PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN … · Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam...
Transcript of PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN … · Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam...
TESIS
PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS
BERDASARKAN PENETAPAN BATAS MAKSIMUM
PEMILIKAN TANAH PERTANIAN SESUDAH
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 56
(PRP) TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS
TANAH PERTANIAN
WANI WIDJAJA
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii
TESIS
PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS
BERDASARKAN PENETAPAN BATAS MAKSIMUM
PEMILIKAN TANAH PERTANIAN SESUDAH
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 56
(PRP) TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS
TANAH PERTANIAN
WANI WIDJAJA
NIM.1592461019
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
iii
PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS
BERDASARKAN PENETAPAN BATAS MAKSIMUM
PEMILIKAN TANAH PERTANIAN SESUDAH
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 56 (PRP)
TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH
PERTANIAN
Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
Pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana
WANI WIDJAJA
NIM.1592461019
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL JANUARI 2017
Pembimbing I,
......................................................................
NIP. .............................
Pembimbing II,
.....................................................
NIP. ..................................
Mengetahui :
Program Magister Kenotariatan
Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Ketua,
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum.
NIP. 19640402 198911 2 001
v
PERNYATAAN PLAGIAT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa :
Nama : Wani Widjaja
NIM : 1592461019
Program Studi : Kenotariatan
Judul Tesis : Pelaksanaan Pembagian Waris Berdasarkan Penetapan
Batas Maksimum Pemilikan Tanah Pertanian Sesudah
Berlakunya Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 23 Januari 2017
Yang membuat pernyataan,
Wani Widjaja
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, dengan selesainya tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah
”Pelaksanaan Pembagian Waris Berdasarkan Penetapan Batas Maksimum
Pemilikan Tanah Pertanian Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 56
(Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.” Tesis ini
disusun untuk memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister
Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan
tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada
waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima
kasih kepada ........, selaku Pembimbing I dan ..........., selaku Pembimbing II, yang
telah memberikan bimbingan dan ide kepada penulis dalam proses penyelesaian
tesis ini.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana, kepada
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka
Sudewi, Sp. S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi
mahasiswi Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Udayana, Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum.,
atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Kenotariatan Universitas
Udayana, kepada panitia penguji tesis, yang telah memberikan masukan dan saran
kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.
vii
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu
dosen pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana
atas ilmu yang telah diberikan, rekan-rekan mahasiswa serta Bapak dan Ibu staf
berserta karyawan Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah banyak
membantu kelancaran proses administrasi.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada suami dan anak-anak yang
tersayang dan saudara yang tercinta serta teman-teman lainnya yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, atas dukungan dan sarannya untuk menyelesaikan
tesis ini. Akhir kata penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang berkepentingan.
Denpasar 23 Januari 2017
Penulis
viii
ABSTRAK
Indonesia sebagai negara agraris dengan mayoritas penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani, sehingga tanah pertanian adalah modal utama bagi
seorang petani. Pemerintah menyusun suatu undang-undang yang berkaitan
dengan penetapan luas tanah pertanian yakni Undang-Undang Nomor 56 (Prp)
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Lahan Pertanian yang mengatur luas
maksimum pemilikan luas tanah pertanian.
Berdasarkan kondisi tersebut, isu hukum yang diangkat dalam penelitian
ini adalah (1) Bagaimanakah pelaksanaan pembagian waris berdasarkan
penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian sesudah berlakunya
Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian?; dan (2) Apa akibat hukum yang muncul dengan adanya penetapan
batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah
pertanian dalam pembagian waris?
Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum empiris
dengan pendekatan konsep, pendekatan fakta dan pendekatan kasus. Jenis data
dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang berupa bahan
hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik
wawancara dan studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan (1) pelaksanaan pembagian waris
berdasarkan penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian sesudah
berlakunya Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian dilakukan dengan proses pendaftaran peralihan hak atas tanah
berdasarkan Surat Penyataan Ahli Waris dan proses peralihan hak atas tanah
berdasarkan akta pembagian hak bersama. Namun pembagian waris tidak boleh
menimbulkan penumpukan kepemilikan tanah pada suatu hak waris saja dan
pembatasan kepemilikan tanah adalah salah satu solusinya; dan akibat hukum
yang muncul dengan adanya penetapan batas maksimum dan batas minimum
Penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian dalam pembagian waris
menimbulkan sanksi pidana berupa pelanggaran yang berakibat hukuman
kurungan atau denda. Selain sanksi pidana, maka tanah kelebihan dari batas
maksimum dan/atau tanah di bawah batas minimum akan jatuh pada negara
(menjadi tanah obyek landreform) tanpa mendapat ganti rugi berupa apapun.
Demikian juga terhadap peralihan hak atas tanah pertanian melalui pemecahan
karena pembagian waris yang mengakibatkan luasnya menjadi kurang dari 2
hektar maka dinyatakan bahwa pemindahan hak itu adalah batal demi hukum, dan
tanah jatuh pada negara tanpa hak untuk menuntut ganti rugi.
Kata Kunci: Batas Maksimum, Pemilikan, Tanah Pertanian.
ix
ABSTRACT
Indonesia as an agricultural country with a majority of the population are
farmers, therefore agricultural land is the main capital for a farmer. The
government develops a law relating to the determination of the agricultural land
area namely Law No. 56 (Prp) of 1960 on Agricultural Land Size Determination
which regulate the maximum area of ownership of agricultural land area.
Based on that condition, the legal issues raised in this research are (1)
How the implementation of the splitting of inheritance based on the determination
of the maximum limit ownership of agricultural land after the enactment of Law
No. 56 (Prp) of 1960 on Agricultural Land Size Determination?; and (2) What
legal consequences arise by appointed of the maximum and minimum limits of the
tenure and ownership of agricultural land area in the splitting of inheritance?
The type of research is an empiric legal research with conceptual
approach, fact approach and case approach. The type of data in this research are
primary and secondary data which consisted of primary, secondary and tertiary
legal materials. The technique of collecting data used are interview technique and
library research. Data analysis performed by a qualitative descriptive.
The research result indicated (1) the implementation of the splitting of
inheritance based on the determination of the maximum limit ownership of
agricultural land after the enactment of Law No. 56 (Prp) of 1960 on Agricultural
Land Size Determination done with the registration process transfer of land rights
based on Letter Statement of Heirs and registration process transfer of land rights
based on deed of distribution of joint matrimonial rights. But the splitting of
inheritance may not cause an accumulation of land ownership on an one heir only
and limitation on land ownership is one of the solution; and legal consequences
arise by appointed of the maximum and minimum limits of the tenure and
ownership of agricultural land area in the splitting of inheritance causing
criminal sanctions such offenses result in jail sentences or fines. In addition to
criminal sanctions, the land excess of the maximum limit and/or land below the
minimum threshold will fall on the state (became the object of land reform)
without receiving any form of compensation. Likewise, the transfer of agricultural
land rights through splitting of inheritance which resulted in the extent to less
than 2 hectares so it is stated that the transfer of rights is null and void, and the
land falls on the state without the right to claim compensation.
Keywords: Maximum Limit, Ownership, Agricultural Land.
x
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis pelaksanaan pembagian waris berdasarkan
penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian sesudah berlakunya
Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian.
Bab I, menguraikan latar belakang masalah yang dalam hal ini penetapan
batas maksimum pemilikan tanah pertanian sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 dan Pasal 3 Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun
2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian (das sollen), namun pada
kenyataannya banyak masyarakat yang memiliki tanah yang melebihi batas
maksimum tersebut dengan cara kepemilikan KTP Ganda (das sein). Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode
penelitian.
Bab II, menguraikan tentang tinjauan mengenai landreform badan
pertanahan nasional serta kepemilikan tanah secara latifundia dan secara guntai.
Bab ini terdiri dari 3 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama mengenai landreform. Sub
Bab kedua tentang hak atas tanah. Sub Bab ketiga tentang kepemilikan tanah
secara latifundia dan secara abstentee/guntai.
Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah
yang pertama, mengenai pelaksanaan pembagian waris berdasarkan penetapan
batas maksimum pemilikan tanah pertanian sesudah berlakunya Undang-Undang
Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Bab ini
dibagi menjadi 4 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama mengenai pewarisan menurut
hukum waris adat. Sub Bab kedua mengenai pewarisan menurut hukum waris adat
bali. Sub Bab ketiga membahas tentang larangan pemilikan tanah pertanian
melampaui batas maksimum. Sub Bab Keempat mengenai pelaksanaan
pembagian waris berdasarkan penetapan batas maksimum pemilikan tanah
pertanian sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah
kedua terkait dengan akibat hukum yang muncul dengan adanya penetapan batas
maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian
dalam pembagian waris. Bab ini dibagi menjadi 3 Sub Bab yang terdiri dari Sub
Bab pertama tentang dasar hukum kewenangan pemerintah dalam menetapkan
batas maksimum dan batas minimum pemilikan luas tanah pertanian. Sub Bab
kedua membahas mengenai pengaturan tentang penetapan batas maksimum dan
batas minimum pemilikan luas tanah pertanian. Sub Bab ketiga membahas
tentang akibat hukum yang muncul dengan aadanya penetapan batas maksimum
dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian dalam
pembagian waris.
Bab V merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dan
saran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa (1) Pelaksanaan pembagian
xi
waris berdasarkan penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian sesudah
berlakunya Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian dilakukan dengan proses pendaftaran peralihan hak atas tanah
berdasarkan Surat Penyataan Ahli Waris dan proses peralihan hak atas tanah
berdasarkan akta pembagian hak bersama. Namun pembagian waris tidak boleh
menimbulkan penumpukan kepemilikan tanah pada suatu hak waris saja dan
pembatasan kepemilikan tanah adalah salah satu solusinya; dan (2) Akibat hukum
yang Muncul dengan adanya penetapan batas maksimum dan batas minimum
Penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian dalam pembagian waris
menimbulkan sanksi pidana berupa pelanggaran yang berakibat hukuman
kurungan atau denda. Selain sanksi pidana, maka tanah kelebihan dari batas
maksimum dan/atau tanah di bawah batas minimum akan jatuh pada negara
(menjadi tanah obyek landreform) tanpa mendapat ganti rugi berupa apapun.
Demikian juga terhadap peralihan hak atas tanah pertanian melalui pemecahan
karena pembagian waris yang mengakibatkan luasnya menjadi kurang dari 2
hektar maka dinyatakan bahwa pemindahan hak itu adalah batal demi hukum, dan
tanah jatuh pada negara tanpa hak untuk menuntut ganti rugi. Sementara itu saran
yang dapat disampaikan kepada pemerintah disarankan agar ketentuan penetapan
batas maksmum tanah pertanian untuk direvisi yang disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan penduduk, ketersedian tanah saat ini, terjadinya pewarisan yang
mengakibatkan pemecahan tanah pertanian dan perkiraan kebutuhan masa depan.
Kantor Pertanahan perlu mempunyai data pertanahan yang lengkap untuk dapat
mendeteksi berapa luas tanah yang dimiliki oleh suatu keluarga, apakah sudah
memenuhi batas minimum luas tanah atau justru melebihi dari ambang batas
maksimum yang telah ditentukan oleh undang-undang. Untuk mendapatkan data
pertanahan yang kuat maka perlu adanya kerjasama yang baik antara Kantor
Pertanahan dengan instansi terdekat masyarakat yakni Kecamatan dan Kelurahan.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN .................................................................................... i
SAMPUL DALAM................................................................................... ii
PRASYARAT GELAR ............................................................................ iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ....................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................ viii
ABSTRACT............................................................................................... ix
RINGKASAN ........................................................................................... x
DAFTAR ISI ............................................................................................ xii
DAFTAR TABEL .................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xvii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 15
1.3 Orisinalitas Penelitian ................................................................... 15
1.4 Tujuan Penelitian.......................................................................... 18
1.4.1 Tujuan Umum .................................................................... 18
1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................... 18
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................ 19
1.5.1 Manfaat Teoritis ................................................................. 19
1.5.2 Manfaat Praktis .................................................................. 19
1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran .................................. 19
1.6.1 Landasan Teoritis ............................................................... 19
1.6.1.1 Teori Kewenangan ................................................ 20
1.6.1.2 Teori Keadilan....................................................... 28
1.6.1.3 Konsep Hukum Tanah Nasional ............................ 33
1.6.1.4 Asas Hukum Tanah Nasional................................. 35
xiii
1.6.2 Kerangka Pemikiran ........................................................... 38
1.7 Metode Penelitian ......................................................................... 38
1.7.1 Jenis Penelitian .................................................................. 38
1.7.2 Jenis Pendekatan ................................................................ 39
1.7.3 Lokasi Penelitian ............................................................... 40
1.7.4 Jenis dan Sumber Data ....................................................... 40
1.7.4.1 Jenis Data .............................................................. 40
1.7.4.2 Sumber Data.......................................................... 42
1.7.5 Teknik Pengumpulan Data ................................................. 42
1.7.6 Teknik Analisis Data.......................................................... 44
BAB II TINJAUAN MENGENAI LANDREFORM BADAN
PERTANAHAN NASIONAL SERTA KEPEMILIKAN
TANAH SECARA LATIFUNDIA DAN SECARA GUNTAI .. 45
2.1 Landreform .................................................................................. 45
2.1.1 Pengertian Landreform ....................................................... 45
2.1.2 Tujuan dan Obyek Landreform ........................................... 51
2.1.3 Dasar Hukum Landreform .................................................. 56
2.1.4 Program Landreform........................................................... 57
2.2 Hak Atas Tanah ............................................................................ 57
2.2.1 Pengertian dan Konsep Hak Atas Tanah.............................. 57
2.2.2 Jenis-Jenis Hak Atas Tanah................................................. 69
2.2.3 Peralihan Hak Atas Tanah ................................................... 75
2.2.4 Akta Peralihan Hak Atas Tanah .......................................... 85
2.3 Kepemilikan Tanah secara Latifundia dan secara
Abstentee/Guntai .......................................................................... 93
2.3.1 Kepemilikan Tanah Secara Latifundia................................. 93
2.3.2 Kepemilikan Tanah secara Abstentee/Guntai ....................... 103
xiv
BAB III PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN
PENETAPAN BATAS MAKSIMUM PEMILIKAN TANAH
PERTANIAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-
UNDANG NOMOR 56 (PRP) TAHUN 1960 TENTANG
PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN ........................... 112
3.1 Pewarisan menurut Hukum Waris Adat ........................................ 112
3.2 Pewarisan menurut Hukum Waris Adat Bali ................................. 120
3.3 Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Melampaui Batas
Maksimum ................................................................................... 126
3.3.1 Pengaturan Batas Pemilikan Tanah dalam Undang-undang
Nomor 56 (Prp) tentang Penerapan Luas Tanah Pertanian ... 126
3.3.2 Tujuan Penetapan Batas Maksimum Pemilikan Tanah
Pertanian ............................................................................. 128
3.3.3 Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Melampaui Batas
Maksmum ........................................................................... 133
3.4 Pelaksanaan Pembagian Waris berdasarkan Penetapan Batas
Maksimum Pemilikan Tanah Pertanian sesudah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian ................................................................... 140
BAB IV AKIBAT HUKUM YANG MUNCUL DENGAN ADANYA
PENETAPAN BATAS MAKSIMUM DAN BATAS
MINIMUM PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS
TANAH PERTANIAN DALAM PEMBAGIAN WARIS ......... 162
4.1 Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Batas
Maksimum dan Batas Minimum Pemilikan Luas Tanah Pertanian 162
4.2 Pengaturan tentang Penetapan Batas Maksimum dan Batas
Minimum Pemilikan Luas Tanah Pertanian ................................. 181
4.3 Akibat Hukum yang Muncul dengan Aadanya Penetapan Batas
Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Luas
Tanah Pertanian dalam Pembagian Waris .................................... 187
xv
BAB V PENUTUP ................................................................................... 202
5.1 Simpulan ........................................................................................ 202
5.2 Saran .............................................................................................. 203
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 204
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kriteria Kepadatan Penduduk dan Golongan Daerah dan
Kepadatan Penduduk Tiap Kilometer Persegi ........................... 99
Tabel 2.2 Kepadatan Penduduk dan Luas Maksimum Pemilikan atau
Penguasaan Tanah Pertanian ..................................................... 100
Tabel 3.1 Luas Maksimum Berdasarkan Tingkat Kepadatan .................... 127
Tabel 3.2 Tingkat Kepadatan Tiap Kilometer Persegi ............................... 127
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran .............................................................. 38
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah yang pada awalnya dipandang dari sudut sosial, yang tercakup
dalam lingkungan hukum adat, Hak Ulayat dan fungsi sosial dan religius,
sekarang dipandang dari kaca mata ekonomi, sehingga tepat apabila masyarakat
memandang bahwa saat ini masalah pertanahan tidak lagi menyangkut isu
kemasyarakatan saja tetapi telah berkembang menjadi isu ekonomi.1 Jutaan jiwa
petani di Indonesia masih belum memiliki lahan pertanian atau mengandalkan
dirinya sebagai buruh tani. Besarnya jumlah buruh tani tersebut sangat
memprihatinkan karena bagaimana mungkin bisa sejahtera seorang petani jika
tidak memiliki lahan pertanian. Banyaknya petani yang belum memiliki lahan
pertanian tersebut kemungkinan besar terjadi karena masih rendahnya pendidikan
formal, biasanya petani adalah seorang pekerja keras namun sangat rendah
pengetahuannya, sementara itu petani yang memiliki lahan pertanian juga masih
sulit untuk hidup sejahtera, karena tidak sedikit dari mereka terjerat rentenir untuk
membiayai pengelolaan tanahnya.2
Berdasarkan landasan politik hukum agraria Indonesia, yaitu Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD NRI 1945) menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
1 Muhammad Yamin Lubis, Abd Rahim Lubis, 2004, Beberapa Masalah Aktual Hukum
Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, hal. 26. 2 Syahranuddin Harahap, 2011, Problematika Tanah Pertanian di Indonesia, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, hal.16.
