BAB 2 KONSEP WAKAF 2.1 Pengenalan Wakaf merupakan sistem ...
PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG...
Transcript of PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG...
PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA
PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi Islam
Oleh: ANITA CHAIRANI
203046101673
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA Hendra Kholid, MA
NIP. 150 222 824
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA
PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
Oleh: ANITA CHAIRANI
203046101673
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF
UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Maret
2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi Islam (SEI) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).
Jakarta, 27 Maret 2008
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA (.……………..)
NIP. 130 789 745
2. Sekretaris : Drs. Ahmad Yani, MA (……………...)
NIP. 150 269 678
3. Pembimbing I : Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA (……………...)
NIP. 150 222 824
4. Pembimbing II : Hendra Kholid, MA (……………...)
5. Penguji I : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (……………...)
NIP. 150 050 917
6. Penguji II : Drs. Anwar Abbas, M. Ag (……………...)
NIP. 131 273 007
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 15 Maret 2008
Anita Chairani
Nama : Yayan Daryunanti
Jabatan : Manager Administrasi Keuangan Baitul Maal Muamlat
Tempat Wawancara : Kantor Baitul Maal Muamalat (BMM), Slipi – Jakarta
Tanggal Wawancara : 19 Desember 2007
1. Menurut Ibu, bagaimana peran perbankan syariah dilihat dari UU No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf?
Jawab: Bank syariah dilibatkan dalam pengelolaan wakaf uang karena bank
syariah merupakan lembaga yang sudah dipercaya oleh masyarakat juga
agar lebih terkontrol dan lebih aman karena suatu lembaga yang
mengelola wakaf uang harus dapat mempertanggung jawabkan kepada
publik. Selain itu, setiap bank yang beroperasi otomatis mendapat izin dari
Bank Indonesia, juga dikontrol oleh Bank Indonesia.
2. Menurut Ibu, bagaimana model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU No.
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
Jawab: Model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU No. 41/2004 tentang
Wakaf dapat dibagi menjadi 2, yaitu dalam bentuk investasi dan dalam
bentuk pinjaman modal kerja.
3. Bagaimana perkembangan wakaf uang sebelum dan sesudah berlakunya UU No.
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
Jawab: Baitul Maal Muamalat (BMM) sudah mengeluarkan produk wakaf uang
sejak tahun 2002, artinya Baitul Maal Muamalat sudah mengeluarkan
produk wakaf uang sebelum lahirnya UU Wakaf. Dana yang terkumpul
pada tahun 2002 adalah sebesar Rp. 16.688.917,17,-. Sesudah lahirnya
UU Wakaf, produk wakaf uang di Baitul Maal Muamalat sangat
berkembang, ini terbukti dengan makin besarnya dana yang terkumpul
sampai dengan tahun 2007 yang sebesar Rp. 294.319.562,-.
4. Menurut Ibu, bagaimana peluang perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf
uang sesudah berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
Jawab: Peluang pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah sesudah
berlakunya UU Wakaf sangat besar, tapi perlu sosialisasi ke masyarakat.
5. Apa tantangan yang dihadapi perbankan syariah dalam mengelola wakaf uang
sesudah lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
Jawab: Tantangannya adalah perlu sosialisasi tentang wakaf uang dan UU
No.41/2004 tentang Wakaf.
6. Langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan untuk pengembangan wakaf uang
di Baitul Maal Muamalat?
Jawab: Untuk pengembangan wakaf uang di Baitul Maal Muamalat, pihak Baitul
Maal Muamalat memberikan fasilitas IZI Uang. IZI Uang adalah layanan
penerimaan wakaf uang melalui SMS, dimana bagi wakif yang ingin
mewakafkan uangnya tidak perlu datang ke tempat penyetoran wakaf
uang, mereka hanya perlu SMS ke nomor yang khusus melayani
penerimaan wakaf uang. IZI uang memiliki keunggulan yang dapat
memajukan produk wakaf uang, diantaranya wakif dapat mewakafkan
uangnya kapan saja dan dimana saja mereka berada serta melalui IZI Uang
wakif dapat mewakafkan uangnya minimal sebesar Rp.100.000,- (seratus
ribu rupiah). Fasilitas ini memudahkan wakif yang ingin berwakaf dengan
uang.
Jakarta, Maret 2008
Yang Mewawancarai Yang Diwawanacarai
( Anita Chairani ) ( Yayan Daryunanti )
Nama : Mulya E. Siregar
Jabatan : Kepala Pengembangan Penelitian Perbankan Syariah
Tempat Wawancara : Bank Indonesia, Jakarta
Tanggal Wawancara : 6 November 2007
1. Bagaimana pendapat Bapak tentang dikeluarkannya UU No.41 Tahun 2004
tentang Wakaf?
Jawab: Dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf maka
semakin jelas bagaimana orang harus berwakaf. Selama ini kita hanya
mengenal wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, masjid dan lain-lain,
tapi dengan keluarnya UU No. 41/2004 tentang Wakaf, selain mengatur
wakaf benda tidak bergerak, juga mengatur wakaf benda bergerak seperti
uang. Jadi cakupan dari UU ini lebih luas dibanding praktik wakaf yang
sementara ini berlaku di Indonesia.
2. Apakah Bank Indonesia ikut campur dalam pembuatan UU tersebut?
Jawab: Pada saat penyusunan draf UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
Departemen Agama meminta perwakilan dari Bank Indonesia untuk
menjadi anggota penyusunan UU wakaf ini. Bank Indonesia diminta
menjadi anggota penyusunan UU wakaf karena dalam UU wakaf ini
mengatur tentang wakaf uang, pada saat itu yang mewakili Bank
Indonesia adalah saya sendiri.
3. Keunggulan-keunggulan apa saja yang dimiliki perbankan syariah dalam
pengelolaan wakaf uang?
Jawab: Perbankan syariah memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat
mengoptimalkan pengelolaan wakaf uang yaitu: jaringan kantor,
kemampuan sebagai fund manager, pengalaman, jaringan informasi, peta
distribusi dan citra positif.
4. Menurut Bapak, bagaimana peran perbankan syariah dilihat dari UU No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf?
Jawab: Ada 4 alternatif peran bank syariah jika dilihat dari UU No. 41 tahun 2004
tentang wakaf, yaitu bank syariah sebagai penerima wakaf uang, bank
syariah sebagai penerima dan penyalur wakaf uang, bank syariah sebagai
pengelola wakaf uang dan bank syariah sebagai nazhir.
5. Menurut Bapak, bagaimana model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf?
Jawab: Melihat dari alternatif peran bank syariah di atas, maka model pengelolaan
wakaf uang jika dilihat dari UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf juga
mempunyai 4 bentuk, yaitu pengelolaan wakaf uang oleh bank syariah
sebagai penerima wakaf uang, bank syariah sebagai penerima dan
penyalur wakaf uang, bank syariah sebagai pengelola wakaf uang dan
bank syariah sebagai nazhir.
6. Apakah materi-materi dalam UU tersebut sudah cukup memberikan landasan
yang kuat bagi perbankan syariah dalam mengelola wakaf uang?
Jawab: Menurut pasal 23 PP No. 42/2006 tentang Pelaksanaan UU No.41/2004
tentang wakaf secara jelas diterangkan bahwa bank syariah hanya
berperan sebagai penerima wakaf uang dalam pengelolaan wakaf uang,
akan tetapi dalam pasal 11 ayat (3) menyatakan bahwa “Nadzir badan
hukum yang melaksanakan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan: (a) badan hukum Indonesia yang
bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau
keagamaan Islam”. Bank syariah sebagai salah satu dari badan hukum
yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan artinya dapat pula menjadi
nazhir.
7. Adakah peraturan Bank Indonesia tentang pengelolaan wakaf uang di Indonesia?
Jawab: Tidak ada peraturan dari Bank Indonesia tentang pengelolaan wakaf uang
secara khusus, Bank Indonesia hanya mengeluarkan peraturan SK Dir. BI
No. 32/34/KEP/DIR Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah,
pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: “Bank dapat bertindak sebagai lembaga
baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah,
wakaf, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang
berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul
hasan)”. Selain itu juga ada SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR Tentang Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 28 yang berbunyi:
“BPRS dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana
yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau dan sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan
dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).”
Jakarta, Maret 2008
Yang Mewawancarai Yang Diwawancarai
( Anita Chairani ) ( Mulya E. Siregar )
KATA PENGANTAR
Segala puja teriring puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan
masa kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada seorang reformis sejati, pembawa
risalah suci yakni baginda Nabi Muhammad saw, yang telah membawa umat manusia
keluar dari kubangan lumpur jahiliyah menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan skripsi ini, Penulis mendapatkan
banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril
maupun materiil. Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Euis Amalia, M. Ag., selaku Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak AH. Azharuddin Latif, M. Ag., selaku Sekretaris Program Studi Muamalat
Ekonomi Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Djawahir Hejazziey, SH., MA dan Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.
Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Program Non-Reguler Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA dan Bapak Hendra Kholid, MA.,
selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan dan ilmu yang telah diberikan
kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Mulya Siregar, Kepala Pengembangan Penelitian Perbankan Syariah Bank
Indonesia, yang telah menyempatkan waktunya untuk diwawancara ditengah
kesibukkannya yang sangat padat.
7. Manajemen Baitul Maal Muamalat (BMM) terutama Ibu Yayan Daryunanti dan
seluruh staf Muamalat Institut Karawaci, yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
8. Kedua orang tua Penulis, Ayahanda Drs. Mahfud Umar dan Ibunda Nurlaila yang
telah mencurahkan kasih sayangnya kepada Penulis dan adikku satu-satunya
Ilham serta tidak lupa keponakkanku yang tersayang Sahira juga cink Farid, yang
telah memberikan dukungan dan semangat kepada Penulis sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skirpsi ini.
9. Seluruh staf bagian Perpustakaan Syariah yang telah membantu Penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman mahasiswa Jurusan Muamalat Program Non-Reguler angkatan
2003 Perbankan Syariah C dan teman-teman Jurusan Peradilan Agama (peserta
KKN di Padang). Terimakasih atas persahabatan yang terjalin selama ini, semoga
persahabatan ini Allah panjangkan selama-lamanya.
Akhirnya, kepada Allah SWT jualah Penulis serahkan segalanya serta
panjatkan doa semoga amal kebajikan mereka diterima di sisi-Nya, dan diberikan
pahala yang berlipat ganda sesuai dengan amal perbuatannya. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Jakarta, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8
D. Kajian Pustaka 9
E. Metode Penelitian 10
F. Sistematika Penelitian 11
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf 13
1. Pengertian Wakaf 13
2. Dasar Hukum Wakaf 17
a. Dasar Hukum Dari Al-Qur’an 17
b. Dasar Hukum Dari As-Sunnah 18
c. Dasar Hukum Dari Perundang-undangan Indonesia 20
3. Rukun dan Syarat Wakaf 23
4. Tinjauan Syariah Terhadap Uang Sebagai Objek
Wakaf 28
B. Praktik Perwakafan Di Indonesia 33
C. Model Pengelolaan Wakaf Uang 36
1. Di Indonesia 36
2. Di Luar Negeri 39
BAB III PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PENGELOLAAN
WAKAF UANG DILIHAT DARI UU NO. 41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
A. Perbankan Syariah Sebagai Lembaga Keuangan Syariah
Pengelola Wakaf 45
B. Keunggulan Perbankan Syariah Dalam Pengelolaan
Wakaf Uang 50
C. Peran Perbankan Syariah Dalam Pengelolaan Wakaf
Uang Dilihat dari UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 54
BAB IV PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF
UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41
TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
A. Model Pengelolaan Wakaf Uang Menurut UU No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf 62
B. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Wakaf Uang Pada
Perbankan Syariah Pasca UU No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 75
B. Saran 78
DAFTAR PUSTAKA 80
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan bagian dari negara besar di dunia yang struktur
ekonominya sangat timpang (terjadi kesenjangan), karena basis ekonominya yang
strategis dimonopoli oleh segelintir orang yang menerapkan prinsip ekonomi
konvensional (ribawi). Di tengah keterpurukan ekonomi terutama di negeri kita
sendiri sejak tahun 1998, bank konvensional tidak lagi menjadi tumpuan memulihkan
ekonomi nasional demi kesejahteraan rakyat, tentu kita membutuhkan solusi yang
dapat memulihkan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akhir-akhir ini
ada perkembangan menarik yang terjadi di Indonesia yaitu maraknya gerakan
kembali kepada Islam sebagai dasar dan sumber petunjuk kehidupan manusia dalam
seluruh aspeknya. Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam
semua kegiatan kehidupan akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik,
yang disebut sebagai hayatan thayyibah.1 Penerapan sistem ekonomi Islam yang
berbasiskan syariah dalam pengembangan ekonomi Islam di Indonesia, menjadi salah
satu bagian dari gerakan kembali kepada Islam dan agar kita dapat menjalankan roda
perekonomian secara adil dan merata kepada rakyat serta dapat memulihkan
perekonomian.
1 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), Cet. 3, h. 7
Salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang akhir-akhir ini juga menarik
perhatian umat Islam di Indonesia untuk dikembangkan adalah wakaf. Salah satu
institusi Islam yang sebenarnya telah lama dikenal masyarakat Indonesia namun
hingga kini belum dikelola secara optimal.
Wakaf adalah salah satu lembaga sosial Islam yang sangat dianjurkan untuk
digunakan oleh seseorang atau lembaga sebagai sarana penyaluran rezeki yang
diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Wakaf dikategorikan sebagai amal jariah yang
pahalanya akan terus mengalir walau si wakaf telah meninggal dunia. Karena harta
wakaf terus dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak.
Potensi yang terdapat pada wakaf sebenarnya tidak dapat diremehkan, terutama
dalam hal perannya menyediakan layanan-layanan publik yang mencakup bidang
pendidikan, kesehatan, sosial maupun untuk pemberdayaan ekonomi umat.
Sejak dulu, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada benda tidak
bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk
diambil airnya, sedang wakaf benda bergerak baru mengemuka belakangan. Di antara
wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang
dikenal dengan istilah cash waqf. Cash waqf diterjemahkan dengan wakaf tunai,
namun kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash
waqf diterjemahkan dengan wakaf uang.2
2 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, (Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 1
Wakaf uang memiliki kekuatan yang umum dimana setiap orang bisa
menyumbangkan hartanya tanpa batas-batas tertentu atau tanpa harus menunggu
menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Pemberian dana wakaf biasanya hanya dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai harta kekayaan yang cukup besar dan diberikan
dalam bentuk harta tidak bergerak. Sementara sebagian besar masyarakat, tidak
mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan wakaf ini mengingat keterbatasan harta
yang mereka miliki. Dengan adanya wakaf uang diharapkan praktik wakaf yang pada
masa-masa terdahulu terkesan sulit dan berat dapat dihindarkan. Dengan wakaf uang,
bentuk wakaf bisa berwujud harta lancar yang penggunaannya sangat fleksibel,
sehingga harta wakaf bisa menjadi modal finansial yang di simpan di bank-bank atau
lembaga keuangan.3
Praktik wakaf uang sendiri sebenarnya telah lama dikenal di dalam
pemerintahan Islam. M. A. Mannan dalam bukunya menyebutkan bahwa praktik
wakaf tunai ada semenjak zaman pemerintahan Ustmaniyah.4 Dalam catatan sejarah
Islam, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari mengungkapkan bahwa Imam Az-zuhri
salah seorang ulama terkemuka berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang
yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan
3 Mustafa E. Nasution, Wakaf Tunai dan Sektor Volunter, (makalah “Strategi Untuk
Mensejahterakan Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Hutang Luar Negeri”, di UI Program Pascasarjana, Jakarta, 2001), h. 8
4 M. A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, (Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI, 2001), h. 32
dinar dan dirham itu sebagai modal usaha, kemudian menyalurkan keuntungannya
sebagai wakaf.5
Di Indonesia pada dasarnya praktik wakaf telah lama dikenal dan
berkembang. Namun sampai saat ini istilah wakaf hanya identik dengan wakaf atas
tanah atau bangunan yang digunakan masjid, lembaga pendidikan atau lahan
pekuburan. Padahal potensi wakaf sangatlah besar, jika dikelola secara maksimal.
