PEMODELAN KEJADIAN BALITA GIZI BURUK DI … · 1 PEMODELAN KEJADIAN BALITA GIZI BURUK DI PROVINSI...

13
1 PEMODELAN KEJADIAN BALITA GIZI BURUK DI PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN PENDEKATAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION Rahandini Lukita Lestari 1 dan Sutikno 2 1 Mahasiswa Jurusan Statistika, ITS, Surabaya 2 Dosen Pembimbing, Jurusan Statistika, ITS, Surabaya [email protected]; [email protected] Abstrak Berbagai model telah dikembangkan dalam upaya penanganan kasus balita gizi buruk di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Pemodelan kejadian balita gizi buruk dengan regresi linier yang bersifat global belum tentu cocok diterapkan di seluruh Jawa Timur karena setiap wilayah pasti memiliki karakteristik wilayah yang berbeda. Geographically Weighted Regression (GWR) adalah bentuk lokal regresi global dengan memperhitungkan faktor spasial sebagai variabel bebas yang dapat mempengaruhi variabel respon. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian balita gizi buruk di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan GWR dan pembobot fungsi kernel gaussian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deskripsi kejadian balita gizi buruk tiap kabupaten/kota di Jawa Timur menunjukkan variasi secara spasial. Model GWR menghasilkan R 2 lebih besar daripada model regresi Ordinary Least Square (OLS), yaitu 95,67 persen, dan Sum Squares Error (SSE) yang lebih kecil, yaitu 14,45823. Kesimpulan lain diperoleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk di Jawa Timur adalah persentase bayi mendapat vitamin A, ibu mendapat Tablet Fe, pemeriksaan neonatus (KN1), pemeriksaan kehamilan, akses air bersih, pemanfaatan pelayanan penyuluhan, pemanfaatan pelayanan imunisasi, bayi berat lahir rendah, dan kemiskinan. Kata kunci : Balita Gizi Buruk, Regresi Linear, GWR, Kernel Gaussian 1. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab yang menonjol diantaranya karena keadaan gizi yang kurang baik atau bahkan buruk. Kondisi gizi anak-anak Indonesia rata-rata lebih buruk dibanding gizi anak-anak dunia dan bahkan juga dari anak-anak Afrika (Anonim, 2006). Badan kesehatan dunia WHO memperkirakan bahwa 54 persen kematian bayi dan anak dilatarbelakangi keadaan gizi yang buruk sedangkan masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80 persen kematian anak (WHO, 2011). Status gizi buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja. Prevalensi balita gizi buruk merupakan indikator Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai disuatu daerah (kabupaten/kota) pada tahun 2015, yaitu terjadinya penurunan prevalensi balita gizi buruk menjadi 3,6 persen atau kekurangan gizi pada anak balita menjadi 15,5 persen (Bappenas, 2010). Pencapaian target MDGs belum maksimal dan belum merata di setiap provinsi. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9 persen dan kekurangan gizi 17,9 persen. Provinsi Jawa Timur termasuk daerah dengan balita gizi buruk masih tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan prevalensi gizi buruk sebesar 4,8 persen. Berbagai penelitian yang berkaitan dengan status gizi balita telah dilakukan, diantaranya Paramita (2008), Hayati (2009), Riskiyanti (2010), serta Inadiar (2010). Paramita (2008) melakukan klasifikasi terhadap status gizi balita di Kabupaten Nganjuk dengan bagging regresi logistik ordinal. Hayati (2009) melakukan pengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan status gizi buruk balita dengan analisis diskriminan. Riskiyanti (2010) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi angka harapan hidup, angka kematian bayi dan status gizi buruk di Provinsi Jawa Timur dengan analisis regresi multivariat. Inadiar (2010) meneliti tentang perbedaan pola asah, asih, asuh pada balita status gizi kurang dan normal dengan menggunakan uji Chi-square. Penelitian- penelitian tersebut sebagian besar tidak menekankan aspek humaniora. Aspek humaniora, seperti

Transcript of PEMODELAN KEJADIAN BALITA GIZI BURUK DI … · 1 PEMODELAN KEJADIAN BALITA GIZI BURUK DI PROVINSI...

1

PEMODELAN KEJADIAN BALITA GIZI BURUK DI PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN PENDEKATAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION

Rahandini Lukita Lestari1 dan Sutikno2

1Mahasiswa Jurusan Statistika, ITS, Surabaya

2Dosen Pembimbing, Jurusan Statistika, ITS, Surabaya [email protected]; [email protected]

Abstrak

Berbagai model telah dikembangkan dalam upaya penanganan kasus balita gizi buruk di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Pemodelan kejadian balita gizi buruk dengan regresi linier yang bersifat global belum tentu cocok diterapkan di seluruh Jawa Timur karena setiap wilayah pasti memiliki karakteristik wilayah yang berbeda. Geographically Weighted Regression (GWR) adalah bentuk lokal regresi global dengan memperhitungkan faktor spasial sebagai variabel bebas yang dapat mempengaruhi variabel respon. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian balita gizi buruk di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan GWR dan pembobot fungsi kernel gaussian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deskripsi kejadian balita gizi buruk tiap kabupaten/kota di Jawa Timur menunjukkan variasi secara spasial. Model GWR menghasilkan R2 lebih besar daripada model regresi Ordinary Least Square (OLS), yaitu 95,67 persen, dan Sum Squares Error (SSE) yang lebih kecil, yaitu 14,45823. Kesimpulan lain diperoleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk di Jawa Timur adalah persentase bayi mendapat vitamin A, ibu mendapat Tablet Fe, pemeriksaan neonatus (KN1), pemeriksaan kehamilan, akses air bersih, pemanfaatan pelayanan penyuluhan, pemanfaatan pelayanan imunisasi, bayi berat lahir rendah, dan kemiskinan. Kata kunci : Balita Gizi Buruk, Regresi Linear, GWR, Kernel Gaussian

1. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun

(balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab yang menonjol diantaranya karena keadaan gizi yang kurang baik atau bahkan buruk. Kondisi gizi anak-anak Indonesia rata-rata lebih buruk dibanding gizi anak-anak dunia dan bahkan juga dari anak-anak Afrika (Anonim, 2006). Badan kesehatan dunia WHO memperkirakan bahwa 54 persen kematian bayi dan anak dilatarbelakangi keadaan gizi yang buruk sedangkan masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80 persen kematian anak (WHO, 2011). Status gizi buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.

