EFEKTIFITAS PUPUK ORGANIK CAIR LIMBAH ... - jurnal.umj.ac.id
Pemanfaatan Limbah Ikan Sebagai Bahan Baku Pupuk
-
Upload
yudha-permana -
Category
Documents
-
view
600 -
download
4
Transcript of Pemanfaatan Limbah Ikan Sebagai Bahan Baku Pupuk
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari
suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, industri,
pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan
debu, cair atau padat. Limbah tersebut dapat diolah dengan proses fisika, kimia,
Biologi atau kombinasi dari ketiganya. Dari bermacam-macam jenis limbah,
limbah cair merupakan jenis limbah yang banyak mencemari lingkungan. Limbah
jenis ini biasanya memerlukan kombinasi berbagai metode dalam pengolahannya
sebelum dibuang kembali ke lingkungan. Salah satu metode yang biasa digunakan
adalah metode Biologi dengan proses kontak stabilisasi. Proses ini menggunakan
lumpur aktif yang berisi berbagai macam mikroba yang kemudian ditambahkan
udara (oksigen) supaya mikroba yang bersifat aeroik bisa berkembang dalam
limbah karena ketersediaan makanan dan oksigen.
Dalam proses ini tentu harus dipastikan bahwa limbah yang diolah
mengandung bahan-bahan organic yang bisa menjadi makanan bagi mikroba.
Limbah yang digunakan dalam simulasi pengolahan limbah ini berasal dari air
rendaman ikan yang sudah berbau menyengat dan warnanya keruh. Diharapkan
dalam simulasi pengolahan limbah ini diperoleh gambaran bagaimana proses
kontak stabilisasi mengolah limbah ikan dengan lebih baik.
I.2 Tujuan
Menghilangkan limbah organic dengan proses lumpur aktif melalui
metode kontak stabilisasi
I.3 Manfaat
Mengetahui hasil pengolahan limbah organik dengan proses lumpur aktif
melalui metode kontak stabilisasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Produksi perikanan laut Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat
dan berkembang. Disamping kekayaan ikan di kawasan Indonesia yang berlimpah
serta usaha untuk meningkatkan hasil tangkapnya yang terus menerus
dilaksanakan, ternyata baru mencapai nilai 35% saja yang dapat dicapai.
Dari data yang dapat dikumpulkan, setiap musim masih terdapat antara 25 –
30% hasil tangkapan Ikan Laut yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan
buangan yang disebabkan karena berbagai hal.
1. Keterbatasan pengetahuan dan sarana para nelayan di dalam cara
pengolahan ikan. Misalnya, hasil tangkapan tersebut masih terbatas
sebagai produk untuk dipasarkan langsung (ikan segar), atau diolah
menjadi ikan asin, pindang, terasi serta hasil-hasil olahannya.
2. Tertangkapnya jenis-jenis ikan lain yang kurang berharga ataupun sama
sekali belum mempunyai nilai di pasaran, yang akibatnya ikan tersebut
harus dibuang kembali.
Diantara bahan alami, ikan tercatat sebagai bahan yang sangat cepat
membusuk. Karenanya begitu ikan tertangkap, maka proses pengolahan dalam
bentuk pengawetan dan pengolahan harus segera dilakukan. Juga selama
pengolahan ikan, masih banyak bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor,
maupun bagian-bagian yang ditermanfaatkan akan dibuang. Tidak mengherankan
kalau sisa ikan dalam bentuk buangan dan bentuk-bentuk lainnya berjumlah
cukup banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang
tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi. Ditambah lagi, ikan-ikan sisa
dan yang terbuang tersebut secara langsung maupun tidak langsung banyak
membawa problema lingkungan di kawasan pesisir, minimal dalam bentuk
gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan.
II.1 Pengolahan secara biologi
Semua air buangan yang biodegradable dapat diolah secara biologi. Sebagai
pengolahan sekunder, pengolahan secara biologi dipandang sebagai pengolahan
yang paling murah dan efisien. Dalam beberapa dasawarsa telah berkembang
berbagai metode pengolahan biologi dengan segala modifikasinya.
