Demam Rematik Dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan Indonesia
pbl blok 19 demam jantung rematik
-
Upload
marco-rahardja -
Category
Documents
-
view
104 -
download
5
description
Transcript of pbl blok 19 demam jantung rematik
Demam Jantung Rematik yang Merupakan Salah Satu Penyakit Penyakit
Kardiovaskular
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Jl.Arjuna Utara no.6, Jakarta 11510
Marco
10-2010-095
Kelompok F1
Semester 5,Blok 19
26 September 2012
PENDAHULUAN
Dalam tinjauan pustaka ini akan membahas seorang anak perempuan berusia 5 tahun
dibawa ibunya ke poliklinik karena nyeri pada kedua lutut dan sikunya sejak 2 hari yang
lalu.Dari kasus tersebut akan dibahas secara mendetail sehingga diharapkan dapat menambah
pengetahuan penulis maupun pembaca tentang demam rematik jantung yang menjadi salah
satu topik perkuliahan di blok 19.
Penyakit jantung reumatik adalah sebuah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen
dari katup-katup jantung yang disebabkan oleh demam reumatik. Penyakit jantung reumatik
(PJR) merupakan komplikasi yang membahayakan dari demam reumatik. Katup-katup
jantung tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi
tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus β hemoliticus tipe A (contoh:
Streptococcus pyogenes), yang bisa menyebabkan demam reumatik. Kurang lebih 39 %
pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi
katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang
kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda,
dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi
penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di Amerika
Serikat.
1
ANAMNESIS
Tanyakan kepada orangtua atau pengasuh yang membawanya datang kedokter atau
kepada si anak tersebut jika dia mengerti apa yang dimaksud
1) Tanyakan keluhan atau apa yang dirasakan pasien.
2) Tanya apakah ada demam, batuk, disfagia, dan diare.
3) Tanyakan apakah adan nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan
keterbatasan melakukan gerak aktif pada dua sendi atau lebih.
4) Tanyakan apakah adanya gerakan yang tidak disadari.
5) Tanyakan apa ada makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak
terasa gatal, berbentuk bulat di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian
proksimal.
6) Tanykan apakah ada riwayat penyakit seperti ini pada keluarga
Hasil anamnesis
- Anak Perempuan
- Umur 5 tahun
- Nyeri pada kedua lutu dan sikunya sejak 2 hari yang lalu.
- Riwayat penyakit keluarga tidak ada
PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi
1. Keadaan umum anak
2. Melihat ictus cordis pada dinding dada
3. Memperhatikan gerakan-gerakan lain pada dinding dada
4. Pada anak dengan penyakit DR ditemukan sesak napas, batuk-batuk, pembengkakan
pada ektremitas tersering bagian bawah.
Perkusi
1. Mengetahui batas-batas jantung
2
2. Bila ada kardiomegali maka batas jantung akan semakin luas
Auskultasi
1. Mendengarkan bunyi-bunyi jantung
2. Pada kasus ada gangguan pada katub mitral dan aorta sehingga bunyi jantung S1 dan
S2 terganggu
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Kultur tenggorok
Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur Streptococcus Grup A negatif
pada fase akut. Bila positif belum pasti membantu dalam menegakkan diagnosis sebab
kemungkinan akibat kekambuhan kuman Streptococcus Grup A atau infeksi Streptococcus
dengan strain yang lain.
2. Rapid antigen test
Pemeriksaan antigen dari Streptococcal Grup A. Pemeriksaan ini memiliki angka
spesifitas lebih besar dari 95%, tetapi sensitivitas hanya 60-90%, sehingga pemeriksaan
kultur tenggorok sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
3. Antistreptococcal antibodi
Antibodi Streptococcus lebih dapat menjelaskan adanya infeksi oleh kuman tersebut,
dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti-DNA se B. Terbentuknya antibodi ini sangat
dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada
orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak. Pemeriksaan titer ASTO memiliki sensitivitas
80-85%.
Titer pada DNA-se 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd pada anak-anak
dikatakan positif. Pemeriksaan anti DNAse B lebih sensitive (90%).
Antobodi ini dapat dideteksi pada minggu kedua sampai ketiga setelah fase akut demam
rematik atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman Streptococcus Grup A di tenggorokan.
4. Protein fase akut
Pada fase akut dapat ditemukan lekositosis, LED yang meningkat, C reactive protein
positif; yang selalu positif pada saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat antirematik.
