PEMBERIAN NAFKAH IDDAH DALAM CERAI GUGAT (Analisis Putusan...
-
Upload
vuonghuong -
Category
Documents
-
view
228 -
download
4
Transcript of PEMBERIAN NAFKAH IDDAH DALAM CERAI GUGAT (Analisis Putusan...
i
PEMBERIAN NAFKAH IDDAH DALAM CERAI GUGAT
(Analisis Putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS)
S K R I P S I
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
M. ULIL AZMI
NIM.1110044100026
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H / 2015 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
M. ULIL AZMI. NIM. 1110044100026. “PEMBERIAN NAFKAH IDDAH
DALAM CERAI GUGAT (Analisis Putusan Perkara No.
1445/Pdt.G/2010/PA.JS)” Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi
Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H./2015 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan
hukum positif tentang hak nafkah iddah bagi istri dalam cerai gugat dan analisis
pertimbangan dan putusan hakim yang memerintahkan tergugat untuk
memberikan nafkah iddah kepada penggugat berdasarkann putusan perkara No.
1445/Pdt.G/2010/PA.JS.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen putusan
perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. dan wawancara dengan hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan. Sedangkan sumber data sekundernya adalah peraturan
perundang-undangan perkawinan. Sedangkan teknik penulisannya berdasarkan
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam hukum
Islam, pemberian nafkah iddah dan mut’ah pada talak ba’in ini didasarkan pada
pendapat Imam Hanafi. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita tersebut
berhak nafkah dan tempat tinggal secara bersama, kecuali jika wanita tersebut ber-
iddah karena perpisahan disebabkan pelanggaran istri. Pendapat ini dikuatkan
oleh Umar bin Khattab ra, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats Tsauri.
Sedangkan menurut Hukum Positif, pemberian nafkah iddah dan mut’ah
didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI.
Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.
Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS ini
pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan putusan
Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007.
Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 pemberian nafkah iddah didasarkan
pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI.
Kata kunci: Nafkah Iddah, Cerai Gugat, Penetapan Pengadilan Agama.
Pembimbing : Dr. H. Kamarusdiana, S.Ag., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1980 s.d. 2014
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabby, Tuhan Seru
Sekalian Alam, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa hambatan yang berarti. Shalawat dan
salam sejahtera semoga tercurah kepada Nabi akhir zaman, penuntun umat,
pemberi syafa’at, Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabat-
sahabat setianya hingga akhir zaman.
Skripsi ini berjudul “Pemberian Nafkah Iddah Dalam Cerai Gugat
(Analisis Putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS).”, ditulis sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), dan juga sebagai
bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Syariah
dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, melalui
tulisan ini, izinkan penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon M.A., Ketua Prodi dan
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Dr. H. Kamarusdiana, S.Ag., M.H., dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga, dan pikirannya selama membimbing penulis.
4. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.Ag., Penguji I, dan Hj. Hotnidah Nasution,
M.Ag., selaku Penguji II yang telah memberikan saran dan masukannya
kepada penulis dalam menyempurnakan penulisan skripsi ini.
5. Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag., M.Ag., dosen pembimbing akademik, yang
telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis yang menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
6. Segenap Civitas Akademik Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
7. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta staf yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan studi
perpustakaan.
8. Segenap Hakim dan Staf Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memberikan
data dan informasi yang penulis butuhkan.
Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi
catatan pahala di sisi Allah Swt. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin.
Ciputat, 12 Oktober 2015 M.
28 Dzulhijjah 1436 H.
Penulis
M. ULIL AZMI
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 8
E. Metode Penelitian ................................................................... 9
F. Tinjauan Kajian Terdahulu ...................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 14
BAB II HUKUM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP
PEREMPUAN
A. Pengertian Gender ................................................................... 16
B. Gender Menurut Hukum Islam ............................................... 19
C. Nafkah Iddah Dalam Undang-undang. ................................... 28
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG CERAI GUGAT DAN
NAFKAH IDDAH
ix
A. Cerai Gugat ............................................................................. 34
B. Nafkah Iddah Dalam Fiqih ..................................................... 43
C. Nafkah Iddah Dalam Undang-undang .................................... 51
BAB IV ANALISIS HUKUM PENETAPAN PEMBERIAN
NAFKAH IDDAH
A. Duduk Perkara Kasus Penetapan Masa Iddah ......................... 55
B. Pertimbangan Putusan ............................................................. 57
C. Analisis Putusan ...................................................................... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 72
B. Saran ........................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 76
LAMPIRAN ........................................................................................................ 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih oleh Allah swt sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang baik, dan melestarikan hidupnya.1 Dan juga merupakan salah satu
perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena
perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan
maupun dalam bentuk perzinaan. Orang yang berkeinginan melakukan
pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan nonfisik)
dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berpuasa. Orang berpuasa dapat
memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu
perzinaan.2
Perkawinan merupakan bagian dari hukum perdata yang mengatur dan
melindungi hak-hak pribadi. Hal tersebut bertitik tolak dari prinsip bahwa
kedudukan manusia dilindungi oleh hukum, yang secara keperdataan artinya
dilindungi hak-hak pribadinya, sehingga kebebasan hidup manusia untuk
memiliki dan menggantikan kepemilikannya tidak merugikan orang lain atau
secara pribadi dirinya tidak mengalami kerugian. Sebagaimana dalam hal-hal
yang berkaitan dengan perkawinan yang berakibat adanya hak-hak dan kewajiban
1 Slamet Abidin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.9.
2 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.7.
1
2
suami istri, harta, perwalian, hubungan anak, harta bersama, hak asuh anak,
kewarisan, dan sebagainya.3
Karena manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama demi
kelangsungan hidupnya, timbul satu jenis hukum yang ketentuannya mengatur
kehidupan itu yang dinamakan dengan “Hukum Perdata”. Hukum Perdata adalah
ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam
memenuhi kepentingan dan kebutuhannya, terutama berkaitan dengan
kepentingan perseorangan.4
Hukum Perdata materiil yang ketentuan-ketentuannya mengatur
kepentingan perseorangan terdiri atas: Hukum Pribadi, yaitu ketentuan hukum
yang mengatur tentang hak dan kewajiban dan kedudukannya dalam hukum;
Hukum Keluarga, yaitu ketentuan hukum yang mengatur hubungan lahir batin
antara dua orang yang berlainan kelamin dan akibat hukumnya; Hukum
Kekayaan, yaitu ketentuan hukum yang mengatur hak-hak perolehan seseorang
dalam hubungannya dengan orang lain yang mempunyai nilai uang; Hukum
Waris, yaitu ketentuan hukum yang mengatur cara pemindahan hak milik
seseorang yang meninggal dunia kepada yang berhak memiliki selanjutnya.5
Kaitannya dengan hukum keluarga ialah bahwa ketentuan dalam hukum
keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum
yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan. Salah satu bagian yang amat penting dalam hukum kekeluargaan
3 Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayah Al-Akhyar, (Beirut:
Dar Al-Fikr, 1994), h.88. 4 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h.1.
5 Abdoel Djamal, Pengantar Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), h.135.
3
adalah hukum perkawinan, yang kemudian dibagi dua yaitu hukum perkawinan
dan hukum kekayaan perkawinan. Hukum perkawinan adalah keseluruhan
peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan, sedangkan hukum
kekayaan perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan
harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.6
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.7 Oleh karena itu,
pengertian perkawinan dalam ajaran agama islam mempunyai nilai ibadah,
sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah
“Akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan
melaksanakannya merupakan ibadah.”
Akad nikah yang diucapkan oleh pasangan laki-laki dan perempuan
diharapkan akan bertahan selama-lamanya hingga ajal menjemput keduanya,
sehingga suami dan istri dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah. Karenanya ikatan perkawinan antara suami dan istri merupakan ikatan
yang paling suci dan paling kokoh.8 Akan tetapi dalam menjalankan bahtera
rumah tangga tentu saja jalannya tidak semulus yang diharapkan dari awal
pernikahan, akan ada cobaan dan ujian yang melanda kedua pasangan. Dalam
6 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 2.
7 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
8 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h. 374.
4
Islam, hal yang paling dicintai Allah tentu saja kedamaian antara pasangan suami
dan istri.9
Namun, jika masalah tersebut menjadi sebuah perselisihan yang tidak
dapat lagi dipersatukan, maka Islam juga tidak menutup rapat-rapat pintu
perpisahan bagi kedua pasangan sebagaimana agama Nasrani menutup pintu
perceraian bagi pemeluknya. Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena
berbagai hal, antara lain karena terjadinya talaq yang dijatuhkan oleh suami
terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi diantara keduanya, atau
karena sebab-sebab yang lainnya.
Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindari apabila kedua
belah pihak telah mencoba untuk mencari penyelesaian dengan jalan damai yakni
dengan jalan musyawarah, jika masih belum terdapat kesepakatan dan merasa
tidak bisa melanjutkan keutuhan keluarga maka barulah kedua belah pihak bisa
membawa permasalahan ini ke pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik.
Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali suami dan
isteri yang berniat bercerai tadi dengan jalan membuka lagi pintu perdamaian
dengan cara musyawarah memakai penengah yakni hakim, untuk orang yang
beragama Islam akan membawa permasalahan ini kepada Pengadilan Agama
sementara untuk agama lainnya merujuk kepada Pengadilan Negeri.10
Secara umum alasan perceraian dalam masyarakat adalah sudah tidak ada
lagi kecocokan di antara suami dan isteri yang disebabkan oleh berbagai hal.
9 Amiur Nuruddin dan Azhari A.T, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2006).
h. 207-208. 10
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008). h. 8-9.
5
Perceraian merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya akan membawa pula
akibat-akibat hukum tertentu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 144 Kompilasi
Hukum Islam (KHI), perceraian dapat terjadi karena adanya talak dari suami atau
gugatan perceraian yang dilakukan oleh istri, perceraian tersebut hanya dapat
dilakukan atas dasar putusan hakim di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal 115
KHI).
Dilihat dari cara mengajukannya, perceraian di pengadilan agama terbagi
menjadi dua bentuk yakni cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah talak
yang diajukan oleh suami ke pengadilan. Dalam prosedur dan prinsip pengajuan
cerai talak, masih kental sekali doktrin fiqh yaitu cerai itu merupakan hak mutlak
suami. Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan di ajukan
oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus digunakan di lingkungan
Peradilan Agama untuk membedakan para pihak yang mengajukan cerai. Dalam
perkara talak pihak yang mengajukan adalah suami sedangkan cerai gugat pihak
yang mengajukan adalah isteri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 114 bahwa: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena
perceraian dapat terjadi karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian.”
Tidak seperti dalam doktrin fiqh setiap permohonan cerai yang diajukan
oleh istri itu tidak harus dalam bentuk khulu’ yang diikuti dengan pembayaran
iwadh. Cerai gugat diajukan dengan alasan-alasan tertentu yang diatur dalam
undang-undang. Dalam putusan perkara cerai talak hakim di Pengadilan Agama
mewajibkan seorang suami membayar nafkah iddah kepada mantan istrinya.
Sedangkan untuk putusan cerai gugat dalam hukum fiqh tidak memberikan nafkah
6
iddah bagi mantan istri karena istri dianggap nuzyuz. Namun dalam putusan cerai
gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai kasus cerai gugat hakim
memberikan putusan menjatuhkan talak ba’in kepada suami dan mengabulkan
gugatan cerai gugat tersebut dengan membebankan biaya nafkah iddah pada
suami.
Ada sisi menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang nafkah iddah dalam
perkara gugat cerai, khususnya dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Istri yang menuntut cerai dari suaminya seharusnya dapat menggugurkan hak-
haknya di masa mendatang, seperti hak nafkah selama iddah, mut’ah (pemberian
dari bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talak berupa uang atau benda
lainnya) dan mahar yang belum sempat terbayar. Namun dalam prakteknya
terdapat kasus bahwa istri yang mengajukan cerai gugat kepada suaminya
mendapatkan hak nafkah iddah dan mut’ah dari bekas suaminya. Dari latar
belakang tersebut diatas, maka dalam penelitian ini penulis akan membahasnya
dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul, “PEMBERIAN
NAFKAH IDDAH DALAM CERAI GUGAT (Analisis Putusan Perkara No.
1445/Pdt.G/2010/PA.JS).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, tergambar banyak
masalah yang dapat dikaji dan diteliti terkait dengan pemberian nafkah iddah.
Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan Hukum Islam tentang pemberian nafkah iddah dalam
cerai gugat ?
7
2. Bagaimana ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat ?
3. Apakah terdapat kontradiktif antara ketentuan Hukum Islam dan ketentuan UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang
pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat ?
4. Bagaimana isi putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS) ?
5. Apakah pertimbangan hakim yang memerintahkan kepada Tergugat untuk
memberikan nafkah iddah kepada Penggugat pada putusan perkara No.
1445/Pdt.G/2010/PA.JS) ?
6. Bagaimana analisis pertimbangan dan putusan hakim yang memerintahkan
tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada penggugat berdasarkan
putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. ?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi
masalah yang akan dikaji sebagai berikut:
a. Putusan tentang cerai gugat.
b. Pemberian nafkah iddah
c. Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. dalam pemberian nafkah iddah
dalam cerai gugat.
8
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Nafkah iddah identik dengan cerai thalak. Tetapi mengapa dalam
putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. nafkah iddah dibebankan
pada cerai gugat ?
b. Apa dasar pertimbangan hakim dalam memutus Perkara No.
1445/Pdt.G/2010/PA.JS. ?
c. Atas dasar teori apa hakim memerintahkan kepada Tergugat untuk
memberikan nafkah iddah kepada Penggugat ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahaui dasar putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS.
yang membebankan nafkah iddah pada cerai gugat.
d. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus Perkara
No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS.
e. Untuk mengatahui dasar teori yang digunakan oleh hakim yang
memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah
kepada Penggugat.
9
b. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, hasil studi ini diharapkan
bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi masyarakat pada
umumnya, yaitu:
a. Secara Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi acuan mengenai
pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat dalam putusan pengadilan,
sekaligus diharapkan dapat memberikan implikasi kepada masyarakat
luas yang bermaksud mengetahui seluk beluk pemberian nafkah iddah
dalam cerai gugat.
b. Secara Lembaga Pustaka
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
ilmiah dalam memperkaya studi analisis yurisprudensi khususnya terkait
dengan nafkah iddah.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang ditempuh oleh penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penulisan, sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif
deskriptif dan analisis yurisprudensi. Dalam skripsi ini secara khusus penulis
menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara No.
1445/Pdt.G/2010/PA.JS terkait tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai
10
gugat, sekaligus pengkajian dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan
dengan pembahasan skripsi ini yang dianalisis data-datanya. Penelitian ini
dilakukan melalui observasi langsung ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Jenis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai
berikut :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data
langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. diperoleh
melalui wawancara yang dilakukan dengan Bapak Drs. Muh. Rusydi Thahir,
S.H., M.H., hakim pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari putusan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian
yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, dan nafkah iddah.
Adapun sumber data sekunder diantaranya adalah:
1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
2) Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
3) Kompilasi Hukum Islam
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
11
a. Studi dokumentasi untuk memperoleh putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS terkait tentang pemberian
nafkah iddah dalam cerai gugat.
b. Studi kepustakaan (library reseach), yaitu untuk memperoleh landasan
teoritis yang ada kaitannya dengan judul penulis bahas, di mana penelitian
yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, makalah, artikel maupun
website.
c. Wawancara yaitu dengan mengumpulkan data yang dilakukan penulis
dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang telah
dipilih sebelumnya yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Data
hasil wawancara tersebut selanjutnya ditranskrip untuk dinarasikan dalam
bentuk tulisan.
4. Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara mengedit data, lalu data
yang sudah diedit tadi dikelompokkan dan disusun berdasarkan kategorisasi
serta diklasifikasikan berdasarkan permasalahan yang dirumuskan secara
deduktif. Dari data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
a. Teknik Analisis Data
Bahan yang telah diperoleh, lalu diuraikan dan dihubungkan dengan
sedemikian rupa sehingga menjadi sistematis dalam menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Data-data tersebut lalu dianalisis,
sehingga membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang
berguna.
12
b. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu
dengan cara menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data
yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan.
Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah tahun 2012.
Penulisan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits ditulis satu spasi, termasuk
terjemahan Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi
meskipun kurang dari enam baris dan penulisan skripsi ini menggunakan
ejaan yang disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang dan daftar
pustaka ditulis diawal
F. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dari sekian banyak literatur skripsi yang ada di Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, penulis menemukan data
yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini antara lain:
1. Penulis yang bernama Hani Nurhanipah tahun 2013, dengan judul skripsi,
“Hak Nafkah Iddah Istri Dalam Cerai Talak Akibat Nusyuz.” Tujuan
skripsi ini menjelaskan dan menguraikan tentang bagaimana pertimbangan
majelis hakim yang telah memberikan hak nafkah iddah kepada istri dalam
cerai talak akibat istri nusyuz.
2. Penulis yang bernama Rohmad Heri Tri Cahyo tahun 2013, dengan judul
skripsi, “Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Iddah Yang Diakibatkan
13
Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013).” Tujuan skripsi ini
menguraikan tentang pelaksanaan nafkah masa iddah di Pengadilan Agama
Cikarang berdasarkan putusan tahun 2013.
3. Penulis yang bernama Edi Sutra Ritonga tahun 2013, dengan judul skripsi,
“Efektivitas Pasal 149 Ayat B Kompilasi Hukum Islam Tentang
Ketentuan Nafkah Iddah Talak Bain atau Nusyuz (Studi Analisis Putusan
Pengadilan Agama Nomor: 1228/Pdt.G/2010/PA.JB).” Tujuan skripsi ini
menguraikan tentang nafkah masa iddah menurut perspektif Kompilasi Hukum
Islam dan implementasinya dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat.
4. Penulis yang bernama Muhammad Fazrul Lizan tahun 2008, dengan judul
skripsi, “Nafkah Iddah Bagi Mantan Istri Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Analisis Putusan Perkara Nomor:
1038/Pdt.G/2008/PA.JT).” Tujuan skripsi ini menerangkan tentang nafkah
iddah menurut KHI, syariat dan juga pertimbangan majelis hakim dalam
memutuskan hak nafkah iddah istri dikarenakan akibat dari kekerasan dalam
rumah tangga.
Dari review yang saya lakukan, terlihat bahwa para peneliti memang sudah
banyak yang membahas mengenai masalah pembagian nafkah iddah baik itu
dalam perkara cerai talak ataupun cerai gugat. Perbedaan penelitian ini dengan
peneliti terdahulu adalah bahwa dalam penelitian ini penulis menitik beratkan
pada putusan hakim yang kontradiktif dengan ketentuan Hukum Islam, dimana
dalam ketentuan Hukum Islam, seorang istri yang melakukan cerai gugat tidak
ada hak baginya untuk mendapatkan nafkah ‘iddah, sedangkan putusan hakim
14
pada perkara Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS membebankan kepada pihak
Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat.