Prevalensi balita gizi buruk merupakan indikator Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai disuatu daerah (kabupaten/kota) pada tahun 2015, yaitu terjadinya penurunan prevalensi balita gizi buruk menjadi 3,6 persen atau kekurangan gizi pada anak balita menjadi 15,5 persen (Bappenas, 2010). Pencapaian target MDGs belum maksimal dan belum merata di setiap provinsi. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9 persen dan kekurangan gizi 17,9 persen. Provinsi Jawa Timur termasuk daerah dengan balita gizi buruk masih tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan prevalensi gizi buruk sebesar 4,8 persen.

Berbagai penelitian yang berkaitan dengan status gizi balita telah dilakukan, diantaranya Paramita (2008), Hayati (2009), Riskiyanti (2010), serta Inadiar (2010). Paramita (2008) melakukan klasifikasi terhadap status gizi balita di Kabupaten Nganjuk dengan bagging regresi logistik ordinal. Hayati (2009) melakukan pengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan status gizi buruk balita dengan analisis diskriminan. Riskiyanti (2010) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi angka harapan hidup, angka kematian bayi dan status gizi buruk di Provinsi Jawa Timur dengan analisis regresi multivariat. Inadiar (2010) meneliti tentang perbedaan pola asah, asih, asuh pada balita status gizi kurang dan normal dengan menggunakan uji Chi-square. Penelitian-penelitian tersebut sebagian besar tidak menekankan aspek humaniora. Aspek humaniora, seperti

2

kekhasan budaya yang direpresentasikan kekhasan lokasi (kabupaten/kota) masih terbatas untuk dikaji. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikembangkan pemodelan balita gizi buruk yang mengakomodasi adanya aspek prilaku masyarakat yang direpresentasikan dalam spasial (lokasi).

Geographically Weighted Regression (GWR) adalah bentuk lokal regresi global. Metode ini memperhitungkan faktor spasial sebagai variabel bebas yang dapat mempengaruhi variabel respon. Pada penelitian ini dilakukan pemodelan balita gizi buruk di Provinsi Jawa Timur dengan pendekatan GWR karena variabel respon yang diteliti berbentuk kontinu. Selain itu, pemodelan dengan regresi linier yang bersifat global belum tentu cocok diterapkan di seluruh Jawa Timur, karena setiap wilayah pasti memiliki kondisi geografis yang berbeda, sehingga dapat menyebabkan adanya perbedaan kasus balita gizi buruk antara wilayah satu dengan wilayah yang lainnya. Perbedaan karakteristik wilayah dapat berupa masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, dan lingkungan. Salah satu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode GWR adalah Ayunin (2011) yang memodelkan status balita gizi buruk di Kabupaten Ngawi tahun 2009. Selain itu, metode GWR juga diterapkan Intan (2011) untuk memodelkan jumlah penderita tuberculosis (TB) di Provinsi Jawa Timur tahun 2010. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa setiap wilayah mempunyai perbedaan karakteristik satu sama lain, sehingga menghasilkan model yang juga berbeda. Dengan menggunakan metode GWR diharapkan dapat lebih menjelaskan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gizi buruk dengan cakupan daerah penelitian yang lebih luas, yaitu Jawa Timur dan variabel penelitian yang lebih informatif.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Metode regresi adalah metode yang digunakan untuk menyatakan pola hubungan antara satu variabel respon dan satu atau lebih variabel prediktor. Apabila variabel prediktor berjumlah lebih dari satu maka digunakan analisis regresi linier berganda. Untuk pengamatan sebanyak n dengan variabel prediktor (X) sebanyak p maka model regresi linear berganda dapat diformulasikan dalam bentuk matriks sebagai berikut (Draper dan Smith, 1992). y = Xβ + ε (1) dengan

y =

ny

yy

2

1

, X =

np

p

p

nn x

xx

xx

xxxx

2

1

21

2221

1211

1

11

, β =

p

1

0

, ε =

n

2

1

Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam regresi dengan beberapa variabel prediktor adalah tidak adanya korelasi antara satu variabel prediktor dengan variabel prediktor lainnya. Adanya korelasi dalam suatu model regresi menyebabkan taksiran parameter regresi yang dihasilkan akan memiliki error yang sangat besar. Kasus multikolinieritas dapat dilihat melalui nilai Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF lebih besar dari 10 maka terdapat indikasi multikolinieritas, dimana rumus VIF sebagai berikut (Hocking, 1996).

kk

k

kk rVIF 2

ˆvar

Pendugaan parameter model regresi dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Pendugaan parameter model didapat dari persamaan sebagai berikut (Draper dan Smith, 1992).

yXX)(Xβ T1T ˆ

Uji serentak dilakukan untuk mengetahui signifikansi parameter β terhadap variabel respon secara bersama-sama dengan analisis varians. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut. H0: β1 = β2 = … = βp = 0 dan H1: minimal ada satu βk ≠ 0; k = 1, 2, …, p

Statistik uji: MSEMSRFhit (2)

3

dimana MSR =

n

ii yy

1

2)ˆ( /p dan MSE =

n

iii yy

1

2)ˆ( /n-(p+1)

Daerah penolakan: tolak H0 jika Fhit > )1,;( pnpF atau jika p-value < α. Uji parsial dilakukan untuk mengetahui signifikansi parameter β terhadap variabel respon secara

parsial dengan menggunakan statistik uji t. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut. H0: βk = 0 dan H1: βk ≠ 0; k = 1, 2, …, p

Statistik uji: )ˆ(

ˆ

k

k

SEt

(3)

Daerah penolakan: tolak H0 jika 1;2/ pnhit tt atau atau jika p-value < α.

Dalam analisis regresi harus dilakukan pemeriksaan asumsi terhadap residual. Asumsi terhadap residual adalah residual identik, independen, dan berdistribusi normal (0, 2).

Geographically Weighted Regression (GWR) adalah model regresi yang dikembangkan oleh Fotheringham, dkk (2002) untuk variabel respon yang bersifat kontinyu yang mempertimbangkan aspek lokasi. Model GWR merupakan model regresi linier lokal yang menghasilkan dugaan parameter model regresi yang bersifat lokal untuk setiap titik atau lokasi dimana data tersebut dikumpulkan. Model GWR dapat diformulasikan sebagai berikut.

p

kiiikikiii vuxvuy

10 ),(),( ; ni ,...,2,1 (4)

dengan yi merupakan nilai observasi variabel respon ke-i, xik merupakan nilai observasi variabel prediktor k pada pengamatan ke-i, k=1, 2, ..., p, (ui,vi) merupakan titik koordinat (longitude, latitude) lokasi ke-i, β0(ui,vi) merupakan nilai intersep model GWR, βk(ui,vi) merupakan koefisien regresi untuk setiap lokasi (ui,vi), εi merupakan error ke-i yang diasumsikan identik, independen dan berdistribusi normal (0, 2I).

