PELAKSANAAN PENGAWASAN IZIN USAHA ......PELAKSANAAN PENGAWASAN IZIN USAHA PERKEBUNAN DI PROVINSI...
Transcript of PELAKSANAAN PENGAWASAN IZIN USAHA ......PELAKSANAAN PENGAWASAN IZIN USAHA PERKEBUNAN DI PROVINSI...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PELAKSANAAN PENGAWASAN IZIN USAHA PERKEBUNAN
DI PROVINSI JAWA TENGAH
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Amelia Intiastuti
NIM. E0007073
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PELAKSANAAN PENGAWASAN IZIN USAHA PERKEBUNAN
DI PROVINSI JAWA TENGAH
Oleh :
Amelia Intiastuti
NIM. E0007073
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 2011
Dosen Pembimbing
Lego Karjoko, S.H., M.H.
NIP. 1963 0519 198803 1001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERNYATAAN
Nama : Amelia Intiastuti
NIM : E0007073
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:
PELAKSANAAN PENGAWASAN IZIN USAHA PERKEBUNAN DI
PROVINSI JAWA TENGAH adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang
bukan karya saya dalam penulisan hukum (Skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum (Skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum (Skripsi) ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Christ gives me the streghth to face anything”
(Philippians 4:13)
“Jangan membatasi pandanganmu dengan keadaan, karena iman adalah sesuatu
yang sanggup menembus keadaan”
(Penulis)
“Apa yang kita lihat, itu yang akan kita dapatkan”
(Penulis)
Penulisan Hukum ini kupersembahkan bagi:
1. My Lord, My Saviour, Jesus Christ.
2. Bapaku Tri Joko Inti Budi Santosa, S.ST., M.T.,
Mamaku Titiek Herlina, S.Th., Adikku Upimas Dwi
Kristiari, dan segenap keluargaku tercinta.
3. Almamater tercinta di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Amelia Intiastuti, E 0007073. 2011. PELAKSANAAN PENGAWASAN IZIN USAHA PERKEBUNAN DI PROVINSI JAWA TENGAH. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan pengawasan izin usaha perkebunan di Provinsi Jawa Tengah yang berada dibawah pengelolaan dinas teknis terkait yaitu Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah dalam rangka pengolahan perkebuan yang berdaya guna, khususnya dikaitkan dengan: pemberian izin usaha perkebunan, mekanisme pengawasan usaha perkebunan, dan tindakan hukum yang diambil oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah terhadap perusahaan perkebunan yang tidak sehat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif bersifat preskriptif, menemukan hukum in concreto mengenai pelaksanaan pengawasan usaha perkebunan di Provinsi Jawa Tengah. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup data primer, data sekunder, dan data tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Beberapa data kemudian dimintakan penjelasan dan konfirmasi dari Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah. Teknik analisis data yang digunakan dengan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan sebagai berikut: Kesatu, pemberian izin usaha perkebunan di Provinsi Jawa Tengah sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 18 Tahun 2004, Permentan No. 26/Permentan/OT.140/2/2007, Perda Jawa Tengah No. 2 Tahun 2005, dan Peraturan Kepala Dinas Perkebunan No. 5 Tahun 2006. Kedua, mekanisme pengawasan izin usaha perkebunan belum sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 18 Tahun 2004 dan Permentan No. 07/Permentan/OT.140/2/2009. Ketiga, mengenai tindakan hukum yang diambil oleh Dinas Perkebunan terhadap perusahaan perkebunan yang tidak sehat telah sesuai dengan ketentuan pemberian sanksi yang terdapat dalam Permentan No. 07/Permentan/OT.140/2/2007.
Kata kunci: Dinas Perkebunan, Perkebunan, Perizinan, Pengawasan, Pembinaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
This research’s purpose is to describe the implementation of business lisence control in Central Java by Agriculture Department of Central Java in order to make processing on usefull agriculture, especially it is related to the agricultural business lisensing, the mechanism of agricultural business controlling, and the law action taken by Agricultural Department of Central Java to unhealth agricultural business.
This research uses normative approach which has prescriptive characteristic, find the law in concreto about the implementation of agricultural business control in Central Java. The data’s type used is secondary data. The secondary data sources used consist of primary data, secondary data, and tersiery data. Collecting data teqnique used is literature study. Then, some of the data, explained and confirmed by Agricultural Department of Central Java. Analysing data teqnique used is silogisme method and interpretation with using deductive think design.
According to the research result and discussion, it is resulted the conclusion that: First, agricultural business lisensing in Central Java has been suitable with the determination of UU No. 18 Tahun 2004, Permentan No. 26/Permentan/OT.140/2/2006, Perda Jawa Tengah No. 2 Tahun 2005, and Peraturan Kepala Dinas Perkebunan No. 5 Tahun 2006. Second, the mechanism of agricultural business lisensing control has been not suitable with the determination of UU No. 18 Tahun 2004 and Permentan No. 07/Permentan/OT.140/2/2009. Third, law action taken by Agricultural Department to unhealth agricultural businessman has been suitable with the determination to give punishment on Permentan No. 07/Permentan/OT.140/2/2009. Keywords: Agricultural Department, Agriculture, Lisencing, Controlling,
Cultivating.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang telah
memberikan kasih dan penyertaan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul: “PELAKSANAAN
PENGAWASAN IZIN USAHA PEKEBUNAN DI PROVINSI JAWA
TENGAH”.
Penulisan ini disusun untuk mengetahui dan memahami secara lebih dalam
mengenai pelaksanaan pengawasan izin usaha perkebunan khususnya di wilayah
Provinsi Jawa Tengah yang pengawasannya berada di bawah Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Tengah.
Penulisan hukum ini dalam pembuatannya melibatkan banyak pihak yang
telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan dari
awal hingga akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan memperoleh
gelar sarjana dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Untuk itu penulis megucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Wasis Sugandha, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademis yang
telah memberikan dorongan kepada penulis dari awal masa perkuliahan
sampai dengan berakhirnya masa studi penulis.
4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H., selaku Pembimbing yang telah dengan
teliti dan sabar memberikan bimbingan kepada penulis dari awal hingga
akhir proses penulisan hukum ini.
5. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Hukum UNS. Terimakasih telah
memberikan ilmu dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan
di Fakultas Hukum UNS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6. Ir. Tegoeh Wynarno Haroeno, M.M., selaku Kepala Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Tengah yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas
kepada penulis dalam pencarian data.
7. Ir. Soesiati Rahayu, M.M., selaku kepala Seksi Pembinaan Usaha pada
Bidang Usaha Perkebunan (BUP) Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah
selaku narasumber yang telah membantu penulis dalam mencari data.
8. Bapak Sri Riyanto, S.Sos pada bagian umum dan kepegawaian Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Tengah yang telah membantu penulis dalam
pengurusan izin pencarian data.
9. Saudaraku Kartika, Lili, Nares, Ayu, Amal, Intan, Feby, Yuni, Yosi, John
Gurning, Bannu, Pepeb, Jackline, Yacobs, Merry, Tias, Tiwi, Windha, Lita,
Devi yang senantiasa membuat penulis terdorong untuk segera
menyelesaikan penulisan hukum ini [bersyukur memiliki kalian].
10. Keluarga besar PMK Fakultas Hukum, special for Putri, Anna, Shenni,
Mitha, Maya, Dika, Elfas, Richard, Surya Daffa, John Tambunan, Advent,
Ottik, Sheni, David Hutapea, Lizy, Zefanya, Yoseph, Vera, Ijul, Ira,
Sheryto, Yosua, Nico, Ardhi, dan seluruh saudaraku di PMK FH [bersyukur
memiliki kalian].
11. Keluarga besar Voca Justitia Fakultas Hukum UNS, pu’ank, manno, prita,
prima, vika, niken, bayu, yosi, lanang, attoy, kiki, faradina, fery, gunawan,
zefanya, rio, mighdad terimakasih untuk semangatnya dan telah
mengajariku bernada dengan jiwa.
12. Special for Bayu Wicaksono, Thanks for [always] love and support me
[bersyukur memilikimu].
13. Segenap keluarga besar Mulyanto Wignyoparyanto dan Padmohartono,
terimakasih eyang, pa’puh, bu’puh, tante, om, kakak, adik untuk doa dan
dukungannya.
14. Orang-orang yang suka pakai baju putih-hitam dan keluar dari ruang Ujian
Skripsi. Kalian membuatku ‘iri’..hehe...,tapi berkat kalian aku menjadi
semakin termotivasi..Terimakasih teman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta, terimakasih untuk 4 tahun ke belakang, tetap semangat untuk
menjadi Sarjana Hukum yang profesional dan bermoral..!! Fiva
Justitia..kami bangga ada disini..!!!
16. Untuk seluruh pihak yang tidak dapat disebut satu persatu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang
telah diberikan.
Seperti pepatah yang mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak,
penulis menyadari pula bahwa penyusunan penulisan hukum ini jauh dari
sempurna, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca
sangat diharapkan.
Akhirnya, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Surakarta, 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR RAGAAN ............................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
1. Tujuan Obyektif ............................................................................ 5
2. Tujuan Subyektif ........................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
1. Manfaat Teoritis ............................................................................ 6
2. Manfaat Praktis ............................................................................. 6
E. Metode Penelitian .............................................................................. 6
1. Jenis Penelitian .............................................................................. 7
2. Sifat Penelitian .............................................................................. 7
3. Pendekatan Penelitian ................................................................... 8
4. Jenis Data dan Sumber Data ......................................................... 8
5. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 10
6. Teknik Analisis Data ..................................................................... 11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................................ 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 14
A. Kerangka Teori ..................................................................................... 14
1. Tinjauan umum tentang Hak Menguasai Negara ............................ 14
a. Pengertian Hak Meguasasi Negara ........................................... 14
b. Dasar-Dasar Pikiran yang Melatarbelakangi Hak Menguasai
Negara ...................................................................................... 17
2. Tinjauan umum tentang Perkebunan ............................................... 21
a. Pengertian dan Pengaturan Perkebunan ................................... 21
b. Asas, Tujuan, Fungsi, dan Perencanaan Perkebunan ............... 24
c. Karakteristik Perkebunan Indonesia ......................................... 27
d. Kewajiban Perusahaan Perkebunan .......................................... 31
3. Tinjauan umum tentang Perizinan ................................................... 33
a. Pengertian Perizinan ................................................................. 33
b. Unsur-unsur Perizinan .............................................................. 35
c. Fungsi dan Tujuan Perizinan .................................................... 36
d. Bentuk dan Isi Izin ................................................................... 37
4. Tinjauan umum tentang Penegakan Hukum dalam Hukum
Administrasi Negara ........................................................................ 38
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 43
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 47
A. Tugas, Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Perkebunan Provinsi
Jawa Tengah ......................................................................................... 47
B. Pemberian Izin Usaha Perkebunan di Provinsi Jawa Tengah
................................................................................................................. 55
C. Mekanisme Pengawasan Usaha Perkebunan di Provinsi Jawa Tengah
................................................................................................................. 70
D. Tindakan Hukum Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah terhadap
Perusahaan Perkebunan yang Tidak Sehat ........................................... 84
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 94
A. Kesimpulan ........................................................................................... 94
B. Saran ..................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Daftar Perkebunan yang Telah Memiliki IUP ............................ 66
Tabel 2. Perbandingan Kelas Kebun Tahun 2006 dan 2009 ..................... 79
Tabel 3. Daftar Klasifikasi Kelas Kebun Tahun 2009 .............................. 79
Tabel 4. Daftar Perusahaan Perkebunan yang tergolong kelas IV dan
kelas V ........................................................................................ 86
Tabel 5. Pembinaan Perkebunan Besar yang Menjadi Kewenangan
Pemerintah Provinsi .................................................................... 90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR RAGAAN
Ragaan 1. Kerangka Pemikiran ................................................................... 43
Ragaan 2. Alur Tahapan Tata Cara Permohonan Perizinan ........................ 58
Ragaan 3. Alur Tata Cara Pembayaran Registrasi ....................................... 83
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Rekomendasi Survey/Riset Nomor : 070/0873/2011
Lampiran 2. Bagan Susunan Organisasi Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Tengah
Lampiran 3. Format surat pengajuan IUP
Lampiran 4. Sertifikat IUP atas nama PTPN IX (Kebun Getas)
Lampiran 5. Sertifikat IUP atas nama PT. Pawana Indonesia (Kebun Susukan)
Lampiran 6. Format permohonan konversi/diversifikasi
Lampiran 7. Sertifikat IUP untuk konversi/diversifikasi atas nama PT. Rumpun
Sari Medini (Kebun Kaligintung)
Lampiran 8. Format permohonan registrasi IUP
Lampiran 9. Format tanda bukti pembayaran retribusi
Lampiran 10. Piagam Penghargaan bagi perkebunan yang naik kelas
Lampiran 11. Peringatan bagi kebun yang mengalami penurunan kelas
Lampiran 12. Format laporan kegiatan usaha perkebunan
Lampiran 13. Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 525.3/2/2010 tentang
Penetapan Kelas Kebun Berdasarkan Hasil Penilaian Usaha
Perkebunan Tahun 2009
Lampiran 14. Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 875.1/03322
tertanggal 7 Februari 2011 tentang Penyerahan Kewenangan
Pembinaan Perkebunan Besar kepada Kabupaten/Kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara konstitusional, pengaturan tanah di Indonesia tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 terdapat dua kata yang menentukan, yaitu perkataan ”dikuasai” dan ”dipergunakan”. Perkataan ”dikuasai” sebagai dasar wewenang negara. Negara adalah badan hukum publik yang dapat mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia biasa. Perkataan ”dipergunakan” mengandung suatu perintah kepada negara untuk mempergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perintah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 berisi keadaan berbuat, berkehendak agar sesuai dengan tujuannya (Winahyu Erwiningsih, 2009:3).
Dasar pemikiran dan landasan politik agraria nasional yang dianut dalam
pasal tersebut di atas memberikan pengertian bahwa negara tidak perlu bertindak
sebagai pemilik seperti yang telah dicantumkan di atas, negara cukup bertindak
sebagai penguasa untuk memimpin dan mengatur kekayaan nasional untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari ketentuan pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa kekuasaan yang diberikan kepada negara memberikan
kewajiban kepada negara untuk mengatur pemilikan dan menentukan
kegunaannya, sehingga semua tanah di seluruh wilyah negara dapat dimanfaatkan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Eddy Ruchiyat, 1999:1).
Tanah merupakan faktor utama pendukung kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat. Setiap orang menilai bahwa penguasaan tanah menjadi sangat penting
untuk meningkatkan kesejahteraan atau sekedar untuk mempertahankan eksistensi
kemanusiaannya karena dari mengolah tanah manusia dapat bertahan hidup.
Menguasai sebidang tanah berarti menguasai terhadap segala hal yang diperlukan
dalam hidup. Sebagai contoh, penguasaan terhadap tanah akan menguasai juga
sumber daya atas air, tanaman, sumber makanan, tempat tinggal, udara, beserta
hal-hal lain yang terkandung dalam tanah tersebut. Semua sumber daya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dihasilkan oleh tanah dapat memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier
umat manusia. Oleh karenanya penguasaan tanah adalah bagian sangat penting
bagi keberlangsungan hidup manusia.
Penguasaan tanah bagi kehidupan manusia sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, tidak hanya dipergunakan
untuk tempat tinggal saja, melainkan dapat juga dimanfaatkan untuk usaha
bercocok tanam atau pertanian. Di negara agraris, Indonesia misalnya, sebagian
besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani atau pekebun.
Kurang lebih 60% dari jumlah penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian.
Oleh karena mayoritas dari penduduk di negara ini bekerja pada sektor pertanian,
maka kemajuan sektor pertanian berpengaruh pada bangkitnya industri yang
berhubungan dengan stabilitas ekonomi dan pada akhirnya bermanfaat bagi
pengurangan kemiskinan di Indonesia (http://www.anneahira.com/pertanian-
perkebunan.htm).
Berkaca dari fakta diatas, perkembangan industri yang berdampak pada
pengurangan kemiskinan di Indonesia tidak terlepas dari adanya sektor pertanian
khususnya subsektor perkebunan. Sebagai salah satu subsektor yang penting
dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan mempunyai peran yang signifikan
dalam perekonomian Indonesia terutama dalam hal penyediaan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Peran ini relatif konsisten baik ketika
Indonesia mengalami krisis maupun pada keadaan ekonomi yang stabil. Selain itu,
subsektor perkebunan juga sangat strategis dalam penyediaan pangan, misalnya:
minyak goreng, minyak sawit, gula, dan kebutuhan pokok lainnya. Dengan kata
lain, subsektor perkebunan merupakan salah satu pilar stabilitas ekonomi dan
politik Indonesia (http://www.anneahira.com/industri-perkebunan).
Dewasa ini, perkebunan merupakan salah satu pondasi bagi Indonesia untuk
menghadapi tantangan krisis globalisasi dan kompetitifnya pasar dunia. Di
samping itu, perkebunan juga merupakan suatu langkah pembangunan ekonomi
nasional sekaligus alternatif untuk mengurangi efek menipisnya Sumber Daya
Alam (SDA) sehingga dapat dikelola bertahun-tahun demi memenuhi kebutuhan
masyarakat Indonesia. Strategi kunggulan kompetitif di subsektor perkebunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menghasilkan kuantitas bahan
baku berkualitas bagi sektor industri. Keunggulan kompetitif ini akan
menciptakan daya saing produk yang tinggi bagi komoditi perkebunan karena
keunggulan tenaga kerja, ketersediaan lahan yang luas, modal yang cukup, serta
didukung dengan adanya regulasi dari pemerintah. Keunggulan pada subsektor ini
membuat pemerintah baik tingkat pusat sampai daerah membuat suatu kebijakan
yang dapat memaksimalkan usaha perkebunan. “Di sini, sekali lagi terbukti bahwa
perkebunan mempunyai posisi tawar yang kuat atau bahkan mempunyai
kekuasaan yang cukup besar dalam mengendalikan arah politik suatu negara,
terutama bagi negara-negara yang masih bercorak agraris seperti Indonesia”
(Syaiful Bahari, 2004:43).
Sadar bahwa susbsektor perkebunan memiliki kedudukan yang penting
dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan nasional,
penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak, membuat
para pemilik modal besar (investor) berlomba-lomba menanamkan modalnya di
bidang usaha perkebunan ini. Oleh karena itu keberadaan usaha perkebunan perlu
mendapat perlindungan hukum dari pemerintah agar pelaksanaan usaha
perkebunan dapat dilaksanakan guna meningkatkan kesejahteraan bagi pelaku
usaha, masyarakat, dan pemerintah. Perlindungan hukum tersebut kemudian
diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan sebagai payung hukum (umbrella act) bidang usaha perkebunan di
Indonesia.
Lingkup perkebunan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2004 tentang Perkebunan tersebar di berbagai wilayah provinsi di Indonesia,
termasuk didalamnya perkebunan yang berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Perkebunan di Provinsi Jawa Tengah berada di bawah pengawasan Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Tengah. Sama halnya pada lingkup nasional, Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Tengah memiliki peranan yang strategis dalam rangka
melakukan pengawasan pada pelaksanaan izin usaha perkebunan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung turut
meningkatkan pendapatan nasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Perkebunan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dilaksanakan oleh pelaku
usaha perkebunan yang berupa pekebun dan/atau perusahaan perkebunan yang
mengelola usaha perkebunan dengan dasar Hak Guna Usaha bagi pelaku usaha
perkebunan yang berupa perusahaan perkebunan. Perusahaan perkebunan adalah
pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang
mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu.
Pemberian izin usaha merupakan salah satu langkah untuk menetapkan
aturan main dan merupakan proses seleksi bagi para pelaku usaha perkebunan
khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan pengawasan yang efektif
dari pihak Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah sangat berpengaruh terhadap
pengusahaan perkebunan yang berdaya guna bagi seluruh lapisan masyarakat di
Provinsi Jawa Tengah pada khususnya dan peningkatan pendapatan nasional pada
umumnya. Sehingga kedua hal tersebut merupakan dua sisi mata uang yang saling
membutuhkan dan saling memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan begitu
saja dalam rangka mewujudkan keteraturan dalam pengusahaan perkebunan di
Provinsi Jawa Tengah khususnya (Supriadi, 2010:567).
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut dalam penulisan hukum (skripsi) dengan judul: ”Pelaksanaan
Pengawasan Izin Usaha Perkebunan di Provinsi Jawa Tengah”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam suatu penelitian sangat diperlukan untuk
mempermudah dan membatasi permasalahan yang akan diteliti agar penelitian
dapat dilakukan secara sistematis dan terarah, sehingga dapat mencapai tujuan dan
sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah
yang akan dikaji oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah pemberian izin usaha perkebunan di Provinsi Jawa Tengah sudah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Apakah mekanisme pengawasan usaha perkebunan di Provinsi Jawa Tengah
sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan?
3. Apakah tindakan hukum yang diambil oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Tengah terhadap perusahaan perkebunan yang tidak sehat sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan hukum ini, adalah sebagai berikut.
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui kesesuaian pemberian izin usaha perkebunan di
Provinsi Jawa Tengah terhadap peraturan perundang-undangan.
b. Untuk mengetahui kesesuaian mekanisme pengawasan usaha
perkebunan di Provinsi Jawa Tengah terhadap peraturan perundang-
undangan.
c. Untuk mengetahui kesesuaian tindakan hukum yang diambil oleh
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah terhadap perusahaan
perkebunan yang tidak sehat terhadap peraturan perundang-undangan.
