PELAKSANAAN POLIGAMI BAGI PNS DI KABUPATEN MAGELANG …eprintslib.ummgl.ac.id/973/1/09.0201.0032_BAB...
Transcript of PELAKSANAAN POLIGAMI BAGI PNS DI KABUPATEN MAGELANG …eprintslib.ummgl.ac.id/973/1/09.0201.0032_BAB...
-
PELAKSANAAN POLIGAMI BAGI PNS
DI KABUPATEN MAGELANG
SKRIPSI
Oleh :
MUHAMMAD AGUS GINANJAR
NPM : 09.0201.0032
BAGIAN : HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2016
-
i
PELAKSANAAN POLIGAMI BAGI PNS
DI KABUPATEN MAGELANG
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas akhir dan syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S-I)
Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Magelang
Oleh :
MUHAMMAD AGUS GINANJAR
NPM : 09.0201.0032
BAGIAN : HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2016
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
MOTTO
1. Saya datang, saya bimbingan, saya revisi dan saya
menang
2. Jangan tunda sampai besuk apa yang bisa engkau
kerjakan hari ini
3. Manusia tidak merancang untuk gagal, mereka gagal
untuk merancang (William J. Siegel)
-
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah kupanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
kesempatan untuk menyelesaikan tugas akhir ini dengan segala kekuranganku.
Segala syukur ku ucapkan kepadaMu karena telah menghadirkan mereka yang
selalu memberi semangat dan doa disaat ku tertatih. KarenaMu lah mereka ada
dan karenaMu lah tugas akhir ini terselesaikan. Maka Karya kecil ini aku
persembahkan untuk:
1. Ibunda dan Ayahanda tersayang, tiada kata yang menggantikan segala sayang,
usaha, semangat dan juga uang yang telah dicurahkan dalam penyelesaian
tugas akhir ini,
2. My Brother and My Sister, tiada yang paling mengharukan saat kumpul
bersama kalian. Terimakasih atas doa dan bantuan kalian selama ini, hanya
karya kecil ini yang bisa aku persembahkan.
3. My Sweet Heart, terimakasih atas kasih sayang, perhatian dan kesabaranmu
yang telah memberikan semangat dan inspirasi dalam menyelesaikan tugas
akhir ini. HS_20
-
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Rasa syukur yang sangat mendalam penulis panjatkan Kehadirat Allah
SWT yang telah mengkaruniakan kesehatan dan kelapangan berpikir kepada
penulis sehingga akhirnya skripsi ini dapat juga terselesaikan. Shalawat dan
salamsemoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad
SAW yang telah membawa nikmat Islam kepada kita semua.
Skripsi ini berjudul: “PELAKSANAAN POLIGAMI BAGI PNS DI
MAGELANG”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan
dalam mencapai gelar Sarjana (S-1) di Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Magelang.
Dalam menyelesaikan tulisan ini penulis telah banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis
ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Basri, SH. MHum selaku Dekan pada Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Magelang.
2. Bapak Mulyadi SH. MH selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang
3. Ibu Puji Sulistyaningsih SH. MH selaku dosen pembimbing I penulis.
4. Ibu Heniyatun SH. MHum selaku dosen pembimbing II penulis.
5. Bapak dan Ibu Dosen dan sekaligus Staf Administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Magelang
-
viii
6. Ibunda Muntofiah dan Ayahanda Iskandar yang telah memberikan pandangan
kepada penulis tentang pentingnya ilmu di hari–hari kemudian nantinya.
7. Mbak Hesti yang selalu memberi support agar aku cepet lulus
8. Kedua adikku, Anisa dan Hasna yang selalu menemani aku dalam
mengerjakan
9. Keano yang selalu membuat aku ketawa dengan kelucuanya
10. Herlita yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaian tusas akhir ini
11. Pak Bowo yang selalu mengajari aku disaat aku salah dalam mengerjakan
12. Rekan-rekan se-almamater Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Magelang,
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna baik dari segi
materi maupun penyajianya. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan dalam penyempurnaan tugas akhir ini. Terakhir penulis berharap
semoga tugas akhir ini memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan
bagi para pembaca.
Magelang, 30 Juli 2016
…………..
-
ix
ABSTRAK
Undang-undang perkawinan telah mengatur seorang calon suami
memungkinkan untuk menikah lebih dari seorang (poligami), hal ini sesuai
dengan Pasal 3 ayat (2) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 azas
monogami tidak mutlak. Undang-undang Perkawinan memberikan pembatasan
yang cukup berat, yaitu berupa suatu pemenuhan dengan melengkapi syarat-syarat
poligami dengan alasan yang tertentu dan izin Pengadilan yang sudah diatur
dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Perkawinan jo Pasal
55, 56, 57, 58, 59 KHI dan juga pengaturan bagi seorang Pegawai Negeri Sipil di
dalam Pasal 4, 5, 9, dan 10 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 yang
memungkinkan seseorang pegawai negeri sipil diperbolehkan untuk beristri lebih
dari seorang. Berdasarkan hal tersebut maka penulis memandang perlu untuk
melakukan penelitian mengenai poligami PNS, yaitu dengan mengambil judul:
“Pelaksanaan Poligami Bagi PNS di Kabupaten Magelang“.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Bahan
penelitian menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.
Spesifkasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis. Metode populasi
dan sampel yang peneliti gunakan adalah dengan metode Non Random Sampling,
dan Purposif Sampling. Alat penelitian meliputi studi kepustakaan dan wawancara
terbuka. Metode analisis data penulis menggunakan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prosedur pelaksanaan poligami
bagi PNS di kabupaten Magelang pada dasarnya sama seperti prosedur yang
dilakukan poligami selain PNS yaitu harus memenuhi syarat alternatif dan syarat
kumulatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur poligami
secara umum adapun perbedaannya adalah adanya syarat tambahan yaitu harus
ada ijin dari pejabat yang berwenang di instansi yang terkait. Adapun masalah
yang timbul dalam pelaksanaan poligami bagi PNS terutama berkaitan dengan
proses permohonan ijin dari pejabat sampai dengan pengadilan yang
membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu masalah yang umum adalah
kurangnya kesadaran para istri PNS untuk bisa menerima keinginan suami untuk
berpoligami sehingga syarat adanya ijin dari istri sangat sulit untuk di peroleh.
