PBL Rudy Abses Peritonsil Blok 23
-
Upload
rudy-hermawan -
Category
Documents
-
view
86 -
download
3
Transcript of PBL Rudy Abses Peritonsil Blok 23
Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Peritonsil
Rudy Hermawan Cokro Handoyo
102010097-C5
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna Utara no. 6, Jakarta 11510
Email: [email protected]
Pendahuluan
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian
kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat
yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior,
fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil terbentuk oleh karena
penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang
longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus
kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk
sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan
terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh
abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher
dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok,
sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah
golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.1
Skenario
Seorang laki-laki berusia 38 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sulit menelan,
demam, banyak air liur, leher kiri membengkak. Pada pemeriksaan suhu 37,5 oC, N
85x/menit, RR 100x/menit. Pemeriksaan uvula terdorong ke sisi sehat, tonsil edema,
bengkak.
1
Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler
yang bentuknya seperti corong yang besar di bagian
atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai
dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus
setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,
ke depan berhubungan dengan rongga mulut ismus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah
berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring
dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring). Unsur-unsur faring mliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.2
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena
fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis
yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena
fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di sepanjang
faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan
ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga
daerah pertahanan tubuh terdepan.
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di
bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan bergerak
sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palur lendir ini berfungsi untuk menangkap
partikel kotoran yan terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim
Lyzozyme yang penting untuk proteksi.
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari M. Konstriktor faring superior, media, dan
inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap
bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan,
otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut
2
Gambar 1. Anatomi Faring-laring.2
“Rafe Faring” (Raphe Pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring.
Otot-otot ini dipersarafi oleh n vagus (n. X).
Otot-otot longitudinal adalah M. Stilofaring dan M palato faring. Letak otot-otot ini di
sebelah dalam. Musculus Stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan M. Palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah
faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting
pada waktu menelan. M. Stilofaring dipersarafi oleh n. IX sedangkan M. Palatofaring
dipersarafi oleh n. X.2
Pada palatum mole terdapar lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung
fasia dari mukosa yaitu m. Levator veli palatini, m. Tensor veli palatini, m. Palatoglosus, m.
Palatofaring dan m. azigos uvula. Musculus levator veli palatini membentuk sebagian besar
palatum mole dan kerjanya untuk menyempitkan ismus faring an memperbesar ostium tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n. X. Musculus tensor veli palatini membentuk tenda
palatum mole dan kerjanya mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n. X. Musculus palatoglosus membentuk arkus anterior
faring dan kerjanya menyempitkan imus faring. Otot ini dipersarafi oleh n. X. Musculus
palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n. X. Musculus
azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan uvula ke
belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n. X.
Faring dapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang
utama berasal dari cabang A. Carotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial)
serta dari cabang A. Maksila interna yakni cabang palatina superior.
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dan n. Vagus, cabang dari n. Glosofaring
dan serabut simpatis. Cabang faring dari n. Vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring
yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m. Stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang n. Glosofaring (n. IX).
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media, dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar
getah benting servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening
3
jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas. Sedangkan saluran limfa inferior mengalir
ke kelenjar getah bening servikal dalam
bawah.2
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas:
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah
dasar tengkorak, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depam adalah rongga
hidung sedangkan ke belekanag adalah
vertebra servikal. Nasofaring yang relatif
kecil, mengandung serta menghubungkan
erat dengan beberapa struktur penitng,
seperti adenoid, jaringan limfoid pada
dinding lateral faring dengan resesus
faring yang disebut fosa Rosenmuller,
kantong Rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri, torus tubarius, suatu refleksi
mukosa faring di atas penonjolan kartilago
tuba Eustachius, koana, foramen jugulare,
yang dilalui oleh n. Glosofaring, n. Vagus, dan n. Asesorius spinal saraf kranial dan v.
Jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba
Eustachius.
2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah
tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.
Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.
4
Gambar 2. Anatomi faring.
Gambar 3. Anatomi faring.
Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan
dengan gangguan n. Vagus.2
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah M.
Konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat
suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang
dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil
diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang
sebenarnya bukan merupakan kapsul
yang sebenarnya.
Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari
jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di
dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil
yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsil lingual yang ketiga-
tiganya membentuk lingkaran yang
disebut cincin Waldeyer. Tonsil
palatina yang biasanya disebut tonsil
saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa
yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel
yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
faring yang disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga
mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari A. Palatina
minor, A. Palatina asendens, cabang tonsil A. Maksila eksterna, A. Faring asendens, dan
A. Lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat
ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik
5
Gambar 4. Anatomi tonsil
merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual Thyroid) atau kista
duktus tiroglosus.