5. Pemeriksaan Imaging
a. Pada foto rontgen thorax dapat ditemukan adanya cardiomegali dan edema
paru yang merupakan gejala gagal jantung.
b. Doppler-echocardiogram
3
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi kelainan katup dan ada tidaknya
disfungsi ventrikel. Pada keadaan carditis ringan, mitral regurgitasi dapat
ditemukan saat fase akut, yang kemudian akan mengalami resolusi dalam beberpa
minggu sampai bulan. Pasien dengan carditis sedang sampai berat mengalami
mitral dan atau aorta regurgitasi yang menetap.
Pada penyakit jantung rematik kronik, pemeriksaan ini digunakan untuk
melihat progresivitas dari stenosis katup, dan dapat juga untuk menentukan kapan
dilakukan intervensi pembedahan. Didapatkan gambaran katup yang menebal, fusi
dari commisurae dan chordae tendineae. Peningkatan echodensitas dari katup
mitral dapat menunjukkan adanya kalsifikasi.
6. Kateterisasi jantung
Pada penyakit jantung rematik akut, pemeriksaan ini tidak diindikasikan. Pada kasus
kronik, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi katup mitral dan aorta dan
untuk melakukan balloon pada mitral stenosis.
7. EKG
Pada panyakit jantung rematik akut :
- sinus takikardia dapat diperoleh.
- AV block derajat I dapat diperoleh pada beberapa pasien
- didapatkan gambaran PR interval memanjang. AV block derajat I
tidak spesifik sehingga tidak digunakan untuk mendiagnosis
penyakit jantung rematik. Jika didapatkan AV block tidak
berhubungan dengan adanya penyakit jantung rematik yang kronis.
- AV block derajat II dan III juga dapat didapatkan pada penyakit jantung
rematik, block ini biasanya mengalami resolusi saat proses rematik
berhenti.
- Pasien dengan penyakit jantung rematik juga dapat terjadi atrial flutter
atau atrial fibrilasi yang disebabkan kelainan katup mitral yang kronis dan
dilatasi atrium.1
WORKING DIAGNOSE
Demam reumatik
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic Heart
Disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa
4
berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai
akibat adanya gejala sisa dari Demam Rematik (DR).
Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut,
kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group
A pada saluran pernafasan bagian atas. Demam reumatik akut ditandai oleh demam
berkepanjangan, jantung berdebar keras, kadang cepat lelah. Puncak insiden demam rematik
terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia
4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun.
Seseorang yang mengalami demam rematik apabila tidak ditangani secara adekuat,
Maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit jantung rematik. Infeksi oleh
kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang menyebabkan seseorang mengalami
demam rematik dimana diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan,
dikarenakan penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurah terarah menyebabkan
racun/toxin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan
katup jantung. Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga menyempit,
atau menebal dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi dan terjadi
kebocoran.2
DIFFERENTIAL DIAGNOSE
Artritis Reumatoid
Rheumatoid arthritis (RA) ini merupakan penyakit autoimun, yaitu reaksi sistem imun
terhadap jaringan tubuh sendiri karena terjadi gangguan pada fungsi normal dari sistem imun.
Hal ini menyebabkan sistem imun menyerang jaringan sehat yang mengarah ke reaksi
jaringan dan kerusakan yang dapat menghasilkan, menyebarkan tanda-tanda dan gejala
sistemik.
Rheumatoid arthritis adalah penyakit peradangan kronis, terutama yang melibatkan
sendi perifer (sendi jari, pergelangan tangan, jari kaki dan lutut) dan sekitarnya otot, tendon,
ligamen dan pembuluh darah. Peradangan ini menyebabkan degenerasi jaringan
penyambung. Jaringan penyambung yang pertama kali mengalami kerusakan adalah
membran sinovial yang melapisi sendi. Pada artritis reumatoid ini, inflamasi tidak berkurang
dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya termasuk kartilago artikular dan kapsul sendi
fibrosa. Maka ligamen dan tendon mengalami inflamasi yang ditandai oleh akumulasi sel
darah putih, aktivasi komplemen, fagositosis ekstensif, dan pembentukan jaringan parut.
