Pemikiran ekonom kontemporer

32
Sejarah Pemikiran Ekonomi Kontemporer” https://sebi.ac.id Oleh: Muhammad Yusuf

Transcript of Pemikiran ekonom kontemporer

“Sejarah Pemikiran Ekonomi Kontemporer”

https://sebi.ac.id

Oleh:

Muhammad Yusuf

1

Daftar Isi

Muhammad Abdul Mannan .................................................................................................................2

A. Biografi ..................................................................................................................................2

B. Karakteristik Pemikiran ...........................................................................................................3

C. Ciri – ciri dan Kerangka Institusional ........................................................................................4

Muhammad Nejatullah Siddiqi ............................................................................................................9

A. Biografi ..................................................................................................................................9

B. Ciri – ciri dan Kerangka Institusional ........................................................................................9

Monzer Kahf .................................................................................................................................... 14

A. Biografi ................................................................................................................................ 14

B. Asumsi Dasar ........................................................................................................................ 14

C. Konsep dan Metodologi Ekonomi Islam.................................................................................. 15

D. Teori Konsumsi ..................................................................................................................... 16

E. Teori Produksi....................................................................................................................... 18

F. Struktur Pasar........................................................................................................................ 18

G. Teori Makro Moneter............................................................................................................. 19

H. Distribusi .............................................................................................................................. 21

Muhammad Baqir Ash-Shadr ............................................................................................................ 23

A. Biografi ................................................................................................................................ 23

B. Asumsi Dasar ........................................................................................................................ 24

C. Karakteristik Sistem Ekonomi Islam ....................................................................................... 25

D. Distribusi .............................................................................................................................. 28

E. Produksi................................................................................................................................ 30

2

Muhammad Abdul Mannan

A. Biografi

Muhammad Abdul Mannan dilahirkan di Bangladesh tahun 1918. Kemudian beliau

menikah dengan seorang wanita bernama Nargis Mannan yangbergelar master di bidang ilmu

politik. Mannan menerima gelar master dibidang ekonomi dari Universitas Rajshahi pada tahun

1960. Setelah menerima gelar master ia bekerja di berbagai kantor ekonomi pemerintah di

Pakistan. Ia menjadi asisten pimpinan di the Federal Planning Commission of Pakistan pada

tahun 1960-an.

Tahun 1970, Mannan melanjutkan studinya di Michigan State University, Amerika Serikat,

untuk program MA (economics) dan ia menetap di sana. Tahun 1973 Mannan berhasil meraih

gelar MA, kemudian ia mengambil program doktor di bidang industri dan keuangan pada

universitas yang sama, dalam bidang ekonomi yaitu Ekonomi Pendidikan, Ekonomi

Pembangunan, Hubungan Industrial dan Keuangan.

Setelah menyelesaikan program doktornya, Mannan menjadi dosen senior dan aktif

mengajar di Papua New Guinea University of Tehcnology. Disana ia juga ditunjuk sebagai

pembantu dekan. Pada tahun 1978, ia ditunjuk sebagai profesor di Internasional Centre for

Research in Islamic Economics, Universitas King Abdul Azis Jeddah.

Beliau juga aktif sebagai visiting professor pada Moeslim Institute di London dan

Georgetown University di Amerika Serikat. Melalui pengalaman akademiknya yang panjang,

Mannan memutuskan bergabung dengan Islamic Development Bank (IDB). Tahun 1984 ia

menjadi ahli ekonomi Islam senior di IDB.

Tahun 1970, Islam berada dalam tahapan pembentukan, berkembang dari pernyataan

tentang prinsip ekonomi secara umum dalam Islam hingga uraian lebih seksama. Sampai pada

saat itu tidak ada satu Universitas pun yang mengajarkan ekonomi Islam. Seiring dengan

perkembangan zaman, ekonomi Islam mulai diajarkan di berbagai universitas, hal ini mendorong

Mannan untuk menerbitkan bukunya pada tahun 1984 yang berjudul The Making Of Islamic

Economic Society dan The Frontier Of Islamic Economics.

Beliau telah memberikan kontribusi dalam pemikiran ekonomi Islam melalui bukunya

yang berjudul Islamic Economic Theory and Practice yang menjelaskan bahwa sistem ekonomi

Islam sudah ada petunjuknya dalam Al-Quran dan Hadits. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam

3

bahasa Inggris pada tahun 1986 dan telah diterbitkan sebanyak 15 kali serta telah diterjemahkan

dalam berbagai bahasa tak terkecuali Indonesia. Buku itu antara lain membahas mengenai teori

harga, bank Islam, perdagangan, asuransi dan lain-lain1. Beliau mendapat penghargaan

pemerintah Pakistan sebagai Highest Academic Award of Pakistan pada tahun 1974, yang

baginya setara dengan hadiah pulitzer.

B. Karakteristik Pemikiran

Kelebihan yang dimiliki Mannan dalam pemikirannya adalah karena karakteristik

pemikiran ekonomi Islam Mannan itu unik, dibandingkan ekonom lainnya2. Kelebihannya yang

ia miliki yaitu:

pertama, pandangan dan pemikirannya komprehensif dan integratif mengenai teori dan praktek

ekonomi Islam. Pandangannya ini menghadirkan gambaran keseluruhan dan bukan hanya

potongan-potongan saja. Ia melihat sistem ekonomi Islam dalam perspektifnya yang tepat.

Mannan tidak hanya mengulang pernyataan posisi Islam terhadap perbankan, dan finansial

dalam suatu cara yang otentik komprehensif dan tepat. Melainkan ia juga mengidentifikasi

kesenjangan dalam beberapa pendekatan yang berlaku. la juga memberikan suatu peringatan

yang tepat waktu terhadap pendekatan-pendekatan yang parsial.

Penekanan Mannan terletak pada perlunya membersihkan kehidupan ekonomi dari segala

bentuk eksploitasi dan ketidakadilan serta terhadap saling ketergantungan dari berbagai unsur

dalam lingkup kehidupan Islam.

Kedua, adalah dalam pemikirannya itu, ia menunjukkan terintegrasinya teori dengan praktik

ekonomi Islam. Mannan mengembangkan argumen yang jitu dalam menggulirkan konsep

ekonomi Islam inklusif terkait masalah peranan asuransi Islam3. Ia telah berhasil menunjukkan

keunggulan system ekonomi Islam.

Ketiga, karakteristik gagasan dan pemikirannya ini telah memicu perdebatan mengenai ekonomi

Islam, asuransi dan perbankan Islam. Perdebatan ini akhirnya membuat adanya evaluasi kritis

1 Muhammed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer, Analisis Komparatif Terpilih, Luqman. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2010, hlm. 15 2 Ibid, hlm. 53. 3 Ibid, hlm. 53.

4

terhadap sebagian gagasan baru yang berkembang selama dekade baru, dengan menghadirkan

pandangan-pandangan baru dan saran kebijakan yang relevan4.

C. Ciri – ciri dan Kerangka Institusional

Berdasarkan asumsi dasar maka Muhammad Abdul Mannan membahas sifat, ciri dan kerangka

institusinal ekonomi Islam, sebagai berikut:

a) Kerangka Sosial Islam dan Hubungan yang Terpadu antara Individu, Masyarakat,

dan Negara

Keterpaduan antara individu, masyarakat dan negara. Abdul Mannan menekankan bahwa

ekonomi berpusat pada individu, karena menurutnya, masyrakat dan negara ada karena adanya

individu. Oleh karena itu, ekonomi Islam harus digerakkan oleh individu yang patuh pada agama

dan bertanggung jawab pada Allah swt dan masyarakat. Menurutnya, kebebasan individu

dijamin oleh control social dan agama. Kebebasan individu adalah kemampuan untuk

menjalankan semua kewajiban yang digariskan oleh syariah. Mannan menjamin tidak ada

konflik antara individu, masyarakat dan negara, karena syariah telah meletakkan peranan dan

posisi masing-masing dengan jelas. Bahkan, antara kebebasan individu dan kontrol masyarakat

dan negara akan saling melengkapi, karena mempunyai tujuan dan maksud baik yang bersama-

sama diupayakan dalam menjalankan sistem ekonomi Islam.

b) Kepemilikan Swasta yang Relatif dan Kondisional

Kepemilikan swasta yang bersifat relatif dan kondisional. Isu dasar dari setiap pembahasan

ekonomi, termasuk juga ekonomi Islam adalah masalah kepemilikan. Dalam hal ini, Mannan

mendukung pandangan yang menyatakan bahwa kepemilikan absolut terhadap segala sesuatu

hanyalah pada Allah swt saja. Manusia dalam posisinya sebagai khalifah di muka bumi bertugas

untuk menggunakan semua sumberdaya yang telah disediakan oleh-Nya untuk kebaikan dan

kemaslahatannya.

Kepemilikan resmi diakui keberadaannya menurut Islam, namun legitimasi kepemilikan itu

tidaklah mutlak. Dalam legitimasi kepemilikan tersebut terdapat kewajiban-kewajiban moral,

agama dan kemasyarakatan dari individu yang bersangkutan.

4Ibid, hlm. 54. Wirdyaningsih (ed), Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 221.

