Pemberontakan Massa, Ortega y Gasset

71

description

La Rebelion de las Masas, Ortega y GassetPemberontakan Massa.The Revolt of the Masses

Transcript of Pemberontakan Massa, Ortega y Gasset

PEMBERONTAKAN

MASSA

ORTEGA y GASSET

Diterjemahkan oleh: Budi Anre

Sekapur Sirih dari Penerjemah

Jose Ortega y Gasset (1883-1955), seorang esayis dan filsuf Spanyol, reputasinya berdiri

tegak di atas esay sosiologinya yang bersifat jangkauan/ramalan ke masa depan, Pemberontakan Massa (1930) dan esaynya yang kondang Dehumanisasi Seni (1925). Tetapi dalam lingkungan budayanya sendiri, Spanyol, Ortega dikenal sebagai pelopor para intelegensia tradisional Spanyol menuju ke era moderen. Ini bukanlah keberhasilan yang kecil karena sebelum kehadirannya di arena tersebut para intelektual Spanyol masih terbelenggu pada ide-ide kolot yang buram lagi menyesatkan. Ortega menuntut ilmu selama beberapa tahun lamanya di beberapa universitas di Jerman, dan ini banyak mempengaruhi jalan pikirannya. Minatnya pada sastra, dengan sendirinya mengantarkannya pada kritikisme sastra tetapi lebih-lebih lagi secara khas mengolah filsafat estetika, kedua ciri ini selalu mengemuka dalam karya-karyanya. Lambat-laun karya-karya filsafatnya merambah ke tataran reform Eropa, pada dasarnya Ortega selalu melihat sastra bukan sebagai aktifitas yang otonomus atau pun semacam ekspresi-diri tetapi sebagai aktifitas budaya yang disubordinasikan untuk melayani tujuan-tujuan sosial dan politik yang lebih penting. Sikapnya ini menempatkan posisi Ortega berseberangan kubu dengan Romantik akar dari moderenisme dan estetikisme yang sangat berpengaruh dan mencuat di abad dua puluh.

Ia adalah seorang penulis alami yang penuh talenta dalam tradisi belletrist Eropa dan ketika ia bertujuan untuk menyampaikan pemikirannya kepada publik besar hasilnya adalah sebuah genre yang non-konvensional dan enak untuk dibaca – apa yang ia kerjakan itu, sekarang kita namakan Cultural Studies. Karya-karyanya dapat dibandingkan dengan gunung es di tengah lautan karena menyembunyikan sebagian besar bobotnya jauh di bawah permukaan, ini sangat mengecohkan, tampaknya seperti sesuatu yang spontan dan tidak formal. Kejernihan retorika yang hanya semata-mata itu sering kali disubordinasikan ke dalam resultante sastra. Akibatnya adalah bahwa esay-esaynya Ortega tidak saja terang menerangi tetapi juga sangat mudah dibaca di zaman ketika teori sastra itu esoterik tidak menentu dan memuaskan-diri.

Akhirnya Ortega melihat nilai sejati dari estetika murni itu sebagai sarana kultur politik yang jelas, yang tujuannya adalah untuk mentransformasikan serta memperbaharui masyarakat. Ketika ia memperlihatkan bagaimana seni baru ini meninggalkan ilusi dan segala macam pretensi, yaitu dengan mentransenkan semua itu, ia juga menekankan nada suara kaum Nietzschean dan Spenglerian bahwa semua itu adalah ritme kehidupan yang lebih besar yangmana adalah sebagian dari usaha peradaban untuk merevitalisasi dirinya menjadi lebih segar sebagai reaksi pada moderenisme yang dekaden itu.

Ortega menamakan filsafatnya “ratiovitalism” yang menghormat kehidupan dan ingin terjun serta berpartisipasi dalam realitas bukan hanya dalam abstraksi belaka.

Pelaku seni itu adalah seseorang yang berkarya “hening di tengah-tengah kecamuk badai” ini konsisten dengan falsafah “vital reason” nya Ortega.

Judul original dalam bahasa Spanyol “La Rebelion de las Masas,” diterbitkan tahun 1930.

“Setelah Nietzsche, Ortega y Gasset mungkin adalah penulis terbesar Eropa.”

Yogyakarta, April 2006Budi Anre.

Isi

Bab Halaman

I. Datangnya Massa 8

II. Naiknya Permukaan Sejarah 12

III. Di Puncak Waktu 17

IV. Peningkatan Kehidupan 22

V. Fakta Statistik 27

VI. Membedah Manusia-Massa 31

VII. Kehidupan Mulia dan Kehidupan Hina atau Usaha dan Inertia 35

VIII. Mengapa Massa Ikut Campur dalam Segala Hal, dan 39 Mengapa Keikut Campuran Mereka Hanya dengan Kekerasan

IX. Yang Primitif dan yang Teknikal 44

X. Primitifisme dan Sejarah 49

XI. Zaman Pemuasan-Diri 54

XII. “Spesialisasi” dan Barbarisme 60

XIII. State, Bahaya Terbesar 64

XIV. Siapa yang Menguasai Dunia? 69

XV. Kita Tiba Pada Pertanyaan yang Riil 106

XXX. Catatan Kaki 109

Manusia Massa Suatu Bahaya

Jose Ortega y Gasset melihat ada dua kelas manusia: “mereka yang membuat tuntutan-tuntutan besar ke atas dirinya, mengakumulasikan kewajiban serta kesulitan ke atas dirinya; dan mereka, yang tidak menuntut apa-apa yang khas dari dirinya, yangmana bagi mereka hidup itu adalah apa yang ia sehari-harinya, tanpa memaksakan ke atas dirinya berbagai macam usaha untuk menuju ke kesempurnaan.”

Pembaca buku ini sangat mengharapkan untuk mentes diri mereka sendiri tentang definisinya Ortega, bertanya pada diri mereka jika hidup mereka itu dijalani “sebagai satu displin,” atau mereka juga sebagian dari massa, yang punya watak anak manja, yang merasa bahwa segalanya diperbolehkan dan hidup adalah tanpa kewajiban.

Bahaya ini yang dilihat oleh Ortega bagi kita semua adalah bahwa massa bermaksud menggantikan si individual, kaum minoritas. Ia tidak menginginkan dominasi politik manusia-massa, tidak juga “superioritas dari yang tidak kualifaid.” Seorang yang percaya dengan penuh pasion pada demokrasi, ia menentang pada apa yang ia namakan “hiperdemokrasi.” Bahkan sebelum Perang Dunia II dan bom atom, Ortega melihat bahwa manusia percaya secara absurd dirinya sanggup mencipta, namun tidak tahu untuk mencipta apa. “Tuan dari segalanya, bukan tuan dirinya……Lalu perasaan punya power dan ketidakamanan berbaur janggal mengokupasi ke dalam jiwa manusia moderen…………. Sekarang, kenyataannya bahwa segalanya tampak mungkin bagi kita, kita pun merasa bahwa segala yang terburuk pun mungkin.”

Ortega y Gasset menantang Eropa untuk terus memantapkan kepemimpinan intelektual serta moralnya. Seseorang mungkin berkata bahwa Eropa telah gagal. Ia memperingatkan tentang bahayanya “teknikisme” Amerika Serikat, dan tentang keyakinan mau pun gereget semu Komunisme. Ia menyarankan agar satu aturan yang layak dan operasional dilembagakan. Dalam buku yang tajam, gesit dan manusiawi ini, Ortega mempersembahkan satu perspektif segar dan jelas tentang masyarakat kita, problem kita, zaman kita.

CATATAN PENDAHULUAN

Subjek yang dikembangkan dalam esay ini pernah saya paparkan dalam buku saya Espana Invertebrata, terbit tahun 1921, dan dalam artikel El Sol berjudul “Masas” (1926), juga dalam dua kuliah yang diberikan pada the Asosiation of Friend of Art di Buenos Aires (1928). Maksud saya sekarang adalah untuk mengumpulkan serta menyempurnakan segala apa yang pernah saya katakan, agar bisa menghasilkan satu doktrin organik mengenai fakta yang paling penting di zaman kita ini.

I

Datangnya Massa

ADA SEBUAH FAKTA, apakah itu baik atau buruk, sangat penting dalam kehidupan Eropa saat ini. Fakta ini adalah keberhasilannya massa menguasai power sosial. Sebagaimana apa adanya massa itu, yang definisinya adalah, tidak boleh dan tidak musti mengurus eksistensi pribadinya sendiri, apa lagi memerintah masyarakat secara umum, dari kenyataan ini berarti bahwa Eropa menderita krisis yang sangat besar yang dapat menyengsarakan rakyat, nasion serta peradabannya. Krisis serupa ini pernah terjadi sekali dalam sejarah. Karakternya dan akibatnya sangat dikenal. Begitu pula namanya. Ini dinamakan pemberontakan massa. Demi untuk mengerti fakta yang menakutkan ini, adalah penting sejak awalnya untuk menghindar memberikan kata-kata “pemberontakan,” “massa” dan “power sosial” makna yang secara ekslusif atau pun fundamental politik semata. Hidup bersama bukanlah hanya politik saja, tetapi juga, bahkan terlebih lebih lagi, intelektual, moral, ekonomi, agama; ini melibatkan segala kebiasaan-kebiasaan kolektif kita, termasuk pula mode pakaian serta kegembiraan-kegembiraan kita.

Mungkin cara pendekatan yang terbaik untuk bertatapan muka dengan fenomena sejarah ini bisa didapat dengan menolehkan atensi kita pada pengalaman visual, mengaksentuasikan satu aspek dari zaman kita yang sangat jelas di mata kita. Fakta ini sangatlah mudah untuk diakui, tetapi tidak mudah untuk dianalisa. Saya akan menamakan fakta agglomerasi ini, “pembengkakan.” Kota penuh dengan orang, rumah-rumah penuh dengan penyewa, hotel penuh dengan tamu, kereta-api penuh dengan penumpang, warung kopi penuh dengan pelanggan, taman-taman penuh dengan pelancong, kamar-kamar konsultasi dan dokter-dokter penuh dengan pasien, teater penuh dengan penonton, dan pantai penuh dengan pemandi. Yangmana dahulunya secara umum, tidak menyebabkan masalah, kini mulai menjadi masalah sehari-hari, yaitu untuk mendapatkan ruang.

Beginilah semuanya itu. Adakah fakta yang lebih sederhana, lebih demonstratif, lebih mantap lagi di kehidupan yang aktual ini? Marilah kita melongok ke kepermukaan yang sederhana dari observasi ini, di sana kita akan terkejut melihat bagaimana menyemburnya mata-mata air yang tidak disangka yangmana sinar putih pagi hari, dari pagi hari kita yang aktual, terbias menjadi kaya akan bermacam-macam warna khromatik. Apa sih yang kita saksikan ini, dan pemandangan apakah yang menyebabkan kita terpukau? Kita melihat orang-banyak sebegitu rupa, memperoleh tempat dan memiliki instrumen-instrumen yang diciptakan oleh peradaban. Refleksi sepintas akan membuat kita terkejut ke keterpukauan kita itu. Mengapa? Tidakkah ini ideal dari segalanya? Teater punya banyak kursi untuk diduduki – dengan kata lain, supaya gedungnya bisa penuh - dan sekarang membeludak; orang yang mengharapkan tempat duduk mereka berdiri di luar. Walau pun fakta ini sangatlah logis dan alamiah, kita hanya dapat mengakui bahwa ini belum pernah terjadi sebelumnya dan sekarang terjadi; akibatnya, telah terjadi perubahan, sebuah inovasi, yang membuktikan, sekurang-kurangnya untuk pertama kalinya, keterpukauan kita itu.

Untuk terpukau, untuk heran, ini adalah untuk mulai mengerti. Ini adalah permainan, yang mewah, khusus bagi manusia intelek. Ciri gestikulasi dari puaknya ialah

melihat dunia dengan mata yang terbuka lebar-lebar dengan rasa takjub. Segala sesuatu di dunia ini adalah ajaib serta janggal bagi mata yang terbuka lebar-lebar. Kemampuan untuk takjub adalah menyenangkan yang ditolak oleh “suporter” sepak bola anda, dan, di samping itu, memandu manusia intelek mengarungi samudera kehidupan ini dalam ekstase yang abadi seorang visioner. Sifat khasnya adalah ketakjuban matanya. Maka para sesepuh memberikan dewi Minerva burung hantu, burung yang matanya membelalak.

Aggolemerasi, kepenuhan, dahulu tidak pernah terjadi. Mengapa kini kerap terjadi? Komponen-komponen dari orang-banyak di sekeliling kita tidak muncul dari kekosongan. Ada kurang lebih sama banyaknya jumlah orang 15 tahun yang lalu. Memang tampaknya alamiah setelah perang bahwa jumlah orang jadi lebih sedikit. Namun di sinilah kita sampai pada hal yang terpenting. Individu-individu yang membentuk orang-banyak ini eksis, tetapi bukan sebagai orang-banyak. Terpencar-pencar di muka bumi dalam grup-grup kecil, atau pun tersendiri, mereka hidup, seolah-olah, bertaburan, terasing, terpisah. Setiap individu atau grup kecil menempati satu tempat, yaitu tempatnya sendiri, di desa atau kawasan kota besar atau bandar-bandar. Sekarang tiba-tiba, mereka muncul sebagai agglomerasi, dan menatap ke segala penjuru mata kita akan melihat orang-banyak. Tidak saja ke segala arah, tetapi tepatnya di tempat-tempat yang terbaik, tempat-tempat yang secara relatif diciptakan oleh kebudayaan manusia, yang dahulunya dicadangkan bagi grup-grup kecil, dalam kata lain, bagi golongan minoritas. Orang-banyak sekonyong-konyong begitu kelihatan, mereka menempati posisi yang menyenangkan dalam masyarakat. Dahulu, jika mereka eksis, mereka sama sekali tidak terlihat, menempati garis belakang dalam masyarakat; sekarang mereka maju melejit ke depan panggung dan menjadi karakter utama. Di sana tidak ada lagi protagonis di sana hanya ada chorus.

Konsepsinya orang-banyak adalah kuantitatif serta visual. Tanpa merubah sifat alamiah mereka marilah kita menterjemahkannya ke dalam istilah sosiologi. Tiba-tiba kita menyaksikan nasion dari “komunitas massa.” Komunitas adalah kesatuan yang dinamis terdiri dari dua faktor komponen: minoritas dan massa. Yang minoritas adalah individu atau grup individu yang secara khusus kualifaid. Massa adalah campur-bauran orang-orang yang sama sekali tidak kualifaid. Maknanya massa, lalu, bukanlah dapat diartikan, semata-mata atau terlebih-lebih, sebagai “massa pekerja.” Massa adalah manusia average. Dalam cara ini apa yang dahulunya kuantitas semata – orang-banyak – dirubah menjadi unsur kualitatif yang menentukan: ini menjadi kualitas sosial yang umum, manusia tidak berbeda dengan manusia lainnya, hanya sebagai yang selalunya sama bertipe umum. Apa yang kita dapati dari konversi ini yaitu dari kuantitas menjadi kualitas? Hanya ini belaka: melalui yang terakhir kita mengerti asal mula yang pertama. Adalah jelas hampir-hampir tidak usah disebut-sebut lagi bahwa terbentuknya orang-banyak ini lazimnya mengimplikasikan koinsidensi hasrat, ide maupun gaya hidup, dari para individu yang bersangkutan. Pendapat ini akan ditentang karena hal serupa ini pun terjadi pada setiap grup masyarakat. Ini benar, tetapi ada perbedaan yang hakiki. Pada grup-grup yang bercirikan bukan dari golongan massa dan orang-banyak, koinsidensi yang efektif dari anggotanya berdasarkan pada beberapa hasrat, ide dan ideal yang ini sendiri di luar mayoritas. Yang penting sebelum membentuk minoritas, apa saja bentuknya, setiap anggotanya harus memisahkan diri dari orang-banyak karena sebab khusus dan yang relatif sifatnya pribadi. Pertepatan mereka dengan yang lainnya yang

membentuk minoritas adalah hal sekunder, ini akibat dari perilaku mereka yang mengadopsi sifat kekhasan, lalu hingga ke tahap tertentu, satu kepertepatan dalam ketidakpertepatan. Ada kasus-kasus di mana sifat kekhasan grup itu tampak nyata sekali: grup orang-orang Inggris, yang menamakan diri mereka golongan “non-konformis,” di mana penggrupan bersama dari mereka yang setuju hanya pada ketidaksetujuan mereka pada orang-banyak yang tanpa batas itu. Berkumpulnya bersama golongan minoritas tepatnya untuk memisahkan diri mereka dari golongan mayoritas, ini elemen yang penting dalam pembentukan setiap minoritas. Berbicara mengenai publik yang terbatas yang mendengarkan seorang musikus santun, Mallarme secara jenaka mengatakan bahwa publik ini dalam kehadirannya yang sedikit mengaksentuasikan ketidakhadirannya gerombolan.

Bicara secara tepat, massa, sebagai fakta psikologis, dapat dikenali tanpa harus menunggu para individu untuk muncul dalam formasi massa. Dikehadiran seseorang kita dapat menentukan apakah ia “massa” atau bukan. Massa adalah segalanya yang tidak menetapkan nilai-nilainya sendiri – baik atau pun buruk – yang mendasar serta spesifik, tetapi merasa dirinya “seperti orang lainnya,” bahkan tidak perduli mengenainya; nyatanya, sangat bahagia untuk merasakan dirinya menyatu dengan setiap orang. Bayangkan seseorang yang rendah hati yang, setelah mencoba mengestimasi harga dirinya dalam bidang yang spesifik – bertanya diri sendiri apakah ia punya bakat untuk ini atau itu, apa ia bisa berhasil dalam berbagai tujuan – sadar bahwa ia tidak punya ketrampilan yang berkualitas. Manusia semacam ini akan merasakan bahwa ia adalah average dan biasa, tidak berbakat, tetapi ia tidak merasakan dirinya “massa.”

Ketika seseorang berbicara mengenai “minoritas terpilih” adalah lumrah bagi ia yang berpikiran jahat untuk melencengkan ekspresi ini, pura-pura tidak tahu bahwa manusia terpilih itu adalah orang yang cepat naik pitam yang merasa lebih superior dari yang lainnya, bukan manusia yang menuntut lebih dari dirinya sendiri dibandingkan yang lainya. Karena tidak ayal lagi bahwa pemisahan yang sangat radikal yang memungkinkan terbentuknya satu humanitas adalah pembagiannya ke dalam dua jenis mahluk: mereka yang membuat tuntutan-tuntutan besar pada dirinya sendiri, mengakumulasikan masalah-masalah dan tugas-tugas; dan mereka yang tidak menuntut apa-apa atas dirinya, tetapi hidup bagi mereka adalah sama selalunya, tanpa memaksakan diri mereka untuk berupaya menuju ke kesempurnaannya; hanya pelampung yang mengapung di atas gelombak ombak. Ini mengingatkan saya pada Budhisme ortodoks yang terdiri dari dua agama yang berbeda: yang satu lebih keras dan sulit yang lainya lebih mudah serta lebih sepele: Mahayana – “kendaraan besar” atau “jalan besar” – dan Hinayana – “kendaraan kecil.” Masalah yang menentukan ialah apakah kita melekatkan hidup kita pada kendaraan yang satu atau lainnya, pada tuntutan yang maksimal atau minimal pada diri kita.

Pembagian masyarakat yaitu massa dan minoritas terpilih lalu bukanlah pembagian kelas-kelas sosial tetapi kelas-kelas manusia, dan tidak bertepatan dengan perbedaan hirarki kelas “atas” dan kelas “bawah.” Ini tentunya, adalah nyata bahwa di kelas “atas” tersebut, bila mereka benar-benar demikian, lebih besar kemungkinannya untuk menemukan manusia yang mengadopsi “kendaraan besar,” di mana kelas “bawah” biasanya terdiri dari individu yang punya kualitas minus. Tetapi berbicara secara tepat, di kedua kelas sosial ini, dapat ditemukan massa dan minoritas sejati. Seperti yang akan kita lihat nanti, karakteristiknya zaman kita adalah predominannya massa juga vulgar, bahkan

dalam grup tradisional yang terpilih sekali pun. Maka, dalam kehidupan intelektual, yang pada hakikatnya membutuhkan serta menghendaki kualifikasi, seseorang dapat menyimak kemenangan yang progresif dari kaum inteklektual-semu, yang tidak kualifaid, tidak bisa dikualifaidkan, dan, dari sifat mentalnya, diskualifaid. Begitu pula, dalam grup “aristokrasi” yang masih ada, baik wanita maupun prianya. Di sisi lain, tidaklah langka saat ini di antara para pekerja, yang dahulunya dianggap sebagai contoh yang tepat bagi yang kita namakan “massa,” bermental serta berdisplin mulia.