5
Peradangan sendi merupakan ciri khas RA yang bisa berakibat pada
hilangnya bentuk dan fungsi sendi yang mengarah pada kerusakan fungsi sendi
secara permanen. Penderita tidak dapat bebas bergerak karena menderita kaku
dan nyeri pada sendi. Pada kasus berat, RA dapat menyerang organ-organ penting, seperti
mata, paru-paru, dan pembuluh darah. Gejala penyakit ini biasanya bertahap, dimulai nyeri
dan kaku sendi pada jari tangan, dan kemudian sering disertai kemerahan pada sendi.
Selanjutnya terjadi pembengkakan sendi seperti pada tangan, leher, bahu, siku, pinggul, lutu,
dan jari kaki.3,4
Sistemik Lupus Erimatosus (SLE)
SLE juga merupakan gangguan autoimun sistemik. Penyakit ini ditandai oleh adanya
antibodi antinuklear. Manifestasinya bisa ditemukan pada berbagai organ sehingga gejala dan
tandanya sangat banyak. Presentasi kliniknya termasuk ruam malar, atralgia, alopesia,
perikarditis, gagal ginjal, defisit neurologis, atau bahkan gangguan psikiatrik, serta
fotosensitif lupus eritematosus sistemik (SLE) ruam biasanya terjadi pada wajah atau
ekstremitas, yang daerah terkena sinar matahari.
Pada SLE, terdapat gejala non spesifik termasuk nyeri sendi, penurunan berat badan
dan limfadenopati. Meskipun penyebab spesifik dari SLE tidak diketahui, beberapa faktor
yang berhubungan dengan perkembangan penyakit, termasuk, ras, hormonal, dan lingkungan
faktor genetik. gangguan kekebalan tubuh, baik bawaan dan diperoleh, terjadi pada SLE.
SLE biasanya dapat dibedakan jika ada lesi kulit terpajan pada area terang, rambut
rontok, lesi mukosa hidung dan mulut, adanya erosi sendi pada arthritis jangka panjang,
cairan sendi yang seringkali sampai < 2000 leukosit / μL terutama mononuklear sel, antibodi
terhadap DNA double-stranded, penyakit ginjal, dan serum komplemen yang rendah.
Deformitas dalam SLE biasanya direduksi karena kurangnya erosi dan kerusakan
pada tulang atau tulang rawan. Pada penderita SLE, pemeriksaan fisik dilakukan dengan
melihat ada tidaknya: ruam malar yang ditandai oleh ruam erimatosa dan jembatan hidung
(disebut ruam kupu-kupu), demam, anemia, limfadenopati, ulkus mulut, bengkak sendi (efusi
dan nyeri tekan), takipnea (pertimbangan adanya hipertensi pulmonal, emboli paru, gagal
ginjal disertai kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis paru), TD:periksa adanya hipertensi,
gesekan perikard/pleural, edema pergelangan kaki, neuropati. Selain itu ditemukan pula
defisit neurologis, termasuk defisit fokal dan gangguan kognitif; gangguan psikiatrik,
khususnya psikosis dan urin: proteinuria dipstik, hematuria, dan silinder3,4,5
EPIDEMIOLOGI
6
Demam rematik dan penyakit jantung reumatik masih merupakan masalah kesehatan
yang penting di negara sedang berkembang. Di negara yang sudah maju penyakit ini sudah
bukan merupakan masalah kesehatan yang penting, sekalipun demikian, kadang timbul
epidemi lokal yang sulit dipastikan sebabnya. Puncak insiden demam rematik terdapat pada
kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan
penduduk di atas 50 tahun. Angka kejadian penyakit ini sangat sulit diketahui dengan pasti,
karena penyakit ini bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan, di samping tidak
adanya keseragaman terminologi serta kriteria diagnostik.
Di negara yang sudah maju, angka kejadian demam rematik baik berupa serangan
pertama maupun serangan ulangan, telah menurun dengan tajam dalam 30-40 taun terakhir
ini. Beratnya penyakit serta angka kematian juga telah berubah. Perbaikan keadaan sosial
ekonomi, higiene, penggunaan obat anti streptokok, serta kemungkinan perubahan yang
terjadi pada kuman streptokoknya sendiri telah menurunkan insiedens demam rematik. Di
negara yang mencatat demam penyakit jantung reumatik, pada umumnya dilaporkan 10-30
kasus baru setiap 10.000 penduduk setiap tahun.
ETIOLOGI
Etiologi atau faktor predisposisi timbulnay demam rematik dan penyakit jantung
rematik dapat dibagi menjadi faktor penjamu dan faktor lingkungan.
Faktor penjamu mencakup :
1. Faktor genetik
Banyak demam reumatik terdapat apda satu keluarga atau pada sadura kembar.