Adapun masalah lain adalah banyaknya kasus penyimpangan dan ketimpangan
keluarga poligami. Adapun cara mengatasi masalah yang timbul dalam
pelaksanaan poligami bagi PNS adalah hendaknya pemerintah memperketat ijin
dan pertimbangan poligami bagi PNS sehingga tidak terjadi penyimpangan
hukum dan pemerintah lebih tegas dalam memberi sanksi kepada pelaku poligami
yang tidak sesuai dengan peraturan.
Kata Kunci: Poligami, Pegawai Negeri Sipil
-
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................
HALAMAN PENEGASAN.................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
HALAMAN PENGUJI ......................................................................................... iii
HALAMAN MOTO ............................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
DAFTAR ISI……………………………………………………….………..viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 3
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 3
E. Sistematika Penulisan ...................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Perkawinan ......................................................... 6
1. Pengertian Perkawinan ................................................................ 6
2. Tujuan Perkawinan ...................................................................... 10
3.Syarat-Syarat Perkawinan ............................................................. 14
B. Tinjauan Tentang Poligmi ............................................................... 21
1. Pengertian Poligami ..................................................................... 21
2. Syarat-Syarat Poligami ................................................................ 23
C. Tinjauan Tentang Poligami Pegawai Negri Sipil ............................ 24
1. Pengertian Pegawai Negri Sipil ................................................... 24
2. Poligami Bagi Pegawai Negri Sipil ............................................. 27
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ........................................................................... 32
B. Bahan Penelitian ............................................................................... 32
-
xi
C. Spesifikasi Penelitian ........................................................................ 33
D. Metode Populasi Dan Sampling ....................................................... 33
E. Alat Penelitian ................................................................................... 34
F. Metode Analisis Data ........................................................................ 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Pegawai Sipil Di Magelang ................................. 36
B. Prosedur Pelaksanaan Poligami Bagi Pegawai Negri Sipil .............. 37
C. Masalah Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Poligami Bagi
Pegawai Negri Sipil Dan Cara Mengatasi Masalah Tersebut ........... 58
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN ................................................................................. 72
B. SARAN ............................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi kodrat alam bahwa setiap manusia memiliki naluriuntuk
saling tertarik, perasaan tertarik ini kemudian timbul keinginan di antara dua
manusia tersebut untuk membentuk sebuah kehidupan rumah tangga bersama.
Hidup bersama dalam ikatan suatu perkawinan, kemudian melahirkan
keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan
bangsa.
Suatu perkawinan akan mempunyai akibat tertentu bagi masyarakat,
maka dari itu dibutuhkan aturan dari hidup bersama mengenai syarat-syarat
peresmian, pelaksanaan, kelanjutan, dan terhentinya kehidupan bersama
tersebut. Aturan inilah yang disebut aturan perkawinan. Mengingat
pentingnya lembaga perkawinan, negara berusaha untuk mengatur
perkawinan dengan suatu undang-undang nasional, yang dimaksudkan
berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia, yaitu dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang diharapkan dapat menciptakan
unifikasi hukum di bidang hukum perkawinan atau hukum keluarga.1
Dewasa ini, salah satu bentuk perkawinan yang sering
diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami.2Aturan mengenai
1Wahyono dan Surini Ahlan, Hukum Perkawinan dan Keluarga, cet 2, Jakarta: Badan
Penerbit FH UI,2004. Hal. 1 2 Siti Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami. Jakarta: Lembaga Kajian
Agama, 2003. Hal.15
-
2
poligami berlaku bagi setiap warga Negara Indonesia termasuk bagi Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Namun bagi PNS syarat poligami yang ditetapkan lebih
berat dibandingkan dengan pengaturan secara umum dalam Undang-Undang
Perkawinan. Syarat tambahan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil terdapat
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang kemudian diubah
menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Penambahan syarat ini
dilakukan semata-mata karena Pegawai Negeri Sipil diharapkan dapat
menjadi panutan dalam masyarakat.3
Ketentuan penambahan syarat tersebut antara lain, PNS pria yang
hendak beristri lebih dari satu wajib memperoleh izin lebih dahulu dari
pejabat. Demikian juga bagi PNS wanita, ia tidak dizinkan untuk menjadi istri
kedua/ ketiga/keempat dari PNS maupun yang bukan. Pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan tersebut diancam dengan sanksi pemecatan.4
Sehubungan dengan penambahan syarat ini, kemudian banyak terjadi
kasus-kasus poligami tanpa izin yang dilakukan oleh PNS. Banyak sekali
PNS yang mengaku masih perjaka atau duda ditinggal mati yang kemudian
menikah lagi tanpa mendapatkan izin dari istri pertamanya atau pejabat yang
berwenang. Permasalahan hukum yang terjadi adalah banyaknya poligami
ilegal yang dilakukan oleh PNS sebagai akibat dari ketatnya peraturan yang
ada.
3 Ziro Zaili Abdullah, Hukum Kepegawaian. Jakarta: Rajawali, 2000. Hal. 60
4 A.W. Widjaja, Administrasi Kepegawaian. Jakarta: CV. Rajawali, 2006. Hal. 31
-
3
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, menarik untuk dilakukan
penelitian yang mendalam terhadap poligami yang dilakukan oleh PNS.
Penulisan ini akan difokuskan pada perkawinan poligami bagi Pegawai
Negeri Sipil. Kajian ini diharapkan akan menjadi masukan yang objektif bagi
lembaga-lembaga yang berwenang untuk menentukan kebijakan ke depan
yang lebih baik maka penulis akan mencoba membahas dalam bentuk skripsi
yang berjudul “PELAKSANAAN POLIGAMI BAGI PEGAWAI
NEGERI SIPIL DI KABUPATEN MAGELANG”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan
masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan poligami bagi PNS?
