sementara bagi orang Baduy, bila ada yang keluar, maka tidak ada  sangsi  bagi  yang  tidak  lagi  mengakui  sebagai  Sunda 

Wiwitan. Karena aturan adat Baduy,  tidak boleh mempunyai musuh. (Wawancara dengan Dainah). 

Terkait dengan kematian semua keluarga kumpul. Ada yang merawat khusus, seperti memandikan, mengkafani, dan di  talqin.  Setelah  dikuburkan  kemudian  pada  hari  pertama, tiga  hari  dan  7  hari  dilaksanakan  do’a  dirumahnya masing‐masing, tidak ada ziarah kubur. Karena setelah 7 hari menurut orang Baduy bagi yang sudah meninggal sudah tidak ada lagi hubungannya  dengan  yang  hidup.  Perbedaan  cara penguburannya  bagi  orang  Baduy  dengan    menghadap kiblatnya arah selatan, sedangkan dalam Islam ke barat.  

Karena itu, yang  membedakannya dengan Islam adalah keimanan  dan  ketaatan  Sunda  Wiwitan  kepada  Tuhan, terkandung  di  dalam makna  simboliknya  supaya  senantiasa menjaga dan melestarikan hutan, sungai dan puncak gunung berada  dalam  ekosistemnya  supaya memberikan  kedamaian dan kesejahteraan pada umat manusia. 

 Perkembangan dan Persebaran Penganutnya 

Suku  Baduy  dengan  keyakinannya  Slam  Sunda Wiwitan, sejak dahulu sampai sekarang ini berkembang hanya diseputar  wilayah  desa  Kanekes  di  Baduy  luar  dengan bertambahnya  jumlah  kampung  dan  susuhunan.  Hanya komunitas  Baduy  dalam  tidak  ada  perkembangan  jumlah kampung, yang tetap berada pada tiga kampung yaitu Cibeo, Cikarwatana dan Cikeusik.  

 Realisasi Sosial Suku Baduy dengan Masyarakat Lain 

Hubungan  orang  Baduy  dengan  orang  luar  Baduy, terjalin  dengan  baik.  Terlebih  lagi  dalam  menjalankan transaksi  jual  beli  barang  kebutuhan  sehari‐hari,  atau 

148

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

149

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

melakukan kunjungan untuk bersilaturrahmi dengan orang di luar Baduy yang sudah mereka kenal saat ada kunjungan ke kampung Baduy dan meninggalkan alamat.  

 Perihal Pencantuman SWWT pada KTP 

Masyarakat  Suku  Baduy  yang  tinggal  di  pedalaman Kabupaten  Lebak,  Provinsi  Banten,  secara  turun‐temurun memeluk  Agama  Slam  Sunda  Wiwitan,  tanpa  diusik  oleh siapapun,  termasuk  oleh pemerintah. Namun,  kebebasan  itu nampaknya  tidak  lantas  membuat  warga  Baduy  ini  puas. Mereka  pun menggugat  agar  agamanya  diakui  secara  legal formal  dan  dicantumkan  dalam  Kartu  Tanda  Penduduk (KTP).   Saat  ini pemerintah belum mengakui Sunda Wiwitan sebagai agama atau kepercayaan sebagian warga masyarakat Baduy Lebak, padahal kepercayaan ini sudah lama kami anut.   (Wawancara  dengan  Kepala  Pemerintahan  Adat  Baduy, Daenah, ). 

Menurut Donny, aliran‐aliran kepercayaan yang ada di Indonesia “bukan agama, karena sifatnya sudah masuk ranah hak  pribadi  seseorang.  Maka  dari  itu,  bagi  mereka  yang penghayat  suatu  paham  kepercayaan  tidak  perlu mencantumkannya dalam kolom agama pada KTP. Penghayat kepercayaan dalam administrasi kependudukan diatur dalam Pasal  61  ayat  2 UU Nomor  23  tahun  2006. Dalam  pasal  itu disebutkan,  keterangan  mengenai  kolom  agama  bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan  tidak diisi,  tetapi  tetap dilayani dan  dicatat  dalam  database  Kependudukan.  Dulu  aliran kepercayaan kami dicantumkan dalam KTP.  

Menurut Dainah kepada peneliti mengatakan, kebijakan siapapun  kami  terima,  yang  penting  apa  yang  menjadi 

keyakinan  kami  itu masuk  dalam  kolom  agama  pada  KTP.  Dulu  ketika  di  tahun  1972,  punya  KTP  dan  tidak dipermasalahkan. Waktu diperdebatkan  (zaman Bung Karno yang  sering  datang  dan  musyawarah  dengan  kolot) menanyakan maunya apa. Karena sebagai Slam Wiwitan dan dikhawatirkan dianggap merembet dengan teman‐teman yang lain,  maka  diarahkan  ke  Sunda  Wiwitan  saja.  Tidak dimasalahkan karena kebijakan daerah. Tiba‐tiba  tahun 2011, 2012  dipermasalahkan.  Orang  Baduy  bukan  untuk kepentingan  orang  luar,  tetapi  untuk  Sunda Wiwitan,  yang penting  ada kebijakan bisa ditempelkan ke KTP.   Selama  ini  dalam e‐KTP masih kosong. Ketika manual karena di buat di kecamatan ada tertulis Sunda Wiwitan.   

Sementara bagi orang Baduy dalam, ketika melaksana‐kan  pernikahan  dicatat  di  desa  dengan  izin  adat,  ada  saksi, wali,  amil.  Sedangkan  untuk  Akte  kelahiran  di  buat rekomendasi dari kepala desa.  

Terkait  dengan  masalah  KTP  masyarakat  Baduy  meminta  keadilan  pada  MK  (Mahkamah  Konstitusi)  untuk pencantuman pada kolom agama e‐ KTP adalah agama Slam Sunda  Wiwitan.  Karena  pada  e‐KTP  yang  dimiliki  warga Baduy,  tidak  ada  tercetak  pada  kolom  agama  dengan  Slam Sunda Wiwitan, tetapi masih kosong. Menurut seorang warga Baduy  luar bahwa  terkait dengan keinginan memiliki e‐KTP’  akhirnya tidak begitu penting, kecuali bagi mereka yang suka keluar.  Kalaupun  tidak  memiliki    e‐KTP,  jika  akan  keluar, maka akan diberikan surat jalan sementara oleh Jaro Dainah. 

  

  

150

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

151

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

PENUTUP  

Kesimpulan 1. Agama  Slam  Sunda Wiwitan  tetap  eksis  karena  mereka 

semua  patuh  kepada  karuhun,  dan  adat  yang  tidak  bisa berubah, sebaliknya kalau manusia dan alam bisa berubah. Wiwitan  sebagai  cikal  bakal  sampai  kapanpun  tidak  bisa berubah.  Sunda  Wiwitan  merupakan  agama  sinkretisme Islam  dan Hindu  yang  dianut  oleh masyarakat  Baduy  di Desa Kanekes, Lebak Banten. Agama Slam Sunda Wiwitan tidak  memiliki  kitab  suci,  akan  tetapi  ajaran‐ajarannya terwujud  dalam  tapa,  bekerja  sehari‐hari  di  ladang. Pemahaman  ajaran‐ajaran  agama  yang  menjadi keyakinannya  dipraktikkan  di  dalam  interaksi  umat dengan  alamnya.  Keimanannya  kepada  Allah  hanya terlihat  di  dalam  pengucapan  kalimat  syahadat,  namun mereka  melakukan  praktik  ritual  keagamaan  dengan berpedoman  pada  pikukuh,  aturan  adat,  dan  ketaatan kepada buyut, dan menghindari dari pantangan atau  tabu yang tidak boleh dilanggar.  

2. Perkembangan  agama  Slam  Sunda  Wiwitan  tidak mengalami  peningkatan  yang  signifikan  terkait  dengan penyebaran  penganutnya,  kecuali  penambahan  jumlah kampung yang sudah mencapai 59 kampung di Baduy luar dan  tetap  terdapat 3 kampung di Baduy dalam. Demikian pula  dengan  jumlah  rumah  (susuhunan)  yang  semula  60 susuhunan, kini sudah mencapai 98 susuhunan. Mengenai penyebaran  penganut  agama  Slam  Sunda  Wiwitan, meskipun  masyarakat  Baduy  dikenal  sebagai  komunitas yang taat dan selalu memegang teguh adat kepercayaannya dengan  konsep  ajaran  hidup  “tanpa  perubahan  apapun”, 

akan  tetapi  faktanya  saat  ini  banyak  Orang  Baduy  yang sudah  mengalami  perubahan.  Di  antara  sekian  banyak bentuk  perubahan  yang  terjadi  pada  komunitas  Baduy adalah perubahan dari sisi kepercayaan agamanya. Saat ini banyak  warga  Baduy  yang  sudah  berpindah  agama menjadi penganut agama Islam.  

3. Hubungan  sosial  antara  penganut  agama  Slam  Sunda Wiwitan dengan masyarakat diluarnya cukup baik. Hal ini disebabkan  perilaku  santun  dan  jujur  yang  dimiliki  oleh orang  Baduy,  yang  taat  dan  kuatnya  mereka  dalam mematuhi adat kepercayaan akan pikukuh yang diajarkan kepada  mereka  untuk  dijadikan  pegangan    dalam kehidupan sehari‐hari masyarakat Baduy. Sehingga dengan konsep  ketentuan  sebagai  warisan  pikukuh  (kepatuhan) tersebut    yang  dijadikan  panutan  hidup  orang  Baduy sampai kini. 

4. Terkait  dengan  pelayanan  hak‐hak  sipil  dari  penganut agama Slam Sunda Wiwitan, pencantuman agama pada e‐KTP,  bagi  masyarakat  komunitas  penganut  agama  Slam Sunda  Wiwitan,  masih  belum  mendapatkan  prioritas sebagaimana halnya 6 agama yang dilayani Negara, yang sampai  saat  ini  masih  diupayakan  sampai  ke  MK (Mahkamah  Konstitusi)  untuk  mendapatkan  hak‐hak sipilnya  sebagai  warga  Negara  Indonesia.  Memang sebelum  adanya  Sistem  Informasi  Administrasi Kependudukan  (SIAK),  sudah  ada  tercantum  pada  KTP yang  ditandatangani  oleh  Camat  setempat  pada  kolom agama  dengan  sebutan  Slam  Sunda  Wiwitan  (SWWT). Artinya  atas  kebijakan  pemerintah  daerah,  pencantuman agama Slam Sunda Wiwitan ada pada KTPnya ketika itu.  

152

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

153

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Rekomendasi Dengan  adanya  program  Sistem  Informasi 

Administrasi  Kependudukan  (SIAK)  menjadikan  komunitas Baduy tidak memperoleh haknya dalam pencantuman agama pada  e‐KTP,  maka  Kementerian  terkait  sebaiknya mempertimbangkan  kembali  untuk  memberikan  pelayanan hak‐hak  sipil    mereka  sebagai  warga  negara,  disesuaikan dengan peraturan Perda. 

 

DAFTAR PUSTAKA  

Aziz,  Abdul.  H.  Ketakwaan  Terhadap  Tuhan  Yang  Maha  Esa Dalam  Sistem  Sosial  Budaya  Masyarakat  Baduy, Departemen  Agama  RI.  Badan  Penelitian  dan Pengembangan  Agama  Proyek  Penelitian Keagamaan, Jakarta, 1989/1990. Buku VIII 

Adimihardja, Kusnaka, Dinamika Budaya Lokal. Bandung. CV. Indra Prahasta dan Pusat Kajian LBPB, 2007. 

Djamas,  Nurhayati  &  Azril  Yahya,  Penyunting,  Proses Keagamaan  Pada Masyarakat  Pedesaan, Departemen Agama  RI,  Badan  Penelitian  dan  Pengembangan Agama, Jakarta, 1993/1994. 

Garna,  Judistira,  Masyarakat  Tradisional  Banten  dan  Upaya Pelestarian  Nilai‐Nilai  Budaya.  Makalah  pada Seminar 

Kurnia, Asep, S.Pd. dan Dr. Ahmad Sihabuddin, M.Si., Saatnya Baduy Bicara. Jakarta Bumi Aksara, 2010.. 

Kesuma,  Sobby,  Arsyad,  Fenomena  Konversi  Agama  pada Komunitas Suku Baduy Banten, 12 September, 2012. 

Ria,  Andayani,  S,  Dra.  Komunitas  Adat  Baduy,  Departemen Kebudayaan  dan  Pariwisata,  Balai  Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Bandung, 1998. 

Saidi,  Anas  (Ed.),  Abdul  Aziz  dkk.,  Menekuk  Agama, Membangun Tahta (Kebijakan Agama Orde Baru), Cet. 1, Penerbit Desantara, 2004. 

Sihabuddin,  Ahmad,  Persepsi  Komunitas  Adat  Baduy  Luar Terhadap  Kebutuhan  Keluarga  di  Kabupaten  Labak Provinsi  Banten.  Sekolah  Pascasarjana  Institut Pertanian Bogor. Bogor, 2009. 

154

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

155

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Puncak‐Puncak  Perkembangan  Warisan  Budaya  Banten,  dalam Forum  Ilmiah Festival Banten  1994. Serang,  28‐29 Agustus 1994. 

http://www.beritasatu.com/berita‐utama/84563‐suku‐baduy‐minta‐kepercayaan‐sunda‐wiwitan‐tercantum‐di‐e‐ktp.html 

Jappy Pellokila: (http://www.jappy.8m.net/blank Robert  Bogdan  &  Steven  Taylor,  Introduction  to  Qualitative 

Reserach   Methode: A  Phenomenological Approach  to the  Social  Science,  Alih  Bahasa  Arief  Furchan, Surabaya, Usaha Nasional, 1992. 

Kesuma,  Sobby,  Arsyad,  Fenomena  Konversi  Agama  pada Komunitas Suku Baduy Banten, 2012. (makalah) 

Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999. 

(http://www.antaranews.com/berita/287527/sunda‐wiwitan‐tak‐masuk‐ktp‐baduy‐ datangimk, diunduh 12‐12‐2011) 

Informan: 1. Dr.  Ahmad  Sihabuddin  (Penulis  Buku  Saatnya  Baduy 

Bicara) 2. Jaro Dainah, 23 April 2013. 3. Wewen  (Kasi  Bagian  KTP  dan  Pendaftaran 

Kependudukan) 4. Wanto (Kasi Penerbitan Akte Kelahiran) 5. H. Sapin (Sekdes Kanekes) 6.  Poim Hamzah (KUA Kecamatan Leuwidamar) 7. Ayah Mursyid (Baduy Dalam) 8. Ayah Karmain (Baduy Dalam) 

156

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

157

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

         

 AGAMA/KEPERCAYAAN ISLAM WETU TELU  DI BAYAN LOMBOK UTARA (NTB) 

Oleh : Jajang Jahroni & Dadi Darmadi    

GAMBARAN UMUM WILAYAH   

 Demografis Bayan Bayan  merupakan  sebuah  nama  kawasan  pesisir  di 

Pulau  Lombok  yang  memiliki  sejarah  panjang.  Dalam administrasi  pemerintahan moderen,  selama  puluhan  tahun Bayan  termasuk  wilayah  Lombok  Barat.  Pada  tahun  2008, terjadi  pemekaran  wilayah,  dan  Bayan  kini menjadi  bagian dari  Kabupaten  Lombok  Utara,  NTB.  Kecamatan  Bayan tercatat memiliki  luas wilayah  366,10  km2. Menurut  sensus terakhir  (2011)  total  jumlah  penduduk  di  kecamatan  Bayan adalah  48.135  orang.  Seperti  halnya  masyarakat  Pulau Lombok,  mayoritas  penduduk  Bayan  adalah  suku  Sasak. Meskipun  demikian,  sebagian  masyarakat  Bayan  mereka mengaku lebih sebagai orang Bayan.  

Menurut sensus terakhir (2012) jumlah total penduduk kecamatan Bayan  adalah  47,041  jiwa. Terdiri dari  14,470 KK dan  tersebar di 9 desa. Dari aspek agama, penduduk Muslim berjumlah  45,382 orang, Protestan 8 orang, Hindu  326 orang dan Buddha 1,325 orang. Sejauh  ini  tidak ada data mutakhir berapa  jumlah  resmi  penganut  adat  dan  kepercayaan Wetu Telu  di  Bayan.  Namun,  sebuah  sumber  kami  di  Bayan menjelaskan  bahwa  mayoritas  penduduk  yang  mengaku Muslim  di  Bayan  adalah  penganut Wetu  Telu.  Sumber  lain memprediksikan bahwa Wetu Telu dianut oleh kurang  lebih 95%  penduduk  Muslim  Bayan.  Itu  berarti  bahwa  jumlah mereka  lebih  dari  40,000.  Namun,  perlu  ditegaskan  di  sini bahwa  ini  hanyalah  sekedar  estimasi  di  lapangan,  karena sesungguhnya pendataan  seperti  itu  tidak mudah dilakukan. Apalagi  hampir  semua  penduduk  Bayan meskipun mereka 

158

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

159

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

menganut paham Wetu Telu tapi mereka tetap mengaku Islam sebagai agamanya.   

Wilayah Bayan terbentang di sebelah utara Laut Jawa, berada di sebelah barat Selat Lombok dan Kabupaten Lombok Barat. Wilayah  ini  juga  berbatasan dengan Lombok Barat di sebelah selatan dan Lombok Timur di sebelah timur. Sebagian wilayah Bayan adalah pantai, tetapi sebagian lain wilayahnya adalah  pegunungan.  Dengan  posisi  geografis  yang  seperti, maka Bayan dan Lombok Utara sangat strategis sebagai  jalur perhubungan laut dan daerah tujuan wisata dan turisme.  

Ada  sembilan  desa  di  Bayan,  yaitu:  Sambik  Elen, Loloan, Bayan, Senaru, Karang Bajo, Anyar, Sukadana, Akar‐akar dan Mumbul Sari. Pusat perdagangan dan pemerintahan terdapat  di  sekitar  desa  Bayan  dan  Anyar.  Di wilayah  lain seperti  Senaru  terdapat  sejumlah  tempat  rekreasi  dan parawisata  menarik,  dan  bahkan  unggulan  Pulau  Lombok, seperti air  terjun Sindang Gile, dan  lokasi pendakian gunung (trekking)  ke  Gunung  Rinjani,  khususnya  untuk  melihat pemandangan  Danau  Sagara  Anak  yang  popularitasnya sudah mendunia. Wisatawan mancanegara kerap berdatangan ke wilayah ini, seperti turis‐turis dari Eropa (Perancis, Jerman) dan Asia (Jepang).  

Sementara  itu,  masing‐masing  desa  memiliki  rumah dan  komunitas  adat.  Tapi,  untuk  acara  ritual  adat  dan keagamaan,  kerap  dilaksanakan  di  sebuah  mesjid  yang disebut Mesjid Kuno atau Mesjid Bayan Beleq, yang berlokasi di pinggir jalan Labuan Lombok, Desa Bayan.  

Lambang  Lombok  Utara  berbentuk  kotak  persegi empat, dengan ujung bawah lancip, seperti dasi. Lambang ini didominasi oleh warna hijau, dengan garis merah di atasnya. Slogannya  adalah  “tioq,  tata,  tunaq”,  yang  merupakan 

ilustrasi  lain dari ajaran serba  tiga dalam  falsafah Wetu Telu, seperti  yang  akan  dijelaskan  kemudian.  Pada  saat  kami melakukan penelitian ini dan berkunjung ke Bayan pada April 2013,  Bupati  Lombok  Utara  dijabat  oleh  Bapak  H.  Djohan Sjamsu, SH, dan Camat Bayan adalah Bapak Fahri, S.Pd.   

Kecamatan  Bayan  berada  di  ujung  utara  Pulau Lombok,  dan  kira‐kira  berjarak  80  KM  dari  pusat  ibukota propinsi.  Untuk  mencapainya  dari  arah  Mataram  atau Ampenan, maka harus melewati wilayah Lombok Barat dan beberapa  kecamatan  lain  seperti  Tanjung,  Pemenang, Kayangan, dan Gangga.     

     Tinjauan Literatur   Bayan,  dengan  segala  keunikan  dan  kekhasan  adat istiadatnya,  telah  menarik  minat  para  sarjana  dan  peneliti. Sejumlah  studi  dan  penelitian mengenai masyarakat  adat  di Bayan telah dilakukan, salah satu yang paling awal dilakukan oleh  sarjana  Belanda  pada  pertengahan  abad  ke‐20 M.  Van Baal,  misalnya,  meneliti  upacara  keagamaan  di  sana  yang disebut  ‘Pesta Alip’  (Baal,  1976).  Pada April  2013  yang  lalu kami berkunjung ke  salah  seorang  tokoh  adat Bayan, dan  ia mengakui pernah bertemu dengan sarjana Belanda tersebut.  

Di  kalangan  sarjana  di  tanah  air,  pada  awal  tahun 1970‐a Moh. Koesnoe  sudah mulai melakukan  studi  tentang kaitan  antara  hukum  adat  di  Bali  dan  Lombok  (Koesnoe, 1975).  Pada  tahun‐tahun  ini  pula,  Sven  Cederroth,  seorang sarjana  Swedia,  tinggal  di  Bayan  dan  melakukan  kajian antropologis tentang agama dan adat di sana. Dari studi‐studi ini,  istilah  Islam Wetu  Telu  sudah  mulai  digunakan  untuk menjelaskan  fenomena  Islam  yang  bercampur  baur  dengan adat  lokal. Meskipun demikian, hingga  akhir  tahun  1980‐an, 

160

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

161

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

masih  ada  peneliti  yang menggolongkan masyarakat  Bayan sebagai “suku terasing” (Adonis, 1989). Belakangan, sejumlah kajian  oleh  sarjana Muslim mengenai  Islam di Lombok  juga berkembang,  baik  berupa  penelitian  pribadi,  tesis  maupun disertasi (Abd. Syakur 2005; Zuhdi, 2011; Yasin, 2010).    Kajian  Sven  Cederroth  terus  berlanjut  hingga  tahun 2000‐an,  dan  hingga  kini  barangkali  ia  merupakan  sarjana asing yang karyanya paling berpengaruh dalam kajian agama dan adat di Bayan dan Lombok. Karena dinamika sosial yang cukup hebat di kalangan masyarakat tradisional di Indonesia, khususnya  sejak  masuknya  program  pembangunan  dan modernisasi  tata  kelola  pemerintahan  daerah,  maka  pada tahun  1990‐an  mulai  bermunculan  kajian‐kajian  dengan pendekatan yang lebih segar tentang agama dan adat di sana. Budiwanti,  misalnya,  meneliti  tentang  interaksi  antara gerakan  dakwah  Islam  dan  masyarakat  adat  di  Bayan.  Ia menyebut  Islam  wetu  telu  sebagai  agama  tradisional, sementara  Islam  kebanyakan  yang  ortodoks,  sebagai  agama samawi  (Budiwanti,  1997,  2000).  Studi  Budiwanti  cukup berpengaruh karena ia berhasil menunjukkan garis tegas yang diametral  antara  wetu  telu  dan  Islam  ortodoks,  yang disebutnya  Islam wektu  lima. Meskipun  begitu,  perlu dicari penjelasan  lain,  sejauhmana  sebenarnya perbedaan diametral di  antara  keduanya  itu,  dengan mendengarkan  kedua  belah pihak.    Ritual merupakan salah satu aspek terpenting di dalam masyarakat  adat  dan  agama  lokal  di  Indonesia.  Begitu  juga halnya  dengan  Islam  di  Lombok,  sejumlah  ritus  keagamaan seperti  perkawinan mendapat  porsi  yang  cukup  penting  di dalam  kajian mengenai  Islam  di wilayah  ini  (Bartholomew, 2001; Yasin 2010).  

  Dalam  beberapa  tahun  terakhir  ini,  kajian  Islam  di Lombok  juga  beragam,  khususnya  dengan  meletusnya peristiwa  kerusuhan  di Mataram  pada  tahun  2001.  Lombok mengalami banyak perubahan pada masa reformasi, ditandai dengan  kemunculan  berbagai  kelompok  sosial  dan  politik yang turut bermain di dalam politik lokal di Lombok (Antlöv, Cederroth,  and  Cederroth  2004;  MacDougall  2008).  Aspek kesenian  lokal, khususnya  seni musik di Lombok  juga dikaji karena keterkaitannya dengan agama  Islam, budaya Bali dan adat khas Lombok  sendiri  (D. D. Harnish,  2006; D. Harnish, 2011).   Namun  demikian,  sejauh  ini  belum  cukup  banyak kajian  yang memfokuskan  diri  kepada  Islam  dan  dinamika agama  lokal, bukan hanya terkait dengan Islam semata tetapi juga kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, sejumlah kasus merebak  di  tanah  air  karena  sebagian  masyarakat  adat mengaku  tidak mendapatkan  perlakuan  yang  sama  sebagai warga negara, khususnya  terkait dengan  sistem kepercayaan dan adat istiadatnya. Di sinilah arti pentingnya penelitian ini, di mana agama lokal dilihat sebagai suatu sistem kepercayaan yang dinamis. Terlebih dengan adanya Undang‐undang yang menjamin  hak‐hak  yuridis  dan  hak‐hak  sipil  setiap  warga negara; di sini para pemeluk dan pengikut agama lokal seperti yang terdapat di Lombok didengar aspirasi dan permasalahan yang dihadapinya.  

162

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

163

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

TEMUAN HASIL PENELITIAN  

 Agama Lokal dan Eksistensinya di Bayan        Pada prinsipnya,  istilah  Islam Wetu Telu datang dari 

luar, dan masyarakat adat penganut ajaran yang disebut Wetu Telu ini mengaku beragama Islam dan telah menganut ajaran ini  selama  ratusan  tahun.  Seperti  dijelaskan,  bahwa masyarakat  Bayan memegang  teguh  sebuah  tradisi,  tapi  hal itu  tidak mereka  anggap  bertentangan  dengan  agama  Islam yang dianutnya. Bagi mereka,  Islam dan adat  lokal  itu  tidak harus  dipisahkan,  dan  bahkan  menyatu  dengan  kehidupan mereka sehari‐hari. Hal itu nampak jelas dari temuan kami di lapangan setelah berdiskusi dengan para tokoh adat setempat di Bayan, Lombok Utara.  

Bagi  masyarakat  luar,  bahkan  bagi  sebagian  kaum Muslimin  yang  tinggal  di  Lombok,  keteguhan  masyarakat Islam di Bayan menjaga tradisi dan tunduk akan adat istiadat setempat  menjadikan  mereka  seolah‐olah  sebuah  entitas agama  tersendiri,  yaitu  Islam  Wetu  Telu.  Beberapa  kajian antropologis  agama  dan  kebudayaan  di  Lombok  juga mengisyaratkan adanya bentuk keagamaan khas yang disebut Islam Wetu Telu. Seperti halnya studi antropologis Geertz di Jawa, Cederroth mendeskripsikan adanya varian‐varian Islam di  Lombok  yakni Wetu  Telu  dan Waktu  Lima  (Cederroth, 1981, 1995). Bahkan, dalam sebuah studi yang menarik tentang kemunculan  gerakan  dakwah  Islam  di  kalangan masyarakat Muslim Sasak, Islam Wetu Telu secara tegas dipertentangkan dengan  Islam  Waktu  Lima  (Budiwanti,  1997,  2000).  Yang pertama merujuk kepada Islam lokal, sedangkan yang disebut terakhir  merujuk  kepada  Islam  mainstream  yang  dianut kebanyakan orang Islam pada umumnya, seperti di Mataram 

ataupun  kota‐kota  lainnya  di  Jawa.  Baik  Cederroth  dan Budiwanti melakukan penelitiannya di Bayan, Lombok Utara.  

Dalam  penelitian ini kami banyak mendapat pelajaran dan  temuan  berharga dari  hasil  studi‐studi  terdahulu. Akan tetapi,  berbeda  dengan  sebagian  dari  temuan mereka,  kami tidak  bermaksud  mempertentangkan  di  antara  jenis‐jenis keberislaman yang ada di Bayan. Kami menemukan  fakta di lapangan  bahwa  Islam  mainstream  sudah  sedemikian berkembang  di  sana.  Modernisasi  lembaga‐lembaga pemerintahan,  termasuk pengenalan organisasi dan birokrasi keagamaan, sudah terjadi sejak awal pemerintahan Orde Baru. Islamisasi  dalam  bentuk  gerakan  dakwah  ormas  Islam  dan pendidikan  Islam  juga  sudah masuk  seperti yang ditemukan dalam  studi‐studi  Cederroth  dan  Budiwanti  di  atas,  akan tetapi menurut  hemat  kami  tidak  selayaknya  kedua  bentuk keislaman  itu  dipertentangkan.  Memang  ada  sejumlah perbedaan, namun  tidak selamanya  Islam dan Wetu Telu  itu bertentangan. Dalam sejumlah kasus, seperti yang akan kami jelaskan,  terdapat  bentuk‐bentuk  adaptasi  dan  inkulturasi budaya dari pertemuan keduanya. Hal  itu  tidak  terlepas dari perubahan  sosial  yang  lumayan  cepat  di  Bayan,  di  mana faktor  sosial, ekonomi dan politik banyak berperan di dalam menguhubungkan Bayan dengan dunia luar. 

Secara geografis, masyarakat Bayan  tinggal di daerah pantai  dan  pedalaman  Lombok.  Sebagian  penduduknya bekerja sebagai nelayan, dan sebagian lainnya bercocok tanam di  sawah  dan  kebun.  Karena  letaknya  tidak  jauh  dari pegunungan,  dengan  Gunung  Rinjani  sebagai  dataran tertingginya,  Bayan  dan  wilayah  sekitarnya  kawasan pertanian  dan  perkebunan  yang  lumayan  subur.  Di  daerah Senaru,  di  lereng  bukit  Gunung  Rinjani,  selain  bertani, 

164

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

165

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

masyarakatnya  mengembangkan  usaha  turisme  pendakian gunung  (trekking)  di  mana  mereka  bekerja  sebagai  porter, pemandu  dan  pedagang  bagi  turis‐turis  lokal  dan mancanegara.       

Di sepanjang perjalanan kami dari Mataram ke Bayan, sekitar  100  kilometer  jauhnya,  kehidupan  sosial masyarakat Lombok nampak dinamis. Di antara wilayah Senggigi hingga Tanjung,  pantai‐pantai  biru  nan  indah  terlihat  dari  balik gedung‐gedung  hotel,  restoran  dan  pertokoan  dan  tanah lapang yang luas. Inilah pusat wilayah turisme Lombok yang dulu,  pada  tahun  1990‐an  pernah  berjaya.  Kini,  meskipun industri turisme tetap berjalan, hingar bingarnya hanya terasa pada waktu‐waktu tertentu. Khususnya sejak “Peristiwa 171” pada tahun 2001 itu, perkembangan turisme tidak pernah lagi seramai  dulu.  Tentu  hal  itu  berimbas  kepada  kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Lombok.    

Meskipun  di  kelilingi  hotel‐hotel  berbintang,  tidak jarang  kami  melihat  mesjid  di  kanan‐kiri  jalan.  Bahkan  di sebuah  perbukitan,  terdapat  sebuah  mesjid  cukup  besar. Untuk bisa masuk ke sana, orang harus melewati jalan setapak berputar  ke  atas,  dan  dari  mesjid  itu  terhampar  luas pemandangan  laut Lombok yang biru. Hari  itu kami melihat cukup  banyak wisatawan  dan  peziarah  lokal  berkunjung  ke sana. Konon, menurut  seorang  informan  kami,  pada musim ibadah haji mesjid itu ramai sekali dengan para peziarah lokal yang  akan berangkat ke Mekah. Orang‐orang  juga berziarah ke  sana  sekedar untuk mendapatkan berkah. Hal‐hal di  atas memberikan gambaran bahwa, Islam di Lombok hidup cukup dinamis,  dan meskipun  industri  turisme  terus  berkembang, kegiatan keagamaan seperti ziarah tetap berjalan.   

 

Di siang dan sore hari, suara azan atau pengajian dari kaset  juga  diperdengarkan.  Sesekali  ada  sejumlah  orang duduk  di  kursi  atau  berdiri  di  tengah  jalan,  dengan  saring ikan  di  tangan  mereka,  bermaksud  meminta  sumbangan untuk  pembangunan  mesjid  di  wilayahnya.  Di  wilayah Malaka, kira‐kira satu setengah jam perjalanan menuju Bayan, sebuah  panggung  pertunjukan  besar  disiagakan.  Spanduk sponsor  yang  cukup  besar  terpampang  di  pinggiran  jalan. Spanduk  sponsor  yang  terbesar  berada  tepat  di  atas panggung,  yang  berada  tepat  di  bibir  pantai;  tampaknya kegiatan  ini disponsori  oleh  sebuah bank  lokal. Ternyata  itu adalah kegiatan festival keagamaan dan kebudayaan tahunan: Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) untuk tingkat kecamatan. 

Semakin  kami  mendekat  ke  Bayan,  suasana  pantai perlahan seperti menghilang. Di beberapa tempat pemukiman tampak  semakin  padat.  Rumah  berasitektur  Hindu  Bali — dengan  bangunan  pura  kecil  yang  khas  di  bagian  depan —  juga terlihat semakin sering dijumpai. Rumah‐rumah tersebut berjejer,  berdempetan  dengan  rumah‐rumah  biasa  lainnya. Hal  ini menandakan di wilayah‐wilayah  ini komunitas orang Hindu  juga  lebih  besar  di  banding  wilayah  lainnya,  dan hubungan Muslim‐Hindu  tampak  sesuatu  yang  normal.  Di wilayah Tanjung, suasana keagamaan semakin  terasa. Mesjid nampak  semakin  kelihatan,  besar  dan  kecil.  Sebagian  dari mesjid‐mesjid itu dibangun dengan kubah‐kubah besar. Kami mendapat kesan bahwa,  jika dibandingkan dengan bangunan kubah  sejenis di  Jawa,  terkadang  kubahnya  jauh  lebih  besar dari proporsi bangunan mesjid  itu sendiri. Tapi, seperti pada umumnya di Pulau Lombok, bangunan rumah ibadah Muslim ini  terlihat  sederhana,  sebagian  di  antaranya  lebih  tampak sebagai bangunan yang belum selesai sepenuhnya.  

166

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

167

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Di  desa  Anyar,  yang  merupakan  salah  satu  pintu masuk ke wilayah Bayan, kehidupan masyarakat adat masih belum begitu  terlihat.  Semuanya  terlihat biasa, hampir  sama dengan  apa  yang  kami  lihat dari  sepanjang perjalanan  kami dari  Mataram.  Kalaupun  ada  sedikit  pengecualian,  hal  itu adalah suasana perkampungan semakin  terasa. Di siang hari, kehidupan  ekonomi  masyarakat  di  Anyar  tampak  berjalan normal;  sebagian  mereka  adalah  petani,  sebagian  lain pedagang. Warung makan dan warung  sayur‐mayur  terletak di  berbagai  penjuru.  Anak‐anak  berseragam  sekolah  hilir mudik,  sebagian  ibu‐ibu  dan  kaum  perempuannya menggunakan jilbab.  

Wujud  nyata  dari  bagaimana  adat  dan  tradisi masyarakat  Bayan  itu  benar‐benar  eksis  baru  kami  jumpai ketika kami sampai di kompleks Mesjid Kuno di Bayan Beleq. Terletak di pinggir  jalan yang besar, dikelilingi pohon‐pohon tua  besar  yang  rimbun,  Mesjid  Kuno  yang  terbuat  dari bebatuan,  kayu dan  anyaman  bambu  ini merupakan  sebuah sanctuary,  tempat  yang  dihormati.  Inilah  mesjid  yang dianggap  keramat  oleh  para  pemangku  adat  dan  para pengikutnya  karena  dianggap merupakan  saksi  dan  bagian sejarah  awal  kedatangan  Islam  di  Lombok.  Dibangun  pada abad  ke‐16 M,  bangunan mesjid  ini masih  tampak  kuat dan kokoh. Sebagai pusat kegiatan ritual, Mesjid Kuno dikelilingi sejumlah kompleks makam. Makam  ini bukanlah pekuburan biasa,  karena  hanya  tokoh‐tokoh  adat  dan masyarakat  yang terdahulu  saja  dimakamkan  di  sini.  Makam‐makam  itu terpisah satu sama lain, dan lebih nampak sebagai rumah bilik karena ditutupi atap bambu dan bebatuan sebagai fondasinya.   

Mesjid  Kuno  Bayan  Beleq  juga  merupakan  simbol Bayan  yang  utama. Di  sinilah  acara‐acara  ritual  keagamaan 

yang  terpenting  dilakukan. Khususnya  dua  kegiatan  utama: Hari Raya Idul Fitri dan Maulid Nabi. Pada kedua acara besar ini,  sejumlah pemangku adat,  tiga  tokoh agama, dan  ratusan pengikut  adat  dari  berbagai  kampung  di  Bayan  berkumpul. Terkadang  ada  juga  tamu  dan  undangan  hadir  di  acara tersebut. Mereka semua berpakaian adat khas Bayan.  

Masyarakat  Bayan  memiliki  kalender  dan  sistem penanggalan tersendiri. Misalnya, dalam perayaan  acara Hari Raya dilaksanakan pada hari ketiga setelah berakhirnya bulan puasa  Ramadan.  Seringkali  hal  ini  mendatangkan kebingungan di  sebagian kalangan. Penanggalan  ini berbeda dengan kebanyakan warga Muslim  lainnya di Lombok. Tapi penentuan jatuhnya awal Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri di daerah  lainnya  di  Indonesia  juga  seringkali  berbeda  antara satu  komunitas  dengan  komunitas  lainnya. Menurut  Raden Palasari,  tokoh  adat  muda  masyarakat  Bayan,  para  leluhur mereka  selalu mengikuti  sistem  penanggalan  ini. Keputusan para tokoh adat dan agama di dalam penentuan jatuhnya Hari Raya  diyakini  absolut,  karena,  seperti  kata  Raden  Palasari, meskipun  kuno,  sistem  penanggalan mereka  tidak mungkin keliru.  

 Mempertahankan Agama dan Melanggengkan Adat 

Secara  tidak  langsung, sistem penanggalan yang khas ini  menjadi  semacam  marking  boundary‐batas  pemisah  antara  masyarakat  adat  dan  warga  Muslim  lainnya.  Tapi sejauh  tidak  mengganggu,  masyarakat  adat  tidak  pernah memaksa  komunitas  lain  untuk  mengikutinya.  Karena, misalnya,  di  wilayah  lain,  ada  juga  yang  disebut  Lebaran Ketupat. Lagi pula, seperti yang dijelaskan seorang  informan kami, perayaan Hari Raya di Mesjid Kuno lebih sebagai adat, 

168

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

169

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

bukan  agama;  ia  lebih berfungsi  sebagai peristiwa  “budaya” ketimbang ritual “agama.” Kedua kata budaya dan agama di sini  sengaja  diberi  tanda  petik  karena  masing‐masing  bisa melahirkan tafsiran yang berbeda‐beda.  

Lalu dari mana  istilah  Islam Wetu Telu muncul, dan lalu  dianggap  berbeda  dengan  Islam  ortodoks?  Memang terdapat  sejumlah  perbedaan.  Misalnya,  ada  kepercayaan bahwa kewajiban melaksanakan  ibadah puasa dan Hari Raya hanya dilakukan  oleh  kiyai  yang  jumlahnya hanya  ada  tiga. Kemudian Hari  Raya  dilaksanakan  pada  hari  ketiga  setelah berakhirnya  bulan  puasa.  Oleh  karena  itu,  banyak  orang Bayan biasa (selain tokoh agama yang tiga) tidak menjalankan ritual puasa. Mereka juga tidak melaksanakan shalat Idul Fitri. Bahkan, konon ada anggapan stereotype sebagian kalangan di luar Bayan bahwa orang‐orang  ini hanya mengenal  tiga kali sembahyang  dalam  sehari  (oleh  karena  itu  mereka  disebut Wektu  Telu  atau Wetu  Telu). Menurut  penjelasan  informan kami,  penganut  adat  Bayan  tulen  tidak mengerjakan  shalat meskipun mereka mengaku Islam.  

Di sinilah letaknya perbedaan penafsiran itu. Menurut Raden Gedarip, salah seorang tokoh tertua adat dari kampung Karang  Salah,  Bayan,  ia  adalah  penganut  Islam  dan  para leluhurnya  sudah menjadi Muslim  sejak  ratusan  tahun yang lalu.  Ia  mengaku  akan  marah  kalau  disebut  bukan‐Islam, apalagi anggapan  itu muncul hanya karena  ia mempertahan‐kan adat istiadat. Di samping rumah Raden Gedarip dibangun sebuah  brugah  sekenem,  ruang  paviliun  bertiang  enam. Bangunan  ini berfungsi banyak, di antaranya  sebagai  tempat tuan  rumah menerima  tamu.  Pada waktu  kami  berkunjung dan  salah  satu  dari  kami  memohon  diri  untuk  sholat,  ia dengan  cekatan mengambilkan  sejadah  dan  peci  putih  dari 

dalam rumahnya. Ketika sebagian di antara kami mulai shalat, ia berlalu ke dalam rumahnya.  

Sejadah dan peci putih seperti tadi merupakan simbol penting  dalam  ritual  Islam.  Dan  Raden  Gedarip  memiliki kedua  simbol  itu  di  rumahnya.  Dipakai  atau  tidak,  bukan persoalan  penting  di  sini,  karena  penelitian  kami  ini  bukan investigasi  apakah  seseorang  shalat  atau  tidak.  Lagi  pula, kebaikan  hati  Raden  Gedarip  yang  sudah  mempersilahkan tamunya  menjalankan  kewajiban  agamanya  ketika  itu  juga merupakan sikap toleransi yang patut dihargai. 

Sebagai  tokoh  adat  yang  dituakan,  Raden  Gedarip sangat paham akan dunia dan nilai‐nilai adat  istiadat Bayan. Tapi  ia  juga berkata bahwa  ia  sudah  lama memimpikan bisa naik  haji  ke  Mekah.  Sekali  lagi,  ia  menegaskan  bahwa  ia adalah  bagian  dari  umat  Islam  di  Lombok  ini.  Mengapa sampai  sekarang  belum  berhaji  jika  memang  merasa  diri mampu? Ia menjelaskan ibadah haji perlu kesiapan yang luar biasa,  dan  ia  merasa  bingung  karena  daftar  tunggu  calon jemaah  haji  sangatlah  lama.  Bahkan,  ketika  niat  itu  sudah hendak  dijalanka,  istrinya  yang  sedianya  mendaftar  haji ternyata harus sabar menunggu antrian yang lebih lama. Pada saat  tulisan  ini  dipersiapkan,  calon  jemaah  haji  di  Lombok harus rela menunggu sekitar tujuh tahun untuk bisa berangkat ke Tanah Suci.  

