Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

41
PENINGKATAN KOMPETENSI GURU UNTUK MENINGKATKAN MINAT SISWA PADA BIDANG MIPA Oleh Istamar Syamsuri 1 A. PENDAHULUAN Peningkatan minat siswa pada bidang MIPA dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya latar belakang orang tua, pergaulan, harapan masa depan, dan guru. Guru merupakan faktor dominan yang dapat mempengaruhi minat siswa. Jika gurunya dapat melakukan pembelajaran yang profesional, misalnya menyenangkan, memudahkan, mampu menumbuhkan aktivitas dan kreativitas siswa, serta membelajarkan siswa, maka siswa akan memiliki minat yang tinggi terhadap bidang MIPA. Sebaliknya apabila guru kurang profesional, menyajikan materi pelajaran berpusat pada dirinya, menyebabkan siswa sulit memahami, otoriter dan akhirnya 1 Dr. Istamar Syamsuri, M.Pd, adalah dosen Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang, penulis dan peneliti, dan aktif dalam Program Lesson Study, kerjasama antara Pemerintah RI dengan JICA . 2 Makalah disampaikan dalam Lokakarya MIPAnet 2010, The Indonesian Network of Higher Educations of Mathematics and Nanutal Sciences, tanggal 26-27 Juli 2010, di IPB, Bogor

Transcript of Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Page 1: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

PENINGKATAN KOMPETENSI GURUUNTUK MENINGKATKAN MINAT SISWA PADA BIDANG MIPA

Oleh Istamar Syamsuri1

A. PENDAHULUAN

Peningkatan minat siswa pada bidang MIPA dipengaruhi oleh banyak

faktor, misalnya latar belakang orang tua, pergaulan, harapan masa depan, dan

guru. Guru merupakan faktor dominan yang dapat mempengaruhi minat siswa.

Jika gurunya dapat melakukan pembelajaran yang profesional, misalnya

menyenangkan, memudahkan, mampu menumbuhkan aktivitas dan kreativitas

siswa, serta membelajarkan siswa, maka siswa akan memiliki minat yang tinggi

terhadap bidang MIPA. Sebaliknya apabila guru kurang profesional, menyajikan

materi pelajaran berpusat pada dirinya, menyebabkan siswa sulit memahami,

otoriter dan akhirnya membuat siswa malas belajar, maka siswa akan kehilangan

minatnya terhadap bidang MIPA.

Guru yang profesioal adalah guru yang memiliki kompetensi pedagogik,

kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.

Berdasarkan keprofesionalannya, guru dapat dibedakan menjadi 2 golongan

besar yakni guru yang profesional (walau dia tidak tersertifikasi) dan guru yang

belum profesional (termasuk yang tersertifikasi).

Keprofesionalan guru dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor

tersebut antara lain faktor kepala sekolah dan pengawas, DIKNAS, Kebijakan 1 Dr. Istamar Syamsuri, M.Pd, adalah dosen Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang, penulis dan peneliti, dan aktif dalam Program Lesson Study, kerjasama antara Pemerintah RI dengan JICA .2 Makalah disampaikan dalam Lokakarya MIPAnet 2010, The Indonesian Network of Higher Educations of Mathematics and Nanutal Sciences, tanggal 26-27 Juli 2010, di IPB, Bogor

Page 2: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Pemerintah (kurikulum, sertifikasi, kebijakan tentang buku, UN, dsb). Mengingat

terbatasnya kesempatan, tidak semua faktor dibahas dalam makalah ini.

B. MUTU PENDIDIKAN KITA MASIH RENDAH

Kita harus mengakui bahwa mutu pendidikan di negara kita masih rendah.

Kualitas pendididkan kita masih berada di bawah rata-rata negara berkembang

lainnya. Hasil survai World Competitiveness Year Book tahun 1997-2007

menunjukkan bahwa dari 47 negara yang disurvai, pada tahun 1997 Indonesia

berada pada urutan 39, pada tahun 1999, berada pada urutan 46. Tahun 2002,

dari 49 negara yang disurvai, Indonesia berada pada urutan 47, dan pada 2007

dari 55 negara yang disurvai, Indonesia menempati posisi ke-53. Menurut

laporan monitoring global yang dikeluarkan lembaga PBB, UNESCO, tahun 2005

posisi Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara berkembang di Asia

Pasifik. Selain itu, menurut laporan United Nations Development Programme

(UNDP), kualitas SDM Indonesia menempati urutan 109 dari 177 negara di

dunia. Sedangkan menurut The Political and Economic Risk Consultancy

(PERC) yang merupakan lembaga konsultan dari Hongkong menyatakan

kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah, di antara 12 negara Asia yang

diteliti, Indonesia satu tingkat di bawah Vietnam.

Khusus bidang MIPA, pendidikan di Indonesia juga masih cukup

memprihatinkan. Hasil survai TIMSS tahun 2003 yang diikuti 46 negara, siswa-

siswa Indonesia menempati urutan 34 untuk matematika, dan menempati urutan

36 untuk sains. Singapura menempati urutan pertama untuk dua-duanya, Korea

Page 3: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Jepang, juga mendominasi peringkat atas,

sementara Malaysia menempati urutan 10 untuk matematika, dan 20 untuk

sains.

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan oleh data

dari Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya

delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The

Primary Years Program (PYP), dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga

hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The

Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah

yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Mudah diduga, jika mutu pendidikan rendah maka kualitas sumber daya

manusia (SDM) juga akan rendah. Pada 15 September 2004 lalu United Nations

for Development Programme (UNDP) mengumumkan hasil studi tentang kualitas

manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul

Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia

hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibandingkan dengan

negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Ini

sungguh memprihatinkan. Berbicara tentang kualitas pendidikan, Yusuf Kalla 

pernah mengatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia saat ini lebih buruk di

banding 30-40 tahun yang lalu, bahkan menurut laporan hasil survey The

Political and Economic Risk Consultancy (PERC) kualitas pendidikan Indonesia

berada pada peringkat 16 di tingkat Asia dan berada di urutan 160 untuk tingkat

Page 4: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

dunia. Ironisnya, kedudukan itu berada di bawah negara Vietnam yang sering

mengalami kekacauan politik dan peperangan itu.

