PELAKSANAAN SULH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA...
Transcript of PELAKSANAAN SULH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA...
PELAKSANAAN SULH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HADHANAH
(STUDI KASUS DI MAHKAMAH SYARIAH WILAYAH PERSEKUTUAN
KUALA LUMPUR, MALAYSIA)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Mohd Norman Shah bin Mohd Yaziz
NIM : 105044103554
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H / 2008 M
PELAKSANAAN SULH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HADHANAH
(STUDI KASUS DI MAHKAMAH SYARIAH WILAYAH PERSEKUTUAN
KUALA LUMPUR, MALAYSIA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Mohd Norman Shah bin Mohd Yaziz
NIM : 105044103554
Pembimbing I : Pembimbing II :
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA Fahmi Muhammad Ahmadi, MS.I
NIP : 150 169 102 NIP : 150 326 914
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H / 2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Desember 2008
Mohd Norman Shah bin Mohd Yaziz
KATA PENGANTAR
��� ا ا���� ا�����
Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi
nikmat, dan hidayah serta rahmatNya. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya yang telah membawa dan
menyebarkan agama Islam sebagai hidayah kepada jalan yang benar dalam rangka
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Skripsi ini berjudul : PELAKSANAAN SULH DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA HADHANAH (STUDI KASUS DI MAHKAMAH SYARIAH
WILAYAH PERSEKUTUAN KUALA LUMPUR MALAYSIA), untuk
memenuhi dan sekaligus melengkapi syarat-syarat dalam mencapai gelar Sarjana
Hukum Islam (S.H.I) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat
diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari pelbagai pihak. Untuk itu
sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam penulis menyampaikan terima kasih
kepada yang terhormat Bapak :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dengan kewenangan yang
dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi
ini.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al
Syakhshiyah dan Kamarusdiana, S.Ag, M.H, selaku Seketaris Program Studi
Ahwal Al Syakhshiyah yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, dan Fahmi Myhammad Ahmadi, Ms.I, selaku
dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan petunjuk, arahan, dan
masukan kepada penulis hingga tuntas skripsi ini Hanya Allah SWT memberikan
ganjaran yang berlipat ganda atas jasa baiknya kepada penulis.
4. Seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tidak lupa juga terima kasih yang sebesar-besarnya kepada staf
perpustakaan, karyawan-karyawan yang banyak membantu penulis memfasilitasi
penyelesaian penulisan skripsi ini.
5. Teristimewa buat Ayahanda H. Mohd Yaziz bin Shamsuddin dan Ibunda tercinta
Hj. Noor Mazlina binti Noorshah serta seluruh ahli keluarga yang dikasihi dan
tersayang. Terima kasih banyak atas bantuan kalian terutama dari segi keuangan,
dan dukungan kalian. Terima kasih juga atas doa dan pengorbanan kalian yang
tidak terhingga serta memberi semangat tanpa jemu hingga penulis dapat
menyelesaikan pengajian di sini dengan selamat dan sempurna. Semoga Allah
SWT menempatkan kalian di tempat orang-orang yang shaleh dan mulia. Tidak
ada yang dapat saya persembahkan sebagai balasan hingga melainkan dia Yang
Maha Kuasa, “semoga berjaya dan panjang umur”.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Maslah ............................................... 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian....................................................... 6
D. Metode Penelitian ........................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan ..................................................................... 9
BAB II SULH MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
A. Pengertian Sulh............................................................................... 11
B. Landasan Hukum Sulh.................................................................... 13
C. Rukun Sulh .................................................................................... 17
D. Syarat Sulh ..................................................................................... 21
E. Hikmah Sulh................................................................................... 24
BAB III HADHANAH DALAM AKTA UNDANG-UNDANG
A. Pengertian Hadhanah Dan Dasar Hukumnya................................... 30
B. Hadhanah serta Syarat dan Rukunnya ............................................. 33
C. Masa Hadhanah .............................................................................. 44
D. Hadhanah dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah
Persekutuan 1984 ........................................................................... 45
BAB IV PERAN SULH TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA
HADHANAH DI MAHKAMAH SYARIAH WILAYAH
PERSEKUTUAN KUALA LUMPUR MALAYSIA
A. Gambaran Umum Tentang Sulh di Mahkamah Syariah .................. 52
B. Tatacara Pelaksanaan Sulh di Mahkamah Syariah ........................... 55
C. Sulh dalam Kasus Hadhanah ........................................................... 63
D. Analisis Penulis .............................................................................. 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................... 74
B. Saran .............................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77
LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi .......... 79
2. Surat Permohonan Mendapatkan Data / Wawancara ...................... 80
3. Format Perjanjian Penyelesaian (Sulh) .......................................... 85
4. Format Deraf Perintah Persetujuan (Sulh) ...................................... 87
5. Statistik Kasus Devisi Sulh Mahkamah Syariah Wilayah
Persekutuan Kuala Lumpur Tahun 2006 ........................................ 89
6. Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984
(Bagian Penjagaan Anak-anak atau Hadhanah) ............................... 90
7. Struktur Organisasi Mahkamah Syariah Wilayah-wilayah
Persekutuan ................................................................................... 95
8. Formulir Pendaftaran Gugatan / Permohonan Perkara ................... 97
9. Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah
Persekutuan) 2006 ......................................................................... 99
10. Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-wilayah
Persekutuan) 1998 .........................................................................100
11. Kaedah-kaedah Tatacara Mal (Sulh) (Wilayah-wilayah
Persekutuan) 2004 .........................................................................102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap pasangan yang mengambil keputusan untuk menikah pasti
memimpikan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera serta kekal selamanya.
Namun, disebabkan berbagai masalah yang timbul disertai dengan tidak adanya
kemampuan untuk menghadapinya, mahligai indah akhirnya punah dilanda
gelora. Jika pada saat bersama sering terjadi sengketa, maka perceraian juga
semakin mempersulit keadaan apabila soal nafkah, mut’ah dan hadhanah dibawa
ke mahkamah (pengadilan). Walaupun Islam menghalalkan talak, namun bukan
berarti pasangan yang memilih untuk bercerai dibiarkan berselisih untuk
mendapatkan hak dan sebagainya.
Sebaliknya, sikap ingin berdamai serta saling toleransi sangat dianjurkan
agar semua masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan cepat dan adil.
Penyelesaian secara damai atau sulh sangat dianjurkan untuk menghentikan
perselisihan. Salah satu ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa perdamaian
adalah salah satu cara yang dianjurkan dan disyari’atkan untuk menyelesaikan
masalah adalah firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 128 sebagai berikut:
وإن ام�أة &��% م� �#��� "! زا أو إ��ا�� ��� ���ح ����� أن ی�2�1 ����� �2�3 وا�1+�* &�� وأ0��ت ا�."-, ا�!+*( وإن
: �/ا����ء(26�� ا و6;(: ا 9�ن( ا��(8 آ�ن �� 6#� ن &�5�ا ���(
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap
tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang
sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki
(pergaulan dengan isterimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), maka sungguh, Allah adalah Mahateliti terhadap apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Nisa, 4:128)
Salah satu bentuk perdamaian adalah dengan proses sulh. Konsep ini dapat
mencapai keadilan yang mana tidak ada pihak yang menang atau kalah karena
keputusan dibuat dengan persetujuan bersama. Bahkan, ijma’ ulama juga
berpendapat bahwa penyelesaian secara sulh adalah lebih tepat dalam mencapai
keadilan karena kedua belah pihak lebih mengetahui hak yang seharusnya mereka
dapatkan.
Hal ini berbeda dengan keputusan melalui persidangan karena pihak yang
lebih pandai beralasan cenderung untuk menang yang berarti memperoleh sesuatu
yang bukan haknya. Hal yang demikian itu mendapat ancaman berdasarkan hadits
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai berikut:
%��A ���� �Aل رس ل ا B)�3 ا 8��� : �� أمF س�D ر�B ا��#J0#� )M� أن یJ ن ا�L2� �2(;8 , إ"(I6 �J;1 ن إB�( : وس�(�
O#� �م�, م P2 م� اس" B�� 8� Q0A.�8 . �8� م %#SA ��1)م;-FU� . )8��� U أ&8� ش�. 9�"(� اD#SA 8� PSA م� ا��(�ر
Artinya: “Dari Ummu Salamah r.a, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
kalian mengadukan perkara kepadaku. Barangkali sebagian diantara
kalian ada yang lebih pandai mengemukakan hujah daripada yang lain,
maka aku memberikan keputusan yang menguntungkannya berdasarkan
yang aku dengar darinya. Barangsiapa yang aku berikan sepotong dari
1 Ibnu Hajar al-Asqalani, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, (Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2007), h. 640
hak saudaranya, itu berarti aku memberikannya sepotong api neraka.”
(Muttafaq ‘alaih)
Penyelesaian dengan cara sulh ini sangat dianjurkan karena adakalanya
keputusan mahkamah tidak dapat memuaskan hati para pihak yang bersangkutan.
Sedangkan sulh adalah lahir dari rasa toleransi dan sukarela yang akhirnya
membawa penyelesaian yang dibuat secara sepakat. Seandainya masalah-masalah
keluarga masih dapat diselesaikan secara musyawarah, maka sewajarnya jika
diselesaikan tanpa melibatkan mahkamah. Ini akan menjadikan Mahkamah
Syariah yang telah ada menjadi tempat rujukan dan persidangan untuk persoalan-
persoalan yang lebih berat dan kompleks.
Sulh menurut syara’ ialah suatu akad untuk mengakhiri persengketaan di
antara dua pihak yang bersengketa atau akad untuk menyelesaikan pertikaian
dengan sukarela melalui ijab dan kabul.2 Sulh dapat dilaksanakan dengan sukarela
tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Dalam usaha menyelesaikan
persengketaan secara adil, perkara pertama yang perlu dilakukan oleh qadi atau
hakim ialah menganjurkan pihak-pihak yang bersangkutan untuk berdamai.
Dengan demikian, semua pertikaian dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat
tanpa rasa benci dan dendam.
Fenomena yang sering timbul di Mahkamah Syariah apabila terjadi
perceraian adalah tuntutan pasca perceraian dari kedua belah pihak yaitu si suami
dan si istri dalam menuntut hak masing-masing. Di antara tuntutan yang diajukan
2 Syaikh Shaleh Bin Al-Fauzan, Ringkasan Fikih Lengkap, (Jakarta: Darul Falah, 2005), h.
590
adalah mut’ah, harta bersama, dan nafkah hutang. Selain itu, persoalan yang
sering menimbulkan persengketaan suami-istri setelah pembubaran perkawinan
ialah hak penjagaan anak atau hadhanah.
Sesuai dengan fitrah seorang ibu yang melahirkan dan menyusukan anak,
Islam memberikan keutamaan kepada mereka untuk mendapatkan hak penjagaan
atau hadhanah. Meskipun demikian, bukan berarti apabila terjadi penceraian,
seorang ayah tidak berhak langsung karena dalam keadaan tertentu mereka juga
diberi keutamaan. Adapun yang menimbulkan masalah ialah apabila mereka yang
terlibat dalam kasus pengasuhan anak menunjukkan keinginannya masing-masing
untuk menang sehingga bisa menggunakan segala macam cara.
Di Malaysia, perceraian seolah-olah dijadikan alasan bahwa pengasuhan
anak akan menjadi hak mutlak bagi satu pihak saja. Akhirnya, sikap tamak dan
ingin menguasai perhatian anak ini mendorong pihak yang menang untuk
menghalang-halangi ayah atau ibu menjenguk anak-anaknya walaupun terdapat
perintah mahkamah mengenai perkara tersebut. Menurut penulis, hadhanah
bukan sesuatu yang mutlak baik untuk ayah atau ibu. Semua itu bersifat
sementara karena anak adalah hak dan tanggungjawab bersama walaupun setelah
terjadi perceraian.
Semua tuntutan atas hak-hak di atas memerlukan musyawarah antara
kedua pasangan. Jika tidak ditangani dengan sebaik-baiknya maka akan
menimbulkan persengketaan. Hal ini dapat dilihat di Mahkamah Syariah,
kebanyakan kasus-kasus Mahkamah adalah pertikaian yang berkaitan dengan
tuntutan hak masing-masing pihak. Oleh karena itu, bermusyawarah adalah
langkah terbaik agar pertikaian dapat diselesaikan secara sulh antara kedua belah
pihak.
Menyingkap masalah hak pengasuhan anak dari segi undang-undang
Islam, kasus-kasus yang pernah terjadi serta cara-cara mengatasinya. Penelitian
ini semakin penting bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa sulh belum banyak
dikenal di kalangan publik, karenanya hasil penelitian ini pun diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan baik secara individu maupun institusi untuk memilih
sulh sebagai alternatif penyelesaian sengketa (ADR) yang terbaik. Inilah landasan
kuat bagi penulis untuk melakukan penelitian dengan memilih judul :
“Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah (Studi di
Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia).”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini terarah, maka penulis membatasi masalah
dalam skripsi sekitar pandangan Islam tentang konsep sulh serta
pelaksanannya di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur.
Dalam skripsi ini juga, pembatasan masalah adalah sekitar pelaksanaan sulh
dalam kasus hadhanah yang dibawa ke Mahkamah (pengadilan).
2. Perumusan Masalah
Masalah skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut :
“Masyarakat Malaysia khususnya, kurang memahami bahwa Mahkamah
Syariah adalah tempat rujukan terakhir untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan mengenai keluarga. Akibatnya, masyarakat begitu cepat
mengajukan pertikaiannya untuk disidang dan diputuskan oleh hakim.
Sedangkan, semua ini semestinya dapat diselesaikan dengan mudah di luar
mahkamah dengan menggunakan konsep sulh. Hal ini yang ingin penulis
selesaikan dalam penulisan skripsi ini”.
Rumusan tersebut di atas dapat penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Apa saja ketentuan Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah
Persekutuan 1984 yang mengatur tentang Hadhanah?
b. Bagaimanakah pelaksanaan prinsip sulh (mediasi) di Mahkamah Syariah
Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Untuk memperjelas sasaran yang akan dicapai melalui penelitian sesuai
dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan Akta Undang-undang Keluarga Islam
Wilayah Persekutuan 1984 yang mengatur tentang Hadhanah,
2. Untuk mengetahui bagaimana sulh dilaksanakan di Wilayah Persekutuan
Kuala Lumpur menurut Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan
1984.
Manfaat dari penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Agar dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sulh
(mediasi)
2. Dalam tatanan praktis, penulis mengharapkan agar dapat menambah referensi
atau pengetahuan bagi para mahasiswa syariah dan seluruh umat Islam di
Indonesia,
3. Menambah khazanah di bidang keilmuan di Indonesia khususnya
perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah,
4. Untuk memenuhi persyaratan guna mendapatkan gelar SHI pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Indonesia.