Di sana lalu eksis, dalam masyarakat, berbagai cara bekerja, aktifitas dan fungsi yang sangat beragam, yang secara alamiah sangat khusus, oleh karena itu tidak dapat dikerjakan secara layak tanpa bakat spesial. Contohnya: kenikmatan tertentu pada karakter yang bersifat halus dan artistik, atau pada jalannya pemerintahan serta keputusan politik dalam perkara publik. Sebelumnya kegiatan khusus ini dikerjakan oleh mereka yang menuntut kualifikasi tersebut. Massa tidak berhak mencampuri mereka; mereka sadar jika mereka ingin untuk ikut campur mereka harus mendapatkan kualitas khusus dan harus berhenti menjadi massa. Dalam satu sistem sosial yang dinamis, mereka mengetahui tempat mereka.

Jika kita kembali pada fakta-fakta yang diindikasikan di awal mula, jelaslah bahwa fakta-fakta inilah yang menyebabkan berubahnya perilaku massa. Semua ini mengindikasikan bahwa massa telah memutuskan dirinya untuk maju melesat ke muka kehidupan sosial, untuk menduduki tempat-tempat, untuk menggunakan instrumen-instrumen serta untuk menikmati kenikmatan yang hingga sekarang pun dicadangkan bagi yang sedikit. Adalah jelas, misalnya, bahwa tempat-tempat tersebut tidak pernah dimaksudkan bagi orang-banyak, karena dimensinya sangat terbatas, dan khalayak ramai secara kontinyu berluberan; maka ini memperlihatkan ke mata kita dan dalam cara yang jelas sebuah fenomena baru: massa, tanpa berhenti menjadi massa, menggantikan minoritas.

Tidak seorang pun, saya yakin, akan menyesal bahwa manusia sekarang lebih banyak juga lebih sering menikmati hidupnya daripada sebelumnya, sejak mereka mempunyai keinginan dan sarana untuk memuaskannya. Kejahatan ini ada dalam fakta ini bahwa keputusan yang diambil oleh massa: mengira bahwa kegiatan yang relevan bagi minoritas bukan, dan mustahil dapat dimanifestasikan dalam domain kenikmatan, tetapi ini adalah sifat umum zaman kita. Maka – untuk mengantisipasi apa yang akan kita lihat nanti – saya percaya bahwa inovasi politik baru-baru ini menandakan setidak-tidaknya, dominasi politik massa. Demokrasi tua bercirikan dosis liberalisme yang tinggi dan entusiasme bagi hukum. Dengan mematuhi prinsip-prinsip ini si individu mengontrol dirinya menjalankan disiplin ke atas dirinya. Di bawah naungan prinsip liberal dan aturan undang-undang hukumnya, minoritas dapat hidup dan bertindak. Demokrasi dan hukum – hidup bersama di bawah hukum – adalah sama artinya. Sekarang kita menyaksikan kejayaan hyperdemokrasi di dalam mana massa bertindak langsung, di luar hukum, memaksakan aspirasinya dan hasratnya melalui tekanan materi. Ini adalah interpretasi yang salah tentang situasi saat ini bahwa massa telah tumbuh letih akan politik dan mengalihkan tugas ini kepada manusia spesialis. Malahan sebaliknya. Itu pernah terjadi dahulu; itu adalah demokrasi. Massa merasa yakin bahwa meski pun mereka punya banyak kekurangan dan kelemahan, kaum minoritas mengerti lebih baik tentang masalah publik daripada mereka sendiri. Sekarang, di sisi lainya, massa percaya bahwa ia punya hak untuk memaksa dan memberi kekuatan hukum ke atas ide-ide yang lahir di café-

café. Saya ragu apakah ada periode lainnya dalam sejarah di mana orang-banyak memerintah lebih langsung daripada dalam periode kita. Maka itulah mengapa saya berbicara mengenai hyperdemokrasi.

Serupa juga terjadi pada komunitas lainnya, khususnya komunitas para intelektual. Saya mungkin keliru, tetapi para penulis zaman kini, ketika ia meletakan pena ke tangannya untuk menulis satu subjek, yang ia telah pelajari secara mendalam, harus mengkonsider para pembaca-awam, yang tidak pernah perduli tentang subjek ini, jika ia membaca dengan maksud, tidak untuk belajar sesuatu dari sang penulis, tetapi untuk melafazkan vonis padanya ketika ia tidak setuju pada hal-hal lazim yang ada di benak pembacanya. Jika si individu yang bagian dari massa yakin mereka sangat kualifaid, ini hanyalah satu kasus kekeliruan pribadi, bukan satu revolusi sosial. Karakteristik zaman ini adalah pikiran yang umum, tahu bahwa ini adalah umum, punya keyakinan untuk menyatakan hak-hak dari keumumannya dan memaksakannya di mana saja ia kehendaki. Seperti yang mereka katakan di Amerika Serikat: “untuk menjadi berbeda adalah untuk menjadi tidak senonoh.” Massa menghancurkan apa saja yang ada di bawahnya, segala yang berbeda, segala yang unggul, individual, terpilih lagi kualifaid. Seseorang yang tidak seperti setiap orang, yang tidak berpikir seperti setiap orang menghadapi riskan untuk dieliminir. Dan adalah jelas, tentu saja, bahwa “setiap orang “ bukanlah “setiap orang.” “Setiap orang” dahulu lazimnya adalah satu kesatuan massa yang kompleks dan bermacam-macam, kaum minoritas spesialis. Sekarang, “setiap orang” adalah massa itu sendiri. Di sini kita mempunyai fakta yang menakutkan dari zaman ini, yang menggambarkan tanpa di sembunyi-sembunyikan lagi kebrutalan sifat-sifatnya.

II

Naiknya Permukaan Sejarah

MAKA, DEMIKIANLAH fakta yang menakutkan itu, tanpa di tutup-tutupi menggambarkan segala kebrutalan sifat-sifatnya. Ini adalah, terlebih-lebih, sama sekali baru dalam sejarah moderen peradaban kita. Tidak pernah, terjadi hal seperti ini dalam arah perkembangan sejarah. Jika kita ingin mendapatkan persamaannya kita harus melompat keluar sejarah moderen kita dan membenamkan diri kita ke dalam dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia kita hingga saat keruntuhannya. Sejarah Kerajaan Romawi adalah juga sejarah naiknya Kerajaan Massa, yang menyerap dan menganulir hukum-hukum kaum minoritas dan menempatkan diri mereka di tempat mereka. Lalu, ini pun, membuahkan fenomena agglomerasi, “yang penuh.” Karena sebab ini, seperti yang diobservasi oleh Spengler dengan seksama, sangat penting, juga di zaman sekarang, untuk membangun bangunan-bangunan raksasa. Zamannya massa adalah zaman kolosal.(1) Kita sedang hidup di bawah kerajaan massa yang brutal. Begitulah; saya telah dua kali menamakan kerajaan ini “brutal,” dan dengan demikian telah menghormat dewa kelaziman. Sekarang tiket ada di tangan saya, saya dengan gembira dapat masuk ke dalam subjek saya, melihat pertunjukan dari dalam. Atau mungkin setelah di pikir-pikir saya puas dengan deskripsi itu, mungkin sekali tepat adanya, tetapi sangatlah eksternal sifatnya; hanya sifat-sifatnya saja, atau pun aspeknya, namun di balik apa fakta yang besar ini memperlihatkan dirinya ketika dilihat dari sudut pandang masa lalu? Jika saya

meninggalkan masalah ini di sini dan secara langsung memotong makalah saya, para pembaca akan terus berpikir, dan ini pantas, bahwa bangkitnya massa ke atas permukaan sejarah, ini luar biasa, mengilhami saya dengan kata-kata penghinaan dan cercaan, serta rasa benci dan muak. Bahkan lebih-lebih lagi dalam kasus saya, sudah diketahui bahwa saya mensuport secara radikal interpretasi aristokratik tentang sejarah. Secara radikal, karena saya tidak pernah mengatakan bahwa masyarakat manusia musti menjadi aristokratik, tetapi lebih dari itu. Apa yang telah saya katakan, dan tetap percaya dengan keyakinan yang semakin bertambah, bahwa masyarakat manusia adalah, apa ia mau atau tidak, secara esensi selalu aristokratik, secara ekstrim adalah masyarakat, secara ukuran aristokratik, dan akan mati jika aristokratik mati. Tentu saja saya sekarang sedang membicarakan tentang masyarakat bukan State. Tidak seorang pun dapat membayangkan ini, di hadapan gejolaknya massa yang memukau, perilaku aristokratiklah yang harus ditampilkan, menyeringai congkak seperti gentelman dari Versailles. Versailles – Versailles yang merengus – tidak merepresentasikan aristokrasi; malah sebaliknya, yaitu, kematian dan kehancuran aristokrasi yang megah. Karena sebab itu, satu-satunya elemen kearistokrasian yang masih tertinggal dan masih ada ialah kelemah gemulaian agung dengan mana leher mereka menarik perhatian guillotine; mereka menerimanya bagaikan tumor menerima lanset. Tidak; bagi seseorang yang mengerti misi sejati aristokrasi, melihat pemandangan massa ini memberangsangkan serta membakarnya, bak seorang pemahat di depan batu pualam putih yang belum tersentuh. Walau bagaimana pun juga, kaum aristokrat tidak bisa dibandingkan dengan grup kecil yang mengklaim bagi dirinya sendiri nama masyarakat, yang menamakan dirinya sendiri “Masyarakat”; seseorang yang hidup dengan mengundang atau tidak mengundang satu sama lainnya. Sejak segala sesuatunya di dunia ini punya karakter dan misinya sendiri, maka di dalam dunia yang luas ini “dunia pintar” yang kecil pun punya karakter serta misinya sendiri, tetapi misi yang lebih inferior, tidak bisa dibandingkan dengan tugas sejati kaum aristokrat yang herkulean itu. Saya tidak akan menolak untuk mendiskusikan arti dunia pintar ini, dalam segala penampilannya tidak punya arti apa-apa, tetapi subjek kita, sekarang ini, salah satu dari bagian yang terbesar. Tentu saja, “masyarakat khas” serupa ini berjalan dengan waktu. Saya diberi satu santapan pikiran oleh gadis muda yang memekar, yang moderen penuh keremajaan, seorang bintang megah di angkasanya Madrid yang “pintar,” katanya pada saya: “saya tidak bisa menari satu kali pun jika yang di undang kurang dari delapan ratus orang.” Di balik frasa ini saya merasakan bahwa gayanya massa telah berjaya ke seluruh wilayah kehidupan moderen, dan memaksakan diri bahkan di pojok perlindungan yang tampaknya dicadangkan bagi “segelintir kecil manusia yang bahagia.”

Saya juga menolak interpretasi-interpretasi zaman kita yang tidak meletakan makna positif yang tertimbun oleh aturan-aturan massa, pada tempat yang layak dan hanya menerimanya saja dengan senang hati, tanpa ada rasa takut yang mengerikan. Setiap takdir adalah dramatik, sangat trajik sekali. Sesiapa yang tidak merasakan marabahaya zaman kita ini yang bergetaran di bawah sentuhan tangannya, belum lagi betul-betul menembus takdir yang vital itu, ia hanya mencukil-cukil permukaannya saja. Elemen yang menakutkan dalam takdirnya zaman kita ini disertai dengan gejolak moral penuh dengan kekerasan massa yang luar biasa; digjaya, memaksa dan mengkhianati, bagai takdir itu sendiri setiap saatnya. Kemana kita akan dibawanya? Apakah ke kejahatan mutlak atau ke kebaikan layak? Itu dia, kolosal, menunggangi zaman kita

seperti raksasa, sebuah nota pertanyaan kosmis, selalu tidak berbentuk, dengan sesuatu di dalamnya seperti guillotine atau tiang gantung, tetapi juga dengan sesuatu yang berikhtiar untuk memuaskan diri memasuki gapura kejayaannya.

Fakta yang harus kita serahkan untuk diuji mungkin dapat diformulasikan di bawah dua judul: pertama, sekarang dalam kehidupan masyarakat massa melakukan fungsi yang sama dengan mereka yang hingga saat ini tampaknya masih dicadangkan bagi minoritas; dan yang kedua, massa pada waktu bersamaan memperlihatkan diri mereka lancang ke minoritas – tidak mematuhi mereka, mengikuti mereka, atau menghormati mereka; sebaliknya mereka mendorong menyisihkan mereka dan menggantikannya.

Mari kita menganalisa apa yang akan terjadi di bawah judul yang pertama. Dengan ini saya maksudkan bahwa massa menikmati kesenangan dan menggunakan instrumen yang diciptakan oleh grup terpilih, dan yang hingga kini secara eksklusif subjek dari kaum minoritas; Mereka merasakan nafsu dan kebutuhan yang dahulunya dianggap sebagai penghalusan, sejak mereka pewaris kaum minoritas. Ambil satu contoh kecil: bagaimana mungkin ada sepuluh kamar mandi di tahun 1820, dalam sebuah rumah pribadi di Paris ( lihat Memoirs of Comtesse de Boigne). Tambahan pula, massa sekarang mengenal banyak keberhasilan teknis dan menggunakannya dengan cukup trampil, dahulu terbatas bagi individu spesialis. Dan ini bukan saja tentang teknik benda materi saja, tetapi lebih penting lagi, tentang hukum mau pun kemasyarakatan. Di Abad XVIII, grup minoritas tertentu melihat bahwa setiap insan manusia, hanya dengan fakta kelahirannya saja, tanpa membutuhkan kualifikasi khusus apa pun, mempunyai hak-hak politik tertentu yang mendasar, yang dinamakan hak-hak manusia dan warga; dan tambahan lagi, secara tegas, hak-hak ini, umum bagi semua, adalah satu-satunya yang eksis.

Hak-hak yang tersematkan karena pemberian khusus, dikutuk sebagai sebuah privilage. Ini dahulunya, hanya sebuah teori, ide dari segelintir orang belaka; lalu segelintir orang ini menggelindingkan ide ini, memaksakan dan mendesakan idenya masuk ke dalam praktek. Namun, selama kurun Abad XIX, massa, secara bertahap menjadi entusiastis bagi hak-hak tersebut sebagai satu ideal, tidak merasakannya sebagai hak, tidak menjalankannya atau mencoba untuk membuatnya berlaku, nyatanya, di bawah konstitusi yang demokratis, masih selalu merasakan dirinya di bawah rezim lama. “Rakyat” – dahulu dinamakan ini – “rakyat” belajar bahwa itu adalah superioritas, tetapi tidak mempercayainya. Sekarang ide ini dirubah menjadi realitas; bukan saja dalam legislasi yangmana adalah kerangka utama kehidupan bersama, tetapi juga dalam hati setiap individu, apa pun idenya itu, walau pun ia seorang reaksioner dalam idenya, yaitu, bahkan ketika ia menyerang serta mencerca institusi di mana semua hak-hak itu disanksikan. Menurut saya, seseorang yang tidak menyadari akan situasi moral yang ganjil dari massa, tidak akan dapat mengerti apa-apa mengenai apa yang sekarang mulai terjadi di dunia ini. Kesuperioran dari individu yang tidak kualifaid, dan dari manusia sebangsanya, secara umum, berubah dari ide atau ideal yuridis formal menjadi satu kondisi psikologis yang inheren dalam manusia average. Dan simak ini, manakala apa yang dahulunya ideal kemudian menjadi sebagian dari komponen realitas, dia tidak dapat tidak berhenti menjadi ideal. Prestise dan magis yang dikaitkan pada yang ideal pun menguap ke udara. Tuntutan bagi pemerataan yang dicetuskan oleh semangat demokrasi

yang berlimpahan berubah dari aspirasi dan ideal menjadi nafsu dan asumsi sembarangan.

Lalu arti dari pernyataan tentang hak-hak manusia ini tidak lain dan tidak bukan ialah untuk mengangkat harkat manusia dari dalam keperhambaan mereka dan menanamkan pada diri mereka satu kesadaran tertentu mengenai kemuliaan dan keberdayaan diri. Bukankah itu yang telah diharapkan untuk diperbuat, yakni, manusia average harus merasakan dirinya master, tuan penguasa dirinya serta kehidupannya? Nah, ini semua telah tercapai. Mengapa lalu, para liberal, demokrat, progresif mengeluh akan ini 30 tahun lalu? Atau, seperti anak-anak, mereka ingin sesuatu, tetapi tidak ingin akibatnya? Anda ingin manusia average menjadi tuan. Nah, jangan terkejut jika ia bertingkah sesuka hatinya, jika ia menuntut segala bentuk kesenangan, jika ia bersikeras mendesak kehendaknya, jika ia menolak segala macam pengabdian, jika ia berhenti menjadi jinak terhadap semua, jika ia memperhatikan dirinya dan waktu luangnya, jika ia berhati-hati terhadap pakaian: ini adalah beberapa sifat-sifat yang melekat secara permanen pada kepemimpinan yang semu di buat-buat. Sekarang kita dapatkan bahwa mereka hidup bersama manusia biasa, bersama massa.

Lalu keadaannya, demikian: kehidupan manusia biasa sekarang terjadi dari “repertoar vital,” yang dahulunya adalah karakternya kaum minoritas yang superior. Sekarang manusia average merupakan medan di atas mana sejarah dari setiap periode berlangsung; ia terhadap sejarah adalah seperti permukaan laut terhadap geografi. Jika, sekarang, permukaan rata-rata terletak di satu titik yang dahulunya dicapai oleh kaum aristokrat, maka makna penting dari ini semua adalah hanya ini belaka, bahwa permukaan sejarah telah naik – sehabis dipersiapkan lama di bawah tanah, ini benar – tetapi sekarang begitu tampak di mata, tiba-tiba, melonjak, dalam satu generasi. Kehidupan manusia secara menyeluruh naik lebih tinggi. Tentara masa kini, katakanlah, terdiri dari banyak perwira; tentara sekarang terdiri dari para perwira. Cukuplah sudah melihat enerji, keteguhan, serta kesantaian di mana setiap individu sekarang bergerak melalui kehidupannya, merenggut kenikmatan sesaat, memaksakan kemauan pribadinya.

