PENDAHULUAN (1)
-
Upload
gilang-ridha-fathurrahman -
Category
Documents
-
view
99 -
download
0
Transcript of PENDAHULUAN (1)
kasus dan terbanyak di Asia, Afrika dan Amerika Latin dengan angka
kematian sebesar 200.000. Setiap tahunnya, 7 juta kasus terjadi di Asia
Tenggara, dengan angka kematian 600.000 orang. Hingga saat ini penyakit
demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara-negara tropis
(WHO, 2004).
Di Indonesia prevalensi demam tifoid di perkirakan 350 – 810 kasus
per 1000 penduduk pertahun atau kurang lebih sekitar 600.000 - 1,5 juta kasus
setiap tahun 80 - 90% dari angka di atas adalah anak berusia 2-19 tahun. Pada
tahun 1990 sebesar 9,2% dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi
menjadi 15,4% per 10.000 penduduk. Berdasarkan data Riskesdas 2007
prevalensi di Indonesia adalah 1,60%. Sedangkan prevalensi di Provinsi
Banten sebesar 2,2 %. insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan
biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157
kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760
sampai 810 kasus per 100.000 penduduk (Riskesdas, 2007). Di provinsi Jawa
tengah tifoid klinis dideteksi dengan prevalensi 1,61 % dan tersebar di seluruh
Kabupaten atau Kota dengan prevalensi yang berbeda-beda di setiap tempat.
Prevalensi tifoid di Kabupaten Semarang sebesar 0,8%.
Peningkatan jumlah kasus demam tifoid terjadi selama 3 tahun
berturut – turut di provinsi Jawa Tengah dari tahun 2007 jumlah kasus 254
dan pada tahun 2008 menjadi 971 kasus, pada tahun 2009 naik 4817 kasus,
dan pada tahun 2010 naik lagi 5021 kasus (Dinkes DKI, 2005). Demam tifoid
menduduki tempat kedua di antara penyakit usus setelah gastroenteritis
(Dinkes DKI, 2005). Indonesia dengan angka kejadian sekitar 760 sampai 810
kasus pertahun dan angka kematian 3,1 sampai 10,4%.(WHO, 2004).
2
B. Tujuan
1. Mahasiswa diharapkan mampu melakukan pemeriksaan feses pasien
demam tifoid dari tahap pre-enrichment sampai pewarnaan gram.
2. Mahasiswa diharapkan mampu mengidentifikasi hasil pemeriksaan dari
mulai proses pre-enrichment sampai pewarnaan gram
3. Mahasiswa diharapkan mengetahui jenis bakteri yang terdapat pada feses
penderita demam tifoid dengan mengamati hasil morfologi koloni,
morfologi sel, medium SIMA dan TSIA
C. Manfaat
1. Teoritis
Hasil praktik lapangan ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
tentang cara pemeriksaan bakteri Salmonella thypi dengan sampel feses.
2. Praktis
Praktik lapangan ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
menambah keterampilan mahasiswa dalam melakukan pemeriksaan
bakteri Salmonella thypi dengan sampe feses.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bakteri Salmonella thypi
Salmonella thypi merupakan bakteri batang gram negatif, tidak
membentuk spora, memiliki kapsul dan sering disebut sebagai bakteri
facultative intra-cellular parasites karena.memiliki habitat asli di dalam usus
manusia. Dinding selnya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid, protein,
dan lipopolisakarida (LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan . Ukuran
panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki peritrichous flagella
sehingga bersifat motil. Bakteri ini tahan hidup dalam air yang membeku
untuk waktu yang lama. S. typhi membentuk asam dan gas dari glukosa dan
mannose, serta dapat menghasilkan gas H2S namun hanya sedikit (Winn,
2006).
Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis
inang, reaksi biokimia, dan struktur antigen. Menurut Widodo (2009), bakteri
ini mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu :
1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat
spesifik grup.
2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam
flagella dan bersifat spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang
melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat proses
aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari
proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri
dan efektivitas vaksin. S.typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan
bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah
dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A. Ketiga antigen di atas di dalam
tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.
4. Outer Membrane Protein (OMP). Merupakan bagian dari dinding sel
terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan
4
yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai
barier fisik yang mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran
sitoplasma. Selain itu OMP juga berfungsi sebagai reseptor untuk
bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian besar terdiri dari protein purin,
berperan pada patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang
penting dalam mekanisme respon imun pejamu. Sedangkan protein non
purin hingga kini fungsinya belum diketahui secara pasti.