D. Metode Penelitian
Untuk menyelesaikan penelitian ini, maka penulis menggunakan metode-
metode berikut:
1. Penentuan Jenis Data
Dalam penelitian ini data yang diteliti adalah data yang berhubungan
dengan topik, yaitu mengenai pelaksanaan sulh dalam penyelesaian sengketa
Hadhanah di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur.
2. Sumber data
Adapun metode yang digunakan penulis untuk mendapatkan data-data
atau informasi dalam penelitian ini adalah:
a. Primer : Sumber primer yaitu Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah
(Wilayah-wilayah Persekutuan) 1998 Akta 585, Kaedah-kaedah Tatacara
Mal (Sulh) (Wilayah-wilayah Persekutuan) 2004 dan Akta Undang-
undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984 serta putusan-putusan
berdasarkan persetujuan bersama yang melibatkan gugatan perkara
hadhanah yang diambil dari asip mahkamah.
b. Sekunder : Sumber sekunder, yaitu mengambil literatur-literatur
tambahan yang berkenaan dengan pembahasan seperti kitab-kitab fikih
yang muktabar.
c. Tertier : Sumber tertier merupakan data perlengkapan yang terdiri
daripada majalah, jurnal ensiklopedia, kamus dan sebagainya.
3. Pengumpulan data
Penelitian ini, sebagaimana yang telah dijelaskan merupakan library
research atau riset pustaka, maka pengumpulan data yang dilakukan adalah
dengan cara mengumpulkan kitab-kitab ataupun buku dan berbagai literatur
yang ada di perpustakaan. Kemudian penulis melakukan studi dokumen atau
penelahan teks-teks dari referensi primer dan sekunder dari berbagai literatur.
4. Analisis data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagi sumber, baik primer maupun sekunder. Setelah dipelajari
dan ditelaah maka langkah penulis berikutnya adalah mengolah data, dengan
jalan merangkum masalah yang penulis teliti. Dalam menganalisa data,
penulis menggunakan metode pendekatan falsafi. Dan dalam pengambilan
kesimpulan, penulis menggunakan metode yuridis normatif, yaitu suatu
metode yang menggambarkan suatu masalah berdasarkan kepada norma
hukum yang berlaku.
E. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini penulis menguraikan secara sistematis
Penulisan skripsi ini dibagi kepada tiga bab sebagai berikut:
1. Bagian Awal terdiri dari: halaman sampul, halaman judul, halaman
persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, kata pengantar, daftar isi.
2. Bagian Tengah merupakan isi, terdiri atas uraian masalah yang dibagi menjadi
bab-bab seperti berikut:
Bab pertama adalah Pendahuluan. Menguraikan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahaskan tentang Sulh menurut perspektif Islam.
Menjelaskan tinjauan umum tentang sulh yang terdiri dari: pengertian sulh,
landasan hukum sulh, rukun dan syarat sulh serta hikmah sulh.
Bab ketiga yaitu Tinjauan Umum tentang Hadhanah. Membahas sekilas
tentang hadhanah yang terdiri dari : pengertian hadhanah dan dasar hukumnya,
orang yang berhak hadhanah serta syarat dan rukunnya, masa hadhanah, serta
hadhanah dalam Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984.
Bab keempat adalah mengenai Peran Sulh Terhadap Penyelesaian
Sengketa Hadhanah Di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur
Malaysia. Membahas tentang peran sulh terhadap penyelesaian sengketa
hadhanah yang terdiri dari: Gambaran Umum Mahkamah Syariah Wilayah
Persekutuan Kuala Lumpur, Tatacara Pelaksanaan Sulh di Mahkamah Syariah
Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, contoh-contoh gugatan perkara Hadhanah
yang melibatkan Sulh dan analisis penulis.
Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
SULH MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
A. Pengertian Sulh
Sulh dari segi bahasa artinya memutuskan suatu pertikaian (khushumah).
Adapun dari segi syara' artinya suatu akad untuk mencegah pertikaian (khushum)
antara dua pihak yang bertikai3.
Sulh juga dapat diartikan sebagai suatu akad yang dilakukan untuk
menghilangkan pertikaian. Atau juga bermaksud suatu akad yang bertujuan untuk
mencapai islah, yaitu perdamaian di antara kedua belah pihak yang berselisih4.
Sulh juga dapat diartikan sebagai akad yang dilakukan untuk
menghilangkan pertikaian dan menyelesaikan persengketaan antara kedua belah
pihak dengan kerelaan keduanya5
Sedangkan dalam Ensiklopedia Islam, sulh diartikan sebagai perdamaian
(composition), penyelesaian (settlement)6 sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-
Quran di dalam surah An-Nisa’ ayat 128. Firman Allah SWT :
3 As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah,(Beirut: Darul Kitab Al-‘Arabi, 1971), Juz III, h. 303.
4 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik: Darul al-Fikr, 1984), Juz
V, h. 293.
5 Kementerian Wakaf dan hal Ehwal Islam Kuwait, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, (Kuwait:
Wizarat al-Awqaf wa-al-Shu'un al-Islamiyah, 1989), Cet 1 Juz X, h. 144.
6 Houtsma M TH and others E J Brill’s First, Encyclopaedia of Islam, (New York: E.J Brill,
1987), Jil. VIII, h. 541.
وإن ام�أة &��% م� �#��� "! زا أو إ��ا�� ��� ���ح ����� أن ی�2�1 ����� �2�3 وا�1+�* &�� وأ0��ت ا�."-, ا�!+*( وإن
: �/ا����ء(ا 26�� ا و6;(: ا 9�ن( ا��(8 آ�ن �� 6#� ن &�5����(
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap
tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang
sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki
(pergaulan dengan isterimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), maka sungguh, Allah adalah Mahateliti terhadap apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Nisa, 4:128)
Sedangkan pengertian Sulh dalam Al-Ahkam Al-Adliyyah pasal 1531 yaitu:
“Sulh ialah satu kontrak bagi menyelesaikan pertikaian dengan cara persetujuan.
Ia berlaku dengan ijab dan qabul.”7
Di samping itu, terdapat beberapa istilah fiqh yang berkaitan dengan
‘Sulh’ di dalam Al-Ahkam Al-Adliyyah adalah:
Pasal 1532 : “Musalih ialah orang yang membuat kontrak sulh (kompromi).”
Pasal 1533 : “Musalih ‘Alaihi ialah ganti (harga) sulh.”
Pasal 1534 : “Musalih ‘anhu ialah barang yang dituntut oleh orang yang
mendakwa (mudda‘abih).”8
7 Mohd Akhir Haji Yaacob, Undang-Undang Sivil Islam, Terjemahan; Al-Ahkam Al-
Adliyyah, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), h. 503.
8 Ibid., h. 503.
B. Landasan Hukum Sulh
Dasar tentang konsep sulh banyak terdapat dalam Al-Qur’an, al-Hadits
dan Ijma’. Di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Dasar dari Al-Qur’an al-Karim
Oleh karena sulh merupakan suatu konsep dan jalan untuk
menyelesaikan permusuhan yang sangat dianjurkan dalam syariat Islam,
terdapat banyak ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berkaitan dengan konsep
persoalan ini.
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 128 :
وإن ام�أة &��% م� �#��� "! زا أو إ��ا�� ��� ���ح ����� � �2�3 وا�1+�* &�� وأ0��ت ا�."-, ا�!+*( أن ی�2�1 ����
وإن 26�� ا و6;(: ا 9�ن( ا��(8 آ�ن �� 6#� ن &�5�ا )���: �/ا����ء(
Artinya : “Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau
bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian
yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia menurut tabiatnya itu kikir. Dan jika kamu
memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah
Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ ,
4:128)
Firman Allah SWT :
�� &�� Q� آ�Y� م� "L اه� إ�(� م� أم� �DAW1 أو م#�وف أو إ3��ح ��� ا��(�س وم� ی-#M ذ�] ا�;�Zء م���ة ا��(8 �� ف
�� )���: �/ا����ء( "_8�6 أ��ا �
Artinya : “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka,
kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang)
bersedekah, atau berbuat kebaikan atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena
mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya
pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’, 4:114)
Firman Allah SWT :
%Z� 9�ن �ا �.2�3 ا ���� �;;A_م��� ان م� ا��;-�a وإنإW�اه� B�� ا�.&�ى �:�6� ا ا�(;Q-6 B);� QZ56 Qء إB� أم�
ا��(8 یc2+ ا��(8 9�ن ��ءت �.2�3 ا ����� ���#Wل وأA�S ا إن( ��S�:�ات (ا�L29: 49/ا�(
Artinya : “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya
berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah
(golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada
perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil,
dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat, 49:9)
2. Dasar dari al-Hadits
Rasulullah SAW merupakan utusan Allah yang menjadi contoh dan
teladan dalam semua perkara. Selain menyampaikan risalah, baginda juga
mempunyai peran untuk menerangkan lebih terperinci tentang perintah atau
kehendak syariat Islam itu sendiri. Oleh karena itu, kita dapat menemukan
beberapa buah hadis yang menerangkan tentang sulh.
Sabda Rasulullah SAW :
�� ��و ا�� � ف ا�BF"f ر�B ا 8�� ان( رس ل ا�f�� *�+1 ��� ا����� ا�(� �2�3 ا: B)�3 ا 8��� وس�(� �Aل
وا�_م� ن B�� ش�وa�� ا�(� . F��م ����� او اM�( ��ام�9)رواh ا�;�مgى. (ش�ء�a ��(م ����� او اM�( ��ام�
Artinya : “Dari Amr bin ‘Auf al-Muzanni; Bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: Perdamaian itu diperbolehkan antara sesama muslim,
kecuali perdamaian yang mengharamkan perkara halal atau
menghalalkan perkara yang haram. Orang muslim selalu
diikutkan persyaratannya, kecuali persyaratan yang
mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara
yang haram.” (HR. at-Tirmizi)
Hadits ini dikatakan termasuk dalam hadits hasan shahih. Pengertian
di atas secara jelas menerangkan tentang keharusan sulh yang berdasarkan
pada batas-batas ketentuan syara’.10
Sabda Rasulullah SAW:
%��A Wیfء ��% ی�8��� : �� أس �Aل رس ل ا B�3( ایFW2ث ا��(M� ام� أl : ��� 86یM2+ ا�gJب إB� )l ثjث: وس�(�����رواh ( .��(�سوا�gJب 1���* ��� ا, وا�gJب �B ا2��ب,
11)ا�;�مgى
Artinya : “Dari Asma’ binti Yazid berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
‘Tidak halal berdusta kecuali dalam tiga perkara yaitu seorang
bercerita kepada istrinya untuk menyenangkannya, berdusta dalam
peperangan dan berdusta untuk mendamaikan antara orang yang
bertikai.” (HR. at-Tirmizi)
9 Muhammad ibn Isma`il al-San`ani, Subul al-salam : sharh Bulugh al-maram min jam al-
ahkam, (Qahirah: Maktabah ‘Atif, 1979), Juz III, h. 883.
10 Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah al-Termizi, Sunan al-Termizi,
Terjemahan Moh. Zuhri, (Semarang : CV Asy Syifa’, 1992), Jil II, h. 703.
11 Ibid., Jil III, h. 464.
Semua hadits di atas adalah sebagian hadits yang menerangkan
tentang keharusan dan anjuran pelaksanaan sulh. Selama berada dalam batas-
batas syara’, Rasulullah SAW menjelaskan betapa pentingnya sulh ini
sehingga Allah SWT tidak menganggap dosa mereka yang berdusta semata-
mata untuk tujuan tersebut.
3. Dasar dari Ijma’
Jumhur ulama telah sepakat tentang pensyariatan sulh karena
tergolong akad yang dapat mendatangkan faedah kepada seluruh masyarakat.
Ijma’ ini adalah berdasarkan pada dalil-dalil dari nas-nas seperti yang
dikemukakan tadi.12
Di samping itu para ulama’ juga berpedoman kepada amalan-amalan
yang telah dilakukan oleh para sahabat khususnya sahabat-sahabat besar
baginda Rasulullah SAW pada zaman Khulafa Al-Rasyidin. Sebagai contoh,
Sayyidina Umar Al-Khattab r.a pernah menegaskan : “Sulh adalah harus.
Hakim hendaklah memberi peluang kepada pihak-pihak yang bermusuhan
mengadakan sulh. Namun demikian hendaklah dipahami bahwa sulh tidak
12 al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa-adillatuhu : al-shamil lil-adillah al-shar iyah
wa-al-ara' al-madhhabiyah wa-ahamm al-nazariyah al-fiqhiyah wa-tahqiq al-Ahadith al-Nabawiyah
wa-takhrijuha, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), Juz V, h. 294.
boleh dilakukan untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal.”13
Beliau juga pernah berkata : “Kembalikanlah persengketaan sehingga
mereka berdamai karena sesungguhnya yang diputuskan di mahkamah
(pengadilan) akan menimbulkan dendam.”14
C. Rukun Sulh
Menurut mazhab Hanafi, rukun sulh hanya dua perkara yaitu ijab
(tawaran) dan qabul (penerimaan) ataupun apa saja yang memberikan pengertian
keduanya.
Sedangkan menurut pendapat jumhur ulama’ terdapat empat rukun sulh
seperti berikut :
1. Dua pihak yang berakad
Mereka adalah pihak yang menuntut sulh dan pihak yang dituntut sulh.
Mereka ini dikehendaki memenuhi syarat sebagai orang yang berakal sehat
dan dewasa, mempunyai kuasa dalam harta benda. Jika sulh itu untuk
seseorang yang di bawah umur hendaknya sulh itu tidak membawa keburukan
yang nyata kepadanya, baik sebagai pihak yang menuntut atau yang dituntut.15
13 Yasin Muhammad Yahya, ‘Aqd al-Sulh Baina al-Muqaranah Fiqhiyah wa al-Qanun al-
Madani : Dirasah Muqaranah Fiqhiyyah, Qadaiyyah, Tasri’iyyah, (Beirut : Dar al-Fikr, 1978), h. 126.
14 Arnus Muhammad Mahmud, Tarikh al-Qadha fi al-Islam, (Kairo : Al-Matba’ah Al-
Misriyyah al-Hadithah, tth), h. 13.
15 Mustafa al-Khin, al-Fiqh al-manhaji : 'ala madhhab al-Imam al-Shafe'i, (Damascus, Dar
al-Qalam, 1998), vol. 6, h. 177.
Contohnya :
Seorang anak di bawah umur menjadi pihak yang dituntut dan walinya
membuat suatu sulh atas sebagian dari harta anak itu setara dengan hak yang
tertanggung atasnya atau dengan suatu ukuran yang lebih rendah akan tetapi
biasa dilakukan oleh orang banyak. Sulh seperti ini adalah sah karena sama
dengan pertukaran barang hak milik dan seorang wali diberi wewenang
menentukannya dengan ukuran yang sedikit lebih rendah.
2. Sighah (ijab dan qabul)
Kedua belah pihak hendaklah menyatakan tawaran dan penerimaan (ijab dan
qabul).
