PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

74
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit. Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan;

description

hasil penelitian

Transcript of PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Page 1: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia

sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus

kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar,

selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak

bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan,

kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan

publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan

perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang

lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan

pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan

masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life

(James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi

keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan

biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi

mereka menerima upah yang sangat sedikit.

Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan

yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan

hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk

memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang

terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan;

Page 2: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

2

(6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat

untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk

berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan;

dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola

pemerintahan dengan baik.

Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development

Index (HDI), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Secara menyeluruh

kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan

kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human

Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human

Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut

merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun,

angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen,

kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan

pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita

yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar

US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara

(Kompas, 2004).

Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan

kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan

kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen

permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan

tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan

Page 3: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

3

kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan

penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari

dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai

penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan

masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi,

kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan

kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi

kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen

penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan

keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak

dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan

kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.

Selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan

penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan,

perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir

melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan

sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan

kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya

sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di

samping itu, tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan

rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi

kemiskinan dengan cara mereka sendiri.

Page 4: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

4

Menurut Hermanto, dkk dalam Togatorof, Subaidi dan Supriadi (2006),

Kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) Kemiskinan fisik

atau alamiah, sebagai akibat karena sumberdaya alam tidak bisa mendukung

kehidupan masyarakat setempat; (2) Kemiskinan budaya dan kultural, yakni

budaya yang ada bersifat menghambat kemajuan, walaupun potensi sumberdaya

alam tidak miskin; (3) Kemiskinan kelembagaan atau struktural, yakni peraturan-

peraturan yang ada, baik yang tertulis maupun tidak adalah tidak mampu

mendorong serta menolong golongan lemah; dan (4) Kombinasi di antara tiga tipe

kemiskinan di atas.

Usaha-usaha pembangunan khususnya pertanian, seharusnya diarahkan

pada masalah kemiskinan dan prioritas, jika tidak akan membuka peluang

munculnya masalah baru yang dapat membahayakan proses dan keberlanjutan

pembangunan itu sendiri. Upaya mengangkat masalah kemiskinan menjadi

prioritas pembangunan, maka perlu mencari faktor kunci penyebab terjadinya

kemiskinan tersebut. Salah satu model yang telah dikembangkan adalah

pemberdayaan petani miskin.

Potensi sumberdaya lahan kering di NTB sangat besar dan penyebarannya

hampir merata di seluruh wilayah kabupaten. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) luas

lahan kering mencapai 1,798,008 ha (90,33 % dari luas lahan pertanian) yang

tersebar di dua pulau besar yaitu Pulau Sumbawa 1,465,270 ha (81,49) dan Pulau

Lombok 332,738 ha (18,51 %) (Satari, sadjad, dan Sastrosoedardjo, 1977 ; NTB

Dalam Angka, 1992).

Page 5: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

5

Sedangkan di Lombok Timur luas lahan kering mencapai 115.161 ha. Atau

71,73% dari luas lahan yang ada. Jumlah penduduk 1.053.347 jiwa, sebagian

besarnya adalah petani yaitu 49,50%. (BPS Lombok Timur, 2006).

Kondisi lahan kering dicirikan oleh: (1) peka terhadap erosi bila tanahnya

tak tertutup vegetasi, (2) tingkat kesuburan tanahnya rendah, (3) air merupakan

faktor pembatas (tadah hujan), dan (4) lapisan olah dan lapisan tanah dibawahnya

memiliki kelebaban yang sangat rendah. Di samping itu, masyarakat petani di

daerah lahan kering umumnya berpendapatan rendah, tingkat pendidikan rendah,

adopsi teknologi juga rendah, dan ketersediaan modal kecil. Infra struktur di

daerah lahan kering umumnya jelek, sedangkan penduduk terpencar di daerah

terpencil sehingga integrasi sosial dan penyuluhan menjadi lebih sulit.

Oleh karena kondisi lingkungan seperti tersebut, maka isu pokok yang

harus dikembangkan dalam pengelolaan sumber daya lahan kering adalah

peningkatan pendapatan dan taraf hidup petani sekaligus mampu mempertahankan

kelanjutan (sustainability) sumberdaya lahan. Hal inimemerlukan pengelolaan

yang berhati-hati dengan penerapan teknologi pertanian yang sesuai.

Salah satu teknologi yang dinilai sesuai dengan kondisi lahan kering adalah

penerapan agroforestry, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan

kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan,

mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-

pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan, secara bersamaan atau berurutan

pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai

dengan kebudayaan penduduk setempat (King and Chandler, 1978 dalam

Kartasubrata, 1991b).

Page 6: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

6

Dari uraian di atas, dipandang perlu untuk melakukan kegiatan-kegiatan

pendampingan (pemberdayaan) petani miskin di lahan marjinal dengan Sistem

Pertanian Berkelanjutan (SPB) dengan teknik Agroforestri berbasis

Agrosilvopastural.

B. Tujuan Kaji Tindak (Dampingan/Pemberdayaan)

Kegiatan pendampingan/pemberdayaan petani miskin di lahan marjinal ini

dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Mendorong penuh partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan kering

yang berkelanjutan dan bertanggung jawab ke arah peningkatan sistem

sosial dan ekonomi yang berpihak kepada alam/lingkungan

2. Memberikan dampingan dan penguatan terhadap organisasi/kelompok-

kelompok tani menuju perubahan yang lebih baik secara sosial dan

ekonomi.

C. Manfaat Dampingan/Pemberdayaan

1. Bagi LEPPRO NTB

a. Bahan kajian dalam menyiapkan program pendidikan dan penyadaran

bagi masyarakat petani miskin di lahan kering, sebagai konsekuensi

perubahan paradigma berpikir masyarakat dalam mengelola lahan

kering. Fenomena sosial ekonomi masyarakat petani miskin saat ini

semakin memperihatinkan dengan banyaknya kawasan hutan yang

berubah/beralih fungsi menjadi lahan perkebunan dan pertanian. Hal

ini disebabkan pandangan masyarakat petani dan pemerintah daerah

(kabupaten/kecamatan/desa/dusun) belum sinergi dalam menangani

Page 7: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

7

persoalan pertanian di lahan kering khususnya di kecamatan

Wanasaba.

b. Memperkuat peran LEPPRO NTB dalam pemberdayaan masyarakat

petani miskin di lahan marjinal.

c. Menambah bahan kepustakaan LEPPRO NTB dalam pengembangan

pendidikan dan penyadaran di masyarakat secara langsung.

2. Bagi Pihak Masyarakat Petani Miskin

a. Terbentuk dan atau semakin kuatnya organisasi (kelompok) tani yang

peduli terhadap pengelolaan lahan kering yang berkelanjutan.

b. Menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat petani miskin di

lahan marjinal akan pentingnya kemandirian (self reliance) dalam

peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi melalui agroforestri.

c. Mendapatkan informasi dan sumbangsih pemikiran dalam penataan

tingkat pendapatan masyarakat petani miskin di lahan marjinal melalui

sistem agrosilvopastural.

3. Bagi Pemerintah Daerah (Pembuat/Pemegang Kebijakan)

a. Sebagai sumber informasi untuk menganalisis sistem dan dinamika

budaya masyarakat lahan marjinal, dan mengkaji permasalahan

pembangunan dari sudut pandang sosial-budaya dalam pengelolaan

lahan marjinal melalui pertanian berbasis agrosilvopastural.

b. Membantu dan berperan serta dalam pemberdayaan masyarakat petani

miskin di lahan marjinal secara langsung dan tidak langsung.

Page 8: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

8

c. Memberikan masukan secara kritis terhadap kondisi masyarakat yang

multietnik dan multikultural dalam menyelesaikan permasalahan yang

terjadi pada masyarakat di lahan marjinal.

d. Melahirkan kebijakan/peraturan yang pro atau berpihak pada

masyarakat bawah (grass root) dengan melalui pendekatan bottom up

secara partisipatif.

Page 9: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Pemberdayaan Dan Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB)

Dua kata kunci yaitu pemberdayaan (empowerment) dan partisipatif

(participatory) akhir-akhir ini sering muncul dalam program pembangunan

pertanian, khususnya dalam rangka mengangkat harkat masyarakat tani. Sebagai

tujuan akhir, pemberdayaan merupakan target yang ingin dicapai, sementara

partisipasi merupakan alat untuk mencapai tujuan yang ditargetkan. Dengan kata

lain, partisipasi merupakan pendekatan strategis dalam mewujudkan

pemberdayaan.

Checkoway (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan dapat dipandang

sebagai proses bertingkat (multilevel process), yaitu mencakup keterlibatan

individu, pengembangan organisasi, dan perubahan komunitas (community

change). Keterlibatan individu merupakan partisipasi perorangan dalam

pengambilan keputusan melalui wadah pengembangan organisasi sebagai

penghubung antara individu dan komunitas yang pada gilirannya akan

menciptakan perubahan komunitas.

Menurut PBB (dalam Bhattacarya, 1972) dan Asian Development Bank

(dalam Ndraha, 1987) menyatakan bahwa penggerakan partisipasi masyarakat-

masyarakat desa, merupakan salah satu sasaran pembangunan desa itu sendiri,

sedangkan peran serta masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses

perencanaan (bukan perencanaan professional) dimana masyarakat ikut ambil

Page 10: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

10

bagian dari menentukan dalam mengembangkan, mengurus, dan mengubah

rencana secara komprehensif (Dahuri, 2001).

Davis dan Newstrong (dalam Rusda, 1999) mengatakan bahwa partisipasi

masyarakat merupakan keterlibatan mental dan emosional organ-organ anggota

kelompok dalam situasi kelompok yang mendorong mereka memberikan

kontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagi tanggung jawab untuk mencapai

tujuan.

Menurut Mubyarto (dalam Ndraha, 1987) mendefinisikan partisipasi

masyarakat sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai

dengan kemampuan orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri,

sedangkan menurut Nelson (dalam Ndraha, 1987), menyebutkan ada dua macam

partispasi masyarakat, yaitu: partisipasi antar sesama warga atau anggota suatu

perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal, dan partisipasi yang

dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antara client dengan patron, atau antara

masyarakat dengan pemerintah yang diberi nama partisipasi vertikal, sehingga

keterlibatan dalam kegiatan, seperti perencanaan dan pelaksanaan pembangunan

disebut partisipasi dalam proses administrasi.

Sedangkan menurut Huneryager clan Heckman (dalam Ndraha, 1987),

keterlibatan kelompok atau masyarakat sebagai suatu kesatuan dapat disebut

partisipasi kolektif, sedangkan keterlibatan individual dalam kegiatan kelompok

dapat disebut partsisipasi individual.

Dari beberapa pengertian partisipasi tersebut, terdapat tiga gagasan

penting yaitu keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab, dapat dijelaskan:

1. Partisipasi lebih menekankan pada keterlibatan mental dan emosi

Page 11: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

11

daripada berupa aktifitas atau keterlibatan ini bersifat psikologis

daripada fisik.

2. Motivasi kontribusi yaitu partisipasi akan memotivasi orang-orang

untuk memberikan kontribusi. Para anggota berkesempatan untuk

menyalurkan sumber inisiatif dan kreativitasnya guna mencapai tujuan

kelompok.

3. Tanggung jawab, partisipasi akan mendorong para anggota untuk

menerima tanggung jawab dalam aktifitas kelompoknya.

Menurut Beckman (2001), pendekatan "proses pembangunan partisipatoris"

terdiri dari empat tahap, yaitu:

1. Pengkajian situasi

2. Pembuatan rencana pembangunan lingkungan (desa).

3. Implementasi dan pengawasan.

4. Peninjauan dan evaluasi.

Partisipasi menjadi sangat penting untuk suksesnya suatu program dengan

pertimbangan: (1) untuk penyempurnaan rencana pembangunan pada umumnya

dan prioritas-prioritas khusus pada suatu kegiatan (proyek) tertentu; (2)

program/proyek tidak dapat diimplementasikan apabila kegiatannya tidak sesuai

dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat atau tidak tepat visualisasinya; (3)

untuk keberlanjutan (sustainability); dan (4) untuk meningkatkan pemerataan

keadilan atau equity (Krishna and Lovel, 1985).

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, model pembangunan partisipatif

sebagaimana dikemukakan oleh Sumodiningrat (1999) menjadi sangat strategis

dalam mengupayakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan. Oleh

Page 12: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

12

karena itu, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang model ini dapat

dijadikan acuan khususnya dalam upaya pemberdayaan petani miskin. Namun

perlu dipahami bahwa konsep partisipasi itu sendiri jangan sampai didefinisikan

sebagai “dukungan mutlak masyarakat” terhadap pembangunan. Hal ini perlu

dipahami guna menghindari hambatan pelaksanaan konsep pertisipasi di lapangan

sebagaimana dikemukakan oleh Soetrisno (1995) dalam Yusdja dkk (2003), yaitu

: (1) belum dipahaminya konsep partisipasi oleh perencana dan pelaksana

pembangunan; (2) munculnya reaksi balik dari masyarakat sebagai akibat

dijadikannya pembangunan sebagai ideologi, sehingga harus diamankan; dan (3)

banyaknya peraturan atau perundang-undangan yang isinya meredam keinginan

rakyat untuk berpartisipasi

Pertanian yang berkelanjutan bukanlah pilihan tetapi suatu keharusan.

yang perlu dilakukan jika kita ingin terus dapat melakukan pembangunan. Kita

telah menyaksikan pertambahan penduduk dunia yang terus meningkat begitu

besarnya seperti yang terjadi di Indonesia dan menyebabkan penurunan

sumberdaya alam (SDA) serta kerusakan lingkungan yang sangat cepat. Beberapa

ahli sependapat bahwa kerusakan SDA akan sangat tergantung pada kesuksesan

pertanian dalam menjamin sistim pangan dunia. Hal ini dipandang sangat penting

karena kegagalan dalam menyediakan pangan berarti bencana dunia yang akan

terjadi.