Antigen yang paling umum digunakan untuk Salmonella adalah
antigen O dan H. Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada flagela
dari bakteri ini, yang disebut flagelin. Antigen H adalah protein yang dapat
dihilangkan dengan pemanasan atau dengan menggunakan alkohol. Antibodi
untuk antigen ini terutamanya adalah IgG (Brooks, 2005).
B. Demam Tifoid
1. Definisi
Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-
gejala sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi, Penularannya
terjadi secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi (Mansjoer, 2000). Gejala klinis demam thypoid disebut
trias typhoid yang terdiri dari demam lebih dari 7 hari naik turun,
gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran. Selain itu, infeksi demam
tifoid ditandai dengan bakteriemia, perubahan pada sistem
retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan
ulserasi plaque peyeri di distal ileum. Penulis lain membuat kriteria
demam tifoid, ditandai adanya demam tujuh hari atau lebih, gejala saluran
pencernaan dan gangguan pada sistem saraf pusat (sakit kepala, kejang
dan gangguan kesadaran) (Soegijanto, 2002).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam
paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun
5
klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan,
penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan
demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid
(Sumarmo, 2002).
2. Gejala
Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari
status kesehatan dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit,
penderita demam tifoid selalu menderita demam dan banyak yang
melaporkan bahwa demam terasa lebih tinggi saat sore atau malam hari
dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang menyebut karakteristik demam
pada penyakit ini dengan istilah ”step ladder temperature chart”, yang
ditandai dengan demam yang naik bertahap tiap hari, mencapai titik
tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan
selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat
fokus infeksi (Cammie et al.,2005; IDAI, 2008)
Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise,
pusing, batuk, nyeri tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia,
hingga delirium dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, dapat
ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di bagian tengah dan
kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi
abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular
berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan rose spot
(chamber,2006; IDAI, 2008)
3. Patomekanisme
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang
melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan,
kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke
dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus, bakteri
6
melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan
mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi
dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke
sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui
sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya
tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil
yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari (Bhutta, 2006).
Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari,
gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang
lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39º C
hingga 40º C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah,
batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan
semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan
merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir
minggu pertama, diare lebih sering terjadi (Salyers, 2000).
Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung
merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita
sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Jika penderita ke
dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-
gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga.
Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola)
berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi
terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah
tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut,
lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada
infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa
menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi (Salyers, 2000).
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian
7
meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua
suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu
badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung.
Terjadi perlambatan relatif nadi penderita yang seharusnya nadi
meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih
lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala septikemia semakin
berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.
Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, merah
mengkilat, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare
yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut
kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus
menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi (Widodo, 2009)..
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan
normal kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau
berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat
lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk,
dimana septikemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa
delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan
inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan
abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita
kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai
oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah
terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar
bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran
adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu
ketiga (Widodo, 2009)..
8
Kegawatan abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat
kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri
sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera
yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan
intraabdomen, infeksi, dan obstruksi. Perforasi usus adalah komplikasi
yang cukup serius, terjadi pada 1-3 % kasus. Terdapat lubang di usus,
akibatnya isi usus dapat masuk ke dalam rongga perut dan menimbulkan
gejala. Tanda-tanda perforasi usus adalah nyeri perut yang tidak
tertahankan (acute abdomen), atau nyeri perut yang sudah ada sebelumnya
mengalami perburukan, denyut nadi meningkat dan tekanan darah
menurun secara tiba-tiba. Kegawatan abdomen ini membutuhkan
penanganan segera.Perforasi intestinal dapat dibagi menjadi perforasi non
trauma, misalnya pada ulkus peptik, tifoid dan apendisitis serta perforasi
oleh trauma (tajam dan tumpul) (Widodo, 2009).
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun
pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau
tromboflebitis vena femoralis.15 Pada mereka yang mendapatkan infeksi
ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,
kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek.
Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat
menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh
persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan
timbulnya relaps (Widodo, 2009). Kekambuhan dapat terjadi bila kuman
masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan
berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella
dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier
(Parry,2005).
9
4. Penegakkan Diagnosis
Menurut Mehta (2008), diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan
pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu isolasi bakteri,
deteksi antigen mikroba dan titrasi antibodi terhadap organisme penyebab.
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya
positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah
yang diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa). Pada daerah endemik
dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas
kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi) (Bhutta,
2006).
Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap
antigen Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen
O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada
hari 10-12 setelah sakit (Mehta, 2008). Pada orang yang telah sembuh,
antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H
setelah 10-12 bulan. Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk
menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis didasarkan atas kenaikan
titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari atau
bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang
sehat setempat (Zulkarnain, 2000).
Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil
pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap
Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan
hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D (Mehta, 2008).
Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan
IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan
terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase
pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi,
oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut dan
kasus dalam masa penyembuhan. Pemeriksaan yang lebih baru lagi adalah
10
Typhidot M yang hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot
M memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan
Typhidot (Bhutta,2006) Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi
tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan
sebelumnya (Mehta, 2008).
Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting
untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu,
dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis (Zulkarnain, 2000)
11
III.HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Pipet
b. Mikropipet
c. Jarum ose
d. Drugalsky
e. Tabung reaksi
f. Rak tabung reaksi
g. Cawan Petri
h. Api bunsen
i. Objek glass
j. Cover glass
k. Mikroskop
l. Tissue
m. Selotip
2. Bahan
a. Medium Lactose Broth (LB)
b. Medium Selenith Broth (SB)
c. Medium SSA
d. Medium TSIA
e. Medium SIMA
f. Kristal Ungu
g. Kalium Iodida
h. Alkohol Aseton
i. Aquades
j. Safranin
12
B. Langkah Kerja
1. Sampel diambil dari feses yang dicurigai terinfeksi bakteri Salmonella
Typhi, masukkan sebanyak 1 gram
2. Masukkan media Lactose Broth (LB), inkubasi selama 1x 24 jam dalam
suhu 370C
3. masukkan ke dalam Selenith Broth (SB), Inkubasi selama 1x 24 jam
dalam suhu 370C
4. Setelah inkubasi selesai :
a. dengan menggunakan jarum ose, inokulasikan pada medium SSA
secara streak atau kuadran, atau
b. 0,1 ml dengan mikropipet masukkan dalam medium SSA dan
diratakan dengan drugalsky
5. Inkubasi sampel pada suhu 37 OC selama 1-2 x 24 jam
6. Amati pertumbuhan koloni yang terbentuk, jika nampak koloni berwarna
merah atau bening keruh dan pada bagian tengahnya berwarna hitam
menunjukkan adanya koloni Salmonella.
7. Koloni yang diduga Salmonella kemudian dilakukan pewarnaan gram
dengan cara :
a. Buat preparat ulas dari suspensi kuman yang diduga S. typhi.
b.Lakukan fiksasi dengan hati-hati
c. Genangi preparat dengan kristal ungu dan dibiarkan selama 30 detik
d.Cuci dengan air mengalir dan dikeringkan
e. Genangi preparat dengan kalium iodida dan dibiarkan selama 45 detik
f. Cuci dengan air mengalir
g.Cuci dengan alkohol aseton sampai warna ungu hilang dan dikeringkan
h.Genangi preparat dengan safranin dan dibiarkan selama 30 detik
i. Cuci dengan air mengalir dan dikeringkan
j. Amati preparat dengan mikroskop.
13
8. Sebagian sampel dari koloni tersebut juga ditumbuhkan pada media tegak
miring TSIA dan SIMA untuk identifikasi jenis Salmonella. Inkubasi
pada suhu 35 OC selama 1 x 24 jam.
9. Amati pertumbuhan koloni dan perubahan media identifikasi.
C. Hasil
(lampiran 1)
D. Pembahasan
Tabel 1. Pembahasan
Hari ke- Pembahasan
1 Tahap pre Enrichment, yakni tahap pengkayaan bakteri
secara umum pada media LB (Lactose Broth). Tahap Feses pre
Enrichment pada keompok 11 dan kelompok 12 memberikan hasil
spesimen feses yang berwarna kehijauan yang telah dimasukkan
kedalam media LB sebelum dilakukan inkubasi 1x 24 jam.
Sebagian besar mendapatkan warna pada tabung reaksi menjadi
kekuningan.
2Tahap Enrichment, sampel feses tercampur bersama
media SB (Selenith Broth) dan diinkubasi selama 1x24 jam pada
suhu 37oC. Tahap pengkayaan untuk bakteri Salmonella sp. dan
Shigella sp. Media pengaya, digunakan dengan maksud
memberikan kesempatan terhadap satu jenis atau kelompok
mikroba untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat dari
jenis/kelompok lainnya yang sama-sama berada dalam satu bahan.
