Patofisiologi Batuk

download Patofisiologi Batuk

of 65

Transcript of Patofisiologi Batuk

84. Pernafasan dan Lingkungan April 1993

1992

International Standard Serial Number: 0125 913X

Daftar Isi :2. Editorial 4. English Summary Artikel: 5. 8. 13. 19. 23. 28. 31.Karya Sriwidodo WS

34. 39. 41. 48.

Patofisiologi Batuk Tjandra Yoga Aditama Patofisiologi Batuk dan Oksidan . Antioksidan Priyanti ZS Penatalaksanaan Batuk dalam Praktek Sehari-hari Faisal Yunus Uji Faal Paru Penyakit Paru Obstruktif Faisal Yunus Branhamella catarrhalis Kuman Patogen Baru Penyebab Infeksi Saluran Nafas Bawah Azhar Tanjung Situasi Beberapa Penyakit Pam di Masyarakat Tjandra Yoga Aditama Frekuensi Mikobakterium Atipik di Jakarta Misnadiarly, Cyrus H Simanjuntak Pengaruh Percahayaan dan Perhawaan terhadap Penularan Penyakit Tuberkulosis Paru Kusnindar, Suharcjjo, Bambang Sukana Studi Pendahuluan Ekstrak Daun Hibiscus similis (Wart') terhadap Kuman Mycobacterium tuberculosis di Laboratorium Misnadiarly, Nunik Sill Aminah Perilaku Remaja yang Berkaitan dengan Kebiasaan Merokok Siti Sapardiyah Santoso Keracunan H2S pada Pemulung dan Petugas Pengangkut Sampah di Lingkungan Tempat Pembuangan Sampah Akhir di Semper, Jakarta Utara Kusnindar, Cyrus H Simanjuntak, Sri Soewasti Soesanto

51. Diare Rotavirus pada Anak Usia di Atas Lima Tahun dan Orang Dewasa di Jakarta Utara Eko Rahardjo, Bambang Heriyanto, Djoko Yuwono 55. Pengujian Aktifitas Inhibitor13-Laktamase dari Asam Klavulanat terhadap Escherichia coli yang telah Resisten dengan Ampisilin Akmal, Hendri 59. Masalah Tenaga Paramedis di Rumah Sakit Kelas C di Jawa Timur I.N. Dana Susadi 62. Abstrak 64. RPPIK

Gencarnya iklan obat batuk di media massa menandakan betapa seringnya gangguan batuk dijumpai di kalangan masyarakat. Sebenarnya batuk merupakan salah sans usaha pertahanan terhadap unsur asing yang mencoba masuk ke dalam tubuh, selain itu juga sebagai pernyataan akan adanya kelainan di saluran napas. Oleh karena itu, meskipun batuk dapat diatasi secara simtomatik, seyogyanya dicari juga penyebabnya, agar sekaligus diobati secara kausal. Hal itu tidak selalu mudah karena penyebab gangguan saluran napas tidaklah semata-mata berasal dari infeksi kuman, tetapi juga mungkin dari faktor lingkungan. Edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini membahas berbagai masalah saluran napas, termasuk faktor luar yang berpengaruh baik menguntungkan maupun merugikan antara lain peranan merokok, dan udara serta zat yang terkandung di dalamnya. Apalagi manusia tidak dapat memilih untuk tidak bernapas, bukan ? Selamat membaca. Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

1992

International Standard Serial Number: 0125 913X

KETUA PENGARAH Dr Oen L.H KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi PELAKSANA Sriwidodo WS TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

REDAKSI KEHORMATAN Prof. DR. Kusumanto SetyonegoroGuru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. DR. B. ChandraGuru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Prof. Dr. R.P. SidabutarGuru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. Dr. R. Budhi DarmojoGuru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Prof. Dr. Sudarto PringgoutomoGuru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Drg. I. SadrachLembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

Prof. DR. Sumarmo Poorwo SoedarmoKepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

DR. Arini SetiawatiBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN DR. B. Setiawan PH.D DR. Ranti Atmodjo Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSc. PETUNJUK UNTUK PENULIS Dr. P.J. Gunadi Budipranoto DR. Susy Tejayadi

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 1749. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993 kerja si penulis.

3

English SummaryH2S POISONING AMONG SCAVENGERS AND SOLID WASTE COLLECTORS IN SOLID WASTE DUMPING SITE AT SEMPER, NORTH JAKARTA Kusnindar, Cyrus H Simanjuntak, Sri Soewasti SoesantoHealth Ecology Research Centre. Department of Health, Jakarta, Indonesia

Open dumping of solid waste may become source of air,water and soil pollution, as well as breeding place of disease vectors. Decomposition of solid waste will produce among others hydrogen sulphide (H2S). According to the WHO, the H2S concentration in the air may not exceed 0.13 ppm. A study on the possible H2S poisoning among scavengers and solid waste collectors was conducted in solid waste dumping site at Semper, North Jakarta in 1990. The purpose of this study was to observe any symptom of H2S poisoning among high risk population (scavengers and solid waste collectors). Physical examination (including X-ray examination) was conducted among 30 scavengers, 31 solid waste collectors and 52 unexposed employees (as control). Personal interview was

also conducted to record any medical complain which were associated with H2S poisoning. Based on the physical examination there was no symptom of H2S poisoning. However according to the personal interviews there were significant difference of medical complains between the exposed and unexposed population. It is suggested that the solid waste disposal should be conducted in a sanitary way and the exposed group of workers should be well protected and should improve their personal hygiene.Cermin Dunia Kedokt,1993; 84: 48-50 K/Chs/Sss

ROTAVIRUS DIARRHEA AMONG OVER FIVE YEAR OLD CHILDREN AND ADULTS IN NORTH JAKARTA Eko Raharjo, Bambang Heriyanto, Djoko YuwonoHealth Research and Development Board Department of Health, Indonesia, Jakarta

A study on the prevalence, and monthly distribution of rotaviral diarrhea among adult and overfive-year-old children has been conducted in northern part of Jakarta. As much as 205 rectal

swab and faecal specimens were collected from diarrhea) patients in the period of 6 months (July to December 1989). The specimens were examined for the presence of rotavirus and enteric bacteria. Overall, rotavirus was only found in 11 (5.4%) diarrheal patients. The age distribution of this virus was 3 (1.5%) among the 5-10 year-old patients, 1 (0.5%) among the 11-20 year-old patients, 1(0.5%) among the 31-40 year-old patients, 2 (0.9%) among the 41-50 year-old patients, 2 (0.9%) among the 5160 year-old patients, and 2 (0.9%) among over-sixty-year-old patients. Rotavirus infections occured in every month, except in September. The virus was isolated from 5 (2.4%) patients in July, 2 (0.9%) in August, 1 (0.5%) in October, 2 (0.9%) in November, and 2 (0.9%) in December. Padaogenic bacteria were found among 155 (75.6%) patients, where as apadaogenic bacteria were found in 26 (12.7%) patients. Multiple infections of rotavirus and enteric bacteria were found in 10 (4.9%) patients.Cermin Dunia Kedokt. 1993; 84: 5l-4 Ek/Bh/Dy

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

Artikel Patofisiologi BatukDr. Tjandra Yoga Aditama Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Batuk merupakan upaya pertahanan paru terhadap berbagai rangsangan yang ada. Batuk adalah refleks normal yang melindungi tubuh kita(1-4). Tentu saja bila batuk itu berlebihan, ia akan terasa amat mengganggu. Penelitian menunjukkan bahwa pada penderita batuk kronik didapat 628 sampai 761 kali batuk/ hari. Penderita TB paru jumlah batuknya sekitar 327 kali/hari dan penderita influenza bahkan sampai 154.4 kali/hari(3). Penelitian epidemiologi telah menunjukkan bahwa batuk kronik banyak berhubungan dengan kebiasaan merokok. Duapuluhlima persen dari mereka yang merokok 1/2 bungkus/hari akan mengalami batuk-batuk, sementara dari penderita yang merokok 1 bungkus per hari akan ditemukan kira-kira 50% yang batuk kronik. Sebagian besar dari perokok berat yang merokok 2 bungkus/hari akan mengeluh batuk-batuk kronik. Penelitian berskala besar di AS juga menemukan bahwa 8 22% non perokok juga menderita batuk yang antara lain disebabkan oleh penyakit kronik, polusi udara dan lain-laint3l. REFLEKS BATUK Refleks batuk terdiri dari 5 komponen utama; yaitu reseptor batuk, serabut saraf aferen, pusat batuk, susunan saraf eferen dan efektor (tabel 1)-5) Batuk bermula dari suatu rangsang pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor didapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di saluran telinga,

lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial dan diafragma(6). Serabut aferen terpenting ada pada cabang nervus Vagus, yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung dan juga rangsang dari telinga melalui cabang Arnold dari n. Vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma(4-5).Tabel 1. Komponen refleks batuk Aferen Pusat batuk Eferen Efektor

Reseptor Laring Trakea Bronkus Telinga Pleura Lambung Hidung Sinus paranasalis

Nervus vagus Choi laring, trakea dan bronkus Tersebar me- Nervus Diafragma, rata di medula frenikus inter- otototot Nervus dekat pusat kostal dan interkostal, trigeminus pemapasan; lumbaris abdominal di bawah dan otot kontrol pusat lumbal yang lebih tinggi Faring Nervus Saraf-saraf Otot-otot saglosofaringeus trigeminus, luran napas Nervus fasialis alas dan otot Perikardium frenikus hipoglosus bantu napas dan lain-lain Diafragma

Cabang nervus vagus

Oleh serabut aferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula, di dekat pusat pemapasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut eferen

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

5

n. Vagus, n. Frenikus, n. Interkostal dan lumbar, n. Trigeminus, n. Fasialis, n. Hipoglosus dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini terdiri dari otot-otot laring, trakea, brrmkus, diafragma, otot-otot interkostal dan lain-lain. Di daerah efektor inilah mekanisme batuk kemudian terjadi(4-5). MEKANISME BATUK Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi. Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu(5,7,8). Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah(3). Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50 100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis(4,5). Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan

jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu 3050 detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap' Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80%(2).

PENYEBAB BATUK Batuk dapat terjadi akibat berbagai penyakit/proses yang merangsang reseptor batuk. Selain itu, batuk juga dapat terjadi pada keadaan-keadaan psikogenik tertentu. Tabel 2 akan menyajikan beberapa penyebab battik dengan berbagai contohnya. Tentunya diperlukan pemeriksaan yang seksama untuk mendeteksi keadaan-keadaan tersebut. Dalam hal ini perlu dilakukan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik, dan mungkin juga pemeriksaan lain seperti laboratorium darah dan sputum, rontgen toraks, tes fungsi paru dan lain-lain(2,3). KOMPLIKASI Komplikasi tersering adalah keluhan non spesifik seperti badan lemah, anoreksia, mual dan muntah. Mungkin dapat ter: jadi komplikasi-komplikasi yang lebih berat, baik berupa kardiovaskuler, muskuloskeletal atau gejala-gejala lain(2-4). Pada sistem kardiovaskuler dapat terjadi bradiaritmia, perdarahan subkonjungtiva, nasal dan di daerah anus, bahkan ada yang melaporkan terjadinya henti jantung. Batuk-batuk yang hebat juga dapat menyebabkan terjadinya pneumotoraks, pneumomediastinum, ruptur otot-otot dan bahkan fraktur iga(4,5). Komplikasi yang sangat dramatis tetapi jarang terjadi adalah Cough syncope atau Tussive syncope. Keadaan ini biasanya terjadi setelah batuk-batuk yang paroksismal dan kemudian penderita akan kehilangan kesadaran selama 10 detik. Cough syncope terjadi karena peningkatan tekanan serebrospinal secara nyata akibat peningkatan tekanan intratoraks dan intraabdomen

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

Tabel 2.