Untuk menghindari hal tersebut, pemberdayaan petani miskin haruslah

didasarkan pada prinsip keberlanjutan, konsep ini bernama Sistim Pertanian

Berkelanjutan (SPB). Sistim Pertanian Berkelanjutan (SPB) menjadi isue global

muncul pada tahun delapan puluhan, setelah terbukti pertanian sebagai suatu

Page 13: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

13

sistem produksi ternyata juga sebagai penghasil polusi. Pertanian bukan hanya

penyebab degradasi lahan, tetapi juga penyebab degradasi lingkungan diluar

daerah pertanian (daerah hilir). Meluasnya lahan-lahan marjinal dan pendangkalan

perairan di daerah hilir merupakan bukti nyata bahwa pertanian yang tidak

dikelola secara berkelanjutan telah menurunkan kualitas sumberdaya

pembangunan. Oleh karena itu, tantangan bagi kita semua di masa depan adalah

bagaimana pertanian dapat mamasok kebutuhan hidup manusia secara berlanjut

tanpa banyak menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan (Suwardji

dan Tejowulan, 2003).

Walaupun perhatian dunia terhadap SPB baru muncul tahun delapan

puluhan tetapi sebenarnya proses pematangan konsep tersebut sudah dimulai jauh

sebelumnya. Beberapa konsep pertanian klasik yang menjadi dasar pengembangan

konsep SPB antara lain pertanian biodinamik (biodynamic agriculture) (1924),

humus farming (1930-1960), organic farming (1940-an), dan terakhir muncul

alternative agriculture (1988) dan sustainable agriculture (1987) (Hawood, 1990).

Di Indonesia sendiri, pertanian dengan konsep SPB sebagai teknologi lokal

sebanarnya sudah berkembang sejak zaman nenek moyang dulu antara lain wana

tani damar di Krui dan kebun hutan karet di Sumatera, pertanian kebun di

Lombok dan Sumbawa.

Konsep SPB sendiri diturunkan dari konsep dasar pembangunan

berkelanjutan, buku deklarasi Johanesburg (2002) tentang pembangunan yang

berkelanjutan layak untuk dipedomani yang maknanya adalah bagaimana cara

memenuhi kebutuhan hidup manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan

memenuhi kebutuhan hidup generasi yang akan datang (Deplu, 2002). Artinya,

Page 14: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

14

sebagai subsistem, pertanian berkelanjutan harus mampu memanfaatkan

sumberdaya secara efisien dan berinteraksi secara sinergis dengan subsistem

pembangunan berkelanjutan lainnya (Baron dan Nielson, 1998; Conway dkk.,

1990).

Dalam mengembangkan pertanian lahan kering yang berkelanjutan di

Kabupaten Lombok Timur ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Diantaranya

(1) perlunya upaya untuk mengurangi ketergantungan pada non-renewable energi

dan sumberdaya kimia, (2) perlunya mengurangi kontaminasi bahan pencemar

akibat samping kegiatan pertanian pada udara, air dan lahan, (3) mempertahankan

habitat untuk kehidupan fauna yang memadai, dan (4) dapat mempertahankan

sumberdaya genetik untuk tanaman dan hewan yang diperlukan dalam pertanian.

Selain itu pertanian harus mampu mempertahankan produksinya sepanjang waktu

dalam menghadapi tekanan sosial ekonomi tanpa merusak lingkungan yang

berarti (Sinclair, 1987).

Jika kita ingin mengembangkan sistem pertanian lahan kering seperti yang

diungkapkan di atas secara ringkas SPLKB adalah “ sistim pertanian lahan kering

yang yang mampu memenuhi kebutuhan kini tanpa mengorbankan kesanggupan

generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka (Scope, 1990 diubah).

Menurut UU No 12/1992 dalam pasal 2 istilah berkelanjutan sebagai salah satu

azas pertanian. Sehingga apapun yang dikembangkan untuk sistim pertanian di

Indonesia termasuk pengembangan pertanian lahan kering haruslah merujuk asas

sistim pertanian yang berkelanjutan. Di samping asas tersebut dalam UU No

12/1992 adalah asas manfaat dan lestari.

Page 15: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

15

Dari uraian di atas, batasan berkelanjutan (sustainability) mengandung

pengertian berkelanjutan pendapatan (berwawasan agribisnis) dan kelestarian

sumberdaya alam (berwawasan lingkungan). Mengutip Utomo (2001), secara

sederhana dapat dirumuskan bahwa sistim pertanian lahan kering yang

berkelanjutan (SPLKB) = Produksi pertanian (pendapatan) + Konservasi

sumberdaya. (Swardji, 2007)

B. Konsep Kemiskinan

Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar

ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan,

kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang

memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan

bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam

suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan

ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh

suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan

tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang

berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material.

Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila

tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup

secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang

definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang

miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk

memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang

salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan

Page 16: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

16

makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika

harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.

BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana

seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu

memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan

kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain,

terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air

bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari

perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam

kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk

mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan

beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs

approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan

dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu

ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam

memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan

kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan

pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-

alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara

langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini,

menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk

membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan

sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis

Page 17: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

17

untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan

ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam

pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai

pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian

normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan

subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin

sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).

Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat

dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2)

terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan

membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5)

kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6)

ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu

pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya.

Indikator-indikator tersbut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat

oleh BAPPENAS berikut ini;

v terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);

v terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya

Page 18: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

18

menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin;

v terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;

v terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;

v terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;

v terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;

v lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;

v memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;

v lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;

v lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;

v besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga

Page 19: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

19

miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.

Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan

adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan

rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu

layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya

perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses

layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8)

lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi

lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat

terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya

partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya

tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang

menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya

korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

Ditinjau dari penyebab, kemiskinan dapat dibagi atas:

1. Miskin natural, Kelompok ini miskin memang asalnya sudah miskin karena

berada dalam kelompok yang terbelakang dan kekurangan sumber daya secara

absolute.

2. Miskin kultural, Kelompok ini miskin karena mereka dihinggapi budaya

miskin berupa malas, tidak produktif, mudah menyerah, bersandar kepada

takdir, tidak berusaha dan enggan belajar.

3. Miskin struktural, Kelompok ini menjadi miskin karena memang struktur

sosial ekonomi di masyarakat tidak memungkinkan baginya untuk tidak

miskin.

Page 20: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

20

Di Indonesia, salah satu indikator dalam menentukan batas kemiskinan yang

sering dipergunakan adalah pendapatan perkapita. Dengan data ini dapat diketahui

jumlah penduduk miskin, baik miskin absolut maupun miskin relatif.

1. Miskin absolut, adalah kelompok mereka yang benar-benar miskin dan hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat yang berada dalam tingkatan ini tidak mudah untuk ditangani karena mereka sangat lemah dalam sumber daya baik secara individual maupun kelompok. Dapat diumpamakan, untuk membantu mereka tidak bisa lagi hanya memberikan "pancing" karena yang dibutuhkan adalah "ikan". Oleh karena itu selain diberikan ikan, disertakan juga pancing supaya nantinya ia mampu pula mencari ikan sendiri. Di sini pendekatan pemberdayaan dilakukan bersamaan dengan pendekatan pemberian. Secara praktek berupa memberikan subsidi untuk pangan, kesehatan dan pendidikan yang dibarengi dengan menyiapkan mereka agar mampu bekerja melalui pengadaan peluang kerja. Kemampuan mengisi peluang itu tetap perlu didampingi untuk melindungi mereka agar tetap terjaga kemampuannya mengembangkan diri.

2. Miskin relatif, adalah mereka yang sudah tidak berada di bawah garis kemiskinan namun kondisinya masih rawan untuk untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan akibat perubahan situasi ekonomi yang terjadi.

(Emarnas, Kemiskinan Dan Harapan Pemberdayaan Masyarakat, WASPADA Online 29 Mar 07)

Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan

sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi

kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan

manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila

dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab

dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal;

(2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3)

kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya

perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang

mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara

sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya

produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya

Page 21: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

21

hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam

dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good

governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak

berwawasan lingkungan.

Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah

dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan,

pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota

masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya

produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan

pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Menurut BPS, kantong penyebab kemiskinan desa di Indonesia, umumnya

bersumber dari sektor pertanian yang disebabkan ketimpangan kepemilikan lahan

pertanian. Kepemilikan lahan pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami

penurunan 3,8% dari 18,3 juta ha. Di sisi lain, kesenjangan di sektor pertanian

juga disebabkan ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yang terbatas

juga menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian di pedesaan melempem.

Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8% dari seluruh kredit

perbankan, dan hanya naik 2% di tahun 2000 menjadi 19%.

Data-data mengenai penyebab kemiskinan desa seperti itu, bisa dikatakan

sudah sangat lengkap dan bahkan memudahkan kita merumuskan indikator

kemiskinan desa dan strategi penanggulanganya. Berdasarkan data di atas,

penyebab utama kemiskinan desa adalah; (1) pengaruh faktor pendidikan yang

rendah: (2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian; (3)

ketidakmerataan investasi di sektor pertanian; (4) alokasi anggaran kredit yang

Page 22: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

22

terbatas; (4) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar; (5) kebijakan

pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota); (6) pengelolaan

ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional; (7) rendahnya produktivitas

dan pembentukan modal; (8) budaya menabung yang belum berkembang di

kalangan masyarakat desa; (9) tata pemerintahan yang buruk (bad governance)

yang umumnya masih berkembang di daerah pedesaan; (10) tidak adanya jaminan

sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat

desa; (11) rendahnya jaminan kesehatan.

Masyrakat desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini

terpenuhi seperti; (1) kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan; (2)

memiliki lahan dan modal pertanian yang terbatas; (3) tidak adanya kesempatan

menikmati investasi di sektor pertanian; (4) kurangnya kesempatan memperoleh

kredit usaha; (4) tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar (pangan, papan,

perumahan); (5) berurbanisasi ke kota; (6) menggunakan cara-cara pertanian

tradisional; (7) kurangnya produktivitas usaha; (8) tidak adanya tabungan; (9)

kesehatan yang kurang terjamin; (10) tidak memiliki asuransi dan jaminan sosial;

(11) terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa; (12) tidak

memiliki akses untuk memperoleh air bersih; (13) tidak adanya partisipasi dalam

pengambilan keputusan publik.

C. Konsep Agroforestri

C.1 Pengertian

Agroforestri, sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang

pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan

sistem agroforestri yang telah dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara

Page 23: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

23

sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus

diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan

demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan

biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah

dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis.

Agroforestri merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang

memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan

keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan (Bene, 1977; King

1978; King, 1979).

Agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah

terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta

menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Sistem ini telah

dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad

(Michon dan de Foresta, 1995), misalnya sistem ladang berpindah, kebun

campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan.

Contoh lain yang umum dijumpai di Jawa adalah mosaik-mosaik padat dari

hamparan persawahan dan tegalan produktif yang diselang-selingi oleh

rerumpunan pohon. Sebagian dari rerumpunan pohon tersebut mempunyai

struktur yang mendekati hutan alam dengan beraneka-ragam spesies tanaman.

Dalam Bahasa Indonesia, kata Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani

atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan

pertanian.

Page 24: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

24

C.2 Klasifikasi Teknik Agroforestri

Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai

dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian ini bukan dimaksudkan

untuk menunjukkan kompleksitas agoroforestri dibandingkan budidaya tunggal

(monoculture; baik di sektor kehutanan ataupun di sektor pertanian). Akan tetapi

pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap

bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih

mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau

para pemilik lahan.

C.2.1 Klasifikasi berdasarkan komponen penyusunnya

Pengklasifikasian agroforestri yang paling umum, tetapi juga sekaligus yang

paling mendasar adalah ditinjau dari komponen yang menyusunnya. Komponen

penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau

peternakan. Ditinjau dari komponennya, agroforestri dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1) Agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems)

Agrisilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan

komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen

pertania (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur

panjang (tree crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim

(annucrops). Dalam agrisilvikultur, ditanam pohon serbaguna (lihat lebih detil

pad bagian multipurpose trees) atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada

lahan-lahan pertanian (multipurpose trees/shrubs on farmlands, shelterbelt,

windbreaks, atau soil conservation hedges – lihat Nair, 1989; dan Young, 1989).

Page 25: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

25

Seringkali dijumpai kedua komponen penyusunnya merupakan tanaman

berkayu (misal dalam pola pohon peneduh gamal/Gliricidia sepium pada

perkebunan kakao/Theobroma cacao). Sistem ini dapat juga dikategorikan

sebagai agrisilvikultur (Shade trees for plantation crops – Lihat Nair, 1989).

Pohon gamal (jenis kehutanan) secara sengaja ditanam untuk mendukung

(pelindung dan konservasi tanah) tanaman utama kakao (jenis

perkebunan/pertanian). Pohon peneduh juga dapat memiliki nilai ekonomi

tambahan. Interaksi yang terjadi (dalam hal ini bersifat ketergantungan) dapat

dilihat dari produksi kakao yang menurun tanpa kehadiran pohon gamal.

2) Silvopastura (Silvopastural systems)

Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman

berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture) disebut

sebagai sistem silvopastura. Beberapa contoh silvopastura (lihat Nair, 1989),

antara lain: Pohon atau perdu pada padang penggembalaan (Trees and shrubs on

pastures), atau produksi terpadu antara ternak dan produk kayu (integrated

production of animals and wood products).

Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang

dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan

pinus, atau yang lebih ekstrim lagi adalah sistem ‘cut and carry’ pada pola pagar

hidup/living fences of fodder hedges and shrubs; atau pohon pakan

serbaguna/multipurpose fodder trees pada lahan pertanian yang disebut ‘protein

bank’).

Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya

dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi (jasa dan

Page 26: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

26

produksi) bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen lahan

yang sama.

3) Agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems)

Sistem-sistem agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu

(kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada

unit manajemen lahan yang sama. Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem

agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai

dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan

secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya

komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat (to serve people).

Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh

permudaan alam dan satwa liar (lihat Klasifikasi agroforestri berdasarkan Masa

Perkembangannya). Interaksi komponen agroforetri secara alami ini mudah

diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan

bagi penyediaan pakan satwa liar (a.l. buah-buahan untuk berbagai jenis burung),

dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi tegakan,

serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan.