Pada dasarnya, reaktor pengolahan secara biologi dapat dibedakan atas dua jenis,
yaitu:
1. Reaktor pertumbuhan tersuspensi (suspended growth reaktor);
2. Reaktor pertumbuhan lekat (attached growth reaktor).
Di dalam reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme tumbuh dan
berkembang dalam keadaan tersuspensi. Proses lumpur aktif yang banyak dikenal
berlangsung dalam reaktor jenis ini. Proses lumpur aktif terus berkembang dengan
berbagai modifikasinya, antara lain: oxidation ditch dan kontak-stabilisasi.
Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditch
mempunyai beberapa kelebihan, yaitu efisiensi penurunan BOD dapat mencapai
85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang dihasilkan lebih sedikit.
Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai
kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam).
Proses kontak-stabilisasi dapat pula menyisihkan BOD tersuspensi melalui proses
absorbsi di dalam tangki kontak sehingga tidak diperlukan penyisihan BOD
tersuspensi dengan pengolahan pendahuluan.
Kolam oksidasi dan lagoon, baik yang diaerasi maupun yang tidak, juga
termasuk dalam jenis reaktor pertumbuhan tersuspensi. Untuk iklim tropis seperti
Indonesia, waktu detensi hidrolis selama 12-18 hari di dalam kolam oksidasi
maupun dalam lagoon yang tidak diaerasi, cukup untuk mencapai kualitas efluen
yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Di dalam lagoon yang diaerasi
cukup dengan waktu detensi 3-5 hari saja.
Di dalam reaktor pertumbuhan lekat, mikroorganisme tumbuh di atas media
pendukung dengan membentuk lapisan film untuk melekatkan dirinya. Berbagai
modifikasi telah banyak dikembangkan selama ini, antara lain:
1. Trickling filter
2. Cakram biologi
3. Filter terendam
4. Reaktor fludisasi
Seluruh modifikasi ini dapat menghasilkan efisiensi penurunan BOD sekitar
80%-90%.
Ditinjau dari segi lingkungan dimana berlangsung proses penguraian secara
biologi, proses ini dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1. Proses aerob, yang berlangsung dengan hadirnya oksigen;
2. Proses anaerob, yang berlangsung tanpa adanya oksigen.
Apabila BOD air buangan tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob masih
dapat dianggap lebih ekonomis dari anaerob. Pada BOD lebih tinggi dari 4000
mg/l, proses anaerob menjadi lebih ekonomis.
Dalam prakteknya saat ini, teknologi pengolahan limbah cair mungkin tidak
lagi sesederhana seperti dalam uraian di atas. Namun pada prinsipnya, semua
limbah yang dihasilkan harus melalui beberapa langkah pengolahan sebelum
dibuang ke lingkungan atau kembali dimanfaatkan dalam proses produksi, dimana
uraian di atas dapat dijadikan sebagai acuan.
II.2 Metode Pengolahannya
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba
tersuspensi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang
mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa
baru. Proses ini menggunakan udara yang disalurkan melalui pompa blower
(diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan
mengendap di tangki penjernihan. Kemampuan bakteri dalam membentuk flok
menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara biologi, karena akan
memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif dicirikan oleh
beberapa parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index =
SVI) dan Stirred Sludge Volume Index (SSVI).
Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari bentuk flok, yang
diwakili oleh faktor bentuk (Shape Factor = S). Sistem pengolah lumpur aktif baik
untuk domestik maupun industri mengandung 1-5% padatan total dan 95-99%
bulk water (liqour ?). Pembuangan kelebihan lumpur dilakukan dengan
mengurangi volume lumpur melalui proses pengepresan (dewatering).
Konsentrasi besi yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam bentuk
Fe (III), ditemukan dalam lumpur aktif. akumulasi besi dapat berasal dari influent
air limbah atau melalui penambahan FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan
fosfor.
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba
tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Ingris pada awal abad 19. Sejak itu
proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai pengolah air limbah domestik sekunder
secara biologi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang
mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa
baru. Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi
mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki
penjernihan (Gariel Bitton, 1994).