Ketentuan yang mengatur hak-hak istri dalam masa iddah hanya bisa
diperoleh ketika suami yang mengajukan cerai, namun dalam kasus ini majelis
hakim rupanya mempunyai pertimbangan lain dikarenakan istri yang mengajukan
cerai terhadap suaminya masih berhak mendapatkan hak-haknya dalam masa
iddah, ini menarik sekali bagi penulis untuk membahasnya, dikarenakan
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelum pembahasan skripsi ini
memberikan inspirasi pada penulis untuk mengkaji lebih lanjut ditinjau dari segi
mana dan apa yang menjadi dasar seorang majelis hakim memutuskan hak-hak
istri dalam masa iddah di perkara cerai gugat.
Penulis juga fokus dengan analisis putusan di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan agar pembahasan skripsi ini tidak melebar. Dengan demikian penulis
menggarisbawahi bahwasannya bahasan ini tidak ada kesamaan isi dan
pertimbangan majelis hakim karena berdasarkan data yang diperoleh di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu
sabagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, kajian tinjauan terdahulu, dan sistematika penulisan.
15
Bab kedua mengenai kajian tentang tinjauan umum tentang gender,
memuat pembahasan tentang: pengertian gender, dan gender menurut Hukum
Islam.
Bab ketiga mengenai tinjauan umum tentang cerai gugat dan nafkah iddah,
yang memuat pembahasan tentang: pengertian cerai gugat, nafkah iddah dalam
fiqh, dan nafkah iddah dalam undang-undang.
Bab ketiga mengenai kajian tentang teori kepastian hukum dan teori
keadilan dalam cerai gugat, memuat pembahasan tentang: teori kepastian hukum,
teori keadilan hukum dan teori penegakan hukum.
Bab keempat mengenai analisis hukum penetapan pemberian nafkah iddah
yang memuat pembahasan tentang: duduk perkara kasus penetapan masa iddah,
pertimbangan putusan dan analisis putusan.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-
saran.
16
BAB II
HUKUM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN
A. Pengertian Gender
Kata “gender” telah digunakan di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Hal
ini sebagai bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler maupun agama
untuk menyuarakan eksistensi perempuan dimana hal tersebut melahirkan
kesetaraan gender.1 Namun pada mulanya gender adalah suatu klasifikasi
gramatikal untuk benda-benda menurut jenis kelaminya terutama dalam bahasa-
bahasa Eropa, kemudian Ivan Illich sebagimana dikutip oleh Ruhainah
menggunakanya untuk membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat
vernacular seperti bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang dan waktu, harta
milik, tahu, alat-alat produksi, dan lain-lainya.2
Istilah gender di Indonesia lazim digunakan dengan memakai ejaan
“jender”, diartikan dengan interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan
kelamin, yakni laki-laki dan perempuan.3 Walaupun kata “gender” telah
digunakan sejak tahun 1960, namun pengertian yang tepat mengenai kata
“gender” tidak ada dalam bahasa Indonesia. Kata “gender” berasal dari bahasa
Inggris gender yang diberi arti “jenis kelamin”.4
1 Rasyidah Dkk, Potret kesetaraan Gender di Kampus, (Aceh: PSW Ar-Raniry, 2008), h.
11. 2 Siti Ruhainah Dzuhayatin “Gender dalam Perspektif Islam” dalam Mansour Fakih (ed),
Membincang Feminisme Diskursus Gender perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h.
231. 3 Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender, (Jakarta: Kantor Menteri
Negara Urusan Perempuan, 2002), h. 2. 4 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2003,), h. 265.
16
17
Senada dengan definisi di atas adalah definisi yang mengatakan bahwa
gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan didasari pada
faktor biologis dan jenis kelamin sebagai kodrat tuhan yang secara permanen
memang berbeda. Gender adalah behavorial differences antara laki-laki dan
perempuan yang socially constructed, yaitu perbedaan yang diciptakan melalui
proses sosial dan budaya yang panjang.5
Istilah gender juga sering diartikan dengan seks, yang secara biologis
didefinisikan dalam kategori pria dan perempuan. Gender secara harfiah bisa juga
berarti perbedaan antara maskulin dan feminine. Secara umum keduanya dapat
dietrjemahkan sebagai “jenis kelamin”. Namun konotasi keduanya berbeda. Seks
lebih merujuk pada pengertian biologis. Sedangkan gender pada makna sosial.6
Menurut Nasaruddin Umar mengutip dari Webster’s New Word
Dictionary, Gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai tingkah laku”.7 Wome’s Studies Encyclopedia,
memberikan penjelasan tentang pengertian gender yang dikutip oleh Umar yaitu
“suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.8
Tidak jauh dengan apa yang dikemukakan Umar, istilah gender yang
dipakai dalam buku Tafsir, sang penulis mengatakan bahwa gender adalah sebuah
5 Rasyidah Dkk, Potret kesetaraan Gender di Kampus, (Aceh: PSW Ar-Raniry, 2008), h.
9 . 6 Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, jilid I,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 391. 7 Nasaruddin Umar, Op Cit,. 33.
8 Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encyclopedia, Vol 1,(New York: Green Wood
Press), h. 153.
18
konsep yang mengacu pada sistem peran dalam hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang didasarkan kepada sosial budaya, lingkungan, agama dan
sebagainya, bukan pada perbedaan biologis mereka.9
Sedangkan Lips sebagaimana yang dikutip Mufidah Ch, mengartikan
gender dengan cultural expectation for women and man atau harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan.10
Dari paparan pengertian gender di
atas terdapat benang merah bahwa gender adalah perbedaan peran yang terjadi
dalam masyarakat akibat disosialisasikan, diperkuat, dibentuk, bahkan
dikonstruksi secara sosial dan kultural, melalui ajaran agama maupun negara.
Semisal, penyebutan bahwa perempuan itu lemah lembut, laki-laki kuat perkasa,
ini merupakan nilai yang dibangun di masyarakat yang dapat dipertukarkan.
Makna gender lebih diperluas lagi dengan meninjau beberapa aspek
seperti: gender sebagai istilah asing, gender sebagai fenomena sosial budaya,
gender sebagi sebuah kesadaran sosial, gender sebagai persoalan sosial, gender
sebagai prespektif.11
Eline Sholwater (1989) berpendapat bahwa wacana gender mulai
berkembang pada tahun 1977, ketika kelompok feminis London meninggalkan
isu-isu lama yang disebut dengan patriarchal kemudian menggantikanya dengan
isu gender. Sejak saat itu konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai
9 Mustabsyirah Dkk. Tafsir, (Aceh: Bandar Publishing, 2009), h. 259-260.
10 Mufidah CH,. Psikologi Keluarga Berwawasan Gender, (Malang: UIN Press, 2008), h.
2. 11
Umi Sumbullah dkk. Spektrum Gender, (Malang: UIN Press, 2008), h. 8.
19
seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan sosial dan pembangunan
dunia ketiga.12
B. Gender Menurut Hukum Islam
Segala tindak tanduk seorang dalam suatu komunitas banyak dipengaruhi
oleh nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Baik nilai-nilai
tersebut berupa kearifan local, atau budaya yang sudah lahir, maupun nilai itu
lahir dari keyakinan yang mereka anut (agama), pada realitanya agama menempati
urutan lebih tinggi dari pada nilai-nilai local yang mereka lestarikan.13
Indonesia sebagai negara yang mayoritas rakyatnya memeluk agama Islam
menempati urutan pertama negara yang pemeluk agama Islam terbanyak di dunia.
Islam sebagai agama mayoritas di bumi pertiwi ini, telah menawarkan konsep
gender dengan meletakan perempuan dan laki-laki dalam partnership da
keberadaanya diakui sederajat dengan hak dan kewajibanya masing-masing. Hal
ini terlihat jelas dalam ungkapan Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 35 sebagai
berikut:
إ ی غي بث اى غي اى و ؤ اى و بث ی ؤ اى و اىق بخی اىق بخ بث و و بدقی اىص اىص و ادق بث و ببشی اىص اث و ببش اىص و بشعی اىخ و بشع بث اىخ و قی ذ خ ص اى ق بث و ذ خ ص اى و ی بئ اىص بث و بئ اىص و بفظی اىح و ھ اى فشوج بفظ بثو ح اىز امشی و ثیشا هلل اث م اىز امش أ ع ذ و
هلل ة ى ھ غفش أ جشا ب و ع ظی
Artinya “Sesungghunya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatanya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki
12
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, Berwawasan Gender, (Malang: UIN Press,
2008), h.1. 13
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, Berwawasan Gender, h.2.
20
dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar,”14
.
Kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan merupakan konsep hubungan
yang meletakan laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang dapat saling
mempengaruhi secara positif. Kemitrasejajaran juga dapat berarti persamaan
status mereka dalam masyarakat yang tercemin dalam sikap saling menghargai,
menghormati, mengisi, dan membantu, yang antara lain terwujud dalam
pengambilan keputusan, penentuan kebijaksanaan dan dalam pelaksanaan serta
pemanfaatan hasil pembangunan. Ini tercemin dalam Al-Qur’an Surata At-Taubah
ayat 71 sebegai berikut:
ؤ اى و بث و ؤ اى و أ وىی بء ب عضھ ب عط شو عشوف ی أ ببى و ھ ی و ن ش ع اى و یقی ة و اىص ل یؤحو م بة و اىض یطیعو و عوى ھ هلل س و
أوى ئل ھ ی شح ع هلل إ لح ع ضیض هلل ی
Artinya: “Dan orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sehingga mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan taat pada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha
bijaksana”.
Kata أ وىی بء dalam ayat di atas, dalam pandangan Qurais Shihab, mencakup
kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan “menyuruh mengerjakan yang
makruf” mencakup segala segi kebaikan termsuk memberi masukan dan kritik
terhadap penguasa.15
Islam memberikan hak-hak yang luas kepada perempuan, dan
14
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta Proyek Pengadaan Kitab
Suci AL-Qur’an, Depag R.I., 2005) h.. 422. 15
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2006), h. 61.
21
sungguh teramat luas jika dibanding dengan hak-hak yang mereka peroleh pra
Islam.
Pemberian hak-hak tersebut dapat dilihat pada hak-hak penting seperti
dalam dunia politik, intlektual, perekonomian, dan lain-lain. Dalam Islam tidak
ditemukan ayat atau hadis yang perempuan katif dalam dunia politik,
perekonomian, menuntutt ilmu dan lain-lain. Sebaliknya Al-Qur’an dan hadis
banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut.
Pendapat ini tampak dalam kandugan ayat di atas. Disamping dua ayat di atas
dalam Al-Qur’an Surat Al-Nahl ayat 97 dijelaskan sebagai berikut:
بىحب ص و ع یب ت ط ی بة ح حیی ه ف ي ؤ هو و ث ى أ أ و ر م ش يو بم بوای ع بأ حغ ه أ جش ى جضی ھ و
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka sesungguhnya akan kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan”.16
.
Ayat ini menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam
mendapat pahala yang sama dan bahwa amal shaleh harus disertai Iman.
Disamping itu ayat ini menegaskan bahwa Islam memperlakukan perempuan
sebagaimana laki-laki. Satu-satunya yang membedakan adalah ketakwaan, atau
nilai spiritual seseorang bukan dilihat dari jenis kelaminya.
Jika dasar suprioritas laki-laki atas perempuan dalam Al-Qur’an dan
masyarakat bersifat relatif, tergantung pada kualitas masing-masing individu dan
sama sekali bukan bersifat gender, maka penafsiran Al-Qur’an yang bias laki-laki
selama ini harus dirumuskan kembali. Ini dilakukan untuk mengembalikan
16
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 278.
22
pemahaman Al-Qur’an tentang perempuan yang bias kepada imajinasi para
penafsir serta sejarah dan zamanya kepada pemahaman Al-Qur’an secara adil.
Pemahaman Al-Qur’an tidak boleh dijadikan alat religious untuk menghalangi
pengharapan kaum perempuan. Sebaliknya, ia harus memberikan pencerahan
harapan di masa kini maupun masa depan.17
Al-Qur’an dengan secara tegas menjelaskan bahwa manusia diberi tugas
untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini. Sedangkan khalifat itu sendiri tidak
tertuju pada jenis kelamin tertentu sebagaimana penjelasan Al-Qur’an dalam
Surata Al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut:
إر بل ق به و ئن ت س ل بعو إي ىي يیف ت ال سض في ج ب أ ح جع و ق بىوا خ فیھ ب یفغذ بء ی غفل و فیھ اىذ ح ذك غ بح و ط بح ق ذ إي ق به ى ل و ب أ عي ل و ح عي
Artinya: “Ingatlah ketika tuhanmu berkata pada malaikat, “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan khlaifah di muka bumi,. “mereka berkata: “Mengapa
engkau hendak menjadikan (khalifah)18
di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?”
Tuhan berfirman, “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”19
Menurut Quraish Shihab ayat tersebut menunjukan bahwa kekhalifahan
terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah swt, mahluk yang diserahi tugas,
yakni Adam, as. Dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi
yang terhampar ini. Jika sedemikian kekhalifahan mengharuskan makhluk yang
diserahi tugas itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang
memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan
17
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, V I, h. 139. 18
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, V I, h. 140. 19
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 6.
23
kehendaknya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan20
Allah
tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam statusnya
sebagaimana hamba, hal ini tercemin dalam Al-Qur’an Surat Ad- Dzariyat ayat 56
sebagai berikut:
ب ي قج و خ ظ اىج ال و إل ىی عبذو
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi”21
Dalam Al-Qur’an Allah juga memuliakan anak turunya nabi Adam, dalam
memuliakan itu Allah tidak menyebutkan jenis kelamin yang pantas dimuliakan,
namun semua anak turun nabi Adam, baik jenis kelamin laki-laki, maupun
perempuan. Hal ini tergambar dalam penjelasan Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 70
sebagai berikut:
ى ق ذ ب و ب ي م ش آ د ي به ح اىب حش اىب ش في و و ق به ص س و یب بث اىط ي به ف ض ثیش ع ي ى و م ي ق ب ح فضیل خ
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka di daratan dan di alautan kami beri mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan”22
Ayat yang secara jelas dan gamblang menjelaskan bahwa Allah menilai
dari kualitas individu hamba bukan terletak pada jenis kelamin ialah terdapat pada
Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai berikut:
فوا ىخ ع بس ق ب بئو و شعوبب ع ي بم ج ث ىو أ و ر م ش ي ق بم باى بطإ بخ ی بأ یھ بیش خ يی للا ع إ أ حق بم ذ للا ع ن أ مش إ
Artinya “Hai manusia, sesungguhnya kami menjadikan kamu sekalian dari
seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal satu sama lain.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
20
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, V I ,. h. 140. 21
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 523. 22
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 289.
24
yang paling taqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui
lagi maha mengenal”23
Atas dasar ayat di atas prinsip Al-Qur’an terhadap kaum laki-laki dan
perempuan adalah sama. Semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam
Islam bersifat adil. Oleh karena itu subordinasi kaum perempuan merupakan suatu
keyakinan yang berkembang, yang tidak sesuai dengan semangat keadilan Al-
Qur’an. Karena yang dianggap hamba yang mulia bukan jenis kelamin tertentu,
melainkan ihwal orang tesebut.
Salah satu visi Nabi Muhammad SAW, diutus dimuka bumi ini adalah
untuk memperbaiki dan menunjukan manusia pada jalan yang semestinya mereka
lakukan. Pasalnya kehidupan pra Muhammad diutus atau sebelum Islam lahir
sebagai agama paripurna, kehidupan di jazirah yang tandus (Arab) sangat
memprihatinkan. Semisal peraktik poligami tanpa batas, perbudakan,24
dan
perempuan dianggap aib, sehingga mereka tidak mempuanyai kuasa apa-apa baik
dalam persaksian maupun warisan, malah mereka dijadikan warisan.
Saat itu suami disebut dengan ba’al (tuan).25
Kata ini menyiratkan otoritas
dan kekuasaan mahaluas yang dinikmati oleh seorang laki-laki di dalam keluarga
bagi bangsa-bangsa pra Islam. Ini juga menjadikan spirit sistem paternalism yang
dianut oleh suku-suku nomaden secara umum meniscayakan komposisi rumah
tangga patriarki yang terdiri dari laki-laki sebagai poros, lalu sejumlah istri
23
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 517. 24
Khalil Abdul Karim, Syari’ah, Sejarah Perkelahian Makna, trj, Kamran As’ad
(Yoyakarta: Lkiss, 2000), h. 89. 25
Khalil Abdul Karim, Syari’ah, Sejarah Perkelahian Makna , h. 33.
25
merdeka, ditambah budak-budak sarriyah (yang boleh disetubuhi secara bebas
tanpa ikatan pernikahan).26
Tak ayal jika semenjak lahir perempuan dalam tradisi Arab Jahiliyyah
sudah dianggap membebani bangsa, sumber fitnah, dan sumber kemiskinan.
Sehingga membunuh anak perempuan dalam tradisi Jahiliyah bukanlah pekerjaan
yang tabu.
Hadirnya Islam dari seorang yang bernama Muhammad bin Abdullah,
laksana lentera dalam pekatnya malam, laksana tetes embun di padang sahara.
Dengan syaria’at yang dibawanya banyak hukum-hukum dan budaya yang
merugikan kelompok tertentu didekonstruksi dan di rekonstruksi, sebut saja
perbudakan dan hukum poligami tanpa batas. Tak hanya itu Muhammad juga
menciptakan hukum-hukum baru yang humanis dan lebih inklusif, semisal adanya
waqaf. Islam juga mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan
kesetaraan.27
Dengan syariah yang seperti itu Islam tercatat sebagai agama yang paling
sukses dalam menyebarkan ajaranya. Secara epistemologi, proses pembentukan
kesetaraan yang dilakukan oleh Rasullah tidak hanya pada wilayah domestik
tetapi hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Apakah
perempuan sebagai ibu, istri, anak, nenek,dan anggota masyarakat, sekaligus
memberikan jaminan keamanaan untuk perlindungan hak-hak dasar yang telah
dianugerahkan tuhan kepadanya. Dengan demikian Rasulullah telah memulai
tradisi baru dalam pandangan perempuan karena:
26
Khalil Abdul Karim, Syari’ah, Sejarah Perkelahian Makna, h. 33. 27
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, Berwawasan Gender, (Malang: UIN Press.
2008) , h. 20-21.
26
Pertama : Beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara
pandang dunia (world view) masyarakat arab yang saat itu masih didominasi oleh
cara pandang masyarakat era Fir’aun (QS. Al-Nahl:58-59), dimana latar historis
yang menyertai konstruk masyarakat ketika itu adalah bernuansa misoginis.
Rasulullah endiri dikaruniai anak laki-laki (Sayyid Ibrahim), meninggal ketika
masih berumur 17 bulan. Hal itu menyimpan pelajaran berharga bahwa
pengkultusan pada anak laki-laki tidak dilakukan beliau. Satu kebiasaan yang
dipandang spektakuler, beliau sering menggendong putrinya (Fatimah) secara
demonstrative di depan umum, yang dinilai tabu oleh masyarakat arab ketika itu.
Apa yang beliau lakukan merupakan proses pembentukan wacana bahwa laki-laki
dan perempuan tidak boleh dibedabedakan.