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah
laring, batas inferior adalah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra servikal. Bila
laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung
atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang
tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets), sebab pada
beberapa orang, kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentyk omega dan pada
perkembangannya akan lebih melebar meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk
omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung
tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketikan
menelan makanan atau minuman pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan
ke esofagus. Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriforimis pada tiap
sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di
faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.2
Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti penting,
yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring,
fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia
prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling
bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada
vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila. Abses
retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. kejadiannya ialah karena di ruang
retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat
terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang
6
retrofaring. Kelenjar limfa di ruang retrofaring ini akan banyak menghilang pada
pertumbuhan anak.
2. Ruang Parafaring (Fosa Faringomaksila/Phyarungo-Maxillary Fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut denganndasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat
foramen jugularis dan puncaknya pada korny mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian
dalam oleh M. Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden
mandibula yang melekat dengan M. Pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar
parotis. Fosa ini dibagi menjadi 2 bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan
otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan
dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk
mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian
posterior (post steloid) berisi A. Karotis interna, V. Jugularis interna, n. Vagus, yang
dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath) bagian ini
dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.2
Anamnesis
Keluhan kelainan di daerah faring umumnya adalah Nyeri tenggorok, nyeri
menelan/Odinofagia, rasa banyak dahak di tenggorok, sulit menelan/disfagia, rasa ada yang
menyumbat atau mengganjal.3
Nyeri tenggorok: keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri tenggorok
ini disertai demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering. Apakah pasien merokok
dan berapa jumlahnya perhari.
Nyeri menelan/Odinofagia: merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu gerakan menelan.
Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai ke telinga.
Dahak di tenggorok: merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya inflamasi di
hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, pus atau bercampur darah. Dahak
ini dapat turun, keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok.
Sulit menelan/disfagia: sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair atau padat.
Apakah juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat.
Rasa sumbatan di leher: sudah berapa lama, tempatnya dimana?
Pemeriksaan Fisik
Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan bibir, mukosa
rongga mulut, lidah, dan gerakan lidah. Dengan menekan bagian tengah lidah memakai
7
spatula lidah maka bagian-bagian rongga mulut lebih
jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan melihat
keadaan dinding belakang faring serta kelenjar
limfanya, uvula, arkus faring serta gerakannya, tonsil,
mukosa pipi, gusi, dan gigi geligi. Palpasi rongga mulut
diperlukan bila ada massa tumor, kista, dan lain-lain.
Apakah ada rasa nyeri di sendi temporo mandibula
ketika membuka mulut.
Pada kasus Abses Peritonsil, kadang-kadang sukar
memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole
tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat
teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral. Tonsil bengkk, hiperemis, mungkin
banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan
bawah.3
Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita PTA (peritonsil abses) perlu dilakukan pemeriksaan:
1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte
level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu
dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan
bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya
positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian
hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu
dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”:
diperlukan untuk identifikasi organisme yang
infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk
pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis
abses retropharyngeal.
8
Gambar 5. Pemeriksaan faring
Gambar 6. CT scan peritonsil abses.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di
apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral rim enhancement”.
6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.
Working Diagnosis
Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan
anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi
dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis
yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Untuk mengetahui jenis kuman pada
abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang
akan sangat membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan penatalaksanaan.
Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus. Palatum mole
tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke arah kontra
lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya. Pemeriksaan laboratorium
darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis.
Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer.
Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan
mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa
menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic. Gambaran
tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses adalah kurang
dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan lokasi abses yang akurat,
membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran penyebaran
sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus
untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan
tomografi komputer. pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos dalam
mengevaluasi abses peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan
ultrasonografi dapat membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis
tonsil.4
9
Diferensial Diagnosis
Abses Retrofaring
Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing
2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun
kelenjar limfa akan mengalami atrofi.
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah:
1. Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring
2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti
tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi,
intubasi endotrakea dan endoskopi.
3. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin)
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar
menelan. Pada anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak
menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga
terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas
karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses
peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul
stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat menganggu resonansi
suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang
faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat
bengkak dan hiperemis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat Infeksi
saluran napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik
serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan
tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran
retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu
juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal. Diagnosis banding: adenoiditis,
tumor, aneurisma aorta.
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob,
diberikan parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi
10
Gambar 7. Radiologi retrofaring abses.
langsung dalam posisi berbaring Trendelnburg. Pus yang keluar segera dihisap, agar tidak
terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau analgesia umum. Pasien
dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.4 Komplikasinya:
1. Penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera
2. Mediastinitis
3. Obstruksi jalan napas sampai asfiksia
4. Bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru
Abses Parafaring
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarung pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarung suntik yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (M. Konstriktor faring superior) yang memisahkan
ruang parafaring dari fosa tonsilaris
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, submandibula
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan
tanda klinik. Bila meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen
jaringan lunak AP atau CT scan.
