PEMBAGIAN HUKUM SYARI'AH
description
Transcript of PEMBAGIAN HUKUM SYARI'AH
Yenny Kasim092209 0050
TUGAS 1 SYARI’AH
KEMUKAKAN PENGERTIAN, JENIS/MACAM-MACAMNYA DAN CONTOH/KAPAN
DIMANFAATKAN DARI :
1. IJTIHAD
2. IJMA
3. QIYAS
4. ISTISHLAH
5. ISTIHSAN
6. ISTIDLAL
7. ISTISHAB
8. URF
9. SADDUD DZARIAH
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
1. IJTIHAD
A. Pengertian
Ijtihad (Arab: adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang (اجتهاد
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha
mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam
Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang.
Secara etimologis, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masqayat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat
(kesanggupan dan kemampuan). Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi
ijtihada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata jahada menjadi ijtihada
pada wajan if-taa’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-sungguh”. Seperti
halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha lebih kuat dan
sungguh-sungguh.” Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau
pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan
demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau
memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak
maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut
ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar’ra’y atau at-tafkir. (Rachmat
Syafe’i:1998)
B. Pembagian
Menurut Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi ijtihad menjadi dua
bagian, yaitu :
1) Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tidak
menggunakan dalil syara’
2) Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’.
Garis besarnya ijtihad dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu ijtihad fardi
dan ijtihad jami’i.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
a) Ijtihad fardi ialah…....
Artinya :
Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau beberapa
orang tak ada keterangan bahwa semua mujtahid lainnya
menyetujuinya dalam suatu perkara.
Ijtihad semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh rasul kepada
Muaz ketika menggutus beliau untuk menjadi qadhi di yaman dan
sesuai pula yang pernah dilakukan Umar bin khatap kepada Abu musa
al-asyary, kepada Syuraikh dimana beliau (Umar) dengan tegas
mengatakan kepada Syuraikh
Artinya……
Apa-apa yang belum jelas bagimu didalam as-sunah maka
berijtihadlah padanya dengan menggunakan daya pikiranmu.
Dan kata Umar kepada Abu musa al-asyary………
Artinya……
Kenalilah penyerupaan-penyerupaan dan tamsilan-tamsilan
dan qiyaskanlah segala urusan sesudah itu.
b) Ijtihad jami’i ialah…..
Artinya :
Semua ijtihad dalam sesuatu perkara yang disepakati oleh
semua mujtahidin.
Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh hadist Ali pada waktu beliau
menanyakan kepada rasul tentang urusan yang menimpa masyarakat
tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunah. Ketika itu
nabi bersabda….
Artinya :
Kumpulkanlah untuk menghadapi masalah itu orang-orang
yang berilmu dari masing-masing orang mu’min dan jadikanlah
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
hal ini masalah yang dimusyawarahkan diantara kamu dan
janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang
seorang. (HR. Ibnu Abd barr)
Disamping itu Umar juga pernah berkata kepada Syuraikh….
Artinya…
Dan bermusyawarahlah (bertukar pikiran) dengan orang-orang
sholeh.
Diriwayatkan oleh Maimun bin Mihran bahwasanya Abu bakar dan
Umar apabila keduanya menghadapi sesuatu hal yang tidak ada
hukumnya didalam Al-Qur’an dan sunah maka keduanya
mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan menanyakan pendapat-
pendapat mereka. Apabila mereka telah menyepakati sesuatu
pendapat merekapun menyelesaikan hal itu dengan pendapat itu.
Contoh lain dari ijtihad jami’i ialah kesepakatan sahabat
mendukung/mengangkat Abu bakar sebagai khalifah (kepala Negara)
dan kesepakatan mereka terhadap tindakan Abu bakar yang menunjuk
Umar sebagai penggantinya. Juga kesepakatan mereka mendukung
anjuran Umar mengumpulkan/menulis Al-Qur’an dalam satu mushaf,
padahal yang demikian itu belum pernah dilakukan dimasa nabi.
Inilah kedua macam ijtihad yang dibenar oleh syara dan dihargai
dengan tinggi.
Imam abu hasan Muhammad bin yusuf berkata : ……….
Yang artinya
Sesungguhnya nash-nash agama walaupun banyak namun dia
terbatas dalam arti tidak dapat menerima tambahan lagi
sedangkan kejadian yang dihadapi manusia tidak
berkesudahan untuk menghadapi kejadian-kejadian itu perlu
kembali kepada ijtihad satu hal yang tidak dapat kita hindari
didalam menghadapi setiap perkembamgan.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
Dari segi pelaksanaan:
1. Ijtihad Intiqai/tarjih: yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat
terkuat diantara beberapa pendapat yang ada. Bentuknya adalah
studi komparatif dengan meneliti
2. Ijtihad Insyai: yaitu mengambi konklusi hukum baru terhadap suatu
permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Disebut juga
ijtihad kreatif.
3. Integrasi antara Ijtihad tarjih dan Insyai : yaitu memilih pendapat
para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat
kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad
baru.