5

Mannan mengusulkan pandangannya untuk mengatur kepemilikan oleh swasta antara lain;

tidak boleh ada aset yang menganggur, pembayaran zakat, penggunaan yang menguntungkan,

penggunaan yang tidak membahayakan, pemilikan kekayaan secara sah, penggunaan yang

seimbang (tidak boros dan juga tidak kikir), distribusi returns yang tepat, tidak boleh terjadi

konsentrasi kekayaan dan penerapan Hukum Islam tentang warisan. Sebagai konsekwensi dari

tawaran Mannan ini, maka setiap pelanggaran terhadap syarat-syarat tersebut membuka peluang

campur tangan negara. Namun, Mannan tidak menyebutkan secara detail apakah individu yang

melanggar itu masih boleh memegang hak miliknya atau kehilangan haknya.

c) Mekanisme Pasar Didukung Oleh Kontrol, Pengawasan dan Kerja Sama dengan

Perusahaan Negara Terbatas.

Mekanisme pasar dan peran negara. Dalam upaya pencapaian titik temu antara sistem

harga dengan perencanaan negara, Mannan mengusulkan adanya bauran yang optimal antara

persaingan, kontrol yang terencana dan kerjasama yang bersifat sukarela. Mannan tidak

menjelaskan lebih lanjut bagaimana bauran ini dapat tercipta. Sekali lagi Mannan telah

memunculkan pemikiran normatif elektis yang masih sangat membutuhkan tindakan kongkrit

untuk merelaisasikan norma tersebut dengan teknik-teknik dan pendekatan tertentu. Tetapi yang

jelas, Mannan tidak setuju dengan mekanisme pasar saja untuk menentukan harga dan output.

Hal itu akan memunculkan ketidakadilan dan arogansi.

Lebih jauh, Mannan menegaskankan bahwa permintaan efektif yang mendasari mekanisme

pasar dan ketidakmerataan pendapatan akan mengakibatkan gagalnya mekanisme pasar dalam

penyediaan kebutuhan dasar untuk kepentingan permintaan kelompok kaya. Oleh karena itu,

Mannan mengusulkan konsep kebutuhan efektif untuk menggantikan konsep permintaan efektif.

d) Implementasi Zakat dan Penghapusan Bunga (Riba)

Implementasi zakat. Mannan memandang bahwa zakat merupakan sumber utama

penerimaan negara, namun tidak dipandang sebagai pajak melainkan lebih sebagai kewajiban

agama, yaitu sebagai salah satu rukun Islam. Karena itulah maka zakat merupakan poros

keuangan negara Islam. Sungguhpun demikian, beberapa pengamat ekonomi Islam melakukan

kritik terhadap zakat yang menyatakan bahwa sekalipun dalam konotasi agama, kaum muslimin

berupaya menghindari pembayaran zakat itu.

6

Zakat bersifat tetap dan para penerimanya juga sudah ditentukan (asnaf delapan). Zakat

tidak menyebabkan terjadinya efek negatif atas motifasi kerja. Justru zakat menjadi pendorong

kerja, karena tak seorangpun ingin menjadi penerima zakat sehingga ia rajin bekerja agar

menjadi orang yang senantiasa membayar zakat. Selain itu, jika seseorang membiarkan hartanya

menganggur, maka ia akan semakin kehilangan hartanya karena dikurangi dengan pengeluaran

zakat tiap tahun. Oleh karena itu, ia harus bekerja dan hartanya harus produktif. Kedudukan

zakat dalam kebijakan fiskal perlu dikaji lebih mendalam. Salah satunya dengan melakukan

penelusuran sejarah masyarakat muslim sejak masa Rasulullah saw sampai sekarang. Hal itu

penting karena zakat memiliki dua fungsi, yaitu fungsi spiritual dan fungsi sosial (fiskal). Fungsi

spiritual merupakan tanggungjawab seorang hamba kepada Tuhannya yang mensyariatkan zakat.

Sedangkan fungsi sosial adalah fungsi yang dimainkan zakat untuk membiayai proyek-proyek

sosial yang dapat juga diteruskan dalam kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara. Sistem

ekonomi Islam melarang riba. Seperti juga ahli ekonomi yang lainnya, Mannan sangat

menekankan penghapusan sistem bunga dalam sistem ekonomi Islam.

Sehubungan dengan permasalahan bunga ini, Mannan memberi aternatif dengan

mengalihkan sistem bunga kepada sistem mudhrabah, yang menurutnya merupakan bagi laba

(rugi) dan sekaligus partisipasi berkeadilan. Dengan mudhrabah, tidak saja semangat Qur’ani

akan lebih terpenuhi, namun, pada saat yang sama penciptaan lapangan kerja dan pembangkitan

kegiatan ekonomi akan lebih sejalan dengan norma kerja sama menurut Islam. Tentu saja

tawaran Mannan tidak sebatas pada alternatif penggunaan akad mudhrabah saja, namun, disertai

pula tawaran transaksi lainnya, mulai mushyrakah, ijarah, kafalah, wakalah, dan sebagainya5.

e) Distribusi

Muhammad Abdul Mannan memandang kepedulian Islam secara realistis kepada si

miskin demikian besar sehingga Islam menekankan pada distribusi pendapatan secara merata dan

merupakan pusat berputarnya pola produksi dalam suatu negara Islam. Mannan berpendapat

bahwa distribusi merupakan basis fundamental bagi alokasi sumber daya6.

Selanjutnya, Mannan menegaskan bahwa distribusi kekayaan muncul karena pemilikan

orang pada faktor produksi dan pendapatan tidak sama. Oleh karena itu, sebagian orang memiliki

5 Op.Cit. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. (Jakarta: Rajawali pers.2010).hal.20 – 25 6 Ibid. hal 26

7

lebih banyak harta daripada yang lain adalah hal yang wajar, asalkan keadilan manusia

ditegakkan dengan prinsip kesempatan yang sama untuk mengakses faktor produksi bagi semua

orang. Jadi, seseorang tetap dapat memperoleh surplus penerimaannya asal ia telah menunaikan

semua kewajibannya. Lebih jauh, Mannan menyatakan bahwa dalam ekonomi Islam, inti

masalah bukan terletak pada harga yang ditawarkan oleh pasar, melainkan terletak pada

ketidakmerataan distribusi kekayaan.

Pembahasan tentang kepemilikan yang paling menonjol dibahas oleh Mannan adalah

tentang kepemilikan tanah sebagai salah satu faktor produksi yang paling penting. Menurut

Mannan, secara umum tanah dapat dimiliki melalui kerja seseorang. Mannan juga berpendapat

bahwa seorang penggarap juga punya hak atas kepemilikan tanah. Implikasi dari pendapatnya

itu, maka pemilik tanah diperbolehkan untuk menyewa maupun berbagi hasil tanaman, sekalipun

ia lebih setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa tanah sebaiknya tidak disewakan dan

lebih baik digarap dengan sistem bagi hasil.

Kritikan Beliau pada teori distribusi neoklasik lebih ditekankan pada perlakuan distribusi

sebagai perluasan dari teori harga, terutama menyangkut masalah distribusi fungsional

pendapatan. Namun, sekali lagi kritikan ini menimbulkan ambigu karena Mannan juga mengakui

adanya empat faktor produksi serta menguraikan mengapa masing-masing faktor produksi layak

mendapat imbalan. Mannan mengakui upah, sewa dan laba, namun, mengkritik bunga sebagai

imbalan dari modal. Dia tidak menjelaskan lebih jauh mekanisme perolehan pendapatan dari

imbalan faktor produksi modal tersebut dengan tidak merugikan pekerja.

f) Produksi

Muhammad Abdul Mannan berpendapat bahwa produksi terkait dengan utility atau

penciptaan nilai guna. Agar dapat dipandang sebagai utility dan mampu meningkatkan

kesejahteraan, maka barang dan jasa yang diproduksi harus berupa hal-hal yang halal dan

menguntungkan, yaitu hanya barang dan jasa yang sesuai aturan syariah. Menurut Mannan,

konsep Islam mengenai kesejahteraan berisi peningkatan pendapatan melalui peningkatan

produksi barang yang baik saja, melalui pemanfaatan sumber-sumber tenaga kerja dan modal

8

serta alam secara maksimal maupun melalui partisipasi jumlah penduduk maksimal dalam proses

produksi7.

Pandangan Mannan yang menekankan pada kualitas, kuantitas dan maksimalisasi dan

partisipasi dalam proses produksi, menjadikan rumah tangga produksi memiliki fungsi yang

berbeda dalam ekonomi. Rumah tangga produksi atau firm bukan hanya sebagai pemasok

komoditas, namun juga sebagai penjaga kebersamaan antara pemerintah bagi kesejahteraan

ekonomi dan masyarakat. Lebih jauh, pendapat Mannan ini akan berimplikasi pada tujuan rumah

tangga produksi yang tidak saja hanya memaksimalkan laba, namun juga harus memperhatikan

moral, sosial dan kendala-kendala institusional. Menurut Abdul Mannan, gabungan dari motif

laba, kebersamaan dan tanggung jawab sosial, serta dorongan moral akan memacu proses

produksi dan distribusi menjadi maksimal.

Sementara itu, proses produksi menurut Mannan adalah usaha bersama antara anggota

masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kesejahteraan ekonomi mereka8.

Kebersamaan anggota masyarakat jika diaplikasikan dalam lingkungan ekonomi akan

menghasilkan lingkungan kerjasama dan perluasan sarana produksi, bukan konsentrasi dan

eksploitasi sumber daya dan faktor produksi lainnya. Keadaan demikian akan menimbulkan

efisiensi. Barang tidak akan dihasilkan dengan mempertimbangkan permintaan efektif, namun

berdasarkan kebutuhan efektif, yaitu kebutuhan yang didefinisikan menurut rambu-rambu norma

dan nilai-nilai Islam.

