PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

31
KARYA T.ULIS ILMIAH PEMANFAATAN TEKNIK FISIKA TERAPAII DALAM PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH Boctrocera sp. (DIPTERA: TEPHRITIDAE) Oleh: I Gde Antha Kasmawan, S.Si., M.Si. JIJRUS$I FISIKA FAKT'LTAS MATEMATIKA DAII ILMU PENGETAHUAI\I ALAM UNIYf,RSITAS UDAYANA 2016

Transcript of PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

Page 1: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

KARYA T.ULIS ILMIAH

PEMANFAATAN TEKNIK FISIKA TERAPAII DALAM

PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH Boctrocera sp.

(DIPTERA: TEPHRITIDAE)

Oleh:

I Gde Antha Kasmawan, S.Si., M.Si.

JIJRUS$I FISIKA

FAKT'LTAS MATEMATIKA DAII ILMU PENGETAHUAI\I ALAM

UNIYf,RSITAS UDAYANA

2016

Page 2: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

HALAMAN PENGESAIIANKARYA TULIS ILMIAH

Judul Penelitian

Ketuaa. Namakngkapb. NIPc. JabatanFungsional

d. Program Studi

e. Nomor IIPf. Alamat surel (e-mail)

Pemanfaatan TeknikPengendalian Hama

(Diptera: Tephritidae)

Fisika Terapan dalamLalat Buah Bactracera sp.

I Gde Antha Kasmawan, S.Si., M.Si.t9670624199402r00rLektorFisika08t337314289

[email protected]

gdeanthakas@yahoo. com

NIP. 1 966061rr99702t001

Universitas Udayana

Made Suaskara, M.Si.)

Bukit Jimbaran, 27 luli 2016

Penyusun

(I Gde Antha Kasmawan, S.Si.,M.Si.)

NIP. 1 9670 624t99402t00r

Page 3: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia-Nya

penulisan Karya Tulis Ilmiah dengan judul: “Pemanfaatan Teknik Fisika Terapan

dalam Pengendalian Hama Lalat Buah Bactrocera sp. (Diptera: Tephritidae)” telah

berhasil kami selesaikan. Adapun penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini dimaksudkan

untuk memenuhi salah satu unsur publikasi dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan

Tinggi di Jurusan Fisika F.MIPA Universitas Udayana.

Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada rakan-rekan sejawat yang telah

memberikan bantuan dan motivasi untuk terselesainya Karya Tulisan Ilmiah ini. Kami

juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,

baik langsung maupun tak langsung, dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.

Kami berharap Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca

dan untuk memahaminya lebih lanjut, dipersilakan menyimak langsung lewat daftar

pustaka di bagian belakang makalah ini. Segala saran dan kritik yang membangun

kami harapkan demi peningkatan kualitas Karya Tulis Ilmiah ini.

Mengwi, Juni 2016

Penyusun

Page 4: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

iii

DAFTAR ISI

Halaman:

Lembaran Pengesahan ..……………………………………………..…….………. i

Kata Pengantar …...……………………………………………………...………… ii

Daftar Isi ……………………..……………………………………………………. iii

Daftar Gambar …………………………………………………………………..…. iv

Bab I Pendahuluan ……………………………………………………….…….. 1

1.1 Latar Belakang ..…………………………………………..……….... 1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………… 3

1.3 Tujuan …………………………………………………………...…... 4

1.4 Ruang Lingkup Permasalahan ………………………………………. 4

Bab II Tinjauan Pustaka ………………………..……………………………..…. 5

2.1 Morfologi Lalat Buah Bactrocera ………………………………..…. 5

2.2 Siklus Hidup Lalat Buah Bactrocera ………………………………... 6

2.3 Interaksi Serangga Herbivora dan Tanaman ………………………… 7

2.4 Pengendalian Hama Lalat Buah ……………………………………… 9

2.4.1 Pengendalian hama dengan teknik fisika terapan .................. 10

2.4.2 Radiasi sinar gamma dan pengaruhnya terhadap organisme ….. 11

Bab III Pemanfaatan Teknik Fisika Terapan dalam Pengendalian Hama

Lalat Buah Bactrocera sp. (Diptera: Tephritidae) ………..……………… 14

3.1 Pengendalian Hama secara Mekanik …………...………………….... 14

3.2 Pengendalian Hama dengan Cahaya .................................................... 15

3.3 Pengendalian Hama dengan Bunyi ………………………………..... 16

3.4 Pengendalian Hama dengan Radiasi ………………………………… 18

3.5 Pengendalian Lalat Buah Bactrocera dengan Radiasi Gamma ........... 19

BAB IV Penutup ……………………………………………………….…………. 22

4.1 Kesimpulan ……………………… ………………………………..... 22

4.2 Saran …………………………………………………………………. 23

Daftar Pustaka …………………………………………………………..……….… 24

Page 5: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman:

Gambar 2.1 Morfologi lalat buah ……………………...…………..…….………. 5

Gambar 2.2 Lalat buah Bactrocera carambolae imago …………………………. 6

Gambar 3.1 Perangkap cahaya (Light Trap) (BPPP, 2012) ……………………… 15

Page 6: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lalat buah Bactrocera, termasuk ke dalam ordo Diptera, keluarga

Tephritidae, yang dalam kehidupannya lebih dikenal sebagai hama pemakan buah

(frugivorous) dan termasuk hama utama. Hama lalat tersebut telah menjadi persoalan

serius karena dapat memperkecil produksi dan dapat membatasi perdagangan antar

pulau bahkan antar negara. Beberapa kasus serangan lalat buah yang menyebabkan

penurunan produksi buah telah terjadi di beberapa bagian wilayah di Indonesia. Pada

tahun 2005, di Kabupaten Sumedang, lalat buah Bactrocera dorsalis complex telah

merusak buah pada 87.591 pohon mangga di lahan seluas 875 ha yang

mengakibatkan 18,5 ton dari 220 ribu ton gagal panen. Sementara itu, di Kabupaten

Kendal, serangan lalat buah telah mengakibatkan penurunan produksi buah lengkeng

hingga mencapai 35% (Trubus, 2009). Di Kabupaten Karo (Sumatra Utara), serangan

lalat buah juga telah mengakibatkan penurunan produksi jeruk hingga mencapai 40%

pada Januari 2012 (Kompas, 2012) dan pada Februari 2013, hampir 9.702,4 hektar

dari 14.008 hektar lahan jeruk terancam rusak akibat dari serangan lalat buah (Berita

Sore, 2013). Serbuan lalat tersebut di wilayah Jawa timur dan Bali mempelihatkan

intensitas cukup tinggi hingga mencapai 70% dan bahkan dapat mencapai 100% pada

buah belimbing dan jambu biji (Kardinan dkk., 2009). Sebagai faktor penghambat

perdagangan, hama lalat buah telah mengakibatkan kegagalan ekspor produk buah

asal Indonesia ke manca negara. Indonesia pada tahun 2006 tercatat pernah ditolak

oleh Jepang, Australia, dan Belanda untuk ekspor komoditas mangga arumanis

karena terdapat larva lalat di dalam daging buah tersebut (Trubus, 2009). Hal yang

sama juga pernah terjadi untuk komoditas papikra Indonesia yang pernah ditolak

Taiwan (Balittra 2013).