Segala yang baik dan buruk di masa kini dan di masa datang yang tidak lama lagi hadir, mempunyai sebab dan akar dalam kenaikan permukaan sejarah secara umum. Tetapi di sini objek observasi yang sebelumnya tidak pernah kita lihat kini muncul dengan sendirinya. Faktanya bahwa taraf kehidupan biasa saat ini setingkat dengan kaum minoritas dahulu, fakta ini baru di Eropa, tetapi di Amerika ini alami, fakta yang “konstitusional.” Untuk mengerti pendapat saya, coba pembaca mengkaji masalah kesadaran akan ekualitas ini dihadapan hukum. Bahwa, kondisi psikologis yang berkenaan dengan keberdayaan diri dan ekualitas dengan orang lainnya, di Eropa, hanya grup-grup yang terkemuka sajalah yang berhasil mencapainya, tetapi di Amerika sejak Abad XVIII ( dan kemudian seterusnya ) ini sesuatu yang alami. Dan lagi-lagi satu koinsidensi, yang janggal, adalah demikian: ketika kondisi psikologis seperti ini muncul dari manusia biasa di Eropa, ketika derajat eksistensinya naik, gaya dan langgam hidup di Eropa dalam segala bidang sekonyong-konyong tampak berubah, menyebabkan banyak orang berkata: “Eropa terAmerikanisasi.” Mereka yang bicara demikian tidak menyimak dengan baik masalah ini; mereka pikir itu hanyalah masalah perubahan kebiasaan sepele, satu tren dan, tertipu oleh penampilan, yang disebabkan oleh beberapa pengaruh Amerika atau lainnya atas Eropa. Ini, menurut pikiran saya, semata-mata menyepelekan perkara yang lebih substil dan banyak mengandung kejutan-kejutan. Keramahan di sini mencoba

menggoda saya untuk mengatakan pada saudara saya di seberang lautan, bahwa nyatanya, Eropa terAmerikanisasi, dan ini karena pengaruh Amerika. Tetapi, tidaklah demikian, kebenaran konflik dengan keramahan; dan dia musti menang. Eropa belum lagi terAmerikanisasi; belum lagi menerima pengaruh besar dari Amerika. Mungkin baru saja mulai terjadi sekarang ini; tetapi tidak terjadi belakangan-belakangan ini dan sekarang berkembang. Banyak ide-ide semu menyesatkan bertebaran di sana-sini membutakan penglihatan orang Amerika dan Eropa. Kejayaan massa dan dampak besar dari meningkatnya level kehidupan terjadi di Eropa karena sebab-sebab internal, setelah dua abad pendidikannya orang-banyak menuju kemajuan, memperbaiki pemerataan ekonomi dalam masyarakat. Tetapi ini benar-benar terjadi, bahwa hasilnya bertepatan dengan ciri khas kehidupan orang Amerika; dan mengenai kepertepatan keadaan moral orang biasa di Amerika dan Eropa, terjadi untuk pertama kalinya, bahwa orang Eropa mengerti cara hidup orang Amerika, yang dahulunya sebuah misteri dan enigmatik. Jadi, masalahnya bukanlah keterpengaruhan, yangmana agak janggal, ini nyatanya adalah, “pengaruh-balik,” sesuatu yang tidak disangka, yakni, pemerataan. Sudah bisa dilihat secara samar-samar oleh orang Eropa, bahwa taraf hidup secara umum di Amerika lebih tinggi daripada di Dunia Lama. Ini adalah intuisi, yang pasti bisa dirasakan, jika tidak dianalisa faktanya, menyebabkan ide ini, selalu diterima, tidak pernah ditentang, bahwa masa depan ada di Amerika. Ini dapat dimengerti bahwa ide semacam ini, menyebar dan mengakar, tidak bertebaran di udara, seperti yang dikatakan bahwa pohon anggrek tumbuh tanpa akar di udara. Dasar dari semua ini adalah terrealisasinya peningkatan taraf hidup masyarakat umum di Amerika, sebaliknya taraf hidup yang lebih rendah bagi minoritas terpilih di sana dibandingkan Eropa. Tetapi, sejarah, seperti pertanian, mengambil makanannya dari lembah-lembah dan bukan dari ketinggian-ketinggian, dari masyarakat tingkat biasa bukan dari manusia utama.

Kita hidup dalam periode pemerataan; ada pemerataan keuntungan, pemerataan budaya di antara bermacam-macam kelas sosial, dan di antara kedua jenis kelamin. Nah, begitu pula ada pemerataan benua-benua, dan Eropa dari sudut pandang kehidupan vitalnya, dahulunya lebih rendah taraf hidupnya, kini telah mendapatkan keuntungan dari pemerataan ini. Akibatnya, dari keadaan ini, naiknya massa mengindikasikan peningkatan berbagai kemungkinan-kemungkinan vital, kebalikan dari apa yang kita selalu dengar mengenai Eropa yang dekaden. Ini adalah ekspresi keliru dan janggal tidak jelas apa yang telah dirujuk, apakah itu state Eropa, atau budaya Eropa, atau apa yang terbaring di bawah ini semua, dan yang lebih penting lagi, aktifitas kehidupan Eropa.

Tentang state dan budaya Eropa, kita akan jelaskan nanti – mungkin sudah cukup kita jelaskan ini – tetapi mengenai kehidupan, mari kita terangkan awal-awal bahwa kita berada dalam kekeliruan besar. Mungkin jika saya coba lagi, statement-statement saya akan tampak lebih meyakinkan dan lebih akurat; lalu, saya katakan, bahwa orang-orang average Italia, Spanyol, atau Jerman, sekarang tidak begitu berbeda gaya hidupnya dengan orang Amerika Utara atau pun Argentina daripada tiga puluh tahun lalu. Dan ini adalah satu fakta bahwa orang Amerika tidak boleh lupa.

III

Di Puncak Waktu

TATA ATURANNYA MASSA, lalu menawarkan aspek yang menguntungkan karena dia menyebabkan terangkatnya permukaan sejarah di segala bidang, dan memperlihatkan bahwa keadaan yang serba biasa sekarang bergerak ke altitude yang lebih tinggi, daripada kemarin. Ini membawa kita kepada suatu fakta bahwa hidup punya altitude yang berbeda-beda, dan ada arti yang dalam di kalimat yang tanpa arti kerap kali di ulang-ulang, ketika rakyat berkata tentang puncak waktunya kita. Sudah sepatutnya kita menimbang-nimbang dan berhenti di sini, karena hal ini menawarkan pada kita cara untuk menentukan salah satu dari karakter-karakter yang mengejutkan di masa ini.

Misal, telah dikatakan, bahwa hal ini atau hal itu tidaklah berharga bagi puncak waktu tertentu. Dan, nyatanya, bukanlah waktu kronologis yang abstrak, tataran temporal, tetapi waktu yang vital, apa yang disebut oleh setiap generasi “waktu kita,” yang selalu mempunyai satu peningkatan tertentu; lebih tinggi sekarang daripada kemarin, atau tetap di levelnya, atau jatuh ke bawah levelnya. Ide tentang kemerosotan ini ada dalam kata dekaden, asal-usul intuisi ini. Begitu pula, setiap individu mungkin, sedikit atau banyak, merasakan hubungan antara kehidupannya dengan puncak waktu yang ia alami sendiri. Ada mereka yang merasakan di tengah-tengah proses merealisasikan diri, eksistensinya seperti kapal karam, tidak dapat menengadahkan kepalanya ke atas permukaan air. Tempo gerak yang cepat dari segalanya saat ini, semua itu dikerjakan dengan tenaga serta enerji, menyebabkan kepedihan pada manusia kuno, dan kepedihan ini adalah tolok-ukur perbedaan antara debaran denyut pulsanya dan getaran denyut pulsa waktu saat ini. Di sisi lainnya, seseorang yang hidupnya ikhlas dan rukun dengan realitas, ia sadar akan keterpautan antara level waktu kita dan bermacam-macam waktu silam. Keterpautan apakah ini?

Adalah keliru untuk mengira bahwa manusia dari zaman tertentu selalu melihat waktu silam di bawah levelnya, semata-mata karena itu masa lalu. Cukuplah untuk mengingat andai-andainya Jorge Manrique, “Setiap masa lalu adalah lebih baik.” Tetapi ini tidaklah benar. Tidak semua zaman merasakan dirinya inferior ke zaman silam, tidak pula mereka percaya lebih superior ke zaman sebelumnya. Bahkan setiap periode sejarah memperlihatkan perasaan berbeda tentang fenomena altitude vital yang janggal ini, dan saya terperanjat bahwa para pemikir dan para sejarawan tidak pernah menyimak fakta yang penting ini. Secara kasarnya, impresi yang digambarkan oleh Jorge Manrique itu tentunya sangatlah umum. Sebagian besar dari periode sejarah tidak melihat dirinya superior ke zaman lalu. Sebaliknya, sangatlah lazim bagi seseorang untuk bermimpi akan masa-masa yang lebih baik di zaman lampau yang remang-remang, akan eksistensi yang lebih penuh; akan “zaman keemasan,” seperti yang diajari bangsa Yunani dicapai bangsa Romawi; Alcheringa bagi suku semak-semak di Australia. Ini mengindikasikan, bahwa orang-orang seperti ini merasakan bahwa getaran denyut hidup mereka kurang penuh kekuatannya, tidak sanggup secara penuh membanjiri nadi-nadi darahnya. Bagi sebab ini mereka melihat dengan rasa hormat ke masa silam, ke masa “klasik,” ketika eksistensi tampaknya lebih penuh, lebih kaya, lebih sempurna serta lebih aktif daripada kehidupan di zamannya. Seraya mereka melihat ke belakang dan memvisualisasikan zaman-zaman yang lebih berharga, mereka punya perasaan, bukan untuk mendominasinya, tetapi,

sebaliknya, turun ke bawahnya, seperti derajat suhu temperatur, andaikan dia punya kesadaran, merasakan bahwa dalam dirinya tidak mengandung derajat yang lebih tinggi, bahwa ada banyak kalori di dalamnya daripada di dalam dirinya. Dari tahun 150 M ke atas, impresi tentang penyusutan vitalitas, tentang jatuhnya posisi, tentang pembusukan dan hilangnya detak denyut, ini kerap dirasakan di Kerajaan Romawi. Bukankah Horace pernah menyanyikan: “Bapak kita lebih hina dari kakek kita, melahirkan kita yang bahkan lebih hina lagi, dan kita akan melahirkan keturunan yang lebih-lebih hina lagi?” (1)

Dua abad kemudian, tidak cukup ada orang Italia di seluruh Kerajaan yang punya keberanian untuk memenuhi jabatan sebagai tentara, lalu, adalah penting untuk menyewa orang lain bagi jabatan ini, mula-mula orang Dalmatian, kemudian orang Barbarian dari Danube dan Rhine. Sementara itu, para wanitanya jadi mandul, ini mendepopulasikan Italia.

Mari kita bergulir ke zaman lainnya yang memiliki prinsip vital, yang tampaknya berlawanan dengan yang terdahulu. Kita punya fenomena ganjil yang sangat penting untuk dijelaskan. Ketika, tidak lebih dari tiga puluh tahun lalu, para politikus terbiasa untuk berorasi di hadapan banyak orang, kebiasaan mereka untuk menghujat ketetapan-ketetapan ini dan itu dari Pemerintah, keberlebih-lebihannya atau pun lainnya, dengan mengatakan bahwa semua itu tidak berguna di zaman yang sudah maju seperti ini. Adalah ganjil untuk diingat bahwa kita mendapatkan frasa yang sama yang dipergunakan oleh Trajan, dalam suratnya yang terkenal itu kepada Pliny, menasihatkan untuk tidak menghukum orang-orang Kristen, berdasarkan tuduhan-tuduhan keji yang anonim: nec nostri saeculi est. Lalu, dalam berbagai periode sejarah, ada yang merasakan telah mencapai ketinggian penuhnya, satu periode di mana dikirakan bahwa akhir dari perjalanan telah dicapai, satu kerinduan hasrat tercapai, satu harapan terpenuhi seluruhnya. Ini adalah “zaman kesempurnaan,” matangnya kehidupan sejarah. Dan, nyatanya, tiga puluh tahun lalu, orang Eropa percaya bahwa apa yang seharusnya mereka itu, telah terrealisir, apa yang generasi sebelumnya harapkan, apa yang selanjutnya akan menjadi. Zaman kesempurnaan ini selalu menganggap dirinya sebagai hasil dari periode-periode persiapan, zaman-zaman lainnya yang mendahului mereka, zaman yang tidak sempurna, lebih inferior dari zamannya, di atas mana zaman yang penuh bunga-bungaan ini muncul. Dilihat dari atas, kesan yang didapat dari periode yang mendahuluinya, bahwa selama itu hidup hanyalah sekedar perkara kerinduan dan ilusi yang tidak terpenuhi, hasrat yang tidak terpuaskan, antisipator yang bersemangat, bagi satu waktu yang “belum tiba,” yang penuh kontradiksi antara aspirasi yang definit dan realitas yang tidak sesuai dengannya. Begitulah Abad ke XIX melihat ke Zaman Pertengahan. Sejauh ini, tiba masanya di mana hasrat-hasrat lama, kadang-kadang langgeng, tampaknya terpenuhi, realitas menerimanya dan pasrah padanya. Kita telah sampai ke ketinggian yang kita hendaki, gol yang kita harapkan, puncaknya waktu. Ke “belum tiba” telah berhasil dicapai “akhirnya.”

Ini adalah perasaan mengenai waktunya mereka, dan abad-abad yang telah dialami bapak-bapak kita. Mari jangan kita lupakan ini; waktu kita adalah waktu yang mengikuti periode yang sempurna. Lalu tidak dapat dielakan lagi bahwa manusia yang hidup di seberang tepian sungai, manusia zaman kesempurnaan yang baru saja berlalu, melihat segalanya dari sudut pandang opininya sendiri, menderita karena ilusi optik, yang menganggap zaman kita sebagai yang jatuh dari zaman kesempurnaan, sebagai periode dekaden. Tetapi murid seumur hidup dari ilmu sejarah, sungut pengindera denyut waktu,

tidak mengizinkan dirinya tertipu oleh sistem optik yang berdasarkan periode kesempurnan yang imajiner. Seperti apa yang saya pernah katakan, bagi “masa yang sempurna,” untuk eksis, adalah penting bahwa satu hasrat yang di nanti-nanti, menyeret-nyeret diri, bimbang, penuh semangat, melalui abad-abad, akhirnya terpuaskan, dan nyatanya periode yang sempurna ini adalah zaman yang memuaskan dirinya sendiri; kadang, seperti Abad XIX, ini lebih dari pemuasan-diri. (2) Tetapi sekarang kita mulai menyadari bahwa abad-abad itu, sangatlah memanjakan diri, sangat sempurna, jiwanya mati di dalam. Kesejatian integritas yang vital bukan terdiri dari kepuasan, keberhasilan, pencapaian. Seperti yang dikatakan oleh Cervantes dahulu: “Jalan itu lebih baik daripada rumah penginapan.” Ketika satu periode terpuaskan hasratnya, idealnya, ini berarti dia menghasratkan tidak satu apa pun lagi; sumur penghasratan kemudian mengering. Yaitu, kesempurnaan kita yang masyur itu dalam realitasnya telah mencapai keakhirannya. Ada abad-abad yang mati karena pemuasan-diri, tidak mengetahui bagaimana memperbaharui hasrat-hasrat mereka, persis serupa laba-laba jantan yang ceria mati setelah penerbangan nuptialnya. (3)

Dari sini kita mendapatkan fakta yang menakjubkan, bahwa zaman yang dinamakan zaman kesempurnaan itu selalu merasakan dalam kesadaran batinnya yang dalam, satu bentuk kesedihan yang khas. Hasrat-hasrat yang telah lama terkonsepsi, yang akhirnya disadari di abad XIX, yang dinamakan oleh dirinya, dalam kata-kata sebagai “budaya moderen.” Dari namanya saja sudah mengacaukan; dia menamakan dirinya “moderen,” yakni, final, definit, dikehadirannya segalanya hanya masa lampau, masa persiapan dan aspirasi yang hina untuk menuju masa kini. Anak panah yang bebal, tidak mengenakan sasarannya!(4)

Sudahkah kita di sini menyentuh masalah perbedaan yang esensial antara zaman kita dan zaman yang baru saja berlalu? Zaman kita, nyatanya, tidak menganggap dirinya definit; sebaliknya, dia menemukan, walau hanya samar-samar, jauh di dalam dirinya, satu intuisi, bahwa tidaklah ada satu zaman yang definit, yang pasti, yang terkristalisasi selamanya. Malah, sebaliknya, klaim bahwa satu tipe eksistensi – yang dinamakan “budaya moderen” – itu definit ini bagi kita adalah satu penyempitan dan pemblokasian medan visi. Dan sebagai efek dari perasaan ini, kita menikmati satu impresi menyenangkan seperti layaknya ke luar dari ruang yang tertutup rapat kedap udara, mendapatkan kembali kebebasan, keluar sekali lagi ke bawah bintang-gemintang, ke realitas dunia, dunia yang dalam, yang menakutkan, yang tidak terkirakan, yang tidak kenal lelah, di mana segalanya adalah mungkin, bagi yang terbaik mau pun terjelek. Mempercayai budaya moderen ini memuramkan. Artinya, bahwa esok dalam segala esensinya haruslah sama ke hari ini, bahwa kemajuan adalah berupa kecanggihan belaka, setiap waktu, di sepanjang jalan yang ditempuh selalu identik dengan yang baru saja kita lalui. Jalan yang sedemikian agaknya semacam penjara elastis yang melar selalu tanpa bisa membebaskan kita. Mula berdirinya Kerajaan, beberapa budayawan provinsial – Lucan atau Seneca – tiba di Roma, dan melihat kemegahan gedung imperial, simbul dari power yang lestari, ia merasakan hatinya mengecil. Tidak ada yang baru bisa terjadi di dunia. Roma abadi. Dan jika ada rasa kesenduan akan puing reruntuhan yang timbul ke atas diri mereka bagai membuang nafas karena bau apek air mampet, para budayawan provinsial yang peka ini merasakan kesenduan tidak kurang beratnya, walau ini berlawanan: kesenduan akan bangunan-bangunan yang berarti keabadian.

Kontras dengan situasi yang emosional ini, tidakkah ini jelas bahwa perasaan mengenai waktunya kita ini seperti kegaduhan ceria anak-anak yang baru keluar sekolah? Sekarang-sekarang ini kita tidak bisa lagi tahu apa yang akan terjadi di dunia keesokan harinya, dan ini menyebabkan kegembiraan yang tidak terkirakan: karena kemustahilan untuk melihat apa yang akan terjadi, maka cakrawala selalu terbuka bagi setiap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, ini merupakan satu kehidupan yang sejati, keberlimpahan yang sejati dari eksistensi kita. Diagnosa ini, serta aspek-aspek lainnya, memang benar tidak ada, sangat kontras dengan apa yang dituduhkan oleh orang yang dekaden, yang selalu mengerang di halaman-halaman buku para penulis kontemporer. Kita hidup dalam ilusi optik yang terjadi karena berbagai multiplisitas sebab-sebab. Saya akan menanggapi sebab-sebab ini di lain kesempatan; saat ini saya ingin melanjutkan ke hal yang lebih nyata. Terlahir dari fakta ini bahwa, kesetiaan pada suatu ideologi tertentu, menurut saya adalah kuno, hanya aspek-aspek politik dan budaya saja yang diperhitungkan, tidak disadari bahwa semua itu hanyalah permukaan sejarah belaka; seyogyanya lebih menggandrungi sesuatu yang lebih daripada itu, yaitu, realitas sejarah, yakni kekuatan biologi itu sendiri yangmana adalah vitalitas murni, dan manusia adalah semacam enerji kosmis, bukan hanya identik dengannya, tetapi juga berhubungan dengannya, sang enerji, yang menggejolakan samudera, menyuburkan binatang, menyebabkan pepohonan berbunga, dan bintang-gemintang bersinar terang.

Sebagai konter diagnosanya kaum pesimis, saya mengusulkan beberapa pertimbangan di bawah ini. Dekaden adalah, satu konsep yang sifatnya komperatif tentunya. Kemerosotan itu adalah turunnya yang lebih atas ke yang lebih bawah. Tetapi perbandingan ini bisa saja dibuat dari berbagai sudut perspektif, yang bisa dibayangkan. Bagi para manufaktur cangklong amber, ini adalah dunia yang dekaden, karena hampir tidak ada lagi orang yang merokok memakai cangklong amber. Contoh lainnya mungkin lebih terhormat daripada ini, tetapi bicara secara lugas tidak seorang pun yang dapat bebas dari keberat-sebelahan, tanpa bias, yaitu eksternal ke kehidupan itu sendiri yang unsur-unsurnya akan kita uji kemurniannya. Hanya ada satu perspektif yang alami serta dapat dibuktikan kebenarannya: untuk mengambil bagian dalam kehidupan itu sendiri, melihat dari dalamnya, apakah dia merasakan dekaden, yakni, penyusutan, pelemahan, hambar. Bahkan ketika kita melihat dari dalam, bagaimana kita bisa tahu bahwa kehidupan itu sendiri merasakan kemerosotan atau tidak? Bagi saya pasti ada gejala yang sangat menentukan sifatnya: yaitu kehidupan yang tidak memilih eksistensinya sendiri, ini benar-benar tidak dapat disebut sebagai dekaden. Ini adalah maksud dan tujuan semua diskursus tentang masalah puncak waktu yang saya bicarakan itu, dan ternyata, tepatnya sejauh yang saya ketahui, dalam catatan sejarah, bahwa zaman kita dalam hal ini mengalami perasaan yang ganjil serta unik.

Di balai tamu pertemuan abad lalu di sana tidak di sangka tiba waktunya ketika para wanita dan para pujangga jinaknya membuat satu pertanyaan ke satu sama lainnya: “Di waktu periode apakah kalian ingin hidup?” dan langsung saja satu persatu dari mereka, membuat satu bundel eksistensi pribadi, dan mulai mengembara melalui lorong-lorong sejarah mencari satu periode yang cocok dan disenangi bagi eksistensinya. Dan sebabnya adalah ini, walau pun merasakan dirinya, dan terasakan, telah mencapai kesempurnaan, kenyataannya Abad XIX masih melekat ke masa lalu, dikiranya dia berdiri di puncak masa lalu, melihat dirinya sebagai puncak masa lalu. Tetapi dia masih percaya pada periode-periode yang secara relatif klasik – zamannya Perikles,

Renaissance – di zaman itu nilai-nilai yang sekarang berlaku dipersiapkan. Ini sudahlah cukup untuk membuat kita curiga pada periode kesempurnaan; mereka menghadapkan muka mereka ke belakang, mata mereka menatap kemasa lampau yang mereka anggap sempurna.

