Pemeriksaan Fisik
-
Upload
udi-panata -
Category
Documents
-
view
87 -
download
11
description
Transcript of Pemeriksaan Fisik
PEMERIKSAAN LENGKAP NEUROLOGI
BAGIAN I : ANAMNESIS
Narasi
Dalam menegakkan diagnosis, diperlukan pemeriksaan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan mental serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis yang baik membawa kita ke arah diagnosis yang tepat
Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang
sabar dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup.
Wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur,
pekerjaan dan domisili. Kemudian ditanyakan keluhan utama, yaitu keluhan
yang mendorong pasien datang berobat ke dokter. Pada tiap keluhan atau
kelainan perlu ditelusuri data yang dikenal sebagai fundamental four, yaitu :
Riwayat penyakit sekarang, Riwayat penyakit dahulu, Riwayat penyakit
dalam keluarga, serta Riwayat sosial ekonomi.
Dalam Riwayat penyakit sekarang, seorang dokter harus dapat memperoleh
informasi yang dikenal sebagai sacred seven, yang terdiri dari: Lokasi
keluhan, Onset, Kualitas, Kuantitas, dan Kronologis penyakit sekarang,
disertai dengan data gejala penyerta, faktor-faktor yang memperberat dan
memperingan.
1
BAGIAN II : PEMERIKSAAN FISIK
I. STATUS PRESENS
Periksalah kesadaran pasien.Tingkat kesadaran adalah ukuran dari
kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari
lingkungan. Tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1. Kompos Mentis, yaitu kesadaran normal atau sadar sepenuhnya
dan pasien dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekeliling.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun dengan
respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran
dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh
tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan.
Dalam memeriksa kesadaran, dikenal sistem penilaian GCS atau
Glasgow Coma Scale.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi
membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan
dalam derajat (skor) dengan rentang angka tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :
Skor (4) : Bila membuka mata spontan
2
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri,
misalnya menekan kuku
jari)
(1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
Skor (5) : Bila orientasi baik
(4) : bila pasien terlihat bingung, berbicara kacau ( sering
bertanya berulang-
ulang) disertai disorientasi tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih
jelas, namun tidak
dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, tolong…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat
diberi rangsang
nyeri)
(4) : Reaksi menghindar / menarik ekstremitas atau tubuh menjauhi
stimulus saat
diberi rangsang nyeri)
(3) : fleksi abnormal (berupa posisi satu atau kedua tangan kaku
diatas dada & kaki
ekstensi saat diberi rangsang nyeri).
3
(2) : ekstensi abnormal (berupa satu atau kedua tangan ekstensi di
sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki ekstensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
Setelah memeriksa kesadaran pasien, nilailah keadaan umum
pasien.
Apakah tampak sakit ringan, sedang, atau berat?
Dalam pemeriksaan status praesens, lakukan pemeriksaan-
pemeriksaan dasar umum, yaitu pemeriksaan tekanan darah, nadi,
pernafasan, suhu, dan pemeriksaan sistemik mulai dari kepala,
leher, dada, jantung, dan perut.
II. STATUS PSIKIS
Dalam menilai status psikis pasien, nilailah bagaimana cara
berpikir, perasaan hati, ingatan, serta kecerdasan pasien. Jika dari
pemeriksaan awal didapatkan hasil yang mengarah ke luar batas
normal, dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk penilaian
psikis, seperti tes Mini Mental State Examination (MMSE)
III. STATUS NEUROLOGIS
Kepala
Nilailah bentuk, simetrisitas, nyeri tekan, dan pulsasi di regio
kepala.
Leher
4
Lakukan penilaian sikap leher, pergerakan, dan kaku kuduk.
Pemeriksaan kaku kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.
PEMERIKSAAN SARAF OTAK (NERVUS CRANIALIS)
1) Pemeriksaan Nervus I (Olfactorius)
Nervus olfactorius memiliki Fungsi : Sensorik khusus (menghidu,
membau)
Persiapan :
o Pasien hrs sadar & kooperatif
o Bahan :kopi, teh, tembakau, vanili
Pemeriksaan :
5
1. Subyektif : Tanyakan adakah keluhan pasien, dan bagaimana
kemampuan menghidu menurut pasien sendiri?