2
besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian sebagai pelaksana dari ketentuan di
atas dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Nomor 1960/104 dan Tambahan Lembaran Negara
(TLN) Nomor 2043 (selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria
disingkat UUPA), bahwa hak menguasai Negara tersebut memberi wewenang
untuk:3
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Berkaitan dengan kewenangan negara di atas, maka pemanfaatan tanah
harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang maupun
generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Untuk mengatur pemanfaatan, pemilikan dan penguasaan tanah pertanian, UUPA
dalam Pasal 17 menentukan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah
pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai oleh seseorang atau suatu keluarga,
baik dengan hak milik atau hak-hak lainnya. Ketentuan ini dimaksudkan agar
seseorang (keluarga) dapat memiliki atau menguasai tanah pertanian tidak
melebihi atau kurang dari ketentuan batas luas maksimum dan minimum,
sehingga dapat meningkatkan taraf hidup atau penghidupan bagi para petani.4
3 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria isi dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, hal. 229-230. (selanjutny
disebut Boedi Harsono I). 4 Upik Hamidah, 1997, “Pelaksanaan Penetapan Batas Tanah Pertanian Setelah
Diberlakukannya UU No. 56 Prp Tahun 1960,” Justisia, No. 16.
3
Dari berbagai penelitian yang dilakukan terhadap masalah pertanian di
Indonesia telah menunjukkan bahwa penguasaan, penggunaan dan pemilikan
tanah masih menunjukkan adanya ketimpangan dalam masyarakat, dimana ada
sekelompok kecil dari masyarakat memiliki atau menguasai tanah secara
berlebihan dan melampaui batas sedangkan dipihak lain sebagian kelompok dari
masyarakat memiliki atau menguasai tanah dalam jumlah yang sangat terbatas,
yaitu dibawah batas minimum pemilikan tanah dan bahkan banyak pula yang
tidak mempunyai tanah sama sekali, terpaksalah hidup sebagai buruh tani yang
senantiasa hidup dibawah garis kemiskinan yang sifatnya bertentangan dengan
prinsip-prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.5
Hal ini juga sangatlah bertentangan dengan tujuan dari penerapan
landreform yang diimplamentasikan di Indonesia sejak tahun 1960, dimana tujuan
landreform di Indonesia dalam pidato Menteri Agraria Soedjarwo pada tanggal 12
September 1960 adalah:6
1. Untuk mangadakan pembagian yang adil atas sumber panghidupan rakyat
tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil
pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara
revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.
2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani (land to the tillers) agar
tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan.
3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap
warga Negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi
sosial, suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak privat bezit yaitu
hak milik sebagai hak yang kuat, bersifat perorangan, dan turun temurun,
tetepi berfungsi sosial.
4. Untuk mengakhiri sistem tuan-tuan tanah dan menghapuskan pemilikan
dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan
menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk setiap
keluarga, selanjutnya kepada keluarga dapat laki-laki ataupun perempuan.
5 Abdurrahman, 1980, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria Seri Hukum Agraria V,
Alumni, Bandung, hal. 14. 6 Pidato Menteri Agraria Soedjarwo pada tanggal 12 September 1960.
4
5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya
pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan
bentuk gotong royong lainnya untuk mencapai kesejahteraan yang merata
dan adil dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan
kepada golongan petani.7
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa tujuan
landreform adalah sebagai pemerataan kepemilikan tanah dan menghilangkan
system tuan tanah sehingga tanah benar-benar memiliki fungsi sosial.
Secara umum tujuan landreform adalah untuk mempertinggi taraf hidup
dan penghasilan petani penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi
menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian secara
khusus landreform di Indonesia agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus
menyebutkan bahwa tujuan dari landreform adalah sebagai berikut:8
1. Ekonomi Landreform
a. Untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan
memperkuat hak milik serta memberi isi dari fungsi sosial pada hak
milik tersebut.
b. Untuk memperbaiki produksi nasional khususnya disektor pertanian
guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
2. Tujuan Sosial Politik Landreform
a. Mengakui sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang
sangat luas.
b. Mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat
tani berupa tanah dengan maksud agar pembagian yang adil juga.
3. Tujuan Mental Phsycology Landreform
a. Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan
jalan memberikan kepastian hak mengenai kepemilikan tanah.
b. Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan
penggarapnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berpendapat tujuan dari
landreform memperbaiki keadaan sosial ekonomi masyarakat, memperbaiki
7 Ibid. 8 Chadidjah Dalimunthe, 1998, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan
Permasalahannya, USU-Press, Medan, hal. 49.
5
produksi nasional di sektor pertanian, mewujudkan keadilan atas penghidupan
rakyat tani dan meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan
jalan memberikan kepastian hak mengenai kepemilikan tanah.
Selanjutnya dalam rangka pembangunan pertanian perlu adanya tata ruang
dan tata guna tanah, sehingga penguasaan, pemilikan dan pengalihan hak atas
tanah dapat menjamin kemudahan dan kelancaran usaha-usaha pertanian serta
benar-benar sesuai dengan asas adil dan merata. Sehubungan dengan itu perlu
dicegah pemilikan dan penguasaan tanah oleh perorangan secara berlebihan, serta
pembagian tanah menjadi sangat kecil sehingga tidak menjadi sumber kehidupan
yang layak.
Pengaturan pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas diatur
dalam Pasal 7 UUPA yang berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan umum,
maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan”. Dalam pasal ini melarang apa yang dinamakan dengan groot
grondbezitter9 yaitu larangan pemilikan tanah yang melampaui batas. Larangan
pemilikan tanah yang melampaui batas dimaksudkan untuk mengakhiri dan
mencegah bertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan dan orang-orang
tertentu saja. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan
kepentingan umum, menciptakan tuan-tuan tanah dan banyak hal-hal negatif yang
mungkin terjadi seperti tidak naiknya produksi, petani penggarap selalu akan
menyewa dan uang sewa akan selalu meningkat sehingga pendapatan mereka
akan terus berkurang. Kesejahteraan sosial dari masyarakat akan terus merosot
dan condong tuan-tuan tanah memaksa para penyewanya untuk memberikan suara
9 Boedi Harsono, op.cit., hal. 354
6
pada pemilu bagi golongan yang akan mempertahankan posisinya. Rakyat yang
memerlukan tanah akan terus bertambah dan kemiskinan sudah tidak terelakkan
lagi.10
Hal ini akan menyebabkan semakin sempitnya atau hilangnya sama sekali
kemungkinan bagi petani untuk memiliki tanah sendiri.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 7 UUPA tersebut secara substansi tidak
berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Masih ada tanah-tanah hak milik yang
luas dikuasai oleh satu orang atas nama beberapa pemilik dengan status hak milik.