Malavasi et al. (2013) menyatakan bahwa ada tiga karakteristik utama yang

menyebabkan status lalat buah Bactrocera sebagai serangga invasif yang potensial,

yaitu laju pertumbuhan populasinya yang cepat dan besar, kemampuan penyebaran

alaminya yang tinggi, serta sebaran antropogenik yang tinggi karena tahapan siklus

Page 7: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

2

hidup telur dan larva selalu ada di dalam buah yang segar. Salah satu contoh

penyebaran lalat buah tersebut adalah carambolae fruit fly (CFF), spesies asli asal

Indonesia, telah ditemukan di Suriname, yang mana kedua negara ini adalah sama-

sama bekas koloni Belanda. Lalat buah Bactrocera mempunyai kemampuan untuk

menyebar dengan cepat dan menyerang buah-buahan yang ada di daerah yang

letaknya jauh dari pusat penyebaran aslinya. Berkenaan dengan hebatnya serangan

lalat buah tersebut pada jenis buah-buahan komersial akhirnya mendorong semua

negara pengimpor untuk memberlakukan peraturan karantina terhadap serangga

tersebut. Adanya aturan tersebut dapat menghambat penjualan produk buah dan

perluasannya (Kardinan dkk., 2009).

Siklus hidup lalat buah Bactrocera melewati empat tahapan, yaitu tahap telur,

larva, pupa (kepompong), dan imago dan siklus hidupnya dari telur hingga imago

produktif dapat mencapai selama sekitar 30-40 hari. Beberapa percobaan telah

menunjukkan bahwa lalat imago bisa tetap bertahan hidup selama 125 hari.

Bagaimanapun, umur serangga tersebut dapat bervariasi dengan lingkungan

khususnya suhu dan ketersediaan pakan. Tahap telur dan larva dilewati di dalam

daging buah. Saat mencapai instar akhir, larva lalat buah akan meloncat dan

melenting keluar hingga jatuh ke tanah. Di dalam tanah, larva tersebut kemudian

akan menjadi pupa dengan kulit terakhirnya hingga akhirnya menjadi imago

(Malavasi et al., 2013).

Lalat buah Bactrocera memiliki siklus hidup relatif cepat dan tingkat

penyebaran yang cepat dan luas sehingga perlu dikendalikan sistem pengendalian

hama terpadu (PHT). Sistem PHT ini merupakan hasil pemahaman dari perpaduan

berbagai disiplin ilmu eksakta dan sosial/ekonomi. Penerapan PHT haruslah

disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan sosial/budaya setempat untuk lebih

menjamin proses pembangunan pertanian berkelanjutan yang mengutamakan

kelestarian lingkungan (Oka, 2005). Penerapan PHT terkait dengan tindakan

pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Tindakan tersebut dapat melalui cara fisika, lewat penggunaan unsur

radioaktif tertentu; metode mekanik biasa, lewat pemakaian alat ataupun kecakapan/

kesanggupan fisik; metode budidaya, lewat penyesuaian waktu bercocok tanam; cara

Page 8: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

3

genetik, lewat manipulasi gen tanaman atau pengganggunya; metode kimiawi, lewat

pengguanan pestisida; serta metode-metode lainnya berdasarkan kemajuan ilmu dan

teknologi (Budiasa, 2011).

Baik pemerintah maupun petani telah banyak melakukan upaya pengendalian

hama lalat buah Bactrocera. Secara konvensional, beberapa cara pengendalian hama

tersebut adalah melalui pembungkusan buah dengan lembaran kertas atau kantong

plastik (pembrongsongan) dan melalui penggunaan pestisida. Pada umumnya,

pengendalian hama yang lazim digunakan adalah melalui penggunaan pestisida

sintetis, baik digunakan secara langsung maupun tak langsung. Hasil pengendalian

dengan pestisida sinetetis memang lebih cepat diketahui hasilnya dan bersifat lebih

praktis. Walaupun bersifat praktis, banyak ekses penggunaan pestisida tidak baik

bagi kesehatan manusia.

Penelitian tentang PHT untuk hama lalat buah Bactrocera telah banyak

dilakukan. Penggunaan pestisida alami (pestisida selasih) sebagai atraktan yang

diterapkan pada tanaman mangga di Sumedang ternyata mampu meminimalisasi

pemakaian pestisida sintetis sebesar 62%, dapat meminimalisasi rusaknya buah

hingga 34%, dan mampu mendongkrak hasil panen hingga 73% (Kardinan, 2009). Di

sisi lain, PHT untuk Bactrocera telah dicoba menggunakan ilmu fisika terapan, ilmu

radiasi, yang salah satunya adalah melalui penggunaan radiasi sinar Gamma dengan

dosis tertentu. Teknik pengendalian tersebut kemudian lebih dikenal sebagai teknik

jantan mandul (TJM) atau pada serangga disebut dengan istilah teknik serangga

mandul (TSM).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, beberapa permasalahan dapat

dituliskan sebagai berikut :

1. Apa sajakah cabang-cabang ilmu fisika terapan dan perannya dalam PHT

khususnya dalam pengendalian hama lalat buah Bactrocera?

2. Bagaimanakah pemanfaatan teknik ilmu fisika terapan khususnya teknik

radiasi dalam pengendalian hama lalat buah Bactrocera?

Page 9: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

4

1.3 Tujuan

Tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah untuk:

1. Memahami cabang-cabang ilmu fisika terapan dan perannya dalam PHT

khususnya dalam pengendalian hama lalat buah Bactrocera.

2. Memahami pemanfaatan teknik fisika terapan khususnya teknik radiasi

dalam pengendalian hama lalat buah Bactrocera.

1.4 Ruang Lingkup Pembahasan

Ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini

adalah pemanfaatan teknik fisika terapan dalam pengendalian hama serangga secara

umum. Pembahasan selanjutnya dikhususkan pada pengendalian hama terpadu

khususnya untuk pengendalian lalat buah Bactrocera sp. (Diptera: Tephritidae).

Page 10: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Lalat Buah Bactrocera

Lalat buah Bactrocera, termasuk ke dalam Ordo Diptera, Famili Tephritidae,

Subfamili Dacinae, Tribe Dacini. Di alam, Famili Tephritidae terdapat sekitar 4000

spesies dan dikelompokkan ke dalam 500 genus. Secara morfologis, Tribe Dacini

dibagi ke dalam tiga genus, yaitu Bactrocera, Dacus, dan Monacrostichus (Siwi dkk,

2006).

Lalat buah Bactrocra dewasa agak mirip dengan lalat rumah biasa, dengan

panjang tubuh sekitar 8,0 mm, lebar sekitar 3 mm, dan sayap sekitar 7,3 mm.

Morfologi lalat buah ditunjukkan oleh Gambar 2.2 (Sukarmin, 2011). Bentuk kepala

agak bulat berwarna merah kecoklatan dengan sepasang antena pendek. Bagian dada

warnanya jingga, merah agak coklat, coklat kehitaman, dan umumnya ada dua garis

memanjang dengan sayap tembus pandang berjumlah sepasang.

Gambar 2.1 Morfologi lalat buah (Sukarmin, 2011)

Pada bagian abdomen dapat dijumpai dua pita menyilang dan satu pita memanjang

berwarna hitam yang kadang-kadang tidak tampak jelas. Lalat buah Bactrocera

antara imago jantan dan betina terlihat jelas pada bagian abdomennya. Abdomen

Page 11: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

6

pada lalat jantan lebih bulat sedangkan pada betina terdapat ujung agak runcing

dengan alat peletak telur (ovipositor), seperti dalam Gambar 2.2 (Weems et al, 2012,

Ditlinhort, 2013, dan Malavasi et al, 2013).

