pBL kasus 4 [e][t][s].docx

54
1 SKENARIO KASUS 4 Kulit kuning Seorang bayi baru lahir 10 jam yang lalu, lahir spontan cukup bulan berat badah lahir 2800 gram dibawa ibunya ke RS dengan keluhan kulit bayi tampak kuning selain itu bayi tidak mau menyusu pada pemeriksaan fisik bayi tampak latergi, sclera ikterik, ikterik kepala dan leher sampai umbilicus pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan bilirubin total 14 mg/dl bayi tersebut diberikan terapi dan dirawat di RS selama 4 hari perawatan di RS didapatkan urin pasien berwarna gelap dan feses dempul pasien kemudian dirujuk untuk ditangani dokter bedah. Step 1 : Clarify Unfamiliar Terms 1. Latergi : somnolen ( penurunan tingkat kesadaran yang paling ringan dimana seseorang tampak mengantuk dan dapat dibangunkan dengan rangsangan ringan, seperti cubitan. 2. Ikterik : Perubahan warna kulit dan sclera akibat penumpukan kadar bilirubin dalam darah. 3. Bilirubin total: Konsentrasi bilirubin total dalam plasma darah (N=0,3 – 1 mg/dl) 4. Feses dempul : Memucatnya warna feses akibat kekurangan sterkobilin dalam feses.

Transcript of pBL kasus 4 [e][t][s].docx

Page 1: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

1

SKENARIO KASUS 4

Kulit kuning

Seorang bayi baru lahir 10 jam yang lalu, lahir spontan cukup bulan berat badah

lahir 2800 gram dibawa ibunya ke RS dengan keluhan kulit bayi tampak kuning

selain itu bayi tidak mau menyusu pada pemeriksaan fisik bayi tampak latergi, sclera

ikterik, ikterik kepala dan leher sampai umbilicus pada pemeriksaan laboratorium

darah didapatkan bilirubin total 14 mg/dl bayi tersebut diberikan terapi dan dirawat

di RS selama 4 hari perawatan di RS didapatkan urin pasien berwarna gelap dan feses

dempul pasien kemudian dirujuk untuk ditangani dokter bedah.

Step 1 : Clarify Unfamiliar Terms

1. Latergi : somnolen ( penurunan tingkat kesadaran yang paling ringan dimana

seseorang tampak mengantuk dan dapat dibangunkan dengan rangsangan

ringan, seperti cubitan.

2. Ikterik : Perubahan warna kulit dan sclera akibat penumpukan kadar bilirubin

dalam darah.

3. Bilirubin total: Konsentrasi bilirubin total dalam plasma darah (N=0,3 – 1

mg/dl)

4. Feses dempul : Memucatnya warna feses akibat kekurangan sterkobilin dalam

feses.

Step II : Define The Problem(S)

1. Penyebab terjadinya kulit kuning?

2. Macam-macam ikterus (jenis)?

3. Metabolism bilirubin?

4. Mengapa urin pasien berwarna gelap dan feses dempul?

5. Sebutkan kadar bilirubin normal?

6. Pendekatan klinis pada kasus ini?

7. Derajat ikterik pada bayi?

8. Mengapa bayi tidak mau menyusui?

Page 2: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

2

Step III : Brainstorm Possible Hypothesis Or Explanation

1) Penyebab ikterus

a. Gangguan pembentukan bilirubin (produksi berlebihan).

b. Gangguan transport : tidak cukupnya albumin sebagai pengangkut dan obat

salisilat, salfaforazol.

c. Liver uptake : Imaturasi hepar, gangguan atau defesiensi ligandin.

d. Konjugasi tidak ada enzim glukoronil transferase : syndrome criegler

najjer.

e. Gangguan pada ekskresi : sumbatan di saluran luar atau dalam hepar, tidak

terbentuknya saluran empedu.

Penyebab kuning pada bayi kurang dari 24 jam

1. Penyebab hemolitik : inkompatibilitas Rh ABO

2. Infeksi, TORCH, bakteri, malaria

3. Defisiensi enzim G6PD

2) macam-macam ikterus

a. ikterus hepatic (hemolitik) : ikterus yang terjadi karena menningkatnya

pemecahan eritrosi dan pelepasan bilirubin bebas dalam plasma kecepatan

pembentukan bilirubin tidak dapat diimbangi oleh kemampuan konjugasi

dan penngeluaran bilirubin (yang meningkat bilirubin indirek).

b. ikterus obstruktif: ikterus yang terjadi akibat adanya sumbatan pada ductus

biliaris sehingga bilirubin tidak dapat disalurkan (batu empedu)

c. ikterus hepatic : Ikterus yang terjadi akibat kerusakan sel-sel hepar sehingga

baik proses uptake atau konjugasi terganggu.

Page 3: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

3

Ikterus fisiologis Ikterus patologisTimbul setelah 24 jam Timbul dalam < 24 jamKadar tinggi pada hari ke 5 Kenaikan kadar bilirubin > 75mg/dl/hariTinggi pada hari ke 5-7 Hilang dalam >14 hariKadar bilirubin <5 mg/dl/hari Kadar bilirubin > 12 mg/dl (jumlah)Hilang dalam < 14 hariKadar bilirubin < 12 mg/dl (jumlah)

3) metabolisme bilirubin

Pembentukan bilirubin,

sel darah merah yang bertahan dalam sistem sirkualsi membran selnya

pecah dan hemoglobin globin dan heme cincin heme dibuka

substrat pigmen empedu biliverdin bilirubin bebas.

Bilirubin bebas keluar berikatan dengan albumin plasma (bilirubin

unkonjugated).