Sebagai konsekwensi dari Pasal 7 UUPA yang tidak memperkenankan
penguasaan tanah yang melampaui batas maka dalam Pasal 17 UUPA diatur luas
maksimum dan atau minimum yang boleh dimiliki oleh satu keluarga baik dengan
hak milik atau dengan hak yang lain.
Sejalan dengan Pasal 17 UUPA, Boedi Harsono mengatakan:
Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama
dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan demikian
pembagian hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan
merupakan pula pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena
akan menambah kegairahaan bekerja para petani penggarap tanah yang
bersangkutan, yang telah menjadi pemiliknya.11
Mengacu pada ketentuan Pasal 17 UUPA, Pemerintah mengeluarkan
peraturan pelaksanaannya berupa Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (selanjutnya disebut Undang-Undang
Nomor 56 (Prp) Tahun 1960) dan undang-undang ini merupakan induk
pelaksanaan landreform di Indonesia (Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun
1960 ini dikeluarkan Pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960, dan dinyatakan
mulai berlaku tanggal 1 Januari 1961, tepat pada hari dilangsungkannya apa yang
10 A.P. Parlindungan, 1989, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Bagian I,
Mandar Maju, Bandung, hal. 23-24. (selanjutnya disebut A.P Parlindungan I). 11 Boedi Harsono, op.cit., hal. 355.
7
disebut “Upacara Pengayunan Cangkul Pertama Pembangunan Nasional Semesta
Berencana”). Undang-undang ini mengatur 3 masalah yang pokok, yaitu
mengenai:
1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;
2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan
pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil;
3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.12
Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur
dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menyatakan
seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga
bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri
atau kepunyaan orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20
hektar, baik sawah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering dan dengan
mengingat keadaan daerah yang sangat khusus, Menteri Agraria dapat menambah
luas maksimum 20 hektar tersebut dengan paling banyak 5 hektar. Melalui
undang-undang ini luas tanah maksimum yang bisa dikuasai seseorang diatur
secara rinci dengan mempertimbangkan tersedianya tanah-tanah yang masih dapat
dibagi, kepadatan penduduk dan kesuburan tanah pertanian.
Penetapan luas maksimum dan minimum kepemilikan tanah merupakan
langkah awal untuk melaksanakan program landreform dibidang tanah pertanian
yang kemudian menjadi acuan untuk menentukan apakah seseorang mempunyai
tanah pertanian yang melampaui batas atau kecil. Berdasarkan Undang-undang
12 Boedi Harsono, op.cit., hal.356.
8
Landreform ini juga setiap orang yang mempunyai tanah pertanian yang
melampaui batas maksimum diwajibkan untuk melaporkannya kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 56 (Prp)
Tahun 1960). Setiap orang yang mempunyai tanah lebih tidak boleh mengalihkan
tanah tersebut langsung kepada pihak lain tanpa memperoleh izin dari Kepala
Kantor Pertanahan. Kepada pihak yang menjual atau tidak melaporkan kelebihan
tanahnya diancam dengan pidana kurungan tiga bulan atau denda Rp.10.000
(Ketentuan Pidana ini diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 56 (Prp)
Tahun 1960). Kelebihan tanah tersebut diambil oleh negara dengan memberikan
ganti rugi dan selanjutnya diredistribusikan kepada petani yang tidak punya tanah
dengan menetapkan skala prioritas penerima.
Penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian selanjutnya diatur
dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan dengan memperhatikan jumlah
penduduk, luas daerah dan faktor-faktor lainnya, maka luas maksimum yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan sebagai berikut:
No.
Di daerah-daerah yang: Sawah atau tanah kering
(hektar) (hektar)
1. Tidak padat 15 20
2. Padat:
a. Kurang padat 10 12
b. Cukup Padat 7,5 9
c. Sangat padat 5 6
Jika tanah-pertanian yang dikuasai itu merupakan sawah dan tanah kering,
maka untuk menghitung luas maksimum tersebut, luas sawah dijumlah dengan
luas tanah kering dengan menilai tanah-kering sama dengan sawah ditambah 30%
di daerah-daerah yang tidak padat dan 20% di daerah-daerah yang padat dengan
ketentuan, bahwa tanah-pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari
20 hektar.
9
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960
tersebut kemudian diperjelas dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun
2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang
menyatakan sebagai berikut:
Pembatasan kepemilikan tanah pertanian untuk perorangan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. tidak padat, paling luas 20 (dua puluh) hektar;
b. kurang padat, paling luas 12 (dua belas) hektar;
c. cukup padat, paling luas 9 (sembilan) hektar; atau
d. sangat padat, paling luas 6 (enam) hektar.
Pembatasan pemilikan tanah pertanian tersebut dilakukan dalam rangka
tercapainya pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, berkaitan dengan pewarisan maka pewarisan mengandung
arti perpindahan hak milik kepada pihak lain karena pemiliknya meninggal dunia.
Peralihan hak milik terjadi demi hukum artinya dengan meninggalnya pemilik
maka ahli warisnya memperoleh hak milik, peralihan atas hak waris yang berupa
tanah melalui surat keterangan waris yang dibuat oleh para ahli waris, diketahui
atau disahkan oleh pejabat yang bewenang, kemudian dilakukan pendaftaran pada
Kantor Pertanahan setempat agar dicatat dalam buku tanah tentang pemegang hak
yang baru yaitu atas nama ahli waris, hal ini penting dilakukan agar mempunyai
kekuatan hukum.
Di dalam masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal
apabila terjadi peristiwa pewarisan maka sistem hukum adatlah yang berperan,
biasanya pada masyarakat kampung yang menganut sistem kekeluagaan
10
patrilineal menggunakan sistem kewarisan adat mayorat, sistem ini dimana laki-
laki yang mewaris adalah satu anak saja biasanya anak laki tertua.13
Dalam hukum
adat Bali yang berdasarkan pada sistem kekeluargaan kepurusa, orang-orang yang
dapat diperhitungkan sebagai ahli waris dalam garis pokok keutamaan dan garis
pokok pengganti adalah para laki-laki dalam keluarga yang bersangkutan,
sepanjang tidak terputus haknya sebagai ahli waris. Kelompok orang-orang yang
termasuk dalam garis keutamaan pertama sebagai ahli waris adalah keturunan
pewaris kenceng ke bawah, yaitu anak kandung laki-laki ataupun anak perempuan
yang ditingkatkan statusnya sebagai penerus keturunan (sentana rajeg) dan anak
angkat (sentana paperasan).14
Sentana rajeg dan sentana paperasan mempunyai
hak yang sama dengan anak kandung laki-laki terhadap harta warisan. Anak
perempuan dan janda bukanlah ahli waris, tetapi apabila anak perempuan tersebut
tidak kawin (deha tua) maka ia berhak atas pembagian harta orang tuanya sebagai
nafkah hidupnya (pengupa jiwa).15
Sesuai dengan hukum adat Bali, anak laki-laki dianggap mempunyai
kewajiban hukum dan kewajiban moral untuk meneruskan berbagai
tanggungjawab dan kewajiban (swadharma). Sedangkan anak perempuan yang
telah melangsungkan perkawinan biasa (nganten biasa), hanya mempunyai
kewajiban moral untuk melaksanakan berbagai tanggungjawab atau kewajiban
seperti digambarkan di atas, di tempat kelahirannya. Perbedaan tanggungjawab ini
berpengaruh langsung terhadap hak mereka (ahli waris), terhadap warisan yang
13 Gede Penetje, 2004, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV. Kayumas Agung,
Denpasar, hal. 98. 14 Ibid, hal.164. 15 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Swasta
Nulus, Denpasar, hal.155 (selanjutnya disebut Wayan P. Windia dan I Ketut Sudantra I).
11
berupa harta kekayaan (yang mempunyai nilai ekonomi). Dengan kata lain dapat
dikemukakan bahwa ahli waris laki-laki mempunyai ”peluang” lebih besar untuk
menguasai warisan (harta kekayaan), dibandingkan dengan ahli waris
perempuan.16
Sistem kekerabatan patrilineal di Bali lazim disebut dengan istilah sistem
”kepurusa/purusa” (laki-laki). Dalam sistem ini, hubungan seseorang anak
dengan keluarga (clan) bapaknya menjadi dasar tunggal bagi susunan bapaknya.