Gambar 2.2 Lalat buah Bactrocera carambolae imago (Malavasi et al, 2013)

2.2 Siklus Hidup Lalat Buah Bactrocera

Siklus kehidupan Bactrocera melewati empat tahapan, yaitu tahap telur,

larva, kepompong, dan dewasa. Lalat buah ini menyelesaikan siklus dari telur hingga

dewasa produktif sekitar 30-40 hari. Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa

lalat dewasa bisa tetap hidup selama 125 hari. Bagaimanapun, umur dapat bervariasi

dengan suhu lingkungan dan ketersediaan pangan. Telur lalat buah berwarna putih

bening sampai kuning krem, dan berubah agak lebih tua mendekati saat menetas

(setelah 2 hari). Telur berbentuk bulat panjang seperti pisang dengan ujung

meruncing, berukuran panjang 1,2 mm, lebar 0,2 mm, berkelompok 2 – 15 butir di

bawah kulit buah. Setelah larva menetas, mereka mulai makan dan membuat liang di

dalam daging buah. Larva lalat (3 instar) berupa belatung (bulat panjang), salah satu

ujung larva berbentuk lancip (meruncing) dengan dua bintik hitam sebagai alat kait

mulut, memiliki tiga ruas torak, delapan ruas abdomen, warnanya putih kekuning-

kuningan dengan panjang sekitar 10 mm. Larva instar 3 mempunyai kemampuan

Page 12: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

7

meloncat dan melenting keluar dari dalam buah dan menjatuhkan diri ke tanah,

membentuk puparium dari kulit larva terakhirnya dan menjadi pupa di dalam tanah.

Stadium larva 6 – 9 hari. Pupa lalat buah berwarna coklat, bentuknya oval dan

panjangnya sekitar lima mm. Umur pupa sekitar 10 hari, dan menjadi lalat buah

dewasa. (Ditlinhort, 2013, dan Malavasi et al, 2013)

Pada B. carambola, perkawinan terjadi tepat sebelum gelap ketika intensitas

cahaya menjadi kurang dari 1000 lux dan umumnya terjadi pada tanaman inang. Di

Suriname, kawin pertama B. carambolae betina biasanya terjadi 18 hari setelah

kemunculnya. Kemudian, lalat buah betina ini menusuk buah mentah dan sehat

dengan ovipositornya, dengan cara membuat rongga. Biasanya, jumlah telur

dihasilkan sebanyak 3000 telur selama hidupnya di laboratorium dan 1200-1500 telur

pada masa produktif di bawah kondisi lapangan. Lalat buah dewasa, baik jantan

maupun betina, membutuhkan makanan yang kaya asam amino, vitamin, mineral,

karbohidrat dan air untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Baik imago jantan

maupun betina harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari makan setiap

hari di liungkungan sekitarnya. Jenis-jenis makanan lalat buah Bactrocera dapat

bervariasi seperti makanan termasuk melon, madu bunga, serbuk sari, jus buah, buah

matang, mikroorganisme dan kotoran burung (Malavasi et al, 2013).

2.3 Interaksi Serangga Herbivora dan Tanaman

Untuk lebih memahami lalat buah Bactrocera sebagai hama tanaman, sangat

penting untuk mengetahui adanya interaksi antara serangga herbivora dan tanaman

sebagai inangnya. Proses terjadinya interaksi serangga herbivora dan tanaman dapat

dilihat dari aspek serangga dan tanaman (Marcia et al., 2002). Ditinjau dari aspek

serangga, pada dasarnya terdapat lima tahapan proses yang dilalui sehingga terjadi

atau tidaknya interaksi antara serangga dan tanaman sebagai inangnya. Lima tahapan

dari proses tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menemukan habitat tanaman:

Habitat tanaman inang dapat ditemukan serangga berdasarkan rangsangan/

stimulus fisik, seperti cahaya, angin, gravitasi, temperatur, serta kelembaban.

Rangsangan ini akan memandu serangga menuju habitat tanaman inang.

Page 13: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

8

2. Penemuan tanaman inang

Setelah menemukan habitat tanaman inangnya, serangga menemukan

keberadaan tanaman inang dengan mengandalkan sinyal (isyarat) visual dalam

bentuk warna, bentuk, dan ukuran tanaman inang serta aroma (kimia) dari

tanaman inang.

3. Pengenalan tanaman inang

Tanaman untuk inang dikenali serangga dengan mencicipinya. Apabila seleranya

sesuai, proses berlanjut dan bila tidak, serangga akan pergi ke tanaman lainnya.

4. Penerimaan tanaman inang.

Beberapa faktor fisik yang berpengaruh pada proses penerimaan inang adalah

kondisi permukaan daun, meliputi kekerasannya, ada tidaknya lapisan lilin, dan

kepadatan serta jenis bulu daun (pubescence).

5. Ketersediaan (kecukupan) tanaman sebagai inang

Syarat kelima dalam proses interaksi antara serangga dan tanaman inang adalah

kecukupan tanaman sebagai inang yang meliputi kecukupan nutrisi dan tidak

terdapat zat toksik dalam tanaman inang.

Bila dilihat dari sudut/sisi pandang tanaman, berlangsungnya proses interaksi

serangga herbivora dengan tanaman sebagai inangnya dapat dipengaruhi oleh dua

faktor penting, yaitu:

1. Faktor morfologis

Tanaman inang biasanya menyajikan rangsangan (stimulus) fisik yang dapat

menarik serangga hama untuk mendekatinya. Faktor morfologis tersebut dapat

berupa ukuran daun, bentuk daun, warna daun, dan ketersediaan sekresi kelenjar.

Faktor-faktor lain seperti ada tidanya rambut pada daun serta keras tidaknya

jaringan pada daun dapat pula mempersempit ruang gerak dan makan serangga.

2. Faktor fisiologis

Metabolisme tanaman menghasilkan senyawa kimia, yaitu senyawa primer dan

sekunder. Senyawa primer adalah senyawa kimia yang berperan sebagai bahan

katalis reaksi, pembentuk jaringan, serta penyedia energi, yang sangat terkait

dengan pertumbuhan dan reproduksi tanaman. Sedangkan, senyawa sekunder

Page 14: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

9

adalah senyawa yang diduga berperan dalam mekanisme pertahanan serangga

terhadap serangga lainnya. Adanya dugaan ini mengingat peranan senyawa ini

belum jelas dalam metabolisme tanaman. Meski demikian, kedua senyawa ini

berpengaruh pada proses pemilihan tanaman sebagai inang oleh serangga.

2.4 Pengendalian Hama Lalat Buah

Lalat buah adalah serangga perusak buah-buahan dan tanaman hortikultura

lainnya yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas buah. Tingkat kerusakan dapat

mencapai 75%. Adanya gangguan lalat buah di beberapa daerah di Jawa Timur dan

Bali sangat bervariasi dengan selang lebar berkisar dari 6,4% hingga 70%. Gangguan

lalat buah pada buah manga berada dalam kisaran 14,8% hingga 23%. Namun pada

belimbing dan jambu biji, gangguan hama lalat buah berakibat fatal bahkan kerugian

yang dialami petani hingga 100%. Oleh kerena itu, keberadaan lalat buah menjadi

permasalahan serius dan bisa menjadi penghambat perdagangan (trade barrier) dunia

(Kardinan dkk, 2009). Komoditas ekspor dari produk tanaman akan ditolak apabila

di dalamnya ditemukan telur atau larva lalat buah, seperti yang pernah terjadi pada

komoditas paprika Indonesia yang ditolak oleh Taiwan (Balittra, 2013).

