pemicu-1

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pemicu 1.2 Klarifikasi dan definisi Surat penolakan tindakan medik: 1.3 Kata kunci a. Saksi Yehova b. Perdarahan hebat c. Penolakan transfusi darah d. Reaksi transfusi darah e. Melakukan transfusi darah tanpa sepengetahuan 1.4 Rumusan Masalah Keluarga pasien mempertanyakan demam yang dialami anaknya pasca transfusi darah yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua, mereka menduga dokter melakukan kelalaian dalam operasi.

description

FORENSIK

Transcript of pemicu-1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu

1.2 Klarifikasi dan definisiSurat penolakan tindakan medik: 1.3 Kata kunci

a. Saksi Yehova

b. Perdarahan hebat

c. Penolakan transfusi darahd. Reaksi transfusi darahe. Melakukan transfusi darah tanpa sepengetahuan

1.4 Rumusan Masalah

Keluarga pasien mempertanyakan demam yang dialami anaknya pasca transfusi darah yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua, mereka menduga dokter melakukan kelalaian dalam operasi.

1.5 Analisis Masalah

Anak kecelakaan lalu lintas

Emergency butuh darah

Orangtua menandatangani

Surat penolakan tindakan medik

tidak transfusi

transfusi tanpa izin

autonomybeneficience

resiko meninggal

justice

Hukum Kedokteran

maleficence

umum

khusus1.6 Hipotesis

Dokter tersebut mengamalkan aspek beneficience, non maleficience, dan KODEKI pasal 7C, 7D, dan 13 tetapi telah melanggar aspek autonomi

1.7 Pertanyaan Diskusi

1. Transfusi darah

a. Definisi b. Indikasi

c. Reaksi transfusi 2. Kaidah dasar bioetik3. Kodeki berdasarkan kasus4. Apa saja hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur praktik kedokteran?5. Hukum kedokteran

a. Definisi b. Ruang lingkupc. Hak dan kewajiban dokter dan pasiend. Surat keterangan medik e. Informed consentf. Rekam medikg. UU Praktik dokterh. MalpraktekBAB II

PEMBAHASAN

2.1 Transfusi darah

Definisi Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan. Bahkan sebagai upaya untuk menyelamatkan kehidupan.1,2,3,4 Berdasarkan asal darah yang diberikan transfusi dikenal: (1) Homologous transfusi; berasal dari darah orang lain, (2) Autologous transfusi; berasal dari darah sendiri. Tujuan transfusi darah adalah3:a) Mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal peredaran darah, b) Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, c) Meningkatkan oksigenasi jaringan, d) Memperbaiki fungsi homeostasis, e) Tindakan terapi khusus.

Indikasi Transfusi DarahSecara garis besar Indikasi Transfusi Darah adalah5,6:

a) Untuk mengembalikan dan mempertahankan suatu volume peredaran darah yang normal, misalnya pada anemia karena perdarahan, trauma bedah, atau luka bakar luas. b) Untuk mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, misalnya pada anemia, trombositopenia, hipoprotrombinemia, hipofibrinogenemia, dan lain-lain.Reaksi transfusi darah secara umum Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah tertentu yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi, walaupun demikian tetap diperlukan kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi yang mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Oleh karena itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang pertama kali dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap memasang infus untuk pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera memberitahu dokter jaga dan bank darah.1,2Reaksi Transfusi Hemolitik Akut Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi karena kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan diberikan. Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urine berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan (shock), koagulasi intravaskuler diseminata (KID), dan/atau gagal ginjal akut yang dapat berakibat kematian. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan tindakan sebagai berikut: (a)meningkatkan perfusi ginjal, (b)mempertahankan volume intravaskuler, (c)mencegah timbulnya DIC.1,2Reaksi Transfusi Hemolitik LambatReaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya antibodi yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi dilakukan karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang terjadi biasanya ekstravaskuler. Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah demam, pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal yang perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal ginjal, penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA.1,2Reaksi transfusi non-hemolitik Demam merupakan lebih dari 90% gejala reaksi transfusi. Umumnya ringan dan hilang dengan sendirinya. Dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi dengan leukosit donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat peranan sitokin (IL-1b dan IL-6). Umumnya reaksi demam tergolong ringan dan akan hilang dengan sendirinya.1,2 Reaksi alergi Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul, yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan transfusi. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan terlarut di dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak berbahaya, tetapi mengakibatkan rasa tidak nyaman dan menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat menunda transfusi. Pemberian antihistamin dapat menghentikan reaksi tersebut.1,2Reaksi anafilaktik Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan renjatan. Penatalaksanaannya adalah (1) menghentikan transfusi dengan segera, (2) tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid, (3) berikan antihistamin dan epinefrin. Pemberian dopamin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan. Apabila terjadi hipoksia, berikan oksigen dengan kateter hidung atau masker atau bila perlu melalui intubasi.1,2Efek samping lain dan resiko lain transfusi a) Komplikasi dari transfusi massif Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan, dengan volume darah yanglebih besar daripada volume darah resipien dalam waktu 24 jam.4 Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan factor- factor pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung, asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung injury.3b) Penularan penyakit Infeksi 1. Hepatitis virusPenularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko besar pada transfusi darah. Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar enzim transaminase, yang merupakan bukti infeksi virus hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah melalui seleksi donor yang baik dan ketat, serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular masih tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar 1 dari 200.000 dan hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000. 1,22. AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome)Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan donor yang baik dan ketat.1,23. Infeksi CMV Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir premature atau pasien dengan imunodefisiensi. Biasanya virus ini menetap di leukosit danor, hingga penyingkiran leukosit merupakan cara efektif mencegah atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi sel darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik mencegah CMV ini.1,24. GVHD(Graft versus Host disease) GVHD merupakan reaksi/ efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien dengan imunosupresif atau pada bayi premature. Hal ini terjadi oleh karena limfosit donor bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan bereaksi dengan antigen penjamu. Reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian komponen SDM yang diradiasi atau dengan leukosit rendah.1,2Masalah yang sifatnya khusus dapat timbul dalam transfusi darah pada orang-orang yang mempunyai pandangan teologis yang menolak menerima darah orang lain bagi mereka sendiri dan bagi anak-anaknya. Bagi orang dewasa, penolakan tersebut sah secara hukum dan dokter tidak berhak memaksa. Akan tetapi bila penolakan dilakukan setelah dimulai dan penolakan tersebut akan berakibat fatal, Leenen berpendapat dokter boleh menyelesaikan tindakan tersebut. Bila penghentian tindakan tidak menimbulkan akibat yang serius dokter wajib mengikutinya.Beberapa kemungkinan dapat dilakukan bila orang-orang tersebut menyatakan keberatannya di transfusi, dipikirkan untu dilakukan autotransfusi dimana 2 minggu sebelum di operasi, darah pasien tersebut diambil dahulu, kemungkinan lain digunakan cairan yang bukan darah, meskipun manfaatnya kurang.

Apabila penolakan dilakukan oleh orang tua kelompok bagi anak-anaknya, dalam hal ini mereka tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan nasib atau nyawa anak-anak tersebut; karena anak-anak tersebut mempunyai hak-haknya sendiri sebagai manusia. Pengadilan berhak memutuskan untuk mempercayakan pengawasan sementara atas anak-anak tersebut kepada suatu lembaga perlindungan anak-anak.72.2 Kaidah dasar bioetik

Fondasi etika kedokteran dibangun oleh 3 hal pokok yaitu: moralitas eksternal, etika internal dan moralitas internal. Moralitas eksternal merupakan teori-teori etika yang diterapkan dalam dunia kedokteran. Sedangkan etika internal adalah kode etik profesi yang dibuat dan ditetapkan oleh dokter dan untuk dokter sebagai bentuk pertanggungjawaban profesi pada masyarakat. Yang membuat dinamis adalah moralitas internal. Moralitas internal adalah merupakan fenomena umum yang terjadi dalam hubungan dokter pasien. Dalam konteks ini amat tergantung dengan fakta empirik yang ada pada pasien secara individual.