Estimasi parameter model GWR dilakukan dengan menggunakan metode Weighted Least Square (WLS) yaitu dengan memberikan pembobot yang berbeda pada setiap lokasi. Estimasi parameter model GWR pada persamaan untuk setiap lokasinya adalah

yWXXWXβ iiT

iiT

ii vuvuvu ,,,ˆ 1

Pengujian kesesuaian model (goodness of fit) dilakukan dengan menguji kesesuaian dari koefisien parameter secara serentak, yaitu dengan mengkombinasikan uji regresi linier dengan model untuk data spasial. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut. H0 : kiik vu , ; k = 1, 2, …, p (tidak ada perbedaan yang signifikan antara model regresi linier dan

GWR) H1 : paling sedikit ada satu kiik vu , (ada perbedaan yang signifikan antara model regresi linier

dan GWR)

Statistik uji: 10

22

11

pnHSSEHSSEFhit

(5)

Jika hipotesis null (H0) adalah benar berdasarkan data yang diberikan, maka nilai SSE (H0) akan sama dengan nilai SSE (H1). Akibatnya ukuran SSE (H1)/SSE (H0) akan mendekati satu, sebaliknya jika H0 tidak benar maka nilainya cenderung mengecil (Leung et. al., 2000 dalam Sugiyanto, 2008). menghasilkan nilai yang relatif kecil, maka dapat dikatakan bahwa hipotesis alternatif lebih cocok digunakan. Dengan kata lain model GWR mempunyai goodness of fit yang lebih baik dari pada model regresi global. Fhit akan mengikuti distribusi F dengan derajat bebas db=𝛿1

2 𝛿2 dan (n-p-1). dimana LILI

Ttr1 dan 22 LILI Ttr ,

yHIy THSSE 0 dimana TT XXXXH1

Sedangkan yLILIy TTHSSE 1

4

nnT

nnTT

n

TTT

TTT

vuvu

vuvuvuvu

,,

,,,,

1

221

222

111

111

WXXWXx

WXXWXxWXXWXx

L

Pengujian parameter model GWR dilakukan untuk mengetahui parameter mana yang signifikan

mempengaruhi variabel respon secara parsial. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut. H0 : 0, iik vu ; k = 1, 2, …, p dan H1 : 0, iik vu

Estimasi parameter ii vu ,β akan mengikuti distribusi normal dengan rata-rata ii vu ,β dan

matrik varians kovarians 2TCC dengan iiT

iiT vuvu ,,

1WXXWXC

.Sehingga didapatkan

kk

iikiik

cvuβvuβ

,,ˆ ~ N(0,1) (6)

dimana ckk adalah elemen diagonal ke-k dari matrik TCC

kk

iik

cvuβ

T

,ˆ (7)

Tolak H0 jika nilai 22

1;2 tThit

Estimasi parameter di suatu titik ii vu , akan lebih dipengaruhi oleh titik-titik yang dekat dengan lokasi ii vu , daripada titik-titik yang lebih jauh. Pemilihan pembobot spasial digunakan untuk menentukan besarnya pembobot masing-masing lokasi yang berbeda. Salah satu cara yang digunakan untuk menentukan besarnya pembobot adalah dengan fungsi kernel gaussian.

2

21exp, bdvuw ijiij (8)

dimana 22jijiij vvuud adalah jarak euclidean dan b adalah parameter non negatif yang

diketahui dan biasa disebut parameter penghalus (bandwidth). Bandwidth merupakan radius suatu lingkaran dimana titik yang berada dalam radius lingkaran

masih dianggap berpengaruh dalam membentuk parameter model lokasi i. Pemilihan bandwidth optimum menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi ketepatan model terhadap data, yaitu mengatur varians dan bias dari model. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan bandwidth optimum adalah metode Cross Validation (CV) (Fotheringham dkk., 2002) dan secara matematis dapat ditulis sebagai berikut.

n

iii byyhCV

1

2ˆ (9)

dengan by iˆ adalah penaksir yi dimana pengamatan di lokasi i dihilangkan dari proses penaksiran. Bandwidth yang optimal ditunjukkan dengan nilai CV minimum.

Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita (Soekirman, 2000).

Bappenas (2010) menjelaskan bahwa masih rendahnya status gizi balita dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial-budaya masyarakat seperti: (i) kesulitan dalam mendapatkan makanan yang berkualitas, terutama disebabkan oleh kemiskinan; (ii) perawatan dan pengasuhan anak yang tidak sesuai karena rendahnya pendidikan ibu; dan (iii) terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan, sanitasi dan air bersih.

5

3. METODOLOGI PENELITIAN Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari data

Riskesdas tahun 2007 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2007 yang bersumber dari Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan, Badan Litbangkes Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Lokasi penelitian adalah di Provinsi Jawa Timur yang terdiri atas 38 kabupaten/kota. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas variabel respon dan variabel prediktor yang berskala rasio. Variabel respon adalah persentase kejadian balita gizi buruk. Variabel prediktor adalah persentase bayi mendapat vitamin A (X1), ibu mendapat tablet Fe (X2), pemeriksaan neonatus (KN1) (X3), pemeriksaan kehamilan (X4), rumah tangga yang dapat mengakses air bersih (X5), rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan penyuluhan (X6), pelayanan imunisasi (X7), kejadian bayi berat lahir rendah (X8), dan rumah tangga miskin (X9). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Variabel penelitian dan definisi operasionalnya Kode Variabel Definisi Operasional

Y Kejadian balita gizi buruk Persentase balita dengan status gizi buruk pada tiap kabupaten/kota (jumlah balita dengan status gizi buruk dibagi dengan jumlah balita tiap kabupaten/kota)

X1 Bayi mendapat vitamin A Persentase bayi mendapat vitamin A pada tiap kabupaten/kota (jumlah bayi yang mendapat vitamin A dibagi dengan jumlah bayi tiap kabupaten/kota)

X2 Ibu hamil mendapat tablet Fe Persentase ibu hamil yang mendapat tablet Fe pada tiap kabupaten/ kota (jumlah ibu hamil yang mendapat tablet Fe dibagi dengan jumlah ibu hamil tiap kabupaten/kota)

X3 Pemeriksaan neonatus (KN1) Persentase pemeriksaan neonatus pertama pada tiap kabupaten/kota (jumlah pemeriksaan neonatus pertama dibagi dengan jumlah rumah tangga tiap kabupaten/kota)

X4 Pemeriksaan kehamilan Persentase rumah tangga yang memanfaatkan polindes/bidan desa untuk pemeriksaan kehamilan pada tiap kabupaten/kota (jumlah rumah tangga yang memanfaatkan polindes/bidan desa untuk pemeriksaan kehamilan dibagi dengan jumlah rumah tangga tiap kabupaten/kota)