Tahap akhir dari pandangan Mannan tentang produksi adalah produksi sebagai suatu

proses sosial. Mannan mengajukan gagasannya bahwa penawaran harus berdasarkan kapasitas

potensial yang akan mengakomodasi pemberian kebutuhan dasar kepada semua anggota

masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah (miskin). Berdasarkan asumsi ini maka

produsen tidak hanya melakukan reaksi dari harga pasar, melainkan juga atas perencanaan

nasional untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, pembagian kerja dan

spesialisasi untuk berproduksi harus berjalan secara efisien dan adil serta secara konstan

menekankan perlunya humanisasi proses produksi.

7 Ibid. hal 29 8 Ibid. hal 30

9

Muhammad Nejatullah Siddiqi

A. Biografi

Muhammad Nejatullah Sidiqi merupakan salah satu tokoh yang memberikan kontribusinya

pada periode islam pada Periode Kontemporer ini, Beliau lahir di Gorakhpur, India pada

tahun1931. Pria yang Saat ini tinggal di Aligarh India ini adalah salah satu ahli ekonomi Islam

terkenal yang berasal dari India9. Dan beliau juga merupakan ekonom India yang memenagkan

penghargaan dari King Faizal Internasional Prize dalam bidang studi Islam.

Beliau pernah menempuh pendidikan di Aligarh Muslim University. Ia tercatat sebagai

murid dari Sanvi Darsgah Jamaat-e-Islami Hind, Rampur. Ia juga mengeyam pendidikan

diMadrasatul Islah, Saraimir, Azamgarh.

Karir Siddiqi dimulai saat ia menjabat sebagai Associate Professor Ekonomi dan Profesor

Studi Islam di Aligarh University dan sebagai Profesor Ekonomi di Universitas King Abdul

AzizJeddah. Kemudian ia juga mendapat jabatan sebagai fellow di Center for Near Eastern

Studies di University of California, Los Angeles. Setelah itu, ia menjadi pengawas sarjana di

Islamic Research & Training Institute, Islamic Development Bank, Jeddah. Selama karir

akademiknya, Siddiqi telah mengawasi dan menguji sejumlah tesis dari calon professor di

universitas-universitas di India, Arab Saudi dan Nigeria. Ia juga mendapat beberapa penghargaan

di bidang pendidikan seperti Shah Waliullah Award in New Delhi (2003), A prolific writer in

Urdu on subjects as Islami Adab (1960), Muslim Personal Law (1971), Islamic Movement in

Modern Times (1995) selain penghargaan King Faisal International Prize untuk Studi Islam yang

berhasil dimenangkan.

B. Ciri – ciri dan Kerangka Institusional

Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi ia membahas sifat, ciri dan kerangka

institusinal ekonomi Islam, sebagai berikut:

a) Hak yang Relatif dan Terbatas bagi Individu, Masyarakat, dan Negara

Dari semua hak yang dianugerahkan kepada manusia, Siddiqi menganggap bahwa “ hak untuk

mendapatkan kebebasan menyembah Allah Swt. Sebagai hak primer manusia”. Tak boleh ada

yang menghalangi atau membatasi hak fundamental ini. Atas dasar inilahSiddiqi mencoba

9 Op.Cit. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. (Jakarta: Rajawali pers.2010).hal.37

10

menghubungkan ekonomi Islam. Karena orang hanya dapat mencapai sukses dengan memenuhi

kebutuhan materialnya secara jujjur dan benar, maka ia harus diberi kebebasan untuk memiliki,

memanfaatkan dan mengatur milik maupun barang dagangannya. Namun semua hak itu

memancar dari kewajiban manusiasebagai kepercayaan dan khalifah Allah SWT dimuka bumi,

jadi Siddiqi memandang kepemilikan –Swasta atau Pribadi sebagai suatu hak individual selama

ia melaksanakan kewajibannya seta tidak menyalah gunakan haknya itu.

b) Peranan Negara yang Positif dan Aktif

Tidak seperti Mannan, Siddiqi konsisten dalam dukungannya terhadap peran aktif dan

positif negaa di dalam system ekonomi. Sekalipun ia menyetujui dan membela perlunya system

pasar berfungsi dengan baik, ia tidak memandangnya sebagai suatuyang keamat dan tak bias

dilanggar. Jika pasar gagal mencapai keadilan, maka Negara harus campur tanan. Ia menyebut

penyediaan kebutuhan dasar bagi semua orang serta penyediaan barang – barang public dan

sosial. Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar diperkuas jangkauannya ke lingkungan ekonomi dan

Siddiqi meruujuk pada lembaga Hisbah .

Sekalipun ia menghendaki adanya peran aktif pemerintah, Siddiqi bersikukuh

menyatakan bahwa hal itu tidaklah dapat disamakan dengan system sosialis. Ada dua alas an

untuk itu: pertama : kepemilikan pribadi diakui dan secara umum menjadi norma; dan kedua:

alasan serta tujuan campur tangan Negara berdasarkan pada aturan Negara.

c) Implementasi Zakat dan Penghapusan Riba

Siddiqi menyatakan bahwa tidak ada system ekonomi yang dapat disebut islami jika dua

cirri utama ini tidak ada, karena keduanya disebutkan secara eksplisit daklam Al – Qur’an dan

Sunnah. Zakat adalah hak mereka yang tak berpuntya dalam harta siberpunya.

Siddiqi tidak memiliki pandangan lain mengenai bunga. Baginya, bunga adalah riba, dan

oleh karenanya harus dilenyapkan10. Ia mengusulkan system Mudharabah sebagai gantinya.

Siddiqi merupakan pengkritik yang paling setia terhadap bank – bank Islam yang ada karena

bank – bank itu berkonsentrasi kepada kedua praktik tersebut adalah kelangsungan hidup

ekonomis dan penyalah gunaan dana yang dipinjam. Siddiqi mempertahankan pandangannya

dengan menyatakan bahwa bank di dalam perekonomian Islam harus melihat kembali pada

10 M.N.Siddiqi. Banking without Interest. Islamic foundation Leicester, 1983

11

fungsinya, yakni tidak hanya sebagai lembaga perantara melainkan juga sebagai agen ekonomi,

dan bagaimanapun harus secara langsung terlibat dalam penciptaan kegiatan ekonomi.

d) Jaminan Kebutuhan Dasar Bagi Manusia

Siddiqi memandang jaminan akan terpenuhi kebutuhan dasar bagi semua orang sebagai

salah satu cirri utama system ekonomi Islam. Memang diharapkan orang dapat memenuhi

kebutuhan melalui usaha mereka sendiri. Namun, ada saja diantara mereka yang untuk sementara

tidak dapat bekerja karena meenganggur atau sebagian lagi malah menganggur permanen karena

memang tidak mampu bekerja dan oleh karenanya harus dujaman kebutuhannya.

Pandangan Sidiqi terhadap penyediaan kebutuhan dasar dapat ditafsirkan mirip dengan

strategi kebutuhan dasar ataau dengaan praktik – praktik di beberapaa program kesejahteraan

kapitalis. Siddiqi menekankan bahwa suatu jaminan berupa kebutuhan hidup minimal bagi

semua orang itu paling baik dilakukan melalui distribusi asset yang menghasilkan pendapatan

yang lebih adil daloam jangka panjang11.

e) Distribusi

Distribusi sebagai konsekuensi konsumsi (permintaan) dan produksi (penawaran).

Baginya hal itu mengekalkan gagasan palsu tentang kekuasaan konvensional, menciptakan

khayalan bahwa masyarakt melakukan permintaan terhadap apa yang mereka ingin konsumsi,

kaum produsen memproduksi karena menuruti kontribusi yang diberikan kepada proses produksi

(distribusi fungsional). Tetapi permintaan, menurut Siddiqi , dibatasi atau ditentukan oleh

distribusi awal pendapatan dan kekayaan. Oleh karena itu, distribusi, semua determinan dan

ketimpangannya, haruslah dipelajari dan dikoreks dari sumbernya, bukan hanya sekedar

mengatakan saja seperti yang terjadi dalam ekonomi konvensional (neoklasik). Dalam

kenyataannya siddiqi menganggap bahwa pendapatan dan kekayaan awal yang tak seimbang dan

tak adil sebagai salah satu situasi yang menjadi jalan bagi berlakunya campur tangan negara,

disamping pemenuhan kebutuhan dan mempertahankan praktik-praktik pasar yang jujur.

Kekayaan dapat di usahakan maupun diwarisi namun dipandang sebagai suatu amanah

dari dari Allah Swt, sang pemilik mutlak. Siddiqi tegas sekali menggariskan bahwa oleh karena

tidak ada pernyataan eksplisit di dalam Al-Quran dan sunnah yang melarang kepemilikan

kekayaan oleh swasta, maka dibolehkan. Hanya saja, hak memiliki kekayaan itu terbatas

11 Ibid. hal.45 - 50

12

sifatnya. Hak itu terbatas dalam pengertian bahwa masing-masing individu, negara dan

masyarakat memiliki klaim untuk memiliki yang dibatasi oleh tempat dan hubungannya di dalam

sistem sosio –ekonomi Islam. hak memiliki kekayaan ini, menurut Siddiqi tidak boleh

menimbulkan konflik karena semua lapisan masyarakat akan bekerja demi tujuan bersama yakni

menggunakan semua sumber daya yang diberikan oleh Allah Swt. Bagi kebaikan semua orang.

Jika terjadi konflik kepentingan, maka kepentingan masyarakat atau kepentingan umum harus

didahulukan mengingat komitmen Islam terhadap kepentingan umum (maslahah ‘aammah).

