PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI TENTANG KEDUDUKAN AHLI …
Transcript of PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI TENTANG KEDUDUKAN AHLI …
PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI TENTANG KEDUDUKAN AHLI
WARIS LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DITINJAU DARI KOMPILASI
HUKUM ISLAM DAN FIKIH INDONESIA
1Terry Ana Fauziyah,
2Yusdani
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
ABSTRAK
Islam merupakan agama yang sempurna telah mengatur segala
kehidupan manusia, hingga proses pembagian waris dijelaskan secara
terperinci dalam Al-Qur‟an. Hukum waris merupakan persoalan yang
penting dalam Islam karena warisan merupakan hak setiap manusia yang
telah ditingalkan. Menurut cendikiawan muslim yang ingin menerapkan
pembagian waris antara laki-laki dan perempuan 1:1 karena menurutnya
bahwa kedudukan anak laki-laki dan perempuan di zaman modern ini
memiliki peran dan tanggung jawab yang sama. Pada penelitian ini yang
menjadi fokus pertanyaan peneliti adalah bagaimana kedudukan dan
metodologi pemikiran hukum Islam tentang pembagian warisan laki-laki
dan perempuan menurut Munawir Sjadzali perspektif Fikih Indonesia.
Penelitian ini berjenis penelitian pustaka yaitu mengkaji pemikiran
Munawir Sjadzali terkait pembagian harta waris. Adapun pendekatan
yang digunakan peneliti adalah pendekatan historis, normatif dan
filosofis, dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Adapun hasil dari
penelitian ini Menurut Munawir Sjadzali bahwa kedudukan laki-laki dan
perempuan itu memiliki peran dan tanggung jawab yang sama sehingga
dalam sistem kewarisnya ingin memberikan hak yang sama antara ahli
waris, hal ini disebabkan Munawir memiliki prinsip fleksibilitas
berdasarkan realitas kondisi, dan zaman. Menurut perspektif fikih
Indonesia, bahwa metode yang digunakan Munawir Sjadzali dalam
pembagian harta waris antara laki-laki dan perempuan dapat diterima,
karena relevan dan sesuai dengan kepribadian, tabiat, watak dan kondisi
masyarakat Indonesia.
Fikih sebagai hukum yang mengatur tata cara kehidupan harus
menjadi pondasi dari pengukuran dan peraturan akan adanya sistem
pembagian harta warisan sesuai dengan ajaran Islam. Maka dengan ini
Munawir memberikan gagasan dalam pembaharuan ajaran Islam
khususnya dalam pembagian harta warisan sebagai upaya praktis dan
tetap terjaga kerukunan sesama keluarga. Hal ini bertujuan pula agar
umat muslim Indonesia hidup lebih Islamis.
Kata Kunci : Pemikiran Hukum, Fikih Waris, Kesetaraan, Munawir Sjadzali
THE THOUGHTS OF MUNAWIR SJADZALI ABOUT THE POSITION OF
MALE HEROES AND WOMEN ARE VIEWED FROM THE COMPILATION OF
ISLAMIC AND FIKIH LAWS
1Terry Ana Fauziyah,
2Yusdani
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
ABSTRACT
Islam is a perfect religion that has governed all human life, until the process
of distributing inheritance is explained in detail in the Qur'an. Inheritance law is an
important issue in Islam because inheritance is the right of every human being who
has been left behind. According to Muslim scholars who want to implement the
division of inheritance between men and women 1: 1 because according to him that
the position of boys and girls in modern times has the same role and responsibility. In
this study, the focus of the researcher's question is how the position and methodology
of Islamic legal thinking about the division of inheritance of men and women
according to Munawir Sjadzali's perspective of Indonesian Jurisprudence.
This research is a type of library research that examines the thoughts of
Munawir Sjadzali related to the distribution of inheritance. The approach used by
researchers is a historical, normative and philosophical approach, with qualitative
descriptive analysis methods. The results of this study According to Munawir Sjadzali
that the position of men and women have the same roles and responsibilities so that in
the inheritance system wants to provide the same rights between heirs, this is due to
Munawir having the principle of flexibility based on reality, conditions and times.
According to the perspective of Indonesian Jurisprudence, that the method used by
Munawir Sjadzali in the distribution of inheritance between men and women is
acceptable, because it is relevant and in accordance with the personality, character,
character and condition of Indonesian society.
Jurisprudence as a law governing the procedures for life must be the
foundation of measurement and regulation of the existence of a system of inheritance
distribution in accordance with Islamic teachings. So with this Munawir provides
ideas in the renewal of Islamic teachings, especially in the distribution of inheritance
as a practical effort and maintained harmony among family. It is also aimed at
making Indonesian Muslims live more Islamist.
Keywords: Legal Thought, Jurisprudence, Equality, Munawir Sjadzali
LATAR BELAKANG
Setiap Insan yang hidup di dunia ini akan melewati sebuah proses kehidupan
yaitu di mulai dari dilahirkan kedunia hingga meninggal dunia. Kehidupan inilah yang
tidak pernah luput dari kedudukan kita sebagai hamba Allah, sebab Dia-lah yang telah
menciptakan dan kepada Dia-lah tempat untuk kembali ke pangkuan-Nya. Manusia
bukan hanya sebatas mahluk individu melainkan mahluk sosial yang mempunyai hak
dan kewajiban dalam masyarakat.
Islam merupakan agama sempurna yang telah mengatur segala proses
kehidupan manusia hingga proses pembagian harta peninggalan yaitu berupa warisan.
Dalam Hukum kewarisan Islam proses pembagian harta warisan sudah diatur sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang ada sesuai dengan ayat-ayat waris yang terdapat
dalam Al-Qur‟an, agar dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk bagi umat Islam.1
Hukum waris juga merupakan persoalan yang penting dalam Islam karena warisan
merupakan hak setiap manusia yang telah ditingalkan.
Dewasa ini, seperti kita ketahui bersama perkembangan zaman yang sudah
sangat modern seperti saat ini, muncullah berbagai macam pemikiraan-pemikiran dan
perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan pemikir Islam kontemporer dalam
memahami sebuah ilmu-ilmu khususnya dalam bidang kewarisan, maka timbullah
sebuah pemikiran mengenai kesetaran gender yang ingin menyetarakan sistem
pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan, karena pembagian harta warisan
2:1 dirasa belum memiliki rasa keadilan.2
Diskursus kajian Islam memang selalu penuh dengan berbagai pergolakan.
Berbagai macam masalah selalu dicarikan solusinya dalam Islam tak terkecuali perihal
tentang pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan yang sampai saat ini
masih sangat hangat untuk di perbincangkan dalam lingkup masyarakat Islam. Artidjo
Alkostar memandang bahwa eksistensi hak asasi manusia (HAM) dan keadilan dapat
dijadikan rujukan dasar dalam membangun pemikiran Islam agar memiliki sikap sosial
yang kuat.3
1 Abdul Wahab Khalaf, terj. Masdar Helmy „Ilmu Ushul al-Fiqh, (Bandung: Gema
Risalah Press, 1996), hlm. 111 2 Abu Hamzah, Relevansi Hukum waris Islam: Bias Isu Gender, Egalitarisme,
Pluralism dan Ham, (Jakarta: As-sunah, 2005),hlm. 50 3 Eko Riyadi, Supriyanto Abdi (Ed). Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia
(Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII, 2007), hlm. XI
Secara garis besar, banyak kita temui para tokoh dan pakar pemikir Islam
yang sangat kontemporer, namun dalam bahasan kali ini akan mengkaji pemikiran
seorang cendikiawan Islam yang hidup di Indonesia yaitu salah satunya Munawir
Sjadzali. Pemikiran yang dikemukakan oleh Munawir Sjadali dalam konteks ini yaitu
mengenai gagasan hukum Islam mengenai pembaharuan sebagai reaktualisasi ajaran
Islam. Gagasan yang dikemukakan sedikit memunculkan polemik pro dan kotra dari
berbagai macam kalangan pemikir Islam, yaitu sebuah karya tentang riba bunga bank
dan pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan, namun dalam
pembahasan kali ini akan mengkaji dalam bidang kewarisan antara laki-laki dan
perempuan saja.4
Polemik yang terjadi diantara para pemikir Islam dalam memandang sistem
kewarisan adalah karena terjadinya asumsi ketidakadilan dan dianggap tidak relevan
untuk dijadikan rujukan dalam masyarakat di Indonesia sekarang ini.5 Dalam konteks
kewarisan Islam yang diterangkan dalam Al-Quran secara tekstual bahwa laki-laki
memiliki dua kali lipat dari bagian perempuan. Dengan demikian Munawir Sjadzali
memberikan sedikit ide pemikirannya untuk mengreaktualisasikan ajaran Hukum
Islam khususnya dalam permasalah pembagian warisan antara laki-laki dan
perempuan, karena menurutnya, ia mengeluarkan gagasan atau pandangan tersebut
tidak dalam keadaan vakum atau tanpa alasan. Namun gagasan reaktualisasi yang
dikemukakan oleh Munawir Sjadzali didasari atas beberapa faktor, diantaranya
pengalaman pribadi dalam keluarga.