Dan sekarang, apa jawaban yang tulus dari manusia yang mewakili zaman sekarang, jika pertanyaan-pertanyaan serupa itu ditujukan padanya? Saya pikir, saya tidak sangsi lagi akan itu: segala masa lalu, tanpa kecuali, akan menimbulkan perasaan keterbatasan ruang di mana ia tidak dapat bernafas.Yakni, manusia zaman sekarang merasakan bahwa hidupnya lebih hidup daripada setiap kehidupan masa lalu lainnya, atau, dengan kata lain, segala keseluruhan masa lampau tampaknya kecil dibandingkan dengan humanitas yang aktual. Intuisi, secara terang-terangan tidak mengakui setiap pendapat mengenai dekaden yang secara tidak hati-hati dipikirkan. Pertama, kehidupan kita saat ini merasakan dirinya lebih luas daripada kehidupan sebelumnya. Bagaimana bisa dia menganggap dirinya dekaden? Malah sebaliknya, dengan menganggap dirinya semata-mata “lebih” hidup, dia kehilangan segala rasa hormat, segala pertimbangan mengenai masa lampau. Kemudian untuk pertama kali kita bertemu dengan satu periode yang menebar tabula rasa ke segala klasikisme, tidak mengakui apa-apa yang masa lampau sebagai model panutan atau standar, dan tampil seperti apa adanya beberapa abad lamanya tanpa memutuskan rantai evolusi, namun melahirkan satu impresi akan satu permulaan, satu fajar, satu inisiasi, satu awalan. Lalu kita menengok ke belakang, dan zaman Renaissance yang termashur itu kemudian memperlihatkan dirinya sebagai satu periode provinsialisme sempit, simbul-simbul yang sepele – mengapa tidak dikatakan seperti ini? – normal.

Beberapa tahun lalu saya menyimpulkan keadaan ini sebagai berikut: “bahwa yang mati itu tidaklah sepertinya mati, tetapi memang benar-benar mati; mereka tidak dapat menolong kita lagi. Sisa-sisa semangat tradisional menguap. Panutan-panutan, norma-norma, standar-standar tidak lagi berguna bagi kita. Kita harus menyelsaikan masalah kita tanpa bantuan aktif masa lalu, dalam kenyataan yang sebenarnya, apakah itu masalah seni, sains, atau politik, Eropa berdiri sendiri, tanpa hantu hidup di sisinya; seperti Peter Schlemich, ia telah kehilangan bayangannya. Ini selalu terjadi ketika tengah hari tiba.” (5)

Kemudian, apa makna dari kata “puncak waktu kita?” Bukanlah kesempurnaan waktu, namun merasakan dirinya superior ke masa lalu, dan melebihi segala kesempurnaan yang pernah diketahuinya. Tidaklah mudah untuk memformulasikan impresi yang telah dihasilkan zaman kita ini; dia percaya dirinya sendiri melebihi segalanya, dan pada saat yang sama merasa bahwa dia adalah satu permulaan. Ekspresi apa yang kita akan berikan padanya? Mungkin ini: superior ke zaman-zaman lainnya, inferior ke zamannya. Memang, kuat dan pada saat yang sama nasibnya tidak menentu; bangga pada kekuatannya pada saat yang sama takut akan kekuatannya.

IV

Peningkatan Kehidupan

TATA ATURANNYA MASSA dan peningkatan level, puncak waktu seperti yang tersirat ini, hanya gejala dari sebuah fakta yang paling menyeluruh dan paling umum.

Fakta yang sangat absurd dan luar biasa karena kesederhanaan serta keakuratan kebenarannya. Ini adalah demikian, dunia tiba-tiba menjadi besar, kehidupan itu sendiri bersamanya dan di dalamnya. Mulanya adalah begini, karakter kehidupan menjadi, secara aktual, mengglobal; maksud saya ialah, isi eksistensi bagi manusia average saat ini juga termasuk seluruh planet raya; setiap individu terbiasa hidup mengglobal. Lebih dari setahun yang lalu orang Seville dapat mengikuti, setiap jamnya, dari surat kabar, apa yang terjadi pada beberapa orang di Kutub Utara; dalam kata lain, bahwa bungkah gunung es hanyut meliwati teriknya lanskap Andalusia. Setiap bagian dari dunia tidak lagi terkungkung dalam posisi geometriknya, bagi maksud dan tujuan kehidupan, manusia bertindak ke atas sebagian dari planet raya ini. Sesuai dengan prinsip fisika bahwa sesuatu itu ada bilamana efeknya bisa dirasakan, kita bisa menentukan sifat hari ini pada setiap titik di dunia, keuniversalan yang sangat efektif. Mendekatnya yang jauh, hadirnya yang absen, ini telah meluaskan lintang cakrawala setiap individu.

Dan dunia juga bertambah dari sudut pandang waktu. Prasejarah dan arkeologi telah menemukan periode-periode sejarah kuno yang sangat mencengangkan. Seluruh peradaban-peradaban dan kerajaan-kerajaan yang sebelumnya tidak pernah diketahui nama dan keberadaannya, kini telah dikaitkan ke pengetahuan kita bagai benua-benua baru saja layaknya. Berita-berita bergambar dari surat-surat kabar dan film-film telah membawa bagian-bagian dari dunia yang jauh langsung kehadapan orang-banyak.

Tetapi bertambahnya ruang dan waktu yang duniawiah itu sendiri tidak memberikan arti apa-apa. Ruang dan waktu yang lahiriah semata-mata adalah aspek yang sangat bodoh jagad raya. Oleh karena itu, banyak alasan-alasan yang dibesar-besarkan melampau batas mengenai pemujaan semata-mata pada kecepatan, yang sangat dilangen saat ini oleh masyarakat kontemporer kita. Kecepatan yang terdiri dari ruang dan waktu, tidak kurang bodohnya dari kedua unsur-unsurnya, tetapi membantu meniadakan kedua unsur tersebut. Satu kebodohan hanya dapat diatasi oleh kebodohan lainnya. Ini adalah masalah kehormatan bagi seseorang untuk berjaya melawan ruang dan waktu kosmis,(1)

yangmana keseluruhannya adalah hampa makna, tidak ada alasan untuk terkejut pada fakta ini, bahwa kita mendapatkan kenikmatan seperti anak kecil dari pelangenan pada kecepatan belaka, yang dengan mana kita membunuh ruang dan mencekik waktu. Dengan menganulir mereka, kita memberikan mereka kehidupan, kita membuat mereka melayani maksud-maksud vital, kita bisa berada di beberapa tempat daripada sebelumnya, menikmati kepergian-kepergian dan kedatangan-kedatangan kita, menghabiskan lebih banyak waktu kosmis dan lebih sedikit waktu vital.

Tetapi dalam segalanya, peningkatan yang lebih penting lagi di dunia kita itu tidaklah bergantung dari seberapa besar dimensinya, tetapi bergantung dari berapa banyak sesuatu di dalamnya. Sesuatu itu – kata-kata ini harus diakui sebagai yang lazim dan benar – adalah sesuatu yang kita bisa menghasratinya, mencobanya, mengerjakannya, melepaskannya, mengalaminya, menikmatinya atau membencinya; segala gagasan yang menyiratkan aktifitas vital. Misalnya, ambil contoh, sebuah aktifitas sehari-hari; membeli, contohnya. Bayangkan dua orang, yang satu adalah manusia masa kini dan yang lainnya manusia Abad XVIII, mereka mempunyai harta yang sama banyaknya, secara relatif di periode mereka masing-masing, dan bandingkan banyaknya stok barang yang dapat dibeli yang ditawarkan kepada mereka. Perbedaannya adalah mencengangkan. Jangkauan kemungkinan yang terbuka bagi si pembeli manusia masa kini secara praktis tidak terbatas. Tidaklah mudah untuk memikirkan dan mengharapkan

segalanya yang tidak ada di pasar, dan sebaliknya, tidaklah mungkin bagi seseorang untuk mengharapkan dan memikirkan segalanya yang secara aktual ditawarkan untuk dijual. Saya akan diberi tahu bahwa dengan harta yang secara relatif sama banyaknya, manusia masa kini tidak dapat membeli lebih banyak barang dibandingkan manusia Abad XVIII. Ini tidaklah demikian. Banyak sekali yang dapat dibeli sekarang, karena manufaktur telah memurahkan segala produk. Walau bagaimana pun juga, jika memanglah demikian – ini tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah saya tetapi hanya menekankan akan apa yang akan saya katakan nanti. Aktifitas pembelian berhenti jika keputusan untuk membeli sesuatu barang tertentu telah dicapai, tetapi bagi sebab ini sebelumnya telah terjadi suatu keputusan untuk memilih, dan perbuatan memilih itu mulai terjadi ketika seseorang menempatkan dirinya ke hadapan segala macam kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan di pasar. Arti kehidupan itu adalah, dalam aspek “pembeliannya,” terutamanya berkenaan dengan kemungkinan-kemungkinan pembelian serupa itu. Ketika seseorang berbicara mengenai kehidupan, mereka umumnya lupa akan sesuatu yang bagiku adalah penting, yaitu, bahwa eksistensi itu adalah, setiap detiknya dan terutamanya, kesadaran mengenai apa yang mungkin bagi kita. Jika dalam setiap saat kita berhadapan dengan tidak lebih dari satu kemungkinan, akan sia-sia lah untuk menamakan ini kemungkinan. Malah itu hanya suatu nesesitas murni saja. Tetapi inilah dia: fakta yang sangat janggal, bahwa kondisi yang sangat fundamental dari eksistensi kita adalah keberadaan berbagai macam prospek setiap saatnya, oleh kebermacamannya, prospek itu memperoleh karakter kemungkinannya, di sekelilingnya kita harus membuat pilihan.(2) Untuk berkata kehidupan itu adalah sama dengan berkata kita menempatkan diri kita dalam satu atmosfir kemungkinan-kemungkinan yang definit. Atmosfir ini bisa kita namakan “keadaan” kita. Segala kehidupan berarti mendapatkan diri kita dalam “keadaan” atau di sekeliling dunia kita.(3) Karena ini adalah arti yang mendasar dari kata yang ideal “dunia” itu. Dunia adalah jumlah-total dari seluruh kemungkinan-kemungkinan vital kita. Itu bukanlah sesuatu yang terpisah dan asing bagi eksistensi kita, itu adalah lingkungan yang aktual. Ini merepresentasikan siapa diri kita sebenarnya, potensial vital kita. Ini harus disimplifikasikan agar menjadi kongkrit dan terrealisir, atau dengan kata lain, kita hanya dapat menjadi sebagian dari apa yang mungkin bagi kita untuk menjadi. Lalu, dunia tampaknya sebagai sesuatu yang sangat besar, dan diri kita hanyalah sesuatu yang sangat kecil sekali di dalamnya. Dunia atau kemungkinan eksistensi kita selalu lebih besar daripada takdir atau eksistensi aktual kita. Tetapi apa yang saya ingin jelaskan barusan tadi adalah bahwa jangkauan kehidupan manusia telah meluas dalam dimensi potensialitasnya. Dia sekarang dapat meraih kapasitas kemungkinan-kemungkinan lebih luas dan tidak terkirakan daripada sebelumnya. Dalam hal intelektual, kini ditemukan lebih banyak “jalan-jalan pemikiran,” lebih banyak problema-problema, lebih banyak data, lebih banyak sains, lebih banyak opini-opini. Di mana jumlah profesi di zaman primitif hampir-hampir dapat dihitung dengan jari – penggembala, pemburu, tentara, ahli nujum – jenis pekerjaan non-profesioanl sekarang tidak terhingga banyaknya. Ini hampir serupa juga terjadi pada kenikmatan, walau ( dan ini adalah satu fenomena yang tampaknya lebih penting ) katalog kenikmatan tidaklah begitu membanjir seperti aspek-aspek kehidupan lainnya. Namun, bagi orang-orang kelas menengah yang hidup di kota-kota besar – kota besar merepresentasikan eksistensi moderen – kemungkinan-kemungkinan kenikmatan bertambah, di abad sekarang ini, dalam proporsi yang fantastis. Tetapi peningkatan

potensi vitalitas tidaklah terbatas pada apa yang kita telah sebutkan tadi. Dia juga tumbuh ke arah yang lebih langsung dan misterius. Ini adalah fakta yang mantap dan diketahui, bahwa olah tenaga di bidang olah raga, performanya “meningkat” sekarang melebihi apa yang diketahui dahulu. Tidaklah cukup untuk terpukau pada setiap sesuatu yang partikular dan menyimak bahwa ia memecahkan rekor tertentu, kita harus menyimak pula impresinya yang setiap kali tertancap di benaknya, meyakinkan kita bahwa organisme manusia di zaman kita kapasitasnya lebih superior daripada yang pernah dimiliki sebelumnya. Juga terjadi yang serupa terhadap sains. Tidak lebih dari satu dekade yang lalu, sains telah menjangkau begitu luasnya cakrawala kosmis. Fisikanya Einstein bergerak melaui ruang secepat kilat, bahwa fisikanya Newton tampak secara komparatif terkurung di para-para.(4) Dan peningkatan yang ekstensif ini adalah karena peningkatan presisi yang intensif dari sains. Fisikanya Einstein lahir melalui ketelitiannya terhadap perbedaan detail walau kecil yang dahulunya dibenci bahkan diabaikan sebagai tidak penting. Atom, dahulunya adalah batas yang final dari dunia ini, sekarang malah membesar sebegitu jauhnya dan menjadi satu sistem planet. Berbicara mengenai ini semua saya tidak mengemukakan betapa pentingnya semua itu dalam menyempurnakan budaya – ini tidak menarik hati saya – tetapi dalam keterkaitannya dengan peningkatan potensi yang subjektif yang tersirat itu. Saya tidak menekankan bahwa fisikanya Einstein lebih pasti daripada fisikanya Newton, tetapi Einstein lebih arif dalam kepastiannya dan kebebasan ruh(5) daripada Newton; seperti pertandingan tinju sekarang seseorang dapat memberikan pukulan “tonjokan” lebih keras daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Seperti bioskop, ilustrasi-ilustrasi jurnal menghadirkan kehadapan mata manusia average tempat-tempat yang jauh di planet, surat-surat kabar dan pembicaraan-pembicaraan memberikan mereka informasi tentang hal-hal yang istimewa intelektual, yang dikonfirmasikan oleh aparatus tenik yang baru diciptakan yang ia lihat di etalase toko. Semua ini memenuhi benaknya dengan satu impresi akan potensialitas yang tidak terkirakan besarnya. Apa yang baru saja saya paparkan tadi tidaklah bermaksud untuk menyimpulkan bahwa kehidupan manusia sekarang lebih baik daripada zaman-zaman lainnya. Saya tidak berkata tentang kualitas eksistensi yang aktual, tetapi kuantitas kepesatan peningkatan potensinya. Saya percaya bahwa saya telah memberikan deskripsi yang tepat tentang nurani manusia zaman sekarang, kekuatan vitalnya, yang menganggap dan merasakan dirinya mempunyai potensi lebih besar daripada sebelumnya, dan segalanya yang terdahulu tampaknya kerdil karena perbedaan ini. Deskripsi ini penting demi melafazkan dekaden, khususnya dekaden dunia Barat, yang menyumpeki udara selama selang dekade lalu. Ingat kembali argumentasi saya yang saya ajukan, yang tampaknya sangat sederhana namun juga sangat jelas. Adalah nihil untuk berkata mengenai dekaden tanpa membuat penjelasan tentang apa yang sedang membusuk itu. Apakah istilah yang pesimistis itu merujuk pada kebudayaan? Adakah dekaden dalam kebudayaan Eropa? Atau mungkin hanya dekaden dalam organisasi nasional Eropa? Mari kita ambil ini sebagai kasusnya. Apakah kita punya hak untuk berbicara mengenai dekaden Eropa? Silahkan saja, karena kedua bentuk dekaden ini hanyalah kemerosotan parsial yang menyangkut unsur sekunder sejarah – budaya dan nasionalitas. Hanya ada satu dekaden yang mutlak; ini terdiri dari penurunan vitalitas, dan ini hanya eksis jika dia merasakannya. Untuk sebab ini saya sengaja menunda membicarakan fenomena yang pada umumnya tidak kasat mata: kesadaran atau perasaan yang dialami setiap periode akan level vitalitasnya sendiri. Ini mengantarkan kita untuk membicarakan

“kesempurnaan” yang dirasakan oleh abad-abad tertentu terhadap abad lainnya, sebaliknya, yang dianggap oleh mereka sebagai yang telah jatuh dari satu ketinggian yang tinggi, dari zaman keemasan yang jauh lagi mulia. Dan akan saya sudahi dengan mencatat fakta yang sederhana bahwa zaman kita dicirikan oleh asumsi yang ganjil bahwa dia lebih superior daripada segala zaman yang lalu; lebih dari itu, dengan mengabaikan segala hal yang berkaitan dengan masa lalu, dengan tidak mengakui zaman klasik atau zaman normal, dengan menganggap dirinya sebagai satu kehidupan baru yang lebih superior daripada segala bentuk-bentuk lama yang tidak bisa disentuh oleh mereka. Saya ragu jika zaman kita ini dapat dimengerti tanpa berpegang teguh pada observasi ini, karena ini adalah tepatnya masalah khasnya itu. Jika dia merasakan dirinya dekaden, dia akan melihat zaman-zaman lainnya superior ke dirinya, yang berarti untuk menghargai, memuji dan menghormati semua prinsip-prinsip yang menginspirasikan mereka. Zaman kita dengan demikian akan mempunyai ide-ide yang jelas dan mantap, bahkan jika dia tidak sanggup merealisasikannya. Tetapi kenyataannya adalah sebaliknya; kita hidup di zaman ketika manusia percaya bahwa dirinya benar-benar sanggup untuk mencipta, tetapi tidak tahu apa yang musti diciptakan. Tuan dari segala sesuatunya, tetapi bukan tuan dirinya. Ia merasa kehilangan di tengah-tengah keberlimpahannya. Dengan lebih banyak sarana di tangannya, lebih banyak pula ilmu pengetahuan, lebih banyak kecakapan teknis daripada sebelumnya, ini menjadikan dunia sekarang sama serupa seburuk dunia yang pernah ada sebelumnya; hanya hanyut semata.

Akibatnya, satu kombinasi yang janggal antara perasaan mempunyai power dan perasaan tidak aman, menguasai jiwa manusia moderen. Telah terjadi kepadanya apa yang telah dikatakan mengenai Regent selama pemerintahan minoritasnya Louis XV: ia punya banyak talenta, kecuali satu talenta untuk mempergunakan talenta-talenta tersebut. Bagi Abad XIX banyak sesuatu yang tidak bisa mungkin lagi, mapan fiks, bagai keyakinannya pada kemajuan. Sekarang, banyak fakta terungkap, lalu segalanya tampak mungkin bagi kita, kita punya perasaan bahwa keadaan yang terburuk pun mungkin terjadi: retrogresi, barbarisme, dekaden.(6) Ini dengan sendirinya bukanlah gejala buruk; ini berarti bahwa kita sekali lagi membuat hubungan dengan ketidakamanan, yangmana adalah penting bagi segala bentuk kehidupan, bahwa kecemasan yang menyedihkan dan menyedapkan itu ada di setiap saat, asal tahu saja cara untuk mengatasinya sampai ke akar-akarnya, ke bawah kegetaran denyut vitalnya. Pada umumnya kita menolak untuk merasakan denyut yang menakutkan ini, denyut yang melahirkan detik-detik ketulusan, debaran jantungnya; kita merasa tegang ketika mencoba untuk mendapatkan keamanan dan mempersembahkan pada diri kita ketidakpekaan terhadap drama yang fundamental takdir kita, dengan merendamkan diri ke dalam kebiasaan-kebiasaan, adat, topik-topik – ke dalam berbagai macam kloroform. Kemudian, ini adalah yang terpuji, kita terkejut, untuk pertama kalinya sejak hampir tiga abad, mendapatkan diri kita merasakan bahwa kita tidak tahu akan apa yang akan terjadi esok.