Walaupun demikian, berita menggembiarakan masih ada. Para anak

bangsa ternyata cukup berprestasi di ajang olimpiade MIPA tingkat internasional,

dan hampir setiap tahun para siswa kita yang mengikuti olimpiade matematika,

Fisika, Kimia dan Biologi memperoleh medali emas. Mereka mengalahkan para

siswa dari negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Belanda, Australia.

Dari para peraih emas itu, terdapat mutiara hitam dari Indonesia Timur

Irian Jaya yang mengharumkan nama bangsa. Ini untuk mempertegas bahwa

sebenarnya, anak Indonesia, dari manapun asalnya, memiliki potensi kuat untuk

menjadi juara olimpiade. Anak Indonesia memiliki potensi kuat juga untuk

menjadi ahli MIPA, menyumbangkan ilmunya untuk kemajuan IPTEK di tanah air

menyamai negara lainnya.

Jika “bahan baku” yang berupa kecerdasan anak Indonesia memiliki

potensi besar, tetapi setelah sekolah mereka prestasinya rendah, berarti ada

sesuatu yang menyebabkannya, ada sesuatu yang keliru dalam sistem

pendidikan kita. Seharusnya mutu pendidikan di Indonesia tidak kalah dengan

negara-negara lain, tetapi mengapa kenyataannya tidak? Bahan baku berupa

kecerdasan anak Indonesia itu baru berbuah emas ketika mereka digodok

beberapa bulan, melalui suatu pelatihan untuk menjadi ilmuwan. Ini berarti

bahwa kesalahan terletak pada proses pembelajaran di kelas, mengapa mutu

pendidikan rendah. Dan proses pembelajaran di kelas itu, selain ditentukan oleh

keprofesionalan guru, juga oleh kualitas kepala sekolah, kondisi sekolah, Dinas

Page 5: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Pendidikan, dan kebijakan pemerintah mengenai pendidikan. Seandainya anak

Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan bakat dan

minatnya terhadap bidang MIPA, maka di Indonesia akan bertumbuh ahli-ahli

MIPA yang tidak kalah dengan negara lain yang sudah maju. Kapan?

C. GURU PROFESIONAL >< GURU BELUM PROFESIONAL

Apakah guru kita sudah profesional? Mungkin jawabannya ya, karena

guru tersebut memang melakukan upaya pembelajaran secara profesional dan

memiliki kompetensi sebagai pendidik yang baik, meskipun dia belum

tersertifikasi. Guru yang demikian masih langka. Namun masih banyak juga

guru yang belum profesional meskipun tekah tersertifikasi. Untuk mengetahui

sampai di tingkat mana keprofesionalan guru, diadakanlah survai di Malang,

dengan asumsi sekolah di kota Malang sudah cukup memadai dan dapat

dijadikan sebagai “contoh” bagi sekolah di sekitarnya. Survai serupa

diselenggarakan di Padang dan Banjarbaru.

Berdasar survai yang diselenggarakan penulis bekerjasama dengan JICA

pada bulan Februari dan Maret 2010 menghasilkan kesimpulan bahwa masih

perlu adanya Inservice Training guru (pembinaan guru dalam jabatan) dalam

bentuk pendampingan oleh para ahli. Survai yang diselenggarakan di kota

Malang, mengambil sampel 11 SMP terdiri dari 1 RSBI, 2 SSN, 3 SMPN non

SSN, 3 SMP Swasta, 1 MTs N dan 1 MTs Swasta, bertujuan untuk mengetahui

kesesuaian antara kebijakan Pemerintah (DIKNAS Pusat, Provinsi, Kota) tentang

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan implementasinya di

Page 6: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

sekolah beserta permasalahan yang ada. Responden terdiri dari Tim

Pengembang Kurikulum (TPK) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Kepala

Bidang Pendidikan Menegah (DIKMEN) Dinas Pendidikan Kota Malang dan

beberapa anggota TPK Kota Malang (KASI Kurikulum dan 3 orang pengawas

SMP), Kepala MAPENDA Kantor Departemen Agama Kota Malang dan Staf, 11

Kepala Sekolah SMP/MTs negeri dan swasta, dan sejumlah orang guru

matematika dan IPA, serta beberapa orang guru non MIPA. Pengumpulan data

survai dilakukan melalui wawancara terhadap responden, meminta dokumen

KTSP, dan observasi pembelajaran di kelas.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi KTSP dari

Tingkat Pusat, Provinsi, ke Kota dan Sekolah berlangsung baik. Setiap Tim

Pengembang mulai dari Pusat hingga ke Kota melakukan DIKLAT Penyusunan

KTSP. Pendek kata, secara normatif dan administratif segalanya berjalan baik.

Namun bagaimana hasilnya?