Menurut, Munawir Sjadzali bahwa pembagian harta waris 2:1 yang terdapat
dalam surat An-Nissa‟ belum mencerminkan adanya rasa keadilan, dan ketentuan itu
sudah banyak ditingalkan oleh masyarakat Indonesia, baik secara langsung atau tidak
langsung seperti halnya para pewaris telah membagikan harta warisan sebelum
meninggal dunia agar setiap ahli waris yang ditinggalkan mendapatkan hak yang sama
rata tanpa harus membedakan jenis kelamin, hal ini yang dinamakan dengan hibbah,
maka inilah yang disebut sebagai penyimpangan atau mendahuli ketentuan. Munawir
berpendapat bahwa dalam menafsirkan sebuah ayat waris harus secara keseluruhan
yaitu dengan mengaitkan ayat yang satu dengan yang lainya agar mudah dalam
memahami dan memaknai ayat waris yang terdapat dalam Al-Qur‟an.
4 Munawir Sjadzali, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988), hlm. 2 5 Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, ( Jakarta: UI-
PRESS, 1994), hlm. 44
Pendapat yang digagas oleh Munawir Sjadzali tidak mengingkari keadilan
yang ditetapkan dalam Al-Quran, akan tetapi ia menyatakan keadilan yang ada dalam
pembagian waris mengharuskan melihat situasi dan kondisi ahli waris. Hal ini
menimbang bahwasanya pelaksanaan pembagian warisan dipandang belum adil dalam
masyarakat. Mengenai sandaran teori ijtihad yang digunakan dalam meraktualisasi
ajaran Islam Munawir Sjadzali menggunakan beberapa teori yaitu: Asbab Nuzul,
Maslahah, Nash –Mansukh dan „Adah. Munawir juga berpendapat bahwa dalam
memahami teks Al-Qur‟an dan Hadis tidak boleh secara harfiah namun harus
dipahami secara tekstual agar ajaran hukum Islam sesuai dengan perkembangan
zaman.
Selanjutnya, bahwa pemikiran reaktualisasi ajaran Islam merupakan sebuah
pemikiran Islam progresif, yaitu menginginkan adanya perubahan sesuatu yang baru
kepada Islam agar semua berjalan sesuai dengan kemajuan zaman yang modern
seperti saat ini. Islam Progresif sendiri telah memberikan tawaran sebuah metode
yang menekankan terjadinya sebuah keadilan sosial, kesetaran gender, dan pluralisme
keagamaan, agar terwujudnya rasa keadilan di muka bumi ini.
KAJIAN TEORI
A. Prinsip Dasar Bagian Pria Dan Wanita Dalam Hukum Waris Prinsip dasar pembagian warisan dalam Islam adalah kesetaran dan
keadilan. Islam menyetarakan hak antara pria dan wanita tanpa membedakan
besar kecil atau banyak dan sedikitnya harta warisan yang ditinggalkan oleh
pewaris. Proses pembagian warisan dalam Islam sangat menjungjung tinggi
nilai-nilai keadilan.
Dasar utama hukum waris Islam adalah Al-Qur‟an dan Hadis,
sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nissa‟ ayat 11, 12, dan 176. Allah
menjelaskan bagian-bagian warisan bagi setiap ahli waris yang ditinggalkan oleh
pewaris, bagian tersebut adalah : ¹⁄₂, ²⁄₃, ¹⁄₈, ¹⁄₄, ¹⁄₆, ¹⁄₃6. berdasarkan ayat Al-Qur‟an
11, 12, dan 176 sebagai berikut:
1. Ahli waris yang mendapatkan setengah bagian
a) Suami, dengan syarat tidak memiliki anak
b) Anak perempuan, dengan syarat seorang diri
c) Cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan syarat seorang diri
tanpa anak laki-laki dan anak perempuan
d) Saudara perempuan kandung, dengan syarat seorang diri
6 H.R Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung:
Refika Aditama, 2006), hlm. 51
e) Saudara perempuan sebapak, dengan syarat seorang diri, tidak
bersama bapak serta saudara laki-laki sebapak
2. Ahli waris yang mendapatkan bagian seperempat
a) Suami, jika memiliki anak
b) Istri / para istri, jika tidak memiliki anak
3. Ahli waris yang mendaptkan bagian seperdelapan
a) Istri / para istri, jika memiliki anak7
4. Ahli waris yang mendaptkan bagian sepertiga.
a) Ibu, dengan syarat memiliki anak dan memiliki saudara laki-
laki atau perempuan
b) Dua orang atau lebih, yaitu saudara laki-laki/perempuan dan
tidak memiliki anak
5. Ahli waris yang menerima bagian dua pertiga
a) Dua orang anak perempuan atau lebih, jika tidak bersama anak
laki-laki
b) Dua orang atau lebih cucu perempuan keturunan laki-laki, jika
tidak bersama cucu laki-laki keturunan laki-laki
c) Dua orang saudara perempuan atau lebih, dengan syarat tidak
bersama saudara laki-laki sekandung, bapak dan anak
d) Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih, dengan syarat
tidak bersama saudara laki-laki sebapak.
6. Ahli waris yang menerima bagian seperenam
a) Bapak, dengan syarat memiliki anak laki-laki
b) Ibu, dengan syarat memiliki anak atau beberapa saudara
c) Kakek, dengan syarat tidak memiliki bapak
d) Nenek dari pihak bapak, dengan syarat tidak memiliki ibu
e) Cucu perempuan dari keturunan laki-laki, dengan syarat bersama
anak perempuan tunggal
f) Perempuan sebapak atau lebih, dengan syarat memiliki seorang
saudara perempuan sekandung yang memeroleh bagian setengah
7 Badran Abu Al-Ainiyain Badran, al-Mawarith wa al-Wasiyyah wa al-Hibah,
(Iskandariyah: Muassasah al-Jami‟ah, t.t) hlm. 51
g) Saudara laki-laki atau perempuan seibu dengan syarat seorang
diri dan tidak memiliki anak.
Berdasarkan uraian diatas, menurut hemat penulis dapat simpulkan
bahwa prinsip dasar pembagian waris antara laki-laki dan perempuan sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, sebagaimana yang disebutkan dalam
Al-Qur‟an sesuai dengan hukum Tuhan.
B. Konsep Kesetaraan Gender Dalam Hukum Waris Islam
Konsep Kesetaran dan Keadilan Gender merupakan sebuah keadaan yang
mana bagian dan siklus sosial yang mereka miliki itu setara, serasi, seimbang dan
harmonis. Keadaan tersebut akan tercapai jika mendapat perlakuan yang adil
antara laki-laki dan perempuan. Penerapan Kesetaraan dan Keadilan Gender perlu
menimbang masalah secara kontekstual dan situsional, tidak hanya berdasarkan
perhitungan secara matematis dan tidak bersifat universal. Sehingga konsep
kesetaraan yaitu konsep filosofis yang memiliki sifat kualitatif, tidak harus
bermakna kuantitatif.8 Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender adalah:
a. Akses: kesempatan yang sama antara pria dan wanita dalam sumber daya
pembangunan. Contohnya: memberikan peluang yang sama untuk
mendapatkan informasi pendidikan dan kesempatan dalam
mengembangkan karir bagi Pegawai pria dan wanita.
b. Partisipasi: pria dan wanita berpartisipasi dalam mengambil sebuah
tindakan atau keputusan. Contohnya: memberikan kesempatan kepada
pria dan wanita ikut serta dalam menentukan pilihan pendidikan dalam
rumah tangga, mengikut sertakan calon pejabat structural baik pegawai
pria ataupun wanita yang berkompetensi dan memenuhi syarat secara
obyektif dan transparan.
c. Kontrol: pria dan wanita memiliki kekuasaan yang setara dalam sumber
daya pembangunan. Contohnya: memberikan kesempatan bagi pegawai
pria dan wanita dalam mengembangkan kemampuan terhadap sumber
daya yang ada (sumber daya materi dan non materi) agar memiliki
kontrol yang mandiri.
