Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
-
Upload
yamany-yusda-fujiwara -
Category
Documents
-
view
91 -
download
4
Transcript of Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam ialah
pendekatan bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada
dasarnya merupakan hasil interaksi antara si pemikir dengan
lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Oleh karena itu,
produk pemikirannya itu sebenarnya dipengaruhi oleh
lingkungannya itu. Pendekatan ini memperkuat alasannya dengan
menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk
pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu
sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut.
Menurut Atho Mudzar, pendekatan ini penting sedikitnya
karena dua hal; pertama, untuk meletakkan produk pemikiran
hukum Islam itu pada tempat seharusnya. kedua, untuk
memberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam
sekarang agar tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan
perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum. Sejarah telah
membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah
melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam.
Pendekatan sejarah sosial bertugas menelusuri bukti-bukti sejarah
itu.
Sedikitnya ada empat jenis produk hukum Islam yang ada
selama ini, yaitu kitâb-kitâb fikih, keputusan-keputusan pengadilan
agama, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim, dan fatwa-
fatwa ulama. Masing-masing produk pemikiran hukum itu
1
mempunyai ciri khasnya sendiri. Kitâb fikih merupakan hasil nalar
fuqaha yang dideduksi dari sumber yang otentik, kemudian
dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang
panjang. Ia disosialisasikan dan memberi makna islami terhadap
pranata sosial yang baru. Produk fuqaha ini sangat besar
pengaruhnya di kalangan umat Islam, sehingga terdapat
kecenderungan bahwa fikih identik dengan hukum Islam. Kitâb-
Kitâb fikih sebagai jenis produk pemikiran hukum Islam yang
pertama sifatnya menyeluruh dan meliputi semua aspek hukum
Islam sehingga diantara cirinya cenderung kebal terhadap
perubahan karena revisi terhadap sebagiannya dianggap
mengganggu keutuhan isi keseluruhannya.
B. Rumusan Masalah
1. Latar belakang kehidupan Abu Ubaid dan hasil karyanya?
2. Pandangan ekonomi Abu Ubaid?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Kehidupan Abu Ubaid dan Hasil Karyanya
1. Latar Belakang Kehidupan Abu Ubaid
Abu Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di Propinsi Khurasan
(Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan
Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam
ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah.
Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an
pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa
Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu
bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah
campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga
yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik
(gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur)
menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia
tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah
berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.
Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudâmah
Assarkhâsy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal,
Ishâq, dan Abu Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di
bidang fikih (fâqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq
paling huffâdz (kuat hafalannya) dan Abû ‘Ubaid yang paling pintar
bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah:
3
“kita memerlukan orang seperti Abû ‘Ubaid tetapi dia tidak
memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abu
Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya.
Menurut Abu Bakar ibn Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya
pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan
1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu
lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah.
Menurut Ishaq, “Abu Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i
dan Ahmad bin Hambal”. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat
bahwa Abu Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang
tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan
para Imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal.
Kesejajarannya ini membuat Abu Ubaid menjadi seorang mujtahid
mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab
tertentu.
2. Hasil Karya Abu Ubaid
Hasil karya Abu Ubaid ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu
nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal
adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih. Kitâb al-Amwâl dari Abu
Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan
negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah
perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga
merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari
Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi.
Dalam bukunya tersebut Abu Ubaid tidak hanya mengungkapkan
pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya
sendiri.
4
Kitâb al-‘Amwâl dibagi dalam beberapa bagian dan bab,
dimulai dengan bab pendahuluan singkat dari kesepakatan para
imam (penguasa) dan subyek satu sama lainnya dengan referensi
khusus untuk kebutuhan pemerintahan yang adil. Abu Ubaid
mengatakan bahwa seorang pemimpin itu wajib memusyawarahkan
keputusan-keputusan ekonomi pada kaum muslimin serta
bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin. Sedangkan
rakyat berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam
melaksanakan kebijakan ekonomi. Beliau juga mengatakan bahwa
pelaku ekonomi harus seorang yang bertakwa kepada Allah dan
jujur.