Beberapa temuan survai tersebut diuraikan berikut ini:

a. Umumnya para guru masih menyusun KTSP Buku II (silabus, RPP dan

LKS) dengan teknik “copy paste”, yang berarti mereka belum menyusun

silabus, RPP dan LKS berdasar keperluan dan kondisi mereka sendiri;

b. Meskipun mereka mengaku memiliki RPP, namun ketika proses

pembelajaran siswanya diobservasi, semua guru tidak membawa RPP

dengan alasan tertinggal di rumah;

c. Dari analisis RPP yang diperoleh ternyata terdapat perbedaan antara apa

yang dituliskan dengan apa yang diimplementasikan di kelas. Di RPP guru

Page 7: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

menuliskan penggunaan pendekatan konstruktivistik, guru berperan

selaku fasilitator, namun dari observasi di kelas dapat diketahui bahwa

guru lebih dominan, banyak menggunakan ceramah, para siswa pasif,

dan guru tidak memahami bagaimana mengimplementasikan pendekatan

konstruktiivistik di kelas sebagaimana disarankan kurikulum 2006;

d. Pengelolaan kelas dilakukan secara konvensional sehingga tidak

memungkinkan terjadinya interaksi antar siswa, kecuali ada 2 SMP yang

menggunakan pengelolaan kelas yang memungkinkan terjadinya saling

belajar antar siswa.

e. Dalam melakukan evaluasi/assesmen, umumnya guru menggunakan tes

secara tertulis, sehingga tes hanya berorientasi ke ranah kognitif, hanya

beberapa guru yang menggunakan rubrik untuk assesmen. Ini berarti

bahwa pemahaman guru tentang asesmen hanya pada ranah kognitif,

tidak sampai pada ranah afektif dan psikomotor

Hasil survai ini menunjukkan juga bahwa tidak ada perbedaan

keprofesionalan antara guru sekolah “bermutu” dengan sekolah yang “tidak

bermutu”, yang artinya bahwa baik sekolah “bermutu” maupun sekolah “tidak

bermutu” memiliki keprofesionalan yang sama yaitu sama-sama belum

profesional. Rupaya prestasi siswa sekolah “bermutu” selama ini bukan karena

hasil desain pembelajaran gurunya, melainkan karena mutu masukan siswanya

yang memiliki nilai DANEM tinggi.

Dalam rangka meningkatkan mutu guru, Pemerintah telah berupaya

maksimal untuk melakukan inservis training dengan menyelenggarakan

Page 8: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

penataran, pelatihan, workshop dalam beberapa minggu sehingga guru

meninggalkan kelasnya, namun setelah kembali ke sekolah para guru tidak

menerapkan ilmunya untuk mengefektifkan pembelajaran. Hal ini disebabkan

karena beberapa alasan yang sering dikemukakan para guru sebagai berikut::

a. Latar belakang siswa (DENEM rendah, dari keluarga menengah ke

bawah, dari desa/daerah terpencil) yang sulit untuk diajak aktif dan kreatif;

b. Guru tidak memiliki waktu cukup untuk menerapkan metode, pendekatan

dan model-model pembelajaran yang disarankan. Jika diterapkan,

waktunya lama sehingga guru tidak dapat menyelesaikan penyampaian

materi pembelajaran yang cukup banyak kepada siswa.

c. Jika menghadapi Ujian Nasional, guru cenderung mengadakan drill dan

latihan soal-soal ujian.

d. Media dan laboratorium tidak mencukupi/tidak ada;

e. Jam mengajar guru terlalu banyak

Melihat alasan yang dikemukakan guru nampak bahwa guru lebih

berorientasi pada faktor dari luar dirinya alias lebih menyalahkan faktor luar

daripada dirinya. Dengan pendampingan oleh dosen melalui kegiatan Lesson

Study, alasan guru itu akhirnya dapat diatasi sendiri oleh mereka, kecuali alasan

Ujian Nasional.

D. FAKTOR KEPALA SEKOLAH

Page 9: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Faktor Kepala Sekolah (juga Pengawas, DIKNAS) memiliki hubungan

komando yang tegas dalam menentukan bentuk kegiatan guru di kelas. Berdasar

ketentuan DEPDIKNAS, KS hendaknya memiliki lima aspek kompetensi, yaitu

kompetensi kepribadian, sosial, manajerial, supervisi, dan kewirausahaan. Hasil

uji kompetensi yang dilakukan oleh Dirjen PMPTK menunjukkan bahwa 70% dari

250.000 KS tidak kompeten, terutama di bidang manajerial dan supervisi,

sebagai kompetensi yang paling menentukan kualitas pendidikan. Menurut

Direktur Tenaga Kependidikan, Surya Dharma, dua kompetensi itu merupakan

kekuatan kepala sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik. Sebagai

pembanding, uji kompetensi terhadap 50 KS dari sebuah yayasan juga

menunjukkan hasil yang sama.

Bagaimana KS dapat melakukan supervisi terhadap guru jika mereka

tidak kompeten? Apakah supervisi dilakukan oleh para Pengawas?.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa para Pengawas juga tidak

melakukan pengawasan sesuai dengan TUPOKSInya. Mengapa hal ini terjadi?

Jawabannya karena perekrutan KS (juga Pengawas, DIKNAS Kabupaten/Kota)

tidak dilakukan berdasarkan keprofesionalan mereka sesuai dengan ketentuan,

melainkan berdasar faktor-faktor lain, misalnya faktor politik. Sejak

diberlakukannya otonomi daerah, pengangkatan KS (juga DIKNAS

Kabupaten/Kota) ditentukan oleh Bupati atau Walikota. Pengawas yang

diangkat oleh DIKNAS biasanya terdiri dari guru yang sudah hampir pensiun,

bukan atas dasar kemampuannya dalam melakukan supervisi pembelajaran.

Page 10: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Dalam kondisi demikian, para guru melakukan pembelajaran di kelas

tanpa adanya supervisi yang memadai. Para KS tidak pernah menjenguk proses

pembelajaran di kelas (di Kabupaten Pasuruan hanya 5 KS dari 125 KS yang

pernah mengunjungi guru mengajar di kelas, 2008), Pengawas tidak tahu apa

yang harus dilakukan terhadap problem guru di kelas.

Rendahnya kompetensi KS dapat dilihat dari keberadaan Laboratorium

dan Perpustakaan Sekolah. Laboratorium ada tetapi terbatas, peralatan dan

bahan tidak lengkap, sementara di dalam perpustakaan yang ada hanyalah buku

yang digunakan guru dalam proses pembelajaran. Tidak ada pilihan buku yang

ditawarkan kepada siswa yang dapat digunakan sebagai sumber belajar.