8 Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KKP). Pemantapan Kesepakatan
Mekanisme Operasional Pengarus utamaan Gender Kesetaraan dan Perlindungan Anak
dalam Pembangunan Nasional dan Daerah. Bagian I dan II. Rekarnas Pemberdayaan PP
dan KPA. 2001.
d. Manfaat: membangun harus memiliki manfaat yang setara bagi pria dan
wanita. Contohnya: program pendidikan dan latihan harus memiliki
manfaat yang sama bagi pegawai pria dan wanita.
Kesetaraan Gender menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan
(KPP) yaitu keadaan dimana pria dan wanita menyandang status yang setara
dan memiliki kondisi yang sama agar terwujud secara keseluruhan hak-hak
asasi dan potensinya untuk pembangunan di segala bidang kehidupan.
C. Hak dan Kedudukan Anak laki-laki dan Perempuan Dalam
Kewarisan Dalam hukum waris Islam, penempatan sesesorang menjadi ahli waris
didasarkan pada adanya perkawinan, hubungan darah dan memerdekakan hamba
sahaya, saat ini masalah hamba sahaya sudah tidak banyak lagi dibahas kecuali
dalam fiqih konvensional. Adanya perkawinan akan menimbulkan hak warisan
antara suami dan istri, sedangkan hubungan darah akan menyebabkan hak
mendapatkan waris bagi kedua orang tua dan anak-anaknya. Jika ahli waris ada
maka yang akan menjadi ahli waris hanyalah suami dan istri, anak, ibu dan
bapak. Karakteristik yang paling menonjol dari hukum waris Islam, yang
membedakannya dengan sistem hukum waris lainya adalah bahwa dalam hukum
Islam bagian anak perempuan mendapatkan setengah dari anak laki-laki.
Di dalam Al-Qur‟an terdapat tiga ayat yang secara jelas dan pasti
mengenai pembagian waris, surat An-Nissa‟ ayat 11, 12, dan 176 sudah di
jelaskan secara rinci bahwa pembagian warisan terhadap anak laki-laki ialah
memiliki hak yang lebih besar dibanding anak perempuan. Namun ketentuan itu
sudah tidak revelan lagi dan sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam di
Indonesia. Hal ini yang didapatkan oleh Munawir Sjadzali ketika menjabat
sebagai Menteri Agama.9
Kedudukan anak Laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama tidak
membeda-bedakan antara harkat dan martabat dalam agama Islam, namun dalam
ketentuan pembagian harta warisan sesuai dengan ayat 11 surah An-Nissa‟ laki-
laki mendapatkan hak lebih besar dibanding anak perempuan. Sedangkan
mengenai pendapat Munawir Sjadzali sendiri bahwasanya pembagian harta waris
9 Munawir Sjadzali, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1989), hlm. 2
antara anak laki-laki dan perempuan harus disama ratakan 1:110
. Dalam hal ini
pendapat Munawir mengenai 1:1 tidak bisa di klaim salah ataupun benar karena
sesungguhnya kebenaran hanyalah milik Allah.
Dalam konteks ke Indonesiaan, bahwa Indonesia terkenal akan
kemajmukan suku bangsanya, sehingga tidak terlepas dengan adanya adat dan
budaya disetiap tempatnya begitu pula dengan sistem hukum kewarisan.
Disamping itu dengan kemajuan zaman banyak budaya asing yang masuk ke
Indonesia sehingga secara tidak langsung mempengaruhi dalam pemahaman
tentang kedudukan penyamaan hak waris antara laki-laki dan perempuan.11
Dalam pandangan beberapa mufasir terhadap surah An-Nissa‟ ayat 11
menyatakan, bahwa anak laki-laki mendapatkan hak lebih besar dibanding hak
perempuan, hal ini disebabkan karna syari‟at yang memberikan beban
tanggungjawab yang begitu besar kepada laki-laki daripada tanggungjawab kaum
wanita.12
Namun menurut hemat penulis maksud dari ketentuan 2:1 baik dan
cocok digunakan pada masa ketika Islam belum masuk di Indonesia.
Dengan ketentuan formula 2:1 memberikan rasa kurang adil bagi kaum
wanita yang berada di Indonesia sekarang ini, berdasarkan hal tersebut
disebabkan, perbedaan zaman, tempat, budaya dan kultur sosial. Dengan
berkembangnya zaman peran dan tanggungjawab seorang wanita di Indonesia
hampir sama dengan kaum pria.
D. Teori Maslahah Menurut Najmudin At-Thufi
Teori mashlahah dari zaman ke zaman memiliki perkembangan makna
dan terminology dari berbagai ulama-ulama Islam. Sehingga dapat perlu kita
ketahui mashlahah ini mempunyai dua pengertian yaitu secara etimologi dan
terminologi. Maslahah secara bahasa digunakan sebagai perbuatan yang
mengandung kemanfaatan, dalam bentuk majas mursal13
yang artinya bisa
mendatangkan manfaat.
10
Rodiah, dkk., Studi Al-Qur‟an Metode dan Konsep, (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2010), hlm. 153 11
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di
Indonesia, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2018), hlm. 146 12
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawarits Fi Asy-Syari‟ah Al-Islamiyah
Hukum Waris Menurut Al-Qur‟an dan Hadis, (Bandung: Trigenda Karya, 1995),
hlm.21 13
Maslahah secara bahasa masuk dalam bab majaz mursal musabbabiyat,
seperti dicontohkan ilmu maslahah yaitu ilmu yang bisa mendatangkan kemaslahatan
Sedang maslahah sendiri bentuk katanya berasal sebangun dengan kata
maf‟alah. Artinya adalah mengacu kepada pengertian yang banyak mendatangkan
kebaikan sebagai lawan dari mafsadah yaitu sesuatu yang banyak mendatangkan
keburukan.
1. Makna Mashlahah Menurut At-Thufi
a. Mashlahah secara bahasa (etimologi)
Menurut al-Thufi, kata mashlahah diambil dari kata as-salah
(kebaikan, kegunaan, validitas, dan kebenaran), yang berarti bahwa
sesuatu berada dalam bentuk sempurna (hay‟ah kamilah) sesuai
dengan tujuan atau sasaran yang dimaksudkan, seperti pena berada
pada bentuknya yang paling tepat (salih) ketika dipakai untuk
menulis dan pedang berada pada bentuknya yang paling layak (salih)
ketika digunakan untuk menebas.14
b. Mashlahah secara Syar‟i (terminologi)
At-Thufi mendefinisikan mashlahah berdasarkan pada dua hal, yaitu
secara urf dan syar‟i. adapun mashlahah secara urf adalah:15
السبب المؤدى الي الصلاح والنفع
Menurut al-Thufi segala sesuatu yang bisa mendatangkan
manfaat disebut mashlahah, seperti berjualan yang mendapatkan
untung. Adapun mashlahah menurut syar‟i yaitu:16
دى الي مقصود الشارع عبدةاوعادةالسبب المؤ
Menurutnya adalah segala sesuatu yang sesuai dengan maksud
pembuat hukum (syar‟i), baik itu berupa ibadah atau adat maka bisa
dinamakan mashlahah. Ibadah dan muamalah dilaksanakan tiada lain
untuk kebaikan bagi mukallaf, sehingga harus memelihara mashlahah
yang realistis.
Secara terminologi yang dikemukakan oleh Al-Thufi ini, maka
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mashlahah itu ada dua
atau kemanfaatan. Lihat Hifni Nashif, dkk., Qawa‟idul Lughah Al-„Arabiyah, (Mesir:
Darul Kutub Islamiyah, t.th), hlm. 124-127 14
Muhammad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori Hukum Islam Kritik
Terhadap Konsep Maslahah Najmuddin al-Thufi, (Yogyakarta: KAUKABA
DIPANTARA, 2014), hlm. 139 15
Ibid. 16
Muhamad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori Hukum Islam..., hlm. 140
macam yaitu maslahah ibadah dan adah (muamalah). Al-Thufi juga
mengatakan bahwa “segala sesuatu yang sesuai dengan maksud
pembuat syariat baik itu ibadah atau adat adalah mashlahah (al-sabab
al-muaddi ila maqshud al-syari‟ ibadatan au adatan), hingga
kemudian al-thufi mendefinisikan mashlahah dengan dua
terminologi, yaitu mashlahah Syar‟i dan mashlahah „adah.17
Orisinalitas pemikiran al-Thufi mengenai mashlahah Nampak
jelas akan kemampuan akal manusia untuk memahami mashlahah
dalam hal adah (muamalah). Namun lebih dari itu jika mashlahah ini
bertentangan dengan nash maka yang didahulukan adalah mashlahah.