X5 Akses air bersih Persentase rumah tangga yang dapat mengakses air bersih minimal 20 liter/orang/hari dari sumber ledeng, pompa, sumur terlindung, mata air terlindung, dan sumber air minum yang berada dalam radius 1 Km dari rumah pada tiap kabupaten/kota (jumlah rumah tangga yang dapat mengakses air bersih dibagi dengan jumlah rumah tangga tiap kabupaten/kota)

X6 Pelayanan penyuluhan Persentase rumah tangga yang memanfaatkan posyandu/poskesdes untuk pelayanan penyuluhan pada tiap kabupaten/kota (jumlah rumah tangga yang memanfaatkan posyandu/poskesdes untuk pelayanan penyuluhan dibagi dengan jumlah rumah tangga tiap kabupaten/kota)

X7 Pelayanan imunisasi Persentase rumah tangga yang memanfaatkan posyandu/poskesdes untuk pelayanan imunisasi pada tiap kabupaten/kota (jumlah rumah tangga yang memanfaatkan posyandu/poskesdes untuk pelayanan imunisasi dibagi dengan jumlah rumah tangga tiap kabupaten/kota)

X8 Kejadian bayi berat lahir rendah

Persentase bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah pada tiap kabupaten/kota (jumlah bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah dibagi dengan jumlah bayi tiap kabupaten/kota)

X9 Rumah tangga miskin Persentase rumah tangga yang tergolong miskin pada tiap kabupaten/kota (jumlah rumah tangga yang tergolong miskin dibagi dengan jumlah rumah tangga tiap kabupaten/kota)

6

Selain itu juga digunakan dua variabel geografis mengenai lokasi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur yang digunakan dalam menentukan pembobot pada model GWR yaitu ui = garis lintang selatan atau longitude tiap kabupaten/kota dan vi = garis bujur timur atau latitude tiap kabupaten/kota

Langkah-langkah analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan kejadian balita gizi buruk dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Provinsi

Jawa Timur dengan menggunakan peta tematik. 2. Menyusun model regresi kejadian balita gizi buruk di Provinsi Jawa Timur dengan langkah-

langkah analisis sebagai berikut. a. Mengidentifikasi pola hubungan antara variabel kejadian balita gizi buruk dan masing-masing

variabel prediktor, dengan metode analisis korelasi dan diagram pencar. b. Memeriksa multikolinearitas antara variabel-variabel prediktor. c. Mendapatkan model regresi linier OLS antara variabel respon dan prediktor d. Melakukan uji parameter regresi linier OLS secara serentak dan parsial serta uji asumsi residual. e. Menganalisis model GWR dengan langkah-langkah sebagai berikut.

i. Menentukan ui dan vi berdasarkan garis lintang selatan dan garis bujur timur untuk setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

ii. Menghitung jarak euclidian antar lokasi pengamatan berdasarkan posisi geografis. Jarak euclidian antara lokasi i yang terletak pada koordinat ii vu , terhadap lokasi j yang terletak pada koordinat jj vu , . Perhitungan ini dilakukan untuk seluruh lokasi pengamatan.

iii. Menentukan bandwidth optimum berdasarkan kriteria nilai CV minimum. iv. Menghitung matriks pembobot dengan menggunakan fungsi kernel gaussian. v. Mengestimasi parameter model GWR dengan menggunakan bandwidth optimum. vi. Membandingkan hasil regresi linier OLS dan GWR dengan kriteria R2 dan Sum Squares

Error (SSE). vii. Melakukan uji goodness of fit pada model GWR. viii. Melakukan uji signifikansi parameter. ix. Mendapatkan model GWR kejadian balita gizi buruk.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Status gizi balita mempunyai hubungan yang erat dengan permasalahan kesehatan secara umum. Rata-rata persentase kejadian balita gizi buruk Provinsi Jawa Timur sebesar 4,487 persen di tiap kabupaten/kota. Hal ini berarti di antara 100 balita terdapat empat anak dengan status gizi buruk. Persentase kejadian gizi buruk tertinggi terjadi di Kabupaten Sampang, yaitu sebesar 16,2 persen, sedangkan kejadian terendah terjadi di Kota Madiun (satu persen). Rendahnya persentase pemeriksaan neonatus (KN1), pemanfaatan pelayanan penyuluhan, pelayanan Imunisasi serta tingginya persentase rumah tangga miskin merupakan dugaan penyebab tingginya kejadian balita gizi buruk di Kabupaten Sampang. Keragaman persentase gizi buruk antar kabupaten/kota adalah 9,015 persen. Berdasarkan persebarannya, persentase kejadian balita gizi buruk di Provinsi Jawa Timur menyebar antar kabupaten/kota, seperti yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Persebaran Persentase Balita Gizi Buruk per Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2007.

M A L A N GJE M B E R

T U B A N

B A N Y U W A N G I

B L IT A R

K E D IR I

N G A W I

L U M A JA N GP A C IT A N

B O J O N E G O R O

L A M O N G A N

M A D IU N

S IT U B O N D O

G R E S IK

P A S U R U A N

N G A N J U K

S A M P A N G

P O N O R O G O

S U M E N E P

P R O B O L IN G G OB O N D O W O S O

JO M B A N G

B A N G K A L A N

T R E N G G A L E K

M O J O K E R T O

T U L U N G A G U N G

M A G E T A N

S ID O A R JO

P A M E K A S A N

S U R A B A Y A (K O T A )

B A T U ( K O T A )

M A L A N G (K O T A )

P A S U R U A N (K O T A )

K e te ra n g a n :

(% )

1 - 2 .1

2 .1 - 3 .7

3 .7 - 6

6 - 9 .3

9 .3 - 1 6 .2

7

Gambar 1 menunjukkan bahwa empat kota (Kota Madiun, Surabaya, Mojokerto, dan Kediri) serta empat kabupaten (Kabupaten Pacitan, Ngawi, Trenggalek, dan Blitar) memiliki persentase kejadian gizi buruk yang tergolong sangat rendah (1 sampai 2,1 persen). Kategori persentase kejadian balita gizi buruk sangat tinggi terjadi di salah satu daerah kepulauan Madura, yaitu Kabupaten Sampang. Jika diperhatikan lokasi kabupaten/kota dalam satu kelompok menunjukkan pola yang menyebar.