Contohnya :
Pihak yang dituntut yang menganjurkan sulh menyatakan, “Saya menawarkan
sulh kepada Anda untuk perkara……… Dengan kadar ……………..” Pihak
yang satu lagi menjawab, “Saya menerima tawaran itu dan sebagainya
……………………….”, yang menunjukkan adanya kerelaan dan
penerimaannya.16
3. Perkara yang dipertikaikan
Adanya hak yang dituntut oleh yang penuntut disertakan dengan permohonan
supaya sulh itu dibuat sebagai ganti dengan suatu benda, hutang atau manfaat.
Hak yang dituntut itu hendaklah memenuhi beberapa syarat seperti berikut :
16 Ibid., h. 178.
a. Hak itu merupakan sesuatu yang termasuk hak anak Adam, baik yang
berbentuk harta benda atau bukan harta benda seperti hak qisas.
Contohnya :
Seseorang mempunyai hak qisas terhadap orang lain dan orang itu sepakat
sulh dengan jaminan harta benda sebagai ganti. Sulh itu harus; walaupun
ganti yang disepakati itu dalam bentuk hutang seperti seribu dinar. Jika
ganti itu dalam bentuk hutang, hendaklah diterima dalam majlis
penerimaan sulh itu supaya tidak terjadi pertukaran hutang dengan hutang
yang lain. Penyelesaian secara sulh dalam perkara qisas meliputi qisas
nyawa atau qisas anggota yang lain. Jika sulh dibuat dalam perkara yang
dikategorikan hak Allah SWT seperti dalam kasus zina dengan ukuran
harta yang diterima sebagai alternatif supaya perkara tidak dibawa ke
mahkamah, dengan matlamat hukuman tidak dikenakan had, maka sulh
demikian tidak sah karena hukuman had adalah hak Allah dan ia tidak
menerima ganti.17
b. Hak itu menjadi sebagian dari hak pihak yang menganjurkan sulh.
Seandainya itu bukan haknya, sulh tidak sah dibuat olehnya kecuali dalam
kasus orang yang di bawah penjagaannya.
Contohnya :
Seorang perempuan yang sudah bercerai menuduh anak di bawah
penjagaannya adalah anak dari suami yang menceraikannya sedangkan
17 Ibid., h. 178.
suaminya menyangkal itu semua dan perempuan itu hanya mengajukan
sulh. Sulh itu adalah tidak sah karena masalah nasab itu adalah hak anak
tersebut dan bukan haknya, oleh karena itu ia tidak mempunyai wewenang
untuk mengajukan sulh dalam perkara itu.18
4. Adanya ganti sulh
Ganti yang akan diterima oleh pihak yang menuntut dari pihak yang dituntut
sebagai alternatif terhadap tuntutan haknya, ganti ini harus memenuhi syarat-
syarat :
a. Berupa harta yang sah menurut syara’.
Sesuatu yang tidak diakui sebagai harta yang sah menurut syara’, tidak
boleh menjadi alternatif dalam jual beli, begitu juga tidak boleh menjadi
alternatif dalam sulh.19
Tidak jadi soal jika harta yang menjadi ganti itu suatu benda (ain)
contohnya seperti sajadah, hutang atau faedah. Semua itu dapat menjadi
ganti dalam jual beli dan muamalat. Oleh karena itu, juga sah menjadi
ganti dalam sulh.20
b. Berupa sesuatu yang dimiliki oleh yang menganjurkan sulh.
Sekiranya ia membuat sulh dengan sesuatu yang nyata tetapi ia tidak
memilikinya, sulh yang dibuat itu adalah batal, walaupun pihak yang
18 Ibid., h. 179.
19 Ibid., h. 179.
20 Ibid., h. 181.
menerima sulh itu sudah menerimanya karena sulh yang dibuat itu dengan
suatu benda yang bukan milik pihak yang membuat sulh. Contohnya
seperti barang yang dicuri atau dirampas atau sebagainya.
c. Merupakan sesuatu yang diketahui oleh kedua belah pihak.
Ketidaktahuan pengganti sulh akan menimbulkan perselisihan antara
pihak-pihak yang terlibat dan keadaan ini merusak suatu akad.21
D. Syarat Sulh
Antara syarat-syarat sulh ialah:
1. Berkaitan pihak yang melakukan sulh (berdamai)
a. Berakal
Sulh tidak sah dilakukan orang gila dan anak-anak yang tidak berakal
karena mereka tidak cakap untuk mengurus dan membelanjakan harta
mereka. Jika sulh dilakukan oleh walinya dan mendatangkan kerugian atas
harta mereka, maka dianggap tidak sah. Hal ini karena seorang wali tidak
berhak membelanjakan harta milik orang yang berada di bawah
penjagaannya. Namun, jika sulh yang dilakukan mendatangkan kebaikan
bagi mereka, maka dibenarkan oleh syara’.22
21 Ibid., h. 181.
22 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa-adillatuhu : al-shamil lil-adillah al-shar iyah wa-
al-ara' al-madhhabiyah wa-ahamm al-nazariyah al-fiqhiyah wa-tahqiq al-Ahadith al-Nabawiyah wa-
takhrijuha, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), Juz V, hal. 300.
b. Orang yang melakukan sulh untuk anak-anak, anak yatim dan harta wakaf
harus terdiri dari orang yang cakap dan diberi hak untuk mengurus harta
tersebut.
c. Pihak-pihak yang melakukan sulh tidak terdiri dari golongan yang murtad.
Syarat ini hanya terdapat di dalam mazhab Hanafi saja. Ini karena
mazhab ini tidak mengakui semua urusan orang yang murtad. Sedangkan
menurut jumhur ulama, sulh golongan yang murtad adalah sah23
2. Berkaitan dengan sesuatu yang dijadikan sulh
a. Berupa harta yang bernilai
Tidak sah melakukan sulh menggunakan bangkai, arak, babi, dan barang-
barang lain yang tidak diakui oleh Islam sebagai harta yang bernilai. Hal
ini karena sulh mestilah dilakukan dengan pertukaran. Oleh karena itu,
suatu barang yang tidak sah dijadikan pertukaran dalam urusan jual beli
adalah tidak sah digunakan dalam pelaksanaan sulh. Tetapi sebagian
ulama berpendapat bahwa jika sulh itu telah sempurna meskipun dengan
menggunakan sesuatu yang tidak sah digunakan sebagai pertukaran, sulh
tersebut tetap diterima. Hal ini karena sulh yang dilakukan menunjukkan
bahwa kedua belah pihak tidak menghendaki pertukaran semata. Tetapi
mereka saling ridha-meridhai antara satu sama lain24
23 Ibid., h. 300.
24 Ibid., h. 301.
b. Harta tersebut berada di bawah kepemilikan sempurna pihak-pihak yang
ingin melakukan sulh.
c. Harta yang digunakan dalam pelaksanaan sulh harus diketahui oleh kedua
belah pihak. Syarat ini bertujuan untuk menghindari ketidakpuasan salah
satu pihak yang akan menyebabkan terjadinya permusuhan yang
berkepanjangan25
3. Hak yang dipertikaikan
a. Berupa suatu harta, manfaat atau hak yang mempunyai nilai di sisi syara’.
b. Berupa sesuatu yang hanya melibatkan hak manusia, baik dalam bentuk
harta, manfaat ataupun hak-hak yang tidak melibatkan harta seperti qisas
dan ta’zir. Ini berarti sulh tidak sah dilakukan dalam perkara-perkara yang
melibatkan hak Allah atau hak masyarakat seperti hukuman zina, mencuri,
minum arak, dan sebagainya. Jika sulh dilakukan juga dalam perkara-
perkara tersebut maka akan batal dengan sendirinya. Ini karena hal yang
demikian seumpama mengharamkan perkara halal atau menghalalkan
perkara haram26
c. Hak yang dipertikaikan itu harus dimiliki oleh pihak-pihak yang ingin
melakukan sulh. Hal ini karena meurut Islam, seseorang tidak dibenarkan
membuat sesuatu urusan dalam suatu perkara yang tidak mempunyai hak
25 Ibid., h. 302.
26 Ibid., h. 309.
atasnya. Namun pengecualian untuk seseorang yang mendapat izin yang
sah dari pemilik hak yang dipertikaikan itu.27
E. Hikmah Sulh
Dari segi teori, akad sulh adalah suatu akad yang mempunyai kedudukan
istimewa dalam fiqh Islam. Ini karena sulh dapat diimplimentasikan dalam
kebanyakan urusan baik yang berkaitan dengan harta atau jinayah (pidana). Ini
adalah amalan yang dapat digunakan sebagai cara yang terbaik untuk
menyelesaikan suatu permusuhan. Berdasarkan sifatnya yang istimewa itu, akad
sulh dapat menjadi akad yang mengakibatkan pertukaran barang, pembelian atau
pelepasan dan pengguguran hak.28
Sikap toleransi dan memaafkan kesalahan orang lain merupakan di antara
sifat terpuji yang sangat dianjurkan oleh Islam. Bahkan Allah lebih menganjurkan
supaya setiap tindakan jahat itu dibalas dengan kebaikan.
Firman Allah SWT:
��& �� �6�53 �n�5;� �8 وA � م� MY� 5 اA�#� �;5A�� وإن 1��(���ی�
Artinya : “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar,
sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-
Nahl, 16:126)
27 Ibid., h. 312.
28 Yasin Muhammad Yahya, op.cit., h. 20.
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa suatu kejahatan dapat dibalas
dengan tindakan yang serupa. Meskipun demikian, Allah menganjurkan sifat
saling memaafkan dan toleransi dengan menyediakan balasan kepada mereka
yang sabar dan sanggup menghapus perasaan dendam.
Orang-orang yang bertoleransi dan memaafkan kesalahan orang lain akan
memperoleh banyak kelebihan dan termasuk dalam golongan orang-orang yang
akan dimasukkan ke dalam syurga tanpa hisab.
Sabda Rasullullah SAW :
�ا وم �Aء ��ب�2� ��د5# اAo�وا ذا2� B�ر BA����م د �ا �" آاءW� ا�!+�A �Mء�_ ه� مL)�D� :�M ا��بB ��ا � �د�ز� B� ��W&M ا� h��� ا� م�:��: �د�ى م�د "�( ثA��ز� م�ء��ا :�لL)�D !A اB� ��W&M� ا� h��� ا� م�:��: D��"ى ا�Y(�د "�(ث! L)�Dا�ى �د "�(ث. �سB ا��(� �ن ��#�ا: �ل؟ BA ا� h���ى اg ا�(�م)Y�ا��YD :��:�ا� م ��h� �� -�ا اgآا وg آ�م:�! L)�D اB� ��W&M� ا�W&� ه� �Z�� ��29.�ب
Artinya : “Ketika seorang hamba dihisab, datanglah sekelompok kaum yang
dilehernya ada bekas darah dan mereka berselisih di depan pintu
surga. Ditanyakan, ‘Siapa mereka?’ Maka dijawab, ‘Mereka adalah
para syuhada’ yang hidup diberi rezeki, ‘maka diserukan yang
pertama : Barangsiapa yang mengharapkan pahala dari Allah, maka
masuklah syurga. Kemudian berseru yang kedua, barangsiapa yang
mengharapkan pahala dari Allah, maka masuklah syurga. Ditanyakan
: Siapakah orang yang mengharapkan pahala dari Allah? Dijawab :
Yaitu orang-orang yang memaafkan sesamanya. Kemudian berseru
yang ketiga : Barangsiapa yang mengharapkan pahala dari Allah,
maka masuklah syurga. Maka berdirilah orang-orang yang disebut
dan meraka masuk syurga tanpa hisab.”
29 Al-Taqiu Al-‘Abbas bin Ahmah Al-Husanain, Tatimmah al-Raudh al-Nadir Syarh Majmu’
al-Fiqh al-Kabir, (Thaif: Maktabah Al-Muayyad, 1968), cet. Ke-2, Juz. 5, h. 269.
Jika kita teliti lebih jauh, kita akan menemukan banyak kelebihan serta
hikmah dalam Islam bagi mereka yang mengamalkan sifat-sifat terpuji seperti
bertoleransi dan memaafkan. Dalam konteks sulh, hikmah-hikmah tersebut akan
dapat dirasakan oleh semua pihak.
Pihak penuntut yang telah berhasil menolak kepentingan diri sendiri dan
menjawab seruan Allah SWT maka bukan hanya menerima faedah di dunia, tetapi
juga akan diberi ganjaran di akhirat. Keberhasilannya mengendalikan diri
merupakan suatu keberhasilan dalam usaha untuk melawan kehendak nafsu.
Dengan demikian, lahirlah ketakwaan yang kokoh dalam jiwa.
Selain itu, sikap toleransi yang diamalkan akan memberikan kenyamanan
dan ketenangan kepadanya. Sebaliknya, jika sikap ini tidak diamalkan maka
keinginan untuk membalas dendam akan mengganggu pikirannya dan dia tidak
akan merasa puas selama belum melampiaskannya. Selanjutnyanya pihak yang
satu lagi juga akan melakukan tindakan yang sama. Akibatnya permusuhan ini
akan terus berkepanjangan. Keadaan ini akan berlanjut seandainya tidak timbul
dalam pikiran mereka untuk melakukan sedikit pengorbanan. Pengorbanan ini
akan dibalas dengan ganjaran yang besar dari Allah SWT.
Firman Allah SWT:
و��(8 م�] ا��( ات وا�.رض وإB� ا��(8 ا��1�Artinya : “Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan hanya kepada
Allah-lah kembali (seluruh makhluk).” (QS. An-Nuur, 24:42)
Firman Allah SWT:
اء وا�0(�(اء واu�J��� اt�Z� وا�#���� �� ا�(gی� ی�-: ن Q� ا��(�( ا��(�س وا��(8 یc2+ ا�2����
Artinya : “(Yaitu) Orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS.
Ali-Imron, 3:134)
Seharusnya sikap terpuji ini juga akan memberikan kebaikan kepada
pelaku kejahatan yang terlibat. Dia secara tidak langsung akan merasa bersyukur
dan berterima kasih terbebas dari hukuman. Ini akan menarik dirinya supaya tidak
lagi melakukan kejahatan.
Masyarakat juga akan mendapat faedah yang berharga dari sikap toleransi
atau sulh yang diamalkan. Situasi masyarakat akan menjadi harmonis dan stabil.