Terdapat beberapa contoh Agrosilvopastura di Indonesia, baik yang berada

di Jawa maupun di luar Jawa. Contoh praktek agrosilvopastura yang luas

diketahui adalah berbagai bentuk kebun pekarangan (home-gardens), kebun hutan

(forest-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-gardens), seperti sistem Parak

di Maninjau (Sumatera Barat) atau Lembo dan Tembawang di Kalimantan, dan

berbagai bentuk kebun pekarangan serta sistem Talun di Jawa a;b ; Sardjono,

1990; De Forestra, et al., 2000). (lihat a.l. Soemarwoto, et al., 1985)

Page 27: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

27

C.2.2 Klasifikasi berdasarkan istilah teknis yang digunakan

Meskipun kita telah mengenal agroforestri sebagai sistem penggunaan lahan,

tetapi seringkali digunakan istilah teknis yang berbeda atau lebih spesifik, seperti

sistem, sub-sistem, praktek, dan teknologi (Nair, 1993).

1) Sistem agroforestri

Sistem agroforestri dapat didasarkan pada komposisi biologis serta

pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial-ekonominya.

Penggunaan istilah sistem sebenarnya bersifat umum. Ditinjau dari komposisi

biologis, contoh sistem agroforestri adalah agrisilvikultur, silvopastura,

agrosilvopastura.

2) Sub-sistem agroforestri

Sub-sistem agroforestri menunjukkan hirarki yang lebih rendah daripada

sistem agroforestri, meskipun tetap merupakan bagian dari sistem itu sendiri.

Meskipun demikian, sub-sistem agroforestri memiliki ciri-ciri yang lebih rinci dan

lingkup yang lebih mendalam. Sebagai contoh sistem agrisilvikultur masih terdiri

dari beberapa sub-sistem agroforestri yang berbeda seperti tanaman lorong (alley

cropping), tumpangsari (taungya system) dan lain-lain. Penggunaan istilah-istilah

dalam sub-sistem agroforestri yang dimaksud, tergantung bukan saja dari tipe

maupun pengaturan komponen, akan tetapi juga produknya, misalnya kayu bakar,

bahan pangan dll.

3) Praktek agroforestri

Berbeda dengan sistem dan sub-sistem, maka penggunaan istilah ‘praktek’

dalam agroforestri lebih menjurus kepada operasional pengelolaan lahan yang

Page 28: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

28

khas dari agroforestri yang murni didasarkan pada kepentingan/kebutuhan

ataupun juga pengalaman dari petani lokal atau unit manajemen yang lain, yang di

dalamnya terdapat komponen-komponen agroforestri. Praktek agroforestri yang

berkembang pada kawasan yang lebih luas dapat dikategorikan sebagai sistem

agroforestri. Perlu diingat, praktek agroforestri dapat berlangsung dalam suasana

sistem yang bukan agroforestri, misalnya penanaman pohon-pohon turi di

persawahan di Jawa adalah praktek agroforestri pada sistem produksi pertanian.

4) Teknologi agroforestri

Penggunaan istilah ‘teknologi agroforestri’ adalah inovasi atau

penyempurnaan melalui intervensi ilmiah terhadap sistem-sistem atau praktek-

praktek agroforestri yang sudah ada untuk memperoleh keuntungan yang lebih

besar. Oleh karena itu, praktek agroforestri seringkali juga dikatakan sebagai

teknologi agroforestri. Sebagai contoh, pengenalan mikoriza atau teknologi

penanganan gulma dalam upaya mengkonservasikan lahan alang-alang (Imperata

grassland) ke arah sistem agroforestri (agrisilvikultur; sub-sistem tumpangsari)

yang produktif (Murniati, 2002). Uji coba pola manajemen pola tanam dan tahun

tanam baru dalam sistem tumpangsari pada kebun jati di beberapa tempat di Jawa

Timur dan Jawa Tengah melalui Manajemen Rejim (MR; dikembangkan oleh

Prof. Hasanu Simon dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) dapat pula

dipertimbangkan sebagai bagian dari teknologi baru agroforestri).

Tabel 2.1 : Beberapa Bentuk Agroforestri yang Berkembang di Nusa Tenggara Sistem Sub-Sistem Contoh Praktek Contoh

Teknologi Agrisilvikultur Sistem tebas bakar

(Slash and burn agriculture)

Oma (Nusa Tenggara. Pertanian lahan kering berpindah dikonversi

-

Page 29: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

29

dari hutan, saat ini ada beberapa pohon)

Sistem pertanaman semusim (mixed annual-tree cropping)

Rau (Lombok) (pertanian lahan kering menetap dengan pohon penutup yang tersebar)

-

Budidaya lorong (Alley cropping system)

Kamutu luri (Sumba: budidaya lorong tradisional)

-

- Tanaman lorong dengan MPT’s legum (seluruh Nusa Tenggara); Sikka (budidaya lorong yang dimodifikasi)

Hutan keluarga/ kebun campuran (mixed tree – gardening)

Omong wike (Sumba; hutan keluarga tradisional)

Timor (diperkenalkan di Seluruh Nusa Tenggara)

Pager hidup (life fences)

Okaluri (Sumba; pohon serbaguna/ berkayu di sekeliling areal ladang berpindah)

-

Silvopastura Hutan Penggembalaan (Protein Bank; Trees and Shurbs on pastures

Padang Penggembalaan (Timor; rumput ternak dan tanaman legum); Pada mbanda (Sumba; sama dengan padang, ada kali kering atau mata air)

-

Agrosilvopastural Pemberaan yang diperbaiki (Improved follow systems)

Amarasi (bera dengan lamtoro, tanaman pangan, dan ternak); pemberaan dengan turi (turi, tanaman semusim pakan ternak

-

Kebun Pekarangan (Home-gardens)

Kebon (Lombok; kebun pekarangan

-

Page 30: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

30

dengan pohon, tanaman semusim, ternak, dan pakan ternak); Nggaro (Sumbawa) Ongen, Uma, Napu, (Flores)

Kebun Hutan (Forest-gardens)

Ngerau (Lombok; pertanian semusim menetap di pinggir hutan, dengan pohon buah-buahan, bambu. Karena lokasinya, ada peran satwa liar); Mamar (Timor; kebon hutan dekat sumber air, produk utama pakan ternak)

-

Hutan Penggembalaan

- Wanatani Penggembalaan (Nusa Tenggara; tanaman kehutanan, pertanian, peternakan, perikanan)

Dikutip dari Sardjono, Djogo, Arifin, dan Wijayanto (2007:11-12)

Page 31: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

31

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan participatory action

research (PAR). Action research adalah proses spiral yang meliputi (1)

perencanaan tindakan yang melibatkan investigasi yang cermat; (2) pelaksanaan

tindakan; dan (3) penemuan fakta-fakta tentang hasil dari tindakan, dan (3)

penemuan makna baru dari pengalaman sosial (Kurt Lewin, 1947).

Lebih lanjut dikemukan oleh Corey (1953), bahwa: action research adalah

proses dimana kelompok sosial berusaha melakukan studi masalah mereka secara

ilmiyah dalam rangka mengarahkan, memperbaiki, dan mengevaluasi keputusan

dan tindakan mereka. Hopkins (1985), mengemukakan, yaitu action research

merupakan upaya untuk mengkontribusikan baik pada masalah praktis pemecahan

masalah maupun pada tujuan ilmu sosial itu sendiri dengan mengkolaborasikan

didalamnya yang dapat diterima oleh kerangka kerja etik, sedangkan Peter Park

(1993) menjelaskan bahwa action research, merupakan cara penguatan rakyat

melalui penyadaran diri untuk melakukan tindakan yang efektif menuju perbaikan

kondisi kehidupan mereka.

Alur aktivitas program action research adalah cyclical, berupa siklus

kegiatan yang berulang dan berkesinambungan. Dalam konteks program action

reserach ini, siklus kegiatannya terdiri dari kegiatan (mapping), penyusunan

rencana tindak (action planning), pelaksanaan rencana tindak (implementation),

monitoring dan evaluasi. Hasil monitoring dan evaluasi tersebut untuk selanjutnya

Page 32: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

32

dipetakan kembali dan kemudian dilakukan penyusunan ulang rencana tindak

(replan), implementasi, monitoring dan evaluasi, dan terus kembali berulang.

Setiap selesai satu tahapan kegiatan, sesuai dengan prinsip dasar riset aksi,

dilakukan kegiatan refleksi untuk mengetahui tingkat keberhasilan masing-masing

tahapan.

Oleh karena itu, program tindak lanjut dari riset ini pada dasarnya

merupakan aktivitas pengulangan dari kegiatan refleksi-pemetaan ulang-

penyusunan rencana tindak-pelaksanaan rencana tindak, dan monitoring dan

evaluasi. Namun demikian, ada beberapa penekanan yang akan dilakukan, yakni:

(1) Peningkatan kemandirian dan kinerja masyarakat petani; (2) Penguatan misi

transformasi sosial masyarakat petani, dan (3) Penguatan jejaring kerja

(networking) dan aliansi strategis antar masyarakat petani.

B. Desain PAR

Program Pemberdayaan petani miskin ini hakikatnya adalah sebuah "riset

aksi". Oleh karena itu, pelaksanaannya secara umum mengelaborasi konsep

Participatory Action Research (PAR) dengan berbagai modifikasi.

Sesuai dengan prinsip emancipatory research dan collaborative resources

yang menjadi bagian penting dari ciri sebuah riset aksi, maka dalam pelaksanaan

program pemberdayaan petani miskin ini, masyarakat petani adalah aktor

utamanya (main actor). Peneliti tidak lebih dari sekedar "pendamping" yang

semaksimal mungkin berusaha untuk meningkatkan kemampuan dan partisipasi

stakeholders masyarakat petani memetakan dan merumuskan masalah, membuat

rencana tindak, melaksanakan program kegiatan, memantau dan mengevaluasi

setiap proses implementasi program.

Page 33: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

33

Pada setiap tahapan dan proses tersebut, peneliti juga berusaha

membangun suasana dan menciptakan iklim yang kondusif, memberi berbagai

masukan (input), meningkatkan kapasitas (capacity), membuka akses ke berbagai

jejaring kerja (networking), peluang, dan kesempatan (opportunities) yang ada di

luar komunitas masyarakat petani.

C. Lokasi Program Pemberdayaan

Lokasi penelitian ini adalah di Kecamatan Wanasaba Kabupaten Lombok

Timur. Penetapan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa di

Kecamatan Wanasaba terdapat banyak sekali lahan kering yang dikelola secara

tidak maksimal oleh petani karena faktor modal (biaya) dan sumberdaya yang

terbatas.

D. Tahapan-Tahapan Pelaksanaan PAR

Dalam pelaksanaan participatory action research (PAR), ada beberapa

tahapan yang dilalui, yaitu:

TINDAKAN

REFLEKSI

TINDAKAN

REFLEKSI

TINDAKAN REFLEKSI

OBSERVASI/ EVALUASI

OBSERVASI/ EVALUASI

RENCANA AKSI STRATEGIS

..SETERUSNYA

OBSERVASI/ EVALUASI

RENCANA AKSI STRATEGIS

RENCANA AKSI STRATEGIS

Page 34: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

34

1. Tahap persiapan sosial/awal

Pada tahap persiapan sosial/awal ini, peneliti terlibat secara langsung

dalam kehidupan kelompok sosial masyarakat

2. Identifikasi Data, Fakta Sosial

Mengamati dan mengidentifikasi realitas sosial, biasanya muncul sebagai

keluhan-keluhan masyarakat (Freire: Kodifikasi)

3. Analisa Sosial

Mendiskusikan/mengurai realitas sosial, (Freire: Dekodifikasi) untuk

menemukan isu sentral atau kata kunci (fokus masalah).

Mempertanyakan terus menerus, mengapa masalah itu terjadi, bagaimana

hubungan- hubungan antar kelompok sosial yang ada.

Menilai posisi masyarakat dalam peta hubungan-hubungan antar

kelompok masyarakat tersebut

4. Perumusan Masalah Sosial

5. Mengorganisir gagasan-gagasan yang muncul guna mencari peluang-

peluang yang mungkin bisa dilakukan bersama guna memecahkan masalah

dengan memperhatikan pengalaman-pengalaman masyarakat dimasa lalu

(keberhasilan dan kegagalannya)

6. Merumuskan rencana tindakan strategis yang akan dilakukan untuk

memecahkan masalah tersebut (menentukan apa, kapan, dimana dan siapa

serta bagaimana)

7. Pengorganisasian sumber daya, dengan mengidentifikasi siapa yang harus

diajak bekerjasama dan siapa yang akan menghambat.

8. Aksi Untuk Perubahan

Page 35: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

35

9. Observasi Evaluasi

Untuk menilai keberhasilan dan kegagalan/learning experience.

10. Refleksi

Alur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1: Penjabaran aktifitas Participatory Action Research (PAR)

Program Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal di Kec. Wanasaba

Preliminary Research Teamwork Building

PREPARATI

Parmer self-survey; Need-Risk Assesment; The effective demand; The resources-base; Pesantren Slf-Analysis; Survey Instansional; Reconfirmation Data

MAPPING

Strategic Planning self-planning Logical Frame-work Analysis Prioritization

ACTION

Managing Program; Develop Guidelines and Tcehnique for Implementation

IMPLEMENTATI

Develop Guidelines and Tcehnique for Implementation

MON &

Strategic Planning self-planning Logical Frame-work Analysis Prioritization

Re-PLAN

,,,,

Cencept, Strategy,

Teamwork

DATABASE

Development Plan (RIPP)

Output, Impact

Feed back

RIPP Revision

refleksi

refleksi

refleksi

refleksi

refleksi

refleksi

refleksi

Page 36: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

36

BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Lombok Timur

A.1 Posisi dan Luas Wilayah

Posisi wilayah Kabupaten Lombok Timur terletak antara 1160 – 1170 Bujur

Timur, dan 80 – 90 Lintang Selatan.