Menurut data Departemen Agama Republik Indonesia terakhir terdapat 403.845
lokasi tanah wakaf dengan luas 1.566.672.406 M2.6 Satu jumlah yang seharusnya
dapat menjadi sumber daya pengembangan ekonomi Islam di Indonesia.
Potensi wakaf yang ada belum terkelola secara maksimal selain karena
pemahaman atas wakaf pada umat Islam di Indonesia yang masih tradisional, juga
dikarenakan kurangnya dana yang mencukupi untuk mengelola tanah wakaf yang ada
menjadi produktif. Dengan demikian melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang
berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung
atau diolah untuk lahan pertanian.
Di negara-negara muslim yang lembaga perwakafannya telah mapan, masalah
perwakafan telah lama diatur dengan peraturan perundang-undangan. Di mesir
misalnya, perwakafan telah diatur dengan peraturan perundang-undangan wakaf dan
administrasinya telah pula berjalan dengan baik dilakukan oleh kementerian tersendiri
5 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan, h. 2 6 Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 2
yaitu Kementrian Urusan Wakaf (Wizaratul Awqaf). Di negara itu, banyak harta
wakaf berbentuk gedung-gedung yang disewakan, tanah-tanah pertanian yang
disewakan atau dibagi-bagi pengelolaannya pada orang yang bersedia
mengerjakannya dengan sistem bagi hasil, saham-saham di berbagai badan usaha dan
sebagainya, yang mendatangkan hasil. Dengan wakaf yang demikian bentuknya,
banyak yang dapat dikerjakan melalui hasilnya, termasuk diantaranya kegiatan ilmiah
dan pendidikan. Hasil wakaf juga dipergunakan untuk merehabilitasi narapidana yang
baru keluar dari penjara, dengan cara mendidik dan memberi mereka biaya hidup
sebelum mereka sepenuhnya kembali ke tengah-tengah masyarakat, dan hasil wakaf
juga diberikan kepada pedagang-pedagang kecil, berupa pinjaman tanpa bunga
sebagai modal kerja.7
Mengenai hukum dari wakaf uang itu sendiri, sejak dahulu memang telah
menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Secara prinsip ulama Hanafiyyah
membolehkan wakaf uang. Selain ulama mazhab Hanafi, Imam Az-Zuhri juga
membolehkan wakaf uang sebagai mana telah disebutkan sebelumnya, selain itu
sebagian ulama mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf uang.
Dalam konteks Indonesia, perdebatan mengenai keabsahan wakaf uang untuk
saat ini setidaknya telah mencapai titik temu. Hal ini karena Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sebagai lembaga yang mewadahi umat Islam tertinggi di negeri ini telah
mengeluarkan fatwa mengenai kebolehan memberi wakaf dalam bentuk uang. Fatwa
7 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988),
Cet. 1, h. 97
MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002.8 Saat ini sudah dikeluarkan Undang-
Undang yang mengatur tentang wakaf secara spesifik mengenai wakaf uang, saham,
atau sejenisnya yaitu dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Undang-undang
tentang wakaf ini disahkan pada tanggal 27 Oktober 2004 oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Dengan adanya fatwa MUI dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf ini telah menjadi pijakan hukum bagi umat Islam di Indonesia untuk
melakukan perbuatan hukum memberikan wakaf dalam bentuk uang. Diharapkan
wakaf uang bisa digalakkan dan bisa menjadi alternatif pengumpulan dana yang
bersifat abadi untuk memberdayakan perekonomian umat dan berbagai sarana dan
prasarana yang dibutuhkan umat disamping dana yang bersumber dari zakat, infaq,
dan sedekah.
Persoalan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana selanjutnya
manajemen pengelolaan wakaf itu sendiri. Besarnya potensi dana yang terkumpul
dari wakaf uang akhirnya telah menimbulkan kekhawatiran di sebagian orang
mengenai kemungkinan penyelewengan dana wakaf uang. Karenanya diperlukan
suatu lembaga yang benar-benar kredibel untuk mengelola wakaf uang. Dengan
dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf telah menjadi landasan untuk
pengembangan pengelolaan wakaf uang dimasa depan. Berbagai pihak mulai dari
pemerintah, umat Islam, sampai kepada lembaga keuangan syariah seperti bank
8 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan, h. 17
syariah dapat berperan untuk bersama-sama mengembangkan pengelolaan wakaf
uang di Indonesia. Keberadaan bank-bank syariah dipandang merupakan alternatif
lembaga yang cukup representatif untuk mengelola dana amanah tersebut. Lebih
jauh, dengan asumsi pengelolaan wakaf ini menyangkut pengelolaan dana besar,
maka kemungkinan perolehan pendapatan bagi bank syariah baik dari hasil
pengelolaan maupun dari hasil jasa (fee based income) merupakan satu daya tarik
bagi berkiprahnya bank syariah di dalam pengelolaan wakaf.
Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk membahas secara lebih mendalam
mengenai peluang dan tantangan perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang di
Indonesia, khususnya setelah dikeluarkan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
B. PEMBATASAN MASALAH
1. Pembatasan Masalah
Dengan berdasar latar belakang di atas, maka pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana peluang dan tantangan perbankan syariah dalam
pengelolaan wakaf uang setelah dikeluarkanya Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 tentang wakaf.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang dibahas dalam skripsi ini, maka
pokok permasalahan yang dibatasi dengan beberapa pertanyaan adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana pengelolaan wakaf uang menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang
wakaf?
b. Bagaimana peluang dan tantangan perbankan syariah dalam pengelolaan
wakaf uang pasca UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui pengelolaan wakaf menurut UU No. 41 Tahun 2004
tentang wakaf
b. Untuk mengetahui peluang dan tantangan perbankan syariah dalam
pengelolaan wakaf uang setelah dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004
tentang wakaf
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini semoga dapat memberikan manfaat, yaitu:
1. Untuk Akademis
Agar bermanfaat bagi para pengajar, baik guru ataupun dosen yang mengajar
tentang wakaf, agar perwakafan di Indonesia dapat berkembang dan maju.
2. Untuk Praktisi
Agar bermanfaat bagi para nadzir dan bank syariah dalam mengelola wakaf
uang.
3. Untuk Masyarakat
Agar masyarakat mengetahui bagaimana praktek wakaf uang dan
pengelolaannya sehingga terdorong untuk melakukan wakaf uang.
D. KAJIAN PUSTAKA
1. Pada tahun 2003, Nurhasanah menulis skripsi dengan judul “Wakaf Uang
Sebagai Alternatif Dalam Berwakaf”. Di dalam skripsi ini penulis
menguraikan tentang pengertian wakaf uang dan dasar hukumnya serta
potensi wakaf uang jika diterapkan di Indonesia.
2. Pada tahun 2004, Wardah Ganita menulis skripsi dengan judul “Tinjauan
Hukum Islam Pola Penghimpunan dan Pengelolaan Wakaf Uang Dompet
Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat”. Di dalam skripsi ini penulis
menguraikan tentang landasan hukum wakaf uang, bagaimana strategi
penghimpunan wakaf uang di Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat
serta bagaimana pola pengelolaan wakaf uang di Dompet Dhuafa dan Pos
Keadilan Peduli Umat.
3. Pada tahun 2006, Descyanne menulis skripsi dengan judul “Sistem
Pengelolaan Dana Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf Uang Pada LAZ
Portalinfaq”. Yang dibahas dalam skripsi ini adalah mekanisme pengelolaan
Ziswafu pada LAZ Portalinfaq serta upaya-upaya yang dilakukan Portalinfaq
agar dana yang terkumpul dapat disalurkan tepat sasaran.
Adapun perbedaan skripsi ini dengan skripsi-skripsi diatas adalah pada
penulisan skripsi ini lebih difokuskan pada bagaimana model pengelolaan wakaf
uang menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf serta menganalisa peluang
dan tantangan pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah setelah
dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
E. METODE PENELITIAN
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, Penulis
menggunakan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan
(field research).
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu Penulis mengambil data dari
bahan-bahan pustaka yang didapat dari peraturan perundang-undangan, buku-
buku, kitab-kitab fiqih, internet, data dokumen dari Baitul Maal Muamalat
(BMM) dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu Penulis terjun langsung ke
lapangan dan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
2. Metode Pengolahan Data
Setelah data diperoleh, maka Penulis akan mengolah data tersebut dengan
metode deskriptif analisis. Metode deskriptif yaitu menjelaskan dan memaparkan
tentang sesuatu, dalam hal ini Penulis menjelaskan dan memaparkan tentang
wakaf uang dan pengelolaannya. Dan metode analisis yaitu suatu metode dimana
Penulis berdasarkan data-data yang ada menganalisa hal-hal yang berkaitan
dengan permasalahan yang dihadapi, dalam hal ini Penulis menganalisa tentang
peluang dan tantangan pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah setelah
lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
3. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis merujuk pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2007”.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam sistematika penulisan ini penulis akan menguraikan secara
sistematis bab per bab, yang erat kaitannya antara bab satu dengan bab lainnya
karena merupakan sebuah satu rangkaian.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang wakaf, meliputi pengertian wakaf,
dasar hukum wakaf, yang meliputi dasar hukum dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan
Undang-undang Indonesia, rukun dan syarat wakaf, serta tinjauan syariah
terhadap uang sebagai obyek wakaf, bab ini juga membahas tentang praktik
perwakafan di Indonesia, juga mengenai model pengelolaan wakaf uang di
Indonesia dan di Luar Negeri.
BAB III PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PENGELOLAAN
WAKAF UANG DILIHAT DARI UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG
WAKAF
Bab ini berisi tentang perbankan syariah sebagai lembaga keuangan syariah
pengelola wakaf, keunggulan perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang,
dan peran perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang dilihat dari UU No.
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
BAB IV PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG
PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
Bab ini berisi tentang pengelolaan wakaf uang menurut UU No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf serta peluang dan tantangan pengelolaan wakaf uang pada
perbankan syariah pasca UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
BAB V PENUTUP
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Kata wakaf yang menjadi bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Arab yaitu al-
Waqf bentuk masdar dari waqafa-yaqifu-waqfan yang artinya berdiri atau
berhenti.9 Kata al-Waqf semakna dengan kata al-habs bentuk masdar dari habasa-
yahbisu-habsan yang artinya memenjarakan.10 Dalam istilah syara’ secara umum,
wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku
umum. Adapun yang dimaksud tahbisul ashli adalah menahan barang yang
diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan
dan sejenisnya. Lebih lanjut, mengenai cara pemanfaatan wakaf adalah
menggunakannya sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa
imbalan.11
9 Akhmad Sya’bi, Kamus Al-Qalam, (Surabaya: Halim Surabaya, 1997), h. 297
10 Ibid., h. 96
11 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A. B, dkk (Jakarta: Lentera, 1996), h. 635
Menurut kamus Bahasa Indonesia, wakaf ialah memperuntukkan sesuatu bagi
kepentingan umum, sebagai derma atau kepentingan yang berhubungan dengan
agama.12
Menurut al-Sayyid Sabiq, wakaf adalah menahan pokok asset dan
memanfaatkan hasilnya.13 Ada beberapa pengertian wakaf menurut para ulama:
Menurut Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebaikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya, karena yang lebih kuat menurut pendapat Abu Hanifah adalah bahwa wakaf hukumnya jaiz (boleh), tidak wajib, sama halnya dengan pinjaman.14
Menurut Jumhur (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah)
Wakaf adalah menahan suatu benda yang mungkin diambil manfaatnya (hasilnya) sedang bendanya tidak terganggu. Dengan wakaf itu hak penggunaan si wakif dan orang lain menjadi terputus. Hasil benda tersebut digunakan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Atas dasar itu, benda tersebut lepas dari pemilikan si wakif dan menjadi hak Allah SWT. Kewenangan wakif atas harta itu hilang, bahkan ia wajib menyedekahkannya sesuai dengan tujuan wakaf.15
Menurut Malikiyah
Wakaf adalah perbuatan si wakif yang menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh penerima wakaf, walaupun yang dimiliki itu berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan
12 Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.
1006 13 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Bandung: Almaa’arif,1996), cet.8, jilid 14, h. 148
14 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), cet. 3, juz 8, h. 153
15 Ibid, h. 154-155
uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan , yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan ini berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).16
Pendapat para ulama ini mewarnai perundang-undangan Indonesia, Pengertian wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 pasal I
(1) adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Pasal 215 Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 menyatakan : “ Wakaf
adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat dan keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf Pasal I ayat 1:
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Saat ini di Indonesia sedang berkembang wakaf benda bergerak berupa uang,
hal ini diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, UU ini memberikan
pengertian tentang harta benda wakaf. Harta benda wakaf adalah harta benda
yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta
mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif. Adapun
harta benda wakaf tersebut terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak.
16 Ibid, h. 155-156
Salah satu benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah uang, wakaf uang yang
dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang mewadahi umat Islam
tertinggi di Indonesia telah memberikan pengertian wakaf uang dalam fatwanya.