Pelaksanaan sulh secara langsung akan memudahkan persidangan
terhadap suatu kasus. Sulh juga merupakan salah satu jalan yang efektif untuk
mengatasi kerumitan dalam proses perundangan. Sulh yang dilaksanakan sewaktu
persidangan sedang berlangsung akan mempercepat penyelesaiannya dan
memuaskan hati semua pihak.30
Pelaksanaan sulh sebelum suatu kasus diangkat ke mahkamah akan
meringankan beban pihak-pihak yang terlibat. Ini karena proses perundangan
adalah sesuatu yang menyulitkan. Selain menghabiskan waktu yang lama, mereka
juga terpaksa menanggung segala biaya serta menumpahkan seluruh perhatian
30 Yasin Muhammad Yahya, op.cit., h. 22.
terhadap persidangan tersebut. Namun, hasilnya tidak dapat dijamin akan
memuaskan hati semua pihak yang terlibat.31
Sesungguhnya pelaksanaan sulh dapat membawa kepada terwujudnya
konsep keadilan sejati. Ini karena pihak-pihak yang bersengketa lebih mengetahui
tentang hakikat sebenarnya persengketaan mereka. Mereka juga lebih mengetahui
sebesar mana hak mereka dalam perkara tersebut. Oleh karena itu, sulh yang
mereka lakukan dengan sikap toleransi dan saling meridhai semestinya akan dapat
mencapai tahap keadilan sejati yang kadangkala tidak dapat diperoleh melalui
persidangan dan hukuman mahkamah.32
Dan juga dalam suatu persidangan, kadangkala lebih bijak berhujah dan
berhasil memperoleh sesuatu yang bukan haknya. Rasulullah SAW dalam sebuah
hadisnya menerangkan tentang perkara ini.
Sabda Rasulullah SAW:
2�� ان J ین اQ� �#)M� #0J�(� ان J�6 I;1"(ا و�!� �"� ا"(ا�2)L;8م �� #O ��A0B� 8� �2 س� اهP8�� م �A 0�%� 8 �!�vم �� FU�ء� ی� 8��& ا&gش� م �v� �)"ا �ASP� 8A S#Dم � 33.�را��(
Artinya : “Sesungguhnya saya adalah manusia biasa dan kalian mengadukan
perkara kepadaku. Barangkali sebagian diantara kalian ada yang lebih
pandai mengemukakan hujah daripada yang lain, maka aku
memberikan keputusan yang menguntungkannya berdasarkan yang aku
dengar darinya. Barangsiapa yang aku berikan sepotong dari hak
saudaranya, itu berarti aku memberikannya sepotong api neraka.”
31 Ibid., h. 22.
32 Ibid., h. 23.
33 Izzuddin Baliq, Minhaj al-Salihin, (Beirut : Dar al-Fikr, 1978), Cet. ke-4, hal. 566.
Maka berdasarkan hikmah-hikmah yang telah dikemukakan, jelaslah bagi
kita mengapa Islam sangat menganjurkan amalan ini.
Sebagaimana yang kita ketahui, keadilan merupakan salah satu unsur yang
sangat dititikberatkan oleh syariat Islam. Dalam setiap perkara kita dapat
menemukan bahwa Islam meletakkan konsep keadilan di tempat yang paling
tinggi. Hal ini lebih jelas lagi jika dilihat dalam aspek perundangan.
Pelaksanaan sulh mempunyai kesan yang sangat terlihat dalam aspek
kehidupan sebuah masyarakat. Apabila pihak-pihak yang bersengketa saling
bertoleransi dan meridhai, mereka akan dapat menghindarkan adanya perasaan
dendam yang dapat menggoncang sebuah masyarakat. Bahkan, permusuhan
mereka akan dapat selesai dan tidak akan berkepanjangan. Hasilnya, masyarakat
akan hidup dengan penuh harmoni dan aman nan damai.
Keharmonisan yang dirasakan akan melahirkan individu-individu
masyarakat yang penyayang, tolong-menolong serta hormat-menghormati. Dan
dampak dari ketiadaan huru-hara dan kekacauan, masyarakat akan dapat
meluangkan lebih banyak waktu untuk mengerjakan segala sesuatu yang dapat
memberikan lebih banyak faedah.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH34
A. Pengertian Hadhanah dan Dasar hukumnya
Hadhanah diambil dari kata ا���� yang berarti sesuatu yang terletak
antara ketiak dan pusat.35
, sesuatu yang boleh dipeluk.36
Para fuqaha’ telah berselisih pendapat dalam mendefinisikan hadhanah.
Mereka antara lain :
Mazhab Syafi’i mengatakan hadhanah ialah untuk menjaga mereka yang
tidak mampu untuk mengurus diri mereka sendiri. Mazhab Hambali mengatakan
hadhanah sebagai menjaga anak-anak kecil atau orang gila atau cacat atau orang
tidak sadar.37
Mazhab Hanafi mengatakan hadhanah untuk mendidik anak-anak yang
sepatutnya mendapat hak penjagaan dan Mazhab Maliki berpendapat hadhanah
34 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. ke-1, h. 327.
35 Fuad Afram al-Bustani, Munjib al-Tullab, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), h. 129.
36 Ibn Manzur Muhammad ibn Mukarram, Lisan al-`Arab, (Beirut: Dar Sadir,1968), juz.13, h.
122. 37 Muhammad ibn Ahmad al-Shirbini, al-Iqna fi hall alfaz Abi Shuja`, (Cairo: Mustafa al-
Babi al-Halabi, 1940), juz 2, h. 193.
sebagai penjagaan anak-anak dan menunaikan hak-hak kemaslahatan mereka dan
melayani urusan mereka.38
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang
hampir sesuai artinya dalam bahasa Indonesia adalah pengasuhan atau
pemeliharaan anak. Hadhanah juga menjadi hak bagi anak-anak dan ahli-ahlinya
saja yang mempunyai syarat-syarat kelayakan yaitu terdiri daripada keluarga
anak-anak yang ada pertalian kerabat dan kasih sayang yang khusus dengan anak-
anak supaya pengasuhan terhadap anak-anak ini dapat dilaksanakan dengan
sempurna.
Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud
yang sama, yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau
kafalah dalam arti sederhana ialah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti
yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya
putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara
suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan
dari ayah dan/atau ibunya.39
Apabila dua orang suami-istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai
anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka istri-
38 Muhammad ibn Ahmad ibn `Arafah al-Dasuqi, Hashiyat al-Dasuqi `ala al-sharh al-kabir,
(Cairo: Dar Ihya' al-Kutub al-`Arabiyah, 1980), juz 2, h. 526 39 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 327.
lah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti
akan kemaslahatan dirinya.40
Dalam waktu itu si anak hendaklah tinggal bersama ibunya selama ibunya
belum menikah dengan orang lain. Meskipun si anak ditinggalkan bersama
ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib dipikul oleh bapaknya.41
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah
wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar
hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam
firman Allah pada surat al-Baqarah (2) ayat 233:
وB�� ا� � د 8� رزA��( وآ� 6��(
Artinya: “Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak
dan istrinya.” (QS. Al-Baqarah, 2:233)
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama
ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut
setelah terjadinya perceraian.
Rasulullah SAW bersabda:
%��A �و ان( ام�اة� �� ی� رس ل ا ان( ا�B� هgا : �� W5� ا� BیW8� و��ء وث B�S� %"آ� h���ى 8� � اء وان( اL�8 س:�ء وBF8� م�f�واراد ان ی B�:)�a . 8��� �:�ل ��� رس ل ا B)�3 ا
40 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam; Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
1996), cet.ke-29, h. 426. 41 Ibid., h. 427.
رواh ا�W وا� داود و8223 . (ا"% اU�+ �8 م��� B2J�6: وس�(�42)ا��2آ�
Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Amr bahwa sesungguhnya seorang perempuan
berkata: ‘Wahai Rasulullah, ini adalah anakku, perutku yang
mengandungnya, susuku yang memberi minumnya dan pangkuankulah
yang memangkunya. Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan
dia hendak merampasnya dariku. Sabda Rasulullah SAW,
‘Sesungguhnya engkaulah yang lebih berhak selama engkau belum
menikah dengan orang lain.”
Menurut ijma’ juga menceritakan bahwa sayyidina Umar bin Khattab
telah mencerikan istrinya yang bernama Jamilah (seorang wanita anshor) dan
mereka meninggalkan seorang anak bernama Ashim. Mereka berebut tentang
siapakah yang berhak untuk menjaga anak itu. Abu bakar memutuskan bahwa
ibunya lebih berhak.43
B. Orang yang berhak Hadhanah dan Syarat serta Rukunnya
Dalam membicarakan orang yang berhak menjaga penjaga kanak-kanak,
tidak dapat dinafikan penjaga yang paling baik ialah ibu bapa kanak-kanak itu
sendiri yang masih dalam masa perkawinan. Tetapi jika berlaku penceraian
siapakah yang lebih baik antara keduanya.
Para ulama’ sepakat mengatakan bahwa wanita lebih berhak sebagai
pengasuh anak-anak dan lebih baik lagi ialah ibunya sendiri. Hak ini diutamakan
42 Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subul as-Salam Syarh al-Kahlani, (Bandung: Dahlan,
tth), juz III, h. 227. 43 Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-shakhsiyyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-`Arabi, 1957), h.
367.
kepada ibu karena ibu lebih mampu untuk mengurus anak-anak kecil dan ibu
biasanya merupakan seorang lemah-lembut, penyayang dan tekun dalam
mengurus hal anak-anak dibanding dengan seorang ayah.44
Ini dapat dilihat dalam sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa telah
datang seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa dia telah
diceraikan dan mantan suaminya ingin mengambil anaknya. Kemudian Nabi
SAW bersabda yang artinya: “Engkaulah yang lebih berhak mengasuh anakmu
selama mana engkau belum berkahwin dengan orang lain”45
Dalam menetapkan susunan atau urutan orang-orang yang berhak menjadi
pengasuh anak-anak hendaklah dilihat apabila sekiranya ibu itu hilang kelayakan
untuk menjadi pengasuh, seperti menikah lagi, meninggal dunia atau semisalnya,
maka hak ini akan berpindah kepada penjaga lain dari kaum wanita juga.
Syara’ telah menetapkannya sebagaimana berikut :
1. nenek dari ibu ke atas
2. nenek dari ayah ke atas
3. saudara perempuan sekandung
4. saudara perempuan seibu
5. saudara perempuan seayah
6. anak saudara perempuan sekandung
7. anak perempuan dari saudara perempuan seibu
8. ibu saudara perempuan sekandung
44 al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa-adillatuhu, h. 720. 45 Al-Kahlani, Subul as-Salam, h. 227.
9. ibu saudara perempuan sebapa
10. anak dari saudara lelaki (dengan mendahulukan sekandung, seibu, kemudian
seayah)
11. bibi dari ayah (dengan mendahulukan sekandung, seibu, kemudian seayah)
12. ibu saudara seibu sebelah ibu.
13. ibu saudara sebelah ibu yang sebapak
14. emak saudara sebelah bapak yang sebapak
15. ibu saudara sebelah bapa yang seibu.46
Tetapi sekiranya tidak terdapat penjaga dari kaum wanita, penjagaan atau
Hadhanah ini akan berpindah kepada kaum lelaki yang menjadi ashabah sesuai
tingkat keutamaan sebagai berikut :
1. ayah
2. kakek sebelah ayah ke atas
3. saudara laki-laki sekandung
4. saudara laki-laki seayah
5. anak saudara laki-laki sekandung
6. anak saudara laki-laki seayah
7. ayah saudara dari ayah sekandung
8. kakek saudara sekandung
9. kakek saudara seayah
10. saudara sepupu laki-laki sekandung
46 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1970), juz 3, h. 304.
11. saudara sepupu laki-laki dari ayah yang seayah47
Dan sekiranya semua pihak yang tersebut berkumpul baik dari pihak laki-
laki atau wanita, maka susunannya seperti berikut :
1. ibu
2. nenek dari ibu
3. ayah
4. nenek dari ayah
5. saudara perempuan
6. anak saudara perempuan
7. saudara laki-laki
8. anak saudara laki-laki
9. bibi
10. paman48
Dari susunan di atas dapatlah disimpulkan bahwa syara’ telah meletakkan
kedudukan kaum wanita itu lebih utama dari kaum lelaki dalam masalah
pengasuhan atau hadhanah terhadap anak-anak ini.
Pengasuhan anak itu berlaku dua unsur yang menjadi rukun dalam
hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang
diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk
wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan
47 Ibid, h. 304 48 Al-Sharbini, al-Iqna’, h. 194.
ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan
itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan/atau
ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.49
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh diisyaratkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan
tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan
yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu
berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan
mampu berbuat untuk orang lain.
3. Beragama Islam. Tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan
mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan
Islam dikhawatirkan anak yang akan diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil. Dalam arti menjalankan agama secara baik. Kebalikan dari adil dalam
hal ini disebut fasiq, yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang
komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan
memelihara anak yang masih kecil.50
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
49 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 328.
50 Ibid., h. 329.
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak
dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang
telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah
pengasuhan siapa pun.51
Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka
yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah
ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan
dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada
dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap
berada di bwah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang
disepakati oleh ulama.52
Alasan yang dikemukakan di samping perasaan kasih sayang sebagaimana
di atas juga dari sepotong hadis Nabi dari Abdullah bin Mas’ud:
Artinya: “Sesungguhnya seorang perempuan berkata Nabi: Ya Rasulullah,
sesungguhnya anak saya ini perut saya yang mengandungnya, puting susu
saya yang mengairinya dan haribaan saya yang memeluknya. Ayahnya telah
menceraikan saya dan ingin memisahkan anak saya itu dari saya. Nabi SAW
bersabda: Engkau lebih berhak untuk mengurusnya selama engkau belum
kawin.”53
51 Ibid., h. 330.
52 Ibid., h. 329.
53 Muhammad ibn Ismail al-Kahlaniy, Subul as-Salam: Syarh Bulugh al-Maram, (Bandung:
Dahlan, tth), juz.3, h. 227.
Dari hadis di atas jelaslah bahwa keutamaan hak ibu itu ditentukan oleh
dua syarat, yaitu: dia belum kawin dan dia memenuhi syarat untuk melaksanakan
tugas hadhanah. Bila kedua atau salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi,
umpamanya ia telah kawin atau tidak memenuhi persyaratan maka ibu tidak lebih
utama dari ayah. Bila syarat itu tidak terpenuhi maka hak pengsuahan pindah
kepada urutan yang paling dekat yaitu ayah.
Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia
tujuh tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz, dan dia tidak idiot,
antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, maka si anak
diberi hak pilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan
selanjutnya. Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad dan Imam
Syafi’i.54
Golongan ini mendasarkan pendapatnya kepada sepotong hadis Nabi dari
Abu Hurairah menurut riwayat Ahmad dan empat perawi hadis:
%��A 8�� ان( ام�اة ی� رس ل ا ان( : �� ا�B ه�ی�ة ر�Q ا#-" WAو B���� cهgان ی Wی�ی B�8���زو B�ا �n� �م B"�:وس B� .
ی�x��م هgا ا� ك : �L�ء زو��� �:�ل ا��(B)�3 +Q5 ا 8��� وس�(� %nش ��Fای W�� gI� [+ام hg8, وه� %:�S"�� 8Fام W�� g&��. ) hروا
55)8223 ا�;�مgىا�W واlر�#D و
Artinya: “Seorang perempuan berkata kepada Nabi SAW: Ya Rasulullah,
sesungguhnya suami saya ingin membawa anak saya, sedangkan dia
banyak membantu saya dan menimbakan air dari sumur Abu Unbah,
54 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.330.