Keluarga dari bapaknya, atau keluarga dari pancer laki-laki (kepurusa) adalah
yang paling penting dalam kehidupannya, misalnya pancer laki-lakilah yang
mewarisi segala sesuatunya, wangsa si anak mengikuti wangsa bapaknya. Anak
dalam kaitan ini adalah anak laki-laki dan perempuan mengikuti kasta/wangsa
bapaknya, akan tetapi hanya anak laki-laki yang dikemudian hari menjadi penerus
keturunan ayahnya.17
Menurut Gede Puja :
“Penguasaan tunggal anak sulung bukan bersifat absolut, karena apabila
anak sulung itu menjual atau menggadaikan harta warisan yang belum
terbagi bukan karena suatu wewenang yang sah, tindakan itu tidak sah dan
dapat dituntut kepada saudara saudaranya yang lain”.18
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pewarisan itu pada dasarnya harus dibagi
terlebih dahulu dalam rangka kepastian hukum.
Untuk tanah warisan yang setelah dibagi mempunyai luas kurang dari 2
(dua) hektar, pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun
16 Wayan P. Windia, 2013, Hukum Adat Bali dalam Tanya Jawab, Udayan University
Press, Denpasar, hal.86-87. 17 Nyoman Sukerti, 2004, Hukum Waris Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar,
hal.36. 18 Puja Gede, 1977, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresifir Kedalam Hukum Adat di
Bali dan Lombok, CV. Junasco, Jakarta, hal.50.
12
1960 di dalam waktu 1 tahun para ahli waris itu wajib menunjuk salah seorang
dari antaranya yang selanjutnya akan memiliki tanah itu, atau memindahkannya
kepada pihak lain. Jika para ahli waris tersebut tidak melaksanakan kewajiban
tersebut di atas, maka dengan memperhatikan keinginan mereka Menteri Agraria
atau pejabat yang ditunjuknya, menunjuk salah seorang dari antara mereka itu,
yang selanjutnya akan memiliki tanah yang bersangkutan, ataupun menjualnya
kepada pihak lain (Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 56 (Prp)
Tahun 1960).
Isu hukum yang muncul dalam pembagian waris seringkali warisan
tersebut dijual langsung pada 1 (satu) orang baik yang berasal dari dalam keluarga
sendiri ataupun pada pihak lain atau pihak ketiga yang sudah memiliki tanah yang
sangat luas. Hal tersebut banyak terjadi di daerah pedesaan yang tanahnya masih
belum terdaftar pada Kantor Pertanahan. Meskipun sudah ada ketentuan bahwa
setiap tanah harus dilaporkan atau didaftarkan namun banyak pemilik tanah yang
belum melaksanakan hal tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal
yaitu karena ketidaktahuan masyarakat atas kepemilikan tanah tersebut dan atau
adanya ketidakpatuhan tiap-tiap individu untuk melaporkan kelebihan tanah yang
dimilikinya. Kantor pertanahan pun belum menjangkau semua desa-desa yang
berada di pelosok-pelosok daerah jadi apabila dilakukan jual beli atas sebidang
tanah biasanya hanya dilakukan melalui kepala desa. Otomatis kepemilikan atas
tanah tersebut hanya diketahui oleh aparat desa, pihak pembeli dan penjual. Hal-
hal seperti inilah yang bisa menjadi tanah pemilikan tanah yang melampaui batas
maksimum.
13
Pada jaman sekarang ini dimana harga tanah menjadi sangat mahal, tanah
pertanian seringkali dijadikan sebagai objek spekulasi yang mengakibatkan luas
tanah pertanian semakin berkurang karena dialihfungsikan. Hal ini justru
dilakukan oleh orang-orang yang tidak berdomisili di wilayah tanah itu berada.
Seperti misalnya pada saat ini banyak orang-orang dari Jakarta ataupun kota-kota
besar lainnya yang membeli tanah di wilayah Bali untuk dijadikan objek
spekulasi. Padahal Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian mengatur tanah pertanian milik
perorangan dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ketentuan (a) pihak lain
harus berdomisili dalam 1 (satu) kecamatan letak tanah dan (b) tanahnya harus
dipergunakan dan dimanfaatkan untuk pertanian.
Domisili dalam ketentuan di atas dibuktikan dengan kartu identitas
setempat (Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian
Penguasaan Tanah Pertanian). Namun banyak terjadi dalam praktek adalah
adanya sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang yang dalam
kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam
ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Hal
ini dapat terjadi melalui dua cara, yaitu dengan cara memiliki KTP ganda yang
memungkinkan orang menyelundupi ketentuan tentang batas kepemilikan tanah
pertanian.
14
Meskipun Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian
Penguasaan Tanah Pertanian mengatur bahwa tanah pertanian yang
alihkan/berpindah tangan kepada pihak lain harus tetap dipergunakan dan
dimanfaatkan untuk pertanian, namun dalam hal terjadi perubahan Rencana Tata
Ruang Wilayah, penggunaan dan pemanfaatan tanah pertanian berpedoman pada
perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah dimaksud (Pasal 5 Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun
2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian). Hal ini berarti tanah
pertanian dapat saja dialihfungsikan menjadi fungsi non-pertanian berdasarkan
perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa penetapan batas
maksimum pemilikan tanah pertanian sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 dan Pasal 3 Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun
2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian (das sollen), namun pada
kenyataannya banyak masyarakat yang memiliki tanah yang melebihi batas
maksimum tersebut dengan cara kepemilikan KTP Ganda (das sein). Berangkat
dari adanya gap atau kesenjangan antara das sollen dan das sein ini, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul
“Pelaksanaan Pembagian Waris Berdasarkan Penetapan Batas Maksimum
Pemilikan Tanah Pertanian Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 56
(Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian”.
15
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk research questions sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian waris berdasarkan penetapan batas
maksimum pemilikan tanah pertanian sesudah berlakunya Undang-
Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian?
2. Apa akibat hukum yang muncul dengan adanya penetapan batas
maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah
pertanian dalam pembagian waris?
1.3 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik melalui perpustakaan-
perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa
penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan pembagian waris berdasarkan
penetapan batas maksimum pemilikan tanah sesudah berlakunya Undang-Undang
Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yaitu:
1. Penelitian Ni Nyoman Mariadi dengan judul “Kewenangan Pemerintah
dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian”.
Tesis Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar Tahun 2011. Rumusan
masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut:
16
a. Apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas
maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan Luas tanah
pertanian?
b. Apa konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah
pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas
minimum?
Penelitian Ni Nyoman Mariadi dengan penelitian yang akan dilakukan
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini
sama-sama meneliti tentang pembatasan pemilikan tanah. Perbedaannya
jika penelitian Ni Nyoman Mariadi meneliti tentang kewenangan
pemerintah dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah
pertanian, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan meneliti
mengenai pembagian waris berdasarkan penetapan batas maksimum
pemilikan tanah sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960.
2. Penelitian Ni Wayan Surya Senimurtikawati dengan judul “Batasan
Pemilikan Tanah Secara Absentee/Guntai”. Tesis Program Magister
Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
Denpasar Tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana larangan kepemilikan tanah secara absentee/guntai ?
b. Bagaimana pengecualian kepemilikan tanah secara absentee/guntai ?
Penelitian Ni Wayan Surya Senimurtikawati dengan penelitian yang akan
dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua
penelitian ini sama-sama meneliti pembatasan kepemilikan tanah.
17
Perbedaannya jika penelitian Ni Wayan Surya Senimurtikawati meneliti
tentang batasan pemilikan tanah secara absentee/guntai, sedangkan pada
penelitian yang akan dilakukan meneliti mengenai pembagian waris
berdasarkan penetapan batas maksimum pemilikan tanah sesudah
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
3. Penelitian Novalina Putri Pratita dengan judul “Relevansi UU No. 56 (Prp)
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Lahan Pertanian terhadap
Kepemilikan Tanah Pertanian di Kecamatan Gunungpati Kota Semarang”.
Tesis Program Magister Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang Tahun 2013. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai
berikut:
a. Apakah UU No. 56 (Prp) Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Lahan
Pertanian masih relevan dengan kepemilikan tanah pertanian di
Kecamatan Gunungpati Kota Semarang?
b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi relevansi tersebut?
c. Kendala yang dihadapi serta upaya apa saja yang dilakukan dalam
pelaksanaan UU No. 56 (Prp) Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas
Lahan Pertanian terhadap kepemilikan tanah pertanian di Kecamatan
Gunungpati Kota Semarang?