Deskripsi faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian balita gizi buruk disajikan sebagai berikut. Tabel 1 Statistika Deskriptif Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Balita Gizi Buruk

Variabel Rata-rata Varians Minimum Maksimum X1 73,53 90,88 38,1 86,5 X2 94,67 53,16 66,7 100 X3 64,59 150,27 32,4 89,5 X4 65,51 947,58 12,7 100 X5 23,32 172,07 5,5 50 X6 39,75 167,36 8 63,5 X7 57,13 189,18 31,6 93,1 X8 8,534 28,455 0 19,6 X9 18,19 92,01 3,95 51,02

Rata-rata persentase bayi mendapat vitamin A sebesar 73,53 persen di tiap kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur. Hal ini berarti di antara 100 bayi terdapat 73 bayi yang mendapat vitamin A. Persentase asupan vitamin A pada bayi di Jawa Timur tertinggi terjadi di Kabupaten Gresik, yaitu sebesar 86,5 persen, sedangkan terendah terjadi di Kabupaten Sampang (38,1 persen). Cakupan ibu hamil yang mendapat tablet zat besi (Fe) di Provinsi Jawa Timur memiliki keragaman 53,16 persen. Persentase ibu hamil mendapat tablet Fe di Jawa Timur tertinggi sebesar 100 persen dan terendah sebesar 66,7 persen. Rata-rata persentase pemeriksaan neonatus (KN1) Provinsi Jawa Timur sebesar 64,59 persen di tiap kabupaten/kota. Persentase pemeriksaan neonatus (KN1) di Jawa Timur tertinggi terjadi di Kabupaten Ngawi, yaitu sebesar 89,5 persen, sedangkan terendah terjadi di Kabupaten Sampang (32,4 persen). Tahun 2007, rata-rata persentase rumah tangga yang memanfaatkan pemeriksaan kehamilan adalah sebesar 65,51 persen di tiap kabupaten/kota Jawa Timur. Hal ini berarti di antara 100 rumah tangga terdapat 65 rumah tangga yang memanfaatkan pemeriksaan kehamilan. Terbatasnya akses terhadap air bersih masih dirasakan sebagian rumah tangga di Jawa Timur, akses paling minimum terjadi di Kabupaten Probolinggo, yaitu sebesar 5,5 persen. Keragaman persentase rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan penyuluhan dan imunisasi antar kabupaten/kota adalah 167,36 dan 189,18 persen. Rata-rata persentase bayi berat lahir rendah Provinsi Jawa Timur sebesar 8,534 persen di tiap kabupaten/kota. Hal ini berarti di antara 100 bayi terdapat 8 bayi yang dengan berat badan lahir rendah. Ukuran keluarga miskin seringkali dikaitkan dengan ketersediaan pangan dimana rata-rata persentase rumah tangga miskin Provinsi Jawa Timur sebesar 18,19 persen di tiap kabupaten/kota. Persentase rumah tangga miskin di Jawa Timur tertinggi terjadi di Kabupaten Sampang, yaitu sebesar 51,02 persen.

Berdasarkan identifikasi dengan diagram pencar ditunjukkan bahwa terdapat tiga variabel prediktor yang berkorelasi negatif terhadap variabel kejadian balita gizi buruk (Y) yaitu variabel persentase bayi mendapat vitamin A (X1), pemeriksaan neonatal (KN1) (X3), dan rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan penyuluhan (X6). Korelasi negatif ini berarti bahwa jika terjadi peningkatan pada variabel X1, X3, X6 maka akan berakibat pada penurunan variabel kejadian balita gizi buruk. Sebaliknya untuk variabel yang lain berkorelasi positif berarti bahwa jika terjadi penurunan pada variabel tersebut maka akan berakibat pada penurunan variabel kejadian balita gizi buruk. Variabel prediktor yang berkorelasi positif terhadap variabel kejadian balita gizi buruk (Y) adalah rumah tangga tergolong miskin (X9). Ada lima variabel prediktor yang memiliki pola menyebar, yaitu persentase ibu mendapat tablet Fe (X2), pemeriksaan kehamilan (X4), rumah tangga yang mengakses air bersih (X5), rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan imunisasi (X7), dan persentase bayi berat lahir rendah (X8) dimana berarti variabel prediktor tersebut tidak menunjukkan pola yang jelas terhadap variabel kejadian balita gizi buruk.

8

806040

15

10

5

998775 806040

100500 40200 50250

15

10

5

1007550

15

10

5

20100 40200

X1

Y

X2 X3

X4 X5 X6

X7 X8 X9

Gambar 2 Diagram Pencar Pola Hubungan antara Variabel Kejadian Balita Gizi Buruk (Y) dan Variabel

Prediktor: Bayi Mendapat Vitamin A (X1), Ibu Hamil Mendapat Tablet Fe (X2), Pemeriksaan Neonatus (KN1) (X3), Pemeriksaan Kehamilan (X4), Akses Air Bersih (X5), Pelayanan Penyuluhan (X6), Pelayanan Imunisasi (X7), Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (X8), dan Rumah Tangga Miskin (X9).

Pengujian asumsi multikolinearitas perlu dilakukan sebelum proses pemodelan regresi. Kasus multikolinieritas pada model regresi menyebabkan parameter regresi yang dihasilkan akan memiliki error yang sangat besar. Nilai VIF (Variance Inflation Factors) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antar variabel prediktor karena nilainya kurang dari 10.

Model regresi OLS yang terbentuk adalah sebagai berikut. Y = 8,01 - 0,0116 X1 - 0,0285 X2 - 0,0792 X3 - 0,0018 X - 0,0226 X5 - 0,0444 X6 + 0,0668 X7 +

0,111 X8 + 0,153 X9 Pengujian parameter secara serentak model regresi OLS dilakukan dengan hipotesis sebagai

berikut. H0 : β1 = β2 = … = β9 = 0 dan H1: minimal ada satu βk ≠ 0; k = 1, 2, …, 9 Hasil pengujian parameter serentak didapatkan nilai F hitung sebesar 4,62 dan p-value = 0,001. Dengan tingkat signifikansi α sebesar 10 persen diputuskan untuk tolak H0. Hal ini berarti bahwa parameter model regresi OLS secara serentak signifikan berpengaruh terhadap model. Nilai koefisien determinasi (R2) adalah 59,8%, yang berarti bahwa model regresi dapat menjelaskan variabilitas kejadian balita gizi buruk sebesar 59,8% sedangkan sisanya sebesar 40,2% dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

Pengujian parameter secara parsial model regresi OLS dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut. H0: βk = 0 dan H1: βk ≠ 0; k = 1, 2, …, 9 Statistik uji yang digunakan adalah distribusi t yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Estimasi Parameter, Nilai Statistik Uji T, danVIF Model OLS Variabel Estimasi t-hitung VIF

Intersep 8,008 1,13 X1 -0,01159 -0,23 1,825

X2 -0,02853 -0,5 1,36

X3 -0,07917 -2,15* 1,571

X4 -0,00181 -0,13 1,432

X5 -0,02256 -0,63 1,703

X6 -0,04435 -1,24 1,642

X7 0,06682 2,37* 1,163

X8 0,111 1,56 1,112

X9 0,15331 2,49* 2,694

Ket: *) Signifikan pada α = 10%; t0,05;28 = 1,701

9

Estimasi parameter yang secara parsial berpengaruh dalam model dengan taraf signifikansi 10 persen adalah persentase pemeriksaan neonatus (KN1) (X3), rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan imunisasi (X7), dan rumah tangga miskin (X9).