Oleh karena itu, sekalipun kepemilikan swasta itu merupakan hal mendasar di dalam

aturan islam, siddiqi memandang tujuan memiliki kekayaan sebagai penciptaan keadilan dan

penghindaran ketidakadilan dan penindasan itu sebagai persoalan yang lebih mendasar di dalam

masalah hak kepemilikan. Menurut Siddiqi Islam menolak pandangan sosialisme bahwa

kepemilikan sosial atas semua sarana produksi itu merupakan kondisi harus menghapuskan

eksploitasi. Yang jelas, di dalam Islam sumber daya alam itu seerti sungai, gunung, laut,

jembatan, jalan raya, adalah milik umum dan tidak dapat dimiliki oleh swasta.

Kepemilikan individual terbatas dalam pengertian bahwa hak itu ada jika kewajiban-

kewajiban sosial sudah ditunaikan. Dalam pengertian itu, kekayaan swasta dipandang sebagai

suatu hal yang mengandung maksud tertentu yakni untuk memberi kebutuhan materiil kepada

manusia, pada waktu yang sama, bekerja bagi kebaikan masyarakat.penggunaan kekayaan

swasta haruslah benar bersamaan dengan norma – norma kerja sama, persaudaraan, simpati, dan

pengorbanan diri. Setiap pelanggaran terhadap semua persyaratan tersebut seperti penimbunan,

eksploitasi dan penyalahgunaan akan menyebabkan hilangnya hak memiliki. Negara dan

masyarakat adalah penjaga kepentingan sosial dalam hal ini12.

f) Produksi

Pendekatan Siddiqi pada produksi tenggelam dalam paradigma neoklasik. Perubahannya

adalah bahwa, di dalam sistem ekonomi islam, kta berhubungan dengan apa yang disebut Islamic

man. Perubahan mendasar ini dikatakan akan mentransformasikan tujuan produksi dan norma

perilaku para produsen. Baginya maksimisasi laba bukanlah satu-satunya motif dan bukan pula

motif utama produksi. Menurut siddiqi adalah keberagaman tujuan yang mencakup maksimisasi

laba dengan memerhatikan kepentingan masyarakat (maslahah aammah), produksi kebutuhan

dasar masyarakat, penciptaan employment serta pemberlakuan harga rendah untuk barang- 12 Ibid. hal 51 - 54

13

barang esensial. Tujuan utama perusahaan yakni pemuhan kebutuhan seseorang secara sedrhana,

mencukupi tanggungan keluarga, persediaan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan

masa depan, ersediaan untuk keturunan dan pelayan sosial, serta sumbangan dijalan Allah Swt.

Dengan kata lain, produsen sebgaimana konsumen, diharapkan memiliki sikap mementingkan

kepentingan orang lain. Bukannya hanya mengejar laba maksimum, produsen memproduksi

sejumlah tertentu yang masih menghasilkan laba, yang batas bawahnya adalah cukup untuk

bertahan hidup, atau laba yang memuaskan (satisfactory).

Jadi jika maksimisasi laba tak lagi merupakan motif satu-satunya maupun utama, konsep

rasionalitas pun lalu memeiliki arti yang berbeda. Kerja sama (sebagai lawan dari persaingan

samapai mati) dengan produsen lain dengan tujuan mencapai tujuan-tujuan sosial akan menjadi

norma, sehingga mengharuskan adanya akses yang lebih besar kepada informasi dalam sistem

ekonomi islam.

Barang haram tidak diproduksi , barang mewah akan minimal, dan barang perlu akan

ditingkatkan produksinya, sementara praktik perdagangan yang jujur akan didorong oleh pahala

surga yang dijanjikan kepada pedagang yang jujur di dalam Al-Quran. Sekalipun setiap produsen

individual di asumsikan telah memiliki sifat yang di inginkan, mengikuti panduan keadilan dan

kebajikan, negara masih diharapkan untuk menjamin penyediaan keperluan dasar dan mengawasi

berlakunya kejujuran dipasar.disamping perubahan norma perilaku dan Tujuan yang hendak

dikejar, siddiqi tetap menyatakan bahwa dengan kekuatannya sendiri, pasar tidak dapat

menjamin distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan diperluka campur tangan negara13.

13 Ibid. 55 - 58

14

Monzer Kahf

A. Biografi

Monzer Kahf dilahirkan di Damaskus, Syria, pada tahun 1940.Kahf adalah orang pertama

yang mencoba mengaktualisasikan penggunaan institusi distribusi Islam (zakat,sedekah)

terhadap agregat ekonomi, pendapatan, konsumsi, simpanan dan investasi.

Monzer Kahf menerima gelar B.A (setara S1) di bidang Bisnis dari universitas Damaskus

pada tahun 1962 serta memperoleh penghargaan langsung dari presiden Syria sebagai lulusan

terbaik. Pada tahun 1975, Kahf meraih gelar Ph.D untuk ilmu ekonomi spesialisasi ekonomi

International dariUniversity of Utah, Salt Lake City, USA. Selain itu, Khaf juga pernah

mengikuti kuliah informal yaitu, training and knowledge of Islamic Jurisprudence (Fiqh) and

Islamic Studies di Syria. Sejak tahun 1968, ia telah menjadi akuntan publik yang bersertifikat.

Pada tahun 2005, Monzer Kahf menjadi seorang guru besar ekonomi Islam dan perbankan

di The Garduate Programe of Islamic Economics and Banking, Universitas Yarmouk di Jordan.

Lebih dari 34 tahun Kahf mengabdikan dirinya di bidang pendidikan. Ia pernah menjadi asisten

dosen di fakultas ekonomi University of Utah, Salt Lake City (1971-1975). Khaf juga pernah

aktif sebagai instruktur di School of Business, University of Damascus (Syria. 1962 – 1963).

Pada tahun 1984, Kahf memutuskan untuk memutuskan bergabung dengan Islamic Development

Bank dan sejak 1995 ia menjadi ahli ekonomi (Islam) senior di IDB. Monzer Kahf merupakan

seorang penulis yang produktif dalam menghasilkan pemikiran-pemikiran di bidang ekonomi,

keuangan, bisnis, fiqh dan hukum dengan dwi bahasa, yaitu Arab dan Inggris.

B. Asumsi Dasar

Tentang “Islamic Man” Berbeda dengan ekonomi konvensional yang mengasumsikankan

manusia sebagai rational economic man, jenis manusia yang hendak dibentuk oleh Islam adalah

Islamic man (‘‘ibadurrahman), (QS 25:63). Kahf melihat agen ekonomi dalam suatu sistem

ekonomi islam tidak dari sudut pandang afiliasi keagamaan, melainkan sebagai agen yang

bersedia menerima paradigma islam atau ‘rules of the game’ . seorang agen ekonomi individual

dpat saja seorang Muslim ataupun non-Muslim sepanjang ia bersedia menerima tata nilai dan

norma ekonomi di dalam islam yang berasal dari hal-hal berikut ini (1987 :76-82) :

15

i. Dunia ini benar-benar dimiliki oelh Allah SWt. Dan segala sesuatu adalah milik-Nya.

Manusia adalah wakil atau khilafah yang menjalankan atau melaksanakan segala

perintah-Nya dan harus mengikuti hukum-Nya. Hal ini antara lain memiliki implikasi

dalam soal kepemilikan.

ii. Tuhan adalah Maha Esa, dan oleh karenanya hanya ada satu saja hukum yang harus

diikuti, yakni syari’ah. Hal ini memiliki implikasi bagaimana agen harus mengatur sistem

ekonomi dan semua instituisinya yang hendak ditetapkan.

iii. Oleh karena dunia ini hanyalah sementara, dan hari kiamat sebagai hari pengadilan

diterima sebagai suatu realitas, maka tindakan manusia haruslah didasarkan tidak saja

keuntungan di dunia melainkan juga pahal di akhirat.

Kahf (1978: 41-56) melihat peranan yang amat posistif dari negara, sehingga ia tidak

setuju untuk membiarkan kekuatan pasar sepenuhnya melakukan keputusan-keputusan alokatif

dan distributif. Jenis pasar ini ia sebut ‘Free cooperation’, yang menurutnya menggambarkan

dua tema utama sistem ekonomi islam, yakni kebebasan dan semangat kerja sama( seperti yang

dimaksud di dalam paradigma islam)14.

C. Konsep dan Metodologi Ekonomi Islam

Meskipun semua agam berbicara tentang masalah-masalah ekonomi, namun agama-agama

itu berbeda pandangannya tentang kegiatan-kegiatan ekonomi. Beberapa agama tertentu melihat

kegiatan-kegiatan ekonomi manusia hanya sebagai kebutuhan hidup yang seharusnya dilakukan

sebatas memenuhi kebutuhan makan dan minumnya semata-mata. Selama ini, kesan yang

terbangun dalam alam pikiran kebanyakan pelaku ekonomi apalagi mereka yang berlatar

belakang konvensional- melihat bahwa keshaleh-an seseorang merupakan hambatan dan

perintang untuk melakukan aktifitas produksi. Orang yang shaleh dalam pandangannya terkesan

sebagai sosok orang pemalas yang waktunya hanya dihabiskan untuk beribadah dan tidak jarang

menghiraukan aktifitas ekonomi yang dijalaninya. Akhirnya, mereka mempunyai pemikiran

negatif terhadap nilai keshalehan tersebut. Mengapa harus berbuat shaleh, sedangkan keshalehan

tersebut hanya membawa kerugian (loss) bagi aktifitas ekonomi? Sementara, Islam

menganggapkegiatan-kegiatan ekonomi manusia sebagai salah satu aspek dari pelaksanaan

14 MOHAMED ASLAM HANEEF. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer.ter. Suherman rosyid. Jakarta :rajawali Pers

:2010, hal 92-94

16

tanggung jawabnya di bumi (dunia) ini. Orang yang semakin banyak terlibat dalam kegiatan-

kegiatan ekonomi akan bisa semakin baik, selama kehidupannya tetap menjaga

keseimbangannya. Kesalehan bukan fungsi positif dari ketidakproduktifan ekonomi. Semakin

saleh kehidupan seseorang, justru seharusnya dia semakin produktif. Harta itu sendiri baik dan

keinginan untuk memperolehnya merupakan tujuan yang sah dari perilaku manusia. Karena

pekerjaan yang secara ekonomi produktif pada dasarnya mempunyai nilai keagamaan, disamping

nilai-nilai lainnya. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan keagamaan mempunyai banyak

pengaruh atau bahkan lebih banyak terhadap cakupan ekonomi dibandingkan dengan sistem

hukumnya. Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi. Karena sejarah adalah

laboratorium umat manusia. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi dan sejarah

unit-unit ekonomi seperti individu-individu dan badan-badan usaha atau ilmu ekonomi (itu

sendiri).