Jenis HLA tertentu juga rentan terhadap demam reumatik.
2. Jenis kelamin
Dahulu disangka anak perempuan lebih sering terkena demam rematik daripada
anak laki-laki, namun hal tersebut tidak benar.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukan bahwa serangan pertama maupun serangan
ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam daripada
orang kulit putih. Tetapi data tersebut dikaji dan dinilai lebih hatiphati karena
mungkin banyak faktor dari lingkungan yg berbeda pada kedua golongan ikut
berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
7
4. Umur
Umur merupakan faktor terpenting pada timbulnya demam reumatik. Penyakit ini
paling sering mengenai anak berumur 5-15 tahun, dengan puncak sekitar umur 8
tahun, tidak biasa ditemukan pada anak berumur antara 3-5 tahun, dan sangat
jarang sebelum 3 tahun atau setelah 20 tahun
Faktor lingkungan mencakup :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk.
Merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk
terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara yang sudah maju
sudah jelas menurun sebeum era antibiotik. Termasuk dalam keadaan sosial
ekonomi yang buruk adalah sanitasi lingkungan yang buruk, rumah dengan
penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera
mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang, pendapatan yang rendah, dll.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmpolit. Penyakit ini dahulu dianggap
terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi ternyata daerah tropis pun
mempunyai angka kejadian yang tinggi. Di dataran tinggi angka kejadiannya lebih
tinggi daripada di dataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan angka kejadian infeksi
saluran napas bagian atas meningkat sehingga angka kejadian demam rematik
juga meningkat.2
PATOFISIOLOGI
Demam reumatik disebabkan oleh infeksi kuman streptokokus β-hemolitikus
grup A. Penyakit ini biasanya dimulai dengann gejala-gejala infeksi tenggorokan lebih
dahulu, kemudian disusul dengan masa laten selama 1-3 minggu. Pada fase
selanjutnya, demam reumatik mulai menyerang organ-organ target sepeti jantung,
sendi-sendi, membran basal glomerulus, sistem saraf pusat, jaringan subkutan dan
sebagainya.Semula diduga bahwa salah satu mekanisme cedera jaringan pada proses
demam reumatik adalah invasi langsung kuman streptokokus. Hasil yang negatif pada
isolasi organisme dari jaringan membawa peneliti pada rumusan bahwa toksin
bakterilah yang bekerja pada jaringan.6
8
Apabila terjadi infeksi kuman streptokokus pada jaringan tubuh, maka sel-sel
kuman streptokokus akan mengeluarkan komponen-komponen yang bersifat antigenik
pula, sepeti hialuronidase, streptodornase, streptokinase, proteinase, sterptolisin O,
toksin eritrogenik, dan sebagainya. Dan karena komponen-komponen yang
dikeluarkan oleh sel streptokokus itu bersifat antigenik, maka tubuh pun akan
membentuk banyak antibodi untuk menetralisirnya. Disamping itu, khusus mengenai
streptolisin titer O, ternyata zat ini sewaktu-waktu dapat memecah sel darah merah
dan menyebabkan kemolisis. Itulah sebabnya, mengapa jenis streptokokus ini
dimasukkan pula ke dalam kelas β-hemolitik.
Infeksi demam reumatik sering terjadi secara berulang dan dikenal sebagai
reaktivasi rema. Walaupun penyakit ini merupakan suatu inflamasi sistemik, tetapi
penyakit jantung reumatik merupakan satu-satunya komplikasi demam reumatik yang
paling permanen sifatnya dan merugikan masa depan seseorang. Tampaknya
komplikasi ini ditentukan oleh beratnya infeksi demam reumatik yang pertama kali
dan seringnya terjadi reaktibasi rema di kemudian hari. Itu sebabnya, tidak semua
demam reumatik akan berkembang menjadi penyakit jantung. Sebaliknya, tidak
semua penyakit jantung reumatik mempunyai riwayat demam reumatik yang jelas
sebelumnya. Hal ini mungkin karena gejala-gejala demam reumatik pada fase dini
memang tak mudah dikenali, atau demam reumatik memang tak jarang hanya bersifat
silent attack, tanpa disertai gejala-gejala klinis yang nyata.7
Demam reumatik biasanya menyerang jaringan otot miokard, endokard dan
perikard, terutama pada katup mitral dan katup aorta.Meskipun karditis pada DR
dapat mengenai perikardium, miokardium dan endokardium, tetapi kelainan yang
menetap hanya ditemukan pada enokardium terutama katup. Katup yang paling sering
terkena adalah katup mitral dan aorta. Kelainan pada katup trikuspid santa jarang
disebabkan oleh infeksi rema, sedangkan kelainan pada tatup pulmonal biasanya
bersifat kongenital dan sangat jarang pula disebabkan oleh infeksi rema. Kelainan
dapat berupa insufusiensi, tetapi bila penyakit berjalan sudah lama berupa stenosis.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa streptolisin bersifat toksik pada sel
miokard yang dibiakkan in vitro. Pemeriksaan imunologik menunjukkan antibodi
yang bereaksi dengan M protein dari mikroba penyebab. Antigen streptokokus
tersebut memiliki epitop yang sama dengan jaringan miokard jantung manusia,
9
sehingga antibodi terhadap streptokokus akhirnya akan akan menyerang jantung
(jaringan, katup).