Jenis-jenis ijtihad :
Ijma'
Qiyâs
Istihsân
Maslahah murshalah
Sududz Dzariah
Istishab
Urf
C. Contoh Aplikasi
- Contoh ijtihad tarjih adalah tentang harusnya meminta izin untuk
menikahkan anak gadis. Golongan Syafi’i, Maliki, dan mayoritas
golongan Hanbali berpendapat sehungguhnya orang tua berhak
memaksakan anak gadisnya yang sudah akil balig untuk menikah
dengan calon suami yang dipilih oleh orang tua walaupun tanpa
persetujuan gadis tersebut. Alasan yang digunakan adalah orang tua
lebih tahu tentang kemaslahatan anak gadisnya.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
Cara yang demikian itu mungkin masih dapat diterapkan pada seorang
gadis yang belum mengenal sedikitpun tentang kondisi dan latar
belakang suaminya, sedangkan di zaman modern sekarang para gadis
mempunyai kesempatan luas untuk belajar, bekerja dan berinteraksi
dengan lawan jenis dalam kehidupan ini. Akhirnya, hasil dari ijtihad
tarjih ini adalah mengambil pendapat Abu Hanifah yakni melibatkan
urusan pernikahan kepada calon mempelai wanita untuk mendapatkan
persetujuan dan izinnya.
- Contoh ijtihad insya’i adalah para pakar fikih pada zaman moderen ini
berpendapat bahwa rumah, pabrik, tanah, dan sebagainya yang
disewakan wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat ini dikemukakan oleh
Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khalaf dan Abdurrahman
Hasan, Qardhawi sangat mendukung pendapat tersebut dengan
pembahasan yang lengkap dengan dalil-dalil yang dipegangi.
Apabila pemilik tanah menyewakan tanahnya dengan sewa
berupa uang atau lain-lain yang menurut jumhur hukumnya
boleh, maka siapakah yang berkewajiban membayar zakatnya,
apakah pemilik tanah atau penyewa tanah?
Menurut Abu Hanifah, zakat wajib atas pemilik tanah. Berdasarkan
ketentuan bahwa zakat adalah kewajiban tanah yang memproduksi,
bukan kewajiban tanaman. Dan bahwa zakat adalah beban tanah yang
sama kedudukannya dengan kharaj. Maka dalam hal sewa, tanah yang
seharusnya diinvestasi dalam bentuk pertanian lalu diinvestasi dalam
bentuk sewa, berarti sewa tersebut sama kedudukannya dengan hasil
tanaman.
Demikian juga pendapat Ibrahim al-Nakha’I , Malik, Syafii, al –Tsauri,
Ibn al-Mubarak dan Jumhur ulama Fikih berpendapat bahwa zakat
wajib atas orang yang menyewa, karena zakat adalah beban tanaman
bukan beban tanah. Pemilik tanah bukanlah penghasil biji-bijian dan
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
buah-buahan yang karenanya tidak mungkin mengeluarkan zakat hasil
tanaman yang bukan miliknya.
Menurut Ibnu Rusyd perbedaan pendapat disebabkan tidak ada
kepastian apakah zakat tersebut merupakan beban tanah, beban
tanaman atau beban keduanya.
Al-Mughni menilai bahwa pendapat Jumhur lebih kuat, zakat diwajibkan
atas hasil tanaman. Sedangkan Al-Rafii berpendapat bahwa penyewa
tanah mempunyai dua kewajiban yakni membayar sewa dan
membayar zakat.
Setelah mempelajari pendapat para ulama tersebut maka Qardhawi
mengemukakan pendapat bahwa yang adil adalah baik penyewa
maupun pemilik harus secara bersama-sama menanggung
zakat itu masing-masing sesuai dengan perolehannya. Jadi
pemilik tanah juga diwajibkan mengeluarkan zakat dari hasil sewa,
sedangkan pendapat tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama-
ulama terdahulu. Ijtihad yang demikian disebut ijtihan insya’i.
Pendapat tersebut sangat adil dan sangat realistis diterapkan dizaman
sekarang.
- contoh ijtihad integrasi keduanya ini adalah masalah aborsi. Lajnah
Fatawa di Kuwait mengeluarkan pendapat tentang aborsi yang
dibolehkan dan yang diharamkan. Lajnah Fatawa telah menyeleksi
pendapat-pendapat para pakar fikih Islam sekaligus menambahkan
unsur-unsur kreasi baru yang dituntut oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan ilmu kedokteran. Yang ditunjang dengan segala
peralatan teknologi canggih dan kemampuan untuk mendeteksi apa
yang menimpa pada janin dalam bulan-bulan pertama, berupa cacat
yang mempunyai pengaruh fisik/biologis dan psikis pada kehidupan si
janin dikemudian hari menurut sunnatullah yang berlaku di alam ini.