Liver up take

Bilirubin unkonjugated diikat oleh ligandin masuk ke sel hepar.

Konjugasi

Bilirubin unkonjugated di konjugasi dengan asam glukoronik oleh enzim

glukoronil transferase bilirubin direk.

Ekskresi bilirubin direk urobilinogen

ginjal

urobilinogen sterkobilinogen

urobilin sterkobilin

urin feses

Page 4: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

4

4) Urine gelap

Obstruksi saluran empedu penumpukan kadar bilirubin bilirubin kembali

lagi ke hepar aliran darah di cuci di ginja urin berwarna gelap.

5) SB

6) Derajat dehidrasi skala Kramer

Derajat I : Kepala leher

Derajat II : Kepala leher , badan atas ( diatas umbilicus)

Derajat III : Dibawah umbilicus ( hingga tangan atas lutut)

Derajat IV : Lengan, tungkai bawah lutut

Derajat V : tampak tangan dan kaki

Step IV : Arrange Explanation Into A Tentative Solution

IKTERUS

Metabolisme bilirubin

Macam-macam ikterus

Penyebab ikterus

Urin gelap

Feses dempul

Pendekatan klinis

Derajat ikterus

Page 5: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

5

Step V : Define Learning Objective

1. Ikterus dan mekanisme metabolisme bilirubin

2. Patofiologi ikterus

3. Defisiensi enzim G6PD

4. Pendekatan klinis pada pasien dengan peningkatan bilirubin

Step VI : Information Gathering (Private Study)

Page 6: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

6

BAB II

PEMBAHASAN

Step VII : Synthesize And Test Acquired Information

1. IKTERUS DAN MEKANISME METABOLISME BILIRUBIN

A. Definisi

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti

kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya

(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang

meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Jaringan permukaan yang kaya elastin

seperti sklera dan permukaan bawah lidah biasanya pertama kali menjadi kuning.

Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi

kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Kadar bilirubin

serum normal adalah bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.9

mg/dL.

Gambar 1. Sklera ikterik (Irwana, 2009).

B. Etiologi

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan:

A. Penyebab yang sering:

1. Hiperbilirubinemia fisiologis

2. Inkompatibilitas golongan darah ABO

Page 7: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

7

3. ‘Breast Milk Jaundice’

4. Inkompatibilitas golongan darah rhesus

5. Infeksi

6. Hematoma sefal, hematoma subdural, ‘excessive bruising’

7. IDM (‘Infant of Diabetic Mother’)

8. Polisitemia / hiperviskositas

9. Prematuritas / BBLR

10. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi – asidosis, hipoglikemia

11. Lain-lain

B. Penyebab yang jarang:

1. Defisiensi G6PD (Glucose 6 – Phosphat Dehydrogenase)

2. Defisiensi piruvat kinase

3. Sferositosis kongenital

4. Lucey – Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial)

5. Hipotiroidism

6. Hemoglobinopathy

C. Metabolisme Bilirubin

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang

berlangsung dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik masih

relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan

metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor

plasma, liver uptake, konjugasi dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh

gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

2

Page 8: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

8

Gambar 2. Metabolisme bilirubin (Irwana, 2009).

Fase Prahepatik

Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan

oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).

a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar

4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari

pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30%

berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum

tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan

penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.

b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak

terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan

tidak dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam

air seni

Page 9: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

9

Fase Intrahepatik

Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati

yang mengganggu proses pembuangan bilirubin

a. Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan

berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.

b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami

konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida /

bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan

bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai

kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak

terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang

larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama

dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk

bilirubin glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk.

Fase Pascahepatik

Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati

oleh batu empedu atau tumor

a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus

bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin

menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam

tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan

kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air

seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi

tetapi tidak bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan mengapa

warna air seni yang gelap khas pada gangguan hepatoseluler atau

kolestasis intrahepatik.

Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari

keempat mekanisme ini: produksi berlebihan, penurunan ambilan hepatik,

penurunan konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam

Page 10: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

10

empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik

ekstrahepatik).

D. Gangguan Metabolisme Bilirubin

1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi / indirek.

Over produksi

Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah

yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan

produksi bilirubin. Penghancuran eritrosit yang menimbulkan

hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan

autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi

hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik.

Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai

bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati.

Akibatnya bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin

indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine

dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen

meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine (warna

gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin abnormal

(anemia sel sickle), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibodi serum

(Rhesus Inkompatibilitas transfusi) dan malaria tropika berat.

Penurunan Ambilan Hepatik

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan

memisahkannya dari albumin dan berikatan dengan protein penerima.

Im,Beberapa obat-obatan seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat

mempengaruhi uptake ini.

Penurunan konjugasi hepatik

Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan

bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim

Page 11: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

11

glukoronil transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler

Najjar I, Sindroma Crigler Najjar II.

2. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk

Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan

eksresi bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat

disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi

bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali

bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia.

Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis hepatis,

alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat yang.meracuni hati fosfor,

klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus pada trimester terakhir

kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca

bedah. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan

hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran

bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial (Lindset, 2006).

Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi

bilier ekstrahepatik adalah :

Obstruksi saluran empedu didalam hepar. Contohnya pada kasus

Sirosis hepatis, abses hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan

sekunder.

Obstruksi di dalam lumen saluran empedu : batu empedu, askaris

Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik,

tumor saluran empedu.

Tekanan dari luar saluran empedu : tumor caput pancreas, tumor

Ampula Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di ligamentum

hepatoduodenale.