Beberapa penyebab batuk

PENUTUP Batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh yang berguna untuk membersihkan saluran trakeobronkial. Batuk yang tidak efektif dapat menimbulkan berbagai efek yang tidak menguntungkan berupa penumpukan sekret yang berlebihan, atelektasis, gangguan pertukaran gas dan lain-lain. Batuk yang tidak efektif mungkin terjadi karena gangguan di saraf aferen, pusat batuk atau di saraf eferen yang ada. Batuk yang berlebihan akan terasa mengganggu. Penyebab batuk juga amat beragam, mulai dari kebiasaan merokok sampai pada berbagai penyakit baik di paru maupun di luar paru. Keluhan batuk juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi mulai dari yang ringan sampai yang berat.

KEPUSTAKAAN 1. 2. Fraser RS, Pare JAP, Genereux GP. Diagnosis of diseases of the chest. Philadelphia: WB Saunders Co, 1988 : 70 71. Murray IF, Nadel JA. Respiratory medicine. Philadelphia: WB Saunders Co, 1988: 397 400. McCool FD, Leith DE. Padaophysiology of cough. Clinical Chest Medicine 1987; 8: 189 96. Brewis RAL. Lecture notes in respiratory diseases. Oxford: Blackwell Scient Publ 1983: 32 7. Farsan S. A concise handbook of respiratory disease. Virginia Reston Publ Co 1978:45. Fishman AP. Pulmonary disease and disorders. New York: McGraw Hill Book Co 1988: 324 40. Crofton J, Douglas A. Respiratory disease. Oxford: Blackwell Scient Publ 1989: 101 2. Hadiarto Mangunnegoro, Tjandra Yoga Aditama. Patofisiologi batuk. Dalam : Batuk kronik. Jakarta, FKUI 1985: 1 6.

ketika batuk(2,3).

3. 4. 5. 6. 7. 8.

Gambar 2. Komplikasi batuk

Luck is nothing but a trick name of hard work

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

7

Patofisiologi Batuk dan Oksidan-Antioksidandr Priyanti ZS Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Unit Paru RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma mekanik, kimia dan suhu(1,2). Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang alamiah untuk menjaga agar jalan napas tetap bersih dan terbuka, dengan jalan(1,2) : 1) Mencegah masuknya benda asing ke saluran napas. 2) Mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran napas. Batuk menjadi tidak fisiologik bila dirasakan sebagai gangguan; batuk semacam itu sering kali merupakan tanda suatu penyakit di dalam atau di luar paru dan kadang-kadang merupakan gejala dini suatu penyakit(2). Batuk mungkin sangat berarti pada penularan penyakit melalui udara (air borne infection). Batuk merupakan salah satu gejala penyakit saluran napas di samping sesak, mengi dan sakit dada. Seringkali batuk merupakan masalah yang dihadapi para dokter dalam pekerjaannya sehari-hari. Penyebabnya amat beragam dan pengenalan patofisiologi batuk akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan penanggulangan penderita batuk(3). Batuk pada perokok sering dianggap sebagai sesuatu yang normal. Asap rokok merupakan salah satu oksidan yang dapat merusak jaringan paru, oleh karena itu pengertian oksidan dan antioksidan perlu diketahui. REFLEKS BATUK Batuk dimulai .dari suatu rangsangan reseptor batuk; kemudian melalui serabut aferen, rangsangan ini akan diteruskan ke pusat batuk di medula; melalui serabut eferen diteruskan ke otot-otot pernapasan(4,5). Daerah refleks batuk yang paling sensitif pada saluran napas adalah daerah laring, karina, trakea dan bronkus; yang lain ialah pleura, membran timpani.

Tabel 1.

Skematik refleks batuk(5) Aferen Cabang nervus vagus Tersebar merata di medula dekat pusat pernapasan; di bawah kontrol pusat yang lebih tinggi Pusat batuk Eferen Efektors Otot laring, trakea dan bronkus Diafragma, otot-otot interkostal, abdominal dan otot lumbal

Reseptor Laring Trakea Bronkus Telinga Pleura Lambung Hidung Sinus Paranasalis

Nervus vagus Nervus frenikus intercostal & lumbaris

Nervus trigeminus

Faring

Nervus glosofaringeus Nervus frenikus

Perikardium Diafragma

Saraf-saraf trigeminus, fasialis hipoglosus dan lainlain

Otot-otot saluran napas alas dan otot bantu napas

MEKANISME BATUK Mekanisme batuk dibagi menjadi tiga fase(1,2,3,5,6) : 1. Fase inspirasi Pada fase inspirasi, glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abduktor kartilago artenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru(1). Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan

8

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

Fase kompresi Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago artenoidea; glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meninggi sampai 300 cm H20 agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka. Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intratoraks, walaupun glotis tetap terbuka. 3. Fase ekspirasi Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahanbahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernapasan dan cabangcabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk clan di sinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara battik sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran napas atau getaran pita suara(4). Mekanisme batuk yang tidak efektif(1,5) Pada keadaan patologis, kondisi batuk tidak efektif sehubungan dengan fase inspirasi atau ekspirasi atau keduanya. Kelainan di luar paru seperti kelainan tulang, otot atau saraf dapat menyebabkan batuk tidak efektif karena inspirasi atau ekspirasi sangat terbatas akibat rasa sakit, kelelahan atau depresi susunan saraf pusat(5). Batuk yang tidak efektif juga dapat disebabkan oleh penyakit paru misalnya lesi endobronkial, striktur bronkial, benda asing, bronkospasme atau sekret pada penderita asma atau sekret kental pada penderita fibrosis kistik(5). PENYEBAB BATUK Batuk secara garis besarnya dapat disebabkan oleh rangsang berikut(1,2,5,7) : rangsang inflamasi seperti edema mukosa dengan sekret trakeobronkial yang banyak. rangsang mekanik seperti benda asing dalam saluran napas, aspirasi, post nasal drip, retensi sekret bronko pulmoner. rangsang suhu seperti asap rokok (merupakan oksidan), udara panas/dingin, inhalasi gas. rangsang psikogenik. Batuk sering dijumpai pada perokok dan dapat menyebabkan batuk kronik. Pada penelitian 200 perokok dengan batuk kronik, setelah berhenti merokok ternyata 77% gejala batuk menghilang dan 17% gejala batuk berkurang. Pada 50% perokok gejala batuk menghilang satu bulan setelah berhenti merokok(5). Pada tabel 2 terlihat beberapa pen yakit penyebab batuk pada paru dan di luar paru.

2.

yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat serta kuat dan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial(1).

OKSIDAN Sebagaimana telah kita ketahui batuk sering dijumpai pada perokok. Asap rokok yang dihirup merupakan salah satu oksidan yang dapat memberikan efek yang kurang baik pada kesehatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

9

Tabel 2. Di Paru

Beberapa penyebab batuk(2)

Infeksi akut saluran napas bawah Infeksi kronik saluran napas bawah Infeksi parenkim paru Penyakit paru obstntktif Tumor Benda asing Di Luar Paru Kardiovaskular THT lain-lain

trakeobronkitis, pneumonia, bronkitis eksaserbasi akut bronkitis,bronkiektasis,tuberkulosis atau jamur fibrosis interstitial, rokok bronkitis kronik, asma, emfisema karsinoma bronkus, karsinoma sel alveolar, tumor jinak benda asing di saluran napas bawah

toksik langsung pada sel parenkim paru dan tidak mengaktifkan enzim yang melindungi paru terhadap efek elastase neutrofil. Pada percobaan invitro makrofag alveolar pada perokok akan melepaskan oksidan secara spontan seperti superoksid anion atau hidrogen peroksida. Jumlah netrofil pada perokok lebih banyak dari pada bukan perokok(9). Oksidan yang dilepaskan oleh sel-sel radang Sel-sel radang seperti netrofil, polimorfonuklear dan eosinofil bila dirangsang akan melepaskan oksidan. Proses ini merupakan proses pertahanan tubuh yang normal terhadap infeksi; sel-sel inipun dapat melepaskan oksidan tanpa adanya infeksi. Dalam keadaan normalpun usaha sel untuk melindungi part dapat melukai jaringan normal. Superoksid anion tidak begitu toksik, tetapi sel radang selalu berisi superoksid dismutase yang mengubah molekul superoksid anion menjadi hidrogen periksida. Hidrogen peroksida sangat toksik dan dengan adanya ion fero dapat berubah menjadi radikal yang lebih toksik seperti radikal hidroksil (OH-) dan hipohalida anion (OH X-). Superoksid anion dapat mengubah ion feri menjadi ion fero, tetapi reaksi terbentuknya radikal hidroksil dapat dicegah dengan cepat oleh katalase dengan mengubah H2O2 menjadi H2O + O2. Seruloplasmin mempertahankan bentuk ion feri agar tidak berubah menjadi ion fero (gambar 3). Sel radang dapat juga melepaskan singlet oxygen yang memiliki energi lebih besar dari 02, seperti radikal hidroksil dan anion hipohalida.

payah jantung infark post nasal drip, tumor faring, laringitis akut refluks gastroesofagus

paru. Oksidan adalah bahan kimia elektrofilik yang dapat memindahkan elektron dari berbagai molekul dan dapat menghasilkan oksidasi dari molekul-molekul tersebut. Oksidan sebagai akseptor elektron dapat mengubah protein, lemak dan karbohidrat, dengan cara mengubah komposisi molekul. Bila perubahan tersebut terjadi pada bagian yang penting dari molekul maka molekul-molekul tersebut akan kehilangan fungsinya. Oksidan dapat merusak sel tubuh termasuk sel parenkim paru baik sel-sel alveolus maupun matriknya. Oksidan merusak sel parenkim paru dapat dengan care(8) : 1) Merusak dinding alveolus 2) Memodifikasi fungsi antielastase pada saluran napas yang seharusnya bekerja menghambat elastase netrofil menjadi tidak berfungsi, sehingga terjadi kerusakan pada interstitial alveolus. Oksidan seperti OZ, H2O2, OH-, OCl-, merupakan zat biokimia normal pada saluran napas bawah yang dilepaskan oleh sel-sel radang. Oksidan yang lain adalah oksidan yang dihisap(8). Berikut adalah jenis-jenis oksidan : Oksidan yang dihisap : asap rokok polusi nitrogen dioksida (NO2) ozon (O3) Oksidan yang dilepaskan oleh sel-sel radang : superoksida anion (O2) hidrogen peroksida (H202) radikal hidroksil (OH-) anion hipohalida (OH X-) Oksidan yang dihisap Asap rokok mengandung campuran partikel-partikel gas. Setiap hembusan asap rokok mengandung 1014 radikal bebas yaitu radikal hidroksil (OW). Sebagian besar dari radikal bebas ini mempunyai waktu paruh 5 menit atau lebih dan dapat mencapai permukaan alveolust8,9). Asap rokok juga dapat bersifat

Gambar 3. Oksidan dan antioksidan(9)

Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan akan mengakibatkan kerusakan pada paru misalnya penyakit emfisema. ANTIOKSIDAN Antioksidan yang melindungi paru terdiri dari molekul yang terdapat di dalam sel, pada membran sel dan di luar sel. Antioksidan tersebut mempertahankan paru terhadap serangan oksidan. Antioksidan yang melindungi paru terbagi(8) : 1. Antioksidan di dalam sel : superoksid dismutase, katalase, sistem glutation.

