pembinaan narapidana

download pembinaan narapidana

of 111

Transcript of pembinaan narapidana

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Hak-hak narapidana wanita sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana, haruslah dilakukan sesuai dengan hak asasi manusia. Sering dijumpai dalam Lembaga Pemasyarakatan bahwa hak-hak narapidana belum diberikan sesuai dengan hak mereka sebagai warga negara. Hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor, dintaranya kurang dipahaminya peraturan mengenai hak-hak narapidana yang tertuang dalam Undang-Undang oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan atau bahkan oleh narapidana sendiri. Sebagai negara hukum hak-hak narapidana harus dilindungi oleh hukum dan penegak hukum khususnya para staf di Lembaga Pemasyarakatan, sehingga merupakan sesuatu yang perlu bagi negara hukum untuk menghargai hak-hak asasi narapidana sebagai warga masyarakat yang harus diayomi walaupun telah melanggar hukum. Disamping itu narapidana perlu diayomi dari perlakuan tidak adil, misalnya penyiksaan, tidak mendapatkan fasilitas yag wajar dan tidak adanya kesempatan untuk mendapatkan remisi. Pidana penjara dalam sejarahnya dikenal sebagai reaksi masyarakat sebagai adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum. Oleh kerena itu pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang kemerdekaan.

1

2

Seseorang dibuat tidak berdaya dan diasingkan secara sosial dari lingkungan semula Menurut Dr. Sahardjo S.H yang dikutip oleh Harsono ( 1995:1 ) untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan sistem Pemasyarakatan. Dengan singkat tujuan Pemasyarakatan mengandung makna: Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap perbuatan jahat oleh terpidana melainkan juga orang yang tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa penjatuhan pidana bukanlah tindakan balas dendam oleh negara........... Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pada penyiksaan melainkan pada hilangnya kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu kepada masyarakat, yang mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat itu Tujuan pemberian sanksi pidana penjara untuk membina, yaitu membuat pelanggar hukum menjadi bertobat dan bukan berfungsi sebagai pembalasan. Pandangan dan pemahaman seperti itulah yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa yang terkandung dalam Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam KUHP pemberian sanksi pidana terdapat dalam pasal 10 KUHP yaitu: a. Pidana Pokok 1. pidana mati 2. pidana penjara 3. kurungan 4. denda b. Pidana Tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu

3

2. perampasan barang-barang tertentu 3. pengumuman putusan Hakim Menurut Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat ( 1 ) yang dimaksud dengan Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Proses Pemasyarakatan ini dikenakan pada narapidana yaitu terpidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Dengan demikian Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk merealisasikan pemberian sanksi pidana penjara terhadap narapidana. Tujuan sistem Peradilan Pidana adalah: 1. Tujuan jangka pendek, yaitu resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana 2. Tujuan jangka menengah, yaitu pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam kontek politik kriminal 3. Tujuan jangka panjang, yaitu kesejahteraan masyarakat dalam konteks politik sosial (Petrus dan Pandapotan, 1995:54 ) Dapat disimpulkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah instansi terakhir dari sistem peradilan pidana dan sebagai pelaksana putusan pengadilan sangat stategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilisasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai pada penanggulangan kejahatan.

4

Faktor penerimaan masyarakat terhadap bekas narapidana, tentunya tidak sekedar menerima menjadi anggota keluarga ataupun lingkungannya, tetapi harus menghilangkan prasangka buruk akan adanya kemungkinan melakukan kejahatan kembali dengan cara menerima mantan narapidana bekerja diberbagai lapangan pekerjaan. Kenyataan yang kerap kali terjadi adalah narapidana ditolak dan dikucilkan dari masyarakat. Dalam hal ini ganjaran dan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku dianggap tidak setimpal. Luka di hati masyarakat seperti ini terus ikut dan membekas sehingga masyarakat terus menuntut balas dengan berbagai pola, satu diantaranya membenci bekas narapidana serta keluarganya. Harus diakui narapidana adalah pelanggar hukum yang merugikan orang lain, bahkan mengorbankan keluarganya sendiri hanya untuk kepentingan dan alasan-alasan tertentu. Sebagai manusia ciptaan Tuhan, walaupun menjadi terpidana hak-hak yang melekat pada dirinya tetap harus dihargai. Hak itu harus diakui dan dilindungi oleh hukum, baik yang berasal dari hukum nasional maupun sistem pemasyarakatan Indonesia yang jelas-jelas berdasarkan Pancasila. Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk mendidik narapidana untuk menjadi warga negara yang baik yang kemudian dikembalikan kepada masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan terdiri dari beberapa jenis yaitu Lembaga Pemasyarakatan Umum, Lembaga Pemasyarakatan Wanita dan Lembaga Pemasyarakatan Anak. Ketiga Lembaga Pemasyarakatan itu berbeda-beda baik kegiatan ataupun program yang ada. Narapidana mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan diayomi. Hak antara narapidana pria, narapidana wanita dan narapidana anak berbeda-beda. Dalam hal ini masing-masing narapidana harus

5

ada yang dikedepankan. Sudah menjadi kodrat wanita mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak dipunyai oleh narapidana lain, sehingga sudah menjadi suatu kewajaran bahwa narapidana wanita mempunyai hak-hak istimewa dibandingkan dengan narapidana lain. Yang jadi pertanyaan adalah apakah hak-hak narapidana wanita itu dilindungi sebagai mana mestinya seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1995. Berdasarkan uraian mengenai pembinaan narapidana dan pemberian hakhak yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam bentuk skripsi dengan judul: PEMBINAAN NARAPIDANA KAITANNYA MELALUI DENGAN SISTEM HAK-HAK

PEMASYARAKATAN

NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA SEMARANG

1.2 IDENTIFIKASI DAN PEMBATASAN MASALAH 1.2.1 Identifikasi masalah Narapidana wanita yang hak-haknya dilindungi oleh hak asasi manusia, sehingga masyarakat tidak berhak untuk memperlakukan

narapidana wanita maupun mantan narapidana wanita sebagai orang yang tercela, mereka hanya seseorang yang melakukan tindakan yang melanggar hukum sehingga mereka kehilangan kemerdekaan dan diasingkan dari pergaulan masyarakat pada umumnya. Narapidana wanita dibina dan dididik untuk menjadi warga negara yang baik dalam Lembaga Pemasyarakatan,

6

dimana mereka juga mempunyai hak-hak sebagai narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan yang hak-haknya harus dipenuhi oleh Lembaga

Pemasyarakatan, yang pada akhirnya mereka akan dikembalikan kepada masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan Wanita sebagai lembaga binaan, posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukun bahkan sampai pada penanggulangan kejahatan. Keberhasilan dan kegagalan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita akan memberikan kemungkinankemungkinan penilaian yang bersifat positif maupun negatif. Penilaian itu dapat positif manakala pembinaan narapidana wanita dapat mencapai hasil maksimal, yaitu narapidana wanita itu menjadi warga negara yang taat pada hukum. Penilaian dapat negatif, kalau narapidana wanita itu melakukan tindak kejahatan kembali. Lembaga Pemasyarakatan Wanita dalam perkembangannya sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana yang dalam pelaksanaannya mengalami berbagai hambatan, seperti keterbatasan sarana fisik berupa gedung, tempat latihan kerja, tenaga personalia, seperti instruktur yang ahli dalam bidangnya, tenaga medis, psikolog maupun sarana administrasi dan keuangan. Disamping itu yang sering kali muncul ke permukaan adalah belum dapat dipahaminya prinsip-prinsip pemasyarakatan oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan. Sisi lain dari persoalan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita adalah permasalahan di luar Lembaga

7

Pemasyarakatan Wanita, yaitu pandangan masyarakat terhadap Lembaga Pemasyarakatan wanita bermacam-macam bentuknya, disatu pihak ada yang menganggap bahwa Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan Dengan adanya berbagai persoalan yang dihadapi oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang, sudah tentu menjadi sandungan bagi pelaksanaan pembinaan narapidana wanita. Oleh karena itu keberhasilan pembinaan Narapidana Wanita memerlukan kesadaran, dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak yaitu masyarakat, keluarga, Narapidana Wanita, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang.

1.2.2

Pembatasan Masalah Sehubungan dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang sebagaimana diuraikan dalam identifikasi masalah, maka dalam penelitian ini peneliti hanya membatasi masalah yang berhubungan dengan pembinaan narapidana berkaitan dengan hak-haknya di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang.

1.3 PERUMUSAN MASALAH Masalah didefinisikan sebagai sesuatu pertanyaan yang coba dicari jawabannya,(Karlinger dalam Burhan Ashofa, 2001:118). Jadi rumusan persoalan adalah rumusan yang perlu dipecahkan atau pertanyaan yang perlu dijawab. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

8

1. Bagaimanakah praktek penyelenggaraan pembinaan narapidana wanita menurut Undang-Undang No.12 tahun 1995 di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang ? 2. Bagaimanakah perlindungan yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang Klas IIA Semarang terhadap hak-hak narapidana Wanita ?

1.4 TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berukut: 1. Untuk memperoleh informasi tentang praktek penyelenggaraan pembinaan narapidana wanita menurut Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang. 2. Untuk memperoleh informasi tentang perlindungan hak-hak narapidana yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang.

1.5 KEGUNAAN PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan ada kegunaannya. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Untuk memberi tambahan pemikiran bagi perkembangan IPTEK yang diharapkan dapat bermanfaat bagi mereka yang mendalami pengetahuan hukum pidana, kriminologi dan proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakat wanita, khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang.

9

2. Bagi Masyarakat Untuk menginformasikan atau memberitahukan kepada masyarakat luas akan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan wanita, khususnya Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang sebagai tempat untuk pembinaan narapidana wanita agar dapat menjadi manusia yang berguna bagi agama, keluarga, bangsa dan negara.

1.6 SISTEMATIKA SKRIPSI Garis besar skripsi terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian awal skripsi, bagian pokok skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian awal skripsi terdiri dari halaman judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, halaman motto, dan persembahan,

prakata,sari, daftar isi, daftar gambar, daftar tabel dan daftar lampiran. Bagian pokok skripsi yaitu pendahuluan yang terdiri dari uraian keadaan umum yang mewarnai masalah yang terjadi dalam topik penelitian. Bagian pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, sistematika penulisan. Penelaahan kepustakaan dan/atau kerangka teoritik dengan pokok-pokok sebagai berikut pengertian tindak kejahatan, sistem pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan wanita, hak dan kewajiban narapidana, pembinaan narapidana melalui sistem pemasyarakatan kaitannya dengan hak-hak narapidana.