2. Tujuan Subyektif
a. Mengetahui pelaksanaan pemberian izin, pengawasan, serta tindakan
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah terhadap perusahaan
perkebunan yang tidak sehat dalam rangka mencapai tujuan
penyelenggaraan perkebunan khususnya di wilayah Provinsi Jawa
Tengah.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata
1 (S1) dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
c. Untuk meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah
diperoleh selama di bangku perkuliahan dan pengetahuan terhadap
suatu permasalahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Penelitian hukum ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
terkait yaitu penulis, pembaca, dan pihak-pihak yang terkait dengan topik utama
penulisan hukum ini. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum
ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Administrasi Negara terkait
dengan Hukum Agraria pada khususnya;
b. Memperkaya literatur dan referensi kepustakaan Hukum Administrasi
Negara tentang prosedur pemberian izin, mekanisme pengawasan,
serta tindakan hukum yang diambil oleh Dinas Perkebunan Provinsi
Jawa Tengah terhadap perusahaan perkebunan yang tidak sehat;
c. Hasil dari penulisan hukum ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan gambaran atau wacana bagi penulis untuk
mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir ilmiah,
sekaligus untuk melatih penulis dalam mengkaji dan menganalisa
permasalahan hukum yang ada dengan menggunakan metode ilmiah
sebagai penunjang ilmu pengetahuan hukum yang penulis peroleh
selama perkuliahan; dan
b. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung
dengan penulisan hukum ini.
E. Metode Penelitian
Metode merupakan suatu penyelidikan yang berlangsung menurut suatu
rencana tertentu dengan tujuan untuk membatasi secara tegas bahasa yang dipakai
oleh ilmu tertentu, dalam hal ini pastinya ilmu hukum (Johny Ibrahim, 2006:294).
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35).
Untuk mendapatkan data dan penelitian yang bulat dan utuh dalam rangka
memberikan gambaran dan uraian mengenai pelaksanaan pengawasan izin usaha
perkebunan di Provinsi Jawa Tengah, maka harus menggunakan metode
penelitian yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Ilmu hukum adalah suatu ilmu yang mempelajari mengenai kaidah
atau norma yang ada dalam masyarakat, oleh karena itu jenis penelitian
yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian yuridis
normatif, yaitu suatu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.
Seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang
dianggap pantas (Amiruddin, S.H., dan Zainal Asikin, S.H., 2004:118).
Karena penelitian ini jenis penelitian hukum normatif, maka dilakukan
dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara sistematis dan dikaji
untuk kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah
yang akan diteliti dalam penulisan hukum ini.
2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini bersifat preskriptif dan terapan, hal tersebut
sesuai dengan karakteristik ilmu hukum. Sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,
validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.
Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2008:22).
Berpegang pada karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu terapan,
preskripsi yang diberikan dalam penelitian hukum harus dapat dan mungkin
untuk diterapkan. Dengan demikian, preskripsi yang diberikan bukan
merupakan sesuatu yang telah diterapkan atau yang sudah ada. Oleh karena
itulah, yang dihasilkan oleh penelitian hukum sekalipun bukan asas hukum
yang baru atau teori yang baru, paling tidak argumentasi yang baru.
Bertolak dari argumentasi itulah diberikan preskripsi, sehingga preskripsi
tersebut bukan merupakan suatu fantasi atau angan-angan kosong (Peter
Mahmud Marzuki, 2008:206).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian
normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-
hasil. Menurut Peter Mahmud Marzuki, di dalam penelitian hukum terdapat
beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam
penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93).
Oleh karena jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian
yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Suatu penelitian normatif harus
menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti
adalah aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu
penelitian (Johny Ibrahim, 2006:302).
4. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu data
sekunder. Data sekunder sebagai sumber-sumber hukum yang penulis
gunakan dalam penelitian ini, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas
peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang (UU)/Peraturan
Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP),
Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda). (Johny
Ibrahim, 2005:295-296).
Baham hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, antara
lain:
1) Peraturan Dasar yang digunakan, yaitu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Peraturan Perundang-Undangan yang digunakan, yaitu Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan; Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
atas Tanah; Peraturan Menteri Pertanian Nomor
26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan; Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha
Perkebunan; Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2
Tahun 2005 tentang Perizinan Usaha Perkebunan; Peraturan
Gubernur Jawa Tengah Nomor 97 Tahun 2005 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang
Perizinan Usaha Perkebunan; Peraturan Gubernur Provinsi Jawa
Tengah Nomor 78 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas
Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Tengah; Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Tengah Nomor 5 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan
Usaha Perkebunan; Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah
Nomor 525.3/2/2010 tentang Penetapan Kelas Kebun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan Hasil Penilaian Usaha Perkebunan Tahun 2009;
dan Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 875.1/03322
tentang Penyerahan Kewenangan Pembinaan Perkebunan Besar
kepada Kabupaten/Kota.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki,
2008:14). Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini yaitu buku-
buku teks (textbooks) yang ditulis oleh para ahli hukum yang
berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para
sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium
mutakhir, artikel media massa dan internet, serta bahan lain yang
berhubungan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yaitu Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI).
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh data yang
diperlukan dalam penelitian. Teknik pengumpulan data yang mendukung
dan berkaitan dengan pemaparan penelitian hukum ini adalah studi
kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data
dengan cara mengumpulkan data yang relevan dengan pokok bahasan
penelitian, melalui membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis
bahan-bahan dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah,
serta artikel media massa dan internet. Beberapa data yang diperoleh
kemudian dimintakan klarifikasi kepada Soesiati Rahayu selaku Kepala
Seksi Pembinaan Usaha pada Bidang Usaha Perkebunan (BUP) Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Tengah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6. Teknik Analisis Data
Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung pada jenis
datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data
sekunder saja, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis
bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran
yang dikenal dalam ilmu hukum. Penafsiran memiliki karakter hermeneutik.
Hermeneutik atau penafsiran diartikan sebagai proses mengubah sesuatu
atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Amiruddin, H. Zainal Asikin,
2006:163).
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode silogisme dan intepretasi dengan menggunakan pola berpikir
deduktif. Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip dasar,
kemudian peneliti tersebut menghadirkan objek yang hendak diteliti.
Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif
menurut yang diajarkan Aristoteles yaitu berpangkal dari pengajuan premis
mayor. Kemudian diajukan premis minor, dari kedua premis ini kemudian
ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki,
2008:46).
Metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Interpretasi berdasarkan kata undang-undang.
Interpretasi ini meninjau dari makna kata-kata yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan. Interpretasi ini akan dapat dilakukan
terhadap kata-kata dalam undang-undang yang singkat, padat, tajam,
dan terjamin keakuratan mengenai apa yang dimaksud oleh undang-
undang tersebut dan tidak mengandung kata yang bermakna ganda.
b. Interpretasi sistematis.
Interpretasi yang menilik keterkaitan antara undang-undang yang satu
dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang memiliki
hubungan saling ketergantungan asas yang mendasarinya satu sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lain. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-
undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satupun ketentuan dalam
undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud
Marzuki, 2008:112).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum adalah uraian logis sistematis susunan bab dan
subbab untuk menjawab uraian terhadap pembahasan permasalahan yang
dikemukakan (isu hukum/legal issues) selaras dengan tema sentral yang
direfleksikan dalam suatu judul penelitian dan rumusan permasalahannya (Johny
Ibrahim, 2006:297).
Sistematika penulisan dalam penelitian hukum ini disajikan untuk
memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum
sebagai karya ilmiah yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah baku penuisan suatu
karya ilmiah. Penulisan hukum ini terdiri dari 4 bab, yaitu Pendahuluan, Tinjauan
Pustaka, Pembahasan, dan Penutup.
Bab I merupakan bab pendahuluan yang menyajikan latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan hukum.
Bab II merupakan bab tinjauan pustaka yang didalamnya memberikan
penjelasan secara teoritik (landasan teori) yang bersumber dari literatur hukum
yang digunakan oleh penulis dan doktrin ilmu hukum yang dianut secara universal
mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti oleh
penulis. Bab tinjauan pustaka terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu: bagian pertama
kerangka teori yang berisikan tinjauan umum mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan pelaksanaan pengawasan izin usaha pekebunan yang terdiri dari tinjauan
umum mengenai Hak Menguasai Negara, Perkebunan, Perizinan, serta
Perlindungan Hukum dalam Hukum Administrasi Negara dan bagian kedua
kerangka pemikiran yang berisikan gambar alur berpikir dari penulis berupa
konsep yang akan dijabarkan dalam penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Uraian mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan titik
temu dari suatu kaidah perundang-undangan yang berlaku dan keadaan atau
realitas yang terjadi disuatu wilayah dan/atau permasalahan tertentu dituangkan
dalam Bab III yang menguraikan bahwa prosedur pemberian izin usaha
perkebunan di wilayah Provinsi Jawa Tengah sudah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam UU Nomor 18 Tahun 2004;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007; Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2005; dan Peraturan Kepala Dinas
Perkebunan Nomor 5 Tahun 2006. Pada pelaksanaan mekanisme pengawasan izin
usaha perkebunan di provinsi Jawa Tengah belum terdapat kesesuaian dengan
peraturan terkait, yaitu Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 serta tindakan hukum Dinas Perkebunan terhadap
perusahaan perkebunan yang sudah mencerminkan kesesuaian dengan ketentuan
yang ada dalam beberapa peraturan perundangan yang mengatur mengenai sanksi
bagi perusahaan perkebunan yang tidak sehat.
Bab IV merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian
dan pembahasan serta memberikan saran-saran sebagai evaluasi terutama terhadap
temuan-temuan selama penelitian yang menurut penulis memerlukan perbaikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan umum tentang Hak Menguasai Negara
a. Pengertian Hak Menguasai Negara
Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah mengupayakan agar
pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia meliputi yang
terkandung di bumi, air, dan bahan galian dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. “Salah satu konsep dasar yang
dikemukakan Moh. Hatta adalah pada dasarnya tanah adalah milik rakyat
Indonesia dan negara merupakan penjelmaan dari rakyat yang
mempunyai hak untuk mengatur penggunaannya agar dapat mengejar
kemakmuran rakyat” (Subadi, 2010:68). Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka negara memiliki hak menguasai tanah melalui fungsi negara untuk
mengatur dan mengurus (regelen en besturen) yang diwujudkan dengan
diberikannya Hak Menguasai Negara (HMN).
Hak Menguasai Negara terjadi pada saat bangsa Indonesia sebagai
kumpulan manusia secara alamiah terbentuk. Menurut Charles Sebayang,
“Hak Menguasai Negara tercipta pada saat ada pelimpahan tugas
kewenangan dari bangsa Indonesia kepada negara yang dilakukan oleh
wakil bangsa indonesia dalam menyusun UUD 1945 yang tertuang dalam
Pasal 33 ayat (3) yang mengandung tujuan negara”
(http://hannarenata.blogspot.com/2011/05/hak-menguasai-dari-
negara.html).
Hak Menguasai Negara merupakan sebutan hak yang diberikan
oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit antara
negara dan tanah Indonesia yang dirinci isi dan tujuannya dalam Pasal 2
ayat (2) dan (3) UUPA. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tersebut merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan
memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama
(http://charlessebayang.blogspot.com/2009/03/hak-menguasai-dari-
negara.html).
Dengan demikian, Pasal 2 UUPA memberikan sekaligus suatu
tafsiran resmi interprestasi otentik mengenai arti perkataan dikuasai yang
dipergunakan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sebelum UUPA ada
sementara orang yang menafsirkan dikuasai itu sebagai dimiliki, tetapi
UUPA dengan tegas menyatakan, bahwa perkataan tersebut bukan berarti
dimiliki. Bahkan pengertian domein negara dihapuskan oleh UUPA,
sehingga asas domein tidak dikenal dalam hukum agraria yang baru
(Eddy Ruchiyat, 1999:10).
Pembatasan wewenang negara atas tanah yang diperinci dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA 1960 (LNRI-1960-104, TLN-2043),
yaitu:
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; dan
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa (Boedi Harsono, 2003:238).
Pelaksanaan dari Hak Menguasai Negara tersebut sebagian
kewenangananya dapat juga diberikan dengan penugasan kepada daerah
dalam rangka medebeweind dan kepada pejabat-pejabat pusat yang
berada di daerah dalam rangka dekonsentrasi sehingga Hak Menguasai
Negara harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban negara sebagai
pemilik (domein) yang bersifat publiekrechtelijk, bukan sebagai eigenaar
yang bersifat privaatrechtelijk. Makna dari pemahaman tersebut adalah
negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana,
dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan, dan
pemanfaatan sumber daya alam nasional tanpa harus berstatus sebagai
pemilik sumber daya alam tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pembatasan wewenang yang dimiliki negara atas tanah selain
bersifat publik seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA juga
terdapat wewenang Hak Menguasi Negara yang bersifat perdata yang
tercermin dalam Pasal 4 UUPA. Berdasarkan wewenang dalam Pasal 4
UUPA, pemerintah diharuskan membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan, dan penggunaan, bumi, air, dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, untuk keperluan-
keperluan yang bersifat:
1) Politis (tanah dimanfaatkan untuk keperluan atau bangunan
pemerintah termasuk bangunan pertahanan);
2) Ekonomis (tanah dimanfaatkan untuk keperluan perkembangan
produksi pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri,
pertambangan, transmigrasi, dan lain-lain); dan
3) Sosial (tanah dimanfaatkan unuk keperluan beribadat, pusat-pusat
permukiman, keperluan sosial, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan
lain-lain).
Cara-cara negara dalam melaksanakan hak yang dimilikinya demi
menjamin kepentingan-kepentingan yang dituntut oleh masyarakat harus
dilaksanakan melalui cara-cara pengambilan keputusan yang adil dan
beradab atas dasar musyawarah bersama berlandaskan hikmah
kebijaksanaan sebagai landasan keputusan.
Setiap orang dalam suatu komunitas (bangsa) memiliki hak tertentu
sebagai dasar dari kepentingannya. Sebaliknya, setiap orang juga
memiliki kepentingan yang menjadi dasar dari haknya. Setiap orang
harus menjalankan secara seimbang dengan kewajiban untuk memenuhi
keperluan hidup masyarakat secara luas, sehingga sikap adil dan beradab
merupakan konsekuensi yang perlu ditampakkan dalam pengambilan
keputusan terkait dengan pelaksanaan wewenang dan hak yang dimiliki
oleh negara.
Subjek Hak menguasai negara adalah pihak atau lembaga yang secara konstitusional dan/atau aturan merupakan pihak yang paling berhak dalam urusan penguasaan (menguasai) terhadap sesuatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
atau objek tertentu. Subjek Hak Menguasai Negara menurut Pasal 33 ayat (3) adalah negara. Negara dalam melaksanakan fungsinya mendelegasikan melalui lembaga negara, yaitu eksekutif/pemerintah. Artinya, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk melakukan perencanaan, merumuskan aturan, melaksanakan langkah-langkah dan tindakan atas pengelolaan, pemanfaatan, dan mengambil hasil dari sumber daya alam yang terdapat dalam wilayah hukum Indonesia. Kekuasaan yang dipegang pemerintah melekat di dalamnya aspek kewenangan dan tanggung jawab, baik untuk melaksanakan, maupun untuk memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewenangan yang telah dijalankan. Sebagai subjek dari hak menguasai negara, maka pemerintah berlandaskan pada kewenangan yang dimiliknya mempunyai fungsi dasar sebagai berikut: 1) Berkuasa, berwenang, dan bertanggung jawab atas
pengelolaan, pemanfaatan, dan mengambil hasil dari sumber daya alam; dan
2) Melakukan upaya paksa secara hukum, mulai dari teguran, peringatan, sampai dengan penghentian atas kegiatan usaha yang melanggar aturan dan mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Mencermati uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa subjek Hak Menguasai Negara adalah Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai lembaga negara yang dijamin oleh konstitusi negara, yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Artinya, kalau ada pihak lain atau pihak ketiga yang melakukan kegiatan usaha pengolahan sumber daya alam nasional hanyalah atas seizin dari pemerintah, dengan kekuasaan pengendalian, pengaturan, dan pemanfaatan berada di tangan pemerintah (http://www.indolawcenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1518%3Asubjek-hak-menguasai-negara&catid=174%3&Itemid=237).
b. Dasar-Dasar Pemikiran yang Melatarbelakangi Hak Menguasai
Negara atas Tanah
1) Eksistensi Manusia Indonesia
Sejak lahir manusia adalah pribadi yang tersusun atas jasmani
dan rohani dengan akal budi dan kehendak. Unsur manusia tersebut
berpotensi untuk terus berkembang agar mencapai eksistensinya.
Atas dasar itu manusia Indonesia memandang adanya hak kodrati
untuk mengembangkan potensi yang dinamakan sebagai hak asasi
manusia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Untuk mencapai eksistensinya, manusia Indonesia memandang
bahwa tidak mungkin mampu mencukupi kebutuhannya tanpa
bantuan dari manusia yang lain dalam masyarakat. Hal ini
mempunyai konsekuensi adanya hidup saling membantu antara
manusia dan masyarakat. Dalam konteks kehidupan bernegara, maka
manusia Indonesia juga memerlukan peran negara untuk
mempertahankan eksistensinya.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa manusia
secara kodrati adalah makhluk individu dan sosial. Dasar eksistensi
manusia sebagai makhluk sosial adalah sifat dan hakekat manusia
sebagai makhluk berketuhanan (Winahyu Erwiningsih, 2009:109).
2) Hubungan Manusia dengan Tanah
Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia haruslah
menciptakan hak dan kewajiban secara seimbang. Keseimbangan
hak dan kewajiban berarti bahwa hak tidak diperlakukan melampaui
kewajiban dan sebaliknya kewajiban tidak diperlakukan melampaui
hak. Perilaku yang mencerminkan keseimbangan antara hak dan
kewajiban adalah perilaku yang mencerminkan pula sifat adil dan
beradab sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Manusia yang adil dan
beradab merupakan suatu keyakinan dan moral sebagai pedoman
kenyataan hidup yang terwujud dalam hubungan manusia dengan
masyarakat dan negara secara keseluruhan.
Menurut pandangan Ronald Z. Tihatelu, dengan dasar manusia sebagai makhluk Tuhan dan sikap adil dan beradab dalam hubungan manusia, maka tanah merupakan pemberian Tuhan kepada pribadi, keluarga, masyarakat, dan Bangsa Indonesia. Memiliki tanah merupakan hak yang diturunkan karena adanya pemberian Tuhan, namun demikian sejalan dengan itu pula, kewajiban dalam pemilikan tanah juga diturunkan, karena Tuhan menghendaki dijalankannya kewajiban bersama hak secara seimbang, secara adil, oleh manusia yang beradab, manusia yang memiliki keluhuran harkat dan martabat selaku manusia ciptaan Tuhan. Dengan demikian yang memiliki hubungan dengan tanah yakni manusia alamiah yakni
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perseorangan, keluarga, dan masyarakat. Kumpulan kepemilikan tersebut disebut sebagai milik bangsa (Winahyu Erwiningsih, 2009:110).
3) Hakekat Negara
Istilah negara mengandung makna suatu alat (agency) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-
hubungan manusia dalam masyarakat dalam menertibkan gejala-
gejala kekuasaan dalam masyarakat. “Hakekat negara adalah suatu
penggambaran tentang sifat dari negara. Negara sebagai wadah dari
suatu bangsa untuk mencapai suatu tujuan atau cita-cita bangsanya.
Tujuan negara merupakan kepentingan utama dari tatanan suatu
negara” (Soehino, 1998:146).
Sebagai organisasi yang memiliki wilayah, negara dapat
memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan
kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari
kehidupan bersama. Tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan suatu kewenangan bagi
negara untuk mengatur arah pemerintahan dalam usahanya untuk
mewujudkan tujuan tersebut. Hak untuk mengatur yang dimiliki oleh
negara atau kekuasaan yang dijalankan oleh negara memperlihatkan
adanya tugas khusus yang dimiliki oleh negara. Tugas negara antara
lain:
1) Melaksanakan fungsi mengatur;
2) Melaksanakan fungsi penyelesaian sengketa antar masyarakat;
3) Melaksanakan fungsi pengembangan kehidupan khususnya di
bidang perekonomian; dan
4) Melaksanakan fungsi pengadaan fasilitas umum untuk
kepentingan masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4) Hubungan Negara dengan Tanah
Banyak terjadi perbedaan pandangan mengenai hubungan
negara dengan tanah terutama berkaitan dengan status penguasaan
tanah oleh negara. Pendapat pertama memandang bahwa negara
dapat memiliki tanah dengan alasan bahwa negara dipandang sama
dengan subjek perdata sehingga negara dapat mempunyai hubungan
hak milik, hanya saja tanah-tanah milik negara tersebut
dipergunakan bagi kepentingan umum. Alasan yang dikemukakan
adalah bahwa ada hubungan khusus antara negara dengan tanah yang
masuk untuk kategori kepentingan umum.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa negara bukan pemilik tanah
karena yang menjadi pemilik tanah adalah manusia yang mempunyai
kedudukan istimewa. Eksistensi manusia senantiasa disertai dengan
hak-hak yang secara alami melekat padanya, termasuk untuk hak
memiliki.
Tanah dapat dimiliki oleh negara dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1) Penggunaan langsung oleh negara; 2) Statusnya sebagai res publicae yag dipergunakan warga;
dan 3) Penggunaannya oleh warga tetapi memberi manfaat bagi
kekayaan warga sehingga harus dikuasai dn dimiliki oleh negara, walaupun sebagai quasi proprium (sifat dari pemilikan itu adalah tidak mutlak) (Winahyu Erwiningsih, 2009:114).