Gambaran di atas memberikan pemahaman pada kita bahwa orientasi yang ingin dicapai

oleh proses produksi menjangkau pada aspek yang universal dan berdimensi spiritual. Inilah

yang menambah keyakinan bagi kita akan kesempurnaan ajaran Islam yang tertulis dalam QS.

Al-Maidah [5]: 3 yang artinya: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan

telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

D. Teori Konsumsi

Rasionalisme Islam, Rasionalisme adalah salah satu istilah yang paling bebas digunakan

dalam ekonomi, karena segala sesuatu dapat dirasionalisasikan sekali kita mengacunya kepada

beberapa perangkat aksioma yang relevan. Rasionalisme dalam islam menurut Monzer Kahf

dinyatakan sebagai alternative yang konsisten dengan nilai-nilai Islam, unsur-unsur pokok

rasionalisme ini adalah sebagai berikut :

1) Konsep kesuksesan

Islam membenarkan individu untuk mencapai kesuksesan di dalam hidupnya melalui

tindakan-tindakan ekonomi, namun kesuksesan dalam Islam bukan hanya kesuksesan materi

akan tetapi juga kesuksesan di hari akhirat dengan mendapatkan keridhaan dari Allah SWT.

Kesuksesan dalam kehidupan muslim diukur dengan moral agama Islam. Semakin tinggi

moralitas seseorang, semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan

17

ketakwaan kepada Allah SWT merupakan kunci dalam moralitas Islam. Ketakwaan kepada

Allah dicapai dengan menyandarkan seluruh kehidupan hanya karena (niyyat) Allah, dan hanya

untuk (tujuan) Allah, dan dengan cara yang telah ditentukan oleh Allah.

2) Jangka waktu perilaku konsumen

Dalam pandangan Islam kehidupan dunia hanya sementara dan masih ada kehidupan kekal

di akhirat. Maka dalam mencapai kepuasan perlu ada keseimbangan pada kedua tempoh waktu

tersebut, demi mencapai kesuksesan yang hakiki. Oleh karena itu sebagian dari keuntungan atau

kepuasan di dunia sanggup dikorbankan untuk kepuasan di hari akhirat.

3) Konsep kekayaan

Kekayaan dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi

individu untuk mencapai kesuksesan di hari akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan

konvensional kekayaan adalah hak individu dan merupakan pengukur tahap pencapaian mereka

di dunia.

4) Konsep barang

Dalam al-Quran dinyatakan dua bentuk barang yaitu: al-tayyibat (barangan yang baik,

bersih, dan suci serta berfaedah) dan barangan al-rizq (pemberian Allah, hadiah, atau anugerah

dari langit) yang bisa mengandung halal dan haram. Menurut ekonomi Islam, barang bisa dibagi

pada tiga kategori yaitu: barang keperluan primer (daruriyyat) dan barang sekunder (hajiyyat)

dan barang tersier (tahsiniyyat). Dalam menggunakan barang senantiasa memperhatikan maqasid

al-syari‘ah (tujuan-tujuan syariah). Oleh karena itu konsep barang yang tiga macam tersebut

tidak berada dalam satu level akan tetapi sifatnya bertingkat dari daruriyyat, hajiyyat dan

tahsiniyyat.

5) Etika konsumen

Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk mencapai kepuasan

selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak.

Islam melarang mengkonsumsi barang untuk israf (pembaziran) dan tabzir (spending in the

wrong way) seperti suap, berjudi dan lainnya.

18

E. Teori Produksi

Menurut Monzer Kahf teori produksi memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

1. Motif-motif Produksi yaitu pengambilan mamfaat setiap partikel dari alam semesta

adalah tujuan ideology umat islam.

2. Tujuan-tujuan Produksi yaitu sebagai upaya manusia untuk meningkatkan kondisi

materialnya sekaligus moralnya dan sebagai sarana untuk mencapai tujuannya di Hari

Kiamat kelak. Hal ini mempunyai tiga implikasi penting.

Pertama : produk-produk yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai moral dilarang.

Kedua : aspek sosial produksi ditekankan dan secara ketat dikaitkan dengan proses

produksi.

Ketiga : masalah ekonomi timbul karena kemalasan dan kealpaan manusia dalam

usahanya untuk mengambil mamfaat sebesar-besarnya dari anugrah Allah baik dari

sumber manusiawi maupun dari sumber alami.

3. Tujuan badan usaha dalam proses maksimalisasi keuntungan dengan mengatasnamakan

badan usaha tidak boleh melanggar “aturan permainan dalam ekonomi Islam”.

4. Factor-faktor Produksi

5. Modal sebagai kerja yang diakumulasikan

6. Hak milik sebagai akibat wajar.

F. Struktur Pasar

Menurut Monzer Kahf struktur pasar tidak dapat dipisahkan dari hal-hal penting sebagai

berikut:

1) Kebebasan

Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak

dalam bentuk kompetisi (persaingan). Memang, kerja sama adalah tema umum dalam organisasi

sosial islam. Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin sehingga bekerja demi

kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling memberikan harapan bagi pengembangan

daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridho Allah SWT.

19

2) Keterlibatan pemerintah dalam pasar

Keterlibatan pemerintah dalam pasar hanyalah pada saat tertentu atau bersifat temporer. Sistem

ekonomi Islam menganggap islam sebagai sesuatu yang ada di pasar bersama-sama dengan unit-

unit elektronik lainnya berdasarkan landasan yang tetap dan stabil. Ia dianggap sebagai

perencana, pengawas, produsen dan juga sebagai konsumen.

3) “Aturan-aturan Permainan” Ekonomi Islam

Maksud dari istilah ini adalah perangkat perintah dan aturan sosial, politik, agama, moral

dan hukum yang mengikat masyarakat. Lembaga-lembaga sosial disusun sedemikian rupa untuk

mengarahkan individu-individu sehingga mereka secara baik melaksanakan aturan-aturan ini dan

mengontrol serta mengawasi penampilan ini. Sebagai contoh aturan-aturan permainan ekonomi

islam dapat dilihat pada lembaga Dewan Pengawas Syariah (DPS) di lembaga keuangan dan

perbankan syariah syariah memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip syariah

di lembaga keuangan syariah. Namun, peran pengawasan yang dilakukan DPS saat ini masih

belum optimal. Menurut Prof.Dr.Monzer Kahf (2005), pakar ekonomi Islam kontemporer, DPS

seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai pengawas kepatuhan syariah sebuah produk, tetapi

juga mengawasi manajemen dan prinsip keadilan yang dijalankan lembaga keuangan dalam

profit distribution. Selain itu, menurut Monzer Kahf, DPS juga dapat berperan dalam

mengembangkan sumber daya manusia dan hubungan interpersonal di sebuah LKS, serta

membantu mendorong pengembangan investasi para nasabah atau mitra bank.

Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungan

dengan Kekuatan Tertinggi (Tuhan), kehidupan, sesama manusia, dunia, sesama makhluk dan

tujuan akhir manusia.

G. Teori Makro Moneter

Aspek-aspek makro Ekonomi Islam menurut Monzer Kahf ialah :

1) Zakat

Zakat adalah “pajak” (pembayaran) tahunan bercorak khusus yang dipungut dari harta

bersih seseorang, yang harus dikumpulkan Negara dan dipergunakan untuk tujuan-tujuan khusus.

Terutama berbagai corak jaminan sosial. Menurut Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah

20

untuk mencapai keadilan social ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian

dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin (Kahf,1999).

Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan salah

satu implementasi azas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Dalam kaitan antara kewajiban

zakat dan penggunaan barang-barang mewah, Monzer Kahf menyatakan bahwa zakat itu tidak

diberlakukan terhadap barang-barang keperluan hidup yang tidak mewah, sedangkan dalam

kasus tabungan-tabungan yang diinvestasikan dalam kegiatan produktif, penghasilannya

diseimbangkan dengan kewajiban pembayaran zakat. Penimbunan harta, menurut Monzer Kahf,

merupakan suatu kejahatan. Sebagai contoh, ia mengemukakan penggunaan logam-logam mulia

(seperti emas dan perak) untuk perlengkapan atau alat-alat rumah tangga, dianggap perbuatan

dosa dalam Islam, yang akan mendapatkan adzab di akhirat kelak, sebagaimana dinyatakan

dalam QS 9: 34-35. Di samping itu, penimbunan harta akan mengakibatkan harta menjadi tidak

produktif dan tidak bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan kesejahteraan

masyarakat. Penguasaan harta yang Allah berikan kepada manusia sesungguhnya bertujuan

menjadikan harta tersebut sebagai sarana kesejahteraan. Allah SWT berfirman dalam QS Al-

Hadid ayat 7: ''Berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari

hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di

antara kamu dan menafkahkan sebagian dari hartanya akan mendapatkan pahala yang besar''.