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami
nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau
endiflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.
Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadpa kuman aerob
dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi
dari luar dan intraoral. Insisi dari luar dilakukan 2 ½ jari di bawah dan sejajar mandibula.
Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior M. Sternokleidomastoideus ke arah
11
atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depam M.
Sternokleidomastoideus (cara Mosher). Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring.
Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus M. Konstriktor faring
superior ke dalam ruang parafaring anterior insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai
terapi tambahan terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi
reda.
Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot miohiloid. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior. Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke
dalam ruang submandibula dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan
ruang submaksila saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu
komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa
submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Kuman
penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob. Gejala
dan tandanya, terdapat demam dan nyeri leher disertai
pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah,
mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.
Terapinya menggunakan antibiotika dosis tinggi terhadap
kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral.
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses
yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila
letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling
berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas
abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda
infeksi reda.4
Etiologi Abses Peritonsil
12
Gambar 8. Radiologi submandibula abses.
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya
sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak
yang lebih tua dan dewasa muda.
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang
bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp.
Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme
aerobik dan anaerobik.5
Epidemiologi
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun
sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada
anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti
menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral
untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses
peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang
per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai
akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda
klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah
satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring,
abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).5
Patofisiologi
Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. Abses
peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang umumnya
merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber
pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada
kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding
posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
13
parafaring. Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus
kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah
otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat. Pada fosa
tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber.
Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil,
membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di
dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan
pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang
mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan
terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem
saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.5
Patologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat
terbentuk di bagian inferior. Pada stadium permulaan (Stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak permukaannya
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi
supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil dan uvula ke arah
kontralateral. Bila proses berlangsung terus,
peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada M. Pterigoid
interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi
ke paru.4
Manifestasi Klinis
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi),
mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan
kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher
(limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot
tengkuk (cervical muscle inflammation).
14
Gambar 9. Uvula terdorong ke sisi kontralateral.4
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat
aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine
dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 16–18)
yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc.
Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan
tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.
Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan anibiotika
golongan penisilin atau klindamisisn, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan
hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah
terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat
insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak,
atau pada pertengahan garis yang menghubungk an
dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang
sakit. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi
tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-sama tindakan
drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah
drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ tiede” dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah
drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ froid”. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan
sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.4
Prognosis
Abses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.,
maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat peradangan telah mereda, biasanya
terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.
Pencegahan
Karena abses peritonsil cenderung untuk berulang – ulang, maka setelah serangan pertama
kali sesudah dua atau tiga minggu dilakukan tonsilektomi. Jika operasi ditunda, maka
kemungkinan perlengketan jaringan tonsil itu sendiri dengan jaringan sekitarnya akan
semakin ketat sehingga tonsilektomi akan semakin sukar dilakukan.
Jika abses berada di belakang tonsil plika anterior sehingga drainage secara yang biasa
15
Gambar 10. Insisi abses.4
Gambar 11. Aspirasi abses.4
(melalui fossa supratonsilais) tidak berhasil, dapat dilakukan dengan melakukan tonsil
(Tonsilektomi) segera dengan diikuti oleh pemberian antibiotika yang tinggi (mencegah
septikemia). Tindakan ini juga dilakukan bilamana keadaan abses pecah kedalam ruang
parafaring sudah mengancam. Kalau terjadi abses pada ruang parafaring akan terjadi
komplikasi yang serius.
Komplikasi
1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.4
Kesimpulan
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian
kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler.
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Abses peritonsiler terbentuk dia area antara
tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarnya
meliputi musculus masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi
penetrasi melalui pembuluh darah karotis.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Penelitian yang dilakukan
merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua specimen harus diperiksa
untuk kultur sensitifitas terhadap antibiotika. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika
dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres
dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera diantaranya
adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian
dalam, riwayat abses peritonsilaris sebelumnya, riwayat faringitis eksudatifa yang berulang.
Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk mencegah
kekambuhan. Pada individu dengan abses peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan,
16
tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka enam minggu kemudian dilakukan
tonsilektomi.
Daftar Pustaka
1. Adrianto, Petrus. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Dalam: Adrianto, Petrus.
Buku ajar penyakit telinga, hidung, dan tenggorok. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2003.h.296-302.
2. Rusmajono, Hermani B. Odinofagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J,
Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.
Edisi ke06. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011.h.212-5.
3. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke06. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011.h.4-5.
4. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti
RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke-
6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011.h.226-30.
5. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL, Boeis LR,
Hilger PA, ed. Buku ajar penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2003.h.333-40.
17