10

Metode penelitian, pada bagian ini disajikan tentang dasar penelitian, lokasi penelitian, fokus penelitian, sumber data, alat dan teknik pengumpulan data, keabsahan data, metode analisis data, prosedur penelitian. Hasil penelitian dan pembahasan, isi bab ini secara garis besar dapat diperinci menjadi sub-sub bab: 1. Praktek Penyelengaraan Narapidana Wanita menurut Undang_undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang. 2. Perlindungan yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang Klas IIA Semarang terhadap hak-hak narapidana wanita. Penutup, pada bagian ini merupakan bab terakhir dari pokok skripsi yang terdiri dari simpulan dan saran. Bagian akhir skripsi, berisi tentang daftar pustaka dan daftar lampiran.

11

BAB II PENELAAHAN KEPUSTAKAAN DAN/ATAU KERANGKA TEORITIK

2.1 PENGERTIAN PERBUATAN PIDANA Menurut Moelyatno (1993:55) perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejahatan itu. Menurut Soeharto (1991:22) perbuatan pidana iaiah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barang siapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana. Dalam rumusan tersebut, bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam sanksi. Pidana iaiah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut. Menurut Prof. Moelyatno,SH dalam Soeharto (1991:22) kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang merujuk pada dua kejadian yang kongrit yaitu: 1. adanya kejadian yang tertentu, 2. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian tersebut.

12

2.2 PENGERTIAN TINDAK KEJAHATAN Menurut Bawengan ( 1974:20), kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Oleh karena pengertian itu bersumber dari nilai-nilai dari masyarakat, maka ia memiliki pengertian yang relatif, yaitu sangat bergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Menurut Sutherland ( 2001: 12) bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas. Tindak kejahatan merupakan perbuatan masyarakat ditinjau dari segi kesusilaan kejahatan adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan yang oleh Bonger dan Simanjuntak ( 1981:72 ) menyatakan bahwa dipandang secara formal kejahatan adalah perbuatan yang oleh masyarakat ( dalam hal ini negara) diberi hukuman atau pidana. Untuk membantu atau mengklarifikasikan atau menentukan suatu perbuatan ke dalam kejahatan atau tidak maka dapat dilihat unsur-unsur kejahatan seperti yang dikemukakan oleh Simanjuntak ( 1981: 78 ) yaitu: a. Harus ada perbuatan manusia b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam ketentuan hukum pidana c. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang melakukan tindak kejahatan d. Perbuatan itu harus berlawanana dengan hukum e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukuman dalam UndangUndang

13

Dalam pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi. Sementara penjahat merupakan para pelanggar hukum pidana tersebut dan telah diputus oleh Pengadilan atas perbuatan tersebut. Penetapan aturan hukum pidana merupakan gambaran dari reaksi negatif masyarakat atas suatu kejahatan yang diwaliki oleh para pembentuk Undang-Undang. Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Gejala yang dinamakan kejahatan pada dasarnya terjadi di dalam proses dimana interaksi sosial antara bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan pihak-pihak mana yang memang melakukan kejahatan. (Santoso Topo dan Zulfa 2001:10)

2.3 SISTEM PEMASYARAKATAN Sebagai negara yang sudah merdeka dan juga sebagai negara hukum, narapidana harus mendapat perlindungan hukum dari pemerintah dalam rangka mengembalikan mereka kedalam masyarakat sebagai warga negara yang baik. Dengan dasar membela dan mempertahankan hak asasi manusia pada suatu negara hukum maka oleh Dr. Sahardjo S.H dikemukakan suatu gagasan Pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara yaitu disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkanya kemerdekaanya.

14

Negara membimbing terpidana dengan bertobat, mendidik sehingga ia menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna. Pembinaann narapidana secara institusional di dalam sejarahnya di Indonesia dikenal sejak diberlakukannya Reglement penjara stbl. 1917 No. 708. Pola ini dipertahankan hingga tahun 1963. Pola ini mengalami pembaharuan sejak di kenal sistem pemasyarakatan, dengan karakterisrik sepuluh prinsip pokok yang semuanya bermuara pada suatu falsafah, narapidana bukanlah orang hukuman. (Petrus dan Pandapotan 1995:25) Di dalam sistem pemasyarakatan, terdapat proses pemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu proses sejak seseorang narapidana atau anak didik masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sampai lepas kembali ke tengah-tengah masyarakat. Pemikiran-pemikiran baru mengenai pembinaan yang tidak lagi mengenai penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi sosial warga binaan, maka Pemasyarakatan melahirkan suatu pembinaan yang di kenal dan dinamakan Sistem Pemasyarakatan. Adapun yang dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan dalam Undang-Undang No.12 tahun 1995 Pasal (1) Ayat (2 ) adalah: Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

15

Dari uraian di atas maka Sistem Pemasyarakatan mempunyai tujuan akhir yaitu memulihkan kesatuan hubungan sosial ( reintegrasi sosial ) Warga Binaan dalam masyarakat, khususnya masyarakat di tempat tinggal asal mereka.

2.4 LEMBAGA PEMASYARAKATAN Sejarah pertumbuhan dan perkembangan pidana penjara sebagai pidana hukuman tumbuhnya bersamaan dengan sejarah perlakuan terhadap terhukum (narapidana ) serta adanya bangunan yang harus didirikan dan pergunakan untuk menampung para terhukum yang kemudian dikenal dengan bangunan penjara. Dalam Sistem baru pembinaan nrapidana bangunan Lembaga

Pemasyarakatan mendapat prioritas khusus. Sebab bentuk bangunan yang sekarang ada masih menunjukkan sifat-sifat asli penjara, sekalipun image yang menyeramkan dicoba untuk dinetralisir. (Harsono 1995:32) Penjara dulu sebutan tempat bagi orang yang menjalani hukuman setelah melakukan kejahatan. Istilah penjara sekarang sudah tidak dipakai atau sudah diganti dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan karena sejarah pelaksanaan pidana penjara telah mengalami perubahan dari sistem kepenjaraan yang berlaku sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai munculnya gagasan hukum pengayoman yang menghasilkan perlakuan narapidana dengan sistem pemasyarakatan Tentang sistem Pemasyarakatan itu, bambang Poernomo, S.H (1982:183) berpendapat sebagai berikut: Suatu elemen yang berinteraksi yang membentuk satu kesatuan yang integral, berbentuk konsepsi tentang perlakuan terhadap orang yang melanggar hukum

16

pidana di atas dasar pemikiran rehabilitasi, resosialisasi yang berisi unsur edukatif, korelatif, defensif yang beraspek pada individu dan sosial Peran Lembaga Pemasyarakatan memudahkan pengintegrasian dan penyesuaian diri dengan kehidupan masyarakat, tujuannya agar mereka dapat merasakan bahwa sebagai pribadi dan warga negara Indonesia yang mampu berbuat sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara seperti pribadi dan warga negara Indonesia lainnya serta mereka mampu menciptakan opini dan citra masyarakat yang baik. (Departemen Kehakiman RI,11)

2.5 PENGERTIAN WANITA Wanita adalah seseorang yang dikodratkan oleh Tuhan, berjenis kelamin biologis (seks) sebagai perempuaan yang berciri-ciri menyusui, haid, dan melahirkan serta memiliki rahim tidak dapat dirubah, dipertukarkan, dan berlaku sepanjang masa. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2002:8) Waniat merupakan kaum yang secara fisik kurang kuat dibandingkan kaum pria, dan secara psikologis lebih banyak menggunakan perasaan dan lemah lembut penuh kasih sayang,oleh karena itu kejahatan yang dilakukan olekh wanita biasanya dilakuakn karena keterpaksaan. Para pelaku kejahatan akan di pidana sesuai dengan kejahatan yang telah dilakuakn dan akan memperoleh pembinaan serta bimbingan di Lembaga Pemasyarakatan, begitu pula waniat yang melakukan kejahatan.

17

2.6 LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA Pembaharuan pidana penjara bukanlah menghapus jenis tindakan pidana penjara tapi merupakan usaha pergantian dari kepenjaraan menjadi sistem Pemasyarakaatn. Hal ini di dasarkan atas pertimbangan bahwa kepenjaraan sudah tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dalam kehidupan sehari-hari selalu berpedoman dan berlandaskan Pancasila. Bentuk perlakuan dituangkan dalam usaha Lembaga Pemasyarakatan untuk membina narapidana, untuk mengenal diri sendiri, beriman dan bertakwa, mendapatkan ketrampilan serta berguna bagi keluaga dan masyarakat serta tidak lagi mengulangi kejahatan. Berbagai upaya telah dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien agar narapidana dapat mengenal diri sendiri. Usaha itu berupa pembagian Lembag Pemasyarakatan menurut kategori, baik usia maupun jenis kelamin. (Harsono 1995:80) Lembaga Pemasyarakatan khusus wanita antara lain terdapat di kota Malang, Semarang, Tangerang serta Medan. Hal tersebut diatur dalam UndangUndang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal (12) ayat (1) yang berbunyi: Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dilakukan penggolongan atas dasar: a. Umur; b. Jenis kelamin; c. Lama pidana yang dijatuhkan; d. Jenis kejahatan; e. Kriteria lain yang sesuai denagn kebutuhan atau perkembanagn pembinaan Sedangkan dalam ayat (2) menyebutkan: Pembinaan narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di laksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

18

Tujuan didirikan Lembaga Pemasyarakatan wanita adalah untuk memisahkan antara narapidana wanita dengan narapidana laki-laki demi faktor keamanan dan faktor psikologis. Cara pembinaan narapidana wanita tidak jauh berbeda dengan Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya, hanya sedikit kekhususan dimana di LP Wanita diberikan pembinaan ketrampilan seperti menjahit, menyulam, mengkristik, dan memasak bahkan dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita diberikan cuti haid yang merupakan salah satu pelaksanaan pembinaan dan dalam hal pekerjaan terdapat kekhususan yaitu pada narapidana wanita sifat pekerjaannya tidak begitu berat, sedangkan pada narapidana laki-laki sifat pekerjaannya agak berat. Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita disesuikan denagn kemampuan serta kebutuhan wanita, serta dibekali ketrampilan serta pekerjaan yang diharapkan dapat berguna setelah ia kembali ke masyarakat serta keluarganya.