Dengan siklus hidup yang relatif cepat dan tingkat penyebarannya yang cepat

dan luas maka perlu dikendalikan system Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pada

dasarnya, PHT bukanlah hal baru untuk Indonesia. Pada tahun 1925, pada ahli

Belanda telah menerapkan PHT untuk tanaman kelapa, yaitu penanggulangan hama

Artona catoxanta yang hanya menggunakan kombinasi penyemprotan insektida

botanik dan pemanfaatan musuh-musuh alaminnya. Konsep PHT kembali digiatkan

kembali setelah gagalnya upaya pemerintah dalam pemberantasan hama dan penyakit

tanaman yang hanya menggunakan insektisida kimiawi. Melalui instruksi presiden

nomor 3 tahun 1986, Indonesia kembali menerapkan konsep Pengendalian Hama

Terpadu (PHT). Konsep ini adalah hasil pemahaman dari perpaduan berbagai disiplin

ilmu-ilmu eksakta dan sosial/ekonomi. Penerapan PHT disesuaikan dengan kondisi

lingkungan dan sosial/budaya setempat untuk lebih menjamin proses pembangunan

pertanian yang mengutamakan kelestarian lingkungan (Oka, 2005). Selanjutnya,

penerapan PHT diperkuat dengan peraturan pemerintah (PP No. 6 Th.1996) yang

Page 15: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

10

mengatur mengenai perlindungan tanaman bahwa untuk pengendalian hama atau

organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dapat menggunakan metode fisika, lewat

penggunaan unsur radioaktif tertentu; metode mekanik, lewat pemakaian peralatan

mekanis; metode budidaya, lewat penyesuaian penanaman tanaman; metode genetik,

lewat manipulasi gen tanaman atau pengganggunya; metode kimiawi, lewat

pemakaian pestisida; serta metode-metode lainnya berdasarkan perkembangan ilmu

dan teknologi terkini (Budiasa, 2011).

Lalat buah tidak cukup hanya dikendalikan dengan ME (methyl eugenol) saja

namun harus dipadukan dengan cara lainnya misalnya sanitasi kebun yaitu

membersihkan dan mengubur buah busuk yang terserang lalat buah pada kedalaman

60-70 cm, pembrongsongan buah sedini mungkin ketika buah masih kecil dengan

kertas semen atau plastik dan lain sebagainya, serta pemanfaatan musuh alami lalat

buah berupa parasitoid yaitu dari jenis Opius sp. (Sarwono, 2003).

2.4.1 Pengendalian Hama dengan Teknik Fisika Terapan

Pengendalian hama terpadu (PHT) dengan teknik fisika terapan, khususnya

untuk pengendalian serangga, umumnya menggunakan berbagai cara, yaitu mekanik,

cahaya, bunyi, dan radiasi. Pengendalian dengan cara mekanik merupakan cara yang

paling sederhana misalnya menggunakan sweeper aspirator. Alat sweeper aspirator

tersebut khusus digunakan untuk menghisap serangga yang sedang terbang bebas di

udara. Konstruksi alat tersebut berupa tabung yang dilengkapi baling-baling untuk

menghisap serangga (Dirjen PPPL, 2010). Pengendalian dengan cahaya misalnya

dengan perangkap cahaya (light trap). Alat light trap adalah suatu alat yang dipakai

di malam hari khusus untuk mengendalikan serangga hama yang tertarik pada cahaya

(BPPP, 2012). Komponen utama dari perangkap cahaya adalah berupa lampu, corong

dan kantung plastik, serta atap pengaman dari cuaca buruk. Lampu perangkap cahaya

dapat berupa lampu gantung berbahan bakar minyak bumi atau lampu pijar yang

berkekuatan minimal 100 watt sedemikian hingga dapat difungsikan sebagai alat

penarik serangga di waktu malam. Untuk mengendalikan serangga dengan bunyi,

umumnya menggunakan bunyi frekuensi tinggi (gelombang ultrasonik). Lewat

pembangkit bunyi, serangga dikenai paparan bunyi dengan frekuensi tertentu yang

Page 16: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

11

biasanya mirip frekuensi gelombang bunyi dari si predator serangga (Mankin, 2012).

Pengendalian serangga dengan radiasi adalah pengendalian yang memanfaatkan efek

radiasi dari suatu sumber radiasi, misalnya Co-60, terhadap serangga sebelum

serangga tersebut dilepaskan. Untuk pengendalian dengan radiasi sebelumnya perlu

dibahas tentang radiasi sinar gamma dan pengaruhnya terhadap organisme mengingat

pengendalian cara ini sudah banyak dilakukan dan dipublikasikan khususnya untuk

pengendalian lalat buah Bactrocera sp.

2.4.2 Radiasi Sinar Gamma dan Pengaruhnya terhadap Organisme

Radiasi sinar Gamma dapat dihasilkan dari sumber radiasi kobalt, yaitu Co-

60. Co-60 merupakan sumber radiasi yang dihasilkan dari aktivitas Co-9 yang

ditembak neutron dalam reaktor nuklir, sehingga menjadi radioaktif, dengan

persamaan reaksi :

6059 ConCo (2.1)

Hasil peluruhan Co-60 menjadi Ni-60 akhirnya dapat menghasilkan dua sinar gamma

dengan energi masing-masing sebesar 1,17 MeV dan 1,33 MeV, dan waktu paruhnya

sebesar 5,26 tahun atau konstanta peluruhan 0,011 bulan-1

(Akhadi, 2000).

Radiasi gamma (radiasi ionisasi) pada umumnya sangat berpengaruh terhadap

kehidupan organisme pengganggu tanaman (OPT), baik berupa kelainan morfologi,

fisiologi maupun kerusakan genetis. O'Brient dan Wolf (1976) menyatakan bahwa

radiasi pengion yang mnyebabkan derajat kerusakan (kelainan) tergantung pada

beberapa faktor, antara lain faktor teknik, faktor lingkungan, dan faktor biologi.

Beberapa faktor teknik radiasi yang berpengaruh terhadap derajat kelainan

pada OPT, antara lain :

1. Tipe penyinaran: sinar dengan RBE (Relative Biological Effectiveness) tinggi

akan memberikan efek lebih berat dibandingkan sinar bernilai RBE rendah.

2. Teknik pemberian dosis: dosis radiasi yang diberikan bertahap dan sekaligus

akan memberikan pengaruh radiasi berbeda

3. Laju dosis: radiasi laju dosis tinggi akan berpengaruh lebih berat

dibandingkan dengan laju dosis rendah, walaupun besar dosis yang diberikan

besarnya sama.