Ketika  Peristiwa  “171”  meletus,  Raden  Gedarip diberitahu  bahwa  ada  sejumlah  orang  dengan  berkendaraan truk datang  ke Bayan. Mereka mencari  orang‐orang Kristen. Dan  menanyakan  apakah  di  wilayah  ini  ada  kegiatan kristenisasi.  Ia  berkata  bahwa  ia  akan  samoai  mati mempertahankan  keislamannya,  akan  tetapi  ia  tidak  begitu setuju dengan cara‐cara kekerasan. Meskipun tidak melarang, 

170

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

171

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Raden Gedarip tidak mau ikut serta di dalam gerakan seperti itu. Ia tahu bahwa gerakan‐gerakan keagamaan tertentu sarat dengan  muatan  politik,  dan  ia  tidak  mau  masyarakat  adat Bayan terperosok ke dalamnya.  

Alih‐alih  menolak  atau  menerima  secara  langsung setiap  gerakan  keislaman  yang  datang  dari  luar,  Raden Gedarip  dan  tokoh‐tokoh  adat  Bayan memilih  setia  kepada tradisi. Di samping dua acara adat besar seperti Hari Raya dan Maulid Nabi, mereka mengajak masyarakat mematuhi  adat istiadat  di  dalam  hal  melaksanakan  upacara  perkawinan, kematian, meratakan gigi, dan lain‐lain. Terkadang, perayaan‐perayaan  itu  memakan  biaya  besar.  Dan  semuanya  itu dilakukan  secara  bersama‐sama,  saling  membantu.  Sampai‐sampai  jika  ada  warga  yang  kesulitan,  masyarakat  adat lainnya siap membantu. Akan tetapi, jika ada yang melanggar adat,  maka  merekapun  diwajibkan  membayar  denda. Demikianlah  menjaga  tradisi  diberlakukan  dengan penyelenggaraan  ritual  adat  istiadat  secara  kontinyu  dan konsekuen.  

Menurut  Raden  Palasari  denda‐denda  tersebut beragam macamnya. Ada denda  berupa potong  kerbau,  ada denda  berupa  ex‐komunikasi  seperti  pengucilan  atau pengusiran  dari  warga  Bayan.  Tidak  seperti  sapi,  binatang kerbau  seolah  sengaja  dijadikan  denda  karena  binatang  ini tidak  banyak  diternakkan  di  Lombok.  Dengan  demikian, benarlah kiranya seperti apa yang dijelaskan Cederroth bahwa acara  ritual di Bayan memiliki  banyak makna. Di  antaranya sebagai peneguhan dan  loyalitas masyarakat Bayan  terhadap adat. Kemudian, dengan melaksanakan adat yang cenderung mahal  dan  tegas  seperti  itu, masyarakat  Bayan  seolah  ingin memperlihatkan  kepada  pihak  luar,  termasuk  di  dalamnya 

kaum  Islam  ortodoks  yang  salah  paham  atau  tidak  suka kepada  mereka  bahwa  mereka  bisa  mandiri  dan  cukup bangga  dengan  tradisi  leluhurnya.  Di  situlah  terkadang masalah  identitas  sebagai  orang  Bayan  dipertentangkan, dipertaruhkan.     

Pada  perayaan  Maulid  Nabi,  elemen  adatpun sangatlah kental. Sementara para tokoh adat dan tokoh agama bersiap  di  Mesjid  Kuno,  puluhan  anak  muda  dan  dewasa berpakaian  adat  membawa  hasil  bumi  dan  persediaan makanan. Mereka  bergiliran  datang,  sesuai  dengan wilayah masing‐masing.  Di  Karang  Bajo,  kaum  lelaki  mereka membersihkan  gamelan  dan  perangkat  lainnya.  Mereka membawa alat‐alat musik  tradisional  ini, melewati kampung mereka hingga mereka sampai di rumah adat, yang berlokasi tidak jauh dengan Mesjid Kuno.       Seperti  masyarakat  adat  lainnya,  Bayan  merupakan sebuah komunitas yang unik di mana agama dan adat berjalan berdampingan.  Sebagai  bagian  yang  tidak  terpisahkan  dari komunitas  Islam  di  Pulau  Lombok,  masyarakat  Bayan memeluk  Islam.  Identitas  keislaman  ditunjukkan  dengan berbagai simbol  formal: mesjid, sekolah  Islam dan pesantren, dan  Kantor  Urusan  Agama  (KUA).  Sepanjang  jalan  dari Senggigi  hingga  Pemenang,  mesjid‐mesjid  berdiri  kokoh dengan  kubah  yang  cukup  besar,  meskipun  sebagian  di antaranya nampak belum selesai pembangunannya. Pendirian dan renovasi bangunan mesjid cukup menonjol yang ditandai dengan  sejumlah  kencleng  sumbangan mesjid  di  jalan‐jalan. Tapi mesjid‐mesjid  lainnya,  dengan  ukuran  lebih  kecil  tapi berkubah  besar,  dengan  konsep  bangunan  moderen,  juga berderet  di  sepanjang  jalan  antara  Tanjung,  Gangga  hingga Bayan. Ketika waktunya, suara azan bergema di mana‐mana; 

172

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

173

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

bahkan,  suara  kaset  pengajian  dan  pembacaan  tilawah  al‐Qur’an  oleh  Qari‐qari  terkenal  diperdengarkan  di  mesjid‐mesjid sebelum shalat.        

Namun, di Bayan adat tetap memainkan peranan yang sangat penting. Seorang pemuda Bayan, yang bekerja sebagai pemandu  wisata  gunung  Rinjani  di  Senaru  mengatakan bahwa,  “saya  ini  bersuami‐istri  dengan  Bayan.”  Meskipun dianggap masyarakat  adat  tertua, Bayan  sendiri  tidak  selalu dianggap  yang  paling  utama  di masyarakat  Sasak.  Bahkan, sejumlah kalangan menganggap masyarakat adat  lain seperti ... Tapen dan  ... sebagai komunitas yang  lebih “asli” menjaga tradisi wetu  telu.  Hal  ini  disebabkan  letak  geografis  Bayan yang  berada  di  antara  pemukiman  besar  dan  dan  secara langsung terhubung dengan jalur transportasi Lombok Utara‐Lombok Barat dan Lombok Timur.  Jalan utama perdagangan dan  turisme  dari  Mataram,  Senggigi  ke  Gunung  Rinjani memang melewati Bayan.  Itulah yang menyebabkan  seorang peneliti  lokal  di  Lombok  mengatakan  bahwa  Bayan—meskipun  masih  memegang  kuat  tradisi,  tapi  ia  sudah “terkontaminasi.”  Terkontaminasi  dari  apa?  Bayan  sudah nyata‐nyata dipengaruhi  oleh  faktor  luar:  Islam mainstream, kultur  ekonomi  perkotaan  dan,  tentu  saja,  industri  turisme yang  sangat  besar  potensinya  di  Pulau  Lombok. Di  Senaru, Bayan,  jalan  sepanjang  tiga  hingga  lima  kilometer  dipenuhi dengan  restoran,  cafe  dan  penginapan  etnik  yang  cukup moderen.  Beberapa  kilometer menjelang  lokasi  TRC  (tempat bermula  para  pendaki  gunung)  di  lembah  Gunung  Rinjani, berada  sebuah  terminal  bus  besar  dan  sejumlah  cafe  dan warung‐warung  kecil  menjajakan  makanan  dan  minuman bagi  para  pendaki,  turis  lokal  dan  asing  yang  ingin berkunjung ke lokasi Air Terjun Sindang Gile.         

 Relasi Sosial di Bayan Islam Bayan memiliki  ciri yang berbeda dengan  Islam 

pada  umumnya  (mainstream).  Perbedaan  ini  terlihat  pada sistem  ajaran  dan  praktik  ritual  (adat  dan  tradisi)  yang senantiasa diamalkan  oleh  para  pengikutnya  yang mendiami beberapa  kecamatan  di  Lombok  Utara  dan  Lombok  Timur. Bayan  adalah  nama  sebuah  dusun  yang  ada  di  Kecamatan Bayan, yang merupakan cikal bakal masyarakat Bayan. Dalam tulisan  ini  Bayan  merujuk  pada  model  keislaman  yang berkembang di masyarakat Bayan yang memiliki karakteristik yang  khas.  Sekarang  ini  masyarakat  Bayan  tersebar  di  dua kecamatan Bayan dan Sembalun.  

Islam  Bayan  sering  disebut  Islam  Wetu  Telu. Penyebutan  ini  sebenarnya dibuat oleh orang  luar dan  sering menimbulkan salah paham. Orang Bayan sendiri tidak pernah menggunakan sebutan tersebut. Mereka menyebut diri mereka Islam atau Muslim  tanpa embel‐embel apa pun. Salah paham yang paling umum yang ada di masyarakat luar Bayan adalah anggapan bahwa  Islam Bayan hanya melaksanakan  tiga salat. Wetu  Telu  sering  dipahami Waktu  Telu  (Waktu  Tiga)  yang kemudian  dipertentangkan  dengan  Waktu  Lima.  Karena dianggap hanya melaksanakan  salat  tiga waktu,  Islam Bayan lalu dianggap heterodoks.  

Penyebutan  ini  jelas  keliru  dan menimbulkan  banyak persoalan  baik  pada  masa  lalu  maupun  masa  kini.  Banyak konflik terjadi yang timbul dari penyebutan ini yang berakibat pada  lahirnya  relasi  sosial‐politik  antara  masyarakat  Bayan dengan  masyarakat  sekitarnya.  Berdasarkan  wawancara dengan tokoh‐tokoh Bayan, penggunaan istilah ini berkonotasi perojudais  dan  menimbulkan  ketidaknyamanan  di  kalangan dalam.  Tanpa menampik  filosofi Wetu  Telu  yang  ada  dalam 

174

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

175

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

seluruh ajaran dan adat istiadat mereka, penganut Islam Bayan menyatakan  bahwa  mereka  sudah  menganut  Islam  dan menjadi  Muslim  jauh  sebelum  masyarakat  Lombok  lainnya memeluk Islam.  

Pernyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat Bayan tidak  ingin dilihat kecuali sebagai muslim yang  tidak berbeda dengan muslim‐muslim  lainnya.  Ini penting diperhatikan dan seyogyanya  menjadi  titik  tolak  dalam  melihat  Islam  Bayan sebagai sebuah  fenomena sosial‐budaya, bukan agama. Nama Bayan  sendiri, menurut mereka,  diambil  dari  al‐Qur’an  dan menjadi  tempat  pertama  yang  menerima  Islam  di  Lombok, Masjid Bayan yang  terletak di desa Bayan Beleq  sekarang  ini adalah masjid  tertua di Lombok. Menurut cerita, orang Bayan menerima  Islam  langsung dari penyebar  Islam di  Jawa ketika orang  Lombok  lainnya  masih  beragama  animisme. Berdasarkan hal  ini, menurut mereka,  sangat  tidak adil kalau keislaman  mereka  dinilai  berbeda,  kurang,  apalagi bertentangan  dengan  Islam  pada  umumnya.  Bahwa  mereka memiliki  dan  melaksanakan  tradisi  tertentu  tidak  harus dipandang  sebagai  bertentangan  dengan  Islam  pada umumnya.  

Data‐data  yang  tersedia  mengenai  Bayan  sejauh  ini banyak membahas  filosofi,  adat  istiadat  dan  ritual. Ada  juga yang  membahas  konflik  dan  integrasi  masyarakat  Bayan dengan  masyarakat  sekitarnya.  Tulisan  ini  berupaya menyajikan  secara  singkat  adat  dan  tradisi  Bayan  dan implikasinya pada hak‐hak sipil warga. Untuk mengetahuinya, kami  mengawali  dengan  mengunjungi  Masjid  Bayan  yang cukup terkenal tersebut dan menjadi simbol Islam Bayan.  

Sewaktu  mengunjungi  Masjid  Bayan,  penulis sebenarnya  tertarik  untuk  mengetahui  keberislaman 

masyarakat Bayan dewasa  ini, semacam  indeks yang memuat data  pelaksanaan  ritual  keislaman. Namun  sayang  tidak  ada data mengenai  hal  ini.  Raden  Palasari  sang  juru  kunci  lebih banyak bercerita peran masjid pada masa lalu dan adat istiadat Bayan  dan  hubungannya  dengan  struktur  sosial masyarakat Bayan.  Menurut  hemat  penulis,  masjid  tersebut  tidak  bisa dijadikan  simbol  kesalehan  orang  Bayan  dalam  pengertian yang  ortodoks: mengerjakan  solat  lima waktu,  puasa,  zakat, mengaji, dan seterusnya. Ini dikarenakan masjid tersebut tidak menjalankan  fungsinya  sebagai  tempat  peribadatan  kecuali pada saat‐saat tertentu saja.   

Pertanyaannya kemudian, kalau masjid  tersebut sudah tidak  lagi  digunakan  untuk  keperluan  ibadah,  di  mana masyarakat  Bayan melakukan  hal  tersebut?  Pertanyaan  yang lebih spesifik, apakah Islam ortodoks sudah memfosil di Bayan seperti  termaksud  dalam  istilah  Islam  Wetu  Telu?  Apakah orang  Bayan  tidak  mendirikan  masjid  baru  untuk melaksanakan solat, ibadah jum’at dan sebagainya?  

Perlu  diketahui  bahwa  Masjid  Bayan  terletak  di seberang  jalan utama desa, yang melintas dari barat ke  timur. Bangunan  yang  berdinding  bambu,  beratap  ijuk,  dan berfondasi batu‐batuan  tersebut dikelilingi oleh pohon‐pohon besar,  beberapa  makam  tua  yang  diduga  penyiar  Islam  di Bayan. Di  bagian utara  terdapat pemakaman umum.  Sebelah timur  berbatasan  dengan  sawah  dan  hutan  adat  terhampar luas.  

Menurut  juru  kunci,  masjid  ini  sudah  mengalami renovasi berkali‐kali. Di sana‐sini terdapat sisa‐sisa bambu dan kayu  yang  berserakan.  Masyarakat,  katanya,  tidak  berani menggunakannya karena itu melanggar ketentuan adat.  

Penduduk  membuat  pemukiman  di  beberapa  dusun. 

176

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

177

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Pemukian yang berada di  seberang  jalan masjid diperkirakan yang pertama kali dibangun. Ada beberapa rumah adat di sana yang masih  berfungsi  untuk melaksanakan  ritual.  Selain  itu rumah  adat  sekarang  sering  digunakan  untuk  keperluan wisata.  

Kalau Masjid Bayan merupakan bangunan yang paling tua, maka pemukiman sekitar masjid bisa diduga yang paling awal dibangun. Begitu  teori yang ada dalam arsitektur  Islam: bila  ada  masjid,  berarti  di  tempat  tersebut  ada  masyarakat Muslim, dan bila  ada masyarakat, biasanya  terdapat  struktur politik‐kekuasaan,  kerajaan,  kedatuan,  chiefdom,  dan semacamnya. Dalam  teori  arsitektur  kota‐kota  di Nusantara, disebutkan bahwa bila ada masjid, biasanya ada keraton, alun‐alun, pasar, dan penjara. Ini ciri umum kota‐kota  tua di  Jawa. Di  Bayan  hanya  terdapat  masjid  yaitu Masjid  Bayan. Mana keraton dan alun‐alunnya? Penjara dan pasarnya? Apakah pola ini  hanya  berlaku  di  Jawa  saja?  Atas  pertanyaan  ini,  Raden Palasari  hanya  bisa  mengatakan  bahwa  mungkin  dulu  ada kerajaan di sini. Karena itu keturunannya, termasuk ia sendiri, menggunakan  kata  raden  untuk  laki‐laki,  dan  dende  untuk perempuan, sebuah gelar yang hanya digunakan oleh kalangan ningrat. Namun,  katanya,  ini  hanya  asumsi  saja  yang  harus dibuktikan.  

 Diperkirakan  di  Bayan  terdapat    ratusan  kepala keluarga. Pemukiman lainnya terdapat di Karang Bajo, Senaru, Anyar,  Loloan  dan  Sembalun.  Semuanya  menganut  tradisi Islam  Bayan.  Masyarakat  Bayan  tersebar  di  sebelah  utara Gunung  Rinjani,  mulai  dari  Anyar  di  sebelah  Barat  sampai Sembalun di sebelah Timur.  

Masjid  Bayan  sudah  lama  tidak  dipakai  untuk  salat, hanya dibuka pada waktu Hari Raya dan perayaan maulid. Ia 

sudah  menjadi  monumen  sejarah,  bangunan  cagar  budaya yang  perlu  dilestarikan.  Maka  kami  beranggapan  melihat tingkat kesalehan orang Bayan lewat masjid ini menjadi sia‐sia belaka.  

Di  seberang  masjid  terdapat  warung.  Kami  pun beristirahat  di  sana,   makan‐minum  dan  berbincang  dengan pemilik warung yang merupakan warga Bayan asli. Dari gaya bicaranya,  perempuan  tersebut  tidak  banyak  beda  dengan perempuan  lainnya  yang  ada  di  Lombok.  Satu  hal  yang menghubungkannya dengan tradisi dan adat Bayan adalah alat tenun  tradisional  yang  teronggok  di  samping  rumahnya.  Ia menenun kain‐kain  tradisional Lombok yang kemudian dijual di  kedainya. Di  situ  terpajang  berbagai  hasil  tenun  Lombok. Kami  khawatir  ia melihat  kami  sebagai  turis,  bukan  peneliti, sehingga  bersikukuh  menawarkan  dagangannya.  Memang tenun Bayan memiliki  kekhasan  tersendiri.  Pilihan warnanya khas,  berbeda  dengan  kain‐kain  lainnya.  Ia  menerangkan fungsi kain‐kain tersebut dalam ritual Bayan.  

Kami beristirahat di kedai tersebut sampai waktu asar. Ketika kami pamit, setelah membeli beberapa potong kainnya, perempuan  tersebut menyarankan agar kami menemui Raden Gedarip. Kami pun  lalu menuju  rumah Raden Gedarip  yang terletak  tidak  jauh  dari  warung  itu.  Ia  menerima  kami  di bruga‐nya  yang  terletak  di  samping  rumah,  mengenakan  t‐shirt dan bersarung. Maka obrolan pun dimulai.  

Ada  peristiwa menarik  terjadi  sore  itu.  Ketika waktu magrib datang, azan berkumandang dari beberapa masjid dan musola  yang  ada  di  Bayan.  Ketika  kami  bermaksud melaksanakan  salat  maghrib,  dengan  sigap  tuan  rumah mengambil  sajadah  dan  peci.  Mereka  pun  menunjukkan tempat  berwudhu.  Kami  lalu  berpikir  bahwa  salat  bukanlah 

178

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

179

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

sesuatu yang  asing bagi mereka meskipun mereka  tidak  ikut salat bersama kami. Mungkin mereka  salat di dalam bersama keluarganya. Mungkin  juga  tidak  salat.  Sementara kami  salat di  bruga,  bangungan  terbuat dari  kayu  beratap  rumbia  yang terletak di samping rumah.  

Setelah  salat, pembicaraan dilanjutkan kembali. Raden Gedarip,  seorang  pemangku  dan  tokoh  masyarakat  Bayan, bercerita  kembali  kisahnya  di  Eropa,  diundang  oleh  Sven Cederroth,  antropolog  Swedia yang pada  1980‐an melakukan penelitian etnografi di Bayan. Usianya di atas  tujuh puluh.  Ia pun bercerita tentang politik dan perubahan sosial yang terjadi di Bayan sejak ia muda. Ia adalah saksi hidup yang bisa banyak bercerita tentang banyak hal di Bayan, mulai dari yang paling menyenangkan sampai yang paling memilukan. Ketika muda, ia  mengagumi  Sukarno.  Ia  pun  masuk  PNI.  Namun  ketika zaman  Sukarno  berakhir, dan  Suharto dengan Orde Barunya masuk  ke  Bayan  dan  membangun  sekolah,  ia  pun  masuk Golkar.  

Ia  pun  bercerita  tentang  anak‐anaknya  yang  sekarang sudah mengambil  alih  peran  dan  tanggungjawabnya  sebagai pemangku  adat.  Pengetahuannya  dan  pengalamannya  luar biasa  luas.  Di  sela  pembicaraannya  kami  selalu  bertanya tentang  fungsi  adat  dan  agama  dalam  kehidupan  sosial masyarakat  dan  bagaimana  hubungan  keduanya.  Ini  penting karena  dari  sini  kami  bisa  mengetahui  hak‐hak  sipil masyarakat Bayan. Dari pembicaraannya ada dugaan adat dan agama tidak pernah terlibat konflik secara serius di Bayan.  

Di  Loloan,  lima  kilometer  dari  Bayan,  masalah  ini terjawab  lebih  gamblang.  Seorang  pemimpin  adat  dan  tokoh masyarakat  Bayan  justru melaksanakan  haji  beberapa  tahun yang  lalu.  Bagi  kami  ini  sebuah  kejutan  yang membuktikan 

asumsi  kami  tentang  relasi  adat  dan  agama  di  Bayan  benar adanya. Tidak hanya  itu  ia pun kemudian aktif di Nahdhatul Watan,  ormas  Islam  yang  banyak  bergerak  di  bidang pendidikan. Ketika ditanya alasannya, ia mengaku bahwa dari kecil  ia  sebenarnya  ingin  melaksanakan  haji.  Ia  pun  ingin belajar  agama.  Namun  kesibukannya  sebagai  kepala  desa memaksanya  untuk  menunda  niat  tersebut.  Niat  itu  baru terlaksana setelah ia tidak lagi menjabat lurah. Tidak hanya itu. Ia pun menjalin hubungan dengan tokoh agama. Pergaulannya dengan  Tuan  Guru  Zainuddin  Abdul  Majid,  ulama kharismatik  dan  pendiri  NW  dari  Lombok  Timur  dapat melukiskan betapa ia hanyalah Muslim biasa yang mengharap mendapat  berkah  ketika  sang  ulama  salat  dan  berdoa  di rumahnya.  

Pada  waktu  jum’at,  orang  yang  bernama  Haji  Amir tersebut,  yang  nama  asilnya  Itrawati,  pergi  ke  masjid  yang terletak tidak jauh dari rumahnya dan duduk di barisan depan. Ia kenakan semua atribut kehajian dan keislamannya: memakai sorban,  peci  putih,  baju  koko  dan  kain  sarung.  Ia  pun mendengarkan  khutbah  dengan  khidmat.  Kami  melihatnya sebagai muslim  yang  tidak  berbeda  dengan muslim‐muslim lainnya. Kami tidak menyadari bahwa kami bersolat  jum’at di Loloan, sebuah tempat yang konon Islamnya sinkretik, berbeda dengan Islam yang ada di masyarakat.  

Setelah  jum’atan, Haji Amir bercerita bahwa  ia  tengah memugar masjid.  Ia  sendiri  ketua  panitianya.  Sebenarnya  ia menyarankan yang lebih muda saja untuk ambil alih tugas ini. Namun  tidak  ada  yang  bersedia.  Ketika  sekelompok  orang menyarankan  agar  ia  menerima  dana  dari  yayasan,  yang ternyata  diketahui  ada  embel‐embel  di  belakangnya,  ia menolak  tegas. Pembicaraan menjadi  semakin menarik ketika 

180

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

181

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

ia  menyebut  agen  Wahabi  berada  di  balik  pembangunan masjid yang akhir‐akhir ini marak di Lombok. Ia menyarankan masyarakat agar  lebih sabar dalam membangun masjid. Lebih baik bermasjid  jelek, namun milik sendiri, daripada bermasjid bagus, namun dikendalikan orang lain. Itu prinsipnya. Prinsip ini  pula  yang  ia  gunakan  dalam  melayani  masyarakat.  Ia menjadi  lurah  selama  lebih  kurang  30  tahun.  Selama  itu  ia membangun Loloan yang tampak lebih ramai dari Bayan.  

Meski  sudah  tidak  aktif, Haji Amir  adalah pemangku adat. Pada dirinya  terlihat harmoni adat dan agama. Baginya tidak  perlu  dipertentangkan  antara  adat  dan  agama.  Justru keduanya saling melengkap. Untuk memimpin ritual, katanya, ia mengenakan  kain dodot  khas Bayan, memakai  baju putih, dan ikat. Pakaian itu, katanya lagi, tidak perlu dipertentangkan dengan pakaian yang dikenakan waktu melaksanakan  Jum’at. Yang penting menutup aurat. Ia tekankan betul bahwa pakaian apa  pun  yang  dikenakan  harus  memenuhi  prinsip‐prinsip kesopanan  umum,  menutup  aurat,  karena  di  situlah  letak fungsinya.  

Dari gaya bicaranya Haji Amir adalah sosok yang kritis. Ia,  misalnya,  mempertanyakan  gelar  raden  untuk  pria  dan dende  untuk  perempuan  yang  dipakai  masyarakat  Bayan. Setahunya  gelar  kebangsawanan  hanya  digunakan  oleh  raja dan  para  bangsawan.  Pertanyaannya,  lalu,  apakah  Bayan pernah memiliki kerajaan? Memang sejauh ini sulit dibuktikan ada kerajaan di Bayan. Paling tidak belum ada bukti arkeologis yang mengarah  ke  situ.  Dengan  alasan  ini, Haji  Amir  tidak pernah menggunakan gelar apa pun di depan namanya,  juga untuk anak keturunannya.  

Mungkin,  alasan  ini  pula  yang mendorongnya  untuk menjalin  hubungan  dengan  masyarakat  Lombok  yang  lebih 

luas  termasuk  ormas  Islam  Nahdhatul  Watan.  Di  depan rumahnya  terpampang  plang  NW  yang  mana  ia  menjadi ketuanya.  Alasannya  masuk  NW  adalah  karena  ormas  ini sesuai dengan pemikiran dan imajinasinya sebagai anak Bayan yang tidak bisa lepas dari tradisi leluhurnya. NW, menurutnya, sangat moderat,  dapat menerima  perbedaan‐perbedaan  yang ada di masyarakat.  

Kembali  ke  pertanyaan  utama  diskusi  kita,  apakah pada sosok Haji Amir ini masih layak disematkan istilah Islam Wetu Telu? Kepada siapa, kapan dan dimana istilah Wetu Telu bisa  dipertanggungjawabkan?  Apakah  keislaman  Haji  Amir masih  perlu  disangsikan?  Apakah  Islam‐nya  dipandang berbeda  dengan  Islam  lainnya  yang  dianut  oleh,  katakanlah, masyarakat  Kediri,  sebuah  kecamatan  di  sebelah  barat Mataram  yang  terkenal  dengan  pesantrennya  dan  tuan gurunya? Mari kita diskusi lebih lanjut.  

Sosok  Haji  Amir  menunjukkan  bahwa  Islam  Bayan mengalami  transformasi.  Pemahaman  warga  mengenai bagaimana Islam dan adat dipraktikkan dan dilestarikan terus berubah  sesuai waktu  dan  tempat.  Pada  tingkat masyarakat dan  individu  terjadi hal serupa. Transformasi  ini  terjadi  tidak saja karena ada upaya modernisasi yang dilakukan pemerintah dan  masyarakat,  namun—ini  lebih  penting—karena  Islam Bayan  dan  komunitasnya merasa mereka merupakan  bagian integral  dari  Islam  itu  sendiri.  Ini  yang  kemudian membuat orang  seperti  Itrawati—nama  asli Haji Amir—pergi  haji  dan aktif di NW. Karena itu tidak beralasan bila ada sebutan bahwa orang  Bayan  memiliki  agama  sendiri,  sebuah  istilah  yang ditolak  mentah‐mental  oleh  Haji  Amir,  Raden  Gedarip, maupun orang Bayan lainnya.   

 

182

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

183

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Transformasi Islam Bayan dapat ditemukan secara lebih gamblang  pada  sosok  Raden  Nyakranom,  anak  Bayan  asli namun pernah menyantri di sebuah pesantren di  Jawa Timur dan  sekarang  aktif  menjadi  pendakwah.  Ia  adalah  anak seorang  pemangku  adat  yang  kemudian memutuskan  untuk menggarap  lahannya  yang  terletak  di Anyar,  tidak  jauh  dari Bayan  Beleq,  tempat  di  mana  Masjid  Kuno  Bayan  yang terkenal  terletak.  Setelah  lulus  SD, Nyakranom menyantri  di PP Nurul Bayan yang terletak persis di depan rumahnya. Lulus dari  situ,  ia pergi ke  Jawa dan menyantri di Nganjuk. Dapat tiga tahun, ia balik ke Bayan dan menggeluti banyak pekerjaan: penyuluh KUA,  penceramah,  dan  salah  satu  pengurus MUI. Pekerjaannya tak jauh dari berdakwah: memberikan pengajian, khutbah jum’at, mengajar. Untuk menyokong dapurnya, ia dan istrinya  yang  berasal  dari  Tanjung  membuka  warung menjajakan  berbagai  makanan  dan  minuman.  Sesekali Nyakranom  harus  bulak  balik  ke  pasar  mengisi  persediaan warung yang menipis. Namun setelah  itu  ia kembali bertugas mengajar.  

Raden  Nyakranom  adalah  sosok  penghubung masyarakat Bayan dengan pemerintah, atau sebaliknya. Kalau pada  sosok  Raden  Gedarip  dan  Haji  Amir,  kita  melihat kesinambungan  adat  dan  agama,  pada  diri Nyakranom  kita melihat  kesinambungan  antara  adat,  agama,  dan  negara. Mereka merupakan lembaga masyarakat yang senantias saling mengisi dan melengkapi.  

Meski masih muda  pengetahuan Nyakranom  tentang adat istiadat Bayan tidak perlu diragukan lagi. Justru ia adalah tokoh  muda  Bayan  yang  sering  dijadikan  tempat  bertanya. Hubungannya  dengan  kelompok  tua  seperti  pemangku  adat sangat  baik. Mereka  pun  menaruh  hormat  padanya.  Dalam 

satu kesempatan, Raden Gedarip mempersilakan Nyakranom untuk  menempati  tanah  yang  memang  menjadi  hak keluarganya bila ia bermaksud kembali ke Bayan.  

Pertanyaannya  kemudian,  apakah  Nyakranom merupakan gambaran  anak muda Bayan  secara keseluruhan? Untuk  menjawab  pertanyaan  ini  ada  baiknya  kita  telusuri secara singkat proses transformasi nilai kepada generasi muda di  Bayan.  Sejauh  ini,  adat  istiadat  dan  ritual  merupakan sumber nilai yang penting di Bayan yang diwariskan kepada generasi muda  lewat  perayaan  atau  upacara  tertentu. Maka kemudian  generasi  muda  menjadi  sadar  akan  identitas  dan budayanya.  Di  samping  itu  pewarisan  nilai  juga  terjadi  di sekolah,  madrasah,  dan  masjid.  Pada  umumnya  anak‐anak Bayan  bersekolah  di  sekolah  umum  yang  ada  di  Bayan  dan sekitarnya.  Sebagian  belajar  di  madrasah  dan  pesantren. Mereka  yang  belajar  di  dua  lembaga  terakhir  tentu  akan mendapat  pengetahuan  tentang  Islam  secara  lebih memadai yang kemudian mempengaruhi cara pandang mereka terhadap adat istiadat Bayan.  

Islamisasi yang dilakukan oleh kelompok tertentu akan mempengaruhi pola pikir masyarakat Bayan terhadap budaya dan  tradisinya.  Banyaknya  lembaga  pendidikan  Islam mulai dari  tingkat  dasar  sampai  atas  di  sekitar  Bayan  membuat masyarakat  Bayan  semakin mengenal  Islam.  Sebelum masuk SD  anak masuk PAUD, TK, TPA, dan  sejenisnya di mana di dalamnya  agama  diperkenalkan  sejak  dini.  Kalau  proses  ini terus  terjadi,  lahirnya  generasi  seperti  Nyakranom  hanya menunggu waktu saja.  

Haji  Amir  dan  Raden  Nyakranom  jelas  merupakan sosok  menarik  yang  menunjukkan  bahwa  Islam  Bayan mengalami  transformasi. Adat dan  tradisi yang diperpegangi 

184

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

185

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

masyarakat Bayat bukan entitas yang statis apalagi jumud dan anti modernitas. Berdasarkan pengamatan ini, hubungan Islam dan  adat  atau  tradisi  Bayan  bersifat  ko‐eksistensial,  bukan oposisional. Fakta ini juga membuktikan tesis Islam Wetu Telu versus Waktu Lima  tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau paling tidak perlu direvisi.   Hak‐hak Yuridis dan Hak‐hak Sipil 

Ajaran  dan  praktik  Islam  Bayan  memang  berbeda dengan  Islam  yang  dianut  masyarakat  Lombok  pada umumnya. Mereka  punya  tradisi  sendiri  dalam  pernikahan, kematian,  pengolahan  lahan,  penanganan  lingkungan, muludan, dan  banyak  lagi. Berdasarkan pengamatan, praktik mereka memang  sangat  dipengaruhi  oleh  filosofi  animisme, Hindu‐Budha. Namun, pada sisi lain, pengaruh Islam pun jelas sekali dan tampak di sana‐sini.  

Ada  beberapa  pertanyaan  yang  bisa  diajukan. Bagaimana kita memahami perbedaan  ini? Apakah perbedaan ini menunjukkan  Islam  Bayan merupakan  satu  varian  Islam yang berkembang di tengah masyarakat? Apakah Islam Bayan bisa  berdialog dengan, dan  selanjutnya, menjadi  bagian dari, Islam  kebanyakan?  Kalau  memang  Islam  Bayan  merupakan sesuatu  yang  berbeda,  apa  dampak  sosial‐politik  yang  bias dirasakan  atau  dialami  pemeluknya?  Bagaimana  para pengikutnya mendapatkan hak‐haknya sebagai warga negara?  

Ini  adalah  rangkai  pertanyaan  yang  diajukan  oleh banyak  peneliti  Islam  baik  dari  dalam maupun  luar  negeri. Tentu masih  banyak  pertanyaan  yang  bisa  diajukan. Namun untuk keperluan tulisan ini, kita fokuskan saja perhatian pada dua  pertanyaan  terakhir  menyangkut  relasi‐sosial  sebagai akibat  perbedaan  yang  ada  dan  hak‐hak  sipil  masyarakat 

Bayan.  Ini  penting  untuk  membuktikan  bahwa  tesis  yang selama  ini  berkembang  bahwa  Islam  Bayan  identik  dengan Islam Wetu  Telu,  dan  karenanya  akan  selalu  berada  dalam hubungan yang diametral dengan Islam Waktu Lima.  

Sudah  sejak  lama  Bayan  menjadi  objek  kajian  para peneliti. Begitu uniknya  Islam Bayan  ini  sehingga  ia menarik minat  antropolog  sejak  beberapa  dasawarsa  terakhir.  Tulisan ini hendak menelusuri sejauh mana perbedaan keagamaan dan kepercayaan  berimplikasi  pada  pemenuhan  hak‐hak  sipil warga  Bayan.  Apakah  negara  selama  ini  telah  memberikan hak‐hak  mereka?  Atau  malah  sebaliknya  ada  semacam diskriminasi? Bagaimana masyarakat Bayan mendapatkan hak‐hak  sipil mereka  di  bidang  pendidikan,  perkawinan,  sosial‐budaya? Lalu terakhir, bagaimana kecenderungan yang ada di tengah  masyarakat?  Apakah  masyarakat  Bayan  berupaya untuk  mengidentifikasi  sebagai  masyarakat  Muslim  yang “berbeda” dengan masyarakat Muslim lainnya?  

Secara  teori  demokrasi  memberi  ruang  bagi  para pemeluk agama, baik besar maupun kecil, untuk menunjukkan jatidirinya,  identitasnya, budayanya, dan  sebagainya. Dan  ini dimungkinkan  atas  nama  kebebasan.  Dulu  pada masa  rejim otoriter,  kebebasan  ini  nyaris  tidak mungkin.  Ini  disebabkan sistem politik yang tidak memberi ruang yang memadai untuk adanya sebuah keragaman. Negara cenderung menyederhana‐kan,  mengabaikan,  bahkan  tidak  mengakui  perbedaan‐perbedaan  yang  ada  di  tengah  masyarakat.  Ini  semua dilakukan atas nama ketertiban atau keamanan sosial.  

Akan  tetapi  ketika  ruang  kebebasan  mulai  terbuka, maka  setiap  pemeluk  agama  memiliki  kesempatan  yang memadai  untuk  mengungkapkan  identitas  yang  selama  ini disembunyikannya.  Dan,  karena  pengungkapan  ini  dijamin 

186

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

187

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

oleh  undang‐undang,  maka  pemenuhan  hak‐hak  sipil,  yang ditimbulkan dari  sistem  ajaran dan  kepercayaannya, menjadi mendesak  dan  niscaya.  Persoalannya  kemudian  proses pengungkapan  ini  seringkali  bersinggungan  dengan kepentingan  kelompok  lain.  Kelompok  mayoritas  sering memonopoli  tafsir  atas  ruang  publik,  bagaimana  seharusnya ruang  publik  ditata  dan  dikelola.  Akibatnya  kelompok minoritas sering diabaikan, ditinggalkan, dan  tidak dilibatkan dalam  proses  negosiasi.  Maka  tidak  mengherankan  bila kemudian  kita mendengar di mana‐mana  terjadi  ketegangan, gesekan,  bahkan  persekusi  terhadap  kelompok  minoritas. Kelompok  minoritas  di  sini  bisa  sebagai  kelompok  agama, budaya,  etnis,  dan  lain  sebagainya.  Celakanya  adalah, seringkali  pejabat  pemerintah  turut  berperan  dalam pengekangan  ini,  bekerja  sama  dengan  ormas‐ormas  tertentu yang ada di masyarakat, sehingga membuat persoalan semakin rumit.  

Hak menjalankan agama dan kepercayaan setiap warga negara dijamin dalam undang‐undang. Dalam negara sekuler, negara  tidak  mengurusi  masalah‐masalah  agama.  Namun Indonesia  sejak  awal  menegaskan  hal  ini.  Negara  terlibat dalam  pengurusan  hak‐hak  sipil  warga  yang  sebagiannya berkaitan  dengan,  atau  dipengaruhi  oleh,  agama  dan kepercayaannya.  Pertanyaannya  adalah,  dan  ini  yang kemudian menjadi  persoalan  dewasa  ini,  apa  itu  agama  dan apa  itu kepercayaan. Pertanyaan  ini  jelas  tidak mudah untuk dijawab.  Diperlukan  pemahaman  dan  kesepakatan  bersama antara  pemerintah  sebagai  pelaksana  undang‐undang  dan masyarakat yang mengklaim memiliki agama tertentu.  

Agama  sering  didefinisikan  sebagai  manifestasi  atau ekspresi keyakinan atau kepercayaan manusia atau masyarakat 

atas  hubungannya  dengan  sesuatu  yang  supranatural  yang dipercaya  memiliki  kekuatan  yang  maha  dahsyat  atas kehidupan mereka. Dengan  definisi  ini  kita  bisa menangkap berbagai ajaran dan praktik yang ada di masyarakat yang bisa dianggap agama. Dengan definisi  ini pula kita pada akhirnya dapat  menyimpulkan  bahwa  fenomena  agama  dapat ditemukan  dalam  setiap  kelompok masyarakat,  setiap  tradisi dan budaya, karena ia merupakan bagian yang tak terpisahkan darinya.  Dengan  kata  lain,  agama  yang  dianut  dan dipraktikkan  oleh  masyarakat  Nusantara  jumlahnya  banyak sekali, mungkin  ratusan. Bahwa kemudian agama mengalami kemunduran  atau  bahkan  hilang  ditelan  modernisasi,  atau umatnya  memutuskan  memeluk  agama  yang  mapan, merupakan persoalan lain yang tidak bisa mereduksi keunikan dan keragamannya.  

Pada awalnya negara hanya mengakui lima agama saja yang ada di Indonesia: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Ini  jelas  bias  negara  modern  yang  tidak  mau  dipusingkan dengan  berbagai  keragaman  agama  yang  ada  di  tengan masyarakat.  Sejak  masa  kemerdekaan,  terlebih  pada  masa Orde  Baru,  negara  berupaya  untuk mengadministrasi  agama ke  dalam  birokrasi  negara.  Tujuannya  memang  untuk membantu  kaum  beragama  agar  terjamin  hak‐hak  sipilnya. Namun dengan definisi yang  top‐down, pada sisi  lain negara juga  memaksa  bahkan  menggilas  agama‐agama  lokal  agar sesuai  dan masuk  dalam  bingkai  kebijakan  dan  perundang‐undangan yang ada. Di sini persoalannya, agama‐agama lokal yang  tergilas modernisasi  tersebut  ternyata hanya mengalami mati  suri. Mereka  bangkit  kembali dewasa  ini dan menuntut pemerintah  agar  menjamin  hak‐hak  mereka  sebagai  warga negara.  

188

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

189

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Sejak reformasi, Kong Hu Chu dilayani sebagai agama. Ini  artinya  negara  harus  menjamin  hak‐hak  mereka.  Dulu agama  ini,  karena  berbagai  alasan  politis,  tidak  dilayani. Akibatnya  terjadi pindah agama pada penganut agama  ini ke agama‐agama  yang  dilayani.  Sekarang  mereka  dilayani  dan dijamin  hak‐haknya.  Namun  rupanya  hal  ini  mendorong agama‐agama  lokal  untuk  minta  dilayani.  Dewasa  ini ditengarai  sejumlah  agama  dan  kepercayaan  secara  agresif menuntut dilayani, dan konsekuensi  logisnya, diberikan hak‐haknya.  Dengan  menggunakan  argumen  hak  asasi,  mereka menuntut penyejajaran dengan agama‐agama mapan  lainnya. Namun masalahnya sejauh ini negara tidak memiliki informasi yang memadai mengenai mereka. Siapa mereka, di mana saja, berapa jumlahnya, dan seterusnya. 

Dalam  konteks  inilah  sebenarnya  tulisan  sederhana tentang  Bayan  ini  dibuat.  Ini  adalah  upaya  pemetaan sederhana Islam Bayan sebagai varian Islam yang ada di Pulau Lombok dan hubungannya dengan pemenuhan hak‐hak  sipil warga. Sebelum membahas masalah ini secara lebih mendalam, terlebih dahulu  akan dibahas  adat  istiadat dan  praktik  ritual yang ada di Bayan.   