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

2. Antioksidan membran sel : vitamin E. 3. Antioksidan di luar sel : katalase, glutation, seruloplasmin, alfa 1 antitripsin, vitamin A, metionin, bilirubin. Superoksid dismutase Superoksid dismutase ditemukan dalam dua bentuk yang berbeda yaitu bentuk Cu Zn dalam enzim di sitoplasma dan bentuk mangan dalam enzim di mitokondria. Fungsi dari superoksid dismutase adalah mengubah superoksid anion menjadi hidrogen peroksida. Superoksid dismutase bukan antioksidan yang sebenarnya, sebab tidak menghilangkan superoksid anion. Superoksid dismutase membentuk hidrogen peroksida yang lebih berbahaya daripada superoksid anion. Pada keadaan normal sel memiliki daya tahan yang efisien terhadap H2O2; yaitu dengan bantuan antioksidan katalase dan sistem glutation, diubah menjadi H2O. Vitamin E Vitamin E termasuk antioksidan membran sel yang larut dalam lemak, dapat melindungi peroksidase lemak secara invitro. Pada percobaan binatang, defisiensi vitamin E menyebabkan tingginya kepekaan terhadap paparan oksidan sehingga mudah terjadi kerusakan jaringan paru. Pemeriksaan bronchoalveolar lavage menunjukkan bahwa kandungan vitamin E padacairan lavageperokok lebih rendah daripadabukanperokok. Setelah pemberian vitamin E dosis tinggi peroral tetap tidak ada perubahan pada kadar vitamin E dalam cairan lavage(9). Hal ini menunjukkan bahwa perokok menyebabkan kerusakan kronik dari beberapa pertahanan antioksidan. Glutation(8,9,10) Glutation merupakan tripeptida dari glutamat, sistem dan glisin. Zat ini merupakan sumber dari suifhidril dan sering kali menginaktifkan elektrofilik yang sangat reaktif dengan memindahkan elektron dari berbagai molekul. Glutation banyak ditemukan pada jaringan anaerob ,binatang dalam konsentrasi tinggi. Biosintesis glutation terutama terjadi di hati, yang juga mengandung zat tersebut dengan konsentrasi tertinggi dalam tubuh, selain iw glutation juga terdapat dalam plasma darah. Glutation merupakan antioksidan yang penting untuk melindungi paru dari kerusakan akibat konsentrasi oksigen yang tinggi. Sebagai antioksidan, glutation memegang peranan penting dalam mengubah H2O2 menjadi H20 dengan bantuan enzim glutation (GSH) peroksidase; hal ini lebih penting dari pada enzim katalase. Glutation tereduksi (GSH) mengalami oksidasi dengan bantuan enzim GSH peroksidase menjadi 2 molekul glutation yang dihubungkan dengan disulfida (GSSG). GSSG dengan bantuan enzim GSSG reduktase mengalami reduksi menjadi glutation tereduksi (GSH). Pada proses ini diperlukan nikotinamida adenin dinukleotida fosfat yang tereduksi (NADPH). NADPH selanjutnya mengalami oksidasi menjadi nikotinamida adenin dinukleotidafosfat yang teroksidasi (NADP). Glutation merupakan suatu tripeptida yang mengandung sistem. Preparat yang mengandung sistem adalah N asetil sistem yang dapat diberikan peroral; jika masuk dalam tubuh N asetil

Gambar 4. Glutation sebagai antioksidan(9)

sistem dibiosintesis di hati menjadi glutation yang merupakan suatu antioksidan. N asetil sistem dapat digunakan sebagai obat mukolitik dan antidotum pada hepatotoxic induced toxicity(10) Pada suatu penelitian ternyata N asetil sistem dapat melindungi kerusakan jaringan paru yang disebabkan asap rokok dengan 2 cara, yaitu : 1. Konyugasi langsung antara N asetil sistem dengan komponen reaktif asap rokok dengan cara menurunkan beban elektrofilik terhadap sel. 2. N asetil sistem mungkin memberikan sumber sistem dari luar pada sel untuk fasilitas biosintesis glutation"). Antioksidan lainnya Seruloplasmin merupakan antioksidan yang melindungi ruang ekstrasel dari dinding alveolus. Seruloplasmin mempertahankan bentuk ion feri agar tidak berubah menjadi ion fero, dengan sendirinya jumlah fero berkurang sehingga kemungkinan terbentuknyaradikal hidroksil berkurang. Vitamin A, metionin dan bilirubin dapat menginaktifkan anion halida atau singlet oxygen. KOMPLIKASI BATUK Pada waktu batuk, tekanan intratoraks meninggi sampai 300 mmHg; peninggian tekanan ini diperlukan untuk menghasilkan batuk yang efektif, tetapi hal ini dapat mengakibatkan komplikasi pada paru, muskuloskelet, sistem kardiovaskular dan susunan saraf pusat(5). Di paru dapat timbul pneumomediastinum, kecuali pada bayi terjadi emfisema subkutis yang tidak serius. Dapat pula terjadi pneumoperitoneum dan pneumoretroperitonium, tetapi ini sangat jarang. Komplikasi lainnya adalah pneumotoraks dan emfisema, komplikasi muskuloskeletal, fraktur iga, ruptur otot rektus abdominalis. Komplikasi kardiovaskular dapat berupa bradikardi, robekan vena subconjuctiva, hidung dan anus; komplikasi lainnya adalah henti jantung. Pada sistim saraf pusat dapat terjadi cough syncope; akibat peningkatan tekanan intratoraks terjadi refleks vasodilatasi arteri dan vena sistemik. Hal ini menyebabkan curah jantung menurun dan kadang-kadang berakibat rendahnya tekanan uteri sehingga terjadi kehilangan kesadaran. Syncope terjadi beberapa detik setelah batuk paroksimal(2): Dapat pula terjadi gejala konstitusi antara lain insomnia, kelelahan, nafsu makan menurun, muntah, suhu tubuh meninggi dan sakit kepala. Komplikasi lainnya adalah inkontinensia urin, hernia dan prolaps vagina.

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993 11

PENUTUP Batuk merupakan refleks kompleks yang melindungi paru dari berbagai rangsangan. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru alamiah, untuk menjaga agar saluran napas tetap bersih dan terbuka. Mekanisme batuk yang tidak efektif dapat terjadi akibat gangguan di saraf aferen, pusat batuk atau saraf eferen. Hal ini dapat mengaldbatkan berbagai efek yang tidak diingini misalnya penumpukan sekret yang berlebihan, atelektasis dan lain-lain. Batuk dapat disebabkan kelainan di paru ataupun di luar paru; asap rokok merupakan penyebab batuk yang sering dijumpai dan merupakan salah satu oksidan yang dapat merusak jaringan paru. Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan dapat merupakan penyebab terjadinya emfisema. N asetil sistem merupakan suatu preparat yang dapat diberikan sebagai sumber dari anti oksidan glutation. Batuk yang menyebabkan tekanan intratoraks yang tinggi dapat mengakibatkan komplikasi pada paru, muskuloskeletal, sistim kardiovaskular dan susunan saraf pusat.

KEPUSTAKAAN Cool FD, Leith DE. Padaophysiology of cough. Dalam: Clinics in Chest Medicine. Braman SS (ed.). Philadelphia: WB Saunders Co, 1987: 189-95. 2. Fishman AP. Cough. Pulmonary Diseases and Disorders, second edition. New York: McGraw-Hill Co, 1988: 342-6. 3. Hadiarto Mangunnegoro, Tjandra Yoga Aditama. Patofisiologi Batuk. Batuk Kronik : penanggulangan secara rasional, ed. Arjatmo Tjokronegoro. Jakarta: Penerbit FKUI, 1985: 1-5. 4. Farzan S. Cough. Dalam: A Concise Handbook of Respiratory Diseases. Virginia: Reston Publ Co, 1978: 4-5. 5. Irwin RS, Rozen MJ, Braman SS. Cough. Arch Intern Med 1977: 1186-91. 6. Stackpole I. Airway Management. Dalam: Principles and Practice of Respiratory Therapy, second ed. Young JB, Crocker D (eds.). Chicago: Year book Med Publ Inc, 1976: 363-7. 7. Cott GR. Drug therapy in the Management of Cough. Dalam: Drugs for Respiratory System, ed. Cherniack RM. Orlando; Gnutn & Stratton Inc, 1986: 165-90. 8. Crystal AC. Oxidants, Antioxidants and the padaogenesis of Emphysema. Eur J Respir Dis 1985; 66: 7-17. 9. Henley DC. What should an ideal antioxidant do (and not do)?. Bull. Eur Physiopadaol Respir 1987; 23: 279-85. 10. Moldeus P, Berggren M, Grafstrom R. N-Acetylcysteine protection against the toxicity of cigarette smoke condensates in various tissues and cells in vitro. Eur J Respir Dis 1985; 66: 123-9. 1.

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

Penatalaksanaan Batuk dalam Praktek Sehari-hariFaisal Yunus Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Unit Paru RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Batuk adalah suatu gejala gangguan atau kelainan saluran napas. Keadaan ini merupakan suatu cara pertahanan tubuh untuk mengeluarkan lendir dan benda asing dari saluran napas. Batuk terjadi akibat rangsangan oleh zat-zat tadi. Walaupun batuk suatu mekanisme pertahanan tubuh, tetapi bila ini berlangsung lama dan terus menerus maka hal ini sangat mengganggu penderita. Penderita sering datang berobat atau mencari pertolongan dokter alcibat gejala batuk ini. Berbagai faktor dan keadaan dapat menimbulkan batuk, faktor tersebut bisa berasal dari luar maupun dari dalam tubuh. Inhalasi zat tertentu, polusi udara dan penutupan oleh lendir adalah beberapa keadaan yang dapat menimbulkan batuk. Batuk lebih mudah timbul pada orang yang mempunyai kelainan saluran napas, seperti radang tenggorok, asma bronkial dan infeksi paru. Pengobatan batuk dapat bersifat etiologis maupun simptomatis. Pengobatan yang paling baik adalah secara etiologik tetapi pada keadaan tertentu ini tidak dapat dilakukan. Untuk itu mungkin pengobatan simptomatis perlu diberikan. MEKANISME TERJADINYA BATUK Rangsang pada reseptor batuk dialirkan ke pusat batuk ke medula, dari medula dikirim jawaban ke otot-otot dinding dada dan laring sehingga timbul batuk. Refleks batuk sangat penting untuk menjaga keutuhan saluran napas dengan mengeluarkan benda asing atau sekret bronkopulmoner. Iritasi salah satu ujung saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar atau sera aferen cabang faring dari nervus glossofaringeal dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisarr faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang(1,2,3). Ada 4 fase mekanisme batuk, yaitu fase iritasi, fase inspirasi

dalam, fase kompresi dan fase ekspulsi/ekspirasi. Selama fase kompresi, glotis menutup, otot-otot interkostal dan abdominal berkontraksi kuat sehingga tekanan intratoraks dan intraabdomen meningkat. Bila tekanan intratoraks mencapai tingkat yang sangat tinggi, glotis membuka sedikit secara tiba-tiba. Keadaan ini menyebabkan tekanan intrapulmoner turun. Menurunnya tekanan intrapulmoner menyebabkan turunnya tekanan intraabdomen yang tinggi akibat kontraksi otot-otot abdomen. Keadaan ini menyebabkan diafragma akan menaik secara tajam. Naiknya diafragma akan menimbulkan pengeluaran udara yang kuat dari paru. Aliran udara ini akan mendorong benda asing di saluran napas ke dalam mulut sehingga bisa dikeluarkan(1,2,4). Bunyi batuk terutama disebabkan oleh getaran pita suara dan kadang-kadang oleh getaran sekret(2). Pada gambar 1 dapat dilihat skema ke-empat fase batuk.