Page 17: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

12

Faktor lingkungan akibat radiasi ionisasi yang berpengaruh terhadap derajat

kelainan pada OPT adalah faktor suhu dan atmosfer. Perbedaan suhu sebelum,

selama, dan setelah penyinaran dapat memberikan pengaruh yang berbeda. Juga,

radiasi dalam lingkungan atmosfer nitrogen akan memberikan pengaruh yang lebih

rendah daripada jika diberikan pada lingkungan atmosfer oksigen. Ha ini karena

oksigen yang terkena radiasi akan berubah menjadi ozon (O3) yang akan bersifat

toksik.

Faktor biologi akibat radiasi ionisasi yang mempengaruhi derajat kelainan

pada OPT, antara lain perbedaan spesies dan variasi sel/jaringan. Pada umumnya,

spesies yang jumlah kromosomnya yang lebih banyak lebih peka terhadap radiasi

daripada spesies yang jumlah kromosomnya sedikit. Untuk spesies yang ukuran

kromosomnya besar akan lebih peka terhadap radiasi dibandingkan dengan spesies

yang ukuran kromosomnya kecil. Juga, untuk spesies yang memiliki kromosom

dengan setromer tunggal akan lebih peka terhadap radiasi daripada spesies yang

mempunyai sentromer ganda. Selanjutnya, kepekaan sel terhadap radiasi akan

berbanding lurus dengan aktivitas pembelahan sel dan berbanding terbalik dengan

tingkat diferensiasinya (hukum Bergonnieden Tribondeau). Dengan demikian, sel-sel

muda yang sedang aktif membelah dan masih dalam tingkat diferensiasi akan lebih

peka terhadap radiasi daripada sel-sel yang tidak membelah dan tidak terdiferensiasi

lagi.

Organisme yang dikenai radiasi akan dapat mengakibatkan kemandulan.

Menurut La Chance (1997), gejala kemandulan sebagai akibat radiasi pada OPT

jantan dapat disebabkan oleh gejala seperti :

1. Aspermia (jantan tidak memiliki sperma) atau tidak tersedianya sperma

matang untuk dipindahkan ke betina pada saat kopulasi. Aspermia biasanya

terjadi apabila penyinarannya dilakukan pada stadium pupa mupun dewasa.

2. Inaktivasi sperma, yaitu hilangnya kemampuan sperma membuahi sel telur.

Radiasi tidak sampai memutuskan daur spermatogenesis tetapi sperma yang

dihasilkan berada dalam keadaan tidak aktif atau lemah.

3. Mutasi laten dominan,, yaitu kelainan yang terjadi pada gen atau kromosom

baik pada sperma maupun sel telur yang mengakibatkan kematian pada

zigot yang dihasilkan.

Page 18: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

13

4. Ketidakmampuan kawin dapat terjadi baik pada jantan maupun betina.

Selain merusak sel gamet, radiasi juga merusak sel somatik dan

menghambat biosintesa enzim atau hormon yang berperan dalam

perkawinan, sehingga OPT menjadi lemah dan tidak mampu melakukan

perkawinan dengan baik atau daya saing kawin menurun (Knipling, 1955).

Dosis ambang sterilitas yang permanen berdasarkan International

Commission on Radiological Protection (ICRP 60) adalah berkisar antara 3,5 Gy

hingga 6 Gy. Pemberian dosis yang semakin besar pada testis akan mengakibatkan

penurunan jumlah sel sperma semakin banyak dan waktu pulih kembali normal juga

akan semakin lama, selama dosis ambang kemandulan permanen belum tercapai.

Dosis ambang terjadinya sterilitas yang bersifat sementara adalah sebesar 0,15 Gy

karena pada dosis tersebut penurunan jumlah sel sperma selama beberapa minggu

sudah terjadi (ICRP 60, 1990).

Page 19: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

14

BAB III

PEMANFAATAN TEKNIK FISIKA TERAPAN DALAM

PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH Bactrocera sp.

(DIPTERA: TEPHRITIDAE)

Sebagaimana telah diuraikan pada Bab II, pengendalian hama terpadu (PHT)

yang memanfaatkan teknik fisika terapan merupakan pengendali hama yang

memenuhi kriteria untuk pertanian berkelanjutan khususnya ramah lingkungan. PHT

dengan teknik fisika terapan khususnya untuk pengendalian serangga, secara umum

memanfaatkan cara mekanik, cahaya, bunyi, dan radiasi.

3.1 Pengendalian Hama secara Mekanik

Pengendalian hama serangga secara mekanik memanfaatkan sifat-sifat

mekanik dari suatu benda, seperti gerak translasi dan rotasi. Sebagai contoh, Sweeper

Aspirator, yaitu suatu peralatan berupa tabung dengan baling-baling penghisap yang

mampu untuk menghisap serangga khususnya nyamuk (Dirjen PPPL, 2010). Dengan

peralatan tersebut, serangga nyamuk dapat dikendalikan. Tingkat keberhasilan dari

pengendalian nyamuk dengan peralatan tersebut tentunya sangat tergantung kepada

keterampilan operator dalam menggunakan peralatan dan kekuatan dari daya hisap

alat tersebut. Selama ini, penelitian tentang pengendalian hama lalat buah bactrocera

menggunakan metode dan peralatan tersebut belum diketahui. Hal ini mungkin

disebabkan kurang selektifnya alat ini untuk diterapkan pada pengendalian hama

baik dalam skala laboratorium maupun di lapangan. Dengan daya hisapnya, alat ini

akan menghisap apa saja termasuk serangga. Serangga yang mungkin terhisap baik

yang mengganggu maupun yang berguna bagi tumbuhan. Untuk penerapan di

lapangan, alat ini akan memerlukan daya hisap yang besar sehingga komponen

pendukungnya juga berkapasitas besar dan memerlukan energi yang besar pula.

Dengan kata lain, alat Sweeper Aspirator tidak begitu efektif untuk pengendalian

hama lalat buah Bactrocera. Dengan kata lain, penggunaan peralatan Sweeper

Aspirator dinilai kurang efektif dan efisien untuk PHT lalat buah bactrocera.

Page 20: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

15

3.2 Pengendalian Hama dengan Cahaya

Pengendalian hama serangga dengan cahaya memanfaatkan sifat-sifat cahaya

dan ketertarikan serangga pada cahaya. Contoh peralatan yang memanfaatkan cahaya

yang banyak dijumpai di lahan pertanian adalah perangkap cahaya (Light Trap),

seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 3.1. Perangkap cahaya ini dinilai mampu

mengendalikan hama serangga pada waktu malam (BPPP, 2012). Metode perangkap

cahaya ini memanfaatkan cahaya lampu dan ketertarikan serangga pada cahaya di

malam hari.

Gambar 3.1 Perangkap cahaya (Light Trap) (BPPP, 2012)

Komponen utama dari perangkap cahaya adalah yaitu sumber cahaya (lampu),

cerobong dan atap dari bahan plastik. Bola lampu berkekuatan 100 watt, digunakan

sebagai penarik serangga saat malam hari. Cerobong sebagai tempat masuk serangga,

dilengkapi kantung plastik yang fungsinya sebagai penampung serangga yang telah

Page 21: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

16

terjebak. Sedangkan, atap plastik berfungsi sebagai pelindung lampu listrik serta

komponen lainnya pada saat cuaca buruk atau hujan.

Selama ini, perangkap cahaya telah dinilai cukup berhasil pengendalian hama

serangga. Di BB Padi Sukamandi, saat populasi sedang tinggi, penggunaan alat

tersebut telah berhasil menangkap wereng coklat sebanyak 376.000 ekor/malam/unit.