Pada awalnya manusia secara alami memiliki tanah untuk
kebutuhan hidupnya. Namun demikian lama kelamaan timbul
ketidaksamaan pemilikan yang disebabkan adanya perbedaan
kemampuan dalam berusaha dan kekuatan. Hal tersebut
menyebabkan perpecahan yang dapat berupa perampasan tanah-
tanah oleh golongan yang kuat terhadap yang lemah. Untuk
mencegah hal tersebut, negara memiliki wewenang untuk
menguasai, mengatur, dan mengusahakan untuk kemakmuran rakyat
dan mengusahakan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
masyarakat. Dalam hal ini, negara hanya bertindak untuk mengatur
tanpa harus memiliki tanah tersebut, karena pada hakekatnya segala
tanah dan kekayaan yang terkandung didalamnya adalah hak bangsa.
2. Tinjauan umum tentang Perkebunan
a. Pengertian dan Pengaturan Perkebunan
Sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, perkebunan adalah
segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah
dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah
dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, pemodalan, serta manajemen untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan
masyarakat.
Usaha perkebunan merupakan subsektor yang berdimensi luas,
sebab usaha perkebunan juga mencakup usaha budidaya yang terkait
dengan tanaman dan usaha industri pengolahan hasil perkebunan. Selain
itu, usaha perkebunan merupakan usaha yang berdimensi ekonomi sangat
luas karena selain dapat mempekerjakan tenaga kerja yang begitu banyak
sekaligus sebagai penyumbang besar bagi Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Sehingga dalam perkembangannya saat ini usaha perkebunan di
Indonesia sangat ditentukan oleh faktor politik yang dijalankan oleh
pemerintah melalui pengaturan usaha perkebunan.
Pengaturan penyelenggaraan usaha perkebunan di Indonesia
dituangkan dalam beberapa ketentuan peraturan, antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Merupakan payung hukum (umbrella act) bagi penyelenggaraan
usaha perkebunan di Indonesia. Undang-undang ini diterbitkan
dengan pertimbangan bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara berkeadilan seperti yang termaktub
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka perkebunan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional perlu
diselenggarakan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional,
dan bertanggung jawab. Dalam UU ini diatur mengenai beberapa
hal, yaitu: penyelenggaraan perkebunan; perencanaan perkebunan;
penggunaan tanah untuk usaha perkebunan; pemberdayaan dan
pengolahan usaha perkebunan; pengelolaan dan pemasaran hasil
perkebunan; penelitian dan pengembangan perkebunan;
pengembangan sumber daya manusia perkebunan; pembiayaan
usaha perkebunan; pembinaan dan pengawasan usaha perkebunan;
penyidikan; serta ketentuan pidana.
2) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007
tentang Pedoman Perizinan Usaha Pekebunan.
Permentan ini diterbitkan sebagai bentuk peraturan pelaksanaan
dari Pasal 10 ayat (1), Pasal 17 ayat (3) dan ayat (7), Pasal 22 ayat
(3) UU Nomor 18 Tahun 2004. Permentan ini dimaksudkan sebagai
pedoman dalam memberikan pelayanan perizinan dan untuk
melakukan usaha perkebunan. Ruang lingkup Permentan ini
meliputi: jenis dan perizinan usaha perkebunan; syarat dan tata cara
permohonan izin usaha perkebunan; kemitraan; perubahan luas
lahan, jenis tanaman, dan/atau perubahan kapasitas pengolahan,
serta diversifikasi usaha pembinaan dan pengawasan; dan sanksi
administratif.
3) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009
tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.
Permentan ini diterbitkan sebagai bentuk peraturan pelaksanaan
dari Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2004 yang mengatur
mengenai pembinaan dan pengawasan usaha perkebunan.
Permentan ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan
penilaian usaha perkebunan yang ruang lingkupnya meliputi:
pelaksanaan penilaian uaha perkebunan; penetapan hasil penilaian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
usaha perkebunan; pengawaan penilaian usaha perkebunan; dan
sanksi administrasi.
Selain diatur dalam beberapa ketentuan tingkat pusat, masing-
masing wilayah di Indonesia memiliki aturan pelaksanaan di tingkat
provinsi guna mengatur penyelenggaraan usaha perkebunan di
wilayahnya masing-masing, tidak terkecuali dengan Provinsi Jawa
Tengah. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menerbitkan beberapa
peraturan terkait dengan pelaksanaan usaha perkebunan di wilayah
Provinsi Jawa Tengah yang tertuang dalam:
1) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2005
tentang Perizinan Usaha Perkebunan.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menerbitkan Perda ini dalam
rangka penertiban, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawaan
terhadap sumber daya alam untuk usaha perkebunan khususnya di
wilayah Provinsi Jawa Tengah yang dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Ruang lingkup Perda ini
mencakup: usaha perkebunan; perizinan; retribusi; uang
perangsang; pembagian hal retribusi; ketentuan penyidikan;
ketentaun pidana; pemberdayaan masyarakat; serta pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian.
2) Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 97 Tahun 2005 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor 2 Tahun 2005 tentang Perizinan Usaha Perkebunan.
Peraturan gubernur (Pergub) ini diundangkan sebagai bentuk aturan
pelaksanaan dari Perda Nomor 2 Tahun 2005 agar dapat
dilaksanakan secara berdayaguna dan berhasil guna.
3) Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah Nomor
5 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan Usaha
Perkebunan.
Peraturan kepala dinas ini diterbitkan guna melaksanakan Peraturan
Gubernur Jawa Tengah Nomor 97 Tahun 2005. Di dalamnya berisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ketentuan konkrit mengenai petunjuk teknis pelaksanaan ketentuan
tentang perizinan usaha perkebunan sebagaimana telah diatur
dalam Perda dan Pergub.
b. Asas, Tujuan, Fungsi, dan Perencanaan Perkebunan
Pembangunan perkebunan berpijak pada landasan atau asas yang
mendasar dari penyelenggaraan perkebunan yang berintikan pada asas
manfaat dan asas keterpaduan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa perkebunan
diseleggarakan berdasarkan atas asas:
1) manfaat dan berkelanjutan, bahwa dalam penyelenggaraan
perkebunan harus dapat meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat dengan mengupayakan kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan memperhatikan kondisi sosial budaya;
2) keterpaduan, bahwa dalam penyelenggaraan perkebunan harus
dilakukan dengan memadukan subsistem produksi, pengolahan,
dan pemasaran hasil perkebunan;
3) kebersamaan, bahwa dalam penyelenggaraan perkebunan
menerapkan kemitraan secara terbuka, sehingga terjalin keterkaitan
dan saling ketergantungan secara sinergis antar pelaku usaha
perkebunan;
4) keterbukaan, bahwa dalam penyelenggaraan perkebunan dilakukan
dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan
pelayanan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat; dan
5) keadilan, bahwa dalam penyelenggaraan perkebunan harus
memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara
proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan
kemampuannya serta harus memperhatikan kepentingan nasional,
antar daerah, antar wilayah, antar sektor, dan antar pelaku usaha.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tujuan yang paling penting dari penyelenggaraan perkebunan
diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 18 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
perkebunan diselenggarakan dengan tujuan:
1) meningkatkan pendapatan masyarakat;
2) meningkatkan penerimaan negara;
3) meningkatkan penerimaan devisa negara:
4) menyediakan lapangan kerja;
5) meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing;
6) memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam
negeri; dan
7) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara
berkelanjutan.
Selain tujuan tersebut, penyelenggaraan perkebunan memiliki
peranan dan fungsi yang sangat penting karena berkaitan dengan fungsi
ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 UU Nomor 18 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa perkebunan mempunyai fungsi:
1) ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional;
2) ekologi, yaitu peningkatan konversi tanah dan air, penyerap
karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan
3) sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa (melalui
penerapan kemitraan usaha perkebunan serta kesamaan budaya
agraris yang mampu menciptakan kondisi saling ketergantungan
dan keterkaitan secara sinergis antar pelaku usaha maupun antar
wilayah).
Sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 tersebut,
perkebunan merupakan komoditas utama dalam rangka peningkatan
pendapatan masyarakat dan peningkatan pemasukan devisa negara. Oleh
karena itu, pemerintah seharusnya membuat perencanaan yang matang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dalam kaitannya dengan pembangunan perkebunan di masa yang akan
datang.
Pasal 6 UU Nomor 18 Tahun 2004 menyatakan bahwa perencanaan
perkebunan dimaksudkan untuk memberikan arah, pedoman, dan alat
pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan perkebunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3. Perencanaan perkebunan merupakan suatu
tindakan perencanaan makro baik di tingkat nasional, provinsi, maupun
kabupaten/kota dan bukan merupakan perencanaan usaha/perancangan
mikro yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan. Perencanaan
perkebunan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat.
“Sementara itu, perencanaan perkebunan merupakan perencanaan
yang dilakukan dengan pendekatan yang multi kompleks karena
didalamnya melibatkan segala yang berkaitan dengan pembangunan
perkebunan tersebut, misalnya rencana yang dikaitkan dengan
pendekatan tata ruang dan sebagainya” (Supriadi, 2010:548).
Pasal 7 UU Nomor 18 Tahun 2004 menyatakan bahwa perencanaan
perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan
berdasarkan:
1) rencana pembangunan nasional;
2) rencana tata ruang wilayah;
3) kesesuaian tanah dan iklim serta ketersediaan tanah untuk usaha
perkebunan;
4) kinerja pembangunan perkebunan;
5) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
6) sosial budaya;
7) lingkungan hidup;
8) kepentingan masyarakat:
9) pasar; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10) aspirasi daerah dengan tetap menjunjung tinggi keutuhan bangsa
dan negara.
Perencanaan perkebunan tersebut mencakup:
1) wilayah, mencakup: ketersediaan hamparan lahan yang menurut
agroklimat sesuai untuk usaha perkebunan, perlindungan wilayah
geografis bagi komoditas perkebunan, spesifik lokasi, dan kawasan
pengembangan industri masyarakat perkebunan;
2) tanaman perkebunan, mencakup: pemilihan tanaman yang
disesuaikan dengan kontur tanah, wilayah tanam, serta nilai jual
dalam jangka panjang;
3) sumber daya manusia, mencakup: pelaku usaha perkebunan, tenaga
kerja, serta aparat pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota yang
terkait di bidang perkebunan;
4) kelembagaan, mencakup: kelembagaan pelaku usaha perkebunan
dan kelembagaan layanan pemerintah, provinsi, dan
kabupaten/kota;
5) keterkaitan dan keterpaduan hulu-hilir, merupakan seluruh kegiatan
perencanaan yang dilakukan dengan memperhatikan pendekatan
sistem dan usaha agribisnis untuk membangun sinergi; dan
6) sarana prasaran; dan
7) pembiayaan.
Dengan demikian maka pelaksanaan perencanaan perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 harus terukur, dapat
dilaksanakan, realistis, dan bermanfaat serta dilakukan secara partisipatif,
terpadu, terbuka, dan akuntabel.
c. Karakteristik Perkebunan Indonesia
Perkebunan besar di Indonesia yang berperan sebagai roda
penggerak subsektor ekonomi merupakan produk yang lahir dari sistem
ekonomi politik dunia yang masih bertahan hingga saat ini. Perkebunan
besar yang merupakan warisan dari penjajahan kolonialisme Belanda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
muncul dari sistem ekonomi kapitalis global yang bersifat eksploitatif
dan dipenuhi dengan kekerasan yang pada dasarnya menjadi bagian dari
inheren dari sistem perkebunan itu sendiri yang digerakkan oleh modal
besar, teknologi modern, dan pasar ekspor. Perkebunan merupakan alas
bagi pertumbuhan kapitalisme industri yang mulai tumbuh dan
berkembang pada awal abad ke-18.
Sejarah budidaya perkebunan tidak terlepas dari peran para penjajah, terutama Belanda yang telah meletakkan dasar bagi berkembangnya perusahaan perkebunan di Indonesia. Seperti di negara berkembang lainnya, sistem perkebunan di Indonesia juga diperkenalkan lewat kolonialisme Barat, dalam hal ini kolonialisme Belanda (Mubyarto, dkk, 1992:15).
Ketika undang-undang agraria (Agrarische Wet) dikeluarkan pada
tanggal 9 April 1870 oleh Menteri Jajahan De Wall sebagai pengganti
undang-undang agraria yang lama, maka eksistensi perkebunan semakin
menguat dan kekuatannya semakin meluas. Undang-undang tersebut
memberikan legalitas dan jaminan yang lebih luas kepada kepentingan
modal besar swasta untuk menanamkan modalnya di subsektor
perkebunan dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk
mendapatkan tanah dengan jaminan dan perlindungan akan
perkembangannya. Peristiwa itulah yang membuat awal terjadinya
liberalisasi sistem agraria khususnya pada subsektor perkebunan di
Indonesia yang membuat perkebunan besar menjadi penguasa tunggal
atas sebagian besar tanah di Indonesia (Syaiful Bahari, 2004:41).
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
merupakan sebuah anugerah bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu
hasil kekayaan alam yang diharapkan mampu memberikan kontribusi
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan pendapatan asli
daerah adalah pembangunan dan pengembangan perkebunan.
Dalam skala nasional usaha pembangunan perkebunan selama ini dilaksanakan melalui dua bentuk usaha yaitu usaha perkebunan rakyat yang berskala kecil dan usaha perkebunan besar yang dimiliki negara dan swasta. Dari areal seluas 14.560.000 Ha pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tahun 2000 seluas 80,40% merupakan areal perkebunan rakyat yang melibatkan lebih dari 70.000.000 petani dan selebihnya merupakan perkebunan besar milik negara dan swasta. Di Jawa Tengah luas total areal perkebunan 711.666,890 Ha terdiri dari perkebunan rakyat 661.321,810 Ha (92,60%) dan perkebunan negara seluas 34.049,210 Ha (4,76%) yang tersebar pada 16 PTP dan untuk perkebunan besar swasta sejumlah 60 kebun dengan luas total 16.295,870 Ha (2,64%) (Lego Karjoko, 2007:2).
Perkebunan besar sebagai pelaksana penyelenggaraan perkebunan
di Indonesia memiliki beberapa ciri-ciri umum, antara lain:
1) sistem ekonomi perkebunan besar ditopang oleh dominasi pemikiran bahwa ekspor komoditas pertanian harus diprioritaskan demi pertumbuhan ekonomi nasional;
2) perkebunan besar menguasai tanah yang luasnya tak terbatas atau tidak dibatasi;
3) kebutuhan tenaga kerja sangat besar, jauh melebihi suplai tenaga kerja yang ada di pasar. Karena itu diciptakanlah mekanisme ekstra-pasar atau non pasar (budak belian, kuli kontrak, transmigrasi, dan sejenisnya);
4) pengelolaan perkebunan besar sangat ketat dan cenderung bengis. Birokrasi yang ketat dan bengis ini oleh Breman disebut plantokrasi; dan
5) birokrasi perkebunan besar tidak terjangkau oleh kontrol sosial karena perkebunan besar merupakan enclave yang terisolasi dari masyarakat (Syaiful Bahari, 2004:40-41).
Perkebunan besar dan negara merupakan dua institusi yang saling terkait erat dan berdampingan. Di satu pihak, negara menggunakan perkebunan besar sebagai alat penghasil devisa dan pertumbuhan ekonomi nasional, di pihak lain perkebunan besar juga menggunakan negara sebagai alat kekuasaan mereka untuk memperbesar kekuasaan ekonominya (Syaiful Bahari, 2004:41).
Lebih jauh lagi, perkebunan merupakan suatu andalan komoditas unggulan dalam menopang pembangunan perekonomian nasional Indonesia, baik dari sudut pandang pemasukan devisa negara maupun dari sudut pandang peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dengan cara membuka lapangan pekerjaan yang sangat terbuka luas (Supriadi, 2010:544).
Sebagai pilar penopang pembangunan nasional, subsektor
perkebunan mempunyai posisi yang kuat atau bahkan mempunyai
kekuasaan yang cukup besar dalam mengendalikan arah politik suatu
negara, terutama negara-negara yang masih bercorak agraris seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Indonesia. Walaupun sepanjang perjalanannya perkebunan besar banyak
mengalami konflik antara petani dan perkebunan yang mayoritas
diakibatkan adanya permasalahan hak atas penguasaan tanah, negara
masih berkepentingan mempertahankan perkebunan besar sebagai salah
satu pilar pembangunan ekonomi nasional. Perkebunan besar masih
dianggap primadona dalam pengumpul devisa negara yang rata-rata
mencapai 4-5 milyar dollar AS.
Sampai dengan saat ini, orientasi kebijakan perkebunan Indonesia
yang menganut sistem perkebunan liberal kapitalistik masih
membedakan secara tajam antara perkebunan besar (BUMN dan swasta,
termasuk PMA) dengan perkebunan rakyat. Implikasi kebijakan dualistik
ini telah memberi kemudahan bagi yang besar dan tekanan bagi yang
kecil, dengan gambaran sebagai berikut:
1) Perkebunan Indonesia masih diliputi oleh dualisme ekonomi, yaitu antara perkebunan besar yang menggunakan modal dan teknologi secara intensif dan menggunakan lahan secara ekstensif serta manajemen eksploitatif terhadap SDA dan SDM, dan perkebunan rakyat yang menggunakan susbsistem dan tradisional serta luas lahan terbatas. Kedua sistem ini menguasai bagian tertentu dari masyarakat dan keduanya hidup berdampingan. Perbedaan keduanya tidak jarang menimbulkan konflik ekonomi yang berkembang menjadi konflik sosial;
2) Perkebunan Rakyat (PR) yang luasnya sekitar 80% dari perkebunan nasional masih belum mendapatkan fasilitas dan perlindungan yang memadai dari pemerintah. Masalah ini menjadi penting antara lain karena penduduk yang menggantungkan hidupnya pada perkebunan rakyat sekitar 15 juta orang;
3) Hak menguasai oleh negara atas tanah yang kemudian diberikan kepada badan hukum sebagai Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan sangat dominan, sementara itu ketidak-pastian hak masyarakat (lokal dan adat) atas sumberdaya lahan untuk perkebunan belum kunjung diselesaikan;
4) Masuknya pemodal besar ke usaha perkebunan masih belum memberikan kontribusi pada kesejahteraan rakyat setempat. Hingga saat ini masih belum ada re-distribusi aset dan manfaat yang adil (proporsional) kepada masyarakat dari usaha perkebunan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5) Kebijakan pengembangan perkebunan lebih berpihak pada perkebunan besar yang ditunjukkan oleh alokasi pemanfaatan kredit, dukungan penelitian dan pengembangan, serta pelatihan SDM;
6) Pengembangan perkebunan besar lebih dilandasi pada pembukaan lahan hutan dalam skala besar yang dilakukan dengan mengabaikan hak-hak masyarakat di dalamnya. Pada beberapa daerah kondisi demikian ini telah menimbulkan konflik sosial serta dampak negatif terhadap lingkungan; dan
7) Organisasi-organisasi usaha perkebunan yang menghimpun diri dalam asosiasi pengusaha perkebunan bersifat eksklusif dan powerful dengan tingkat kepedulian terhadap pemberdayaan organisasi-organisasi petani/pekebun yang relatif masih rendah (http://www.ipard.com/art_perkebun/0040804DD.asp).
d. Kewajiban Perusahaan Perkebunan
Perusahaan perkebunan merupakan pelaku usaha perkebunan
warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola
perkebunan dengan skala tertentu yang didasarkan pada luasan lahan
usaha, jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja, modal dan/atau kapasitas
pabrik yang diwajibkan memiliki izin usaha.
Perusahaan perkebunan memegang peran yang strategis dalam
rangka mewujudkan cita hukum atas penyelenggaraan perkebunan seperti
yang tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor 18 Tahun 2004. Setiap
perusahaan perkebunan memiliki kewajiban yang diatur dalam beberapa
ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan perkebunan, antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Kewajiban perusahaan perkebunan terdapat dalam Pasal 25 yang
menyatakan: “Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.”
2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kewajiban perusahaan pekebunan terdapat dalam Pasal 12 ayat (1)
yang menyatakan:
Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk: a. membayar uang pemasukan kepada Negara; b. melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan
dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
c. mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapan oleh instansi teknis;
d. membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;
e. memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha;
g. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;
h. menyerahakan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
3) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Kewajiban perusahaan perkebunan terdapat dalam Pasal 34, yang
menyatakan:
Perusahaan perkebunan yang telah memiliki IUP, IUP-B, atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, wajib: a. menyelesaikan hak atas tanah selambat-lambatnya 2 (dua)
tahun sejak diterbitkannya IUP-B, IUP-P, atau IUP; b. merealisasikan pembangunan kebun dan/atau unit pengolahan
sesuai dengan studi kelayakan, baku teknis, dan ketentuan yang berlaku;
c. memiliki sarana, prasarana, dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran serta pengendalian kebakaran;
d. membuka lahan tanpa bakar dan mengelola sumber daya alam secara lestari;
e. memiliki sarana, prasarana, dan sistem untuk melakukan pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
f. menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL) sesuai peraturan perundang-undangan;
g. menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/koperasi setempat; serta
h. melaporkan perkembangan usaha perkebunan kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.
4) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2005
tentang Perizinan Usaha Perkebunan.
Kewajiban perusahaan perkebunan terdapat dalam Pasal 9 yang
menyatakan:
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 berlaku selama perusahaan menjalankan usaha perkebunan dengan baik dan kepada perusahaan diwajibkan untuk: a. melaporkan perkembangan usahanya secara berkala setiap
semester; b. mengajukan permohonan persetujuan apabila akan
mengadakan perubahan jenis tanaman atau perluasan uaha lainnya;
c. memberitahukan apabila terjadi perubahan pemilikan perusahaan.
5) Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Jawa Tengah Nomor 5 Tahun
2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan Usaha Perkebunan.
Kewajiban perusahaan perkebunan terdapat dalam Pasal 5 yang
menyatakan: “Pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap tahun wajib melakukan registrasi lewat Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Tengah dengan mempergunakan format permohonan
registrasi.”
3. Tinjauan umum tentang Perizinan dalam Hukum Administrasi Negara
a. Pengertian Perizinan
Didalam kamus hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai:
“Overheidstoestemmingdoor wet of verordening vereist gesteld voor tal
van handeling waarop in het algemeen belang speciaal toezicht vereist
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
is, maar die, in het algemeen, niet als onwenselijk worden beschouwd”
yang berarti perkenan atau izin dari pemerintah berdasarkan undang-
undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan
yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada
umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak
dikehendaki.
Selain terdapat dalam kamus hukum, pengertian izin disampaikan
pula oleh beberapa pakar diantaranya menurut Sjachran Basah dan Bagir
Manan. Menurut pendapat Sjachran Basah, izin adalah suatu perbuatan
hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan
dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana
ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
menurut Bagir Manan, izin adalah suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang dilarang (Ridwan H.R.,
2010:207-208).
Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan
dalam hukum administrasi yang merupakan salah satu wujud dari
ketetapan. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk
mengendalikan tingkah laku masyarakat. Hal tersebut berangkat dari
rumusan yang dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo yang menyatakan
bahwa izin (vergunning) adalah ‘dispensasi dari suatu larangan’ sehingga
izin beranjak dari ketentuan yang pada dasarnya tidak melarang suatu
perbuatan tetapi untuk dapat melakukannya disyaratkan melalui prosedur
tertentu yang telah ditetapkan, sehingga tercapai suatu tertib administrasi
(Titik Triwulan Tutik, 2010:242-243).
Berdasarkan beberapa pendapat para pakar tersebut, maka dapat
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan izin adalah suatu perbuatan
pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan
persyaratan tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Unsur-unsur Perizinan
Perizinan sebagai salah satu wujud Ketetapan Tata Usaha Negara
memiliki beberapa unsur didalamnya, yaitu sebagai berikut:
1) Instrumen Yuridis
Guna mengupayakan kesejahteraan umum (bestuurszorg),
pemerintah diberikan wewenang dalam bidang pengaturan yang
kemudian muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi
peristiwa individual dan konkret, yaitu dalam bentuk ketetapan.
Izin merupakan salah satu wujud ketetapan yang bersifat
konstitutif.
2) Peraturan Perundang-undangan
Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van
bestuur atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Dengan kata lain, setiap tindakan hukum pemerintah
harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk didalamnya
pembuatan dan penerbitan ketetapan izin. Izin yang dibuat dan
diterbitkan tanpa didasarkan pada wewenang peraturan perundang-
undangan yang berlaku dapat mengakibatkan ketetapan izin
tersebut menjadi tidak sah.
3) Organ Pemerintah
Izin hanya boleh diterbitkan oleh organ pemerintah. Organ
pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan pemerintahan
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dari berbagai
penyelenggaraan ketentuan penyelenggaraan pemerintahan dapat
diketahui bahwa mulai dari administrasi negara tertinggi (presiden)
sampai dengan administrasi negara terendah (lurah) berwenang
menerbitkan izin.
4) Peristiwa Konkret
Izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk ketetapan yang
digunakan oleh pemeritah dalam menghadapi peristiwa konkret dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
individual. Yang dimaksud dengan peristiwa konkret di sini adalah
suatu peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu,
tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Karena peristiwa konkret
ini beragam sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat,
maka izinpun memiliki berbagai keberagaman.
5) Prosedur dan Persyaratan
Pada umumnya permohonan izin harus menempuh prosedur dan
persyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh
pemerintah selaku pemberi izin sesuai dengan jenis, tujuan, dan
instansi yang menerbitkan izin tersebut.
Menurut Soehino, syarat-syarat dalam izin itu bersifat konstitutif dan kondisional. Bersifat konstitutif, karena ditentukan suatu perbuatan atau tingkah laku tertentu yang harus (terlebih dahulu) dipenuhi, artinya dalam hal pemberian izin itu ditentukan suatu perbuatan konkret, dan bila tidak dipenuhi dapat dikenai sanksi. Bersifat kondisonal, karena penilaian tersebut baru ada dan dapat dilihat serta dapat dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku yang disyaratakan itu terjadi. Penentuan prosedur dan persyaratan perizinan ini dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Meskipun demikian, pemerintah tidak boleh membuat atau menentukan prosedur dan persyaratan menurut kehendaknya sendiri secara arbitrer (sewenang-wenang), tetapi harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari perizinan tersebut. Dengan kata lain, pemeritah tidak boleh menentukan syarat yang melampaui batas tujuan yang hendak dicapai oleh peraturan hukum yang menjadi dasar perizinan bersangkutan (Ridwan. H.R., 2010:217).
c. Fungsi dan Tujuan Perizinan
Izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah
untuk mempengaruhi warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkan
pemerintah guna mencapai suatu tujuan konkret. Sebagai suatu
instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak hukum sebagai pengarah,
perekayasa, dan perancang terciptanya masyarakat yang adil dan
makmur. Hal ini berarti lewat izin dapat diketahui bagaimana gambaran
masyarakat yang adil dan makmur tersebut terwujud. Sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
persyaratan-persyaratan yang terkandung dalam izin merupakan
pengendali dalam memfungsikan izin itu sendiri.
Menurut Prajudi Atmosudirdjo, berkenaan dengan fungsi-fungsi
hukum, izin dapat diletakkan dalam fungsi menertibkan masyarakat.
Adapun tujuan perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan konkret
menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin tersebut (Ridwan H.R.,
20110:218).
d. Bentuk dan Isi Izin
Sesuai dengan sifatnya yang merupakan bagian dari ketetapan, izin
selalu dibuat dalam bentuk tertulis. Sebagai ketetapan tertulis, secara
umum izin memuat hal-hal sebagai berikut (Ridwan H.R., 2010:219-
223):
1) Organ yang Berwenang
Pada umumnya pembuat aturan akan menunjuk organ berwenang
dalam sistem perizinan, organ yang paling menguasai materi dan
tugas serta yang hampir selalu terkait adalah organ pemerintahan.
2) Yang Dialamatkan
Izin ditujukan kepada pihak yang berkepentingan. Biasanya izin
terbit setelah yang berkepentingan mengajukan permohonan untuk
mendapatkan izin tertentu.
3) Diktum
Demi kepastian hukum, izin harus memuat uraian sejelas mungkin
mengenai tujuan penerbitan izin tersebut. Diktum merupakan inti
dari suatu keputusan, sehingga setidak-tidaknya dalam diktum
terdiri atas keputusan pasti yang memuat hak dan kewajiban yang
dituju oleh keputusan itu.
4) Ketentuan-ketentuan, Pembatasan-pembatasan, dan Syarat-syarat
Keputusan izin harus mengandung ketentuan, pembatasan, dan
syarat-syarat (voorschriften, beperkingen, en voorwaarden).
Ketentuan-ketentuan ialah kewajiban-kewajiban yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dikaitkan pada keputusan yang menguntungkan. Ketentuan-
ketentuan pada izin banyak terdapat dalam praktik hukum
administrasi. Dalam pembuatan keputusan izin dimasukkan
pembatasan-pembatasan yang memberi kemungkinan untuk secara
praktis melingkari lebih lanjut tindakan yang dibolehkan dengan
menunjuk batas waktu, tempat, atau ditentukan dengan cara lain. Di
samping itu, dalam keputusan dimuat syarat-syarat yang dapat
menentukan akibat-akibat hukum tertentu pada suatu peristiwa
konkret yang terjadi.
5) Pemberian Alasan
Pemberian alasan memuat hal-hal seperti penyebutan ketentuan
peraturan perundang-undangan, pertimbangan-pertimbangan
hukum, dan penetapan fakta yang dijadikan sebagai pertimbangan
dalam penerbitan ketetapan izin tersebut.
6) Pemberitahuan-pemberitahuan Tambahan
Pemberitahuan tambahan dapat berisi bahwa kepada yang
dialamatkan ditunjukkan akibat-akibat dari pelanggaran ketentuan
dalam izin, seperti sanksi-sanksi yang mungkin diberikan akibat
ketidakpatuhan.
4. Tinjauan umum tentang Penegakan Hukum dalam Hukum Administrasi
Negara
Hukum administrasi negara memaknai pengawasan sebagai “proses
kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau
diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau
diperintahkan.” Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai di mana
terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab
ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen
pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola
pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk
menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good
governance itu sendiri (http://dewaarka.wordpress.com/2010/05/25/hukum-
perizinan/).
Menurut P. Nicolai dan kawan-kawan, pengawasan merupakan salah
satu sarana penegakan hukum administrasi negara. Dalam pengawasan, organ
pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang-
undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan
yang meletakkan kewajiban kepada individu. “Pendapat yang dikemukakan
oleh Nicolai agaknya hampir senada dengan Ten Berge, seperti dikutip
Philipus M. Hadjon, yang menyebutkan bahwa instrumen penegakan hukum
administrasi meliputi pengawasan dan penerapan sanksi” (Ridwan H.R.,
2010:311).
Pengawasan merupakan suatu langkah preventif untuk memaksakan
kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk
memaksakan kepatuhan. Pengawasan merupakan suatu perwujudan dari
perlindungan hukum preventif yang diberikan oleh negara. Perlindungan
hukum preventif merupakan sarana yang penting apabila dikaitkan dengan
asas “freis ermessen” (discretionaire bevoeghdeid) yang diwujudkan dalam
bentuk keberatan (inspraak) terhadap suatu ketetapan atau keputusan. Rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Asas keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan sangat diperlukan
guna meningkatkan kinerja pemerintahan, seperti yang diungkapkan oleh
Benjamin E. Hermalin dan Michael S. Weisbach yang menyatakan:
“The link between governance and transparency is clear in the public’s (and regulators’) perceptions; transparency was increased for the purpose of improving governance”. (“Hubungan antara pemerintahan dan keterbukaan yang jelas dalam pandangan publik (dan pembuat aturan); peningkatan keterbukaan ditujukan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan).
“Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak
pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
adanya perlindungan hukum yang preventif, pemerintah terdorong untuk
bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada
diskresi” (Philius M. Hadjon, 1987:2). Perlindungan hukum preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. “Arti penting perlindungan
hukum preventif adalah lebih baik mencegah sengketa daripada
menyelesaikan sengketa” (Titik Triwulan Tutik, 2010:288).
Telah disebutkan bahwa sarana penegakan hukum administrasi selain
pengawasan adalah penerapan sanksi. “Sanksi merupakan bagian yang
penting dalam setiap peraturan perundang-undangan, bahkan J.B.J.M. ten
Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan hukum
administrasi” (Ridwan H.R., 2010:313). Sanksi juga berfungsi untuk
memaksakan tingkah laku masyarakat agar berbuat seperti yang dikehendaki
oleh pemerintah sesuai dengan norma hukum yang ada.
Sanksi dalam Hukum Administrasi; “De publiekrechtelijke machtsmiddelen die de overheid kan aanwenden als reactie op niet-naleving van verplichtingen die voortvloeien uit administratiefrechtelijke ormen,” yaitu “alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma hukum administrasi negara.” Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik (publiekrechtelijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactie op niet-naleving) (Ridwan H.R., 2010:315).
Sanksi hukum administrasi memiliki beberapa ciri khas, yaitu
penerapan sanksi ditujukan pada perbuatan (bukan pada pelaku), sifat sanksi
admistrasi adalah reparatoir-condemnatoir yaitu pemulihan kembali pada
keadaan semula dan memberikan hukuman, dan prosedur pemberian sanksi
dilakukan langsung oleh pemerintah tanpa melalui peradilan. Ketiga hal
tersebut yang membedakan antara sanski administratif dengan sanksi pidana
dan perdata.
Apabila ditinjau dari segi sasarannya, dalam Hukum Administrasi
dikenal 2 (dua) jenis sanksi yaitu sanksi reparatoir (reparatoire sancties) yang
ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pelanggaran atau menempatkan pada situasi yang sesuai dengan hukum
(legale situatie) dan sanksi punitif (punitive sancties) yang ditujukan untuk
memberikan hukuman (straffen) pada seseorang.
Pada umumnya jenis sanksi hukum administrasi negara dicantumkan
dan disebutkan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan bidang
administrasi tertentu. Secara umum dikenal beberapa macam sanksi dalam
hukum administrasi, yaitu (Ridwan H.R., 2010:319-334):
a. Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang/Politiedwang)
Paksaan pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan oleh
organ pemerintah atau atas nama pemerintah tanpa perantaraan hakim
(parate executie) untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-
halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan
atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan guna mengakhiri
situasi yang bertentangan dengan norma hukum administrasi negara.
b. Penarikan Kembali KTUN yang Menguntungkan.
KTUN yang menguntungkan (begunstigende beschikking) artinya
KTUN tersebut memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan
untuk memperoleh sesuatu melalui ketetapan atau bila ketetapan itu
memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada. Penarikan
ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya
menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan
terdahulu yang dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan yang secara
objektif tidak dapat dibenarkan lagi.
c. Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom)
Pengenaan uang paksa dalam hukum administrasi dapat dikenakan
kepada seseorang yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan
pemerintah yang nilai maksimalnya telah ditetapkan berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan beratnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kepentingan yang dilanggar dan disesuaikan dengan tujuan
diterapkannya dwangsom tersebut.
d. Pengenaan Denda Administratif
Pengenaan denda administratif (bestuurslijke boetes) merupakan reaksi
terhadap pelanggaran norma yang ditujukan untuk menambah hukuman
yang pasti, tujuan tersebut berbeda dengan dwangsom yang hanya
ditujukan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesui dengan norma.
Pada berbagai peraturan perundang-undangan, besarnya jumlah denda
yang dikenakan pada pelanggar telah ditentukan secara tegas.
Sehingga secara umum, tindakan administrasi merupakan serangkaian
kegiatan mulai dari pembuatan aturan sampai dengan pemberian sanksi
seperti yang dikemukakan oleh Benedict Kingsbury:
Global administrative law as comprising the structures, procedures and normative standards for regulatory decision-making including transparency, participations, and review, and the rule-governed mechanisms for implementing these standards, that are applicable to formal intergovernmental regulatory bodies; to informal intergovernmental regulatory networks, to regulatory decisions of national governments where these are part of an international intergovernmental regime; and to hybrid public-private or private transnational bodies. Such a definition, we are also proposing that much of global governance can be understood and analyzed as administrative action: rule-making, administrative sanction between competing interests, and other forms of regulatory administrative decisions. (Hukum administrasi secara umum terdiri dari susunan, prosedur dan standar normatif untuk aturan-aturan dalam pembuatan keputusan termasuk keterbukaan, partisipasi, dan peninjauan, dan mekanisme aturan pemerintah untuk menerapkan standar tersebut, hal tersebut dapat diterapkan untuk lembaga resmi pemerintah pembuat aturan; untuk jaringan pemerintah pembuat aturan yang tidak resmi, untuk pembuat keputusan dari pemerintahan nasional dimana bagian-bagian tersebut adalah bagian dari rezim pemerintahan internasional; dan untuk pecampuran publik-privat atau lembaga privat. Mengacu pada definisi tersebut, kami juga menganjurkan bahwa pemerintahan secara umum dapat dipahami dan dianalisa sebagai tindakan administrasi: pembuat aturan, pemberi sanksi administrasi akibat persaingan kepentingan, dan bentuk-bentuk lain dari pembuatan aturan dan keputusan administrasi).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Kerangka Pemikiran
Untuk mempermudah gambaran penelitian ini dapat dilihat dari kerangka
pemikiran dibawah ini:
Interpretasi
Ragaan 1. Kerangka Pemikiran
Peraturan Perundang-undangan
1. UUD Tahun 1945 2. UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA 3. UU No. 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan 4. PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah
5. Permentan No. 26/Pementan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Izin Usaha Perkebunan.
6. Permentan No. 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan
7. Perda Jawa Tengah No. 2 Tahun 2005 tentang Perizinan Usaha Perkebunan
8. Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah No. 5 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan Usaha Perkebunan
Peristiwa Hukum
1. Pemberian Izin Usaha Perkebunan di Jawa Tengah
2. Mekanisme Pengawasan Usaha Perkebunan di Jawa Tengah
3. Tindakan Dinbun Jawa Tengah terhadap Perusahaan Perkebunan Tidak Sehat
Kesimpulan
1. Kesesuaian pemberian IUP terhadap peraturan perundangan-undangan.
2. Kesesuaian mekanisme pengawasan terhadap peraturan perundangan-undangan.
3. Kesesuaian tindakan hukum Dinbun atas perkebunan yang tidak sehat terhadap peraturan perundang-undangan.
Fakta Hukum Kebijakan Dinbun Jateng dalam melaksanakan pengawasan Izin Usaha Perkebunan di Jateng 1. Pemberian Izin Usaha
Perkebunan di Jawa Tengah 2. Mekanisme Pengawasan Usaha
Perkebunan di Jawa Tengah 3. Tindakan Dinbun Jawa Tengah
terhadap Perkebunan Tidak Sehat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keterangan:
Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis dalam
mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan
jawaban atas permasalahan hukum yaitu pelaksanaan pengawasan izin usaha
perkebunan di Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam
pelaksanaan pengawasan Izin Usaha Perkebunan khususnya perusahaan
perkebunan di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang berada di bawah naungan
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah selaku dinas teknis terkait, terdapat
beberapa peristiwa hukum yang timbul terkait dengan pemberian izin usaha
perkebunan di Provinsi Jawa Tengah, mekanisme pengawasan usaha perkebunan
di Provinsi Jawa Tengah, dan tindakan hukum Dinas Perkebunan terhadap
perkebunan yang tidak sehat.
Peristiwa-peristiwa hukum yang timbul tersebut tidak terlepas dari
kebijakan atau langkah yang diambil oleh Dinas Perkebunan dalam melaksanakan
pengawasan izin usaha perkebunan di wilayah Provinsi Jawa Tengah, khususnya
dalam menyikapi perkebunan-perkebunan yang tidak sehat atau mengalami
permasalahan baik intern maupun ekstern. Kebijakan atau langkah yang diambil
harus tetap memperhatikan fakta-fakta hukum yang terdapat di lapangan agar
kebijakan atau langkah tersebut tidak merugikan bagi perusahaan perkebunan itu
sendiri, masyarakat sekitar, negara, dan berbagai pihak yang terkait.
Pengambilan kebijakan oleh Dinas Perkebunan tidak hanya memperhatikan
fakta-fakta hukum yang timbul, akan tetapi juga harus sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Beberapa peraturan perundang-undangan
terkait yang dipakai sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan Dinas
Perkebunan, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berisi tujuan negara Indonesia,
khususnya pada Pasal 33 ayat (3);
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang menjadi aturan dasar mengenai segala bidang yang berkaitan
dengan pertanahan nasional;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang merupakan
payung hukum penyelenggaraan subsektor perkebunan sekaligus berisi
mengenai tujuan penyelenggaraan subsektor perkebunan di Indonesia yang
terdapat dalam Pasal 3;
4. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah sebagai peraturan yang
mengatur mengenai Hak Guna Usaha sebagai hak atas tanah yang wajib
dimiliki oleh perusahaan perkebunan dalam menjalankan usaha pada
subsektor perkebunan;
5. Permentan No. 26/Pementan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan
Izin Usaha Perkebunan yang merupakan peraturan teknis dalam pelaksanaan
pemberian izin usaha perkebunan dari Dinas Perkebunan terhadap
perusahaan perkebunan;
6. Permentan No. 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian
Usaha Perkebunan yang merupakan peraturan teknis dalam pelaksanaan
penilaian usaha perkebunan guna memberikan kelas kebun yang dilakukan
oleh Dinas Perkebunan;
7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 2 Tahun 2005 tentang
Perizinan Usaha Perkebunan yang merupakan peraturan pelaksana yang
harus dijalankan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah dalam proses
pemberian Izin Usaha Perkebunan terhadap perusahaan perkebunan.
8. Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah No. 5 Tahun
2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan Usaha Perkebunan yang mengatur
mengenai aturan teknis yang diterapkan di lapangan dalam proses
pemberian izin usaha perkebunan.
Pemakaian interpretasi peraturan perundang-undangan tersebut
dimaksudkan agar kebijakan yang diambil oleh Dinas Perkebunan memiliki
landasan hukum dalam rangka terwujudnya tujun dari penyelenggaraan subsektor
perkebunan sebagai sarana dalam pencapaian tujuan negara, yaitu kesejahteraan
masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Interpretasi antara fakta hukum dan peraturan perundang-undangan yang
terjadi secara timbal balik akan menghasilkan beberapa kesimpulan, antara lain
untuk menilik kesesuaian pelaksanaan pemberian IUP, mekanisme pengawasan
perusahaan perkebunan, serta tindakan hukum yang diambil oleh Dinas
Perkebunan kepada perusahaan yang tidak sehat terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terkait dengan subsektor perkebunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Tengah
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah merupakan dinas teknis terkait
yang mempunyai tugas pokok untuk melaksanakan urusan pemerintahan daerah
bidang perkebunan berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan, hal
tersebut sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 79 Tahun
2008 tentang Penjabaran Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Tengah.