Kebijakan Pemerintah tentang pengadaan buku cenderung mengarahkan

sekolah untuk memiliki buku seragam, tanpa variasi yang memadai.

E. FAKTOR KEBIJAKAN PEMERINTAH

1. Payung Hukum

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan

mutu pendidikan di Indonesia, mulai dari upaya pengubahan kurikulum

(sekarang berlaku KTSP), peningkatan guru (penataran, seminar,

pelatihan), manajemen sekolah, melengkapi media, laboratorium (sarana,

prasarana), hingga ke penerbitan payung hukum dalam peningkatan mutu

pendidikan dengan dikeluarkannya UU No 14 tentang Guru dan Dosen,

serta Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan. Dalam UU no 14 Tahun 2005, guru dianggap sebagai

Page 11: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

tenaga profesional yang memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Di antara 4

kompetensi tersebut, terdapat 2 kompetensi yang terkait langsung dengan

tugas guru yaitu kompetesi pedagogik dan profesional.

Peraturan dan undang-undang tentang pendidikan memuat norma-

norma baku, dan pelaksanaan memiliki faktanya tersendiri. Misalnya

berdasar Peraturan Pemerintah RI No 19 Tahun 2005 tentang Standar

Nasional Pendidikan, pasal 19 menyatakan:

(1) Proses Pemebelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan

secara interaktif, menyenangkan, memotivasi peserta didik untuk

berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang cukup bagi prakarsa,

kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan

fisik serta psikologis peserta didik;

(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses

pembelajaran pendidik memberikan keteladanan;

(3) Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses

pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil

pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk

terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

Untuk menyukseskan upaya peningkatan mutu pendidikan

tersebut, Pemerintah (KEMENDIKNAS) melakukan kerjasama dengan

berbagai negara misalnya dengan Australia, Amerika, Jepang, Jerman,

dsb. Namun kerjasama tersebut umumnya kurang berarti dalam

Page 12: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Hasil-hasil survai

menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah.

Biasanya, para guru bersemangat ketika “proyek” berlangsung, namun

mereka akan kembali ke kebiasaan aslinya ketika “proyek” itu usai.

Untuk mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) Pemerintah telah melakukan penataran, pelatihan serta upaya-

upaya lain misalnya memberikan block grant dsb. Dengan kata lain, apa

yang dilakukan Pemerintah pada tataran ini sudah cukup memadai.

Mengingat payung hukum sudah baik, pelatihan, penataran sudah

dilaksanakan, maka seharusnya kualitas pendidikan berangsur membaik

pula. Namun kenyataan menunjukkan lain. Kualitas pendidikan kita

(termasuk pendidikan bidang MIPA) tetap rendah. Mengapa?

2. Ujian Nasional Membelenggu Guru

Faktor Kebijakan Pemerintah yang cukup mengganggu proses

pembelajaran adalah Ujian Nasional (UN). Menjelang UN, semua

perhatian sekolah tertuju pada persiapan menghadapi UN. Para guru

yang biasanya aktif di MGMP menjadi tidak aktif. Mereka sibuk

mengadakan dril dan latihan menyelesaikan soal untuk para siswanya.

Para kepala sekolah diperintahkan oleh DIKNAS agar serius melakukan

persiapan dengan melakukan dril, sebab kelulusan dalam UN

menunjukkan kualitas sekolah. Para Walikota/Bupati juga sering

menghimbau (menginstruksikan) para KaDIKNAS untuk melakukan

persiapan menjelang UN. Seringkali para Bupati/Walikota/KaDinas

Page 13: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

dalam pidatonya menyinggung kelulusan siswa dalam UN, karena jika

semua siswa di suatu daerah lulus UN, maka daerah tersebut dikatakan

sebagai daerah yang pendidikannya berhasil. Peringkat kelulusan juga

menjadi kebanggaan tersendiri. Karena itu, UN tidak lagi menjadi

prestasi pendidikan melainkan menjadi prestise daerah.

Itulah sebabnya mengapa dalam menghadapi UN terjadi berbagai

tindakan yang mencoreng dunia pendidikan itu sendiri. Guru, Kepala

sekolah, melakukan kecurangan agar siswanya lulus UN demi

meningkatkan prestise daerah. Kalau tidak, DIKNAS dan Kepala Daerah

akan marah.

Menyimak dari upaya yang dilakukan sebelum UN, yakni

melakukan dril dan latihan penyelesaian soal, kita cukup prihatin karena

dril dan latihan soal bukanlah upaya pembelajaran siswa. Dril dan

latihan mengerjakan soal bukanlah pendidikan. Tidak heran jika setelah

seminggu mengikuti UN, semua yang dihafalkan siswa hilang

terlupakan. Siswa hanya disuruh menghafal fakta-fakta dalam ilmu

melalui dril, padahal kemampuan seseorang menghafal ada batasnya.

Menghafal tidak dapat bertahan lama.

Ironisnya lagi, soal-soal dalam UN yang hanya berupa soal kognitif

tidak banyak mengungkap apa saja yang dilakukan siswa ketika belajar

di laboratorium dan menggunakan media. Di kelas para guru melatih

siswa melakukan pengamatan, menganalisis, merumuskan hipotesis,

melakukan eksperimen, tetapi soal-soal UN tidak pernah mempermasa-

Page 14: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

lahkannya. Mungkin guru biologi pernah mengajak siswa ke kebun atau

sungai, guru kimia melakukan eksperimen dengan tabung-tabung

reaksinya, guru fisika mengajak siswa membuat percobaan dengan

menggunakan arus listrik, tetapi soal-soal UN tidak pernah

mempermasalahkan kegiatan siswa tersebut. Akibatnya para guru

enggan untuk melatih siswa berkegiatan. Untuk apa ke sungai sampai

digigit lintah kalau soal UN tidak pernah beranjak dari hafalan di buku?