Uji homogenitas varians residual dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut. H0 : 22

3822

21 ... (homoskesdastisitas) dan H1 : minimal ada satu 22 i ; i = 1, 2, ...,

38 (heteroskesdastisitas) Uji ini diperoleh dengan meregresikan nilai absolut residual dari model awal dengan semua variabel prediktor yang digunakan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat dua variabel (X3 dan X7) yang nyata berpengaruh pada taraf signifikansi α sebesar 10 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa asumsi varians residual homogen (identik) tidak terpenuhi.

Pengujian residual tidak ada autokorelasi dilakukan dengan cara melihat nilai Durbin Watson. Hipotesis nol yang digunakan adalah tidak terdapat kasus autokorelasi. Dengan menggunakan nilai d tabel yaitu dL sebesar 0,9705, maka dhitung lebih dari dL,α/2 (1,24151> 0,9705) yang berarti gagal tolak hipotesis nol sehingga dinyatakan bahwa error tidak terjadi autokorelasi.

Uji normalitas dari residual digunakan metode Kolmogorov-Smirnov (KS). Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut. H0 : residual berdistribusi normal dan H1 : residual tidak berdistribusi normal Hasil pengujian normalitas residual didapatkan nilai KS sebesar 0,082 dan p-value lebih dari 0,150. Dengan menggunakan α sebesar 10 persen, maka dinyatakan gagal tolak H0 yang berarti bahwa residual memenuhi asumsi berdistribusi normal.

Berdasarkan hasil pengujian terhadap residual disimpulkan bahwa residual pada model regresi OLS telah memenuhi asumsi independen dan berdistribusi normal tetapi tidak memenuhi asumsi identik atau heteroskedastisitas. Dengan tidak terpenuhinya asumsi identik atau varians residual tidak homogen, diduga kejadian balita gizi buruk menyebar secara spasial titik. Penyebaran kejadian balita gizi buruk dapat ditinjau kembali pada Gambar 1. Oleh karena itu perlu dilakukan pemodelan Geographically Weighted Regression (GWR).

Aplikasi pemodelan GWR pada penulisan ini memerlukan tahap awal, yaitu perhitungan bandwith (b). Nilai bandwith optimum yang diperoleh dari nilai kriteria CV minimum. Nilai bandwith tersebut digunakan untuk membentuk matriks pembobot setiap lokasi ke-i. Pembobot yang di cari dalam penelitian ini sampai pembobot (u38,v38), maka dapat dikatakan ada 38 pembobot yang dihitung berdasarkan pusat yang berbeda. Setelah di temukan matrik pembobot maka di dapatkan taksiran parameter di setiap lokasi ke-i.

Tabel 3 Nilai Minimum dan Maksimum Estimasi Parameter Model GWR

Variabel Nilai Koefisien Parameter Minimum Maksimum

Intersep -19,55000 17,90000 X1 -0,05289 0,86680 X2 -0,28120 0,15410 X3 -0,14460 0,05015 X4 -0,18230 0,02849 X5 -0,05841 0,08755 X6 -0,56250 0,00853 X7 -0,10490 0,13880 X8 -0,39670 0,21920 X9 0,01509 0,60980 SSE 14,45823 R2 95,67%

10

Tabel 3 menunjukkan bahwa estimasi parameter variabel rumah tangga miskin (X9) selalu bernilai positif untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Timur yang berkisar antara 0,01509 sampai dengan 0,60980. Sedangkan variabel lainnya (X1 sampai X8) terdapat beberapa kabupaten/kota yang koefisien regresinya bernilai positif dan beberapa bernilai negatif. Pada variabel X2, besarnya pengaruh ibu mendapat tablet Fe terhadap kejadian gizi buruk tiap kabupaten/kota di Jawa Timur berkisar antara -0,2812 sampai dengan 0,1541. Banyuwangi, Jember, Pamekasan, Sampang, Sumenep, Bondowoso, Lumajang, Situbondo, Probolinggo, dan Kota Probolinggo merupakan lokasi yang memiliki koefisien regresi variabel X2 bernilai negatif. Sedangkan 28 kabupaten/kota lain mempunyai koefisien regresi variabel X2 bernilai positif.

Model GWR kejadian balita gizi buruk tiap kabupaten/kota di Jawa Timur yang terbentuk merupakan model yang lebih baik dibanding model regresi OLS. Hal tersebut dilihat dari SSE yang relatif kecil sebesar 14,45823 dan R2 yang tinggi untuk menjelaskan variansi dari kejadian gizi buruk, yaitu sebesar 95,67 persen.

Uji kesesuaian model (goodness of fit) dilakukan untuk melihat apakah faktor lokasi berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk. Hipotesisnya adalah sebagai berikut. H0 : kkkk vuvuvu 38382211 ,...,, dan H1 : paling sedikit ada satu kiik vu , ; k = 1, 2, …, 9

Tabel 4 SSE, Nilai Statistik Uji F, dan P-value Model Regresi OLS dan GWR SSE df F P-value Model GWR 14,45823 12,223 0,3876 0,0418 Model Regresi 134,24252 28

Nilai Fhitung sebesar 0,3876 dan p-value 0,0418 pada Tabel 4 menjelaskan bahwa faktor lokasi berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk di Jawa Timur. Nilai Fhitung dan p-value hasil pengujian kesesuaian model nyata dengan taraf signifikansi 10 persen sehingga diputuskan untuk tolak H0.

Pengujian parameter model dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk untuk tiap kabupaten/kota di Jawa Timur. Bentuk hipotesisnya sebagai berikut. H0 : 0, iik vu ; i = 1, 2, …, 38; k = 1, 2, …, 9 dan H1 : 0, iik vu Statistik uji parameter model GWR dihitung untuk masing-masing parameter di tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur. Hasil thitung yang didapat akan dibandingkan dengan t(0,05;12,223) = 1,7796. Jika nilai |thitung| > ttabel maka parameter ke-k signifikan pada lokasi ke-i dimana i = 1, 2, …, 38.

Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian balita gizi buruk sebagian besar berbeda-beda tiap kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Pacitan dan Trenggalek tidak teridentifikasi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian balita gizi buruk pada Kabupaten Mojokerto dan Jombang adalah bayi mendapat vitamin A, ibu mendapat tablet Fe, pemeriksaan kehamilan, pelayanan penyuluhan, pelayanan imunisasi, kejadian bayi berat lahir rendah, dan rumah tangga miskin. Variabel rumah tangga miskin berpengaruh signifikan pada sebagian besar kabupaten/kota kecuali Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Madiun, Magetan, Lumajang, Jember, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Pamekasan, Sumenep, dan Kota Madiun. Hal ini terlihat bahwa kemiskinan merupakan salah satu determinan sosial-ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat mukim yang berjejalan, dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan di sebagian besar kabupaten/kota.

Model GWR yang terbentuk untuk Kota Probolinggo adalah sebagai berikut. Y = -0,073 X3 – 0,104 X6 + 0,109 X7 + 0,106 X9

Model tersebut menjelaskan bahwa kejadian balita gizi buruk akan berkurang sebesar 0,073 persen jika variabel pemeriksaan neonatus (KN1) bertambah sebesar satu persen dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah konstan. Penurunan kejadian balita gizi buruk juga dapat terjadi sebesar 0,104 persen jika rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan penyuluhan bertambah sebesar satu persen dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah konstan. Namun, peningkatan kejadian balita gizi buruk dapat terjadi sebesar 0,109 persen jika rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan imunisasi naik sebesar satu persen dengan syarat variabel prediktor yang lain adalah konstan.

11

Perbedaan interpretasi model dengan teori kesehatan dapat terjadi pada variabel X7. Hal ini diduga, masyarakat di Kota Probolinggo mempunyai kebiasaan atau budaya untuk datang memanfaatkan pelayanan imunisasi ke posyandu jika balitanya terinfeksi penyakit tertentu sehingga dapat menyebabkan kejadian balita gizi buruk meningkat. Masih terdapat pemikiran keliru tentang masalah kesehatan, yaitu anggapan yang salah tentang tindakan kuratif (pengobatan) dianggap lebih penting daripada preventif (pencegahan) (Suwignyo dalam Kemi, 2009). Upaya untuk memanfaatkan pelayanan imunisasi di posyandu perlu dilakukan secara teratur, tidak hanya saat balita mengalami masalah kesehatan. Kejadian balita gizi buruk juga bertambah sebesar 0,106 persen jika rumah tangga miskin bertambah satu persen dan variabel lain tetap. Berdasarkan variabel yang signifikan untuk tiap kabupaten/kota terbentuk pengelompokan kabupaten/kota yang memiliki kesamaan variabel yang berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk, seperti yang disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Persebaran Variabel yang Signifikan Menurut Kabupaten/Kota.

Sebagian besar kabupaten/kota mempunyai model dengan variabel yang berpengaruh signifikan yang berbeda-beda. Pengelompokkan kabupaten/kota yang menunjukkan adanya kesamaan variabel yang berpengaruh signifikan adalah sembilan kelompok. Kabupaten Tulungagung, Madiun, Magetan, dan Kota Madiun berada dalam satu kelompok yang memiliki satu variabel prediktor yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian balita gizi buruk, yaitu rumah tangga yang dapat mengakses air bersih (X5). Hal ini berarti bahwa penyebab kejadian gizi buruk di wilayah tersebut adalah akses air bersih. Jika pada kabupaten/kota tersebut terjadi peningkatan akses terhadap air bersih maka kejadian balita gizi buruk dapat diminimalisasi.

Pengujian asumsi residual pada model GWR sama dengan pada model regresi OLS dimana residual harus memenuhi asumsi identik, independen, dan berdistribusi normal. Uji homogenitas varians residual dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut. H0 : varians residual model GWR konstan dan H1 : varians residual model GWR tidak konstan Hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak terdapat variabel yang nyata berpengaruh pada taraf signifikansi α sebesar lima persen sehingga dapat disimpulkan bahwa asumsi varians residual homogen (identik) terpenuhi.

Pengujian residual tidak ada autokorelasi dilakukan dengan cara melihat plot ACF (Autocorrelation Function). Plot ACF menunjukkan bahwa tidak ada nilai lag residual yang keluar dari garis sehingga asumsi residual independen terpenuhi.

Uji normalitas dari residual digunakan metode Anderson-Darling (AD). Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut. H0 : residual berdistribusi normal dan H1 : residual tidak berdistribusi normal Hasil pengujian normalitas residual didapatkan nilai AD sebesar 0,699 dan p-value lebih dari 0,063. Dengan menggunakan α sebesar lima persen, maka dinyatakan gagal tolak H0 yang berarti bahwa residual memenuhi asumsi berdistribusi normal.

M A L A N GJ E M B E R

T U B A N

B A N Y U W A N G I

B L I T A R

K E D I R I

N G A W I

L U M A J A N GP A C I T A N

B O J O N E G O R O

L A M O N G A N

M A D I U N

S I T U B O N D O

G R E S I K

P A S U R U A N

N G A N J U K

S A M P A N G

P O N O R O G O

S U M E N E P

P R O B O L I N G G OB O N D O W O S O

J O M B A N G

B A N G K A L A N

T R E N G G A L E K

M O J O K E R T O

T U L U N G A G U N G

M A G E T A N

S I D O A R J O

P A M E K A S A N

S U R A B A Y A ( K O T A )

B A T U ( K O T A )

M A L A N G ( K O T A )

P A S U R U A N ( K O T A )

M A L A N GJ E M B E R

T U B A N

B A N Y U W A N G I

B L IT A R

K E D IR I

N G A W I

L U M A J A N GP A C IT A N

B O J O N E G O R O

L A M O N G A N

M A D IU N

S IT U B O N D O

G R E S IK

P A S U R U A N

N G A N J U K

S A M P A N G

P O N O R O G O

S U M E N E P

P R O B O L IN G G OB O N D O W O S O

J O M B A N G

B A N G K A L A N

T R E N G G A L E K

M O J O K E R T O

T U L U N G A G U N G

M A G E T A N

S ID O A R J O

P A M E K A S A N

S U R A B A Y A (K O T A )

B A T U ( K O T A )

M A L A N G (K O T A )

P A S U R U A N (K O T A )

V a r ia b e l S ig n i f ik a n :