Selanjutnya, masing-masing sebanyak 12.000 ekor/malam/unit penggerek batang

padi kuning dan 146.000 ekor/malam/unit kepinding tanah telah berhasil ditangkap

menggunakan perangkap cahaya tersebut (BPPP, 2012). Sedangkan penelitian

tentang pengendalian hama lalat buah bactrocera dengan metode ini belum

diketahui. Hal ini mungkin disebabkan karakteristik lalat buah Bactrocera yang

kurang tertarik pada cahaya di malam hari.

3.3 Pengendalian Hama dengan Bunyi

Pemanfaatan bunyi atau akustik sebagai terapan ilmu fisika telah diupayakan

pemanfaatannya. Daerah potensial bagi pertumbuhan penggunaan teknologi akustik

dalam pengeloaan hama meliputi produksi sinyal yang mengganggu komunikasi

getaran, terutama pada Hemiptera, dan pengembangan perlakuan pengendalian yang

menggabungkan feromon dengan sinyal bunyi atau sinyal getaran yang terpola

dengan tepat. (Mankin, 2012). Salah satu bidang penerapan akustik dalam PHT

adalah pemanfaatan gelombang bunyi.

Uji coba pemanfaatan gelombang bunyi, khususnya ultrasonik (frekuensi di

atas 20 kHz) telah diterapkan pada serangga tertentu. Penerapan ultrasonik pada

serangga telah dilakukan pada nyamuk, kumbang, semut, lalat, dan serangga lainnya.

Pada gandum, penerapan gelombang ultrasonik telah berhasil mengendalikan hama

Sitophilus granaries dewasa dalam biji gandum ketika biji gandum dikenai paparan

ultrasonik sekitar 5,4 watt/cm2 selama 2,5 menit (Penhuusen et al, 1997; Vincen et

al, 2002). Selanjutnya, penerapan perangkat ultrasonik pada semut putih,

Technomyrmex albipes (Hymenoptera: Formicidae) telah pula memberikan hasil

yang memuaskan (Warner, 2005). Penerapan gelombang ultrasonik juga dapat

mempengaruhi nyamuk demam berdarah, Aedes aegepti. Dalam 1 – 6 jam observasi,

3,33 – 10% nyamuk mati dengan kelompok kontrol semuanya masih hidup. Namun

Page 22: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

17

setelah 24 jam paparan ultrasonik, sebanyak 74% nyamuk mati, sedangkan kelompok

kontrol hanya 7,33% nyamuk yang mati (Hadi dkk., 2009). Pemanfaatan gelombang

ulrasonik pada mosquito bugs, Helopeltis theivora, dapat mempengaruhi pola makan,

umur, dan reproduksi dari serangga tersebut. H. theivora mengalami kematian dini

bila terkena paparan ultrasonik dengan frekuensi 20 kHz selama 15, 30, 45 menit per

hari dari satu 1 instar seterusnya. Tingkat oviposisi (peletakan telur) dan penetasan

0,437 ± 0,12 , 0,645 ± 0,15 telur/betina/hari dan 4,76 ± 0,46 %, 16,67 ± 2,89% bila

terkena selama 30 dan 15 menit per hari, yang 1,09 ± 0,23 telur/betina/ hari dan

95,45 ± 8,24% untuk kontrol (Sci dan Cult, 2011). Penggunaan beberapa perangkat

ultrasonik telah meningkatkan aktivitas serangga (Yturralde dan Hofstetter, 2012).

Serangga, seperti binatang yang mendengar lainnya, harus mengekstrak

informasi dari bunyi yang mereka dengar sehingga mereka dapat merespons dengan

tepat. Salah satu parameter bunyi yang membawa informasi adalah kadar

frekuensinya. Serangga menganalisis frekuensi bunyi untuk mengidentifikasi

(mengenali) pasangannya, untuk menilai jarak ke pesaing potensial, dan untuk

mendeteksi predator dan mangsa (Pollack dan Imaizumi, 1999)

Parameter akustik optimal telah diteliti untuk pengusir nyamuk elektronik

agar dapat bekerja lebih baik. Parameter akustik ini meliputi energi akustik,

frekuensi, dan amplitudonya. Ketiga parameter ini sangat berperan penting dalam

mewujudkan perangkat pengusir yang efektif. Parameter akustik optimum meliputi

frekuensi puncak 58,5 kHz, energi akustik 12,32-10,84 Pa2s, bandwidth 19,40-19,85

kHz, rata-rata frekuensi maksimum dan minimum masing-masing 55,13-55,48 kHz

dan 34,66-44,26 kHz, dan dengan amplitude puncak SPL maksimum dan minimum

masing-masing 134,08-134,28 dB SPL dan 132,06-133,27 dB (Mang’rai dkk, 2012).

Selama ini, penelitian pemanfaatan bunyi (akustik) untuk pengendalian lalat

buah Bactrocera menggunakan gelombang sonic telah dilakukan untuk diaplikasikan

pada perangkap akustik (acoustic trap), yaitu perangkap serangga yang dilengkapi

dengan umpan akustik. Penelitian tentang penggunaan perangkap akustik pada lalat

buah Mediterania (Ceratitis capitata) telah dilakukan oleh Mizrach et al., (2005).

Dari hasil penelitian tersebut terungkap bahwa perangkap akustik dengan frekuensi

gelombang 150 Hz pada tingkat tekanan bunyi 67 dB dapat menarik 28 % lebih

Page 23: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

18

banyak betina daripada perangkap yang tidak menyertakan umpan akustik. Namun,

kajian tentang penggunaan gelombang sonik dalam pengendalian lalat buah belum

diketahui kelanjutannya terlebih untuk spesies lalat bactrocera lain.

Penelitian tentang penggunaan ultrasonik untuk pengendalian lalat buah

Bactrocera sp. belum diketahui. Penelitian sebaiknya lebih difokuskan pada

pencarian parameter-parameter akustik optimum, yaitu selang frekuensi, puncak

amplitudo, dan energi dari gelombang ultrasonik yang dapat diterapkan pada

pengendalian hama lalat buah Bactrocera. Dengan diketahuinya parameter-

parameter ini, PHT untuk lalat buah Bactrocera yang ramah lingkungan dapat

terwujud.

3.1 Pengendalian Hama dengan Radiasi

Pengendalian serangga hama dengan radiasi adalah PHT yang memanfaatkan

efek radiasi dari suatu sumber radiasi, misalnya Co-60, terhadap serangga sebelum

serangga tersebut dilepaskan. Teknik ini dikenal dengan teknik serangga mandul

(TSM). TSM adalah salah satu hasil penerapan dari ilmu fisika yang memanfaatkan

efek radiasi suatu sumber radiaktif dengan tujuan untuk pengendalian OPT yang

ramah lingkungan. Pertama kali TSM dikenalkan oleh Knipling (1955) dalam rangka

mengendalikan lalat ternak (Cochliomyia hominivorax Coq). Menurutnya, lalat

betina yang diketahui dapat kawin sekali saja selama hidupnya, jika kemudian kawin

dengan lalat jantan yang mandul, tidak akan menghasilkan keturunan. Dalam

pelaksanaannya, pelepasan serangga mandul melibatkan baik jantan maupun betina.

Betina mandul dan jantan mandul dilepaskan bersama-sama dengan harapan bahwa

perkawinan antara betina normal (subur) dengan jantal normal dapat diminimalisasi.