Kedua: Rasulullah memberikan teladan perlakuan yang baik (mu’asyarah
bil ma’ruf) terhadap perempuan di sepanjang hidupnya. Beliau tidak pernah
melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya, meskipun satu sama lain berpeluang
untuk saling cemburu.28
Status perempuan pada zaman rasul bisa dlihat pada keterlibatan mereka
dalam sejumlah peran-peran penting yang memilki makna historis monumental.
Misalnya dalam proses periwayatan hadis dan pembentukan wacana Islam awal.
Sejumlah pendapat yang beredar di kalangan para penulis biografi sahabat
mengatakan bahwa tidak diragukan lagi peranan perempuan sangat besar dalam
hal ini. Ibnu Ishaq, penulis biografi awal menyebut tidak kurang dari 50
28
Mufidah Ch. Paradigma Gender, (Malang: BAnyumedia, 2003), h. 37.
27
perempuan ikut sebagai perawi hadis. Dalam kitab Al-Muwatha’ juga cukup
banyak hadis yang diriwayatkan oleh perempuan.
Data historis menunjukkan bahwa kaum perempuan telah memberi
kontribusi yang signifikan terhadap penulisan dan pembukuan Al-Qur’an
sebagaimana Hafsah binti Umar, istri beliau adalah seorang hafidzah (penghafal
Al-Qur’an) dan pandai baca tulis. Perempuan juga dipercaya untuk menyimpan
rahasia vital berkenaan dengan komunitas muslim, misalnya kaum perempuan
pertama kali belajar tentang wahyu, mereka memegang rahasia berupa tempat
persembunyian Nabi menjelang hijrahnya ke Madinah. Menjelang Nabi Wafat
beberapa perempuan terpilih dari komunitas muslim dimintai pendapatnya tentang
siapa yang sebaiknya menggantikan nabi.
Tentang politik, Al-Qur’an menunjuk pada kaum perempuan yang
bersikap mandiri dari keluarga laki-lakinya memberi bai’at (janji setia) kepada
nabi (QS. Al-Mumtahanah). Sejumlah perempuan lebih dahulu masuk Islam
sebelum suami-suami mereka. Fenomena ini membuktikan bahwa peran politik
dalam Islam telah ada sejak masa nabi. Aisyah, istri beliau juga mengambil peran
penting dalam politik hingga keterlibatannya dalam perang jamal.
Di bidang pendidikan, Rasulullah memberikan kesempatan kepada kaum
perempuan untuk mengkaji Islam secara khusus kepada beliau pada hari-hari
tertentu. Aisyah tercatat sebagai perempuan yang banyak meriwayatkan hadis.
Dan melakukan ijtihad sebanyak 200 fatwa secara mandiri dan 600 fatwa bersama
dengan sahabat-sahabat lainnya. Sebagai seorang hadis terdepan, Aisyah telah
meriwayatkan hadis pada kurun awal mencapai 2210 hadis. Imam Bukhari dan
28
Muslim yang dikenal sangat ketat menetapkan standar keshahihan hadis,
keduanya memasukkan ke dalam koleksi hadis yang ditakhrijkan sebanyak 300
hadis.29
Terdapat empat prinsip yang harus diperhatikan dalam reinterpretasi
hukum Islam agar sesuai tujuan, yaitu; prinsip keadilan, kesetaraan, musyawarah
dan muasyarah bil ma’ruf (pergaulan yang baik), yang diuraikan sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan
Keadilan merupakan salah satu konsep sentral yang harus terwujud
dalam hukum Islam, sebab di samping konsep tauhid keadilan menempati
ruang penting dalam keberlangsungan hukum Islam. Fakta sejarah menunjukan
bahwa Islam lebih dari sekedar agama formal. Islam adalah risalah agung yang
bagi transformasi sosial, pembebasan dan tantangan bagi kepentingan-
kepentingan pribadi. Semua ajaran Islam pada dasarnya berpijak pada terwuju
dan terlaksana suatu kondisi kehidupan yang adil.30
Secara realitas fiqih yang telah bertaburan dan dibukukan rentan
dengan bias gender maskulinya. Ini adalah salah satu indikator adanya
ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang berkembangan dalam fiqih.
Sejatinya prinsip keadilan dalam fiqih adalah adanya keseimbangan dalam
memandang hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki secara
proporsional, sesuai dengan hakikat asal kejadian kedua jenis manusia yang
diciptakan secara sejajar dan seimbang oleh Allah.
29
Leila, Ahmed, “Women and Gender in Islam : Historical Roots of modern Debate”,
diterjemah MS Nasrullah, “Perempuan Dan Gender Dalam Islam” (Jakarta: Lentera, 2000), h.
89. 30
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis Pembebasan
(Jakarta: P3m, 2004), 130.
29
Jika dikaji lebih mendalam lagi, ternyata keadilan merupakan tiang
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahkan keadilan
dianggap oleh ahli ushul fiqih sebagai tujuan syariat. Wahbah Zuhaili
sebagaimana dikutip oleh Muhlis Usman menyatakan, bahwa Islam dibangun
atas asas menghilangkan kesukaran dan kesulitan memelihara kemaslahatan
manusia keseluruhan, dan yang terpenting adalah mewujudkan keadilan dan
mencegah penganiyaan antar person.31
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 143 dijelaskan sebagai berikut:
م ز ىل و ع ي بم ت ج ع طب أ ذ اء ىخ نووا و اى بط ع ي ى شھ ی نو ط و اىش
وه ي ین ش ھیذا ع
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.32
Muhammad Abu Zahrah sebagaimana dikutip Masfuk Zuhdi
menyebutkan tiga kriteria keadilan, yaitu: Pertama; keadilan hukum, system
hukum yang berlaku harus unifikasi (seragam) untuk seluruh warga Negara
tanpa adanya diskriminasi. Kedua; keadilan sosial, memberi kesempatan yang
sama untuk bekerja menurut kemampuan dan keahlian yang dimiliki. Jika ia
masih lemah maka perlu dibantu. Ketiga; keadilan pemerintahan, semua warga
Negara mempunyai kedudukan sama dalam pemerintah tanpa memperdulikan
suku, bangsa, bahasa, dan budaya.33
2. Prinsip musawah (kesetaraan)
31
Muhlis Ustman, Filsafat Hukum Islam, (Malang, Lbb Yan,s Press, 2002), h. 40. 32
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 22. 33
Mazfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: Hajimasagung, 2000), h. 33.
30
Kedatangan Islam di muka bumi ini merupakan solusi yang solutif
terhadap beberapa praktek hukum, budaya, adat istiadat, dan kebiasaan yang
diskrimnitatif. Hukum Islam ditetapkan untuk tidak mendiskriminasikan antar
suku, bangsa, bahasa, jenis kelamin, dan sebagainya, serta tidak membedakan
status sosial masyarakat. Sebagaimana kandungan Al-Qur’an Surat Al-Hujarat
ayat 13 sebagai berikut:
اأ ی ب یه إ ب اى بط ي ق بم خ س ث ى رك أ و ع ي بم ج ق ب بئو شعوبب و و
فوا ىخ ع بس إ ن ذ أ مش ع للا أ حق بم للا إ يی بیش ع خ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.34
Islam tidak membedakan warna kulit, status sosial, dan jenis kelamin.
Di sini kesetaran yang akhir-akhir ini menjadi kajian hangat adalah kesetaraan
gender. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia,
agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan structural, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan.
Kesetaraan mengindetifikasi adanya kehidupan umat manusia yang
menghargai kesamaan asal muasalnya sebagai manusia dan kesamaan
pembebanan, dimana setiap manusia dikarunia akal untuk berfikir. Perbedaan
34
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 517.
31
secara biologis antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang perlu
dipersoalkan. Hal ini karena kodratnya, perempuan harus melahirkan dan
menyusui serta hal lain yang berhubungan dengan reproduksi. Problem baru
muncul tatkala perbedaan jenis kelamin melahirkan ketidakadilan perlakuan
antara laki-laki dan perempuan.
Melihat dari sudut gender, relasi antara laki-laki dan perempuan mesti
diletakan dalam konteks kesetaraan dan keadilan, sebab ketidakadilan gender
disamping bertentangan dengan sprit Islam juga hanya akan memarginalkan
dan mendehumanisasi perempuan. Islam dengan sangat tegas mengatakan
bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama.35
Al-Qur’an tidak
menekankan superioritas dan inferiorias atas dasar jenis kelamin, namun yang
membedakan di anatara mereka hanyalah kadar ketaqwaan (al-Hujurat: 13).
3. Musyawarah
Prinsip yang menghendaki pembinaan hukum Islam melalui konsensus
yang kolektif antar ulama, sehingga keputusan hukum berlaku untuk totalitas
masyarakat tanpa adanya diskriminasi sekte dan jenis kelamin. Meskipun
demikian Islam membenarkan adanya perbedaan hasil ijtihad selama masalah
itu dalam lingkup masalah ijtihadiyah. Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat
159 dijelaskan sebagai berikut:
ش بوسه ش يف و ج ف ئر ا ال م و ع ض ع ي ى ف خ و للا Artinya: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah” .36
35
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis Pembebasan,
h. 132. 36
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 71.
32
Konsep musyawarah tidak hanya berguna untuk hal-hal yang bersifat
makro (kehidupan publik) saja, namun ia juga untuk hal-hal yang bersifat
mikro (kehidupan privat), misalnya urusan kehidupan keluarga.
4. Muasyarah bil Ma’ruf (Pergaulan yang baik).
Muayarah bil ma’ruf merupakan tindakan yang memanusiakan manusia
karena ini menganggap semua manusia harus diperlakukan dengan baik,
terutama dalam hubungan suami istri. Ma’ruf tidak hanya memliki makna
kebaikan, tetapi juga berisi kebaikan yang memperhatikan partikularitas dan
lokalitas pemberlakuan prinsip mu’asyrah bil ma’ruf ini, sekaligus menjadikan
partikularitas yang berkaitan dengan karakter perempuan sedikitnya bisa
dipahami.37
37
Laily Hanifah, Kesetaraan Gender dalam Islam (http://situs kesrepro,info/: diakses
tanggal 24 Oktober, 2015).
33
34
BAB III
CERAI GUGAT DAN NAFKAH IDDAH
A. Cerai Gugat
1. Pengertian
Cerai Gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat
permahonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian
termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan
permohonan dimaksud.1
Menurut Subekti istilah Perceraian ialah penghapusan perkawinan
dengan putusan Hakim, atau tuntutan oleh salah satu pihak dalam
perkawinan itu.2
Kemudian dalam kamus Hukum Talak (Thalaq) adalah perceraian
dalam Hukum Islam atau kehendak si suami.3
Di dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 114 bahwa putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena Talak atau Gugatan Perceraian.4
Menurut UUPA Nomor 7 Tahun 1989 telah mengubahnya dengan
istilah baru. Istilah yang dipergunakan untuk permohonan Talak disebut
“Cerai Talak”, sedang untuk Gugat Cerai istilahnya dibalik menjadi “Cerai
1 H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.
81. 2 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), h. 42.
3 Simorangkir dkk, Kamus Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, , 2008), h. 165.
4 Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Fokusmedia, 2005). h. 38.
34
35
Gugat”.5
Dengan istilah baru ini, dipertegas bentuk pemecahan perkawinan
berdasarkan putusan Pengadilan Agama sesuai dengan Hukum Islam.
Ahrum Hoerudin juga menambahkan pengertian Cerai Gugat secara
luas ialah suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat (pihak isteri) kepada
Pengadilan Agama, agar tali perkawinan dirinya dengan suaminya
diputuskan melalui suatu putusan Pengadilan Agama, sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku.6
Dijelaskan pula dalam KHI Pasal 132 Ayat 1 menyebutkan bahwa:
“Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan
Agama yang daerah Hukumnya mewilayahi tempat tinggal Penggugat
kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami.”7
Dalam hukum islam pun menjelaskan bahwa orang (istri) yang
meminta kepada suaminya untuk memutuskan atau menceraikannya itu
dinamakan Khuluk. Dengan demikian Khuluk mempuyai pengertian sebagai
berikut:
Khuluk yang terdiri dari lafaz ( خهع ) yang berasal dari bahasa secara
etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Lepasnya
hubungan perkawinan suami atau istri diserupakan dengan lepasnya pakaian
5 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2003). Cetakan ke-2, h. 207. 6 Ahrum Hoerudin, Pengadilan Agama (Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan
Perkara, dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama). (Bandung: PT. Aditya Bakti, 1999), h. 20. 7 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam Serta Perpu Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Ibadah haji. (Surabaya: Kesindo Utama,
2012). h. 235.
36
sebagaimana al-Quran menyatakan bahwa istri merupakan pakaian suami
begitupun juga sebaliknya suami menjadi pakaian istri.8
Sebagaimana firman Allah:
خى نببط ن أ نببط نكى
Artinya: “Mereka (para istri) merupakan pakaian bagi kalian, dan
kalianpun merupakan pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah: 187)9
Beberapa ulama berpendapat mengenai hal tersebut diantaranya:
a. Secara istilah menurut Madzab Hanafiyah
أ ,انخهع بهفظ انشأة لبل عهى انخلفت انكبح يهك صانت إ انخهع
.يعب يبفى
Artinya: “Khuluk adalah hilangnya kepemilikan nikah yang berpijak
pada qabul dari istri dengan menggunakan lafaz khuluk atau
yang semakna”.10
Menurut mereka perceraian dengan harta tanpa lafaz khuluk dan
mubaraah tidak bisa dikaitkan khuluk akan tetapi disebut talak atas harta
(al thalaq „ala mal).
b. Menurut Madzab Malikiyah
.بعض انطالق انخهعArtinya: “Khuluk adalah talak dengan tebusan atau harta pengganti
(„iwadh).”11
Dari definisi tersebut menurut mereka tidak ada perbedaan antara
khuluk dengan talak atas harta (al thalaq „ala mal), dalam khuluk tidak
8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih Munakahat
dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Media, 2007), h. 231. 9 Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemah, (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), h. 36
10 Ahmad Ghandur, al Thalaq fi al-syari‟ah al-islamiyah wa al-qanun, (Mesir: Dar al-
Ma‟rif, 1967), h. 259. 11
Khutab al Ra‟iniy, Mawahib al-Jalil Juz II, (Beirut: Dar- al Kutub al Ilmiah, t.th), h.
268.
37
ada pengkhususan dengan lafaz tertentu seperti jatuhnya talak dengan
sharih (jelas) dan kinayah (sindiran) dibarengi dengan niat.
c. Menurut Madzab Syafi‟iyah
.خهع ا طالق بهفظ بعض فشلت انخهع
Artinya: “Khuluk adalah perceraian dengan tebusan menggunakan lafaz
talak atau khuluk.”12
Yang dimaksud dengan lafaz talak adalah lafaz dari beberapa
lafaz talak baik berupa sharih (jelas) atau kinayah (sindiran) dan lafaz
khuluk sebgaimana dengan talak.
d. Menurut Madzab Hanabilah
بؤنفظ غيشب أي يب يؤخز بعض ايشأح انضج فشاق انخهع .يخصصت
Artinya: “Putusnya perkawinan suami terhadap istri dengan
menggunakan tebusan yang diambil suami dari istrinya atau
selainnya, dengan menggunakan lafaz tertentu”.13
Faidah dari definisi tersebut pengkhususan istri dari suami dalam
suatu pendapat bahwa tidak ada rujuk bagi suami terhadap istri kecuali
dengan ridha atau kerelaan istri.
2. Landasan Hukum
12
Qalyubi dan „Umairah, Hasyiyatani Qalyubi wa „Umairah, Juz III, (Beirut: Dar- al
Fikr, 1995), h. 208. 13
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al Islam wa Adilatuhu Juz IX, (Beirut: Dar al Fikr, 2006), h.
7008.
38
Apabila istri ingin melepaskan diri dari hubungan perkawinan, maka
istri dapat melakukan khuluk Yaitu dengan memberikan tebusan untuk
menebus dirinya dari suaminya.
Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah Hal itu
didasarkan pada firman Allah SWT.
يخبفب أل ... شيئب إل أ ب ءاحيخ حؤخزا ي ل يحم نكى أ خفخى أل يمي فإ ب حذد للا ب يمي ب في فال جبح عهي ب حذد للا
.....افخذث ب
Artinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya”....... (al-Baqarah: 229).14
Khuluk yang terjadi pada awal Islam sebagaimana dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik (Al- Bukhori) dan mendaji dasar
kebolehannya sebagaiberikut:
:فمبنج عهى عهي هللا صم انبي أحج ليظ ب ثببج ايشأة أ نكى لدي خهك فى عهي يبأعيب ليظ ب ثببج هللا يبسعل
أحشدي :عهى عهي هللا صهى هللا سعل فمبل العالو انكفشفى أكش البم :عهى عهي هللا صهى هللا سعل فمبل عى فمبنج حذيمخ؟ عهي
طهيمتح طهمب انحذيمت
Artinya :“Istri Tsabit bin Qais datang mengadu kepada Nabi SAW dan
berkata; Ya Rasulullah Tsabit bin Qais itu tidak ada kurangnya
dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya,
akan tetapi saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam
Islam. Rasulullah SAW bersabda: maukah kamu mengembalikan”
14
Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemah, h. 45.
39
kebunnya? Si Istri menjawab: Ya mau. Rasulullah SAW berkata
pada Tsabit: ceraikanlah dia satu kali Cerai”.15
3. Prosedur Pengajuan Cerai Gugat
Adapun prosedur untuk mengajukan gugatan cerai oleh istri sebagai
berikut:
a. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan
Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat
kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negri, Ketua Pengadilan
Agama memberitahukan gagatan tersebut melalui Perwakilan RI
setempat.
b. Gugatan Perceraian karena alasan:
1) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya dapat diajukan setelah 2 tahun
terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah, gugatan dapat diterima
apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi
kembali ke rumah kediaman bersama.
2) Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama
mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah
15
Bukhari, Shahih Bukhari bi Hasyiyah al Sindi, Juz III, (Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al
„arabiyah, t.th.), h. 273.
40
mendengar pihak keluarga serta orang-orang yagn dekat dengan suami
istri tersebut.
3) Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
berat setelah perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan
salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai
keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
c. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat
atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
dikabulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami istri tersebut
untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
d. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:
1) Menentukan nafkah yang harus ditanggungkan oleh suami.
2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang26
barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak
istri.16
4. Pendapat Ulama Tentang Cerai Gugat
16
Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 80
41
Pendapat sebagian ulama bahwa: Khuluk boleh (mubah) ketika
terjadi Syiqaq (perselisihan terus menerus) dan ketidak cocokan diantara
keduanya, dibolehkan pula ketika Istri membenci Suaminya karena
keburukan akhlaknya atau agamanya atau karena kesombongannya.