Islam  Wetu  Telu  atau  Islam  Bayan  memiliki kepercayaan  yang  kuat  terhadap  adat.  Adat  berasal  dari berbagai  tradisi:  animisme, Hindu‐Budha,  Islam  yang masuk ke dalam  sistem ajaran agama pada waktu penyebaran  Islam berlangsung  di  Bayan.  Akibatnya  adalah  Islam  dan  adat menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Adat dilestarikan lewat  lembaga  yang  ada  di  masyarakat  dan  ditangani  oleh pemangku  adat.  Ada  struktur  yang  hirarkis  yang mengatur pembagian wewenang  (otoritas)  di  kalangan  pemangku  adat dan  jajarannya  ke  bawah menyangkut  semua masalah  yang 

ada  di  masyarakat.  Perayaan  ritual  menjadi  realisasi  dari pembagian  wewenang  ini  sekaligus  meneguhkan  identitas kolektif masyarakat Bayan.  

Pada masa  kemudian,  setelah  terjadi  Islamisasi  secara lebih  intensif, agama diurus oleh  tuan guru atau kyai. Dalam sejarah Bayan, adat dan agama  sebenarnya diurus oleh orang atau  lembaga  yang  sama  dan  satu,  karena  adat  dan  agama pada awalnya adalah satu. Adat berfungsi sebagai sistem nilai yang  menjadi  rujukan  masyarakat.  Masyarakat  yang melanggar  ketentuan  adat  mendapat  sanksi  atau  hukuman yang  telah  ditentukan  oleh  adat.  Nilai  ini  diyakini  dapat mengatasi  berbagai  permasalahan  yang  dihadapi masyarakat karena  dianggap  bersumber  dari  sesuatu  yang  supranatural dan sakral. Dalam konteks Bayan, agama dan adat berasal dari, dan diyakini  sebagai,  sumber yang  sama, yang hanya karena fungsinya  saja  kemudian  keduanya  dibedakan.  Pada praktiknya adat dan agama dapat dilihat dalam berbagai ritus peralihan  (kelahiran,  perkawinan,  dan  kematian).  Semua  ada adatnya dan semua memiliki nilai agamawi di dalamnya.  

Demikianlah  lebih kurang  awal mula  terciptanya  adat di  Bayan.  Pada  waktu  kemudian  adat  dipahami  sebagai sesuatu yang  suci dan karenanya harus dijaga kelangsungan‐nya. Adat yang seharusnya terus berubah sesuai dengan waktu dan  ruang,  karena  berkaitan  dengan  kehidupan  manusia, terjebak  pada,  atau  ditangkap  dalam,  bentuk‐bentuk  tertentu dan  selanjutnya  dipahami  oleh  masyarakat  sebagai  sesuatu yang  tidak  berubah,  statis.  Inilah  yang membuat  adat  Bayan terlihat unik dengan berbagai pantangan dan anjurannya agar sistem ini bekerja secara baik di tengah gempuran modernisasi.  

Di  sinilah  masalahnya,  adat  itu  sendiri  diyakini  dan dilestarikan agar orang  tidak kehilangan  jatidirinya,  identitas‐

190

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

191

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

nya,  dan  budayanya.  Modernisasi  yang  mengasumsikan adanya  perubahan  yang  terus menerus menawarkan  sesuatu yang  mengerikan  ketika  orang  pada  akhirnya  lepas  dari identitas asalnya dan kehilangan budayanya.  Jadi, di  sini ada dua  pilihan  yang  sama‐sama  sulit,  bertahan  dengan  adat istiadat yang berpotensi terjebak dalam kejumudan, atau terus menerus  berubah  yang  berpotensi  tersesat  atau  larut  dalam perubahan.  Bagi  masyarakat  Bayan,  perubahan  yang  terus menggerus  haruslah  disikapi  dengan  arif  agar  dampak negatifnya dapat dihindari. Dengan kata lain, adat sebenarnya tidak anti‐perubahan, hanya perubahan harus dilakukan secara seksama, perlahan agar nilai‐nilai yang diwariskan dari leluhur dapat terus dipertahankan.  

Bila  kita  melihat  struktur  adat  Bayan  secara  lebih mendalam,  tampak  bahwa  masyarakat  sebenarnya mengupayakan terciptanya sebuah lembaga atau institusi yang dapat melindungi keberadaan dan kepentingan mereka. Dalam masyarakat  tradisional,  lembaga  itu ada di dalam masyarakat itu sendiri. Hukum‐hukum sosial berupaya untuk menciptakan tertib  sosial,  keamanan,  dan  seterusnya.  Dalam  masyarakat modern,  tugas  dan  tanggung  jawab  ini  diambilalih  oleh lembaga  yang  disebut  negara.  Maka  mempertentangkan hukum adat dan hukum negara secara teori adalah absurd dan sama sekali  tidak relevan.  Justru negara adalah  lembaga yang dinanti‐nanti  oleh  masyarakat.  Inilah  yang  ditemukan  di lapangan bahwa masyarakat Bayan tidak memiliki niat sedikit pun untuk menentang hukum  negara. Ketentuan  adat diatur berdampingan, melengkapi ketentuan hukum negara.  

Contoh,  adat  Bayan  banyak  mengatur  tentang bagaimana  caranya mengelola  lingkungan:  tanah,  air,  hutan, sawah, kebuh, pemukiman, pekuburan, dan lain‐lain. Di Bayan 

ada  beberapa  hutan  yang  diklaim  oleh  masyarakat  Bayan sebagai  hutan  adat. Hutan  adat  artinya  hutan  yang  dikelola oleh  adat,  ada  berbagai  aturan  mengenai  penggunaannya. Orang yang melanggarnya, misalnya menebang pohonnya dan menggunakannya  untuk  keperluan  pribadi,  akan  dikenakan sanksi yang berat, berupa denda dengan nilai tertentu. Konsep hutan  adat  Bayan  sebenarnya  mirip  dengan  konsep  hutan titipan (titipan dari nenek moyang) atau hutan tutupan (hutan lindung) yang ada pada masyarakat adat Sunda di Sukabumi. Di balik berbagai pamali, dan di balik peraturan‐peraturan itu, sebenarnya  ada  upaya  untuk memelihara  lingkungan  secara bijak  agar  manfaatnya  tetap  lestari.  Maka  ritual  bumi  dan sejenisnya  adalah  upaya  kolektif  untuk  menjaga  hubungan yang seimbang antara mikrokosmos dan makrokosmos. Tanpa pemahaman  ini  adat  dan  segala  peraturan  yang  berkaitan dengannya,  akan  menjadi  absurd.  Dengan  kata  lain  adat sebenarnya diciptakan untuk menciptakan tatanan dunia yang ideal. 

Berikut  akan  dijelaskan  secara  singkat  apa  itu Wetu Telu  dan  implementasinya  dalam  adat  Bayan.  Adat  Bayan tercermin  pada  filosofi  wetu  telu  (wetu  artinya  keluar  atau lahir, dan  telu artinya  tiga). Bilangan  tiga  ini kemudian selalu diulang‐ulang dalam melihat dan memahami realitas. Menurut kosmologi  Bayan, makhluk  hidup  terbagi  tiga:  1)  yang  lahir seperti manusia atau hewan; 2) yang bertelur seperti ayam dan bebek;  3)  yang  tumbuh  seperti  tumbuh‐tumbuhan. Demikian juga waktu: masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Alam  juga  terbagi  tiga:  alam  rahim,  alam  dunia,  dan  alam akhirat.  

Kepercayaan  pada  yang  serba  tiga  ini  berasal  dari tradisi  animisme  dan  Hindu‐Budha  yang  masuk  ke  dalam 

192

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

193

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

struktur  adat.  Dalam  hubungan  ini,  maka  kemudian  keliru pendapat yang menyatakan Wetu Telu bermakna Waktu Tiga (mengerjakan  tiga  waktu  salat),  yang  kemudian dipertentangan  dengan  Waktu  Lima.  Bahwa  banyak  terjadi konflik  antara  masyarakat  Bayan  dengan  lainnya  tidaklah harus  berhubungan  dengan  doktrin  filosofis  ini.  Banyak konflik ditengarai berhubungan urusan politik dan kekuasaan. Namun anggapan itu tidak mudah untuk dihilangkan.  

Penekanan  yang  berlebihan  pada  pelaksanaan  adat telah  menimbulkan  kesan  pada  kalangan  luar  bahwa masyarakat  Bayan  tidak  mengindahkan  ketentuan  agama (syari’at), mereka  lebih mementingkan adatnya. Sementara  itu bagi  orang  Bayan,  pelaksanaan  adat  adalah  bagian  dari pengamalan  agama  itu  sendiri.  Ini  karena  agama  dan  adat merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak  bisa  dipisahkan. Kalangan  luar,  baik  masyarakat  maupun  pemerintah, selanjutnya berupaya untuk melakukan Islamisasi secara lebih intensif  bagi masyarakat  Bayan.  Pada  tahap  ini,  intensifikasi gerakan  pada  satu  sisi memicu  dan mempercepat  kristalisasi dan mobilisasi identitas Bayan pada sisi lain, paling tidak bagi sebagian  kalangan,  bahwa  adat  Bayan  memang  berbeda dengan  agama.  Langkah  ini  tercermin  dalam  berbagai peristiwa di mana di dalamnya  identitas atau adat ditegaskan kembali sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni Islam, budaya luar, atau penetrasi negara.  

Pernikahan  seringkali  menjadi  ajang  tarik  menarik antara adat dan agama di satu pihak,   masyarakat dan negara di  pihak  lain.  Ini  terjadi  karena  adatpun mengatur masalah pernikahan. Ada berbagai tahapan yang harus dilalui sebelum pasangan  menikah.  Ketika  negara  mengharuskan  adanya pencatatan  nikah  di  KUA  (Kantor  Urusan  Agama),  maka 

benturan  antara  negara  dan  adat  tidak  terhindarkan  lagi. Namun bagaimana mengatasi masalah  ini? Masyarakat Bayan memiliki cara yang cukup bijak yang pada dasarnya berakhir pada  pengakuan  keberadaan  negara  dan  adat  (win‐win solution).  

Menurut  informasi  petugas  KUA,  pada  umumnya masyarakat  Bayan  enggan  mencatatkan  pernikahannya  di KUA.  Mereka  lebih  sering  pergi  ke  pemangku  adat  untuk urusan ini. Hanya baru akhir‐akhir ini saja timbul kesadaran di kalangan warga  untuk mencatatkan  pernikahannya  di  KUA. Yang  menarik  adalah,  meskipun  mereka  mencatatkan pernikahannya,  tidak  berarti  mereka  tidak  melakukan pernikahan  adat.  Pernikahan  adat  tetap  dilakukan  dan biasanya dilakukan setelah pernikahan resmi di KUA . Dengan kata lain terjadi dua kali pernikahan di sini: pernikahan negara dan  pernikahan  adat.  Kenyataan  ini  penting  untuk membuktikan pengakuan mereka atas negara dan adat. Untuk melaksanakan  pernikahan  ini  ada  pembagian  peran  antara ayah  atau kakek dan paman. Kalau di KUA  orang  tua  (ayah atau kakek) berperan  sebagai wali,  sedang dalam pernikahan adat, wewenang  diberikan  kepada  paman. Dengan  demikian baik  negara  maupun  adat  tetap  menjalankan  tugas  dan wewenangnya di tengah masyarakat.  

Pengakuan  pada  dua  lembaga  ini  (negara  dan  adat) merupakan  prinsip  umum  di  Bayan. Di  satu  sisi masyarakat Bayan  ingin  mempertahankan  adat  istiadatnya  yang diwariskan  dari  para  leluhurnya.  Di  sisi  lain,  masyarakat Bayanpun  berupaya  menjadi  masyarakat  modern,  menjadi bagian  masyarakat  Indonesia.  Atas  dasar  ini  pula,  ketika seorang ditanya identitas mana yang lebih utama antara Islam, Indonesia, dan Bayan, Raden Gedarip menyebutkan semuanya 

194

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

195

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

utama  dan  penting. Dengan  kerangka  ini, masyarakat  Bayan tetap mendapatkan hak‐hak sipilnya sebagai masyarakat adat.  

Dalam  kasus  pernikahan  seperti  yang  dipaparkan  di atas  tampaknya  tidak  ada  masalah  yang  berpotensi mengurangi atau mengancam hak‐hak sipil masyarakat Bayan. Masyarat  Bayan  tetap  mendapatkan  kebebasannya  untuk mempraktikkan  budayanya.  Ini  karena  ternyata  mereka melakukan  negosiasi  untuk mendamaikan  institusi  adat  dan negara. Negosiasi  ini  terlihat  pada  pelaksanaan  dua  tatacara perkawinan menurut hukum negara dan menurut hukum adat. Di  sini  terlihat  hubungan  negara  dan  adat  bersifat  ko‐eksistensial  dan  saling  melengkapi.  Fenomena  seperti  ini sebenarnya  umum  ditemukan  di masyarakat  lainnya  seperti Jawa,  Sunda,  Melayu  dan  sebagainya  di  mana,  di  samping pernikahan dilakukan menurut hukum negara, juga dilakukan menurut ketentuan adat. 

Model  negosiasi  yang  umum  adalah  adanya  upaya untuk  tidak  membenturkan  ranah  adat  dan  ranah  negara. Pertama,  keduanya  diakui  sebagai  institusi  yang keberadaannya diharapkan dapat mengayomi dan melindungi kepentingan mereka. Kedua, pengakuan  ini berimplikasi pada pembagian peran antara pemangku adat dan petugas negara. Pembagian peran antara ayah/kakek yang menjadi wali dalam pernikahan  negara  dan  pamah  dalam  pernikahan  adat merupakan  bukti  kongkrit  adanya  distribusi wewenang  dan tanggung jawab antara dua institusi ini. Dalam hal  

Dalam kasus merarik  (kawin  lari) yang banyak  terjadi di Bayan, upaya untuk membagi peran antara pemangku adat dan aparatur negara  juga  tampak sekali. Ketika seorang gadis dilarikan oleh pacarnya hingga melewati batas waktu tertentu maka  merarik  ditegakkan.  Pada  tahap  ini  adat  berperan. 

Kepala  dusun  si  laki‐laki  mendatangi  kepala  dusun  si perempuan  dan  menerangkan  ada  “sapi”  tersesat  di kampungnya. Lalu terjadilah negosiasi antara keluarga si laki‐laki dan si perempuan untuk menentukan besarnya uang yang harus diserahkan oleh pihak  laki‐laki dan  tatacara pernikahan yang  akan  dilangsungkan,  dan  sebagainya.  Setelah  negosiasi berhasil  dilakukan,  pernikahan  dilakukan  sesuai  dengan ketentuan  adat.  Prosesi  ini  pada  akhirnya  berakhir  pada pengakuan  akan  lembaga  negara  berupa  berupa  pencatatan nikah  di  KUA.  Jadi,  dalam  konteks  ini  pun,  tidak  ada pertentangan antara adat dan negara sehingga  tidak ada hak‐hak sipil warga yang terancam pemenuhannya.  

Sejauh  menyangkut  masyarakat  Bayan,  paling  tidak pada kasus menikah, tidak ada hak sipil warga yang terlanggar apalagi  terancam.  Yang  terjadi  adalah  negosiasi  agar  hukum negara dan hukum adat dapat dilaksanakan dengan baik. Pada tahap  ini,  paling  tidak  bagi  orang  luar,  ada  kesan  prosesnya sangat  lambat,  menimbulkan  kesan  seolah‐olah  masyarat Bayan  tidak mau  tunduk  kepada  hukum  negara,  tidak mau berubah, dan seterusnya. Kesan ini  jelas tidak berdasar. Justru di  sini  permasalahannya  modernisasi  yang  dilakukan  tanpa mempertimbangkan  nilai‐nilai  yang  berkembang  di  tingkat lokal, dan penetrasi negara yang berlebihan dapat mengancam hak‐hak  sipil warga.  Pertanyaannya,  lalu  bagaimana  dengan bidang‐bidang  lain  seperti  pendidikan,  kewargaan,  dan administrasi kependudukan lainnya? 

  

196

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

197

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

PENUTUP  

Kesimpulan 1. Islam  Wetu  Telu  atau  Islam  Bayan  sebagai  adat  dan 

kepercayaan hingga kini keberadaannya masih tetap eksis; ia mampu bertahan di  tengah gempuran perubahan sosial yang cepat, faktor utamanya didorong oleh perkembangan birokrasi  pemerintah,  pendidikan,  dakwah  Islam  dan industri  turisme  Pulau  Lombok.  Proses  sosial  di  Bayan berlangsung  cukup  dinamis,  dan  hal  itu  lebih menunjukkan  integrasi  yang  berjalan  cukup  baik  antara adat, agama dan hukum negara. 

2. Pada  umumnya  anak‐anak  Bayan  bersekolah  di  sekolah umum  yang  ada  di  sekitar  Bayan.  Di  sekolah  mereka menerima pelajaran agama Islam dan buku pelajaran serta kurikulumnya  disediakan  oleh  pemerintah.  Sejauh  ini menyangkut  pendidikan,  tidak  ada  tuntutan  bahwa pendidikan agama Islam yang diajarkan di sekolah‐sekolah Bayan  harus  sesuai  dengan  Islam  yang  berkembang  di Bayan.  Mereka  menerima  pelajaran  Islam  seperti  yang tertulis  di  buku‐buku  pelajaran,  sebuah  tafsir  Islam  yang sesuai dengan keyakinan mayoritas Muslim.  

3. Masalah   administrasi   kependudukan, masyarakat Bayan dalam KTP, kolom agama dituliskan Islam. Ini merupakan bukti  bahwa  mereka  beragama  Islam,dan  ini  pula  yang membedakan mereka dengan kelompok‐kelompok  lainnya seperti  Sunda  Wiwitan  atau  penganut  kebatinan  atau kepercayaan  yang  mengosongkan  kolom  agama  dalam kartu  identitas  mereka.  Dengan  kata  lain,  orang  Bayan mengidentifikasi  diri mereka  sebagai  Islam  atau Muslim dalam  administrasi  kependudukan  mereka  (KTP,  ijazah, 

akta lahir, surat nikah, paspor, dll).  4. Pada  umumnya  masyarakat  Bayan  enggan  mencatatkan 

pernikahannya  di  KUA.  Mereka  lebih  sering  pergi  ke pemangku  adat untuk urusan  ini. Hanya  saja baru  akhir‐akhir  ini    timbul  kesadaran  di  kalangan  warga    Bayan untuk mencatatkan pernikahannya di KUA. Yang menarik adalah, meskipun mereka mencatatkan  pernikahannya  di KUA,  tidak  berarti  mereka  tidak  melakukan  pernikahan adat.  Pernikahan  adat  tetap  dilakukan  dan  biasanya dilakukan setelah pernikahan resmi di KUA. 

5. Sebagai  makhluk  sosial  para  penganut  Islam Wetu  Telu juga percaya  akan  tiga aspek  sosial di dalam masyarakat, yaitu  adat,  agama  dan  negara.  Hal  itu  tercermin  dalam perilaku  keseharian  masyarakatnya  yang  cenderung terbuka  dan  menerima  hubungan  sosial  dan  interaksi dengan  masyarakat  sekitar.  Pemerintah  mendapatkan cukup  apresiasi  ketika  ia  terlibat  di  dalam  pembangunan infrastruktur dan pelestarian  simbol‐simbol adat  setempat seperti  pemugaran  dan  renovasi  komplek  Mesjid  Kuno Bayan.  

 Rekomendasi 1. Pihak  pemerintah  perlu  memberikan  perhatian  kepada 

masyarakat  Bayan  (Islam  Wetu  Telu)  dalam  hal pendidikan  agama,  walaupun  selama  ini  tidak  ada masalah, mereka menerima semua kurikulum yang sudah diatur pemerintah.  

2. Pihak  pemerintah  untuk  dapat meningkatkan  pemberian dukungan  pembangunan  dan  memfasilitasi  perbaikan infrastruktur  bukan  saja  untuk  kepentingan  pemerintah 

198

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

199

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

pusat  tetapi  juga  pemerintah  daerah  dan,  terlebih  lagi, masyarakat adat. 

3. Pihak pemerintah  perlu melakukan komunikasi sosial dan politik  yang  sehat  dengan  masyarakat  adat  sehingga program‐program pemerintah baik pusat maupun daerah dapat  berjalan  tanpa  mencampuri  apalagi  mengganggu keberlangsungan hidup dan ketersebaran ajaran dan adat istiadat masyarakat Bayan.  

4. Pihak  pemerintah  untuk  terus  menjaga  hubungan  baik dengan masyarakat Bayan, hal tersebut dapat menciptakan  stabilitas  politik  dan  menjamin  keamanan  warga  adat Bayan. 

5. Pihak  pemerintah  diharapkan   terus  berupaya memfasilitasi  pembangunan  daerah  dalam  bidang  sosial, ekonomi  dan  pendidikan  dengan  memberikan  peluang yang cukup bagi warganya untuk menunjukkan keunikan, determinasi percaya diri dan kemampuan terbaik di dalam membangun daerahnya. Termasuk di dalamnya menjaga kelestarian  adat  dan  budayanya,  menghormati  hak‐hak sipil dan hak‐hak yuridisnya sebagai warga Negara.  

 

DAFTAR PUSTAKA  

Abd.  Syakur, Ahmad.  Islam Wa‐Tatawwuruh Bi‐Jazira  Lombok. Al‐Jami’ah 43 (No. 2), 2005.. 

Adonis, F. X. Tito, Suku Terasing Sasak di Bayan, Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat.  Jakarta: Departemen Pendidikan dan  Kebudayaan,  Direktorat  Jenderal  Kebudayaa, Direktorat  Sejarah  dan  Nilai  Tradisional,  Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai‐Nilai Budaya, 1989. 

Antlöv, Hans, Sven Cederroth, and Sven Cederroth, Traditional Power and Party Politics  in North Lombok, 1965‐99.”,    in Elections  in  Indonesia:  The New Order  and  Beyond. Routledge, 2004. 

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara  Abad  XVII  dan  XVIII:  Melacak  Akar‐akar Pembaruan  Pemikiran  Islam  di  Indonesia.  1st  Edition. Bandung: Mizan, 1994. 

Azra, Azyumardi, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia:  Networks  of Malay‐Indonesian  and Middle  Eastern “Ulamā”  in  the  Seventeenth  and  Eighteenth  Centuries. Honolulu: Crows Nest, NSW, Australia: Asian Studies Association  of  Australia  in  association with  Allen  & Unwin; Honolulu: University of Hawai’i Press, 2004. 

Baal, Jan van, Pesta Alip di Bayan, Jakarta: Bhratara, 1976. 

Bartholomew,  John  Ryan, Alif  Lam Mim:  Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. 

200

Dinamika Agama Lokal di Indonesi

Budiwanti,  Erni,  Islam  Sasak:  Wetu  Telu  versus  Waktu  Lima, Yogyakarta:  LKiS  bekerjasama  dengan  Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation, 2000. 

a

201

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Budiwanti, Erni, Religion of the Sasak: An Ethnographic Study of the  Impact  of  Islamisation  on  the Wetu  Telu  of  Lombok, Ph.D  Thesis,  Clayton,  VIC,  Australia:  Monash University, 1997. 

Cederroth, Sven, A Sacred Cloth Religion?: Ceremonies of the Big Feast Among  the Wetu Telu Sasak  (Lombok,  Indonesia). NIAS Press, 1995. 

Cederroth,  Sven,  The  Spell  of  the  Ancestors  and  the  Power  of Mekkah:  A  Sasak  Community  on  Lombok,  Acta Universitatis Gothoburgensis, 1981. 

Dahlan, Fahrurrozi, Sejarah Perjuangan dan Pergerakan Dakwah Islamiyah Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli di Pulau Lombok, Ciputat: Sentra Media, 2006. 

Harnish,  David,  ʺTensions  between  Adat  (Sustom)  and  Agama (Religion) in the Music of Lombok.” in Divine Inspirations: Music  and  Islam  in  Indonesia,  edited  by  David  D. Harnish and Anne Rasmussen. Oxford and New York: Oxford University Press, 2011. 

Harnish, David D., Bridges  to  the Ancestors: Music, Myth, And Cultural  Politics  at  an  Indonesian  Festival,  Honolulu, Hawai’i: University of Hawaii Press, 2006. 

Koesnoe,  Mohammad,  Penelitian  Hukum  Adat  di  Bali  dan Lombok,  1971‐1973:  Laporan  Pokok,  Surabaya: Universitas Airlangga, 1975. 

MacDougall, John M., “The Political Dimensions of Emasculation: Fantasy,  Conspiracy,  and  Estrangement  aminf  Populist Leaders  in  Post‐New  Order  Lombok,  Indonesia.”  in Postcolonial disorders, edited by Mary‐Jo DelCecchio Good, Sandra Teresa Hyde, Sarah Pinto, and Byron Good. Berkeley 

and  Los  Angeles,  CA:  University  of  California  Press, 2008. 

Yasin, Akhmad Masruri,  “Islam, Tradisi  dan Modernitas  dalam Perkawinan Masyarakat Sasak Wetu Telu (Studi Komunitas Wetu  Telu Di  Bayan),” M.A.  Thesis,  Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010. 

Zuhdi, Muhammad Harfin,  Lombok Mirah  Sasak  Adi:  Sejarah Sosial,  Islam,  Budaya,  Politik  &  Ekonomi  Lombok, Pisangan, Ciputat: Imsak Press, 2011. 

      

202

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

203

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

         

 AGAMA/KEPERCAYAAN  ALIRAN KEBATINAN PERJALANAN 

 DI KECAMATAN CIPARAY  KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT 

Oleh : Suhanah        

GAMBARAN UMUM WILAYAH    

Geografis dan Demografis   Pusat  penganut  Aliran  Kebatinan  Perjalanan  (AKP) 

terletak di Desa Paku Tandang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung  Jawa  Barat.  Luas wilayahnya mencapai  377,5  km, luas  daratan  226,5  km,  dan  perbukitan  151  km.  Tanahnya subur dan  banyak ditanami pepohonan yang hijau. Desa  ini berbatasan sebelah utara dengan Kota Ciparay, sebelah selatan dengan  Desa  Sagara  Cipta,  sebelah  barat  dengan  Desa Gunung  Leutik  Jeiheulawi,  dan  sebelah  timur  dengan Desa Manggung.(Profil  Desa  Paku  Tandang  Kecamatan  Ciparay Kabupaten Bandung).                      

Desa  Paku  Tandang  adalah  desa  yang  cukup  ramai. Waktu  tempuh  ke  desa  tersebut  dari  ibukota  kecamatan Ciparay hanya 5‐6 menit. Dari kota Bandung berjarak 29 km atau  sekitar  2  jam. Masyarakat Desa Paku Tandang  bermata pencaharian sebagai petani persawahan dan sebagai peternak ikan kolam,  itik,   domba, dan sebagai buruh  tani serta buruh ternak. Sebagaian  lagi ada yang menjadi PNS dan pedagang. Jumlah penduduk yang ada di desa Paku Tandang sebanyak 17.051 orang dengan perincian penduduk laki‐laki 8.653 orang dan  8.398  orang. Namun  penduduk  dilihat  dari  segi  agama adalah Islam 8.386 orang laki‐laki dan perempuan 8.169 orang; Kristen  67  orang  laki‐laki  dan  perempuan  39  orang; Katolik laki‐laki  7 orang dan perempuan  9 orang;  selebihnya  adalah penganut  Aliran  Kebatinan  Perjalanan  berjumlah  374  orang dengan rincian 193 orang laki‐laki dan 181 orang perempuan. (Laporan tahunan Desa Paku Tandang, 2012). 

 Mata Pencaharian penduduk  yang  ada di desa Paku Tandang adalah: 1) sebagai petani berjumlah 249 orang; 2) 431 

204

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

205

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

orang; 3)   PNS 758 orang; 4) pengrajin industri rumah tangga 27 orang; 5) peternak 92 orang; 6) montir 41 orang; 7) perawat 10 orang ; 8) pembantu rumah tangga 72 orang; 9) TNI/POLRI 57 orang; 10) Pensiunan 237 orang; 11) pengacara 22 orang; 12) Notaris  1 orang; 13) dukun kampung  1 orang  ;  14) dosen di Perguruan Tinggi  Swasta  7  orang;  15) Pengusaha  21    orang; 16)  Seniman  71  orang;  17)  karyawan  swasta  5024  orang;  18) Karyawan perusahaan pemerintah 44 orang.                       

Tingkat  pendikan  penduduk  Desa  Paku  Tandang adalah: Tk 987 orang, Tamat SD 2.314 orang, Tamat SMP 2.247 orang, Tamat SMA 2.175 orang, Tamat D1 73 orang, Tamat D2 21 orang Tamat D3 82 orang , Tamat S1 128 orang, Tamat S2 16 orang dan Tamat S3 5 orang. 

 

TEMUAN HASIL PENELITIAN  

Sekilas Tentang Aliran Kebatinan Perjalanan           Istilah  kebatinan,  berasal  dari  kata  Batin  artinya  soal “dalam”, soal kesunyataan, soal kebenaran, dan soal hakikat. Batin sebagai permasalahan dalam karena  tidak dapat dilihat dengan mata kepala, tidak dapat diraba dengan pancaindera, oleh  karena  sifatnya  ghaib.  Selain  itu  hakikat  batin  adalah hidupnya  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  yang  tumerap  pada umatnya,  seperti:    Otak  dengan  elingnya  atau  ingatannya; Kuping  dengan  pendengarannya; Mata  dengan  penglihatan‐nya;  Hidung  dengan  penciumannya;  Tangan  dengan merabahnya; Kaki dengan langkahnya; Hati dengan pikirnya; dan  syaraf  dengan  rasanya. Hal‐hal  semua  itu,  setiap  umat dapat  menerima  sebagai  kesaksian  mutlak  tentang  segala keadaan dan rasanya, baik yang ada di luar maupun yang ada di dalam dirinya  sendiri.  (Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, 1981 : 71).           Dalam kehidupan kebatinan, perjalanan tidak mengenal adanya guru dan murid. Yang ada adalah sifat kekeluargaan dimana  setiap  manusia  sama  derajatnya,  tidak  ada perbedaandan  mereka  tidak  memandang  kedudukan  sosial antara  semua  warganya,  baik  petani,  buruh,  atau  PNS sekalipun.  Jadi  pada  prinsipnya  setiap  manusia  derajatnya sama.  Tradisi/Budaya tradisional (Upacara Daur Hidup) Dalam masyarakat Sunda  khususnya masyarakat yang ada di Desa Paku Tandang Kecamatan Ciparay, dalam menjalankan kehidupan, selalu melakukan upacara daur hidup, seperti:  

206

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

207

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

1. Upacara Selamatan 7 bulan kandungan (hamil): a) Ibu yang hamil dimandikan dengan air serta kembang 

7  rupa, yang berarti  setiap manusia hidup dilengkapi dengan: gerak langkah, kemauan, pengetahuan, hidup, dengar,  lihat  dan  ucap  yang  harus  wangi  semerbak perikehidupannya.  

b) Daun  Jati,  bahwa  gerak  langkah,  kemauan  dan sebagainya  itu berasal dari Hyang        Jati  (Zat  Illahi  ) yang disebut Penguasa Gusti. 

c) Telur   ayam akan menetaskan ayam, telur bebek akan menetaskan bebek. Maka     apabila sudah mengetahui adanya  Penguasa  Gusti  yang  ada  pada  dirinya, sewajarnyalah  setiap  umat  melakukan  (menelorkan) perbuatan ke Gustian (Ketuhanan Yang Maha Esa). 

d) Perhiasan dan daun keluwih. Sekalipun hidup karena kekayaannyaa,  seakan‐akan  bermandikan  perhiasan permata  intan  berlian,  akan  tetapi  harus  difahami bahwa  barang  yang  paling  berharga  adalah  diri manusiawinya. Pangkat, dunia kekayaan, apabila mati tidak akan ada yang dibawa meski  suami  isteri, anak kesayangan  sekalipun. Oleh  sebab  itu pangkat, dunia dan kekayaan  janganlah dijadikan  tujuan hidup yang utama,  hendaklah  itu  dianggap  sebagai  pelengkap dalam  suasana  pergaulan.  Dari  itu  janganlah  ingin hidup secara kaluwihan(berlebihan) ingin kaya sendiri, ingin  kuasa  sendiri  karena  semuanya  itu  hanya sekedar barang sampingan. 

e) Kain  panjang  yang  baru  dan  bagus.  Kelakuan  harus baik, lapang tekad ucap dan lampah. 

f) Rujak dalam jambangan.  Jembangan yang berasal dari tanah, namun karena  sifat   dan  fungsinya,  sudah  lain 

dari  pada  bumi  yang menjadi  asal  segala  benda dari tanah,  jembangan tidak boleh disebut bumi. Demikian pulalah  dengan  manusia  yang  berasal  dari  Tuhan, karena  fungsinya  amat  berbeda  dengan  Tuhan  Yang Maha Esa,  tidak boleh disebut Tuhan. Adapun badan jasmani  yang  berasal  dari  dunia,  proses  kejadiannya melalui  makanan  dari  buah‐buahan,  garam,  kewan dan  lain‐lain,  bagaikan  rujak  yang  dicampur  aduk, yang  kemudian  sari  patinya  berkembang  menjadi wujud badan jasmani. 

g) Kelapa  gading  bergambarkan  arjuna  dan  Srikandi. Bayi  yang  dalam  kandungan  masih  belum  dikuasai oleh  nafsu‐nafsu  seperti:hewani  sifatnya  merah, Duniawi sifatnya kuning, Robani sifatnya putih, Setani sifatnya  hitam.  Maka  gading  dikiaskan  masih  tiada warna,  tiada  nafsu‐nafsu  tersebut  di  atas.  Dari   padanya diharapkan kelak ia akan hidup dengan tidak mengutamakan kepuasan nafsu‐nafsu  itu. Kalau anak itu  lahir  lelaki,  supaya  selain  cakap  seperti  arjuna,  ia suka  membantu  yang  lemah  menolong  orang  yang sengsara,  bagaikan  Dananjaya  yang  senantiasa tenggang  rasa.  Kalau  anak  lahir  perempuan,  supaya selain cantik seperti Srikandi, ia juga akan bisa menjadi Pahlawan  pecinta  tanah  air,  dan  selalu  setia mendampingi suaminya dalam suka dan duka. 

h) Jembangan  dipecah  di  tengah  jalan  perempatan. Supaya  anaknya  kelak  berdiri  di  tengah‐tengah menguasai  semua  empat  jurusan  nafsu,  yang  dapat mengendalikannya  secara  wajar.  Dengan  demikian semoga bila mana ia akan sampai pada saat rapuhnya badan jasmani, akan dapat pulih kajati pulang keasal.  

208

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

209

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

2. Upacara Kelahiran anak:  a) Bayi yang baru  lahir ditaruh di  tampah. Tampah, alat 

untuk menampih beras guna   memisahkan beras dari menir dan kotoran  lainnya. Dalam hal  ini hendaknya sang  bayi  kelak  akan  dapat  memisahkan/memilih mana  yang wajib dan  yang  tidak wajib  adanya  pada Wujud  Tuhan  Yang  Maha  Esa.  Sang  dukun  bayi  , menggebrak‐gebrakan  tampah  dengan  mengucap  : jangan mempergunakan mata untuk yang  tidak patut dilihat. Jangan menggunakan kuping untuk yang tidak patut  di  dengar.  Jangan  menggunakan  mulut  untuk yang  tidak  patut  diucapkan.  Jangan  menggunakan tangan  untuk  yang  tidak  patut  diambil.  Jangan menggunakan kaki untuk yang tidak patut dilampahi. Yang  paling  utama,  agar  sang  bayi  kelak  tidak  akan menjadi orang latah, hanya dapat meniru‐niru tingkah laku orang/bangsa  lain yang  tidak  cocok dengan  sifat dan kepribadian bangsanya.  

b) Garam. Supaya dalam  segala  tekat, ucap dan  lampah mengandung  sari  manusia  agar  disenangi  sesama hidupnya. 

3. Upacara Khitanan: a) Khitanan  disebut  juga  ngabersihan.  Supaya  semenjak 

kecil  anak  harus  sudah  mengenal  kebersihan,  baik dalam  lingkungan hidup maupun dalam  tingkah  laku tahu kepada tuhannya. 

b) Kebon alas  :digantungi serba serbi hasil bumi. Supaya semenjak kecil, anak sudah mengenal segala kekayaan hasil  tanah  airnya,  yang  dijadikan  oleh  Tuhan  Yang Maha  Esa  untuk  keperluan  kesejahteraan  hidup 

umatNya.  Yang  ia  harus  cintai  dan  pelihara  sebaik‐baiknya. 

c) Gendang  pencak.  Supaya  semenjak  kecil  anak  harus belajar  berani  mempertahankan  keselamatan  diri, bangsa dan membela kekayaan dan kejayaan tanah air, yang  gemahrifah  loh  jinawi,  dimana  ia  dilahirkan, hidup dan dimana ia akan dikebumikan. 

d) Ayam jantan sebagai bela yang dipotong dan dijadikan bekakak.  Supaya  semejak  kecil  anak  harus  sudah mempunyai sifat jantan yang berani menghadapi maut dalam membela bangsa dan  tanah air. Sikap  itu pada hakikatnya merupakan penyerahan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugrahkan segala‐galanya guna  kepentingan  hidup  dan  kehidupan  umatnya, sebagaimana  halnya  bangsa‐bangsa  lain  di  dunia  ini, yang  masing‐masing  mempunyai  tanah  air,  bangsa, negara dan kebudayaan sendiri‐sendiri. 

e) Dulang  remong  yang  dibalik  serta  gulungan  tikar. Mengingat kodrat Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara tidak  mencintai  bangsa,  bahasa,  budaya  dan  tanah airnya akan menjungkir balikan dulang  (tempat) nasi. Ia  hanya  akan  makan  sisa‐sisa  yang  tercecer  dan menemui kematian dalam arti yang luas.  

4. Upacara Perkawinan: a) Sawer.  Kesayangan  orang  tua  tiada  duanya  semua 

yang ada diperuntukan keselamatan dan kebahagiaan hidup  anak dan keturunannya.  Ia menaburkan: beras lambang pangan. Ia menaburkan: Kunir lambang emas dan kekayaan. Memanjatkan doa mohon pada Tuhan Yang  Maha  Esa  dan  Leluhur  agar  diberi  berkah selamat lahir batin. 

210

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

211

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

b) Memecah  telur.  Iktikad  dan  tujuan  yang  baik  akan menelorkan  kebaikan  dan  sebaliknya  segala  iktikad dan  tujuan  buruk  akan  menelorkan  keburukan, demikianlah hukum pada kehidupan.  

c) Cuci kaki. Bersihkan segala laku dan perbuatan, sebab kehidupan tiap  insan adalah sendi rumah tangga, dan setiap  rumah  tangga  adalah  sendi  kehidupan  negara dan bangsa.  

d) Tarapong (bambu  lurus tidak berbuku). Hidup rumah tangga  antara  suami  isteri  ,sekalipun  berbeda  sifat, ibarat  kiri  dan  kanan,  namun  keduanya mempunyai tanggung  jawab yang sama. Dari  itu harus “bungbas” tiada kecurigaan antara yang satu  terhadap yang  lain, tiada  rahasia  antara mereka  berdua,  segalanya  harus bersifat terbuka. 

e)  Batu  pipisan.  Yang  satu  bersifat  datar,  dan  lainnya bersifat bulat panjang, namun justru perbedaannya itu mempunyai  pungsi  yang dapat menggrus  jamu  serta lainnya  semacam  itu.  Demikianpulalah  suami  isteri dalam  rumah  tangga  harus  seimbang,  sehingga kehidupan  dapat memberikan  kekuatan  jasamaniyah dan rohaniah dan jikalau mungkindapat dimanfaatkan sebagai obat pelipur  lara bagi keluarga‐keluarga yang lain yang memerlukan bantuan.  

5. Upacara Meninggal: a) Kain kapan pembungkus mayat. Hal  itu melambang‐

kan bahwa hakekat hidup itu adalah putih (suci)  maka pembungkusnya  adalah  berwarna  putih.  Sedangkan yang  kotor  adalah  nafsunya  yang  menyuramkan kehidupan  umat,  yaitu  empat  tali  pengikat. Kejadian jasmani berasal dari  : Api yang menjadi daging, angin 

yang menjadi kulit dan bulu, air yang menjadi balung sumsum.  Bumi  yang  menjadi  isinya  badan,  yaitu bantalan  7  dari  tanah  berbentuk  bulat.  Hidupnya jasmaniyah ditopang oleh Penguasa Tuhan Yang Maha Esa  , yaitu: Gerak  langkah;   Kemauan;   Pengetahuan;  Hidup; Dengar; Lihat; dan Ucap. Hal‐hal itu semuanya diatur oleh Tuhan. 

b)  Nyusur  tanah.  Dalam  artian mengenang  segala  apa  yang dikerjakan dan yang pernah dicapai   almarhum dan  almarhumah  selama  hidupnya,  baik  dari  segi lahiriyah  maupun  rohaniyah,  untuk  diambil manfaatnya bagi yang ditinggalkannya. 

c) Hari  ketiga.  Dalam  artian,  dengan  kematian,  maka terpisahlah antara satu sama lain. Raga Salira : Jasmani untuk  kembali  kedunia. Raga  Purasa  : Rohani  untuk kembali  kesari  rasa  alam.  Raga  batara  :  aku  untuk kembali  kepada  Tuhannya  sebagai  asalnya  masing‐masing. 

d)  Hari ketujuh.  Mengandung arti Penguasa Tuhan yang berjumlah  tujuh  tersebut di atas akan kembali kepada Tuhan yang Maha Kuasa. 

e) Hari keempat puluh. Mengadung 4  (empat) hal yaitu: nafsu hewani, nafsu duniawi, nafsu Robbani dan nafsu syaitani.  0  (kosong):  hilang  terpisah  dari  badan jasmani. 

f) Hari  keseratus.  Ratus,  semacam  setanggi  untuk mewangikan  pakaian.  Hendaknyalah  yang  dikenang almarhum/almarhumah  dengan  memaafkan kekhilafannya,  menghilangkan  dari  ingatan keburukan,  yang  pernah diperbuatnya,  karena  segala sesuatu telah lalu dan tiada lagi yang akan kembali. 

212

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

213

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

g) Mendak (satu tahun). Kubur kanghalus dan jisim kang latif  dari  pada  almarhum  dan  almarhumah  adalah anak  keturunannya,  sebab  badan  jasmani  dari  anak keturunannya  berasal  dari  badan  jasmani  almarhum/ almarhumah.  Tegasnya  jasmani  almarhum/ almarhumah dan keturunannya itu tunggal. 

h) Seribu  hari.  Tuhan  Yang  Maha  Esa  itu  Yang  Maha Langgeng  tiada  awal  dan  akhirnya,  asal  dari  semua asal  dan  kemana  segala  yang  ada  akan  kembali  1 (satu).  Sang  Aku  harus  sudah  kembali=  0  (kosong). Jasmani harus sudah kembali sama dengan 0 (kosong). Rohani harus sudah kembali = 0 (kosong). (Pulih Kajati pulang kaasal).(Dewan Musyawarah Aliran Kebatinan Perjalanan, 1983 : 44‐50). 

 Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan  Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP)           Aliran  Kebatinan Perjalanan sering disebut juga dengan nama komunitas penghayat kepercayaan. Pada saat didirikan hanya  beranggotakan  15  orang,  dan  terbatas  hanya  di Kabupaten Subang, tetapi pada tahun 1987, penganutnya telah berkembang  ke  beberapa  kabupaten  yang  ada  di  propvinsi Jawa Barat, hingga  mencapai 19.406 orang. (Abd Rozak, 2005 : 17).            Saat  penelitian  ini  dilakukan  Aliran  Kebatinan Perjalanann  telah  berkembang  hampir  di  semua  daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat, seperti: 1. Kabupaten Bandung; 2. Kabupaten Bandung Barat; 3. Kabupaten Bogor; 4. Kabupaten Ciamis;  

5. Kabupaten Cianjur;  6. Kabupaten Cirebon; 7. Kabupaten Garut;  8. Kabupaten Karawang;  9. Kabupaten Kuningan; 10. Kabupaten Majalengka;  11. Kabupaten Purwakarta;  12. Kabupaten Subang; 13. Kabupaten Sumedang; 14. Kota Bandung; 15. Kota Cimahi.(Wawancara dengan Asma Samsudin, (Ketua 

AKP Desa Paku Tandang  Kecamatan Ciparay)  Aliran Kebatinan  Perjalanan  (AKP)  bisa  disebut  juga 

Agama  Kuring  (bahasa  sunda,  maksudnya  agama  saya), Agama Pancasila, Agama Petrap atau Traju Trisna, Ilmu Sejati, Jawa‐Jawi Mulya, Agama Yakin Pancasila, Agama Sunda, atau PERMAI,  dan  ada  juga  yang  menyebutnya  Agama  Buhun. Aliran  AKP  didirikan  pada  hari  Jumat  Kliwon  jam  12  dan tanggal  19  Maulud  tahun  1858  Saka,  bertepatan  dengan tanggal  17  September  1927 di Kampung Cimerta, Kelurahan Pasir  Kareumbi,  Kecamatan  Subang,  Kabupaten  Subang. (Abd. Rozak, 2005 : 119). 

Menurut  sejarah, pendiri Aliran Kebatinan Perjalanan ada tiga orang yaitu Mei Kartawinata, M. Rasyid, dan Sumitra. Mei Kartawinata  lahir pada  tanggal 1 Mei 1897 di Kebon  Jati Bandung.  Pada  masa  remajanya  dia  mengikuti  dan  tinggal bersama  kakak  iparnya  di  Kediaman  Sultan  Kanoman Cirebon. Pendidikan yang diperolehnya adalah sekolah rakyat (HIS  Zendingschool  pada  zaman  Belanda)  sampai  tamat, sehingga  ia  banyak  mengenal  teologi  Kristen  dan  ia  juga 

214

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

215

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

pernah belajar di pesantren‐pesantren sehingga ia diduga kuat pandai membaca kitab kuning. (Abd. Rozak, 2005 : 120‐121). 

Salah  seorang  yang  bertempat  tinggal  di  Komplek Penghayat  Aliran  Kebatinan  Perjalanan,mengatakan  bahwa penganut AKP berjumlah 347 orang laki‐laki dan perempuan, semuanya tinggal dalam satu komunitas di RW 15 Kecamatan Ciparay  Desa  Paku  Tandang.  Di  lingkungan  Kompleks Penghayat  terdapat  sebuah  gedung  Pasewakan,    dimana gedung tersebut merupakan salah satu tempat rembukan bagi komunitas  AKP.  Di  belakang  gedung  Pasewakan  terdapat beberapa  kuburan  yang  dianggap  keramat  seperti: Kuburan salah  seorang  pendiri  Aliran  Kebatinan  Perjalanan  Mei Kartawinata  beserta  Isterinya  yang  letaknya  berdampingan dalam  sebuah  bangunan  yang megah  dan  bersih.  Selain  itu terdapat  juga beberapa kuburan yang dianggap orang‐orang baik,  letaknya  mengelilingi  kuburan Mei  Kartawinata  yang ada di gedung tersebut. 

 Pokok‐pokok Ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan           Ajaran‐ajaran  AKP  (Mei  Kartawinata)  berasal  dari sinkritisme  adat  sunda dengan  aneka macam  agama  seperti: Islam, Kristen dan Hindu. Ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP)  ini  penekanannya  lebih  pada  aspek  sosial dibandingkan  dengan  aspek  religiusnya  yang  meliputi sepuluh wangsit yaitu:  1. Melarang  menghina  dan  dihina,  merendahkan  dan 

direndahkan orang lain tanpa alasan yang jelas. 2. Mengajarkan  kasih  dan  sayang  kepada  orang  lain,  serta 

berakhlak mulia. 

3. Larangan menggunakan  potensi  yang  ada  pada  diri  kita untuk kepentingan hawa nafsu kecuali untuk kepentingan menolong orang lain. 

4. Mengajarkan  supaya  selalu  bekerja  keras  sebagai  darma karena  untuk  memperoleh  karma  yang  baik  harus diusahakan secara serius 

5. Menganjarkan  semua  karunia  yang  ada  pada  kita  patut disyukuri 

6. Mengajarkan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui heneng, Hening, Eling, Awas, dan Waspada. 

7. Mengajarkan  bersemedi  yang  dilakukan  pada  hari  ulang tahun  AKP  tanggal  17  September  dan  1  Sura, dilakukannya di depan makam  tokoh pertama AKP  (Mei Kartawinata)  yang  berada  di  sebelah  timur  gedung Pasewakan  di  Kampung  Paku  Tandang  Ciparay.  Dalam bersemedi  tersebut  para  warga  AKP  memohon perlindungan  dan  karunia  dari  roh  sang  tokoh.  Untuk perlindungan dan karunia dapat diperoleh dengan cepat, seseorang yang melakukan  semedi perlu  lebih dekat  lagi dengan  makam  itu.  Biasanya  bersemedi  itu  dilakukan ketika  seorang  penganut  bermaksud  meminta  sesuatu seperti  ilmu kekebalan atau  lainnya. (Abdul Rozak, 2005  : 151‐160).  

Konsep  Ketuhanan  Bagi  Penganut  Aliran  Kebatinan Perjalanan 

Konsep  tentang  Tuhan  menurut  Aliran  kebatinan Perjalanan dapat dijelaskan sebagai berikut:  1) Tuhan  Yang  Maha  Esa  itu  Wujud  adaNya  dan  berada 

dimana‐mana;  

216

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

217

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

2) Tuhan Yang Maha  Esa  itu  ada  terlebih  dahulu,  sebelum adaya langit dan bumi beserta segala isinya;  

3) Tuhan Yang maha Esa itu kekal dan abadi;  4) Tuhan Yang Maha Esa itu berbeda dengan segala yang ada 

di langit dan bumi beserta segala isinya;  5) Tuhan  Yang Maha  Esa  itu Mandiri  tidak  diadakan  oleh 

siapapun;  6) Tuhan Yang Maha Esa itu Tunggal, Tuhannya segala umat 

dan makhluk  yang  ada,  yang  telah  tiada dan  yang  akan ada;  

7) Tuhan Yang Maha Esa itu, Maha Kuasa, Kekuasaannya itu meliputi segala sesuatu yang ada;  

8) Tuhan Yang Maha Esa itu, Maha Kehendak;  9) Tuhan Yang Maha Esa itu, Maha Hidup;  10) Tuhan  Yang  Maha  Esa  itu,  maha  Mendengar, 

pendengaranNya itu tidak memakai telinga;  11) Tuhan Yang Maha Esa  itu, Maha Melihat, melihatNya  itu 

tidak memakai mata;  12) Tuhan Yang Maha Esa  itu, Maha Mengucap, mengucap‐

Nya itu tidak memakai mata. (IR. Andri Hernandi, 2005: 6‐7). 

Berdasarkan  uraian  tersebut  di  atas  dapat  dikatakan bahwa  konsep  keTuhanan  yang  diyakini  Aliran  Kebatinan Perjalanan  hampir  sama  dengan  konsep  Islam  tentang  sifat‐sifat  Tuhan.  Seperti:  a)  Tuhan  Yang  Maha  Esa  itu  Wujud adaNya dan berada dimana‐mana; b) Tuhan Yang Maha Esa itu  ada  terlebih  dahulu,  sebelum  adaya  langit  dan  bumi beserta segala  isinya; d) Tuhan Yang maha Esa  itu kekal dan abadi. Namun demikian perbedaannya adalah bagi penganut aliran  kebatinan  perjalanan  yaitu  mereka  tidak  melakukan ibadah seperti  yang umat Islam lakukan (Sholat, puasa, zakat 

dan  sebagainya).  Cara  ibadat  aliran  kebatinan  perjalanan cukup  dengan  melakukan  eling  kepada  gusti  Allah  dan mereka  melakukan  semedi  (bertapa  di  depan  makam pendirinya yaitu Mei Karta Winata.  

 Penghayatan dan Pengamalan Aliran Kebatinan Perjalanan dilakukan melalui beberapa hal yaitu: 1) Heneng,  yaitu  berdiam  diri  dengan  melepaskan  segala 

pikiran dan  ingatan mengenai keadaan dunia sekitar diri, untuk merasakan nikmat Tuhan Yang Maha Esa yang ada pada  diri  (lahir  dan  batin),  seperti:  otak  dengan inagatannya. 

2) Hening,  yaitu  jernihkan  batin,  seakan‐akan  menjadi cermin  yang  bening  dapat  dijadikan  pengilon  terhadap kehidupan  umat,  sehingga  tampak  hakikat  hidup bahwasanya  semua  umat  dihadapan  Tuhan  Yang Maha Esa adalah sama, yang bedanya hanyalah darmanya. 

3) Awas, yaitu bukan berarti awasnya mata, namun awasnya hati nurani yang bisa membedakan mana yang wajib dan mana yang  tidak wajib dilakukan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. 

4) Eling, yaitu sebagai Kaula Gusti wajib kumawula kepada Tuhan  Yang  Maha  Esa,  yaitu  mengatur  hidup  dan kehidupannya berdasarkan  cinta kasih,  sifat Tuhan Yang Langgeng.  Oleh  karena  itu  manusia  harus  dapat menguasai  dan  mengendalikan  nafsu,  agar  hidupnya mempunyai arah. 

5) Waspada, yaitu keadaan baik ataupun buruk untuk masa yang  akan  datang  ditentukan  oleh  perbuatan  yang sekarang.   Oleh karena  itu sebaiknya sebelum beristirahat tidur,  meninjau  kembali  segala  sesuatu  apa  yang 

218

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

219

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

telah/pernah diperbuat pada hari yang baru lalu, sehingga dengan  gamblang  dapat  mengambil  imbangan  tentang kebaikan atau keburukan. (IR. Andri Hernandi, 2005: 20).  

Sarana sesajen Sunan Ambu dan Dewi Sri Pohaci meliputi beberapa hal: 1. Bedak (rias muka) 

Baik budi dan perangai 2. Kaca Muka 

Bercerminlah  pada  diri  sendiri(mawas  diri)  setiap  kali menghadap  situasi  kehidupan  sesame  umat  secara tenggang rasa. 

3. Sekapur sirih  Sirih  selengkapnya  mengandung  berbagai  rasa:  pedas, sepet,  panas,  manis,  dan  sebagainya  menjadi  satu. Demikian  pula  dalam  lingkungan  hidup,  kita  bisa merasakan suasana pahit, getir, panas dan lain‐lain sesuai harmoni dan dinamika kehidupan. Karena  itu harus bisa memilah‐milah  antara  baik  dan  buruk.  Jagalah  mulut supaya  tidak  mengeluarkan  kata‐kata  buruk  yang mengandung nafsu, namun peganglah segala ucapan yang benar  adalah  benar,  tercermi  dalam  tekad  ucap  dan lampah. 

4. Segenggam padi Terdiri  dari  tiga  jenis  warna  padi,  bisa  memanfaatkan rezeki:  Warna merah  : Mau usaha/bekerja Warna putih      : Tulus Jujur, dipercaya/dihormati  

  sesame umat. Warna hitam   : Tekun, teliti dan hati‐hati. 

5. Padi sageugeus (bahasa sunda : 2 eundan = 2 ikat.  

Cara  hidup  lahir  batin  harus  selalu  dalam  keadaan seimbang. 

6. Pakain:  kain  panjang,  kebaya,  Selendang  dengan  segala perlengkapannya.  Tingkah  laku  harus  sesuai  dan  serasi dengan sikap hidup kemanusiaan. 

7. Menghampar kain putih ditebar bunga rampai. Bisa mengelar kehidupan yang bersih dan mengembang‐kan  kebaikan  agar  bisa  menarik  perhatian/simpati lingkungan hidup masyarakat bersama. 

8. Air bersih dalam sangku kaca Tata pranata hidup  itu antara  lahir dan batin harus sama dan transparan. 

9. Aneka rujukan. Pada  hakekatnya  hidup  bermasyarakat  itu  adalah  saling rujukan,  satu  sama  lain  saling  membutuhkan  diantara aneka ragam budaya dan tradisi, secara keselarasan. 

Syarat‐syarat  Ruwat  (Menjauhkan  Diri  dari  Sifat  Perbuatan Buruk). A. Makanan 

Puncak manic dengan telor di atasnya ‐  Manik     : Lambang manusia ‐  Telor       : Angan‐angan    Manusia harus punya cita‐cita luhur. 

1. Rujak manis tujuh rupa. Tujuh penguasa gusti yang ada pada setiap umatNya agar bisa melakukan karma dan darmanya: - Kuasa - Kersa - Ilmu - Hidup  - Dengar 

220

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

221

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

- Lihat - Ucap. 

2. Bubur merah/putih yang manis/tawar - Warna  merah/  manis  :  berarti  melakukan  segala 

sesuatu  yang  member  warna  (tujuan  hidup/ kehidupan)  dalam  bermasyarakat  /berbangsa (kepedulian social) secara adil/kemanusiaa. 

- Tawar: berarti  jangan bersifat acuh  tak acuh  terhadap kehidupan  bermasyarakat/bernegara,  karena  setiap insane  social  merupakan  bagian  dari  kehidupan bermasyarakat/bernegara  yang  tidak  terpisahkan antara satu dan lainnya. 

3. Ketupat/leupeut gepokan. - Ketupat:  berarti  janganlah  mengumpat  orang  lain 

dalam  bentuk  dan  cara  apapun  ,  karena  bisa menimbulkan perselisihan. 

- Leupeut: berarti merupakan hukum alami, bahsanya di dunia  ini  segala  sesuatu harus  ada pasangannya,  ada pria‐wanita,  ada  tinggi‐rendah.  Oleh  karena  itu dibutuhkan  saling  pendekatan,  agar  adanya keterikatan dan keseimbangan, sehingga  terjadi saling pengertian  yang  harmonis  dan  maju  dalam  suasana persatuan dan kekeluargaan. 

 Faktor‐faktor masih eksisnya Aliran Kebatinan Perjalanan 1) Pokok‐pokok  ajarannya  sangat  terpuji,  seperti 

mengajarkan  rasa  kasih  sayang  dan  melarang  saling menghina;  

2) Sebagian  pengikutnya  walaupun  berpendidikan  tinggi atau  sudah  menjadi  dosen  di  Perguruan  Tinggi  ITB maupun  perguruan  tinggi  lainnya  tetapi  mereka  masih 

tetap  mengamalkan  adat  nenek  moyangnya  seperti melakukan  semedi  atau  bertapa  di  kuburan  Mei  Karta Winata; 

3) Keberadaan  Aliran  Kebatinan  Perjalanan  tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat; 

4) Mengikuti aturan pemerintah seperti identitas dalam KTP, kolom agama ditulis angka 7 atau dikosongkan;  

5) Aliran  Kebatinan  Perjalanan  tidak  membeda‐bedakan agama,  semua  agama  yang  ada  dianggapnya  baik  dan kepercayaannya sendiri juga dianggap baik.   

Relasi Sosial Aliran Kebatinan Perjalanan  Relasi  sosial  Aliran  Kebatinan  Perjalanan  dengan 

masyarakat  sekitar,  khususnya  yang  ada  di  Kecamatan Ciparay  cukup  baik  dan  akrab,  terutama  terhadap  agama mainstream  dan  masyarakat  lainnya,  karena  ajarannya menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak orang adalah baik dan kepercayaan yang dianutnya juga baik. Setiap manusia derajatnya sama, tidak boleh saling menghina dan  dihina.  Dalam  kehidupan  sehari‐harinya  mereka  tidak mengganggu  orang  lain  sehingga  orang  lain  tidak mengganggunya dan ajaran mereka yang paling menonjol ada lima  hal  yaitu  tentang  heneng,  hening,  awas,  eling  dan waspada.  

Masyarakat  sekitar,  memandang  bahwa  Aliran Kebatinan Perjalanan baik‐baik saja, dan mereka bukan agama melainkan  sebuah  penghayat  kepercayaan.  Keberadaan mereka  tidak meresahkan masyarakat  sekitar karena mereka tidak  pernah mencela  dan  tidak mengganggu  agama  orang lain, oleh karena  itu  tidak perlu dibina dan dibesar‐besarkan. Aliran  Kebatinan  Perjalanan  ini  pengikutnya  semakin  lama 

222

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

223

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

semakin bertambah. Keberadaan Aliran Kebatinan Perjalanan terdaftar  di  Kementerian  Pendidikan  dan  Kebudayaan. Menurut  salah  seorang  pejabat  Kemendikbud  mengatakan bahwa kami membantu alat‐alat musik kepada warga Aliran Kebatinan  Perjalanan  karena  kami  beranggapan  bahwa kelompok mereka yang paling menonjol adalah kesenian dan kebudayaannya,  seperti wayang golek, dan bukan dalam hal keagamaannya. 

 Pelayanan hak‐hak sipil Aliran Kabatinan Perjalanan 

Komunitas  Aliran  Kebatinan  Perjalanan  yang  ada  di Kecamatan  Ciparay  Kabupaten  Bandung  telah  terpenuhi dengan baik hak‐hak sipilnya oleh pemerintah daerah, seperti: 1. Pembuatan e‐ KTP, pada kolom agama ditulis dengan strip 

(‐) atau angka 7; 2. Pencatatan  perkawinannyapun  dilakukan  di  Kantor 

Catatan Sipil. Hal ini didasarkan pada:  I. Peraturan  pemerintah  No.  37    Tahun  2007  tentang 

pelaksanaan Undang‐Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi  Kependudukan  Bab  X  Tentang  Persyaratan dan  Tata  cara  pencatatan  perkawinan  bagi  Penghayat Kepercayaan Pasal 81,82 dan 83. Pasal 81 berbunyi : 1) Perkawinan  Penghayat  Kepercayaan  dilakukan 

dihadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan; 2) Pemuka  Penghayat  Kepercayaan  sebagaimana 

dimaksud  pada  ayat  (1)  ditunjuk  dan  ditetapkan  oleh organisasi  Penghayat Kepercayaan,  untuk mengisi  dan menandatangani  surat  perkawinan  Penghayat Kepercayaan; 

Pemuka  Penghayat  Kepercayaan  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada Kementerian yang bidang  tugasnya  secara  teknis  membina  Organisasi Penghayat  Kepercayaan  Terhadap  Tuhan  Yang  Maha Esa. 

 II. Undang‐Undang  nomor  23  Tahun  2006  bagian  ketiga 

pencatatan perkawinan paragraf 1 : Pencatatan perkawinan di wilayah Negara Kesatuan RI pasal 34 (1) : “ perkawinan yang  sah  berdasarkan  ketentuan  Peraturan  Perundang‐Undangan  wajib  dilaporkan  oleh  penduduk  kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.  Pasal 82 berbunyi:  peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (2) wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana atau UPTD  instansi  pelaksana  paling  lambat  60  hari  dengan menyerahkan:  a. Surat perkawinan penghayat kepercayaan; b. Foto copy KTP sesuai pasal 61 dan 64 ayat (2) nomor 23 

Tahun 2006; c. Pas foto suami isteri; d. Akte kelahiran dan e. Pasfor suami isteri bagi orang asing. 

 Pasal 83 berbunyi :  (1) Pejabat  instansi  pelaksana  atau  UPTD  instansi 

pelaksana  mencatat  perkawinan  sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 dengan cara : 

224

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

225

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

a) menyerahkan  formulir  pencatatan  perkawinan kepada pasangan suami isteri; 

b) melakukan  verifikai  dan  validasi  terhadap  data yang  tercantum  dalam  formulir    pencatatan perkawinan;  

c) mencatat  pada  register  akte  perkawinan  dan menerbitkan  kutipan  akte  perkawinan  penghayat kepercayaan. 

(2) Kutipan akte perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  huruf  c  diberikan  kepada  masing‐masing suami isteri. 

 III. Surat Edaran Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor 

01/SE/NBSF/VIII/07  tentang penunjukkan dan penetapan pemuka  penghayat  kepercayaan  yang  ditujukan  kepada ketua  organisasi  penghayat  kepercayaan  seluruh Indonesia, yang tembusannya ditujukan kepada : 6) Dirjen Administrasi Kependudukan;  7) Kepala  Dinas  Kependudukan  dan  Catatan  Sipil 

Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia.  

IV. Dalam Undang‐Undang Dasar 1945 : 1) Pasal 28 E ayat (2) : Setiap orang berhak atas kebebasan 

meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hatinuraninya. 

2) Pasal 29 ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap‐tiap  penduduk  untuk  memeluk  agamanya  masing‐masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Cara  penunjukkan  pemuka  penghayat  kepercayaan:   

Ketua organisasi bermusyawarah dengan : 

a. sesepuh organisasi; b. pengurus organisasi;  c. warga organissasi. 

Syarat‐syarat  menjadi  pemuka  penghayat  adalah mendaftarkan  diri  ke  Direktorat  pembinaan  kepercayaan Terhadap  Tuhan  Yang  Maha  Esa  dan  tradisi,  dengan dilengkapi : 1) surat pengajuan dari organisasi yang ditanda tangani oleh 

ketua atau sekretaris dan dilampirkan surat pengantar dari Dnas setempat yang membidangi kebudayaan;  

2) alamat  tempat  tinggal  (lampirkan  KTP  yang  kolom agamanya kosong); 

3) Wilayah kerja;  4) Foto berwarna sebanyak 3 lembar. 

Proses  pengangkatan  menjadi  pemuka  penghayat adalah  melalui  Direktorat  menerbitkan  surat  keterangan terdaftar  pemuka  penghayat  kepercayaan  dengan  tembusan SK kepada Dinas Catatan Sipil dan Dinas yang membidangi Kebudayaan dan Pariwisata. 

Tugas pemuka penghayat: mengisi dan menandatangani surat  perkawinan  penghayat  kepercayaan. Masa  kerjanya  5 (lima) tahun.  

Dasar  hukum  pencatatan  bagi  pemeluk  penghayat kepercayaan  adalah  Undang  nomor  23  tahun  2006  tentang administrasi kependudukan :  a) Pasal 8 ayat  (4)  : Kewajiban sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) untuk tata cara pencatatan peristiwa penting bagi penduduk  yang  agamanya  belum  diakui  sebagai  agama berdasarkan  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan atau  bagi  penghayat  atau  bagi  penghayat  kepercayaan berpedoman pada Peraturan Perundang‐undangan.  

226

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

227

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

b) Pasal  61  (2)  :  keterangan  mengenai  kolom  agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya  belum  diakui  sebagai  agama  berdasarkan ketentuan  Peraturan  Perundang‐Undangan  atau  bagi penghayat  kepercayaan  tidak  diisi,  tetapi  tetap  dilayani dan dicatat dalam data base kependudukan,  

c) Pasal  64  (2)  :  keterangan  tentang  agama  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  bagi  penduduk  yang  agamanya belum  diakui  sebagai  agama  berdasarkan  ketentuan Peraturan  Perundang‐Undangan  atau  bagi  penghayat kepercayaan  tidak  diisi  tetapi  tetap  dilayani  dan  dicatat dalam data base kependudukan.  

d) Pasal  1005:  Dalam  waktu  paling  lambat  (6)  bulan  sejak diundangkannya  Undang‐Undang  ini,  pemerintah  wajib menerbitkan  Peraturan  Pemerintah  yang  mengatur tentang  penetapan  persyaratan  dan  tatacara  perkawinan bagi  para  penghayat  kepercayaan  sebagai  dasar diperolehnya  kutipan  akta  perkawinan  dan  pelayanan pencatatan peristiwa penting. 

Proses  Persyaratan  dan  Tata  Cara  pencatatan Perkawinan  bagi Penghayat Kepercayaan adalah: 1. Persyaratan Calon mempelai: 

a. KTPnya disesuaikan dengan Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 2006; 

b. Calon mempelai  datang  ke  RT/RW  dan    Kelurahan: dengan membawa surat pernyataan dan buku pintar; 

c. Calon  mempelai  menghubungi/melapor  ke  Pemuka Penghayat; 

d. Apabila  ada  masalah,  calon  mempelai  melapor  ke Direktorat  Pembinaan  Kepercayaan  Terhadap  Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi. 

2. Tugas Pemuka agama adalah: a. Mengecek KTP sesuai dengan Undang‐Undang nomor 

23 Tahun 2006; b. Menyiapkan  buku  registrasi,  cap  organisasi, dan  SPP 

(Surat Perkawinan Penghayat). c. Mengisi  dan  menandatangani  surat  perkawinan 

penghayat  kepercayaan  terhadap  Tuhan  Yang Maha Esa  rangkap  3  untuk  instansi  pelaksana  (asli), mempelai dan Pemuka. 

d. Bukan menikahkan; e. Berada di tengah‐tengah mempelai.  Yang dilayani oleh pemuka penghayat  adalah: 1) warga organisasi yang bersangkutan; 2) penghayat perseorangan; 3) penghayat dari organisasi lain yang belum mempunyai 

pemuka.  (Direktorat  Pembinaan  Kepercayaan Terhadap  Tuhan  Yang  Maha  Esa  dan  Tradisi, Direktorat  Jenderal  Kebudayaan  Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, 1‐12). Proses  Perkawinan  bagi  pengikut  aliran  kebatinan adalah:  Adanya Calon mempelai; Adanya Orang tua/wali; Adanya Saksi‐saksi dari kedua calon mempelai; Adanya Pemuka penghayat kepercayaan. Tatacara perkawinannya dilakukan sesuai dengan adat atau tatacara dari masing‐masing organisasi bila ada. Pelaksanaan  fungsi  pokok  pemuka  penghayat  di 

masyarakat dan hubungannya dengan pemerintah: 1. Peran pemuka penghayat dalam masyarakat adalah: 

228

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

229

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

a) menjadi suri  tauladan bagi warganya dan masyarakat luas;  

b) menjadi pengayom bagi warga dan masyarakat umum;  c) pelaku dan pelestari Budaya Spritual bangsa.  

2. Hubungan  pemuka  penghayat  dengan  pemerintah  adalah: a) sebagai pelaksana teknis terkait peraturan perundang‐

an  (Undang‐Undang  nomor      23 Tahun  2006 dan  PP No. 37 Tahun 2007); 

b) Sebagai  koordinator  antara warga  penghayat  dengan pemerintah. 

          Pelayanan masalah akte kelahiran bagi penganut Aliran Kebatinan  Perjalanan,  sudah  dilayani  pemerintah  daerah sebagaimana penduduk lainnya tidak dibeda‐bedakan, namun demikian  dalam  kolom  agama  berdasarkan  aturan  yang ditentukan ditulisnya dengan angka 7 atau dikosongkan dan tidak  ditulis  sesuai  keinginan  yaitu  penghayat  kepercayaan. Begitu  juga  dalam  KTP  ,  kolom  agama  ditulisnya  sama dengan  surat  akte  kelahiran.  Masalah  pemakaman  mereka, juga disatukan tempatnya dengan mayarakat pada umumnya dan  surat‐surat  kematian  dibuatkan  oleh  pihak  kelurahan. (wawancara dengan Ketua Aliran Kebatinan Perjalanan Bapak Ama Syamsudin).          Menurut penjelasan Bapak Tamsara sebagai ketua RW 15 Kecamatan  Ciparay  bahwa  ia  sejak  tinggal  di  Desa  Paku Tandang  menjadi  penganut  Kepercayaan  Kebatinan Perjalanan,  dimana  sejak  kecilnya  ia  beragama  Islam  dan keluarga  semuanya  Islam.   Namun  hubungan  kekeluargaan tetap  berjalan  baik.  Dikatakannya  bahwa  di  dalam  ajaran Islam masalah ibadat dilakukan ada waktu‐waktunya seperti: ketika  zuhur,  asar,  maghrib  dan  sebagainya,  tetapi  ibadat 

dalam aliran kebatinan perjalanan yang dikatakan ibadat tidak mengenal  waktu,  kapan  saja  bisa  dilakukan,  setiap  ada sesuatu  yang  dapat  membahayakan  manusia,  lalu  kita singkirkan maka  itu  namanya  ibadat. Kami  sejak menganut Aliran Kebatinan Perjalanan tidak  lagi beragama Islam, maka tidak  perlu  lagi melakukan  shalat,  puasa  dan  yang  lainnya, tetapi selalu eling atau ingat saja, pada waktu kapan saja dan tidak mengenal waktu.            Masyarakat  luar  dari  Aliran  Kebatinan  Perjalanan menyatakan  bahwa  kami  selaku  tetangga  dengan  penganut AKP  tidak  pernah  ada masalah,  karena mereka  selalu  baik terhadap  tetangga  dan    mereka  juga  jiwa  sosialnya  cukup tinggi  

230

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

231

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

PENUTUP  

Kesimpulan 1. Ajaran  Aliran  Kebatinan  Perjalanan  merupakan 

sinkritisme  adat  Sunda  dengan  beragam  agama  seperti: Islam,  Kristen  dan  Hindu.  Pokok  penekanan  ajarannya lebih  kepada  hal‐hal  yang  bersifat  sosial  dibandingkan dengan hal‐hal yang bersifat religi. 

2. Kepercayaan  terhadap  sifat  ketuhanannya  hampir  sama dengan  Islam,  namun  dari  sisi  pengamalannya  berbeda, mereka  melakukan  persembahannya  hanya  melalui heneng,  hening,  eling,  awas  dan  waspada,  dan  ibadah mereka  tidak  seperti  umat  Islam  melakukan  sholat  5 waktu, dengan waktu‐waktu tertentu. 

3. Pengikut Aliran Kebatinan Perjalanan   melakukan semedi (bertapa)  pada  hari  ulang  tahun  AKP  tanggal  17 September dan 1 Suro yang dilakukan di halaman Makam Mei  Kartawinata    dan  istrinya  serta  dikelilingi  makam‐makam para kerabatnya. 

4. Aliran  Kebatinan  Perjalanan  ini  keberadaannya  masih tetap  eksis, karena  sebagian kecil pengikutnya walaupun  sudah  berpendidikan  tinggi  tetapi  mereka  masih  tetap melakukan  upacara‐upacara  adat  nenek moyangnya  dan bahkan organisasinyapun cukup kuat. 

5. Relasi  sosialnya  cukup  baik,  terutama  terhadap  sesama masyarakat aliran kebatinan perjalanan maupun terhadap masyarakat di luarnya. 

6. Pelayanan hak‐hak sipil Aliran Kebatinan Perjalanan telah terpenuhi dengan baik oleh pemerintah daerah seperti:  a. pembuatan  e‐ KTP pada kolom  agama ditulis dengan  

setrip (‐) atau ditulis dengan angka 7;  

b. Pencatatan  perkawinannya  dilakukan  di  kantor Catatan  Sipil  dan  dilaksanakan  dihadapan  pemuka penghayat kepercayaan; 

c. Pelayana  akte  kelahiran  sudah  dilayani  pemerintah daerah  sama  seperti penduduk  lainnya  tanpa dibeda‐bedakan;  

d. Tempat pemakamannya disatukan dengan pemakaman masyarakat pada umumnya.  

e. Penganut Aliran Kebatinan Perjalanan karena mengaku bukan  Islam,  sehingga masalah pendidikan agamanya mereka  minta  diberikan  pelayanan  khusus  sesuai kepercayaannya  itu,  namun  belum  dapat  terlaksana karena belum tersedianya fasilitas guru dan kurikulum ajarannya. 

 Rekomendasi 1. Kepada pihak pemerintah daerah yang  telah memberikan 

pelayanan  hak‐hak  sipil  dengan  baik  kepada  penganut aliran  kebatinan  perjalanan  supaya  dipertahankan  terus, agar  warganya  merasa  nyaman  tinggal  di  wilayahnya karena merasa kebutuhannya terpenuhi; 

2. Sampai sekarang ini pemerintah daerah masih merasa sulit memberikan pelayanan keagamaan bagi penganut Aliran Kebatinan Perjalanan, hal  ini   karena  faktor  tenaga  , dana dan  waktu.  Oleh  karena  itu  kepada  pihak  pemerintah daerah,  sebaiknya  perlu memikirkan  lebih  jauh masalah pelayanan  pendidikan  agama,  khusus  bagi  penganut Aliran Kebatinan.  

232

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

233

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA  

Dewan  Musyawarah  Aliran  Kebatinan  Perjalanan,  Budaya Spiritual Aliran Kebatinan Perjalanan, Jakarta, 1983. 

Dewan  Musyawarah  Aliran  Kebatinan,  Aliran  Kebatinan Perjalanan,  Dewan  Musyawarah  Pusat  Aliran Kebatinan, 1981. 

Departemen  Agama  RI,  Badan  Litbang  Dan  Diklat Puslitbang  Kehidupan  Keagamaan,  Kompilasi Kebijakan  dan  Peraturan  Perundang‐Undangan Kerukunan Umat Beragama, edisi kesebelas, 2009. 

Kementerian  Agama  RI,  Badan  Litbang  dan  Diklat Puslitbang  Kehidupan  Keagamaan,  Dimensi‐Dimensi  Kehidupan  Beragama,  Studi  tentang Paham/Aliran Keagamaan, Dakwah dan Kerukunan, Jakarta, 2011. 

Kartapraja  Kamil,  Aliran  Kebatinan  dan  Kepercayaan  di Indonesia, Yayasan Masagung, 1985. 

Kahmad Dadang, Agama  Islam dan Budaya Sunda, KIBS., 2001. 

Puslitbang Kehidupan Keagamaan, HARMONI , Volume X, Nomor 3 Juli 2011. 

Qoyim  Ibnu  dkk,    Religi  Lokal  dan  Pandangan  Hidup,  Lembaga  Ilmu Pengetahuan      Indonesia Pusat, Jakarta, 2004. 

Rozak  Abdul,    DR.  ,Teologi  Kebatinan  Sunda,  Bandung, 2005 

Sumber:Alamat:  http://groups.yahoo.com/group/Oi‐Bersatulah/message/1756 

234

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

235

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

         

AGAMA/KEPERCAYAAN BUHUN ORANG KRANGGAN JATI SAMPURNA KOTA BEKASI JAWA BARAT 

Oleh: Ahmad  Syafi’i Mufid     

GAMBARAN UMUM WILAYAH   Sekilas tentang Kranggan   Menurut penuturan informan, nama Kranggan berasal dari tokoh pendiri kampung ini yang bernama Raden Rangga. Beliau  adalah  seorang  bangsawan  dari  kerajaan  Pajajaran. Pendapat lainnya menyatakan bahwa “Kranggan” berasal dari kata  “Keranggaan”  yakni  tempat  pemerintahan  pejabat setingkat bupati atau rangga. Di kelurahan Jati Rangga, dahulu disebut  Kampung  Rangga,  terdapat  sebuah  petilasan  yang diberikan  tanda dalam bentuk gapura.   Pada gapura  tersebut terdapat  tulisan  dalam  bahasa  Indonesia  “  Kraton  Pasarean Selamiring Embahbuyut Kranggan”  (Wawancara dengan Pak Arsyad,  9 Mei  2013).    Selamiring  adalah  dua  kata  yaitu  sela yang  berarti  kereta  yang  ditarik  oleh  kuda  dan  kata miring yang  berarti  tidak  tegak.  Kata  Selamiring  berkaitan  dengan mitologi  lokal,  perjalanan  seorang  pangeran  dari  Pajajaran yang  bernama  Pangeran  Rangga,  yang  bersembunyi  di wilayah  ini  untuk  menghindari  gerakan  Pangeran Kiansantang  dalam  rangka  penyebarkan  agama    Islam  di wilayah  Pajajaran.  Pangeran  Rangga  dari  kerajaan  Pajajaran ini  mengendarai  sela  dan  berjalan  miring  ketika  melewati wilayah yang sekarang disebut Selamiring. Dari situlah nama Selamiring  berasal  (Wawancara  dengan  Abah  Kolot,  5 Mei 2013).  Pendapat  lainnya  dikemukakan  oleh  Pak Anim  yang menyatakan bahwa Kranggan berasal dari kata “keranggaan” yang berarti  tempat  istirahat. Konon di  tempat  inilah dahulu Prabu  Siliwangi  beristirahat  dari  perjalanan  jauh,  Pajajaran (Bogor) ke Cirebon dan kembali ke Bogor. Sebelum sampai ke ibu  kota,  beliau  singgah  dan  beristirahat  di  Kranggan (Wawancara tanggal 25 Mei 2013). 

236

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

237

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

  Mitologi  yang  berkembang  di  kalangan  masyarakat Kranggan,  dan  masih  diyakini  oleh  beberapa  tokoh  adat, adalah di daerah Kranggan inilah Prabu Siliwangi mengalami “moksa” yang berarti meninggalkan  jasadnya, sedangkan roh dan  jiwanya kembali kepada Sang Hyang. Beliau masih tetap dengan  keyakinan  agamanya,  belum memeluk  Islam,  tetapi tidak  melakukan  perlawanan  terhadap  dakwah  Islam.  Dari sinilah  lahir ungkapan “ Menyepi dalam  terang” atau dalam bahasa Sunda disebut “ nyeumpet di enggon ca’ang”. Kalimat ini  memiliki  implikasi  pertanyaan  historis  filosofis  yaitu benarkan  Prabu  Siliwangi  meninggal  dan  dikuburkan  di wilayah  Kranggan? Dan  apakah  tradisi  Buhun  yang  hingga saat ini masih dipertahankan oleh orang Kranggan merupakan bentuk  akulturasi  antara  ajaran  Islam  dengan  budaya Pajajaran  yang  diwariskan  oleh  Prabu?  Tidak  seorang informan  pun dapat memberikan  penjelasan mengenai  teka‐teki  ini. Abah  Kolot  sebagai  pemimpin  spiritual  dan  tradisi Buhun menyatakan  rahasia  ini  tidak  ada  yang  tahu  kecuali diberitahukan  oleh  leluhur melalui  “pewangsitan”.  Prediksi Abah Kolot, kemungkinan rahasia Kranggan  ini akan dibuka pada  kepemimpinan  yang  kedua  belas.  Beliau  sendiri sekarang  menduduki  kepemimpinan  yang  kesembilan (Wawancara  dengan  Abah  Kolot,  5  Mei  2013  dan  dengan bapak Anim, tanggal 25 Mei, 2013).   Geografi dan Demografi 

Kranggan terletak di sebelah tenggara ibu kota Jakarta. Jarak dari  Jakarta Pusat ke kampung  ini  sekitar  50 km. Dari kota  Bekasi  wilayah  ini  berada  di  bagian  barat  daya berbatasan  dengan  Kabupaten  Bogor  dan  Jakarta  Timur. Sebelum pemekaran, tahun 1972, Kranggan masih merupakan 

sebuah  desa  yang masuk wilayah Kecamatan  Pondok Gede Bekasi.  Pada  zaman  kolonial  Belanda,  desa  Kranggan, Kecamatan  Pondok  Gede,  termasuk  wilayah  Kabupaten Jatinegara. Luas wilayahnya  194374 Ha.Sejak  1977 Kranggan menjadi kecamatan  Jatisampurna. Kecamatan  ini    terdiri atas lima kelurahan, 66 RW dan 326 RT. Lima kelurahan dimaksud adalah  Jatisampurna,  Jatikarya,  Jatiranggon,  Jatirangga  dan Jatiraden.  Jatisampur  berbatasan  dengan  sebelah  utara  Kp. Panayangan,  Kelurahan  Jatisari  (d/h.  Jatiluhur),  sebelah selatan berbatasan dengan desa Leuwinanggung, Kecamatan Depok, dan Kab Bogor. Sebelah timur dibatasi oleh kali Cikeas dan sebelah barat dibatasi oleh Kali Sunter, kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur dan kelurahan Harjamukti, kecamatan Depok. 

Perjalanan menuju Kranggan dari kota Bekasi lewat tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) keluar di pintu tol Kranggan. Setelah  keluar  tol,  belok  ke  kiri,  ke  arah  selatan.  Kira‐kira sekitar 10 km,  sebelum  sampai  jalan  raya Cibubur‐Cileungsi, belok ke kiri. Kurang lebih sekitar 200 m sampailah ke kantor KAU  Jatisampurna.  Lokasi  inilah  pusat  pemerintahan kecamatan Jatisampurna. Ada kantor kelurahan Jatisampurna, kantor  kecamatan  dan  kantor  tingkat  kecamatan  lainnya, pasar dan masjid besar. Kranggan  juga dapat dicapai melalui jalan  raya  Cibubur–Cilengsi,  sebelum  Perumahan  Kota Wisata,  belok  ke  kiri  sekitar  2  km.  Kendaraan  umum  yang melewati jalan Kranggan Raya adalah angkutan kota. Bus dan kerata api belum ada yang melawati wilayah ini. 

Penduduk  asli  Kranggan  sehari‐hari  menggunakan bahasa  Sunda,  sedangkan  penduduk  Kecamatan  Cipayung, Jakarta  Timur,  yang  berada  di  sebelah  barat  Kecamatan Jatisampurna  berbahasa  Melayu  (Betawi).  Begitu  juga 

238

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

239

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

penduduk  kampung  Sawah  kecamatan  Jatimurni  yang berhimpitan dengan kecamatan  Jatisampurna, sebagian besar etnik  Betawi  dan  bahasa  sehari‐hari  mereka  adalah  bahasa Melayu  (Indonesia).  Dibandingkan  dengan  penduduk  di sekitarnya,  orang  Kranggan memiliki  keunikan  budaya  dan keagamaannya. Sepintas tidak ada perbedaan yang menyolok antara orang Kranggan dengan orang Sunda umumnya  atau dengan orang Betawi. 