Page 12: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

12

Gambar 3. Batu pada kandung empedu (Irwana, 2009).

2. PATOFISIOLOGI IKTERUS

1. Unconjugated prehepatic hyperbilirubinemia :

Etiologi : anemia hemoltik dan malaria

Patofisiologi :

Pemusnahan ertirosit yang berlebihan akan menyebabkan terbentuknya

bilirubin indirek banyak, yang kadang-kadang melebihi kemampuan hepar

untuk mengkonjugasinya sehingga bilirubin direk serum meninggi. Hepar

akan berusaha untuk mengkonjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk

sehingga bilirubin direk yang masuk ke intestin bertambah, urobilinogen yang

terbentuk bertambah sehingga urobilinogen urine dan feses bertambah pula.

Pemeriksaan laboratorium :

a.       Bilirubin indirek serum meninggi

b.      Urobilinogen urine dan feses positif kuat

c.       Bilirubin terkonjugasi urine positif

Page 13: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

13

2. Unconjugated hepatic hyperbilirubinemia :

Etiologi : kelainan kogenital (Gilbert syndrome, Crigler-Najar syndrome)

Patofisiologi :

Hal ini terjadi karena pemindahan bilirubin indirek dari darah ke sel-sel hepar

atau konjugasi bilirubin indirek di dalam hepar terganggu.

Pemriksaan laboratorium :

a.       Bilirubin indirek serum meninggi

b.      Urobilinogen urine dan feses masih positif

c.       Bilirubin urine negatif

3. Conjugated hepatic hyperbilirubinemia (Ikterus parenkhimatosa) :

Etiologi : virus hepatitis dan sirosis hepatis

Patofisiologi :

Peradangan dari sel-sel hepar menyebabkan hepar membengkak, menekan

kholangiole sehingga permiabilitas dari saluran empedu meningkat. Keutuhan

saluran empedu terganggu karena nekrosis dari sel-sel hepar. Hal ini

menyebabkan bocornya bilirubin ke dalam darah. Kemampuan hepar untuk

mengkonjugasi berkurang karena functio laesa dari sel-sel hepar.

Pemeriksaan laboratorium :

a.       Bilirubin indirek dan direk dalam serum meninggi

b.      Urobilinogen urine dan feses masih positif

c.       Bilirubin urine positif

4. Conjugated posthepatic hyperbilirubinemia (Icterus obstructiva

extrahepatal):

Etiologi : sumbatan pada duktus hepatikus, duktus choledokus, ampula Vateri

oleh karsinoma, batu atau pankreatitis akut, karsinoa pancreas..

Patofisiologi :

Page 14: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

14

Bilirubin tidak dapat masuk ke intestinum karena sumbatan tersebut sehingga

urobilinogen tidak terbentuk (urobilinogen urine dan feses negatif), bila

sumbatannya total. Bilirubin masih dapat masuk ke dalam intestin bila

sumbatannya tidak total sehingga urobilinogen masih terbentuk (urobilinogen

urine dan feses positif).

Sumbatan akan menyebabkan cairan empedu tertahan sehingga tekanan dalam

saluran empdeu ekstra dan intrahepatal bertambah, permeabilitas bertambah,

bilirubin bocor ke dalam darah. Selain itu tekanan dalam saluran empedu

intrahepatal yang bertambah akan menekan sel-sel parenkhim hepar sehingga

terjadi nekrosis dari sel-sel tersebut dan menyebabkan bocornya bilirubin ke

dalam darah.

Pemeriksaan laboratorium :

a.       Bilirubin direk serum sangat meninggi

b.      Urobilinogen urine dan feses negatif pada yang total dan positif

pada yang partial

c.       Bilirubin urine positif

3. DEFISIENSI ENZIM G6PD

Definisi

Defisiensi G6PD adalah suatu kelainan enzim yang terkait kromosom sex

(x-linked), yang diwariskan, dimana aktifitas atau stabilitas enzim G6PD

menurun, sehingga menyebabkan pemecahan sel darah merah pada saat seorang

individu terpapar oleh bahan eksogen yang potensial menyebabkan kerusakan

oksidatif.

Epidemiologi

Defisiensi G6PD merupakan penyakit defisiensi enzim tersering pada

manusia, sekitar 2-3% dari seluruh populasi di dunia diperkirakan sekitar ± 400

juta manusia di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi didapatkan daerah tropis,

Page 15: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

15

ditemukan dengan frekuensi yang bervariasi pada berbagai ras Timur tengah,

India, Cina, Melayu, Thailand, Filipina dan Melanesia. Defisiensi G6PD menjadi

penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia hemolitik akut di kawasan Asia

Tenggara 14. Di Indonesia insidennya diperkirakan 1-14% 17,18, prevalensi

defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15% 19, di pulau-pulau kecil yang

terisolir di Indonesia bagian Timur (pulau Babar, Tanimbar, Kur dan Romang di

Propinsi Maluku), disebutkan bahwa insiden defisiensi G6PD adalah 1,6 - 6,7%.