Demikian juga jika istri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak Allah.17
..... ب افخذث ب ب في .....فال جبح عهي
Artinya: .......Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.......... (al Baqarah:
229)18
Dalam masalah ini, Abu Bakar bin Abdullah Al Mazani berbeda
pendapat dengan jumhur ulama. Menurutnya bahwa suami tidak boleh
mengambil suatu apapun dari istri.19
Dia berpendapat bahwa ayat khuluk
telah dimansukh (dihapus) dengan firman Allah:
طبسا فال ل ءاحيخى إحذا ج ص ج يكب أسدحى اعخبذال ص إ شيئب حؤخزا ي
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,
sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil
kembali dari padanya barang sedikitpun”. (QS. An-Nisa‟: 20)20
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa makna ayat ini adalah apabila
pengambilan tersebut tanpa kerelaan istri, adapun jika dengan kerelaan
maka itu diperbolehkan. Ibn Rusyd menyatakan perbedaan pendapat ini
17
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 552 18
Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemah, h. 45. 19
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, ) Bandung: CV Pustaka Setia,
1999), h. 88. 20
Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemahannya, h. 105.
42
disebabkan oleh kandungan lafaz apakah diartikan keumumannya atau
kekhususannya.21
Khuluk menjadi makruh apabila tanpa sebab dan keadaan keluarga
istiqamah, walaupun begitu khuluk dianggap sah kendati makruh hal ini
dikarenakan firman Allah SWT:
يئب يشيئب فغب فكه شيء ي نكى ع طب فإ
Artinya: ......”jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin (mahar) itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (an-Nisa‟: 4)22
Di dalam hadist disebutkan bahwasanya perempuan yang meminta
cerai tanpa alasan maka tidak akan mencium bau surga sebagaimana sabda
Rasulullah SAW.:
سئحت عهيب فحشاو بؤط غيش ي انطالق بصج عؤنج ايشأة أيب .
انجت
Artinya: “wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa
alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga.”
(HR. Turmudzi).23
Sedangkan Imam Ahmad mengharamkannya dan khuluk dianggap
batal. Imam Ahmad berkata:
“Khuluk adalah seperti yang terdapat dalam hadis sahlah, dimana ia
membenci suaminya lalu ia memberikan mahar sebagai tebusan,
demikian itulah khuluk “.24
21
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hal 554. 22
Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemah. h. 100. 23
Imam At-Turmudzi, Sunan Turmudzi, Juz 5, (Beirut: Daar el Fikr, t.t.), h.125. 24
Ibn Qudamah, al Kafi fi fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal, Juz 3, (Beirut: Dar al Fikr,
t.th), h. 99.
43
Makruh merupakan hukum asal dari khuluk seperti hukum dalam
talak, hal ini sebagaimana dipegangi oleh kalangan Syafi‟iyah kecuali jika
keduanya tidak khawatir dalam melaksanakan hak-hak Allah dan apabila
suami bersumpah dengan talak tiga terhadap tidak adanya suatu perbuatan
maka wajib bagi suami dari perbuatan yang menyalahi sumpah nya.
Seperti masuknya suami didalam rumah kemudian mengkhuluk
istrinya supaya suami bersih dari sumpah talak tiga.25
Khuluk menjadi haram apabila suami menyakiti istrinya seperti
bertindak kasar, memukul atau menolak memberikan nafkah dan lain
sebagainya supaya si istri melakukan khuluk. Maka khuluk istri dianggap
batal dan jatuh raj‟i.26
B. Nafkah Iddah Dalam Fiqih
1. Pengertian Nafkah Iddah
Ensiklopedi Hukum Islam menyebutkan bahwa nafkah adalah
pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang
baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya.27
Sayyid Sabiq dalam buku fiqh sunnah menyebutkan bahwa
25
Ibrahim al Bajuri, Hasyiyah al „alamah Syaikh Ibrahim al Bajuri, jilid 2, (Beirut: Dar
ibn „a Shaashah, 2005), h. 197. 26
Syihabuddin al Ramli, Nihayat al Muhtaj ila Syarh al minhaj, Juz 6, (Beirut: Dar al
Kutub al Ilmiyah, 1993), h. 393. 27
Abdul Aziz Dahlan, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997), h. 1281.
44
nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu
rumah tangga, pengobatan isteri jika ia seorang yang kaya.28
Menurut Djamaan Nur dalam buku fiqh munakahat, nafkah adalah
suatu yang diberikan oleh seseorang kepada isteri, kerabat, dan kepada
miliknya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Keperluan pokok itu
adalah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dari beberapa definisi
di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan nafkah adalah
semua biaya pembelanjaan atau pengeluaran seseorang untuk mencukupi
dan memenuhi kebutuhan pokok yang dibutuhkan.29
Kata nafkah sendiri berarti belanja hidup (uang) pendapatan, suami
wajib memberi kepada Istrinya, rizki, bekal hidup sehari-hari dan kata iddah
berarti masa tunggu bagi wanita yang dicerai oleh mantan suaminya, jadi
nafkah Iddah sama juga berarti nafkah yang diberikan oleh mantan suami
setelah terjadinya perceraian. Sehingga yang dimaksud dengan nafkah Iddah
atau nafkah cerai adalah tunjangan yang diberikan seorang pria kepada
mantan istrinya berdasarkan putusan pengadilan yang menyelesaikan
perceraian mereka.30
2. Kadar Nafkah Iddah
Memang tidak ada ketentuan yang pasti yang mengatur masalah
kadar nafkah iddah terkait berapa jumlahnya, baik itu dalam Al-Qur‟an dan
Hadis, maupun dalam hukum positif. Namun hal itu dapat disamakan.
28
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib. juz 7, (Bandung: PT. Al
Ma‟arif, cet. 12, 1996), h. 73. 29
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra, cet. I, 1993), h. 101. 30
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 667.
45
dengan kadar nafkah yang harus diberikan oleh suami yang masih dalam
ikatan perkawinan atau sebelum terjadinya perceraian. Mengenai kadar
nafkah, dalam Al-Qur‟an surat At-Thalaq ayat 6 dan 7 hanya memberikan
gambaran umum bahwa nafkah diberikan kepada istri menurut kecukupan
dari keperluan sehari-hari dan sesuai dengan penghasilan Suami. Dalam
KHI juga tidak dijelaskan secara rinci berapa kadar nafkah terhadap istri,
hal itu terdapat pada Pasal 80 Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi: “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala suatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”31
Karena tidak adanya penjelasan mengenai kadar nafkah yang secara
spesifik, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih.
Berdasarkan pendapat jumhur yang mengatakan bahwa tidak selamanya
status sosial-ekonomi suami istri itu sama, dalam hal ini ada tiga pendapat
tentang siapa yang dijadikan ukuran penetapan Nafkah, yaitu:32
Pertama: pendapat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa yang
dijadikan ukuran dalam menetapkan Nafaqah adalah status sosial ekonomi
Suami dan istri secara bersama-sama.
Kedua: Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang
mengatakan bahwa yang dijadikan standar adalah kebutuhan Istri. Hal ini
berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 233 yang
berbunyi:
31
Lihat pasal 80 (2) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 32
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih Munakahat
dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Media, 2007), h. 170.
46
ند ن سصل عهى ان عشف ببن ح كغ
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
Ibu dengan cara Ma'ruf”.33
Pengertian Ma‟ruf dalam ayat ini adalah mencukupi.
Ketiga: Pendapat Imam Syafi‟i dan pengikutnya berpendapat bahwa
yang dijadikan standar dalam ukuran nafkah istri adalah keadaan dan
kemampuan ekonomi suami. Pendapat ini juga berlaku di kalangan „Ulama
Imamiyyah.
Yang dijadikan landasan „Ulama ini adalah firman Allah dalam Al-
Qur‟an surat At-Thalaq ayat 7 yang berbunyi:
ف ب ني فك ي سصل فهي لذس عهي ي ععخ ك ر ععت ي
بعذ عغش ب عيجعم للا فغب إل يب ءاحب ل يكهف للا ءاحب للا
يغشا
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”.34
Mayoritas „Ulama mazhab Imamiyyah mengeluarkan pendapat
bahwa, nafkah itu diukur berdasar kebutuhan Istri yang mencakup pangan,
laukpauk, pakaian, tempat tinggal, alat rumah tangga sesuai dengan tingkat
kehidupan orang-orang seperti dia di daerahnya, sedangkan Mazhab lain
33
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, h. 38. 34
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, h. 560.
47
mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran adalah kondisi Suami bukan
kondisi Istri.35
3. Nafkah Iddah Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Perempuan yang menjalani iddah itu bermacam-macam. Diantaranya
adalah perempuan yang menjalani iddah raj‟i, ia berhak mendapat belanja
dan tempat tinggal menurut Ijmak Ulama. Al-Daruqutni meriwayatkan
hadist yang berhubungan dengan Fatimah binti Qais ketika ia ditalak tiga
oleh suaminya. Rasulullah SAW tidak memberi hak tempat tinggal dan
belanja untuk Fatimah binti Qais. Rasulullah SAW bersabda:36
إب انفمت انغكى نهشأة إرا كب نضجبعهيبانشجعت
Artinya: “Belanja dan tempat tinggal hanya untuk perempuan yang berhak
rujuk.” (H.R. An-Nasa‟i).
Seorang perempuan yang dalam masa iddahnya talak bain dan dia
dalam keadaan hamil maka dia berhak juga menerima nafkah belanja,
pakaian dan tempat tinggal dari mantan suaminya sampai anaknya lahir. Ini
berlandaskan dari firman Allah Swt:
ه ح حخى يضع فما عهي م فؤ ألث ح ك إ
Artinya: “Jika mereka (janda yang dicerai) dalam keadaan hamil, maka
berinafkahlah mereka olehmu sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq (65) : 6)
35
Muhammad Jawad Mughniyah,, Fiqih Lima Maz|hab, (Jakarta: Lentera, Cet. VII,
2008), h. 423. 36
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Alhusaini, Kifayatul Akhyar, (Beirut: Dar al Kutub al
Ilmiyah, 1997), h. 592.
48
Sedangkan perempuan yang dalam masa iddah talak bain dan dalam
keadaan tidak hamil, menurut Syafi‟i, Hambali dan Maliki, tidak berhak
mendapatkan nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal.
Sedangkan pendapat Hanafi, perempuan itu berhak juga menerima
nafkah belanja, pakain dan tempat tinggal dengan berlandaskan pada firman
Allah Swt:
جذكى خى ي حيث عك ي أعك
Atinya: “Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu.” (QS. At-Thalaq: 6).
Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan yang dalam masa iddah
baik karena talak raj‟i dan talak bain, semuanya berhak menerima fasilitas
nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal dari mantan suaminya, tetapi
menurut Syafi‟i, ayat ini khusus untuk perempuan yang dalam masa iddah
talak raj‟i.37
Dan dalam lafal lain (dikatakan): “Sesungguhnya nafkah dan tempat
tinggal itu bagi perempuan yang selagi suaminya masih mempunyai hak
ruju‟ kepadanya tetapi apabila suaminya tidak lagi mempunyai hak ruju‟
kepadanya, maka tidak ada (hak) nafkah dan tidak juga tempat tinggal
baginya”. (HR. Ahmad).38
Adapun perempuan yang dijatuhi talak tiga, para ulama berbeda
pendapat. Menurut Abu Hanifah, dia masih memiliki hak untuk
37
Mohammd Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, h. 273. 38
Nailul Anwar, Himpunan Hadist-Hadist Hukum, h. 2437.
49
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sebagaimana perempuan ( isteri )
yang ditalak raj‟i, karena dia wajib menghabiskan masa iddah di rumah
suaminya, sehingga seakan-akan dia di tahan agar tetap bersama suaminya.
Oleh sebab itu, dia wajib memperoleh nafkah. Nafkah ini dianggap sebagai
hutang dan terhitung sejak talak di jatuhkan. Kewajiban untuk memberi
nafkah isteri tidak hilang hanya dengan keridhaan isterinya atau keputusan
pihak pengadilan. Suami dinyatakan bebas dari hutangnya (kewajiban
memberi nafkah isteri) jika sudah menunaikan kewajibannya atau isteri
telah menyatakan bebas.39
Kalau perceraian tersebut karena ada cacat atau karena tertipu, maka
si perempuan tidak berhak mendapatkan tempat tinggal. Tapi kalau
perceraian tersebut karena ada hubungan penyusuan atau mushaharah
(hubungan keluarga akibat perkawinan), maka si perempuan akan berhak
mendapat tempat tinggal, menurut pendapat yang sahih, karena sebab yang
menghalangi belum ada pada saat akad dan tidak boleh dijadikan sandaran.
Sedangkan perempuan yang dili‟an berhak mendapat tempat tinggal dengan
pasti seperti perempuan yang ditalak tiga.
Jadi menurut semua mazhab, si perempuan wajib mendapat tempat
tinggal apabila terjadi pembatalan nikah (fasakh) baik karena murtad (
keluar dari Islam ) atau karena masuk Islam, atau karena ada hubungan
penyusuan, atau karena ada cacat, dan sebagianya.40
39
Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 ), Cet. Ke-1, h.
136-137. 40
Al-Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, h. 595.
50
Fuqaha telah sepakat bahwa perempuan yang berada dalam masa
iddah Thalaq Raj‟i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal.
Begitu juga halnya perempuan yang hamil, berdasarkan firman Allah SWT.
Berkenaan Istri yang di Thalaq Raj‟i, dan istri-istri yang di Thalaq dalam
keadaan hamil :
نخضيما ل حضبس جذكى خى ي حيث عك ي أعك
فإ ه ح حخى يضع فما عهي م فؤ ألث ح ك إ عهي
أجس نكى فآح أسضع
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para Isteri) di mana kamu Bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkanmereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (Isteri-Isteri yang sudah di Thhalaq) itu sedang hamil,
Makaberikanlah kepada mereka Nafkahnya hingga mereka
bersalin”.(Q.S. At-Thalaq : 6) 41
Kemudian Fuqaha berselisih pendapat tentang nafkah Iddah bagi
istri yang menjalni Iddah kerena Talak Ba‟in Hanafi mengatakan: Wanita
tersebut berhak atas nafkah,baik dia hamil atau tidak, dengan syarat dia
tidak meninggalkan rumah yang disediakan oleh suaminya yang
menceraikanya guna menjalani Iddah.42
Maliki berpendapat: Kalau wanita tersebut tidak hamil dia berhak
atas nafkah berupa tempat tinggal saja,tapi bila sedang hamil dia berhak atas
nafkah dalam segala bentuknya,dan haknya atas nafkah tidak menjadi gugur
dengan keluarya mereka dari rumah, sebab nafkah tersebut diperuntukan
bagi bayi yang dikandungnya dan bukan bagi wanita yang mengandungnya.
41
Depag RI. Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), h. 568. 42
Jawad Mughniyah,, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, Cet. VII, 2008), h. 401.
51
Syafi‟i dan Hambali berpendapat: Wanita tersebut tidak berhak atas
nafkah iddah maupun tempat tinggal bila dia tidak hamil,dan apabila dia
hamil maka berhak atasnya nafkah berupa tempat tinggal dan segala
bentuknya. Tetapi syafi‟i mengatakan bahwa kalau wanita tersebut keluar
dari rumah tanpa adanya kebutuha yang yang tak terhindarkan,maka
gugurlah hak atas nafkah Iddah itu.
Mazhab Imamiyah tidak mengategorikan fasak akad sama dengan
Thalak Ba‟in. Mereka berpendapat bahwa,orang yang menjalani iddah
akibat fasakh-nya akad, baik dia hamil atau tidak,dia tetap berhak atas
nafkah.43
C. Nafkah Iddah DalamUndang-undang
Nafkah iddah adalah Nafkah yang diberikan suami pada waktu masa
iddah atau pemberian biaya penghidupan yang diberikan oleh suami selama tiga
bulan sepuluh hari berturut-turut kepada isteri yang diceraikan yang didasarkan
atas kemampuan suami sebagai upaya pemenuhan kewajiban yang telah
ditetapkan oleh syari‟at Islam maupun keputusan Pengadilan Agama.
Bila terjadi perceraian atas inisiatif suami, maka bekas isteri berhak
mendapatkan nafkah lahir dari suami selama masa iddah. Hal tersebut tercantum
dalam pasal 149 KHI huruf (b). Dan dalam pasal 151 KHI tersebut diwajibkan
bahwa “bekas isteri yang sedang dalam masa iddah wajib menjaga dirinya, tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan laki-laki lain” maka konsekwensi
43
Jawad Mughniyah,, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, Cet. VII, 2008), h. 402.
52
logis dari kewajiban tersebut adalah bekas suami wajib memenuhi nafkah lahir,
sebagai hak yang harus didapatkan akibat kewajibannya tersebut, kecuali isteri
berlaku nusyuz, maka tak ada hak nafkah iddah baginya. Namun perlu diketahui
pula bahwa hak nafkah yang diterimanya apakah secara penuh atau tidak juga
adalah tergantung dari pada bentuk perceraiannya, bukan pada lamanya masa
iddahnya.
Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan
suami menurut pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 ialah pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan normatif dalam pasal
41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 ini mempunyai kaitan dengan pasal 11 UU No.
1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan normatif bahwa seorang wanita yang putus
perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu, yang kemudian pasal ini telah
dijabarkan dalam pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 yang memuat ketentuan imperatif
bahwa bagi seorang janda yang perkawinannya putus karena perceraian, maka
waktu tunggu bagi janda yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan
sekurang-kurangnnya 90 hari. Apabila perkawinan putus, sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.
Selanjutnya, menurut pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 tidak ada waktu
tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda
tersebut dengan bekas suaminya belum terjadi hubungan kelamin. Bagi
perkawinan yang putus karena perceraianm waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
53
Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan hak dan kewajiban mantan
suami atau istri menurut pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 selaras dengan
hukum islam. Apabila terjadi perceraian antara suami dan istri menurut hukum
islam, maka akibat hukumnya ialah dibebankannya kewajiban mantan suami
terhadap mantan istrinya untuk memberi mut‟ah yang pantas berupa uang atau
barang dan memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat tinggal kediaman selama
mantan istri dalam masa iddah, serta melunasi mas kawin, perjanjian ta‟lik talak
dan perjanjian lain.
Berdasarkan Undang- undang No.1 tahun 1974 pasal 4 (sub c) yang
berbunyi “Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi isteri”.
Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat (1 dan 2) dan
pasal 194 huruf (a) dan (b).
1. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi isteri dan anak-anaknya atau
bekas isterinya yang masih dalam iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam
ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.44
Seperti yang dijelaskan pada pasal 80 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
mengenai kewajiban suami yang berkaitan dengan Nafkah, yaitu:
Pasal 80 Ayat 2
Suami wajib melindungi Istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
44
Aryo Sastroatmodjo, Hukum Perkawianan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 95.
54
Pasal 80 Ayat 4
Sesuai dengan penghasilannya Suami menanggung: a. Nafkah, Kiswah dan tempat
kediaman bagi Istri. b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi Istri dan anak. c. Biaya pendidikan bagi anak
55
BAB IV
ANALISIS HUKUM
PENETAPAN PEMBERIAN NAFKAH IDDAH
A. Duduk Perkara Kasus Penetapan Masa Iddah
Perkara Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA JS, merupakan perkara cerai gugat
yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tertanggal 06
Juli 2010
Adapun hal-hal yang menjadi dasar gugatan Penggugat adalah bahwa
Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang telah melangsungkan pernikahan
pada tanggal 10 Maret 1996 dan tercatat pernikahannya di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Cilandak, Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta, dengan Kutipan Akta Nikah
Nomor 896/29/III/1996. Dari perkawinan tersebut Penggugat dan Tergugat memiliki
3 (tiga) orang anak dan harta bersama.