Adapun pengertian wakaf uang menurut MUI adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang
tunai.17
Dalam usaha memberikan ruang gerak kegiatan perwakafan dalam era
globalisasi, maka Bank Indonesia memberikan definisi wakaf tunai (uang)
sebagai “Penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahkan
dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun
menghilangkan jumlah pokoknya.”18
Dari beberapa definisi wakaf yang telah disebutkan, dapat penulis simpulkan
bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah suatu perbuatan hukum dari
seseorang yang dengan sengaja memisahkan atau mengeluarkan harta bendanya
untuk digunakan manfaatnya bagi keperluan di jalan Allah SWT dan untuk
kesejahteraan umum menurut syariah. Timbulnya perbuatan wakaf ini adalah
sebagai manifestasi kepatuhan terhadap agama karena wakaf merupakan salah
satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
17 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Komisi Majelis Ulama
Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 Mei 2002
18 Mulya Siregar, Peranan Perbankan Syariah Dalam Wakaf Tunai (Sebuah Kajian Konseptual), (Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2001), h. 1
2. Dasar Hukum Wakaf
a. Dasar hukum dari Al-Qur’an
Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber
dari pemahaman teks ayat Al-Quran, karena tidak ada ayat Al-Quran yang
secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Ayat-ayat yang pada
umumnya dipahami dan digunakan oleh para fuqaha sebagai dasar atau dalil
yang mengacu kepada ajaran wakaf, antara lain firman Allah SWT dalam
Surat Ali Imran (3) ayat 92:
☺
⌧ ٣/عمران ال(
:٩٢ ( Artinya: “ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan. Maka Sesungguhnya Allah Mengetahuinya “.(QS. Ali Imran/3:92)
Ayat lain yang menganjurkan syari’at wakaf adalah surat Al-Baqarah (2) ayat
267:
☺ )٢٦٧ : ٢ /البقرة (
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu ”.(QS. Al-Baqarah/2:267)
Kesimpulannya, Al-Quran dalam hal wakaf tidak menyebutkan secara
khusus, Al-Quran hanya membicarakan soal umum yaitu soal menafkahkan
harta pada jalan Allah. Cara menafkahkan harta pada jalan Allah salah
satunya adalah dengan wakaf.19
b. Dasar hukum dari as-sunnah
Di samping mengemukakan dalil atau dasar hukum wakaf dari Al-
Quran, para fuqaha juga menyandarkan masalah wakaf kepada hadist atau
sunnah Nabi. Diantara hadits nabi yang dijadikan dasar hukum wakaf oleh
para fuqaha adalah sabda nabi:
إذا: عن أبى هريرة رضي اهللا عنه أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال
أو علم , ة جارية إال من صدق, ع عنه عمله إال من ثالثة طنق اسانناإل مات
)روه مسلم(. أو ولد صالح يدعوله , تفع به ينArtinya : Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila
seseorang telah meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu dari shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya” (HR. Muslim).20
Walaupun secara umum disebutkan adalah sedekah jariyah, namun
yang dimaksud hadits di atas termasuk wakaf. Sebagaimana pendapat yang
dikemukan As-Syaukani dalam bukunya Nailul Authar, “Para ulama
19 Drs. H. Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet.
1, h. 68
20 Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh: Darus-Salam, 1998), h. 716
menafsirkan sadaqah jariyah yang dimaksud hadits itu adalah wakaf”.21
Wakaf akan menghasilkan pahala selagi barang yang diwakafkan itu utuh dan
dapat dimanfaatkan, maka orang yang berwakaf terus menerima pahala dari
Allah SWT.
Selain hadits di atas, ada hadits yang secara tegas menyinggung
dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk
mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar:
تى النبي أصاب عمر أرضا بخيبر فأ: ن عمر رضي اهللا عنهما قال بعن ا
يا رسو ل اهللا إنى أصبت أرضا : ره فيها فقال م يستأ موسل صلى اهللا عليه
إن شئت : ه فما تأمرني به قال س عندي مننفبخيبر لم أصب ما ال قط هو أ
صلها وال انه ال يباع أ عمر بهافتصدق: حبست أصلها وتصدقت بها قال
قربى وفي الفقرا ء وفي في الفتصدق عمرقال , يبتاع وال يورث واليوهب
ال جناح على من وليها أن يأآل , قاب وفي سبيل اهللا وابن السبيل والضيفالر
)رواه مسلم(. أويطعم صديقا غير متمول فيه, منها بالمعروف Artinya: “ Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya)
21 Muhammad As-Syaukani, Nailul Authar, (Beirut: Dar Al-Fikr), Juz 5, h. 120
atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta”. (HR. Muslim)22
Para ulama salaf sepakat bahwa wakaf itu sah adanya dan wakaf Umar
di Khaibar itu adalah wakaf yang pertama terjadi di dalam sejarah Islam.23
Kesimpulannya, secara eksplisit hukum wakaf sedikit ditetapkan oleh
as-Sunnah dan sebagian besar ditetapkan oleh ijtihad fuqaha dengan
berpegang pada Istihsan, Istishlah, dan ‘Urf atau kebiasaan.24
c. Dasar hukum dari perundang-undangan Indonesia
Di Indonesia, praktik wakaf telah ada sejak Islam menjadi kekuatan
sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam yaitu sejak akhir
adab ke-12M.25 Saat ini, salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak
dan perkembangan wakaf di Indonesia adalah ketika negara ikut mengatur
kebijakan wakaf melalui seperangkat hukum positif sekaligus sebagai
landasan hukum dalam pengelolaan wakaf.
Hukum positif Indonesia yang mengatur tentang wakaf dapat kita lihat
dari beberapa peraturan di bawah ini, yaitu:
22 Muslim, Shahih, h. 717
23 Wahbah al-Zuhaily, Al-fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz 8, h.
157 24 Ibid., h. 157 25 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, ed., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan:
Studi Tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 7
1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, dimana negara secara resmi menyatakan perlindungan terhadap
harta wakaf. Penegasan atas perlindungan tanah milik perwakafan tertuang
dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah.
2) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik. Peraturan ini tergolong sebagai peraturan yang pertama yang
memuat unsur-unsur substansi dan teknis perwakafan. PP No. 28 Tahun
1977 ini hanya mengatur perwakafan tanah milik, yang meliputi
inventarisasi tanah wakaf, proses terjadinya perwakafan tanah milik, dan
proses pemberian hak atas tanah wakaf.26 Terbitnya PP ini menciptakan
pembaharuan yang cukup penting dalam pengelolaan harta wakaf.
Peraturan ini memberikan legalitas bagi bolehnya pertukaran harta wakaf
setelah mendapat ijin dari Menteri Agama. Secara subtansial peraturan
tersebut membolehkan pertukaran harta wakaf agar dapat diberdayakan
secara optimal. Aturan ini merupakan pembaharuan karena mayoritas
umat menganut mazhab Syafi’i bahwa harta wakaf tidak diperbolehkan
untuk dipertukarkan walaupun kondisi harta wakaf sudah tidak layak lagi
digunakan, seperti masjid yang hampir roboh.27
26 Ibid., h. 86 27 Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 100
3) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Aturan ini membawa beberapa pembaharuan dalam pengelolaan
wakaf. Pembaharuan ini pada dasarnya merupakan elaborasi dari prinsip
pembaharuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun
1977. Beberapa perluasan aturan perwakafan dalam KHI antara lain
berkaitan dengan objek wakaf, nadzir, dan sebagainya. Terkait dengan
objek wakaf misalnya, dalam KHI disebutkan bahwa objek wakaf telah
mencakup harta benda yang bergerak, sedangkan dalam PP No. 28
ketentuan seperti ini belum ada.28
4) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. UU wakaf ini
merupakan penyempurnaan dari beberapa peraturan perundangan wakaf
yang sudah ada dengan menambahkan hal-hal baru yang merupakan upaya
memberdayakan wakaf secara produktif dan akuntabel. Dengan adanya
Undang-undang ini terdapat perluasan benda yang diwakafkan (mauquf
bih). Dalam UU ini, selain mengatur tentang wakaf benda tidak bergerak,
juga mengatur tentang wakaf benda bergerak, seperti uang, saham atau
surat-surat berharga lainnya.29 Sebelum keluarnya Undang-Undang Wakaf
ini, sudah keluar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai
28 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, ed., Wakaf, Tuhan, dan Agenda, h. 88
29 Departemen Agama RI, Proses Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 212
kebolehan memberi wakaf dalam bentuk uang. Fatwa MUI tersebut
adalah:30
1) Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2) Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. 3) Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh). 4) Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal
yang dibolehkan secara syar’i. 5) Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh
dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Dengan adanya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan fatwa MUI
tersebut telah menjadi pijakan hukum bagi umat Islam di Indonesia untuk
melakukan perbuatan hukum memberikan wakaf dalam bentuk uang. Dan saat
ini sudah keluar pula Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
3. Rukun dan Syarat Wakaf
a. Rukun Wakaf
Para ulama telah sepakat bahwa tanpa memenuhi rukun dan syarat,
perbuatan wakaf tidak akan terwujud. Khusus mengenai jumlah rukun wakaf,
terdapat perbedaan antara jumhur dan mazhab Hanafi.
Menurut jumhur, mazhab Syafi’i dan Maliki serta Hambali, rukun
wakaf ada empat, yaitu:31
30 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 Mei 2002
a. Waqif (orang yang mewakafkan)
b. Mauquf (benda yang diwakafkan)
c. Mauquf ‘Alaih (sasaran atau penerima wakaf)
d. Sighat wakaf (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan harta bendanya)
Menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf hanya satu, yaitu berupa
pengucapan sighat.32
b. Syarat-syarat Wakaf
Masing-masing rukun wakaf mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu:
1. Syarat Waqif (orang yang mewakafkan)
Ulama menetapkan syarat-syarat pewakaf (waqif) sebagai
berikut:33
a. Berakal yaitu mempunyai akal, maka tidaklah sah wakaf yang
diberikan oleh orang gila
b. Dewasa (balig), tidak sah wakaf yang berasal dari anak-anak
yang belum balig
c. Tidak dalam tanggungan, karena boros dan bodoh
31 Muhammad Khatib al-Sarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, t.t.).
Juz, II, h. 376 32 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 159
33 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaA, 2004), h. 219
d. Kemauan sendiri, bukan atas tekanan atau paksaan dari pihak
manapun
e. Merdeka
2. Syarat Mauquf ( benda yang diwakafkan)
Para fuqaha sepakat bahwa barang yang diwakafkan itu (al-
Mauquf) harus berupa barang kongkrit dan pasti, diketahui dan betul-
betul milik penuh bagi orang yang mewakafkannya.34
Menurut mazhab Hanafi, syarat barang yang diwakafkan itu
ada empat macam, yaitu:35
a. Barang yang diwakafkan itu harus berupa harta benda, tidak boleh
mewakafkan manfaat semata tanpa bendanya, juga tidak boleh
mewakafkan sesuatu harta yang tidak baik menurut syara’, seperti
barang-barang yang memabukkan dan kitab-kitab yang
menyesatkan.
b. Barang yang diwakafkan itu harus jelas, baik kejelasan ukuran,
seperti mewakafkan 100 m tanah maupun lainnya. Jadi tidak boleh
mewakafkan suatu barang yang tidak jelas, sebab ketidakjelasan
itu dapat mengarah kepada terjadinya pertikaian.
34 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 184
35 Ibid, h. 184
c. Barang yang diwakafkan itu betul-betul milik penuh bagi orang
yang mewakafkannya. Karena wakaf itu menggugurkan hak milik,
maka haruslah barang yang diwakafkan itu betul-betul sebagai hak
milik orang yang berwakaf.
d. Barang yang diwakafkan itu harus sudah dibagi, tidak sebagai
kongsi dengan orang lain jika memang barang itu dapat dibagi.
Sebab penerimaan atas barang yang diwakafkan itu adalah syarat
bolehnya wakaf, sedangkan barang atau harta kongsi itu
menghalangi penerimaan tersebut.
3. Syarat Mauquf ‘Alaih (sasaran atau penerima wakaf )
Menurut Jumhur Ulama, beberapa persyaratan umum yang
harus diperhatikan dalam mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf tidak
bertentangan dengan syara’, tidak dibatasi waktu dan sesuatu yang
tidak menimbulkan madharat pada ahli warisnya.
Sasaran wakaf dapat ditujukan kepada wakaf khairi dan wakaf
ahli.36 Wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi
kepentingan umum seperti yang dilakukan Umar bin Khathab. Ia
mewakafkan sekaligus mengelola sendiri tanahnya di Khaibar dan
membagikan hasilnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah dan
kepentingan umum lainnya. Adapun wakaf ahli/wakaf dzurri yang
36 Sayyid Sabiq, Fiqih, h. 378
terkadang disebut wakaf ‘al aulad adalah wakaf yang khusus
diperuntukkan orang-orang tertentu.37 Jadi yang menikmati manfaat
benda wakaf ini sangat terbatas kepada yang termasuk golongan
kerabat sesuai dengan ikrar yang dikehendaki oleh si waqif.
4. Sighat (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan
harta bendanya)
Berkenaan dengan syarat-syarat yang berkenaan dengan sighat,
para ulama mensyaratkan atas sighat itu sebagai berikut:
a. Ta’bid, yaitu waqif harus menyerahkan harta wakaf untuk
selamanya, tidak dibatasi waktu. Meskipun Imam Maliki
membolehkan wakaf ditentukan batas waktunya namun para Imam
Mazhab lainnya menolak argument itu.38
b. Ilzam, yaitu tidak dipertautkan pada suatu syarat khiyar, seperti
mensyaratkan di waktu tertentu harus mengembalikan harta wakaf
kepada waqif apabila ia membutuhkannya.39
Imam Maliki membolehkan ikrar ta’liq wakaf yaitu ikrar yang
dikaitkan dengan keadaan tertentu yang dapat mempengaruhi ada
dan tidak adanya wakaf, di sisi lain Imam Hambali membolehkan
ta’liq wakaf akan tetapi hanya berkaitan dengan kematian saja. Ia
37 Ibid., h. 380
38 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 204-205 39 Ibid., h. 208
hanya mensahkan perkataan wakif: “Barang ini merupakan wakaf
sesudah saya meninggal”. Sedangkan Imam Hanafi dan Syafi’i
tidak mensahkannya.40
c. Sighat tidak terkait dengan persyaratan bathil seperti seseorang
mensyaratkan sebagian benefit wakafnya untuk perbuatan
maksiat.41
d. Jumhur Ulama selain Imam Maliki menyatakan sighat harus
mengandung arti yang tegas dan tunai, namun Malikiyah
membolehkan wakaf berkaitan dengan syarat dan penangguhan
realisasi pada masa yang telah ditetapkan oleh waqif.42
4. Tinjauan Syariah Terhadap Uang Sebagai Objek Wakaf
Perkembangan yang menarik dalam hal pengembangan institusi wakaf
akhir-akhir ini adalah digunakannya uang sebagai objek benda yang diwakafkan
yang dikenal dengan istilah cash waqf atau banyak diartikan para pihak dengan
wakaf tunai. Istilah wakaf tunai sendiri pada dasarnya kurang tepat. Hal ini
mengingat inti persoalan dari cash waqf terletak pada obyek wakafnya yaitu uang.
Terjemahan cash yang tepat dalam cash waqf ialah uang, bukan tunai, karena
yang menjadi pembahasan para ahli fiqh ialah hukum mewakafkan uang, dengan
kata lain menjadikan uang sebagai objek wakaf. Adapun tunai telah dianalisa para
40 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima, h. 642-643
41 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 208
42 Ibid., h. 206
ahli fiqh dan mereka menjelaskan semua wakaf harus tunai, tidak boleh dalam
bentuk utang. Karena itu tunai tidak dapat menjadi obyek wakaf.
Digunakannya uang sebagai objek wakaf semakin mendapat tempat di
kalangan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini. Perkembangan ini pada akhirnya
telah menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya tinjauan hukum Islam
(syariah) terhadap digunakannya uang sebagai objek wakaf? Timbulnya
pertanyaan semacam ini pada dasarnya adalah hal yang wajar. Hal ini mengingat
selama ini wakaf yang populer di kalangan umat Islam Indonesia terbatas pada
wakaf tanah dan bangunan yang diperuntukan bagi tempat ibadah, pendidikan,
atau lahan perkuburan. Karenanya UU No. 41 tahun 2004 dan fatwa MUI tentang
diperbolehkannya wakaf dengan uang, merupakan hal baru bagi umat Islam
Indonesia.