Misalnya untuk memindahkan bakteri penyebab penyakit tipoid
dari bahan tinja. Dalam media pengaya ini masih memungkinkan
terjadinya pertumbuhan dan perkembangan semua jenis kelompok
yang berada dalam bahan. Hal ini disebabkan karena kandungan
14
mikroba dalam tinja bukan hanya puluhan, tetapi mungkin ratusan
jenis mikroba.
Medium Lactose Broth digunakan untuk menumbuhkan
bakteri Salmonella dan bakteri koliform dari makanan. Tanda
positif pada tabel 3.1 menunjukan adanya bakteri koliform dalam
sampel feses yang diuji. Indikator yang digunakan dalam
melakukan pengamatan ini adalah dengan melihat perubahan
warna menjadi kuning, ada atau tidaknya gelembung dalam tabung
reaksi dan gas pada tabung reaksi. Hal ini terjadi karena bakteri
kioliform yang tumbuh mampu memfermentasikan laktosa
menjadi asam dan gas. Gelembung gas yang muncul menunjukan
adanya metabolisme pada bakteri tersebut.
Medium Selenith Broth digunakan untuk memberikan
kesempatan pertumbuhan dan perkembangan bakteri, khususnya
Salmonella. Medium ini juga akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bakteri lain. Pada rentang waktu 18-22 jam, bakteri
selain Salmonella akan terhenti pertumbuhannya dan untuk bakteri
Salmonella akan terjadi pertumbuhan serta perkembangan. Dengan
metode ini diharapkan pada saat melakukan pengisolasian
selanjutnya akan didapatkan bakteri Salmonella saja.
Pada sebagian besar kelompok, mendapatkan pada media
LB berwarna putih hingga kuning keruh. Pada media SB,
didapatkan warna kuning jernih.
3 Pengamatan pada medium SB yang telah diinkubasi
selama 24 jam dan dilakukan percobaan menggunakan mesin
vortex untuk menilai campuran dari medium SB tersebut. Medium
Selenith Broth merupakan media yang digunakan untuk
mengembangbiakan Salmonella. Pada hasil inkubasi yang positif
biasanya didapatkan adanya endapan berwarna merah yang
15
menunjukan adanya koloni bakteri Salmonella. Faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah zat makanan, pH, air,
oksigen, dan senyawa penghambat pertumbuhan (Fardiaz, 1992).
Pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh wakti, potensial
reduksi oksidasi, struktur biologi, dan faktor pengolahan (Buckle,
1987). Semua kelompok medapatkan perubahan warna menjadi
kuning keruh.
4 Pengamatan morfologi koloni yang diambil dari hasil
isolasi bakteri pada medium Selenith Broth Agar. Pengamatan
morfologi koloni ini dilakukan setelah proses penanaman/inokulasi
menggunakan jarum ose dengan metode streak plate. Proses
penanaman ini dilakukan pada 2 cawan yang mengamdung
medium Salmonella Shigella Agar (SSA).
Media Salmonella Shigella Agar (SSA) adalah media
yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri Salmonella dan
Shigella, karena media ini termasuk ke dalam media selektif yang
membuat pertumbuhan bakteri selain Salmonella dan Shigella
tidak tumbuh. Media selektif merupakan media yang mencegah
pertumbuhan mikroba lain, sehingga dapat mengisolasi mikroba
tertentu yang diinginkan. Media ini mengandung nutrisi dan zat
aktif tertentu yang dapat menekan pertumbuhan mikroba lain serta
meningkatkan pertumbuhan bakteri yang diinginkan.
Sebagian besar kelompok mendapatkan hasil
Ukuran : kecil
Bentuk : bulat
Warna : merah muda
Tepi : rata
Permukaan : halus
Bau : busuk
16
Elevasi : cembung
Perbedaan yang ditemukan diantaranya ada beberapa kelompok
yang menyebutkan warna coklat. Perbedaan warna yang
ditimbulkan dapat disebabkan karena kondisi penanaman yang
kurang asepsis.