Setiap manusia akan mengadopsi perilaku serius terhadap eksistensinya sendiri dan membuat dirinya benar-benar bertanggung jawab untuk itu, akan merasakan semacam ketidakamanan yang khas yang menggerakan hatinya untuk waspada. Satu isyarat yang diberlakukan Tentara Romawi di barak-barak Legion adalah meletakan jarinya ke atas bibir mereka, untuk mengelak rasa kantuk dan menggugahkan kewaspadaan mereka. Isyarat ini berguna, ini tampaknya untuk mendatangkan lebih banyak keheningan selama di kesunyian malam, agar dapat menangkap suara-suara gaib

masa depan yang bersemi. Keamanan di periode “kesempurnaan” itu seperti abad yang lalu saja – hanya ilusi optik yang mengakibatkan terjadinya pengabaian terhadap masa depan, segala arah tujuan diserahkan pada mekanisme alam raya. Liberalisme progresif dan Sosialisme Marksis mengira bahwa apa yang mereka hasrati sebagai masa depan yang terbaik mungkin akan dengan sendirinya terrealisir begitu saja, serupa sealamiah astronomi. Dengan nuraninya yang terbuai oleh ide ini, mereka membuang jauh-jauh kemudi sejarah, berhenti untuk waspada, kehilangan ketangkasan dan efisiensinya. Lalu, kehidupan pun melarikan diri dari genggaman tangan mereka, menjadi liar dan sekarang terombang-ambing kesana-kemari tanpa arah yang tetap. Di balik kedok futurisme yang bergelimangan dan progresif, tidak mau lagi menanggapi masa depan; yakin dalam benaknya bahwa tidak ada lagi kejutan-kejutan atau rahasia-rahasia, tidak ada lagi petualangan-petualangan, tidak ada lagi sesuatu yang secara esensial baru; percaya bahwa dunia sekarang akan berjalan segaris lurus, tidak akan membelok ke sisi, tidak akan mundur ke belakang, ia campakan dari dirinya sendiri segala kecemasan mengenai masa depan dan berpihak pada keharinian yang definit. Akankah kita terkejut bahwa dunia sekarang tampaknya hampa tujuan, tanpa antisipasi, tanpa ide? Tidak seorang pun perduli untuk memberikan itu semua. Hal ini pula yang menyebabkan golongan penguasa minoritas mengundurkan diri, mereka bisa di temukan di seberang sisi lain pemberontakan massa.

Tetapi sudah waktunya bagi kita untuk kembali ke fakta terakhir ini. Setelah menekankan aspek-aspek yang menguntungkan yang diberikan oleh kejayaannya massa, ada baiknya kita sekarang turun melalui lereng lainnya, lereng curam yang lebih berbahaya.

V

Fakta Statistik

ESAY INI, mencoba untuk mendapatkan diagnosa zaman kita, mau pun eksistensi aktual kita. Kita telah menyatakannya pada bagian pertama, yang dapat disimpulkan sebagai berikut: hidup kita bagai satu program kemungkinan-kemungkinan, dahsyat, berlimpahan, lebih superior daripada yang lainnya yang pernah diketahui oleh sejarah. Tetapi bersama dengan fakta ini skopenya membesar, dia membanjiri semua aliran-aliran, prinsip-prinsip, ideal-ideal yang diwarisi oleh tradisi. Dia lebih hidup daripada setiap eksistensi lain sebelumnya, dan juga lebih berproblema. Dia tidak dapat menemukan tujuannya dari masa lalu.(1) Dia harus menemukan takdirnya sendiri.

Tetapi sekarang kita harus merampungkan diagnosa ini. Kehidupan, yang makna utamanya adalah apa yang mungkin bagi kita untuk menjadi, dan juga bagi yang satu ini, yakni, suatu pilihan, dari beberapa kemungkinan-kemungkinan, yangmana kita secara aktual akan menjadi. Keadaan kita – yaitu kemungkinan-kemungkinan itu tadi – membentuk sebagian porsi kehidupan kita, ini mempengaruhi kita. Ini menjadikan apa yang kita namakan dunia. Kehidupan tidak memilih dunianya sendiri, pada awalnya, dia menemukan dirinya sendiri, di dalam dunia yang pasti dan tidak berubah: dunia saat ini. Dunia kita adalah sebagian dari takdir yang membuat kehidupan kita. Tetapi takdir yang vital itu bukanlah semacam mekanisme. Itu tidaklah dilemparkan ke eksistensi ini seperti ditembakan dari laras senjata, dengan satu trayektorinya yang secara mutlak ditentukan

arahnya. Dalam dekapan takdir inilah kita jatuh ke dunia – selalunya dunia ini, dunia yang aktual – yang terdiri dari kontraritas-kontraritas yang pasti. Bukan memaksakan pada kita satu trayektori, tetapi dia memaksakan beberapa, dan sebagai akibatnya, memaksa kita untuk memilih. Ini adalah suatu kondisi yang mengejutkan dari eksistensi kita! Untuk hidup adalah untuk merasakan dalam diri kita secara fatal satu keharusan untuk menjalankan kebebasan kita, untuk menentukan mau menjadi apa kita di dunia ini. Tidak sesaat pun aktifitas untuk membuat keputusan kita itu diizinkan untuk berhenti. Bahkan ketika kita putus asa menyerahkan diri kita pada yang akan terjadi kelak, kita menentukan untuk tidak menentukan.

Lalu, ini adalah salah, untuk mengatakan bahwa dalam hidup “keadaanlah yang menentukan.” Sebaliknya, keadaan adalah suatu dilema, secara konstan memperbaru diri, dikehadirannya kita harus membuat suatu keputusan; siapa yang secara aktual memutuskan tidak lain adalah karakter kita sendiri. Semua ini berlaku juga bagi kehidupan kolektif. Di dalamnya juga ada, pertama, cakrawala-cakrawala kemungkinan-kemungkinan, lalu, satu kesungguhan hati yang memilih dan memutuskan berdasarkan bentuk dari kehidupan kolektif. Kesungguhan hati ini mempunyai sumber asal dalam karakter masyarakatnya, atau, ini pun sama saja, dalam tipe manusia yang dominan di dalamnya. Di zaman kita manusia-massa yang mendominasi, ia yang menentukan. Tidaklah benar untuk berkata bahwa ini semua terjadi dalam periode demokrasi, hak memilih bagi semua itu. Di bawah hak memilih bagi semua, massa tidak memutuskan, peran mereka terdiri dari mendukung keputusan dari kaum minoritas atau lainnya. Itu adalah mereka yang memberikan “program” – kata-kata megah. Program-program seperti ini, nyatanya adalah, program-program mengenai kehidupan kolektif. Dalam program-program ini massa diundang untuk menerima garis-garis keputusan.

Sekarang sesuatu yang berbeda terjadi. Jika kita perhatikan kehidupan publik di negara-negara di mana kejayaan massa berkembang dengan sangat pesatnya – ini adalah negara-negara di kawasan Mediterani – dari sudut pandang politik kita terkejut mendapatkan keseharian hidup mereka. Fenomena ini sangat ganjil sekali. Otoritas publik dipegang oleh wakil dari massa. Mereka sangat berkuasa sehingga mereka menghapuskan oposisi. Mereka mempunyai kekuasaan yang kebal terhadap apa pun sehingga sulit mendapatkan contoh sejarah sebuah Pemerintahan yang sangat berkuasa seperti ini. Namun, otoritas publik – Pemerintah – eksis ala kadarnya, dia tidak memberikan solusi yang jelas bagi masa depan, tidak tegak berdiri sebagai awal dari sesuatu yang perkembangan dan evolusinya dapat dibayangkan. Singkatnya, dia hidup tanpa program vital, yaitu rencana mengenai eksistensi. Dia tidak tahu kemana dia hendak pergi, karena, berkata blak-blakan, dia tidak punya arah yang tetap, tidak punya trayektori, yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Ketika otoritas publik seperti ini mencoba untuk membuktikan dirinya dia sama sekali tidak membuat referensi apa pun pada masa depan. Sebaliknya, dia menutup dirinya dalam keharinian, dan berkata dengan tulus dan jujur: “Saya adalah bentuk Pemerintahan yang tidak normal, dipaksa oleh keadaan.” Lalu aktifitas-aktifitasnya menciut hanya pada penghindaran masalah-masalah saat itu saja; tidak menyelsaikan masalah apa pun, tetapi melarikan diri dari masalah untuk sementara, mempergunakan berbagai jenis metode-metode bahkan dengan membiarkan pengakumulasian lebih banyak masalah-masalah besar yang akan datang menyusul kemudian, sebagai bebannya. Seperti demikianlah kekuasaan publik itu manakala dijalankan oleh massa: mahakuasa dan ephemeral. Manusia-massa adalah dia

yang hidupnya tidak punya tujuan, dengan mudah hanyut terombang-ambing. Akibatnya, walau kemungkinan-kemungkinan dan kekuasaannya sangat dahsyat, dia tidak dapat membina apa pun juga. Dan dia adalah jenis seperti ini yang menentukan zaman kita. Lalu, sudah semustinyalah kita analisa karakternya itu.

Kunci bagi analisa ini dapat ditemukan ketika, kembali ke awal mula dari makalah ini, kita bertanya pada diri kita sendiri: “Dari manakah datangnya semua orang-banyak itu, yang saat ini berlimpahan memenuhi arena sejarah?” Beberapa tahun silam seorang ahli ekonomi terkemuka, Werner Sombart, dengan faktanya yang sederhana, menekankannya, membuat saya terkejut bahwa ini tidak pernah terlintas dalam setiap benak yang memikirkan even-even kontemporer. Fakta yang sederhana itu cukup memadai untuk menjelaskan visi kita tentang Eropa saat ini, atau jikalah tidak cukup, bisa mengarahkan kita ke arah pencerahan. Faktanya adalah demikian: sejak zaman ketika sejarah Eropa bermula di Abad VII hingga tahun 1800 – yakni, melalui dua belas abad rentang perjalanannya – Eropa tidak bisa mencapai populasi total melebihi 180 juta penduduk. Nyatanya dari tahun 1800 hingga tahun 1914 – satu abad lebih – populasi Eropa naik dari 180 juta menjadi 460 juta! Dari kekontrasan angka ini saya melihat dan tidak dapat disangsikan lagi kualitas masa lampau itu. Dalam tiga generasi dia menghasilkan massa raksasa yangmana, meluncur bagai air bah melalui kawasan sejarah dan membanjirinya. Fakta ini, saya katakan sekali lagi, memadai untuk membuat kita sekalian sadar akan kejayaan massa dan segala yang tersirat mau pun yang tersurat. Lebih-lebih lagi fakta ini harus ditambahkan ke peningkatan level eksistensi yang pernah saya jelaskan sebelumnya, sebagai fakta yang paling kongkret.

Tetapi bersama dengan ini fakta tersebut juga membuktikan kepada kita bagaimana tidak beralasannya segala pujian kita kepada negara-negara baru seperti Amerika Serikat, ketika kita menekankan peningkatan ini. Kita sangat terpukau oleh peningkatan ini, yang sudah mencapai 100 juta dalam seabad, manakala yang benar-benar mengherankan adalah betapa suburnya pembiakan di Eropa. Di sini kita punya satu sebab lagi untuk mengkoreksi gagasan yang menyesatkan mengenai terAmerikanisasinya Eropa. Bahkan itu bukanlah karakter yang mungkin tampaknya ciri khas Amerika – pesatnya peningkatan populasi. Eropa telah begitu bertambah di abad lalu lebih daripada Amerika. Amerika terbentuk oleh limpahan Eropa.

Walau fakta ini diyakini oleh Warner Sombart, tetap saja tidak diketahui seperti yang sudah sepatutnya diketahui, ide yang menyesatkan tentang peningkatan populasi yang sangat besar itu pun sudah menyebar luas hingga tidak perlu lagi ditekankan. Dari angka perhitungan yang sebelumnya, kecepatan yang memusingkan dari peningkatan itu tercuatkan. Ini adalah hal yang penting bagi kita saat ini. Kecepatan ini bermakna bahwa tumpukan-tumpukan manusia telah ditimbun ke atas panggung sejarah dengan kadar percepatan yang luar biasa, lalu sangatlah sulit untuk melarutkan mereka ke dalam budaya tradisional. Dan nyatanya, ini benar, orang Eropa average, saat ini mempunyai jiwa yang lebih sehat serta lebih kuat dibanding abad lalu, tetapi lebih sederhana. Lalu, kadang-kadang ia tampaknya seperti orang primitif yang sekonyong-konyong muncul di tengah-tengah peradaban tua. Di sekolah-sekolah, yangmana sekolah adalah sumber kebanggaan abad lalu, tidak lagi mungkin berbuat lebih banyak selain memberi instruksi kepada massa tentang hal teknis kehidupan moderen belaka; telah diakui bahwa mustahil untuk mendidik mereka. Mereka diberikan alat-alat untuk mengatasi bentuk-bentuk eksistensi yang lebih intensif, tetapi tidak memiliki perasaan bagi tugas besar sejarah

mereka; secara terburu-buru mereka menanamkan perasaan bangga pada alat-alat moderen yang adidaya itu, tetapi bukan pada spiritnya. Lalu mereka tidak mau tahu akan spiritnya itu, dan generasi baru sedang bersedia untuk mengambil alih kekuasaan dunia seolah-olah dunia adalah surga tanpa jejak langkah-langkah terdahulu, tanpa masalah-masalah yang tradisional juga kompleks.

Lalu, runtuhlah kejayaan dan tanggung jawab abad lampau itu, karena dia membiarkan segala macam orang-banyak berkeliaran di kawasan sejarah. Dan fakta ini dapat menjadi satu perspektif yang tepat demi menilai abad itu dengan jujur. Mustilah terjadi sesuatu yang luar bisa, tidak ada bandingnya, ketika panen buah-buahan manusia terjadi di iklimnya. Setiap ada kecenderungan untuk mengadopsi prinsip-prinsip yang telah mengaspirasikan zaman-zaman lampau, kecenderungan ini dangkal serta menggelikan, jika seseorang belum membuktikannya sebelumnya, sadar akan fakta yang luar biasa dan mencoba untuk mencernanya. Seluruh kesejarahan mengejawantah diri sebagai laboratorium raksasa di dalam mana setiap percobaan yang memungkinkan itu di coba untuk mendapatkan satu formula kehidupan yang sangat menguntungkan bagi tumbuh-tumbuhan “manusia.” Melebihi segala macam bentuk penjelasan yang terjelas, lalu kita mendapatkan diri kita bertatapan muka dengan fakta ini, bahwa dengan menyerahkan benih-benih kemanusiaan mengikuti proses dua prinsip, prinsip demokrasi liberal dan prinsip pengetahuan teknis, dalam satu abad saja spesis Eropa sudah menjadi tiga kali lipat banyaknya.

Fakta yang menakutkan ini memaksa kita, kecuali jika kita lebih suka untuk tidak mempergunakan pikiran kita, untuk membuat kesimpulan-kesimpulan: pertama, bahwa demokrasi liberal yang berdasarkan pengetahuan teknis adalah tipe kehidupan publik yang tertinggi, yang hingga sekarang pernah diketahui; kedua, bahwa tipe itu mungkin saja bukan yang terbaik yang kita dapat bayangkan, tetapi sesuatu yang kita bayangkan sebagai yang superior itu harus dapat memelihara esensi dari kedua prinsip tadi dan ketiga, bahwa untuk kembali ke bentuk eksistensi yang lebih inferior daripada Abad XIX ini adalah tindakan bunuh diri.

Begitu kita mengetahui hal ini dengan jelas, fakta yang aktual sejelas ini mendorong kita untuk bangkit melawan Abad XIX. Jika terbukti bahwa di abad itu dahulu ada sesuatu yang luar biasa dan istimewa, itu karena dia menderita kebusukan-kebusukan radikal tertentu, sesuatu semacam kecacatan konstitusi, ketika dia menciptakan satu puak manusia – manusia-massa yang berontak – mereka yang meletakan prinsip-prinsip utama ketengah-tengah marabahaya, di mana eksistensi mereka berhutang pada prinsip-prinsip tersebut. Jika jenis manusia ini kontinyu menjadi tuan di Eropa, tidak ayal lagi dalam 30 tahun mendatang sudah cukup untuk membuat benua kita ini kembali ke barbarisme. Teknik legislatif dan industri akan lenyap bersama dengan segala fasilitas rahasia-rahasia perdagangan.(2) Seluruh kehidupan akan mengerdil. Keberlimpahan yang aktual dari berbagai kemungkinan-kemungkinan akan berubah menjadi kekurangan sehari-hari, impotensi yang mengenaskan, dekaden yang riil. Karena pemberontakan massa tidak lain dan tidak bukan adalah apa yang dikatakan Rathenau: “invasi vertikal kaum barbarian.” Lalu, adalah sangat penting untuk mengerti dengan sepenuhnya manusia-massa dan segala potensinya, kebaikannya yang besar juga kejahatannya yang besar.

VI

Membedah Manusia-Massa

SEPERTI APA IA ITU, manusia yang sekarang mendominasi kehidupan publik, politik mau pun non-plitik, dan mengapa ia seperti ini, yakni, bagaimana ia telah diciptakan?

Sangatlah baik untuk menjawab kedua pertanyaan tadi sekali gus, karena keduanya saling menerangi satu sama lainnya. Manusia yang sekarang sedang mencoba memimpin eksistensi Eropa sangatlah berbeda dengan manusia yang menguasai Abad XIX, tetapi ia dijadikan dan dipersiapkan oleh Abad XIX. Seseorang yang punya ingatan tajam tentang tahun-tahun 1820, 1850, dan 1880 dengan pemikiran-pemikiran a priori yang sederhana, dapat menilik gravitasi-gravitasi serta situasi-situasi sejarah zaman ini, dan nyatanya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi saat ini yang tidak dapat dilihat seratus tahun lalu. “Massa bergerak maju,” ujar Hegel secara apokaliptik. “Tanpa beberapa kepercayaan spiritual baru, zaman kita, yangmana adalah zaman revolusioner, akan mengalami bencana,” ini dilafazkan Comte. “Saya melihat banjir bandang nihilisme menaik,” teriak Nietzsche dari atas batu karang terjal di Engadine. Adalah keliru untuk mengatakan bahwa sejarah tidak dapat diramalkan. Sudah tidak terbilang beberapa kali ini dibuktikan. Jika masa depan tidak mengundang ramalan, maka masa depan itu tidak dapat dimengerti ketika semua itu terjadi pada masanya dan sedang jatuh ke masa lalu. Ide yang mengatakan bahwa sejarawan itu sisi sebaliknya dari nabi, ini menyimpulkan falsafah sejarah. Memang benar ada kemungkinan untuk mengantisipasi struktur umum masa depan, tetapi sebenarnya sebatas itulah kita mengetahui masa lalu atau masa kini. Oleh karena itu, jika anda mau melihat panorama yang baik tentang zaman anda sendiri, lihatlah dari jauh. Dari sejauh mana? Jawabnya mudah. Sejauh anda tercegah melihat hidung Cleopatra.

Dalam penampilan seperti apa sih kehidupan itu menampakan dirinya ke orang-banyak yang terus membeludak diciptakan oleh Abad XIX? Pada awalnya, adalah penampilan kemudahan materi yang universal. Tidak pernah manusia average menangani masalah ekonominya dengan sebegitu banyak fasilitas-fasilitas. Selagi ada pengurangan porsi dari satu keuntungan besar dan hidup menjadi sulit bagai para pekerja individu lalu cakrawala ekonomi golongan menengah meluas setiap hari. Setiap hari segala kemewahan baru ditambahkan ke standar hidup mereka. Setiap hari posisi mereka bertambah aman dan bertambah bebas dari kemauan orang lain. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai kemujuran, menginspirasikan rasa syukur yang khikmad pada nasib, kini dirubah menjadi hak, bukan untuk bersyukur, tetapi untuk menuntut.