2. Apakah masalah yang timbul dalam pelaksanaan poligami bagi PNS di
Kabupaten Magelang dan cara menyelesaikan masalah tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Rumusan masalah yang telah peneliti paparkan di atas, dapat
diuraikan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mengenai prosedur daripada pelaksanaan poligami bagi
PNS
2. Untuk mengetahui masalah yang timbul dalam pelaksanaan poligami bagi
PNS di Kabupaten Magelang dan cara menyelesaikan masalah tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
-
4
Penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa kegunaan, baik secara
teoritis maupun secara praktis.
1. Secara Teoritis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai
pengetahuan untuk menambah, memperluas serta memperdalam
wacana dan wawasan tentang praktek poligami bagi PNS.
b. Dapat digunakan sebagai landasan untuk melakukan penelitian lebih
lanjut mengenai praktik poligami, sehingga diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan.
2. Secara Praktis
a. Dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat mengenai
pelaksanaan poligami bagi PNS.
b. Dapat digunakan sebagai bahan atau referensi dalam menyikapi
fenomena yang ada di lingkungan masyarakat secara umum.
E. Sistematika Penulisan Skripsi
Adapun sistematika penulisan tugas akhir ini dibagi menjadi 5 (lima)
bab, masing-masing bab dibagi dalam sub-sub bab dan dibagi lagi dalam anak
sub bab yang banyaknya disesuaikan dengan keperluan dan agar
mempermudah pembaca dalam memahami hubungan antara bab 1 dan bab
lainnya.
BAB I PENDAHULUAN
-
5
Bab I ini membahas masalah pokok skripsi meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini menjelaskan mengenai tinjauan tentang perkawinan
meliputi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, dan syarat-
syarat perkawinan; tinjauan tentang poligami meliputi pengertian
poligami, dan syarat-syarat poligami; tinjauan tentang poligami
bagi PNS meliputi pengertian PNS, dan poligami bagi PNS.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab III ini berisi mengenai tata cara memperoleh data untuk
penyusunan skripsi ini, yaitu: Metode pendekatan, Bahan
penelitian, Spesifikasi penelitian, Metode sampel, Alat penelitian,
dan Metode analisis data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam BAB IV ini peneliti menjelaskan mengenai hasil-hasil
penelitian dan pembahasannya, yaitu meliputi:
1. Prosedur pelaksanaan poligami bagi PNS
2. Masalah yang timbul dalam pelaksanaan poligami bagi PNS
dan cara menyelesaikan masalah tersebut.
BAB V PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran.
-
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dewasa dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pengertian perkawinan tersebut di atas, maka
perkawinan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang
wanita, dengan demikian perkawinan sama dengan perikatan
(Verbindtenis).5 Tentulah tidak dinamakan perkawinan apabila yang terikat
dalam perjanjian itu 2 (dua) orang pria saja ataupun 2 (dua) orang wanita
saja, atau dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita. Demikian juga
tidak merupakan perkawinan apabila sekiranya ikatan lahir batin itu tidak
bahagia, atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.6
Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan sebagai suatu
akad atau perikatan, untuk menghalalkan hubungan kelamin antara lelaki
dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga
5Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju.2000. Hal.
7 6Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur. 2001. Hal. 7
-
7
yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang
diridhoi Allah.7
Hal yang sama juga dapat dilihat dalam Pasal 1 HOCI (Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesiers), yang menetapkan bahwa tentang
perkawinan undang-undang hanya memperhatikan hubungan perdata saja.
Undang-undang hanya mengenal perkawinan perdata yaitu perkawinan
yang dilakukan di hadapan seorang Pegawai Catatan Sipil.8
Beberapa sarjana memberikan pengertian perkawinan sebagai
berikut:
a. Perkawinan, adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dengan
seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam
peraturan tersebut.9
b. Perkawinan, adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan di dalam
hukum keluarga.10
c. Perkawinan, adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk waktu lama.11
Melihat pendapat para sarjana tersebut di atas, maka dapat
dipahami bahwa para ahli memandang perkawinan itu merupakan
7Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII.
2003. Hal. 11 8H. F.A. Voolmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Terjemahan LS. Adiwimarta, Edisi
1, Cetakan 2, Jakarta: Rajawali. 2001. Hal. 50 9Wirjono Prodjodikoto, Op. Cit, Hal. 7
10Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Bina Aksara, Jakarta. 2004. Hal. 98 11
R. Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa. 2006. Hal. 23
-
8
perjanjian untuk membentuk rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami
sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi sebagai
berikut:”Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami”.
Pengecualian terletak pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan yang menyatakan bahwa:”Pengadilan dapat memberi ijin
kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Ketentuan tersebut berarti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menganut asas monogami, tetapi tidak tertutup kemungkinan dalam
keadaan terpaksa suami dapat melakukan poligami, sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya bahwa pengadilan dalam memberikan putusan untuk
poligami selain memeriksa apakah syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4
dan Pasal 5 telah dipenuhi atau belum. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan menentukan:
1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang
sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini,
maka diwajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.
-
9
2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan
ijin kepada suami yang beristri lebih dari seorang apabila:
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan menentukan:
1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Adanya persetujuan dari istri.
b) Adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istriistri dan anak-anak mereka.
2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) menurut pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istrinya/istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada cacat dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
-
10
Setelah terjadi suatu perkawinan atau setelah adanya akad nikah,
maka bagi suami istri timbul hak dan kewajiban diantara keduanya.
Adapun hak dan kewajiban itu adalah:
1) Suami wajib menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi
masyarakat.
2) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang, masing-masing
berhak melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan
istri adalah ibu rumah tangga.
3) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan bersama-
sama.
4) Suami istri wajib saling mencintai, saling menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin satu sama lain.