2. Obyektif
Cara Pemeriksaan:
a. Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan
setempat, misalnya
ingus atau polip, karena dapat mengurangi ketajaman
penciuman.
b. Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari seperti kopi, teh,
tembakau dan
jeruk.
c. Jangan gunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung
seperti mentol, amoniak, alkohol dan cuka.
d. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh pasien
menciumnya
e. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup
lobang hidung yang lainnya dengan tangan. Kenalkan setiap bau
terlebih dahulu sebelum memulai pemeriksaan.
2) Pemeriksaan Nervus II (Nervus Optikus)
Tujuan pemeriksaan nervus optikus :
6
a. Mengukur ketajaman penglihatan / visus dan menentukan apakah
kelainan visus disebabkan oleh kelainan okuler lokal atau kelainan
saraf.
b. Mempelajari lapangan pandang
c. Memeriksa keadaan papil optik
Cara Pemeriksaan :
Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan
nervus II dan pemeriksa
juga tidak mencurigai adanya gangguan, maka biasanya dilakukan
pemeriksaan nervus II,
yaitu :
a. Ketajaman penglihatan
b. Lapangan pandang
Bila ditemukan kelainan, dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti.
Perlu dilakukan
pemeriksaan oftalmoskopik.
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan :
1. Dilakukan dengan cara membandingkan ketajaman penglihatan pasien
dengan pemeriksa yang normal.
2. Pasien diminta mengenali benda yang letaknya jauh, misalnya jam
dinding dan ditanyakan pukul berapa.
3. Pasien diminta membaca huruf-huruf yang ada di koran atau buku.
4. Bila ketajaman penglihatan pasien sama dengan pemeriksa, maka
dianggap normal.
7
5. Pemeriksaan ketajaman penglihatan yang lebih teliti adalah dengan
pemeriksaan visus menggunakan gambar snellen.
PEMERIKSAAN SNELLEN CHART
Mintalah pasien membaca snell chart dari jarak 6 meter.
Minta pasien untuk membaca dari huruf teratas hingga huruf
terbawah yang bisa dibaca pasien.
Bila pasien dapat membaca sampai barisan paling bawah,
maka ketajaman penglihatannya (6/6) (normal).
Jika pasien hanya bisa membaca sampai batas 20,berarti
bahwa huruf yang seharusnya dapat dibaca dari jarak 20
meter, ia hanya dapatmembacanya dari jarak 6 meter (6/20)
Bila pasien belum dapat melihat huruf teratas atau terbesar
dari kartu Snellen maka mulai HITUNG JARI pada jarak 3
meter (tulis 3/60).Hitung jari 3 meter belum bisa terlihat maka
maju2 meter (tulis 2/60), bila belum terlihat maju 1meter
(tulis 1/60).
Bila belum juga terlihat maka lakukan GOYANGAN TANGAN
pada jarak 1 meter (tulis 1/300).
Goyangan tangan belum terlihat maka sentermata responden
dan tanyakan apakah pasien dapat melihat SINAR SENTER
(tulis 1/ ~).
Bila tidak dapat melihat sinar disebut BUTA TOTAL
Pemeriksaan Lapangan Pandangan :
Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan penglihatan
pemeriksa yang dianggap
normal., dengan menggunakan metode konfrontasi donder.
8
1. Pasien diminta duduk atau berdiri berhadapan dengan
pemeriksa dengan jarak kira-kira 1 m.
2. Jika hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien
harus ditutup, misalnya dengan tangan atau kertas,
sedangkan pemeriksa harus menutup mata kanannya.
3. Kemudian pasien diberikan instruksi untuk melihat terus
pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat
mata kanan pasien.
4. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di
bidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien.
5. Lakukan gerakan dari arah luar ke dalam
6. Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia
harus memberi tahu dan dibandingkan dengan pemeriksa,
apakah pemeriksa juga melihatnya
7. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan, maka
pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut.
8. Lakukan pemeriksaan pada masing-masing mata pasien.
Pemeriksaan Funduskopi
o Pemeriksa memegang oftalmaskop dengan tangan kanan.
o Tangan kiri pemeriksa memfiksasi dahi pasien
o Pemeriksa menyandarkan dahinya pd darsum manus
tangan kiri
yang memegang dahi pasien
o Mata kanan pasien diperiksa dengan mata kanan
pemeriksa, begitu
sebaliknya.
o Pemeriksa menilai retina & papil nervi optikus
Interpretasi Funduskopi
9
1. Gambaran retina
Normal :
Latar belakang :merah keoranye-oranyean
Papil nervi optikus : lebih muda
Pembuluh darah berpangkal pd pusat papil memancarkan
cabang-cabangnya ke seluruh retina
Arteri berwarna jernih & vena berwarna merah tua.