Begitulah kira-kira apa yang ada di benak guru. Akhirnya guru kembali

ke pola lama: berceramah, menyajikan semua materi yang banyak agar

target tercapai dan melakukan drill untuk para siswanya.

Dari uraian ini nampak bahwa UN memberikan andil yang tidak

sedikit kepada guru dan menentukan keputusan guru dalam proses

pembelajarannya. Segala teori belajar, pendekatan, metode, dan model

pembelajaran yang dilatihkan ke guru dianggap menghambat guru dalam

menyelesaikan target sesuai dengan tuntutan UN. Ceramah dan dril

adalah metode yang dianggap guru paling cocok dan mudah untuk itu.

Jika demikian maka UN yang seharusnya dapat meningkatkan mutu

pendidikan di Indonesia (sebagaimana harapan Zakaria, T Ramli dari

Balitbang, DEPDIKNAS Jakarta), tidak akan pernah tercapai, melainkan

justru menurunkan mutu pendidikan itu sendiri.

Memang ada yang berpendapat bahwa UN mendorong siswa

belajar lebih giat, guru mengajar lebih baik, kepala sekolah memperbaiki

mutu sekolah, dan orang tua lebih memperhatikan anak belajar (Hasil

Page 15: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Seminar PPS Psikologi UI), tetapi yang perlu dikritisi adalah dengan

adanya UN pendidikan di sekolah hanya bermuara pada tingkat

kelulusan, pada nilai UN, bukan pada seberapa bermakna materi

pelajaran itu bagi kehidupan dirinya, masyarakat dan lingkungannya. Di

dukung oleh media informasi, masyarakat kita masih memandang bahwa

hasil UN menjadi penentu kualitas pendidikan, meskipun menurut Pasal

72 PP No 19 tahun 2005, UN bukan satu-satunya penentu kelulusan.

Kebiasaan mengejar nilai hasil tes terbawa hingga ke perguruan tinggi,

sehingga mahasiswa hanya mengejar IP tinggi, lalu bekerja, dan tidak

berbuat apa-apa untuk kemajuan bangsanya. Berapa banyak sarjana

MIPA yang kita miliki, namun kenapa permasalahan yang berkaitan

dengan ke-MIPA-an di masyarakat tidak tertangani?.

Sekiranya UN masih dipertahankan agar terjadi pemerataan mutu

pendidikan dan Pemerintah dapat mendiagnosis secara tepat

permasalahan pendidikan di sekolah, maka: 1) UN diberikan tidak

terbatas di kelas 3, melainkan juga di kelas 2 dan kelas 1. 2) Hasil UN

tidak untuk kenaikan kelas/kelulusan, melainkan untuk mendiagnosis

permasalahan pembelajaran di sekolah; 3). Soal-soal UN tidak hanya

terbatas pada prinsip-prinsip yang tertera di buku pelajaran melainkan

juga mempermasalahkan kegiatan siswa di laboratorium/di luar kelas.

Jika hal ini dilakukan, maka perlu adanya perubahan rumusan dalam

pasal 68 PP 19 Tahun 2005 itu.

Page 16: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

3. Sertifikasi Guru, Sebuah Dilemma

Kebijakan Pemerintah tentang sertifikasi guru dan dosen, pada

dasarnya memiliki niatan yang luhur. Guru profesional, yang memiliki 4

kompetensi, perlu dihargai, diberi sertifikat dengan imbalan gaji yang

memadai. Namun sayangnya, implementasi dari UU 14/2005 tentang

Guru dan Dosen itu terkesan ada unsur “balas budi”,

“bergiliran” dan mengaburkan upaya untuk mencari bibit

unggul berupa guru profesional yang tanpa dibatasi usia,

pangkat dan senioritas.

Sertifikat sudah dibagikan dan sebagian gaji sudah

dibayarkan. Apakah ada kemajuan proses pembelajaran antara

sebelum dan setelah sertifikasi? Mana yang lebih profesional,

guru yang disertifikasi melalui portofolio ataukah melalui PLPG?

Mengingat uang gaji yang disampaikan ke guru tersertifikasi

adalah uang dari rakyat, apakah rakyat berhak untuk melihat

proses pembelajaran oleh guru profesional tersertifikasi

tersebut?

F. BENARKAH MINAT SISWA PADA BIDANG MIPA RENDAH?

Bagaimana minat siswa pada bidang MIPA di Indonesia, apakah rendah,

sedang atau tinggi? Jika indikator banyaknya calon mahasiswa yang mendaftar

MIPA yang dijadikan ukuran, maka beberapa tahun terakhir minat siswa menjadi

guru MIPA dengan memasuki FMIPA UM (juga di FMIPA LPTK lain) cukup

Page 17: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

tinggi. Pada tahun 2008- 2010 minat masuk FMIPA selalu meningkat.

Perhatikan Tabel berikut (Berdasar Data Kabag. Pendidikan dan Kerjasama

Universitas negeri Malang, 2010)

TABEL 1: Minat Siswa terhadap FMIPA UM 2008-2010

2007/2008 2008/2009 2009/2010

Pminat Ditrima Pminat Ditrima Pminat DtrimaNo Prog Study

1 P. Matematika 1922 188 2760 163 3049 171

2 Matematika 504 123 524 131 673 109

3 P. Fisika 885 176 1380 124 1967 160

4 Fisika 270 154 275 142 283 95

5 P. Kimia 1027 187 2051 146 2398 125

6 Kimia 413 176 521 114 602 88

7 P. Biologi 1285 163 1963 141 2500 129

8 Biologi 427 165 457 147 529 117

FMIPA 6733 1332 9931 1108 12001 994

Peningkatan minat tersebut di duga ada kaitannya dengan gaji guru yang

meningkat. Dulu, ketika gaji guru rendah, minat masuk MIPA (juga masuk

Fakultas lain di LPTK) rendah. Sekarang setelah gaji guru meningkat, maka

minat masuk FMIPA juga meningkat. Dengan demikian ketertarikan pada bidang

MIPA berkaitan dengan ”imbalan yang akan diterima’ di masa depannya.