Hal inilah yang menjadi pembeda antara terminologi mashlahah al-
Thufi dengan ulama yang lain dikarenakan ulama lain memberikan
terminology mashlahah masih sebagai konsep yang tunduk pada
nash.18
Imam Al-Ghazali memaparkan bahwa mashlahah adalah
segala sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan
kerusakan. Adapun tujuan Syara‟ dalam penetapan hukum yaitu ada
lima diantaranya: memelihara agama, jiwa, akal keturunan dan harta.
Pemikiran At-Thufi ini dibangun atas empat prinsip dasar yaitu19
:
استقلال العقول بادراك المصالح والمفاسد
“Kebebasan akal untuk menentukan baik dan buruk tanpa harus
dibimbing oleh kebenaran wahyu”.
المصلحت دليل الشرع مستقل عن النصوص
“Maslahah adalah dalil syara‟ yang tidak terikat dengan ketentuan
nash”.
E. Teori Batas Shahrur yaitu Batas Minimal dan Maksimal
Teori hasil penelitian yang dilakukan oleh syahrur adalah merupakan
sebuah teori yang sangat aplikatif, yaitu nazhariyyah al-hudud (limit
theory/teori batas). Teori batas terdiri batas bawah (al-hadd al-adna /
minimal) dan batas atas (al-hadd al-a‟la / maksimal). Terdapat enam bentuk
aplikatif teori batas ini dalam kajian ayat-ayat hukum, adapu teori yang
17
Ibid., 18
Vita Fitria, “Reaktualisasi Hukum Islam: Pemikiran Munawir Sjadzali”,
jurnal AKADEMIKA, UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA,Vol. 17, No.
2, Tahun 2012 19
Ibid.
berkaitan dengan pembahasan waris adalah teori ketiga yang berbunyi: yang
memiliki batas atas dan bawah sekaligus. Berlaku pada hukum waris ( Qs. 4:
ayat 11-14 dan 176) .20
Adapun contoh dari teori ketiga yang memiliki batas minimum dan
maksimum telah ditetapkan dalam al-Qur‟an, kemudian Ijtihad posisinya ada
diantara kedua batas minimum dan maksimum tersebut. Contoh: QS. An-
Nisa‟ ayat 11, tentang pembagian warisan. Batas maksimum pria adalah 2x
wanita, sedangkan batas minimum wanita adalah 0.5 dari seorang pria.
Ijtihad bergerak diantara dua batas maksumum dan minimum tersebut dengan
melihat berbagai aspek yang ada.
Bagan Penjelas Kesimpulan Ayat-Ayat Waris Surat An-Nisa‟: 11, 12,
176 Waris Hanya Terbatas Pada Pihak Yang Disebutkan Dalam Ketiga Ayat
tersebut.21
F. Fikih Indonesia
Fikih Indonesia adalah fikih yang ditetapkan sesuai dengan
kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi‟at dan watak Indonesia.22
Fikih
yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini sebagaiannya adalah
fiqih hijaz. Fikih yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan „urf yang berlaku
di hijaz, atau fikih Mesir yaitu fikih yang telah terbentuk atas dasar adat
istiadat yang berlaku di Mesir. Dan fikih Hindi yaitu fikih yang telah
terbentuk atas dasar adat istiadat dan „urf yang berlaku di India.
Menurut Hasbi ash-Shiddiqi salah satu faktor yang menyebabkan
ulama negeri ini belum mampu melahirkan fikih yang berkepribadian
Indonesia dikarenakan terlalu fanatik terhadap mazhab yang dianut yang
dianut oleh umat muslim. Maka dari itu ia mengajak kalangan perguruan
tinggi Islam di Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid dengan
karakter khas yang dapat meneruskan proyek fikih Indonesia.23
20
Terjemah Qs. An-Nissa‟ Ayat 11-14 dan 176. Lihat Kementrian Agama RI:
Al-Qur‟an Terjemah dan Tafsir Untuk wanita, (Jakarta: Penerbit Marwah, 2010) 21
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Penerbit Kalimedia, 2015), hlm. 422. 22
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas Dan Gagasanya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. vii 23
Toha Ma‟arif, “Fiqih Indonesia Menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi,
Hazairin dan Munawir Sjadzali” jurnal ijtimaiyya: UIN Raden Intan Lampung. Vol, 8,
No. 2, Agustus 2015.
Fikih yang berkepribadian Indonesia adalah merupakan hal yang
boleh dan mungkin dibentuk sebagaimana fikih mu‟amalat yang dikatakan
sebagai organisme hidup dan tidak berlaku universal, sehingga mampu
memenuhi kebutuhan terhadap hukum yang timbul pada setiap masyarakat di
setiap era yang baru. Fiqh mu‟amalat sendiri sebagaian besarnya adalah
produk ijtihad para ulama yang dalam mengistinbathkan hukum tidak
terlepas dari konteks sosio kultural masyarakat sehingga tercapai tujuan
hukum yang berlandaskan kemaslahatan bagi masyarakat muslim
Indonesia.24
Berangkat dari pemahaman terhadap fiqh mu‟amalat, maka
metodologi yang digunakan Hasbi Ash Shiddiqi dalam penggalian hukum
melalui pendekatan kontekstual prinsip hukum maslahat mursalah yang
memiliki arti sama dengan istihsan dan sad adz-dzari‟ah serta „urf, maknanya
„urf masyarakat Indonesia menjadi salah satu sumber penetapan hukum. 25
Menurut hemat penulis, dari pemaparan di atas bahwa fikih Indonesia
merupakan suatu keinginan dalam pembaharuan hukum Islam yang ada di
Indonesia, sebagaimana yang dituangkan oleh Hasbi ash Shiddiqi yang mana
fikih Indonesia adalah suatu pengambilan hukum yang berasaskan dari
konteks sosio kultural masyarakat Indonesia.
Salah satu upaya dalam mewujudkan fikih Indonesia yaitu dengan
dibuatnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hasil ijtihad yang
di dalamnya mengandung peraturan-peraturan hukum Islam yang sesuai
dengan kondisi kebutuhan hukum dan kesadaran hukum umat Islam di
Indonesia
METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan strategi yang utama dan mempunyai peran yang
sangat penting dalam penulisan karya ilmiah ini, karena penggunaan metode adalah
landasan yang harus diikuti agar dapat memahami dan menjawab permasalahan yang
akan diteliti.26
Untuk sampai pada rumusan yang tepat terhadap pembahasan ini maka
penulis menggunakan metode sebagai berikut :
24
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas Dan Gagasanya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 239 25
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia,…,hlm. 240 26
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada,1997), hlm. 27-28.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka ( Library Reasearch ) yaitu
penelitian yang mendasarkan analisa pada buku pustaka, makalah, artikel,
jurnal27
dan bahan-bahan pustaka lainnya yang relevan dengan judul
penelitian ini.
Penelitian ini juga merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yaitu
sebuah penelitian yang lebih menekankan analisis pada proses penyimpulan
deduktif dan induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan antar
fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah melalui cara
berfikir formal dan argumentatif.
Dalam penelitian kualitatif, Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip
oleh Arif Furchan dan Agus Maimun menjelaskan bahwa penelitian
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari subyek
penelitian itu sendiri.28
B. Pendekatan Penelitian
1) Pendekatan Historis
Pendekatan historis digunakan untuk menelusuri latar belakang
pemikiran Munawir Sjadzali. Pendekatan historis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah sosial intelektual.
2) Pendekatan Normatif
Khairudin nasution menjelaskan bahwa pendekatan normatif
dalam studi Islam adalah pendekatan yang memandang masalah dari
sudut legal formal dan atau normatifnya.
3) Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis digunakan untuk menganalisis peta
pemikiran Munawir Sjadzali dalam merumuskan metodologinya
ketika merespon hak dan pembagian warisan antara laki-laki dan
perempuan. Pendekatan maslahah akan menjadi pendekatan filosofis
yang digunakan dalam penelitian ini karena permasalahan hak waris
27
Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1996),
hlm. 33. 28
Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh; Metodologi Penelitian
Mengenai Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 15
pada dasarnya menimbang maslahah yang ada dalam pembagianya
sebagaimana disebutkan.
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
1. Kontruksi Dasar Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Hukum Waris
a. Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pembagian Waris 2:1
Sistem pembagian harta warisan dalam hukum waris Islam antara laki-
laki dan perempuan dengan ketentuan 2:1 sudah mutlak dan sesuai dengan
ajaran Al-Qur‟an, namun menurut pandangan Munawir Sjadzali sistem
pembagian waris di Indonesia pemberlakuannya belum sesuia dengan ketentuan
yang berlaku, dimana masih banyak keraguan. Berangkat dari keraguan itu
Munawir mulai mengeluarkan beberapa alasan untuk yaitu: Pertama, Munawir
Melihat ketika ia menjabat sebagai Menteri Agama RI29
, bahwa banyak
diantara daerah yang mayoritas penduduknya umat muslim seperti, Sulawesi
Selatan dan Kalimantan Selatan banyak terjadi penyimpangan dalam pembagian
harta warisan. Secara realita yang ada di Indonesia sebagian umat muslim dan
sebagian tokoh-tokoh organisasi Islam masih enggan dengan fatwa waris yang
dikeluarkan oleh pihak Pengadilan Agama sehingga mereka meminta fatwa
kepada Pengadilan Negeri.