Gambar 1. Skema ke-empat fase batuk

PENYEBAB BATUK Berbagai kelainan atau penyakit yang merangsang reseptor

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993 13

batuk atau komponen refleks batuk dapat menimbulkan batuk. Batuk merupakan gejala umum yang mempunyai nilai diagnostik terbatas, tetapi dapat merupakan satu-satunya indikasi terdapatnya penyakit bronkopulmoner yang serius(2). Batuk sangat sering terjadi pada perokok, yang kadangkadang tidak disadari; perubahan pada sifat batuk dan ekspektorasilah yang membuat mereka menyadari hal ini. Perubahan ini sering disebabkan oleh infeksi, tetapi mungkin juga merupakan indikasi terdapatnya keganasan yang banyak ditemukan pada perokok. Masa tanpa gejala berarti pada perokok berlangsung kira-kira 10 tahun setelah merokok dimulai, setelah itu timbul gejala batuk kronik biasanya disertai dengan sejumlah sputum(2,5). Pada tabel 1 dapat dilihat berbagai kelainan yang dapat menimbulkan batuk.

Tabel 2.

Komplikasi batuk(6)

1. Sekunder terhadap time mekanik Paru Pneumotoraks, pneumomediastinum, trauma jalan napas lokal/laring, emfisema pant, refleks brankokonstriksi Regangan atau robekan otot atau tulang rawan, patah iga Sinkop batuk Bradikardi sementara, A-V blok sementara, robeknya vena (misal subkonjungtiva, vena di hidung atau anus) Hernia, prolaps vagina, inkontinensia urin, luka, insomnia, muntah, sakit kepala

Otot rangka Sentral Kardiovaskuler

Lain-lain

KOMPLIKASI BATUK Walaupun batuk penting dalam pertahanan paru, pembersihan jalan napas dan menjaga keutuhannya, keadaan ini dapat menjadi gejala yang mengganggu, yaitu bila batuk kering dan berlangsung terus. Kadang-kadang batuk dapat berbahaya dan menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang dapat timbul meliputi organ paru, otot rangka, kardiovaskuler dan organ lain(2,4,5). Batuk yang tidak efektif juga dapat menimbulkan retensi sputum, sumbatan jalan napas, atelektasis, infeksi serta gagal napas(6). Pada tabel 2 dapat dilihat berbagai komplikasi batuk.Tabel 1. Di Paru Inhalasi bahan iritan Neoplasma Inflamasi Alergi Lain-lain Asap rokok, gas toksik, uap kimia, debu, bends asing Jinak atau ganas, primer atau metastasis Bronkitis akut atau kronik, bronkiolitis, bronkiektasis, pneumonitis Asma, reaksi alergi sistemik Emboli paru, gagal jantung kongestif, retensi sputum, penekanan jalan napas (misalnya adenopati, pembesaran jantung, aneurisma, kista esofagus atau tumor) Kelainan yang dapat menimbulkan batuk(6)

II. Sekunder terhadap batuk yang tidak efektif Paru Retensi sputum, obstruksi jalan napes, atelektasis, infeksi, gagal napas

PENATALAKSANAAN BATUK Penatalaksanaan batuk yang paling baik ialah pemberian obat spesifik terhadap etiologinya(7,8). Tiga bentuk penatalaksanaan batuk ialah(6,7). 1. Tanpa pemberian obat Penderita-penderita dengan batuk tanpa gangguan yang disebabkan oleh penyakit akut dan sembuh sendiri biasanya tidak perlu obat. 2. Pengobatan spesifik Pengobatan ini diberikan terhadap penyebab timbulnya batuk. 3. Pengobatan simptomatik Diberikan baik kepada penderita yang tidak dapat ditentukan penyebab batuknya maupun kepada penderita yang batuknya merupakan gangguan, tidak berfungsi baik dan potensial dapat menimbulkan komplikasi. Pengobatan Spesifik Apabila penyebab batuk diketahui maka pengobatan harus ditujukan terhadap penyebab tersebut. Dengan evaluasi diagnostik yang terpadu, pada hampir semua penderita dapat diketahui penyebab batuk kroniknya(9). Pengobatan spesifik batuk tergantung dari etiologi atau mekanismenya(7,9) : Asma diobati dengan bronkodilator atau dengan kortikosteroid. Postnasal drip karena sinusitis diobati dengan antibiotik, obat semprot hidung dan kombinasi antihistamin - dekongestan; postnasal drip karena alergi atau rinitis nonalergi ditanggulangi dengan menghindari lingkungan yang mempunyai faktor pencetus dan kombinasi antihistamin dekongestan. Refluks gastroesophageal diatasi dengan meninggikan kepala, modifikasi diet, antasid dan simetidin. Batuk pada bronkitis kronik diobati dengan menghentikan merokok. Antibiotik

Di luar Paru Saluran napas alas Rinitis, sinusitis, pharingitis, laringitis, trakeitis, kelainan pita suara, elongasi uvula, post nasal drip Inflamasi atau iritasi pleura, diafragma atau perikard Distensi lambung, kelainan saluran telinga luar atau membran timpani

Rongga dada Lain-lain Sentral Psikogen

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

diberikan pada pneumonia, sarkoidosis diobati dengan kortikosteroid dan batuk pada gagal jantung kongestif dengan digoksin dan furosemid. Pengobatan spesifik juga dapat berupa tindakan bedah seperti reseksi paru pada kanker paru, polipektomi, menghilangkan rambut dari saluran telinga luar(9). Pengobatan Simptomatik Pengobatan simptomatik diberikan apabila : 1. Penyebab batuk yang pasti tidak diketahui, sehingga pengobatan spesifik dan definitif tidak dapat diberikan, dan/atau 2. Batuk tidak berfungsi baik dan komplikasinya membahayakan penderita(8). Obat yang digunakan untuk pengobatan simptomatik ada tiga jenis menurut kategori farmakologik, yaitu antitusif, ekspektorans dan mukolitik(6,10) 1. Antitusif Secara umum berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi atas golongan narkotik dan nonnarkotik(3,6,9) Antitusif yang bekerja di perifer Obatgolongan ini menekan batuk dengan mengurangi iritasi lokal di saluran napas, yaitu pada reseptor iritan perifer dengan cara anestesi langsung atau secara tidak langsung mempengaruhi lendir saluran napas(6,9) Obat-obat anestesi Obat anestesi lokal seperti benzokain, benzilalkohol, fenol dan garam fenol digunakan dalam pembuatan lozenges. Obat ini mengurangi batuk akibat rangsang reseptor iritan di phar,ing; tetapi hanya sedikit manfaatnya untuk mengatasi batuk akibat kelainan saluran napas bawah(6). Lidokain Obat anestesi(6,9) yang diberikan secara topikal seperti tetrakain, kokain dan lidokain sangat bermanfaat dalam menghambat batuk akibat prosedur pemeriksaan bronkoskopi. Beberapa hal harus diperhatikan dalam pemakaian anestesi topikal, yaitu(6): 1) Risiko aspirasi beberapa jam sesudah pemakaian obat, 2) Diketahui kemungkinan reaksi alergi terhadap obat anestesi, 3) Peningkatan tahanan jalan napas sesudah inhalasi zatanestesi, 4) Risiko terjadinya efek toksis sistemik, termasuk aritmia dan kejang terutama pada penderita penyakit hati dan jantung. Demulcent Obat ini bekerja melapisi mukosa faring dan mencegah kekeringan selaput lendir. Obat ini dipakai sebagai pelarut antitusif lain atau sebagai lozenges yang mengandung madu, akasia, gliserin dan anggur. Secara obyektif tidak ada data yang menunjukkan obat ini mempunyai efek antitusif yang bermakna, tetapi karena aman dan memberikan perbaikansubyektif obat ini banyak dipakai(6) Antitusif yang bekerja sentral Obat ini bekerja menekan batuk dengan meninggikan am-

bang rangsang yang dibutuhkan untuk merangsang pusat batuk. Dibagi atas golongan narkotik dan nonnarkotik(3,6,9) Golongan narkotik Opiat dan derivatnya mempunyai beberapa macam efek farmakologik, sehingga digunakan sebagai analgesik, antitusif, sedatif, menghilangkan sesak karena gagal jantung kiri dan anti diare. Di antara alkaloid ini morfin dan kodein sering digunakan(6,11). Efek samping obat ini adalah penekanan pusat napas, konstipasi, kadang-kadang mual dan muntah, serta efek adiksi(11). Opiat dapat menyebabkan terjadinya bronkospasme karena penglepasan histamin, tetapi efek ini jarang terlihat pada dosis terapeutik untuk antitusif; di samping itu narkotik juga dapat mengurangi efek pembersihan mukosilier dengan menghambat sekresi kelenjarmukosa bronkus dan aktivitas silia; terapi kodein kurang mempunyai efek tersebut (dikutip dari 6). Kodein Obat ini merupakan antitusif narkotik yang paling efektif dan salah satu obat yang paling sering diresepkan. Pada orang dewasa dosis tunggal 20 60 mg atau 40 160 mg per hari biasanya efektif. Kodein ditolerir dengan baik dan sedikit sekali menimbulkan ketergantungan. Di samping itu obat ini sangat sedikit sekali menyebabkan penekanan pusat napas dan pembersihan mukosilier(6,9,11) Efek samping pada dosis biasa jarang ditemukan. Pada dosis agak besar dapat timbul mual, muntah, konstipasi, pusing, sedasi, palpitasi, gatal-gatal, banyak keringat dan agitasi (dikutip dari 6). Hidrokodon Merupakan derivat sintetik morfin dan kodein, mempunyai efek antitusif yang serupa dengan kodein. Efek samping utama adalah sedasi, penglepasan histamin, konstipasi dan kekeringan mukosa. Obat ini tidak lebih unggul dari kodein(6,9). Derivat morfin dan kodein yang lain seperti hidromorfon mempunyai efek an titusif. Tetapi obat ini mempunyai efek adiksi yang lebih besar dan tidak lebih unggul dibandingkan dengan kodein(6). Antitusif nonnarkotik Dekstrometorfan Obat ini tidak mempunyai efek analgesik dan ketergantungan, sering digunakan sebagai antitusif nonnarkotik. Obat ini efektif bila diberikan dengan dosis 30 mg setiap 4 8 jam. Dosis dewasa 10 20 mg, setiap 4 jam, anak-anak umur 6 11 tahun 5 -10 mg- sedangkan anal( umur 2 6 tahun dosisnya 2,5 5 mg setiap 4 jam(6,9) Butamirat sitrat Obat golongan antitusif nonnarkotik yang baru diperkenalkan ini bekerja secara sentral dan perifer. Pada sentral obat ini menekan pusat refleks dan di perifer melalui aktivitas bronkospasmolitik dan aksi antiinflamasi (dikutip dari 12). Obat ini ditoleransi dengan baik oleh penderita dan tidak menimbulkan efek samping konstipasi, mual, muntah dan penekanan susunan saraf pusat. Dalam penelitian uji klinik, obat ini mempunyai efektivitas yang sama dengan kodein dalam menekan batuk. Butamirat