2.7

HAK DAN KEWAJIBAN NARAPIDANA Harus diakui, narapidana sewaktu menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam beberapa hal kurang mendapat perhatian, khususnya perlindungan hak-hak asasinya sebagai manusia. Dengan pidana yang dijalani narapidana itu, bukan berarti hak-haknya dicabut. Pemidanaan pada hakekatnya mengasingkan dari lingkungan masyarakat serta sebagai pembebasan rasa bersalah. Penghukuman bukan bertujuan mencabut hak-hak asasi yang melekat pada dirinya sebagai manusia.

19

Untuk itu, sistem pemasyarakatan secara tegas menyatakan, narapidana mempunyai hak-hak seperti hak untuk surat menyurat, hak untuk dikunjungi dan mengunjungi, remisi, cuti, asimilasi serta bebas bersyarat, melakukan ibadah sesuai dengan agamanya, menyampaikan keluhan, mendapat pelayanan

kesehatan, mendapat upah atas pekerjaan, memperoleh bebas bersyarat. Hak-hak narapidana di Indonesia melalui sistem pemasyarakatan dikatakan baik, atau memiliki prospek, perlu dikaitkan dengan pedoman PBB Mengenai Standar Minimum Rules untuk memperlakukan narapidana yang menjalani hukuman ( Standard Minimum Rules For the Treatmen Of Prisoner, 31 juli 1957 ), yang meliputi: buku register, pemisahan narapidana pria dan wanita, dewasa dan anak-anak, fasilitas akomodasi yang harus meiliki ventilasi, fasilitas sanitasi yang memadai, mendapatkan air serta perlengkapan toilet, pakaian dan tempat tidur, makanan sehat, hak untuk berolah raga ditempat terbuka, hak untuk mendapatkan pelayanan dokter umum maupun dokter gigi, hak untuk diperlakukan adil menurut peraturan dan hak untuk membela diri apabila dianggap indisipliner, tidak diperkenankan mengurung pada sel gelap dan hukuman badan, borgol dan jaket penjara tidak boleh dipergunakan narapidana, berhak mengetahui peraturan yang berlaku serta saluran resmi untuk mendapatkan informasi dan menyampaikan keluhan, hak untuk berkomunikasi dengan dunia luar, hak untuk mendapatkan bahan bacaan berupa buku-buku yang bersifat mendidik, hak untuk mendapatkan pelayanan agama, hak untuk mendapatkan jaminan penyimpanan barang-barang berharga, pemberitauan kematian, sakit dari anggota keluarga. (Elsam 1996:5-17)

20

Sebagai negara hukum hak-hak narapidana itu dilindungi dan diakui oleh penegak hukum, khususnya para staf di Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana juga harus harus diayomi hak-haknya walaupun telah melanggar hukum. Disamping itu juga ada ketidakadilan perilaku bagi narapidana, misalnya penyiksaan, tidak mendapat fasilitas yang wajar dan tidak adanya kesempatan untuk mendapat remisi. Untuk itu dalam Undang-undang No. 12 tahun 1995 Pasal ( 14 ) secara tegas menyatakan narapidana berhak: 1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya 2. Mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran 4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak 5. Menyampaikan keluhan 6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang 7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan 8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya 9. Mendapatkan pengurangan masa pidana 10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi ternasuk cuti mengunjungi keluarga 11. Mendapatkan pembebasan bersyarat 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas

21

13. Mendapatkan

hak-hak

Narapidana

sesuai

dengan

peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya hak antara narapidana perempuan dan narapidana pria adalah sama, hanya dalam hal ini karena narapidananya adalah wanita maka ada beberapa hak yang mendapat perlakuan khusus dari narapidana pria yang

berbeda dalam beberapa hal, diantaranya karena wanita mempunyai kodrat yang tidak dipunyai oleh narapidana pria yaitu menstruasi, hamil, melakirkan, dan menyusui maka dalam hal ini hak-hak narapidana wanita perlu mendapat perhatian yang khusus baik menurut Undang-Undang maupun oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan. Dalam Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal (14) disebutkan hak-hak narapidana, disamping hak-hak narapidana juga ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh narapidana seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Pasal (15) yaitu: 1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu 2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dalam peraturan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang juga tercantum kewajiban narapidana wanita yaitu: 1. 2. 3. Mentaati semua peraturan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Wajib berlaku sopan, patuh dan hormat kepada semua petugas Wajib menghargai semua warga binaan

22

4. 5. 6. 7. 8. 9.

Wajib menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan dan keindahan Wajib berpakaian rapi dan sopan Wajib mengikuti program pembinaan Wajib memelihara barang-barang milik negara Wajib menitipkan barang-barang berharga Wajib memberitahu kepada petugas apabila melihat atau mengetahui tandatanda atau keadaan bahaya bagi keamanan Lembaga Pemasyarakatan. Hak dan kewajiban merupakan tolak ukur berhasil tidaknya pola

pembinaan yang dilakukan oleh para petugas kepada narapidana. Dalam hal ini dapat dilihat apakah petugas benar-benar memperhatikan hak-hak narapidana. Dan apakah narapidana juga sadar selain hak narapidana juga mempunyai kewajiban yang harus dilakukan dengan baik dan penuh kesadaran. Dalam hal ini dituntut adanya kerjasama yang baik antara petugas dan para narapidana.

2.8

PEMBINAAN NARAPIDANA Pembinaan narapidana adalah penyampaian materi atau kegiatan yang efektif dan efesien yang diterima oleh narapidana yang dapat menghasilkan perubahan dari diri narapidana ke arah yang lebih baik dalam perubahan berfikir, bertindak atau dalam bertingkah laku. Secara umum narapidana adalah manusia biasa, seperti kita semua, tetapi tidak dapat menyamakan begitu saja, karena menurut hukum ada karakteristik tertentu yang menyebabkan seseorang disebut narapidana. Maka dalam

23

membina narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang atau antara narapidana yang satu dengan yang lain. Pembinaan yang sekarang dilakukan pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh di masyarakat. Bagaimanapun juga narapidana adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan kearah yang positif, yang mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih produktif, lebih baik dari sebelum seseorang menjalani pidana. Tujuan perlakuan terhadap narapidana di Indonesia mulai nampak sejak tahun 1964, setelah Dr. Sahardjo mengemukakan dalam konferensi Kepenjaraan di Lembang, Bandung bahwa tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan. Jadi mereka yang menjadi narapidana bukan lagi dibuat jera, tetapi dibina untuk dimasyarakatkan. Ide Pemasyarakatan bagi terpidana, dikemukakan oleh Dr. Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam dunia kepenjaraan. Pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian kita adalah: 1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia 2. Tiap orang adalah mahluk kemasyarakatan, tidak ada orang diluar masyarakat 3. Narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan bergerak Sahardjo dalam Harsono ( 1995:2 ) juga mengemukakan sepuluh prinsip yang harus diperhatikan dalam membina dan membimbing narapidana yaitu: 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat. 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari pemerintah.

24

3. Rasa tobat bukanlah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau jahat daripada sebelum ia masuk Lembaga 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya di peruntukkan bagi kepentingan Lembaga atau negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan kepada pembangunan negara 7. Bimbingan dan didikkan harus berdasarkan Pancasila 8. Tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat, tidak boleh dijatuhkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat 9. Narapidana itu hanya dijatuhkan pidana hilang kemerdekaan 10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana itu sangat berkait dengan pelaksanaan pembinaan narapidana karena sepuluh ( 10 ) prinsip pembinaan dan bimbingan serta sistem pembinaan narapidana merupakan dasar pemikiran dan patokan bagi petugas dalam hal pola pembinaan terhadap narapidana khususnya narapidana wanita. Pembinaan itu sendiri adalah suatu proses di mana, narapidan wanita itu pada waktu masuk di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita sudah dalam kondisi tidak harmonis pada masyarakat sekitarnya. Adapun penyebabya adalah karena narapidana tersebut telah melakukan tindak pidana yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan masyarakat Pembinaan narapidana harus menggunakan empat komponen prinsipprinsip pembinaan narapidana, ( Harsono, 1995:51 ) yaitu sebagai berikut: 1. Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri. Narapidana sendiri yang harus melakukan proses pembinaan bagi diri sendiri, agar mampu untuk merubah diri kearah perubahan yang positif.

25

2. Keluarga, yaitu keluarga harus aktif dalam membina narapidana. Biasanya keluarga yang harmonis berperan aktif dalam pembinaan narapidana dan sebaliknya narapidana yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis kurang berhasil dalam pembinaan. 3. Masyarakat, yaitu selain dukungan dari narapidana sendiri dan keluarga, masyarakat dimana narapidana tinggal mempunyai peran dalam membina narapidana. Masyarakat tidak mengasingkan bekas narapidana dalam kehidupan sehari-hari 4. Petugas pemerintah dan kelompok masyarakat, yaitu komponen keempat yang ikut serta dalam membina narapidana sangat dominan sekali dalam menentukan keberhasilan pembinaan narapidana. Sedangkan pemasyarakatan itu sendiri bertujuan: 1. Memasukkan bekas narapidana ke dalam masyarakat sebagai warga yang baik 2. Melindungi masyarakat dari kambuhnya kejahatan bekas narapidana dalam masyarakat karena tidak mendapat pekerjaan. Perubahan pandangan dalam memperlakukan narapidana di Indonesia tentunya didasarkan pada suatu evaluasi kemanusiaan yang merupakan wujud manisfestasi Pancasila, sebagai dasar pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengakui hak-hak asasi narapidana. Dr. Sahardjo adalah tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya perbaikan pelakuan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara. Ide pemikirannya mempengaruhi para staf dinas kepenjaraan sehingga,

26

menghasilkan sistem pemasyarakatan. Sistem ini merupakan satu-satunya metode pembinaan yang secara resmi berlaku diseluruh Lembaga

Pemasyarakatan di Indonesia. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Bentuk pembinaan bagi narapidana menurut Pola Pembinaan Narapidana/ tahanan meliputi: 1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dengan yang dibina 2. Pembinaan yang bersifat persuasif yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan 3. 4. Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematis Pembinaan keperibadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kasadaran hukum, ketrampilan, mental spiritual. Sehubungan dengan pengertian pembinaan Sahardjo yang dikutip oleh Petrus dan Pandapotan ( 1995:50 ) melontarkan pendapatnya sebagai berikut: Narapidana bukan orang hukuman melainkan orang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan. Sistem Pemasyarakatan (narapidana) itu sendiri dilaksanakan

berdasarkan asas:

27

1. Pengayoman 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan 3. Pendidikan 4. 5. 6. Pembimbingan Penghormatan harkat dan martabat manusia Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Petrus dan Pandapotan ( 1995:38 ) Pembinaan narapidana menurut sistem pemasyarakatan terdiri dari pembinaan didalam lembaga, yang meliputi pendidikan agama, pendidikan umum, kursus ketrampilan, rekreasi, olah raga, kesenian, kepramukaan, latihan kerja asimilasi, sedangkan pembinaan diluar lembaga antara lain bimbingan selama terpidana, mendapat bebas bersyarat, cuti menjekang bebas. Lebih lanjut didalam sistem pemasyarakatan terdapat proses

pemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu proses sejak seorang narapidana masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sampai lepas kembali ketengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan itu, berdasarkan Surat Edaran Kepala Direktorat Pemasyarakatan No. Kp 10. 13/3/1/tanggal 8 Februari 1965, telah ditetapkan pemasyarakatan sebagai proses dalam pembinaan narapidana dan dilaksanakan melalui empat tahap yaitu: 1. Tahap Keamanan Maximal sampai batas 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya.