Penelitian Novalina Putri Pratita dengan penelitian yang akan dilakukan
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini
sama-sama meneliti tentang batas kepemilikan tanah. Perbedaannya jika
penelitian Novalina Putri Pratita meneliti tentang kepemilikan tanah
pertanian di Kabupaten Gunungpati Kota Semarang, maka pada penelitian
yang akan dilakukan meneliti mengenai pembagian waris berdasarkan
18
penetapan batas maksimum pemilikan tanah sesudah berlakunya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali,
menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang
dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian
hukum ini adalah :
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu untuk
mengetahui dan menganalisis pelaksanaan pembagian waris berdasarkan
penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian sesudah berlakunya
Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian.
1.4.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan pembagian waris
berdasarkan penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian
sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum yang muncul dengan
adanya penetapan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan
pemilikan luas tanah pertanian dalam pembagian waris.
19
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang
bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1.5.1. Manfaat Teoritis
1. Secara teoritis diharapkan penelitian ini sebagai suatu masukan untuk
pengembangan ilmu hukum khususnya hukum perdata yang berhubungan
dengan hukum agrarian dan hukum waris.
2. Untuk dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti
mengenai larangan batas minimum kepemilikan tanah pertanian.
1.5.2. Manfaat Praktis
1. Dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam hal ini pengambil
kebijakan di dalam pelaksanaan penetapan luas lahan pertanian pada
umumnya dan di dalam pembuatan kebijakan hukum pertanahan
selanjutnya.
2. Bagi masyarakat, dapat memberi pengetahuan lebih jelas tentang
hambatan pembagian waris atas tanah pertanian sebagai akibat adanya
larangan pemecahan tanah pertanian dan memberikan solusi agar
terlaksananya Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Lahan Pertanian.
1.6. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.6.1. Landasan Teoritis
Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang
telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu
20
peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Karlinger19
sebuah
teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang
menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci
hubungan-hubungan variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi
fenomena itu.
Adapun teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori
Kewenangan dan Teori Keadilan. Selain kedua teori ini, dalam penelitian ini juga
digunakan Konsep Hukum Tanah Nasional serta Asas Hukum Tanah Nasional
yang diuraikan sebagai berikut:
1.6.1.1. Teori Kewenangan
Teori ini peneliti kemukakan dengan maksud untuk membahas dan
menganalisis tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan luas batas
maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, dalam hal
ini untuk menganalisis “apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan
batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah
pertanian?. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering
disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau
berkuasa).
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata
Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan
tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi
19Fred, N. Karlinger, 2008, Fenomena, Paradigma dan Teori, terj. Agus Raharjo,
Erlangga, Jakarta, hal. 25-26.
21
Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara
dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan
perbuatan hukum.20
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai
dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara
hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan
harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu
kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.
Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan
sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.
Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau
kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan
orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.21
Lebih lanjut
Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu
pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation
of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager)
kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggungjawab untuk
melakukan tugas tertentu.22
Proses delegation of authority dilaksanakan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
20 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 154. 21 Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 70. 22 Ibid, hal.72.
22
1. Menentukan tugas bawahan tersebut
2. Penyerahan wewenang itu sendiri
3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.
I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai
berikut :
“Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang
otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara
konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan
merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit”.23
Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR,
karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif
penafsiran konstitusi dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis
dilakukan oleh :
1. Pembentukan undang-undang; disebut penafsiran otentik
2. Hakim atau kekuasaan yudisial; disebut penafsiran Yurisprudensi
3. Ahli hukum; disebut penafsiran doktrinal
Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah
sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan.
Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.24
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang atau
kewenangan sebagai berikut :
“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang
berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari
Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan
23 I Dewa Gede Atmadja, 1996, “Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen,” Pidato Pengenalan Guru
Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara, Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal. 2 24 Ibid.
23
terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu
bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan
wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam
kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan
untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.25
Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi,
delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :
Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah
yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang
telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu
wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN
lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi
wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang
baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang
satu kepada yang lain.26
Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang
mengemukakan atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh
pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang
sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.
Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan
kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis: pengertian wewenang
adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum. 27
Atribusi (attributie), delegasi (delegatie), dan mandat (mandaat), oleh
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dirumuskan sebagai berikut:
25 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal.29 26 Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90. 27 Ibid, hal. 68.
24
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever
aan een bestuursorgaan;
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan
aan een ander;
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem
uitoefenen door een ander.28
Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan
pandangan yang berbeda, sebagai berikut :
“Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi
dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru,
sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada
(oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada
organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi).
Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau
pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan
wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah
hubungan internal”.29
Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa:
“Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas
kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber,
yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya
digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang
dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan
yang berasal dari “pelimpahan”.30
Kewenangan pemerintah yang dilakukan dalam hal menetapkan
penguasaan dan pemlikan luas tanah pertanian merupakan kewenangan yang
diperoleh secara atribusi yang secara normatif diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
28 H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht,
Uitgeverij LEMMA BV, Culemborg, hal. 5 29 Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta, hal. 74-75 30 Philipus M. Hadjon, 1994, “Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih,” Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum, pada
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 7
25
Dalam hukum adat Bali dikenal system pemerintahan yang dilaksanakan
oleh Prajuru. Prajuru adalah pelaksana dari penyelenggaraan pemerintahan di
desa pakraman. Dengan demikian, tugas dan wewenang prajuru secara umum
mengikuti tugas dan wewenangan desa pakraman itu sendiri. Berdasarkan Pasal 5
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, desa pakraman
mempunyai tugas sebagai berikut:
1. Membuat awig-awig;
2. Mengatur karma desa;
3. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa;
4. Bersama-sama pemerintahan melaksanakan pembangunan di segala bidang
terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan;
5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional
pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan
paras-poros, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka;
6. Mengayomi karma desa.31
Kemudian dalam Pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman disebutkan wewenang-wewenang desa pakraman. Dalam Pasal 6
wewenang-wewenang desa pakraman diuraikan sebagai berikut:
1. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya
dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antarkrama desa sesuai
dengan awig-awig dan adat istiadat setempat.
31 Wayan P. Windia dan I Ketut Sudantra, Sesana Prajuru Desa: Tatalaksana Pimpinan
Desa Adat di Bali, Swasta Nulus, Denpasar, hal.67-68 (selanjutnya disebut Wayan P. Windia dan I
Ketut Sudantra II).
26
2. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan
yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana.
3. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakrama.32
Sebagai pelaksana penyelenggaraan pemerintahan desa pakraman, maka
Prajuru desa pakraman mempunyai tugas untuk mengimplementasikan tugas dan
wewenang desa pakraman tersebut di atas. Rincian tugas-tugas Prajuru juga
diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
menyatakan sebagai berikut:
1. Melaksanakan awig-awig desa pakraman.
2. Mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan di desa pakraman sesuai
dengan sastra agama dan tradisi masing-masing.
3. Mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat.
4. Mewakili desa pakraman dalam bertindak untuk melakukan perbuatan
hukum baik di dalam maupun di luar peradilan atas persetujuan paruman
desa.
5. Mengurus dan mengatur pengelolaan harta kekayaan desa pakraman.
6. Membina kerukunan umat beragama dalam wilayah desa pakraman.33
Istilah desa pakraman digunakan untuk menggantikan istilah adat, sejak
dikeluarkannya Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman,
sebutan desa adat diganti menjadi desa pakraman. Desa pakraman adalah
“kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan
32 Ibid, hal.68. 33 Ibid, hal.68-69.
27
tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun
temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri” (Pasal 1 nomor urut 4 Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman). Selain desa pakraman dalam Perda itu juga
dijelaskan mengenai banjar pakraman. Banjar pakraman adalah kelompok
masyarakat yang merupakan bagian desa pakraman (Pasal 1 nomor urut 4).34
Untuk melaksanakan kewenangannya Prajuru menggunakan awig-awig
sebagai perturan adat. Sesuai dengan rumusan Pasal 1 angka (11) Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, awig-awig adalah aturan
yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang
dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana, sesuai dengan desa
mawacara dan dharma agama desa pakraman/banjar pakraman masing-masing.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sesungguhnya awig-awig desa
pakraman tidak lain dari patokan-patokan tingkah laku. Baik tertulis maupun tidak
tertulis yang dibuat oleh warga desa pakraman yang bersangkutan. Berdasarkan
rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat dalam hubungan antara
krama (anggota desa pakraman) dengan Tuhan, antar sesame krama maupun
krama dengan lingkungannya. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada satupun
desa pakraman yang tidak mempunyai awig-awig, walaupun mungkin masih
tertulis dalam bentuknya yang paling sederhana atau sama sekali belum tertulis.35
34 I Ketut Sudiana, Wayan P. Windia dan I Ketut Sudantra, 2011, Peta Desa: Panduan
Mengelola Konflik Batas Wilayah, Udayana University Press, Denpasar, hal.8. 35 Wayan P. Windia, I Ketut Sudantra dan Putu Dyatmikawati, 2011, Penuntun
Penyuratan Awig-Awig, Udayana University Press, Denpasar, hal.18-19.