Kemudian dari tahun 1900 ke atas, kaum pekerja mulai merebak, yakin akan eksistensinya. Namun, mereka harus berjuang untuk mendapatkan objektifnya. Tidak seperti kelas menengah, mendapatkan keuntungan, dilayani, dan diperhatikan oleh masyarakat dan negara yang mana keduanya adalah organisasi yang menakjubkan. Ke kemudahan dan ke keamanan kondisi ekonomi ini ditambahkan lagi segi lahiriah, kenyamanan dan ketertiban umum. Kehidupan berjalan di atas landasan mulus, dan tidak ada kecenderungan bagi kekerasan atau bahaya yang akan mengganggunya. Situasi yang begitu bebas dan menyamankan ini pasti akan menginfuskan ide tentang eksistensi ke dalam batin orang-orang yang berjiwa demikian, frasanya mungkin dapat diekspresikan secara jenaka dan pedas dari negeri kita yang tua ini: “Castile itu luas.” Ini berarti bahwa, dalam aspeknya yang fundamental serta menentukan, kehidupan ini mempersembahkan dirinya ke manusia baru sebagai bebas dari limitasi. Fakta ini menjadi sangat penting

dan harus disadari sepenuhnya ketika kita mengingat bahwa eksistensi yang bebas serupa itu sama sekali tidak pernah terjadi pada manusia biasa masa lampau. Sebaliknya, bagi mereka hidup itu adalah beban nasib, secara ekonomi maupun fisik. Sejak lahir, eksistensi bagi mereka bermakna pengakumulasian kendala-kendala yang memaksakan penderitaan, tanpa ada penyelsaian yang positif selain daripada penyesuaian diri pada keadaan, bagai hidup dalam sisa-sisa ruang sempit.

Tetapi akan lebih jelas lagi ke kontrasan itu, ketika kita melangkah meliwati hal materi ke hal moral dan kesadaran nasional. Manusia average, dari akhir Abad XIX ke atas, mendapatkan bahwa tidak ada rintangan berarti yang sengaja dibuat untuk melawannya.Yakni, menurut norma kehidupan publik, semenjak ia dilahirkan, tidak pernah mendapatkan dirinya berhadapan langsung dengan kendala-kendala atau pun limitasi-limitasi. Tidak ada yang bisa membatasi eksistensinya. Di sini sekali lagi, “Castile itu luas.” Di sana tidak ada “pengkelasan” atau “pengkastaan.” Di sana tidak ada hak-hak warga istimewa. Manusia biasa mengerti bahwa setiap manusia adalah sederajat di hadapan hukum.

Tidak pernah sekali pun dalam perjalannya sejarah, manusia ditempatkan di lingkungan yang vital bahkan di lingkungan yang agak berbeda dengan kondisi yang tersebut di atas. Kita nyatanya, berhadapan dengan satu inovasi radikal mengenai nasib manusia, yang disemai oleh Abad XIX. Satu arena baru didirikan bagi eksistensi manusia, arena baru dalam aspek fisik dan sosial. Tiga prinsip ini yang telah membuat dunia ini mungkin: demokrasi liberal, percobaan saintifik dan industrialisme. Dua yang terakhir ini dapat dikatakan dalam satu kata: teknikisme. Tidak satu pun dari prinsip-prinsip ini diciptakan oleh Abad XIX; prinsip-prinsip ini mulai ada sejak dua abad lalu sebelumnya. Kejayaan Abad XIX terletak bukan dari penemuan-penemuannya, tetapi dari penerapan-penerapannya. Semua orang tahu akan fakta ini. Tetapi tidaklah cukup untuk mengetahuinya dalam bentuk abstrak, adalah penting untuk menyadari akibatnya yang tidak dapat dielakan itu.

Abad XIX esensinya adalah revolusioner. Aspek ini jangan dilihat dari revolusi-revolusinya, yang semata-mata hanyalah insidentil, tetapi dari faktanya yang menempatkan manusia average – masyarakat massa yang besar – dalam kondisi kehidupannya yang radikal menentang mereka yang selalu ada di sekelilingnya. Ia memutar balikan eksistensinya yang publik. Revolusi bukanlah suatu pemberontakan melawan orde yang berlaku saat itu, tetapi menyusun orde yang baru yang berlawanan dengan yang tradisional. Lalu tidak ada yang dilebih-lebihkan jika kita berkata bahwa manusia yang diciptakan oleh Abad XIX adalah, efeknya bagi kehidupan publik, manusia yang sama sekali lain daripada manusia lainnya. Manusia Abad XVIII berbeda, tentu saja, dengan manusia Abad XVII, dan ini pada gilirannya, berbeda dengan manusia Abad XVI tentunya, tetapi mereka semua saling berhubungan, sama bahkan identik dalam esensinya jika dibandingkan dengan manusia baru ini. Karena bagi manusia “biasa” dari segala periode, “kehidupan” secara prinsipil berarti limitasi, obligasi, dependensi; dalam satu kata, tekanan. Katakanlah opresi, jika anda mau, bukan saja diartikan dalam segi yuridis dan sosial, tetapi juga dalam segi kosmis. Karena yang terakhir inilah yang tidak pernah hilang sejak seratus tahun lalu, kurun waktu ketika teknik saintifik – fisikal dan administratif – yang perkembangannya secara praktis tidak berlimit itu bermula. Dahulunya bahkan bagi kaum berduit dan berkuasa sekali pun, dunia adalah juga tempat bagi kemiskinan, bahaya serta kesulitan.(1)

Dunia yang mengelilingi manusia baru, semenjak ia dilahirkan, tidak memaksakan pembatasan diri dalam cara apa pun, tidak mempersiapkan hak veto yang bertentangan dengannya; sebaliknya, ini merangsang nafsunya, yang dalam prinsipnya dapat bertambah tanpa batas. Akhirnya – ini adalah yang terpenting – dunia Abad XIX dan awal Abad XX bukan saja memiliki kesempurnaan dan kelengkapan yang mereka capai, tetapi bahkan lebih-lebih lagi menghimbau pada mereka yang hidup di zamannya, satu keniscayaan yang radikal, bahwa esok akan lebih kaya lagi, lebih lapang, lebih sempurna, seolah-olah ia mengalami sesuatu yang menggembirakan dan spontan, pertambahan power yang tidak habis-habisnya. Bahkan sekarang, walau pun ada tanda-tanda akan adanya pengingkaran pada keyakinan yang kuat itu, bahkan sekarang, hanya ada beberapa gelintir orang yang ragu bahwa mobil dalam kurun lima tahu lagi akan lebih murah harganya dan lebih nyaman lagi daripada sekarang. Mereka percaya akan ini, seperti mereka percaya pada matahari yang akan terbit di pagi hari. Metafora ini tepat sekali. Karena nyatanya, manusia biasa, mendapatkan dirinya dalam dunia yang canggih secara teknis mau pun sosial, percaya bahwa ini diciptakan oleh alam, dan tidak pernah berpikir tentang upaya pribadi dari seseorang yang berbakat alami darimana ide tentang penciptaan itu berasal. Tidak pula mau mengakui ide ini walau sedikit pun, bahwa segala fasilitas-fasilitas itu semua masih membutuhkan dukungan amal kebajikan manusia yang definit, rumit dan kesalahan yang walau kecil saja dapat menyebabkan menghilangnya dengan tiba-tiba keseluruhan hasilnya yang besar itu.

Ini mengarahkan kita untuk mencatat ke dalam tabel psikologi kita, dua karakter fundamental manusia zaman sekarang: perluasan yang bebas akan hasrat-hasrat vitalnya, lalu, kepribadiannya; dan rasa tidak tahu bersyukur yang radikal kepada yang membuat segala kemudahan-kemudahan bagi eksistensinya itu mungkin. Segala karakter tersebut di atas menyimpulkan pada kita fakta psikologi yang sudah termashur, yaitu, anak manja. Nyatanya tidak akan menyebabkan kekeliruan untuk mempergunakan psikologi ini sebagai “teropong” melalui mana jiwa massa zaman ini diobservasi. Ahli waris zaman lalu yang dermawan dan lapang itu – dermawan dalam segi ideal dan aktifitas – yaitu manusia-manusia baru yang umum ini telah dirusak oleh dunia sekelilingnya. Untuk merusak ini berarti, tidak menaruh limitasi-limitasi pada tingkah-tingkah, menganggap segalanya diperbolehkan dan tidak punya kewajiban-kewajiban. Seorang anak kecil yang terekspose pada rezim ini tidak punya pengalaman akan limitasinya. Akibat dari penghapusan segala penahan diri ini, segala sesuatunya bertubrukan dengan yang lainnya, ia jadi percaya bahwa ia adalah satu-satunya yang eksis, dan terbiasa untuk tidak menganggap yang lainnya, khususnya tidak menganggap mereka yang lebih superior daripada dirinya. Untuk dapat merasakan bahwa yang lainnya lebih superior ini hanya dapat ditekankan ke atas dirinya oleh orang lain yang lebih berkuasa darinya, harus memaksanya untuk membuang beberapa hasrat-hasrat, untuk membatasi dirinya, untuk mengontrol diri. Ia lalu akan belajar displin yang fundamental seperti ini: “Di sini saya berakhir dan di sini bermula seorang yang lebih berkuasa dari pada saya. Di dunia ini, nyatanya, ada dua jenis manusia: saya dan lainnya yang lebih superior daripada saya.” Manusia biasa zaman lalu setiap harinya diajari mengenai kebijaksanaan ini oleh dunia sekelilingnya, karena dahulu dunia di tata secara kasar, sering terjadi bencana, tidak ada yang stabil. Tetapi massa yang baru ini mendapatkan dirinya dalam satu keadaan yang penuh dengan harapan dan penuh dengan kemungkinan-kemungkinan, lebih-lebih lagi, sangatlah aman, segalanya siap ada di tangannya, independen dari segala hasil usaha

masa lampau, seperti kita mendapatkan matahari di langit tanpa harus menopangnya ke atas bahu kita. Tidak ada satu manusia pun yang bersyukur pada yang lainnya bagi udara yang dihirupnya, karena tidak seorang pun yang telah membuat udara baginya; semuanya dimiliki oleh apa yang ada “di sana,” yang kita namakan “yang alami,” karena ini tidak pernah gagal. Dan massa yang manja ini sama sekali tidak inteligen dan percaya bahwa organisasi sosial dan materinya diperuntukan bagi kebutuhan mereka seperti udara, berasal dari sumber yang sama, karena nyatanya tidak pernah menggagalkan mereka, dan nyaris sempurna seperti apa-apa yang alami.

Lalu, makalah ini adalah sebagai berikut: segala kesempurnaan keorganisasian yang diberikan oleh Abad XIX, tatanan eksistensi yang definit ini, telah menyebabkan keberuntungan pada massa yang kemudian menganggap ini, bukan sebagai yang terorganisir, tetapi satu sistem yang alami. Kemudian terjawablah sudah dan terjelaskanlah status pikiran yang diperlihatkan oleh massa; mereka hanya memperhatikan kesejahteraan diri mereka saja, dan pada waktu yang sama mereka asing pada asal muasal kesejahteraan itu. Karena mereka tidak melihat jauh melebihi manfaat peradaban, keajaiban penemuan-penemuan dan kontruksi-kontruksi, yang semua ini hanya bisa dipelihara kelanjutan hidupnya oleh satu usaha besar serta pandangan jauh ke depan, mereka hanya membayangkan peran mereka terbatas hanya pada penuntutan keberuntungan-keberuntungan, seolah-olah semua itu hak-hak yang alami. Bila terjadi kerusuhan yang ditimbulkan oleh kekurangan pangan, orang-banyak ini pergi mencari roti, dan cara yang mereka pergunakan pada umumnya adalah dengan menghancurkan pabrik roti itu sendiri. Contoh ini dapat dipakai sebagai simbul perilaku yang dijalankan oleh massa terhadap zaman ini, dalam skala besar dan lebih rumit lagi, terhadap peradaban yang mendukung mereka.

VII

Kehidupan Mulia dan Kehidupan Hina,atau Usaha dan Inertia

PADA MULANYA, kita adalah apa yang dunia telah tawarkan pada kita untuk menjadi, dan sifat dasar jiwa kita tercetak di atasnya, bagai dalam cetakan, oleh bentuk lingkungannya. Secara alami, hidup kita tidak lain adalah hubungan kita dengan dunia sekeliling. Aspek umum yang dipersembahkan pada kita akan membentuk aspek umum kehidupan kita. Karena sebab inilah saya sangat menekankan observasi terhadap dunia di dalam mana massa dilahirkan memperlihatkan sifat-sifat yang sama sekali baru dalam sejarah. Di zaman lampau, kehidupan bagi manusia average berarti mendapatkan di sekelilingnya banyak kesulitan, bahaya, kekurangan-kekurangan, limitasi-limitasi takdirnya, dependensi, dunia baru sekarang ini tampaknya secara praktis sebagai dunia kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas, aman, dan independen terhadap orang lain. Berdasarkan dari impresi yang fundamental dan permanen ini, pikiran setiap manusia kontemporer terbentuk, begitu pula pikiran-pikiran sebelumnya terbentuk oleh impresi yang berlawanan. Karena impresi yang mendasar itu menjadi suara batin yang tanpa pernah berhenti mengucapkan kata-kata tertentu dalam diri setiap individu, dan secara kohesif menyarankannya satu definisi tentang kehidupan, yang juga adalah,

kewajiban moral. Dan jika perasaan yang tradisional itu berbisik: “Untuk hidup adalah untuk merasakan keterbatasan-keterbatasan lalu, harus tanggap pada apa yang membatasi kita,” suara-suara baru berteriak: “Untuk hidup adalah untuk mengalami ketidak-terbatasan apa pun juga, kemudian, untuk memasrahkan dirinya pada dirinya sendiri dengan tenang. Secara praktis tidak ada yang mustahil, tidak ada yang berbahaya, dan, secara prinsipil, tidak ada seorang pun yang lebih superior dari yang lainnya.” Pengalaman yang mendasar ini secara total merubah struktur yang telah membudaya dari manusia-massa yang tradisional. Karena manusia-massa tradisional selalu merasakan dirinya, karena sudah sifatnya, berhadapan dengan limitasi-limitasi materi serta kekuasaan sosial yang lebih tinggi. Begitulah kehidupan itu di hadapan matanya. Jika ia berhasil memperbaiki kehidupannya, jika ia berhasil menaiki jenjang sosial, ia anggap ini sebagai nasib baik yang istimewa dan selayaknya. Dan jika bukan karena itu, lalu ini karena usaha yang besar, yangmana ia tahu benar bagaimana besarnya jerih payah yang ia telah lakukan. Dalam kedua hal di atas, itu adalah hal yang menyangkut keterkecualian karakter, lumrah dalam kehidupan di dunia; keterkecualian seperti itu, dikarenakan oleh alasan-alasan khusus.

Tetapi massa moderen menganggap kebebasan yang komplit itu sebagai yang alami, kondisi yang mapan, tanpa ada sebab-sebab khusus bagi itu semua. Tidak ada sesuatu apa pun dari luar yang merangsangnya untuk mengakui batas-batas padanya dan, selanjutnya, untuk setiap waktu mengacu pada otoritas lainnya yang lebih tinggi daripadanya. Hingga akhir-akhir ini, kaum petani Cina percaya bahwa kesejahteraan eksistensinya bergantung pada kebajikan pribadi yang dimiliki dengan senangnya oleh Kaisar itu sendiri. Kemudian, kehidupannya secara konstan selalu berhubungan dengan otoritas utama di mana ia menggantungkan hidupnya. Tetapi manusia yang sekarang kita analisa ini, ia terbiasa untuk tidak memohon pada dirinya bagi segala macam otoritas di luar dirinya. Ia puas pada dirinya sebagai apa adanya dirinya itu. Secara lugas, tanpa dipura-purakan, sebagai sesuatu yang alami di dunia ini, ia cenderung untuk mengakui dan menganggap baik semua yang ia dapatkan dalam dirinya: opini-opini, nafsu-nafsu, pilihan-pilihan, selera-selera. Mengapa tidak, jika, seperti yang kita lihat, tidak ada sesuatu apa pun atau sesiapa pun yang dapat memaksakannya untuk sadar bahwa ia adalah manusia warga kelas dua, subjek dari segala limitasi-limitasi, tidak sanggup untuk mencipta atau melindungi organisasi yang memberikan kesempurnaan serta kepuasan hidupnya di atas mana ia mendasarkan aktualitas kepribadiannya?

Manusia-massa tidak akan pernah menerima otoritas eksternal di luar dirinya, jika lingkungannya secara keras tidak memaksanya untuk berbuat demikian. Hingga saat ini, lingkungannya tidak pernah memaksanya, manusia-massa yang abadi ini, dengan karakternya, berhenti memohon pada otoritas lainnya dan merasakan dirinya raja dari eksistensinya sendiri. Sebaliknya, manusia terpilih, manusia unggul didorong, oleh nesesitas batin, untuk memohon bagi dirinya sendiri beberapa standar yang melebihi dirinya, lebih superior daripada dirinya, dan siap mengabdi padanya dengan ikhlas. Marilah kita ingatkan sekali lagi dari awalnya bahwa kita telah membedakan manusia unggul dan manusia biasa dengan mengatakan bahwa manusia unggul adalah ia yang membuat banyak tuntutan-tuntutan atas dirinya.(1) Kebalikan dari pemikiran biasa bahwa manusia unggullah yang hidup dalam perhambaan, bukannya manusia biasa. Hidup terasa hambar baginya, kecuali jika ia membuat kehidupannya sebagai pengabdian pada sesuatu yang transendental. Kemudian selanjutnya ia tidak menganggap bahwa nesesitas tindakan

pengabdian itu sebagai suatu opresi. Ketika, secara kebetulan, nesesitas itu tidak ada, ia akan menjadi resah dan menciptakan beberapa standar baru, lebih sulit, lebih krusial yang dengan mana ia menceburkan dirinya. Ini adalah kehidupan yang dihidupi secara disiplin – satu kehidupan mulia. Aristokrasi dimengerti sebagai suatu tuntutan diri pada kita – oleh kewajiban bukan oleh hak. Noblesse Oblige. “Untuk hidup sesuka hatinya ini adalah caranya kaum plebeian; seorang aristokrat mendambakan hukum dan peraturan” (Goethe). Privilagenya para aristokrat bukan bersumber pada beberapa kompromi atau anugerah-anugerah; sebaliknya, privilage itu adalah kemenangan-kemenangan. Dan cara pemeliharaannya, secara prinsipil diharapkan, bahwa pribadi yang privilage itu harus sanggup untuk memenangkan kembali hak-haknya setiap saat, jika itu memang harus, jika ada yang mau menentangnya.(2) Hak-hak pribadi atau privilage kemudian bukanlah suatu kepemilikan pasif atau suatu kelangenan semata, tetapi itu semua merepresentasikan standar yang dicapai oleh usaha pribadinya. Di sisi lain, hak-hak biasa dari “manusia dan warga” adalah kepemilikan pasif, murni kesenangan dan hadiah, pemberian dari kemurahan hati nasib yangmana setiap manusia bisa mendapatkannya, dan tidak memerlukan usaha macam apa pun, kecuali usaha untuk bisa bernafas dan usaha untuk tidak menjadi gila. Saya akan mengatakan, bahwa hak yang impersonal dirangkul, hak yang personal dijunjung.

Adalah menyebalkan untuk melihat degenerasi yang melanda kata yang memberikan inspirasi seperti “aristokrasi” dalam pembicaraan sehari-hari. Karena apa yang dimengerti oleh orang-banyak mengenai keturunan “darah mulia,” telah dirubah menjadi sesuatu yang mirip dengan hak-hak umum, menjadi sesuatu yang statis, kualitas yang pasif yang diterima dan diturunkan seperti barang mati. Tetapi arti sebenarnya, dari akar-kata aristokrasi secara esensial adalah dinamis. Mulia berarti “tenar,” yakni, dikenal setiap orang, kondang, dia yang telah membuat dirinya terkenal dengan mengungguli massa yang berjubelan. Ini mengimplikasikan satu usaha yang istimewa yang menyebabkan kemashurannya. Mulia, kemudian sama artinya dengan kerja keras, unggul. Aristokrasi yang hanya figura bagi anaknya adalah murni hadiah. Anaknya mashur karena bapaknya membuat ia terkenal. Ia mashur karena refleksi, dan nyatanya, aristokrasi yang herediter itu punya karakter yang tidak langsung, ia hanyalah pantulan cahaya, aristokrasi lunar, sesuatu yang diperoleh dari kematian. Satu-satunya yang ditinggalkan bagi yang hidup, yang otentik, yang dinamis adalah denyut impulsnya di dalam diri turunannya yang menggerakannya untuk memelihara level usaha yang telah dicapai oleh leluhurnya. Selalunya, bahkan dalam arti yang telah berubah, noblese oblige. Aristokrasi yang orisinil meletakan kewajiban ke atas dirinya sendiri, dan pewaris aristokrasi menerima kewajiban moyangnya yang diturunkannya. Tetapi walau bagaimana pun juga ada satu kontradiksi tertentu dalam cara mewariskan kemuliaan dari orang mulia pertama ke keturunannya. Orang Cina, lebih logis lagi, menginversikan urutan transmisi; bukan bapaknya yang memuliakan anaknya, tetapi anaknya yang dengan memperoleh rangking kemuliaan, menghubungkannya pada leluhurnya, dengan usaha sendiri membawa kemashuran bagi keluarganya yang sederhana itu. Kemudian, ketika mempersembahkan tingkat kemuliaan, rangkingnya tergradasi oleh beberapa generasi terdahulu yang dihormati; ada mereka yang memuliakan hanya ayahnya saja, dan ada yang meregangkan kebelakang kemashurannya itu pada moyangnya yang ke lima atau ke sepuluh. Para leluhur mereka hidup oleh alasan-alasan manusia aktual, yang kemuliaannya bersifat efektif, aktif – dalam satu kata: sekarang, bukan dahulu.(3)

“Aristokrasi” belum tampil sebagai ekspresi yang formal hingga masa Kerajaan Romawi, lalu ini tepatnya menjadi oposan bagi aristokrasi herediter, yang sedang dekaden itu.