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993 15

sitrat mempunyai keunggulan lain yaitu dapat digunakan dalam jangka panjang tanpaefek samping dan memperbaiki fungsi paru yaitu meningkatkan kapasitas vital (KV) dan aman digunakan pada anak"-14) Dosis dewasa adalah 3 x 15 ml dan untuk anakanak umur 6 - 8 tahun 2 x 10 ml, sedangkan anak berumur lebih dari 9 tahun dosisnya 2 x 15 ml. Noskapin Noskapin tidak mempunyai efek adiksi meskipun termasuk golongan alkaloid opiat. Efektivitas dalam menekan battik sebanding dengan kodein. Kadang-kadang memberikan efek samping berupa pusing, mual, rinitis, alergi akut dan konjungtivitis. Dosis dewasa 15-30 mg setiap 4- 6 jam, dosis tunggal 60 mg aman dalam menekan batuk paroksismal. Anal( berumur 2 12 tahun dosisnya 7,5 - 15 mg setiap 3 - 4 jam dan tidak melebihi 60 mg per hari (dikutip dari 6). Difenhidramin Obat ini termasuk golongan antihistamin, mempunyai manfaat mengurangi batuk kronik pada bronkitis. Efek samping yang dapat timbul ialah mengantuk, kekeringan mulutdan hidung, kadang-kadang menimbulkan perangsangan susunan saraf pusat. Obat ini mempunyai efek antikolinergik, karena itu harus digunakan secara hati-hati pada penderita glaukoma, retensi urin dan gangguan fungsi paru. Juga harus hati-hati bila digunakan bersama obat antikolinergik lain, penekan saraf pusat atau perangsang susunan saraf pusat. Dosis yang dianjurkan sebagai obat batuk ialah 25 mg setiap 4 jam tidak melebihi 100 mg/hari untuk dewasa. Dosis untuk anak berumur 6-12 tahun ialah 12,5 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 50 mg/hari, sedangkan untuk anak 2 - 5 tahun ialah 6,25 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 25 mg/hari (dikutip dari 6). Retensi cairan yang patologis di jalan napas disebut mukostasis. Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi keadaan itu disebut mukokinesis. Obat mukokinetik dikelompokkan atas beberapa golongan. Pada tabel 3 dapat dilihat penggolongan obat mukokinetik(15)Tabel 3. Penggolongan obat mukokinetik(15) Menambah jumlah cairan mukus Menurunkan efek perlengketan oleh mukus Memecah rantai molekul mukoprotein Obat yang secara langsung merangsang sekresi cairan dan glukoprotein kelenjar bronkus Mengeluarkan cairan dari mukosa dengan proses osmotik atau iritasi Obat yang merangsang pengeluaran cairan dan glikoprotein kelenjar bronkus secara refleks Obat yang merubah sekresi kelenjarbronkusmenjadi kurang kental Perangsangan simpatomimetik atau reseptorlain yang secara langsung mengakibatkan sel kelenjar

Larutan garam faal, merupakan larutan yang paling sesuai untuk nebulisasi dan cairan lavage. Larutan garam hipotonik digunakan pada pasien yang memerlukan diet garam. Larutan garam hipertonik bersifat lebih iritan sehingga menimbulkan batuk. Karena sifatnya yang hipertonik, larutan ini merangsang pengeluaran cairan dari mukosa saluran napas sehingga digunakan untuk merangsang pengeluaran sputum pada penderita batuk yang tidak produktif. 2. Surfaktan Obat ini bekerja pada permukaan mukus dan menurunkan daya lengket mukus pada epitel. Biasanya obat ini dipakai sebagai inhalasi, untuk itu perlu dilarutkan dalam air atau larutan elektrolit lain. Sulit dibuktikan obat ini lebih baik daripada air atau larutan elektrolit saja pada terapi inhalasi(15) 3. Mukolitik Obat ini memecah rantai molekul mukoprotein sehingga menurunkan viskositas mukus. Termasuk dalam golongan ini antara lain ialah golongan thiol dan enzim proteolitik(15) Golongan Thiol Obat ini memecah rantai disulfida mukoprotein, dengan akibat lisisnya mukus. Salah satu obat yang termasuk golongan ini adalah asetilsistein. Asetilsistein Asetilsistein adalah derivat H-asetil dari asam amino Lsistem, digunakan dalam bentuk larutan atau aerosol. Pemberian langsung ke dalam saluran napas melaluikateteratau bronksokop memberikan efek segera, yaitu meningkatkan jumlah sekret bronkus secara nyata. Efek samping berupa stomatitis, mual, muntah, pusing, demam dan menggigil jarang ditemukan. Efek toksis sistemik tidak lazim oleh karena obat dimetabolisme dengan cepat. Dosis yang efektif ialah 200 mg, 2 - 3 kali per oral. Pemberian secara inhalasi dosisnya adalah 1-10 ml larutan 20% atau 2 - 20 ml larutan 10% setiap 2 - 6 jam. Pemberian langsung ke dalam saluran napas menggunakan larutan 10-20% sebanyak 1 - 2 ml setiap jam. Bila diberikan sebagai aerosol hams dicampur dengan bronkodilator oleh karena ia mempunyai efek bronkokonstriksi(3,6,9,15) . Obat ini selain diberikan secara inhalasi dan oral, juga dapat diberikan secara intravena. Pemberian aerosol sangat efektif dalam mengencerkan mukus. Bila diberikan secara oral dalam jangka waktu yang lama obat ini ditoleransi dengan baik dan tidak mempunyai efek toksik(15) Di samping bersifat mukolitik, N-asetilsistein juga mempunyai fungsi sebagai antioksidan. N-asetilsistein merupakan sumber glutathion, yaitu zat yang bersufat antioksidans. Pemberian N-asetilsistein dapat mencegah kerusakan saluran napas yang disebabkan oleh oksidan. Pada perokok, kerusakan saluran napas terjadi oleh karena zat-zat oksidans dalam asap rokok mempengaruhi keseimbangan oksidan dan antioksidan. Dengan demikian pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru terhadap efek oksidan dalan asap

Diluent Surfaktan Mukolitik Bronkomukotropik Bronkorrheik Ekspektorans Mukoregulator Mediator otonom

1. Diluent (cairan) Air : adalah diluent yang utama, berguna untuk mengencerkan cairan sputum(3,6,15) Cairan elektrolit(3,615) :

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

rokok, sehingga mencegah terjadinya emfisema. Obat ini juga mempunyai efek antioksidan terhadap toksisitas asetaminofen(16,17,18). Pada penderita Sindroma Gawat Napas Dewasa (ARDS) sering terjadi edema paru nonkardiak. Pada penderita ARDS kadar glutathion dalam plasma rendah. Pemberian N-asetilsistein intravena meningkatkan kadar glutathion dalam darah, sehingga memberikan perbaikan klinik, yaitu peningkatan oksigenisasi jaringan, membaiknya compliance paru dan berkurangnya edema paru(19) . Penelitian pada penderita penyakit saluran napas akut dan kronik menunjukkan bahwa N-asetilsistein efektif dalam mengatasi batuk, sesak napas dan pengeluaran dahak. Perbaikan klinik pengobatan dengan N-asetilsistein lebih baik bila dibandingkan dengan bromheksin(20,24) . Enzim proteolitik Enzim protease seperti tripsin, kimotripsin, streptokinase, deoksiribonuklease dan streptodornase dapat menurunkan viskositas mukus. Enzim ini lebih efektif diberikan pada penderita dengan sputum yang purulen. Diberikan sebagai terapi inhalasi. Tripsin dan kimotripsin mempunyai efek samping iritasi tenggorok dan mata, batuk, suara serak, batuk darah, bronkospasme, reaksi alergi umum dan metaplasi bronkus.Deoksisibonuklease efek sampingnya lebih kecil, tetapi efektivitasnya tidak melebihi asetilsistein(6,15) 4. Bronkomukotropik Obat golongan ini bekerja langsung merangsang kelenjar bronkus. Zat ini menginduksi pengeluaran seromucin sehingga meningkatkan mukokinesis. Umumnya obat-obat inhalasi yang mengencerkan mukus termasuk dalam golongan ini. Biasanya obat ini mempunyai aroma. Contoh obat ini adalah mentol, minyak kamper, balsem dan kayu putih. Vicks Vapo Rub mengandung berbagai minyak yang mudah menguap, adalah bronkomukotropik yang paling populer. Sulit dibuktikan bahwa obat ini efektif dalam membantu mengeluarkan sputum dan mengatasi batuk(15) 5. Bronkorrheik Iritasi permukaan saluran naps menyebabkan pengeluaran cairan. Saluran napas bereaksi terhadap zat-zat iritasi yang toksik, pada keadaan berat dapat terjadi edema paru. Iritasi yang lebih ringan dapat berfungsi sebagai pengobatan, yaitu merangsang pengeluaran cairan sehingga memperbaiki mukokinesis. Contoh obat golongan ini adalah larutan garam hipertonik(15). 6. Ekspektorans Ekspektorans adalah obat yang meningkatkan jumlah cairan dan merangsang pengeluaran sekret dari saluran napas(3,6,15) Hal ini dilakukan dengan beberapa cara, yaitu melalui(3) : refleks vagal gaster stimulasi topikal dengan inhalasi zat perangsangan vagal kelenjar mukosa bronkus perangsangan medula Refleks vagal gaster adalah pendekatan yang paling sering dilakukan untuk merangsang pengeluaran cairan bronkus. Me

kanisme ini memakai sirkuit refleks dengan reseptor vagal gaster sebagai afferen dan persarafan vagal kelenjar mukosa bronkus sebagai efferen. Termasuk ke dalam ekspektorans dengan mekanisme ini adalah(3,6) : ammonium khlorida kalium yodida guaifenesin (gliseril guaiakolat) sitrat (natrium sitrat) ipekak Kalium yodida Obat ini adalah ekspektorans yang sangat tua dan telah digunakan pada asma dan bronkitis kronik. Selain sebagai ekspektorans obat ini mempunyai efek menurunkan elastisitas mukus dan secara tidak langsung menurunkan viskositas mukus(3,6). Mempunyai efek samping angiodema, serum sickness, urtikaria, purpura trombotik trombositopenik dan periarteritis yang fatal. Merupakan kontraindikasi pada wanita hamil, masa laktasi dan pubertas. Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa 300 650 mg, 3 4 kali sehari dan 60 250 mg, 4 kali sehari untuk anak-anak(6). Guaifenesin (gliseril guaiakolat) Selain berfungsi sebagai ekspektorans, obat ini juga memperbaiki pembersihan mukosilier. Obat ini jarang menunjukkan efek samping. Pada dosis besar dapat terjadi mual, muntah dan pusing. Dosis untuk dewasa biasanya adalah 200 400 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 24 g/hari. Anak-anak 611 tahun, 100 200 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 1 2 g/hari, sedangkan untuk anak 2 5 tahun, 50 100 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 600 mg sehari(3,6). 7. Mukoregulator Obat ini merupakan mukokinetik yang bekerja pada kelenjar mukus yaitu mengubah campuran mukoprotein sehingga sekret menjadi lebih encer, obat yang termasuk golongan ini adalah bromheksin dan S-karboksi metilsistein('5). Bromheksin Bromheksin adalah komponen alkaloid dari vasisin dan ambroksol adalah metabolitnya. Obat ini meningkatkan jumlah sputum dan menurunkan viskositasnya. Juga ia merangsang produksi surfaktan dan mungkin bermanfaat pada sindrom gawat napas neonatus. Ke-dua obat ini ditoleransi dengan balk, tetapi dapat menyebabkan rasa tidak enak di epigastrium dan mual. Harus hati-hati pada penderita tukak lambung. Dosis bromheksin biasanya 8 16 mg tiga kali sehari, sedangkan ambrokso145 60 mg sehari(6,15) Karbosistein (S-karboksi metilsistein) Obat ini adalah derivat sistem yang lain, juga bermanfaat menurunkan viskositas mukus. Dosis obat minum biasanya 750 mg tiga kali sehari. Obat ini memberikan efek setelah diberikan 10 14 hari(3,6,15) 8. Mediator otonom Stimulator yang paling poten untuk sekresi saluran napas adalah obat-obat kolinergik seperti asetilkolin dan metakolin. Kenyataannya obat ini sangat kuat sehingga menimbulkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993 17