Isi Fatwa yang dikeluarkan tanggal 29 September 1984 itu adalah
seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan seorang wanita
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
yang telah genap 120 hari, kecuali untuk menyelematkan wanita/ibu
itu dari marabahaya yang ditimbulkan oleh kandungannya. Dan
seorang dokter boleh menggugurkan kandungan wanita dengan
persetujuan kedua belah pihak yaitu suami istri, sebelum kandungan
itu genap berusia 40 hari, yakni saat masih berbentuk segumpal darah.
Apabila kandungan itu sudah lebih dari 40 hari dan belum sampai 120
hari maka dalam keadaan seperti ini tidak boleh dilakukan abortos
kecuali dalam dua kondisi berikut ini:
a. Apabila kandungan itu tetap dipertahankan, akan menimbulkan
bahaya bagi sang ibu dan bahaya itu akan berlangsung terus menerus
sampai sehabis melahirkan.
b. Apabila sudah dapat dipastikan bahwa janin yang lahir akan
menderita cacat baik fisik atau akalnya, yang kedua hal itu tidak
mungkin dapat disembuhkan.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
2. ‘IJMA
A. Pengertian
Ijma' (LاعOمQج Sاإل) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (OعOمQجO yang memiliki dua (أ
makna:
1. Tekad yang kuat (LدY مLالمLؤOك QزOالع) seperti: aرOف OىسO gعOل ن OالLفOعOمOجO sifulan) أ bertekad
kuat untuk melakukan perjalanan).
2. Kesepakatan (LاقOفk (االت seperti: OذOا) Oىك OعOل SمLوQن ل QسLالمOعOمQجO (أ kaum muslimin
bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
QيSف Sه SttاتOفOو Oد QttعO YمO ب ل OttسOو SهQ Oي مYةS مLحOمYدa صOلYى اللهL عOلL OهSدSيQ أ ت QجLم LاقOفk ات
SرQوLمL مQرa مSنO األO عOصQرS مSنO العLصLوQرS عOلOى أ
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat
dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula".
(lihat Irsyadul Fuhul: 71).
B. Pembagian
Ijma' ada dua macam : Qoth'i dan Dzonni.
1. Ijma' Qoth'i
Ijma' yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini dengan pasti,
seperti ijma' atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya
zina. Ijma'jenis ini tidak ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya
dan keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang
menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
2. Ijma' Dzonni
Ijma' yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu' &
istiqro'). Dan para ulama telah berselisih tentang kemungkinan
tetapnya ijma' jenis ini, dan perkataan yang paling rojih dalam masalah
ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan
dalam Al Aqidah Al Wasithiyyah : "Dan ijma' yang bisa diterima dengan
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
pasti adalah ijma'nya as-salafush-sholeh, karena yang setelah mereka
banyak terjadi ikhtilaf dan umat ini telah tersebar."
Ketahuilah bahwasanya umat ini tidak mungkin bersepakat untuk
menyelisihi suatu dalil yang shohih dan shorih serta tidak mansukh
karena umat ini tidaklah bersepakat kecuali diatas kebenaran. Dan jika
engkau mendapati suatu ijma' yang menurutmu menyelisihi kebenaran,
maka perhatikanlah! Mungkin dalilnya yang tidak shohih atau tidak shorih
atau mansukh atau masalah tersebut merupakan masalah yang
diperselisihkan yang kamu tidak mengetahuinya.
C. Contoh Aplikasi
Contoh Ijma' para shahabat adalah :
- Dipilihnya Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu sebagai Khalifah
pengganti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
- Ditulisnya Al-Qur'an pada satu kitab,
- Diperbanyaknya Al-Qur'an,
- Shalat Tarawih berjama'ah secara terus menerus di zaman 'Umar
radhiyallahu 'anhu,
- Menamakan Ahlus-Sunnah sebagai lawan dari Ahlul-Bid'ah, dll.
Contoh Ijma' para 'ulama setelah masa sahabat adalah :
- Diberinya titik dalam huruf ayat-ayat Al-Qur'an, dan kemudian diberinya
baris,
- Pembagian Tauhid menjadi 3 (Rubbubiyyah, Uluhiyyah dan Asma' wa
Shifat), dll.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
3. QIYAS
A. Pengertian
a. Secara Bahasa
Secara bahasa, qiyâs merupakan bentuk masdar dari kata qâsa-
yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya,
"Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya", artinya
mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan
antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga
berarti "menyamakan", dikatakan "Fulan meng-qiaskan extasi dengan
minuman keras", artinya menyamakan antara extasi dengan minuman
keras.
Dalam perkembanganya, kata qiyâs banyak digunakan sebagai
ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik
penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah
buku.Atau maknawiyah, misalnya "Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si
Fulan", artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.
b. Secara Istilah
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi
yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda
tetapi mengandung pengertian yang sama.
Sadr al-Syari'ah (w. 747 H),tokoh ushul fiqh Hanafi mengemukakan
bahwa qiyâs adalah:
"Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu' disebabkan
kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan
bahasa saja".
Maksudnya, 'illat yang ada pada satu nash sama dengan 'illat yang ada
pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan
'illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan
hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Imam Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi'iyyah mendefinisikan
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
qiyâsdengan :
"Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum)
yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya,
atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun
sifat.".
DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyâsdengan :
"Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam
nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash,
disebabkan kesatuan illat antara keduanya".
Biarpun terjadi perbedaan definisi terminologi antara ulama klasik dan
kontemporer tentang qiyâs, namun mereka sepakat bahwa qiyâs adalah
"al-Kasyf wa al-Idzhâr li al-Hukm" atau menyingkapkan dan
menampakkan hukum, bukan menetapkan hukum ataupun
menciptakan hukum.Karena pada dasarnya al-maqîs atau sesuatu
yang dikiaskan, sudah mempunyai hukum yang tetap atau tsâbit, hanya
saja terlambat penyingkapanya sampai mujtahid menemukannya dengan
perantara adanya persamaan "illah.
B. Pembagian
Qiyas terbagi menjadi Qiyas Jali ( .(خفي�) dan Qiyas Khofi (جلي�
1. Qiyas jali adalah : yang tetap ‘illahnya dengan nash atau ijma’ atau
dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya.
Contoh yang ‘illah-nya tetap dengan nash : Mengqiyaskan
larangan istijmar (bersuci dengan batu atau yang semisalnya, pent)
dengan darah najis yang beku dengan larangan istijmar dengan kotoran
hewan, maka ‘illah dari hukum ashl-nya tetap dengan nash ketika Ibnu
Mas’ud rodhiyallohu anhu datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa
sallam dengan dua batu dan sebuah kotoran hewan agar beliau
beristinja’ dengannya, kemudian beliau mengambil dua batu tersebut dan
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
melempar kotoran hewan tersebut dan mengatakan : “Ini kotor (هذاركس)”,
dan (الركس) adalah najis (النجس).
Contoh yang ‘illah-nya tetap dengan ijma’ : Nabi shollallohu alaihi wa
sallam melarang seorang qodhi (hakim) memutuskan perkara dalam
keadaan marah.
Maka qiyas dilarangnya qodhi yang menahan kencing dari memutuskan
perkara, terhadap larangan qodhi yang sedang marah dari memutuskan
perkara merupakan qiyas jali karena ‘illah ashl-nya tetap dengan ijma’
yaitu adanya gangguan pikiran dan sibuknya hati.
Contoh yang dipastikan ‘illah-nya dengan menafikan perbedaan
antara ashl dan cabangnya : Qiyas diharamkannya menghabiskan harta
anak yatim dengan membeli pakaian, terhadap pengharoman
menghabiskannya dengan membeli makanan karena kepastian tidak
adanya perbedaan antara keduanya.
2. Qiyas khofi adalah : yang ‘illah-nya tetap
dengan istimbath (penggalian hukum) dan tidak dipastikan dengan
menafikan perbedaan antara ashl dengan cabang.
Contohnya : mengqiyaskan tumbuh-tumbuhan dengan gandum dalam
pengharaman riba dengan ‘illah sama-sama ditakar, maka
penetapan ‘illah dengan takaran tidak tetap dengan nash, tidak pula
dengan ijma’ dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan
antara ashl dan cabangnya. Bahkan memungkinkan untuk dibedakan
antara keduanya, yaitu bahwa gandum dimakan berbeda dengan
tumbuh-tumbuhan.
Qiyas asy-Syabh / Kemiripan (قياسالشبه)
Di antara Qiyas ada yang dinamakan dengan “Qiyas asy-Syabh” yaitu suatu
cabang diragukan antara dua ashl yang berbeda hukumnya, dan pada
cabang tersebut terdapat kemiripan dengan masing-masing dari
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
kedua ashl tersebut, maka cabang tersebut digabungkan dengan salah satu
dari kedua ashl tersebut yang lebih banyak kemiripannya.
Contohnya : apakah seorang budak bisa memiliki dalam keadaan ia dimiliki
dengan diqiyaskan kepada orang merdeka? atau dia tidak bisa memiliki
dengan diqiyaskan kepada binatang ternak?
Jika kita memperhatikan dua ashl ini, orang yang merdeka dan binatang
ternak, kita dapati bahwa budak diragukan antara keduanya. Dari sisi bahwa
ia adalah seorang manusia yang berakal, ia diberi ganjaran, diberi siksaan,
menikah dan menceraikan, yang ini mirip dengan orang merdeka. Dari sisi
bahwa ia diperjual belikan, digadaikan, diwaqafkan, dihadiahkan, dijadikan
sebagai warisan, tidak ditinggalkan begitu saja, dijaminkan dengan harga
dan bisa digunakan, yang hal ini mirip dengan binatang ternak. Dan kami
telah mendapatkan bahwa budak dari sisi penggunaan harta lebih mirip
dengan binatang ternak maka hukumnya digabungkan dengannya.
Jenis qiyas ini adalah lemah jika tidak ada antara cabang dan ashl-
nya ‘illah yang sesuai, hanya saja ia memiliki kemiripan dengan ashl-nya
dalam kebanyakan hukumnya dengan keadaan diselisihi oleh ashlyang lain.