Biokimia Molekuler dan Metabolisme Fisiologis Enzim G6PD

Enzim G6PD merupakan polipeptida yang terdiri atas 515 asam amino

dengan berat molekul 59,265 kilodalton 15. Enzim G6PD merupakan enzim

pertama jalur pentosa phoshat, yang mengubah glukosa-6-phosphat menjadi 6-

fosfogluconat pada proses glikosis. Perubahan ini menghasilkan

NicotinamideAdenine Dinucleotide Phosphate (NADPH), yang akan mereduksi

glutationteroksidasi (GSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH). GSH berfungsi

sebagai pemecah peroksida dan oksidan radikal H2O2 (Gambar 1) 10- 16.Dalam

keadaan normal peroksida dan radikal bebas dibuang olehkatalase dan

gluthatione peroxidase, selanjutnya meningkatkan produksi GSSG. GSH

dibentuk dari GSSG dengan bantuan enzim gluthatione reductase yang

keberadaannya tergantung pada NADPH. Pada defisiensi G6PD, pembentukkan

NADPH berkurang sehingga berpengaruh pada regenerasi GSH dari GSSG,

akibatnya mempengaruhi kemampuan untuk menghilangkan peroksida dan

radikal bebas.

Gen G6PD terdiri 13 ekson dan 12 intron yang tersebar pada daerah

seluas lebih 100 kb pada ujung terminal lengan panjang kromosom X. Defisiensi

G6PD terjadi akibat mutasi gen G6PD, suatu penyakit sex-linked. Laki-laki

hanya mempunyai 1 kromosom X, sehingga jika terjadi mutasi maka defisiensi

G6PD akan muncul atau bermanifes. Wanita mempunyai 2 kromosom X,

sehingga jika terdapat 1 gen yang abnormal karena mutasi, pasangan atau

Page 16: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

16

allele-nya dapat “menutupi” kekurangannya tersebut, sehingga defisiensi G6PD

bisa bermanifes namun dapat pula tidak.

Defisiensi G6PD meliputi berbagai mutasi gen G6PD yang berbeda-beda

dan tidak bereaksi sama, hal ini menjelaskan mengapa individu defisiensi G6PD

menunjukkan reaksi berbeda dengan faktor pencetus yang sama. Gen G6PD yang

berlokasi pada kromosom Xq28 dengan panjang 18 Kb, terdiri atas 13 exon

merupakan DNA dan 12 intron merupakan sekuen pengganggu, merupakan

sampah DNA yang tidak berperan dalam fungsi enzim. Fungsi enzim ditentukan

oleh sekuens dan ukuran gen G6PD dan mRNA yang menjadi ciri gen.

Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat membantu mengidentifikasi

adanya mutasi. Saat ini telah diketahui lebih 40 mutasi yang tersebar sepanjang

pada seluruh pengkode gen, masing-masing berbeda-beda dan mempunyai ciri

khas tersendiri. Telah dilaporkan lebih 400 varian G6PD, dengan disertai

penampilan klinis dan atau fenotif yang beragam. Varian tersebut dibedakan

berdasar aktifitas enzim residual, mobilisasi elektroforetik, afinitas dan analog

subtrat, stabilisasi terhadap panas dan pH optimum.

WHO membuat klasifikasi berdasarkan varian yang ditemukan di setiap

negara, subtitusi nukleotid dan subtitusi asam amino yaitu

Kelas I: Anemia hemolitik non sferositosis (aktifitas residual G6PD, <20).

Merupakan jenis defisiensi enzim G6PD yang jarang ditemukan.

Kelompok ini mempunyai kelainan fungsional yang berat (varian

Harilaou). Sel darah merah tidak mampu mempertahankan diri dari

oksidan endogen, sehingga terjadi hemolisis kronik. Adanya

pemaparan dengan faktor pencetus akan menyebabkan terjadinya

eksaserbasi anemia hemolitik akut.

Kelas II: defisiensi berat (aktifitas residual G6PD, <10). Kelompok defisiensi

enzim G6PD berat (varian G6PD Mediteranian). Pemaparan dengan

faktor pencetus (eksogen) akan menimbulkan hemolisis akut dan

proses tersebut akan terus berlanjut selama masih terdapat pemaparan

Page 17: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

17

dengan faktor pencetus. Hal ini disebabkan rendahnya aktivitas enzim

G6PD baik pada sel darah merah yang tua maupun muda.

Kelas III: defisiensi sedang (aktifitas residual G6PD, 10-60). Kelompok defisensi

enzim G6PD ringan (varian G6PD A). Pada kelompok ini, hemolisis

yang timbul akibat pemaparan dengan faktor pencetus akan berhenti

dengan sendirinya walaupun pemaparan masih terus berlanjut. Hal ini

disebabkan aktivitas enzim G6PD pada sel darah merah yang muda

masih cukup tinggi untuk menahan oksidan, dan hanya sel darah

merah yang tua saja yang mengalami hemolisis.

Kelas IV: non defisiensi (aktifitas residual G6PD, 100). Kelompok yang tidak

mengalami gejala-gejala defisiensi G6PD.

Kelas V : non defisiensi (aktifitas residual G6PD, >100)

Peranan Enzim G6PD Pada Sel Darah Merah

Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk

mempertahankan bentuk, volume, kelenturan (fleksibilitas), dan regulasi

pompanatrium-kaliumnya. Energi ini diperoleh dari glukosa melalui dua jalur

metabolisme yaitu, 80% dari proses glikolisis anaerobik (jalur Emden-Meyerhof)

dan 20% proses glikolisis aerobik (jalur Pentosa Fosfat).

Peran enzim G6PD dalam mempertahankan keutuhan sel darah merah serta

menghindarkan kejadian hemolitik, terletak pada fungsinya dalam jalur pentosa

fosfat. Di dalam sel darah merah terdapat suatu senyawa glutation tereduksi

(GSH) yang mampu menjaga keutuhan gugus sulfidril (SH) pada hemoglobin

dan sel darah merah. Fungsi GSH adalah mempertahankan residu sistein pada

hemoglobin dan protein-protein lain pada membran eritrosit agar tetap dalam

bentuk tereduksi dan aktif, mempertahankan hemoglobin dalam bentuk fero,

mempertahankan struktur normal sel darah merah, serta berperan dalam proses

detoksifikasi, dimana GSH merupakan substrat kedua bagi enzim gluthation

peroksidase dalam menetralkan hidrogen peroksida yang merupakan suatu

Page 18: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

18

oksidan yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah

merah.

