Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

19
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam ialah pendekatan bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara si pemikir dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Oleh karena itu, produk pemikirannya itu sebenarnya dipengaruhi oleh lingkungannya itu. Pendekatan ini memperkuat alasannya dengan menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut. Menurut Atho Mudzar, pendekatan ini penting sedikitnya karena dua hal; pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat seharusnya. kedua, untuk memberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang agar tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam. Pendekatan 1

Transcript of Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

Page 1: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam ialah

pendekatan bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada

dasarnya merupakan hasil interaksi antara si pemikir dengan

lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Oleh karena itu,

produk pemikirannya itu sebenarnya dipengaruhi oleh

lingkungannya itu. Pendekatan ini memperkuat alasannya dengan

menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk

pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu

sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut.

Menurut Atho Mudzar, pendekatan ini penting sedikitnya

karena dua hal; pertama, untuk meletakkan produk pemikiran

hukum Islam itu pada tempat seharusnya. kedua, untuk

memberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam

sekarang agar tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan

perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum. Sejarah telah

membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah

melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam.

Pendekatan sejarah sosial bertugas menelusuri bukti-bukti sejarah

itu.

Sedikitnya ada empat jenis produk hukum Islam yang ada

selama ini, yaitu kitâb-kitâb fikih, keputusan-keputusan pengadilan

agama, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim, dan fatwa-

fatwa ulama. Masing-masing produk pemikiran hukum itu

1

Page 2: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

mempunyai ciri khasnya sendiri. Kitâb fikih merupakan hasil nalar

fuqaha yang dideduksi dari sumber yang otentik, kemudian

dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang

panjang. Ia disosialisasikan dan memberi makna islami terhadap

pranata sosial yang baru. Produk fuqaha ini sangat besar

pengaruhnya di kalangan umat Islam, sehingga terdapat

kecenderungan bahwa fikih identik dengan hukum Islam. Kitâb-

Kitâb fikih sebagai jenis produk pemikiran hukum Islam yang

pertama sifatnya menyeluruh dan meliputi semua aspek hukum

Islam sehingga diantara cirinya cenderung kebal terhadap

perubahan karena revisi terhadap sebagiannya dianggap

mengganggu keutuhan isi keseluruhannya.

B. Rumusan Masalah

1. Latar belakang kehidupan Abu Ubaid dan hasil karyanya?

2. Pandangan ekonomi Abu Ubaid?

2

Page 3: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Kehidupan Abu Ubaid dan Hasil Karyanya

1. Latar Belakang Kehidupan Abu Ubaid

Abu Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di Propinsi Khurasan

(Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan

Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam

ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah.

Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an

pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa

Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu

bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah

campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga

yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik

(gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur)

menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia

tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah

berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.

Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudâmah

Assarkhâsy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal,

Ishâq, dan Abu Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di

bidang fikih (fâqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq

paling huffâdz (kuat hafalannya) dan Abû ‘Ubaid yang paling pintar

bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah:

3

Page 4: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

“kita memerlukan orang seperti Abû ‘Ubaid tetapi dia tidak

memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abu

Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya.

Menurut Abu Bakar ibn Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya

pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan

1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu

lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah.

Menurut Ishaq, “Abu Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i

dan Ahmad bin Hambal”. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat

bahwa Abu Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang

tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan

para Imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal.

Kesejajarannya ini membuat Abu Ubaid menjadi seorang mujtahid

mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab

tertentu.

2. Hasil Karya Abu Ubaid

Hasil karya Abu Ubaid ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu

nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal

adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih. Kitâb al-Amwâl dari Abu

Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan

negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah

perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga

merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari

Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi.

Dalam bukunya tersebut Abu Ubaid tidak hanya mengungkapkan

pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya

sendiri.

4

Page 5: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

Kitâb al-‘Amwâl dibagi dalam beberapa bagian dan bab,

dimulai dengan bab pendahuluan singkat dari kesepakatan para

imam (penguasa) dan subyek satu sama lainnya dengan referensi

khusus untuk kebutuhan pemerintahan yang adil. Abu Ubaid

mengatakan bahwa seorang pemimpin itu wajib memusyawarahkan

keputusan-keputusan ekonomi pada kaum muslimin serta

bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin. Sedangkan

rakyat berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam

melaksanakan kebijakan ekonomi. Beliau juga mengatakan bahwa

pelaku ekonomi harus seorang yang bertakwa kepada Allah dan

jujur.