Program TSM dapat dilaksanakan melalui dua metode yaitu pembiakan

massal dan pemandulan serangga di dalam laboratorium kemudian serangga mandul

dilepaskan ke lapangan dan metode pemandulan yang diproses di lapangan. Metode

pertama, jika serangga mandul dilepaskan ke suatu populasi serangga yang tinggi di

lapangan maka terjadi penurunan kemampuan populasi tersebut untuk berkembang

biak. Bila nilai kemandulan radiasi serangga tersebut hingga 100% dan memiliki

daya saing kawin sama dibandingkan serangga normal dan perbandingan jumlah

Page 24: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

19

antara pelepasan serangga radiasi dengan jumlah serangga normal sama (1:1) maka

akan terjadi penurunan kemampuan berkembang biak sebesar 50%. Jika jumlah

pelepasan serangga radiasi Sembilan kali jumlah serangga di lapangan maka terjadi

penurunan kemampuan berkembang biak sebesar 90%. Sedangkan untuk metode

pemandulan di lapangan dengan tidak melepas serangga yang telah dibuat mandul di

laboratoruim, namun pemandulan langsung dilakukan di lapangan baik jantan

maupun betina dengan menggunakan kemosterilan. Dengan metode tersebut akan

didapat dua hal yang dapat mempengaruhi perkembangbiakan serangga. Yang

pertama adalah manculnya sebagian dari serangga lapangan yang diakibatkan

langsung kemosterilan dan yang kedua adalah dari serangga yang telah dimandulkan

terhadap serangga yang masih subur. Oleh karena itu jika pemandulan serangga

lapangan mencapai 90%, maka potensi perkembangbiakan dari 10 % serangga sisa

yang masih fertil akan berkurang lagi 9 %, maka penurunan potensi

perkembangbiakan seluruhnya akan mencapai 99%.

Keberhasilan cara pengendalian lalat ternak (Cochliomyia hominivorax Coq)

dengan pelepasan serangga mandul, mendorong dilaksanakannya berbagai penelitian

di beberapa negara. Di India, Weidhase et al (1962) menggunakan TSM untuk

mengendalikan nyamuk Cx. p. fatigans dengan meradiasi 10.000 pupa jantan yang

berumur 24-36 jam dengan dosis 70 Gy. Di Florida, Amerika Serikat, Patterson et al

(197) meradiasi pupa jantan berumur 24 jam dari nyamuk An.quadrimaculatus

dengan dosis 120 Gy. Dengan teknik yang sama, Patterson (197) di California,

Amerika Serikat, mengunakan nyamuk Cx. tarsalis berumur 24-36 jam, dengan dosis

60 Gy. Dari ketiga penelitian tersebut, dosis radiasi yang digunakan menyebabkan

kemandulan nyamuk jantan 99%.

3.5 Pengendalian Lalat Buah Bactrocera dengan Radiasi Gamma

Pada tahun 2006, Nahar et al. meneliti penggunaan radiasi Gamma pada lalat

buah melon, Bactrocera cucurbitae. Pada dosis 30 Gy, telur yang menetas berkurang

hingga 0,93 % dan daya saing kawin hampir sama, baik yang terkena radiasi maupun

yang tidak diradiasi. Serangga mandul, baik jantan maupun betina, diperoleh pada

dosis 40 Gy.

Page 25: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

20

Puanmanee et all. pada tahun 2010 telah menyelidiki pengaruh iradiasi sinar

gamma pada pupa lalat buah Bactrocera correcta, dengan sumber radiasi Cs-137

pada berbagai dosis telah diselidiki dalam kondisi laboratorium. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa persentase munculnya imago, kelainan dewasa dan

lama hidup imago jantan tidak berbeda secara signifikan dari satu sama lain pada 0,

5, 10, 15 dan 30 Gy, sedangkan imago jantan yang mandul yang terkena radiasi

dengan dosis tersebut masing-masing adalah 23,85, 21,78, 59,10, 72,57 dan 98,34%.

Persentase kemandulan imago jantan pada dosis 5 Gy tidak berbeda nyata dengan

kontrol (0 Gy). Penyelidikan menunjukkan bahwa daya saing kawin imago jantan

ketika diiradiasi pada 30 Gy hampir sama dengan imago jantan yang tidak dikenai

radiasi.

Mahmoud dan Barta pada tahun 2011 telah memanfaatkan teknik serangga

mandul dalam program terpadu terhadap lalat buah Bactrocera zonata. Pupa lalat

diradiasi dengan Co-60 selama 48 jam dengan dosis radiasi 10, 30, 50, 70 atau 90

Gy. Hasil yang diperoleh adalah bahwa keberhasilan telur yang menetas dan

munculnya dewasa menurun dengan meningkatnya dosis. Dalam uji coba tersebut,

tidak ada ditemukan perbedaan yang signifikan dalam kesuburan lalat betina untuk

semua dosis yang diberikan. Paparan radiasi pada pupa dengan dosis 90 Gy

menghasilkan sterilitas total telur untuk telur yang dihasilkan/diletakkan oleh imago

betina tanpa perlakuan yang dikawinkan dengan imago jantan yang diberi perlakuan.

Perbedaan signifikan dalam efek radiasi pada kesuburan imago betina ditemukan

yang mengalami penurunan secara bertahap dengan meningkatnya dosis. Tidak ada

pengaruh yang besar pada kemampuan terbang diamati namun dengan meningkatnya

dosis radiasi nilai daya saing kawin untuk imago jantan dengan perlakuan 30 dan 70

Gy menunjukkan bahwa imago jantan yang diradiasi mampu bersaing dengan sukses

dengan yang tidak diradiasi.

La Chance pada tahun 1967 telah menyatakan bahwa beberapa keuntungan

dari pemanfaatan TSM pada OPT adalah :

1) Selektif : sasaran hanyalah pada OPT yang diinginkan.

2) Ramah lingkungan: tidak menyisakan residu yang membahayakan.

3) Tidak menimbulkan perlawanan/resistensi

4) Tidak menggunakan agen hayati sebagai musuh alami OPT.

Page 26: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

21

Selanjutnya persyaratan agar populasi OPT dapat dikendalikan dengan TSM adalah :

1) Organisme betina tidak bersifat parthenogenesis.

2) Organisme, khususnya jantan, harus mudah dikembangbiakan secara missal.

3) Organisme tidak mengalami kelainan fisiologi dan morfologi serta penurunan

kemampuan kawin.

4) Organisme betina hanya bisa kawin sekali dan berumur lebih pendek daripada

jantan.

5) Organisme jantan sepatutnya bisa kawin tidak hasnya sekali dan memiliki

umur lebih lama daripada organisme betinanya.