Selain FMIPA Negeri, yang menjadi sasaran masuk ke FMIPA setelah

tidak diterima di negeri adalah LPTK Swasta. LPTK Swasta “berlomba”

menerima mahasiswa MIPA untuk dididik menjadi calon guru. Jika FMIPA LPTK

Page 18: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Swasta tersebut memenuhi persyaratan (tenaga dosen, lab, penguasaan

pembelajaran, ruangan dst) yang memadai, maka kualitas lulusannya akan

menjadi baik dan dapat memotivasi para siswa untuk lebih meningkatkan minat

mereka pada bidang MIPA. Sebaliknya, jika LPTK Swasta tersebut hanya

bertujuan untuk mendapatkan mahasiswa yang banyak (jumlah kelas besar,

jumlah mahasiswa perkelas besar, tenaga dan fasilitas tidak memadai walaupun

telah terakreditasi), maka akan menjadi bumerang bagi dunia pendidikan kita

sebagaimana yang kita rasakan saat ini. Dunia pendidikan kita tidak pernah maju

dan bahkan akan mengalami kemunduran, karena populasi lulusan LPTK

swasta yang tidak bermutu lebih besar daripada populasi guru LPTK bermutu.

Jika mutu guru masih diragukan, maka mutu pendidikan akan tetap rendah dan

kualitas hasil pendidikan MIPA tetap rendah. Bagaimana bangsa ini akan dapat

meningkatkan IPTEK dan menyongsong masa depannya lebih baik?

Ironisnya, kita menerima semua lulusan LPTK untuk menjadi guru

berdasarkan IP, dengan asumsi IP yang tinggi lebih mumpuni daripada yang

IPnya rendah. Ujian yang berfungsi untuk mengetahui tingkat keprofesionalan

guru dalam proses pembelajaran tidak pernah diberikan. Ujiannya cukup

kognitif. Sementara itu apabila guru yang diterima tidak bermutu, Pemerintah

kesulitan untuk mengeluarkannya. Di Jepang, guru yang tidak profesional dilatih

pada kurun waktu tertentu. Jika telah dilakukan 3 X pelatihan yang bersangkutan

tetap tidak bermutu, maka dikeluarkan.

Apakah para guru itu rajin masuk ke sekolah? Berdasarkan survei yang

dilakukan untuk Laporan Pembangunan Dunia 2004, 20 persen tenaga pengajar

Page 19: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Indonesia tidak masuk sekolah pada saat dilakukan pengecekan di sekolah-

sekolah yang terpilih secara random. Jadi, terdapat 20 persen dari dana yang

digunakan untuk membiayai tenaga pengajar tidak memberikan manfaat secara

langsung kepada murid, karena ternyata tenaga pengajar tersebut tidak berada

di kelas.

Permasalahan guru semakin rumit jika dilihat distribusinya dan

kesesuaian antara bidang yang diampu dengan latar belakang pendidikannya.

Di satu sekolah/daerah terdapat kekurangan guru bidang studi tertentu

sementara di tempat lain berlebihan. Saat ini di daerah Jawa Timur yang

tergolong daerah “maju” masih terdapat guru yang mengajar bidang MIPA yang

tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Belum lagi masalah

banyaknya jam mengajar, mengajar di lebih dari satu sekolah, dsb. Semuanya

sangat berpengaruh pada pola proses pembelajaran guru di kelas.

G. SERTIFIKASI MENINGKATKAN KEPROFESIONALAN GURU?

Guru menempati posisi penting dalam pendidikan dan memberikan

kontribusi yang tinggi untuk peningkatan hasil belajar siswa. Hasil studi yang

dilakukan oleh Heyneman & Loxley (1983) di 29 negara menunjukkan bahwa

guru memiliki peranan penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.

Perhatikan Tabel berikut:

Page 20: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Tabel : Kontribusi Guru, Manajemen, Waktu Belajar dan Sarana Fisik terhadap Prestasi Belajar Siswa

JENIS NEGARA

GURU MANAJEMEN WAKTU BELAJAR

SARANAFISIK

16 NEGARAINDUSTRI 36% 23% 22% 19%16 NEGARA SEDANG BERKEMBANG

34% 22% 18% 26%

Jalal, Fasli (2007) mengungkapkan bahwa pendidikan yang bermutu

sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang

profesional, sejahtera dan bermartabat. Karena itu sangat tepat jika Pemerintah

berupaya untuk meningkatkan keprofesionalan guru, dengan tidak

mengesampingkan faktor-faktor lainnya. Salah satu upaya untuk meningkatkan

keprofesionalan guru adalah melalui sertifikasi guru. Adapun tujuan sertifikasi

guru adalah:

a. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen

pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional

b. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan

c. Meningkatkann martabat guru, dan

d. Meningkatkan profesionalitas guru

Adapun manfaat sertifikasi guru adalah:

a. melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten yang

dapat merusak citra profesi guru

b. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak bermutu

dan tidak profesional

Page 21: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

c. Meningkatkan kesejahteraan guru

Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan dapat dilakukan melalui dua

cara yaitu (1) penilaian portofolio guru dan (2) Jalur pendidikan.

(1) Penilaian portofolio dilakukan terhadap kumpulan dokumen yang

mencerminkan kompetensi guru yang meliputi berbagai aspek. Hanya

saja, penilaian portofolio ini mengandung sisi kelemahan dan para guru

yang mengejar gaji menyiasati portofolio dengan berbagai cara yang

bertentangan dengan prinsip pendidikan. Guru yang belum lulus

sertifikasi melalui jalur portofolio diwajibkan mengikuti Pendidikan dan

Latihan Profesi Guru (PLPG).