Menurut Pellegrino, meskipun ketiga aspek tersebut tumbuh dan berkembang secara bebas satu sama lain, empat principle based of bioethics atau kini populer dengan kaidah dasar bioetika dari Beuchamps and Childress merupakan salah satu contoh teori yang dapat menyatukan antara moralitas eksternal dan fakta empirik klinik (moralitas internal). Etika kedokteran sebagai profesi luhur, bersama dengan etika lingkungan hidup dan ilmu pengetahuan telah memberi andil terhadap kaidah dasar ini dengan menyumbangkan 4 kaidah dasar bioetika yakni: sikap berbuat baik (beneficence), tidak merugikan orang lain (non maleficence), berlaku adil (justice) dan menghormati otonomi pasien (autonomy).

Di dalam kaidah dasar bioetik terkandung prinsip-prinsip dasar bioetik yang harus selalu diperhatikan. Empat prinsip etik (beneficence, non-maleficence, auotonomy,danjustice)dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prinsip etik ini dapat bervariasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lainnya.1Di Indonesia sendiri, ada 4 prinsip berkaitan dengan bioetik yang harus selalu dipegang oleh seorang dokter. Keempat prinsip tersebut adalah:1.BeneficenceBeneficenceadalah prinsip bioetik dimana seorang dokter melakukan suatu tindakan untuk kepentingan pasiennya dalam usaha untuk membantu mencegah atau menghilangkan bahaya atau hanya sekedar mengobati masalah-masalah sederhana yang dialami pasien.2Lebih khusus,beneficencedapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik, menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Point utama dari prinsipbeneficencesebenarnya lebih menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil langkah atau tindakan yang lebih bayak dampak baiknya daripada buruknya sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi.2.Non-maleficenceNon-malficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter tidak melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien. Dokter haruslah memilih tindakan yang paling kecil resikonya. Do no harmmerupakan point penting dalam prinsip non-maleficence.Prinsip ini dapat diterapkan pada kasus-kasus yang bersifat gawat atau darurat.3.AutonomyDalamprinsip ini, seorangdokterwajibmenghormati martabatdan hakmanusia, terutama hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri.Autonomypasien harus dihormati secara etik, dan di sebagain besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan pasien yang sudah dewasa untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis.3Melaluiinformed consent,pasien menyetujui suatu tindakan medis secara tertulis.Informed consentmenyaratkan bahwa pasien harus terlebih dahulu menerima dan memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka, jenis tindakan medik yang diusulkan, resiko, dan juga manfaat dari tindakan medis tersebut.44.Justice

Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung dalam bioetik. Justice adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakukan yang adil untuk semua pasiennya. Dalam hal ini, dokter dilarang membeda-bedakan pasiennya berdasarkan tingkat ekonomi, agama, suku, kedudukan sosial, dsb.Diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis dengan adil agar ada kesamaan dalam perlakuan kepada pasien.5 Contoh dari justice misalnya saja: dokter yang harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan seseorang untuk merawat orang tersebut.Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal dalam memberikan pelayaan medis, harus dinilai juga dar seberapa penting masalah yang sedang dihadapi oleh pasien.5 Dengan mempertimbangkan berbagai aspek dari pasien, diharapkan seorang dokter dapat berlaku adil.DAFTAR PUSTAKA

1. Sachrowardi, Qomariyah & Basbeth, Ferryal. 2011.Bioetik: Isu & Dilema.Jakarta Selatan: Pensil-324

2. Pantilat, Steve. 2008.Beneficence vs. Nonmaleficence.[Online]. (http://missinglink.ucsf.edu/lm/ethics/Content%20Pages/fast_fact_bene_nonmal.htm, diakses pada 05 Juni 2015)

3. Sachrowardi, Qomariyah & Basbeth, Ferryal. 2011.Bioetik: Isu & Dilema.Jakarta Selatan: Pensil-324

4. ECC Guidelines. Circulation,opcit.;Hilberman M, Kutner J, Parsons D, Murphy DJ.op. cit.5. Shiel, William C., dkk. 2010. Kamus Kedokteran Websters New World. Jakarta Barat: Indeks.