5) Suami wajib melindungi istri dan memberikan keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengatur
urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Akan tetapi, jika masing-masing
lalai melakukan kewajibannya masing-masing dapat melakukan
gugatan.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian
menurut Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah
-
11
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
Selain itu ada beberapa tujuan dari perkawinan, di antaranya
adalah:
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah agar dapat melanjutkan
generasi yang akan datang.
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan
hidup dan rasa kasih sayang.
c. Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup dapat
saja ditempuh melalui jalur luar perkawinan, namun dalam
mendapatkan ketenangan hidup bersama suami istri tidak mungkin
didapat kecuali melalui jalur perkawinan.
d. Menenteramkan jiwa. Bila telah terjadi perkawinan, istri merasa
jiwanya tenteram karena ada yang melindungi dan ada yang
bertanggung jawab dalam rumah tangga. Suami pun merasa tenteram
karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat
menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah
dalam menghadapi berbagai persoalan.
e. Memenuhi kebutuhan biologis. Kecenderungan cinta lawan jenis dan
hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas
kehendak Allah. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan biologis harus
diatur melalui lembaga perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan
sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar.
-
12
f. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran
dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan
segala kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut.12
Maksud dan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu
kehidupan keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni satu
sama lain (keluarga sakinah). Maksud pernikahan adalah untuk
mewujudkan rumah tangga, adapun tujuannya adalah untuk menciptakan
keluarga sakinah yang ditandai dengan adanya kebajikan, serta diliputi
dengan suasana “mawaddah wa rahmah”.
Meskipun perkawinan nampak sebagai ikatan (perjanjian) antara
kedua belah pihak, namun perkawinan bukanlah perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam hukum harta kekayaan. Perkawinan termasuk dalam
bidang hukum keluarga, dimana hak dan kewajiban dalam hukum
perkawinan pada asasnya tidak dapat dinilai dengan uang. Perkawinan
pada prinsipnya bermaksud untuk membentuk persekutuan hidup yang
kekal dan abadi. Adapun perjanjian dalam hukum harta kekayaan tidak
mengenal prinsip kekal abadinya ikatan tersebut. Perjanjian dalam hukum
harta kekayaan pada prinsipnya merupakan hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang.
Undang-Undang Perkawinan di dalam penjelasannya menegaskan
bahwa berkaitan dengan dasar negara Pancasila yang sila pertamanya
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
12
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII.
2003. Hal. 43
-
13
hubungan yang erat sekali dengan agama. Hal ini, nampak bahwa
perkawinan bukan saja mempunyai umur lahir (jasmaniah), tetapi juga
bathin (rohaniah).
Keterkaitan hubungan yang erat antara perkawinan dan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa kemudian lebih dipertegas dengan pengaturan
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu.
Sementara itu, yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan hukum yang berlaku
bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
beserta penjelasannya, maka suatu perkawinan dikatakan sah apabila
dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Oleh
karena itu,hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah meliputi
hukum perkawinan dari masing-masing agamanya, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. Bagi orang Islam,
perkawinan dilakukan menurut hukum Islam, demikian juga bagi orang
Kristen, berlaku hukum Kristen. Bagi orang Buddha, berlaku hukum
perkawinan agama Buddha, bagi orang Hindu berlaku hukum perkawinan
agama Hindu.
-
14
Berdasarkan uraian di atas, maka berkaitan dengan syarat sahnya
perkawinan, ketentuan dalam hukum agama tentang syarat sahnya
perkawinan juga merupakan sumber hukum yang mengikat, di samping
harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan.
3. Syarat-Syarat Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa suatu perkawinan
baru sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Berhubung syarat-syarat perkawinan telah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,
maka syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam ketentuan perundang-
undangan lama dinyatakan tidak berlaku. Syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Syarat-syarat materiil
Syarat-syarat Materiil yaitu, syarat mengenai orang-orang yang
hendak kawin dan izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam
hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. Selanjutnya syarat-syarat
materiil dibagi 2 (dua) yaitu:
1) Syarat-syarat mutlak
2) Syarat relatif
Syarat mutlak yaitu, syarat yang harus dipenuhi oleh setiap
orang yang hendak kawin, dengan tidak memandang dengan siapa ia
hendak kawin. Syarat-syarat tersebut ialah:
-
15
a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon suami
istri (Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974);
b) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin
kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
c) Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974);
d) Bagi wanita yang putus perkawinannya, berlaku waktu tunggu (Pasal
11 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975), yaitu :
(1) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 hari.
(2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatang bulan, ditetapkan 3 kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari; bagi yang, tidak berdatang bulan
ditetapkan 90 hari.
(3) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan
hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.
(4) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara
janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan
kelamin, maka tidak ada waktu tunggu.
Syarat meteriil relatif yaitu, syarat-syarat bagi pihak yang
hendak dikawin. Seorang yang telah memenuhi syarat-syarat materiil
mutlak diperbolehkan kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap
-
16
orang. Dengan siapa hendak kawin, harus memenuhi syarat-syarat
materiil relatif.Syarat-syarat tersebut adalah:
a) Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu
antara saudara, antara seorang saudara dengan saudara orang tua
dan antara seorang dengan saudara neneknya
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu
bapak tiri
4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan
bibi susuan
5) Berhubungan saudara dengan istri, atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang
6) Yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku sekarang (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974).
b) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat
(2) dan Pasal 4 undang-undang ini (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974);
c) Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka
tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
-
17
bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UU No. 1 Tahun
1974).
b. Syarat-syarat formal.
Syarat-syarat formal terdiri dari formalitas-formalitas yang
mendahului perkawinannya. Syarat-syarat formal diatur dalam Pasal 3
sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yang
terdiri dari 3 tahap yaitu:
1) Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan
2) Penelitian syarat-syarat perkawinan
3) Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan
perkawinan.
Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan, yaitu:
calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan harus
memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di
tempat perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan itu harus dilakukan
sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) hari kerja, sebelum
perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu itu
dapat diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepada Daerah, apabila
ada alasan yang penting. Alasan yang penting menurut Pasal 3
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, misalnya karena salah seorang
calon mempelai akan segera ke luar negeri untuk melaksanakan tugas
negara, pemberitahuan itu dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon
mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya. Pada prinsipnya kehendak
-
18
untuk melangsungkan perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh
salah satu atau kedua calon mempelai, atau orang tua atau wakilnya.
Tetapi apabila karena sesuatu alasan yang sah pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan secara lisan itu tidak mungkin dilakukan,
maka pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis (Penjelasan Pasal 4
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975). Kemudian dalam
memberitahukan maksud untuk melangsungkan perkawinan itu, harus
memuat pula: nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya
pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan tersebut
merupakan ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambah
hal-hal lain, misalnya wali nikah bagi mereka yang beragama Islam.
Setelah pegawai pencatat pernikahan menerima pemberitahuan,
maka ia harus meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah
terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan perkawinan menurut
Undang-Undang. Pegawai Pencatat Perkawinan juga meneliti:
1) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.
Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat
dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal usul
calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang
setingkat dengan itu.
-
19
2) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat tinggal orang tua calon mempelai.
3) Ijin terlulis/izin Pengadilan, dalam hal salah seorang calon mempelai
atau keduanya belum mencapai usia 21 tahun.
4) Ijin Pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami
yang masih mempunyai istri.
5) Dispensasi Pengadilan/Pejabat, dalam hal ini adanya halangan
perkawinan.
6) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal
perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua
kalinya.
7) Ijin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya anggota Angkatan Bersenjata.
8) Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh
pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya tidak hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting
sehingga mewakilkan orang lain.
Mengenai penelitian syarat-syarat perkawinan dalam hal ini
tentunya pegawai pencatat perkawinan harus bertindak aktif, artinya
tidak hanya menerima saja apa yang dikemukakan oleh yang
melangsungkan perkawinan itu, maka pegawai pencatat perkawinan
-
20
menulis dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.13
Kemudian
apabila terdapat halangan untuk melangsungkan perkawinan, maka
keadaan semacam ini harus segara diberitahukan kepada calon kedua
mempelai atau kedua orangtuanya atau wakilnya.
Pengumuman tentang memberitahukan untuk kawin, yaitu:
setelah semua syarat-syarat perkawinan dipenuhi, maka Pegawai
Pencatat lalu mengadakan pengumuman tentang pemberitahuan untuk
melangsungkan perkawinan, dengan cara menempelkan surat
pengumuman menurut formulir yang ditetapkan oleh Kantor Pegawai
Pencatat Perkawinan pada suatu tempat yang telah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum. Pengumuman tersebut ditanda tangani oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang akan
melangsungkan perkawinan juga memuat kapan dan dimana
perkawinan itu akan dilangsungkan.Adapun tujuan diadakannya
pengumuman, yaitu untuk memberi kesempatan kepada umum untuk
mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan terhadap
dilangsungkan perkawinan. Keberatan-keberatan itu dapat diajukan
dengan alasan, bahwa perkawinan bertentangan dengan hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya (Penjelasan Pasal 8 Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975). Masih berkaitan dengan hal di atas,
maksud pengumuman ini, ialah untuk memberitahukan kepada siapa
13
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarat: Ghalia Indonesia. 2000. Hal.
19
-
21
saja yang berkepentingan untuk mencegah maksud perkawinan itu,
karena alasan-alasan tertentu. Sebab dapat saja terjadi suatu perkawinan
lolos dari perhatian Pegawai Pencatat Perkawinan dan pengumuman
juga berfungsi sebagai pengawas yang dilakukan oleh khalayak ramai.14
B. Tinjauan Tentang Poligami
1. PengertianPoligami
Poligami merupakan praktik pernikahan lebih dari satu suami
atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus
pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang
memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat).
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria
memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki
beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris:
group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk
poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan
bentuk yang paling umum terjadi.
Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami
ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang
poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan
kepada kaum wanita.15
14
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.Jakarta: Bina Aksara, Jakarta. 2004. Hal. 47 15
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama. Jakarta: Sinar Grafika. 2007. Hal. 40
http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahanhttp://id.wikipedia.org/wiki/Monogamihttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Poligini&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Poliandri&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pernikahan_kelompok&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Inggrishttp://id.wikipedia.org/wiki/Feminishttp://www.mandarmaju.com/pengarang.php?id=47
-
22
Di Indonesia masalah poligami di atur dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun
1975 tentang aturan pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974.Adapun sebagai hukum materiil bagi orang Islam, terdapat
ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Ketentuanyang berkaitan dengan poligami Pasal 4 dan Pasal 5
Undang-Undang Perkawinan. Pasal 4 secara garis besar menyatakan
bahwa bagi setiap suami yang berniat memperistri lebih dari satu harus
mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggal,
dengan alasan bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
istri, istri sakit tidak bisa disembuhkan dan istri tidak bisa melahirkan
keturunan.Adapun Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan mengatur
mengenai syarat.
Sementara dalam KHI, poligami hanya dijelaskan dalam satu bab,
yaitu Bagian kelima tentang kewajiban suami yang beristri lebih dari
seorang, sebagai berikut :
a. Suami yang beristri lebih dari seorang berkewajiban memberikan
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara
berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung
masing-maing-masing istri, kecuali kalau ada perjanjian perkawinan.
b. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan
istrinya dalam satu tempat kediaman.
-
23
Jadi apa yang diatur dalam KHI merupakan sebuah praktek nyata
dari poligami yang harus dilakukan oleh suami.