Selama Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat seringkali terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang sulit didamaikan, sehingga tidak ada harapan
dapat hidup rukun lagi dalam sebuah rumah tangga. Untuk itu Penggugat tidak ingin
mempertahankan rumah tangga lebih lama lagi bersama Tergugat, sehingga
memutuskan untuk mengakhiri hubungan rumah tangga melalui gugatan ke
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Dalam gugatannya, Penggugat memohon agar Majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan berkenan memeriksa dan mengadili perkara ini serta
selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut :
55
56
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menetapkan jatuh Talak Satu dari Tergugat kepada Penggugat dengan Iwadl
sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah)
3. Menyatakan Putusan Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat karena
perceraian;
4. Menyatakan bahwa Hadhonah atas Anak-anak, yang bernarna anak I dan anak
II berada pada Penggugat sebagai Ibunya
5. Memerintahkan Tergugat untuk {a} memasukkan Anak-anak dalam Asuransi
Kesehatan atas biaya Tergugat sepenuhnya; {b} untuk menanggung segala
biaya pendidikan formal maupun non formal yang dibayarakan Tergugat
langsung ke kemasing-masing lembaga pendidikan Anak-anak sampai
setinggi-tingginya pada pendidikan formal Strata 2 {dua}; (c) dan untuk
memberikan biaya pemeliharaan Anak-anak dengan jumlah Rp. 1.500.000,-
{satu juta lima ratus ribu Rupiah} setiap bulannya hingga Anak-anak berusia
21 {dua puluh satu) tahun atau menikah sebelum usia tersebut yang wajib
dibayarkan Targugat kepada Penggugat secara tunai setiap tanggal 1 (satu)
selaku pemegang hadhanah atas anak-anak, jumlah mana setiap tahun
disesuaikan dengan besaran inflasi sekurang-kurangnya 10 % (sepuluh persen)
dengan tidak mengurangi kewajiban Tergugat selaku Ayah dari anak-anak
untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan kepentingan anak-anak;
6. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan nafkah kepada Penggugat setiap
bulannya sebesar Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu Rupiah), secara
57
tunai kepada Peaggugat selama proses berperkara sampai dengan putusan
Pengadilan berkekuatan hukum tetap.
7. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat
sebesar Rp. 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulannya
selama 3 (tiga) bulan 10 (sepuluh) hari setelah Putusan Pengadilan berkekuatan
hukum tetap;
8. Menetapkan bahwa Harta Bersama berupa Tanah dan bangunan yang terletak
di Jalan Jalan Permata Pamulang Blok G 16 No. 28 Rt.10/Rw.05, Desa Bakti
Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang
kini tercatat atas nama Penggugat untuk ditetapkan sebagai milik Anak-anak
dan Penggugat menguasainya selama Anak-anak belum dewasa.
Atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
berpendapat lain, Penggugat memohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et
bono);
B. Pertimbangan Putusan
Proses persidangan dilaksanakan dengan membacakan Gugatan Penggugat
oleh Majelis Hakim, dan terhadap Gugatan tersebut, Tergugat telah memberikan
jawaban tertulis yang pada pokoknya mengakui seluruh dalil Penggugat dan tidak
membantahnya serta tidak berkeberatan untuk bercerai dengan Penggugat. Untuk
memperkuat dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan bukti-bukti surat
berupa Fotokopi KTP atas nama Penggugat dan Tergugat, Fotokopi Kutipan Akta
Nikah atas nama Penggugat dan Tergugat, Fotokopi Kartu Akta Kelahiran Anak,
58
Fotokopi Kartu Keluarga WNI atas nama Tergugat sebagai Kepala Keluarga,
Fotokopi Sertifikat Hak Milik No. 02505, Fotokopi Akta Jual Beli Nomor
1302/2005, dan Fotokopi Perjanjian Kredit.
Sselain itu Penggugat juga mengajukan seorang saksi yang menyatakan
bahwa saksi adalah kakak kandung Penggugat, saksi kenal dengan Penggugat dan
Tergugat. Menurut keterangannya bahwa antara Penggugat dengan Tergugat
sering bertengkar sejak 2 (dua) tahun lalu disebabkan perbedaan pendapat dan
keinginan dalam urusan rumah tangga termasuk karena Tergugat sering pulang
larut malam dari bekerja. Menurut keterangannya bahwa pihak keluarga sudah
berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat melalui musyawarah keluarga
agar rukun membina rumah tangga kembali dengan Tergugat namun tidak
berhasil.
Bahwa atas keterangan saksi tersebut, Penggugat menyatakan tidak
keberatan sedangkan Tergugat menyatakan keberatan dengan keterangan saksi
bahwa Penggugat dan Tergugat masih tinggal serumah. Yang sebenarnya adalah
bahwa Penggugat dan Tergugat telah berpisah rumah, Tergugat pindah ke rumah
orang tuanya dan hanya datang ke ruamah kediaman bersama jika ingin menemui
anak-anak Penggugat dengan Tergugat.
Berdasarkan keterangan saksi, Penggugat menyatakan tidak keberatan dan
tidak akan mengajukan sesuatu tanggapan apapun dan mohon putusan;
TENTANG HUKUMNYA
Maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah tentang gugatan cerai
diakumulasi dengan hak asuh anak, nafkah anak dan harta bersama. Berdasarkan
59
pasal 130 HIR, Majelis Hakim dalam setiap persidangan berusaha mendamaikan
kedua belah pihak yang berperkara, namun usaha tersebut tidak berhasil.
Dalam persidangan, Tergugat telah memberikan jawaban yang pada
pokoknya mengakui seluruh dalil Penggugat dan tidak berkeberatan bercerai
dengan Penggugat, maka dapat dikualifisir bahwa Pengakuan Tergugat tersebut
merupakan pengakuan bulat murni (aven pur et simple) yang sesuai ketentuan
hukum acara merupakan bukti yang mengikat dan menentukan sebagaimana
maksud pasal 174 HIR. Perkara ini in casu perceraian, pengakuan adalah bukti
awal yang memerlukan bukti-bukti lainnya, sehingga Penggugat tetap dibebankan
wajib bukti.
Berdasarkan keterangan dari dua orang saksi Penggugat telah diperoleh
keterangan yang bersesuaian satu sama lain yaitu bahwa rumah tangga Penggugat
dan Tergugat yang awalnya rukun dan harmonis namun saat ini sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat secara terus-
menerus yang penyebabnya adalah adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan
keinginan baik dalam urusan anak maupun dalam urusan rumah tangga lainnya
juga karean Tergugat sering pulang malam dari bekerja. Antar Penggugat dan
Tergugat telah pisah rumah sejak 3 (tiga) bulan lalu. Penggugat dan Tergugat
sudah didamaikan namun tidak berhasil;
Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Hakim melalui persidangan,
didukung keterangan Penggugat serta pengakuan Tergugat, dan dikuatkan dengan
bukti-bukti surat keterangan dua orang saksi, ditemukan fakta-fakta yaitu:
60
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat menikah pada tanggal 10 Maret 1996 dan
hingga kini telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak;
2. Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus;
3. Bahwa perselisihan sejak kelahiran anak pertama tersebut disebabkan
perbedaan-perbedaan pandangan dan keinginan baik dalam urusan anak
maupun dalam penyelenggaraan rumah tangga secara umum;
4. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak sekitar bulan April
2010;
5. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah didamaikan baik melalui nasehat
maupun dengan jalan musyawarah namun tidak berhasil;
Berdasarkan fakta-fakta tersebut pengadilan berpendapat bahwa antara
Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran,
mengakibatkan keduanya sudah tidak rukun lagi, Penggugat dan Tergugat sudah
tidak tinggal satu rumah, dan Penggugat telah menyatakan tidak dapat
mempertahankan ikatan perkawinan dengan Tergugat. Sementara itu, upaya
Majelis Hakim dan Saksi-saksi yang diajukan dalam perkara ini menasihati
Penggugat agar tetap rukun kembali dengan Tergugat ternyata tidak berhasil,
karena Penggugat telah menyatakan sikapnya dengan tetap berkukuh pada
pendiriannya untuk bercerai dengan Tergugat, sehingga Majelis menilai bahwa
dengan sebab perselisihan dan pertengkaran itu telah sampai pada kesimpulan
bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak dapat ditolerir lagi
untuk hidup rukun dalam satu ikatan perkawinan. Untuk itulah, Majelis Hakim
menyampaikan dalil syar’i, yaitu berupa qoidah fiqh yang termuat di dalam Kitab
61
Al-Asybah wan-Nadzhoir, yang kemudian diambil alih sebagai pendapat Majelis
Hakim, yang artinya: “Menolak mafsadah (pengaruh yang bersifat merusak) harus
didahulukan dari pada mengharapkan datangnya mashlahah (pengaruh yang
membawa manfaat/kebaikan)”, maka alternatif penyelesaian sengketa perkawinan
yang terbaik bagi Penggugat dan Tergugat adalah perceraian. Selain itu, bahwa
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas gugatan Penggugat telah terbukti
dan berdasar hukum untuk diterima dan dikabulkan berdasarkan Pasal 19 huruf f
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 juncto Pasal 116 huruf f KHI dengan
menjatuhkan talak bain shugro dari Tergugat terhadap Penggugat.
C. Analisis Putusan
1. Analisis Dasar Hukum Pemberian Nafkah Iddah pada Cerai Gugat
dalam Putusan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS Menurut Fiqh
Majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam perkara
cerai gugat Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS, menjatuhkan putusan kepada
bekas suami untuk menjatuhkan talak satu ba’in sughro terhadap bekas istri.
Talak ba’in sughro adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad
nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah, sebagaimana
tertulis dalam Pasal 119 ayat (1) KHI. Majelis hakim juga menjatuhkan
putusan untuk menghukum bekas suami untuk membayar mut’ah dan
nafkah iddah. Dalam pertimbangan putusan tersebut, hakim mengacu pada
pendapat Imam Hanafi tentang pemberian nafkah iddah dan mut’ah.
62
Fuqaha’ sendiri berbeda pendapat tentang pemberian nafkah pada talak
ba’in.
Ulama Hanabilah, Zhahiriyah, Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat
bahwa ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sekalipun
hamil. Alasan mereka, nafkah dan tempat tinggal diwajibkan sebagai
imbalan hak rujuk bagi suami, sedangkan dalam talak ba’in suami tidak
punya hak rujuk, oleh karenanya tidak ada nafkah dan tidak ada tempat
tinggal. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais yang
telah ditalak suaminya yang ketiga kalinya, bahwa Nabi tidak menjadikan
nafkah dan tempat tinggal baginya. Bagi wanita yang terputus haidh, hendak
ber-iddah sekehendaknya Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita
tersebut berhak nafkah dan tempat tinggal secara bersama, kecuali jika
wanita tersebut ber-iddah karena perpisahan disebabkan pelanggaran istri,
seperti istri murtad setelah bercampur atau tindakan istri menodai
kehormatan mertua seperti orang tua suami atau saudara-saudaranya, istri
hanya berhak tempat tinggal dan tidak berhak nafkah.
Alasan mereka, firman Allah surat At Thalaq ayat 6:
ه ل جضار جدكم ه مه حيث سكىحم مه أسكى
ه ححى إن كه ألت حمم فأوفقا عهي ه نحضيقا عهي
ه يضعه حمه
Artinya: “tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-
isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.
63
Kembalinya kata ganti wanita pada ayat diatas kembali kepada
wanita yang tercerai secara ba’in saja, karena wanita ter-talak raj’i
sebagaimana yang telah dijelaskan, yakni tetap tinggal di rumah suami.
Ayat diatas menjelaskan kewajiban nafkah terhadap wanita hamil karena
iddah-nya pada umumnya lebih panjang daripada iddah wanita lain. Nafkah
dan tempat tinggal harus diberikan kepada wanita yang ber-iddah sebagai
keseimbangan tertahannya dari suami sehingga jelas kebebasan rahimnya, di
sini tidak ada bedanya antara talak raj’i dan ba’in.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan jumhur ulama Salaf berpendapat
bahwa istri berhak tempat tinggal, baik hamil maupun tidak dan berhak
nafkah jika hamil. Dalilnya sebagai berikut.
(1) Ayat “berikan tempat tinggal mereka…..” (QS. At Thalaq ayat
6); Allah mewajibkan memberi tempat tinggal kepada mereka
tanpa ada kelebihan dan menggantungkan kewajiban nafkah
pada istri hamil. Nafkah wajib karena hamil dan tidak wajib
karena tidak hamil.
(2) Tidak adanya hubungan antara nafkah dan tempat tinggal, tidak
adanya pendapat seperti ulama Hanabilah dan seperti pendapat
ulama Hanafiyah. Tempat tinggal wajib bagi istri yang tercerai
agar dapat menunggu yang dituntut, dengan demikian tempat
tinggal wajib bagi semua wanita yang ber-iddah. Sedangkan
nafkah wajib baginya karena dua sebab:
(a) Suami masih berhak kembali kepada istri pada talak raj’i;
(b) Menghidupi anak bagi istri yang hamil.1
Pendapat ulama’ Hanafiyah juga dikuatkan oleh Umar bin Khattab
ra, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats Tsauri. Umar bin Khattab, Tsauri,
Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa bekas suami pada talak ba’in
berhak mendapatkan nafkah dan rumah. Mereka mengambil dalil kepada
1 Abdul Aziz Azzam, & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat (Khitbah,
Nikah, dan Talak). (Jakarta: Amzah, 2009), h. 335
64
firman Allah surat At Thalaq ayat 6: “… Tempatkanlah mereka (para istri)
dimana kamu berada (bertempat tinggal) menurut kemampuanmu”.
Menurut Umar bin Khattab, Tsauri, Umar bin Abdul Aziz, ayat ini
menerangkan wajibnya memberi tempat tinggal. Jika secara hukum wajib
memberikan tempat tinggal, maka dengan sendirinya wajib memberikan
nafkah, karena adanya kewajiban memberi tempat tinggal dalam talak
perempuan hamil dan karena sebagai istri itu sendiri.2
Berbeda dengan Umar bin Khattab ra, Umar bin Abdul Aziz dan
Sufyan Ats Tsauri, menurut pendapat Ulama Hanabilah, Zhahiriyah, Ishaq
dan Abu Tsaur berpendapat bahwa ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan
tempat tinggal sekalipun hamil dengan dasar hadits:
ا عه عه انشعبي عه فا طمة بىث قيس رضي هللا عى ا سكىى سهم في انمطهقة ثالثا نيس ن انىبي صهى هللا عهي
اي م ل وفقة )ر سهم(
Artinya : “Dari Sya’bi dari Fatimah binti Qais r.a dari Nabi SAW tentang
perempuan yang dithalaq tiga. Dia tidak mempunyai hak rumah
dan nafkah”. (Hadis riwayat Muslim)
Umar dan Aisyah pernah menolak hadits Fatimah binti Qais yang ia
sampaikan diatas. Kata Umar: “Kami tidak meninggalkan Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi kami karena keterangan seorang perempuan. Kami tidak tahu
barangkali ia hafal atau telah lupa…”.3
2 Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, jilid 7, diterjemahkan Muhammad Thalib, “Fikih
Sunnah. (Bandung: Al Ma’arif, 1987), h. 98 3 Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, jilid 7, diterjemahkan Muhammad Thalib, “Fikih
Sunnah. (Bandung: Al Ma’arif, 1987), h. 98
65
Dari uraian di atas, pendapat Imam Abu Hanifah yang memberi
nafkah kepada perempuan dalam iddah talak ba’in, baik dalam keadaan
hamil maupun tidak, lebih sesuai dengan kedudukan wanita yang tengah
menjalani iddah di rumah bekas suami itu.
Dari hasil wawancara dengan Bapak Drs. Muh. Rusydi Thahir, Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan menyatakan bahwa wanita yang
menjalani masa iddah mendapatkan nafkah dan tempat tinggal karena masih
dalam koridor keterbatasan bertindak. Keterbatasan bertindak tersebut
berlaku selama masa iddah istri karena harus berdiam diri di rumah suami
hingga masa iddahnya habis.4
2. Analisis Dasar Hukum Pemberian Nafkah Iddah pada Cerai Gugat
dalam Putusan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS Menurut Perundang-
undangan
Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS
ini pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan
putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September
2007. Dalam putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007
pemberian nafkah iddah didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1
Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974
berbunyi:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
4 Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Muh. Rusydi Thahir, Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, tanggal 15 Mei 2015 Pk. 15.00
66
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu
kewajiban bagi bekas istri”
Pasal di atas menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Agama
mempunyai hak dalam memberikan biaya penghidupan dan menentukan
suatu kewajiban bagi bekas istri akibat perceraian. Secara tekstual makna
perceraian dalam pasal tersebut mengandung makna perceraian secara
umum. Perceraian dalam Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 dapat
dimaknai dengan cerai talak atau cerai gugat. Berdasarkan pasal tersebut
setiap perkara perceraiaan baik cerai talak maupun cerai gugat, hakim
memiliki kebebasan dalam memberikan putusan kepada suami agar dapat
mewajibkan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban kepada
bekas istri.
Dasar pemberian nafkah kepada bekas istri pada perkara cerai juga
diperkuat oleh Pasal 149 KHI. Pasal 149 KHI berbunyi:
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al
dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam iddah, kecuali bekas istri dijatuhi talak ba’in atau nusyuz
dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh
apabila qobla al dukhul;
d. memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.5
Pasal di atas menunjukkan akibat dari talak suami wajib memberikan
mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, memberi nafkah, maskan dan
5 Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam
67
kiswah selama dalam iddah, melunasi mahar yang masih terhutang dan
memberikan biaya hadlanah. Dalam pasal 149 huruf (b) jelas bahwa apabila
telah jatuh talak ba’in maka bekas suami tidak wajib memberi nafkah,
maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah. Dari pasal ini
majelis hakim dalam perkara cerai gugat No. 1925/Pdt.G/2010/PA.Pt
berpendapat bahwa bekas istri berhak tetap mendapatkan nafkah dan mut’ah
dari bekas suaminya. Pasal ini bertentangan dengan putusan majelis hakim,
namun hakim berpendapat bahwa dalam putusannya mewajibkan bekas
suami memberikan nafkah dan mut’ah kepada bekas istri selama masa iddah
selama bekas istri tidak nusyuz.