2) Pelarangan Riba

Ada dua corak transaksi yang tidak kenal dalam ekonomi Islam, yaitu bunga pinjaman dan

kelebihan kuantitas dalam pertukaran komoditas yang sama. Monzer Kahf tidak ragu untuk

menyatakan bahwa bunga adalah riba, dan mengkritik mereka yang mencoba membedakan

antara usury dan bunga (dengan menyatakan bahwa usury sajalah yang riba). Kahf menuduh

mereka itu berusaha meng-Islamkan yang non-Islami dinegara-negara muslim dewasa ini.

3) Bunga, Sewa, dan Modal

Kegiatan penabungan dan penyimpanan deposito di bank saja secara ekonomi merupakan

kegiatan negative. Kegiatan yang benar-benar produktif, dari sudut pandang ekonomi adalah

penggunaan tabungan-tabungan ini dalam proses produksi dalam pengertian modal, tanah atau

buruh. Dan kegiatan ini seharusnya mendapatkan imbalan atau hadiah, dan demikian pulalah

21

dalam Islam. Kegiatan yang disebut belakangan itu, dalam buku-buku keislaman dkenal dengan

dua istilah yaitu : al-Qirad dan al-Mudarabah.

4) Al-Qirad

Al-Qirad adalah sejenis kerja sama antara para pemilik asset moneter dan para pengusaha. Al-

Qirad merupakan mekanisme Islam untuk menggunakan asset-aset moneter dalam kegiatan

produktif dengan mentransformasikan asset-aset tersebut menjadi factor-faktor produksi.

H. Distribusi

Agak mengejutkan bahwa Kahf tidak membicarakan distribusi seperti yang kita harapkan.

Masalah kepemilikan-isu standar yang selalu disinggung oleh para ahli yang lain-disebutkan di

dua bidang di dalam karya-karyanya. Satu dalam hubungannya dengan keadilan, dan yang satu

lagi ketika membahas produksi. Sebagai salah satu prinsip umum yang membentuk system

ekonomi islam, keadilan harus terlihat di dalam proses distribusi. Kahf (1978:78) memandang

keadilan sebagai akibat dari tiga aturan umum15, yaitu :

I. Penilaian yang Tepat atas Faktor Produksi

Kahf (1978:33-36) menegur beberapa ahli ekonomi islam yang berusaha untuk

“merendahkan peranan barang modal di dalam produksi” demi membenarkan pelarangan atas

bunga. Baginya, tanah, tenaga kerja dan modal semuanya memainkan peranan di dalam produksi

dan harus dipahami di dalam konteks pandangan islam tentang ‘tuntutan kepemilikan’ dan

tentang pembagian produk di antara factor-faktor produksi. Dalam hal ini, ia setuju dengan, dan

mengutip pendapat Baqir Sadr mengenai ‘prinsip konstannya kepemilikan’ yang menyatakan

bahwa factor produksi asli bias mempertahankan kepemilikan, sementara di sisi lain ada

keharusan membayarimbalan yang ‘adil’ pada factor produksi yang lainnya (contoh yang

diberikan untuk melukiskan factor produksi asli ini adalah ‘pemilik’ tanah yang menggaji orang

lain untuk menggarap tanahnya).

II. Penetapan Harga Output yang Tepat

15 MOHAMED ASLAM HANEEF. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer.ter. Suherman rosyid. Jakarta :rajawali Pers :2010, hal 100-102

22

Kahf berpendapat bahwa bekerjanya pasar secara benar akan menentukan harga output

berdasarkan permintaan dan penawaran. Namun, jika terjadi manipulasi, penipuan, praktik

monopolistic yang unfair,dan sebagainya, maka Negara sebagai muhtasib, dapat melakukan

campur tangan dan selanjutnya menetukan ‘harga ekuivalennya’.

III. Redistribusi Outpus (Pendapatan) bagi Mereka yang Tidak Mampu Mendapatkannya

Melalui Kekuatan Pasar

Dalam persoalan distribusi awal dan redistribusi, Kahf tidak memberi petunjuk yang jelas

sekalipun ia mengusulkan adanya kesempatan yang sama bagi semua orang untuk mencari

kesejahteraan ekonomi. Hal itu didukung oleh pandangannya bahwa hak milik baru benar jika

orang mampu memanfaatkan miliknya itu, dan hal ini mengandung arti (semacam teori nilai dari

tenaga kerja) bahwa pendistribusian hak milik berdasar pada kemauan bekerja adalah sesuatu

yang mungkin. Namun, ia membuat pembedaan yang jelas antara hak milik dan hak guna.

Seperti yang telah disebutkan di depan, orang dapat kehilanga hak guna jika ia salah

menggunakan barangnya, dan kehilangan seluruh haknya jika ia tidak memanfaatkan barangnya

atau tidak mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya.

Dapat disimpulkan bahwa pandangan Kahf terhadap distribusi bersandar pada mekanisme

pasar, jika kebutuhan dasar masyarakat telah terpenuhi. Dalam hal ini, terlihat bahwa Kahf setuju

dengan Muhammad Abdul Mannan dan Muhammad Nejatullah Siddiqi.

23

Muhammad Baqir Ash-Shadr

A. Biografi

Muhammad Baqir As-Sayid Haidar bin Isma’il As-Sadr yang dilahirkan di Kazimain,

Baghdad, Irak pada tahun 1350 H/ 1931 M ini, berasal dari suatu keluarga yang menjadi sumber

tokoh kenamaan di Irak, iran, dan Lebanon, ini terlihat dari bukti sejarah yakni :

1. Sayyid Shadr Ad-Din Ash-Shadr, menjadi seorang marja’ yakni orang yang menjadi

otoritas rujukan tertinggi dalam madzhab syi’ah.

2. Muahmmad Ash-Shadr, seorang yang berperan penting dalam revolusi Irak melawan

inggris dengan membentuk Haras Al-Istiqlal (pengawal kemerdekaan).

3. Musa ash-shadr, seorang pemimpin syi’ah di Lebanon.

Pada usia empat tahun, beliau harus menjadi yatim karena ditinggal ayahnya menghadap

tuhan yang memiliki kehidupan, kemudian menjadi piatu dengan wafatnya sang Ibunda

menyusul ayahnya, setelah itu kakak beliau Isma’il—merupakan seorang mujtahid di Irak—juga

turut meninggalkan beliau. Sejak kecil beliau telah menunjukan tanda-tanda kejeniusan, pada

usia sepuluh tahun, beliau sudah memberi ceramah tentang sejarah islam, dan kultur budaya. Tak

hanya itu, beliau juga sudah bisa menangkap isu-isu teologis yang sulit, tanpa bantuan seorang

guru. Pada usia sebelas tahun beliau mengambil studi logika dan menyusun suatu buku yang

mengkritik para filosof. Pada usia tiga belas tahun kakaknya memberinya pendalaman ilmu

Ushul Ilm al-Fiqh (asas-asas ilmu hokum islam) di usia enam belas tahun beliau pergi merantau

untuk menuntut berbagai disiplin ilmu ke Najaf. Empat taahun kemudian beliau menyusun

sebuah buku bertajuk “Ghoyat Al-Fikr Fi-Al Ushul (pemikiran puncak dalam ushul)” pada usia

dua puluh lima tahun beliau mengajar Baths Khorij (tahap akhir Ushul)—pada saat itu usia

beliau lebih muda dari kebanyakan muridnya—dan pada usia tiga puluh tahun beliau sudah

menjadi seorang mujtahid. Dalam bidang tulis-menulis beliau menggunakan kata-kata yang

mengandung kritik tajam yang menyerang kolompok materialistic dan menawarkan konsep

Islam sebagai gantinya dalam pandangan-pandangan tashdiq (penetapan benaranya sesuatu) .

Selain itu beliau ketika dijadikan sebagai konsultan masalah perekonomian terkhusus

perekonomian Islam. Beliau berargumen bahwa politik merupakan salah satu sarana perjuangan

maka kaum muslimin sangat perlu dibakar semangatnya untuk ikut partisipasi dalam bentuk

24

apapun. Dalam dunia polotik, beliau menjadi bapak dari Hizb Da’wah Al-Islamiyah sebuah

partai politik yang bernuansakan islam. Sikap beliau mengakibatkan beliau harus keluar masuk

tahanan dan dipindahkan dari satu kota ke kota lainya karena dituding keyakinan politiknya

mengakibatkan gejolak dengan banyak ditentangnya rezim politik saat itu oleh masyarakat.

Bahkan adik perempuanya turut berjuang dengan menentang terhadap penahanan seorang

marja’. Pada tanggal 5 April 1980 beliau ditahan kembali bersama saudara perempuanya Bint al-

Huda dan tiga hari kemudian dieksekusi di Baghdad. Jasad beliau di bawa ke najaf dan di

makamkan di sana.

B. Asumsi Dasar

Muhammad Baqr Sadr menyatakan bahwa rational economic man itu tidak cocok dengan

system ekonomi islam. Sebagai gantinya,ada Islamic man, yakni seorang individu yang merasa

sebagai bagian dari keseluruhan ummah, serta dilandasi oleh ruh dan praktik keagamaan. serta,

kita mempunyai pemuda islam, seseorang yang melihat dirinya sebagai bagian dari ummat, yang

termotivasi oleh kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang religius . Tidak seperti “the

rational economic man”, pemuda Islam percaya akan dunia rohani atau yang tidak

kelihatan(akherat), sehingga membuat dia lebih sedikit memikirkan dunia material(fana). Hal ini

mengakibatkan suatu pemahaman yang berbeda antara rasionalitas dan berperilaku rasional .

