Pemukiman Rumah BAli New
-
Upload
uci-maharani -
Category
Documents
-
view
56 -
download
0
Transcript of Pemukiman Rumah BAli New
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rumah adat bali memiliki ciri khas arsitektur yang timbul dari
suatu tradisi, kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali yang
diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik. Seperti rumah adat, tempat
suci (tempat pemujaan yang disebut pura), balai pertemuan, dan lain-
lain. Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu keadaan geografi, budaya, adat-istiadat, dan
sosial ekonomi masyarakat.
Dilihat dari sudut pandang geografi arsitektur bali
menyesuaikan dengan iklim tropis Indonesia dan keadaan dataran
tinggi ataupun rendah, untuk daerah dataran tinggi pada umunya
bangunannya kecil-kecil dan tertutup untuk menyesuaikan keadaan
lingkungannya yang cenderung dingin. Tinggi dinding di buat pendek,
untuk menghindari sirkulasi udara yang terlalu sering. Luas dan
bentuk pekarangan relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan
dengan topografi tempat tinggalnya. Sedangkan untuk daerah dataran
rendah, pekarangannya relatif luas dan datar sehingga bisa
menampung beberapa massa dengan pola komunikatif, umumnya
berdinding terbuka, yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri.
Seperti bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale
dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari kalangan biasa, bale
dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, jineng untuk lumbung
padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Untuk keluarga raja dan
brahmana pekarangnnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu jaba sisi
(pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan tengah) dan jero
(pekarangan untuk tempat tinggal). Dari aspek budaya dan adat
istiadat arsitektur bali lebih cenderung membuat bangunan yang bisa
digunakan untuk berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti
tidur, memasak dan untuk hari-hari tertentu juga digunakan untuk
upacara..
Dari aspek ekonomi terlihat dari bahan bangungan yang
mencerminkan status sosial pemiliknya. Masyarakat biasa
menggunakan popolan (speci yang terbuat dari lumpur tanah liat)
untuk dinding bangunan, sedangkan golongan raja dan brahmana
menggunakan tumpukan bata-bata. Untuk tempat suci/tempat
pemujaan baik milik satu keluarga maupun milik suatu kumpulan
kekerabatan menggunakan bahan sesuai kemampuan ekonomi
masing-masing keluarga. Seperti untuk bahan atap menggunakan ijuk
bagi yang ekonominya mampu sedangkan bagi yang ekonominya
kurang mampu bisa menggunakan alang-alang atau genteng.
Ditinjau dari konteks tropic arsitektur bangunan adat bali yang
terletak didaerah dataran tinggi yang bangunannya kecil dan
mempunyai fungsi yang berbeda di setiap bangunannya. Yaitu
bertujuan untuk menghindari banyaknya cut and fill terhadap kontur
tanah di dataran tinggi yang berkontur tidak rata. Selain itu, hal ini juga
berguna untuk aliran air hujan yang akan melewati bangunan dan
tidak menimbulkan longsor. Tujuan lain dari bangunan kecil ini agar
menjaga suhu ruangan supaya tetap hangat.
Dapat dilihat arsitektur tradisional bali sudah memikirkan
bentuk bangunan yang sesuai dengan keadaan geografi, aspek
ekonomi, dan adat istiadat. Sehingga bangunan ini sudah cukup
nyaman bagi penghuni khususnya warga bali yang tinggal di daerah
dataran tinggi bali
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui perbedaan antara rumah adat di berbagai
tempat dengan rumah biasa menurut persyaratan rumah sehat
yang ada.
2. Untuk mempelajari karakteristik rumah adat di Bali
BAB II
ISI
A. PENGERTIAN RUMAH
Menurut Undang – Undang No 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
Rumah yang sehat sebagai tempat untuk berlindung, beristirahat, dan
sarana pembinaan keluarga. Sehingga menumbuhkan kehidupan
yang sempurna baik fisik, rohani, maupun sosial.
B. RUMAH ADAT
Di Indonesia mempunyai berbagai macam rumah adat
karena Indonesia mempunyai berbagai suku dan budaya untuk setiap
daerahnya.
C. RUMAH ADAT BALI
1. Bangunan Hunian
Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita
Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-
pedoman seperti tersebut di atas. Sudut utara-timur adalah tempat
yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan
(sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan
merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah,
merupakan arah masuk ke hunian.