Dalam Pasal 113 KHI berbunyi:
Perkawinan dapat putus karena:
a. kematian,
b. perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan
Lafal “talak” pada Pasal 149 KHI mengandung makna secara umum
dalam arti “perceraian” pada Pasal 113 KHI. Perceraian itu sendiri bisa
dilakukan dengan cara talak dan gugatan perceraian. Selanjutnya akibat dari
perceraian adalah adanya ketentuan iddah sesuai Pasal 153 ayat (1) yang
berbunyi:
“Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami”6
Karena ada kewajiban iddah bekas istri setelah perceraian karena
talak ataupun cerai gugat, maka selama masa iddah sesuai Pasal 149 KHI
6 Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam
68
huruf (b) bekas suami wajib suami memberikan nafkah dan mut’ah kepada
bekas istri. Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA
JS ini pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan
putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September
2007. Dalam putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007
dicantumkan bahwa meskipun perkara ini pada awalnya istri yang
mengajukan cerai gugat, namum penggugat setelah dijatuhi talak harus
menjalani masa iddah, dan salah satu tujuan menjalani masa iddah adalah
untuk “istibra”. Istibra’ tersebut menyangkut kepentingan suami, maka
berdasarkan pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI
huruf (b), tergugat diwajibkan untuk memberikan nafkah, maskan dan
kiswah selama masa iddah kepada penggugat (Dok. Putusan MA No.
137/K/AG/2007):
Istibra’ secara etimologis berarti mencari kebebasan sedangkan
secara syar’i adalah penantian seorang perempuan dalam masa
tertentu untuk memastikan bebasnya atau kosongnya rahim. Dalam
menjalani istibra’, perempuan dilarang memakai wangi-wangian dan
berhias, karena itu bisa menarik lawan jenis (laki-laki lain).
Perempuan dalam masa istibra’ ini juga dilarang untuk melakukan
pernikahan dengan laki-laki lain, supaya tidak terjadi percampuran
sperma (Al Mawardi : 442)
Dari dua dasar perundangan yang dikemukakan oleh majelis hakim,
yaitu pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI huruf
(b), hakim Pengadilan Agama dapat memberikan mut’ah dan nafkah iddah
kepada bekas istri dalam cerai gugat, namun dengan pertimbangan bahwa
bekas istri tidak nuzyus. Tentu saja dalam memberikan mut’ah dan nafkah
iddah harus disesuaikan dengan pekerjaan dan kemampuan bekas suami.
69
Hakim tidak boleh memberikan mut’ah dan nafkah iddah diluar kemampuan
bekas suami.
Menurut analisis penulis, bahwa penetapan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS, yang menghukum Tergugat
untuk membayar kepada Penggugat nafkah, maskan, dan kiswah selama
masa iddah sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
dan duduk perkara. Hal ini didasarkan atas dasar keadilan hukum yang
memberikan jaminan kehidupan bagi bekas istri dalam masa iddah.
Pemberian nafkah iddah dan mut’ah pada cerai gugat dalam perkara
ini sesuai dengan kaidah fiqh yaitu:
انضرر يزال
Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”7
Tidak adanya nafkah iddah dan mut’ah pada perkara cerai gugat
tentunya menimbulkan kerugian bagi bekas istri. Bekas istri tentunya sangat
membutuhkan biaya atau uang untuk menghidupi dirinya sendiri setelah
perceraian. Jika nafkah iddah dan mut’ah diberikan maka dapat menjamin
kehidupan bekas istri selama masa iddah. Hal tersebut tentunya lebih
mengakomodasi kepada kepentingan perempuan selama masa iddah.
Dalam perkara cerai gugat, Pengadilan Agama pada umumnya tidak
memberikan nafkah iddah kepada penggugat. Tidak diberikannya nafkah
iddah dalam cerai gugat karena dalam tradisi lama di tingkat Pengadilan
Agama dalam perkara cerai gugat memposisikan perempuan di pihak yang
7 Moh. Adib Bisri,. Terjemah Al Faraidul Bahiyyah. (Kudus: Menara Kudus, 1997), h.
23
70
salah. Namun putusan di Pengadilan Indonesia ini harus sudah ada alasan
yang rasional dalam memutus perkara seperti cerai gugat ini, dan harus lebih
memperhatikan serta lebih mengakomodasi kepentingan perempuan.
Banyak kasus cerai gugat yang diajukan ke Pengadilan Agama
dengan alasan bahwa perempuan itu merasa menjadi korban karena merasa
dirugikan oleh suami. Sebagai contoh adalah ketika perempuan yang
mengajukan cerai gugat tersebut dirugikan karena mendapatkan perlakuan
tidak bertanggung jawab, melakukan KDRT, poligami, atau perlakuan
buruk lainnya. Hal ini tentu saja harus menjadi pertimbangan hakim dalam
pemberian putusan di dalam perkara cerai gugat, sehingga perlu dikaji
ulang.
Apabila perempuan mendapat perlakuan yang merugikan dirinya
tersebut, perempuan akan sangat wajar jika mempunyai hak terkait dalam
nafkah iddah, maskan dan kiswah dalam konteks dan istilah apapun dalam
perkara perceraian. Perlu dipertimbangkan lagi bahwa jika perempuan
mendapatkan hak nafkah iddah, maskan dan kiswah harus dengan catatan
bahwa istri tidak nuzyus. Dengan ini maka perlu adanya pendekatan dari sisi
kemanusian dari hakim dalam memutuskan penetapan nafkah iddah.
71
72
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Setelah penulis menyelesaikan pembahasan dalam bentuk skripsi tentang
Pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat, analisis putusan perkara Nomor :
1445/Pdt.G/2010/PA.JS, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya nafkah iddah hanya berlaku pada kasus cerai thalak. Tapi hakim
dapat membebankan kepada pihak Tergugat untuk memberikan nafkah iddah
kepada Penggugat berdasarkan pertimbangan tertentu. Dalam hukum Islam,
pemberian nafkah iddah dan mut’ah pada talak ba’in didasarkan pada pendapat
Imam Hanafi. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita tersebut berhak
nafkah dan tempat tinggal secara bersama, kecuali jika wanita tersebut ber-
iddah karena perpisahan disebabkan pelanggaran istri, seperti istri murtad
setelah bercampur atau tindakan istri menodai kehormatan mertua seperti orang
tua suami atau saudara-saudaranya, istri hanya berhak tempat tinggal dan tidak
berhak nafkah. Pendapat ulama’ Hanafiyah ini juga dikuatkan oleh Umar bin
Khattab ra, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats Tsauri. Mereka mengambil
dalil kepada firman Allah surat At Thalaq ayat 6: “… Tempatkanlah mereka
(para istri) dimana kamu berada (bertempat tinggal) menurut
kemampuanmu”. Ayat ini menerangkan wajibnya memberi tempat tinggal. Jika
secara hukum wajib memberikan tempat tinggal, maka dengan sendirinya
wajib memberikan nafkah, karena adanya kewajiban memberi tempat tinggal
72
73
dalam talak perempuan hamil dan karena sebagai istri itu sendiri. Sedangkan
menurut Hukum Positif, pemberian nafkah iddah dan mut’ah didasarkan pada
Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Pasal 41 huruf (c)
UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”. Pasal di atas menunjukkan
bahwa hakim Pengadilan Agama mempunyai hak dalam memberikan biaya
penghidupan dan menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri akibat
perceraian. Secara tekstual makna perceraian dalam pasal tersebut mengandung
makna perceraian secara umum. Perceraian dalam Pasal 41 huruf (c) UU No. 1
Tahun 1974 dapat dimaknai dengan cerai talak atau cerai gugat. Berdasarkan
pasal tersebut setiap perkara perceraiaan baik cerai talak maupun cerai gugat,
hakim memiliki kebebasan dalam memberikan putusan kepada suami agar
dapat mewajibkan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban
kepada bekas istri. Dasar pemberian nafkah kepada bekas istri pada perkara
cerai juga diperkuat oleh Pasal 149 KHI.
2. Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS ini
pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan putusan
Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007.
Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 pemberian nafkah iddah
didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI.
Hakim MA memutuskan memberi nafkah karena pertimbangan bahwa istri
harus menjalani iddah sehingga membebankan nafkah juga. Diberikan nafkah
74
iddah karena adanya kepentingan bekas suami untuk mengetahui kebersihan
rahim dan menjamin kebutuhan bekas istri selama iddah. Kemudian yang patut
diperhatikan dalam salinan putusan Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS ini
bahwa tindakan penggugat oleh majelis hakim tidak dianggap nusyuz. Dan
majelis hakim tetap memutuskan adanya nafkah iddah dan mut’ah sesuai
dengan Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 huruf (a) dan (b)
KHI tentang akibat putusnya perkawinan karena talak. Selain dari
yurisprudensi putusan MA nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007,
hakim memberikan mut’ah dan nafkah iddah kepada bekas istri dengan
memperhatikan 5 (lima) dasar pertimbangan yaitu: (a) Adanya rasa keadilan
bagi kedua belah pihak, (b) Adanya ketertiban hukum, (c) Menempatkan
harkat perempuan pada proporsinya, (d) Adanya kemampuan bekas suami
untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada bekas istri, dan (e) Adanya
kelayakan bekas istri untuk menerima nafkah iddah dan mut’ah dari bekas
suami.
3. Dalam putusan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA.JS, hakim membebankan kepada
Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat, padahal pada
teorinya, nafkah iddah hanya dibebankan pada kasus cerai thalak. Dalam hal
ini hakim memberikan keputusan berdasarkan pertimbangan kesaksian para
pihak yang dihadirkan pada saat persidangan, dimana ditemukan bukti bahwa
Penggugat tidaklah nusyuz dan oleh karenanya berdasarkan teori keadilan dan
perlindungan terhadap hak-hak perempuan, maka hakim dapat memberikan
putusan sesuai dengan ijtihad yang dilakukannya.
75
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis terhadap masalah yang telah penulis paparkan,
maka dapatlah disampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Pengadilan Agama merupakan lembaga pertama yang menjadi tempat putusnya
perceraian diharapkan dapat menjaga dan menjalankan tugasnya secara baik
dan diharapkan dapat mengantisipasi adanya berbagai penyalahgunaan
kewajiban serta hak-hak dalam perceraian, sehingga hak isteri dapat terlindungi
dengan baik.
2. Suami adalah kepala rumah tangga, yang bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan keluarga. Apabila terjadi perpecahan dalam rumah tangga
sehingga menyebabkan putusnya perkawinan, maka bekas suami harus
memenuhi akibat amar putusan yang dijatuhkan kepadanya.
3. Perlu adanya kajian lebih lanjut terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
pemenuhan hak-hak mantan istri terutama pada cerai gugat. Banyak kasus cerai
gugat dimana posisi istri justru dirugikan, sebab itu perlu adanya hal-hal yang
dapat lebih mengakomodasi perempuan.
76
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 1999)
Ahmed, Leila, “Women and Gender in Islam : Historical Roots of modern
Debate”, diterjemah Al-Bajuri, Ibrahim, Hasyiyah al „alamah Syaikh
Ibrahim al Bajuri, jilid 2, (Beirut: Dar ibn „a Shaashah, 2005)
Al-Husaini, Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad. Kifayah Al-Akhyar.
Beirut: Dar Al-Fikr, 1994.
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
(Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung, 2002)
Ali, H. Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika,
2009)
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Al-Ramli, Syihabuddin, Nihayat al Muhtaj ila Syarh al minhaj, Juz 6, (Beirut: Dar
al Kutub al Ilmiyah, 1993)
Apeldoorn, L..J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Pradnya Paramita,
cetakan kedua puluh enam, 1996)
Azzam, Abdul Aziz, & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat
(Khitbah, Nikah, dan Talak). (Jakarta: Amzah, 2009)
Bisri, Moh. Adib,. Terjemah Al Faraidul Bahiyyah. (Kudus: Menara Kudus,
1997)
Bukhari, Shahih Bukhari bi Hasyiyah al Sindi, Juz III, (Indonesia: Dar Ihya‟ al
Kutub al „arabiyah, t.th.)
Dahlan, Abdul Aziz, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)
Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemah, (Surabaya: Duta Ilmu, 2005)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996)
Djamal, Abdoel. Pengantar Hukum di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo, 2000).
76
77
Dzuhayatin, Siti Ruhainah “Gender dalam Perspektif Islam” dalam Mansour
Fakih (ed), Membincang Feminisme Diskursus Gender perspektif Islam,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2000)
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 2003,)
Karim, Khalil Abdul, Syari‟ah, Sejarah Perkelahian Makna, trj, Kamran As‟ad
(Yoyakarta: Lkiss, 2000)
Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, jilid I,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)
Faiz, Pan Mohamad, Teori Keadilan John Rawls. dalam Jurnal Konstitusi, Volue
6 Nomor 1 (April 2009)
Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, 2004)
Ghandur, Ahmad, al Thalaq fi al-syari‟ah al-islamiyah wa al-qanun, (Mesir: Dar
al-Ma‟rif, 1967)
Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003)
Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011)
Hoerudin, Ahrum, Pengadilan Agama (Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan
Perkara, dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
(Bandung: PT. Aditya Bakti, 1999)
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, (Yogyakarta:
kanisius, 2005)
Jamal, Abdoel, Pengantar Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000)
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai
Pustaka. 2009)
Karim, Khalil Abdul, Syari‟ah, Sejarah Perkelahian Makna, trj, Kamran As‟ad
(Yoyakarta: Lkiss, 2000)
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2011)
Khutab al Ra‟iniy, Mawahib al-Jalil Juz II, (Beirut: Dar- al Kutub al Ilmiah, t.th)
78
Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, jilid I,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)
Lunis, Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2000)
Mahfud, Moh. MD. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta,2003)
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008)
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakata: Kencana, 2008)
Masyhur, Kahar, Membina Moral dan Akhlak. (Jakarta: Kalam Mulia, 2005)
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, Berwawasan Gender, (Malang: UIN
Press, 2008)
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Maz|hab, (Jakarta: Lentera, Cet. VII,
2008)
Mustabsyirah Dkk. Tafsir, (Aceh: Bandar Publishing, 2009)
Nasrullah, MS, “Perempuan Dan Gender Dalam Islam” (Jakarta: Lentera, 2000)
Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra, cet. I, 1993)
Nuruddin, Amir dan Azhari A.T, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI),
(Jakarta: Kencana, 2006)
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum,
(Jakarta: Rajawali, 2002)
Qalyubi dan „Umairah, Hasyiyatani Qalyubi wa „Umairah, Juz III, (Beirut: Dar-
al Fikr, 1995)
Qudamah, Ibn, al Kafi fi fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal, Juz 3, (Beirut: Dar al
Fikr, t.th)
Rahardjo, Sajipto. Ilmu Hukum. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006)
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010)
Rasyidah Dkk, Potret kesetaraan Gender di Kampus, (Aceh: PSW Ar-Raniry,
2008)
79
Rato, Dominikus, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
(Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010)
Rawls, John, A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006)
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 ), Cet. Ke-1,
Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002)
Sastroatmodjo, Aryo, Hukum Perkawianan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981)
Shant, Dellyana. Konsep Penegakan Hukum. (Yogyakarta: Liberty, 2008)
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2006)
Simorangkir dkk, Kamus Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, , 2008)
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum
Cetakan Kelima. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004)
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: PT. Intermasa, 2003)
Sumbullah, Umi dkk. Spektrum Gender, (Malang: UIN Press, 2008)
Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Citra
Aditya Bakti, 1999)
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih
Munakahat dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Media, 2007)
Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Fokusmedia, 2005)
Turmudzi, Sunan Turmudzi, Juz 5, (Beirut: Daar el Fikr, t.t.)
Undang-Undang RI No. 1 Thaun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam Serta Perpu Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Ibadah
haji. (Surabaya: Kesindo Utama, 2012)
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al Islam wa Adilatuhu Juz IX, (Beirut: Dar al Fikr,
2006)
80
INTERNET
http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/08/positivisme-hukum-di-indonesia-
dan. html?m=1,
http://hukum.kompasiana.com. “Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum”
(02/04/2011).
http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadil-
yang.html?m =1
http://www.surabayapagi.com/index.php?3bca0a43b79bdfd9f9305b812982962e5
ebad017dee37f007e56da92eb74d56,
http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/,
PEDOMAN WAWANCARA
KEPADA HAKIM YANG MENANGANI PERKARA
NOMOR 1445/Pdt.G/2010/PA.JS
1. Menurut Bapak, apa perbedaan antara perkara Cerai Thalak dengan
perkara Cerai Gugat ?
2. Apa saja persyaratan administratif yang harus dipenuhi bagi permohonan
Cerai Thalak dan Cerai Gugat ?
3. Menurut Bapak apa perbedaan antara nafkah ‘iddah dengan nafkah
mut’ah ?
4. Dalam perkara Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA.JS apa pertimbangan hakim
dalam mengabulkan perkara Penggugat ?
5. Menurut pendapat Bapak, apakah nafkah ‘iddah bagi Penggugat
merupakan hak yang harus diterimanya dari Tergugat ?
6. Menurut Bapak, dalam kondisi apa saja Tergugat dinyatakan tidak berhak
atas nafkah ‘iddah dari Tergugat ?
7. Menurut Bapak, apabila dalam permohonan gugatan Penggugat tidak
mengajukan nafkah ‘iddah kepada Tergugat, apakah hakim dalam amar
putusannya tetap akan mewajibkan Tergugat untuk memberikan nafkah
‘iddah kepada Penggugat ?
8. Menurut Bapak, apakah nafkah ‘iddah yang harus diberikan kepada
Penggugat oleh Tergugat harus dibayarkan sekaligus atau dicicil ?
9. Apabila Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya memberikan nafkah
‘iddah kepada Penggugat sesuai amar putusan, apakah sanksi yang akan
diterima oleh Tergugat ?
10. Siapakah yang berhak memberikan sanksi atas pelanggaran Tergugat
terhadap amar putusan yang diputuskan oleh hakim ?
HASIL WAWANCARA
DENGAN BAPAK Drs. MUH. RUSYDI TAHIR
HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
JUM’AT, 15 MEI 2015
1. Menurut Bapak, apa perbedaan antara perkara Cerai Thalak dengan
perkara Cerai Gugat ?
Jawab : Cerai thalak adalah permohonan perceraian yang diajukan oleh
suami atau atas keinginan suami, sehingga suami disebut sebagai
PEMOHON dan istri disebut TERMOHON. Sedangkan cerai gugat adalah
perceraian atas keinginan istri atau yang dalam kitab Fiqih biasa disebut
dengan khulu’ atau thalak tebus, sehingga istri yang mengajukan
permohonan perceraiannya kepada Pengadilan disebut PENGGUGAT dan
suaminya disebut TERGUGAT.
2. Apa saja persyaratan administratif yang harus dipenuhi bagi permohonan
Cerai Thalak dan Cerai Gugat ?
Jawab: Bagi permohonan cerai thalak dan cerai gugat ke Pengadilan
persyaratannya sama, yaitu bahwa para pemohon atau penggugat harus
membuat surat permohonan perceraian yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Agama, kemudian mendaftarkannya ke bagian administrasi.
Sedangkan dokumen yang harus disiapkan oleh para pemohon atau
penggugat diantaranya adalah Kartu Tanda Penduduk dan Kutipan Akta
Nikah atau Buku Nikah.
3. Menurut Bapak apa perbedaan antara nafkah ‘iddah dengan nafkah
mut’ah ?