Qiyas al-’Aks/ Kebalikan (قياسالعكس)
Di antara qiyas ada yang dinamakan dengan “Qiyas al-’Aks”, yaitu :
penetapan lawan hukum ashl untuk cabangnya, karena adanya lawan
dari ‘illah hukum ashl pada cabang tersebut.
Dan mereka (para ulama ahli ushul, pent) memberi contoh dengan sabda
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam :
أيttأتي أحttدنا شttهوته يttا رسttول اللttه! قttالوا: “وفي بضع أحدكم صttدقة“.
ويكون له فيها أجر؟ قال: “أرأيتم لttو وضttعها في حttرام أكttان عليttه وزر؟
فكذلك إذا وضعها في الحالل كان له أجر“
“Dan pada persetubuhan salah seorang di antara kalian bernilai shodaqoh.”
Para sahabat berkata : “Wahai Rosululloh, apakah salah seorang dari kami
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
menyalurkan syahwatnya lalu ia mendapat pahala karenanya?” Rosululloh
berkata : “Bagaimana menurut kalian jika ia menyalurkannya kepada yang
harom, bukankah ia akan mendapat dosa? Demikian pula jika ia
menyalurkannya kepada yang halal, maka ia akan mendapat pahala.”
Nabi shollallohu alaihi wa sallam menetapkan untuk cabang yaitu
persetubuhan yang halal sebagai pembatal hukum ashl yaitu persetubuhan
yang haram, karena adanya pembatal ‘illah hukum ashl pada cabang
tersebut, ditetapkan pahala untuk cabangnya karena ia adalah persetubuhan
yang halal, sebagaimana pada ashl-nya ditetapkan dosa karena ia adalah
persetubuhan yang haram.
C. Contoh Aplikasi
1. Penentuan jumlah nasab zakat beras, maka diqiyaskan dengan jumlah
nasab pada gandum.
2. Narkoba
Jaman Nabi tidak ada narkoba, tetapi ada arak yang haram hukumnya.
Disini narkoba juga memabukkan, jadi hukum narkoba disamakan (di-
Qiyas-kan) dengan hukumnya arak yaitu Haram.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
4. ISTISHLAH (Maslahah al Mursalah)
A. Pengertian
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu
maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab OحO –صOل
LحL OصQل ا menjadi ي Qح¥ OحOة¥atau صLل yang berarti sesuatu yang mendatangkan مOصQل
kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: OلOس QرO سSلL – ا QرL ¥ – ي اال Oس QرS سOلg- ا QرLم menjadiلOس QرLم
yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata
menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan)
yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu
perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah
mursalah ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada
nashnya dan tidak ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah
yang tidak dijelaskan syariat dan dibatalkan syariat.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah
jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk
mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan
membawa manfaat atau menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut
Mustafa Ahmad Al-Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk
dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat).
Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam
bentuk umum. Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan
kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika
mengatur berbagai aspek kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu
pemahaman, bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum
terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak
tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan
mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.
B. Pembagian
Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Tingkatannya.
Berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga
maqashid al-syari’ah, para ulama menggolongkan maslahah menjadi tiga
tingkatan:
a) Maslahah Dhoruriyyat
Yaitu maslahah yang ditetapkan demi keberlangsungan hidup manusia
di dunia maupun diakherat. Sekiranya maslahah ini tidak terealisisir,
maka hilanglah kehidpan manusia di dunia, hilanglah kenikmatan dan
tersiksalah di akherat. Maslahah ini meliputi lima hal yang telah
disebutkan di atas, yang menjadi maqasid al-syari’ah.
b) Maslahah Hajiyyat
Yaitu maslahah yang dibutuhkan oleh manusia hanya untuk
menghilangkan kesulitan pada dirinya. Sekiranya maslahah tersebut
tidak tercapai, maka hidup manusia akan merasa kesulitan dan
kesusahan, tidak sampai menghilangkan kehidupannya. Maslahah ini
terdapat pada masalah furu’ yang bersifat mu’amalah, –seperti jual
beli– serta berbagai macam keringanan (rukhsoh) yang telah
ditetapkan oleh syari’, misalnya menjama’ dan menqashar shalat bagi
musafir, berbuka bagai orang orang hamil dan menyusui dan lain
sebagainya.
c) Maslahah Tahsiniyyat
Yaitu maslahah yang dimaksudkan untuk memperbaiki adat kebiasaan
dan memuliakan akhlak manusia. Seperti bersuci ketika akan
melakukan shalat, memakai perhiasan, wangi-wangian, haramnya
makanan yang kotor dan lain sebagainya.
Oleh karena itu hukum-hukum yang mengandung kemashlahatan
dhorury menjadi lebih penting untuk didahulukan dan dijaga daripada
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
hukum-hukum yang bersifat hajjiyat apalagi yang bersifat
tahsiniy/takmily.
Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Pandangan Syari’
Berdasarkan adanya pengakuan dan penolakan dalil terhadap suatu
maslahah, maka para ulama membagi maslahah menjadi tiga macam,
yakni:
a) Maslahah Mu’tabaroh
Yaitu kemaslahatan yang diakui oleh syari’ dan terdapat dalil yang
menetapkannya. Maslahah ini dapat dijadikan hujjah hukum, tidak
diragukan lagi keabsahannya, serta tidak ada perselisihan dalam
mengamalkannya. Pengamalan maslahah ini disebut qiyas.
b) Maslahah Mulghoh
Yaitu maslahah yang tidak didukung oleh syar’i, akan tetapi ditolak
dan ditentang oleh syar’i. Artinya tatkala nash menghukumi suatu
peristiwa karena adanya kemslahatan di dalamnya, kemudian
sebagian orang menghukumi peristiwa tersebut dengan merubah
ketetapan syar’i karena kemaslahatan yang mereka perkirakan
(wahm). Hukum semacam ini ditolak, karena maslahah yang mereka
perkirakan tesebut ditentang oleh syar’i. Penetapan suatu hukum tidak
dapat didasarkan pada maslahah terebut karena hal itu bertentangan
dengan maqashid al-syari’ah. Misalnya persamaan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal pembagian warisan dengan alasan maslahah
yang mereka perkirakan. Hal itu bertentangan dengan firman Allah
dalam surat An-Nisaa ayat 11.
c) Maslahah Mursalah
Yaitu maslahah yang tidak ditemukan dalil yang mendukungnya dan
tidak ada pula yang menentangnya. Suatu peristiwa yang belum
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
terdapat hukumnya di dalam nash, dan tidak ada pula ‘illat yang dapat
diqiyaskan dengan nash, akan tetapi terdapat sesuatu yang sesuai
dengan nash dalam pensyari’atannya –artinya pensyari’atan hukum
tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan/manfaat dan menolak
kemadharatan– yang kemudian hal ini oleh para ulama diistilahkan
dengan mashalih al-mursalah. Dinamakan maslahah karena
mendatangkan manfaat dan kebaikan serta menolak kemadharatan;
dan dinamakan mursalah karena tidak terdapat nash (dalil) yang
mendukung ataupun menentangnya. Jadi pada hakikatnya maslahah
mursalah adalah segala sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan
yang telah termaktub dalam maqashid al-syari’ akan tetapi tidak
didukung oleh adanya dalil.
C. Contoh Aplikasi
Dalam kitab-kitab fiqh, tentang pencatatan perkawinan tidak termasuk
syarat sahnya perkawinan. Kemungkinan besar, para ulama’ pada saat itu
belum menganggap pencatatan perkawinan itu penting dan bermanfaat.
Di sisi lain, pencatatan perkawinan tidak dilarang dalam Islam, bahkan
mendatangkan maslahat yang banyak seperti untuk ketertiban, kepastian
hukum, dan mencegah terjadinya perkawinan monogami atau poligami
yang liar. Oleh karena dengan pertimbangan maslahah mengharuskan
adanya pencatatan perkawinan seperti tersebut dalam UU No. 1 tahun
1974, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) KHI. Dalam Pasal 5 ayat (1) KHI
jelas-jelas disebutkan “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
5. ISTIHSAN
A. Pengertian
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena
dia merasa hal itu adalah benar.
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan
secara lisan olehnya
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk
maslahat orang banyak.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya.
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hokum yang telah ditetapkan
pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’,
menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga,
karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
B. Pembagian dan Contohnya
Istihsan dibagi menjadi dua. Pertama, istihsan dipandang dari segi
pemindahan hukumnya. Dan yang kedua, istihsan dipandang dari sandaran
dalilnya.
Adapun istihsan dari segi pemindahan hukumnya, terbagi kepada dua
macam yaitu sebagai berikut,
1. Istihsan dengan cara pemindahan hukum kulli kepada hukum juzi.
Contohnya, dalam hukum syara’ seseorang tidak boleh melakukan
transaksi jual beli dengan barang yang belum ada ketika
dilangsungkannya akad jual beli. Aturan ini berlaku untuk seluruh jenis
transaksi jual beli, karena jual beli tanpa adanya barang ketika akad
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
berlangsung maka akad tersebut menjadi rusak. inilah yang disebut
dengan hukum kulli.
Kemudian, syari’at memberikan keringanan dan pengecualian kepada
pembelian barang dengan uang tunai tapi barangnya dikirim kemudian
dengan waktu dan jenis barang yang telah ditentukan (jual-beli salam).
Jual beli ini dilakukan karena telah menjadi kebiasaan di masyarakat, juga
jual beli ini untuk mempermudah bagi para penjual yang tidak memiliki
modal, pengecualian atau keringanan ini dinamakan dengan pemindahan
hukum kulli kepada hukum juzi. Mengenai jual beli salam ini rasulullah
Saw bersabda,
( . رواه معلوم أجل إلى و معلوم ووزن معلوم كيل فى فليسلف شيئ فى أسلف من
البخارى(
Artinya: barangsiapa yang meminjamkan sesuatu, hendaknya ia
meminjamkan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan
dalam tempo yang jelas. (HR. Bukhari).