Untuk menyelenggarakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
tersebut, Dinas Perkebunan mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. perumusan kebijakan teknis bidang perkebunan;
2. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang
perkebunan;
3. pembinaan dan fasilitasi bidang perkebunan lingkup provinsi dan
kabupaten/kota;
4. pelaksanaan tugas dibidang sarana dan prasarana, produksi perkebunan,
usaha perkebunan, pengolahan hasil, dan pemasaran perkebunan;
5. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan bidang perkebunan;
6. pelaksanaan kesekretariatan dinas; dan
7. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas
dan fungsinya.
Susunan organisasi Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah seperti yang
terdapat dalam Lampiran 2 memberikan tugas dan fungsi kepada masing-masing
bagian. Dari bagan susunan organisasi tersebut maka tugas pokok dan fungsi
masng-masing bagian dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Kepala Dinas (Pasal 4 – 5)
Kepala Dinas memimpin pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Dinas
Perkebunan sebagaimana dijelaskan pada Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gubernur Jawa Tengah Nomor 79 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas
Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah.
Kepala Dinas membawahkan:
a. Sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Dinas;
b. Bidang Sarana dan Prasarana, Bidang Produksi Perkebunan, Bidang
Usaha Perkebunan, Bidang Pengolahan Hasil Perkebunan yang
masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas;
c. Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang dipimpin oleh seorang
Kepala UPTD yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Kepala Dinas; dan
d. Kelompok Jabatan Fungsional yang dipimpin oleh seorang Tenaga
Fungsional senior sebagai ketua kelompok dan bertanggung jawab
kepada Kepala Dinas.
2. Sekretariat (Pasal 6 – 11)
Mempunyai tugas pokok melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan
teknis, pembinaan, pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara terpadu,
pelayanan administrasi dan pelaksanaan di bidang program, keuangan,
umum dan kepegawaian. Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut,
sekretaris mempunyai fungsi:
a. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan,
pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara terpadu, pelayan
administrasi, dan pelaksanaan di bidang program;
b. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan,
pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara terpadu, pelayan
administrasi, dan pelaksanaan di bidang keuangan;
c. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan,
pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara terpadu, pelayan
administrasi, dan pelaksanaan di bidang umum dan kepegawaian; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Sekretariat membawahkan:
a. Subbagian Program
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis, pembinaan, pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara
terpadu, pelayanan administrasi, dan pelaksanaan di bidang program,
meliputi: koordinasi perencanaan, pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan serta pengelolaan sistem informasi di lingkungan Dinas;
b. Subbagian Keuangan
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis, pembinaan, pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara
terpadu, pelayanan administrasi, dan pelaksanaan di bidang keuangan,
meliputi: pengelolaan keuangan, verifikasi, pembukuan, dan akuntansi
di lingkungan Dinas.
c. Subbagian Umum dan Kepegawaian
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis, pembinaan, pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara
terpadu, pelayanan administrasi, dan pelaksanaan di bidang umum dan
kepegawaian, meliputi: pengelolaan administrasi kepegawaian,
hukum, humas, organisasi dan tatalaksana, ketatausahaan, rumah
tangga, dan perlengkapan di lingkungan Dinas.
3. Bidang Sarana dan Prasarana (Pasal 12 – 16)
Mempunyai tugas pokok melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan
teknis, pembinaan, dan pelaksanaan di bidang sarana produksi, lahan,dan
air. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Bidang Sarana dan Prasarana
mempunyai fungsi:
a. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan dan
pelaksanaan di bidang sarana produksi;
b. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan dan
pelaksanaan di bidang lahan dan air; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Bidang Sarana dan Prasarana membawahkan:
a. Seksi Sarana Produksi
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis, pembinaan dan pelaksanaan di bidang sarana produksi,
meliputi: pelaksanaan kebijakan, identifikasi, inventarisasi, fasilitasi
dan kerjasama terkait pupuk, pestisida dan alat mesin perkebunan,
penerapan standar mutu pupuk dan pestisida; dan
b. Seksi Lahan dan Air
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis, pembinaan dan pelaksanaan di bidang lahan dan air, meliputi:
pelaksanaan kebijakan, penyusunan peta rencana induk (blue print),
dan pengembangan rehabilitasi, konservasi, optimasi dan
pengendalian lahan dan air, pelaksanaan koordinasi dan kerjasama
bidang pengelolaan lahan dan air wilayah provinsi, penetapan dan
pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah
provinsi, pelaksanaan bimbingan pengembangan teknologi irigasi air
permukaan dan air bertekanan unuk perkebunan.
4. Bidang Produksi Perkebunan (Pasal 16 – 22)
Mempunyai tugas pokok melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan
teknis, pembinaan dan pelaksanaan di bidang teknologi benih, teknis
budidaya, dan perindungan. Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut,
Bidang Produksi Perkebunan mempunyai fungsi:
a. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan, dan
pelaksanaan di bidang teknologi benih;
b. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan, dan
pelaksanaan di bidang teknis budidaya;
c. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan, dan
pelaksanaan di bidang perlindungan; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Bidang Produksi Perkebunan membawahkan:
a. Seksi Teknologi Benih
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis pembinaan dan pelaksanaan di bidang teknologi benih,
meliputi: antar lapangan (antar kabupaten), pelaksanaan koordinasi
dan kerjasama bidang perbenihan dengan instansi terkait, pelaksanaan
identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal, penetapan
kebun induk dan blok penghasil tinggi benih perkebunan wilayah
provinsi, pengaturan penggunaan benih perkebunan di wilayah
provinsi;
b. Seksi Teknis Budidaya
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis pembinaan dan pelaksanaan di bidang teknis budidaya,
meliputi: penyusunan kebijakan teknis, koordinasi dan kerjasama,
pelaksanaan bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya
perkebunan wilayah provinsi, pelaksanaan identifikasi areal dan
produksi tanaman semusim, tahunan, serta tanaman rempah dan
penyegar, penyyusunan peta rencana induk (blue print)
pengembangan tanaman semusim, tahunan, serta tanaman rempah dan
penyegar, pelaksanaan dan bimbingan teknis kegiatan intensifikasi,
diversifikasi, rehabilitasi tanaman semusim, tahunan serta tanaman
rempah dan penyegar, pelaksanaan kaji terap teknologi budidaya,
tanaman semusim, tahunan serta tanaman rempahh dan penyegar.
c. Seksi Perlindungan
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis pembinaan dan pelaksanaan di bidang perlindungan, meliputi:
pelaksanaan koordinasi, kebijakan dan pedoman perlindungan
perkebunan wilayah provinsi, penyebaran informasi serangan
organisme pengganggu tanaman dan rekomendasi pengendaliannya di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
wilayah provinsi, pengaturan pelaksanaan penanggulangan ekplosi
organisme pengganggu tanaman perkebunan di wilayah provinsi, dan
pelaksanaan bbimbingan teknis kelestarian alam.
5. Bidang Usaha Perkebunan (Pasal 23 – 27)
Mempunyai tugas pokok melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan
teknis, pembinaan, dan pelaksanaan di bidang pembinaan usaha,
pengembangan kelembagaan dan Sumber Daya Masyarakat (SDM). Untuk
menyelenggarakan tugas pokok tersebut, Bidang Usaha Perkebunan
mempunyai fungsi:
a. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan, dan
pelaksanaan di bidang pembinaan usaha;
b. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan, dan
pelaksanaan di bidang pembinaan usaha; dan
c. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Bidang Usaha Perkebunan membawahkan:
a. Seksi Pembinaan Usaha
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis pembinaan dan pelaksanaan di bidang pembinaan usaha,
meliputi: pelaksanaan koordinasi, kebijakan, dan pedoman pembinaan
usaha perkebunan wilayah provinsi, pemberian izin dan registrasi
usaha perkebunan lintas kabupaten/kota, pelaksanaan pemantauan dan
pengawaan izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota, pelaksanaan
peniaian klasifikasi perusahaan perkebunan, pelaksanaan pemantauan
dan pemeriksaan AMDAL/UKL-UPL serta sanitasi lingkungan
perusahaan perkebunan wilayah provinsi, pelaksanaan pengendalian
gangguan usaha pada perkebunan besar, pelaksanaan pemantauan dan
evaluasi pembiayaan usaha perkebunan, dan kelayakan usaha tani di
wilayah provinsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Seksi Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis pembinaan dan pelaksanaan di bidang pengembangan Sumber
Daya Manusia dan Kelembagaan, meliputi: penyusunan kebijakan dan
pedoman teknis pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan
kelembagaan petani perkebunan wilayah provinsi, pelaksanaan
koordinasi bidang pengembangan SDM dan kelembagaan
perkkebunan di wilayah provinsi, penetapan kebijakan dan pedoman
pola kerjasama kemitraan usaha perkebunan wilayah provinsi,
pelaksanaan inventarisasi penyusunan data kelembagaan perkebunan,
pelaksanaan pembinaan dan identifikasi kelompok tani perkebunan,
pelaksanaan bbimbingan dan pengembangan kemitraan petani,
asosiasi dengan dunia usaha perkebunan, dan pelaksanaan upaya
peningkatan kualitas SDM melalui bimbingan teknis usaha
perkebunan.
6. Bidang Pengolahan Hasil Perkebunan (Pasal 28 – 32)
Mempunyai tugas pokok melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan
teknis, pembinaan dan pelaksanaan di bidang pasca panen dan pengolahan,
dan pemasaran. Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, Bidang
Pengolahan Hasil Perkebunan mempunyai fungsi:
a. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan, dan
pelaksanaan di bidang pasca panen dan pengolahan;
b. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan, dan
pelaksanaan di bidang pemasaran; dan
c. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Bidang Pengolahan Hasil Perkebunan membawahkan:
a. Seksi Pasca Panen dan Pengolahan
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis pembinaan dan pelaksanaan di bidang pasca panen dan
pengolahan, meliputi: pelaksanaan koordinasi, kebijakan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pedoman serta pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca
panen dan pengolahan hasil, bimbingan teknis penanganan panen,
pasca panen dan pengolahan hasil komoditas perkebunan, pelaksanaan
bimbingan teknis pengemasan dan penyimpanan komoditas
perkebunan
b. Seksi Pemasaran
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis pembinaan dan pelaksanaan di bidang pasca pemasaran,
meliputi: pelaksanaan koordinasi, kebijakan, pedoman, pemantauan
dan evaluasi, promosi dan fasilitasi pemasaran hasil perkebunan
wilayah provinsi, dan penyebarluasan informasi pasar wilayah
provinsi.
7. Kelompok Jabatan Fungsional (Pasal 33 – 34)
Mempunyai tugas sesuai dengan jabatan fungsional masing-masing
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelompok
jabatan fungsional terdiri dari sejumlah tenaga fungsional yang terbagi
dalam beberapa kelompok sesuai dengan bidang keahiannya yang
jumlahnya ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja. Jenis,
jenjang jabatan fungsional, dan pembinaan terhadap pejabat fungsional
diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tata Kerja Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah diatur dalam pasal 35 –
39 Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 79 Tahun 2008 tentang Penjabaran
Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa guna melaksanakan tugas dan
fungsinya, Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala Subbagian, dan
Kepala Seksi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur serta harus tetap memperhatikan
prinsip-prinsip manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan sesuai dengan bidang tugasnya
masing-masing.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam melaksanakan tugasnya, masing-masing jabatan tersebut harus
menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi secara vertikal maupun
horisontal baik ke dalam maupun antar satuan organisasi dalam lingkungan
Pemerintahan Daerah serta instansi lain sesuai dengan tugas pokoknya masing-
masing. Pelaksanaan tugas tersebut diikuti dengan ketentuan:
1. Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala Subbagian, dan Kepala
Seksi bertanggung jawab dalam memimpin, mengkoordinasikan, dan
memberikan bimbingan-bimbingan serta petunjuk-petunjuk bagi
pelaksanaan tugas bawahannya masing-masing;
2. Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala Subbagian, dan Kepala
Seksi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk-petunjuk dan bertanggung
jawab pada atasan masing-masing serta menyampaikan laporan tepat pada
waktunya;
3. Dalam menyampaikan laporan masing-masing kepada atasan, tembusan
laporan dapat disampaikan kepada satuan organisasi lain di lingkungan
Dinas yang secara fungsional mempunyai hubungan kerja;
4. Setiap laporan yang diterima oleh Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang,
Kepala Subbagian, dan Kepala Seksi dari bawahan wajib diolah dan
dipergunakan sebagai bahan penyusunan laporan lebih lanjut dan dijadikan
bahan untuk memberikan petunjuk kepada bawahan; dan
5. Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala UPTD, dan Pejabat Fungsional
menyampaikan laporan kepada Kepala Dinas dan berdasarkan hal tersebut
Sekretaris menyusun laporan berkala Kepala Dinas kepada Gubernur
melalui Sekretaris Daerah.
B. Pemberian Izin Usaha Perkebunan di Provinsi Jawa Tengah
Setiap perusahaan perkebunan khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah
yang menjalankan usahanya baik untuk membudidayakan atau mengelola
perkebunan harus mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) terlebih dahulu dari
Dinas teknis yang terkait, yang dalam hal ini adalah Dinas Perkebunan Provinsi
Jawa Tengah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dasar hukum pemberian IUP bagi perusahaan perkebunan terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan, Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2005 tentang
Perizinan Usaha Perkebunan, dan Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi
Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan Usaha
Perkebunan. Provinsi Jawa Tengah merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia
yang memiliki Peraturan Daerah tentang Izin Usaha Perkebunan sebelum
dikeluarkannya Permentan Nomor 26 Tahun 2007.
Perizinan diperlukan dalam rangka penertiban, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan terhadap sumber daya alam untuk usaha perkebunan yang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat dengan mengoptimalkan sumber daya alam yang berkelanjutan, daya dukung, dan keanekaragaman jenis sehingga perlu mengatur pembinaan, pengamanan, dan pengendalian. Dalam Pasal 37 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Perizinan Usaha Perkebunan dinyatakan bahwa dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka orang pribadi, perusahaan perkebunan, dan group perusahan yang telah melakukan usaha perkebunan wajib mengajukan izin dalam jangka waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini (4 Mei 2005) (Lego Karjoko, 2007:57).
IUP adalah izin tertulis yang wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan
untuk dapat melakukan usaha budidaya perkebunan dan/atau usaha industri
perkebunan dan/atau usaha wisata argo perkebunan serta usaha diversifikasi
lainnya untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan. Dalam Peramentan Nomor
26/Permentan/OT.140/2/2007, yang dimaksud dengan IUP adalah izin tertulis dari
pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan yang melakukan
usaha budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha industri pengolahan
hasil industri perkebunan. Permentan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan
untuk meningkatkan upaya percepatan pelayanan perizinan dan investasi
pertanian yang dilaksanakan oleh pusat perizinan dan investasi beserta instansi
yang terkait dalam lingkup Kementrian Pertanian
(http://www.anneahira.com/izin-usaha-perkebunan.htm).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
IUP dibedakan menjadi 2 (dua) macam sesuai dengan bidang usaha yang
dijalankan oleh perusahaan perkebunan, yaitu usaha budi daya tanaman
perkebunan dan usaha industri pengolahan hasil perkebunan. Yang dimaksud
dengan:
1. Usaha budi daya tanaman perkebunan merupakan serangkaian kegiatan
pengusahaan tanaman perkebunan yang meliputi kegiatan pra tanam,
penanaman, pemeliharaan tanaman, dan pemanenan. Usaha budi daya
tanaman perkebunan harus dilengkapi dengan IUP untuk budidaya (IUP-B).
IUP-B adalah izin tertulis dari pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki
oleh perusahaan yang melakukan usaha budidaya perkebunan.
2. Usaha industri pengolahan hasil perkebunan merupakan serangkaian
kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil
tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang
lebih tinggi. Usaha budi daya tanaman perkebunan harus dilengkapi dengan
IUP untuk pengolahan hasil perkebunan (IUP-P). IUP-P adalah izin tertulis
dari pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan yang
melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan.
Bagi perusahaan perkebunan yang lokasi perkebunannya berada pada lintas
daerah Kabupaten dan/atau Kota permohonan IUP disampaikan kepada Gubernur
dengan tembusan Menteri Pertanian, sedangkan untuk perusahaan perkebunan
yang lokasi lahan usaha perkebunannya berada di suatu wilayah daerah
Kabupaten dan/atau Kota permohonan IUP disampaikan kepada Bupati/Walikota
dengan tembusan Menteri Pertanian. Ketentuan tersebut didasarkan pada Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kms/HK.350/5/2002 tentang
Penyelesaian Ijin Usaha Perkebunan.
IUP berlaku selama perusahaan perkebunan masih melaksanakan
kegiatannya sesuai dengan baku teknis dan ketentuan yang berlaku. Untuk
memperoleh IUP, perusahaan perkebunan selaku pemohon wajib menyampaikan
permohonannya secara tertulis kepada Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Tengah paling lama dalam jangka 3 (tiga) bulan sebelum pelaksanaan kegiatan
usaha perkebunan. Permohonan diajukan sesuai dengan prosedur yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pemohon membawa berkas persyaratan rangkap 10 disertai dengan pengantar
ditetapkan dalam Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah
Nomor 5 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan Usaha Perkebunan
sebagaimana yang digambarkan dalam ragaan 2 dibawah ini:
Ragaan 2. Alur Tahapan Tata Cara Permohonan Perizinan
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah
Berdasarkan alur tahapan tata cara perizinan yang terdapat dalam ragaan 2
tersebut dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:
PEMEGANG KAS PEMBANTU PENERIMAAN DINBUN Lantai I Sub Bagian Keuangan Pemohon membayar: - Retribusi - Biaya Administrasi - Biaya Tim Teknis
Pemeriksa Kebun
SUB DINAS KELEMBAGAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA (KPU) Lantai IV Pemohon menyerahkan: - Kuitansi bukti
pembayaran - Berkas persyaratan
Kegiatan yang dilakukan oleh KPU: - Mengoreksi kelengkapan
berkas pemohon - Dalam waktu 1 (satu) hari
menyatakan berkas Lengkap/Tidak Lengkap (L/TL)
- Menjadwalkan pelaksanaan pemeriksaan kebun secara fisik oleh Tim Teknis
- Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan diterbitkan IUP dan diserahkan langsung kepada Pemimpin Kebun/Administratur di kebun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1. Permohonan IUP dilakukan oleh pemohon dengan membayar retribusi
berupa biaya administrasi dan biaya Tim Pemeriksaan Kebun yang
dibayarkan lewat Pemegang Kas Pembantu Penerimaan Dinas Perkebunan,
kemudian Pemegang Kas Pembantu Penerimaan membuat tanda bukti
pembayaran yang ditandatangani bersama oleh Wajib Retribusi dan Wajib
Pungut.
2. Setelah pemohon memperoleh tanda bukti pembayaran retribusi dari
Pemegang Kas Pembantu Penerimaan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Tengah kemudian tanda bukti tersebut diserahkan kepada Sub Dinas
Kelembagaan dan Pengembangan Usaha Dinas Perkebunan dengan
melampirkan persyaratan sebagai berikut:
a. permohonan Izin Usaha Perkebunan (IUP)
1) visi dan misi perusahaan;
2) akta pendirian badan hukum perusahaan dan perubahannya;
3) fotocopy sertifikat hak atas tanah (HGU) atau dokumen hak atas
tanah tersebut atau dokumen atas proses menuju terbitnya hak;
4) surat keterangan domisili perusahaan;
5) surat keputusan hak atas tanah (HGU);
6) program kerja pembangunan kebun dalam jangka waktu pendek (3
tahun);
7) surat pernyataan pemberdayaan masyarakat sekitar kebun;
8) laporan semester perkembangan kegiatan usaha perkebunan;
9) bukti fotocopy pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan 2 (dua) tahun
terakhir;
10) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
11) rekomendasi kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota dari Bupati/Walikota untuk IUP yang diterbitkan
oleh Gubernur;
12) rekomendasi kesesuaian dengan rencana makro pembangunan
perkebunan provinsi dari Gubernur untuk IUP yang diterbitkan oleh
Bupati/Walikota;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13) izin lokasi dari Bupati/Walikota yang dilengkapi dengan peta calon
lokasi dengan skala 1 : 100.000 atau 1 : 50.000;
14) pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari Instansi Kehutanan
(apabila areal berasal dari kawasan hutan);
15) jaminan pasokan bahan baku yang diketahui oleh Bupati/Walikota;
16) rencana kerja pembangunan kebun dan unit pengolahan hasil
perkebunan;
17) hasil Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
18) pernyataan perusahaan belum menguasai lahan melebihi batas luar
maximum;
19) pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana, dan sistem
untuk melakukan pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan
(OPT);
20) pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana, dan sistem
untuk melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran serta
pengendalian kebakaran;
21) pernyataan kesediaan dan rencana kerja pembangunan untuk
masyarakat sesuai dengan pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007; dan
22) pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan.
b. permohonan IUP untuk budidaya (IUP-B)
1) visi dan misi perusahaan;
2) akta pendirian badan hukum perusahaan dan perubahannya;
3) fotocopy sertifikat hak atas tanah (HGU) atau dokumen hak atas
tanah tersebut atau dokumen atas proses menuju terbitnya hak;
4) surat keterangan domisili perusahaan;
5) surat keputusan hak atas tanah (HGU);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6) program kerja pembangunan kebun dalam jangka waktu pendek (3
tahun);
7) surat pernyataan pemberdayaan masyarakat sekitar kebun;
8) hasil Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
9) laporan semester perkembangan kegiatan usaha perkebunan;
10) bukti fotocopy pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan 2 (dua) tahun
terakhir;
11) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
12) rekomendasi kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota dari Bupati/Walikota untuk IUP-B yang diterbitkan
oleh Gubernur;
13) rekomendasi kesesuaian dengan rencana makro pembangunan
perkebunan provinsi dari Gubernur untuk IUP-B yang diterbitkan
oleh Bupati/Walikota;
14) izin lokasi dari Bupati/Walikota yang dilengkapi dengan peta calon
lokasi dengan skala 1 : 100.000 atau 1 : 50.000;
15) pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari Instansi Kehutanan
(apabila areal berasal dari kawasan hutan);
16) pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana, dan sistem
untuk melakukan pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan
(OPT);
17) pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana, dan sistem
untuk melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran serta
pengendalian kebakaran;
18) pernyataan kesediaan dan rencana kerja pembangunan untuk
masyarakat sesuai dengan pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007; dan
19) pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. permohonan IUP untuk pengolahan hasil perkebunan (IUP-P)
1) visi dan misi perusahaan;
2) akta pendirian badan hukum perusahaan dan perubahannya yang
terakhir;
3) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
4) surat keterangan domisili perusahaan;
5) rekomendasi kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota dari Bupati/Walikota untuk IUP-P yang diterbitkan
oleh Gubernur;
6) rekomendasi kesesuaian dengan rencana makro pembangunan
perkebunan provinsi dari Gubernur untuk IUP-P yang diterbitkan
oleh Bupati/Walikota;
7) izin lokasi dari Bupati/Walikota yang dilengkapi dengan peta calon
lokasi dengan skala 1 : 100.000 atau 1 : 50.000;
8) rekomendasi lokasi dari Pemerintah Daerah lokasi unit pengolahan;
9) jaminan pasokan bahan baku yang diketahui oleh Bupati/Walikota;
10) rencana kerja pembangunan unit pengolahan hasil perkebunan;
11) hasil Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
12) pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan;
13) pemberian Izin Usaha Budidaya Perkebunan dan/atau Izin Industri
Pengolahan Hasil Perkebunan dalam rangka penanaman modal asing
atau penanaman modal dalam negeri, terlebih dahulu mendapat
rekomendasi teknis dari Direktur Jenderal Perkebunan; dan
14) fotocopy bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan 2 (dua) tahun
terakhir.