Wilayah Kabupaten Lombok Timur berbatasan dengan :

• Sebelah Barat : Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah

• Sebelah Timur : Selat Alas

• Sebelah Utara : Laut Jawa dan

• Sebelah Selatan : Samudera Indonesia

Luas wilayah Kabupaten Lombok Timur adalah 2.679,88 km2 terdiri atas

daratan seluas 1.605.55 km2 (59,91%) dan pantai/lautan 4 mil dari bibir pantai

seluas 1.074,33 km2 (40,09%).

Penggunaan lahan (daratan seluas 160.555 hektar berupa lahan sawah

sejumlah 45.394 hektar atau sekitar 28,27% dan lahan kering seluas 115.161

hektar atau 71,73%. (luas penggunaan lahan di kabupaten Lombok Timur

dirincikan pada tabel 4.1)

A.2 Iklim dan Curah Hujan

Kabupaten Lombok Timur beriklim tropis dengan temperatur maksimum

berkisar 31 – 330C dan temperatur minimum berkisar 20 – 250C. Fluktuasi musim

serta curah hujan dalam beberapa tahun terakhir cukup terasa seperti pada tahun

2006 dimana hingga akhir Nopember 2006 juga belum turun hujan. Jumlah hari

Page 37: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

37

hujan selama tahun 2006 adalah sebanyak 122 hari, dengan rata-rata curah hujan

selama tujuh tahun terakhir. (BPS, 2006)

Tabel 4.1 : Luas Lahan Menurut Penggunaan di Kabupaten Lombok Timur Tahun 2006 (Ha)

Jenis Lahan/Land Type 2002 2003 2004 2005 2006 1 2 3 4 5 6

A. Tanah Sawah/Wetland 1. Sawah Irigasi Teknis 2. Sawah Irigasi Setengah Teknis 3. Sawah Irigasi Sederhana P.U 4. Sawah Irigasi Sederhana Non P.U 5. Sawah Tadah Hujan

45.336 7.837 30.436 2.071 3.763 1.229

44.861 5.542 30.852 2.274 4.947 1.246

45.502 5.542 30.457 2.688 6.271 544

45.583 5.460 30.480 2.676 6.338 629

45.394 4.989 30.786 2.672 6.318 629

B. Tanah Kering 1. Pekarangan 2. Tegal/Kebun 3. Ladang/Huma 4. Padang Rumput/Penggembalaan 5. Sementara Tidak Diusahakan 6. Ditanami Pohon/Hutan Rakyat 7. Hutan Negara 8. Perkebunan 9. Tambak 10. Kolam/Tebat/Empang 11. Lain-lain

115.219 7.935 24.994 6.206 106 - 2.941 55.323 851 858 113 13.892

115.694 7.672 25.041 4.741 1.334 400 4.121 54.342 4.055 982 230 12.776

115.053 7.684 24.520 4.870 1.391 400 4.121 54.342 3.776 1.006 226 12.717

114.972 7.607 23.090 6.147 651 - 3.476 55.928 3.168 2.143 1.168 11.594

115.161 7.424 22.911 6.147 651 20 3.476 55.928 3.165 2.143 1.192 11.704

Jumlah Total 160.555 160.555 160.555 160.555 160.555

Sumber: BPS Kab. Lombok Timur Tahun 2006.

B. Gambaran Lokasi Dampingan

Kecamatan Wanasaba berbatasan dengan :

• Sebelah Barat : Kecamatan Suela dan Pringgabaya

• Sebelah Timur : Kecamatan Aikmel

• Sebelah Utara : Kecamatan Sembalun

• Sebelah Selatan : Kecamatan Labuhan Haji

Luas wilayah kecamatan Wanasaba 55.89Km2. Dengan jumlah penduduk 54.827

jiwa. Tersebar di empat desa yaitu : 1) desa Mamben Daya (8.488 jiwa), 2) desa

Mamben Lauk (16.558 jiwa), 3) desa Wanasaba (13.572 jiwa), dan 4) desa

Karang Baru (16.209 jiwa) (BPS Lombok Timur, 2006). Jumlah ini meningkat

setelah masuknya desa Bebidas dan desa Tembeng putek ke wilayah kec.

Wanasaba. Di mana jumlah penduduk setelah masuknya dua desa ini menjadi

Page 38: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

38

65.980 jiwa per Desember 2007. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.2 : Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Mata Pencaharian di Sektor Pertanian Kec. Wanasaba Tahun 2007.

Penduduk Petani (Orang) Desa Laki-laki Perempuan Jumlah Pemilik Penggarap Buruh

Tani Jumlah

Karang Baru 5.539 5.364 10.963 1.104 998 368 2.470 Bebidas 4.067 4.429 8.496 1.265 1.179 598 3.042 Mamben Daya 4.881 5.219 10.100 396 542 2.130 3.068 Mamben Lauk 4.911 5.380 10.291 706 534 994 2.234 Tembeng Putek

4.655 5.298 9.953 397 301 603 1.301

Wanasaba 7.757 8.480 16.237 3.329 758 2.925 7.012 Jumlah 31.810 34.170 65.980 7.197 4.312 7.612 19.127

Sumber: KCD Pertanian dan Perkebunan Kec. Wanasaba (2007)

Dari tabel di atas, diketahui bahwa dari 65.980 jiwa penduduk Wanasaba

sebagian besarnya adalah petani (28,99%), sama halnya dengan daerah-daerah

lainnya di Kabupaten Lombok Timur.

Sementara itu, luas penggunaan lahan di Kecamatan Wanasaba dari luas

wilayah kecamatan ini (55.89 Km2) sebagian besarnya adalah lahan kering (3.280

ha). Data lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.3 : Luas Penggunaan Tanah di Kecamatan Wanasaba Kab. Lombok Timur Tahun 2007

Luas Lahan Sawah (Ha) No Desa

Teknis ½ Teknis Sederhana PU Irigasi Desa

Jumlah

1 Karang Baru - 291 - 158 449 2 Bebidas - 280 - 132 412 3 Mamben Daya 75 131 - - 206 4 Mamben Lauk 296 - - - 296 5 Tembeng Putek 210 - - - 210 6 Wanasaba 241 385 - 110 736

Jumlah 822 1.087 - 400 2.309 Sumber: KCD Pertanian dan Perkebunan Kec. Wanasaba (2007)

Page 39: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

39

Lanjutan:

Luas Lahan Kering (Ha) No Desa

Pekarangan Tegal/Kebun Ladang/Huma Hutan Negara

Lain-lain Jumlah

1 Karang Baru 76 537 226 531 6 1376 2 Bebidas 76 412 391 615 4 1498 3 Mamben Daya 49 - - - 1 50 4 Mamben Lauk 21 10 - - 7 38 5 Tembeng Putek 19 8 - - 3 30 6 Wanasaba 66 121 71 - 30 288

Jumlah 307 1.088 688 1146 51 3.280 Sumber: KCD Pertanian dan Perkebunan Kec. Wanasaba (2007)

C. Kondisi Awal Masyarakat

Kecamatan Wanasaba terdiri dari 6 (Enam) desa. Rata-rata mata pencaharian

penduduk di Kecamatan Wanasaba sebagai petani dan sebagian lainnya tersebar

menjadi PNS, Buruh Tani, TNI, POLRI dan lain-lainnya. Masyarakat Kecamatan

Wanasaba yang bermata pencaharian sebagai petani berusaha meningkatkan

penghasilan mereka melalui pembentukan kelompok tani. Kelompok tani yang

sudah terbentuk ini memiliki anggota yang berkisar dari 20 sampai dengan 470

orang. Namun keberadaan kelompok tersebut seringkali hanya dibentuk untuk

memenuhi persyaratan mendapatkan proyek atau bantuan pemerintah.

Tabel 4.4 : Kelompok Tani Kecamatan Wanasaba dan bantuan yang pernah diterima (tahun 2005)

Luas lahan (Ha) Bantuan yang sdh diterima No

Nama Kelompok

Tanai

Ketua Kelompok

Alamat Jml.

Anggota Sawah

Kering Nama proyek

Jml. Yang diterima

Desa WANASBA 1. Lembak I A. Rosita Brt Orong 205 55 - PPA Jag 48.500.000,- 2. Lembak II Mulayatun S Beaq Lauq 185 55 - PPA Jag 48.500.000,- 3. Lembak III Ir. Supardi Brt Orong 165 50 - - - 4. Lembak IV H. Arifin Orong Bulu 155 58 - - - 5. Papak I Muhtar Adam Beaq Lauq 205 50 - - - 6. Papak II A. Hartini Beaq Lauq 215 52 - - - 7. Papak III Bahrul Munir Beaq Lauq 275 38 - - - 8. Papak IV H. Khaerul Beaq Lauq 200 45 - PKPP 75.000.000,- 9. Songgen I K a r d i Tn. Mira 295 23 75 - - 10. Songgen II Saparudin Tn. Mira 470 23 100 - - 11. Songgen III Mq. Mauhin Bale Ble’ 375 25 100 - -

Page 40: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

40

12. Tb. Pandan I A. Awaludin Bjr. Getas 280 67 - - - 13. Tb. Pandan II A. Deri Bjr. Getas 305 79 - - - 14. Tb. Pandan III A. Sulaeman Bjr. Getas 220 50 - - - 15. Mt. Teki I A. Muslihin Orong Bulu 230 30 75 - - 16. Mt. Teki II Mq. Amrin Orong Bulu 245 30 75 - -

JUMLAH 3.925 730 425 172.000.000,- Desa MAMBEN DAYA 1. Renga I A. Masrah Renga 52 25.35 15 PPA 48.500.000,- 2. Renga II A. Hazmi Bg. Longgek 80 34 - PPA 48.500.000,- 3. Papak I Syukri Gb. Baret I 60 27.85 12 - - 4. Papak II A. Niraini Gb. Timuk II 61 34.15 - - - 5. Renga III A. Supiati Bg. Longgek 57 27.35 - - - 6. Teruk Girang H. Badaruddin Gb. Baret II 20 18.16 - - - 7. Gelumpang H. Taufik R. Gelumpang 20 18 20 - - 8. Kukusan Parhan Ds. Bembek 20 11 - - -

JUMLAH 380 195.86 47 - 97.000.000,- Desa TEMBENG PUTEK DAN MAMBEN LAUQ 1. Kali Tanggek A. Ruhyan Tembeng Putek 29 17.95 - PPA Jag 48.500.000,- 2. Pioner Jaya A. Ridwan Tembeng Putek 28 20.50 - PPA Jag 48.500.000,- 3. Harapan Baru A. Hasbi Tembeng Putek 25 13.30 - PPA Jag 48.500.000,- 4. Timba Asem H. Asy’ari Tembeng Putek 29 12.08 - PPA Jag 48.500.000,- 5. Taruna Bumi Ruhman Tembeng Putek 27 20.15 - PPA Jag 48.500.000,- 6. Tunas Mekar Murzani Tembeng Putek 29 18.49 - PPA Jag 48.500.000,- 7. Juwet Kesipudin Tembeng Putek 32 13.09 - PPA Jag 48.500.000,- 8. Gelora Prima H. Badarudin Tembeng Putek 67 30.27 - - - 9. Tembeng Putik Mukram Tembeng Putek 74 31.75 - PKPP/

PPA SP 75.000.000,-

300.000.000,- 10. Papak III Bp. Patahan Mamben Lauq 69 30 - - - 11. Papak IV H. Muslihin Mamben Lauq 51 28 - - - 12. Papak V H. Roni Mamben Lauq 69 36 - - - 13. Ladon H. Sanusi Ladon 67 28 34 - - 14. Lengkok H. Yusran Mamben Lauq 99 32 18 - - 15. Ld. Belo H. Muslihun Ld. Belo 70 35 - - - 16. Orong Rantik A. Muslihun Or. Rantik 88 38 10 - -

JUMLAH 853 404.58 62 - 714.500.000,- Desa KARANG BARU 1. Paok Dangka I Mq. Rudi Br. Jarak 178 48 80 - - 2. Paok Dangka II Husen M.BA Bt Rente 176 45 - - - 3. Paok Dangka

III Asminahudin Tampatan 462 30 40 - -

4. Paok Dangka IV

Muhsan P. Dangka 184 45 3 PKPP 75.000.000,-

5. Balung A. Eka Ot. Kebon 256 111 60 - - 6. Ld. Tapen Mq. Saprudin Bt. Jarak 269 62 82 PAT 28.000.000,- 7. Aik Lisung H. Hasan U Aik Lisung 154 28 5 Alsintan 6.000.000,- 8. Bengkung M Zaenudin Tampatan 169 20 26 - -

JUMLAH 1.539 389 296 - 104.000.000,-

. Sumber: KCD Pertanian dan Peternakan kec. Wanasaba (2005)

Pola ketergantungan petani terhadap pemerintah dan pihak pemodal sangat

terasa sekali dalam proses pembentukan kelompok atau kerja konkrit kelompok

Page 41: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

41

tani di kec. Wanasaba. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan pihak petani

dan KCD Pertanian kec. Wanasaba berikut:

”Program pemberdayaan atau apapun namanya yang tujuannya untuk meningkatkan taraf hidup petani melalui pengorganisiran massa di Wanasaba ini, sepertinya memiliki kendala tersendiri yaitu petani kita sudah terbiasa dengan pemberian uang dan bantuan. Dan seringkali kebiasaan ini menjadikan banyak program pemerintah ataupun pihak luar (pemerhati dari luar maupun dalam daerah) gagal di tengah jalan.Bahkan kalau kita mau mengumpulkan petani, ada saja yang nyeletuk dengan tanpa sungkan atau malu-malu bertanya, ”Ini ada amplopnya gak?” (Wawancara dengan KCD Pertanian dan Perkebunan Kec. Wanasaba).

Di lain pihak, masyarakat sendiri mengklaim bahwa kebanyakan bantuan

dari pemerintah dan pihak pemodal yang penyalurannya melalui aparatur desa

setempat jarang yang langsung sampai kepada masyarakat.