Bagi saya, lalu, aristokrasi, itu sinonim dengan hidup berusaha, selalu siap mengunggul diri, mengatasi melebihi apa yang dirinya itu, apa yang seseorang telah siapkan sebagai tugas dan kewajibannya. Dalam cara ini kehidupan orang aristokrat itu berlawanan dengan kehidupan umum atau kehidupan pasif, yang bersandar secara statis pada dirinya, dikutuk untuk tidak bergerak abadi, kecuali ada tenaga eksternal yang memaksanya keluar dari dirinya. Lalu kita memberikan terma massa pada manusia semacam ini – bukan disebabkan oleh keberjubelannya melainkan lebih-lebih lagi karena inertianya.

Seraya seseorang menjalani kehidupannya, seseorang menyadari lebih dalam lagi bahwa mayoritas laki-laki – dan wanita – tidak bisa sanggup untuk melakukan berbagai usaha lainnya selain usaha yang sudah dipaksakan ke atas diri mereka sebagai reaksi dari tekanan eksternal. Dan bagi sebab ini, beberapa gelintir individu yang telah kita bicarakan sebelumnya yang sanggup berusaha dengan spontan dan gembira, tampak jelas mencuat, terisolasi, istilahnya, terabadikan dalam pengalaman kita. Mereka para manusia terpilih, para aristokrat, mereka yang aktif tidak hanya reaktif saja, bagi mereka hidup adalah satu perjuangan abadi, satu medan latihan yang tidak pernah berhenti. Latihan = askesis. Mereka adalah para petapa.(4) Anomali yang terang-terangan ini tidak harus menimbulkan kejutan. Demi untuk mengerti manusia-massa yang aktual, yangmana keseluruhannya selalu adalah “massa,” yang mengharapkan untuk menyisihkan yang “unggul,” adalah krusial untuk membedakannya dengan dua bentuk murni yang bercampur dengannya: massa yang normal dan aristokrat yang sejati atau manusia penuh usaha.

Sekarang kita dapat maju lebih cepat lagi, karena sekarang kita memiliki apa yang saya anggap, sebagai kunci – ekuasi psikologi – tentang tipe manusia yang mendominasi sekarang. Segalanya yang mengikuti adalah kelanjutan, satu akibat, dari struktur yang fundamental, yang dapat disimpulkan sebagai berikut: dunia yang terorganisir oleh Abad XIX, yang secara otomatis menghasilkan manusia baru, telah menginfus ke dalam manusia baru tersebut segala nafsu-nafsu berat dan beberapa sarana yang canggih untuk memuaskan mereka. Ini termasuk ekonomi, fisik (kebersihan, taraf kesehatan rata-rata lebih tingi daripada zaman sebelumnya), sipil dan teknikal (yang saya maksud adalah kuantitas yang besar dari pengetahuan yang sepotong-potong dan efisiensi yang praktis yang dimiliki oleh manusia average sekarang tidak ada di zaman lampau.) setelah membekalinya dengan segala macam power, lalu Abad XIX meninggalkan mereka sendiri, dan manusia average, mengikuti disposisi alamiahnya, mengundurkan diri ke dalam dirinya. Selanjutnya, kita berada di tengah-tengah massa yang lebih kuat daripada sebelumnya, tetapi berbeda dengan tipe tradisional, selalu saja tertutup kedap udara dalam dirinya, tidak bisa sanggup untuk menyerahkan dirinya pada segala sesuatu atau pada setiap orang, percaya bahwa dirinya mandiri – dalam kata lain, liar.(5) Jika sesuatunya berjalan seperti sekarang ini, setiap hari akan tampak jelas di Eropa – dan oleh refleksi, di seluruh dunia – bahwa massa tidak sanggup untuk memberi arah tujuan apa pun juga. Dalam keadaan yang muskil yang tidak lama lagi akan terjadi di benua kita ini, adalah mungkin bahwa, dalam keadaan yang sengsara yang datang secara tiba-tiba,

mereka mungkin untuk beberapa saat punya itikad baik untuk menerima, dalam keadaan darurat, arah tujuan golongan minoritas yang superior itu.

Tetapi bahkan itikad baik itu akan mengakibatkan kegagalan. Karena struktur dasar jiwanya ditempa menurut bentuk ruang yang kedap udara juga liar; mereka sejak dilahirkan kekurangan indria untuk memperhatikan apa yang ada di luar dirinya, apakah itu berupa fakta, atau manusia. Mereka ingin sekali mengikuti seseorang, dan mereka tidak bisa. Mereka ingin sekali untuk mendengar, dan mereka mendapatkan bahwa mereka tuli.

Di samping itu, adalah khayalan belaka untuk membayangkan bahwa manusia-massa sekarang ini, walau pun level vitalnya lebih superior dibanding dengan zaman-zaman lainnya, sanggup untuk mengontrol, seorang diri, proses peradaban. Saya katakan proses, bukan progres. Proses yang sederhana untuk mempreservasikan peradaban saat ini sangatlah rumit, dan membutuhkan power yang substil yang tidak terbilang. Manusia average tidak becus untuk memimpin, walau banyak belajar cara mempergunakan mesin peradaban, tetapi karena pada dasarnya adalah bodoh mereka sama sekali tidak mengerti tentang prinsip utama peradaban itu sendiri.

Saya ulangi kembali pada para pembaca yang dengan sabarnya masih mengikuti saya hingga batas ini, bahwa urgensi untuk tidak mensuplai fakta, ini semata-mata menyatakan signifikansi politik belaka. Sebaliknya, aktifitas-aktifitas politik yang terefisien dan yang terlihat jelas di tengah-tengah kehidupan publik, itu adalah produk akhir dari sesuatu yang lainnya lagi yang biasa-biasa saja dan juga lebih nyata. Maka, keliaran politik tidak akan menjadi sangat serius jika ini tidak bersumber dari keliaran intelektual yang dalam serta kongklusif. Selanjutnya, transparansi akhir dari makalah esay ini tidak akan mengemuka, sebelum kita menganalisanya terlebih dahulu.

VIII

Mengapa Massa Ikut Campur dalam Segala Hal, danMengapa Keikut Campuran Mereka Hanya dengan Kekerasan.

LALU KITA MENGERTI, bahwa telah terjadi sesuatu yang paradoks, tetapi sebenarnya sangatlah alamiah; semenjak terbukanya dunia dan kehidupan bagi manusia average, jiwanya telah tertutup dalam dirinya. Nah, kemudian, saya yakin bahwa dalam kekosongan jiwa average inilah pemberontakan massa terwujudkan, dan di sinilah pada gilirannya terletak puncak masalah besar di hadapan manusia saat ini.

Saya tahu benar bahwa banyak para pembaca saya berpikir serupa saya. Ini juga sangatlah alami, mengkonfirmasikan teori. Walau opini saya penuh dengan kesalahan, nyatanya tetap saja para pembaca yang tidak setuju itu, tidak mau memberikan peluang lima menit saja bagi pikirannya untuk memikirkan masalah yang kompleks ini. Bagaimana mereka akan berpikir seperti saya? Tetapi percaya seakan-akan mereka punya hak bagi satu opini tentang sesuatu masalah tanpa harus berusaha sebelumnya untuk merumuskan perkara tersebut, ini membuktikan dengan jelas dan nyata bahwa mereka adalah dari golongan manusia tipe absurd, yang telah saya beri nama si “massa pemberontak.” Adalah tepat apa yang saya maknakan kekosongan jiwa seseorang itu, tertutup rapat kedap udara. Dalam hal ini, ini adalah kasus hermetisme intelektual. Si

individu mendapatkan dirinya memiliki sekumpulan ide-ide. Ia memutuskan untuk berpuas diri dengan ide-ide tersebut dan menganggap dirinya komplit secara intelektual. Ia merasa tidak kekurangan sesuatu apa pun juga di luar dirinya, ia sangat bahagia di tengah-tengah perabot-perabot mentalnya. Beginilah mekanisme dari kekosongan diri itu.

Manusia-massa menganggap dirinya sempurna. Manusia terpilih, jika ingin menganggap dirinya demikian, butuh kesombongan khusus, dan kepercayaan pada kesempurnaannya tidaklah co-exist secara terpadu, tidak alami, tetapi timbul dari kesombongannya, bahkan bagi dirinya hanyalah fiksi, khayalan belaka, satu karakter bermasalah. Selanjutnya, manusia sombong ini butuh orang lain, ia mencari dukungan mereka bagi ide-idenya yang ingin sekali ia miliki. Biar pun dalam keadaan sakit, atau ketika dibutakan oleh kesombongan, seorang aristokrat tidak bisa merasakan dirinya sebagai kebenaran komplit. Sebaliknya, ini tidak pernah terjadi ke para manusia medioker zaman sekarang, ke Adam Baru, untuk meragukan walau sedikit kesempurnaan dirinya itu. Keyakinan dirinya adalah, seperti surganya Adam. Hermetisme alami jiwanya adalah hambatan bagi penemuan dirinya, ini kondisi yang amat penting akan kekurangannya, yakni: membandingkan dirinya dengan yang lainnya. Untuk membandingkan dirinya ini berarti untuk keluar sebentar saja dari dalam dirinya dan mentransfer dirinya ke tetangganya. Tetapi jiwa medioker ini tidak bisa sanggup bertransmigrasi – satu bentuk olah raga yang prima.

Lalu, kita mendapatan diri kita, dengan perbedaan yang serupa yang selalu eksis abadi di antara si bodoh dan manusia bijaksana. Manusia bijaksana selalu ada di sekitar kebodohan nyaris tertular menjadi bodoh; lalu ia berusaha menjauhi kebodohan yang kelak datang, dan di dalam usahanya itulah letak keintelektualannya. Si bodoh, malahan, merasa tentu; ia pikir dirinya manusia yang paling bijaksana di antara manusia, selanjutnya si bodoh hidup dalam kesantaian yang mencemburukan hati, menempatkan dirinya dalam kebodohannya sendiri. Seperti kutu yang mustahil dikeluarkan dari lubang yang ditempatinya, adalah mustahil untuk menggusur si bodoh dari kebodohannya, mengeluarkan ia sebentar saja dari kebutaannya serta memaksanya untuk membandingkan visinya yang guram itu dengan orientasi yang lebih jelas. Si bodoh adalah bodoh seumur hidup; ia tidak punya pori-pori. Mengapa itulah Anatole France berkata bahwa si bodoh lebih buruk daripada si jahat, karena penjahat kadang-kadang berhenti menjadi penjahat, tetapi si bodoh tidak.(1)

Bukannya masalah bahwa manusia-massa itu adalah bodoh. Sebaliknya, sekarang mereka lebih pintar, ia punya lebih banyak kapasitas untuk mengerti daripada rekannya di zaman lampau. Tetapi kapasitas tersebut tidak berguna baginya; dalam realitasnya, perasaannya yang tidak menentu yang dimilikinya itu, tampaknya hanya membuat dirinya lebih tertutup lagi, ini mencegah dirinya mempergunakan kapasitas itu. Sekarang dan untuk terakhir kalinya, ia menerima barang murahan, prasangka-prasangka, sisa-sisa ide atau kata-kata kosong yang dengan kebetulan tertimbun dalam benaknya, dengan kelancangannya yang hanya dapat dijelaskan oleh wataknya, disiapkan untuk dipaksakan kemana-mana. Ini adalah apa yang pada bab pertama saya jabarkan sebagai karakternya zaman ini; bukannya si vulgar percaya bahwa dirinya terunggul dan tidak vulgar, tetapi si vulgar memaksa menyatakan hak kevulgaran, atau kevulgaran sebagai hak.

Tatanan yang sekarang dijalankan ke atas kehidupan publik diatur oleh si intelek vulgar, mungkin ini adalah faktor yang sangat baru dalam situasi sekarang ini, sulit untuk disamakan dengan zaman-zaman lampau. Sekurang-kurangnya dari sejarah Eropa hingga

kini, si vulgar tidak pernah percaya dirinya punya “ide” tentang sesuatu. Dia punya kepercayaan-kepercayaan, tradisi, pengalaman, slogan, kebiasaan-kebiasaan mental, tetapi ia tidak pernah membayangkan dirinya memiliki teori-teori opini mengenai segala sesuatu apa adanya atau apa yang sudah seharusnya – contohnya, mengenai politik dan sastra. Apa yang kaum politikus rencanakan atau jalankan tampaknya baik atau buruk baginya, ia menyetujuinya atau menolak mendukungnya, tetapi semua tindakannya itu sebatas gaung, positif atau negatif, gema dari aktifitas kreatif orang lain. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk menentang “ide-ide” para politikus yang berbeda dengannya, bahkan tidak pernah mengevalusai “ide-ide” para politikus melalui tribunal ide-ide, dengan idenya yang ia miliki sendiri. Begitu pula dalam seni dan beberapa aspek kehidupan publik. Ada kesadaran yang alami akan keterbatasannya, akan ketidak kualifaiannya untuk berteori,(2) ini secara efektif menghambatnya untuk bertindak lebih lanjut. Akibat yang tidak dapat dielakan, ialah bahwa si vulgar tidak pernah berpikir, walau sedikit pun, untuk membuat keputusan mengenai, salah satu dari aktifitas-aktifitas publik, yang sebagian besar dari aktifitas tersebut teoritis sifatnya. Di sisi lain manusia average sekarang malah punya sangat banyak “ide” yang bersifat matematis tentang segala yang pernah terjadi atau harus terjadi di jagad raya ini. Kemudian kehilangan indra pendengarannya. Kenapa ia harus mendengarkan jika ia punya segala apa yang ia perlukan dalam dirinya? Tidak ada alasan sekarang untuk mendengar, tetapi untuk menghakimi, mengesahkan, memutuskan. Tidak ada masalah mengenai kehidupan publik, apa yang ia tidak turut campur, buta dan tuli ia, memaksakan “opini-opini”nya.

Tetapi, bukankah ini satu keberuntungan? Bukankah ini satu tanda kemajuan besar bahwa “massa” harus punya “ide,” yakni, harus berbudaya? Tentu saja. “Ide” manusia average bukan ide asli, tidak juga budaya mereka. Ide itu adalah upaya untuk memasukan kebenaran ke dalam belenggu kematian. Sesiapa yang ingin punya ide pertamanya harus menyiapkan dirinya untuk menghasrati kebenaran dan menerima aturan main yang dikenakan padanya. Tidak ada gunanya untuk berbicara mengenai ide jika tidak diakui oleh otoritas yang lebih tinggi untuk mengontrolnya, satu rangkaian standar untuk memungkinkan memohon appeal dalam diskusi. Standar-standar ini adalah prinsip-prinsip di mana kebudayaan itu hidup. Saya tidak perduli dengan bentuk-bentuk yang dikenakannya. Apa yang saya deklarasikan adalah tidak ada kebudayaan di mana tidak ada standar yangmana insan-manusia sesama kita bisa memiliki ide lain. Tidak ada kebudayaan di mana tidak ada prinsip-prinsip legalitas untuk memohon appeal. Tidak ada kebudayaan di mana tidak ada pengakuan akan posisi akhir intelektual yang pasti yangmana perselisihan dapat dirujuk.(3) Tidak ada kebudayaan di mana aktifitas ekonomi bukan subjek dari prinsip pengontrolan untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tersangkut bersinggungan dengannya. Tidak ada kebudayaan di mana selera estetika yang kontroversial tidak mengakui nesesitas kebakuan karya seni.

Ketika semua ini tidak ada, tidak ada pula kebudayaan, yang ada hanyalah, ini yang disebut, barbarisme. Dan jangan kita menipu diri kita sendiri, ini sudah mulai tampak di Eropa di bawah pemberontakan massa yang progresif. Para pengembara yang pergi ke negara-negara biadab tahu bahwa di kawasan itu tidak ada tatanan-tatanan hukum yangmana ia dapat memohon appeal. Berkata sebenarnya tidak ada standar yang biadab. Barbarisme adalah ketiadaan standar yangmana bisa mengajukan appeal.

Tingkat derajat kebudayaan dapat diukur dari seberapa banyak atau sedikitnya presisi standar-standarnya. Di mana ada sedikit presisi, standar-standar ini hanya

mengatur eksistensi sebatas grosso modo belaka; di mana ada banyak presisi, standar-standar ini menembus ke dalam segala aktifitas-aktifitas yang berjalan, secara detail.(4)

Setiap orang dapat melihat bahwa di Eropa, beberapa tahun lalu, terjadi “sesuatu yang janggal.” Akan saya sebutkan beberapa gerakan politik sebagai contoh kongkrit mengenai “sesuatu yang janggal” itu, yakni, Sindikalisme dan Fasisme. Kita tidak boleh berpikir bahwa mereka janggal semata-mata karena mereka baru. Seperti yang kita ketahui entusiasme bagi sesuatu yang baru adalah sangat alami bagi orang Eropa dan ini banyak menyebabkan kemelut sejarah. Unsur kejanggalan fakta-fakta yang baru ini janganlah dilimpahkan pada unsur dari hal-hal yang baru, tetapi pada bentuk ekstra khas yang dimiliki oleh sesuatu yang baru ini. Di bawah bentuk Sindikalisme dan Fasisme munculah untuk pertama kalinya di Eropa satu jenis manusia yang tidak mau memberikan alasan-alasan atau menjadi benar, tetapi hanya memperlihatkan ketekadan dirinya untuk memaksakan opini-opininya. Ini adalah sesuatu yang baru: hak untuk tidak beralasan, “alasan yang tidak beralasan.”(5) Di sini saya dapat melihat manifestasi dari mentalitas baru massa mengejawantah, ini dikarenakan oleh keputusan mereka untuk memerintah masyarakat tanpa punya kapasitas untuk berbuat demikian. Dalam perilaku politik mereka, struktur mentalitas baru ini tampak dalam sikap yang kaku dan sangat meyakinkan; tetapi kuncinya terletak pada intelektual hermetisme. Manusia average punya banyak “ide” di dalam kepalanya, tetapi ia tidak sanggup bagi kreatifitas. Ia tidak punya konsep bahkan bagi iklim yang sangat khas di mana ide itu hidup. Ia mengharap untuk punya beberapa opini, tetapi menolak menerima kondisi serta asumsi-asumsi yang merupakan dasar dari segala opini. Lalu, selanjutnya ide-idenya tidak lebih daripada nafsu-nafsu dalam kata-kata, sesuatu seperti musik romansa.

Untuk punya satu ide ini berarti percaya bahwa seseorang memiliki alasan bagi itu, dan selanjutnya berarti percaya bahwa ada sesuatu yang dinamakan alasan, satu dunia kebenaran yang dapat dimengerti. Untuk punya ide, untuk membentuk opini, adalah identik dengan memohon pada otoritas yang terkait, menyerahkan diri padanya, menerima tatanan hukumnya serta keputusannya, lalu percaya bahwa bentuk tertinggi dari antar-komunikasi itu adalah dialog, di mana alasan-alasan bagi ide kita didiskusikan. Tetapi manusia-massa akan merasa kehilangan dirinya jika ia menyetujui diskusi, dan secara instingtif menolak kewajiban untuk mempercayai otoritas tertinggi tersebut yang di luar dirinya. Lalu “sesuatu yang baru” di Eropa adalah “meremehkan diskusi,” dan kebencian ini diekspresikan dalam segala bentuk antar-komunikasi yang menyiratkan standar-standar objektif, mulai dari percakapan biasa hingga Parlemen, menguasai sains. Ini berarti adanya penolakan bagi kehidupan bersama berdasarkan budaya, yangmana adalah subjek dari standar-standar, dan kembali ke kehidupan bersama barbarisme. Segala proses yang normal ditindas demi untuk bisa memaksakan secara langsung apa yang dihasratinya. Hermetisme jiwa ini, seperti yang kita sudah lihat sebelumnya, mendesak massa untuk mencampuri urusan kehidupan bersama, dan tidak bisa dielakan lagi ini mengarah ke satu proses intervensi: direct action.