2.3 Kodeki berdasarkan kasus

Persetujuan tindakan tenaga kesehatan diatur dalam pasal 68 UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Dikatakan dalam pasal tersebut bahwa setiap tindakan kesehatan harus didahului oleh persetujuan. Adapun persetujuan diberikan setelah yang bersangkutan mendapat penjelasan yang cukup dan patut. Hal-hal yang tercakup didalam penjelasan meliputi:

a. Tata cara tindakan

b. Tujuan tindakan

c. Alternative tindakan lain

d. Risiko dan komplikasi dari tindakan

e. Prognosis setelah dilakukan tindakan

Persetujuan dapat diberikan secara lisan maupun tertulis. Khusus untuk tindakan yang mengandung risiko tinggi harus disertai dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani.

Selanjutnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 mengatur tentang persetujuan tindakan kedokteran. Dalam pasal 4 dikatakan bahwa dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran, namun tetap harus dicatat di rekam medic dan segera diberikan penjelasan secepat mungkin setelah pasien sadar atau dapat pula diberikan penjelasan kepada keluarga terdekat.

Dalam pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 pula dikatakan bahwa untuk pasien anak ataupun pasien yang tidak sadar, penjelasann dpat diberikan kepada keluarga atau orang yang mengantar.

2.4 Hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur praktik kedokteran

2.5 Hukum kedokteran

2.5.1 Definisi

Hukum kedokteran atau hukum kesehatan meupakan seluruh ketentuan hukum yang langsung berhubung dengan bidang pemeliharaan kesehatan, dan ketentuan-ketentuan dari bidang-bidang hukum lain seperti hukum pidana, perdata dan administratif yang dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan; di samping itu pedoman internasional, hukum kebiasaan, dan jurisprudensi yang ada kaitannya dengan pelayanan kesehata; juga hukum otonom, ilmu dan literatur; merupakan sumber hukum kesehatan.

Wiradharma D, Hartati DS. Penuntun kuliah hukum kedokteran. Edisi 2. Jakarta. CV Sagung Seto. 2010.

2.5.2 Ruang lingkup

2.5.3 Hak dan kewajiban dokter dan pasien

Pada Pasal 50 UU no. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :

a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;

c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan

d. menerima imbalan jasa.

Pada Pasal 51 UU no. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai

kewajiban :

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN

Kewajiban Umum

Pasal 1: setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter

Pasal 2; Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesai dengan standar profesi yang tertinggi.

Pasal 3: dalam melakukan pekerjaan dokternya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi

Pasal 4: seorang dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri

Pasal 5: tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah mendapat persetujuan pasien.

Pasal 6: setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7: setiap dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.

Pasal 7a: seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atau martabat manusia.

Pasal 7b: seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya dan berupaya mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.

Pasal 7c: seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d: setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup makhluk insani

Pasal 8: dalam melakukan pkerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psikososial serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9: setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat harus saling menghormati.

Kewajiban Dokter terhadap Pasien

Pasal 10: setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11: setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasihatnya dalam beribadat dan atau masalah lainnya.

Pasal 12: setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13: setiap dokter wajib melaukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu melakukannya.

Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawat

Pasal 14: setiap dokter memperlakukan teman sejawat sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan

Pasal 15: setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya kecuali dengan persetujuan atau prosedur yang etis.

Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri

Pasal 16: setiap dokter harus memilhara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17: setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan

DAFTAR PUSTAKA: Hanafiah M. Jusuf dan Amri Amir. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi 4. Jakarta : Buku kedokteran EGC.