”Kalau ada bantuan dari pemerintah atau pihak mana pun sebaiknya jangan melalui pihak aparatur desa, sebaiknya kita petani ini langsung diberikan tanpa perantara. Buktinya, waktu jaman pemerintahannya pak Sadir (Bupati yang lama sebelum bupati Pak H. Syahdan) kita langsung diberikan bantuan bibit pohon kelapa, dan sampai sekarang pohon kelapa itu masih berdiri tegak disana (sambil menunjuk pohon kelapa yang ditanam sebagai pembatas sawah (pagar)”.

Kondisi ini membuktikan bahwa: 1) pembentukan kelompok petani di

kecamatan Wanasaba sifatnya masih karena ketergantungan/keterpaksaan

bukannya dibentuk karena kesadaran kolektif mereka, 2) Masih terdapat jurang

pemisah antara pemerintah kecamatan, desa, dan dusun serta masyarakat petani

miskin dalam menangani masalah-masalah pertanian di kecamatan Wanasaba,

dalam artian bahwa belum terjalinnya hubungan yang baik dan

pemahaman/persepsi yang sama terhadap petani dan masalah-masalah kemiskinan

yang dihadapinya.

Page 42: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

42

D. Strategi dan Mekanisme Pemberdayaan

Proses pelaksanaan program kegiatan upaya peningkatan partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan marjinal melalui kaji

tindak pertanian lahan kering berbasis Agrosilvopastural teknik SPB

(Agroforestri) di Kecamatan Wanasaba dilakukan langkah-langkah pelaksanaan

program dengan pendekatan PAR yang dimulai dari: perencanaan program,

implikasi program, implementasi program, evaluasi dan refleksi, sehingga

metodologi PAR diimplementasikan dengan teknis, yaitu: Strategi yang ditempuh

dalam kegiatan pemberdayaan ini menggunakan pendekatan Participatory Action

Research (PAR) yang dirancang secara sistematik, berikut sajian matrik kegiatan

pemberdayaan yang akan dilaksanakan:

Tabel 4.5: Matriks Kegiatan Pemberdayaan pada Siklus Pertama No Tahap-tahap

Kegiatan Strategi Mekanisme

Pelaksanaan Peran Masing-masing

1. Penyusunan/ Perencanaan dengan pihak desa-desa dampingan

Mengadakan mapping isu lokal melalui curah pendapat dengan masyarakat grass root.

• Membuat kesepakatan dengan masyarakat untuk melakukan tindakan berdasarkan isu-isu lokal yang disampaikan masyarakat

• Mengadakan

koordinasi dengan aparat kecamatan dan desa

• LEPPRO NTB: - Mendengarkan dan

mencatat keluhan- keluhan masyarakat berkaitan dengan isu-isu lokal yang disampaikan

- Melakukan kajian

berdasarkan informasi dari masyarakat dan aparat kecamatan/desa

2. Implikasi/ Peninjauan Desa-desa Dampingan

Bersama-sama masyarakat melakukan langkah-langkah strategis untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapi

• Mendampingi masyarakat dalam mengoperasionalkan langkah-langkah yang telah disepakati

• Mengidentifikasi

temuan: Kelemahan

• LEPPRO NTB : - Menfasilitasi akses

masyarakat kepada pihak-pihak terkait seperti dinas Pertanian dan peternakan, dinas Kehutanan dan Perkebunan tingkat kabupaten dan kecamatan.

- Mengidentifikasi

kondisi awal

Page 43: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

43

dan kelebihan program dampingan

mengenai masalah yang dihadapi masyarakat.

- Menyiapkan administrasi program, keperluan logistik, dan memaparkan hasil identifikasi awal berdasarkan hasil observasi/survey.

• Tokoh-tokoh lokal Merancang tindakan strategis sebagai solusi dengan membentuk kelompok-kelompok di tiap-tiap dusun

3. Pelaksanaan program pendampingan

Bersama-sama masyarakat melakukan Program dampingan yang sudah disepakati

• Mendorong masyarakat petani untuk memaparkan masalah yang dihadapi dan ditemukan secara berkelompok di setiap desa

• Menemukan solusi

untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.

• Bersama-sama untuk mulai melaksanakan program/solusi yang ditemukan.

• LEPPRO NTB: Menyiapkan administrasi program, keperluan logistik, dan memaparkan rancangan pengembangan program. • Tokoh-tokoh lokal: - Menyampaikan hasil temuan dan melakukan tindakan sebagai solusi dengan membentuk kelompok-kelompok di setiap desa dan dusun

- Kalau kelompok tani sudah terbentuk di setiap desa dan dusun, perlu dilakukan penguatan organisasi melalui diskusi kelompok dan sosialisasi program dampingan.

4. Evaluasi Bersama-sama masyarakat desa/dusun untuk melakukan diskusi hasil yang telah dicapai

• Pemaparan hasil dari program yang sudah dilaksanakan

• LEPPRO NTB: - Menyiapkan administrasi program, keperluan logistik, dan memaparkan hasil dan hal-hal yang sudah dicapai dari program yang telah dilaksanakan.

- Bersama-sama masyarakat mengevaluasi hasil

Page 44: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

44

program yang telah dilaksanakan.

5. Refleksi Diskusi • Mendiskusikan kembali program-program yang telah dicapai oleh masyarakat di setiap desa/dusunnya

• LEPPRO NTB: Mengidentifikasi hasil evaluasi sebagai bahan masukan untuk siklus pendampingan berikutnya. • Tokoh-tokoh lokal: Membuat usulan langkah selanjutnya yang didiskusikan bersama LEPPRO NTB.

Tabel 4.6: Matriks Kegiatan Pemberdayaan pada Siklus Kedua No Tahap-tahap

Kegiatan Strategi Mekanisme

Pelaksanaan Peran Masing-masing

1. Penyusunan/ Perencanaan dengan pihak desa-desa dampingan

Mengadakan curah pendapat untuk pendalaman-refleksi hasil dampingan pada siklus pertama

• Membuat kesepakatan dengan masyarakat untuk melakukan tindakan berdasarkan hasil dampingan pada siklus pertama

• LEPPRO NTB: - Mengoperasionalkan

hasil refleksi tersebut ke dalam langkah-langkah yang konkrit.

2. Implikasi Bersama-sama

masyarakat menyepakati pelaksanaan program penghijauan yang dilakukan oleh organisasi pemuda yang tersebar di kabupaten Lombok Timur dan masyarakat desa setempat. Hal ini adalah tahapan pertama dari pelaksanaan program Agroforestri.

• Penyamaan persepsi tentang pelaksanaan program penghijauan menuju kepada pengelolaan lahan kering berbasis Agrosilvopastural dengan teknik SPB (Agroforestri)

• Mengidentifikasi

temuan: Kelemahan dan kelebihan program dampingan

• LEPPRO NTB : - Menfasilitasi akses

masyarakat kepada pihak-pihak terkait seperti dinas Pertanian dan peternakan, dinas Kehutanan dan Perkebunan tingkat kabupaten dan kecamatan.

- Mengidentifikasi

permasalahan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan program penghijauan menuju kepada pengelolaan lahan kering berbasis Agrosilvopastural dengan teknik SPB (Agroforestri) yang telah disepakati.

• Tokoh-tokoh lokal Memberikan dukungan terhadap program penghijauan di lahan

Page 45: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

45

kering atau program pertanian lahan kering berbasis Agrosilvopastural.

3. Pelaksanaan program pendampingan

- Melakukan pelatihan dan penyuluhan dalam rangka memperkuat organisasi (kelompok tani) mengenai program Agrosilvopastural.

- Menggalang partisipasi seluruh organisasi pemuda di kabupaten Lombok Timur dalam upaya membantu masyarakat dalam program penghijauan

• Bersama-sama masyarakat menyiapkan fasilitas pelatihan dan penyuluhan bagi organisasi (kelompok tani)

• Berdiskusi dengan

masyarakat mengenai syarat-syarat keberlangsungan program (sustainability) yang dibentuk.

• Menyiapkan program

aksi sejenis kemah bhakti pemuda se-Lombok Timur, dengan lokasi di setiap desa/dusun lokasi dampingan

• LEPPRO NTB: Menyiapkan fasilitas pelatihan (training) dan penyuluhan pengelolaan lahan kering berbasis Agrosilvopastural dengan teknik SPB (Agroforestri) Berkoordinasi dengan dinas Pertanian dan Peternakan, dinas Kehutanan dan Perkebunan untuk mengupayakan bibit pohon dan hewan ternak. Memberikan pencerahan kepada seluruh organisasi pemuda di kabupaten Lombok Timur agar bersedia berpartisipasi dalam program. • Tokoh-tokoh lokal: Melakukan sharing dengan dinas terkait berdasarkan pengalaman dan masalah-masalah yang telah dihadapi.

4. Evaluasi Bersama-sama masyarakat desa/dusun untuk melakukan diskusi hasil yang telah dicapai

• Pemaparan hasil dari program yang sudah dilaksanakan

• LEPPRO NTB: - Menyiapkan administrasi program, keperluan logistik, dan memaparkan hasil dan hal-hal yang sudah dicapai dari program yang telah dilaksanakan.

- Bersama-sama masyarakat mengevaluasi hasil program yang telah dilaksanakan.

5. Refleksi Diskusi • Mendiskusikan kembali program-program yang telah dicapai oleh

• LEPPRO NTB: Mengidentifikasi hasil evaluasi sebagai bahan masukan untuk siklus

Page 46: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

46

masyarakat di setiap desa/dusunnya

pendampingan berikutnya. • Tokoh-tokoh lokal: Membuat usulan langkah selanjutnya yang didiskusikan bersama LEPPRO NTB.

E. Monitoring dan Evaluasi (MONEV) Kegiatan Pemberdayaan

Pemantauan (monitoring) pelaksanaan kegiatan pemberdayaan petani miskin

di lahan marginal melalui kaji tindak agrobisnis pertanian lahan kering berbasis

agrosilvopastural teknik SPB (agroforestri) di kecamatan Wanasaba oleh

LEPPRO NTB, sebagai berikut:

1. Monitoring

Pelaksanaan pemantauan pada setiap pokok dan tahap kegiatan, alat

pemantauan berupa lembar observasi yang sudah disiapkan, hal itu untuk

diperbaiki.

2. Pihak-pihak yang terlibat

Pihak-pihak yang terlibat dalam pemantauan adalah Penanggung Jawab

Kegiatan, Ketua Tim Pendampingan LEPPRO NTB, bersama stakeholders,

yang didampingi oleh setiap Kepala Desa/Dusun di Kecamatan Wanasaba.

F. Hasil Yang Diharapkan Dalam Kegiatan Pemberdayaan

Pencapaian target pelaksanaan program kegiatan pendampingan

masyarakat petani miskin di lahan marjinal berkisar pada pemberdayaan

masyarakat yang mendasarkan input (masukan) dari masyarakat yang didampingi,

yakni kemampuan masyarakat desa yang didampingi untuk memiliki kesadaran

Page 47: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

47

kritis berdasarkan kesadaran sendiri. Namun demikian, ada beberapa hal yang

diharapkan dapat tercapai (terukur) dalam program ini, yaitu:

1. Peningkatan kemandirian dan kinerja kelompok petani

Orientasi masyarakat petani di lahan kering mulai berubah, petani mulai

menyadari perlunya ikut terlibat dalam transformasi sosial di lingkungannya.

Indikasinya, masyarakat petani berinisiatif membentuk tim (kelompok) dan

embrio lembaga khusus yang bertanggung jawab merancang dan melakukan

kegiatan bersama dengan masyarakat lainnya. Masyarakat mulai melakukan

proses internalisasi kapasitas masyarakat dengan membentuk simpul-simpul

organisasi rakyat/Kelompok Tani (OR/POKTAN) di masing-masing dusun

yang diinisiasi oleh pemuda dan orang tua.

Pembentukan kelompok tani didasarkan atas kesadaran mandiri dan

swadaya masyarakat yang bertujuan untuk mengefektifkan pelaksanaan

program dan transformasi informasi.

2. Penguatan misi transformasi sosial masyarakat petani

Pihak petani di lahan kering mulai terbuka untuk melakukan interaksi

sosial dan melakukan kegiatan-kegiatan bersama dengan masyarakat desa

lainnya. Beberapa tokoh masyarakat sudah bersedia membuka diri untuk

berdialog dengan masyarakatnya, sehingga petani dengan kapasitas mereka

sudah membentuk suatu aturan dan kepastian aturan dalam penetapan

hukuman maupun sanksi bila terjadi pelanggaran terutama dalam penggunaan

air irigasi.

Pihak petani mulai menyadari pentingnya pembenahan dan konsolidasi

internal, baik menyangkut kelembagaan, ketenagaan, kontekstualisasi, strategi

Page 48: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

48

dalam pemeliharaan lahan sesuai denganb permasalahan yang dihadapi pada

berbagai tingkat, mulai dari tingkat RT, dusun, maupun desa. Dari kelompok

tani yang sudah terbina, sudah mulai berinisiatif untuk outsourcing dan

menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka mengembangkan

kegiatan mereka.

Petani di lahan marginal mulai menyadari bahwa untuk meningkatkan

kesejahteraan kolektif masyarakat petani, syarat utama yang dibutuhkan

adalah kejujuran. Hal ini disampaikan oleh salah seorang petani warga

masyarakat dusun Teqi Desa Wanasaba yang mengatatakan:

”Mun te mele maju dait berhasil pegawean te jaq, harus te jujur leq segala hal. Soalne masyarakat si teparan bodo sine ndek ne ngelekakin kecuali dengan pendateng si maran dirikne pinter. Sekali te ngelekakin leq masyarakat, sampai seterusne ndek ne arak si matik ite. Mudi te bicara masalah kepeng si penting kepercayaan sino juluq”. (Kalau kita mau maju dan berhasil pekerjaan yang kita lakukan, kita harus jujur dalam segala hal. Soalnya masyarakat yang dikatakan bodoh ini tidak pernah berbohong kecuali para pendatang yang mengakatan dirinya pintar. Sekali kita berbohong di masyarakat, sampai seterusnya tidak ada yang mempercayai kita. Pembiacaraan mengenai uang adalah masalah belakang yang penting kepercayaan itu dikedepankan”). Apa yang disampaikan oleh petani di atas, tentunya berangkat dari

pengalaman-pengalaman dan masalah-masalah yang dihadapi selama ini. Di

mana masyarakat petani merasa selalu dibohongi dan tidak diberikan ruang

kepercayaan untuk mengakses modal yang mereka butuhkan untuk

meningkatkan hasil usaha mereka. Masyarakat petani tidak dipercaya untuk

meminjam modal di lembaga-lembaga keuangan karena mereka selalu dilihat

sebelah mata oleh para pemilik modal atau pengelola keuangan tersebut.