2. Istihsan dengan cara pemindahan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi,
karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu. Contohnya,
menurut madzhab hanafi, sisa minum burung buas seperti burung elang
dan gagak adalah suci dan halal diminum. Penghalalan ini ditetapkan
berdasarkan istihsan. Menurut qiyas jalli, meminum sisa minuman
binatang buas seperti anjing dan burung buas adalah haram, karena
binatang tersebut langsung minum dengan lisannya yang diqiyaskan
kepada dagingnya. Menurut istihsan, berbeda antara mulut binatang buas
dengan burung buas tadi. Kalau binatang buas langsung minum dengan
mulutnya, sedangkan burung buas minum melalui paruhnya yang bukan
merupakan najis. Karena itu mulut burung buas tadi tidak bertemu
dengan dagingnya yang haram dimakan. Dari perbedaan antara binatang
buas dan burung buas tadi, maka ditetapkanlah perpindahan qiyas jalli
kepada qiyas khafi.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
Sedangkan istihsan dipandang dari segi sandaran dalilnya, istihsan
dibagi menjadi beberapa macam, yaitu
1. Istihsan yang disandarkan kepada teks Al-Quran atau hadits yang lebih
kuat. Seperti jual beli salam yang telah penulis bahas di atas.
2. Istihsan yang disandarkan kepada ijma’. Contohnya, bolehnya
mengambil upah dari orang yang masuk WC. Secara kaidah umum,
tidak boleh seseorang mengambil upah tersebut, karena tidak bisa
diketahui dan dipastikan berapa lama si pengguna berada didalam WC,
juga tidak bisa diketahui seberapa banyak dia menggunakan air didalm
WC. tetapi berdasarkan istihsan, diperbolehkan si petugas mengambil
upah dari pengguna WC tersebut, karena sudah membantu
menghilangkan kesulitan orang tersebut, juga sudah menjadi
kebiasaan dan tidak ada penolakan dari seorang pun sehingga menjadi
ijma.
3. Istihsan yang disandarkan kepada adat kebiasaan (‘Urf). Seperti
pendapat sebagian ulama yang membolehkan wakaf dengan barang-
barang yang bergerak, seperti mewakafkan buku, mobil dan barang-
barang lainnya. Menurut kaidah umum, wakaf itu harus pada barang-
barang yang tidak bergerak, seperti tanah, atau bangunan. Kemudian
ulama membolehkan wakaf dengan barang-barang yang bergerak tadi
karena sudah menjadi adat (‘urf) di lingkungan tersebut.
4. Istihsan yang disandarkan kepada urusan yang sangat darurat.
Seperti, membersihkan sumur yang terkena najis, hanya dengan
mengambil sebagian air dari sumur itu. Menurut qiyas, air sumur
tersebut tidak bisa dibersihkan lagi, karena alat untuk membersihkan
air itu sudah kena najis, dan tidak mungkin dibersihkan. Tetapi
menurut istihsan, air itu bersih lagi hanya dengan mengeluarkan
sebagian airnya saja. Karena mengeluarkan sebagian air itu tidak
mempengaruhi kesucian sisanya. Inilah yang dinamakan dengan
darurat, yang bertujuan untuk memudahkan urusan manusia. Selain
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
itu juga dalam ayat Al-Quran sudah disebutkan bahwa agama itu
bukan untuk menyusahkan manusia. Allah Swt berfiman,
الحج ) حرج من الدين فى عليكم جعل (78: وما
Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan. (Al-Haj: 78)
5. Istihsan yang disandarkan kepada kemaslahatan.
6. Istihsan yang disandar kepada qiyas khafi. Seperti bolehnya minum air
sisa minum burung buas seperti elang dan gagak.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
3. ISTIDLAL
A. Pengertian
Istidlal adalah memberikan pendapat dengan menggunakan dalil-dalil dari
pihak lain, yaitu sebuah cara untuk memberikan pendapat dengan
mengutip teori-teori yang sudah umum dan relevan dengan persoalan
yang dihadapi.
B. Pembagian dan contoh
Istidlal dibagi menjadi 2 bagian :
1. Istidlal Qiyasi, yaitu sesuatu proses pemecahan pemikiran pada waktu
perpindahan pemikiran dari hakikat yang diketahui pada yang tidak
diketahui sebagai kaedah diperbolehkannya untuk sampai kepada
tujuan, contoh:
Anda adalah yang menapaktilasi kemaslahatan negara.
Setiap orang yang menapaktilasi kemaslahatan nagara, dia adalah
warga negara.
Jadi, Anda seorang warga negara.
2. Istidlal Istiqroi atau Istinbati, yaitu Istidlal yang dibentuk dengan
menghubungkan bagian-bagian dan menelitinya secara sempurna
yang dapat menyampaikan akal dengan kesimpulan umum. Seperti
setelah kita melihat bahwa api dapat mencairkan barang-barang
tambang, itu telah menjadi kesimpulan umum, begitu juga dengan
yang lainnya.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
4. ISTISHAB
A. Pengertian
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak
melepaskan sesuatu. Jika seseorang mengatakan:
سفري في الكتاب استصحبت
maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam
perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-
istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang
disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab)
adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di
masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku
sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan (hukum tersebut).”