MUI sendiri dalam fatwanya yang membolehkan wakaf uang selain
menggunakan dasar hukum Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan wakaf,
juga secara khusus memperhatikan pandangan para ulama yang telah
membolehkan wakaf dengan uang. Beberapa pandangan yang digunakan MUI
tersebut antara lain adalah:43
a. Pendapat Imam Az-Zuhri bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan
cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya
disalurkan pada mauquf ‘alaih.
43 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Komisi Majelis Ulama
Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 Mei 2002
b. Pandangan dari ulama mazhab Hanafi yang membolehkan wakaf uang dinar
dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi (hukum yang
ditetapkan berdasarkan adat kebiasaan), berdasarkan hadis yang diriwayatkan
Abdullah bin Mas’ud r.a : “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk
oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.
c. Pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i:
“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar
dan dirham (uang)”
Walaupun banyak dari kalangan ulama yang telah membolehkan wakaf
uang, namun ada pula sebagian ulama yang sulit menerima pendapat bahwa sah
hukumnya mewakafkan dinar dan dirham (uang). Adapun alasan para ulama yang
tidak membolehkan berwakaf dengan uang, diantaranya:44
a. Bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan
dengan membelanjakan sehingga bendanya lenyap, sedangkan inti ajaran
wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lazim
kekal. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu
adalah benda yang tahan lama, tidak habis dipakai.
44 Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah, ed., Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam:
Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, (Jakarta: PSTT-UI, 2006), h. 98
b. Uang seperti dirham dan dinar diciptakan sebagai alat tukar yang mudah,
orang melaukukan transaksi jual-beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan
mempersewakan zatnya.
Dalam Al-Is’af fi Ahkam al-Awqaf, al-Tharablis menyatakan sebagian
ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh
Muhammad bin Abdullah al-Anshori, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah,
tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan dirham atau dinar, dan
dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar, seperti makanan
gandum. Hal ini membuat mereka merasa aneh karena tidak mungkin
mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera
mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan
dana tunai dirham? Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah al-Anshori
menjelaskan dengan mengatakan: “kita investasikan dana itu dengan cara
mudharabah dan labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya
kita putar dengan usaha mudharabah kemudian hasilnya disedekahkan”.45
Wahbah Zuhaili menjelaskan secara tegas bahwa ulama mazhab Maliki
memperbolehkan wakaf uang, mengingat manfaat uang masih dalam cakupan
hadits Nabi Muhammad saw dan benda sejenis yang diwakafkan oleh para
sahabat, seperti baju perang, binatang dan harta lainnya serta hal tersebut
mendapat pengakuan dari Rasulullah saw. Secara qiyas, wakaf uang dianalogikan
45 Ibid, h. 99
dengan baju perang dan binatang. Qiyas ini telah memenuhi syarat ‘illah (sebab
persamaan), yang jami’ (titik persamaan) terdapat dalam qiyas dan yang
diqiyaskan (maqis dan maqis ‘alaih). Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal,
yang mungkin rusak dalam jangka waktu tertentu, bahkan wakaf uang jika
dikelola secara professional memungkinkan uang yang diwakafkan kekal
selamanya.46
Dari berbagai pandangan ulama tentang wakaf uang tersebut menunjukan
adanya kehati-hatian para ulama dalam memberikan fatwa sah atau tidak sahnya
suatu praktik wakaf uang. Hal ini disebabkan harta wakaf adalah harta amanah
yang terletak ditangan nadzir. Sebagai harta amanah, maka nadzir hanya boleh
melakukan hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi harta wakaf.
Berdasarkan pertimbangan ini, disamping memikirkan model investasi wakaf
uang, perlu juga dipikirkan antisipasi adanya resiko kerugian yang akan
mengancam eksistensi dan kesinambungan aset wakaf.47
Walaupun ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai sah
tidaknya wakaf uang, namun mengingat manfaat wakaf uang yang begitu besar
bila dikembangkan dengan baik bagi kemaslahatan umat, pengelolaan wakaf uang
tetap menjadi pilihan yang menarik bagi umat Islam untuk dikembangkan. Dari
segi pemanfaatan misalnya, wakaf uang tentunya dapat dimanfaatkan lebih luas.
46 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 46
47 Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah, ed., Wakaf Tunai Inovasi Finansial, h. 99
Dana wakaf nantinya bisa digunakan untuk mendirikan perusahaan, pusat
perbelanjaan, atau apa saja yang bernilai ekonomis dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Dananya terus mengalir, keuntungan yang diperoleh lebih besar,
akan lebih banyak umat yang dibantu dengan dana tersebut. Dengan demikian
mobilisasi dana dari umat Islam untuk umat Islam dapat dilakukan secara
maksimal dan didayagunakan bagi kemanfaatan umat yang sebesar-besarnya.
B. Praktik Perwakafan Di Indonesia
Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan
perkembangan penyebaran Islam. Praktik wakaf diasumsikan telah ada sejak Islam
menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam di
nusantara sejak akhir abad ke-12M. Di masa-masa awal penyiaran Islam ini,
kebutuhan akan masjid untuk menjalankan aktivitas ritual dan dakwah membuat
pemberian tanah wakaf untuk masjid menjadi tradisi yang lazim dan meluas di
kantong-kantong Islam di nusantara. Praktik-praktik yang menyerupai wakaf
dilaporkan telah ada sejak jauh sebelum datangnya Islam di nusantara. Praktik yang
menyerupai wakaf ini dapat ditemukan dalam tradisi penyerahan tanah di beberapa
daerah; seperti di Mataram, telah dikenal praktik semacam wakaf yang disebut tanah
perdikan yaitu tanah yang diberikan oleh Negara kepada orang tertentu yang
dianggap telah berjasa dan mereka dibebaskan dari pembayaran pajak, di Lombok
dikenal tanah pareman yaitu tanah Negara yang dibebaskan dari pajak landrente
yang diserahkan kepada desa-desa subak, juga kepada candi dan juga kepentingan
bersama. Dalam tradisi masyarakat Baduy di Cibeo, Banten Selatan juga dikenal
Huma Serang yaitu ladang yang dikerjakan setiap tahun secara bersama-sama dan
hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama dan di Minangkabau ada pula
tanah pusaka (tinggi) yaitu tanah keluarga yang dikelola secara turun-temurun dan
hasilnya juga dapat dimanfaatkan oleh keluarga untuk membantu membiayaai
kebutuhan ekonomi keluarga atau memberi bantuan uang sekolah pada anak-anak di
perantauan. Sedangkan di Aceh dikenal tanah weukeuh yaitu tanah pemberian sultan
yang digunakan untuk kepentingan umum.48
Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam dari waktu ke waktu,
praktik perwakafan mengalami kemajuan setahap demi setahap. Tradisi wakaf untuk
tempat ibadah tetap bertahan, tetapi mulai muncul juga wakaf untuk kegiatan
pendidikan, seperti untuk pendirian pesantren dan madrasah.49
Di Indonesia, pengelolaan wakaf mengalami masa yang cukup panjang.
Paling tidak ada tiga periode besar pengelolaan wakaf di Indonesia. Pertama, periode
tradisional yaitu dimana pada periode ini wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran
murni yang dimasukkan dalam kategori ibadah mahdoh (pokok), dimana hampir
semua benda-benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik,
seperti masjid, mushala, pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya. Sehingga
48 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, ed., Wakaf , Tuhan, dan Agenda, h. 72-73 49 Ibid, h. 71
keberadaan wakaf pada periode ini belum memberikan kontribusi sosial yang lebih
luas karena hanya untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.50
Kedua, periode semi profesional, yaitu di mana pengelolaan wakaf yang
kondisinya relatif sama dengan periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai
dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun belum
maksimal. Sebagai contoh adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya
strategis dengan menambah bangunan gedung untuk pertemuaan, pernikahan dan
acara lainnya seperti masjid Sunda Kelapa, masjid Pondok Indah, masjid At-Taqwa
Pasar Minggu dan Masjid Ni’matul Ittihad Pondok Pinang, semua terletak di
Jakarta.51
Ketiga, periode professional, yaitu periode di mana potensi wakaf di
Indonesia sudah mulai dilirik untuk diberdayakan secara professional dan produktif.
Profesionalisme yang dilakukan meliputi aspek : Manajemen, SDM kenazhiran, pola
kemitraan usaha, bentuk benda wakaf yang tidak hanya berupa benda tidak bergerak
tapi bisa mewakafkan benda bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lainnya,
dukungan political will pemerintah secara penuh, salah satunya dengan lahirnya UU
50 Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia, (Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 1
51 Ibid, h. 4
Wakaf No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun
2002 tentang legalitas kebolehan wakaf uang.52
C. Model Pengelolaan Wakaf Uang
1. Di Indonesia
Sampai saat ini di Indonesia sudah ada beberapa lembaga yang mengelola
wakaf uang seperti Baitul Maal Muamalat yang bekerja sama dengan Bank
Muamalat Indonesia, LAZ Portalinfak, Pos Keadilan Peduli Umat dan Yayasan
Dompet Dhuafa Republika.
Di awal operasi produk wakaf uang, pola pengelolaan wakaf uang yang
dilakukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa Republika adalah langsung
memanfaatkan dana wakaf pada sasaran, tidak menginvestasikannya terlebih
dahulu, sehingga asset pokok wakaf digunakan untuk membiayai operasional
program wakaf, bukan profit/benefitnya.53
Seiring waktu berjalan, lembaga itu terus melakukan evaluasi dan inovasi
dalam maksimalisasi pengembangan wakaf uang. Di tahun 2004, Dompet Dhuafa
telah melakukan strategi baru antara lain mereka bekerjasama dengan Batasa
Capital dan BII Syariah. Kerjasama ini telah berhasil meluncurkan “Wakaf
Investasi Dompet Dhuafa Batasa Syariah”. Sebuah produk yang diluncurkan
52 Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perwakafan, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 22 53 Wardah Ganita, “Tinjauan Hukum Islam Pola Penghimpunan dan Pengelolaan Wakaf Uang
Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 60
untuk mensinergikan investasi dengan charity demi membangun bangsa. Wakaf
tersebut akan dialokasikan untuk mendorong kegiatan sektor riil, khususnya yang
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan usaha kecil dan menengah.
Komisaris utama Batasa Tazkia, M. Syafi’i Antonio, menyatakan bahwa
produk ini adalah gabungan antara wakaf uang dengan investasi reksa dana
syariah, dimana investor dapat menentukan dengan leluasa presentasi yang
diperolehnya dan mewakafkan sebagian atau seluruh dari investasinya sebagai
harta wakaf. Bagi yang mengeluarkan wakaf akan diberikan Sertifikat Wakaf
Investasi Atas Nama dari Dompet Dhuafa dengan nominal terkecil Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah). Dalam prosesnya, Batasa Capital berperan sebagai
Manajer Investasi sementara Dompet Dhuafa akan berperan sebagai nadzir, yang
akan mengelola dana wakaf.54
Secara operasional, pengelolaan wakaf uang pada Pos Keadilan Peduli
Umat (PKPU) sama dengan pola pengelolaan wakaf uang di Yayasan Dompet
Dhuafa Republika diawal operasinya, yaitu langsung memanfaatkan dana wakaf
pada sasaran, tidak menginvestasikannya terlebih dahulu sehingga dana yang
digunakan untuk membiayai operasional program wakaf adalah aset pokok wakaf
bukan profit/benefitnya. Adapun strategi penghimpunan dana wakaf uang di
54 Ibid, h. 61
PKPU adalah dengan menyediakan sertifikat wakaf uang dengan nominal
miminal Rp. 500.000,.- (lima ratus rupiah).55
Untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan wakaf, di
Indonesia sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang bersifat
independent dan dapat membentuk perwakilan di Propinsi dan Kabupaten jika
dianggap perlu. Pada bulan Juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.75/M Tahun 2007 yang memutuskan mengangkat keanggotaan
BWI periode 2007-2010 yang diketuai oleh Bapak Tholhah Hasan.56 Adapun
tugas dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah:
a. Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.
c. Memberikan persetujuan dan /atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf.
d. Memberhentikan dan mengganti Nazhir. e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf. f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan.57
Badan Wakaf Indonesia (BWI) ini secara organisatoris harus bersifat
independent, dimana pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator, regulator,
motivator dan pengawasan. Jadi, tugas utama badan ini adalah memberdayakan
55 Ibid, h. 65 56 Tholhah Hasan, “Perkembangan Kebijakan Wakaf Di Indonesia,” Republika, 14 Maret
2008, h. 19 57 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h.94
wakaf, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak yang ada di
Indonesia sehingga dapat memberdayakan ekonomi umat.58
2. Di Luar Negeri
Dalam hal wakaf uang, negara yang sampai saat ini boleh dikatakan paling
berkembang dan maju dalam pengelolaannya adalah Bangladesh. Di Bangladesh
wakaf uang memang telah menuai hasil memuaskan. Melalui dana wakaf,
pemerintah Bangladesh mampu memberdayakan masyarakatnya dan mandiri
secara ekonomi. Hal ini bermula dari pengenalan sertifikat wakaf tunai (cash
waqf certificate), yang dilakukan oleh Prof. Dr. M. A. Mannan, serta pendirian
sebuah badan bernama Social Investment Bank Ltd. (SIBL). Badan ini kemudian
berfungsi untuk menggalang dana dari orang-orang melalui sertifikat wakaf tunai.
Lalu dana yang terkumpul dikelola, sedangkan keuntungannya disalurkan kepada
rakyat miskin yang membutuhkan.59
Menurut M. A. Mannan, wakaf uang dapat berperan sebagai suplemen
bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang dikelola oleh bank-
bank Islam, sehingga dapat berubah menjadi bank wakaf (sebuah bank yang
menampung dana-dana wakaf). Pengenalan Sertifikat Wakaf Tunai merupakan
yang pertama kalinya dalam sejarah perbankan. Sertifikat Wakaf Tunai ini
dimaksudkan sebagai instrumen pemberdayaan keluarga kaya dalam memupuk
58 Departemen Agama RI, Paradigma Baru, h. 107 59 Hendra Kholid, “Alternatif Pemanfaatan Wakaf Tunai”, artikel diakses pada 29 Agustus
2007 dari http://www.halalguide.info/content/view/441/46/
investasi sosial sekaligus mewujudkan kesejahteraan sosial. Wakaf uang
membuka peluang yang unik bagi penciptaan investasi di bidang keagamaan,
pendidikan, dan pelayaan sosial. Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi
dapat dimanfaatkan melalui penukaran Sertifikat Wakaf Tunai. Sedangkan
pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Wakaf Tunai tersebut dapat
dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda seperti pemeliharaan harta-harta
wakaf itu sendiri.60
Manfaat lain dari Sertifikat Wakaf Tunai adalah bahwa dia dapat
mengubah kebiasaan lama di mana kesempatan wakaf itu seolah-olah hanya
untuk orang-orang kaya saja. Karena Sertifikat Wakaf Tunai seperti yang
diterbitkan oleh SIBL dibuat dalam denominasi sekitar US$21, maka sertifikat
tersebut dapat terbeli oleh sebagian besar masyarakt muslim. Bahkan, sertifikat
tersebut dapat dibuat dalam pecahan yang lebih kecil lagi. Dipandang dari sisi ini,
maka penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai diharapkan dapat menjadi sarana bagi
rekonstruksi sosial dan pembangunan, dimana mayoritas penduduk dapat ikut
berpartisipasi.61
Garis-garis besar pengaturan operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai
sebagaimana yang diterapkan SIBL adalah sebagai berikut:
60 M. A. Mannan, Serifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam,
(Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI, 2001), h. 36 61 Ibid, h. 37
1) Wakaf Tunai harus diterima sebagai sumbangan sesuai dengan Syari’ah. Bank
harus mengelola wakaf tersebut atas nama Waqif.
2) Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu dan rekeningnya harus terbuka
dengan nama yang ditentukan oleh Waqif.
3) Waqif mempunyai kebebasan memilih tujuan-tujuan sebagaimana tercantum
pada daftar yang jumlahnya ada 32 sesuai dengan identifikasi yang telah
dibuat oleh SIBL atau tujuan lain yang diperkenankan oleh syari’ah.
4) Wakaf Tunai selalu menerima pendapatan dengan tingkat (rate) tertinggi yang
ditawarkan bank dari waktu ke waktu.
5) Kuantitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan
dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh Waqif. Bagian
keutungan yang tidak dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada
wakaf dan profit yang diperoleh akan bertambah terus.
6) Waqif dapat meminta bank mempergunakan keseluruhan profit untuk tujuan-
tujuan yang telah ia tentukan.
7) Waqif dapat memberikan Wakaf Tunai untuk sekali saja, atau ia dapat juga
menyatakan akan memberikan sejumlah wakaf dengan cara melakukan
deposit pertama kalinya sebesar Tk.1000 (atau equivalent dengan jumlah
tertentu pada mata uang Rupiah). Deposit-deposit berikutnya juga dapat
dilakukan dengan pecahan masing-masing Tk.100 atau kelipatnnya.
8) Waqif dapat juga meminta kepada bank merealisasikan Wakaf Tunai pada
jumlah tertentu untuk dipindahkan dari rekening Waqif pada SIBL.
9) Atas setiap setoran Wakaf Tunai harus diberikan tanda terima dan setelah
jumlah wakaf tersebut mencapai jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan
sertifikat.
10) Prinsip dan dasar-dasar peraturan Syari’ah Wakaf Tunai dapat ditinjau
kembali dan dapat berubah.62
Dengan diterbitkannya Sertifikat Wakaf Tunai oleh SIBL telah membuka
peluang kepada masyarakat untuk membuka rekening deposito wakaf tunai
dengan tujuan untuk mencapai sasaran-sasaran sebagai berikut:
1) Menjadikan perbankan sebagai fasilitator untuk menciptakan wakaf tunai dan
membantu dalam pengelolaan wakaf.
2) Membantu memobilisasi tabungan masyarakat dengan menciptakan wakaf
tunai dengan maksud untuk memperingati orang tua yang telah meninggal,
anak-anak, dan mempererat hubungan kekeluargaan orang-orang kaya.
3) Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat
menjadi modal.
4) Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama golongan miskin,
dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilkan dari golongan kaya.
5) Menciptakan kesadaran di antara orang kaya tentang tanggung jawab sosial
mereka terhadap masyarakat.
6) Membantu pengembangan Social Capital Market.
62 Ibid, h. 46
7) Membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum dan membuat
hubungan yang unik antara jaminan sosial dan kesejahteraan masyarakat.63
Kesimpulannya, seseorang dapat membeli Sertifikat Wakaf Tunai dengan
maksud untuk memenuhi target investasi sedikitnya meliputi 4 (empat)
bidang,yaitu:
1) Kemanfaatan bagi kesejahteraan pribadi (dunia-akhirat). 2) Kemanfaatan bagi kesejahteraan keluarga (dunia-akhirat). 3) Pembangunan sosial. 4) Membangun masyarakat sejahtera: jaminan sosial bagi si miskin dan jaminan
keamanan sosial bagi si kaya.64
Dari beberapa paparan di atas, wakaf uang yang dikelola SIBL ini
mempunyai beberapa keunggulan antara lain, memperluas jangkauan pemberi
wakaf dan mendapat partisipasi penuh masyarakat. Masyarakat yang tidak
mempunyai fixed asset dan harta berlebih dapat mewakafkan uang sesuai dengan
kemampuannya. Dana itu dikumpulkan dan dikelola oleh lembaga wakaf serta
mendistribusikan hasilnya pada beneficiary. Benefit yang dihasilkan dapat
bermanfaat untuk meningkatkan produktifitas asset-asset wakaf yang belum
terkelola dengan baik.
Selain itu dana deposit permanen ini dapat diinvestasikan pada bidang
investasi sosial dan dakwah Islam dengan cara mentrasferkan tabungan kaya pada
63 Ibid, h. 41
64 Ibid, h. 49
entrepreneur dan masyarakat untuk mendanai proyek-proyek yang berkenaan
dengan dakwah Islam serta pemberdayaan ekonomi dan potensi masyarakat.
BAB III
PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PENGELOLAAN WAKAF UANG
DILIHAT DARI UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
A. Perbankan Syariah Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Pengelola Wakaf
Belakangan ini banyak tumbuh dan berkembang lembaga-lembaga
keuangan syariah. Dilihat dari bentuknya, lembaga keuangan syariah dapat dibagi
menjadi 2 bagian. Pertama, lembaga keuangan bank seperti Bank Muamalat
Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Kedua, lembaga
keuangan non bank seperti BMT, Unit Simpan Pinjam Syariah (USPS) dan Asuransi
Takaful. Lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut pada umumnya mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan lembaga keuangan konvensional yakni berpegang
pada prinsip ekonomi syariah dan mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS).65
Ada tiga hal yang menggerakkan kegiatan lembaga keuangan syariah
dewasa ini. Pertama, adalah untuk merealisasikan prinsip-prinsip syariah Islam.
Kedua, memenuhi kepentingan umat, sebagai suatu kelompok masyarakat, untuk
membentuk kekuatan ekonomi umat. Dan ketiga, untuk memenuhi kepentingan
ekonomi masyarakat umumnya, yakni meningkatkan pendapatan dan menciptakan
kekayaan.66
65 Hendi Suhendi, dkk, BMT, Bank Islam: Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 159
66 Muhammad, ed., Bank Syariah: Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisia, 2006), Cet 1, h. 78
Lembaga keuangan syariah di Indonesia dalam bentuk bank syariah berdiri
berkat upaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cedekiawan Musliam se-
Indonesia (ICMI) pada tahun 1992. Bank Syariah tersebut adalah Bank Muamalat
Indonesia (BMI) yang nilai assetnya sekarang mencapai lebih 1.5 triliun. Bank
Muamalat Indonesia (BMI) menjadi pelopor kehadiran bank-bank syariah dan
lembaga keuangan non-bank lainnya.67
Munculnya bank syariah di Indonesia tidak terlepas dari adanya pengaruh
bank-bank Islam di belahan dunia, semua ini tentu mengilhami sekaligus menggugah
pakar-pakar ekonomi Indonesia, akhirnya mereka memperbincangkan dan
mendiskusikan tentang perbankan Islam atau yang lebih kita kenal dengan perbankan
syariah. Menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, bank syariah
memiliki 2 pengertian, yaitu:
1. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
2. Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-
Qur’an dan Al-Hadits.68
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia selama 5 tahun terakhir ini
menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Jika pada tahun 2003 Bank
Umum Syariah baru ada 2 buah, dan 8 Unit Usaha Syariah (UUS) dengan jumlah
kantor 243 buah dan BPRS 84 buah, kini pada tahun 2007 perbankan syariah
67 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, (Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006)., h. 51 68 Karnaen A. Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), h. 1
berkembang pesat menjadi 3 Bank Umum Syariah, 26 UUS, 224 KC, 123 KCP dan
114 BPRS.69 Kondisi ini, baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
secara positif terhadap berbagai aspek pemberdayaan ekonomi yang berasal dari
ajaran Islam, yaitu Zakat, Infak, Shadaqah (ZIS) dan juga wakaf.70
Wakaf, khususnya wakaf uang harus dikelola secara profesional agar
manfaat dari dana wakaf uang tersebut dapat mensejahterakan masyarakat luas. Oleh
karena itu dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat mengelola dana dan sudah
berpengalaman. Jika kita lihat dari fungsi dan peran bank syariah dalam pembukaan
standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institution), maka bank syariah bisa saja
mengelola wakaf uang, fungsi dan peran bank syariah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Manajer investasi, bank syariah dapat mengelola investasi dana nasabah.
b. Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun
dana nasabah yang dipercayakan kepadanya.
c. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat
melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya.
d. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan
syariah, bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola
69 Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah dari tahun 2003-2007 70 Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 73
(menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana
sosial lainnya.71
Kepedulian sosial merupakan salah satu fungsi yang tidak terpisahkan
dalam perbankan syariah. Dalam melakukan fungsi sosial tersebut bank syariah juga
bertindak sebagai lembaga Baitul Maal yang menerima dan menyalurkan dana
kebajikan. Guna menjalankan kegiatan tersebut bank syariah wajib membentuk
satuan kerja yang mengelola dana kebajikan.
Oleh karena itu, keberadaan bank-bank syariah dipandang merupakan
alternatif lembaga yang cukup representatif untuk mengelola dana wakaf khususnya
wakaf uang, namun Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas regulasi perbankan,
tidak mempunyai peraturan khusus yang mengatur tentang wakaf uang. Menurut
Mulya E. Siregar, Kepala Pengembangan Penelitian Perbankan Syariah di Bank
Indonesia, Bank Indonesia hanya mengeluarkan peraturan sebagai berikut72:
1. SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip
Syariah, pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: “Bank dapat bertindak sebagai lembaga
baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf,
hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam
bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan)”.
71 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: EKONISIA, 2007), Edisi 2,. h. 39-40 72 Wawancara Pribadi dengan Mulya E. Siregar. Jakarta, 6 November 2007
2. SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR Tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah, pasal 28 yang berbunyi: “BPRS dapat bertindak sebagai lembaga
baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf,
hibah atau dan sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam
bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).”
Menurut ketentuan diatas secara umum bank syariah dapat mengambil peran
sebagai penerima dan penyalur dana wakaf, sedangkan peran bank syariah sebagai
pengelola dana wakaf tidak disebutkan secara eksplisit. Wewenang pengelolaan ini
dipandang penting karena berbeda dengan dana sosial lainnya, seperti zakat, infaq
atau shadaqah, dana wakaf tidak dibagikan langsung kepada yang berhak melainkan
harus dikelola terlebih dahulu untuk kemudian hasilnya baru dibagikan kepada yang
berhak.73
Di sisi lain dalam SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 28 huruf m, disebutkan bahwa “… bank dalam
melakukan kegiatan usahanya dapat melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan
Bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional “. Selain itu, dalam SK Dir.
BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah, pasal 27 huruf c, disebutkan bahwa “… BPRS dalam melakukan kegiatan
usahanya dapat melakukan kegiatan lain yang lazim dilakuakn BPRS sepanjang
73 Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah, ed., Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam:
Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, (Jakarta: PSTTI-UI, 2006), h. 102-103
disetujui oleh Dewan Syariah Nasional “. Kegiatan lain dalam pasal ini dapat saja
diartikan sebagai kegiatan pengelolaan wakaf oleh bank syariah.74 Pengelolaan harta
(dana) wakaf bisa diserahkan kepada lembaga keuangan syariah, khususnya
perbankan syariah sebagai dana wadi’ah.75
B. Keunggulan Perbankan Syariah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang
Dalam pengelolaan harta wakaf, pihak yang paling menentukan berhasil
tidaknya dalam pemanfaatan harta wakaf adalah nadzir wakaf, yaitu seseorang atau
sekelompok orang dan badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif (orang yang
mewakafkan harta) untuk mengelola wakaf. Walaupun dalam kitab-kitab fiqih ulama
tidak mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, namun setelah
memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil harta wakaf,
maka keberadaan nadzir sangat dibutuhkan, bahkan menempati pada peran sentral.
Sebab di pundak nadzir-lah tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga,
mengembangkan wakaf dan menyalurkan hasil atau manfaat dari wakaf kepada
sasaran wakaf.76
Saat ini masih banyak harta wakaf yang tidak berfungsi secara maksimal,
bahkan tidak memberi manfaat sama sekali kepada sasaran wakaf, hal ini disebabkan
karena nadzir yang dipercaya untuk mengelola harta wakaf tidak mempunyai
kemampuan memadai untuk mengelola harta wakaf. Untuk itulah profesionalisme
74 Ibid., h. 104 75 Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan, h. 76
76 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), h. 83
nazhir menjadi ukuran yang paling penting dalam pengelolaan wakaf jenis apapun.
Kualifikasi professionalisme nadzir secara umum dipersyaratkan menurut fiqih
sebagai berikut, yaitu: beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan dalam
melakukan perbuatan hukum), baligh (sudah dewasa), ‘aqil (berakal sehat), memiliki
kemampuan dalam mengelola wakaf (profesional), memiliki sifat amanah, jujur, dan
adil.77
Dengan demikian, semestinyalah lembaga pengelola wakaf uang
menggunakan manajemen yang profesional. Manajemen wakaf uang melibatkan tiga
pihak, yaitu: (1) Pemberi wakaf (wakif), (2) Pengelola wakaf (nazhir), sekaligus akan
bertindak sebagai manajer investasi, dan (3) Beneficiary (mauquf alaihi/masyarakat
yang diberi wakaf). Wakif akan memberikan uangnya sebagai wakaf kepada lembaga
pengelola wakaf dan keuntungannya didistribusikan kepada masyarakat luas yang
membutuhkan. Karena itu, lembaga pengelola wakaf tunai seyogyanya memenuhi
kriteria sebagai berikut:78
1. Memiliki akses yang baik kepada calon wakif 2. Memiliki kemampuan untuk menginvestasikan dana wakaf 3. Mampu untuk mendistiribusikan hasil/keuntungan dari investasi dana wakaf 4. Memiliki kemampuan unuk mencatat/membukukan segala hal yang berkaitan
dengan beneficiary, misalnya rekening dan peruntukannya 5. Lembaga pengelola wakaf tunai hendaknya dipercaya oleh masyarakat dan
kinerjanya dikontrol sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pengelola dana publik
77 Ibid, h. 84 78 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan, h. 50
Lembaga-lembaga yang dapat dipercaya dan memenuhi kriteria untuk
mengelola wakaf uang adalah lembaga-lembaga keuangan syariah. Bank syariah
sebagai salah satu dari lembaga keuangan syariah setidaknya memiliki beberapa
keunggulan yang diharapkan dapat mengoptimalkan operasional wakaf uang tersebut,
yaitu79:
1. Jaringan Kantor
Relatif luasnya jaringan kantor perbankan syariah dibandingkan lembaga
keuangan syariah lainnya merupakan keunggulan tersendiri bagi perbankan syariah di
dalam pengelolaan wakaf tunai. Pada bulan Desember 2007 tercatat jumlah jaringan
kantor bank syariah sebanyak 568 buah, dengan rincian 224 kantor cabang, 123
kantor cabang pembantu dan 221 kantor kas, ditambah dengan kantor pusat sebanyak
29 buah.80
Dengan relatif luasnya jaringan kantor perbankan diharapkan akan lebih
mengefektifkan sosialisasi keberadaan produk wakaf tunai seiring dengan tingginya
akses masyarakat terhadap jasa perbankan. Sebagai implikasi dari efektifnya
sosialisasi tersebut serta semakin luasnya jaringan kantor, maka pada tahap
selanjutnya diharapkan penggalangan dana wakaf tunai juga akan semakin optimal.