Mereka tidak dipercaya mampu mengembalikan modal yang telah dipinjam,

karena penghasilan mereka tergantung sekali dari lahan yang mereka garap.

Page 49: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

49

Kelompok tani dengan adanya instansi pemerintah bidang pertanian di

setiap kecamatan seperti KCD Pertanian dan Kehutanan, diharapkan menjadi

lembaga satu-satunya yang mampu memberikan bantuan, baik dalam bentuk

permodalan, penyuluhan dan program-program kerja pemerintah dengan

mekanisme yang transparan dan berpihak kepada petani.

Kenyataan ini menumbuhkan kesadaran kritis petani yang pada tataran

praksisnya mereka mengharapkan terbentuknya koperasi tani yang aspiratif,

didirikan dan dikelola dari dan oleh masyarakat petani itu sendiri. Selain itu

mereka juga meyakini bahwa dengan adanya koperasi yang dikelola oleh

orang-orang yang mereka percayai akan dapat meningkatkan ekonomi

masyarakat karena dikelola secara transparan dan akuntabel serta mudah

diakses oleh semua lapisan masyarakat (multilevel).

Bagi mereka, lebih baik bekerja dengan modal kecil tetapi milik sendiri

daripada modal besar yang diperoleh melalui pinjaman yang akan

menyengsarakan mereka. Kesadaran ini tumbuh sebagai hasil curah pendapat

sebagai repleksi pengalaman-pengalaman pahit yang dialami selam ini, tidak

ada proteksi harga pasar bagi hasil produksi pertanian.

3. Penguatan jejaring kerja (networking) dan aliansi strategis antar masyarakat petani

Jejaring kerja (networking) masyarakat petani Wanasaba kecamatan

Wanasaba dengan masyarakat petani lainnya maupun dengan instansi dan

lembaga terkait lainnya dirasakan masih sangat lemah, karena lokasi daerah

terpencil dan jauh dari keramaian kota. Komunikasi yang terjalin dengan

pihak instansi yang terkait selama ini masih terbatas pada rutinitas semata,

Page 50: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

50

belum melahirkan sebuah sinergi yang mutualistik yang sangat diperlukan

untuk memperkuat bangunan infrastruktur dan suprastruktur desa Wanasaba.

Networking yang dibangun masyarakat melalui tokoh-tokoh simpul

kelompok-kelompok tani dengan institusi di luar masyarakat dihadapkan pada

persoalan kepercayaan masyarakat kepada pihak-pihak yang diajak

bekerjasama. Persoalan ini muncul karena memang selama ini masyarakat

hanya dijadikan objek program yang memiliki misi-misi tertentu. Secara kritis

sebenarnya menunjukkan adanya kelemahan sistem yang selama ini dibangun,

partisipasi dan kreativitas masyarakat dibelenggu oleh pangsa pasar yang

sudah dimainkan oleh para pemilik modal yang terus membelenggu petani

sebagai pekerja dan penonton.

4. Terwujudnya pertanian lahan kering berbasis agrosilvopastural

dengan teknik SPB (Sistem Pertanian Berkelanjutan_agroforestri)

Sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, agroforestry atau

sering diindonesiakan menjadi ‘wanatani’ atau ‘agroforestri’ hanyalah sebuah

istilah kolektif (collective term) dari berbagai bentuk pemanfaatan lahan

terpadu (kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan) yang ada di berbagai

tempat di belahan bumi, tidak terkecuali yang dapat dijumpai di negara-negara

berkembang wilayah tropis sebagaimana di Indonesia. Pemanfaatan lahan

tersebut secara tradisional telah dikembangkan/dipelihara oleh masyarakat

lokal (local communities) atau diperkenalkan dalam tiga dasawarsa terakhir ini

oleh berbagai pihak, baik instansi pemerintah (instansi sektoral seperti

Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian beserta dinas-dinas

Page 51: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

51

terkaitnya), lembaga penelitian (nasional dan internasional), perguruan tinggi,

ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM)/organisasi non-pemerintah

(non-governmental organizations). Di Wanasaba, tepatnya di dusun montong

Teqi Kecamatan Wanasaba bentuk agroforestri yang dicobakan dapat

diklasifikasikan menjadi Agrosilvopastural.

Telah dijelaskan bahwa sistem-sistem agrosilvopastura adalah

pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian

(semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan

yang sama.

Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem agrosilvopastura,

walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai dalam

ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan

secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya

komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat (to serve people).

Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung

oleh permudaan alam dan satwa liar. Interaksi komponen agroforetri secara

alami ini mudah diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh,

adalah peranan tegakan bagi penyediaan pakan satwa liar (a.l. buah-buahan

untuk berbagai jenis burung), dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses

penyerbukan atau regenerasi tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani

pemilik lahan. Gambar di bawah ini merupakan kondisi yang diharapkan

untuk waktu lima tahun ke depan di lokasi pemberdayaan.

Page 52: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

52

Gambar 4.1 : Pohon Mahoni yang ditanam di pematang sawah di antara tanaman ubi kayu atau tanaman semusim. (plot gambar pemberdayaan di dusun Montong Teqi desa Wanasaba Kecamatan Wanasaba)

Program ini diyakini akan terwujud, karena lokasi pemberdayaan

mendukung adanya program penanaman pohon, di lahan seluas 3 hektar di

dusun Motong Teqi 1 terdapat saluran air PDAM yang bisa digunakan untuk

mengairi pepohonan yang ditanam oleh masyarakat. Selain itu, petani di dusun

Montong Teqi juga telah memahami maksud dari program yang dijalankan

sehingga mereka antusias melakukan penanaman pohon di pematang sawah

(lahan kering) yang mereka garap.

G. Analisis Dampak Program

1. Dampak Bagi LEPPRO NTB

a. Bahan kajian dalam menyiapkan pendidikan bagi masyarakat lahan

marginal (kering), sebagai konsekuensi perubahan paradigma

berpikir masyarakat dalam mengelola lahan kering. Fenomena

pendidikan di masyarakat kita saat ini sangat memperihatin-kan,

Page 53: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

53

khususnya di Desa Wanasaba. Hal ini disebabkan pandangan

masyarakat lahan marginal tentang pendidikan sangat mahal dan

harus segera dicarikan solusi/pemecahannya. LEPPRO NTB

sebagai salah satu LSM/NGO pemuda di Kabopaten Lombok

Timur memiliki peran yang cukup strategis dalam pengembangan

pendidikan yang murah dan bisa diakses oleh lapisan masyarakat.

Menyiapkan pendidikan yang mampu menjawab fenomena

masyarakat secara kekinian tentu tidaklah semudah jika dasar

pendekatannya tidak ada, program pengembangan partisipasi

masyarakat melalui metodologi PAR yang dilakukan LEPPRO NTB

tetah banyak memberikan kontribusi perubahan berpikir masyarakt

di Desa Wanasaba. Perubahan yang nampak terlihat misalnya

masyarakat mulai memahami pentingnya rasa kebersamaan yang

dilihat dari adanya kelompok-kelompok tani dan pemuda di internal

mereka.

b. Memperkuat peran LEPPRO NTB dalam pemberdaan petani di lahan

kering (marginal).

c. Menambah bahan kepustakaan LEPPRO NTB dalam pengembangan

pendidikan di masyarakat secara langsung.

2. Dampak Bagi Pihak Petani di Lahan Marginal

a. Implementasi peran dan fungsi LSM/NGO dalam memberdayakan

petani guna mengemban tanggung jawab sosial dan kemanusiaan.

b. Terbentuknya kelompok masyarakat yang peduli terhadap

pengelolaan sumber daya pertanian dilahan marginal.

Page 54: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

54

c. Menumbuhkembangkan kesadaran kritis petani di lahan marginal

akan pentingnya kemandirian (self reliance) dalam peningkatan

kesejahteraan sosial dan ekonomi melalui program pertanian yang

berkelanjutan (teknik SPB) dengan pola agrosylvopastural.

d. Mendapatkan informasi dan sumbangsih pemikiran dalam

penataan tingkat kesejahteraan petani di lahan marginal.

3. Dampak Bagi Pemerintah Daerah (Pemegang Kebijakan)

a. Menganalisis sistem dan dinamika budaya masyarakat petani dilahan

marginal, dan mengkaji permasalahan pembangunan dari sudut

pandang sosial-budaya dalam pembangunan pertanian yang

berkelanjutan..

b. Membantu dan berperan serta dalam pemberdayaan masyarakat

petani di lahan marginal baik secara langsung maupun tidak langsung.

c. Memberikan masukan secara kritis terhadap kondisi masyarakat

yang multietnik dan multikultural dalam menyelesaikan

permasalahan yang terjadi pada masyarakat petani di lahan marginal.

d. Melahirkan kebijakan/peraturan yang pro atau berpihak pada

masyarakat bawah (gross rooth) dengan melalui pendekatan bottom

up secara partisipatif.

H. Analisis Keberlangsungan Program

1. Analisis Ketercapaian Program

Kegiatan pemberdayaan petani miskin di lahan margina melalui

kaji tindak agrobisnis pertanian lahan kering berbasis

Page 55: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

55

agrosylvopastural teknik SPB yang dilaksanakan oleh LEPPRO NTB

dengan pendekatan partisipatory action research (PAR) telah

ditetapkan sebagai target ketercapaian program. Untuk dapat diketahui

keberhasilan program pemberdayaan masyarakat desa dengan pendekatan

PAR pada fase pertama ini dapat dianalisis berdasarkan matrik indikator

ketercapaian program sebagai berikut:

Tabel 4 Matrik Indikator Kinerja

No. Program

Pemberdayaan Tujuan

Program Indikator Kinerja

Fasilitator Dampak

1. Kesadaran Masyarakat

a. Masyarakat petani miskin di lahan kering memiliki kesadaran untuk merubah taraf hidupnya melalui produksi pertanian di lahan kering.

b. Masyarakat

dengan kesadaran kolektif menjadikan pola agrosylvopastural sebagai acuan dalam pengelolaan lahan kering

a. Terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran kritis.

b. Masyarakat

mulai memahami dan melaksanakan pertanian dengan sistem agrosylvopastural teknik sistem pertanian berkelanjutan (SPB)

a. LEPPRO NTB dan stakeholders.

b. LEPPRO

NTB, stakeholder, Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RT, Ketua kelompok tani

a. Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup mereka

b. Adanya produk

pertanian yang diunggulkan dengan memanfaatkan sistem agrosylvopastural.

2. Keterlibatan Tokoh masyarakat (TOMA)

a. TOMA menyadari dan mendukung upaya pengembangan ekonomi masyarakat petani miskin di lahan marginal

b. TOMA berperan

aktif untuk mempengaruhi PEMDA dalam membuat kebijakan yang mendukung pengembangan ekonomi masyarakat petani miskin di lahan marginal.

a. TOMA terlibat secara langsung, sumbangan pemikiran dalam upaya peningkatan ekonomi petani miskin di lahan marginal.

b. TOMA terlibat

langsung dalam merumuskan langkah-langkah pemberdayaan ekonomi masyarakat petani miskin di lahan marginal.

a. LEPPRO NTB, stakeholders, Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RT.

b. LEPPRO

NTB, dan TOMA

a. Melakukan pendekatan persuasif dalam membangun kesadaran kritis Petani miskin di lahan marginal.

b. Melakukan

pendekatan persuasif dalam membangun kesadaran kritis masyarakat petani miskin di lahan marginal

Page 56: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

56

Dari matrik indikator kinerja di atas, dapat diketahui

ketercapaian program yang dapat dirincikan sebagai berikut :

Tabel 5 Matrik Indikator Ketercapaian Program

Tujuan

Program Indikator Kinerja

Indikator Ketercapaian

Lembaga Pendamping

⇒ Membangun Kerjasama dengan Pemerintah Daerah, NGO, Kepala Desa, Kepala Dusun, Tokoh Masyarakat, kelompok tani

⇒ Pemberdayaan

masyarakat petani miskin di lahan marginal bersama dengan TOMA dan aparat terkait.

⇒ Terselenggaranya pertemuan formal maupun nonformal membahas bentuk program pemberdayaan.

⇒ Disepakatinya

program pendampingan yang didukung oleh semua pihak yang terlibat dalam masyarakat

⇒ Peninjauan kembali

program yang telah dilaksanakan oleh pihak pemerintah, dengan mengidentifikasi temuan, kelemahan, dan kelebihan program pemberdayaan masyarakat petani miskin di lahan marginal.

⇒ Adanya pengembangan program pendampingan bersama masyarakat petani miskin di lahan marginal melalui curah pendapat (Brainstorming)

⇒ Evaluasi

pelaksanaan program pemberdayaan dan refleksi program.

⇒ Adanya kesepakatan antara pendampingan dengan yang akan didampingi.

⇒ Teridentifikasinya

kelemahan dan kelebihan program kebijakan pemerintah sebelum program

⇒ Tersusunnya

desain pemberdayaan masyarakat petani miskin di lahan marginal oleh LEPPRO NTB, yaitu : a. Kerangka

pemberdayaan masyarakat petani miskin di lahan marginal

b. Fasilitator pendamping

c. Sasaran pemberdayaan

d. Proses pelaksanaan pemberdayaan masyarakat petani miskin di lahan marginal.

e. Evaluasi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat petani miskin di lahan marginal.

⇒ Tersusunya hasil program pemberdayaan bagi masyarakat petani miskin di lahan marginal

⇒ LEPPRO NTB ⇒ LEPPRO NTB ⇒ LEPPRO NTB, Kepala

Desa Wanasaba, Semua Kepala Dusun, Ketua RT, TOMA dan kelompok tani.