Reflek sinar hanya tampak pd arteri
Vena berukuran lebih besar & tampak berkelak-kelok
dibandingkan arteri
Tampak pulsasi pada pangkal vena besar (di papil) dan
penekanan bola mata → pulsasi lebih jelas
2.Gambaran Nervi Optikus
Normal : bentuk lonjong, warna jingga muda, bagian temporal
sedikit pucat, batas tegas, bagian nasal agak kabur,
fisiologik cupping, vena:arteri 3 : 2
Papil edema : papil hiperemis, batas papil kabur, cupping
menghilang
Papil Atropi Primer : papil pucat, batas tegas, cupping (+)
Papil Atropi Sekunder: papil pucat,batas tidak tegas cupping
(-)
3) Pemeriksaan Nervus III, IV, VI
Sebelum melakukan pemeriksaan, lakukan inspeksi saat istirahat
Kedudukan bola mata
Pemeriksaan
– Kedudukan mata kiri dan kanan semetris/tidak
10
– Strabismus, deviasio conjugee, krisis akulogirik
– Eksoptalmus / endoftalmus
Interpretasi:
Normal : Kedudukan bola mata simetris
Kelainan : Strabismus, deviatio conjugee, krisis okulogirik,
eksoptalmus /endoftalmus
N. Periksa pula sela mata pasien dengan menggunakan alat
ukur penggaris
Untuk N. III, IV dan VI fungsinya saling berkaitan. Fungsinya
ialah menggerakkan otot mata ekstra okuler dan mengangkat
kelopak mata. Serabut otonom N III, mengatur otot pupil.
Cara pemeriksaannya bersamaan, yaitu :
1. Pemeriksa melakukan wawancara dengan pasien
2. Selama wawancara, pemeriksa memperhatikan celah
matanya, apakah ada ptosis, eksoftalmus dan strabismus/
juling dan apakah ia cendrung memejamka matanya karena
diplopia.
3. Setelah itu lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai
ptosis, besar pupil, reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi,
kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan nistagmus.
4. Untuk menilai m. Levator palpebra, pasien disuruh
memejamkan matanya, kemudia disuruh ia membuka
matanya.
11
5. Waktu pasien membuka matanya, kita tahan gerakan ini
dengan jalan memegang / menekan ringan pada kelopak
mata.
6. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan kelopak mata.
7. Untuk menilai pupil, perhatikan besarnya pupil pada kiri
dan kanan, apakah sama ukurannya, apakah bentuknya
bundar atau tidak rata tepinya. Miosis = pupil mengecil,
midriasis = pupil membesar
8. Reflek cahaya pupil terdiri dari reaksi cahaya langsung atau
tidak langsung., caranya :
i. Pasien disuruh melihat jauh.
ii. Setelah itu pemeriksa mata pasien di senter/ diberi cahaya
dan lihat apakah ada reaksi pada pupil. Normal akan mengecil
iii. Perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut
mengecil karena penyinaran pupil mata tadi disebut dengan
reaksi cahaya tak langsung
iv. Cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap
melihat jauh.
4) Pemeriksaan Nervus V (Trigeminus)
Nervus Trigeminus memiliki tiga cabang :
o Cabang Optalmicus : Memeriksa refleks berkedip pasien dengan menyentuhkan kapas halus saat pasien melihat ke atas
o Cabang maxilaris : Memeriksa kepekaan sensasi wajah, lidah dan gigi
12
o Cabang Mandibularis : Memeriksa pergerakan rahang dan gigi
Fungsi Motorik N. Trigeminus
• Pasien menggigit giginya sekuat-kuatnya, palpasi
m.maseter & temporalis
• Pasien membuka mulutnya, perhatikan deviasi rahang
bawah (m.pterigoideus lateralis)
• Kayu tongue spatel digigit bergantian, bandingkan bekas
gigitan (M.Pterigoideus Medialis)
Cara pemeriksaan fungsi sensorik :
a. Diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri dan
suhu daerah yang dipersarafi.
b. Periksa reflek kornea dengan cara meminta pasien
melihat lurus ke depan, kemudian pemeriksa memberi
rangsang ke arah kornea mata dengan kapas.