28

2. Tahap Keamanan menengah sampai batas 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya 3. Tahap Keamanan minimal sebenarnya 4. Tahap integrasi dan selesainya 2/3 dari masa tahanan sampai habis masa pidananya Perlunya mempersoalkan hak-hak narapidana itu diakui dan dilindungi oleh hukum dan penegak hukum, khususnya para staf di Lembaga Pemasyarakatan, merupakan suatu yang perlu bagi negara hukum yang menghargai hak-hak asasi narapidana sebagai warga masyarakat yang harus diayomi, walaupun telah melanggar hukum. Disamping itu, juga banyak ketidak adilan pelakuan bagi narapidana. Misalnya penyiksaan, tidak mendapatkan fasilitas yang wajar, tidak adanya kesempatan untuk mendapatkan remisi, cuti menjelang bebas. Harus diakui, narapidana sewaktu menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam beberapa hal kurang mendapat perhatian, khususnya perlindungan hak-hak Asasinya sebagai manusia. Hal itu menggambarkan perlakuan yang tidak adil. Padahal konsep Pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo menyatakan, narapidana adalah orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Memahami hal ini, jelas pembinaan tidak dengan kekerasan, melainkan dengan cara-cara yang manusiawi yang menghargai hak-hak narapidana. sampai batas 2/3 dari masa pidana yang

29

2.9

Kerangka Teoritik Pelaksanaan Penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari landasan teori maupun telaah pustaka harus digunakan sebagai kerangka pemikiran pemberian batasan pada apa yang dianggap penting untuk diperhatikan. Hal ini perlu bila Peneliti melaksanakan penelitian tanpa menggunakan kerangka pemikiran, maka ia sering tertarik oleh gejala-gejala atau peristiwa yang seolah-olah meminta perhatian dirinya. Jadi kerangka berfikir ditarik berdasarkan suatu landasan teori yang lebih lanjut akan merupakan bingkai yang mendasar pemecahan suatu masalah. Lebih lanjut kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat dilihat dalam gambar 2 berikut ini. Gambar 2 Kerangka Berfikir Penelitian

30

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Dasar Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam Moleong ( 2000:43 ), menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting) dan data yang dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif. Metode kualitatif lebih berdasarkan pada filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan dan berusaha untuk memahami serta menafsirkan makna sesuatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri. Penelitian kualitatif tidak bertujuan untuk mengkaji atau membuktikan kebenaran suatu teori tetapi teori yang sudah ada dikembangkan dengan menggunakan data yang dikumpulkan. Sesuai dengan dasar penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan tentang pembinaan narapidana Wanita yang berkaitan dengan hak-haknya di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang.

3.2 Lokasi Penelitian Lokasi dalam penelitian ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang. 30

31

3.3 Fokus Penelitian Fokus penelitian menyatakan pokok persoalan apa yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian. Penetapan fokus penelitian merupakan tahap yang sangat menentukan dalam penelitian kualitatif. Hal ini karena suatu penelitian kualitatif tidak dimulai dari sesuatu yang kosong atau tanpa adanya masalah, baik masalah-masalah yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui kepustakaan ilmiah (Moleong,2000:62). Jadi fokus dari penelitian kualitatif sebenarnya adalah masalah itu sendiri. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus Penelitian adalah: 1. Praktek pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita klas IIA Semarang menurut Undang-Undang No.12 tahun 1995 2. Perlindungan hak-hak narapidana wanita oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang

3.4 Sumber Data Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh ( Arikunto, 2002:107 ) Menurut Lofland dan Lofland dalam Moleong ( 2000:113 ), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain Sumber data dalam penelitian ini adalah antara lain: 3.4.1 Informan Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan

informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong,2000:90).

32

Informan yang di maksud disini petugas-petugas yang berkait dengan pembinaan narapidana di lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang. Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah narapidana yang berjumlah 7 ( tujuh ) orang yaitu: Tabel 1 Daftar Responden di LP Wanita Kelas IIA semarang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Inisial Nama CM LM MI TS TY TK SG Kasus Kejahatan Pembunuhan Pembunuhan Narkoba Narkoba Penipuan Penipuan Penggelapan Masa Pidana 9 tahun 10 tahun 8 bulan 5 thn 6 bln 2 th 6 bln 2 th 6 bln 3 tahun

Selain para narapidana informan yang lain adalah para staf dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Semarang yaitu: Tabel 2 Daftar Informan di LP Wanita Kelas IIA Semarang NO 1. 2. 3. Nama Susana Tri Agustin Sri Utami S.st Mulyasari R. Jabatan Kepala subseksi BIMKER Staf BIMPAS Staf BIMPAS

3.4.2

Dokumen Dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film ( Moleong,

2002:161). Dokumen dibagi menjadi dokumen pribadi dan dokumen resmi.

33

Dokumen pribadi adalah catatan atau karangan seseorang tentang tindakan, pengalaman dan kepercayaan, sedangkan dokumen resmi terbagi atas dokumen internal dan dokumen eksternal. Dokumen internal berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan tentang Lembaga Pemasyarakatan tertentu yang digunakan dalam kalangan sendiri, sedangkan dokumen eksternal berisi bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosil, misalnya majalah, buletin, pernyataan dan berita yang disiarkan kepada media massa ( Moleong, 2002:163 ). Dalam penelitian kali ini dokumen yang digunakan adalah dokumen yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan semarang, antara lain dokumen tentang hak dan kewajiban narapidana diperoleh di bagian Kepegawaian dan Keuangan, dokumen denah lokasi Lembaga Pemasyarakatan wanita Klas IIA Semarang diperoleh di bagian Umum, dokumen bagan stuktur kepegawaian diperoleh di bagian Tata Usaha dan dokumen mengenai data narapidana diperoleh di bagian registrasi.

3.5 Alat dan Teknik Pengumpulan Data Arikunto ( 200:136 ) menyatakan bahwa metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Metode yang digunakan Peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.5.1 Dokumentasi Studi dokumenter dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Data sekunder, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,

34

hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian. Ciri-ciri data sekunder adalah: a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan dapat dipergunakan dengan segera. b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian, tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa maupun konstruksi data. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi: a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu, bahan-bahan yang mengikat dan didapat dari sumber peraturan perundang-undangan, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bekerjanya sistem pemasyarakatan. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu, bahan yang memberikan perjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian mengenai pemasyarakatan, buku-buku literatur tentang pemasyarakatan, pendapat para sarjana yang berhubungan dengan pemasyarakatan dan seterusnya. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder

35

seperti kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan pedoman ejaan yang disempurnakan.

3.5.2

Observasi Observasi sebagai media pengumpul data biasanya dipergunakan,

apabila tujuan hukum yang bersangkutan adalah, mencatat perilaku (hukum) sebagai mana terjadi dalam kenyataan. Peneliti yang menggunakan alat pengumpul data ini, secara langsung akan memperoleh data yang dikehendakinya, mengenai perilaku ( hukum ) pada saat itu juga. Dalam penelitian yang menjadi bahan observasi adalah: 1. Kegiatan narapidana dalam masa pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang 2. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang menurut Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 3. Perlindungan terhadap hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang 4. Ada tidaknya pelanggaran terhadap hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarangoleh petugas Lembaga Pemasyarakatan 5. Sarana dan prasarana yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang

36

3.5.3

Wawancara Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer. Fungsi dari

wawancara adalah untuk membuat deskripsi dan atau eksplorasi. Sedangkan wawancara digunakan dengan tujuan sebagai berikut: 1. memperoleh data mengenai presepsi manusia 2. mendapatkan data mengenai kepercayaan manusia 3. mengumpulkan data mengenai persaan dan motivasi seseorang ( atau mungkin sekelompok manusia ) 4. memperoleh data mengenai antisipasi ataupun orientasi depan dari manusia 5. memperoleh informasi mengenai perilaku pada masa lampau 6. mendapatkan data mengenai perilaku yang sifatnya sangat pribadi atau sensitif, Soerjono Soekamto ( 1984:67 ) Wawancara dilakukan terhadap responden yang digunakan sebagai sample, yaitu narapidana, petugas Lembaga Pemasyarakatan dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Tipe wawancara yang digunakan adalah wawancara berfokus yang didasarkan pada asumsi, bahwa dengan mempergunakan sarana tersebut, maka dapat diungkapkan reaksi-reaksi pribadi manusia secara terperinci, perasaan-perasaan, dan lain-lain ciri realitasnya. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dalam ruangan khusus. Wawancara dilakukan satu persatu, wawancara dilakukan secara

kekeluargaan hal ini disebabkan para responden yang diwawancarai adalah kaum wanita yang mempunyai perasaan yang peka dan sensitive. Tidak jarang wawancara dijadikan ajang curhat para responden kepada peneliti tentang masalah yang dialami oleh responden baik masalah hidup maupun

37

masalah selama masa pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang.