Penduduk Kecamatan  Jatisampurna  berjumlah  87.910 orang  yang  terdiri  atas  penduduk  laki‐laki  berjumlah  44.545 (50,6%) dan penduduk perempuan berjumlah 43.365  (49,4%). Dari  jumlah  tersebut,  sebagain  besar  adalah  warga  negara Indonesia  (87698  atau  99,7%).    Warga  negara  keturunan berjumlah  211  orang  (0,2  %)  dan  penduduk  warga  negara asing berjumlah satu orang  (Sumber Laporan Kependudukan Kecamatan Jatisampurna Bulan Maret 2013).  

 Dilihat  dari  agama  yang  dianut,  sebagian  besar penduduk  memeluk  agama  Islam,  dan  sedikit  sekali  yang beragama non Islam. Jumlah penduduk yang beragama Islam ada  71.198  orang.  Kristen  7.522  orang,  Katolik  2.926  orang, Hindu 533 orang, Budha 286 orang, Konghucu 11 orang dan lainnya 624 orang.   Orang Kranggan pada umumnya bekerja sebagai pedagang, sebagian  lagi bekerja sebagai pegawai dan karyawan.  Mereka  yang  bekerja  disektor  pertanian  sangat kecil, karena sudah  tidak ada  lagi  lahan persawahan. Mereka yang  berkerja  di  sektor  perdagangan  umumnya  berdagang alat‐alat  dapur  seperti  pengkik,  kukusan,  bakul,  seting, sapulidi.  Hampir  semua  pasar  di  Jabodetabek  terdapat pedagang dari Kranggan.  

  

Kehidupan Keagamaan Kehidupan keagamaan di wilayah Keranggan sepintas 

tidak  berbeda  dengan  wilayah  lain.  Suasana  keagamaan seperti  pengajian  melalui  pengeras  suara  terdengar  di beberapa  tempat,  terutama  menjelang  waktu  shalat. Perempuan yang mengenakan pakaian muslimah juga terlihat di mana‐mana. Masjid, mushala  dan  bahkan  pesantren  juga tersebar  di  berbagai  lingkungan  Rukun  Tetangga/Rukun Warga.  Jika  kita  bertanya  tentang  Kranggan  kepada penduduk  sekitar,  informasi  yang  disampaikan  pasti menyangkut  karuhun,  sesaji  dan  magis.  Gambaran  tentang kebudayaan  Kranggan  sebagaimana  yang  dipersepsi  oleh masyarakat  sekitarnya  hanya  bisa  pahami  kalau  kita  berada dan  melakukan  observasi  partisipasi  terhadap  kehidupan sehari‐hari mereka.  

   

240

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

241

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

TEMUAN HASIL PENELITIAN  

Penduduk  Kranggan  dapat  digolongkan  sebagai penganut agama dan tradisi yang bersumber pada keyakinan dan  ajaran  masa  lalu.  Hampir  semuanya  memeluk  agama Islam,  tetapi  di  antara  mereka  ada  yang  tergolong  santri, buhun dan aliran kebatinan Perjalanan (AKP).             Kehidupan  keagamaan  masyarakat  Kranggan  terbagi dalam  tiga varian, yaitu:   Varian pertama adalah  Islam Santri yakni  penduduk  Kranggan  yang  beragama  Islam,  taat melaksanakan  ajaran  Islam  dan  telah  meninggalkan kepercayaan  dan  praktik‐praktik  pemujaan  karuhun.  Kelompok  ini  telah  mengalami  purifikasi  keyakinan  dan ajaran  dari  pengaruh  tradisi  buhun.  Pertemuan  penulis dengan  H.  Mansur  (lahir  1937)  di  Kranggan  memberikan gambaran  bahwa  di  kampung mereka  sedang  terjadi  proses puritanisasi  agama  (Islam).  Menurut  penuturannya,beliau berasal  dari  desa Nagrak, Gunung  Putri,  Bogor. H. Mansur menikah pada  tahun 1965.  Isterinya asli orang Kranggan dan tergolong  penganut  “buhun”  yang  kuat.  Ayah  dan  ibu mertuanya    juga masih  penganut  “buhun”  atau  buda  (bukan beragama Budha), dan tidak sembahyang (shalat). Waktu  itu, orang Kranggan  tidak  sembahyang, karena merasa  tanahnya sudah wangi dan  tidak usah dicium.  (Wawancara dengan H. Mansur,  16  April  2013).  Sembahyang,  menurut  orang Kranggan pada waktu itu hanyalah tugas amil. Amil  menurut bahasa  Sunda  adalah  pejabat  desa  yang  mengurusi  tugas‐tugas keagamaan seperti memimpin shalat, pengumpul zakat, mengurus perkawinan dan kematian.    Dengan  demikian,  kehidupan  keagamaan  di  Kranggan  sampai dengan tahun 1980‐an masih dominan peran adat dan 

tradisi  Buhun.  Itu  sekilas  gambaran  keberagamaan  orang Kranggan pada tahun 1960‐an hingga 1980‐an. 

Perubahan politik pemerintah, dari orde  lama ke orde baru  rupanya  menjadi  pendorong  tumbuhnya  syiar  Islam. Pada  tahun  1970,  bersama‐sama  komandan  polisi  setempat, Pak Titing (orang Sunda) dan Pak Mansur mendirikan sebuah mushala  di  depan  pasar  Kranggan.  Bangunan  tersebut dipergunakan  untuk  kebutuhan  shalat  Jum’at,  dan Jama’ahnya  adalah  orang  pasar Kranggan  yang  berasal  dari  masyarakat  sekitar.  Bermula  dari  mushala  kecil  di  depan pasar Kranggan  sekarang  sedang  direnovasi menjadi masjid besar. Masjid  ini menjadi  kebanggaan  orang  Kranggan  dan diberi  nama  Hidayatut  Taufiq,  yang  diharapkan  dapat membuka  petuntuk  (hidayah)  bagi masyarakat  setempat  dan sekaligus  sesuai  (taufiq)  petunjuk  Allah  SWT.  Sebelum  ada mushala,  oleh  orang  Kranggan  dan  para  pedagang melaksanakan  shalat  Jum’at di masjid At Taqwa Kp. Raden. Kalau  tidak  ke  Kp.  Raden,  orang  Kranggan  melaksanakan shalat  Jum’at  di  Cikeas.  Berkat  bantuan  seorang  Arab  (pak Paris)  mushala  tersebut  dikembangkan  menjadi  sebuah masjid.  Tanahnya  diperluas,  berkat  bantuan  orang  Padang yang memiliki usaha di Kp. Kranggan. Dewasa ini setiap RW di  Kranggan  sudah  ada  masjid  yang  dipergunakan  untuk shalat Jum’at. 

Islam dalam coraknya yang puritan juga sudah datang ke wilayah  ini sejak awal. Konon menurut penuturan  Ibu Hj. Marwati, pimpinan Majelis Taklim Al Ummahat, di Jatiraden, penyiar Islam pertama di wilayah ini adalah mbah Raden atau sering  disebut  Sanghiyang  Senopati  (berasal  dari  Mataram atau Demak).   Nama asli beliau adalah Raden Ahmad, putra Rd. Dipati Unus, Putra Rd. Fatahilah, putra Rd. Ulung Anyer 

242

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

243

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

dari perkawinaannya dengan Nyai Ayu Pakuwati anak Syarif Hidayatullah  (Sunan Cirebon). Tokoh  ini memiliki hubungan kekerabatan  dengan  orang  karamat  di  Luar  Batang  dan Kampung  Bendan  serta  pangeran  Jayakarta  yang  dimakam‐kan di Jatinegara Kaum (Wawancara, dengan I bu Marwati, 26 April 2013). Wilayah Kranggan yang penduduknya sudah taat melaksanakan  keyakinan  pada  ajaran  Islam,  berada  di kelurahan  Jatiraden  (Kp.Raden).  Nama  Raden  diambil  dari tokoh  penyiar  Islam  tersebut.  Di  kampung  inilah  terdapat petilasan Mbah  Raden,  yang  dikeramatkan  orang. Mitologi yang  berkembang  di  Kp.  Raden  adalah  nama  Kranggan diambil dari Rd. Rangga  yang menurut mereka  berasal dari “keranggaan”  atau  pondok  untuk  penyiaran  agama  Islam (Wawancara  dengan  H.Nosaris  dan  H.Ahmad  Madina,  27 April 2013).  

Proses  puritanisasi  dari  buhun menjadi  santri  terjadi pada  tahun  1980‐an dan  terus berlangsung hingga  sekarang. Orang  Kranggan  mulai  ramai  menunaikan  shalat  dan beribadah haji. Masjid, mushala dan madrasah mulai tumbuh. Pengajian  diselenggarakan  di  tempat‐tempat  tersebut  dan suara  mimbar  diperdengarkan  secara  terbuka  melalui pengeras  suara. Kini,  sebagian  besar  orang Kranggan  sudah dapat digolongkan mengikuti ajaran Islam. Sekolah Islam dan madrasah  dibuka  di  beberapa  tempat.  Saat  ini  di  wilayah Jatisampurna  telah berdiri 6 buah Madrasah  Ibtida’iyah  (MI),  dengan murid berjumlah 1179 orang. Madrasah Tsanawiyah, ada 2 buah dengan murid berjumlah 228 orang. Pesantren juga sudah  didirikan  di  Kelurahan  Jatirangga,  untuk  tahfidz  Al Qur’an. Sekolah umum mulai dari SD, SMP, SMA, SMK negeri maupun swasta   berkembang di wilayah  ini. Sekolah‐sekolah tersebut  juga  mengajarkan  agama  Islam.  Melalui  lembaga‐

lembaga  pendidikan  inilah  proses  purifikasi  kehidupan beragama menjadi semakin cepat. 

Varian  Kedua  adalah  Buhun,  yang  merupakan mayoritas penduduk Kranggan. Buhun menurut para pemuka masyarakat berarti bahan, atau bakalan. Buhun adalah ajaran kuno yang dianut oleh para leluhur. Menurut Pak Mait, tokoh adat  setempat,  buhun  adalah  percampuran  ajaran  Hindu‐Budha. Buhun adalah senjatanya orang Budha, dan Buhun juga berarti sesajinya orang Hindu. Jadi tradisi Buhun mengandung arti ilmu kesaktian dan upacara sakral yang diwariskan secara turun  temurun oleh Prabu Siliwangi kepada orang Kranggan (Wawancara, dengan Pak Mait, 29 Mei 2013). Orang Kranggan yang  mengikuti  ajaran  dan  keyakinan  Buhun  diperkirakan berjumlah  lebih  dari  75  %  dari  total  penduduk.  Ketaatan mereka terhadap ajaran Buhun karena ada  janji dari Pangeran Rangga,  utusan  Prabu  Siliwangi  yang  keluar  dari  keraton, menghindari  Pangeran  Kiansantang  yang  mengajaknya memeluk Islam. Prabu Siliwangi menyatakan “Sing saha incuk putu  kawula  ngagem  ilmu  kawula,  kawula  aya  didinya”  artinya; siapa  saja  anak  cucu  saya  yang memegang  ilmu  saya,  saya akan ada di situ. Kalimat ini dan juga ungkapan “nyumpet di nggon  ca’ang”  berarti;  sembunyi  di  tempat  terang, menunjukkan bahwa keyakinan dan ajaran serta tradisi Buhun di Kranggan  bersumber  dari  Pangeran  Rangga  atau  bahkan dari  Prabu  Siliwangi  sendiri.  Dalam  pengertian  yang  lebih sederhana, Buhun adalah komunitas yang masih melestarikan tatacara leluhur atau nenek moyang (karuhun). 

Kranggan modern masih kuat memegang adat istiadat lama. Orang mau menikah, khitanan, mendirikan rumah, dan memulai  pekerjaan  masih  datang  ke  orang  tua  (abah  kolot) untuk  meminta  petunjuk.  Ilmu  perhitungan  dan  ilmu 

244

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

245

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

kesaktian  juga masih kuat. Upacara sedekah bumi ( bebaritan) dilakukan  oleh masyarakat  tidak  saja  di  kelurahan  tetapi  di tingkat  RT/RW  di  seluruh  kawasan  Kranggan.  Bebaritan dilakukan  pada  bulan  Apit  (Dzulqa’dah)  setelah  mereka shalat Jum’at. Tempat upacara dilakukan di lapangan terbuka, di  tanah kosong yang dekat dengan persimpangan  jalan dan juga  di makam‐makam.Penduduk  setempat  juga melalukan upacara atau perayaan Maulid, untuk memperingati hari lahir Nabi  Muhammad  SAW.  Perayaan  Maulid  dilakukan  setiap tanggal  12‐14  bulan  Mulud  (Rabiul  Awal).  Pada  upacara Maulid ini ada sejumlah aktifitas sakral seperti mandi di tujuh sumur,  menyuci  pusaka,  dan  memotong  kerbau  bule, kepalanya di tanam di tempat yang dikeramatkan. Pada bulan Syawal, dimulai pada hari ketiga hingga hari ke tujuh setelah Idul Fitri, dilakukan ziarah ke makam leluhur orang Kranggan di Gunung Putri. Konon makam yang  secara  turun  temurun diziarai  tersebut  adalah makam  salah  seorang  luluhur  yang bernama  Sayidina Ali,  yang dianggap  sebagai  leluhur  orang Kranggan.   Kepemimpinan  komunitas  Buhun  dimulai  dari Abah Pidin  di  Kranggan  Tua  (Gunung  Putri,  Bogor).    Pimpinan kedua bapak  Ipin pindah ke Kranggan muda  (Jatisampurna). Pimpinan  yang  ketiga  adalah  Bapak  Kolot Mija,  kemudian yang ke   empat Bapak Kolot Okong. Pimpinan ke lima bapak kolot Piun, pimpinan  ke  enam Bapak Kolot Demping. Kolot Demping  inilah  yang  paling  tersohor, memiliki  ilmu  tinggi. Pimpinan  ketujuh  bapak  Kolot Miin,  pimpinan  ke  delapan bapak  kolot Misun  dan  yang  kesembilan  komunitas  Buhun dipimpin  oleh  bapak  kolot  Kisan.  Pimpinan  Buhun diwariskan  tidak  dipilih  oleh  warga.  Anak  laki‐laki  tertua adalah  mereka  yang  memiliki  peluang  pertama  untuk 

menerima estafet kepemimpinan. Selain anak  tertua,  ia harus orang  yang  benar  dan  jujur  dalam  menjalankan  amanah. Kapan  seorang  abah  kolot,  tetua  adat,  mewariskan kepemimpinannya  kepada  generasi  penerus.  Suksesi kepemimpinan  ini  menurut  bapak  Kisan,  abah  kolot  yang sekarang, adalah ketika ada wahyu atau petunjuk dari leluhur.   Abah kolot dalam melaksanakan uapacara, tugas adat, mengenakan baju “cele”, model baju  seperti yang dikenakan oleh orang Baduy.   Pimpinan memiliki pusaka sejenis kujang sebagai  simbol kepemimpinannya. Selain pusaka,  abah kolot juga memiliki kopak yakni rumus petungan untuk menentukan hari  baik  dan  atau  hari‐hari  yang  terlarang  menurut perhitungan  mereka.  Kopak  ini  dibuat  dari  papan  kayu ukuran sekitar 30 x 30 cm.  Isinya simbol‐simbol yang berupa bulatan  kecil.  Tugas  sebagai  seorang  abah  kolot  esensinya adalah  sebagai  mediator  antara  dunia  nyata  dengan  dunia gaib. Dialah yang menyampaikan maksud setiap sesaji, yakni memohon  atau  minta  kepada  leluhur  untuk  disampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan maksud dan tujuan sesaji. Adapun  doa  secara  Islam  disampaikan  oleh  amil  yang sekaligus  sebagai  saksi.  Inilah  ijab  atau  ungkapan permohonan  yang  disampaikan  oleh  Abah  Kolot  dalam upacara sesaji “kawula teh dina bulan hade jung tanggal nue hade, dine  pueiya wa kawula  nyuguh  ka  bapak  ka  emak  jeng  ka  karuhun  di  Kranggan (bapak buyut, makam gandiriya, karuhun bapak Rapidin di Gunung Putri. Sesuai  jeng  kemampuan  abdi  sa  kaluarga,  abdi  teh nyandok kadaangan  sekiya  rupina  tetapi  harus  dicicipi.  Salajengna  abdi sakaluarga, minta kasalamatan, kaberkahan  jeng di babarikan milik sareng  rezeki  dijauhken  tina  penyakit/bilahi,  jeng  minta  baruda pinter sekolah”. 

246

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

247

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Abah kolot  juga menerima permintaan para penganut  tradisi Buhun  ketika  melakukan  sesaji  untuk  membacakan  mantra atau  doa.  Sebelumnya  orang  yang  memiliki  hajat mengucapkan; Pak Kolot, saya dan anak cucu saya hari ini berniat untuk  membawa  ka  makanan  anu  perlu  didahar  ka  bapak  dan ibu/emak.  Abah  kolot  kemudian  mengucapkan  “bismillahir‐rahmanirrahim, assalamu’alaikum, waalaikum salam. Asawadu alla ilahaillah  wa  ashadu  anna  Muhammadarrasulullah”.  Sambil membakar kemenyan Abah Kolot membaca mantra “Bol kukus bul  kaula,  menyan  putih  anu  sakti”  terus meminta maaf,  dan menyerahkan  sesaji  dengan  ucapan  “barangkali  bapak  lagi tidur  atau  istirahat”  lalu  asap  kemenyan  diusapkan kemukanya  sebanyak  3  kali  dan  membaca  Mantra‐mantar khusus.  Varian Ketiga adalah Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) 

Sebagian  orang  Kranggan  ada  yang  mengaku  tidak menganut  agama  apapun.  Mereka  adalah  penganut  aliran kebatinan  “Perjalanan”  atau disebut dengan AKP. Aliran  ini   tidak mengaku beragama Islam, tetapi mengaku sebagai orang penghayat kepercayaan. Hari raya mereka  jatuh pada tanggal 1 Suro menurut perhitungan Jawa. Jika melakukan pernikahan dicatatkan  pada Kantor Catatan  Sipil. Anak‐anak mereka  di sekolah mengikuti pelajaran agama agama Islam, tetapi kalau ada  ujian  praktik  (ibadah)  mereka  tidak  ikut.  KTP  mereka sudah  banyak  yang  mencantumkan  kolom  agama  dengan dikosongkan  atau  angka  7  atau  ada  juga  yang  sudah menuliskan  dengan    Aliran  Kebatinan  Perjalanan.  Mereka mempunyai  tempat “ibadat”  tersendiri yang disebut Gedung Pasewakan. Kegiatan  rutin di  Pasewakan  bukan  ibadat  tetapi sarasehan,  untuk  mempelajari  ajaran  kebudayaan  spiritual. 

Kegiatan  ini  dilakukan  setiap  seminggu  sekali,  pada malam Minggu.  Untuk  kepentingan  pendalaman  ajaran  yang  lebih intensif dilakukan setiap Kliwonan dan sekali setahun mereka melakukan upacara “mapak Suro”. 

Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) didirikan oleh Mei Kartawinata,  M.  Rasyid  dan  Sumitra  pada  tanggal  17 September   1927, di Subang  (Abdul Rozak, 2005: 119). Pokok ajarannya  adalah  sebagai  berikut:  a). Tuhan Yang Maha Esa itu  Wujud,  Terdahulu,  Kekal/Abadi,  Berbeda,  Mandiri, Tunggal, b). Wujud Tuhan Yang Maha Esa memancar dalam rasa  panas,  dingin,  semilir  dan  tetap;  c).  Timbul  kehidupan seperti  pepohonan/tetumbuhan,  binatang  dan  manusia. Manusia  terdiri  atas  unsur  sari  pati:  api,  air,  angin,  bumi. Manusia mempunyai badan yang wadag  (jasmani),  sari  rasa alam  mempunyai  badan  halus  (rohani).  Umat  Tuhan  Yang Maha Esa yaitu manusia mempunyai hidup, nafsu dan budi pekerti yang lebih sempurna dari pada makhluk lain. Manusia mempunyai  empat  unsur  nafsu: Khewani, Duniawi, Robani, Setani. Keepat  unsur  tersebut  diatas  dapat membentuk  jiwa yang sebaik‐baiknya dan dapat meningkatkan derajat hidup. 

Sarasehan  yang  dilakukan  oleh  penganut  aliran kebatinan  “Perjalanan”  adalah  untuk  menumbuhkembang kan  cinta kasih   yang mengandung  jiwa dan  semangat yang maju.  Cinta  kasih  ada  dalam  batin  manusia,  dengan  batin itulah manusia mengenal kuasa Tuhan Yang Maha Esa yang ada  dalam  dirinya.  Ajaran  Aliran  Kebatinan  “Perjalanan” mewajibkan  supaya  manusia  menjaga  diri,  jasmaniah, rohaniah,  lahir  iyah dan batiniyah. Akhirnya, penganut yang mampu menjaga diri akan berhasil sampai kepada kesadaran; Aku  ini wujud  yang  berasal wujud  Tuhan  Yang Maha  Esa. Aku  ini diberkahi Tuhan Yang Maha Esa. Dari  itu pula  aku 

248

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

249

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

wajib  menghormati  dan  berterima  kasih  kepada:  ibu  yang melahirkan, ibu yang mengandung (ibu pertiwi),  bapak yang menjadi  lantaran, bapak yang mengayomi, diri, Tuhan Yang Maha  Esa  (Dewan  Musyawarah  Pusat  Aliran  Kebatinan Perjalanan,1989 : 7). 

 KELANGSUNGAN DAN PERUBAHAN 

  Penggambaran  dinamika  keberagamaan  masyarakat Kranggan  sebagaimana  di  atas  menunjukkan  kebenaran sinyalemen  para  antropolog  seperti  Geertz, Mulder,  hingga Robert  Hefner  yang  melihat  proses  Islamisasi  dalam pengertian kuantitatif maupun  substantif di  Indonesia masih berlangsung.  Hubungan  saling  pengaruh  mempengaruhi dalam  beragama,  seperti  penyerapan  tradisi  kecil  terhadap tradisi  besar  atau  sebaliknya,  merupakan  fenomena  yang dapat ditemukan di  semua agama dan  semua  tempat. Trend purifikasi  dan  fundamentalisme  juga  terjadi,  manakala pranata‐pranata  lama  tidak  lagi  fungsional  menghadapi penetrasi  modernisasi.  Keberlangsungan  tradisi  Buhun  di Kranggan masih tetap eksis karena dalam pandangan mereka tidak  bertentangan  dengan  tradisi  besar  (Islam).  Sesaji, bebaritan  dan  ngancak  adalah  media  (wasilah)  untuk  para karuhun dalam  rangka  bersyukur  kepada Tuhan Yang Maha Tinggi.  Para  penceramah  dan  pengkutbah  yang  berasal  dari lingkungan setempat  memahami prilaku keagamaan tersebut. Mereka  pun  diterima  oleh  pimpinan  dan  penganut  tradisi Buhun,  karena  ia  mau  menghargai  keyakinan  seperti  itu. Bahkan  dalam  beberapa  tahun  terakhir,  Abah  Kolot, pemimpin  komunitas  Buhun membangun mushala  di  dekat rumah,  selain untuk  shalat  juga untuk pengajian. Guru yang diundang memberikan pengajian adalah ibu Hj. Marwati yang 

berasal  dari  Kp.  Raden.  Pengajian  ini  didengar  oleh  Abah Kolot  karena  disampaikan melalui  pengeras  suara. Menurut pemimpin Buhun, pelajaran dalam pengajian di dekat rumah sesuai dengan pengetahuan dan sikap keagamaannya. Dengan demikian  terjadilah  dialog  kebudayaan  dan  menghasilkan sikap saling menghormati.    Hubungan harmoni antara kelompok santri (setempat) dengan penganut Buhun melahirkan pemahaman keagamaan baru bagi mereka. Mengikuti pendidikan Islam, melaksanakan ibadah  haji  menjadi  fenomena  baru  bagi  warga  Kranggan. Kalau  dahulu  para  leluhur  mereka  dapat  pergi  pulang  ke Mekkah dalam sekejap, karena kesaktiannya, sekarang mereka lakukan dengan menunaikan  ibadah haji atau umrah.  Isteri – isteri  mereka  sudah  mengenakan  jilbab,  dan  anak‐anak dikirim ke pesantren. Gejala  seperti  ini merupakan pertanda bahwa  perubahan memang  telah  terjad,  proses  santrinisasi. Meskipun  demikian,  tradisi  yang  dibangun  berdasarkan ajaran  leluhur masih  tetap  dipertahankan.  Faktor  lain  yang mempengaruhi  kerukunan  masyarakat  Kranggan  adalah mereka  berasal  dari  ethnik  Sunda,  dan  keturunan  leluhur yang  sama.  Oleh  karena  itu  keberadaan  aliran  kepercayaan “Perjalanan”  juga  tidak dipermasalahkan. Di Kp. Rangga  ini terdapat  Gedung  Pasewakan  yang  merupakan  pusat  dari kegiatan kelompok penganut aliran kepercayaan “Perjalanan” yang paling besar di kota Bekasi.    Hampir  bersamaan  dengan  kehadiran  penulis  di Kranggan,  walikota  Bekasi  juga  meresmikan  dimulainya pembangunan  gereja  Katolik  di  Kalamiring.  Masyarakat sekitar melakukan penolakan  terhadap pembangunan gereja. Pada  tanggal  17  Mei  2013  warga  berkumpul  di  halaman kantor  Kecamatan  dan menuntut  agar  pembangunan  gereja 

250

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

251

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

dihentikan dan  ijinnya dicabut. Sebelum berdemo, di  sebuah masjid  di  Kp.  Rangga,  ketua  DKM  menyampaikan  ajakan kepada  jamaah  untuk  berdemo.  Alasan  yang  dikemukan sangat  menarik;  “saudara‐saudara  kita  sudah  berhasil menyelamatkan  keimanan  kita  dari  sejak  zaman  penjajahan. Bagaimana dengan anak cucu kita ke depan sekiranya gereja sudah  dibangun  di  sekitar  kita?”  Kalimat  seperti  itu menunjukkan  komitmen  keagamaan  yang  ekslusif,  sekaligus tanggung  jawab  terhadap masa depan generasi muda dalam beragama.  Itulah corak pemahaman dan sikap seorang santri terhadap  kehadiran  rumah  ibadat  penganut  agama  yang berbeda.  Sebaliknya,  seorang  staf  KUA  yang  masih  setia dengan  keyakinan  dan  tradisi  Buhun  menyatakan  orang‐orang yang menolak kehadiran gereja di Kranggan tidak bakal menang. Alasannya, penganut Katolik di wilayah Kecamatan Jatisampurna  sudah  banyak  dan  mereka  berhak  untuk memiliki  rumah  ibadat  sendiri. Apalagi  syarat‐syarat  untuk mendirikan rumah ibadat sudah terpenuhi semua.  

PENUTUP  

Kesimpulan 1. Tradisi  Buhun  di  Kranggan  keberadaannya masih  tetap 

eksis,  karena  pranata  keagamaan  dan  tradisinya  masih tetap  dipertahankan  dan  difungsikan  dengan  baik.  Masyarakat Kranggan merasa  bahagia  dan  tidak merasa terasing  karena  modernisasi.  Adaptasi  terhadap lingkungan  dan  penyerapan  ajaran  dan  keyakinan  Islam berjalan  secara  evolutif. Harmoni  antara  dua  ajaran  dan keyakinan bersatu  (Islam dan Buhun) karena mengguna‐kan wadah (lembaga) agama seperti Maulid Nabi, Ziarah, Suro. Hubungan  kekerabatan,  termasuk  silsilah  yang  konon       bersambung sampai Sayyidina Ali.  Tradisi sesaji atau ngancak dapat dipertahankan karena ijab kabulnya  menggunakan  kalimat  syahadat  dan persembahan tersebut dipandang sebagai tawasul. 

2. Pelayanan hak‐hak  sipil bagi masyarakat Kranggan yang mempercayai  tradisi  buhun  atau  Aliran  Kebatinan Perjalanan,  sudah dilayani dengan baik oleh pemerintah, seperti  pada  KTP  kolom  agama  ditulis  angka  7  atau dikosongkan  atau  boleh  juga  ditulis  dengan  Aliran Kebatinan  Perjalanan;  Masalah  perkawinan  dicatatkan pada  Kantor  Catatan  Sipil;  Masalah  pendidikan  agama pada anak didik mengikuti pelajaran Agama Islam, tetapi kalau  dalam  ujian  praktek  ibadah  mereka  tidak  ikut, karena mereka menginginkan diberikan soal sesuai ajaran kepercayaannya,  tetapi  pemerintah  belum  siap,  karena keterbatasan tenaga, sarana dan dana. 

252

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

253

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

3. Masyarakat Kranggan terdiri dari tiga varian yaitu varian Islam  Santeri,  buhun  dan  Aliran  Kebatinan  Perjalanan. Ketiga  varian  ini  relasinya  cukup  baik,  diantara mereka saling  mendukung  dan  memperkuat,  tidak  ada  saling menyalahkan  bahkan  saling membenarkan. Relasi  antara agama  santeri,  buhun  dan   Aliran  Kebatinan  Perjalanan (AKP)  di  Kranggan  merupakan  sebuah  model  dialog kebudayaan atau peradaban yang perlu dipertahankan.  

  

Rekomendasi 1. Pemerintah  perlu  memberikan  perhatian  kepada 

masyarakat  Kranggan  terutama  terhadap  anak  didik dalam masalah pelayanan terhadap mata pelajaran agama di sekolah, mereka minta dilayani sesuai keyakinan ajaran yang dianutnya. 

2. Relasi sosial  terhadap masyarakat sekitar dan masyarakat diluarnya yang sudah cukup baik itu, perlu dipertahankan terus. 

  

DAFTAR PUSTAKA  Kahmad Dadang, Agama  Islam dan Budaya Sunda, KIBS., 

2001. Abdullah,  Taufik,  “Islam  dan  Pembentukan  Tradisi  di  Asia 

Tenggara: Sebuah Prespektif  Perbandingan”, dalam Taufiq  Abdullah,    Sharon  Shidiqiy.  Tradisi  dan Kebangkitan  Islam  di  Asia  Tenggara.  Jakarta,  LP3IS.           198 

Berger,  Peter  L.,  Langit  Suci:  Agama  sebagai  realitas  Sosial. Jakarta, LP3IS, 1991. 

Bellah,  Robert  N.,  Beyond  Belief:  Esei‐Esei  Tentang  Agama  di DuniaModern.  Jakarta  Penerbit  Paramadina,  2000. (Penerjemah Rudy Harisyah Alam) 

Capps, Walter H., Religious Studies: the Making of a Disipline. Miniapolis‐ Fortress Press, 1995. 

Dewan  Musyawarah  Pusat  Aliran  Kebatinan  Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran Kebatinan “Perjalanan”, 1989. 

Dewan  Musyawarah  Pusat  Aliran  Kebatinan  Perjalanan, Pedoman dasar/pedoman rumah  tangga aliran kebatinan “perjalanan”, 2005. 

Durkheim,  Emile,  Sejarah  Agama  (The  Elementary  Form  of Religious  Life),  Yogyakarta  IRCiSoD,  2003. (Terjemahan Inyiak Ridwan Munir) 

Rozak,    Abdul,  Kebatinan  Sunda:  Kajian  Antropologi  Agama Tentang Aliran Kebatinan Perjalanan. Bandung Kiblat Buku Utama, 2005. 

Spradley,  James  P, Observation  Participaton. New  York Holt, Rinehart and Winston, 1980. 

Weber, Max, Sosiologi Agama. Yogyakarta.  IRCiSoD, 2012.  

254

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

255

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

         

AGAMA/KEPERCAYAAN MASYARAKAT  KAMPUNG DUKUH DALAM 

(di Desa Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut) 

Oleh : Kustini & Iklilah Muzayyanah DF    

GAMBARAN UMUM  WILAYAH KAMPUNG DUKUH DALAM 

 Sekilas tentang Masyarakat Kampung Dukung Dalam 

Masyarakat  adat  Kampung  Dukuh  terletak  di  Desa Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut Provinsi  Jawa Barat. Untuk mencapai wilayah  itu,  tidaklah mudah.  Selain jarak  yang  cukup  jauh  dari  ibu  kota Kabupaten Garut,  juga akses  jalan sangat tidak mendukung khususnya dari  ibu kota Kecamatan  Cikelet  ke  Kampung Dukuh.  Kecamatan  Cikelet berjarak  sekitar  101  km  dari  ibu  kota Kabupaten Garut  dan harus  ditempuh  selama  hampir  5  jam  jika  menggunakan kendaraan umum yaitu seperti colt atau elf. Selain  jalan yang kecil  dan  berkelok‐kelok,  sebagian  jalan  masih  berbatu,  di sebelah  kiri dan  kanan  jurang  yang  cukup  lebar  atau  tebing gunung yang rawan longsor. Ketika melewati tebing gunung, ada  daerah  yang  terkenal  dengan  daerah  gunung  gelap. Sepanjang  jalan  itu gelap meskipun siang hari   karena diapit oleh  tebing tinggi. Dari Kecamatan Cikelet menuju Kampung Dukuh  sebenarnya  tidak  jauh  hanya  sekitar  10  km.  Tetapi akses  jalan  yang  berbatu,  dan  naik  turun  menyebabkan perjalanan menjadi lambat dan melelahkan. Meski jalan dapat dilintasi  satu mobil,  tetapi  angkutan  umum  sangat  terbatas hanya ada dua mobil dalam satu hari. Selebihnya masyarakat menggunakan ojek dengan ongkos minimal Rp. 30.000,‐   

Kampung  Dukuh  dikenali  dalam  dua  istilah,  yaitu kampung  dukuh  dalam  dan  kampung  dukuh  luar.  Sebutan ‘dalam’  dan  ‘luar’  cukup  mudah  dipahami  karena  dapat terlihat dari batas tanah yang jelas dan mudah dikenali. Secara fisik, batas  ini  terlihat melalui pagar bambu yang melingkari kampung  dukuh  dalam.  Itu  artinya,  kampung  dukuh  luar 

256

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

257

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

adalah penduduk yang ada di  luar batas pagar bambu yang ada. Batas pagar bambu ini juga menjadi batas wilayah rukun tetangga,  dimana  kampung  dukuh  dalam  masuk  RT  01 sedangkan kampung dukuh luar masuk RT 02 dari RW 06. 

Meskipun  tampak  sederhana,  pagar  bambu  yang menjadi  pembatas  ini  menjadi  simbol  atas  perbedaan beberapa  nilai  dan  aturan  yang  ditaati.  Meskipun  pada sebagian  hal,  warga  kampung  dukuh  luar  masih mempertahankan  dan  mentaati  nilai  dan  aturan  yang  ada, namun tidak lagi seketat yang diterapkan di dalam kampung dukuh  dalam.  Salah  satu  yang  terlihat  jelas  adalah penggunaan  listrik dan  bahan  bangunan  untuk  rumah  yang berbeda antara kampung dukuh dalam dan luar. 

Penduduk  di  Kampung  Dukuh  Dalam  saat  ini berjumlah  94  orang,  dengan  jumlah  laki‐laki  49  jiwa  dan perempuan 45  jiwa.  Jumlah KK adalah 33 KK dengan kepala keluarga  laki‐laki  berjumlah  19  orang  dan  kepala  keluarga perempuan (janda) berjumlah 14 orang. Sedangkan anak‐anak berusia dibawah  18  tahun berjumlah  20  anak  laki‐laki dan  8 anak perempuan.  Jumlah  ini diperoleh melalui penghitungan manual dan pendataan secara langsung oleh peneliti bersama Pak  Hanafi,  ketua  RT  01.  Menurutnya,  data  penduduk Kampung Dukuh Dalam tidak dimiliki dirinya yang menjabat sebagai ketua RT karena hangus dalam kebakaran tahun 2011. Apalagi  setelah  peristiwa  kebakaran  tersebut,  jumlah penduduk  Kampung  Dukuh  Dalam  berkurang  dari sebelumnya, meskipun  ada  juga warga baru yang  tinggal di Kampung Dukuh Dalam. 

Terdapat  sebuah  masjid,  sebuah  madrasah,  rumah balai  adat,  bumi  alit  (rumah  khusus  untuk  beribadah),  enam kamar mandi  di  atas  balong,  dan  26  rumah  panggung  yang 

memiliki model dan pola yang sama, yaitu berdinding bambu, menghadap ke barat atau ke utara, beratap ijuk, dan berlantai bambu  yang  dilebarkan  (palupuh).  Besar  rumah  cukup berfariasi,  namun  rumah  terkecil  yang  saya  dapati  adalah rumah seorang janda yang mengaku berusia 98 tahun dengan luas  sekitar  9 M2  dan  rumah  terbesar  adalah  rumah  kepala dukuh (kuncen) yang biasa dipanggil dengan julukan Mamak, yaitu  sekitar  100  M2.  Luasnya  rumah  kuncen  ini  sengaja dipersiapkan  untuk  menfasilitasi  tamu  yang  terus  datang, berkonsultasi,  dan  bertawassul  kepadanya. Di  dalam  semua rumah,  tidak  ada  meja  kursi  bagi  tamu  yang  berkunjung, namun  tersedia  tikar   yang siap digelar setiap kali ada  tamu. Semua  penduduk  memasak  dengan  menggunakan  tungku dengan  bahan  bakar  kayu  yang  diperoleh  dari  hutan  di sekitarnya,  dan  menggunakan  penerangan  dari  api  dengan bahan bakar minyak tanah. 

Kebanyakan penduduk bermata pencaharian sebagai petani, pekebun, dan peternak ikan dalam balong. Kebanyakan padi dan sayur mayur yang ditanam untuk kebutuhan sendiri, bukan  untuk  dijual,  namun  tanaman  kebun  dan  palawija seperti  cengkeh,  cabe,  dan  lainnya  biasanya  untuk  dijual. Pekerja di  kebun dan  sawah dilakukan  bersama  antara  laki‐laki  dan  perempuan,  namun  tanggung  jawab  diemban penduduk  laki‐laki. Oleh karena  itulah, beberapa  janda yang memiliki  lahan  akan  bekerjasama  dengan  kerabatnya  yang laki‐laki  dalam  mengelola  lahan  miliknya.  Aktifitas  para perempuan tampak lebih banyak berkecimpung dalam urusan domestik  dan  reproduksi.  Perempuan  memasak,  mencuci, menjemur pakaian, membersihkan rumah, menyapu halaman, dan merawat anak. Untuk kebutuhan memasak, biasanya laki‐

258

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

259

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

laki yang mencari kayu bakar di hutan, meskipun perempuan juga kadang‐kadang ikut mencari ranting kayu. 

Setiap  hari,  anak‐anak  bersekolah  di  pagi  hari. Selepas sholat dhuhur di siang hari dan setelah sholat asar di sore  hari,  anak‐anak  bersekolah  agama  di  madrasah  satu‐satunya yang ada di dalam Kampung Dukuh Dalam. Pengajar utamanya baru  satu orang, yaitu anak kedua atau anak  laki‐laki pertama kuncen yang belum  lama menggantikan ustadz yang  telah  berpindah  di  luar  pagar  (istilah  yang  biasa diucapkan)  setelah kebakaran  tahun  2011. Sedangkan masjid yang  terletak  di  sebelah  madrasah    hanya  diperuntukkan untuk  laki‐laki.  Perempuan  tidak  memiliki  ruang  khusus untuk  sholat  berjamaah.  Sebelum  kebakaran,  ada  musholla yang diperuntukkan bagi perempuan, namun tidak dibangun kembali.  

Di malam hari, suasana gelap dan sunyi sangat kental terasa. Namun  demikian,  ada  beberapa  aktifitas  keagamaan yang  dilakukan  pasca  sholat  isya  di  rumah  kuncen,  seperti pembacaan  Ratib  Haddad,  Tahlil,    pembacaan  Sholawat Nariyah  4444  kali,  dan  dibaiyah.  Aktifitas  ini  tampak  hanya diikuti  oleh mayoritas  laki‐laki  dewasa  dan  anak‐anak. Ada beberapa perempuan mengikuti kegiatan keagamaan  ini dan duduk  di  ruang  belakang  bersama  anak‐anak.  Sedangkan pengajian khusus untuk perempuan yang sudah dewasa dan tua dibina  langsung oleh kuncen di setiap hari Ahad dimulai sekitar pukul 9 pagi hingga sekitar pukul 11 siang.  

Seluruh  penduduk  Kampung  Dukuh  Dalam beragama  Islam  dan  menjalankan  ritual  sholat  wajib  lima waktu,  sholat  Jumat  berjamaah  di  Masjid,  dan  berpuasa Ramadhan  yang  dipimpin  oleh  seorang  Kuncen  dan  ia merupakan  keturunan  dari  kuncen  sebelumnya.  Setiap  hari 

tampak  selalu  ada  tamu  yang  berkunjung. Ada  kepentingan yang  berbeda‐beda  dari  para  tamu  yang  hadir,  seperti kepentingan  melakukan  kajian  atau  studi,  melakukan peziarah  makam,  melakukan  isol  (tawassulan)  dengan membawa  kahaturan  tuang,  atau    berkonsultasi  tentang permasalahan  yang  dihadapi,  baik  masalah  rumah  tangga, ekonomi,  pekerjaan,  atau  kesehatan.  Para  tamu  ada  yang berkunjung  sejenak  dan  ada  yang  menetap  untuk  kurun waktu  tertentu, misalnya 2 hari, 7 hari, 30 hari, 50 hari, atau lebih.  

Peran kuncen  tidak hanya melayani kebutuhan para tamu  yang  berkunjung  ke  rumahnya  untuk  berbagai kepentingan. Namun kuncen dan  istrinya  juga menyediakan kebutuhan  dasar  para  tamu,  minimal  kebutuhan  makan sehari‐hari.  Hampir  tidak  ada  tamu  yang  tidak  mencicipi makanan  yang  ada  di  rumah  kepala  adat  tersebut,  bahkan bagi penduduk Kampung Dukuh Dalam sendiri yang sedang tidak memiliki makanan dapat manikmati makanan yang ada di  dalam  rumah  kepala  adat  ini. Makanan  sepertinya  tidak pernah    habis  tersedia,  sejalan  dengan  kesan  tidak  pernah berhentinya  tamu yang datang dan memakan makanan yang tersedia. Di hari Jumat dan Sabtu, beras yang dimasak hingga mencapai  jumlah  60 kg dengan  sayur pepaya,  lalap,  sambal, dan  ikan asin  sebagai  lauk khas yang konon  sudah  terkenal. Selain makanan, Kuncen  juga kerap memberi  sejumlah uang kepada para  tamu yang kehabisan uang untuk biaya ongkos pulang atau keperluan yang disampaikan kepada kepala adat.  