-

X 2 , X 9

X 5

X 8 , X 9

X 1 , X 2 , X 4 , X 6 , X 9

X 1 , X 4 , X 6 , X 8 , X 9

X 3 , X 4 , X 5 , X 6 , X 7

X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 6 , X 8 , X 9

X 3 , X 4 , X 6 , X 7 , X 9

X 3 , X 6 , X 7 , X 9

X 6 , X 7 , X 8 , X 9

X 4 , X 6 , X 7 , X 8 , X 9

X 1 , X 2 , X 4 , X 6 , X 7 , X 8 , X 9

X 1 , X 2 , X 9

X 2

X 1 , X 2 , X 3

X 2 , X 3 , X 5 , X 6 , X 7 , X 8

X 2 , X 3 , X 6 , X 7 , X 8 , X 9

X 2 , X 4 , X 6 , X 7 , X 8 , X 9

X 3 , X 6 , X 7 , X 8 , X 9

X 3 , X 6 , X 7 , X 9

X 6 , X 7

X 8 , X 9

X 1 , X 2 , X 4 , X 6 , X 8 , X 9

X 4 , X 6 , X 7 , X 8 , X 9

X 1 , X 4 , X 6 , X 7 , X 8 , X 9

12

Berdasarkan hasil pengujian terhadap residual disimpulkan bahwa residual pada model GWR telah memenuhi asumsi identik, independen dan berdistribusi normal.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa deskripsi kejadian balita gizi buruk tiap kabupaten/kota di Jawa Timur menunjukkan variasi secara spasial. Wilayah dengan persentase balita gizi buruk tertinggi berada di Kabupaten Sampang. Kota Madiun merupakan kabupaten/kota yang memiliki persentase balita gizi buruk terendah. Kabupaten/kota dengan persentase bayi mendapat vitamin A tertinggi yaitu Kabupaten Gresik, sedangkan terendah Kabupaten Sampang. Jika ditinjau dari kesehatan ibu, persentase ibu mendapat tablet Fe tertinggi terjadi di Kabupaten Trenggalek, Tulungagung, Lumajang, Situbondo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Bangkalan, Pamekasan, Kota Blitar, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto, sedangkan terendah terjadi di Kabupaten Bondowoso. Wilayah dengan Persentase pemeriksaan neonatus (KN1) tertinggi terjadi di Kabupaten Ngawi, sedangkan terendah terjadi di Kabupaten Sampang. Persentase rumah tangga yang memanfaatkan pemeriksaan kehamilan tertinggi terjadi di Kabupaten Pasuruan, Sidoarjo, Kota Blitar, Kota Mojokerto, Kota Madiun, dan Kota Batu, sedangkan terendah di Kabupaten Ponorogo. Jika ditinjau dari akses air bersih, persentase rumah tangga yang dapat mengakses air bersih tertinggi terjadi di Kabupaten Probolinggo, sedangkan terendah di Kota Probolinggo. Persentase rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan penyuluhan tertinggi terjadi di Kabupaten Bondowoso, sedangkan terendah terjadi di Kabupaten Sampang. Persentase rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan imunisasi tertinggi terjadi di Kabupaten Pasuruan, sedangkan terendah di Kota Mojokerto. Kabupaten Probolinggo merupakan kabupaten/kota dengan persentase bayi berat lahir rendah tertinggi, sedangkan terendah terjadi di Kabupaten Pacitan, Madiun, Tuban, dan Lamongan. Persentase rumah tangga miskin tertinggi terjadi di Kabupaten Sampang, sedangkan terendah di Kota Malang.

Model GWR kejadian balita gizi buruk menghasilkan R2 lebih besar daripada model OLS, yaitu 95,67 persen dan SSE yang lebih kecil, yaitu 14,45823. Faktor geografis berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk di Jawa Timur sehingga model GWR yang terbentuk berbeda-beda tiap kabupaten/kota. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk di Jawa Timur adalah persentase bayi mendapat vitamin A, ibu mendapat Tablet Fe, pemeriksaan neonatus (KN1), pemeriksaan kehamilan, akses air bersih, pemanfaatan pelayanan penyuluhan, pemanfaatan pelayanan imunisasi, bayi berat lahir rendah, dan kemiskinan.

Pemodelan balita gizi buruk terbatas menggunakan variabel prediktor yang berhubungan dengan aspek kesehatan dan ekonomi. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan variabel prediktor dari aspek yang lain sehingga diperoleh hasil yang lebih informatif. Selain itu, perlu kajian kualitatif lebih lanjut untuk mengidentifikasi koefisien regresi yang berlainan tanda pada tiap kabupaten/kota dimana hasil penelitian tidak sesuai dengan kajian kesehatan secara teoritis.

6. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2006). Tinjauan Penatalaksanaan Gizi Buruk pada Balita oleh Tenaga Kesehatan di

Puskesmas.http://search.4shared.com/postDownload/2oaooCR_/Tinjauan_penatalaksanaan_gizi_.html, [diakses pada tanggal 7 November 2011].

Ayunin, L. (2011). Pemodelan Balita Gizi Buruk di Kabupaten Ngawi dengan Geographically Weighted Regression. Tugas Akhir Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya.

Bappenas. (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Depkes. (2008). Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 Provinsi Jawa Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Depkes. (2010). Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 Provinsi Jawa Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Draper, N.R. dan Smith, H. (1992). Applied Regression Analysis Second Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc.

13

Fotheringham, A. S., Brunsdon C., dan Charlton, M. E. (2002). Geographically Weighted Regression : The Analysis of Spatially Varying Relationship. England: John Wiley and Sons Ltd.

Hayati, M. (2009). Analisis Diskriminan Pada Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk Balita di Jawa Timur. Tugas Akhir Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya.

Hocking, R.R. (1996). Methods and Applications of Linear Models. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Inadiar, D. (2010). Perbedaan Pola Asah, Asih, Asuh pada Balita Status Gizi Kurang dan Status Gizi Normal (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Peneleh, Surabaya. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya.

Intan. (2010). Pemodelan Jumlah Penderita Tuberculosis (TB) di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010 dengan Mengggunakan Metode Geographically Weighted Regression. Tugas Akhir Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya.

Kemi, A. (2009). Derajat Kesehatan Warga Kota Probolinggo. http://suarakotaprobolinggo.com/sekilas/210.html?lang=id, [diakses pada tanggal 10 November 2011].

Paramita, L. (2008). Bagging Regresi Logistik Ordinal pada Klasifikasi Status Gizi Balita (Studi Kasus Kabupaten Nganjuk). Tugas Akhir Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Riskiyanti, R. (2010). Analisis Regresi Multivariat Berdasarkan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Kesehatan di Provinsi Jawa Timur. Tugas Akhir Jurusan FMIPA ITS, Surabaya.

Soekirman, (2000). Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

WHO, (2011). Kesehatan Keluarga dan Masyarakat. http://www.who.or.id/ind/ourworks.asp?id=ow3, [diakses pada tanggal 17 Desember 2011].