Secara histopatologis, infeksi demam reumatik ditandai dengan adanya proses
Aschoff bodies yang khas, walaupun secara klinis tidak ada tanda-tanda reaktivasi
rema yang jelas. Daun katup dan korda tendinea akan mengalami edema, proses
fibrosis, penebalan, vegetasi-vegetasi dan mungkin kalsifikasi. Proses-proses ini
menunjukkan bahwa demam reumatik memang merupakan suatu penyakit autonium,
dimana reaksi silang yang terjadi antara streptokokus dengan jaringan tubuh tertentu
dapat menyebabkan kerusakan jaringan secara imunulogik.
Akan tetapi, peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum
sepenuhnya diterima. Adanya antibodi bereaksi silang yng serupa pada serum pasien
tanpa demam reumatik mendorong penelitian mediator imun lain. Data mutakhir
menunjuk pada sitotoksisitas yang ditengahi oleh sel sebagai mekanisme alternatif
untuk cedera jaringan. Penelitian menunjukkan bahwa limfosit darah perifer pasien
dengan korditis reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiak
in vitro, dan bahwa serum penderita demam reumatik menghapuskan pengaruh
sitotoksik tersebut.8
MANIFESTASI KLINIS
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik atau penyakit jantung reumatik dapat
dibagi dalam 4 stadium.
1) Stadium I
Berupa ISPA oleh kuman beta- Streptococcus hemolyticus group A. Seperti
infeksi saluran napas pada umumnya, gejala yang terjadi termasuk demam, batuk,
disfagia, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi
diare. Pada pemeriksaan fisik sering didiapatkan eksudat di tonsil yang menyertai
tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular sering kali
membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung -4 hari dan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan. Para peneliti mencatat 50-90% riwayat ISPA pada pasien
demam reumatik yang baisanya terjadi 1-14 hari sebelum manifestasi pertama
demam reumatik.
2) Stadium II
10
Disebut juga periode laten, adalah masa antara infeksi streptokok dengan
permulaan gejala demam reumatik. Biasana periode ini berlangsung 1-3 minggu,
kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
3) Stadium III
Adalah fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinis
demam reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam kriteria
major dan minor.
4) Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup
tidak menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup
jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase
ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-
waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.2
DIAGNOSIS KRITERIA JONES
Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk pertama
kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian dikenal sebagai kriteria
Jones.
Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya
merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan
selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan
menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Apabila ditemukan 2 kriteria
mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa
didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu
diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi mayor tunggal berupa
korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam rernatik baru
muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi strepthokokus.
Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu
pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk
11
memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa over-diagnosis
maupun underdiagnosis.9
Kriteria Mayor
1) Karditis
- Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena
merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian
penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi
penyakit jantung rematik.
- Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya
salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b)
kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif.
- Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul
pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif
biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat. Bising pada karditis rematik
dapat berupa bising pansistol di daerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal
diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks
(bising Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri.
2) Poliartritis
- Poliartritis ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas,
dan keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam
rematik paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan
ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan
kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang
tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama, sementara tanda-tanda radang
mereda pada satu sendi, sendi yang lain mulai terlibat.
- Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis) tidak
dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor.Selain itu, agar dapat digunakan
sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya dua
kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus
didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi antistreptokokus lainnya yang
tinggi.