Dilanjutkan dengan bab tambahan yang berjudul “jenis

penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama

publik dan dasar-dasarnya di dalam Kitâb dan Sunnah”. Abu Ubaid

memberikan prioritas penerimaan pada masa Nabi seperti fai’ dan

alokasinya, diklasifikasikan sebagai tiga sumber penerimaan negara

sesudah Nabi. Bagian lainnya dari buku tersebut berbicara tentang

penerimaan negara yaitu: fai’, khums, dan shadâqah (zakat), Imam

berkewajiban memelihara dan mengalokasikannya pada publik.

Tiga bagian pertama dari buku tersebut meliputi beberapa

bab tentang penerimaan fai’. Fai’, menurut Abû ‘Ubaid termasuk

dari pendapatan jizyah (poll tax), kharj (pajak tanah), dan ‘usyhur

(bea cukai). Sedangkan masalah ghanîmah dibahas tersendiri

beserta fidyah (tebusan tawanan perang). Bagian berikutnya

(keempat) memperhatikan penalukan-penaklukan wilayah, ada bab-

bab yang membahas pertanahan, administrasi, hukum

internasional, dan hukum perang. Sesudah itu bagian kelima

5

Page 6: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

membahas tentang distribusi dari fai’, dan bagian keenam yang

membahas tentang iqta’, ihya’ al-mawât, dan hima.

Tampak bahwa kitâb al-Amwâl secara khusus memusatkan

perhatian pada keuangan publik (public finance), akan tetapi dapat

dikatakan bahwa sebagian besar materi yang ada di dalamnya

membahas administrasi pemerintahan secara umum. Kitâb al-

Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum

serta hukum administrasi dan hukum internasional. Hal tersebut

membuat kitâb ini menjadi sumber pengembangan yang sangat

diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua awal abad

Islam. Jika merujuk pada format dan metodologi buku tersebut, di

dalam setiap babnya. Ayat serta hadis Nabi SAW, kesepakatan pada

sahabat, tabi’in serta atba’ tabi’in ditampilkan bersama dengan

pendapat ahli fikih. Abu Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis

yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta

melakukan tela’ah mendalam terhadap mata rantai

penyampaiannya.

B. Pandangan Ekonomi Abu Ubaid

1. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi

Jika isi buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum

maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai

prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan

membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial.

Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada

hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual

6

Page 7: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak

pada kepentingan publik.

Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti

Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga

pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk

membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan

kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan

dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan

diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan

pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abû ‘Ubaid berpendapat

bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun

penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan

kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan

tidak ditunaikan.

Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam

memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah

taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya

pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal

tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums,

ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-

batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan

publik. Akan tetapi di lain pihak, Abu Ubaid dalam pembahasannya

secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak

boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk

kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan

untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.

Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak

tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya

7

Page 8: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim,

dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay”

(kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan

para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang

lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang untuk ditarik uang

atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian

perdamaian.

Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak

dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan

membayar serius. Lebih jauh Abû ‘Ubaid mengatakan jika

permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim,

maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah

hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai (duty free). Ia juga

menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa

pengumpul kharaj, jizyah, ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa

subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi

kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).

Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk

menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam

perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax

evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang

dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya

permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya

berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû

‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi

taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena

perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun,

betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan

8

Page 9: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang

didasarkan pada nash.

2. Dikotomi Badui – Urban

Pembahasan mengenai dikotomi Badui-Urban dilakukan Abu

Ubaid ketika menyoroti alokasi fai’.1 Abu Ubaid menegaskan bahwa,

bertentangan dengan kaum Badui, kaum Urban (perkotaan):

Ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi

kewajiban administrasi dari semua muslim;

Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui

mobilisasi jiwa dan harta mereka;

Menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui

pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah

dengan diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas

isinya;

Melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui

pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed

finalties); 5) memberikan contoh universalisme Islam

dengan shalat berjamaah pada waktu Jum’at dan ‘Id.

Singkatnya, di samping keadilan, Abu Ubaid mengembangkan

suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan,

pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya

diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya

tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban

kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti

1 Istilah Abu Ubaid untuk badui dan urban adalah ahl al-badi dan ahl al-badiyah atau ahl al-badaw dan ah al-hadirah, ahl al-hadar, atau ahl al-hadarah. Lihat Abu Ubaid Al-Qasim bi Sallam, h. 316-321 dan 330.