2. Syarat-SyaratPoligami
Pada pokoknya Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan menetapkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan
poligami, yaitu:
a. Adanya persetujuan dari istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material)
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka (immaterial)
Alasan-alasan tersebut belum cukup sebagai dasar orang akan
berpoligami, untuk selanjutnya harus memenuhi syarat berikut:
a. Berlaku adil
Adil disini tidak sebatas pada pemberian materi atau kebutuhan
ekonomis keluarga saja. Akan tetapi, bagi suami yang mempunyai
lebih dari seorang istri harus benar-benar dapat memberikan
perhatian, kasih sayang dan kebutuhan biologis secara adil. Hal inilah
sangat sulit dicapai karena seringkali faktor ini menjadi penyebab
tidak harmonisnya hubungan antar istri.
b. Mampu membiayai seluruh istri dan anak
Secara ekonomi, suami yang berpoligami harus dapat memenuhi
kebutuhan anak dan istri yang tentunya jauh lebih besar dari pada
-
24
monogami. Sepatutnya tidak perlu terjadiadalahsuami tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup keluarga besarnya, padahal kebutuhan
hidup bertambah hari bertambah banyak dan mahal.
c. Mampu mengayomi dan melindungi.
Kehidupan keluarga bukan saja penyaluran kebutuhan biologis antara
suami dan istri. Penikahan merupan bagian dari aktivitas mansuia
yang dapat memenuhi kebutuhan psikis seperti rasa aman,
terlindungi, tentam dan bahagia. Kehidupan perkawinan poligami
tentunya syarat dengan berbagai konflik baik internal keluarga besar
suami istri, antar istri, dana antar anak dari istri yang berbeda.
Berbagai kemungkinan yang terjadi mengharuskan seorang suami
benar-benar menjadi sosok yang mampu menjadi pelindung dan
pengayom bagi keluarga. Bukan sebaliknya, sosok yang menakutkan
karena kali melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
C. Tinjaun Tentang Poligami Pegawai Negeri Sipil
1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil
Berdasarkan Undang-Undang Pokok Kepegawaian No.43 Tahun
1999 Tentang Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, maka pengertian Pegawai Negeri adalah:16
a. Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi
masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan
16
Sudirman dan Teguh Widjinarko, AKIP dan Pengukuran Kinerja. Jakarta: LAN-RI.
2001. Hal. 7
-
25
Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah,
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.
b. Pegawai negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang
ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan
digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pegawai negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS)dan
anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia (UU No.43 Tahun 1999). Pegawai Negeri Sipil (PNS)
adalah setiap warga negara RI yang telah memenuhi syarat yang telah
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat
(1) UU No.43 Tahun 1999).
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, menjelaskan Pegawai Negeri terdiri
dari:17
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS)
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia
17
D.A. Sumantri, Hukum Kepegawaian. Jakarta: Ind.Hil.Co. 2009. Hal. 33
-
26
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pegawai Negeri Sipil (PNS) terdiri dari:
1) Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pusat
PNS adalah pegawai yang bekerja sama pada departemen,
lembaga pemerintah non departemen, kesekretariatan, lembaga
tertinggi/tinggi negara, instansi vertikal di daerah-daerah dan
kepaniteraan pengadilan. Juga pegawai yang bekerja pada perusahaan
jawatan misalnya perusahaan jawatan kereta api, pegadaian dan lain-
lain. Pegawai yang diperbantukan atau dipekerjakan pada Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Juga pegawai yang
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan dan diperbantukan
atau dipekerjakan pada badan lain seperti perusahaan umum, yayasan
dan lainnya serta yang menyelenggarakan tugas negara lainnya,
misalnya hakim pada pengadilan negeri/pengadilan tinggi dan lain-
lain.
2) Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah
PNS Daerah diangkat dan bekerja pada Pemerintahan Daerah
Otonom baik pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
3) Pegawai Negeri Sipil (PNS) lain yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah
Masih dimungkinkan adanya PNS lainnya yang akan
ditetapkan dengan peraturan pemerintah, misalnya kepala-kepala
-
27
kelurahan dan pegawai negeri di kantor sesuai dengan UU No.43
Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa yang menyelenggarakan tugas-tugas negara atau pemerintahan
adalah pegawai negeri, karena kedudukan pegawai negeri adalah
sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, juga pegawai negeri
merupakan tulang punggung pemerintah dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan maupun dalam melaksanakan pembangunan nasional.18
2. Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil
Undang-Undang Perkawinan menentukan tata cara, alasan-alasan
dan syarat-syarat yang harus ditempuh dan dipenuhi oleh seorang suami
yang akan melakukan poligami yaitu ia wajib mengajukan permohonan
kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya, mempunyai izin yang
diberikan oleh istri yang meliputi, istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat melahirkan
keturunan, dan memenuhi syarat-syarat untuk dapat mengajukan
permohonan kepada pengadilan. Disamping itu harus memenuhi syarat-
syarat adanya persetujuan dari istri atau istri-istri, adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
18
Mukijat, Manajemen Sumber Daya Manusia (Manajemen Kepegawaian). Bandung:
Mandar Maju. 2009. Hal. 15
-
28
Ketentuan beristri lebih dari satu atau yang sering disebut
poligami bagi Pegawai Negeri Sipil, selain berlaku ketentuan umum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam (bagi yang
beragama Islam), juga diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah
No.10 Tahun 1983yang diubah dan disempurnakan beberapa pasalnya
dengan Peraturan PemerintahNo.45 Tahun 1990. Kedua Peraturan
Pemerintah ini berisi aturan-aturan khusus bagi PNS dalam hal hendak
melaksanakan perkawinan dan perceraian.Ketentuan khusus tersebut
antara lain, PNS pria yang hendak beristri lebih dari satu wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat. Demikian juga bagi PNS
wanita, ia tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ ketiga/ keempat dari
PNS. Dalam Peraturan PemerintahNo.45 Tahun 1990, PNS wanita tidak
diperbolehkan sama sekaliuntuk menjadi istri kedua/ ketiga/ keempat,
baik oleh pria PNS maupun yang bukan.Pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan tersebut diancam dengan sanksi pemecatan. Sebagaimana
disebutkan PNS yang melanggar ketentuan tersebut akandijatuhi
hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan tidak hormat tidak atas
permintaan sendiri. Hukuman disiplin yang sama juga dikenakan bagi
PNS yang melakukan hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai
suami istri tanpa perkawinan yang sah.
Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan tentang
poligami bagi PNS yang ada dalam Peraturan PemerintahNo.10 Tahun
-
29
1983 dan Peraturan PemerintahNo.45 Tahun 1990, khususnya tentang
izin perkawinan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil. Memang hukum
perkawinan di Indonesia menganut azas monogamiyaitu, pada
dasarnyaseorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, begitu juga
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Azas ini
dilatarbelakangi oleh praktek-praktek poligami yang tidak
bertanggungjawab dan menyimpang dari tujuan perkawinan sebelum
lahirnya Undang-undang Perkawinan.Untuk menegakkan azas tersebut,
poligami meskipun diperbolehkan, tetapi pelaksanaannya dipersulit atau
dibatasi dengan aturan-aturan yang ketat. Seseorang yang akan beristri
lebih dari seorang harus ada alasan dan syarat-syarat tertentu, serta
dengan izin pengadilan.
Prinsip dari Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 dan
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 adalah sama, yaitu sebisa
mungkin tidak ada kehadiran wanita lain dalam kehidupan suami istri,
atau dalam perkawinan (rumah tangga) khususnya bagi Pegawai Negeri
Sipil. Antara kedua Peraturan Pemerintah tersebut terdapat hubungan erat
yaitu berisi ketentuan-ketentuan mengenai poligami dan perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil dan sebagian dari ketentuan Peraturan Pemerintah
No. 10 Tahun 1983 diubah (disempurnakan) dengan Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 1990.
Menurut Peraturan PemerintahNo.10 Tahun 1983 yang telah
disempurnakan dengan Peraturan PemerintahNo.45 Tahun 1990, seorang
-
30
PNS pria yang ingin melakukan poligami harus memenuhi syarat
alternatif maupun salah satu atau lebih dari syarat kumulatif.
Syarat kumulatifnya yaitu:
a. Ada persetujuan tertulis dari istri,
b. Mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari
seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat
keterangan Pajak Penghasilan,
c. Ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Adapun syarat alternatif yaitu:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannnya sebagai istri,
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan,
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
-
31
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu cara tekhnis yang dilakukan dalam proses penelitian.
Penelitian adalah suatu upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan
untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan
sistematik untuk mewujudkan kebenaran.
Metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos berarti jalan sampai,
meta dan hodos berarti jalan. Metodologi penelitian19
adalah cara-cara berpikir dan
berbuat yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan
untuk mencapai suatu tujuan penelitian. Penelitian merupakan suatu sarana untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan baik dari segi teoritis maupun praktis.
Penelitian merupakan suatu bagian pokok dari ilmu pengetahuan yang bertujuan
untuk lebih mendalami segi kehidupan.20
Proses dalam melaksanakan penelitian merupakan hal yang penting untuk
mengetahui permasalahan yang terjadi, selanjutnya dapat berkembang menjadi
suatu gagasan teori,konseptualisasi, maupun pemilihan metode. Sedangkan hasil
akhir dalam suatu penelitian akan menjadi suatu gagasan teori baru yang
merupakan proses yang tidak ada habisnya.
Metode penelitian yang digunakan sebagaimana yang tercantum dalam
buku pengantar penelitian hukum karangan Soerjono Soekanto untuk memperoleh
data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini adalah:
19
Kartini, Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju. 2006.
Hal. 20 20
Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Pres. 2006. Hal. 3
-
32
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan ialah metode pendekatan yuridis
normatif. Yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu
Hukum, dan berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam
masyarakat.21
Penelitian ini difokuskan pada masalah mengenai Poligami
bagi PNS ditinjau dari UU No.1 Tahun 1974 dan PP No.10 Tahun 1983 jo.
PP No.45 Tahun 1990.
B. BahanPenelitian
Sebagai bahan penelitian, peneliti menggunakan 2 (dua) jenis data,
antara lain:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung sebagai hasil
penelitian lapangan.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara penelitian
kepustakaan; yaitu melalui penelitian peraturan-peraturan serta
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Poligami oleh PNS,
diantaranya:
a) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
b) Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian
c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. 2002. Hal. 8
-
33
d) Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi PNS
e) Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi PNS
C. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis, yaitu
menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-
teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut
permasalahan yang dikaji.22
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu
bentuk penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena yang ada,
yaitu mengenai Poligami yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil.
D. MetodePopulasi dan Sampel
Populasi merupakan keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri
yang sama, dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian,
kasus-kasus, waktu atau tempat, dengan sifat atau ciri yang sama.23
Pengertian sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili
populasinya. Sampel yang diambil adalah para pihak yang terkait dengan
prosedur pelaksanaan poligami PNS di Kabupaten Magelang, dimana
responden yang mendukung penelitian ini diantaranya:
1. Badan Kepegawaian Daerah diMagelang
2. Advokat di Magelang
3. Kantor Urusan Agama di Magelang
22 Moh Nazir, Metode Penelitian Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. 2001. Hal. 55
23 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.
Hal. 121
-
34
4. Ulama di Magelang
5. Pegawai Negeri Sipil di Magelang
6. Hakim di Magelang
Teknik sampling atau penetapan sampel yang peneliti gunakan adalah
dengan metode Non Random SamplingdanPurposif Samplingyaitu tidak
semua unsur dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk
menjadi sampel. Sampel yang dipilih berdasarkan ciri-ciri khusus yang
mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti, yaitu sampel yang
ada kaitannya dengan Poligami oleh Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di
Pemerintah Daerah Magelang.
E. Alat Penelitian
Alat penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini
meliputi:
1. Studi Kepustakaan
Penulis mempelajari literatur-literatur yang ada kaitannya dengan
permasalahan mengenai Poligami oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).