Paragraf 6

Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi

Pasal 50

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :

a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;

c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan menerima imbalan jasa.

Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Paragraf 7

Hak dan Kewajiban Pasien

Pasal 52

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

diagnosis dan tata cara tindakan medis;

tujuan tindakan medis yang dilakukan;

alternatif tindakan lain dan risikonya;

risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

menolak tindakan medis; dan

mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :

a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan

d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

2.5.4 Surat keterangan medic

Surat keterangan yang dibuat oleh tenaga medis berbeda dengan rekam medis, karena pembuatan rekam medis merupakan kewajiban dokter terutama untuk kepentingan pasien dalam rangka penyembuhannya; sedangkan surat keterangan medis biasanya untuk kepentingan pihak ketiga. Berdasarkan kepentingannya, surat keterangan medis dibedakan menjadi kepentingan medis untuk kepentingan peradilan seperti Visum et Repertum, atau bukan untuk kepentingan peradilan misalnya dalam bidang medis seperti Surat Rujukan, Surat Konsultasi bidang asuransi; dan bidang administrasi seperti Surat Keterangan Sakit, Surat Keterangan Sehat, atau Surat Keterangan Kematian.

Surat rujukan berbeda dengan surat konsultasi karena pasien yang dikonsulkan, diharapkan oleh dokter yang mengirim agar kembali berobat kepadanya setelah berkonsultasi kepada ahli lain. Surat rujukan secara tersirat menunjukkan dokter sudah menyerahkan sepenuhnya tindakan yang akan dilakukan kepada pihak/ahli lain yang mendapat rujukan tersebut.

Surat keterangan sakit biasanya menyatakan bahwa karena sakitnya pasien harus beristirahat selama jangka waktu tertentu. Hal ini berakibat dengan tidak hadirnya pasien di tempat kerjanya atau di sidang peradilan. Sampai saat ini belum begitu dibedakan antara surat keterangan sakit (yang bersifat subjektif) dengan surat keterangan penyakit (yang bersifat objektif). Pada yang disebut terakhir ukurannya adalah ada tidaknya kelainan anatomis atau fungsi tubuh; sehingga pada yang pertama dikarenakan sifat subjektifnya, dokter tidak menjanjikan ada tidaknya rasa sakit itu, terutama pada pasien simulasi.

Surat keterangan sehat menunjukkan adanya kemampuan, terutama fisik, untuk melakukan pekerjaan atau menghadapi situasi tertentu. Surat keterangan kematian dibuat tentunya setelah dokter memeriksa langsung kepastian adanya kematian; perkiraan saat, cara (wajar/tidak) dan penyebab (menular/tidak) kematian.

Pembuatan surat-surat keterangan medis tersebut diatas harus sesuai dengan fakta yang ada. Apabila surat keterangan tersebut tidak benar, kemungkinan dokter yang membuatnya dapat dipermasalahkan membuat surat keterangan palsu. Tanpa adanya alas an pemaaf atau alasan benar, berarti ada kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan.

Wiradharma D, Hartati DS. Penuntun kuliah hukum kedokteran. Edisi 2. Jakarta. CV Sagung Seto. 2010.

2.5.5 Informed consent

Secara harfiah Consent artinya persetujuan, atau lebih tajam lagi, izin. Jadi Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Selanjutnya kata Informed terkait dengan informasi atau penjelasan. Dapat disimpulkan bahwa Informed Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh undang-undang sehingga dengan kata lain Informed consent adalah Persetujuan Setelah Penjelasan.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Bentuk Informed ConsentAda 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :1

1. Implied Consent (dianggap diberikan)

Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.

2. Expressed Consent (dinyatakan)

Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.

Fungsi dan Tujuan Informed Consent

Fungsi dari Informed Consent adalah :2

1. Promosi dari hak otonomi perorangan;

2. Proteksi dari pasien dan subyek;3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi terhadap diri sendiri;5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan/ tujuannya dibagi tiga, yaitu:3a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian).b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.c. Yang bertujuan untuk terapi.Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :41. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien;2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

Sumber :

1. Amril Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997, hal. 31.

2. J. Guwandi, Informed Consent dan Informed Refusal, Penerbit Fakultas Kedokteran UI, 2003, hal 2.

3. Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo, Jakarta, 2001, hal 45.