Jawab: Nafkah ‘iddah adalah nafkah yang diberikan oleh seorang suami
kepada mantan istrinya yang dithalak. Atau dengan kata lain, Nafkah
iddah adalah nafkah yang diberikan suami pada waktu masa iddah atau
pemberian biaya penghidupan yang diberikan oleh suami selama tiga
bulan sepuluh hari berturut-turut kepada isteri yang diceraikan yang
didasarkan atas kemampuan suami sebagai upaya pemenuhan kewajiban
yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam maupun keputusan Pengadilan
Agama. Sedangkan nafkah mut’ah adalah pemberian seorang suami
kepada isterinya yang diceraikan, baik itu berupa uang, pakaian atau
pembekalan apa saja sebagai bantuan dan penghormatan kepada isterinya
itu serta menghindari dari kekejaman thalak yang dijatuhkannya itu. Atau
dengan kata lain bahwa tujuan pemberian Mut’ah seorang suami terhadap
Isteri yang telah diceraikannya adalah dengan adanya pemberian tersebut
diharapkan dapat menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah
diceraikan dan dapat menjadi bekal hidup bagi mantan Isteri tersebut, dan
juga untuk membersihkan hati kaum wanita dan menghilangkan
kehawatiran terhadap penghinaan kaum pria terhadapnya.
4. Dalam perkara Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA.JS apa pertimbangan hakim
dalam mengabulkan perkara Penggugat ?
Jawab: Pertimbangan hakim dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor :
1445/Pdt.G/2010/PA.JS didasarkan dengan putusan Mahkamah Agung RI
nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007. Mahkamah Agung RI
nomor 137/K/AG/2007 pemberian nafkah iddah didasarkan pada Pasal 41
huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Hakim MA
memutuskan memberi nafkah karena pertimbangan bahwa istri harus
menjalani iddah sehingga membebankan nafkah juga. Diberikan nafkah
iddah karena adanya kepentingan bekas suami untuk mengetahui
kebersihan rahim dan menjamin kebutuhan bekas istri selama iddah.
Kemudian yang patut diperhatikan dalam salinan putusan Nomor :
1445/Pdt.G/2010/PA.JS ini bahwa tindakan penggugat oleh majelis hakim
tidak dianggap nusyuz. Dan majelis hakim tetap memutuskan adanya
nafkah iddah dan mut’ah sesuai dengan Pasal 41 huruf (c) UU No. 1
Tahun 1974 Jo. Pasal 149 huruf (a) dan (b) KHI tentang akibat putusnya
perkawinan karena talak. Selain dari yurisprudensi putusan MA nomor
137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007, hakim memberikan mut’ah
dan nafkah iddah kepada bekas istri dengan memperhatikan 5 (lima) dasar
pertimbangan yaitu: (a) Adanya rasa keadilan bagi kedua belah pihak, (b)
Adanya ketertiban hukum, (c) Menempatkan harkat perempuan pada
proporsinya, (d) Adanya kemampuan bekas suami untuk memberikan
nafkah iddah dan mut’ah kepada bekas istri, dan (e) Adanya kelayakan
bekas istri untuk menerima nafkah iddah dan mut’ah dari bekas suami.
5. Menurut pendapat Bapak, apakah nafkah ‘iddah bagi Penggugat
merupakan hak yang harus diterimanya dari Tergugat ?
Jawab: Tergantung pada pokok perkaranya. Jika si suami memang tidak
nusyuz, maka tidak ada salahnya jika ia juga diberikan nafkah ‘iddah.
Apalagi pada beberapa kasus banyak dijumpai para wanita yang
mengajukan perceraian karena terpaksa dikarenakan suaminya sudah tidak
lagi bertanggung jawab terhadap keluarga. Oleh karenanya dalam hal ini,
hakim akan mempertimbangkan kronologis terjadinya perceraian dan akan
memutuskan sesuai dengan kesaksian suami istri tersebut.
6. Menurut Bapak, dalam kondisi apa saja Tergugat dinyatakan tidak berhak
atas nafkah ‘iddah dari Tergugat ?
Jawab: Salah satunya adalah pada thalak ba’in dan istri berbuat nusyuz,
atau melanggar ketentuan syari’at agama.
7. Menurut Bapak, apabila dalam permohonan gugatan Penggugat tidak
mengajukan nafkah ‘iddah kepada Tergugat, apakah hakim dalam amar
putusannya tetap akan mewajibkan Tergugat untuk memberikan nafkah
‘iddah kepada Penggugat ?
Jawab: Tergantung hasil pemeriksaan. Jika hasil pemeriksaan ternyata
memang si bekas istri layak untuk mendapatkan nafkah ‘iddah, maka
hakim dapat mewajibkan mantan suami untuk memberikan nafkah ‘iddah
tersebut kepada mantan istrinya, walaupun sang istri tidak mencantumkan
permohonan tersebut dalam surat permohonannya. Jadi itu semua
tergantung kepada hasil pemeriksaan dalam sidang.
8. Menurut Bapak, apakah nafkah ‘iddah yang harus diberikan kepada
Penggugat oleh Tergugat harus dibayarkan sekaligus atau dicicil ?
Jawab: Pada beberapa kejadian, banyak diantara mantan suami yang
mengabaikan putusan pengadilan untuk memberikan nafkah ‘iddah atau
mut’ah kepada mantan istrinya. Maka atas dasar itu, banyak hakim yang
mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan nafkah ‘iddah
kepada mantan istrinya secara sekaligus tidak dicicil. Hal ini
dikhawatirkan si mantan suami mangkir untuk memberikannya kepada
mantan istri. Tapi jika si mantan suami amanah, maka hakim dapat
memberikan keputusan yang berbda.
9. Apabila Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya memberikan nafkah
‘iddah kepada Penggugat sesuai amar putusan, apakah sanksi yang akan
diterima oleh Tergugat ?
Jawab: Apabila terjadi hal demikian, maka si istri dapat melaporkan
kejadian tersebut kepada pihak Pengadilan. Setelah Pengadilan menerima
laporan maka pengadilan akan melakukan eksekusi terhadap terhadap
harta yang dimiliki oleh mantan suami, mungkin dengan cara lelang atau
cara lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. Siapakah yang berhak memberikan sanksi atas pelanggaran Tergugat
terhadap amar putusan yang diputuskan oleh hakim ?
Jawab: Karena masalah ini termasuk masalah perdata, maka pertama kali
yang akan dilakukan adalah eksekusi oleh Pengadilan. Jika terjadi
pelanggaran atau pembangkangan terhadap eksekusi tersebut, maka
masalah tersebut dapat saja dilaporkan kepada pihak kepolisian dan kasus
gtersebut bisa berubah menjadi kasus pidana.
P U T U S A N
Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA JS
BISMILLAHIRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara
Gugatan Cerai pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah
menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara antara:
Penggugat, agama Islam, pekerjaan Karyawati, bertempat tinggal di Jalan Duku
Nomor 6, RT: 005/RW: 06, Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan
Cilandak, Jakarta Selatan, dalam hal ini memberikan kuasa kepada H.
Feizal Syahmenan, SH., MH. dan Sigit Handoyo Subagiono, SH., MH.,
Advokat dan Konsultan Hukum yang berdomisili di Jalan
Sisingamangaraja Nomor 63, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 28 Mei 2010 yang terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan register nomor
516/Pdt.G/VII/2010 tanggal 06 Juli 2010, selanjutnya disebut sebagai
Penggugat;
melawan
Tergugat, agama Islam, pekerjaan Pegawai Bank Agro, bertempat tinggal di
Jalan Al-Mubarok 1/8, RT: 012/RW: 06, Kelurahan Cipulir, Kecamatan
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dalam hal ini memberikan kuasa kepada
Arianto Soeparto, SH., Marisa Johar Ayugati, SH., dan M. Ekhsandi
Haznam, SH., Advokat dan Konsultan Hukum yang berdomisili di Jalan
Kalibata Tengah Nomor 23, RT/RW: 006/07, Kelurahan Kalibata,
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 28 Mei 2010 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dengan register nomor 572/Pdt.G/VII/2010 tanggal 26 Juli
2010, selanjutnya disebut sebagai sebagai Tergugat;
Pengadilan Agama tersebut;
Setelah membaca dan mempelajari berkas perkara;
Setelah mendengar keterangan Penggugat, dan para saksi;
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Menimbang, bahwa Penggugat dengan surat Gugatannya tertanggal 06 Juli
2010 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Nomor 1145/Pdt.G/2010/PA JS mengemukakan hal-hal yang pada pokoknya
sebagai berikut:
Adapun hal-hal yang menjadi dasar gugatan Penggugat adalah sebagai
berikut:
1. Bahwa, pada tanggal 10 Maret 1996 antara Penggugat dan Tergugat telah
dilangsungkan Pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak, Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta
sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta Nikah Nomor 896/29/III/1996 tanggal
11 Maret 1996, sehingga antara Penggugat dan Tergugat terdapat hubungan
hukum perkawinan yang sah sebagai suami isteri.
2. Bahwa, dengan demikian, perkawinan antara Penggugat dan Tergugat
sebagaimana tersebut diatas adalah sah karena dilakukan sesuai dengan hukum
dan agama nya yaitu Agama Islam, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat
I Undang-undang No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
yang menyatakan sebagai berikut:
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu."
3. Bahwa, dari perkawinan tersebut Penggugat dan Tergugat memiliki 3 (tiga)
orang anak yaitu:
1. anak yang lahir pada tanggal 26 Mei 1997 sebagaimana terbukti dari
Kutipan Akta Kelahiran Nomor 12994/U/JS/1997 tertanggal 07 Juli 1997,
pada saat Gugatan didaftarkan berumur 13 (tiga belas) tahun kurang 5
(lima) hari;
2. Muhamad Rizky Firmansyah yang lahir pada tanggal 19 Oktober 2003
sebagaimana terbukti dari Kutipan Akta Kelahiran Nomor
2919/T/JS/2007/2003 tanggal 12 JuIi 2007 , pada saat Gugatan didaftarkan
berumur 7 (tujuh) tahun; dan
3. anak yang lahir pada tanggal 19 Oklober 2003 sebagaimana terbukti dari
Kutipan Akta Kelahiran Nomor 2920/T/JS/2007/2003 tertanggal 12 Juli
2007, pada saat Gugatan didaftarkan berumur 7 (tujuh) tahun. (Untuk
selanjutnya disebut (“Anak-Anak") ;
4. Bahwa, dari perkawinan tersebut diperoleh Harta Bersama berupa, Tanah
dan Bangunan yang terletak di Jalan Permata Pamulang Blok G 16 No.28,
Rt.10/Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang
Selatan, Propinsi Banten, yatg tercatat atas nama Penggugat;
5. Bahwa, selama Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat seringkali
terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit didamaikan, sehingga
tidak ada harapan dapat hidup rukun lagi dalam sebuah rumah tangga;
6. Bahwa awalnya rumah tangga Penggugat dan Tergugat baik-baik saja,
namun masa-masa indah itu tidak berlangsung lama karena setelah
lahirnya anak pertama ternyata perbedaan pendapat antara Penggugat dan
Tergugat sering terjadi dan bermuara dengan perselisihan dan
pertengkaran yang tak ada habisnya;
7. Bahwa, pertengkaran-pertengkaran tersebut seringkali terjadi di hadapan
Anak-anak, bahkan pembantu dan keluarga besar, sehingga kehidupan
rumah tangga Penggugat dan Tergugat amat tidak nyaman, bahkan
Tergugat pun seringkali meninggalkan kediaman bersama;
8. Bahwa. dengan keadaan rumah tangga yang bagai neraka seperti itu.
Penggugat sama sekali tidak ridho dan tidak ingin mempertahankan rumah
tangga lebih lama lagi bersama Tergugat, sehingga memutuskan lebih baik
bercerai dari pada meneruskan terjadinya kezaliman dan mudharat dalam
perkawinan tersebut karena tidak mungkin dapat mewujudkan rumah
tangga yang bahagia dan harmonis sebagaimana yang dikehendaki oleh
Undangundang, bahkan kenyataannya fakta yang ada menunjukan keadaan
rumat tangga Penggugat dan Tergugat sudah memenuhi ketentuan
Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juncto
Kompilasi Hukum Islam untuk diakhiri saja mengingat terpenuhinya
alasan-alasan bagi perceraian sesuai Pasal 39 ayat 2 Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juancto Pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum lslam;
9. Bahwa, mengingat hubungan Penggugat dengan Anak-anak sebagai ibu
dan adanya anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 (dua belas)
tahun, maka berdasarkan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam, maka
hadhanah adalah berada di Penggugat Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum
Islam: Dalam hal terjadinya perceraian: “Pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum 12 tahun adalah hak ibunya.”
10. Bahwa, namun demikian baik Tergugat maupun Penggugat tetap
berkewajiban untuk memelihara dan mendidik Anak bersama-sama, hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 41 ayat {1) huruf a UU Perkawinan. Pasal
41 ayat (1) huruf a UU Perkawinan: Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah: “baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memeliharaa
dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak:
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadialan
memberikan keputusannya.”
11. Bahwa berdasarkan pasal 41 hnruf b UU perkawinan jo. pasal 105 huruf c
jo. pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam, Tergugat selaku ayah dari
Anak tetap dibebani kewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan dan
pendidikan Anak, yang termasuk namun tidak terbatas pada biaya
kesehatan, biaya pendidikan formal dan biaya pendidikan informal
12. Bahwa untuk memenuhi kewajibannya sebagairnana tersabst pada angka
11 diatas, maka Tergugat harus memasukkan Anak-anak dalam Asuransi
Kesehatan atas biaya Tergugat sepenuhnya, Tergugat diwajibkan pula
untuk menanggung segala biaya pendidikan formal maupun non formal
yang dibayarkan Tergugat langsung ke masing-masing lembaga
pendidikan Anak-anak sampai pada pendidikan formal setinggi-tingginya
tingkat Strata 2 (dua), dan Tergugat juga harus memberikan biaya
pemeliiraraan Anak-anak dengan dengan jumlah Rp. 1.500.000.- (satu juta
lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya hingga anak-anak berusia 21 (dua
puluh satu) tahun atau menikah sebelun usia tersebut yang wajib,
dibayarkan Tergugat kepada Penggugat secara tunai setiap tanggal 1 (satu)
selama pemegang Hadlhonah atas Anak-anak (jumlah mana setiap tahun
disesuaikan dengan setiap tahun disesuaikan dengan besaran inflasi
sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dengan tidak mengurangi
kewajiban Tergugat selaku Ayah dari Anak-anak untuk memenuhi seluruh
kebutuhan dan kepentingan Anak-anak.
13. Bahwa, berdasarkan Pasal 136 ayat {2) huruf a Kompilasi Kompilasi
Hukum Islam, Penggugat dapat mengajukan kepada Pengadilan Agama
untuk menentukan nafkah yang harus di tanggung oleh suami selama
proses perkara, oleh karenanya Penggugat mengajukan agar Tergugat tetap
memberikan nafkah kepada Penggugat selama berlangsungnya
persidangan ini sebesar Rp Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu
Rupiah) per bulan sampai dengan putusan perkawinan.
14. Bahwa, setelah putusnya perkawinan, Tergugat juga diwajibkan untuk
memberikan nafkah iddah kepada Penggugat sebesar Rp. 750.000.00
(tujuh ratus ribu rupiah) setiap bulannya, selama 3 (tiga) bulan 10
(sepuluh) hari setelah putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.
15. Bahwa, mengenai pembagian Harta Kekayaan Dalam Perkawinan,
Penggugat meminta Tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Permata
Pamulang Blok G 16 No. 28 Rt.10/Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan
Setu, Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang kini tercatat
atas nama Penggugat untuk ditetapkan sebagai milik Anak-anak dan
Penggugat menguasainya selama Anak-anak belum dewasa
16. Bahwa, akhirnya Penggugat menyatakan sanggup untuk memberikan
iwadl sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah)
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Penggugat memohon agar Majelis
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan berkenan memeriksa dan mengadili
perkara ini serta selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menetapkan jatuh Talak Satu dari Tergugat kepada Penggugat dengan Iwadl
sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah)
3. Menyatakan Putusan Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat karena
perceraian;
4. Menyatakan bahwa Hadhonah atas Anak-anak, yang bernarna anak I dan anak
II berada pada Penggugat sebagai Ibunya
5. Memerintahkan Tergugat untuk (a) memasukkan Anak-anak dalam Asuransi
Kesehatan atas biaya Tergugat sepenuhnya; (b) untuk menanggung segala
biaya pendidikan formal maupun non formal yang dibayarakan Tergugat
langsung ke kemasing-masing lembaga pendidikan Anak-anak sampai
setinggi-tingginya pada pendidikan formal Strata 2 (dua) (c) dan untuk
memberikan biaya pemeliharaan Anak-anak dengan jumlah Rp. 1.500.000,-
(satu juta lima ratus ribu Rupiah) setiap bulannya hingga Anak-anak berusia 21
(dua puluh satu) tahun atau menikah sebelum usia tersebut yang wajib
dibayarkan Targugat kepada Penggugat secara tunai setiap tanggal 1 (satu)
selaku pemegang hadhanah atas anak-anak, jumlah mana setiap tahun
disesuaikan dengan besaran inflasi sekurang-kurangnya 10 % (sepuluh persen)
dengan tidak mengurangi kewajiban Tergugat selaku Ayah dari anak-anak
untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan kepentingan anak-anak;
6. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan nafkah kepada Penggugat setiap
bulannya sebesar Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu Rupiah), secara
tunai kepada Peaggugat selama proses berperkara sampai dengan putusan
Pengadilan berkekuatan hukum tetap.
7. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat
sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulannya
selama 3 (tiga) bulan 10 (sepuluh) hari setelah Putusan Pengadilan berkekuatan
hukum tetap;
8. Menetapkan bahwa Harta Bersama berupa Tanah dan bangunan yang terletak
di Jalan Jalan Permata Pamulang Blok G 16 No. 28 Rt.10/Rw.05, Desa Bakti
Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang
kini tercatat atas nama Penggugat untuk ditetapkan sebagai milik Anak-anak
dan Penggugat menguasainya selama Anak-anak belum dewasa.
Atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
berpendapat lain, Penggugat memohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et
bono);
Bahwa pada hari persaidangan yang telah ditetapkan, Penggugat dan
Tergugat didampingi oleh Kuasanya masing-masing telah datang menghadap di
muka persidangan, kemudian Majelis berusaha mendamaikan Penggugat dan
Tergugat agar kembali hidup rukun dan melanjutkan membina rumah tangga
kembali akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil, kemudian memerintahkan
kepada Penggugat dan Tergugat untuk menempuh upaya mediasi dengan mediator
Drs. H. A. Nawawi Ali namun tidak berhasil mendamaikan Penggugat dan
Tergugat;
Bahwa kemudian dibacakanlah Gugatan Penggugat tersebut yang isinya
tetap dipertahankan oleh Penggugat;
Bahwa terhadap Gugatan tersebut, Tergugat telah memberikan jawaban
tertulis yang pada pokoknya mengakui seluruh dalil Penggugat dan tidak
membantahnya serta tidak berkeberatan untuk bercerai dengan Penggugat;
Bahwa baik Penggugat maupun Tergugat masing-masing tidak
menyampaikan replik ataupun duplik;
Bahwa bahwa untuk memperkuat dalil Gugatannya, Penggugat telah
mengajukan bukti-bukti surat berupa;
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Penggugat dan Tergugat,
bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.1;
b. Fotokopi Kutipan Akta Nikah atas nama Penggugat dan Tergugat, bermaterai
Cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.2;
c. Fotokopi Kartu Akta Kelahiran Anak atas nama Ibtia Shabrina, perempuan,
lahir tanggal 26 Mei 1997, bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan
aslinya, kode P.3;
d. Fotokopi Kartu Akta Kelahiran Anak atas nama Muhammad Zikry
Firmansyah, laki-laki, lahir tanggal 19 Oktober 2003, bermaterai cukup dan
telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.4;
e. Fotokopi Kartu Akta Kelahiran Anak atas nama Muhammad Rizky
Firmansyah, laki-laki, lahir tanggal 19 Oktober 2003, bermaterai cukup dan
telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.5;
f. Fotokopi Kartu Keluarga WNI atas nama Tergugat sebagai Kepala Keluarga,
bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.6;
g. Fotokopi Sertifikat Hak Milik No. 02505, bermaterai cukup tanpa
memperlihatkan aslinya, kode P.7;
h. Fotokopi Akta Jual Beli Nomor 1302/2005 ,tanpa materai dan tanpa
memperlihatkan aslinya, kode P.8;
i. Fotokopi Perjanjian Kredit, tanpa materai dan tanpa memperlihatkan aslinya,
kode P.9;
Bahwa selain itu Penggugat juga mengajukan seorang saksi yaitu:
Saksi Penggugat:
Saksi , umur 44 tahun, agama Islam, pekerjaan Swasta, tempat tinggal di
Jalan Duku Nomor 6 KOmp. TNI-AL, RT: 005 RW: 06 Kelurahan Pondok
Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, di hadapan sidang saksi
tersebut memberikan keterangan di bawah sumpah secara agama Islam yang
pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa saksi adalah kakak kandung Penggugat;
- Bahwa saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat;
- Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri yang sah dan sudah
mempunyai 3 (tiga) orang anak bernama: Sasa, Rizky, dan Zikry;
- Bahwa Penggugat dengan Tergugat sering bertengkar sejak 2 (dua) tahun
lalu disebabkan perbedaan pendapat dan keinginan dalam urusan rumah
tangga termasuk karena Tergugat sering pulang larut malam dari bekerja;
- Bahwa Penggugat menyampaikan keluh kesahnya kepada Saksi dan Saksi
pernah menyaksikan langsung pertengkaran antara Penggugat dan
Tergugat lebih dari 3 (tiga) kali baik cekcok mulut langsung maupun lewat
telepon;
- Bahwa Penggugat dan Tergugat saat ini masih tinggal serumah;
- Bahwa anak-anak Penggugat dan Tergugat dalam keadaan baik dan sehat;
- Bahwa Tergugat bekerja sebagai pegawai bank;
- Bahwa pihak keluarga sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan
Tergugat melalui musyawarah keluarga agar rukun membina rumah
tangga kembali dengan Tergugat namun tidak berhasil;
Bahwa atas keterangan saksi tersebut, Penggugat menyatakan tidak
keberatan sedangkan Tergugat menyatakan keberatan dengan keterangan saksi
bahwa Penggugat dan Tergugat masih tinggal serumah. Yang sebenarnya adalah
bahwa Penggugat dan Tergugat telah berpisah rumah, Tergugat pindah ke rumah
orang tuanya dan hanya datang ke ruamah kediaman bersama jika ingin menemui
anak-anak Penggugat dengan Tergugat;
Bahwa Tergugat juga telah mengajukan 1 (satu) orang saksi, yaitu:
Saksi umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga,
bertempat tinggal di Komplek Bumi Serpong Damai (BSD), Anggrek Loka
Blok 6/4, Sektor 2-I, RT: 002 RW: 010, Kelurahan Rawa Buntu, Kecamatan
Serpong, Tangerang, di hadapan sidang saksi tersebut memberikan
keterangan di bawah sumpah secara agama Islam yang pada pokoknya
sebagai berikut:
- Bahwa saksi adalah kakak kandung Tergugat;
- Bahwa saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat;
- Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri yang menikah pada
tahun 1996 dan telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak yaitu: Sasa, Rizky, dan
Zikry yang ketiganya kini diasuh oleh Penggugat;
- Bahwa anak-anak Penggugat dan Tergugat tersebut dalam keadaan
baikbaik dan sehat;
- Bahwa Penggugat dengan Tergugat sering bertengkar sejak 2 (dua) tahun
yang lalu disebabkan perbedaan visi dan misi antara Penggugat dan
Tergugat dalam mendidik anak-anak serta adanya masalah keuangan;
- Bahwa Saksi pernah melihat langsung pertengkaran antara Penggugat dan
Tergugat lebih dari 3 (tiga) kali baik yang terjadi di rumah Penggugat dan
Tergugat maupun yang terjadi di rumah orang tua Tergugat;
- Bahwa Tergugat bekerja sebagai pegawai di Bank Agro;
- Bahwa Penggugat dengan Tergugat sudah pisah rumah sejak 3 (tiga) bulan
yang lalu, Tergugat pindah ke rumah orang tuanya untuk menghindari
pertengkaran dalam rumah tangganya;
- Bahwa pihak keluarga sudah berusaha menasehati Penggugat agar rukun
membina rumah tangga kembali dengan Tergugat namun tidak berhasil;,
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi tersebut Penggugat
menyatakan tidak keberatan dan tidak akan mengajukan sesuatu tanggapan
apapun dan mohon putusan;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah tentang
gugatan cerai diakumulasi dengan hak asuh anak, nafkah anak dan harta bersama
sebagaimana telah diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 130 HIR, Majelis Hakim dalam
setiap persidangan berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara,
namun usaha tersebut tidak berhasil;
Menimbang, bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun
2008 antara Penggugat dan Tergugat telah dilakukan upaya mediasi oleh Mediator
Hakim Drs. H. A. Nawawi Ali, namun mediasi tersebut tidak berhasil (gagal)
mendamaikan Penggugat dan Tergugat;
Menimbang bahwa berdasarkan bukti P.1 berupa Kartu Tanda Penduduk
atas nama Penggugat dan Tergugat yang masing-masing dikeluarkan oleh
Kecamatan Cilandak dan Kecamatan Kebayoran, Jakarta Selatan, maka sesuai
dengan pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50 tahun
2009 gugatan Penggugat benar menjadi kewenangan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan;
Menimbang bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah
berdasarkan Kutipan Akta Nikah atas nama Penggugat dan Tergugat (bukti P.2.).
Dan pernikahan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena
itu Penggugat dan Tergugat adalah pihak-pihak yang berkepentingandalam
perkara ini;
Menimbang bahwa pokok gugatan Penggugat adalah bahwa awalnya
rumah tangga Penggugat dengan Tergugat rukun dan harmonis namun kurang
lebih sejak kelahiran anak pertama antara suami istri tersebut terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga yang disebabkan adnya perbedaan-perbedaan pendapat yang
berujung pada pertengkaran-pertengkaran yang tidak jarang pula terjadi di
hadapan anak-anak Penggugat dengan Tergugat, pembantu, dan keluarga besar.
Tergugat sering meninggalkan rumah kediaman bersama tanpa alasan jelas. Dan
bahwa pertengkaran-pertengkaran yang terjadi terus menerus tersebut telah
berdampak pada terganggunya ketenteraman batin Penggugat hingga Penggugat
merasa bahwa rumah tangganya adalah bagai neraka baginya;
Menimbang bahwa Tergugat telah memberikan jawaban yang pada
pokoknya mengakui seluruh dalil Penggugat dan tidak berkeberatan bercerai
dengan Penggugat, maka dapat dikualifisir bahwa Pengakuan Tergugat tersebut
merupakan pengakuan bulat murni (aven pur et simple) yang sesuai ketentuan
hukum acara merupakan bukti yang mengikat dan menentukan sebagaimana
maksud pasal 174 HIR;
Menimbang bahwa perkara ini in casu perceraian, pengakuan adalah bukti
awal yang memerlukan bukti-bukti lainnya, sehingga Penggugat tetap dibebankan
wajib bukti;
Menimbang, bahwa Penggugat selain mengajukan bukti surat juga
mengajukan bukti saksi;
Menimbang, bahwa dari dua orang saksi Penggugat telah diperoleh
keterangan yang bersesuaian satu sama lain yaitu bahwa rumah tangga Penggugat
dan Tergugat yang awalnya rukun dan harmonis namun saat ini sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat secara terus-
menerus yang penyebabnya adalah adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan
keinginan baik dalam urusan anak maupun dalam urusan rumah tangga lainnya
juga karean Tergugat sering pulang malam dari bekerja. Antar Penggugat dan
Tergugat telah pisah rumah sejak 3 (tiga) bulan lalu. Penggugat dan Tergugat
sudah didamaikan namun tidak berhasil;
Menimbang bahwa keterangan dua orang Saksi Penggugat tersebut satu
sama lain saling berkaitan dan tidak dibantah oleh Penggugat dan Tergugat
karenanya keterangan Saksi-saksi tersebut patut diterima dan patut
dipertimbangkan karena telah memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana
maksud pasal 147, 171 dan 172 HIR. Dan oleh karena keterangan dua orang saksi
tersebut telah menguatkan dalil-dalil gugatan Penggugat, maka dalil-dalil
Penggugat tersebut dinyatakan terbukti.
Menimbang, bahwa dari keterangan Penggugat serta pengakuan Tergugat
dikuatkan dengan bukti-bukti surat keterangan dua orang saksi, ditemukan
faktafakta
yaitu:
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat menikah pada tanggal 10 Maret 1996 dan
hingga kini telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak;
2. Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus;
3. Bahwa perselisihan sejak kelahiran anak pertama tersebut disebabkan
perbedaan-perbedaan pandangan dan keinginan baik dalam urusan anak
maupun dalam penyelenggaraan rumah tangga secara umum;
4. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak sekitar bulan
April 2010;
5. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah didamaikan baik melalui
nasehat maupun dengan jalan musyawarah namun tidak berhasil;
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut pengadilan berpendapat
bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran,
mengakibatkan keduanya sudah tidak rukun lagi, Penggugat dan Tergugat sudah
tidak tinggal satu rumah, dan Penggugat telah menyatakan tidak dapat
mempertahankan ikatan perkawinan dengan Tergugat.
Menimbang, bahwa upaya Majelis Hakim dan Saksi-saksi yang diajukan
dalam perkara ini menasihati Penggugat agar tetap rukun kembali dengan
Tergugat ternyata tidak berhasil, karena Penggugat telah menyatakan sikapnya
dengan tetap berkukuh pada pendiriannya untuk bercerai dengan Tergugat,
sehingga Majelis menilai bahwa dengan sebab perselisihan dan pertengkaran itu
telah mencapai pada suatu keadaan yang mana dalam rumah tangga Penggugat
dengan Tergugat sudah tidak dapat ditolerir lagi untuk hidup rukun dalam satu
ikatan perkawinan;
Menimbang, bahwa jika salah satu pihak telah menyatakan tetap
bersikukuh pada pendiriannya untuk bercerai dengan pihak lainnya, maka tidak
terdapat cukup alasan untuk tetap mempertahankan ikatan perkawinan tersebut,
karena itu Majelis Hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dengan
Tergugat telah berada pada tingkat pecahnya perkawinan (broken marriage),
keduanya sudah sangat sulit untuk hidup rukun lagi sebagai suami istri, sehingga
rumah tangga keduanya sangat sulit pula untuk dipertahankan, dalam mana jika
tetap dipertahankan dapat menimbulkan mudarat yang lebih besar bagi keduanya.
Terhadap kenyataan seperti itu Majelis Hakim perlu menyampaikan dalil syar‟i,
yaitu berupa qoidah fiqh yang termuat di dalam Kitab Al-Asybah wan-Nadzhoir,
yang kemudian diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim, yang artinya:
“Menolak mafsadah (pengaruh yang bersifat merusak) harus didahulukan dari
pada mengharapkan datangnya mashlahah (pengaruh yang membawa
manfaat/kebaikan)”, maka alternatif penyelesaian sengketa perkawinan yang
terbaik bagi Penggugat dan Tergugat adalah perceraian, karena itu peitum
Penggugat pada angka 2 dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas gugatan
Penggugat telah terbukti dan berdasar hukum untuk diterima dan dikabulkan
berdasarkan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 juncto
Pasal 116 huruf f KHI dengan menjatuhkan talak bain shugro dari Tergugat,
terhadap Penggugat,
Menimbang, bahwa bukti P.3, P.4, P.5, dan P.6 adalah akta-akta kelahiran
atas nama 3 (tiga) orang anak Penggugat dengan Tergugat dan Kartu Keluarga
WNI atas nama Tergugat sebagai Kepala Keluarga, maka berdasarkan bukti
tersebut terbukti bahwa ketiga orang anak tersebut adalah anak yang sah dan lahir
dari perkawinan penggugat dengan tergugat.
Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatan telah mengajukan
tuntutan menyangkut hak pengasuhan anak, Penggugat memohon kepada
pengadilan agar menetapkan anak-anak tersebut berada dalam pengasuhan dan
pemeliharaan Penggugat.
Menimbang, bahwa oleh karena anak yang bernama Muhamad Rizky
Firmansyah, lahir pada tanggal 19 Oktober 2003 dan Muhamad Zikry
Firmansyah, lahir pada tanggal 19 Oklober 200, masih dibawah umur (belum
mumayyiz), dimana anak tersebut masih sangat membutuhkan kasih sayang dan
perhatian dari ibunya, berdasarkan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam,
maka hak pengasuhan dan pemeliharaannya diserahkan kepada Penggugat;
Menimbang bahwa Penggugat juga meminta hak asuh (hadhonah)
terhadap anak tertua Penggugat dan Tergugat yang bernama Ibtia Shabrina, lahir
pada tanggal 26 Mei 1997 (berusia 13 tahun), hal mana terhadap hal ini Tergugat
pun telah menyatakan persetujuannya (tidak keberatan dan tidak membantah)
yakni terlihat dalam jawaban Tergugat dalam persidangan, maka Majelis
berpendapat bahwa ibunya layak diberikan hak pengasuhan dan pemeliharaan
karenanya hak pengasuhan dan pemeliharaan anak tertua dimaksud diserahkan
pula kepada Penggugat;
Menimbang bahwa terhadap tuntutan Penggugat tentang asuransi anak,
biaya sekolah anak sampai S2, dan nafkah anak, Majelis Hakim akan
mempertimbangkannya sebagai berikut;
a. Bahwa tuntutan tentang nafkah anak sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta
lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya hingga anak tersebut dewasa atau
menikah telah sesuai dengan maksud Pasal 105 huruf c dan Pasal 156
huruf d105 huruf c Kompilasi Hukum Islam, dan telah disesuaikan dengan
kemampuan Tergugat sebagai Ayah yang bekerja sebagai Pegawai pada
Bank Agro, Majelis Hakim berpendapat gugatan tentang nafkah anak
dimaksud dapat dikabulkan;
b. Bahwa Tergugat telah dibebankan untuk menanggung biaya hadhonah
anak sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap
bulannya hingga anak tersebut dewasa atau menikah, maka tuntutan
tentang asuransi anak dan biaya sekolah anak hingga strata dua (S2)
dikahawatirkan akan memberatkan Tergugat karenanya Majelis
berpendapat bahwa tuntutan tentang hal tersebut dapat dinyatakan ditolak;
(nafkah iddah dan nafkah selama proses persidangan)...???
Menimbang bahwa bukti P.7, P.8, dan P.9 masing-masing berupa
Sertifikat Hak Milik, Akta Jual Beli, dan Perjanjian Kredit tidak dapat
ditunjukkan aslinya karena dalam agunan sehingga tidak memenuhi syarat formil
pembuktian sebagaimana maksud pasal 1888 BW yakni bahwa kekuatan
pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya, karenanya bukti-bukti
tersebut dinyatakan dikesampingkan;
Menimbang bahwa dalam gugatannya, Penggugat juga menuntut agar
harta bersama berupa Tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Jalan Permata
Pamulang Blok G 16 No. 28 Rt.10/Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan Setu,
Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang kini tercatat atas nama
Penggugat ditetapkan sebagai milik anak-anak dan Penggugat menguasainya
selama anak-anak tersebut belum dewasa;
Menimbang bahwa terhadap dalil gugat ini pun Tergugat telah mengakui
dan tidak membantahnya sehingga dapat ditafsirkan bahwa atas hal ini telah
dicapai sebuah kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat, karenanya dapat
dinyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat telah melepaskan haknya terhadap
harta bersama tersebut;
Menimbang, bahwa perkara ini adalah perkara perceraian yang berada
dalam lingkup bidang perkawinan, maka biaya perkara dibebankan kepada
penggugat sesuai Pasal 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 sebagaimana
telah diubah pula dengan UU No. 50 tahun 2009
MENGADILI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat terhadap Pengguga
3. Menetapkan 3 (tiga) orang anak Penggugat dan Tergugat :
3.1. anak lahir tanggal 26 Mei 1997;
3.2. anak , lahir tanggal 19 Oktober 2003;
3.3. anak lahir tanggal 19 Oktober 2003; di bawah pemeliharaan (hadhonah)
Penggugat;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat biaya pemeliharaan
anak sebanyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulan
terhitung sejak putusan ini kekuatan hukum tetap sampai dengan anak-anak
tersebut dewasa (berusia 21 tahun) di luar biaya pendidikan dan kesehatan
5. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat nafkah, maskan,
dan kiswah selama masa iddah (tiga bulan) sebanyak Rp750.000,00 (tujuh
ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulan;
6. Menyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat telah melepaskan haknya terhadap
Harta Bersama berupa tanah dan bangunan diatasnya yang terletak di
Jl.Permata Pamulang Blok G 16 No.28 Rt.10 Rw.05, Desa Bakti Jaya,
Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan;
7. Menyatakan gugatan Penggugat tentang Asuransi anak dan biaya sekolah
sampai S2 dinyatakan tidak dapat diterima;
8. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga putusan
ini sebanyak Rp356.000,00 (tiga ratus lima puluh enam ribu rupiah).
Demikian diputuskan pada hari Senin tanggal 06 September 2010 Masehi
bertepatan dengan tanggal 27 ramadhan 1431 Hijriah, oleh Hakim Pengadilan
Agama di Jakarta Selatan yang terdiri dari Drs. Yasardin, SH., MH. sebagai Ketua
Majelis dan Dra. Hj. Ai Zainab, SH. serta Dra. Muhayah, SH., sebagai Hakim-
Hakim Anggota, putusan mana oleh Hakim tersebut pada hari itu juga diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum dengan didampingi oleh Ahlan, SH. Sebagai
Panitera Sidang Pengadilan Agama tersebut dan dihadiri oleh Penggugat dan
Tergugat;
Ketua Majelis
TTD
Drs. Yasardin, SH., MH.
Hakim Anggota, Hakim Anggota,
TTD TTD
Dra. Hj. Ai Zainab, SH. Dra. Muhayah, SH.