55 Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, h. 227.
kemudian suaminya datang. Nabi berkata: Hai anak, ini ayahmu dan ini
ibumu; ambillah salah satu tangan di antara keduanya yang kamu
senangi. Anak itu mengambil tangan ibunya dan berlalu bersama
ibunya itu.”
Hak pilih diberikan kepada anak bila terpenuhi dua syarat56
, yaitu:
Pertama, kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh
sebagaimana disebutkan di atas. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang lain
tidak, maka si anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.
Kedua, si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan
idiot, meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang berhak
mengasuh; dan tidak ada hak pilih untuk si anak.
Sebagian ulama di antaranya Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat
tidak diberikan hak pilih kepada si anak. Namun di antara keduanya berbeda
pendapat dalam penyelesaiannya. Abu Hanifah berpendapat bahwa bila si anak
telah dapat hidup mandiri, baik dalam berpakaian, makan, dan membersihkan
badannya, maka ayah lebih berhak atasnya. Imam Malik berpendapat bahwa ibu
yang lebih berhak sampai selesai masa asuhannya.57
Bila yang telah mencapai masa tamyiz itu adalah anak perempuan, ulama
beda pendapat dalam menetapkan yang berhak melakukan hadhanah. Menurut
pendapat Imam Ahmad yang diikuti oleh pengikut dan ulama lainnya, anak
perempuan itu diberikan kepada ayah, karena dia yang berhak melakukan
hadhanah. Alasan yang dikemukakan ulama ini adalah bahwa yang menjadi
56 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.331.
57 Abu Muhammad Abdillah Ibn Ahmad Ibn Mahmud Ibnu Qudamah, al-Mughniy, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth), juz-7, h. 379
tujuan dari hadhanah itu di samping pemeliharaan adalah rasa diri. Anak
perempuan yang telah mencapai usia tujuh tahun mendapatkan rasa dirinya bila
dia berada di bawah ayahnya. Dia memerlukan pemeliharaan dan ayah lebih baik
dalam hal ini dibandingkan dengan ibu.58
Imam Syafi’e berpendapat bahwa anak perempuan itu diberi pilihan untuk
hidup bersama ayahnya atau ibunya, sebagaimana yang berlaku pada anak laki-
laki. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ibu lebih berhak untuk melaksanakan
hadhanah sampai dia kawin atau haid. Menurut Imam Malik, ibu lebih berhak
sampai dia kawin atau bergaul dengan suaminya, karena anak dalam usia tersebut
tidak mampu untuk memilih.59
Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan perjalanan yang akan
kembali pada waktunya sedangkan yang satu lagi menetap di tempat, maka yang
menetap di tempat lebih berhak menjalankan hadhanah. Alasannya ialah bahwa
perjalanan itu mengandung resiko dan kesulitan bagi si anak. Oleh karena itu
menetap lebih baik kerena tidak ada resiko tersebut bagi si anak.
Dalam hal pindah tempat juga ulama beda pendapat. Menurut ulama ahlu
ra’yi (Hanafiyah) bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah, maka ibu lebih
berhak atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ke tempat dilaksanakannya
perkawinan, ibu yang berhak tetapi bila pindah ke tempat lain, ayahlah yang
58 Ibid., h. 341.
59 Ibid., h. 341.
berhak. Ulama lainnya termasuk Imam Malik dan Syafi’I yang berhak atas
hadhanah dalam keadaan pindah tempat adalah ayah.60
Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka
semua memenuhi syarat yang ditentukan untuk melaksanakan hadhanah maka
urutan yang berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama61
adalah:
1. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas;
2. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya ke atas;
3. Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya ke atas;
4. Ibunya kakek melalui ayah, dan seterusnya ke atas;
5. Saudara-saudara perempuan dari ibu;
6. Saudara-saudara perempuan dari ayah.
Lain dari urutan yang disebutkan di atas ulama tidak sepakat dalam
keutamaan haknya. Bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan
haknya, maka ulama berbeda pendapat kepada siapa hak hadhanah itu beralih.
Sebagian ulama berpendapat hak hadhanah pindah kepada ayah. Pendapat kedua
yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka
hak tersebut pindah kepada ibunya ibu, karena kedudukan ayah dalam hal ini
lebih jauh urutannya.62
60 Ibid., h. 341. 61 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.332.
62 Ibid., h. 333.
Bila ibu yang melaksanakan hadhanah itu kawin, suaminya berhak
melarangnya untuk menyusukan anaknya itu. Kecuali dalam keadaan terpaksa
seperti tidak ditemukan perempuan lain yang dapat diterima oleh si anak.
Disebabkan pentingnya penjagaan peringkat awal ini, maka syara’ telah
menentukan kepada seorang penjaga hendaklah63
:
1. Sempurna akal, seorang yang gila atau tidak sadar secara permanen atau
sementara adalah hilang hak penjagaannya.
2. Merdeka, seorang hamba tidak mempunyai hak hadhanah sekalipun telah
diizinkan oleh tuannya.
3. Beragama Islam, seorang kafir tidak berhak menjadi penjaga anak muslim,
karena pendidikan yang diberikan tidak sesuai dengan aqidah anak-anak itu.
4. Amanah dan dapat dipercaya, seorang penjaga itu harus bias menjaga diri dan
kehormatannya dari melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’.
5. Penjaga itu harus bermukim di tempat anak-anak itu tinggal. Sekiranya salah
seorang dari mereka berpindah ke tempat lain, maka orang bermukim dengan
anak-anak itu adalah lebih berhak terhadap hadhanah anak-anak itu.
6. Tidak menikah lagi bagi ibu yang bercerai. Sekiranya perempuan itu menikah
lagi, maka hak hadhanah akan gugur walaupun mantan suaminya
mengizinkan dia memelihara anak-anak itu.
63 Ibid., h. 334.
7. Penjaga atau hadhinah menjadi ibu susu di mana anak-anak itu menyusu. Jika
Penjaga itu enggan atau tidak mempunyai susu badan, maka hadhanahnya itu
tidak sah.
8. Penjaga itu juga tidak mempunyai penyakit yang permanen seperti batuk
kering, lumpuh dan sebagainya.
9. Penjaga itu bukan seorang yang buta.
10. Penjaga itu bukan seorang yang lalai.
11. Penjaga itu adalah seorang dewasa.64
C. Masa Hadhanah
Masa penjagaan anak-anak tidak ada ketentuan yang jelas tentang
masanya, karena bergantung kepada keadaan dan sikap anak-anak itu sendiri.
Sekiranya anak-anak itu telah mumayyiz dan dapat mengurus dirinya sendiri,
berarti hadhanah telah berakhir masanya.
Oleh karena itu masa hadhanah dapat dibagi menjadi dua peringkat :
1. Peringkat sebelum mumayyiz.
2. Peringkat mumayyiz.
Peringkat sebelum mumayyiz adalah masa yang amat memerlukan
penjagaan dan kasih sayang yang hanya dapat dilakukan oleh kaum wanita saja
untuk membentuk fitrah anak-anak itu, keadaan ini berakhir apabila anak-anak itu
dapat dan mampu mengurusi dirinya sendiri. Bagi anak-anak lelaki biasanya
64 Ibid, hal. 196
umurnya 7 tahun atau 9 tahun dan bagi anak-anak perempuan pula umurnya 9
tahun atau 11 tahun.
Peringkat mumayyiz adalah masa yang memerlukan asuhan dan didikan
dari seorang ayah atau walinya. Di sini berlaku perpindahan Hadhanah daripada
ibu kepada ayah.
Dalam Mazhab Hanafi mengatakan sekiranya ibu itu enggan menyerahkan
anak itu, maka ayahnya dapat membuat tuntutan anak-anak itu melalui
Mahkamah.65
Mazhab Syafie berpendapat bahwa anak-anak itu diberi pilihan baik dia
memilih ibu maupun ayahnya. Sekiranya dia memilih ibunya, ayahnya juga dapat
mengunjunginya supaya hubungan tali silaturrahmi di antara keduanya tidak
terputus.66
Mazhab Maliki mengatakan bahwa anak-anak yang berada dalam jagaan
penjaga sehingga anak-anak itu baligh. Dan untuk anak-anak perempuan sampai
mereka menikah. As-Sabuni telah membuat kesimpulan bahwa pendapat Mazhab
Maliki lebih rajih atau lebih kuat di mana kedua peringkat penjagaan yaitu ketika
anak-anak itu memerlukan kasih sayang diserahkan kepada ibunya dan ketika
65 `Abd al-Rahman al-Sabuni, Nizam al-usrah wa-hall mushkilatiha fi daw' al-Islam, (Cairo:
Dar al-Fikr, 1972), hal. 181-182.
66 As-Syaikh Muhamad Syarbini Al Khatib, op.cit, hal ?
baligh atau mumayyiz yang memerlukan penjagaan yang lebih tegas diserahkan
kepada ayahnya.67
D. Hadhanah dalam Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah
Persekutuan 1984
Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984 telah
membuat satu bab khusus tentang hadhanah dengan memberikan wewenang
kepada Mahkamah Syariah dan Hakim untuk menangani masalah-masalah
tuntutan hadhanah di Maahkamah dan melaksanakan putusan mahkamah yang
telah ditetapkan mengenai masalah ini.
Akta ini terdiri dari 10 bab, dan bab hadhanah atau pemeliharaan anak
merupakan bab VII yang terdiri dari seksyen 81-105. (Lampiran)
Dalam seksyen 81 (1) menerangkan bahwa ibu lebih berhak menjadi
pengasuh bagi anak-anaknya.68
Syara’ telah menetapkan bahwa orang yang berhak menjadi hadhinah
(penjaga) setelah ibu adalah sesuai dengan susunan keluarga sebagaimana
disebutkan dalam seksyen 81 (2) yaitu:
1. Nenek dari ibu ke atas.
2. ayah.
3. nenek dari ayah ke atas
67 Abdul Al-Sabuni, Op. Cit. Hal. 158. 68 Lembaga Penyelidikan Undang-undang, Akta Undang-undang Keluarga Islam; Wilayah-
wilayah Persekutuan 1984, (Kuala Lumpur: International Law Book Services, 1998), h. 51.
4. saudara perempuan sekandung.
5. saudara perempuan seibu.
6. saudara perempuan seayah.
7. anak perempuan dari saudara perempuan sekandung.
8. anak perempuan dari saudara perempuan seibu.
9. anak perempuan dari saudara seayah.
10. saudara perempuan dari ibu.
11. saudara perempuan dari ayah.
12. ashabah laki-laki.
Dalam seksyen 81 (3) diterangkan bahwa seorang laki-laki yang berhak
menjadi pengasuh mempunyai hubungan muhrim dengan anak perempuan.
Dalam seksyen 81 (4) diterangkan bahwa orang yang memiliki lebih
banyak kelayakan lebih diutamakan menjadi hadhinah ketika semua yang berhak
menjadi hadhanah berkumpul.
Seksyen 82 juga menerangkan syarat-syarat untuk perempuan yang
menjadi hadhinah seperti yang telah ditetapkan oleh syara’.69
Seksyen 83 (a)-(e) menyatakan perkara-perkara yang menyebabkan
gugurnya hak hadhanah.
Seksyen 84 (1) menerangkan bahwa ulama fiqh telah menetapkan batasan
umur untuk masa hadhanah dan mahkamah dapat memberi pertimbangan batasan
umur ini tergantung permohonan yang diajukan.
69 Ibid., h. 52.
Seksyen 84 (2) menerangkan bahwa ayah diberi wewenang untuk
mengambil hadhanah apabila habis masanya, dan anak-anak diberi kesempatan
untuk memilih setelah ia mumayyiz.
Seksyen 85 menerangkan hadhanah terhadap anak-anak yang tidak
sahtaraf.
Seksyen 86 (1) menerangkan bahwa mahkamah mempunyai kuasa untuk
melantik penjaga anak-anak dalam keadaan luar biasa tanpa mempertimbangkan
seksyen 81 yang menetapkan ibu lebih berhak dan keluarga ketika tidak ada ibu
dan ketika hilang kelayakan.
Seksyen 86 (2) menerangkan bahwa mahkamah mempunyai kuasa untuk
membuat pertimbangan berdasarkan kemaslahatan anak-anak dan memperhatikan
kehendak ayah-ibunya dan anak-anak dalam penetapan pengasuh setelah anak-
anak itu mumayyiz.70
Seksyen 86 (3) menerangkan bahwa Mahkamah hendaklah
memperingatkan bahwa penjagaan secara bergantian tidak boleh mengganggu
kehidupan anak-anak tersebut.
Seksyen 86 (4) menerangkan bahwa mahkamah mempunyai kuasa untuk
melantik pengasuh lebih dari satu untuk beberapa anak dari ayah-ibu yang sama
berdasarkan kemaslahatan masing-masing anak.
Seksyen 86 (5) menerangkan bahwa mahkamah mempunyai wewenang
untuk membuat perintah kepada instansi tertentu untuk penjagaan anak.
70 Ibid., h. 53.
Seksyen 87 (1) dan 87 (2) (a) – (b) mahkamah diberi kuasa meletakkan
tanggung jawab kepada penjaga bersama-sama dengan perintah hadhinah serta
mengenakan beberapa syarat terhadap penjaga bagi menguruskan pelajaran dan
pendidikan kanak-kanak, kepentingan tempat tinggal, pendidikan agama,
pengawalan dan masalah lawatan atau berjumpa kanak-kanak dengan ayah-
ibunya atau keluarganya atau sebaliknya.71
Seksyen 87 (2) (c) dan (d) Mahkamah memberi izin kepada anak-anak
untuk mengunjungi pihak yang tidak tidak mempunyai hak penjagaan dan pihak
yang tidak mempunyai hak penjagaan diberi izin untuk bertemu anak-anak itu.
Seksyen 88 (1) mahkamah diberi kuasa memutuskan sama ada layak atau
tidak diberi hadhanah kepada ayah-ibu atau orang lain yang berhak sekiranya
permohonan dibuat kepada mahkamah.
Seksyen 88 (2) menerangkan bahwa ayah ialah pengasuh utama bagi
anak-anak dan boleh memberi apa-apa perkiraan yang perlu dan baik kepada
orang lain berhubung dengan penjagaan kanak-kanak demi kepentingan mereka.
Seksyen 88 (3) ayah boleh membuat wasiat untuk melantik penjaga harta
anaknya dan mahkmah diberi kuasa untuk melantik orang lain sebagai penjaga
harta kanak-kanak.72
Seksyen 88 (4) menetapkan umur anak-anak untuk tujuan wasiat dalam
seksyen-seksyen di atas.