Kedua, terjadi penyimpangan dalam pembagian harta warisan yang
tidak sesuai dengan ketentuan Al-Qur‟an, baik secara langsung atau tidak
langsung yang dilakukan oleh pewaris terhadap keluarganya atau kepada anak-
anaknya dengan menggunakan sistem pembagian harta kekayaan kepada anak-
anaknya dengan porsi yang sama rata tanpa membedakan jenis kelamin hal ini
disebut sebagai hibah, peristiwa ini terjadi terhapad diri Munawir sendiri ketika
meminta nasehat dan fatwa dari seorang ulama yang memiliki ilmu agama yang
tinggi30
.
Selanjutnya, gagasan yang disampaikan oleh Munawir Sjadzali
memiliki dua landasan, yaitu secara rasional maupun teoritis. Secara rasional
disampaikan bahwa penyimpangan yang terjadi terhadap ketentuan 2:1 dalam
pembagian warisan disebabkan adanya budaya, adat istiadat dan struktur sosial
29
Muchammad Hammad, “Waris dan Wasiat Dalam Hukum Islam: Studi
Atas Pemikiran Hazairin dan Munawir Sjadzali”, jurnal At-Tahdzib: Sekolat Tinggi
Islam At-Tahdzib, Vol. 3, No. 1 Tahun 2015, hlm. 55 30
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Cet. Ke-1, (Jakarta:
PARAMADINA, 1997), hlm. 61.
yang terjadi dalam masyarakat sehingga mereka beranggapan ketentuan diatas
belum memiliki rasa keadilan. Adapun secara teoritis, boleh atau tidaknya
dalam merubah ketentuan yang sudah begitu jelas dalam Al-Qur‟an, Munawir
sedikit memberi alasan terkait hal ini. Pertama, adanya hukum naskh didalam
Al-Quran dan hadis. Dalam Al-Qur‟an telah dijelaskan ayat-ayat tentang
pembatalan dan pergeseran terhadap hukum-hukum yang telah diajarkan oleh
Nabi saw, begitu pula dengan hadis –hadis yang telah diberikan Nabi sebagai
petunjuk telah ditarik kembali. Kedua, pendapat para ahli hukum mengenai ayat
106 surah Al-Baqarah, sebagai landasan adanya nash dalam Al-Qur‟an. Ibnu
Katsir berkata tidak akan ditolak hukum nash sebagai hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah, kemudian Al-Maraghi berkata apabila ketentuan hukum
dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan umat maka perlu adanya
penghapusan hukum atau dapat diganti dengan yang baru sesuai kebutuhanan
masyarakat, kemudian Rasyid Ridha berpendapat berubahnya suatu hukum
disebabkan adanya perbedaan waktu, tempat dan situasi/kondisi.31
Berdasarkan
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum itu dapat berubah di dalam
Al-Qur‟an apabila dirasa hukum tersebut sudah tidak relevan untuk diterapkan.
Menurut Munawir Sjadzali, bahwa yang pertama kali melemparkan
gagasan untuk mengajak umat muslim dalam mereaktualisasikan ajaran Islam
khususnya dalam bidang kewarisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah
para ulama-ulama terdahulu, karena ulama-ulama ini lebih berani dan lebih
konseptual.32
Kemudian Munawir mengutip beberapa pendapat ulama salah
satunya yaitu pendapat Muh. Abduh yang menerangkan bahwa umat Islam
harus berani membebaskan pikiran dari belenggu taqlid dan dapat memahami
agama secara baik dengan menggunakan metode yang telah digunakan oleh
para pendahulu yaitu Al-Qur‟an dan hadis agar tidak terjadi perselisihan antar
umat muslim, salah satu sumber kekuatan yang dimiliki manusia adalah akal
yang sehat.33
31
Muchammad Hammad, “Waris dan Wasiat Dalam Hukum Islam: Studi
atas Pemikiran Hazairin dan Munawir Sjadzali”, jurnal At-Tahdzib: Sekolah Tinggi
Islam At-Tahdzib. Vol. 3, No. 1 Tahun 2015, hlm. 56 32
Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, (Jakarta:
UI PRESS, 1994), hlm. 43 33
Ibid., hlm. 44
b. Ayat-Ayat Al-Qur’an Dalam Pandangan Munawir Sjadzali
Tidak sedikit dari beberapa perbedaan dikalangan umat muslim, bahwa
Al-Qur‟an merupakan suatu hal yang pokok bagi hukum Islam. Karena umat
muslim selalu mengikuti ajaran Al-Qur‟an dalam mengambil segala macam
ajaran dan juga dalil-dalil yang ada didalamnya. Dengan demikian Al-Qur‟an
merupakan dasar bagi seluruh syaria‟at dan pengumpulan segala hukum.34
Kitab
suci yang menjadi sumber ajaran umat muslim yang harus selalu digali
kandungannya agar secara praktis dan teoritis selalu menajdi panduan hidup
manusia.35
Penulis merasa perlu untuk mencantumkan pembasan ini terhadap
perspektif Munawir Sjadzali terhadap Al-Qur‟an. Hal ini dikarenakan sangat
penting kiranya bagi umat muslim untuk mengetahui pemahaman seorang
cendekiawan terhadap nash, sehinga kita bisa mengetahui seseorang tersebut
pada golongan fundamental, moderat atau bahkan liberal. Dan kemudian akan
semakin mudah tentunya dari pengklasifikasian tersebut jika kita melanjutkan
untuk meneliti tentang pemikiran terhadap hukum Islam dan berikut pemikiran
Munawir Sjadzali mengenai Al-Qur‟an:
a) Keuniversalan dan Keabadian Al-Qur’an
Searah dengan pengantar diatas, Al-Qur‟an diturunkan tidak dalam
keadaan vakum, namun mengingat sedikit sekali ayat-ayat hukum yang
turun tanpa adanya asbabu nuzulnya,36
melainkan diturunkan sekelompok
masyarakat pada zaman tertentu, dengan masalah sejarah dan latar
belakang kebudayaan dan lokasi tertentu pula. Wahyu –wahyu tersebut
diterima oleh Nabi Muhammad SAW, dijazirah Arab pada abad ketujuh
Masehi.
Sebagimana kita ketahui bersama bahwa wahyu-wahyu, khususnya
mengenai kemasyarakatan, biasanya diterima oleh Nabi sebagai tanggapan
dan petunjuk dalam menghadapi masalah atau situasi yang timbul pada
waktu itu. Dengan demikian, konsepsi atau formula yang diberikan wahyu
34
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur‟an /Tafsir,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 186 35
Waryono Abdul Ghofur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan
Konteks, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hlm. 36
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur‟an /Tafsir,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 79
tersebut menjadi relevan dengan situasi sosial, budaya, serta tingkat
kemajuan peradaban dan intelektual masyarakat bangsa Arab pada waktu
itu, ruang dan latar belakang sejarah dan kebudayaan.37
Dalam hal keuniversalan dan keabadian Al-Qur‟an ini, menurut
Munawir Sjadzali, bahwa tidak seluruh kandungan Al-Qur‟an harus
diperlakukan sebagai ayat yang universal dan abadi khususnya yang
bersangkutan dengan aplikasi dan prinsip. Menurutnya bukankah kita telah
menyaksikan bahwa didalam Al-Qur‟an terjadi tahapan-tahapan dalam
melaksanakan hukum.
b) Pemahaman Al-Qur’an Antara Tekstual dan Kontekstual
Munawir Sjadzali mengingatkan tentang bahayanya orang melakukan
perujukan terhadap Al-Qur‟an semata-mata secara tekstual dengan tidak
memperhatikan kondisi, situasi dan latar belakang turunya ayat tersebut.
Menurut Munawir, pada akhir abad kesembilan belas Syaikh Muhammad
Abduh menyatakan hendaknya berhati-hati dalam membaca buku-buku
karya mufasir sebelum kita, dikarenakan buku yang mereka tulis pada
tingkat intelektualnya berbeda dengan zaman sekarang ini. Dengan
demikian Muhammad Abduh memperingatkan bahwa untuk dapat
menafsirkan Al-Qur‟an dan Hadis seseorang dianjurkan untuk menguasai
ilmu bahasa yang memadai, pengetahuan yang utuh mengenai sejarah
Nabi, termasuk situasi kultural pada zaman itu, asbab an-nuzul (sebab
sebab diturunkannya ayat), dan sejarah umat manusia.38
Sementara itu, dapat kita ketahui bersama bahwa kepentingan
masyarakat dan pelaksanaan prinsip keadilan itu dapat berubah disebabkan
perbedaan aman, waktu, situasi kultural budaya dan interaksi sosial.