Senyawa GSH pada awalnya dalah suatu glutation bentuk disulfida

(glutation teroksidasi, GSSG) yang direduksi menjadi glutation bentuk sulfhidril

(glutation tereduksi, GSH). Reduksi GSSG menjadi GSH dilakukan oleh

NADPH, pada jalur pentosa fosfat, dimana pada jalur metabolisme ini NADPH

dibentuk bila glucose-6-phosphate dioksidasi menjadi 6-fosfogluconat dengan

bantuan enzim G6PD (Gambar 2) 10-16,25. .Dari uraian di atas dapat diketahui

bahwa fungsi enzim G6PD adalah menyediakan NADPH yang diperlukan untuk

membentuk kembali GSH.

Pada defisiensi G6PD kadar NADPH berkurang, sehingga adanya paparan

terhadap stress oksidan akan mempengaruhi pembentukan ikatan disulfide,

mengakibatkan hemoglobin mengalami denaturasi dan membentuk partikel

kental (Heinz bodies). Heinz bodies akan berikatan dengan membran sel,

menyebabkan perubahan isi, elastisitas, dan permeabilitas sel. Sel darah merah

Page 19: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

19

pada kondisi tersebut dikenali sebagai sel darah merah yang rusak dan akan

dihancurkan oleh sistem retikulo-endotelial (lien, hepar dan sumsum tulang)

proses hemolitik. Meskipun gen G6PD terdapat pada semua jaringan tubuh,

tetapi efek defisiensi dalam eritrosit pengaruhnya sangat besar karena enzim

G6PD diperlukan dalam menghasilkan energi untuk mempertahan umur eritrosit,

membawa oksigen, regulasi transport ion dan air kedalam dan keluar sel,

membantu pembuangan karbondioksida dan proton yang terbentuk pada

metabolisme jaringan. Karena tidak ada mitokondria di dalam eritrosit maka

oksidasi G6PD hanya bersumber dari NADPH, bila kadar enzim G6PD menurun,

eritrosit mengalami kekurangan energi dan perubahan bentuk yang memudahkan

mengalami lisis bila ada stres oksidan.

Manifestasi Klinis dan Laboratoris

1. Manifestasi Klinis

Pada umumnya, individu dengan defisiensi enzim G6PD yang diturunkan,

tidak mengalami hemolisis dan sering tanpa anemia (serta tanpa gejala), namun

hal tersebut dapat timbul bila penderita terpapar bahan eksogen yang potensial

menimbulkan kerusakan oksidatif. Beberapa penyakit yang diketahui

berhubungan dengan defisiensi G6PD adalah : hiperbilirubinemia (Kern

Ikterik), hemolisis intravaskuler, favism, sindroma hepatitis hemolisis, anemia

hemolisis kronik.

Gejala klinik timbul 1-3 hari setelah terpapar faktor pencetus, berupa

anemia hemolitik akut dengan gambaran khas berupa rewel, iritabel/tampak

rewel, letargi, suhu meningkat > 380 C, mual, nyeri abdominal, diare, anemia,

ikterik dan kelainan pada urine (hemoglobinuria). Pada pemeriksaan fisik

didapat kepucatan yang bervariasi dan takikardi, lien dan hepar biasanya

membesar. Pada kasus berat terjadi syok hipovolemik dan gagal jantung.

2. Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratorium didapatkan anemia normositik normokromik

bervariasi dari ringan sampai berat, gambaran menyolok anisositosis,

Page 20: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

20

poikilositosis dan jumlah retikulosit meningkat > 30%. Dengan pewarnaan

metil violet tampak Heinz bodies. Jumlah lekosit biasanya meningkat dengan

dominan granulosit, bilirubin indirek meningkat tetapi enzim hepar dalam batas

normal.

Anemia hemolitik umumnya dicetuskan oleh paparan berupa obat-obatan

(seperti sulfonamide, primakuin, kloramfenikol, kloroquin, asam nalidiksat,

quinakrin, nitrofurantorin, salisilat, dapson, fenasetin, asitanisid, dan antipirin),

diet kacang coklat (victa fava), bahan kimia (Naphthalene), infeksi

pneumokokus, hepatitis dan penyakit ketoasidosis, yang pada prinsipnya

menyebabkan penurunan kadar glutation, dimana kadar tersebut sudah rendah

akibat defisiensi G6PD itu sendiri. Di daerah endemis malaria di Afrika dan

Asia Tenggara hemolisis sering diinduksi pemberian primakuin.

Saat ini penunjang diagnostik yang banyak digunakan dalam membantu

menegakkan diagnosis defisiensi G6PD adalah tes Heinz Body dan tesstabilitas

GSH. Uji tapis dapat dilakukan dengan test methylene-blue dengan perubahan

warna saat reduksi methemoglobin atau dengan flouresensi NADPH. Tes

diagnostik defisiensi G6PD berdasarkan aktifitas enzim dapat dideteksi dengan

pemeriksaan laboratorium sederhana. melakukan skrining dengan metode the

formazan-ring/Hirono’s methode.