Begitu pula dengan aktivitas penyalurannya, luasnya jaringan kantor akan sangat
79 Wawancara Pribadi dengan Mulya E. Siregar. Jakarta, 6 November 2007 80 Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah 2007
membantu efektivitas serta efisiensi penyampaian dana wakaf kepada al-mauquf
‘alaih.81
2. Kemampuan sebagai Fund Manager
Sebagai lembaga perantara antara Surplus Spending Unit dengan Deficit
Spending Unit, lembaga perbankan pada dasarnya merupakan lembaga pengelola
dana (masyarakat). Dengan demikian sebuah lembaga perbankan dengan sendirinya
haruslah –tidak boleh tidak- merupakan lembaga yang memiliki kemampuan untuk
mengelola dana.
Dalam kaitan dengan wakaf tunai, maka kemungkinan perbankan syariah
sebagai lembaga yang mengelola dana wakaf tunai, merupakan satu alternatif yang
patut dipertimbangkan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, khususnya
kepada waqif.82
3. Pengalaman, Jaringan Informasi dan Peta Distribusi
Sebagai pengelola dana untuk kemudian disalurkan kepada pihak tertentu,
lembaga perbankan akan memiliki pengalaman, informasi serta peta distribusi
kemana dana-dana tersebut dapat disalurkan. Dalam praktik operasional selanjutnya,
ketiga hal tersebut menjadi faktor yang akan selalu dipertimbangkan di dalam
mengoptimalkan pengelolan dana. Jaringan informasi serta peta distribusi juga
memungkinkan untuk terbentuknya database informasi mengenai sektor usaha
maupun debitur yang akan dibiayai termasuk oleh dana eks wakaf.
81 Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah, ed, Wakaf Tunai Inovasi Finansial, h. 106 82 Ibid, h. 107
Dalam kaitan dengan wakaf tunai, maka pengelolaan wakaf tunai oleh
lembaga perbankan, tidak saja akan mengoptimalkan pengelolaan dana akan tetapi
juga akan mengefektifkan penyaluran dana wakaf tunai sesuai dengan yang
diinginkan oleh waqif.
4. Citra Positif
Dengan adanya tiga hal diatas yang menjadi faktor positif pada lembaga
perbankan syariah yang menjadi pengelola wakaf tunai, maka diharapkan akan
menimbulkan citra positif pada gerakan wakaf tunai itu sendiri maupun pada
perbankan syariah pada khususnya. Selain itu adanya pengawasan dari Bank
Indonesia akan menimbulkan akuntabilitas yang positif dari pengelolaan wakaf
tersebut. Pemunculan citra positif tersebut dipandang penting, tidak saja untuk
mensukseskan serta mengoptimalkan keberadaan wakaf tunai tersebut, akan tetapi
juga sebagai upaya untuk menghindari citra yang kurang baik seperti halnya yang
terjadi pada pengelolaan zakat pada umumnya.83
C. Peran Perbankan Syariah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang dilihat Dari UU
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Berbicara mengenai pengelolaan wakaf, hal yang penting adalah nadzir
wakaf, seperti yang sudah penulis ungkapkan di atas bahwa berkembang tidaknya
harta wakaf sangat tergantung pada nadzir wakaf. Berdasarkan tinjauan fiqih terdapat
dua pandangan atas posisi nadzir yang berkaitan dengan masalah wakaf. Pertama,
83 Ibid, h. 108
pendapat yang menyatakan bahwa nadzir adalah penerima, penyalur sekaligus
pengelola dana wakaf. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa nadzir
hanyalah sebagai penerima dan penyalur dana wakaf, sedangkan wewenang
pengelolaan dana wakaf harus dipisahkan dengan wewenang penerimaan dan
penyaluran untuk menghindari adanya kemungkinan negatif (moral hazard).84
Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pasal 1 ayat (4) menyatakan
“Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola
dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya”. Dan dalam pasal 9 menyatakan
“Nadzir meliputi : perseorangan, organisasi atau badan hukum”.
Setelah berkembangnya perwakafan di Indonesia, khususnya setelah
diperbolehkannya berwakaf dengan uang, persoalan yang kemudian mengemuka
adalah bagaimana selanjutnya manajemen pengelolaan wakaf uang itu sendiri.
Besarnya potensi dana yang dapat terkumpul dari wakaf uang pada akhirnya telah
menimbulkan kekhawatiran di sebagian orang mengenai kemungkinan
penyelewengan dana wakaf uang. Karenanya diperlukan suatu lembaga yang benar-
benar kredibel untuk mengelola wakaf uang atau nadzir wakaf uang.
Saat ini lembaga keuangan syariah yang paling berpengalaman dan maju di
Indonesia adalah bank syariah. Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa bank
syariah memiliki beberapa keunggulan yang dapat mengoptimalkan operasional
84 Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan, h. 77
wakaf uang. Akan sangat baik tentunya apabila keunggulan bank syariah tersebut
diikutsertakan dalam upaya pengembangan wakaf uang di Indonesia.
Menurut Mulya E. Siregar, ada beberapa alternatif peran Bank Syariah dalam
wakaf uang jika dilhat dari UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, antara lain:85
1. Bank Syariah sebagai Penerima Wakaf Uang
Secara teknis operasional pada alternatif pertama ini adalah dimulai dari
wakif memberikan wakaf dalam bentuk uang kepada nadzir, nadzir ini membuka
rekening di bank syariah atau sudah mempunyai rekening di bank syariah,
kemudian wakif menyerahkan wakafnya kepada bank syariah mewakili nadzir,
lalu bank syariah mengeluarkan Sertifikat Wakaf Uang (SWU). Adapun yang
mengelola wakaf uang tersebut adalah nadzir, selanjutnya nadzir menempatkan
dana tersebut di bank syariah dan nadzir juga yang memilih penempatan dana
wakaf tersebut. Dana wakaf tersebut dapat ditempatkan di Obligasi Syariah,
Reksa Dana Syariah, Deposito Syariah, atau yang lainnya. Untuk penyaluran hasil
dari pengelolaan dana wakaf uang itu diserahkan kepada nadzir untuk disalurkan
kepada mauquf ‘alaih.
Jadi dalam alternatif ini, peran bank syariah hanya sebagai penerima
wakaf uang, sedangkan peran pengelola dan penyalur dana wakaf uang
diserahkan kepada nadzir. Dalam hal ini keunggulan perbankan syariah berupa
85 Wawancara Pribadi dengan Mulya E. Siregar. Jakarta, 6 November 2007.
jaringan kantor digunakan untuk menggalang dana wakaf, sedangkan keunggulan
bank syariah yang lainnya tidak digunakan.
2. Bank Syariah sebagai Penerima dan Penyalur Wakaf Uang
Secara teknis operasional pada alternatif kedua ini, wakif mewakafkan
uangnya melalui rekening nadzir yang ada di bank syariah, kemudian mengenai
penempatan dana wakaf tersebut diserahkan kepada bank syariah yang
bekerjasama dengan nadzir. Dana wakaf tersebut dapat ditempatkan pada
Obligasi Syariah, Reksa Dana Syariah atau Deposito Syariah. Untuk penyaluran
hasil dari pengelolaan dana wakaf tersebut diserahkan kepada bank syariah karena
bank syariah mempunyai jaringan informasi dan peta distribusi yang lebih luas
dibandngkan nadzir, yaitu seluruh Indonesia.
Jadi dalam alternatif ini, peran bank syariah hanya sebagai penerima dan
penyalur dana wakaf, sedang pengelolaan dana wakaf diserahkan kepada nadzir
dengan kerjasama pada bank syariah. Artinya yang memilih penempatan dana
wakaf tersebut diserahkan kepada nadzir, baik itu di Obligasi Syariah, Reksadana
Syariah atau Deposito Syariah, tetapi tetap penempatannya di bank syariah.
Dalam alternatif ini keunggulan bank syariah berupa jaringan kantor dan jaringan
informasi serta peta distribusi, digunakan untuk menggalang dana wakaf maupun
untuk meyalurkan hasil pengelolaan dana wakaf kepada mauquf ‘alaih.
Sedangkan keunggulan bank syariah dalam mengelola dana tidak digunakan.
3. Bank Syariah sebagai Pengelola Wakaf Uang
Secara teknis operasional alternatif ketiga ini, wakif menyerahkan
wakafnya berupa uang kepada nadzir langsung, kemudian nadzir menempatkan
wakaf tersebut di bank syariah untuk dikelola, dana wakaf tersebut dapat
ditempatkan pada Obligasi Syariah, Reksa Dana Syariah atau Deposito Syariah,
pengelolaan ini diserahkan kepada bank syariah. Untuk penyaluran hasil dana
wakaf diserahkan kepada nadzir untuk disalurkan kepada mauquf ‘alaih.
Jadi dalam alternatif ini peran bank syariah hanya sebagai pengelola
(fund manager) dana wakaf, sedangkan penerimaan dana wakaf dan
penyalurannya diserahkan kepada nazdir. Dalam hal ini keunggulan bank syariah
berupa kemampuan profesional dalam pengelolaan dana digunakan secara efektif.
Sedangkan keunggulan bank syariah berupa jaringan kantor, jaringan informasi
serta peta distribusi tidak dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penggalangan
dana wakaf dan penyaluran hasil pengelolaan dana wakaf
4. Bank Syariah sebagai Nadzir
Secara teknis operasional alternatif keempat ini dimulai dengan setoran
wakif ke Bank Syariah sebagai dana wakaf, Bank Syariah akan menempatkan
dana wakaf tersebut dalam suatu rekening atas nama wakif, Bank syariah
kemudian mengeluarkan Sertikikat Wakaf Uang (SWU).
Bank Syariah akan mengelola dana wakaf secara terpisah dengan dana
pihak ketiga lainnya agar bank mudah untuk memantau bahwa dana wakaf
tersebut tidak berkurang pokoknya. Adapun hasil dari pengelolaan dana wakaf
tersebut dibagikan kepada mauquf ‘alaih.
Dalam alternatif ini, bank syariah mendapat kewenangan penuh untuk
menjadi nadzir, mulai dari penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf. Peran
bank syariah dalam alternatif ini dapat dikatakan sama dengan yang dilakukan
SIBL di Bangladesh. Wakif yang menyetorkan dana wakaf ke bank syariah akan
menerima Sertifikat Wakaf Uang (SWU) yang diterbitkan oleh bank syariah,
sehingga tanggung jawab penggalangan dan pengelolaan dana wakaf serta
penyaluran hasil pengelolaan dana tersebut sepenuhnya ada pada bank syariah.
Jadi dalam alternatif ini semua keunggulan yang dimiliki oleh lembaga perbankan
syariah digunakan secara efektif.
Menurut Mulya E. Siregar, peran bank syariah sebagai nadzir sesuai
dengan pasal 11 ayat (3) PP No.42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No.41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, yang menyatakan bahwa “Nadzir badan hukum yang
melaksanakan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan: (a) badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam”. Lebih lanjut, menurut Beliau bank
syariah juga badan hukum yang bergerak di bidang sosial, jadi bank syariah dapat
menjadi nadzir.86
Menurut UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, peran perbankan syariah
dimuat dalam pasal 28, yang menyatakan bahwa “Wakif dapat mewakafkan benda
bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh
86 Wawancara Pribadi dengan Mulya E. Siregar. Jakarta, 6 November 2007
Menteri”. Kemudian pasal ini dijelaskan dalam PP No. 42 tahun 2006 tentang
pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, pasal 23 menyatakan bahwa
“Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk
oleh Menteri sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU)”. Jadi perbankan
syariah sebagai salah satu dari Lembaga Keuangan syariah (LKS) hanya berperan
sebagai penerima wakaf uang dan pengelolaannya diserahkan kepada nadzir.
Dalam pasal 29 ayat (2) UU No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, dinyatakan
bahwa “Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang”. Selanjutnya pada pasal 29 ayat (3)
dinyatakan bahwa “Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan
Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf”. Menurut dua pasal diatas, wakif
dan nadzir yang menyetorkan dana wakaf di bank syariah akan menerima sertifikat
wakaf uang yang dikeluarkan oleh bank syariah. Jadi, bank syariah sebagai penerima
wakaf uang harus menerbitkan sertifikat wakaf uang bagi wakif dan nadzir sebagai
bukti penyerahan dana wakaf di bank syariah.
Secara teknis, jika seseorang yang akan mewakafkan sebagian uangnya dapat
dilakukan melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS Penerima Wakaf
Uang (LKS-PWU). LKS yang ditunjuk oleh Menteri berdasarkan saran dan
pertimbangan dari BWI. Saran dan pertimbangan yang dikeluarkan oleh BWI tersebut
setelah mempertimbangkan saran instansi terkait. Dalam pasal 24 PP No. 42 tahun
2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf, saran dan pertimbangan dapat diberikan
kepada LKS Penerima Wakaf Uang yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. menyampaikan permohonan secara tertulis kepada menteri; 2. melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum; 3. memiliki kantor operasional di wilayah Republik Indonesia; 4. bergerak di bidang keuangan syariah; dan 5. memiliki fungsi menerima titipan (wadi’ah).
Menurut pasal 25 PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU Wakaf,
LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) bertugas:
1. mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang;
2. menyediakan blangko Sertifikat Wakaf Uang; 3. menerima secara tunai wakaf uang dari Wakif atas nama Nazhir; 4. menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama Nazhir
yang ditunjuk Wakif; 5. menerima pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan secara tertulis dalam
formulir pernyataan kehendak Wakif; 6. menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada
Wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada Nazhir yang ditunjuk oleh Wakif; dan
7. mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama Nazhir.
Jadi dilihat dari UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, peran bank syariah
sebagai salah satu dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) hanya sebagai penerima
wakaf uang, dimana wakif yang ingin berwakaf dengan uang dapat datang ke bank
syariah dan menyetorkan wakaf uang tersebut atas nama nadzir. Setelah wakif
menyetorkan wakaf uang tersebut, maka wakif dan nadzir mendapatkan Sertifikat
Wakaf Uang sebagai bukti dari penyetoran wakaf uang pada bank syariah.