9

Page 10: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi

dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap

penerimaan fai’  hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti

saat invasi atau penyerangan musuh, kemarau panjang (ja’ihah),

dan kerusuhan sipil (fatq).2

3. Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan

Pertanian

Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik

karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat

dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang

baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan

perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid secara implisit.

Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah

gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari

tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya

atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi

pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk

ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan

sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka

tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami

dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan

menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan

kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah

gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk

direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat

2 Ibid., h. 316-323. Dalam hal zakat, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat ditarik dari subjek yang kaya dan dibagikan kepada subjek yang miskin; lihat ibid., h. 321

10

Page 11: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan

yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah

diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.

Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati

dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah

sumur lalu meninggalkannya begitu saja; setelah itu jika tidak

diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim

dari ssumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang

lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya

ditempati orang lain.

Jadi, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber

air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh

pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini

hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang

digunakan untuk pelayanan masyarakat.

4. Pertimbangan Kebutuhan

Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa

besar seseorang berhak menerima zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak

setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang

sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung

untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap

penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting

adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta

bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan

kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abû ‘Ubaid tidak

memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40

11

Page 12: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan

pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup hidup

minimum). Abû ‘Ubaid menganggap bahwa seseorang yang

memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang

kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.

Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga

tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan

status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat,

kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga

tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik).

Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi

kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi

prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-

masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar

lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut

haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi

kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan imam. 

5. Fungsi Uang

Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak

mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran

(standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran

(medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini

menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi

mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif

konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang

lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas

maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal

12

Page 13: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai

barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari

barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi

penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara

implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang

jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan

jumlah zakatnya.

Abu Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk

penimbangan dan pengukuran yang digunakan di dalam

menghitung beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya

memenuhi kewajiban agama atau benda, yang juga merupakan ciri

khusus dari kitâb al-Amwal di antara buku-buku lain sejenis ini.

Dalam bab lain diceritakan usaha Khalifah Abdul Malik ibn Marwan

dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada

dalam sirkulasi.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Bila dilihat dari masa hidupnya yang relatif dekat dengan

masa hidup Rsulullah, wawasan pengetahuannya serta isi, format

dan metodologi Kitab al-Amwal, Abu Ubaid pantas disebut sebagai

pemimpin dari “pemikiran ekonomi mazhab klasik” di antara para

penulis tentang keuangan public. Dalam hal ini, Yahya Ibn Adam

13

Page 14: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

Sulayman dan Abu Al-Faraj Zayn Al-Din Abdul Al-Rahman Ibn Ahmad

Ibn Rajab Al-Sulami Al-Hambali (wafat 795 H/1393 M) merupakan

para pemikir Muslim yang cenderung mengukuti langkah dan

pemikiran abu Ubaid.

Seperti tergambarkan dalam karya monumentalnya, Kitab al-

Amwal, Abu Ubaid tampak jelas berusaha untuk mengartikulasikan

ajaran Islam dalam aktivitas kehidupan umat manusia sehari-hari.

Inti dari doktrinnya adalah pembelaan terhadap pelaksanaan

distribusi kekayaan secara adil dan merata berdasarkan prinsip-

prinsip keadilan fiskal dengan sebaik dan sesempurna mungkin.

Menurut Abu ubaid, pemberian hibah dalam berbagai bentuknya

yang dilakukan Negara atau penguasa terhadap seseorang atau

sekelompok orang harus berdasarkan pada besarnya pengbdian

yang diberikan kepada masyarakat. Dengan kata lain, Abu Ubaid

ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya

menguntungkan sekelompok mesyarakat dan membebani

sekelompok masyarakat lainnya harus dihindari Negara semaksimal

mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan Negara agar

selalu dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi

hak kepemilikan pribadi agar tidak disalahgunakan sehingga

mengganggu atau mengurangi manfaat bagi masyarakat umum.

Pandangan-pandangan Abu Ubaid juga merefleksikan

perlunya memelihara dan mempertahankan keseimbangan antara

hak dan kewajiban masyarakat serta menekankan spirit de corps,

rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Di samping itu, Abu

Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib

memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagii setiap

individu dalam sebuah masyarakat Muslim.

14

Page 15: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

 

15

Page 16: Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

16