3. Setelah berkas permohonan beserta seluruh persyaratannya diteliti dan
apabila secara administrasi dinyatakan lengkap selanjutnya pemohon
diberitahu waktu pemeriksaan fisik kebun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Pemeriksaan fisik kebun dilakukan oleh Tim Teknis Pemeriksa Kebun yang
terdiri atas unsur-unsur:
Ketua : Kepala sub dinas Kelembagaan dan Pengembangan
Usaha Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah.
Sekretaris : Kepala seksi perizinan pengembangan usaha dan
kelembagaan pada Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Tengah.
Anggota : a. Kepala dinas teknis yang membidangi perkebunan
pada Kabupaten/Kota domisili kebun;
b. Gabungan Perusahaan Perkebunan (GPP) Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta; dan
c. Seksi Pengembangan Sumber Daya pada Sub Dinas
Kelembagaan dan Pengembangan Uasaha Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Tengah.
Tugas Tim Teknis dalam pemeriksaan kebun adalah untuk menentukan
kelayakan pengelolaan kebun dari aspek :
a. Manajemen, kebun, pengolahan hasil, serta sosial ekonomi dan
lingkungan berdasarkan standar kelayakan penilaian kebun dari
Direktorat Jenderal Perkebunan;
b. Kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar; dan
c. Kewajiban-kewajiban pemegang Hak Guna Usaha.
5. Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diajukannya
permohonan izin dan kemudian telah dilakukan pemeriksaan fisik kebun,
maka Kepala Dinas Perkebunan akan memberitahukan kepada pemohon
apakah permohonan izin itu disetujui atau di tolak.
6. Setelah disetujuinya permohonan IUP maka dituangkan dalam Surat
Keputusan Kepala Dinas Perkebunan kemudian disampaikan kepada
pemohon paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
disetujuinya permohonan.
7. Penolakan permohonan IUP disampaikan kepada pemohon dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
disertai dengan alasan-alasan teknis yang dapat dipertanggungjawabkan
menurut ketentuan perundang-undangan.
8. Izin diberikan kepada pemohon izin setelah melunasi retribusi.
Setiap perusahaan yang telah memiliki IUP melaksanakan kewajiban-
kewajibannya, seperti yang telah diatur dalam:
1. Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang
menyatakan: “Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya”.
2. Pasal 34 Permentan Nomor 26 /Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman
Perizinan Usaha Perkebunan, yang menyatakan:
Perusahaan perkebunan yang telah memiliki IUP, IUP-B, atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, wajib: a. menyelesaikan hak atas tanah selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak
diterbitkannya IUP-B, IUP-P, atau IUP; b. merealisasikan pembangunan kebun dan/atau unit pengolahan sesuai
dengan studi kelayakan, baku teknis, dan ketentuan yang berlaku; c. memiliki sarana, prasarana, dan sistem untuk melakukan pembukaan
lahan tanpa pembakaran serta pengendalian kebakaran; d. membuka lahan tanpa bakar dan mengelola sumber daya alam secara
lestari; e. memiliki sarana, prasarana, dan sistem untuk melakukan pengendalian
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT); f. menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL),
atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan;
g. menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/koperasi setempat; serta h. melaporkan perkembangan usaha perkebunan kepada gubernur atau
bupati/walikota sesuai kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.
3. Pasal 9 Perda Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Perizinan Usaha
Perkebunan, yang menyatakan:
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 berlaku selama perusahaan menjalankan usaha perkebunan dengan baik dan kepada perusahaan diwajibkan untuk: a. melaporkan perkembangan usahanya secara berkala setiap semester; b. mengajukan permohonan persetujuan apabila akan mengadakan
perubahan jenis tanaman atau perluasan uaha lainnya; c. memberitahukan apabila terjadi perubahan pemilikan perusahaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Pasal 5 Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Jawa Tengah Nomor 5 Tahun
2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan Usaha Perkebunan, yang
menyatakan: “Pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap
tahun wajib melakukan registrasi lewat Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Tengah dengan mempergunakan format permohonan registrasi.”
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah membawahi 72 perusahaan
perkebunan yang tersebar di Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang,
Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten
Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Banyumas,
Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten
Temanggung, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Pati.
Perkebunan tersebut terdiri dari 16 perkebunan milik negara atau Perseroan
Terbuka Perkebunan Negara IX (PTPN IX), 54 perkebunan milik swasta, dan 2
perkebunan milik Perusahaan Daerah (Perusda).
Pemberian IUP oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah bagi
perusahaan perkebunan di Provinsi Jawa Tengah sudah dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 18 Tahun 2004, Permentan No.
26/Permentan/OT.140/2/2007, Perda Jateng No. 2 Tahun 2005, dan Peraturan
Kepala Dinas Perkebunan Jateng No. 5 Tahun 2006 baik dari sisi prosedur, tata
cara, dan syarat-syarat permohonan IUP. Proses pemberian IUP juga sudah
dilaksanakan secara efektif, hal ini dapat terlihat dari perusahaan perkebunan di
Provinsi Jawa Tengah yang berjumlah 72 tersebut semuanya telah memiliki IUP,
kecuali Kebun Karanggondang milik PT. Estu Subur yang berada di Kabupaten
Pekalongan. IUP atas nama perusahaan perkebunan tersebut tidak diterbitkan
oleh Dinas Perkebunan karena HGU perusahaan tersebut telah habis masa
berlakunya mulai tahun 2000 dan sampai sekarang pihak perusahaan belum
melakukan permohonan perpanjangan HGU dikarenakan adanya permasalahan
intern keluarga dalam perusahaan tersebut (Konfirmasi Soesiati Rahayu, 5 Mei
2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan uraian tersebut maka daftar perusahaan perkebunan di wilayah
Provinsi Jawa Tengah yang sudah memiliki IUP dapat dilihat dalam tabel 1
berikut ini:
Tabel 1. Daftar Perkebunan yang telah memiliki IUP
No Nama Kebun Nama Perusahaan Nomor IUP Tanggal IUP
1. Tengkol PTPN IX 525.3/5510 1 Juni 2006
2. Getas PTPN IX 525.3/5511 1 Juni 2006
3. Ngobo PTPN IX 525.3/5512 1 Juni 2006
4. Batujamus PTPN IX 525.3/5513 1 Juni 2006
5. Warnasari PTPN IX 525.3/5514 1 Juni 2006
6. Kawung PTPN IX 525.3/5515 1 Juni 2006
7. Krumput PTPN IX 525.3/5516 1 Juni 2006
8. Kaligua PTPN IX 525.3/5517 1 Juni 2006
9. Semugih PTPN IX 525.3/5518 1 Juni 2006
10. Blimbing PTPN IX 525.3/5519 1 Juni 2006
11. Jolotigo PTPN IX 525.3/5520 1 Juni 2006
12. Siluwok PTPN IX 525.3/5521 1 Juni 2006
13. Sukamangli PTPN IX 525.3/5522 1 Juni 2006
14. Merbuh PTPN IX 525.3/5523 1 Juni 2006
15. Balong PTPN IX 525.3/5524 1 Juni 2006
16. Jollong PTPN IX 525.3/5525 1 Juni 2006
17. Jatikalangan PT. Makmur Jaya
Utama
525.3/5526 5 Juni 2006
18. Salib Putih PT. Rumekso
Mekaring Sabdo
525.3/5527 5 Juni 2006
19. Selokaton PT. Perkebunan
Cengkeh
525.3/5528
5 Juni 2006
20. Kalimas PT. Karyadeka Alam
Lestari
525.3/5529 5 Juni 2006
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21. Darma Kradenan PT. Rumpun Sari
Antan
525.3/5530 5 Juni 2006
22. Samodra PT. Rumpun Sari
Antan
525.3/5531 5 Juni 2006
23. Carui PT. Rumpun Sari
Antan
525.3/5532 5 Juni 2006
24. Ciseru Cipari PT. Rumpun Sari
Antan
525.3/5533 5 Juni 2006
25. Kaliminggir PT. Banyumas Landen 525.3/5534 19 Juni 2006
26. Gunung Karet PT. Jeruk Legi 525.3/5535 19 Juni 2006
27. Langenharjo PT. Sinar Kartasura 525.3/5536 19 Juni 2006
28. Kesongo PT. Sri Sarwo Adhi 525.3/5537 25 Juli 2006
29. Kandangan PT. UFI 525.3/5538 19 Juni 2006
30. Tlogo Perusda Aneka Industri
Provinsi Jawa Tengah
525.3/5539 19 Juni 2006
31. Lerep PT. Patra Bumi Lerep
Permai
525.3/5540 19 Juni 2006
32. Sumurpitu PT. Sumurpitu
Wringinsari
525.3/5541 19 Juni 2006
33. Srendeng PT. Cengkopa 525.3/5542 19 Juni 2006
34. Curug PT. Cengkeh Zanzibar 525.3/5543 19 Juni 2006
35. Jatipablengan PT. Rumpun Sari
Antan
525.3/5544 19 Juni 2006
36. Jomblang PT. Perkebunan
Jomblang
525.3/5545 19 Juni 2006
37. Bitting PT. Perkebunan Bitting 525.3/5546 5 Juni 2006
38. Sidorejo PT. Perkebunan
Sidorejo
525.3/5547 3 Juli 2006
39. Sringin PT. Rehobat 525.3/5548 24 Agustus
2006
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40. Medini PT. Rumpun Sari
Antan
525.3/5549 25 Juli 2006
41. Kebunroto PT. Perkebunan
Sidorejo
525.3/5550 3 Juli 2006
42. Susukan PT. Pawana Indonesia 525.3/8405 30 Nopember
2010
43. Segayung Selatan PT. Pawana Indonesia 525.3/5552 25 Juli 2006
44. Pagilaran PT. Pagillaran 525.3/5553 25 Juli 2006
45. Segayung Utara PT. Pagilaran 525.3/5554 21 Juli 2006
46. Pesantren PT. Estu Subur 525.3/5555 22 Agustus
2006
47. Petir Penundan Perusda Batang 525.3/5556 21 Juli 2006
48. Simbangjati PT. Simbangjati
Bahagia
525.3/5557 5 Juni 2006
49. Tratak PT. Perkebunan Tratak 525.3/5558 4 Oktober
2006
50. Kesesi PT. Buah Harum 525.3/5559 25 Juli 2006
51. Simadu PT. Estu Subur 525.3/5560 28 Agustus
2006
52. Sikasur PT. Kencana Sikasur 525.3/5561 31 Agustus
2006
53. Mackenzie PT. Perkebunan
Mackenzie
525.3/5562 31 Oktober
2006
54. Panca Arga PT. Adiwiyata Panca
Arga
525.3/5563 7 Agustus
2006
55. Danasari PT. Gucisari 525.3/5564 25 Juli 2006
56. Pakisaji PT. Pakisaji
Banjoemas
525.3/5565 31 Oktober
2006
57. Tambi PT. Tambi 525.3/5566 4 Oktober
2006
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58. Bedakah PT. Tambi 525.3/5567 4 Oktober
2006
59. Tanjung Sari PT. Tambi 525.3/5568 4 Oktober
2006
60. Took Bandung PT. Rejodadi 525.3/8540 22 Oktober
2008
61. Kemuning PT. Rumpun Sari
Antan
525.3/5570 21 Juli 2006
63. Kaligintung PT. Rumpun Sari
Antan
525.3/5571 21 Jui 2006
63. Sumber Arto I PT. Sumber Arto I 525.3/5572 22 Agustus
2006
64. Sumber Harto II PT. Sari Adi Kencana 525.3/5573 22 Agustus
2006
65. Sumber Harto III PT. Sumber Arto Tiga 525.3/5574 7 Agustus
2006
66. Cluwak PT. Rumpun Sari
Antan
525.3/5575 21 Juli 2006
67. Selosabrang PT. UFI 525.3/5576 29 September
2006
68. Kalisidi PT. Cengkeh Zanzibar 525.3/5577 29 September
2006
69. Siboyo Situkung PT. Hortindo Pratama
Indah
525.3/5578 29 September
2006
70. Puspita Nicky PT. Puspita Nicky 525.3/5579 25 Juli 2006
71. Rawaseneng PT. Naksatra Kejora 525.3/5580 23 Juni 2006
72. Karanggondang PT. Estu Subur 525.3/-----
Sumber : Dokumen Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
C. Mekanisme Pengawasan Usaha Perkebunan di Provinsi Jawa Tengah
Perusahaan perkebunan sebagai penyelenggara usaha perkebunan diatas
tanah negara yang diusahakan berdasarkan Hak Guna Usaha memiliki beberapa
kewajiban seperti yang terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah
yang menyebutkan:
Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk: a. membayar uang pemasukan kepada Negara; b. melaksanakn usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau
peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
c. mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapan oleh instansi teknis;
d. membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;
e. memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. menyampaikan laporan tertulis setiap akhiir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha;
g. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;
h. menyerahakan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Selain memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat di
dalam Pasal 12 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996, setiap perusahaan perkebunan
sebagai pemegang IUP juga memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 34 Permentan Nomor 26 /Permentan/OT.140/2/2007
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, yang menyebutkan:
Perusahaan perkebunan yang telah memiliki IUP, IUP-B, atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, wajib: a. menyelesaikan hak atas tanah selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak
diterbitkannya IUP-B, IUP-P, atau IU; b. merealisasikan pembangunan kebun dan/atau unit pengolahan sesuai
dengan studi kelayakan, baku teknis, dan ketentuan yang berlaku; c. memiliki sarana, prasarana, dan sistem untuk melakukan pembukaan
lahan tanpa pembakaran serta pengendalian kebakaran; d. membuka lahan tanpa bakar dan mengelola sumber daya alam secara
lestari;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
e. memiliki sarana, prasarana, dan sistem untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT);
f. menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL) sesuai peraturan perundang-undangan;
g. menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/koperasi setempat; serta
h. melaporkan perkembangan usaha perkebunan kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.
Setiap perusahaan perkebunan yang telah memiliki IUP seharusnya
melakukan kegiatan usaha perkebunan baik untuk budidaya tanaman perkebunan
ataupun untuk pengolahan hasil perkebunan. Pelaksanaan usaha perkebunan
tersebut tidak dapat terlepas dari pengawasan yang dilakukan oleh Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Tengah selaku dinas teknis yang terkait. Pengawasan
tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan perkebunan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan yang menyatakan bahwa Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan:
a. meningkatkan pendapatan masyarakat;
b. meningkatkan penerimaan negara;
c. meningkatkan penerimaan devisa negara;
d. menyediakan lapangan pekerjaan;
e. meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing;
f. memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan
g. mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Pengawasan merupakan serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan,
mengolah data, dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan sesuai
dengan penggunaan lahan dan pemenuhan perizinan dan kewajiban retribusi.
Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan adalah dengan
dilakukannya penilaian usaha perkebunan atau yang dahulu sering disebut dengan
klasifikasi perkebunan (dengan berpedoman pada SK Permentan Nomor:
486.1/kpts/OT.100/10/2003) dan penarikan registrasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1. Penilaian Usaha Perkebunan
Merupakan kegiatan penilaian yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan guna
mengetahui kinerja usaha perkebunan yang dilaksanakan dalam jangka waktu
setiap 3 (tiga) tahun sekali berdasarkan rencana kerja pembangunan kebun
dan/atau industri pengolahan hasil perkebunan yang diajukan pada saat
permohonan IUP. Dasar hukum pelaksanan penilaian tersebut berpedoman pada
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang
Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.
Penilaian Usaha Perkebunan dilaksanakan dalam rangka memperoleh data/informasi kebun dalam rangka pembinaan terhadap perusahaan perkebunan besar yang meliputi berbagai subsistem, serta dilaksanakan dengan tujuan untuk (Tegoeh Wynarno Haroeno, 2010:2): a. mengetahui kinerja usaha perkebunan; b. mengetahui kepatuhan usaha perkebunan terhadap peraturan dan
ketentuan yang berlaku; c. mendorong usaha perkebunan untuk memenuhi baku teknis usaha
perkebunan dalam memaksimalkan kinerja usaha perkebunan; d. mendorong usaha perkebunan untuk memenuhi kewajibannya sesuai
peraturan dan ketentuan yang berlaku; dan e. penyusunan program dan kebijakan pembinaan usaha perkebunan.
Penilaian usaha perkebunan merupakan salah satu kegiatan
berkesinambungan yang telah dilaksanakan sejak tahun 1972, semula
dilaksanakan setiap 5 tahun sekali kemudian sejak tahun 1988 dilaksanakan setiap
3 tahun sekali dan yang terakhir dilaksanakan pada tahun 2009.
Kebun yang dinilai harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain (Tegoeh Wynarno Haroeno, 2010:3): a. kebun sudah beroperasi (eksisting/bukan kebun baru); b. memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP); c. bersedia dinilai dan membuat Surat Pernyataan di atas materai tentang
kesedian untuk dinilai, apabila tidak bersedia dianggap kebun kelas V/terlantar (Permentan 07, Pasal 25);
d. hasil penilaian ditandatangani oleh petugas yang telah memiliki legalitas penilaian dan memiliki sertifikat dari Dirjenbun (di Jawa Tengah baru 2 orang, yaitu: Ir. Soesiati Rahayu, M.M., dan Abdul Muntholib, S.P.); dan
e. pihak kebun telah melunasi pembayara retribusi dan registrasi sebagaimana diatur Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Perizinan Usaha Perkebunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penilaian usaha perkebunan yang dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan
melewati beberapa tahapan, antara lain:
a. Persiapan lapangan
1) sebelum melakukan penilaian usaha perkebunan, terlebih dahulu
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah melakukan persiapan
lapangan dengan membentuk suatu tim penilai tiap daerah yang terdiri
dari 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) orang anggota yang salah satu
diantaranya adalah penilai bersertifikat yang berperan sebagai
koordinator yang telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Perkebunan.