5 Pengamatan morfologi koloni kembali dan dilakukan
pengamatan pada medium TSIA dan SIMA. Selain itu dilakukan
pula pewarnaan gram untuk dilakukan pengamatan. Sebagian
besar kelompok mendapatkan
TSIA
Tabung I
Lereng: merah
Bawah: kuning
Gas: (++)
Tabung II
Lereng: kuning
Bawah: kuning
Gas: (-)
SIMA
Tabung I
H2S (-)
Motilitas (+)
Tabung II
H2S (-)
Motilitas (+)
Pewarnaan gram : merah muda, gram negatif, tidak berspora,
17
bentuk batang
Hasil praktikum diperoleh Salmonella sp. merupakan
bakteri gram negatif, berbentuk batang, dan berwarna merah
karena tidak dapat mempertahankan zat warna kristal violet
sewaktu proses pewarnaan gram (Madigan et al., 2006). Banyak
spesies bakteri gram negatif yang bersifat patogen, yang berarti
berbahaya bagi organisme inang. Sifat patogen ini umumnya
berkaitan dengan komponen tertentu pada dinding sel gram
negatif, terutama lapisan lipopolisakarida (dikenal juga dengan
LPS atau endotoksin) (Prescott et al., 2002).
Terdapat perbedaan hasil penanaman pada media TSIA,
sediaan sampel pada cawan 1 memiliki warna yang berbeda-beda
setiap kelompoknya. Penanaman yang tepat akan memberi warna
lereng kemerahan dan warna dasar kuning. Perbedaan ini
kemungkinan berhubungan erat dengan keberadaan mikroba lain
akibat, kontaminasi alat dan bahan, dan perbedaan waktu
pengamatan. Pada media SIMA, seluruh kelompok mendapatkan
hasil motilitas positif dan tidak menghasilkan H2S. Bila dilihat dari
literatur, hanya bakteri batang motil pada gram negatif saja yang
memenuhi atau merupakan karakteristik Salmonella sp karena
memiliki flagel peritrik (Jawetz, 2007).
IV. PENUTUP
18
A. Kesimpulan
1. Pemeriksaan bakteri Salmonella thypi dengan menggunakan sampel feses
dapat dilakukan melalui tahapan pre enrichment, enrichment, isolasi
bakteri, penanaman pada media TSIA dan SIMA serta media SSA, dan
terakhir adalah tahap identifikasi dengan pengamatan hasil serta
pewarnaan Gram
2. Identifikasi bakteri dapat diamati pada media TSIA berupa warna lereng
dan warna dasar, SIMA dengan mengamati motilitas bakteri, serta
pewarnaan Gram untuk pemeriksaan mikroskopis
3. Salmonella thypi dapat diamati dengan penanaman yang tepat pada TSIA
akan memberikan warna lereng merah dan dasar kuning, pada SIMA
menunjukan bentuk seperti akar yang berarti motilitas (+) serta pewarnaan
Gram menunjukkan bakteri berbentuk batang, gram negative berwarna
kemerahan dan tidak berspora.
DAFTAR PUSTAKA
19
Baron. 2005. Medical Microbiology. Edisi 4 The University of Texas Medical at Galveston.
Bhutta, Z.A. 2006. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ; 333: 78-82.
Bhutta, Z.A. 2006. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract. BMJ; 14: 266-72.
Brooks, B. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 1. Surabaya: FKU Unair.
Brooks, N., A. Hossain and M.A. Baker. 2004. Medical Microbiology and Imunology. New York: Lange Medical Books.
Cammie F. L., S.I. Miller. 2005. Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine (16th ed). page :897-900
Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current Medical Diagnosis and Treatment (45th ed). Page :1425-1426.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed). Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
Jawetz, M.A. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Madigan M.T, J.M. Martinko and T.D. Brock . 2006. Brock Biology of Microorgnisms. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV . Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Mehta, KK. 2008. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update ; 18: 201-4
Parry C.M. 2005. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever [Internet]. 2005 [cited 2011 Mar 3]. Available from: www.cambridge.org
Prescott LM, Harley JP, Klein DA. 2002. Microbiology. 5th Ed. Boston: McGraw-Hill.
Salyers, A.A, Whitt D.D., 2000. Salmonella Infections. Dalam : Bacterial Pathogenesis. A molecular Approach
20
Soegijanto,S.2002.Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa & Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika
Sumarmo S.2002.Garna H, Sri RSH, Hindra IS. Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Widodo D. 2009. Demam Tifoid. In; Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. 5th ed. Jakarta : Interna Publishing
Winn, W.A. 2006. Koneman’s color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology 6th edition. Baltimore. MD.
World Health Organization. 2004. Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. WHO/V&B/03.07.Geneva : World Health Organization 7-18.
Zulkarnain, I.2000. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p.6-12
21
22
23
24
25
26
27
Lampiran 2. Foto Kegiatan
Gambar 1. Hari ke-1
28
Gambar 2. Hari ke-2
gambar 3. Hari ke-3
29
Gambar 4. Hari ke-4
Gambar 5. Hari ke-5
30
31