3.6 Keabsahan Data Moleong memandang bahwa data merupakan konsep paling penting bagi penelitian kualitatif yang diperbaharui dari konsep kesatuan atau validitas dan keandalan atau reabilitas menurut versi positifisme dan disesuaikan dengan tuntunan pengetahuan, kriteria dan paradigma sendiri ( Moleong, 2000:171 ) Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan data yang digunakan yaitu triangulasi. Triangulasi merupakan bentuk pemeriksaan keabsaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding dalam data itu. Menurut Denzim dalam Moleong ( 2000:178) membedakan empat macam bentuk pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif ( Patton 1987:331 ) hal ini dapat dicapai dengan jalan: 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara 2. Membadingkan dengan apa yang dikatakan orang didepan umun dengan apa yang dikatakan secara pribadi 3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang mengenai situasi peneliti dengan apa yang dikatakanya sepanjang waktu 4. Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperi rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan. 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan

38

Triangulasi dengan memanfaatkan sumber yang berarti membandingkan dengan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diproses melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode penelitian kualitatif ini hanya dapat dicapai dengan dua bahan pembanding yaitu: 1. membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara 2. membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang terkait

3.7 Metode Analisis Data Adalah proses pengatur urutan data, mengorganisasikanya ke dalam suatu pola kategori dan satuan analisis data dalam dalam penelitian ini bersifat diskriptif analisis yang merupakan gambaran sebuah penelitian ( Moleong 2000:103 ) Menurut Milles dan Hoberman dalam Rachman ( 1999:20 ) ada dua metode analisis data yaitu: Pertama model analisis mengalir, dimana tiga komponen analisis ( reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi ) dilakukan secara saling mengalir secara bersamaan. Kedua model analisis interaksi dimana komponen reduksi data penyajian data dan penarikan kesimpulan dilakukan dilakukan dengan proses pengumpulan data, setelah data terkumpul maka ketiga komponen analisis (reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan ) saling berinteraksi Penelitian ini menggunakan model analisis data yang kedua dari penjelasan model analisis data di atas, yaitu komponen reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dilaksanakan dengan proses pengumpulan data. Setelah data terkumpul maka ketiga komponene analisis ( reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan ) saling berinteraksi. Untuk menganalisis data

39

dalam penelitian ini digunakan langkah-langkah atau alur yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data.

3.7.1

Pengumpulan data Adalah mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan yang

dilakukan terhadap berbagai jenis dan bentuk data yang ada di lapangan kemudian data tersebut dicatat.

3.7.2

Reduksi data Yaitu pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,

pengabstrakkan data kasar, yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan (Milles dan Hubermen 1992:17 ). Reduksi data ini bertujuan untuk menganalisis data yang lebih mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data agar diperoleh kesimpulan yang dapat ditarik dan di verifikasi. Dalam penelitian ini proses reduksi dapat dilakukan dengan mengumpulkan data dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi kemudian dipilih dan di kelompokkan berdasarkan kemiripan data.

3.7.3

Penyajian data Yaitu pengumpulan informasi terusan yang memberi kemungkinan

adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan ( Miles dan

40

Huberman 1992: 18). Dalam hal ini data yang telah dikategorikan tersebut kemudian di organisasikan sebagai bahan penyajian data. Data tersebut disajikan secara diskriptif yang didasarkan pada aspek yang diteliti, sehingga dimungkinkan dapat memberikan gambaran seluruhnya atau sebagian tertentu dari aspek yang diteliti, sehingga dimungkinkan dapat

menggambarkan seluruhya atau sebagian tertentu dari aspek yang di teliti.

3.7.4

Verifikasi data Yaitu sebagian dari suatu kegiatan utuh, artinya makna-makna yang

muncul dari data harus dilaporkan kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya (Milles dan huberman 1992:19 ) Penarikan kesimpulan yang didasarkan pada pemahaman terhadap data yang telah disajikan dan dibuat dalam pernyataan disingkat dan mudah dipahami dengan mengacu pada pokok permasalahan yang di teliti. Proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi dapat lebih jauh di gambarkan dalam gambar satu di bawah ini Proses Analisis data Pengumpulan Data Penyajian Data

Reduksi Data

Penarikan kesimpulan/ verifikasi Sumber: Milles dan Huberman dalam Rachman (1999:120)

41

Dengan demikian dalam penelitian ini pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan sebagai suatu yang jalin menjalin pada saat sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data.

3.8 Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini peneliti membagi empat tahap yaitu: tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Pada tahap pertama pra lapangan, peneliti mempersiapkan segala macam yang dibutuhkan atau diperlukan peneliti sebelum terjun kedalam kegiatan penelitian yaitu: 1. menyusun rancangan penelitian 2. mempertimbangkan secara konseptual teknis serta praktis terhadap tempat yang akan digunakan dalam penelitian 3. membuat surat ijin penelitian 4. latar penelitian dan dinilai guna serta melihat sekaligus mengenal unsurunsur sosial dan fisik situasi pada latar penelitian 5. menentukan informasi pada responden yang akan membantu peneliti dengan syarat-syarat peneliti 6. mempersiapkan perlengkapan penelitian 7. dalam penelitian, peneliti harus bertindak sesuai etika terutama berkaitan dengan tata cara penelitian berhubungan dengan lingkungan yaitu Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Semarang dan harus menghormati seluruh nilai-nilai yang ada didalamnya.

42

Pada tahap kedua yaitu pekerjaan laporan penelitian dengan bersungguhsungguh dengan kemampuan yang dimiliki berusaha memahami latar penelitian dan dipersiapkan benar-benar menghadapi lapangan penelitian. Tahap ketiga yaitu analisis data, setelah semua data yang dilapangan terkumpul maka peneliti akan mereduksi, menyajikan data serta melakukan verifikasi data. Setelah tahap analisis data selesai dan telah diperoleh kesimpulan, penulis masuk tahap ke empat yaitu penulisan laporan. Laporan penelitian ditulis berdasarkan hasil yang diperoleh dilapangan.

43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Semarang Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang atau Lembaga

Pemasyarakatan termasuk kategori Lembaga Pemasyarakatan Klas II A, hal ini disesuaikan dengan kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja Lembaga Pemasyarakatan. Letak geografis Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang di Jalan Mgr. Sugiyopranoto no.59 kecamatan Semarang Tengah, Pemerintah Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang didirikan pada tahun 1894 oleh Pemerintah Belanda. Kemudian pada tanggal 27 April 1964 penjara Wanita Bulu ini berubah atau berganti nama menjadi Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang. Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang menempati luas areal tanah 16.226 meter persegi dengan luas bangunan 13.902,75 meter persegi. Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang dibagi menjadi beberapa blok, setiap blok terdiri dari beberapa kamar dan setiap kamar tidur terdapat kamar mandi. Setiap kamar tidur dihuni oleh tiga, empat orang atau lebih yang dikelompokkan berdasarkan tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing narapidana Wanita . Kapasitas hunian mencapai 465 orang narapidana.

44

4.1.2 Kondisi Fisik Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang dibangun di atas tanah seluas 16.226 m2 dengan luas 13.975 m2 yang terdiri dari: 1. Rumah dinas 2. Kantor 3. Ruang kunjungan 4. Ruang ketrampilan 5. Gereja 6. Ruang kelas 7. Mushola 8. Ruang karantina/sell 9. Kamar tahanan 10. Kamar narapidana 11. Salon 12. Koperasi/kantin 13. Ruang perpustakaan 14. Ruang makan WBP 15. Balai pertemuan 16. Pos jaga 17. Sumur 18. Gudang 19. kamar mandi 20. Dapur : 1 buah : 13 ruang : 1 ruang : 1 ruang : 1 ruang : 1 ruang : 1 ruang : 1 blok : 1 blok : 8 blok : 1 ruang : 1 ruang : 1 ruang : 1 ruang : 1 buah : 3 tempat : 11 buah : 4 ruang : 4 ruang : 1 buah

45

Secara

umum

kondisi

saran

dan

prasarana

di

Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang dalam keadaan baik dan terawat dan didukung oleh kondisi tanah yang baik, hal ini sangat mendukung pelaksaan kegiatan berkebun serta tanaman hias di lokasi ini. Selain berupa bangunan fisik yang menunjang pembinaan narapidana, di Lembaga Pemasyarakatan Wanita juga terdapat aktifitas yang menunjang pembinaan mental spritual narapidana. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain ketrampilan seperti menjahit, mengkristik, menyulam. Pembinaan mental seperti kegiatan keagamaan yang bekerjasama dengan Majelis Taklim, LSM dan Gereja, kegiatan fisik yang bekerjasama dengan pihak lain dalam hal ini adalah Departemen Pendidikan Nasional, dimana kegiatan-kegiatan tersebut sangat mendukung narapidana agar ia bisa menjadi manusia yang berguna. Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Semarang, merupakan Lembaga Pemasyarakatan yang menangani pada proses terakhir, sebagai pembina pelanggar hukum yang telah resmi menerima vonis pengadilan. Tujuan Lembaga Pemasyarakatan wanita Semarang adalah untuk membina dan membimbing warga binaan pemasyarakatan agar dapat memulihkan lagi hubungan dengan masyarakat. Dengan memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan, diharapkan Warga binaan dapat menjalankan fungsinya secara wajar dan berpartisipasi dalam pembangunan. Narapidana harus dibekali pengertian mengenai norma-norma kehidupan, serta melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam kehidupan bermasyarakat agar narapidana itu

46

sanggup hidup mandiri. Narapidana itu harus mempunyai daya tahan dalam arti bahwa narapidana itu harus mampu hidup bersama dengan masyarakat tanpa melakukan kejahatan lagi.