Setiap  ritual  dipimpin  oleh  kuncen,  dengan didampingi  wakilnya  yang  saat  ini  ada  dua  orang  yang keduanya  adalah  menantu  kuncen  dari  anak  pertama  dan anak  ketiga  Kuncen.  Ritual  rutin  adalah  melakukan  sholat 

260

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

261

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

berjamaah,  tawassulan, munjungan berziarah, dan melakukan mandi  40  kucuran.  Khusus  di  hari  Sabtu,  jamaah  ziarah perempuan  dipimpin  oleh  Nek  Emes,  seorang  perempuan berusia hampir  seratus  tahun  yang merupakan  bibi Kuncen. Sedangkan  istri  kuncen  berkonsentrasi  menemani  kuncen dalam melakukan tawassulan rutin di bumi alit dan memimpin warga  perempuan  yang  bertugas  membersihkan  makam penduduk.  Namun  setiap  hari,  istri  Kuncen  bertugas mengatur  jamuan makanan dan menyiapkan makanan untuk munjungan yang dilakukan secara rutin seminggu tiga kali. 

Kuncen  memiliki  peran  sentral  dalam  Kampung Dukuh Dalam. Tampak penghormatan warga kepada kuncen cukup  terlihat  dari  bahasa  tubuh  dan    cara  bicara  yang ditampilkan.  Demikian  juga  warga  Kampung  Dukuh  Luar yang  menghormati  kuncen.  Apabila  akan  melakukan perjalanan jauh atau keluar kota, tidak jarang warga Kampung Dukuh  Luar  mengunjungi  kuncen  terlebih  dahulu  dan meminta doa keselamatan bagi perjalanannya. 

  

TEMUAN HASIL PENELITIAN  

Tokoh dan Perkembangan Ajarannya  Ajaran  dan  nilai  yang  dipertahankan  di  dalam 

Kampung Dukuh Dalam  adalah  ajaran  yang  dikembangkan secara  turun  temurun dari zaman nenek moyang. Salah  satu tokoh  kunci  dalam  sejarah  ajaran  Kampung  Dukuh  Dalam adalah  seorang  yang  dipercaya  waliyullah  yang  bernama Syekh Abdul Jalil. Kehidupan syekh Abdul Jalil tampak terus hidup  dan  dipertahankan,  bahkan  tetap  menjadi pertimbangan  atas  berbagai  aturan  adat  yang  masih dipertahankan. 

Syekh  Abdul  Jalil  merupakan  bangsa  Indonesia keturunan Jawa yang sejak kecil telah menempuh pendidikan agama  di  Makkah  hingga  dewasa.  Dalam  cerita  yang disampaikan Mamak Uluk, Kuncen Kampung Dukuh Dalam, ketika  dewasa  Syekh Abdul  Jalil  diutus  oleh  seorang  ulama Makkah untuk kembali ke  Jawa. Pada mulanya Syekh Abdul Jalil menolak, namun pada akhirnya beliau berangkat dengan membawa  sejumlah  air  zamzam  dan  tanah    dari   Makkah sebagai bekalnya. Setelah di  Jawa, Syekh Abdul Jalil ditawari menjadi  penghulu  Kabupaten  Sumedang  oleh  sinuhun Sumedang.  Syekh  Abdul  Jalil menyetujuinya  dengan  syarat bahwa  Bupati  Sumedang  harus  bersatu  bersama  rakyat  dan tidak melanggar syariat Islam.  

Setelah menjabat  sebagai  penghulu  selama  12  tahun, Syekh Abdul  Jalil berangkat kembali ke Makkah untuk suatu tujuan.  Ketika  Syekh  Abdul  Jalil  tidak  ada  di  Sumedang, Bupati  memerintahkan  bawahannya  untuk  membunuh  dua orang utusan dari Banten yang membawa pesan dari Kerajaan Banten  agar  bupati  Sumedang  mau  mengabdi  ke  Banten. 

262

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

263

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Pembunuhan itu terjadi di Parakan Muncang, saat dua utusan tersebut  dalam  perjalanan  kembali  ke  Banten.  Karena pembunuhan  ini  melanggar  syariat  Islam,  maka  Bupati memerintahkan  agar  jangan  sampai  terdengar  oleh  Syekh Abdul  Jalil.  Namun  sayangnya,  kejadian  ini  diketahui  oleh Suta Wijaya,  seorang  tangan  kanan  Syekh  Abdul  Jalil  dan menceritakan  kejadian  yang  dirahasiakan  tersebut  kepada  Syekh Abdul Jalil. 

Mendengar tindakan Bupati, Syekh Abdul Jalil kecewa. Saat bupati dipanggil Sykeh Abdul Jalil, Bupati meminta maaf kepada  Syekh  Abdul  Jalil  atas  kekhilafan  keputusannya. Namun  Syekh  Abdul  Jalil  merasa  kepercayaannya  telah dikhianati.  Oleh  karena  itulah,  Sykeh  Abdul  Jalil mengundurkan  diri  dari  jabatannya  sebagai  penghulu kabupaten Sumedang. Syekh Abdul  Jalil mengatakan kepada bupati bahwa “hari ini bakal ada kejadian.” Pernyataan Sykeh Abdul  Jalil  ini  terbukti  setelah  sekitar  2  atau  3  bulan  dari mundurnya Sykeh Abdul  Jalil dari  jabatannya, di hari  Jumat terjadi  penyerangan  cukup  besar  di  Sumedang  yang  datang dari Banten.  

Selepas menjabat sebagai penghulu, SYekh Abdul Jalil tinggal di Batuwangi, lalu berpindah di Pameumpeuk selama sekitar  satu  tahun  setengah.  Di  suatu  malam  tanggal  12 Maulid  tahun  Alif,  ketika  Syekh  Abdul  Jalil  sedang bermunajat,  ia  mendapatkan  wangsit  (semacam  petunjuk ghaib) melihat  cahaya menuju atas yang berasal dari  sebuah pohon  aren.  Lalu  berangkatlah  Syekh  Abdul  Jalil  ke  arah cahaya  yang  dilihatnya,  sehingga  sampailah  pada  sebuah daerah yang saat ini disebut sebagai Kampung Dukuh Dalam. Beliau  tinggal dan menyebarkan agama dengan menekankan 

pada cara hidup sufi yang menjauhkan diri dari hal‐hal yang bersifat kemewahan duniawi sampai wafatnya.  

Makam Syekh Abdul  Jalil di wilayah hutan  larangan, sekitar  300 meter  dari Kampung Dukuh Dalam. Makam  ini hanya dibuka dan diizinkan untuk diziarahi pada hari Sabtu saja, karena  ada keyakinan pada hari  Sabtulah  Syekh Abdul Jalil  hadir  di  persinggahan  terakhirnya.  Salah  satu  tempat dimana Syekh Abdul Jalil bermunajat adalah di lokasi dimana bumi  alit  dibangun,  yaitu  di  antara  rumah  tokoh  adat  dan deretan kamar mandi warga. 

Setelah  wafatnya  Syekh  Abdul  Jalil,  masyarakat Kampung  Dukuh  Dalam  dipimpin  oleh  tokoh  adat  yang disebut  dengan  julukan  kuncen.  Kepemimpinan  dari  unsur adat  ini sejalan dengan konsepsi tentang hak atas tanah yang didasarkan  pada  siapa  pihak  yang  paling  pertama mengelolanya.  Kampung  Dukuh  Dalam  telah  ada  sebelum hadirnya  Islam  dengan  penduduknya  adalah  masyarakat  adat  Sunda.  Islam  yang  ada  di  Indonesia  tmbuh  dan berkembang dengan dibawa oleh salah satunya para wali dan habib.  Tetapi mereka  datang  belakangan,  sehingga  hak  atas kepemimpinan  adat  bukanlah  pada  kalangan  habib  namun menjadi  hak  keturunan  adat  Sunda  dengan  sistem kepemimpinan turun temurun. Namun, dalam penjelasan Pak Kuncen,  calon  pengganti  kuncen  tidak  pernah  direncanakan secara khusus, apalagi diajarkan. Calon pengganti kuncen juga tidak selalu harus anak pertama, namun pasti harus  laki‐laki. Sebagaimana  dirinya  bukanlah  anak  pertama  dan  tidak dipersiapkan  oleh  ayahnya  untuk menggantikan  kedudukan ayahnya.  Namun  semua  terjadi  dalam  sebuah  rangkaian rahasia  Ilahi  sebagai  sebuah  proses  perjalanan,  demikian ungkap Mamak Uluk suatu hari.  

264

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

265

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Dalam logika yang hidup di Kampung Dukuh Dalam, kepemipinan adat  tidak bisa digantikan dengan  selain orang keturunan adat. Sejarah adat yang diceritakan dalam  tuturan lisan  turun  temurun  menjelaskan  bahwa  Kampung  Adat Dukuh memiliki  tokoh‐tokoh  adat  yang  disebut  eyang. Ada beberapa titik makam eyang yang dapat ditelusuri dan berada melingkari Kampung Dukuh. Dalam mitos  yang  hidup  juga dipercaya  adanya  harimau  penjaga  hutan  yang  senantiasa hadir,  muncul,  dan  bersuara  di  malam  hari,  khususnya  di malam‐malam  tertentu yang membantu dan menemani para eyang  melakukan  tugasnya  menjaga  keseimbangan  alam. Oleh  karena  itulah,  kepemimpinan  di  Kampung  Dukuh Dalam  tidak  akan  tergantikan  oleh  selain  orang  keturunan adat, bahkan oleh orang Arab‐pun yang secara keilmuan bisa jadi lebih mumpuni dari orang adat.  

Hal  ini  pernah  terbukti  pada  sejarah  kepemimpinan Mamak  Uluk  yang  pernah  digugat  untuk  turun  dan digantikan  oleh  seorang  habib,  salah  satu  warga  Kampung Dukuh Dalam. Ketika perwakilan warga menuntutnya turun, Mamak  Uluk  tidak melawan  sama  sekali.  Beliau mengikuti permintaan  warganya  dan  keluar  dari  rumah  adat  dalam Kampung Dukuh Dalam menuju rumah mertuanya di Garut. Namun  kepemimpinan  ini  tidak  berjalan  lama,  karena kemudian  Mamak  Uluk  yang  pada  saat  itu  tinggal  di Bandung,  ditemui  oleh  mayoritas  warga  Kampung  Dukuh Dalam dan memintanya kembali memimpin adat di Kampung Dukuh  Dalam.  Dalam  sejarah  kepemimpinan  Kampung Dukuh Dalam, Mamak Uluk  Luqman  adalah  kuncen  ke‐14. Namun  tidak  ada  catatan  silsilah  nama‐nama  para  kuncen yang pernah memimpin Kampung Dukuh Dalam  ini.  Mamak Uluk  hanya mengingat  tiga  nama  kuncen  di  atasnya  secara 

berurutan,  yaitu Mamak  Bani  (Kuncen  ke‐13), Mamak  Ilyas (Kuncen ke‐12), dan Mamak Nurilyas (Kuncen ke‐11).  

Kampung Dukuh Dalam  yang kesemuanya beragama Islam,  menjalankan  kewajiban  sebagai  umat  Islam sebagaimana  dalam  pemahaman  Islam  pada  umumnya. Namun ada beberapa nilai ajaran utama yang cukup menonjol dalam Kampung Dukuh Dalam  yang  hingga  saat  ini masih dipertahankan.  Setidaknya  ada  empat  nilai  ajaran,  yaitu prinsip  kehidupan  sufi,  hubungan  alam  dan  keselamatan dunia, perhitungan tanda‐tanda kiamat, dan karomahnya para auliya. 

Pertama, prinsip kehidupan sufi merupakan satu ajaran yang ditekankan  oleh para  leluhur, khususnya  Syekh Abdul Jalil. Kehidupan  sufi yang dipertahankan merupakan  sebuah ikhtiyar  dalam  keihtiyatan  (kehati‐hatian)  untuk  tujuan memaksimalkan  kualitas  dan  kesempurnaan  ibadah.  Prinsip ini  merupakan  bentuk  pilihan  dari  berbagai  pilihan  dalam cara hidup yang bertujuan untuk beribadah  ini. Oleh karena itulah, prinsip yang diberlakukan di dalam Kampung Dukuh Dalam  hanya  diberlakukan  bagi  yang  secara  voluntary mengikuti  prinsip  ini.  Tidak  ada  upaya  menyebarkan, mengajak,  atau  memerintahkan  seseorang  untuk  mengikuti prinsip  ini. Demikian  juga  sebaliknya, masyarakat Kampung Dukuh  Dalam  akan  sangat  berkeberatan  jika  dianjurkan, diajak, atau diperintahkan untuk merubah prinsip ini dengan prinsip yang lainnya. 

Bentuk  nyata  dari  prinsip  ini  diwujudkan  dalam praktik‐praktik  kehidupan  sehari‐hari.  Bentuk  rumah  yang sederhana dengan model yang hampir seragam diyakini dapat menghindarkan masyarkat Kampung Dukuh Dalam dari sifat iri,  dengki,  dan  riya’.  Kesederhanaan  memunculkan  rasa 

266

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

267

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

sekelas,  tidak  ada persaingan dalam hal duniawi, dan  strata sosial.  Implikasi nyata yang dirasakan oleh warga Kampung Dukuh Dalam dengan memiliki rumah sederhana adalah rasa damai  dan  tenang  karena  terbebas  dari  keinginan  duniawi. Karena  prinsip  ini  pula,  seluruh  warga  Kampung  Dukuh Dalam  tidak menggunakan  listrik. Penolakan  terhadap  listrik ini  bukan  didasarkan  alasan  keterbatasan  ekonomi  warga, namun  untuk  tujuan menghindari  efek  dari  akses  terhadap listrik yang dapat mengganggu kualitas  ibadah warga. Nafsu terhadap  barang‐barang  mewah  bisa  jadi  sulit  dibendung ketika  akses  listrik  mudah  diperoleh,  seperti  keinginan memiliki  barang  elektronik  kulkas,  microwive,  mesin  cuci, oven, dan  lainnya, atau memiliki  televisi dan radio atau  tape sehingga  mendengarkan  atau  menonton  sajian  yang  tidak penting. Bukti  alasan  ini  terlihat dari  nilai  kebutuhan untuk penerangan  di  Kampung  Dukuh  Dalam  lebih  tinggi ketimbang  seandainya  mereka  menggunakan  penerangan listrik. Dalam hitungan sebulan, kebutuhan  terhadap minyak tanah bisa jadi lebih besar dari tagihan listrik warga Kampung Dukuh Luar. Misalnya  saja  kebutuhan minyak  tanah  rumah kuncen,  sebulan bisa mencapai  60  liter  atau  sekitar  setengah juta  rupiah.  Padahal minyak  tanah  hanya  digunakan  untuk sedikit  menghidupkan  api  dalam  tungku  dan  untuk penerangan di malam hari saja.  

Kedua,  hubungan  alam  dan  keselamatan  dunia. Nilai ajaran ini membicarakan tentang logika‐logika yang dibangun berkaitan  dengan  berbagai  bencana  dan  kerusakan  alam. Dalam  ajaran  ini, Kampung Dukuh Dalam  percaya  ada  tiga pacaduan, yaitu pacaduan maqom  (larangan makam), pacaduan kampung  (larangan  kampung),  dan  pacaduan  leuweung (larangan  hutan)  (Bardan  &  Suhadriman,  2007).  Dalam 

perbincangan  sambil  menikmati  kopi  pagi,  Mamak  Uluk menjelaskan  bahwa  batas‐batas  larangan  ini  dapat  dilihat secara fisik dalam bentuk pagar atau sungai kecil.  

Dalam  konsepsi  tentang  tanah,  terdapat  empat  jenis kategori  tanah,  yaitu  tanah  larangan,  tanah  garapan,  tanah tutupan, tanah cadangan. Tanah garapan, tanah tutupan, dan tanah  cadangan  saat  ini  telah  dikuasai  oleh  pemerintah, sehingga hak adat hanya tersisa tanah larangan saja. Di tanah larangan ini, siapapun yang ada di dalamnya harus mematuhi larangan  untuk  hidup  mewah.  Meskipun  agama  tidak melarang hidup bermewah, namun  larangan  ini berlaku bagi siapapun  yang  tinggal  di  dalamnya,  khususnya  di  daerah Larangan  Kampung.  Sedangkan  tanah  larangan  hutan dilarang ditanami dengan  tanaman  industri  seperti kayu  jati yang  banyak  tampak  di wilayah  tanah  cadangan  dan  tanah garapan.  Di  tanah  larangan  hutan  ini,  tanaman  dibiarkan tumbuh  sendiri.  Kayu‐kayu  alami  yang  biasa  dijumpai  di tanah larangan hutan ini adalag kayu kisampang, kayu balung injuk,  kayu  cempaka,  kayu  jaka,  dan  lainnya.  Kayu‐kayu inilah yang boleh digunakan untuk konstruksi rumah, bukan kayu jati atau kayu industri lainnya. 

Keseimbangan atas  tanah dan alam  ini dipertahankan karena  segala  kejadian  yang  adai  di  dunia  ini  merupakan bagian  dari  hasil  perbuatan  manusia  terhadap  alam.  Jika manusia  secara bijak memperlakukan alam, maka alam akan memberikan  penghidupan  yang  baik.  Namun  jika  manusia memperlakukan  alam  secara  sewenang‐wenang  dan  dzalim, maka  bencana  dan  kerusakan  alam  akan  dialami  manusia. Oleh  karena  itulah, Kampung Dukuh Dalam hingga  saat  ini masih  sangat  ketat  memperlakukan  aturan‐aturan  terkait tanah‐tanah  larangan  tersebut. Misalnya pada  tanah  larangan 

268

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

269

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

hutan yang pohonnya dilarang untuk ditebang dengan alasan apapun. Tanah larangan hutan ini akan menjaga manusia dari kehilangan  akses  terhadap  air.  Jika  pepohonan  yang  ada  di dalamnya  ditebang  secara  sembarangan, maka  ketersediaan air  akan  berkurang  atau  habis  yang  dapat  mempengaruhi pertanian  yang  menjadi  dasar  kebutuhan  primer  manusia. Keterbatasan  air  juga dapat mengancam kehidupan manusia dan hewan yang hidup di dalamnya.  

Ketiga,  perhitungan  tanda‐tanda  kiamat. Kepercayaan atas  datangnya  hari  kiamat  diyakini    pasti  kedatangannya. Hari  kiamat dapat diperhitungkan melalui  kejadian‐kejadian alam  dan  sosial  yang  terlihat.  Kejadian  alam  terlihat  dari terjadinya kiamat‐kiamat sughro  (kiamat kecil) yang semakin sering  terjadi,  seperti  tsunami,  gempa,  banjir,  longsor,  dan sebagainya.  Kejadian  alam  tersebut  pada  dasarnya merefleksikan  bagaimana  manusia  memperlakukan  alam. Sedangkan  kejadian  sosial  terlihat  dari  semakin  jauhnya manusia  dari  tuntutan  ibadah  sebagai  tujuan  hidupnya. Pengaruh  kehidupan  duniawi  telah  terlihat  dan mempengaruhi  orientasi  hidup  manusia.  Untuk  mencapai kepentingan  nafsu,  manusia  terbawa  pada  kesifatan  dajjal seperti  berbohong,  menfitnah,  tidak  amanah,  dan  dzalim. Kesifatan  dajjal  ini  terlihat  sangat  jelas  dalam  kehidupan sehari‐hari.  Padahal  dalam  logika  Kampung  Dukuh  Dalam, ketika  kesifatan  dajjal  telah makin menguat, maka makhluk Allah yang bernama Dajjal akan turun ke bumi dan membuat kerusakan. Kehadiran Dajjal  inilah menjadi  salah  satu  tanda kiamat yang sesungguhnya akan terjadi. 

Keempat,  karomahnya  para  auliya.  Masyarakat  adat Kampung Dukuh Dalam sangat mempercayai kemuliaan dan keistimewaan  para  auliya  (kekasih  Allah).  Penghormatan 

terhadap  auliya  dilakukan  secara  cukup  konsisten  melalui berbagai  ritual,  aturan, dan  tabu  yang hidup di masyarakat. Ada  beberapa  ritual  adat  yang merefleksikan penghormatan mendalam pada auliya. Di antaranya adalah ritual munjungan, yaitu  menyediakan  sejumlah  makanan  siap  santap  dalam wadah‐wadah  dari  batok  kelapa  dan  piring  dari  kayu  yang ditata  dalam  sebuah  nampan  khusus  dan  dibawa masuk  ke bumi  alit. Munjungan  ini dilakukan  sebagai bentuk  tasyakkur atas nikmat  rizki  yang  ada. Praktik  ini hampir mirip  seperti menyediakan  sesaji,  namun  setelah  ritual  munjungan, makanan  yang  ada    dibawa  kembali  ke  rumah  adat  dan disantap. Tidak  ada  larangan  tentang  siapa  yang menikmati makanan  munjungan  ini,  karena  tampak  kadang  Kuncen menyantap makanan  tersebut,  terkadang  istri  kuncen,  anak kuncen,  warga  yang  sedang  ada  di  rumah  adat,  bahkan pernah ditawarkan kepada saya, orang  luar yang sedang ada di  rumah  adat.  Selama  ritual  belum  selesai  dilaksanakan, maka  siapapun  yang  ada  di  dalam  rumah  adat  tidak  boleh mendahului makan makanan  yang  ada,  kecuali  keluar  dari rumah adat dan berpindah ke rumah penduduk atau di balai adat. 

Ritual  lainnya  yang  menunjukkan  penghormatan kepada auliya adalah ritual kahaturan  tuang. Dalam ritual  ini, makanan pokok mentah seperti beras, garam, kelapa, dan lauk semampunya  (bisa  ikan  asin,  ayam,  kambing,  atau  sapi) disediakan dalam satu wadah dan dilakukan tawassulan yang dipimpin  oleh  kepala  adat.  Tawassul  ini  dilakukan  dengan mengharap  karomah  pada  auliya,  karenanya  doa  dilakukan dengan  menghadap  arah  makam  Syekh  Abdul  Jalil.  Selain ritual, ada beberapa tabu perilaku yang sangat dipertahankan oleh  masyarakat  Kampung  Dukuh  Dalam.  Di  antaranya 

270

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

271

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

adalah  tidak  berselonjor  ke  arah  makam  dan  rumah  tidak menghadap makam. Hampir semua warga Kampung Dukuh Dalam mentaatinya,  bahkan  Kampung  Dukuh  Luar. Hanya terlihat beberapa anak kecil melakukan karena ketidaktahuan mereka,  yang  langsung  mendapat  sanksi  keras  dari  orang‐orang sekelilingnya. Bertahannya aturan ini diperkuat dengan adanya  mitos‐mitos  bencana  yang  dialami  orang  yang melanggar tabu yang berlaku, misalnya meninggal mendadak. 

Bentuk penghormatan  lainnya  adalah  adanya  aturan‐aturan  cukup  ketat  terhadap  cara‐cara  berziarah  ke makam Syekh Abdul  Jalil. Makam yang hanya dibuka di hari  Sabtu ini, menyaratkan peziarahnya bukan dari kalangan PNS dan pemuda yang  sudah memiliki  tunangan. Larangan bagi PNS ini didasarkan pada sejarah pahit tentang pengkhiatan bupati Sumedang  kepada  Sykeh  Abdul  Jalil.  Bupati  direlasikan dengan pemerintah, sehingga semua pihak yang memperoleh gaji  bulanan  dari  pemerintah  seperti  PNS  dinilai  ikut bertanggung  jawab  atas  pengkhiatanan  di  masa  lalu.  Oleh karenanya,  larangan  bagi  PNS  diyakini  sebagai  bentuk pengakuan sejarah dan penghormatan kelukaan yang dialami waliyullah Syekh Abdul Jalil.  Eksistensi Ajaran Paham Keagamaannya  

Nilai  dan  ajaran  yang  dipraktikkan  di  Kampung Dukuh  Dalam  telah  berlangsung  lama.  Tidak  ada  catatan sejarah  tentang  berapa  tahun  ajaran  dan  nilai  ini dipertahankan. Namun masyarakat Kampung Dukuh Dalam meyakini  telah dipraktikkan oleh para pendahulu sejak masa sebelum  orde  baru, bahkan mungkin  sebelum kemerdekaan. Namun demikian, ajaran dan nilai yang bertahan hingga kini bukanlah tanpa proses negosiasi dan kontestasi. Bencana alam 

dan hadirnya berbagai  intervensi dari  luar Kampung Dukuh Dalam  yang membawa nilai‐nilai  berbeda  telah  banyak  ada, seperti  kebijakan  pemerintah,  modernisasi  dan  kemajuan teknologi. Peristiwa‐peristiwa   dan kejadian‐kejadian tersebut secara  tidak  langsung  telah mempengaruhi  cara  pandangan warga Kampung Dukuh Dalam    serta  nilai dan  ajaran  yang ada. Namun dalam situasi tersebut, nyatanya warga Kampung Dukuh  Dalam  dapat  mempertahankan  nilai  dan  ajarannya, meskipun muncul dinamika‐dinamika di dalamnya. 

Salah  satu  peristiwa  yang  dinilai  sebagai  cobaan mempertahankan  nilai  dan  ajaran  yang  dipraktikkan Kampung Dukuh Dalam adalah peristiwa bencana kebakaran yang  terjadi di  tahun 2006 dan  tahun 2011. Kejadian  ini  telah meluluhlantakkan  semua  harta  benda  dan  benda‐benda bersejarah penting yang dimiliki oleh Kampung Dukuh Dalam (Garut  News,  10  September  201,  diakses  24  April  2013, Tempo.Co, 10 September 2011, diakses  24 April 2013). Namun tidak ada korban jiwa satupun dalam kejadian ini. 

Akibat  peristiwa  ini, muncul  kekhawatiran  terhadap model rumah yang didasarkan pada bahan‐bahan alam yang mudah terbakar. Akibat kejadian ini, jumlah warga Kampung Dukuh  Dalam  terus  berkurang.  Salah  satu  indikatornya, jumlah  rumah  di  dalam    Kampung  Dukuh  Dalam  yang sebelumnya berjumlah 40  rumah,  sekarang  tersisa 26  rumah. Beberapa warga memilih berpindah ke Kampung Dukuh luar atau ke desa yang lain karena khawatir mengalami kebakaran kembali.  Termasuk  di  Kampung  Dukuh  Luar  yang sebelumnya  menggunakan  rumah  sebagaimana  Kampung Dukuh  Dalam,  saat  ini  hampir  semua  rumah  di  Kampung Dukuh Luar tidak menggunakan atap ijuk. Hanya tersisa dua rumah yang masih mempertahankan model rumah tersebut. 

272

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

273

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Bagi  warga  Kampung  Dukuh  Dalam,  peristiwa kebakaran yang terjadi dua kali dalam sepuluh tahun terakhir membuat  mereka  semakin  merasa  mantab  hidup  dengan tanpa  berorientasi  pada  harta  dunia.  Kepemilikan  atas  aset dalam rumah tidak lagi seperti dahulu. Bi Ipah, seorang janda yang  hidup  bersama  kedua  orang  tuanya  menyatakan refleksinya  atas  kejadian  kebakaran  yang  dialaminya.  Jika dahulu dirinya masih tergoda untuk memiliki perkakas dapur lebih dari kebutuhan yang ada, saat ini keinginan terhadap hal tersebut  telah  musnah.  Misalnya  panci  yang  sebelumnya dimiliki dari beberapa ukuran, namun sekarang panci dua biji sudah  dirasa  cukup  memenuhi  kebutuhan  dia  dalam memasak. Kebakaran  telah mengingatkan dirinya  atas  nafsu yang terselit di balik kesederhanaan yang ditampilkan. Karena itulah Bi  Ipah dan orang  tuanya memilih bertahan di dalam Kampung Dukuh Dalam hingga saat ini. 

Ujian  atas  eksistensi  nilai  dan  ajaran  di  Kampung Dukuh Dalam  adalah hadirnya  kebijakan pemerintah  terkait pajak  tanah  garapan  dan  kebijakan  atas  konversi  minyak tanah menjadi gas. Kedua kebijakan ini mempengaruhi  ajaran tentang  sharing  hasil  bumi  yang  telah  lama  diterapkan  dan tradisi penggunaan  tungku untuk memasak.  Jika masyarakat Kampung  Dukuh  Luar  memilih  mengganti  menggunakan kompor gas dan memasang listrik untuk membantu pekerjaan dapur, namun tidak terjadi di warga Kampung Dukuh Dalam. Mereka  mempertahankan  filosofi  pentingnya  penggunaan tungku  api  dalam  memasak.  Namun  kebijakan  pemerintah mengenai  pajak  tanah  garapan  warga  telah  memudarkan praktik  berbagi  hasil  bumi  yang  saat  ini  sudah  jarang dilakukan warga.  

Sharing  hasil  bumi  ini  biasanya  dilakukan  warga sebelum  panen  kebun,  sawah,  atau  ternak  yang  dimiliki. Adalah  pantangan  bagi  warga  melakukan  panen  dan menikmati  hasil  sebelum  terlebih  dahulu memetik  sebagian dari hasil panen kepada  rumah  adat dan  kantor pemerintah terdekat. Hasil  panen  yang masuk  ke  rumah  adat  biasnaya akan  diolah  dan menjadi  bagian  dari  sajian  para  tamu  atau warga  Kampung  Dukuh  Dalam  yang  sedang  mengalami kesulitan.  Konsep  ini  memuat  nilai  tentang  berbagi  atas nikmat  yang  diberikan  alam  kepada manusia. Namun  sejak warga harus membayar pajak bumi atau  tanah ke kelurahan, praktik  ini  sudah  jarang  dilakukan.  Ketua  adat  juga  tidak melakukan  tindakan  apapun  untuk  mengajak  warganya menerapkan praktik adat  tersebut. Pasifnya  sikap ketua adat ini didasarkan pada pertimbangan  tidak  ingin memberatkan warganya,  yang  selain  harus  membayar  pajak  tanah  juga harus membayar  zakat  jika  telah mencapai  nishob.  Apabila sharing  hasil  bumi  dipaksakan  dilakukan,  kekhawatiran menjadi  beban  berganda  bagi warga menjadi  pertimbangan utama Mamak Uluk. 

 Terhadap  intervensi  kemajuan  teknologi  dan modernisasi,  warga  Kampung  Dukuh  Dalam  memilih bersikap  tidak  antipati.  Asas  fungsi  dan  manfaat  menjadi pertimbangan utama dalam menghadapi perubahan yang ada. Salah  satu  sikap  tidak  menolak  modernisasi  karena  asas manfaat  adalah  penggunaan  telephone  selular  yang  tampak dimiliki  oleh  kepala  adat,  istri  kuncen,  dan  wakil  kuncen. Mereka  memilih  menggunakan  handphone  untuk kepentingan‐kepentingan positif. Mereka  juga  tidak menolak memiliki  motor  dan  mobil.  Barang‐barang  ini  tidak  dinilai sebagai kemewahan namun  lebih diposisikan  atas  fungsinya 

274

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

275

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

yang positif. Akan tetapi terhadap hadirnya listrik di wilayah Kampung  Dukuh,  tidak menggoyahkan  prinsip  dan  filosofi nilai yang mereka pertahankan.  

Eksistensi nilai dan ajaran di Kampung Dukuh Dalam tetap  bertahan,  selain  karena  sikap  bijaksana  dan  cara pandang  yang  dikembangkan  oleh warga  Kampung Dukuh Dalam,  juga  karena  adanya  proses‐proses  migrasi  yang dialami  warga  Kampung  Dukuh.ada  banyak  faktor  yang menjadi  pemicu  terjadinya  migrasi,  diantaranya  karena adanya kepentingan   untuk mengakses  sumber‐sumber daya yang  tidak  tersedia  di  Kampung  Dukuh  Dalam  dan sekitarnya,  seperti mengakses  pendidikan  tingkat  SMU,  S1, dan pesantren, atau untuk mengakses tawaran pekerjaan yang sesuai  dengan  minat  dan  kemampuan  warga.  Selain  itu, migrasi  yang  dilakukan  karena  adanya  kepentingan perkawinan  juga menjadi faktor eksistensi ajaran dan nilai ini masih tetap ada. Karena perkawinan, warga Kampung Dukuh Dalam terus mengalami dinamika, baik dari segi jumlah yang terus bertambah atau berkurang,  juga dari  segi  sosial karena kehadiran warga‐warga baru yang membawa nilai dan tradisi yang bisa jadi berbeda.  

Dan migrasi lain yang terlihat dalam Kampung Dukuh Dalam  adalah  pandangan  sebagian  masyarakat  tentang Kampung  Dukuh  Dalam  sebagai  tujuan  akhir  di  dunia. Karena  Kampung  Dukuh  Dalam  menjadi  tujuan  akhir, beberapa  warga  melakukan  migrasi  ke  luar  untuk kepentingan pekerjaan, pendidikan, atau pendidikan, namun ketika  usia  telah  senja  dan  manusia  merasa  perlu  mulai melakukan  taqorrub  ilallah,  bermigrasilah  warga  Kampung Dukuh Luar  atau masyarakat  luar menjadi warga RT  01  ini. 

Itulah mengapa  jumlah  generasi  yang  berusia  senja  banyak ditemui di dalam Kampung Dukuh Dalam ini. 

 Relasi Sosial dengan Masyarakat Luar  

Beberapa  penjelasan  di  atas  telah  menampilkan bagaimana eksistensi nilai dan ajaran dalam Kampung Dukuh Dalam yang terus terpelihara, meskipun mengalami dinamika. Beberapa  hal  di  atas  merupakan  bagian  yang  muncul  dari dalam  internal  atau  dari  dalam  diri  warga  melalui  cara pandang  terhadap  perubahan  fenomena  dan  sosial.  Akan tetapi  dari  sudut  pandang  eksternal,  warga  luar  Kampung Dukuh menilai  keberadaan warga  Kampung  Dukuh  Dalam bukanlah menjadi  suatu  ancaman. Dalam  pandangan  aparat pemerintah,  warga    Kampung  Dukuh  Dalam  merupakan gambaran  orang‐orang  yang  sholeh,  tidak merepotkan,  dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Warga Kampung Dukuh Dalam tidak pernah melakukan demo atau melakukan tindakan  anarkis  yang  merefleksikan  resistensi  warga Kampung  Dukuh  Dalam  terhadap  pemerintah.  Hal  ini menunjukkan bagaimana posisi pemerintah bagi ketua adat. 

Dalam  relasi  sosial  yang  terbangun  antara  warga Kampung Dukuh Dalam dengan komunitas  luarnya,  tampak tidak  ada  persoalan mendasar  yang  disampaikan,  termasuk dalam  konteks  kesejarahannya.  Malah  yang  terjadi  adalah sebaliknya,  ketua  adat  Kampung  Dukuh  Dalam  membuat Akta  Notaris  untuk  membuka  peluang  kerjasama  dengan pihak  manapun,  selain  untuk  tujuan  utamanya  yaitu perlindungan  hukum  masyarakat  adat  Kampung  Dukuh Dalam.  Selain  itu,  sejauh  ini  kepala  adat  Kampung  Dukuh Dalam  telah  juga  bekerjasama  dengan  danramil  untuk 

276

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

277

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

mengatur  keamanan  bersama‐sama  khususnya di  hari  Sabtu dan hari‐hari penting di bulan Maulid. 

Pandangan  orang  luar  komunitas  Kampung  Dukuh Dalam inilah yang mendorong tetap eksisnya nilai dan ajaran yang  ada.  Selain  itu,  warga  Kampung  Dukuh  Dalam memegang  beberapa  prinsip  dasar  ketika  berelasi  dengan masyarkat di luar komunitasnya.  Diantaranya adalam prinsip untuk  bersikap  pasif, membatasi  diri,  dan  terbuka.  Pertama, prinsip  bersikap  pasif  dilakukan  warga  Kampung  Dukuh Dalam dalam bentuk tidak mengajak sekaligus tidak melarang masyarakat  luar  untuk menjalani  kehidupan  sufistik  seperti yang mereka  jalani.  Kedua, membatasi  diri  dilakukan warga Kampung  Dukuh  Dalam  dengan  tidak  memaksakan perubahan  warga  luar  melakukan  praktik‐praktik  yang mereka jalani, dan ketiga, bersikap terbuka atas segala peluang dan  kerjasama dari pihak  luar  sepanjang  tidak  bertentangan dengan  prinsip  kehidupan  yang  dijalani  warga  Kampung Dukuh Dalam. Dengan pilihan sikap terbuka tersebut, kepala dukuh  telah  melakukan  kerjasama  dengan  beberapa  pihak, seperti dinas kehutanan, pemerintah, dan LSM. 

Dalam  relasinya dengan masyarakat  luar, di  satu  sisi Kampung Dukuh Dalam menjadi subyek atas dirinya sendiri, namun  di  sisi  yang  lain,  Kampung  Dukuh  Dalam  menjadi obyek  dari  pihak  di  luar.  Dalam  relasinya  sebagai  subyek, Kampung Dukuh Dalam menjadi  tujuan  dari  para  peziarah dan  pencari  solusi  atas  masalah  kehidupan  yang  dialami. Keberadaan  Kampung  Dukuh  Dalam  menjadi  sumber harapan bagi mereka, dan oleh karenanya  setiap orang yang masuk  ke  dalam  Kampung  Dukuh  Dalam  akan  secara voluntary melakukan segala aturan adat dan ritual yang harus mereka jalani.  

Salah  satu  ritual  yang  hampir  setiap warga  peziarah dan  pencari  solusi  kehidupan  datang  adalah  melakukan kahaturan  tuang dan melakukan mandi 40 kucuran di malam hari. Prosesi ini kerap dilakukan di malam  jumat atau malam sabtu,  untuk  kemudian  di  hari  Sabtu melakukan  ziarah  ke makam Syekh Abdul Jalil. Ketika akan berziarah pun, mereka akan dengan rela mematuhi segala aturan ziarah, seperti harus memiliki  wudhu,  berpakaian  polos  dengan  sarung  bukan batik,  melepas  semua  pakaian  dalam,  dan  menanggalkan semua perhiasan dan aksesoris pakaian dan jilbab. 

Namun  dalam  relasinya  sebagai  obyek,  Kampung Dukuh  Dalam  merasakan  pengalaman  bekerjasama  dengan pemerintah  dan mengalami  kekecewaan. Dalam  cerita  yang disampaikan, posisi Kampung Dukuh Dalam yang seharusnya menjadi partner bagi pemerintah, nyatanya  seperti dijadikan obyek  untuk mencari  keuntungan  tertentu.  Kenangan  yang paling  teringat  adalah  bantuan  pasca  kebakaran  yang diberikan  pemerintah,  pada  kenyataannya  tidak  sesuai dengan  harapan  yang  ada.  Karena  pengalaman  pahit bekerjasama ini, pada kebakaran kedua di tahun 2011, kepala adat  Kampung  Dukuh  Dalam    melakukan  negosiasi  atas bantuan  yang  digulirkan  pemerintah  kepada  mereka.  Hal yang  sama  juga  terhadap  tawaran  kerjasama  pengelolaan hutan,  dimana  Kampung  Dukuh  diposisikan  sebagai  obyek yang  tidak memiliki kekuasaan dan otoritas mengelola hutan sebagaimana  nilai  dan  ajaran  yang  diyakini.  Karena  itulah, tawaran  pengelolaan  hutan  pernah  ditolak  oleh  kepala  adat karena kesadaran atas relasi yang tidak seimbang tersebut. 

Sedangkan  dalam  konteks  Kampung  Dukuh  Dalam menjadi  sumber  inspirasi  atas  kajian,  pembelajaran,  dan penelitian  terjadi ketika Kampung Dukuh Dalam berinteraksi 

278

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

279

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

dengan para akademisi, peneliti, pemerhati, kelompok pecinta alam,  dan  lain  sebagainya.  Keminatan  pihak‐pihak  di  luar Kampung  Dukuh  Dalam  menjadi  pertanyaan  mendasar terhadap  relasi  yang  terbangun  di  dalamnya.  Di  satu  sisi, Kampung Dukuh Dalam dapat menjadi subyek yang memberi pengetahuan dan sekaligus menjadi kontrol atas pengetahuan tentang Kampung Dukuh Dalam. Namun  relasi  ini  juga bisa menempatkan  Kampung Dukuh Dalam menjadi  obyek  dari sebuah  kepentingan  di  luar  kepentingan  Kampung  Dukuh Dalam sendiri.  Realitas Hak‐hak Sipil dan Pemenuhannya 

Dalam  hubungannnya  dengan  negara,  Kampung Dukuh  Dalam  adalah  bagian  dari  warga  Indonesia  yang memiliki hak‐hak yang sama sebagaimana warga negara yang lain.  Karena  itulah  pemenuhan  atas  hak‐hak  sipil  warga Kampung  Dukuh  Dalam  menjadi  kewajiban  negara  yang niscaya.  Ada  beberapa  hak  sipil  yang  telah  terpenuhi  bagi warga  Kampung  Dukuh  Dalam,  di  antaranya  adalah pendataan warga melalui KTP.  Pendataan  ini merefleksikan pengakuan  negara  atas  eksistensi  masyarakat  di  Kampung Dukuh  Dalam  ini  sebagai  warga  negara.  Demikian  juga sebaliknya,  warga  Kampung  Dukuh  Dalam  tidak  menolak, bahkan  ketika  secara  massal  dilakukan  pembuatan  e‐KTP, seluruh warga Kampung Dukuh Dalam berbondong‐bondong menuju  kelurahan  untuk  berpartisipasi.  Di  dalam  identitas KTP,  juga  tidak  ada  data  terkait  agama  yang menimbulkan konflik,  karena  seluruh  warga  Kampung  Dukuh  Dalam meyakini  beragama  Islam  dan  didata  sebagai  penganut Agama Islam. Namun demikian, pembinaan keagamaan yang secara  rutin  dilakukan  para  penyuluh  kementrian  agama, 

tidak  dirasakan  oleh  warga  Kampung  Dukuh  Dalam  ini. Dalam  konfirmasi  kepada  kepala  KUA  Cikelet,  pembinaan keagamaan  memang  tidak  dilakukan  setiap  bulan,  namun dilakukan  per‐tiga  bulan  pada  dusun‐dusun  yang  ada  di Cikelet  secara  bergiliran.  Keterbatasan  dana  menjadi  salah satu  faktor  mengapa  pembinaan  ini  dilakukan  dalam  jeda waktu yang lama dan bergiliran, sehingga satu dusun bisa jadi dalam  dua  tahun  hanya  memperoleh  pembinaan  sekali. Dalam  penjelasan  pak  Mulkini,  pembinaan  pada  kampung dukuh  sebenarnya diberikan, namun dilakukan di Kampung Dukuh Luar. 