4. J. Guwandi, Rahasia Medis, Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2005, hal. 32.

Surat Penolakkan Tindakan Medik

3 Tidak selamanya pasien atau keluarga setuju dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demikian, kalangan doker maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasiei atau keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Ini disebut sebagai infomed refusal

4 Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pada pasien.

Bila dokter gagal dalam meyakinkan pasien pada alternatif tindakan yang diperlukan, untuk keamanan di kemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan. Dalam kaitan transaksi terapeutik dokter dengan pasien, pernyataan penolakan pasien atau keluarga ini dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik. Dengan demikian, apa yang terjadi di belakang hari tidak menjadi tanggung jawab dokter atau rumah sakit lagi.

Hanafiah J, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan: Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) Ed. 4. Jakarta: EGC. 20084.1.1 Rekam medisRekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis ditetapkan dalam Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis / Medical Record (selanjutnya disebut Permenkes Rekam Medis).

Hal-hal yang harus dicantumkan dalam rekam medis adalah sebagai berikut :

Identitas penderita;

Riwayat penyakit;

Laporan pemeriksaan fisik;

Instruksi diagnostik dan terapeutik yang ditandatangani oleh dokter yang berwenang;

Catatan pengamatan atau observasi;

Laporan tindakan dan penemuan;

Ringkasan riwayat pada waktu pasien meninggalkan sarana pelayanan kesehatan;

Kejadian-kejasian yang menyimpang

Pasal 13 Permenkes Rekam Medis menyatakan : Rekam medis dapat dipakai sebagai :

a. Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;

b. Alat bukti dalam proses penegakan hukum;

c. Keperluan penelitian dan pendidikan;

d. Dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan.

e. Data statistik kesehatan.

IDI juga menerbitkan fatwa IDI tentang RM, dalam SK No.315/PB/A.4/1988 yang menekankan bahwa praktek profesi kedokteran harus melaksanakan RM. Fatwa ini tidak saja untuk dokter yang bekerja di rumah sakit, tetapi juga untuk dokter praktek pribadi.

Dari pernyataan IDI tersebut, penyediaan fasilitas rekam medis bersifat wajib. Sanksi yang dapat dijatuhkan atas pelanggaraan penyediaan rekam medis adalah sebagai berikut :

Pasal 17 Permenkes Rekam Medis menyatakan : pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi administratif mulai dari teguran lisan sampai pencabutan surat ijin;

Pasal 79 huruf b UU Praktek Kedokteran menyatakan : dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1).

Isi rekam medis sebagai milik pasien mengandung konsekuensi yuridis, yaitu sifat kerahasiaannya. Pasal 10 Permenkes Rekam Medis menyatakan : Rekam Medis merupakan berkas yang wajib dijaga kerahasiaannya. Pemaparan atas rekam medis dapat dilakukan berdasarkan Pasal 11 Permenkes Rekam Medis, yaitu sebagai berikut:

Ayat (1) penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2) pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundang undangan.

Pasal 47 ayat (2) UU Praktek Kedokteran menyatakan : Rekam Medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Berhubungan dengan kewajiban untuk menyimpan rahasia kedokteran ditentukan dalam Pasal 48 UU Praktek Kedokteran. Pasal 48 UU Praktek Kedokteran menyatakan :

Ayat (1) setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran;

Ayat (2) rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang undangan.

Sifat kerahasiaan isi rekaman medis di samping merupakan hak bagi pasien, juga merupakan kewajiban bagi tenaga kesehatan untuk menyimpan rahasia jabatan. Tidak diaturnya ketentuan pelanggaran atas rahasia jabatan dokter dalam Permenkes Rekam Medis dan UU Praktek Kedokteran sebagai ketentuan khusus (lex specialis), maka ketentuan yang dipergunakan jika terjadi pelanggaran berdasarkan pada KUHP sebagai ketentuan umum (lex generali).