(2) Jalur Program Pendidikan Guru (PPG) saat ini baru akan diawali dengan

pelaksanaan PPG di beberapa LPTK yang mengadakan kerjasama

untuk mendidik para mahasiswa lulusan Basic Science. PPG

dilaksanakan selama 2 semester (bagi lulusan LPTK) atau 3 semester

(bagi lulusan non LPTK) dengan sebagian besar waktunya digunakan

untuk workshop dan latihan di sekolah. Kegiatan ini masih terlalu dini

untuk dinilai. Jika PPG dilaksanakan secara konsekuen seperti

peraturan yang ada, maka hasilnya adalah guru-guru profesional yang

siap meningkatkan kualitas pendidikan di masa yang akan datang. Jika

yang ditunjuk melaksanakan PPG (entah karena alasan apapun) adalah

LPTK yang “tidak bermutu”, maka hasilnya akan tetap terjerembab

dalam kubangan rendahnya kualitas calon guru seperti selama ini.

Page 22: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Tidak semua guru yang ada di sekolah saat ini dihasilkan oleh

LPTK berkualitas. Padahal populasi guru yang belum profesional ini

lebih besar dibandingkan dengan guru profesional alumni LPTK

berkualitas. LPTK yang kurang berkualitas itu (tidak mumpuni untuk

menghasilkan guru profesional) begitu mudahnya merekrut mahasiswa

baru (yang gagal memasuki LPTK bermutu) walau dosen, sarana,

prasarana, dan profesionalitasnya tidak dimiliki. Ada Perguruan Tinggi

yang menerima 12 kelas (12 kelas dalam satu jurusan dalam bidang

MIPA) walau hanya memiliki beberapa dosen dan mempercayakan

kuliahnya dibina oleh mahasiswa senior. Pada waktu kegiatan kuliah

para mahasiswa sepi namun terasa ramai dan semarak ketika wisuda

berlangsung. Kapan mereka kuliah? Di mana mereka praktek? Apakah

mereka siap menjadi guru profesional?

F. LESSON STUDY MENINGKATKAN KEPROFESIONALAN GURU

Berbagai uraian di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa:

1. Dalam segi UU, Peraturan, serta hal-hal yang bersifat normatif

kita telah mampu menyusunnya dengan baik. Kita memang ahli dalam

mendeskripsikan hal-hal yang bersifat filosofis dan normatif, namun jauh dari

realita yang sesungguhnya terjadi.

2. Upaya untuk melakukan sosialisasi kebijakan telah cukup,

namun biasanya tidak diikuti bagaimana memantau dan mengevaluasi suatu

Page 23: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

kebijakan, serta bagaiamana upaya pemecahan masalah yang muncul dapat

dirumuskan;

3. Semua pihak menyadari bahwa mutu pendidikan kita rendah,

akan tetapi solusi untuk mengatasinya belum diikuti oleh kebijakan yang

mengacu kepada aspek pendidikan. Aspek lain misalnya politik, ekonomi, ikut

berperan serta

4. Salah satu contoh mengenai peningkatan keprofesionalan

guru seringkali dijawab dengan kebijakan pelatihan dan penataran, tanpa

diikuti upaya monitoring dan evaluasi. Para guru hanya diberi prinsip-prinsip

atau teori, tetapi tidak dibimbing bagaimana menerapkan teori dan prinsip

tersebut ke dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Para pejabat asyik

berkelakar tentang peraturan dan undang-undang, sementara para pakar

kekurangan waktu untuk menyajikan materi yang diperlukan guru.

5. Para guru yang ditatar dan dilatih tidak menerapkan

pengetahuannya setelah mereka kembali ke sekolah. Mereka terjebak ke

dalam pola pembelajaran lama yang berpusat kepada guru, bukan berpusat

kepada siswa. Hal-hal pokok seperti teori pembelajaran, model-model

pembelajaran, pendekatan pembelajaran, penggunaan media, sumber belajar

serta asesmen dan evaluasi pembelajaran hanya merupakan pengetahuan

yang berhenti sebagai sesuatu yang diketahui, tetapi sulit untuk diterapkan di

kelas.

6. Para guru mengalami kesulitan dalam menyusun silabus,

RPP, LKS, dan bagaimana menerapkannya dalam proses pembelajaran.

Page 24: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Sejak tahun 2004, FMIPA UM telah melaksanakan program Lesson

Study bekerjasama dengan JICA, atas kerjasama antara Pemerintah dengan

Jepang. Sejak tahun 2006, Program Lesson Study dilaksanakan di Pasuruan

(Jatim), Bantul DIY dan Sumedang (Jabar) atas bimbingan teknis dari JICA.

Melalui Lesson Study, guru berkolaborasi dengan guru, dibimbing oleh dosen

pendamping bagaimana menyusun RPP, LKS yang efektif dan membelajarkan

siswa. Hasilnya, yakni RPP dan LKS tersebut, diimplementasikan ke dalam

proses pembelajaran di kelas dengan menunjuk salah seorang sebagai guru

model dan guru lain bertindak selaku observer. Guru membelajarkan siswa

berpedoman kepada RPP yang telah disusun bersama. Observer tidak

mengamati guru, melainkan mengamati siswa. Apakah siswa benar-benar

belajar. Apakah semua siswa bisa (bukan sebagaian besar siswa). Observer

akan mencatat temuannya. Setelah proses pembelajaran berlangsung, para guru

segera melakukan diskusi refleksi. Mereka mengungkapkan temuannya secara

obyektif. Siswa mana yang belajar dan mana yang tidak. Mengapa hal itu terjadi,

mengapa siswa tidak mampu memahami, dan bagaimana cara mengatasinya.