Dalam  hal  perkawinan,  peran  penghulu  dari  KUA lebih berfungsi sebagai pencatat perkawinan. Kadang‐kadang penghulu melakukan khutbah nikah dan menikahkan, namun peran  ini  cukup  jarang  terjadi.  Kebanyakan  perkawinan dilakukan  di  Kampung  Dukuh  Dalam  dengan  melibatkan tokoh  agama  dan  kuncen  sebagai  aktor  utama  prosesi perkawinannya. Hampir  semua  perkawinan  yang  dilakukan perawan  dengan  perjaka  akan  mengurus  surat  nikah  dan mendaftarkan  perkawinannya  ke  KUA.  Akan  tetapi  bagi perkawinan  janda  dan  atau    duda,  hampir  dipastikan  tidak ada  yang  dicatatkan.  Ada  banyak  faktor  yang  mendasari fenomena  ini,  di  antaranya  karena  kebanyakan  perceraian yang  ada  tidak  dilakukan  secara  legal  di  hadapan  hakim pengadilan agama. Karena tidak memiliki surat putusan cerai dari  PA,  janda  atau  duda  menjadi  sulit  mendaftarkan perkawinan  selanjutnya.  Selain  itu,  tidak  tercatatnya perkawinan  janda  dan  atau  duda  ini  juga  tidak  dianggap sebagai  masalah  bagi  warga  Kampung  Dukuh.  Hal  ini menunjukkan  masih  minimnya  kesadaran  akan  pentingnya akta nikah bagi warga.  

280

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

281

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Tidak  dicatatnya  perkawinan  janda  dan  duda berkonsekuensi  langsung pada pendataan  anak melalui  akta lahir.  Akta  lahir  ini  tampak  tidak  dilihat  sebagai  sebuah kepentingan  bagi  warga  Kampung  Dukuh  Dalam,  selain karena  sekolah‐sekolah  yang  ada  tidak  meuntut  akta  lahir anak saat mendaftar sekolah maupun keperluan sekolah yang lain,  seperti  ijazah  dan  piagam.  Ketika  ditanyakan,  apakah pemerintah pernah mensosialisasikan  pentingnya  akta  nikah dan akta lahir tersebut, semua warga yang ditanya menjawab tidak pernah.  

Fenomena di atas juga menjelaskan tentang bagaimana praktik  perceraian  terjadi  di  masyarakat  Kampung  Dukuh Dalam.  Hampir  tidak  ada    perceraian  yang  dilalui  melalui proses di PA. Perceraian seringkali dilakukan secara adat atau agama,  dengan  cara  mengucapkan  kata  thalak  atau meninggalkan pasangan nikah dalam kurun waktu yang tidak jelas.  Dari  pihak  PA  sendiri,  sejauh  ini  tidak  ada  upaya penyuluhan  tentang  pentingnya mengurus  perceraian di  PA dan  konsekuensinya  terhadap  perlindungan  hak  keduanya atas  harta  dan  pengasuhan  anak.  Demikian  juga  dengan pendataan  atau  pencatatan  warga  yang  meninggal  dunia. Tidak  ada  pencatatan  untuk  itu,  warga  tidak  melaporkan kejadian  kematian  kepada  lembaga  negara  sehingga mendapat  akta  kematian,  dan  pihak  negara  juga  tidak  ada penyuluhan  tentang  hal  ini.  Karena  itulah,  dapat  dipahami jika seorang Ketua RT justru mempertanyakan apa pentingnya surat kematian seseorang, “toh semua warga tahu dan makamnya dapat dilihat di sana ”, ungkap Pak Hanafi. 

Di  bidang  pendidikan  dasar,  akses  anak‐anak Kampung Dukuh Dalam  terhadap pendidian dapat dibilang terpenuhi.  Ada  SD  Ciroyom  2  yang  terletak  paling  dekat 

dengan  Kampung  Dukuh  Dalam,  yaitu  sekitar  1  km. Sedangkan SD Ciroyom 1 dan MTs terletak sekitar 2 km dari Kampung  Dukuh  Dalam.  Hampir  dipastikan  anak‐anak Kampung Dukuh Dalam bersekolah sampai tamat SD. Namun yang  meneruskan  pendidikan  ke  tingkat  yang  lebih  tinggi (SMU  dan  sederajat)  tidak  banyak,  apalagi  karena  jarak tempuh  yang  tidak  terjangkau  dengan  berjalan  kaki  atau harus keluar kota. Tampaknya, Pendidikan agama bagi warga Kampung  Dukuh  Dalam  lebih  diperhatikan  ketimbang pendidikan  formal.  Hal  ini  terlihat  dari  adanya  sebuah madrasah dengan dua lantai di dalam lokasi Kampung Dukuh Dalam yang setiap hari tampak ramai dihadiri anak‐anak dari usia  sekolah  SD  hingga  setara  dengan  SMP.  Meskipun demikian, kesadaran akan pentingnya pendidikan formal juga terlihat  pada  sebagian  kecil warga  yang  diketahui  putranya menempuh pendidikan di perguruan tinggi,  

Dalam  hal  kesehatan  dan  layanan  kesehatan,  warga Kampung Dukuh Dalam sudah mengenal alat kontrasepsi dan sebagian  perempuan menggunakannya. Di masa  kehamilan, cukup  jarang  warga  Kampung  Dukuh  Dalam  melakukan periksa  rutin  ke  bidan  atau  dokter. Dalam melahirkan  juga demikian, masih cukup banyak perempuan Kampung Dukuh Dalam  melakukan  persalinan  dibantu  oleh  paraji  (dukun beranak). Menurut  mereka,  dengan  dibantu  seorang  paraji, proses  melahirkan  menjadi  lebih  cepat  karena  pengalaman paraji  yang  tidak  dapat  diragukan.  Hanya  pada  situasi tertentu,  dimana  paraji  telah  tidak  sanggup  membantu persalinan,  baru  perempuan  tersebut  dibawa  ke  bidan tertentu.  Situasi  ini  tidak  menguntungkan  bagi  perempuan dan  dapat  menyumbang  angka  kematian  ibu  (AKI)  karena terlambat  penanganan.  Selain  itu,  akses  terhadap  sumber‐

282

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

283

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

sumber  layanan  kesehatan  masih  belum  ideal  yang memudahkan perempuan sampai dengan cepat dan mendapat layanan yang prima.  

Problem  lain  yang  tidak  secara  langsung  terkait dengan  UU  Adminduk  adalah  tentang  hak  ekonomi  dan politik  warga  Kampung  Dukuh  Dalam.  Adanya  pajak pembayaran  atas  tanah  garapan  menjadi  problem  gender terhadap  kepemilikan  tanah.  Sedangkan  kebijakan  dinas kehutanan dengan menanam  tanaman  industri seperti pohon jati  di  lahan‐lahan  garapan  dan  cadangan  pada  akhirnya berimplikasi  pada  pengurangan  sumber‐sumber  alam  yang penting bagi penghidupan warga Kampung Dukuh.  

 

PENUTUP  Kesimpulan 1.  Keberadaan  Kampung  Dukuh  Dalam  di  Garut 

menggambarkan  bagaimana  faham  keagamaan  dapat dipertahankan  dalam  kehidupan  sosial  di  Indonesia melalui  proses‐proses  negosiasi  dan  kontestasi. Nilai  dan ajaran  yang  diterima  dan  dipraktikkan  secara  terus menerus  mengalami  dinamikanya  seiring  dengan perkembangan  teknologi  dan  modernisasi  yang tersinggungan  secara  langsung  maupun  tidak  langsung. Namun  demikian,  nilai‐nilai    ajaran  yang  masih dipertahankan  diantaranya  adalah  prinsip  hidup  sufistik yang  menolak  kemewahan,  menjaga  keteraturan  dan keseimbangan  alam  untuk  keselamatan  dunia,  kiamat Sughro  dan  menjaga  diri  dari  kesifatan  dajjal,  dan kemuliaan serta keistimewaan kepada auliya’. 

2.  Untuk  menjaga  eksistensi  nilai  dan  ajarannya,  warga Kampung  Dukuh  Dalam  melakukan  berbagai  tindakan reflektif  dalam  menghadapi  berbagai  intervensi  dan perubahan sosial. Tindakan ini menjadikan nilai dan ajaran dinegosiasikan  dan  dipertaruhkan.  Namun  dengan menggunakan asas  fungsi dan manfaat, adanya  intervensi dari  luar  disikapi  secara  bijaksana  dan  dengan  cara pandang yang positif. Dengan demikian,  terdapat pilihan‐pilihan  atas  berbagai  perubahan  menuju  tujuan  kehati‐hatian (ihtiyat) dalam ibadah yang lebih sempurna. 

3.  Dengan  masyarakat  luar,  masyarakat  Kampung  Dukuh Dalam berada dalam relasi yang tidak selalu setara. Dalam satu konteks, Kampung Dukuh Dalam menjadi subyek dan memiliki  kontrol  atas  sumber  daya  yang  mereka  miliki. 

284

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

285

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Namun  dalam  realisasinya  dengan  negara,  kerap terbangun  relasi  yang  tidak  seimbang  dan  menjadikan Kampung Dukuh Dalam  sebagai  obyek  atas  kepentingan sepihak.  

4.  Sebagian  hak  sipil  warga  Kampung  Dukuh  Dalam  telah terpenuhi, misalnya dalam hal pendataan KTP. Tidak ada masalah terkait identitas agama yang tercantum dalam KTP karena  mereka  adalah  penganut  Agama  Islam  dan diidentifikasi  sebagai warga  beragama  Islam. Akan  tetapi masih  ditemukan  persoalan‐persoalan  lain  dalam pemenuhan  hak‐hak  sipil  bagi  warga  Kampung  Dukuh Dalam.  Di  antaranya  adalah  persoalan  pencatatan  nikah bagi  status  janda  dan  atau  duda,  akta  lahir  anak  dari perkawinan  tidak  tercatat,  pendataan  warga  yang meninggal  dunia  dan  surat  kematian,  serta    persoalan kesehatan dan layanan kesehatan reproduksi yang terbatas. Persoalan lain yang juga menjadi problem adalah kebijakan pemerintah  berkaitan  dengan  tanah  dan  lahan  garapan, yang dalam  perspektif masyarakat Dukuh Dalam  sebagai salah satu kebijakan yang merugikan mereka.  

 Rekomendasi: 

1.  Pemerintah  perlu  meningkatkan  kesadaran  hukum masyarakat Kampung Dukuh Dalam  terkait  dengan  hak‐hak  sipilnya  melalui  cara‐cara  sosialisasi  yang  intensif. Upaya  ini  harus  dilakukan  dengan  cara  jemput  bola, mengingat  masyarakat  Kampung  Dukuh  Dalam  berada dalam lokasi yang spesifik dan terlokalisasi.  

2.  Selain  sosialisasi  intensif,  pemerintah  juga  harus mengembangkan  layanan  pemenuhan  hak  sipil  tidak dalam  pola  pasif  yang  menuntut  masyarakat  datang 

dengan  voluntary.  Posisi  ini  mengasumsikan  masyarakat telah memiliki kesadaran hukum yang baik, padahal  fakta yang  ada  justru  sebaliknya. Karena  itulah, penting  secara berkala,  pemerintah melakukan  layanan  hak  sipil dengan cara  aktif, mendatangi warga dan memberikan pelayanan langsung di lokasi dimana warga tinggal. Misalnya dengan cara melakukan layanan sidang talak di luar PA, itsbat nikah massal,  pembuatan  akta  lahir  massal,  dan  memberikan akses  terhadap  layanan  kesehatan  reproduksi  yang  lebih terjangkau.  

3.  Pemerintah  sebaiknya melibatkan masyarakat  adat dalam program‐program  pemerintah  yang  berkaitan  dengan pengelolaan  tanah  dan  kebijakan  lainnya  yang  berkaitan dengan tanah yang ada di sekitar Kampung Dukuh Dalam. Pelibatan  mereka  menjadi  hal  mendasar  yang  harus dipertimbangkan pemerintah, karena akan berkonsekuensi langsung  terhadap  sumber  daya  lokal  bagi keberlangsungan  penghidupan  masyarakat  adat  di Kampung Dukuh Dalam. 

  

286

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

287

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA  

Ali, Mukti, Suatu Etnografi Suku Bajo. Salatiga: STAIN Salatiga Press. 2010. 

Al‐Kumayi,  Sulaiman,  Islam  Bubuhan  Kumai:  Perspektif  varian Awam,  Nahu,  dan  hakekat,.  Jakarta:  Kementrian Agama. 2011. 

Berger, Peter L, Langit Suci: Agama  sebagai Realitas Sosial,  terj. M. Fanani,  Jakarta: LP3ES, 1991. 

Dove, Michael. Peranan Kebudayaan Tradisional  Indonesia dalam Modernisasi  (Penyunting).  Jakarta.  Yayasan  Obor Indonesia. 1985. 

Eliade, Mircea, The Sacred and theProfane: The Nature of Religion. Harcourt: Brace & World Inc, 1959. 

Garut  News  10  September  2011,  Pembakaran  Hutan Musnahkan  40  Rumah  Adat, http://garutnews.com/?p=3844,  diakses  24  April 2013.  

Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya. 1981.  

Humaedi, M. Alie.  Pandangan Hidup Orang  Tau  Taa Wana  di Vananga  Bulang  Tojo Una‐una.  Jakarta:  LIPI  Press. 2009. 

Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia, Jakarta, 2010 

‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia, Jakarta, 2011. 

Koentjaraningrat.      Beberapa  Pokok Antropologi  Sosial,  Jakarta: Grafiti Press. 1980. 

Mas’ud,  Abdurrahman.  “Menyikapi  Keberadaan  Aliran Sempalan. Dalam  “Dialog” dalam Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, Nomor. 32. 2009 

Miharja,  Deni.  Integrasi  Agama  Islam  dengan  Budaya  Sunda (Studi  pada  Masyarakat  Adat  Cikondangn  Desa Lamajang  Kecamatan  Pangalengan  Kabupaten Bandung).  Disertasi  pada  Program  Pascasarjana Uinversitas Islam Negeri Bandung. 2013 

Rosyid,  Mohammad.,  Nihilisasi  Peran  Negara:  Potret Perkawinan Samin. Jogjakarta: Idea Press, 2009. 

Sheldon, W.H,  The  Varieties  of  Temperament:  A  Psychology  of Constitutional  Differences,    New  York:  Harper  & Brother, 1942. 

TEMPO.CO, Sabtu, 10 September 2011, Kampung Adat Dukuh Garut  Musnah  Terbakar, http://www.tempo.co/read/news/2011/09/10/178355547/Kampung‐Adat‐Dukuh‐Garut‐Musnah‐Terbakar, diakses 24 April 2013. 

  

‐‐‐o0o‐‐‐ 

288

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

289

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

INDEKS  Adat, 20, 55, 75, 79, 87, 90, 97, 119, 

120, 121, 124, 131, 132, 133, 140, 149, 154, 168, 184, 189, 190, 192, 201, 265, 287, 288 

Agama Lokal, 163 Agama Marapu, 14, 17, 22, 53, 62 AKP, 204, 213, 214, 215, 216, 230, 

231, 241, 247, 248, 253 Aliran, 7, 8, 112, 204, 206, 213, 

214, 215, 216, 217, 218, 221, 222, 223, 229, 230, 231, 232, 233, 247, 248, 252, 253, 254, 288 

Amaholu Amarawi, 22, 26, 27, 28, 69 

Appu, 25 Ata bara, 54, 55, 59 Awas, 216, 218 Baduy Dalam, 116, 118, 123, 136, 

155 Baduy Luar, 114, 115, 117, 136, 

154 Batara, 93, 94, 132 Batara Jagat, 93, 132 Batara Seda Niskala, 93, 94, 132 Buhun, 8, 96, 108, 214, 237, 242, 

244, 245, 247, 249, 250, 251, 252 Buwana Luhur, 133 Buwana Nyungcung, 133 Buwana Panca Tengah, 133 Carita, 102 Ciptagelar, 8, 78, 79, 80, 81, 82, 85, 

86, 87, 88, 89, 93, 95, 100, 101, 102, 105, 106, 107, 108, 109 

Eling, 216, 218 Heneng, 218 Hening, 216, 218 

Humba, 14 Islam Wetu, 8, 160, 163, 169, 174, 

176, 182, 185, 186, 189, 197, 198 Jaro, 116, 119, 120, 121, 123, 124, 

125, 129, 132, 135, 136, 138, 140, 142, 143, 144, 145, 150, 155 

Kabaru, 34 Kabisu, 14, 53, 55 Kabuyutan, 133, 135 Kapamukaan/Bebentung, 92 Karandi, 47 Karuhun, 94, 99, 111 Kasepuhan, 8, 78, 79, 80, 86, 87, 

88, 89, 92, 93, 95, 96, 97, 99, 100, 101, 102, 103, 105, 106, 107, 109, 111, 112 

Kedukunan, 91 Kolot lembur, 90, 92 Kuncen, 259, 260, 261, 262, 264, 

266, 270 Lampah, 96, 97 Mapak Suro, 248 Mendak, 212 Mipit, 100, 102 Munjungan, 270 Nebar, 104 Ngahulu, 108 Nganyaran, 103 Ngaseuk, 102 Nu Ngersaken, 93 Nyanghunjar, 108 Nyusur tanah, 212 Pacaduan kampung, 267 Pacaduan maqom, 267 Paraingu, 41 Paranti karuhun, 94, 96 

290

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Pasewakan, 215, 216, 247, 250 Perjalanan, 8, 115, 204, 206, 213, 

214, 215, 216, 217, 218, 221, 222, 223, 229, 230, 231, 232, 233, 238, 241, 247, 248, 250, 252, 253, 254 

Pikukuh, 94, 136 Pongokan, 103 Pu’un, 116, 118, 119, 120, 121, 122, 

123, 124, 125, 131, 136, 140, 147 Raga batara, 212 Raga Purasa, 212 Raga Salira, 212 Rato, 26, 27, 28, 35, 37, 41, 50, 53, 

54, 55, 57, 58, 59, 61, 64, 70 Rorokan, 91, 92 Rorokan Bengkong, 91 Rorokan Kepenghuluan, 91 Rorokan Ngebas, 92 Rorokan Pakakas, 91 Rorokan Pamakayan, 91 

Rorokan Panahiban, 92 Rorokan Paninggaran, 91 Rorokan Paraji Hias, 92 Rorokan Tatabuhan, 92 Sawer, 210 Sepuh lembur, 89 Seren Taun, 103, 108 Slam Sunda Wiwitan (SWWT), 

152 Tarapong, 211 Tatali, 111 Telu, 8, 158, 160, 163, 164, 169, 

174, 176, 182, 185, 186, 189, 192, 193, 197, 198, 200, 201, 202 

Tunggal, 93, 132, 133, 141, 217, 248 

Uma bungguru, 37 Uma payenu, 37 Urang Girang, 93 Yubuhu, 47 

 

291

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

BIODATA  EDITOR  

Dra.  Suhanah, M.Pd,  lahir  di  Jakarta  pada  tanggal  5 Oktober  1958,  pendidikan  formal  yang  diikuti  adalah  SD, PGAN  (SLTP  dan  SLTA)  Jakarta,  S1  pada  IAIN  Jakarta Fakultas  Ushuluddin  Jurusan  Dakwah.  Kemudian melanjutkan  S2  di  Program  Pascasarjana    UNJ  (Universitas Negeri Jakarta)  jurusan PEP (Penelitian Evaluasi Pendidikan). Pegawai pada Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama sejak  tahun 1983, bergabung di Litbang ketika Sarjana Muda (D3),  dan  lulus S1 Tahun 1986, kemudian menjadi Peneliti di Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama sejak Tahun 1995 hingga kini.  

Hasil penelitian yang telah diterbitkan di  Jurnal Ilmiah yang  sudah  terakreditasi  LIPI  adalah  :    1)  Peranan  FKUB Dalam  Pelaksanaan  Pasal  8,9  dan  10  PBM  Nomor  9  dan  8 tahun  2006  di  Kota  Denpasar  Bali,  tahun  2009;  2)  Kawin Kontrak  di  Kawasan  Puncak  Jawa  Barat,  tahun  2010;  3) Jaringan Salafi di  Jakarta dan Bogor,  tahun 2010; 4)Dinamika Perkembangan  Sistem  Kepercayaan  Samin  di  Kabupaten Blora, Semarang tahun 2011; 5)Potensi Kerukunan dan Konflik Umat Beragama di Kota Madiun  Jawa Timur,  tahun 2012; 6) Dampak  Sosial  Perbedaan  Pendapat  dalam  Penentuan Awal Ramadhan  dan  1  Syawal  terhadap  Umat  Islam  di  Kota Semarang,  tahun  2012;  7)  Pandangan  Forum  Ukhuwah Islamiyah Cirebon tentang Wawasan Kebangsaan, tahun 2013; 8)  Aliran  Kebatinan  Perjalanan  di  Bandung,  tahun  2012;  9) Gerakan  Keagamaan  GARDAH  Dalam  Membrantas Kemaksiatan  dan  Pemurtadan  di  Kota  Cirebon  Jawa  Barat, tahun 2014; dan beberapa hasil penelitian lainnya.  

 

292

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

 

 DINAMIKA AGAMA LOKAL  

DI INDONESIA   

   

    

Editor:   Suhanah 

            

 KEMENTERIAN AGAMA RI 

BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN 

TAHUN 2014 

 

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) 

dinamika agama lokal di indonesia/ Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta: 2014  ISBN  978‐602‐8739‐27‐6   Hak Cipta  pada Penerbit ..................................................................................................................................... 

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk  dengan  cara menggunakan mesin  fotocopy,  tanpa  izin  sah  dari penerbit 

..................................................................................................................................... 

Cetakan Pertama, Oktober 2014 

..................................................................................................................................... 

DINAMIKA AGAMA LOKAL DI INDONESIA 

..................................................................................................................................... 

Editor : Suhanah 

..................................................................................................................................... 

Desain Cover dan Layout :  Suka, SE 

.....................................................................................................................................    Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat   Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No.6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 ‐ 3920421 http://puslitbang1.kemenag.go.id 

  

ii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN 

Puji  dan  syukur  kita  panjatkan  kehadirat  Allah  SWT, Tuhan Yang Maha Esa,  atas  rahmat dan karunia‐Nya  terwujud penerbitan, Buku Hasil Penelitian Kehidupan Keagamaan pada tahun 2014. Penerbitan buku ini merupakan hasil‐hasil penelitian yang  telah  dilakukan  oleh  Puslitbang  Kehidupan  Keagamaan, Badan  Litbang  dan Diklat, Kementerian Agama RI  pada  tahun 2013.  

Pada  tahun  2014  ini  ditetapkan  sebanyak  10  (sepuluh) naskah  buku  yang  diterbitkan.  Buku‐buku  tersebut  adalah sebagai berikut: 

1. Dinamika Agama Lokal di Indonesia. 2. Jaringan  Kerja  Penginjilan  dan  Dampak  Pemahaman Misi 

Kekristenan  Terhadap  Oikumenis  dan  Kemajemukan  di Indonesia. 

3. Kasus‐Kasus Aktual Kehidupan Keagamaan di Indonesia. 4. Penistaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam. 5. Efektivitas  Kelompok  Bimbingan  Ibadah  Haji  dalam 

Memberikan  Pelayanan  dan  Bimbingan  Terhadap  Jamaah Haji. 

6. Polemik  Biaya  Pencatatan  Perkawinan  di  Kantor  Urusan Agama (KUA). 

7. Mencari  Format  Ideal  Pemberdayaan  Penyuluh  Agama dalam Peningkatan Pelayanan Keagamaan. 

8. Resolusi Konflik Keagamaan di Berbagai Daerah. 9. Penyiaran  Agama  dalam  Mengawal  Kerukunan  di 

Indonesia. 10. Memelihara  Harmoni  dari  Bawah:  Peran  Kelompok 

Keagamaan  dalam  Pemeliharaan  Kerukunan  Umat Beragama. 

Kami  berharap  penerbitan  naskah  buku  hasil  penelitian yang  banyak  menyampaikan  informasi  dan  fakta  ini  dapat 

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | iii

memberikan  kontribusi  bagi  pengembangan  khazanah keagamaan  dalam  dinamika  sosial  keagamaan  yang  sangat dinamis di Indonesia. Buku hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan  sebagai  bahan  masukan  dan  perbandingan  bagi berbagai  lembaga  atau  institusi,  terkait  informasi  kehidupan keagamaan di Indonesia. 

Untuk  itu, dengan selesainya penerbitan naskah buku  ini, kami mengucapkan terima kasih yang setinggi‐tingginya kepada: 

1. Kepala  Badan  Litbang  dan  Diklat  Kementerian  Agama  RI yang  telah memberikan arahan dan  sekaligus memberi‐kan kata sambutan pada masing‐masing buku yang diterbitkan. 

2. Para  pakar  dan  akademisi  yang  dengan  serius  telah mencermati  dan  memberikan  prolog  dan  epilog  pada masing‐masing buku yang diterbitkan. 

3. Para  peneliti  Puslitbang  Kehidupan  Keagamaan,  baik sebagai  penulis maupun  editor  yang  telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi naskah buku, yang menjadi enak dibaca. 

4. Kepada tim pelaksana kegiatan dan semua pihak yang telah memberikan  kontribusi  bagi  terlaksananya  penerbitan naskah buku ini. 

Apabila  dalam  penerbitan  buku  ini  masih  terdapat kekurangan dan kesalahan, baik  substansi maupun  teknis kami mohon  maaf  yang  sebesar‐besarnya.  Kami  berharap  masukan serta  saran  untuk  penyempurnaan  dan  perbaikan  buku‐buku yang kami terbitkan dan semoga bermanfaat. 

Jakarta,    Oktober 2014 Kepala    Muharam Marzuki, Ph.D NIP.19630204 199403 1 002  

 

iv |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

SAMBUTAN  KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT 

 KEMENTERIAN AGAMA RI  

          Puji  Syukur  kehadirat  Allah  SWT,  Tuhan  Yang  Maha Kuasa,  atas  terselenggaranya  penelitian  tentang  Dinamika Agama Lokal di Indonesia pada Tahun 2013 telah disusun dalam bentuk buku ini. Penelitian ini sangat penting artinya bagi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, sebagai sebuah studi yang mendeskripsikan tentang dinamika agama lokal di berbagai daerah.  Penelitian  ini  bertujuan  untuk  mengetahui  bagaimana Agama/Kepercayaan Lokal di Indonesia  tetap eksis dan  tumbuh di masyarakat hingga kini. 

          Penelitian  ini  diselenggarakan  di  beberapa  wilayah  yang ada  di  Indonesia  dengan  berbagai  komunitas  penganut Agama/Kepercayaan  lokal  dan  budaya‐budaya  yang  telah diwarnai olehnya. Fokus kajian ini sesuai dengan judulnya, yaitu: (a) Agama/Kepercayaan Merapu di Sumba Nusa Tenggara Timur (NTT),  oleh  Wakhid  Sugiyarto;  (b)  Agama/  Kepercayaan Kasepuhan  Ciptagelar  Gunung  Halimun  di  Sukabumi  Jawa Barat,  oleh: Nuhrison M. Nuh;  (c) Agama/ Kepercayaan  Sunda Wiwitan  Suku  Baduy  di  Desa  Kanekes  Lebak  Banten,  oleh: Asnawati;  (d)  Agama/Kepercayaan  Islam Wetu  Telu  di  Bayan Lombok Utara (NTB), oleh: Jajang Jahroni dan Dadi Darmadi; (e) Agama/Aliran  Kebatinan  Perjalanan  di  Kecamatan  Ciparay Kabupaten  Bandung  Jawa  Barat,  oleh:  Suhanah;  (f) Agama/Kepercayaan Buhun Orang Kranggan Jati Sampurna Kota Bekasi  Jawa  Barat,  oleh:  Ahmad  Syafi’i  Mufid  dan;  (g) Agama/Kepercayaan  Masyarakat  Kampung  Dukuh  Dalam  di Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut  Jawa Barat, oleh: Kustini dan Iklilah Mujayyanah DF.  

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | v

         Fokus kajian tersebut dipilih dengan pertimbangan: pertama, faham  keagamaan  tersebut  bersifat  lokal;  kedua,  faham keagamaan  tersebut hingga kini masih  tetap eksis; ketiga, ajaran dan  ritual  keagamaan  masih  tetap  dipatuhi  dan  ditaati  oleh mereka;  keempat, menyebar  ke  beberapa  wilayah  di  Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini menggunakan pendekatan kualitatf. 

          Dalam  buku  ini  dijelaskan  bahwa  keberadaan  Agama/ Kepercayaan  masyarakat  yang  bersifat  lokal  seharusnya memperoleh  pelayanan  hak‐hak  sipil  mereka  oleh  pemerintah dibidang  administrasi  kependudukan  sebagaimana  yang dilakukan  terhadap  agama‐agama  yang  dipeluk  di  Indonesia, sesuai  amanat Undang‐Undang Nomor  23  Tahun  2006  tentang Adminduk  yang  memberikan  kebebasan  bagi  setiap  individu untuk menjalankan ajaran agama yang dianutnya. 

          Mudah‐mudahan  dengan  disusunnya  buku  ini  dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak umumnya dan kepada para  peneliti  Puslitbang  Kehidupan  Keagamaan  khususnya. Ucapan  terima  kasih  disampaikan  kepada  semua  pihak  atas suksesnya  penyelenggaraan  kegiatan  tersebut  hingga  dapat tersusunnya buku ini. 

Jakarta,    Oktober 2014 Kepala Badan,  

 

Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005 

                                      

vi |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

PROLOG 

Heterogenitas  khususnya  dalam  masalah  agama merupakan  fakta  kehidupan masyarakat  Indonesia  yang  tidak bisa dihindari.  Jaminan   kebebasan beragama bagi  setiap orang yang mengandaikan  adanya  penghormatan  dan  toleransi  antar pemeluk  agama  yang  berbeda  terpaut  erat  dengan  persoalan bagaimana  negara  mengelola  perbedaaan  itu.  Harus  diakui bahwa  rezim  Orde  Baru  dengan    politik  kerukunan  yang mengandaikan  adanya  negara  yang  kuat  sehingga  mampu membina,  mengatur  dan  mengintervensi  seluruh  aspek kehidupan  kegamaan  warganya  cukup  mampu  menjinakkan keragaman  itu. Homogenisasi yang dilakukan Orde Baru, untuk sementara  waktu  bisa  dikatakan  berhasil  dalam  memutus perbedaan yang dalam tingkat tertentu bisa memicu konflik.  

Namun, kerukunan yang dibangun secara vertikal itu pada saat  yang  sama  juga menyumbat  kemampuan  dan  kompetensi masyarakat  dalam  menegoisasikan  perbedaan  secara  santun. Pada  akhrinya,  ketika  stuktur  penyangga  homogenisasi  itu runtuh,  seolah  tidak  ada  cara  lain  untuk mengelola  perbedaan selain  dengan  kekerasan.  Ketika  perlawanan  terhadap  rezim otoriter menghasilkan reformasi dan demokratisasi, yang  terjadi bukan tumbuhnya tatanan masyarakat yang egaliter dan inklusif, tapi  sebaliknya. Dalam  tataran horizontal, proses demokratisasi malah kembali mengentalkan identitas kesukuan dan keagamaan yang  telah  lama  terkubur  dan  dijinakkan  oleh  ideologi nasionalisme  Orde  Baru.  Pada  saat  yang  sama,  proses demokratisasi  ternyata  belum  sepenuhnya  mampu  merubah warisan  kebijakan    Orde  Baru  dalam  penataan  masyarakat majemuk. Padahal, kemampuan dalam  mengelola perbedaan ini sangat  terkait  erat dengan  kematangan proses demokrasi  suatu negara.  Demokrasi  mengandaikan  adanya  kesetaraan  hak  dan 

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | vii

kesempatan    kepada  kelompok  minoritas  agama,  kepercayaan dan adat sebagaimana yang dimiliki kelompok mayoritas. 

Meski  dalam  tataran  normatif  UUD  RI  1945,  UU  No. 39/1999  tentang  HAM  dan  UU  No.  12/2005  tentang  Ratifikasi Kovenan  Sipil  dan  Politik,  negara wajib memberi  jaminan  dan perlindungan  terhadap  kelompok  minoritas  etnis  maupun agama,  namun  faktanya masih  banyak  ditemui  kebijakan  yang sarat  dengan  pola‐pola  diskriminatif  pada  komunitas  kepercayaan  lokal.  Padahal,  seharusnya  Indonesia memberikan jaminan  kebebasan  akan  keyakinan  atau  agama‐agama  lokal, bahkan  keyakinan  non‐agama  (non  religious  beliefs).  Sebab, penafsiran  mengenai  agama  dan  keyakinan  dalam  pasal  18 ICCPR  tidak  hanya  dibatasi  pada  agama  tradisional  (agama besar) tetapi juga keyakinan yang menyerupai agama tradisional (agama  lokal),  bahkan mencakup  keyakinan  orang  untuk  tidak bertuhan  (atheistic),  agnostisisme,  non  tuhan  (non‐theistic), kebebasan berfikir dan resionalisme.1  

Alih‐alih memberikan    jaminan    atas  hak  dan  kebebasan beragama dan berkayakinan kepada kelompok kepercayaan lokal dan memastikan  bahwa hak  fundamental mereka  terbebas dari sasaran diskriminasi dari kelompok luar, kelompok kepercayaan lokal  masih  diperlakukan  layaknya  sebagai  orang  luar  (the others/liyan)  di  lingkungan  sosial  mereka  sendiri.  Mereka menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam kehidupan sosial, karena sejumlah kesempatan‐kesempatan sosial, ekonomi, dan  politik mereka  dibatasi. Mereka  yang  tergolong minoritas, sering mempunyai gengsi rendah dan menjadi sasaran olok‐olok, kebencian, kemarahan, serta kekerasan.2  

1 Mafred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary 2nd revised edition (Arlington USA: N.P. Angel Publisher, 2005) hlm. 414

2 Parsudi Suparlan, “Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multikultural, dan Minoritas: Memperjuangakan Hak-Hak Minoritas”.

viii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Problem Dasar Negara 

Homi K. Bhabha, salah satu intelektual aliran postkolonial, melihat  diskriminasi  terhadap minoritas merupakan  buah  dari operasi  kuasa  diskursif  yang  menancap  dalam  kontruksi pengetahuan  di  masyarakat  multikultur  yang  seringkali, terbentuk  dalam  hubungan  sosial‐budaya  yang  saling mendominasi.3 Dengan pemahaman terhadap konsepsi minoritas yang demikian, praktik diskriminasi kelompok kepercayaan lokal bisa  dipahami  sebagai  produk  dari  akibat‐akibat  diskursif.4  Dalam  konteks  Indonesia,  kuasa  diskursif  yang  dimaksud Bhabha  ini   disatu sisi  tidak bisa dilepaskan dari problem dasar hubungan  agama  dan  negara,  serta  peran  Islam  didalam percaturan diskursus disisi lainya.  

Munculnya  kebijakan  diskriminatif  terhadap  kelompok kepercayaan lokal bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari problematika  hubungan  agama  dan  negara  di  Indonesia.  Hubungan  agama  dan  negara  ini merupakan    persoalan  yang rumit.      Disatu  sisi,  dengan  jelas  disebutkan  bahwa  negara Indonesia  bukanlah  negara  agama  yang menjadikan  salah  satu agama  sebagai  dasar  negara,  tapi  pada  saat  yang  sama  juga bukan  negara  sekuler  sama  sekali.  Alih‐alih menjadikan  Islam 

dalam http://www.interseksi.org/publications/ essays/articles/masyarakat_ majemuk.html, (diakses l 3 Juli 2013).

3 Homi K. Bhabha, Location On History (London: Routledge, 1994), 31.

4 Ridwan Al-Makassary, “Multikulturalisme: Review Teoritis dan Beberapa Catatan Awal” dalam Mashudi Noorsalim et.all (ed.), Hak Minoritas, Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (Jakarta: Yayasan Interseksi, 2007), 53.

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | ix

atau  agama  lain  sebagai  agama  negara,  Indonesia menyepakati Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia.5  

Namun  disaat  bersamaan,    prinsip  keagamaan  itu  juga dipakai  sebagai  pijakan  dalam  bernengara.  Prinsip  “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila   menunjukkan   bahwa bangsa Indonesia  memiliki  dasar  moral  keagamaan  dalam  prinsip berbangsa  (religius),  tetapi  prinsip  itu  sama  sekali  tidak diderivasi  dari  salah  satu  keyakinan  keagamaan  (sekuler). Konsep  hubungan  agama  dan  negara  yang  dipraktekkan  di Indonesia  ini  nampak  mendekati  gagasan  ‘negara  demokrasi agama’  sebagaimana  dirumuskan  oleh  Luthfi  Assyaukanie.. Dalam menjalankan kehidupan berbangsa, dasar religius adalah kemutlakan  karena  ia  merupakan  unsur  vital  kehidupan komunal di masyarakat. Dengan menolak komunitas politik yang didasarkan pada  relativitas moral yang  tercermin dalam negara model sekular, gagasan ini dalam praktiknya mendukung konsep pelembagaan  agama  oleh  negara  sebagaimana  tercermin dalam  Departemen  Agama  dan  Majelis  Ulama  Indonesia  (MUI).6 Sebagai  konsekuensinya,  alih‐alih  menyerahkan  urusan keagamaan sebagai urusan pribadi sepenuhnya di mana   negara tidak  berhak  ikut  campur,  demi  terciptanya  masyarakat  yang saleh, negara justru dibenarkan untuk ikut campur dalam urusan agama. Padahal seharusnya, mengikuti rumusan Olaf Schumann, jika  negara  tidak  lagi  terkait  dengan  prinsip  salah  satu  agama, maka  ia  tidak  lagi  mengurusi  soal  benar  tidaknya  suatu keyakinan  agama,  melainkan  yang  menjadi  urusannya  ialah 

5 Ahmad Syafii Maarif,. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar

Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. (Jakarta: LP3ES, 2006).

6 Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute: 2011), 21-22

x |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

begaimana  jaminan  beragama  dan  berkeyakinan  yang  setara diberikan kepada semua warga negara.7  

Konsep  “Ketuhanan  yang Maha Esa” dalam  sila pertama Pancasila sekilas nampak netral dengan dihapuskanya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat  Islam kepada pemeluk‐pemeluknya,”  sebagai  akibat  penolakan  dari  kalangan  non‐Muslim.  Namun,    menurut  Daniel  Dhakidae,    secara  rasional maksud  dari  sila  pertama  ini  menjadi  absurd.  Paham  yang diberikan  oleh  dokumen  negara  menyebutkan  bahwa  agama adalah  “Kepercayaan  kepada  Tuhan  Yang Maha  Esa,”  namun  pada  kenyataanya  paham  ini  tidak  bisa    dikenakan  kepada  agama  lokal  dan  kepercayaan.  Maksudnya,  kata  “Ketuhanan yang  Maha  Esa”  yang  seharusnya  menjadi  dasar  untuk memahami  setiap  agama  di  Indonesia,  dalam  praktiknya cenderung  bias  kepada  agama monotheis. Kata  tersebut  hanya boleh dikenakan kepada “agama resmi” yang monotheis, bukan “agama lainnya”.8 

Akibatnya,  di  awal  kemerdekaan  agama  Hindu  dan Buddha  tidak  secara  otomatis  dianggap  sebagai  agama  oleh negara.  Sebagaimana  kita  ketahui  Hindu  adalah  agama  polytheis,  sementara  Buddha  adalah  agama  nontheis.    Dengan konsep    keyakinan  dan  konsep  Ketuhanan  yang  berbeda  dari agama‐agama  monotheis,  kedua  agama  ini  baru  mendapat pengakun  dari  Departemen  Agama  pada  tahu  1958  setelah melakukan  penyesuaian  terhadap  keyakinanya  sehingga  sesuai dengan  agama  monotheis.9  Di  antara  bentuk  penyesuaianya,  

7 Olaf Schumann, Kata Pengantar dalam buku Beyond Belief: Esei-

esei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudy Harisah Alam, (Jakarta: Paramadina: 2000), xxv

8 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 513

9 A. Najib Burhani, “Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia”, 47

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xi

Hindu menetapkan  “Sang Hyang Widi”  yang  sebelumnya  tak terlalu sentral dalam agama ini sebagai perwujudan Tuhan Yang Maha  Esa.  Sementara  agama  Buddha  menyepakati  untuk menganggap  tokoh Adi  Buddha,  nama  yang  diambil  dari  teks Jawa Kuno,  sebagai Tuhan Yang Esa.10  Situasi diskriminatif  ini juga  dialami  sebagian  besar  agama  lokal  dan  penganut kepercayaan di mana sebagian besar kepercayaan mereka adalah nontheis. Bedanya, agama  lokal  ini, sampai sekarang harus  terus berjuang untuk mendapat pengakuan.  