Penilai bersertifikat merupakan penilai yang telah melalui pelatihan
(teori dan praktik) dan seleksi yang diadakan oleh Lembaga
Pendidikan Perkebunan (LPP) yang bekerjasama dengan Dirjen
Perkebunan Menteri Pertanian Republik Indonesia;
2) setelah tim penilai terbentuk, dilakukan pembekalan (coaching) yang
dilaksanakan oleh direktorat jenderal bina produksi perkebunan
dengan tujuan untuk menyamakan persepsi dan memudahkan
pelaksanaan penilaian.
b. Pelaksanaan lapangan
1) setelah dibekali, tim penilai kemudian melakukan peninjauan
langsung ke lapangan sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh Dinas
Perkebunan dan yang sebelumnya telah diberitahukan kepada
perusahaan perkebunan. Penilaian usaha perkebunan dilaksanakan
dalam jangka waktu minimal 1 (satu) hari dan maksimal tergantung
dari jarak lokasi kebun dari Dinas Perkebunan, luas kebun, dan
kesiapan kelengkapan administrasi yang dimiliki oleh perusahaan
perkebunan;
2) penilaian dilakukan dengan kegiatan pencacahan ke kebun atau
pengisian kuisioner di setiap kebun yang dilakukan oleh tim yang
telah ditunjuk. Data atau informasi yang diperoleh dari perusahaan
diperoleh melalui wawancara, data tertulis, dan informasi lain yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berkaitan dengan manajemen perusahaan dalam menyelenggarakan
perkebunan;
3) semua dokumen yang telah diisi oleh pihak perusahaan kemudian
dikoreksi kembali oleh tim penilai dan direksi perusahaan yang telah
ditunjuk. Apabila terjadi perubahan data pada kuisioner yang telah
diisi, data pertama dicoret dan tetap dapat dibaca serta harus
dibubuhkan paraf dari masing-masing pihak;
4) setelah data selesai diteliti, kemudian disahkan oleh
administratur/direksi perusahaan perkebunan yang bersangkutan dan
diketahui serta ditanda tangani oleh tim penilai serta Kepala Dinas
Perkebunan.
c. Penetapan Kelas
1) koordinator tim penilai melaporkan hasil penilaian perkebunan kepada
Kepala Dinas Perkebunan yang kemudian dituangkan dalam kelas
kebun sementara berdasarkan nilai sementara yang diumumkan dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dilakukan
penilaian;
2) pada saat nilai belum ditetapkan (masih nilai sementara) Dinas
Perkebunan mengadakan pertemuan antar perusahaan perkebunan
guna memberitahukan hasil penilaian perkebunan;
3) bagi perusahaan yang merasa tidak puas akan hasil penilaian diberi
kesempatan dalam jangka waktu 1 (satu) minggu setelah pertemuan
untuk mengajukan surat pernyataan keberatan atas hasil penilaian;
4) dalam jangka waktu 1 (satu) minggu setelah adanya surat pernyataan
keberatan dari perusahaan, dilakukan peninjauan lapangan dan
penilaian ulang terhadap kebun tersebut; dan
5) dalam jangka waktu 1 (satu) minggu setelah dilakukan penilaian ulang
terhadap perkebunan yang keberatan dan apabila tidak ada keberatan
lagi dari perusahaan lain, maka Dinas Perkebunan menetapkan nilai
kebun yang dituangkan dalam sertifikat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
d. Pengumuman Hasil Penilaian
Gubernur Provinsi Jawa Tengah menetapkan kelas kebun secara definitif
dan mengirimkan copy penetapan kelas perusahaan perkebunan beserta
kuisionernya yang dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Provinsi
Jawa Tengah kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan.
Hasil Penilaian Usaha Perkebunan tersebut akan menjadi dasar guna
menetapkan kelas kebun yang ditentukan berdasarkan nilai dari 8 subsistem,
yaitu:
a. Subsistem Legalitas
Penilaian yang berkaitan dengan perizinan atau dokumen hukum yang
dimiliki oleh perusahaan perkebunan dalam menjalankan usahanya.
Misalkan mengenai sertifikat Hak Guna Usaha, Izin Usaha Perkebunan, Izin
dagang, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keabsahan dokumen yang
dimiliki oleh perusahaan perkebunan tersebut dalam menjalankan usaha
perkebunan.
b. Subsistem Kebun
Penilaian yang berkaitan dengan proses atau cara suatu perusahaan
perkebunan dalam memelihara, mengelola, dan memanfaatkan perkebunan
secara optimal dan berdayaguna bagi seluruh pihak.
c. Subsistem Manajemen
Penilaian yang berkaitan dengan administrasi, pembukuan, dan pengelolaan
keuangan perusahaan serta hal-hal lain yang terkait dengan aktivitas
manajemen perusahaan perkebunan dalam menjalankan usahanya.
d. Subsistem Pengolahan Hasil
Penilaian yang berkaitan dengan proses pengolahan hasil kebun (komoditi).
Dalam subsistem ini dilakukan survei langsung ke lapangan untuk meninjau
apakah dalam areal perkebunan tersebut terdapat pabrik yang mengelola
hasil perkebunan atau tidak.
e. Subsistem Sosial
Penilaian yang terkait dengan CSR (Coorporate Social Responsibility) atau
kepedulian perusahaan perkebunan terhadap masyarakat sekitar. Misalkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
keterlibatan perusahaan perkebunan dalam membantu masyarakat
membangun fasilittas umum disekitar areal perkebunan. Wujud dari
kepedulian perusahaan dapat diberikan kepada masyarakat sekitar baik
dalam wujud materi (uang) ataupun natural (misalkan pemberian bibit untuk
masyarakat).
f. Subsistem Ekonomi
Penilaian yang terkait dengan pemberian manfaat perkebunan kepada
masyarakat dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar (misalkan
dengan membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar
perkebunan).
g. Subsistem Lingkungan
Penilaian yang berkaitan dengan usaha pemeliharaan lingkungan sekitar
oleh perusahaan perkebunan yang dilakukan dengan dokumen Analisis
mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL), pengolahan
limbah, pembuatan terasering, pemilihan tanaman yang disesuaikan dengan
kontur tanah, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pemeliharaan
lingkungan.
h. Subsistem Pelaporan
Penilaian yang berkaitan dengan laporan semester (laporan yang diserahkan
oleh perusahaan perkebunan setiap 6 bulan sekali kepada Dinas
Perkebunan) yang memberikan keterangan mengenai kondisi kebun baik
secara fisik ataupun mengenai pengelolaan dan pengolahan hasil
perkebunan.
Setelah melewati penilaian dari 8 (delapan) subsistem tersebut, perusahaan
kemudian diklasifikasikan ke dalam kelas kebun sesuai dengan nilai yang
diberikan oleh Dinas Perkebunan. Menurut Permentan Nomor
07/Permenten/OT/140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan,
kelas kebun dibagi mejadi 5 (lima) macam dengan standar penilaian sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a. Kelas kebun I (baik sekali) : nilai > 80 - 100
b. Kelas kebun II (baik) : nilai > 60 - 79
c. Kelas kebun III (sedang) : nilai > 40 - 59
d. Kelas kebun IV (kurang) : nilai > 20 - 39
e. Kelas kebun V (kurang sekali) : nilai 0 - 19
Mulai tahun 2009, penetapan kelas kebun diberikan berdasarkan nilai
terendah (cetak tebal oleh penulis) dari salah satu subsistem yang diperoleh oleh
suatu perusahaan perkebunan. Misalnya: PT. Rumpun Sari Antan mendapat nilai
sebagai berikut: legalitas 90; kebun 85; manajemen 85; pengolahan hasil 90;
sosial 90; ekonomi 87; lingkungan 88; dan pelaporan 45. Dari nilai pada beberapa
subsistem tersebut, PT. Rumpun Sari Antan tergolong perkebunan kelas III
(sedang) karena mendapat nilai 45 pada subsistem pelaporan, walaupun nilai pada
subsistem yang lain menunjukkan pada range angka kelas I karena mendapatkan
nilai > 80 – 100. Hal tersebut berbeda dengan aturan lama (Permentan tahun
2006) yang mengklasifikasikan kelas kebun berdasarkan akumulasi nilai dari 4
(empat) aspek, yaitu: aspek manajemen, aspek kebun, aspek pengolahan, serta
aspek sosial ekonomi dan lingkungan (Konfirmasi Soesiati Rahayu, 5 Mei 2011).
Peraturan baru tersebut diberlakukan dengan pertimbangan untuk memacu
agar perusahaan perkebunan tersebut tertib dalam menjalankan aturan-aturan yang
telah ditetapkan dalam pengelolaan perkebunan. Akan tetapi dalam praktiknya,
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah tidak terlalu ketat dalam menjalankan
aturan tersebut, hal ini dikarenakan apabila aturan tersebut dilaksanakan
sebagaimana mestinya, maka akan banyak perkebunan yang akan masuk dalam
kategori IV dan V yang mengganggu kinerja kebun yang secara tidak langsung
berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Faktanya, dari 72 perkebunan
besar di Jawa Tengah tercatat hanya 23 perusahaan perkebunan (sekitar 31,94%)
yang rajin memberikan laporan semester kepada Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Tengah. Tidak diserahkannya laporan semester kepada Dinas Perkebunan
merupakan salah satu penyebab banyaknya perkebunan yang mendapatkan hasil
penilaian yang buruk (Konfirmasi Soesiati Rahayu, 5 Mei 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keadaan tersebut membuat Dinas Perkebunan selaku pembina dari
perusahaan perkebunan se-Jawa Tengah memiliki kebijakan untuk melakukan
katrol nilai terhadap perusahaan perkebunan melalui kebijakan berupa pemberian
kelonggaran waktu penyerahan laporan, pembinaan secara rutin di lapangan,
memfasilitasi permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan perkebunan, serta
kegiatan-kegiatan lain yang dapat memacu perusahaan untuk senantiasa
memperbaiki kinerja pengelolaan kebun. Dengan adanya kebijakan tersebut
diharapkan perusahaan perkebunan dapat mempertahankan eksistensinya untuk
senantiasa mengusahakan perkebunan guna mencapai tujuan yang diharapkan dari
pelaksanaan perkebunan tersebut sesuai dengan Pasal 3 Udang-Undang Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Berdasarkan hasil penilaian terakhir yang dilaksanakan pada tahun 2009,
dari 72 kebun di Jawa Tengah tercatat:
a. Kelas kebun I : 28 perkebunan (38,88%)
b. Kelas kebun II : 22 perkebunan (30,55%)
c. Kelas kebun III : 16 perkebunan (22,22%)
d. Kelas kebun IV : 3 perkebunan (4,16%)
e. Kelas kebun V : 3 perkebunan (4,16%)
Dibandingkan penilaian tahun 2006, terdapat 5 kebun yang nilainya naik
dari kelas III ke kelas II, yaitu perkebunan Tlogo, Jomblang, Sringin, Segayung
Selatan, dan Sumber Harto II. Namun sebanyak 9 kebun mengalami penurunan
kelas, yaitu Jatikalangan, Kandangan, Kalisidi, Medini, Susukan, Tratak,
Karanggondang, Simadu, dan Sikasur. Sedangkan kebun yang dinilai kelasnya
tetap adalah 58 kebun (pada posisi kelas kebun I, II, dan III) (Konfirmasi Soesiati
Rahayu, 5 Mei 2011). Untuk melihat perbedaan antara hasil penilaian tahun 2006
dan 2009, dapat dilihat dalam tabel 2 berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 2. Perbandingan Kelas Kebun Tahun 2006 dan 2009
Kelas Kebun Tahun 2006 Tahun 2009 Prosentase Perubahan
I 30 28 ↓ 7,1%
II 17 22 ↑ 29,4%
III 22 16 ↓ 27,2%
IV 3 3 0%
V - 3 ↑ 100%
Jumlah 72 72
Sumber: Materi Pembinaan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah tertanggal 3 Februari 2010.
Untuk lebih mengetahui secara rinci mengenai kelas kebun sebagai hasil
dari penilaian usaha perkebunan tahun 2009 yang dilaksanakan oleh Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, berikut daftar klasifikasi kelas perusahaan
perkebunan yang disajikan dalam tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3. Daftar Klasifikasi Kelas Kebun Tahun 2009
No Nama Kebun Nama Perusahaan Kelas
Kota Semarang
1. Jatikalangan PT. Makmur Jaya Utama IV
Kota Salatiga
2. Salib Putih PT. Rumekso Mekaring Sabdo II
Kabupaten Semarang
3. Langenharjo PT. Sinar Kartasura III
4. Kesongo PT. Sri Sarwo Adi III
5. Kandangan PT. UFI IV
6. Tlogo Perusda Aneka Industri Jateng II
7. Lerep PT. Patra Bumi Lerep Permai III
8. Sidorejo PT. Perkebunan Sidorejo I
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9. Kalisidi PT. Cengkeh Zanzibal II
10. Siboyo Situkung PT. Hortindo Pratama Indah III
11. Getas PTPN IX I
12. Ngobo PTPN IX I
Kabupaten Kendal
13. Selokaton PT. Perkebunan Cengkeh I
14. Kalimas PT. Karyadeka Alam Lestari I
15. Sumurpitu PT. Sumurpitu Wringinsari III
16. Srendeng PT. Cengkopa II
17. Curug PT. Cengkeh Sansiba II
18. Jatipablengan PT. Rumpunsari Antan II
19. Jomblang PT. Perkebunn Jomblang II
20. Kebonroto PT. Perkebunan Sidorejo I
21. Bitting PT. Perkebunan Bitting I
22. Sringin PT. Rehobat II
23. Medini PT. Rumpunsari Medini II
24. Susukan PT. Pawana Indonesia IV
25. Sukamangli PTPN IX I
26. Merbuh PTPN IX I
Kabupaten Batang
27. Segayung Selatan PT. Segayung II
28. Pagilaran PT. Pagilarang I
29. Segayung Utara PT. Pagilaran II
30. Pesantren PT. Estu Subur II
31. Petirpenundan Perusda Kabupaten Batang III
32. Puspita Nicky PT. Puspita Nicky II
33. Simbangjati PT. Simbangjati Bahagia II
34. Tratak PT. Perkebunan Tratak V
35. Siluwok PTPN IX I
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kabupaten Pekalongan
36. Kesesi PT. Buah Harum III
37. Karanggondang PT. Estu Subur V
38. Blimbing PTPN IX I
39. Jolotigo PTPN IX I
Kabupaten Pemalang
40. Simadu PT. Estu Subur III
41. Sikasur PT. Kencana Sikasur III
42. Mackenzie PT. Perkebunan Mackenzie III
43. Panca Arga PT. Adiwiyata Panca Arga III
44. Semugih PTPN IX I
45. Tengkolo PTPN IX I
Kabupaten Tegal
46. Danasari PT. Gucisari III
Kabupaten Brebes
47. Kaligua PTPN IX I
Kabupaten Banyumas
48. Darma PT. Rumpun Sari Antan II
49. Samodra PT. Rumpun Sari Antan II
50. Krumput PTPN IX I
Kabupaten Cilacap
51. Carui PT. Rumpun Sari Antan II
52. Ciseru Cipari PT. The Indo Java Rubberplant I
53. Kaliminggir PT. Banyumas Landen I
54. Gungung Karet PT. Jeruk Legi II
55. Warnasari PTPN IX I
56. Kawung PTPN IX I
Kabupaten Banjarnegara
57. Pakisadji PT. Pakisadji Banjoemas V
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kabupaten Wonosobo
58. Tambi PT. Tambi I
59. Bedakah PT. Tambi I
60. Tanjungsari PT. Tambi I
Kabupaten Temanggung
61. Rowoseneng PT. Naksatra Kejora I
62. Took Bandung PT. Rejodadi III
63. Selosabrang PT. UFI III
64. Kaligintung PT. Rumpunsari Medini III
Kabupaten Karanganyar
65. Kemuning PT. Rumpunsari Kemuning II
66. Batujamus PTPN IX I
Kabupaten Jepara
67. Sumber Arto I PT. Sumber Arto Satu II
68. Sumber Harto II PT. Sariadi Kencana II
69. Sumber Harto III PT. Sumber Harto Tigo III
70. Balong PTPN IX I
Kabupaten Pati
71. Cluwak PT. Rumpun Sari Antan II
72. Jollong PTPN IX I
Sumber : Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No.525.3/2/2010 tanggal 20 Januari 2010.
Penilaian Usaha Perkebunan digunakan pula sebagai bahan pertimbangan yang mutlak menentukan dalam proses penyelesaian pengurusan perpanjangan/pembaruan Hak Guna Usaha (HGU), terkait dengan pengurusan Constatering Rapport oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, rekomendasi Bupati, rekomendasi Gubernur, serta keputusan Sidang Panitia B pada kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah (Tegoeh Wynarno Haroeno, 2010:5).
Untuk memotivasi peningkatan kinerja, kebun yang naik kelas diberi
piagam penghargaan dan untuk kebun yang kelasnya turun menjadi kelas IV dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
V diberikan peringatan berupa teguran dan saran.
(http://www.jatenginfo.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id
=76:pemprov-jateng-lakukan-penilaian-usaha-perkebunan-&catid=84:biro-
humas&Itemid=58).
2. Registrasi
Selain penilaian usaha perkebunan, mekanisme pengawasan yang dilakukan
oleh Dinas Perkebunan juga meliputi penarikan registrasi IUP terhadap
perusahaan perkebunan. Registrasi merupakan pendaftaran ulang eksistensi kebun
yang dimaksudkan sebagai alat kontrol untuk mengetahui perkembangan
pengelolaan kebun. Dasar hukum registrasi terdapat dalam Peraturan Kepala
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2006 tentang Petunjuk
Teknis Perizinan Usaha Perkebunan.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 Peraturan Kepala Dinas Perkebunan,
tata cara registrasi dilakukan dengan tahapan sesuai ragaan 3 berikut:
Ragaan 3. Alur Tata Cara Pembayaran Registrasi
Sumber: Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan Usaha Perkebunan.
Pemohon membayar tarif registrasi kepada Pemegang Kas Pembantu Penerimaan Dinas Perkebunan.
Pemegang Kas Pembantu Penerimaan Dinas Perkebunan membuat tanda bukti pembayaran registrasi.
Tanda bukti pembayaran diserahkan kepada Sub Dinas Kelembagaan dan Pengembangan Usaha (KPU) Dinas Perkebunan disertai: - laporan semester
perkembangan kegiatan terakhir
- menunjukkan surat IUP asli.
Berkas persyaratan registrasi yang dinyatakan lengkap maka diterbitkan tanda bukti registrasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam peraturan Kepala Dinas Perkebunan tersebut menyebutkan bahwa
besarnya biaya registrasi IUP sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah) kali luasan
hektar (ha) yang dilaksanakan setiap tahun sekali. Dengan adanya registrasi setiap
tahun, maka Dinas Perkebunan akan lebih mudah melakukan pengawasan
terhadap kinerja dan perkembangan perusahaan perkebunan.
Sejak awal tahun 2011, pemberlakuan pembayaran registrasi ini tidak
diberlakukan lagi. Hal tersebut diatur melalui diterbitkannya Surat Edaran
Gubernur Jawa Tengah Nomor 875.1/03322 sebagai hasil dari terbitnya Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
menyebutkan bahwa pendapatan asli daerah (dalam lingkup pajak disebut dengan
retribusi, yang dalam lingkup perkebunan disebut dengan registrasi) dihapuskan.
Dengan dihapuskannya penarikan registrasi, maka pengawasan terhadap
penyelenggaraan perkebunan hanya dilakukan melalui penilaian usaha pekebunan.
D. Tindakan Hukum Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah terhadap
Perusahaan Perkebunan yang Tidak Sehat
Sebagai tindak lanjut dari pengawasan Dinas Perkebunan terhadap kinerja
perusahaan perkebunan yang diwujudkan dengan penilaian usaha perkebunan
yang kemudian dituangkan dalam klasifikasi kelas perkebunan, maka Dinas
Perkebunan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pembinaan baik
secara sendiri maupun bersama-sama dengan instansi terkait. Pembinaan
merupakan segala usaha yang mencakup pemberian, pengarahan, petunjuk,
bimbingan, dan penyuluhan dalam pengelolaan sumber daya perkebunan.
Pembinaan dilakukan terhadap perusahaan perkebunan terutama yang
tergolong kebun tidak sehat (kelas IV dan kelas V) guna meningkatkan kinerja
perusahaan perkebunan yang menurun. Penurunan kelas kebun yang diakibatkan
oleh menurunnya kinerja perusahaan perkebunan dapat dilihat dari beberapa
aspek, antara lain:
1. Aspek teknis kebun secara fisik. Penurunan kelas ditandai dengan turunnya
kinerja perkebunan yang disebabkan tidak adanya peremajaan tanaman,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berkurangnya luasan lahan, tidak optimalnya pemanfaatan lahan, kurangya
perawatan, dan rendahnya produktifitas perkebunan.
2. Aspek manajemen perusahaan. Penurunan kelas ditandai dengan perusahaan
perkebunan tersebut tidak secara lengkap memiliki kelengkapan data kebun
seperti pembiayaan, produksi, pemasaran, serta kurangnya sumber daya
manusia.
3. Aspek pengolahan hasil perkebunan. Penurunan kelas ditandai dengan
perusahaan perkebunan tidak memiliki alat prosessing pengolahan hasil
produksi secara lengkap dan memadai.
4. Aspek sosial ekonomi. Penurunan kelas ditandai dengan perusahaan
perkebunan tersebut dinilai kurang peduli kepada masyarakat sekitar kebun.
Sebagai salah satu bentuk tindakan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan
guna menjaga kinerja perkebunan sebagaimana terdapat dalam Pasal 22 dan Pasal
26 Permentan Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009 yang mengatur bahwa bagi
perusahaan perkebunan yang tergolong kelas IV diberikan sanksi berupa
peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 6 (enam) bulan dan untuk
perusahaan perkebunan yang tergolong kelas V diberikan 1 (satu) kali peringatan
dengan selang waktu 6 (enam) bulan.
Sesuai dalam Pasal 22 ayat (4), bagi perkebunan kelas IV setelah adanya
surat peringatan dari Dinas Perkebunan maka selama jangka waktu yang diberikan
perusahaan wajib melakukan perbaikan terhadap kinerjanya, terutama pada
subsistem yang mendapatkan penilaian terendah. Dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan pertama, Dinas Perkebunan melakukan peninjauan kembali terhadap
perkebunan tersebut. Apabila tidak ada peningkatan kualitas perkebunan hingga
jangka waktu yang telah ditetapkan (± 1,5 tahun) maka Dinas Perkebunan akan
mencabut IUP yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan tersebut sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Nomor 5
Tahun 2006 atau bahkan dapat pula Dinas Perkebunan mengajukan pencabutan
HGU yang dimiliki oleh perusahaan tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional
melalui laporan penjatuhan surat peringatan ketiga dari Kepala Dinas Perkebunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Provinsi Jawa Tengah sesuai yang tercantum pada Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun
2004.
Sedangkan bagi perkebunan kelas V, sesuai dengan Pasal 22 ayat (5) setelah
ditetapkan klasifikasi perkebunan maka Dinas Perkebunan memberikan surat
peringatan pertama yang mencantumkan hal-hal yang harus dilakukan oleh
pengusaha guna memperbaiki kinerjanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan.