5) Pemeriksaan Nervus VII
Pemeriksaan fungsi motorik :
mengerutkan dahi (dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam), mimik,
mengangkat alis, menutup mata (menutup mata dengan rapat dan coba
buka dengan tangan pemeriksa), moncongkan bibir atau menyengir,
memperlihatkan gigi, bersiul (suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi
mengembung tekan kiri dan kanan apakah sama kuat. Bila ada
kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi yang lumpuh)
Pemeriksaan fungsi Pengecapan
Persiapan :
larutan garam (rasa asin), gula (rasa manis), cuka (rasa asam)
13
Pemeriksaan:
1.Mintalah pasien utk menjulurkan lidahnya
2.Bersihkan lidah sblm pemeriksaan
3.Berilah rangsangan pd indera pengecapnya 2/3 bg.depan
4. Tunjukkanlah kertas berisi pilihan rasa, dan minta pasien
untuk menunjuk dengan jarinya, tanpa memasukkan lidah
terlebih dahulu
Interpretasi :
Ageusia
Pargeusia
Hipoageusia
Hemiageusia
6) Pemeriksaan Nervus VIII
N. Kokhlearis dan N. Vestibularis
Memeriksa ketajaman pendengaran dengan:
1. Suara Bisik
2. Gesekan jari
3. Detik arloji
4.Uji garputala
Pemeriksaan Saraf Koklearis
1. Tes Swabach
- Pada tes ini, pendengaran penderita dibandingkan
dengan pendengaran pemeriksa (yg normal).
- Garpu tala dibunyikan lalu ditempatkan di dekat telinga
penderita.
- Setelah penderita tak medengar bunyi lagi, garpu tala
tersebut diletakkan di dekat telinga pemeriksa.
14
- Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa : swabach
memendek (untuk konduksi udara).
- Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya
ditekankan pada tulang mastoid penderita.
- Bila penderita sudah tidak mendengar bunyi lagi, maka
garpu tala di-tempatkan pada tulang mastoid pemeriksa.
- Bila pemeriksa masih mendengar bunyinya à swabach
memendek (untuk konduksi tulang).
2. Tes Rinne
- Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dgn
konduksi udara.
- Pada telinga normal, konduksi udara lebih baik daripada
konduksi tulang.
- Pada pemeriksaan, biasanya digunakan garpu tala
frekuensi 128, 256 a/ 512 Hz.
- Garpu tala dibunyikan pada pangkalnya ditekan pada
pada tulang mastoid penderita.
- Bila penderita sudah tidak mendengar lagi, garpu tala
didekatkan pada telinga penderita. Jika masih terdengar
bunyi, maka konduksi udara lebih baik dari konduksi tulang à
RINNE (+)
- Bila tidak terdengar lagi bunyinya segera setelah garpu
tala dipindahkan dari tulang mastoid ke dekat telinga à RINNE
(-)
3. Tes Weber
- Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada
dahi penderita tepat di tengah.
15
- Penderita disuruh mendengarkan bunyinya dan
menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras terdengar.
- Pada orang normal, kerasnya bunyi sama pada telinga
kiri dan kanan.
- Pada tuli saraf, bunyi lebih keras terdengar pada telinga
yang sehat.
- Pada tuli konduktif, bunyi lebih keras terdengar pada
telinga yg tuli.
- TES WEBER BERLATERALISASI ke kiri (atau ke kanan),
bila bunyi lebih keras terdengar di telinga kiri (atau kanan)
- Tuli Perseptif (Tuli Saraf) : pendengaran berkurang,
Rinne (+), weber lateralisasi ke telinga yang sehat
- Tuli Konduktif : pendengaran berkurang, Rinne (-), weber
lateralisasi ke telinga yang tuli.
7) Pemeriksaan N. IX, X
Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit
dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama,
anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom),
kesulitan menelan dan disartria
1. Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum
dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran
uvula, kemudian pasien disuruh menyebut “ah” jika uvula
terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya
kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula
tertarik kearah sisi yang sehat.
2. Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut
(nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah
komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada
16
setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan
kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula
tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Dalam keadaaan
normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika
konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini
menunjukkan kelumpuhan nervus X,
3. kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai
adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren
unilateral), kemudian disuruh batuk ,
4. tes juga rasa kecap secara rutin pada posterior lidah (N. IX)
dengan memberikan rasa pahit :
Pemeriksaan Fungsi pengecapan
– Minta pasien menjulurkan lidahnya.