Lebih  jauh, diskriminasi yang berasal dari diskursus dasar negara  ini,  semakin mendapat  legitimasinya  ketika  diturunkan dalam kebijakan negara melalui Departemen Agama. Apa yang dimaksud  agama  berdasarkan  tafsiran negara  tidak  lain  adalah kombinasi antara konsep agama dunia dalam terminologi Kristen dan  agama  yang  benar menurut  Islam,  di mana  harus  berasal dari  Tuhan,  memiliki  kitab  suci,  memiliki  hukum  dan  ritual peribadatan yang rapi sebagaimana definisi Rita Smith Kipp dan Susan  Rodgers.11  Pada  akhirnya,  sejumlah  agama  lokal  dan penghayat  kepercayaan,  karena  tidak memiliki  kitab  suci  atau tidak  memiliki  nabi  atau  tidak  memiliki  konsep  teologi  yang setara dengan Islam atau Kristen, dikatakan tidak beragama dan pantas untuk menjadi obyek konversi. 12 (Hairus Salim,2004:32) 

Cara  pandang  yang memposisikan masyarakat  lokal  dan penganut kepercayaan  sebagai orang yang  tidak beragama atau 

10 Julia Howell, “Muslims, the New Age and Marginal Religions in

Indonesia: Changing Meanings of Religious Pluralism”. Social Compass. 52 (2005): 473 493. .4 -

11 Hairus Salim, “Sejarah Kebijakan Kerukunan” BASIS, No. 01‐02, tahun ke‐53, Januari‐Februari (2004), 32.

12 Michel Picard, "‘Agama’, ‘adat’, and Pancasila" dalam Michel Picard dan Rémy Madinier, ed. The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali. (Abingdon, Oxon: Routledge, 2011), 3

xii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

“beragama tidak resmi” ini  sebenarnya merupakan warisan dari “Victorian mind”  yang  sangat  percaya  dengan  teori  evolusi dan menganggap  monotheisme  sebagai  puncak  evolusi  dari perjalanan keagamaan manusia. Akibatnya, kelompok penganut agama  lokal  dan  penghayat  kepercayaan  dijadikan  sasaran penyebaran  agama    karena  dianggap  belum  beragama.13  Atas nama tugas suci, yaitu adanya kewajiban untuk mendakwahkan ajaran  agama  yang  diyakini  sebagai  kebenaran  mutlak, masing‐masing  agama  semitis  ini  dengan  tidak  disadari  telah melakukan  “kolonialisasi”  terhadap  agama‐agama  lokal,  yang umumnya  diklaim  sebagai  kelompok  animisme  yang  perlu diluruskan,  dan  dibawa  pada  ajaran  yang  “benar”.14  Padahal secara konseptual, pemberian istilah ‘agama’ oleh negara ini pada dasarnya bertolak belakang dengan definisi awal tentang agama yang  mencakup  adat,  moralitas  dan  tradisi  secara  umum.15 Kondisi  demikian  ini  merupakan  bentuk  ketidakmampuan negara  dalam mengelola  agama‐agama  yang  ada  di  Indonesia. Negara  telah  menunjukkan  dominasinya  dalam  melakukan kontrol  yang  berlebihan  terhadap  keberadaan  agama minoritas dengan beragam regulasinya seperti UU No. 1/PNPS/1965.16  

Sekali  lagi  bisa  dikatakan  bahwa  persoalan  ini  akarnya adalah tidak selesainya konsep dasar negara yang bukan agama, namun  juga bukan negara sekuler. Dalam praktik, ketidajelasan posisi dasar negara terbukti menemui banyak hambatan. Dengan 

13 A. Najib Burhani, “Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan

Agama-agama Minoritas di Indonesia”,48 14 Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan

Agama Orde Baru (Jakarta: Desantara, 2004), 11 15 Jane Monnig Atkinson, “Religions in dialogue: the construction

of an Indonesian minority religion” dalam Rita Smith Kipp and Susan Rodgers, ed, Indonesian Religions in Transition, (Tucson: Arizona State University, 1987), 175

16 Th Sumartana, Agama dan Negara Perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan. (Yogyakarta: Interfidei, 2002)

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xiii

dalih  menjaga  kerukunan  dan  ketertiban  dalam  masyarakat, negara justru mengontrol persoalan agama terlalu jauh dan  tidak jarang  mendiskriminasi  kelompok  minoritas  dan  memihak kelompok mayoritas. Indonesia sepertinya terjebak dalam konsep hubungan  agama  dan  negara  yang  ia  ciptakan  sendiri  dalam memainkan  perannya  dalam  urusan  agama.  Hal  demikian terlihat jelas dalam tafsir negara atas agama dan kebijakan negara terhadap agama, terutama agama lokal. 

Tafsir keagamaan yang bias mayoritas namun berimplikasi pada diskriminasi  atas hak minoritas  ini  bisa dikatakakan pula memiliki  keterkaitan  dengan  posisi  Islam  dalam  percaturan politik dan sosial di Indonesia. Selain menjadi agama mayoritas, dari aspek sosial dan politik,  Islam  juga  telah memainkan peran yang signifikan dalam menentukan cara pandang dan kebijakan negara  mengenai  kelompok  dan  hak  minoritas  dan  aliran kepercayaan  lokal  di  Indonesia.  Bagaimana  masyarakat Indonesia memandang  kelompok minoritas,  aspirasi  dan  sudut pandang  umat  Islam  baik  sebagai  umat  beragama  maupun sebagai  institusi  keagamaan  sangat menentukan. Hal  demikian terlihat  jelas misalnya  dalam  perumusan  konstitusi  pada  awal‐awal  kemerdekaan,  tokoh‐tokoh  Islam  berusaha  memasukkan syariat  Islam  sebagai  salah  satu  sumber  hukum  nasional sebagaimana disebutkan dimuka, meski pada akhirnya gagal.17  

Lebih jauh panorama klaim Islam sebagai agama mayoritas ini  terlihat  dalam  kontestasi  pelarangan  aliran  kebatinan  dan kepercayaan  sebagai  agama  dan  dilarang  keberadaanya  pada tahun  1952.  Sampai  pada  akhirnya,  muncul  definisi  tentang rumusan  yang  disebut  agama  oleh  Departemen  Agama  yang sampai  sekarang  berlaku,  adanya  Nabi/Rasul,  kitab  suci  dan 

17 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai dasar

negara: Studi tentang Perdebatan dalam konstituante.( Jakarta: LP3ES, 2006).

xiv |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

pengakuan sebagai agama dari luar negeri.18 Meski tidak menjadi bagian  konstitusi  secara  khusus,  sebagaimana  dijelaskan sebelumnya, definisi agama yang bias agama semit ini tentu saja memiliki  dampak  peminggiran  agama  minoritas  lokal  karena mereka  digolongkan  sebagai  orang  yang  “belum  beragama”.19 Pada  akhirnya,  agama‐agama  dan  kepercayaan  lokal  karena dianggap  “belum  beragama”  atau  belum menganut  salah  satu dari lima agama resmi sering dijadikan sebagai sasaran “aneksasi spiritual”  dari  sasaran  dakwah  dari  agama‐agama  mayoritas. Diskriminasi  terhadap  minoritas  lokal  ini  terlihat  jelas  dalam Instruksi Menteri  Agama  No.  4  tahun  1978  yang menyatakan bahwa  Kepercayaan  terhadap  Tuhan  Yang  Maha  Esa  bukan merupakan  agama,  sehingga  Departemen  Agama  tidak  akan mengurusi urusan‐urusan terkait aliran kepercayaan tersebut.20  

Sebagai  konsekuensi  atas  pengakuan  negara  hanya terhadap  enam  agama  yakni,  Islam,  Kristen,Katolik,  Hindu, Buddha, dan Konghucu, maka agama‐agama  ini akan mendapat jaminan  khusus  dari  negara  untuk    mengekspresikan  ajaran‐ajarannya.  Tidak sampai disini, hal ini menumbuhkan persoalan krusial  dalam  kehidupan    keagamaan  di  Indonesia.  Salah  satu persoalan yang timbul adalah timbulnya dikotomi antara agama yang  ‘resmi’  dan  yang  ‘tidak  resmi’, mayoritas  dan minoritas, agama  global  dan  agama  lokal,  dan  lain  sebagainya.    Dari dikotomi konseptul tersebut, lahir pula dikotomi dan pembedaan perlakuan  pada  masing‐masing  agama  oleh  negara.  Agama‐agama  yang  diakui  negara mendapat  kemudahan‐kemudahan, sementara agama‐agama  lokal selalu diposisikan sebagai agama 

18 Rahmat Subagyo, Kepercayaan dan Agama (Yogyakarta:

Kanisius, 1995), 116. 1919 Budhy Munawar-Rachman (ed.), Membela Kebebasan

Beragama (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010), xviii. 20 Pdt. Weinata Sairin, M.Th., Himpunan Peraturan di Bidang

Keagamaan, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996), 112-115.

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xv

yang  tertindas  dan  termarjinalkan.  Agama‐agama  lokal diposisikan  sebagai  sasaran‘pencerahan’  melalui  dakwah  dan gerakan‐gerakan penyadaran lainnya. Pengistimewaan dilakukan negara  terhadap  kelompok  mayoritas  dan  penganut  “agama resmi” dan diskriminasi dilakukan terhadap kelompok minoritas, terutama minoritas  agama dan  etnis  lokal. Alih‐alih mengalami perbaikan,  di  kebijakan  diskriminatif  terhadap  kelompok minoritas  yang  terciptakan  sedemikian  rupa  sejak  masa kemerdekaan itu masih bertahan hingga saat ini.  

 Problem Kebijakan Negara  

Sebagaimana  disebutkan  di  depan,  akar  dari munculnya kebijakan diskriminatif  ini  terletak pada    sila  “Ketuhanan  yang Maha esa” dalam Pancasila. Akibat dari keputusan negara bahwa Tuhan  yang diyakini dan disembah  oleh masyarakat  Indonesia harus  ʺTuhan  Yang  Esaʺ  yang mengindikasikan monothesime, maka secara tidak langsung menjelaskan hanya Kristen dan Islam yang  layak  disembah.  Sementara  agama  Buddha  dan  Hindu  harus membutuhkan modifikasi dan perjuangan tersendiri untuk diakui  negara.  Begitu  juga  dengan  agama  lokal,  posisi mereka hampir pasti terabaikan. 21  

Dasar  negara  yang  terkesan  bias  ini  kemudian  semakin dikuatkan  dalam  konteks  konstitusi.  Apa  yang  disebut  agama menurut pemerintah dengan berdasar pada Departemen Agama tidak  lain harus  berasal dari wahyu Tuhan, memiliki Nabi dan mempunyai  kitab  suci  serta  memiliki  hukum  dan  ritual  yang rapi. Ini menjadi persoalan serius ketika dihadapkan pada agama 

21 Pada awal kemerdekaan, hanya ada tiga agama yang diakui oleh

pemerintah, yaitu: Islam, Kristen atau Protestan, dan Katolik. Agama Hindu dan Buddha baru diakui sekitar tahun 1950an. Ahmad Najib Burhani, "Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia" Maarif vol.7 No. 1 (2012): 46-52

xvi |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

lokal yang sebagian besar tidak berdasar wahyu Tuhan dan Nabi, tapi merupakan kombinasi  antara  adat, moralitas, dan  tradisi.22  Pembedaan  kategorikal  antara  agama  yang  ʹdiakuiʹ  dan  ʹtidak diakuiʹ  pada  akhirnya membawa  semangat  superioritas  untuk mendiskriminasi  dan membatasi  agama  lokal  yang  cenderung tidak diakui. Bahkan agama‐agama lokal tidak jarang diposisikan sebagai  sasaran  ‘pencerahan’  melalui  dakwah  dan  gerakan‐gerakan penyadaran lainnya. 

Problem  definisi  ini  terlihat  jelas  dalam  UU  No. 1/PNPS/1965  atau  Penetapan  Presiden  (Penpres)  No.1/1965  23 yang  menjelaskan  perbedaan  antara  agama  yang  diakui  dan tidak  diakui. Dalam UU No.  1/PNPS/1965  tentang  Pencegahan Penyalahgunaan  dan/atau  Penodaan  Agama,  hanya  ada  enam agama  yang  diakui.  Dalam  bagian  penjelasan  yang  termaktub “...agama‐agama  yang  dipeluk  oleh  penduduk  Indonesia  ialah  Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha  dan Khong Cu  (Confusius). Hal  ini dapat  dibuktikan  dalam  sejarah  perkembangan  agama‐agama  di Indonesia.  Karena  6  macam  agama  ini  adalah  agama‐agama  yang dipeluk  hampir  seluruh  penduduk  Indonesia,  maka  kecuali  mereka mendapat  jaminan  seperti  yang  diberikan  oleh  pasal  29  ayat  2 UUD juga  mereka  mendapat  bantuan‐bantuan  dan  perlindungan  seperti diberikan  oleh pasal  ini” dan ““Ini  tidak  berarti  bahwa  agama‐agama lain  misalnya,  Yahudi,  Zarazustrian,  Shinto,  Thaoisme  dilarang  di Indonesia.  Mereka  mendapat  jaminan  penuh  seperti  yang  diberikan pasal  29  ayat  2  dan mereka  dibiarkan  adanya,  asal  tidak melanggar 

22 Jane Monnig Atkinson, “Religions in dialogue: the construction

of an Indonesian minority religion,” 175. 23 Pada 19 April 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) menolak

seluruh permohonan yang diajukan pemohon agar UU ini dicabut karena dinilai masih relevan. MK justru berkeyakinan, jika UU Penodaan Agama ini dicabut maka akan muncul anarkhi dan kekacauan sosial karena akan terjadi kekosongan hukum. The Wahid Istitute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Dan Toleransi di Indonesia 2010, (Jakarta: The Wahid Institute, 2011) , 27

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xvii

ketentuan‐ketentuan  yang  terdapat  dalam  peraturan  ini  atau perundangan  lain.” Dari sini dapat dipahami bahwa agama yang diakui  setidaknya  akan  mendapat  jaminan  dari  negara,  yaitu jaminan  hidup, perlindungan  sebagaimana pasal  29  ayat  2 dan mendapat  bantuan  dari  pemerintah.    Sementara  diluar  enam agama  itu,  meski  dalam  tataran  undang‐undang  mendapat jaminan yang sama, tapi dalam praktik hanya mendapat jaminan hidup, tanpa  jaminan perlindungan dan kebebasan sebagaimana termaktub dalam pasal 29 ayat 2. 24  

Pemberian definisi agama yang  cenderung bias mayoritas tersebut  semakin    terlihat  jelas    dampaknya  dalam  tataran praktis.  Agama‐agama  yang  diakui  mendapat  kemudahan‐kemudahan,  sementara  agama‐agama  lokal  selalu  diposisikan sebagai agama yang disia‐sia, termarjinalkan, dan terhakimi yang tidak memiliki  ruang ekspresi keagamaan yang proporsional.  25 Akibat  pengakuan  resmi  dari  negara,  maka  keenam  agama tersebut  selain  secara  otomatis  memiliki  representasi  di kementerian  agama baik di  tingkat pusat maupun daerah,  juga memiliki  kesempatan  untuk  menunjang  keberlangsungan pelaksanaan  dan  penyebaran  ajaran  sebagaimana  terlihat  dari keberadaan  beberapa  organisasi  keagamaanya  seperti  Majelis Ulama  Indonesia  (MUI),  Persekutuan  Gereja‐gereja  Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), WALUBI, dan Majelis Tinggi Agama Konghucu  Indonesia  (MATAKIN).  Keberadaan  organisasi keagamaan  ini  mencerminkan  pengakuan  dan  keberpihakan 

24 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Pluralisme dan Kebebasan Beragama di Indonesia 2008, (Jakarta: The WAHID Institute, 2009), 11-12

25 Ibnu Qoyim, “Agama dan Pandangan Hidup Masyarakat Towani Tolotang” dalam Ibnu Qoyim, ed. Religi Lokal dan Pandangan Hidup: Kajian tentang Masyarakat Penganut Religi Tolotang dan Patuntung, Sipelebegu (Permalim), Saminisme, dan Agama Jawa Sunda. (Jakarta: LIPI, 2004), 28

xviii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

negara  terhadap  agama  resmi  sambil  mengesampingkan keberadaan  agama‐agama  lokal  yang  hadir  bahkan  lebih  awal dari agama‐agama besar saat ini.26 

Tidak  hanya  itu,  dalam  konteks  pemidanaan,  salah  satu kelompok  yang  dijadikan  sasaran  dalam  undang‐undang  ini adalah  penganut  aliran  kebatinan/kepercayaan  yang  dianggap sebagai “penoda agama resmi” atau mendapat kecaman sebagai sesat/aliran sesat. Aspek pemidanaan  terhadap penistaan agama sebagaimana  termaktub  dalam  Pasal  1  UU  No.  1/PNPS/1965 sangat  bias  mayoritas.27  Bukan  warga  negara  yang  dijadikan sebagai  subyek  hukum  yang  harus  dilindungi,  tapi  agama  itu sendiri. Hal demikian  bisa dipahami  karena Penpres No.1/1965 ini  sejak  awal  kemunculanya  memang  ditujukan  untuk melindungi  agama‐agama  yang  diakui  dan  dirumuskan  dalam perspektif untuk melindungi  agama‐agama besar, bukan dalam konteks  melindungi  setiap  individu  terkait  keyakinan  dan kepercayaanya.   Namun, apa yang perlu digaris bawahi bahwa agama  sendiri  tidak  bisa  menjadi  subyek  hukum.28  Pada akhirnya, ketika  terjadi  tuduhan penistaan atau penafsiran yang berbeda dengan keyakinan mayoritas, bukan warganegara yang dijadikan tolok ukur, tapi agama itu sendiri. Apa yang lebih pelik 

26 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik

Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil. (Semarang: RaSAIL, 2009), 16

27 Bunyi pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatankegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”

28 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos. Mengatur Kehidupan Beragama; Menjamin Kebebasan? Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 11.

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xix

lagi  dengan  konsep  demikian  adalah  siapa  yang memiliki  hak  untuk menyatakan  kebenaran dan penistaan  atas  suatu doktrin agama.  Pada  akhirnya,  penentuan  sesat  yang  sarat  dengan dominasi mayoritas  terhadap ajaran  tertentu kerap berimplikasi pada tindakan kekerasan yang dilakukan secara massal terhadap kelompok minoritas.  

Dalam  artian  itu  pula,  dapat  dikatakan    bahwa  ukuran dasar dari negara untuk mengakui dan melindungi agama, hanya melihat  status  pemeluknya  yang  mayoritas,  bukan  kesetaraan bagi  semua  warga  negara.  Hak  sipil  seseorang  sebagai  warga negara  senantiasa  dilekatkan  dengan  agama  yang  dipeluk apakah  itu  agama  yang  diakui  atau  tidak.    Pada  akhirnya, penganut  aliran  kepercayaan menjadi masyarakat  agama  kelas dua,  dibawah  penganut  “agama  resmi”.  Bagi  pemeluk kepercayaan  di  luar  agama  yang  diakui  negara,  tentu  saja implikasinya  adalah  berbagai  akses  sosial,  politik,  dan  hukum serta  berbagai  bentuk  aktivitas  kehidupan  yang  lain  menjadi terpinggirkan dan bahkan tertutup.  

Identifikasi hak sipil seseorang sebagai warga negara yang selalu dilekatkan dengan agama yang dipeluk apakah itu agama yang  diakui  atau  tidak,  bisa  dilihat  dari  keberadaan  UU  No. 23/2006  tentang  Administrasi  Kependudukan. Meski  lahir  dari proses  reformasi,  namun  muatan  undang‐udang  ini  belum sepenuhnya  bisa  keluar  dari  jebakan  UU  No.  1/PNPS/1965 terutama terkait dengan agama resmi dan tidak resmi. Salah satu persoalan  yang  paling  krusial  adalah  terkait  ketentuan menyangkut pencantuman kolom agama di Kartu Keluarga (KK) pada  Pasal  61  ayat  2  dan  Kartu  Tanda  Penduduk  (KTP)  pada pasal  64  ayat  2  di mana  ada  pembedaan  terkait  dengan  status keagamaan seseorang. Ketentuan yang menyatakan bahwa   bagi mereka yang agamanya belum diakui diperbolehkan untuk tidak mengisi  kolom  agama  sekilas  memang  nampak  adil.  Namun, pengosongan  tersebut  dalam  praktiknya  berdampak  pada 

xx |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

diskriminasi kelompok masyarakat yang agamanya tidak diakui. Bagi kelompok masyarakat yang agamanya belum diakui sebagai ʹagama  resmi;  memang  diperbolehkan  untuk  tidak  mengisi kolom  agama  dalam UU  tersebut,  namun  praktik  di  lapangan cenderung  menunjukkan  bahwa  kelompok  minoritas  etnis  ini akan menjadi warga negara “kelas dua” dalam pelayanan publik.  

Tidak  hanya  persoalan  KTP  dan  KK,  kelompok kepercayaan  lokal  juga  mengalami  kesulitan  dalam  mendapat akses  layanan  publik  lain,  seperti  pencatatan  perkawinan  atau pembuatan  akta  kelahiran.  Pasal  2  ayat  1  Undang‐Undang Nomor 1/1974  tentang Perkawinan, berbunyi bahwa“Perkawinan adalah  sah,  apabila  dilakukan  menurut  hukum  masing–masing agamanya dan kepercayaannya  itu.” Karena yang dimaksud dalam UU ini hanya agama dan kepercayaan yang diakui negara, maka perkawinan mereka pun tidak bisa dicatatakan.  

Pada  28  Juni  2007,  pemerintah  telah  mengeluarkan Peraturan  Pemerintah  Nomor  37  Tahun  2007  tentang pelaksanaan  UU  No.  23  Tahun  2006    yang mengizinkan  para pemuka  Aliran  Kepercayaan  untuk  memimpin  upacara perkawinan  dan  meminta  kantor  catatan  sipil  untuk mendaftarkan  izin  nikah  yang  ditandatangani  oleh  pemimpin perkawinan  tersebut,  sehingga  membuat  perkawinan‐perkawinan ini diakui secara resmi.29 Namun faktanya, ini tidak banyak  memberikan  harapan  kepada  kelompok  kepercayaan lokal.  Prasyarat  bahwa  perkawinan  harus  lebih  dahulu dicatatkan  pemimpin  penghayat  kepercayaan menemui  banyak kendala  di  lapangan.    Pasalnya,  pemimpin  penghayat kepercayaan  yang  diakui  adalah  yang  sudah  tercatat  di 

29 Nicola Colbran, "Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia: Jaminan Secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara", dalam Tore Lindholm et.al., Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 694.

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxi

Kementerian  Kebudayaan  dan  Pariwisata.  Sementara  hanya sedikit masyarakat  lokal  yang melakukan  pencatatan  ini.  Pada akhirnya,  dengan  tidak  diakuinya  perkawinan  kelompok kepercayaan lokal, maka status anak yang lahir dari perkawinan itu juga menjadi runyam.30  

Hal  tersebut menunjukkan  bahwa  negara  nampak masih terkesan  setengah‐setengah  dan  belum  memberikan  kepastian hukum terhadap penghayat kepercayaan lokal. Bahkan, Alih‐alih mampu  menjadi  fasilitator  antara  kelompok  serta  melindungi kelompok  minoritas,  negara  tidak  jarang  malah  menjadi pendukung  terkuat  praktik  diskriminatif  dengan  beragam kebijakannya. Negara  telah menjadi  kekuatan  yang mengontrol semua  persoalan‐persoalan  agama  di  Indonesia  hingga menentukan  mana  agama  yang  boleh  berkembang  dan  tidak. Disatu  sisi negara  tampak begitu berhasrat untuk  turut  campur dan  ingin mengatur  segala urusan  agama warganya,  tapi pada saat  bersamaan  negara  selalu  absen  dan  tidak  berdaya menjangkau  atau  malah  terkesan  membiarkan  praktik diskriminasi terhadap kelompok kepercayaan lokal.  Tentang Buku Ini 

Meski  secara  normatif  pemerintah  telah  berkomitmen dalam  perlindugan  HAM,  khususnya  jaminan  beragama  dan berkeyakinan,  namun  berbagai  permasalahan  terkait  dengan jaminan  kebebasan  beragama  atau  berkeyakinan  kelompok minoritas  lokal  secara  khusus masih  terus  terjadi.    Hilangnya jaminan  kebebasan  beragama  dan  berkeyakinan  ini  juga berimpilikasi pada   hilangnya hak dasar dan hak sipil kelompok 

30 Ali Maskur, "Membaca Ulang Eksistensi Aliran Kepercayaan di

Indonesia" dalam M. Syafi’ie & Nova Umiyati, ed. To Fulfill and To Protect: Membaca Kasus-Kasus Aktual tentang Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2012), 21.

xxii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

minoritas  lokal untuk    ikut menikmati  layanan    layanan publik seperti  administrasi  kependudukan, pendidikan,  kesehatan dan layanan publik lainnya.  

Pemerintah  tidak  jarang menolak memberikan  pelayanan kepada  kelompok  hanya  karena  keyakinannya  dianggap  sesat atau  identitas  keagamaan  tidak  tercantum  dalam  kartu  tanda penduduk  (KTP).  Ini menunjukkan  bahwa  pejabat  pemerintah cenderung  tidak  memiliki  komitmen  bukan  hanya    untuk melindungi  hak‐hak  dasar  setiap  warga  negaranya  terutama kaum  minoritas  dalam  menjalankan  kepercayaannya,  namun juga  dalam  memberikan  layanan  publik  yang  setara  kepada setiap  warga  negara.  Pejabat  pemerintah  masih  menggunakan dasar  keyakinan  keagamaanya  untuk  memberikan  pelayanan kepada warga  negara.  Padahal, UU  25/2009  tentang  Pelayanan Publik  secara  tegas  mengatakan  bahwa  pelayanan  publik merupakan  hak  dasar  semua  warga  negara  dan  negara  harus memberikan  pelayanan  publik  secara  adil  dan  tidak diskriminatif.  

Buku Dinamika Agama  Lokal  di  Indonesia  yang merupakan hasil  penelitian  Puslitbang  Kehidupan  Keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI ini salah satunya  ingin  menjawab  problem  pelayanan  publik  bagi kelompok kelompok agama  lokal  tersebut. Kajian  ini  juga  ingin melihat  sejauh mana  dinamika  internal  kelompok  agama  lokal dalam  mempertahankan  tradisi  dan  keyakinan  serta  relasi mereka dengan komunitas  luar. Dengan mendasarkan pada UU Adminduk No. 23 tahun 2006, kajian ini ingin melihat komitmen pemerintah  dalam  memberikan  layanan  hak‐hak  sipil  bagi kelompok agama lokal di 7 lokasi penelitian.  

Dari  sejumlah  kajian  dalam  buku  ini  terlihat  adanya keterkaitan  antara  dinamika  internal  kelompok  kepercayaan lokal  dan  hubungan  mereka  dengan  masyarakat  luar  dengan 

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxiii

terpenuhinya  layanan  hak  dasar  mereka.  Maksudnya,  suatu kelompok kepercayaan  lokal yang menjalankan  siasat  resistensi dengan  tetap  memegang  teguh  keyakinan  dan  tradisi  secara eklusif  akan mengalami  kesulitan dalam mendapatkan hak‐hak sipil mereka. Sementara pada saat yang sama,  layanan hak sipil akan  semakin  terpenuhi  ketika  suatu  kelompok  kepercayaan secara  sukarela  atau  berdasarkan  tuntutan  keadaan,  mau melakukan adaptasi, entah dengan strategi sinkretisme, asimilasi atau akulturasi antara  tardisi mereka dengan agama dan  tradisi kelompok  mayoritas.    Hubungan  relatif  antara  pemenuhan layanan hak  sipil dengan dinamika  kelompok  ini  terjadi  secara gradual. Maksudnya,  semakin  kuat  resistensi  suatu  kelompok maka  tuntutan  akan  hak  sipil  tersebut  akan  semakin  sulit dipenuhi pemerintah. Di  saat  bersamaan,  ketika  akulturasi dan asimilasi  itu  semakin  kuat  hingga menyisakan  sedikit  identitas dan  tradisi  awal  sebuah  komunitas  lokal, maka  layanan publik akan  semakin  dipenuhi  oleh  pemerintah. Di  antara  dua  kutub yang bersebarangan tersebut, ada kelompok minoritas lokal yang secara  tradisi  dan  ajaran  memiliki  kemiripan  dengan  agama mayoritas,  sehingga  memudahkan  untuk  beradaptasi  serta mendapat  layanan  hak  sipil  sebagaimana  warga  mayoritas lainnya. Kelompok kepercayaan  lokal dalam kategori kedua  ini juga  mendapat  perlakukan  khusus  dalam  pencatuman  agama lokal di kolom KTP. Situasi ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak  sipil  seseorang  atau  kelompok  masih  didasarkan  dengan agama yang dipeluk  apakah  itu  agama yang diakui  atau  tidak, bukan statusnya sebagai warga Negara yang berhak memperoleh layanan yang setara.  

Kajian Asnawati tentang Agama/Kepercayaan Sunda Wiwitan Suku Baduy Di Desa Kenekes, Lebak, Banten menunjukkan dengan jelas  bagaimana  kuatnya  keyakinan  dan  kepercayaan  penganut Agama  Slam  Sunda  Wiwitan  dan  sikap  untuk  menolak berasimilasi dengan agama  formal menjadikan hak sipil mereka 

xxiv |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

belum terpenuhi. Sampai saat ini, pemerintah lokal enggan untuk memenuhi tuntutan penganut Agama Slam Sunda Wiwitan agar agama  mereka  secara  legal  formal  diakui  dan  dicantumkan dalam KTP. Pada akhirnya, hingga kini mereka tidak mempunyai KTP,  buku  nikah  maupun  akte  kelahiran  untuk  anak‐anak mereka.  

Sementara  temuan  dari  penelitian  Agama/Kepercayaan Buhun Orang Kranggan  Jati Sampurna di Kota Bekasi oleh Ahmad Syafii  Mufid  dan  kajian  Suhanah  tentang  Aliran  Kebatinan Perjalanan  di  Kecmatan  Ciparay,  Bandung menunjukkan  kategori yang  kedua.  Sinkretsime  antara  Tradisi  Buhun  dengan  Ajaran Islam  di  kalangan  Orang  Kranggan  Jati  Sampurna  serta Sinkretisme antara adat Sunda dengan agama  Islam, Hindu dan Kristen dalam aliran kebatinan perjalanan menjadikan dua aliran ini  mudah  beradaptasi  dengan  dunia  luar.  Kesamaan  ajaran dengan agama formal,  terutama Islam menjadikan dua pemeluk aliran  kepercayaan  ini  tidak  harus  pindah  keagamaan  untuk mendapat  layanan   publik. Kedua aliran kepercayaan  ini  sama‐sama  tercantum  dalam  KTP  sebagaimana mandat  dari  UU  23 2006,  di  mana    dalam  kolom  agama  dituliskan  angka  7  atau dikosongkan. Pemenuhan hak sipil masih terjadi dalam masalah pendidikan bagi anak‐anak. Dengan alasan kurangya tenaga dan pendanaan, pemerintah  lokal belum memenuhi  tuntutan kedua komuntias  ini  agar  materi  pelajaran  agama  bagi  anak  dididik sesuai dengan agama mereka sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. 

Dalam  ketegori  lainnya,  layanan hak  sipil  bagi  kelompok kepercayaan lokal tidak menjadi masalah suatu ketika komunitas itu telah menerima untuk dianggap bagian dari agama mayoritas, meski  dalam  praktik  sehari‐hari  mereka  masih  menjalankan tradisi  dan  adat  lokal.      Kajian  Nuhrison  tentang Agama/kepercayaan  Ciptagelar  Gunung  Halimun  di  Sukabumi, Agama/kepercayaan  Islam Wetu Telu di Bayan, Lombok Utara  (NTB) 

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxv

oleh  Jajang  Jahroni  dan  Dadi  darmadi  serta  kajian  Kustini  Agama/Kepercayaan  Masyarakat  Kampung  Dukuh  Dalam,  Desa Ciroyom, Cikelet, Garut  bisa  dijadikan  contoh. Ketiga  komuntias ini  sehari‐hari  masih  menjalakan  adat  dan  kepercayaan  lokal, namun  secara  formal mengaku beragama  Islam. Pada akhirnya, ketiga  komunitas  ini  tidak mengalami  hambatan  berarti  dalam pelayanan hak sipil karena mereka dianggap beragama Islam.  

Di  luar  itu,  kajian  Wahkid  Sugiyarto  tentang Agama/kepercayaan  Marapu  di  Sumba,  Nusa  Tenggara  Timur menunjukkan  gambaran  situasi  yang  agak  berbeda. Komuntias Marapu  bisa  memperoleh  layanan  publik  yang  setara  bukan karena keinginan mereka  sendiri,  tapi  lebih  sebagai hasil upaya sistematis  pemerintah  lokal  dalam menjadikan mereka  sebagai bagian  agama  mayoritas.  Dalam  konteks  ini  pemerintah  lokal telah memaksa  penganut  agama Marapu  untuk meninggalkan agama  dan  kepercayaanya  untuk  kemudian  mengikuti  agama mayoritas yang  sudah ada, dalam hal  ini Katolik dan Protestan sehingga  mereka  mendapat  layanan  publik  yang  setara. Kewajiban untuk memiliki surat baptis dari gereja bagi tiap anak sekolah  contohnya,  di  satu  sisi menjadikan  hak  sipil  penganut agama  Marapu  secara  formal  terpenuhi,  namun  secara bersamaan hak mereka dalam beragama dan bepercayaan sesuai keyakinannya  telah dilanggar. Pada akhirnya, meski komunitas ini menuntut dicantumkanya agama Marapu di KTP, dicatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan  Sipil  serta mendapatkan pelajaran  agama  Marapu  bagi  anak‐anak  mereka,  namun  tuntutan  ini  pun  hanya  relevan  bagi  sebagian  kecil  pemimpin anggota  komunitas,  tidak untuk pengikut  kepercayaan Marapu secara  keseluruhan,  terutama  dari  kaum  muda  yang  telah mendapat pendidikan modern.  

Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa dalam praktiknya, dalam  memberikan  pelayanan    hak  sipil  terhadap  komuntias lokal,  pemerintah  nampaknya  masih  memposisikan  mereka 

xxvi |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

sebagai  orang  yang  berbeda.  Sikap  yang  bias mayoritas  dalam pelayanan  publik,  pada  akhirnya  akan  mendorong  anggota‐anggota  kelompok  agama  lokal  untuk melepaskan  keterikatan mereka dengan  budaya dan pandangan  hidup  yang mendasari eksistensi sebuah komunitas mereka. Cara pandang  integralistik yang  ingin  mengintegrasikan  beragam  unsur  adat  dan kepercayaan masyarakat  lokal  dalam  agama  dominan  ini  pada akhirnya  akan  melestarikan  praktik  marjinalisasi  kelompok‐kelompok   kepercayaan  lokal yang memiliki konstruksi budaya dan identitas kultural sendiri.   

Pelayanan  publik  yang  setara  baru  diberikan  ketika komuntias  lokal  tersebut,  mau  beradaptasi  dengan  menjadi bagian  dari  kelompok mayoritas  dengan meninggalkan  tradisi dan budayanya  secara  tidak  langsung  seperti  Islam Wetu Telu, Masyarakat  Kampung  Dukuh  Dalam  dan  Ciptagelar  Gunung Halimun. Dengan menjadi “bagian” dari kelompok  Islam secara formal,  pemerintah  memberikan  layanan  hak‐hak  sipil  yang setara  kepada  kelompok  sebagaimana  layanan  kepada masyarakat lainya. Pada saat yang sama, ketika strategi resistensi digunakan  seperti  yang  dilakukan  oleh    komunitas  Sunda Wiwitan Suku Baduy Di Desa Kenekes untuk memperjuangkan status dan hak mereka, maka pemerintah cenderung abai meski konstitusi  secara  tegas  mengatakan  bahwa  pemerintah  wajib memberikan pelayanan yang setara kepada setiap warga negara.  Karena  itulah,  penataan  kembali  kerangka  hukum  yang  lebih kuat  dan  adil menjadi  salah  satu  langkah  penting  yang  harus dilakukan untuk mewujudkan persamaan hak kepada kelompok agama lokal.  

Langkah  ini dapat dimulai dengan melakukan kajian dan analisis  atas  situasi  dan  kondisi  kelompok  kepercayaan  lokal secara  langsung  dimana  diskriminasi  atas  dasar  agama  dan kepercayaan memiliki  implikasi  pada    penganuliran  hak  sipil, ekonomi  dan  politik  kelompok  lokal.  Dalam  arti  inilah,  buku 

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxvii

tentang Dinamika Agama  Lokal  di  Indonesia  ini  nampak menjadi relevan  dan  menjadi  salah  satu  strategi  efektif  untuk  tetap  menjadikan hak dan kebebasan beragama kelompok  lokal secara umum  dan  layanan  publik  kepada  mereka  sebagai  persoalan bangsa  yang  segera  harus  diselesaikan.  Kajian  ini  memiliki kontribusi  yang  signifikan  terhadap  reformasi  perundang‐undangan  baik  berupa  pencabutan,  perubahan  maupun pembentukan  regulasi  baru  yang  lebih  menjamin  hak  atas kebebasan  beragama  atau  berkeyakinan  kepada  setiap  warga negara,  termasuk kelompok kepercayaan  lokal.   Sebuah regulasi dengan  perspektif  kewajiban  negara  untuk  menghormati, menjamin, melindungi  hak‐hak  asasi    setiap  warga  negara. Sebuah  regulasi  yang berdasarkan standar hak asasi manusia berdasarkan  prinsip  kesetaraan  dan  non‐diskriminasi, perlindungan  kepada  kelompok  minoritas,  langkah‐langkah affirmatif  action  demi  kesetaraan  dalam  pemenuhan  hak  asasi manusia, dan pemulihan kepada korban pelanggaran.  

Selamat Membaca!  

Jakarta,     Oktober 2014   

M. Imdadun Rahmat Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 

  

       

xxviii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

PRAKATA EDITOR 

Puji  syukur  kepada  Allah  SWT,  berkat  hidayah  dan inayahNya  maka  penyusunan  buku  penelitian  “Dinamika Agama Lokal di Indonesia” telah dapat diselesaikan dengan baik. 

Buku yang berjudul Dinamika Agama Lokal di Indonesia ini memuat beragam isi tentang: a) Agama/ Kepercayaan Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), oleh; Wakhid Sugiyarto; b) Agama/Kepercayaan Kasepuhan Ciptagelar Gunung Halimun di  Sukabumi  Jawa  Barat,  oleh:  Nuhrison,  M.  Nuh;  c) Agama/Kepercayaan  Sunda  Wiwitan  Suku  Baduy  di  Desa Kanekes Lebak Banten,  oleh: Asnawati; d) Agama/Kepercayaan Islam Wetu Telu di Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB),  oleh:  Jajang  Jahroni  dan  Dadi  Darmadi;  e) Agama/Kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan di Kecamatan Ciparay  Kabupaten  Bandung,  Jawa  Barat,  oleh:  Suhanah;  f) Agama/Kepercayaan Buhun Orang Kranggan Jati Sampurna Kota Bekasi  Jawa  Barat,  oleh:  Ahmad  Syafi’i  Mufid;  g) Agama/Kepercayaan  Masyarakat  Kampung  Dukuh  Dalam  di Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut Jawa Barat, oleh  : Kustini dan Iklilah Mujayyanah DF. 

Dalam buku  ini dijelaskan bahwa 1) Seluruh agama dan kepercayaan  lokal  yang  diteliti masih  eksis meskipun masing‐masing mengalami  dinamika  yang  berbeda.  Eksistensi  tersebut didorong  oleh  nilai‐nilai  dan  keyakinan  yang  diyakini  secara turun  temurun  yang  diperkuat  dengan  perayaan‐perayaan  dan ritual keagamaan yang dilaksanakan secara kontinyu. Sementara itu   dinamika yang ada, terjadi karena adanya perubahan sosial, intervensi  dan  pengaruh  dari  pihak  luar  serta  perkembangan 

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxix

pengetahuan masyarakatnya. 2) Persebaran pemeluk agama dan kepercayaan  masing‐masing  komunitas  mengalami perkembangan ditandai dengan masih dipertahankannya ajaran dan kecenderungan jumlah penganut yang meningkat, kecuali di komunitas Marapu Sumba dan Ciptagelar Sukabumi. Di sebagian wilayah persebarannya terlihat dari semakin meluasnya wilayah geografis  penganut  agama  dan  kepercayaan  tersebut.  3)  Secara umum  relasi  sosial  antara  komunitas  agama  dan  kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya terjalin cukup baik misalnya dalam  hubungan  ketetanggaan,  pekerjaan,  perkawinan  dan kekerabatan. Namun demikian dibeberapa  lokasi pernah  terjadi ketegangan sosial seperti di Lombok dan Ciptagelar menyangkut isu  pendirian  rumah  ibadat  dan masalah  tanah.  4)  Pemenuhan hak‐hak sipil bagi komunitas  Islam dengan paham kepercayaan lokal  secara  umum  tidak  mengalami  masalah  dalam  hal pencatatan  identitas agama dan pencatatan perkawinan. Namun bagi komunitas agama lokal seperti Marapu dan  Sunda Wiwitan masih mengalami hambatan dalam hal pencatatan perkawinan. 5) Dalam hal pelayanan pendidikan agama, bagi komunitas Islam mendapatkan  pendidikan  sesuai  agamanya.  Bagi  agama  lokal  seperti Aliran Kebatinan Perjalanan, pendidikan agamanya tidak sesuai  dengan  yang  diharapkan  penganutnya  karena keterbatasan  tenaga guru dan dana. Sedangkan pada komunitas agama  lokal,  khususnya  agama Marapu mengalami  hambatan karena  harus  melalui  proses  baptis  di  gereja  sehingga mendapatkan  pendidikan  agama  yang  tidak  sesuai  dengan agama yang dianutnya.  

Mudah‐mudahan  buku  ini  dapat  memberikan  manfaat bagi berbagai pihak terutama Kementerian Agama, Kementerian 

xxx |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Dalam  Negeri,  Jaksa  Agung  dan  para  peneliti  Puslitbang Kehidupan  Keagamaan.  Ucapan  terima  kasih  disampaikan kepada  semua  pihak  yang  turut  mensukseskan  dalam penyelenggaraan kegiatan penelitian ini. 

Jakarta,    Oktober 2014 Editor   Dra. Hj. Suhanah, M.Pd. NIP. 19581005 198306 2 001 

  

   

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxxi

xxxii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

DAFTAR  ISI  

 KATA  PENGANTAR  KEPALA  PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN  .......................................   iii 

SAMBUTAN  KEPALA  BADAN  LITBANG  DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI  ........................   v 

PROLOG  ............................................................................   vii 

PRAKATA EDITOR  .........................................................   xxix 

DAFTAR  ISI  ......................................................................  xxxiii   

PENDAHULUAN  A. Latar Belakang Masalah  .............................................   1 B. Perumusan Masalah  ....................................................   3 C. Tujuan Penelitian  .........................................................   4 D. Kegunaan Penelitian  ...................................................   4 E. Definisi Operasional ....................................................   5 F. Metodologi  ...................................................................   6 G. Sasaran dan Lokasi Penelitian   ..................................   7 H. Studi Kepustakaan  ......................................................   9 I. Kerangka Teori  ............................................................   12  AGAMA/KEPERCAYAAN MARAPU DI SUMBA NUSA TENGGARA TIMUR  

Wakhid Sugiyarto  ..................................   13 

AGAMA/KEPERCAYAAN KASEPUHAN CIPTAGELAR GUNUNG HALIMUN DI SUKABUMI, JAWA BARAT 

Nuhrison M. Nuh  ..................................   77 

Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxxiii

xxxiv |Dinamika Agama Lokal di Indonesia

AGAMA/KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN SUKU BADUY DI DESA KANEKES, LEBAK, BANTEN 

Asnawati  ................................................   113 

AGAMA/KEPERCAYAAN ISLAM WETU TELU DI BAYAN, LOMBOK UTARA (NTB) 

Jajang Jahroni & Dadi Darmadi  ............   157 

AGAMA/KEPERCAYAAN ALIRAN KEBATINAN PERJALANAN DI KECAMATAN CIPARAY, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT 

Suhanah  .................................................   203 

AGAMA/KEPERCAYAAN BUHUN ORANG KRANGGAN, JATI SAMPURNA, KOTA BEKASI, JAWA BARAT 

Ahmad Syafi’i Mufid  .............................   235 

AGAMA/KEPERCAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG DUKUH DALAM DI DESA CIROYOM, KECAMATAN CIKELET, KABUPATEN GARUT 

  Kustini & Iklilah Muzayyanah DF  .........   255  INDEKS  ..............................................................................   289 

BIODATA EDITOR  ..........................................................   291