71 Ibid., h. 54. 72 Ibid., h. 55.
Dari seksyen 89 hingga akhir Bab Hadhanah dalam Akta ini penulis tidak
membuat ulasan apapun karena tidak termasuk dalam pembahasan. Walau
bagaimanapun juga penulis telah menyebut Seksyen-seksyen karena berkaitan
juga dengan penjagaan anak-anak.73
Setelah diteliti Seksyen-seksyen Bab Hadhanah dalam Akta Undang-
undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984 ini dapat ditemui pada
keseluruhan kandungannya adalah sesuai dengan hukum syara’ seperti dijelaskan
oleh ulama-ulama fiqh, meskipun demikian penulis berpendapat masih terdapat
kekurangan-kekurangan yang perlu ditambah dalam bab ini untuk melengkapi
seluruh aspek hadhanah sebagaimana yang terdapat dalam perundangan Islam.
Perkara-perkara yang perlu ditambah seperti :
(a) Dalam Seksyen 82 telah disebutkan bahwa syarat-syarat perempuan yang
berhak menjadi penjaga (hadhinah) hendaklah mempunyai lima syarat saja,
tetapi menurut kitab-kitab fiqh terdapat sebelas syarat yang perlu disebutkan
dalam Seksyen ini.
(b) Dalam Akta ini tidak terdapat Seksyen yang menyebut mengenai hadhanah
anak-anak Wati Syubhat dan anak-anak Li’an, sedangkan hadhanah anak-anak
zina dijelaskan dalam Seksyen 85 dan diberi taraf kedudukannya sebagai anak
tidak sahtaraf.
Penulis berpendapat bahwa Seksyen anak-anak Wati Syubhat dan Li’an
hendaklah diadakan supaya anak-anak ini dianggap sama dengan anak zina,
73 Ibid., h. 56-63.
disebabkan telah terdapat hukum-hukum dalam kitab fiqh dan penting untuk
dijadikan undang-undang yang memutuskan permasalahan anak-anak jenis
ini.
(c) Dari pembahasan, pendapat penulis mengenai perkara-perkara di atas, di sini
sekali lagi mengusulkan supaya diadakan beberapa Seksyen yang
bersangkutan Bab Hadhanah dalam Akta Undang-undang Keluarga Islam
Wilayah Persekutuan 1984 seperti dikemukakan di atas demi permasalahan
anak-anak dan penjaganya juga perannya dapat diselesaikan dengan baik.
Begitu juga dengan merevisi pasal-pasal dari Undang-undang yang ada
dapat mengembalikan peran serta fungsi Mahkamah Syariah Wilayah
Persekutuan dalam mengendalikan urusan dan administrasi keluarga Islam lebih
berkesan dari sekarang untuk menuju kepada cita-cita meningkatkan taraf
Mahkamah Syariah di Malaysia.
BAB IV
PERAN SULH TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA HADHANAH
DI MAHKAMAH SYARIAH WILAYAH PERSEKUTUAN KUALA LUMPUR
MALAYSIA
E. Gambaran Umum Tentang Sulh di Mahkamah Syariah
Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur terletak di
Gedung Sulaiman, Jl. Damansara, Kuala Lumpur. Gedung ini telah diumumkan
sebagai Mahkamah Syariah pada 1 September 1990 melalui pengumuman
kerajaan P.U.(B) dan P.U.(B) 702. 74
Sebelum ditempatkan di Gedung Sulaiman ini Mahkamah Syariah
Wilayah Persekutuan untuk pertama kalinya ditempatkan di Dewan Tuanku
Abdul Rahman, Jalan Ampang, Kuala Lumpur.75
Mahkamah ini kemudian berpindah lagi ke Gedung Jabatan Kerja Raya
Malaysia (JKR) di Jalan Tun Abdul Razak dan terakhir dipindahkan lagi ke
Gedung Baitul Mal, Jalan Ipoh, Kuala Lumpur.76
Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur telah berhasil
menempatkan diri setingkat dengan agensi kerajaan yang lain dari aspek
74 “Latar Belakang/Profil Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan”. Situs diakses pada 20
Februari 2008 dari http://www.mswp.gov.my
75 Ibid
76 Ibid
profesionalitas pelayanan dan ketertiban sehingga memperoleh penghargaan MS
ISO 9002 pada pertengahan tahun 2003.77
Penyelesaian melalui konsep sulh (perdamaian) telah diatur di Wilayah
Persekutuan dalam Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-wilayah
Persekutuan) 1998. Dalam Seksyen 99 akta ini menyebutkan bahwa:
Sulh – Pihak-pihak dalam apa-apa prosiding boleh pada mana-mana peringkat
prosiding itu, mengadakan sulh untuk menyelesaikan pertikaian mereka
mengikut apa-apa kaedah yang ditetapkan atau, jika tiada kaedah sedemikian
mengikut Hukum Syarak.78
Walaupun ketentuan mengenai sulh hanya wujud secara khusus pada
tahun 1998 apabila berkuatkuasanya Akta tersebut, namun ini tidak bermakna
sebelum itu prinsip ini tidak diamalkan. Pada penelitian penulis, prinsip ini telah
lama diamalkan dalam bentuk di mana pihak-pihak yang bersengketa yang
bersetuju untuk berdamai di atas sebahagian atau kesemua tuntutan (gugatan),
mahkamah akan mengeluarkan satu perintah berbentuk hitam putih dengan
mencatitkan “penyelesaian dengan persetujuan bersama”. Oleh itu penulis
berpendapat penyelesaian di atas sudah dikira sebagai sulh kerana secara
umumnya, ia telah menepati konsep sulh dalam Islam.79
77 Ibid
78 Undang-undang Malaysia, Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-wilayah
Persekutuan) 1998 [Akta 585], undang-undang diakses pada 22 Februari 2008 dari
http://www.esyariah.gov.my
79 Sheikh Ghazali Hj. Abdul Rahman.“Sulh / Mediasi Dalam Pentadbiran Mahkamah Syariah
Cabaran Masa Depan”. Seminar Kebangsaan Penyelesaian Pertikaian Alternatif, 4-5 Februari 2002.
Sebagai suatu langkah untuk melaksanakan sulh bagi mempercepat
penyelesaian kasus-kasus di Mahkamah serta menyelaraskan ketentuan tersebut,
maka Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia dengan kerjasama Mahkamah
Syariah Wilayah Persekutuan telah membentuk Jawatankuasa Kaedah-kaedah
Tatacara Mal (Sulh) (Wilayah-wilayah Persekutuan) 2004 [P.U. (A) 18 / 2004].
Jawatankuasa ini dipengerusikan Ketua Hakim Syarie Wilayah Persekutuan
dimana keanggotaannya adalah berdasarkan Seksyen 246 (1), (2) dan (3) Akta
Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-wilayah Persekutuan) 1998.80
Kaedah-kaedah ini dibuat berdasarkan kuasa-kuasa yang diberikan oleh Seksyen
99 Akta ini.81
Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia dengan kerjasama Mahkamah
Syariah Wilayah Persekutuan sebagai badan perintis pelaksanaan konsep sulh ini
secara sistematik telah bergerak ke arah pelaksanaan tersebut termasuklah
membentuk Jawatankuasa Kaedah-kaedah yang dipengerusikan oleh Ketua
Hakim Syarie Wilayah Persekutuan dimana keanggotaannya adalah berdasarkan
seksyen 246 (1), (2), (3) Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-wilayah
80 Mohd Haris bin Kasim, Penolong Pengarah Pusat Sumber Jabatan Kehakiman Syariah
Malaysia, Wawancara Pribadi, Putrajaya, 5 Januari 2007
81 Undang-undang Malaysia, Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-wilayah
Persekutuan) 1998 [Akta 585], undang-undang diakses pada 22 Februari dari
http://www.esyariah.gov.my
Persekutuan) dan rujukan kepada Draf Kaedah-kaedah Tatacara Mal (Sulh)
Wilayah-wilayah Persekutuan 1998.82
Pelaksanaan di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan berhubung
dengan Sulh ialah secara Penyelesaian Damai. Dengan kata lain konsep Sulh
digunapakai secara umum dimana semua kes-kes selepas didaftarkan akan
diagihkan kepada Pengerusi Majlis Sulh / Pendaftar yang dilantik oleh Ketua
Hakim Syarie mengikut Kaedah-kaedah Prosedur Mal (Sulh) untuk mengadakan
sesi Sulh.83
Kes-kes yang berjaya diselesaikan secara Sulh ini ialah kes penyelesaian
secara damai tanpa melibatkan perbicaraan dan Pengerusi Majlis Sulh / Pendaftar
akan membawa persetujuan penyelesaian kes tersebut serta syarat-syarat yang
dipersetujui kepada Hakim untuk direkodkan dan Perintah Persetujuan Bersama
dikeluarkan.
F. Tatacara Pelaksanaan Sulh di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan
Kuala Lumpur
Pelaksanaan proses sulh bermula apabila Mahkamah menerima setiap
permohonan (Lampiran contoh formulir register perkara) di bawah bidangkuasa
82 Mohd Haris bin Kasim, Penolong Pengarah Pusat Sumber Jabatan Kehakiman Syariah
Malaysia, Wawancara Pribadi, Putrajaya, 5 Januari 2007
83 Sheikh Ghazali Hj. Abdul Rahman.“Sulh / Mediasi Dalam Pentadbiran Mahkamah Syariah
Cabaran Masa Depan”. Seminar Kebangsaan Penyelesaian Pertikaian Alternatif, 4-5 Februari 2002.
mal (kewenangan perdata Islam). Antara tuntutan (gugatan) dan permohonan
yang boleh diselesaikan melalui kaedah Sulh adalah :
1. Gugatan terhadap perkara melanggar (mungkir) janji untuk berkawin serta
gantirugi pertunangan
2. Gugatan terhadap perkara yang menjadi akibat hukum dari suatu perceraian
yang telah memperolehi kekuatan hukum tetap seperti :
a. Mut’ah (Pemberian Suami)
b. Nafkah ‘Iddah
c. Nafkah Tertunggak (Tertangguh)
d. Harta Bersama
e. Hutang Maskawin (Mahar)
f. perkara-perkara lain yang dipikirkan munasabah
3. Gugatan terhadap perkara Hak Jagaan Anak (Hadhanah/Penguasaan
Anak/Asuh Anak) dengan memperhatikan kepentingan anak-anak tersebut
ketika dalam perkawinan maupun selepas perceraian.
4. Gugatan terhadap perkara Nafkah Anak.
5. Permohonan pelaksanaan Perintah Mahkamah (Amar Putusan).
6. Gugatan mengubah perintah nafkah serta hak jagaan anak/nafkah anak
7. Permohonan kembali taat
8. Permohonan wali enggan.84
84 Ira Kartini bt Chairullah, Penolong Pendaftar Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan
Kuala Lumpur, Wawancara Pribadi, Kuala Lumpur, 8 Januari 2007
Menurut Kaedah-kaedah Tatacara Mal (Sulh) 2004 Mahkamah Syariah
Wilayah Persekutuan, beberapa prosedur akan dilaksanakan oleh pihak Pendaftar
(Panitera) Mahkamah Syariah terhadap pihak-pihak yang baru mendaftarkan
permohonan/tuntutan kasus. Pihak-pihak yang bersangkutan diminta hadir ke
Majlis Sulh pada tanggal yang ditetapkan, selambat-lambatnya 21 hari setelah
surat atau gugatan perkara didaftarkan. Seandainya pihak-pihak yang
bersangkutan sepakat untuk Sulh, maka pihak-pihak tersebut akan
menandatangani perjanjian persetujuan bersama dan kemudian perjanjian tersebut
akan diendors (diserahkan) ke hadapan hakim. Pihak-pihak yang sepakat untuk
sulh tidak perlu melalui proses persidangan di mahkamah. Hal ini dapat
menghemat waktu dan biaya pihak-pihak dan secara tidak langsung dapat
mempercepat penyelasaian kasus di Mahkamah Syariah.85
Prosedur 1
Pendaftar (Panitera) akan menetapkan tanggal pelaksanaan Majlis Sulh
melalui notis Majlis Sulh (Surat Pemanggilan) yang akan dihadiri kedua belah
pihak yang terlibat dalam kasus yang bersangkutan dalam tempoh tiga bulan
sebelum penetapan waktu persidangan. Perlu diingat, ketidakhadiran salah satu
pihak atau keduanya dalam Majlis Sulh dapat dikenakan sanksi penghinaan
mahkamah. Ketua Pendaftar (Panitera) dapat mengarahkan Pegawai Sulh
85 Undang-undang Malaysia, Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-wilayah
Persekutuan) 1998 [Akta 585], undang-undang diakses pada 22 Februari dari
http://www.esyariah.gov.my
(Mediator) tertentu untuk bertindak sebagai Pengerusi Majlis Sulh bagi
menangani suatu kasus yang baru didaftarkan.86
Prosedur 2
Setelah kedua belah pihak hadir di dalam Majlis Sulh, Pegawai Sulh
(Mediator) akan memberikan penjelasan singkat dan menerangkan tentang tujuan
dan konsep Sulh kepada semua pihak hingga mereka benar-benar paham. Di
dalam majlis yang pertama itu semua pihak dianjurkan mengemukakan persoalan-
persoalan baik yang berkaitan dengan Hukum Syara’ maupun Perundang-
undangan Keluarga Islam kepada Pegawai Sulh (Mediator) untuk membangkitkan
pemahaman kedua belah pihak.87
Prosedur 3
Setelah diberikan penjelasan, setiap pihak dibolehkan berbicara dan
mengemukakan pendapatnya secara bergiliran. Proses ini memerlukan suasana
tenang dan tertib. Semua pihak tidak dibenarkan menyerang pribadi pihak lawan.
Sebelum Majlis Sulh dimulai, semua pihak diminta membuat perjanjian untuk
mematuhi peraturan-peraturan ini.