– Bersihkan lidah penderita pd 1/3 bagian belakang.
– Berilah rangsangan pengecapan pd lidah 1/3
belakang
8) Pemeriksaan N. XI
1. Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien
mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot
trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke
bawah,
2. kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan
melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga rabalah
massa otot sternokleido mastoideus.
9) Pemeriksaan N. XII
Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara :
17
1. Inspeksi lidah dalam keadaan diam di dasar mulut, tentukan
adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular
dan tidak ritmik).
2. Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi
yang lemah jika terdapat lesi upper atau lower motorneuron
unilateral.
- Lesi UMN dari N XII biasanya bilateral dan menyebabkan lidah
imobil dan kecil. Kombinasi lesi UMN bilateral dari N. IX. X, XII
disebut kelumpuhan pseudobulbar.
IV. Memeriksa fungsi motorik
a. Pengamatan
Gaya berjalan dan tingkah laku
Simetri tubuh dan extermitas
Kelumpuhan badan dan anggota gerak
- Gerak abnormal yang tidak terkendali, antara lain:
o Tremor : merupakan serentetan gerakan involunter, agak
ritmis, merupakan getaran, yang timbul karena
berkontraksinya otot-otot yang berlawanan secara
bergantian.
o Khorea : gerak otot berlangsung cepat, sekonyong-
konyong, aritmik dan kasar yang dapat melibatkan satu
ekstremitas, separuh badan atau seluruh badan. Khas terlihat
pada anggota gerak atas (lengan dan tangan) terutama
bagian distal.
18
o Atetose : ditandai oleh gerakan yang lebih lamban, seperti
gerak ular, dan melibatkan otot bagian distal, cenderung
menyebar ke proksimal.
o Distonia : gerakan yang dimulai dengan gerak otot
berbentuk atetose pada lengan atau anggota gerak lain,
kemudian gerakan otot bentuk atetose ini menjadi kompleks,
yaitu menunjukkan torsi yang keras dan berbelit.
o Balismus : gerak otot yang datang sekonyong-konyong,
kasar dan cepat, dan terutama mengenai otot-otot skelet
yang letaknya proksimal.
o Spasme : merupakan gerakan abnormal yang terjadi
karena kontraksi otot-otot yang biasanya disarafi oleh satu
saraf.
o Tik (Tic) : gerakan yang terkoordinir, berulang, dan
melibatkan sekelompok otot dalam hubungan yang
sinergistik.
o Fasikulasi : merupakan gerakan halus, cepat, dan berkedut
dari satu berkas (fasikulus) serabut otot atau satu unit
motorik.
o Miokloni : merupakan gerakan yang timbul karena
kontraksi otot secara cepat, sekonyong-konuong, sebentar,
aritmik, asinergik dan tidak terkendali.
b. Gerakan volunter
Yang di periksa, misalnya
Mengangkat kedua tangan dan bahu
Fleksi dan extensi artikulus kubiti
Mengepal dan membuka jari tangan
Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul
Fleksi dan ekstansi artikulus genu
19
Plantar fleksi dan dorsal fleksi plantar kaki
Gerakan jari-jari kaki
Penilaian Derajat kekuatan motorik ialah:
5 : Kekuatan penuh untuk dapat melakukan aktifitas dan
melawan tahanan berat
4 : Ada kekuatan namun tidak dapat melawan tahanan berat
3 : Ada kekuatan bergerak untuk melawan gravitasi
2 : Ada kemampuan bergerak/ bergeser tapi tidak dapat
melawan gravitasi
1 : Hanya ada kontraksi
0 : tidak ada kontraksi sama sekali
. Palpasi
Pengukuran besar otot
Nyeri tekan
Kontraktur
Konsistensi (kekenyalan)
Pemeriksaan Koordinasi Gerak
- Koordinasi gerak terutama diatur oleh serebellum
- Gejala klinis yg didapatkan pada gangguan serebellum adalah:
o Gangguan keseimbangan
o Ataksia : gangguan koordinasi gerakan. Tes yang dilakukan: tes
tunjuk-hidung (tangan menunjuk hidung), dan tes tumit lutut (tumit
ditempatkan pada lutut yang satu lagi)
o Disdiadokokinesia : ketidakmampuan melakukan gerakan yg
berlawanan berturut-turut. Lakukan tes pronasi-supinasi lengan!