BAB IV
PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA
PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG
WAKAF
A. Model Pengelolaan Wakaf Uang Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf
Kalau dalam paradigma lama wakaf selama ini lebih menekankan pentingnya
pelestarian dan keabadian benda wakaf, maka dalam pengembangan paradigma baru
wakaf lebih menitikberatkan pada aspek pemanfaatan yang lebih nyata tanpa
kehilangan eksistensi benda wakaf itu sendiri.87 Jadi pokok dari harta yang
diwakafkan oleh wakif tidak boleh berkurang, dijual, diwarisi atau dihibahkan. Hal ini
sesuai dengan yang diperintahkan Rasullallah kepada Umar bin Khattab ketika ia
mewakafkan tanahnya di Khaibar. Rasullallah memerintahkan kepada Umar untuk
menahan (pokoknya) tanah itu, lalu menyedekahkan hasilnya.
Mundzir Qahaf dalam bukunya edisi Indonesia Manajemen Wakaf Produktif
menyatakan harta wakaf, baik wakaf langsung atau wakaf produktif ditahan untuk
meningkatkan manfaat dan hasilnya dalam merealisasikan tujuan yang ditentukan
oleh wakif.88 Selain itu menurut beliau urgensi “prinsip keabadian” dalam wakaf
87 Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 105
88 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: KHALIFA, 2005), Cet.1, h. 221
bertujuan untuk menciptakan sumber keuangan abadi yang terus berlangsung bagi
kepentingan sosial dan ekonomi umat, karenanya keabadian wakaf juga menekankan
pada tujuan ekonomi yang sangat penting bagi pengembangan masyarakat madani
dan beraqidah.89
Dalam pengelolaan wakaf produktif, menurut Dr. Anas Az-Zarqa pemikir
ekonomi saat ini, bahwa harta wakaf harus diinvestasikan berdasarkan prinsip
meningkatkan keuntungan, dimana nadzir harus mencari lahan proyek yang halal dari
berbagai proyek yang menjanjikan keuntungan yang sebesar-besarnya.90
Menurut Yayan Daryunanti, Manager Administrasi Keuangan Baitul Maal
Muamalat (BMM), model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU No. 41/2004,
secara umum dapat terbagi menjadi dua macam yaitu :91
1) Dalam Bentuk Investasi
Investasi bisa menjadi alternatif kebuntuan pengelolaan harta wakaf. Artinya
pemanfaaatan yang selama ini terkesan “jalan di tempat” bisa diterobos. Pengelolaan
model ini cukup menarik karena benefit atas investasi tersebut akan dapat dinikmati
oleh masyarakat di mana saja. Bentuk investasi yang dilibatkan dalam pengelolaan
wakaf uang haruslah investasi yang menguntungkan dan beresiko kecil, agar pokok
wakaf tidak berkurang dan benefit atas investasi tersebut dapat lebih besar dari pokok
89 Ibid, h. 100 90 Ibid, h. 239 91 Wawancara Pribadi dengan Yayan Daryunanti. Jakarta, 19 Desember 2007
wakafnya. Adapun jenis investasi yang harus digalang hanya dapat dilakukan pada
instrumen keuangan yang sesuai dengan syariah Islam dan tidak mengandung riba.
2) Dalam Bentuk Pinjaman Modal Kerja
Pemberian bantuan pinjaman modal kerja cukup mendidik bagi masyarakat.
Ibarat memberi kail, bukan hanya ikan kepada masyarakat. Hal ini diharapkan
mampu menumbuhkan kemandirian. Pinjaman ini diberikan tanpa bagi hasil, artinya
yang diberi pinjaman modal kerja tidak perlu berbagi keuntungan kepada yang
memberi modal, mereka cukup berinfak saja. Modal yang diberikan harus
dikembalikan pokok pinjamannya dalam kurun waktu yang ditentukan.
Secara lebih jelas, model pengelolaan wakaf uang menurut UU No.41 tahun
2004 tentang wakaf, dapat dilihat pada BAB V tentang pengelolaan dan
pengembangan harta wakaf, diantaranya pada pasal 43 ayat (1) menyatakan
“Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir sebagaimana
dimaksud Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah”. Kemudian pasal ini
dijelaskan dalam PP No. 42 tahun 2006 pasal 45 ayat (2) “Dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
memajukan kesejahteraan umum, Nazhir dapat bekerjasama dengan pihak lain sesuai
dengan prinsip syariah”.
Untuk mendukung keberhasilan pengembangan aspek produktif dari dana
wakaf uang, perlu diarahkan model pengelolaan dana tersebut kepada sektor usaha
yang produktif dengan lembaga usaha yang memiliki reputasi yang baik. Salah
satunya adalah dengan membentuk dan menjalin kerjasama (networking) dengan
perusahaan modal ventura.92
Selain bekerjasama dengan perusahaan modal ventura dalam mengelola dan
mengembangkan dana wakaf, nadzir dapat juga bekerjasama dengan:
1) Lembaga perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya. 2) Lembaga investasi usaha yang berbentuk badan usaha non lembaga jasa
keuangan. 3) Investasi perseorangan yang memiliki modal cukup. 4) Lembaga perbankan Internasional yang cukup peduli dengan pengembangan
tanah wakaf di Indonesia, seperti Islamic Development Bank (IDB). 5) Lembaga keuangan lainnya dengan sistem pembangunan BOT (Build of
Transfer). 6) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pemberdayaan
ekonomi umat, baik dalam atau luar negeri.93
Dalam pasal 43 ayat (2) UU No. 41 tahun 2004 menyatakan “Pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara produktif”. Kemudian pasal ini dijelaskan dalam PP No. 42 tahun 2006 pasal
48 ayat (2) “Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya
dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan /atau instrumen
keuangan syariah”. Untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf maka
dana wakaf uang dapat ditempatkan pada reksadana syariah, obligasi syariah dan
92 Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 55
93 Ibid, h. 56
deposito syariah. Selain itu, ada beberapa bentuk investasi lain yang dapat dilakukan
oleh pengelola wakaf (nazhir) diantaranya:94
1) Investasi Mudharabah
Investasi mudharabah merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh
produk keuangan syariah guna mengembangkan harta wakaf. Salah satu contoh yang
dapat dilakukan oleh pengelola wakaf dengan sistem ini ialah membangkitkan sektor
usaha kecil dan menengah dengan memberikan modal usaha kepada petani, para
nelayan, pedagang kecil dan menengah (UKM). Dalam hal ini pengelola wakaf uang
berperan sebagai shohibul mal (pemilik modal) yang menyediakan modal 100% dari
usaha/proyek dengan sistem bagi hasil.
2) Investasi Musyarakah
Alternatif investasi lainnya ialah investasi dengan sistem musyarakah.
Investasi ini hampir sama dengan investasi mudharabah. Hanya saja pada investasi
musyarakah ini resiko yang ditanggung oleh pengelola wakaf lebih sedikit, karena
modal ditanggung secara bersama oleh dua pemilik modal atau lebih. Investasi ini
memberikan peluang bagi pengelola wakaf untuk menyertakan modalnya pada sektor
usaha kecil menengah yang dianggap memiliki kelayakan usaha namun kekurangan
modal untuk mengembangkan usahanya.
3) Investasi Ijarah
94 Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perwakafan, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 86-88
Salah satu contoh yang dapat dilakukan dengan sistem investasi ijarah (sewa)
ialah mendayagunakan tanah wakaf yang ada. Dalam hal ini pengelola wakaf
menyediakan dana untuk mendirikan bangunan diatas tanah wakaf, seperti pusat
perbelanjaan, rumah sakit, apartemen dan lain-lain. Kemudian pengelola harta wakaf
menyewakan gedung tersebut hingga dapat menutup modal pokok dan mengambil
keuntungan yang dikehendaki.
4) Investasi Murabahah
Dalam investasi murabahah, pengelola wakaf diharuskan berperan sebagai
enterpreneur (pengusaha) yang membeli peralatan dan material yang diperlukan
melalui suatu kontrak murabahah. Adapun keuntungan dari investasi ini adalah
pengelola wakaf dapat mengambil keuntungan dari selisih harga pembelian dan
penjualan. Manfaat dari investasi ini ialah pengelola wakaf dapat membantu
pengusaha-pengusaha kecil yang membutuhkan alat-alat produksi, misalnya tukang
jahit yang memerlukan mesin jahit.
Sebagai sebuah konsep yang masih baru dalam Islam, pengelolaan wakaf
uang harus betul-betul savety (aman) karena terkait dengan keabadian benda wakaf
yang tidak boleh berkurang. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana
caranya dalam menghindari resiko kerugian seandainya dalam pengelolaan kelak
terjadi lost (kerugian)? Karena bagaimanapun, setiap usaha yang dilakukan sudah
pasti memiliki resiko tersebut. Untuk itu, dalam upaya memayungi agar usaha-usaha
pemberdayaan dana wakaf uang tidak berkurang, apalagi hilang karena lost dalam
usahanya, maka diperlukan lembaga penjamin syariah. Hal ini diatur dalam UU
No.41/2004 pasal 43 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Dalam hal pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin,
maka digunakan lembaga penjamin syariah”. Kemudian pasal ini dijelaskan dalam PP
No. 42 tahun 2006 pasal 48 ayat (4) yang berbunyi “Pengelolaan dan pengembangan
atas harta benda wakaf uang yang dilakukan pada bank syariah harus mengikuti
program lembaga penjamin simpanan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan”.
Dan pasal 48 ayat (5) menyatakan “Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda
wakaf uang yang dilakukan dalam bentuk investasi di luar bank syariah harus
diasuransikan pada asuransi syariah”.
Selain itu, pada pasal 47 ayat (1) UU No.41/2004 menyatakan “Dalam rangka
memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf
Indonesia.” Kelembagaan Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan salah satu
tujuan dari lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Perkembangan terakhir,
pada Juli 2007 sudah keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia No.75/M Tahun
2007 yang memutuskan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010, yang
diketuai oleh Bapak Tholhah Hasan.95
Badan Wakaf Indonesia bersifat independen yang bertujuan untuk membina
terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf baik secara
nasional maupun internasional. Peran BWI sebagai pembina nazhir bertujuan agar
harta benda wakaf dapat dikelola dan dikembangkan secara produktif. Oleh karena
95 Tholhah Hasan, “Perkembangan Kebijakan Wakaf Di Indonesia,” Republika, 14 Maret
2008, h. 19
itu, melalui badan ini diharapkan perwakafan di Indonesia mampu berkembang lebih
baik, terutama dalam melakukan pembinaan, pengawasan nadzir serta pengelolaan
wakaf itu sendiri.96
Dalam rangka mengembangkan wakaf uang di Indonesia, masing-masing
lembaga pengelola dana wakaf uang telah melakukan berbagai cara sebagai contoh
pengelolaan wakaf uang di Baitul Maal Muamalat (BMM). Baitul Maal Muamalat
(BMM) sejak tahun 2002 telah mengeluarkan produk wakaf uang dengan nama
WAQTUMU (Waqaf Tunai Muamalat). Pola pengelolaan dana wakaf uang di Baitul
Maal Muamalat (BMM) diawali dengan pembuatan kontrak kerjasama pengelolaan
dana wakaf antara PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. sebagai Pelaksana
Administrasi dan Baitul Maal Muamalat (BMM) sebagai Manajer, dimana kedua
belah pihak secara bersama-sama sepakat untuk menjadi nadzir. Pelaksana
Administrasi bertugas melakukan pengadministrasian penerimaan dana wakaf dan
pencatatan aktivitas pengelolaan dana/investasi berikut penyalurannya. Sedangkan
Manajer bertugas untuk melakukan pemilihan jenis-jenis investasi sesuai dengan
amanat wakif dan mengelolanya secara professional. Manajer dan Pelaksana
Administrasi secara bersama-sama bertanggung jawab atas penerimaan dan
pengelolaan dana wakaf, serta melaporkannya kepada para wakif.
96 Departemen Agama RI, Proses Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 214
Secara teknis, wakif yang ingin berwakaf dengan uang dapat datang ke Bank
Muamalat Indonesia, kemudian mengisi persyaratan pendaftaran wakaf uang. Setelah
wakif menyerahkan dana wakaf maka wakif akan menerima Sertifikat Bukti Wakaf
yang diterbitkan oleh nadzir, dalam hal ini adalah pihak Baitul Maal Muamalat
(BMM). Dana wakaf yang terhimpun akan didayagunakan oleh nadzir dalam bentuk
investasi usaha untuk mempertahankan nilai dana wakaf dan untuk memperoleh
keuntungan. Jenis investasi dana wakaf yang dilakukan oleh Baitul Maal Muamalat
(BMM), yaitu deposito di Bank Umum Syariah (baik dalam maupun luar negeri) dan
Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) juga menginvestasikan dana wakaf uang
tersebut pada portofolio yang berprinsip syariah dan berresiko rendah seperti: saham,
obligasi maupun reksadana syariah dan sebagainya. Keuntungan dari investasi
tersebut didayagunakan untuk tujuan bina sosial, bina pendidikan, bina kesehatan dan
bina ekonomi. Adapun pengalokasian hasil dana wakaf digunakan untuk biaya
operasional sebesar 12,5%, dana cadangan untuk jaminan investasi sebesar 7,5% dan
pendayagunaan untuk beberapa sektor sebesar 80,0%.97
Untuk memudahkan masyarakat yang ingin berwakaf dengan uang, Baitul
Maal Muamalat (BMM) telah mengeluarkan fasilitas Izi uang. Izi uang adalah
layanan penerimaan wakaf uang melalui SMS. Izi uang memiliki keunggulan,
diantaranya wakif dapat mewakafkan uangnya kapan saja dan dimana saja mereka
berada serta wakif dapat mewakafkan uangnya minimal sebesar Rp.100.000,- (seratus
97 Baitul Maal Muamalat (BMM). Pedoman Wakaf Tunai Muamalat
ribu rupiah). Jadi siapa pun dapat mewakafkan uangnya di Baitul Maal Muamalat
(BMM). Dari data Baitul Maal Muamalat (BMM) sejak tahun 2002-2007 dana wakaf
uang yang terhimpun adalah sebesar Rp.294.319.562,-.98
B. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Wakaf Uang Pada Perbankan Syariah
Pasca UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Pengembangan produk wakaf uang tentunya tidak terlepas dari
pengembangan format ekonomi syariah secara keseluruhan. Secara makro,
keberadaan wakaf uang sudah barang tentu akan meningkatkan maslahat dan
kesejahteraan masyarakat secara umum. Penduduk Indonesia yang mayoritas
beragama Islam merupakan peluang yang sangat besar dalam rangka
mengembangkan perwakafan di Indonesia khususnya wakaf uang, apalagi wakaf
uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas
sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan
tanah terlebih dahulu. Jika dana wakaf uang tersebut dikelola secara profesional,
maka Penulis yakin manfaat dari dana wakaf tersebut dapat mensejahterakan
masyarakat luas.
Secara mikro, keberadaan wakaf uang juga diharapkan dapat bersinergi secara
optimal untuk turut mendorong perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya
sebagai salah satu pemain di dalam perekonomian. Dalam kaitan ini, pengelolaan
wakaf uang sebenarnya dapat dijalankan oleh lembaga keuangan syariah seperti pasar
98 Wawancara Pribadi dengan Yayan Daryunanti. Jakarta, 19 Desember 2007
modal sebagai lembaga investasi, namun dilihat dari kenyataan yang ada bahwa pasar
modal cenderung volatile (mudah berubah), maka lebih tepat adalah bank khususnya
bank syariah.