Semua observer mengungkapkan temuannya dan jalan keluar yang disarankan

akan dipergunakan untuk merevisi RPP. RPP hasil revisi dapat diterapkan untuk

proses pembelajaran di kelas lain. Demikian seterusnya

Lesson Study dapat dibedakan menjadi 3 tahapan utama yaitu tahap

perencanaan (plan), yaitu diskusi untuk merumuskan skenario pembelajaran,

yang menghasilkan RPP dan LKDS; tahapan pelaksanaan (do) yakni menunjuk

seorang guru untuk menjadi guru model sementara yang lainnya menjadi

Page 25: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

pengamat; tahap ketiga adalah diskusi refleksi (see), yang merupakan diskusi

untuk mencari solusi dan menemukan jalan keluar pemecahan masalah

pembelajaran untuk dijadikan bahan revisi. Demikian seterusnya siklus ini

berulang berkali-kali, karena setiap pembelajaran itu khas, kondisi tidak sama,

dan tidak ada proses pembelajaran yang sempurna.

Melalui Lesson Study para guru dapat menggunakan metode apapun,

pendekatan belajar manapun, dan boleh menggunakan media buatan sendiri,

semuanya harus bermuara pada jawaban pertanyaan: Apakah siswa belajar

dengan mudah? Apakah semua siswa bisa? Apakah antar siswa terjadi proses

saling belajar? Apakah siswa bergairah dan senang selama pembelajaran?

Apakah tujuan pembelajaran tercapai?

Berdasarkan penelitian selama Lesson Study, para guru akhirnya: mampu

menyusun RPP dan LKS yang kreatif dan membelajarkan, kolegalitas antar guru

terbentuk dan mereka saling membelajarkan, guru model tidak takut diamati

pihak manapun, guru tidak sakit hati tetapi justru senang mendapatkan

masukan, para guru tidak saling menjelekkan tetapi muncul solusi konstruktif,

guru lebih memperhatikan hak setiap siswa belajar, siswa merasa senang,

siswa senang mengemukakan pendapat dan kreatif, siswa saling belajar, dan

prestasi siswa akhirnya meningkat. Para siswa akhirnya menyenangi

matapelajaran abstrak yang selalu dianggap sulit yakni matematika. Demikian

juga halnya siswa akhirnya menyenangi fisika, kimia dan biologi karena mereka

tertantang untuk kreatif dalam suasana menyenangkan.

Page 26: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Lesson Study bukanlah suatu metode, tetapi suatu wahana tempat guru

belajar melalui media proses pembelajarannya sendiri. Obyek pengkajiannya

adalah kelas nyata, dan jalan keluar yang ditawarkannya adalah jalan keluar

yang praktis. Melalui Lesson Study guru dapat menggunakan pendekatan

apapun, metode dan media manapun, asalkan menimbulkan minat belajar

dengan maksud untuk tercapainya tujuan belajar.

Merujuk pada judul makalah ini: Bagaimana meningkatkan kompetensi

guru untuk meningkatkan minat siswa pada MIPA, jawabannya adalah dengan

menyelenggarakan Lesson Study. Lesson Study dilaksakan apabila terdapat

komitmen dari para guru, kepala sekolah, pengawas dan DIKNAS. Lesson Study

tidak dapat hanya dilaksanakan satu dua kali, melainkan harus terus menerus

sepanjang hayat. Wadah MGMP dapat dijadikan wahana untuk pelaksanaan

Lesson Study. Tidak harus setiap mengajar melaksanakan Lesson Study dalam

arti kegiatan pembelajaran dilaksanakan untuk diamati guru lain. Seorang guru

cukup sekali dalam satu semester melaksanakan open lesson, yang diamati

guru-guru lain (boleh mengundang orang tua siswa, stake holder, organisasi

sosial, dst sebagai peninjau). Setelah itu mereka melaksanakan sendiri proses

pembelajaran di kelas berdasar temuan-temuan dan saran-saran dalam open

lesson. Jika semua guru di sekolah melaksanakannya, maka di sekolah telah

terbentuk Learning Community (masyarakat belajar), yakni saling belajar

membelajarkan antara guru-guru, guru-siswa, siswa-guru, sekolah-masyarakat.

Agar segala proses dapat berlangsung dengan baik dan dapat terus

ditingkatkan secara berkelanjutan, maka perlu dibentuk Tim Monitoring dan

Page 27: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Evaluasi yang akan melakukan pengukuran dan evaluasi sejak program belum

dilaksanakan, selama program berjalan dan program mencapai akhir periode

tertentu. Melalui Lesson Study, para guru diajak berfikir ilmiah, melakukan

pengkajian terhadap proses pembelajaran di kelas nyata, menyampaikan saran-

saran perbaikan, dan menyusun laporan baik dalam bentuk karya ilmiah maupun

hasil penelitiannya selama berLesson Study.

Page 28: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru
Page 29: Pemakalah 2_peningkatan Kompetensi Guru

Sejumlah isu yang dipaparkan diatas menunjukkan perlunya suatu agendareformasi yang didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kualitaspendidikan dasar di Indonesia. Agenda ini harus didasari pada peningkatankapasitas manajemen dan akuntabilitas disetiap tingkat pemerintahan,pemberdayaan sekolah dalam membuat perencanaan dan melaksanakanstrategi mereka sendiri untuk meningkatkan kualitas pendidikan, mengurangiketimpangan sumber daya fiskal daerah dalam pendidikan, menciptakanmekanisme pertukaran dan penggunaan informasi dalam suatu sistem yangmenyeluruh, membangun kemampuan pengajaran yang lebih baik danmemperjelas kembali struktur kelembagaan pusat untuk menyesuaikanamanat baru dari rakyat. Sekarang merupakan waktu yang tepat untukmelaksanakan agenda perubahan ini dengan segara: dimana pemerintahanbaru berada dibawah kepemimpinan baru telah memperoleh mandat amatbesar dari rakyat Indonesia.