Berdasarkan matrik di atas, program pemberdayaan masyarakat

Page 57: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

57

petani miskin di lahan marginal melalui sistem agrosylvopastural

teknik SPB dapat dirumuskan, yaitu: (1) Adanya kesepakatan antara

pendamping dengan yang akan didampingi; (2) Teridentifikasinya

kelemahan dan kelebihan program kebijakan pemerintah sebelum

pendampingan dilaksanakan; (3) Tersusunnya desain pemberdayaan

masyarakat petani miskin di lahan marginal sebagai daerah binaan

LEPPRO NTB, dengan mengacu pada kerangka pemberdayaan

masyarakat desa binaan; fasilitator pendamping; sasaran; proses

pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan program, dan (4) tersusunnya

hasil program pemberdayaan bagi masyarakat petani miskin di lahan

marginal.

2. Analisis Terhadap Dampak Program Pemberdayaan

a. Dampak Bagi LEPPRO NTB atau LSM/NGO lainnya.

1. Memperkuat hubungan (mitra) antara LSM/NGO-masyarakat

pemerintah dalam mengembangkan fungsi dan tanggung jawab

sosial dan kemanusiaan.

2. Mengembangkan kesadaran kritis bagi masyarakat petani miskin di

lahan marginal sebagai konsekuensi perubahan sosial (sociol

change) dalam menghadapi persaingan regional dan global serta

memperkuat kemampuan masyarakat petani miskin di lahan

marginal dalarn menganalisis setiap kebijakan/peraturan yang tidak

sesuai dengan kebutuhan mereka atau bahkan dapat merugikan

kehidupan mereka dalam jangka panjang.

3. Mempersiapkan diri sebagai lembaga swadaya dan kepemudaan

Page 58: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

58

yang peka, teliti, dan menjadi sumber inspirasi-mediasi-aksi

masyarakat petani dalam mengembangkan pendidikan secara

partisipatif.

4. Memberikan solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh

masyarakat petani dan sebagai sumbangsih pemikiran dan tanggung

jawab LSM/NGO dalam rangka ikut serta memperlancar proses

pembangunan di daerah.

b. Dampak Bagi Masyarakat

1. Meningkatkan kesadaran krisis masyarakat petani baik dalam

sistem budaya, sosial, politik, ekonomi, dan lain-lainnya.

2. Menganalisis secara kritis dan mengkaji permasalahan pembangunan

dari sudut pandang petani secara langsung atas

kebijakan/peraturan dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh

pemerintah daerah (Pemda).

3. Timbulnya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat petani

dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada.

4. Berperan serta secara langsung dalam memberdayakan diri mereka

sendiri untuk mengatasi masalah yang dihadapi dengan

mengembangkan potensi yang dimiliki.

5. Mampu mienyampaikan permasalahan yang dihadapi dan dengan

sikap kritis berupaya mencari solusi dari permasalahan tersebut.

c. Dampak Bagi Pemerintah daerah dan Instansi Terkait

1. Kemampuan mempredikasi jumlah kebutuhan petani miskin di

lahan marginal dalam kegiatan pembangunan; baik struktur

Page 59: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

59

maupun nonstruktur yang langsung menyentuh kepada sasaran.

2. Mengurangi tingginya angka pengangguran, angka kemiskinan dan

menghindari tingginya konflik sosial akibat kemiskinan, rendahnya

SDM, dan memetakan garis kebijakan yang lebih berorientasi

pada permasalahan konkrit yang dihadapi petani di lahan marginal.

3. Mengurangi diskriminasi atau ketimpangan sosial (social

difference) yang berkembang dalam masyarakat dan mengakomodir

serta memfasilitasi masyarakat sesuai dengan hak dan kewajiban

mereka.

4. Menumbuhkembangkan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya

dalam masyarakat tanpa menghilangkan identitas mereka dengan

melestarikan nilai-nilai kelokalan atau kearifan lokal yang ada dan

memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyelesaikan

masalahnya sendiri secara bersama-sama.

5. Memberikan informasi yang memadai bagi pemerintah sebagai

dasar untuk membuat kebijakan yang langsung menyentuh

kepentingan rakyat kecil.

3. Analisis Terhadap Kemungkinan dan Tindak Lanjut

Program pemberdayaan petani miskin di lahan marginal Desa

Wanasaba kecamatan Wanasaba memerlukan keterlibatan semua pihak

secara khusus dan serius, program pemberdayaan dengan pendekatan

PAR sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi

oleh petani.

Page 60: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

60

Oleh karena itu ada beberapa analisis yang dapat dilakukan

selama program pemberdayaan ini berjalan, yaitu:

a. Desa Wanasaba yang menjadi sasaran pemberdayaan, jika dilihat dari

letak dan kondisi geografisnya sangat strategis namun tidak ditunjang

oleh SDM yang memadai dalam hal pengelolaan lahan kering , hal

ini berdampak terhadap kestabilan ekonomi masyarakat. Berdasarkan

pengakuan mereka, ada kalanya hasil pertanian begitu terasa, tapi

pada waktu lain (terutama di musim kemarau) kadang-kadang sedikit

bahkan tidak ada sama sekali. Realitas ini tidak disikapi secara positif

dengan memanage lahan pertanian dengan teknik yang sesuai dengan

kondisi lahan. Oleh karena itu pertanian dengan sistem

agrosylvopastural yang dilaksanakan dapat merubah kondisi

bercocok, keberadaan air tanah begitu diperlukan. Untuk itu,

penanaman pohon di sekitar areal pertanian menjadikan lahan kering yang

mereka garap lebih menghasilkan daripada sebelumnya.

b. Adanya kecenderungan sikap aparat yang tidak berpihak kepada

petani, sehingga masalah yang dihadapi masyarakat seringkali

dijadikan komoditas untuk mendapatkan keuntungan sendiri oleh

pihak-pihak tertentu dan tidak pernah langsung menyentuh

kepentingan masyarakat apalagi mencari solusi konkrit yang dapat

melepaskan petani dari permasalahan yang dihadapi. Seperti diakui

oleh mereka bahwa bantuan seperti proyek dan bantuan peralatan

hanya sampai kepada aparat desa atau keluarga dekat aparat desa

setempat.

Page 61: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

61

c. Posisi tawar petani di Desa Wanasaba rendah dalam hal penentuan harga

jual serta akses pemasaran yang kurang, sehingga dalam kesehariannya

kerapkali pembeli menentukan harga dan petani terpaksa menerima,

karena kalau tidak diterima, mereka tidak dapat menyambung hidupnya,

apalagi dengan harga bahan pokok sekarang ini yang begitu mahal.

d. Selama ini ada upaya peningkatan ekonomi petani melalui program-

program pertanian. Tapi yang menjadi masalah adalah kurang adanya

pemerataan bagi seluruh petani. Petani di lahan marginal seolah

tidak mempunyai peluang untuk memproduksi hasil pertanian di

lahan yang mereka garap, karena ketidakpercayaan pihak-pihak

tertentu terhadap kinerja dan hasil yang akan dihasilkan oleh lahan

kering.

Oleh karena itu, LEPPRO NTB berkomitmen untuk memberdayakan

masyarakat desa dengan prinsip tanggung jawab sosial, moral, dan

kemanusiaan kepada masyarakat mengupayakan pendampingan serta

pemberdayaan masyarakat Desa Wanasaba pada pengembangan sistem

perekonomian mereka melalui sistem pertanian lahan kering berbasis

agrosylvopastural, hal ini dilakukan karena perekonomian dan sistem

perekonomian menjadi "penyambung nyawa" dan "tulang punggung"

serta "penentu" kehidupan masyarakat desa di Wanasaba.

4. Implikasi Teoretis

Pendampingan yang dilakukan LEPPRO NTB di masyarakat petani

miskin di lahan marginal di desa Wanasaba, dilandaskan kepada konsep

Paulo Freire (1921-1997) tentang pendidikan yang membebaskan. Bagi

Page 62: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

62

Freire, pendidikan merupakan cara untuk melakukan perubahan sosial,

kultural, politik, dan ekonomi secara fundamental (transformasi sosial).

Dengan kata lain, apa yang dilakukan LEPPRO NTB pada petani miskin di

lahan marginal di desa Wanasaba, dimaksudkan untuk membangun

kesadaran kritis individu dan kolektif terhadap masalah keadilan sosial,

dan menguatkan masing-masing individu untuk berjuang merubahnya.

Dalam konteks ini, tindakan (action) yang dilakukan merupakan

serangkaian proses memahami tatanan kehidupan secara kritis ( voluntary

participant in process). Dimana peneliti dan masyarakat setara, peneliti

membantu masyarakat dalam menghadapi kemapanan sosial (status quo).

Evaluasi diarahkan pada perubahan cara pandang, tanggungjawab dan peran

individu-individu terhadap proses transformasi sosial. Untuk itu, penggunaan

metode yang tepat, akan memberi dampak yang menentukan, dalam kaitan

ini LEPPRO NTB secara teoretis menggabungkan beberapa metode yang relevan,

yakni: Teory kritis, riset kritis dan refleksi, terhadap masalah (problem

possing), serta analysa sosial.

Konsep pendidikan yang membebaskan sebagai esesnsi kehadiran

LEPPRO NTB di desa Wanasaba, mengharuskan peneliti memiliki keyakinan

bahwa ketidakadilan sosial adalah diciptakan (constructed) dan karenanya

dapat diubah, keberpihakan dan keretaan untuk berbuat (commitment) demi

perbaikan keadaan kehidupan kelompok dhuafa' dan terdzolimi,

berkeyakinan bahwa rakyat dalam dirinya memiliki pengetahuan yang

berguna dan mereka dapat bekerja untuk memecahkan problem mereka

sendiri, dan berpegang pada proses kesadaran kritis rakyat untuk mampu

Page 63: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

63

dan berani menyatakan diri mereka sendiri, membuat visi alternatif untuk

perjuangan hidup mereka kedepan.

Oleh karena itu keteguhan pada prinsip-prinsip yang selalu

diacu LEPPRO NTB dalam setiap program pendampingan masyarakat

yang dilakukan, akan selalu menjadi komitmen peneliti. Prinsip yang

dimaksud adalah berpegang pada strategi memperlengkapi rakyat

untuk merumuskan perjuangan mereka sendiri dan membuat suara mereka

menjadi terdengar, berorientasi "peningkatan kesadaran kritis" rakyat

untuk mengorganisir diri, dari proses pengorganisasian yang hanya untuk

lingkup tunggal dan terbatas (singgle event) kepada pengorganisasian

yang lebih luas untuk melakukan tindakan bersama demi keadilan, dan

memiliki visi membangun gerakan transformasi sosial.

Untuk itu, para peneliti yang terjun ke lapangan bersama petani di

lahan kering telah dilengkapi keterampilan yang diperlukan, di antaranya:

teknik analisa sosial struktural dan conjunctural (structural & conjunctral

analyses), Teknik pemetaan sosial dan kawasan (social, geographical Et

ecological mapping), Teknik komunikasi kemanusiaan ( hut-non

communication skill), Teknik fasilitasi belajar orang dewasa (adult

learning facilitation), Teknik Agrobisnis lahan kering dan Teknik

advokasi (advocacy).

Akhirnya peneliti sebagai Pendidik Masyarakat harus secara

internal selalu melakukan refleksi kritis, mempertanyakan, apakah telah

terjadi perubahan sosial? Kearah mana perubahan sosial terjadi?

Mengapa perubahan itu terjadi? Apakah kaum dhuafa' dan terdzolimi

Page 64: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

64

telah semakin kuat posisinya dalam perubahan sosial tersebut? Apakah

telah muncul organisasi rakyat miskin dan terpinggirkan? Apakah proses

demokrasi telah benar-benar berjalan? Apakah mereka yang terlibat dalam

organisasi telah menjadikan organisasinya sebagai alat perjuangan

kepentingannya? Dan, apakah telah muncul kebersamaan dalam tindakan

diantara mereka?

Singkat kata, kehadiran LEPPRO NTB di tengah-tengah petani

miskin di lahan marginal di desa Wanasaba, adalah sebagai

pendidik/organizer/fasilitator bukanlah tukang, tetapi intelektual yang

memiliki komitment transformasi sosial. Karenanya ia memiliki multi

peran dalam proses pendidikan rakyat.

Dengan segala komitmen tersebut LEPPRO NTB, akan mempersiap-

kan langkah-langkah berikutnya dalam pendampingan petani miskin di lahan

marginal di desa Wanasaba, sampai mereka betul terbebas dari kesadaran

naif, dan kesadaran mitos, menuju kesadaran kritis, dalam membebaskan

diri mereka dari kungkungan relasi yang berat sebelah antara penguasa dan

rakyat. Menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Petani miskin

di lahan marginal telah berani mengatakan tidak kepada relasi kekuasaan

yang timpang, dan menghimpun diri dalam organisasi rakyat yang mandiri.

Pada tahap berikutnya, tahun kedua, LEPPRO NTB akan mendampingi

mereka menuju arah yang lebih baik untuk perbaikan nasib mereka,

membuka akses penguasaan skill berorganisasi dan bertani dari dan

oleh mereka. Terutama, upaya produksi pertanian yang dibuat, menuju

sistem pertanian yang berkelanjutan, mandiri, dan berkeadilan. Memberi

Page 65: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

65

akses kesejahteraan yang sama bagi semua.

Page 66: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

66

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Program pemberdayaan petani miskin di lahan marginal di desa Wanasaba

memerlukan proses yang cukup lama dan membutuhkan banyak tahapan kegiatan

yang harus dilakukan, karena proses pemberdayaan seharusnya bersifat

tronsformosional berkaitan dengan tujuan jangka panjang berupa keswadayaan

dan perilaku berkeberlanjutan (sustainability), jika program pemberdayaan

petani miskin di lahan marginal dilakukan sekadar untuk memuaskan logika

proyek, maka ia akan lebih bersifat instrumental-seremonial semata.