3) Korea
12
- Secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang
berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya
mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan
otot dan ketidak-stabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah
usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea
Syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting
sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak
ditemukan kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang
muncul secara lambat, sehingga tanda dan gej ala lain kemungkinan sudah tidak
ditemukan lagi pada saat korea mulai timbul.
4) Eritema marginatum
- Merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan tampak
sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal,
berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara
sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum
dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal,
tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat
sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh
yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan.
Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.
5) Nodulus subkutan
- Pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di daerah
ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini
berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di
atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini
pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis.
Kriteria Minor
1) Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria
minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria
obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik
inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik
sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.
13
2) Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau
keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau
jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi
pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila
poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.
3) Demam pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39°C,
terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam
derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak
spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini
tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.
4) Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein
C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau
infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik,
kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu
diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung
kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami
kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif
dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak
bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan.
5) Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal
sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam
rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu,
interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan
adanya karditis rematik.10
Tabel 1. Kriteria Jones ( update 1992 )
Kriteria Mayor Kriteria Minor
14
Karditis
Poliartritis migrans
Korea sydenham
Eritema marginatum
Nodul subkutan
Klinis :
Riwayat demam rematik atau penyakit jantung
rematik sebelumnya
Artralgia
Demam
Laboratorium :
Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C
reaktif, laju endap darah, leukositosis)
Interval P-R yang memanjang
Ditambah
Disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus
tenggorok yang positip atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO
yang meningkat.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan demam rematik memiliki 3 tujuan:
- Menyembuhkan infeksi streptokokus dan mencegah kekambuhan
- Mengurangi peradangan,t erutama pada persendian dan jantung
- Membatasi aktivitas fisik yang dapat memperburuk organ yang meradang.
Penatalaksanaan demam rematik meliputi
1) Tirah Baring
Semua penderita demam rematik harus tinggal di rumah sakit. Penderita
dengan artritis atau karditis ringan tanpa mengalami gagal jantung tidak perlu
menjalani tirah baring secara ketat. Akan tetapi, apabila terdapat karditis yang
berat (dengan gagal jantung kongestif), penderita harus tirah baring total paling
tidak selama pengobatan kortikosteroid. Lama tirah baring yang diperlukan sekitar
15
6-8 minggu), yang paling menentukan lamanya tirah baring dan jenis aktivitas
yang boleh dilakukan adalah penilaian klinik dokter yang merawat.
Sebagai pedoman, tirah baring sebaiknya tetap diberlakukan sampai semua
tanda demam rematik akut telah mereda, suhu kembali normal saat tirah baring
tanpa pemberian obat antipiretik, denyut nadi kembali normal dalam keadaan
istirahat, dan pulihnya fungsi jantung secara optimal.
2) Eradikasi Kuman Streptokokus
Eradikasi harus secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam rematik
dapat ditegakkan. Obat pilihan pertama adalah penisilin G benzatin karena dapat
diberikan dalam dosis tunggal, sebesar 600.000 unit untuk anak di bawah 30 kg dan
1 ,2 juta unit untuk penderita di atas 30 kg. Pilihan berikutnya adalah penisilin oral
250 mg 4 kali sehari diberikan selama 10 hari. Bagi yang alergi terhadap penisilin,
eritromisin 50 mg/kg/ hari dalam 4 dosis terbagi selama 10 hari dapat digunakan
sebagai obat eradikasi pengganti.
3) Obat Antiradang
Salisilat memiliki efek dramatis dalam meredakan artritis dan demam. Obat ini
dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis karena artritis demam rematik
memberikan respon yang cepat terhadap pemberian salisilat. Natrium salisilat
diberikan dengan dosis 100-120 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama 2-4
minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu. Aspirin
dapat dipakai untuk mengganti salisilat dengan dosis untuk anak-anak sebesar 15-25
mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama seminggu, untuk kemudian diturunkan
menjadi separuhnya; dosis untuk orang dewasa dapat mencapai 0,6-0,9 g setiap 4 jam,
Kortikosteroid dianjurkan pada demam rematik dengan gagal jantung. Obat ini
bermanfaat meredakan proses peradangan akut, meskipun tidak mempengaruhi
insiden dan berat ringannya kerusakan pada jantung akibat demam rematik. Prednison
diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi selama 2 minggu,
kemudian diturunkan menjadi 1 mg/kg/hari selama minggu ke 3 dan selanjutnya
dikurangi lagi sampai habis selama 1-2 minggu berikutnya. Untuk menurunkan resiko
terjadinya rebound phenomenon, pada awal minggu ke 3 ditambahkan aspirin 50-75
mg/kg/hari selama 6 minggu berikutnya.