4.1.3

Deskripsi Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang

terdiri dari latar belakang pendidikan yang berbeda. Dilihat dari tingkat pendidikan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan wanita Klas IIA Semarang, untuk jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini. Tabel 3 Tingkat pendidikan narapidana di LP Wanita Semarang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD SD SMP SLTA D III S1 JML Data sekunder per September 2005 Dari tabel di atas sebagian besar narapidana berpendidikan Menengah Pertama dan Menegah Atas sebesar 30,1%, dan kedua terbesar berpendidikan Sekolah Dasar 24,5%, tidak lulus SD 9,43%, dan Diploma serta Sarjana masing-masing 3.77% dan 1,88% Jumlah 5 13 16 16 2 1 53 Prosentase ( % ) 9,43 24,5 30,1 30,1 3,77 1,88 100 %

47

Dilihat

dari

tingkatan

umur

para

narapidana

di

Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang dapat dilihat dari tabel dibawah. Tabel 4 Tingkatan umur narapidana di LP Wanita Klas IIA Semarang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Tingkat Umur 19-24 25-30 31-36 37-42 43-48 49-54 55-60 JML Data sekunder per September 2005 Dari tabel umur para narapidana yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan wanita Klas IIA Semarang, yang paling banyak adalah narapidana yang berumur antara 19 sampai 24 tahun, 25 sampai 30 tahun, dan 37 sampai 42 tahun yaitu sebesar 20,75%. Dilihat dari agama yang dianut para narapidana di lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang , dapat dilihat dari tabel dibawah Tabel 5 Agama Narapidana LP Wanita Klas IIA Semarang Jumlah 11 11 8 11 8 2 2 53 Prosentase ( % ) 20,75 20,75 15 20,75 15,09 3,77 3,77 100 %

No. 1. 2. 3.

Agama Islam Kristen Katholik JML

Jumlah 43 5 5 53

Prosentase ( % ) 81,1 9,43 9,43 100 %

Data sekender per September 2005

48

Dilihat dari tabel di atas jelas terlihat bahwa sebagian besar narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang beragama Islam sebesar 81,1%. Dilihat dari tindak pidana yang dilakukan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang dapat dilihat dari tabel berikut ini: Tabel 6 Jenis Tindak Pidana Narapidana di LP Wanita Klas IIA Semarang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Tindak Pidana Penipuan Narkoba Penggelapan Pembunuhan Uang Palsu Penculikan Penadah Mucikari Pencurian JML Data sekunder per September 2005 Dari tabel di atas jelas bahwa tindak pidana yang paling banyak dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang adalah penipuan 26,41% kemudian tindak pidana narkoba 22,64% dan penggelapan sebesar 18,86%. Dilihat dari masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang dapat dilihat dari tabel berikut ini: Jumlah 14 12 10 9 3 2 1 1 1 53 Prosentase ( %) 26,41 22,64 18,86 16,98 5,66 3,77 1,88 1,88 1,88 100 %

49

Tabel 7 Masa Pidana Narapidana di LP Wanita Klas IIA Semarang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Masa Pidana 6 bln 1 thn 1 2 thn 3 4 thn 5 6 thn 7 8 thn 9 10 thn 11 12 thn JML Data sekunder per September 2005 Dilihat dari tabel di atas, terlihat bahwa masa pidana yang paling banyak dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang adalah masa pidana satu sampai dua tahun yaitu sebesar 35,84%. Perkara yang menjadi paling banyak dilakukan adalah: 1. Kasus Penipuan pasal 378 KUHP 2. Kasus Pengelapan Pasal 372 KUHP 3. Kasus narkoba Pasal 59 KUHP Jumlah 13 19 9 5 6 1 53 Prosentase ( % ) 24,52 35,84 16,98 9,43 11,32 1,88 100 %

Sedangkan sisanya adalah kasus kejahatan lain seperti pembunuhan , uang palsu, penganiayaan, pembunuhan anak sebelum lahir, pencurian. Narapidana yang menjadi responden dalam penelitian ini dapat dijelaskan dalam tabel berikut ini:

50

Tabel 8 Jenis Kasus responden Narapidana di LP Wanita Klas IIA Semarang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Inisial Nama CM LM MI TS TY TS SG Kasus Kejahatan Pembunuhan Pembunuhan Narkoba Narkoba Penipuan Penipuan Penggelapan Masa Pidana 9 tahun 10 tahun 8 bulan 5 thn 6 bln 2 th 6 bln 2 th 6 bln 3 tahun

Hasil wawancara tanggal 3 dan 6 Oktober 2005

Dilihat dari kasus kejahatan yang menjerat Narapidana rata-rata dari responden di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Semarang, mempunyai kasus yang mendapat hukuman lebih dari setahun sehingga mereka mempunyai banyak kesempatan untuk menikmati hak-hak mereka yang mendukung dalam melakukan aktifitas di penjara.

4.1.4

Praktek Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pembinaan narapidana di Indonesia setelah keluarnya Undang-

undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dilaksanakan dengan Sistem Pemasyarakatan. Menurut rumusan Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 1 ayat 2, yang dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan adalah:

51

Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab Sistem Pemasyarakatan yang berlaku sekarang, berangkat dari konsepsi pemasyarakatan dan konsepsi pemasyarakatan itulah yang melahirkan disiplin ilmu pemasyarakatan, sebagai ilmu pembinaan narapidana di Indonesia. Pembinaan narapidana di Indonesia dilaksanakan melalui sebuah sistem, yang dikenal dengan nama Sistem Pemasyarakatan. Sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang saling berkaitan untuk mencapai satu tujuan. Komponen tersebut neliputi falsafah dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem, klasifikasi, pendekatan klasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, keluarga narapidana dan pembina atau pemerintah Sistem Pemasyarakatan melakukan pembinaan terhadap narapidana berdasarkan asas: 1. Pengayoman 2. persamaan perlakuan dan pelayanan 3. pendidikan 4. pembimbingan 5. penghormatan harkat dan martabat manusia

52

6. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan 7. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu. Menurut ketentuan Undang-Undang No.12 tahun 1995 Pasal 7 ayat (1), pembinaan dan oleh pembimbingan Menteri dan warga binaan Pemasyarakatan oleh petugas

diselenggarakan

dilaksanakan

Pemasyarakatan. Lebih lanjut penjelasan Pasal 7 ayat ( 1 ) menerangkan yang dimaksud dengan petugas pemasyarakatan adalah pegawai

pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Seorang narapidana yang masuk ke Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan putusan pengadilan melalui proses persidangan di pengadilan akan melalui berbagai prosedur terlebih dahulu. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang no.12 tahun 1995 Pasal (10) mengatur sebagai berikut: 1. Terpidana yang diterima di Lembaga pemasyarakatan wajib didaftar 2. Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) mengubah status terpidana menjadi narapidana 3. Kepala Lembaga Pemasyarakatan bertanggung jawab terhadap

penerimaan terpidana dan pembebasan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut penjelasan Pasal (10) ayat ( 1 ), penempatan terpidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan sesuai dengan Pasal 270 KUHP dan pendaftarannya dilaksanakan pasa saat terpidana diterima di Lembaga

53

Pemasyarakatan. Begitu juga pembebasannya dilaksanakan pada saat narapidana telah selesai menjalani masa pidananya. Selanjutnya menurut ketentuan Undang-Undang No.12 tahun 1995 Pasal (11), pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal (10) ayat ( 1 ) meliputi: a. Pencatatan: 1. Putusan pengadilan 2. Jati diri 3. Barang dan uang yang dibawa b. Pemeriksaan kesehatan c. Pembuatan fasfoto d. Pengambilan sidik jari e. Pembuatan berita acara serah terima terpidana Pembinaan terhadap narapidana tidak sama antara satu narapidana dengan narapidana yang lain. Undang-Undang no.12 tahun 1995 Pasal (12) ayat ( 1 ), dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar: a. Umur b. Jenis kelamin c. Lama pidana yang dijatuhkan d. Jenis kejahatan e. Kriteria lainnya yang sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan

54

Untuk memudahkan proses pembinaan narapidana, maka dikenal penggolongan-penggolongan dalam sistem pemasyarakatan. Penggolongan tersebut meliputi, narapidana golongan B-I, B-II-a, B-II-b, B-III. Klasifikasi B-I adalah narapidana yang dijatuhi pidana diatas satu tahun. B-II-a adalah narapidana yang dijatuhi pidana antara empat sampai dua belas bulan, B-II-b adalah narapidana yang dijatuhi pidana antara satu sampai tiga bulan, sedang B-III adalah narapidana yang dijatuhi pidana kurungan pengganti pidana denda, yang lama pidananya satu bulan. Penggolongan tersebut juga berkaitan dengan masalah pengawasan keamanan terhadap narapidana. Berikut ini adalah tabel narapidana yang termasuk dalam kategori B-I di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang tahun 2005. Tabel 9 Narapidana Klasifikasi B-I di LP Wanita Klas IIA Semarang No Nama Umur Agama / Pendidikan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Lina Mayangsari Fransisca Suhaeti Nuryati Sawi Casriah Wiwik Azizah Yuliana Sri Sugiarti Retno Widyawati Dince Setyawati Bandiyah Ayu Puji Rahayu Cornelia 21 21 27 38 51 42 39 45 29 23 31 26 37 Islam/SMP Islam/SMP Islam/SMP Islam/SD Islam/SD Islam/SLTP Islam/SLTA Islam/SMP Kristen/SLTA Islam/SLTA Islam/SD Islam/SMP Katholik/SD Pembunuhan Narkoba Narkoba Pembunuhan Penadah Penipuan Pembunuhan Penipuan Narkoba Narkoba Narkoba Mucikari Pembunuhan Tindak Pidana Masa Pidana 10tahun 5th 6 bln 4th 3 bln 9 tahun 3th 6 bln 11 tahun 3 tahun 1th 6 bln 4th 2 bln 4th 5 bln 4th 1 bln 3th 4 bln 10 tahun

55

14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41

Mistiyah Maryati Wanisah Casmuni Yulianti Titik Sulasmi Neny Als Supriyati Noviani Wijaya Laelatul Komar Zamronah Novia Wulansari Sutri Catrina Suhartini Amelia Santi Heni W Subatin Tiatun Tini Susianti Rahayu Niken Sri Suparni Mitun Jayanti Taimah Sri Guno A Lestari P Wamroh Yuliana Heni Dince Nafrida

24 45 20 23 33 44 60 36 60 29 21 26 30 33 22 46 38 43 32 41 40 27 42 50 38 37 29 29

Islam/BH Islam/BH Islam/BH Islam/BH Islam/SLTA Islam/SLTA Islam/SMP Islam/SMP Kristen/SLTA Islam/SMP Islam/SMP Katholik/SLTA Islam/SD Katholik/D3 Islam/SMP Islam/SMP Islam/STM Kristen/SD Islam/SLTA Kristen/SLTA Islam/SD Islam/SMP Islam/BH Islam/SMEA Islam/SLTA Islam/SD Katholik/SLTA Islam/SE