Faktor yang dapat diasumsikan menjadi penyebab mendasar masih

rendahnya pengelolaan dan pemanfaatan lahan kering di desa Wanasaba,

adalah sebagai berikut: (1) Faktor ekonomi sebagai faktor yang paling mendasar

dan memerlukan upaya penanggulangan yang serius dan berkelanjutan dalam

meningkatkan kesejahteraan petani; (2) Faktor persediaan kebutuhan sebagai

faktor yang mendorong, (3) Faktor perantara yang memfasilitasi dan

memungkinkan terus mengakarnya ketidakmampuan petani miskin di lahan

marginal, (4) rendahnya SDM petani, sehingga mereka tidak mampu

merencanakan dan mengelola lahan kering yang mereka miliki. masing-masing

faktor juga terbangun dan dikondisikan oleh berbagai faktor turunan lainnya

yang saling terkait dan terjalin kokoh.

Oleh karena itu, berbagai kebijakan dan upaya penataan dan penanganan

lahan kering terlebih dahulu menjawab keempat faktor tersebut secara

Page 67: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

67

sistematis dan terpadu. Upaya penataan dan penanganan komunitas petani di

lahan kering, tidak cukup hanya dengan menggelar diskusi atau mengadakan

penyuluhan semata, melainkan melakukan pembinaan secara intens,

mengaktifkan kembali sistem pertanian yang muncul dari masyarakat

setempat serta dibutuhkan sebuah rekonstruksi sosial.

Jika petani ingin terlibat bahkan memimpin proses rekontruksi sosial

tersebut, maka pertama kali yang harus dilakukan oleh petani adalah

menjadikan dirinya sebagai bagian dari dirinya sendiri dan menjadi

tanggung jawabnya; artinya petani di lahan marginal harus mampu memahami

dan merasakan masalah yang dihadapi oleh komunitas mereka sebagai

nnasalahnya juga. Petani juga harus mampu membangun pandangan (baru)

bahwa mereka yang terlibat dalam kegiatan tersebut pada hakikatnya adalah

korban dari sistem nilai dan sistem sosial yang selama ini telah membelenggu

mereka.

Dengan demikian, tidak mudah untuk membebaskan petani dilahan

marginal dari belenggu ini. Oleh karena itu, sebelum orang lain

membebaskan mereka, mereka juga terlebih dahulu harus mampu

membebaskan dirinya sendiri. Petani juga dituntut untuk merubah orientasi

dan pandangan hidupnya dari yang semula memandang segala sesuatunya yang

terkait dengan kebutuhan hidup mereka sangat bergantung pada hasil pertanian,

sudah semestinya diorientasikan pada sasaran atau program pengembangan

pemanfaatan lahan kering melalui sistem pertanian yang

berkesinambungan/berkelanjutan.

Page 68: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

68

B. Rekomendasi

1. Bagi LEPPRO NTB

a. Meyiapkan pendidikan bagi masyarakat sebagai konsekuensi

perubahan paradigma berpikir petani miskin di lahan marginal

dalam mengelola lahan mereka.

b. Memperkuat peran serta LEPPRO NTB dalam pengabdian

kepada petani.

c. Meningkatkan kapasistas dan kemampuan LEPPRO NTB dalam

memformulasikan bentuk implementasi tanggung jawab sosial di

masyarakat yang sesuai dengan kondisi obyektif.

d. Menambah bahan kepustakaan LEPPRO NTB dalam pengembangan

pendidikan kerakyatan di masyarakat secara langsung.

e. Melakukan kerjasama kerakyatan (people network) dalam kerangka

menciptakan hubungan yang dinamis antara: LSM/NGO-

Masyarakat dan Pemerintah.

2. Bagi Pihak Masyarakat Desa Wanasaba kecamatan Wanasaba

a. Implemetasi idealisme LSM/NGO dalam mengabdikan diri pada

masyarakat.

b. Membentuknya kelompok masyarakat yang peduli terhadap

pengelolaan lahan kering.

c. Menumbuhkembangkan kesadaran kritis petani akan pentingnya

pengembangan ekonomi melalui pertanian dengan sistem

agrosylvopastural teknik sistem pertanian berkelanjutan (SPB).

d. Mendapatkan informasi dan sumbangsih pemikiran dalam penataan

Page 69: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

69

tingkat kesejahteraan petani.

e. Mempertegas bentuk pembinaan agrobisnis dengan sistem

agrosylvopastural yang ditumbuhkembangkan dari masyarakat petani

sendiri dalam mengembangan sisitem perekonomian mereka, sehingga

mereka memiliki keswadayaan yang simultan dalam meningkatkan

kesejahteraan mereka sendiri.

3. Bagi Pemerintah Daerah (Pemegang Kebijakan)

a. Menganalisis sistem budaya dan dinamika budaya masyarakat petani di

lahan kering (marginal).

b. Menganalisis secara kritis mengkaji permasalahan pembangunan dari

sudut pandang sosial-budaya dalam pembangunan di lahan kering.

c. Membantu dan berperan serta. dalam pemberdayaan petani baik secara

langsung maupun tidak langsung.

d. Memberikan masukan secara kritis terhadap kondisi petani miskin

yang multietnik dan multikultur dalam menyelesaikan permasalahan

ekonomi yang dihadapinya.

e. Melahirkan kebijakan/peraturan yang pro atau berpihak pada

masyarakat bawah (grassrooth) dengan melalui pendekatan bottom

up.

Page 70: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

70

DAFTAR PUSTAKA ADB, 2003. Handbook on Poverty and Social Analysis, Section III. Poverty and

Social Analysis in Project Preparation. Adiningsih, J. S., D. Djaenusin, S. Sukmana, dan S. Karama. 1994. Potensi

Teknologi Pemanfaatan Lahan Marginal Untuk Menunjang Diversifikasi Pangan dan Gizi. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V : Riset dan Teknologi Unggulan Mengenai Pangan dan Gizi Ganda Pembangunan Jangka Panjang. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta.

Barron, E.M. dan Nielsen,I. 1998. Agriculture and Sustainable Land Use in Europe. Papers from Conferences of European Environmental Advisory Councils. Kluwer Law International.

Bungin, Burhan, 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Edisi Pertama,

Cetakan Pertama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. BPS. 2006. Lombok Timur Dalam Angka. Checkoway, B. 1995. Six Strategies of Community Changes. Community

Development Journal Vol. 30, No. 1, January 1995. Oxford University Press. United Kingdom.

Darmawan A. 1998. Analisis Finansial Peremajaan Tanaman Perkebunan Kelapa

Sawit (Studi Kasus PTP Nusantara III, Kebun Pulau Mandi, Kabupaten Asahan Sumatera Utara). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB.

Departemen Luar Negeri. 2002. Deklarasi Johannesburg Mengenai Pembangunan

Berkelanjutan dan Rencana KTT Pembangungan Berkelanjutan.

Emarnas, Kemiskinan Dan Harapan Pemberdayaan Masyarakat, WASPADA

Online 29 Mar 07 02:01 WIB http://www.waspada.co.id/ opini/artikel/artikel.php?article_id=87942

Gregorius Sahdan, Menanggulangi Kemiskinan Desa, Sumber: http://ekonomi

rakyat.org /edisi_22/artikel_6.htm

Harwood, R. 1990. A History of Sustainable Agriculture. Dalam Sustainable Agriculuture Systems. Eds. Edward, C.A. et. al. Soil and Water Conservation Society. USA. P. 3-17.

Page 71: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

71

Hendayana, R., dan D.H. Darmawan. 1995. Penanggulangan Kemiskinan di Sektor Tanaman Pangan dalam Hermanto, dkk. (Eds). Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian Kemiskinan di Pedesaan: Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Buku 2. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor.

Ibrahim, Bafadal, Teknik Analisis Data Kualitatif, dalam Bakri, Masykuri,

Metodologi Penelitian Kualitatif: Tinjauan Teoritis dan Praktis, 2002. Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang Kerjasama Dengan VISSIPRESS, 2002.

Jhingan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Penerjemah D.

Guritno. Cet. 10. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Kartasubrata J, Sunito S dan D Suharjito. 1995. Social Forestry Programme in

Java: A State of the Art Report. Center for Development Studies, Research Institute, Bogor Agricultural University (PSP-LP IPB). Bogor.

Mary, F. dan G. Michon. 1987. When Agroforests drive back Natural Forests: a

Socio-Economic Analysis of a Rice-Agroforest System in Sumatra. Agroforestry Systems 5: 27-55. Martinus Nijhoff/Dr W. Junk Publishers. Dordrecht. The Netherlands.

Michon G and H de Foresta, 1995. The Indonesian agro-forest model: forest

resource management and biodiversity conservation. In Halladay P and DA Gilmour (eds.), Conserving Biodiversity outside protected areas. The role of traditional agro-ecosystems. IUCN: 90-106.

Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif,

Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press. Moleong, Lexy J., 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan Pertama.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nair PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic.

Netherland. Nawawi, H. Hadari., 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang

Kompetitif, Cetakan kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University. ____________, 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial, Cetakan ketujuh.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nazir, Moh., 1998. Metode Penelitian, Cetakan ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia. Notoatmodjo, Soekidjo, 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:

PT. Rineka Cipta.

Page 72: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

72

Notohadiprawiro, T. 1990. The road to sustainable agriculture in the tropics.

Makalah yang disampaikan pada Internasional Symposium on Integrated Land Use Management for Tropical Agriculture. Queensland Sept. 1990.

N. Djunaidi Rahma, 2002. Masa Depan Otonomi Daerah, Kajian Sosial,

Ekonomi, dan Politik Untuk Menciptakan Sinergi Dalam Pembangunan Daerah. Surabaya: SIC.

Pakpahan, A., 1993. Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia. Perisma No3 tahun

XII. LPES Prayitno, Hadi & Budi Santoso. 1996. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Ghalia

Indonesia. Sallatang, M.A., 1980. Kemiskinan dan Mobilisasi Pembangunan di Desa. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Pemerintahan Daerah, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalama Negeri. Jakarta.

Siagian, Sondang P., Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan kesembilan, Bumi Aksara, Jakarta, 2002.

Simamora, Henry. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi kedua, Cetakan ketiga. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN.

Sinclair, L. 1987. Agriculture must be ecologically sustaiable to feed the earth, says New World Resource Institute,. Ambio 16 (5) : 278-279.

Soetopo, HB., 2002. Pengumpulan dan Pengolahan Data Kualitatif, Masykuri

Bakri, Metodologi Penelitian Kualitatif: Tinjauan Teoritis dan Praktis, Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang Kerjasama Dengan VISIPRESS.

Sulistyani, Ambar Teguh dan Rosidah, 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia,

Cetakan pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman

Sosial. Penerbit P. T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Swardji, 2007. “Mencari Skenario Pengembangan Pertanian Lahan Kering Yang

Berkelanjutan di Propinsi NTB”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna.

Suwardji dan Joko Priyono. 2004. Lahan Kritis: Kriteria Identifikasi Untuk

Keperluan Inventarisasi Luasannya di Propinsi NTB. Posisition

Page 73: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

73

Paper yang disampaikan dalam Workshop Penyamaan Persepsi Tentang Lahan Kritis Lintas Dinas dan Instansi serta Berbagai Stakeholders di Tingkat Propinsi NTB di Bappeda Propinsi NTB Tanggal 7 Agustus 2004

Suwardji dan Tejowulan. 2003. Lahan Kritis dan Permasalahan Linkungan Hidup.

Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Kritis Melalui Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Mataram. 17 Desember 2003.

Suwardji. 2004b. Menuju kedaulatan pangan untuk petani miskin di lahan kering

melalui LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture): Position Paper yang disampaikan pada pertemuan VECO-Indonesia dan Partner se Indonesia di Sindu Beach, Sanur Bali. 19-22 Agustus 2004.

Utomo, M. 1999. Reorientasi Paradigma Pembangunan Pertanian. LKMM Mahasiswa Pertanian se Indonesia. Bandar Lampung, 21-28 Februari 1999

Yusdja, Y., E. Basunao, M. Ariani, T. B. Purwantini, 2003. Kebijakan Sistem

Usaha Pertanian dan Program Kemiskinan Dalam Mendukung Pengentasan Kemiskinan Petani. Laporan Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP). Bogor

Page 74: PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN

Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008

74

DAFTAR ISI Halaman Judul..........................................................................................................i Halaman Kulit Muka...............................................................................................ii Kata Pengantar........................................................................................................iii Daftar Isi.................................................................................................................iv Daftar Tabel.............................................................................................................v BAB I: PENDAHULUAN.................................................................................. 1

A. Latar Belakang............................................................................................ 1 B. Tujuan Kaji Tindak (Dampingan/Pemberdayaan) ........................................ 6 C. Manfaat Dampingan/Pemberdayaan ............................................................ 6

BAB II: KAJIAN PUSTAKA ............................................................................ 9 A. Konsep Pemberdayaan Dan Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) ............. 9 B. Konsep Kemiskinan .................................................................................. 15 C. Konsep Agroforestri.................................................................................. 22

C.1 Pengertian............................................................................................ 22 C.2 Klasifikasi Teknik Agroforestri............................................................ 24

BAB III: METODE PENELITIAN................................................................. 31 A. Jenis Penelitian.......................................................................................... 31 B. Desain PAR.............................................................................................. 32 C. Lokasi Program Pemberdayaan ................................................................. 33 D. Tahapan-Tahapan Pelaksanaan PAR.......................................................... 33

BAB IV: PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN ................................. 36 A. Gambaran Umum Kabupaten Lombok Timur............................................ 36

A.1 Posisi dan Luas Wilayah...................................................................... 36 A.2 Iklim dan Curah Hujan ........................................................................ 36

B. Gambaran Lokasi Dampingan ................................................................... 37 C. Kondisi Awal Masyarakat ......................................................................... 39 D. Strategi dan Mekanisme Pemberdayaan..................................................... 42 E. Monitoring dan Evaluasi (MONEV) Kegiatan Pemberdayaan ................... 46 F. Hasil Yang Diharapkan Dalam Kegiatan Pemberdayaan............................ 46 G. Analisis Dampak Program......................................................................... 52 H. Analisis Keberlangsungan Program ............................................................. 54

BAB V: PENUTUP ......................................................................................... 66 A. Simpulan ............................................................................................... 66 B. Rekomendasi ........................................................................................ 68

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 70 LAMPIRAN

iv