Dilanjutkan dengan bab tambahan yang berjudul “jenis
penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama
publik dan dasar-dasarnya di dalam Kitâb dan Sunnah”. Abu Ubaid
memberikan prioritas penerimaan pada masa Nabi seperti fai’ dan
alokasinya, diklasifikasikan sebagai tiga sumber penerimaan negara
sesudah Nabi. Bagian lainnya dari buku tersebut berbicara tentang
penerimaan negara yaitu: fai’, khums, dan shadâqah (zakat), Imam
berkewajiban memelihara dan mengalokasikannya pada publik.
Tiga bagian pertama dari buku tersebut meliputi beberapa
bab tentang penerimaan fai’. Fai’, menurut Abû ‘Ubaid termasuk
dari pendapatan jizyah (poll tax), kharj (pajak tanah), dan ‘usyhur
(bea cukai). Sedangkan masalah ghanîmah dibahas tersendiri
beserta fidyah (tebusan tawanan perang). Bagian berikutnya
(keempat) memperhatikan penalukan-penaklukan wilayah, ada bab-
bab yang membahas pertanahan, administrasi, hukum
internasional, dan hukum perang. Sesudah itu bagian kelima
5
membahas tentang distribusi dari fai’, dan bagian keenam yang
membahas tentang iqta’, ihya’ al-mawât, dan hima.
Tampak bahwa kitâb al-Amwâl secara khusus memusatkan
perhatian pada keuangan publik (public finance), akan tetapi dapat
dikatakan bahwa sebagian besar materi yang ada di dalamnya
membahas administrasi pemerintahan secara umum. Kitâb al-
Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum
serta hukum administrasi dan hukum internasional. Hal tersebut
membuat kitâb ini menjadi sumber pengembangan yang sangat
diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua awal abad
Islam. Jika merujuk pada format dan metodologi buku tersebut, di
dalam setiap babnya. Ayat serta hadis Nabi SAW, kesepakatan pada
sahabat, tabi’in serta atba’ tabi’in ditampilkan bersama dengan
pendapat ahli fikih. Abu Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis
yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta
melakukan tela’ah mendalam terhadap mata rantai
penyampaiannya.
B. Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
1. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum
maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai
prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan
membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial.
Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada
hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual
6
berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak
pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti
Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga
pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk
membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan
kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan
dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan
diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan
pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abû ‘Ubaid berpendapat
bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun
penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan
kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan
tidak ditunaikan.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam
memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah
taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya
pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal
tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums,
ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-
batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan
publik. Akan tetapi di lain pihak, Abu Ubaid dalam pembahasannya
secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak
boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk
kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan
untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak
tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya
7
keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim,
dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay”
(kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan
para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang
lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang untuk ditarik uang
atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian
perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak
dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan
membayar serius. Lebih jauh Abû ‘Ubaid mengatakan jika
permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim,
maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah
hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai (duty free). Ia juga
menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa
pengumpul kharaj, jizyah, ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa
subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi
kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk
menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam
perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax
evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang
dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya
permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya
berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû
‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi
taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena
perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun,
betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan
8
atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang
didasarkan pada nash.
2. Dikotomi Badui – Urban
Pembahasan mengenai dikotomi Badui-Urban dilakukan Abu
Ubaid ketika menyoroti alokasi fai’.1 Abu Ubaid menegaskan bahwa,
bertentangan dengan kaum Badui, kaum Urban (perkotaan):
Ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi
kewajiban administrasi dari semua muslim;
Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui
mobilisasi jiwa dan harta mereka;
Menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui
pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah
dengan diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas
isinya;
Melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui
pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed
finalties); 5) memberikan contoh universalisme Islam
dengan shalat berjamaah pada waktu Jum’at dan ‘Id.
Singkatnya, di samping keadilan, Abu Ubaid mengembangkan
suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan,
pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya
diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya
tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban
kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti
1 Istilah Abu Ubaid untuk badui dan urban adalah ahl al-badi dan ahl al-badiyah atau ahl al-badaw dan ah al-hadirah, ahl al-hadar, atau ahl al-hadarah. Lihat Abu Ubaid Al-Qasim bi Sallam, h. 316-321 dan 330.