Mengenai hukum yang bersangkuan dengan kemasyarakatan Munawir
memiliki pendapat yang sama dengan Al-Izz Ibnu Abdussalam seorang
ahli hukum Islam dari golongan syafi‟iyah, ia berkata “semua usaha itu
hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik kepentingan
duniawi ataupun ukhrawi. Allah tidak memerlukan ibadah kita semua. Ia
37
Munawir Sjadzali, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.
117 38
Munawir Sjadzali, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988), hlm. 121
tidak beruntung dari ketaatan mereka yang taat dan tidak dirugikan oleh
perbuatan mereka sendiri”.39
Disisi lain, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dari golongan Hanbali
mengatakan, “Perubahan dan perbedaan fatwa ataupun opini hukum
dapat terjadi karena perbedaan wakt, tempat (lingkungan), situasi, tujuan,
dan adat-istiadat”. Selain itu Ya‟qub Ibnu al-Anshary, seorang murid
kesayangan Abu Hanifah dan yang lebih terkenal dengan Abu Yusuf,
berpendirian bahwa nash sekalipun, apabila dahulu dasarnya merupakan
adat, dan adat tersebut kemudian berubah, maka gugur pula hukum yang
terkandung di dalam nash itu.40
c) Kontekstual Ayat Waris Menurut Munawir Sjadzali
Ayat waris merupakan ayat-ayat yang membahas tentang hukum
kewarisan Islam yang terdapat dalam Al-Qur‟an. Ayat –ayat tersebut
meliputi: surah An-Nissa‟ ayat 11, 12, dan 176 dalam ayat tersebut
dijelaskan tentang bagian-bagian warisan yang diperoleh oleh setiap ahli
waris dan siapa saja yang menjadi ahli waris tersebut. Bagian-bagian yang
diberikan kepada ahli waris sudah disebutkan secara terperinci sesuai
dengan porsi masing-masing.
Ketentuan dalam sistem pembagian harta waris terhadap anak laki-
laki dan perempuan 2:1 menuia polemik. Secara harfiah bagian anak laki-
laki lebih besar dua kali lipat dibanding anak perempuan, ataukah
pembagian tersebut tidak harus dijalankan secara harfiah namun, harus
meninjau dari sebab diadakanya hukum waris tersebut atau konteks yang
mendasari hukum waris itu, sehingga ketentuan pembagian harta warisan
bisa disama ratakan atas dasar keadilan.
2. ANALISIS
1. Kedudukan ahli waris laki-laki dan perempuan menurut Munawir
Sjadzali
a. Pembagian waris Klasik Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Islam adalah agama yang
Rahmatan Lil „Alamain, didalamnya terkandung berbagai tatanan kehidupan
39
Munawir Sjadzali, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.
121-122 40
Munawir Sjadzali. Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996),
hlm.122
manusia baik yang berhubungan dengan akidah, syari‟ah, muamalah dan
tidak lupa pula sistem kewarisanya. Dengan mengacu kepada lima tujuan
utama dalam hidup yaitu, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta,
maka dapat diketahui bahwa Islam itu sangat menjungjung tinggi nilai-nilai
keadilan dan keislaman sebagai nilai yang universal di dunia ini.
Adil dalam kamus KBBI adalah sama rata atau tidak berat sebelah
yang artinya tidak memihak atau memberikan hak kepada orang yang berhak
menerimanya tanpa ada pengurangan. Sedangkan adil dalam hukum waris
Islam adalah pemberian jumlah yang diberikan kepada ahli waris sesuai
dengan porsi yang tercantum didalam Al-Qur‟an maupun hadis, sehingga adil
dalam pemberian warisan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1 hal ini
dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:41
1) Nafkah perempuan ditanggung dan telah diwajibkan bagi keluarganya
yang laki-laki, yaitu anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki dan
keluarganya laki-laki yang lain.
2) Perempuan tidak dituntut memberi nafkah kepada siapapun, sedangkan
laki-laki dituntut menanggung nafkah sanak keluarganya dan orang lain
yang menjadi kewajibannya.
3) Kewajiban mengeluarkan nafkah bagi laki-laki lebih banyak macamnya
dan tugas kewajibanya berkenaan dengan materi lebih vital, sehingga
kebutuhanya terhadap harta lebih besar dibandingkan dengan
perempuan.
4) Laki-laki dituntut untuk memberi mahar kepada istrinya serta
memberikan sandang, pangan, papan bagi istri dan anak-anaknya.
5) Biaya sekolah anak, ongkos pengobatan anak, istri dan sebagainya
menjadi tanggung jawab laki-laki (suami), tidak menjadi kewajiban
perempuan.
b. Pembagian Harta Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan salah satu dasar hukum
bagi Hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara. Salah satu
bagian yang diatur dalam KHI adalah tentang hukum waris. hukum waris
tersebut tertulis dalam buku II KHI mulai dari pasal 171 sampai pasal
41
Suryati, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET, 2017), hlm. 2
193.42
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagian anak perempuan
disebutkan bila hanya seorang diri, ia mendaptkan setengah bagian,
apabila dua orang atau lebih maka akan mendapat bagian dua pertiga
bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan laki-laki
adalah dua banding satu dengan anak perempuan.
Selanjutnya, bahwa keadilan dalam segi kewarisan menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diartikan memberikan bagian sama
rata akan tetapi bagian yang diberikan sesuai dengan porsi masing-
masing bagian, sebagaimana yang sudah dijelaskan didalam Al-Qur‟an
maupun hadis Nabi sehingga keadilan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam sistem pembagian
waris. Aturan waris yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
mengacu kepada kitab-kitab kuning yang membahas waris secara khusus.
Jadi secara garis besar, hukum waris Islam di Indonesia dengan hukum
waris Islam di seluruh penjuru dunia hampir sama yang membedakan
adalah adat istiadat dan mazhab yang dijadikan rujukan.
2. Metodologi Pemikiran hukum Islam tentang pembagian warisan
laki-laki dan perempuan menurut Munawir Sjadzali perspektif
Fikih Indonesia Gagasan yang dikemukakan Munawir Sjadzali dalam Hukum waris
adalah tentang kesetaraan antara bagian waris laki-laki dan perempuan,
secara tidak langsung pemikiran Munawir Sjadzali didasari atas pengalaman
pribadinya dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan dipengaruhi oleh
budaya dan pemikiran barat sebagaimana Munawir pernah mengenyam
pendidikan di Negara Inggris dan Amerika di Universitas of exeter43
dan
Georgetown University.44
Mengenai sandara teori ijtihad yang digunakan Munawir Sjadzali
dalam mereaktualisasikan ajaran Islam dalam hukum waris dengan
42
Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 43
Akhmad Satori dan Sulaiman Kurdi (Ed), Sketsa Pemikiran Politik
Islam, (Yogyakarta: Penerbit Deepublish: CV Budi Utama, 2016), hlm. 237 44
Masykuri Abdila, Islam Dan Demokrasi: Respon dan Intelktual Muslim
Indonesia terhadap Konsep Demokrasi1966-1993, (Jakarta: Prenada Media Group,
2015), hlm. 63
menggunakan beberapa teori yaitu: Asbab Nuzul, Maslahah, Nash-Mansuh
dan „Adah.45
a. Asbab Nuzul
Menurut Az-Zarqani, asbabu nuzul yaitu menerangkan suatu
rangkaian ayat yang berisikan tentang sebab diturunkannya ayat dan
menjelaskan segala hukum pada setiap kasus dan kejadianya. Namun
menurut Bagi Subhi Shalih, asbabu nuzul menjelaskan suatu kejadian yang
berkaitan dengan pertanyaan sebab turunya ayat sebagai jawaban.46
Asbab nuzul merupakan suatu gambaran ayat yang memiliki
hubungan dengan fenomena sosialkultural masyarakat, jadi perlu ditekankan
bahwa asbab nuzul tidak memiliki hubungan secara kasual dengan materi
yang bersangkutan.47
b. Maslahah
Maslahat mursalah adalah suatu penetapan hukum yang berdasarkan
maslahat (Kebaikan, Kepentingan) yang tidak disebutkan dalam Syara‟, baik
secara umum ataupun khusus. Maslahah menurut Abdul Wahab Khallaf
adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak disebut ketentuanya
dalam Al-Qur‟an dan sunah. Adapun jenis-jenis maslahat adalah sebagai
berikut:48
1) Maslahat Mu‟tabarah (maslahat yang dipakai)
Maslahat Mu‟tabarah dibagi menjadi tiga yaitu: maslahah ad-
daruriyyah, maslahah al- hajiyyah, dan maslahah at-tahsiniyyah.