4. PENDEKATAN KLINIS PADA PASIEN DENGAN PENINGKATAN

BILIRUBIN

Anamnesis

Anamnesis harus meliputi riwayat kelahiran dan perinatal, riwayat penyakit

dahulu, riwayat keluarga, obat-obatan, diet, dan aktivitas sosial. Usia

penderita dan perjalanan penyakit memberikan arahan penting mengenai

penyebab ikterus. Beberapa keadaan kholestasis muncul pada awal kehidupan,

misalnya atresia bilier dan penyakit metabolik bawaan.

Page 21: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

21

Umumnya penderita mengeluh mata dan badan menjadi kuning, kencing

berwarna pekat seperti air teh, badan terasa gatal (pruritus), disertai atau tanpa

kenaikan suhu badan, disertai atau tanpa kolik di perut kanan atas. Kadang-

kadang feses berwarna keputih-putihan seperti dempul.

Pada hepatitis gejala awal muncul secara mendadak seperti demam, mual,

muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut. Ikterus dapat tidak kentara pada

anak kecil muda sehingga hanya dapat terdeteksi dengan uji laboratorium.

Bila terjadi, ikterus dan urin berwarna gelap biasanya terjadi setelah gejala-

gejala sistemik. Selain itu juga bisa didapatkan ada riwayat ikterus pada

keluarga, teman sekolah, teman bermain, atau jika anak atau keluarga telah

berwisata ke daerah endemik.

Bila ikterus disebabkan obstruksi seperti kista koleidokus atau kolelitiasis,

penderita mengalami kolik hebat secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas.

Keluhan nyeri perut di kanan atas dan menusuk ke belakang. Penderita

tampak gelisah dan kemudian ada ikterus disertai pruritus. Riwayat ikterus

biasanya berulang. Riwayat mual ada, perut kembung, gangguan nafsu makan

disertai diare. Warna feses seperti dempul dan urine pekat seperti air teh.

Perbedaan Ikterik Berdasarkan Hasil Pemeriksaan

Page 22: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

22

Pemeriksaan fisik

Umum : keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)

Khusus : Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan

dilakukan pada pencahayaan yang memadai.

Berdasarkan kriteria Kramer dibagi :

Derajat

Ikterus

Daerah Ikterus Perkiraan Kadar Bilirubin

I Kepala dan leher 5,0 mg%

II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg%

III Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai atas (di atas lutut)

11,4 mg/dl

IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dl

V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dl

Page 23: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

23

Klasifikasi Ikterus

Tanya dan Lihat Tanda/ Gejala Klasifikasi

Mulai kapan?

Daerah mana?Bayi krg bln?Warna tinja?

Ikterus segera setelah lahirIkterus pada 2 hr pertamaIkterus pada usia >14 hrIkterus lutut/siku/lebihBayi kurang bulanTinja Pucat

Ikterus Patologis

Ikterus usia 3-13 hariTanda Patologis (-)

Ikterus Fisiologis

(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI, 2001)

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau

beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar

yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa

tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang

kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita

sedang mendapatkan terapi sinar.

Tekan kulit yang ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna

kulit dan jaringan subkutan:

Pada hari pertama, tekan pada ujung hidung atau dahi

Pada hari ke 2, tekan pada lengan atau tungkai

Pada hari ke 3 dst., tekan pada tangan dan kaki

Pemeriksaan Penunjang

a. Tes fungsi hati

1. Ekskresi empedu

Bilirubin serum direk (terkonjugasi), meningkat bila terjadi gangguan

ekskresi bilirubin terkonjugasi. Nilai normalnya 0,1-0,3 mg/dl

Page 24: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

24

Bilirubin serum indirek (tidak terkonjugasi), meningkat pada keadaan

hemolitik. Nilai normalnya 0,2-0,7 mg/dl.

Bilirubin serum total, meningkat pada penyakit hepatoseluler. Nilai

normalnya 0,3-1,0 mg/dl.

2. Protein

Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di

retikulum endoplasma hepatosit. Fungsi utamanya adalah untuk

mempertahankan tekanan koloid osmotik intravaskuler dan sebagai

pembawa berbagai komponen dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion

inorganik (contohnya kalsium), serta obat-obatan. Penurunan kadar

albumin serum dapat disebabkan karena penurunan produksi akibat

penyakit parenkim hati. Nilai normalnya 3,2-5,5 g/dl.

3. Enzim serum

Aspartate aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic Oxaloasetic

Transaminase (SGOT), Alanine aminotransferase (ALT) atau Serum

Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), dan Lactic Dehydrogenase

(LDH) adalah enzim intrasel yang terutama berada di jantung, hati,

dan jaringan skelet yang dilepaskan dari jaringan yang rusak. Apabila

ada kerusakan pada jaringan-jaringan tersebut maka akan terjadi

kenaikan kadar enzim ini dalam serum. Nilai normal SGOT 5-35

unit/ml dan SGPT 5-35 unit/ml.

Alkaline Phosphatase

Alkaline phosphatase dibentuk dalam tulang, hati, ginjal, usus halus,

dan disekresikan ke dalam empedu. Kadarnya meningkat pada

obstruksi biliaris, penyakit tulang, dan metastasis hati. Nilai

normalnya 30-120 IU/L atau 2-4 unit/dl.

Gamma-glutamyltransferase (GGT)

GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada saluran empedu

dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien,

otak, mammae, dan usus dengan kadar tertinggi pada tubulus renal.