Suruh pasien merentangkan kedua lengannya ke depan, kemudian
20
suruh ia mensupinasi dan pronasi lengan bawahnya (tangannya)
secara bergantian dan cepat. Pada sisi lesi, gerakan ini dilakukan
lamban dan tidak tangkas.
o Dismetria : gerakan yang tidak mampu dihentikan tepat pada
waktunya atau tepat pada tempat yang dituju.
o Tremor intensi : tremor yang timbul bila melakukan gerak
volunteer (dengan kemauan), dan menjadi lebih nyata bila
menghampiri tujuannya. Dapat diperiksa dengan jalan menyuruh
pasien mengambil benda yang kecil, makin dekat ia pada benda
tersebut, makin jelas tremor pada tangannya.
o Disgrafia (makrografia) : terlihat huruf dituliskan besar-besar
dan kadang makin lama makin besar. Selain itu, bentuk hurufnya
tidak bagus dan kaku
o Nistagmus : gerak bolak-balik bola mata yang involunter dan
ritmik.
o Fenomena rebound : ketidakmampuan menghentikan gerakan
dgn segera atau menggantikannya dengan antagonisnya.
o Astenia : lekas lelah dan bergerak lamban. Otot lekas lelah dan
lemah (walaupun tidak ada parese). Gerakan dimulai dengan
lamban, demikian juga dengan kontraksi dan relaksasi.
o Hipotonia : dapat diketahui dengan jalan palpasi dan
pemeriksaan gerak pasif. Pada hipotonia, ekstensi dapat dilakukan
lebih jauh, misalnya pada persendian paha, siku, lutut dsb.
o Disartria : cadel, pelo, gangguan pengucapan kata-kata
V. Memeriksa fungsi sensorik
Kepekaan saraf perifer. Pasien diminta memejamkan mata
Pemeriksaan Sensibilitas
1. Pemeriksaan Sensibilitas Eksteroseptif
- Pemeriksaan Rasa raba
21
o Sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas atau kain yang
ujungnya diusahakan sekecil mungkin
o Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri.
o Periksalah seluruh tubuh dan banding-kan bagian-bagian yang simetris.
o Thigmestesia : rasa raba halus
o Thigmanesthesia : rasa raba hilang
- Pemeriksaan Rasa Nyeri
o Rasa nyeri dapat dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya menusuk dengan
jarum, memukul dengan benda tumpul, dll
o Dalam praktek sehari-hari, pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan jarum
atau peniti.
o Periksa seluruh tubuh, dan bagian-bagian yang simetris dibandingkan.
o Bila bagian yang simetris dibandingkan, tusukan harus sama kuat.
- Pemeriksaan Rasa Suhu
o Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es
untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas.
o Penderita disuruh mengatakan “dingin” atau “panas” bila dirangsang dengan
tabung reaksi yang berisi air dingin atau air panas.
o Pada pemeriksaan rasa-suhu diperiksa seluruh tubuh dan dibandingkan bagian-
bagian yang simetris.
2. Pemeriksaan Sensibilitas Proprioseptif
- Rasa-Gerak (kinetik) dan Rasa-Sikap (statognesia)
· Rasa-gerak dirasakan saat tubuh atau bagian tubuh digerakkan secara aktif atau
pasif
· Pada rasa sikap atau rasa-posisi, seseorang tahu bagaimana sikap tubuh, atau
bagian dari tubuh
· Pemeriksaan rasa-gerak & rasa-sikap:
o Biasanya rasa-gerak dan rasa-posisi diperiksa bersamaan
Dilakukan dengan cara menggerak-kan jari (kaki) pasien dan menyelidiki
apakah pasien dapat merasakan gerakan tersebut serta mengetahui arahnya
- Rasa Getar
22
· Rasa getar terjadi karena suatu rangsang (impuls) tekan
pada reseptor-mekanis yang terletak agak dalam dan
dangkal, yang terjadi secara bergantian.