Ancaman pidana atas dibukanya rahasia jabatan ditentukan dalam Pasal 322 ayat (1) KUHP, yang menyatakan, barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau pekerjaannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.

DAFTAR PUSTAKA: Hanafiah Jusuf & Amir Amri, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3, Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Rekam medis berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik KedokteranPasal 46

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.

(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.

(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.

Pasal 47

(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien.

(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

4.1.2 UU Praktik dokter

4.1.3 Malpraktek

UPAYA PENCEGAHAN MALPRATIK

Pelayanan medic merupakan suatu sistem pelayanan yang kompleks dan ketak sehingga mudah terjadi kecelakaan terutama di UGD, ICU, Kamar Bedah dan Kamar Bersalin. Oleh karena itu, pelayanan di sini harus ekstra hati-hati. Setiap tindakan medic mengandung risiko karena itu harus dilakukan tindakan pencegahan dan berupaya amengurangi risikonya hingga tingkat yang dapat diterima (acceptable). Berikut ini beberapa tips agar terhindar dari tuntutan malpraktik.

1. Senantiasa berpedoman pada standar pelayanan medic dan standar prosedur operasional.

2. Bekerjalah secara professional, berlandaskan etik dan moral yang tinggi

3. Ikuti peraturan perundangan yang berlaku, terutama tentang kesehatan dan praktik kedokteran.

4. Jalin komunikasi yang harmonis dengan pasien dan keluarganyna dan jangan pelit informasi baik tentang diagnosis, pencegahan dan terapi. Ada yang mengatakan bahwa a good physician patient relationship is the best prophylactic against a malpractice suit

5. Tingkatkan rasa kebersamaan keakraban dan kekeluargaan sesama sejawat dan tingkatkan kerja sama tim medik demi kepentingan pasien.

6. Jangan berhenti belajar, selalu tingkatkan ilmu dan keterampilan dalam bidang yang ditekuni.

PENANGANAN DUGAAN MALPRAKTIK

Selama ini pasien dan keluarga mengadukan dokter yang diduga melakukan malpraktik ke berbagai instansi dan badan seperti polisi, jaksa pengacara, IDI/MKEK, Dinas Kesehatan, Menteri Kesehatan, LSM, Komnas HAM dan media cetak/elektronik.

Dengan terbitnya UU R.I. No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, diharapkan bahwa setiap orang yang merasa kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dapat mengadukan kasusnya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) secara tertulis atau lisan jika tidak mampu secara tertulis. Pengaduan ini tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak berwenang dan atau mengugat kerugian perdata kepada pengadilan.

MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan tersebut. Apabila ditemukan pelangaran etik, MKDKI meneruskan pengaduan dimaksud kepada MKEK IDI. Jika terdapat pelanggaran disiplin oleh dokter, MKDKI dapat memberikan sanksi disiplin berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registraasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP) atau wajib mengikuti pendidikan/pelatihan kembali di Institusi Pnedidikan Kedokteran. Tujuannya adalah untuk penegakan disiplin dokter, yaitu penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam hubungannya dengan pasien.

Jika terdapat bukti-bukti awal adanya dugaan tindak pidana, MKDKI meneruskan pengaduan tersebut kepada pihak yang berwenang dan/atau pengadu menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA SEMUANYA

Hanafiah J. Etika kedokteran & hokum kedokteran. Ed4. Jakarta: EGC;2008.

Malpraktek medik menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.

a. Malpraktek Etik

Dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.

b. Malpraktek Yuridis

Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).

1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)

Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.

Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti:

a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).

b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).

c. Ada kerugian

d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.

e. Adanya kesalahan (schuld)

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:

a. Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.

b. Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.

c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

d. Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.

Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.

2. Malpraktek Pidana

Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:

a. Malpraktek pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.

b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.

3. Malpraktek Administratif

Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.