Page 25: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

25

GGT merupakan indikator yang paling sensitif untuk mendeteksi

adanya penyakit hepatobilier. Kadar GGT tertinggi ditemukan pada

obstruksi hepatobilier. Peningkatan kadar GGT pada kolestasis

intrahepatik dan ekstrahepatik bervariasi dan tidak dapat digunakan

untuk membedakan di antara keduanya.

b. Pencitraan

Ultrasonografi (USG)

USG perlu dilakukan untuk menentukan penyebab obstruksi. Yang perlu

diperhatikan adalah :

- Besar, bentuk dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk

kandung empedu yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2 – 3 x

6 cm, dengan ketebalan sekitar 3 mm. Bila ditemukan dilatasi duktus

koledokus dan saluran empedu intrahepatal disertai pembesaran

kandung empedu menunjukan ikterus obstrusi ekstrahepatal bagian

distal. Sedangkan bila hanya ditemukan pelebaran saluran empedu

intrahepatal saja tanpa disertai pembesaran kandung empedu

menunjukkan ikterus obstruksi ekstrahepatal bagian proksimal

artinya kelainan tersebut di bagian proksimal duktus sistikus.

- Ada tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas

tinggi disertai bayangan akustik (acustic shadow), dan ikut bergerak

pada perubahan posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu.

- Bila tidak ditemukan tanda-tanda dilatasi saluran empedu berarti

menunjukan adanya ikterus obstruksi intra hepatal.

Computed Tomography (CT) Scan

CT Scan dilakukan untuk melihat adanya dilatasi duktus intrahepatik

yang disebabkan oleh oklusi ekstrahepatik dan duktus koledokus akibat

kolelitiasis. CT scan menyediakan evaluasi yang baik dari seluruh

saluran empedu karena dapat menentukan anatomi lebih baik daripada

ultrasonografi. CT scan mungkin modalitas pencitraan awal dalam

beberapa kasus.

Page 26: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

26

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI menghasilkan gambar yang sebanding dengan kualitas CT scan

tanpa paparan pasien terhadap radiasi pengion. Setelah pemberian agen

kontras yang cocok, pencitraan dari saluran empedu bisa lebih

terperinci.

Endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP berguna dalam kasus dimana obstruksi bilier diduga kuat. Ini

adalah investigasi pilihan untuk mendeteksi dan mengobati batu saluran

empedu umum dan juga berguna untuk membuat diagnosis kanker

pankreas. Kondisi lain yang mungkin berguna ERCP termasuk primary

sclerosing cholangitis dan adanya kista koledukus.

c. Biopsy hati

Banyak penderia membutuhkan biopsy hati untuk menegakkan diagnosis

pasti. Biopsy dapat dilakukan perkutan, dengan atau tanpa arahan

ultrasonografi atau melalui pembedahan. Selain untuk pemeriksaan

histopatologi untuk melihat gambaran spesifik, specimen biopsy hati dapat

digunakan untuk pemeriksaan secara kuantitatif kandungan besi dan

tembaga.

Namun demikian, menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah

dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan

suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya.

Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu yaitu menggunakan saat

timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon pada

tahun 1974, yaitu :

A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama

Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut

besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :

Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.

Page 27: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

27

Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-

kadang bakteri).

Defisiensi G-6-PD.

Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :

Kadar bilirubin serum berkala

Darah tepi lengkap

Golongan darah ibu dan bayi

Uji coombs

Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah

atau biopsi hepar bila perlu.

B. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir

Biasanya ikterus yang timbul pada rentang waktu inimtergolong

ikterus fisiologis. Namun demikian masih ada kemungkinan

inkompatibilitas darah ABO atau Rh ataupun golongan lain. Hal ini

dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat (melebihi 5 mg

%/24 jam), misalnya :

Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin

Polisitemia

Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis,

perdarahan hepar

subkapsuler dan lain-lain).

Hipoksia.

Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.

Dehidrasi asidosis.

Defisiensi enzim eritrosit lainnya.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan :

Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat,

dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar

bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan

pemeriksaan lainnya bila perlu.

Page 28: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

28

C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu

pertama

Biasanya karena infeksi (sepsis).

Dehidrasi asidosis.

Difisiensi enzim G-6-PD.

Pengaruh obat.

Sindrom Criggler-Najjar.

Sindrom Gilbert.

D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya

Biasanya karena obstruksi.

Hipotiroidisme.

“breast milk jaundice”

Infeksi.

Neonatal hepatitis.

Galaktosemia.

Lain-lain.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan :

Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.

Pemeriksaan darah tepi.

Pemeriksaan penyaring G-6-PD.

Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.

Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan

penyebab.

Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis

sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar

patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi ‘kernicterus’.

Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu :

Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.

Page 29: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

29

Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus

cukup bulan

dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.

Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari.

Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.

Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi

atau

keadaan patologis lain yang telah diketahui.

Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

H. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk

mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat

menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab

langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan

mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini

dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan

pemberian obat-obatan (luminal).

Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau

albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi

sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan

kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra

Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud

menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.

Page 30: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

30

a. Terapi Sinar

Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak

1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut.

Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya

isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z,

15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan

bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih

mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin

isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan

empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan

lebih cepat meninggalkan usus halus.

Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua

penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi

dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari

pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi

sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan Peralatan yang

digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon yang

diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berfentilasi. Agar

Page 31: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

31

bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu

diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang

pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak

bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah

penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks

bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut

berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.

Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat

seluas-luasnya, yaitu dengan membuka bagian tubuh yang terkena cahaya

dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi,

selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara

berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171

μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. pakaian bayi.

Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang

terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak

perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di

pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL

(<171 μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.

Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila

ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu

diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit,

gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat

sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan

yang menyertainya diperbaiki.