2) Maslahat yang tidak dipakai
Maslahat yang tidak dipakai adalah maslahah yang tidak bisa
dijadikan acuan penetuan hukum dikarenakan ada maslahat lain yang
lebih kuat darinya.
3) Maslahat yang tidak ada ketegasanya
Maslahat yang tidak ada ketegasannya adalah maslahat yang tidak
disebutkan untuk digunakan, akan tetapi merupakan maslahat yang
45
M. Usman, Rekonstruksi Teori…., hlm. 207 46
Muhammad Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul: Rampai Peristiwa dan
Pesan Moral di Balik Ayat-Ayat Suci Al-Qur‟an, (Jakarta: Penerbit Zaman, 2015),
hlm. 17 47
Ibid.,hlm. 18 48
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: PT.
Magenta Bakti Guna, 1995), hlm.74
didiamkann oleh Syara‟, dikarenakan tidak ada dalil yang menetapkan
maupun meniadakan maslahat yang seperti ini.
c. Nasikh-Mansukh
Secara etimologi, menurut Al-fairuzabadi, pengertian Naskh ialah
pengahapusan / penghilangan, pengubahan dan pembatalan sesuatu
yang di tempat suatu yang lain. Nasikh adalah hukum yang datang
kemudian sedangkan mansukh adalah hukum yang datang lebih
dahulu.49
Nash menurut Munawir Sjadzali yaitu sebuah pergeseran atau
pembatalan hukum-hukum yang digunakan sebagai petunjuk yang
terkandung dalam ayat-ayat yang diterima Rasulullah pada masa
sebelumnya. Naskh merupakan suatu perubahan hukum yang sangat
erat kaitanya dengan perubahan tempat dan waktu.50
d. „Adat
Adat (kebiasaan), Munawir selalu mengutip pendapat Abu Yusuf
yang mengatakan nash diturunkan dalam suatu kasus adat tertentu. Jika
adat berubah, maka dalil hukum yang terkandung dalam nash tersebut
akan ikut gugur juga. Menurut Munawir bahwa nash yang di tawarkan
hanya sebagai pemecah masalah-masalah hukum, sosial dan politik yang
sesuai dengan keadaan kondisi sosial masyarakat tertentu. Adat memiliki
kekuatan yang lebih dalam menjamin kemaslahatan masyarakat,
sehingga adat dapat diterima karena memiliki kekuatan hukum yang
sama seperti ditetapkan hukum berdasarkan nash.
Mengenai metode ijtihad yang digunakan oleh Munawir Sjadzali
dalam mereaktualisasi hukum waris Islam, yaitu secara mendasar
Munawir Sjadzali tidak pernah menyampaikan secara langsung bahwa ia
menggunakan metode ijtihad ini dan itu. Akan tetapi dari paparan yang
dijelaskan diatas kita dapat menilai maksud dan tujuan yang diinginkan
Munawir Sjadzali. Sehingga peneliti ingin mengkategorikan beberapa
metode ijtihad yang digunakan oleh Munawir Sjadzali yaitu Metode
49
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Penerbit LOGOS, 1995), hlm.
194 50
Vita Fitria, “Reaktualisasi Hukum Islam: Pemikiran Munawir Sjadzali”,
jurnal AKADEMIKA, UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA,Vol. 17, No. 2,
Tahun 2012
Ijtihad Dengan Merujuk Kepada Kaidah Analisis „Adah dan Metode
Ijtihad Analogi Logis (Ta‟wil).
KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan diatas mengenai pemikiran Munawir Sjadzali tentang
Reaktualisasi Ajaran Islam khususnya dalam bidang kewarisan, maka penulis dapat
mengambil beberapa kesimpulan yang merupakan akhir dari penulisan ini, yaitu:
1. Menurut Munawir Sjadzali bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan itu
memiliki peran dan tanggung jawab yang sama sehingga dalam sistem
kewarisnya ingin memberikan hak yang sama antara ahli waris karena kadar
2:1 sudah tidak adil di masyarakat sekarang. Sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) juga disebutkan dalam pasal 176 besarnya bagian yang
dimiliki oleh anak perempuan apabila bersama anak laki-laki maka ia
mendapatkan bagian setengah bagian dari anak laki-laki.
2. Metodologi pemikiran yang digunakan oleh Munawir Sjadzali dalam
mereaktualisasi ajaran Islam dalam hukum kewarisan adalah menggunakan
metode ijtihad, beberapa sandaran teori ijtihad yang digunakan yaitu: Asbab
Nuzul, Maslahah, Naskh-Mansuh dan „Adah. Menurut perspektif fikih
Indonesia, bahwa metode yang digunakan Munawir Sjadzali dalam
pembagian harta waris antara laki-laki dan perempuan dapat diterima, karena
relevan dan sesuai dengan kepribadian, tabiat, watak dan kondisi masyarakat
Indonesia. Disebabkan Munawir memiliki prinsip fleksibilitas berdasarkan
realitas kondisi.
DAFTAR PUSTAKA Abdila, Masykuri., 2015, Islam dan demokrasi: Respon dan Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Jakarta: Prenada Media
Group.
Abdul Ghofur,Waryono., 2005, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks,
Yogyakarta: Elsaq Press.
Abdurrahman., 1992, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademia
Pressindo.
Abu, Badran, al-Ainiyai Badran., al-Mawarith wa al-Wasiyyah wa al-Hibah,
Iskandariya: Muassasah al-jami‟ah.
Al-Haddad, Mohame., 2016, The Future of Ijtihad in Modern Islamic Thought,
diakses pada tanggal 12 Maret 2016.
Ali Ash-Shabuni, Muhammad., 1995, Al-Mawarits Fi Asy-Syari‟ah Al-Islamiyah:
Hukum Waris Menurut Al-Qur‟an dan Hadis, Bandung: Trigenda Karya.
Alkostar, Artijo., Sholeh Amin., 1986, Pembangunan Hukum Islam dalam
Perspektif Politik Hukum Nasional, Jakarta: Rajawali Press.
Anam, Saiful, (ed)., 1998, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik,
Jakarta: Penerbit INIS.
Ash Shiddieqy, Hasbi., 1997, Sejarah Pengantar Al-Qur‟an dan Tafsir, Jakarta:
Bulan Bintang.
At-Thufi, Najm al-Din., Syarah Arba‟in, Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman,
(Makkah: al-Maktabah al-Makiyah t,th) Nash Risalah al-Thufi dalam Abd Al-
Wahhab Khallaf Mashadir..
Baidhowi., 2009, Antropologi Al-Qur‟an, Yogyakarta: Penerbit LKiS.
Chirzin, Muhammad., 2015, Mengerti Asbabun Nuzul: Rampai Peristiwa dan
Pesan Moral di Balik Ayat-Ayat Suci Al-Qur‟an, Jakarta: Penerbit Zaman.
Dery, Tamyiz., “Keadilan Dalam Islam”, Jurnal MIMBAR: UNISBA Bandung.
Vol. XVIII, No. 3 Juli 2002.
Dewantoro, P. Cyntia., 2008, “Bagaimana Membagi Waris Menurut KUH
Perdata”,Article.Nasional.Kompas.com/read/2008/05/28/
bagaimana.membagi.waris.menurut.kuh.perdata.
Djalaluddin, Mawardi., 2017, “Nilai-Nilai Keadilan dalam Harta Warisan Islam”,
jurnal Shaut al-„Arabiyyah: UIN Alauddin, Makassar. Vol. V, No. 1, Januari-
Juni 2017.
Effendi M. Zein, Satria., 2009, Ushul Fiqh, Jakarta: Fajar Interpratama Offest.
Faizah, Ayu., dkk., 2016, “Konsep Keadilan Gender dalam Pembagian Warisan”
(studi komparatif pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali), Diya
al-Afkar, Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Al-Hadis IAIN syekh Nurjati Cirebon.
Vol. 4, No. 02, Desember 2016.
Fitria, Vita., 2012, “Reaktualisasi Hukum Islam: Pemikiran Munawir Sjadzali”,
Jurnal AKADEMIKA, UIN Sunan Kalijaga. Vol. 17, No. 2, Tahun 2012.