Pemberian surat peringatan tersebut telah dilakukan oleh Dinas Perkebunan, yang
salah satunya diberikan kepada PT. Perkebunan Tratak yang tergolong
perkebunan kelas V. Setelah jangka waktu tersebut Dinas Perkebunan wajib
melakukan penilaian terhadap perkembangan yang telah dicapai oleh perusahaan.
Apabila menurut Dinas Perkebunan perusahaan tersebut tidak dapat melaksanakan
petunjuk-petunjuk yang telah diberikan dan tidak ada peningkatan kinerja dalam
pembangunan perkebunan, maka Dinas Perkebunan dapat mencabut IUP atas
nama perusahaan tersebut. Apabila selama jangka waktu yang ditetapkan
perusahaan tidak dapat melakukan perbaikan untuk meningkatkan kinerjanya
maka dilaporkan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan.
Sesuai dengan tabel 2 tentang daftar klasifikasi kelas kebun tahun 2009,
maka terdapat 3 (tiga) perkebunan yang tergolong dalam perkebunan kelas IV dan
3 (tiga) perkebunan yang tergolong kelas V. Seperti yang disajikan dalam tabel 4
berikut:
Tabel 4. Daftar Perusahaan Perkebunan Kelas IV dan Kelas V
No. Kelas Kebun Nama Kebun Nama Perusahaan
A. IV Jatikalangan PT. Makmur Jaya Utama
Kandangan PT. UFI
Susukan PT. Pawana Indonesia
B. V Tratak PT. Perkebunan Tratak
Karanggondang PT. Estu Subur
Pakisadji PT. Pakisadji Banjoemas
Sumber : Diolah dari Data Sekunder
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Menurut penjelasan dari Soesiati Rahayu selaku Kepala Seksi Pembinaan
Usaha pada Bidang Usaha Perkebunan (BUP) Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Tengah, yang membuat perkebunan-perkebunan tersebut di atas tergolong
pekebunan kelas IV dan kelas V disebabkan adanya beberapa faktor, antara lain:
1. Kebun Jatikalangan (Kelas IV). Kebun seluas 179, 21 ha ini turun dari kelas
III ke kelas IV selain diakibatkan karena penjarahan dari warga, diakibatkan
pula karena adanya permasalahan intern antara perusahaan dengan
pemerintah daerah dalam pengurusan perpanjangan HGU yang habis masa
berlakunya pada tahun 2000. Pada saat mengajukan perpanjangan HGU,
Walikota Semarang ‘mempersulit’ proses perpanjangan HGU dikarenakan
pemerintah daerah mempunyai kepentingan atas lahan itu dalam rangka
pembangunan permukiman/perumahan. Akhirnya 50 ha kebun Jatikalangan
dilepas kepada pemerintah daerah untuk dijadikan perumahan/permukiman
sesuai RTRW Kota Semarang. Sampai saat ini masalah tersebut belum
selesai dan BPN Pusat belum mengeluarkan putusan atas HGU tersebut.
2. Kebun Kandangan (Kelas IV). Kebun ini turun dari kelas III ke kelas IV
diakibatkan karena kebun tersebut terbengkalai, tidak terawat, pemeliharaan
tanaman sangat kurang, dan pelaksanaan usaha perkebunan yang tidak
optimal.
3. Kebun Pakisadji (Kelas IV). Kebun ini turun dari kelas III ke kelas IV
diakibatkan karena adanya penjarahan oleh masyarakat sekitar kebun.
Sebenarnya Dinas Perkebunan sudah memfasilitasi penyelesaian masalah
tersebut dengan adanya kerjasaa antara perusahaan dan masyarakat, akan
tetapi karena kurangnya pendanaan dari manajemen perusahaan itu sendiri,
sehingga mengakibatkan kebun tidak dapat beroperasi secara maskimal, dan
akhirnya masyarakat kembali menjarah kebun tersebut.
4. Kebun Susukan (Kelas V). Kebun ini turun dari kelas III ke kelas V
diakibatkan karena perkebunan tersebut tidak membuat surat pernyataan
bersedia dinilai, sehingga sesuai dengan Pasal 25 Permentan No
07/Permentan/OT.140/2/2009, perusahaan yang tidak bersedia dinilai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tersebut digolongkan ke kelas V. Apalagi pada saat peninjauan lapangan
oleh Dinas Perkebunan, perkebunan tersebut tidak mempersiapkan data
yang dibutuhkan, bahkan tidak ada staff perusahaan di tempat tersebut, yang
ada hanya seorang satpam penjaga kebun.
5. Kebun Tratak (Kelas V). Kebun ini turun dari kelas IV ke kelas V
diakibatkan karena adanya penjarahan dari masyarakat yang sudah terjadi
sejak tahun 1999 dan sampai saat ini belum selesai.
6. Kebun Karanggondang (Kelas V). Kebun ini turun dari kelas IV ke kelas V
diakibatkan karena HGU yang telah habis masa berakunya sejak tahun 2000
dan pengurusannya perpanjangan tidak segera diajukan karena ada masalah
intern keluarga serta adanya penjarahan dari mayarakat sekitar kebun
(Konfirmasi Soesiati Rahayu, 19 Mei 2011).
Kebun kelas IV dan kelas V tersebut dinilai tidak terlalu banyak
memberikan kontribusi pada negara. Kontribusi yang dapat diberikan adalah
melalui pembayaran pajak, misalkan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB). Sedangkan apabila ditilik dari segi pengoperasian perkebunan itu sendiri,
kebun kelas IV dan V tidak memberikan kontribusi yang signifikan dalam rangka
mencapai tujuan pelaksanaan perkebunan. Sehingga perkebunan yang masuk
kelas IV dan V diberikan peringatan oleh Dinas Perkebunan agar meningkatkan
kinerja perusahaan.
Menurut Pasal 9 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun
2005 tentang Perizinan Usaha Perkebunan, kepada perusahaan perkebunan yang
telah memiliki IUP diwajibkan untuk:
1. melaporkan perkembangan usahanya secara berkala setiap semester;
2. mengajukan permohonan persetujuan apabila akan mengadakan perubahan
jenis tanaman atau perluasan usaha lainnya; dan
3. memberitahukan apabila terjadi perubahan pemilikan perusahaan.
Pencabutan IUP yang dilakukan oleh Kepala Dinas Perkebunan merupakan
tindakan terakhir yang ditempuh oleh Dinas Perkebunan dalam menyikapi
perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
diuraikan di atas serta telah menerima surat peringatan dari Dinas Perkebunan.
Selain itu, IUP dicabut apabila perusahaan perkebunan tidak dapat mengelola
perkebunan secara optimal sehingga dinilai menghambat terwujudnya tujuan
penyelenggaraan perkebunan dengan melakukan tindakan sebagai berikut:
1. pemegang izin tidak melakukan pengelolaan perkebunan secara komersil
yang sesuai dengan standar teknis; dan
2. perusahaan perkebunan yang selama 2 (dua) kali berturut-turut berdasarkan
penilaian klasifikasi perkebunan besar memperoleh predikat kelas IV dan V.
Sebagai upaya pembinaan perusahaan perkebunan dalam rangka peningkatan kinerja perkebunan, Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah melakukan beberapa upaya pembinaan, antara lain:
1. Meningkatkan pengawasan kebun, khususnya peningkatan dari aspek pemanfaatan lahan dan kinerja kebun. Pengawasan ini dilakukan oleh Dinas Perkebunan dengan cara melakukan peninjauan langsung ke lokasi atau areal perkebunan;
2. Melakukan identifikasi kebun untuk mencari peluang kerjasama antar kebun atau dengan investor lain guna meningkatkan kinerja kebun dalam optimaliasi pemanfaatan lahan dan kebun;
3. Memfasilitasi terselenggaranya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang dilakukan melalui pelatihan penilai usaha perkebunan untuk pejabat yang membidangi perkebunan di Kabupaten/Kota, baik pelatihan dalam segi pengolahan perkebunan ataupun segi administrasi atau manajemen pengelolaan perusahaan perkebunan yang dilakukan oleh LPP;
4. Melakukan pertemuan pengusaha perkebunan dan memfasilitasi pertemuan dengan masyarakat sekitar kebun (sosialisasi hukum pertanahan) khususnya pada kebun yang potensi mendapat gangguan;
5. Kebijakan pemberian Constatering Rapport pada kebun yang mengajukan perpanjangan HGU luasan yang direkomendasikan akan disesuaikan dengan lahan yang fisiknya secara riil dimanfaatkan sesuai peruntukannya;
6. Setiap kebun yang mengajukan perpanjangan rekomendasi HGU, kebun akan beraudiensi langsung dengan Gubernur; dan
7. Jika ada permintaan masyarakat sekitar kebun untuk memanfaatkan HGU guna kepentingan umum seperti kuburan, sekolahan, tempat ibadah, lapangan olah raga, kiranya dapat dipertimbangkan dengan catatan tidak merubah status hak tanah (Tegoeh Wynarno Haroeno, 2010:7-8).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Bentuk-bentuk pembinaan tersebut merupakan langkah preventif atau
pencegahan sebelum dicabutnya IUP pada suatu perusahaan perkebunan. Mulai
tahun 2011, setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa
Tengah Nomor 875.1/03322 tertanggal 7 Februari 2011 tentang Penyerahan
Kewenangan Pembinaan Pekebunan Besar, maka dari 72 perkebunan besar di
Provinsi Jawa Tengah, 27 perusahaan perkebunan menjadi kewenangan
pemerintah Kabupaten/Kota dan 45 perusahaan perkebunan menjadi kewenangan
pemerintah Provinsi.
Daftar perusahaan perkebunan yang kewenangan pembinaannya berada
dibawah pemerintah provinsi yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat dalam tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Pembinaan Perkebunan Besar yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Provinsi
No. Nama Perusahaan Nama Kebun Lokasi Kebun Keterangan
1. PTP Nusantara IX 1. Warnasari Cilacap
2. Kawung Cilacap
3. Krumput Banyumas
4. Kaligua Brebes
5. Semugih Pemalang
6. Blimbing Pekalongan
7. Jolotigo Pekalongan
8. Siluwok Batang
9. Sukomangli Kendal
10. Merbuh Kendal
11. Ngobo Semarang
12. Getas Semarang
13. Batujamus Karanganyar
14. Balong Jepara
15. Jolong Pati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16. Tengkolo Pemalang
2. PT. UFI 17. Kandangan Semarang 4 PT berada
18. Selosabrang Temanggung dalam satu
3. PT. Hortindo
Pratama Indonesia
19. Siboyo
Situkung
Semarang direksi dan
lokasi kebun
4. PT. Perkebunan
Jomblang
20. Jomblang Kendal di beberapa
kabupaten.
5. PT. Cengkeh
Zanzibar
21. Kalisidi Semarang
22. Curug Kendal
6.
PT. Karyadeka
Alam Lestari
23.
Kalimas
Kota Semarang
dan Kendal
7. PT. Perkebunan
Sidorejo
24. Sidorejo Semarang
25. Kebonroto Kendal
8. PT. Rumpunsari
Medini
26. Medini Kendal 3 PT dalam
1 direksi dan
27. Kaligintung Temanggung lokasi
kebun
9. PT. Rumpunsari
Kemuning
28. Kemuning Karanganyar di beberapa
kabupaten.
10. PT. Rumpun Sari
Antan
29. Carui Cilacap
30. Darma Karedan Banyumas
31. Samudra Banyumas
32. Jatipablengan Kendal
33. Cluwak Pati
11. PT. Ja Wattie 34. Bitting Kendal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35. Ciseru Cipari Cilacap
36. Kaliminggir Cilacap
12. PT. Estu Subur 37. Simadu Pemalang 2 PT berada
dalam satu
38. Karanggondang Pekalongan manajemen/
39. Pesantren Batang direksi.
13. PT. Kencana
Sikasur
40. Sikasur Pemalang
14. PT. Pagilaran 41. Pagilaran Banjarnegara Bahan baku
Pekalongan teh berada di
Batang 3 kabupaten.
15. PT. Buah Harum 42. Kesesi Pekalongan 2 PT berada
dalam 1
direksi.
16. PT. Gucisari 43. Danasari Tegal
17. Perusda Citra
Mandiri Jateng
44. Tlogo Semarang
18. PT. Pagilaran 45. Segayung
Utara
Batang
Sumber : Lampiran Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 875.1/03322 tertanggal 7 Februari 2011.
Kegiatan pembinaan perkebunan di tingkat Provinsi yang dilaksanakan oleh
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, antara lain seperti berikut:
1) mengadakan pertemuan atau diskusi antar perusahaan perkebunan dengan
menghadirkan narasumber yang berkompeten;
2) menginventarisir permasalahan yang terjadi di perkebunan;
3) bersama-sama melakukan diskusi untuk menemukan solusi bagi
permasalahan yang dialami oleh tiap-tiap perkebunan;
4) meninjau langsung ke perkebunan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5) memberikan teguran langsung yang diperkuat dengan adanya keterangan
tertulis (hasil penilaian usaha perkebunan) kepada perkebunan yang
kinerjanya mulai menurun; dan
6) kegiatan lain yang sifatnya membina agar perusahaan perkebunan tetap
menjalankan usahanya secara optimal guna terwujudnya tujuan perkebunan.
Praktiknya sampai saat ini karena masih dalam masa transisi, Dinas
Perkebunan masih banyak menangani perusahaan perkebunan yang seharusnya
menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. Bahkan Kabupaten Pemalang pada tanggal
19 Mei 2011 menolak permohonan diversifikasi kebun yang permohonannnya
diajukan oleh PT. Adiwiyata Panca Arga dan melimpahkannya kepada Dinas
Perkebunan, padahal PT. Adwiyata Panca Arga menjadi kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelimpahan kewenangan
pembinaan kepada Kabupaten/Kota belum maksimal dan bahkan masih ada
Pemerintah Kabupaten/Kota yang menolak untuk melakukan pembinaan
perkebunan yang seharusnya menjadi kewenangannya (Konfirmasi Soesiati
Rahayu, 19 Mei 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh Penulis,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemberian IUP kepada perusahaan perkebunan khususnya di wilayah
Provinsi Jawa Tengah yang dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan Provinsi
Jawa Tengah sudah sesuai dengan Pasal 17 UU Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan, Pasal 3 – Pasal 21 Permentan Nomor
26/permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan, Pasal 7 – Pasal 9 Perda Jateng Nomor 2 Tahun 2005 tentang
Perizinan Usaha Perkebunan, dan Pasal 2 – Pasal 5 Peraturan Kepala Dinas
Perkebunan Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis
Perizinan Usaha Perkebunan. Pelaksanaan pemberian IUP oleh Dinas
Perkebunan juga sudah efektif, hal ini dapat terlihat dari 72 perusahaan
perkebunan hanya 1 perusahaan perkebunan yang IUP-nya tidak diterbitkan
oleh Dinas Perkebunan, yaitu Kebun Karanggondang milik PT. Estu Subur
yang berada di Kabupaten Pekalongan. IUP perusahaan perkebunan tersebut
tidak diterbitkan karena HGU atas nama Perusahaan tersebut telah habis
masa berlakunya sejak tahun 2000 dan sampai sekarang pihak perusahaan
tidak mengurusi permohonan perpanjangan HGU kepada BPN.
2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Dinas
Perkebunan terhadap perusahaan perkebunan melalui penilaian usaha
perkebunan belum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang terdapat dalam UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan
Permentan Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman
Penilaian Usaha Perkebunan. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya
tindakan yang tidak ketat dalam penilaian pada subsistem pelaporan. Dinas
Perkebunan justru memberikan kebijakan berupa kelonggaran yang justru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
membuat kinerja perusahaan semakin melemah dan tidak mematuhi aturan
yang berlaku. Dalam hal penarikan registrasi, Dinas Perkebunan telah
mengambil kebijakan sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah
Nomor 875.1/0332 tentang Penyerahan Kewenangan Pembinaan
Perkebunan Besar kepada Kabupaten/Kota sebagai hasil pertimbangan dari
terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang mengatur tidak diberlakukannya lagi penarikan
registrasi bagi perusahaan perkebunan.
3. Tindakan hukum yang diambil oleh Dinas Perkebunan terhadap perusahaan
perkebunan yang tidak sehat sudah sesuai dengan ketentuan dalam
Permentan Nomor 07/Pementan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian
Usaha Perkebunan. Hal tersebut ditunjukkan dengan dikeluarkannya surat
peringatan penurunan kelas kebun kepada PT. Perkebunan Tratak sebagai
implementasi dari Pasal 22 ayat (5). Kemudian terkait dengan Pasal 25,
ditunjukkan dengan penurunan kelas kebun menjadi kelas V secara otomatis
bagi Kebun Susukan karena kebun tersebut tidak bersedia dinilai, serta Pasal
26 ayat (4) ditunjukkan dengan tidak diterbitkannya IUP Kebun
Karanggondang yang tergolong kebun kelas V yang tidak segera menindak
lanjuti habinya masa HGU atas nama kebun tersebut.
B. Saran
Dari hasil penelitian hukum ini, maka Penulis memberikan saran sebagai
berikut:
1. Terkait dengan tidak diterbitkannya IUP atas nama kebun Karanggondang
milik PT. Estu Subur di Kabupaten Pekalongan karena telah habis HGU-
nya, sebaiknya Dinas Perkebunan segera mengambil tindakan melalui
pencabutan IUP sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam 22 ayat (5)
Permentan No. 07 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha
Perkebunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Menurut hasil penilaian usaha perkebunan tahun 2009, banyaknya
perusahaan yang mengalami penurunan kelas mayoritas diakibatkan tidak
diserahkannya laporan semester perusahaan kepada Dinas Perkebunan.
Sehingga, dalam hal ini hendaknya Dinas Perkebunan memberikan
sosialisasi kepada perusahaan mengenai pentingnya laporan semester dari
setiap perusahaan guna mengetahui kinerja perusahaan perkebunan di
wilayah Jawa Tengah. Akan tetapi apabila perusahaan tetap tidak tertib
dalam menyerahkan laporan semester dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan, maka Dinas Perkebunan memiliki kewenangan untuk
memberikan peringatan atau bahkan sanksi kepada perusahaan perkebunan
tersebut. Terkait dengan dihapuskannya penarikan registrasi, pengawasan
Dinas Perkebunan tidak boleh semakin melemah dengan berbagai
kelonggaran atau kebijakan pengatrolan nilai yang membuat perusahaan
menjadi semakin tidak tertib, sehingga pengawasan melalui sarana penilaian
usaha perkebunan sebagai satu-satunya mekanisme pengawasan
penyelenggaraan perkebunan harus semakin ditingkatkan.
3. Selain tindakan hukum yang diberikan kepada perkebunan yang tidak sehat,
sebaiknya Dinas Perkebunan melakukan tindakan pembinaan yang
disesuaikan dengan kendala yang dihadapi masing-masing kebun. Misalkan
tindakan yang diberikan kepada:
a) kebun yang mengalami penjarahan dari masyarakat sekitar, dapat
dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan agar tidak ada lahan
perkebunan yang kosong dan terbengkalai;
b) kebun yang sedang mengalami konflik dengan masyarakat sekitar,
dapat melakukan beberapa langkah, antara lain melalui:
(1) peningkatan CSR (Coorporate Social Responsibility) atau
kepedulian dalam bentuk apapun kepada masyarakat sekitar
perkebunan sesuai dengan kemampuan kebun;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(2) melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa perkebunan
adalah aset negara yang perlu dijaga bersama demi
kesejahteraan bersama;
(3) melaporkan gangguan yang dialami kepada Gabungan
Perusahaan Perkebunan (GPP) untuk mendapatkan pelayanan
dan perlindungan baik dalam advokasi proses hukum ataupun
mengcounter media massa yang merugikan perusahaan;dan
(4) melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang menekanan
bahwa tidak ada pungutan kepada masyarakat dari perusahaan
dengan dalih keperluan pengurusan pungutan pajak di BPN atau
proses peradilan.
c) kebun yang mengalami konflik dengan dinas atau instansi
pemerintahan, dapat meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah
Kabupaten/Kota dan instansi terkait misalkan, Bupati/Pemerintah
Daerah, BPN, dan dinas teknis yang membidangi perkebunan serta
Polres/Polsek.
d) adanya pembinaan khusus terhadap Pemerintah Kabupten/Kota yang
melaksanakan kewenangan pembinaan perkebunan sebagaimana yang
tercantum dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor
875.1/03322.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan H. Zainal Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Anneahira. Pertanian Perkebunan. http://www.anneahira.com/pertanian-perkebunan.html> [27 Maret 2011 pukul 19.15]
. Pertanian Perkebunan. http://www.anneahira.com/industri-perkebunan.html> [27 Maret 2011 pukul 19.20]
A.P. Parlindungan 1993. Beberapa Masalah Dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Bandung: Mandar Maju.
Benedict Kingsbury. 2009. “The Concept of Law in Global Administrative Law”. University of New York Journal-Global Administrative Law Series. Vol. 9, No. 5.
Benjamin E. Hermalin and Michael S. Weisbach. 2007. “Transparency and Corporate Governance”. The European Journal of International Law. Vol. 4, No. 2.
Boedi Harsono. 1971. Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannja. Djakarta: Djambatan.
. 2003. Hukum Agraria Indoneia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Charles Sebayang. Hak Menguasai Negara. http://charlessebayang.blogspot.com/2009/03/hak-menguasai-dari-negara.html> [2 April 2011 pukul 14.00]
Dewa Arka. Hukum Perizinan. http://dewaarka.wordpress.com/2010/05/25/hukum-perizinan.html> [5 April 2011 pukul 21.30]
Edy Ruchiyat. 1999. Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi. Bandung: Alumni.