banyak efek samping antara lain bronkospasme(15). Obat-obat simpatomimetik juga bisa merangsang pengeluaran sekret. Obat Beta 2 agonis juga menyebabkan bronkodilatasi dan merangsang pergerakan silia. Oleh karena itu manfaat obat ini dalam mekanisme pengeluaran sekret tidak diketahui dengan jelas(15). Mediator lain seperti histamin, bradikinin, dan yang lainnya juga bisa meningkatkan sekret saluran napas. Tetapi efek samping zat-zat ini sangat berat menyebabkan obat ini tidak digunakan sebagai mukokinetik. Sebaliknya antihistamin, antikolinergik dan obat penghambat simpatomimetik beta menghalangi efek mukokinetik(15). PENUTUP Meskipun batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan sekret dan benda asing dari saluran napas, tetapi bila gejala ini berlangsung lama dan terus menerus akan sangat mengganggu, bahkan dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Untuk itu perlu ditanggulangi dengan baik. Penatalaksanaan batuk yang paling baik adalah dengan menghilangkan faktor penyebabnya, yaitu dengan mengatasi berbagai gangguan/penyakit yang merangsang reseptor batuk. Batuk kronik pada perokok paling baik ditanggulangi dengan menghentikan kebiasaan merokok. Pengobatan simptomatik diberikan apabila penyebab batuk tidak dapat ditentukan dengan tepat, bila batuk tidak berfungsi dengan baik atau sangat mengganggu serta dikuatirkan akan menimbulkan komplikasi. N-asetilsistein adalah mukolitik yang sangat efektif untuk mengencerkan sputum. Mempunyai manfaat pada penyakit saluran napas akut dan kronik. Obat ini mempunyai efek lain yaitu antioksidan, sehingga bermanfaat mencegah kerusakan paru oleh oksidan dalam asap rokok. Obat ini juga memberikan perbaikan klinik pada penderita ARDS.1. KEPUSTAKAAN Chemiack RM, Chemiack L. Defenses of the respiratory system. In: Respiration in Health and Disease, 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1983:145-60,

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.

Farzan S. The patient with respiratory disease. In: A Concise Handbook o Respiratory Diseases. Reston Publ Co. 1978: 321. Rau JL Mucus controlling surface active and cold and cough agents. In: Respiratory Care Pharmacology, Chicago: Year Book Medical Publ Inc, 1989:126-79. Stackpole I. Airway management. In: Principles and Practice of Respiratory Therapy, Young JA, Crocker D (eds.). Chicago: Year Book Medical Publ Inc, 1976: 363416. Bates VB. Chronic bronchitis and emphysema. In: The Lung in the Transition between Health and Disease. Macklem PT, Pennutts (eds.). New York: Marcell Dekker Inc, 1979: 113. Cott GR. Drug therapy in the management of cough. In: Drugs for Respiratory System. Chemiack RM (ed.). Orlando: Grune and Stratton Inc, 1986: 16590. Irwin RS, Patter MR. Treatment of cough. Chest 1982; 82: 6623. Poe RH, Israel RH, Utell MJ et al. Chronic Cough. Bronchoscopy of pulmonary function testing ? Am Rev Respir Dis 1982; 126: 160-2. Braman SS, Corrao WM. Cough : Differential diagnosis and treatment. Clinics in Chest Medicine 1987; 8: 17788. Fedullo PF. Chronic cough. In: Manual of Clinical Problems in Pulmonary Medicine, Bordow RA, Maser KM (eds.). Boston: Lisle Brown and Co, 1985: 77-9. Rau JL, Holbrook JM. Central nervous system depressants and respiratory stimulants. In: Respiratory Care Pharmacology, Rau JL (ed.). Chicago: Year Book Medical Publ Inc, 1989: 24171. Berthelot J, Weibel MA. Comparative clinical evaluation of the antitussive activity of butamirate citrate (Sinecod) V. a codeine containing linctus (Netuxe). Clin Trials J 1990; 27: 50-7. Hotter GH. Cough relief, with a new, alkaloid-free bronchospasmolytic agent. Fortschr. Med. 1966; 84: 74950. Zurcher HP. Clinical testing of Sinecod Hommel with the aid of the double-blind test. Praxis 1966; 55: 1402-8. Ziment I. Basic pharmacology of respiratory tract fluid and mucokinetic agents, Inpharzam Medical Forum 1982; 1: 310. Moldeus P, Berggren M, Grafstrom R. N-acetylcysteine protection against the toxicity of cigarette smoke and cigarette smoke condensates in various tissues and cells in vitro, Eur J Respir Dis 1985; 66, suppl 139: 123-9. Cantin A, Crystal RG. Oxidants, antioxidants and the padaogenesis of emphysema. Eur J Respir Dis 1985; 66, suppl 139: 717. Henley DC. What should an ideal antioxidant do (and not do) ? Bull Eur Physiopadaol Respir 1987; 23: 27985. Bernard GR. Potential of N-acetylcysteine as treatment for the adult respiratory distress syndrome. Eur Respir J 1990; 3, suppl 11: 396s8s. Lemy Debois N, Frigerio, Lualdi P. Oral acetylcysteine in bronchopulmonary diseases, Acts Therapeutics 1978; 4: 12532. Verstraeten JM. Mucolytic treatment in chronic obstructive pulmonary disease, Acta Tuberc Pneumol Belg 1979; 70: 71-80.

Money is agood servant, but a dad master

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

Uji Faal Paru Penyakit Paru ObstruktifFaisal Yunus Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Unit Paru RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Obstruksi saluran napas paru dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang terdapat pada lumen, dinding atau di luar saluran napas. Kelainan pada lumen dapat disebabkan oleh sekret atau benda asing. Pada dinding saluran napas, kelainan bisa terjadi pada mukosanya akibat peradangan, tumor, hipertrofi dan hiperplasi akibat iritasi kronik; dapat juga terjadi kelainan yang menimbulkan bronkokonstriksi otot polos. Berbagai kelainan di luar saluran napas yang dapat menimbulkan obstruksi adalah penekanan oleh tumor paru, pembesaran kelenjar dan tumor mediastinum. Dua penyakit paru obstruktif yang sering menjadi masalah dalam penatalaksanaannya adalah penyakit asma bronkial dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Asma bronkial didefinisikan sebagai suatu sindrom klinik yang ditandai oleh hipersensitivitas trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan. Penyakit paru obstruktif kronik adalah kelainan yang ditandai oleh uji arus ekspirasi yang abnormal dan tidak mengalami perubahan secara nyata pada observasi selama beberapa bulan(1). PPOK merupakan penyakit yang memburuk secara lambat, dan obstruksi saluran napas yang terjadi bersifat ireversibel oleh karena itu perlu dilakukan usaha diagnostik yang tepat, agar diagnosis yang lebih dini dapat ditegakkan, bahkan sebelum gejaladan keluhan muncul sehingga progresivitas penyakit dapat dicegah(1,2). Pemeriksaan faal paru pada penyakit paru obstruktif mempunyai beberapa manfaat, yaitu membantu menegakkan diagnosis, melihat perkembangan clan perjalanan penyakit, menilai hasil pengobatan serta untuk menentukan prognosis penyakit. Berbagai uji faal paru dapat dilakukan, mulai dari pemeriksaan yang sangat mudah dan sederhana sampai pemeriksaan yang rumit dan memerlukan sarana serta fasilitas yang lebih canggih.

FAAL PARU UNTUK PENUNJANG DIAGNOSIS Diagnosis penyakit paru obstruktif kadang-kadang dapat ditegakkan berdasarkan anemnesis dan pemeriksaan fisik. Dan anemnesis sering ditemukan keluhan sesak napas dan batukbatuk. Pemeriksaan fisik memperlihatkan tanda-tanda obstruksi seperti ekspirasi yang memanjang dan bising mengi. Tetapi bila kelainan minimal atau terdapat penyakit lain, maka diagnosis kadang-kadang sukar ditegakkan. Pada keadaan ini pemeriksaan Mal paru sangat berguna untuk menunjang diagnosis. Pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) dengan alat mini wright peak flow meter merupakan pemeriksaan yang sangat sederhana. Penderita disuruh melakukan ekspirasi sekuat tenaga melalui alat tersebut. Apabila pada orang dewasa didapatkan angka APE kurang dari 200 1/menit berarti ada obstruksi saluran napas(3). Dengan alat spirometri dapat diukur beberapa parameter faal paru yaitu(4) : Kapasitas vital paksa (KVP) adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa setelah inspirasi maksimal. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa pada detik pertama. Rasio VEPl/KVP. Arus puncak ekspirasi (APE). Apabila nilai VEP1 kurang dari 80% nilai dugaan, rasio VEP1/KVP kurang dari 75% menunjukkan obstruksi saluran napas(4). Bila digunakan spirometri yang lebih lengkap dapat diketahui parameter lain(5) : Kapasitas vital (KV), jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal. Kapasitas paru total (KPT), yaitu jumlah total udara dalam paru pada saat inspirasi maksimal.

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993 19

Kapasitas residu fungsional (KRF), yaitu jumlah udara dalam paru saat akhir ekspirasi biasa. Volume residu (VR), jumlah udara yang tertinggal dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal. Air trapping, selisih antara KV dengan KVP. Pada gambar 1 dapat dilihat skematik volume paru. Pada obstruksi saluran napas didapatkan peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional, kapasitas paru total, rasio VR/KRF, rasio KRF/KPT dan air trapping. Pemeriksaan VEP1, dan rasio VEPl/KVP merupakan pemeriksaan yang standar, sederhana, reprodusibel, dan akurat. Pengukuran ini paling sering digunakan untuk menilai obstruksi saluran napas. Pada gambar 2 dapat dilihat gambaran volume paru pada keadaan normal restriktif dan obstruktif. Pemeriksaan lain yang juga dapat digunakan untuk melihat obstruksi adalah flow-volume curve; pada pemeriksaan ini akan terlihat gambar hubungan antara volume dan arus udara yang diekspirasikan. Dengan melihat grafik yang terjadi dapat diketahui apakah seseorang itu mempunyai faal paru normal, obstruksi atau restriksi(6). Pada gambar 3 dapat dilihat beberapa basil pemeriksaanflow-volume curve. Apabila telah ditemukan kelainan pada pemeriksaan faal paru, biasanya penderita sudah mempunyai gejala-gejala obstruksit4). Beberapa pemeriksaan faal paru dapat mendeteksi kelainan sebelum gejala obstruksi timbul. Pemeriksaan ini lebih rumit, memerlukan waktu serta alat yang canggih. Pemeriksaan ini antara lain ialah pengukuran closing volume, volume of isoftow dan dynamic lung ciompliance. Selain pemeriksaan volume paru atau ventilasi, pemeriksaan faal paru yang lain yaitu kapasitas difusi juga mempunyai arti diagnostik pada penyakit paru obstruktif. Pemeriksaan difusi biasanya dilakukan dengan menggunakan gas monoksida (CO) untuk menilai kemampuan paru menangkap oksigen dari alveoli dan melepaskan karbondioksida. Pada emfisema penurunan kapasitas ,difusi merupakan hal yang karakteristik, sedangkan pada asma dan bronkitis kronik kapasitas difusi biasanya tidak menurun(2).