Furchan, Arief., Agus Maimun, 2005, Studi Tokoh: Metodologi Penelitian
Mengenai Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ghofur Ansori, Abdul., 2012, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Eksistensi
dan Adaptabilitas, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hammad, Muchammad., 2015, “Waris dan Wasiat Dalam Hukum Islam: Studi
atas Pemikiran Hazairin dan Munawir Sjadzali”, Jurnal At-Tahdzib: Sekolah
Tinggi Agama Islam At-Tahdzib. Vol. 3, No. 1 Tahun 2015.
Hamzah, Abu., 2005, Relevansi Hukum Waris Islam: Bias Isu Gender,
Egalitarisme, Pluralisme dan Ham, Jakarta: As-Sunnah.
Hamzah, Muchotob., dkk., 2017, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyah,
Yogyakarta: Penerbit LKiS.
Hanafi, Ahmad., 1995, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT.
Magenta Bakti Guna.
Haroen, Nasrun., 1995, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Penerbit LOGOS.
Hermawan Adinugraha, Hendri, dkk., 2018, “Reaktualisasi Hukum Islam di
Indonesia (Analisis Terhadap Teori Hudud Muhammad Syahrur)”, jurnal
ISLAMIDINA, Universitas Muhamadiyah Purwokerto. Vol. 19, No. 1, Maret
2018.
Huda, Nor., 2007, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
Yogyakarta: Arruz Media.
Husein, Syarif., Khisni, Akhmad., 2018, “Hukum Waris Islam di Indonesia (Studi
Perkembangan Hukum Kewarisan dalam Kompilasi hukum Islam dan Praktek
di Pengadilan Agama)”, jurnal AKTA, UNISSULA, Semarang. Vol. 5, No. 1,
Maret 2018.
Iqbal, Muhammad., 2010, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, Jakarta: PT. Balebat Dedikasi Prima.
Ismatu, Ropi, Jamhari., 2003, Citra Perempuan Dalam Islam: Pandangan Ormas
Keagamaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jamil, Rosidi., 2017, “Hukum Waris dan Wasiat (Sebuah Perbandingan antara
Pemikiran Hazairin dan Munawir Sjadzali)”, jurnal Al-Ahwal: UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta. Vol. 10, No. 1, Juni 2017.
Kamarudin., 2013, “Beragam Norma Hukum dalam Penerapan Waris”, Jurnal Al-
Risalah. Vol. 13, No. 1, Mei 2013
Kartini., 1996, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju.
Kementrian Agama RI., 2010, Ummul Mukmini Al-Qur‟an Terjemah dan Tafsir
Untuk Wanita, Jakarta: Marwah.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP)., 2001 Pemantapan Kesepakatan
Mekanisme Operasional Pengurus utamaan kesetaraan Gender dan
Perlindungan anak dalam Pembangunan Nasional dan Daerah. Bagian I dan
II. Rekarnas Pemberdayaan PP dan KPA.
Maria Pangemana, Mawar., 2016, “Kajian Hukum Atas Hak Waris Terhadap Anak
Dalam Kandungan Menurut KUHPerdata”, Jurnal Lex Privatum. Vol. IV, No.
1, Tahun 2016.
Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman., Qualitative Data Analysis, alih
bahasa Tjetjep Rohendi Rohidi, 1992, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
tentang Metode Metode Baru, Jakarta: UI Press.
Mohammad Faiz, Pan., 2009, “ Teori Keadilan John Rawls (The Teory Of
justice)”, Jurnal Konstitusi. Volume 6, Nomor 1 April 2009.
Mudzar, Atho., 1995, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam, Mu awir
Sjadzali Di Dunia Islam, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina.
Muhibbuddin, Muhammad., 2015, “Pembaharuan Hukum waris Islam di
Indonesia”, jurnal AHKAM, IAIN Tulungagug. Vol. 3, No. 2, November
2015.
Nasution, Khairuddin., 2009, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia dan
Tazaffa.
Nata, Abuddin, 2019, Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP.
Parman, Ali, 1995, Kewarisan Dalam Al-Qur‟an: Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Permana, Sugiri., 2018, “Kesetaraan Gender Dalam Ijtihad Hukum Waris di
Indonesia”, Jurnal Asy-Syari‟ah: UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Vol. 20,
No. 2 Desember 2018.
Poespasari, Ellyne Dwi, 2018, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di
Indonesia, Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.
Riyadi, Eko, Abdi, Supriyanto (ed), 2007, Mengurai Kompleksitas Hak asasi
Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII.
Rochmad, 2017, “Pembagian Harta Waris Antara Anak Laki-laki dan Perempuan:
Studi Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor:
1545/PDT.G/2010/PA.SM”, jurnal Hukum Khaira Ummah, UNISSULA,
Semarang. Vol. 12, No. 4, Desember 2017.
Rodiah, dkk., 2010, Studi Al-Qur‟an Metode dan Konsep, Yogyakarta: Elsaq
Press.
Rosyada, Dede, 1999, Metode Kajian Dewan Hukum Hisbah Persis, Jakarta:
LOGOS.
Roy Purwanto, Muhammad, 2014, Dekonstruksi Teori Hukum Islam Kritik
Terhadap Konsep Maslahah Najmudi Al-Thufi, Yogyakarta: KAUKABA
DIPANTARA.
Sakirman, 2016, “Konvergensi Pembagian Harta Waris dalam Hukum Islam”,
Jurnal Al-„Adalah: Institut Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro Lampung.
Vol. XIII, No. 2 Desember 2016.
Salman, Otje, Mustafa Haffas., 2006, Hukum Waris Islam, Bandung: Refika
Aditama Press.
Sarmadi, Sukris., 2012, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti
Dalam Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Aswaji Pressindo.
Satori, Akhmad., Kurdi, Sulaiman (ed)., 2016, Sketsa Pemikiran Politik Islam,
Yogyakarta: Penerbit Deepublish: CV Budi Utama.
Shahrur, Muhammad., 2015, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta:
penerbit Kalimedia.
Shidiq, Sapiuddin, 2011, Ushul Fiqh, Jakarta: KENCANA.
Sjadzali, Munawir, 1993, Islam Dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: Paramadina.
_______, Munawir, 1994, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, Jakarta: UI
Press.
______, Munawir., 1996, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan.
______, Munawir, 1997, Ijtihad Kemanusiaan, Cet. Ke-1, Jakarta:
PARAMADINA.
______, Munawir., 1988, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka
Panjimas.
______, Munawir., 1988, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal Abdurrauf
Saimin, ed, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Sriani, Endang., 2018, “Fiqih Mawaris Kontemporer: Pembagian Waris
Berkeadilan Gender”, jurnal Tawazun: IAIN Salatiga. Vol. 1, No. 2,
September 2018.
Sugono, Bambang., 1997, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Grafindo
Persada.
Sulastomo, dkk., 1995, Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali, MA, Jakarta: Paramadina dan IPHI.
Supriyadi, Tedi., 2016, “Reinterprestasi Kewarisan Islam Bagi Perempuan”, Jurnal
Sosioreligi: Universitas Pendidikan Indonesia Sumedang. Vol. 14, No. 2
September 2016.
Suryati., 2017, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET.
Suyanto, Bagung & Sutinah., 2005, Metodologi Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan, Jakarta: Kencana.
Umar, Nasarudin., 1999, Kodrat Perempuan Dalam Islam, Jakarta: Lembaga
Kajian Agama dan Gender.
Usman., 2015, “Rekontruksi Teori Hukum Islam (Membaca Ulang Pemikiran
Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali)”, Disertasi Doktor,
Yogyakarta: Program Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam
Indonesia.
Usman, Suparman, & Somawinata, Yusuf., 2002, Fiqh Mawaris: Hukum
Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Wahab Khalaf, Abdul., 1996, (terj), Masdar Helmy, Ilmu Ushul Al-Fiqh,
Bandung: Gema Risalah Press.
Wahidah., 2018, “Relasi Setara Antara Laki-laki dan Perempuan dalam Kasus
Kewarisan Islam (Fara‟id)”, SYARIAH: jurnal Hukum dan Pemikiran, UIN
Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Vol. 18, No. 1, Juni 2018.
Wahyudani, Zulham., 2015, “Perubahan Sosial dan Kaitanya dengan Pembagian
Harta Warisan dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Ilmiah Islam Futura:
University Malaya, Kuala Lumpur. Vol. 14, No. 2, Februari 2015.
Yusdani., 2011, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, Yogyakarta: Penerbit Kaukaba.
Zuhroh, Diana., 2017, “Konsep Ahli Waris dan Ahli Waris Pengganti: Studi
Putusan Hakim Pengadilan Agama”, Jurnal Al-Ahkam: IAIN Surakarta. Vol.
27, No. 1 April 2017.