Ketika pengrekonstruksian asal usul zaman kita dikerjakan, harus diperhatikan bahwa nada harmonis pertama yang khas itu dikumandangkan oleh grup sindikalis dan realis Prancis sekitar tahun 1900, pencipta metode dan nama “direct action” itu. Manusia selalu mengambil jalan kekerasan; kadang jalan ini hanyalah tindakan kriminal semata, ini tidak menarik perhatian kita sama sekali. Tetapi sekali waktu kekerasan adalah cara yang dipilih seseorang yang sebelumnya sia-sia mempergunakan cara lainnya untuk

membela hak keadilan yang ia pikir ia miliki. Mungkin sangat disayangkan bahwa manusia kadang cenderung mempergunakan bentuk kekerasan seperti ini, tetapi tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ini mengimplikasikan satu penghormatan kepada intelek dan keadilan. Karena bentuk kekerasan serupa ini tidak lain daripada intelek yang murka. Kekerasan, lalu menjadi ultima ratio. Dengan secara bodoh dan telah menjadi kebiasaan pula untuk menganggap ekspresi ini secara ironis, jelas ini mengindikasikan bahwa kekerasan itu adalah subjek dari metode intelek. Peradaban tidak lain adalah suatu usaha untuk mereduksi kekerasan, tidak menjadi ultima ratio. Sekarang kita mulai sadar akan hal ini sejelas-jelasnya, bahwa “direct action” menjungkir balikan tatanan dan mencanangkan kekerasan sebagai prima ratio, atau tepatnya sebagai unica ratio. Ini adalah norma-norma yang menggagasi penganuliran segala norma-norma, menghapus segala proses mediasi antara niat dan kiat. Ini adalah Magna Charta-nya barbarisme.

Alangkah baiknya untuk mengingat kembali bahwa di setiap zaman ketika massa, karena satu alasan atau lainnya, ambil bagian dalam kehidupan publik, selalunya dalam bentuk “direct action.” Ini lalu, menjadi modus operandi yang alami bagi massa. Dan tesis dari esay ini dikonfirmasikan oleh fakta yang resmi adanya bahwa, saat ini manakala intervensi otoritas massa dalam kehidupan publik itu berubah dari secara sambil lalu dan kadang-kadang, menjadi normal, “direct action” tampil secara resmi sebagai metode yang baku.

Segala kehidupan bersama kita akan berada di bawah kekuasaan rezim ini, yang memohon pada otoritas “indirect” ditindas. Dalam hubungan sosial, “sopan-santun” tidak lagi berlaku. Sastra sebagai “direct action” tampil dalam bentuk nista. Pembatasan hubungan sex dikurangi.

Pembatasan-pembatasan, standar-standar, sopan-santun, metode tidak langsung, keadilan, dan intelek! Mengapa semua ini diciptakan, mengapa segala komplikasi ini dilahirkan? Semua ini disimpulkan dalam kata peradaban, melalui wawasan dasar inilah penduduk, warga negara, memperlihatkan asal-usulnya yang riil. Dengan cara-cara tersebut, usaha untuk mendirikan kota, masyarakat, sebuah kehidupan bersama itu mungkin. Lalu, apabila kita lihat unsur-unsur peradaban yang baru saja disebut di atas, kita akan mendapatkan satu dasar umum yang serupa. Semuanya, nyatanya, menyarankan satu hasrat radikal yang progresif dari setiap individu untuk memperhitungkan orang lain. Peradaban adalah, di atas segalanya, kemauan untuk hidup bersama. Seseorang tidak beradab, biadab derajatnya, jika ia tidak memperhitungkan orang lain. Barbarisme adalah suatu kecenderungan pada disasosiasi. Oleh karena itu zaman-zaman biadab adalah kurun waktu ketika manusia masih terpecah-pecah, kelompok grup kecil, terpisah dan bermusuhan ke satu sama lainnya.

Doktrin politik yang mewakili kiat yang luhur menuju ke kehidupan bersama adalah demokrasi liberal. Dia mengemban sampai ke ekstrimnya kiat untuk memperhitungkan tetangga seseorang dan dia adalah prototipe dari “indirect action.” Liberalisme itu adalah prinsip hak politik yang membatasi dirinya, yang berkaitan dengan otoritas publik itu, walau dia sangat berkuasa penuh, serta berusaha bahkan atas biayanya, untuk menyediakan ruang di dalam State di mana dia memerintah, yaitu dengan kata lain yang lebih kuat, bagi mereka yang mempunyai pikiran dan perasaan yang tidak serupanya untuk hidup, yakni si mayoritas. Liberalisme – baik untuk diingat kembali saat ini – adalah bentuk kepemurahan hati yang agung; itu adalah hak, di mana si mayoritas mengakui si minoritas dan selanjutnya dia adalah seruan yang termulia yang

penah disuarakan di planet ini. Dia mencanangkan tekad untuk berbagi eksistensi dengan musuh; lebih dari itu, dengan musuh yang lemah. Adalah mustahil bahwa spesis manusia dapat mencapai sikap yang sangat mulia, sangat paradoks, sangat halus, sangat akrobatis, sangat anti natural. Lalu, tidaklah mengherankan, bahwa humanitas yang sama ini tiba-tiba muncul sangat mengharapkan untuk menyingkirkannya. Dia adalah disiplin yang sangat sulit dan rumit untuk bisa berakar di bumi.

Berbagi eksistensi dengan musuh! Memerintah dengan oposan! Tidakkah bentuk yang sangat lembut ini tampaknya mulai dimengerti? Tidak ada indikasi yang lebih jelas dari karakteristik saat ini selain fakta ini bahwa hanya ada beberapa negara di mana oposisi itu eksis. Sebagian besar massa yang homogenus mempersulit otoritas publik dan menghancurkannya, menghapuskan setiap grup oposisi. Massa – siapa yang ingin mempercayainya setelah seseorang melihat bentuk rupanya, penampilannya yang royokan itu? – tidak ingin untuk berbagi hidup dengan mereka yang tidak serupanya. Ia sangat benci pada apa-apa yang bukan dirinya.

IX

Yang Primitif dan yang Teknikal SAYA MEMANG SENGAJA untuk mengingatkan bahwa kita sedang

melibatkan diri dalam penganalisaan satu situasi – situasi aktual – yang esensinya ambigu. Lalu saya sarankan dari awal mula bahwa segala sifat-sifat zaman sekarang ini, khususnya mengenai pemberontakan massa, menawarkan aspek ganda. Salah satu aspeknya, tidak saja mengakui, juga membutuhkan interpretasi ganda, menguntungkan dan tidak menguntungkan. Dan keambiguan ini terletak, bukannya di dalam pikiran kita tetapi di dalam realitas itu sendiri. Ini bukanlah berarti bahwa situasi saat ini mungkin tampaknya baik bagi kita dari sudut pandang seseorang, dan buruk dari sudut pandang orang lainnya, tetapi di dalam dirinya mengandung potensi kembar, kejayaan dan kehancuran.

Tidak bermaksud untuk membebani esay ini dengan satu filsafat kesejarahan yang menyeluruh. Tetapi adalah jelas bahwa saya mendasarkannya pada alas pondasi dari filsafat saya sendiri yang saya yakini. Saya tidak percaya pada determinisme absolut sejarah. Sebaliknya, saya percaya bahwa segala kehidupan itu, dan kehidupan sejarah sebagai akibatnya, terjadi dari saat-saat yang sederhana, setiap saatnya secara relatif tidak bisa ditentukan berkenaan dengan yang terdahulu, maka di dalamnya realitas bimbang berjalan mundar-mandir, galau untuk menentukan bermacam-macam kemungkinan. Ini adalah kebimbangan metafisikal yang memberikan kepada segala yang hidup karakter getaran vibrasinya yang khas. Pemberontakan massa mungkin, adalah periode transisi menuju ke sesuatu yang baru, organisasi humanitas yang belum pernah ada, tetapi dapat juga menjadi satu bencana besar bagi nasib manusia. Tidak ada alasan untuk meragukan realitas kemajuan, tetapi ada alasan untuk mengoreksi gagasan yang percaya bahwa kemajuan itu langgeng. Ini sesuai dengan fakta yang ada bahwa tidak ada kemajuan yang pasti, tidak ada evolusi, tanpa ancaman akan “involusi,” retrograsi. Segalanya adalah mungkin dalam sejarah; kejayaan, kemajuan yang definit begitu pula periode retrograsi. Karena kehidupan, individual mau pun kolektif, perseorangan atau pun historis, adalah

satu entitas dalam jagad raya yang substansinya adalah padat bahaya, petualangan. Ini adalah, istilah yang tepat, drama.(1)

Ini, pada umumnya benar, dia mendapatkan tenaga yang lebih besar di “masa krisis” seperti layaknya saat ini. Lalu, gejala dari perilaku baru yang muncul di bawah dominasi aktual massa yang kita grupkan ke dalam terma “direct action,” mungkin juga mencanangkan kesempurnaan masa depan. Tampak jelas bahwa setiap peradaban tua menyeret bersamanya dalam perjalannya serat-serat yang telah membusuk dan tidak sedikit benda-benda keras, yang membentuk hambatan ke kehidupan, semata-mata ampas toksid. Ada banyak institusi-institusi, valuasi-valuasi serta estimasi-estimasi yang sudah usang tetap hidup, walau sekarang tidak punya arti, solusi yang rumit yang tidak perlu, standar-standar yang telah dibuktikan ketidakadaan nilai substansinya. Semua unsur-unsur dari peradaban “indirect action,” butuh satu periode penyederhanaan yang menjengkelkan. Topi panjang dan jubah panjang dari periode zaman romantik diganti oleh deshabille dan “baju lengan tangan” zaman ini. Di sini, penyederhanaan berarti higenis dan selera yang lebih baik, akibatnya satu solusi yang lebih sempurna, seperti yang selalu terjadi ketika yang lebih banyak didapat dengan cara yang lebih sedikit. Pohon cinta romantis yang butuh dipangkas demi meluruhkan magnolia imitasi yang berlebihan yang bergelantungan di tangkai-tangkainya serta ulat-ulat perusuh, juga cabang-cabang bengkok berbelit-belit yang menghalangi sinar matahari.

Pada umumnya, kehidupan publik dan di atas segalanya politik, secara urgen perlu dikembalikan ke realitas, dan humanitas Eropa tidak bisa loncat jungkir balik yangmana dituntut oleh para optimis, tanpa pertamanya membuka seluruh pakaiannya, menjadi yang hanya esensial belaka, kembali ke dirinya yang sejati. Entusiasme yang saya rasakan bagi disiplin untuk bertelanjang diri, untuk menjadi dirinya yang sejati, satu keyakinan yang tidak bisa ditawar-tawar untuk memuluskan jalan menuju masa depan yang lebih cerah, ini mengantarkan saya untuk mengklaim kebebasan berpikir sepenuhnya dari segala masa lalu. Masa depanlah yang harus berjaya melawan masa lampau, dan darinyalah kita memetik instruksi kita berkaitan dengan sikap kita terhadap apa yang telah lampau.(2)

Tetapi adalah penting untuk menghindari dosa besar - kurang menghargai tanggung jawab - dari manusia yang memimpin Abad XIX, ini menghalangi mereka untuk menjadi waspada dan berjaga. Membiarkan dirinya terperosok dari landaian mulus yang ditawarkan oleh jalannya kejadian lalu memudarkan pikiran seseorang akan akibat bahaya, hal-hal yang kurang patut yang bahkan menodai rasa tanggung jawab akan kewajiban seseorang. Sekarang sudah menjadi kewajiban untuk merangsang, membesarkan rasa tanggung jawab ke mereka yang sanggup merasakannya, memang ini adalah sesuatu yang sangat urgen untuk menekankan aspek gejala masa kini yang sangat berbahaya itu.

Tidak disangsikan lagi ketika kita menimbang kehidupan publik kita, faktor yang merugikan jauh lebih berat daripada faktor yang menguntungkan, ini jika kalkulasi yang dibuat itu tidak menyangkut pautkan masa kini, tetapi berkenaan dengan apa yang mereka canangkan dan janjikan bagi masa depan.

Segala kemungkinan peningkatan materi yang dialami oleh kehidupan menghadapi riskan untuk dianulir ketika semuanya dihadapkan pada masalah yang tidak menentu yang menimpa nasib Eropa, dan sekali lagi saya formulasikan: arah tujuan masyarakat dikuasai oleh satu jenis tipe manusia yang tidak perduli pada prinsip

peradaban. Bukanlah peradaban yang ini atau itu tetapi – dari apa yang kita bisa nilai sekarang – segala peradaban. Tentu saja, ia tertarik pada anastetik, mobil, dan beberapa barang lainnya lagi. Tetapi fakta ini malah mengkonfirmasikan akan kekurangan minatnya yang mendasar akan peradaban itu. Karena barang tersebut hanyalah produk-produk darinya saja, dan kesungguhannya menghargai barang-barang tersebut hanyalah menguatkan rasa ketidak perduliannya terhadap prinsip-prinsip yang darimana semuanya itu muncul. Adalah layak untuk mengedepankan fakta ini: sejak nuove scienze, natural sains, lahir – dari zaman Renaissance ke atas – entusiasme bagi sains tersebut semakin meningkat dari waktu ke waktu. Secara kongkritnya, sebagian besar dari manusia yang mengabdikan dirinya pada penelitian saintifik murni meningkat setiap generasi. Kasus pertama dari retrograsi – saya ulangi, adalah relatif – terjadi pada setiap generasi antara dua puluh dan tiga puluh tahun saat ini. Menjadi sangat sulit untuk menarik para pelajar ke laboratorium-laboratorium sains murni. Dan ini terjadi ketika industri sedang marak-maraknya menggapai puncak tertinggi perkembangannya, ketika manusia yang pada umumnya masih memperlihatkan nafsu besarnya bagi penggunaan aparatus-aparatus dan obat-obatan yang diciptakan oleh sains. Jika kita tidak berusaha menghindari keberbelitan, maka distorsi yang sama dalam politik, seni, moral, agama, maupun aktifitas kehidupan sehari-hari, akan terjadi.

Apa arti penting dari situasi yang paradoks ini bagi kita? Esay ini adalah satu usaha untuk menyiapkan jawaban bagi pertanyaan yang sedemikian itu. Artinya adalah bahwa tipe manusia yang dominan sekarang adalah tipe yang primitif, Naturmensch, yang muncul di tengah-tengah dunia beradab. Dunia itu adalah beradab, penduduknyalah yang tidak: ia tidak melihat peradaban dunia di sekelilingnya, tetapi ia memanfaatkannya seolah-olah itu adalah satu kekuatan yang alamiah. Manusia baru menginginkan mobil, dan menikmatinya, tetapi ia percaya bahwa itu adalah buah yang tumbuh dengan sendirinya dari taman Firdaus. Di kedalaman relung jiwanya ia tidak sadar akan keartifisialan, yang cukup luar biasa, karakter peradaban itu, dan tidak meluaskan jangkauan entusiasmenya bagi prinsip-prinsip yang membuat instrumen-instrumen itu mungkin . Di beberapa halaman terdahulu, dengan menggunakan kata-katanya Rathenau, saya katakan bahwa kita sekarang sedang menyaksikan “invasi vertikal orang barbar,” ini mungkin ( pada umumnya demikian ) dikirakan hanya sebagai masalah “frasa” saja. Sekarang jelas bahwa ekspresi ini memuliakan kebenaran mau pun error, tetapi itu adalah kebalikan dari “frasa,” yang artinya: definisi yang formal yang menyimpulkan seluruh analisa yang kompleks. Manusia-massa yang aktual adalah, nyatanya, manusia primitif yang menyelinap melalui sisi panggung ke atas panggung tua peradaban.

Ada percakapan yang terus menerus saat ini mengenai kemajuan pengetahuan teknis yang menakjubkan; tetapi dalam percakapan ini saya tidak melihat tanda-tanda, bahkan di antara yang terbaik sekali pun, akan realisasi masa depannya secara cukup dramatis. Spengler sendiri, sangat substil dan mendalam – walau sangat dikuasai oleh mania - bagi saya dalam masalah ini ia terlalu optimis. Karena ia percaya bahwa “budaya” akan dilanjutkan oleh satu era “peradaban” dengan kata lain ia maksudkan terlebih-lebih sebagai efisiensi teknis. Ide mengenai “budaya” dan sejarah yang pada umumnya di miliki Spengler sangat jauh berbeda dengan apa yang menggaris bawahi esay ini, tidaklah mudah, bahkan untuk maksud mengoreksi, memberi komentar pada kesimpulannya. Hanya dengan lompatan jauh, dan mengabaikan detail-detail kecil, guna mendapatkan dua titik pandang di bawah satu denominator yang sama, perbedaan di antara kita mungkin dapat dibeberkan. Spengler percaya bahwa “teknikisme” dapat terus hidup

manakala minat pada prinsip-prinsip yang mendasari kebudayaan itu mati. Saya tidak dapat meyakinkan diri saya sendiri pada kepercayaan yang sedemikian itu. Teknikisme dan sains co-eksis, dan sains tidak bisa eksis ketika dia berhenti memperhatikan dirinya sendiri, lalu tidak dapat lagi memperhatikan dirinya kecuali jika manusia itu terus merasakan entusiasmenya bagi prinsip-prinsip umum budaya. Jika semangat ini dimatikan – seperti yang terjadi sekarang ini – teknikisme hanya dapat bertahan sementara saja, selama durasi inertia dari impuls budaya yang menggulirkannya. Kita hidup dengan kebutuhan-kebutuhan teknis, tetapi tidak dihidupi oleh kebutuhan-kebutuhan teknis. Mereka tidak akan memberikan makan atau nafas, mereka bukanlah causae sui, tetapi sesuatu yang sangat berguna, secara praktis mendorong ke kemubasiran yang tidak praktis.(3) Lalu, saya akan teruskan lagi, bahwa minat aktual terhadap keberhasilan teknis itu tidak menjamin apa-apa, malahan kurang dari apa-apa, bagi suatu kemajuan atau durasi dari satu keberhasilan. Sangatlah tepat bahwa teknikisme harus dianggap sebagai salah satu sifat karakter dari “budaya moderen,” yakni, sebuah budaya yang terdiri dari spisis sains yang terbukti menguntungkan secara materi. Selanjutnya, ketika menjelaskan aspek-aspek terbaru dari eksistensi yang diciptakan oleh Abad XIX, muncul dua sifat ini: demokrasi liberal dan teknikisme. Tetapi, saya ulangi lagi, saya takjub pada rasa menganggap remeh, ketika membicarakan teknikisme, lupa bahwa titik pusatnya yang vital adalah sains murni, dan kondisi bagi kelanjutan keberadaannya melibatkan kondisi yang serupa yang menyebabkan segala aktifitas sains murni itu terjadi. Agar jiwanya selalu aktif, sudahkah ia benar-benar memikirkan segala sesuatunya, demi “manusia sains” yang sejati itu terus ada? Pernahkah ini dipikirkan dengan serius, bahwa selama ada dolar akan tetap ada sains? Gagasan yang sangat menenangkan ini hanya membuktikan lebih jauh akan primitifisme. Seolah-olah tidak ada berbagai macam elemen yang tidak terhitung banyaknya, dari sifat yang sangat berlainan sama sekali untuk dibawa dan diaduk bersama demi untuk mendapatkan cock-tail sains fisika-kimia! Bahkan di bawah penelitian sepintas ke atas subjek ini, fakta yang jelas meletup ke atas permukaan, hingga ke seluruh penjuru waktu dan ruang, fisika-kimia berhasil melembagakan dirinya secara komplit hanya di kawasan segi-empat London, Berlin, Viena dan Paris, dan hanya di Abad XIX saja. Ini membuktikan bahwa sains eksperimental adalah produk yang tidak disangka

Selanjutnya buku ini bisa dibeli di:Bodhidharma Pustaka.Hp: 081802655721(bodhidharmapustaka.blogspot.com)