Page 27: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

22

BAB IV

PENUTUP

4. 1 Kesimpulan

Pada umumnya, cabang-cabang ilmu fisika terapan yang berperan dalam

menunjang PHT serangga adalah cabang ilmu mekanika, cahaya, bunyi, dan fisika

radiasi, yang secara keseluruhan ramah lingkungan sehingga mendukung persyaratan

untuk pertanian berkelanjutan. Pemanfaatan mekanika pada PHT dicirikan pada

pemanfaatan sifat-sifat mekanik benda, pemanfaatan cahaya dicirikan pada

pemanfaatan sifat cahaya tampak dan interaksi serangga terhadap cahaya,

pemanfaatan bunyi, khusunya ultrasonik, ditekankan pada pemanfaatan parameter-

parameter akustik yang digunakan, sedangkan pemanfaatan teknik radiasi ditekankan

pada pemanfaatan efek radiasi yang ditimbulkan oleh sumber radiasi. Secara khusus,

dalam kaitannya dengan PHT lalat buah Bactrocera sp., penelitian dengan

pemanfaatan mekanika, cahaya dan bunyi belum diketahui, sedangkan penelitian

dengan teknik radiasi yang telah banyak diteliti dengan hasil memuaskan. Walau

demikian, pemanfaatan gelombang bunyi juga cukup menjanjikan untuk PHT

sepanjang parameter-parameter akustiknya diketahui dengan pasti.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nahar et al. (2006), Puanmanee

et al. (2010), dan Mahmoud dan Barta (2011), penggunaan teknik serangga/jantan

mandul (TSM atau TJM) menggunakan radiasi Gamma untuk mengendalikan hama

secara terpadu (PHT) lalat buah Bactrocera sp. layak untuk dipertimbangkan.

Penggunaan radiasi Gamma dalam TSM dilakukan saat serangga masih berada

dalam stadium pupa.

Penelitian dengan teknik radiasi untuk PHT lalat buah Bactrocera sp. adalah

dengan pemanfaatan radiasi sinar Gamma dari sumber radiasi Co-60 dan Cs-137.

Teknik tradiasi semacam ini dikenal sebagai tetnik serangga mandul (TSM). Pada

lalat buah melon, Bactrocera cucurbitae, serangga mandul, baik jantan maupun

betina, diperoleh pada dosis 40 Gy. Penyelidikan pada lalat buah Bactrocera

correcta menunjukkan bahwa daya saing kawin imago jantan ketika diiradiasi pada

30 Gy hampir sama dengan imago jantan yang tidak dikenai radiasi. Sedangkan,

Page 28: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

23

pada lalat buah persik Bactrocera zonata. dosis radiasi 90 Gy mengakibatkan

kemandulan total. Secara umum, kemampuan terbang yang diamati tidak dipengaruhi

radiasi dan daya saing lalat jantan yang diradiasi dapat bersaing dengan sukses

dengan yang tanpa diradiasi untuk dosis 30 dan 70 Gy. Kemunculan lalat dewasa dan

telur yang menetas menurun dengan meningkatnya dosis, tidak ada perbedaan yang

signifikan dalam kesuburan betina yang ditemukan pada semua dosis.

4. 2 Saran

Secara umum, pemanfaatan teknik fisika terapan khususnya TSM dalam PHT

bertujuan untuk menekan populasi hama ke tingkat populasi yang secara ekonomi

tidak merugikan dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem. Atau dengan kata

lain, penerapan teknik pengendalian hama serangga tidak ditujukan untuk digunakan

sebagai pemusnah serangga. Setiap metode dalam PHT sudah barang tentu punya

keunggulan serta kelemahan masing-masing. Perpaduan metode PHT tentunya akan

memberikan hasil yang lebih maksimal dalam pengendalian hama serangga.

Page 29: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

24

DAFTAR PUSTAKA

Akhadi, M. 2000. Dasar-Dasar Proteksi Radiasi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Balittra, 2013. Metil Eugenol Sebagai Perangkap Lalat Buah. Balai Penelitian

Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

Budiasa, I W. 2011. Pertanian Berkelanjutan Teori dan Pemodelan. Denpasar:

Udayana University Press.

Ditlinhort. 2013. Lalat Buah. Direktorat Perlindungan Hortikultura Departemen

Pertanian Republik Indonesia.

ICRP 60 (International Commission On Radiological Protection), 1990.

Recommendations of the International Commission on Radiological

Protection, Publication 60, Pergamon Press, Oxford.

Hadi, U. K., Koesharto, FX., Sigit, SH., Sugiarto. 2009. Study of the effect of

ultrasonic device against the dengue mosquito, Aedes aegypti (Diptera:

Culicidae). Prosiding Seminar Nasional Hari Nyamuk. Bogor 10 Agustus.

Knipling, E.F. 1955. Possibilitiesof Insect Control or Erredication Through the Use

of Sexuality Sterile, J. Econ. Entomol. p.: 48, 459-462.

Kompas.com. 2012. Lalat Hancurkan Jeruk. [cited 2014 July 23] Available from:

http://regional.kompas.com/read/2012/02/01/03114452/.Lalat.Hancurkan.Jeruk

Page 30: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

25

Malavasi, A., Midgarden, D., Meyer, M. D. 2013. Bactrocera Species that Pose a

Threat to Florida: B. carambolae and B. invadens. In : Peña, J., editor.

Potential Invasive Pests of Agricultural Crops. CAB International. p.214-227.

Mankin, R. W. 2012. Review Applications of acoustics in insect pest management.

CAB Reviews, 7: 1-7.

Marcia O.M., Marcio,C.,Silva F.2002. Plant-insect interactions: an evolutionary arms

race between two distinct defense mechanisms. Braz. J. Plant Physiol, 14:2.

Mizrach, A.; Hetzroni, A.; Mazor, M.; Mankin, R. W.; Ignat, T.; Grinshpun, J.;

Epsky, N. D.; Shuman, D.; Heath, R. R. 2005. Acoustic Trap for Female

Mediterranean Fruit Flies American Society of Agricultural, 48(5):2017-2022

Patterson, R.S., Sharma, V.P., Singh, K.R.P., Sheetheram, P.L. and Grover, K.K.

1975. Use of Radiosterilized Males to Control Indigenous Population of An

quadrimaculatus Say: Laboratory and Field Studies. Mosquito. News 35.

Pollack, G. S., Imaizumi, K. 1999. Neural Analysis of Sound Frequency in Insects.

BioEssays, 21:295–303.

Sarwono. 2003. PHT Lalat Buah (Dacus syn. Bactrocera dorsalis, Buletin Teknologi

dan Informasi Pertanian, 6:142-149.

Page 31: PEMANFAATAN TEKNIK DALAM

26

Trubus. 2009. Kepak Maut Lalat Buah. [cited 2014 July 29] Available from:

http://www.trubus-online.co.id/tru/wp-

ontent/uploads/2009/12/Kepak%20Maut% 20Lalat%20Buah.pdf

Sukarmin. 2011. Teknik Identifikasi Lalat Buah di Kebun Percobaan Aripan dan

Sumani, Solok, Sumatera Barat. Buletin Teknik Pertanian, 16: 24-27.

Warner, J., Scheffrahn, R. H. 2005. Laboratory Evaluation of Baits, Residual

Insecticides, and an Ultrasonic Device For Control of White-Footed Ants,

Technomyrmex albipes (Hymenoptera: Formicidae). Sociobiology, 45:1-14.

Weems H.V., Heppner, J. B., Nation, J. L., Fasulo, T. R. 2012 . Oriental Fruit Fly,

Bactrocera dorsalis (Hendel) (Insecta: Diptera: Tephritidae). Gainesville:

University of Florida. p.1-2.

Yturralde, K. M., Hofstetter, R. W. 2012. Efficacy of Commercially Available

Ultrasonic Pest Repellent Devices to Affect Behavior of Bed Bugs (Hemiptera:

Cimicidae). Journal of Economic Entomology, 105:2107-2114.