Penculikan Penculikan Uang Palsu Pembunuhan Penipuan Penipuan Penipuan Pembunuhan Penipuan Narkoba Pembunuhan Penggelapan Pembunuhan Penggelapan Narkoba Uang Palsu Penggelapan Penggelapan Narkoba Narkoba Penggelapan Pembunuhan Penggelapan Penipuan Penipuan Narkoba Penggelapan Penggelapan

5 tahun 5 tahun 2 tahun 9 tahun 2th 6 bln 2th 6 bln 2th 6 bln 9 tahun 2 tahun 6 tahun 10 tahun 1th 8 bln 3 tahun 1th 3 bln 1th 3 bln 2 tahun 1th 6 bln 1th 3 bln 5th 6 bln 1th 6 bln 1th 6 bln 2th 6 bln 2th 3 bln 3 tahun 2 tahun 1th 4 bln 1th 1 bln 1th 6 bln

56

Berikut ini tabel narapidana Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang yang tergolong dalam klasifikasi B-II-a di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang tahun 2005. Tabel 10 Narapidana Klasifikasi B II-a LP Wanita Klas IIA Semarang No Nama Umur Agama/ Pendidikan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Sulistyoningsih Suprapti Erika Ruliyati Sumiati Ester B Atik Supriyatin Siti Karomah Monica Ida Sinah Sulistyoningsih Sumiatun Menik 30 43 24 35 37 31 19 41 21 30 35 27 Islam/SLTA Islam/SD Islam/SLTA Islam/SMP Kristen/S1 Islam/SMP Islam/SD Islam/DIII Islam/SD Islam/SLTA Islam/SMP Katholik/SD Tindak Pidana Penggelapan Penipuan Narkoba Penipuan Penggelapan Uang Palsu Penggelapan Narkoba Pencurian Penggelapan Penipuan Penggelapan Masa Pidana 8 bulan 9 bulan 8 bulan 1 tahun 10 bulan 6 bulan 6 bulan 8 bulan 7 bulan 8 bulan 6 bulan 6 bulan

Data sekunder per September 2005 Klasifikasi untuk B-II-b yaitu narapidana yang dijatuhi pidana antara satu sampai tiga bulan serta klasifikasi untuk B-III yaitu narapidana yang pidana kurungan pidana pengganti denda, yang lama pidananya satu

57

Bulan, di Lembaga Pemasyarakataan Wanita Semarang tidak terdapat klasifikasi tersebut. Pengawasan terhadap narapidana terbagi dalam tiga klasifikasi, yaitu maximum security, medium security dan minimum security. Maximum security diberikan terhadap narapidana klasifikasi B-I, narapidana karena kasus subversi, pembunuhan berencana, perampokan, pencurian dengan kekerasan, beberapa narapidana yang dianggap berbahaya dan

membahayakan Lembaga Pemasyarakatan. Sedang medium security diberikan kepada narapidana yang lebih ringan pidananya atau yang masuk dalam kategori pidana berat, tetapi mendapatkan pembinaan dan

menunjukkan sikap serta tingkah laku yang baik selama dalam Lembaga Pemasyarakatan. Dalam minimum security, terdapat narapidana yang telah mendapat pembinaan secara khusus dan telah dinyatakan layak untuk mendapatkan pengawasan ringan. Narapidana yang masuk kategori ini biasanya telah memperoleh pembinaan dan telah dinyatakan bisa mendapatkan pengawasan ringan. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan dimulai dengan menerima narapidana dan menyelesaikan pencatatannya secara administratif yang disusul dengan observasi atau identifikasi mengenai pribadinya secara lengkap oleh suatu Tim Pengamat Pemasyarakatan ( TPP ), kemudian baru ditentukan bentuk dan cara pembinaan yang akan diberikannya. Antara lain penempatannya, pekerjaan yang diberikan dan pendidikan yang akan ditempuhnya , disamping diberikan tentang hak dan kewajibannya serta tata

58

cara hidup daalm lembaga pemasyarakatan. Setelah pembinaan berjalan beberapa lama kemudian diadakan pertemuan oleh TPP tanpa

mengikutsertakan narapidana yang bersangkutan, dan dievaluasi keadaannya apakah yang bersangkutan telah memperoleh kemajuan atau kemunduran dalam hal tingkah lakunya. Pembinaan selanjutnya ditentukan oleh TPP sesuai dengan kemajuan atau kemundurannya, setelah diadakan koreksikoreksi seperlunya. Usaha konseling semacam ini diadakan secara berkala dan bila terus ada kemajuan maka sudah waktunya narpidana yang bersangkutan diusulkan untuk bebas bersyarat, tapi bila tidak maka narapidana tetap menjalani masa pembinaan sampai habis masa pidananya. Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan sebagai hasil konseling TPP bila ada kemajuan narapidana yang bersangkutan dapat diperlonggar kebebasannya, hingga makin dekat pergaulannya dengan masyarakat, baik mendapat pekerjaan maupun pendidikan, olah raga, kesenian, kesempatan beribadah dan lain-lain, diluar Lembaga Pemasyarakatan bersama-sama dengan masyarakat, juga hubungan dengan keluargannya. Dengan demikian secara progresif narapidana tahap demi tahap dengan kemajuan-kemajuan pada pribadinya, mendekati hari bebasnya. Usaha bebas bersyarat bagi narapidana merupakan mata rantai terakhir dari proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan. Proses pembinan narapidana melibatkan berbagai unsur pembina sesuai dengan tugas bidangnya masing-masing, yaitu:

59

1. Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik, terdiri dari Sub Seksi Registrasi dan Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan, yang menjadi kepala subseksinya adalah Susana Tri Agustin yang mempunyai 6 ( enam ) staf yaitu Asti Andaryani, Turniyati, Sri Utami, drg. Fem Irianti, Mulyasari R, Ventila Rahayu. Mempunyai tugas

memberikan bimbingan pemasyarakatan narapidana / anak didik Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik mempunyai fungsi: a. Melakukan pencatatan dan membuat statistik serta dokumentasi sidik jari narapidana / anak didik b. Memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani serta memberikan latihan olah raga, peningkatan pengetahuan asimilasi, cuti pelepasan dan kesejahteran narapidana / anak didik serta mengurus

kesejahteraan dan memberikan perawatan bagi narapidana / anak didik. 2. Seksi Kegiatan Kerja, terdiri dari Sub Seksi Bimbingan Kerja, yang menjadi kepala seksinya adalah Puisnah, dan Pengolahan Hasil Kerja dan Sub Seksi Sarana Kerja, yang menjadi kepala seksinya adalah Titik Setyowati, yang mempunyai 3 ( tiga ) staf yaitu Munarita, Sri Darwatik, Sri Hartati Mempunyai tugas memberikan bimbingan kerja,

mempersiapkan sarana kerja dan mengelola hasil kerja. Untuk menyelengggarakan tugas tersebut, seksi Kegiatan Kerja mempunyai fungsi:

60

a. Memberikan bimbingan latihan kerja bagi narapidana dan mengelola hasil kerja b. Mempersiapkan fasilitas latihan kerja. 3. Seksi Administrasi Keamanan dan Tata tertib, yang menjadi kepala seksinya adalah Wilayati. Terdiri dari Sub Seksi Keamanan dan Sub Seksi Pelaporan dan tata tertib, yang menjadi kepala seksinya adalah Sukamti Mulani, yang mempunyai tugas mengatur jadwal tugas, penggunaan perlenggapan dan pembagian tugas pengamanan, menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta menyusun laporan berkala dibidang keamanan dan menegakkan tata tertib. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib mempunyai fungsi: a. mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan b. menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta menyiapkan laporan berkala dibidang keamanan menegakkan tata tertib 4. Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan, yang menjadi kepala seksinya adalah Sri Wigati, yang mempunyai tugas menjaga keamanan dan ketertiban Lembaga Pemasyarakatan. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai fungsi:

61

a. melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana / anak didik b. melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban. c. Melakukan pengawalan penerimaan, penempatan dan pengeluaran narapidana / anak didik d. Melakukan pengawasan terhadap pelanggaran keamanan e. Membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan pengamanan. Pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang dilaksanakan berdasarkan sisitem pemasyarakatan. Unsurunsur yang berperan dalam sistem pemasyarakatan, yaitu: a. Petugas sebagai pembina warga binaan pemasyarakatan yang dituntut memiliki jiwa profesionalisme, dedikasi atau pengabdian dan etos kerja yang tinggi, Pembina secara aktif memonitor perkembangan narapidana yang menjadi bimbingannya. Petugas harus mampu menjadi panutan, dalam menjalankan tugasnya mampu melakukan pendekatan pribadi dengan memperlakukan narapidana sebagai objek yaitu narapidana diberi kesempatan untuk berperan dalam menentukan proses pembinaan terhadap diri sendiri. Petugas tidak menganggap narapidana sebagai

narapidana tetapi dianggap sebagai anak, adik dan sebagainya. Para petugas pembina di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang dalam menjalankan tugasnya cenderung menggunakan pendekatan personal. Para petugas sedapat mungkin tidak menciptakan jarak dengan para narapidana dalam proses pembinaan. Sikap proaktif petugas ini ternyata

62

berpengaruh besar terhadap proses pembinaan, yaitu narapidana merasa tidak diperlakukan sebagai pesakitan, narapidana bersikap patuh terhadap petugas bukan karena takut tapi memang mereka sadar bahwa mereka harus bersikap hormat, hampir tidak ada narapidana yang melakukan keributan. b. Narapidana sebagai warga binaan pemasyarakatan yang harus mau secara tulus ikhlas berperan aktif dalam kegiatan pembinaan tersebut. Narapidana pada umunya bersikap patuh. Hal ini sehubungan dengan iklim yang diciptakan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang dimana tidak ada narapidana yang perlu dianggap pahlawan, dituankan dan sebagainya. Apabila ada narapidna yang bersikap tinggi hati atau ingin dianggap sebagai pemimpin maka narapidana tersebut justru tidak akan mendapat tempat dalam pergaulan dengan sesama narapidana yang lain. c. Masyarakat. Selama ini peran masyarakat kurang mendukung. Hali ini karena tidak adanya sosialisasi kepada masyarakat, sehingga masalah sosialisasi ini dirasa sebagai hal yang cukup penting, supaya masyarakata tidak bersikap buruk terhadap Lembaga Pemasyarakatan. Disamping ketiga hal tersebut datas unsur yang sangat menunjang keberhasilan program pembinaan adalah terpenuhinya sarana dan prasarana yang memadai dalam proses pemasyarakatan. Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana, sehingga narapidana sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta

63

berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Dalam mencapai tujuannya Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang menggunakan pola pembinaan bertahap yang dikenal dengan tahap pembinaan. Adapun tahap-tahap tersebut terdiri atas: 1. Tahap Pertama Menurut Sri Utami, Staf BIMPAS Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang, mengatakan bahwa: Pembinaan Tahap I merupakan pembinaan tahap awal yang didahului dengan masa pengenalan lingkungan, sejak diterima sampai sekurang-kurangnya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya. Pengamatan dan penelitian terhadap narapidana wanita dilakukan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan ( TPP ) ( wawancara, 8 September 2005: pukul 09.00 WIB ) 2. Tahap Kedua Menurut Sri Utami, staf BIMPAS Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang, mengatakan bahwa: Pembinaan tahap kedua adalah pembinaan lanjutan diatas 1/3 sampai sekurang-kurangnya dari masa pidana yang sebenarnya, dan dalam kurun waktu tersebut narapidana wanita menunjukkan sikap dan perilakunya atas hasil pengamatan TPP ( wawancara, 8 September 2005: pukul 09.00 WIB ) 3. Tahap Ketiga Menurut Sri Utami, staf BIMPAS Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang, mengatakan bahwa: Pembinaan tahap ketiga adalah pembinaan lanjutan sampai sekurang-kurangnya 2/3 dari masa pidana sebenarnya dan sudah diperoleh kemajunan fisik , mental dan ketrampilan maka wadah pembinaan diperluas dengan mengadakan asimilasi dengan masyarakat ( Wawancara, 8 September 2005: pukul 09.00 WIB )

64

Tahap ketiga merupakan tahap asimilasi, yaitu tahap pembinaan yang dilaksanakan dengan cara membaurkan narapidana dengan masyarakat. Asimilasi yang dilaksanakan di LP Wanita Semarang ada dua macam yaitu Asimilasi internal ( dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Wanita ), kegiatannya: membersihkan ruangan,

mencabut rumput dikebun dalam LP dan menyapu, sedangkan Asimilasi Eksternal ( di luar LP ) seperti: kerja pada pihak luar, cuti mengunjungi keluarga, kerja mandiri dan lain-lain. 4. Tahap Keempat Menurut Sri Utami, staf BIMPAS Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang, mengatakan bahwa: Adalah tahap pembinaan lanjutan diatas 2/3 dari masa pidananya dan yang bersangkutan dinilai sudah siap untuk diterjunkan kembali ke masyarakat, untuk narapidana wanita dapat diusulkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat ( PB ) dan cuti menjelang bebas ( CMB ) ( Wawancara, 8 September 2005: pukul 09.00 WIB ) Tahap keempat merupakan tahap terakhir dimana narapidana sudah hampir selesai menjalani masa pemidanaannya, dan berhak untuk diusulkan mendapat pembebasan bersyarat setelah memenuhi syaratsyarat tertentu sebelum akhirnya di putuskan untuik benar-benar bebas. Tahap-tahap pola pembinaan narapidana dapat dilihat dalam bagan berikut ini:

1PROSES PEMASYARAKATAN1. 2. 3. 4. Pancasila UUD 45 KUHP KUHAP LANDASAN HUKUM 5. UU No. 12 Tahun 1945 9. Keputusn Menteri 6. UU No. 3 Tahun 1997 10. Peraturan Menteri 7. Peraturan Peerintah 11. Peraturan Drijen Pas 8. Keputusan Presiden

Tahap awal + 1/3 1/2 masa pidanaA. Admisi dan Orientasi Masa Pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama satu bulan. B. Pembinaan Kepribadian 1. Pembinaan kesadaran beragama 2. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara 3. Pembinaan kesadaran kemampuan itelektual (kecerdasan) 4. Pembinaan kesadaran hukum. A. Pembinaan kepribadian lanujutan program Pembinaan kemandirian 1. ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri 2. Ketrampilan untuk mendukung usaha kecil 3. Ketrampilan yang di kembangkan sesuai dengan bakatnya masingmasing 4. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri/pertanian dan perkebunan dengan teknologi modern/ tinggi

Tahap LanjutanASIMILASI

Tahap Akhir Tujuan1. 2. Tidak melanggar lagi Dapat berpartisipasi aktif dan positif dalam pembangunan (manusia mandiri) Hidup berbahagia Dunia dan Akhirat

Masyarakat

T P P

B.

T P PDALAM LAPAS (Half way House /work)

-

PBB CMB

Masyarakat

DALAM LAPAS PEMBUKA (OPEN CAMP)

integrasi

3.

BAPASMelanjutkan sekolah kerja mandiri Kerja pada pihak luar Menjalankan ibadah Olahraga, cuti menjelang bebas

Maximum Sevurity

Medium Security Kerjasama Antar Instansi

Minimum Security

Instansi penegak hukum 1. Polisi 2. Kejaksaan Tinggi 3. Pengadilan Negeri

Instansi 1. 2. 3. 4.

Depkes Depnaker Deperindag Depag

5. Depdiknas 6. Pemda 7. Dan lain-lain

Pihak Swasta 1. Perorangan 2. Kelompok 3. LSM 4. Perusahaan

Sumber : Kasi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan

66

Tahap pembinaan yang meliputi 4 ( empat ) tahap pembinaan didasarkan pada 2 ( dua ) unsur yaitu masa pidana dan tingkah laku

narapidana, dimana kedua unsur tersebut saling berkaitan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Contoh: Seorang narapidana yang telah menjalani masa pidana sampai tahap kedua belum tentu diberikan medium security, melainkan tetap diberikan maximum security karena tingkah lauk narapidana tersebut belum menunjukkan perbaikan sikap. Dalam setiap tahap pembinaan, masing-masing narapidana akan diajukan dalam sidang TPP ( Tim Pengamat Pemasyarakatan ). Setiap akhir periode dari masing-masing pembinaan, akan diadakan evaluasi terhadap narapidana yang bersangkutan yang akan dinilai dari berbagai unsur. Hasil evaluasi inilah yang akan menentukan apakah narapidana yang bersangkutan dapat diikutkan atau melanjutkan proses tahap berikutnya. Sesuai dengan pola pembinaan narapidana dan tahanan, maka sebagai pelaksanaan pembinaan ruang lingkupnya meliputi 2 ( dua ) bidang, yaitu: 1. Pembinaan kepribadian yang meliputi: a. Pembinaan kesadaran beragama Usaha ini diberikan agar narapidana dapat meningkatkan Imannya terutama memberi pengertian agar narapidana wanita dapat menyadari akibat-akibat dari perbuatan yang benar dan perbuatan yang salah, Bagi narapidana wanita yang beragama Kristen mendapat pembinaan rohani setiap hari Selasa, rabu dan Kamis, yang beragama Islam mendapat pembinaan rohani pada hari Selasa, Rabu dan Kamis.

67

Hasil Wawancara dengan responden A, umur 21 tahun yang menyatakan: Pembinaan Kesadaran beragama disini sangat bermanfaat bagi saya, dulu sebelum masuk ke LP sini saya tidak paham soal agama, setelah mendapat bimbingan agama menjadi sdikit ada kemajuan dalam pemahaman agama. Selain itu juga disini diajari menbaca Al Quran, saya sekarang bisa membaca al Quran padahal dulu saya tidak lancar membaca Al Quran ( Wawancara, 3 Oktober 2005: pukul 09.00 WIB ) Pembinaan kesadaran beragama di LP Wanita Semarang sudah cukup baik, ini dapat dilihat dari jadwal pembinaan yang sudah teratur, narapidana sangat berpartisipasi dalam pembinaan keagamaan. b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara Usaha ini dilakukan dengan cara menyadarkan narapidana agar menjadi warga negara yang baik berbakti bagi bangsa dan negaranya. Wawancara dengan responden B umur 24 tahun yang menyatakan: Disini kita diberi pengertian tentang kehidupan berbangsa, taat pada pemerintah, jadi setelah diberikan pengarahan oleh petugas kami semua menjadi tahu bagaimana menjadi warga negara yang baik, karena sebelumnya kita adalah pelanggar hukum makanya kami disini ( Wawancara, 3 Oktober 2005: pukul 09.00 WIB ) Pelaksanaan pembinaan kesadaran berbangsa di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang cukup baik dan sudah mencapai tujuan dari pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. c. Pembinaan kesadaran hukum Dilakukan dengan cara memberi penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencari kadar kesadaran hukum, sehingga sebagai

68

anggota masyarakat dapat ikut menegakkan hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat.Wawancara dengan responden A umur 44 tahun yang mengatakan bahwa: Disini kami dibina tentang hukum, supaya dapat mengerti dan taat pada hukum, dan diharapkan tidak melanggar hukum setelah bebas nanti. Pembina disini cukup baik dan ramah-ramah ( Wawancara, 6 Oktober 2005: pukul 09.00 WIB ) Proses pembinaan kesadaran hukum di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Semarang sudah berjalan cukup baik dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan. d. Pembinaan kemampuan Intelektual ( kecerdasan ) Usaha ini dilakukan agar pengetahuan serta kemampuan berpikir narapidana (Warga Binaan Pemasyarakatan) semakin

meningkat. Sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan selama masa pembinaan. Pembinaan Intelektual

(kecerdasan) dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Pendidikan formal diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah agar dapat dimanfaatkan oleh semua narapidana wanita, cara pelaksanaan pendidikan formal yang ditempuh oleh petugas di Lembaga Pemasyaraktan Wanita Klas IIA Semarang adalah dengan diajarkannya pendidikan agama, budi pekerti dan lain sebagainya. Untuk mengejar ketinggalan dibidang formal ini Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang juga mengupayakan cara belajar melalui program Kejar Paket A. Sedangkan pendidikan non

69

formal diselenggarakan sesuai kebutuhan dan kemampuan melalui latihan-latihan ketrampilan seperti: mengkrisrik, menyulam, bordir dan menjahit. Wawancara dengan responden C umur 43 tahun mengatakan bahwa: Saya dulu tidak bisa membaca ataupun me