Anna dan Malte (1994) berpendapat keberhasilan pengolahan limbah
secara biologi dalam batas tertentu diatur oleh kemampuan bakteri untuk
membentuk flok, dengan demikian akan memudahkan pemisahan partikel dan air
limbah. Lumpur aktif adalah ekosistem yang komplek yang terdiri dari bakteri,
protozoa, virus, dan organisme-organisme lain. Lumpur aktif dicirikan oleh
beberapa parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index =
SVI) dan Stirrd Sludge Volume Index (SSVI). Perbedaan antara dua indeks tersebut
tergantung dari bentuk flok, yang diwakili oleh faktor bentuk (Shape Factor = S).
Pada kesempatan lain Anna dan Malte (1997) menyatakan bahwa proses
lumpur aktif dalam pengolahan air limbah tergantung pada pembentukan flok
lumpur aktif yang terbentuk oleh mikroorganisme (terutama bakteri), partikel
inorganik, dan polimer exoselular. Selama pengendapan flok, material yang
terdispersi, seperti sel bakteri dan flok kecil, menempel pada permukaan flok.
Pembentukan flok lumpur aktif dan penjernihan dengan pengendapan flok akibat
agregasi bakteri dan mekanisme adesi. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa
flokulasi dan sedimentasi flok tergantung pada hypobisitas internal dan eksternal
dari flok dan material exopolimer dalam flok, dan tegangan permukaan larutan
mempengaruhi hydropobisitas lumpur granular dari reaktor lumpur anaerobik.
Frank et all (1996) mencoba menggambarkan bahwa dalam sistem
pengolah lumpur aktif baik untuk domestik maupun industri mengandung 1-5%
padatan total dan 95-99% bulk water (liqour ?). Pembuangan kelebihan lumpur
merupakan proses yang mahal, dilakukan dengan mengurangi volume lumpur
melalui proses pengepresan (dewatering). Pada bagian lain dinyatakan pula bahwa
konsentrasi besi yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam bentuk
Fe (III), ditemukan dalam lumpur aktif.
Akumulasi besi dapat berasal dari influent air limbah atau melalui
penambahan FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan fosfor. Jumlah besi
dalam lumpur aktif akan berkurang setelah memasuki kondisi anaerobik dan
mungkin berasosiasi dengan adanya aktifitas bakteri heterotrofik. Berkurangnya
fosfor dalam lumpur aktif dapat menyebabkan fosfor terlepas kedalam air. Jika ini
terjadi merupakan potensi untuk terjadinya eutrofikasi pada perairan.
BAB III
Prosedure Praktikum
III.1 Bahan
a. Mikroba
b. Limbah ikan
III.2 Alat :
a. Beker glass
b. Kontak stabilisasi
III.3 Gambar Alat
III.4 Prosedure
a. Ambil limbah ikan sebanyak 500ml
b. Dimasukkan limbah ikan kedalam kontak stabilisasi
c. Ditambahkan mikroba ke dalam kontak stabilisasi yang sudah berisi
limbah ikan
d. Limbah dibiarkan selama 2 hari
e. Diamati hasil pengolahan limbah setelah 2 hari
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil pengamatan limbah ikan setelah proses kontak stabilisasi
Gambar 1. Limbah ikan setelah proses kontak stabilisasi
Gambar 2. Lumpur aktif yang mengandung mikroba
Gambar 3. Perbandingan limbah ikan dengan lumpur aktif
Keterangan:
Sebelum diolah :
Warna sebelum diolah : putih keruh
Bau : berbau ikan sangat menyengat
Setelah diolah
* Hari pertama
Warna Endapan : kuning kecoklatan
Warna filtrate : kuning terang
Bau : masih berbau
* Hari kedua :
Warna Endapan : kuning kecoklatan lebih terang dari hari pertama
Warna filtrate : lebih terang dari hari pertama
Bau : bau sudah sedikit berkurang dari awal masuk
Pembahasan :
Limbah ikan yang diolah dengan menggunakan kontak stabilizer dengan
bantuan mikroba dapat mengurangi bau dari limbah dan padatan tersuspensinya
setelah 2 hari.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
• Semakin lama waktu yang digunakan semakin maksimal pengolahan
limbahnya
• Mikroba yang digunakan untuk kotak stabiliter ini dapat menguraikan
bakteri dari limbah ikan sehingga dapat mengurangi bau.
V.2 Saran
• Amati setiap hari perubahan yang terjadi pada limbah setelah diolah dan
nyalakan compressor agar kontak stabilizer dapat bekerja dengan
maksimal.