Tidak seperti “the rational economic man”, dimana sebagian besar motivasinya adalah kepuasan

pribadi, pemuda islam dibimbing oleh satu pengawasan yang mendalam(inner supervision).

Konsep-konsep dari vicegerency dan keadilan dalam menanggung tugas, tanggung jawab dan

akuntabilitas, yang menyiratkan batasan-batasan tertentu kebebasan milik seseorang. Menurut

Sadr, bukan soal perasaan yang dibebankan oleh pembatasan-pembatasan ini karena kebebasan

dan perilaku rasional harus dilihat dari konteks kerangka sosial suatu masyarakat .

Mempertimbangkan dengan seksama spiritual, psikologis dan historical/cultural faktor-faktor

yang membentuk kerangka pemikiran sosial seorang Muslims. Desakan/permintaan tegas dari

seorang individu untuk bertindak seperti the rational economic man bisa menjadi pertimbangan

yang tidak logis. Sebagai contoh, membebankan bunga (riba) dalam peminjaman uang akan

menjadi sesuatu hal yang tak dapat diterima oleh pemuda islam, dimana menurut “the rational

economic man”,. itu menjadi salah satu dari cara yang paling mudah untuk mendapatkan

penghasilan. Sadr juga tidak percaya akan asumsi ’’keselarasan dari bunga’’, yang mendasari

25

sistim kapitalis dalam mengusung paham kebebasan individunya. Sadr tidak menerima

pandangan yang mengatakan bahwa kesejahteraan publik akan maksimal jika individu

dibebaskan untuk mencukupi keinginan-keinginan individu tersebut. Malahan hal ini agaknya

seperti menciptakan permasalahan sosial-ekonomi baru. Daripada bergantung pada peran negara

untuk menyediakan suatu keseimbangan antara keinginan individu dan kesejahteraan publik,

Sadr memberi peran yang utama kepada agama. Ada suatu peran untuk pasar dan di sana adalah

tempat untuk negara tetapi yang terpenting lagi, ada pengaruh penolakan terhadap peran negara

dan pentingnya bimbingan agama di dalam sistem ekonomi Sadr.

C. Karakteristik Sistem Ekonomi Islam

1. Hubungan Kepemilikan (Hubungan Harta)

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Sadr memandang sistem ekonomi islam mempunyai

bentuk-bentuk yang berbeda antara kepemilikan yang satu dengan yang lain. Ia menjelaskan

macam-macam dari kepemilikan sebagai berikut :

a. Kepemilikan Swasta

b. Kepemilikan bersama-(i) Kepemilikan oleh Publik, (ii) Kepemilikan oleh Negara.

Menurut Baqir Sadr, kepemilikan pribadi dibatasi oleh hak-hak, penggunaan hak prioritas

dan hak untuk melarang yang lain menggunakan sesuatu barang milik orang lain. Tidak ada

kepemilikan aktual dalam individu. Dalam hal ini, pandangan-pandangan Sadr serupa dengan

Taleghani, yaitu membedakan bahwa kepemilikan itu adalah kepunyaan Allah SWT sedangkan

hak milik dapat dihibahkan kepada individu/manusia.

Perbedaan antara kepemilikan publik dan kepemilikan negara adalah dalam hal pemakaian

harta itu. Dimana fasilitas publik/umum harus dapat digunakan untuk kepentingan semua

orang(seperti rumah sakit,sekolah, dll) sedangkan fasilitas negara tidak dapat digunakan untuk

kepentingan semua orang, tetapi hanya untuk sebagian masyarakat tertentu saja, sesuai dengan

peraturan negara. Meskipun Katouzian (1983) mengalami kesulitan dalam membuat pengertian

operasional dari perbedaan ini, seperti yang kita lihat di dalam pembagian distribusi. Perbedaan

penafsiran ini mencegah praktek monopoli total yang dibuat oleh negara. Sebagai tambahan,

meski Sadr menyatakan kepemilikan adalah bagian dari bagan sumber daya(resources),

26

kepemilikan pribadi dapat dicapai melalui pekerjaan atau tenaga kerja dan akan hilang jika

pekerjaan berhenti .

Hal ini menarik untuk dicatat bahwa meskipun Naqvi dan Taleghani (dalam pernyataannya

tidak secara eksplisit atau konsisten) menegaskan tentang “kepemilikan kolektif” dan

“kepemilikan umum”. Sadr menempatkan kepercayaan penuh terhadap kepemilikan negara

karena otoritas yang terbesar ada di tangan negara(hak Amr).

2. Pengambilan Keputusan, Alokasi Sumber Daya Dan Kesejahteraan Publik; Peran Dari

Negara

Faktanya bahwa kepemilikan negara mendominasi sistem ekonomi Islam Sadr,

menunjukkan peran yang sangat penting dari negara. Negara yang diwakili oleh vali-e amr

mempunyai tanggung-jawab besar untuk memastikan bahwa keadilan berlaku. Hal ni dicapai

oleh berbagai fungsi-fungsi sebagi berikut ;

a. Distribusi sumber alam kepada individu berdasarkan kepada kesediaan dan

kemampuan mereka untuk bekerja

b. Implementasi terhadap larangan pengadilan hukum dan agama dalam penggunakan

sumber daya

c. Kepastian keseimbangan social

Ketiga fungsi negara ini mempunyai peranan yang sangat penting oleh karena konflik yang

mungkin muncul karena adanya perbedaan-perbedaan alamiah yang dimiliki oleh

individu(intelectual and physical). Karena perbedaan-perbedaan ini, pendapatan-pendapatan

akan berbeda sehingga kemungkinan terciptalah kelas-kelas ekonomi. Negara berkewajiban

untuk menyediakan suatu standard hidup yang seimbang kepada semua rakyat (dibanding mutu

pendapatan). Dalam semangat ini, negara juga dipercaya untuk menyediakan jaminan sosial

untuk semua. Hal ini menurut Sadr dapat dicapai dengan semangat persaudaraan (melalui

pendidikan) antar anggota masyarakat dan oleh kebijakan-kebijakan pembelanjaan publik, oleh

investasi-investasi sektor publik yang spesifik kearah membantu yang miskin dan dengan

peraturan kegiatan ekonomi, untuk memastikan kegiatan ekonomi bebas dari praktek pemerasan

dan penipuan .

27

Terakhir, negara atau lebih tepatnya Amr dipercaya untuk menyediakan kestabilan

ekonomi di dalam menafsirkan permasalahan menurut situasi-situasi yang berlaku saat ini.

karena ini adalah tugas dari Mujtahidun, hal itu menyiratkan bahwa Sadr melihat Mujtahidun

layaknya negara, maksudnya suatu negara manapun dijalankan oleh orang yang ahli hukum atau

negara itu merupakan perwujudan dari dewan dari para ahli hukum.

3. Pelarangan Riba Dan Implementasi Zakat

Cukup aneh bahwa ternyata Sadr tidak membahas riba seperti yang barangkali orang

harapkan. Lagi pula, penafsirannya terhadap riba hanyalah terbatas pada pembahasan mengenai

bunga dan modal uang. Naqvi dan Taleghani menyajikan pembahasan yang lebih konprehensif

dalam satu persoalan ini. Sebagai tambahan, penafsirannya tentang riba hanya dibatasi untuk

mendiskusikan tentang bunga di pasar modal uang . Dalam hal ini, Taleghani dan Naqvi

menyediakan suatu diskusi yang lebih menyeluruh tentang riba. Perihal implementasi zakat, Sadr

melihatnya sebagai suatu tugas dari negara. bersama-sama dengan zakat, ia juga mendiskusikan

khums(dimana bersama-sama dengan zakat ditetapkan sebagai pajak tetap), fay’ dan anfal,

seperti juga pajak yang lain yang dapat dikumpulkan dan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan

mengurangi kemiskinan dan untuk menciptakan keseimbangan sosial seperti disebutkan

sebelumnya . Bagaimanapun juga, satu poin yang menarik bahwa Sadr memfokuskan diri

terhadap pembahasan tentang kemiskinan relatif. Meskipun kita setuju bahwa kemiskinan relatif

adalah suatu konsep yang penting, terutama dalam target keseimbangan sosial Sadr,

argumentasinya bahwa menentukan level kemiskinan absolut– atau seperti yang ia tuliskan,

memperbaiki tingkat kemiskinan,tidak akan perlu menjurus kepada suatu keseimbangan standard

hidup antara si kaya dan si miskin – adalah lemah . Sarjana-sarjana islam setuju harus ada suatu

dasar yang menjadi standar kehidupan tertentu dimana dapat dijadikan patokan minimum

jaminan setiap kehidupan manusia . Dalam menentukan patokan/standar ini tidak boleh

menghentikan kita dari usaha untuk mengurangi kesenjangan di dalam standar-standar kehidupan

sebagimana Sadr inginkan. Oleh karena itu, menurut Sadr menjadi sesuatu yang tidak bisa

diterima, seperti berada di situasi yang menggelikan di mana suatu negeri yang sangat miskin

tidak mampu menyediakan keperluan-keperluan dasar kepada siapapun, tidak dapat digolongkan

sebagai bencana kemiskinan, karena alasan yang sederhana bahwa setiap orang mempunyai

standard hidup yang sama.