9
kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi
dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap
penerimaan fai’ hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti
saat invasi atau penyerangan musuh, kemarau panjang (ja’ihah),
dan kerusuhan sipil (fatq).2
3. Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan
Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik
karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat
dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang
baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan
perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid secara implisit.
Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah
gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari
tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya
atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi
pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk
ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan
sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka
tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan
menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan
kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah
gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk
direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat
2 Ibid., h. 316-323. Dalam hal zakat, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat ditarik dari subjek yang kaya dan dibagikan kepada subjek yang miskin; lihat ibid., h. 321
10
ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan
yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah
diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati
dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah
sumur lalu meninggalkannya begitu saja; setelah itu jika tidak
diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim
dari ssumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang
lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya
ditempati orang lain.
Jadi, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber
air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh
pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini
hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang
digunakan untuk pelayanan masyarakat.
4. Pertimbangan Kebutuhan
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa
besar seseorang berhak menerima zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak
setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang
sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung
untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap
penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting
adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta
bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan
kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abû ‘Ubaid tidak
memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40
11
dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan
pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup hidup
minimum). Abû ‘Ubaid menganggap bahwa seseorang yang
memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang
kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga
tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan
status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat,
kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga
tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik).
Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi
kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi
prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-
masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar
lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut
haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi
kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan imam.
5. Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak
mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran
(standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran
(medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini
menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi
mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif
konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang
lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas
maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal
12
tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai
barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari
barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi
penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara
implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang
jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan
jumlah zakatnya.
Abu Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk
penimbangan dan pengukuran yang digunakan di dalam
menghitung beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya
memenuhi kewajiban agama atau benda, yang juga merupakan ciri
khusus dari kitâb al-Amwal di antara buku-buku lain sejenis ini.
Dalam bab lain diceritakan usaha Khalifah Abdul Malik ibn Marwan
dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada
dalam sirkulasi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Bila dilihat dari masa hidupnya yang relatif dekat dengan
masa hidup Rsulullah, wawasan pengetahuannya serta isi, format
dan metodologi Kitab al-Amwal, Abu Ubaid pantas disebut sebagai
pemimpin dari “pemikiran ekonomi mazhab klasik” di antara para
penulis tentang keuangan public. Dalam hal ini, Yahya Ibn Adam
13
Sulayman dan Abu Al-Faraj Zayn Al-Din Abdul Al-Rahman Ibn Ahmad
Ibn Rajab Al-Sulami Al-Hambali (wafat 795 H/1393 M) merupakan
para pemikir Muslim yang cenderung mengukuti langkah dan
pemikiran abu Ubaid.
Seperti tergambarkan dalam karya monumentalnya, Kitab al-
Amwal, Abu Ubaid tampak jelas berusaha untuk mengartikulasikan
ajaran Islam dalam aktivitas kehidupan umat manusia sehari-hari.
Inti dari doktrinnya adalah pembelaan terhadap pelaksanaan
distribusi kekayaan secara adil dan merata berdasarkan prinsip-
prinsip keadilan fiskal dengan sebaik dan sesempurna mungkin.
Menurut Abu ubaid, pemberian hibah dalam berbagai bentuknya
yang dilakukan Negara atau penguasa terhadap seseorang atau
sekelompok orang harus berdasarkan pada besarnya pengbdian
yang diberikan kepada masyarakat. Dengan kata lain, Abu Ubaid
ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya
menguntungkan sekelompok mesyarakat dan membebani
sekelompok masyarakat lainnya harus dihindari Negara semaksimal
mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan Negara agar
selalu dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi
hak kepemilikan pribadi agar tidak disalahgunakan sehingga
mengganggu atau mengurangi manfaat bagi masyarakat umum.
Pandangan-pandangan Abu Ubaid juga merefleksikan
perlunya memelihara dan mempertahankan keseimbangan antara
hak dan kewajiban masyarakat serta menekankan spirit de corps,
rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Di samping itu, Abu
Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib
memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagii setiap
individu dalam sebuah masyarakat Muslim.
14
15
16