Reversibilitas =

VEP1 post bronkodilator - VEP1 pre bronkodilator X 100% VEP1 pre bronkodilator

apabila nilainya lebih besar dari 15% dianggap masih reversibel.Gambar 1. Skema volume paru(5)

UJI BRONKODILATOR Uji bronkodilator adalah suatu pemeriksaan faal paru sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator untuk menilai reversibilitas penyakit. Di Rumah Sakit Persahabatan uji bronkodilator dikerjakan sebagai berikut : Dilakukan pengukuran APE atau VEP1 pada pasien yang telah dibebaskan dari bronkodilator sebelumnya. Pemakaian teofilin dihentikan selama 12 jam, untuk lepas lambat 24 jam. Beta 2 agonis oral dibebaskan 12 jam dan beta 2 agonis inhalasi 8 jam. Kemudian diberikan inhalasi beta -2 agonis sebanyak 8 semprot memakai alat nebuhaler atau volumatik. 15 menit setelah pemberian inhalasi bronkodilator, dilakukan pemeriksaan faal paru kembali. Ditentukan persentase kenaikan nilai APE atau VEP1, (re'versibilitas) dengan rumus berikut :

Gambar 3. Gambaran sptrometri dan Flow-Volume Curve pada kelainan restriktif (atas) normal (tengah) dan obstruktif (bawah) Dikutip dart (6)

lewati. Oleh sebab itu pada penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan agar fase eksaserbasi ini tidak terjadi atau bila terjadi diusahakan seminimal dan sesingkat mungkin agar penurunan faal paru tidak makin berat. Pemeriksaan faal paru secara berkala perlu dilakukan pada penderita asma dan PPOK, yaitu untuk melihat laju perkembangan penyakit, serta untuk menilai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan sesudah pemberian bronkodilator berguna untuk melihat apakah obat telah dipakai secara optimal. Di samping itu juga berguna untuk menurunkan dosis obat ke tingkat serendah mungkin tetapi masih memberikan efek bronkodilatasi yang diinginkan. FAAL PARU UNTUK MENENTUKAN PRONOGSIS Pada penderita PPOK derajat obstruksi saluran napas sangat menentukan prognosis penyakit. Prognosis yang buruk ditentukan oleh dua indikator utama, yaitu derajat obstruksi dan terdapatnya kor pulmonale. Obstruksi yang makin berat memperburuk prognosis. Hal ini akan diperberat bila terdapat hiperkapnia, kapasitas difusi paru yang kurang dari 50% nilai dugaan, nadi pada waktu istirahat lebih dari 100 kali/menit dan kor pulmonale(7). Nilai VEPI/KVP merupakan indikator yang kurang berarti untuk menduga survival dibandingkan dengan nilai VEP1 atau persentase dugaan VEP1 pada penderita PPOK. Ini disebabkan oleh karena pada pemburukan penyakit nilai KVP juga ikut menurun. Meskipun nilai VEPl/KVPmerupakanparameter untuk menentukan obstruksi jalan napas, tetapi merupakan parameter yang kurang baik dalam menggambarkan derajat atau keparahan penyakit(8). Untuk menduga survival penderita PPOK, nilai VEP1 sesudah pemberian bronkodilator lebih baik dipakai sebagai parameter dibandingkan dengan nilai VEP1 sebelum pemberian. PENUTUP Pemeriksaan faal paru mempunyai peranan panting pada penyakit paru obstruktif, yaitu untuk menunjang.diagnosis, melihat tingkat dan perjalanan penyakit serta untuk menentukan prognosis penyakit. Penentuan derajat obstruksi dapat dilakukan dengan pemeriksaan sederhana sampai dengan pemeriksaan yang rumit. Masing-masing pemeriksaan mempunyai nilai dan arti tertentu. Pengukuran VEP1 dan KVP dengan spirometri merupakan pemeriksaan yang sederhana, akurat, standard dan paling sering dilakukan.KEPUSTAKAAN 1. American Thoracic Society, Medical Section of the American Lung Association. Standard for diagnostic and care of patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) and asthma. Am Rev Respir. 1987; 136-43. 2. Hodgkin JE. Diagnosis and differentiation. Dalam: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Park Ridge: The American College of Chest Physicians. 1979: 5-34. 3. Faisal Yunus. Peranan Faal Pam pada Penyakit Pam Obstruktif Menahun. Dalam: Penyakit Paru Obstruktif Menahun. Jakarta: Fakultas Kedokteran

FAAL PARU UNTUK MENILAI PERKEMBANGAN PENYAKIT Pemeriksaan faal pant berguna untuk menilai beratnya obstruksi yang terjadi, dengan demikian dapat ditentukan beratnya kelainan. Pemeriksaan ulangan sesudah pengobatan dapat memberikan informasi perbaikan kelainan. Pada asma obstruksi yang terjadi pada saat serangan dapat menjadi normal dengan atau tanpa pemberian obat-obatan. Apabila faal paru sesudah pemberian bronkodilator masih menunjukkan obstruksi mungkin pemberian obat belum optimal. Oleh karena itu dosis obat atau obat lain dapat ditambahkan. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang terus berlanjut secara perlahan (slowly progressing) dan dalam perjalanannya terdapat fase eksaserbasi akut. Penurunan nilai VEP1 dengan bertambahnya umur pada orang normal rata-rata 28 ml setiap tahun. Pada orang dengan PPOK penurunan ini lebih besar yaitu berkisar antara 50 80 ml(3,7). Setiap terjadi fase eksaserbasi maka nilai faal paru akan lebih menurun, nilai ini sidak akan kembali ke nilai dasar setelah fase eksaserbasi di

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993 21

Universitas Indonesia, 1989: 33-44. 4. Petty TL Practical Pulmonary Function Tests. Dalam: Pulmonary Diagnostic Technique. Philadelphia: Lea & Febiger, 1975: 1-50. 5. Levitsky MG. Alveolar Ventilation. Dalam: Pulmonary Physiology, New York: McGraw-Hill Book Co, 1986: 51-81. 6. Carilli PA, Denson U. The Flow Volume Curve in Normal Subject and Diffuse Lung Disease. Chest 1974; 66: 472-7.

7. Tisi GM. The Pulmonary Function Laboratory: A Guide to Diagnosis. Dalam: Pulmonary Physiology in Clinical Medicine. Baltimore: William & Wilkins, 1980: 129-74. 8. Traver GA, Clience MG, Burrows B. Predictors of Mortality in Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Am Rev Respir Dis 1979; 119: 529-32. 9. Anthorisen NR, Wright EC, Hodgkin JE et al. Prognosis in Chronic Obstruc tive Pulmonary Disease. Am Rev Respir Dis 1986; 133: 14-20.

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

Branhamella catarrhalis Kuman Patogen Baru Penyebab Infeksi Saluran Nafas BawahAzhar Tanjung Divisi Pulmonologi dan Alergi Bagian/UPF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Penyakit paru dan saluran nafas masih merupakan masalah kesehatan dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju dengan pola penyakit berbeda di setiap negara. Salah satu pola penyakit paru dengan angka kesakitan dan kematian cukup tinggi adalah Infeksi Akut Saluran Nafas, termasuk juga di Indonesia(1). Paru dan saluran nafas merupakan organ yang mempunyai fungsi menghirup oksigen dari luar dan mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh. Dalam melakukan fungsinya ini, paru selalu terpapar oleh berbagai benda asing di antaranya mikroorganisme. Supaya fungsi ini berjalan lancar dan demi mantapnya ketahanan paru, tubuh mengerahkan alat-alat pertahanan baik non spesifilc maupun spesifik sehingga tidak mengherankan pada orang normal saluran nafas bagian bawah tetap steril. Banyak faktor yang diketahui bisa menyebabkan gangguan pertahanan ini di antaranya yang sering adalah infeksi virus saluran nafas atas, merokok dan penyakit paru obstruktif menahun (PPOM). Dengan terganggunya kestabilan paru, ditambah dengan adanya pemaparan mikroorganisme maka saluran nafas tidak steril lagi dengan manifestasi adanya infeksi akut saluran nafas bawah (ISPA Bawah) (2). Ada 2 (dua) golongan ISPA bawah yaitu(3) : 1) Primer didapati pada penderita yang sebclumnya sehat dan tidak menderita penyakit paru lain. 2) Sekunder yang didapati pada penderita dengan sudah adanya penyakit paru lain, misalnya infeksi sekunder pada PPOM, Tuberkulosis dan lain-lain. Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan ISPA bawah ini adalah bakteri dan bahkan ada menyebut sampai 90%, sedangkan virus dan jamur jarang. Berbagai bakteri penycbab adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus sp, Klebsiella pneumoniae, Mycoplasma

pneumoniae(3,4,5). Tetapi tahun terakhir ini beberapa laporan luar negeri menyebutkan kuman Branhamella catarrhalis juga sebagai kuman patogen penting penycbab ISPA bawah, apalagi pada penderita dengan penyakit paru kronis sebelumnya(6,7,8,9). Seperti dikctahui di Indonesia penyakit paru kronis yang paling banyak dijumpai adalah tuberkulosis; diperkirakan akan tcrjadi perubahan dalam pola penyakit paru ini berdasarkan jumlah perokok dan konsumsi rokok dan juga bertambahnya usia ratarata dari 41 tahun pada tahun 1970 menjadi 70 tahun pada tahun 2000(10,11). Branhamella catarrhalis dulunya disebut dengan Neisseria catarrhalis masuk famili Neisseriaceae dengan kuman berbentuk diplokokus dengan pewarnaan Gram memberikan Gram negatif. Malahan sampai tahun 1982 ahli mikrobiologi dunia masih menganggap kuman ini tidak patogen dan merupakan flora normal yang mendiami saluran nafas bagian atas(12). Di Indonesia sepanjang pengetahuan penulis sampai suit ini belum ada laporan khusus tentang Branhamella catarrhalis sebagai kuman patogen yang dapat menimbulkan ISPA bawah. Berdasarkan hal inilah, makalah ini ditulis dengan tujuan dapat bermanfaat bagi pain ilmuwan, yaitu sudah bertambahnya lagi kuman patogen penyebab ISPA bawah schingga pengobatan yang rasional dapat dicapai. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Paru UPF Penyakit Dalam RS Dr. Pirngadi Medan selama 1 tahun (Februari 1987 Februari 1988), terhadap semua penderita yang berobat jalan. Pada semua penderita berobat jalan dalam kurun waktu tersebut dilakukan anamnesis lengkap dan cermat tennasuk kebiasaan merokok, pemeriksaan fisis, laboratorium rutin sederhana dan radiologik. Bila ada yang dicurigai menderita ISPA bawah yaitu dengan tanda-tanda demam, batuk mengeluarkan dahak, sesak