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang
dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai
penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi),
tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh
jahat/jelek. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung
padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan-
bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah
meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale
sekenam) merupakan bangunan terbuka.
Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang
merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur
kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan
bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan
fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-
ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga).
Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai
pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-
ruang tersebut di atas.
2. Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam
Mengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan
hunian pada umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali terdiri dari
beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan
masa tersebut dilingkup oleh sebuah tembok/dinding keliling.
Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga
menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut
sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali
adalah sebuah ruang luar. Konsep pagar keliling dengan masa-
masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan antara
konsep Bali dengan dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep
pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga sering digunakan
dalam usaha untuk “meminjam” unsur alam ke dalam bangunan.
Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale
sikepat, bale sekenam, lumbung dan paon adalah masa bangunan
yang karena beratap, mempunyai ruang dalam. Masa-masa
tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang yaitu elemen
lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat
maupun bale sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang
memiliki empat dinding penuh hanyalah uma meten).
Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale
sikepat dan bale sekenam membentuk suatu ruang pengikat yang
kuat sekali yang disebut natah. Ruang pengikat ini dengan
sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar pengikat
yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang
diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi.
Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu
sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi natah
sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini
ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari ‘ruang
luar’ menjadi ‘ruang dalam’ karena hadirnya elemen ketiga (atap)
ini. Elemen pembentuk ruang lainnya adalah lantai tentu, dan
dinding yang dibentuk oleh ke-empat masa yang mengelilinginya.
Secara harafiah elemen dinding yang ada adalah elemen dinding
dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang terjauh
jaraknya dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka
adalah sangat menarik, karena keempat masa yang
mengelilinginya ditambah dengan natah (yang menjadi ruang
tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap seperti
hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah natah akan
menjadi suatu ‘ruang dalam’ yang ‘satu’, dengan paon dan
lumbung adalah fungsi service dan pamerajan tetap sebagai
daerah yang ditinggikan. Daerah pamerajan juga merupakan suatu
ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang
membatasinya.
3. Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif
Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian,
angkul-angkul berfungsi sebagai gerbang penerima. Kemudian
orang akan dihadapkan pada dinding yang menghalangi
pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh derajat.
Keberadaan dinding ini (aling-aling), dilihat dari posisinya
merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-privaci-an
terjaga. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan
oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak
ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling
ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya
dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker.
Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni
beraktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu
ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas
antara ruang positip dan ruang negatip.
Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, “natah”
berlokasi di daerah madya-ning-madya, suatu daerah yang sangat
“manusia”. Apalagi kalau dilihat dari fungsinya sebagai pusat
orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah ruang positip.
Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa
yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order.
Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh
penyengker (keliling), sehingga daerah ini telah diberi “frame”
untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai dan
dinding serta menjadi ‘ruang-luar’ dengan ketidak-hadiran elemen
atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan
penghuni melakukan aktifitasnya disana.
Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal
dibangun, sedang daerah public dan bangunan service (paon,
lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir.
Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu
ruang-positip; dimana ruang positip pertama kali dibuat
(Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya adalah ruang-negatip.
Kemudian ruang-negatip tersebut diberi ‘frame’ untuk menjadi
sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir
masa-masa uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat,
bale sekenam, lumbung, paon dan lain-lain. Kegiatan serta aktifitas
manusia terjadi pada ruang positip baru ini.
4. Konsistensi dan Konsekuensi
Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana
sebuah bangunan (rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap,
di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian adalah sebuah
halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar dari batu bata
dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian bangunan
terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Sebuah hunian di Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia
yang lain mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat tidur, tempat
bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang (berharga
dan makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain.
Ruang - ruang, sebagai wadah suatu kegiatan contoh untuk
aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah bangunan yang berdiri
sendiri.Sedang dilain pihak secara umum sebuah ruang tidur
merupakan bagian sebuah bangunan.Ruang tidur adalah bagian
dari ruang-dalam atau interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale
sekenam, Paon merupakan massa bangunan yang berdiri sendiri.