86 Kaedah-kaedah Tatacara Mal (Sulh) Wilayah-wilayah Persekutuan) 2004, Undang-undang
diakses pada 22 Februari dari http://www.esyariah.gov.my
87 Zalinah bt. Said, Pegawai Sulh Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,
Wawancara Pribadi, Kuala Lumpur, 8 Januari 2007
Prosedur 4
Setelah diadakan Majlis Sulh tingkat awal sebagaimana di atas, Pegawai
Sulh (Mediator) akan menyusun dan mengolah keterangan yang didapatkannya
untuk menentukan :-
(i) Isu atau masalah yang perlu diselesaikan
(ii) Kedudukan pihak-pihak yang bertikai
(iii) Kepentingan mereka
(iv) Alternatif (Opsyen) penyelesaian88
Proses diskusi antara pihak-pihak yang bertikai akan dilangsungkan dalam
proses ini. Meski bagaimanapun juga, semuanya kembali kepada Pegawai Sulh
(Mediator) jika ingin mengadakan Pertemuan Sebelah Pihak (Kaukus)
berdasarkan kepentingan keduanya. Perlu diingat, semua catatan Pegawai Sulh
(Mediator) adalah RAHASIA, tidak boleh diketahui oleh pihak manapun
termasuk hakim yang menangani sebutan kes (persidangan) nanti. 89
Prosedur Akhir Sulh
Pegawai Sulh (Mediator) akan memutuskan apakah sulh yang
dilaksanakan ini sukses sepenuhnya ataupun tidak. Apabila sulh sukses, Pegawai
Sulh (Mediator) akan menderaf (merancang) suatu Perjanjian Penyelesaian yang
disetujui oleh kedua belah pihak (sebagaimana format dalam lampiran 2) dan
88 Kaedah-kaedah Tatacara Mal (Sulh) Wilayah-wilayah Persekutuan) 2004
89 Zalinah bt. Said, Pegawai Sulh Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,
Wawancara Pribadi, Kuala Lumpur, 8 Januari 2007
akan dikemukakan kepada Hakim untuk endorsement perjanjian tersebut sebagai
satu Perintah Persetujuan.90
Pegawai Sulh (Mediator) akan memastikan bahwa Perjanjian Penyelesaian
itu tidak mengandung terma (isu) yang bertentangan dengan Hukum Syara’ dan
Perundang-undangan yang berkaitan seperti :-
(i) Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wlayah-wilayah Persekutuan) 1998
[Akta 585]
(ii) Kaedah-Kaedah Tatacara Mal (Sulh) Wilayah-wilayah Persekutuan 2004
(iii) Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah Persekutuan) 1984
[Akta 303 A1261 Pindaan 2006]91
Semua pihak boleh merujuk kepada pengacara masing-masing deraf
(rancangan) Perjanjian Penyelesaian sebelum mereka menandatanganinya. Dalam
pada itu, Pegawai Sulh (Mediator) akan menasihati pihak yang bersangkutan
supaya jangan mengubah persetujuan mereka karena terpengaruh oleh Pengacara
mereka.92
Setelah Perjanjian Penyelesaian ditandatangani oleh kedua belah pihak di
hadapan Pegawai Sulh (Mediator), perjanjian itu akan diserahkan kepada Hakim
90 Kaedah-kaedah Tatacara Mal (Sulh) Wilayah-wilayah Persekutuan) 2004
91 Zalinah bt. Said, Pegawai Sulh Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,
Wawancara Pribadi, Kuala Lumpur, 8 Januari 2007
92 Zalinah bt. Said, Pegawai Sulh Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,
Wawancara Pribadi, Kuala Lumpur, 8 Januari 2007
supaya satu penghakiman (keputusan) berdasarkan persetujuan boleh dibuat
olehnya.93
(Contoh deraf Perintah Persetujuan seperti lampiran 3)
ALUR KERJA SULH
JAWATAN PROSES KERJA
Proses Pendaftaran
Pendaftar/
Penolong
Pendaftar
• Terima fail kes dari pembantu Pendaftar
• Tetapkan tarikh sebutan/sulh kepada pihak-pihak
Pegawai Sulh • Majlis Sulh dijalankan di hadapan Pengerusi Sulh
• Jika tiada pesetujuan untuk melaksanakan sulh tetapkan
tarikh perbicaraan
Pembantu
Pendaftar
• Jika ada persetujuan kesemuanya atau sebahagiannya,
rekodkan dan kemukakan fail kepada hakim untk
dibicarakan.
Hakim • Buat Penghakiman dan Perintah Persetujuan.
Proses Pengeluaran Perintah
Pendaftar/
Penolong
Pendaftar
• Sedia/semak draf perintah dari pihak-pihak
• Rujuk kepada hakim untuk pengesahan
• Kemukakan draf perintah kepada pihak-pihak dengan atau
tanpa pindaan (jika ada peguam)
• Terima perintah muktamad untuk dimeterai dan tandatangan
(jika ada peguam)
Hakim • Tandatangan dan meterai perintah.
Pendaftar/
Penolong
Pendaftar
• Penyampaian perintah kepada pihak-pihak.
93 Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-wilayah Persekutuan) 1998 [Akta 585]
SKEMA TATACARA SULH
G. Sulh dalam Kasus Hadhanah
Sulh telah dilaksanakan dalam masyarakat Islam Malaysia dalam beberapa
kasus pertikaian mereka. Kajian penulis menemukan fakta bahwa telah banyak
kasus tuntutan yang dibawa ke mahkamah diputuskan dengan cara sulh atau
kesepakatan bersama.94
Di bagian ini, Penulis akan menjelaskan beberapa kasus sebagai bukti
serta contoh pelaksanaan sulh di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala
Lumpur.
1. Norhayati binti Yasin (Plaintif/Penggugat) lawan Noor Azam bin Ismail
(Defendan/Tergugat).95
Plaintif dan Defendan telah menikah pada 2002. Namun bercerai pada
Februari 2007. Hasil pernikahan tersebut, plantif dan defenden telah
dikaruniai 2 orang anak yaitu :
(i) Erynna Ellyza binti Noor Azam (5 Tahun), dan
(ii) Eqmal Danial binti Noor Azam (4 Tahun).
(setelah ini disebut sebagai ‘anak-anak tersebut’)
Demi kepentingan anak-anak tersebut di masa depan, menurut pandangan
plaintif, dia sangat menyayangi dan dekat dengan anak-anak tersebut dan
yakin mampu menjaga dan mendidik anak-anak tersebut dengan baik. Oleh
94 Imran Abu Bakar , Pengantar Undang-undang di Malaysia, cet. Ke 2, (Selangor : Books
Store Enterprise) , 1999., h 35.
95 Kes Mal bil. 0256 (14200-028) tahun 2007 Mahkamah Tinggi Syariah Wilayah
Persekutuan Kuala Lumpur
karena itu, plaintif memohon untuk mendapatkan hak untuk menjaga anak-
anak tersebut kepada mahkamah dengan perintah perkara-perkara berikut :
(i) Hak jagaan atas anak bernama Erynna Ellyza binti Noor Azam dan
Eqmal Danial binti Noor Azam diletakkan di bawah hak jagaan
defendan.
(ii) Lain-lain relief (peralihan) yang dipertimbangkan wajar dan sesuai oleh
mahkamah.
(iii) Plaintif dan Defendan telah mencapai persetujuan bersama yang
berhubungan dengan hak penjagaan anak (hadhanah) diserahkan kepada
Plaintif
(iv) Defendan diberikan haknya sebagai bapak untuk menjenguk atau tinggal
bersama anak-anak tersebut sekurang-kurangnya pada setiap akhir
minggu dengan ditemani Plaintif. Untuk tujuan tinggal, hendaklah
dilakukan dalam kondisi yang pantas dan dengan izin Plaintif.
(v) Musim perayaan yaitu Hari Raya Aidil Fitri dan Hari Raya Aidil Adha,
Defendan setuju bahwa hak untuk bersama dengan anak-anak tersebut
adalah diserahkan kepada Plaintif.
(vi) Untuk proses menjenguk atau tinggal bersama anak-anak tersebut,
hendaklah dilakukan bergantung pada masa luang Defendan dalam masa
yang sama sesuai dengan masa (tidak mengganggu waktu persekolahan)
dan kemauan anak-anak tersebut.
(vii) Proses pengambilan dan pengembalian anak-anak tersebut, Defendan
hendaklah memberitahukan kepada pihak Plaintif, dan hendaklah
dilakukan pada masa, tempat yang sesuai dan cocok dengan adat, hukum
syara’ dan undang-undang.
(viii) Pihak Plaintif dan Defendan juga sepakat dan berjanji untuk mematuhi
terma-terma (isi) yang terkandung dalam perjanjian ini dan apabila pada
saat masa berlaku terdapat pelanggaran terhadap terma perjanjian ini,
pihak yang satu lagi berhak mengambil tindakan sesuai undang-undang
terhadap pihak yang melanggar perjanjian ini dan/atau sesuai untuk
tujuan perlaksanaan terma perjanjian dan/atau membuat tuntutan ganti
rugi dan atau menuntut remedi (peralihan) di bawah undang-undang
yang lebih sesuai.
(ix) Masa adalah faktor utama perjanjian ini.
(x) Perjanjian ini mengikat pihak-pihak, wakil-wakil, ahli waris pihak-pihak
dalam perjanjian ini.
2. Farah binti Che Lodin (Plaintif) lawan Shaiful Nizam (Defendan).96
Planintif memohon Mahkamah mengeluarkan perintah:
(i) Mahkamah memerintahkan hak penjagaan anak tersebut diberikan
kepada Plaintif selaku ibu kandung menurut Seksyen 81(1) dan Seksyen
82 Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah Persekutuan)
1984,
96 Kes Mal bil. 0281 (14100-028) tahun 2006 Mahkamah Tinggi Syariah Wilayah
Persekutuan Kuala Lumpur
(ii) Manakala mahkamah memerintahkan Hak Lawatan terhadap Anak
tersebut diberikan kepada Defendan sekali sebulan saja yaitu pada waktu
yang sesuai dengan memempertimbangkan kesesuaian dan kebajikan
anak tersebut dan Plaintif,
(iii) Defendan boleh menjenguk Anak tersebut hanya di rumah ibu-bapa
Plaintif yang beralamat di No. 124 Jalan Athwahappai 1, Taman Tun Dr.
Ismail, 60012 Kuala Lumpur pada masa yang sesuai dengan
mempertimbangkan anak tersebut masih dalam susuan ibu dan
hendaklah mendapat izin Plaintif terlebih dahulu,
(iv) Defendan hendaklah memberikan nafkah terhadap Anak tersebut
sebanyak Ringgit Malaysia Dua Ribu Sahaja (RM 2000.00) dan
hendaklah dibayar dengan cara memasukkan ke dalam rekening anak
tersebut yaitu Rekening Affin Bank, Nomor Rekening : 9497266381220
Plaintif pada setiap dan atau sebelum tanggal 28 tiap bulan dan
seterusnya; sesuai dengan Seksyen 72 Akta Undang-undang Keluarga
Islam (Wilayah-wilayah Persekutuan) 1984,
(v) Apa-apa perintah atau relief yang diperkirakan patut dan wajar oleh
mahkamah.
Keputusannya, Mahkamah mengeluarkan perintah berdasarkan Persetujuan
Bersama sebagaimana berikut:
(i) Plaintif dan Defendan sepakat hak penjagaan anak dan hadhanah yaitu
Muhamed Fahd Haris bin Shaiful Nizam diberikan kepada Plaintif.
(ii) Pihak Defendan dibenarkan untuk melihat dan bersama anak 2 minggu
sekali pada hari Ahad jam 11.00 pagi hingga 06.00 sore pada akhir
minggu. Setelah anak berusia 4 tahun, Defendan dibenarkan untuk
bersama dan tinggal dengan anak 2 kali sebulan pada Sabtu sore dan
menyerahkan anak pada hari Ahad pada jam 05.00 sore, tergantung pada
kesehatan dan dengan syarat Defendan hendaklah memberitahukan
terlebih dahulu kepada Plaintif sekurang-kurangnya 1 hari sebelum
Defendan hendak mengambil dan mengembalikan anak di rumah pihak
Plaintif.
3. Salina bt. Mohd. Saleh lawan Azman b. Mohammad.97
Plaintif dan Defentif telah menikah pada 14 Mei 1994 di Kuala Lumpur. Hasil
dari perkawinan tersebut, mereka telah dikaruniai seorang cahaya mata
perempuan yang kini berusia satu tahun. Pada 2 Maret 1995 Defentif telah
melafazkan cerai pertama dengan dua talak. Semenjak itu, anak mereka
tinggal bersama Defentif. Defentif adalah seorang yang mengalami cacat
pendengaran.
Oleh karena itu, Plaintif memohon hak penjagaan atas anaknya karena
khawatir Defentif tidak dapat memberikan penjagaan yang sepenuhnya
disebabkan cacat yang dialaminya.
Mahkamah telah memutuskan kasus atas persetujuan bersama kedua belah
pihak seperti berikut :
97 Kes Mal. bil 16 tahun 1996 Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur
(i) Hak penjagaan atas anak tersebut di serahkan kepada Plaintif yaitu
Salina bt. Mohd. Saleh.
(ii) Nafkah kepada anak hendaklah dibayar oleh Defenden yaitu Azman bin
Mohammad kepada plaintif sebanyak RM 100 sebulan mulai 9 April
1996
Defenden diberikan hak untuk menjenguk dan membawa keluar anaknya pada
hari yang patut dari jam 10.00 pagi hingga 04.00 sore pada hari yang sama
secara bergantian.
4. Julia bt. Shamsuri lawan Jaafar bin Buyong.98
Plaintif dan Defenden telah menikah di Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur
pada 4 Agustus 1984. Hasil perkawinan tersebut, mereka dikaruniai dua orang
cahaya mata yaitu:-
(i) Mohd. Aizat berusia 10 tahun,
(ii) Mohd. Asraf berusia 4 tahun.
Kedua belah pihak telah bercerai pada 3 Juni 1995 juga di Wilayah
Persekutuan Kuala Lumpur. Sejak itu, mereka tinggal bersama Plaintif dan
Defenden tidak pernah menjenguk atau memberikan biaya hidup. Oleh karena
itu, Plaintif membuat permohonan menuntut :-
(i) Hak Penjagaan atas kedua anak mereka diserahkan kepadanya,
(ii) Nafkah anak-anak sebanyak RM 400 sebulan,
(iii) Belanja musin perayaan dan persekolahan anak-anak.
98 Kes Mal bil. 4 tahun 1996 Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur
Mahkamah membuat keputusan berdasarkan atas Persetujuan Bersama kedua
belah pihak seperti berikut :
(i) Hak penjagaan kedua anak diserahkan kepada Plaintif dan Defenden
diberikan hak lawatan pada waktu menjenguk dan bersama pada hari
libur,
(ii) Hak menjenguk dan bersama anak-anak pada waktu yang pantas setiap
akhir minggu bergantian pada hari Sabtu atau Ahad dimulai pada waktu
siang sehingga malam,
(iii) Hak untuk bersama anak-anak pada tanggal merah hendaklah dibagi
setengah di antara kedua pihak,
(iv) Hak untuk bersama anak-anak pada hari perayaan adalah bergantian
antara pihak-pihak,
(v) Defenden diharuskan membayar nafkah anak-anak sebanyak RM 300
sebulan sejak diputuskan,
(vi) Bayaran nafkah harus tunai dan tidak lewat dari tanggal 1 setiap bulan.
H. Analisis Penulis
Sesuai dengan fitrah seorang ibu yang melahir dan menyusukan anak,
Islam memberikan keutamaan kepada mereka untuk mendapatkan hak penjagaan
atau hadanah. Bagaimanapun, ini bukan bererti apabila berlaku penceraian, bapa
tidak berhak langsung kerana dalam keadaan tertentu mereka turut diberi
kelebihan.