· Pemeriksaan rasa getar:
o Pemeriksaan rasa-getar biasanya dilakukan dgn jalan
menempatkan garpu tala yang sedang bergetar pada ibu jari
kaki, maleolus lateral dan medial kaki, tibia, spina iliaka
anterior superior, sacrum, prosesus spinosus vertebra,
sternum, klavikula, prosesus stiloideus radius dan ulna pada
jari-jari.
o Biasanya garpu tala yang digunakan berfrekuensi 128 Hz.
o Garpu tala kita ketok dan ditempatkan pada bagian yang
ingin diperiksa. Pasien disuruh memberi-tahukan bila ia mulai
tidak merasakan getaran lagi.
o Bandingkan dengan bagian anggota tubuh yang lain (yg
simetris)
o Rasa Raba-Kasar (Rasa-Tekan)
· Penghantaran stimulusnya diurus oleh serabut susunan
funikuli dorsales
· Diperiksa dengan jalan menekan dengan jari atau benda
tumpul pada kulit, atau dengan jalan memencet otot tendon
dan serabut saraf. Kemudian pasien disuruh memberi tahu
apakah ia merasakan tekanan tersebut
o Rasa Nyeri-Dalam
· Tekanan yang keras menimbulkan rasa nyeri-dalam
yang sulit dilokalisasi dengan tepat, rinci, dan tidak
mempunyai batas yang tegas.
· Pemeriksaan rasa nyeri-dalam:
§ Pemeriksa memencet otot lengan atas, lengan bawah,
paha, betis, dan tendon achiles.
23
§ Perhatikan apakah pasien peka terhadap rangsang nyeri-
dalam ini.
§ Juga ditekan biji mata, laring, epigastrium dan testis.
3. Pemeriksaan Sensibilitas Interoseptif (Sensasi Viseral)
- Rasa interoseptif adalah perasaan dari visera (organ
dalam tubuh), yaitu rasa yang timbul dari organ-organ
internal.
- Sensasi visceral dihantar melalui serabut otonom aferen
dan mencakup rasa nyaman, lapar, mules, perut kembung,
dsb.
- Pada pemeriksaan neurology rasa interoseptif ini sukar
dievaluasi dan sukar diperiksa.
VI. Memeriksa Refleks
Refleks adalah suatu respons involunter terhadap sebuah stimulus.
Secara sederhana lengkung refleks terdiri dari organ reseptor,
neuron aferen, neuron efektor dan organ efektor.
Tendon Reflex Grading Scale
Grade Deskripsi0 Absenn (tidak muncul reflex)+/1+ Hiporefleks++/2+ ”Normal”+++/3+ Hiperrefleks tanpa klonus++++/4+ Hiperrefleks dengan klonus
Suatu refleks dikatakan meningkat bila daerah perangsangan meluas dan respon gerak reflektorik meningkat dari keadaan normal.
24
PEMERIKSAAN REFLEKS
1. Reflek fisiologis
a. Reflek bisep:
Posisi:dilakukan dengan pasien duduk, dengan membiarkan lengan untuk
beristirahat di pangkuan pasien, atau membentuk sudut sedikit
lebih dari 90 derajat di siku.
Identifikasi tendon:minta pasien memflexikan di siku sementara pemeriksa
mengamati dan meraba fossa antecubital. Tendon akan terlihat dan terasa
seperti tali tebal.
Cara : ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps brachii,
posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku.
Respon : fleksi lengan pada sendi siku
b. Reflek trisep :
- Posisi :dilakukan dengan pasien duduk. Dengan perlahan tarik
lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk sudut kanan
di bahu. ataul bawah harus menjuntai ke bawah langsung di siku
- Cara : ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada
sendi siku dan sedikit pronasi
- Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku
c. Reflek brachoiradialis
- Posisi: dapat dilakukan dengan duduk. Lengan bawah harus
beristirahat longgar di pangkuan pasien.
- Cara : ketukan pada tendon otot brakioradialis.
25
Tendon melintasi (sisi ibu jari pada lengan bawah) jari-jari sekitar 10
cm proksimal pergelangan tangan. posisi lengan fleksi pada sendi
siku dan sedikit pronasi.
- Respons: - flexi pada lengan bawah
- supinasi pada siku dan tangan
d. Reflek patella
- posisi klien: dapat dilakukan dengan duduk atau berbaring
terlentang
- Cara : ketukan pada tendon patella
- Respon : plantar fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris
e. Reflek achiles
- Posisi : pasien duduk, kaki menggantung di tepi meja ujian. Atau
dengan berbaring terlentang dengan posisi kaki melintasi diatas
kaki di atas yang lain atau mengatur kaki dalam posisi tipe katak.
- Identifikasi tendon:mintalah pasien untuk plantar flexi.
- Cara : ketukan hammer pada tendon achilles
- Respon : plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius
Refleks Dinding Perut Superfisial
- Cara: gores dinding perut dengan gagang hammer secara cepat
- Respon: kontraksi m. rektus abdominalis
- Refleks superfisial dinding perut (-) normal pada: wanita hamil,
gemuk, lanjut usia, bayi s/d 1 tahun.