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993 23

nafas, sakit dada, ronki basah, suara melemah pada perkusi, pemafasan bronkial, lekositosis(3,13), dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk membedakan ISPA primer dan sekunder dan juga pemeriksaan bakteriologis. Diagnosis penyakit paru primer dan sekunder dilakukan menurut prosedur yang sudah baku di Divisi Pulmonologi Bag./ UPF Penyakit Dalam Fk USU/RS Dr. Pirngadi Medan. Pemeriksaan bakteriologi dilakukan di laboratorium mikrobiologi FK UISU Medan. Bahan pemeriksaan adalah dahak yang dibatukkan spontan oleh penderita dan kemudian dimasukkan ke dalam wadah steril yang telah disediakan. Bahan pemeriksaan dari dahak sudah cukup untuk Branhamella catarrhalis(14). Isolasi kuman dan BTA dari dahak dilakukan menurut cara yang lazim dikerjakan di Bagian Mikrobiologi FKUISU. Khusus untuk mengisolasi Branhamella catarrhalis dilakukan menurut cara: Dari bagian dahak yang purulen dibuat sediaan Gram dan kemudian diisolasi pada media Agar Nutrient, Agar Darah (Blood agar mengandung 5% darah biri-biri) dan Agar Coklat. Media Agar Nutrient dan Agar Darah dieram dalam inkubator, sementara medium Agar Coklat yang telah diinokulasi dimasukkan lebih dulu ke dalam candle jar (CO2 510%) dan kemudian dieramkan 37C selama 1824 jam. Identifikasi dibuat dengan pewarnaan Gram, morfologi koloni, uji oksidase, uji katalase dan uji fermentasi gula-gula. Dari koloni yang tumbuh dalam biakan, dibuat sediaan Gram untuk melihat kuman diplococi Gram Negatif, kemudian koloni ditetesi larutan para amino dimethyl-aniline monohydro chloride 1%, hingga koloni menjadi merah muda. Selanjutnya sebagian diinokulasi ke dalam empat tabung media Cystine Trypticase Agar (CTA) slant yang masing-masing mengandung glukosa, maltosa, laktosa dan sakarosa. Pada keempat tabung tidak ada perubahan warna, karena kuman tidak memfermentasinya (tabel 1).Tabel 1. Karakteristik yang digunakan dalam identifikasi Branhamella catarrhalis(9)\ diplococcus Gram negatif tidak menghasilkan pigmen, tidak tembus cahaya (opaque), halus. ada penumbuhan positif positif negatif negatif negatif negatif

nafas bawah. Setclah dilakukan pemeriksaan bakteriologis, pertumbuhan kuman hanya didapati pada 362 penderita dan inilah yang dimasukkan dalam penelitian lebih lanjut. Dari 52 penderita yang tidak ada pertumbuhan kuman, 18 penderita memang menolak diperiksa sebelumnya jadi yang tidak dijumpai pertumbuhan kuman hanya pada 34 (7,72%) penderita. Distribusi ISPA bawah primer dan sekunder dapat dilihat pada Tabel 2; ISPA bawah primer 69 (19,06%) dan ISPA sekunder 293 (80,94%) penderita. ISPA bawah primer adalah Pneumonia 48 (13,26%) dan Bronkitis akut 21 (5,80%) dari penderita. Sedangkan ISPA sekunder paling banyak didapati pada Tuberkulosis yaitu hampir separuh dari penderita.Tabel 2. Distribusi 362 Penderita ISPA Bawah Primer dan Sekunder Jenis Nomor 1 2 1 2 3 4 5 6 Penyakit Nama Penyakit Pneumoni Bronkitis akut Tuberkulosis PPOM Asma Tumor Bronkiektasis Dan lain-lain Jumlah Persentase (%) 48 21 69 181 47 26 6 7 26 293 362 13,26 5,80 19,06 50,00 12,98 7,18 1,66 1,93 7,18 80,94 100,00

Primer Sekunder pada Primer

Sekunder pada

Jumlah

Keterangan : PPOM : Penyakit Paris Kronis Dan lain-lain : Termasuk pada penderita penyakit alergi dan diagnosa tidak diketahui.

Sediaan Gram Morfologi koloni Agar nutrien Katalase Oksidase Produksi asam dari : glukosa maltosa laktosa sakarosa

Pada tabel 3 dapat dilihat distribusi persentase kuman penyebab ISPA bawah; yang terbanyak adalah Pneumococcus (132 33,25%) dan paling sedikit disebabkan Pseudomonas sp. (12 3,02%), sedangkan Branhamella catarrhalis menduduki tempat keempat (37 9,32%). Branhamella catarrhalis dianggap sebagai penyebab ISPA bawah pada 33 (8,40%) penderita oleh karena pada 4 penderita lain juga didapati bersama kuman lain.Tabel 3. Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Distribusi Kuman Penyebab ISPA Bawah Jenis Kuman Pneumococcus Haentophilus influenzae Klebsiella pneumonia Branhamella eatarrhalis Staphylococcus aureus Escherichia toll Streptococcus Sp Pseudomonas Sp Jumlah Jumlah 132 71 64 37 28 28 25 12 397 Pcrscntase (%) 33,25 17,88 16,12 9,32 7,05 7,05 6,30 3,02 100,00

Kuman Branhamella catarrhalis dinyatakan bermakna scbagai penyebab ISPA bila pada scdiaan Gram dari dahak ditemukan diplokoki negatif Gram intra dan ckstra sel lekosit dalam jumlah besar, dan pada biakan tumbuh koloni yang cukup banyak dan merupakan satu-satunya isolat(9). Analisis statistik dengan tes kuadrat Chi (Chi test), perbcdaan dianggap bcrmakna bila p < 0.05. HASIL PENELPTIAN Ada 414 penderita yang disangka menderita infeksi saluran

NB : Pada beberapa penderita jumlah pertumbuhan kuman ada yang lebih dari 1 kuman.

Pada tabel 4 dapat dilihat ada 33 penderita ISPA bawah yang disebabkan Branhamella catarrhalls ; 4 (12,12%) penderita adalah

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993

ISPA bawah primer dan 29 (87,88%) ISPA bawah sekunder. Tuberkulosis paling banyak didapati (15 45,45% penderita).Tabel 4. Distribusi ISPA Bawah Primer dan Sekunder yang Disebabkan Branhamella calarrhalis Jenis Penyakit No. Primer 1 2 1 2 3 4 Nama Penyakit Pneumonia Bronkitis akut Tuberkulosis PPOM Asma Bronkiektasis Jumlah N 3 1 15 8 4 2 33 (%) 9,09 3,03 12,12 45,45 24,24 12,12 6,06 87,88 100,00

Tabel 6.

Hubungan merokok dengan ISPA Bawah karena Branhamella catarrhalis Merokok Jumlah Ya (+) 22 134 156 Tidak ( ) 11 134 145 33 268 301

Branhamella catarrhalis + Jumlah

Sekunder pada

Tabel 7.

Hubungan Tuberkulosis dengan ISPA Bawah disebabkan Branhamella catarrhalis Tuberkulosis Jumlah (+) 15 166 () 18 163 33 362

Jumlah

Branhamella calarrhalis +

Pada tabel 5 dapat dilihat distribusi umur penderita ISPA bawah disebabkan Branhamella catarrhalis; umur paling muda adalah 19 tahun sedang paling tua adalah 74 tahun dengan umur rata-rata 55 tahun.Tabel 5. Distribusi Umur Penderita ISPA Bawah disebabkan Branhamella calarrhalis Umur 10 20 30 40 50 60 70 Jumlah Jumlah (n) 1 3 1 3 8 14 3 33 (%) 3,03 9,09 0,03 9,09 23,24 42,42 9,09 100,00

ISPA bawah disebabkan Branhamella catarrhalis. Nilai X2= 0,298, tidak bermakna. Jadi tidak ada hubungan antara tuberkulosis dengan timbulnya ISPA bawah disebabkan B. catarrhalis. PEMBAHASAN Branhamella catarrhalis adalah kuman diplokokus Gram negatif yang bersifat aerob; sampai tahun 1982 kuman ini hanya dianggap sebagai flora normal yang mendiami saluran nafas atas(7,12,15,17). Tetapi sebenamya pada awal tahun 1980, kuman ini telah ditemukan dalam dahak seorang penderita bronkiolitis kronis; ketika kuman ini ditemukan kembali pada penderita yang sama dengan kekambuhan, mulailah para ahli mencurigai kemungkinan patogenitas kuman ini. Pada tahun 1981 dilaporkan beberapa kasus pneumonia disebabkanBranhamella catarrhalis, dan ternyatahampir semua kasus dalam keadaan imunokompromais atau dengan penyakit paru kronis yang menyertainya(8,15). Pada tahun yang sama Von Graevenits dick menyebutkan sebenarnya kasus ISPA disebabkan oleh kuman ini masih sedikit dilaporkan walaupun juga telah disinggung kuman ini juga menghasilkan beta laktamase (dikutip dari 16). Sedangkan di Taiwan pertama kali dilaporkan ISPA bawah disebabkan kuman ini pada tahun 1989(18). Mc Leod dkk (1983) melaporkan telah dapat mengisolasi Branhamella catarrhalis dari 63 penderita ISPA bawah dan kemudian peneliti yang sama pada tahun 1986 menyebutkan bahwa baik jumlah Branhamella catarrhalis maupun betalaktamase yang dihasilkannya makin meningkat jumlahnya(7,16). Meningkatnya enzim betalaktamase yang dihasilkan menjadikan kuman resisten terhadap penisilin maupun derivatnya, juga terhadap golongan antibiotika lain(19). Pada penelitian ini didapat 33 (8,40%) dari ISPA bawah disebabkan kuman patogen Branhamella catarrhalis; hasil ini hampir sama dengan yang didapat Maesen dkk 1980, Schoen Heyder dkk 1989, Gazzola dkkt6.'.201. Blumer J dan Doern G(21) dan Davies PW dkk(22) melaporkan angka lebih tinggi yaitu lebih 20%.

Dari 362 penderita ISPA bawah, status merokok.diketahui pada 301 penderita dengan 156 (51,85%) penderita perokok. Pada yang perokok umumnya sudah lebih dari 5 tahun (141 90,3% penderita) dan 15 tahun pada 15 (9,61%) penderita. Paling banyak 71 (45,52%) merokok dengan jumlah 1120 batang/hari sedangkan yang merokok 510 batang/hari sebanyak 59 (37,87%) dan sisanya merokok 21 batang (26 16,67% penderita) (Diagram 1).

Diagram 1. Persentase Merokok Merokok Perhari

Tidak

Merokok

dan

Banyaknya

Hasil pengamatan hubungan antara merokok dan ISPA bawah disebabkan Branhamella catarrhalis tertera pada Tabel 6. Nilai X2 = 3.925, bermakna. Jadi ada hubungan antara merokok dengan timbulnya ISPA bawah disebabkan Branhamella catarrhalis. Pada tabel 7 dapat dilihat hubungan antara tuberkulosis dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993 25

Umur paling muda pada penelitian ini adalah 19 tahun sedang tertua berumur 72 tahun dengan umur rata-rata 55 tahun sedangkan Mc Leod dkk (1983) mendapatkan umur paling muda 22 tahun dan tertua 88 tahun dengan rata-rata 67 tahun(6), Wright PW dkk mendapatkan lebih dari 55% penderita berumur 65 tahun(23). Perbedaan ini mungkin karena umur ratarata orang Barat lebih besar dari orang Indonesia di samping di kalangan orang Barat ISPA bawah disebabkan Branhamella catarrhalis umumnya dijumpai pada PPOM dan tumor yang umur penderitanya di atas 50 tahun sedangkan penelitian ini terbanyak dijumpai pada tuberkulosis. Pada penyelidikan ini didapat 87,88% dari penderita ISPA bawah karena Branhamella catarrhalis sekunder pada penyakit paru kronis, hal ini adalah hampir sama dengan yang didapat peneliti luar negeri(16,17,23). Yang menarik pada penelitian ini adalah didapatinya tuberkulosis sebagai penyakit paru kronis paling sering yang mendasari ISPA bawah ini, sedangkan laporan dari Barat penyakit paru kronis berupa PPOM, asma, fibrosis paru, tumor(7,16,17,23). Hal ini bisa diterangkan karcna di Indonesia pola penyakit paru kr