16
4) Pengobatan Korea
Korea pada umumnya akan sembuh sendiri, meskipun dapat berlangsung selama
beberapa minggu sampai 3 bulan. Obat-obat sedatif, seperti klorpromazin, diazepam,
fenobarbital atau haloperidol dilaporkan memberikan hasil yang memuaskan. Perlu
diingat, halopenidol sebaiknya tidak diberikan pada anak di bawah umur 12 tahun.
5) Penanganan Gagal Jantung
Gagal jantung pada demam rematik dapat ditangani seperti kasus gagal
jantung pada umumnya. Komplikasi ini biasanya dapat diatasi dengan tirah baring dan
pemberiankortikosteroid, meskipun seringkali perlu diberikan digitalis, diuretik, atau
vasodilator. Digitalis biasanya tidak seefektif pada gagal jantung kongestif akibat
kelainan lainnya. Pemberian obat ini harus dilakukan secara hati-hati karena dapat
menambah iritabilitas jantung sehingga dapat menyebabkan aritmia, di samping batas
keamanannya yang sempit.
6) Pemberian diet bergizi tinggi mengandung cukup vitamin.11
KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya
adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung),
pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup
jantung, dan infark (kematian sel jantung).
PENCEGAHAN
Pencegahan primer demam reumatik
Pencegahan primer demam reumatik adalah pemberian antibiotika untuk pengobatan
infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bagian atas, yang bertujuan untuk mencegah
serangan pertama DR akut . Gejala yang menunjang untuk faringitis oleh karena streptokokus
grup A adalah demam tinggi yang tiba-tiba, sakit tenggorokan hebat sampai sulit menelan,
rash scarlatina dan nyeri abdomen. Untuk itu diperlukan kekampuan pengenanlan terhadap
infeksi streptokok oleh para dokter. Jenis obat, pemberian, dan dosisnya sama dengan untuk
eradikasi kuman pada pengobatan demam reumatik akut.
17
Tabel 2. Pencegahan primer demam reumatik: terapi yang dianjurkan untuk
pengobatan terhadap faringitis streptrokokus.
Antibiotika Pemberian Dosis Keterangan
Benzatin
benzylpenisilin
Phenoxymethyl
penicillin
(Penicillin V)
Amoksisilin
Cefalosporin
generasi
pertama
Eritromisin
etilsuksinat
Injeksi i.m, tunggal
Oral 2-4 kali/hari
selama 10 hari
Oral 2-3 kali/hari,
selama 10 hari
Oral 2-3 kali/hari
selama 10 hari
Oral 4 kali/hari
selama 10 hari
1.200.000 unit i.m; BB
<27 kg: 600.000 unit
Anak: 250 mg, 2 atau 3
kali
Remaja : 250 mg, 3 atau
4 kali, atau 500 mg 2 kali
sehari
25-50 mg/kg/hari dibagi
dalam 3 dosis. Total
dosis dewasa 750-1500
mg/hari
Bervariasi tergantung
jenisnya
Bervariasi sesuai
jenisnya. Sediaan yang
tesedia dalam bentuk
stearat, etilsuksinat,
estolat atau basa
Lebih disebangi daripada
penisilin oral, karena
kepatuhan lebih baik
Belum pernah dilaporkan
GABHS yang resisten
terhadap penisilin
Rasa lebih disukai daripada
penisilin oral
Sebagai alternatif untuk
penisilin oral
Sebagai alternatif bila
penderita alergi terhadap
penisilin
Pencegahan sekunder terhadap demam reumatik akut
Penderita demam reumatik mempunyai resiko besar untuk mengidap serangan
ulangan demam reumatik setelah terserang infeksi bakteri streptokokus grup A berikutnya.
Oleh karena itu, pencegahan merupakan aspek penanganan demam reumatik yang sangat
18
penting. Pencegahan sekunder pada dasarnya merupakan pemberian antibiotik secara teratur
pada penderita yang pernah mengidap demam reumatik agar tidak terjadi infeksi streptokokus
pada saluran pernafasan bagian atas, sehingga tidak terjadi serangan ulang demam reumatik.
Untuk terjadinya serangan ulang demam reumatik dan infeksi saluran nafas atas
karena GABHS maka diperlukan pemberian antibiotika yang spesifik pada penderita yang
sebelumnya menunjukkan serangan akut demam reumatik, atau penyakit jantung reumatik
yang nyata.