28
Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu
pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum.36
Komponen pengaruh ialah
bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek
hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar
hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard
wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus
(untuk jenis wewenang tertentu).
Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini,
standard wewenang yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah di bidang
pertanahan, khususnya dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah
pertanian.
1.6.1.2. Teori Keadilan
Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna
melengkapi kebutuhan pembahasan mengenai dasar kewenangan pemerintah
dalam menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan
pemilikan luas tanah pertanian. Secara lebih luas, apakah telah memberikan
manfaat bagi masyarakat maupun memberikan kesejahteraan yang berkeadilan
seperti yang dikehendaki oleh UUD NRI 1945.
Keadilan adalah merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna
memperoleh kesebandingan didalam masyarakat, disamping itu juga untuk
kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang
36 Philipus M. Hadjon, 1999, Penataan Hukum Administrasi, Tahun 1997/1998 tentang
Wewenang, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, hal. 2
29
rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk
Indonesia.37
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum
adalah membicarakan hubungan antarmanusia. Membicarakan hubungan
antarmanusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat
tercapainya tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur,
adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,38
yang berarti dapat
dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering
menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan
bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how
it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga
menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.39
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi
rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam
berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen
oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.40
37Soerjono Soekanto, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Cv Rajawali, Jakarta, hal.
169. 38Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask,
Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67. 39Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic Legal
Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28. 40Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, hal.23. (selanjutnya disebut Soedikno Mertokusumo I).
30
Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian
menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah
melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan
Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa
Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek
kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya
tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang
lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama
dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri.
Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil,
yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan
seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi
bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu
memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.41
Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim
menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik
Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan
secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum
sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal
itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu
dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila
hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya
sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.42
41Gustav Radbruch, op.cit, hal.107. 42Achmad Ali, op.cit, hal. 95-96.
31
Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan :43
“Bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama
selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian
hukum.”
Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch
tersebut, sebagaimana dikatakannya :44
“Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak
dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan
Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah
terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih
realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis
maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita
hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan,
sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang
kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian
hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap
kasus.
Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran
yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam
hukum semenjak masa Yunani Kuno.45
Memang secara hakiki, dalam diskursus
hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam
arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti
materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita
keadilan masyarakat.46
Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas,
pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-
43Achmad Ali, Op.Cit, hal. 96. 44Achmad Ali, Op.Cit, hal. 96. 45E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 96. 46Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81.
32
beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku
atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori
hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal
hampir-hampir sulit untuk dilakukan.
Namun pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2
(dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik,
sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau
ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh
pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh
Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi.
Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsip-
prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.47
Lebih lanjut, Aristoteles dalam perspektif filsafat hukum membedakan
keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan korektif, yang
merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan
keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada
setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang
sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the law).48
Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan prinsip-
prinsip yang mengatur penerapan hukum.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian
keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan
secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak
47W. Friedman, 1967, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 346. 48Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54.
33
siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang
turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya
John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan.49
According to Rawls, justice was not only includes the moral concept of the
individual, but also questioned the mechanism of achieving justice itself, including
how the law participated and supported the efforts. (Terjemahan bebas: Menurut
Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi
juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk
juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut).50
Sedangkan keadilan menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan
merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan
atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri
pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur
manfaat).51
1.6.1.3. Konsep Hukum Tanah Nasional
Penetapan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian di Indonesia
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian, diselenggarakan berdasarkan konsepsi revolusi
Indonesia yang bertujuan untuk mencapai masyarakat sosialis Pancasila agar
dapat merubah nasib warga negara Indonesia sehubungan dengan penguasaan dan
49 John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard University Press,
Massachusetts, hal. 11. 50 Ibid. 51Hans Kelsen, 2000, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung, hal. 48-
51.
34
pemilikan hak atas tanah yaitu pembagian yang merata atas sumber penghidupan.
Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun
dalam suatu sistem berdasarkan alam pikiran hukum adat, sehingga sumber utama
dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah hukum adat.
Sebagaimana dinyatakan oleh Boedi Harsono, yang antara lain
merumuskan bahwa falsafah/konsepsi hukum tanah nasional adalah komunalistik-
religius, yang memungkinkan penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak
atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.52
Yang dimaksudkan dengan sifat “komunalistik” sebagaimana yang dinyatakan
dalam Pasal 1 Butir 1 UUPA merumuskan bahwa semua tanah dalam Wilayah
Negara Indonesia adalah tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia, yang
penguasaannya ditugaskan kepada Negara untuk digunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Selanjutnya mengenai watak “religius” tampak pada Pasal 1
Butir 2 UUPA, yang menyatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam Wilayah Negara
Republik Indonesia adalah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Dibandingkan dengan Konsepsi Hukum Tanah Barat (dengan dasar
individualisme dan liberalisme) dan Konsepsi Tanah Feodal, maka konsepsi
Hukum Tanah Nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan
budaya bangsa Indonesia, karna berdasarkan alam pikiran masyarakat adat bangsa
Indonesia.
Dari rumusan falsafah/konsepsi Hukum Tanah Nasional tersebut diatas,
maka dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut:53
52Boedi Harsono, op.cit, hal. 229 53 Oloan Sitorus & H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar
dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, hal. 65.
35
1. Falsafah/konsepsi hukum tanah nasional merupakan suatu pikiran yang
mendasar dan terdalam yang mengkristal sebagai nilai-nilai hukum yang
akan melandasi pembentukan asas, lembaga, dan sistem pengaturan
hukum tanah nasional;
2. Tanah yang menjadi wilayah negara Republik Indonesia merupakan tanah
bersama dan menjadi kekayaan bersama Bangsa Indonesia, sehingga
kewenangan terhadap wilayah bangsa itu disebut sebagai Hak Bangsa
Indonesia;
3. Tanah bersama itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa
kepada Bangsa Indonesia, sehingga hubungan Bangsa Indonesia dengan
Wilayah Indonesia bersifat abadi;
4. Hubungan Bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai
wilayah Indonesia semacam hubungan hak ulayat, sehingga di dalamnya
dikenal adanya hak penguasaan individual dalam bentuk hak-hak atas
tanah yang bersifat pribadi;
5. Oleh karena hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi itu berasal dari hak
bangsa sebagai hak bersama, maka di dalam setiap hak-hak atas tanah
yang bersifat pribadi terkandung unsur-unsur kebersamaan, sehingga
setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
1.6.1.4. Asas Hukum Tanah Nasional
Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki (kewerdaan
atau urutan), yakni ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih
rendah, Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak
36
menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan dan
konflik di dalamnya. Oleh karena itu, sangat diperlukan asas-asas yang mengatur
mengenai kedudukan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, merumuskan bahwa dalam
membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas
pembentukan perundang-undangan yang baik yang meliputi : kejelasan tujuan,
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi
muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan
rumusan, dan keterbukaan.
Dalam UUPA dimuat 8 asas bidang hukum pertanahan di Indonesia (asas-
asas Hukum Tanah Nasional). Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan
sendirinya harus menjiwai pelaksaanaan dari UUPA dan segenap peraturan
pelaksanaannya, yaitu sebagai berikut :
1. Asas nasionalitas subyek hak atas tanah; asas yang berasal dari asas
hukum adat mengenai tanah yang selalu mendahulukan kebutuhan dan
kepentingan anggota masyarakat hukum adat. Hanya anggota masyarakat
hukum adat yang dapat mengambil manfaat secara penuh atas wilayahnya,
sedangkan “orang asing” hanya dapat mempunyai hak yang bersifat
sementara. Tanah Bangsa Indonesia sebagai keseluruhan adalah kekayaan
nasional dan menjadi hak Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata
menjadi hak dari para pemiliknya.