Menurut Yoshinobu Ashihara ruang-dalam adalah ruang dibawah
atap, sehingga Uma meten dan lain-lain adalah juga ruang-dalam
atau interior. Ruang diluar bangunan tersebut (natah) adalah ruang
luar, karena kehadirannya yang tanpa atap. Apabila bagian-bagian
bangunan Hunian Bali dikaji dengan kaidah-kaidah ‘Ruang luar-
Ruang dalam’, terutama juga apabila bagian-bagian hunian Bali
dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri, maka adalah
konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah hunian adalah ruang
luar (natah) yang juga pusat sirkulasi.Pada kenyataannya ruang ini
adalah bagian utama (yang bersifat ‘manusia’) dari hunian Bali.
Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah
adalah bagian dari aktifitas utama sebuah hunian yang sudah
selayaknya merupakan bagian dari aktivitas ruang-dalam atau
interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan keberadaan bale
sikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki
dinding dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding
yang ‘membuka’ ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang
menyatu. Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten
disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta
natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan
yang ada pada masa kini, dimana bale-bale adalah ruang tidur,
natah adalah ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai
ruang keluarga. Apabila dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon
(dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang
makan, maka hunian Bali, teryata identik dengan hunian-hunian
berbentuk flat pada hunian orang Barat.
Kajian terhadap hunian Bali ini, apabila hunian tersebut
dipandang sebagai satu kesatuan utuh rumah tinggal,
konsekuensinya adalah ruang didalam penyengker (dinding batas)
adalah ruang-dalam. Bangunan dalam hunian Bali tidak dilihat
sebagai massa tetapi harus dilihat sebagai ruang didalam ruang.
Apalagi bila dilihat kehadiran dinding-dinding pada bale tiang
sanga, bale sikepat maupun sekenam yang ‘membuka’ kearah
yang me-enclose ruang, maka keadaan ini memperkuat kehadiran
nuansa ruang-dalam atau interior pada hunian tradisional Bali.
Dengan kondisi demikian maka penyengker adalah batas antara
ruang-dalam dan ruang-luar (jalan desa). Hal ini ternyata memiliki
kesamaan dengan pola yang ada di Jepang, yang oleh Ashihara
(1970) dinyatakan:
………………Japanese wooden houses do not directly face
the street but surrounded by fences. Since the garden is invisible
from the street, it is ruled by the order inside the house……………
………………………………..
………………in the case of Japanese houses, garden are ruled by
interior order, and fences serve as boundaries to separate interior
from exterior space.
Pada kajian ini terlihat adanya kesamaan sifat halaman
sebagai ruang-dalam atau interior pada hunian arsitektur
tradisional Bali maupun arsitektur tradisional Jepang. Meskipun
pada hunian Bali kesan ruang-dalam lebih terasa dan jelas
dibandingkan dengan hunian Jepang.
Kajian ini semakin menarik apabila dikaitkan dengan teori
Yoshinubo Ashihara diatas; bahwa ruang-luar adalah ruang yang
terjadi dengan membatasi alam yang tak terhingga (dengan
batas/pagar dll) dan juga ruang-luar adalah ruang dimana elemen
ketiga dari ruang (yaitu atap) tidak ada. Dilain pihak ruang-dalam
adalah lawan dari ruang-luar (dimana terdapat elemen ruang yang
lengkap yaitu alas, dinding dan atap). Maka pada kasus hunian,
teori Yoshinobu Ashihara ternyata saling bertentangan. Baik
pertentangan antara ruang-luar terhadap ruang-dalam dikaitkan
dengan terjadinya maupun keterkaitan dengan elemen alas,
dinding dan atap.
Pada hunian Jepang, dikatakan oleh Yoshinobu Ashihara
dinding pagar adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar.