Tindakan pencegahan ini lama karena perlu kesadaran para dokter dan petugas
kesehatan lainnya di satu pihak dan pasien atau para orang tua di lain pihak agar program
pencegahan dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Dokter harus memberi penerangan yang
sejelas-jelasnya menyangkut semua hal tentang penyakit serta kegunaan pencegahan, tentu
saja disesuaikan dengan pendidikan pasien atau orang tuanya.
Pemberian benzathine penicilline secara intramuskular yang 4 minggu sekali masih
merupakan pilihan pertama pada penderita yang tidak alergi terhadap penizilin. Pemberian
benzathine penicilline 1.200.000 U secara intramuskular setiap 4 minggu menunjukkan angka
kekambuhan 0,4%/tahun dengan angka kepatuhan 4%. Sedangkan dengan pemberian
penisilin G peroral sebanyak 200.000 U/hari angka kekambuhan pertahun sebanyak 5,5% dan
angka kepatuhan 50%. Penelitian pada anak di Jakarta, dengan membandingkan kadar
penisilin di dalam darah antara anak yang diberikan profilaksis benzathine penicillin G setiap
3 minggu dengan pemberian tiap minggu, tidak dijumpai perbedaan kadar yang bermakna.
Tabel 3. Antibiotik untuk pencegahan sekunder demam reumatik.
Antibiotika Cara Pemberian Dosis
Benzathine
benzylpenisilin/
Benzathine
penicilline G
Penisilin V
Injeksi intramuskuler tunggal
setiap 3-4 minggu
Oral
Oral
Anak dan dewasa BB
> 30 kg: 1.200.000 unit
Anak < 30 kg: 600.000 unit
250 mg dua kali sehari
Anak dan dewasa BB
> 30 kg: 1 gram/hari.
19
Sulfonamid
Eritromisin Oral
Anak < 30 kg: 500 mg/hari
250 mg dua kali sehari.
PROGNOSIS
Demam reumatik terutama sekali bergantung kepada terjadinya dan menetapnya
kelainan pada jantung. Pada penderita demam reuamtik dengan carditis (65%), lima puluh
persen meninggal dalam jangka waktu 20 tahun, sebagian besar dalam 10 tahun pertama.
Terutama pada penderita dengan congestive heart failure atau cardiomegali prognosos
memburuk, 70-80% meninggal dalam jangka waktu 10 tahun
Pada penderita demam reumatik tanpa carditis (35%), dalam 20 tahun tdak ada yang
meninggal tetapi menderita penyakit jantung remaik 44%. Penyelidikan lain menemukan
hanya 6% penyakit jantung reumatik pada follow-up 10 tahun penderita demam reumatik
tanpa carditis.2
KESIMPULAN
Hipotesis diterima, bahwa anak perempuan tersebut menderita Penyakit Jantung
Reumatik
DAFTAR PUSTAKA
1) Gray H, Dawkins K, Morgan J, Simpson I. Penyakit Katup Jantung dalam Lecture
Notes Kardiologi. Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga; 2005.
2) Imanuel S, Sastroasmoro S, Firmansyah A. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1991. h. 599-607.
3) Junadi P, Soemasto AS, dan Amelz H. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke- 2. Jakarta:
Media aesculapius; 2002. hlm 143-56.
4) Suarjana I N.Buku aja ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta:Interna Publishing;
2010.h. 2495-513.
5) Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. Edisi ke-7. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h. 464-6.
20
6) Wahab, Samik A. Demam Reumatik Akut. Dalam: Buku Ajar Kardiologi Anak IDAI
Jakarta. Jakarta: Binarupa Aksara;2004.h. 279-316
7) Baraas, Faisal. Demam Reumatik. Dalam : Kardiologi Klinis dalam Praktek
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung pada Anak FKUI. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2005. h.215-22.
8) Baratawidjaja, Karnen G. Autoimunitas. Dalam: Imunologi Dasar. Edisi ke-6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;2004.h.218-48.
9) Halstead S, Arbovirus. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi ke-15. Jakarta :
EGC;2000.h.1132-5.
10) Waspadji, Sarwono, Gagal Jantung dan Penatalaksanaannya dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2003.
11) Wilson, Price, Fisiologi Sistem Kardiovaskular dalam Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6.Jakarta: EGC; 2005.
21