2. Asas fungsi sosial hak atas tanah; asas ini ditemukan pada Pasal 6 UUPA
yang menyatakan “semua hak atas tanah berfungsi sosial”, sehingga
37
menurut pandangan secara rasionalitas adalah semua hak-hak atas tanah
baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa
sebagai kepunyaan bersama dari Bangsa Indonesia.
3. Asas pemerataan dan keadilan; asas ini ditemukan dalam pasal-pasal
tentang Landreform, seperti Pasal 7, 10, 11, dan 17 UUPA. Sama dengan
orientasi hidup masyarakat adat yang mengedepankan “kesejahteraan
dalam kebersamaan, dan demikian sebaliknya mengedepankan
kebersamaan dalam kesejahteraan.”
4. Asas penggunaan tanah dan pemeliharaan lingkungan hidup; asas ini
terdapat dalam Pasal 14 dan 15 UUPA, yang pada intinya menginginkan
agar tercipta penggunaan tanah yang bijaksana dan berkesinambungan.
5. Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam penggunaan tanah; asas
ini di konkritkan pada Pasal 12 dan 13 UUPA, yang pada intinya
mencegah usaha-usaha penggunaan dan pemanfaatan tanah secara
monopoli.
6. Asas pemisahan horisontal dalam hubungannya dengan bangunan dan
tanah di atasnya; asas ini diadopsi dari hukum adat, yaitu bahwa
penguasaan dan pemilikan tanah tidak meliputi penguasaan dan pemilikan
benda-benda yang terdaapat di atasnya.
7. Asas hubungan yang berkarakter publik antara negara dengan tanah, pada
intinya jika pemerintah ingin secara langsung menggunakan tanah itu
maka dapat diberikan hak pakai atau hak pengelolaan
38
1.6.2. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis,
maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris atau
sosiologis, karena ada perbedaan atau gap atau kesenjangan antara das sollen dan
das sein. Penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian sudah diatur
dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 dan Pasal 3
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian (das
Latar Belakang Masalah: Penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 (Prp)
Tahun 1960 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian (das sollen), namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang memiliki tanah yang
melebihi batas maksimum tersebut dengan cara kepemilikan
KTP Ganda (das sein).
Rumusan Masalah: 1. Bagaimanakah pelaksanaan
pembagian waris berdasarkan penetapan batas maksimum pemilikan tanah
pertanian sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian?
2. Apa akibat hukum yang muncul dengan adanya penetapan batas maksimum dan batas minimum
penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian dalam
pembagian waris?
Teori: Teori Kewenangan
Teori
Keadilan
Metode Penelitian:
Metode penelitian yuridis
empiris dengan pendekatan
konsep, pendekatan fakta
dan pendekatan kasus
Pembahasan, Simpulan dan Saran
39
sollen),54
namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang memiliki tanah
yang melebihi batas maksimum tersebut dengan cara kepemilikan KTP Ganda
(das sein). Penelitian hukum empiris menggunakan data yang berupa data primer
dan data sekunder serta dianalisis dengan menggunakan bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
1.7.2. Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya yaitu pelaksanaan
pembagian waris berdasarkan penetapan batas maksimum pemilikan tanah
pertanian sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Pendekatan-pendekatan yang digunakan
di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan
historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),
dan pendekatan konseptual (conceptual approach).55
Dalam penelitian ini
digunakan pendekatan konsep, pendekatan fakta dan pendekatan kasus sekaligus.
Kasus yang akan dianalisis dalam penelitian ini meliputi kasus-kasus pembagian
waris berdasarkan penetapan batas maksimal baik yang terjadi di Tangerang dan
di Bali.
54Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, cetakan IV,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 97. 55Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum Empiris, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 93.
40
1.7.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kantor Pertanahan Kota Denpasar.
Alasan memilih lokasi ini, mengingat kasus-kasus pembagian waris berdasarkan
penetapan batas maksimal banyak terjadi di Kota Denpasar, sehingga kasus yang
akan dibahas dalam penelitian ini merupakan kasus pembagian waris berdasarkan
penetapan batas maksimal di Kota Denpasar.
1.7.4. Jenis dan Sumber Data
1.7.4.1. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian hukum empiris berupa data primer dan data
sekunder yang diuraikan sebagai berikut:
1. Data Primer/Data Lapangan
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber
utama yakni para pihak yang menjadi obyek dari penelitian ini. Data
primer yang dimaksud adalah data hasil wawancara secara langsung
dengan informan penelitian,56
yang terdiri dari Kepala Kantor Pertanahan
Kota Denpasar dan Staf Pendaftaran Tanah.
2. Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan peneliti dengan cara melakukan
penelitian kepustakaan. Data sekunder yang diteliti meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Data primer terdiri atas berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan fokus penelitian. Adapun bahan
hukum primer yang digunakan yaitu:
56 Ibid.
41
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
3) Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian.
4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
5) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian
Penguasaan Tanah Pertanian.
6) Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan
hukum primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar
atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo
Soemitro, dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum
termasuk dalam bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan
objek kajian penelitian hukum ini.57
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang
memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum,58
ensiklopedia, surat
kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi
bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi yang relevan
dengan objek kajian penelitian hukum ini.59
57Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit, hal. 24. 58Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15. 59Jay A. Sieglar & Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public Policy,
Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
42
1.7.4.2. Sumber Data
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil
wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam pembagian waris
berdasarkan batas maksimal pemilikan tanah khususnya dari Kantor
Pertanahan Kota Denpasar.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
kepustakaan yang meliputi bahan-bahan hukum primer, sekunder dan
tersier.
1.7.5. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini bersifat kualitatif, karena pendalaman secara rinci dari
permasalahan yang ada sangat diperlukan agar hasil penelitian ini dapat
menggambarkan situasi yang ada secara lebih jelas. Penelitian bertolak dari
berbagai peraturan dan dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh
informasi mengenai keadaan yang nyata. Teknik pengumpulan bahan hukum/data
dilakukan melalui wawancara/interview.
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dengan
informan terkait. Jenis wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara
bebas terpimpin atau bebas terstruktur dengan menggunakan panduan pertanyaan
yang berfungsi sebagai pengendali agar proses wawancara tidak kehilangan arah.
43
Metode wawancara ini dilakukan untuk memperoleh informasi dengan
bertanya langsung pada yang diwawancarai dan untuk mendapat informasi yang
lebih jelas mengenai pelaksanaan pembagian waris berdasarkan penetapan batas
maksimum pemilikan tanah pertanian sesudah berlakunya Undang-Undang
Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.60
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah indepth
interview (wawancara mendalam). Dalam hal ini mula-mula interview
menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah tersrtuktur, kemudian satu persatu
diperdalam dalam mengorek keterangan lebih jauh. Jenis wawancara mendalam
ini digunakan oleh peneliti agar dalam proses wawancara nantinya peneliti tidak
kebingungan dengan apa yang akan dibahasnya, selain itu juga berfungsi untuk
memperoleh jawaban yang lebih luas dari informasi yang diberikan oleh
responden. Wawancara mendalam ini digunakan jika dalam proses wawancara
ditemukan pertanyaan baru dari adanya statement responden atau ada pertanyaan
yang tidak terdapat dalam pedoman wawancara.61
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan, yang dilakukan
atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data
kepustakaan sebagai data sekunder diperoleh melalui pengkajian serta penguraian
bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku, literatur, makalah, hasil
penelitian, artikel, ataupun karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini.
60Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit, hal. 98. 61Lexy J. Moleong, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya.
Bandung, hal. 186.
44
1.7.6. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka langkah penting selanjutnya adalah analisis
data.62
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis, yakni data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun
kepustakaan di analisis dengan pendekatan kualitatif dan disajikan secara
deskriptif sesuai dengan hasil penelitian kepustakaan dan analisis lapangan untuk
dapat memperoleh kesimpulan yang tepat dan logis sesuai dengan permasalahan
yang dikaji.63
62Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
19. 63Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107.