Bank syariah memiliki beberapa keunggulan dalam mengelola wakaf uang,
yaitu jaringan kantor yang luas, kemampuan bank syariah sebagai fund manager,
pengalaman, jaringan informasi dan peta distribusi serta citra positif. Dengan
keunggulan-keunggulan tersebut bank syariah berpeluang untuk ikut serta dalam
pengelolaan wakaf uang di Indonesia, karena pengelolaan wakaf uang harus
dilakukan secara professional, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan
(akuntabilitas). Menurut Yayan Daryunanti, pengelolaan wakaf uang oleh perbankan
syariah lebih aman dan lebih terkontrol, karena semua bank yang beroperasi pasti
sudah mendapat izin dari Bank Indonesia dan Bank Indonesia ikut mengontrol semua
kegiatan yang dilakukan bank-bank yang ada di Indonesia.99
Selain kelebihan-kelebihan diatas, pengelolaan wakaf uang oleh bank syariah
juga akan dapat menambah pendapatan bank syariah dan berpengaruh terhadap
perkembangan bank syariah itu sendiri. Akan tetapi jika bank syariah berperan
sebagai pengelola wakaf uang maka nadzir tidak berfungsi dalam pengelolaan wakaf
uang dan nadzir tidak mempunyai pekerjaan, sedangkan dengan adanya UU No. 41
tahun 2004 tentang wakaf diharapkan nadzir dapat mengelola wakaf uang secara
99 Wawancara Pribadi dengan Yayan Daryunanti. Jakarta, 19 Desember 2007
profesional dan produktif sehingga nadzir-nadzir dapat berkembang dan lebih maju di
masa yang akan datang.
Pengelolaan wakaf uang oleh bank syariah tidak dijelaskan dalam UU No. 41
tahun 2004, hanya dalam pasal 28 UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dinyatakan
bahwa ”Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga
keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri”. Menurut pasal ini dinyatakan secara
tegas bahwa perbankan syariah sebagai salah satu dari Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) hanya berperan sebagai penerima wakaf uang, sedangkan pengelolaannya
diserahkan kepada nadzir, akan tetapi bank syariah berpeluang untuk mengelola
wakaf uang jika nadzir memberikan kepercayaan kepada bank syariah karena pada
pasal 43 ayat (2) UU No. 41/2004 tentang wakaf dinyatakan bahwa ”Pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara
produktif”. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan pengembangan aspek
produktif maka model pengelolaan wakaf uang tersebut perlu diarahkan kepada
sektor usaha yang produktif dengan lembaga usaha yang memiliki reputasi yang baik.
Salah satunya bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Saat ini
lembaga keuangan syariah yang paling berpengalaman dan maju adalah bank syariah.
Peluang pengelolaan wakaf uang pada bank syariah dijelaskan dalam PP No. 42 tahun
2006 pasal 48 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pengelolaan dan pengembangan atas
harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk
LKS dan /atau instrumen keuangan syariah”.
Untuk mengelola wakaf uang ada tantangan yang harus dihadapi oleh bank
syariah yaitu pemahaman masyarakat. Sampai saat ini pemahaman masyarakat
tentang wakaf hanya sebatas wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, masjid,
makam dan lain-lain. Oleh karena itu, harus ada sosialisasi tentang wakaf benda
bergerak seperti wakaf uang, juga harus disosialisasikan tentang bagaimana
pengelolaan wakaf uang dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat luas.
Sosialisasi terhadap UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga harus dilakukan
karena UU ini sebagai landasan hukum bagi mereka yang akan berwakaf dengan
uang. Selain itu, bank syariah juga harus menghadapi tantangan dari lembaga wakaf
lain. Dalam mengelola wakaf uang bank syariah harus mampu bersaing dengan
lembaga wakaf karena selama ini wakif biasanya menyerahkan harta wakaf lebih
karena didasarkan pada kepercayaan kepada para tokoh agama dan lembaga wakaf.
Oleh karena itu, bank syariah harus menjelaskan bahwa saat ini berwakaf dengan
uang bisa dilakukan di bank syariah. Bank syariah harus mampu memberikan
kepercayaan kepada masyarakat bahwa dana wakaf yang dikelola oleh bank syariah
akan diinvestasikan pada sektor-sektor usaha produktif sehingga dana wakaf tersebut
tidak akan berkurang, bahkan dana-dana wakaf tersebut akan dapat mensejahterakan
masyarakat luas.
Melihat dari peluang dan tantangan yang dihadapi perbankan syariah dalam
mengelola wakaf uang, maka dalam rangka mengembangkan wakaf uang di
Indonesia dibutuhkan partisipasi semua pihak, baik itu pemerintah, nadzir, lembaga
keuangan syariah seperti bank syariah maupun masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini
Penulis memberikan beberapa kesimpulan yang sesuai dengan rumusan masalah pada
skripsi ini. Adapun kesimpulan yang dipaparkan adalah:
1. Model pengelolaan wakaf uang menurut UU No. 41/2004 tentang wakaf adalah
harta benda wakaf uang harus dikelola sesuai dengan prinsip syariah dan nadzir
yang mengelola wakaf uang boleh bekerjasama dengan pihak lain dengan syarat
kerjasama tersebut harus sesuai dengan prinsip syariah. Untuk pengelolaan dan
pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui
investasi pada produk-produk LKS dan /atau instrumen keuangan syariah.
Investasi yang digalang haruslah investasi yang menguntungkan dan beresiko
kecil, juga tidak boleh mengandung riba. Ada beberapa investasi yang dapat
dilakukan oleh pengelola wakaf (nadzir), diantaranya investasi mudharabah,
musyarakah, ijarah dan murabahah. Selain itu, dana wakaf uang juga dapat
ditempatkan pada reksadana syariah, obligasi syariah dan deposito syariah. Dalam
upaya memayungi agar usaha-usaha pemberdayaan dana wakaf uang tidak
berkurang, apalagi hilang karena lost (rugi) dalam usahanya, maka diperlukan
lembaga penjamin syariah. Secara nasional pengawasan terhadap perkembangan
perwakafan di Indonesia akan dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Dalam rangka mengembangkan wakaf uang di Indonesia, masing-masing
lembaga pengelola dana wakaf uang telah melakukan berbagai cara sebagai
contoh pengelolaan wakaf uang di Baitul Maal Muamalat (BMM). Pola
pengelolaan dana wakaf uang di Baitul Maal Muamalat(BMM) diawali dengan
pembuatan kontrak kerjasama pengelolaan dana wakaf antara PT. Bank Muamalat
Indonesia, Tbk. sebagai Pelaksana Administrasi dan Baitul Maal Muamalat
sebagai Manajer, dimana kedua belah pihak secara bersama-sama sepakat untuk
menjadi nadzir. Dana wakaf yang terhimpun akan didayagunakan oleh nadzir
dalam bentuk investasi usaha untuk mempertahankan nilai dana wakaf dan untuk
memperoleh keuntungan. Jenis investasi dana wakaf yang dilakukan oleh Baitul
Maal Muamalat (BMM), yaitu deposito di Bank Umum Syariah (baik dalam
maupun luar negeri) dan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) juga
menginvestasikan dana wakaf uang tersebut ada portofolio yang berprinsip
syariah dan berresiko rendah seperti: saham, obligasi maupun reksadana syariah
dan sebagainya. Keuntungan dari investasi tersebut didayagunakan untuk tujuan
bina sosial, bina pendidikan, bina kesehatan dan bina ekonomi. Adapun
pengalokasian hasil dana wakaf digunakan untuk biaya operasional sebesar
12,5%, dana cadangan untuk jaminan investasi sebesar 7,5% dan pendayagunaan
untuk beberapa sektor sebesar 80,0%.
2. Pengelolaan wakaf uang oleh bank syariah tidak dijelaskan dalam UU No.
41/2004, hanya dalam pasal 28 UU No. 41/2004 tentang Wakaf dinyatakan
bahwa ”Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga
keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri”. Menurut pasal ini dinyatakan
secara tegas bahwa perbankan syariah sebagai salah satu dari Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) hanya berperan sebagai penerima wakaf uang, sedangkan
pengelolaannya diserahkan kepada nadzir. Akan tetapi bank syariah berpeluang
untuk mengelola wakaf uang jika nadzir memberikan kepercayaan kepada bank
syariah, karena pada pasal 43 ayat (2) UU No. 41/2004 tentang wakaf dinyatakan
bahwa ”Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud ayat (1) dilakukan secara produktif”. Untuk mendukung keberhasilan
pengembangan aspek produktif maka model pengelolaan wakaf uang tersebut
perlu diarahkan kepada sektor usaha yang produktif dengan lembaga usaha yang
memiliki reputasi yang baik. Salah satunya bekerjasama dengan Lembaga
Keuangan Syariah (LKS). Saat ini lembaga keuangan syariah yang paling
berpengalaman dan maju adalah bank syariah. Peluang pengelolaan wakaf uang
pada bank syariah dijelaskan dalam PP No. 42 tahun 2006 pasal 48 ayat (2) yang
menyatakan bahwa “Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang
hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan /atau
instrumen keuangan syariah”. Untuk mengelola wakaf uang ada tantangan yang
harus dihadapi oleh bank syariah yaitu pemahaman masyarakat. Sampai saat ini
pemahaman masyarakat tentang wakaf hanya sebatas wakaf benda tidak bergerak
seperti tanah, masjid, makam dan lain-lain. Oleh karena itu, harus ada sosialisasi
tentang wakaf benda bergerak seperti wakaf uang, juga harus disosialisasikan
tentang bagaimana pengelolaan wakaf uang dan manfaatnya bagi kesejahteraan
masyarakat luas. Sosialisasi terhadap UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga
harus dilakukan karena UU ini sebagai landasan hukum bagi mereka yang akan
berwakaf dengan uang. Selain itu, bank syariah juga harus menghadapi tantangan
dari lembaga wakaf lain. Dalam mengelola wakaf uang bank syariah harus
mampu bersaing dengan lembaga wakaf karena selama ini wakif biasanya
menyerahkan harta wakaf lebih karena didasarkan pada kepercayaan kepada para
tokoh agama dan lembaga wakaf. Oleh karena itu, bank syariah harus
menjelaskan bahwa saat ini berwakaf dengan uang bisa dilakukan di bank syariah.
Bank syariah harus mampu memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa
dana wakaf yang dikelola oleh bank syariah akan diinvestasikan pada sektor-
sektor usaha produktif sehingga dana wakaf tersebut tidak akan berkurang,
bahkan dana-dana wakaf tersebut akan dapat mensejahterakan masyarakat luas.
B. Saran
Pada bagian akhir dari penulisan skripsi ini, Penulis memberikan saran
yang mungkin dapat bermanfaat bagi perkembangan perwakafan khususnya wakaf
uang di masa yang akan datang, diantaranya:
1. Melihat besarnya jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam, tentu
memiliki potensi yang besar dalam pengembangan wakaf uang di masa yang akan
datang. Untuk itulah sosialisasi tentang wakaf uang perlu ditingkatkan karena
masih banyak masyarakat yang belum mengetahui cara berwakaf dengan uang.
2. Perlu disosialisasikan juga tentang bagaimana pengelolaan wakaf uang dan
manfaatnya bagi perekonomian umat Islam itu sendiri.
3. Selain itu, perlu disosialisasikan juga UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan
PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, karena UU dan PP ini menjadi landasan hukum bagi mereka yang akan
berwakaf dengan uang.
4. Agar pengelolaan wakaf uang dapat berjalan dengan lancar, maka pemerintah
harus menunjuk lembaga mana saja yang boleh mengelola wakaf uang.
5. Harus ada partisipasi dari semua pihak, baik itu pemerintah, Bank Indonesia,
nadzir, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan masyarakat terutama umat Islam,
agar dapat memajukan perwakafan di Indonesia pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Semarang: CV Toha Putra, 1987
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani Press, 2001
Ali, Mohammad Daud. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press, 1988.
Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1989, Juz
8, cet. 3 Al-Sarbini, Muhammad Khatib. Mughni al-Muhtaj. Beirut: Dar Ihya al-Turas al-
Arabi, t.t.. Juz 2 Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf. Jakarta: Dompet Dhuafa
Republika dan IIMaA, 2004 As-Syaukani, Muhammad. Nailul Authar. Beirut: Dar Al-Fikr. t.t, Juz 5 Bank Indonesia. Statistik Perbankan Syariah 2003-2007 Baitul Maal Muamalat. Pedoman Wakaf Tunai Muamalat Departemen Agama RI. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006
--------------. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006
--------------. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006
--------------. Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006
--------------. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006
--------------. Bunga Rampai Perwakafan. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf
dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 --------------. Proses Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.. Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006
Departemen P dan K. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990
Djunaidi, Achmad dan Thobieb Al-Asyhar. Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah
Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat. Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006
Ganita,Wardah. “Tinjauan Hukum Islam Pola Penghimpunan dan Pengelolaan Wakaf
Uang Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2004
Halim, Abdul. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Ciputat Press, 2005 Hasan, Tholhah. Perkembangan Kebijakan Wakaf Di Indonesia. Republika, 14 Maret
2008. Kholid, Hendra. “Alternatif Pemanfaatan Wakaf Tunai”. Artikel diakses pada 29
Agustus 2007 dari http://www.halalguide.info/content/view/441/46/ Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 Mei 2002
Mannan, M. A. Serifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam. Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI, 2001
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Penerjemah Masykur A. B,
dkk. Jakarta: Lentera, 1996 Muhammad, ed. Bank Syariah: Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan
Ancaman. Yogyakarta: Ekonisia, 2006 Muslim. Shahih Muslim. Riyadh: Darus-Salam, 1998 Nasution, Mustafa E. Wakaf Tunai dan Sektor Volunter, (makalah “Strategi Untuk
Mensejahterakan Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Hutang Luar Negeri”), di UI Program Pascasarjana, Jakarta, 2001
Nasution, Mustafa Edwin dan Dr. Uswatun Hasanah, ed. Wakaf Tunai Inovasi
Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PSTTI-UI, 2006
Najib, Tuti A. dan Ridwan al-Makassary, ed. Wakaf, Tuhan, dan Agenda
Kemanusiaan: Studi Tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006
Perwaatmadja, Karnaen A. dan Syafi’i Antonio. Apa dan Bagaimana Bank Islam.
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992 Qahaf, Mundzir. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: KHALIFA, 2005, Cet. 1 Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah. Bandung: Al maa’arif,1996
Siregar, Mulya E. Peranan Perbankan Syariah Dalam Wakaf Tunai (Sebuah Kajian Konseptual). Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2001
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi.
Edisi 2. Yogyakarta: EKONISIA, 2007 Suhendi, Hendi dkk. BMT, Bank Islam: Instrumen Lembaga Keuangan Syariah,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004 Sya’bi, Akhmad. Kamus Al-Qalam. Surabaya: Halim Surabaya, 1997
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Jakarta, Departemen Agama RI, 2007
Wawancara Pribadi dengan Mulya E. Siregar. Jakarta, 6 November 2007 Wawancara Pribadi dengan Yayan Daryunanti. Jakarta, 19 Desember 2007.