2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah-
mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan
sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap
ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
B. Pembagian dan Contoh
1. Istishab al bara’at al ashliyah yaitu seperti terlepasnya tanggung jawab
dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan taklifnya.
Contoh : anak kecil sampai datang balighnya.
2. Istishab yang ditunjukkan oleh syara’ atau akal. Contoh : seseorang
harus tetap bertanggung jawab terhadap hutang sampai ada bukti dia
telah melunasi.
3. Istishab hukum. Contoh : sesuatu telah ditetapkan dengan hukum
mubah atau haram maka hukum ini terus berlangsung sampai ada dalil
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang
asalnya haram.
4. Istishab washaf. Contoh : bila seseorang meninggalkan kampung
halaman dalam keadaan hidup maka orang ini dianggap hidup sampai
ada bukti yang menunjukkan bahwa ia telah meninggal dunia.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
5. URF
A. Pengertian
Al ’Urf juga dikenal dengan istilah Al ’Adat & Al Ta’ammul. Definisinya
”segala sesuatu yang biasa dijalankan orang pada umumnya, baik
perbuatan atau perkataan. Adat dengan persyaratan-persyaratan
tertentu da[at dijadikan sandaran untuk menetapkan suatu hukum. Dalil
penggunaan adat dalam hadits Nabi SAW ”Apa yang dianggap baik oleh
orang-orang Islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah.”
B. Pembagian dan Contohnya
Para ulama masih membagi urf menjadi beberapa bagian ditinjau dari
aspek yang menjadi pembeda dari urf itu sendiri yaitu dari luas dan
tidaknya suatu urf berlaku dan dari kesesuaian urf dengan syariat:
urf dari segi keabsahannya
1. Urf Shahih
yaitu urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, tidak bertentangan
dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan, dan juga tidak
membawa kemudlaratan. Dalam kitab lain disebutkan ialah urf yang
tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal.
Misalnya pemberian kado/hadiah kepada penganten pada malam resepsi
perkawinannya dan seorang calon suami sewaktu meminang dengan
memberikan sesuatu kepada calon istrinya, dan pemberian itu tidak
dianggap sebagai maskawin.
2. Urf Fasid
yaitu urf yang berlaku dan dilakukan oleh masyarakat namun hal itu
bertentangan dengan syara’, membawa kemudlaratan, dan
menghilangkan kemanfaatan. Atau di dalam ibarat lain disebutkan yaitu
urf yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu
yang halal.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
Misalnya kebiasaan minum minuman keras pada saat pesta perkawinan
dan melakukan praktek riba dalam perdagangan dan utang piutang.
urf dari segi cakupannya
Urf ‘Am
yaitu urf yang berlaku di beberapa daerah ataupun paling tidak urf ini
berlaku tidak hanya dalam satu daerah saja.
Misalnya urf dalam penggunaan kamar mandi di tempat umum dengan
tariff harga tertentu, namun batas penggunaan waktu dan jumlah
pemakaian air tidak ditentukan. Kebiasaan seperti ini berlaku hampir di
setiap daerah atau paling tidak berlaku tidak hanya di dalam satu daerah
saja.
Urf Khos
yaitu urf yang berlaku hanya di daerah tertentu saja atau bahkan hanya
pada satu wilayah. Seperti kebiasaan seorang calon suami memberi
sesuatu kepada tunangannya ketika melakukan khitbah/ta’aruf.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
3. SADDUD DZARIAH
A. Pengertian
Adalah Tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentingan umat.
Pengertian sadd Adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi ( dalam Syafe’i,
2007 : 132 ) adalah:
مفسدة بماهومصلحةالئ التوصل
Artinya : Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan ( kemafsadatan ).
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd Adz-dzari’ah adalah
perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung
kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan
itu dilarang, yaitu:
1) Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
2) Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan.
3) Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur
kemafsadatannya.
B. Pembagian dan Contoh
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemaf
sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
Ad-dzariah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:
a. Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila
perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan.
Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu
malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan
dengan sengaja.
b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan
arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul
kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan
keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari
musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula
anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut
kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh
menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada
penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau
menyakiti orang lain.
c. Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut
kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali
sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang
dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli
kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng
dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau
perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan,
belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali
lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut
kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam
lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan
terjatuh ke dalam lobang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain
sebagai berikut:
1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag
Yenny Kasim092209 0050
seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada
kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada
kerusakan tata keturunan.
2. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun
ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja,
seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci sembahan
agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun
dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidakboleh
hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya
mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi
agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
3. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk
kerusakan, namun biasanya samapi juga kepada kerusakan yang
mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya
seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah,
berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias
itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah
keadaannya lain.
4. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung
membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil
dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah
perempuan saat dipinang.
DOSEN : Dra Jami’ah T. , M.Ag