Pada hunian Bali, penyengker berfungsi sama dengan hal
tersebut. Penyengker bisa menghadap alam bebas, tetangga
maupun jalan desa. Pada kasus penyengker menghadap jalan
desa, kemudian jalan desa menghadap penyengker bangunan
yang lain, maka jalan desa adalah ruang luar yang positip. Pada
jalan desa terjadi aktivitas dimana masyarakat menggunakan baik
untuk kegiatan sehari-hari maupun sarana kegiatan prosesi ritual
dan seni. Aktifitas yang memusat ke dalam (centripetal order) ini
disebut Yoshinobu Ashihara, ruang positip
BAB III
PEMBAHASAN
Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang sangat
penting bagi kehidupan setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai
tempat untuk melepas lelah setelah bekerja seharian, namun didalamnya
terkandung arti yang penting sebagai tempat untuk membangun
kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Rumah yang sehat dan layak
huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah yang
sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni. Rumah
sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi didalam rumah dan perumahan
sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat
kesehatan yang optimal. Untuk menciptakan rumah sehat maka
diperlukan perhatian terhadap beberapa aspek yang sangat berpengaruh,
antara lain:
1. Sirkulasi udara yang baik.
2. Penerangan yang cukup.
3. Air bersih terpenuhi.
4. Pembuangan air limbah diatur dengan baik agar tidak
menimbulkan pencemaran.
5. Bagian-bagian ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab serta
tidak terpengaruh pencemaran seperti bau, rembesan air kotor
maupun udara kotor.
Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai
berikut:
1. Bahan Bangunan
a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat
yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain sebagai
berikut :
Debu Total tidak lebih dari 150 µg m3
Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam
Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme patogen.
2. Komponen dan penataan ruang rumah
Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan
biologis sebagai berikut:
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan
b. Dinding
- Di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana
ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara
- Di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan
mudah dibersihkan
c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan
kecelakaan
d. Bumbung rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih
harus dilengkapi dengan penangkal petir
e. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai
ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur,
ruang dapur, ruang mandi dan ruang bermain anak.
f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan
asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam atau buatan langsung atau tidak langsung
dapat menerangi seluruh bagian ruangan minimal intensitasnya
60 lux dan tidak menyilaukan.
4. Kualitas Udara
Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai
berikut :
a. Suhu udara nyaman berkisar antara l8°C sampai 30°C
b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%
c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam
d. Pertukaran udara
e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8jam
f. Konsentrasi gas formaldehide tidak melebihi 120 mg/m3
5. Ventilasi
Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen
minimal 10% dari luas lantai.
6. Binatang penular penyakit
Tidak ada tikus bersarang di rumah.
7. Air
a. Tersedia air bersih dengan kapasitas minmal 60 lt/hari/orang
b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air
bersih dan air minum sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
8. Tersediannya sarana penyimpanan makanan yang aman dan
hygiene.
9. Limbah
a. Limbah cair berasal dari rumah, tidak mencemari sumber air,
tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan
tanah.
b. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau,
tidak menyebabkan pencemaran terhadap permukaan tanah
dan air tanah.
10. Kepadatan hunian ruang tidur
Luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan
lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak
dibawah umur 5 tahun.
Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah
tinggal, menurut kami :
Rumah bali sudah memenuhi persyaratan rumah sehat
dalam hal atap sudah memenuhi persyaratan rumah sehat karena
terbuat dari genteng, lantai juga sudah sesuai karena terbuat dari
keramik sehingga kedap air, dan mudah dibersihkan. Selain itu,
lantai terletak lebih tinggi daripada bangunan rumah biasa. Hal itu
bertujuan agar air hujan tidak dapat masuk ke dalam rumah.
Jendela di rumah adat Bali jumlahnya sedikit sehingga tidak
memenuhi syarat rumah sehat yang seharusnya luas jendela 10%
dari luas lantai. Tidak hanya itu, jendelanya tidak selalu dibuka
sehingga pertukaran udara tidak dapat berjalan dengan lancar
maka, menyebabkan kelembabannya tinggi dan menyebabkan
rumah tersebut tidak sehat. Luas bangunan menurut persyaratan
60 % dari luas lahan,untuk rumah bali sudah sesuai karena luas
yang digunakan untuk bangunan tidak lebih dari 60 % dibuktikan
dengan adanya halaman yang cukup luas. Kemudian untuk
pencahayaan yang berasal dari atas tidak sesuai dari persyaratan
karena atapnya tertutup oleh genteng tanah liat tanpa genteng
kaca.
Rumah Adat Bali tampak dari samping
Rumah Adat Bali tampak dari atas
Daftar Pustaka
1. http://arsitekturberkelanjutan.wordpress.com/2010/05/06/163/
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Bali
3. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/artiekel-keddy-2.pdf
KESIMPULAN DAN SARAN