2. Reflek Patologis
Hoffman-Tromner : extremitas superior
- Cara:
26
o Pegang pangkal jari tengah, fleksikan
o Gores kuat ujung jari tengah
Respon: fleksi jari telunjuk serta fleksi dan adduksi ibu jari
Jika Positif:
o simetris : belum tentu patologis
o asimetris : patologis (Lesi Piramidalis [UMN])
Leri
Cara : fleksi maksimal tangan pada pergelangan tangan, sikap
lengen diluruskan dengan bgian ventral menghadap ke atas
Respon : tidak terjadi fleksi di sendi siku
Mayer
Cara : fleksi maksimal jari tengah pasien ke arah telapk tangan
Respon : tidak terjadi oposisi ibu jari
Ekstremitas inferior
a. Reflek babinski:
- Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki
diluruskan.
- Tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar
kaki tetap pada tempatnya.
- Lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke
anterior
- Respon : posisitif apabila terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki
dan pengembangan jari kaki lainnya
b. Reflek chaddok
- Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus
lateralis dari posterior ke anterior
27
- Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.
c. Reflek schaeffer
- Menekan tendon achilles.
- Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai
mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
d. Reflek oppenheim
- Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke
distal
- Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai
mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
e. Reflek Gordon
- menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis)
- Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, disertai
mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
f. Reflek bing
g. Reflek gonda
- Menekan (memfleksikan) jari kaki ke-4, lalu melepaskannya
dengan cepat.
- Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai
mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
28
o Rossolimo : kaki bagian atas di ketuk (sekitar pangkal/proksimal
jari tengah-telunjuk) - Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu
jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
o Mendel : telapak kaki diketuk (sekitar pangkal/proksimal jari
tengah-telunjuk). - Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari
kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
Rangsang Selaput Otak
Terdiri atas1. Kaku kuduk 2. Tanda lasegue / tes lasegue3. Kernig sign 4. Brudzinski (I, II, III, IV)
1. Kaku Kuduk - Caranya: Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang baring. Kepala
ditekuk (fleksi), usahakan agar dagu menyentuh dada.- Interpretasi: kaku kuduk (+) bila terasa ada tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada.- Kaku Kuduk (+) dijumpai pada meningitis, miositis otot kuduk, abses retrofaringeal, arthritis di
servikal.
2. Tes Lasegue- Caranya: Pasien yang sedang baring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian satu
tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus (tidak bergerak)- Interpretasi: Tanda lasegue (+) bila sakit / tahanan timbul pada sudut < 70° (dewasa) dan < 60°
(lansia)- Tanda Lasegue (+) dijumpai pada meningitis, isialgia, iritasi pleksus lumbosakral (ex.HNP
lumbosakralis)
3. Tanda Kernig/Kernig Sign- Caranya: Penderita baring, salah satu pahanya difleksikan sampai membuat sudut 90°. Lalu
tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya ekstensi dilakukan sampai membentuk sudut 135°
- Interpretasi: Tanda Kernig Sign (KS) (+) bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum mencaai sudut 135°
- Kernig Sign (+) dijumpai pada penyakit – penyakit seperti yang terdapat pada tanda lasegue (+)
4. Brudzinski (I, II, III, IV)
29
Brudzinski I (Brudzinski’s Neck Sign)- Caranya: Tangan ditempatkan di bawah kepala yang sedang baring. Kita tekuk kepala (fleksi)
sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan.
- Interpretasi: Tanda brudzinski I (+) bila terdapat fleksi pada kedua tungkai
Brudzinski II (Brudzinski’s Contra-Lateral Leg Sign)- Caranya: Pada pasien yang sedang baring, satu tungkai di fleksikan pada persendian panggul,
sedang tungkai yang satunya lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus).- Interpretasi: Tanda Brudzinski II (+) bila tungkai yang satunya ikut pula terfleksi.
Brudzinski III- Caranya: Tekan os zigomaticum- Interpretasi: Tanda Brudzinski III (+) bila terjadi fleksi involunter ekstremitas superior (lengan
tangan fleksi)
Brudzinski IV- Caranya: Tekan simfisis ossis pubis (SOP)- Interpretasi: Tanda Brudzinski IV (+) bila terjadi fleksi involunter ekstremitas inferior (kaki)
30