28

D. Distribusi

Distribusi (bersama-sama dengan hak kepemilikan) menduduki bagian yang utama dalam

pemikiran ekonomi Sadr. Hampir sepertiga dari Iqtisaduna mendiskusikan secara mendalam

masalah distribusi dan hak kepemilikan. Sadr membagi pembahasannya menjadi dua bagian

yaitu distribusi sebelum produksi(pre production-distribution) dan post production-distribution.

Berdasarkan pemahaman hukum tradisionalnya, Sadr menjelaskannya berdasarkan aturan/hukum

yang sah yang berhubungan dengan hak untuk memiliki dan memproduksi.

1. Pre Production-Distribution

Pembahasan ini berdasarkan kepada distribudi tanah dan sumber daya alam lainnya. Diistilahkan

sebagai kekayaan primer (Modal primer Taleghani). Seperti sarjana yang lainnya, Sadr

mengkritik kapitalisme dalam mengabaikan masalah ini, yang mana menurut Sadr,mengabaikan

produksi sebagai tingkat kepastian dan karenanya hanya memikirkan post production-

distribution saja. Dalam membahas “status kepemilikan” sumber daya alam, Sadr membagi

sumber daya alam kedalam empat kategori ; tanah, bahan mineral tanah mentah, air, dan

kekayaan alam lainnya(sungai,laut, tumbuhan,hewan dll) . Itu semua harus diingat bahwa “

bermacam-macam bentuk kepemilikan” diperbolehkan menurut Sadr.

Sejumlah poin-poin penting menurut Sadr adalah ;

Kepemilikan negara adalah jenis kepemilikan yang paling banyak dimiliki karena hanya

negara yang dapat mencapai hak-hak rakyatnya

Kepemilikan pribadi diperbolehkan namun dengan jumlah yang terbatas dan situasi

tertentu, misalnya :

o Diberikan lahan sebagai kompensasi menerima Islam (muallaf)

o Ada kontrak perjanjian untuk menanami lahan

o Untuk beberapa bahan tambang tertentu dimana negara tidak mampu

menambangnya.

o Menangkap burung, memotong kayu bakar

Kepemilikan pribadi dibatasi oleh hak-hak orang lain

Untuk bahan-bahan mineral dan air, individu diperbolehkan menggunakannya sesuai

dengan kebutuhan

29

Ada dua masalah yang dapat ditarik dari pandangan Sadr tentang kepemilikan dan

hubungannya dengan hak untuk memproduksi.

Pertama, adalah maslah yang akan muncul, sepewrti Taleghani, sadr mengkategorikannya

berdasarkan masa lalu. Ketika Islam berkuasa; beberapa mengatakanj ini adalah pemikiran yang

usang. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya, masalah ini tidak terlalu menyimpang sebagaimana

yang diprediksi sebelumnya. Mari kita lihat negara Malaysia sebagai contoh penggolongan Sadr,

sejak Muslim diMalaysia masuk islam dengan sukarela, Malaysia dikategorikan sebagai ‘daerah

perjanjian’. Semua tanah yang ditanami oleh manusia pada waktu itu di terima sebagai

kepemilikan pribadi. Sementara hutan dan lahan kosong menjadi milik negara dengan hak-hak

pengelolaannya. Selanjutnya, penafsiran Sadr tentang kepemilikan pribadi adalah salah satu yang

sangat dibatasi. Dan karenya tidak sangat berbeda dengan hak pengelolaannya. Sehingga,

penggolongan Sadr tidak usang seperti yang orang kira.

Kedua, dan mungkin permasalahan yang paling penting yaitu berkenaan dengan seberapa besar

ukuran seseorang dalam hak pengelolaan lahan yang diperbolehkan. Dalam doktrinnya, terdapat

aspek posif dan negatif yang kita dapat. Negatifnya adalah tanpa pekerja tidaka akan ada

kekayaan pribadi. Positifnya adalah akibat wajar yang ditimbulkan,’pekerja adalah sumber

tunggal dalam mendapatkan kekayaan alam .

2. Post Production-Distribution

Sadr memulai dengan menyatakan bahwa Islam tidak meletakkan semua faktor produksi di

pijakan yang sama. Pekerja adalah ‘’kepemilikan’’ yang sebenarnya dari faktor produksi. Untum

itu maka pekeerja mempunyai tanggungjawab untuk membayar kompensasi untuk faktor

produksi lainnya yang digunakan dalam proses produksi. Sadr menyadari pandangan ini yaitu

menempatkan manusia sebagai ahli dan bukan pelayan dari proses produksi. Selanjutnya

pandangan Sadr menyatakan bahwa kapitalis tidak diperbolehkan untuk memiliki barang-barang

produksi dari para pekerja yang mereka upahi. Dengan kata lain, secara langsung’para pekerja

ekonomi’ adalah kondisi yang dibutuhkan untuk kepemilikan suatu produk.

Dengan pandangan tentang prioritas pekerja, Sadr kemudian mendaftar kembali setiap

faktor-faktor produksi, yaitu

30

a. Pekerja-upah atau bagi keuntungan

b. Tanah-sewa(bagi hasil panen)

c. Modal- bagi keuntungan

d. Alat-alat/modal fisik-sewa/kompensasi

Pekerja diberikan kesempatan untuk memperbaiki upahnya atau variabel keuntungannya.

Sewa tanah diperbolehkan jika hanya telah pasti bahwa pemilik tanah telah menempatkan para

pekerjanya di pemulaan. Para pekerja boleh menggarap tanah kosong. Sadr juga mendukung

transaksi yang umum diperbolehkan seperti mudarabah, muza’raah, musaqot dan ju’alah. Yang

namanya ketidakadilan adalah membeli murah dan menjual mahal tanpa ada kontribusi dalam

proses produksi. Atau menyewa sebuah tanah kemudian menyewakannya lagi kepada orang lain

dengan harga sewa yang sangat tinggi.

E. Produksi

Sadr membagi dua aspek dalam produksi sama seperti dia membagi dua aspek dalam

ekonomi . Pertama adalah aspek objektifitas atau keilmuan dimana berhubungan dengan sisi

keekonomian dan pelaksanaannya seperti berhubungan dengan para pekerja, hukum produksi,

fungsi-fungsi biaya dll.. aspek keilmuan ini berhubungan dengan pertanyaan tentang teknis dan

efisiensi ekonomi dan tidak dialamatkan oleh Sadr. Sadr memilih untuk memberi pandangan

tentang pertanyaan dasar ‘apa yang diproduksi, bagaimana cara memproduksi, untuk apa

diproduksinya adalah referensi aspek yang kedua dalam produksi- aspek subjektivitas dan

doktrin. “apa yang diproduksi dan untuk siapa produksi” adalah patokan bagi perintah dalam

Islam yang diperbolehkan atau barang-barang yang sah dan berbagai macam kategori barang

seperti kelayakan, kenyamanan dll. “bagaimana memproduksinya” adalah pertanyaan yang

menjadi tanggungjawab negara . Negara mempunyai tugas untuk merencanakan dan memberi

petunjuk bagaimana seharusnya aktivitas ekonomi berjalan sesuai dengan Al-Qur’an, sunnah dan

ijma Ulama. Sadr mendukung perencanaan pemerintah dan tidak melihat kekuatan pasar sebagai

sesuatu yang suci/keramat. Produksi adalah sebuah kewajiban yang harus dijalankan dengan

responsibilitas dan akuntabilitas.dalam rangka menyediakan pandangan yang sehat dan terarah.

Produksi secara Islam menurut Sadr mempunyai dua cabang stategi.

1. Stategi Doktrin/intelektual

31

Manusia termotivasi untuk bekerja karena bekerja adalah bagian dari ibadah kepada Allah

jika dikerjakan dengan pemahaman dan tujuan yang sesuai dengan Al Qur’an. Tinggalkan sifat

bermalas-malasan, dan berhura-hura atau produksi yang tidak adil. Pemuda Islam harus sensitif

terhadap masalah ini.

2. Strategi Legislatif

Peraturan harus mendukung doktrin yang dikeluarkan oleh negara sehingga mendoronga

dan mengatur aktivitas ekonomi. Banyak contoh yang diberikan Sadr diantaranya:

o Tanah yang menganggur dapat diambil oleh negara dan dibagikan kepada seseorang yang

mempunyai keinginan dan kemampuan untuk mengolahnya

o Islam melarang hima’, yaitu mengambil alih lahan dengan paksaan

o Pelaksanaan Prinsip ‘tidak bekerja tidak ada keuntungan’

o Pelarangan transaksi yang tidak produktif, seperti membeli murah dan menjual mahal

tanpa bekerja

o Pelarangan riba

o Pelarangan penimbunan(uang maupun emas)

o Pelarangan penumpukan kekayaan

o Pelarangan kegiatan yang dilarang oleh Allah SWT

o Pelarangan sikap pemborosan dan berhura-hura

o Membuat peraturan dan pemeriksaan tindakan Penipuan di pasar

Di samping sejumlah contoh dikutip di atas, Baqir Sadr masih memberi prioritas kepada

motivasi invidual dan kesadaran moral manusia sebagai “Wali/Penjaga”, menjadi pemimpin di

semua sector produksi, menyedia, merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan bagi

semua orang. Apakah Negara menjalankan peran aktif di dalam produksi semua barang dan jasa

atau tidak, tidaklah jelas. Namun dalam hal barang-barang kebutuhan dasar, maka keterlibatan

Negara tidaklah diragukan lagi. Sebagi kesimpulan umum, besar sekali kemungkinannya bahwa

Baqir Sadr lebih menyukai penyeliaan daripada keterlibatan langsung Negara di dalam produksi.

Seperti yang telah disebutkan di depan, Negara yang dipimpin oleh wali-e amr haruslah

menjamin system ekonomi islam.