2. Wawancara/Interview
Dilaksanakan dengan cara menanyakan langsung kepada para
responden dari sampel yang telah ditentukan, yaitu PNS dan Praktisi
hukum di Magelang.Untuk membantu penyelenggaraan penelitian
lapangan dengan wawancara ini, maka digunkan alat berupa:
a) Panduan Wawancara
-
35
Panduan wawancara ini berupa point-point penting yang
hendak digali dari narasumber, dalam proses lebih lanjut point
tersebut dapat menjadi daftar pertanyaan, baik yang akan digunakan
untuk wawancara langsung ataupun wawancara tidak langsung.
b) Daftar Pertanyaan
Daftar pertanyaan tersebut merupakan bentuk konkrit dari
panduan wawancara, yakni berupa pint-point yang sudah berbentuk
kalimat tanya yang dapat digunakan dalam wawancara tertulis sebagai
alternatif dari tidak terlaksananya wawancara langsung dengan
narasumber.
F. Metode Analisis Data
Data primer dan data sekunder setelah terkumpul selanjutnya diolah
dan dianalisa dengan metode analisis kualitatif berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Analisis kualitatif adalah pengolahan data
dengan melalui tahapan-tahapan pengumpulan data, mengklasifikasikan,
menghubungkan teori dan masalah yang ada, kemudian menarik kesimpulan
guna menentukan atas jawaban permasalahan. Analisis ini merupakan
langkah terhadap keseluruhan data yang telah peneliti peroleh serta dengan
mempertahankan dasar hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan poligami
bagi PNS, kemudian analisis tersebut akan dilaporkan dalam bentuk skripsi.
-
36
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka
dapatditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Prosedur pelaksanaan poligami bagi PNS pada dasarnya sama seperti
prosedur yang dilakukan poligami selain PNS yaitu harus memenuhi
syarat alternatif dan kumulatif sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang mengatur poligami secara umum, adapun
perbedaannya adalah adanya syarat tambahan yaitu harus ada ijin dari
pejabat yang berwenang di instansi yang terkait.
Syarat alternatif
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannnya sebagai istri,
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan,
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Syarat Kumulaif
a. Ada persetujuan tertulis dari istri,
b. Mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih
dari seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan
surat keterangan Pajak Penghasilan,
-
37
c. Ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia
akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
2. Masalah yang timbul dalam pelaksanaan poligami bagi PNS terutama
berkaitan dengan proses permohonan ijin dari pejabat sampai dengan
pengadilan yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu
masalah yang umum adalah kurangnya kesadaran para istri PNS untuk
bisa menerima keinginan suami untuk berpoligami sehingga syarat
adanya ijin dari istri sangat sulit untuk di peroleh. Di samping itu
banyaknya kasus penyimpangan dan ketimpangan keluarga poligami.
Seperti:Poligami liar/poligami yang dilakukan tanpa melalui prosedur
yang sah, pecahnya rumah tangga, tidak adanya jaminan ekonomi dan
keadilan, ketertindasan perempuan, dan keterlantaran anak-anak juga
turut menjadi masalah. Adapun cara mengatasi masalah yang timbul
dalam pelaksanaan poligami bagi PNS adalah hendaknya pemerintah
mempertimbangkan ijin poligami bagi PNS sehingga tidak terjadi
penyimpangan hukum dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku
poligami yang tidak sesuai dengan PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No.
45 Tahun 1990.
2. Saran
1. Bagi pemerintah hendaknya mempertimbangkan dengan sungguh ijin
poligami bagi PNS dan lebih tegas dalam memberi sanksi kepada
pelaku poligami yang tidak sesuai dengan peraturan agar dapat
memberikan efek jera kepada pelakunya. Selain itu syarat-syarat yang
-
38
ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan untuk melakukan
poligami hendaknya menjadi pertimbangan yang sangat penting bagi
pejabat dan pengadilan dalam mengabulkan sebuah permohonan
poligami untuk meminimalisasi terjadinya poligami yang terjadi bukan
karena keadaan memaksa.
2. Mengingat PNS mempunyai kedudukan yang terhormat, sebagai unsur
aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat, yang harus bisa
menjadi teladan yang baik bagi masyarakat, baik dalam kehidupan
keluarga dan ketaatan hukum maupun perundang-undangan, maka bagi
PNS yang akan melakukan poligami harus memikirkan lebih jauh lagi
apakah dasar atau alasan poligami sudah tepat dan mendesak atau
tidak.
-
39
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Wahyono dan Surini Ahlan, Hukum Perkawinan dan Keluarga, cet. 2, Jakarta:
Badan Penerbit FH UI. 2004.
Siti Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami. Jakarta: Lembaga Kajian
Agama, 2003.
Ziro Zaili Abdullah, Hukum Kepegawaian. Jakarta: Rajawali. 2000.
A.W. Widjaja, Administrasi Kepegawaian. Jakarta: CV. Rajawali. 2006.
Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
2000.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur. 2001.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum
UII. 2003.
H. F.A. Voolmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Terjemahan LS. Adiwimarta,
Edisi 1, Cetakan 2, Jakarta: Rajawali. 2001.
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Bina Aksara, Jakarta. 2004.
R. Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa. 2006.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum
UII. 2003.
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarat: Ghalia Indonesia. 2000.
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Bina Aksara, Jakarta. 2004.
-
40
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama.Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Sudirman dan Teguh Widjinarko, AKIP dan Pengukuran Kinerja. Jakarta: LAN-
RI, 2001.
D.A. Sumantri, Hukum Kepegawaian. Jakarta: Ind.Hil.Co. 2009.
Mukijat, Manajemen Sumber Daya Manusia (Manajemen Kepegawaian).
Bandung: Mandar Maju. 2009.
Kartini, Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar
Maju.2006.
Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI,Press. 2006.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:UI-Press. 2002.
Moh Nazir, Metode Penelitian Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. 2001.
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2003.
B. Undang-Undang
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS
PP No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS
http://www.mandarmaju.com/pengarang.php?id=47