Page 32: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

32

Terapi sinar selama 72 jam diberikan pada:

Bayi cukup bulan : kadar bilirubin total 2-20 mg/dL; bilirubin bebas >0,7 g

%

Bayi kurang bulan :

Berat lahir 1500 – 2500 gram : kadar bilirubin total 15 mg/dL; bilirubin

bebas 0,5µg%

Berat lahir <1500 gram : kadar bilirubin total 10 mg/dL;bilirubin bebas 0,3

µg%

Perlu pengawasan ketat bayi dengan penyulit anoksia, asidosis, sepsis, bayi

kurang bulan dan bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yang mempunyai

resiko terjadinya kernikterus atau hiperbilirubinemia encepalopathy.

Jika tidak tersedia pemeriksaan untuk bilirubin bebas, dipakai tatalaksana

sbb:

Page 33: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

33

Prosedur :

1. Diusahakan permukaan tubuh seluas0luasya terpapar dengan sinar

2. Posisi tubuh diubah setiap 2-3 jam

Page 34: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

34

3. Monitor suhu bayi setiap 4 jam. Untuk bayi dalam inkubator, thermistor

probe harus dilindungi dari sinar.

4. Awasi masukan cairan : ASI tetap diteruskan, jika tidak ada atau tidak

cukup, ditambah susu formula. Pemberian dengan menetek, sendok/cangkir

dan kip sonde.

5. Kebutuhan cairan ditambah 10-15% dari kebutuhan, mungkin sampai 25%.

Jika masukan cairan tidak mencukupi, diberi cairan per infus.

6. Timbang bayi setiap hari dan awasi penurunan BB akibat kehilangan air

secara evaporasi atau diare, terutama bayi prematur.

7. Melindungi mata dan gonade dari sumber cahaya.

8. Memeriksa konsentrasi bilirubin serum secara teratur, jangan menggunakan

warna kulit bayi untuk menilai derajat ikterus.

9. Menghentikan fototerapi saat orang tua mengunjungi bayinya dan

membuka pelindung mata untuk memudahkan interaksi alami antara

orangtua dengan anak.

10. Memonitor konsentrasi bilirubin sehari sesudah fototerapi dihentikan untuk

mendeteksi adanya kenaikan bilirubin kembali.

Komplikasi Fototerapi

Kelainan Mekanisme

Tanning

(perub.wrn kulit)

Induksi sintesis melanin

Page 35: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

35

Sindrom bayi

bronze

↓ekskresi hepatik dr foto produk

bilirubin

Diare Bilirubin menginduksi sekresi

usus

Intoleransi laktosa Trauma mukosa epitel villi

Hemolisis Traua fotosensitif pada eritrosit

sirkulasi

Kulit terbakar Paparan berlebihan karena emisi

gelombang pendek lampu

fluoresesn

Dehidrasi ↑ kehilangan air yang tak

disadari krn energi foto yang

diabsorpsi

Ruam kulit Trauma fotosensitif pada sel

mast kulit dengan pelepasan

histamin

b. Transfusi Tukar

Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan

dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat

dalam mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula

antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat

bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul

perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada

indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat

kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin

Page 36: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

36

Yang dimaksud ada komplikasi apabila :

1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5

2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam

3. pH < 7,15 selama 1 jam

4. Suhu rektal ≤ 35 O C

5. Serum Albumin < 2,5 g/dL

6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti

7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis

8. Anemia hemolitik

9. Berat bayi ≤1000 g

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah

yang akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila

hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan

darah ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip.

Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi,

sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila

keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang

kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat

Page 37: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

37

dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah

darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.

Macam Transfusi Tukar:

1. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan

dapat mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %

mengganti Hb bayi.

2. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi,

dapat mengganti 65 % Hb bayi.

3. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid

pada kasus polisitemia atau darah pada anemia.

Volume Darah pada Transfusi Tukar

Kebutuhan Rumus

‘Double

Volume’

BB x volume darah x 2

‘Single

Volume’

BB x volume darah

Polisitemia BB x volume darah x (Hct sekarang-Hct yang

diinginkan)

(Hb donor- Hbsekarang)

Anemia BB x volume darah x (PCV sekarang-PCV

yang diinginkan)

(PCV donor)* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB

* Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB

(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia.

Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.

Pediatrics 2004; 114 : 294)

Page 38: pBL kasus 4 [e][t][s].docx

38

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusepno hasan, alatas Husein. Buku kuliah 2 ilmu kesehatan anak, edisi

11 bab infeksi. Bagian ilmu kesehatan anak, Fakultas kedokteran

universitas Indonesia, Jakarta, 2007

2. Hardiono D. pusponegoro, sri rezeki S.adinegoro, dkk. Buku standar

pelayanan medis kesehatan anak edisi 1, ikatan dokter Indonesia, Jakarta,

2003

3. Sumarno S.Poorwo soedarmo. Herry Garna. Sri rezeki S.Hadinegoro.

hindra Irawan Satari. Buku Ajar Infeksi & pediatric tropis, edisi kedua,

infeksi dengue (hal 155-181) bagian Ilmu kesehatan anak FKUI, Jakarta,

2010

4. Sutaryo, dr dkk. Buku Standar Pelayanan Media RS. Sardjito, Edisi III,

Cetakan I. 2005, Jilid 2. Medika Fakultas Kedokteran UGM, Sekip,

Yogyakarta, 2005

5. Sudoyo, AW. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, ED. 4. FKUI.

Jakarta. 2006

6. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisologi; Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit Vol.1. Edisi 6. Jakarta. EGC. 2005