Apa yang menimbulkan masalah ialah apabila mereka yang terlibat dalam
kes penjagaan anak menampakkan keghairahan masing-masing untuk menang
sehingga sanggup menggunakan taktik-taktik kotor. Entah kerana benar-benar
kasih atau sekadar ingin menjaga ego masing-masing, kedua-dua pihak tidak
mahu beralah walau demi kebaikan anak-anak. Malah, tidak kurang yang sanggup
menghabiskan masa dan wang ringgit untuk turun naik mahkamah daripada
menyelesaikannya secara damai.
Hak penjagaan anak atau hadanah ialah isu yang sering menimbulkan
perbalahan suami isteri selepas pembubaran perkahwinan selain mutaah, harta
sepencarian, dan nafkah tertunggak. Sikap tamak dan ingin membolot perhatian
ini mendorong pihak yang menang untuk menghalang ayah atau ibu melawat
anak-anak walau terdapat perintah mahkamah berhubung perkara tersebut.
Dalam undang-undang Syariah, hadanah bukan sesuatu yang mutlak sama
ada bagi ibu atau bapa kerana penceraian bukan pemutus hubungan antara anak
dengan ibu atau anak dengan ayah.. Semua itu bersifat sementara kerana anak
adalah hak dan tanggungjawab bersama. Melainkan jika suami menghadapi
kesalahan berat seperti menjalani hukuman penjara atau menagih dadah, jadi isteri
mungkin diberi hak penjagaan kekal.
Secara umum, Undang-undang Keluarga Islam menggariskan anak-anak
yang masih menyusu atau belum mencapai tahap mumaiyiz diletakkan di bawah
jagaan ibu. Bagaimanapun, mereka akan kehilangan hak tersebut jika berkahwin
dengan lelaki yang bukan muhrim bagi anak-anak, berkelakuan buruk secara
keterlaluan, menukar tempat tinggal dengan tujuan melarikan anak-anak dari
suami, murtad atau cuai dan menganiaya anak-anak.Di samping itu, hak tersebut
juga gugur atau tamat apabila anak mencapai usia tujuh tahun bagi lelaki dan
sembilan tahun bagi perempuan.
Dalam masa yang sama, kanak-kanak berkenaan akan diberi peluang
untuk membuat pilihan apabila sudah mencapai usia mumaiyiz atau tahu
membezakan antara yang baik dan buruk. Prinsip Islam dalam hak penjagaan
anak ialah memenangkan kepentingan anak-anak dan mengorbankan kepentingan
orang lain. Walaupun kanak-kanak berkenaan diberi peluang membuat pilihan,
namun hakim akan meneliti kemungkinan keputusan tersebut dipengaruhi oleh
pihak yang menjaganya sebelum ini. Lumrah pemikiran anak-anak, mudah
dipengaruhi oleh cerita-cerita yang sering diberitahu walau ia belum tentu benar.99
Meskipun hak diberi kepada ibu atau bapa, pihak yang gagal mendapatkan
hak penjagaan tidak akan terlepas daripada tanggungjawab terhadap anak-anak
sehingga mereka dewasa. Walau apa pun berlaku, bapa bukan sahaja wajib
membiayai anak-anak tetapi juga mendidik dan mengawasi perkembangan
mereka. Begitu juga jika hak diberikan kepada bapa, yang mana ibu wajib
meluangkan masa untuk mengasuh dan mendidik mereka.Anak adalah hak
bersama suami isteri. Jadi kedua-dua mesti sama-sama menjaga kebajikan anak-
99 Rafiah Salim , Undang-undang Keluarga dan Kebudayaan Malaysia, ed. Ke- 3, (Kuala-
Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka) , 1998., h 32.
anak walau tidak lagi bersama. Jika bapa dengan kewajipan dan
tanggungjawabnya begitu juga ibu.100
Hak penjagaan anak juga tidak akan terlucut walau ada perjanjian yang
menyatakan salah satu pihak tidak boleh membuat tuntutan. Hak penjagaan anak
bukan sesuatu yang boleh dilupakan bila-bila masa lebih-lebih lagi jika dalam
keadaan terpaksa. Hari ini berjanji tidak akan tuntut, besok boleh terus tuntut
balik.101
Berhubung dengan tuntutan di mahkamah, penulis berpendapat ia tidak
sesuai dilakukan secara sebelah pihak atau ex-parte sebagaimana yang dilakukan
oleh sesetengah mahkamah syariah. Ini mendorong kepada ketidakadilan apabila
keputusan dibuat kerana ia hanya melibatkan keterangan atau saksi sebelah pihak
sahaja. Soal penjagaan anak perlu dibuat dengan kehadiran kedua-dua belah pihak
dan mahkamah sepatutnya buat perintah agar kedua-duanya ada semasa
perbicaraan. Kalau hanya sebelah pihak sahaja yang ada, kemungkinan untuk
suami atau isteri berbohong amat besar.102
Sehubungan itu, sebaik-baiknya kes hadhanah diselesaikan di luar
mahkamah melalui perbincangan kedua-dua pihak atau kaedah sulh yang
diamalkan di sesetengah negara bagian. Ia bukan sahaja mengelakkan timbulnya
pertelingkahan antara pihak yang terbabit, tetapi juga menyelamatkan emosi
100 Ibid, hal. 32
101 Ahmad Ibrahim dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang di Malaysia, (Kuala
Lumpur : Dewan Bahasa Dan Pustaka), 1985., hal. 46.
102 Ibid, hal. 47
anak-anak daripada terganggu. Melalui sulh juga, semua pihak dapat menjimatkan
masa kerana tidak perlu melalui pelbagai prosedur mahkamah. Apabila
mahkamah menyelesaikan perkara gugatan hadhanah dengan cepat ia bakal
membolehkan pasangan yang terlibat itu memulakan kehidupan baru dengan
segera.103
Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur telah
melaksanakan prosedur sulh ini dengan jayanya sejak ia dilaksanakan secara
sistematis pada tahun 2004. Sulh membuka peluang perdamaian antara dua pihak
yang berperkara dan merupakan langkah terbaik bagi menyelesaikan kes-kes
tertangguh di mahkamah tersebut. Berdasarkan statistik sulh mahkamah tersebut,
pelaksanaan kaedah sulh menunjukkan perkembangan positif apabila pada tahun
2006, 560 daripada 1133 kes yang didaftarkan berjaya diselesaikan sementara 326
daripada 560 kes berakhir dengan kejayaan. Bagi tempoh itu 86 daripada 316 kes
hadhanah yang didaftar tidak perlu dibicarakan setelah dapat diselesaikan oleh
Majlis Sulh.104
103 "Selesaikan Segera Kes Perceraian Tertangguh", Koran Utusan Malaysia, 23 Juli 2006
104 “Sulh Cepatkan Penyelesaian Tuntutan Selepas Perceraian", Koran Utusan Malaysia, 28
Disember 2006
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Sebagai bab akhir dari karya ilmiah ini, maka penulis menyimpulkan apa
yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Adapun kesimpulan tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Keadilan adalah salah satu perkara penting dalam ajaran Islam. Tanpa
keadilan, masyarakat akan pincang, kehidupan akan menjadi huru-hara dan
akan hancur. Sehubungan dengan itu, syariat Islam menghendaki umatnya
sentiasa menegakkan keadilan karena lebih dekat kepada taqwa.
2. Dalam usaha menyelesaikan pertikaian secara adil menurut perundangan
Islam, Kadi atau Hakim hendaklah berusaha menggalakkan pihak-pihak yang
bertikai supaya berdamai karena perdamaian itu akan menghentikan sifat
permusuhan dan dendam yang berkepanjangan serta menguatkan hubungan
antara satu dengan yang lain.
3. Islam sangat menggalakkan perdamaian atau sulh dalam usaha menyelesaikan
pertikaian atau menghentikan permusuhan. Sulh dilakukan dengan sukarela,
tidak ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun dan itu sangat terpuji.
Oleh karena itu, konsep sulh telah terima masyarakat Wilayah Persekutuan
Kuala Lumpur khususnya dan banyak perkara yang diajukan ke mahkamah
diputuskan dengan persetujuan bersama.
4. Oleh karena sebagian besar perkara sengketa yang ditangani oleh Mahkamah
Syariah Wilayah Persekutuan adalah dalam bidang perkawinan, maka
penyelesaian secara sulh (perdamaian) sangat sesuai dan wajar sekali. Dalam
sengketa gugatan perkara hadhanah, misalnya, maksud yang terkandung
dalam penyelesaian dengan cara ini ialah hubungan antara pihak-pihak yang
berperkara masih terus terjaga dan harmonis karena mereka masih mempunyai
tanggungjawab terhadap anak-anak dan kebaikan mereka.
5. Dari statistik permasalahan unit sulh Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan
pada tahun 2005, 2006 dan 2007 bahwa sulh dalam menyelesaikan banyak
sengketa perkara tidak harus dihilangkan begitu saja khususnya dalam
sengketa hadhanah. Ia memberi dampak yang besar kepada mahkamah setelah
dilaksanakan prosedur dan kaedah-kaedah sulh secara sistematis. dampak-
dampak tersebut adalah seperti berikut :
a. Mahkamah dapat menghemat baik dari segi masa, tenaga dan biaya dalam
menjalankan persidangan
b. Mahkamah dapat mengurangi gugatan dan permohonan perkara yang
diajukan
c. Mahkamah menjadi suatu tempat di mana bukan saja untuk mencari
keadilan bahkan akan dihormati sebagai tempat yang mempersatukan
kembali hubungan yang hampir putus akibat persengketaan dan menjadi
lebih harmonis di samping menyadarkan mereka akan tanggungjawab
yang harus dipikul setelah sulh ditetapkan.
B. Saran-saran
1. Lembaga-lembaga Negara yang terkait diharapkan dapat menambah lebih
banyak lagi jumlah pegawai Sulh (mediator) di Mahkamah Syariah Wilayah
Persekutuan karena sulh bukan saja mampu mengurangi jumlah gugatan dan
permohonan perkara yang tertangguh tetapi juga menyelesaikan semua
perkara dengan cepat. Pegawai Sulh juga layak untuk mengambil alih tempat
hakim jika hakim tersebut libur atau sedang berkabung. Artinya, pemeriksaan
perkara di mahkamah syariah akan berjalan seperti biasa walaupun hakim
yang dilantik sedang libur.
2. Untuk membuktikan manfaat konsep sulh yang masih baru pelaksanaannya,
Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia, hendaknya sentiasa memberikan
latihan keterampilan dari waktu ke waktu kepada pegawai-pegawai yang
bersangkutan. Misalnya, kursus yang berkaitan dengan undang-undang,
penyelesaian masalah dan psikologi. Hal ini untuk memastikan bahwa
pegawai-pegawai sulh tersebut ahli dalam dua bidang yaitu syariah dan
psikologi untuk memudahkan urusan memberi bimbingan tanpa melanggar
hukum syara’ dan sesuai dengan hukum perkawinan atau perceraian.
3. Untuk meningkatkan efektifitas perjalanan mahkamah syariah, sistem
pengurusan perkara yang berantakan dan tidak adanya sistem dokumentasi
antara kritikan terhadap mahkamah syariah harus diselesaikan secepatnya. Ini
mungkin boleh diselesaikan dengan melaksanakan sistem pengurusan case
track di mana semua berkas perkara akan dipisahkan menurut jenis kuasa
tindakan yang didaftarkan dan tahap kerumitan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bustani, Fuad Afram, Munjib al-Tullab, Bayrut: Dar al-Masyriq, 1973
Al-Dasuqi, Muhammad ibn Ahmad ibn `Arafah, Hashiyat al-Dasuqi `ala al-sharh al-
kabir, al-Qahirah: Dar Ihya' al-Kutub al-`Arabiyah, 1980, juz 2
Al-Husanain, Al-Taqiu Al-‘Abbas bin Ahmah, Tatimmah al-Raudh al-Nadir Syarh
Majmu’ al-Fiqh al-Kabir, Thaif: Maktabah Al-Muayyad, 1968, cet. Ke-2,
Juz. 5
Al-Khin Mustafa, al-Fiqh al-manhaji : 'ala madhhab al-Imam al-Shafe'i, Damascus,
Dar al-Qalam, 1998, vol. 6
Al-Sabuni, `Abd al-Rahman, Nizam al-usrah wa-hall mushkilatiha fi daw' al-Islam,
(Cairo: Dar al-Fikr, 1972), hal. 181-182
Al-San`ani, Muhammad ibn Isma`il, Subul al-salam : sharh Bulugh al-maram min
jam` al-ahkam, Qahirah: Maktabah ‘Atif, 1979, Juz III
Al-Shirbini, As Muhammad ibn Ahmad, al-Iqna` fi hall alfaz Abi Shuja`, Cairo:
Mustafa al-Babi al-Halabi, 1940, juz 2
Al-Termizi, Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Sunan al-
Termizi, Terjemahan Drs. H. Moh. Zuhri, (Semarang : CV Asy Syifa’, 1992),
Jil II
Al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa-adillatuhu : al-shamil lil-adillah al-
shar`iyah wa-al-ara' al-madhhabiyah wa-ahamm al-nazariyah al-fiqhiyah
wa-tahqiq al-Ahadith al-Nabawiyah wa-takhrijuha, (Beirut : Dar al-Fikr,
1989), Juz V
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damsyik: Darul al-Fikr,
1984, Juz V
Baliq, Izzuddin, Minhaj al-Salihin, Beirut : Dar al-Fikr, 1978, Cet. ke-4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: PT Syaamil Cipta
Media, 2005
Houtsma M TH and others E J Brill’s First, Encyclopaedia of Islam, New York: E.J
Brill, 1987, Jil. VIII
Ibn Manzur, Muhammad ibn Mukarram, Lisan al-`Arab, Bayrut: Dar Sadir,1968), juz
13
Kaedah-kaedah Tatacara Mal (Sulh) Wilayah-wilayah Persekutuan) 2004
Kementerian Wakaf dan hal Ehwal Islam Kuwait, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, Kuwait:
Wizarat al-Awqaf wa-al-Shu'un al-Islamiyah, 1989, Cet 1 Juz X
Mahmud, Arnus Muhammad, Tarikh al-Qadha fi al-Islam, Kaherah : Al-Matba’ah
Al-Misriyyah al-Hadithah, tth
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam; Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1996), cet.ke-29
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-sunnah, Kairo: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1970, juz 3
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, cet. ke-1,
Undang-undang Malaysia, Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-wilayah
Persekutuan) 1998 [Akta 585]
Yaacob, Mohd Akhir Haji, Undang-Undang Sivil Islam, Terjemahan; Al-Ahkam Al-
Adliyyah, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990
Yahya, Yasin Muhammad, ‘Aqd al-Sulh Baina al-Muqaranah Fiqhiyah wa al-Qanun
al-Madani : Dirasah Muqaranah Fiqhiyyah, Qadaiyyah, Tasri’iyyah, Beirut :
Dar al-Fikr, 1978
Zahrah, Muhammad Abu, al-Ahwal al-shakhsiyyah, (al-Qahirah: Dar al-Fikr al-
`Arabi, 1957